introduksi minyak lemuru tresabun zaitun
DESCRIPTION
minyak lemuruTRANSCRIPT
Introduksi Minyak Lemuru Tersabun, Minyak Zaitun serta Pasta Temulawak pada Ransum
terhadap Produksi dan Komposisi Kolesterol Serum Darah Sapi Bali (Siwitri Kadarsih)
1 – 10
Pengaruh Penambahan Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging terhadap Kadar Kalsium dan
Sifat Organoleptik Stik Keju (Yenni Okfrianti, Kamsiah, Yusma Hartati) 11 – 18
Analisis Model Integrasi Lebah dengan Kebun Kopi (Sinkolema) dalam Rangka Peningkatan
Produksi Madu dan Biji Kopi (R. Saepudin, A. M. Fuah, C. Sumantri, L. Abdullah, S.
Hadisoesilo) 19 – 32
Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Indigofera Pada Tepung Gaplek Sebagai Sumber
Energi Pengganti Jagung Kuning Dalam Ransum Puyuh (Coturnix-Coturnix Japonica)
Terhadap Produksi dan Warna Kuning Telur (Tris Akbarillah, Kususiyah, Hidayat) 33 – 40
Penggunaan Ekstrak Saropus androgynus untuk Meningkatkan Efisiensi Produksi dan Mutu
Telur pada Peternakan Ayam Arab Petelur (Urip Santoso dan Suharyanto) 41 – 46
Pengaruh Aras Protein dan Ragi Tape terhadap Kualitas Karkas dan Deposisi Lemak pada
Ayam Broiler (Farahdiba, Urip Santoso dan Kususiyah) 47– 54
Pengaruh Komposisi Genetik Hasil Persilangan Puyuh (Coturnix-Coturnix Japonica) Tiga
Daerah Asal Terhadap Performans Produksi Telur (Desia Kaharuddin and Kususiyah)
55 – 60
Effects of Feeding Kroto (Aerophylla smaragdina) , Kricket (Brachytrypes membranaceus) and
Diet Combinations on Live Performance of Young Edible –Nest Swiftlet (Collocalia
fuciphaga) (B. Brata, R. Saepudin, Sutriyono and Lindya) 61 – 66
Pengaruh Suplementasi Prekusor Karnitin (Niasin Dan FeSO4) dalam Ransum Berbasis
Enkapsulasi Minyak Ikan Lemuru terhadap Perlemakan Darah Ayam Broiler (Yosi Fenita)
67 – 75
JURNAL SAIN PETERNAKAN INDONESIA
(Indonesia Animal Science Journal)
Dewan Redaksi
Ketua Suharyanto, S.Pt., M.Si.
Anggota Drh. Tatik Suteky, M.Sc.
Ir. Warnoto, M.P.
Ir. Desia Kaharuddin, M.P.
Ir. Hidayat, M.Sc.
Ir. Kususiyah, M.S.
Nurmeiliasari, S.Pt., M.Agr.Sc.
Penyunting Prof. Ir. Urip Santoso, M.Sc, Ph.D.
Ir. Dwatmadji, M.Sc., Ph.D.
Heri Dwi Putranto, S.Pt., M.Sc., Ph.D.
Ir. Endang Sulistyowati, M.Sc.
Ir. Siwitri Kadarsih, M.S.
Dr. Ir. Yosi Fenita, M.P.
Administrasi dan Distribusi Olfa Mega, S.Pt., M.Si.
Gema Pertiwi, S.E.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia adalah majalah ilmiah resmi yang dikeluarkan
Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, sebagai
sumbangannya kepada pengembangan ilmu Peternakan yang diterbitkan dalam
Bahasa Indonesia dan Inggris yang memuat hasil-hasil penelitian, telaah/tinjauan
pustaka, kasus lapang atau gagasan dalam bidang peternakan.
Jurnal Sain Peternakan Indonesia (ISSN 1978 – 3000) dalam satu tahun terbit dua
kali (Januari-Juni dan Juli -Desember). Edisi khusus dalam Bahasa Inggris dapat
diterbitkan apabila perlu. Redaksi menerima tulisan di bidang peternakan yang
belum pernah dipublikasikan.
Indonesia Animal Science Journal (ISSN 1978 - 3000) is published 2 x per year
(January-June and July - December). We receive original papers in Animal
Husbandry which are not published in other journals.
Alamat Redaksi : Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian UNIB.
Jalan W.R. Supratman Kandang Limun Bengkulu 38371A.
Telp (0736) 21170 pst 219.
e-mail : [email protected] dan [email protected]
Terbit Pertama Kali : Juni 2006
Harga langganan Rp. 200.000,- per tahun belum termasuk ongkos kirim
EDITORIAL Salam Redaksi
Edisi kalo ini, JSPI menerbitkan kembali 9 (sembilan) artikel ilmiah hasil
penelitian. Kategori artikel dalam jurnal ini meliputi aspek produksi, teknologi hasil,
pakan dan nutrisi, aneka ternak, dan fisiologi nutrisi.
Artikel yang termasuk ke dalam kategori produksi diantaranya adalah
pemanfaatan minyak ikan lemuru tersabun untuk produksi sapi Bali, pengaruh
indigofera terhadap produksi puyuh dan kualitas telur, dan penggunaan ekstrak
daun katuk untuk produksi telur ayam arab. Aspek teknologi hasil menampilkan
artikel Pengaruh Penambahan Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging terhadap
Kadar Kalsium dan Sifat Organoleptik Stik Keju. Aspek pakan dan nutrisi
menampilkan Pengaruh Aras Protein dan Ragi Tape terhadap Kualitas Karkas dan
Deposisi Lemak pada Ayam Broiler dan Pengaruh Suplementasi Prekusor Karnitin
(Niasin Dan FeSO4) dalam Ransum Berbasis Enkapsulasi Minyak Ikan Lemuru
terhadap Perlemakan Darah Ayam Broiler.
Aspek aneka ternak menampilkan artikel Analisis Model Integrasi Lebah
dengan Kebun Kopi (Sinkolema) dalam Rangka Peningkatan Produksi Madu dan Biji
Kopi dan Effects of Feeding Kroto (Aerophylla smaragdina) , Kricket (Brachytrypes
membranaceus) and Diet Combinations on Live Performance of Young Edible –Nest
Swiftlet (Collocalia fuciphaga). Sedangkan aspek genetik menampilkan artikel dengan
judul Pengaruh Komposisi Genetik Hasil Persilangan Puyuh (Coturnix-Coturnix
Japonica) Tiga Daerah Asal Terhadap Performans Produksi Telur.
Demikianlah, semoga dapat menambah khazanah perbendaharaan ilmiah di
dunia peternakan Indonesia.
Selamat membaca
Redaksi
Jurnal Sain Peternakan Indonesia
(Indonesia Animal Science Journal)
Volume 6 No 1. Januari – Juni 2011 ISSN 1978 - 3000
DAFTAR ISI
Introduksi Minyak Lemuru Tersabun, Minyak Zaitun serta Pasta Temulawak pada
Ransum terhadap Produksi dan Komposisi Kolesterol Serum Darah Sapi Bali (Siwitri
Kadarsih) 1 – 10
Pengaruh Penambahan Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging terhadap Kadar Kalsium
dan Sifat Organoleptik Stik Keju (Yenni Okfrianti, Kamsiah, Yusma Hartati) 11 – 18
Analisis Model Integrasi Lebah dengan Kebun Kopi (Sinkolema) dalam Rangka
Peningkatan Produksi Madu dan Biji Kopi (R. Saepudin, A. M. Fuah, C. Sumantri, L.
Abdullah, S. Hadisoesilo) 19 – 32
Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Indigofera Pada Tepung Gaplek Sebagai Sumber
Energi Pengganti Jagung Kuning Dalam Ransum Puyuh (Coturnix-Coturnix Japonica)
Terhadap Produksi dan Warna Kuning Telur (Tris Akbarillah, Kususiyah, Hidayat) 33 – 40
Penggunaan Ekstrak Saropus androgynus untuk Meningkatkan Efisiensi Produksi dan
Mutu Telur pada Peternakan Ayam Arab Petelur (Urip Santoso dan Suharyanto) 41 – 46
Pengaruh Aras Protein dan Ragi Tape terhadap Kualitas Karkas dan Deposisi Lemak pada
Ayam Broiler (Farahdiba, Urip Santoso dan Kususiyah) 47– 54
Pengaruh Komposisi Genetik Hasil Persilangan Puyuh (Coturnix-Coturnix Japonica) Tiga
Daerah Asal Terhadap Performans Produksi Telur (Desia Kaharuddin and Kususiyah)
55 – 60
Effects of Feeding Kroto (Aerophylla smaragdina) , Kricket (Brachytrypes membranaceus)
and Diet Combinations on Live Performance of Young Edible –Nest Swiftlet (Collocalia
fuciphaga) (B. Brata, R. Saepudin, Sutriyono and Lindya) 61 – 66
Pengaruh Suplementasi Prekusor Karnitin (Niasin Dan FeSO4) dalam Ransum Berbasis
Enkapsulasi Minyak Ikan Lemuru terhadap Perlemakan Darah Ayam Broiler (Yosi Fenita)
67 – 75
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 1
Introduksi Minyak Lemuru Tersabun, Minyak Zaitun serta Pasta Temulawak
pada Ransum terhadap Produksi dan Komposisi Kolesterol Serum Darah
Sapi Bali
Introduction of Lemuru Oil Saponification, Olive Oil and Temulawak Ginger Paste in
Rations on Production and Composition of Bali Cattle Blood Serum
Siwitri Kadarsih
Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
Jalan WR Supratman, Kandang Limun, Bengkulu
ABSTRACT
The research was aimed to reduce blood cholesterol. The research design used was completely randomized design with three treatment groups with four Bali cows in each treatment. The research was conducted for eight weeks. Temulawak paste was mixed into concentrate. The treatments were P0 (control group), P1 (6% lemuru fish oil, 1% olive oil, 37.3% rice brand, 62.7% corn meal, 7% layer concentrate, 200 grams temulawak paste) and P2 (8% lemuru fish oil, 2% olive oil, 37.3% rice brand, 62.7% corn meal, 7% layer concentrate, 200 grams temulawak paste). The concentrate was given 1% and 10% grass of body weight. Variables observed were production performance and blood cholesterol level. The collected data were statistically analysed by using Least Significance Different (LSD). Results showed that concentrate intake, water intake and pasture consumption were insignificantly different (P<0.05). However, there was a significant increase on body weight gain (P2, 0.270 kg/day/cow and P3, 0.258 kg/day/cow). Moreover, blood cholesterol level decreased significantly from 106.25±2.61 mg/dl to 70.25±1.835 mg/dl and gradually decreased to 58.50±3.293 mg/dl (P<0.05). Similarly, blood triglyceride level was also decreased significantly by 1.322 mg/dl (P<0.05). In contrast, HDL level increased significantly from 31.00±0.95 mg/dl to 58.50±1.393 mg/dl (P<0.05). LDL level decreased from 36.00±1.408 mg/dl to 20.50±1.558 mg/dl (P<0.05). Key words : temulawak paste, lemuru fish oil, olive oil, Bali cow, cholesterol composition.
ABSTRAK
Penelitian bertujuan untuk mendapatkan sapi yang mempunyai komposisi kolesterol darah yang rendah. Rancangan penelitian menggunakan RAL dengan menggunakan 3 perlakuan, masing-masing perlakuan digunakan 4 ekor sapi Bali umur lebih kurang 2 tahun. Pengamatan dilakukan 8 minggu. Pasta temulawak disediakan dicampur dengan konsentrat. Po (tanpa minyak lemuru dan temulawak); P1 (minyak lemuru tersabun 6%, minyak zaitun 1%; dedak padi: 37,30%; Jagung: 62,70%; KLK: 7%, pasta temulawak:100 g) ; P2 (lemuru tersabun 8 %, minyak zaitun 2 %; dedak; 37,30; jagung: 62,70%; KLK: 7%, pasta temulawak: 200 g). Konsentrat diberikan pada pagi hari sebanyak 1 % dari berat ternak berdasarkan bahan kering, sedangkan rumput diberikan minimal 10 % dari bobot ternak Variabel pengamatan meliputi: Performans produksi, komposisi kolesterol serum darah. Data yang diperoleh dianalisis varian dengan menggunakan LSD pada tingkat kepercayaan 5 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi konsentrat, konsumsi minum dan konsumsi hijauan menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05). Namun demikian pertambahan berat badan perhari menunjukkan adanya pengaruh perlakuan secara nyata (P<0,05) yaitu pada P2 sebesar 0,270 kg/hr/ekor dan P3 sebesar 0,258 kg/hari/ekor. Kolesterol serum darah sapi Bali menunjukkan adanya penurunan secara nyata (P<0,05) dari 106,25 ± 2,61 mg/dl menjadi 70,25 ± 1,835 mg/dl dengan ditingkatkannya dosis perlakuan kandungan kolesterol serum darah menjadi 58,50 ± 3,293. mg/dl. Demikian juga kandungan trigliserida serum darah mengalami penurunan secara nyata (P<0,05) dari 33 ± 0,934 mg/dl menjadi 25,35 ± 2,02 mg/dl dan turun lagi menjadi 17,50 ± 1,322 mg/dl. Sedangkan kandungan HDL menunjukkan peningkatan secara nyata (P<0,05) dari 31,00 ± 0,95 mg/dl menjadi 48,50 ± 4,061 mg/dl dan 58,50 ± 1,393 mg/dl. Selanjutnya untuk kandungan LDL serum darah menunjukkan penurunan secara nyata (P<0,05) dari 36,00 ± 1,408 mg/dl menjadi 27,87 ± 1,558 mg/dl dan 20,50 ± 1,835 mg/d. Kata kunci : pasta temulawak, minyak lemuru, minyak zaitun, sapi bali, komposisi kolesterol.
ISSN 1978 - 3000
| Studi Minyak Lemuru Tersabun 2
PENDAHULUAN
Sampai saat ini kecukupan
konsumsi pangan hewani rakyat
Indonesia masih jauh dari konsumsi
negara berkembang lainnya.
Berdasarkan data dari Badan Pangan
Dunia (FAO) (2007), konsumsi daging
rakyat Indonesia/ tahun hanya 11,9 kg,
sementara konsumsi daging rakyat
Thailand sudah mencapai 23, 3 kg dan
china 59,8 kg. Hal ini seakan
memperkuat keterpurukan kualitas
pembangunan manusia (human
development index) Indonesia yang
hanya di urutan 107 dibawah Vietnam
dan angka melek huruf pada urutan 56
dibawah Sri Lanka (UNDP, 2007).
Sejatinya bahan pangan hewani sangat
berperan dalam menopang kesehatan,
kecerdasan dan pembangunan
sumberdaya manusia. Fakta tersebut
menunjukkan kualitas konsumsi pangan
yang masih jauh dari kondisi ideal.
Lagipula rendahnya konsumsi pangan
bergizi ini semakin diperparah dengan
tekanan ekonomi .Dalam upaya
peningkatan kualitas bahan pangan,
diversifikasi produk olahan pertanian
dan peternakan sudah menjadi
keharusan. Kelemahan ketrampilan
selama ini yang menjadi penghambat
peningkatan kualitas bahan pangan
sudah seharusnya mendorong bagi
pemerintah melalui lembaga penelitian
Universitas, departemen terkait dan
pemerintah daerah untuk bersatu padu
dalam penyebarluasan informasi dan
implementasi teknologi.
Namun demikian disisi lain dari
hasil survey Kesehatan Rumah Tangga
yang dilakukan Departemen Kesehatan
menunjukkan bahwa prevalensi
penyakit jantung di Indonesia dari tahun
ke tahun terus meningkat dan diikuti
dengan peningkatan jumlah kematian.
Peningkatan tersebut banyak terjadi di
Negara maju maupun Negara- Negara
berkembang, antara lain oleh
peningkatan taraf hidup yang langsung
maupun tidak langsung mengubah gaya
hidup maupun pola makan. Bahkan
menurut penilaian Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) dan Departemen
Kesehatan saat ini mungkin tinggal 50 %
penduduk Indonesia yang masih
mengkonsumsi basic four food group
seperti buah dan sayuran, padi-padian
dan kacang-kacangan. Namun demikian
saat ini mengalami kecenderungan
mengkonsumsi golongan refined food,
atau popular disebut fast food yang
berlemak, namun gizinya kurang
seimbang serta rendah serat.
Peningkatan kadar lemak dalam
darah pada tubuh manusia pada akhir-
akhir ini mendapat perhatian luas
dikalangan masyarakat, terutama pada
orang-orang yang asupan lemak baik
melalui makan maupun minum cukup
tinggi. Berdasarkan penelitian di
berbagai Negara didapatkan hasil bahwa
dengan meningkatnya asupan lemak
menyebabkan meningkatnya kadar
kolesterol darah dan penelitian lain
membuktikan adanya hubungan antara
meningkatnya asupan lemak dengan
penyakit jantung koroner (PJK). Lemak
jenuh merupakan penyebab utama
meningkatnya kolesterol total dan
kolesterol LDL (kolesterol “jahat”) darah,
yang akhirnya menyebabkan
arterosklerosis dan penyakit jantung
koroner. Sebagai contoh lemak jenuh
antara lain: minyak goreng (minyak
kelapa), minyak kelapa yang telah
dipakai (jelantah), lemak yang
terhidrogenasi yang banyak terdapat
pada mentega dan margarine yang
berperan dalam meningkatkan kolesterol
LDL dan menurunkan kolesterol HDL
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 3
(kolesterol baik) yang melindungi
jantung dan pembuluh darah.
Berdasarkan penelitian di
berbagai Negara didapatkan hasil bahwa
dengan meningkatnya asupan lemak
menyebabkan meningkatnya kadar
kolesterol darah dan penelitian lain
membuktikan adanya hubungan antara
meningkatnya asupan lemak dengan
penyakit jantung koroner (PJK). Lemak
jenuh merupakan penyebab utama
meningkatnya kolesterol total dan
kolesterol LDL (kolesterol “jahat”) darah,
yang akhirnya menyebabkan
arterosklerosis dan penyakit jantung
koroner. Sebagai contoh lemak jenuh
antara lain: minyak goreng (minyak
kelapa), minyak kelapa yang telah
dipakai (jelantah), lemak yang
terhidrogenasi yang banyak terdapat
pada mentega dan margarine yang
berperan dalam meningkatkan kolesterol
LDL dan menurunkan kolesterol HDL
(kolesterol baik) yang melindungi
jantung dan pembuluh darah. Omega 3
terdapat pada minyak ikan dan minyak
ikan ini telah lama digunakan serta
dikenal luas diseluruh dunia. Namun
dimasa lalu belum dikenal adanya
omega 3, khasiat serta mekanismenya
dalam meningkatkan kesehatan, tetapi
secara empiris dapat menyehatkan
tubuh.Sebagai contoh di Scotlandia
minyak ikan digunakan untuk
membantu pertumbuhan tulang
belakang dan perkembangan syaraf
pusat. Di Inggris,
Anonimous (2005) Kolesterol
merupakan bagian dari lemak yang
sangat sulit larut dalam air maupun
dalam darah kecuali lemak tersebut
berikatan dengan protein tertentu
sehingga lemak (lipid) dapat melayang-
layang didalam darah. Lemak sangat
dibutuhkan dalam tubuh dalam proses
pembuatan hormon dan dalam
pemeliharaan jaringan syaraf, akan tetapi
apabila kadar lemak dalam tubuh tinggi
maka dapat menyebabkan terjadinya
berbagai macam penyakit. Elemen lemak
terdiri dari kolesterol, trigliserida,
fosfolopid dan asam lemak bebas.
Didalam hati kolesterol, trigliserida
bergabung dengan protein tertentu akan
membentuk lemak HDL(High Density
Lipoprotein) dan LDL (Low Density
Lipoprotein).Sebagai gambaran bahwa
kadar normal lemak dalam darah
manusia adalah: kolesterol: < 200 mg/dl;
HDL > 50 mg/dl; LDL: < 150 mg/dl dan
trigliserida < 150 mg/dl. HDL dikenal
dengan sebagai kolesterol baik dan
sering disebut dengan K-
HDL dan LDL sebagai kolesterol jahat
atau sering disingkat dengan K-LDL.
Sudah banyak penelitian yang
menyimpulkan bahwa kolesterol
merupakan unsur terpenting yang
sangat mendasar pada proses
pengapuran dinding pembuluh darah
coroner (jantung) seperti pada penelitian
Framingham Heart Study, sebuah study
yang disponsori oleh Nasional Heart,
Lung and Blood Institute di Amerika
Serikat.
Produk akhir dari proses lipolisis
dan biohidrogenasi, sebagian ada yang
diserap melalui dinding rumen. Benerjee
(1978) menyebutkan bahwa seluruh
asam lemak rantai pendek dan VFA hasil
hidrolisis dan fermented lipid, diserap
melalui dinding rumen, sedangkan asam
lemak rantai panjang terus mengalir ke
abomasum. Bouchat (1993) menyatakan
bahwa didalam omasum digesti lipid
pasca rumen yang sebesar 70 % terdiri
asam lemak jenuh dan dari sintesa lemak
“de no vo” serta 10 % fosfolipid
microorganisme akan bergabung dengan
benda padat lainnya. Setelah dari
abomasum
campuran digesta akan mengalir ke
usus halus. Linder (1993) menyebutkan
bahwa didalam usus halus maka garam-
ISSN 1978 - 3000
| Studi Minyak Lemuru Tersabun 4
garam empedu akan mengemulsi lemak
dan diikuti dengan masuknya lipase.
Selanjutnya Linder (1993 ) menyatakan
bahwa lipase membawa zat-zat yang
diperlukan untuk mencerna lemak.
Lemak yang sebagian sudah dicerna,
terutama dalam bentuk yang larut dalam
air membentuk mixel-mixel yang stabil
(asam lemak rantai panjang,
monoglycerol dan asam-asam empedu)
yang berdifusi ke permukaan sel mukosa
usus halus dan melepaskan materi untuk
diserap.
Minyak zaitun, mengurangi
resiko kematian akibat penyakit jantung
dan kanker. Penelitian menunjukkan
serangan jantung di daerah Mediterania,
yang mengkonsumsi minyak zaitun,
hanya separuh dibanding di tempat lain.
Berdasarkan Studi epidemiologis pada
penduduk Mediterania yang banyak
mengkonsumsi asam oleat dari minyak
zaitun menyimpulkan efek positip oleat
bagi kesehatan jantung.
Temulawak (Curcuma
xanthorhiza) merupakan bahan obat-
obatan tradisional yang selama ini
dipergunakan manusia untuk menjaga
kesehatan, terutama untuk menambah
nafsu makan, obat panas dalam,menjaga
kesehatan fungsi hati. Hariana (2006)
menyebutkan bahwa kandungan kimia
temulawak sudah diketahui antara lain:
minyak atsiri, curcuma, amilum,
dammar, lemak, tannin, zat pahit,
saponin dan flavonoid.Tanaman ini
relative mudah, perlu cukup air dan
banyak tersedia di pedesaan atau
perkampungan. Bagian tanaman sangat
bermanfaat sebagai obat adalah
rimpangnya. Menurut Hadi (1985),
Nurjanah et al. (1994) dan Rukmana
(1995) yang menyebutkan bahwa
temulawak dipergunakan sebagai
tonikum, mengobati gangguan saluran
pencernaan, liver dan nafsu makan.
Selanjutnya Hadi (1985) menyatakan
bahwa kurkumin yang terkandung
didalam temulawak mempunyai fungsi
medis, farmakologis dan bersifat
antiseptik. Pada hewan percobaan
ternyata dosis kurkumin 30 mg/kg sama
dengan fenilbutazon 100 mg/kg sebagai
obat antiinflamasi, tidak toksik dan tidak
menyebabakan gangguan sel-sel darah.
Oleh karena itu peneliti tertarik
untuk mengevaluasi minyak lemuru
tersabun, minyak zaitun serta pasta
temulawak terhadap produksi ternak
serta komposisi kolesterol serum darah
sapi.
MATERI DAN METODE
Penelitian menggunakan
Rancangan Acak Lengkap pola searah
dengan menggunakan 3 perlakuan (tabel
1) dengan masing-masing perlakuan
diulang 4 ekor sapi Bali dengan rata-rata
umur 2 tahun.
Pengamatan dilakukan selama 8
minggu dengan variabel yang diambil
antara pertambahan bobot ternak,
Tabel 1. Komposisi Ransum percobaan yang diberikan /kg
No Nama Bahan Kontrol Perlakuan I Perlakuan II
1, Minyak ikan lemuru tersabun 0 % 6 % 8 %
2, Minyak zaitun 0 % 1 % 2 %
3, Dedak padi 37,30 % 37,30 % 37,30 %
4, Jagung giling 62,70% 62,70 % 62,70 %
5 KLK 7,00 % 7,00 % 7,00 %
6 Pasta Temulawak 100 g 200 g
Kandungan CP 14 % 14 % 14 %
Rumput Lapangan 10 % BB 10 % BB 10 % BB Keterangan: BB: Berat Badan
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 5
konsumsi pakan, konsumsi minum,
komposisi kolesterol dalam serum darah.
Hasil pengamatan dianalisis varian dan
untuk antar perlakuan diuji dengan LSD
(least Significant Different) dengan
tingkat kepercayaan 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Pakan konsentrat
Konsumsi pakan konsentrat yang
dihabiskan sapi selama penelitian dapat
diperhatikan pada tabel 2.
Tingkat konsumsi (voluntary feed
intake) atau jumlah pakan yang
terkonsumsi oleh sapi bali selama
percobaan mendapatkan rata- rata
konsumsi pakan konsentrat pada
perlakuan satu (P1) menunjukkan 1,370
kg/hari dan 1,395 kg/hari pada P2 dan
1,225 kg/hari pada P3. Hasil analisis
variansi menunjukkan berbeda tidak
nyata (P>0,05) antara ketiga perlakuan
tersebut. Hal ini berarti bahwa dengan
adanya perlakuan palatabelitas sapi
masih cukup baik meskipun
menunjukkan angka lebih rendah
dibanding P1 tetapi belum cukup untuk
menunjukkan berbeda nyata. Konsumsi
pakan ini penting diketahui dan
diperhatikan karena merupakan faktor
essensial sebagai dasar untuk hidup dan
menentukan produksi dan ternak yang
mempunyai sifat dan kapasitas
konsumsi yang lebih tinggi, produksinya
pun akan relatip lebih tinggi dibanding
dengan ternak dengan kapasitas atau
sifat konsumsinya rendah. Hal ini selaras
dengan pendapat Kleiber, 1936 dalam
Tabel 2. Konsumsi pakan konsentrat sapi Bali selama penelitian
Keterangan Perlakuan 1 (P1) Perlakuan 2 (P2) Perlakuan 3 (P3)
P11 P12 P21 P22 P31 P32
Juni 38,20 39,95 38,85 35,50 38,50 35,50
Juli 41,60 40,00 43,40 44,00 38,40 33,50
Agustus 42,50 41,80 43,80 43,90 38,60 34,60
September 41,50 42,50 43,20 42,50 39,50 35,80
Total 163,80 164, 25 169,25 165,90 155,00 139,40
Rata-rata/bln 40,95 41, 56 42,312 41,47 38,75 34,85
Rata-rata/hari/ekor 1,36 1,38 1,410 1,38 1,29 1,16
Rata-rata/perlakuan 1,370 a 1,395a 1,225a Keterangan: Subcript yang sama pada lajur yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05)
P1 : Konsentrat dan r, lapangan
P2: Konsentrat + lemuru tersabun 6% + minyak zaitun 1%+ t,lawak 100 g + r,lapangan
P3: Konsentrat + lemuru tersabun 8% + minyak zaitun 2% + t,lawak 200 g + r, lapangan
Tabel 3. Konsumsi minum sapi Bali selama penelitian
Keterangan Perlakuan 1 (P1) Perlakuan 2 (P2) Perlakuan 3 (P3)
Bulan P11 P1 2 P2 1 P22 P31 P32
Juni 15,00 16,00 17,00 16,00 14,00 15,00
Juli 16,00 18,00 16,50 15,00 16,00 15,00
Agustus 14,00 17,00 15,00 17,00 14,50 15,00
September 15,00 14,50 14,50 14,00 15,50 16,00
Total 60,00 65,50 63,00 62,00 60,00 61,00
Rata-rata/hr/ekor (cc) 0,50 0,545 0,525 0,516 0,500 0,508
Rata-rata/hr/ekor/plk (cc) 0,522 0,520 0,504 Keterangan: Subcript yang sama pada lajur yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05)
P1 : Konsentrat dan r. lapangan
P2: Konsentrat + lemuru tersabun 6% + minyak zaitun 1%+ t,lawak 100 g + r. lapangan
P3: Konsentrat + lemuru tersabun 8% + minyak zaitun 2% + t,lawak 200 g + r. lapangan
ISSN 1978 - 3000
| Studi Minyak Lemuru Tersabun 6
Parakkasi (1999). Selanjutnya disebutkan
bahwa faktor yang mempengaruhi
tingkat konsumsi seekor sapi adalah
cukup komplek karena tergantung:
kondisi hewan itu sendiri, makanan
yang diberikan serta lingkungan tempat
ternak tersebut dipelihara.
Konsumsi minum
Konsumsi minum sapi Bali
selama penelitian dapat diperhatikan
pada tabel 3.
Konsumsi minum sapi Bali antara
perlakuan satu, dua dan tiga tidak terjadi
perbedaan secara nyata (P>0,05), hal ini
berarti bahwa kesanggupan minum sapi
Bali tidak mengalami perubahan dengan
adanya perlakuan yang diberikan.
Konsumsi hijauan pakan
Hijauan pakan yang diberikan
berupa rumput lapangan yang diambil
dari pematang sawah, ladang pangonan
maupun di daerah rawa-rawa. Adapun
konsumsi sapi Bali selama penelitian
dapat diperhatikan pada tabel 4.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa rata-rata /hari/ekor konsumsi
hijauan sapi Bali untuk perlakuan satu
(P1) sebesar 8,382 kg dan untuk P2
sebesar 8,717 kg dan P3 sebesar 8,501 kg.
Bedasarkan analisis varian menunjukkan
berbeda tidak nyata (P>0,05), antara P1
dan P3 dan secara nyata (P<0,05) antara
P1 dan P2 .Dengan perlakuan dua (P2)
konsumsi hijauan mengalami
peningkatan sebesar 0,335 kg/hari/ekor.
Akan tetapi dengan semakin
ditingkatkannya dosis lemuru dan
temulawak konsumsi hijauan cenderung
menurun, namun jika dibandingkan
dengan kontrol menunjukkan berbeda
tidak nyata (P>0,05). Hal ini berarti
bahwa dengan perlakuan dua (P2)
mempengaruhi dalam mengkonsumsi
hijauan atau mengkonsumsi rumput
lapangan. Dengan kata lain secara umum
menunjukkan dengan semakin
ditingkatkan perlakuan maka
palatabelitas sapi terhadap hijauan
pakan tidak terpengaruh. Namun
demikian konsumsi hijauan kurang dari
10% dari bobot badannya. Hal ini
kemungkinan disebabkan ada beberapa
faktor selain rumput yang diberikan
kurang disukai oleh ternak dapat juga
terjadi karena faktor adaptasi dari ternak
tersebut, mengingat ternak sapi yang
dipergunakan adalah sapi-sapi yang
biasanya dilepas, meskipun sudah
diadaptasikan selama kurang lebih satu
bulan, tetapi dirasa masih kurang.
Namun yang terpenting adalah antara
perlakuan satu dan perlakuan tiga tidak
terjadi perbedaan sehingga dengan
perlakuan pemberian minyak lemuru
Tabel 4. Konsumsi hijauan Sapi Bali selama penelitian
Keterangan Perlakuan 1 (P1)
(kg)
Perlakuan 2 (P2)
(kg)
Perlakuan 3 (P3)
(kg)
P11 P1 2 P2 1 P22 P31 P32
Juni 250,40 249,00 259,50 258,60 257,00 253,20
Juli 253,90 248,90 259,90 259,20 254,80 252,50
Agustus 255,30 249,80 262,80 265,40 252,00 252,20
September 254,20 249,30 268,20 259,50 252,00 251,60
Total 1013,80 999,00 1050,40 1042,70 1018,80 1021,50
Rata-rata/bln 253,45 249,750 262,60 258,925 254,70 255,375
Rata-rata/hr/ekor 8,44 8,325 8,746 8,689 8,49 8,512
Rata-rata/hr/plk 8,382a 8,717b 8,501a
Keterangan: Subcript yang sama pada lajur yang tidak sama menunjukkan berbeda tidak nyata (P<0,05)
P1 : Konsentrat dan rumput lapangan
P2: Konsentrat + lemuru tersabun 6% + minyak zaitun 1%+ t,lawak 100 g + rmp lapangan
P3: Konsentrat + lemuru tersabun 8% + minyak zaitun 2% + t,lawak 200 g + rmp lapangan
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 7
tersabun, minyak zaitun dan pasta
temulawak tidak mempengaruhi
palatabelitas pakan hijauan.
Pertambahan berat badan
Pertambahan berat badan ternak
sapi selama penelitian dapat
diperhatikan pada tabel 5.
Tabel 5 menunjukkan bahwa
pertambahan berat badan sapi Bali
antara perlakuan satu (P1) dan
perlakuan dua (P2) menunjukkan
berbeda nyata (P<0,05), dimana P2 lebih
berat dari pada P1 hal ini berarti bahwa
dengan pemberian minyak lemuru
tersabun, minyak zaitun dan temulawak
memberikan efek pada pertambahan
berat badan, hanya pada P3
menunjukkan penurunan berat badan
dibanding P2, namun secara statistik
menunjukkan berbeda tidak
nyata(P>0,05) dengan P1. Pada
perlakuan P2 dan P3 menunjukkan
kenaikan berat badan dibanding P1, hal
ini kemungkinan disebabkan adanya
temu lawak yang mempengaruhi
didalam pencernaan dan nafsu makan
ternak. Jika dilihat dari konsumsi hijauan
Tabel 5. Rata-rata pertambahan bobot badan Sapi Bali
Keterangan Sapi 1 Sapi 2 Sapi 3 Sapi 4 Rata-rata PBBH (kg/hr)
Perlakuan Kontrol (P1)
92,00
99,00
98 ,00
106,00
107,00
113,50
113,00
118,50
Peningkatan Berat Badan 7,00 8,00 6,50 5,50 0,216 a
Perlakuan 2 (P2) 90,50
99,00
97,50
108,50
106,00
114,00
114,50
122,00
Peningkatan Berat badan 8,50 8,50 8,00 7,50 0,270 b
Perlakuan 3 (P3) 91,50
99,00
96,50
104,50
105,00
113,00
113,00
121,50
Peningkatan berat badan 7,50 8,00 8,00 7,50 0,258b
Keterangan : Subscript yang tidak sama pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) dan yang sama
menunjukkan berbeda tidak nyata (P>0,05),
P1: konsentrat + r. lapangan
P2: konsentrat + r.lapangan + 1 % m,zaitun+ 6 % m,lemuru tersabun + 100 g t. lawak
P3: konsentrat + r. lapangan + 1% m,zaitun + 6 % m, Lemuru tersabun + 200 g t.lawak
PBBH: Pertambahan Bobot Badan Harian
Tabel 6. Kandungan kolesterol serum darah sapi Bali selama perlakuan
Perlakuan Sampel darah Kolesterol
Total ( mg/dl)
Trigliserida
(mg/dl)
HDL
(mg/dl)
LDL
(mg/dl)
P1 Sapi 1
Sapi 2
Sapi 3
Sapi 4
112
110
115
112
105
102
98
96
36
35
33
32
32
30
31
32
32
30
30
31
32
32
31
32
38
39
36
37
35
36
33
34
Rata-rata 106,25 ± 2,610a 33 ± 0,934 d 31,00 ± 0,957g 36,00 ± 1,408j
P2 Sapi 1
Sapi 2
Sapi 3
Sapi 4
76
72
74
73
70
74
59
61
29
30
31
28
23
24
20
18
43
49
45
47
45
48
55
56
30
32
31
30
28
24
23
25
Rata-rata 70,25 ± 1,835b 25,35 ± 2,021e 48,50 ± 4,061 h 27,87 ± 1,558k
P3 Sapi 1
Sapi 2
Sapi 3
Sapi 4
60
57
59
58
59
57
49
52
23
22
21
24
13
14
11
12
56
55
58
54
60
59
62
64
28
26
25
27
16
17
13
12
Rata-rata 58,50 ± 3.293c 17,50 ± 1.322f 58,50 ± 1,393 i 20,50 ± 1,835 l
Keterangan: HDL: Hight Density lipoprotein; LDL: Low Dencity Lipoprotein
Subcript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
ISSN 1978 - 3000
| Studi Minyak Lemuru Tersabun 8
menunjukkan pada P2 cenderung
meningkat dibandingkan kontrol dan P3
Kandungan Kolesterol serum darah Sapi
Berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan menunjukkan bahwa
kandungan kolesterol darah sapi pada
pemberian kolesterol dengan perlakuan
selama satu bulan menunjukkan data
seperti tabel 6.
Kandungan kolesterol serum
darah total sapi Bali selama percobaan
menunjukkan rata-rata 106,25 ± 2,610
mg/dl pada perlakuan P1; 70,25.00 ±
1,835 ml/dl pada perlakuan P2 dan 58,50
± 3,293 mg/dl pada P3. Hasil analisis
variansi menunjukkan bahwa faktor
perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05)
terhadap kandungan kolesterol serum
darah total sapi Bali . P1 berbeda nyata
(P<0,05) lebih tinggi kandungan
kolesterol dibanding dengan P2, dan P2
berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi
kandungan kolesterol total serum darah
dibanding dengan P3. Sedangkan P3
berbeda sangat nyata (P<0,01) dari P1.
Hal ini berarti bahwa semakin
ditingkatkan komposisi minyak zaitun,
minyak lemuru tersabun dan pasta
temulawak maka semakin menurun
kandungan kolesterol total serum darah
sapi Bali dan tingkat penurunannya
dapat mencapai: 33,88 % dan 44,94 %
dari perlakuan kontrol.Jika
dibandingkan dengan kandungan
kolesterol total pada domba, hasil
penelitian Kadarsih (2008) menunjukkan
bahwa dengan perlakuan minyak
lemuru 6 % dan niasin 800 ppm
kandungan kolesterol sebesar 98,291
mg/dl, maka pada perlakuan P2 dan P3
pada penelitian ini menunjukkan
kandungan kolesterol serum darah jauh
lebih rendah.
Kandungan triglyceride dalam
serum darah sapi Bali menunjukkan
bahwa pada P1: 33 ± 0,934 mg/dl; P2:
25,35 ± 2,020 mg/dl dan P3 sebesar: 17,50
± 1,322 mg/dl. Hasil analisis varian
menunjukkan bahwa Komposisi ini
menunjukkan kandungan triglyceride
dalam darah mengalami penurunan
secara nyata (P<0,05) setelah adanya
perlakuan. Kandungan trigliserida P3
lebih rendah dari P2 dan P2 lebih rendah
dari P1. Namun demikian jika
dibandingkan penelitian Kadarsih dkk
(2007) sebelumnya pada ternak domba
bahwa dengan pemberian lemuru 6 %
saja mampu menurunkan kandungan
trigliserida sebesar 117,17 ml/dl, pada
penelitian ini mampu lebih mampu
menurunkan kadar trigliserida darah
lebih banyak, jika dibandingkan dengan
kandungan trigliserida pada sapi Bali.
Kandungan HDL dalam darah
sapi Bali pada P1 adalah 31,00 ± 0,957
mg/dl; P2 sebanyak 48,50 ± 4,061 mg/dl
dan P3 sebanyak 58,50 ± 1,393 mg/dl.
Hasil analisis varian menunjukkan
bahwa perlakuan berpengaruh nyata
(P<0,05) terhadap kandungan HDL
serum darah sapi. Pada uji lanjut dengan
LSD menunjukkan bahwa P3 berbeda
nyata (P<0,05) lebih tinggi kandungan
HDL dibanding P2 dan P1 dan P2
berbeda nyata (P<0,05) lebih tinggi
dibanding P1.Dengan kata lain bahwa
dengan pemberian minyak zaitun,
minyak lemuru tersabun dan pasta
temulawak mampu meningkatkan
kandungan HDL dalam serum darah
sapi Bali. Hasil ini bila dibandingkan
dengan kandungan HDL pada domba,
hasil penelitian Kadarsih dkk, (2007)
menunjukkan bahwa dengan perlakuan
6 % lemuru dan niasin 800 ppm mampu
meningkatkan kandungan HDL sebesar
51,98 ml/dl dan hasil ini lebih tinggi dari
P2, namun masih lebih rendah dari P3.
Adapun kandungan LDL serum
darah sapi Bali menunjukkan bahwa
perlakuan memberikan pengaruh nyata
(P<0,05) terhadap kandungan LDL. Pada
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 9
P1 kandungan LDL adalah 36,00 ± 1,408
mg/dl dan P2 kandungan LDL sebesar
27,87 ± 1,558 mg/dl dan P3 sebesar 20,50
± 1,835 mg/dl. Antara P1 menunjukkan
kandungan LDL serum darah lebih
tinggi berbeda nyata (P<0,05) dibanding
P2 dan P1 dengan P3 menunjukkan
berbeda sangat nyata (P<0,01) hal ini
berarti bahwa dengan pemberian minyak
zaitun , minyak lemuru tersabun dan
pasta temulawak mampu menurunkan
kadar LDL dalam serum darah sebanyak
27,53 % pada P2 dan 57,97 % pada P3
dibandingkan dengan perlakuan kontrol.
Bila dibandingkan dengan ternak
domba, hasil penelitian Kadarsih dkk,
(2007) bahwa kandungan LDL kolesterol
darah sebesar 72,699 mg/dl pada
pemberian lemuru 3 % dan 67,780 mg/dl
pada pemberian lemuru 6%. Dengan
demikian dengan perlakuan P2 (minyak
lemuru tersabun 6 %, minyak zaitun 1%
dan pasta temulawak 100 g) dan
perlakuan P3 (minyak lemuru tersabun
8%, minyak zaitun 2 % dan pasta
temulawak 200 g) mampu menurunkan
kandungan kolesterol LDL serum darah
sapi Bali jauh lebih rendah jika
dibandingkan dengan ternak domba.
SIMPULAN
Penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa produktivitas ternak masih baik
dan kandungan kolesterol darah sapi
menurun selaras dengan peningkatan
dosis perlakuan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, 2005. Fish oil.
http//www.ironmagazine.com/re
view 44 html 6 April 2005.
Benerjee.C.C., 1978. A Texbook of
Animal Nutrition. Oxford dan
OBH Publishing Co,
New Delhi
Bouchat ,1993. Fats, their positional
isomer and Platelete Function. J.
Med, Tech. 3(1) :24-27.
Hinds, A. and T.A.B. Sanders., l993. The
Effect of increasing level of
dietary fish oil rich In
eicosapentaenoic and
dokosaheksaenoic acid on
lymphocyte pospholipid fatty
Acid composition and cell
mediated immunity in the mouse.
Br. J. Nutr, 69: 423-429.
Horst, R.L; A. Timothi dan P.G. Jesse;
1989. Recent Progres on Mineral
Nutrition dan
Mineral Requierement in
Ruminant. Proceding
International Meeting on Mineral
Nutrition and Mineral
Requirement in Ruminant. Kyoto,
Japan, hlm: 3.
Jenkins, T.C. 1993. Lipids Metabolisme
inb the Rumen. In: Symposium
Advance Ruminasnt. Lipid
Metabolism. J. Dairy Sci, 76:
3851–3863.
Kunsman,J. and M. Keeney, 1964. Journal
Dairy Sci, 23: 682.
Kadarsih. 2005. Suplementasi minyak
ikan lemuru dan niasin pada
ransum terhadap Kandungan
kolesterol asam lemak daging
kambing lokal. (dalam proses
publikasi ke Jurnal Ilmu ilmu
Pertanian UNIB, tahun 2006)
Kadarsih., S; T. Suteky., Kuswady.E.
2006. Suplementasi minyak ikan
lemuru dan niasin Pada ransum
terhadap kandungan kolesterol
dan komposisi asam lemak serta
imunitas selular ternak
domba.(Hibah Bersaing XIV/
tahun 1).
ISSN 1978 - 3000
| Studi Minyak Lemuru Tersabun 10
Kadarsih, S. T. Suteky; Kuswady E. 2007.
Suplementasi minyak ikan
lemuru dan niasin pada ransum
terhadap kandubngan kolesterol
dan komposisi asam lemak serta
imunitas selluler ternak domba
(Hibah Bersaing XV/tahun II).
Linder, M.C., 1993. Biokimia Nutrisi dan
Metabolism. Universitas
Indonesia. Press Jakarta.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 11
Pengaruh Penambahan Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging terhadap Kadar
Kalsium dan Sifat Organoleptik Stik Keju
Effect of Addition of Wheat Cartilage of Broiler Levels of Calcium and Organoleptic
Properties Cheese Stick
Yenni Okfrianti, Kamsiah, Yusma Hartati
Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Bengkulu
Jalan Indragiri No 3 Padang Harapan, Bengkulu, Telp (0736) 341212
ABSTRACT
This study aims were to determine the effect of adding bone meal broiler prone to calcium levels and
organoleptic properties (taste, color, texture) cheese sticks. This study used a complete randomized design
with limited treatment which includes: Cheese sticks with the addition of chicken cartilage powder 5, 10, and
15%. The results showed that increased concentrations of cartilage flour has also increased the levels of
calcium cheese stick (p <0.05). In the organoleptic characteristics of the addition of flour cartilage broiler does
not significantly affect the organoleptic characteristics of taste and color (p> 0.05) but significantly affect the
texture (p <0.05).
Key words: wheat cartilage bone meal, cheese sticks, taste, colour, and texture.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging
terhadap kadar kalsium dan sifat organoleptik (rasa, warna, tekstur) stik keju. Penelitian ini menggunakan
rancangan acak lengkap dengan perlakuan terbatas yakni meliputi: Stik Keju dengan penambahan tepung
tulang rawan ayam 5, 10, dan 15 %. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi tepung
tulang rawan meningkatkan pula kadar kalsium stik keju (p< 0,05). Pada karakteristik organoleptik
penambahan tepung tulang rawan ayam pedaging tidak nyata berpengaruh terhadap karakteristik
organoleptik rasa dan warna (p >0,05) namun berpengaruh nyata terhadap tekstur (p<0,05).
Kata kunci: tepung tulang rawan, stik keju, rasa, teksture dan warna
PENDAHULUAN
Kalsium merupakan mineral
yang penting bagi manusia antara lain
untuk metabolisme tubuh, pembentukan
tulang dan gigi, penghubung antar
syaraf, kerja jantung, pergerakan otot,
serta pembekuan darah (Sandjaja dkk,
2009). Kalsium merupakan mineral yang
banyak terdapat didalam tubuh, yaitu
1,5 % - 2% dari berat orang dewasa atau
kurang lebih sebanyak 1 kg. Peningkatan
kebutuhan kalsium terjadi pada masa
pertumbuhan, kehamilan, menyusui,
defisiensi kalsium dan tingkat aktivitas
fisik yang meningkatkan densitas tulang
(Almatsier, 2003).
Kebutuhan kalsium berdasarkan
umur yaitu pada bayi (300-400 mg),
anak-anak (500 mg), remaja (600-700
mg), dewasa (500-800 mg), ibu menyusui
dan menyusui (+ 400 mg) (Almatsier,
2003). Asupan kalsium yang dianjurkan
adalah 1200 mg /hari bagi wanita hamil
yang berusia 25 tahun ke atas. Sumber
utama kalsium adalah susu dan
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Penambahan Tepung Tulang Rawan 12
olahannya seperti whole milk, yoghurt dan
keju (Arisman, 2002).
Keju adalah makanan padat
yang dibuat dari susu sapi, kambing,
dan mamalia lainnya. Keju dapat
bertahan lama dan memiliki kandungan
lemak, protein, fosfor dan kalsium yang
tinggi (Sandjaja dkk, 2009). Pemanfaatan
keju dapat dibuat dalam makanan
ringan. Makanan ringan adalah makanan
yang bukan merupakan menu utama
(makan pagi, makan siang atau makan
malam). Makanan ringan adalah sesuatu
yang dimakan untuk menghilangkan
rasa lapar untuk sementara waktu. Salah
satu makanan ringan yang sering
dikonsumsi adalah stik keju. Stik keju
adalah makanan yang mempunyai rasa
gurih dan memiliki warna putih agak
kecoklatan dan tekstur yang renyah.
Komposisi bahan stik keju adalah tepung
terigu, tepung tapioka, baking powder,
telur ayam, minyak dan keju.
Stik keju merupakan makanan
ringan yang sering dikonsumsi oleh ibu
hamil selain rasanya yang gurih juga
memiliki nilai gizi. Kandungan nilai gizi
per 100 g stik keju adalah kalori (371,17
kal), protein (13,45 g), lemak (10 g),
karbohidrat (52 g), kalsium (217 mg)
(DKBM, 2005). Berdasarkan sumbangan
kalsium pada 100 g stik keju masih
kurang untuk kebutuhan kalsium pada
ibu hamil yaitu 1200 mg per hari. Salah
satu alternatif untuk menambah
kandungan gizi terutama kandungan
kalsium pada stik keju yaitu dengan
jalan memodifikasi bahan baku dalam
pembuatannya. Bahan baku yang
ditambahkan dalam pembuatan stik keju
adalah penambahan tepung yang terbuat
dari tulang rawan ayam pedaging
(Agustin, 2003).
Tulang ayam pedaging adalah
bahan sisa pangan dari ayam yang
biasanya terbuang. Tulang rawan ayam
pedaging dengan umur potong yang
singkat berkisar 6 sampai dengan 8
minggu. Tulang rawan ayam pedaging
dari bagian paha diperoleh dari bagian
ujung tulang yang banyak mengandung
mineral dan protein. Pengolahan tulang
rawan menjadi tepung dapat
mempertahankan kandungan gizi di
dalamnya. Dalam 1 g tepung tulang
ayam mengandung kalsium sebesar
62,79 mg (Budhiarty, 2005). Tepung
tulang rawan dapat dimanfaatkan lebih
lanjut untuk pengolahan pangan lain
dengan harapan dapat meningkatkan
nilai gizi dari suatu produk pangan
(Agustin, 2003). Tujuan penelitian ini
adalah pengaruh penambahan tepung
tulang rawan ayam pedaging terhadap
kadar kalsium dan sifat organoleptik stik
keju.
MATERI DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di
laboratorium Kimia dan Ilmu Teknologi
Pangan Poltekkes Kemenkes Bengkulu,
dari bulan April sampai Juni 2010.
Penelitian ini meliputi tiga tahap yaitu
pada tahap satu pembuatan tepung
tulang rawan ayam pedaging dan tahap
kedua pembuatan stik keju dengan
penambahan tepung tulang rawan ayam
pedaging dan tahap ketiga uji kalsium
dan uji organoleptik.
Tahap 1. Pembuatan tepung tulang
rawan ayam pedaging.
Mula-mula tepung tulang rawan direbus
pada suhu 800 C selama 60 menit agar
protein tidak terdenaturasi.. Kemudian
dilakukan pelunakan pada suhu 120º C
dengan tekanan 2 atm selama 2 jam
untuk melunakan tulang rawan ayam
pedaging lalu penggilingan tulang
dengan menggunakan blender lalu
dikeringkan dengan Hot Air Oven
dengan suhu 60 º C selama 18 jam dan
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 13
diayak dengan ayakan 60 mesh sehingga
didapatkan tepung tulang rawan ayam
pedaging (Gambar 1).
Tahap 2. Pembuatan stik keju.
Dalam proses pembuatan stik keju
diawali dengan pencampuran tepung
terigu, tepung sagu, garam, baking powder
dan telur aduk hingga homogen
kemudian tambahkan tepung tulang
rawan ayam pedaging sesuai perlakuan
yaitu penambahan sebanyak 5% (10 gr),
10% (20 gr) dan 15% (30 g) lalu aduk
kembali. Adonan dicetak dengan mesin
penggiling mi, lalu digoreng hingga
matang lalu dinginkan dan simpan pada
400 gr tulang rawan ayam pedaging
Perebusan
Suhu 60 °C selama 60 menit
Pencucian
Pelunakan dengan presto
Suhu 120 °C selama 120 menit
Penggilingan dengan blender
Pengeringan dengan hot air oven
Suhu 60 °C selama 18 jam
Pengayakan dengan ayakan 60 mesh
Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging
Air
150 ml Air
Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging
5 %, 10 %, 15 %
Pencetakan dengan mesin penggilingan mie
dengan ketebalan 2 – 4 mm
Pencampuran, pengadukan hingga homogen
Pencetakan dengan panjang 7 cm
Pengorengan
Suhu 80 – 90 selama 7 menit
Stik Keju
Bahan Stik
Keju
Uji Kalsium
Uji Organoleptik
Rasa, Warna, Tekstur
Gambar 1. Proses Pembuatan Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging Gambar 2 Alir Proses Pembuatan Stik Keju Gambar 1. Proses Pembuatan Tepung Tulang Rawan Ayam pedaging
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Penambahan Tepung Tulang Rawan 14
wadah tertutup (Gambar 2). Adapun
komposisi bahan stik keju dapat dilihat
pada Tabel 1. berikut ini.
Tabel 1. Bahan Stik Keju
Komposisi Stik Keju P1 P2 P3
Tepung tulang rawan (gr) 10 20 30
Tepung Terigu (gr) 190 180 170
Tepung Tapioka (gr) 50 50 50
Keju (gr) 100 100 100
Baking Powder (gr) 0.5 0.5 0.5
Garam (gr) 1 1 1
Tahap 3
Analisa kadar kalsium
menggunakan bahan : larutan amonium
oksalat jenuh 10 ml, indikator merah
metil 2 tetes, amonia encer, asam asetat,
aquadest, H2SO4, KmnO4.dan mutu
organoleptik (rasa, warna, tekstur).
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak lengkap (RAL) tiga
perlakuan. RAL dipilih karena bahan
percobaan yang akan dipakai sebagai
400 gr tulang rawan ayam pedaging
Perebusan
Suhu 60 °C selama 60 menit
Pencucian
Pelunakan dengan presto
Suhu 120 °C selama 120 menit
Penggilingan dengan blender
Pengeringan dengan hot air oven
Suhu 60 °C selama 18 jam
Pengayakan dengan ayakan 60 mesh
Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging
Air
150 ml Air
Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging
5 %, 10 %, 15 %
Pencetakan dengan mesin penggilingan mie
dengan ketebalan 2 – 4 mm
Pencampuran, pengadukan hingga homogen
Pencetakan dengan panjang 7 cm
Pengorengan
Suhu 80 – 90 selama 7 menit
Stik Keju
Bahan Stik
Keju
Uji Kalsium
Uji Organoleptik
Rasa, Warna, Tekstur
Gambar 1. Proses Pembuatan Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging Gambar 2 Alir Proses Pembuatan Stik Keju
Gambar 2. Alir Proses pembuatan Stik keju
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 15
unit percobaan homogen dan jumlah
perlakuan terbatas yakni meliputi:
P1 : Stik Keju dengan penambahan
tepung tulang rawan ayam(5% )
P2 : Stik Keju dengan penambahan
tepung tulang rawan ayam (10
P3 : Stik Keju dengan penambahan
tepung tulang rawan ayam (15%)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Kalsium
Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa penambahan
tepung tulang rawan ayam berpengaruh
nyata (ρ<0,05) terhadap kadar kalsium
stik keju. Hasil uji lanjut LSD antar
masing–masing perlakuan berbeda nyata
(ρ<0,05). Stik keju dengan penambahan
tepung tulang rawan ayam pedaging 15
% memiliki skor rata-rata Kadar Kalsium
paling tinggi yaitu 0,698 gr (Tabel 2).
Tabel 2. Rata-rata Kadar Kalsium Stik Keju
Konsentrasi Tepung
Tulang Rawan Ayam
Pedaging
Kadar Kalsium
dalam 100 gr
5 %
10 %
15 %
0,445a
0,575b
0,667c
Keterangan: Notasi yang berbeda menunjukkan
perbedaan rata-rata yang signifikan (ρ<
0,05) menurut Uji LSD.
Menurut penelitian Hardianto
(2002) tepung tulang rawan ayam
pedaging mempunyai kandungan
protein 71,93 % BK, mineral khususnya
kalsium 3,14 % dan fosfor 1,86 %.
Tepung tulang rawan dapat
dimanfaatkan lebih lanjut dengan
harapan dapat meningkatkan nilai gizi
dari suatu produk pangan. Hasil
penelitian ini seiring dengan hasil
penelitian Agustin (2003) semakin
banyak penambahan tepung tulang
rawan ayam pedaging pada mie kering
maka nilai kadar kalsium semakin tinggi.
Karakteristik Organoleptik
Rasa
Adapun hasil uji organoleptik
atribut rasa pada stik keju dengan
metode uji kesukaan dengan 35 orang
panelis dapat dilihat pada Tabel 3. Rasa
stik keju dengan penambahan tepung
tulang rawan ayam pedaging 5 %, 21
panelis (60 %) mengatakan suka. Untuk
rasa stik keju dengan penambahan
tepung tulang rawan ayam pedaging 10
% diketahui bahwa 20 panelis (57,1 %)
mengatakan suka dan untuk rasa stik
keju dengan penambahan tepung tulang
rawan ayam pedaging 15% diketahui 21
panelis (60%) mengatakan suka.
Berdasarkan hasil uji Kruskal
Wallis penambahan tepung tulang rawan
ayam pedaging tidak nyata berpengaruh
terhadap rasa stik keju yang ditunjukkan
(ρ>0,05) dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Pengaruh Penambahan Tepung Tulang
Rawan Ayam Pedaging Terhadap Mutu
Organoleptik (Rasa) Stik Keju
Penambahan Tepung
Tulang Rawan Ayam
Pedaging
Presentase
Tingkat
Kesukaan
UjiKruskall
Wallis
(ρ)
5 %
10 %
15 %
54,46 %
50,09 %
54,46 %
0,735
Keterangan: Huruf yang sama (a) pada keterangan
menunjukkan tidak ada perbedaan yang
nyata taraf 5 % menurut Uji Kruskall
Wallis (ρ)
Rasa merupakan faktor yang
sangat menentukan dalam keputusan
akhir konsumen untuk menerima atau
menolak suatu makanan. Menurut
Wijayanti (2003), rasa adalah
karakteristik dari suatu zat yang
disebabkan oleh adanya bagian zat
tersebut yang larut dalam air atau lemak
dan bersentuhan dengan indera
pencicipan (lidah dan rongga mulut),
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Penambahan Tepung Tulang Rawan 16
sehingga memberikan kesan tertentu.
Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi
dan interaksi dengan komponen rasa
lain. Pengaruh antara satu macam rasa
dengan macam rasa yang lain tergantung
pada konsentrasinya. Bila salah satu
komponen mempunyai konsentrasi yang
lebih tinggi dari pada komponen yang
lain maka ada kemungkinan timbul rasa
gabungan atau komponen tersebut dapat
dirasakan kesemuanya secara berurutan
(Kartika, 1998).
Warna
Tabel 4. menunjukkan bahwa
hasil uji organoleptik atribut warna pada
stik keju dengan metode uji kesukaan
dengan 35 orang panelis diketahui
bahwa untuk warna stik keju dengan
penambahan tepung tulang rawan ayam
pedaging 5 %, 18 panelis (51,4 % )
mengatakan suka. Untuk warna stik keju
dengan penambahan tepung tulang
rawan ayam pedaging 10 % diketahui
bahwa 18 panelis (51,4%) mengatakan
suka dan untuk rasa stik keju dengan
penambahan tepung tulang rawan ayam
pedaging 15 % diketahui 16 panelis (45,7
%) mengatakan suka.
Berdasarkan hasil uji Kruskal
Wallis penambahan tepung tulang rawan
ayam pedaging tidak nyata berpengaruh
terhadap rasa stik keju yang ditunjukkan
(ρ>0,05) dapat dilihat pada Tabel 4.
Hal ini dikarenakan intensitas
warna yang hampir sama antar produk.
Menurut Setiawan (1988), nilai warna
yang objektif dipengaruhi oleh
komposisi bahan baku yaitu warna awal
penyusunan. Warna awal tepung tulang
rawan coklat dan tepung terigu agak
bewarna krem, proses pencampuran
antara tepung terigu dengan tepung
tulang rawan ayam pedaging akan
membuat adonan bewarna kecoklatan
dan semakin bewarna coklat ketika
proses penggorengan.
Pada saat pencampuran adonan
tepung terigu dengan tepung tulang
rawan ayam pedaging akan bewarna
kecoklatan begitu juga saat
penggorengan. Proses penggorengan
yaitu suhu, cara dan penggorengan akan
mempengaruhi rasa, warna dan tekstur
produk yang dihasilkan serta
penambahan tepung tulang rawan ayam
pedaging yang digunakan tidak
berselisih jauh membuat panelis
memberikan penilaian yang sama.
Menurut Wijanti (2003) warna adalah
kesan yang dihasilkan oleh indra mata
terhadap cahaya yang dipantulkan oleh
benda tersebut. Jika dilihat dari
penerimaan panelis terhadap hasil uji
organoleptik atribut warna pada stik
keju bahwa warna stik keju dengan
konsentrasi penambahan tepung tulang
rawan ayam pedaging 5 % dan 10 %
paling disukai panelis. Menurut
Mudjayanto dan Yulianti (2007) proses
pencampuran yang tidak homogen akan
menghasilkan adonan yang tidak
homogen sehingga akan mempengaruhi
keseragaman rasa, tekstur dan rasa.
Tabel 4. Pengaruh Penambahan Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging Terhadap Mutu organoleptik
(Warna) Stik Keju
Penambahan Tepung Tulang Rawan
Ayam Pedaging
Presentase Tingkat
Kesukaan
Uji Kruskall Wallis
(ρ)
5%
10 %
15 %
57.49 %
53,93 %
47,49 %
0,323
Keterangan : Huruf yang sama (a) pada keterangan menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata taraf 5 %
menurut Uji Kruskall Wallis (ρ)
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 17
Tekstur
Adapun hasil uji organoleptik
atribut tekstur pada stik keju dengan
metode uji kesukaan dengan 35 orang
panelis dapat dilihat pada Tabel 5.
Diketahui bahwa untuk tekstur stik keju
dengan penambahan tepung tulang
rawan ayam pedaging 5 %, 19 panelis
(54,3 %) mengatakan suka. Untuk tekstur
stik keju dengan penambahan tepung
tulang rawan ayam pedaging 10 %
diketahui bahwa 20 panelis (57,1 %)
mengatakan suka dan untuk rasa stik
keju dengan penambahan tepung tulang
rawan ayam pedaging 15 % diketahui 20
panelis (57,1 %) mengatakan suka.
Berdasarkan hasil uji Kruskal
Wallis penambahan tepung tulang rawan
ayam pedaging tidak nyata berpengaruh
terhadap rasa stik keju yang ditunjukkan
(ρ< 0,05) dapat dilihat pada Tabel 5.
Hasil uji lanjut Mann Whitney
maka dapat dilihat perbandingan antar
produk yang dihasilkan panelis tidak
dapat membedakan tekstur antar produk
dengan penambahan tepung tulang
rawan ayam pedaging 15 % dan 10 %
dengan nilai ρ= 0,746 karena nilai ρ >0,05.
akan tetapi panelis dapat membedakan
tekstur antar produk dengan
penambahan tepung tulang rawan ayam
pedaging 5 % dan 10 % dengan nilai ρ=
0,008 karena nilai ρ< 0,05 dan panelis
dapat membedakan tekstur antar produk
dengan penambahan 5 % dan 15 %
dengan nilai ρ= 0,018 karena nilai ρ< 0,05.
Tekstur merupakan salah satu
parameter mutu yang penting karena
tekstur juga menentukan tingkat
penerimaan konsumen terhdap produk
yang dihasilkan. Tekstur merupakan
sifat penting dalam produk
pengorengan. Tingkat kehalusan tepung
tulang ayam pedaging merupakan faktor
penentu terhadap proses pengembangan
stik keju.
Semakin tinggi tingkat
konsentrasi penambahan tepung tulang
rawan ayam pedaging semakin
bertambah kesukaan panelis terhadap
tekstur stik keju. Hal ini terjadi karena
kandungan kolagen yang terdapat dalam
tepung tulang rawan ayam pedaging
yang berfungsi sebagai bahan pengikat ,
sehingga adonan lebih kohesif, kuat dan
tidak mudah putus (Agustin, 2003),
sehingga tekstur yang dihasilkan lebih
renyah.
SIMPULAN
1. Penambahan tepung tulang ayam
pedaging berpengaruh nyata
terhadap kadar kalsium stik keju.
2. Penambahan tepung tulang ayam
pedaging tidak berpengaruh nyata
terhadap karakteristik organoleptik
rasa dan warna, namun berpenaruh
nyata terhadap tekstur.
Tabel 5. Pengaruh Penambahan Tepung Tulang Rawan Ayam Pedaging Terhadap Mutu organoleptik
(Tekstur) Stik Keju
Penambahan Tepung Tulang Rawan
Ayam Pedaging
Presentase Tingkat
Kesukaan
Uji Kruskall Wallis
(ρ)
5%
10 %
15 %
42,07b%
59,46a%
57,47a%
0,014
Keterangan : Huruf yang sama (a) pada keterangan menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata taraf 5 %
menurut Uji Kruskall Wallis (ρ).
Huruf yang berbeda (ab) pada keterangan menunjukkan ada perbedaan nyata pada taraf 5 %
menurut Uji Mann Whiney (ρ)
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Penambahan Tepung Tulang Rawan 18
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, L, S. 2003. Pembuatan Mie Kering
Dengan Fortifikasi Tepung Tulang
Rawan Ayam Pedaging. Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian
Bogor, Bogor
Almatsier, S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu
Gizi. PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta
Ariesi, W.2007. Kalsium. Dunia Wida,
Surabaya
Arisman, 2009. Gizi Dalam Daur
Kehidupan, PT Buku Kedokteran
egc. Jakarta
Budhiarty, Pujiani, 2005. Fortifikasi
Kalsium Pada Susu Kedelai Dengan
Pemanfaatan Tulang Ayam Yang
Telah Mengalami Deproteinasi .
Diakses dari
http://digilib.upi.edu/pasca/avalia
ble/etd-1223105-143348/
Hanum, Y.1998. Diktat Penilaian Indrawi.
Fakultas Pertanian.
Http://Smartsains..
Blogspot.com/2008/06/Petunjuk-
Pengujian-Organoleptik.Html .
Hardianto, V. 2002. Pembuatan Tepung
Tulang Rawan Ayam pedaging
menggunakan pengering drum
(drum dryer) dengan penambahan
bahan pemutih (bleaching agent).
Skripsi. Fakultas Peternakan.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Kristianto, Yohanes. 2005. Panduan
Penelitian Pangan Dan Gizi.
Politeknik Kesehatan Malang.
Malang.
PERSAGI. 2005. Daftar Komposisi Bahan
Makanan (DKBM). Jakarta
Pudjirahaju, A. 2001. Diktat ITP, Penilaian
Kualitas Makanan Secara
Organoleptik. Malang
Suwarjono, 2008. Kalsium Si Beton Dalam
Tulang.Viva News
Tejasari, 2005. Nilai Gizi Pangan. Edisi
Pertama. Graha Ilmu. Yogyakarta
______,2008. Resep Tepung Terigu, diakses
dari : http://id.Wikibooks.org
______, 2008. Resep Stik Keju, diakses
dari: http://id.sedapsekejap.blogspot.com
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 19
Analisis Model Integrasi Lebah dengan Kebun Kopi (Sinkolema) dalam Rangka
Peningkatan Produksi Madu dan Biji Kopi
The Analisys of Honeybee-Coffee Plantation Integration Model on Improving the Honey
and Coffee Bean Product 1
R. Saepudin2, A. M. Fuah3, C. Sumantri4 , L. Abdullah5 , S. Hadisoesilo6
1. Bagian Disertasi di Sekolah Pasca Sarjana IPB
2. Mahasiswa Program Doktor pada Mayor Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, SPs.IPB
3. Dept. Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan FAPET-IPB. Ketua Komisi Pembimbing
4. Dept. Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan FAPET-IPB. Anggota Komisi Pembimbing
5. Dept. Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan FAPET-IPB. Anggota Komisi Pembimbing
6. Badan Litbang Kehutanan Bogor Anggota Komisi Pembimbing
ABSTRACT
The study of relationship between the honey productivity and honey bee-coffee plantation integration was conducted in Kepahiang, the Province of Bengkulu. The objective of this study was to evaluate the integration model on improving the honey and coffee bean product as well. The experiment was arranged in a completely randomized design with two treatments and ten replications where as the model was analysed with SWOT. The result showed that honey production was higher by 114% than that outside the plantation. Similar to the honey productionn, coffee been production at honeybee-coffee plantation integration was significantly higher by 10,55 % than that was unpollinated by Apis cerana, The honeybee colonies that were placed on coffee plantation spreadly produced honey significantly higher than those were placed with concentrated way. Other result was that based on SWOT analyses, the honeybee and coffee plantation integration are able to be developed agresively due to its higher strengths and higher opportunities than its weakensses and threats respectively. Key words: Honey, cerana, coffee, integration production
ABSTRAK
Penelitian tentang hubungan antara produksi madu pada integrasi lebah madu dan kebun kopi telah dilaksanakan di Kabupaten Kepahiang Provinsi Bengkulu. Tujuan penelitian adalah menganalisa model integrasi kaitannya dengan penelingkatan produksi madu dan biji kopi. Metoda penelitian dirancang berdasarkan RAL dan model dianaalisis dengan menggunakan SWOT. Hasil penelitian menunjukan bahwa peroduksi lebah 114 % dan biji kopi 10,55 % lebih tinggi pada siatem integrasi dari pada di luar sistem integrasi. Setiap satu hektar kebun kopi di Kabupaten Kepahiang dapat mendukung 100 koloni lebah A cerana. Berdasarkan analisis SWOT integrasi lebah madu kebun kopi berada pada kuadran ke I, yang berarti pengembangan Siskolema dapat dilaksanakan secara progresif karena kekuatan dapat mengatasi kelemahan dan peluang lebih besar dari pada ancaman yang dihadapi. Kata kunci: madu, cerana, kopi, integrasi. Produks
PENDAHULUAN
Masalah utama peternakan lebah
madu yang berhasil diidentifikasi adalah
produksi dan kualitas madu yang
rendah (sekitar 1-3 kg/koloni/tahun lebih
rendah dari produksi ideal yaitu 5-10
kg/koloni/tahun), Untuk menjaga
kesinambungan usaha perlebahan dapat
dilakukan dengan mencari tanaman
sumber pakan yang memiliki hubungan
mutualisme dengan lebah madu.
Tanaman yang punya potensi di
Kepahiang adalah kopi dengan luasan 29
ISSN 1978 - 3000
| Analisis Model Integrasi Lebah dengan Kebun Kopi 20
ribu ha dari 35 ribu ha perkebunan
(Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kepahiang, 2009). Tanaman kopi
menyediakan nektar dan polen sebagai
pakan lebah Apis cerana untuk
menghasilkan jumlah dan madu yang
lebih tinggi. Department of Agriculture
and Food Western Australia (2009)
melaporkan bahwa Madu yang
dihasilkan lebah yang diberi pakan
nektar kopi memiliki frukrosa tinggi
(38%), berwarna amber dan aroma khas.
Salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah mengintegrasikan
tanaman kopi yang sudah berkembang
dengan lebah madu dan memiliki
hubungan mutualisme satu sama lain
yang selanjutnya disebut sinkolema.
Lebah madu yang mampu menghasilkan
madu pada saat kopi belum dipanen dan
membantu penyerbukan untuk
meningkatkan produksi kopi. Disisi lain
kopi mampu menyediakan nektar dan
pollen sebagai pakan dari lebah madu.
Integrasi lebah kopi, disampaing untuk
mengatasi permasalahan produktivitas
madu juga untuk mengatasi
permasalahan rendahnya produktivitas
kopi yang relatif rendah (0,970 ton/ha)
(Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kepahiang, 2009) dibandingkan dengan
produksi ideal sebesar 1,540 ton/ha
Penelitian integrasi lebah dengan
tanaman telah dilakukan oleh Kazuhiro
(2004) dan Biesmeijer dan Slaa (2004)
yang mengintegrasikan Stingless bee
dengan tanaman kacang-kacangan.
Penelitian yang serupa telah
dilaksanakan oleh Klein et al. (2003) pada
kopi, Kremen et al. (2002) pada pada
daerah pertanian hortikultura, Kakutani
et al. (1993), Maeta et al. (1992) dan
Katayama (1987) pada tanaman
strowberry. Namun demikian penelitian
masih difokuskan pada jasa lebah
sebagai polinator, sedangkan peranan
tanaman sebagai sumber penghasil
pakan lebah masih sangat sulit
didapatkan.
Pola integrasi kebun kopi lebah
madu (yang selanjutnya disebut
Sinkolema) belum banyak diterapkan di
Indonesia padahal potensinya terutama
di luar Jawa sangat tinggi dan peran
masing-masing sangat penting,
diantaranya adalah;
1. Lebah sebagai penyerbuk pada
tanaman kopi, sehingga diharapkan
produksi kopi semakin tinggi dan
kopi sebagai penghasil pakan yang
diharapkan mampu meningkatkan
produksi madu yang berkualitas
sehingga produktivitas dan efisiensi
lahan meningkat, pada gilirannya
kesejahteraan petani juga meningkat.
2. Madu sebagai sumber pendapatan
tambahan petani sehingga pada saat
usaha pertanian tidak berproduksi,
lebah madu mampu memberikan
penghasilan, sehingga biaya hidup
sehari-hari dan biaya untuk usaha
pertanian saat kopi tidak
berproduksi tetap terjamin.
Adanya hubungan saling
menguntungkan antara lebah madu dan
kopi maka diharapkan akan dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan
pendapatan petani dan sekaligus
melestarikan lebah madu asli Indonesia.
Untuk keperluan itu diperlukan kajian
budidaya, desain Sinkolema berbasis
wawasan.
Langkah-langkah yang harus
dirumuskan dalam pelaksanaan
Sinkolema untuk meningkatkan
perekonomian petani membutuhkan
kajian keberlanjutan sehingga kebijakan
dalam mengatasi permasalahan yang
diambil akan lebih tepat dan efektif.
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis daya dukung integrasi
lebah-kebun kopi, produktivitas lebah
madu kebun kopi (Sinkolema) dan
pengembangan budidaya lebah madu
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 21
berbasis potensi dan sumberdaya lokal
untuk peningkatan ekonomi peternak
lebah.
MATERI DAN METODE
Penelitianini yang dilaksanakan
pada bulan Januari s/d desember 2010
berlokasi di Kabupaten Kepahyang
Propinsi Bengkulu ini merupakan bagian
dari penelitian yang telah dilaporkan
sebelumnya yaitu 1. Identifikasi daya
dukung dan Potensi dan 2. Menganalisis
Keberlanjutan sinkolema. Jadi penelitian
tahap ini dilandasi oleh hasil penelitian
tahap I untuk menghasilkan model
budidaya lebah yang diintegrasikan
dengan tanaman kopi. Untuk dapat
menganalisis sinkolema dibutuhkan
atribut penentu keberhasilan
berdasarkan koefisien teknis peternakan
lebah. Model didesain dengan
didasarkan pada hal-hal berikut ini:
1. Perhitungan jumlah stup yang
dipelihara sesuai dengan daya
dukung wilayah.
2. Produksi madu per stup per tahun
3. Penerapan tata letak stup
4. Perhitungan produksi kopi/ ha/
tahun
5. Penyusunan strategi penerapan
sinkolema
Prosedur
Data lain yang akan
dikumpulkan adalah data sekunder dan
primer dengan menggunakan metode
survei melalui teknik wawancara dan
pengisian kuesioner yaitu:
1. Menghitung jumlah stup yang
dipelihara sesuai dengan daya
dukung wilayah.
2. Produksi madu dihitung
berdasarkan kali panen dan
dikonversikan ke produksi per
stup per tahun, dan akan
dibandingkan antara produksi
madu dengan sistem integrasi
dan tanpa integrasi. Sebagai
sampel akan dipilih secara acak
sebanyak masing-masing 10 stup
lebah yang dibudidayakan padan
sistem integrasi dan 10 stup
lainnya dari lebah yang
dibudidayakan bukan dengan
sistem integrasi.
3. Menentukan tata letak stup
didasarkan pada faktor lokasi,
pengelolaan, keamanan dan
pemanenan.
4. Produksi kopi per ha per tahun
dihitung berdasarkan hasil bobot
kering per tahun per ha dan akan
dibandingkan produksi kopi
madu dengan sistem integrasi
dan tanpa integrasi
5. Menyusun rekomendasi
pengembangan disusun
berdasarkan hasil analisis SWOT
berdasarkan data skunder dan
data primer yang diperoleh.
Penelitian tahapan ini
selanjutnya adalah membandingkan
produksi madu A. cerana yang dipelihara
melalui (1) sistem integrasi dengan kopi
dan (2) tanpa integrasi. Sedangkan
produksi kopi akan dibandingkan
dengan dan tanpa integrasi serta
menganalisis produksi madu dengan
penempatan tanpa stup.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebagian besar Kabupaten
Kepahyang (sekitar 75%) terletak pada
wilayah dengan ketinggian 500 – 1000 m
dpl, dan 12% terletak pada wilayah >
1000 m dpl. Curah hujan rata-rata
bulanan untuk sepuluh tahunan di
wilayah Kepahyang yaitu > 200 mm.
Suhu udara rata-rata 24,00C, dengan
suhu udara maksimum sebesar 29,90C
ISSN 1978 - 3000
| Analisis Model Integrasi Lebah dengan Kebun Kopi 22
dan suhu udara minimum sebesar
19,90C. Kelembaban nisbi rata-rata
bulanan > 80%. Ditinjau dari geografis
dan agroklimat Kabupaten Kepahyang,
komoditi tanaman hortikultura dan
perkebunan (terutama kopi dan teh)
sangat mungkin untuk
dikembangkan.Disamping itu potensi
pengembangan tanaman perkebunan
didukung juga oleh kedalaman dan jenis
tanah yang mendominasi wilayah ini
(tanah Andosol, Aluvial, Latosol,
Asosiasi Andosol-Latosol-Podsolik
Coklat-Podsolik Merah Kuning) yang
sangat baik untuk pengembangan
tanaman kopi (BPS, 2007).
Berdasarkan kondisi wilayah
Kabupaten Kepahyang maka salah satu
usaha peternakan yang potensial
dikembangkan adalah lebah yang
mampu menghasilkan madu pada saat
hasil pertanian belum dipanen dan
membantu penyerbukan untuk
meningkatkan produksi. Disisi lain
tumbuhan/tanaman mampu
menyediakan nektar dan polen sebagai
pakan lebah madu A. cerana yang
menjadi salah satu dari lebah komersil
lokal. A. cerana merupakan lebah asli
tropis Asia (termasuk Indonesia) yang
sudah beradaptasi baik dengan
lingkungan Indonesia termasuk
Kabupaten Kepahyang Propinsi
Bengkulu. Walaupun produksinya tidak
setinggi A. mellifera, A. cerana memeiliki
keunggulan yaitu tahan terhadap hama
utama lebah (varroa spp dan vespa spp.)
(Sihombing, 2005). Oleh karena itu, A.
cerana memungkinkan untuk
dibudidayakan sebagai penghasil madu
kopi secara organik. Penelitian tentang
pemanfaatan perkebunan kopi untuk
budidaya madu A. Cerana sangat
diperlukan dalam rangka optimalisasi
pemanfaatan lahan untuk peningkatan
efisiensi dan produktivitas lebah.
Daya Dukung Budidaya Lebah
Pakan lebah yang penting adalah
nektar dan polen. Nektar adalah cairan
manis yang dihasilkan oleh bunga
tanaman pangan, tanaman kehutanan,
tanaman perkebunan, tanaman
hortikultura (buah dan sayuran),
tanaman hias, rumput dan semak
belukar (Pusbahnas. 2008). Nektar
adalah senyawa kompleks yang
dihasilkan kelenjer nektar yang
merupakan hasil sekresi yang manis
dalam bentuk larutan gula dari tanaman.
Nektar terdapat pada bagian petal, sepal,
stamen dan stigma. Nektar mengandung
15-50% larutan gula dengan konsentrasi
bervariasi antara satu bunga tanaman
dengan bunga tanaman lain (Crane,
1990).
Husaeni (1986) menyatakan
bahwa nektar adalah pakan utama lebah
sehingga ketersediaannya sangat
mempengaruhi produksi madu.
Selanjutnya Husaeni (1986) menganalisis
tentang masalah utama budidaya lebah
yaitu ketersedian nektar secara
berkesinambungan.
Department of Agriculture and
Food Western Australia (2009)
melaporkan bahwa kopi adalah
penghasil polen dannektar yang tinggi
kadar sukrosanya (28%) sehingga
menghasilkan madu yang memiliki
kejernihan baik, bau dan rasa yang khas.
Data jumlah kuntum bunga per
tangkai dan jumlah tangkai bunga per
pohon selama delapan bulan, diolah
untuk mendapatan data produksi
kuntum bunga per pohon per hari. Hasil
pengumpulan dan pengolahan data
disajikan pada Tabel 1.
Produksi nektar diperoleh data
0,64 ml per 25 kuntum per hari, berarti
produksi nektar kebun kopi adalah 18,14
ml/pohon/hari. Selama petani menanam
kopi dengan kepadatan 2000 batang/ha
maka produksi nektar pada saat kopi
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 23
berbungan adalah 36,27 l/ha/hari. Tabel 1
menunjukan perkembangan produksi
nektar kopi yang berfluktuasi dan rata-
rata tertinggi terjadi pada Bulan Juli. Hal
ini sesuai dengan yang dilaporkan
Perhutani (1994) bahwa puncak
pembungaan kopi di Indonesia terjadi
pada bulan Juli.
Produksi nektar kebun kopi rata-
rata per hari adalah 18,14 ml/pohon/hari,
berarti dengan kepadatan pohon kopi
2000 bohon/ha, rata-rata produksi per
hektar kopi adalah 36.286,08 ml/ha/hari.
Bila kebutuhan nektar lebah madu 145
ml/stup/hari (Husaini, 1986) maka daya
dukung kebun kopi adalah 250 koloni.
Ini artinya kalau tidak ada predator
lainnya (grazers), maka kebun kopi di
Kabupaten Kepahiang Propinsi
Bengkulu mampu mencukupi
peternakan lebah dengan skala usaha 250
koloni. Untuk mengantisipasi adanya
predator lain pengisap nektar kopi dan
cuaca yang buruk yang menyebabkan
bunga kopi menurun, yang dijadikan
patokan dalam menentukan jumlah
koloni adalah produksi nektar terendah
yaitu sekitar 9,49 liter/ha/hari, bila 25%
nektar diperkirakan dikonsumsi
serangga lain, berarti pada saat produksi
nektar minimal, kebun kopi diperkirakan
mampu mencukupi maka disarankan
untuk menyebarkan lebah sebanyak
sembilah puluh delapan koloni
dibulatkan keatas menjadi 100
stup/koloni per satu hektar kebun kopi.
Blesmeijer dan Slaa (2006)
menyatakan bahwa penerapan sistem
integrasi lebah madu dengan tanaman
perlu diperhatikan konsep-konsep
kompetisi baik interspesific competition
(kompetisi antar spesies) maupun
intraspesific competition (kompetisi dalam
satu spesies), sehingga tidak berdampak
pada kerusakan sumberdaya dan
habitatnya. Blesmeijer & Slaa (2006)
membagi lebah menjadi dua kelompok
yaitu (1) medium size non-aggressive
forager, contohnya A. mellifera dan (2)
super generalis aggressive forager,
contohnya A. trigona. Mencermati dua
kelompok lebah ini tergambar bahwa
kelompok medium size non-aggressive
forager tidak bias digabungkan dengan
kelompok super generalis aggressive
forager.
Nasution (2009) menyatakan
bahwa tidak seperti serangga lain
(misalnya kupu-kupu dan semut) lebah
menjalankan penyerbukan bunga
dengan tidak menimbulkan akibat
samping yang merugikan tanaman. Oleh
karena itu lebah bukan hama tanaman,
tapi malah membantu menaikkan
produksi. Menurut Sumoprastowo dan
Suprapto (1993), bahwa dengan bantuan
penyerbukan oleh lebah, produksi kebun
kapas, kebun buah-buahan, kebun bunga
matahari, dan kebun mentimun
mencapai kenaikan produksi berturut-
turut sebesar 25%, 25-50%, 50-60%, dan
62,5%.
Tabel 1. Produksi Nektar Kopi di Kabupaten Kepahiang
No Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sep Okt Nop Des
1 17,22 14,31 - - 18,48 26,60 35,89 25,20 - - 16,84 25,38
2 21,80 25,90 - - 23,60 32,40 38,60 35,70 - - 28,50 33,90
3 375,40 370,60 - - 436,10 861,90 1.385,50 899,80 - - 480,00 860,40
4 9,61 9,49 - - 11,16 22,06 35,47 23,03 - - 12,29 22,03
5 Rata-rata Produksi Nektar kopi per pohon per hari 18,14 ml/pohon/hari Keterangan
1. Rata-rata kuntum buna per tangkai
2. Rata-rata tangkai bunga per pohon
3. Produksi kuntum bunga per pohon
4. Produksi nektar per pohon (ml)
ISSN 1978 - 3000
| Analisis Model Integrasi Lebah dengan Kebun Kopi 24
Lebah merupakan serangga yang
berperan penting baik secara ekologis
(penyerbuk) maupun ekonomis
(penghargaan secara financial terhadap
jasanya sebagai penyerbuk (Byrne &
Fitzpatrick, 2009). Slaa et al. (2006)
membuktikan bahwa lebah berhasil
meningkatkan produksi pertanian dua
kali lipat. Hampir semua tanaman
pertanian/perkebunan yang tidak
melakukan penyerbukan sendiri
memerlukan bantuan serangga agar
menghasilkan biji/buah Polinasi adalah
proses kompleks dan sangat vital dalam
siklus hidup tanaman, terutama bagi
terjadinya fertilisasi, pembentukan buah
dan pembentukan biji (Slaa et al. 2006).
Lebah berperan sebagai polinator yang
lebih efektif dan efisien bagi
tanaman/perkebunan (O’toole, 1993,
Frietas and Faxton 1998, Heard, 1999;
Richards, 2001 dan Krement et al, 2002).
Memperhatikan hal tersebut
maka terlihat bahwa lebah menjadi
pollinator penting yang memindahkan
tepung sari ke kepala putik dalam
jumlah cukup.Aktivitas lebah tersebut
dilakukan secara tidak sengaja pada saat
pencarian nektar dan tepung sari sebagai
pakan untuk koloninya, bagian kaki
lebah madu yang penuh rambut tersebut
disebut pollen basket. Lebah memiliki
organ khusus untuk mengambil nektar,
yang disebut proboscis yang bentuknya
seperti belalai pada gajah dan berfungsi
untuk mengisap cairan nektar pada
bunga. Lebih lanjut. Nasution (2009)
menyatakan beberapa faktor yang harus
dipertimbangakan dalam menggunakan
lebah madu untuk tujuan membantu
penyerbukan tanaman, diantaranya
jumlah lebah per stup (strength of colony),
jumlah stup lebah (number of bee hives),
ketersediaan stup yang bias
dimanfaatkan (availability of bee hives) dan
penempatan stup (timing of the
introduction of hives).
Department of Agriculture and
Food Western Australia (2009)
melaporkan bahwa penyebaran koloni
lebah di areal pertanian tanaman pangan
di Australia dan di Brazil dapat
meningkatkan produksi pertaniannya
dan jumlah lebah yang disebarkan
bervariasi tergantung pada jenis
tanaman, tempat (lokasi), dan jenis
lebah. Oleh karena itu Department of
Agriculture and Food Western Australia
(2009) merekombinasikan bahwa untuk
meningkatkan proses polinasi tanaman
kopi (Coffea arabica, C. canephora, C.
liberica ) dapat ditempatkan 100 juta
lebah pekerja pada saat musim
berbunga. Dengan cara ini produksi kopi
dapat meningkat sekitar 22%.
Selanjutnya Nasution (2009) menjelaskan
juga bahwa lebah merupakan serangga
penyerbuk (polinator) tanaman yang
paling penting di alam dibandingkan
angin, air, dan serangga lainnya, dimana
lebah dapat meningkatkan produksi apel
sebesar 30-60%, jeruk 300-400%, dan
anggur 60-100%.
Madu yang dihasilkan dari lebah
yang diberi pakan nektar kopi memiliki
sukrosa (28%) dan berwarna amber
muda (light amber) dan aroma yang
khas (Department of Agriculture and
Food Western Australia, 2009).
Pusbahnas (2008) melaporkan bahwa
madu kopi (madu yang berasal dari
lebah yang diberi pakan nektar kopi)
berkhasiat dalam meningkatkan daya
tahan tubuh, membuat nyenyak tidur,
memperlancar fungsi otak dan dapat
menyembuhkan luka bakar.
Pengaruh Integrasi Terhadap Produksi
Madu dan Kopi
Produksi madu selama satu
tahun yang dipelihara dengan dan tanpa
integrasi dengan kebun kopi dapat
dilihat pada Gambar 1. Produksi madu
dari lebah yang dipelihara dengan sistem
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 25
integrasi mencapai 3,335
kg/koloni/tahun. Produksi ini secara
signifikan lebih tinggi dari produksi
madu dari lebah yang dipelihara di luar
kawasan integrasi yang hanya mencapai
rata-rata 1,560 kg/koloni/tahun, artinya
bahwa produktivitas lebah madu dapat
ditingkatkan sekitar 114% melalui sistem
integrasi dengan kebun kopi.
Produksi madu dari peternakan
lebah dengan integrasi lebih tinggi
sejalan dengan perkembangan populasi
lebah dan ketersediaan nektar. Hasil ini
menunjukan bahwa produksi madu
sangat erat kaitannya dengan
ketersediaan nektar. Hasil penelitian ini
sesuai dengan penemuan Hidayat (1986)
yang melakukan penelitian tentang
hubungan kegiatan mencari makan lebah
madu (Apis cerana Fabr.) dengan volume
nektar dan perkembangan jumlah bunga
kaliandra (Calliandra callothyrsus Meissn.)
di desa Pager Wangi, Bandung pada
bulan Januari hingga Maret, 1986 dengan
kesimpulan bahwa terdapat hubungan
antara kegiatan lebah dengan
ketersediaan nektar di sekitar koloni.
Ada kondisi yang sangat menarik
adalah pada saat kopi tidak berbunga
pada bulan Maret, April, September dan
Oktober, produksi madu dan populasi
lebah menunjukan angka yang masih
tinggi di daerah Sinkolema, Hal ini
kemungkinan besar kebutuhan nektar
dan polen untuk keperluan tersebut
masih mampu disediakan pohon
pelindung (lamtoro), pohon lain seperti
kayu masis (pada Bulan Mei didapatkan
madu yang beraroma kayu manis),
semak-semak dan remput-rumputan
yang menutupi lahan di luar kebun kopi.
Rendahnya produksi madu dari
lebah di luar kebun kopi sebagai akibat
dari hijrahnya koloni lebah sebanyak 4
koloni atau 40%, sedangkan lebah di di
daerah kopi yang hijrah lebih sedikit
yaitu 2 koloni atau 20%. Teidentifikasi
ada dua penyebab utama hijrahnya
koloni lebah yaitu, 1. Kurang pakan
terlihat tidak ada madu pada sarangnya
dan 2. Kondisi stup/kotak yang kotor
karena tidak sempat dibersihkan
peternak.
Keberhasilan peternakan lebah
sangat ditentukan dengan ketersedian
sumber protein (pollen) dan nektar pada
suatu lokasi yang erat kaitannya dengan
tata letak koloni. Dalam menentukan
tata letak perlu dilakukan pendataan
untuk mengetahui jenis-jenis tanaman
penghasil nektar dan pollen, umur
tanaman kepadatan tanaman serta
kesuburannya.
Dalam penelitian yang telah
dilakukan tampak bahwa cara
penempatan koloni lebah (terpusat atau
tersebar) secara signifikan mepengaruhi
produksi madu. Dari hasil perhitungan,
Gambar 1. Grafik produksi madu yang di pelihara dengan dan tanpa integrasi
ISSN 1978 - 3000
| Analisis Model Integrasi Lebah dengan Kebun Kopi 26
produksi madu dari koloni lebah yang
ditempatkan secara menyebar di dalam
kebun kopi (4,08 kg/koloni/tahun) secara
nyata lebih tinggi dari koloni lebah yang
ditempatkan terpusat di tengah-tengah
kebun kopi (2,60 kg/koloni/tahun). Hal
ini terjadi akibat dari kompetisi
(intraspesific competition) berat baik
pakan maupun tempat terutama tempat
terjadinya perkawinan dan pakan.
Kompetisi yang terjadi menybabkan 2
koloni yang ditempatkan terpusat
hijrah. Hidayat (1986) menyatakan
bahwa lebah memanfaatkan nektar yang
berda paling dekat dengan koloninya,
artinya semakin padat pupulasi lebah
pada suatu tempat maka akan terjadi
persaingan yang semakin berat. Hal ini
tentunya akan menyebabkan turunnya
produksi atau terganggunya
keseimbangan populasi lebah dan akibat
yang paling tinggi akan terjadinya hijrah
(absconding). Gambar 2 menunjukan
perkembangan produksi lebah
berdasarkan tata letak.
Rataan produksi kopi di
perkebunan yang diintegrasikan dengan
lebah sebesar 1,31 ton/ha, sedangkan
rataan produksi kopi di luar wilayah
integrasi 1,18 ton/ha. Hal ini menujukan
bahwa sinkolema mampu meningkatkan
produksi kopi di Kabupaten Kepahiang
setinggi 10,55%. Lebah dalam melakukan
polinasi lebih efektif karena probostisnya
yang panjang lancip dilengkapi dengan
rambut tempat menempel tepungsari
dan pindah ke kepala putik kopi.
Analisis Swot
Setelah melakukan pengambilan data
dari lapangan dan dilanjutkan dengan
FGD (Focus Group Discussion) maka
dapat dirumskan bahwa kekuatan dan
kelemahan (faktor internal), peluang dan
ancaman (faktor eksternal) sebagai
berikut;
Kekuatan:
a. Ketersediaan lahan dan kebun
kopi dan tanaman perkebunan
lainnya yang luas (35.000 ha)
b. Budaya masyarakat yang sudah
biasa bertani berbagai macam
tanaman (perkrbunan dan
hortikultura).
c. Penyederhanaan penguasaan dan
penerapan inovasi dan teknologi
untuk pengembangan kopi dan
beternak lebah
d. Visi Pemda untuk menjadikan
Kabupaten Kepahiang sebagai
tujuan agrowisata
e. Letak geografis yang cocok untuk
untuk pengembangan perkrbuan
Gambar 2. Grafik perkembangan produksi madu berdasarkan tata letak
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 27
kopi dan ternak lebah madu
(ktinggian tempat).
f. Aroklimat yang mendukung baik
terhadap budidaya tanaman
perkebunan kopi maupun
beternak lebah.
g. Tersedianya sarana dan
prasarana pendukung seperti air
bersih, pasar, jalan yang layak dll.
h. Terdapatnya kelompok
masyarakat pengelola lebah
madu (KUP)
i. Lokasi mudah dijangkau
Kelemahan:
a. Produksi lebah madu yang maih
rendah akibat dari kurangnya
nektar yang dikonsumsi lebah.
b. Masyarakat belum menguasai
budidaya lebah madu terutama
pemanfaatan potensi local untuk
meningkatkan produksi lebah.
c. Terbatasnya dukungan finansial
d. Sarana budidaya lebah yang
masih ninim
e. Kelembagaan di tingkat petani
yang masih tidak/kurang
berfungsi
f. Belum ada program yang disusun
pemda mengenai pengembangan
ternak lebah madu.
g. Beternak lebah yang masih
kurang menguntungkan
dibandingkan dengan usaha
lainnya.
h. Belum ada peraturan daerah
mengenai lebah madu
Peluang:
a. Kepercayaan masyarakat
Indonesia terhadap madu terus
meningkat tergambar dari
permitaan madu dan kebiasaan
minum madu terus meningkat
b. Madu adalah komoditi yang
dikonsumsi semua lapisan
masyarakat baik dalam maupun
luar negeri.
c. Adanya kepercayaan bahwa
minum madu secara rutin dapat
meningkatkan kebugaran dan
memperpanjang umur.
d. Terdapatnya lembaga perguruan
tinggi yang memiliki kopetensi
penerapan siskolema
e. Meningkatnya kebutuhan
pendidikan yang berwawasan
aplikatif seperti kebutuhan SMK
pertanian.
f. Jumlah penduduk terus
meningkat
Ancaman:
a. Tersebarnya produk madu yang
diproduksi dan diolah di daerah
lain.
b. Belum adanya peraturan yang
dapat melindungi peternak madu
c. Lembaga keuangan yang belum
memperhatikan petani kecil
d. Beberapa infrastruktur jalan dan
transportasi umum menuju lokasi
perlu ditingkatkan
e. Adanya alternatif tempat lokasi
lain di Luar Bengkulu
Posisi Strategi
Berdasarkan data faktor-faktor
internal dan eksternal didapatkan skor
pembobotan untuk faktor kekuatan =
1,93; faktor kelemahan = 0,86; faktor
peluang = 2,13 dan faktor ancaman =
0,58. Dari skor pembobotan di atas
selanjutnya diplotkan pada gambar
analisa diagram SWOT yang terdiri dari
4 kuadran yaitu : kuadran I (Agresif),
kuadran II (Investasi), kuadran III
(defensif) dan kuadran IV (Diversifikasi).
Adapun perhitungannya sebagai berikut:
ISSN 1978 - 3000
| Analisis Model Integrasi Lebah dengan Kebun Kopi 28
Skor pembobotan
- Faktor KEKUATAN : 1,70
- Faktor KELEMAHAN : 1,08 -
----------
P : 0,62 (sumbu x)
- Faktor PELUANG : 1,55
- Faktor ANCAMAN : 1,05 -
----------
Q : 0,50 (sumbu Y)
Dari perpotongan keempat garis
faktor kekuatan, kelemahan, peluang
dan ancaman, maka didapatkan
koordinat (0,62 ; 0,50 ) yang mana
koordinat ini masuk pada kuadran I,
yakni Strategi AGRESIF.
Dari perhitungan ordinat maka
skor-skor pembobotan terdapat pada
kuadran I ((Gambar 3) dimana termasuk
kuadran Agresif bukan kuadran II
(Investasi), kuadran III (defensif) dan
kuadran IV (Diversifikasi).
Penyusunan Strategi
Analisa SWOT ditujukan untuk
mengidentifikasi berbagai faktor untuk
merumuskan strategi. Dari berbagai
faktor internal dan eksternal terpilih,
disusun strategi untuk pengembangan
siskolema
Memanfaatkan peluang
mengoptimalkan Kekuatan
a. Optimalisasi pemanfaatan SDA
bekerjasama dengan Perguruan
Tinggi
b. Merealisasikan Visi dan Misi
dengan member bekal
pengetahan murid SMK
c. Peningkatan mutu dan produksi
madu untuk memenuhi
kebutuhan konsumen.
d. Pembenahan sarana dan
prasarana produksi untuk
memberikan layanan kebutuhan
madu dengan cepat dan bermutu.
Menanggulangi kelemahan dengan
memanfaatkan peluang)
a. Mendapat bimbingan PTN dalam
mendapatkan modal dari sumber
keuangan dan membentuk
kelembagaan yang kuat
b. Optimalisasi transfer teknologi
dari PT/PTN
c. Mengurangi mpenggunaan
pestisida untuk menghasilkan
madu yang aman dikinsumsi
Dibuat program pengembangan
ternal lebah bekerjasama engan SMK
Memakai kekuatan untuk
Mengantisipasi tantangan/ancaman)
a. Memanfaatkan fasilitas dan akses
yang yang dimiliki PEMDA untuk
ajang promosi
b. Pembenahan infrastruktur (jalan)
dan akselerasi pelaksanaan
terwujudnya Kabupaten
Kepahiang sebagai Kota tujuan
Arowisata
Gambar 3. Kuadran analisa SWOT Siskolema
Peluang
II. INVESTASI
INVESTASI
I. AGRESIF
Kelemahan Kekuatan
III. DEFENSIF IV. DIVERSIFIKASI
Ancaman
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 29
Memperkecil kelemahan dan mengatasi
tantangan/ancaman) :
a. Menggalang kerjasama dengan
berbagai pihak untuk kegiatan
promosi
b. Pemanfaatan secara optimal
sumberdaya Pemda yang dimiliki
c. Kerjasama dengan berbagai pihak
(yang satu Misi) untuk perbaikan
dan penyediaan sarana dan
prasarana pendukung kegiatan
Siskolema
Rencana Aksi (Action Plan) Siskolema
Rencana aksi yang disusun dalam
tataran operasional perlu didasarkan
pada hasil analisisn SWOT di atas.
Dilihat dari kekuatan dan peluang yang
mendominasi maka rencana aksi ini
disusun agresif dan dibagi berdasarkan
jangka pendek, menengah dan panjang.
Aksi jangka pendek
1. Meningkatkan pengetahuan,
keterampilan dan wawasan
petani kopi melalui penyuluhan,
pelatihan dan magang.
2. Pembentukan dan penataan
kelompok-kelompok tani dan
lembaga lain yang tekait
3. Pengadaan lebah madu yang
berkualitas.
4. Perbaikan sarana dan prasarana
produksi untuk memberikan
layanan kebutuhan madu dengan
cepat dan bermutu.
5. Meningkatkan skala
pemeliharaan budidaya kopi dan
lebah madu untuk memenuhi
kebutuhan konsumen
6. Menjalin kerjasama terstruktur
dengan instansi terkait.
7. Melengkapi sarana edukasi
(brosur, juknis, poster, dll) untuk
diterapkan di SMK
8. Membuat daftar kegiatan (Utama
maupun pendukung)
berdasarkan skala prioritas dan
dilaporkan kepada decision maker
(Rektorat) untuk memperoleh
dukungan program
Aksi jangka menengah
1. Melakukan ajang promosi pada
tingkat regional, nasional bahkan
Internasional.
2. Didirikan beberapa rumah
Siskolema yang berfungsi
memasarkan dan sekaligus
tempat pusat informasi
permaduan dan perkopian di
Kepahiang
3. Mendidik kader-kader yang
memenuhi syarat untuk dididik
menjadi ahli madu
4. Melengkapi sarana edukasi dari
aspek budidaya satwa secara
keseluruhan dan aspek
prosesingnya (media elektronik,
tulisan dan perlengkapan
praktek)
5. Alokasi anggaran dari DIPA IPB
untuk membantu pembenahan
jalan menuju lokasi
6. Penyediaan sarana transportasi
yang ada dari IPB ketika ada
event kunjungan
Aksi jangka panjang
a. Menjadikan Kepahiang sebagai
kota kopi dan madu
b. Menjalin kerjasama dengan pihak
swasta yang tertarik di untuk
menanamkan investasi di bidang
kopi dan madu
c. Terciptanya beberapa kawasan
SISKOLEMA di Kabupaten
Kepahiang
SIMPULAN
1. Komoditas unggulan yang menjadi
fokus pengembangan kawasan
ISSN 1978 - 3000
| Analisis Model Integrasi Lebah dengan Kebun Kopi 30
peternakan adalah ternak lebah madu dan tanaman kopi.
2. Kegiatan agribisnis lebih ditekankan kepada komoditas madu selain kopi.
3. Model pendekatan kegiatan usahatani adalah intensifikasi diversifikasi dan dilakukan secara terpadu (terintegrasi) antara beberapa kegiatan sub sistem produksi dengan sentuhan inovasi teknologi.
4. Perkebunan kopi di Kepahiang mampu mendukung 100 koloni per hektar.
5. Integrasi lebah madu perkebunan kopi meningkatkan baik produktivitas madu sampai dengan 114% maupun produksi biji kopi hingga 10,55%.
6. Produktivitas lebah sangat tergantung dari ketersedian nektar dan polen secara alami maka pengelolaan lebah perlu didisain dalam kawasan yang lebih komprehensif.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan. 2005. Aspek teknis
dalam strategi pemuliaan bibit lebah
madu A. cerana. Departemen
Kehutanan.
Biesmeijer, J. C. & E. J. Slaa. 2006. The
structure of eusocial bee
assemblages in Brazil. Apidologie
37: 240-258.
BPS. 2007. Kepahyang Dalam Angka.
Biro Pusat Statistik Kabupaten
Kepahyang, Bengkulu.
Byrne, A. & Ú. Fitzpatrick. 2009. Bee
conservation policy at the global,
regional & national levels
Apidologie 40 :194-210
Crane E. 1990. Bees & Beekeping. Science,
Practice & World Resources. Comstock
Publishing Associates a division of
Cornell University Press. Ithaca,
New York. Pp 364
Department of Agriculture & Food
Western Australia. 2009. Bee
pollination benefits for other crops.
http://wwwtest.agric.wa.
gov.au/PC_91812. html?s=0
Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Kepahyang. 2009.
Laporan Hasil Monitoring dan
Evaluasi Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Kepahyang.
Bengkulu
Erwan. 2006. Pemanfaatan nira aren dan
nira kelapa serta polen aren sebagai
pakan lebah madu untuk
meningkatkan produksi madu A.
cerana di Kabupaten Lombok Barat.
Disertasi Program Doktor. Sekolah
Pascasarjana IPB. Bogor.
FAO. 1989. Forestry & Food
Security.FAO Forestry Paper 90,
FAO, Rome.
Freitas, B. M., & R. J. Paxton. 1998. A
comparison of two pollinators: the
introduced honey bee (Apis mellifera)
& an indigenous bee (Centris tarsata)
on cashew (Anacardium occidentale)
in its native range of NE Brazil, J.
Appl. Ecol. 35: 109–121.
Gojmerac, W. L. 1983. Bees, Beekeeping,
Honey & Pollination. AVI
Publishing Company, Inc. WestPort,
Connecticut.
Hadisoesilo, S., R. Raffiudin, W. Susanti,
T. Atmowidi, C.Hepburn, S. E.
Radloff, S. Fuchs, & H. Hepburn.
2008. Morphometric analysis &
biogeography of Apis koschevnikovi
Enderlein. Apidologie 39 : 495–503
Heard, T.A. 1999. The role of stingless
bees in crop pollination, Annu. Rev.
Entomol 44: 183–206.
Herdiawan , I., A. Fanindi dan A. Semali.
2007. Karakteristik dan Pemanfaatan
Kali&ra (Callidra calothyrsus).
Lokakarya Nasional Tanaman Pakan
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 31
Ternak Balai Penelitian Ternak, PO.
Box 221, Bogor 16002 Proceeding no.
1 : 141-148.
Husaeni, E. A. 1986. Potensi Produksi
Nektar dari Tegakan Kali&ra Bunga
Merah (Calli&ra calothyrsusMeissn).
Prosiding Lokakarya
Pembudidayaan Lebah Madu untuk
Peningkatan Kesejahteraan
Masyarakat. Perum Perhutani,
Jakarta
Kakutani T., T. Inoue, T. Tezuka. & Y.
Maeta. 1993. Pollination of
strawberry by the stingless bee,
Trigona minangkabau, & the honey
bee, Apis mellifera: an experimental
study of fertilization efficiency, Res.
Popul. Ecol. 35, 95–111.
Katayama E. 1987. Utilization of
honeybees as pollinators for
strawberries in plastic greenhouses,
Honeybee Sci. 8, 147–150 (in
Japanese).
Kazuhiro, A. 2004. Attempts to Introduce
Stingless Bees for the Pollination of
Crops under Greenhouse Conditions
in Japan. Laboratory of
ApicultureNational Institute of
Livestock & Grassl& Science
Tsukuba, Ibaraki 305-0901
Klein A.M., Steffan-Dewenter I.,
Tscharntke T. (2003) Fruit set of
highl& coffee increases with the
diversity of pollinating bees, Proc. R.
Soc. Lond. B 270, 955–961.
Kremen C., N. M. Williams & R.W.
Thorp. 2002. Crop pollination from
native bees at risk from agricultural
intensification, Proc. Natl Acad. Sci.
99, 16812–16816.
Maeta Y., T. Tezuka, H. Nadano, & K.
Suzuki. 1992. Utilization of the
Brazilian stingless bee, Nannotrigona
testaceicornis, as a pollinator of
strawberries, Honeybee Sci. 13, 71–
78
Mersyah, R. 2005. Disain System
Budidaya Sapi Potong Berkelanjutan
Untuk Mendukung Pelaksanaan
Otonomi Daerah di Kabupaten
Bengkulu Selatan. Disertasi Program
Doktor. Sekolah Pascasarjana IPB.
Nasution, A. S. 2009. Lebah madu untuk
penyerbukan tanaman.
http://www.wordPress.com.
Paterson, R.T., R.L Roothaert, O.Z.
Nyaata, E. Akyeampong & Hove.
1996. Experience with Calli&ra
calothyrsus as a feed for livestock in
Africa. In: D.O. Evans (ed).
Proceedings of International
Workshop in the Genus Calliandra.
Forest, Farm & Community Tree
Research Reports (Special Issue).
Winrock International, Morrilton
Arkansas USA.p 195-209.
Pemda Kalteng. 2005. Visi dan Misi
Gubernur Kalimantan Tengah.
Palangka Raya
Porter, Michael, The Competitive
Advantage of Nations, Cambridge,
1998.
Pusbahnas. 2008. Lebah Madu Cara
beternak dan Pemenfaatannya. PS.
Jakarta
Radloff, S. E., H. R. Hepburn, S. Fuchs,
G. W. Otis, S.Hadisoesilo, C.
Hepburna, & T. Ken. 2005.
Multivariate morphometric analysis
of the Apis cerana populations of
oceanic Asia. Apidologie 36: 475–492
Raffiudin, R., S. Hadisoesilo & T.
Atmowidi. 2004. Studi keragaman
Genetik dan Morfologi Lebah A.
koschevnicovi di Kalimantan Selatan.
Laporan Hibah Bersaing XII. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Richards, A. J. 2001. Does low
biodiversity resulting from modern
agricultural practice affect crop
pollination & yield? Ann. Bot.
88:165–172.
ISSN 1978 - 3000
| Analisis Model Integrasi Lebah dengan Kebun Kopi 32
Ruttner F., L. Tassencourt & J. Louveaux.
1978. Biometrical-statistical analysis
of the geographical variability of
Apis mellifera L. Apidologie 9: 363–
381.
Sihombing, D.T.H. 2005. Ilmu Ternak
Lebah Madu. Cetakan ke 2. Gajah
Maja Univrsity Press. Jogjakarta.
Slaa, E, J., L. A. Shansezchaves, K. S.
Malagodi_Baraga & F. E. Hofstede.
2006. Stingless bees in applied
pollination: practice & perspectives.
Apidologie 37: 293–315 293
Soenarno. 2003. Pengembangan Kawasan
Agropolitan Dalam Rangka
Pengembangan Wilayah, Desertasi,
Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor.
Soesilohadi R. C. H. 2008. Hubungan
Kegiatan Mencari Makan Lebah
Madu (Apis cerana Fabr.) Dengan
Jumlah Bunga Dan Nektar Kaliandra
(Calliandra Callothyrsus MEISSN.)
Thesis. ITB. Bandung.
Tilde, A. C., S. Fuchs, N. Koeniger & C.
R. Cervancia. 2000. Morphometric
diversity of A. carana Fabr. Within
the Philippines. Apidologie 31: 249-
263.
Umaly, R. C. 2003. Sustainable
development, concept, paradigms &
strategies. Training Of Trainers
Community Leadership &
Entrepreneurship For Young Agri-
Graduates Of Asean. Bogor.
Winston, M. L. 1991. The Biology of the
Honey Bee. 3rd Ed. Harvard
University Press. Cambridge
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 33
Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Indigofera Pada Tepung Gaplek Sebagai
Sumber Energi Pengganti Jagung Kuning Dalam Ransum Puyuh (Coturnix-
Coturnix Japonica) Terhadap Produksi dan Warna Kuning Telur
The Effect of Cassava Meal Supplemented by Indigofera Leaf Meal as Source of Energy to
Replace Maize of Quail Ration on Egg Production and Yolk Color
Tris Akbarillah, Kususiyah, Hidayat
Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
Jalan WR Supratman, Kandang Limun Bengkulu
Email: [email protected]
ABSTRACT
This research was conducted to evaluate cassava meal added indigofera leaf meal as replacement of maize in quail diet. Three hundred female quail (42 days old) were assigned in a completely randomized design in 6 treatments and 10 replicates. Energy feed resources were maize (M) and (or) cassava meal (C) added Indigofera leaf meal (ILM). The treatments were: T1 = 27.5% M + 0% C + 0% ILM, T2 = 27.5% M + 0% C + 10% ILM, T3 = 14% M + 13.5% C + 0% ILM, T4 = 14% M + 13.5% C + 10% ILM, T5 = 0% M + 27.5% C + 0% ILM, and T6 = 0% M + 27.5% C + 10% ILM, in each diet. Variables measured were feed consumption, egg production, egg weight, feed conversion, and yolk color. The average of egg production was significantly different (P<0.05). On the other hand, the average of egg weight and feed consumption were not significantly different. The quality of yolk as measured by Roche Yolk Color Fan were different (P<0.05) between treatment, the score were, T5 (1.56), T3 (2.97), T1 (4.58), T6 (6.82), T4 (7.44), and T2 (8.26)
Key words: Feed of energy resources, indigofera, quail
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tepung gaplek yang ditambah dengan tepung daun Indigo sebagai pengganti jagung kuning dalam pakan puyuh. Tiga ratus puyuh betina umur 42 hari dibagi secara acak menjadi 6 perlakuan, masing-masing perlakuan terdiri 10 ulangan dalam rancangan acak lengkap. Pakan sumber energi yang digunakan adalah jagung kuning giling (J) dan (atau) tepung gaplek (G) dengan atau tanpa suplementasi tepung daun indigofera (TDI). Perlakuan tersebut adalah: P1 = 27,5% J + 0% G + 0% TDI, P2 = 27,5% J + 0% G + 10% TDI, P3 = 14% J + 13,5% G + 0% TDI, P4 = 14% J + 13,5% G + 10% TDI, P5 = 0% J + 27,5% G + 0% TDI, dan P6 = 0% J + 27,5% G + 10% TDI, masing-masing dari total pakan. Variabel yang diukur adalah konsumsi pakan, produksi telur, berat telur, konversi pakan, dan warna kuning telur. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata produksi telur antar perlakuan menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Sebaliknya, rata-rata berat telur dan konversi pakan antar perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Kualitas kuning telur berdasarkan nilai Roche Yolk Colour Fan menunjukkan berbeda nyata (P<0,05), dengan nilai rata-rata , P5 (1,56) ; P3 (2,97) ; P1 (4,58) ; P6 (6,82) ; P4 (7,44) ; dan P2 (8,26)
Kata kunci: pakan sumber energi, indigofera, puyuh
PENDAHULUAN
Jagung (Zea mays) merupakan
bahan pakan sumber energi yang paling
umum digunakan untuk pakan unggas.
Hal ini dikarenakan jagung sangat
palatable dan sangat besar kandungan
energinya. Nilai energi yang dapat
dimetabolis (metabolizable energy, ME)
yang terkandung dalam jagung
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Indigofera 34
digunakan sebagai standard terhadap
bahan pakan sumber energi lain.
(Ravindran and Blair, 1991). Kandungan
nutrisi jagung giling adalah 8,9% PK,
4,0% EE, 2,2 % SK, 1,7% Abu, dan 68,6%
BETN (Hartadi et al., 1997) serta ME 3,45
kkal/g (Ravindran and Blair, 1991).
Jagung kuning mempunyai kelebihan
adanya xanthophil yang memberikan
warna kuning pada produk-produk
ternak.
Gaplek atau ubi kayu kering
(Manihot esculenta) merupakan bahan
pakan sumber energi non-tradisional.
Gaplek merupakan bahan pakan yang
rendah kandungan serat kasarnya
namun tinggi kandungan patinya. Pati
gaplek dapat dicerna baik oleh unggas,
dengan kecernaannya sekitar 99%. (Vogt,
1966 disitasi oleh Ravindran and Blair,
1991). Nilai energi metabolisnya
dilaporkan sangat tinggi, sekitar 95-106
%, dibandingkan dengan energi
metabolis yang ada pada jagung
(Ravindran and Rajaguru, 1985 disitasi
oleh Ravindran and Blair, 1991).
Kendala yang paling utama
penggunaan gaplek sebagai bahan pakan
adalah kandungan cyanogenic glucosides
yang melepaskan asam cyanida (HCN)
apabila dihidrolisa oleh glucisidase yang
didapat dari dalam jaringan akar itu
sendiri. Pencacahan yang diikuti dengan
pengeringan ubi gaplek dapat menekan
kandungan HCN sampai 85%.
Penggunaan tepung gaplek untuk pakan
unggas dapat digunakan sampai batas
10-20%. Beberapa faktor yang membatasi
penggunaan tepung gaplek selain
kandungan HCN adalah kandungan
protein yang rendah (tidak lebih dari
3%), feed intake menjadi rendah karena
bersifat bulky dan berdebu (tepung) dan
tidak mengandung pigmen. Untuk dapat
digunakan sebagai pakan seperti halnya
jagung (menggantikannya), maka perlu
langkah-langkah yaitu: suplementasi
methionin, menyeimbangkan
kandungan protein, pembentukan pellet,
dan penambahan pigment (Ravindran
and Blair, 1991).
Tepung gaplek telah dicoba
untuk menggantikan jagung tanpa
suplementasi apapun untuk burung
puyuh dengan aras 0%, 25%, 50%, 75%,
dan 100% yang hasil produksi telur
hariannya berturut-turut adalah 84,14%,
81,35%, 76,47%, 70,14%, dan 62,00%
(Astuti, 1994).
Daun legum Indigofera seperti
legum yang lainnya mengandung
protein yang tinggi dan juga merupakan
sumber -caroten .dan xantophyl.
Tepung daun legum seperti lamtoro
(Leucaena leucocephala), glirisida
(Glirisidae sepium) dan kacang gude
(Cajanus cajan) yang diberikan pada
ayam dengan dosis yang meningkat
ternyata mempengaruhi Score Roche Yolk
Colour Fan (angka penunjuk pigmentasi
pada yolk) pada telur-telur yang
dihasilkan. Score Roche Yolk Colour Fan
telur semakin meningkat pada
penggunaan tepung daun leguminosa
yang meningkat (D’Mello,1995). Tepung
daun lamtoro yang digunakan sebagai
suplemen mencapai 15%, tepung daun
kacang merpati digunakan 10% dan
tepung daun Glirisida sebesar 7,5%.
Penggunaan tepung daun indigofera
dengan aras 0%, 2,5%, 5%, 7,5%, dan 10%
dalam ransum puyuh telah
meningkatkan rata-rata skala warna
kuning telur secara nyata berdasarkan
Score Roche Yolk Colour Fan berturut turut
adalah 6,35; 7,15; 7,73; 7,90; dan 8,31,
sedangkan produksi telur kumulatif
tidak menunjukkan perbedaan
(Akbarillah et al., 2008).
Kebutuhan nutrisi puyuh
(Coturnix coturnix japonica) fase starter
sampai grower ialah Protein Kasar (PK)
24%, energi metabolik (ME) sebesar 2900
kkal/kg pakan, lemak 1,8 %, Puyuh pada
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 35
masa bertelur membutuhkan nutrisi
seperti Protein kasar sebesar 20% dan
energi metabolik (ME) sebesar 2900
kkal/kg pakan, lemak 1% (NRC, 1994).
Konsumsi pakan ialah jumlah
pakan yang diberikan dikurangi dengan
sisa pakannya. Konsumsi pakan dapat
ditampilkan dalam satuan waktu hari,
minggu, bulan . Setiap jenis ternak
mengkonsumsi pakan dalam jumlah
yang tidak sama. Konsumsi pakan
puyuh dipengaruhi oleh berbagai faktor
antara lain umur dan kondisi fisiologis
seperti pertumbuhan, reproduksi dan
produksi. Berdasarkan hal ini beberapa
ahli nutrisi membagi kebutuhan pakan
berdasarkan umur, fase pertumbuhan,
reproduksi dan produksi (Tillman et
al..,1991). Konsumsi pakan puyuh umur
7-10 minggu ialah 127-143 gram (Sabela,
2002).
Produksi telur sangat
dipengaruhi oleh fase produksi. Pada
awal fase produksi jumlah telur yang
dihasilkan masih rendah, kemudian
sejalan dengan waktu, produksi telur
meningkat dan sampai ke puncak
produksi dan akhirnya menurun. Puyuh
(Coturnix coturnix japonica) mampu
menghasilkan telur 250-300
butir/ekor/tahun. Puyuh betina mulai
bertelur pertama kali pada umur 35 hari.
(Listiyowati dan Roospitasari, 2000).
Produksi telur pada puyuh umur 7-10
minggu ialah rata-rata 5 butir/minggu
atau 20 butir/bulan dan berat telur
puyuh pada umur 7-10 minggu berkisar
8,83-10,04 gram/butir (Sabela, 2002).
Kebutuhan nutrisi puyuh
(Coturnix coturnix japonica) fase starter
sampai grower ialah PK sebesar 24% dan
ME sebesar 2900 kkal/kg, dan puyuh
pada masa bertelur membutuhkan
nutrisi PK sebesar 20% dan ME sebesar
2900 kkal/kg pakan (NRC, 1994).
Pigmentasi kuning telur
ditunjukkan dengan score warna kuning
telur. Tepung daun legum merupakan
sumber xantophyl, beta caroten dan
carophyl kuning yang berfungsi dalam
pigmentasi kuning telur. Tepung daun
legum seperti lamtoro (Leucaena
leucocephala, glirisida (Glirisidae sepium)
dan kacang gude (Cajanus cajan) yang
diberikan pada ayam dengan dosis
meningkat ternyata menaikkan Roche Fan
Score (angka penunjuk pigmentasi)
kuning telur (Yolk) pada telur-telur yang
dihasilkan (D’Mello,1995). Penggunaan
tepung daun lamtoro sampai dengan
15% dapat menaikkan RFS (Rooche Fan
Score) sampai dengan 12,2, tepung daun
kacang gude (Cajanus cajan) 10%
menaikkan SFC menjadfi 8. Penggunaan
tepung daun Indigofera diharapkan
dapat menaikkan SFC
MATERI DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di
kandang Laboratorium Jurusan
Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu. Rancangan
percobaan yang digunakan ialah
Rancangan Acak Lengkap (RAL)
berdasarkan Gomez & Gomez (1983).
Tiga ratus ekor puyuh betina umur 35
hari dibagi secara acak ke dalam 6
perlakuan, masing-masing perlakuan
terdiri dari 10 ulangan, masing-masing
ulangan (unit percobaan) terdiri dari 5
ekor puyuh. Perlakuan pakan yang
digunakan adalah bahan pakan sumber
energi jagung kuning (J) dan atau gaplek
(G) dengan atau tanpa suplementasi
tepung daun Indigofera (TDI). Perlakuan
tersebut adalah: P1 = 27,5% J + 0% G + 0%
TDI, P2 = 27,5% J + 0% G + 10% TDI, P3 =
14% J + 13,5% G + 0% TDI, P4 = 14% J +
13,5% G + 10% TDI, P5 = 0% J + 27,5% G +
0% TDI, dan P6 = 0% J + 27,5% G + 10%
TDI, masing-masing dari total pakan.
Susunan bahan pakan untuk masing-
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Indigofera 36
masing ransum perlakuan secara
lengkap tersaji dalam Tabel 2.
Tiga ratus ekor puyuh betina
umur 42 hari diperoleh dengan cara
penetasan dari sekitar 900 butir telur
tetas dengan asumsi sex rasio 50%:50%,
daya tetas 67%, dan mortalitas 15%.
Puyuh tersebut pada saat umur 1-42 hari
mendapatkan diet dengan kandungan
PK 24% dan ME 2900 kkal/kg (NRC,
1994).
Ransum/pakan
Tepung Indigofera diperoleh
dengan cara membuatnya yaitu panen
yang dilanjutkan dengan pengeringan
secara kering udara dan menggilingnya
dengan grinder. Kemudian tepung daun
Indigofera yang dihasilkan dimasukkan
kekantung agar tidak terjadi kerusakan.
Gaplek dibeli dari pasar, kemudian
digiling dan dikemas sebelum
digunakan. Bahan pakan yang lain
adalah jagung giling. dedak, minyak
sayur, sumber mineral, suplemen Top
Mix. Komposisi kimia dari beberapa
bahan pakan yang digunakan tersaji
dalam Tabel 1.
Bahan pakan tersebut
diformulasikan untuk mendapatkan
susunan ransum dengan kandungan PK
sebesar 20% dan ME sebesar 2900
kkal.kg (NRC, 1994). Formulasi ransum
tersebut menggunakan perangkat lunak
LINDO, dengan hasil seperti tarcantum
dalam Tabel 2.
Pakan diberikan secara ad libitum.
Pakan dan sisa pakan ditimbang setiap
hari. Air minum yang diberikan dan
sisanya juga ditimbang (g).
Setiap hari dilakukan
pengamatan suhu kandang (oC) dan
kelembaban kandang (%). Pengukuran
dilakukan pagi, siang dan sore hari.
Masing-masing menggunakan
termometer dan higrometer.
Penghitungan produksi telur
setiap hari, yang diamati setiap petak
Tabel 1. Kandungan nutrisi beberapa bahan pakan yang digunakan
Bahan Pakan PK (%) EE %) SK (%) ME (kkal/kg)
Jagung kuning gilinga 8,5 4,0 2,2 3500
Tepung Gaplek a 2,0 0,7 3,7 3500
Dedak a 11,0 3,7 11,6 1630
Konsentrat petelur komersial b 33,0 7,9 2,6 2900
Tepung daun indigofera c 27,0 9,96 19,94 1600
Sumber: a. Hartadi et al (1997)
b. Label Konsentrat Komersial
c. Hasil Analisis Laboratorium
1
Tabel 2. Susunan bahan pakan untuk masing-masing perlakuan
Bahan Bakan P1 P2 P3 P4 P5 P6
Jagung kuning giling 27,5 27,5 14 14 0 0
Dedak 27,5 25 23,5 20 18,5 16
Konsentrat petelur komersial 45 37,5 48,5 42 53 45,5
Tepung gaplek 0 0 13,5 13,5 27,5 27,5
Tepung daun Indigofera 0 10 0 10 0 10
Top Mix 0,5 0,5 1 1
Total 100 100 100 100 100 100
Protein 20,2125 20,1625 20,05 20,22 20,075 20,025
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 37
(unit pecobaan). Produksi telur dalam
kurun waktu 24 jam (satu hari) dihitung
pada pukul 09.00 pagi. Berat telur
ditimbang setiap minggu yang diikuti
dengan pengamatan warna yolk
berdasarkan nilai yang ada dalam Roche
Yolk Colour Fan
Puyuh dipilih yang sehat. Namun
demikian untuk mengantisipasi
serangan penyakit disediakan obat-
obatan dan Vitamin.
Variabel utama yang diamati
meliputi konsumsi pakan, konsumsi air
minum, konsumsi protein kasar,
konsumsi energi, waktu bertelur
pertama, produksi telur, berat telur dan
warna yolk. Variabel pendukung yaitu
suhu lingkungan kandang dan
kelembabannya.
Variabel konsumsi pakan ialah
jumlah pakan yang disediakan dikurangi
dengan jumlah pakan yang tersisa.
Konsumsi protein ialah protein tersedia
dalam ransum dikurangi dengan protein
tersisa didalam sisa pakan. Konsumsi
energi dihitung dengan mengurangi
jumlah energi yang tersedia dalam pakan
dikurangi energi yang tersisa dalam sisa
pakan. Waktu bertelur pertama yaitu,
waktu pertama puyuh bertelur (waktu
dan jumlah ternak yang bertelur
pertama). Produksi telur dihitung jumlah
telur selama 6 minggu pertama. Variabel
berat telur yang dihasilkan didapatkan
dengan menimbang, sedangkan warna
yolk (kuning telur) menggunakan Roche
Yolk Colour Fan
Data yang diperoleh dianalisis
variansi dengan menggunakan
perangkat lunak Systat for Windows dan
apabila terdapat perbedaan dilakukan uji
lanjut dengan Duncan Multiple Range Test
(DMRT) (Gomez and Gomez ,1983)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Seperti dikemukakan dalam
materi metoda, setiap satu flok (unit
percobaan) terdiri dari 5 ekor burung
puyuh betina dengan lama pengamatan
6 minggu. Data disajikan dalam nilai
rata-rata per unit percobaan atau
dikonversikan menjadi per ekor atau per
butir. Hasil penelitian ini meliputi berat
puyuh sebelum penelitian, produksi
telur, konsumsi pakan, efisiensi pakan
dan warna yolk dapat dilihat pada Tabel
3.
Berat burung puyuh.
Materi penelitian ini
menggunakan 300 ekor burung puyuh
yang terbagi secara acak menjadi 6
perlakuan dan 10 ulangan. Rata-rata
berat burung puyuh per unit percobaan
sesaat sebelum penelitian dimulai
menunjukkan tidak berbeda nyata
(P>0,05) dengan kisaran berat antara
636,40–678,00 g. Hal ini menunjukkan
bahwa materi penelitian yang
dipersiapkan mempunyai berat awal
yang tidak berbeda.
Tabel 3. Rata-rata hasil penelitian selama 6 minggu pengamatan
Variabel P1 P2 P3 P4 P5 P6 SE Ket
Berat puyuh (g/ 5ekor) 636,40 665,50 678,00 669,70 636,60 665,90 15,52 ns
Produksi telur (butir/5 ek/6 mgg) 151,00a 150,00a 172,10b 145,10a 158,50ab 139,80ac 5,84 *
Berat telur total (g/6 minggu) 1558,21a 1571,25a 1740,68ab 1480,15ac 1601,63ab 1392,25ac 69,42 *
Berat telur (g/butir) 10,23 10,44 10,15 10,20 10,10 9,96 0,20 ns
Konsumsi Pakan Total (g/5 ek/6 mgg) 5557,53 5587,55 5736,41 5670,98 5608,47 5557,34 81,81 ns
Konsumsi Pakan (g/ekor/hari) 26,46 27,32 27,32 27,01 26,72 26,46 0,39 ns
Konversi pakan 3,66a 3,60a 3,32ab 3,87acde 3,55abde 4,05cde 0,14 *
Efisiensi Pakan 0,28e 0,28e 0,30de 0,26ce 0,29bcde 0,25ac 0,01 *
Warna Yolk/e 4,58f 8,26e 2,97d 7,44c 1,56b 6,82a 0,08 * Keterangan
Ns: tidak ada perbedaan yang nyata (P>0,05) pada antar perlakuan
* : ada perbedaan yang nyata (P<0,05) pada antar perlakuan, subscript yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Indigofera 38
Produksi telur puyuh
Penelitian ini menggunakan
burung puyuh betina umur 42 hari yang
kemudian diberi perlakuan pada umur
49 hari. Pada umur ini (awal penelitian)
burung puyuh sudah mulai bertelur,
walau masih dalam tahap belajar. Selama
6 minggu penelitian tercatat bahwa rata-
rata jumlah telur burung puyuh per unit
pecobaan dari P3 (172,1 butir) nyata lebih
tinggi (P<0,05) dari perlakuan lainnya.
Produksi telur untuk perlakuan kontrol
(P1) sebesar 151,8 butir menunjukkan
tidak berbeda nyata dengan perlakuan
P2 (150,0 butir), P4 (145,1 butir) P5 (158,5
butir), dan P6 (139,8 butir).
Artinya, dari semua perlakuan
(kecuali P3) dapat memberikan tampilan
seperti pakan kontrol. Penggunaan
tepung indigofera untuk setiap level
penggunaan jagung dan casava, terlihat
bahwa pada penambahan indigofera
sebanyak 10% pada level penggunaan
jagung 100% menunjukkan tidak
berbeda, sesuai dengan apa yang
dilaporkan oleh Akbarillah et al (2002).
Sementara Astuti (1994) melaporkan
bahwa penggunaan tepung gaplek untuk
menggantikan jagung sampai 50% dan
100% tanpa suplementasi menurunkan
produksi dari 84,14% menjadi 76,47%,
dan 62,00%. Dengan demikian,
penggunaan tepung gaplek sebagai
sumber energi dapat dilakukan dengan
penambahan methionin. Penambahan
indigofera sebagai sumber protein dan
carotinoid menunjukkan penurunan
yang nyata (P<0,05) baik pada
penggunaan tepung gaplek sebanyak
50% maupun 100%. Produksi telur
diukur dari total berat telur yang
dihasilkan selama penelitian (6 minggu)
mirip seperti produksi telur dalam butir,
hanya perlakuan P3 yang nyata lebih
tinggi dari perlakuan lainnya dalam
butir, hanya menunujukkan perbedaan
dengan perlakuan P4 dan P6. Namun,
rata-rata berat telur per butir yang
dihasilkan dari populasi burung puyuh
yang digunakan menunjukkan tidak
berbeda nyata (P>0,05) untuk setiap
perlakuan.
Konsumsi pakan
Konsumsi pakan, baik yang
diukur konsumsi total selama penelitian
atau yang telah dikonversikan menjadi
konsumsi per ekor per hari tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata
(P>0,05) dengan kisaran 5557,34 g –
5736,41 g per flok selama 6 minggu
percobaan atau setara 26,46 – 27,32
g/ekor/hari. Rata-rata konsumsi pakan
per ekor per hari terlihat jumlah
konsumsi harian yang relatif tinggi
dibandingkan dengan yang disampaikan
oleh Sabela (2002) yaitu 20,43
g/ekor/hari. Konsumsi pakan yang relatif
tinggi ini mungkin disebabkan
kandungan energi dalam pakan yang
relatif rendah.
Konversi dan Efisiensi Pakan
Konversi pakan dan efisiensi
pakan sering digunakan untuk pedoman
kasar dalam perhitungan ekonomis
usaha peternakan. Konversi pakan
merupakan gambaran jumlah pakan
yang dibutuhkan (dihabiskan) untuk
menghasilkan 1 unit (kg) produk ternak
(misalnya telur), atau efisiensi pakan
untuk mencerminkan berapa banyak
produk ternak yang dihasilkan dari 1 kg
pakan. Sehingga konversi pakan dan
efisiensi pakan adalah dua hal yang
sama yang diekspresikan dengan cara
yang berbeda. Percobaan menunjukkan
bahwa konversi pakan diantara 6
perlakuan, perlakuan kontrol (P1)
menunjukkan hasil yang tidak berbeda
nyata dengan perlakuan lainnya, kecuali
dengan P6 (P<0,05) yang menggunakan
100% tepung gaplek dan 10% tepung
daun indigofera. Membandingkan
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 39
masing-masing perlakuan dengan level
sumber energi tepung gaplek 50% dan
100% tanpa tepung daun indigofera
dengan suplementasi tepung daun
indigofera menunjukkan perbedaan
yang nyata. Pada P3 (tepung gaplek
50%) menunjukkan konversi pakan
sebesar 3,32 yang secara nyata lebih
rendah dibandingkan P4 (tepung gaplek
50% + tepung daun indigofera 10%)
sebesar 3,87. Demikian juga P5 (tepung
gaplek 100%) menunjukkan konversi
pakan sebesar 3,55 yang secara nyata
lebih rendah dibandingkan P6 (tepung
gaplek 100% + tepung daun indigofera
10%) sebesar 4,05. Dengan demikian,
dapat diduga bahwa penggunaan
tepung daun indigofera sampai batas
10% untuk suplementasi protein dan
carotenoid mengarah pada kenaikan
konversi pakan atau penurunan efisiensi
pakan. Fenomena ini mungkin
dikarenakan tepung daun indigofera
mengandung sejumlah serat dan jumlah
serat dalam pakan secara akumulatif
manakala tepung daun indigofera
tersebut ditambahkan kedalam pakan
yang menggunakan tepung gaplek
sebagai bahan penyusunnya.
Warna Yolk (Kuning Telur)
Warna kuning telur biasanya
memberikan pengaruh terhadap
tampilan sehingga konsumen yang
memperhatikan tampilan telur akan
cenderung memilih telur yang warna
kuning telurnya tidak pucat. Untuk
mengukur tingkat kekuningan yolk
digunakan pembanding warna kuning
telur, yaitu Score Roche Yolk Colour Fan
(angka penunjuk pigmentasi pada yolk).
Rata-rata warna kuning telur ternyata
berbeda nyata (P<0,05) untuk setiap
antar perlakuan. Data menunjukkan
bahwa nilai terendah ke nilai yang
tinggi, berturut-turut adalah P5 (1,57), P3
(2,97), P1 (4,58), P6 (6,82), P4 (7,44), dan
P2 (8,26) (Gambar 1). Hasil ini sangat
jelas sekali bahwa tepung daun
indigofera memberikan kontribusi
pewarnaan kuning telur yang sangat
baik. Dari keenam perlakuan yang ada,
kontribusi pewarnaan kuning telur
sebagian besar berasal dari jagung
kuning dan tepung daun indigofera.
Superioritas tepung daun indigofera
dalam pewarnaan kuning telur
ditunjukkan dengan pemakaian sampai
batas 10% dari total pakan (P6)
menghasilkan nilai yang lebih tinggi di
bandingkan pakan kontrol yang
menggunakan jagung kuning (P1).
Sehingga akumulasi pemakaian tepung
daun indigofera dan jagung kuning akan
mengarah pada peningkatan nilai warna
kuning telur.
SIMPULAN
Hasil penelitian ini dapat
disimpulkan bahwa penggunaan tepung
Gambar 1. Warna kuning telur Gambar 2. Roche Yolk Color Fan
untuk masing-masing perlakuan
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Suplementasi Tepung Daun Indigofera 40
gaplek sebagai sumber energi pengganti
jagung dapat dilakukan dengan
penambahan atau koreksi pada
kandungan protein dan methionin yang
rendah. Sementara tepung daun
indigofera mempunyai superioritas
dalam kontribusi pewarnaan kuning
telur. Namun, sebagai bahan pakan yang
berasal dari hijauan yang kandungan
seratnya cukup tinggi, penggunaan
sampai batas 10% pada bahan pakan
yang mengandung tepung gaplek yang
juga mengandung serat yang tinggi
berdampak pada penurunan produksi
dan peningkatan konversi pakan.
DAFTAR PUSTAKA
Akbarillah, T., Kususiyah, D.
Kaharuddin, dan Hidayat. 2008.
Tepung Daun Indigofera Sebagai
Suplementasi Pakan Terhadap
Produksi dan Warna Yolk Puyuh
(Coturnix coturnix japonica). Jurnal
Sain Peternakan Indonesia. Vol. 3
No. 1.
Astuti. 1994. Pemanfaatan Tepung Ketela
Pohon Dalam Ransum Burung
Puyuh (Coturnix coturnix japonica).
Jurnal Kependidikan. No. 3. Tahun
XXIV.
D’Mello. J.P.F., 1995. Leguminous leaf
meals in non ruminant nutrition.
In: J.P.F D’Mello. and C. Devendra
(eds.): Tropical Legumes in Animal
Nutrition. CAB International. UK
Gomez K.A. and A.A.Gomez. 1983.
Statistical Procedures for
Agricultural Research. 2nd Edition
John Wiley & Sons. New York.
Hartadi, H., S. Reksohadiprodjo, and
A.D. Tillman. 1997. Tabel
Komposisi Pakan Untuk Indonesia.
4th Edition. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta
Listiyowati, E dan K. Roospitasari. 2000.
Puyuh . Tatalaksana Budidaya
Secara Komersial. Penebar
Swadaya. Cetakan ke 11. Jakarta.
NRC. 1994 Nutrient Requirements of
Poultry. 9th Revised Edition.
National Academy Prees.
Washington, D.C.
Ravindran, V. And R. Blair. 1991. Feed
resources for poultry production in
Asia and the Pacific region. I.
Energy sources. World’s Poultry
Science Journal, Vol 47, pp 213-231
Sabela, R. 2002. Pengaruh Pemberian
Tepung Ampas Tahu Dalam Pakan
Terhadap Produktifitas Puyuh
(Coturnix coturnix japonica) Pada
Tiga Bulan Awal Produksi. Skripsi.
Jurusan Peternakan Universitas
Bengkulu.
Tillman, A.D., H. Hartadi, S.
Reksohadiprodjo, S.
Prawirokusumo, S. Lebdosoekojo.
Ilmu Makanan Ternak Dasar.
Yogyakarta. Gadjah Mada
University Press. 1991
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 41
Penggunaan Ekstrak Saropus androgynus untuk Meningkatkan Efisiensi
Produksi dan Mutu Telur pada Peternakan Ayam Arab Petelur
Usage of Sauropus androgynus Extract to Increase of Egg Production and Quality Efficiency
on Arab Chicken Layers
Urip Santoso dan Suharyanto
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu
Jalan Raya W.R. Supratman, Bengkulu
Telpon (0736) 21170, eks. 219; e-mail: [email protected]
ABSTRACT
The purpose of this study was to evaluate the effect of Sauropus androgynus extract (SAE) on production、egg
quality and cholesterol content in Arab chickens. Three level of extract supplementation was evaluated. One
group of layers was fed diet without SAE (control), other groups were fed diet with 4.5 g SAE/kg diet or 9 g
SAE/kg diet. Each group contained 8 birds which was kept in individual cage. Experimental results showed
that the SAE supplementation increased egg production. Yolk colour was increased in layer fed SAE. Egg
cholesterol content tended to be increased by SAE supplementation. In conclusion, SAE supplementation
improved egg production and quality.
Key words: Sauropus androgynus, egg production, egg quality, cholesterol
ABSTRAK
Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh suplementasi ekstrak daun katuk (EDK) untuk
meningkatkan produksi dan mutu telur. Dua puluh empat ayam Arab didistrbusikan ke dalam 3 perlakuan.
Satu kelompok tidak diberi EDK (kontrol), sedangkan kelompok lainna diberi 4,5 g EDK/kg pakan atau 9 g
EDK/kg pakan. Setiap kelompok terdiri atas 8 ekor ayam Arab petelur yang dipelihara dalam kandang kawat
individu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ayam petelur yang diberi ekstrak daun katuk (4,5 g maupun 9
g/kg pakan) meningkatkan produksi telur. Warna kuning telur juga meningkat, dimana untuk kontrol
nilainya 4,38, untuk yang diberi 4,5 g ekstrak 4,75 dan yang diberi 9 g ekstrak 5,75. Sementara variabel
kualitas telur lain seperti tebal kerabang, indeks kuning telur, indeks putih telur dan HU tidak banyak
perubahan. Hasil analisis kolesterol menunjukkan bahwa pemberian EDK cenderung menurunkan kadar
kolesterol telur. Dapat disimpulkan bahwa suplementasi EDK memperbaiki produksi dan mutu telur.
Kata kunci: Katuk, mutu telur, produksi telur, kolesterol
PENDAHULUAN
Upaya peningkatan mutu sumber
daya manusia untuk menghadapi era
globalisasi tidak lepas dari upaya
peningkatan gizi masyarakat. Untuk
memenuhi target tersebut, diperlukan
peningkatan produksi protein hewani
seperti telur. Produksi telur di Propinsi
Bengkulu khususnya masih sangat
kurang jika dibandingkan dengan
kebutuhan masyarakat. Pemenuhan
kebutuhan telur di Propinsi Bengkulu
sangat strategis bagi peningkatan gizi
masyarakat. Hal ini dikarenakan harga
telur lebih murah jika dibandingkan
dengan produk ternak lainnya seperti
daging dan susu.
Untuk memenuhi kebutuhan
akan telur, maka peternakan ayam
ISSN 1978 - 3000
| Penggunaan Ekstrak Katuk pada Ayam Arab Petelur 42
petelur di Propinsi Bengkulu harus
ditingkatkan. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa peternakan ayam
petelur di Bengkulu dalam kondisi yang
tidak menguntungkan, karena biaya
produksi yang tidak sebanding dengan
harga telur. Salah satu sebab utama
tingginya biaya produksi adalah
tingginya harga pakan. Harga pakan
yang tinggi ini menjadi masalah utama
karena pada ayam petelur biaya pakan
menempati 60-80% dari biaya produksi.
Masalah lainnya yang tidak dapat
diabaikan adalah rendahnya efisiensi
produksi, produksi telur dan tingginya
angka kematian.
Disisi lain, konsumen dewasa ini
sudah mulai memperhatikan mutu telur
yang dikonsumsinya. Ada
kecenderungan bahwa konsumen lebih
suka mengkonsumsi telur rendah
kolesterol, bebas residu obat, bebas
mikrobia patogen dan bergizi tinggi.
Rasa, warna dan bau telur juga
merupakan kriteria yang tidak dapat
diabaikan. Kecenderungan ini sangat
beralasan, mengingat tingginya kadar
kolesterol dalam telur dan kontaminasi
mikrobia patogen akan sangat
berpengaruh terhadap kesehatan
manusia yang mengkonsumsinya. Selain
itu, dalam kaitannya dengan lingkungan
sekitar, maka peternakan ayam petelur
dituntut untuk mengurangi polusi udara
sebagai akibat tingginya produksi feses
dan gas-gas seperti amoniak.
Untuk memenuhi semua
tuntutan tersebut di atas, diperlukan
aplikasi teknologi tepat guna, murah,
mudah dan efisien. Penggunaan daun
katuk pada ayam petelur telah terbukti
mampu menurunkan kadar kolesterol
telur sebesar 40% (Santoso et al., 2005)
dan meningkatkan efisiensi produksi
sebanyak 20%. Santoso et al. (2002)
menemukan bahwa pemberian ekstrak
katuk sebanyak 9 g/kg pakan mampu
meningkatkan mutu telur seperti
meningkatkan HU, tebal kerabang dan
warna kuning telur, menurunkan
kontaminasi mikrobia patogen seperti
Escherichia coli, Salmonella sp. dan
Staphylococcus sp. Selanjutnya dinyatakan
bahwa suplementasi ekstrak daun katuk
menurunkan produksi feses dan kadar
nitrogen feses. Ini berarti bahwa ekstrak
daun katuk berpotensi untuk
menurunkan polusi udara. Hasil
penelitian Subekti (2003) pada ayam
kampung juga menunjukan bahwa
pemberian tepung daun katuk
meningkatkan mutu telur, kadar -
karotin telur serta menurunkan kadar
kolesterol telur. Selanjutnya Santoso et al.
(2003) menemukan bahwa pemberian
partisi alkaloid dari daun katuk
sebanyak 30 mg/kg pakan mampu
menurunkan kadar kolesterol telur
sebesar 26%, meningkatkan mutu telur
serta meningkatkan efisiensi produksi
pada ayam petelur. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, maka logislah jika
daun katuk dan ekstraknya sangat baik
untuk meningkatkan efisiensi produksi
dan mutu telur, menurunkan kadar
kolesterol. Berdasarkan uraian di atas,
maka tujuan penelitiaan ini adalah untuk
mengevaluasi pengaruh suplementasi
ekstrak daun katuk terhadap produksi
dan mutu telur serta kadar kolesterolnya
pada ayam Arab petelur.
MATERI DAN METODE
Daun katuk diekstraksi menurut
metode Santoso et al. (2002), yang
kemudian disimpan dalam kulkas
dengan suhu 4oC sebelum digunakan.
Sebanyak 24 ekor ayam Arab petelur
dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan.
Satu kelompok diberi pakan tanpa
penambahan ekstrak katuk sebagai
kontrol, dan dua kelompok perlakuan
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 43
lainnya diberikan pakan yang
ditambahkan ekstrak katuk sebanyak 4,5
g/kg atau 9 g/kg pakan. Masing-masing
kelompok perlakuan terdiri dari 8 ekor
ayam yang dipelihara dalam kandang
kawat individu. Adapun susunan
ransum penelitian tertera pada Tabel 1.
Ayam Arab dipelihara selama 28
hari menurut standard pemeliharaan
yang berlaku. Konsumsi pakan diberikan
sebanyak 90 g/ekor/hari, sementara air
minum diberikan ad libitum. Berat telur
dikoleksi setiap hari dan kemudian
ditimbang. Produksi telur, konsumsi
pakan dan konversi pakan dihitung pada
akhir penelitian. Pada akhir penelitian, 4
butir telur untuk setiap kelompok
perlakuan dikoleksi, dan kemudian
dianallisis kadar kolesterol pada kuning
telur. Kadar kolesterol diukur dengan
menggunakan metode Liebermann-
Burchad yang dimodifikasi oleh Fenita
(2002). Untuk mengukur mutu telur
maka 4 butir telur untuk setiap
perlakuan dikoleksi pula. Variabel yang
diukur untuk mutu telur adalah berat
telur, HU, warna kuning telur, tebal
kerabang, indeks kuning telur dan tinggi
albumen. Data yang diperoleh dianalisis
secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian selama 28 hari
menunjukkan bahwa produksi telur
pada kontrol 14 butir, kelompok 4,5 g
sebanyak 19 butir dan kelompok 9 g/kg
pakan sebanyak 18 butir (Tabel 2). Dari
hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
ayam petelur yang diberi EDK
sebanyak4,5 g menghasilkan telur lebih
banyak dari kontrol sebanyak 36,4% dan
pada kelompok 9 g/kg pakan sebanyak
31,8%. Konversi pakan juga lebih baik
pada kelompok ayam petelur yang diberi
EDK. Konversi pakan adalah sebesar
4,08, 3,03 dan 3,18 untuk kelompok
kontrol, 4,5 g EDK dan 9 g EDK. Hasil
penelitian ini sesuai dengan hasil
penelitian Santoso et al. (2005). Putranto
et al. (2010) menemukan bahwa
suplementasi ekstrak daun katuk
meningkatkan konsentrasi hormon
1 Tabel 1. Susunan ransum untuk penelitian (g/kg pakan) 2 3 Bahan pakan 0 g EDK 4,5 g EDK 9 g EDK
Jagung kuning
Bungkil kedelai
Dedak
Tepung ikan
Minyak
Kalsium karbonat
Ekstrak katuk
Mineral mix
Premix
Jumlah
510
140
200
70
10
35
0
30
5
1.000
501
140
204,5
70
10
35
4,5
30
5
1.000
501
140
200
70
10
35
9
30
5
1.000
EDK = ekstrak daun katuk 4 5 1 Tabel 2. Pengaruh ekstrak daun katuk terhadap performans 2 3 Variabel 0 g EDK 4,5 g EDK 9 g EDK
Produksi telur (butir/ekor) 14 19 18
Produksi telur (%) 50 67,9 64,3
Produksi telur (g/ekor) 617,4 830,6 792,1
Konsumsi pakan (gram) 2520 2520 2520
Konversi pakan 4,08 3,03 3,18
EDK= ekstrak daun katuk 4
ISSN 1978 - 3000
| Penggunaan Ekstrak Katuk pada Ayam Arab Petelur 44
estradiol-17β (E2) dalam serum pada
ayam Burgo. Suprayogi (2000) dan
Suprayogi et al. (2001) menemukan
bahwa daun katuk mengandung
androstan-17-one,3-ethyl-3-hydroxy-5 alpha,
yang dapat dikonversikan menjadi
estradiol. Sementara Santoso et al (2005)
menyebutkan bahwa daun katuk kaya
akan asam benzoate dimana asam
tersebut dapat dikonversikan menjadi
estradiol benzoat yang mempunyai
peranan memperbaiki performans alat
reproduksi. Subekti et al. (2006)
menemukan bahwa turunnya kadar
kolesterol pada telur puyuh disebabkan
antara lain oleh fitosterol yang banyak
terdapat dalam daun katuk. Suprayogi et
al. (2007) menyatakan bahwa 3,4-
dimethyl-2-oxocyclopent-3-enylacetic acid
yang banyak terdapat dalam daun katuk
dapat dihidrolisis menjadi asetat dan
berperan dalam siklus asam sitra untuk
menghasilkan ATP. Ini dapat
menjelaskan tentang fenomena
membaiknya konversi pakan pada ayam
Arab petelur yang disuplementasi
ekstrak daun katuk.
Warna kuning telur juga
meningkat, dimana untuk kontrol
nilainya 4,38, untuk yang diberi 4,5 g
ekstrak 4,75 dan yang diberi 9 g ekstrak
5,75 (Tabel 3). Sementara variabel
kualitas telur lain seperti tebal kerabang,
indeks kuning telur, indeks putih telur
dan HU tidak banyak perubahan. Hasil
penelitian ini sesuai dengan hasil
penelitian Santoso et al. (2002, 2003, 2005)
yang menemukan bahwa pemberian
ekstrak daun katuk meningkatkan warna
kuning telur (Subekti, 2003).
Meningkatnya warna kuning telur
disebabkan oleh karena daun katuk dan
ekstraknya kaya akan β-karotin (Subekti,
2003).
Hasil analisis kolesterol
menunjukkan bahwa pemberian EDK
cenderung menurunkan kadar kolesterol
telur (Tabel 4). Ayam petelur yang diberi
EDK 4,5 g/kg pakan mempunyai kadar
kolesterol telur lebih rendah sebanyak
8,4% jika dibandingkan dengan kontrol.
Sementara ayam petelur yang diberi
EDK 9 g/kg pakan mempunyai kadar
kolesterol telur lebih rendah sebanyak
9,4% jika dibandingkan dengan kontrol.
Analisis kolesterol ini dilakukan pada 15
hari perlakuan. Oleh karena itu
diprediksi bahwa kadar kolesterol telur
akan lebih menurun jika EDK diberikan
dalam jangka waktu yang lebih lama.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil
penelitian Santoso et al. (2002, 2003, 2005,
2010; Subekti, 2003) yang menemukan
bahwa pemberian ekstrak daun katuk
menurunkan kadar kolesterol dalam
telur. Senyawa aktif yang berperan
dalam daun katuk telah ditemukan oleh
Agusta et al. (1997) dan Suprayogi (2000).
Santoso et al. (2003) menemukan bahwa
baik partisi non-alkaloid maupun
alkaloid dari daun katuk cukup efektif
dalam menurunkan kadar kolesterol
telur. Ini berarti bahwa senyawa aktif
yang berperan dalam penurunan
kolesterol telur lebih dari satu senyawa
aktif.
Ada kelemahan bahwa ayam
petelur yang diberi EDK cenderung
mempunyai putih telur yang kurang
kental. Hal ini ditandai oleh lebih
rendahnya indeks putih telur pada ayam
Arab yang diberi pakan yang
disuplementasi dengan 4,5 g EDK (Tabel
3). Akan tetapi ada kelebihannya yaitu
kuning telurnya mudah dipisahkan,
yang berarti mempunyai indikasi bahwa
kuning telurnya lebih banyak
mengandung asam lemak tak jenuh
rantai panjang (PUFA). Santoso et al.
(2010) menemukan bahwa suplementasi
ekstrak daun katuk meningkatkan kadar
asam linoleat, asam arakhidonat, EPA
dan DHA. Encernya putih telur menurut
Millis (Komunikasi pribadi, 2009) dapat
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 45
diatasi dengan mengkombinasikan EDK
dengan daun kayu manis, sebab ia telah
membuktikan bahwa pemberian daun
kayu manis dapat memperkental putih
telur.
SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pemberian ekstrak daun katuk
meningkatkan produksi telur dan warna
kuning telur serta menurunkan kadar
kolesterol dalam telur.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima
kasih kepada Dikti yang telah
memberikan dana pengabdian pada
masyarakat dengan nomor kontrak
010/SP2H/PPM/DP2M/2009 tertanggal 1
April 2009. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada Kelompok Peternak
Harapan Makmur yang telah
menyediakan tempat penelitian dan
ayam Arab.
DAFTAR PUSTAKA
Agusta, A., M. Harapini dan Chairul.
1997. Analisis kandungan kimia
ekstrak daun katuk (Sauropus
androgynus (L) Merr dengan
GCMS. Warta Tumbuhan Obat
Indonesia 3 (3) : 31-33.
Fenita, Y. 2002. Suplementasi Lisin dan
Metionin serta Minyak Lemuru ke
dalam Ransum Berbasis Hidrolisat
Bulu Ayam terhadap Perlemakan
dan Pertumbuhan Ayam Ras
Pedaging. Program Pasca Sarjana-
IPB, Bogor.
Putranto, H. D., U. Santoso, Warnoto dan
Nurmeiliasari. 2010. Kajian
Konservasi: Populasi, Tampilan
Reproduksi dan Potensi
Domestifikasi Ayam Burgo Plasma
1 Tabel 3. Pengaruh pemberian ekstrak daun katuk terhadap mutu telur 2 3 Variabel 0 g EDK 4,5 g EDK 9 g EDK
Berat telur (g) 44,9 44,3 43,7
Tebal kerabang (mm) 0,58 0,58 0,59
Tinggi putih telur (mm) 0,813 0,67 0,805
Lebar putih telur (cm) 6,435 9,658 6,485
Panjang putih telur (cm) 9,023 8,958 8,248
Tinggi kuning telur (mm) 1,75 1,833 1,79
Diameter kuning telur (mm) 4,04 3,933 3,893
Berat kerabang (g) 5,625 5,70 5,975
Warna kuning telur 4,38 4,75 5,75
Indeks kuning telur
Indeks putih telur
0,433
0,105
0,466
0,072
0,460
0,109
H. U. 15,719 12,312 17,538 EDK= ekstrak daun katuk 4
1 Tabel 4. Pengaruh pemberian ekstrak daun katuk terhadap kolesterol telur (mg/100 mg) 2 3 Ulangan 0 g EDK 4,5 g EDK 9 g EDK
1 148,92 177,36 180,92
2 169,48 135,68 124,92
3 193,28 157,72 149,48
4 156,92 141,4 138,24
Rerata 167,13 153,04 148,39 EDK= ekstrak daun katuk 4
5
ISSN 1978 - 3000
| Penggunaan Ekstrak Katuk pada Ayam Arab Petelur 46
Nutfah Endemik Bengkulu.
Laporan Penelitian HKPSN Tahun
2. Jakarta.
Santoso, U., Kususiyah dan Y. Fenita.
2010. The effect of Sauropus
androgynus extract and lemuru oil
on fat deposition and fafty acid
composition of meat in broiler
chickens. J. Indonesian Trop. Anim.
Agric., 35: 48-54.
Santoso, U., J. Setianto dan T. Suteky.
2002. Penggunaan Ekstrak Daun
Katuk untuk Meningkatkan
Efisiensi Produksi dan Kualitas
Telur yang Ramah Lingkungan
pada Ayam Petelur. Laporan
Penelitian Hibah Bersaing Tahun 1.
Jakarta.
Santoso, U., Y. J. Setianto, T. Suteky dan
Y. Fenita. 2003. Penggunaan
Ekstrak Daun Katuk untuk
Meningkatkan Efisiensi Produksi
dan Kualitas Telur yang Ramah
Lingkungan pada Ayam Petelur.
Laporan Penelitian Hibah Bersaing
Tahun 2. Jakarta.
Santoso, U., J. Setianto dan T. Suteky.
2005. Effect of Sauropus androgynus
(katuk) extract on egg production
and lipid metabolism in layers.
Asian-Aust. J. Anim. Sci. 18: 364-
369.
Subekti, S. 2003. Kualitas telur dan
karkas ayam lokal yang diberi
tepung daun katuk dalam ransum.
Program Pasca sarjana IPB. Bogor.
Subekti, S. ; W. G. Piliang, W. ;Manulu,
B. T. Murdiati. 2006. Penggunaan
tepung daun katuk dan ekstark
daun katuk (Sauropus adrogynus
L. merr) sebagai subsitusi ransum
yang dapat menghasilkan produk
puyuh Jepang rendah kolesterol.
JITV, 11: 254-259.
Suprayogi, A. 2000. Studies on the
Biological Effets of Sauropus
androgynus (L.) Merr: Effects on
Milk Production and the
Possibilities of Induced Pulmonary
Disorder in Lactating Sheep.
Cuviller Verlag Gottingen.
Suprayogi, A., A. S. Satyaningtijas, N.
Kusumorini dan E. E. Pantina.
2007. The influence of fermented
and non-fermented Sauropus
androgynus (L.) merr. leaves extract
on the hematopoiesis in the
postnatal mice. the Six-
UniversityInternasional
Symposium, IPB, IICC-Bogor, 4-6
September 2007.
Suprayogi, A., U. ter Meulen, T. Ungerer,
and W. Manalu. 2001. Population
of secretory cells and synthetic
activities in mammary gland of
lactating sheep after consuming
Sauropus androgynus (L.) Merr.
leaves. Indon. J. Trop. Agric.
10(1):1-3.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 47
Pengaruh Aras Protein dan Ragi Tape terhadap Kualitas Karkas dan Deposisi
Lemak pada Ayam Broiler
Effect of Protein and Saccharomyces cereviciae culture Levels on Carcass Quality and Fat
Deposition in Broiler Chickens
Farahdiba, Urip Santoso dan Kususiyah
Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Bengkulu
Jalan Raya W. R. Supratman, Bengkulu 38371 A
e-mail: [email protected]
ABSTRACT
The present study was conducted to evaluate effect of level of protein and Saccharomyces cereviciae culture on carcass quality and fat deposition. One hundred and thirty three broilers were distributed to 9 treatment groups of 3 replicates each. Factorial Completely Randomized Experimental Design was used. Two factors used n the present study were three level of protein (15%, 18% and 21%) and three level of Saccharomyces cereviciae culture (0%, 0.5% and 1%). Expermental results showed that protein level of diet significantly affected Fatty Liver Score (P<0.05), leg, breast and abdominal fat weights (P<0.01), but it had no effect (P>0.05) on carcass, wing and back weight. Level of Saccharomyces cereviciae culture had no effect (P>0.05) on carcass, leg, wing weghts and Fatty Lver Score, but it significantly affected on breast, back and neck fat weight (P<0.05) abdominal fat weight (P<0.01). No interaction was found. In conclusion, higher protein level improved carcass quality and reduced fat deposition. In addition, supplementation of 0.5% Saccharomyces cereviciae culture was effective to improve carcass quality and to reduce fat deposition. Supplementation of Saccharomyces cereviciae culture to low protein diet did not improve carcass quality and fat deposition. Key words: Saccharomyces cereviciae, protein, carcass quality, fat deposition
ABSTRAK
Peneltian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh aras protein dan ragi tape terhadap mutu karkas dan deposisi lemak pada broiler. Sebanyak 135 ekor broiler dikelompokkan menjadi 9 kelompok perlakuan dengan 3 ulangan berupa kandang litter. Masing-masing ulangan berisi 5 ekor broiler. Racangan Acak Lengkap dengan 2 faktor digunakan dalam penelitian ini, yaitu tiga aras protein (15%, 18% dan 21%) dan tiga aras ragi (0%, 0,5% dan 1%). Hasil penelitan menunjukkan bahwa aras protein berpengaruh nyata terhadap Fatty Liver Score (P<0,05), paha, dada dan lemak abdomen (P<0,01), tetapi berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap karkas, sayap dan punggung. Hasil peneltian menunjukkan bahwa aras ragi tape berpengaruh tidak nyata (P>0,05) terhadap karkas, paha, sayap dan Fatty Lver Score, tetapi berpengaruh nyata terhadap dada, punggung dan lemak leher (P<0,05) dan sangat nyata terhadap lemak abdominal (P<0,01). tdak terdapat interaksi antara aras protein dan aras ragi tape terhadap mutu karkas dan deposisi lemak. Dapat disimpulkan bahwa level protein yang lebih tinggi memperbaiki mutu karkas dan menurunkan deposisi lemak. Suplementasi ragi tape sebesar 0,5% efektif dalam memperbaiki mutu karkas dan menurunkan deposisi lemak. Suplementasi ragi tape ke dalam pakan berprotein rendah tidak memperbaiki mutu karkas dan tidak menurunkan deposisi lemak pada broiler.
Kata kunci: Ragi tape, protein, mutu karkas, deposisi lemak
Surat menyurat ditujukan kepada Urip Santoso
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Aras Protein dan Ragi Tape 48
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini ahli nutrisi
unggas banyak tertarik perhatiannya
untuk menurunkan kadar protein dalam
pakan broiler. Ada beberapa alasan,
yaitu: 1) pemberian pakan berprotein
rendah akan menurunkan biaya pakan
karena protein merupakan zat nutrisi
yang termahal dalam pakan broiler; 2)
pemberian pakan berprotein rendah
akan menurunkan tingkat pencemaran
akibat ekskresi nitrogen yang berlebihan
(El-Hakim et al., 2009). Ekskresi nitrogen
yang berlebihan akan dikonversikan
antara lain menjadi asam nitrat dan asam
nitrit serta gas amonia. Asam nitrat dan
asam nitrit dapat menurunkan pH tanah
dan air, sehingga merupakan bahan
pencemar tanah dan air. Gas amonia
dapat mencemari udara sekitar yang
dapat mengganggu kesehatan baik
ternak maupun manusia terutama
menyebabkan gangguan saluran
pernafasan. Keuntungan lain bahwa
terdapat bukti bahwa pemberian protein
rendah memberikan sumbangan
terhadap perbaikan toleransi panas pada
broiler (Furlan et al., 2004).
Namun demikian pemberian
protein rendah dalam pakan
menimbulkan beberapa kerugian. Pakan
berprotein rendah pada broiler dapat
meningkatkan deposisi lemak
(Labussiere et al., 2008; Wood et al., 2004),
menurunkan performans broiler,
konsumsi pakan dan efisiensi
penggunaan pakan (Bregendahl et al.,
2002; Djouvinov dan Mihaillov, 2005;
Jiang et al., 2005; Pearl, 2002; Pescatore
dan Gates, 2003), dan menurunkan hasil
karkas (Bregendahl et al, 2002). Swennen
et al. (2007a) menemukan bahwa
pemberian pakan berprotein rendah
menurunkan retensi protein pada
broiler. Hasil penelitian ini didukung
oleh hasil penelitianTesseraud et al.
(2003). Zhao et al. (2010) menemukan
bahwa pemberian pakan berprotein
tinggi menurunkan deposisi lemak yang
terutama dsebabkan oleh penurunan
ekspresi gen lipogenik.
Broiler yang diberi pakan
berprotein rendah menunjukkan retensi
energi dalam bentuk lemak sehingga
menghasilkan deposisi lemak abdominal
meningkat pula (Collin et al., 2003;
Swennen et al. (2004, 2006, 2007b). Yeh
dan Leveille (1969) menunjukkan bahwa
pemberian pakan berprotein rendah
meningkatkan sintesis asam lemak
dalam liver dan aktivitas malic enzyme.
Tanaka et al. (1983) menemukan bahwa
peningkatan level protein dalam pakan
menurunkan lipogenesis in vitro dalam
liver yang dibarengi oleh perubahan
aktivitas enzim lipogenik. Donaldson
(1985) menunjukkan bahwa lipogenesis
in vitro dan aktivitas enzim acetyl
coenzyme A carboxylase meningkat
dengan pemberian pakan dengan rasio
energi dan protein yang lebih tinggi
(yang artinya pakan rendah protein).
Beberapa penelitian juga menunjukkan
adanya pembesaran liver disebabkan
pemberian pakan berprotein rendah
(Suthama et al., 1991; Collin et al., 2003;
Swennen et al., 2005, 2006), yang diduga
merefleksikan deposisi lemak yang
tinggi dalam liver, sebagai organ utama
sintesis asam lemak pada ayam (Leveille
et al., 1975).
Oleh sebab itu, pemberian pakan
berprotein rendah pada broiler perlu
diimbangi oleh bahan pakan lain untuk
menghambat laju pertumbuhan lemak.
Santoso et al. (1995, 2001) menemukan
bahwa suplementasi mkroorganisme
efektf mampu menurunkan deposisi
lemak pada broler. Onifade et al. (1999)
menemukan bahwa suplementasi
Saccharomyces cereviciae (ragi tape)
memperbaiki performans, mutu karkas
dan lemak abdomnal. Penelitian ini
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 49
bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh
ragi tape dan level protein terhadap
mutu karkas dan deposisi lemak pada
broiler. Sahin dan Yardimci (2009)
menemukan bahwa suplementasi kefr
memperbaiki karakteristik karkas angsa.
MATERI DAN METODE
Dua ratus ekor ayam broiler
(strain Arbor Acres) umur satu
dipelihara selama 1 minggu pada
kandang litter. Suhu kandang diatur +
32,5oC. Ketika broiler baru tiba, mereka
diberi air gula untuk mencegah stress.
Pada umur 8 hari, semua broiler
ditimbang dan diseleksi. Sebanyak 135
ekor broiler dikelompokkan menjadi 9
kelompok perlakuan dengan 3 ulangan
berupa kandang litter. Masing-masing
ulangan berisi 5 ekor broiler. Racangan
Acak Lengkap dengan 2 faktor
digunakan dalam penelitian ini, yaitu
tiga aras protein (15%, 18% dan 21%) dan
tiga aras ragi (0%, 0,5% dan 1%). Adapun
ke sembilan kelompok perlakuan
tersebut adalah sebagai berikut:
1) broiler diberi pakan berprotein
15% dan ragi tape 0%
2) broiler diberi pakan berprotein
15% dan ragi 0,5%
3) broiler diberi pakan berprotein
15% dan ragi 1%
4) broiler diberi pakan berprotein
18% dan ragi tape 0%
5) broiler diberi pakan berprotein
18% dan ragi tape 0,5%
6) broiler diberi pakan berprotein
18% dan ragi tape 1%
7) broiler diberi pakan berprotein
21% dan ragi tape 0%
8) broiler diberi pakan berprotein
21% dan ragi tape 0,5%
9) broiler diberi pakan berprotein
21% dan ragi tape 1%
Komposisi pakan yang digunakan tertera
dalam Tabel 1. Pakan dan air minum
diberikan ad libitum.
Pada umur 42 hari, 6 ekor broiler
untuk masing-masing kelompok
perlakuan diseleksi dan disembelih.
Karkas dan bagiannya dipisahkan dan
ditimbang. Selain itu, lemak leher dan
lemak abdominal dipisahkan dan
ditimbang. Fatty Liver Score dinilai
dengan membandingkan warna hati
dengan warna standard menurut
Santoso et al. (2004).
Semua data dianalisis varians dan
jika berbeda nyata diuji lanjut dengan
DMRT.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh aras protein terhadap
mutu karkas dan deposisi lemak pada
ayam broiler tertera pada Tabel 2. Hasil
penelitan menunjukkan bahwa aras
protein berpengaruh nyata terhadap
Fatty Liver Score (P<0,05), paha, dada
dan lemak abdomen (P<0,01), tetapi
berpengaruh tidak nyata (P>0,05)
1 Tabel 1. Komposisi Pakan Percobaa n 2
3 Bahan Pakan Aras Protein
15% 18% 21%
Jagung, % 59,44 55,69 52,00
Dedak halus, % 22,87 18,12 13,30
Tepung ikan, % 10,00 10,00 10,00
Bungkil kedelai , % 7,19 15,69 24,20
Tepung tulang, %
Komposisi Gizi Pakan
0,50 0,50 0,50
Protein, % 15 18 21
ME (kkal/kg) 2882,93 2883,05 2884,24
4
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Aras Protein dan Ragi Tape 50
terhadap karkas, sayap dan punggung.
Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa aras
proten 15% mempunyai paha lebih berat
dari pada aras protein 21% (P<0,01). Aras
proten 21% mempunyai dada yang lebh
berat darpada aras protein 15% atau 18%
(P<0,01). Aras protein 21% mempunyai
lemak abdominal (P<0,01) dan Fatty
Liver Score (P<0,05) yang lebih rendah
jika dibandingkan dengan aras proten
15% ataupun 18%.
Hasil penelitian ini didukung
oleh Labussiere et al., 2008 danWood et
al., 2004 yang menemukan pakan
berprotein rendah pada broiler
meningkatkan deposisi lemak. dan
menurunkan hasil karkas (Bregendahl et
al., 2002). Swennen et al. (2007a)
menemukan bahwa pemberian pakan
berprotein rendah menurunkan retensi
protein pada broiler. Hasil penelitian ini
didukung oleh hasil penelitianTesseraud
et al. (2003). Nguyen et al. (2010) juga
menemukan bahwa pemberian pakan
berprotein lebih tinggi memperbaiki
mutu karkas pada ayam periode
tumbuh.
Broiler yang diberi pakan
berprotein rendah menunjukkan retensi
energi dalam bentuk lemak sehingga
menghasilkan deposisi lemak abdominal
meningkat pula (Collin et al., 2003;
Swennen et al. (2004, 2006, 2007b). Yeh
dan Leveille (1969) menunjukkan bahwa
pemberian pakan berprotein rendah
meningkatkan sintesis asam lemak
dalam liver dan aktivitas malic enzyme.
Tanaka et al. (1983) menemukan bahwa
peningkatan level protein dalam pakan
menurunkan lipogenesis in vitro dalam
liver yang dibarengi oleh perubahan
aktivitas enzim lipogenik. Donaldson
(1985) menunjukkan bahwa lipogenesis
in vitro dan aktivitas enzim acetyl
coenzyme A carboxylase yang
merupakan enzim pembatas bagi sintesis
asam lemak, meningkat dengan
pemberian pakan dengan rasio energi
dan protein yang lebih tinggi (yang
artinya pakan rendah protein). Beberapa
penelitian juga menunjukkan adanya
pembesaran liver disebabkan pemberian
pakan berprotein rendah (Suthama et al.,
1991; Collin et al., 2003; Swennen et al.,
2005, 2006), yang diduga merefleksikan
deposisi lemak yang tinggi dalam liver,
sebagai organ utama sintesis asam lemak
pada ayam. Nawaz et al. (2006)
melaporkan bahwa tidak terdapat
pengaruh level protein dan/atau energy
terhadap lemak abdominal pada broiler.
Namun, Jianlin et al. (2004) melaporkan
terdapatnya peningkatan lemak
abdominal sejalan dengan penurunan
level protein pakan.
Pengaruh aras ragi tape terhadap
mutu karkas dan deposisi lemak tertera
pada Tabel 3. Hasil peneltian
menunjukkan bahwa aras rag tape
berpengaruh tidak nyata (P>0,05)
terhadap karkas, paha, sayap dan Fatty
Lver Score, tetapi berpengaruh nyata
terhadap dada, punggung dan lemak
leher (P<0,05) dan sangat nyata terhadap
lemak abdominal (P<0,01). Uji lanjut
menunjukkan bahwa aras ragi 0%
Tabel 2. Pengaruh aras proten terhadap mutu karkas dan deposisi lemak pada broiler
Variabel 15% 18% 21% P
Karkas , % 55,79 60,12 61,05 ns
Paha, % 35,25b 33,87ab 31,79a **
Dada, % 24,77a 25,81a 30,25b **
Sayap, % 27,38 27,25 25,53 ns
Punggung, % 27,38 27,25 25,53 ns
Lemak abdomen, % 1,91c 1,65b 1,59a **
Lemak leher, % 0,59 0,33 0,44 ns
Fatty Liver Score 2,47b 2,25b 1,09a * Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata; *= P<0,05,
**= P<0,01, ns= non significant, P = probabilitas
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 51
mempunyai dada yang lebih rendah
(P<0,05) dan lemak leher yang lebih
tinggi (P<0,05) jika dbandngkan dengan
0,5% atau 1% rag tape. Aras ragi tape 1%
mempunyai punggung (P<0,05) dan
lemak abdominal (P<0,01) yang lebh
rendah daripada aras 0% atau 0,5% ragi
tape.
Bidura et al. (2002) menemukan
bahwa ragi tape menurunkan lemak
abdominal dan kolesterol dalam daging
itik. Karaglu dan Durdag (2005)
menemukan bahwa suplementasi ragi
tape tidak memperbaiki mutu karkas
pada ayam broiler. Paryad dan
Mahmoudi (2008) menemukan bahwa
suplementasi ragi tape memperbaiki
mutu karkas pada ayam broiler.
Suplementasi Saccharomyces cerevisiae
meningkatkan pertumbuhan dan berat
karkas serta menuurunkan lemak
abdominal pada ayam broiler (Onifade et
al., 1999). Turunnya deposisi lemak oleh
ragi tape diduga disebabkan oleh
turunnya sintesis asam lemak. Santoso et
al. (1995, 2001) menunjukkan bahwa
turunnya deposisi lemak oleh kultur
Bacillus subtilis disebabkan antara lain
oleh turunnya aktivitas enzim Acetyl-
CoA carboxylase di hati, suatu enzim
pembatas pada sintesis asam lemak.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tidak terdapat interaksi antara
aras protein dan aras ragi tape terhadap
mutu karkas dan deposisi lemak (Tabel
4). Ini menunjukkan bahwa suplementasi
ragi tape ke dalam pakan berprotein
rendah tidak memperbaiki mutu karkas
dan tidak menurunkan deposisi lemak
pada ayam broiler.
SIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa level
protein yang lebih tinggi memperbaiki
mutu karkas dan menurunkan deposisi
lemak. Suplementasi ragi tape sebesar
0,5% efektif dalam memperbaiki mutu
karkas dan menurunkan deposisi lemak.
Suplementasi ragi tape ke dalam pakan
berprotein rendah tidak memperbaiki
mutu karkas dan tidak menurunkan
deposisi lemak pada broiler.
Tabel 3. Pengaruh aras ragi tape terhadap mutu karkas dan deposisi lemak pada broiler
Variabel 0% Ragi 0,5% Ragi 1% Ragi P
Karkas , % 57,16 58,59 59,76 ns
Paha, % 33,90 33,87 33,69 ns
Dada, % 25,20a 27,84b 27,84b *
Sayap, % 12,63 26,29 25,62 ns
Punggung, % 28,26b 26,29ab 25,62a *
Lemak abdomen, % 1,90b 1,88b 1,62a **
Lemak leher, % 0,69b 0,36a 0,38a *
Fatty Liver Score 2,44 2,14 2,06 ns Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata; *= P<0,05,
**= P<0,01, ns= non significant, P = probabilitas
Tabel 4. Pengaruh aras protein dan ragi tape terhadap mutu karkas dan deposisi lemak pada ayam broiler
Variabel 15% Protein 18% Protein 21% Protein P
0% Ragi 0,5%
Ragi
1% Ragi 0% Ragi 0,5%
Ragi
1% Ragi 0% Ragi 0,5%
Ragi
1% Ragi
Karkas, % 55,24 58,33 59,13 60,03 58,50 61,48 59,71 58,94 58,67 ns
Paha, % 35,10 34,65 35,99 34,23 36,01 32,23 31,72 30,95 32,72 ns
Dada, % 21,29 25,57 26,81 24,63 26,01 26,81 28,95 29,87 29,87 ns
Sayap, % 12,14 12,32 12,12 12,75 11,59 15,77 13,14 12,77 12,77 ns
Punggung, % 29,36 27,62 25,17 28,38 26,26 27,04 27,03 24,91 24,65 ns
Lemak abdomen,
%
2,81 2,07 2,06 1,93 1,79 1,81 1,99 1,01 1,76 ns
Lemak leher, % 0,85 0,51 0,42 0,51 0,17 0,30 0,49 0,41 0,43 ns
FLS 2,69 2,33 2,38 2,50 2,12 2,13 2,13 1,98 1,68 ns ns = non signfcant; FLS = fatty liver score
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Aras Protein dan Ragi Tape 52
DAFTAR PUSTAKA
Bidura, . G. N. G. dan . I. G. P. B.
Suastina. 2002. Pengaruh
suplementas ragi tape dalam
ransum terhadap efisiensi
penggunaan ransum. Majalah
Ilmiah Peternakan, 5: 6-11.
Bregendahl, K. J., J. L. Sell and D. R.
Zimmersnan. 2002. Effect of low
protein diets on growth
performance and body
composition of broiler chicks.
Poultry Sci., 81: 1156-1167.
Collin, A., R. D. Malheiros, V. M. B.
Moraes, P. Van As, V. M. Darras,
M. Tauois, E. Decuypere and J.
Buyse. 2003. Effects of dietary
macronutrient content on energy
metabolism and uncoupling
protein mRNA expression in
broiler chickens. Bri. J. Nutr., 90:
261-269.
Djouvinov, D. and R. Mihailov. 2005.
Effect of low protein level on
performnace of growing and laying
Japanese quails (Coturnix coturnix
Japonica). Bulgarian J. Vet. Med., 8
(2) : 91-98.
Donaldson, W. E. 1985. Lipogenesis and
body fat in chicks: Effects of
calorie-protein ratio and dietary
fat. Poultry Sci., 64: 1191-1204.
El-Hakim, Abd A. S., G. Cherian and M.
N. Ali. 2009. Use of organic acid,
herbs and their combination to
improve the utilization of
commercial low protein broiler
diets. Int. J,. Poultry Sci., 8 (1) : 14-
20.
Furlan, R. L., F. Fiko De de, P. S. Rosa
and M. Macari. 2004. Does low-
protein diet improve broiler
performance under heat stress
condition? Brazilian J. Poultry Sci.,
6 (2) : 71-79.
Jiang, Q., P. W. Waldroup and C. A.
Fritts. 2005. Improving the
utilization of diets low in crude
protein for broiler chickens. 1.
Evaluation of special amino acid
supplementation to diets low in
crude protein. Int. J. Poultry Sci. 4
(3) : 115-122.
Jianlin, S.F., C.A. Fritts, D.J. Burnham
and P.W. Waldroup, 2004. Extent
to which crude protein may be
reduced in corn-soybean meal
broiler diets through amino acid
supplementation. Int. J. Poult. Sci.,
3: 46-50.
Karaglu, M. dan H. Durdag. 2005. The
influence of probiotic
(Saccharomyces cereviciae)
supplementation and different
slaughter age on the performance,
slaughter and carcass properties of
broilers. Int. J. Poult. Sci., 4: 309-
316.
Labussiere, E., S. Dubois, J. Van Milgen,
G. Bertrand and J. Noblet. 2008.
Effects of dietary crude protein on
protein and fat deposition in milk-
fed vel calces. J. dairy Sci., 91: 4741-
4754.
Nawaz, H., T. Mushtaq and M. Yaqoob,
2006. Effect of varying levels of
energy and protein on live
performance and carcass
characteristics of broiler chicks. J.
Poult. Sci., 43: 388-393.
Nguyen, T. V., C. Bunchasak, dan S.
Chantsavang. 2010. Effects of
dietary protein and energy on
growth performance and carcass
characteristics of Betong chickens
during growing period. Int. J.
Poult. Sci., 9: 468-472.
Onifade AA, Odunsi AA, Babatunde
GM, Olorede BR, Muma E. 1999.
Comparison of the supplemental
effects of Saccharomyces cerevisiae
and antibiotics in low-protein and
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 53
high-fibre diets fed to broiler
chickens. Arch Tierernahr.
1999;52(1) :29-39
Paryad, A dan M. Mahmoudi. 2008.
Effect of different level of
supplemental yeast
(Saccharomyces cereviciae) on
performance, blood constituents
and carcass characteristics of
broiler chicks. African J. Agric.
Res., 3: 835-845.
Pearl, G. G. 2002. The future of animal
protein in poultry diets. Multi-State
Poultry Meeting. May 14-16, 2002.
Pescatore, A and R. gates. 2003. Reducing
the nitrogen load and emissions in
poultry houses. Multi-State
Meeting. May 20-23, 2003.
Sahin, E. H. dan M. Yardimci. 2009.
Effects of kefir as a probiotic on
growth performance and carcass
characteristics in geese (Anser
anser). J. Anim. Vet. Adv., 8: 562-
567 DOI:
10.3923/javaa.2009.562.567.
Santoso, U., K. Tanaka dan S. Ohtani.
1995. Effect of dried Bacillus
subtilis culture on growth, body
composition and hepatc lipogenic
enzyme activity in female broiler
chicks. Bri. J. Nutr., 74: 523-529.
Santoso, U., K. Tanaka, S. Ohtani dan M.
Sakaida. 2001. Effect of fermented
product from Bacillus subtlis on
feed conversion efficiency, lipid
accumulation and ammonia
production in broiler chicks. Asian-
Aust. J. anim. Sci., 14: 333-337.
Santoso, U., Y. Fenita dan W. Piliang.
2004. Penggunaan Ekstrak Daun
Katuk sebagai Feed Additive untuk
Memproduksi Meat Designer.
Laporan Penelitian Hibah Pekerti.
Universitas Bengkulu. Bengkulu.
Suthama, N., K. Hayashi, M. Toyomizu
and Y. Tomita. 1991. Interactions of
exogenous thyroxine and dietary
protein levels on growth, and
muscle protein metabolism in
broiler chcikens. Jpn. Poultry Sci.
28: 1-10.
Swennen, Q., G. P. J. Janssens, A. Collin,
E. Le Bihan-Duval, K. Verbeke, E.
Decuypere and J. Byuse. 2006. Diet-
induced thermogenesis and
glucose oxidation in broiler
chickens: Influence genotype and
diet composition. Poultry Sci., 85:
731-742.
Swennen, Q., G. P. J. Janssens, E.
Decuypere and J. Buyse. 2004.
Effects of substitution between fat
and protein on feed intake and its
regulatory mechanisms in broiler
chickens: energy and protein
metaboleism and diet-induced
thermogenesis. Poultry Sci., 83:
1997-2004.
Swennen, Q., G. P. J. Janssens, S. Millet,
G. Vansant, E. Decuypere and J.
Buyse. 2005. Effect of substitution
between fat and protein on food
intake and its regulatory
mechanism in broiler chickens:
Endocrine functioning and
intermediary metabolism. Poultry
Sci., 84: 1051-1057.
Swennen, Q., E. Decuypere and J. Buyse.
2007a. Implications of dietary
macronutrients for growth and
metabilsm in broiler chickens.
World’s Poultry Sci. 63: 541-556.
Swennen, Q., C. Laroye, G. P. J. Janssens,
K. Verbeke, E. Decuypere and J.
Buyse. 2007b. Rate of metabolic
decarboxylation of leucine as
assessed by a L[1-13C1] leusine
breath test combined with indirect
calorimetry of broiler chickens fed
isocaloric diets with different
protein:fat ratio. J. Anim. Physiol.
Anim. Nutr., 91 (7-8) : 347-354.
Tanaka, K., S. Ohtani and K. Shigeno.
1983. Effect of increasing dietary
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Aras Protein dan Ragi Tape 54
energy on hepatic lipogenesis in
growing chickens. II. Increasing
energy by fat or protein
supplementation. Poultry Sci., 62:
452-458.
Tesseraud, S., R. A. E. Pym, E. Le Bihan-
Duval and M. J. Duclos.. 2003.
Respone of broilers selected on
carcass quality to dietary protein
supply: live performance, muscle
development and circulating
insuline-like growth factors (IGF-I
and –II). Poultry Sci., 82: 1011-1016.
Wood, J. D., G. R. Nute, R. I. Richardson,
F. M. Whittington, O. Southwood,
G. Plastow, R. Monsbridge, N. da
Costa and K. C. Chang. 2004.
Effects of breed, diet and muscle on
fat deposition and eating quality in
pigs. Meat Sci., 67 (4) : 651-667.
Yeh, Y. Y. and G. A. Leveille. 1969. Effect
of dietary protein on hepatic
lipogenesis in the growing chick. J.
Nutr., 98: 356-366.
Zhao, S., J. Wang, X. Song, X. Zhang, C.
Ge dan S. Gao. 2010. Impact of
dietary protein on lipid
metabolism-related gene
expression in porcine adipose
tissue. Nutrition & Metabolism
2010, 7:6doi:10.1186/1743-7075-7-6.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 55
Pengaruh Komposisi Genetik Hasil Persilangan Puyuh (Coturnix-Coturnix
Japonica) Tiga Daerah Asal Terhadap Performans Produksi Telur
The Effect of Quail (Coturnix-coturnix japonica) Genetic Composition as a Result of
Crossbreeding from Three Regions on Egg Production
Desia Kaharuddin dan Kususiyah
Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
Jalan WR Supratman, kandang Limun Bengkulu
ABSTRACT
Inbreeding has been suggested as the cause of low egg production of quail in Bengkulu; hence crossing local
quail with those from other provinces might be sustainable way to gain heterosis and improve egg
productivity. An experiment was conducted to evaluate the effect of genetic composition obtained from
crossings of quail originated from Bengkulu (BB), Padang (PP) and Yogyakarta (YY) on their egg production
from sex maturity to unproductive stage. Treatments were six genetic compositions, i.e. (G1) 50%B 25 %P
25%Y, (G2) 25%B 50%P 25%Y, (G3) 25%B 25%P 50%Y, (G4) 100%B, (G5) 100%P, and (G6) 100%Y. Treatments
were arranged in a Complete Randomized Design with seven replications of four quails. The results
demonstrated that crossings from three provinces (G1, G2 and G3) improved (P<0.05) feed consumption, egg
number, single egg weight, and total egg weight, but did not affect time to sex maturity and feed conversion
as compared with those inbreeds, especially (G4 and G5). G1, G2 and G3 produced an average of 400 eggs per
quail, being greater than G4 and G5 (316 eggs per quail) with production period of 72 weeks, longer than
those from G4 and G5 (57 weeks). We conclude that crossing is important for improving egg production of
quail.
Key words: genetic composition, quail, egg production.
ABSTRAK
Penyediaan bibit sendiri yang dilakukan oleh peternak puyuh disinyalir telah meningkatkan terjadinya
inbreeding yang diketahui berdampak negatif. Penyilangan puyuh dengan memasukkan bibit dari luar atau
mempunyai hubungan kekerabatan lebih jauh merupakan cara yang dapat menekan inbreeding akibat
menurunnya gen-gen homozigot resesif serta menimbulkan dampak heterositas yang menguntungkan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh komposisi genetik hasil persilangan puyuh tiga daerah
asal yaitu puyuh asal Bengkulu (BB), puyuh asal Padang (PP), dan puyuh asal Yogyakarta (YY) terhadap
performans produksi telur puyuh sejak dewasa kelamin sampai masa afkir. Penelitian ini menggunakan
rancangan acak lengkap enam perlakuan dan tujuh ulangan, masing-masing ulangan terdiri empat ekor.
Enam perlakuan komposisi genetik yang digunakan adalah : (G1 ) 50%B 25%P 25%Y; (G2) 25%B 50%P 25%Y;
(G3 ) 25%B 25%P 50%Y; (G4) 100%B; (G5) 100%P; dan (G6) 100%Y. Variabel yang diukur adalah : umur dewasa
kelamin , lama masa produksi, berat telur per butir, jumlah telur , total berat telur, konsumsi ransum, dan
konversi ransum. Data yang diperoleh dianalisis keragamannya. Bila perlakuan berpengaruh nyata,
dilakukan uji Duncans Multiple Range Test pada taraf 0,05. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi
genetik berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap konsumsi ransum, jumlah telur, berat per butir telur, dan berat
total telur, tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap umur dewasa kelamin dan konversi ransum. Performans
produksi telur puyuh persilangan tiga daerah asal lebih baik dibanding puyuh murni. Puyuh dengan
komposisi genetik (G1) 50%B 25%P25%Y unggul pada lama masa produksi telur (73 minggu) sehingga
menghasilkan jumlah telur lebih banyak (407 butir ekor-1), sedangkan puyuh dengan komposisi genetik (G3)
25%B 25%P 50%Y unggul dalam menghasilkan berat telur per butir (11,49 g butir-1), berat total telur (4531 g
ekor-1), dan konversi ransum (2,6).
Kata kunci : komposisi genetik, puyuh, produksi telur.
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Komposisi Genetik Hasil Persilangan Puyuh 56
PENDAHULUAN
Berbeda dengan ayam ras,
ketersediaan bibit puyuh di pasar kurang
mendapat perhatian. Hal ini membuat
peternak puyuh melakukan peremajaan
dengan menggunakan bibit puyuh yang
mereka miliki. Pada umumnya
pembibitan yang dilakukan oleh
peternak puyuh ini tidak dilandasi oleh
teori dan penanganan yang tepat
sehingga bibit yang dihasilkan tidak
terjamin kualitasnya. Hal ini terbukti
dengan munculnya cacat kaki pengkor,
fertilitas dan daya tetas yang rendah.
Promono (2004) melaporkan bahwa
kejadian cacat kaki pengkor pada
peternakan puyuh rakyat kota Bengkulu
mencapai 20 % dengan rataan fertilitas
dan daya tetas relative rendah, masing-
masing 61 % dan 67,2 %. Jeleknya hasil
penetasan ini disinyalir telah terjadi
perkawinan antara puyuh sekerabat
(inbreeding), disebabkan peternak puyuh
pada umumnya tidak pernah
mendatangkan puyuh dari luar.
Menurut Astuti et al. (1985) kaki pengkor
merupakan salah satu indikator akibat
dari tekanan silang dalam (inbreeding
depression). Pengaruh buruk pada
inbreeding tersebut merupakan akibat
bergabungnya gen-gen resesif yang
homozigot karena terjadi perkawinan
sekerabat pada kelompok ternak yang
digunakan sebagai bibit (Noor, 1996 dan
Warwick et al., 1990). Inbreeding pada
ayam dapat menyebabkan turunnya
fertilitas, meningkatnya mortalitas dan
menimbulkan terjadinya abnormalitas
kaki lemah, cripper, dan jari-jari
mencengkeram (crooked) sehingga ayam
sulit bertengger dan tidak dapat berjalan
secara normal (Rokimoto, 2002)
Menurut Sheridan (1986) dan
Warwick et al. (1990) persilangan adalah
satu alternative untuk membentuk
keturunan yang diharapkan akan
memunculkan efek komplementer
(pengaruh saling melengkapi). Selain
efek komplementer, persilangan akan
membentuk efek heterosis untuk
meningkatkan produktivitas (Falconer,
1981).
Kaharuddin dan Kususiyah
(2005a) telah melakukan persilangan
resiprokal (persilangan jantan betina
bolak balik) antar puyuh dari dua daerah
asal; yaitu antara puyuh asal Bengkulu
dengan Padang (BP), Bengkulu dengan
Yogyakarta (BY), dan Padang dengan
Yogyakarta (PY) dan menunjukkan
semua keturunan hasil persilangan
tersebut tidak ditemukan kaki pengkor
dan pertumbuhan hasil resiprokal nyata
lebih baik dibandingkan dengan puyuh
asli masing-masing daerah (Puyuh asal
Bengkulu (BB),Puyuh asal Padang (PP),
dan Puyuh asal Yogyakarta (YY).
Demikian juga produksi telur hasil
persilangan puyuh dari dua daerah asal
nyata lebih tinggi (P<0,05) dari produksi
telur puyuh asal daerah Bengkulu (BB),
Padang (PP) dan Yogyakarta (YY)
(Kaharuddin dan Kususiyah, 2005b).
Lebih lanjut Kaharuddin dan Kususiyah
(2006) melaporkan bahwa fertilitas
(86,33%) dan daya tetas telur (81,36%)
puyuh persilangan lebih baik dari puyuh
asli masing-masing daerah dengan
rataan fertilitas (79,87%) dan daya tetas
(75,71%).
Berdasar uraian tersebut di atas,
untuk mengevaluasi potensi genetik
puyuh-puyuh persilangan tersebut ,
maka penelitian ini dilakukan dengan
menggabungkan genetik puyuh
persilangan tiga daerah asal dengan cara
mengawinkan puyuh-puyuh hasil
persilangan (F1), yaitu BY (persilangan
puyuh Bengkulu dengan puyuh
Yogyakarta, PB (persilangan puyuh
Padang dengan puyuh Bengkulu, dan PY
(persilangan puyuh Padang dengan
puyuh Yogyakarta) untuk mengetahui
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 57
performans produksi telur keturunan
mereka sejak dewasa kelamin hingga
afkir.
MATERI DAN METODE
Parent stock (tetua) pada
penelitian ini digunakan 90 ekor puyuh
pejantan yang terdiri dari puyuh asal
Bengkulu (BB), puyuh asal Padang (PP),
dan puyuh asal Yogyakarta (YY) masing-
masing 30 ekor dan 270 ekor puyuh
betina terdiri dari puyuh hasil
persilangan dari dua daerah yaitu PY,
BY, PB, dan puyuh BB, PP, dan YY
masing-masing 45 ekor. Hasil keturunan
persilangan parent stock yang diterapkan
sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 1.
digunakan sebagai materi penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan
rancangan acak lengkap dengan enam
perlakuan dan tujuh ulangan, masing-
masing ulangan terdiri empat ekor.
Berdasarkan persilangan parent stock
pada Tabel 1. tersebut di atas maka
komposisi genetik keturunan dijadikan
perlakuan, sehingga didapat 6 macam
komposisi genetik sebagai berikut: (G1 )
50%B 25%P 25%Y; (G2) 25%B 50%P
25%Y; (G3 ) 25%B 25%P 50%Y; (G4)
100%B; (G5) 100%P; dan (G6) 100%Y.
Variabel yang diukur adalah : umur
dewasa kelamin , lama masa produksi,
berat telur per butir, jumlah telur , total
berat telur, konsumsi ransum, dan
konversi ransum. Data yang diperoleh
dianalisis keragamannya. Bila perlakuan
berpengaruh nyata, dilakukan uji
Duncans Multiple Range Test pada taraf
0,05.
Tabel 1. Genotipe Puyuh Hasil Persilangan Puyuh Asal Bengkulu (B), Padang (P), Yogyakarta (Y) yang
Digunakan dalam Penelitian
Genotipe Asal Tetua*) Komposisi Genetik Genotipe Keturunan yang Digunakan**)
Jantan Betina Bengkulu (B) Padang (P) Yogyakarta (Y)
G1 BB PY 50% 25% 25%
G2 PP BY 25% 50% 25%
G3 YY PB 25% 25% 50%
G4 BB BB 100%
G5 PP PP 100%
G6 YY YY 100%
Keterangan:
*) Tetua, setiap huruf mewakili 50% genotipe asal daerah
**) untuk genotype keturunan yang digunakan, setiap huruf mewakili 25% genotipe asal daerah
BB = Puyuh asal Bengkulu
PP = Puyuh asal Padang
YY = Puyuh asal Yogyakarta
PY = Persilangan Puyuh asal Padang dengan Puyuh asal Yogyakarta
BY = Persilangan Puyuh asal Bengkulu dengan Puyuh asal Yogyakarta
PB = Persilangan Puyuh asal Padang dengan Puyuh asal Bengkulu
Tabel 2. Umur dewasa kelamin dan lama masa produksi puyuh pada perlakuan komposisi genetik
Komposisi Genetik Umur dewasa kelamin (hari) Lama masa produksi (minggu)
G1 (50%B 25%P 25%Y) 43,17± 0,76 73
G2 (25%B 50%P25%Y) 43,00 ± 1,41 72
G3(25%B 25%P 50%Y) 42,29 ± 1,25 72
G4 (100%B) 42,57 ± 0,53 57
G5(100%P) 43,13 ± 0,90 57
G6(100%Y) 43,43 ± 0,79 71
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Komposisi Genetik Hasil Persilangan Puyuh 58
HASIL DAN PEMBAHASAN
Umur dewasa kelamin dan lama
masa produksi pada masing-masing
perlakuan komposisi genetik disajikan
pada Tabel 2. Umur dewasa kelamin
adalah hari dimana puyuh dalam satu
petak kandang telah ada yang bertelur.
Sedangkan lama produksi adalah
lamanya puyuh berproduksi dihitung
sejak puyuh pertama kali bertelur hingga
afkir (produksi telur sudah turun hingga
dibawah 45% selama 2 minggu berturut-
turut).
Umur dewasa kelamin
Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa komposisi genetik
tidak berpengaruh nyata (P>0,05)
terhadap umur dewasa kelamin. Hal ini
menunjukkankan bahwa umur dewasa
kelamin tidak dipengaruhi komposisi
genetik. Secara umum dewasa kelamin
berkisar antara 42,29- 43,43 hari, adalah
tidak jauh berbeda dengan pernyataan
Listiyowati dan Roospitasari (2001)
bahwa dewasa kelamin puyuh adalah
umur 6 minggu (42 hari). Berbagai
informasi menunjukkan bahwa, pada
umumnya bila puyuh telah mulai
bertelur, persentase produksi akan
meningkat terus sampai mencapai
puncak produksi; setelah mencapai
puncak produksi, persentase produksi
akan turun secara perlahan hingga
memasuki masa afkir.
Lama Masa Produksi
Lama masa produksi dihitung
sejak puyuh dewasa kelamin sampai
masa afkir. Pada penelitian ini, puyuh
diafkir bila persentase produksi setiap
perlakuan telah menurun hingga
produksi telah menjadi di bawah 45 %
selama 2 minggu berturut-turut. Terlihat
dari Tabel 2. bahwa lama masa produksi
puyuh persilangan (G1, G2, G3) lebih lama
dibanding puyuh murni (G4, G5, G6).
Lebih lamanya masa produksi puyuh
persilangan dibanding puyuh murni ini
mengindikasikan adanya perbaikan
mutu genetik dengan meningkatnya
heterozigositas dan mengurangi gen
homozigot yang tidak menguntungkan.
Puyuh G1 dengan Komposisi genetik
50% Bengkulu 25% Padang 25%
Yogyakarta adalah yang paling lama
masa produksinya (73 minggu),
sedangkan yang paling singkat lama
masa produksinya adalah puyuh
Bengkulu murni (G4) 57 minggu dan
puyuh Padang murni (G5) 57 minggu .
Diantara puyuh murni, lama masa
produksi puyuh murni Yogyakarta (G6)
71 minggu adalah jauh lebih baik,
namun masih lebih rendah dibanding
puyuh persilangan (G1, G2, G3 ).
Rataan konsumsi ransum, berat
telur per butir, jumlah telur, berat total
telur dan konversi ransum puyuh
ditunjukkan pada Tabel 3.
Konsumsi Ransum
Konsumsi ransum dihitung mulai
puyuh umur 6 minggu sampai afkir.
Tabel 3. Konsumsi ransum, berat per butir telur, jumlah telur, berat total telur ,dan konversi ransum puyuh
Komposisi genetik Konsumsi
ransum (g)
Berat per butir
telur (g butir-1)
Jumlah telur
(butir ekor-1)
Berat total
telur (g)
Konversi
ransum
G1 (50%B 25%G25%Y) 11966± 70,11a 11,09± 0,05c 407,64 ±10,20a 4519 ±111a 2,66 ±0,06
G2 (25%B 50%G25%Y) 11643 ±154,91b 11,10± 0,07c 400,69±9,7a 4447± 91a 2,62 ±0,07
G3(25%B 25%P 50%Y) 11742 ±133,16ab 11,49± 0,10a 394,27± 5,87ab 4531± 65a 2,60 ±0,06
G4 (100% B) 9386 ±50,69c 11,21 ±0,09bc 316,56 ±4,86c 3549 ±50c 2,65± 0,04
G5(100% P) 9558± 37,22c 11,45± 0,10ab 315,92 ±3,96c 3616 ±52c 2,65 ±0,03
G6(100% Y) 11639±100,95b 11,17± 0,12c 377,82±10,46b 4217 ±86b 2,76±0,05
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 59
Terlihat dari Tabel 3. bahwa komposisi
genetik berpengaruh nyata (P<0,05)
terhadap konsumsi ransum . Perbedaan
konsumsi ransum ini disebabkan oleh
perbedaan lama masa produksi.
Konsumsi ransum G1 nyata lebih tinggi
dibanding puyuh G2, tetapi tidak
berbeda nyata dibanding puyuh G3.
Selanjutnya konsumsi ransum puyuh G4
dan G5 merupakan yang terendah karena
lama masa produksinya yang paling
singkat. Secara umum bila dilihat
konsumsi hariannya, konsumsi ransum
persilangan (G1 23,40 g ekor -1hari-1, G2
23,1 g ekor -1hari-1, dan G3 23,30 g ekor -
1hari-1) relatif lebih rendah dibanding
puyuh murni (G4 23,52 g ekor -1hari-1, G5
23,96 g ekor -1hari-1, dan G6 23,42 g ekor -
1hari-1).
Berat per butir telur
Berat per butir telur diukur untuk
mengetahui ukuran telur. Hasil analisis
ragam menunjukkan bahwa komposisi
genetik berpengaruh nyata (P<0,05)
terhadap ukuran telur. Ukuran telur
puyuh G3 (11,49 g butir-1) dengan
komposisi genetik 25%B 25%P50%Y
nyata lebih besar dibanding komposisi
genetik G1 (11,09 g butir-1), G3 (11,10 g
butir-1) maupun puyuh murni G4 (11,21 g
butir-1 ), G5 (11,45 g butir-1),G6 (11,17 g
butir-1).
Jumlah Telur
Jumlah telur perlu diketahui
karena di sejumlah daerah penjualan
telur puyuh dengan satuan butir masih
laz pada umim digunakan. Hasil analisis
ragam menunjukkan bahwa komposisi
genetik berpengaruh nyata (P<0,05)
terhadap jumlah telur yang dihasilkan.
Secara umum jumlah telur puyuh
persilangan (G1 407,64 butir, G2 400,69
butir dan G3 394,27 butir) lebih banyak
dibanding puyuh murni (G4 316,56 butir,
G5 315,92 butir , G6 377,82 butir). Lebih
banyaknya jumlah telur yang dihasilkan
puyuh persilangan ini disebabkan puyuh
persilangan memiliki masa produksi
lebih lama dibanding puyuh murni.
Jumlah telur puyuh Bengkulu murni dan
puyuh Padang murni relatif lebih rendah
dibanding puyuh Yogyakarta murni.
Berat Total Telur
Komposisi genetik berpengaruh
nyata (P<0,05) terhadap berat total telur.
Sebagaimana jumlah telur yang
dihasilkan, maka berat total telur puyuh
persilangan juga lebih tinggi dibanding
puyuh murni. Selanjutnya, meskipun
tidak berbeda nyata diantara puyuh
persilangan, berat total telur puyuh G3
(4531 g) meskipun lama masa
produksinya lebih singkat dibanding G1
(4519 g) dan G2 (4447g ) adalah yang
paling tinggi, hal ini disebabkan oleh
ukuran telur yang dihasilkan paling
besar. Selanjutnya berat total telur puyuh
murni Bengkulu dan telur puyuh murni
Padang adalah yang paling rendah, dan
telur puyuh murni Yogyakarta paling
tinggi karena jumlah telur yang
dihasilkan lebih banyak sebagai akibat
lebih lamanya masa produksi.
Konversi ransum
Konversi ransum tidak
dipengaruhi secara nyata (P>0,05) oleh
komposisi genetik. Namun demikian
rataan konversi ransum puyuh G3 adalah
yang paling rendah dan hal ini
menunjukkan bahwa G3 adalah relatif
lebih efisien dalam menggunakan
ransum disbanding perlakuan lain.
SIMPULAN
Performans produksi telur puyuh
persilangan tiga daerah asal lebih baik
dibanding puyuh murni. Puyuh dengan
komposisi genetik (G1) 50%B 25%P25%Y
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Komposisi Genetik Hasil Persilangan Puyuh 60
unggul pada lama masa produksi telur
sehingga menghasilkan jumlah telurlebih
banyak, sedangkan puyuh dengan
komposisi genetik (G3) 25%B 25%P 50%Y
unggul dalam menghasilkan berat telur
per butir, berat total telur dan konversi
ransum.
UCAPAN TERIMAKASIH
Kami mengucapkan terimakasih kepada
Sdr. Alex Cheris Rakawa, Sdr. Kusnan
Hadi, Sdr. Ahmad Mukhlis, serta Sdr.
Edwar Yusup atas partisipasinya selama
penelitian berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, M., T. A. Sucahyono, dan D. T.
Sulistiowati. Pengaruh silang
dalam terhadap daya tunas, daya
tetas, dan bobot badan pada
burung puyuh. Fakultas
Peternakan Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta.
Falconer, D. S. 1981. Introduction
Quantitative Genetics. 2nd Ed.
Longmans Group Ltd. London and
New York.
Kaharuddin, D., dan Kususiyah. 2005a.
Performans fenotipe dan genotype
hasil persilangan antara puyuh asal
Bengkulu, Padang dan Yogyakarta.
Laporan Penelitian. Hibah
Penelitian SP4 Batch 1 Jurusan
Peternakan Faperta UNIB.
Kaharuddin, D., dan Kususiyah. 2005b.
Pengaruh jantan dan betina
terhadap produksi, fertilisitas dan
daya tetas telur pada persilangan
antara puyuh asal Bengkulu,
Padang, dan Yogyakarta. Laporan
Penelitian Universitas Bengkulu.
Bengkulu.
Kaharuddin, D. , dan Kususiyah. 2006.
Fertilitas dan daya tetas telur hasil
persilangan antara puyuh,
Bengkulu, Padang dan Yogyakarta.
Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian
Uiversitas Bengkulu. (8) 1: 56-60.
Noor, R. R. 1996. Genetika Ternak.
Cetakan I. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Pramono, R. 2004. Performans
reproduksi dan munculnya kaki
pengkor pada puyuh di beberapa
peternakan puyuh Kota Bengkulu.
Skripsi Jurusan Peternakan
Fakultas Pertanian Universitas
Bengkulu.
Rokimoto. July3. 2002. Poultry
breeding/Genetics: inbreed Quail.
www.the.coop.org/wwwboard/dis
cuss/messages/15/6437/html-11k.
Sheridan, A.K. 1986. Selection for
heterosis from reciprocal cross
population: Estimation of the F1
heterosis and its mode of
inheritance. British Poultry Sci. 27:
541-550.
Warwick, E. J., Astuti J. M. dan W.
Hardjosubroto. 1983. Pemuliaan
Ternak. Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 61
Effects of Feeding Kroto (Aerophylla smaragdina), Kricket (Brachytrypes
membranaceus) and Diet Combinations on Live Performance of Young Edible –
Nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga)
B. Brata, R. Saepudin, Sutriyono and Lindya
Animal Science Department, Faculty of Agriculture, Bengkulu University
Jl. Raya Kandang Limun, Bengkulu 38371A-Indonesia
Corresponding E-mail: [email protected]
ABSTRACT
The aim of this research was to investigate the performance of young Edible-nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga)
fed (Aerophylla smaragdina), cricket (Brachytrypes membranaceus) and diet combinations of 33% cricket, 34%
kroto and 33% of commercial diet/BR1. The observation was started from the bird hatches until it fledges.
Experiment design used was completely randomized design with three treatments and four replications; each
of the replications consists of ten young Edible-nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga). The treatments were 100%
kroto, 100% cricket and diet combinations of of 33% cricket (Brachytrypes membranaceus), 34% kroto and 33% of
commercial diet/BR1. The variables measured were feed consumption, body weight, feed conversion and total
loss. Results showed that, there were insignificant effects of feeding kroto, cricket and diet combinations of
33% cricket, 34% kroto and 33% of commercial diet/BR1 on live performance of young Edible-nest Swiftlet,
observed from the bird hatches until it fledges. By the end of the observation, one young Edible-nest Swiftlet
(Collocalia fuciphaga) survived.
Keywords: young edible-nest swiftlet (Collocalia fuciphaga) , kroto and cricket.
INTRODUCTION
Indonesia is one of the biggest
producers for Edible-nest swiftlet
(Collocalia fuciphaga) with the total
production of approximately 105
tones. Two out of twelve species of
swiftlets are widely used; Collocalia
fuciphaga and Collocalia maxima
(Sawitri and Garsetiasih, 2000). The
farming of the Edible-nest Swiftlet
(Collocalia fuciphaga) for their nests is
an important industry for a number
of people all around Indonesia.
Mardiastuti et al. (1999), mentioned
that those species whose nests are
'white' shallow cups and made
almost purely of saliva are produced
by Collocalia fuciphaga.
In Bengkulu, nests of Edible-
nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga) is
one of primary incomes in the society
as Edible-nest swiftlet (Collocalia
fuciphaga) annual production is 1.5
tones (Saepudin, 2007a) ; as well as
source of district own revenue
through tax collection. Moreover,
Saepudin (2006) mentioned that
Bengkulu is a potential area to
develop Edible Nest Swiftlet
(Collocalia fuciphaga) industry for its
environment factors.
There are some problems in
developing Edible Nest Swiftlet
(Collocalia fuciphaga) farming such as
inhabited buildings, a decrease of
young Edible Nest Swiftlet (Collocalia
fuciphaga) population and
unavailability of natural food.
According to Wibowo (1995), the
chicks are fed with food balls
ISSN 1978 - 3000
| Feeding of Young Edible – Nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga) 62
regurgitated by mist-netted adults.
After hatching, the chicks are most
likely to have low live percentage;
even though there are numerous
researches on swiftlet diets.
In the wild life, the nestling
period lasts 45 days. Once they have
fledged, the young swiftlets are fully
independent and are no longer fed by
their parents. Furthermore, Wibowo
(1995) mentioned that swiftlets food
is mostly pests for the farmers. Food
for young swiftlets, which is called
Kroto (Aerophylla smaragdina), is
available at pet shop. According to
Widyaningrum et al. (2000), cricket
(Brachytrypes membranaceus) a
domesticated animal is a type of food
for singing birds. The finding of
Mardiastuti (1999) showed that
feeding diet combination of insect
and kroto showed a better weight
gain than single diet feeding.
Saepudin (2007b) revealed that
feeding edible-Nest Swiftlet
(Collocalia fuciphaga) nests given (15%)
on diet had better liveperformance
compared to 10% and 5% Edible Nest
Swiftlet (Collocalia fuciphaga) nests on
diet.
The aim of the research was to
find out the performance of young
Edible Nest Swiftlet (Collocalia
fuciphaga) fed kroto (Aerophylla
smaragdina), cricket (Brachytrypes
membranaceus) and diet combinations.
It was hypothesized that the feeding
treatments would be able to improve
live performance as well as survival
of the bird after hatching until it
fledges.
MATERIAL AND METHODS
The research was conducted in
bird nest building at Sukamerindu of
Sungai Serut district, Bengkulu and
Animal Science Laboratory started
from December, 2007 to January,
2008.
The young edible – Nest
Swiftlet and the diet were weighed
by using Oertling analytical balance
to the nearest 0.01 g. Artificial nests
were used to nestle young edible-
Nest Swiftlet. A modified humidifier
was made of fan and plastic. Foam
was used to put the hatched chicks,
forceps were to select and place feed
inside the mouth of the bird.
Termohygrometer was used to
measure the air temperature and
humidity. There were also lamps and
three units of electric hen hatch used.
Materials used were 120 young
edible-nest Swiftlet, kroto, cricket and
diet combinations of 33% cricket, 34%
Table 1. Nutritional value of the diet
Nutrient Kroto Cricket Combination
(100%) (100%) Cricket (33%) Kroto (34%) BRI(33%)
Protein
Energy
Crude fiber
Calcium
Phosphor
Crude fat
11.09*
3059.10*
2.06*
0.26
0.29
0.71*
60.47**
6172.88**
7.30**
2.20
0.62
8.20**
30.99
4073.74
4.76
1.94
0.94
6.20
Sources: * Mardiastuti (1999)
** Farida et al (2008)
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 63
kroto and 33% of commercial
diet/BR1. Stimulant perfume made 1
g of edible-nest Swiftlets nests and 1
litter.of water. Besides this, another of
the material was 96% alcohol
(Rasemut and Rafiko (pesticides).
The electric hatch machine was
set up a day before the research to
stabilize the temperature. The ideal
temperature was maintained at 370C
and 70% of humidity, then the
machine is ready to use.
The birds were transferred
from the electric hen hatch to a
suitable sized box. . The rearing room
was sterilized by using pesticides
(Arcoa and Rasemut) and sprayed by
using 96% of alcohol. Rearing room
was then spayed with stimulant
perfume. The room was equipped
with brooder and the temperature
was set from 26 to 290C and 80 to 90%
of humidity. After two weeks, the
young edible-nest Swiftlet was
transferred to artificial nests attached
to the wall of the bird nest building.
Nutritional value of diet is
presented in Table 1. The young
edible-nest Swiftlets were fed with
kroto, cricket and diet combinations
of 33% cricket, 34% kroto and 33% of
commercial diet/BR1. Kroto was
sorted to separate the old ones and
made free of dirt, and then boiled for
fifteen minutes. The crickets were
removed for legs and heads and then
put under warm water and grinded
finely. The diets were then mixed.
Experiment design used was
completely randomized design with
three treatments and four
replications; each of the replications
consists of ten young Edible-nest
Swiftlet. The treatments were 100%
kroto, 100% cricket and diet
combinations of of 33% cricket, 34%
kroto and 33% of commercial
diet/BR1.
Collected data were analyzed
by using Analysis of variance
(ANOVA). Any significant difference
among treatments was tested by
using Duncan’s Multiple Range Test
(DMRT).
There were thirteen times of
feeding or whenever there was a sign
of hunger and feeding was stopped
when the young Edible-nest Swiftlet
closed its mouth.
Feed consumption of young
Edible-nest Swiftlet was the total feed
given minus the feed available at the
end of the day. The average feed
consumption was measured weekly
(gram/bird). Feed conversion was
measured as total feed consumption
divided by weight gain.
RESULTS AND DISCUSSION
Feed Consumption
The average of feed
consumption on day 1st to 21st is
shown in Table 2. The results showed
that the feeding treatments did not
significantly affect feed consumption
(P>0.05). However, the Table 2
showed that treatment of feeding diet
combinations gave the highest feed
consumption (25.65 g/bird) compared
to cricket (23.22 g/bird) and kroto
(20.68 g/bird).
The feed consumption of diet
combinations is the highest among
treatments. It indicated that the
ISSN 1978 - 3000
| Feeding of Young Edible – Nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga) 64
variations of feed given affected the
amount of feed intake. Therefore, diet
combinations can be an alternative
method of feeding for young Edible-
nest Swiftlet. Moreover, the highest
feed consumption on combination
diet treatment group was due to a
balance energy and protein content
(Table 1)
Yangesa (1997) revealed that
young Edible-nest Swiftlet in wild life
obtains feed of feed balls regurgitated
by mist-netted adults, on average,
contained 1500 to 2000 tiny insects.
As insects, they have chitin which is
indigestible, it is digested by adult
saliva; which is not well developed in
young bird (Mardiastuti, 1999).
Body Weight Gain of Edible-nest
Swiftlet (Collocalia fuciphaga)
The average of weight gain on
day 1st to 21st is shown in Table 2. The
results of statistical analysis showed
that the feeding treatments did not
significantly affected average of
weight gain (P>0.05). Insignificance of
weight gain among feeding
treatments may be due to the diet
combinations. Saepudin (2007b)
revealed that feeding edible-Nest
Swiftlet (Collocalia fuciphaga) nests
(15%), which was mixed in diet gave
better live performance of young
edible Nest Swiftlet.
The combination of diet
treatment perform the highest body
weight gain (2.72g/bird), compared to
that of in cricket group (2.64 g/bird)
and kroto treatment group
(2.45g/bird) The highest weight gain
on combination diet treatment group
was due to a balance energy and
protein content (see Table 1).
Compare to energy and protein
contents in kroto and cricket, it is
clear that combination of kroto,
cricket and BR1 had more balance
energy and protein content.
Moreover, the balance calcium and
phosphor in combination diet
treatment (Table 1) might cause the
body weight gain compared to the
one in calcium and phosphor in kroto
and cricket.
Saepudin (2007c) stated
feeding diet combination of kroto
(50%) and feeding edible-Nest
Swiftlet (Collacalia fuchiphaga) (50%)
might cause body weight gain better
compared to kroto (100%) and
feeding edible-Nest Swiflet (Collacalia
fuchiphaga) (100%).
Feed Conversion
The average of feed conversion
is shown in Table 2. The results of
statistical analysis showed that the
feeding treatments did not
significantly affect feed conversion
(P>0.05). Insignificance of feed
conversion among feeding treatments
indicated that the diets may have
similar efficiency values. It is worth
Table 2. The average of feed consumption, weight gain, and feed conversion on day 1st to 21 st
Variable Average
Kroto Cricket Diet Combination
Feed Consumption 20.68 ±2.57a 23.22±1.04a 25.65±3.78a ns
Weight gain 2.45 ±0.26a 2.64±0.16a 2.72±0.15a ns
Feed conversion 8.43 ±0.30a 8.81±0.44a 9.45±1.40a ns Figures with different letters indicate the group mean is significantly different (P<0.005) The data are show as mean ±SEM
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 65
noting that kroto had a lower feed
conversion (8.83) compared to cricket
(9.81).
Feed conversion indicates the
level of food utilization efficiency.
Kroto seemed to be the most efficient
diet for young edible-Nest Swiftlet
among the treatments groups. The
high efficiency of kroto was due to
the lowest feed consumption
contributed to better weight gain
(Table 2). This means that the
combination of low protein (11.09%)
and low energy (3059.10 kcal) made
this diet being the most efficient with
feed conversion was 8.43.
Live young edible-Nest Swiftlet
(Collocalia fuciphaga) that fledges
The number of live edible-nest
swiftlet that fledges is shown in Table
3. In the Table 3, showed that, there
are different numbers of live edible-
nest swiftlet until [fourth] week. In
kroto treatment group, there were 7
birds, in cricket treatment group were
4 birds and combination treatment
group were 6 birds. In the end of the
research period (week-8), there was
only one young edible-Nest Swiftlet
fledges; which was in cricket feeding
treatment group. Survival and
livability of young edible nest swiftlet
on cricket treatment group was the
best of all treatments at the end of the
research period. This might be caused
of the level of protein in cricket was
the most suitable to support live
(60.90%). According to Nugroho and
Sukma (2003), young Edible-nest
Swiftlet requires 55-60% protein to
grow well.
As a matter of fact, swifts are
insectivores. Adriana (1999) reported
that swifts frequently feed on
Hymenoptera, Dyptera, Hemiptera
and Hymenoptera. In Penang
Malaysia, 40.8% of 100-1200 insects
eaten by swifts are Hymenoptera.
Moreover, Nugroho et al. (1991)
revealed that edible-nest swiftlet
(Collocalia fuciphaga) requires 1000 to
5000 insects per day.
CONCLUSION
In conclusion, kroto, cricket
and combinations diet had a non
significant effect on feed
consumption, body weight gain, feed
consumption and the number of live
edible-nest swiftlet that fledges.
However, there was one live edible-
nest swiftlet that fledges in cricket
treatment group.
Table 3. The number of live edible-nest swiftlet that fledges
Week Number of edible-nest swiftlet that fledges
Kroto Cricket Diet combinations
1 25 21 21
2 17 10 15
3 11 7 11
4 7 4 6
5 1
6 1
7 1
8 1* *= live edible-nest swiftlet that fledges
ISSN 1978 - 3000
| Feeding of Young Edible – Nest Swiftlet (Collocalia fuciphaga) 66
ACKNOWLEDGEMENT
The author greatest thank to
Higher Education that has funded the
research through A2 Research Grant
2007 of Animal Science Department,
Faculty of Agriculture, University of
Bengkulu with contract No:
03/A2/JPT/2007 REFERENCES
Andriana, B. B. 1999. Makanan burung
wallet (Collocalia fuciphaga) rumahan di Kragilan Media Konservasi. Jurnal Ilmiah Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Lingkungan. VI(2) :51-53
Farida, W. R., K. K. Wardani., A. S. Tjakradidjaja, and D. Diapari. 2008. Konsumsi dan penggunaan pakan pada Tarsius (Tarsius bancanus) Betina di Pengakaran. Biodiversitas. 9(2) : 148-151
Mardiastuti, A. 1999. An attempt artificially incubate and raise chicks of edible-nest swiftlets. Media Konservasi. Jurnal Ilmiah Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Lingkungan. VI(2) : 45-49
Mardiastuti., A. Djanglot, Y. A. Mulyani, and A. Nugraha.1999. Pengelolaan pasca panen sarang burung wallet. Media Konsevasi. Jurnal Ilmiah Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Lingkungan. VI(2) : 69-72
Nugroho, E. W. I., S.S Whendrato, and I.M. Madyana. 1991. Budidaya Walet di Malaysia. Eka Offset, Semarang.
Nugroho, H. K. and E. S. Sukma. 2003 Sarana Budidaya Walet. Penebar Swadaya, Jakarta.
Saepudin, R. 2006. Studi habitat makro burung walet (Collocalia sp) di Kota Bengkulu. Jurnal Peternakan Indonesia. 1(1) : 8-16
Saepudin, R. 2007a. Pengaruh kosentrasi larutan hidrogen peroksida (H2O2) terhadap derejat putih dan nilai gizi sarang burung walet sarang hitam (Collocalia maxima). Jurnal Sain Peternakan Indonesia. 2 (1) : 40-44.
Saepudin, R. 2007b. Kajian tentang penetasan telur walet (Collocalia fuciphaga). Jurnal Sain Peternakan Indonesia. 2 (2) : 73-78
Saepudin, R. 2007c. Penggunaan kroto dengan sarang walet sebagai pakan untuk meningkatkan daya tahan hidup anak walet (Collocalia fuciphaga). Jurnal Ilmu – Ilmu Pertanian. Edisi Khusus (2) : 235-240
Sawitri, R and R. Garsetiasih 2000. Studi populasi, habitat serta produktivitas burung walet putih (Collocalia fuciphaga) di Gombong Selatan Jawa Tengah. Buletin Penelitian Hutan Visi dan Misi P3H & KA. (620) : 37-49
Wibowo, S. 1995. Budidaya Sarang Walet. Penebar Swadaya, Jakarta.
Widiyaningrum, P., A. M. Fuah , D T H. Sihombing and A.
Djuhara. 2000. Pengaruh sex Rasio dan jenis pakan terhadap produksi dan daya tetas telur tiga jenis jangjrik lokal. Gryllus miratus Burn, Gryllus bimaculatus De Geer, dan Gryllus testaceus Walk (Orthoptera: Gryllide). Jurnal Ilmiah. Ilmu Perternakan, 24 (2) : 75-80.
Yangesa, I. 1997. Penetasan telur dan pemeliharaan anakan burung walet sarang putih (Collocolia fuchiphaga). Skripsi. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 67
Pengaruh Suplementasi Prekusor Karnitin (Niasin Dan FeSO4)
dalam Ransum Berbasis Enkapsulasi Minyak Ikan Lemuru terhadap
Perlemakan Darah Ayam Broiler
Effect of Supplementation of Carnitine Precursor (Niasin and FeSO4) into Rations as A
Lemuru Fish Oil Encapsulation on Broiler Blood Serum
Yosi Fenita
Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu
Jl WR Supratman Kandang Limun Bengkulu Telp 21170 ext 219
email: [email protected]
ABSTRACT
The aims of study was to evaluate the effect of supplementation of carnitine precursor (Niasin and FeSO4) into rations as a lemuru fish oil encapsulation to broiler blood serum. The experiment was using Random completely design with 6 treatment and 3 replicatin, each consist of 10 broiler. A level that used in the experiment was PO ; commerial ration, P1 : basal ration + 2% of lemuru fish oil encapsulation. P2 : basal ration + 2% lemuru fish oil encapsulation + 35 mg of niasin + 80 mg of FeSO4 , P3 : basal ration +2% of lemuru fish oil encapsulation + niasin 35 mg + FeSO4 160 mg, P4 : ransum basal + 2% of lemuru fish oil encapsulation + niasin 35 mg + FeSO4 160 mg. P5 : ransum basal + 2% of lemuru fish oil encapsulation + niasin 70 mg + FeSO4 160 mg. Blood serum broiler was taken from vena brachialis . The data that analyzed of variance (Anova), if there is a significant effect, it was tested by orthogonal contrast (Steel and torrie, 1993) some variable that observed were cholesterol. Trigliserida, LDL (Low density lipoprotein) and HDL (Hgh density lipoprotein) of broiler blood serum. The result shown that significant (P<0.01) to decrease cholesterol of blood serum but no significant (P>0.05) in decreasing triglyserida and LDL and also no significant (P>0.05) in increasing HDL of broiler blood serum. The conclution, supplementation of carnitine precursor can dereasing of blood serum but does not decreasing triglyserida and LDL of blood serum and also can not increasing HDL of broiler blood serum. Key word : precursor carnitine,cholesterol, triglyseride, LDL dan HDL blood serum broiler
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat pengaruh pemberian prekusor karnitin (Niasin dan FeSO4)
dalam ransum yang berbasis enkapsulasi minyak ikan lemuru terhadap perlemakan darah ayam broiler..
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan dan 3 ulangan. Masing-
masing ulangan terdiri dari 10 ekor ayam. Level yang digunakan pada penelitian ini adalah P0: ransum
komersial, P1: ransum basal + 2% enkapsulasi minyak ikan lemuru , P2: ransum basal +2% enkapsulasi
minyak ikan lemuru + Niasin 35mg + FeSO4 80 mg, P3 : ransum basal +2% enkapsulasi minyak ikan lemuru +
niasin 35 mg + FeSO4 160 mg, P4 : ransum basal +2% enkapsulasi minyak ikan lemuru + niasin 35 mg + FeSO4
160 mg. P5 : ransum basal +2% enkapsulasi minyak ikan lemuru + niasin 70 mg + FeSO4 160 mg Sampel darah
diambil melalui vena brachialis pada akhir penelitian. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam
(ANOVA), bila terdapat pengaruh yang nyata diuji dengan kontras orthogonal (Steel and Torrie, 1993).
Variabel yang diamati adalah kolesterol, trigliserida, LDL (Low Density Lipoprotein ) dan HDL (High Desity
Lipoprotein) serum darah ayam broiler. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suplementasi prekusor karnitin
(Niasin dan FeSO4) secara nyata (P<0,01) dapat menurunkan kolesterol serum darah broiler, tetapi berbeda
tidak nyata (P>0,05) menurunkan trigliserida dan LDL dan perlakuan berbeda tidak nyata (P>0,05) untuk
meningkatkan HDL serum darah ayam broiler. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa suplementasi prekusor
karnitin (Niasin dan FeSO4) dapat menurunkan kolesterol serum darah tetapi tidak menurun trigliserida dan
LDL serum darah dan tidak dapat meningkatkan HDL serum darah ayam broiler. Kata kunci ; prekursor karnitin, Kolesterol, trigliserida, LDL dan HDL serum broiler
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Suplementasi Prekusor Karnitin 68
PENDAHULUAN
Meningkatnya kesadaran
masyarakat akan gizi menyebabkan
semakin meningkatnya permintaan akan
produk daging dengan kualitas karkas
yang baik yaitu dengan kadar lemak
rendah, kadar kolesterol rendah, dan
kandungan asam lemak yang tinggi serta
kadar protein yang tinggi. Untuk
memenuhi permintaan akan daging yang
berkualitas dapat dilakukan dengan cara
memodifikasi pakan yang diberikan
pada ayam broiler. Minyak merupakan
salah satu sumber energi pendukung
pakan unggas. Suplementasi minyak
dalam pakan merupakan suatu metode
yang paling cocok untuk memenuhi
kebutuhan energi yang tinggi pada
pakan unggas. Minyak yang dapat
diberikan pada unggas berasal dari
minyak nabati (minyak kelapa, minyak
sawit, minyak jagung) dan minyak ikan
(diantaranya minyak ikan lemuru).
Pemberian minyak ikan lemuru dalam
ransum ayam broiler dapat
meningkatkan kandungan asam lemak
Omega-3 yaitu EPA (Eioksapentaenoat)
dan DHA (Dokosaheksaenoat) karena
minyak ikan lemuru kaya akan asam
lemak Omega-3 (Fenita et al 2005, Fenita
et al 2010, dan Fenita et al 2011 ; Sudibya,
1998). Hasil penelitian Supadmo (1997)
menunjukkan bahwa minyak ikan
lemuru mengandung EPA sebesar 23, 72
g/100g asam lemak dan DHA sebesar
6,09 g/100g asam lemak, sedangkan
Fenita (2010) memperoleh kisaran yang
hampir sama yaitu 24,05 g/100 g asam
lemak untuk EPA dan 8,46/100 g asam
lemak untuk EPA dan 8,46 g/100g asam
lemak untuk DHA. Supadmo (1997)
menyatakan bahwa pemberian minyak
ikan lemuru pada taraf 4% akan
meningkatkan asam lemak Omega-3
daging terutama EPA dan DHA
dibanding yang tidak diberikan,
sementara Fenita (2002) dengan
pemberian 3% ternyata mampu
meningkatan kadar EPA dan DHA
Enkapsulasi minyak ikan
merupakan metode yang tepat
digunakan untuk efisiensi pemanfaatan
minyak ikan karena sifat fisik minyak
ikan yang encer dan sulit tercampur
dengan pakan. Enkapsulasi bertujuan
untuk mencegah terjadinya kerusakan
lemak akibat proses oksidasi (Permadi et
al,.2002 ; Fenita et al 2010 dan Fenita et al,
2011). Pada ayam broiler kelebihan
energi karena konsumsi energi yang
lebih akan diubah menjadi lemak tubuh
(Wahyu, 1992). Untuk mengurangi
kandungan lemak dan kolesterol yang
tinggi dapat dilakukan dengan
menggunakan prekusor karnitin,
sehingga lemak dapat diubah menjadi
energi dan menurunkan kadar kolesterol
(Fenita, 2002).
Karnitin (β hidroksi –γ- N-
trimetil butirat) (CH3) 3N+ - CH2- CH(OH)
- CH2 - COO- merupakan senyawa yang
tersebar luas dan banyak dijumpai
dengan jumlah yang melimpah terutama
dalam otot, berperan sebagai zat
penghantar dalam transport asam lemak
jenuh berantai panjang dan menengah ke
dalam mitokondria, dioksidasi untuk
menghasilkan energi (Michalak dan
Qureshi, 1990). Tersedianya karnitin
dalam tubuh dapat disintesis dengan
menggunakan prekusor karnitin seperti
lisin, metionin, niasin, piridoksin dan
FeSO4. Feller dan Rudman (1998),
menyatakan bahwa sintesis karnitin
membutuhkan 4 atom karbon dari lisin
dan gugus metilnya berasal dari
metionin, juga mmbutuhkan ko-faktor
untuk aktifitas enzim yaitu Vitamin C,
folasin dan mineral Fe.
Kolesterol di dalam darah
terdapat bersama dengan trigliserida,
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 69
fosfogliserida, fosfolipid dan apoprotein
membentuk lipoprotein. Menurut Piliang
dan Djojosebagio (1990) lemak dibawa
melalui plasma dalam bentuk
lipoprotein. Oleh karena plasma
merupakan media bersifat cair (aqueous),
maka lemak tidak dapat diangkut tanpa
adanya suatu zat perantara yaitu
kelompok protein yang mempunyai
kemampuan untuk mengikat lemak
seperti : chylomicrom, lipoprotein
dengan desintas sangat rendah (Very
Low Density Lipoprotein, VLDL),
lipoprotein dengan densitas tinggi (High
Density Lipoprotein, HDL).
Suplementasi metionin 0,08% dan
lisin 0,20 % ke dalam ransum ayam
broiler dapat menurunkan trigliserida
dan kolesterol serum darah (Supadmo,
1997). Fenita (2005) memperlihatkan
bahwa suplementasi metionin sebesar
0,75% dan lisin sebesar 2,2% dapat
menurunkan total lipid, kolesterol, LDL
trigliserida dan dapat meningkatkan
HDL serum darah ayam ras pedaging.
Suteky dan Fenita (2010)
memperlihatkan bahwa pemberian
niasin pada taraf 1000 mg pada ternak
puyuh dapat menurunkan trigliserida
sebesar 26,87%, kadar kolesterol sebesar
40,16%, LDL sebesar 45% dan dapat
meningkatkan HDL serum darah puyuh
sebesar 37,77%.
Level lisin 2,2 % dan metionin
0,75 % yang digunakan adalah
berdasarkan hasil penelitian Fenita
(2002), sedangkan untuk vitamin C
sebesar 250 mg adalah berdasarkan hasil
penelitian Supadmo (1997) menyatakan
bahwa pemberian vitamin C sebesar 250
mg dapat menurunkan trigliserida dan
kolesterol serum darah ayam ras
pedaging. Pada penelitian ini level niasin
dan FeSO4 yang digunakan berdasarkan
rekomendasi NRC (1994). Diharapkan
dalam penelitian ini diketemukan level
Niasin dan FeSO4 yang paling baik
sebagai prekusor karnitin untuk
mengoptimumkan oksidasi lemak
sehingga dapat menrunkan kadar lemak
dan kolesterol ayam pedaging.
Penelitian ini bertujuan untuk
melihat pengaruh pemberian prekusor
karnitin (Niasin dan FeSO4) dalam
ransum yang berbasis enkapsulasi
minyak ikan lemuru terhadap
perlemakan darah ayam broiler.
Suplementasi prekusor karnitin (Niasin
dan FeSO4) pada level 1x NRC (35mg, 80
mg) sampai 2x NRC (70 mg, 160 mg)
diharapkan dapat menurunkan
trigliserida, kolesterol dan LDL (Low
Density Lipoprotein) dan dapat
meningkatkan HDL (High Density
Lipoprotein ) serum darah ayam broiler.
MATERI DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di
kandang Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu. Alat yang
digunakan dalam penelitian ini, yaitu :
tempat pakan, tempat minum, ember,
brooding, kandang dengan lantai litter,
plastic, jarum suntik , label dan termos
es. Sedangkan bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah 180 ekor
ayam broiler, jagung tepung ikan,
bungkil kedelai, dedak padi, polard,
mineral mix, enkapsulasi minyak ikan
lemuru, metionin, lisin, vitamin C,
Niasin dan FeSO4.
Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
6 perlakuan dan ulangan, setiap unit
perlakuan menggunakan 10 ekor ayam.
Keenam perlakuan pakan tersebut, yaitu:
P0 = Ransum komersial (kontrol)
P1 = Ransum basal + enkapsulasi
minyak ikan 2%
P2 = Ransum basal + enkapsulasi
minyak ikan2% + niasin 35 mg +
FeSO4 80 mg
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Suplementasi Prekusor Karnitin 70
P3 = Ransum basal + enkapsulasi
minyak ikan 2% + niasin 35 mg +
FeSO4 160 mg
P4 = Ransum basal + enkapsulasi
minyak ikan 2% + niasin 70 mg +
FeSO4 80 mg
P5 = Ransum basal + enkapsulasi
minyak ikan 2% + niasin 70 mg +
FeSO4 160 mg
Sebelum penelitian dimulai, kandang
dibersihkan terlebih dahulu dan
disanitasi dengan desinfektan. Sebelum
DOC datang dilakukan pengapuran dan
tempat pakan dan tempat minum
dibersihkan dengan menggunakan
disinfektan. Pembuatan enkapsulasi
menggunakan minyak ikan lemuru
sebagai bahan utama yang didapatkan
dari PT Bali Manyu Desa Nagara Bali
dan sebagai penyalut digunakan pollard,
dan pengelmulsi digunakan gelatin dan
tween 80. Pembuatan enkapsulasi
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
bahan penyalut pollard 75% dan gelatin
25% dicampur dan diaduk sampai
merata, kemudian masukkan minyak
ikan sebanyak 25% aduk sampai
homogen. Kemudian tambahkan tween
80 sebanyak 10% dan minyak ikan dan
aduk sampai homogen. Setelah itu
dikeringkan dengan menggunakan hair
dryer. Ransum disusun dengan
imbangan protein 20-21% dan energi
metabolis 3000-3200 kkal/kg (Wahyu,
1992). Sumber minyak yang digunakan
adalah minyak ikan lemuru, 3%
enkapsulasi. Ayam yang digunakan
adalah broiler sebanyak 180 ekor. Pada
umur 1-3 minggu menggunakan pakan
komersial dan pada umur 3-6 minggu
menggunakan pakan perlakuan, yang
diberikan ad libitum. Enkapsulasi minyak
ikan lemuru dicampurkan kedalam
ransum basal dengan level 2 %.
Pengambilan sampel darah dilakukan
pada ayam berumur enam minggu.
Pengambilan sampel darah lewat vena
brachialis selanjutnya dianalisis kadar
kolesterol, trigliserida, HDL dan LDL
serum darah ayam. Data yang diperoleh
dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA)
bila berpengaruh nyata diuji lanjut
dengan kontras Ortogonal (Steel dan
Torrie, 1993). Penentuan kadar kolesterol darah
dilakukan dengan prosedur Enzymatic Endpoint Method, dengan satuan mg/dl.
Kadar trigliserida serum darah ayam broiler
Penentuan kadar trigliserida dengan menggunakan GPO-PAP satuan mg/dl.
Kadar HDL (High Density Lipoprotein) serum darah ayam broiler
Prosedur analasis HDL-Kolesterol juga menggunakan metode CHOD-PAP (Cholesterol axidase-p-aminophezone), satuan mg/dl.
Kadar LDL (Low Density lipoprotein) serum darah ayam broiler
Prosedur analisis LDL-Kolesterol menggunakan metode Fully Enzymatic, Calorimetric test, dengan satuan mg/dl.
Tabel 1. Komposisi nutrisi bahan penyusun ransum
Bahan pakan Protein (%) Energi (Kkal/kg) SK (%) Lemak
(%)
Ca (%) P (%)
Jagung 1)
Dedak1)
Tepung ikan 1)
B kedelai 1)
Min. supl2)
Enkapsulasi 3)
9,27
13,81
58,88
40,55
0
14,87
3340
1630
2728
2843
0
5273
2,82
5,49
3,15
5,65
0
0
3,90
4,85
8,15
1,92
0
22,475
0,06
0,1
3,1
0,21
32,50
0
0,29
0,94
2,15
0,11
10
0
sumber 1)Fenita (2005) 2)Label mineral suplemen 3) Fenita ( 2010)
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 71
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rata-rata kadar kolesterol darah
ayam broiler pada setiap perlakuan akhir
penelitian disajikan pada Tabel 3.
Hasil sidik ragam menunjukkan
bahwa suplementasi Niasin dan FeSO4
dalam ransum berpengaruh sangat nyata
(P<0,01) terhadap kolesterol serum darah
ayam broiler. Berdasarkan uji lanjut
kontras orthogonal didapatkan bahwa
kolesterol serum darah P0 (ransum
komersial) sebagai control sangat nyata
(P>0,01) lebih tinggi perlakuan yang
diberikan enkapsulasi minyak ikan
lemuru. Hal ini menunjukkan bahwa
suplementasi prekusor karnitin yang
berbasis enkapsulasi minyak ikan
lemuru dapat menurunkan kadar
kolesterol serum darah ayam broiler. Hal
ini disebabkan oleh prekusor karnitin
yang mempunyai peran sebagai zat
penghantar dalam transport asam lemak
jenuh berantai panjang dan menengah ke
dalam mitokondria, dioksidasi guna
menghasilkan energy (Michalak dan
Qureshi, 1990). Hasil penelitian Suteky
dan Fenita (2010) menunjukkan bahwa
pemberian Niasin selama 14 minggu
dengan level 100mg/kg dapat
menurunkan kolesterol serum darah
ayam puyuh sebesar 39,83 mg/dl atau
34,05%. Pada P1 (ransum basal
+enkspsulasi 2%) tidak berbeda nyata
(P>0,05) dengan P2,P3,P4 dan P5 yang
diberikan suplementasi Niasin dan
FeSO4.
Menurut Harper (1995) kerja
Niasin akan menghambat proses
perubahan asam asetat dalam bentuk
KoA menjadi asam mevalonat sehingga
dapat menurunkan kadar kolesterol. Hal
Tabel 3. Kadar Kolesterol, Trigliserida, HDl dan LDL darah ayam broiler pada akhir Penelitian
Peubah P0 P1 P2 P3 P4 P5 ket
Kolesterol 157,51a 130,77b 130,69b 130,67b 122,89b 117,45b **
Trigliserida 156,21 147,96 147,44 143,85 140,50 141,98 ns
HDL 38,38 37,45 37,71 35,73 37,32 37,17 ns
LDL 76,87 67,41 62,85 60,27 63,37 57,93 ns
Keterangan P0 = Ransum komersial (kontrol), P1 = Ransum basal + enkapsulasi minyak ikan 2%, P2 = Ransum basal + enkapsulasi minyak ikan2% + niasin 35 mg + FeSO4 80
mg, P3 = Ransum basal + enkapsulasi minyak ikan 2% + niasin 35 mg + FeSO4 160 mg, P4 = Ransum basal + enkapsulasi minyak ikan 2% + niasin 70 mg + FeSO4 80 mg, P5 =
Ransum basal + enkapsulasi minyak ikan 2% + niasin 70 mg + FeSO4 160 mg, superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata
(P<0,01)
Tabel 2. Susunan ransum dan kandungan nutrisi ransum penelitian
Komposisi
P0 P1 P2 P3 P4 P5
R. Komersil BR
Jagung - 67 67 67 67 67
Dedak - 3 3 3 3 3
Tepung ikan - 14 14 14 14 14
B kedelai - 12 12 12 12 12
Min. supl 2 2 2 2 2
Enkapsulasi 2 2 2 2 2
Total 100 100 100 100 100
Suplementasi
Lisin (%) - - 2,2 2,2 2,2 2,2
Metionin (%) 0,75 0,75 0,75 0,75
Vit C (mg) 250 250 250 250
Niasin (mg) 35 35 35 35
FeSO4 (mg) 80 80 80 80
Protein (%) 21,5 20,031 20,031 20,031 20,031 20,031
EM (kkal/kg) 3100 3115,24 3115,24 3115,24 3115,24 3115,24
Serat kasar (%) 3 3,173 3,173 3,173 3,173 3,173
Kalsium 0,9 1,152 1,152 1,152 1,152 1,152
Phospor 0,7 0,73 0,736 0,736 0,736 0,736
Lemak 4 4,727 4,727 4,727 4,727 4,727
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Suplementasi Prekusor Karnitin 72
yang sama disampaikan oleh Bhagavan
(1992), niasin mampu menurunkan
kadar kolesterol melalui penghambatan
proses VLDL dari hati dan menekan
mobilisasi sinergis dan asam empedu
atau HMG-CoA. Demikian pula menurut
Linder (1992) bahwa salah satu fungsi
niasin adalah sebagai flushing
(menurrunkan kadar kolesterol serum).
Fungsi sentral zat besi dalam tubuh
adalah mengangkut oksigen pada
tingkat hemoglobin, myoglobin, system
cytochrome dan secara pasti dari enzim-
enzim oksidatif (Abbas, 2009).
Sedangkan Feller dan Rudman (1998),
menyatakan bahwa sintesis karnitin
membutuhkan 4 atom karbon dari lisin
dan gugus metilnya berasal dari
metionin, juga membutuhkan ko-faktor
untuk aktivitas enzim yaitu Vitamin C,
niasin, folasin dan mineral Fe.
Kadar Trigliserida Serum Darah ayam
Broiler
Rata-rata kadar trigliserida serum
darah ayam broiler pada setiap
perlakuan selama penelitian disajikan
pada Tabel 3. Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa suplementasi
Niasin dan FeSO4 dalam ransum tidak
nyata (P>0,05) menurunkan trigliserida
serum darah ayam broiler. Secara
kuantitatif menunjukkan bahwa
suplementasi niasin dengan level 30mg
sampai 70 mg dan FeSO4 dengan level
80mg sa,pai 160mg cenderung
menurunkan kadar trigliserida serum
darah ayam broiler.
Menurut Butler (1971) dalam
Abbas (2009) besi bertanggung jawab
untuk mengikat 02 pada hemoglobin dan
myoglobin, diintegrasikan dari enzim
dan koenzim yang terdapat pada krista
mitokondria, dan bertanggug jawab
pada tahap akhir dari oksidasi asam
lemak, karbohidrat, asam amino dan
menghasilkan energy yang dibutuhkan
oleh tubuh hewan dalam bentuk ATP.
Capuzzi et al. (2004) dan Morgan et al.
(2004) menyatakan pemberian niasin
pada dosis tertentu dapat menurunkan
kadar trigliserida sebesar 20-50%.
Sedangkan hasil penelitian Apriani
(2005) menujukkan bahwa pemberian
niasin selama 14 minggu pada level
100mg/kg dapat menurunkan kadar
trigliserida serum darah puyuh sebesar
40,17 mg/dl, sedangkan pada penelitian
ini walaupun secara statistik tidak
berbeda nyata tetapi pemberian niasin
dengan level 70 mg dan FeSO4 dengan
level 160 mg dapat menurunkan kadar
trigliserida serum darah ayam broiler
sebesar 15,17 mg/dl atau 11,18%.
Kadar HDL (high density lipoprotein)
serum darah ayam broiler
Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa pemberian niasin
dan FeSO4 dalam ransum berpengaruh
tidak nyata (P>0,05) terhadap HDL
kolesterol serum darah. Hasil rata-rata
HDL menunjukkan bahwa pemberian
prekusor karnitin yaitu niasin dan FeSO4
tidak meningkatkan kadar HDL, ini
dilihat pada Tabel 3. Bahwa hasil rataan
pada settiap perlakuan relative sama.
Hasil penelitian Wink et al. (2002),
menunjukkan bahwa pemberian niasin
sebanyak 790 mg/hari – 1500 mg/hari
pada ayam broiler dapat meningkatkan
kadar HDL sebesar 18%- 29%.
Sedangkan berdasarkan hasil penelitian
Apriani (2005) menunjukkan bahwa
pemberian niasin 1000mg/kg pada
puyuh selama 14 minggu mampu
meningkatkan kadar HDL sebesar 13,97
mg/dl atau 37,77%.
Niasin dapat menimbulkan efek
terapeutik yang berasal dari inhibisi
terhadap pluksus asam lemak bebas dari
jaringan adipose, yang mengurangi
pembentuk lipoprotein pembawa
kolesterol, VLDL, IDL, LDL (Murray et
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 73
al. 2003). Menurut Morgan et al. (2004)
adanya perbedaan formulasi niasin akan
mempengaruhhi penyebaran partikel
HDL, dimana partikel HDL akan
mengurangi konsentrasi kolesterol
bebas, kolesterol ester dan phospolipid.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
suplementasi niasin dengan level 35 mg
sampai 70 mg dan FeSO4 dengan level 80
mg samapi 160 mg cenderung
menurunkan kadar HDL serum darah
ayam broiler.
LDL (low density lipoprotein) serum
darah ayam Broiler
Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa pemberian niasin
dan FeSO4 dalam ransum berpengaruh
tidak nyata (P>0,05) terhadap LDL
kolesterol serum darah yam broiler.
Konsentrasi LDL yang paling rendah
terdapat pada P5 (Niasin 70 mg + FeSO4
160 mg) yaitu 57,93 mg/dl kemudian
diikuti oleh P3 (Niasin 70mg + FeSO4
80mg) sebesar 60,27 mg/dl, P2 (Niasin 35
mg + FeSO4 80 mg) sebesar 62, 85 mg/dl ,
P4 (Niasin 35 mg + FeSO4 160 mg)
sebesar 63,37 mg/dl, P1 (Ransum basal +
enkapsulasi 2%) sebesar 67,41 mg/dl dan
P0 (control) sebesar 76,87 mg/dl yang
secara statistic tidak berbeda nyata.
Meskipun secara statistic tidak berbeda
nyata namun suplementasi niasin
dengan level 30mg samapi 70 mg dan
FeSO4 dengan level 80mg sampai 160 mg
cenderung menurunkan kadar LDL
serum darah ayam broiler. Penelitian
Sudibya (1998) yang menunjukkan
bahwa pemberian minyak ikan lemuru
4% pada ransum basal ayam petelur
dapat menurunkan kadar LDL –
kolesterol darah dari 49,75 mg/dl
menjadi 32,15 mg/dl. Pada penelitian ini
walaupun secara statistic tidak berbeda
nyata tetapi pemberian prekusor karnitin
yaitu niasin 70 mg dan FeSO4 160 mg
dapat menurunkan LDL-kolesterol darah
sebesar 18,94 mg/dl atau 32,69%.
Hasil penelitian Wink et al. (2002),
menunjukkan bahwa pemberian niasin
1500 mg/kg dapat mengurangi LDL
kolesterol. Demikian pula hasil
penelitian Suteky dan apriani (2009)
menunjukkan bahwa pemberian niasin
1000 mg/kg pada puyuh selama 14
minggu dapat menurunkan kadar LDL
serum darah puyuh sebesar 38,95 mg/dl.
FeSO4 dalam tubuh manusia dan hewan
terdapat dalalm sel darah merah sebagai
komponen Hb (Hemoglobin) yakni
sebesar 2,0-2,5 gram. FeSO4 merupakan
mikromineral yang paling banyak
daklam tubuh baik manusia atau hewan
(Linder, 1992). Pada penelitian ini dapat
dilihat bahwa peranan niasin dan FeSO4
sebagai prekusor karnitin yang dapat
mengaktifkan enzim-enzim pembentuk
karnitin belum berfungsi dengan
optimal. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pemberian niasin
dan FeSO4 pada lelevel 1x NRC (Niasin
35 mg, FeSO4 80 mg) dan 2x NRC (Niasin
dan FeSO4 160 mg) cenderung
menurunkan kadar LDL serum darah
ayam broiler.
SIMPULAN
Bedasarkan hasil dan
pembahasan dapat diambil kesimpulan
bahwa suplementasi niasin 35 mg, 70 mg
dan FeSO4 80 mh, 160 mg dapat
menurunkan kadar kolesterol darah
tetapi tidak menurunkan trigliserida,
LDL dan tidak meningkatkan kadar
HDL serum darah ayam broiler. Dan
disarankan untuk dilakukan lanjutan
dengan meningkatkan pemberian level
niasin dan FeSo4 untuk optimalisasi
pemberian prekursor karnitin terhadap
perlemakkan darah.
ISSN 1978 - 3000
| Pengaruh Suplementasi Prekusor Karnitin 74
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, H. M. 2009. Fisiologi
Pertumbuhan Ternak. Andalas
University Press. Cetakan I Padang
Capuzzi D.M.,J.M. Morgan, C.M. Carey,
c. Intenzo, T.Tulendo, D.kearney,
K.Walker, M.D.Creeman. 2004.
Resuvastation alone or with
extended-release niacin ; a new
therapeutic option for patients with
combined hyperlipidemia. Prev
Cardiol 7 (4) ; 176-181.
Feller A.G and d. Rudman. 1998. Role of
carnitin in human nutrition,
J.Nutr.118 ; 541-547
Fenita, Y. 2002. suplementasi lisin dan
metionin serta minyak ikan lemuru
ke dalam ransum berbasis
hidrolisat bulu ayam terhadap
perlemakkan dan pertumbuhan
ayam ras pedaging. Disertasi
Institut Pertanian Bogor, Bogor
Fenita, Y., I. Badarina dan E tamsar. 2005.
Uji kerusakkan ransum ayam
petelur yang menggunakan
minyak ikan lemuru (sardinella
longiceps) dengan penambahan
bawang putih sebagai antioksidan
alami selama penyimpanan. Jurnal
Ilmu-Ilmu Peternakan 8(4) : 279-
290.
Fenita, Y., U. Santoso, S. Winarsih, D.
Bahtiar, D. Silvia. 2010.
Pemanfaatan lumpur sawit
fermntasi tinggi b karaten dengan
suplementasi asam amino kritis
dan ankapsulasi minyak lemuru
terhadap performans produksi dan
kualitas telur. Laporan Penelitian
strategis nasional Universitas
Bengkulu. Bengkulu
Fenita, Y., B. Brata dan R. Dennis. 2011.
Pengaruh enkapsulasi minyak Ikan
lemuru dalam ransum berbasis
Lumpur sawit fermentasi
Terhadap upaya pengurangan
pencemaran lingkungan pada
usaha ayam petelur. Proseding
Seminar nasional dan rapat
tahunan dekan. Bidang ilmu-ilmu
Pertanian Badan Kerjasama
Perguruan tingi Negeri (BKS-PTN)
Wilayah Barat.
Harper. 2002. Biokimia (harpers Review
of biochemistry). Edisi 23
(Terjemahan I Darmawan).
Penerbit Buku kedokteraan. EGC.
Jakarta,
Linder, C. M. 1992. Biokimia Nutrisi dan
Metabolisme dengan pemakaian
secara klinis. Penerjemah A
prakasi. UI Press, Jakarta.
Michalak, A. And I.A.Qureshi. 1990.
Plasma and uninary levels of
hyperammonemia and the effect of
sodium benzoat treatmant.
Biochemical medicine and
Metabolic Biology 43 ; 163-174
Morgan, JM., C.M Carey, D.M.Capuzzi.
2004. The effect of niacin on
lipoprotein subclass distribution.
Prev cardiol 7 (94) : 182-187
Murray, R.K., K.G. darly, A.M. Peter and
W.R.Victor.2003. Biokimia Harper
(Harpers Review of Biochemistry)
Edisi 25. Penerbit buku
kedoktereran EGC, Jakarta
NRC. 1994. Nutrient Requirments of
Poultry 9 th. Rev. Edn. National
Academy Press. Washington, D.C.
Pilliang, W.G. dan S. Djojosoebagio 1990.
Fisiologi Nutrisi. Vol I.
Departement pendidikan dan
kebudayaan. Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi. Pusat Antar
Universitas Ilmu Hayat. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Permadi. A. Suwatjo, D.m Rasyid,
M.H.A., Suyana, I.N., Djazuli, N.,
Jatmiko, Y.A. B. 2002. Stabilitas
emulsi dan efesiensi enkapsulasi
minyak ikan lemuru (sardinellla
ISSN 1978 - 3000
Jurnal Sain Peternakan Indonesia Vol. 6, No. 1. Januari – Juni 2011 | 75
longiceps) http://rudyet
tripod.com/sem 1 023/group b 123.
Htm 29 November 2002.
Steel, T.Y and Torrie. 1993. Prinsip dan
Prosedur Statistik Suatu
Pendekatan Biometrik. Pt
Gramedia Pustaka Utama,Jjakarta.
Sudibya. 1998. Manipulasi kadar
kolesterol dan asam lemak omega-
3 telur ayam melalui penggunaan
kepala udang dan minyak ikan
lemuru. Disertasi program Pasca
sarjana. IPB. Bogor
Sudibya. 2002. Penggunaan kepala
udang terhidrolisis dan minyak
ikan lemuru dalam ransum
terhadap kadar asam lemak
omega-3 dan kolesterol daging
ayam broiler. Majalah ilmiah
UNSoed.1 (28) : 35-46
Supadmo. 1997. Pengaruh sumber chitin
dan prekursor karnitin serta
minyak ikan lemuru terhadap
kadar lemak dan kolesterol serta
asam lemak omega-3 ayam broiler.
Program Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Suteky dan Y. Fenita. 2010. Thr effect of
niacin on egg production, egg yolk
cholesterol and color of janpanese
quail. Proceeding international
seminar on prospet and chalengges
of animal production in developing
Countries in the 21 st Century.
Malang, 23-25 March 2010. U Press
Malang. Indonesia.
Wahyu, J. 1992. Ilmu Nutrisi Unggas.
Gadjah mada university Press,
Yogyakarta.
Wink J., G. Giacoppe and J. King. 2002.
Effect of very low dose niasin on
high density lipoprotein in patient
under going long term statin
therapy. Am. Heart J 143 (3) ; 514-
518
INDEKS PENULIS
VOLUME 6 NO 1, JANUARI – JUNI 2011
A. M. Fuah, 19
B. Brata, 61
C. Sumantri, 19
Desia Kaharuddin, 55
Farahdiba, 47
Hidayat, 33
Kamsiah, 11
Kususiyah, 33, 47, 55
L. Abdullah, 19
Lindya, 61
R. Saepudin, 19, 61
S. Hadisoesilo, 19
Siwitri Kadarsih, 1
Suharyanto, 41
Sutriyono, 61
Tris Akbarillah, 33
Urip Santoso, 41, 47
Yenni Okfrianti, 11
Yosi Fenita, 67
Yusma Hartati, 11
INDEKS SUBJEK
VOLUME 6 NO 1, JANUARI – JUNI 2011
cerana, 19
deposisi lemak, 47
indigofera, 33
integrasi, 19
Katuk, 41
kolesterol, 41
Kolesterol, 67
komposisi genetik, 55
komposisi kolesterol, 1
kopi, 19
kroto and cricket, 61
madu, 19
minyak lemuru, 1
minyak zaitun, 1
mutu karkas, 47
mutu telur, 41
pakan sumber energi, 33
pasta temulawak, 1
prekursor karnitin, 67
produksi telur, 41
produksi telur., 55
protein, 47
puyuh, 33, 55
Ragi tape, 47
rasa, 11
sapi bali, 1
stik keju, 11
teksture dan warna, 11
tepung tulang rawan, 11
trigliserida, 67
young edible-nest swiftlet (Collocalia fuciphaga), 61
JURNAL SAIN PETERNAKAN INDONESIA
(Indonesia Animal Science Journal) ISSN 1978 – 3000
Yang Bertanda Tangan dibawah ini:
Nama : …………………………………………………….....
Lembaga/Perguruan Tinggi : …………………………………………………….....
Alamat :……………………………………………………......
: …………………………………………………….....
Kabupaten/Kodia : …………………………………………………….....
Propinsi : …………………………………………………….....
Kode Pos : …………………………………………………….....
e- mail : …………………………………………………….....
Telepon/HP : ……………………………………………………….
Fax : ……………………………………………………….
Menyatakan untuk membeli/memesan/ berlangganan Jurnal Sain Peternakan Indonesia:
Volume : ………………………………………………………
Nomor : ………………………………………………………
Sebanyak : ………………………………………………………
Biaya Pembelian/pemesanan (ditambah ongkos kirim) sebesar ……………………………
Dibayar secara
(a) Langsung
(b) Transfer ke BNI 46 Cabang Bengkulu No Rek. 0121959902 a.n. Gema Pertiwi, S.E.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kirimkan formulir ini ke Redaksi Jurnal Sain Peternakan Indonesia, Jurusan Peternakan
Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Jl. Raya Kandang Limun Bengkulu 38371 A
Telp. (0736) 21170 psw. 219.
Atau melalui Email: [email protected] atau [email protected].
PETUNJUK PENULISAN NASKAH/ARTIKEL
JURNAL SAIN PETERNAKAN INDONESIA (Indonesia Animal Science Journal)
1. Jurnal Sain Peternakan Indonesia, memuat tulisan/karya ilmiah dalam bidang Ilmu Peternakan.
Manuskrip dapat berupa hasil penelitian, telaah/tinjauan pustaka, kasus lapang dan gagasan. Naskah
harus asli (belum pernah diterbitkan) menggunakan Bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Jurnal ini
terbit 2 kali dalam setahun yaitu Januari – Juni dan Juli – Desember.
2. Naskah atau artikel dikirim bersama soft copy dan cetakan lengkap sebanyak 3 (tiga) eksemplar atau
melalui E-mail dengan menggunakan pengolah kata Microsoft Word, ataupun Open Office diketik
menggunakan kertas A4, fonta Times New Roman berukuran 11 kecuali abstrak dan tabel dengan
ukuran fonta 9, margin kiri dan kanan 2,5 cm, margin atas dan bawah 2,5 cm. Ditulis dalam spasi 2
dan jumlah halaman seluruhnya tidak lebih dari 15 halaman.
3. Naskah Asli/Artikel asli harus diselaraskan dalam judul (dalam bahasa Indonesia dan Inggris,
pendahuluan, materi dan metode, hasil dan pembahasan, kesimpulan, ucapan terima kasih dan daftar
pustaka)
4. JUDUL ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris (jika artikel berbahasa Indonesia, jika
naskah dalam bahasa Inggris maka tidak perlu judul bahasa Indonesia), jumlah kata tidak melebihi
dari 15 (lima belas) kata. Nama penulis dan alamat, termasuk email penulis ditulis dibawah judul.
5. ABSTRACT, ditulis dalam bahasa Inggris, singkat dan padat serta dibawahnya dituliskan Key words
atau Kata kunci tidak lebih dari 5 9lima0 kata. Jumlah kata dalam Abstract tidak lebih dari 200 kata.
6. ABSTRAK, ditulis dalam bahasa Indonesia, singkat dan padat serta di bawahnya ditulis kata kunci.
Jumlah kata dalam Abstract tidak lebih dari 200 kata.
7. PENDAHULUAN, memuat latar belakang penelitian berdasarkan bahan pustaka yang relevan, tujuan
dan hipotesis penelitian (hipotesis tidak diperlukan dalam telaah/ tinjauan pustaka).
8. MATERI DAN METODE, memuat materi dan metode yang digunakan dalam kajian secara rinci dan
singkat serta analisis statistik yang digunakan.
9. HASIL DAN PEMBAHASAN, memuat hasil penelitian yang berupa ulasan, tabel atau grafik.
Pembahasan memuat diskusi hasil penelitian yang dirujuk dengan bahan pustaka yang relevan dan
telah termuat dalam pendahuluan.
10. SIMPULAN, memuat kesimpulan atas hasil dan pembahasan secara singkat dan padat dan tidak
boleh lebih dari satu alenia.
11. SARAN, memuat saran - saran atau masukan yang perlu disampaikan berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan.
12. DAFTAR PUSTAKA, disusun dengan memuat nama berdasarkan abjad, tahun, judul, Penerbit, Kota,
halaman tanpa nomor urut. Memuat minimal 7 (tujuh) buah jurnal ilmiah.
Contoh penulisaan daftar pustaka:
Antalikova, J., M. Baranovska, I. Mravcova, V. Sabo dan P. Skrobanek. 2001. Different Influence of
Hypodynamy on Calcium and Phosphorus Levels in Bones of Male and Female Japanese Quails.
http://www.biomed.cas.cz/physiolres. 20 April 2001.
Fenita, Y., I. Badarina, dan E. Tamsar. 2005. Uji kerusakan lemak ransum ayam petelur yang
menggunakan minyak ikan lemuru (Sardinella longiceps) dengan penambahan bawang putih
sebagai antioksidan alami selama penyimpanan. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan, 8 (4) :45-48.
CATATAN: Tabel, Gambar, Grafik dan sejenisnya diletakkan di lembar terpisah (tidak masuk di
dalam teks), yaitu setelah Daftar Pustaka.
INFORMASI TAMBAHAN: Jurnal ini terbit dua kali dalam setahun (periode januari-Juni dan Juli – Desember). Naskah dapat dikirim
melalui email: [email protected] dan [email protected].