inspirasi untuk banyumas
TRANSCRIPT
ii
iii
iv
v
Sebuah Prakata Banyumas, sebuah kabupaten yang terletak di lereng
Gunung Slamet dan Lembah Serayu ini merupakan salah satu
kabupaten dengan potensi sumber daya alam yang
melimpah. Oleh karena itu generasi muda harus di didik
menjadi insan yang mampu memanfaatkan potensi yang
ada. Namun kondisi di lapangan menunjukan tingkat
pendidikan masyarakat Banyumas masih rendah dengan
rata-rata lama sekolah hanya 7,79 tahun (BPS Prov. Jateng.
2012). Angka partisipasi kasar perguruan tinggi di Kabupaten
Banyumas juga relatif masih rendah. Masalah ekonomi masih
menjadi alasan utama generasi muda tidak melanjutkan
kuliah. Padahal begitu banyak kesempatan mendapatkan
beasiswa yang ada di perguruan tinggi.
Melalui buku Inspirasi untuk Banyumas kami ingin
berbagi kisah dalam memperjuangkan mimpi kami
mendapatkan bangku di perguruan tinggi serta berbagi
pengalaman mendapatkan beasiswa di bangku kuliah.
Semoga buku ini dapat menginspirasi adik-adik di
vi
Kabupaten Banyumas terutama dan di seluruh Indonesia
untuk terus memperjuangkan impiannya.
Terimakasih kami ucapkan kepada segenap kontributor
yang bersedia berbagi inspirasi kepada adik-adik di
Banyumas. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada
Keluarga Mahasiswa Banyumas (GAMAS ITB) yang selalu
memberikan inspirasi hingga tersusunlah buku ini.
Demikian dari kami, semoga pembaca dapat mengambil
pembelajaran yang ada di buku ini. Terimakasih
Tim Penyusun
vii
Isi Buku Secuil Asa Anak Desa | 1
Banyak Jalan Menuju Roma | 9
Mengejar Kampus Impian = Masa Depan Cerah, Ini adalah
tentang Aku Belajar, Berjuang dan Meraih Mimpi | 23
Idealisme Kurang Bumbu | 39
Sepucuk Kertas Kehidupanku | 55
Ibu, Bapak, Izinkan Aku Kuliah | 64
Pejuang Kecil Peraih Mimpi | 72
Perjuangan Menggapai Impian | 81
Kuliah? Siapa Takut | 94
Motivasi Bangunkan Mimpi untuk Sebuah Aksi | 101
Bermimpilah dengan Aksi dan Iringan Doa | 109
Mimpiku Akan Terwujud Dimulai Hari Ini | 116
Don’t be Scared to Try | 120
Kisahku | 130
It’s All Paid-Off | 135
viii
Mayuh Pada Kuliah, Lur ! | 142
Inspiring Your Surrounding | 152
Dreams are Real, Go Get Them | 158
Gagal? Jangan Bangun Kalau Tak Punya Mimpi | 169
Akhir dari Cerita | 187
Janjiku, Si Pejuang Mimpi | 199
Berbekal Olimpiade, Aku Taklukan Kampus Impianku | 209
1
Secuil Asa Anak Desa
Tofik Hidayat | Institut Teknologi Bandung
--------------------------------------------------------------
ernah terbayang kuliah di kampus ternama? Tidak.
Seorang anak ingusan yang tak tahu apa-apa ini ingin
mencoba membagikan kisah perjalanan hidupnya hingga
bisa singgah di kampus kenamaan bernama ITB.
Dahulu, ketika orang bertanya kamu ingin jadi apa?
Jawabku dengan polos menjadi artis. Saat itu, sedang
maraknya sinetron yang banyak digemari orang yaitu
Tersanjung. Setelah disadari ternyata aku adalah korban
sinetron. Lebih besar sedikit, saya mulai berpikir untuk
menjadi seorang guru, karena guru itu bisa berbaur dengan
anak-anak setiap hari, bisa berbagi ilmu pengetahuan, dan
gajinya tetap, plus dapat pensiunan. Maklum, mental saya
adalah mental pegawai yang juga menjadi mental mayoritas
penduduk sana. Upaya untuk mewujudkan cita-cita pun saya
buktikan dengan menduduki ranking 1 ataupun 2 di kelas,
sejak bangku SD hingga SMP.
P
2
Pada saat akan masuk SMA, ada kisah unik yang akan
sangat sulit untuk dilupakan. Saya adalah anak yang kuper,
bahkan untuk urusan sekolah lanjutan mana yang bagus
sekalipun. Sosialisasi ke SMP saya waktu itu mayoritas
berasal dari sekolah kejuruan. Tapi, saya kurang tertarik
karena jurusan yang ditawarkan banyak yang tidak saya
sukai. Alhasil, saya mulai bimbang. Orang tua pun kelabakan
mencari informasi sana-sini mengenai sekolah yang bagus.
Alhasil, pada suatu hari, ayah mengajak saya melihat-lihat 3
sekolah, yaitu SMEA, SMA, dan STM yang ketiganya berlokasi
di kecamatan Banyumas. Waktu itu tidak terpikirkan untuk
mencari sekolah lain karena lokasi yang cukup jauh,
sementara ketiga sekolah itu lokasinya berdekatan.
Sekolah di SMEA awalnya menjadi impian saya, karena
ada jurusan akuntansi di sana, sebab saya sangat suka
pelajaran ekonomi saat itu. Namun, dasar saya menjaga
gengsi, saya urungkan niat sekolah di sana karena lebih
banyak kaum hawa dibanding kaum adam, which is
mengurangi rasa PD saya. Alhasil, saya lihat dulu STM.
Meskipun dari awal sudah tidak berminat, tapi karena
menuruti kata ayah, akhirnya sayapun kesana, dan tetap tidak
3
tertarik. Pilihan terakhir adalah SMA. Di SMA, ada dua jurusan
yaitu IPA dan IPS. Tanpa pikir panjang, saya bilang ke ayah
saya agar mendaftar di SMA saja karena saya sangat suka
rumpun pelajaran IPS. Akhirnya, mendaftarlah saya di sana.
Pendaftaran dimulai, dan saya lolos administrasi. Lalu,
menyusul daftar ulang. Waktu itu, dipungut biaya sekitar 3
juta. Nominal yang sangat memberatkan kami. Yang mana
orang tua hanya petani dan penderes gula kelapa, tapi harus
membayar biaya sekolah semahal itu. Akhirnya, orang tua
saya putar otak, dan kalung ibu saya pun harus dijual beserta
beberapa ekor kambing dan beberapa batang pohon untuk
menggenapi tiga juta tersebut. Akhirnya daftar ulang pun
terlaksana.
Mulailah pelajaran di minggu pertama. Rasa PD saya
goyah ketika mendapati satu pelajaran yang agaknya susah
dan saya rasa tidak mampu mengikutinya yaitu Elektro.
Gurunya pun terlihat killer. Bahkan, beliau menyarankan
kalau dirasa kami tidak mampu mengikuti sistem KBM yang
ada di SMA itu, lebih baik kami pindah sekolah saja. Wah,
pikiran dalam hati berkecamuk. Saya pun menyampaikan hal
4
ini pada orang tua dan meminta secepatnya saya ingin
pindah ke sekolah lain yang masih membuka pendaftaran.
Waktu itu, sekolah kejuruan swasta di kecamatan somagede
masih membuka pendaftaran. Tapi, orang tua saya bersikeras
tidak membolehkan saya pindah, karena yang jelas mereka
sudah korban uang untuk pendaftaran, ditambah lagi saya
yang sudah terlanjur mengikuti pelajaran selama seminggu.
Akhirnya saya simpan rasa kecewa itu, hingga pagi harinya
sebelum saya berangkat, saya minta orang tua saya untuk ke
sekolah untuk menyampaikan pengunduran diri saya dari
sekolah itu. Di sekolah, saya sudah tidak konsentrasi lagi
belajar di kelas karena beban pikiran yang berkecamuk.
Hingga menjelang jam istirahat, guru BP memanggil saya ke
ruangannya. Ternyata di sana ada ayah saya. Saya ditanya
macam-macam mengapa tidak ingin bersekolah di sana. Air
mata sempat mewarnai curahan hati saya. Dan nasihat guru
cukup membuat saya tegar, di samping saya juga tidak tega
melihat ayah yang sudah berjuang memasukkan saya ke
sekolah itu, akhirnya pun saya bertekad melanjutkan
pendidikan di sana bagaimanapun resikonya. Masalah
ekonomi yang saya khawatirkan dijawab guru BP dengan
5
jaminan bahwa saya akan diikutkan pada program beasiswa
yang bertujuan untuk meringankan biaya sekolah.
Waktu terus berjalan, dan Alhamdulillah saya berhasil
mencapai hasil akademis yang membanggakan, apalagi
setelah memasuki jurusan yang saya inginkan yaitu IPS. 3
tahun berjalan cukup lama, dan di kelas 3 kami harus
menentukan perguruan tinggi mana yang kami inginkan.
Pada saat itu, pengetahuan tentang universitas pun nol
besar. Saya hanya tahu kampus yang ada di area Kabupaten
Banyumas. Kalau saja tidak ada sosialisasi dari kampus-
kampus lain, sudah pasti saya akan menjatuhkan pilihan pada
kampus di daerah saya. Namun, pencerahan-pencerahan
dari beberapa kampus ternama membuat saya yang tadinya
tak tau apa-apa menjadi tergugah untuk memasuki salah
satu kampus ternama tersebut. Apalagi ketika saya
mendengar ada kakak kelas dari IPS yang berhasil masuk di
kampus teknik terbaik di indonesia. Wah, sudah saja saya pun
mengikuti jejak beliau.
Waktu perpisahan dan wisuda pun tiba. Saat itu, saya
tidak menyangka sama sekali kalau saya akan menyabet tiga
6
penghargaan sekaligus yaitu peraih nilai sempurna pada
mapel Matematika; siswa berprestasi IPS; dan peraih nilai
ujian nasional tertinggi jurusan IPS. Dan pada hari yang sama,
sore harinya pukul lima, ada pengumuman SNMPTN
undangan. Waktu itu, ada kakak kelas yang kuliah di ITB
menanyakan nomor registrasi saya dan password, lalu dia
memberitahukan bahwa saya diterima di SBM ITB. Saya
masih belum percaya, dan akhirnya saya mengajak ayah saya
ke warnet untuk memastikan kebenarannya. Setelah melihat
dengan mata kepala saya sendiri, Alhamdulillah, saya benar
bisa kuliah di kampus yang awalnya saya tidak kenal tersebut.
Saya menempuh kuliah dengan beasiswa Bidik Misi yang
diberikan oleh DIKTI. Beasiswa tersebut meliputi biaya kuliah,
serta biaya hidup yang besarnya lebih dari cukup untuk
membiayai kehidupan sehari-hari. Saya manfaatkan waktu
kuliah sebaik-baiknya dan berusaha mengikuti perkuliahan
semampu yang saya bisa. Hingga akhirnya, tiga tahun
berjalan, saya bisa menyandang gelar sarjana manajemen.
Dan saya bersiap untuk menatap masa depan, menempuh
karier dan akan berusaha menjadi manusia bermanfaat bagi
sekeliling saya.
7
Untuk bekerja, saya sebenarnya tidak ingin yang muluk-
muluk, misal penghasilan harus sekian sekian. Akan tetapi,
saya berkeinginan bekerja di tempat yang dekat dengan
keluarga, penghasilan cukup dan berkah, serta bisa
mendatangkan manfaat. Bagi saya itu lebih dari cukup.
Pada akhirnya, saya berkesimpulan bahwa apa yang
orang tua saya sampaikan dan katakan adalah benar. Karena
orang tua sudah melampaui pahit manis kehidupan,
sehingga dalam memberikan nasihat, saran, ataupun
keputusan selalu didasarkan pada naluri yang benar. Coba
kalau saya memaksakan diri keluar dari sekolah itu, pasti saya
memiliki cerita yang berbeda dari apa yang saya tulis ini.
Tetapi, kembali lagi semua itu adalah kehendak Tuhan.
Karena yang harus selalu diingat adalah Tuhan mungkin tidak
memberi apa yang kita inginkan, tapi Tuhan memberi apa
yang kita butuhkan. Dan ingat selalu bahwa ridho Illahi
adalah restu orang tua kita. Marilah berusaha menjadi anak
yang berbakti pada orang tua kita, agar setiap langkah kita
diridhoi Yang Maha Kuasa.
8
Satu yang terakhir, kepada pembaca kisah ini, jangan
takut untuk kuliah, karena sangat disayangkan jika kita
melewatkan kesempatan untuk mendapatkan bekal dan
pengalaman yang luar biasa. Masalah keuangan? Jangan
khawatir, banyak beasiswa yang bisa kita dapatkan, yang
terpenting adalah tekad kuat untuk belajar lebih giat lagi.
Kalau kata kampus saya, “tidak ada kasus drop out hanya
karena masalah ekonomi”, artinya permasalahan ekonomi
pasti ada solusinya selama kita berkomitmen untuk serius
belajar. Dan, dalam berkuliah menurut saya ada tiga pilihan
yaitu menjadi orang biasa di kampus ternama; menjadi orang
luar biasa di kampus biasa; atau menajdi orang luar biasa di
kampus ternama. Itu semua pilihan. Tapi kembali lagi bahwa
keberhasilan seseorang tidak ditentutkan dari asal
almamaternya, karena setiap orang sudah memiliki jalan
hidupnya masing-masing. So, berkaryalah dimanapun kita
berada!
*Penulis merupakan alumni SMA Negeri Banyumas dan telah menyelesaikan studi
sarjananya dari Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB dengan predikat Cumlaude
9
Banyak Jalan Menuju Roma
Hardika Ilhami | Institut Teknologi Bandung
----------------------------------------------------------------------------
“Banyak jalan menuju roma” – Anonim
ering saya mendengar pepatah itu. Sejalan dengan kata-
katanya, kalimat tersebut dibuat untuk memberikan
motivasi bagi seseorang yang sedang jatuh untuk kembali
bangkit dengan menemukan jalan lain menuju roma.
Mungkin kalimat tersebutlah yang sangat merefleksikan
proses saya untuk mendapat gelar menjadi seorang
mahasiswa.
Mahasiswa. Salah satu dari sekian banyak kata yang
sangat di idam-idamkan oleh banyak siswa SMA yang sudah
ada diujung kelulusan. Hampir semua teman yang saya
tanyai selalu mengatakan akan berkuliah. Begitu pun dengan
saya. Meskipun awalnya saya kurang begitu tertarik, karena
menurut saya tidak ada yang lebih menarik sebagai
mahasiswa selain rambut gondrong.
S
10
Ada banyak keraguan yang muncul jika saya
membayangkan ketika menjadi seorang mahasiswa. Saat itu,
orang tua saya sangat menginginkan saya untuk mendaftar
menjadi TNI saja, keinginan orang tua saya bukan tanpa
alasan semata. Orang tua saya sangat khawatir karena kiprah
saya di SMA memang sangat buruk. Selalu ranking dengan
peringkat 25 kebawah. Alasan yang cukup kuat untuk saya
supaya tidak melanjutkan kuliah.
Namun akhirnya saya memilih untuk kuliah.
Sebelum menjadi seorang calon mahasiswa, banyak
tahap-tahap yang harus dipersiapkan dan sukur-sukur bisa
dilalui. Proses memantaskan diri menjadi amat sangat susah
bagi saya yang notabene tidak mendapatkan ilmu apa-apa
dari bangku SMA. Semester dua kelas tiga SMA pun datang.
Semua teman saya di SMA sibuk untuk mempersiapkan hari
untuk penerimaan mahasiswa. Termasuk saya, tanpa sadar
saya sudah bekerja lebih keras dari dua tahun sebelumnya
karena saya sadar yang menjadi saingan saya adalah orang-
orang yang jauh lebih baik dibanding dengan saya.
Kesempatan pertama datang. SNMPTN Undangan.
11
Banyak yang menyebutnya jalur VIP. Bagi mereka yang
memiliki nilai bagus di SMA, tahap ini hanyalah semudah
membalikkan telapak tangan. Sangat mudah. Sayangnya
tidak bagi saya. Nilai baik hanyalah mitos. Walaupun
kesempatan ini terbuka bagi semua siswa yang ada, namun
bagi saya untuk diterima di SNMPTN Undangan bagaikan
saya bisa mencium Raisa. Hampir tidak mungkin. Saya pun
mengisi form pendaftaran tanpa keseriusan sedikit pun. Saya
lebih memilih untuk mempersiapkan diri untuk kesempatan
selanjutnya yaitu SBMPTN Tertulis. Pengumuman SNMPTN
Undangan pun datang. Terbukti, saya pun gagal di
kesempatan tersebut.
Kebetulan hari pengumuman Undangan berbarengan
dengan waktu SMA saya doa bersama. Kami satu angkatan
ada diruang yang sama dengan harap-harap cemas untuk
diterima. Tepat pukul lima sore, hasilnya resmi diumumkan.
“Yes! Aku mlebu.”
“Yes, diterima!”
“Alhamdulillah ya Allah....”
12
Satu ruangan riuh dalam euforia. Terkecuali saya.
Walaupun sudah tahu bahwa saya tidak akan diterima, masih
saja ada rasa iri hati dalam diri saya. Saya pun memilih pulang
lebih cepat ke kosan. Dan ternyata kekecewaan saya masih
berlanjut, bermaksud untuk mengurangi kekecewaan saya
membuka facebook dan twitter saya. Ternyata kekecewaan
saya masih berlanjut, mata saya perih melihat banyak teman
saya yang update status tentang keberhasilan mereka.
“Yes! Aku mlebu.”
“Yes, diterima!”
“Alhamdulillah ya Allah....”
Kalimat yang cukup membuat iri hati saya semakin
meningkat.
Selepas hasil Undangan diumumkan, pendaftaran
SBMPTN tertulis pun dibuka. Itu merupakan kesempatan
kedua bagi saya dan mungkin menjadi kesempatan terakhir
bagi saya untuk masuk kuliah dengan jalur murah. Dengan
rasa iri dan dongkol yang amat besar, saya pun mulai
mempersiapkan diri lagi untuk kesempatan kedua tersebut.
13
Berangkat sekolah pukul tujuh pagi dengan seragam
SMA, dan pulang pukul sembilan malam masih dengan
seragam yang sama. Mungkin seragam tersebut menjadi
saksi bisu betapa keras perjuangan saya memantaskan diri
menjadi seorang mahasiswa hingga hari Ujian SBMPTN tiba.
Saya pun merasa puas dengan ujian tersebut karena saya
merasa bisa mengerjakan ujian tersebut. Saya keluar dari
ruangan dengan senyum tanpa beban.
“Akhirnya perjuangan saya selesai,” ujar saya semangat
dalam hati.
Pengumuman SBMPTN adalah pada tanggal 8 Agustus
2013. Kebetulan dihari itu, saya sedang melakukan tes UM-
UGM paginya. Jeleknya, saya mengikuti UM-UGM agar bisa
liburan ke Jogja. Saya ujian tanpa ada persiapan karena
sudah terlalu yakin dengan hasil diterima di SBMPTN Tertulis.
Sorenya, saya dan teman saya pulang. Seperti biasa,
pengumuman dimulai pada pukul lima sore, saya dan teman
saya sudah ada di terminal giwangan menunggu bis yang
sudah kami pesan.
14
“Walaikum salam, pripun Pak?” Sayup-sayup suara
Dharu, teman saya menerima telepon.
Saya menganggap panggilan telepon teman saya itu
hanya telepon orang tuanya yang sedang menanyakan
sudah di perjalanan pulang atau belum. Ternyata bukan.
Dengan mata berkaca-kaca, Dharu menghapiri dan
duduk didekat saya.
“Anu kepriwe ru?” Tanya saya dengan nada menghibur.
“Aku ora ketampa koh dik.”
“Maksude?”
“Ora ketampa SBMPTN, bapakku ngomong nembe bae,”
katanya lemas.
“Lah, lomboan ndean, Bapakmu ngomong kaya kue arep
aweh surprise nggo koe pas tekan umah.”
Saya masih menganggap Ayah Daru hanya bercanda.
Saya tidak bisa membayangkan jika saya jadi Dharu. Dia
bagaikan menerima panggilan kematian saat menerima
telepon dari bapaknya itu. Namun, ternyata bapaknya benar.
15
Dharu tidak diterima setelah di akun SBMPTN nya ada tulisan
berwarna merah yang intinya meminta maaf kalau dia belum
diterima. Saya beruntung karena saya lupa untuk membawa
password dan nomor pin untuk membuka pengumuman.
Sehingga saya bisa mempersiapkan untuk hal terburuk.
Seperti dihari pengumuman sebelumnya, hari itu
timeline akun facebook dan twitter saya pun banjir dengan
ungkapan euforia kesuksesan.
Kata-kata yang membuat saya berpikir yang tidak-tidak
dan tanpa sadar saya sudah berdoa lebih kusyuk dibanding
doa-doa yang pernah saya lakukan sebelumnya. Perjalanan
empat jam Jogja–Purwokerto itu menjadi salah satu perjalan
terpanjang yang pernah saya lalui.
Setelah empat jam berlalu, saya sampai dan langsung
mengambil nomor pin dan password. Pergi ke warnet
dengan tergopoh-gopoh membawa sebuah harapan untuk
diterima menjadi seorang mahasiswa. Mengisi password,
mengisi nomor pin. Enter!
Maaf, anda belum diterima di pilihan yang anda pilih.
Terima kasih telah berpartisipasi pada SBMPTN Tertulis 2013
16
Seketika saya lemas. Saya bingung ekspresi apa yang
harus saya lakukan saat itu. Saya pulang ke rumah dengan
muka murung, bingung harus menjawab apa saat orang tua
menanyakan hasilnya.
“Priwe pengumumane?” kata ibu saya.
“Ora olih koh bu.”
Ibu saya diam, tahu kalau saya butuh waktu untuk
menenangkan diri. Saya pun langsung pergi ke kamar untuk
tidur dan berharap bisa amnesia saat terbangun nanti.
Berharap terlalu tinggi, jatuh terlalu keras.
Itulah yang sedang saya alami saat itu. Pikiran saya kalut,
tidak tahu harus bagaimana. Bahkan saya masih berkabung
dua hari setelahnya. Banyak sanak saudara saya yang
menelpon Embah saya tentang bagaimana hasil
pengumuman yang lama-lama malah membuat saya
semakin risih dengannya.
“Semangat Dik, mungkin memang bukan jalanmu,” ucap
Pakdhe saya.
“Iya pak.”
17
“Banyak jalan menuju Roma, Pakdhe juga bakal nyariin
jalan buatmu, Dik.”
“Iya makasih pak,” jawab saya seadanya.
Selang sehari, Pakdhe mengirim SMS yang berisi jadwal
pendaftaran universitas yang masih buka.
“Ternyata masih banyak jalan menuju Roma,” ungkap
saya dalam hati.
Saya pun mulai mempersiapkan pendaftarannya. Saya
tidak ingin gagal untuk kesekian kalinya. Saya tahu
kegagalan pasti ada batasnya, setali tiga uang dengan
keberhasilan. Dari sekian banyak lowongan pendaftaran,
saya memilih mendaftar di Universitas Brawijaya. Setelah
mempersiapkannya, saya mengikuti tes. Saya berada di
Malang selama hampir seminggu. Satu bulan kemudian
pengumuman. Dan disitu tertulis bahwa saya diterima. Dan
pada saat itu akhirnya saya bisa mengatakan hal yang sama
seperti teman-teman saya yang sudah diterima sebelumnya.
“Yes! Aku mlebu.”
“Yes, diterima.”
18
“Alhamdulillah ya Allah....”
Ternyata cobaan belum berhenti sampai disitu. Belum
selesai saya merayakan keberhasilan saya, dua hari kemudian
pengumuman UKT diluncurkan. Saya kaget melihat nominal
nilai UKT saya yang selangit. Saya tidak tahu bagaimana
caranya kuliah dengan nilai UKT tersebut.
“Bu biaya kuliaeh semene koh. Priwe yah Bu?”
“larange,” kata Ibu saya sambil memegang jidat.
“Pangapurane Bu.”
Jujur, kala itu saya menangis. Saya bingung. Disaat
harapan saya untuk kuliah sudah didepan mata, ternyata
masih ada saja halangan yang harus saya lewati.
Satu hari kemudian, Ibu saya masuk ke kamar saya.
“Wis mangkat bae Dik, nek duit tah masalaeh aku karo
bapane, kowe gari sekolah sing bener.”
Saya bingung harus berekspresi seperti apa. Senang
karena akhirnya jalan untuk kuliah kembali terbuka, atau
19
harus sedih karena nantinya saya akan melihat orang tua
saya bekerja sangat keras demi biaya kuliah saya.
“Ya kesuwun Bu, tapi mengko disit jajal dika nggolet
celah mbok ana keringanan.”
Setelah mencari informasi, akhirnya saya mendapat
keringanan agar pembayaran UKT saya ditangguhkan
terlebih dahulu. Namun sayangnya nominalnya masih sama.
Alhasil, saya resmi menjadi seorang mahasiswa. Tidak
tahu kenapa, seharusnya saya senang sudah bisa kuliah, tapi
malah yang ada dongkol tiap berangkat dan pulang kuliah.
Pikiran saya hanya ingin cepat-cepat lulus agar uang UKT nya
bisa lebih berkurang. Mungkin saat itulah saya malah
menjadi tidak ingin kuliah. Setelah satu bulan berjalan,
datang lagi kesempatan.
Saya mendengar informasi tersebut dari kakak kelas dan
teman-teman saya yang ada di SMA.
“Kie ana pendaftaran maning Dik,” isi sms dari teman
saya.
“Pendaftaran apa?”
20
“D3 Metrologi neng ITB, biaya kuliaeh gratis loh,” kata
teman saya
Tanpa pikir panjang, saya pun langsung membuka
laman pendaftarannya dan melihat persyaratan apa saja
yang dibutuhkan. Input data, pengumuman pertama, dan
saya ke ITB untuk tertulis. Tiga minggu kemudian
pengumuman. Berbeda dengan pengumuman sebelumnya,
pengumuman ini diberikan dengan memberikan daftar 50
orang nama yang lulus dalam ujian.
Saya mencari-cari nama saya, dari awal sampai akhir.
Dari nomor satu sampai lima puluh. Tidak ada sama sekali
nama saya. Dan untuk keempat kalinya saya ditolak. Kecewa?
Pasti, namun tidak sekecewa saat gagal dikesempatan-
kesempatan sebelumnya.
“Mungkin emang aku kudu kuliah neng kene. Neng
malang,” ujar saya dalam hati
Seperti biasa, di tiap hari rabu saya berangkat kuliah
siang. Saya tidak menyangka hari itu menjadi hari yang tidak
biasa, setelah mencuci baju. Saya mendapat telepon dari
nomor yang tidak saya kenal.
21
“Betul, ini dengan Hardika Ilhami?” suara ibu-ibu
terdengar.
“Iya betul, maaf ini siapa ya?”
“Selamat, anda diterima di D3 metrologi ITB. Mohon
untuk melakukan pendaftaran ulang di Bandung hari Jumat
ya.”
“Iya Bu, siap terima kasih banyak.”
Saya sujud sukur. Saya bagaikan menang lotre hadiah
dua milyar walaupun saya belum pernah merasakannya. Saya
menelfon ibu saya dan ibu saya pun bersukur. Tanpa pikir
panjang saya langsung pulang kerumah untuk
mempersiapkan persyaratannya. Jarak 16 jam Malang-
Purwokerto terasa sangat menyenangkan bagi saya kala itu.
Singkat cerita, akhirnya saya berkuliah disini. Saya masih
ingat candaan saya dengan teman-teman saya yang kala itu
masih kelas 2 SMA.
“Kowe bar lulus arep ngendi mad?” tanya teman saya
kepada saya
22
“Aku? ITB lah! Hahahahahhaha,” saya menjawab
sekenanya dan teman-teman saya pun ikut tertawa lebar.
Saya tidak menyangka, keinginan saya untuk menjadi
seorang mahasiswa harus berjalan sepanjang dan serumit itu.
Bahkan sampai sekarang, saya pun masih kaget. kalo bahan
candaan saya waktu SMA untuk kuliah di ITB malah jadi
kenyataan.
Saya pernah mendengar ungkapan, kerja keras takkan
menghianati. Saya hampir tidak percaya dengan ungkapan
itu, karena saya sudah dikhianati hampir ke-empat kalinya.
Namun, ternyata akhir dari cerita pun berbeda. Mungkin hasil
dari kerja keras tidak akan datang dengan cepat dan mudah,
mungkin hasilnya akan datang diwaktu yang sangat lama
dan rumit. Bahkan mungkin saat kita sudah lupa dengan
kerja keras kita, hasil tersebut baru datang.
Tetaplah semangat kalian yang sedang mengalami
cobaan. Tenang saja. Banyak jalan menuju Roma.
*Penulis merupakan alumni SMA Negeri 1 Purwokerto tahun 2013.
23
Mengejar Kampus Impian = Masa
Depan Cerah Ini adalah tentang aku belajar, berjuang, dan meraih mimpi
Dian Pratiwi | Universitas Indonesia
-----------------------------------------------------------------------------
rang biasa memanggilku DP. Aku adalah anak bungsu
dan anak perempuan satu-satunya dari keluarga
broken home. Ayahku seorang PNS, bekerja di perbatasan
provinsi Jawa Barat-Jawa Tengah. Ibuku hanya seorang ibu
rumah tangga dan petani biasa, hidup di desa jauh dari kota.
Karena orang tuaku berpisah sejak aku masih kecil aku harus
memilih untuk hidup bersama siapa? Dari TK sampai SD aku
ikut ibuku, mulai SMP sampai sekarang aku ikut ayahku.
Namun, karena ayahku bekerja di luar kota aku lebih sering
hidup bersama tetangga dan teman-temanku. Ayahku tak
pernah memaksaku untuk belajar atau rajin sekolah, setiap
hari aku berangkat ke sekolah atas niat dan tekadku sendiri.
Bahkan pernah suatu kali aku kabur dari rumah karena kesal
dengan ayahku, tapi saat hari senin tiba aku pulang ke rumah
karena aku harus berangkat ke sekolah. Sampai lulus SMA
O
24
aku tidak pernah sekalipun membolos karena aku pikir
ayahku sudah bayar uang sekolah mahal-mahal kalau aku
bolos sekolah artinya aku hanya membuang uang ayahku
secara percuma, berarti aku rugi donk? Udah bayar enggak
dapet ilmu, ya gak? Akhirnya aku lulus SMA dengan nilai
yang baik meski ayahku tak pernah mengontrol kegiatan
sekolahku, tidak pernah menyuruhku belajar, tidak pernah
menyuruhku les sana sini, kalaupun aku les di kelas 3 itu pun
atas kemauanku sendiri bukan karena arahan dari orang
tuaku.
Setelah lulus SMA tahun 2007 aku ingin sekali kuliah di
perguruan tinggi negeri favoritku, yaaah…kampus negeri
ternama seperti UNDIP, UGM, STT Telkom, STAN, dan UI.
Pada waktu itu aku sadar tabungan ayahku terbatas, karena
banyak masalah keluarga seperti mbah putri yang sakit keras
setelah ditinggal wafat mbah kakung sampai masalah
keluarga yang tak terduga sehingga menguras isi rekening
tabungan ayahku. Saat itu ayahku menanggung hidup
banyak orang di keluarga besar kami, isi rekening tabungan
ayahku hanya tersisa sekitar sebelas juta saja. Ayahku
25
memaksaku untuk berkuliah di Purwokerto saja, “kuliah aja
di UNSOED yang negeri dan paling murah, jangan jauh-jauh
di luar kota! Kalau kuliah di UNSOED papah masih sanggup
biayain kuliah kamu, tapi kalo mau kuliah di luar kota sanah
biaya sendiri! Mau gak kuliah jadi bakul pecel juga sanah!”
ujar ayahku marah-marah. Aku sadar ayahku tak akan
mampu membayar kuliahku sampai lulus jika aku hidup dan
kuliah di kota besar, biaya hidup di sana sangat tinggi. Aku
harus memikirkan biaya hidup untuk makan dan kos jika aku
nekat kuliah di kota besar. Pada saat itu aku memang nekat,
tahun 2007 ibuku sedang berada di Depok ikut tinggal
bersama kakakku. Aku memutuskan untuk kuliah di Depok
atau Jakarta karena aku pikir jika kuliah di dekat ibukota
apalagi di universitas nomor satu di Indonesia aku akan
mudah mendapat pekerjaan. Namun, tidak semudah itu
untuk dapat berkuliah di UI, saingannya berat dan ketat
sekali. Bayangkan saja berapa ribu orang yang
memperebutkan satu kursi di universitas nomor satu itu?
Masuk kampus negeri ternama saja sudah syukur
alhamdullilah. Aku sadar diri, aku tidak sepintar dan
seberuntung itu. Maka, aku memutuskan untuk mencoba
26
kuliah di UGM atau UNDIP saja yang biaya hidupnya tidak
terlalu tinggi, tapi apa mau dikata? Ayahku bersikeras
melarang ku kuliah di luar kota dan tidak mau membiayai
kuliahku, katanya tidak sanggup.
Oke, aku tidak kehabisan akal. Aku coba kuliah di
kampus yang gratis karena dapat bantuan penuh dari
pemerintah. Bahkan, dapat uang saku tiap semesternya, tapi
kata orang susah keterima di STAN, tidak hanya pandai,
tetapi juga harus berpengetahuan umum luas jika ingin lulus
ujian masuknya. Katanya aku harus rajin nonton berita di TV
dan baca Koran sebelumnya. Aduh, aku paling tidak suka
membaca, bahkan selama ini aku hanya memperhatikan apa
yang diajarkan guru saat di kelas, pulang mengerjakan PR
lalu sudah selesai. Aku paling malas membaca dan menonton
berita di TV, tapi aku tetap coba mengikuti ujian STAN di kota
yang paling dekat, yaitu Jogja. Aku memang tidak yakin akan
lolos ujian STAN jadi aku sudah mempersiapkan segalanya,
aku sudah membawa semua ijazahku beserta legalisirnya
untuk mendaftar kuliah di kampus lain di Jakarta atau Depok
jika aku tidak diterima di STAN. Ujiannya memang benar
27
susah bagiku, soalnya seperti “ada berapa jumlah provinsi di
Indonesia sekarang? Siapa peraih medali emas kejuaraan
blablabla…” aku tidak pernah update berita terkini jadi aku
gagal ujian masuk STAN dan setelah itu aku nekat
melanjutkan rencanaku ke Jakarta untuk menemui ibu dan
kakakku yang tinggal di Depok.
Aku bilang pada mereka aku ingin sekali kuliah di
ibukota, karena menurutku peluang mendapatkan pekerjaan
di sana akan lebih besar daripada di Purwokerto. Syukur-
syukur kalau aku bisa masuk UI, aku ingin sekali merasakan
kuliah di kampus terbaik negeri ini. Aku minta kakakku
menemaniku ke beberapa universitas di Jakarta, baik negeri
maupun swasta. Sialnya waktu pendaftaran masuk UI sudah
lewat, ujian SPMB nasional juga sudah lewat, dan saat ujian
SPMB itu aku diterima di UNSOED Purwokerto atas paksaan
ayahku. Namun, aku bersikeras tidak mau kuliah di
Purwokerto, jadilah aku mendaftar di UI college yang
bernama Politeknik Negeri Jakarta. Dulu PNJ merupakan
bagian dari kampus UI yang kemudian berdiri sendiri, seperti
perguruan tinggi negeri binaan UI programnya adalah
28
Diploma yaitu D3 dan D4 (setara S1). Ada jurusan yang baru
dibuka saat itu tahun 2007, namanya “Manajemen
Konstruksi” di bawah naungan departemen teknik sipil dan
merupakan program khusus Dual Degree (kuliah 3 tahun di
PNJ lalu dilanjutkan 1 tahun di London dan pulang
mendapatkan 2 ijazah D3 dan S1). Program itu baru dibuka
dan hanya menerima kuota mahasiswa sebanyak 23
mahasiswa/i. Persyaratannya cukup ketat, seperti nilai bahasa
Inggris di UAN harus minimal 7,00 dsb. Alhamdullilah saat itu
aku lulus tes, masuk urutan ke-22 dan aku memaksa ayahku
untuk membayarkan uang kuliahku di semester pertama
terlebih dahulu, setelah itu aku akan cari kerja untuk biaya
kuliahku selanjutnya. Namun, ayahku bersikeras menyuruhku
untuk registrasi ulang di UNSOED dan kuliah di Purwokerto
saja. Jika tidak, silahkan aku membiayai kuliahku sendiri.
Meski ayahku tidak membiayai kuliahku, aku tidak mau
pulang! Aku tetap tinggal di Depok sampai ayahku mau
membiayai kuliahku di Depok. Aku bilang pada ibu dan
kakakku ingin kuliah di sini, kalau kalian tidak ada uang aku
bisa bekerja untuk membiayai kuliahku sendiri, tapi ibuku
29
melarangku bekerja. Ibuku bilang kakakku akan menabung
dan akan menguliahkan aku.
Pada akhirnya 2 tahun berlalu dan aku tetap belum bisa
kuliah karena di tahun 2008 kakakku mendapat masalah
dengan rekan kerjanya sampai mengalami kecelakaan dan
memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak kerjanya.
Uang tabungan pun habis untuk menghidupi orang satu
rumah dan saat itu kakakku hanya kerja serabutan yang
pendapatannya tidak tentu. Aku ingin sekali bekerja, tetapi
ibuku selalu melarangku. Sampai akhirnya aku memutuskan
untuk pulang ke rumah ayahku. Bukan, aku kembali bukan
untuk menyerah. Sebelum aku pulang ke rumah ayahku, aku
mampir dulu main ke rumah saudara, menginap di kosan
saudara sepupuku. Bahkan terkadang aku ikut teman ke
kampus dan sit in jadi mahasiswa illegal karena aku sangat
ingin tahu kehidupan para mahasiswa/i.
Aku pulang ke rumah untuk kembali bernegosiasi
dengan ayahku, ini sudah 2 tahun dari hari kelulusan SMAku.
Aku yakin pasti tabungan ayahku sudah bertambah
30
walaupun sedikit. Aku minta ayahku memberiku jatah uang
tiap bulan untuk kuliah atau sekedar untuk hidup di luar kota,
jika tidak aku akan terus menumpang hidup di rumah
saudara-saudara sampai ayahku malu. Kemudian berhasillah
aku membujuk ayahku untuk mengijinkanku berkuliah di
kota besar dengan budget tertentu. Jika uang kuliah dan
biaya hidup melebihi budget yang diberikan ayahku, maka
aku harus mengurusnya sendiri. Oke, aku bersiap untuk
perang agar dapat meraih impianku kuliah di Universitas
Indonesia!
Hari di saat aku akan mengikuti ujian masuk universitas
secara nasional yang sudah berganti nama menjadi SNMPTN
tahun 2009 adalah H – sebulan. Jadi, persiapanku untuk
belajar hanya satu bulan. Aku sudah dua tahun tidak belajar.
Aku sudah lupa semua rumus-rumus fisika dan kimia yang
dulu aku pelajari saat SMA. Waktunya tidak memungkinkan
karena passing grade UI sangat tinggi. Sepertinya mustahil
untuk bisa diterima di kampus ini, tapi karena ini adalah
impianku aku akan berusaha keras! Aku ubah strategi, cari
jurusan yang tidak banyak rumusnya! Oke aku coba jurusan
31
IPS dan Bahasa. Aku coba saja pilihan pertama di peringkat
yang tinggi yaitu jurusan management fakultas ekonomi
dengan passing grade tahun lalu 835 dan pilihan terakhir
jurusan Bahasa yang passing gradenya tidak setinggi FE.
Karena tidak ada bahasa tertentu yang aku minati aku pilih
saja jurusan baru yang berdasarkan survey bagus peluang
kerjanya. Lulusan prodi ini akan banyak dibutuhkan oleh
perusahaan-perusahaan di seluruh Indonesia dan karena
posisi negaranya yang berada di sebelah Jepang, maka aku
memutuskan untuk memilih jurusan Bahasa dan Kebudayaan
Korea, yah siapa tahu ada kesempatan ke Korea lalu bisa
nyebrang dikit ke Jepang deh hehe..
Manusia hanya bisa berencana, tetapi tetap Allah yang
menentukan. Sedari SMA ingin kuliah di jurusan Teknik
Kimia. Namun, apa daya ternyata takdirku untuk berkuliah di
UI dengan jurusan Bahasa dan Kebudayaan Korea.
Alhamdullilah sekali aku bisa diterima di kampus yang
merupakan impian banyak orang yaitu UI. Namun, masalah
tidak berakhir di situ saja. Untuk dapat berkuliah di UI aku
harus membayar biaya kuliah yang tidak murah. Saat
32
pertama diterima aku harus registrasi ulang secara online
dan memilih cara pembayaran uang kuliah (DPP & SPP). Pada
layar tersedia tiga pilihan pembayaran: bayar tunai lunas,
bayar tunai dicicil, atau cara pembayaran BOPB (dana
bantuan yang disesuaikan) secara dicicil. Secara otomatis
tanpa pikir panjang aku langsung memilih pilihan ketiga, aku
“klik” dan muncul persyaratan yang harus dipenuhi dalam
waktu dua minggu. Ada lembar essay yang harus aku isi dan
ditulis tangan, isi essay harus menceritakan kondisi
permasalahan ekonomi keluarga yang memberatkan
mahasiswa untuk membayar uang kuliah secara penuh
sehingga pihak kampus dapat mengerti dan memutuskan
berapa besaran biaya yang sanggup ditanggung oleh
keluarga mahasiswa/i. Alhamdullilah sekali, Allah emang baik
banget. Aku akhirnya bisa kuliah di UI hanya dengan
membayar SPP tidak sampai Rp 1.500.000/semester. Biaya
kuliahku sama dengan kuliah di UNSOED sehingga ayahku
sanggup untuk menguliahkan aku di UI.
Ceritaku tidak berakhir sampai di sini ya kawan-kawan.
Aku akan menceritakan suka duka kisah kehidupan
33
kampusku yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan
semasa masih duduk di bangku SMA. Saat diterima di UI
kampus idamanku, aku berkata pada diriku sendiri: “aku akan
sukses! Aku akan memulai masa depanku yang cerah, itu
semua dimulai dari sini. Ini adalah jalanku. Ini adalah langkah
awalku menuju kesuksesan yang dapat merubah nasibku
sendiri dan juga mengangkat derajat keluargaku. Aku akan
dapat membanggakan orang tuaku di mata kerabat,
tetangga, dan orang lain di luar sana. Aku berjanji tidak akan
menyia-nyiakan peluang yang bagus selama di kampus dan
semoga cita-citaku pergi ke luar negeri dapat terwujud
semasa kuliah. Ini kampus terbaik negeri ini, masa iya aku gak
bisa dapetin beasiswa atau kesempatan ke luar negeri? Kan
kampusnya dekat Ibukota dan banyak orang asing yang bisa
jadi koneksi di sini, aku yakin aku pasti jadi orang sukses
kelak!” ujarku pada diri sendiri.
Aku bertekad sangat kuat saat itu! Semua kegiatan yang
bersifat positif seperti mengikuti UKM dan organisasi-
organisasi kampus dari mulai tingkat jurusan, fakultas,
sampai tingkat universitas aku ikuti. Aku berusaha sebaik
34
mungkin di bidang akademik maupun kegiatan non-
akademik atau kegiatan bersosialisasi lainnya, seperti hanya
sekedar nongkrong dan mengobrol dengan teman atau
orang asing di kantin. Itu tidak mudah, kuliah yang sulit serta
tugas yang menumpuk membuatku sebagai mahasiswa
harus benar-benar pintar membagi waktu agar semua bisa
dilakukan dan tidak mengganggu prestasi akademikku. Aku
ingat sekali kata-kata yang diucapkan oleh Rayi-RAN
(penyanyi terkenal alumni kampus kami), “ilmu itu tidak
hanya didapatkan dari kelas dan kegiatan formal di kampus,
tapi seringkali kita mendapatkan ilmu dari orang lain di luar
kelas, seperti di kantin kampus,” pesan Rayi kepada semua
MaBa. Yah kata-kata itu sangat menginspirasiku, ilmu yang
kita dapat di kampus tidak 100% dapat kita serap. Dan saat
kita bekerja nanti kerjaan kita tidak selalu sama dengan
bidang yang kita pelajari di kampus, tapi tahukah kawan…
Bahwa kampus adalah tempatnya orang-orang besar
bermunculan, tempatnya orang-orang cerdas berkumpul
dan bertukar pikiran, tempat dimana banyak peluang dari
mulai persahabatan sampai koneksi pekerjaan. Jika mau
35
sukses dekatilah orang-orang yang telah sukses dan curi
ilmunya, setidaknya kita dapat mengcopynya pada diri kita.
Perjuanganku baru dimulai saat aku masuk kuliah. Aku
baru merasakan yang namanya harus membagi waktu,
belajar mengatur dan membedakan mana tanggung jawab
dan mana kewajiban, mana juga hak dan mana peluang. Di
kampus, aku banyak belajar, berjuang untuk lulus tepat
waktu dengan gelar caumlaude. Bahkan, saat aku merasa
terjun ke dalam jurang karena memilih jurusan yang tidak
sesuai dengan bidangku, aku belajar mati-matian untuk
menghafalkan kosakata asing yang bukan bakatku. Aku tidak
pandai bahasa asing, aku anak IPA, otakku lebih cepat
menangkap rumus dan penerapannya dibandingkan ilmu
sosial atau bahasa. Dari kecil sampai lulus SMA aku dapat
lulus dengan mudahnya tanpa harus belajar, tapi di kampus
aku harus belajar mati-matian di perpustakaan sampai
malam. Begadang mengerjakan tugas setiap hari sabtu dan
minggu juga hanya agar dapat lulus ujian bahasa agar tidak
mengulang tahun depan. Aku belajar banyak hal di kampus,
mengenal banyak orang dari yang sangat polos dan baik,
36
sampai yang sangat jahat dan bertindak licik demi tujuannya
agar tercapai. Semua itu adalah proses menuju kehidupan
yang sebenarnya agar saat aku terjun ke masyarakat aku
tidak terkejut lagi akan kekejaman dunia ini.
Berita baiknya, target yang kukatakan di awal kuliah
dapat aku raih lebih cepat dari perkiraanku. Jalan menuju
kesuksesanku terbuka lebar sejak aku berkuliah di UI. Tak
disangka keinginanku dapat pergi ke luar negeri semasa
masih berkuliah dapat terwujud. Di akhir semester pertama
tahun 2009 aku terpilih sebagai salah satu delegasi,
perwakilan dari teater mahasiswa Indonesia untuk turut
tampil di pementasan teater Singapura. Mulai semester tiga
aku sudah bisa mencari uang sendiri dari mengajar. Dua kali
mendapat kesempatan makan malam bersama Duta Besar
Korea untuk Indonesia di kediaman Beliau di Jakarta. Tahun
2012 dapat pergi untuk bekerja (magang) di Pulau Dewata
yang sedari sekolah sudah aku impikan. Di tahun yang sama
setelah pulang dari Bali aku dapat pergi ke Korea dengan
usahaku sendiri (memanfaatkan peluang dan koneksi yang
ada, jalan-jalan dengan budget minim hasil mengajar selama
37
kuliah). Bertemu dengan orang-orang tenar, yah maklum
banyak artis yang kuliah di UI. Bahkan, pejabat juga banyak
yang merupakan alumni UI, seperti: Sri Mulyani, Jajang C.
Noer, Okky Setiana Dewi, Kukuh Adirizky, Dian Sastro
Wardoyo, dan masih banyak lagi. Sudah dapat membeli
motor sendiri dan mendapatkan pekerjaan yang bagus
sebelum lulus kuliah. Banyak kesempatan emas yang dapat
aku raih karena berkuliah. Kampus adalah gudangnya ilmu,
baik yg formal (akademik) maupun yang non formal (non-
akademik).
Kebetulan di kampus ku banyak orang asing (bule) jadi
aku dapat melebarkan sayap lebih luas, koneksiku lebih
banyak dari kebanyakan orang, sehingga rejekiku pun
alhamdullilah lebih lancar. Ini bukan sekedar “berkuliah di
kampus ternama atau terbaik di Indonesia.” Aku bicara
tentang masa depan, “ini adalah tentang aku belajar,
berjuang, dan meraih mimpi.” Jangan percaya pada kata-kata
“kalau mimpi jangan tinggi-tinggi, nanti kalau gak
kesampaian jatuhnya sakit.” Aku lebih percaya pada kata-
kata dan cara berpikirku sendiri, “bermimpilah setinggi
38
mungkin bahkan melebihi atmosfir karena jika mimpimu
tidak kau capai setidaknya kamu sudah berjuang dan sampai
pada titik yang tinggi,” maksudnya apa? Gampangnya gini:
“jika kau terbang tinggi dan tak kau capai bulan, setidaknya
kau sudah melampaui awan.” Awan tinggi gak? Tinggi kan?
Kalau masih belum juga paham gini deh dibuat lebih simple,
“kalau mimpi jadi presiden gak tercapai setidaknya kau bisa
jadi menteri, kalau mimpi jadi dokter setidaknya bisa jadi
perawat, sekarang paham kan? Perjuangan itu tidak ada yang
mudah, pasti berat, tapi hasilnya pasti berbuah manis. Allah
sangat menyukai orang yang mau berusaha merubah nasib
daripada orang yang hanya meratapi nasibnya. Ayo
persiapkan dirimu untuk masa depan lebih baik!
*Penulis merupakan alumni SMA Bruderan Purwokerto.
39
Idealisme Kurang Bumbu
Astiawan Handi Pradana | Sekolah Tinggi Akuntani Negara
----------------------------------------------------------------------------
ahun terakhir di SMA itu ibarat dua sisi mata uang. Di
satu sisi, kita ingin menikmatinya karena merupakan
akhir dari masa-masa yang “katanya” paling indah, namun di
sisi lain datanglah sederetan cobaan di dalamnya. Selain
tentunya ujian, perubahan sikap teman-teman kita pun jadi
cobaan tersendiri. Mereka yang tadinya langsung cabut saat
kita ajak nongkrong, sekarang punya jawaban, “Nyong arep
sinau, demi kuliah neng ITB” artinya “Aku mau belajar, demi
kuliah di ITB”. Obrolan di sekolah juga bukan lagi tentang
Manchester United yang dibantai oleh Liverpool atau
Liverpool yang dibantai Queens Park Ranger tapi tentang UN
lah, SNMPTN lah, apalagi sampai ada yang ngobrolin tentang
ospek. Yah, begitulah. Jujur saja, saya bukanlah siswa
berprestasi di sekolah, bahkan saya termasuk deretan
peringkat 10 besar terbawah di kelas. Jadi, di saat teman-
T
40
teman lain mulai ngobrolin tentang hal-hal yang berbau
dunia perkuliahan, saya tidak tertarik. Sayangnya sedikit
sekali orang-orang seperti saya di sekolah ini, semuanya
mainstream.
Tibalah saatnya untuk memilih 4 jurusan di dua
universitas negeri yang ingin kita masuki melalui jalur
undangan atau SNMPTN. Pada masa itu, SNMPTN
menggunakan nilai rapor dari semester satu sampai lima.
Tahu sendiri lah bagaimana nilai saya, rendah dan tidak
stabil. Kadang peringkat 10 terbawah, kadang peringkat 4
terbawah, terus naik lagi ke peringkat 6 terbawah. Sungguh
bervariasi. Tapi, di saat seperti ini, saya bingung dan galau.
Wawasan saya mengenai dunia universitas sangat sempit.
Apalagi tentang prospek kerjanya. Saya juga tidak tahu cita-
cita sendiri, mau jadi apa di masa depan, benar-benar tidak
tahu. Satu jam sebelum mendaftar, saya searching mengenai
dunia universitas dan akhirnya menjatuhkan pilihan pada
Geologi dan Statistika UGM, kemudian Teknik Elektro dan
Statistika Undip. Empat pilihan yang bisa dibilang dipilih
secara spontan.
41
Dan hasilnya mudah ditebak. Saya tidak lolos.
Sedangkan teman-teman lain yang sudah belajar lebih keras
dan merencanakan dengan baik masa depannya mulai
menapaki kampus impian mereka. Saya kecewa dan sedih.
Pertama, karena belum diterima dimanapun dan menjadi
pengangguran karena sudah tidak lagi terdaftar sebagai
murid SMA. Ngomong-ngomong, hasil Ujian Nasional
menempatkan saya di peringkat 8 terbawah di kelas. Oke,
lanjut ke alasan kekecewaan dan kesedihan saya yang kedua
adalah saya harus belajar dan membuka buku lagi untuk
mengikuti SBMPTN atau tes masuk perguruan tinggi negeri
secara tertulis. Di saat teman-teman lain yang telah lolos
mulai merencanakan traveling, hiking, snorkeling, doing
nothing, dan sleeping all day long, saya malah masih
berkutat dengan buku. Malu dan rikuh (tidak enak) pada
orang tua kalau sampai jadi pengangguran karena tidak
diterima di kampus mana pun. Untungnya saya masih punya
kesadaran itu dan mulai belajar demi masa depan.
Saya benar-benar direpotkan oleh SBMPTN, saya harus
belajar dari awal karena sudah lupa dengan sebagian besar
42
materi pelajaran. Optimisme yang berlebihan di jalur
undangan ternyata berbuah petaka. Karena merasa bakal
diterime, saya tidak pernah belajar, berangkat les pun tidak
pernah. Padahal sudah didaftarkan dan dibiayai oleh orang
tua. Apalagi soal-soal di SBMPTN itu bukan soal-soal dasar,
tapi sudah satu sampai tiga level di atasnya. Saat itu saya
benar-benar stress. Pikiran saya benar-benar lurus, semua
hobi dan kesenangan ditinggalkan, belajar siang malam demi
PTN idaman.
∞
Manusia memang dianugerahi akal untuk membuat
rencana, tapi tetap saja Tuhan yang menentukan. Lagi-lagi
rencana saya untuk berkuliah di UGM ataupun Undip tidak
diridhoi. Rasa kecewa dan sedih kali ini jauh lebih dalam
daripada saat pengumuman jalur undangan karena saya
merasa sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi saya mau
menyalahkan siapa? Jelas-jelas ini kesalahan saya yang
kurang mempersiapkan semuanya dengan baik. Baru mau
belajar setelah gagal, tetapi memilih universitas yang muluk-
muluk. Gak tau diri! Tanggapan orang tua pada saat itu
43
sangat dingin. Mereka diam, tidak berkomentar apa pun.
Pastilah mereka kecewa dengan anaknya yang satu ini.
Mereka sudah menyarankan untuk memilih Unsoed yang
selain dekat dengan rumah, universitas ini juga menunjukan
kemajuan yang pesat beberapa tahun terakhir. Tapi saya
dengan keras kepala menolak saran tersebut dengan alasan
bosan di Purwokerto terus. Hasilnya ya seperti ini. Bingung
dan menyesali diri sendiri.
Walaupun sebenarnya masih ada kesempatan di
UMBPTN (Ujian Mandiri Bersama Perguruan Tinggi Negeri),
tapi saya rasa ikut UMBPTN hanya akan buang-buang waktu,
pikiran, dan tenaga karena sudah merasa gagal duluan. Di
saat keadaan saya lagi kalangkabut, seorang teman
menyarankan buat mulai melirik perguruan tinggi swasta.
Saran itu saya pertimbangkan. Terus ada temen lain bernama
Laila yang menyarankan buat ikut tes-tes masuk perguruan
tinggi ikatan dinas. Bahkan dia sampai mencarikan mana-
mana saja perguruan tinggi ikatan dinas yang masih
membuka pendaftaran. Saya merasa benar-benar dikasihani,
mereka ikut memikirkan dan terus memberi suntikan
44
motivasi, meminjami buku-buku, bahkan ikut mencari info
tentang perguruan tinggi yang cocok buat saya. Yang paling
ngena adalah kalimat singkat yang terlontar dari mulut Nova
Ristiana, teman kelase saya yang berbunyi, “Keep kalem bro,
usaha keras tidak akan berkhianat”. Pas banget sama gejolak
di hati saya yang merasa usaha keras selama ini sia-sia.
Setidaknya, saya jadi punya keyakinan bahwa usaha keras
beberapa bulan terakhir, meskipun hasilnya nihil di SBMPTN,
tapi bisa jadi mengantarkan saya ke tempat yang lain. Ya,
saya mulai semangat kembali. Pokoknya saat itu
ungkapan “Sahabat bukan mereka yang menghampirimu
ketika butuh, namun mereka yang tetap bersamamu ketika
seluruh dunia menjauh” terasa relevan. Orang tua pun yang
meskipun diam saya yakin mereka masih selalu mendoakan,
dan yang paling penting, saya masih diberi asupan gizi setiap
hari agar bisa berpikir jernih.
∞
Pilihan telah dijatuhkan. Saya memilih buat mendaftar
Ujian Saringan Masuk (USM) STAN. Sebuah sekolah ikatan
dinas di bawah Kementerian Keuangan yang sejak saya SMP
45
sudah diidam-idamkan oleh orang tua. Setelah orang tua
tahu kalau STAN masih membuka pendaftaran, tanpa ragu
lagi mereka langsung memberi instruksi untuk mendaftar. Di
USM STAN ini, ada secercah harapan dimana materi yang
diujikan hanya Tes Potensi Akademik, Bahasa Inggris, dan
Bahasa Indonesia. Di sana tidak ada fisika, kimia, dan biologi.
Ya, orang tua menyarankan ikut USM STAN itu bukan
semata-mata nafsu mereka ingin anaknya masuk ke STAN.
Tapi karena mereka tahu betul kalau saya lemah di Fisika dan
Kimia. Dua mata pelajaran itu juga yang sering jadi kambing
hitam atas kegagalan di SNMPTN dan SBMPTN. Tapi
memang benar sih, saya merasa payah di dua mata pelajaran
itu. Jadi ceritanya, saya itu korban salah jurusan, ingin masuk
jurusan IPS malah dimasukan ke IPA. Tapi ora papa, ini
kesempatan untuk kembali ke jalan yang benar. STAN
meskipun singkatan dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara,
tetapi bukan berarti hanya dapat dimasuki oleh anak dengan
jurusan IPS karena sama sekali tidak melihat latar belakang
jurusan sebelumnya. Ya, inilah kesempatan saya.
46
Keputusan saya sudah bulat untuk mengikuti Ujian
Saringan Masuk (USM) STAN. Jadi saya harus bekerja keras
buat itu. Tapi, ada yang berbeda dengan atmosfer belajar
saya kali ini. Rasanya sekarang lebih santai dan tidak terlalu
sulit. Tinggal mengerjakan buku-buku latihan soal yang
dipinjami Nova dan Aldy. Tidak perlu lagi belajar dari nol
karena hasil belajar SBMPTN masih membekas. USM STAN
juga membuat saya jadi rajin ibadah dan berdoa. Mungkin
Allah memberi rangkaian kegagalan agar saya jadi lebih
dekat dengan-Nya.
Singkat cerita saya akhirnya menjalani ujian tulis USM
STAN. Ternyata ujiannya tidak sesulit SBMPTN. Meski begitu
saya masih pesimis karena ada sekitar 90.000 pendaftar
sedangkan yang nantinya lolos hanya sekitar 5.000 orang.
Saya tahu diri saja lah. Tidak terlalu berharap meski doa tidak
pernah terputus. Sekarang, lebih baik saya jalan-jalan keliling
desa untuk menyegarkan otak. Ngomong-ngomong, saya
tinggal di sebuah desa bernama Lesmana, yang masuk dalam
daerah administratif Ajibarang. Sekitar 15 km dari pusat Kota
Purwokerto. Kadang-kadang saya memang suka iseng jalan-
47
jalan keliling desa hanya untuk menghirup-hembuskan udara
pagi, menyentuh embun di dedaunan, dan menyapa warga
desa dengan segala aktivitas paginya. Tapi jangan salah
sangka ya, saya bukan calon kepala desa menjelang pilkades
yang sedang melakukan pencitraan untuk mengambil hati
masyarakat. Bukan.
Di tengah perjalanan, saya berhenti di jalan setapak
diantara tanah-tanah yang tidak terawat. Isinya hanya
rumput, semak-semak, dan beberapa pohon buah yang
jarang berbuah. Tanah-tanah ini milik orang kaya di desa ini.
Mereka memiliki kebun luas mung nggo duwe-duwe.
Barangkali mereka membeli kebun hanya untuk menyimpan
uang mereka. Daripada disimpan di bank dan terkena biaya
administrasi setiap bulan lebih baik uangnya dipakai untuk
membeli tanah dan jika suatu saat butuh tinggal dijual saja
tanahnya. Sah-sah saja sih hal seperti itu. Tapi mbok ya lebih
baik jika tanahnya jangan dibiarkan terbengkalai dan tidak
produktif sama sekali. Jika tanahnya produktif bukan hanya
sang pemilik tanah yang diuntungkan melainkan juga
masyarakat sekitar. Yang tadinya menganggur, bisa saja
48
dipekerjakan sebagai buruh tanam. Penjual bibit semakin
untung. Pedagang buah tak perlu jauh-jauh mencari barang
jualannya. Lingkungan pun menjadi lebih hijau dan tidak
gersang. Pokoknya banyak sekali faedahnya jika semua tanah
kosong dimanfaatkan dengan bijak. Atas dasar itu, sebagai
anak yang dibesarkan di lingkungan pedesaan, tiba-tiba
terbesit pikiran “Oya, kenapa saya gak jadi petani aja ya, lebih
tepatnya petani modern. Menanam banyak bibit,
mempekerjakan banyak orang, panen berlimpah, dan
memakmurkan desa ini.” Hemm ujare gampang ya mas. Tapi
apa salahnya punya impian wong Bung Karno saja pernah
bilang, “Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh,
engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.”
Saya lantas pergi ke rumah eyang untuk meminjam
cangkul dan peralatan bertani lainnya. Kemudian memakai
sepatu boot dan mengolesi tubuh dengan lotion anti
nyamuk. Yap, petani masa depan siap beraksi. Kebetulan ada
tanah milik eyang yang belum digarap jadi bisa saya pakai
untuk mencari jam terbang di dunia pertanian. Ditemani
alunan musik karya John Coltrane dan Miles Davis tangan ini
49
mulai memainkan cangkul, menghujam tanah musim hujan
yang gembur dan sedikit basah. Ternyata tidak mudah
menjadi petani. Baru berapa kali ayunan tangan ini langsung
pegal-pegal. Tapi saya menikmatinya, menikmati setiap
keringat yang mentes karena kerja keras. Yah, semoga ada
manfaatnya.
Setiap hari begitulah kegiatan saya. Berangkat ke
ladang, mencabuti rumput liar, dan kembali menyangkul. Kali
ini prosesnya memasuki tahap penanaman bibit. Ngomong-
ngomong saya mau menanam munthul, atau bisa disebut ubi
manis. Kalau lelah biasanya saya duduk-duduk di bawah
pohon buah klesem yang rindang sembari menyantap
sandwich buatan mama. Dalam kedaan lelah itu tiba-tiba
terpikir, “Kalau gini apa bedanya saya sama petani-petani
lainnya ya, apanya yang petani modern kalau sama-sama
kelelahan”. Saya sadar dalam melakukan sesuatu itu harus
didasari oleh ilmu. Jika ingin jadi petani modern, otomatis
kita harus mengacu pada ilmu pertanian yang terkini dan
terhangat. Ilmu bertani konvensional yang diajarkan eyang
masih belum cukup jika cita-cita saya adalah petani modern
50
masa depan yang dielu-elukan masyarakat. Saat itu lah tiba-
tiba saya terpikir buat mendaftar di Fakultas Pertanian
Universitas Jenderal Soedirman. Kebetulan Unsoed masih
membuka jalur mandiri dan kuota untuk Fakultas Pertanian
tampaknya masih banyak. Setelah koordinasi dengan orang
tua, akhirnya saya mendaftarkan diri dan mengikuti ujian
mandiri di Fakultas Pertanian jurusan Agroteknologi.
∞
Alhamdulillahirabbil’alamin. Akhirnya ada juga
Universitas yang mau menerima saya apa adanya. Jurusan
Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jenderal
Soedirman. Ah saya bangga sekali bisa masuk ke sini.
Padahal dulunya saya selalu memandang sebelah mata
kampus ini. Menganggap bahwa kuliah di luar kota jauh lebih
baik dari segi kualitas maupun pergaulan. Opini saya
berubah ketika ternyata banyak sekali mahasiswa dari luar
kota yang sangat berharap bisa diterima di kampus ini.
Sebagai putra daerah dan sekarang menjadi bagian dari
kampus ini, saya harusnya bersyukur dan tidak boleh hanya
berpikir kampus ini mau menjadikan aku apa. Tapi
51
sebaliknya, apa yang bisa aku lakukan untuk kampus ini.
Lagipula, Unsoed mulai menunjukan taringnya beberapa
tahun terakhir, dan saya ingin mengasah taring tersebut
untuk menunjukan wibawanya di mata dunia.
Hari-hari di Unsoed semakin hari semakin
menyenangkan. Apalagi setelah saya bergabung dengan
Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Pertanian. Meskipun belum
menjadi anggota resmi, tapi saya sudah biasa nongkrong-
nongkrong di sekretariat mapala. Sering juga diajari
menggunakan peralatan seperti seat harnest, carabiner,
descender, dinding panjat tebing, dan sebagainya. Dan yang
paling penting adalah teman saya bertambah banyak.
Sebagai calon petani modern yang memegang harapan
masyarakat, saya harus memperbanyak relasi. Toh dengan
adanya mereka saat ini, saya jadi semakin betah dan
menjalani hari-hari di kampus dengan tanpa kebosanan.
Lagi seru-serunya di kampus baru, sebuah kabar tak
terduga datang dari STAN. Secara mengejutkan saya lolos tes
tulis dan melaju ke tahap selanjutnya yaitu tes wawancara
dan tes fisik. Kejutan berlanjut, satu bulan kemudian saya
52
berhasil menaklukan kedua tes tersebut. Saya baru saja
menyingkirkan 85.000 peserta lain. Saat orang tua tahu, saya
langsung dipeluk sama mama. Ekspresi gembira terpancar
dari keduanya. Tapi bukannya sujud syukur saya malah
bengong kebingungan kemudian merasakan haru yang luar
biasa.
Meskipun saya sangat bersyukur bisa lolos USM STAN,
sejujurnya saya belum mengambil keputusan apakah akan
pindah ke STAN atau tetap di Faperta tercinta ini. Saya sudah
terlanjur betah. Sudah terlanjur banyak impian yang tergagas
setelah saya masuk ke kampus ini. Mungkin bergabung
dengan STAN memberikan jaminan pekerjaan di masa
depan, tapi benarkah saya mencintai pekerjaan tersebut?
Kalau bertani sudah jelas saya sangat tertarik dan mencintai
pekerjaan sebagai petani. Ah lagi-lagi ada pergolakan di hati
saya. Tidak diterima dimanapun bingung, sekarang diterima
di dua kampus ternyata lebih bingung lagi.
Orang tua yang dari saya SMP sudah mendambakan
anaknya bisa masuk STAN, ternyata masih konsisten dengan
cita-cita mereka. Mereka berharap saya memilih STAN.
53
Karena selain masa depan yang sudah hampir terjamin,
berkuliah di sana juga meringankan beban mereka karena
gratis. Bahkan diberi uang saku setiap bulan. “Masalah
pekerjaan di masa depan bakal menyenangkan atau tidak,
tergantung seberapa besar rasa syukur kita”, begitu kata
bokap. Masuk akal juga sih. Lagipula saya sudah pernah tidak
menuruti kata orang tua, dan akhirnya terseok-seok sendiri.
Bisa jadi idealisme saya memang belum cukup penopang,
idealisme yang terbentuk tanpa ilmu yang cukup. Berbeda
dengan idealisme orang tua yang mungkin sudah dicampur-
adukan dengan segudang pengalaman dan sedikit realitas.
Tapi bukan berarti anak muda tidak boleh beridealisme ya,
maksud saya, idealisme anak muda juga harus dibumbui
nasehat orang tua.
Okelah, kali ini saya coba menahan hasrat pribadi dan
mencoba merevisi lagi rencana-rencana jangka panjang
yang telah disusun. Sembari terbayang kembali betapa
gembiranya orang tua ketika mereka tau saya lolos, saya
akhirnya memutuskan untuk memilih STAN. Besoknya saya
langsung menemui teman-teman di kampus untuk
54
berpamitan. Sedih sih meninggalkan kampus hijau beserta
isi-isinya, tapi untuk sukses, terkadang seseorang harus
berani meninggalkan zona nyamannya. Setelah itu berharap
zona nyaman baru segera menyusul.
∞
Ya, begitulah saya beberapa tahun yang lalu. Sekarang,
meskipun saya sudah bergabung dengan keluarga besar
Direktorat Jenderal Pajak, tapi hasil revisi rencana jangka
panjang yang saya buat beberapa tahun lalu masih saya
pegang teguh. Rencananya, saya mau menabung sebagian
gaji untuk modal mendirikan perkebunan, dan yang akan
mengurus segala macam keperluan termasuk teknologi dan
formula-formulanya adalah teman-teman saya sewaktu
masih di Faperta dulu. Meskipun tidak bisa selalu terjun
langsung ke lahan, tapi saya berharap agar bisa berguna bagi
dunia pertanian dan tidak lupa juga perpajakan. Aamiin
*Penulis merupakan mahasiswa STAN angkatan 2013 dan merupakan alumni SMA
Negeri 2 Purwokerto.
55
Sepucuk Kertas Kehidupanku
Dwi Astuti | Institut Teknologi Bandung
----------------------------------------------------------------------------
ujuh belas tahun yang lalu, saya lahir disebuah desa kecil
bagian dari Kota Banjarnegara. Desa yang begitu damai,
tentram, dan jauh dari keramaian perkotaan. Kehidupnnya
masih sangat tradisional. Bahkan, akses transportasi umum
pun masih begitu langka. Terlebih, pendidikan bukan
menjadi aspek penting untuk mereka.
Saya lahir dari keluarga yang sederhana. Sebelumnya,
saya tumbuh dalam kondisi keuangan yang berkecukupan.
Namun, semuanya berubah saat saya masih duduk di kelas
empat SD. Usaha ayah saya mengalami kebangkrutan. Dan
kini, ayah saya hanyalah seorang buruh tani. Ibu saya juga
sebagai buruh pembuat genting. Kakak sayapun bekerja
sebagai buruh serabutan.
Mengingat kondisi keluarga saya yang seperti itu, saya
memiliki keinginan yang kuat untuk mengangkat derajat
T
56
mereka. Cita-cita saya sangat sederhana, yakni masuk SMK
terbaik di daerah saya dan segera bekerja untuk
meringankan beban mereka. Tidak pernah terbayangkan saat
itu, saya bisa merasakan duduk dibangku perkuliahan.
Perjalanan saya hingga lulus SMP tidak semulus yang
teman-teman saya rasakan. Karena ekonomi keluarga yang
semakin memburuk, saya pernah menjajakan makanan yang
hasilnya bisa cukup untuk uang saku saya sehari-hari. Saya
juga sudah terbiasa jalan dari sekolah kerumah kurang lebih
1.5 km setiap harinya. Hal itu menjadi perjuangan saya untuk
bisa mendapatkan pendidikan di SMP. Alhamdulillah, berkat
doa dan usaha, saya mendapat beberapa beasiswa yang
cukup bahkan lebih untuk memenuhi kebutuhan saya sampai
lulus.
Setelah lulus SMP, sesuai rencana saya akan mendaftar
ke SMK. Tetapi, ayah saya melarang saya. Keluarga saya
adalah keluarga yang cukup agamis. Teman-teman ayah saya
menyarankan untuk memasukkan saya di SMA islam yang
didirikan oleh yayasan pengajian yang keluarga saya ikuti.
Bagi ayah saya, karakter saya itulah yang paling penting. Buat
57
apa mejadi menteri kalau dia tidak tau agama. Ayah saya
berusaha menempatkan saya dalam lingkungan yang baik.
Dengan risiko yang besar bagi orang tua saya, akhirnya
saya dilepaskan jauh di kota Solo. Keluarga saya bisa dibilang
cuek dengan pendidikan. Saya tidak pernah menuntut
mereka untuk tau apa yang saya pelajari dan apa yang saya
butuhkan. Saya juga tidak marah ketika ayah saya tidak hadir
dalam awwalussanah maupun akhirussanah dan tidak pernah
mengambil nilai-nilai raport saya.
Satu tahun telah berjalan dan tiba saatnya liburan
panjang. Suatu hari, Ibu saya mendekati saya dan
mengatakan "Ndhuk, kalau nanti bapak sudah tidak sanggup
lagi membayar SPP kamu, kamu berhenti sekolah saja ya.
Kamu harus tau kondisi bapak". Spontan saya kaget dan
dalam hati kecil saya menangis. Tapi, saya harus memahami
dan mengiyakan permintaan ibu saya.
Tiba-tiba, mendekati hari masuk awal semester, saya
mendapat telepon dari sekolah. Bahwa saya mendapat
beasiswa alumni sebesar Rp 500.000,00 per bulan.
Sebelumnya, saya memang mendapatkan beasiswa dari
58
sebuah bank, tetapi itu jauh dari kata cukup untuk membayar
kebutuhan bulanan saya. Rasa syukur yang tiada tara selalu
saya ucapkan. Saya semakin yakin bahwa Allah SWT tidak
akan memberikan cobaan yang diluar kemampuannya.
Namun, ditengah perjalanan, saya melakukan kesalahan
besar. Saya "mencontek" saat ujian tengah semester. Saya
tidak tau kenapa saya melakukan itu. Saya menjadi orang
paling bodoh saat itu, karena tidak mampu mengatur diri
sendiri. Akhirnya, saya menyerahkan diri ke BK dan mengakui
semua kesalahan saya. Saya siap menerima hukuman apa
saja. Cemoohan dan cacian itu menjadi hukuman sosial bagi
saya.
Ditengah kehancuran kepercayaan itu, saya berusaha
menciptakan kepercayaan baru. Saya memang sudah
menjadi seperti abu yang tak berguna di mata teman-teman
saya. Mengulang ujian, di-skors dari tim olimpiade dan
sebagainya. Namun, guru pembimbing saya selalu
menguatkan saya "Orang yang baik itu bukanlah orang yang
selalu benar. Tetapi, orang yang baik adalah orang yang
apabila salah langsung mengakui kesalahannya dan kembali
59
ke jalan-Nya".
Ya, semuanya berjalan dengan baik. Saya berhasil
mendapat kepercayaan baru yang bahkan jauh lebih besar
sebelumnya. Tapi, ada satu yang tidak bisa saya kembalikan.
Kepala sekolah saya mengatakan dengan berat hati, bahwa
beasiswa saya tidak bisa diperpanjang. Namun, beliau
mengijinkan saya untuk meminta keringanan pembayaran.
Guru pembimbing saya juga menerima saya kembali
aktif di tim. Beliau juga siap membantu jika saya mendapat
masalah finansial. Saya menggunakan kesempatan ini
dengan sebaik-baiknya. Alhasil, saya dipercaya untuk
mengikuti beberapa event di perguruan tinggi. Dan berhasil
mengharumkan nama sekolah di dua event terakhir. Dan dari
situlah saya tertarik untuk kuliah. Saya mulai mengerti dan
memahami artinya pendidikan dari pengalaman-
pengalaman itu.
Guru, teman, bahkan Kepala Sekolah sangat mendukung
saya untuk kuliah, walaupun orang tua saya tidak
mengijinkan kerena masalah biaya. Saya berjanji kepada
mereka kalau saya bisa mendapatkan beasiswa untuk biaya
60
kuliah nanti. Keterbatasan pengetahuan dan informasi yang
orang tua saya miliki, membuat saya kesulitan untuk
meyakinkan kepada mereka bahwa kuliah adalah hak untuk
semua orang.
Saya beranikan diri mendaftar lewat SNMPTN, walaupun
tidak sepenuhnya diijinkan oleh orang tua saya. Saat banyak
yang tau saya memilih ITB sebagai perguruan tinggi pilihan
saya, banyak orang mencemooh saya. Tidak mungkin saya
diterima disana. Saya tidak memiliki prestasi yang melimpah.
Pesimisme itu akhirnya berhasil mengalahkan rasa optimis
saya.
Setelah Ujian Nasional berakhir, saya ditawari
kesempatan oleh guru pembimbing saya untuk mengikuti les
SBMPTN yang mana biayanya akan ditanggung oleh beliau.
Akhirnya, saya kuatkan hati saya untuk tidak kembali ke
rumah sampai saya benar-benar mendapat kuliah. Rindu
akan kampung halaman pasti ada, tapi saya punya cita-cita
yang harus diperjuangkan.
Karena kekhawatiran saya, sayapun mencoba mendaftar
di sebuah universitas yang menjajikan beasiswa penuh bagi
61
yang lolos seleksi. Dan Alhamdulillah saya lolos. Tetapi,
keraguan itu muncul lagi dalam benak saya. Saya masih
mengharapkan pengumuman SNMPTN itu. Dengan berat
hati, saya mengundurkan diri dari universitas pertama dan
menunggu hingga pengumuman SNMPTN tiba.
Hari-hari saya dipenuhi dengan berbagai pertanyaan.
Saya dipinjami buku dari guru dan teman-teman saya untuk
mendukung usaha saya. Hingga ada teman saya yang
mengikhlaskan akun zenius yang ia beli untuk digunakan
oleh saya. Ya, sebuah keberuntungan bagi saya disaat saya
tidak memiliki apa-apa, banyak orang yang mau membantu
saya.
Tanggal 9 Juni pun tiba. Hari yang ditunggu juga paling
ditakuti bagi saya. Sejak pagi hari, pikiran saya menjadi
kacau, waktu pun berasa kian melambat. Hingga tepat pukul
lima, guru BK saya datang keasrama dan mengajak saya
untuk membantu membuka pengumuman SNMPTN untuk
satu sekolah. Dan subhanallah, sebuah keajaiban terjadi, saya
diterima menjadi mahasiswa baru di ITB.
62
Segera saya pulang kampung dan mengatakan kabar
bahagia tersebut kepada mereka. Sempat saya kecewa,
karena orang tua saya malah menyuruh saya merahasiakan
kabar tersebut dari orang lain. Saya tau, karena mereka
khawatir kalau-kalau saya tidak mendapat beasiswa dan
tidak jadi kuliah.
Tetapi dengan keyakinan saya, saya kuatkan diri saya
untuk tetap melanjutkan proses berikutnya. Saya juga harus
menerima saat keluarga saya tidak ada yang mengantarkan
saya ketika daftar ulang tiba. Saya harus menyadari bahwa
kuliah adalah pilihan saya yang harus
dipertanggungjawabkan. Saya berangkat ke Bandung
dengan gambaran masa depan saya yang indah tidak
dengan diantar orang tua saya.
Mungkin, kini saya belum bisa mengajak mereka
mengunjungi kampus ini, tapi saya yakin, suatu saat nanti
kalau sudah tiba waktunya, saya akan mengajak mereka
melihat inilah kampus yang mencerahkan hidup kami. Amiin..
63
Semua orang itu memiliki warna yang berbeda. Namun,
tidak akan menjadi masalah apabila kita bisa menyikapinya
dengan baik. Tidak ada kata tidak mungkin kalau mau
berusaha. "Sesungguhnya bersama kesulitan ada
kemudahan" (Qs Al-Insyirah : 5).
*penulis merupakan mahasiswa Fakultas Teknologi Industri ITB angkatan 2015
64
Ibu, Bapak, Izinkan Aku Kuliah
Eka Setianingsih | Institut Teknologi Bandung
----------------------------------------------------------------------------
etapa senangnya hati ini ketika menginjakkan kaki di
kelas XII IPA 3, aku merasa sebentar lagi aku akan
menempuh kehidupan baru, kehidupan anak kuliahan.
Dengan berbagai kisah yang menyenangkan tentang
kehidupan anak kuliahan, siapa yang tidak tertarik untuk
segera lulus dan meneruskan ke pergururan tinggi
favoritnya.
Namun ada sesuatu yang mengganggu pikiranku, “apa
aku bisa kuliah?” pikirku. Bahkan, sebelum aku sempat
menanyakan pada orang tuaku, mereka sudah
mendahuluinya dengan menasehatiku, ”De, mama tahu
kamu ingin kuliah, tapi kamu harus tahu dan mengerti
keadaan orang tua, mama berharap kamu jangan merasa
minder kalau nantinya kamu tidak kuliah dan terpaksa kerja,
tetap semangat, kuliah atau enggak kamu tetep bisa
B
65
bahagiain mama kok”. Air mata ini tidak tertahankan lagi
ketika mendengar kata-kata itu.
Aku merasa hancur disaat semua teman-teman sudah
merencanakan pendidikan masa depannya, lalu bagaimana
nasibku? Apa aku tidak diberi kesempatan untuk
melanjutkan kuliah? Aku sempat marah pada orang tuaku,
aku belum siap terjun ke dunia kerja dan aku masih ingin
merasakan indahnya pendidikan.
Padahal selama di SMA sejak semester satu hingga
semester lima, aku berusaha masuk peringkat tiga besar agar
aku bisa mengikuti tes SNMPTN. Orang tuaku sama sekali
tidak mendukung keinginanku. Aku iri pada orang tua yang
lain, walaupun mereka kondisi ekonominya sama seperti
orang tuaku, namun mereka tetap mendukung dan memberi
semangat pada anaknya agar bisa melanjutkan kuliah.
Setiap kali aku ditanya oleh teman-temanku hendak
melanjutkan kemana, pasti aku hanya bisa menjawab,
”dimana aja si, yang penting bisa membahagiakan orang
tua”. Dengan tersenyum kecil, hanya itu yang bisa aku jawab
karena aku belum punya tujuan yang pasti, ya setidaknya itu
66
merupakan doa yang mudah-mudahan menjadi suatu
kenyataan.
Namun aku tidak pantang menyerah, menjelang UN aku
mengikuti les, bahkan uang untuk membayar les aku
dapatkan dari hasil usahaku berjualan martabak unyil dan
piscok di kelas serta dengan serta menghemat uang sakuku.
Hingga tiba saatnya pendaftaran SNMPTN, aku bingung
memilih universitas. Aku tidak berani memilih univeritas yang
berlabel elit. Mendengar teman-teman memilih ITB, UGM,
UNDIP, UNPAD, UI, membuatku merinding dan aku merasa
sama sekali tidak berhak memilih universitas tersebut
sebagai tujuanku, karena untuk pergi ke tempatnya pun tidak
ada biaya apalagi bayar biaya pendaftarannya. Bapakku
seorang pensiunan biasa yang sudah berumur 70 tahun dan
ibuku adalah ibu rumah tangga. Mereka harus menghidupi
dua orang anak yang sama-sama harus dibiayai
pendidikannya.
Tapi apa salahnya mencoba, dengan mengandalkan
peruntungan saat itu, aku memilih ITB sebagai tujuan
utamaku, dan fakultas teknik sipil dan lingkungan di ITB
67
sebagai jurusan yang akan aku masuki. Aku mendapat info
ada beasiswa bidik misi yang diperuntukan bagi siswa yang
kurang mampu, aku dibantu oleh guru bimbingan
konselingku untuk mendaftarkan diri sebagai calon penerima
beasiswa bidik misi.
Setelah ujian nasional dilaksanakan, orang tuaku
menyuruhku melamar pekerjaan. Mereka terus mendesakku
bekerja dengan memberiku berbagai tumpukan koran yang
berisi info lowongan pekerjaan. Menyebalkan rasanya saat
itu dan aku belum berani mengatakan bahwa aku mendaftar
SMNPTN di ITB. Hingga hari pengumuman kelulusan pun
tiba, dan alhamdulliah, segala puji bagi Allah SWT, aku lulus
dengan nilai yang tidak mengecewakan. Aku senang dan
terharu, namun terharuku mulai bercampur dengan
ketakutanku yang semakin kuat kalau aku akan didorong
oleh orang tuaku untuk bekerja. Setelah pengumuman ini
berarti aku sudah memiliki SKHU yang bisa digunakan untuk
melamar kerja.
Dan benar saja ketika dua hari menjelang perayaan
wisudaku, aku dipaksa melamar pekerjaan di tempat
68
percetakan foto. Benar-benar siang itu aku naik sepeda dan
ke warung membel kertas folio untuk menulis surat lamaran.
Surat lamaran dikirimkan siang hari sebelum pengumuman
hasil SNMPTN. Aku pasrah apapun hasilnya, itu aku anggap
sudah merupakan jalan takdirku, yang jelas aku sudah
berusaha dan berdoa.
Pukul 16.00 wib aku berangkat ke SMA Negeri
Banyumas. Sekolah yang selama tiga tahun merekam semua
kisah putih abu-abuku dan keesokan harinya aku akan
diwisuda, melepas semua kenangan manis dan setiap
tingkah polah kekanak-kanakanku. Sore itu aku latihan
perayaan wisuda untuk esok harinya dan hari ini juga aku
akan membuka web dikti untuk melihat hasil tes SNMPTN ku.
Seorang sahabatku yang bernama Firdha menjerit dan
menangis ketika dia mendapatkan hasilnya bahwa dia di
terima di ITB di jurusan FTTM. Syukurlah, sahabat karibku
akhirnya mendapatkan apa yang ia cita-citakan.
Lalu, apakah aku masih bisa bersama firdha lagi pikirku.
Dengan hati ragu dan perasaan pasrah aku membuka
pengumumannya. Aku mendapati sebuah tulisan sederhana
69
yang begitu istimewanya hingga aku meneteskan air mata.
Ini dia kata-kata yang membawaku berada pada jalan yang
aku cita-citakan, “atas nama Eka Setianingsih dinyatakan
lulus SNMPTN ITB jurusan FTSL,” begitulah kurang lebihnya.
Sujud syukur bagi Allah SWT yang telah mengabulkan
keinginanku.
Aku langsung menghubungi mamahku dan mengatakan
aku lolos seleksi, beliau menangis dan memintaku segera
pulang. Sesampainya di rumah aku dipeluk, dan diberi
ucapan selamat. Namun, kebahagiaan itu sempat terhenti
ketika bapakku bertanya bagaimana caranya membiayaiku
kuliah di ITB ? Aku pun menjelaskan kalau aku mengikuti
besiswa bidik misi yang artinya orang tuaku tidak perlu
mengeluarkan biaya sepeserpun untuk membayar uang
kuliahku dan kehidupanku selama aku kuliah nanti.
Menyebalkan memang, bapakku masih tidak
mengijinkan aku kuliah, apalagi sampai kuliah di Bandung.
Katanya jauh dengan orang tua sangat berisiko. Aku
mencoba berbagai cara untuk meyakinkan bapakku, dibantu
dengan mamahku yang mendinginkan suasana.
70
Hingga aku meminta bantuan pada seorang mahasiswa
ITB yang juga merupakan tetanggaku untuk meyakinkan
bapakku kalau semua tidak seburuk yang ia pikirkan. Hingga
akhirnya bapak luluh dan mengijinkan aku kuliah. Sebagai
calon penerima beasiswa bidik misi, aku harus mengikuti
suatu kegiatan yang disebut matrikulasi.
Bapakku harus mencari ongkos dengan meminjam uang
pada tetangga dan saudara untuk membiayai
keberangkatanku ke Bandung. Ada rasa sedikit berdosa
karena telah membebani bapakku. Hingga tiba saat
keberangkatanku ke Bandung bersama enam orang temanku
yang berasal dari SMA Negeri Banyumas juga. Semua ini
nyata dan aku benar-benar mencium tangan kedua orang
tuaku saat aku memasuki mobil yang akan mengantarkanku
ke Bandung. Aku kira hanya bermimpi dan mana mungkin
terjadi, tapi sekarang semuanya ada di depan mata.
71
Terbayarlah sudah semua perjuanganku selama tiga
tahun, semua ada di genggaman, tinggal melanjutkan mimpi
dan mempertanggung jawabkan amanah yang aku emban
sebagai penerima beasiswa. Semangat dan berdoa serta
ikhlas menerima setiap kegagalan yang meyertai setiap
jalannya perjuangan adalah kunci keberhasilan.
*Penulis merupakan mahasiswa Teknik Kelautan ITB angkatan 2013 yang juga
merupakan alumni dari SMA Negeri Banyumas. Naskah tersebut juga merupakan
30 besar Kisah Inspiratif Forum Bidikmisi ITB.
72
Pejuang Kecil Peraih Mimpi
Esti Rahayuning Tias | Institut Teknologi Bandung
----------------------------------------------------------------------------
Ku berdebar melewati gerbang yang penuh sakura
Di awal musim semi ku memulai sekolah
Orang-orang disekitar semua tampak bersinar
Hanya aku sendirilah yang tak percaya diri
asanya lirik lagu tersebut cocok sekali dengan
perasaanku saat aku pertama kali menginjakan kaki di
ITB, ya di Institut Teknologi Bandung. Saat itu aku benar-
benar berdebar melewati pintu gerbang ITB dengan bunga-
bunga ungu yang mulai bermekaran. Ku lihat banyak para
calon mahasiswa sepertiku, mereka semua tampak begitu
bersinar, sempat terlintas rasa tak percaya diri saat melihat
mereka. Karena mereka adalah putra-putri terbaik bangsa.
Desember 2014, saat itu ada sosialisasi ITB di sekolahku,
ku lihat beberapa kakak kelasku saat di SMA dengan begitu
R
73
gagah memakai jas almamater ITB. Mereka menjelaskan
banyak hal tentang ITB. Sejak saat itulah aku mulai berani
untuk mengubah angan-angan semu ku menjadi mimpi yang
harus diwujudkan, ya impian untuk bisa seperti mereka
menjadi mahasiswa ITB.
Aku tahu untuk bisa masuk ITB pasti butuh perjuangan
keras. Memang benar perjuanganku untuk bisa diterima di
ITB tidak mudah. Ayah dan ibuku sempat tak setuju dengan
pilihanku. Kuliah di Bandung? Jauh dari orang tua, biaya
hidup yang mahal, dan banyak alasan lain. Bahkan, saat aku
katakan bahwa ada beasiswa bidik misi pun, ibu ku belum
sepenuhnya rela aku kuliah di ITB.
Seiring waktu berjalan, perlahan orang tuaku setuju
dengan pilihanku. Aku ceritakan bahwa ada kakak-kelas ku
yang saat ini kuliah di ITB lewat bidik misi, Aku katakan
apabila aku ingin seperti mereka, meski kurang biaya tapi
bisa mewujudkan mimpinya kuliah di ITB.
Pendaftaran SNMPTN, aku mantapkan niatku untuk
memilih ITB sebagai pilahan PTN pertamaku. Aku putuskan
untuk memilih SITH-S, aku senang belajar makhluk hidup
74
dan beragam kehidupannya. Meski guruku saja kurang
mendukung pilihanku untuk memilih SITH-S, aku tetap
mantapkan niatku tersebut. Dukungan untukku pun tidak
sedikit, tapi dukungan yang paling berarti bagiku adalah
dukungan keluargaku. Setelah aku jelaskan dengan baik-
baik, keluargaku pun merestui pilihanku. Aku percaya bahwa
restu orang tua lah yang paling berarti untukku.
Setelah proses pendaftaran SNMPTN dan menunggu
hasil SNMPTN, memang membuatku resah. Untunglah,
selama menunggu, banyak hal yang harus dilakukan. Aku
fokus untuk mempersiapkan UN. Banyak teman - temanku
yang sibuk juga mendaftar berbagai universitas. Sempat ada
yang meremehkan keputusanku memilih ITB, bahkan ada
yang bilang bahwa aku terlalu percaya diri hanya
mengandalkan SNMPTN dan tidak mendaftar kesana kemari
seperti yang dia lakukan. Entah mengapa, aku yakin akan
pilhanku. Bukan berarti aku terlalu percaya diri, tapi aku
kuatkan pilihanku tersebut dengan doa yang tulus dan
penuh kepasrahan karena hanya usaha itu yang bisa aku
lakukan. Meski begitu aku tetap khawatir tentang hasilnya,
untuk itu aku mulai sedikit demi sedikit belajar untuk
75
SBMPTN . Ingin rasanya seperti teman-teman yang lain bisa
ikut bimbingan belajar untuk mempersiapkan SBMPTN, tapi
aku sadar saat ini orang tuaku tak punya cukup uang untuk
membiayai keinginanku itu. Aku lakukan usaha terbaikku
dengan belajar sendiri, dan aku tetap berharap banyak bisa
lolos SNMPTN.
Ujian Nasional, akhirnya aku bisa mengikuti ujian
dengan baik. Aku yakin apapun hasilnya itulah yang terbaik
untukku. Aku telah berusaha sekuat tenaga. Karena hasil tak
akan pernah mengkhianati usahanya, aku percaya itu.
9 Juni 2015, pengumuman SNMPTN saat itulah yang
telah aku nantikan. Ternyata bukan hanya aku yang khawatir,
kedua orang tuaku pun ikut khawatir. Mereka tetap
menguatkan dan meyakinku bahwa apapun hasilnya itulah
yang terbaik. Air mataku tak kuasa ku tahan saat terpampang
namaku dinyatakan lolos SNMPTN dan diterima di ITB. Ku
ucap syukur sembari memeluk kedua orang tuaku. Raut
wajah mereka tampak haru dan bahagia . Ibuku pun tak
kuasa menahan tangis. Kami larut dalam rasa syukur.
76
Apa yang aku rasa? Senang, terharu, tidak percaya,
semua bercampur menjadi satu. Aku sangat bersyukur bisa
lolos, tapi ternyata dari sekolahku hanya ada lima orang yang
dinyatakan lolos SNMPTN, dan dari kelasku hanya aku yang
lolos. Sedih dan kecewa, kenapa teman-temanku tidak ada
yang lolos? Bahkan ada dari mereka yang begitu kecewa dan
melampiaskannya padaku, aku tahu itu pasti hanya bentuk
kekecewaannya dan aku tak marah padanya, tidak akan .
Untunglah semangat mereka tak putus. Meraka berjuang
untuk SBMPTN dan UMPTN, dan aku berharap mereka bisa
lolos dan diterima.
Pasca pengumuman, aku mulai menyiapkan berkas-
berkas yang diperlukan. Aku bersyukur karena ada satu
teman sekolahku yang sama-sama diterima di ITB sehingga
kami bisa menyiapkannya bersama-sama. Perjuanganku
dimulai, saat itu aku semakin merasakan betapa besar
dukungan ayah, ibu dan kakakku. Mereka memberi yang
terbaik untukku, saat aku merasa lelah mereka lah yang
mengembalikan semangatku. Saat itu untuk tes kesehatan
aku harus pergi ke kota, saat itu ayahku sedang sakit tapi
beliau dengan rela mengantar ku.
77
Bukan hanya aku. Di sisi lain, kakakku yang sudah
dewasa akan segera menikah. Sayang, belum ada cukup dana
yang terkumpul. Karena sejak ia bekerja banyak uangnya
digunakan untuk biaya sekolahku. Kakakku rela menunda
keinginannya demi aku. Dia terus memberi yang terbaik
untukku. Ayah dan ibuku pun bekerja keras untuk bisa
membiayai ku ke Bandung karena memang tak sedikit uang
yang dibutuhkan. Oleh karena itu, aku bertekad untuk bisa
membahagiakan keluarga ku. Aku perbaiki niat dan
semangatku untuk belajar di ITB. Tak akan aku kecewakan
orang-orang yang begitu luar biasa mendukungku.
Aku di Bandung. Dulu saat aku berselisih pendapat
dengan orang tua, ku pikir berada jauh dengan mereka akan
jauh lebih baik. Tidak. Aku benar-benar merindukan mereka,
aku sering menangis dan ingin pulang saja. Namun, sekali
lagi, semangat dan dukungan dari mereka pula lah yang
menguatkanku. Mimpiku masih terlalu pendek untuk aku
akhiri saat ini. Aku harus berjuang demi impian-impianku
untuk membahagiakan keluargaku. Aku tahu akan banyak
tantangan yang harus aku hadapi, tapi inilah yang namanya
78
perjuangan, harus dinikmati. Menikmati indahnya
perjuangan.
Orang-orang hebat. Banyak pelajaran berharga yang
aku dapat, aku malu akan sikapku yang begitu manja, aku
malu. Para pembicara di acara pengembangan karakter
begitu memotivasiku. Merekalah orang-orang hebat yang
membangkitkan semangatku. Perjuanganku tak sepadan
dengan perjuangan mereka. Oleh karena itu, aku tak berhak
untuk menyerah sebelum menjadi orang-orang hebat seperti
mereka.
Impian. Sejak itu, mimpi-mimpiku semakin berkembang.
Cita-cita kecilku untuk menjadi guru kini berubah, aku ingin
menjadi seorang dosen. Bisa belajar ke luar negeri,
mengelilingi dunia untuk mewujudkan mimpi. Lebih dari itu,
aku ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain.
Aku yakin tidak ada kata “terlalu banyak” untuk impian dan
cita-cita yang harus diwujudkan.
Perjuangan dan doa. Tak cukup rasanya hanya
bermimpi, harus ada usaha nyata dan doa penuh harap agar
impian itu bisa menjadi kenyataan. Aku selalu teringat pesan
79
ibuku, bahwa cita-cita besar akan dipaketkan dengan ujian
yang besar pula. Aku yakin setiap ada ujian dan cobaan aku
harus kuat, karena ujian itulah jalanku untuk bisa meraih
mimi-mimpiku.
Bukan si jenius. Aku ada di antara orang-orang hebat
yang memiliki mimpi-mimpi luar biasa. Aku bukan si jenius,
aku perlu belajar keras dan bersungguh-sungguh demi
impianku. Oleh karenanya aku harus semangat, semangat,
dan terus semangat.
Aku percaya bahwa usaha keras itu tak akan
mengkhianati. Man jadda wa jadda. Demi impian yang harus
aku perjuangkan untuk menjadi kenyataan, demi cita-cita,
demi keluarga tercinta. Demi mengharap ridho dari mu, ya
Allah . Aku berjuang. Aku harus berjuang.
Sekarang inilah aku, seorang pemimpi kecil yang punya
impian besar. Ceritaku mungkin tak seindah dan se-inspiratif
seperti orang-orang hebat yang hidup penuh perjuangan.
Tapi aku percaya, setiap kisah pasti punya makna. Inilah
kisahku, sebuah kisah kecil yang terus diperjuangkan. Karena
hidup adalah perjuangan. Nikmatilah, petik hasil usaha dan
80
perjuangan itu. Sekali lagi, percayalah. Usaha keras itu tak
akan mengkhianati, man jadda wa jadda.
*Penulis merupakan mahasiswa Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati program Sains
ITB angkatan 2015 dan merupakan alumni SMA Negeri Jatilawang
81
Perjuangan Menggapai Impian
Indah Nur’aini | Universitas Gadjah Mada
----------------------------------------------------------------------------
Assalamu’alaikum wr.wb
“Ilmu adalah mutiara yang ada di samudra kehidupan,
yang harus direngkuh dalam asa dan cita, sebagai harapan
untuk terus berjuang melawan kebodohan”, Kalimat mutiara
ini untuk adik-adikku di Banyumas, generasi muda pengubah
masa depan bangsa, dan sebagai pembuka cerita yang
sederhana ini dari seseorang yang juga sederhana
“Mbak mbaaakk, ingkang dereng ngaos diaturi ngaos
seniki!”
Teriak salah satu teman kamar, mengagetkanku. Seperti
biasa, segera aku lirik jam di aula kompleks El Hawa. Jam
07.30! Astaga. Aku terlalu asyik menulis laporan. Untunglah,
jam di aula dipercepat 10 menit, masih ada waktu untuk ngaji
Al-Qur’an. Dengan cepat aku menuju aula Pondok Pesantren
82
Al-Barokah. Ramai, banyak yang antri. Aku urutan ke-5.
Bagaimana cukup waktu untuk aku menunggu, pikirku. Aku
ada jadwal kuliah jam 08.05.
“Mbak-mbak ingkang ngaos Al-Quran bin nadhor maju
riyin...” ngendhikanipun ibu nyai Anita Durrotul Yatimah
“Nggih Bu” jawabku.
Alhamdulillah ternyata yang antri di depanku mbak-
mbak yang sedang menghapal Al-Quran bil ghaib. Segera
aku baca ta’awudz, Al-Fatihah dan aku baca halaman demi
halaman mushaf tercinta, panduan hidup umat manusia.
Cukup 3 halaman, lagi-lagi aku melirik jam di aula, jam 07.45!!
Jam di aula pondok ini tepat waktu berbeda dengan jam
yang ada di aula kompleks El-Hawa.
“Shodaqollahul’adziiimm.” Segera aku salim ke ibu nyai,
lalu dengan cepat naik tangga lagi ke kompleks El Hawa.
Tenang, tenang, jangan terburu-buru. Diriku mencoba
tenang. Segera aku masukkan laptop, buku catatan, kertas
83
laporan, dan jas lab yang ada di almari segera aku ambil,
sekaligus pamitan ke teman-teman kamar, “mbak-mbak aku
berangkat dulu yaa.. assalamu’alaikum”.
“Hati-hati mba Indah.. wa’alaikumsalaaam” jawab
teman-teman. Dengan segera aku menuju parkiran sepeda
yang ada di belakang pondok.
Dengan berlari-lari kecil aku membawa sepeda mini
warna ungu merk phoenix keluar komplek pondok, aku mulai
mengayuh sepeda itu setelah melewati ndalem Pak Kyai.
Dalam perjalanan aku berdoa semoga tidak telat. Lima menit
kemudian, peluh keringat bertetesan dari dahi, bajuku serasa
mulai basah oleh keringat, maklum aku terburu-buru
mengayuh pagi itu. Lima belas menit kemudian,
alhamdulillah sampai di fakultas tercinta, Fakultas Biologi,
Universitas Gadjah Mada. Segera aku parkir sepeda yang
telah setia menemaniku selama hampir 3 tahun ini. Meskipun
nampak telah berkarat di beberapa bagian, tapi sehari saja
tanpa sepeda ini, perjalanan ke kampus menjadi sangat lama
karena harus berjalan kaki atau mencari tebengan. Perjalanan
ke kampus sekitar 4,5 km tidak pernah menyurutkan
84
langkahku untuk bersemangat menuntut ilmu di kampus
terbesar di Indonesia ini.
Sudah kuduga, aku telat 10 menit. “Assalamu’alaikum
Bu, maaf saya telat”, kataku sambil tersenyum. “Tidak apa-
apa, silahkan duduk”, kata dosen immunobiologi cantik dan
keibuan. Beliau bernama Bu Nastiti. Aku langsung duduk di
meja paling depan pojok karena hanya meja ini yang tersisa.
“Ndah.. bajumu basah?” kata teman yang duduk di
sampingku, dia nampak kaget melihat keringatku
bercucuran..
“Eh, iya, gapapa, nanti juga kering”, kataku, sambil
mengeluarkan buku catatan ukuran kwarto berwarna biru
yang ada di tas.
Pagi itu, aku kuliah di laboratorium biologi dasar barat
lantai satu. Lima menit pertama aku belum bisa fokus,
nafasku masih terengah-angah. Berulang kali aku menatap
jendela tepat 5 meter di hadapanku, berusaha mencari
pemandangan yang menyejukkan. Bukan pemandangan
yang aku lihat tetapi dua orang bapak tukang bangunan
85
yang sedang merenovasi toilet di samping laboratorium ini.
Tiba-tiba aku teringat sosok laki-laki yang telah berumur 44
tahun, seorang bapak yang tidak kenal lelah menyemangati
dan mendoakan anak-anaknya. Tiba-tiba terlintas di pikiran
“Sedang apa yaa bapak sekarang?” Rasa lelah yang aku
rasakan sekarang ini tidaklah sebanding dengan perjuangan
bapak. Bapak bukanlah seorang yang berpendidikan, dia
hanya lulusan SMP dan setiap hari bekerja sebagai buruh
harian lepas. Walaupun begitu, kecintaannya terhadap ilmu
sangat besar. Begitu pula semangatnya. Tidak pernah
sedikitpun keluhan keluar dari bibirnya.
Sudah sebulan ini bapak pergi merantau ke ibu kota dan
bekerja sebagai kuli bangunan juga, sama dengan dua orang
bapak itu. Biasanya jam 08.00 bapak mulai bekerja, kadang
sampai malam, kadang hanya sampai sore, tergantung
pekerjaan apa yang dilakukan. Banyak orang yang tidak
percaya, bagaimana mungkin anak seorang buruh bisa kuliah
di UGM? Sebuah universitas ternama, yang identik dengan
mahasiswa kaya. Ditambah lagi dengan nyantri di pondok
pesantren. Jawabannya adalah niat dan doa. Semua bisa
86
terjadi itu karena kehendak Allah SWT. Tidak ada yang dapat
mencegah kalau Allah sudah berkehendak. Oleh karena itu,
usaha saja tidak cukup, perlu doa yang mengiringi. Apabila
doa saja yang kita panjatkan, juga sama saja, tidak akan
cukup mengantarkan pada kesuksesan, perlu usaha dan niat
yang kuat. Ingatanku terlempar lagi ke masa pendaftaran
SNMPTN 3,5 tahun yang lalu.
“Bapak yakin kamu bisa diterima di Biologi UGM,
belajarlah dan berdoalah”, begitu doa bapak ketika
mengantarkanku untuk mengikuti tes tertulis. Saat itu aku
hanya bisa meng-amin-i doa bapak. Dua hari mengikuti
SNMPTN Jalur tertulis aku lalui ditemani bapak. Tentu tidak
di ruang ujian. Bapak dengan sabar menunggu di masjid
fakultas Biologi UNSOED, tempat di mana aku ujian. Jarak
dari rumah menuju UNSOED terbilang cukup jauh, butuh
sekitar 1,5-2 jam untuk mencapai lokasi ini dengan naik
kendaraan umum. Dulu aku dan bapak berangkat dari rumah
tepat sehabis sholat Shubuh. Saat itu bapak bekerja bukan
sebagai kuli bangunan tapi penjaga warung makan milik
saudaraku. Warung itu buka 24 jam, tetapi bapak hanya jaga
87
yang malam saja. Jadi, bapak berangkat bekerja setelah
Ashar dan pulang Shubuh. Aku sudah bersiap-siap sejak
pukul 03.30. Sholat malam tak terlewatkan sebagai ikhtiar
untuk meraih ridho-Nya. Setelah itu, aku mandi. Udara masih
sangat dingin, tapi alhamdulillah ibuku sangat baik dan
perhatian, ibu telah menyiapkan air panas untuk mandi. Tak
seperti biasanya, pagi itu bapak pulang lebih awal sebelum
Shubuh dengan membawa makanan kesukaanku, nasi
kucing dan combro. Seusai sholat Shubuh, aku makan
dengan lahap, walaupun rasanya aneh juga sarapan jam
04.30. Tapi tak mengapa, daripada nanti kelaparan saat
mengerjakan soal, lebih baik sarapan di awal saja.
Hari pertama ujian aku hampir telat, aku belum tahu
lokasi ruangan ujian, aku juga tidak pernah pergi ke gedung
biologi UNSOED. Tepat pukul 06.50 aku dan bapak sampai di
depan gerbang biologi UNSOED. Kami bingung ke arah
mana, ditambah motor dan mobil yang ramai berlalu lalang
semakin menambah kegundahan hatiku. Dari jauh aku lihat
ada kakak kelas SMAN Ajibarang yang sedang duduk di
depan gedung. Langsung saja aku tanya lokasi ujian itu,
88
alhamdulillah dengan baik hati mas itu mengantarkanku ke
gedung tempat ujian.
“Bapak, maturnuwun nggih, doakan Indah nggih Pak”,
kataku terharu mengingat kembali perjuangan bapak yang
dapat menyekolahkanku hingga SMA dan memiliki niat tulus
ingin anaknya terus belajar, melanjutkan studinya agar
anaknya yang tidak terlalu pintar ini dapat menjadi
seseorang yang berilmu dan bermanfaat.
“Iya, semoga sukses. Sudah bel, segera saja masuk
ruangan”, begitu kata bapak. Aku cium punggung tangan
bapak, langsung aku masuk ruangan tempat perang dimulai.
Perang yang harus aku menangkan, demi ilmu yang manfaat
itu.
Saat aku menuliskan namaku di lembar soal I N D A H N
U R A I N… Belum lengkap, tiba-tiba ada suara sedikit keras,
“Mba, lepas sandalnya!” astaga! Aku tidak tahu kalau saat
ujian harus memakai sepatu, aku memakai sandal jepit
kesukaanku. Malu, itu yang aku rasakan. Dengan berjalan
pelan, aku lepas sandal itu di dekat pintu. Lalu aku duduk
89
kembali dan berusaha fokus mengerjakan soal-soal TPA.
Beberapa pasang mata melirikku, mungkin dalam hati
mereka tertawa karena kesalahanku ini. Tapi aku memang
benar-benar tidak tahu.
Aku tidak memiliki banyak informasi dan cerita
mengenai dunia kampus dan perkuliahan karena di
keluargaku, akulah yang pertama menempuh pendidikan
sampai perguruan tinggi. Selama ini, dari belasan cucu mbah
Sudar, nama mbahku, tidak ada yang kuliah. Paling tinggi
sampai lulus pendidikan SMA. Itu pun hanya beberapa.
Mungkin orang jaman dahulu berpikiran bahwa
pendidikan itu tidak penting, apalagi untuk seorang wanita
yang pada akhirnya nanti akan jaga tungku di dapur. Aku
tidak setuju dengan perkataan itu, menuntut ilmu dilakukan
sejak lahir sampai akhir hayat. Dengan ilmu, Allah akan
memuliakan hamba-Nya. Dengan ilmu, segala hal yang
dikerjakan akan ada maknanya.
Teeeeettttt. Waktu untuk mengerjakan soal-soal TPA
telah habis. Aku segera memakai sandalku lalu keluar
90
ruangan. Di balik pintu tanpa kusangka, ada sesosok yang
tidak pernah kubayangkan sebelumnya.
“Bapak, kok ngga pulang saja istirahat di rumah. Bapak
kan capek habis bekerja semalam suntuk malah nungguin
aku. Insya Allah aku bisa pulang sendiri Pak”, kataku, lagi-lagi
dengan air mata berlinang.
“Sudah, ngga papa, Bapak nanti tunggu dari masjid ya.
Bapak selalu ada menemani perjuangan Indah. Sekarang
manfaatkan waktu istirahat untuk istirahat saja, tenangkan
pikiran, jangan belajar terus, udah belajar dari dulu kan?
Bapak tinggal dulu ya. Semangat mengerjakan soal
berikutnya”, kata bapak sambil berlalu. Ujian berlanjut lagi,
kemampuan dasar aku berhasil mengerjakan dengan baik.
Tak henti aku panjatkan doa semoga ada jawaban yang
menggembirakan dari perjuangan dan sebagai jawaban atas
doaku dan orang tuaku.
Kebaikan bapak dan ibu tidak mungkin aku lupakan.
Dalam kesederhanaan sikap, mereka memberikan suntikan
semangat yang luar biasa besar ke dalam diri yang lemah ini.
91
Hingga detik ini, aku merasa belum bisa membalas kebaikan
mereka. Hanya dengan menuntut ilmu sebaik-baiknya dan
berusaha untuk menjadi anak yang baik dan sholehah
semoga dapat memberikan kebahagiaan di hati bapak dan
ibu tercinta.
“Mba Indah yang baru datang, coba jawab teknik apa
yang dapat digunakan dalam penelitian imunobiologi?”
Suara Bu Nastiti menghentikan lamunanku. Peluhku sudah
mulai berkurang, aku mulai lebih fokus dalam mengikuti
kuliah. Dengan tenang aku menjawab “ELISA Bu, Enzyme
Linked Immunosorbent Assay”.
“Ya benar. Jadi ada banyak teknik yang dapat digunakan
dalam penelitian imunobiologi, yaitu ELISA, presipitasi, dan
lain-lain“, Bu Nastiti melanjutkan penjelasan. Kuliah pagi itu
aku lalui dengan senang hati. Rasa lelah yang sedari tadi
kurasakan ternyata hanya hinggap sejenak, tak sebanding
dengan nikmatnya berenang di lautan ilmu.
92
Hari itu aku lalui kegiatan kuliah sampai sore. Selesai
praktikum pukul 16.00, aku langsung menuju mushola untuk
sholat Ashar. Setelah itu, aku langsung pulang.
Perjalanan yang cukup membuatku berkeringat kembali
aku lalui. Satu kayuhan, dua kayuhan hingga puluhan aku
lakukan dengan senang hati. Nikmatnya menuntut ilmu ada
di sini, di kisah perjuangan ini. Bahwa yang paling penting
adalah prosesnya. Proses yang baik memiliki peluang besar
untuk menghasilkan “hasil” yang terbaik. Apabila dari niat
yang baik saja Allah telah menunjukkan keridhoan-Nya
dengan memberikan pahala. Apalagi jika kita telah
melaksanakannya dengan sepenuh hati, maka pintu
keberhasilan sesuai yang dicita-citakan akan semakin dibuka
oleh-Nya. Berniatlah, niat ikhlas menuntut ilmu agar dapat
menjadi seseorang yang bermanfaat karena sebaik-baik
manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain, tidak
hanya untuk dirinya sendiri. Sekarang apalah yang
menghalangi diri untuk terus belajar menuntut ilmu? apakah
harta? kekurang percayaan terhadap kemampuan diri? Atau
kelelahan saat harus belajar dan belajar? Tidak. Tidak ada
93
yang menghalangi setiap orang untuk menuntut ilmu. Harta
dapat dicari dengan ikhtiar, usaha diiringi doa.
Ketidakpercayaan diri dapat diatasi dengan semangat yang
membuncah dan keyakinan dalam hati bahwa Allah selalu
menemani langkah ini, langkah kecil namun berada di jalan-
Nya. Rasa lelah dan peluh yang mengucur pun sungguh tidak
sebanding dengan nikmatnya ilmu yang akan kita dapat.
“Nawaitutta’aluma li izaalatil jahli lillahi ta’ala”, aku
berniat menuntut ilmu untuk menghilangkan kebodohan
karena Allah ta’ala.
Sekian tulisan singkat ini, semoga dapat bermanfaat untuk
adek-adek sekalian
Ditulis di Aula Komplek El-Hawa,
Pondok Pesantren Al-Barokah
8 November 2015 1:44
Indah Nur’aini
*Penulis merupakan mahasiswa Biologi UGM angkatan 2012 dan merupakan alumni
SMA Negeri Ajibarang.
94
Kuliah? Siapa Takut Lukito Nur Wulandari | Institut Teknologi Bandung
----------------------------------------------------------------------------
alo! Perkenalkan, saya Lukito Nur Wulandari, panggil
saja dengan Wulan atau Lukito. Nama saya unik
bukan? ‘Lukito’, nama dari almarhum ayah saya yang sangat
menyukai sinden jawa ‘Candra Lukito’. Dan menurut orang-
orang, nama ini berasal dari kata bahasa Inggris ‘lucky’, yang
berarti beruntung. Apakah hidup saya seberuntung itu? Dan
mungkin ini memang semacam doa yang diberikan oleh
almarhum ayah saya pada nama saya, dan berdampak pula
dalam kehidupan pendidikan saya.
Ketika saya berada di tingkat akhir di SMA, saya
termasuk kalangan yang tidak mengikuti bimbingan belajar
di luar sekolah demi sukses untuk masuk perguruan tinggi
yang diinginkan. Ya, saya berasal dari golongan ekonomi
yang pas-pasan. Ayah saya seorang PNS saat itu, dan
menurut pandangan orang secara umum, PNS itu mampu,
namun keluarga kami, ya, pas-pasan. Saya adalah anak
H
95
sulung, tidak mungkin bagi saya untuk meminta uang pada
orang tua saya untuk ikut bimbingan belajar di luar sekolah
tersebut, yang memakan biaya berjuta-juta rupiah. Nanti
bagaimana dengan biaya pendidikan kedua adik saya yang
masih kecil? Bagaimana dengan biaya hidup keluarga kami
yang sangat pas-pasan? Dan pikiran inilah yang memenuhi
otak saya ketika saya menjadi siswa baru di SMA. Ya, saya
harus belajar sebaik mungkin agar saya dapat diterima di
perguruan tinggi negeri yang saya inginkan tanpa melalui tes
atau melalui nilai rapor sehingga tidak perlu ikut bimbingan
belajar yang mahal itu, di tingkat akhir di SMA saya nanti.
Saya sangat bersyukur saya dapat mewujudkan mimpi
saya tersebut. Dengan nilai rapor saya selama 5 semester
yang cukup baik, tanpa melalui tes atau dimasa itu dibilang
‘SNMPTN UNDANGAN’ saya diterima di FTTM ITB tahun
2012. Saya sangat senang impian saya terwujud, dan saya
sampaikan kabar baik ini pada orang tua saya. Ketika orang
tua saya mendengar kabar ini, mereka tersenyum senang,
namun yang tampak pada saya ialah semacam senyum yang
dipaksakan. Mereka khawatir tidak mampu membiaya kuliah
saya di ITB. Orang tua saya justru lebih mendukung saya
96
untuk meneruskan seleksi masuk Sekolah Tinggi Sandi
Negara di Bogor saja, karena jika melanjutkan pendidikan
disana, lebih terjamin untuk kerja dan tidak mengeluarkan
biaya kuliah. Ya, saya sudah memasuki tahap 3 seleksi dari 6
tahap seleksi. Saya tidak mendaftar beasiswa Bidik Misi
sebelumnya. Penghasilan orang tua saya tidak memenuhi
syarat untuk mendaftar beasiswa tersebut, dan sebenarnya
kelebihan sedikit saja penghasilannya dari syarat
pendaftaran beasiswa bidik misi tersebut yakni 3,5 juta,
bahkan penghasilan bersihnya jauh dari nilai penghasilan
kotornya karena kami memiliki beberapa hutang. Jadi, saya
harus membayar biaya kuliah tiap semesternya. Dan orang
tua saya merasa tak mampu untuk membiayai kuliah saya.
Saya pun meyakinkan mereka bahwa di ITB memiliki
beasiswa yang banyak, tak perlu khawatir untuk masalah
biaya kuliah, karena di ITB tidak akan di-DO karena masalah
biaya. Dan itu memang benar.
Saya melakukan penangguhan untuk biaya semester
satu ketika memasuki awal kuliah. Saya berusaha mencari-
cari informasi beasiswa untuk mahasiswa baru dan ternyata
beasiswa bidik misi di ITB masih terdapat kuota. Saya
97
daftarkan diri saya untuk apply beasiswa tersebut, dan saya
diwawancara oleh salah satu pegawai LK ITB, yang saya ingat
sekali namanya, Pak Sandro. Saat itu, saya menceritakan
masalah ekonomi saya, bahwa ayah saya tidak mampu
membiayai kuliah saya, apalagi harus membiayai pendidikan
kedua adik saya yang masih kecil, dengan penghasilan bersih
sebesar 2,5 juta tiap bulan, orang tua saya tidak mampu
membiayai kuliah saya sehingga saya mengajukan beasiswa
bidik misi ini. Saya menceritakan masalah ini dengan mata
yang berkaca-kaca, hampir menangis di depan Pak Sandro
ini, ya karena saya teringat bagaimana ayah saya bekerja
sekuat tenaga untuk menghidupi kami, dan saya ingin
meringankan beban ayah saya tersebut dengan
mendapatkan beasiswa ini. Hingga akhirnya bapak ini
menanyakan hal berikut “Kalau kuota bidik misi ini tinggal
satu, dan ada dua mahasiswa yang butuh sekali, yakni kamu
dan satu orang lain yang kondisi ekonominya lebih susah
daripada kamu, apa yang akan kamu lakukan?” Saya sangat
bingung menjawabnya, disisi lain saya butuh disisi lainnya
ada orang yang lebih butuh daripada saya. Saya ragu
awalnya untuk menjawab, namun akhirnya saya menjawab
98
“Saya akan biarkan orang tersebut yang lebih butuh beasiswa
ini untuk mendapatkannya pak, jika saya tidak mendapatkan
beasiswa ini, ayah saya bilang bahwa ia masih bisa untuk
pinjam uang ke tempat lain demi membiayai kuliah saya,
ayah saya akan melakukan apa saja pak”. Keluar dari tempat
wawancara tersebut, saya langsung menangis sejadi-jadinya
karena saya takut tidak mendapatkan beasiswa ini, saya
bingung sekali bagaimana saya akan membayar biaya kuliah
di ITB ini. Dan beberapa waktu kemudian, terdapat
pengumuman bahwa saya masuk ke gelombang kedua bidik
misi di ITB, saya sangat bersyukur sekali mendapatkan
beasiswa ini. Setidaknya saya dapat mengurangi sedikit saja
beban ekonomi keluarga saya.
Dan di akhir semester dua saya di ITB, saya mengalami
pengalaman hidup yang sangat menyedihkan bagi saya dan
keluarga. Ayah saya, tulang punggung keluarga, meninggal
pada 30 April 2013. Saya sangat sedih, apalagi saya sebagai
anak sulung, saya harus menjadi tulang punggung
dikemudian hari. Dan saya sangat bersyukur bahwa di tiap
bulannya kami mendapatkan pensiunan dari ayah saya 1,5
juta setiap bulan. Menurut sebagian orang, penghasilan ini
99
sangat kecil. Ya, tapi sekali lagi saya sangat bersyukur masih
mendapatkan pensiunan dari ayah saya, dan saya juga
sangat bersyukur saya mendapatkan beasiswa bidik misi ini
untuk dapat melanjutkan kuliah saya. Jika tidak mendapatkan
beasiswa ini, kemungkinan saya tidak akan melanjutkan
pendidikan saya ke kuliah karena saya tidak memiliki biaya
untuk itu. Saya sangat berterima kasih pada pemerintah di
masa pemerintahan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono,
pada Menteri Pendidikan yakni bapak Muhammad Nuh,
terima kasih sekali di masa pemerintahan bapak diadakan
beasiswa ini, demi memutus rantai kemiskinan di Indonesia,
agar anak miskin yang akademiknya cukup baik, dapat
melanjutkan pendidikan kuliah di seluruh PTN yang ada di
Indonesia. Tanpa beasiswa ini, saya tidak akan bisa
melanjutkan kuliah. Terima kasih, Pak.
Bagi kalian yang masih bingung masalah biaya untuk
melanjutkan pendidikan ke kuliah, saya tekankan, jika kamu
berusaha, pasti ada jalan. Jangan takut, jangan batasi
mimpimu, lanjutkanlah pendidikanmu, buatlah orang tuamu
bangga, ubahlah nasib ekonomi keluargamu, bangunlah
desa atau daerahmu dengan ilmu yang kamu dapatkan di
100
perkuliahan nanti. Jangan pernah takut untuk melanjutkan
kuliah karena tidak ada biaya. Jika kamu berusaha pasti ada
jalan. Man Jadda Wa Jada, barangsiapa bersungguh-
sungguh pasti akan berhasil. Bermimpilah karena Tuhan akan
memeluk mimpi-mimpimu-Andrea Hirata. Salam semangat
dari saya,
Purwokerto, 7 Agustus 2015
*Penulis merupakan mahasiswa Teknik Perminyakan ITB angkatan 2012 dan
merupakan alumni SMA Negeri 1 Purwokerto.
101
Motivasi Bangunkan Mimpi untuk
Sebuah Aksi
Millatul Khasanah | Institut Teknologi Bandung
----------------------------------------------------------------------------
Gadis itu kembali mengeluarkan buliran hangat dari kelopak
matanya. Bukan karena sedih ataupun menyesali nasibnya.
Tetapi dia hanya sedang mencari keadilan untuk seorang
pemimpi kecil yang harus membatasi mimpinya hanya
karena ‘biaya’.
ungkin itu adalah sebuah fakta yang pernah terjadi
pada setemplik kehidupanku. Sebuah takdir yang
tidak mungkin bisa aku negosiasi. Hidup sebagai gadis
pemimpi yang hanya bisa berharap pada keajaiban dari
sebuah do’a dan jawaban dari setiap usaha. Sebuah
pertarungan keras menghadapi cobaan kehidupan yang
sewaktu-waktu berusaha mematahkan dan mematikan
sebuah mimpi.
M
102
Tertulis dalam buku catatan harianku, 7 Juli 2012. Di
sebuah malam kuceritakan mimpiku pada ayah ibu yang
selalu menjadi inspirasi dan semangatku. Aku mengharapkan
motivasi dari mereka agar semakin mengukuhkan mimpi ini.
Sebuah mimpi besar seorang gadis yang duduk di bangku
kelas XII SMA, “Aku ingin kuliah.”
Teringat mata ibuku yang menahan tangis di balik
senyum tenangnya saat kuceritakan mimpiku setelah SMA.
Jawabannya singkat, tetapi begitu meresap di hatiku, “Ibu
hanya bisa membantu berdo’a, Nak”. Ya, aku sadar dengan
keadaan keluargaku saat itu. Seorang ayah yang hanya
mengandalkan dagangan kaki limanya di pasar dan sesekali
membantu menggarap sawah orang lain untuk menghidupi
keluarga seakan ditodong oleh mimpi anaknya yang begitu
egois. Ya, biaya untuk kuliah tidaklah murah. Belum lagi
keperluan mahasiswa yang tidak sedikit.
Suatu hari, sebuah cambukan lidah salah seorang
sahabat hampir mematahkan mimpiku. “Aku juga pengin
kuliah Mil. Tapi buat orang seperti kita, harusnya sadar diri
dengan keadaan keluarga kita. Mendingan kerja, biar bisa
103
cari uang buat meringankan beban mereka, bukan malah
merepotkan dengan biaya kuliah kita yang ngga murah itu.”
Sempat aku merenungi kata-katanya dan sedikit
mengiyakan. Tapi kemudian akupun tersadar, jika aku hanya
sekolah sampai SMA, maka aku tidak akan bisa berkembang
dan tak tahu kehidupan di luar sana. Padahal cita-citaku
adalah bisa menjadi salah satu tokoh berpengaruh di
Indonesia.
Setelah kubincangkan lagi, akhirnya keluargaku
menyetujui permintaanku untuk melanjutkan kuliah. Mereka
berharap aku bisa melanjutkan di sekolah tinggi ikatan dinas
yang tidak memungut biaya pada mahasiswanya. Tes masuk
sekolah tinggi pun aku ikuti. Setidaknya ayahku masih bisa
membayar untuk biaya pendaftarannya saja. Sementara
ongkos ke tempat tes, beliau meminjam uang kepada
kakekku. Semua orang di rumah begitu berharap aku lolos.
Akupun tidak ingin mengecewakan mereka karena sebuah
kegagalan. Karena ku pikir ini adalah jalan satu-satunya aku
bisa kuliah.
104
Saat pengumuman tiba, seketika mimpiku terpatahkan.
Bukan karena berhasil kuraih, tetapi justru sebaliknya.
Sebuah kekecewaan telah kuukir di hati kedua orangtuaku.
Hal itu terlihat dari raut wajah mereka dan mulut mereka
yang membisu tak bisa berkata. Namun dengan sisa-sisa
ambisiku, aku terus mencoba meyakinkan kedua orangtuaku
bahwa pasti ada jalan lain. Senyum penuh harap itu pun
kembali hadir dari mereka dan membuatku tetap optimis
untuk mencari jalanku.
Ditengah-tengah ketidakberdayaan meratapi
kegagalanku, akupun teringat bahwa masih ada SNMPTN
yang masih menumbuhkan harapan, walaupun kecil
kemungkinan untukku bisa masuk. Apalagi saat itu pilihan
yang kuisi adalah Institut Teknologi Bandung (ITB), salah satu
perguruan tinggi terbaik di Indonesia. Pastilah di sana
persaingannya begitu ketat. Tetapi mau bagaimana lagi,
itulah kampus impianku. Walau terasa jauh untuk meraihnya,
tetapi apa salahnya untuk mencoba. Walaupun selalu
menggelisahkannya. Jika gagal masuk, maka aku benar-
benar harus mengkubur mimpiku. Namun, jika aku lolos
tetapi tidak bisa membayar kuliah, itu sama artinya dengan
105
gagal masuk ke sana. Aku benar-benar hanya bisa berserah
diri padaNya.
27 Mei 2013, sebelum berangkat ke sekolah untuk acara
tasyakuran, setelah mencium tangan ibu, akupun bersujud di
bawah telapak kaki beliau yang hendak mengantarku ke
depan rumah. Aku benar-benar memohon keridhoannya dan
mengharap do’a dari beliau. Buliran hangat yang keluar dari
mata Ibu membuatku ikut menangs dalam pelukannya.
“Insyaa Allah Ibu ridho atas apa yang Milla pilih,” sebuah
kalimat pendek yang begitu menentramkan dan membuatku
lebih ikhlas untuk menerima apapun yang terjadi nantinya
saat pengumuman SNMPTN.
Saat di sekolah, semua orang sibuk membicarakan
pengumuman hasil SNMPTN. Mungkin hanya aku yang tidak
tertarik sedikitpun untuk membuka web itu. Aku takut sakit
karena selalu terbayang kegagalan yang kurasakan
sebelumnya. Terdengar ramai suara teman-temanku. Ada
yang bersorak karena lolos ke PTN pilihannya, dan tidak
sedikit yang menangis atau sekedar cemberut tanda kecewa.
Akupun menyibukkan diri membaca sholawat dan tak
106
berhenti berdo’a. Ya, mungkin hanya itulah yang dapat
kulakukan untuk membuatku tetap tenang saat itu.
Tiba-tiba beberapa SMS masuk membuatku sedikit was-
was. Teman-teman terdekatku bertubi-tubi mengucapkan
selamat padaku. Namun aku tak begitu saja percaya.
“Memangnya dari mana mereka tau? Aku saja belum
membuka webnya,” gumamku dalam hati. Namun itu
membuatku memuncak penasaran. Melalui handphone milik
teman yang duduk di bangku sebelahku, akupun
memberanikan diri untuk membukanya. Seketika aku
bersujud syukur diantara keramaian teman-teman. Airmata
ini benar-benar mengalir derasnya mengungkapkan rasa
syukur yang luar biasa di dalam sujudku.
107
Sesampainya di rumah, segera kukabarkan berita
bahagia ini. Namun, tak ada satupun keluargaku yang
percaya, bahkan orangtuaku. Akhirnya kutunjukkan hasil di
web yang kubuka melalui handphone tetanggaku yang bisa
koneksi dengan internet barulah mereka percaya. Namun
seketika Ibu kembali menangis. Di samping tangis syukur,
ternyata tangis itu pun bercampur kekhawatiran beliau akan
biaya kuliah nantinya. Namun dengan tenang aku menjawab,
“Tenang bu, insyaa Allah kuliah Milla gratis karena ada
Bidikmisi dari pemerintah.”
Akhirnya hari itu aku berhasil mengukir sebuah senyum
kebahagiaan di wajah keluargaku, sahabatku, orangtuaku,
108
dan yang utama adalah Ibu. Tanpa motivasi mungkin
mimpiku telah mati. Karena motivasiku adalah tekadku untuk
bisa mengukir senyum di wajah Indonesia. Karena untuk
Indonesia aku mengabdi, melalui bidikmisi aku berani terus
bermimpi. Berawal dari mimpi, ciptakan lebih banyak aksi
untuk negeri.
*Penulis merupakan mahasiswa Teknik Kelautan ITB angkatan 2013 dan
merupakan alumni SMAN 1 Purwokerto.
109
Bermimpilah dengan Aksi dan Iringan Doa
Muhammad Aziz Ali Mutia | Institut Teknologi Bandung
----------------------------------------------------------------------------
ak disangka anak sawah ini sedang menjalani
perkuliahan semester tujuh di kampus terbaik Institut
Teknologi Bandung. Tak disangka pula dia yang hanyalah
anak seorang petani pernah mewakili ITB diberbagai
kompetisi bahkan pernah menjadi delegasi Indonesia dalam
acara Nusantara Leadership Camp di Putrajaya, Malaysia,
Asean Youth Forum di Kuala Lumpur dan bertemu presiden
SBY dalam acara Forum Bidikmisi Nasional di Hotel Bidakara
Jakarta. Inilah aku Muhammad Aziz Ali Mutia, sang pejuang
mimpi yang tumbuh dalam keterbatasan ekonomi.
Berbicara tiga tahun lalu, aku akan selalu mengingat
perjuangan untuk menaklukan impianku. Aku tinggal
bersama kedua orang tuaku di Desa Gerduren sekitar 30 km
dari Purwokerto. Aku dan teman-teman harus berjalan 2 km
menyeberangi sungai, melewati pemakaman, sawah, serta
permukiman untuk mencapai jalan raya sebagai akses
T
110
menuju ke sekolah. Ketika aliran sungai membesar, kami
harus menggunakan perahu yang dikemudikan dengan
tenaga manusia. Ketika banjir datang, maka kami harus
memutar arah berjalan hingga 4 km melewati jembatan tua
peninggalan Belanda untuk menuju sekolah kami. Kondisi
desa kami memang benar-benar terisolir walaupun masih
berada di pulau Jawa.
Gambar kiri : Perahu Pembawa Masyarakat Desa Gerduren Beraktivitas
Gambar kanan : Jembatan Mancangan Peninggalan Belanda sebagai Akses Utama
Menuju Kota
Sumber : Majalah PPI Belanda “Jong Indonesia”, 2009
Terisolasinya desaku berdampak pada kurangnya minat
sekolah di desaku. Sebagian besar masyarakat desa kami
111
hanyalah lulusan SD, sementara hanya sedikit yang
melanjutkan SMA dan hanya satu dua yang melanjutkan
kuliah. Mereka yang melanjutkan kuliah biasanya anak
orang-orang penting di desa. Hal inilah yang menjadikan
sedikit ganjalan ketika aku ingin melanjutkan studi ke
perguruan tinggi.
“Le, kowe olih kuliah asal bisa mbiaya dewek kaya
mbamu,” itu adalah pesan mamaku yang selalu aku ingat. Ya,
pantas sajalah, bapaku yang hanya seorang petani dan
mama yang hanya seorang pembuat nira tak akan mampu
membiayai kuliah apalagi di ITB yang saat itu uang masuknya
mencapai Rp 55 juta.
Walaupun dengan berbagai keterbatasan, aku sangat
bersyukur kedua orang tuaku sangat terbuka mengenai
pentingnya pendidikan sehingga aku tidak terkekang untuk
bekerja. Kondisi inilah yang membuat aku memiliki tekad
kuat untuk kuliah. Karena aku percaya semakin tinggi
pendidikan tentu pekerjaan yang didapat juga semakin baik.
Saat kelas satu SMA dengan mantap aku pilih ITB
sebagai pilihan utama studiku. Aku yakin dengan kuliah di
112
kampus yang berkualitas tentu banyak pembelajaran yang
aku dapatkan. ITB ITB terus aku lontarkan di hatiku hingga
kelas XII. Aku percaya apa yang dikatakan Andrea Hirata
“Bermimpilah maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.”
Mimpi-mimpi itu aku visualisasikan di buku mimpi, di meja
belajar, di buku catatan, facebook, dan berbagai media sosial
lainnya.
Foto ITB Penyemangatku
Sumber : Ardisaz.com
Mimpi memang mudah, yang susah yaitu
merealisasikannya, aku percaya itu. Aku sadar aku berada di
113
sekolah biasa bahkan bukan di sekolah unggulan sehingga
aku harus berjuang mati-matian. Apalagi apabila dilihat dari
sejarah hanya ada 3 kakak kelas yang diterima di ITB.
Walaupun sedikit pesimis dengan kondisi yang ada, tetapi
aku berusaha tetap optimis. Berbekal buku-buku SNMPTN
yang aku perbanyak dari teman-teman, aku berjuang untuk
persiapan SNMPTN tulis.
“Man Jadda wa Jada,” aku percaya bahwa siapa yang
bersungguh-sungguh maka dia akan mendapatkannya.
Inilah kalimat motivasi yang menjadi penyemangat hidupku.
Perjuangan kedua orang tuaku membiayai ketiga
anaknya sekolah hingga SMA menjadi motivasi untukku.
Mama harus menjual beras setiap pagi untuk uang saku
kami, bapak harus pergi ke sawah baik saat hujan maupun
panas demi mendapatkan sesuap nasi untuk kami. Belum lagi
saat mama harus pontang-panting cari pinjaman untuk
membiayai SPP kami. Sungguh kondisi ini menjadi suntikan
motivasi yang paling ampuh ketika aku sedang terjatuh.
Sebelum shubuh aku selalu dibangunkan mama untuk
sholat malam dan belajar. Aku percaya walaupun aku telah
114
berusaha semaksimal mungkin, tetapi apabila Allah tidak
mengizinkan maka mimpi-mimpi itu tidak akan terwujud.
26 Mei 2012, satu hari setelah usiaku genap berusia 18
tahun, SNMPTN undangan resmi diumumkan dan SAPPK ITB
menjadi hadiah ulang tahun terindah yang pernah aku
peroleh. Sujud syukur tak lupa aku panjatkan terlebih aku
juga mendapatkan Bidikmisi sehingga tidak membayar
sepeserpun untuk melanjutkan kuliah. Tetesan air mata
mama juga menjadi momen yang sangat mengharukan.
Sungguh setelah ada kesusahan pasti ada kemudahan.
Mimpi, usaha dan doa inilah tiga kunci utama yang aku
percaya akan memberikan arah pada hidupku. Hingga saat
ini, tiga prinsip tersebut tetap menjadi peganganku untuk
menjalani hari-hari di ITB. Aku merasa kehampaan hidup
setelah aku memegang tiga kunci ini seketika hilang
dibandingkan sebelum aku memiliki 3 kunci ini. Semoga
dengan tiga kunci ini aku terus mampu untuk berkarya
membahagiakan kedua orang tua, membangun desa
kelahiran, agama dan tentu membangun Indonesia
115
“Dan bahwa sanya seorang manusia tidak akan
memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”
(QS. An-Najm : 39)
Dan ingat, kita memiliki waktu yang sama, yang
membedakan adalah bagaimana kita memprioritaskan
kegiatan positif dalam kehidupan kita. Masa depan ada di
tanganmu, lakukan sekarang karena 5 menit yang lalu adalah
masa lalu
*Penulis merupakan mahasiswa Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota,
Institut Teknologi Bandung dan alumni SMA Negeri Jatilawang.
116
Mimpiku Akan Terwujud dimulai Hari Ini
Oki Purwaningsih | Universitas Negeri Semarang
----------------------------------------------------------------------------
wal masuk kelas XII sudah banyak teman-temanku
yang membicarakan SNMPTN, salah satu seleksi masuk
PTN lewat jalur undangan. Aku masih cuek, acuh tak acuh,
karena aku berpikir toh itu masih ada waktu lama, dan alasan
lainnya juga karena aku masih disibukkan dengan kegiatan-
kegiatan organisasi. Pun sampai tiba di semester dua, dan
bahkan saat sudah ada beberapa universitas yang mulai
sosialisasi ke kelas-kelas, aku belum memikirkan aku akan
memilih program studi apa. Namun, yang perlu
digarisbawahi, AKU SANGAT INGIN KULIAH. Sampai pada
acara tahunan yang diadakan oleh alumni yaitu Open House
University (OHU) SMA N Jatilawang Tahun 2015, aku seperti
dibangunkan dari tidurku. Kamu punya mimpi besar dan
kamu hanya diam tanpa ada gerakan apapun, heyyy ayo
bangun! Dari situlah aku mulai mencari-cari informasi
tentang SNMPTN, universitas-universitas di Indonesia, dan
prodi yang sekiranya cocok untukku. Dan tibalah pilihanku di
A
117
Farmasi-UNS, Kimia-UNS, dan pilihan ketiga Farmasi-
Unsoed. Klik. Pengisian SNMPTN telah difinalisasi.
9 Mei 2015, waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Aku
membuka pengumuman dengan hati berdebar, berharap ini
adalah rezeki ku, ini adalah kesempatanku dan berharap ini
kesempatanku. Namun, yang terjadi saat aku membuka
pengumuman, background warnanya adalah merah. Aku
menangis sangat lama, aku sangat mengharapkan aku hanya
sampai ditahap ini, tanpa harus berjuang di jalur tes, tapi apa
daya kali ini bukan rezeki ku. Ah ini bukan rezeki ku, aku harus
segera fokus tahapan seleksi selanjutnya, SBMPTN. Aku juga
segera mengingat kata motivasi yang pernah aku baca
disalah satu media sosial, bahwa Allah mempunyai 3 jawaban
atas doa dan harapan para hambanya. Pertama, Ya, Aku beri
sekarang. Atau yang kedua, Tidak sekarang, Aku ingin
melihatmu berusaha lebih keras lagi. Atau juga jawaban yang
ketiga, Tidak, Aku punya yang lebih baik untukmu.
Sembari sibuk belajar aku juga sambil memikirkan
beberapa kemungkinan kenapa aku belum berhasil di tahap
SNMPTN sebagai bahan evaluasi untuk ke depannya. Salah
118
satu faktor yang mungkin adalah prodi yang aku ambil, tidak
cocok dengan kemampuan yang aku miliki, tidak sesuai
dengan bakat dan minat yang ada pada diriku. Hal ini terpikir
berkat obrolan ku dengan salah satu kakak kelas, “kamu
minatnya apa? Memilih prodi yang sesuai dengan minat
sangatlah penting untuk bisa bertahan dalam masa
perkuliahan”. Aku baru menyadari pada saat pengisian
SNMPTN, aku hanya memikirkan prospek kerja setelah lulus,
berapa gaji yang didapat saat sudah kerja, tanpa memikirkan
apa kemampuan ku dan apa minat dan bakat yang ku miliki.
Dan ditanggal yang sama namun bulan yang berbeda, 9
Juni, mimpiku siap terwujud dimulai hari itu. Pengumuman
SBMPTN dibuka dan Alhamdulillah aku lolos Pendidikan
Kimia UNNES. Maha Besar Allah dengan segala ketentuan-
Nya. Tidak lolosnya aku di SNMPTN, Allah telah
menunjukkan bahwa bukan itu yang cocok untukku, ada
yang lain yang lebih cocok untukku. Insya allah, seorang
pendidik, cita-cita waktu kecil
Kini, saat aku menulis cerita ini, aku sudah merasakan
atmosfer para pejuang dari hampir seluruh penjuru negeri
119
melalui kegiatan mahasiswa baru. Disanalah aku bertemu
orang-orang hebat, berada disekeliling pejuang-pejuang
yang hebat, merasakan energi positif yang berasal dari
pejuang-pejuang hebat, yang memunculkan mimpi-mimpi
baru dan semakin membuatku bersemangat menggapai
mimpi-mimpiku.
Adik-adikku, bermimpilah setinggi langit maka jika kau
jatuh, kau akan berada diantara bintang-bintang. Dan
bangunlah dari mimpimu untuk bergerak merealisasikannya
atau kamu akan terlelap selamanya.
Begitupun kuliah, jadikan kuliah sebagai salah satu
mimpi besarmu dan teruslah bergerak merealisasikannya.
Selamat bermimpi Kutunggu nama kalian muncul didaftar
mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Indonesia
Kutipan favorit teman seperjuangan:
Bismillah
Ada Mimpi yang harus menjadi nyata
Luruskan niat, Kuatkan tekad
*Penulis merupakan alumni SMA Negeri Jatilawang
120
Don’t be Scared to Try
Rido Dwi Ismanto | Institut Teknologi Bandung
----------------------------------------------------------------------------
ama saya Rido Dwi Ismanto. Saya lahir di Desa
Tambaknegara. Desa kecil nan tentram dengan
penduduknya yang masih menganggap satu sama lain
sebagai saudara. Kebanyakan penduduk di desa ini
berprofesi sebagai petani atau buruh tani. Namun, disini saya
bukan mau bercerita tentang desa saya.
Keluarga saya hanya berasal dari kelas ekonomi
menengah ke bawah. Ibu saya bekerja sebagai buruh tani
sedangkan ayah saya bekerja sebagai buruh serabutan.
Sementara kakak saya bekerja sebagai buruh di sebuah
pabrik di kawasan industri di Cikarang, Bekasi.
Melihat kondisi ekonomi yang kurang menentu, selalu
terbesit di pikiran saya untuk merubah nasib keluarga.
Keinginan terus menggebu-gebu tersebut, sehingga timbul
niat untuk segera bekerja setelah lulus SMA agar segera bisa
N
121
memperbaiki perekonomian keluarga. Namun, orang-orang
di desa saya yang kelas ekonominya menengah ke atas
mayoritas menyandang gelar Sarjana. Hal tersebut
mengubah pandangan saya. Saya ingin kuliah untuk menjadi
seorang sarjana dan mengubah nasib keluarga saya. Sebuah
keinginan yang terasa tidak mungkin terwujud jika dilihat
berdasarkan latar belakang ekonomi saya.
Ditengah dilema antara bekerja atau melanjutkan
pendidikan, saya mendapat pencerahan dari guru BK saya.
Ternyata terdapat beasiswa yang ditunjukan bagi siswa yang
kurang mampu untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang
yang lebih tinggi. Betapa bersyukunya saya mendengar hal
itu. Nama beasiswa tersebut adalah Beasiswa BIdik Misi.
Tanpa pikir panjang saya langsung mengejar beasiswa
tersebut. Syarat untuk mendaftar beasiswa tersebut sangat
mudah saya penuhi karena kebanyakan berhubungan
dengan kondisi ekonomi keluarga.
Masalah ekonomi sudah berhasil saya back up,
tantangan selanjutnya adalah bagaimana cara saya bisa
masuk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang saya idamkan.
122
Karena PTN tersebut menuntut standar akademik yang
sangat tinggi bagi calon mahasiswanya. Saingan yang saya
hadapi juga bukan hanya teman se-SMA, melainkan saya
harus bersaing dari lulusan SMA se-Indonesia untuk masuk
ke PTN pilihan saya.
Rasa pesimis kembali muncul di benak saya. Apakah
mungkin seseorang dari pinggiran seperti saya bisa bersaing
melawan anak-anak kota yang kehidupanya lebih terjamin?
Apakah masih ada peluang untuk saya mengalahkan
mereka? Andai pun saya lolos, apakah saya pantas kuliah di
kampus yang isinya anak-anak orang “gedongan“ itu? Di saat
pikiran kacau seperti itu, saya hanya bisa berdoa. Akhirnya
saya bulatkan tekad untuk tetap mendaftar. Karena
seseorang tidak akan tahu hasil sebelum mencobanya.
Jalur yang ditempuh pertama untuk masuk PTN adalah
jalur Undangan atau yang biasa disebut dengan Seleksi
Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Pada
jalur seleksi ini, saya hanya mengirimkan nilai raport beserta
data prestasi akademik dan non akademik yang saya raih.
Selanjutnya, data yang dikirim akan dirangking dalam skala
123
nasional. Jika memenuhi syarat yang di tentukan PTN terkait
maka bisa saja saya diterima.
Melihat nilai raport saya yang lumayan stabil dari
semester ke semester membuat saya merasa cukup optimis
bisa diterima. Apalagi setelah saya berkonsultasi dengan
kakak kelas yang sudah terlebih dahulu kuliah, saya menjadi
sangat optimis. Dia mengatakan berdasarkan nilai raport
saya, maka sangat dimungkinkan bagi saya untuk diterima di
PTN favorit saya.
Hari pengumuman pun tiba. Perasaan cemas takut gagal
bercampur aduk dengan rasa penasaran. Tidak henti-
hentinya saya berdoa semoga saya bisa diterima. Dengan
rasa opitimisme yang sangat tinggi saya membuka
pengumuman online tersebut. Namun, berulang kali saya
mencoba, saya gagal membukanya. Mungkin karena
pendaftar dari seluruh Indonesia secara bersamaan
membukanya, maka server yang menyediakan pengumuman
tersebut akhirnya down. Saya putuskan untuk meminta
bantuan kakak kelas. Beberapa saat saya tunggu, akhirnya
kabar itu pun datang. Pesan yang saya terima dari kakak
124
kelas adalah “Semangat buat SBMPTN”. Langsung hancur
lebur hati saya, karena pesan itu berarti saya gagal lolos jalur
SNMPTN. Stres terus melanda diri saya. Langsung saya
kontak teman-teman untuk mencari mereka yang senasib
dengan saya. Waktu itu juga saya pergi main ke rumah temen
cewek yang senasib dengan saya. Saya berharap bisa berbagi
cerita dengannya. Namun hal itu gagal mengobati rasa
kekecewaan saya. Keesokan harinya saya memutuskan untuk
membeli gitar dengan uang yang rencananya akan saya
gunakan untuk mendaftar di Pegruan Kedinasan (PTK).
Karena rasa kecewa yang begitu luar biasa saya melupakan
hal itu.
Setelah banyak upaya yang saya lakukan, akhirnya rasa
kecewa, stress, malu, dan lainnya akhirnya hilang juga.
Setelah itu saya baru ingat plan B, yaitu rencana yang akan
saya lakukan jika saya gagal lolos SNMPTN. Namun semua
itu sudah terlambat, karena uang yang akan saya gunakan
untuk menjalankan rencana tersebut sudah habis untuk
membeli gitar. Sebenarnya saya berencana untuk mendaftar
di PTK jika saya gagal, karena kuliah di PTK juga dibebaskan
dari biaya. Penyesalan pun menimpa diri saya. Sempat orang
125
tua berniat untuk menjual perhiasannya untuk membiayai
pendaftaran tersebut namun saya larang karena saya tidak
tega. Ini semua kesalahanku sendiri, orang tua tidak boleh
menanggungnya, itu yang ada di benakku saat itu. Pada
akhirnya aku pun gagal di dua kesempatan tersebut.
Kegagalan dikesempatan kedualah yang paling membuatku
kecewa karena itu akibat kesalahanku sendiri.
Sebenarnya masih ada dua jalur lagi yang membuatku
bisa kuliah. Pertama jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan
Tinggi Negeri (SBMPTN) dan yang kedua yaitu jalur Seleksi
Mandiri di masing-masing Universitas. Walaupun gratis
(Untuk pendaftar Beasiswa Bidik Misi), namun kedua jalur
tersebut menggunakan ujian sebagai media untuk
menyeleksi. Saya pun pernah mencoba mengerjakan soal-
soal kedua jalur seleksi tersebut. Ternyata sangat sulit.
Tingkat kesulitannya mungkin sekitar satu atau dua tingkat
diatas Ujian Nasional. Ditambah lagi dengan alokasi waktu
yang sangat kurang (itu yang saya rasakan) untuk soal sesulit
itu. Kemungkinan saya diterima sangat kecil untuk jalur
seleksi ini. Apalagi mereka yang punya biaya kebanyakan
mengikuti bimbingan belajar untuk mempersiapkan ujian
126
tersebut. Sedangkan saya hanya menjadi pengangguran
dirumah. Meskipun saya tetap mendaftar SBMPTN, namun
spirit saya untuk kuliah sepertinya sudah luntur.
Suatu saat sekitar H-11 menuju SBMPTN saya mendapat
tawaran untuk bekerja. Pekerjaan tersebut bukan pekerjaan
yang mewah hanya sebagai kuli bangunan. Namun karena
kondisi saya sebagai pengangguran yang ingin sebuah
kegiatan untuk mengobati kebosanan, tanpa pikir panjang
saya terima tawaran tersebut. Dua hari saya bekerja sebagai
kuli tidak tetap dan saya mendapat uang Rp 100,000,00.
Uang itu saya gunakan untuk membeli buku soal-soal
SBMPTN beserta pembahasannya. Dengan membeli buku
tersebut, peluang saya untuk berkuliah akhirnya kembali
hidup.
Selama sekitar 9 hari, saya habiskan hari-hari saya hanya
untuk belajar. Pada saat itu yang ada dipikiran saya hanya
satu yaitu saya harus kuliah. Dengan tekad yang luar biasa
dan dibarengi dengan doa akhirnya saya putuskan untuk
mengisi hari-hari itu dengan full belajar. Pagi pukul tujuh
sampai sebelas, siang pukul satu sampai lima dan malam
127
pukul tujuh sampai sepuluh, semua waktu itu saya gunakan
hanya untuk belajar. Tidak keluar “ngelayab” dan tidak main.
Setelah belajar mati-matian, hasilnya ternyata saya tetap
kesulitan dalam mengerjakan soal ujian itu. Namun, bukan
tanpa hasil, saya menjadi terbiasa dengan soal-soal sesulit
itu. Saya sudah tidak merasa keget lagi jika bertemu soal
dengan tingkat kesulitan seperti itu.
Hanya berbekal “kebiasaan”, saya melangkah maju
menghadapi ujian SBMPTN. Sudah kuduga soal-soal yang
keluar sudah pernah ku jumpai, namun tetap saja saya
kesulitan untuk mengerjakannya. Satu bagian soal terdiri dari
15 soal, dan saya hanya mampu mengerjakan mungkin 5
atau 6 soal saja. Sisanya saya mengandalkan keajaiban dari
Yang di Atas, saya pilih jawaban secara acak karena soal yang
diujikan bertipe pilihan ganda. Walaupun jika salah ada nilai
minus, saya tetap yakin untuk melakukan itu. Karena secara
matematis mungkin peluang saya untuk diterima hampir
pasti sudah tertutup jika hanya mengerjakan soal sesedidkit
itu.
128
Berselang beberapa minggu, akhirnya hasil seleksi pun
keluar. Untuk kali ini saya tidak terlalu optimis namun juga
tidak pesimis mengingat pengalaman sebelumnya yang
begitu menyakitkan. Selain itu, saya juga berniat membuka
pengumuman itu sendiri agar tidak mendapat berita buruk
dari orang lain, lagi. Namun, seperti biasa, server down. Saya
coba terus-menerus membuka pengumuman tersebut,
namun tetap saja gagal. Saat saya sedang sibuk membuka
pengumuman online itu, tiba-tiba handphone saya berbunyi
tanda ada pesan singkat masuk. Lalu saya buka pesan itu,
ternyata pesan itu dari kakak kelas saya di SMA dan isinya
“Selamat Do, FMIPA ITB”. Terdiam saya membaca pesan itu.
Perasaan bahagia, bingung, kaget, sedih , senang, semuanya
becampur dalam keheningan. Sejenak aku bertanya-tanya,
kok bisa aku diterima? Hmm, mungkin ini sudah kehendak
Allah Swt. Seharian aku menikmati kabar bahagia tersebut
tanpa memikirkan tidak lanjut dari pengumuman itu.
129
Sekarang saya sudah memasuki semester ketiga kuliah
di ITB. Alhamdulillah, saya masuk program studi Matematika.
Sebuah awal yang baik untuk mewujudkan cita-cita
impossible saya.
*Penulis merupakan mahasiswa Matematika ITB angkatan 2014 dan merupakan
alumni SMA Negeri Jatilawang.
130
Kisahku
Riris Purnis | Universitas Padjadjaran
----------------------------------------------------------------------------
elanjutkan ke perguruan tinggi adalah hal yang
sempat membuat saya bingung. Saya belum yakin
keluarga saya dapat membiayai uang kuliah saya nanti.
Langsung bekerja setelah lulus SMA sempat terlintas dalam
pemikiran saya ketika saya masih awal duduk di kelas XII.
Karena sebelumnya saya tidak memikirkan mau kemana
setelah saya lulus SMA. Banyak hal yang harus
dipertimbangkan antara lanjut ke perguruan tinggi atau
turun ke dunia kerja. Ini mungkin karena saya anak pertama
yang harus membantu orang tua untuk mencari nafkah.
Maklum saja, orang tua saya hanya berprofesi sebagai buruh
yang penghasilannya tidak tetap.
Namun, semakin dekat dengan kelulusan SMA, saya
justru semakin tertarik untuk melanjutkan pendidikan saya ke
jenjang yang lebih tinggi, yaitu masuk perguruan tinggi.
M
131
Setelah saya diskusi dengan keluarga saya, mereka semua
mendukung rencana saya untuk melanjutkan kuliah, “rejeki
bagi seorang anak akan selalu ada selama masih tetap
berusaha” itulah yang dikatakan kedua orang tua saya kala
itu.
SNMPTN, saya sangat semangat untuk bisa masuk ke
universitas lewat jalur tersebut. Walaupun saya sadar nilai
raport saya sangat pas-pasan, nilai saya turun drastis pada
semester lima atau tepatnya semester pertama di kelas XII
yaitu hamper 50 poin dan saya sempat menangisi nilai saya.
Untuk bisa meringankan beban orang tua saya memutuskan
untuk mengikuti program bidik misi. Selama mengurus
pendaftaran kuliah, saya lebih sering dibantu oleh teman-
teman saya yang memiliki fasilitas lebih. Dengan modal
nekad, waktu itu saya mengambil jurusan arsitek dan teknik
di Universitas Indonesia. Belum nasib saya memang untuk
lolos lewat jalur SNMPTN. Saya tidak berhenti berjuang
disitu, saya pun mengikuti seleksi melalui jalur SBMPTN
dengan biaya pendaftaran nol rupiah. Dengan percaya diri
saya berusaha mengerjakan soal tes masuk perguruan tinggi
semampu saya saja. Sambil menunggu pengumuman
132
SBMPTN, saya mencoba mendaftar tes STAN dan SMUP
(seleksi masuk Universitas Padjajaran).
“Maaf anda tidak lolos SBMPTN”, itu adalah kalimat yang
muncul ketika saya membuka laman yang berisi
pengumuman dari tes SBMPTN. Kecewa itu pasti, tapi
mungkin memang kemampuan saya belum sebanding
dengan soal SBMPTN yang saya kerjakan. Saya sempat putus
asa tidak ingin mencoba lagi. Namun, dukungan terus
datang dari keluarga saya. Akhirnya saya memutuskan untuk
berangkat ke Jogja demi mengikuti tes STAN. Dengan
harapan kali ini saya bisa lolos masuk ke STAN. Ketertarikan
saya terhadap STAN yaitu karena adnya ikatan dinas, saya
berfikir jika STAN mempunyai ikatan dinas maka saya tidak
perlu khawatir tentang biaya dan akan kemana nanti setelah
usai kuliah. Harapan saya terlalu tinggi akan tes STAN ini, dan
kenyataan yang saya etrima saya tidak lolos tes STAN. Tiga
kali berturut-turut saya ditolak oleh perguruan tinggi.
Kini harapan saya hanya tinggal SMUP, pendaftaran
dengan mengirimkan nilai raport secara online saja. Dan kali
ini saya juga merepotkan teman saya dalam mengurus
133
pendaftaran SMUP. Saya yakin bisa lolos SMUP karena mata
pelajaran yang digunakan bukanlah mata pelajaran kejuruan.
Ya, waktu itu saya adalah siswi SMA di kelas IPA. Waktu
pengumuman tiba, saya tidak bisa membuka situs
pengumuman sendiri karena tidak ada fasilitas dirumah saya
untuk bisa online dan teman saya yang memberi info ke saya
saat pengumuman. Alhamdulillah saya bisa lolos SMUP, saya
mengambil jurusan Administrasi Pemerintahan Program
Diploma III. Saya tetap bersyukur walaupun hanya D3.
Kini saya harus mengurus semua berkas-berkas yang
diperlukan. Niat saya untuk registrasi ulang agak tersendat
karena biaya yang dibutuhkan lumayan besar. Awalnya saya
berubah pikiran lebih baik kerja saja langsung. Namun,
kegigihan orang tua saya membuat saya tetap semngat dan
berfikir pula bahwa rezeki tidak akan kemana dan akan selalu
ada.
Akhirnya, saya bisa menjadi seorang mahasiswa, ketika
ospek saya merasa sangat terharu sampai menangis bisa
masuk universitas yang banyak orang inginkan. Baru
seminggu saya menjadi mahasiswa, tiba-tiba ayah saya jatuh
134
sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Jauh-jauh dari
Bandung saya langsung pulang ke Banyumas dan di
semester awal ini saya harus izin selama dua minggu. Ayah
saya terkena penyakit stroke. Saya bingung harus berhenti
apa tetap lanjut kuliah. Akhirnya, saudara-saudara sayalah
yang membantu biaya kuliah saya agar saya tetap lanjut
sampai wisuda nanti. Saya tetap menjadi mahasiswa selama
ayah saya sakit. Dengan berusaha bisa mendapat beasiswa
dari program beasiswa yang ada. Saya mendaftar beasiswa
di semester awal, namun katanya masih belum memenuhi
syarat. Saya mencoba lagi semester berikutnya. Dan akhirnya
saya bisa meringakan beban orang tua saya dengan beasiswa
prestasi yang saya peroleh.
*Penulis merupakan alumni SMA Negeri Jatilawang tahun 2013.
135
It’s All Paid-Off
Slamet Setya Aji | Institut Teknologi Bandung
----------------------------------------------------------------------------
erkenalkan, saya Slamet Setya Aji, saat ini Alhamdulillah
diterima di Fakultas Teknologi Industri, Institut
Teknologi Bandung. Disini saya ingin sharing dengan adik-
adik di Banyumas tentang perjalanan saya bisa sampai di
kampus Ganesha ini.
Pertama, anda mungkin berpikir bahwa kuliah itu mahal,
atau buat orang berada yang kaya punya uang, atau juga
hanya anak bimbel ternama,atau berasal dari keluarga guru,
dokter, pejabat mungkin. Saya bilang semua itu
salah,mengapa? Karena saya anak dari seorang ayah yang
bekerja sebagai tukang las pinggir jalan, anda pikir ayah saya
lulusan smk politeknik atau teknik mesin, semua salah lagi.
Ayah saya bersekolah hanya sampai SMP, ia pun tidak lulus.
Namun, ayah saya adalah orang yang bekerja keras agar bisa
mencari nafkah. Bahkan uniknya, saat mendengar cerita dari
P
136
ayah saya bahwa suatu saat ia diminta untuk mengelas besi
sepeda oleh seseorang guru atau orang teknik mesin itb
tetapi hasilnya lebih baik dari orang itu. Maaf, bukan berarti
sombong memang ayah saya merantau ke Bandung dan
bekerja di bengkel bus suatu perusahaan bus sebelum beliau
kembali ke desa.
Kalau ayah saya seperti itu, anda pikir ibu sebagai guru,
pegawai negeri atau yang lain. Ibu saya hanya lulus SMK
Banyumas sebelum berkarier sebagai tukang potong rambut
di Bandung. Namun, ibu saya adalah orang yang rela
melakukan apa saja demi anaknya. Beliau adalah panutan
dan inspirasi saya tentang bagaimana menjalani hidup. Jadi,
yang ingin saya tekankan adalah apapun jenis pekerjaan
orang tua anda tidak menjadi halangan bagi anda untuk
melanjutkan ke perguruan tinggi. Asalkan ada kemauan
keras pasti ada jalan.
Baik, mari mulai berlayar bersama cerita saya dalam
mengarungi samudera perjuangan. Saya bersekolah di SMA
N Banyumas. Saat di SMA kelas X, belum terlintas di benak
saya bahwa saya akan melanjutkan mimpi di perguruan
137
tinggi. Tetapi hati saya sadar bahwa jika saya adalah siswa
SMA maka saya harus melanjutkan pendidikan di perguruan
tinggi, wajar saja, saya bukanlah lulusan SMK yang punya
bekal keterampilan kerja. Saat kelas X itulah, saya pulang
sekolah dengan bus, di bus saya mendengar cerita dari kakak
kelas ia bercerita panjang lebar tentang cara masuk
perguruan tinggi karena saya tidak mengenal dia saya hanya
duduk dan mendengarkan dengan seksama. Kalimat yang
terpatri dalam memori saya adalah "kalau kamu ingin masuk
perguruan tinggi tanpa tes atau SNMPTN syaratnya nilai
rapor kamu harus stabil dari tiap semester kalau bisa ada
peningkatan". Sejak saat itu, terlintas di pikirkan saya bahwa
Allah telah menunjukkan jalan bagi saya untuk merajut
mimpi. Petunjuk semakin jelas tatkala aku sedang meminjam
buku - buku SMA tetangga saya yang kebetulan baru saja
lulus. Ibunya berkata bahwa kalau ingin kuliah harus rajin,
nilai rapor dijaga dan jangan lupa berdoa. Itulah awal
perjalanan panjang yang akan ku lalui. Sejak saat itu, saya
bersungguh-sungguh untuk kuliah bagaimanapun caranya
pasti ada jalan. Maklum saja, di desaku kebanyakan teman-
teman saya langsung kerja atau merantau .Alhamdulillah,
138
Allah memudahkan jalanku berkat usaha dan doa saya
berhasil naik ke kelas XI jurusan IPA dan Alhamdulilah saya
menjadi yang terbaik. Rasa syukur senantiasa kupanjatkan
pada Allah yang telah menunjukkan jalan yang mudah
dengan cara yang tak mudah. Selanjutnya, cerita indah terus
berlanjut hingga kelas XI di kelas ini saya merasa inilah
keluarga yang sebenarnya. Saat kelas XI saya belum berpikir
untuk masuk ITB. Saya merasa hal yang harus saya lakukan
adalah berusaha lebih keras dari sebelumnya. Saat kelas XI,
saya aktif sebagai pengurus ROHIS dan saat itu saya
ditugaskan untuk menjadi ketua panitia training motivasi
bagi kakak kelas saya yang akan menempuh ujian nasional.
Hal positif yang dapat dari acara ini adalah bagaimana
membangun motivasi diri dan menyingkirkan segala
halangan yang ada.
Kelas XII saya semakin sadar akan masa depan yang
harus saya kejar. Saat itu saya semakin giat belajar berlatih
bersama sahabat sahabat saya. Saya sangat senang untuk
belajar bersama baik dengan teman satu kelas maupun kelas
yang lain. Cerita yang cukup membuat saya terpukul adalah
ketika saya dan kelompok belajar saya diremehkan oleh anak
139
bimbel. Dalam hati saya berujar lihat saja akhirnya apa yang
akan terjadi. Sejak saat itu, saya menuliskan hal apa yang
akan saya raih di kamar saya tempelkan target nilai UN saya
masih ingat kertas itu saya tempatkan di dinding kamar.
Tertulis 17 Oktober 2014 "Target Nilai Ujian Nasional" saya
tulis Matematika 100, Fisika 100, Kimia 100, Bahasa Indonesia
92, Bahasa Inggris 86. Hal ini saya lakukan jauh hari sebelum
UN di bulan April.T ulisan kedua adalah saya akan masuk
Fakultas Teknologi Industri melalui jalur SNMPTN. Saya
tempelkan tulisan tersebut di dinding kamar.
Siapa bilang saya tidak pernah gagal. Awalnya saya
pesimis dengan tulisan itu saat try out UN pertama nilai kimia
saya jauh dari harapan sekitar 65. Saya tahu saya harus
banyak belajar masalah kimia. Siapa bilang saya tidak pernah
terpuruk, saat ITB mengikuti try out di SMAN 1 Purwokerto
saya menempati peringkat 101, secara nalar sangat sulit
untuk masuk ITB melihat nilai dari simulasi try out ITB. Saat
itu saya sadar saya harus bisa mewujudkan mimpi saya.
Setelah try out berlangsung, saya mengambil pamflet
tentang gambaran kampus ITB sampai di rumah saya
menempelkan pamflet itu bersanding dengan tulisan saya
140
sebelumnya.Tapi apa hal yang istimewa dari semua itu.
Tuhan memang punya jalan sendiri menentukan nasib
umatnya.
Saat tanggal 9 Juni 2015, saat pengumuman SNMPTN,
satu target yang aku tuliskan terwujud. Alhamdulillah saya di
terima di Fakultas Teknologi Industri ITB. Setelah itu tulisan
saya yang lain menjadi kenyataan saat pengumuman UN
SMA saya mendapat nilai 100 di mata pelajaran Kimia dan
Fisika. Hal ini sangat sesuai dengan tulisan saya. Untuk
Matematika,Bahasa Indonesia,dan Bahasa Inggris nilai nya
tidak jauh berbeda dengan tulisan saya.Matematika sebesar
97.5 dari target 100, Bahasa Indonesia 91.38 dari target 92,
serta Bahasa Inggris 84 dari target 86. Saya merasa bersyukur
dengan apa yang saya lakukan dan saya dapatkan. Semua
apa yang saya tulis menjadi kenyataan.
Saya berharap kawan- kawan dapat mengambil hikmah
dari cerita perjuangan saya. Saya yakin Tuhan Maha
Mengetahui apa yang baik untuk kamu, jika hal itu baik, maka
Dia akan berikan. Jadi sekarang juga tuliskan apa yang ingin
141
kamu raih di secarik kertas dan tempelkan. Saya siap untuk
menuliskan mimpi saya dan mewujudkannya. Saat ini saya
menulis di kertas yang isinya "Saya akan lulus TPB ITB , Saya
akan meraih IPK > 3.6 dan Masuk Jurusan Teknik Kimia".
Entah, temanmu mungkin menertawakan hal ini, tetapi tulis
saja. Jika hal ini baik maka Tuhan akan wujudkan.
"Tuliskan mimpimu dan wujudkanlah mimpimu" Sekian
dari sang Penulis dan Pewujud Mimpi.
*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Teknologi Industri angkatan 2015 dan
merupakan alumni SMA Negeri Banyumas.
142
Mayuh pada Kuliah, Lur!
Patrick Nugroho Hadiwinoto | Institut Teknologi Bandung
----------------------------------------------------------------------------
ugeng enjang/siyang/sonten/ndalu, sedulur se-
Panginyongan! Kenalna dhisit ya, jenengku Patrick
Nugroho Hadiwinoto. Biasa diceluk Patrick. Nyong umure 18
taun, siki mahasiswa STEI ITB tingkat siji. Oiya, nyong asale
saka Purwokerto. SMAne nang SMA 1 Purwokerto. Umahe ya
nang Purwokerto. Pokoke, Purwokertone kenthel, lah! Hehe.
Yawis, siki nyong arep crita, ya. Nyong njaluk
pangapurane nek nang tulisane nyong bahasane campur
aduk, ngapak karo Indonesia. Maklum, urung jago banget
Banyumasane. Ya, sebelumnya saya ingin bercerita soal
bagaimana ceritanya saya bisa masuk ITB.
Orang kalau mendengar kata ”ITB”, pasti terdengar
‘wow’ banget. Iya, kan? Nah, aku juga merasa begitu. Pada
saat aku masuk SMA, aku belum terpikir mau kuliah dimana.
Tapi, setelah kira-kira kelas XI SMA, aku sudah mulai
S
143
terbayang mau kuliah apa nantinya. Sudah terbayang mau
ambil jurusan apa.
Aku ingin masuk Teknik Elektro. Ini mungkin
dikarenakan melihat pamanku yang juga lulusan Teknik
Elektro dan sukses sekarang ini. Dan juga karena aku punya
minat di sana. Kalau mau kuliah dimana, aku ingin di ITB
karena aku dengar untuk elektro yang paling bagus, ya di ITB.
Selain itu juga karena banyaknya alumni SMA ku yang
diterima di ITB.
Awalnya, aku pikir, wah, pasti tidak mungkin aku yang
berasal dari kota kecil seperti Purwokerto bisa diterima di
institut yang sangat tersohor seperti ITB. Awalnya aku rendah
diri dan minder, merasa kalah saing dengan anak-anak dari
SMA lain di kota-kota besar yang pastinya lebih pintar dan
cerdas daripada aku, pikirku.
Tapi, aku tetap berjuang di SMA. Aku berusaha
melakukan yang terbaik di tiap mata pelajaran di tiap
semesternya dan aku bersyukur bisa mendapat hasil (nilai
rapor) yang memuaskan. Lalu, tiba saatnya kelas XII. Di
tingkat ini, aku mulai serius belajar ujian dan disibukkan
144
dengan berbagai kegiatan yang menyangkut ujian, seperti
bimbel dari sekolah, praktikum maupun belajar sendiri untuk
ujian. Waktuku rasanya benar-benar terkuras habis untuk
urusan ujian dan semacamnya.
Karena aku ingin masuk PTN, maka aku akan mengikut
yang namanya SNMPTN kan. Nah, untuk SNMPTN itu yang
diperhitungkan adalah nilai semester 1-5. Jadi, di kelas XII ini
aku benar-benar fokus untuk nilai raporku di semester LIMA
ini. Sedangkan semester dua sudah fokus ujian.
Aku bersyukur karena nilai semester lima ku bisa lebih
baik dari semester-semester sebelumnya. Setelah selesai
semester lima, aku langsung fokus ke ujian, tidak berpikiran
sampai misalnya, “Ah, aku bakal lolos SNMPTN undangan
tidak, ya?” Aku tidak sempat berpikir ke situ karena langsung
disibukkan dengan agenda ujian yang super padat.
Berangkat pagi, pulang sore. Itu kami lakukan setiap hari
sebagai siswa kelas XII yang akan menempuh UN.
Setelah melalui berbagai Try Out sekolah maupun
kabupaten, akhirnya ujian sekolah tiba juga. Untuk ujian ini,
jujur persiapanku bisa dibilang sangat minim, karena masih
145
belum bisa menyesuaikan diri dengan jadwal yang ada. Aku
masih kewalahan membagi waktu antara try out yang satu
dengan try out yang lain. Antara bimbel yang satu dengan
bimbel yang lain. Akhirnya, selesai juga ujian sekolah itu.
Emm, aku lupa, penyelenggaraan ujian praktek itu sebelum
atau setelah ujian sekolah, ya?
Ya, pokoknya ujian praktek pun akhirnya datang juga.
Aku berusaha mempersiapkan diri sebaik mungkin. Aku juga
berusaha menjalaninya dengan sebaik mungkin. Akhirnya
ujian praktek pun selesai juga. Dan, jeng jeng jen, akhirnya
yang dinanti-nantikan pun tiba juga. Ujian Nasional. Ya, UN.
Walaupun di tahunku itu UN tidak menentukan kelulusan,
tapi dengan dipertimbangkannya nilai UN sebagai parameter
diterima atau tidaknya siswa pada SNMPTN membuat semua
siswa ketar-ketir menghadapi UN ini. Tidak terkecuali aku.
Ya, aku awalnya tentu khawatir dengan UN ini. Tapi, aku
berusaha menghadapinya dengan lebih berpikir positif
setelah aku berkeluh kesah dengan orang tua. Aku
membicarakan soal hal-hal yang membuatku stress dengan
146
orang tua. Nah, ini dia pentingnya kita curhat sama orang
tua. Niscaya beban kita bisa berkurang. Aku juga sudah
mengalaminya di 11 minggu pertama kuliah di ITB ini.
Tiap hari aku pasti telpon (atau lebih tepatnya ditelpon
mamaku). Aku yang baru mulai kuliah tentu menghadapi
berbagai hal baru. Nah, semua itu pasti bikin kaget dan stress
kan pada awalnya. Nah, di saat aku lagi stress-stresnya, aku
bersyukur bisa mengurangi stresku engan mengobrolkan
hal-hal yang membuatku stress dengan mamaku itu. Kadang
papaku, Jadi, paling tidak stresku berkurang, lah. Jadi ngga
terlalu stress lagi deh.
Oke, kembali lagi ke topik. Sampe mana aku tadi? Sampe
UN ya? Kok, aku malah jadi curhat, ya. Gapapa, kan? Hehe.
Oke, jadi waktu mau UN itu aku perbanyak latihan soal aja.
Nah, akhirnya UN tiba juga. Hari pertama adalah Bahasa
Indonesia dan Biologi. Puji Tuhan, lancar, walaupun BI ada
yang ga yakin si. Bio juga, hehe. Hari kedua: Mat dan Kimia.
Untuk Mat, aku inget banget ada 1 soal yang susah banget
dan akhirnya aku jawab ngasal. Untuk Kimia ada 2 soal yang
aku ga yakin. Dan, hari ketiga atau terakhir menunya adalah
147
Bhs Inggris dan Fisika. Untuk B.Ing, ya lumayan lancar, lah.
Nah untuk Fisika nih ada yang unik.
Seperti biasa, kalau aku mengerjakan ujian dan ada soal
yang ngga bisa, langsung dilewati. Nah, untuk Fisika ini, ada
1 soal yang ngga bisa dan ngga kebayang sama sekali
gimana caranya. Aku udah koreksi kembali 39 soal yang lain
dan sudah cukup yakin dengan jawabnya. Nah, yang 1 soal
ini aku udah coba pikirin pake cara apa yah supaya ketemu
jawabnya. Eh, ga ketemu-ketemu juga.
Akhirnya, aku berdoa mohon bantuan Tuhan untuk
menerangi akal budi dan menunjukkan jawaban yang tepat.
Nah, setelah beberapa waktu emang ngga kerasa apa-apa.
Tetap aja aku ngga kebayang gimana cara ngerjainnya.
Sedangkan waktu tinggal 15 menit lagi. Waduuhh, gimana
nih? Dan, entah ada angin apa, ijig-ijig kaya ana ilham mudun
maring sirahe nyong, koh. Kayane carane kuwe kaya kiye.
Lah, banjur tak jajal, ya. Eh, kayane logis. Yawis, jajal tak
jawab. Eh, ana nang pilihan jawabane. Yawis, langsung bae
tak pilih. Dan ngga tahu kenapa aku yakin banget jawabanku
itu benar. Padahal, aku juga baru mendapatkan ilham tidak
148
lama sebelumnya. Dan, ngga tahu kenapa aku juga yakin
jawaanku itu bakal bener semua. Terus, aku tulis aja di
soalnya (kan soalnya ngga bakal dikoreksi, tapi buat sekolah
masing-masing). Aku tulis “Puji Tuhan!” karena Tuhan sudah
menunjukkan jalan-Nya padaku. Eh, jebul temenan, pas
pengumuman UN, Fisikane nyong entuk 100! Wah jan
bersyukurepol yakin nyong. Dadi, kaya entuk pencerahan
gitu loh. Jadi, intine: kalau sedang menghadapi ujian (dan
lainnya juga) jangan hanya belajar saja, tapi berdoa juga
harus! Temenan kiye loh, ora lombo! Hehe.
Nah, jadi setelah selesai UN, aku refreshing dong
pastinya, haha. Dolan kambi bocah sekelas maring Gua
Jatijajar karo Pantai Logending, Pantai Ayah nang Kab.
Kebumen. Nyarter bus, ora nginep si, tapi berkesanepol
yakin. Kowe-kowe juga pada kaya kuwe, ya. Nek arep ujian
ya belajar sing sregep. Do Your Best. Nah, bar ujian kuwe
dolan bae sedolan-dolane, nglepas stres lan penat men seger
maning pikirane. Work Hard, Play Hard.
Bar kuwe, tanggal 9 Mei 2015 kuwe tanggal sing
ditunggu-tunggu lan pastine deg-degane pol. Kuwe tanggal
149
pengumuman SNMPTN. Dari pagi sudah deg-degan padahal
pengumumane baru jam 5an sore. Setelah jam yang
ditetapkan, aku buka dan Puji Tuhan ketrima di STEI ITB.
Setelah itu tanggal 15 Mei 2015 pengumuman kelulusan. Puji
Tuhan juga, aku lulus!
Lalu tanggal 19 Mei 2015 pelepasan dan 23 Mei 2015
perpisahan. Nah, sekitar akhir Mei, kami yang diterima di ITB
yang berasal dari Kab. Banyumas diajak kumpul bareng
Gamas. Gamas? Apa itu Gamas? Setelah aku cari tahu,
ternyata Gamas adalah singkatan dari Keluarga Mahasiswa
Banyumas, yaitu paguyuban tempat berkumpulnya
mahasiswa-mahasiswa yang dari Banyumas dan
Banjarnegara. Kita dikasih tahu ini itu soal ITB dan 9 Juni 2015
aku daftar awal di Sabuga. Lalu, LIBUR LAGI! Yeay! Barulah
tanggal 5 Agustus 2015 aku daftar ulang. Dan setelah itu ada
serangkaian kegiatan sampai 24 Agustus 2015 mulailah
kuliah. Setelah masuk kuliah, ngga taunya banyak juga yang
berasal dari daerah dan mereka dapat bersaing di ITB ini.
Oh ya, kan peneriman mahasiswa baru secara resmi itu
pada Sidang Terbuka tanggal 10 Agustus 2015 lalu ya. Nah,
150
pada sidang itu, selain penerimaan mahasiswa baru, ada juga
pemberian penghargaan kepada Mahasiswa Berprestasi
tahun 2015. Nah, di antaranya ada juga lo yang dari
Banyumas. Dia meraih medali emas ONMIPA 2015 bidang
kimia. ONMIPA tuh kaya OSN nya mahasiswa. Tingkatnya
nasional. Keren ngga tuh dapat emas tingkat nasional? Oh
ya, selain disebut namanya, Mahasiswa Berprestasi (atau
biasa disingkat Mapres) juga disebut asal SMA nya juga dan
dapat bersalaman dengan Rektor ITB di hadapan ribuan
mahasiswa baru. Gimana ga bangga, tuh? Keren banget, kan?
Nah, ini nunjukin kalo kita-kita yang dari Banyumas juga
bisa berprestasi dan bersaing di ITB, ngga kalah sama yang
dari kota-kota besar. Kita tidak boleh rendah diri, tapi juga
jangan terlalu percaya diri dan malah jadi meremehkan. So,
ayolah kita harus kuliah, men! Karena pendidikan itu penting,
dan lulusan SMA itu biasanya cuma bisa jadi (maaf) tukang
ngecor bensin nang SPBU.
Ya, kita emang ga ngejar gelar doang di kuliah, tapi lulus
tepat waktu dengan nilai yang baik itu juga penting!
Janganlah kita hanya berhenti pada wajib belajar 12 tahun.
151
karena wajib belajar itu baru kriteria minimal pendidikan
seorang WNI. Kalau masalah biaya, kalau kita benar-benar
niat, niscaya beasiswa ada dimana-mana. Karena dengan
pendidikan kita bisa lebih membuka mata kita terhadap hal-
hal baru di sekitar kita.
Ya, mungkin cuma segini yang bisa diomongkan oleh
seorang mahasiswa baru tingkat pertama yang baru kuliah
11 minggu sampe tulisan ini dibuat. Mungkin aku belum bisa
omong banyak, tapi yang sudah kutulis ini adalah seluruh
yang aku rasakan dan alami bagaimana ceritanya sampai aku
bisa diterima di ITB. Oke, jadi intinya: Mayuh pada kuliah, lur!
Sekian. Suwun. Salam Panginyongan! Keep Ngapak! Ora
ngapak, dupak!
*Penulis merupakan mahasiswa Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB
angkatan 2015 dan merupakan alumni SMA Negeri 1 Purwokerto.
152
Inspiring Your Surrounding
Aisah Resti Amalia | Institut Teknologi Bandung
----------------------------------------------------------------------------
Kenapa SITH Sains?
Jeng…jeng….
emester 1 kelas XII baru saja dimulai. Hawa liburan itu
masih menyelimuti alam bawah sadar yang terdalam.
Pagi itu, aku masih belum percaya kalau liburan sudah selesai
dan harus kembali ke sekolah. Biasanya ada upacara juga.
Pasti pengin banget baris paling belakang, tapi nggak pernah
kebagian. Jadi harus siap grak di bagian depan.
Setelah upacara, biasanya sekolahku nggak pulang
gasik. Kalo pulang gasik, berarti itu kejadian langka, selangka
dua pelangi melengkung bersama di langit biru hehe. Tapi
kadang belum ada pelajaran pagi juga. Mau bagaimana lagi,
sebagai pelajar yang baik harus menaati peraturan sekolah,
bukan?
S
153
Pada saat jam kosong itulah, temen-temenku udah pada
tanya atau bahasa gaul sekarangnya kepo temen-temen
lainnya mau masuk universitas mana.
“Kowe arep mlebu ngendi ngesuk?”
“Jurusane, jurusan apa?”
“Passing grade-de si pira? Mbok dhuwur?”
Dan mereka tanyanya nggak cuma sekali, dua kali. Tapi
hampir berkali-kali dan setiap hari sampe aku mabok
ditanyain begitu terus.
Kenapa aku nggak terlalu suka ditanya begitu? Bukan
nggak suka, hanya saja setiap kali orang bertanya, semakin
besar beban yang aku rasa. Sering aku berfikir, kalau aku
masuk ini, besok aku mau jadi apa? Besok aku sukses nggak
ya? Mending aku pilih universitas ini atau ini ya? Universitas
atau kedinasan ya? Besok hidupku gimana ya? Dan selalu
berkata besok, besok dan besok, padahal hidupmu ya hari
ini. Biarkan hari esok itu datang dengan sendirinya karena
hari ini Anda sudah sangat sibuk. Lebih mengherankan
orang-orang yang berani menebus kesedihan suatu masa
154
yang belum tentu matahari terbit di dalamnya dengan
bersedih dan ketakutan akan masa depan (La Tahzan)
“Wahai masa depanku, engkau masih dalam kegaiban.
Maka, aku tdak akan pernah bermain dengan khayalan dan
menjual diri hanya untuk sebuah dugaan. Aku pun tak bakal
memburu sesuatu yang belum tentu ada, karena esok hari
mungkin tak ada sesuatu.”
Kalimat diatas adalah yang kutemukan dalam buku La
Tahzan yang kubaca. Terasa lelah sekali waktu itu, ketika aku
memikirkan masa depan yang terlalu jauh dan selalu
dirundung pertanyaan yang aku tak bisa menjawab karena
pertanyaan itu diawali dengan “Apakah besok....”
Hingga akhirnya, aku merubah itu semua. Aku mulai
bertanya, “Apa yang aku senangi, apa yang aku bisa
lakukan?” Dan semua itu terjawab, mungkin kalau aku tanpa
biologi aku nggak bisa menyumbangkan prestasi, piala, dan
nama harum bagi sekolahku. Jadi dalam hati akhirnya aku
memilih biologi.
155
Badai di pikiranku sudah reda. Kemudian kusampaikan
kepada kedua orang tua. Namun, kulihat raut sedih di wajah
mereka. Kedua orang tuaku menyarankan agar aku masuk
sekolah dinasan saja yang dijamin kerja karena kedua orang
tuaku nggak punya tabungan sama sekali untuk membiayai
aku kuliah. Aku menyerah, aku akhirnya mendaftarkan diri ke
salah satu sekolah kedinasan dan lolos babak 1 ujian
saringan sekolah tersebut. Namun, aku masih punya niat
besar untuk biologi. Oleh sebab itu, aku juga mendaftar
SNMPTN 2014, mengambil Sekolah Ilmu dan Teknologi
Hayati program Sains Institut Teknologi Bandung (SITH S,
ITB). Mengapa ITB? Karena, aku mendapatkan informasi
kalau mahasiswa penerima bidikmisi ITB, benar-benar tidak
membayar uang kuliah. Bahkan malah dibiayai hidupnya.
Aku sudah berserah saat itu, kalo tidak lulus ITB, saya
akan menuruti keinginan kedua orang tua saya mengambil
kedinasan. Karena pada saat itu saya tidak ingin mengikuti
SBMPTN. Sebelum ujian babak 2 sekolah kedinasan,
keluarlah pengumuman SNMPTN 2014. Dan Alhamdulillah,
saya di terima di ITB di SITH Sains. Orang tua saya juga
bersyukur dan bahagia.
156
Pesan sponsor
Orang tua sering menyarankan masuk ini, masuk itu,
karena mereka khawatir dengan dirimu. Mereka ingin putra-
putrinya bisa hidup sukses, terjamin baik material maupun
batin. Jadi, kalau ada perbedaan pendapat dengan orang tua,
jangan emosi dulu. Dicerna dulu perkataan orang tua, pasti
ada benarnya. Kemudian, sampaikan maksud dan keinginan
kita secara lemah lembut kepada mereka. Dan temukan
mufakat yang terbaik.
Pilih jurusan yang memang kamu senangi bahkan hobi.
Karena apabila salah jurusan, itu nggak nyaman kuliahnya.
Jangan pilih berdasarkan universitasnya, jangan ikut-ikutan
temen, apalagi ngikutin trend. Bertanyalah pada dirimu
sendiri? Soalnya apabila ada masalah di kampus nantinya,
bila kamu memikirkan masak-masak sebelum kamu masuk
universitas itu, kamu akan lebih dingin menyelesaikan
masalah tersebut, dan berfikir “ya sudah, ini pilihanku”. Beda
halnya yang memilih bukan dari hati, mungkin akan
mengungkit “coba aku dulu milih ini aja.”
157
Life is Choice and The Choice Is Yours, Selamat
Menikmati Indahnya Perjuangan.
*Penulis merupakan mahasiswa Biologi ITB angkatan 2014 dan merupakan alumni
SMA Negeri 2 Purwokerto.
158
Dreams are Real, Go Get Them
Endang Asih Safitri | Institut Teknologi Bandung
----------------------------------------------------------------------------
ujur, saya bukanlah orang yang ahli dalam menulis, tapi
perkenankanlah saya membagi cerita perjalanan saya
sebelum bisa besekolah di ITB, yang semoga saja bisa
menjadi inspirasi adik-adiku semua. Silahkan dibaca, mohon
ambil yang baik–baik dan buang jauh–jauh yang buruk.
Karena sebagai seseorang yang masih dalam tahap belajar,
saya juga memiliki banyak kekurangan.
Sebenarnya saya merasa belum pantas untuk mulai
membagi kisah perjuangan saya, karena memang secara fisik
dan mental perjuangan saya belum apa-apa dibanding
teman- teman saya yang lain, para pejuang jalur tulis. Karena
saya adalah salah satu dari sekian anak yang beruntung
mendapatkan undian berhadiah SNMPTN jalur Undangan.
Saya amat sangat bersyukur, atas semua nikmat yang Allah
SWT berikan ini.
J
159
Mau melanjutkan sekolah kemana Ndang? Hmm,
pengennya ke ITB pak. Hah, Kamu mau sekolah di ITB?
(Sambil ngelus-ngelus dada). Yah, itu adalah reaksi sebagian
besar orang ketika mereka mendengar saya ingin
melanjutkan sekolah ke ITB. Maklumlah, sebagian
masyarakat masih menganggap ITB sebagai sekolah anak
para pejabat dan konglomerat, yang punya banyak uang.
Yang mereka tanyakan pertama kali pasti masalah biaya,
biaya, dan biaya. Seolah-olah tidak ada hal yang lain bisa
dibicarakan.
Pada saat awal–awal masuk SMA N Jatilawang, saya
sudah tidak asing lagi dengan nama Azka Mujiburohman.
Sering sekali saya mendengar nama itu disebut dan
diperbincangkan oleh guru di kelas dan teman- teman.
Konon kabarnya, mas Azka berhasil diterima di Institut
Teknologi Bandung. Waaahh, hebat, keren #pikir saya.
Karena setahu saya, Institut Teknologi Bandung itu termasuk
perguruan tinggi terbaik di Indonesia setingkat Universitas
Indonesia dan Universitas Gajah Mada.
160
Saat naik ke kelas XI, ada satu kakak kelas lagi yang
berhasil masuk Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara ITB
namanya mas Heriawan, anak kelas XII IPA 1. Tapi saya dan
teman–teman tidak heran, mas Heri memang pantas dapat
itu semua, lihat saja prestasinya dalam dunia karya tulis, mas
Heri dan teman–temannya, salah satunya mas Rajif Dri Angga
yang sekarang dapat beasiswa di Fisipol UGM itu sudah
menjuarai beberapa perlombaan karya tulis, kepintarannya
di kelas juga sering menjadi bahan cerita ibu guru fisika di
kelas. Kemahirannya melakukan presentasi juga sering
dijadikan model oleh guru bahasa Indonesia. Sejak saat itu,
tidak tahu karena apa, saya jadi terinspirasi oleh mas
Heriawan, kata teman–teman dulu mas Heri ikut ekstra KIR,
oke saya juga ikut ekstra KIR. Mas Heri dulu jadi pengurus
koperasi, dengan beraninya aku juga mencalonkan diri
menjadi pengurus koperasi. Terus dulu mas Heri juga ikut
Dewan Ambalan, tapi yang satu itu saya tidak mau ikut-iku
karena saya memang tidak berminat saja. Konyol memang,
tapi itulah saya, mencoba menyamakan diri dengan orang
lain yang menjadi idola saya, dengan harapan semoga saja
saya memiliki nasib yang sama.
161
Ada lagi satu kakak kelas yang diterima di ITB, namanya
Mas Mujianto dan dialah pioneer SMA ku yang pertama kali
masuk ITB, lulusan tahun 2007. Saya juga kaget
mendengarnya, jujur saya juga baru tahu awal janurari
kemarin, sewaktu ada sosialisasi ITB ke sekolah. Ternyata ada
yang lebih sepuh lagi dari mas Azka. Mas Mujianto itu
termasuk mahasiswa yang berprestasi di ITB, dia juga
berhasil mendapat beasiswa S2 program studi Kimia.
Sekarang sudah lulus dengan gelar M.Sc, kereen kan adek –
adek, dan Insha Allah aku adalah the next mas Muji. Aamiin.
Cerita – cerita sukses kakak kelas itulah yang selalu
menjadi motivasi saya dalam belajar dan berjuang agar bisa
masuk ITB. Kalau Mas Mujianto, Mas Azka, Mas Heriawan
bisa, lalu kenapa saya tidak bisa? Sama–sama anak Smanja
(sebutan popular SMA ku), diajar oleh bapak ibu guru yang
sama, dapat pelajaran yang sama, sama – sama makan nasi,
sama–sama berasal dari desa dan banyak persamaan yang
lainnya.
Seperti anak – anak SMA yang lainnya, kelas XII itu
menjadi masa–masa yang teramat galau. Masa–masa dimana
162
kita harus belajar dengan serius untuk menghadapi Ujian
Nasional dan yang lebih penting lagi karena kita juga harus
sudah punya rencana hidup, mau jadi apa kita kelak. Kemana
kita mau melanjutkan ke universitas mana dan jurusan apa?
Belum lagi ditambah masalah yang lainnya lagi seperti
kendala biaya atau lainnya, yang bisa membuat kepala
pusing. Sebagai anak yang masih labil, saya juga sering
mengalami kegalauan, puncak kegalauan itu terjadi saat
kelas XII semester dua. Saya benar–benar pusing memikirkan
masa depan, sebenarnya mau jadi apa saya? Ditambah lagi
beban ujian Nasional yang semakin tahun, standar
kelulusannya semakin tinggi.
Oleh karena itu, adik–adiku kalau saya boleh kasih saran,
kalian harus sudah punya rencana dari jauh–jauh hari. Mau
melanjutkan kemana nanti setelah lulus dan mau mengambil
jurusan apa. Semua itu butuh waktu dan pemikiran yang
jernih, jangan sampai kalian salah jurusan atau salah
universitas. Pikirkanlah baik–baik karena itu akan menetukan
masa depan kalian, kedengarannya agak lebay memang, tapi
yaah begitulah adanya.
163
Saya sudah mencoba mencari informasi tentang ITB di
Internet, tentang jurusan- jurusan, syarat pendaftaran sejak
kelas XII semester awal. Menurut saya, ini adalah penentu
masa depan kita yang harus kita persiapkan sematang
mungkin, agar tidak sampai menyesal di kemudian hari. Saya
dan teman–teman juga sering membuat forum disela–sela
istirahat sekolah dan jam pelajaran kosong untuk sekedar
sharing info perguruan tinggi, info try out, dan beasiswa.
Untuk memotivasi, saya sengaja mencari foto-foto
kampus ITB dan saya jadikan wallpaper di HP. Entah
mengapa saat sedang malas belajar seolah semangat belajar
saya terisi kembali ketika melihat gambar-gambar tersebut.
Gambar dibawah ini adalah foto–foto yang berhasil saya
download dengan memanfaatkan gratis internetan. Tiga
gambar kampus ITB ini selalu saya pajang secara bergilir
menjadi wallpaper HP. Entah mengapa ketika saya sedang
malas belajar, gambar ini seolah menjadi semangat baru
yang berhasil membujuk saya untuk tidak berhenti belajar.
Saya bayangkan suatu saat saya berdiri di tengah-tengah
bangunan kokoh seperti gambar tersebut.
164
Teringat akan nasihat seseorang, Mba Upik namanya,
beliaulah yang sering memotivasi saya ketika sedang down.
”Visualisasikanlah apa yang kamu impiakan!” Jadi intinya
jangan lah adik-adiku semua merasa malu dan takut atau
pun minder untuk bermimpi.
Saya bangga dengan salah seorang teman, namanya
Muhammad Aziz Ali Mutia, kalian kenal sudah kenal kan adik
– adik? Dia dengan lantang mendeklarasikan keinginannya
untuk masuk ITB. Setiap ada orang yang bertanya tentang
rencana melanjutkan kuliah kemana, dia dengan lantang
menjawab ITB. Bahkan yang paling ekstrim, dia dengan pd¬-
nya memproklamirkan diri dengan memasukkan Institut
Teknologi Bandung ke dalam timeline facebooknya, padahal
waktu itu pendaftaran SNMPTN pun belum dibuka.
Teman saya satu lagi, namanya Dani Mustofa, pasti
semua sudah kenal. Dia anak yang luar biasa, meskipun anak
IPA tapi jiwanya IPS. Dia memiliki minat yang besar dalam
dunia Ekonomi, sehingga dia mengincar Sekolah Bisnis dan
Manajemen ITB. Di setiap buku catatan dan buku latihan
soalnya, tertulis SBM ITB, SBM ITB, SBM ITB dimana–mana
165
ada tulisan itu. Kadang–kadang saya heran, tapi mungkin itu
adalah caranya dalam memotivasi diri.
Saya bangga bisa memiliki teman–teman seperti
mereka, tidak seperti saya yang pengecut. Karena hampir
saja saya menyerah karena tidak bisa membujuk kedua orang
tua saya untuk member ijin kepada saya untuk bersekolah di
ITB, lagi – lagi karena masalah biaya kuliah.
Pada saat masa SMA, saya tergolong anak yang kuper
dan pendiam. Berbeda dengan teman- teman seperjuangan
di SMP saya, Diah dan Fitria, yang pada awal masuk SMA
sudah ikut berorganisasi di OSIS, juga teman-teman lain
yang aktif di kegiatan Dewan Ambalan.
Saya hanya berbicara seperlunya, tetapi saya rasakan
sikap saya yang seperti itu malah mengganggu saya. Oleh
karena itu, pada awal kelas XI saya mencoba merubah sikap
dan kebiasaan saya untuk bisa lebih membaur, dan ternyata
hal tersebut mudah untuk saya lakukan karena saya memang
berada dilingkungan yang mendukung saya untuk berubah.
Semenjak saat itu, saya mulai bisa untuk berbicara di depan
umum, saya terbiasa untuk mendiskusikan masalah dan
166
mempresentasikan di depan kelas. Saya merasakan ada
kemajuan yang positif dari diri saya.
Begitu juga pada awal kelas XII, saya ditempatkan di
kelas XII IPA 3 yang notabene anak-anaknya sangat gaul.
Mereka justru menganggap tabu apabila menggunakan
waktu istirahat untuk belajar dan pergi ke perpus. Yah, tapi
saya tetap percaya diri, bukankah kita di sekolah memang
untuk belajar bukan untuk bergaya ataupun bermain. Saya
lebih merelakan masa-masa SMA saya berjalan tidak seindah
yang dikatakan orang. Namun, setelah itu saya sungguh
merasakan keindahan luar biasa yang lebih dari apa yang
saya duga sebelumnya.
Alhamdulillah, nilai rapot saya dari semester satu sampai
semester lima cukup stabil. Mungkin itulah yang membuat
saya bisa lolos jalur undangan.
Upacara Peresmian Mahasiswa Baru
Selamat malam teman-teman. Saya menulis cerita ini
tepat dimalam hari setelah saya dan teman-teman ITB
167
angkatan 2012 dilantik secara resmi sebagai
mahasiswa/mahasiswi ITB yang sah oleh bapak Rektor ITB,
bapak Akhmaloka, di Sabuga (Sasana Budaya Ganesha).
Acara sakral ini bahkan dihadiri oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Bapak Muhammad Nuh. Sungguh, semenjak
saya menginjakkan kaki di Kampus ITB, sudah menjadi hal
yang biasa untuk bertemu dengan tokoh- tokoh penting dan
berpengaruh di Indonesia, seperti Bapak Muh. Nuh (Menteri
Pendidikan RI), kemudian Bapak Hatta Rajasa, dan juga
direktur utama Bank Mandiri.
SELAMAT DATANG MAHASISWA BARU ITB 2012, PARA
CALON PEMIMPIN GLOBAL. Slogan itulah yang terpampang
saat pertama kali memasuki sabuga, tempat dimana kami
sebagai calon mahasiswa baru diresmikan menjadi seorang
mahasiswa. Merinding pastinya saat membaca tulisan itu.
Saat itu, dalam hati saya tak henti-hentinya mengucap syukur
kepada Allah SWT atas limpahan rahmat-Nya yang telah
member kesempatan kepada saya untuk menuntut ilmu di
lingkungan hebat dengan teman- teman yang luar biasa
hebat pula. Segala puji bagi-Mu Ya Allah.
168
OSKM (Orientasi Studi Keluarga Mahasiswa)
Tulisan ini saya tulis tepat setelah OSKM ( Orientasi
Studi Keluarga Mahasiswa ) ITB 2012 berakhir.
Semua yang sudah saya dapat setelah menjalani OSKM
ini semakin meyakinkan saya bahwa ITB adalah yang terbaik
dan sampai kapanpun akan selalu yang terbaik. Oleh karena
itu, marilah belajar dan bekerja lebih giat lagi. Bagi siapapun
yang menginginkan untuk bisa berkuliah di ITB, berusahalah
lebih giat lagi. Buktikanlah kalau kalian memang terbaik dan
pantas berada di tengah orang-orang terbaik di institut
terbaik bangsa ini. Di ITB, kalian tidak hanya belajar di dalam
kelas, tapi ITB lebih dari itu semua, lebih luar biasa dan tak
terduga- duga sebelumnya. Percayalah semua itu sebanding
dengan kerja keras kita. Untuk bisa masuk ITB, butuh ekstra
kerja keras, maka maksimalkanlah usaha adik-adik semua.
Seleksi masuk ITB memang sangat ketat dan butuh
ketekunan, keberanian, kekonsistensi untuk bisa menjadi
bagian dari keluarga besar ITB.
*Penulis merupakan mahasiswa Kimia ITB angkatan 2012 dan merupakan alumni
SMA Negeri Jatilawang.
169
Gagal? Jangan Bangun Kalau
Tak Punya Mimpi Ginanjar Ramadhan | UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
----------------------------------------------------------------------------
khir semester 5, anak-anak SMA masih banyak yang
sibuk untuk bermain, tapi ada yang sudah memikirkan
untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Begitu
pula aku, aku dari awal masuk semester 5 sudah mulai
dihantui rasa bingung. Bingung mengenai mau lanjut kuliah
atau tidak, pasalnya ekonomi keluarga ku yang pas-pasan
sulit kalau untuk membiayai studiku selama katakanlah 3-4
tahun di perguruan tinggi. Faktor lingkungan juga yang
belum mendukung untuk menjadi acuanku kuliah. Sekitar
rumahku hanya beberapa saja yang sudah jadi sarjana dan
melanjutkan kuliah. Maka dari itu, aku dari awal sudah
mencari peluang beasiswa full untuk studi, dari beasiswa
bidikmisi, beastudi etos, beasiswa astra, dan lainnya. Awal
kelas XII aku sudah bertanya ke kakak alumni SMA ku yang
A
170
sudah melanjutkan kuliah, dari A sampai Z udah aku
tanyakan. Tak hanya modal nekat bertanya, tapi aku juga
browsing dan masuk di grup anak-anak kelas XII dari seluruh
penjuru nusantara. Tapi memang iya, banyak dapat kenalan
dari Palembang, Surabaya, Jakarta, Bekasi, banyak lah. Dari
situ jadi tau banyak mengenai persiapan buat masuk
perguruan tinggi, belajar bareng, diskusi bareng, saling share
soal untuk UN dan SBMPTN, dan kalau hari apa itu ada
khusus English Day, jadi chatnya pakai bahasa Inggris,
kadang kalau English day malah pada ngumpet ngga ada
satu orangpun yang aktif, tapi kadang juga sering ngobrol
pake bahasa Inggris, aku sih cuma jadi silent reader hehe.
Aku sedang membuka recent update di Blackberry
messager, aku membaca post message dari temanku Sulis
dari SMAN Wangon, “Astra buka beasiswa teman” aku
langsung chat Sulis, tanya tentang linknya. Dan aku pun
dikasih link untuk informasi lebih lanjut. Aku baca-baca dan
ternyata ini full beasiswa. Beasiswa sekolah gratis di
Politeknik Manufaktur Astra dan setiap bulannya diberi uang
saku. Aku mencoba mendaftar, aku mendaftar di akhir
Desember. Kala itu aku harus mengurusi surat seperti SKTM,
171
surat rekomendasi sekolah, dan bukti tagihan listrik. Ada
beberapa tahapan seleksi, administrasi, psikotes, wawancara,
dan tes kesehatan. Aku lolos seleksi administrasi, dilanjutkan
tes psikotes di SMKN 1 Gombong, Kebumen. Aku berangkat
dengan Difki dan Langgeng, mereka berdua juga lolos
administrasi. Setelah tes psikotes hampir berlalu sebulan,
pengumuman kelulusan psikotes aku diberi tulisan seperti ini
: “Maaf Anda tidak lolos tes psikotes”. Ya udah nggapapa,
masih banyak kesempatan yang lain.
Bulan Februari, aku diberi NISN dan password untuk
mendaftar SNMPTN. Tak ketinggalan aku juga diberi nomor
peserta bidikmisi dan kode akses untuk mendaftar. Bingung
lagi mau ndaftar jurusan apa dan dimana. Karena waktu itu
ada acara dari alumni Open House Universities merupakan
acara tahunan dari alumni SMA ku yaitu SMA Negeri
Jatilawang, yang memberikan gambaran tentang bagaimana
melanjutkan di perguruan tinggi. Disitu aku sebenarnya
sudah mempunyai gambaran untuk masuk Jurusan Teknik
Elektro di UNSOED, sudah tanya-tanya juga sama mas Yahya
(TE UNSOED ‘14). Tapi akhirnya aku mendaftar SNMPTN di
Teknik Elektro UNDIP, Teknik Informatika UNDIP, dan Teknik
172
Elektro UNSOED. Sebenarnya takut daftar di UNDIP, tapi
banyak yang mensupport untuk daftar disitu. Dari situ, jadi
aku punya motivasi kuat untuk di UNDIP. Mungkin karena
ke”alay”an ku, sampe di buku detik-detik UN pun ditulisi.
“Calon Mahasiswa Teknik Elektro UNDIP’15 Aamiin.” Biar
semangat aja sih waktu belajar, bahwa aku mau kesitu masa
ngga belajar? Pikirku gitu. Ujian Sekolah dan Ujian Nasional
berlalu, disela-sela liburan itu aku mencoba menyempatkan
diri untuk belajar materi SBMPTN dan disaat liburan juga pak
Lutfi (Waka kurikulum) memberitahuan bahwa akan ada
kegiatan Learning Camp persiapan SBMPTN yang
diselenggarakan oleh keluarga mahasiswa Banyumas di ITB.
Aku dan teman-temanku di rekomendasikan untuk
mendaftar. Jujur antara pengumuman kelulusan dan
pengumuman SNMPTN aku rasa lebih dag dig dug
pengumuman SNMPTN. Pengumuman SNMPTN
dijadwalkan 9 Mei jam 5 sore, aku tak terlalu berharap pada
seleksi ini. Karena sekolahku yang notabene masih sekolah
pinggiran, belum terlalu mendapat nama di universitas.
Walaupun tak berharap banyak, tapi aku tetap berdoa agar
diterima. Aku membuka pengumuman SNMPTN 9 Mei tepat
173
jam 5 sore. Dan akhirnya background merah menghiasi layar
hpku. Tanda bahwa aku tidak diterima SNMPTN. “Anda
dinyatakan tidak lulus seleksi SNMPTN 2015” begitu kata
webnya. Dari sekolahku hanya 5 orang saja yang lolos
SNMPTN 2 ITB, 2 IPB, dan 1 UNNES. Teman sekelasku hanya
1 orang yang lolos yaitu Esti di ITB. Malamnya, aku di sms
oleh mas Gilang dari keluarga mahasiswa Banyumas
(GAMAS) ITB, menanyakan mengenai perihal kegiatan
Learning Camp yang akan diselenggarakan. Aku diminta
untuk mendaftar di web, dan mengirimkan essay/karangan
tentang pribadi, keluarga, dan jurusan dan kampus pilihan
beserta alasannya. Waktu itu, aku bersama teman
sebangkuku selama 3 tahun, Aan, mendaftar kegiatan
tersebut. Sebelumnya, kami mendaftar SBMPTN terlebih
dahulu. Aku memilih jurusan Teknik Elektro UNDIP,
Pendidikan Fisika UNNES, dan Pendidikan Teknik Elektro
UNNES. Setelah mendaftar, pengumuman LC tanggal 21 Mei,
sedangkan kegiatan berlangsung mulai 26 Mei.
Alhamdulillah, aku dan Aan menjadi bagian dari 10 orang
yang lolos seleksi. Kegiatan tersebut berlangsung di yayasan
QT Purwokerto. Kami berangkat tanggal 26 dengan
174
membawa berbagai perlengkapan untuk 2 minggu ke depan.
Aku, Aan, Adib, Afit, Apit, Dhila, Dika, Dimas, Giri, dan Kaful
dibimbing dan dibekali untuk mengerjakan soal-soal
SBMPTN, diberi arahan juga mengenai kehidupan kuliah itu
seperti apa. Dari Learning Camp, bukan hanya bisa dapat
ilmu untuk mengerjakan SBMPTN saja, tetapi juga mendapat
ilmu agama. Memang karena tempat LC ini berada di sebuah
yayasan islami. 2 minggu telah berlalu, 9 Juni waktunya kami
bertempur untuk mendapatkan kursi di PTN. Kami semua
diantar oleh kakak-kakak GAMAS dari yayasan menuju lokasi
ujian. Pulangnya pun kami dijemput. Aku ujian di panlok
Purwokerto tepatnya di MAN 2 Purwokerto bersama dengan
Aan, kami hanya berbeda ruangan saja. Alhamdulillah aku
diberi kesempatan untuk mengikuti kegiatan ini. Berkat LC
Alhamdulillah aku bisa mengerjakan soal SBMPTN dengan
tenang, dan berharap hasilnya maksimal. Aku juga sudah
mengoreksi jawabanku dengan jawaban versi bimbel. Kalau
dihitung aku mendapat passing grade 38 sekian. Kata
temenku itu sudah aman. Ujian SBMPTN selesai, aku
langsung bergegas pulang dan menuju ke terminal Wangon
untuk membeli tiket untuk ke Jakarta mengikuti ujian mandiri
175
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tanggal 13 dan 14 Juni. Aku
berangkat ke Jakarta sendirian, ini sudah kali ke 4 aku ke
Jakarta sendirian. Di UIN aku mengambil jurusan sistem
informasi dan pendidikan fisika. Di UIN ujian selama 2 hari di
lantai 6 FEB. Ada ujian Tes Potensi Akademik dan Pernyataan
Akademik, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Pengetahuan
Agama, Matematika IPA, dan IPA Terpadu. Aku diantar oleh
om ku yang memang tinggal kurang lebih 4 km dari UIN. Saat
ujian Alhamdulillah aku bisa mengerjakan, dengan cara
berlatih soal dari buku yang aku peroleh dari seseorang
mahasiswa UIN Kak Ridwansyah (AK UIN JKT’14) yang
mengadakan sebuah kuis di jejaring sosial Twitter, dan aku
mengikutinya dengan cara mengirimkan essay ke kak
Ridwansyah. Alhamdulillah barangnya dikirim ke sekolah.
Aku ujian bersama dengan temanku Abu yang memang
saudaranya tinggal dekat UIN juga. Aku pulang sebelum
bulan puasa, aku sudah sangat kangen dengan rumah.
Karena hampir 3 minggu aku tidak berada di rumah.
Menunggu hasil pengumuman SBMPTN dan UIN, aku
dirumah saja. Sambil mengurus e-ktp yang karena datanya
hilang jadi harus bolak balik kantor catatan sipil di
176
Purwokerto. 9 Juli tiba, saatnya aku membuka pengumuman
SBMPTN, karena saat itu tepat kuota internetku habis, jadi
aku ke rumah saudaraku untuk menumpang melihat
pengumuman. Tepat jam 5 sore aku membukanya, tapi
server down. Karena waktu buka puasa yang semakin dekat,
akhirnya aku memutuskan untuk pulang saja dan hasilnya
aku minta dikabari lewat sms. Aku juga ditanya lewat sms
oleh teman-teman dan kakak kelas. “Gimana Njar hasilnya?”
tanya mereka. Karena aku belum tau hasilnya, tiba-tiba
temanku ada yang menawarkan untuk membuka hasilnya.
Pengumumanku dibuka pertama kali oleh Deventi, tapi
karena lama sekali membalas smsku jadi aku tinggal salat
Maghrib dulu. Sisa-sisa kuotaku ternyata masih bisa untuk
membuka BBM, dan banyak teman-temanku yang lolos
SBMPTN yang aku tau dari grup kelasku. Deventi
memberitahu bahwa aku tidak lolos SBMPTN katanya
disuruh tetap semangat dan jangan putus asa. Okehlah, tidak
mengapa mungkin belum rejekinya di Semarang. Aan juga
turut membukanya, dan tetap saja aku tidak lolos. Aku turut
senang dengan diterimanya teman sebangkuku ini di
Pendidikan Teknik Otomotif UNNES. Teman LC ternyata yang
177
lolos Aan dengan Afit anak SMAN Ajibarang lulus Geodesi
UGM. Jujur, aku merasa tidak enak dengan para panitia yang
sudah bekerja keras membimbing tapi hasilku masih belum
sesuai dengan ekspetasi. Tidak lolos SBMPTN rasanya begitu
sakit, lebih sakit ketimbang waktu membuka ASTRA dan
SNMPTN. Karena tidak lolos, aku memikirkan kedepan harus
bagaimana. Ada seleksi mandiri yang menggunakan nilai
SBMPTN yaitu UNS. Mba Gamma (Psikologi UNS’14) yang
sering aku kepoin juga mendukung untuk mendaftar, aku
mencoba mendaftar. Walaupun uang di dompet hanya
tinggal seratus tiga puluh ribu, aku relakan seratus ribu untuk
mendaftar. Siapa tau rejekiku di UNS. Aku mendaftar jurusan
S1 Perencanaan Wilayah & Kota, S1 Pendidikan Fisika, D3
Teknik Informatika, dan D3 Teknik Kimia. Aku mendaftar hari
terakhir pendaftaran di saat sahur, alhamdulillah lancar. Tapi
setelah tinggal klik setuju, ternyata aku salah klik saat
memasukan kabupaten orang tua. Harusnya Banyumas
malah Banjarnegara. Akhirnya aku ulangi pendaftaram lagi
dari awal dan berhasil. Pembayaran Ujian Mandiri UNS ini
dilaksanakan setelah pendaftaran online, membayar seratus
ribu pada Bank BNI. Karena saat itu hari Sabtu, jadi teller
178
tutup dan diharuskan untuk membayar lewat ATM. Aku
punya ATM BNI, tetapi tidak ada saldonya, apa malah sudah
mati rekeningnya. Tapi aku punya ATM Bersama siapatau
bisa, tapi aku juga mencoba ke rumah Ibuku dan meminjam
apakah punya atau tidak, ternyata tidak punya. Tapi aku
sudah punya rencana, kalau memang nanti punyaku tidak
bisa mengirim aku akan berniat menitip kepada orang yang
sedang transaksi untuk membayar. Aku sampai di ATM BNI
Wangon, ada dua orang perempuan sedang melakukan
transaksi, aku tidak sengaja melihat ternyata mereka juga
mendaftar UNS. Mereka keluar dan bergantian aku masuk ke
dalam ruang ATM terlebih dahulu mencoba siapa tau
punyaku bisa untuk transaksi, dan ternyata tidak bisa. Dan
kedua orang perempuan itu ternyata masih diluar, karena
bukti pembayaran salah satu belum keluar. Aku keluar,
mereka masuk lagi. Dan ternyata mereka keluar lagi, dan
bukti transaksinya tidak keluar juga. Aku dengan berani
bilang “Mba, ndaftar UNS juga yah? Aku nitip boleh ngga
mba? Aku ada uang di saku” “Iya boleh, tapi ini punya
temenku juga belum keluar bukti transaksinya” jawabnya.
Kami bertiga masuk kedalam ruangan ATM, aku membayar.
179
Dan keluar transaksinya, ternyata atas nama Elsa perempuan
itu. Berarti tinggal punyaku yang masih nyangkut di mesin.
Aku, Elsa, dan Riska keluar, dan aku belum mendapatkan
bukti pembayarannya. Aku menunggu ada sesorang yang
melakukan transaksi dan berharap akan keluar bukti
punyaku. Awalnya ada ibu-ibu ambil uang, aku menjelaskan
semuanya, ternyata ngga keluar bukti transaksinya.
Kemudian ada bapak-bapak dan aku menjelaskannya lagi,
akhirnya beliau bilang “Ini rejekinya kamu mas, keluar”.
Alhamdulillah aku sangat bersyukur sudah keluar bukti
transaksiku. Dan aku lanjutkan untuk login dan cetak kartu.
Dan ternyata kedua perempuan itu adalah temannya Afit dan
Adib kawan LC dari SMAN Ajibarang. Dua hari setelah itu,
pengumumanpun tiba. Namaku tidak tercantum dalam calon
mahasiswa yang diterima. Gagal SM UNS, akhirnya aku, Adib,
Dhila, dan Kaful berencana untuk mendaftar ujian mandiri
UNSOED. Kami pun berencana untuk mendaftar bersama
agar ruangan kami bisa berdekatan, dan kami pun berencana
untuk H-1 sudah berada di Purwokerto, jadi menginap di
Purwokerto. Sebenarnya ingin ikut ujian mandiri banyak univ,
180
tetapi aku yang hanya mengandalkan bidikmisi, jadi hanya
mendaftar di UNSOED.
Idul Fitri, hari yang penuh kemenangan. Harusnya tak
ada lagi kesedihan dalam hati. Tapi, aku tak dapat
menyembunyikannya. “Njar, sekarang kuliah dimana?”
hampir semua orang yang datang ke rumah eyangku
bertanya seperti itu. Sedih iya sedih, tapi aku berfikir bahwa
Allah pasti akan memberikan jalan terbaik untuk hamba-Nya
yang sabar. Tak hanya aku yang sedih, keluarga dekatpun
ikut prihatin kenapa aku bisa diberi maaf terus. Dengan sabar
aku selalu mengatakan “Belum rejekiku”. Pengumuman UIN
Jakarta tanggal 1 Agustus, tapi aku melihat di web spmb, aku
mencari namaku. Disitu tertera status kelulusan. Punyaku
hanya setrip. Aku mencoba memasukan nama depanku saja,
dan ternyata ada yang sudah tertera jurusannya. Aku
bingung, aku berfikir bahwa aku tidak lolos. Karena itu, aku
harus berjuang untuk ujian mandiri UNSOED tanggal 2
Agustus. Aku sempatkan untuk belajar sungguh-sungguh.
Tak hanya belajar, aku juga sudah mempersiapakan untuk
bekerja jika di UNSOED tidak lolos, udah ke POLSEK untuk
membuat SKCK, rencana juga untuk membuat kartu kuning
181
yang diterbitkan oleh Dinsosnaker. Karena sudah ada yang
sedang mencarikan aku kerja di Jakarta jadi aku persiapkan
sejak dini agar tak terburuburu di kemudian hari. Aku juga
sudah berniat kerja sambil belajar untuk SBMPTN 2016. Pagi
kerja, malamnya belajar untuk SBMPTN.
Aku dan 3 teman LC ku mendaftar SPMB UNSOED di hari
yang selisih beberapa hari. Aku bingung untuk memilih
jurusannya, jadi aku putuskan untuk memilih kelompok ujian
campuran bersama Kaful. Adib dan Dhila tetap memilih
Sainstek. Aku dan Kaful masih satu komplek tesnya di FE,
sedangkan Adib di FIK dan Dhila di FKU. Kami berencana
akan survei tempat bareng, karena mendadak ada acara
Dhila dan Adib tidak bareng cek lokasinya. Aku bareng
dengan Kaful untuk cek lokasi dan mencari masjid untuk
menginap saat H-1 UM yaitu 1 Agustus 2015. Adib akan
menyusul ba’da Maghrib. Jam 4 sore aku dan Kaful sudah
menemukan masjid untuk berlindung dari dinginnya malam
tepat di depan UNSOED persis. Pengumumman ujian UIN
Jakarta tak terlalu aku pedulikan, dari pagi aku sudah
mencoba membuka, ternyata pengumuman jam 5 sore
seperti pengumuman ujian biasanya. Hanya modal nomor
182
peserta, bisa langsung melihat hasilnya. Kali ini, aku pinjem
hpnya Kaful untuk membuka, soalnya dia yang udah stay di
opera mini. Aku memasukan nomor pesertaku. Langsung
dilihat hasilnya, dan disitu tertera. Status kelulusan nama,
nomor peserta. Kirain emang semuanya ada namanya terus
ngga lolos gitu, soalnya emang diawal aku sudah mengira
ngga lolos karena setrip yang ada di status kelulusan di web.
Alhamdulillah diberi ucapan “Jenis Seleski : SPMB Mandiri
Nomor Peserta : 154130000997 Nama : Ginanjar Ramadhan.
Selamat Atas Keberhasilan Anda! Anda dinyatakan LULUS
pada program studi SISTEM INFORMASI FAKULTAS SAINS
DAN TEKNOLOGI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Terima
Kasih” sempet ngga percaya. “Ful, beneran lolos?” kataku.
“Iya Njar, selamat ya” jawabnya. Saat itu aku berfikir mau
pulang, tapi udah tanggung . Aku juga langsung mengabari
ibuku dan tanteku bahwa aku lolos. Tak ketinggalan kakak
GAMAS juga aku beritahu. Mereka turut senang mendengar
kabar dariku. Keseokan harinya aku tetap mengikuti ujian di
UNSOED, kesampean juga ngerjain soal soshum. Ini juga
sedang bingung untuk masalah finansial, karena bidikmisi di
UIN diajukan setelah resmi menjadi mahasiswa UIN Jakarta.
183
Aku daftar ulang di UIN Jakarta tanggal 14 dan 18
Agustus 2015, sedangkan pemungumuman UNSOED
tanggal 12 Agustus. Aku membayar di Bank BNI Wangon
tanggal 12 Agustus, aku juga sudah memutuskan untuk tetap
mengambil UIN jika UNSOED diterima. Aku tanggal 12 sore
berangkat ke Jakarta. Waktu itu belum pengumuman
UNSOED, karena aku tertidur setelah naik bus ke Jakarta. Jam
7 pagi saat aku masih di jalan tol baru aku bisa membuka
pengumuman UNSOED, dengan memasukan nomor peserta
dan tanggal lahir aku membukanya. Permohonan maaf lagi
aku dapatkan. Aku saat itu bersyukur karena aku tidak
diterima, mungkin jika aku diterima maka aku akan menyia-
nyiakan rejeki. Kasihan teman-teman yang belum mendapat
bangku kuliah di PTN. Temanku Adib dan Kaful yang
menginap bareng di Masjid diterima. Adib yang diterima di
Teknik Sipil dan Kaful yang diterima di Administrasi Negara
(Pararel).
“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya
kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-
Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukain setiap orang
184
yang sombong lagi membanggakan diri” (57:23). Jadi, tetap
semangat untuk terus menggapai asa. Jangan menyerah
hanya karena satu kali gagal. Teruslah mencoba selagi kau
bisa. Karena jika kamu menyerah berarti kamu kalah.
Mungkin sulit menerima keadaan bahwa jika gagal masuk
PTN, tapi ingatlah Allah selalu memberi yang terbaik untuk
hamba-Nya. Udah biasa kalau ditolak PTN, aku hanya
mencoba 6 kali. Ditolak 5 kali, Alhamdulillah 1 kali diterima.
Temanku di grup malah sampai 10 kali lebih mencoba, dan
masih belum diberi kelulusan. Jangan sampai karena gara-
gara ditolak PTN, malah jadi malas belajar, malas beribadah.
Harusnya malah harus hijrah menuju lebih baik. Yang masih
berjuang untuk cari PTN, semangat ya! Banyak jalan menuju
PTN. Usaha keras tidak akan menghianati, kalau masih
menghianati berarti usahamu belum keras. Jangan lupa
untuk selalu berdoa, berusaha, dan bersyukur. Mungkin
cuma kata-kata sederhana sih, tapi semoga bermakna.
Aamiin
185
Bukti Perjuanganku
186
*Penulis merupakan alumni SMA Negeri Jatilawang angkatan 2015
187
Akhir dari Cerita Adib Haekal Al Kautsar | Universitas Jenderal Soedirman
-----------------------------------------------------------------------------
emua orang pasti memiliki cita-cita untuk meningkatkan
taraf hidupnya menjadi lebih baik. Salah satu caranya
yaitu dengan berkuliah atau melanjutkan pendidikan ke
jenjang lebih tinggi. Inilah yang menjadi alasan aku selalu
berusaha untuk mendapatkan kursi di salah satu perguruan
tinggi di Indonesia. Perkenalkan aku Adib, sekarang aku
berkuliah di Jurusan Teknik Sipil Universitas Jenderal
soedirman angkatan 2015. Untuk bisa berkuliah di perguruan
tinggi negeri bukanlah hal yang mudah, perlu perjuangan
dan usaha yang keras untuk melampaui itu.
Dulu saat kelas XII, aku mempunyai rencana untuk
mengambil jurusan Arsitektur atau Teknik Sipil. Selain karena
aku adalah anak IPA, aku juga hobi menggambar. Jadi
menurutku dua jurusan tersebut adalah pilihan yang tepat.
Tentunya aku menginginkan kuliah di Universitas yang
akreditasinya A, misal ITB, Undip atau UGM. Di akhir semester
S
188
1 saat itu ada pengumuman akan dibukanya SNMPTN
(Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi), ini adalah jalur
masuk PTN cara yang pertama, yaitu dengan nilai rapot. Pada
awal semester II, banyak dari alumni sekolah dan mahasiswa
asal Banyumas yang kuliah di luar daerah datang ke
sekolahku untuk melakukan sosialisasi perguruan tinggi yang
mereka duduki. Banyak universitas yang melakukan
sosialisasi tetapi yang sangat menarik bagiku adalah ITB,
siapa yang tidak tahu institut terbaik Indonesia? Sekolah
tempat dimana mantan Presiden Indonesia BJ. Habibie
mengenyam pendidikan. Terbesit saat itu keinginanku untuk
masuk FTSL, SAPPK, dan FSRD ITB. Kenapa FSRD? Karena saat
itu aku pernah membaca di berita “jurusan desain sedang
banyak diminati pasar”. Karena hobiku menggambar aku
terbesit untuk masuk FSRD, selain arsitektur atau teknik sipil.
Semua sosialisasi sudah terlaksana, lantas aku berfikir apakah
berani dengan nilaiku yang pas-pasan tetapi ingin masuk
univ favorit seperti ITB? Sekolahku yang berada di pinggiran
Banyumas yaitu SMA Negeri Ajibarang yang juga belum
memiliki alumni di tempat tersebut menjadi bahan
pertimbangan. Akhirnya aku berfikir realistis saat itu, pada H-
189
1 penutupan pendaftaran SNMPTN, aku memilih Undip
sebagai pilihan pertama dengan jurusan Teknik Sipil.
Sedangkan pilihan kedua adalah UNS dengan jurusan Teknik
Sipil dan Desain Komunikasi Visual.
Setelah mengentri data dan portofolio gambar (jurusan
seni harus menunjukan portofolio) aku melakukan finalisasi,
aku berharap bisa istiqomah saat itu. Aku berdoa setiap hari
agar bisa diterima di PTN yang aku pilih. Pengumuman
SNMPTN dilakukan setelah ujian nasional. Sedikit cerita,
UNku berjalan lancar, dengan tes CBT aku bisa melaluinya
dan hasilnya Alhamdulillah, cukup memuaskan. Setelah UN
selesai aku menyiapkan plan B jika tidak diterima di jalur
SNMPTN. Pada saat itu, Sekolah Tinggi Ilmu Statistika (STIS)
juga membuka pendaftaran untuk mahasiswa baru. Aku
mendaftar dan saat itu aku kebagian tempat tes di
Yogyakarta tepatnya di Universitas Atmajaya. Aku berangkat
ke Jogja bersama teman sekolah. Disana aku menginap di
penginapan satu malam untuk istirahat, esok paginya tes,
dan setelah tes langsung pulang ke Ajibarang. Aku baru ingat
waktu itu, hari itu juga adalah pengumuman SNMPTN.
Semua teman-temanku begitu juga denganku, jantung kami
190
sangat berdebar, Menunggu pengumuman online untuk
pertama kalinya. Pada saat perjalanan pulang dari Jogja kami
sempat singgah di sebuah Masjid di Kebumen untuk sholat
Ashar, saat itu juga aku berdoa dengan penuh mohon agar
aku bisa diterima di salah satu pilihan itu. Sekitar jam 5 sore,
kami sepakat untuk membuka pengumuman di mobil,
awalnya banyak teman yang sms, “kepriwe, kowe ketrima
ora? Aku zonk kie”, tulis beberapa temanku dengan logat
jawa ngapak. Ada juga yang menulis status di bbm,
“Alhamdulillah pilihan 1 ”, ada yang mengubah tampilan
BBMnya dengan screenshoot halaman web SNMPTN bahwa
ia diterima, dan masih banyak lagi kisah pengumuman
SNMPTN di medsos saat itu. Aku dan temantemanku di
mobil tambah panik, akhirnya sesuai kesepakatan awal kami
membuka pengumuman bareng di mobil. Pertama, temanku
membuka dan hasilnya gagal. Kedua, juga gagal, ketiga, dan
keempat juga gagal, akhirnya kini giliranku, aku buka dengan
login nomer pendaftran dan tanggal lahir, apa hasilnya? Tak
terduga, ada tulisan di dalam kotak merah yang berbunyi
“maaf anda tidak diterima di jalur snmptn, berusaha lagi dan
jangan menyerah”, itu artinya aku gagal, aku langsung down
191
saat itu. Orang tua di rumah juga sudah mengirim pesan
kepadaku yang isinya, “gimana pengumumannya? lolos
kan?”, aku bingung akan membalas pesan apa, aku takut
menyakiti hati orang tuaku, Akhirnya tidak aku balas sampai
pulang kerumah. Sesampainya di rumah aku mengatakan
yang sejujurnya, bahwa aku gagal. Aku melas juga melihat
orang tuaku, tapi aku yakin ini bukan akhir, aku harus bangkit
dan mencoba jalan lain untuk kuliah.
Pada saat pulang dari Jogja, ada dua temanku yang tidak
mau membuka pengumuman bersama-sama. Sialnya, hanya
merekalah yang diterima, mereka lolos PWK dan Teknik Sipil
UGM. Mungkin ini hanya keberuntungan mereka, aku selalu
berfikir positif. Sekitar satu minggu setelahnya, ada
pembukaan pendaftaran lagi, kali ini adalah LNG Academy di
Bontang milik perusahaan gas PT Badak,. Tidak ada salahnya
aku mencoba mendaftar, toh selesksi tahap 1 adalah seleksi
administrasi. Pendaftaran berlangsung 3 hari, dan hari itu
juga pengumuman secara online. Aku membuka
pengumuman, dan…. Aku tidak lolos, untuk seleksi
administrasi saja aku gagal, aku berfikir positif saja, mungkin
aku salah mengentri data. Seminggu setelah pengumuman
192
LNG Academy adalah pendaftaran SBMPTN, adalah jalur
kedua dari Dikti untuk masuk PTN. Ini adalah kesempatan ke
sekian kalinya, akupun turut mendaftar SBMPTN. Saat masa
pendaftaran SBMPTN itu ada pengumuman STIS. Kali ini
pengumuman STIS sama-sama online tetapi berbeda cara
penyampaiannya. Yaitu dengan SK dan di lampirannya
terdapat nomor-nomor pendaftaran yang lolos. Perlu teliti
membacanya, akhirnya aku menemukan deretan nomor
yang ada di kisaran nomor pendaftaranku. Aku baca berkali-
kali, dan naasnya memang tidak ada nomor pendaftaranku,
alias aku gagal untuk yang ketiga kalinya untuk tahun ini.
Pahit memang, tapi aku tetap berpikir positif akan ada jalan
yang baik.
Setelah pengumuman STIS aku mulai belajar mandiri
dengan giat lagi, dengan buku soal-soal yang kubeli di toko
buku. Sebenarnya aku sudah mempersiapkan SBMPTN jauh-
jauh hari sebelum UN karena aku menyiapkan rencana jika
tidak diterima di jalur undangan, dan memang benar adanya.
Aku belajar mandiri karena aku tidak mungkin mengikuti
bimbingan les seperti anak yang lain, aku melihat kondisi
ekonomi kedua orangtuaku sepertinya sayang jika hanya
193
membuang uang untuk les saja, aku tidak ingin
menyusahkan mereka. Pada saat itu, aku dikabari oleh
temanku bahwa ada bimbingan gratis dari mahasiswa ITB
untuk persiapan SBMPTN. Syarat pendaftarannya adalah
dengan mengirim essay tentang motivasi untuk bisa
berkuliah. Aku coba saja waktu itu menulis essay sebisaku,
dan fyi itu adalah tulisan essay pertama yang pernah aku
tulis. Alhamdulillah, akhirnya aku terpilih menjadi satu dari 10
orang di Banyumas yang bisa mengikuti bimbingan,
namanya bimbingannya adalah “Learning Camp (LC)” yang
diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Banyumas
(GAMAS) ITB. Aku berfikir, sangat mulianya mahasiswa-
mahasiswa tersebut mau membagikan ilmunya untuk anak
yang baru lulus SMA dan bingung akan kemana.
LC dilaksanakan dua minggu di SD Qyta Purwokerto,
disitu sistemnya seperti di karantina. 24 jam aku dibawah
pengawasan dan bimbingan kakak-kakak ITB. Banyak cerita
yang aku dapat di LC, aku bertemu dengan teman baru yang
berasal dari banyak sekolah berbeda di Banyumas. Di LC aku
digembleng materi dan latihan soal oleh kakak-kakak
mahasiswa yang tentunya bukan mahasiswa sembarangan,
194
mereka adalah juara-juara OSN nasional bahkan
internasional dan mahasiswa yang sudah sering pergi ke luar
negri. Selain itu juga disitu aku dilatih mengatur waktu
dengan baik dan salah satu yang terpenting disitu adalah aku
bisa meningkatkan kualitas ibadah karena tiap waktu sholat
kami melakukan sholat berjamaah, mengikuti kajian islam,
dan membaca Al Quran tiap Ba’da Sholat Shubuh. Intinya aku
senang bisa mengikuti LC, selain gratis dan makan terjamin,
aku bisa mendapat banyak pengalaman. Aku di gembleng di
LC selama dua minggu sampai H-1 SBMPTN. Pada saat H-1
aku juga cek tempat di Unsoed karena tempat tes SBMPTNku
di Unsoed. Hari yang ditunggu-tunggu tiba, setelah belajar
sekian lama dan ditambah pematangan di LC aku
menyelesaikan soal-soal SBMPTN. Seingatku aku hanya
mengerjakan separuh dari jumlah soal yang ada. Selain soal
yang levelnya sangat sulit dan waktu yang terbatas, ada juga
pengurangan nilai jika salah nilai akan dikurangi -1. Oh iya,
waktu SBMPTN aku mendaftar di UNS dan Unsoed, belajar
dari pengalaman aku mencoba realistis dengan keadaan
diriku. Aku memilih jurusan Arsitektur dan Teknik sipil untuk
UNS, dan pilihan ketiga adalah Teknik Sipil Unsoed. Setelah
195
beberapa waktu pengumuman SBMPTN pun tiba, seperti
biasa dilakukan secara online. Lagi lagi dan lagi, aku harus
menelan pil pahit. Aku gagal lolos di jalur SBMPTN. Dan
teman-temanku yang ada di LC juga hanya dua dari 10 yang
lolos SBMPTN, rasanya kami telah mengecewakan orang tua
lagi dan mengecewakan kakak-kakak GAMAS ITB yang
membimbing kami dalam persiapan SBMPTN.
Rasanya aku sangat frustasi saat itu, tetapi bersyukur aku
masih bisa mengendalikan diri. Setelah SBMPTN diadakan
seleksi mandiri yang dilakukan oleh PTN itu sendiri. Aku
kembali mencoba peruntungan dan berusaha lagi. Yang
pertama aku mendaftar SM-UNS, dengan sistem seleksi nilai
SBMPTN. Aku yang tidak tahu berapa nilai SBMku tetap
mencoba mendaftar, ya seperti sedang berjudi. Pada saat itu
aku sudah tidak enak dengan orang tua karena selalu
membuat mereka kesusahan. Untuk mendaftar pun aku
meminjam uang ke saudara sebesar 100.000 tanpa
sepengetahuan orang tuaku. Namun, mungkin karna ridho
Allah tergantung ridho orang tua aku kembali gagal masuk
perguruan tinggi. Padahal pilihanku saat itu tidak terlalu
tinggi karena ada program DIIInya. Tapi mungkin ini lah
196
rencana Tuhan saat itu. Aku kembali mendaftar seleksi
mandiri dan menurutku ini cukup ekstrim, aku mendaftar
UTUL UGM dimana ribuan mahasiswa dari seluruh Indonesia
menginginkan untuk masuk sedangkan kuota untuk seleksi
mandiri hanyalah sekitar 10% dari kuota total. Aku saat itu
mencoba hal yang baru, aku saat itu memilih jurusan Teknik
Geologi, Geodesi dan D-III Teknik Sipil. Saat tes, aku harus
kembali ke Jogja dan tes disana. Dan memang benar,
keberanianku yang ekstrim ini berbuah pahit kembali. Aku
gagal masuk UGM lewat jalur mandiri. Tetapi tidak hanya
sampai situ ceritaku, sebenarnya aku ingin berhenti dulu
untuk mendaftar kuliah tahun itu dan mencoba hal yang baru
yaitu bekerja. Aku sudah ditawari untuk ikut omku untuk
bekerja di Riau. Namun bertentangan dengan izin orang tua,
dan orang tua menyarankan untuk mencoba lagi, jika gagal
mereka baru boleh membolehkanku untuk bekerja. Akhirnya
aku mengikuti saran orang tua. Pada sekitar bulan Agustus
tinggal beberapa universitas yang membuka pendaftaran
lewat jalur mandiri, dan yang letaknya tidak terlalu jauh dari
rumahku adalah Unsoed dan Unnes. Sayangnya jadwal
tesnya bersamaan sehingga aku harus memilih antara
197
keduanya. Akhirnya aku memilih untuk mendaftar Ujian
Mandiri Unsoed. Selain itu juga aku ikut mendaftar USM-
STAN. Pada akhir Juli aku mendaftar UM Unsoed dengan
jurusan Teknik Sipil dan Teknik Elektro, H-7 tes aku mulai
mereview materi lagi dan mengontak teman-teman
seperjuanganku di LC, ternyata beberapa dari mereka juga
mendaftar UM Unsoed. Dan kami sepakat pada waktu itu
menginap H-1 di Purwokerto. Akhirnya H-1 kami menginap
di Masjid depan kampus Unsoed. Esoknya eksekusi soal
dilaksanakan, seperti biasa tipe soalnya adalah tipe-tipe
SBMPTN begitu juga peraturannya. Setelah beberapa
minggu menunggu, akhirnya pengumuman juga. Tak
disangka aku yang awalnya pesimis bisa diterima di jurusan
yang aku idam-idamkan dari dulu, TEKNIK SIPIL UNSOED! Ya,
akhirnya aku diterima sebagai calon mahasiswa dengan
predikat penerima Bidikmisi, Alhamdulillah aku sangat
bersyukur. H+3 pegumuman Unsoed ada tes USM STAN,
padahal aku sudah mendaftar dan membayar tetapi aku
mencoba istiqomah dengan pilihanku dan aku tetap daftar
ulang Unsoed dan meninggalkan USMku….
198
Rencana Tuhan memang tidak ada yang tahu, kita
sebagai makhluk hanya bisa menjalankan apa yang Dia
perintah. Usaha, doa, dan kerja kerasku akhirnya berbuah
manis. Tentunya setelah diuji dengan berkali-kali gagal.
Percayalah, rencana Tuhan lebih baik. Jangan pernah
berputus asa dan tetap realistis. Jika kamu gagal bukan
berarti doamu tidak dikabulkan, percayalah, saat satu doa
dikabulkan ribuan doa dikorbankan. Tinggal menunggu saja,
kapan doamu akan dikabulkan. Usaha keras tidak akan
menghianati
Adib Haekal Al kautsar
Alumni LC Gamas ITB 2015
Mahasiswa Teknik Sipil Unsoed angkatan 2015
*Penulis merupakan alumni SMA Negeri Ajibarang tahun 2015
199
JANJIKU, SI PEJUANG
MIMPI Eka Nur Prasetiani | Institut Teknologi Bandung
----------------------------------------------------------------------------
. . . .
“ mba, apasih yang bikin mba Eka semangat lagi, kalau
lagi down kuliah”.
Tiba-tiba seseorang teman melontarkan pertanyaan itu
kepadaku di sela-sela perbincangan. Hmmm, pertanyaan ini
sebenarnya pertanyaan yang sering juga kutanyakan kepada
diriku sendiri. Entah berapa kali di saat aku ‘down’ karena
masalah akademik, organisasi maupun diluar masalah kuliah,
aku merenung dalam kebimbangan. Bukannya tak ada yang
memberi semangat, teman-teman dekat ku tak ada capek
nya selalu menyemangatiku. Ahhh, tapi entah kenapa energi
semangat dari mereka belum mampu mendobrak ku untuk
bangkit dan semangat lagi, i don’t know. Banyak sekali
200
pertanyaan yang sebenrnya lebih pantas disebut kalimat
penyesalan bermunculan dikapalaku.
“ Apa aku pantas kuliah disini ?”.
“ Apa aku bisa nyelesain masalah ini ?”
“ kamu gak bisa survive deh kalo gini aja gak bisa”.
“ Duh payah bet, yang lain aja bisa”.
Dan banyak lagi blaa blaa lain yang seakan
menndorongku untuk menyerah. Namun semua godaan itu
terpatahkan, ketika aku mengingat janji itu. Usaha dan
perjuangan panjangku. Eh bukan hanya aku, tetapi juga
mereka, Ibu, bapak dan orang-orang yang mensupportku.
Yaapp, masa perjuanganku sebelum aku mengenyam
pendidikan perguruan tinggi di kampus yang katanya
kampus impian ‘ putra-putri terbaik bangsa’ ini. Dan inilah
kisahku.
Aku merupakan salah satu siswa kurang mampu yang
alhamdulillah diberi rezki, kesempatan dan keberuntungan
untuk kuliah di ITB melalui program beasiswa bidikmisi.
Teknik Elektro menjadi jurusan yang aku pilih, dan semester
201
4 sedang menantiku di depan mata. Namaku Eka Nur
Prasetiani, anak pertama dari tiga bersaudara. Aku dilahirkan
oleh seorang ibu bernama Nani Rahayu, beliau sosok wanita
yang tangguh, pantang menyerah, pekerja keras namun
begitu sederhana. Kesederhanaan beliaulah yang sangat aku
kagumi. Dan bapakku bernama Samsi, merupakan seorang
petani yang tak punya sawah dan peternak yang tak punya
hewan ternak. Bapak ku hanya pekerja (petani dan peternak)
yang bekerja pada seseorang saja, yang otomatis
penghasilanya tak seberapa. Tapi beliau seorang imam
keluarga yang selalu taat akan kewajiban nya sebagai
muslim, dan sekali lagi aku mengagumi beliau, lebih tepatnya
kedua orang tuaku. Di sebuah desa kecil di pinggir kota
Purwokerto, aku dibesarkan dalam kesederhanan. Meskipun
kondisi keluarga yang pas-pasan, oh lebih tepatnya
kekurangan, namun satu hal yang selelu dipegeng oleh
orang tuaku adalah masalah pendidikan. ‘ Kalian harus
sekolah setinggi-tingginya. Meskipun orang tuamu ini orang
gak punya, tapi kita punya tenaga dan doa untuk kesuksesan
kalian.’ Itulah kata-kata yang sangat sering orangtuaku
yakinkan kepadaku, begitu menyentuh bukan?. Aku percaya
202
disamping kondisi keluargaku yang pas-pasan, Alloh yang
Maha Adil pasti memberikan kelebihan lain.
Saat aku lulus SMP, disaat itulah aku sempat merasa
bingung antara melanjutkan SMA atau tidak. Bukan masalah
nilai sebenarnya, tapi biaya masuk SMA yang pada waktu itu
menurutku tidak mampu untuk orang tuaku membayarnya.
Karena disaat yang bersamaan ke dua adikku juga sedang
membutuhkan biaya sekolah yang lumayan besar. Namun
lagi-lagi Alloh menunjukan kebesaranya. Seseorang yang kini
sudah kuanggap sebagai bapak ku yaitu Pak Tono, bersedia
menjadi wali ku dengan menanggung biaya selama aku
sekolah. Beliau merupakan salah satu perangkat desa di
desaku dan kebetulan juga teman bapak ku sejak masih kecil.
Tak ada alasan ku untuk menolong kebaikan beliau, begitu
pun dengan kedua orang tuaku. Selain itu, Pak Tono juga
menawarkan tanggungjawab kepada kedua orangtuaku
untuk membantunya mengurus sawah dan peternakan ayam
miliknya, tak ada alasan lagi untuk orangtuaku menolak.
InsyaAlloh dengan niat saling membantu, orang tuaku
bagaikan menggadaikan tenaga mereka (bahasa kasarnya)
untuk biaya sekolahku. Sejak saat itu, kehidupan orangtuaku
203
berubah. Gubuk kini bagaiakan rumah untuk bapakku,
karena beliau harus berangkat sekitar pukul 22.00 WIB ke
sawah untuk menjaga ayam ternaknya. Tidur digubuk dan
paginya akan langsung bekerja di sawah sambil mengurusi
ayam ternaknya juga. Dan akan pulang ketika senja kembali
ke peraduanya. Dan terus berlangsung begitu setiap
harinnya, tak kenal lelah dan tak pernah mengeluh.
Sedangkan Ibuku akan mengantarkan makanan untuk
bapakku pada siang harinya, kemudian ibuku akan menanam
ataupun memetik sayuran yang dia tanam untuk membantu
bapak ku, meskipun hasilnya tak seberapa. Selain itu ibuku
juga akan membantu mengurusi ayam ternaknya dan akan
pulang bersama bapakku saat malam menjelang. Dan begitu
setiap harinya.
Dengan tujuan mengurangi biaya, akupun memilih SMA
terdekat dari rumahku yaitu SMA Negeri 3 Purwokerto
sehingga aku bisa menghemat ongkos transportasi dengan
jalan kaki. Lagian menurutku sekolah di SMA manapun sma
saja, yang penting niat kita untuk mencari ilmu sungguh-
sungguh. Dan alhamdulillah aku diterima di SMA tersebut.
Karena tidak ada uang untuk membeli perlengkapan sekolah,
204
akupun memakai buku dan alat tulis sisa dari SMP begitupun
dengan tas dan sepatu. Namun tak seperti perlengkapan
lainya yang masih layak pakai, sepatu yang kupunya satu-
satunya tersebut sudah berlubang dibagian depanya.
Sempat enggan untuk aku memakainya, namun dengan
wajah yang berusaha menahan air mata, ibuku berusaha
menutup lubang sepatuku dengan menjahitnya sambil
berkata “biarlahh kamu pakai sepatu berlubang jahitan
ibumu, biar kelak jika kamu sukses bisa menjadi cerita indah
seperti pak Dahlan Iskandar dengan sepatu bututnya”. Lagi-
lagi kelembutan hati dan kata-kata bijak dari seorang ibu
membuat hatiku terenyuh dan sempat meneteskan airmata.
Akhirnya dengan senang hati aku memakai sepatu jahitan
ibuku tersebut, sebelum akhirnya aku mendapat rezki untuk
membeli sepatu baru. Hari-hari di SMA begitu
menyenangkan, sangat menyesal jika saat itu aku
memutuskan untuk putus sekolah. Beasiswa prestasi dan
bantuan bagi siswa kurang mampu menjadi salah satu caraku
membantu meminimalisasi biaya yang harus dibayarkan
bapak ku. Bahkan sejak kelas XI-XII, untuk biaya bulanan SPP
sepenuhnya aku yang bayar dengan beasiswa yang kudapat
205
tersebut. Tawaran untuk mengajari anak-anak SD disekitar
rumah juga saya terima, selain bisa berbagi ilmu dengan
mereka, orang tua mereka juga bersedia membayar ku
seikhlasnya perminggu nya. Sejak saat itu, setiap sore pukul
15.00 sampai menjelang magrib, rumahku ramai dengan
anak-anak SD ( sekitar 10 anak) mulai dari kelas 1 sampai
kelas 5 untuk sekedar menanyaan PR ataupun aku kasih
materi pelajaran dan belajar mengerjakan soal-soal.
Alhamdulillah dari mengajar tersebut, sebagian bisa
kutabung dan tambahan uang jajan. Seseorang yang juga
banyak membantuku yaitu fattahalani rizkika, dialah mbaku,
sahabat, teman sekelas, temen belajar, main, dan curhat yang
begitu baik, yaa meskipun tak jarang pula kami berbeda
pendapat. Dia tak senggan untuk menebengiku untuk pergi
ke sekolah atau pulang ke rumah, padahal arah rumah kita
saling berlawanan. Dia juga yang selalu meminjamiku laptop
jika ada tugas laporan sampai laptop dia kubawa pulang,
karena saat itu aku belum punya perangkat tersebut. Hingga
masa SMA pun berakhir dan akupun lulus. Alhamdulillah.
Kegalauan kembali menghampiriku, antara melanjutkan
kuliah atau tidak sama sekali. Dengan alasan yang sama yaitu
206
masalah biaya, apalagi ini kuliah, yang semua orang tau kalau
biayanya tak sedikit. Tak hanya itu, banyak juga orang
didesaku yang meremehkan kemampuan finansial
keluargaku, kalau keluarga petani seperti orangtuaku tidak
akan mungkin untuk mampu membiayai kuliah. Tetapi
dengan semangatku dan dukungan orangtuaku, Pak Tono,
sahabatku dan orang-orang yang menyayangiku, akhirnya
kuputuskan untuk mendaftar kuliah melalui jalur SNMPTN
dan beasiswa bidikmisi. Pilihan PTN menjadi masalah kedua
bagiku, karena sebelumnya aku disarankan untuk masuk ke
STAN sehingga aku tidak punya kampus impian, satupun
tidak. Dengan pertimbangan jurusan, tempat tinggal,
transportasi dan lain-lain yang sudah didiskusikan bersama
keluarga, yang awalnya aku anggap ini cuma sebuah
keisengan untuk memilih STEI ITB sebagai pilihan pertamaku.
Jujur sebenarnya pada waktu itu aku sangat awam dan tidak
tau menau tentang ITB apalagi persaingan PMB nya. Saat
kucari tahu informasi tentang bagaimana itu kampus ITB,
seketika aku down dan pesimis kalau aku pasti tidak mungkin
diterima. Dari SMA almamaterku saja belum ada satupun
yang berhasil menembus ITB, apalagi aku yang istilah
207
katanya hanya sekedar ‘iseng’ memilih ITB. Hingga akhirnya,
pengumuman ‘membahagiakan’ itu kubaca. Serasa mimpi,
tak percaya, entah perasaan apa yang kurasakan saat itu.
Bahagia, haru, sedih, cemas, ragu bercampur menjadi satu.
Mungkin inilah yang dinamakan takdir sebagai hasil dari
usaha dan doa yang tak henti-hentinya dari kami, khususnya
doa orangtua yang menginginkan kesuksesan anaknya.
Alhamdulillah, kabar ini membuat orang-orang
tercintaku bahagia. Senyum dan tangis bahagia itu kembali
terlihat dari muka kedua orangtuaku. Namun lagi-lagi ibuku
membuatku terharu, beliau rela berhutang untuk
membelikan dua celana jeans, satu kemeja dan dan satu kaos
untuk kuliah nanti. Yaaa, begitulah ibuku yang selalu berhasil
membuatku semakin mengagumi beliau. Hingga tiba hari
dimana aku harus pergi merantau ke Bandung, memulai
kisah baru sebagai mahasiswa ITB, sebuah title yang tak
enteng untuk kusandang. Bersama pak Tono , untuk pertama
kalinya aku menginjakan kaki di kampus Institut Teknologi
Bandung dan kubaca kalimat sambuatan yang tertulis di
sebuah poster di gerbang kampus ‘SELAMAT DATANG
PUTRA – PUTRI TERBAIK BANGSA’. Seketika kakiku serasa
208
bergetar dan bulu kudukku merinding. Detik itulah, aku
meyakinkan diri sendiri dan berjanji. Berjanji kepada diriku
sendiri bahwa aku akan tetap semangat dan terus berjuang
apapun yang terjadi. Impian dan kesuksesanku akan berada
di tahap baru ketika aku berada disini. Dan janji itulah yang
selalu menjadi pengingat ku sebagai flashback akan memori
perjuangan panjang ku hingga aku bisa sampai di titik sejauh
ini, pendobrak semangatku ketika aku down . Selain tentunya
berdoa dan memohon ampunan kepada Alloh yang
Pengasih dan Penyayang. Karena aku sadar, perjuanganku
tak hanya perjuanganku dan impianku tak hanya impianku,
semua ini tentang mereka, keluargaku.
*Penulis merupakan mahasiswa Teknik Elektro ITB angkatan 2014 dan merupakan
alumni SMA Negeri 3 Purwokerto.
209
Berbekal Olimpiade, Aku Taklukan
Kampus Impianku Ryan Setyabudi | Institut Teknologi Bandung
--------------------------------------------------------------------
ama saya adalah Ryan Setyabudi, lahir di Banyumas 7
Juli 1997 dan merupakan anak kedua dari pasangan
Bapak Rasikun dan Ibu Waridah. Perjuanganku menaklukan
kampus impianku tak lepas dari perjuanganku selama
mengikuti olimpiade. Olimpiade Sains Nasional atau orang
lebih suka menyebutnya OSN merupakan ajang kompetisi
bergengsi yang digunakan sebagai tolak ukur pemetaan
kapasitas akademik siswa di seluruh Indonesia. Saya mulai
mengenal OSN saat saya duduk di bangku SD, tepatnya di
SD N Kembaran. Saat itu saya berkesempatan merasakan
atmosfer persaingan olimpiade bidang IPA di tingkat
Kecamatan Kembaran namun hasilnya kurang memuaskan.
Kegagalan yang saya alami waktu itu karena persiapan yang
kurang matang. Maklum sajalah lokasi sekolah saya cukup
N
210
jauh dari perkotaan dan fasilitas sekolahku juga kurang
mendukung.
Perjalanan olimpiadeku dilanjutkan ketika saya
melanjutkan studi di SMP Negeri 8 Purwokerto. Bidang
Matematika menjadi fokusku saat itu. Namun lagi-lagi
kegagalan kembali membayangiku sehingga saya tertahan
seleksi di tingkat kabupaten. Saya benar-benar penasaran
dengan dunia olimpiade. Saya penasaran untuk dapat
bersaing dengan siswa siswi cerdas di olimpiade.
Alhamdulillah saya berhasil lolos tes masuk salah satu
sekolah favorit di kota saya, SMA Negeri 2 Purwokerto. Saya
bergabung dengan komunitas anak olimpiade COSCODA
(Community of Science Olympiad of SMA Negeri 2
Purwokerto). Saya mendaftar di bidang Astronomi namun
saya gagal seleksi menjadi Tim Astronomi SMA Negeri 2
Purwokerto. Akhirnya sayapun mendaftarkan diri ke tim
kebumian karena kebetulan tim ini kekurangan anggota. Dari
10 anggota tim hanya akan ada enam siswa yang menjadi
tim inti dengan komposisi tiga tim inti kebumian dan tiga tim
inti geografi. Saya sedikit pesimis waktu itu apalagi 3 dari 10
anggota tim merupakan siswa kelas XI. Namun saya bekerja
211
sekeras mungkin untuk bisa lolos menjadi tim inti. Setelah
mendapatkan pelatihan dari Lembaga Pelatihan OSN
Alhamdulillah saya lolos menjadi tim inti kebumian.
Setelah terpilih menjadi dua tim, kami diberi pelatihan di
LIPI Karang Sambung, Kebumen selama kurang kebih 4 hari,
pelatihan di UGM selama kurang lebih seminggu. Kemudian
diadakan lagi pelatihan dari Lembaga Pelatihan OSN untuk
persiapan seleksi olimpiade tingkat kabupaten. Kami pun
diberi waktu kelonggaran tidak mengikuti pelajaran selama
seminggu untuk belajar mandiri persiapan OSK.
Alhamdulillah setelah melalui tahap persiapan yang cukup
panjang kami bertiga dari tim inti kebumian bisa lolos ke
tingkat provinsi. Lalu kami pun kembali diberikan pelatihan
dari Lembaga Pelatihan OSN untuk persiapan OSP.
Cobaan terus berlanjut, 8 Februari 2013 sebulan
sebelum OSK saya mengalami kecelakaan lalu lintas. Motor
yang saya kendarai melaju cukup kencang karena saya
terburu-buru pulang ke rumah. Saat mendekati perempatan
terlihat lampu lalu lintas berkedip-kedip namun saya tetap
menarik gas motor saya. Tak disangka dari arah kanan ada
mobil yang melaju kencang, tabrakan pun tak bisa dihindari.
212
Tubuh saya terlempar sejauh lima meter. Dengan menahan
rasa sakit saya berusaha duduk dan melihat ke arah belakang
yang terlihat motor saya terlindas oleh bagian depan mobil
dengan dipenuhi asap yang mengepul. Alhamdulillah Allah
masih memberi kesempatan bagi saya hidup untuk
membahagiakan orang tua saya.
Momentum kecelakaan tersebut memberikan semangat
dan energi baru untuk persiapan OSP. Saya menyusun jadwal
untuk meng-khatamkan beberapa buku yang saya miliki dan
juga menjadwalkan seminggu terakhir persiapan untuk me-
review ulang materi yang sudah dipelajari. Hari pelaksanaan
OSP pun tiba, saat itu pelaksanaannya di Hotel Kusuma Said,
Surakarta. Setelah diumumkan saya dinyatakan tidak lolos ke
tingkat nasional. Saya sangat terpukul namun saya
menyadari saya kurang sungguh-sungguh menyiapkan OSP
ini. Sayapun bertekad untuk menebusnya tahun depan di
kelas XI. Saya bertekad mendedikasikan hidup saya kepada
orang tua dan sekolah melalui olimpiade ini.
Setahun kemudian, dengan tekad yang kuat saya
mengikuti lagi olimpiade kebumian dan mengikuti
pembinaan yang diadakan oleh sekolah. Namun kali ini
213
sekolah sedikit mengurangi intensitas pelatihan bagi
kebumian, mungkin hal ini karena pertimbangan tim tahun
sebelumnya yang gagal melaju ke OSN. Jadi kami hanya
diberi pelatihan oleh Lembaga Pelatihan OSN. Sebagai senior
di sekolah saya pun diberi tanggung jawab untuk
memberikan tutorial sebaya bagi adik-adik kelas. Mungkin
dari tutor ini pula lah saya semakin memahami konsep
kebumian. Alhamdulillah dengan tekad yang kuat saya
berhasil lolos ke tingkat provinsi dan memperoleh peringkat
delapan passing grade Jawa Tengah. Sekolah kembali
memberika pelatihan dari Lembaga Pelatihan OSN untuk
persiapan OSP. Selain mengandalkan materi yang didapat
dari pelatihan saya pun belajar mandiri dengan lebih giat lagi
daripada tahun sebelumnya. Alhamdulillah kali ini saya
berhasil menjadi juara satu tingkat provinsi Jawa Tengah.
Sungguh tidak menyangka, saya sangat bersyukur saya
dinyatakan lolos ke tingkat nasional bersama adik kelas saya.
Kami pun mengikuti PELATDA atau pelatihan daerah di
Yogyakarta selama sebulan untuk mempersiapakan OSN.
Saya mengikuti PELATDA ini dengan tekad dan semangat
untuk membalas budi kepada orang tua, sekolah dan dindik
214
Jawa Tengah yang telah mendukung dan memfasilitasi saya.
Alhamdulillah saya berhasil mempersembahkan medali
perak bagi mereka. Sekaligus ini merupakan medali kedua
saya yang berhasil saya persembahakan untuk sekolah
setelah sebelumnya saya mempersembahkan medali emas
pada Olimpiade Geografi dan Geosains ITB.
Perjuangan sesungguhnya sebenarnya baru dimulai di
tahap ini. Saya mengikuti pelatihan nasional sebagai tahap
awal perjuangan selanjutnya. Di pelatihan nasional ini
seluruh medalis OSN dikumpulkan dan diberikan pelatihan
untuk selanjutnya diseleksi lagi untuk memilih delegasi
Indonesia di IESO 2015 (International Earth Science
Olympiad). Di pelatihan ini saya harus bekerja keras. Disini
juga saya berusaha lebih mendekatkan diri kepada Allah agar
usaha saya mendapatkan ridho dan kemudahan. Saya
berusaha lebih keras lagi, mengurangi waktu tidur, mengatur
jadwal lebih disiplin dan dituntut aktif di dalam kelas. Saya
juga ikut termotivasi dan bersemangat karena berada di
sekitar orang-orang yang hebat. Persaingan di pelatnas ini
memang sangat ketat namun kekeluargaan tetap terjaga.
215
Alhamdulillah setelah beberapa kali seleksi, saya berhasil
lolos ke pelatnas tahap dua dan tiga. Di pelatnas tahap tiga
terjadi banyak perubahan pola pembelajaran. Pelatihan di
fokuskan pada materi astronomi sehingga kami sering di ajak
ke Bosscha. Jadwal yang cukup padat dan banyaknya materi
yang diberikan membuat saya sempat sakit. Saya juga
merasa tertinggal dari teman-teman yang lain sehingga
harus menyediakan waktu belajar ekstra. Di posisi ini saya
sempat down dan kehilangan semangat. Saya pun menelpon
orang tua dan meminta nasehatnya. Saya juga sempat
meminta saran dari teman-teman. Akhirnya saya pun
memutuskan untuk berusaha lebih keras lagi dan
berkeyakinan bahwa semua sudah diatur dan ditakdirkan
oleh Allah, kewajiban saya hanya berusaha sekeras mungkin
masalah hasil serahkan kepada Allah.
Tiba saatnya tes akhir dalam penentuan delegasi
Indonesia yang akan berangkat ke IESO 2015. Saya merasa
kesulitan dan minder karena sudah ada anak yang memang
diunggulkan untuk lolos, terlebih lagi mereka adalah peraih
medali emas OSN. Namun dengan keyakinan yang kuat
setelah berusaha keras, saya hanya bisa berusaha maksimal
216
dan berdoa. Setelah tes saya sempat merasa stres dan
pesimis.
Akhirnya sore itu juga diumumkan hasilnya. Setelah
selesai sholat Ashar kami dikumpulkan untuk pengumuman.
Setiap anak akan menerima kertas yang berisi nama dan
tulisan IESO 2015 bagi yang lolos. Kami diminta membuka
bersama-sama. Inilah saat-saat yang mendebarkan. Saya
hanya tawakal dan dengan mengucap Bismillah saya pun
membuka kertas itu. “Alhamdulillah” ternyata ada tulisan
IESO 2015 di kertas saya yang menunjukan bahwa saya lolos
ke tingkat internasional. Saya sempat memandangi kertas itu
beberapa saat dengan perasaan tidak percaya. Seketika itu
juga saya menitikkan air mata dan langsung bersujud
sebagai tanda syukur. Saya sempat merasa tidak enak
dengan teman yang lain karena di pelatihan ini saya
dianggap sebagai kuda hitam. Namun ternyata dengan rasa
kekeluargaan yang ada mereka tetap menyambut dengan
ucapan selamat kepada tim yang sudah terpilih.
Sebagai siswa kelas XII, masa depan untuk melanjutkan
kuliah juga menjadi hal utama yang harus difikirkan. Di
SNMPTN saya pilih ITB sebagai pilihan utama saya dengan
217
Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan (FTTM)
sebagai pilihan pertama studi saya. Alhamdulillah berbekal
perjuangan beberapa sertifikat di olimpiade serta karunia-
Nya saya dinyatakan diterima di FTTM ITB. Sungguh,
mungkin inilah salah satu buah perjuangan saya selama
berjuang di olimpiade.
Perjuangan saya kembali berlanjut, di pelatnas empat
atau yang terakhir kami diberikan porsi latihan yang
terintegrasi dari keempat subdisiplin ilmu kebumian. Kami
pun berusaha untuk mengubah atau membalik pola tidur
untuk menyesuaikan waktu lokal tempat diadakan IESO. Di
pelatnas ini saya sempat merasa stres memikirkan kuliah
karena memang waktu pelatanas bersamaan dengan
penerimaan mahasiswa baru. Saya juga sering bingung
memikirkan ketinggalan kuliah. Namun saya pun
memutuskan untuk memfokuskan daya dan upaya untuk
IESO, saya kembali teringat perjuangan selama kurang lebih
dua tahun ini di bidang kebumian dan teringat kecelakaan
waktu itu yang mungkin salah satunya untuk alasan ini lah
saya masih hidup dan juga semua pihak yang sudah
mendukung termasuk seluruh masyarakat Indonesia pasti
218
mendoakan usaha kami. Dengan semangat itulah saya
berjuang di IESO, walaupun beberapa soal ujian tidak sesuai
dengan eskspektasi, saya pun hanya bisa berusaha
semaksimal mungkin dan berdoa dan Alhamdulillah saya
bisa mempersembahkan medali perunggu bagi bangsa
Indonesia dan juga tim Indonesia berhasil menduduki
peringkat tiga setelah Taiwan dan Korea. Ini juga merupakan
pengalaman yang sangat bersejarah bagi saya, untuk
pertama kalinya saya menginjakan kaki di balik belahan bumi
dari tempat kelahiran saya dan berjuang mengharumkan
nama bangsa.
Kontingen Indonesia di IESO, Brazil 13-20 September 2015
Sumber : International Earth Science Olympiad
219
Itulah kisah singkat perjuangan saya di OSN Kebumian.
Kisah dari seorang anak kecil dari desa yang kecil dengan
mimpinya yang besar. Semoga dapat menginspirasi para
pembaca, para pejuang OSN, pejuang SNMPTN hingga
SBMPTN. Saya sangat bersyukur kepada Allah SWT karena
telah diberi kesempatan untuk menjadi salah satu peraih
medali IESO. Saya juga ingin berterima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu, menyemangati, dan
mendoakan selama berjuang di olimpiade ini.
Olimpiade bukan satu-satunya jalan mendapatkan
kampus impian, tetapi dengan olimpiade peluang kamu
untuk mendapatkan kampus impian akan lebih terbuka lebar.
Dan yang terpenting untuk adik-adik pejuang SBMPTN
dan tes tertulis lain semoga dapat mengambil pembelajaran
dari perjuangan anak desa di kompetisi olimpiade ini. Bahwa
perjuangan itu tidak instan, butuh waktu yang lama tidak
cukup sehari dua hari atau hanya seminggu untuk
mempersiapkan itu tetapi dibutuhkan waktu bertahun-
bertahun untuk mempersiapkan masa depan terbaikmu.
220
*Penulis merupakan mahasiswa Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan
ITB angkatan 2015, alumni SMA Negeri 2 Purwokerto dan peraih medali perunggu
di International Earth Science Olympiad di Brazil.
221