irf - djppr.kemenkeu.go.id edisi 1 tahun 2012.pdf · yang artinya 'barang siapa yang...
TRANSCRIPT
IRF INFO RISIKO FISKALPusat Pengelolaan Risiko Fiskal - Badan Kebijakan Fiskal
Edisi 1 Tahun 2012
2 INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Susunan Redaksi
Redaksi menerima artikel untuk dimuat dalam buletin ini. Artikel ditulis dalam huruf Arial 11 spasi 1,5
maksimal 5 halaman. Artikel dapat dikirim ke [email protected] . Isi buletin ini tidak
mencerminkan kebijakan Badan Kebijakan Fiskal.
Daftar Isi
Daftar Isi
DUKUNGAN KELAYAKAN PROYEK KERJASAMA: APAKAH SOLUSI ATAS KEMANDEGAN KPS?
Rubrik Utama
BELAJAR VGF KE INDIA
Oleh : Peneliti PPRF
Oleh : Hadi Setiawan dan Sofia Arie Damayanty
CREDIT ENHANCEMENT DAN PERCEPATANIMPLEMENTASI PENYEDIAAN INFRASTRUKTUROleh : Novijan Janis
BREAKTHROUGH STRATEGY INFRASTRUKTURSEKTOR TRANSPORTASIOleh : Syahrir Ika dan Sofia Arie Damayanty
SAATNYA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DIPACU
Oleh : Praptono Djunedi
DIVERSIFIKASI PENYEDIAAN TENAGA LISTRIKMELALUI FAST TRACK PROGRAM TAHAP IIOleh : Maman Suhendra & Slamet Rona Ircham
Rubrik Edukasi Fiskal
ICP EFFECT DAN KELANGSUNGAN FISKALOleh : Syahrir Ika
Rubrik Inspiring
MANAJEMEN RISIKO FISKAL HARGA MINYAKOleh : Hidayat Amir
Penanggung Jawab :Freddy R. Saragih, Sri Bagus Guritno
Penyunting/ Editor :Brahmantio Isdijoso, Fajar Hasri Ramadhana, Syahrir Ika
Riko Amir, Insyafiah, Hidayat Amir
Redaktur : Rangga Satya N, Sigit Purnomo
Desain Grafis, Layout, Fotografer : Aan Rustandi, David Rizkiawan
Sekretariat : Esti Ismayati, Moh. Kharis Syukron
Alamat Redaksi:Gedung R.M. Notohamiprodjo, lantai 4Jl. Dr. Wahidin No.1, Jakarta 10710Telp. 021-3846785, Fax. 021-3452751
4499
1212
16162222
2525
2929
3737RESENSI BUKU : MP3EI Breakthrough StrategyIndonesia Menuju Negara MajuOleh : Novijan Janis 4242KILAS PERISTIWA 4343
Editorial
Editorial
ila membaca laporan dari World Economic Forum (WEF) yang memaparkan penilaian kualitas infrastruktur negara-negara di Bdunia tahun 2010-2011, mungkin kita terkejut bahwa ranking Indonesia berada di urutan 82 dari 139 negara atau 64 poin di
bawah Korea Selatan, 32 poin di bawah China, 47 poin di bawah Thailand, dan 52 poin di bawah Malaysia, dan hanya 1 poin di atas
Vietnam. Jenis infrastruktur yang dinilai WEF mencakup jaringan transportasi (darat, laut, dan udara), jaringan telekomunikasi, dan
pasokan energi listrik. Dalam infrastruktur jalan misalnya, Indonesia menduduki ranking 84, sementara pada pasokan listrik dan
penggunaan ICT, Indonesia menduduki ranking 97 dan 104. Rendahnya kualitas infrastruktur ini diklaim sebagai salah satu faktor
yang membuat daya saing Indonesia masih rendah dibanding dengan negara lain. Ranking daya saing Indonesia menurut The
Global Competitiveness Index (GCI) berada di urutan 44 (walaupun dibandingkan dengan tahun sebelumnya, naik 10 peringkat).
Pertanyaannya adalah apa yang membedakan Indonesia dengan negara-negara seperti China, Korea Selatan, Thailand, dan
Malaysia yang memiliki kualitas infrastruktur lebih baik, padahal dari sisi sumberdaya relatif sama, bahkan dibandingkan dengan
Malaysia dan Thailand, sumber daya yang dimiliki Indonesia relatif lebih baik. Negara-negara yang rangking daya saing maupun
infrastrukturnya lebih baik, biasanya pemerintah dan rakyatnya bekerja secara tekun dan sungguh-sungguh, dan hal ini
merupakan salah satu kelemahan bangsa kita.
Memperhatikan budaya kerja kita yang kalah ulet, kalah cerdas, kalah tekun, dan kurang sungguh-sungguh dalam bekerja itulah
yang mungkin mendorong Akbar Zainuddin menulis Novel berjudul 'Negeri 5 Menara' yang mengusung spirit Man Jadda Wajada,
yang artinya 'barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapatkan hasil. Intinya adalah keberhasilan suatu pekerjaan,
tikak cukup bermodalkan kemauan (rencana) saja, tetapi juga harus dilaksanakan secara sistmatis, tekun dan sungguh-sungguh.
Novel ini kemudian diangkat menjadi film Negeri 5 Menara. Film ini bisa menjadi inspirasi bagi semua kompenen bangsa Indonesia
untuk mengikuti filosofi dari Man Jadda Wajada tersebut, termasuk dalam membangun proyek-proyek infrastruktur untuk mengejar
ketertinggalan kita.
Berbagai risiko bisa muncul bila kita tidak sungguh-sungguh membangun infrastruktur. Pertama, lemahnya perencanaan proyek
(not well prepared), seringkali dilakukan secara terburu-buru dan target penyelesainnya tidak tepat waktu sehingga progress
proyek menjadi tidak maksimal. If you fail to plan, you plan to fail, begitu kata orang bijak. Studi Jeffrey Delmon (2011) tentang PPP
(public-private patnership) di beberapa negara yang ditulis dalam buku berjudul Public-Private Patnership Project in Infrastructure,
menyimpulkan bahwa salah satu faktor yang menghambat pembangunan infrastruktur dalam skema PPP adalah persiapan yang
kurang baik dan lemahnya koordinasi antar sektor.
Kedua, implementasi yang buruk (not well implemented). Data menunjukkan bahwa lebih dari 50 proyek PPP yang tertuang dalam
PPP Book tahun 2012, ternyata baru satu proyek (yang mendapat penjaminan pemerintah) mengalami progress cukup baik, yaitu
Central Java Power Plant (CJPP) di Pemalang-Jawa Tengah. Proyek PPP lainnya masih terkendala banyak faktor seperti
pengadaan lahan, koordinasi antar sektor yang tidak harmonis, masalah pembiayaan, ketidaklayakan proyek secara financial,
ketidaksiapan analisa dampak lingkungan, dan kurang mendapat dukungan masyarakat.
Ketiga, kelemahan dalam menyeleksi dan menentukan proyek-proyek prioritas. Parameter yang dipakai seringkali kurang
konsisten. Ada proyek yang mestinya sudah harus dijalankan karena persiapannya sudah cukup baik, tetapi mundur karena alasan
tertentu, begitu juga ada proyek yang tiba-tiba masuk dalam daftar PPP Book. Cara ini tidak sejalan dengan spirit sistimatis dan
berkelanjutan. Studi kelayakan proyek (feasibility study) kurang cakupannya, kurang memperhitungkan seperti source of funding,
identify legal risk, identify regulatory and political challenges, market testing to investor appetite, lender appetite, and review of risk
allocation assumptions.
Keempat, kesulitan memperoleh dukungan pembiayaan (lack of financing support). Kehadiran PPP diperlukan karena dana dari
sumber APBN kurang memadai (budget constraint). Untuk mengatasinya, pemerintah mencoba mengoptimalkan APBN seperti
penggunaan Sisa Anggaran Lebih (SAL) atau penghematan subsidi BBM untuk direalokasi ke sektor infrastruktur. Sumber
pembiyaan lainnya diharapkan datang dari BUMN, yang memang di amanatkan untuk menjadi agent of development. Namun,
mengingat kebutuhan pendanaan yang cukup besar, maka kedua sumber pembiayaan ini tidak cukup. Karena itu, diharapkan
melalui skema PPP, pemerintah bisa mengajak swasta untuk berpartisipasi, bukan saja dari sisi pembiyaan tetapi juga dari sisi
konstruksinya.
Ternyata dalam prakteknya, tidak mudah mengajak partisipasi swasta, mengingat mereka masih menilai ada sejumlah risiko yang
dapat mempengaruhi kelayakan proyek. Belakangan ini muncul gagasan perlunya VGF (Viability Gap Fund), di mana pemerintah
dapat memberikan stimulus berupa dana tunai (cash) untuk mendukung kelayakan proyek infrastruktur. Salah satu negara yang
dikalim banyak pihak telah berhasil menerapkan VGF adalah India. Pertanyaanya adalah apakah VGF merupakan solusi atas
kemandegan proyek-proyek infrastruktur dengan skema PPP? Apapun cara atau pendekatan yang akan dipakai, termasuk VGF,
kesuksesan membangun proyek infrastruktur bukan ditentukan oleh cara atau metode yang dipilih, melainkan apakah kita
sungguh-sungguh mengerjakan proyek itu.
3INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
“KESUNGGUHAN” MEMBANGUN INFRASTRUKTUR
Rubrik Utama
DUKUNGAN KELAYAKANPROYEK KERJASAMA:
APAKAH SOLUSI ATAS KEMANDEGAN KPS ?
H
“Public Private
Partnership Project in
Infrastructure” mengajarkan
bahwa “Poor infrastructure
impedes a nation's economic
growth and international
competitiveness. Insufficient
infrastructure also represents a
major cause of loss of quality of
life, illness, and death”
adirnya infrastruktur dengan
kuantitas dan kualitas yang
memadai merupakan syarat
mutlak bagi majunya
perekonomian suatu bangsa, tak
terkecuali Indonesia.
Pengalaman Bank Dunia selama
20 tahun yang dikutip Jeffrey
Delmon (2011) dalam karyanya
yang berjudul
. Bila kita
setuju dengan pendapat Delmon
di atas maka percepatan
pembangunan infrastruktur
merupakan keharusan.
Bangsa bangsa yang sudah maju
seperti Amerika Serikat, negara-
negara Eropa dan beberapa negara
Asia, sebut saja Jepang, China, Korea
Selatan dan Singapura,
memperlihatkan kualitas
infrastrukturnya sebagai simbol
kemajuan bahkan kualitas peradaban
bangsanya. Hal ini terlihat dari
modernisasi bandar udara (airport),
kereta api cepat (streamliner, seperti
TGV di Perancis, Shinkansen di
Jepang), pelabuhan laut (seaport),
transportasi masal (mass rapid
transport), jalan raya (highway), dan
jalan tol (toll road). Oleh karena
infrastruktur ini sarat dengan teknologi,
maka kehadirannya menggambarkan
kemajuan dalam bidang pendidikan
(kualitas manusia) dan peradaban di
negara-negara tersebut.
Bagaimana mereka bisa
mewujudkannya padahal anggaran
pemerintah mereka juga terbatas?
Delmon mengatakan bahwa PPP
(Public Private Partnership) atau KPS
(Kerjasama Pemerintah Swasta)
adalah salah satu tools-nya (PPP in
infrastructure is one of the tools in a
policy maker's arsenal to help increase
investment in infrastructure sevices
and improve its efficiency). Menurut
Delmon, proyek infrastruktur berbasis
KPS tidak bisa sukses dalam waktu
cepat, dibutuhkan waktu yang panjang
untuk membangun infrastruktur,
dibutuhkan juga usaha yang ekstra
keras dan sungguh-sungguh, mulai
dari fase persiapan hingga
implementasinya. Kunci suksesnya
berada pada empat faktor berikut ini:
be patient, prepare well, monitoring
and regulating the project and the
sector, and be ready for challenge.
1 Syahrir Ika, Praptono Djunedi, Hidayat AmirRonald Yusuf, Hadi Setiawan, dan Sofia ArieDamayanty, Abdul Aziz, Adrianus D. Siswanto
1Oleh: Para Peneliti PPRF
4 INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
www.blogspot.com
Barangkali empat faktor di atas yang menjadi kelemahan di Indonesia, walaupun
pemerintah sudah melakukan banyak hal seperti penyusunan regulasi,
membangun kelembagaannya, melakukan sosialisasi kepada stakeholders
terutama investor, menyediakan dukungan dan penjaminan pemerintah untuk lebih
menarik minat investor. Seringkali kita melakukan sesuatu terburu-buru, dengan
tidak mempersiapkan secara matang (not prepare well). Kita juga sering
melaksanakan suatu proyek tapi lemah dalam monitoring sehingga proyek
terbengkalai. Masalahnya adalah sudah lebih dari lima tahun proyek KPS
dijalankan, namun masih terkendala banyak hal. Salah satunya adalah karena
proyek-proyek yang ditawarkan untuk dikerjasamakan memiliki kelayakan finansial
yang marginal, sehingga kurang diminati investor. Akibatnya, banyak proyek KPS
yang tidak berjalan sesuai rencana. Pemerintah kemudian mencari alternatif
terobosan antara lain memberikan dukungan pembiayaan dalam bentuk tunai,
yang disebut sebagai Dukungan Kelayakan Proyek Kerjasama atau Dukungan
Kelayakan (VGF/Viability Gap Fund). Pertanyaannya adalah apakah dengan VGF
ini proyek KPS akan dapat dipastikan berjalan seperti yang direncanakan?
Rubrik Utama
KPS di Indonesia : Studi OECD
Lahirnya skema KPS dalam membiayai proyek-proyek infrastruktur disebabkan
budget constrain pemerintah. Sejak krisis multidimensi tahun 1997, belanja modal
dalam APBN semakin menurun, akibatnya pembangunan infrastruktur terhambat.
Terjadi underinvestment untuk membiayai semua jenis infrastruktur publik. Hal ini
menjadi salah satu trigger munculnya MP3EI. Di dalam MP3EI ini, pemerintah
mengajak partisipasi dunia usaha untuk bekerjasama membangun infrastruktur
dimana sumber pembiayaan melalui skema KPS sekitar 21 persen dari total
kebutuhan investasi di bidang infrastruktur, selebihnya dikontribusi oleh APBN dan
BUMN. Namun, ternyata tidak mudah mengajak dunia usaha untuk berpartisipasi
dalam pembiayaan maupun pembangunan fisik proyek. Ada banyak kendala yang
membuat PPP tidak berjalan lancar.
Namun studi yang dilakukan oleh Organisation for Economic Cooperation and 2Development (OECD) menyimpulkan ada dua masalah pokok dalam implementasi
PPP di Indonesia yaitu (i) the lack of
coordination antara Kementerian/
Lembaga/Pemda, Bappenas dan
Kementerian Keuangan, dan (ii)
regulatory framework.
Untuk mengatasi lack of coordination di
atas, OECD merekomendasikan dua
opsi. Pertama, Dit PKPS sebaiknya
ditempatkan di Kementerian Keuangan
sebagaimana dipraktekkan di Afrika
Selatan dan Australia. Kementerian
Keuangan seharusnya memil ik i
peranan kunci dalam setiap tahapan
proyek PPP. Kedua, Dit PKPS bersifat
independen terhadap pemerintah akan
tetapi memiliki kedekatan fungsi
dengan Kementerian Keuangan.
Sementara berkaitan dengan regulatory
framework, OECD menilai bahwa
peraturan KPS yang dimiliki Indonesia
saat ini sudah cukup maju (improved
substantially) akan tetapi ada masalah
berkaitan dengan pengadaan lahan
(land acquisition) sehingga banyak
proyek PPP yang tidak bisa dijalankan
karena terkendala oleh masalah
pengadaan lahan. Masalah ini sudah
diantisipasi pemerintah dengan
terbitnya Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2012 tentang Pengadaan Lahan
Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum yang antara lain mengatur
kompensas i pengadaan tanah
berdasarkan market price.
Selain menawarkan rekomendasi untuk
mengatasi masalah lack of coordination
dan regulatory framework, OECD juga
berpendapat bahwa dalam menyeleksi
proyek yang akan dikerjasamakan
dengan swasta harus memenuhi kriteria
value for money, yaitu proyek tersebut
harus fit dengan strategi dan tujuan
pemerintah yang sudah ditetapkan
dalam RJPP atau MP3EI. Ukuran
keberhasilan bukan saja ditentukan oleh
bentuk fisik infrastruktur yang telah
terbangun akan tetapi yang paling
penting adalah nilai (value) dari proyek
infrastruktur tersebut dirasakan/dinikmati
oleh masyarakat sehingga setiap dana
pemerintah yang dikeluarkan memiliki
akuntabilitas.
5INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Gambar 1. Usulan Struktur Institusi bagi Pelaksanaan PPP di Indonesia
Presidential Commitee on Infrastructure Projects Bappenas, MoF, Coordinating Ministry of Economic Affairs’Infrastructure Ministries (Public Works, Transport, Enargy)
PPPSupportP3CUPDF
PPP PromotionBKPM
MoF ApprovalRMUIIGF
VialbilityGap Financing
PT SMIPT IIFF
GCAsLine Ministries
Local Authoroties
Sumber: OECD, “5th Annual Meeting Of Senior Public Private Partnerships Officials PPP Governance In Indonesia:Policy, Process and Structure”, 2012, p.24
Keterangan:P3CU = Direktorat PKPS Bappenas (PPP Center Unit)PDF = Project Development FundRMU = Risk Management Unit (PPRF-BKF)IIGF = PT PIIBKPM = Coordinating Investment Board
2 Working Party of Senior Budget Officials: 5th Annual Meeting of Senior Public Private Partnership Official PPP Governance in Indonesia: Policy Process and Structure, OECD Conference Center, Paris 26-27 March 2012
6 INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Menurut OECD pendekatan value for
money kurang mendapat perhatian oleh
instansi K/L terkait. Mengingat
keputusan dalam menyeleksi proyek
KPS sangat penting dan harus fit
dengan RJPP atau MP3EI maka untuk
proyek-proyek besar, penetapannya
harus melalui sidang kabinet (cabinet
approval) atau komite KKPPI yang
dipimpin langsung oleh presiden (lihat
Gambar 1). Bahkan kriteria terakhir ini
dinilai yang paling sesuai dengan
struktur pemerintah saat ini. OECD
merekomendasikan pemer in tah
sebaiknya melibatkan international
transaction adviser untuk proyek-
proyek yang prioritas tinggi.
Dukungan Kelayakan:Pengertian dan Tujuan
S e p e r t i t e l a h d i k e m u k a k a n
sebelumnya, salah satu upaya
p e m e r i n t a h u n t u k m e n g a t a s i
kemandegan KPS adalah melalui
pemberian Viability Gap Fund (VGF)
atau Dukungan Kelayakan Proyek
Kerjasama. VGF didefinisikan sebagai
the funds to cover part or all of the
difference between the expected True
Cost of a PPP Project and the expected
revenue from the Tariffs charged or
Unitary Payment made for the services
provided by such PPP Project and which 3includes Capital and Operating .
Definisi lain dari VGF adalah dukungan
finansial dalam bentuk hibah dan tunai
(cash) yang diberikan untuk proyek
infrastruktur yang dilakukan dalam
skema KPS untuk membuat proyek
tersebut menjadi layak secara 4finansial .
Tujuan utama diberikannya Dukungan
Kelayakan adalah untuk meningkatkan
minat badan usaha untuk berinvestasi
dalam proyek infrastruktur yang layak
secara ekonomi namun kurang layak
secara finansial. Dengan adanya
Dukungan Kelayakan dalam bentuk
dana tunai dari pemerintah untuk
proyek tersebut, diharapkan kelayakan
finansial proyek menjadi lebih baik
sehingga bisa menarik minat para
investor. Selain itu dengan Dukungan
K e l a y a k a n d i h a r a p k a n d a p a t
m e n i n g k a t k a n k e t e r s e d i a a n
infrastruktur dengan tarif layanan yang
terjangkau oleh masyarakat.
Pemerintah Indonesia sudah memiliki
payung hukum terkai t dengan
pember ian fas i l i tas Dukungan
Kelayakan yaitu Perpres 67 tahun 2005
tentang Kerjasama Pemerintah Dengan
Badan Usaha Dalam Penyediaan
Infrastruktur sebagaimana telah diubah
dengan Perpres 13/2010 dan Perpres
56/2011. Dalam pasal 17A ayat 4 sudah
disebutkan bahwa pemerintah dapat
memberikan dukungan dalam bentuk
insentif perpajakan dan/atau kontribusi
fiskal dalam bentuk finansial, sehingga
rencana pember ian Dukungan
Kelayakan tidak memiliki kendala dalam
hal dasar hukum. Hal yang masih harus
dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini
Kementer ian Keuangan adalah
mengatur bagaimana model/skema
pemberian Dukungan Kelayakan,
bagaimana tata cara pemberian dan
p e n g e l o l a a n t e r m a s u k
pengawasannya, dimana saat ini
Kementer ian Keuangan mas ih
menggodok aturan yang dimaksud.
Ruang Lingkup DukunganKelayakan Proyek Kerjasama
Pember ian fas i l i tas Dukungan
Kelayakan dalam bentuk tunai ini di satu
sisi diharapkan dapat meningkatkan
kelayakan finansial proyek-proyek
infrastruktur, namun di sisi lain memiliki
potensi risiko fiskal yang cukup besar
apabila tidak memiliki kriteria yang jelas
pada saat pengalokasiannya. Untuk itu
perlu dibuat peraturan yang tegas
mengatur pengalokasian fasilitas tunai
ini, sehingga tidak semua proyek KPS
dapat dengan mudah memperoleh
fasilitas Dukungan Kelayakan ini. Harus
dipastikan bahwa segala upaya
efisiensi dalam pelaksanaan proyek
sudah dilakukan secara maksimal,
sehingga hanya proyek-proyek yang
memiliki kelayakan finansial sangat
rendahlah yang akan mendapatkan
fasilitas tersebut.
Karena pelaksanaan Dukungan
Kelayakan didasarkan kepada Perpres
67/2005 (dan perubahannya), maka
pengalokasiannya harus mengacu
kepada proyek-proyek infrastruktur
yang telah memenuhi ketentuan
pe ra tu ran t e r sebu t , seh ingga
merupakan proyek telah memenuhi
pr ins ip-pr ins ip good corporate
governance . Adapun jenis-jenis
infrastruktur yang dapat diberikan
fasilitas ini mencakup infrastruktur
transportasi, infrastruktur jalan,
infrastruktur pengairan, infrastruktur air
minum, infrastruktur air limbah,
i n f r a s t r u k t u r t e l e k o m u n i k a s i ,
infrastruktur ketenagalistrikan, dan
infrastruktur minyak dan gas bumi.
Namun demikian, penulis berpendapat
proyek-proyek yang merupakan
kebutuhan dasar seperti pengolahan
sampah dan pengolahan air minum
merupakan contoh proyek yang layak
dipertimbangkan untuk mendapatkan
fasilitas ini. Selain itu faktor lokasi
p r o y e k j u g a p e r l u m e n j a d i
pertimbangan, agar fasilitas dapat
diberikan pada proyek-proyek yang
berada di wilayah marjinal terutama
Indonesia bagian timur yang relatif
kurang diminati oleh investor.
Memperhatikan pengertian Dukungan
Kelayakan dalam pembangunan
infrastruktur dengan skema KPS
sebagaimana diuraikan pada poin B di
atas, publik bisa mempertanyakan
apakah Dukungan Kelayakan itu sama
dengan subsidi atau PMN mengingat
pemberian dana Dukungan Kelayakan
itu dalam bentuk tunai (cash) dari
APBN. Oleh karena itu, untuk
meyakinkan publik pemerintah perlu
menjelaskan bahwa sesungguhnya
Dukungan Kelayakan itu bukan subsidi
dan juga bukan PMN.
Antisipasi RisikoPertanyaan Publik
3“Guidelines on Viability Gap Funds for PPP Projects”,
Ministry of Finance Republic of Pakistan, 20074http://wiki.answers.com/Q/What_is_Viability_gap_funding
diakses tanggal 21 April 2012
Rubrik Utama
7INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Tabel 1. Perbedaan VGF, Subsidi dan PMN
1 Tujuan Meningkatkan kelayakan finansial proyek infrastruktur dengan skema KPS
Meningkatkan daya beli masyarakat
Menambah modal BUMN
2 Penerima Proyek Kerjasama, melalui SPV (badan usaha pemenang lelang proyek infrastruktur KPS)
Masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung
BUMN yang mengusulkan PMN kepada pemerintah
3 Manfaat Untuk mendukung terlaksananya Proyek
Masyarakat yang merupakan target subsidi
Untuk meningkatkan ekuitas atau kapasitas produksi BUMN
No Kriteria Dukungan Kelayakan/VGF Subsidi PMN
Sumber: Hasil FGD Terbatas Peneliti PPRF, 2012
Sebagaimana dijelaskan dalam Tabel 1, walaupun sama-sama merupakan bentuk
pengeluaran pemerintah dalam rangka menstimulasi perekonomian, namun
terdapat perbedaan kriteria antara Dukungan Kelayakan, subsidi dan PMN. Pada
dasarnya Dukungan Kelayakan diberikan kepada proyek KPS melalui badan usaha
pemenang lelang/SPV (Special Purpose Vehicle). SPV merupakan badan usaha
yang dibentuk oleh Pemerintah dan Swasta (investor) untuk melaksanakan proyek
infrastruktur dengan skema KPS. Adapun proyek yang dapat diberikan VGF adalah
proyek yang dilaksanakan dengan skema BOT (Built Operate Transfer) sehingga di
akhir masa proyek kerjasama, infrastruktur yang dibangun menjadi milik
pemerintah. Adapun dana untuk VGF ini dialokasikan melalui belanja pemerintah
pada APBN.
Mekanisme Pemberian Dukungan Kelayakan
Bagaimana mekanisme pemilihan proyek yang akan memperoleh Dukungan
Kelayakan dan berapa besar dana yang akan diberikan untuk proyek tersebut? Jika
belajar ke India yang sudah menerapkan VGF sejak tahun 2005, maka di India ada
suatu lembaga yang diberi nama “empowered institution” (lihat artikel Hadi
Setiawan: Belajar VGF ke India).
Lembaga ini memiliki kewenangan untuk menilai suatu proyek apakah layak untuk
memperoleh fasilitas VGF atau tidak. Lembaga ini juga menentukan dan menyetujui
nilai VGF yang diberikan sampai dengan jumlah tertentu. Kemudian untuk jumlah
yang lebih besar lagi harus melalui lembaga lain yang diberi nama “empowered
committe” dan dengan persetujuan Menteri Keuangan. Sementara usulannya
berasal dari pemilik proyek yang di Indonesia adalah Kementerian/Lembaga teknis,
Pemda atau BUMN.
Bagaimana penetapan pemenang lelang proyek yang akan memperoleh VGF?
Sekali lagi jika kita melihat kondisi di India, maka parameter yang digunakan untuk
menetapkan pemenang lelang adalah badan usaha yang meminta jumlah VGF
yang terkecil. Untuk kasus Indonesia, bisa menggunakan lebih dari satu parameter,
yaitu selain badan usaha yang meminta VGF terkecil juga badan usaha yang
meminta tarif terendah. Dengan dua parameter ini maka prinsip governance dan
efisiensi akan bisa ditegakkan.
Di India VGF diberikan selama masa konstruksi dan diberikan secara bertahap
kepada proyek sesuai dengan pencairan utang dari financial institution yang
memberikan pinjaman kepada badan usaha pemenang lelang. Oleh karena itu akan
ada perjanjian tripartit antara empowered institution, financial institution dan badan
usaha pemenang lelang.
Ada dua faktor yang paling menentukan
a p a k a h D u k u n g a n K e l a y a k a n
merupakan tools untuk menjawab
kemandegan pelaksanaan KPS di
Indonesia. Pertama, kepastian proyek-
proyek itu sendiri apakah layak
dilaksanakan atau tidak, menjadi
prioritas atau tidak, ada kesungguhan
atau komitmen untuk mengeksekusi
proyek-proyek KPS tersebut. Tanpa
adanya kepastian ini, maka risiko
proyek KPS makin besar, opportunity
cost akan meningkat dan harus ditutup
dengan penjaminan pemerintah yang
makin tinggi. Kedua, pemahaman
pemerintah mengenai apa, tujuan dan
manfaat, bagaimana serta mekanisme
penyaluran Dukungan Kelayakan. Bila
pemahaman mengenai Dukungan
Kelayakan ini rendah maka fasilitas
yang sangat baik ini tidak bisa
dieksekusi, akibatnya risiko proyek
infrastruktur semakin tinggi.
Karena itu, Dukungan Kelayakan bisa
menjadi solusi untuk mengatasi
kemandegan proyek KPS b i la
meminjam pendapat Jeffrey Delmon
(2011), pemerintah perlu memastikan
empat faktor kunci sukses KPS, yaitu:
be patient, prepare well, monitoring and
regulating the project and the sector,
and be ready for challenge. Dalam
konteks persiapan proyek misalnya,
masih belum well prepared yang
tergambar dari persoalan di sekitar PPP
Book terjadi masuk keluarnya proyek-
proyek yang termuat dalam PPP Book
seh ingga mengganggu da lam
Dapatkah Dukungan KelayakanMenjawab Kemandegan
Pelaksanaan KPS di Indonesia?
Rubrik Utama
8 INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
pelaksanaannya, bahkan sering membingungkan investor. Selain itu, proyek-proyek yang tergolong prioritas sering berubah
menjadi tidak prioritas, begitu juga sebaliknya. Sedangkan bila benchmark ke India, pemerintah harus memiliki pengelola proyek
PPP yang kuat (empowered institution) dimana Kementerian Keuangan memegang peranan kunci. PPRF bersama dengan PT
Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PT PII) harus diberi wewenang untuk meng-assess proyek yang layak untuk mendapatkan
dukungan dan jaminan pemerintah. Pemerintah juga perlu mengkaji kemungkinan diterbitkannya regulasi yang khusus
mengatur mengenai pembiayaan infrastruktur termasuk Dukungan Kelayakan serta pemberian kewenangan kepada PPRF.
Dengan demikian penulis berpendapat Dukungan Kelayakan diharapkan bisa menjadi tools yang efektif selama pilihan proyek
PPP dapat dipastikan benar (good project), regulasi yang diperlukan cukup memadai/mendukung (good laws), kelembagaan
yang mendukung PPP berfungsi dengan baik dan terkoordinasi secara efektif (good institutions) serta selama pelaksanaan
proyek dilakukan evaluasi dan monitoring secara berkala untuk dilaporkan ke publik secara transparan dan akuntabel (good
fiscal accounting and reporting). Untuk mencapai ini perlu waktu, meskipun apa yang dicapai hari ini merupakan prestasi
tersendiri, namun masih diperlukan beberapa perbaikan (improvement), karena itu pemerintah dan kita semua perlu sabar (be
patient) dan selalu semangat mengerjakan sesuatu secara sungguh-sungguh (man jadda wa jada).
Rubrik Utama
Integritas
Profesionalisme
Sinergi
Pelayanan
Kesempurnaan
Nilai dan Prilaku Kementerian Keuangan
Bersikap jujur, tulus, dan dapat dipercayaMenjaga martabat dan tidak melakukan hal-hal tercela
Memiliki keahlian dan pengetahuan yang luasBekerja dengan hati
Memiliki sangka baik, saling percaya, dan menghormatiMenemukan dan melaksanakan solusi terbaik
Melayani dengan berorientasi pada kepuasan pemangku kepentinganbersikap pro aktif dan cepat tanggap
Melakukan perbaikan terus menerusMengembangkan inovasi dan kreatifitas
Rubrik Utama
9INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
BELAJAR VGFKE INDIA
1Oleh: Hadi Setiawan
Dalam buku The Indonesian Competitive Report 2011 yang di publish oleh
World Economic Forum disebutkan bahwa peringkat global competitiveness
index 2010-2011 Indonesia berada pada peringkat 44 dari 139 negara.
Peringkat ini berada dibawah Singapura (3), Malaysia (26), China (27),
Brunei Darussalam (27), Thailand (38), tetapi masih diatas Brazil (58),
Vietnam (59), Rusia (53), dan Filipina (85). Untuk tingkat ASEAN, Indonesia
berada di peringkat 5 dan untuk negara berkembang di Asia Indonesia juga
berada di peringkat 5.
Global competitiveness index ini dibuat berdasarkan 12 kategori penilaian,
yaitu institution, infrastruktur, lingkungan makro ekonomi, kesehatan dan
pendidikan dasar, pendidikan yang lebih tinggi, efisiensi pasar barang,
efisiensi pasar tenaga kerja, pembangunan pasar keuangan, kesiapan
teknologi, ukuran pasar, kepuasan bisnis, dan inovasi. Salah satu yang
membuat peringkat Indonesia rendah adalah kondisi infrastruktur di
Indonesia, dimana berdasarkan kondisi infrastruktur, Indonesia masih
berada pada peringkat 82, jauh dibawah peringkat global competitiveness
index itu sendiri. Mengapa hal ini terjadi? Jika dilihat dari anggaran
infrastruktur Indonesia dalam APBN maka anggaran infrastruktur walaupun
terus meningkat dari tahun ke tahun tetapi apabila dibandingkan dengan nilai
PDB Indonesia maka persentasenya masih sangat kecil yaitu 1,71% pada
tahun 2011 dan 1.04% pada tahun 2005 (tabel-01). Persentase anggaran
infrastruktur yang masih relatif kecil ini terjadi karena memang keterbatasan
kemampuan pendanaan pemerintah. Sementara untuk dapat mencapai
target ketersediaan infrastruktur yang memadai, setidaknya dana yang
dibutuhkan adalah sekitar 5 persen dari PDB yang artinya sekitar sekitar Rp. 2340 triliun pada tahun 2011 dan Rp. 406 triliun pada tahun 2012 , jumlah ini
juga masih relatif kecil jika dibandingkan dengan India yang mencapai 7 – 8%
dan China yang berkisar 9 – 10%.
PENGANTAR
1 Calon Peneliti Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan2 Wiloejo Wirjo Wijono, Pendanaan Investasi MP3EI: Pelajaran dari Skema Kemitraan Pemerintah dan Swasta
dalam MP3EI, Breakthrough Strategy Indonesia Menjadi Negara Maju
Tabel 01: Perkembangan Anggaran Infrastruktur Dalam APBN
*Pertumbuhan ekonomi & PDB tahun 2011 menggunakan asumsi makro APBN 2011
Sumber: MP3EI : Peta Proyek Infrastruktur dan Pendanaannya (Yuventus Effendi) dalam MP3EI, Breakthrough Strategy Indonesia Menjadi Negara Maju
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011*
7,00%
6,00%
5,00%
4,00%
3,00%
2,00%
1,00%
0,00%
140,0
120,0
100,0
80,0
60,0
40,0
20,0
0,0
1,04%
1,71% 1,56% 1,71% 1,83% 1,65% 1,71%23,7
50,0 54,0
78,993,4
123,8
70,0
10 INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Karena keterbatasannya kemampuan
dana pemerintah tersebut maka
pemerintah mendorong keterlibatan
dan kontribusi pihak swasta untuk ikut
dalam pembangunan infrastruktur ini,
salah satunya yaitu melalui skema
Kerjasama Pemerintah dan Swasta
(KPS). Untuk mendukung skema KPS
ini, pemerintah telah mengeluarkan
payung hukum implementasi KPS
tersebut yaitu dengan Perpres 67/2005
yang kemudian direvisi dengan Perpres
13/2010 dan Perpres 56/2011. Dalam
aturan ini terutama mengatur tentang
p e n g a d a a n b a d a n u s a h a
pembangunan infrastruktur yang
kompetitif, terbuka dan transparan.
Dalam payung hukum KPS infrastruktur
tersebut dinyatakan bahwa badan
usaha dapat memperoleh dukungan
pemerintah yang bentuknya dapat
berupa kontribusi fiskal dalam bentuk
finansial, insentif perpajakan, perizinan,
pengadaan tanah, dukungan sebagian
konstruksi, dan dukungan lainnya.
Selain itu pemerintah juga dapat
memberikan jaminan terhadap proyek
ker jasama tersebut. Dukungan
pemerintah berupa kontribusi fiskal
dalam bentuk finansial inilah yang
disebut Viability Gap Fund (VGF) atau
dikenal dengan istilah Dana Dukungan
Kelayakan.
Rubrik Utama
APA ITUVIABILITYGAPFUND(VGF) ?
Viability gap fund (ada yang menyebutnya dana pendampingan pemerintah, ada
menyebutnya dana “subsidi” pemerintah, ada juga yang menyebut dana dukungan
pemerintah) adalah dana dukungan yang disediakan oleh pemerintah untuk
pembangunan proyek infrastruktur yang dilaksanakan melalui skema Kerjasama
Pemerintah dan Swasta (KPS) untuk membuat suatu proyek yang sebelumnya
kurang layak secara finansial menjadi layak secara finansial. VGF diberikan kepada
badan usaha pemenang lelang dalam bentuk tunai (cash).
Dukungan dalam bentuk tunai diharapkan dapat mempercepat pembangunan
infrastruktur khususnya untuk proyek yang secara finansial kurang layak, mengingat
dukungan selain tunai yang selama ini diberikan oleh pemerintah kurang optimal
dalam mempercepat pembangunan infrastruktur tersebut.
Salah satu negara yang sudah menerapkan model (skema) VGF sejak tahun
2005 adalah India dengan istilah “The Scheme for Financial Support to Public 3Private Partnerships (PPPs) in Infrastructure” . Penerapan skema dimaksud
dikarenakan Pemerintah India menyadari bahwa proyek infrastruktur tidak selalu
layak secara finansial karena periode waktunya yang panjang atau pengembalian
(return) yang terbatas.
Sektor-sektor yang mendapatkan fasilitas VGF di India adalah:
1. Jalan, jembatan, rel, pelabuhan, bandara, transportasi air di sungai;
2. Listrik;
3. Transportasi perkotaan, persediaan air, saluran air limbah, manajemen limbah,
dan infrastruktur fisik lainnya di perkotaan;
4. Proyek infrastruktur di zona ekonomi khusus; dan
5. Pusat pertemuan internasional, dan proyek-proyek infrastruktur pariwisata
lainnya;
Nilai fasilitas VGF dapat diperoleh di India mencapai maksimal 40% dari nilai
proyek. Nilai tersebut berasal dari pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian
Keuangan sebesar maksimal 20% nilai proyek dan pemilik proyek dalam hal ini
BAGAIMANA MODEL VGF DI INDIA?
K e m e n t e r i a n / L e m b a g a a t a u
pemerintah daerah sebesar maksimal
20% dari nilai proyek yang dananya
berasal dari anggarannya sendiri.
Fasilitas VGF di India umumnya
diberikan dalam bentuk hibah pada
tahap konstruksi.
Untuk menjalankan skema VGF
dimaksud Pemerintah India membentuk
sebuah lembaga yang diberi nama
“empowered institution” yang memiliki
kewenangan menilai kelayakan sebuah
proyek apakah bisa memperoleh
fasilitas VGF, termasuk menentukan
dan menyetujui nilai VGF yang 3
Infrastructure. 2005. Ministry of Finance-Department of Economic Affairs. Government of India diakses dari http://www.pppinindia.com/pdf/PPPGuidelines.pdf
Scheme for Support to Public Private Partnership in
11INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Rubrik Utama
Selain itu juga ada “empowered persetujuan Kementerian Keuangan. Instituition atau Empowered Committe.
c o m m i t t e ” y a n g m e m p u n y a i (catatan: 1 rupee = Rp. 179) Pencairan VGF hanya dapat dilakukan kewenangan yang lebih t inggi jika badan usaha pemenang lelang telah Badan usaha yang memperoleh VGF dibandingkan Empowered Institution. menempatkan dan mengeluarkan adalah pemenang lelang proyek KPS Empowered Committe merupakan kontribusi modal yang disyaratkan dalam infrastruktur yang dilakukan dengan komite dibawah Kepala Urusan proyek, dan akan diberikan secara proses transparan, terbuka dan Ekonomi Kementerian Keuangan, yang bertahap sesuai dengan pencairan utang kompet i t i f . Salah satu kr i ter ia beranggotakan Sekretaris Komisi dari financial institution. Empowered pemenang lelang adalah badan usaha Perencanaan, Sekretaris Pengeluaran, committe akan memberikan VGF yang meminta jumlah VGF yang terkecil dan Sekretaris Kementerian Teknis. tersebut melalui “lead financial institution” dengan tentu saja parameter-Kewenangan Empowered Committe (institusi keuangan yang membiayai p a r a m e t e r l a i n y a n g d a p a t adalah sampai dengan nilai Rs 200 proyek) yang akan diatur dalam dibandingkan. Proses pengajuan crore (2 miliar rupee). Sedangkan nilai perjanjian tripartit antara Empowered permintaan fasilitas VGF ini dilakukan
diatas Rs 200 crore ada dibawah Institution, Lead Financial Institution dan oleh pemilik proyek kepada lembaga
Empowered Commi t te dengan yang berwenang yaitu Empowered badan usaha pemenang lelang.
SUCCESS STORY VGF DI INDIA
Total proyek KPS di India ada sebanyak 881 proyek, yang terdiri dari 6 proyek di bidang airport, 19 proyek di bidang pendidikan,
77 proyek dibidang energi, 13 proyek di bidang kesehatan, 62 proyek pelabuhan, 9 proyek rel kereta api, 457 proyek jalan, 55 di 4bidang pariwisata, 181 proyek di bidang pembangunan perkotaan, serta 2 proyek dibidang lainnya .
Dari keseluruhan proyek KPS tersebut yang memperoleh fasilitas VGF adalah sebagai berikut:
Dari tabel 02 diatas terlihat bahwa jumlah proyek yang memperoleh VGF di India adalah sebanyak 123 proyek (jika memasukkan
turut memasukkan proyek yang masih dalam pertimbangan dan other proposal), jumlah ini adalah sebesar 13,9% dari total proyek
KPS. Sedangkan nilai VGF yang diberikan untuk status fasilitas proyek yang telah disetujui adalah sekitar Rp. 10,6 triliun rupiah.
Jika nilai tersebut ditambah dengan status fasilitas lainnya maka diperoleh angka Rp. 35,72 triliun. Jumlah yang juga cukup besar
jika dibandingkan dengan nilai proyek, yaitu sebesar 21,1%.
Tabel 02: Jumlah Proyek dan Nilai VGF di India
Telah disetujui dan proses lelang telah selesai
37 proyek Rs 30,026.91 crore (300,27 miliar
Rs 5,926.97 crore (59,27 miliar rupee)
19,74% dari nilai proyek
1.
Secara prinsip disetujui 42 proyek Rs 16,890.67 crore (168,91 miliar
Rs 3,259.34 crore (32,59 miliar rupee)
19,3% dari nilai proyek
2.
Dalam tahap 26 proyek Rs 29,860.50 crore (298,61 miliar
Rs 7,852.20 crore 26,29% dari nilai proyek
3.
Other proposal 18 proyek Rs 17,634.71 crore (176,35 miliar
Rs 2,918.68 crore (29,19 miliar rupee)
16,6% dari nilai proyek
4.
No. Status Fasilitas Jumlah Proyek Nilai Proyek Nilai VGF Keterangan
(catatan: 1 rupee = Rp. 179)Sumber: http://www.pppinindia.com/projects_vgf.php diakses tanggal 9 April 2012
model India yaitu fasilitas VGF dicairkan
selama masa konstruksi dan dilakukan
secara bertahap sesuai dengan pencairan
utang dari financial institution. Kemudian
untuk penetapan pemenang lelang,
Indonesia bisa menggunakan parameter
badan usaha yang meminta jumlah VGF
yang terkecil dan yang menawarkan tarif
terendah dengan bobot pembobotan yang
disesuaikan.
PENUTUP
Penerapan VGF model India bisa diterapkan di Indonesia untuk proyek-proyek yang
memiliki kelayakan finansial marginal, apalagi Indonesia sudah memiliki payung hukum
untuk pemberian VGF ini yaitu Perpres 67/2005 sebagaimana telah diubah dengan
Perpres 13/2010 dan Perpres 56/2011. Hanya saja Perpres ini belum mengatur bagaimana
model/skema pemberian VGF dan bagaimana tata cara pemberian dan pengelolaan
termasuk pengawasannya. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan sedang
menyusun aturan tersebut dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan.
Model VGF India bisa menjadi contoh atau acuan bagi Pemerintah Indonesia dalam
penyusunan aturan tersebut yang tentu saja disesuaikan dengan kondisi dan keadaan di
Indonesia. Misalnya terkait dengan alternatif pencairan VGF, Indonesia bisa mengikuti
4http://www.pppindiadatabase.com/Screens/frmSearch.aspx?AUTHORISEDUSER=N&ACTIONTAG=VIEW diakses tanggal 9 April 2012
Gambar 1. Gap Pembiayaan Dalam Infrastruktur
Kebutuhan InvestasiInfrastruktur
AnggaranPemerintah
GapPembiayaan
Swasta:Non-KPS
Swasta: KPS
IDR 410T
IDR 520TIDR 929T
IDR 500TIDR 1429T
Sumber : Bappenas (RPJMN 2010 – 2014)
12 INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Rubrik Utama
Credit Enhancement dan Percepatan Implementasi
Penyediaan Infrastruktur1Oleh: Novijan Janis
Tekad Pemerintah Dalam Menyediakan Infrastruktur
Pemerintah telah mencanangkan tahun 2012 sebagai tahun
infrastruktur. Hal ini menunjukkan tekad yang kuat untuk
menyediakan infrastruktur yang dapat mendongkrak angka
pertumbuhan Indonesia. Tekad dan komitmen dimaksud
secara konsisten dinyatakan sejak pelaksanaan Indonesia
Infrastructure Summit pada pertengahan Januari 2005 yang
memperkenalkan skema Kerjasama Pemerintah Swasta
(KPS) dalam menyediakan infrastruktur. Acara serupa juga
dilaksanakan pada awal April 2011 yaitu Indonesia
International Infrastructure Conference and Exhibition yang
diharapkan dapat menjadi forum pertemuan antara pejabat
pemerintah dan swasta untuk bersama-sama menyediakan
infrastruktur yang berkelanjutan. Selanjutnya pada bulan
Mei 2011 pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden
nomor 32 tentang Masterplan Percepatan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025.
Secara umum MP3EI merupakan arahan strategis dari
pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional tahun 2005-2025, yang akan menghantarkan
Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2025. Indikator
negara maju dimaksud adalah PDB Indonesia mencapai
USD 4,0 – 4,5 triliun dan pendapatan perkapita mencapai
USD 14,250 – 15,000. Namun demikian kuantitas dan
kualitas infrastruktur saat ini sangat tidak memungkinkan
untuk mendukung terwujudnya visi dimaksud. Oleh karena
itu MP3EI juga mengindentifikasi investasi infrastruktur
yang dibutuhkan untuk mencapai visi 2025 dimaksud.
Dalam lampiran Peraturan Presiden nomor 32 tahun 2011
disebutkan bahwa sumber pembiayaan proyek infrastruktur
MP3EI akan berasal dari 3 investasi infrastruktur yaitu
investasi Pemerintah, BUMN dan Campuran. Adapun
jumlah proyek dan nilai investasi yang dibutuhkan dari
masing-masing ketiga jenis investasi infrastruktur tersebut
sebagaimana termaktub dalam lampiran Perpres nomor
32/2011 khususnya pada Bab V, adalah sebagai berikut :
1. Investasi infrastruktur pemerintah sebanyak 195 proyek
yang membutuhkan dana sebesar Rp 543,72 triliun
(32%),
2. investasi infrastruktur BUMN sebanyak 154 proyek dan
membutuhkan biaya sebesar Rp 601,82 triliun (36%),
3. investasi infrastruktur campuran sebanyak 47 proyek
KPS dan membutuhkan biaya sebesar Rp 528,29 triliun
(32%)
Tekad mencapai visi 2025 dengan cara memperbaiki
kualitas dan kuantitas infrastruktur mengalami hambatan
dari ketersediaan dana pemerintah. Oleh karena itu
pemerintah mendorong pihak swasta untuk terlibat dalam
penyediaan infrastruktur. Hal ini tergambar dalam RPJMN
tahun 2010-2014 yang diterbitkan Bappenas, dimana
dinyatakan bahwa selama tahun 2010-2014 dibutuhkan
dana infrastruktur sebesar Rp 1.429 trilliun dan 65% nya
(Rp 929 triliun) dibiayai oleh swasta baik dengan skema
KPS maupun non KPS.
Dengan demikian keterbatasan anggaran tidak mampu
memadamkan tekad pemerintah untuk menyediakan
infrastruktur yang dapat meningkatkan taraf hidup bangsa
secara umum. Dimana upaya melibatkan swasta dalam
penyediaan infrastruktur menjadi sebuah alat untuk
mewujudkan tekad dimaksud.
1 Kepala Subbidang Risiko Ekonomi, Keuangan dan Sosial
13INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Rubrik Utama
Metode Pembiayaan DalamMenyediakan Infrastruktur
Struktur pembiayaan yang digunakan untuk menyediakan
infrastruktur biasa dikenal dengan project finance. Secara
umum project finance diartikan sebagai sebuah struktur
pembiayaan jangka panjang atas sebuah proyek yang
dinisbatkan kepada proyeksi penerimaan kas masa depan
dari proyek dimaksud. Berbeda dengan struktur
pembiayaan perusahaan (corporate finance) yang
umumnya dinisbatkan kepada posisi kekayaan perusahaan
dimaksud. Perbedaan ini timbul karena umumnya
pembiayaan untuk suatu proyek dipisahkan dari
pembiayaan untuk perusahaan. Pemisahan dimaksud
dilakukan perusahaan karena besarnya kebutuhan
pembiayaan untuk sebuah proyek umumnya melebihi
kapasitas perusahaan dan periode yang dibutuhkan untuk
pengembalian modalnya sangat panjang, sehingga
pemisahan itu dilakukan dalam rangka memitigasi
keuangan perusahaan dalam hal proyek yang dibiayai
mengalami kegagalan.
Karakter lain dari project finance adalah komposisi ekuitas
dan utang pada struktur pembiayaannya. Lazimnya pada
project finance komposisi ekuitas adalah 30% dan 70%
utang (Yescombe, 2001). Komposisi yang demikian
menyebabkan project finance lebih mengikuti karakter dari
lending risk daripada equity risk. Ketergantungan project
finance pada utang mendorong pimpinan proyek untuk
menyusun struktur pembiayaan yang benar-benar dapat
meyakinkan pihak kreditur akan proyeksi revenue stream
dari proyek dimaksud sekurang-kurangnya selama masa
pinjaman. Apabila proyeksi penerimaan dari proyek tidak
meyakinkan pihak lenders maka proyek dimaksud
dikatakan tidak bankable dan sebaliknya.
Besarnya pembiayaan yang dibutuhkan dan panjangnya
periode untuk memperoleh return menyebabkan munculnya
konsorsium baik di pihak sponsor yang menyediakan
ekuitas maupun di pihak kreditur sehingga loan agreement
yang disusun lebih komplek bila dibandingkan dengan
perjanjian sejenis yang disusun oleh sebuah korporasi
(corporate finance). Hal inilah yang menyebabkan biaya
untuk project finance lebih mahal daripada biaya untuk
corporate finance.
Namun demikian berkumpulnya konsorsium besar
dimaksud memberikan dampak positif yang diantaranya
adalah adanya pembagian risiko diantara pihak-pihak
dalam kosorsium berdasarkan kapasitas untuk
mengendalikan risiko dalam artian sebuah pihak akan
menerima alokasi risiko yang bisa dikelolanya dengan cara
yang paling efisien. Dengan alokasi risiko yang efisien inilah
loan agreement disusun.
Alokasi risiko dalam project finance pada umumnya
berpedoman pada dua aspek yaitu kemampuan untuk
mengelola risiko dan kemampuan untuk memikul /
menerima konsekuensi dari risiko. Kemampuan mengelola
risiko sangat berbanding lurus dengan kemampuan dan
kemauan untuk mengelola risiko dengan biaya yang rendah
dan tercermin dari adanya sumber daya yang memadai baik
dari aspek kelembagaan maupun sumber daya manusia.
Adapun yang dimaksud dengan kemampuan menerima
risiko adalah kemampuan menanggung dampak risiko
dengan biaya yang lebih rendah daripada insentif yang
diterima.
Mengingat project finance sudah dilazim digunakan pihak
swasta khususnya dalam pembiayaan sebuah proyek maka
skema KPS dalam penyediaan infrastruktur pun akan
mengunakan metode pembiayaan ini.
Skema KPS Dalam Penyediaan Infrastruktur
Penggunaan skema KPS dalam menyediakan infrastruktur
pada awalnya muncul di daratan Eropa, dimana Komisi
Eropa mendefiniskan KPS (Public Private Patnership)
sebagai pengalihan investasi proyek dari sektor pemerintah
ke sektor swasta. Namun dalam beberapa tahun terakhir,
penyediaan infrastruktur dengan skema KPS mulai
digunakan di negara berkembang seperti India, Pakistan,
Malaysia, Indonesia dan negara berkembang lainnya.
14 INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Rubrik Utama
Beberapa alasan dari berkembangnya skema KPS ini
adalah :
1. Dengan skema ini, pemerintah dapat mengurangi
anggaran untuk infrastruktur karena swasta turut
berpartisipasi dalam hal pendanaan infrastruktur.
2. Dengan keterlibatan swasta yang secara umum memiliki
keterampilan, teknologi dan sistem insentif yang lebih
baik maka produk dan jasa yang dihasilkan dari skema
KPS akan lebih baik.
3. Skema KPS akan memberi kesempatan untuk
terwujudnya infrastruktur yang sesuai dengan harapan
masyarakat.
Pada dasarnya infrastruktur untuk publik itu dimiliki oleh
pemerintah, namun dengan kontrak konsesi hasil dari skema
KPS kepemilikian dimaksud dialihkan untuk sementara waktu
kepada pihak swasta. Dengan pengalihan inilah penggunaan
anggaran pemerintah untuk infrastruktur dapat dikurangi baik
untuk penyediaannya maupun untuk pemeliharaan selama
periode pengalihan. Dimana pengalihan tersebut tidak
menyebabkan ketiadaan infrastruktur yang dibutuhkan
masyarakat bahkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan
dari infrastruktur dimaksud.
Namun dengan pengalihan dimaksud bukan berarti
pemerintah tidak menyediakan anggaran sama sekali,
karena pengalihan kepemilikan sementara itu pada
dasarnya memindakan risiko dari pemerintah kepada
swasta. Dimana, sesuai dengan prinsip pembagian risiko
pada project finance, risiko ditanggung oleh pihak yang
paling mampu mengelola risiko dan tidak ada satu pihak
yang mampu mengelola semua risiko dari sebuah proyek.
Dalam hal penyediaan proyek infrastruktur dengan skema
KPS, sebagaimana lazimnya dalam project finance,
dibutuhkan kepastian akan revenue stream sekurang-
kurangnya selama masa pengalihan kepemilikan dari
pemerintah ke swasta (masa konsensi). Dimana revenue
stream dimaksud sangat bergantung dengan tarif dari
penggunaan infrastruktur dan tarif tersebut ditentukan oleh
pemerintah. Pada titik inilah swasta tidak memiliki
kemampuan untuk memastikan bahwa kebijakan
pemerintah tidak mengalami perubahan yang dapat
mengganggu revenue stream dimaksud dan perubahan
kebijakan inilah yang disebut dengan risiko politik. Sehingga
dibutuhkan jaminan dari pemerintah akan kepastian future
revenu stream dimaksud.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada saat sebuah
proyek infrastruktur dengan skema KPS dianggap tidak
bankable maka dibutuhkan jaminan dari pemerintah dan
jaminan dimaksud dikategorikan sebagai credit
enhancement.
Terkait dengan credit enhancement pada proyek KPS di
Indonesia, Pemerintah menyediakan fasilitas berupa
dukungan pemerintah baik secara langsung maupun tidak
langsung. Dukungan pemerintah secara langsung dapat
berupa dukungan keuangan dan atau dukungan non
keuangan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan.
Adapun dukungan pemerintah secara tidak langsung
berupa jaminan pemerintah atas sebuah proyek
infrastruktur. Pada awalnya jaminan diberikan secara
langsung oleh pemerintah, namun dengan pertimbangan
jaminan dimaksud merupakan kewajiban kontinjen bagi
Pemerintah selama berlangsungnya loan agreement, maka
Pemerintah kemudian membentuk PT Penjaminan
Infrastruktur Indonesia (PII) yang merupakan sebuah BUMN
yang berfungsi sebagai fiscal risk management instrument
khususnya terkait dengan penjaminan infrastruktur.
Implementasi dari dukungan secara langsung berupa
keuangan yang diberikan Pemerintah saat ini adalah Dana
Tanah (the Land Fund) dan Dana Bergulir (Revolving Fund)
untuk proyek geothermal. Dana Tanah merupakan dana yang
dialokasikan untuk membantu investor dalam pembiayaan
pengadaan tanah di muka untuk mengatasi masalah
ketidakpastian harga tanah. The Land Fund terdiri dari :
Credit Enhancement Dalam PenyediaanInfrastruktur Di Indonesia
Word
pre
ss.c
om
15INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Rubrik Utama
a. Land Revolving Fund, yaitu dana bergulir untuk
pembebasan tanah bagi pembangunan jalan tol, dimana
Pemerintah akan membiayai pembebasan tanah
terlebih dahulu dan selanjutnya akan dikembalikan oleh
Badan Usaha yang ditetapkan sebagai pemegang hak
konsesi. Jumlah dana dimaksud pada APBN TA 2011
adalah sebesar Rp 2,3 triliun, dan pada APBN-P TA 2011
menjadi sebesar Rp 3,9 triliun. Selanjutnya pada APBN
TA 2012 mendapat alokasi sebesar Rp 0,9 triliun. Dana
dimaksud dikelola oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT)
- Kementerian Pekerjaan Umum
b. Land Capping, yaitu pemberian dukungan pemerintah
untuk mengantisipasi kenaikan harga tanah bagi
pembangunan jalan tol. Dana ini dikelola oleh
Kementerian Pekerjaan Umum dan diberikan untuk 28
ruas jalan tol dengan nilai sebesar Rp 4,89 triliun yang
dialokasikan sejak tahun anggaran 2008 sampai dengan
tahun 2013. Dalam APBN TA 2011 telah dialokasikan
dana Land Capping sebesar Rp 890,2 miliar dan untuk
APBN TA 2012 alokasi dana Land Capping sebesar Rp
0,5 triliun.
c. Land Acquisition Fund, merupakan kebijakan
Pemerintah untuk memberikan dukungan langsung
untuk proyek-proyek yang akan dilaksanakan dalam
skema KPS untuk pembebasan tanah. Untuk APBN TA
2011 Pemerintah telah mengalokasikan Land
Acquisition Fund sebesar Rp 765,30 miliar yang terbagi
untuk:
- Proyek Jalan Tol sebesar Rp 315,3 miliar
dialokasikan untuk empat ruas jalan tol (dhi. Pasir
Koja – Soreang; Pandaan – Malang; Serangan –
Tanjung Benoa; Pekan Baru – Kandis – Dumai) dan
- Proyek Kereta Api Bandara Soekarno Hatta -
Manggarai sebesar Rp 450 miliar.
Sementara untuk APBN TA 2012 diperkirakan belum
ada risiko fiskal terkait proyek-proyek dimaksud
mengingat konstruksi dan pengoperasian belum
terlaksana.
Dana Bergulir untuk geothermal adalah dana yang akan
digunakan untuk membiayai kegiatan ekplorasi
pembangunan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas
Bumi (geothermal). Pada APBN TA 2011 Pemerintah telah
mengalokasikan Revolving Fund untuk geothermal sebesar
Rp 1.126,5 triliun. Adapun untuk Tahun Anggaran 2012,
telah dialokasikan tambahan dana sebesar Rp 876,5 triliun.
Implementasi dari dukungan tidak langsung yang diberikan
Pemerintah pada penyediaan infrastruktur sudah
berlangsung sejak tahun 1994 yang terdiri dari :
a. Skema Independent Power Producer (IPP) dengan
jaminan dalam bentuk Support Letter,
b. Skema Umbrella Note of Mutual Understanding antara
Pemerintah dengan Japan Bank For International
Cooperation (JBIC) dan antara Pemerintah dengan
Nippon Export an Investment Insurance (NEXI),
c. Skema Program Percepatan Pembangunan
Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan
Batubata,
d. Skema Program Percepatan Penyediaan Air Minum,
e. Skema Program Percepatan Pembangunan
Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Energi
Terbarukan (Batubata dan Gas),
f. Skema KPS (sampai dengan saat ini baru 1 proyek yaitu
Central Java Power Plant).
Dengan pertimbangan bahwa dukungan tidak langsung ini
akan memunculkan kewajiban kontinjen pada APBN maka
pengelolaan atas jenis dukungan ini selalu diperbaharui
dengan kecenderungan yang semakin membaik. Pada
awalnya pemberian dukungan ini mencakup semua risiko
proyek dan tidak diberi batasan waktu, namun terbitnya
Peraturan Presiden nomor 78 tahun 2010 dukungan tidak
langsung hanya mencakup risiko politik.
Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa tekad pemerintah
untuk mewujudkan visi 2025 khususnya dalam hal
penyediaan infrastruktur bukan sekedar mimpi. Namun
demikian untuk mencapai hasil yang diharapkan masih
diperlukan keterlibatan dari semua pihak secara maksimal.
16 INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Rubrik Utama
Salah satu persoalan krusial yang
dihadapi Bangsa Indonesia saat ini
adalah kondisi infrastruktur yang belum
mamadai, baik jumlah maupun mutu.
Pernyataan ini setidaknya tergambar
dari laporan The Global Competitive
Report Tahun 2011 dan WEF (World
Economic Forum). The Global
Competitive Report malaporkan bahwa
kualitas infrastruktur di Indonesia
menduduki peringkat ke-6 di lingkungan
negara-negara ASEAN dan peringkat
ke-57 untuk semua negara di dunia,
dimana keterbatasan infrastruktur
merupakan faktor terbesar nomor 3
yang dipertimbangkan investor untuk
berbinsis di Indonesia, setelah faktor
korupsi dan birokrasi pemerintah yang
tidak efisien. Sedangkan WEF (World
Economic Forum) melaporkan bahwa
daya saing infrastruktur Indonesia
tahun 2010 berada di peringkat 82 (dari
139 negara) di bawah Korea Selatan
(18), Malaysia (30), Thailand (35) dan
China (50). Penilaian tersebut sulit
dibantah karena secara umum kondisi
infrastruktur di Indonesia masih sangat
tidak memadai.
InfrastrukturSektor Transportasi
1 2Oleh : Syahrir Ika dan Sofia Arie Damayanty
Salah satu persoalan krusial yang dihadapi Bangsa Indonesia saat ini adalah kondisi infrastruktur yang
belum mamadai, baik jumlah maupun mutu
Pengantar Di antara berbagai jenis infrastruktur
yang perlu dibenahi, salah satu yang
perlu mendapat perhatian serius dari
pemerintah adalah infrastruktur
transportasi. Kamar Dagang dan
Industri (Kadin) memaparkan biaya
logistik di Indonesia termasuk paling
tinggi di dunia. Bahkan dari penelitian
Lembaga Pengkajian Penelitian dan
Pengembangan Ekonomi (LP3EI)
Kadin, biaya logistik di Indonesia
mencapai 24 persen dari total Produk
Domestik Bruto (PDB) atau senilai Rp
1.820 triliun per tahun, dimana 60
persennya atau sekitar Rp 1.092 triliun 3merupakan biaya transportasi . Rata-
ra ta nega ra ASEAN memi l i k i
persentase biaya logistik sebesar 20-21
persen, Korea Selatan mencapai 16,3
persen, Jepang mendekati 12 persen,
bahkan Amerika yang memiliki area
lebih luas dibandingkan Indonesia
memiliki porsi biaya logistik terhadap
PDB yang cukup rendah, yaitu sebesar 410 persen . Besarnya persentase biaya
logistik terhadap PDB mengindikasikan
besarnya inefisiensi logistik pada
negara tersebut. Untuk itu pembenahan
sistem logistik terutama transportasi
merupakan hal yang mendesak
dilakukan, karena akan memberikan
multiplier effect yang besar dalam hal
efisiensi produksi barang dan jasa, yang
pada akhirnya dapat meningkatkan
daya saing produk dan doing business
di Indonesia.
Kondisi Umum InfrastrukturTransportasi di Indonesia
Infrastruktur Kereta Api
Sarana kereta api siap operasi di
Indonesia masih sangat minim. Sampai
dengan tahun 2010, Direktorat
P e r k e r e t a a p i a n K e m e n t e r i a n
Perhubungan RI melaporkan bahwa
panjang rel kereta api di Indonesia baru
mencapai 4.813 km, jumlah kereta baru
mencapai 1.506 kereta, jumlah gerbong
baru mencapai 3.278 unit, dan jumlah
lokomotif baru mencapai 360 unit.
1Peneliti Madya pada Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu RI2Peneliti Pertama pada Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu RI3Tidak Kompetitif, Biaya Logistik Indonesia Tertinggi di Dunia. Republika Online 14 Februari 2012 (http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/bisnis/12/02/14/lzdkvn-tidak-kompetitif-biaya-logistik-indonesia-tertinggi-di-dunia)4RI Targetkan Biaya Logistik Turun. (http://www.beritasatu.com/mobile/bisnis/16810-ri-targetkan-biaya-logistik-turun.html)
Breakthrough Strategy
17INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Rubrik Utama
unit. Jumlah sarana kereta api ini belum
sebanding dengan jumlah penumpang
yang terus bertambah. Masalah lain
adalah sarana kereta api umumnya
sudah berusia tua sehingga sering
macet, menimbukan kecelakaan dan
kurang menjamin keselamatan
penumpang. Praktek pemanfaatan
gerbong kereta api di Indonesia juga
belum memenuhi best practices di
negara-negara maju. Bila benchmark
ke Jepang, umur ekonomis kereta api
maksimal 10 tahun, sementara di
Indonesia bisa mencapai 25 tahun dan
bisa di-retrofit tanpa pergantian
perangkat yang mendasar. Kondisi
infrastruktur kereta api yang belum baik
ini menyebabkan kereta api belum
berperan menjadi sarana transportasi
utama di Indonesia.
Wilayah operasi kereta api juga masih
terpusat d i pu lau Jawa (97%
penumpang) dan sebagain kecil
wilayah di Sumatera (3% penumpang).
Masyarakat di pulau-pulau besar
lainnya seperti Kalimantan, Sulawesi
dan Papua, serta sebagian besar
wilayah Sumatera, hingga saat ini
belum menikmati sarana kereta api
sebagai salah satu pilihan sarana
transportasi antar kota. Untuk
menjadikan kereta api sebagai sarana
utama transportasi antar kota,
pemerintah mengupayakan revitalisasi
industri perkeretapian antara lain
menambah panjang rel kereta api,
membangun underpass di lintas
Sumatera dan Jawa, membangun jalur
ganda (double track) di bagian utara
pulau jawa sepanjang 723 km yang
diperkirakan akan selesai pada tahun
2013 mendatang, membangun mass
transport Jakarta, serta memodernisasi
stasiun-stasiun kereta api. Pemerintah
juga membentuk Otorita Transportasi
Jabodetabek (OTJ) yang akan
mensinergikan Bus Rapid Transit
(BRT), Mass Rapid Transit (MRT), dan
Kereta Api Commuter Line, sehingga
d i ta rge tkan pada tahun 2030
pelayanan transportasi publik dapat
diatasi dengan baik.
Kualitas jalan nasional di Indonesia
terus mengalami penurunan. Jalan
propinsi di seluruh Indonesia yang
kondisinya baik hanya mencapai sekitar
5,85 persen dari panjang jalan 48.681
km, selebihnya dalam kondisi rusak
berat, rusak sedang, dan rusak ringan
(Purnomo, Ketua APDJI, 2011). Salah
satu penyebab kerusakan jalan
nasional adalah muatan kendaraan
yang berlebihan (Palgunadi, Binamarga
2010). Kebutuhan anggaran untuk
pemeliharaan jalan yang rusak
memang cukup besar (sekitar Rp25-30
triliun per tahun), namun pemerintah
pusat hanya bisa mengalokasikan
dalam APBN sekitar Rp15-Rp18 triliun
untuk program perba ikan dan
peningkatan kapasitas jalan. Kondisi
jalan yang rusak ini juga menjadi salah
satu penyebab meningkatnya angka
kecelakaan lalu lintas di Indonesia.
U n t u k m e n g a t a s i k e m a c e t a n ,
Pemerintah membangun jalan tol yang
merupakan jalan alternatif dari jalan
lintas yang sudah ada. Konsep jalan tol
adalah pembangunan jalan yang
dibiayai oleh pemakai jalan dengan
dijembatani oleh investor sehingga
pendanaannya seminimal mungkin
membebani APBN. Di Indonesia,
Infrastruktur Jalan pembangunan jalan tol dimulai sejak
tahun 1975, yaitu jalan tol Jagorawi
yang mengubungkan Jakarta-Bogor-
Ciawi. Total panjang jalan tol di
Indonesia hingga 2011 baru mencapai
760 km dengan rata-rata penambahan
per tahun hanya mencapai 23 km.
Kebutuhan lahan tol mencapai sekitar
5.300 hektar namun pembebasan lahan
baru mencapai 2.350 hektar atau 44,5
persen. Kondisi jalan tol seperti ini
memang diakui kuantitasnya masih
jauh di bawah jalan tol di beberapa
negara As ia ( l i ha t Tabe l -01 ) .
Pemerintah merencanakan akan
memperbanyak jalan tol di Indonesia
sepanjang 4.526,9 km, meliputi pulau
Jawa (1.675,7 km), Sumatera (2.805,2
km) dan Sulawesi (46 km).
http://s
tat.
ks.k
idsk
lik.c
om
http://w
ww
.medanbis
nis
daily
.com
18 INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Rubrik Utama
Hingga saat ini pola kerja sama
pemerintah swasta (KPS) dalam
pembangunan proyek-proyek jalan tol
belum berjalan baik. Menurut Latief
Adam (2011), penyebabnya antara lain
proses legislasi di DPR dalam
membahas RUU Pengadaan Lahan
membutuhkan waktu lama, munculnya
konflik antara pengelola proyek dengan
masyarakat d i seki tar proyek,
penanggungjawab proyek kerja sama
(PJPK) di Kementerian/Lembaga
maupun BUMN/BUMD dan Pemda
kurang berpengalaman, rendahnya
return on investment (ROI) dari proyek-
proyek yang akan dikerjasamakan
dengan pihak swasta, adanya dualisme
pengelolaan proyek, misalnya antara
pengelolaan jalan umum (Binamarga)
dengan pengelolaan jalan tol (BPJT),
serta pola pikir Pemda yang belum
terbangun dengan baik.
Tabel-01 : Perkembangan Jalan Tol di Asia (2009)
Jepang
Malaysia
Korea
China
Indonesia
125 Juta
22 Juta
46 Juta
1.300 Juta
220 Juta
1.166.340
64.949
88.775
1.700.000
35.000
11.520
1.500
2.600
>100.000
648
9.422
3.020
1.986
1.384
162
Negara Jumlah PendudukArteri Tol
Km/Jalan per 1 jutapenduduk
Panjang Jalan (km)
Sumber : Toll Road Association, from investor daily edition, April 14, 2009
Catatan Penulis : Hingga tahun 2011, panjang jalan tol di Indonesia telah mencapai 757,5 km atau bertambah 36 km setiap tahun sejak tahun 2009. Rinciannya adalah 697,1 km di Jawa, 42,7 km di Sumatera, dan 17,7 km di Sulawesi
Kemacetan di Jakarta
Sebagai ibu kota negara Republik
Indonesia, Jakarta menjadi standar
kualitas pembangunan, termasuk
infrastruktur, di Indonesia. Wilayah
Jakarta seluas 740,3 km2 dengan
penduduk mencapai 9.588.198 orang
pada tahun 2010, selain mengalami
perkembangan yang cukup pesat,
namun di sisi yang lain, jakarta juga
hampir setiap hari memperlihatkan
sebuah pemandangan yang tidak enak
dipandang dan dirasakan warga
Jakarta, yaitu kemacetan. Untuk
mengatasi hal ini, Pemerintah Daerah
DKI Jakarta menghadirkan layanan
transportasi umum yang dikenal
dengan TransJakarta. Layanan ini
menggunakan bus AC dan halte yang
berada di jalur khusus. Hingga saat ini
terdapat 11 koridor TransJakarta yang
t e l ah be rope ras i . Se la i n bus
TransJakarta, Pemda DKI Jakarta juga
menyediakan sarana transportasi
cepat, yaitu kereta listrik (KRL), yang
beroperasi sejak pagi hingga malam
hari untuk melayani masyarakat yang
bertempat tinggal di Jabodetabek.
Pemerintah juga membangun sejumlah
jalan tol dalam kota, yaitu Tol Lingkar
Luar, Tol Bandara, serta ruas tol
Jakarta-Cikampek, Jakarta-Bogor-
Ciawi, dan Jakarta-Merak.
Kehadiran TransJakarta, KRL dan jalan
tol dalam kota ternyata belum
m e m b a n t u m e n g a t a s i k o n d i s i
kemacetan jalan di DKI Jakarta. Salah
satu penyebabnya adalah sekitar
130.276 m2 jalan dalam kondisi rusak
(D i t l an tas Po lda Met ro Jaya ,
poskota.co.id). Ditjen Perhubungan
Darat Kementerian Perhubungan
(2011) melaporkan pada tahun 2011
terdapat 11,99 juta kendaraan yang hilir
mudik di DKI Jakarta, terdiri dari 8,76
juta sepeda motor, 2,29 juta mobil
penumpang, 329,5 ribu mobil bus,
464,7 ribu mobil barang dan 143 ribu
kendaraan khusus. Pertumbuhan
kendaraan di DKI jakarta mencapai
1.284 kendaraan per hari atau tumbuh
11 persen per tahun, jauh melebihi
penambahan kapasitas jalan yang
hanya bertambah sebesar 0,01 persen
per tahun (Riza Hashim, 2011,ESQ-
NEWS.com).
Kemacetan di DKI Jakarta akan
semakin parah jika pemerintah lambat
mengantisipasinya. Persolannya
adalah Pemerintah DKI memiliki
kewenangan yang terbatas. Pemda DKI
Jakarta tidak mungkin membatasi atau
menghentikan industri otomotif yang
rajin memproduksi kendaraan. Pemda
DKI juga tidak memiliki kewenangan
untuk membatasi arus kendaraan yang
datang dari wilayah Bogor, Tangerang,
Bekasi, dan Depok. Pemda DKI Jakarta
memiliki kewenangan yang terbatas
misalnya hanya bisa menambah
jaringan jalan dan meningkatkan
pelayanan angkutan umum melalui pola
transportasi makro. Oleh karena itu,
persoalan kemacetan jalan dan
infrastruktur di DKI Jakarta harus
diselesaikan dengan sebuah sistem
yang terintegrasi, komprehensif dan
koordinatif antar Pemda di sejumlah
Propinsi terkait, dan melibatkan
Pemerintah Pusat.
Permasalahan InfrastrukturTransportasi di Indonesia
Penulis mengidentifikasi beberapa
penyebab mengapa pengadaan
infrastruktur transportasi di Indonesia
masih sangat jauh dari kriteria
memuaskan.
1. Pembangunan infrastruktur belum
dilakukan secara terintegrasi.
Sudah kita maklumi bersama bahwa
p e m b a n g u n a n i n f r a s t r u k t u r
transportasi yang dilakukan di
Indonesia masih belum terintegrasi
dalam satu sistem manajemen
t ransportas i . Masing-masing
i n s t a n s i p e m e r i n t a h
(Kemente r ian /Lembaga dan
Pemda) hanya melihat proyek
infrastruktur dari kacamata sektor
atau wilayahnya sendiri serta
kurang membangun sinergi dan
koordinasi . Hal in i lah yang
menyebabkan banyak infrastruktur
transportasi yang tidak dapat
dibangun dengan kualitas memadai
sesuai yang direncanakan. Salah
satu contohnya adalah pelabuhan
Tanjung Priok di Jakarta yang
hingga saat ini belum terhubung
dengan jaringan kereta api sebagai
alternatif sarana pengangkutan
barang (terutama kontainer) yang
efisien. Contoh lain misalnya, Bina
Marga dan Jasa Marga yang kurang
19INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Rubrik Utama
koordinatif dalam pengaturan jalan
tol dan jalan arteri sehingga sering
terjadi kemacetan akibat pembagian
arus lalu lintas tidak diatur bersama.
2. Orientasi pembangunan
infrastruktur sebatas fisik
Dalam melakukan pembangunan
s a ra n a a ta u p u n p ra sa r a n a
transportasi, orientasi output proyek
masih sebatas pada tersedianya
infrastruktur fisik, dan belum
memperhatikan kualitas pelayanan
yang dihasilkan, apakah sudah
memenuhi standar pelayanan
m i n i m u m b a g i m a s y a r a k a t
pengguna. Selain itu, masalah
operasional dan perawatan menjadi
hal yang kurang diperhatikan
sehingga infrastruktur yang ada
semakin jauh dari kualitas yang
diharapkan. Sudah sering kita alami,
perbaikan jalan dilakukan tetapi
tidak dibarengi dengan perbaikan
saluran air di sekitarnya, sehingga
dalam waktu yang tidak terlalu lama
jalan yang baru diperbaiki tersebut
kembali hancur karena terendam air
dari saluran yang mampet.
3. Kebijakan tidak dilakukan secara
berkesinambungan
Banyak kebijakan yang dibuat oleh
rezim pemerintahan tertentu tidak
d i l a n j u t k a n p a d a r e z i m
pemerintahan selanjutnya sebagai
a k i b a t d a r i p e r g a n t i a n
pimpinan/pemerintahan (political
effect). Sebagai contoh, proyek
transportasi cepat massal (Mass
Rapid Transport/MRT) sebenarnya
sudah direncanakan sejak tahun
1996, ketika Menteri perhubungan
dijabat oleh Haryanto Dhanutirto.
MRT ini direncanakan dibangun
sistem pengangkutan bawah tanah
sepanjang 23 km dengan kapasitas
45.000 orang penumpang per jam 5dan dibiayai oleh Bank Dunia ,
namun sampai hari ini (16 tahun
kemudian) belum juga terwujud.
Begitu juga, proyek monorail
Jakarta yang dirancang oleh
G u b e r n u r S u t i y o s o h a n y a
t e rea l i sas i sampa i dengan
pembangunan tiang pancang yang
melintasi wilayah Jakarta Pusat dan
Jakar ta Se la tan, dan t idak
dilanjutkan lagi bahkan dihentikan
oleh Gubernur Fauzi Bowo. Konon
penyebabnya adalah perbedaan
pandangan mengenai apakah
proyek ini dijalankan dengan
penunjukan langsung atau melalui
lelang, serta pelaksana proyek (PT
Jakarta Monorail) tidak dapat
m e m e n u h i k e b u t u h a n
pembiayaannya sehingga proyek ini
menjadi proyek terlantar.
4. Insentif masih dirasakan kurang
memadai
Mengingat kemampuan APBN yang
t e r b a t a s d a l a m m e n d a n a i
pembangunan in f ras t ruk tu r,
pemerintah telah berupaya untuk
menarik minat swasta dalam
p e m b a n g u n a n i n f r a s t r u k t u r
transportasi dengan skema KPS,
salah satunya melalui pemberian
dukungan dan jaminan pemerintah
atas proyek-proyek pembangunan
infrastruktur dengan skema KPS
sebaga imana d ia tu r da lam
Peraturan Presiden Nomor 67
Tahun 2005. Namun demikian dari
sejumlah proyek pembangunan
infrastruktur yang direncanakan
oleh Bappenas dalam Public-
Private Partnership (PPP) Book,
yang terealisir baru satu proyek,
yaitu pembangkit listrik Central Java
Power Plant. Salah satu faktor yang
menjadi penyebab keengganan
swasta berpartisipasi dalam proyek
http://m
edia
.viv
anew
s.co
m
pembangunan infrastruktur adalah
karena kurangnya insentif di bidang
perpajakan (Media Indonesia, 17
April 2012). Untuk itu perlu dikaji
bentuk insentif yang efektif menarik
investor khususnya di bidang
p e m b a n g u n a n i n f r a s t r u k t u r
transportasi.
Terobosan Pemerintah :Harus Dimulai Dari Mana?
Memperhatikan beberapa masalah di
sektor transportasi, dapat disimpulkan
bahwa ada banyak pekerjaan rumah
yang harus dilakukan pemerintah untuk
membenahi infrastruktur transportasi di
tanah air kita. Walaupun Kementerian
Perhubungan telah membuat suatu
S is tem Transpor tas i Nas iona l
(Sistranas) yang merupakan tatanan
transportasi yang terorganisasi secara
kesisteman untuk dijadikan sebagai
pedoman dan landasan dalam
p e r e n c a n a a n , p e m b a n g u n a n ,
penyelenggaraan transportasi guna
mampu mewujudkan penyediaan jasa 6transportasi yang efektif dan efisien ,
namun cara kerja yang hanya “As is”
tidak bisa memecahkan masalah
transportasi yang rumit. Diperlukan
suatu terobosan dari pemerintah agar
semua perencanaan yang telah dibuat
5 Haryanto Dhanutirto. 1996. “Pembangunan Infrastruktur Transportasi Indonesia” dalam Risalah Konferensi Internasional Tingkat Menteri dalam Pembangunan Infrastruktur, Jakarta.
6 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.49 Tahun 2005 tentang Sistem Transportasi Nasional
20 INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Rubrik Utama
dapat dijalankan secara efektif, dan efisien serta dapat memenuhi standar
pelayanan transportasi bagi masyarakat secara memadai. Beberapa terobosan
yang menurut penulis dapat dilakukan pemerintah adalah:
1. Porsi Anggaran Belanja Modal pada APBN Diperbesar
Terlepas dari permasalahan infrastruktur transportasi Indonesia yang telah
dikemukakan sebelumnya, anggaran infrastruktur Indonesia yang disediakan
pemerintah dalam APBN memang dirasa kurang. Pada Tabel-02 terlihat bahwa
walaupun secara nominal realisasi belanja modal terus mengalami peningkatan,
namun peningkatan tersebut belum mampu menyamai pertumbuhan ekonomi
yang terjadi, sehingga rasio belanja modal terhadap PDB terus mengalami
penurunan. Kementerian Pekerjaan Umum mengharapkan porsi anggaran
untuk infrastruktur dapat ditingkatkan sampai dengan 5% dari PDB untuk
mendukung kegiatan ekonomi dan pertumbuhan dunia usaha internasional
(Seputar Indonesia, 11 April 2012).
Realisasi Belanja Modal
PDB
Rasio Belanja Modal thd PDB (%)
2006
54,95
3.338,2
1,65
2007
64,29
3.957,4
1,62
2008
72,77
4.954
1,47
2009
75,87
5.613,4
1,35
2010
80,29
6.422,9
1,25
Tabel-02. Belanja Modal dan PDB (triliun rupiah)
Uraian
Sumber : Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2010, diolah
Penulis berpendapat, idealnya Pemerintah perlu menetapkan belanja modal
sebagai mandatory spending selama periode tertentu, dalam rangka
mempercepat pengadaan infrastruktur di tanah air. Namun karena fiscal space
yang dimiliki pemerintah sudah sangat kecil jumlahnya, maka penetapan
belanja modal untuk infrastruktur sebagai mandatory spending untuk saat ini
masih sulit untuk dilakukan. Sesungguhnya apabila dilakukan reorganisasi
pengelolaan anggaran, pemerintah dapat mengalokasikan dana infrastruktur
dalam jumlah yang memadai. Selain melalui upaya peningkatan penerimaan
negara dan efisiensi belanja (salah satunya dengan pengendalian subsidi
melalui pemberian subsidi tepat sasaran), reorganisasi pengelolaan anggaran
juga dilakukan melalui penataan kembali alokasi anggaran berdasarkan skala
prioritas, dimana pengadaan infrastruktur sebagai salah satu prioritas utama.
2. Perlunya Usulan RUU tentang Pengadaan Infrastruktur
Untuk memangkas adanya miskoordinasi dalam pengadaan infrastruktur di
Indonesia, perlu dibuat suatu UU tentang Pengadaan Infrastruktur (termasuk di
dalamnya infrastruktur transportasi), yang mengintegrasikan UU terkait dengan
proses pengadaan infrastruktur dan UU tiap sektor, seperti UU Pengadaan
Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, UU tentang Jalan dan
Jalan Tol, UU Perkeretaapian, UU Pelayaran, UU Penerbangan, UU Lalu Lintas
Angkutan dan Jalan, UU Otonomi Daerah, UU Ketenagalistrikan, dan peraturan
terkait lainnya.
Dalam UU Pengadaan Infrastruktur ini juga diatur kewenangan
Kementerian/Lembaga yang menjadi penanggungjawab pelaksanaan
pembangunan infrastruktur. Praktek semacam ini telah dilakukan di Korea,
dimana Ministry of Strategy and Finance diberikan kewenangan tidak hanya
mengalokasikan anggaran bagi pembangunan infrastruktur, tetapi juga dalam
penentuan skema financing-nya (apakah menggunakan KPS atau full funding
dari pemerintah), penentuan pelaksana proyek berdasarkan mekanisme lelang
yang transparan dan akuntabel, sampai dengan penetapan standar kualitas
pelayanan yang dihasilkan oleh pembangunan infrastruktur tersebut. Hal ini
dapat menjadi inspirasi bagi proses pengadaan infrastruktur di Indonesia.
Jaminan peraturan setingkat UU ini dibutuhkan sebagai dasar bagi siapapun
Kementer ian /Lembaga yang
ditunjuk untuk melaksanakan
pembangunan infrastruktur sesuai
dengan roadmap yang ada, dengan
berpegang pada prinsip GCG (good
corporate governance).
3. Pengendalian Kualitas Pelayanan
Publik di Sektor Transportasi
Seper t i t e lah d i kemukakan
sebelumnya, saat ini sebagian
besar pembangunan infrastruktur
transportasi di Indonesia masih
sebatas pada penyediaan sarana
dan prasarana secara fisik, dan
belum memperhatikan sampai ke
aspek kualitas pelayanan ataupun
kepuasan masyarakat sebagai
pelanggan. Untuk itu sudah saatnya
dibentuk suatu Komite yang
b e r t a n g g u n g j a w a b a t a s
pengendalian kualitas (quality
control) pelayanan publik di sektor
transportasi. Komite ini bertugas
m e m f o r m u l a s i k a n i n d e k s
pelayanan publik dari sektor
t r a n s p o r t a s i , d a n
mempubl ikasikannya kepada F
OT
O : A
AN
RU
STA
ND
I
21INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Rubrik Utama
masyarakat sebagai bentuk
pertanggungjawaban pemerintah
atas transparasi pelayanan publik.
Wewenang Komite ini merupakan
salah satu bagian yang diatur dalam
RUU Pengadaan Infrastruktur,
sehingga diharapkan pengadaan
infrastruktur dapat terwujud bukan
hanya sebatas fisik, tapi juga
menghadirkan value for money bagi
masyarakat.
4. Pemberian insentif di bidang
perpajakan (tax incentive)
Pemerintah telah memberikan
berbagai bentuk tax incentive bagi
para investor swasta yang
menanamkan modal di Indonesia,
antara la in adalah fasi l i tas
keringanan pajak (tax allowance)
sebagaimana diatur dalam PP
Nomor 62 Tahun 2008, dan
pembebasan pajak penghasilan
untuk jangka waktu tertentu (tax
holiday) sebagaimana diatur dalam
P M K N o m o r 1 3 0 Ta h u n
2011.Mengingat kedua peraturan ini
belum mencakup pemberian
insentif pajak kepada pengusaha
yang melakukan investasi di bidang
p e m b a n g u n a n i n f r a s t r u k t u r
t r a n s p o r t a s i , m a k a s u d a h
selayaknya pemerintah kembali
mengkaji bentuk insentif yang dapat
efektif mendorong minat investor di
bidang tersebut. Konsekuensinya
adalah untuk jangka pendek
memang akan sedikit mengurangi
pundi penerimaan pajak dalam
APBN, namun untuk jangka panjang
akan lebih menguntungkan bagi
perekonomian secara keseluruhan.
Apabila penambahan tax incentive
ini akan diterapkan, maka kami
mengusulkan diarahkan terutama
ke bidang transportasi seperti MRT
Tahap I (Lebak Bulus-Bundaran HI)
dengan anggaran Rp40 triliun,
Dermaga Merah IV dengan
anggaran RP180 miliar, jalan tol
Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi
tahap II (60 km) dengan anggaran
Rp5,79 triliun dan doubletrack KA
rute Pekalongan-Semarang (87,9
km) dengan anggaran Rp18 triliun.
Persoalan di sektor transportasi
adalah salah satu persoalan kritis
yang dihadapi Indonesia saat ini. Dunia
internasional bahkan mengklaim bahwa
persoalan di sektor transportasi
merupakan salah satu faktor yang
membuat daya saing Indonesia masih
kalah dibanding dengan banyak negara
di dunia. Sama halnya dengan orang
yang “sakit keras”, obat warung (As is)
t idak b isa menyembuhkannya,
diperlukan obat paten yang berdosis
tinggi, inilah yang penulis sebut
Breakthrough! Beberapa rekomendasi
dalam artikel ini memang dapat menjadi
obat paten, tetapi bila digunakan secara
tidak tepat, maka nilai patennya
menjadi hilang, sehingga value for
money dari APBN menjadi tidak efektif.
Untuk itu “dokter spesialis” yang
kompeten menjadi faktor yang paling
menentukan agar apa yang telah
d i resepkan ( rekomendasi bag i
percepatan pembangunan infrastruktur
di bidang transportasi) dapat mencapai
hasil yang optimal.
Penutup
PROYEK KERETA BANDARA
22 INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Rubrik Utama
ntuk ketujuh kalinya, tanggal 2 s.d. 5 Mei 2012 nanti pemerintah kembali akan Umenyelenggarakan pameran internasional yang diberi nama Indonesia
International Infrastructure Conference and Exhibition 2012. Pameran ini,
seperti biasanya, ditujukan untuk mempromosikan sejumlah proposal proyek
infrastruktur kepada para investor dan dunia usaha, baik asing maupun domestik.
Namun, enam pameran yang sudah dilakukan pada waktu lalu ternyata belum
membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Dari hampir seratusan proyek
infrastruktur yang diusulkan untuk dikerjasamakan dengan dunia usaha, baru satu
proyek yang sudah sampai tahap transaksi (proses financial closing) yaitu proyek
pembangunan PLTU Jawa Tengah (Central Java Power Plant).
Pertanyaan yang relevan untuk dikemukakan adalah bagaimana respon dunia
usaha selama ini terhadap ajakan pemerintah untuk bekerjasama dalam
pembangunan proyek infrastruktur di Indonesia? Kemudian, bagaimana prospek
pembangunan infrastruktur di masa mendatang?
SAATNYAPEMBANGUNANINFRASTRUKTURDI PACU
1Oleh : Praptono Djunedi
Pengantar
Perkembangan KPS dan Respon Dunia Usaha
Berdasarkan proyeksi pemerintah, kebutuhan dana investasi untuk proyek
infrastruktur dalam kurun waktu 2010 s.d. 2014 sebesar Rp1.923,7 triliun. Dari total
kebutuhan dana tersebut, APBN diperkirakan hanya bisa menyediakan dana sekitar
Rp559,54 triliun, selanjutnya APBD sekitar Rp355,07 triliun, BUMN (Rp340,85
triliun) dan swasta (Rp344,67 triliun) sehingga masih ada financing gap sekitar
Rp323,67 triliun. (Dedi Supriadi Priatna, 2011).
Sebagaimana diketahui, setelah mengalami krisis moneter, pembiayaan
pembangunan infrastruktur yang dialokasikan dalam APBN dalam beberapa tahun
terakhir masih jauh dari angka ideal (yaitu sekitar 5 persen dari PDB). Data dari
website Direktorat Jenderal Anggaran
Kementerian Keuangan menunjukkan
bahwa realisasi anggaran infrastruktur
yang disediakan dalam APBN tahun
2006 hanya sebesar Rp54 triliun (1,6
persen dari PDB), realisasi tahun 2007
sebesar Rp59,8 triliun (1,5 persen),
tahun 2008 Rp78,7 triliun (1,6 persen),
tahun 2009 Rp91,3 triliun (1,6 persen),
tahun 2010 Rp99,4 triliun (1,5 persen),
dan realisasi tahun 2011 Rp125,6 triliun
(1,7 persen).
Terbatasnya alokasi dana dalam
pembangunan infrastruktur, mau tidak
mau, membuat pemerintah harus
memil ih strategi pembangunan
infrastruktur dengan skema Kerjasama
Pemerintah Swasta (KPS). Dalam
tulisan yang berjudul “Implementasi
Public-Private Partnerships dan
Dampaknya ke APBN” di Warta
Anggaran Ditjen Anggaran, penulis
(2007) menyatakan bahwa sebenarnya
payung hukum terkait KPS ini sudah
ada sejak era presiden Soeharto.
Namun, ternyata Keputusan Presiden 1 Peneliti Muda pada Badan Kebijakan Fiskal
23INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Rubrik Utama
Nomor 7 Tahun 1998 tentang
Kerjasama Pemerintah dan Badan
Usaha Swasta dalam Pembangunan
dan/atau Pengelolaan Infrastruktur ini
t i d a k m e m b u a h k a n h a s i l .
Penyebabnya, kondisi perekonomian
dalam negeri saat itu belum stabil
karena krisis moneter sehingga terjadi
capital flight yang cukup besar.
Baru pada tahun 2005, Pemerintah
mulai serius untuk menerapkan konsep
K P S . S k e m a K P S d i l a k u k a n
berdasarkan prinsip-prinsip seperti:
adil, terbuka, transparansi, dan
persaingan. Dengan adanya prinsip-
p r i ns ip yang mengedepankan
transparansi dan persaingan, manfaat
yang d iharapkan ada lah b isa
memperoleh harga yang terendah;
dapat meningkatkan penerimaan publik
(pub l i c accep tance ) t e rhadap
pembangunan proyek KPS; mendorong
kesanggupan lembaga keuangan untuk
menyediakan pembiayaan tanpa
sovereign guarantees; mengurangi
risiko kegagalan proyek; mendapatkan
bidders yang sangat berpengalaman
dan berkualitas tinggi; serta mencegah
aparat pemerintah dari praktek KKN.
Terkait dengan hal itu, pemerintah
kemudian menerbitkan Peraturan
Presiden Nomor 67 Tahun 2005
(terakhir diubah dengan Perpres
56/2011), juga peraturan terkait
pembebasan lahan (Perpres 36/2005
dan terakhir ditingkatkan menjadi UU
2/2012) dan Permenko Perekonomian
Nomor 4 Tahun 2006 tentang Tata Cara
Evaluasi Proyek Kerjasama Pemerintah
d e n g a n B a d a n U s a h a D a l a m
Penyediaan Infrastruktur.
Sementara itu, kelembagaan yang
dibentuk terkait pelaksanaan skema
KPS meliputi:
(a). Komite Kebijakan Percepatan
Penyediaan Infrastruktur (KKPPI)
dibentuk berdasarkan Peraturan
Presiden 42/2005, lalu peran
KKPPI lebih diefektifkan melalui
Peraturan Presiden Nomor 12
Tahun 2011;
(b) Komite Pengelolaan Risiko dan Penyediaan Infrastruktur dibentuk
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38 Tahun 2006 (lalu berubah
menjadi Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal);
(c ) Badan Layanan Umum pada Badan Pengatur Jalan Tol, Kementerian PU yang
dibentuk tahun 2007 untuk mengelola Land Revolving Fund;
(d) PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dibentuk tahun 2009 dan melalui anak
perusahaannya PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF) telah beroperasi
sebagai entitas pembiayaan pembangunan infrastruktur melalui skema KPS;
(e) PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) dibentuk tahun 2010 telah
beroperasi sebagai entitas penjaminan pembangunan infrastruktur melalui
skema KPS. Regulasi terkait PT PII telah ditetapkan melalui Peraturan
Presiden 78/2010 serta Peraturan Menteri Keuangan 260/2010.
.
Namun demikian, perkembangan pembangunan infrastruktur dengan skema KPS
belum sesuai dengan yang ditargetkan. Beberapa bottleneck yang ada diantaranya
adalah lambatnya penyediaaan legal framework, tidak matangnya persiapan proyek
KPS, rendahnya komitmen kementerian/lembaga (sebagai Penanggung Jawab
Proyek Kerjasama/PJPK), preferensi birokrat yang cenderung pada APBN sebagai
sumber pembiayaan untuk proyek infrastruktur yang ROI-nya tinggi, rendahnya ROI
proyek KPS yang ditawarkan kepada dunia usaha, dan pola pikir birokrat mengenai
konsep KPS yang belum terbangun dengan baik (Latif Adam, 2011).
Seperti telah dijelaskan di atas, dari hampir seratusan proyek yang diusulkan
sebagai proyek skema KPS sejak tahun 2006, baru satu proyek yang sedang dalam
proses financial closing yaitu proyek pembangunan PLTU Jawa Tengah (CJPP).
Walaupun demikian, penulis optimis bahwa peluang kerjasama dengan dunia usaha
masih cukup besar dalam rangka membangun infrastruktur di Indonesia. Di luar
skema KPS, upaya pembangunan infrastruktur oleh dunia usaha secara business to
business cukup banyak. Sebagai contoh di sektor migas, Kuwait Petroleum
International Company telah melakukan penandatanganan Memorandum of
Understanding (MOU) dengan PT Pertamina (Persero) untuk membangun kilang
Balongan II dengan nilai investasi sekitar USD8 miliar. Perusahaan Kuwait tersebut
saat ini sedang mengkaji insentif fiskal yang telah disediakan pemerintah. Aramco,
perusahaan minyak dari Arab Saudi juga telah melakukan penandatanganan MOU
dengan PT Pertamina (Persero) untuk membangun kilang minyak di Tuban dengan
nilai investasi USD9 miliar.
Kemudian, sebagai gambaran umum terkait investasi di Indonesia, dapat dipaparkan
perkembangan realisasi investasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN) selama tahun 2011. Data dari website Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan bahwa dari total investasi PMA
sebesar USD5,1 miliar, tiga sektor yang paling diminati oleh investor asing adalah
sektor transportasi, gudang dan komunikasi (nilai investasi USD1,7 miliar), kemudian
diikuti oleh sektor listrik, gas dan air (USD0,7 miliar) dan terakhir adalah sektor
industri logam, mesin dan elektronik (USD0,3 miliar). Sedangkan dari total investasi
PMDN Rp24 triliun, tiga sektor yang paling diminati oleh investor domestik adalah
sektor pertambangan (Rp4,2 triliun), kemudian diikuti oleh sektor industri kertas dan
percetakan (Rp4,1 triliun) serta sektor listrik, gas dan air (Rp3,7 triliun).
Di sisi lain, Indonesia juga telah memperoleh predikat investment grade dari Fitch
Rating dan Moody's. Pasar modal kita juga masih cukup atraktif bagi para investor
keuangan. Tinggal bagaimana peluang yang ada tersebut bisa dimanfaatkan oleh
dunia usaha yang sedang mencari pendanaan murah di bursa saham untuk
dipergunakan menambah kapasitas produksi, yang pada akhirnya dapat
berdampak positif bagi perekonomian nasional.
24 INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Rubrik Utama
VGF: Pemacu Pembangunan Infrastruktur
Tahun 2012 telah dicanangkan sebagai
tahun in f rast ruktur. Di tengah
membaiknya kondisi ekonomi makro
Indonesia, meskipun ada sedikit
perlambatan pertumbuhan ekonomi
global akibat krisis Eropa seharusnya
kondisi ini bisa menjadi trigger bagi
pemerintah dan dunia usaha untuk lebih
memacu pembangunan infrastruktur.
Banyaknya in f ras t ruk tu r yang
terbangun dengan kualitas memadai
dapat meningkatkan kapasi tas
produksi , dapat memper lancar
distribusi barang/jasa serta dapat
menurunkan biaya logistik. Di pihak lain,
pembangunan infrastruktur juga dapat
berdampak pada penyediaan lapangan
ker ja, meningkatkan daya bel i
masyarakat dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.
Dari sisi APBN, pemerintah telah
menambah alokasi pembiayaan
pembangunan proyek infrastruktur
dalam APBN-P 2012 terutama melalui
Bagian Anggaran (BA) Kementerian/
Lembaga terkait dengan proyek
infrastruktur. Dalam Nota Keuangan dan
RAPBN-P 2012 disebutkan bahwa
alokasi dana pada BA kementerian
Perhubungan semula sebesar
Rp28.117,7 miliar berubah menjadi
Rp36.708,1 miliar, atau naik sebesar
Rp8.590,3 miliar. Dari total kenaikan itu,
yang dialokasikan untuk tambahan
pembiayaan proyek infrastruktur
perhubungan sebesar Rp4.172,4 miliar.
Pada BA kementerian Pekerjaan Umum
juga tampak ada kenaikan sebesar
Rp11.238,1 miliar yang mana semula
dana yang disediakan sebesar
Rp62.563,1 miliar naik menjadi
Rp73.801,1 miliar. Pembangunan
infrastruktur lebih difokuskan pada
infrastruktur konektivitas Indonesia
bagian timur, infrastruktur pendukung
domestic connectivity dan koridor
ekonomi, ketahanan pangan, klaster 4,
dan lainnya (lihat Tabel 1).
Selain itu, untuk lebih memacu
terealisasinya proyek infrastruktur
dengan skema KPS, pemerintah
sedang mengkaji suatu konsep yang
disebut dengan Viability Gap Fund
(VGF). Secara sederhana, VGF dapat
dipahami sebagai sejumlah dana yang
dialokasikan pemerintah untuk
mempercepat pembangunan proyek
infrastruktur yang berskema KPS yang
sebelumnya tidak layak menjadi layak
secara finansial. VGF diberikan kepada
badan usaha pemenang lelang dalam
bentuk tunai. Kalau mengacu ke model
India, besaran dana VGF yang
diberikan maksimal 20 persen dari nilai
total proyek.
Penulis optimis bahwa instrumen VGF
ini salah satu breakthrough untuk
meningkatkan minat dunia usaha pada
proyek KPS. Instrumen VGF diyakini
dapat menjadi “peningkat gairah” di
tengah lesunya pembangunan
infrastruktur berskema KPS. Beberapa
hal yang perlu dicermati terkait VGF
sedikitnya adalah bentuk kelembagaan
dan kewenangan yang perlu disepakati
oleh instansi-instansi terkait serta batas
waktu proses persetujuan VGF.
Penutup
Untuk mendukung pelaksanaan VGF,
perubahan mindset di kalangan
kementerian/lembaga pemerintah
juga perlu dilakukan agar penyiapan
proyek KPS dilakukan lebih serius,
agar komitmen kementerian/lembaga
sebagai PJPK lebih meningkat, serta
preferensi penggunaan APBN
sebagai sumber pembiayaan lebih
d i p e r u n t u k k a n b a g i p r o y e k
infrastruktur yang ROI-nya sangat
rendah (bukan untuk proyek yang
punya ROI tinggi).
Akhirnya, setelah “pesta infrastruktur”
di atas usai dilaksanakan, saatnya
untuk menterjemahkan konsep VGF
agar menjadi sesuatu yang lebih
kongkret, mudah dipahami semua
pihak dan bisa segera diterapkan di
Indonesia. Semakin cepat konsep
VGF dapat diimplementasikan,
semakin cepat pula pembangunan
infrastruktur dapat terealisasikan
secara massive.
Tabel 1: Penggunaan Dana Infrastruktur Pada DIPA Beberapa K/L Tahun 2012
Kementerian/Lembaga
Tambahan dana sebesar Rp4.172,4 miliar
(1) pembangunan infrastruktur konektivitas Indonesia Timur
yaitu pembangunan infrastruktur perhubungan di propinsi
NTB, NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat;
(2) pembangunan infrastruktur konektivitas dan koridor ekonomi
seperti pembangunan jalan kereta api Semarang-
Bojonegoro, sebagian konstruksi Solo-Kertosono dan
pembangunan bandar udara.
Tambahan dana sebesar Rp11.238,1 miliar. (perkiraan)
(1) pembangunan infrastruktur konektivitas Indonesia Timur
yaitu pembangunan infrastruktur jalan di propinsi NTT, NTB,
Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat
(2) pembangunan infrastruktur konektivitas dan koridor ekonomi
seperti jalan akses pelabuhan Maloy, jalan perbatasan
Kalimantan, jalan dan jembatan ruas Salumatu-Mamasa-
Batas Tator Sulawesi Selatan, jalan strategis propinsi
Sulawesi Tenggara, dan pembangunan jalan mendukung
kawasan industri Dumai;
(3) waduk dan sarana irigasi guna mendukung ketahanan
pangan;
(4) infrastruktur penanganan banjir di pulau Jawa.
Tambahan dana sebesar Rp1.474,3 miliar
(1) pelaksanaan program klaster 4 yaitu pembangunan rumah
masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) di propinsi NTT;
(2) penanganan permukiman kumuh DAS Ciliwung;
(3) pembangunan rumah sangat murah/swadaya.
Perhubungan
Pekerjaan Umum
Perumahan Rakyat
Digunakan untuk
Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN 2012
25INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Rubrik Utama
enaga listrik merupakan kebutuhan 10,4%. Sedangkan pertumbuhan yang Tyang amat penting bagi sebagian paling rendah terjadi pada wilayah
besar masyarakat. Dari tahun ke tahun, Jawa-Bali yaitu sebesar 5,4%.
permintaan listrik selalu mengalami Berdasarkan perhitungan PT PLN
kenaikan. Berdasarkan RUPTL PT PLN (Persero), diperkirakan rata-rata
(Persero) Tahun 2010-2019, rata-rata pertumbuhan penjualan listrik secara
pertumbuhan penjualan tenaga listrik nasional akan melebihi angka 8% setiap
secara nasional mencapai 6,1%. Dari tahun. Namun pertumbuhan tersebut
angka tersebut, pertumbuhan yang baru dapat d i imbang i dengan
paling tinggi terjadi pada wilayah penambahan kapasitas pembangkit
Indonesia Bagian Timur yakni sebesar rata–rata di bawah 3% per tahun.
Diversifikasi Penyediaan Tenaga Listrikmelalui Fast Track Program Tahap II
1 2Oleh : Maman Suhendra & Slamet Rona Ircham
Kondisi Kelistrikan Nasional
Merujuk pada Annual Budget Plan PT
PLN (Persero) tahun 2011, dari sisi
bauran energi dapat dilihat bahwa
berdasarkan energi yang diproduksi,
terdapat tiga proporsi besar yang
berasal dari bahan bakar fosil yaitu
batubara (42,64%), bahan bakar minyak
(BBM) (25,29%) dan gas (21,77%).
Sisanya dengan persentase yang jauh
lebih rendah berasal dari energi baru
dan terbarukan yaitu air (7,93%), panas
bumi (2,33%) dan bio fuel (0,04%).
Sementara itu dari sisi fuel costs (biaya
bahan bakar), komposisi bauran energi
yang terbesar justeru berasal dari BBM
(64,85%), selanjutnya diikuti oleh
batubara (21,31%) dan gas (11,53%).
Sedangkan proporsi biaya bahan bakar
dari energi baru dan terbarukan masih
sangat rendah yaitu panas bumi
(1,97%), air (0,25%) dan bio fuel
(0,08%) dari keseluruhan biaya bahan
bakar yang mencapai Rp 82,7 Triliun.
Terkait proporsi ini, terdapat fakta yang
menarik pada proporsi biaya BBM
dibandingkan dengan proporsi energi
Pertumbuhan Penjualan Listrik Rata-rata
Penambahan Kapasitas Pembangkit
8,7%
3,3%
7,3%
1,0%
8,1%
2,4%
10,4%
2,1%
Pertumbuhan/Wilayah Sumatra Kalimantan SulawesiIndonesia
Bagian Timur
Sumber: RUPTL PT PLN (Persero) Tahun 2010 – 2019
yang diproduksi yakni bahwa untuk
proporsi energi sebesar 25,29%
diperlukan biaya bahan bakar mencapai
64,85% dari total biaya. Hal ini berarti
biaya BBM mencapai hampir dua per
tiga dari total biaya bahan bakar PT PLN
(Persero) hanya untuk menghasilkan
sekitar seperempat total energi listrik
dalam satu tahun.
Berdasarkan Energi yang diproduksi Berdasarkan Fuel Costs
42,64%
25,29%
21,77%
7,93%2,33%
0,04%
FUEL
COALCOAL
GEOTHERMAL
BIO FUEL
GAS
HYDRO
Total Produksi 135.130 GWh
FUEL
COALCOAL
GEOTHERMAL
BIO FUEL
GAS
HYDRO
Total Biaya Bahan Bakar Rp82,7 Triliun(unaudited)
64,85%
21,31%
11,53%
0,08%
1,97% 0,26%
Grafik Energy Mix PT PLN (Persero)Sumber: PT PLN 2011 Annual Budget Plan
Kondisi bauran energi tersebut akan
semakin parah manakala harga minyak
dunia mengalami kenaikan. Kenaikan
harga minyak dunia akan secara
l a n g s u n g b e r p e n g a r u h p a d a
peningkatan biaya pembangkitan dari
pembangkit listrik yang menggunakan
BBM. Hal serupa juga akan terjadi pada
pembangkit listrik yang menggunakan
bahan bakar batubara. Hal ini
kemudian akan berimplikasi pula pada
pembengkakan besaran subsidi listrik
dalam APBN. Pembengkakan ini
merupakan konsekuensi yang tidak
dapat dihindarkan karena peningkatan
Biaya Pokok Produksi (BPP) tidak
selalu diikuti dengan peningkatan
harga jual listrik secara keekonomian
akibat harga jual listrik yang masih
diatur oleh Pemerintah.
Subsidi Listrik yang MasihCukup Besar
Berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 111/PMK.02/2007,
beban subsidi listrik dihitung dari selisih
1 Kepala Subbidang Risiko Infrastruktur Transportasi, Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal-BKF2 Analis Risiko Infrastruktur pada Badan Kebijakan Fiskal
26 INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Rubrik Utama
antara BPP dikalikan 1 (satu) plus
margin dengan harga jual tenaga listrik
yang diperoleh dari pelanggan. Besaran
subsidi sangat dipengaruhi oleh
kebijakan harga jual tenaga listrik,
penetapan margin oleh Pemerintah dan
besarnya nilai BPP listrik itu sendiri. Dari
itu dapat dipahami bahwa kenaikan
BPP sebagai akibat dari kenaikan harga
minyak dunia akan menyebabkan
kenaikan besaran subsidi listrik di
dalam APBN. Berikut adalah grafik
subsidi listrik dalam APBN sejak tahun
2003 (dalam Triliun Rupiah).
Grafik Subsidi Listrik Tahun 2003 – 2012*
Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa
besaran subsidi listrik cenderung
mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Hal ini disebabkan karena
peningkatan BPP listrik PT PLN
(Persero) akibat kenaikan harga minyak
dunia. Pada tahun 2008 ketika harga
minyak dunia meningkat drastis
sebagai dampak krisis global, subsidi
listrik mencapai angka Rp78,6 Triliun.
Peningkatan subsidi yang sangat besar
dari tahun sebelumnya menimbulkan
beban yang amat berat bagi APBN
tahun 2008. Realisasi subsidi listrik
dimaksud mungkin saja akan lebih
tinggi bila harga minyak dunia terus
mengalami kenaikan. Dengan kondisi
bauran energi PT PLN (Persero)
sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa semakin
tinggi harga minyak dunia maka dapat
dipastikan subsidi listrik akan semakin
membengkak. Kondisi demikian
membuat kebutuhan akan diversifikasi
energi bagi sektor kelistrikan di
Indonesia menjadi semakin mendesak.
Salah satu program percepatan
penyediaan tenaga listrik yang saat ini
sedang dilakukan Pemerintah adalah
Fast Track Program Tahap I I
sebagaimana diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 4 Tahun 2010 tentang
Penugasan kepada PT Perusahaan
Listr ik Negara (Persero) untuk
Melakukan Percepatan Pembangunan
Pembangkit Tenaga Listrik yang
Menggunakan Energi Terbarukan,
Diversifikasi Energi melaluiFast Track Program Tahap II
Batubara dan Gas (“Perpres 4/2010”).
Dalam Perpres 4/2010, pembangunan
pembangkit tenaga listrik dilakukan
dengan dua skema yaitu melalui skema
EPC (Engineering, Procurement and
Construction) dan kerja sama dengan
P e n g e m b a n g L i s t r i k S w a s t a
(Independent Power Producer/IPP).
Adapun daftar kapasitas, lokasi
pembangkit tenaga listrik dan/atau
transmisi untuk kedua skema tersebut
tercantum dalam Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral
Nomor 1 Tahun 2012 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral
Nomor 15 Tahun 2010 tentang Daftar
P r o y e k - P r o y e k P e r c e p a t a n
Pembangunan Pembangkit Tenaga
Listrik yang Menggunakan Energi
Terbarukan, Batubara dan Gas serta
Transmisi Terkait (“Permen ESDM
1/2012”). Berikut adalah ringkasan
daftar proyek sebagaimana dimaksud
dalam Permen ESDM 1/2012.
1
2
3
4
5
PLTP
PLTA
PLTU
PLTGB
PLTG
6
3
8
8
1
26
340
1,269
1,804
64
280
3,757
9.05%
33.78%
48.02%
1.70%
7.45%
100.00%
No Jenis Jumlah Kapasitas (MW) %
Jumlah
Dilaksanakan oleh PT PLN (Persero)
1
2
3
PLTP
PLTU
PLTA
45
19
8
72
4,585
1,221
484
6,290
72.89%
19.41%
7.69%
100.00%
No Jenis Jumlah Kapasitas (MW) %
Jumlah
Dilaksanakan oleh Pengembang Swasta (IPP)
Sesuai dengan Permen ESDM 1/2012
tersebut , jumlah proyek yang
dilaksanakan oleh PT PLN (Persero)
melalui skema EPC adalah sebanyak
26 proyek yang terbagi dalam 5 jenis
pembangkit. Dari jumlah proyek
tersebut, terdapat 6 proyek Pembangkit
Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP)
dengan total kapasitas 340 MW, 3
proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air
(PLTA) dengan total kapasitas 1.269
MW, 8 proyek Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU) dengan total
kapasitas 1.804 MW, 8 proyek
Pembangkit Listrik Tenaga Gasifikasi
Batubara (PLTGB) dengan total
kapasitas 64 MW, dan 1 proyek
Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG)
dengan total kapasitas 280 MW.
Keseluruhan total proyek yang
dilaksanakan oleh PT PLN (Persero)
mempunyai kapasitas 3.757 MW atau
37,39% dari keseluruhan proyek.
Untuk proyek yang dilaksanakan
dengan skema IPP, terdapat 72 proyek
yang terbagi atas 3 jenis pembangkit.
Dari jumlah tersebut, terdapat 45 proyek
PLTP dengan total kapasitas 4.585 MW,
19 proyek PLTU dengan total kapasitas
1.221 MW, dan 8 proyek PLTA dengan
total kapasitas 484 MW. Proyek-proyek
yang dilaksanakan dengan skema IPP
akan memberikan kontribusi kapasitas
mencapai 6.290 MW atau 62,61% dari
total keseluruhan kapasitas listrik dalam
Fast Track Program Tahap II.
Fast Track Program Tahap II mencakup
98 proyek dengan total kapasitas
10.047 MW. Dari jumlah tersebut,
*Data tahun 2003 – 2010 (Kondisi Industri Kelistrikan di Indonesia dan Hubungan Keuangan APBN dengan PT PLN (Persero), BKF dan DJPU, 2011, halaman 26; data 2011* dan 2012* (data APBN-P).
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011* 2012*
3.8 3.510.5
33.937.5
78.6
53.757.6
65.6 64.9
27INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Rubrik Utama
proporsi terbesar berasal dari proyek
PLTP yaitu sebanyak 51 proyek dengan
total kapasitas 4.925 MW (49,02%).
Selanjutnya diikuti oleh proyek PLTU
sebanyak 27 proyek dengan kapasitas
3.025 MW (30,11%). Setelah itu
menyusul proyek PLTA sebanyak 11
proyek dengan kapasitas 1.753 MW
(17,45%). Dua kapasitas terendah
berasal dari proyek PLTG yaitu 1 proyek
dengan kapasitas 280 MW (2,79%) dan
proyek PLTGB sebanyak 8 proyek
dengan total sebesar kapasitas 64 MW
(0,64%). Lebih lanjut dapat pula
disampaikan bahwa secara sebaran
wilayah, proyek-proyek dalam program
Fast Track Tahap II masih terfokus di
Jawa-Bali dan Sumatera dengan
persentase masing-masing 44,76% dan
36,76%. Selanjutnya disusul oleh
Kalimantan dengan persentase 8,32%,
Sulawesi dengan 7,08%, NTT dan NTB
dengan 1,42%, dan terakhir di Maluku
dan Irian dengan persentase 1,66%.
Jawa & Bali
Kalimantan
Sumatera
Sulawesi
NTT & NTB
Maluku & Irian
Jumlah
2,040
422
865
316
78
36
3,757
2,457
414
2,828
395
65
131
6,290
4,497
836
3,693
711
143
167
10,047
44.76%
8.32%
36.76%
7.08%
1.42%
1.66%
100.00%
RegionPLN IPP Total
%Kapasitas (MW)
Dari uraian di atas, terlihat bahwa
persentase penggunaan energi baru
dan terbarukan dalam Fast Track Tahap
II relatif signifikan yaitu sekitar 66%.
Penggunaan energ i baru dan
terbarukan ini diharapkan dapat
memperbaiki struktur bauran energi
listrik sektor kelistrikan sehingga tidak
terlalu bergantung pada BBM yang
memiliki kecenderungan harga fluktuatif
dan semakin naik.
Penggunaan energ i baru dan
terbarukan untuk pembangkit listrik di
masa depan diharapkan dapat semakin
meningkat untuk mengurangi potensi
beban subsidi listrik dalam APBN. Dari
tabel berikut ini, dapat dilihat bahwa
potensi energi baru terbarukan di
Indonesia masih sangat besar. Potensi
PLTP Indonesia adalah yang terbesar di
dunia yaitu sekitar 27.140 MW. Dari
potensi tersebut, baru sekitar 4%
dimanfaatkan untuk PLTP. Sementara
itu, potensi PLTA bisa mencapai 75.000
MW atau sekitar dua setengah kali lebih
besar dari kapasitas terpasang listrik PT
PLN (Persero) dan IPP pada tahun
2009 yang mencapai 30.320 MW [PT
PLN (Persero) 25.673 MW dan IPP
4 .647 MW] . Namun demik ian
pemanfaatan PLTA di Indonesia saat ini 1baru mencapai sekitar 5,5% . Apabila
potensi-potensi tersebut dapat
dimanfaatkan secara optimal, maka
beban subsidi listrik akan dapat
dikurangi secara signifikan.
PLTP
PLTA
PLT Surya
PLT Angin
Biomassa
Biogas
Gambut
Tidal
27.140
75.000
1.200
9.290
49.810
680
16.880
240.000
Jenis Potensi Satuan
MW
MW
GW
MW
MW
MW
10 6 BoE
MW
v
Tabel Potensi Energi Baru Terbarukandi Indonesia
Sumber: RUPTL PT PLN (Persero) 2010 - 2019
Sebagaimana telah disampaikan
bahwa pembangunan pembangkit
dan/atau transmisi dalam Fast Track
Program Tahap II dilakukan dengan
skema EPC dan skema IPP. Untuk
proyek-proyek yang dilaksanakan
dengan skema EPC, maka pendanaan
proyek dapat berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN), anggaran internal PT PLN
(Persero) dan sumber dana lainnya
yang sah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Sedangkan dalam skema IPP,
pendanaan proyek dilakukan dengan
mode l p ro jec t f i nanc ing o l eh
konsorsium swasta hal mana biaya
investasi berasal dari sponsor dalam
bentuk ekuitas dan dari lender(s) dalam
bentuk pinjaman. Dalam skema IPP ini,
PT PLN (Persero) dapat bekerjasama
dengan Pengembang Listrik Swasta
dimana Pengembang Listrik Swasta
akan menjual tenaga listriknya kepada
PT PLN (Persero). Untuk mendorong
pe laksanaan skema in i maka
Potensi Risiko Dari Fast TrackProgram Tahap II
Pemerintah melalui Kementerian
Keuangan menjamin kelayakan usaha
PT PLN (Persero) sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 139 Tahun 2011 tentang Tata
Cara Pemberian Jaminan Kelayakan
Usaha PT Perusahaan Listrik Negara
(Persero) Untuk Pembangunan
Pembangkit Tenaga Listrik dengan
Menggunakan Energi Terbarukan,
Batubara, dan Gas yang Dilakukan
M e l a l u i K e r j a S a m a D e n g a n
Pengembang Listrik Swasta.
Jaminan Kelayakan Usaha (“JKU”)
diberikan dalam upaya pemenuhan
pembiayaan Proyek Pembangkit Listrik.
Jaminan ini diberikan atas Risiko Gagal
Bayar yang terjadi pada sebagian atau
sepanjang Masa Operasi Proyek
Pembangkit Listrik (Commercial
Operation Date/COD). Dalam hal ini,
yang dimaksud dengan Risiko Gagal
B a y a r a d a l a h p e r i s t i w a
ketidakmampuan PT PLN (Persero)
untuk membayar kewajiban finansial
yang dinyatakan dalam tagihan
pembayaran atas pembelian listrik
kepada Pengembang Listrik Swasta
1RUPTL PT PLN (Persero) 2010 - 2019
PLT
U J
AW
A T
EN
GA
H
28 INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Rubrik Utama
berdasarkan Perjanjian Jual Beli
Tenaga Listrik.
Hingga saat ini, Kementerian Keuangan
telah menerbitkan 2 (dua) Surat JKU
yakni masing-masing untuk proyek
PLTP Muaralaboh (2 x 110 MW) dan
PLTP Rajabasa (2 x 110 MW). Dalam
Surat JKU ini Pemerintah secara
eksp l is i t menjamin kewaj iban-
kewajiban finansial PT PLN (Persero)
sehubungan dengan pembayaran atas
pembelian tenaga listrik. Lebih lanjut,
Surat JKU juga mencakup penjaminan
atas risiko terminasi terkait dengan
peristiwa Political Force Majeure dan PT
PLN (Persero) Non-remedial Events
d e n g a n u n d e r t a k i n g m e l a l u i
mekanisme Public Service Obligation.
Dengan model penjaminan seperti ini,
maka Pemerintah memiliki potensi
risiko dalam hal terjadi Risiko Gagal
Bayar dan terminasi. PT PLN (Persero)
karenanya wajib menjalankan usaha
terbaik dalam mencegah terjadinya
Risiko Gagal Bayar dan mengurangi
dampaknya bila risiko ini terjadi antara
lain dengan menyampaikan laporan
kemungkinan terjadinya Risiko Gagal
Bayar dan laporan mitigasinya secara
berkala kepada Menteri Keuangan
selaku Penjamin. Dari sisi Kementerian
Keuangan, beradasarkan hasi l
pemantauan yang ada, DJPU c.q.
Direktorat Strategi dan Portofolio Utang
dan BKF c.q. Pusat Pengelolaan Risiko
Fiskal menyampaikan rekomendasi
kepada Menteri Keuangan untuk
memberikan dukungan dan/atau
tindakan sesuai dengan kewenangan
Menteri Keuangan dalam rangka
mencegah terjadinya Risiko Gagal
Bayar dimaksud.
Kebutuhan akan tenaga listrik di
Indonesia saat ini masih sangat besar.
Kebutuhan tersebut belum dapat
te rcukup i sepenuhnya ka rena
kemampuan pasokan listrik yang lebih
rendah dari permintaan listrik yang ada.
Dalam rangka memperbaiki struktur
bauran energi saat ini, maka perlu
dilakukan diversifikasi energi agar
struktur bauran energi tidak terlalu
bergantung pada BBM yang memiliki
kecenderungan harga fluktuatif dan
semakin naik. Pemanfaatan sumber
energi baru dan terbarukan, batubara
dan gas dalam Fast Track Program
Kesimpulan
Tahap II diharapkan dapat memperbaiki
bauran energi listrik tersebut. Namun,
dari sisi fiskal Fast Track Program Tahap
II menimbulkan potensi risiko fiskal baru
melalui penjaminan kelayakan usaha
yang mencakup jaminan atas Risiko
Gagal Bayar PT PLN (Persero) dan
risiko terminasi akibat Political Force
Majeure dan PT PLN (Persero) Non-
remedial Events.
RUPTL PT PLN (Persero) 2010 - 2019
Annual Budget Plan 2011 PT PLN (Persero)
Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2010
Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2012
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111 Tahun 2007
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 139 Tahun 2011
Kondisi Industr i Kel istr ikan di Indonesia dan Hubungan Keuangan APBN dengan PT PLN (Persero), BKF dan DJPU, 2011
UU APBN-P 2012
Daftar Rujukan
29INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Rubrik Edukasi Fiskal
ICP EFFECT DANKELANGSUNGAN FISKAL
1Oleh : Syahrir Ika
arga minyak mentah Indonesia Hatau yang lebih dikenal dengan ICP
(Indonesia Crude-oil Price) merupakan
salah satu variabel makro ekonomi yang
di jadikan asumsi dasar dalam
penyusunan RAPBN (Rancangan
Anggaran dan Pendapatan Belanja
Negara) disamping beberapa asumsi
lainnya seperti pertumbuhan ekonomi,
inflasi, suku bunga SBN 3 bulan, dan 2lifting minyak . ICP merupakan harga
rata-rata minyak mentah Indonesia di
pasar internasional yang dipakai
sebagai indikator perhitungan bagi hasil
minyak yang ditetapkan setiap bulan
dan dievaluasi setiap semester
(wikiapbn.org). Dalam terminologi
pertamina, ICP dipahami sebagai 'based
on moving average spot price of a basket
of five internationally traded crudes'
(wikipedia.org). Ke lima jenis minyak
tersebut adalah Minas (Indonesia), Tapis
(Malaysia), Glipp Sland (Australia),
Dubai (UAE), dan Oman. Penggunaan
harga rata-rata tersebut disebabkan
produksi minyak mentah di setiap sumur
(jenis minyak) berbeda-beda sehingga
menghasilkan harga minyak mentah
yang berbeda-beda pula antara satu
sumur (jenis minyak) dengan sumur
(jenis minyak lainnya). Harga minyak
mentah di sumur Dumai (Riau)
misalnya, berbeda dengan harga
minyak mentah di sumur Cepu (Jawa
Tengah), harga minyak mentah di sumur
Badak (Kalimantan Timur), dan harga
minyak mentah di sumur lainnya di
seluruh Indonesia yang jumlahnya
mencapai lebih dari 60 sumur.
ICP Sebagai Asumsi Dasar APBN
Mengapa ICP dipakai sebagai salah satu asumsi dasar dalam penyusunan APBN
(Angaran Pendapatan dan Belanja Negara)? karena naik turunnya ICP akan
mempengaruhi perubahan angka-angka dalam APBN, baik pendapatan negara
{(PPh Migas (pajak) dan Pendapatan SDA Migas (PNBP)}maupun belanja negara
(subsidi BBM, subsidi listrik, dan DBH minyak). Ketika Indonesia memiliki banyak
cadangan minyak dan sebagai negara pengekspor minyak (s.d. tahun 2002),
kenaikan harga minyak dunia dan ICP memperkuat penerimaan negara karena
Indonesia mendapat windfall profit. Akan tetapi, sejak tahun 2003 hingga sekarang,
produksi minyak mentah Indonesia semakin menurun karena belum ditemukannya
cadangan baru, akibatnya Indonesia tidak bisa lagi menikmati windfall profit dari 3kenaikan harga minyak dunia seperti pada masa-masa lalu .
Bila pemerintah membiarkan harga jual eceran (HJE) BBM bergerak mengikuti
harga minyak dunia, maka sebagian besar masyarakat Indonesia tidak akan
sanggup membeli BBM dengan harga pasar yang terus meningkat dari waktu ke
waktu, dan akan sangat mengganggu kelangsungan usaha masyarakat, industri,
transportasi, dan kegiatan ekonomi lainnya. Di sektor transportasi, tarif angkutan
(darat, laut, dan udara) akan meningkat dan dirasakan sangat mahal oleh
masyarakat. Begitu juga harga jual barang-produk hasil industri juga akan
meningkat dan tidak bisa dijangkau oleh masyarakat banyak. Sudah banyak
kejadian di Indonesia, kemahalan barang dan jasa (inflasi tinggi) merupakan
1 Peneliti Madya, PPRF-Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI2 Contoh Asumsi Makro Ekonomi Dalam APBN 2012 : (i) Pertumbuhan Ekonomi 6,7%, (ii) Inflasi y.o.y 5,3%, (iii) Nilai Tukar
Rupiah Rp8.800/US$, (iv) suku Bunga SPN 3 Bulan Rata-rata 6%, (v) Harga Minyak Mentah Indonesia (ICP) US$90 per barrel, (vi) Lifting Minyak 950 ribu barrel per hari
3 Penurunan cadangan minyak tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga di beberapa negara penghasil minyak lainnya. Di sisi lain konsumsi dunia meningkat sehingga menimbulkan ketidakseimbangan (permintaan lebih besar suplai) yang kemudian mendorong naiknya harga minyak dunia.
FO
TO
: D
IAN
NW
30 INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
penyakit ekonomi yang memicu amarah masyarakat. Akibat lanjutannya adalah biaya
ekonomi akan sangat mahal, investor akan makin tidak tertarik menamkan modalnya
di Indonesia, pemodal asing yang sekarang beroperasi di Indonesia bisa hengkang
dari Indonesia, akan banyak sekali kerugian yang diderita Indonesia, bukan saja
pendapatan nasional yang tergerus, tetapi juga hilangnya kesempatan kerja dan
masyarakat Indonesia akan banyak yang jatuh miskin. Jika pemerintah tidak membuat
kebijakan yang tepat untuk mengatur BBM, termasuk subsidi BBM dan harga BBM,
maka semua potensi risiko di atas bisa berubah menjadi risiko yang nyata.
Untuk melindungi daya beli masyarakat dan dunia usaha dari kenaikan harga
minyak dunia, maka pemerintah memberikan subsidi BBM (melalui Pertamina), di
mana pemerintah (melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral)
menetapkan HJE BBM yang besarnya mencapai sekitar 50% dari harga
keekonomian BBM. Adapun faktor-faktor yang diperhitungkan dalam menetapkan
subsidi BBM adalah MOPS (Mid Oil Plat's Singapore), nilai tukar rupiah, biaya
distribusi dan margin usaha, pajak pertambahan nilai, pajak bahan bakar, dan
konsumsi BBM bersubsidi (lihat Formula pada Box-01). Naik turunnya beban
subsidi BBM sangat ditentukan oleh perubahan dari faktor-faktor tersebut di atas.
Rubrik Edukasi Fiskal
Box-01 : Formula Subsidi BBM
Subsidi = {MOPS*ER/158.9+Alpha+Pb/(1+Tn+Tb)}*QbBBM
Dimana:
?MOPS = Harga Transaksi Jual Beli pada Bursa Minyak di Singapura (Rupiah/US$)
?Harga Patokan = MOPS + Alpha (ditetapkan dengan peraturan perundangan, PMK)
?ER = Kurs Rupiah (Rp/US$)
?Alpha = Berbagai biaya distribusi dan margin usaha Pertamina (Rp/Liter). Alpha ditetapkan sebesar 9% dari MOPS, sehingga semakin besar harga MOPS, semakin besar pula besaran alphanya. Namun sejak 2009 alpha ditetapkan dalam bentuk nominal (Rp/Liter)karena bila persen terhadap MOPS maka subsidi semakin besar.
?Pb = Harga BBM Bersubsidi (Rp/Liter)
?Tn = Pajak Pertambahan Nilai (%)
?Pb = Pajak Bahan Bakar (%)
?Qb = Total Konsumsi BBM Bersubsidi (Ribu Kiloliter)
?158,9 = barel per liter atau 1 barel =158.9 liter
Sumber: disuksiekonomi.blogspot.com (disederhanakan penulis)
Definisi subsidi BBM menurut PMK Nomor 03/2009
?Pasal 2 ayat 1 : Subsidi BBM jenis BBM tertentu dihitung berdasarkan perkiraan antara subsidi BBM per liter dengan volume jenis BBM tertentu.
?pasal 2 ayat 2 : subsidi BBM jenis BBM tertentu per liter merupakan pengeluaran negara yang dihitung dari selisih kurang antara HJE per liter jenis BBM tertentu dikurangi PPN dan PBBKB dengan harga patokan per liter. Bila dibuat formula berdasarkan ketentuan ini maka formula perhitungan subsidi BBM adalah sbb:
SubsidiBBM = -((HJE-(PPN+PBBKB))*VolumeBBM
Dengan penetapan HJE BBM (harga subsidi) oleh pemerintah, disparitas HJE BBM
bersubsidi dengan harga BBM non-subsidi (contoh pertamax) makin lebar (sekitar
Rp5.000an per liter) mengingat harga pertamax saat ini mencapai sekitar
Rp10.000an per liter. Di sisi lain, pemerintah masih menghadapi banyak kendala
dalam menerapkan kebijakan pembatasan konsumsi BBM. Akibatnya, konsumsi
BBM bersubsidi selalu meningkat melampaui kuota yang ditetapkan pemerintah.
Pada tahun 2011, pemerintah menetapkan kuota BBM bersubsidi sebesar 40 juta
kiloliter, tetapi realisasinya mencapai sekitar 42 juta kiloliter sehingga harus ditutup
dengan impor. Begitu juga pada APBN
2012, pemerintah menetapkan kuota
BBM bersubsidi sama besar dengan
tahun sebelumnya, yaitu 40 juta kiloliter.
Komposisinya adalah 64% premium dan
35,6% solar serta 0,4% minyak tanah.
Pemenuhannya sebagian dari dalam
negeri (sekitar 35%) dan sebagian lagi
dari impor (sekitar 65%) dalam bentuk
crude maupun produk BBM.
Namun dengan meningkatnya jumlah
permintaan BBM terutama dari sektor
transportasi, diperkirakan konsumsi
BBM bersubsidi bisa mencapai sekitar
47 juta kiloliter atau melebihi kuota yang
ditetapkan pemerintah (40 juta kiloliter).
Volume BBM bersubsidi tersebut
sebagian berasal dari dalam negeri
yang merupakan jatah pemerintah dari 4produksi K3S baik pertamina maupun
kontraktor asing (berdasarkan harga
ICP), sebagian lagi dari impor
(berdasarkan harga MOPS atau Mids
Oil Platts Singapore). Mengingat
MOPS-pun dikaitkan dengan ICP, maka
nilai subsidi BBM sangat ditentukan
oleh perubahan harga ICP. Dari sisi
penerimaan negara, kenaikkan harga
ICP akan menurunkan penerimaan
negara karena laba bersih dari sektor
dunia usaha tergerus oleh naiknya
ongkos produksi.
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) memiliki
model sensivitas perubahan ICP
terhadap APBN. Perubahan ICP tidak
saja mempengaruhi pendapatan
negara tetapi juga belanja negara. Hasil
analisis sensitivitas yang dilakukan BKF
untuk APBN 2009 dapat dilihat pada
tabel-01. Kondisi yang ditunjukkan
dalam Tabel-01 itulah yang penulis
sebut dengan ICP Effect.
republik
a
ICP Effect
4 Kontraktor Kontrak Kerjasama
31INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Rubrik Edukasi Fiskal
Tabel-01 : Analisis Sensitivitas ICP Terhadap APBN (Efek Dari Setiap Perubahan USD1 ICP)
Berapa besar beban subsidi pada tahun 2012 yang di-drive dari ICP? Bila dilihat
dari postur RAPBN-P 2012, total subsidi energi (BBM+Listrik) mencapai Rp230,5
triliun atau sekitar 14,9 persen dari total belanja negara sebesar Rp1.534,6 triliun
(Tabel-02). Jumlah tersebut meliputi subsidi BBM sebesar Rp137,4 triliun atau
8,9% dari total belanja negara dan subsidi listrik sebesar Rp65 triliun atau 4,2% dari
total belanja negara.
Subsidi BBM diperkirakan akan makin
besar karena ICP menunjukkan trend
yang meningkat, di mana dalam bulan
Maret 2012 rata-rata ICP telah
menembus US$120 per barrel (Lihat
Gambar-01). Deviasi ICP menjadi
makin jauh dari yang diasumsikan
dalam APBN 2012 (US$90 per barrel)
y a n g b e r a k i b a t s u b s i d i B B M
diperkirakan bisa meningkat mencapai
sekitar Rp178 triliun atau naik sekitar
Rp55 triliun dibandingkan dengan yang
dianggarkan dalam APBN 2012
sebesar Rp123 triliun. Bila pemerintah
tidak mengerem lajunya subsidi BBM,
maka defisit anggaran diperkirakan
akan meningkat dari 1,5% terhadap
GDP menjadi 3,6% terhadap GDP atau
menembus batas 3% terhadap GDP
(sebagaimana diatur dalam UU Nomor
17 Tahun 2003 dan PMK Nomor 45 5Tahun 2006, yaitu 3% terhadap GDP )
d a n b e r p o t e n s i m e n g a n c a m
kelangsungan fiskal.
Karena itu, Pemerintah dan DPR telah
sepakat untuk menambah alokasi
subsidi BBM menjadi sebesar Rp137
trilun dan disertai langkah-langkah
penghematan anggaran dari sisi
belanja Kementerian Lembaga (K/L).
W a l a u p u n d e m i k i a n , r u a n g
penghematan anggaran juga bersifat
terbatas karena sebagian besar pos
belanja negara sudah diikat dengan
belanja yang bersifat wajib (mandatory)
seperti anggaran pendidikan (20% dari
total belanja negara), transfer ke daerah
dalam rangka otonomi daerah (sekitar
30% dari total belanja negara),
kewajiban membayar bunga dan pokok
pinjaman (sekitar 15% dari total belanja
negara) dan belanja kesehatan (sekitar
5% dari total belanja negara).5 Prinsip ini mengikuti ketentuan yang diadopsi oleh negara-negara Uni Eropa atau yang lebih dikenal dengan sebagai
Traktat Maastrickt.
Penerimaan Negara
?Pph Migas
?SDA Migas
?PNBP Lainnya (pendapatan minyak
mentah DMO
Belanja Negara
?Subsidi BBM
?Subsidi Listrik
?Dana Bagi Hasil (DBH) Migas
2,86 s.d 2,96
0,66
2,10 s.d 2,20
0,10
3.3. s.d 3,6
2,5 s.d 2,6
0,4 s.d 0,5
0,4 s.d 0,5
Dampak Terhadap DefisitAnggaran:
Setiap 1 dollar perubahan ICP akan memberikan dampak neto negatif terhadap perubahan defisit anggaran sebesar Rp0,4 triliun s.d. Rp0,6 triliun
Sumber (Triliun Rupiah)
Sumber : BKF, Kementerian Keuangan. www.fiskal.depkeu.go.id
Tabel-02 : Postur RAPBN-P Tahun 2012
Pendapatan Negara dan Hibah
Belanja Negara
?Belanja Pemerintah Pusat
?Belanja Kementerian/Lembaga
?Belanja NonKementerian/Lembaga
1. BBM,LPG, dan BBN
2. Listrik
3. Kompensasi Kenaikan Harga BBM
4. Cadangan Risiko Fiskal Energi
?Transfer ke Daerah
?Penyesuaian Anggaran Pendidikan
?Optimaslisasi Neto
Keseimbangan Primer
Surplus (Defisit) Anggaran (A-B)
1.344,5
1.534,6
1.058,3
530,1
528,2
137,4
93,1
30,6
0,0
476,3
0,0
0,0
-72,3
-190,1
Uraian RAPBN-P 2012(Rp Triliun)
Sumber : Kementerian Keuangan RI, 2012
32 INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Rubrik Edukasi Fiskal
Kelangsungan Fiskal :Terancam Oleh ICP
Apakah ICP efffect dapat mengancam
kelangsungan fiskal? Bisa ya, bisa juga
tidak, tergantung magnitude-nya. Bila
kenaikkan ICP cukup signifikan, maka
bisa mengancam kelansungan fiskal.
Untuk memahami besar kecilnya
ancaman ICP ini, kita harus pahami dulu
a p a y a n g d i m a k s u d d e n g a n
k e l a n g s u n g a n f i s k a l ( f i s c a l 6sustainability). Alex Krejdl (2006)
mendefinisikan kelangsungan fiskal
sebagai the present value of future
primary surplus same as the current
level of debt.
Persyaratan-persyaratan apa yang
berpotensi membuat kondisi fiskal
(APBN) sua tu negara te r jaga
keberlangsungannya (sustain) atau
terhambat keber langsungannya
(unsustain)? Untuk menjawabnya,
Penulis mengutip pandangan Fuad 7Rahmani (2004) dan Krejdl (2006).
Menurut Fuad, kelangsungan fiskal
(fiscal sustainability) mensyaratkan dua
hal, yaitu (i) primary balance harus
surplus, dan (ii) present value dari
surplus primary balance harus sama
dengan total utang yang beredar.
Primary balance adalah selisih antara
anggaran penerimaan dan anggaran
pengeluaran di luar bunga dan cicilan
utang (Krejdl, 2006).
Untuk menciptakan primary surplus,
Fuad berpendapat pemerintah perlu
memelihara fiscal sustainability dengan
m e n y i s a k a n s e m a k i n b a n y a k
pendapatan negara untuk primary
balance agar dapat mengimbangi
semakin besarnya tekanan fiskal.
Sementara Krejdl (2006) berpendapat
bahwa, untuk menjaga kelangsungan
fiskal, ruang fiskal (fiscal space) dalam
APBN harus cukup memadai untuk
m e m b i a y a i p r o g r a m - p r o g r a m
expenditure dan melunasi utang
pemerintah. Dari dua pendapat di atas,
penulis menyimpulkan bahwa fiscal
sustainability terkait dengan surplus
primary balance yang relatif besar,
tekanan fiskal yang relatif kecil, dan
ruang fiskal atau fiscal space yang
Apakah kelangsungan fiskal Indonesia sudah berada dalam kondisi yang
menghawatirkan? Trend tujuh tahun terakhir menujukkan kelangsungan fiskal
masih terjaga baik (grafik-01), walaupun agak sedikit menghawatirkan dalam dua
tahun terakhir ini (2011 dan 2012) yang mengalami defisit, masing-masing sebesar
Rp44,2 triliun dan Rp1,8 triliun, sementara dalam periode 2006 hingga 2012 defisit
anggaran meningkat dari Rp29,14 triliun atau 0,9% terhadap PDB menjadi Rp124
triliun atau 1,5% terhadap PDB. Kondisi ini menggambarkan bahwa pemerintah
berkeinginan memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi (di atas 6 persen per
tahun) tetapi kemampuan pendapatan negara untuk mem-finance pertumbuhan
tersebut semakin menurun walaupun nilai pendapatan negara menunjukkan trend
meningkat dari tahun ke tahun. Persoalan utama yang dihadapi pemerintah antara
lain belanja subsidi yang membengkak dan sebagian besar belanja negara yang
bersifat mandatory, di sisi lain pendapatan perpajakan belum dapat dicollect secara
optimal. Karena itu apabila risiko fiskal yang bersumber dari ICP effect tidak dapat
dikelola dengan kebijakan yang tepat, maka dikhawatirkan defisit anggaran bisa
terus membengkak dan kelangsungan fiskal benar-benar terancam.
Grafik-01 : Perkembangan Primary Balance
Sumber : Ringkasan APBN 2006-2012, Kementerian Keuangan RI
6 Reserach Publication CNB Crezh National Bank, 'Fiscal Sustainability Definition-Indicators an Assessment of Crech Public Finance Sustainability, dalam Syahrir Ika, 'Strategi Penyehatan APBN' (2010), Jurnal Keuangan dan Moneter, Kementerian Keuangan RI.
7 Lihat artikelnya berjudul 'Ketahanan Fiskal dan Manajemen Utang Dalam Negeri Pemerintah', dalam Buku 'Kebijakan Fiskal :Pemikiran, Konsep, dan Implementasi', Badan Kebijakan Fiskal, 2004. Fuad Rahmani kini menjabat Dirjen Pajak Kementerian Keuangan RI
cukup memadai. Beberapa kemungkinan berkaitan dengan kelangsungan fiskal
bisa dilihat pada matrix di bawah ini.
Kelangsungan
Fiskal Tidak
Mengkhawatirkan
(s.d. 2010)
Surplus Primary
Balance :
Relatif Besar
Surplus Primary
Balance :
Relatif Kecil
Negative Primary
Balance :
Relatif Kecil
Negative Primary
Balance :
Relatif Besar
Kelangsungan
Fiskal
Mengkhawatirkan
(mulai tahun
2011)
33INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Rubrik Edukasi Fiskal
Proses Politik Fiskal di DPR
Berdasarkan alasan pembengkakan
subsidi BBM, defisit anggaran, dan
ancaman kelangsungan fiskal dalam
jangka panjang, serta diperlukan adanya
kewenangan pemerintah untuk secara
cepat melakukan perubahan kebijakan
fiskal dalam mengantisipasi risiko
dampak ekonomi global terhadap
APBN, maka pemerintah mengajukan
usulan perubahan APBN (RAPBN-P
2012) kepada DPR. Usulan kebijakan
yang paling prioritas adalah merubah
asumsi makro dalam APBN 2012 dan
mengusulkan kepada DPR-RI untuk
menaikkan harga BBM mulai 1 April 82012 . Bila DPR menyetujui usulan
tersebut, maka diharapkan pemerintah
dapat melakukan hal-hal berikut ini, yaitu
: (i) mengurangi beban subsidi BBM, (ii)
mengendalikan defisit anggaran agar
tidak melebihi 3% terhadap GDP dan
debt to GDP tidak melebihi 60%
t e r h a d a p G D P, ( i i i ) m e n j a g a
kepercayaan investor terhadap masa
depan perekonomian Indonesia.
Ketika pembahasan RAPBN-P 2012
antara pemerintah dengan Badan
Anggaran (Banggar) DPR, ada
kesepakatan untuk memberi ruang
kepada pemerintah untuk menaikan
harga BBM mulai 1 April 2012. Jalan ini
terindikasi oleh mayoritas fraksi di
Banggar (Demokrat, Golkar, PKS, PPP,
PKB, dan PAN yang menguasai lebih
dari 60 persen suara di DPR)
menyetujui pencabutan pasal 7 ayat 6
Undang-Undang No.22 Tahun 2011
Ten tang APBN 2012. Namun,
kesepakatan Banggar dan Pemerintah
yang kemudian diusulkan untuk
ditetapkan menjadi APBN-P 2012 oleh
Sidang Paripurna DPR, ternyata
menghasi lkan keputusan yang
berbeda. DPR tidak berkenan dengan
rencana pemerintah menaikkan harga
BBM mulai 1 April 2012.
Mengingat penetapan atas usulan
kebijakan fiskal dari pemerintah berada
di parlemen (DPR-RI), maka Fraksi-
Fraksi Partai Politik di DPR memliki
kesempatan (emas) memainkan
kewenangan tersebut untuk tujuan
politik mereka. Peluang untuk menerima
atau menolak usulan Banggar DPR
adalah sama besar, bergantung pada
peta kekuatan politik dari Fraksi-Frkasi
di DPR. Dengan tidak adanya Fraksi
yang menguasai sebagian besar kursi di
DPR, memberi peluang kepada Fraksi-
Fraksi dari Partai besar melakukan
atraksi politik untuk kepentingan politik
mereka. Hal ini terbaca dari tiga Fraksi
yang berseberangan dengan usulan
pemerintah, sementara dua partai lain
(Golkar dan PKS) yang memanfaatkan
momentum ini untuk meningkatkan citra
politik, ibarat lagu yang dikarang Pance,
'Ku Cari Jalan Terbaik'.
Dalam Sidang Paripurna, lobi antar
Fraksi ternyata menganulir kesepakatan
yang telah diambil Banggar DPR dan
Pemerintah. Bila meminjam analisis
Burhanuddin Muhtadi (Media Indonesia
tanggal 2 April), perubahan keputusan
politik fiskal itu terjadi karena formula
baru yang diusulkan Partai Golkar, yaitu
menambah ayat 6a pada pasal 7
Undang-Undang APBN-P 2012, yang
kemudian terbukti berhasil memberi
ruang kompromi bagi Parpol Koalisi dan
Fraksi Koalisinya. Akhirnya, partai
koalisi menerima solusi baru dari Golkar,
kecuali PKS yang hijrah untuk
bergabung dengan Fraksi PDIP,
Gerindra, dan Hanura yang memilih opsi
pasal 7 tersebut tidak boleh dicabut,
dengan kata lain harga BBM bersubsidi 9tidak boleh dinaikan. Menurut Muhtadi ,
pasal 7 ayat 6a menjadi pasal
penyelamat bagi pemerintah untuk
terhindar dari kekalahan voting di
Parlemen, dan tiket politik itu tidak saja
merupakan password tetapi juga hak
paten Golkar, demikian ujar Muhtadi.
Sidang Paripurna DPR akhirnya
mengambil dua keputusan : Pertama,
HJE BBM bersubsidi tidak jadi naik mulai
1 April 2012. Kedua, menambah ayat 6a
pada pasal 7 UU APBN-P 2012, yang
memberikan diskresi (kewenangan)
kepada pemerintah untuk melakukan
penyesuaian harga BBM bersubsidi jika
harga rata-rata ICP mengalami kenaikan
atau penurunan lebih dari 15% dalam 10kurun waktu enam bulan terakhir .
Artinya, ada usul pemerintah yang
ditolak tetapi ada juga usul pemerintah
yang diterima. Dalam memberikan
tanggapan mewakili Pemerintah,
Menteri Keuangan RI, Agus DW
Martowardojo, menyatakan bahwa
pemerintah menerima keputusan
Sidang Paripurna DPR-RI dan akan
menindaklanjutinya.
Menurut penulis, Sidang Paripurna DPR
memberikan kesempatan sekaligus
keuntungan kepada pemerintah, yaitu
hadirnya ayat 6a yang memberi tiket
kepada pemerintah menaikan harga
BBM untuk mengantisipasi dampak
krisis ekonomi global, walaupun tiket itu
sifatnya bersyarat. Presiden SBY telah
mengambil langkah cepat setelah
melakukan beberapa kali Sidang
8 Kebijakan sebelumnya adalah membatasi konsumsi BBM, dan ini telah disampaikan kepada DPR dan menjadi pertimbangan dalam menyetujui angka-angka APBN 2012. Namun dalam perkembanganya Kementerian SDM tidak lagi menyokong kebijakan ini karena dinilai sulit dalam prakteknya. Akhirnya pemerintah memutuskan menaikan harga BBM untuk mengatasi dampak kenaikan harga minyak dunia terhadap kelangsungan APBN.
9 Baca artikelnya berjudul 'Langkah Kuda Golkar dan Politik BBM’
10Waktu enam bulan tersebut dihitung mundur sejak Oktober 2011, sedangkan deviasi ICP 15% dihitung dari asumsi ICP pada RAPBN-P 2012 sebesar US$105 per barrel. Jadi batasan harga ICP adalah US$120,75 per barrel atau {US$105 per barrel + (US$105+15%)}
34 INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Kabinet. Menurut Presiden SBY, penerapan kewenangan untuk menaikkan harga
BBM bersubsidi ketika syarat-syaratnya terpenuhi akan menjadi opsi terakhir.
Penghematan energi harus dilakukan secara serius, konversi ke bahan bakar gas
harus dipercepat, penerimaan negara harus ditingkatkan lewat pajak dan usaha
pertambangan serta penghematan keuangan Kementerian/Lembaga termasuk 11pemerintah daerah . Penjelasan Presiden SBY di atas menurut penulis mengandung
lima signal tindaklanjut pemerintah atas amanat Sidang Paripurna DPR, yaitu : (i)
optimalisasi pendapatan negara, (ii) efisiensi belanja negara, (iii) pembatasan
konsumsi BBM, (iv) memperbesar primary balance, dan (iv) menaikkan harga BBM,
yang merupakan jalan (kebijakan) terakhir.
Adakah Solusi LainProses politik fiskal untuk mengesahkan APBN-P
2012 sudah usai, bola kebijakan sudah dialihkan
DPR ke Pemerintah. Pemerintah, boleh menaikan
harga BBM bila syarat yang diberikan DPR terpenuhi, yaitu rata-
rata ICP dalam enam bulan terakhir melebihi 15% dari asumsi
APBN-P 2012 atau rata-rata ICP minimal sebesar USD120,75
per barrel dari asumsi APBN sebesar USD105 per barrel. Bila
memperhatikan perkembangan rata-rata ICP dalam lima bulan
terakhir (November 2011 hingga Maret 2012), rata-rata ICP baru
mencapai 117,96 USD per barel, artinya belum mencapai angka minimal
yang dipersyaratkan DPR (Grafik-02). Bila ICP dalam bulan April ini berada pada
angka USD130 per barel atau lebih, barulah dapat memenuhi persyaratan minimal
bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM.
Saat ini, pemerintah sedang meng-exercise ospi lain, yaitu pembatasan konsumsi
BBM, di mana pemerintah akan melarang kendaraan dengan CC di atas 1.500 untuk
mengkonsumsi BBM bersubsidi. Namun opsi ini juga tidak mudah dilaksanakan,
bukan karena ada pro dan kontra dari masyarakat, tetapi memang diakui bahwa opsi
ini juga memiliki banyak kelemahan yang perlu diantisipasi dengan baik. Dengan
demikian, pemerintah menghadapi dilema, di satu pihak peluang menaikan harga
ICP sangat kecil, di sisi lain pembatasan konsumsi BBM nampaknya juga sulit
diimplementasikan. Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah, padahal sekarang
sudah memasuki bulan ke lima, argo peningkatan subsidi terus berjalan kedepan.
Menurut penulis, apapun risiko dari suatu opsi kebijakan, pemerintah harus memilih
salah satu opsi yang paling sedikit
'pahitnya'. Mungkin solusi yang baik
adalah sebagai berikut :
Pembatasan konsumsi BBM harus terus
diupayakan, tetapi mengingat banyak
hal yang harus dipersiapkan dengan
baik, maka pilihan kebijkan ini untuk
tahun 2012 adalah tidak menjadikan
target penurunan konsumsi BBM
melainkan memberikan keteladanan.
Banyak menyarakat yang menginginkan
agar pengurangan konsumsi dimulai
dar i pemerintah, semua mobi l
pemerintah (dinas) dilarang dibuat
menjadi plat hitam, semuanya plat
m e r a h ( t e r m a s u k k e n d a r a a n
BUMN/BUMD) untuk memudahkan
kontrol dan memberikan bukti kepada
masyarakat bahwa pemer intah
menunjukkan komitmen yang kuat dan
menunjukkan keteladannya. Kebijakan
ini tentu tidak berbiaya (tidak menggerus
dana APBN), karena yang berubah
adalah perilaku birokrasi. Pada tahun
2012 ini juga, pemerintah merancang
skema pengurangan subsidi yang jauh
l e b i h m a t a n g , k e m u d i a n
mensosialisasikan untuk diterapkan
pada tahun 2013 dan seterusnya.
Dengan memperhatikan cadangan
m i n y a k y a n g m a k i n m e n i p i s ,
diperkirakan akan habis dalam 10-12
tahun ke depan, di sisi lain bila Indonesia
masih tetap bergantung pada BBM,
maka peningkatan impor tidak bisa
dihindari dengan berbagai implikasinya
yang buruk seperti inflasi dsb, maka apa
yang sedang dilakukan pemerintah saat
ini, yaitu konversi BBM ke Gas agar
adalah langkah yang tepat, bahkan
kalau bisa dipercepat. Percepatan
konversi BBM ke Gas ini sebaiknya
dijadikan salah satu ukuran sukses
MP3EI (Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia) dalam 2-3 tahun kedepan.
Mengingat Konsumsi BBM terbesar
Memberi Teladan Sambil Mengexercise
Opsi Pembatasan Konsumsi BBM
Mempercepat Konversi BBM ke Gas
11 Disarikan dari Kompas, 1 April 2012
Grafik-02 : Perkembangan ICP (Jan 2011-Maret 2012)
Tre
nd
IC
P
140
120
100
80
60
40
20
0
Jan-11 Feb Maret April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nov Des Jan-12 Feb Maret
ICP (USD per barrel)
USD 117,96per barrel
Rubrik Edukasi Fiskal
35INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
Rubrik Edukasi Fiskal
adalah di sektor transportasi, khususnya
kendaraan bermotor (Grafik-02 dan
Gambar-03), maka sektor transportasi
sebaiknya menjadi sasaran utama
implementasi konversi BBM ke Gas.
Kebijakan ini diharapkan bisa menekan
kuota BBM (tidak menembus 40 juta
barrel) dan mampu memelihara
kesehatan dan kelangsungan fiskal.
Data Pertamina menunjukkan bahwa
permintaan gas domestik pada tahun
2009 sebesar 3.500 MMSCFD (Million
Metric Standard Cubic Feet Per Day),
dan pada tahun 2015 akan meningkat
menjadi 4.700 MMSCFD. Peningkatan
permintaan gas tersebut bukan saja di
sektor transportasi, tetapi juga dipicu
oleh revital isasi pabrik pupuk,
kebutuhan pembangkit listrik, dan 12permintaan bahan baku industri . Syarat
utamanya adalah mempercepat
pembangunan infrastrukturnya, seperti
modifikasi kilang LNG Arun menjadi
terminal penerima berikut pipa
transpmisi dari aceh kesumatera Utara,
serta jaringan Integrated Tans Java
Pipeline, dan beberapa terminal
penerima LNG mini di sembilan titik
untuk kebutuhan pembangkit listrik PLN
pada Kawasan Timur Indonesia.
M e n u r u t p e n u l i s , p e r c e p a t a n
penyelesaian infrastruktur gas ini bagian
dari menjadi kontrak kinerja antara
pemerintah dengan Direksi PT
Pertamina (Persero). Bila pada masa
lalu ide bahwa semua pembangkit listrik
di Jawa akan bebas BBM merupakan
mimpi, maka untuk saat ini ide itu harus
berubah menjadi kenyataan. Selain itu,
pemerintah juga merencanakan
pembangunan 54 Stasion Pengisian
Bahan Bakar Gas (SPBG) dan 108
SPBG jenis Liquid Gas for Vehicle
(LGV) di beberapa daerah (Surabaya,
Gresik, Sidoarjo, Jakarta, Bekasi
Depok, Tangerang Selatan dan Bogor)
dengan dukungan dana APBN 2012
sebesar Rp2,1 triliun. Ini perlu
pengawasan yang ketat mengingat
tingkat keberhasilan proyek ini akan
menentukan langkah Indonesia
selanjutnya dalam mensukseskan
program 'konversi BBM ke gas'.
H i n g g a s a a t i n i , m a s y a r a k a t
nampaknya belum begitu yakin bahwa
perekonomian Indonesia mendapat
tekanan yang cukup berat dari
kenaikan harga minyak dunia.
Masyarakat juga memiliki pandangan
yang berbeda dengan pemerintah
bahwa harga BBM dalam negeri adalah
termurah dibandingkan dengan yang
terjadi di negara-negara lain sehingga
tidak menstimulir pengembangan
energi alternatif (gas, batubara dan
energi terbarukan).
Demo mahasiswa menolak rencana
pemerintah menaikan harga BBM yang
k e m u d i a n m e n d o r o n g D P R
memperkenalkan 'Ayat 6a' adalah
contoh bahwa pemahaman semua
elemen bangsa tentang persoalan yang
dihadapi bangsa Indonesia masih
belum sama. Hasil jajak pendapat 13Harian Kompas (28-30 Maret 2012)
menggambarkan fenomena ini cukup
Menaikkan Harga BBM Sebaiknya
Merupakan Pilihan Terakhir
menonjol, yaitu : (i) sekitar 67,1%
responden yang disurvei mengatakan
tidak percaya bahwa kebijakan
pemerintah menaikkan harga BBM
adalah kebijakan untuk menyelamatkan
ekonomi bangsa, (ii) hanya 28,1%
responden yang percaya bahwa
kebijakan itu dimaksudkan untuk
menyelamatkan ekonomi bangsa, dan
(iii) sekitar 62% responden menyatakan
setuju aksi unjuk rasa menentang 14kenaikkan harga BBM . Hasil survei
Harian Kompas ini memberikan isyarat
kepada pemerintah bahwa kebijakan
menaikan harga BBM memiliki risiko
tinggi. Karena itu, penulis sebaiknya
kebijakan menaikan harga BBM
merupakan langkah terakhir setelah
langkah-langkah lain tidak berhasil.
Pemerintah sudah memiliki tekad untuk
keluar dari lingkaran kesulitan suplai
energi sejalan dengan meningkatnya
permintaan dan tekanan terhadap
APBN. Pengembangan energ i
terbarukan yang potensinya cukup
besar di Indonesia merupakan
kebijakan yang tepat untuk menjamin
energy sustainability. Salah satu
diantaranya adalah energi yang
bersumber dari air yang jumlahnya
cukup berlimpah di Indonesia yang
dapat dipakai untuk membangun
Mempercepat Pengembangan Energi
Terbarukan
Produksi Sepeda Motor (unit)
Produksi Mobil, Bus, dan Truk (unit)
4.458.886 4.722.521
6.264.265 5.884.021
7.395.3908.006.293
296.008 411.638 600.628 464.816 702.508 837.948 155.7660
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 (Jan)
30
25
20
15
10
5
0
2005 20062005 2007 2008 2009 2010 2011
Premium (juta kiloliter) Solar (juta kiloliter)
20.64
17.4816.81
10.67 10.81
17.6519.42
11.76 12.1
21.2222.93
12.9414.49
25.49
Grafik-03 : Trend Konsumsi Premium dan Solar Secara NasionalGrafik-02: Perkembangan Produksi Kenderaan Bermotor
Sumber : Kompas, 20 Maret 2012. Disarikan dari data GAKINDO, AISI, dan BISumber : Kompas, 20 Maret 2012. Disarikan dari data GAKINDO, AISI, dan BI
12 Hari Kariyulianto, Direktur Gas PT Pertamina, Harian Merdeka, 26 April 2012.
13 Dilakukan di 12 kota besar pada tanggal 28-30 Maret 2012 terhadap 711 responden berusia 17 tahun ke atas yang dipilih secara acak dengan tingkat kepercayaan 95%.
14 Lihat Kompas, 2 April. Tajuk : Kebijakan Publik Dipertanyakan
36 INFO RISIKO FISKAL Edisi 1 Tahun 2012
PLTMH (pembangkit listrik tenaga mikro hidro). Selain itu, energi yang bersumber
dari panas bumi (geothermal). Potensi geothermal diperkirakan mencapai sekitar 1529.038 ribu Megawatt atau ekivalen dengan 1 juta barrel minyak per hari atau
setara dengan suplai listrik Indonesia saat ini. Kalau bisa dieksploitasi sekitar 30
persen saja dari potensi tersebut, maka hasilnya ekivalen dengan 300 ribu barrel
minyak mentah per hari atau sekitar 30 persen dari lifting minyak Indonesia saat ini.
Salah satu tujuan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi adalah untuk
menghindari maraknya praktik penyelundupan BBM bersubsidi yang terjadi di
daerah-daerah perbatasan. Ini sebenarnya kasus kriminal murni yang mestinya
harus ditindak tegas sesuai aturan hukum yang berlaku di Indonesia. Dari sudut
pandang bisnis (ekonomi), penyelundupan bisa terjadi karena adanya disparitas
harga antara BBM bersubsidi dengan harga keekonomian BBM di negara lain
(Tabel-03). Saat ini, harga keekonomian BBM bersubsidi sebesar Rp8.400/liter.
Angka ini didapat dari harga dasar ICP sebesar Rp5.940/liter + lifting rinfination and
transportation sebesar Rp1.360/liter + Pajak 15% sebesar Rp1.100/liter. Dengan
demikian, besarnya subsidi BBM = harga BBM bersubsidi saat ini Rp4.500/liter – 16harga keekonomian BBM Rp8.400/liter = Rp3.900/liter . Dari sudut pandang
hukum, para pelaku penyelundupan BBM harus mendapat hukum seberat-beratnya
karena tindakannya telah merugikan sebagian besar penduduk Indonesia.
Cegah Penyelundupan BBM
Optimalisasi Perimaan Negara dan
Efisiensi Belanja Negara
Bila opsi kenaikan harga BBM dan
pembatasan konsumsi BBM bersibsidi
mengalami banyak kendala, maka
u n t u k m e n y e l a m a t k a n A P B N ,
pemerintah hanya punya dua cara, yaitu
melakukan optimalisasi penerimaan
negara dan belanja negara, termasuk
pemanfaatan Sisa Anggaran Lebih
(SAL) tahun 2011 untuk membiayai
proyek-proyek infrastruktur menjaga
pertumbuhan ekonomi pada level yang
cukup tinggi dan mengurangi angka
pengangguran melalui perluasan
lapangan pekerjaan. Pemerintah telah
berkomitmen untuk menambah
anggaran belanja untuk pembangunan
infrastruktur yang dialokasikan melalui
K/L dengan mengupayakan penerbitan 17DIPA secepat mungkin . Pemerintah
juga akan melakukan pemotongan
belanja K/L atas belanja barang non
operasional dan belanja pegawai
transito dengan pertimbangan realisasi
aggaran K/L dalam tiga tahun terakhir,
dengan tetap menjaga pencapaian
output dan outcome dari kegiatan dan
p r o g r a m p r i o r i t a s n a s i o n a l .
Konsekuensinya akan ada revisi DIPA
dari masing-masing K/L. Dari sisi
penerimaan negara, optimalisasi
pendapatan perpajakan masih bisa
dilakukan, mengingat banyak Wajib
Pajak (WP) yang belum melaksanakan
kewajiban perpajakannya. Kombinasi
ke dua kebijakan ini diharapkan bisa
mengantipasi naiknya subsidi BBM
yang diakibatkan oleh kenaikkan harga
minyak dunia.
15 Pada tahun 2012 ini, pemerintah telah menganggarkan
FDG (Fasilitas Dana Geothermal) senilai Rp 3 triliun yang
dikelola oleh PIP (Pusat Investasi Pemerintah). Dana
tersebut akan digunakan untuk pendataan, pembiayaan
eksplorasi dan dukungan infrastruktur. Selain itu, melalui
PMK Nomor 21 Tahun 2010, pemerintah juga memberikan
insentif fiskal (PPh, PPN atas barang impor kena pajak dan
BM atas impor mesin). Kondisi yang diperlukan investor
adalah konsistensi dan komitmen pemerintah.
16 Penjelasan Menteri ESDM, Jero Wacik, Kontan Edisi 2-8
April 2012.
17 Rofyanto Kurniawan, Kepala Pusat Kebijakan APBN,
'Pemerintah Siapkan Paket Kebijakan Fiskal', Media
Keuangan Vol VII, Nomor 55, Maret 2012, hal. 10.
Tabel-03 : Potensi Penyelundupan BBM
Sumber : Kementerian ESDM, 2012, 'Subsidi Buat (si) Apa? Menjelaskan Kenaikan Harga Premium dan Solar
*) Asumsi : Ongkos Transport dll rata-rata Rp5.000 per liter. Estimasi Penulis Untuk Contoh.
Negara(Jenis BBM)
Rp4.500Indonesia Rp4.500 Disubsidi -
Malaysia(RON 95)
RM1,90 Rp5.753 Disubsidi Tidak adakeuntungan
Thailand(Blue Gasoline 91)
Baht 41,5 Rp12.453 TidakDisubsidi
Rp7.453
Philipina(unleaded)
Singapura(Grade 92)
P56,50 Rp12.142 TidakDisubsidi
Rp7.147
S$2.150 Rp15.695 TidakDisubsidi
Rp10.695
Harga Eceran Bensin Dalam
Mata uang Lokal (Per
Liter)
Harga Eceran
Bensin Rp per Liter
Kebijakan Fiskal
Potensi Penyelundupan*)
WO
RD
PR
ES
S.C
OM
Rubrik Edukasi Fiskal