ipe referat-osteoarthritis.doc

61
PRESENTASI KASUS OSTEOARTRITHIS DAN OBESITAS GRADE I Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik di Bagian Interprofessional education Disusun oleh: Rizky Rahmat T C Nicky Adi Saputra Reviolita Ariani Miftakur Rohmah Sofyan Arya Argamanda Julianti S Arey Galih Cakhya Andaru Kusuma Denta Aji 1

Upload: dokter-pig

Post on 21-Dec-2015

52 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

PRESENTASI KASUS

OSTEOARTRITHIS DAN OBESITAS GRADE I

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik

di Bagian Interprofessional education

Disusun oleh:

Rizky Rahmat T C

Nicky Adi Saputra

Reviolita Ariani

Miftakur Rohmah Sofyan

Arya Argamanda

Julianti S Arey

Galih Cakhya

Andaru Kusuma

Denta Aji

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

2015

1

BAB I

LAPORAN KASUS

A. Identitas

Nama : Ny. L

Usia : 61 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Yogyakarta

Agama : Islam

Suku : Jawa

Pekerjaan : Pensiun Bidan

Status Perkawinan : Janda

Pendidikan Terakhir : Tamatan S1

B. Anamnesis

1. Keluhan utama : Nyeri pada kedua lutut

2. Riwayat Penyakit sekarang : Nyeri pada kedua lutut sejak 5 tahun yang lalu.

Awalnya nyeri di lutut kanan kemudian 3 tahun terakhir ini nyeri bertambah

di lutut sebelahnya. Nyeri terasa seperti di tusuk-tusuk, nyeri memberat saat

beraktivitas, saat rukuk dan sujud sholat. Nyeri lutut membaik jika istirahat

dan tidak aktifitas bera t, nyeri lutut menjalar sampai ke pinggang.

Pasien bercerita tidak teratur minum obat minum hanya saat nyeri hebat yang

tak tertahankan, jika nyeri bisa di tahan maka pasien tidak minum obat,

selama ini obat yang di konsumsi adalah meloxicam. Selain itu pasien juga

bercerita jika sudah di suntik di bagian lutitnya sebanyak 2x. keluahan yang 2

lain seperti mual, nyeri perut, pusing tidak dikeluhkan. Pasien rajin kontrol

berobat ke AMC.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat osteoartrithis : 5 tahun yang lalu (+)

Riwayat jatuh/trauma : disangkal

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat alergi obat : Alergi penisilin

Riwayat stroke : disangkal

Riwayat diabetes mellitus : disangkal

Riwayat penyakit jantung : disangkal

Riwayat dislipidemia : disangkal

3. Riwayat Penyakit Keluarga:

Riwayat osteoartrithis : pada kakak kandung (+)

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat penyakit jantung : disangkal

Riwayat hipotensi : disangkal

Riwayat diabetes mellitus : disangkal

Riwayat stoke : disangkal

3

4. Riwayat Personal Sosial Lingkungan

Pendidikan

Pasien merupakan tamatan S1, tidak pernah tinggal kelas dan tidak

pernah bermasalah selama menempuh pendidikan sekolahnya.

Pekerjaan

Pasien adalah seorang single parent dan tidak berkerja saat ini, kemudian

untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan berobat di dapat dari gaji

pensiunan perbulan, pasien merasa cukup dan tidak kekurangan. Dulu

disaat masih muda pasien berkerja sebagai dosen di stikes, dan bidan di

rumah sakit.

Perkawinan dan Keluarga

Pasien memiliki 2 orang anak laki-laki. Sudah berkerja semua, suami telah

meninggal 5 tahun yanglalu. Hubungan dan komunikasi pasien dengan

seluruh anggota baik dan harmonis.

Sosialisasi

Pasien menjalin hubungan baik dengan tetangga dan masyarakat sekitar,

bergaul dan tidak menutup diri dari aktivitas masyarakat. Rutin mengikuti

pengajian dan perkumpulan yang di adakan di lingkungan rumah.

Gaya Hidup

− Tidak minum alkohol, tidak merokok dan konsumsi obat-obatan

terlarang.

− Pasien tidur malam 6-7 jam, kadang tidur siang jika merasa lelah.

− Hampir setiap pagi hari pasien berjalan di sekitar rumah sekitar 15

menit bila lutut tidak sakit. Pasien tidak pernah ikut senam lansia

karena diadakan cukup jauh dari rumah.

4

Anamnesis Illness

Perasaan pasien

Pasien merasa sedih dan khawatir dengan sakit pada sendi lutut nya atau

osteoarthritis, takut jika nanti sakit semakin parah sehingga tidak bisa

berjalan.

Ide pasien

Menurut pasien sakit yang dialami merupakan penyakit usia tua, pasien

berharap dengan kontrol teratur di AMC dapat mengurangi penyakit yang

diderita.

Harapan pasien

Pasien berharap nyeri lutut bisa sembuh sehingga tidak menggangu aktifitas

dan bisa sholat dg khusyuk.

Efek terhadap fungsi dan sosial

Semenjak nyeri lutut pasien mudah lelah, sulit untuk menjalankan olahraga,

jalan sehat serta sholat sehingga sulit untuk khusyuk jika sholat.

5. Review Anamnesis Sistem:

Sistem indera : tidak ada keluhan.

Sistem pernapasan : tidak ada keluhan.

Sistem peredaran darah dan jantung : tidak ada keluhan.

Sistem pencernaan : tidak ada keluhan.

Sistem saluran kencing dan kelamin : tidak ada keluhan

Sistem tulang dan otot : nyeri kedua lutut

Sistem persarafan : tidak ada keluhan.

C. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum : Baik

2. Kesadaran : Compos Mentis

3. Vital Signs

Tekanan Darah : 130/90mmHg

5

Nadi : 72x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup.

Suhu badan : 36,7°C

Pernapasan : 22x/menit

4. Antropometri

Tinggi Badan : 170 kg

Berat Badan : 60 cm

Indeks Massa Tubuh: 29,4

5. Status Gizi : Obesitas gr I

6. Kepala

Bentuk kepala : Normosefal

Rambut : keriting, warna putih, distribusi tidak merata

7. Mata

Palpebra : Edema (-/-)

Konjungtiva : Anemis (-/-)

Sklera : Ikterik (-/-)

Kornea : Arcus senilis (+/+)

Pupil : Reflek cahaya (+/+), isokor

Lensa : jernih

Shadow test : (+/+)

Pemeriksaan oftalmoskopi: Tidak dilakukan

8. Telinga : Otore (-/-), nyeri tekan tragus (-/-), serumen (-/-)

Pemeriksaan otoskopi : tidak dilakukan

Tes fungsi pendengaran : tidak dilakukan

9. Hidung : Sekret (-/-), epistaksis (-/-)

10. Mulut : Faring hiperemis (-), caries gigi (-), gigi berlubang (-)

Stomatitis (-)

11. Leher

6

Kelenjar tiroid : Tidak membesar, nyeri (-)

Kelenjar lnn : Tidak membesar, nyeri (-)

Retraksi suprasternal : (-)

JVP : Tidak meningkat

12. Pulmo:

Anterior

Inspeksi: simetris, ketertinggalan gerak (-), deformitas (-), retraksi (-)

Palpasi: simetris, ketertinggalan gerak (-), vokal fremitus ka=ki

Perkusi: sonor pada seluruh lapang paru

Auskultasi: suara dasar vesikuler (+/+)

suara tambahan ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Posterior

Inspeksi: simetris, ketertinggalan gerak (-), deformitas (-), retraksi (-)

Palpasi: simetris, ketertinggalan gerak (-), vokal fremitus ka=ki

Perkusi: sonor pada seluruh lapang paru

Auskultasi: suara dasar vesikuler (+/+)

suara tambahan ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

13. Cor:

Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.

Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC V linea midclavicula

sinistra,

tidak kuat angkat.

Perkusi : Batas jantung

Kanan atas: SIC II linea parasternalis dextra.

Kiri atas: SIC II linea parasternalis sinistra.

Kanan bawah: SIC IV linea parasternalis dextra.

Kiri bawah: SIC V linea midclavicula sinistra.

Auskultasi: S1-S2 reguler, bising jantung (-)

7

10 Pemeriksaan Abdomen:

Inspeksi : bentuk datar

Auskultasi : bising usus (+) normal

Palpasi : supel, defans muskular (-), nyeri tekan (-), hepar lien tak

teraba, massa (-), ascites (-)

Perkusi : timpani pada seluruh lapang perut

Tabel 1 Pemeriksaan ekstrimitas

Tungkai LenganKanan Kiri Kanan Kiri

GerakanTonusTrofiEdemaAkralNyeriPembengkakan sendiKekuatanTremor Luka TofusPulsatilNadiKrepitasi

TerbatasNormalEutrofi

+Hangat

++5----

NormalReguler

+

Bebas NormalEutrofi

-Hangat

+-5----

NormalReguler

-

BebasNormalEutrofi

-Hangat

--5----

NormalReguler

-

BebasNormalEutrofi

-Hangat

--

+5----

NormalReguler

-

Pemeriksaan Penunjang

Ro genue dextra : Terdapat osteofit pada region subcondiler , joint space menyempit mengarah gambaran osteoartrithis dextra

Diagnosis Kerja

− Osteoartritis

− Obesitas grade I

8

1

Penatalaksanaan

1. Farmakologis

Meloxicam 1x15 mg

Glucosamine 1x250 mg

Ranitidine 2x1 tab

2. Non farmakologis

Edukasi pasien tentang :

Pentingnya modifikasi gaya hidup dalam pengelolaan penyakit pasien

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan fisiologi

Sendi adalah semua persambungan tulang, baik yang memungkinkan tulang-tulang tersebut

dapatbergerak satu sama lain, maupun tidak dapat bergerak satu sama lain.pada sendi sinovial dilapisi

oleh suatu kartilago yang terbagi atas dua bagian yaitu kondrosit dan matriks ekstraseluler.

Matriksekstraseluler yang mengandung banyak kolagen tipe II, IX, dan XI serta proteoglikan (terutama

agregat). Agregat adalah hubungan antara terminal sentral protein dengan asam hialuronatmebentuk

agreratyang dapat menghisap air. Sesudah kekuatan kompresi hilang maka air akan kembali pada matriks

dan kartilago kembali seperti semula. Jaringan kolagen merupakan molekulprotein yang kuat. Kolagen ini

berfungsi sebagai kerangka dan mencegah pengembangan berlebihan dari agregat proteoglikan. 3

Rawan sendi hanya mempunyai sedikit kemampuan untuk penyembuhan (reparasi). Agar tetap

berfungsi dengan baik, rawan sendi hanya dapat menanggung perubahan sebab fisis sedikit yaitusebesar

25kg/cm3. Fungsi utama rawan sendi yaitu disamping memungkinkan gesekan padagerakan, juga

menyerap energi beban dengan mengubah bentuk dan dengan efektif menyebarkan beban tersebut pada

suatu daerah yang luas.1,3

Gambar 2.1 Sendi normal

Sumber : www.emedicine.com

Mekanisme pertahanan sendi diperankan oleh pelindung sendi yaitu : Kapsula

dan ligamen sendi, otot-otot, saraf sensori aferen dan tulang di dasarnya. Kapsula dan

10

ligamen-ligamen sendi memberikan batasan pada rentang gerak (Range of motion)

sendi.

Cairan sendi (sinovial) mengurangi gesekan antar kartilago pada permukaan

sendi sehingga mencegah terjadinya keletihan kartilago akibat gesekan. Protein yang

disebut dengan lubricin merupakan protein pada cairan sendi yang berfungsi sebagai

pelumas. Protein ini akan berhenti disekresikan apabila terjadi cedera dan

peradangan pada sendi

Ligamen, bersama dengan kulit dan tendon, mengandung suatu

mekanoreseptor yang tersebar di sepanjang rentang gerak sendi. Umpan balik yang

dikirimkannya memungkinkan otot dan tendon mampu untuk memberikan tegangan

yang cukup pada titik-titik tertentu ketika sendi bergerak. Otot-otot dan tendon yang

menghubungkan sendi adalah inti dari pelindung sendi. Kontraksi otot yang terjadi

ketika pergerakan sendi memberikan tenaga dan akselerasi yang cukup pada anggota

gerak untuk menyelesaikan tugasnya. Kontraksi otot tersebut turut meringankan stres

yang terjadi pada sendi dengan cara melakukan deselerasi sebelum terjadi tumbukan

(impact). Tumbukan yang diterima akan didistribusikan ke seluruh permukaan sendi

sehingga meringankan dampak yang diterima. Tulang di balik kartilago memiliki

fungsi untuk menyerap goncangan yang diterima.7

Kartilago berfungsi sebagai pelindung sendi. Kartilago dilumasi oleh cairan

sendi sehingga mampu menghilangkan gesekan antar tulang yang terjadi ketika

bergerak. Kekakuan kartilago yang dapat dimampatkan berfungsi sebagai penyerap

tumbukan yang diterima sendi. Perubahan pada sendi sebelum timbulnya OA dapat

terlihat pada kartilago sehingga penting untuk mengetahui lebih lanjut tentang

kartilago.

Terdapat dua jenis makromolekul utama pada kartilago, yaitu Kolagen tipe dua

dan Aggrekan. Kolagen tipe dua terjalin dengan ketat, membatasi molekul – molekul

aggrekan di antara jalinan-jalinan kolagen. Aggrekan adalah molekul proteoglikan

yang berikatan dengan asam hialuronat dan memberikan kepadatan pada kartilago.

Kondrosit, sel yang terdapat di jaringan avaskular, mensintesis seluruh elemen yang

terdapat pada matriks kartilago. Kondrosit menghasilkan enzim pemecah matriks,

sitokin { Interleukin-1 (IL-1), Tumor Necrosis Factor (TNF)}, dan faktor

pertumbuhan. Umpan balik yang diberikan enzim tersebut akan merangsang

11

kondrosit untuk melakukan sintesis dan membentuk molekul-molekul matriks yang

baru. Pembentukan dan pemecahan ini dijaga keseimbangannya oleh sitokin faktor

pertumbuhan, dan faktor lingkungan.

Kondrosit mensintesis metaloproteinase matriks (MPM) untuk memecah

kolagen tipe dua dan aggrekan. MPM memiliki tempat kerja di matriks yang

dikelilingi oleh kondrosit. Namun, pada fase awal OA, aktivitas serta efek dari MPM

menyebar hingga ke bagian permukaan (superficial) dari kartilago.

Stimulasi dari sitokin terhadap cedera matriks adalah menstimulasi pergantian

matriks, namun stimulasi IL-1 yang berlebih malah memicu proses degradasi

matriks. TNF menginduksi kondrosit untuk mensintesis prostaglandin (PG), oksida

nitrit (NO), dan protein lainnya yang memiliki efek terhadap sintesis dan degradasi

matriks. TNF yang berlebihan mempercepat proses pembentukan tersebut. NO yang

dihasilkan akan menghambat sintesis aggrekan dan meningkatkan proses pemecahan

protein pada jaringan. Hal ini berlangsung pada proses awal timbulnya OA. 3

2.2 Definisi Osteoarthritis

Osteoarthritis merupakan gangguan pada satu sendi atau lebih, bersifat lokal,

progresif dan degeneratif yang ditandai dengan perubahan patologis pada struktur

sendi tersebut yaitu berupa degenerasi tulang rawan/kartilago hialin. Hal

tersebut disertai dengan peningkatan ketebalan dan sklerosis dari subchondral

yang bisa disebabkan oleh pertumbuhan osteofit pada tepian sendi,

peregangan kapsul artikular, synovitis ringan pada persendian, dan lemahnya otot-

otot yang menghubungkan persendian.1

2.3 Etiologi

Etiologi osteoarthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor

biomekanik dan biokimia sepertinya merupakan faktor terpenting dalam proses

terjadinya osteoarthritis. Faktor biomekanik yaitu kegagalan mekanisme

protektif, antara lain kapsul sendi, ligamen, otot-otot persendian, serabut aferen,

dan tulang-tulang. Kerusakan sendi terjadi multifaktorial, yaitu akibat

terganggunya faktor-faktor protektif tersebut. Osteoarthritis juga bisa terjadi

akibat komplikasi dari penyakit lain seperti gout, rheumatoid arthritis, dan

12

sebagainya.1

2.4 Klasifikasi

Menurut penyebabnya osteoarthritis dikategorikan menjadi5 :

a. Osteoarhritis primer adalah degeneratif artikular sendi yang terjadi pada sendi tanpa

adanya abnormalitas lain pada tubuh. Penyakit ini sering menyerang sendi penahan

beban tubuh (weight bearing joint), atau tekanan yang normal pada sendi dan kerusakkan

akibatproses penuaan. Paling sering terjadi pada sendi lutut dan sendi panggul, tapi ini

juga ditemukan pada sendi lumbal, sendi jari tangan, dan jari pada kaki

b. Osteoarthritis sekunder, paling sering terjadi pada trauma atau terjadi akibat dari

suatu pekerjaan, atau dapat pula terjadi pada kongenital dan adanya penyakit sistem

sistemik. Osteoarthritis sekunder biasanya terjadi pada umur yang lebih awal daripada

osteoarthritis primer.

2.5 Epidemiologi

Penyakit ini memiliki prevalensi yang cukup tinggi, terutama pada orang

tua. Prevalensinya meningkat seiring bertambahnya usia. Di Amerika Serikat,

prevalensi osteoartritis pada populasi dengan usia di atas 65 tahun mencapai 80%

dan diperkirakan akan meningkat pada tahun 2020. 1,2 OA terjadi pada 13,9%

orang dewasa berusia lebih dari 25 tahun dan 33,6% dari mereka yang berusia

lebih dari 65 tahun. Prevalensi sendi yang terkena OA menurut temuan

radiologis adalah pada tangan 7,3%, kaki 2,3%, lutut 0,9%, dan panggul 1,5%.

Prevalensi OA menurut gejala yang ditemui yaitu pada tangan 8%, kaki 2%,

lutut 12,1% pada orang dewasa berusia lebih dari 60 tahun dan 16% pada orang

dewasa berusi 45 – 60 tahun, dan panggul 4,4%.

Angka kematian yang diakibatkan osteoarthritis adalah sekitar 0,2 hingga

0,3 kematian per 100.000 (1979-1988). Angka kematian akibat OA sekitar 6% dari

semua kematian akibat arthritis. Hampir 500 kematian per tahun disebabkan OA

dan angka tersebut meningkat selama 10 tahun terakhir.2,4

2.6 Faktor resiko

a. Faktor resiko sistemik

1. Usia : merupakan faktor risiko paling umum pada OA. Proses penuaan

meningkatkan kerentanan sendi melalui berbagai mekanisme.

13

Kartilago pada sendi orang tua sudah kurang responsif dalam

mensintesis matriks kartilago yang distimulasi oleh pembebanan

(aktivitas) pada sendi. Akibatnya, sendi pada orang tua memiliki

kartilago yang lebih tipis. Kartilago yang tipis ini akan mengalami

gaya gesekan yang lebih tinggi pada lapisan basal dan hal inilah yang

menyebabkan peningkatan resiko kerusakan sendi. Selain itu, otot-otot

yang menunjang sendi menjadi semakin lemah dan memiliki respon

yang kurang cepat terhadap impuls. Ligamen menjadi semakin

regang, sehingga kurang bisa mengabsorbsi impuls. Faktor-faktor ini

secara keseluruhan meningkatkan kerentanan sendi terhadap OA.

2. Jenis kelamin : masih belum banyak diketahui mengapa

prevalensi OA pada perempuan usila lebih banyak daripada laki-laki

usila. Resiko ini dikaitkan dengan berkurangnya hormon pada

perempuan pasca menopause.

3. Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis. Adanya

mutasi dalam gen prokolagen atau gen-gen struktural lain untuk unsur-

unsur tulang rawan sendi seperti kolagen, proteoglikan berperan dalam

timbulnya kecenderungan familial pada osteoartritis.

b. Faktor intrinsik

1. Kelainan struktur anatomis pada sendi seperti vagus dan valrus.

2. Cedera pada sendi seperti trauma, fraktur, atau nekrosis.

c. Faktor beban pada persendian

1. Obesitas : beban berlebihan pada sendi dapat mempercepat

kerusakan pada sendi.

2. Penggunaan sendi yang sering : aktivitas yang sering dan

berulang pada sendi dapat menyebabkan lelahnya otot-otot

yang membantu pergerakan sendi.5,6,7

2.7 Patogenesis

Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari proses penuaan dan tidak

dapat dihindari. Namun telah diketahui bahwa OA merupakan gangguan

keseimbangan dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur yang

14

penyebabnya masih belum jelas diketahui. Kerusakan tersebut diawali oleh

kegagalan mekanisme perlindungan sendi serta diikuti oleh beberapa mekanisme lain

sehingga pada akhirnya menimbulkan cedera.7

Pada Osteoarthritis terjadi perubahan-perubahan metabolisme tulang rawan sendi.

Perubahan tersebut berupa peningkatan aktifitas enzim-enzim yang merusak makromolekul matriks

tulang rawan sendi, disertai penurunan sintesis proteoglikan dan kolagen. Hal ini menyebabkan

penurunan kadar proteoglikan, perubahan sifat-sifat kolagen dan berkurangnya kadar air tulang

rawan sendi. Pada proses degenerasi dari kartilago artikular menghasilkan suatu substansi atau zat

yang dapat menimbulkan suatu reaksi inflamasi yang merangsang makrofag untuk menhasilkan IL-

1 yang akan meningkatkan enzim proteolitik untuk degradasi matriks ekstraseluler.5

Gambaran utama pada Osteoarthritis adalah : 8

1. Dektruksi kartilago yang progresif 

2. Terbentuknya kista subartikular

3. Sklerosis yang mengelilingi tulang

4. Terbentuknya osteofit

5. Adanya fibrosis kapsul

Perubahan dari proteoglikan menyebabkan tingginya resistensi dari tulang rawan untuk

menahan kekuatan tekanan dari sendi Penurunan kekuatan dari tulang rawan disertai degradasi

kolagen memberikan tekanan yang berlebihan pada serabut saraf dan tentu saja

menimbulkan kerusakan mekanik. Kondrosit sendiri akan mengalami kerusakan. Selanjutnya akan

terjadi perubahan komposisi molekuler dan matriks rawan sendi, yang diikuti oleh kelainan fungsi

matriks rawan sendi. Melalui mikroskop terlihat permukaan mengalami fibrilasi dan berlapis-lapis.

Hilangnya tulang rawan akan menyebabkan penyempitan rongga sendi. Pada tepi sendi akan timbul

respons terhadap tulang rawan yang rusak dengan pembentukan osteofit. Pembentukan tulang baru

(osteofit) dianggap suatu usaha untuk memperbaiki dan membentuk kembali persendian. Dengan

menambah luas permukaan sendi yang dapat menerima beban, osteofit diharapkan dapat

memperbaiki perubahan-perubahan awal tulang rawan sendi pada Osteoarthritis. Lesi akan meluas

dari pinggir sendi sepanjang garis permukaan sendi. Adanya pengikisan yang progresif menyebabkan

tulang yang dibawahnya juga ikut terlibat. Hilangnya tulang-tulang tersebut merupakan usaha untuk

melindungi permukaan yang tidak terkena. Sehingga tulang subkondral merespon dengan

15

meningkatkan selularitas dan invasi vaskular,akibatnya tulang menjadi tebal dan padat (eburnasi).

Pada akhirnya rawan sendi menjadi aus, rusak dan menimbulkan gejala-gejala Osteoarthritis seperti

nyeri sendi, kaku, dan deformitas.6,7,8

Patologik pada OA ditandai oleh kapsul sendi yang menebal dan mengalami

fibrosis serta distorsi. Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi proses peningkatan

aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan

terjadinya penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral

yang menyebabkan terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan subkondral tersebut. Ini

mengakibatkan dilepaskannya mediator kimiawi seperti prostaglandin dan

interleukin yang selanjutnya menimbulkan bone angina lewat subkondral yang

diketahui mengandung ujung saraf sensibel yang dapat menghantarkan rasa sakit.6

Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari dilepasnya mediator

kimiawi seperti kinin dan prostaglandin yang menyebabkan radang sendi,

peregangan tendon atau ligamentum serta spasmus otot-otot ekstraartikuler akibat

kerja yang berlebihan. Sakit pada sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang

menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta

kenaikan tekanan vena intrameduler akibat stasis vena intrameduler karena proses

remodelling pada trabekula dan subkondral.

Sinovium mengalami keradangan dan akan memicu terjadinya efusi serta

proses keradangan kronik sendi yang terkena. Permukaan rawan sendi akan retak dan

terjadi fibrilasi serta fisura yang lama-kelamaan akan menipis dan tampak kehilangan

rawan sendi fokal. Selanjutnya akan tampak respon dari tulang subkhondral berupa

penebalan tulang, sklerotik dan pembentukkan kista. Pada ujung tulang dapat

dijumpai pembentukan osteofit serta penebalan jaringan ikat sekitarnya. Oleh sebab

itu pembesaran tepi tulang ini memberikan gambaran seolah persendian yang terkena

itu bengkak.5,7

2.8 Tanda dan Gejala Klinis

Pada umumnya, pasien OA mengatakan bahwa keluhan-keluhan yang

dirasakannya telah berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan Berikut

16

adalah keluhan yang dapat dijumpai pada pasien OA :

a. Nyeri sendi

Keluhan ini merupakan keluhan utama pasien. Nyeri biasanya bertambah dengan

gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan dan tertentu

terkadang dapat menimbulkan rasa nyeri yang melebihi gerakan lain. Perubahan ini

dapat ditemukan meski OA masih tergolong dini ( secara radiologis ). Umumnya

bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit sampai sendi hanya bias

digoyangkan dan menjadi kontraktur, Hambatan gerak dapat konsentris ( seluruh

arah gerakan ) maupun eksentris ( salah satu arah gerakan saja ).7

Kartilago tidak mengandung serabut saraf dan kehilangan kartilago pada sendi

tidak diikuti dengan timbulnya nyeri. Sehingga dapat diasumsikan bahwa nyeri yang

timbul pada OA berasal dari luar kartilago.7

Pada penelitian dengan menggunakan MRI, didapat bahwa sumber dari nyeri

yang timbul diduga berasal dari peradangan sendi ( sinovitis ), efusi sendi, dan

edema sumsum tulang.

Osteofit merupakan salah satu penyebab timbulnya nyeri. Ketika osteofit

tumbuh, inervasi neurovaskular menembusi bagian dasar tulang hingga ke kartilago

dan menuju ke osteofit yang sedang berkembang Hal ini menimbulkan nyeri.6

Nyeri dapat timbul dari bagian di luar sendi, termasuk bursae di dekat sendi.

Sumber nyeri yang umum di lutut adalah akibat dari anserine bursitis dan sindrom

iliotibial band.7,8

b. Hambatan gerakan sendi

Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat secara perlahan sejalan

dengan pertambahan rasa nyeri.7

c. Kaku pagi

Rasa kaku pada sendi dapat timbul setelah pasien berdiam diri atau

tidak melakukan banyak gerakan, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu

yang cukup lama, bahkan setelah bangun tidur di pagi hari.7

d. Krepitasi

Krepitasi atau rasa gemeratak yang timbul pada sendi yang sakit. Gejala

ini umum dijumpai pada pasien OA lutut. Pada awalnya hanya berupa perasaan akan

adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang memeriksa.

17

Seiring dengan perkembangan penyakit, krepitasi dapat terdengar hingga jarak

tertentu.7

e. Pembesaran sendi ( deformitas )

Sendi yang terkena secara perlahan dapat membesar.7

f. Pembengkakan sendi yang asimetris

Pembengkakan sendi dapat timbul dikarenakan terjadi efusi pada sendi yang

biasanya tidak banyak ( < 100 cc ) atau karena adanya osteofit, sehingga bentuk

permukaan sendi berubah.7

g. Tanda – tanda peradangan

Tanda – tanda adanya peradangan pada sendi ( nyeri tekan, gangguan gerak, rasa

hangat yang merata, dan warna kemerahan ) dapat dijumpai pada OA karena adanya

synovitis. Biasanya tanda – tanda ini tidak menonjol dan timbul pada perkembangan

penyakit yang lebih jauh. Gejala ini sering dijumpai pada OA lutut.7

h. Perubahan gaya berjalan

Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien dan merupakan ancaman

yang besar untuk kemandirian pasien OA, terlebih pada pasien lanjut usia. Keadaan

ini selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan terutama

pada OA lutut.7

18

2.9 Diagnosis

Diagnosis osteoarthritis lutut berdasrkan klinis, klinis dan radiologis, serta

klinis dan laboratoris (JH Klippel, 2001) :10

a. Klinis:

Nyeri sendi lutut dan 3 dari kriteria di bawah ini:

1. umur > 50 tahun

2. kaku sendi < 30 menit

3. krepitus

4. nyeri tekan tepi tulang

5. pembesaran tulang sendi lutut

6. tidak teraba hangat pada sendi

Catatan: Sensitivitas 95% dan spesifisitas 69%.

b. Klinis, dan radiologis:

Nyeri sendi dan paling sedikit 1 dari 3 kriteria di bawah ini:

1. umur > 50 tahun

2. kaku sendi <30 menit

3. krepitus disertai osteofit

Catatan: Sensitivitas 91% dan spesifisitas 86%.

c. Klinis dan laboratoris:

Nyeri sendi ditambah adanya 5 dari kriteria di bawah ini:

1. usia >50 tahun

2. kaku sendi <30 menit

3. Krepitus

4. nyeri tekan tepi tulang

5. pembesaran tulang

6. tidak teraba hangat pada sendi terkena

7. LED<40 mm/jam

8. RF <1:40

9. analisis cairan sinovium sesuai osteoarthritis

19

Catatan: Sensitivitas 92% dan spesifisitas 75%.

Kriteria diagnosis osteoarthritis tangan adalah nyeri tangan, ngilu atau kaku

dan disertai 3 atau 4 kriteria berikut:10

1. pembengkakan jaringan keras > 2 diantara 10 sendi tangan

2. pembengkakan jaringan keras > 2 sendi distal interphalangea (DIP)

3. pembengkakan < 3 sendi metacarpo-phalanea (MCP)

4. deformitas pada ≥ 1 diantara 10 sendi tangan

Catatan: 10 sendi yang dimaksud adalah: DIP 2 dan 3, PIP 2 dan 3 dan CMC 1

masing-masing tangan. Sensitivitas 94% dan spesifisitas 87%.

2.10 Pemeriksaan penunjang

2.10.1Pemeriksaan Radiologi

Diagnosis OA selain dari gambaran klinis, juga dapat ditegakkan dengan

gambaran radiologis, yaitu menyempitnya celah antar sendi, terbentuknya osteofit,

terbentuknya kista, dan sklerosis subchondral. 10

20Gambar 2.3. Pencitraan radiologis sinar-x pada osteoarthritis lutut.

Sumber : LS, Daniel, Deborah Hellinger. 2001. Radiographic Assessment of Osteoarthritis. American Family Physician. 64 (2) : 279-286

Keterangan :

a. Gambar atas kiri : pandangan anteroposterior menunjukkan

menyempitnya celah sendi (tanda panah)

b. Gambar bawah kiri : pandangan lateral menunjukkan sklerosis

yang ditandai terbentuknya osteofit (tanda panah)

c. Gambar atas kanan : menyempitnya celah sendi (tanda panah

putih) menyebabkan destruksi padapada kartilago dan sunchondral

(tanda panah terbuka)

d. Gambar bawah kanan : ditemukan kista subchondral (tanda panah)

Gambar 2.4 Pencitraan radiologis sinar-x osteoarthritis pada jari kaki.

Sumber : Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of Arthritis

:Degenerative Joint Disease and Variation. Radiology. 248(3) : 737-747.

Keterangan : gambaran radiologis anteroposterior kaki menunjukkan

menyempitnya celah sendi metatarsophalangeal pertama, sklerosis, dan

pembentukan osteofit (panah).9

21

Gambar 2.5. Pencitraan radiologis sinar-x osteoarthritis pada lutut.

Sumber : Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of

Arthritis : Degenerative Joint Disease and Variation. Radiology.

248(3) : 737-747

Keterangan :Gambaran radiologis anteroposterior lutut

menunjukkan penyempitan ruang sendi, sklerosis, dan pembentukan

osteofit (panah).10

Gambar 2.6. Pencitraan radiologis sinar-x osteoarthritis pada pinggul.

Sumber : Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of Arthritis :

Degenerative Joint Disease and Variation. Radiology. 248(3) : 737-747.

Keterangan : Kedua gambar di atas menunjukkan penyempitan

ruang superolateral sendi, sklerosis, kista subkondral, dan pembentukan

osteofit (panah).10

22

23

2.10.2 Pemeriksaan Laboratorium dan MRI

Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA biasanya tidak banyak berguna.

Pemeriksaan darah tepi masih dalam batas – batas normal. Pemeriksaan imunologi

masih dalam batas – batas normal. Pada OA yang disertai peradangan sendi dapat

dijumpai peningkatan ringan sel peradangan ( < 8000 / m ) dan peningkatan nilai

protein. 10

Pemeriksaan tambahan lain yang dapat dilakukan adalah MRI yaitu untuk

mengetahui derajat patologisnya, namun pemeriksaan ini jarang dilakukan

sebagai penunjang diagnostik dalam osteoarthritis, karena sebagian besar

gambaran penyakit ini sudah bisa dinilai berdasarkan pemeriksaan sinar-x.

2.11 Penatalaksanaan

Strategi pengelolaan pasien dan pilihan jenis pengobatan ditentukan oleh letak

sendi yang mengalami OA, sesuai dengan karakteristik masing-masing serta

kebutuhannya. Oleh karena itu diperlukan penilaian yang cermat pada sendi dan

pasiennya secara keseluruhan, agar pengelolaannya aman, sederhana,

memperhatikan edukasi pasien serta melakukan pendekatan multidisiplin atau

holistic.11

Tujuan penatalaksanaan pasien dengan osteoarthritis adalah:11

1. Meredakan nyeri

2. Mengoptimalkan fungsi sendi

3. Mengurangi ketergantungan kepada orang lain dan meningkatkan kualitas

hidup

4. Menghambat progresivitas penyakit

5. Mencegah terjadinya komplikasi

Penatalaksanaan pada pasien dengan osteoarthritis yaitu:

2.11.1 Nonfarmakologis: 11

a. Modifikasi pola hidup

b. Edukasi

c. Istirahat teratur yang bertujuan mengurangi penggunaan beban pada sendi

d. Modifikasi aktivitas24

e. Menurunkan berat badan

f. Rehabilitasi medik/ fisioterapi

o Latihan statis dan memperkuat otot-otot

o Fisioterapi, yang berguna untuk mengurangi nyeri, menguatkan otot,

dan menambah luas pergerakan sendi

g. Penggunaan alat bantu (Mairunzi, 2010).

2.10.2 Farmakologis

1. Sistemik

a. Analgetik

- Non narkotik: parasetamol

- Opioid (kodein, tramadol)

b. Antiinflamasi nonsteroid (NSAIDs)

- Oral

- injeksi

- suppositoria

c. Chondroprotective

Yang dimaksud dengan chondoprotectie agent adalah obat-obatan

yang dapat menjaga dan merangsang perbaikan (repair) tuamg rawan sendi

pada pasien OA, sebagian peneliti menggolongkan obat-obatan tersebut

dalam Slow Acting Anti Osteoarthritis Drugs (SAAODs) atau Disease

Modifying Anti Osteoarthritis Drugs (DMAODs). Sampai saat ini yang

termasuk dalam kelompok obat ini adalah: tetrasiklin, asam hialuronat,

kondrotin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin-C, superoxide desmutase dan

sebagainya.

a. Tetrasiklin dan derivatnya mempunyai efek menghambat kerja

enzime MMP. Salah satu contohnya doxycycline. Sayangnya obat ini

baru dipakai oleh hewan belum dipakai pada manusia.

b. Glikosaminoglikan, dapat menghambat sejumlah enzim yang

berperan dalam degradasi tulang rawan, antara lain: hialuronidase,

protease, elastase dan cathepsin B1 in vitro dan juga merangsang

sintesis proteoglikan dan asam hialuronat pada kultur tulang rawan

sendi. Pada penelitian Rejholec tahun 1987

25

c. pemakaian GAG selama 5 tahun dapat memberikan perbaikan dalam

rasa sakit pada lutut, naik tangga, kehilangan jam kerja (mangkir),

yang secara statistik bermakna.

d. Kondroitin sulfat, merupakan komponen penting pada jaringan

kelompok vertebra, dan terutama terdapat pada matriks ekstraseluler

sekeliling sel. Menurut penelitian Ronca dkk (1998), efektivitas

kondroitin sulfat pada pasien OA mungkin melalui 3 mekanisme

utama, yaitu : 1. Anti inflamasi 2. Efek metabolik terhadap sintesis

hialuronat dan proteoglikan. 3. Anti degeneratif melalui hambatan

enzim proteolitik dan menghambat oksigen reaktif.

e. Vitamin C, dalam penelitian ternyata dapat menghambat aktivitas

enzim lisozim dan bermanfaat dalam terapi OA

f. Superoxide Dismutase, dapat diumpai pada setiap sel mamalia dam

mempunyai kemampuan untuk menghilangkan superoxide dan

hydroxyl radicals. Secara in vitro, radikal superoxide mampu merusak

asam hialuronat, kolagen dan proteoglikan sedang hydrogen peroxyde

dapat merusak kondroitin secara langsung. Dalam percobaan klinis

dilaporkan bahwa pemberian superoxide dismutase dapat mengurangi

keluhan-keluhan pada pasien OA.

2. Topikal

a. Krim rubefacients dan capsaicin.

Beberapa sediaan telah tersedia di Indonesia dengan cara kerja pada

umumnya bersifat counter irritant.

b. Krim NSAIDs

Selain zat berkhasiat yang terkandung didalamnya, perlu diperhatikan

campuran yang dipergunakan untuk penetrasi kulit. Salah satu yang dapat

digunakan adalah gel piroxicam, dan sodium diclofenac.

3. Injeksi intraartikular/intra lesi

Injeksi intra artikular ataupun periartikular bukan merupakan pilihan utama

dalam penanganan osteoartritis. Diperlukan kehati-hatian dan selektifitas dalam

penggunaan modalitas terapi ini, mengingat efek merugikan baik yang bersifat lokal

maupun sistemik. Pada dasarnya ada 2 indikasi suntikan intra artikular yakni

penanganan simtomatik dengan steroid, dan viskosuplementasi dengan hyaluronan 26

untuk modifikasi perjalanan penyakit. Dengan pertimbangan ini yang sebaiknya

melakukan tindakan, adalah dokter yang telah melalui pendidikan tambahan dalam

bidang reumatologi.

a. Steroid: ( triamsinolone hexacetonide dan methyl prednisolone )

Hanya diberikan jika ada satu atau dua sendi yang mengalami nyeri dan

inflamasi yang kurang responsif terhadap pemberian NSAIDs, tak dapat mentolerir

NSAIDs atau ada komorbiditas yang merupakan kontra indikasi terhadap pemberian

NSAIDs. Teknik penyuntikan harus aseptik, tepat dan benar untuk menghindari

penyulit yang timbul. Sebagian besar literatur tidak menganjurkan

dilakukanpenyuntikan lebih dari sekali dalam kurun 3 bulan atau setahun 3 kali

terutama untuk sendi besar penyangga tubuh. Dosis untuk sendi besar seperti lutut

40-50 mg/injeksi, sedangkan untuk sendi-sendi kecil biasanya digunakan dosis 10

mg.

b. Hyaluronan: high molecular weight dan low molecular weight

Di Indonesia terdapat 3 sediaan injeksi Hyaluronan. Penyuntikan intra

artikular biasanya untuk sendi lutut (paling sering), sendi bahu dan koksa. Diberikan

berturut-turut 5 sampai 6 kali dengan interval satu minggu masing-masing 2 sampai

2,5 ml Hyaluronan. Teknik penyuntikan harus aseptik, tepat dan benar. Kalau tidak

dapat timbul berbagai penyulit seperti artritis septik, nekrosis jaringan dan abses

steril. Perlu diperhatikan faktor alergi terhadap unsur/bahan dasar hyaluronan

misalnya harus dicari riwayat alergi terhadap telur. Ada 3 sediaan di Indonesia

diantaranya adalah Hyalgan, dan Osflex.

4. Pembedahan

Sebelum diputuskan untuk terapi pembedahan, harus dipertimbangkan

terlebih dahulu risiko dan keuntungannya.

Pertimbangan dilakukan tindakan operatif bila :

1. Deformitas menimbulkan gangguan mobilisasi

2. Nyeri yang tidak dapat teratasi dengan penganan medikamentosa dan

rehabilitatif

Ada 2 tipe terapi pembedahan : Realignment osteotomi dan replacement joint

1. Realignment osteotomi

27

Permukaan sendi direposisikan dengan cara memotong tulang dan merubah

sudut dari weightbearing. Tujuan : Membuat karilago sendi yang sehat menopang

sebagian besar berat tubuh. Dapat pula dikombinasikan dengan ligamen atau

meniscus repair (Thomas, 2000).

2. . Arthroplasty

Permukaan sendi yang arthritis dipindahkan, dan permukaan sendi yang baru

ditanam. Permukaan penunjang biasanya terbuat dari logam yang berada dalam high-

density polyethylene (Thomas, 2000).

Macam-macam operasi sendi lutut untuk osteoarthritis :

a. Partial replacement/unicompartemental

b. High tibial osteotmy : orang muda

c. Patella &condyle resurfacing

d. Minimally constrained total replacement : stabilitas sendi dilakukan

sebagian oleh ligament asli dan sebagian oelh sendi buatan.

e. Cinstrained joint : fixed hinges : dipakai bila ada tulang

hilang&severe instability

Indikasi dilakukan total knee replacement apabila didapatkan nyeri,

deformitas, instability akibat dari Rheumatoid atau osteoarthritis. Sedangankan

kontraindikasi meliputi non fungsi otot ektensor, adanya neuromuscular dysfunction,

Infeksi, Neuropathic Joint, Prior Surgical fusion.11

2.3 Obesitas

Obesitas adalah suatu keadaan yang melebihi dari berat badan relatif (ideal)

seseorang, sebagai akibat penumpukan zat gizi terutama karbohidrat, protein dan

lemak. Kondisi tersebut disebabkan oleh ketidakseimbangan antara konsumsi energi

dan kebutuhan energi, yaitu konsumsi makanan (yang terlalu banyak) dibandingkan

dengan kebutuhan atau pemakaian energi (yang lebih sedikit), Menurut pendapat

Budiyanto, Untuk menentukan obesitas diperlukan kriteria yang berdasarkan

pengukuran antropometri dan atau pemeriksaan laboratorik, pada umumnya

digunakan:

28

1. Pengukuran berat badan (BB) yang dibandingkan dengan standar dan disebut

obesitas bilamana BB > 120 % BB standar.

2. Pengukuran berat badan dibandingkan tinggi badan (BB/TB). Dikatakan

obesitas bila BB/TB > persentile ke 95 atau > 120 % atau Z-score = + 2 SD.

3. Pengukuran lemak subkutan dengan mengukur skinfold thickness (tebal

lipatan kulit/TLK).

4. Sebagai indikator obesitas bila TLK Triceps > persentil ke 85.

5. Pengukuran lemak secara laboratorik, misalnya densitometri, hidrometri dsb.

yang tidak digunakan pada anak karena sulit dan tidak praktis. DXA adalah

metode yang paling akurat, tetapi tidak praktis untuk di lapangan.

6. Indeks Massa Tubuh (IMT) > 27,0/kg/m2.

Lebih lanjut menurut pendapat yang dikemukakan oleh Akhmadi (2010: 1-2),

berat badan (BB) yang ideal bagi seseorang dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Berat Badan Relatif (BBR)

Berat Badan (kg) X 100 % = %

Tinggi Badan (cm) – 100

Nilai Standar:

a. < 90 % = Underweight

b. 90 – 100 % = Berat Normal

c. > 110 % = Overweight

d. > 120 % = Obesitas/Gemuk

2. Indeks Masa Tubuh (IMT)

Berat Badan (kg) =

Tinggi Badan X Berat Badan (m2)

Nilai Standar:

a. < 18,5 = maka dapat dikatakan IMT Kurang

b. 18,5 – 25 = maka dapat dikatakan IMT Normal

c. 25 – 27 = maka dapat dikatakan IMT Lebih

d. > 27 = maka dapat dikatakan sebagai Obesitas atau

Kegemukan29

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa, kegemukan

(obesitas) adalah suatu keadaan di mana berat badan seseorang berada di atas 120 %

dari berat badan relatif (BBR) atau berada di atas 27 dari indeks masa tubuh (IMT).

A. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA KEGEMUKAN

(OBESITAS)

Penyebab terjadinya obesitas belum diketahui secara pasti. Obesitas adalah

suatu penyakit multifaktorial yang diduga bahwa sebagian besar obesitas disebabkan

karena interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Adapun faktor-faktor

tersebut antara lain meliputi: aktivitas, gaya hidup, sosial ekonomi dan nutrisional,

yaitu perilaku makan dan pemberian makanan padat yang terlalu dini diberikan pada

bayi.

1. Faktor Genetik

Apabila kedua orang tua obesitas, 80 % anaknya akan menjadi obesitas.

Apabila salah satu orang tuanya obesitas, kejadian obesitas menjadi 40 % dan

bila kedua orang tua tidak obesitas, maka prevalensinya menjadi 14 %.

Kegemukan dapat diturunkan dari generasi sebelumnya kepada generasi

berikutnya di dalam sebuah keluarga. Itulah sebabnya seringkali dijumpai

orangtua yang gemuk cenderung memiliki anak-anak yang gemuk pula. Dalam

hal ini nampaknya faktor genetik telah ikut campur dalam menentukan jumlah

unsur sel lemak dalam tubuh seseorang. Hal ini dimungkinkan karena pada saat 

ibu yang obesitas sedang hamil maka unsur sel lemak yang berjumlah besar dan

melebihi ukuran normal, secara otomatis akan diturunkan kepada sang bayi

selama dalam kandungan. Tidaklah mengherankan apabila bayi yang

dilahirkannya pun memiliki unsur lemak tubuh yang relatif sama besar.

Selain itu pengaruh keturunan (genetik) juga dapat berdampak pada

komposisi/bentuk tubuh. Menurut pendapat Erminawati (2009: 8), manusia

memiliki tiga bentuk tipe tubuh yaitu:

a. Mesomorp (atletis), yaitu tipe tubuh yang memiliki ciri-ciri: tubuh

tinggi, bahu yang lebar, pinggang yang relative kecil, bentuk kepala

yang persegi, dan perkembangan otot yang lebih besar.

b. Ektomorp (tubuh kurus dan tinggi), yaitu tipe tubuh yang memiliki

ciri-ciri: tubuhnya tinggi, badan kurus, cepat merasa kedinginan, 30

permukaan kulit yang relatif luas dibandingkan dengan volume

tubuhnya.

c. Endomorph (tubuh bulat dan pendek), yaitu tipe tubuh yang memiliki

ciri-ciri: bentuk tubuhnya bulat dan gemuk, volume batang tubuhnya

relative lebih besar, mempunyai usus kurang lebih 60 cm, dua kali

lebih panjang daripada umumnya.

2. Faktor Lingkungan

a. Aktivitas Fisik

Penelitian di negara maju menunjukkan bahwa terdapat hubungan

antara aktivitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu

dengan aktivitas fisik yang rendah mempunyai risiko peningkatan berat

badan lebih besar dari pada orag yang aktif berolahraga secara teratur.

Kurangnya aktivitas fisik kemungkinan merupakan salah satu penyebab

utama dari meningkatnya angka kejadian obesitas di tengah-tengah

masyarakat yang makmur. Orang-orang yang tidak aktif memerlukan

lebih sedikit energi. Seseorang yang cenderung mengkonsumsi makanan

kaya lemak dan tidak melakukan aktivitas fisik yang seimbang, akan

mengalami obesitas.

b. Faktor Nutrisional dan Gizi

Peranan faktor nutrisi dimulai sejak dalam kandungan di mana

jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi oleh berat badan

ibu. Kenaikan berat badan dan lemak anak dipengaruhi oleh: waktu

pertama kali mendapat makanan padat, asupan tinggi kalori dari

karbohidrat dan lemak serta kebiasaan mengkonsumsi makanan yang

mengandung energi tinggi.

Mengkonsumsi minuman ringan (soft drink) terbukti memiliki

kandungan gula yang tinggi sehingga berat badan akan cepat bertambah

bila mengkonsumsi minuman ini. Rasa yang nikmat dan menyegarkan

menjadikan anak-anak sangat menggemari minuman ini. Selain itu

mengkomsumsi makanan cepat saji, daging dan makanan berlemak akan

meningkatkan risiko terjadinya obesitas menjadi lebih besar. Keadaan ini

disebabkan karena makanan berlemak mempunyai energy density lebih

besar dan lebih tidak mengenyangkan serta mempunyai efek 31

termogenesis yang lebih kecil dibandingkan makanan yang banyak

mengandung protein dan karbohidrat. Makanan berlemak juga

mempunyai rasa yang lezat sehingga akan meningkatkan selera makan

yang akhirnya terjadi konsumsi yang berlebihan. Apabila cadangan lemak

tubuh rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi

dari karbohidrat sekitar 60-80 % disimpan dalam bentuk lemak tubuh.

Lemak mempunyai kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas.

3. Faktor Sosial Ekonomi dan Gaya Hidup

Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup, pola makan,

serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah

makanan yang dikonsumsi. Dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan

bahwa telah terlihat adanya perubahan gaya hidup yang menjurus pada

penurunan aktivitas fisik, seperti: berangkat kerja atau ke sekolah dengan

naik kendaraan dan kurangnya aktifitas bermain/berolahraga dan berekreasi

dengan teman serta lingkungan rumah atau yang tidak memungkinkan anak-

anak bermain di luar rumah, menyebabkan anak lebih senang bermain

komputer/games, play station, nonton TV atau video dibanding melakukan

aktifitas fisik atau olahraga. Selain itu juga meningkatnya jumlah pendapatan

dan perubahan status sosial ekonomi serta gaya hidup modern serta

ketersediaan dan harga dari makanan junk food (makanan cepat saji) yang

mudah di dapat dan terjangkau harganya akan berisiko menimbulkan

terjadinya obesitas menjadi lebih tinggi.

B. DAMPAK TERJADINYA KEGEMUKAN (OBESITAS)

Menurut Budiyanto (2002: 22), kegemukan (obesitas) dapat menimbulkan

terjadinya berbagai macam jenis penyakit yang serius, antara lain:

1. Diabetes Militus (DM),

2. Hipertensi (Darah tinggi) dan Stroke

3. Ganguan Ortopedik

4. Jantung

5. Coronary Artery Disease

6. Ginjal

7. Osteoartrithis

32

C. GERAK DASAR DAN AKTIFITAS JASMANI

Bergerak dan bermain bagi anak-anak terutama yang masih berusia dini

merupakan sebuah pekerjaan dan menjadi kebutuhan paling utama dalam

kehidupannya. Pertumbuhan dan perkembangan gerak dasar sangat identik dengan

domain ranah psikomotorik dari aspek jasmaniah yang memberikan sumbangan yang

sangat besar terhadap perkembangan ranah kognitif (kecerdasan intelektual/IQ) dan

ranah afektif (sikap). Konsep gerak dasar sangat erat hubungannya dengan

ketrampilan yang harus dimiliki atau dikuasai oleh anak-anak sebagai dasar untuk

melakukan aktivitas yang lebih rumit dan kompleks.

Menurut pendapat dari Mutohir dan Gusril (2004: 26-28), gerak dasar utama

merupakan pola gerak yang inherent yang membentuk dasar untuk gerak-gerak

terampil yang kompleks dan khas. Gerak dasar inherent tersebut mencakup tiga hal

yaitu:

1. Keterampilan gerak dasar lokomotor, yaitu perilaku gerak yang mengubah

atau berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Contoh gerak dasar lokomotor

tersebut meliputi: merayap, merangkak, meluncur, berjalan, berlari,

melompat, meloncat, berguling, dan memanjat.

2. Ketrampilan gerak dasar nonlokomotor, yaitu perilaku gerak yang melibatkan

anggota badan atau bagian togok di dalam gerak yang mengitari sendi atau

poros tetapi posisi badan tetap berada satu tempat dan melakukan pola gerak

yang dinamis. Contoh gerak dasar nonlokomotor tersebut meliputi: menarik,

mendorong, mengayun, menghentikan, mengulur, menekuk, meliuk, dan

memutar.

3. Ketrampilan gerak dasar manipulatif, yaitu perilaku gerak yang digambarkan

dan mengkombinasikan gerak-gerak dari tangan, mata (visual), dan kaki,

serta kadang-kadang dengan modalitas sentuhan (tactile modality) yang

dilakukan secara terkoordinir. Contoh gerak dasar manipulatif tersebut

meliputi: menendang, menangkap, mengeblok, memukul, dan menggenggam.

Aktivitas jasmani adalah segala bentuk gerak yang dilakukan oleh manusia

yang menggunakan atau melibatkan sekelompok otot tertentu untuk mencapai tujuan

tertentu, J. Matakupan, (1995: 32). Melalui aktivitas jasmani yang dilakukan oleh 33

seorang anak, anak akan mendapatkan banyak pengalaman gerak, kebugaran

jasmani, mengenal jati diri dan lingkungannya. Selain itu melalui gerak atau aktivitas

jasmani yang dilakukan oleh anak juga dapat memberikan manfaat lain, yaitu untuk

mencegah terjadinya kegemukan (obesitas). Anak yang malas bergerak atau

beraktivitas jasmani akan cenderung lebih cepat mengalami kegemukan. Bermain

atau beraktivitas jasmani selain untuk rekreasi dan menyalurkan hobi, beraktivitas

jasmani juga dapat digunakan sebagai sarana untuk menyalurkan kelebihan energi,

meningkatkan pengalaman gerak dan memperhalus keterampilan atau teknik selain

itu juga dapat membakar timbunan lemak dalam tubuh.

Masa kanak-kanak adalah masa yang paling krusial dalam proses tumbuh

kembangnya, baik secara fisik, psikis maupun sosial. Anak harus dilatih dan berikan

banyak pengalaman dan penguasaan gerak dasar yang bermanfaat bagi dirinya di

masa yang akan datang. Pengalaman dan penguasaan gerak yang dikuasai oleh anak

sejak masa kanak-kanak akan dibawanya ketahap selanjutnya untuk berkompetisi

dan mempertahankan hidup. Pengalaman atau penguasaan gerak dapat diperoleh

anak melalui orangtua, guru, pelatih, teman atau lingkungan (secara otodidak).

Orangtua atau keluarga merupakan pelaku awal yang terbaik yang memberikan,

mengajarkan dan melatihkan banyak pengalaman dan penguasaan gerak sebagai

pondasi atau dasar gerak selanjutnya. Seorang anak yang malas bergerak atau

beraktivitas jasmani akan beresiko/rentan terhadap kegemukan begitu juga

sebaliknya anak yang mengalami kegemukan juga cenderung malas

bergerak/beraktivitas jasmani. Anak yang mengalami kegemukan akan cenderung

malas beraktivitas jasmani/bergerak (manja) sehingga dapat berakibat pada

kurangnya pengalaman gerak, tingkat penguasaan keterampilan gerak dasarnya

menjadi terhambat dan juga tingkat kebugaran jasmaninya akan relatif kurang baik.

Gerak atau aktivitas jasmani yang disarankan untuk menjaga kebugaran jasmani bagi

anak adalah minimal tiga kali dalam satu Minggu dengan durasi waktu 60-90 menit

dengan intensitas sedang. Melalui aktivitas jasmani yang terukur ini diharapkan

dapat membantu menjaga kebugaran jasmani dan membantu penyaluran tenaga serta

pembakaran lemak sehingga dapat mencegah terjadinya kegemukan.

34

2.4 . Hubungan obesitas dengan osteoarthritis

Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi yang paling banyak ditemukan

di Indonesia. Penyakit ini menyebabkan nyeri dan disabilitas pada penderitanya

sehingga dapat mengganggu aktifitas sehari-hari. OA ini menyerang penderita

berusia lanjut pada sendi-sendi penopang berat badan, terutama sendi lutut,

panggul (koksa), lumbal, dan sevikal.5 Obesitas menyebabkan tekanan ekstra

pada tulang dan sendi. Akibatnya, obesitas ini meningkatkan risiko terjadinya

osteoartritis. Obesitas maupun overweight secara langsung berdampak pada

ketahanan sendi, khusunya pada lutut. Suatu studi menyebutkan bahwa

osteoartritis lutut terjadi pada 4 hingga 5 kali lebih sering pada orang dengan

kelebihan berat badan dibandingkan dengan orang yang berat badannya normal.

Sewaktu berjalan terdapat peningkatan tekanan sebesar 3 hingga 6 kali lebih

banyak pada orang dengan berat badan yang berlebih. Dengan kata lain, menjadi

overweight 10 pound akan meningkatkan tekanan pada lutut sebesar 30 hingga

60 pound pada setiap langkah selama berjalan.6 Sedangkan efek pada anak

adalah cenderung berisiko meningkatkan gangguan ortopedik, yaitu torsi tibial

dan kaki pengkar, tergelincirnya epifisis kaput femoris (slipped capital femoral

epiphysis) terutama pada anak laki-laki dan gejala tekanan berat badan pada

persendian di ekstremitas bawah. Obesitas merupakan salah satu faktor risiko

yang dapat dimodifikasi terkuat untuk terjadinya osteoartritis, terutama pada

sendi lutut. Setengah dari berat badan seseorang bertumpu pada sendi lutut

selama berjalan. Berat badan yang meningkat akan memperberat beban sendi

lutut. Penelitian di Chingford menyimpulkan risiko meningkatnya osteoartritis

lutut disebabkan karena peningkatan berat badan. Penurunan 5 kg berat badan

mengurangi risiko osteoartritis lutut pada wanita sebesar 50% secara simtomatik.

Demikian juga peningkatan risiko osteoartritis progresif tampaknya akan terlihat

pada seseorang yang kelebihan berat badan dengan penyakit pada bagian tubuh

tertentu.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Wahyuningsih (2009) di

Surakarta menunjukkan bahwa lansia dengan Indeks Massa Tubuh > 25

(overweight) mempunyai risiko terjadinya osteoartritis 4,9 kali lebih besar dari

pada lansia dengan Indeks massa Tubuh 18,5-25,0.11 Selain itu, diperoleh 35

kesimpulan yang sama pada penelitian yang dilakukan oleh Suseno (2008) di

Rumah Sakit Kota Malang dengan objek penelitian usia dewasa dan usia

lanjut.12 Sebaliknya, penelitian yang dilakukan oleh Koentjoro (2010) di RSUP

Dr. Kariadi Semarang didapatkan nilai p = 1,000 (p > 0,05) yang berarti bahwa

tidak terdapat hubungan bermakna antara indeks massa tubuh (IMT) dengan

derajat osteoartritis lutut unilateral maupun bilateral menurut Kellgren dan

Lawrence.

36

BAB III

PEMBAHASAN

Osteoarthritis merupakan gangguan pada sendi yang ditandai

dengan perubahan patologis pada struktur sendi tersebut yaitu berupa

degenerasi tulang rawan/kartilago hialin. Penyakit ini memiliki

prevalensi yang cukup tinggi, terutama pada orang tua. Selain itu,

osteoarthritis ini juga merupakan penyebab kecacatan paling banyak pada

orang tua. Etiologi osteoarthritis belum diketahui secara pasti, namun

faktor biomekanik dan biokimia sepertinya merupakan faktor terpenting

dalam proses terjadinya osteoarthritis. Ketidakseimbangan antara

pembentukan dan penghancuran matriks-matriks kartilago merupakan

kata kunci dalam perjalanan penyakit ini. Osteoarthritis menyerang

sendi-sendi tertentu terutama sendi-sendi yang mendapat beban cukup

berat dari aktivitas sehari-hari.

Osteoarthritis dapat didiagnosis berdasarkan kelainan struktur

anatomis dan atau gejala yang ditimbulkan oleh penyakit ini. Gejala yang

sering muncul pada osteoarthritis adalah nyeri sendi yang diperburuk oleh

aktivitas dan gejala akan mereda setelah istirahat.

Diagnosis osteoarthritis didasarkan pada pemeriksaan fisik dan

dilakukan pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan radiologis berupa foto

sinar-x sebagai penunjang/pemastian diagnosis.Gambaran yang ditemukan

pada foto sinar-x pasien dengan osteoarthritis adalah menyempitnya celah

antar sendi, terbentuknya osteofit, terbentuknya kista, dan sklerosis

subchondral. Pemeriksaan tambahan lain yang dapat dilakukan adalah MRI

yaitu untuk mengetahui derajat patologisnya, namun pemeriksaan ini jarang

dilakukan sebagai penunjang diagnostik dalam osteoarthritis, karena

sebagian besar gambaran penyakit ini sudah bisa dinilai berdasarkan

pemeriksaan sinar-x.

Sampai saat ini belum ada terapi definitif untuk mengobati

osteoarthritis. Terapi yang sudah ada bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri

dan meminimalisasi hilangnya fungsi fisik. Hal ini bertujuan

37

meningkatkan kualitas hidup pasien dengan cara membantu pasien agar

tetap bisa melakukan aktivitas sehari-hari. Obesitas disini merupakan factor

resiko terjadi nya osteoartrithis dan penurunan berat badan sangat di

butuhkan dalam penatalaksanaan osteoartrithis pada pasien obesitas.

38

DAFTAR PUSTAKA

1. Fauci, Anthony S, et al. 2012. Osteoarthritis. Dalam : Harrison’s

Principles Of Internal Medicine Eighteenth Edition. The McGraw-Hill

Companies.

2. Lawrence RC, Felson DT, Helmick CG, et al. 2008. Estimates of the

prevalence of arthritis and other rheumatic conditions in the United States.

Part II. Arthritis Rheum. 58(1):26–35.

3. Christine G, 1922, Bones and Joint. A Guide for student, second edition, Tokyo,

Churchill Livingstone.

4. Dillon CF, Rasch EK, et al. 2006. Prevalence of knee osteoarthritis in the

United States: arthritis data from the Third National Health and Nutrition

Examination Survey 1991–1994. J Rheumatol. 33(11):2271–2279.

5. David, T. 2006. Osteoarthritis of the knee. The New England Journal of

Medicine.

6. Lozada, Carlos J. 2009. Osteoarthritis. http://emedicine.medscape.com. Diakses

tanggal 15 maret 2013.

7. I a n n o n e F , L a p a d u l a G. 2003. The pathophysiology of osteoarthritis.

A ging C l i n E x p R e s . 15 (5):364–372.

8. Tjokroprawiro, Askandar, 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya:

Airlangga University Press.

9. Jacobson, JA, et al. 2008. Radiographic Evaluation of Arthritis :

Degenerative Joint Disease and Variation. Radiology. 248(3):737–747.

10. LS, Daniel, Deborah Hellinger. 2001. Radiographic Assessment of

Osteoarthritis. American Family Physician. 64(2):279–286

11. Kasmir, Yoga. 2009. Penatalaksanaan Osteoartritis. Sub-bagian Reumatologi,

Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI / RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta

39

40