inflation targeting framework

31
INFLATION TARGETING FRAMEWORK (Paradigma Inflasi sebagai Target) Oleh Drs. Rum Rosyid, MM KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

Upload: ziyyaelhakim

Post on 23-Jun-2015

818 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

INFLATION TARGETING FRAMEWORK(Paradigma Inflasi sebagai Target)

TRANSCRIPT

Page 1: INFLATION TARGETING FRAMEWORK

INFLATION TARGETING FRAMEWORK

(Paradigma Inflasi sebagai Target)

Oleh Drs. Rum Rosyid, MM

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

2010

Page 2: INFLATION TARGETING FRAMEWORK

Daftar Isi 2

Kata Pengantar 3

Pendahuluan 4

Inflation Targeting Framework (ITF) 4

Perubahan Paradigma Moneter : dari Uang Beredar ke ITF 5

Inflasi sebagai anchor 8

Kritik terhadap ITF 11

Obat yang diberikan lebih buruk daripada penyakit itu sendiri 14

Penutup 17

Kepustakaan 18

2

Page 3: INFLATION TARGETING FRAMEWORK

Kata Pengantar

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, kami dapat menyelesaikan karya

ilmiah mengenai inflation targeting framework. Gejala inflasi dalam dunia ekonomi

modern adalah risiko sistematis dimana seluruh sektor perekonomian dan social tidak

dapat menghindari yang ditimbulkannya. Oleh karena itu telah menjadi axioma.

Permasalahannya inflasi dapat timbul dari tekanan biaya maupun tekanan permintaan.

Dengan paradigma ITF ini yang hendak dikembangkan adalah pemikiran berapa tingkat

inflasi yang kita ekspektasikan. Artinya tidak lagi bagaimana menghindari inflasi itu

sendiri, karena ternyata tidak dapat dihindarkan.

Kebijakan BI ini setidaknya dimulai semenjak tahun 1999. meskipun tidak berpretensi

untuk tidak menyetujui setidaknya kritik terhadap ITF ini dapat menggambarkan betapa

harapan untuk menemukan solusi terbaik masih terus dimimpikan. Stiglizt sendiri

sebenarnya menolak paradigma ITF ini karena kegagalannya, bahkan memperparah

keadaan.

Semoga kita dapat memperoleh manfaat dengan memahami bahwa lingkungan

kehidupan kita telah terbiasa dengan fenomena inflasi. Oleh karena itu penurunan nilai

uang menjadi sesuatu yang biasa. Meskipun demikian bagi pengabdi kemanusiaan, akan

terus melakukan kritiknya bahwa model inflasi merupakan transfer kekayaan secara tidak

adil. Akhirul kalam

Pontianak, 4 Mei 2010

Wassalam

Penulis

3

Page 4: INFLATION TARGETING FRAMEWORK

Pendahuluan

Isu tentang akuntabilitas bank sentral menghangat sejalan dengan proses amendemen

Undang-Undang Bank Indonesia (UUBI). Meskipun UU No 23/1999 tentang BI telah

memberikan dimensi lebih fokus dan jelas tentang tujuan yang ingin dicapainya, namun

sorotan mengenai sisi akuntabilitas BI terus mengemuka. Dalam UUBI yang kini berlaku,

sebagaimana tertuang pada pasal 7, tujuan tunggal BI adalah mencapai dan memelihara

kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah dapat diartikan terhadap nilai barang dan

jasa yang tercermin dalam angka inflasi, serta kestabilan terhadap mata uang lain yang

terefleksi dalam nilai tukar/kurs.

Dalam konteks sistem nilai tukar rupiah mengambang (free floating system) yang dianut

sejak 14 Agustus 1997, kestabilan nilai rupiah tersebut tentunya lebih tepat dipahami

sebagai laju inflasi yang rendah dan stabil. Upaya pencapaian tingkat inflasi yang

diinginkan akan sangat terkait dengan berbagai faktor. Antara lain sisi permintaan dan

sisi penawaran, tingkat independensi bank sentral, dan koordinasi dengan pemerintah.

Selain itu, dalam penetapan sasaran inflasi (inflation targeting) juga perlu ditunjang oleh

peningkatan akuntabilitas dan transparansi BI kepada masyarakat.

Paradigma inflation targeting yang telah dipilih di berbagai negara, menuntut pentingnya

akuntabilitas dan transparansi. Untuk mendukung penegakan akuntabilitas tersebut,

independensi BI secara utuh perlu tetap dipertahankan. Tujuannya, agar memberikan

kejelasan bagi BI dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, sehingga lebih mudah

bagi masyarakat (DPR) dalam menilai kinerja BI. Untuk itu, BI dituntut selalu melakukan

koordinasi dengan pihak-pihak terkait guna memperlancar pencapaian sasaran yang telah

diamanatkan.

Perubahan Paradigma Moneter : dari Uang Beredar ke ITF

Mulai Juli 2005 Bank Indonesia mengimplementasikan kerangka kerja kebijakan

moneter yang baru konsisten dengan Inflation Targeting Framework, yang mencakup

empat elemen mendasar: penggunaan suku bunga BI Rate sebagai sasaran operasional,

proses perumusan kebijakan moneter yang antisipatif, strategi komunikasi yang lebih

transparan, dan penguatan koordinasi kebijakan dengan Pemerintah. Langkah-langkah

4

Page 5: INFLATION TARGETING FRAMEWORK

dimaksud ditujukan untuk meningkatkan efektifitas dan tata kelola (governance)

kebijakan moneter dalam mencapai sasaran akhir kestabilan harga untuk mendukung

pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat.

Inflation Targeting Framework:

1. Secara umum, Inflation Targeting Framework (ITF) merupakan kerangka kerja

kebijakan moneter yang secara eksplisit mentargetkan inflasi dan kebijakan moneter

secara transparan dan konsisten diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi dimaksud.

Meskipun definisi berbeda secara rinci, terdapat konsensus umum mengenai karakteristik

pokok dari rezim kebijakan moneter ini, yaitu: adanya sasaran inflasi yang secara

eksplisit menjadi tujuan utama pemeliharan kestabilan harga oleh bank sentral,

terbatasnya dominasi fiskal dan tidak adanya sasaran nominal yang lain, dan otoritas

moneter yang dibekali dengan independensi instrument dan beroperasi secara transparan

dan terbuka kepada publik.

2. Dalam pelaksanaannya, rezim kebijakan moneter dengan ITF dilakukan dengan empat

prinsip pokok, yaitu:

a) Sasaran inflasi sebagai tujuan utama (overriding objective) dan jangkar nominal

(nominal anchor) kebijakan moneter,

b) Menerapkan strategi antisipatif (pre-emptive atau forward looking) dengan

mengarahkan respon kebijakan moneter saat ini untuk pencapaian sasaran inflasi

jangka menengah ke depan,

c) Mendasarkan pada analisis, prakiraan, dan kaidah kebijakan tertentu (policy rules)

dalam menetapkan respon kebijakan moneter (constrained discretion), dan

d) Sesuai dengan praktek tata kelola kebijakan (good policy governance) yaitu

berkejelasan tujuan, konsisten, transparan, dan akuntabel.

Dari sisi moneter, sejak pertengahan tahun 2005 telah terjadi perubahan paradigma, yakni

perubahan dari stabilisasi yang berbasis jumlah uang yang beredar menjadi Inflation

Targeting Framework (ITF) dengan menggunakan instrumen suku bunga. Perkembangan

perekonomian suatu negara dapat dikatakan sedang meningkat atau menurun berdasarkan

beberapa indikator dasar makroekonominya, diantaranya suku bunga, jumlah uang yang

beredar, inflasi, nilai tukar, dan pengangguran. Bank Indonesia (BI) sebagai lembaga

5

Page 6: INFLATION TARGETING FRAMEWORK

otoritas moneter telah melakukan stabilisasi melalui instrumen suku bunga SBI, dimana

penetapan SBI dilakukan untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar. Ketika jumlah

uang yang beredar di masyarakat terlalu banyak (berlebih), maka hal ini akan

menyebabkan terjadinya inflasi.

Gonjang-ganjing harga minyak dan harga-harga komoditas pangan menghantui

perekonomian Indonesia pada tahun 2008. Ancaman ini terjadi di negara-negara Asia dan

Amerika Latin, khususnya negara yang sedang berkembang. Nampaknya pada tahun ini

dipenuhi oleh kebijakan-kebijakan pengetatan moneter di negara-negara yang terkena

tekanan inflasi tersebut. Kenaikan harga minyak yang sempat mencapai US$100 pada

akhir tahun 2007, walaupun pada awal tahun 2008 mengalami penurunan, imbasnya

masih mempengaruhi perekonomian pada tahun ini. Namun, kenaikan harga minyak

global tersebut tidak menyebabkan kenaikan harga BBM di Indonesia. Hal ini

dikarenakan pemerintah meningkatkan subsidi BBM untuk meredam goncangan harga

minyak global tersebut.

Kebijakan moneter adalah kebijakan pengendalian jumlah uang yang beredar. Jumlah

uang beredar itu sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor, sehingga lingkup kebijakan

moneter menjadi sangat luas. Faktor yang terutama adalah berkenaan dengan kebijakan

perbankan, suku bunga, dan sistem pembayaran. Kebijakan perbankan antara lain

mengenai: kecukupan modal bank, rasio minimum antara modal dengan kredit yang

disalurkan, serta berbagai aturan teknis lainnya. Kompleksitasnya membuat kebijakan

moneter di banyak negara, termasuk Indonesia, dilaksanakan oleh bank sentral yang

relatif independen terhadap pemerintah. Adapun mekanisme koordinasi dengan

pemerintah diatur oleh Undang-undang.

Rapat Dewan Gubernur (RDG)  BI memutuskan BI rate tetap seperti posisi bulan lalu,

12,5%. Kondisi ini pada gilirannya akan membuat pasar semakin bingung membaca

sinyal moneter yang dipancarkan oleh BI. Jika mengacu pada paradigma Inflation

Targeting Framework (ITF) yang selama ini menjadi ikon kerja BI, maka tindakan BI

dalam mempertahankan BI rate pada level yang tinggi boleh jadi mencederai semangat

ITF mengingat inflasi sudah berada pada level yang jauh dari mengkhawatirkan. Coba

6

Page 7: INFLATION TARGETING FRAMEWORK

tengok saja data dari Badan Pusat Statistik (BPS), infasi pada maret 2006 sebesar 0.03%.

Sementara inflasi tahun kalender berjalan (Januari-Maret 2006) mencapai 1,98% dan laju

inflasi year on year (Maret 2005- Maret 2006) mencapai 15,74%. Inflasi pada bulan Mei,

masih menurut data BPS, juga berada pada level yang relatif rendah yaitu sebesar 0,37%

(bulanan) dan 15,6% (tahunan) yang berarti masih berada dibawah posisi inflasi tahun

2005.

 

Jika kita melihat ke belakang, perjalanan BI rate hingga saat ini sangatlah panjang dan

berliku. Tingginya harga minyak dunia dan kenaikan suku bunga internasional dalam

tahun 2005 memberi tekanan pada stabilitas moneter di dalam negeri sejak triwulan

II/2005. Pada gilirannya kurs rupiah sempat melemah tajam hingga menyentuh Rp

12.000,- per USD pada perdagangan harian menjelang akhir Agustus 2005. Sehingga BI

menempuh berbagai rangkaian tindakan penyelamatan yang dimulai pada tanggal 30

Agustus 2005 dengan suku bunga SBI 1 bulan dinaikkan sebesar 75 bps menjadi 9,5

persen. Pada bulan September dan Oktober 2005, suku bunga SBI 1 bulan dinaikkan lagi

menjadi 10,0 persen dan 11,0 persen. Selanjutnya untuk menjaga kepercayaan terhadap

rupiah dengan tingginya laju inflasi bulan Oktober 2005, BI rate dinaikkan lagi pada awal

November 2005 dan awal Desember 2005 masing-masing sebesar 125 bps dan 50 bps

menjadi 12,25 persen dan 12,75 persen. Hingga pada akhirnya pada tanggal 9 mei 2006

BI rate diturunkan sebesar 25 bps menjadi 12,5%.

 

Inflasi, merujuk data BPS yang telah dijabarkan diatas, secara perlahan telah dapat

dijinakkan, meskipun kinerja saudaranya sesama indikator makroekonomi yaitu nilai

tukar masih berada pada level yang mengkhawatirkan. Keputusan teranyar BI terkait BI

rate secara tidak langsung telah mengubah kerangka kerja yang sebelumnya lebih fokus

ke arah pengendalian inflasi menjadi fokus ke arah nilai tukar. Hal ini tentunya tidak

akan menjadi masalah tatkala BI secara tegas mengumumkan target-targetnya, apakah itu

inflasi yang rendah atau rupiah yang stabil.

7

Page 8: INFLATION TARGETING FRAMEWORK

Inflasi sebagai anchor

Menyikapi pasal 7 UU No 23/1999, BI cenderung menempatkan inflasi sebagai anchor

(landasan) dalam kebijakan moneternya melalui penetapan kisaran inflasi yang akan

menjadi target BI. Menempatkan inflasi sebagai anchor atau target akhir (ultimate target)

kebijakan moneter disebut inflation targeting. Bank Indonesia mendefinisikan Inflation

Targeting Framework (ITF) merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang

ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai

dalam beberapa periode ke depan. ITF bukanlah suatu kaidah yang kaku (rule) tetapi

sebagai kerangka kerja menyeluruh (framework) untuk perumusan dan pelaksanaan

kebijakan moneter.

Sesuai definisi di atas, sejak berlakunya UU No. 23/1999 Indonesia sebenarnya Indonesia

dapat dikategorikan sebagai "Inflation Targeting lite countries". Kebijakan ini diilhami

oleh keberhasilan menekan laju inflasi tanpa meningkatkan volatilitas output oleh

negara–negara industri maju seperti New Zealand (1990), Israel (1991), Kanada (1991),

United Kingdom (1992), Swedia (1993), Australia (1993), Switzerland dan beberapa

negara berkembang seperti Republik Czech, Polandia, Hungaria, dengan menerapkan

kebijakan target inflasi (Mishkin, 2001).

Secara teoritis, menempatkan inflasi sebagai anchor memberikan banyak manfaat. Antara

lain, (i) mudah dipahami oleh masyarakat karena masyarakat hanya akan melihat ukuran

keberhasilannya pada pencapaian laju inflasi; (ii) dapat menciptakan ekspektasi yang

rendah terhadap inflasi, sehingga pada akhirnya menghasilkan tingkat inflasi aktual

(actual inflation) seperti yang diinginkan; (iii) dapat menghindari kemungkinan

munculnya kebijakan-kebijakan yang dapat menimbulkan deviasi terhadap pencapaian

target inflasi (discretionary policy).

Inflasi merupakan outcome dari interaksi antara permintaan agregat dan penawaran

agregat. Terjadinya ketimpangan antara permintaan agregat dan penawaran agregat

mempengaruhi tingkat inflasi. Aspek moneter, yang dalam hal ini lebih dapat

dikendalikan oleh BI, hanya mempengaruhi sisi permintaan agregat. Sementara

8

Page 9: INFLATION TARGETING FRAMEWORK

penawaran agregat lebih banyak dipengaruhi kondisi sektor riil yang terjadi seperti

kondisi musim yang mempengaruhi produksi komoditas pertanian dan kondisi distribusi

barang. Ini menjadi perhatian BI dalam pencapaian target inflasi yang diinginkan.

Terdapat pula dilema antara pertimbangan kepentingan pertumbuhan ekonomi yang

tinggi dan laju inflasi yang rendah. Dalam kondisi perekonomian yang sedang mengalami

krisis, pemerintah cenderung mengambil kebijakan yang cenderung ekspansif untuk

mendorong pertumbuhan ekonomi.

Namun, dampak kebijakan pemerintah yang ekspansif cenderung memberikan tekanan

inflasi. Di sisi lain, bank sentral melalui penetapan inflation targeting, cenderung

mengarahkan kebijakannya untuk menciptakan inflasi yang rendah dan stabil.

Selanjutnya, apabila inflasi telah disepakati sebagai target akhir kebijakan moneter

(anchor), maka kebijakan di bidang keuangan lainnya seperti di perbankan dan sistem

pembayaran, selayaknya menjadi penyangga (buffer) dalam menciptakan tingkat inflasi

yang rendah. Mengarahkan pemberian kredit kepada sektor produksi dibanding konsumsi

akan memberikan iklim kondusif bagi tercapainya inflasi rendah dan stabil.

Akuntabilitas bank sentral.

Beberapa pasal di UUBI seperti pasal 58, 59, 60, 61, dan 62 menjelaskan konsep dan

mekanisme akuntabilitas BI sebagai bank sentral yang independen. Dalam

perbendaharaan bahasa Inggris, accountability memiliki makna kewajiban untuk

mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan. Apakah sesuai dengan rencana/

tujuan yang ditetapkan atau tidak. Dari definisi tersebut, ada tiga kata utama yang

menjadi perhatian, yaitu kewajiban, tanggung jawab, dan sesuai rencana/tujuan.

Kewajiban artinya `keharusan` untuk memenuhi semua proses akuntabilitas, sehingga

secara eksplisit akuntabilitas harus tertuang dalam suatu produk hukum. Tanggung jawab

memiliki pemahaman adanya hubungan dua arah antara yang menyampaikan

akuntabilitas (BI) maupun yang menerima akuntabilitas (DPR).

Pertanyaannya, apakah pihak yang menyampaikan akuntabilitas telah memenuhi semua

kewajiban yang diembannya, dan apakah yang menerima akuntabilitas sudah

9

Page 10: INFLATION TARGETING FRAMEWORK

memberikan tanggapan (respons). Sedangkan `sesuai rencana/tujuan` sangat terkait

dengan tanggung jawab, yaitu apakah hasil yang dicapai sesuai tujuan yang telah

ditetapkan. Apabila hasil yang dicapai sesuai tujuan, maka sepatutnya memperoleh

imbalan (reward) dan sebaliknya.

Merujuk konsep accountability, selain memberikan makna adanya kewajiban untuk

mempertanggungjawabkan suatu tindakan, juga tersirat makna adanya tanggapan dari

pihak yang menerima akuntabilitas, yaitu DPR. Dewan harus memberikan tanggapan atas

pertanggungjawaban yang disampaikan oleh BI, khususnya mengenai pencapaian dan

pemeliharaan kestabilan nilai rupiah. Apabila pada akhir periode, BI tidak dapat

mencapai target-target yang telah ditetapkan, maka DPR dapat saja memberikan teguran

kepada BI. Tentunya semua target yang ditetapkan oleh BI harus disampaikan kepada

DPR pada awal periode dengan disertai berbagai pertimbangan yang mendasari

penetapan target dimaksud.

Walsh C dalam tulisannya Optimal Contract for Independent Central Bank yang dimuat

dalam American Economic Review 1995, telah mencoba mengangkat unsur akuntabilitas

dalam penetapan model inflation targeting, yang disebut accountable model. Dalam

modelnya, Walsh memberikan perhatian yang seimbang antara pencapaian target inflasi

dan stabilitas pertumbuhan ekonomi. Hal yang menarik dalam model yang dikemukakan

Walsh adalah adanya unsur penalti atau sanksi. Apabila kinerja bank sentral tidak sesuai

seperti yang disepakati, maka pihak yang menerima pertanggungjawaban (parlemen)

dapat memberikan sanksinya.

Menurut Walsh, keseimbangan terhadap pencapaian target inflasi dan stabilitas

pertumbuhan ekonomi serta ditunjang dengan adanya sanksi bagi bank sentral, akan

memberikan hasil yang optimal yaitu stabilitas pertumbuhan ekonomi tetap terjaga

sementara tingkat inflasi dapat ditekan pada tingkat cukup rendah. Apabila model

akuntabilitas yang sebagaimana dimaksud akan diakomodasikan dalam penetapan

mekanisme pertanggungjawaban BI, diperkirakan di satu sisi hal tersebut akan dapat

memberikan situasi kondusif bagi keberlangsungan pemulihan ekonomi. Di sisi lain,

10

Page 11: INFLATION TARGETING FRAMEWORK

tingkat inflasi dapat dijaga pada tingkat yang cukup rendah mengingat adanya komitmen

yang kuat dari BI untuk melaksanakan fungsi dan tugasnya dalam rangka mencapai target

yang telah ditetapkan.

Tingginya komitmen itu akan tumbuh sebagai konsekuensi adanya sanksi yang harus

diterima apabila BI tidak dapat menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik, berupa

tidak tercapainya target-target yang ditetapkan. Sanksi dimaksud dapat berupa peringatan

yang dipublikasikan, penurunan gaji manajemen sampai dengan pemberhentian

manajemen.

Persoalan penting dalam setting kebijakan Bank Indonesia adalah mengidentifikasi

variabel informasi yang secara hubungan teoritis menjadi penyebab inflasi, dan dapat

digunakan sebagai indikator utama signal inflasi sekaligus sebagai penentu besaran

inflasi. Variabel yang dimaksud hendaknya dalam kendali kebijakan Bank Indonesia agar

pencapaian tujuan kebijakan dapat efektif. Analisis transmisi kebijakan moneter Bank

Indonesia sangat penting dalam hal ini ; pertama, menentukan variabel ekonomi dan

keuangan mana yang paling kuat dijadikan leading indicators terhadap pergerakan inflasi

kedepan serta variabel mana untuk penentuan sasaran operasional kebijakan moneter.

Kedua, untuk mengetahui seberapa kuat dan lamanya tenggang waktu masing-masing

saluran transmisi tersebut bekerja, baik sejak tindakan moneter dilakukan bank sentral

sampai ke perubahan masing-masing saluran dan 3 saluran transmisi keperubahan inflasi

dan pertumbuhan ekonomi.

Kritik terhadap ITF

Di tahun 80-an, Sepertinya bank-bank sentral di seluruh dunia terpengaruh oleh konsep

monetarism, teori ekonomi yang relatif sederhana, yang dipromosikan oleh Milton

Friedman. Kemudian monetarism telah didiskreditkan oleh biaya yang sangat mahal yang

ditanggung terutama di negara-negara yang menggunakan mantra monetarism, walaupun

kemudian negara-negara tersebut berusaha untuk menemukan sebuah mantra baru.

“Perekonomian yang lemah dengan jumlah pengangguran yang lebih besar yang

disebabkan oleh inflation targeting tidak banyak memberikan pengaruh terhadap inflasi“

11

Page 12: INFLATION TARGETING FRAMEWORK

Mantra yang selama ini digunakan adalah “inflation targeting” yang mengatakan ketika

pertumbuhan harga melebihi target yang suda ditentukan, suku bunga harus dinaikkan.

Resep ini didasarkan pada teori ekonomi atau bukti empiris yang menyatakan apapun

sumber dari inflasi, jawaban terbaik adalah menaikkan suku bunga. Orang berharap

bahwa kebanyakan negara akan memiliki panca indera yang baik untuk tidak menerapkan

inflation targeting, dan Joseph E. Stiglitz memberikan simpatinya kepada orang-orang

yang ingin menerapkan konsep tersebut.

Negara-negara yang menerapkan inflation targeting adalah Israel, Republik Czech,

Polandia, Brazil, Chile, Colombia, Afrika Selatan, Thailand, Korea, Mexico, Hungaria,

Peru, Filipina, Slovakia, Indonesia, Rumania, New Zealand, Canada, Inggris, Swedia,

Australia, Iceland, dan Norwegia.

Hari ini inflation targeting sedang menghadapi cobaan, dan sudah hampir pasti akan

gagal. Negara-negara berkembang saat ini menghadapi kenaikan inflasi yang tinggi

bukan karena manajemen makroekonomi yang buruk tetapi karena kenaikan harga

minyak dan bahan pangan; dan komoditas ini mengabilsebagian besar anggaran rumah

tangga dibandingkan dengan rumah tangga di negara-negara maju. Menurut data, di

China inflasi sudah mendekati 8%, di Indonesia 12% atau lebih. Di Vietnam bahkan lebih

tinggi lagi mendekati 18,2% tahun ini, di India mencapai 5,8%. Berbeda dengan di

Amerika Serikat inflasi hanya mencapai 3%. Apakah ini berarti bahwa negara-negara

berkembang harus menaikkan suku bunganya lebih dari yang di Amerika Serikat.

Bagaimana cara kita merajut ulang negara ini amat bergantung pada bagaimana kita

mendiagnosis permasalahan yang melilit negara kita sebelum kita bisa merumuskan resep

pemecahannya. Pada tahap diagnosis, dari sudut mana kita menatap permasalahan

memainkan peran kunci. Sudut yang terbatas menghasilkan dimensi pandang yang cupet

sehingga diagnosanya pun keliru. Alhasil, resep penyembuhan yang ditulis dari diagnosis

yang keliru bukannya meringankan derita sang pasien, malah lebih menyengsarakan dan

membahayakan sang pasien.

Itulah prahara yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997- 1998 akibat kekeliruan

diagnosis dan resep yang disadurkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan

12

Page 13: INFLATION TARGETING FRAMEWORK

kesimpulan tentang kekeliruan diagnosis IMF ini pula yang menjadi tema utama yang

mengantar Stiglitz menjadi maestro ekonomi.

Stiglitz menyimpulkan bahwa resep IMF untuk menaikkan suku bunga Sertifikat Bank

Indonesia (SBI) hingga 70,7 persen pada 1998 di kala perusahaan-perusahaan tengah

sekarat akibat ketidakmampuan membeli bahan baku impor pada kurs yang melambung

dari Rp 2.500 ke sekitar Rp 15.000 per dollar AS merupakan pangkal utama dari

munculnya gelombang gulung tikarnya perusahaan dan pemutusan hubungan kerja.

Untuk membeli bahan baku saja sudah setengah mati, apalagi harus membayar beban

bunga yang jauh lebih tinggi. Bagi pengusaha, lebih baik bubar jalan. PHK massal pun

terjadi bersahutan, seolah ada kesepakatan bersama dari banyak pengusaha untuk

menciutkan skala perekonomian nasional dan memaksimalkan risiko kebangkrutan

nasional (default risks).

Indonesia mengalami lebih dari stagflasi (munculnya stagnasi dan inflasi secara

bersamaan) karena yang terjadi bukan stagnasi perekonomian, tetapi depresi

perekonomian. Produk Domestik Bruto (PDB= GDP) kita menciut jadi minus 13,13

persen pada tahun 1998.

Inflasi di negara-negara ini sebagian besar merupakan hasil inflasi yang diimport.

Menaikkan suku bunga tidak akan memberikan pengaruh pada harga-harga internasional

seperti tepung terigu atau minyak. Bahkan bila melihat ukuran ekonomi di Amerika

Serikat, melambatnya perekonomian memberikan pengaruh yang lebih besar

dibandingkan melambatnya ekonomi di negara berkembang yang mengindikasikan

bahwa suku bunga di Amerika Serikat, bukan suku bunga di negara berkembang, yang

seharusnya dinaikkan.

Selama negara berkembang masih terintegrasi ke dalam ekonomi global atau globalisasi

dan tidak melakukan usaha untuk membatasi pengaruh harga internasional terhadap harga

domestik, maka harga domestik komoditas seperti beras dan tepung terigu akan

meningkat mengikuti harga pasar dimana harga internasional terus meningkat. Pada

negara-negara berkembang harga minyak dan bahan pangan yang tinggi melambangkan 3

ancaman yaitu tidak hanya negara pengimport harus membayar lebih untuk mendapatkan

tepung trigu mereka harus membayar lebih untuk membawanya ke negara masing-masing

13

Page 14: INFLATION TARGETING FRAMEWORK

dan harus mengirimkan/mendistribusikan kepada konsumen yang boleh jadi tinggal jauh

dari pelabuhan.

Menaikkan suku bunga dapat mengurangi aggregate demand, yang akan memperlambat

perekonomian dan menjinakkan harga-harga barang dan jasa, terutama sekali barang dan

jasa yang tidak diperdagangkan. Namun, kecuali peningkatan suku bunga pada dilakukan

pada level yang sangat tinggi, maka tindakan ini tidak akan dapat membuat inflasi turun

pada level yang menjadi target. Sebagai contoh walaupun harga energi dan bahan pangan

meningkat pada level moderate dibandingkan sekarang, sebagai contoh 20% per tahun,

dan direfleksikan pada harga domestik, akan membawa inflasi hingga katakanlah 3%

maka dibutuhkan penurunan harga di komoditas yang lainnya. Hal ini tentunya akan

menghasilkan kelambatan pertumbuhan perekonomian dan pengangguran yang tinggi.

Obat yang diberikan lebih buruk daripada penyakit itu sendiri

Lalu apa yang dapat diperbuat? Tentunya pemerintah dan bank sentral tidak boleh

disalahkan terhadap inflasi yang diimpor, sama saja ketika inflasi mencapai angka yang

rendah ketika lingkungan bisnis dalam kondisi baik pemerintah dan bank sentral tidak

mendapatkan applause.

Kedua kita harus mengenali bahwa harga yang tinggi dapat menyebabkan perasaan stres

terutama sekali pada individu dengan pendapatan rendah. Demo dan protes di negara-

negara berkembang merupakan manifestasi dari pada hal tersebut.

Liberalisasi perdagangan telah dianggap sebagai sebuah kelebihan, namun mereka tidak

sepenuhnya jujur terhadap risiko yang mungkin ditimbulkan. Risiko dimana market gagal

memberikan jaminan yang cukup. Sekitar 25 tahun yang lalu, Joseph E. Stiglitz

menunjukkan pada kondisi yang dapat diterima liberalisasi perdagangan dapat membuat

kondisi lebih buruk. Beliau tidak beragumentasi mengenai proteksi pasar, namun lebih

menyuarakan suara hati-hati yang harus kita pahami terutama risiko buruk dan kita harus

siap untuk menghadapinya.

Ketika kita berbicara mengenai pertanian, negara maju seperti US dan Uni eropa, berhasil

memisahkan baik konsumen maupun petani dari risiko-risiko tersebut. Akan tetapi

kebanyakan negara berkembang tidak memiliki institusi yang terstruktur atau sumber

daya untuk melakukan hal yang sama. Kebanyakan negara mengambil tindakan

14

Page 15: INFLATION TARGETING FRAMEWORK

emergency seperti mengenakan tarif pajak ekspor atau larangan ekspor yang barangkali

dapat membantu warga negaranya, akan tetapi menyebabkan permasalahan di negara

lain. Jika kita ingin menghindari perseteruan yang lebih keras terhadap globalisasi,

negara-negara barat harus melakukan tindakan nyata lebih cepat dan lebih serius. Subsidi

bio-fuel yang memotivasi petani untuk memindahkan produksinya dari bahan pangan

kepada sumber energi harus dibatalkan. Uang Miliar dollar yang digunakan untuk

memberikan subsidi kepada para petani di negara barat harus digunakan untuk membantu

negara-negara berkembang yang lebih miskin untuk memenuhi kebutuhan dasar akan

makanan dan energi.

Lebih penting lagi bahwa negara berkembang maupun negara maju harus meninggalkan

inflation targeting. Permasalahan untuk memenuhi kebutuhan akan bahan pangan dan

energi yang harganya terus meningkat cukup menyita waktu dan sangat berat.

Perekonomian yang lemah dengan jumlah pengangguran yang lebih besar yang

disebabkan oleh inflation targeting tidak banyak memberikan pengaruh terhadap inflasi;

hal ini hanya akan membuat tugas untuk bertahan pada kondisi seperti ini menjadi

semakin sulit.

Krisis ekonomi global telah mengubah paradigma berbagai negara dalam memandang

inflasi. Sebelumnya, hingga pertengahan 2008, pandangan hampir seluruh bank sentral di

dunia adalah mengendalikan tekanan inflasi yang meningkat. Namun, krisis yang

semakin dalam telah mengubah pandangan itu. Kini, banyak bank sentral lebih khawatir

pada tertekannya pertumbuhan ekonomi. Di satu sisi, inflasi adalah musuh bangsa yang

paling berbahaya. Ernest Hemingway bahkan pernah menulis bahwa inflasi lebih

berbahaya dari perang. Keduanya bisa merenggut harta, kehidupan, dan nyawa, dengan

cara yang kejam. Inflasi yang tinggi merenggut kebahagiaan masyarakat secara umum.

Untuk itulah negara-negara di dunia membentuk sebuah bank sentral yang ditugasi untuk

mengurus inflasi.

Dalam menjalankan tugas pengendalian inflasi itu, bank sentral sepanjang perjalanan

zaman menggunakan berbagai cara dan strategi kebijakan moneter. Dan dalam beberapa

15

Page 16: INFLATION TARGETING FRAMEWORK

tahun belakangan ini, lebih dari 42 bank sentral di dunia, termasuk Indonesia,

menerapkan sebuah kerangka kebijakan moneter yang disebut Inflation Targeting

Framework (ITF). Dalam kerangka ini, kebijakan moneter bank sentral ditargetkan untuk

mencapai sasaran inflasi di jangka menengah panjang. Inflasi menjadi satu-satunya target

bank sentral dalam mewujudkan kredibilitas kebijakan moneternya. Dalam menerapkan

ITF, peranan inflation forecast targetting, atau peramalan inflasi menjadi penting. Inflasi

untuk jangka menengah diramalkan pada saat ini dan instrumen suku bunga digunakan

untuk menembak sasaran itu.

Begitu di-imani-nya kerangka kerja ITF ini melahirkan beberapa pendukung yang

fanatik. Terpecahlah pemikiran-pemikiran di bank sentral beberapa negara. Ada kaum

akomodatif, yang melihat peran bank sentral juga harus akomodatif terhadap

pertumbuhan ekonomi. Dan ada kaum fanatik yang “madhep manthep ndherek ITF”

(membela ITF mati-matian). Kelompok terakhir ini kerap disebut dengan istilah FPI

(Front Pembela ITF). Keyakinan mereka adalah bahwa ITF merupakan kerangka kerja

yang harus dijalankan secara terukur dan mekanistis. Inflasi harus menjadi tujuan utama

tugas bank sentral. Inflasilah alasan keberadaan asali dari bank sentral sejak dahulu.

Dan terjadilah krisis keuangan global yang mengubah kredo tersebut. Saat ini, inflasi

bukan sebuah persoalan utama. Anjloknya harga komoditas dunia dan melambatnya

ekonomi global telah menurunkan tekanan inflasi secara signifikan. Fokus perhatian

dunia kini tak lagi pada inflasi, tapi justru menciutnya pertumbuhan ekonomi.

Respons kebijakan moneter seluruh bank sentralpun seragam dalam mengatasi krisis

global, yaitu memangkas suku bunga secara agresif. Namun, langkah terus menerus

memangkas suku bunga bisa kehilangan efektivitasnya. Di beberapa negara, bahkan suku

bunga kebijakan telah mendekati nol persen, seperti yang terjadi di Amerika dan Inggris.

Meski tingkat suku bunga sudah di angka sekitar nol persen, perbankan tak serta merta

mengikuti penurunan tersebut dengan menurunkan bunga kreditnya. Ekonomi juga belum

mengeliat dan bergerak. Berbagai cara alternatif kebijakanpun dicari untuk mendorong

ekonomi. Stimulus fiskal oleh pemerintah, dan dukungan likuiditas oleh bank sentral

pada perekonomian. ITF yang selama ini mereka pegang, untuk sementara terlupakan.

16

Page 17: INFLATION TARGETING FRAMEWORK

Fokus dari bank sentral di berbagai negara adalah mencari instrumen selain suku bunga

untuk mendorong perekonomian.

Di Indonesia sendiri, tekanan inflasi ke depan diperkirakan masih rendah. Inflasi untuk

keseluruhan 2009 diperkirakan hanya berada pada kisaran 5%. Perhatian utama bank

sentral adalah bagaimana mendorong geliat ekonomi agar daya beli masyarakat tidak

terlalu anjlok. Masyarakat yang sudah tertekan akibat krisis, jangan sampai lebih tertekan

lagi. Beberapa bank sentral telah mencari cara baru untuk mendorong kegiatan

ekonominya, selain melalui penurunan suku bunga. Kebijakan ini, bukan hanya

dilakukan oleh mereka yang akomodatif, namun juga oleh para anggota FPI, pendukung

ITF.  Menyikapi krisis global, tak apalah sekali-kali mengkhianati FPI.

Penutup

Persoalan inflasi, sesungguhnya tidak semata ketimpangan antara moneter dan input.

Tetapi lebih dari itu juga persoalan ideologis, dalam arti siapa dan bagaimana kekayaan

Negara didistribusikan secara adil bagi masyarakat. Dan selanjutnya kita dapat menebak

arah munculnya persoalan adalah ketika munculnya mereka yang tidak rela berada pada

posisi yang seimbang dengan yang lainnya. Oleh karena itu pendekatan mekanistik untuk

memahami inflasi, seperti ITF ini tidak akan mampu menyelesaikan akar persoalan

inflasi ini.

17

Page 18: INFLATION TARGETING FRAMEWORK

Kepustakaan

Achjar Iljas, Inflasi dan Akuntabilitas BI, Media Indonesia - Ekonomi (24/07/2001)

Admin, Menakar Inflasi di tengah Pengkhianatan FPI , 19 Maret 2009, 17:06

BJ Habibie, Melepas Timor Timur, DPTHNEWS 11

Dawam Rahardjo, M, Tinjauan Wawasan Habibie dalam Pemikiran Ekonomi-

Pembangunan, CIDES, , 25 Januari 1997, Jakarta

Mudrajad Kuncoro,Ph.D, Prof(2007), Miranda dan Koordinasi Kebijakan , Sumber:

http://www.investorindonesia.com , 26/12/2007 21:20:15 WIB

SUNNY BOY BATUBARA, Gejolak Ekonomi Global dan Implikasinya bagi Kebijakan

Ekonomi Makro di Indonesia, Posted on February 1st, 2009

Ascarya, (2002). Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter. Pusat Pendidikan dan

Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia.

Dernburg, T.F., and McDougall, D.M., (1983). Macroeconomics : The Measurement,

Analysis, and Control of Aggregate Economic Activity. Sixth Edition, Asian

Student Edition, McGraw-Hill International Book Company,  London,

Ferry Warjiyo, (2004). Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter di Indonesia. Pusat

Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia.

Froyen, R.T., (1993). Macroeconomics : Theories and Policies. Fourth Edition,

University of North Carolina at Chapel Hill, Macmillan Publishing Company,

New York, USA.

F.X. Sugiyono, (2004). Instrumen Pengendalian Moneter : Operasi Pasar Terbuka. Pusat

Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK) Bank Indonesia.

Gunanto E.S, Prof. Dr. Ing. B.J. Habibie: Gejolak Batin Manusia Multidimensional ,

Friday, 06 October 2006 15:35 , www.beritaindonesia.co.id

Gordon, R.J., (1993). Macroeconomics. Sixth Edition, Harper-Collins Publishers, New

York, USA.

Hadi Suprapto(2010), "Masalah BI Muncul Sejak Era Habibie" , sumber : VIVAnews

5/Jan/2010 12:16 , [email protected]

18

Page 19: INFLATION TARGETING FRAMEWORK

McKenzie, R.B., and Tullock G., (1985). Modern Political Economy : An Introduction to

Economics. International Student Edition, McGraw-Hill International Book

Company,  London, UK.

Samuelson, P.A. and Nordhaus, W. D. (2002). Economics. 17th Edition, McGraw-Hill

Irwin, International Edition, USA.

Sutyastie soemitro, dkk. (2007). Kinerja dan Prospek Ekonomi Indonesia. Jurusan

Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran

Bandung.

Thomas, Lloyd B., (1997). Money, Banking and Financial Markets. McGraw-Hill Irwin,

International Edition, Kansas University, USA.

Mankiw, N. Gregory, and David Romer, eds. New Keynesian Economics. 2 vols.

Cambridge: MIT Press, 1991.

Muhammad Chatib Basri, 90 HARI PEMERINTAHAN HABIBIE: MENUJU

KEBANGKRUTAN, Xpos, No 34/I/22 - 28 Agustus 98

Homepage: http://apchr.murdoch.edu.au/minihub/xp

N. Gregory Mankiw is a professor of economics at Harvard University.

(http://gregmankiw.blogspot.com/).

Clarida, Richard, Jordi Gali, and Mark Gertler. “The Science of Monetary Policy: A New

Keynesian Perspective.” Journal of Economic Literature 37 (1999): 1661–

1707.

Goodfriend, Marvin, and Robert King. “The New Neoclassical Synthesis and the Role of

Monetary Policy.” In Ben S. Bernanke and Julio Rotemberg, eds., NBER

Macroeconomics Annual 1997. Cambridge: MIT Press, 1997. Pp. 231–283.

Redaksi Makro Ekonomi Membaik, Mikro Memburuk, Januari 7th, 2009, Jakarta (SIB)

Rizal Ramli: "Jangan Kebijakan Ekonomi Dijadikan Eksperimen", TEMPO

Interaktif

Ros Tina, WSC Inspirational Public Figure: Bacharuddin Jusuf Habibie.

Syafruddin , Habibie, http://dinazar.multiply.com, Jun 9, '08 12:55 PM, November 1996

WINARNO ZAIN, Zig-Zag Habibie google, 2010

Umar Juoro, Dapatkah Investasi Menjadi Pendorong Ekonomi?, CIDES, Jakarta.

19