ironi abadi para pengabdiara pengabdi filemenetapkan persentase pengangkatan guru honorer, bisa 1%...

1
ARA PENGABDI ARA PENGABDI Peraturan Pemerintah Ganjal Kesejahteraan Guru Honorer NS yang Terkatung-katung JUMAT, 8 APRIL 2011 19 N IORA pun harus mengurusi ibunya yang tua renta berusia 80 tahun dan dua anaknya yang berada dalam masa-masa pertumbuhan. “Alhasil, saya harus bersiasat, untuk mencukup-cukupkan honor mengajar Rp800 ribu/bulan, dengan membantu warga yang mau bikin KTP (kartu tanda penduduk) dan buku pernikahan. Kalau enggak gini, susah sekali menghidupi keluarga untuk bisa makan,” ucap sulung dari empat bersaudara itu. Nasib guru honorer seperti Cristian yang statusnya tak kunjung diangkat juga dialami Suwanda, 47. Bedanya, selain jadi guru honorer SMP Negeri 257 Ciracas, ia juga menyambi mengajar di SMP Bhayangkari 2 Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Terkatung-katungnya nasib guru honorer dengan masa pengabdian 22 tahun seperti dirinya itu, diakui Suwanda, disebabkan kurangnya informasi terkait dengan pengangkatan PNS. “Belum lagi kalau ada titipan dari pejabat (yang diprioritaskan untuk jadi PNS). Padahal, masih banyak guru honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun dan kesejahteraannya segitu-gitu aja,” kilah Suwanda. Adanya penelantaran negara atas nasib guru honorer seperti dialami Cristian dan Suwanda diiakan Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo. Penelantaran itu dimulai dari sistem perekrutan, standar upah minimum, hingga tunjangan hari tua. Bahkan, adanya PP No 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer dan PP No 43 Tahun 2007 tentang Revisi PP No 48 Tahun 2005 juga belum mampu mengangkat nasib mereka. Aturan penggunaan bantuan operasional sekolah (BOS) yang kali ini membatasi alokasi belanja pegawai hanya 20% untuk membayar gaji guru honorer, juga menambah pelik nasib guru honorer. “Mestinya, pemerintah berkaca diri. Ketika berharap mereka kerja keras, harusnya nasib mereka juga jangan diabaikan, dong,” kecam Sulistiyo. (*/H-2) orang. Jika data tersebut benar, jelaslah bahwa antrean guru honorer yang ingin menjadi PNS masih sangat panjang. Dalam antrean tersebut terdapat guru-guru honorer yang sudah belas- an bahkan puluhan tahun mengabdi. Mereka tidak diangkat jadi PNS karena tidak masuk data guru bantu yang dikontrak pemerintah pada 2003-2004. Soal pembengkakan jumlah guru honorer itu, menurut Fasli, tidak lepas dari ketidak- patuhan daerah terhadap PP No 48 Tahun 2005 yang melarang pengangkatan guru honorer baru. ‘’Banyak sekolah di seluruh Indonesia, dengan berbagai alasan, tetap mengangkat guru honorer baru. Akibatnya, jumlahnya membengkak,’’ kata Fasli. Untuk itu, lanjut Fasli, pihaknya meminta pemerintah daerah agar memfasilitasi para guru honorer yang tercecer agar tetap dapat mengikuti tes seleksi calon PNS. Keterbatasan APBN juga menjadi salah satu pertimbangan mengapa tidak semua guru honorer diangkat jadi PNS. ‘’Pengangkatan seluruh guru honorer akan menghabiskan APBN sampai Rp90 triliun,’’ imbuh Giri Suryatmana, Sekretaris Badan Pengembangan Pendidikan Sumber Daya Manusia Kemente- rian Pendidikan Nasional. Di bawah UMP Secara terpisah, Koordinator Koalisi Pendi- dikan Lody F Paat meminta pemerintah pusat tetap memperjuangkan para guru honorer dengan membuat aturan baru yang lebih me- nyejahterakan. Ia juga berpendapat daerah yang tetap men- gangkat guru honorer baru tentunya memiliki alasan kuat sehingga tidak bisa disalahkan sepenuhnya. ‘’Bisa saja mereka memang membutuhkan guru honorer baru,’’ ujar Lody. Karenanya, Lody tetap meminta pemerintah tetap ber- tanggung jawab dengan membuat kebijakan baru yang mampu menyejahterakan para guru honorer. Hal senada juga diungkapkan anggota De- wan Pembina Persatuan Guru Seluruh Indo- nesia (PGSI) Suparman. Menurutnya, sebelum kondisi memungkinkan untuk mengangkat para guru honorer menjadi PNS, seharusnya pemerintah tetap memperhatikan kesejahte- raan mereka. Misalnya dengan meningkat- kan gaji minimal setingkat upah minimum provinsi (UMP). Sebab, lanjut Suparman, banyak guru honorer di daerah yang hidup kembang kempis dengan gaji Rp100 ribu-Rp 200 ribu per bulan. ‘’Syukur-syukur pemerintah juga mau memberi fasilitas kesehatan seperti jaminan kesehatan daerah atau jamsostek. Seingat saya, Kemendiknas pernah menjanjikan akan mencoba memberi tunjangan kese- hatan bagi guru honorer,’’ tuturnya. (*/FR/ TS/SY/S-3) [email protected] TUNTUT STATUS: Massa dari Forum Komunikasi Guru Bantu Indonesia Provinsi DKI Jakarta berdemo di depan Istana Merdeka, Jakarta, beberapa waktu lalu, untuk menuntut status pegawai negeri sipil (PNS). Bagi mereka, status PNS merupakan tiket untuk memperbaiki nasib. UJIAN CPNS: Ribuan peserta seleksi calon pegawai negeri sipil (CPNS) mengikuti ujian di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Sabtu (14/11/2010). Untuk menjadi PNS, para guru honorer tetap harus bertarung dengan peserta CPNS lainnya meski mereka sudah mengabdi selama belasan bahkan puluhan tahun. NASIB guru honorer yang kian hari kian tak menentu rupanya tidak lepas dari aturan yang didesain pemerintah. Upaya pemerin- tah memperbaiki kelemahan atas Peraturan Pemerintah (PP) No 48 Tahun 2005 justru masih ditentang guru-guru honorer. Pasalnya perbaikan melalui rencana pera- turan pemerintah (RPP) perubahan kedua atas PP No 48 Tahun 2005 itu malah kian mendiskriminasikan guru honorer dan tidak memberikan solusi masalah guru honorer. Setidaknya, ada dua pasal yang dinilai ti- dak memihak pada guru honorer dalam RPP perubahan kedua itu, yakni Pasal 6A poin 3 berbunyi, ‘jumlah formasi ditetapkan paling banyak 30% dari jumlah tambahan formasi.’ Secara logika, kalau paling banyak 30%, berarti pemerintah dapat dengan seenaknya menetapkan persentase pengangkatan guru honorer, bisa 1% atau 2%. Ketentuan itu tentu saja tidak adil. Pasal lain yang dianggap merugikan juga adalah Pasal 9A ayat 1 poin B, berbunyi, ‘instansi dapat memberhentikan dan/tidak memperpanjang lagi tenaga honorer yang tenaganya tidak dibutuhkan lagi.’ Pasal itu juga seolah-olah menganggap guru honorer layaknya permen karet, yakni habis manis sepah dibuang. ‘’Banyak sekali, contoh kasus nasib guru honorer yang kesejahteraannya sungguh ironis. Itu tak lepas dari pasal-pasal itu,’’ ujar Koordinator Serikat Guru DKI Ifa Sarifah ke- pada Media Indonesia, Senin (4/4). Nasib guru honorer juga makin diperparah dengan adanya pembatasan biaya operasional sekolah (BOS) untuk pembayaran gaji. Ber- dasarkan Peraturan Mendiknas No 37/2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS tahun 2011, disebutkan maksimum peng- gunaan dana belanja pegawai bagi sekolah negeri cuma 20% untuk gaji guru honorer. ‘’Imbasnya dari aturan itu, anggaran gaji untuk guru honorer, ada yang dipotong sam- pai 50%,’’ ungkap Ifa. Kasus seperti itu terjadi di Tegal, Jawa Te- ngah, yakni ada guru honorer yang gajinya Rp250 ribu per bulan, dipotong menjadi Rp80 ribu per bulan gara-gara Permendiknas No 37/2010. Pendapat Ifa tersebut senada dengan Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman. Penurunan honor akibat aturan penggunaan BOS semakin menjepit nasib guru honorer. ‘’Aturan itu justru menu- runkan honor para guru honorer dan semakin menjauhkan jarak honor mereka di bawah gaji UMP (upah minimum provinsi),’’ kata Supar- man yang juga anggota Dewan Pembina Per- satuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) itu. Oleh karena itu, Suparman mengusulkan agar ada upaya lain dari pemerintah guna membantu guru honorer yang bergaji minim. Hal itu bisa dilakukan dengan memberikan bantuan jaminan sosial tenaga kerja (jam- sostek). ‘’Dulu saya pernah mengusulkan ini kepada pemerintah, tapi sampai saat ini belum ada realisasi,’’ kata Suparman. Buat perda Adapun Koordinator Koalisi Pendidikan Lody F Paat memberikan solusi, agar peme- rintah segera mengubah peraturan dasarnya terlebih dahulu, yakni PP No 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer. Teru- tama pada RPP yang kali ini masih dibahas pemerintah. ‘’Pada RPP itu, pemerintah ha- rus menjelaskan kenapa butuh guru honorer. Kalau memang butuh, harus dijelaskan berapa lama kebutuhan guru honorer itu. Itu yang harus dilakukan,’’ kata Lodi. Ketua Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ) Retno Listiyarti lebih keras lagi mem- berikan solusi. Menurutnya, sudah saatnya setiap daerah membuat peraturan daerah (perda) tentang guru honorer. Salah satu isi yang diusulkan Retno dalam perda itu, yakni pengangkatan guru honorer tidak perlu pendaftaran terbuka. ‘’Langsung saja mengangkat guru honorer yang sudah terdaftar dan mengabdi bertahun-tahun,’’ ungkap Retno. Sebab, kata Retno, pengangkatan guru honorer tanpa pendaftaran terbuka akan men- dorong dua hal. Pertama, soal penghematan anggaran dan yang kedua soal transparansi. Transparansi tersebut terutama sangat erat kaitannya dengan jual beli penetapan atau pengangkatan guru honorer. (*/H-2) MI/SUSANTO MI/SUMARYANTO

Upload: duongthu

Post on 03-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: IRONI ABADI PARA PENGABDIARA PENGABDI filemenetapkan persentase pengangkatan guru honorer, bisa 1% atau 2%. Ketentuan itu tentu saja tidak adil. Pasal lain yang dianggap merugikan

IRONI ABADI PARA PENGABDIARA PENGABDI

Peraturan Pemerintah Ganjal Kesejahteraan Guru Honorer

NS yang Terkatung-katung

JUMAT, 8 APRIL 2011 19NIORA

pun harus mengurusi ibunya yang tua renta berusia 80 tahun dan dua anaknya yang berada dalam masa-masa pertumbuhan.

“Alhasil, saya harus bersiasat, untuk mencukup-cukupkan honor mengajar Rp800 ribu/bulan, dengan membantu warga yang mau bikin KTP (kartu tanda penduduk) dan buku pernikahan. Kalau enggak gini, susah sekali menghidupi keluarga untuk bisa makan,” ucap sulung dari empat bersaudara itu.

Nasib guru honorer seperti Cristian yang statusnya tak kunjung diangkat juga dialami Suwanda, 47. Bedanya, selain jadi guru honorer SMP Negeri 257 Ciracas, ia juga menyambi mengajar di SMP Bhayangkari 2 Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Terkatung-katungnya nasib guru honorer dengan masa pengabdian 22 tahun seperti dirinya itu, diakui Suwanda, disebabkan kurangnya informasi terkait dengan pengangkatan PNS.

“Belum lagi kalau ada titipan dari pejabat (yang diprioritaskan untuk jadi

PNS). Padahal, masih banyak guru honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun dan kesejahteraannya segitu-gitu aja,” kilah Suwanda.

Adanya penelantaran negara atas nasib guru honorer seperti dialami Cristian dan Suwanda diiakan Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Sulistiyo.

Penelantaran itu dimulai dari sistem perekrutan, standar upah minimum, hingga tunjangan hari tua. Bahkan, adanya PP No 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer dan PP No 43 Tahun 2007 tentang Revisi PP No 48 Tahun 2005 juga belum mampu mengangkat nasib mereka.

Aturan penggunaan bantuan operasional sekolah (BOS) yang kali ini membatasi alokasi belanja pegawai hanya 20% untuk membayar gaji guru honorer, juga menambah pelik nasib guru honorer.

“Mestinya, pemerintah berkaca diri. Ketika berharap mereka kerja keras, harusnya nasib mereka juga jangan diabaikan, dong,” kecam Sulistiyo. (*/H-2)

orang.Jika data tersebut benar, jelaslah bahwa

antrean guru honorer yang ingin menjadi PNS masih sangat panjang. Dalam antrean tersebut terdapat guru-guru honorer yang sudah belas-an bahkan puluhan tahun mengabdi. Mereka tidak diangkat jadi PNS karena tidak masuk data guru bantu yang dikontrak pemerintah pada 2003-2004.

Soal pembengkakan jumlah guru honorer itu, menurut Fasli, tidak lepas dari ketidak-patuhan daerah terhadap PP No 48 Tahun 2005 yang melarang pengangkatan guru honorer baru. ‘’Banyak sekolah di seluruh Indonesia, dengan berbagai alasan, tetap mengangkat guru honorer baru. Akibatnya, jumlahnya membengkak,’’ kata Fasli.

Untuk itu, lanjut Fasli, pihaknya meminta pemerintah daerah agar memfasilitasi para guru honorer yang tercecer agar tetap dapat mengikuti tes seleksi calon PNS.

Keterbatasan APBN juga menjadi salah satu pertimbangan mengapa tidak semua guru honorer diangkat jadi PNS. ‘’Pengangkatan seluruh guru honorer akan menghabiskan APBN sampai Rp90 triliun,’’ imbuh Giri Suryatmana, Sekretaris Badan Pengembangan Pendidikan Sumber Daya Manusia Kemente-rian Pendidikan Nasional.

Di bawah UMPSecara terpisah, Koordinator Koalisi Pendi-

dikan Lody F Paat meminta pemerintah pusat tetap memperjuangkan para guru honorer

dengan membuat aturan baru yang lebih me-nyejahterakan.

Ia juga berpendapat daerah yang tetap men-gangkat guru honorer baru tentunya memiliki alasan kuat sehingga tidak bisa disalahkan sepenuhnya.

‘’Bisa saja mereka memang membutuhkan guru honorer baru,’’ ujar Lody. Karenanya, Lody tetap meminta pemerintah tetap ber-tanggung jawab dengan membuat kebijakan baru yang mampu menyejahterakan para guru honorer.

Hal senada juga diungkapkan anggota De-wan Pembina Persatuan Guru Seluruh Indo-nesia (PGSI) Suparman. Menurutnya, sebelum kondisi memungkinkan untuk mengangkat para guru honorer menjadi PNS, seharusnya

pemerintah tetap memperhatikan kesejahte-raan mereka. Misalnya dengan meningkat-kan gaji minimal setingkat upah minimum provinsi (UMP).

Sebab, lanjut Suparman, banyak guru honorer di daerah yang hidup kembang kempis dengan gaji Rp100 ribu-Rp 200 ribu per bulan.

‘’Syukur-syukur pemerintah juga mau memberi fasilitas kesehatan seperti jaminan kesehatan daerah atau jamsostek. Seingat saya, Kemendiknas pernah menjanjikan akan mencoba memberi tunjangan kese-hatan bagi guru honorer,’’ tuturnya. (*/FR/TS/SY/S-3)

[email protected]

TUNTUT STATUS: Massa dari Forum Komunikasi Guru Bantu Indonesia Provinsi DKI Jakarta berdemo di depan Istana Merdeka, Jakarta, beberapa waktu lalu, untuk menuntut status pegawai negeri sipil (PNS). Bagi mereka, status PNS merupakan tiket untuk memperbaiki nasib.

UJIAN CPNS: Ribuan peserta seleksi calon pegawai negeri

sipil (CPNS) mengikuti ujian di Stadion Utama Gelora Bung

Karno, Senayan, Jakarta, Sabtu (14/11/2010). Untuk menjadi PNS, para guru honorer tetap

harus bertarung dengan peserta CPNS lainnya meski mereka

sudah mengabdi selama belasan bahkan puluhan tahun.

NASIB guru honorer yang kian hari kian tak menentu rupanya tidak lepas dari aturan yang didesain pemerintah. Upaya pemerin-tah memperbaiki kelemahan atas Peraturan Pemerintah (PP) No 48 Tahun 2005 justru masih ditentang guru-guru honorer.

Pasalnya perbaikan melalui rencana pera-turan pemerintah (RPP) perubahan kedua atas PP No 48 Tahun 2005 itu malah kian mendiskriminasikan guru honorer dan tidak memberikan solusi masalah guru honorer.

Setidaknya, ada dua pasal yang dinilai ti-dak memihak pada guru honorer dalam RPP perubahan kedua itu, yakni Pasal 6A poin 3 berbunyi, ‘jumlah formasi ditetapkan paling banyak 30% dari jumlah tambahan formasi.’

Secara logika, kalau paling banyak 30%, berarti pemerintah dapat dengan seenaknya menetapkan persentase pengangkatan guru honorer, bisa 1% atau 2%. Ketentuan itu tentu saja tidak adil.

Pasal lain yang dianggap merugikan juga adalah Pasal 9A ayat 1 poin B, berbunyi, ‘instansi dapat memberhentikan dan/tidak memperpanjang lagi tenaga honorer yang tenaganya tidak dibutuhkan lagi.’ Pasal itu juga seolah-olah menganggap guru honorer layaknya permen karet, yakni habis manis sepah dibuang.

‘’Banyak sekali, contoh kasus nasib guru honorer yang kesejahteraannya sungguh ironis. Itu tak lepas dari pasal-pasal itu,’’ ujar Koordinator Serikat Guru DKI Ifa Sarifah ke-

pada Media Indonesia, Senin (4/4).Nasib guru honorer juga makin diperparah

dengan adanya pembatasan biaya operasional sekolah (BOS) untuk pembayaran gaji. Ber-dasarkan Peraturan Mendiknas No 37/2010 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS tahun 2011, disebutkan maksimum peng-gunaan dana belanja pegawai bagi sekolah negeri cuma 20% untuk gaji guru honorer.

‘’Imbasnya dari aturan itu, anggaran gaji untuk guru honorer, ada yang dipotong sam-pai 50%,’’ ungkap Ifa.

Kasus seperti itu terjadi di Tegal, Jawa Te-ngah, yakni ada guru honorer yang gajinya Rp250 ribu per bulan, dipotong menjadi Rp80 ribu per bulan gara-gara Permendiknas No 37/2010.

Pendapat Ifa tersebut senada dengan Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Suparman. Penurunan honor akibat aturan penggunaan BOS semakin menjepit nasib guru honorer. ‘’Aturan itu justru menu-runkan honor para guru honorer dan semakin menjauhkan jarak honor mereka di bawah gaji UMP (upah minimum provinsi),’’ kata Supar-man yang juga anggota Dewan Pembina Per-satuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) itu.

Oleh karena itu, Suparman mengusulkan agar ada upaya lain dari pemerintah guna membantu guru honorer yang bergaji minim. Hal itu bisa dilakukan dengan memberikan bantuan jaminan sosial tenaga kerja (jam-sostek). ‘’Dulu saya pernah mengusulkan ini

kepada pemerintah, tapi sampai saat ini belum ada realisasi,’’ kata Suparman.

Buat perdaAdapun Koordinator Koalisi Pendidikan

Lody F Paat memberikan solusi, agar peme-rintah segera mengubah peraturan dasarnya terlebih dahulu, yakni PP No 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer. Teru-tama pada RPP yang kali ini masih dibahas pemerintah. ‘’Pada RPP itu, pemerintah ha-rus menjelaskan kenapa butuh guru honorer. Kalau memang butuh, harus dijelaskan berapa lama kebutuhan guru honorer itu. Itu yang harus dilakukan,’’ kata Lodi.

Ketua Forum Musyawarah Guru Jakarta (FMGJ) Retno Listiyarti lebih keras lagi mem-berikan solusi. Menurutnya, sudah saatnya setiap daerah membuat peraturan daerah (perda) tentang guru honorer.

Salah satu isi yang diusulkan Retno dalam perda itu, yakni pengangkatan guru honorer tidak perlu pendaftaran terbuka. ‘’Langsung saja mengangkat guru honorer yang sudah terdaftar dan mengabdi bertahun-tahun,’’ ungkap Retno.

Sebab, kata Retno, pengangkatan guru honorer tanpa pendaftaran terbuka akan men-dorong dua hal. Pertama, soal penghematan anggaran dan yang kedua soal transparansi. Transparansi tersebut terutama sangat erat kaitannya dengan jual beli penetapan atau pengangkatan guru honorer. (*/H-2)

MI/SUSANTO

MI/SUMARYANTO