institutional repository uin syarif hidayatullah jakarta:...
TRANSCRIPT
CIVIL SOCIETY DAN PARTAI POLITIK
Studi terhadap NU
Sebagai Kekuatan Politik
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
NADYA NURUL MILLA
NIM: 11141120000056
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440H/2019 M
v
ABSTRAK
CIVIL SOCIETY DAN PARTAI POLITIK
(Studi terhadap NU Sebagai Kekuatan Politik)
Skripsi ini membahas mengenai Nahdlatul Ulama (NU) organisasi sosial
kemasyarakatan sebagai civil society (masyarakat sipil) dan partai politik yang
kemudian menjadi kekuatan politik. Pada 1926 NU adalah organisasi
kemasyarakatan, karena itu ia dikategorikan sebagai masyarakat sipil. Setelah adanya
fusi partai pada 1973 menjadi PPP, NU kembali ke Khittah 1926 yang artinya
menjadi organisasi sosial kemasyarakatan kembali pada 1984. Pada periode tertentu,
NU menjadi partai politik tepatnya pada 1952 dan berlanjut sampai pada masa Orde
Baru tahun 1971. Memasuki awal Reformasi, PBNU membidani berdirinya partai
politik yaitu PKB. Secara struktural, PKB memang menjadi bagian dari NU. Jadi, NU
tetap sebagai civil society tetapi NU juga mendirikan partai politik, bukan menjadi
partai politik. NU pada perjalanan sejarahnya menjadi civil society dan partai politik,
pada ujungnya menjadi kekuatan politik. Kekuatan politik dibagi dalam dua konteks,
yaitu institusi dan individu. Kekuatan politik institusi merupakan keterlibatan aktor-
aktor NU di dalam kabinet pemerintahan Orde Lama dan Reformasi sedangkan
kekuatan politik individu merupakan aktor-aktor NU yang terlibat di dalam partai
politik.
Penulis menggunakan tiga teori yaitu, civil society atau masyarakat sipil
menurut Larry Diamond, Alexis de Tocqueville, AS Hikam, partai politik menurut
Sigmund Neumann, Sigit Pamungkas, dan kekuatan politik. Ketika NU sebagai civil
society dan ketika NU menjadi partai politik, sebagian dari pengurus maupun di luar
pengurus NU menjadi bagian dari kekuasaan. Kekuatan politik tersebut adalah
beberapa secara struktural sebagian pengurus NU menjadi bagian dari pemerintah,
begitu juga sebagian aktor-aktor NU menjadi bagian dari pemerintah baik menjadi
menteri dan pejabat-pejabat lainnya. Hal itu disebut sebagai kekuatan NU.
Kata Kunci : NU, civil society, khittah 1926, partai politik, kekuatan politik.
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: Civil Society dan
Kekuatan Politik (Studi terhadap NU Sebagai Kekuatan Politik) disusun untuk
memenuhi salah satu syarat menyelesaikan studi serta dalam rangka memperoleh
gelar Sarjana Sosial Strata Satu pada Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari, bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak
terdapat kekurangan mengingat terbatasnya kemampuan penulis, namun berkat
rahmat Allah SWT serta pengarahan dan bimbingan dari berbagai pihak akhirnya
skripsi ini dapat diselesaikan.
Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Lubis, M.A, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Dr. Ali Munhanif, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Iding Rosyidin, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas bimbingannya selama
ini.
4. Suryani, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik FISIP UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih atas bimbingan, kritikan dan
dorongannya selama ini.
vii
5. Dr. Idris Thaha, M.Si, selaku dosen pembimbing, terimakasih telah
mengarahkan serta memberi saran dan kritik dengan sabar dalam
penyusunan skripsi ini.
6. Seluruh dosen di Program Studi Ilmu Politik yang telah mengajarkan,
memberikan ilmu yang berguna dan bermanfaat bagi penulis.
7. K.H. Fahrurozi, H. Muhammad Najihun S.Th.I, H. Sofyan Hadi, Imam
Buchori, Muhammad Imdadun Rahmat yang telah bersedia menjadi
narasumber dalam penelitian ini.
8. Orang tua tercinta H. Solahuddin Ahmad SE. MM, Hj. Elfia S.PdI, serta
kedua Abang dan Adik (Ahmad Ghifari Solahuddin, Fahreza Ahmad dan
Keysa Imtiyaz) yang selalu memberikan dukungan dan doa yang tidak
pernah ada habisnya kepada penulis.
9. Sahabat penulis Berlyyana Harinto Wati S.H yang selalu memberikan
semangat dan doa kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian ini.
10. Teman seperbimbingan Salsabila Larasati, Mardhiyullah, Mahlizar, Yasser
Hutabarat, Rudi Saputra. Terimakasih telah saling memberi dukungan saat
menyelesaikan penelitian.
11. Teman Seperjuangan Ilmu Politik B 2014, Anita Aprilia, Hisyam Jauhari,
M. Aprizal, Hammardan Gazalba, Mardhiyullah, Oktavia Dwi, Niswatun
Nafiah, Wova Triansyah, Harumbi Prasetya, Alvin Esa Priatna, Reno
Meidi, Barri, Najmawan, Aufarmario, Rizky Ikhwani, Fahmil, Rizky
Sinulingga, dan lainnya. Terimakasih telah menjadi teman yang
memberikan kenangan terindah semasa kuliah.
12. Semua teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu-satu, terima kasih
atas dukungan serta doa yang telah diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian ini.
viii
Setelah melewati proses yang panjang, akhirnya penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini dengan baik. Penulis sangat berterima kasih, semoga Allah SWT
senantiasa melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada pihak-pihak yang telah
membantu dalam penulisan penelitian ini. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi para pembaca.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Ciputat, 13 Agustus 2019
Nadya Nurul Milla
ix
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ............................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .......................... iv
ABSTRAKSI .................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. ix
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xi
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................... xii
BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 6
C.1.Tujuan Penelitian…………………………………………… ....... 6
C.2. Manfaat Penelitian……………………………………………… 6
D. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 6
E. Metode Penelitian................................................................................. 9
E.1. Jenis Penelitian ............................................................................. 9
E.2. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 9
E.3. Teknik Analisis Data .................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan .......................................................................... 11
BAB II : KERANGKA TEORI DAN KONSEP ........................................ 14
A. Civil Society ......................................................................................... 14
B. Partai Politik ........................................................................................ 17
C. Relasi Partai Politik dan Civil Society ................................................. 20
D. Kekuatan Politik ................................................................................... 23
BAB III : GAMBARAN UMUM NAHDLATUL ULAMA
DAN POLITIK ............................................................................................... 27
A. NU dan Civil Society ........................................................................... 27
A.1. NU Sebagai Organisasi Kegamaan ............................................. 27
A.2. NU Kembali ke Khittah 1926....................................................... 29
x
B. NU dan Partai Politik ........................................................................... 34
B.1. NU Menjadi Partai Politik: Partai NU ......................................... 34
B.2. NU Mendirikan Partai Politik: PKB ............................................. 40
C. Paham Ahlussunnah wal Jama’ah ....................................................... 47
BAB IV : NU DAN KEKUATAN POLITIK .............................................. 51
A. Keterlibatan Aktor NU dalam Politik Praktis ...................................... 51
B. Aktor NU Sebagai Wakil Institusi dalam Kabinet Pemerintahan ........ 53
B.1. Aktor-Aktor NU Sebagai Wakil Partai dalam Kabinet
Orde Lama: Partai NU ......................................................................... 53
B.2. Aktor-Aktor NU Sebagai Wakil Partai dalam Kabinet
Reformasi: PKB ................................................................................... 61
C. Aktor NU Sebagai Wakil Individu dalam Kabinet Pemerintahan ....... 66
BAB V : PENUTUP ...................................................................................... 71
A. Kesimpulan .......................................................................................... 71
B. Saran ..................................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 74
xi
DAFTAR TABEL
Tabel II. C. 1. Kelompok dan Sumber Kekuasaan…………………. 21
Tabel III. B. 1. Perolehan Suara dan Kursi pada Pemilu 1955……... 32
Tabel III. B. 2. Perolehan Suara dan Kursi pada Pemilu 1971……... 33
Tabel III. B. 3 . Perolehan Suara dan Kursi pada Pemilu 1999……… 42
Tabel III. B. 4. Perolehan Suara dan Kursi pada Pemilu 2004……… 42
xii
DAFTAR SINGKATAN
ADIA : Akademi Dinas Ilmu Agama
DPC : Dewan Pimpinan Cabang
DPP : Dewan Pimpinan Pusat
DPR : Dewan Perwakilan Rakyat
GAPPI : Gabungan Partai Politik Indonesia
Golkar : Golongan Karya
GP Anshor : Gerakan Pemuda Anshor
GPII : Gerakan Pemuda Islam Indonesia
IAIN : Institut Agama Islam Negeri
IPKI : Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
IPNU : Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama
LKKNU : Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama
MIAI : Majelis Islam A’la Indonesia
MI : Muslimin Indonesia
Munas : Musyawarah Nasional
Murba : Musyawarah Rakyat Banyak
MWC : Majelis Wakil Cabang
NU : Nahdlatul Ulama
NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia
Parmusi : Partai Muslimin Indonesia
PAN : Partai Amanat Nasional
Parkindo : Partai Kristen Indonesia
PBNU : Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa
PCNU : Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama
xiii
PDIP : Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
PERTI : Pergerakan Tarbiyah Islamiyah
PETA : Pembela Tanah Air
PERTANU : Persatuan Tani NU
PEKADE : Partai Kejayaan Demokrasi
PKB : Partai Kebangkitan Bangsa
PKU : Partai Kebangkitan Umat
PKNU : Partai Kebangkitan Nasional Ulama
PKS : Partai Keadilan Sejahtera
Pilkada : Pemilihan Kepala Daerah
Pilgub : Pemilihan Gubernur
Pilpres : Pemilihan Presiden
Pileg : Pemilihan Legislatif
PPNUI : Partai Persatuan Nahdlatul Ulama Indonesia
PUI : Partai Umat Islam
PNI : Partai Nasional Indonesia
PMII : Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
PNU : Partai Nahdlatul Ulama
PPP : Partai Persatuan Pembangunan
PP : Pengurus Pusat
PSII : Partai Sarekat Islam Indonesia
PTAIN : Perguruan Tinggi Agama Islam
PW : Pengurus Wilayah
RI : Republik Indonesia
SI : Syarikat Islam
SUNI : Solidaritas Uni Nasional Indonesia
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian ini membahas mengenai Nahdlatul Ulama (NU), organisasi
keagamaan tersbesar di Indonesia yang dikategorikan sebagai civil society. Dalam
perjalanannya, NU pada 1952 memproklamirkan diri sebagai partai politik dan pada
1983 memutuskan untuk kembali ke Khittah 1926. Keterlibatan NU dapat dinyatakan
tidak hanya sebagai civil society, karena pada sejarahnya NU membentuk kekuatan
politik melalui PKB yang didirikan oleh Warga Nahdliyin.1
NU merupakan organisasi yang lebih awal berkenalan dengan gagasan civil
society dan diterjemahkan oleh kalangan NU sebagai “masyarakat sipil”. Istilah
masyarakat sipil diperkenalkan oleh Muhammad AS Hikam dalam disertasinya di
Universitas Hawaii, Amerika Serikat. Intelektual muda ini merupakan orang pertama
yang gencar mengenalkan istilah tersebut di kalangan Nahdliyin.2
NU merupakan aset bangsa yang mempunyai modal besar untuk menjadi
kekuatan civil society di Indonesia. Hal ini, misalnya, dapat dilihat ketika NU di
bawah kepemimpinan Abdurahman Wahid pada 1984-1998. Pada saat itu, NU
1 Kang Young Soo, Antara Tradisi dan Konflik: Kepolitikan Nahdlatul Ulama, (Jakarta:UI-
Press, 2007), h. 77 2 Hendro Prasetyo dan Ali Munhanif, Islam & Civil Society, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2002), h. 81
2
mengambil posisi di luar pemerintahan dan selalu mengontrol pemerintahan. Seperti
diketahui, orde baru dipimpin oleh kalangan militer.3
NU dapat dikategorikan sebagai masyarakat sipil. Hal ini karena NU dapat
mengambil posisi yang tidak terikat pada pihak manapun, termasuk pemerintah.
Karena tidak berpihak kemanapun, NU bisa bekerja sama dan juga mengontrol
pemerintah.4
Melihat perkembangan selanjutnya dari NU, selain sebagai masyarakat sipil,
NU mulai masuk ke dalam kegiatan politik. Pertama kali NU bergabung dengan
Masyumi pada 1945 bersama tiga organisasi lainnya yaitu Muhammadiyah, Persatuan
Umat Islam, dan Persatuan Umat Islam Indonesia.5 Hubungan NU dan Masyumi
rupanya tidak bagus. NU memutuskan untuk keluar dan membuat partai sendiri yaitu
Partai NU pada 1952.
Partai NU mengikuti pemilu tahun 1955 dan 1971. Dalam pemilu tersebut
Partai NU mendapat urutan ketiga pada pemilu 1955 dan urutan kedua pada pemilu
1971. Pada pemilu tahun 1971, sebagai partai Islam NU dengan kekuatan dari
3 Khamami Zada dan A. Fawaid Sjadzili, Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik
Kenegaraan, (Jakarta: Kompas, 2010) h. 38-39 4 Aditya Perdana, “Civil Society dan Partai Politik Dalam Demokratisasi di Indonesia”,
(Dinamika Politik Lokal di Indonesia, Seminar Internasional, Salatiga, 28-30 Juli 2009), h. 9 5 Perjalanan politik NU pertama kali yaitu bergabung dengan Masyumi, namun dengan
adanya kekecewaan yang muncul dari pihak NU terhadap Masyumi membuat NU memutuskan untuk
keluar dan membuat partai sendiri. Lihat Nur Khalik Ridwan, NU dan Bangsa: Pergulatan Politik dan
Kekuasaan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 62-65
3
kelompok NU mampu mendapat peningkatan perolehan suara dan menjadi peringkat
dua di atas partai-partai Islam lainnya.6
Partai NU bersama tiga partai Islam yaitu, Parmusi (Partai Muslimin
Indonesia), PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia), PERTI (Pergerakan Tarbiyah
Islamiyah), pada 1973 melakukan fusi partai politik ke dalam PPP (Partai Persatuan
Pembangunan). Dalam perjalanan NU di PPP ternyata membuat NU kembali
merasakan mendapat posisi yang tidak penting. Seperti pada masa NU bergabung
dengan Masyumi yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. NU dalam
PPP tidak memiliki akses untuk menyuarakan aspirasi mereka. NU benar-benar tidak
mempunyai kekuatan di PPP, karena upaya yang sudah diberikan oleh NU tidak
sepadan dengan hasil yang dicapai. Dalam hal ini, NU secara organisatoris memilih
untuk keluar dari PPP.7
Dalam Muktamar NU ke-27 Desember 1984 di Situbondo, NU menyatakan
keluar dari PPP dan kembali ke Khittah 1926. Khittah 1926 merujuk kepada garis dan
nilai-nilai perjuangan NU yaitu jam’iyyah diniyah ijtimaiyah yakni organisasi atau
perkumpulan keagamaan. Dengan keputusan tersebut, secara organisasi perjalanan
politik praktis NU berakhir.8
6 Pada tahun 1952 NU menetapkan diri sebagai partai politik. Lalu NU berhasil meraih suara
terbesar kedua dalam pemilu tahun 1955 yaitu 18,41%, tidak sampai disitu NU kembali berhasil
diurutan pertama sebagai partai Islam dalam pemilu 1971 dengan suara 18,68%. Lihat Ridho Al-
Hamdi, Partai Politik Islam: Teori dan Praktik di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 81 7 Sahar L. Hassan, Kuat Sukardiyono, dan Dadi M.H. Basri, Memilih Partai Islam,
(Jakarta: Gema Insani, 1989), h. 207 8 STAI Al Anwar, “Perjalanan Sejarah Politik NU Sejak Berdiri Hingga Keputusan Kembali
ke Khittah”, www.staialanwar.ac.id, pada 5 April 2017
4
Kembalinya NU menjadi organisasi keagamaan ternyata tidak membuat NU
lepas dari politik. NU memutuskan untuk membidani partai politik, hal itu
dikarenakan NU ingin meneruskan jalanya dalam kehidupan sosialm ekonomi, dan
keagamaan. Alasan NU tersebut karena NU memandang bahwa partai politik dapat
jatuh setiap saat, lain halnya dengan organisasi kemasyarakatan yang lebih bisa
dipertahankan keberadaannya. Maka dari itu, untuk area politik NU membidani
lahirnya PKB dan NU tetap menjadi organisasi.9
Pada awal reformasi, PBNU membidani berdirinya partai politik yaitu PKB.
Secara struktural PKB memang menajdi bagian dari NU. Jadi, NU tetap menjadi civil
society tetapi NU juga mendirikan partai politik bukan menjadi partai politik. Namun,
sebagian kalangan Nahdliyin yang tidak menjadi bagian dari PKB mendirikan partai
politik yang tidak ada hubungannya dengan NU sebagai organisasi kemasyarakatan.
Partai-partai tersebut adalah PKU (Partai Kebangkitan Umat) yang diketuai oleh KH.
Yusuf Hasyim, PNU (Partai Nahdlatul Ulama) yang diketuai oleh KH. Syukron
Ma’mun, dan SUNI (Solidaritas Uni Nasional Indonesia) yang diketuai oleh H. Abu
Hasan. Mereka adalah kalangan Nahdlyin yang tidak ada hubungannya dengan NU
secara struktural, tetapi didirikan oleh kalangan Nahdliyin.10
9 Chris Manning dan Peter van Diermen, Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-Aspek Sosial
dari Reformasi Krisis, (Yogyakarta: LKis, 2000), h. 389 10
Musa Kazhim dan Alfian Hamzah, 5 Partai dalam Pertimbangan: Analisis dan Prospek,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1999)., h. 276
5
PKB didirikan pada 23 Juli 1998 dengan menaruh Pancasila sebagai asas
partainya. Prinsip dari perjuangan PKB adalah pengabdian kepada Allah SWT,
menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuruan, menegakkan keadilan, menjaga
persatuan, menumbuhkan persaudaraan dan kebersamaan sesuai dengan nilai-nilai
Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah.11
PKB yang dipimpin oleh politisi NU yaitu Matori abdul Jalil mempunyai
sebuah tujuan. Tujuan tersebut yaitu akan mengangkat kembali peran politik NU serta
PKB akan menjadi jalan untuk warga Nahdliyin memperjuangkan kembali
kepentingan-kepentingan politiknya. PKB akan bertarung dengan partai politik lain
dalam pemilu untuk berebut dukungan untuk menentukan berapa jumlah para
wakilnya di parlemen.12
PKB dalam hal ini sangat menonjol sebagai wadah dari
politik NU.
NU pada sejarahnya menjadi civil society dan partai politik. Pada ujungnya
NU menjadi kekuatan politik, yang disebut kekuatan politik adalah beberapa
pengurus NU secara struktural menjadi bagian dari pemerintah. Begitu juga dengan
sebagian elite NU yang menjadi bagian dari pemerintah, baik menjadi menteri dan
pejabat-pejabat lainnya. Hal itu yang disebut sebagai kekuatan politik NU.13
11
Ridho Al-Hamdi, Partai Politik Islam: Teori dan Praktik di Indonesia, h. 100-106 12
Musa Kazhim dan Alfian Hamzah, 5 Partai dalam Pertimbangan: Analisis dan Prospek. h.
276
13
Khamami Zada dan A. Fawaid Sjadzili, Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik
Kenegaraan, h. 73
6
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan pernyataan masalah yang telah diuraikan, maka permasalahan
yang diteliti penulis rumuskan dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana transformasi NU menjadi kekuatan politik sebagai civil society
dan partai politik?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
C.1. Tujuan
1. Untuk mengetahui latar belakang NU sebagai civil society dan partai
politik menjadi kekuatan politik.
C.2. Manfaat
Tujuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan lebih tentang
organisasi Islam yang ada di Indonesia terutama NU, dan berharap dengan penelitian
ini dapat menjadi sumber informasi atau rujukan untuk penelitian selanjutnya.
Khususnya terkait civil society, partai politik dan kekuatan politik.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam melakukan penelitian ini, penulis mengkaji serta menguraikan
beberapa buku dan literatur di antaranya yaitu:
Pertama, karya Anisa Hidayati.14
Garis besar bahasan penelitian ini adalah
untuk melihat Khittah 1926 yang diimplementasikan di era reformasi khususnya pada
Muslimat NU periode 2011-2014. Keterlibatan Ketua Umum PP Muslimat NU
14
Anisa Hidayati, “Nahdlatul Ulama (NU) di Era Reformasi: Studi Tentang Muslimat NU
Periode 2011-2014 dan Khittah NU 1926”, (Skripsi, Fakutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015)
7
periode 2011-2014 dalam politik menunjukkan bahwa Khittah 1926 tidak
terimplementasikan dengan baik, sehingga keputusan Khittah 1926 sudah tidak
relevan diterapkan pada era reformasi.
Kedua, karya Esty Ekawati.15
Penelitian Esty terkait dengan NU sebagai civil
society di Indonesia. NU sebagaimana organisasi sosial yang mencoba
mengembangkan independensinya mempunyai potensi memperkuat civil society di
Indonesia, selayaknya kelompok pro demokrasi lainnya. Aktivitas-aktivitas NU
dalam bidang pendidikan, sosial kemanusiaan dan pengembangan demokrasi telah
membawa NU pada posisi civil society di Indonesia yang berperan aktif dalam
menghasilkan tokoh-tokoh yang hebat salah satunya adalah Abdurahman Wahid.
Abdurahman Wahid merupakan tokoh Islam yang menghargai pluralisme dan
demokrasi.
Ketiga, karya Putranto Argi Noviantoko.16
Dalam Penelitian ini dijelaskan
mengenai perjalanan NU di partai Masyumi pada 1945-1952. Lalu, penelitian ini juga
menjelaskan peranan NU dalam menjalankan fungsi faksi politik di partai Masyumi
pada 1945-1952. Penelitian ini menggunakan dua teori yaitu, teori partai politik dan
teori faksi. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah ditemukannya aktor-
aktor yang terlibat di Masyumi memiliki corak yang berbeda seperti latar belakang,
nilai, ideologi, tujuan, dan visi misi.
15
Esty Ekawati, “Nahdlatul Ulama (NU) Sebagai Civil Society di Indonesia”, “Jurnal
Penelitian Ilmu Sosial dan Ilmu Keagamaan”, Vol. 13 No. 2, Juli-Desember 2016 16
Putranto Argi Noviantoko, “Peran Nahdlatul Ulama di Partai Masyumi Pada Tahun 1945-
1952”, (Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gajah Mada, 2017)
8
Keempat, karya Mochamad Parmudi.17
Penelitian ini secara umum tidak
menjelaskan tentang NU, tetapi hanya menjelaskan tentang civil society. Parmudi
membahas kebangkitan civil society di Indonesia. Parmudi membagi pembahasan
tersebut dalam beberapa gerakan sosial yaitu, resistensi simbolik, resistensi ini
bertujuan untuk menampilkan berbagai keluhan dan gugatan simbolik dalam bentuk
tulisan, pertunjukan seni, sampai diskusi. Resistensi pragmatis, resistensi yang
melibatkan organisasi masyarakat, partai politik, bahkan mahasiswa yang mempunyai
tujuan untuk melakukan reaksi langsung terhadap kebijaksanaan pemerintah yang
sedang berjalan. Resistensi simbolik-pragmatis, merupakan aksi langsung dan tidak
langsung yang akan menciptakan situasi sosial-politik yang lebih baik terutama untuk
rakyat-rakyat kecil. Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa, kebangkitan civil
society seharusnya tidak dinodai dengan fanatisme golongan. Karena itu perlu
kehadiran pemimpin yang sanggup mendorong pendewasaan civil society agar
terbebas dari sentimen golongan.
Kelima, karya Halili.18
Penelitian ini secara umum berfokus pada pembahasan
civil society, tidak menjelaskan tentang NU. Halili menganalisis tentang prospek
pengembangan civil society di Indonesia dengan mengacu pada komponen-komponen
civil society. Halili menjelaskan komponen-komponen tersebut seperti, otonomi,
akses masyarakat terhadap lembaga negara, area publik yang mandiri dan area publik
17
Mochamad Parmudi, “Kebangkitan Civil Society di Indonesia”, “Jurnal at-Taqaddum, UIN
Walisongo”, Vol. 7 No. 2, November 2015 18
Halili, “Masa Depan Civil Society di Indonesia: Prospek dan Tantangan”, “Jurnal Kajian
Kewarganegaraan”, Vol. 3 No. 2, Desember 2006
9
yang terbuka. Masa depan civil society di Indonesia ditentukan oleh penguatan
komponen-komponen yang ada dalam masyarakat dan proses pembentukan civil
society tidak mudah karena harus melalui tantangan-tantangan yang ada dalam
masyarakat, salah satunya adalah budaya di dalam masyarakat itu.
E. Metode Penelitian
Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan beberapa metode
penelitian sebagai berikut:
E.1. Jenis Penelitian
Penulisan penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif sangat cocok untuk mengembangkan teori, khususnya teori yang dibangun
berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan. Dengan metode kualitatif, peneliti
melakukan penjelajahan awal, kemudian mengumpulkan data untuk dianalisis
sehingga dapat ditemukan hipotesis berupa hubungan antar gejala yang diteliti.
Hipotesis ini kemudian diverivikasi dengan pengumpulan data yang lebih mendalam
lagi. Jika hipotesis tebukti maka akan menjadi teori.19
E.2. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara kepada narasumber terkait dengan objek yang diteliti melalui
tanya jawab. Pertanyaan-pertanyaan ditujukan kepada informan yang telah
dipilih, yaitu K.H. Fahrurozi selaku ketua PCNU Jakarta Barat, H.
19
Eko Sugiarto, Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif: Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta:
Suaka Media, 2015), h. 10
10
Muhammad Najihun S.Th.I selaku calon anggota DPR RI PKB Dapil Jakarta
III 2019, H. Sofyan Hadi selaku wakil ketua DPC PPP Jakarta Barat dan
wakil Sekretaris NU MWC Kecamatan Kalideres, Imam Buchori selaku
Kepala Bidang Lembaga Pendidikan Ma’arif NU dan Koordinator Bidang
Hubungan Antara Lembaga PBNU, Imdadun Rahmat selaku wakil Sekjen
PBNU. Teknik metode wawancara ini memberikan informasi dan
mengumpulkan data langsung dari narasumber.
b. Dokumentasi
Metode dokumentasi dilakukan dengan studi kepustakaan mengenai hal-hal
yang sesuai dengan penelitian penulis melalui, 5 (lima) jurnal, 22 (dua puluh
dua) buku, 6 (enam) surat kabar, dan lain-lain. Hal ini sebagai penguat dari
hasil penelitian dan metode dokumentasi ini merupakan pelengkap dari
metode wawancara dalam penelitian kualitatif. Adapun sumber data dari
teknik ini adalah data sekunder.
E.3. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian kualitatif data-data disajikan secara naratif. Analisis data ini
temasuk kedalam penelitian deskriptif yang mendetail tentang situasi, kegiatan, atau
peristiwa maupun fenomena tertentu, baik menyangkut manusianya maupun
hubungannya dengan manusia. Data kualitatif ini langsung dari pendapat orang-orang
11
yang telah berpengalaman, pandangannnya serta sikapnya, dokumen-dokumen,
sejarah.20
Teknik analisis data dalam penelitian kualitatif ini berdasarkan teori civil
society, partai politik dan kekuatan politik kemudian dari hasil analisis data tersebut
dapat ditarik kesimpulan.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini penulis membaginya dalam lima bab
dengan beberapa sub bab di dalamnya, yakni:
Pada Bab I, penulis menjelaskan fokus latar belakang dan menguraikannya.
Transformasi NU sebagai civil society mulai memasuki dunia politik dengan
menjadikan dirinya sebagai partai. Namun dalam perjalanannya NU memutuskan
untuk kembali menjadi organisasi keagamaan (Khittah 1926). Pada saat NU menjadi
civil society dan partai politik, secara bersamaan mereka merupakan kekuatan politik.
Bab ini juga menguraikan perumusan masalah yang terdiri dari satu pertanyaan yaitu
terkait dengan kekuatan politik sebagai civil society dan partai politik serta memiliki
tujuan dan manfaat penelitian. Penulis juga membuat tinjauan pustaka dan metode
penelitian untuk memudahkan memperoleh data-data penelitian.
Pada Bab II, merupakan pemaparan teori dan konsep. Penulis menggunakan
teori civil society, untuk menganalisis NU organisasi keagamaan yang dikategorikan
sebagai civil society atau masyarakat sipil menjadi kekuatan politik. Teori partai
20
A. Muri Yusuf, Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan, (Jakarta:
Prenamedia Group, 2014), h. 331
12
politik, untuk membahas mengenai NU yang menjadi partai sampai melahirkan partai
sehingga NU mampu menjadi kekuatan politik. Teori kekuatan politik, yang
diuraikan pada keterlibatan elite-elite NU di dalam kabinet. Dalam hal ini, ketiga
teori tersebut diambil sebagai alat analisis terhadap masalah penelitian yang penulis
teliti.
Pada Bab III, menjelaskan gambaran umum dinamika NU sebagai organisasi
keagamaan yang secara historis pernah menjadi partai politik dan kembali menjadi
kekuatan sosial (Khittah 1926) tanpa secara langsung menjadi partai politik di era
reformasi. Bab ini juga memberikan pembahasan sedikit pemahaman Ahlussunah wal
Jama’ah sebagai pelengkap sejarah NU dalam penelitian ini.
Pada Bab IV, penulis memaparkan hasil penelitian dan analisis yang diperoleh
dari pengumpulan data wawancara dan dokumentasi dengan lima narasumber. Hasil
penelitian tersebut menjelaskan secara mendalam keterlibatan elite-elite NU dalam
politik praktis. Untuk melengkapi bab-bab sebelumnya, pada bab ini mejelaskan
keterlibatan NU di kabinet Orde Baru, Reformasi, dan dalam partai politik.
Pada Bab V, penulis menyimpulkan bahwa NU dapat dikategorikan sebagai
civil society dan sekaligus sebagai partai politik. Pada saat bersamaan NU menjadi
kekuatan politik. Secara struktural NU menempatkan beberapa aktornya di dalam
pemerintahan, misalnya pada pemerintahan Kabinet Natsir yaitu KH. Wahid Hasyim
sebagai Menteri Agama, KH. Idham Chalid sebagai Wakil Perdana Menteri Kedua.
13
Begitu juga beberapa sebagian aktor yang di luar struktural NU menjadi bagian dari
pemerintahan, misalnya, Djan Faridz, Lukman Hakim Saifuddin, Hamza Haz, dan
Idrus Marham merupakan politisi dari Golkar.
14
BAB II
KERANGKA TEORI DAN KONSEP
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumya, NU dapat dikategorikan
sebagai civil society, partai politik dan kekuatan politik. Untuk melengkapi
pembahasan dalam bab ini, perlu diuraikan apa yang dimaksud dari civil society dan
partai politik. Tidak hanya dua hal tersebut, ternyata NU pada akhirnya menjadi
kekuatan politik. Untuk keperluan pembahasan mengenai civil society dan partai
politik, di sini penulis lebih mengutamakan untuk menjelaskan civil society menurut
Larry Diamond, Alexis de Tocqueville dan AS Hikam, partai politik menurut
Sigmund Neumann dan Sigit Pamungkas.
A. Civil Society (Masyarakat Sipil)
Konsep civil society mulai berkembang di Barat, yang kemudian banyak
bangsa dan masyarakat di negara berkembang termasuk Indonesia secara antusias
mengkaji dan mengembangkan. Di Indonesia pembicaraan dan pembahasan
mengenai civil society sudah diperbincangkan secara meluas sejak akhir tahu 1970-
an. Sejak awal kemunculannya sampai sekarang istilah civil society memiliki istilah
yang bermacam-macam.1
Teori yang menjelaskan tentang civil society, banyak dijelaskan oleh para
tokoh seperti Larry Diamond dan Alexis de Tocqueville. Menurut Larry Diamond,
1 Heri Herdianto dan Fokky Fuad Wasitaatmadja, Kewarganegaraan & Masyarakat Madani,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2019), h. 265
15
civil society merupakan kehidupan sosial yang terstruktur melibatkan warga negara
untuk bertindak pada wilayah publik dalam memperjuangkan kepentingannya. Civil
society mempunyai ruang, yang mewadahi antara individu dan kelompok dapat saling
berinteraksi. Ruang tersebut dapat digunakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
memperbaiki struktur atau fungsi negara.2
Menurut Alexis de Tocqueville, civil society sebagai kekuatan politik sendiri
merupakan kekuatan pengimbang yang dapat melakukan check and balance terhadap
kekuatan negara dengan bentuk organisasi, asosiasi yang bercirikan kesukarelaan dan
swadaya ketika beradapan dengan negara, namun tetap mempunyai kepatuhan
terhadap norma dan nilai hukum yang berlaku. Dalam hal ini masyarakat dapat
melakukan partisipasi mengenai pembuatan kebijakan-kebijakan publik dalam sebuah
negara dan dapat saling berinteraksi dengan semangat toleransi.3
Seperti yang telah disinggung pada bab sebelumnya. Wacana civil society
semakin berkembang luas di masyarakat muslim dengan memiliki beragam
pemaknaan. Pada kalangan muslim tradisional, civil society dipahami sebagai
masyarakat sipil, sedangkan pada kalangan muslim modernis, civil society dipahami
sebagai masyarakat madani.4
2 Larry Diamond, Developing Democracy, Toward Consolidation, (Baltimore: The Johns
Hopkins University Press, 1999), h. 221 3 Lutfi J Kurniawan, Negara, Civil society dan Demokratisasi: Pergerakan
MembangunSolidaritas Sosial dalam Merebut Perubahan, (Malang: In-TRANS Publishing, 2008), h.
68 4 Anwar Ibrahim, Menteri Keuangan dan Perdana menteri Malaysia dalam Festival Istiqlal
1995 mendefinisikan masyarakat madani sebagai sistem sosial yang subur diasakan kepada prinsip
moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat
mendorong daya usaha inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni ekonomi, dan teknologi. Sistem
16
Muhammad AS Hikam dalam disertasinya di Universitas Hawaii, Amerika
Serikat, memperkenalkan istilah civil society sebagai masyarakat sipil kepada
kalangan Nahdliyin. Dengan penjelasan sebagai berikut:
“Masyarakat sipil sebagai wilayah-wilayah kehidupan sosial yang
terorganisasi dan bercirikan, antara lain: kesukarelaan (voluntary),
keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting),
kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterikatan dengan norma-
norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.”5
Definisi masyarakat sipil di atas berwujud dalam berbagai organisasi yang
dibuat oleh masyarakat di luar kontrol negara. Seperti, LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat), organisasi sosial keagamaan, organisasi paguyuban, dan kelompok-
kelompok kepentingan.6
Dalam hal ini masyarakat dapat melakukan partisipasi mengenai pembuatan
kebijakan-kebijakan publik dalam sebuah negara dan dapat saling berinteraksi dengan
semangat toleransi. Ketika NU berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan, NU bisa
menjadi jembatan aspirasi bagi umat Islam, terlebih NU memiliki jamaah sekitar 80
juta. Jumlah jamaah NU dapat menjadi kekuatan massa dalam kontestasi pemilihan
umum untuk mendapat suara. Maka tidak berlebihan jika penulis menyimpulkan
bahwa NU sebagai masyarakat sipil bisa menjadi kekuatan politik.
sosial yang saksama serta pelaksanaan pemerintah mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau
keinginan individu menjadikan ketedugaan atau predictability serta ketulusan atau transparency
sebagai satu sistemnya. Lihat Hendro Prasetyo dan Ali Munhanif, Islam & Civil Society, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 157-158 5 Muhammad AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: Pustaka LP3ES, 1996), h. 3
6 Ibid., h. 3
17
B. Partai Politik
Istilah partai politik berawal dari membentuk sebuah wadah organisasi yang
terorganisir, dan mampu menampung berbagai ide atau pikiran yang sama dari
sekelompok orang, sehingga mudah memperoleh kekuasaan politik dan mudah untuk
mengambil keputusan.
Banyak definisi partai politik menurut beberapa kalangan. Sigmund Neumann,
partai politik adalah bentuk organisasi dari aktivis-aktivis politik yang bertujuan
untuk mengambil kekuasaan di pemerintahan serta mendapatkan dukungan dari
rakyat melalui persaingan antar kelompok atau antar partai yang disebut pemilu.7
Sejalan dengan itu, menurut Pamungkas partai politik merupakan organisasi
yang mengupayakan suatu nilai atau ideoloi melalui kekuasaan yang dimiliki dengan
mengikuti pemilu.8 Lebih jelasnya adalah, partai politik dijadikan sebagai alat
perjuangan sebuah kelompok yang mempunyai nilai dan diyakini pada sistem
kepartaiannya. Dengan nilai yang dimiliki, partai tersebut mampu meraih kekuasaan.
Kekuasaan tersebut dapat diraih melalui pertarungan antar partai politik di kontestasi
pemilu yang dilakukan secara jujur dan adil.
Terdapat beberapa pendekatan terhadap tipologi partai politik menurut
Almond yaitu, pertama, partai politik pada kelas masyarakat, kelas atas, kelas
menengah dan kelas bawah. Kedua, partai politik pada kelompok kepentingan
7 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013),
h. 404 8 Sigit Pamungkas, Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia, (Yogyakarta: Institute for
Democracy and Welfarism), h. 5
18
tertentu seperti kelompok petani, buruh, pengusahan dan guru. Ketiga, partai politik
yang berbasis agama seperti, Islam, Protestan, Katholik, dan Hindu. Keempat, partai
politik pada kelompok budaya, seperti suku bangsa, bahasa, dan daerah.9
Partai NU dapat dikatakan sebagai tipe partai politik yang berbasis agama
Islam. Karena, Partai NU ialah partai yang berasaskan Islam yang mempunyai tujuan
untuk menegakkan syariat islam serta melaksanakan berlakunya hukum-hukum Islam
dalam masyarakat.
Ahmad Norma Permata mengelompokkan partai Islam di Indonesia menjadi
tiga kategori sesuai dengan basis sosio-kultural keagamaan Muslim di Indonesia
yaitu, pertama, partai politik dalam kelompok Muslim tradisionalis seperti, NU, PKB
(Partai Kebangkitan Umat), PPP (Partai Persatuan Pembangunan), PKU (Partai
Kebangkitan Umat), PNU (Partai Nahdlatul Ulama), PKNU (Partai Kebangkitan
Nasional Ulama), dan PPNUI (Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia. Kedua,
partai politik dalam kelompok Muslim modernis seperti, Masyumi, Parmusi (Partai
Muslimin Indonesia), PAN (Partai Amanat Nasional), PBB (Perserikatan Bangsa-
Bangsa), PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), dan PUI (Partai Umat Islam). Ketiga,
partai politik kelompok Islamis, kelompok yang lahir di era Reformasi yang diwakili
oleh PKS (Partai Keadilan Sejahtera).10
9 Ridho Al-Hamdi, Partai Politik Islam: Teori dan Praktik di Indonesia, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2013)., h. 13 10
Ibid., h. 16
19
Partai politik Islam tradisionalis dipahami sebagai partai Islam yang memiliki
basis pendukung dari kalangan-kalangan muslim yang kuat yang ada di masyarakat
pedesaan. Kelompok tradisionalis berkembang di kalangan pesantren, dan basis partai
politik Islam tradisionalis, merujuk kepada organisasi Islam tradisional terbesar yaitu,
NU.11
Partai politik Islam tradisionalis mempunyai ciri-ciri tersendiri yaitu, pertama,
memiliki identitas yang sama yaitu “Islam tradisional” antara para elite dan basis
pendukung. Kedua, basis pendukung yang paling utama berasal dari kalangan
masyarakat pedesaan. Ketiga, partai berasaskan Islam. Keempat, khusus untuk PKB,
partai ini bukan hanya sekadar partai tradisional tetapi PKB dapat dikelompokkan
sebagai partai post-tradisionalis dengan berasaskan Pancasila. Partai post-tradisionalis
sendiri merupakan partai lanjutan dari kelompok tradisionalis yang terdiri dari
generasi-generasi pemikiran baru NU dan kelompok post-tradisionalis ini merupakan
titik temu antara kelompok modernis dan kelompok tradisionalis. Kelima, partai
Islam tradisionalis ini secara kultural, organisasi, dan individu sangat dekat dengan
NU.12
Sebagai partai dengan kategori post-tradisionalis, PKB merupakan partai yang
mempunyai ciri humanisme religius yang sangat peduli terhadap nilai-nilai
kemanusiaan yang agamis. PKB merupakan partai yang bersifat terbuka dalam lintas
agama, suku, ras, dan golongan yang diwujudkan dalam bentuk visi, misi,
11
Ibid., h. 17 12
Ibid., h. 17
20
keanggotaan serta kepemimpinan. Partai yang bersifat terbuka ini menolak campur
tangan orang lain dalam bentuk kekuasaan yang bertetangan dengan tujuan
didirikannya partai tersebut.13
C. Relasi Partai Politik dan Civil Society
Pada masa Yunani Kuno, pengertian civil society dan negara mempunyai
definisi yang sama yaitu koinomia politike (masyarakat politik) dimana setiap
manusia dikenal sebagai zoon politikon (makhluk politik). Dari pengertian tersebut,
terdapat sebagian memandang bahwa civil society memiliki keterikatan yang cukup
erat dengan negara termasuk partai politik.14
Civil society adalah sebuah kelompok masyarakat yang mempunyai ketegasan
dalam berbagai kepentingan akan kekuasaan. Civil society memiliki partisipasi aktif
dari semua warga negara yang tergabung di dalam organisasi atau kelompok sehingga
membentuk karakter demokratis di kelompok tersebut. Sedangkan partai politik
merupakan sebuah kelompok atau organisasi yang mengikuti pemilihan umum untuk
mencapai sebuah jabatan yang akan di duduki oleh calon-calon dari partai politik
tersebut. Dari pengertian tersebut, perbedaan antara civil society dan partai politik
dapat dilihat melalui aspek usaha meraih kekuasaan politik. Partai politik meraih
13
Musa Kazhim dan Alfian Hamzah, 5 Partai Dalam Timbangan: Analisis dan Prospek,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 246 14
Neera Chandhoke, Benturan Negara dan Masyarakat Sipil, (Yogyakarta: ISTAWA, 2001),
h. 115
21
kekuasaan politik melalui jalur pemilihan umum. Namun terdapat kesamaan di antara
keduanya yaitu dalam usaha untuk berkontribusi terhadap kepentingan publik.15
Beavis memberi tiga hal mendasar perihal pemahaman antara partai politik
dan civil society yaitu, pertama, tipe aktivitas yang menghubungkan antara partai
politik dan civil society. Kedua, kekuatan dari hubungan kedua instansi tersebut
khususnya dalam konteks seberapa dekat hubungan tersebut dibangun. Ketiga, arah
dari pengaruh dalam relasi kedua instansi tersebut.16
Aktivitas yang menghubungkan civil society dan partai politik lebih kepada
konteks pembuatan kebijakan publik seperti aksi advokasi atau me-lobi isu-isu yang
sedang diperbincangkan. Dalam konteks civil society, sebagai sebuah kelompok
kepentingan akan me-lobi partai politik di DPR untuk mendiskusikan tentang
kepentingan-kepentingan yang diajukan oleh kelompok tersebut dan civil society juga
mempunyai peran untuk mengawasi atau mengamati janji-janji yang telah dibuat para
kandidat partai serta para perilaku politisi-politisi DPR. Dalam konteks kebutuhan
partai, civil society sebagai sebuah lembaga yang memiliki sumber daya manusia
mempunyai para aktor yang disediakan untuk sebagai kandidat yang mampu
melaksankaan tugas dengan baik untuk ajang pemilu, baik legislatif ataupun
eksekutif. Dan selain itu civil society juga berperan untuk memobilisasi para pemilih
15
Aditya Perdana, “Civil Society dan Partai Politik Dalam Demokratisasi di Indonesia”,
“Jurnal Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Juli 2009 16
Aditya Perdana, “Civil Society dan Partai Politik Dalam Demokratisasi di Indonesia”,
“Jurnal Dinamika Politik Lokal di Indonesia”, Juli 2009
22
untuk memilih pemimpin partai politik yang sesuai dengan apa yang diharapkan oleh
pemilih.17
Dalam aspek kedekatan antara hubungan kedua institusi ini, Beavis
menyatakan ada beberapa arah relasi yang terkait pada civil society dan partai politik
yaitu pertama, civil society menghindari hubungan dengan partai politik. Civil society
berusaha tidak terlibat dalam kegiatan politik apapun supaya tidak diklaim
mempunyai aktivitas yang partisan. Begitupun partai politik yang tidak mempunyai
hubungan yang dekat dengan civil society. Kedua, civil society mempunyai komitmen
untuk mendukung partai politik secara menyeluruh dengan melihat agenda dan isu
yang mengarah pada kepentingan kelompok civil society tersebut sehingga tidak ada
keberpihakan khusus kepada salah satu partai. Partai politik mendapat dukungan dari
berbagai kelompok masyarakat dengan jangka waktu yang singkat karena tergantung
dari kepentingan yang seperti apa sehingga menjadi titik temu dari hubungan
tersebut. Ketiga, civil society mempunyai ikatan dengan satu partai politik, artinya
kelompok civil society menyediakan informasi atau pelatihan kepada satu partai
politik sehingga mereka biasanya memiliki sebuah ikatan yang kuat. Sedangkan
partai politik juga mempunyai hubungan yang erat dengan satu atau beberapa
kelompok civil society, hal ini dilihat berdasarkan adanya dukungan yang serius dari
satu kelompok ciivl society kepada satu partai politik.18
17
Ibid., 18
Ibid.,
23
Jika dilihat dari arah pengaruh relasi antara kedua instansi tersebut, tergantung
dari konteks bagaimana kepentingan itu berhasil dikelola. Seperti partai politik yang
sebenarnya mempunyai kelompok-kelompok civil society yang mempunyai pengaruh
besar sehingga partai politik juga mempunyai kekuasaan yang besar. Begitupun juga
civil society yang mempunyai tingkat independensi yang tinggi dibanding dengan
partai politik yang mudah dipengaruhi oleh situasi pada lingkungan sosial politik di
negara tersebut.19
D. Kekuatan Politik
Istilah kekuatan politik terdiri dari dua kata, kekuatan dan politik. Kekuatan
merupakan kemampuan suatu kelompok sosial budaya yang terlibat secara aktif
dalam dunia politik dan memiliki sumber power atau akses untuk memainkan peran
dalam kehidupan politik. Politik adalah suatu hal yang berurusan dengan kepentingan
orang banyak serta berhubungan dengan proses pembuatan perumusan keputusan
politik.20
Secara garis besar, kekuatan politik dapat diartikan dalam pengertian
individual maupun pengertian kelembagaan. Dalam pengertian individual, kekuatan-
kekuatan politik merupakan aktor-aktor politik yang mempunyai peran dalam
kehidupan politik, aktor-aktor tersebut hendak mempengaruhi proses pengambilan
keputusan politik. Sedangkan dalam kelembagaan, kekuatan politik merupakan
19
Ibid., 20
Haniah Hanafie dan Ana Sabhana Azmy, Kekuatan-Kekuatan Politik, (Depok:
RajaGrafindo Persada, 2018), h. 12
24
lembaga atau organisasi yang bertujuan untuk mempengaruhi proses pengambilan
keputusan dalam sistem politik.21
Kekuatan politik merupakan suatu kelompok sosial budaya yang
memengaruhi proses pembuatan dan perumusan keputusan politik dengan sumber
kekuasaan yang dimilikinya. Biasanya, kelompok yang memiliki sumber-sumber
kekuasaan yang tepat akan disebut sebagai kelompok yang memiliki kekuatan politik.
Tetapi dengan adanya kekuatan politik tersebut, menjadi tidak adil dengan adanya
ketidak berpihakan kepada masyarakat umum, sebab hanya sebagai kelompok
masyarakatlah yang memiliki sumber-sumber kekuasaan.22
Tabel II.C.1 Kelompok dan Sumber Kekuasaan23
NO. KELOMPOK SOSIAL BUDAYA SUMBER KEKUASAAN
1 Militer Senjata, Sistem Komando, Disiplin, dll
2 Pengusaha Modal
3 Mahasiswa Kekuatan Moral, Idealisme
4 Pers Informasi
5 Partai Politik Massa
6 Buruh Massa
7 Intelektual/Cendekiawan Ilmu/Kepandaian
8 Agama Kepercayaan
9 LSM Link, Dana, Informasi
10 Birokrasi Data
Tabel II.C.1 menunjukkan bahwa sumber kekuasaan sangat variatif. Penulis
dalam pembahasan ini menempatkan kelompok agama dan partai politik. Karena NU
21
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 52 22
Haniah Hanafie dan Ana Sabhana Azmy, Kekuatan-Kekuatan Politik, h. 13 23
Ibid., h. 12
25
merupakan organisasi Islam yang didirikan oleh para ulama dan sempat menjadi
partai politik serta membidani lahirnya partai politik.
Dalam konteks NU, kekuatan politik individu merupakan aktor-aktor NU
yang terlibat di dalam partai politik. Aktor-aktor tersebut yaitu, Djan Faridz dari PPP
sebgai Menteri Perumahan Rakyat periode 2011-2014, Lukman Hakim Saifuddin dari
PPP sebagai Menteri Agama periode 2014-2019, Idrus Marham dari Golkar sebagai
Menteri Sosial periode 2018, dan Hamza Haz sebagai Wakil Presiden Indonesia ke-9
periode 2001-2004, sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan
Pengentasan Kemiskinan Republik Indonesia periode 1999.
Dalam kekuatan politik institusi atau kelembagaan merupakan keterlibatan
aktor-aktor NU di dalam kabinet pemerintahan. Keterlibatan aktor-aktor NU
terbentuk sejak lama yaitu pada Orde Lama sampai Reformasi. Pada Orde lama
terdapat 10 (sepuluh) kabinet yaitu, Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman, Kabinet Ali
Sastroamidjojo Pertama, Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamidjojo
Kedua, Kabinet Karya, Kabinet Kerja, Kabinet Dwikora, Kabinet Dwikora Hasil
Reshuffle, dan Kabinet Ampera. Selanjutnya pada Reformasi terdapat 4 (empat)
kabinet yaitu, Kabinet Persatuan Nasional, Kabinet Kabinet Gotong Royong, Kabinet
Indonesia Bersatu I, Kabinet Indonesia Bersatu II, dan Kabinet Kerja. Dalam kabinet
tersebut, aktor-aktor NU mempunyai jabatan sebagai menteri yang mempunyai
pengaruh untuk pengambilan keputusan, seperti pada pengertian kekuatan politik
26
yang telah dijelaskan. Dan kabinet-kabinet yang telah disebutkan akan dijelaskan
secara rinci pada Bab IV.
Dalam konteks NU juga terdapat dua istilah yaitu NU struktural dan NU
kultural. NU struktural diartikan sebagai orang-orang NU yang masuk dalam
kepengurusan organisasi NU di syuriah dan tanfidziyah, baik ditingkat pusat,
wilayah, cabang, hingga tingkat ranting. Selain itu, orang-orang NU tersebut ditarik
oleh pemerintah untuk menjadi bagian dari pemerintahan. Lalu, NU kultural
merupakan orang-orang yang tidak menduduki jabatan penting di kepengurusan NU,
orang-orang tersebut di kenal sebagai keturunan dari pendiri NU. Dapat di katakan
bahwa orang-orang di kelompok kultural ini adalah NU sejak lahir. 24
24
NU Online, “NU Struktural Untuk Lengkapi NU Kultural”, www.nu.or.id, pada 7 Maret
2007
27
BAB III
GAMBARAN UMUM NAHDLATUL ULAMA DAN POLITIK
Pada bab ini penulis membahas mengenai sejarah berdirinya NU sebagai civil
society dan transformasi NU menjadi partai politik. Pembahasan lebih mendalam
terkait awal NU dari organisasi masyarakat/keagamaan menjadi partai politik, NU
kembali ke Khittah 1926, NU mendirikan partai politik yaitu PKB yang akhirnya
menjadi kekuatan politik. Melalui pembahasan ini, penulis juga membahas sedikit
mengenai pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah yang merupakan barometer NU
dalam mempraktekan keagamaan warga Nahdliyin.
A. NU dan Civil Society
A.1. NU sebagai Organisasi Keagamaan
NU merupakan organisasi keagamaan Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal
Jama’ah. Organisasi ini didirikan di Surabaya pada 31 Januari 1926 oleh sekelompok
ulama pesantren terkemuka. Tujuan didirikannya NU adalah untuk memperjuangkan
kepentingan Islam tradisional dan menjadi wadah bagi usaha mempersatukan langkah
para ulama pesantren. Organisasi ini tidak hanya fokus pada soal keagamaan namun
juga pada masalah-masalah sosial, ekonomi, serta persoalan kemasyarakatan pada
umunya.
Sebelum NU lahir sebagai jam’iyyah (organisasi), NU berwujud sebagai
jama‟ah atau komunitas yang aktivitas sosial keagamaannya sangat kuat. Awal
28
mulanya NU terbentuk dimulai dengan diadakannya pertemuan Komite Hijaz1 pada
31 Januari 1926/16 Rajab 1344 H yang dihadiri oleh para ulama, di antaranya adalah:
K.H. Hasyim Asy‟ari dari Tebuireng, Jombang, K.H. Abdul Wahab Hasbullah, K.H.
Bisri Syansuri dari Jombang, K.H. Raden Asnawi dari Kudus, K.H. Ma‟shum, K.H.
Nawawi dari Pasundan, K.H. Ridhwan, K.H. Abdul Fiqih dan H. Abdul Halim.
Pertemuan tersebut menghasilkan dua keputusan yaitu mengirim delegasi
untuk meminta kepada Raja Ibnu Sa‟ud agar memberlakukan kebebasan empat
mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hambali) dan menentukan nama organisasi
resmi.2 Setelah itu, muncul perdebatan untuk menentukan nama yang cocok untuk
menegakkan syariat Islam yang berhaluan salah satu dari empat mazhab. Perdebatan
tersebut menghasilkan dua usulan. KH. Abdul Hamid dari Sidayu Gresik
mengusulkan nama “Nuhudlul Ulama” (kebangkitan ulama) yang artinya para ulama
mulai bersiap-siap akan bangkit melalui wadah formal tersebut. Usulan itu disanggah
oleh KH. Mas Alwi bin Abdul Azis. Menurut Mas Alwi, kebangkitan ulama sudah
berlangsung sejak lama sebelum terbentuknya Komite Hijaz, walaupun kebangkitan
atau pergerakan para ulama belum terorganisasi dengan rapi.3
Mas Alwi lantas mengajukan usulan lain agar jam‟iyyah itu diberi nama
Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama) yang mempunyai arti lebih kepada “gerakan
1 Komite Hijaz adalah panitia khusus yang dibentuk oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah untuk
merumuskan sikap para ulama pemegang mazhab Ahlussunnah wal Jama;ah untuk disampaikan
kepada penguasa Hijaz, yairu Raja Ibnu Sa‟ud. 2 Kang Young Soon, Antara Tradisi dan Konflik: Kepolitikan Nahdlatul Ulama, (Jakarta: UI-
Press, 2007), h. 88 3 Choirul Anam, Pertumbuhan & Perkembangan NU, (Surabaya: Bisma Satu Surabaya,
1999), h. 4
29
serentak para ulama dalam suatu pengarahan atau gerakan bersama-sama yang
terorganisiasi”. Akhirnya usulan yang diterima adalah usulan dari Mas Alwi dan
perdebatan berakhir dengan hasil lahirnya jam‟iyyah Nahdlatul Ulama pada 31
Januari 1926 M di Surabaya dan ditetapkan sebagai hari lahir NU yang dipimpin oleh
K.H Hasyim Asy‟ari sebagai Rais Akbar.4
Organisasi ini berkembang sangat pesat. Pada Muktamar pertama NU tahun
1926 dihadiri oleh 96 kyai, Muktamar kedua tahun 1927 dihadiri 146 kyai dan 242
anggota, Muktamar 1928 dihadiri 260 kyai dan 35 cabang yang telah dibentuk, lalu di
tahun berikutnya NU telah mempunyai 63 cabang dan pada Muktamar tahun keempat
NU mampu menghadirkan 1.450 anggota dan peninjau. Pada 1933, anggota NU telah
mencapai 40.000 dan 400 kyai telah bergabung dengan NU, pada 1938 NU memiliki
kurang lebih 99 cabang dan 100.000 anggota dan sampai saat ini NU diperkirakan
telah mencapai kurang lebih 90 juta anggota.5
Pertumbuhan cepat di tubuh NU ditentukan oleh kyai di dalamnya. Setiap
kyai yang masuk ke NU, mampu membawa ratusan pengikut, yang terdiri dari para
santri, mantan santri, dan masyarakat muslim setempat.
A.2. NU Kembali ke Khittah 1926
Perjalanan NU dalam perpolitikan di Indonesia tidak selamanya berjalan
dengan baik, terdapat pula beberapa pengalaman buruk yang menjadikan NU harus
kembali kepada Khittah. Bermunculan bermacam masalah internal NU karena arah
4 Ibid., h. 4
5 Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 39
30
kebijakan yang terlalu memfokuskan pada politik praktis, sehingga masalah tersebut
berimbas pada keretakan hubungan antara NU dan pemerintah Orde Baru serta
menjadi cikal bakal kembalinya NU kepada Khittah 1926 yang dilaksanakan pada
Muktamar ke-27 tahun 1983 di Situbondo, Jawa Timur.
Khittah NU 1926 merupakan garis perjuangan NU atau ciri khas NU sebagai
organisasi keagamaan yang dipimpin oleh ulama. NU dibantu para ulama-ulamanya
berusaha menghimpun umat Islam untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang
mempunyai tujuan agar terciptanya kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa,
harkat dan martabat manusia. Perumusan Khittah NU 1926 oleh Munas 1983:
1. Khittah NU 1926 merupakan landasan berpikir, bersikap, dan bertingkah laku
warga NU dalam semua tindak dan kegiatan organisasi serta dalam
pengambilan keputusan.
2. Landasan tersebut dapat diambil dengan mengambil inti dari cita-cita dasar
didirikannya NU yakni sebagai wadah yang dilandasi niat beribadah kepada
Allah SWT.6
Terdapat empat hal yang menjadi pertimbangan dalam keputusan Munas NU
1983, Pertama, NU sebagai organisasi keagamaan banyak mengalami hambatan
karena kurangnya usaha yang sesuai dengan kebutuhan massa. Kedua, NU menjadi
kurang perhatian dengan tugasnya sebagai organisasi keagamaan karena terlalu fokus
dengan kegiatan politik praktisnya. Ketiga, sudah menjadi tugas NU untuk senantiasa
terikat dengan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Keempat, ulama
6 Einar Martahan Sitompul, NU & Pancasila, (Yogyakarta: LkiS, 2010), h. 197
31
atau tokoh NU menyadari bahwa NU harus lebih perhatian atas perkembangan
organisasi dengan menegaskan pedoman-pedoman NU yang sudah ada.7
NU kembali menjadi organisasi keagamaan merupakan hal yang tepat. Tujuan
NU adalah untuk bertransformasi secara lebih sempurna. Tetapi dengan kembalinya
ke Khittah 1926 hanya berakhir politik NU secara struktral saja, karena warga
Nahdliyin atau kyai-kyai yang sudah masuk ke dalam fraksi tetap berpolitik untuk
kepentingan masing-masing.8
Kembalinya NU ke garis perjuangannya tidak berarti bahwa hubungannya
dengan dunia politik langsung terputus, godaan-godaan politik tetap datang
menggoyahkan NU, godaan tersebut datang dari dua arah yaitu, Pertama, godaan dari
partai-partai politik yang mempunyai kepentingan tersendiri terhadap NU untuk
mendukung kepentingan partai politiknya. Kedua, godaan dari tokoh-tokoh NU yang
masuk dalam berbagai partai politik dengan tujuan mendorong masuk NU untuk
mendukung kepentingan politik mereka. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemana NU
pergi pasti selalu bersinggungan dengan politik, hal itu dikarenakan banyak tokoh NU
yang aktif terjun dalam berbagai partai politik. Dengan adanya Munas 1983 di
Situbondo, para ulama NU menyusun pokok-pokok pikiran Khittah 1926 sebagai
jalan tengah untuk memperkuat kembali hubungan NU dengan politik:9
“Hak berpolitik adalah salah satu hak asasi bagi seluruh warga negara, termasuk
warga negara yang menjadi anggota NU. Tetapi, NU bukan wadah bagi kegiatan
7 Ibid., h. 196
8 Kang Young Soon, Antara Tradisi dan Konflik, h. 140
9 Faisal Ismail, Dilema NU: Di Tengah Badai Pragmatisme Politik, (Jakarta: Departemen
Agama RI, 2004), h. 54-55
32
politik praktis. Hak berpolitik dilakukan berdasarkan perundang-undangan yang
sudah ada dan dilaksanakan dengan sesuai ajaran Islam sehingga dapat tercipta
kebudayaan politik yang sehat. NU sangat menghargai warga negara yang
menggunakan hak politiknya secara baik dan bertanggung jawab”.
Maksud dari pokok pikiran di atas ialah bahwa hak berpolitik yang sudah ada
di dalam setiap individu warga NU tidak harus dihentikan, melainkan akan dibuka
selebar-lebarnya dengan syarat dilakukannya secara etis dan sopan. Hal ini berarti
NU secara organisastoris tetap konsiten menjadi organisasi keagamaan bukan lagi
menjadi partai politik atau masuk dalam wilayah politik.
Imdadun Rahmat, Wakil Sekjen PBNU menjelaskan bahwa:
“Di dalam Khittah sudah diatur bahwa NU bukan Partai Politik dan NU kembali ke
pendidikan dakwah dan sosial ekonomi, maka tidak boleh secara resmi main politik.
Oleh karenanya ada aturan untuk jabatan-jabatan tertentu yang tidak boleh rangkap
jabatan harus pilih salah satu PKB atau NU. Dan secara formal memang terjaga
hubungan yang saling terikat antara PKB dan NU tetapi prakteknya secara individu
orang-orang NU paling banyak memang terlibat di PKB meskipun juga masih banyak
di partai-partai lain seperti Golkar, PDIP, PPP, dan lain-lain. Namun memang yang
paling banyak terlibat di PKB.”10
Terkait dengan kembalinya NU ke Khittah 1926, Muhaimin Iskandar memberi
penjelasan yaitu, Khittah dapat dilihat dari dua sisi normatif dan praktis. Sisi
normatif, NU itu netral yang tidak terikat oleh organisasi politik. Sedangkan sisi
praktis, NU bekerjasama dengan PKB dalam bagian pemerintahan. Contohnya seperti
dalam pesantren, NU dapat mengusulkan permintaan bantuan kepada pemerintah
10
Wawancara dengan Imdadun Rahmat, Wakil Sekjen PBNU pada Selasa, 12 Maret 2019,
pukul 19:00 WIB
33
melalui PKB, jadi NU mempunyai fokus sendiri pada bidang dakwah, pendidikan,
dan ekonomi, namun pada persoalan politik tetap dikendlaikan oleh PKB.11
KH. Said Aqil juga memberi tanggapan mengenai Khittah 1926, beliau
berkata bahwa “setiap ajakan kepada warga Nahdliyin untuk masuk ke dalam PKB
bukanlah hal yang melanggar Khittah NU. Dan PBNU sangat mendukung keberadaan
PKB.”12
Melalui Muktamar ke-27 di Situbondo, NU tidak hanya memutuskan untuk
kembali ke Khittah 1926 tetapi terdapat satu keputusan lagi yaitu menjadikan
Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi. Pancasila sebagai satu-satunya asas
organisasi telah diwajibkan oleh Pemerintah untuk semua organisasi sosial dan
politik.
Penetapan pancasila sangat dipikirkan oleh NU secara mendalam, NU
merupakan organisasi masyarakat keagamaan yang pertama telah menuntaskan
penerimaannya atas Pancasila. Selain NU, Muhammadiyah juga merupakan
organisasi yang menerima Pancasila setelah terbit Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1985 tentang organisasi kemasyarakat.13
11
Irza A. Syaddad, “PKB, NU dan Khittah yang Ambigu”, www.indoprogress.com, pada 28
Maret 2014 12
Irza A. Syaddad, “PKB, NU dan Khittah yang Ambigu”, www.indoprogress.com, pada 28
Maret 2014 13
Einar Martahan Sitompul, NU & Pancasila, h. 174
34
B. NU dan Partai Politik
B.1. NU Menjadi Partai Politik: Partai NU
Dalam perjalanan sejarah NU, organisasi keagamaan ini ternyata ikut dalam
berbagai kegiatan politik di Indonesia bahkan dapat dikatakan bahwa hubungan NU
dengan politik telah berjalan lama. Pada akhir tahun 1930-an, NU bersama organisasi
Islam lainnya menentang berbagai aturan dari pemerintah kolonial Belanda yang
mempunyai tujuan untuk memusuhi Islam. Selain itu, NU juga terlibat dalam
pembentukan GAPPI (Gabungan Partai Politik Indonesia) dan terus menerus ikut
menyerukan pembentukan Parlemen Indonesia pada 1939.14
Masuknya NU dalam kancah politik secara setahap demi setahap
menghasilkan keinginan untuk mengenal politik lebih dalam pada masyarakat. Pada 3
November 1945 pemerintah Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaan
tanggal 17 Agustus 1945 dan sekaligus mengumumkan memberi kesempatan kepada
rakyat untuk membentuk partai politik agar mendapat arahan ke jalan yang teratur.
Keputusan tersebut ditandatangani oleh Muhammad Hatta sebagai Maklumat No. X
yang berisikan anjuran berdirinya partai-partai politik di Indonesia. Melalui
Muktamar Islam pada 7-8 November 1945 di Yogyakarta, memutuskan untuk
Masyumi menjadi partai politik yang menjadi satu-satunya partai politik Islam.
Masyumi resmi berdiri pada 7 November 1945 dan diketuai oleh Sukiman. Pada saat
14
Faisal Ismail, Dilema NU: Di Tengah Badai Pragmatisme Politik, h. 52
35
itu juga NU menjadi anggota istimewa dengan K.H. Hasyim Asy‟ari sebagai ketua
Majelis Syuro, Wahid Hasyim sebagai salah satu wakil ketua Majelis Syuro.15
Bergabungnya NU ke dalam tubuh Masyumi menjadi awal mulai NU terlibat
aktif dalam politik. Namun dalam perjalanannya, dukungan NU kepada masyumi
pelan-pelan hilang dikarenakan beberapa persoalan. Saat itu NU masih mencoba
bertahan untuk beberapa waktu namun kenyataan berkata lain, banyak konflik yang
terjadi sampai menimbulkan efek yang tidak menguntungkan satu sama lain, berawal
dari perbedaan pandangan sampai perselisihan politik yang membuat NU
memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan mendirikan Partai NU. Tepat dalam
kongres ke-19 pada 1 Mei 1952 di Palembang NU resmi keluar dari Masyumi.16
Setelah resmi menjadi partai, NU mulai mempersiapkan diri untuk mengikuti
pemilu pertama tahun 1955. NU dipertemukan kembali dengan Masyumi sebagai
salah satu lawannya. Saat itu NU cukup berani dengan persiapan yang hanya tiga
tahun setelah Partai NU didirikan, namun karena kerja keras para pemimpin NU yang
cukup efektif mampu menunjukkan keberhasilannya dengan menempatkan Partai NU
di peringkat ketiga.17
Hal ini membuat NU dapat membuktikkan bahwa terlepasnya
dari Masyumi NU mampu berhasil meraih jumlah kursi Parlemen yang banyak,
dibanding saat masih bergabung dengan Masyumi, walaupun dalam pemilu Partai
NU masih ada di bawah Masyumi.
15
Kang Young Soon, Antara Tradisi dan Konflik: Kepolitikan Nahdlatul Ulama, h. 102-103 16
Ibid., h. 108 17
Anam, Pertumbuhan & Perkembangan NU, h. 251
36
Sebuah gencatan/tuntutan terhadap NU untuk terlibat ke dalam dunia politik
mendapat hasil yang bagus. Pada pemilu 1955 yang merupakan pemilu pertama di
Indonesia menjadi bukti bahwa NU mampu menciptakan kekuatan politiknya dengan
menjadi peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Dapat dilihat pada Tabel III.B.1
Tabel III.B.1 Perolehan Suara dan Kursi pada Pemilu 195518
1 PNI 8.434.653 (22,32%) 57
2 Masyumi 7.903.886 (20,92%) 57
3 Partai NU 6.955.141 (18,41%) 45
4 PKI 6.179.914 (16,36%) 39
5 PSII 1.091.160 (2,89%) 8
6 Parkindo 1.003.326 (2,66%) 8
7 Partai Katolik 770.740 (2,04%) 6
8 PSI 753.191 (1,99%) 5
No. Nama PartaiSuara DPR RI dan
Presentase (%)Jumlah Kursi DPR RI
Sumber: www.kpud-balangankab.go.id
Suara yang didapatkan NU pada pemilu 1955 tidak terlalu jauh dengan suara
yang di dapatkan oleh Masyumi (berbeda 2,5%), padahal waktu yang dimiliki NU
tidaklah banyak yaitu kurang lebih tiga tahun setelah keluar dari Masyumi. Hal itu
disebabkan karena adanya perubahan strategi dalam kampanye NU, dan juga seperti
kutipan Herbert Feith dalam buku Einar Martahan yang menyatakan:
“Mulanya NU mengambil tema sentimen agama yang mirip dengan tema kampanye
Masyumi. Sampai akhirnya tema kampanye yang dimiliki kedua partai ini
mempunyai nada yang sama seperti “siapa yang memilih mereka (NU dan Masyumi)
kelak akan masuk surga sedangkan siapa yang tidak memilih mereka akan masuk
neraka.”19
18
KPU Kabupaten Balangan, “Perolehan Suara dan Kursi Pada Pemilu”, www.kpud-
balangankab.go.id, pada 17 November 2016 19
Einar Martahan Sitompul, NU & Pancasila, h. 118
37
Dorongan kepada NU untuk meneruskan kekuatan yang dimiliknya tidak
berhenti pada pemilu 1955. NU semakin mengeluarkan semangat politiknya dengan
mengikuti pemilu 1971, NU muncul sebagai lima besar yaitu peringkat kedua setelah
Golkar dan mengalahkan PNI yang saat pemilu 1955 menjadi pemenang pertama.
Dapat dilihat pada Tabel III.B.2 di bawah ini:
Tabel III.B.2 Perolehan Suara dan Kursi pada Pemilu 197120
No. Nama Partai Suara dan Presentase
(%) Jumlah Kursi
1 Golkar 34.348.673 (62,82%) 236
2 Partai NU 10.213.650 (18,68%) 58
3 Parmusi 2.930.746 (5,36%) 24
4 PNI 3.793.266 (6,93%) 20
5 PSII 1.308.237 (2,39%) 10
6 Parkindo 733.359 (1,34%) 7
7 Partai Katolik 603.740 (1,10%) 3
8 Perti 381.309 (0,69%) 2
9 IPKI 338.403 (0,61%)
10 Murba 48.126 (0,08%)
Sumber: www.kpu.go.id
Dalam perkembangan selanjutnya, Soeharto menganggap sistem kepartaian
yang saat itu sedang berjalan dengan sembilan partai politik dan satu Golkar dianggap
kurang efektif. Tahun 1970-an Soeharto mengusulkan untuk dilakukannya
penyederhanaan partai. Penyederhanaan partai dibagi dalam dua kelompok yaitu
material-spiritual yang terdiri dari PNI (Partai Nasional Indonesia), Murba
(Musyawarah Rakyat Banyak), IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia),
Partai Katolik dan Parkindo (Partai Kristen Indonesia), dan kelompok spiritual-
20
KPU Kabupaten Balangab, “Perolehan Suara Pemilu 1971”, www.kpud-balangankab.go.id,
pada 15 Mei 2017
38
material yang terdiri dari Partai NU, Parmusi, dan PSII. Kesembilan partai ini resmi
difusikan menjadi dua partai pada 5 Januari 1973, kelompok spiritual-material yaitu
NU, Parmusi, PSII dan Perti bergabung dalam PPP. Kemudian hasil ini dinyatakan
dalam UU Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, yang
menetapkan berlakunya hasil penyederhanaan sembilan partai politik menjadi hanya
dua partai politik yaitu, PPP, PDI, dan satu Golkar.21
NU mendapatkan posisi yang dapat dikatakan istimewa di PPP, Rais „Aam22
PPP ialah K.H. Bisri Syansuri yang pada saat itu juga merupakan Rais „Aam NU. Di
dalam kepengurusan PPP sebagian besar jabatan penting dipegang oleh orang-orang
NU. Keistimewaan yang didapat oleh NU merupakan hasil usaha-usaha sebelumnya,
seperti pada Pemilu sebelumnya NU mampu membuktikan bahwa ia berhasil dalam
memperoleh jumlah kursi di DPR dan pada saat itu juga merupakan masa kejayaan
bagi Partai NU.
Memasuki pemilu 1977 NU dan PPP makin terlihat kompak, empat partai
politik yang ada dalam PPP mampu mendapatkan 99 kursi di DPR, walaupun NU
mengalami pengurangan jatah kursi di DPR dari 58 kursi menjadi menjadi 56 kursi.
Namun hal itu tidak menjadi masalah yang besar bagi NU, karena dalam Munas
(Musyawarah Nasional) yang diberi nama “Konsensus 1975” sudah disepakati jatah
pembagian kursi DPR menjelang pemilu 1977.23
21
Kang Young Soon, Antara Tradisi dan Konflik, h. 128 22
Rais „Aam merupakan ketua umum yang paling tinggi dalam tradisi NU 23
Kang Young Soon, Antara Tradisi dan Konflik, h. 131
39
Menjelang pemilu 1982, terdapat konflik internal di PPP antara NU dan MI
(Muslimin Indonesia) terutama pada permasalahan perebutan jatah kursi di Parlemen.
MI (Muslimin Indonesia) mengajukan perimbangan suara menjadi NU 49, MI
(Muslimin Indonesia) 30, SI (Syarikat Islam) 15, dan Perti (Persatuan Tarbiyah
Islamiyah) 5. NU jelas merasa keberatan dengan pembagian tersebut karena bagi NU
49 suara yang dihasilkan tidak akan memperoleh 50% dari seluruh suara. Konflik
tersebut terus berkepanjangan, NU mulai kembali memasuki masa-masa sulit, konflik
antarunsur di dalam PPP kian menjadi dan berkepangjangan. Akhirnya NU mulai
mempertimbangkan kedudukannya di dalam PPP, Pengurus Besar Syuriah NU dalam
rapat pada 29 Januari 1982 mengemukakan bahwa: “NU akan mempertimbangkan
kedudukannya dalam lingkungan PPP pada saat yang tepat apabila asas musyawarah,
solidaritas intern dan prinsip-prinsip organisasi lainnya ditegaskan di dalamnya”.24
NU saat itu masih mengikuti pemilu 1982, dengan hasil perolehan suara yang
sedikit berkurang yaitu dari 99 kursi pada Pemilu 1977 menjadi 94 kursi di DPR.
Setelah pemilu 1982 permasalahan yang dialami NU tetap ada, ditemukannya
penyebab kemerosotan NU dalam politik, K.H. Idham Chalid selaku Ketua Umum
PBNU sekaligus Ketua Umum PPP diduga lebih memperhatikan urusan PPP daripada
NU. Selain itu, adanya konflik di antara aktor-aktor NU yang disebabkan terpecahnya
2 kubu dalam NU karena keputusan para ulama senior untuk membuat konsep
24
Ibid., h. 135-136
40
pengunduran diri K.H. Idham Chalid. Cukup lama konflik yang terjadi namun
akhirnya dapat terselesaikan walaupun tidak semuanya.25
B.3. NU Mendirikan Partai Politik: PKB
Pada Muktamar ke-28, NU menetapkan sembilan pedoman berpolitik warga
NU yaitu: 26
Pertama, berpolitik bagi NU mengandung arti keterlibatan warga negara
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan
Pancasila dan UUD 1945. Kedua, Politik bagi NU adalah politik yang berwawasan
kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa
menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama. Ketiga,
politik bagi NU adalah pengembang nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan
demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan
tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
Keempat, berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan moral, etika dan
budaya yang berketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan
beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan berkeadilan. Kelima,
berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama,
konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta
dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah
bersama. Keenam, berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkokoh konsensus-
25
Ibid., h. 137 26
Ibid., h. 144-145
41
konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai
pengalaman ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah.
Ketujuh, berpolitik bagi NU dengan alasan apapun tidak boleh dilakukan
dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.
Kedelapan, perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus
tetap berjalan dalam suasana persaudaraan dan saling menghargai satu sama lain
sehingga tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan NU. Kesembilan,
berpolitik bagi NU menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam
pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan
organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya
sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi
dalam pembangunan.
Seiring berjalannya waktu, mulai muncul desakan-desakan yang diberikan
warga NU untuk membentuk partai politik agar menjadi wadah politik warga NU.
Tepatnya pada 1986 ketika semua masyarakat tengah merasakan tekanan politik
kekuasaan Orde Baru, Mahbub Djunaidi Wakil Ketua PBNU saat itu memberikan
usul tentang Khittah plus. Khittah plus menurut Mahbub ialah NU selain menjadi
organisasi kemasyarakatan yang bergerak di berbagai bidang yaitu dakwah, sosial,
pendidikan dan ekonomi, juga mempunyai sayap politik. Kondis tersebut dapat
berberntuk dalam ketelibatan NU langsung dalam partai politik atau mendirikan
partai politik sendiri. Usul dari Mahbub berangkat dari pikiran bahwa sangat
42
disayangkan jika NU yang mempunyai banyak massa tidak mempunyai selera pada
politik.27
Menghadapi usulan-usulan yang ada, diadakannya Rapat Harian Syuriah dan
Tanfidziyah pada 3 Juni 1998. Rapat tersebut bertujuan untuk membentuk Tim Lima
yang diketuai oleh KH Ma‟ruf Amin dengan anggota-anggotanya yaitu KH Dawam
anwar, Dr. KH Said Agil Siradj, HM Rozy Munir, dan H. Ahmad Bagdja yang
mempunyai tugas untuk melaksanakan aspirasi warga NU. Selain itu, dibentuk juga
Tim Asistensi yang bertugas membantu Tim Lima yang diketuai oleh HZ Fachri
Thaha Ma‟ruf, H Abdul Aziz, A Muhaimin Iskandar, H. Andi Muarli Sunrawa, HM
Nasihin Hasan, H. Lukman Hakim Saifuddin, dan Amin Said Husni untuk
merangkum usulan warga NU perihal mendirikan partai politik yang dapat mewadahi
segala aspirasi politik mereka.28
Setelah melewati beberapa proses, pada 22 Juli 1998 Tim Lima dan Tim
Asistensi memberikan hasil akhir kepada Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah.
Hasil akhir tersebut ialah kesiapan mendirikan partai politik baru yang disetujui oleh
PBNU dengan hanya membidani lahirnya partai politik dan selain itu PBNU
memberikan hak kepada pihak-pihak yang ingin menyempurnakan setelah partai
politik lahir.29
27
A Effendy Choirie, Islam-Nasionalisme UMNO-PKB: Studi Komparasi dan Diplomasi,
(Jakarta: Grafika Indah, 2008), h. 110 28
Ibid., h. 112 29
Ibid., h. 113
43
Akhirnya, PKB dibentuk pada hari Kamis 23 Juli 1998 di Ciganjur, Jakarta
Selatan. Kelahiran PKB disambut dengan antusias oleh berbagai pihak terutama
warga NU. PKB dibentuk tidak hanya untuk memenuhi kepentingan dan aspirasi
warga NU, tetapi lebih dari itu PKB juga akan memenuhi kepentingan warga bangsa
Indonesia. Terdapat tiga tujuan dibentuknya PKB yaitu, Pertama, mewujudkan cita-
cita kemerdekaan Republik Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945. Kedua, mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur secara
lahir dan batin, material dan spiritual. Ketiga, mewujudkan tatanan politik nasional
yang demokratis, terbuka, bersih dan berakhlakul karimah.30
PKB merupakan partai politik yang berideologi nasionalis religius yang
didirikan oleh para kyai dari NU atas usulan dari para warga Nahdliyin. Dengan
dukungan warga Nahdliyin PKB mempunyai keeksistensian politik yang cukup
signifikan dan tidak berubah. Namun, meskipun PKB dilahirkan oleh kalangan NU
tetapi PKB tidak menempatkan agama di dalam ideologinya. PKB merupakan partai
terbuka atau dapat dikatakan dalam agama, suku, ras dan golongan yang di wujudkan
dalam satu visi misi, perjuangan dan kepemimpinan.31
Seperti yang dikatakan oleh H.
Muhammad Najihun:
“Sebagai partai yang didirikan resmi oleh NU, tentu PKB mempunyai
kedekatan baik secara historis, emosional bahkan kedekatan kultural.
Begitupun PBNU yang sudah paham bahwa sebuah partai politik harus punya
peran signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini bisa
30
Ibid., h. 117 31
Ummy Kulsusm, Hendro Sumartono, dan Sunarlan, “Dinamika Politik PKB (Studi tentang
Konflik Internal 1999-2004), “Artikel Hasil Penelitian Mahasiswa Universitas Jember”, Vol. I (1-10),
Agustus 2013, h. 2
44
terjadi manakala partai tersebut menjadi pemenang dengan raihan suara yang
signifikan, hal tersebut juga hanya bisa terjadi kalau partai tersebut bersifat
terbuka.”32
Sebagai wadah aspirasi politik warga Nahdliyin, PKB mempunyai cita-cita
dari landasan politik NU, cita-cita itu ialah terwujudnya bangsa Indonesia serta
masyarakat yang adil, berdaulat, dan terjamin hak-hak asasinya seperti hak-hak
keselamatan dalam bentuk kejahatan, kebebasan, penganiayaan, pemaksaan agama,
serta kebebasan harta benda secara sah. Cita-cita tersebut dapat terealisasi oleh PKB
melalui keterlibatannya dalam penetapan kebijakan publik, yaitu melalui jalur
kekuasaan untuk proses pengambilan keputusan tentang masyarakat yang
terpinggirkan, perlindungan kepada kelompok masyarakat minoritas dan penegakan
sistem ekonomi, politik, budaya yang berlandaskan kedaulatan rakyat.33
Di tengah kegembiraan lahirnya PKB, PBNU menekankan mengenai Khittah
NU yaitu NU sebagai organisasi keagamaan tetap tidak berpolitik tetapi
memperbolehkan warga NU untuk menampung aspirasi politiknya. Namun PBNU
melarang adanya rangkap jabatan pengurus untuk menghindari kesalah pahaman.
Selain itu, PBNU juga mempertegas bahwa partai ini dilahirkan oleh sejumlah warga
NU dan setelah dibentuk sama sekali tidak ada hubungannya dengan NU sebagai
organisasi keagamaan.34
32
Wawancara dengan H. Muhammad Najihun, Calon Aggota DPR RI No. 1 PKB dapil
Jakarta III pada Selasa, 22 Januari 2019, pukul 16:00 WIB 33
Musa Kazhim dan Alfian Hamzah, 5 Partai dalam Pertimbangan: Analisis dan Prospek,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 249 34
A Effendy Choirie, Islam-Nasionalisme UMNO-PKB: Studi Komparasi dan Diplomasi, h.
115
45
PKB dapat dikatakan sebagai seorang anak yang lahir sudah mampu berdiri
hingga jalan sendiri. Sesudah PKB dideklarasikan tidak ada kaitannya lagi dengan
NU, namun karena partai ini dibuat oleh warga-warga NU maka yang duduk di PKB
adalah kader-kader NU dengan ketentuan partisipasi individual serta keterlibatan
individual yang artinya tidak ada keterlibatan formal organisasi.
Sebagai partai yang didirikan resmi oleh NU, tentu PKB punya kedekatan
baik secara historis, emosional bahkan kedekatan kultural. Begitupun NU yang
paham betul bahwa sebuah Partai Politik harus mempunyai peran signifikan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, hal ini bisa terjadi apabila Partai tersebut bersifat
insklusif atau terbuka.
Dalam perjalanannya, dalam dua kali pemilu pada 1999 dan 2004 PKB masuk
dalam peringkat lima besar dibawa PDIP dan Golkar dan memperoleh suara
terbanyak dibanding dengan Partai Islam lainnya. Dapat dilihat pada Tabel III.B.3
dan III.B.4
46
Tabel III.B.3 Perolehan Suara dan Kursi pada Pemilu 199935
No. Nama Partai Suara DPR RI dan
Presentase (%) Jumlah Kursi DPR RI
1 PDIP 35.689.073 (33,74%) 153
2 Golkar 23.741.749 (22,44%) 120
3 PKB 13.336.982 (12,61%) 51
4 PPP 11.329.905 (10,71%) 58
5 PAN 7.528.956 (7,12%) 34
6 PBB 2.049.708 (1,94%) 13
7 PK 1.436.565 (1,36%) 7
8 PNU 679.179 (0,64%) 5
9 PP 655.052 (0,62%) 1
10 PPII Masyumi 456.718 (0,43%) 1
Sumber: www.kpu.go.id
Tabel III.B.4 Perolehan Suara dan Kursi pada Pemilu 200436
Sumber: www.kpu.go.id
35
Komisi Pemilihan Umum, “Perolehan Suara dan Kursi pada Pemilu 1999”, www.kpu.go.id,
pada 11 November 2017 36
Info Partai, “Pengumuman Hasil Rekapitulasi Perhitungan Suara Pemilu KPU”,
www.kpu.go.id, pada 5 Mei 2003
No. Nama Partai Suara DPR RI dan Presentase (%)
Jumlah Kursi DPR RI
1 Golkar 24.480.757 (21,58%) 128
2 PDIP 21.026.629 (18,53%) 109
3 PKB 11.989.564 (10,57%) 52
4 PPP 9.248.764 (8,15%) 58
5 Demokrat 8.455.225 (7,45%) 57
6 PKS 8.325.020 (7,34%) 45
7 PAN 7.303.344 (6,44%) 52
8 PBB 2.970.487 (2,62%) 11
9 PBR 2.764.998 (2,44%) 13
10 PDS 2.414.254 (2,13%) 12
47
Banyak pertimbangan mengenai keterlibatan para kyai NU di dalam politik
ini, keterlibatan tersebut tidak semata-mata untuk mencari kekuasaan politik, namun
terdapat beberapa alasan tertentu dalam menyikapinya. Keterlibatan kyai sudah
terlihat pada masa perlawanannya untuk mengusir para penjajah dan ikut dalam
kegiatan yang berhubungan dengan Negara, dan juga posisi kyai sebagai elite agama
yang mempunyai banyak jama‟ah serta memiliki pengaruh besar di tengah-tengah
masyarakat menjadikan mereka (para kyai) ikut terlibat dalam proses pengambilan
keputusan bersama, penyelesaian masalah, pengembangan pendidikan dan
kemasyarakat.37
Hal ini jelas merupakan bentuk adanya hubungan yang kuat antara NU dengan
PKB sebagai partai politik, tetapi kembali lagi dengan ketentuan bahwa kader-kader
NU yang terlibat di dalam partai politik hanya keterlibatan pasrtisipasi individual
bukan keterlibatan formal organisasi.
C. Paham Ahlussunnah wal Jama’ah
Paham keagamaan Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi tolak ukur segala
sikap, perilaku, dan karakter perjuangan NU yang berdasarkan norma dan prinsip
ajaran agama Islam yang dianut. Prinsip-prinsip ajaran tersebut menjadi pedoman
untuk praktek-praktek keagamaan serta kehidupan sosial kemasyarakatan di kalangan
37
Imam Suprayogo, Kiai dan Politik, (Malang: UIN Malang Press, 2007), h. 29
48
NU yang pada akhirnya akan membentuk karakteristik dalam perjalanan kehidupan
NU.38
Paham Ahlussunnah wal Jama’ah menurut K.H. Achmad Siddiq adalah
sebagai “Ajaran Islam yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW bersama
para pengikutnya”. Sedangkan dalam pola pendidikan yang dikembangkan dalam
pesantren NU adalah “Pengikut ajaran Islam yang berlandaskan kepada: 1) Al-qur‟an
Karim; 2) Sunnah (perkataan, perbuatan dan taqrir) Nabi Muhammad SAW
sebagaimana telah dilakukan bersama para sahabatnya; 3) Sunnah Khulafaurrasyidin:
Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Ali Thalib”.39
Pemahaman Ahlussunnah wal Jama’ah di atas merupakan ajaran agama yang
diterapkan di madrasah-madrasah NU. Dengan ini dapat disimpulkan pengertian
Ahlussunnah wal Jama’ah adalah golongan yang mengikuti sunnah Nabi dan sunnah
sahabat Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali bin Abi Thalib.40
Definisi Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan penekanan kaum tradisional
untuk menanggapi bahwa memahami Islam tidak cukup hanya berlandaskan al-
Qur‟an dan hadits saja melainkan harus melalui tahapan tertentu, yaitu ulama
madzhab, hadits (sunnah), dan sumber utama al-Qur‟an. Maka dari itu, pengertian
38
H. Rozikin Daman, Membidik NU: Dilema Percaturan Politik NU Pasca Khittah,
(Yogyakarta: Gama Media, 2001), h. 54 39
Kang Young Soon, Antara Tradisi dan Konflik: Kepolitikan Nahdlatul Ulama, h. 78 40
Choirul Anam, Pertumbuhan & Perkembangan NU, h. 146
49
ahlussunnah wal jama’ah bagi NU adalah para pengikut tradisi Nabi Muhammad dan
ijma‟ ulama.41
Paham ini bagi NU merupakan suatu ideologi yang mempunyai eksistensi di
dalam keberadaan NU itu sendiri. Paham tersebut dijadikan sebagai pedoman
perjalanan kehiduapan NU serta menjadi landasan perjuangan yang dipegang teguh
dalam mengembangkan Islam di Indonesia, hal ini bahkan dijadikan akidah dan
menjadi tujuan serta usaha organisasi dalam pelaksanaan ajaran Islam di
masyarakat.42
Atas pandangan NU secara tegas, paham Ahlussunnah wal Jama’ah
dirumuskan sebagai pandangan yang berpegang teguh kepada tradisi pemikiran dan
menggunakan pendekatan mazhab, yaitu:43
a. Dalam bidang Hukum Islam, paham ini menganut ajaran-ajaran dari salah
satu Imam Mazhab Empat yang dalam praktek para kyai yaitu penganut
kuat Mazhab Syafi‟i.
b. Dalam soal-soal tauhid, paham ini menganut ajaran-ajaran Imam Abu
Hasan Al-Asy‟aru dan Imam Abu Mansur al Maturidi.
c. Dalam bidang tasawwuf, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim
al Junaid.
41
Einar Martahan Sitompul, NU & Pancasila, h. 56 42
H. Rozikin Daman, Membidik NU: Dilema Percaturan Politik NU Pasca Khittah, h. 55 43
Ibid., h. 59-60
50
Pemahaman di atas terus dikembangkan dan dipertahankan dalam kehidupan
masyarakat melalui lembaga pendidikan di bawah NU seperti, pesantren, dakwah dan
pengajian umum. Selain itu, pemahaman tersebut juga diamalkan warga NU dalam
praktek keagamaan sehingga membuat NU dan penganutnya dapat membedakan
dirinya dari komunitas-komunitas Islam lainnya.
51
BAB IV
NU SEBAGAI KEKUATAN POLITIK
Pada bab ini penulis menganalisis terkait civil society dan partai politik NU
sebagai kekuatan politik. Seperti yang sudah dijelaskan pada Bab II kekuatan politik
NU adalah melalui keterlibatan aktor-aktor NU di dalam pemerintahan yaitu pada
Kabinet Orde Lama, Kabinet Reformasi, dan keterlibatan aktor NU di partai politik.
Pada bab ini akan dijelaskan secara mendalam bagaimana kemudian elite-elite NU
terlibat dalam pemerintahan yang akhirnya menjadi sebuah kekuatan politik.
A. Keterlibatan Aktor NU dalam Politik Praktis
Keterlibatan NU dalam partai politik sebenarnya sudah ada sejak lama, seperti
yang sudah dijelaskan dalam Bab III bahwa NU mulai bergabung dengan Masyumi,
dan sempat menjadi bagian dari fungsi partai yaitu PPP. Pada bab ini, penulis juga
akan menjelaskan keterlibatan NU di dalam perpolitikan terkini.
Keberadaan beberapa aktor NU seringkali menjadi incaran partai-partai yang
memiliki kepentingan meraih suara di dalam Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah),
Pilgub (Pemilihan Gubernur), Pilpres (Pemilihan Presiden), Pileg (Pemilihan
Legislatif).1 Sehingga sulit bagi NU untuk lepas dari panggung politik. Keberadaan
aktor-aktor NU di panggung politik dapat menimbulkan persepsi bahwa NU masih
terlibat dalam dunia politik. Pada kenyataannya tidak mudah bagi aktor-aktor NU
untuk lepas dari dunia politik seperti Pilkada dan Pilgub.
1 “NU, Politik, dan Kemaslahatan Bangsa”, www.nu.or.id, 28 Januari 2018
52
Tanpa disadari NU sendiri merupakan aset bangsa, peran NU dipandang
memiliki peranan penting dalam memberdayakan kehidupan umat dan memperkuat
NKRI. Maka tidak dapat dipungkiri jika aktor-aktor NU memiliki peranan penting
dalam pesta demokrasi seperti Pilkada dan Pilgub.2
Keterlibatan NU pada perpolitikan sekarang ini menimbulkan berbagai
kekhawatiran bagi warga Nahdliyin, Imdadun Rahmat mengatakan:
“Di satu sisi ada yang khawatir NU akan terlampau masuk ke dalam dunia politik
lalu melupakan tugas utamanya. Namun, saya melihat mereka para kyai-kyai yang
ikhlas melakukan konsolidasi dan mendukung pasangan calon 01 yaitu Jokowi dan
Ma’ruf Amin. Jadi tidak mungkin bagi saya untuk mengubah watak NU menjadi
partai politik atau mengubah para kyai menjadi politisi, hal itu terlampau berlebihan,
meskipun tetap saja harus diingat bahwa ini bersifat kesementaraan dan setelah ini
akan kembali ke hakikat semula”.3
KH. Fahrurozi menambahkan bahwa:
“Pengurus-pengurus NU pun merasa tidak nyaman dengan keadaan seperti ini
(terlibat dalam politik). Mereka merasa Pemilu saat ini memerlukan proses yang
sangat panjang. panjang sekali sehingga ingin segera selesai dan bebas. Dalam hati
kecil mereka ingin kembali menjadi kyai dan tidak memikirkan politik seperti saat
ini, jadi menurut saya ini merupakan fenomena muaqqat atau kesementaraan dan hal
ini menunjukkan kematangan politik NU. Bagi orang lain ini dianggap sebagai
pragmatisme politik, tapi menurut saya ini membuktikan sekali lagi bahwa NU punya
kelenturan di dalam menghadapi dinamika politik tanpa harus mengorbankan prinsip-
prinsip dasarnya sebagai organisasi keagamaan sehinga dalam situasi tertentu NU
bisa melakukan adaptasi.4
2 Wawancara dengan Imdadun Rahmat, Wakil Sekjen PBNU pada Selasa, 12 Maret 2019,
pukul 19:00 WIB 3 Ibid.,
4 Wawancara dengan KH. Fahrurozi, Ketua PCNU Jakarta Barat pada Senin, 18 Februari
2019, pukul 14:00 WIB
53
B. Aktor NU Sebagai Wakil Institusi dalam Kabinet Pemerintahan
B.1 Aktor-Aktor NU Sebagai Wakil Partai dalam Kabinet Orde Lama:
Partai NU
Pada bab II telah dijelaskan, kekuatan politik sebagai institusi atau
kelembagaan adalah suatu organisasi yang mampu mempengaruhi proses
pengambilan keputusan. Keterlibatan aktor-aktor NU di dalam pemerintahan sebagai
menteri merupakan sebuah wujud dari kekuatan politik kelembagaan. Aktor-aktor
yang menjadi menteri dalam kabinet yaitu, seperti pada masa Orde Lama yang
memiliki 10 kabinet di dalamnya terdapat:
Pertama, Kabinet Natsir. Kabinet Natsir merupakan kabinet pertama dengan
masa kerja sejak tanggal 6 September sampai 20 Maret 1951, Perdana Menteri
Mohamad Natsir dilantik pada 7 September 1950. Di kabinet Natsir terdapat 17
menteri salah satunya ialah KH. Wahid Hasyim5 sebagai Menteri Agama dari Partai
Masyumi.
KH. Wahid Hasyim pada 1950 mend irikan Perguruan Tinggi Agama Islam
Negeri (PTAIN) dan pada 1957 didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA).
Dalam perjalanannya kurang lebih tiga tahun kemudian kedua perguruan tinggi
tersebut dijadikan satu menjadi Institut Agama Negeri (IAIN) yang sekarang menjadi
Universitas Islam Negeri (UIN).6
5 KH. Wahid Hasyim lahir di Tebuireng, Jombang Jawa Timur pada 1 Juni 1914. Sejak kecil
ia hidup di dalam lingkungan pesantren, ayahnya adalah Hasyim Asy’ari seorang pahlawan nasional
dan tokoh paling terkemuka dari Nahdlatul Ulama. Lihat Irfan teguh, “Mula dan Akhir Perjalanan KH.
Wahid Hasyim”, www.tirto.id, pada 19 April 2019 6 Lihat Irfan teguh, “Mula dan Akhir Perjalanan KH. Wahid Hasyim”, www.tirto.id, pada 19
April 2019
54
Keterlibatan KH. Wahid Hasyim di dalam NU adalah pada 1939, ia ikut
berperan saat NU menjadi anggota MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia)7. Keaktifan
ia di dalam NU dimulai menjadi Sekretaris NU Ranting Cukir, lalu pada 1938 terpilih
sebagai Ketua Cabang NU Kabupaten Jombang, pada 1940 menjadi pengurus PBNU
bagian ma’arif (pendidikan) serta aktif menulis di artikel Suara NU dan Berita NU.
Kemudian pada 1946 ia merupakan mantan Ketua Tanfidiyyah PBNU.8
Kedua, Kabinet Sukiman. Kabinet ini terbentuk dengan masa kerja dari 27
April 1951 sampai 3 April 1952. Kabinet ini mempunyai 17 menteri yang di
dalamnya terdapat satu aktor NU yaitu, KH. Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama.
KH. Wahid Hasyim kembali diangkat menjadi Menteri Agama setelah di Kabinet
Natsir juga menjabat sebagai Menteri Agama.
Ketiga, Kabinet Ali Sastroamidjojo Pertama. Kabinet ini terbentuk dengan
masa kerja dari 31 Juli 1953 sampai 12 Agustus 1955. Dalam kabinet ini terdapat 18
menteri yang di dalamnya ada dua aktor NU yaitu: 1) Zainul Arifin sebagai Wakil
Perdana Manteri Kedua9. Ia lahir di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara pada 2
September 1909. Ia masuk ke berbagai organisasi seperti Gerakan Pemuda (GP)
Anshor, dan organisasi kepemudaan di bawah NU. Ia dikenal sebagai tokoh politik
7 MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) adalah badan federasi partai dan organisasi masyarakat
Islam pada zaman pendudukan Belanda yang berubah nama mendijadi Masyumi. 8 Tokoh Indonesia, “Menteri Agama Tiga Kabinet”, www.tokoh.id, pada 1 Juni 2009
9 Zainul Arifin merupakan anak tunggal dari keturunan Raja Barus, kedua orang tuanya
bercerai sejak ia masih kecil. Ia bersekolah di HIS (Hollands Indische School) Jambi dan melanjutkan
ke sekolah Menengan calon guru di Normaal School. Lihat, Mirnawati, Kumpulan Pahlawan
Indonesia terlengkap, (Jakarta: CIF (Penebar Swadaya Grup), 2012), h. 103
55
NU yang terkemuka dengan kemampuannya dalam berpidato, berdebat, serta
berdakwah.
Keterlibatan Zainul Arifin di dalam NU dimulai ketika ia menjadi kader
gerakan Pemuda Anshor, ia masuk dalam barisan pemuda NU. Ia juga menjadi Ketua
Konsul NU Jatinegara, kemudian menjadi Ketua Majelis Konsul NU Batavia.10
2)
KH. Masykur sebagai Menteri Agama.11
KH Masykur merupakan tokoh ketiga NU
yang menjadi menteri Agama, ia aktif sebagai pengurus NU di daerah tempat
tinggalnya yaitu Singosari, Jawa Timur. Ia juga terpilih sebagai Ketua NU cabang
Malang pada 1926, kurang lebih empat tahun ia masuk sebagai anggota PBNU.12
Keempat, Kabinet Burhanuddin Harahap. Kabinet ini terbentuk dengan masa
kerja dari 12 Agustus 1955 sampai 24 Maret 1956. Dalam kabinet ini terdapat 23
menteri yang dua di antaranya adalah aktor NU yaitu: 1) KH. Muhammad Ilyas
sebagai Menteri Agama.13
Ia pernah menjadi Duta Besar Indonesia di Arab Saudi
selama enam tahun sejak tahun 1959. KH. Muhammad Ilyas merupakan tokoh NU
dan murid kesayangan KH Hasyim Asyari pendiri NU. Namun, di masa hidupnya ia
10
Munawir Aziz, “KH. Zainul Arifin Pohan: Panglima Santri, Bangsawan dari Barus”,
www.nu.or.id, pada 18 Maret 2016 11
KH. Masykur lahir di Desa Pagetan, Sinogasari, Malang, Jawa timur pada 30 Desember
1902. Ketika berusia 9 tahun, ia diajak kedua orang tuanya ke Makkah untuk Haji, sepulang dari
Makkah ia belajar di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang lalu belajar juga di Pesantren Jamsaren,
Solo, Jawa Tengah. Setelah selesai belajar di Pesantren, pada 1923 ia kembali ke kampung
halamannya yaitu Singosari, dan ia mendirikan pesantren serta madrasah yang bernama Mishbahul
Wathan. Lihat, Iswara N Raditya, “Sejarah Hidup KH. Masykur, Pejuang NU & Menteri Agama Lima
Babak”, www.tirto.id, pada 23 Mei 2019 12
Iswara N Raditya, “Sejarah Hidup KH. Masykur, Pejuang NU & Menteri Agama Lima
Babak”, www.tirto.id, pada 23 Mei 2019 13
Muhammad Ilyas lahir di Kraksaan, Probolinggi, Jawa Timur pada 23 Novemer 1911. Ia
merupakan mertua dari Muhammad Maftuh Basyuni yang merupakan Menteri Agama dalam Kabinet
Indonesia Bersatu pada 2004-2009.
56
tidak pernah memperlihatkan ke NU-an nya, ia menggunakan kemampuannya dalam
segala hal terutama pada pengangkatan menjadi Menteri Agama.14
2) Mr. Sunarjo15
sebagai Menteri Dalam Negeri. Ia merupakan salah satu tokoh pendiri Institut Islam
Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga yogyakarta. Ia masuk ke dalam dunia politik melalui
bergabungnya dengan Partai NU.
Kelima, Kabinet Ali Sastroamidjojo Kedua. Kabinet ini terbentuk dengan
masa kerja dari 24 Maret 1956 sampai 14 Maret 1957, kabinet ini mempunyai 27
menteri diantaranya terdapat aktor-aktor NU yaitu: 1) KH. Idham Chalid16
sebagai
Wakil Perdana Menteri Kedua. Perjalanan politik Idham Chalid dimulai sejak ia
diangkat menjadi anggota DPR sementara dari Partai Masyumi pada 1950, namun
pada 1952 ia keluar dari Masyumi bersama NU dan memilih untuk masuk ke NU. Ia
pernah menjadi Ketua Umum PBNU pada 1956-1984.17
2) Prof. Mr. Sunarjo sebagai
Menteri Dalam Negeri. Dalam kabinet sebelumnya yaitu Kabinet Burhanudin
Harahap, ia mengemban jabatan yang sama. Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa ia
memulai karir politiknya dengan bergabungnya di dalam partai NU. 3) KH.
Muhammad Ilyas sebagai Menteri Agama. Seperti yang sebelumnya sudah
14
www.republika.co.id, “KH. Muhammad Ilyas, Ikhlas Mengabdi dan Berjuang”, pada Senin
17 Agustus 2009 15
Mr. Narjo lahir pada 15 Mei 1908di Sragen, ia merupakan putra dari seorang penghulu
Raden Iman Nasiruddin. Mr. Narjo memulai pendidikannya di sekolah umum milik Belanda, lalu pada
tingkat SMP bersekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs di Surakarta, pada tingkat SMA
bersekolah di Algemeene Middelbare Schoole jurusan bahasa timur di Suarakarta, dan dilanjutkan ke
Sekolah Tinggi Hukum di Rechts Hooge School. Lihat Abdullah Alawi, “Prof. Soenarjo, Menteri
Dalam Negeri dari NU”, www.nu.or.id, pada 30 Juni 2017 16
KH. Idham Chalid lahir di Setui, Kalimantan Selatan pada 27 Agustus 1922. Ia menjadi
guru di gontor pada 1943 dan juga berpolitik. 17
Petrik Matanasi, “Sejarah Hidup Idham Chalid, Orang NU Pertama di Puncak Kekuasaan”,
www.tirto.id, pada 11 Juli 2010
57
dijelaskan, ia tetap menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Burhanuddin Harahap,
Kabinet Ali Sastroamidjojo sampai Kabinet Karya.
Keenam, Kabinet Karya. Kabinet ini dapat juga disebut sebagai Kabinet
Djuanda dengan masa kerja dari 9 April 1957 sampai 10 Juli 1959. Kabinet ini
mempunyai 28 menteri yang di dalamnya terdapat beberapa aktor NU yaitu: 1) KH.
Idham Chalid sebagai Wakil Perdana Menteri, dalam kabinet sebelumnya yaitu
kabinet Ali Sastroamidjojo ia juga menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri dan pada
masa ini ia masih menjabat sebagai Ketua Umum PBNU. 2) Prof. Mr. Sunarjo
sebagai Menteri Agraria. Sebelumnya pada kabinet Burhanuddin Harahap dan
kabinet Ali Sastroamidjojo ia menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri. Awal karir
Mr. Sunarjo adalah sebagai pegawai Kantor Pusat Statistik Jakarta, lalu menjadi
Penitera di Mahkamah Islam Tinggi di Jawa dan Madura.18
3) Muhammad Ilyas
sebagai Menteri Agama. Ia masih menjabat sebagai Menteri Agama sejak pada
kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamidjojo Kedua, dan kabinet
Karya. 4) KH. Wahib Wahab sebagai Menteri Kerja Sama Sipil Militer.19
Sebelum
menjabat menjadi Menteri Kerja Sama Sipil Militer ia telah terjun ke dunia politik
sebagai anggota dewan melalui Partai NU. Pada 1942, ia menjabat sebagai Ketua
Umum Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dan aktif sebagai Komandan
18
Abdullah Alawi, “Prof. Soenarjo, Menteri Dalam Negeri dari NU”, www.nu.or.id, pada 30
Juni 2017 19
KH. Wahib Wahab lahir di Jombang pada 1 November 1918. Ia putra pertama dari KH.
Wahab Hasbullah yang merupakan inisiatif berdirinya NU.
58
Pembela Tanah Air (PETA)20
. Kemudian pada 1949 ia diangkat sebagai Ketua
Departemen Penerangan Ansor di Surabaya.21
Ketujuh, Kabinet Kerja. Kabinet ini terbentuk dengan masa kerja dari 10 Juli
1959-18 Februari 1964. Kabinet ini mempunyai empat puluh menteri yang di
dalamnya terdapat beberapa aktor NU yaitu: 1) KH. Fatah Jasin sebagai Menteri
Penghubung Ulama. Ia merupakan orang NU yang pertama yang masuk dalam
kabinet Republik Indonesia dan merupakan Ketua Persatuan Tani NU (PERTANU).22
2) KH. Wahib Wahab sebagai Menteri Agama. Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya, pada kabinet Karya KH. Wahib Wahab adalah Menteri Kerja Sama Sipil
Militer pada 1957-1959. 3) KH. Saifuddin Zuhri sebagai Menteri Agama.23
Ia
menerima banyak dukungan dari tokoh NU ketika akan menjabat sebagai Menteri
Agama termasuk KH. Wahab Hasbullah yang pada saat itu menjadi Rais Aam NU.
Akhirnya ia menerima jabatan itu dan dilantik menjadi Menteri Agama kesembilan
pada 2 Maret 1962.
Kedelapan, Kabinet Dwikora. Kabinet dengan Presiden yaitu Soekarno ini
dibentuk dengan masa kerja dari 27 Agustus 1964 sampai 22 Februari 1966. Kabinet
20
PETA merupakan sebuah kesatuan militer bentukan Jepang yang berperan atas
terbentuknya Tentara Keamanan rakyat (TKR) menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia. 21
Nanda Febrianto, “Profil KH M Wahib Wahab Menteri Agama ke-9 RI, Kakek
Romahurmuziy”, www.tagar.id, pada 15 Maret 2019
22 Adlan Daie, “Reaktualisasi Kementerian Penghubung Ulama”, www.kompasiana,com, pada
27 Juni 2018 23
KH. Saifuddin Zuhri lahir di kota Kawedanan Sokaraja, Banyumas, Jawa tengah pada 1
Oktober 1919. Semasa kecil, pagi dan siang hari hari ia belajar di Sekolah Dasar umum dan Madrasah
Ibtidaiyah Al-Huda Nahdlatul Ulama. Lalu pada malam hari nya dilanjut dengan mengaji Al-quran dan
kitab kuning di berbagai pondok pesantren yang ada di daerah tempat tinggalnya. Lihat M. Kamil
Akhyari, “KH. Saifuddin Zuhri, Pahlawan Tanpa tanda Jasa”, www.nu.or.id, pada Senin 25 Mei 2015
59
ini mempunyai 1 Perdana Menteri, 3 Wakil Perdana Menteri, 18 Menteri
Koordinator, 40 Menteri Departemen, 16 Menteri Negara, dan terdapat beberapa
aktor NU yaitu: 1) KH. Saifuddin Zuhri sebagai Menteri Koordinator Urusan Agama.
Sebelumnya ia menjabat menjadi Menteri Agama pada 1962. Ketika usia 35 tahun ia
menjabat menjadi Sekretaris Jenderal PBNU dan merangkap menjadi Pemimpin
Redaksi Harian Duta Masyarakat serta Anggtoa Parlemen Sementara.24
2)
Muhammad Ilyas sebagai Menteri Hubungan Ulama-Pemerintah. Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya, ia adalah Menteri Agama pada tahun 1957 dalam Kabinet
Karya dan digantikan oleh KH. Wahib Wahab pada Kabinet Kerja. Dalam kabinet ini
jabatan ia menjadi Menteri Hubungan Ulama-Pemerintah. 3) KH. Fatah Jasin sebagai
Menteri Negara Pembantu Menteri Koordinator Urusan Agama. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, ia merupakan orang NU yang masuk dalam kabinet
pemerintahan Indonesia, pada saat di Kabinet Kerja ia menjabat menjadi Menteri
Muda untuk Hubungan dengan Ulama.
Kesembilan, Kabinet Dwikora Hasil Reshuflle. Kabinet ini merupakan kabinet
yang disempurnakan lagi dengan masa kerja dari 31 Maret 1966 sampai 25 Juli 1966
dengan 101 menteri yang di dalamnya tetap terdapat aktor-aktor NU yaitu: 1) KH.
Idham Chalid sebagai Wakil Perdana Menteri Kedua, ia kembali menjabat sebagai
Wakil Perdana Menteri yang sebelumnya sudah pernah menjabat di Kabinet Ali
Sastroamidjoo Kedua dan Kabinet Karya. 2) KH. Saifuddin Zuhri sebagai Menteri
24
Rozi, “Prof. KH. Saifuddin Zuhri”, www.nahdlatululama.id, pada 10 September 2016
60
Agama. Setelah menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Kerja lalu menjadi Menteri
Koordinator Urusan Agama ia kembali lagi menjadi Menteri Agama pada kabinet ini.
Kesepuluh, Kabinet Ampera. Kabinet dengan masa kerja dari 28 Juli 1966
sampai 14 Oktober 1967 dengan jumlah 30 menteri yang di dalamnya terdapat aktor
NU sebagai menteri yaitu: 1) KH. Idham Chalid sebagai Menteri Utama Kesra,
setelah menjadi Wakil Perdana Menteri dalam tiga kabinet sebelumnya. Keterlibatan
ia di NU pada 1952 menjadi Sekretaris Jenderal PBNU, 1956-1984 menjadi Ketua
Umum PBNU dan menjadi Mustasyar PBNU.25
2) KH. Saifuddin Zuhri sebagai
Menteri Agama pada 1966-1967. Ia kembali menjadi Menteri Agama setelah sempat
menjadi Menteri Koordinator Urusan Agama dalam Kabinet Dwikora. 3) Mohammad
Dahlan sebagai Menteri Agama pada 1967-1968.26
Ia merupakan tokoh yang
berpartisipasi dalam terbentuknya NU cabang Bangil serta menjadi Ketuanya. Lalu ia
juga pernah menjadi ketua NU cabang Pasuruan dan pada 1936 menjadi Konsul NU
Daerah Jawa Timur. Keterlibatan KH. Muhammad Dahlan dalam NU sangat panjang,
pada kongres NU di Surabaya tahun 1954 ia dipilih menjadi Ketua Umum Tanfidziah
NU, selain itu ia menjadi anggota konstituante sampai tahun 1959.27
25
Mukafi Niam, “KH. Idham Chalid Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional”, www.nu.or.id,
pada Selasa 8 November 2011 26
KH. Muhammad Dahlan lahir pada 2 Juni 1909 di desa Mandaran Rejo, Kotamadya
Pasuruan, Jawa Timur. Ia merupakan putra ketiga dari lima saudara. Ia pernah belajar di Pesantren
Siwalan Panji Sidoarjo dan Pesantren Tebu Ireng Jombang, kemudian di pesantren ia bertemu dengan
tokoh besar NU yaitu KH. Wahid Hasyim dan KH. Masykur. Lihat www.republika.co.id, “KH.
Muhammad Dahlan, Pendukung Lahirnya Muslimat NU” pada Rabu 15 Oktober 2008. 27
Lihat www.republika.co.id, “KH. Muhammad Dahlan, Pendukung Lahirnya Muslimat NU”
pada Rabu 15 Oktober 2008.
61
B.2 Aktor-Aktor NU Sebagai Wakil Partai dalam Kabinet Reformasi: PKB
Pada masa Reformasi terdapat 6 (enam) Kabinet yang dipimpin oleh setiap
Presiden dan Wakil Presiden. Dari 6 Kabinet hanya pada masa kepemimpinan B.J.
Habibie aktor-aktor NU tidak menjadi bagian dalam Kabinet.
Pertama, Kabinet Abdurahman Wahid (Kabinet Persatuan Nasional). Kabinet
pada masa pimpinan Presiden abdurahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati
Sukarnoputri dengan masa kerja dari 28 Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001. Kabinet
ini mempunya 35 menteri yang di dalamnya terdapat beberapa aktor NU yaitu: 1)
Tolchah Hasan28
sebagai Menteri Agama. Ketika tahun 1960-an, ia pernah menjadi
Ketua Gerakan Pemuda Ansor Pimpinan Cabang Kabupaten Malang. Selain itu juga
ia pernah menjabat sebagai Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan menjadi Wakil Rais
Aam PBNU.29
Pada saat menjadi menteri, ia mempunyai salah satu fokus yaitu untuk
membangun dan mewujudkan kerukunan umat beragama yang disebut teologi
kerukunan multikultural. Kerukunan umat agama akan difokuskan pada perwujudan
rasa kemanusiaan seluruh unsur dan lapisan masyarakat yang menghasilkan
masyarakat yang saling menghargai satu sama lain, menghormati, terbuka, serta
saling tolong menolong tanpa melihat identitas agama.30
2) Alwi Abdurahman
28
KH. Muhammad Tolchah Hasan lahir di Tuban, Jawa Timur pada 10 Oktober 1938. Ia
merupakan tokoh ulama penggerak organisasi dan pendidikan. 29
Muhammad Amidun, “KH. Tolchah Hasan Sosok Kiai Penggerak Pendidikan dan
Organisatoris”, www.news.detik.com, pada 29 Mei 2019 30
Rahman Mantu, “Studi Krisis Pendekatan, Negara Terhadap Kerukunan Antarumat
Beragama”, “Jurnal Aqlam: Journal Of Islam and Plurality”, Vol.1 No.1, Juni 2016
62
Shihab31
sebagai Menteri Luar Negeri. Selain menjadi Menteri Luar Negeri, ia adalah
anggota DPR. Lalu tahun 2002 ia menjadi Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB). 3) Khofifah Indar Parawansa32
sebagai Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan. Sebelum menjabat menjadi Menteri, ia merupakan Wakil Ketua DPR
Bidang Industri, Perdagangan dan Pembangunan dengan masa jabatan dari 1 Oktober
1999 sampai 26 Oktober 1999. Sekarang ia merupakan Gubernur Jawa Timur.
Keterlibatan Khofifah di dalam PBNU sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat
Muslimat NU pada periode 2016-2021, ini merupakan keempat kalinya ia menjadi
Pimpinan Muslimat NU.33
4) AS Hikam34
sebagai Menteri Riset dan Teknologi.
Sebelum menjabat menjadi Menteri, ia bekerja di Pengembangan Ekonomi dan
Pembangunan LIPI sebagai staf penelitian. AS Hikam merupakan kader dari NU.
Kedua, Megawati Soekarnoputri (Kabinet Gotong Royong). Kabinet Gotong
Royong merupakan kabinet pimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri dan Wakil
Presiden Hamzah Haz, masa kerja kabinet ini dari 10 Agustus 2001 sampai 20
31
Alwi Abdurahman Shihab lahir di Rappang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat pada 19
Agustus 1964. Beliau merupakan keturunan Arab. Pada 1968 beliau belajar di Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Ujungpandang di bindang akidah filsafat dan pada tahun yang sama beliau mengambil
gelar master di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, selain itu juga beliau mempunyai gelar master di
Universitas Temple, Amerika Serikat pada 1992. Lihat www.kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id,
“Pejabat Kabinet” pada 17 Mei 2006 32
Khofifah Indar Parawansa lahir di Surabaya, Jawa Timur pada 19 Mei 1965. Beliau
menempuh gelar sarjananya pada tahun 1990 di Universitas Airlangga, Surabaya Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik 33
Cici Marlina Rahayu, “Pesan Ketum PBNU untuk Khofifah yang 4 Kali Pimpin Muslimat
NU”, www.news.detik.com, pada 28 Maret 2017 34
AS Hikam lahir di Tuban, Jawa Timur pada 26 April 1958. Beliau lahir sebagai santri di
lingkungan NU. Beliau meraih gelar sarjana pada 1981 di Universitas Gajah Mada dan gelar doktor
dari Universitas Hawaii di Manoa pada 1995. Lihat www.lipi.go.id, “Menteri Negara Riset dan
teknologi: Dr. Muhammad AS Hikam”, pada 30 September 2006
63
Oktober 2004 yang mempunyai 30 menteri. Terdapat satu menteri yang merupakan
aktor NU yaitu, Matori Abdul Djalil35
sebagai Menteri Pertahanan. Keterlibatannya
di dalam NU sangat dalam, dimulai dari menjadi Anggota Pandu Ansor pada 1955-
1957, Ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Cabang Salatiga, Ketua
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Salatiga pada 1964-1968,
Wakil Ketua DPC Partai NU Kabupaten Semarang pada 1968-1971, Ketua II PW
Anshor Jawa Tengah, Wakil Sekretaris PW NU Jawa Tengah, Sekretaris PW NU
Jawa Tengah pada 1979-1982. Selain itu ia pernah menjabat sebagai Ketua DPC PPP
Kabupaten Semarang, Wakil Ketua DPW PPP Jawa Tengah pada 1982-1987,
Sekretaris Jenderal DPP PPP pada 1989-1994, Ketua Umum PKB pada 1998-2001,
dan Ketua Umum PEKADE (Partai Kejayaan Demokrasi) pada 2003-2007.36
Ketiga, Susilo Bambang Yudhoyono (Kabinet Indonesia Bersatu I). Kabinet
Indonesia Bersatu I merupakan kabinet pimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla dengan masa kerja di mulai
dari 21 Oktober 2004 sampai 20 Oktober 2009. Kabinet ini mempunya 34 menteri
yang di dalamnya terdapat beberapa aktor NU yaitu: 1) Alwi Abdurahman Shihab
sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. Ia lahir di Rappang,
Sulawesi Barat pada 19 Agustus 1946, sebelumnya ia adalah Menteri Luar Negeri
35
Matori Abdul Djalil lahir di Salatiga, Jawa tengah pada 11 Juli 1942 36
NU Online, “Matori Abdul Djalil”, www.nu.or.id, pada 13 Mei 2007
64
Indonesia pada 1999-2000 dan juga Ketua Umum PKB. 2) Saifullah Yusuf37
sebagai
Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal. Ia memulai karir nya sebagai
Ketua Umum GP Ansor dua periode yaitu 2000-2005 dan 2005-2010, selian itu ia
pernah menjadi salah satu Ketua di PBNI di bawah kepemimpinan KH. Said Aqil
Siraj. Ia juga merupakan Wakil Gubernur Jawa Timur yang berdampingan dengan
Soekarwo yang dilantik pada 12 Februari 2009.38
Kabinet Indonesia Bersatu II, Kabinet Indoensia Bersatu II merupakan kabinet
dari pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono.
Masa kerja kabinet ini dimulai dari 22 Oktober 2009 sampai 20 Oktober 2014 dengan
jumlah 34 menteri yang di dalamnya terdapat beberapa elite NU yaitu: 1) Helmy
Faishal Zaini39
sebagai Menteri Negara Pembangunan Negara Tertinggal. Sebelum
menjabat sebagai menteri, ia menjabat sebagai anggota DPR periode 2004-2009 dari
PKB. Dan sekarang menjabat sebagai Sekretaris Jendral PBNU.40
2) Muhaimin
Iskandar sebagai Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Pada tahun 1998 ia
menjadi Sekretaris Jendral PKB, menjadi Ketua Umum PKB pada 2005-2010 dan
terpilih kembali menjadi Ketua Umum PKB pada 2014. 41
37
Saifullah Yusuf lahir di Pasuruan, Jawa Timur pada 28 Agustus 1964. Beliau merupakan
keponakan dari KH. Abdurahman Wahid (Gusdur). 38
NU Online, “Gus Ipul: jabatan Menteri Sebuah Amanah”, www.nu.or.id, pada 21 Oktober
2004 39
Helmy Faishal Zaini lahir di Cirebon, Jawa Barat pada 1 Agustus 1972 40
www.news.detik.com, “Helmy Faisal, Sang Menteri”, pada 16 November 2009 41
Muhaimin Iskandar atau sering disebut Cak Imin lahir di Jombang, Jawa Timur pada 24
September 1966. Riwayat pendidikan beliau dimulai dari Madrasah Tsanawiyah Negeri Jombang
tahun 1982, Madrasah Aliyah Negeri Yogyakarta 1985, FISIP UGM tahun 1992 dan Master Jurusan
65
Keempat, Joko Widodo (Kabinet Kerja). Kabinet ini merupakan kabinet
pimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, masa kerja kabinet
ini dari 2014-2019 dengan jumlah 34 menteri yang di dalamnya terdapat beberapa
aktor NU yaitu: 1) Hanif Dhakiri sebagai Menteri Tenaga Kerja. Ia pernah menjabat
sebagai Ketua PMII Cabang Salatiga pada 1995-1996, Koordinator Pleno PMII Jawa
Tengah pada 1995-1996, Ketua Lembaga Studi Advokasi Buruh PB PMII pada 1997-
2000 dan Wakil Sekjend DPP PKB pada 2005-2010. 42
2) Khofifah Indar Parawansa
sebagai Menteri Sosial. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Khofifah pada
masa kabinet Abdurahman Wahid pernah menjabat sebagai Menteri Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak. Selain terlibat di dalam PBNU sebagai Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muslimat NU pada periode 2016-2021, ia pada kabinet ini
dipilih kembali menjadi Menteri. 3) Eko Putro Sandjojo sebagai Menteri Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Indonesia. Ia menjadi Menteri
menggantikan Marwan Jafar yang sebelumnya menjadi Menteri Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Indonesia pada 2014-2016. 43
4) Imam Nahrawi
sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga. Imam Nahrawi lahir di Bangkalan, Jawa
Komunikasi UI tahun 2001. Lihat Diamanty Meiliana, “Profil Cak Imin: Pemegang Rekor Pimpinan
Termuda DPR yang Kini Jadi Pimpinan MPR”, www.nasional.kompas.com, pada 19 Maret 2018 42
Hanif Dhakiri lahir di Semarang pada 6 Juni 1972. Ayahnya merupakan guru SD dan
ibunya sempat menjadi TKW. Riwayat pendidikannya dimulai dari tahun 1988 bersekolah di
Madrasah Tsanawiyah Negeri Salatiga, Madrasah Aliyah Al-Muayyad Surakarta tahun 1991, Akademi
Politik Kebangsaan (Akpolbang) DPP PKB tahun 2006, dan IAIN Walisongo Salatiga tahun 1996.
Lihat www.nasional.kompas.com, “Ini Sosok Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri”, pada 26
Oktober 2014 43
Eko Putro Sandjojo lahir di Jakarta pada 21 Mei 1965, beliau meraih gelar sarjana di
Universitar of Kentucky, Lexington pada 1991 dan Master of Business Administration dari Institute
Pengembangan Manejemen Indonesia (IPMI) pada 1993. Lihat, www.kemendesa.go.id, “Profile
Menteri”, pada 18 Mei 2019
66
Timur pada 8 Juli 1973. Ia merupakan lulusan dari UIN Sunan Ampel Surabaya pada
1998 dan Universitas Padjajaran program Pascasarjana Magister Kebijakan Publik
pada 2017. Ia memulai karir politiknya dengan masuk ke dalam PKB dan terpilihnya
sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2 periode yaitu 2004-2009 dan 2009-2014
daerah pilihan Jawa Timur.44
C. Aktor NU Sebagai Wakil Individu dalam Kabinet Pemerintahan
Seperti yang sudah dijelaskan pada bab II, kekuatan politik individual
merupakan aktor-aktor yang memiliki peran dalam kehidupan politik dan dapat
mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik. Aktor-aktor tersebut terdapat
di dalam NU yang menjadi menteri dan terlibat di partai politik. Aktor-aktor NU
sudah tersebar di beberapa partai politik Indonesia, seperti:
Pertama, Lukman Hakim Saifuddin Ketua PH DPP PPP (2007-2012),
Sekretaris PH DPP PPP (2003-2007). Ia terlibat di NU mulai dari menjabat sebagai
Wakil Sekretaris Pimpinan Pusat Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU (LKKNU)
pada 1985-1988. Lalu di Lakpesdam NU sebagai Wakil Sekretaris, Kepala Bidang
Administrasi Umum, Koordinator Program Kajian dan Penelitian, Koordinator
Program Pendidikan dan Pelatihan, serta menjadi Ketua Badan Pengurus pada
44
www.kemenpora.go.id, “Riwayat Hidup Imam Nahrawi”, pada 15 Januari 2019
67
periode 1996-1999. Lalu, ia menjadi Ketua PH DPP PPP (2007-2012), Sekretaris PH
DPP PPP (2003-2007) dan sekarang menjadi Menteri Agama.45
Kedua, Djan Faridz46
merupakan Menteri Perumahan Rakyat pada masa
Kabinet Indonesia Bersatu II yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono
periode 19 Oktober 2011 - 20 Oktober 2014. Ia adalah anggota dari Partai Persatuan
Pembangunan. Djan Faridz aktif di dalam organisasi yaitu pada 2004 pernah menjadi
anggota NU dan pada 2009 ia menjadi bendahara NU cabang Jakarta. Pada saat
dilantik menjadi menteri, ia juga terpilih sebagai kepala cabang NU di Jakarta pada
2011 sampai 2014.
Ketiga, Idrus Marham47
merupakan Menteri Sosial Indonesia ke-28 masa
Presiden Joko Widodo pada periode17 Januari 2018 – 24 Agustus 2018. Jabatannya
yang singkat dikarenakan ia terkait kasus korupsi. Idrus Marham pada masa mudanya
banyak aktif di dalam organisasi kepemudaan dan keagamaan, ia terlibat dalam
Karang Taruna, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Ikatan Pelajar
Nahdlatul Ulama (IPNU). Perjalanan politik Idrus dimulai ketika ia terpilih menjadi
45
www.news.detik.com, “Lukman Hakim Saifuddin, dari Gontor Hingga ke Kursi Menag”,
pada 9 Juni 2014 46
Djan Faridz lahir di Jakarta pada 5 Agustus 1950. Ia adalah putra dari Mohammad Djan dan
Aisha Djan. Pada 1947-1963 Faridz memulai pendidikannya di SD St. Fransiskus, lalu SMP di Kanius
pada 1963-1966 dan SMA Negeri 2 Jakarta pada 1966-1969. Setelah itu ia melanjutkan ke Universitas
Tarumanegara jurusan Arsitektur. Lihat, Theresia Filisiani, “Siapa Menpera Baru Djan Faridz?”,
www.tribunnews.com, pada 18 Oktober 2011 47
Idrus Marham lahir di Pinrang, Sulawesi Selatan pada 14 Agustus 1962. Ia memulai
pendidikannya dari SD sampai SMA di Sulawesi Selatan yang merupakan daerah asalnya. Lalu, ia
kuliah di IAIN Alaudin Makassar Fakultas Syari’ah. Dan melanjutkan S2 di IAIN Walisongo Fakultas
Syari’ah. Lihat, Rico Anwar, “Idrus Marham: Penjahat Berdarah Dingin”, www.kompasiana.com, pada
19 Februari 2016
68
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada pemilu 1997. Lalu, melalui
partai Golkar ia terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tiga
periode berturut-turut yaitu pada 1999-2004, 2004-2009, 2009-2014 untuk daerah
pemilihan III Sulawesi Selatan.
Keempat, Hamza Haz48
merupakan Menteri Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemiskinan Republik Indonesia pada masa
Abdurahman Wahid dengan masa jabatan dari 28 Oktober 1999 sampai 26 November
1999. Dalam perjalanannya, ia menjadi Wakil Presiden Indonesia ke-9 bersama
Megawati Soekarnoputri sebagai pasangannya pada 26 Juli 2001 – 20 Oktober 2004.
Hamza Haz pernah menjadi Wakil ketua DPW NU Kalimantan Barat pada
1971. Lalu ia juga mewakili NU di Gedung DPR/MPR. Pada 1962 ia pernah menjadi
ketua PMII. Pasca terjadinya fusi antara NU dengan PPP, hamza aktif bergerak
menjadi anggota DPR bagi PPP dan menjadi pengurus penting PPP sampai akhirnya
dipilih menjadi Ketua Umum PPP pada 1998-2007.49
K.H Saifuddin Zuhri merupakan Menteri Agama kesepuluh di kabinet
ampera pada 1967. Sebelum ia menjabat menjadi Menteri Agama, ia berkiprah dalam
organisasi NU mulai menjadi Sekretaris Cabang Ansor NU Banyumas, Sekretaris
Majelis Konsul Daerah NU Jawa Tengah, Komisaris Daerah Ansor NU Jawa Tengah,
48
Hamza Haz lahir di Ketapang, Kalimantan Barat pada 15 Februari 1940. Ia merupakan
lulusan Akdemi Koperasi Negara di Yogyakarta pada 1962 dan melanjtkan kuliah di Universitas
Tanjungpura Pontianak Jurusan Ilmu Perusahaan pada 1970. Lihat, www.kepustakaan-
presiden.perpusnas.go.id, “Kabinet Menteri”, pada 17 mei 2006 49
www.kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id, “Kabinet Menteri”, pada 17 mei 2006
69
pada 1954 ia menjadi Sekretaris Jenderal PBNU dan terakhir ia menjadi Mustasyar
PBNU.50
Ketika menjabat sebagai Menteri Agama, K.H. Saifuddin Zuhri berupaya
untuk mengembangkan IAIN. Dan upayanya ini membuahkan hasil, IAIN
berkembang di sembilan provinsi, masing-masing memiliki cabang di kota
kabupaten. Usaha untuk mengembangkan IAIN ini bukan tidak ada tantangannya.
Reaksi muncul dari sebagian kalangan DPR dan dari sekelompok masyarakat yang
tidak setuju dengan pengembangan IAIN. Mereka menuduh, Departemen Agama
seolah-olah hanya menganakemaskan umat Islam. Berarti pemerintah telah berbuat
diskriminatif terhadap rakyatnya. Tetapi, K.H Saifuddin Zuhri tetap melanjutkan
proyeknya tersebut bersamaan dengan dikeluarkannya pejelasannya bahwa sudah
menjadi kewajiban pemerintah untuk memberi pendidikan dan kewajiban kepada
rakyat, tidak hanya untuk masyarakat kecil melainkan juga masyarakat Islam yang
statusnya menjadi mayoritas.51
K.H. Saifuddin Zuhri merupakan tokoh penting dalam organisasi NU, ia
memimpin perjuangan bersenjata dan perjuangan politik untuk mencapai, merebut,
mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Ia juga beperan dalam pembangunan
karakter bangsa, ia menyebarkan pandangan-pandangan Islam Ahlus-Sunnah wal
Jama'ah yang identik dengan Islam Rahmatan lil 'Alamin, mengembangkan paham
50
Lukman Hakim Saifuddin, Ali Zawawi, dkk, Riwayat Hidup dan Perjuangan Prof. KH.
Saifuddin Zuhri Ulama Pejuang Kemerdekaan, (Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri, 2013), h. 10 51
Lukman Hakim Saifuddin, Ali Zawawi, dkk, Riwayat Hidup dan Perjuangan Prof. KH.
Saifuddin Zuhri Ulama Pejuang Kemerdekaan, (Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri, 2013), h. 11
70
nasionalisme Islam Indonesia dalam kerangka mempertahankan NKRI dan
mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.52
52
Lukman Hakim Saifuddin, Ali Zawawi, dkk, Riwayat Hidup dan Perjuangan Prof. KH.
Saifuddin Zuhri Ulama Pejuang Kemerdekaan, (Jakarta: Yayasan Saifuddin Zuhri, 2013), h. 13
71
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada bab ini penulis memaparkan kesimpulan mengenai penelitian yang
berjudul kekuatan politik NU sebagai civil society dan partai politik. NU merupakan
salah satu organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia dikategorikan sebagai
civil society yang dikalangan NU disebut sebagai masyarakat sipil. NU didirikan pada
31 Januari 1926 di Surabaya. NU merupakan organsasi sosial kegamaan yang
mengkukuhkan dirinya menjadi pengawal tradisi Ahlussunnah wal Jamaah
bermadzhab empat yang diusahakan melalui berbagai ikhtiar dibidang agama,
pendidikan, sosial dan ekonomi. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan dasar gerakan
keagamaan NU.
NU pada periode tertentu pernah menjadi partai politik, pada 1952-1971.
Sebelum NU memutuskan untuk menjadi partai, NU sudah bergabung dalam partai
politik yaitu Masyumi. Tetapi, karena adanya persoalan antara keduanya yang
membuat NU merasa kecewa kepada Masyumi dan memutuskan untuk keluar.
Kesuksesan NU ketika menjadi partai terlihat pada pemilu pertama 1955, NU berhasil
medapat peringkat ketiga dengan perolehan suara 18,41%. Lalu pada pemilu 1971,
NU mengalami kenaikan suara dengan berada diperingkat kedua sebagai partai
politik Islam.
72
Dalam perkembangan selanjutnya Partai NU bersama tiga partai Islam yaitu,
Parmusi, PSII, PERTi, pada 1973 melakukan fusi partai politik ke dalam PPP. NU di
dalam PPP mengalami kekecewaan kembali, maka kemudian ia kembali ke Khittah
1926. Pada 1983 NU kembali menjadi organisasi kemasyarakatan sebagai civil
society.
Ketika NU sebagai civil society dan menjadi partai politik, sebagian dari
pengurus maupun di luar pengurus NU menjadi bagian dari kekuasaan. Khususnya
aktor-aktor NU yang terlibat di dalam pemerintahan, baik menjadi Menteri dan
pejabat-pejabat lainnya. Hal itu yang disebut sebagai kekuatan politik NU.
Pada awal Reformasi, PBNU membidani berdirinya partai politik yaitu PKB.
Secara struktural PKB memang menjadi bagian dari NU. Jadi, NU tetap sebagai civil
society tetapi NU juga mendirikan partai politik, bukan menjadi partai politik.
Namun, sebagian kalangan Nahdliyin yang tidak menjadi bagian dari PKB
mendirikan partai politik yang tidak ada hubungannya dengan NU sebagai organisasi
kemasyarakatan. Partai-partai tersebut adalah PKU, PNU, dan SUNI.
B. Saran
Dengan adanya penelitian skripsi ini, penulis berpendapat bahwa
diperlukannya suatu kesadaran untuk lebih erat di kalangan umat Islam karena di
setiap pergerakan yang ada tidak pernah terlepas dari gejolak situasi sosial. Seperti
NU yang hadir sebagai sebuah pergerakan dengan berbagai kemampuan.
Perlu adanya batasan untuk NU jika ingin terlibat dalam dunia politik,
walaupun memang sudah kembali ke Khittah 1926 yang berarti kembali menjadi
73
organisasi sosial keagamaan dan tidak berpolitik praktis lagi tetapi godaan-godaan
pasti akan muncul menyeret NU untuk berpolitik.
NU sebagai kekuatan politik membuktikan bahwa organisasi Islam tidak
hanya bisa mengurus masalah pengembangan umat saja, teapi juga dapat ikut serta
dalam pengembangan politik di Indonesia. Dengan demikian, orang-orang NU yang
mempunyai ketertarikan dalam politik ikut masuk serta ditarik untuk menjadi bagian
dari pemerintahan seperti menteri. Dan menghasilkan sebuah kebijakan-kebijakan
yang mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat.
74
Daftar Pustaka
Buku-buku
Al-Hamdi, Ridho. Partai Politik Islam: Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2013.
Anam, Choirul. Pertumbuhan & Perkembangan NU. Surabaya: Bisma Satu
Surabaya, 1999.
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia, 2013.
Choirie, A Effendy. Islam-Nasionalisme UMNO-PKB: Studi Komparasi dan
Diplomasi. Jakarta: Grafika Indah, 2008.
Daman, H. Rozikin. Membidik NU: Dilema Percaturan Politik NU Pasca Khittah.
Yogyakarta: Gama Media, 2011
Diamond, Larry. Developing Democracy, Toward Consolidation. Baltimore: The
Johns Hopkins University Press, 1999.
Fealy, Greg. Ijtihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967. Yogyakarta: LkiS, 2003.
Halking dan Budi Ali Mukmin. Bahan Ajar Sistem Politik Indonesia. Medan:
Unimed Press, 2013.
Hanafie, Haniah dan Ana Sabhana Azmy. Kekuatan-Kekuatan Politik. Depok: Raja
Grafindo Persada, 2018.
Hassan, Sahar L, Kuat Sukardiyono dan Dadi M.H. Basri. Memilih Partai Islam.
Jakarta: Gema Insani, 1989.
Herdianto, Heri dan Fokky Fuad Wasitaatmadja. Kewarganegaraan & Masyarakat
Madani. Jakarta: Prenadamedia Group, 2019.
75
Ismail, Faisal. Dilema NU: Di Tengah Badai Pragmatisme Politik. Jakarta:
Departemen Agama RI, 2004.
Kazhim, Musa dan Alfian Hamzah. 5 Partai dalam Pertimbangan: Analisis dan
Prospek. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.
Maning, Chris dan Peter van Diermen. Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-Aspek
Sosial dari Reformasi Krisis. Yogyakarta: LKis, 2000.
Pamungkas, Sigit. Partai Politik: Teori dan Praktik di Indonesia. Yogyakarta:
Institute for Democracy and Welfarism, 2011.
Prasetyo, Hendro dan Ali Munhanif. Islam & Civil Society. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2002.
Ridwan, Nur Khalik. NU dan Bangsa: Pergulatan Politik dan Kekuasaan.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010.
Sitompul, Einar Martahan. NU & Pancasila. Yogyakarta: LkiS, 2010.
Soon, Kang Young. Antara Tradisi dan Konflik: Kepolitikan Nahdlatul Ulama.
Jakarta: UI-Press, 2007.
Sugiarto, Eko. Menyusun Proposal Penelitian Kualitatif: Skripsi dan Tesis.
Yogyakarta: Suaka Media, 2015.
Suprayogo, Imam. Kiai dan Politik. Malang: UIN Malang Press, 2007.
Yusuf, A. Muri. Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan.
Jakarta: Prenamedia Group, 2014.
Zada, Khamami dan A. Fawaid Sjadzili. Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan
Politik Kenegaraan. Jakarta: Kompas, 2010.
Zamharir, Muhammad Hari. Agama dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik
Nurcholis Madjid. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
76
Skripsi
Hidayati, Anisa. "Nahdlatul Ulama (NU) di Era Reformasi: Studi Tentang Muslimat
NU Periode 2011-2014 dan Khittah NU 1926", (Skripsi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015).
Noviantoko, Putranto Argi. "Peran Nahdlatul Ulama di Partai Masyumi Pada Tahun
1945-1952", (Skripsi Universitas Gajah Mada, 2017).
Jurnal
Ekawati, Esty. "Nahdlatul Ulama (NU) Sebagai Civil Society di Indonesia". Jurnal
Penelitian Ilmu Sosial dan Ilmu Keagamaan Vol. 13 No. 2, 2016.
Goncing, Nurlila. "Politik Nahdlatul Ulama dan Orde Baru". The POLITICS: Jurnal
Magister Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Vol. 1 No. 1, 2016.
Halili. "Masa Depan Civil Society di Indonesia: Prospek dan Tantangan. Jurnal
Kajian Kewarganegaraan Vol. 3 No. 2, 2006.
Parmudi, Mochamad. "Kebangkitan Civil Society di Indonesia". Jurnal at-Taqaddum
UIN Walisongi Vol. 7 No. 2, 2015.
Perdana, Aditya. "Civil Society dan Partai Politik Dalam Demokratisasi di Indonesia".
Dinamika Politik Lokal di Indonesia, Seminar Internasional, 2009.
Artikel
Kulsum, Ummy, Hendro Sumartono dan Sunarlan. "Dinamika Politik PKB (Studi
Tentang Konflik Internal 1999-2004)". Artikel Hasil Penelitian Mahasiswa
Universitas Jember 1-10 (Agustus 2013)
77
Berita
Alawi, Abdullah. "Prof. Soenarjo, Menteri Dalam Negeri dari NU", www.nu.or.id, 30
Juni 2017.
Amidun, Muhammad. "KH. Tolchah Hasan Sosok Kiai Penggerak Pendidikan dan
Organisasi", www.news.detik.com, 29 Mei 2019.
Aziz, Munawir. "KH. Zainul Arifin Pohan: Panglima Santri, Bangsawan dari Barus".
www.nu.or.id, 18 Maret 2016.
Akhyari, M. Kamil. "KH. Saifuddin Zuhri, Pahlawan Tanpa Tada Jasa",
www.nu.or.id, 25 Mei 2015.
Daie, Adlan. "Reaktualisasi Kementerian Penghubung Ulama",
www.kompasiana.com, 27 Juni 2018.
Febrianto, Nanda. "Profil KH. Wahib Wahab Menteri Agama ke-19 RI, Kakek
Romahurmuzy", www.tagar.id, 15 Maret 2019.
Khotib, Ahmad. "NU dan Politik". www.kompasiana.com, 28 Juli 2013.
Lumowa, Fernando. "Kiprah Partai Politik di Pemilu Indonesia Masa ke Masa".
www.manado.tribunnews.com, 20 Februari 2018.
Matanasi, Petrik. "Sejarah Hidup Idham Chalid, Orang NU Pertama di Puncak
Kekuasaan", www.tirto.id, 11 Juli 2010
Meilina, Diamanty. "Prof. Cak Imim: Pemegang Rekor Pimpinan Termuda DPR yang
Kini Jadi Pimpinan MPR", www.nasional .kompas.com, I19 Maret 2008.
Niam, Mukafi. "KH. Idhan Chalid di Anugrahi Gelar Pahlawan Nasional",
www.nu.or.id, 8 November 2011.
NU Online. "Matori Abdul Djalil", www.nu.or.id, 13 Mei 2007.
78
Nu Online. "Gus Ipul: Jabatan Menteri Sebuah Amanah", www.nu.or.id, pada 21
Oktober 2004.
Pribadi, Guntur. "NU, Politik dan Kemaslahatan Bangsa". wwww.nu.or.id, 28 Januari
2018.
Rahayu, Cici Marlina. "Pesan Ketum PBNU Untuk Khofifah yang 4 Kali Pimpin
Muslimat NU", www.news.detik.com, 28 Maret 2017.
Raditya, Isawara N. "Sejarah Hidup KH. Masykur, Pejuang NU & Menteri Agama
Lima Babak", www.tirto.id, pada 23 Maret 2019.
Ridwan, Nur Kholik. "Khittah NU". www.nu.or.id, 14 September 2012
Rozi. "Prof. KH. Saifuddin Zuhri", www.nahdlatululama.id, pada 10 September
2016.
STAI Al Anwar. "Perjalanan Sejarah Politik NU Sejak Berdiri Hingga Keputusan
Kembali ke Khittah". www.staialanwar.ac.id, 5 April 2017.
Syaddad, Irza A. "PKB, NU dan Khittah yang Ambigu". www.indoprogress.com, 28
Maret 2014.
Teguh, Irfan. "Mula dan Akhir Perjanalan KH. Wahid Hasyim", www.tirto.id, pada
19 April 2019.
www.nasionalkompas.com. "Ini Sosok Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri", pada
26 Oktober 2014.
www.news.detik.com. "Helmy Faisal, Sang Menteri", pada 16 November 2009.
www.lipi.go.id. "Menteri Negara Riset dan Teknologi: Dr. Muhamad AS Hikam",
pada 20 Maret 2006.
www.replubika.co.id. "KH. Muhammad Dahlan, Pendukung Lahirnya Muslimat NU",
pada 15 Oktober 2018.
79
www.replubika.co.id. "KH. Muhammad Ilyas, Ikhlas Mengabdi dan Berjuang", pada
17 Agustus 2009.
www.tokoh.id. "Tokoh Indonesia", pada 1 Juni 2009/
www.nu.or.id. "NU, Politik dan Kemaslahatan Bangsa", pada 28 Januari 2018.
www.kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id. "Pejabat Kabinet", pada 17 Mei 2016,
www.kemendesa.go.id. "Profile Menteri", pada 18 Mei 2019.
www.kemenpora.go.id. "Riwayat Hidup Imam Nahrawi", pada 15 Januari 2019.
www.newsdetik.com. "Lukman Hakim Saifuddin, Dari Gontor Hingga ke Kursi
Menag", pada 9 Juni 2014
Wawancara
Wawancara Pribadi dengan Ketua PCNU Jakarta Barat K.H. Fahrurozi pada Senin,
18 Februari 2019, pukul 14:00 WIB.
Wawancara Pribadi dengan Kepala Bidang Lembaga Pendidikan Ma’arif NU dan
Koordinator Bidang Hubungan Antara Lembaga PBNU Imam Buchori pada
Rabu, 23 Januari 2019, pukul 13:00 WIB.
Wawancara Pribadi dengan Wakil Sekjen PBNU Imdadun Rahmat pada Selasa, 12
Maret 2019, pukul 19:00 WIB.
Wawancara Pribadi dengan Calon Anggota DPR RI No. 1 PKB dapil Jakarta III pada
Selasa, 22 Januari 2019, pukul 16:00 WIB.
Wawancara dengan Wakil Ketua DPC PPP Jakarta Barat, Wakil Sekretaris NU NWC
Kec. Kalideres pada Kamis, 17 Februari 2019, pukul 19:00 WIB.