insect growth regulators & repelen · insektisida organik sintetik seperti ddt. mekanisme kerja...
TRANSCRIPT
1 Insect Growth Regulators & Repelen
Suplemen Mata Kuliah Biotoksikologi
INSECT GROWTH REGULATORS & REPELEN
Dr. Y. S. Mokosuli, SSi MSi Program Studi Biologi FMIPA Unima
PENDAHULUAN
Sejarah Pestisida
Penggunaan pestisida kimia pertama kali diketahui sekitar 4.500 tahun yang lalu
(2.500 SM) yaitu pemanfaatan asap sulfur untuk mengendalikan tungau di Sumeria.
Sedangkan penggunaan bahan kimia beracun seperti arsenic, mercury dan serbuk timah
diketahui mulai digunakan untuk memberantas serangga pada abad ke-15. Kemudian pada
abad ke-17 nikotin sulfate yang diekstrak dari tembakau mulai digunakan sebagai insektisida.
Pada abad ke-19 diintroduksi dua jenis pestisida alami yaitu, pyretrum yang diekstrak dari
chrysanthemum dan rotenon yang diekstrak dari akar tuba Derris eliptica (Sastroutomo,
1992).
Pada tahun 1874 Othmar Zeidler adalah orang yang pertama kali mensintesis DDT
(Dichloro Diphenyl Trichloroethane), tetapi fungsinya sebagai insektisida baru ditemukan oleh
ahli kimia Swiss, Paul Hermann Muller pada tahun 1939 yang dengan penemuannya ini dia
dianugrahi hadiah nobel dalam bidang Physiology atau Medicine pada tahun 1948
(NobelPrize.org). Pada tahun 1940an mulai dilakukan produksi pestisida sintetik dalam
jumlah besar dan diaplikasikan secara luas (Weir, 1998).
Beberapa literatur menyebutkan bahwa tahun 1940an dan 1950an sebagai aloera
pestisida (Murphy, 2005). Penggunaan pestisida terus meningkat lebih dari 50 kali lipat
semenjak tahun 1950, dan sekarang sekitar 2,5 juta ton pestisida ini digunakan setiap
tahunnya. Dari seluruh pestisida yang diproduksi di seluruh dunia saat ini, 75% digunakan di
negara-negara berkembang (Sudarmo, 1987).
2 Insect Growth Regulators & Repelen
Di Indonesia, pestisida yang paling banyak digunakan sejak tahun 1950an sampai akhir
tahun 1960-an adalah pestisida dari golongan hidrokarbon berklor seperti DDT, endrin, aldrin,
dieldrin, heptaklor dan gamma BHC. Penggunaan pestisida-pestisida fosfat organik seperti
paration, OMPA, TEPP pada masa lampau tidak perlu dikhawatirkan, karena walaupun
bahan-bahan ini sangat beracun (racun akut), akan tetapi pestisida-pestisida tersebut sangat
mudah terurai dan tidak mempunyai efek residu yang menahun. Hal penting yang masih perlu
diperhatikan masa kini ialah dampak penggunaan hidrokarbon berklor pada masa lampau
khususnya terhadap aplikasi derivat-derivat DDT, endrin dan dieldrin.
Pengertian Pestisida
Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan sida berasal dari kata caedo
berarti pembunuh. Pestisida dapat diartikan secara sederhana sebagai pembunuh hama.
Menurut Food Agriculture Organization (FAO) 1986 dan peraturan pemerintah RI No. 7
tahun 1973, Pestisida adalah campuran bahan kimia yang digunakan untuk mencegah,
membasmi dan mengendalikan hewan/tumbuhan penggangu seperti binatang pengerat,
termasuk serangga penyebar penyakit, dengan tujuan kesejahteraan manusia.
Pestisida juga didefinisikan sebagai zat atau senyawa kimia, zat pengatur tubuh atau
perangsang tumbuh, bahan lain, serta mikroorganisme atau virus yang digunakan untuk
perlindungan tanaman (PP RI No.6tahun 1995). USEPA menyatakan pestisida sebagai zat
atau campuran zat yang digunakan untuk mencegah, memusnahkan, menolak, atau memusuhi
hama dalam bentuk hewan, tanaman, dan mikroorganisme penggangu (Soemirat, 2003).
ZAT PENGATUR TUMBUH SERANGGA : IGR (INSECT GROWTH REGULATORS)
Insect growth regulators (IGRs) adalah substansi kimia sintetik yang digunakan
sebagai insektisida yang mengalami, mengalami perkembangan sangat pesat dalam 10 tahun
terkahir ini (Harris dan Waindle, 2009). IGRs pertama dikembangkan pada tahun 1960-an
tetapi kebanyakan yang digunakan saat ini adalah produk IGRs baru.
Penelitian tentang pengaruh ZPT serangga dipelopori oleh Wigglesworth tahun 1933-
1940 dimana ia meneliti pengaturan pertumbuhan serangga oleh organ endokrin. William
(1956) menyatakan bahwa juvenile hormones dapat di identifikasi dan disintesis untuk
digunakan sebagai insektisida. Selanjutnya IGRs (insect growth regulators) digunakan sebagai
insektisida lebih dari 25 tahun. Insektisida ini muncul sebagai generasi ketiga setelah generasi
3 Insect Growth Regulators & Repelen
insektisida awal yang dikenal yaitu arsenat, insektisida mineral dan generasi kedua
insektisida organik sintetik seperti DDT.
Mekanisme kerja dari IGRs tidak bersifat racun lambung atau neurotoksik tetapi
menghambat/menggangu proses pelepasan (moulting) dari pembentukan kutikula.
Karakteristik larva dipelihara oleh hormon juvenille (JH) yang disekresikan oleh corpora allata.
JH adalah hormon isoprenoid yang mencegah pemecahan kelenjar thoraks (Wingglesworth,
1972). Moulting dari pupa ditentukan oleh sirkulasi dari hormon yang dikenal dengan
moulting hormone, yang disekresikan oleh kelenjar protoraks yang diaktifkan oleh sel-sel
neurosekretori. Hormon ini akan memicu perubanan epidermis dan deposisi kutikula baru.
Bentuk yang dimurnikan, merupakan bentuk steroid yang disebut hormon ekdison. Senyawa
yang mirip dengan ekdison dapat diisolasi dari tumbuhan tertentu. IGRs dapat disintetik
untuk digunakan sebagai insektisida. Mekanisme kerja IGRs pada proses moulting bekerja
sebagai inhibitor kompetitor hormon in vivo, beperan dalam level seluler dalam banyak cara
tergantung struktur kimianya: tebufenozide beperan dalam moulting seperti peran hormon
ekdison sedangkan pyriproxyfen dan fenoxycarb beperan seperti hormon JH.
Kelas ketiga adalah penghambat kitin seperti diflubenzuron, flufenoxuron,
hexaflumuron dan lufenuron. Senyawa alami dari neem tree, Azadirachta indica, telah diteliti
berpotensi IGR (Rembold et. al. 1980). Menurut Engels (1990) IGRs menyebabkan sedikit
atau tidak menyebabkan kerusakan pada serangga dewasa terutama pada lebah madu.
Pengaruh IGRs kelompok ekdison hanya dapat dilihat pada saat tahap moulting. Semua IGRs
alami atau sintetik bersifat toksik pada spektrum yang luas pada Apis ataun non-Apis lebah
dimana larva dapat dipapar insektisida. Davis (1989) memberikan masukan pemahaman
lintasan insektisida yang diberikan oral kemudian Tasein et. al. 1988 menunjukkan
menyatakan bahwa Megachile rotundata Fabr. Individu betinaya dapat memidahkan insektisida
pada larva melalui makanan yang tersimpan pada lapisan telurnya. Kebanyakan artikel ilmiah
tentang pengaruh IGRs pada lebah diteliti pada species Apis mellifera L. telah dideskripsi gejala
pengaruh IGRs pada tahap larva.
Pengaruh dari JH seperti monoterpene diteliti oleh Redfern dan Knox (1974) pada
lebah pekerja dimana tidak ditemukan pengaruh mortalitas pada konsentrasi 1 sampai 1000
µg/lebah. Robinson (185) juga menggunakan monoterpen yang dilarutkan dalam asetondan
diuji pada lebah pekerja, dia menemukan bahwa lebah yang dipapar dengan 250 µg analog JH
dosis rendah 25 dan 2,5 µg tidak memberikan efek signifikan.
4 Insect Growth Regulators & Repelen
MEKANISME KERJA IGRS
IGRs dipilih sebagai pestisida yang “rendah resiko” karena memiliki target utama pada
tahap awal dan akhir “immature insect”( serangga pra dewasa) pada saat proses molting. IGRs
tidak bekerja pada sistem saraf serangga seperti insektisida lainnya sehingga dapat
diaplikasikan oleh petani pada ruangan tertubuka tanpa resiko kontaminan ke lingkungan.
Terdapat 3 tipe IGRs yaitu hormonal, enzimatik dan inhibitor sintesis kitin. JH
sintetik dan ekdison menggangu keseimbangan hormon in vido dari serangga muda. Untuk
proses molting keseimbangan ratio antara JH dan ekdison diregulasi ketat oleh serangga.
Ekdison adalah hormon molting utama yang sangat dibutuhkan oleh serangga untuk
perubahan dari fase larva menjadi pupa. Jika ratio kedua hormon ini terganggu maka serangga
pra dewasa tidak akan dapat melakukan metamorfosis menjadi serangga dewasa karena
eksoskleton tidak terbentuk. Pada beberapa jenis IGRs, serangga dewasa dapat terbentuk
tetapi tidak dapat menghasilkan telur yang viabel.
IGRs bekerja lambat sekitar 3 – 10 hari tergantung species dan iklim sehingga sangat
baik digunakan pada saat awal penanaman tanaman pertanian. Azadirachitin adalah
komponen utama pada banyak IGRs yang menghambat ekdison.
Inhibitor sintesis Kitin
Eksoskleton adalah pelindung tubuh insekta dimana kitin merupakan komponen
utama eksoskleton. IGRs yang dikenal sebagai penghambat sintesis kitin dapt menghentikan
atau memperlambat produksi kitin. Tanpa kitin, insekta tidak dapat melakukan proses
molting (penggantian eksoskleton dengan eksoskleton baru) hal ini dapat menyebabkan
kematian. IGRs ini juga dapat mempengaruhi pembentukan kitin pada ikan Contoh IGRs
penghambat sintesis kitin : Benzophyenil Urea : Lufenuron, Diflubenzuron dan
Hexaflumuron.
Inhibitor JH
Hormon Juvenile mengatur proses molting pada serangga sampai eksoskleton yang
terbentuk siap beradaptasi dengan lingkungan. IGRs sintetik dapat merusak atau
menghambat JH sehingga proses molting tidak terjadi sempurna dan serangga akan mati.
Contoh : hydroprene, methoprene dan fenoxycarb.
5 Insect Growth Regulators & Repelen
Tabel 1 Klasifikasi IGRs dan mekanisme kerja (Harris dan Waindle, 2009)
Prothoracicotropic Hormone (PTTH)
Prothoracicotropic Hormone (PTTH) Molting and pupation require the hormone,
PTTH, secreted by two pairs of cells in the brain of the larva.
PTTH does not drive pupation directly but, as its name suggests, acts on the
prothoracic glands.
Hormone Prothoracicotropin Tissue of Origin Neurosecretory cells in brain
Structure Small protein Target Tissue Prothoracic gland
Primary Action Stimulate ecdysone release
Regulation Various environmental and internal cues stimulate release; JH inhibits
release in some species
6 Insect Growth Regulators & Repelen
Gambar Mekanisme Kerja PTTH
7 Insect Growth Regulators & Repelen
Mekanisme kerja homorn Ekdison
8 Insect Growth Regulators & Repelen
Juvenile Hormone
Tissue of Origin Corpus allatum
Structure Fatty acid derivative
Target TissueEpidermis, ovarian follicles, sex accessory glands, fat body
Primary Action In larva, promotes synthesis of larval structures and inhibits
metamorphosis.
In adults, stimulates synthesis and uptake of yolk protein; activates ovarian follicles
and sex accessory glands
Regulation. Inhibitory and stimulatory factors from the brain control secretion
Juvenile Hormone
9 Insect Growth Regulators & Repelen
TOKSISITAS BEBERAPA IGRs
Fenoxycarb
Fenoxycarb dilarutkan dalam larutan gula sekitar 100mg/L dan diberikan pada koloni
serangga, dapat menyebabkan kematian semua serangga bentuk larva. Pada bentuk pupa
dapat terjadi gangguan metamorfosis. Pada 200 mg/L, semua larva akan mato (Van der Steen
dan de Ruijter, 1990). Penelitian yang dilakukan oleh Czoppelt (1991) semua pupa mati ketika
makanan yang diberikan 0,5 mg/kg feboxycarb. Ia menemukan nilai LC50 dari 0,2 mg/kg
adalag 0,12 µg larva.
Diflubenzuron
Czoppelt dan Rembold (1981) melaporkan bahwa 30 ng diflubenzuron dapat
menghambat perkembangan larva dan kematian prapupa. Pada dosis 50 dan 100 ng,
kemampuan bertahan larva kurang dari 26% dan rata-rata kematian prapupa lebih besar dari
35%. Pengujian dengan makanan, konsentrasi 0,6 sampai 1,2 µg/ml) diflubenzuron dapat
menghambat pembentukan pupa.
Azadirachitin
Penelitian yang dilakukan oleh Rembold dan Czoppelt (1981) menunjukkan bahwa
dosis terendah Azadirachitin yang diisolasi biji neem yang memberikan efek toksisitas adalah
0,25 µg/larva. Naumann dan Isman (1996) menggunakan Azadirachitin yang bukan berasal
dari ekstrak biji yang diemulsifikasi mendapatkan LD50 pada fase instar adalah 37 µg/g berat
badan dan 37 µg/g.
IGRs methoprene, isopropyl (E,E)-11-methoxy-3,7,11-trimethyl-2,4-dodecadienote
tidak memberikan pengaruh signifikan pada species selain serangga dan tidak memberikan
efek toksik pada tikus, domba, harmster, tikus dan kelinci (Wright, 1976).
IGRs jenis juvenille hormone berperan pada perkembangan serangga (metamorfosis
awal) dan hanya ditemukan pada serangga tidak pada organisme lain. Penelitian resiko
lingkungan dan toksisitas menunjukkan IGRS metoprene tidak signifikan mempengaruhi
lingkungan dan tidak toksik pada organisme non serangga. Tidak memiliki resiko residu pada
tanaman pertanian yang dikonsumsi manusia. (Siddall JB. 1986).
10 Insect Growth Regulators & Repelen
Gambar struktur methoprene (Siddall JB. 1986).
-
Sumber : (Siddall JB. 1986).
11 Insect Growth Regulators & Repelen
REPELAN
Penolak serangga terutama nyamuk (repelan) adalah bahan-bahan kima yang
mempunyai kemampuan untuk menjauhkan atau menghindarkan dari gigitan serangga
terhadap manusia. Penolak nyamuk digunakan dengan cara mengosokkan pada tubuh atau
menyemprotkan pada pakaian, oleh karena itu penolak nyamuk harus memenuhi beberapa
syarat yaitu tidak mengganggu pemakainya, tidak melekat atau lengket, baunya
menyenangkan pemakainya dan orang di sekitarnya, tidak menimbulkan iritasi pada kulit,
tidak merusak pakaian dan mempunyai daya pengusir terhadap serangga yang bertahan cukup
lama (Soedarto, 1992).
Repelan yang baik mempunyai daya penolak yang besar dan tepat, serta tidak
berbahaya bagi binatang dan manusia, murah harganya dan mudah didapat dalam jumlah
besar, mempunyai susunan kimia yang stabil dan tidak mudah terbakar, mudah digunakan
dan dapat dicampur dengan berbagai macam bahan pelarut yang dapat digunakan untuk
menolak nyamuk (Brown and Hebbert, 1997).
Lotion
Lotion adalah suatu sediaan dengan medium air yang digunakan pada kulit tanpa
digosokkan. Biasanya mengandung substansi tidak larut yang tersuspensi, dapat pula berupa
larutan dan emulsi di mana mediumnya berupa air. Biasanya ditambah gliserin untuk
mencegah efek pengeringan, sebaliknya diberi alcohol untuk cepat kering pada waktu dipakai
dan memberi efek penyejuknya (Anief, 1984). Lotion dipakai untuk menyejukkan,
mengeringkan, anti pruritik dan efek protektif dalam pengobatan dermatosis akut. Sebaiknya
tidak digunakan pada luka yang berair sebab akan terjadi caking dan runtuhan kulit serta
bakteri dapat tetap tinggal di bawah lotion yang menjadi cake (Anief, 1984). Sedian lotion ini
menggunakan cetyl alcohol yang berfungsi sebagai stiffening agent (Rowe, et al., 2006) dengan
konsentrasi 2%, 6% dan 10%. Stiffening agent adalah suatu zat yang ditambahkan ke dalam suatu
formula, yang berfungsi sebagai bahan pengental atau pengeras di dalam formula lotion.
DEET
N,N-diethyl-m-toluamide (DEET) adalah minyak agak kuning digunakan bahan aktif
repelan serangga yang diigunakan pada kulit atau pakaian terutama untuk mengusir dan
melindungi gigitan nyamuk. Mekanisme aksi DEET dengan cara menghambat aktivitas sistem
saraf pusat dan enzim acetylcholinesterase serangga maupun mamalia. Enzim ini terlibat dalam
12 Insect Growth Regulators & Repelen
hidrolisis neurotransmiter asetilkolin, sehingga mempunyai peranan penting dalam
mengendalikan neuron otot. Oleh karena itu, DEET digunakan untuk memblokir
acetylcholinesterase yang mengarah pada akumulasi yang berlebihan asetilkolin pada celah
sinaptik yang menyebabkan kelumpuhan dan kematian neuromuskuler karena sesak nafas
pada serangga maupun mamalia.
DEET (gambar 1) merupakan contoh bahan penolak nyamuk dari bahan kimia yang
tidak berbau tapi mempunyai efek samping yang dapat mengiritasi mata, menimbulkan rasa
terbakar pada kulit yang terluka atau jaringan membran (Soedarto, 1992)
KESIMPULAN
IGRs dipilih sebagai pestisida yang “rendah resiko” karena memiliki target utama pada
tahap awal dan akhir “immature insect”( serangga pra dewasa) pada saat proses molting.
IGRs tidak bekerja pada sistem saraf serangga seperti insektisida lainnya sehingga dapat
diaplikasikan oleh petani pada ruangan tertubuka tanpa resiko kontaminan ke
lingkungan.
Terdapat 3 tipe IGRs yaitu hormonal, enzimatik dan inhibitor sintesis kitin.
Repelan yang baik mempunyai daya penolak yang besar dan tepat, serta tidak berbahaya
bagi binatang dan manusia, murah harganya dan mudah didapat dalam jumlah besar,
mempunyai susunan kimia yang stabil dan tidak mudah terbakar, mudah digunakan dan
dapat dicampur dengan berbagai macam bahan pelarut yang dapat digunakan untuk
menolak nyamuk
DAFTAR PUSTAKA
13 Insect Growth Regulators & Repelen
Harris S dan Waindle M, 2009. Insect growth regulators. Chase research garden Inc. USA Mader E. 2009. Organic-Approved insecticide, minimising risk to pollinators. www. xerces.org Naumann K., Isman M.B. (1996) Toxicity of a neem (Azadirachta indica A. Juss) insecticide to larval honey bees, Am. Bee J. 136, 518–520. Palmer D. 1999. How insecticide work University of Florda. http://prohort.ifas.ufl.edu/ Rembold H., Czoppelt C. (1981) Evaluation of insect growth regulators from Azadirachta indica (neem) using rearing tests on honey bee larvae, Mitt. Dtsch. Ges. Allg. Angew. Entomol. 3, 196–198 (in German). Siddall JB. Insect growth regulators and insect control : a critical appraisal. Environmental Health Perspectives. Vol. 14, pp, 119-126. Wright JE. 1976. Environmental and toxicological ascpects of insect growth regulators. Environmental Health Perspectives. Vol. 14, pp, 127-132.