isi makalah ratu adil
DESCRIPTION
ratu adil kwnTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mitos Ratu Adil dipergunakan masyarakat untuk meraih semangat
pemberontak yang berjuang mengguling pemerintah Belanda. Sartono Kartodirdjo
dalam kajiannya mengenai latar belakang Pemberontakan Banten dan gerakan
millenarian pada tahun 1888 menyebutkan bahwa mitos Ratu Adil sangat berpengaruh
bagi masyarakat dan mitos tersebut berkembang dari masyarakat yang telah mengalami
ketertindasan dan ketidakadilan. Selanjutnya menurut Sartono Kartodirdjo tentang
sejarah anti-kolonialisme, sedikitnya 13 gerakan millenarian yang telah berkembang di
Jawa selama penjajahan Belanda. Ratu Adil merupakan mitos figur pemimpin
masyarakat idaman sehingga tercapai kedamaian dan kesejahteraan. Dia adalah tokoh
yang hidup yang diberikan wahyu dan direstui para dewa-dewi untuk memimpin
masyarakat.
Sebagai sebuah ideologi, maka faham Ratu Adil (millenarianisme) atau Juru
Selamat (mesianisme) dalam “perjuangan” atau aplikasinya menampakkan struktur
yang matang. Inilah sebabnya, pada masa lalu gerakan-gerakan keagamaan yang telah
diramu dengan faham Ratu Adil merupakan ancaman yang sangat potensial bagi rezim
kolonial. Sementara dipihak lain, terdorong oleh ketakutan pemerintah kolonial
terhadap kekuatan-kekuatan spiritual (Islamofobi) dan sesuai pula dengan politik
devide et impera maka gerakan-gerakan tadi disamakan dengan gerakan revolusioner
atau gerakan anti asing yang harus diberantas secara tuntas.
Gerakan-gerakan tersebut merupakan alat perjuangan “kelompok terjajah”
terhadap penjajah atau kelompok yang dianggap menjajah. Dalam perjuangan tersebut,
selalu ditampilkan ciri-ciri khusus, baik yang menyangkut watak pimpinan, pola
ideologi, maupun sistem kepercayaannya.
Seorang pemimpin agama selalu dianggap sebagai prophet, guru, dukun,
tukang sihir atau utusan mesias, serta diakui diilhami oleh wahyu atau wangsit. Tokoh-
tokoh prophetic dipercaya sebagai orang-orang suci yang memiliki kekuatan gaib yang
didasarkan pada pembawaan karisma seperti wahyu, keramat atau sakti. Adapun pola
ideologi semua gerakan keagamaan ialah penolakan terhadap situasi yang ada dan
harapan akan datangnya millenium, yang akan menciptakan masyarakat ideal dan
1
romantis, tiada lagi pertentangan, ketidakadilan dan penderitaan, serta tidak akan ada
penyakit dan pencuri.
Contoh-contoh gerakan Ratu Adil yang bersifat keagamaan dapat ditunjukkan
antara lain adalah peristiwa Nyi Aciah di Sunda (1870 - 1871), kasus Jumadilkubra di
Pekalongan dan Banyumas tahun 1871, peristiwa Jasmani di Jawa Timur tahun 1887,
dan masih banyak lagi yang lain, namun intinya sama, yaitu bahwa seseorang yang
mendapat wahyu kemudian mengajak warga desa untuk mengadakan “pemberontakan”
terhadap kekuasaan Eropa, dengan akibat ditumpasnya gerakan itu dengan kejam.
Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa gerakan-gerakan keagamaan pada
umumnya menyandang watak reaksi total yaitu menolak kehadiran Eropa. Dengan
demikian, millenarianisme pada asasnya berwatak revolusioner karena berkaitan
dengan perombakan status quo secara total. Adapun alat yang dipakai sebagai dasar
gerakan tersebut adalah agama, jadi sifatnya religius.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana munculnya mitos ratu adil?
2. Bagaimana pandangan tentang ratu adil di kalangan masyarakat?
3. Bagaimana perkembangan mitos ratu adil?
4. Bagaimana konsep keadilan dalam masyarakat?
5. Bagaimana peran ratu adil dalam tercapainya keadilan masyarakat?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui munculnya mitos ratu adil
2. Mengetahui dan memahami pandangan tentang ratu adil dikalangan masyarakat
3. Mengetahui perkembangan mitos ratu adil
4. Memahami konsep keadilan dalam masyarakat
5. Memahami peran ratu adil dalam tercapainya keadilan masyarakat
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Munculnya Mitos Ratu Adil
Sejak kapan mitos Ratu Adil muncul masih butuh penelitian dan pengkajian
mendalam. Namun bisa diperkirakan semasa dengan lahirnya ‘Jangka Jayabaya’ dan
ceritera mitos tentang ‘Sabdapalon Nayagenggong’. Bila dirunut melalui literatur Jawa
yang ada, maka lahirnya mitos-mitos tersebut pada jaman ‘Kapujanggan’ di Keraton
Surakarta. Suatu masa yang bisa disebut sebagai ‘jaman keemasan Jawa’ di bidang
sastra, budaya, dan merupakan ‘kebangkitan’ spiritualisme Jawa.
Mitos Ratu Adil kemudian banyak disinggungkan dengan cerita ramalan yang
populer dengan sebutan “Jangka Jayabaya”. Dan ketika muncul kemudian tentang
mitos “Sabdapalon Nayagenggong”, wacana datangnya Ratu Adil disinggungkan
dengan mitos “Satria Piningit”. Hal ini nampak jelas termuat dalam “Serat
Darmagandhul”, dimana disebutkan bahwa “Satria Piningit” yang akan mengentaskan
Jawa adalah momongan “Sabdapalon Nayagenggong”.
Ratu Adil sebagai pengadopsian kepercayaan akan hadirnya ‘Imam Mahdi’ yang
akan muncul kembali menjelang datangnya hari kiamat nanti. Sedang wacana hadirnya
Ratu Adil yang disinggungkan dengan Yesus Kristus yang akan turun kembali dan
Imam Mahdi yang juga akan muncul kembali kiranya terlalu berlebihan. Masalahnya,
turunnya Yesus dan munculnya Imam Mahadi berkaitan dengan akan datangnya hari
kiamat. Sementara mitos Ratu Adil (Jangka Jayabaya, Sabdapalon Nayagenggong, dll.)
adalah wacana “kerinduan” umat Jawa akan hadirnya suatu “pemerintahan negara”
yang adil dan mampu mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Suatu
kerinduan yang membumi dan mungkin terjadi. Kenyataan sejarah, pada jaman
sebelumnya Jawa pernah mencapai “pemerintahan negara” yang dirindukan rakyat
tersebut. Pada serat-serat kapujanggan, jaman keemasan Jawa disebutkan pada jaman
Jayabaya (Kediri) dan Brawijaya (Majapahit).
Ketika internalisasi bernegara sudah berjalan lama, maka rakyat Jawa
berpandangan bahwa negara adalah kanugrahan (berkah) dari Tuhan Yang Maha
Kuasa. Bukan sekedar kontrak politik sebagaimana teori modern dari Barat. Dipandang
sebagai berkah, maka negara mestinya dipimpin seorang ratu yang adil dan arif
bijaksana. Pada wacana inilah, Jawa memandang bahwa pemimpin negara adalah
3
orang yang “kewahyon”. Ketika pemimpin bukan yang “kewahyon”, maka tidak akan
banyak membawa “berkah” bagi rakyat Jawa.
Persoalan hingga lahir mitos Ratu Adil, bahwa pada kenyataannya pemerintah
keraton dan penjajah Hindia Belanda jaman itu, jauh dari kriteria adil dan bijaksana.
Sementara rakyat yang mendambakan perubahan sudah tidak memiliki daya dan
kekuatan. Demikian pula para “sujana sarjana” (pujangga) yang hatinya berpihak
kepada rakyat dibatasi ruang geraknya. Maka kemudian mereka menggulirkan wacana
“pemberontakan” dengan melahirkan mitos akan hadirnya Ratu Adil. Dengan
demikian, mitos Ratu Adil bisa kita asumsikan sebagai “pemberontakan” kaum cerdik
pandai Jawa dalam mengupayakan perubahan sosial masyarakat.
Di jaman ini, meski tidak ada upaya pemberdayaan apapun, mitos akan hadirnya
Ratu Adil tetap ada di sanubari rakyat tertindas, terpinggirkan, dan terabaikan. Getaran
mitos tersebut secara alamiah akan semakin berkobar yang makna harfiahnya kecewa
terhadap pemerintahan yang ada.
Oleh karena itu, “Mitos Ratu Adil” yang masih dipercayai rakyat akan
memelihara sikap kritis terhadap keadaan negara dan bangsa yang sangat jauh citranya
sebagaimana yang ada pada nurani rakyat, “negara adalah berkah Tuhan”. Pada
dasarnya, mitos Ratu Adil bisa dijadikan tema gerakan rakyat untuk bisa menghadirkan
pemimpin-pemimpin yang benar-benar negarawan. Peluangnya ada, karena sistim
rekruting pemimpin secara pemilihan langsung oleh rakyat. Persoalannya, bagaimana
menanamkan kesadaran kepada rakyat pemilih untuk bisa memberikan suara kepada
tokoh pilihan yang negarawan tersebut. Untuk itu, penting diinternalisasikan piwulang
dalam Serat Wulangreh yang mengarahkan untuk memilih pemimpin yang bukan
botoh, durjana, pemadat, dan orang berjiwa bakul saudagar.
2.2 Berbagai Pandangan Tentang Ratu Adil
Ratu Adil atau Satrio Piningit adalah sosok hamba yang masih mengundang
beribu pertanyaan. Dalam persepsi orang jawa, dia adalah hamba yang berdemensi
ganda, jiwanya di langit sementara jasadnya menetap di bumi. Dia tokoh yang adil dan
bijak yang hidup bersama rakyat. Setiap kebijakan dan langkah dalam mengatur
bangsa tidak berdasarkan hawa nafsu, tetapi keputusan yang langsung dari “atas”,
suatu wangsit atau ilham yang mutlak benar dan tidak bisa dibantah. Tokoh inilah
4
yang dimimpikan oleh sebagaian rakyat kita, yang wujud kehadirannya sampai saat ini
belum diketahui secara pasti.
Dalam sejarah Islam, sosok tokoh seperti yang digambarkan di atas mirip
dengan Umar bin Abdul Aziz, seorang ilmuan sekaligus tokoh spritualis. Beliau
memimpin umat Islam dengan bijak, adil dan penuh kasih sayang. Terpilih menjadi
khalifah dinasti Bani Umayah bukan atas kehendak pribadi atau pomosi lewat partai,
tapi diangkat langsung oleh rakyat. Dia muncul disaat terjadi krisis kepercayan, moral,
politik, ekonomi dan spiritual. Dalam waktu singkat 2 tahun menjadi khalifah,
berhasil membangun totalitas beragama, berbangsa dan bernegara. Dalam sejarah, dia
tercatat sebagai kepala Negara dan pemimpin yang zuhud, wara', bijak, adil, dan
tinggal di luar istana hidup bersama rakyat kecil.
Yang menjadi pertanyaan, apakah mungkin di negeri kita ini akan muncul
tokoh pemimpin (satrio piningit) seperti Umar bin Abdul Aziz? Tentu saja pertanyaan
ini tidak gampang dijawab. Umar bin Abdul Aziz lahir dan dibesarkan dalam
lingkungan kultur Arab, yang berbeda dengan kultur bangsa kita. Pada masa kecilnya
hingga menjadi khalifah waktunya dihabiskan untuk belajar agama. Awal diangkat
menjadi khalifah bukan karena beliau pintar berpolitik dan pintar mengatur siasat
ekonomi umat, tapi karena kezuhudan dan wibawa keulamaannya. Rakyat memilih
beliau semata-mata atas pertimbangan dan penilaian agama, bukan faktor dunia.
Rakyatnya beranggapan, tidak ada seorang pemimpin yang mampu membangun dan
mensejahterakan umat, kecuali pemimpin yang takwa.
Karena itu, ada sebagian kita berpendapat, bahwa adalah mustahil tokoh satrio
piningit yang akan menjadi pemimpin negara kita ini seperti Umar bin Abdul Aziz.
Alasannya, pertama, konsep bernegara kita diatur oleh Undang-undang, kedua, kriteria
kepemimpinan tidak menempatkan unsur ketakwaan satu-satunya indikator bagi
seorang calon pemimpin. Ketiga, kemunculan calon tokoh pemimpin harus
dipromosikan lewat partai.
Tokoh Satrio Piningit, apakah ia mirip Umar bin Abdul Aziz atau tidak, yang
jelas dalam Serat Centini tokoh pemimpin ideal bangsa sangat dinantikan
kedatangannya. Dalam keyakinan orang jawa, ia akan muncul di saat kezaliman
merajalela. Adapun tokoh-tokoh pemimpin yang muncul selama ini adalah bukan tokoh
sebenarnya. Kehadiran mereka adalah sebagai tokoh perantara dalam rangka proses
menunggu datangnya Sang Ratu Adil alias Satrio Piningit. Aktivitas pembangunan
yang dilakukan para pemimpin saat ini adalah sekedar melanjutkan apa yang sudah
5
ada, yang belum mampu mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
seutuhnya. Kemakmuran dan kesejahteraan hanya bisa diwujudkan bila negeri ini
dipimpin Satrio Piningit atau Ratu Adil.
Keyakinan masyarakat jawa di atas, ternyata sekarang telah dimanfaatkan
menjadi isu kepemimpinan nasional. Menjelang pemilu 2009 nanti, sekarang sebagian
pihak telah memanfaatkan sosok “Satrio Piningit” sebagai komoditas politik. Mereka
berusaha menarik massa dengan membentuk partai-partai. Alasannya sederhana,
bahwa pemimpin bangsa yang dulu dan sekarang adalah sama saja, mereka tidak
mampu mesejahterakan rakyat. Maka satu-satunya cara menumbuhkan keyakinan
rakyat dengan memunculkan isu-isu “Ratu Adil” dan membentuk kelompok-kelompok
yang menjurus ke arah sana.
Sekarang yang menjadi persoalan, mungkinkah sang Satrio Piningit itu
diangkat lewat manipulasi politik dan promosi partai-partai? Atau, percayakah kita
bahwa Sang Ratu Adil muncul lewat kelompok-kelompok yang haus kekuasaan?
Inilah sebenarnya pertanyaan yang perlu dijawab, agar pemahaman kita tidak tersesat
dalam khayalan dan dipolitisir oleh pihak-pihak tertentu.
Ketahuilah, bahwa keinginan rakyat memimpikan datangnya seorang
pemimpin ideal untuk memakmurkan bangsa ini adalah sebuah harapan murni dan suci.
Tapi tentunya harus dilandasi oleh pijakan normatif, agar harapan itu betul-betul logis
dan tidak tergelincir dari keyakinan. Andaikan Tuhan memenuhi harapan kita untuk
mendapatkan seorang pemimpin yang adil dan bijak, adalah mustahil bila calon
pemimpin itu bernaung di bawah bendera yang haus kekuasaan. Ia tidak akan pernah
muncul dan memproklamirkan dirinya untuk dipilih dan diangkat.
Maka persepsi kita tentang Sang “Ratu Adil” perlu dikaji ulang. Dalam salah
satu rujukan, yaitu kitab Serat Gemo Surgoloko, bahwa sosok “Ratu Adil”, berbeda
dengan pandangan yang selama ini berkembang. Dalam kitab itu diceritakan: telah
datang berita dari langit bahwa bila di negeri kita ini sudah tidak ada lagi kedilan dan
rakyat sudah bertindak dengan hawa nafsu dan maunya sendiri, serta setiap pergantian
pemimpin belum juga membawa perubahan, maka pada saat itu pertanda Sang Ratu
Adil akan segera muncul untuk membenahi bangsa.
Lebih lanjut isi kitab itu menjelaskan, bahwa Sang Ratu Adil mempunyai ciri
dan tanda khusus. Dia adalah seorang hamba Tuhan yang latar belakang munculnya
bukan atas kehendak bangsa, tapi semata-mata atas kemauan Tuhan. Dia terpisah dari
tahta kekuasaan, hadir ke bumi semata-mata untuk merubah zaman. Ketika kondisi
6
bangsa kacau balau, situasi politik tidak menentu, kondisi ekonomi terpuruk, prilaku
maksiat menyebar di mana-mana, dan nilai-nilai moral sudah ditinggalkan, maka pada
saat itu ia akan hadir menata nilai-nilai kehidupan sesuai dengan norma-norma bangsa.
Sekarang kondisi bangsa kita nampaknya hampir terpuruk pada semua tatanan
kehidupan. Ini pertanda bahwa kehadiran Sang Ratu Adil akan segera muncul. Tokoh
yang bakal merubah zaman itu segera menata bangsa ini dengan kekuatan yang
dianugerahkan Tuhan. Tidak diketahui kapan waktunya, yang mengerti hanya dia dan
Tuhannya. Dia sosok hamba yang tersembunyi di balik 'naungan' Tuhan. Dilahirkan
dari keturunan terhormat. Tidak dipilih dan tidak pula memiliki tahta sebagaimana yang
digambarkan orang. Tahtanya sunyi senyap. Belatentaranya “ghaib” dan benderanya
“kebaikan”. Pada saat dimunculkan oleh Tuhan, maka pada saat itu pula bangsa ini
mulai merambah menuju kea rah perbaikan. Seluruh tatanan kehidupan bernegara
tertata dengan sendirinya, hingga bangsa ini merasa hidup aman dan tenteram.
Karakteristik akhlak dan perilakunya adalah takwa yaitu selalu taat dan tidak
pernah melanggar aturan Tuhan. Dia seorang pemberani, tidak takut menghadapi
tantangan dan kesulitan. Ia akan tampil terdepan dan bertanggungjawab untuk
menyelamatkan bangsa. Memiliki kekuatan bathin atau penglihatan mata hati yang
tajam, yang dengan kekuatan itu ia dapat menembus semua tatanan kehidupan.
Hubungannya dengan sesama makhluk bersifat pemurah dan kasih sayang. Cinta
kasihnya sesema umat melebihi cinta terhadap dirinya sendiri. Bersikap adil dalam
segala hal, tanpa pandang bulu. Keadilannya merata pada semua makhluk, tanpa
dibatasi dan dipengaruhi oleh sekat-sekat sosial dan budaya. Meskipun ia memiliki
kelebihan, tapi tetap merendah dan tidak pernah sombong. Dia tidak mengharapkan
pujian. Tidak pernah bangga bila dipuji dan tidak pernah rugi atau kecewa bila dihina.
Tidak punya tendensi politis dan ekonomis. Ia berbuat ikhlas untuk bangsa semata-mata
karena Tuhannya.
Pada sisi pribadinya yang lain, ia adalah seorang tokoh piningit (tersembunyi)
yang amanah dan jujur. Ia seorang yang dapat dipercaya dan bertanggungjawab, serta
jujur dalam tindakan dan perkataan. Setiap tindakannya merupakan suri tauladan. Dan
setiap yang mendengarkan ucapannya akan membekas di hati dan mempengaruhi
prilaku. Demikianlah sosok pribadi Sang Ratu Adil alias Satrio Piningit itu. Jadi
ringkasnya, ia bukanlah sosok manusia biasa, tapi seorang hamba yang dianugerahkan
oleh Tuhan dengan berbagai kelebihan, baik lahir maupun bathin.
7
2.3 Perkembangan Mitos Ratu Adil
Istilah milenarisme mencakup berbagai macam gerakan revolusioner primitif
yang kerap kali muncul dikalangan bangsa atau golongan yang kurang berpendidikan.
Penganut gerakan milenaristis percaya bahwa akan segera tiba masyarakat yang
seluruhnya baru yang akan melenyapkan kekurangan yang ada sekaligus. Dalam hal ini
kita menghadapi harapan akan kebahagiaan yang sangat naif, keyakinan buta akan
tibanya seorang juru selamat yang akan membawa langit serta bumi baru.
Di Indonesia milenarisme sudah dikenal. Gejala ini sudah terdapat dalam
periode Jawa-Hindu dalam sejarah Indonesia. Kebanyakan gerakan milenaristis di
Indonesia mesianistis sifatnya, yaitu orang percaya bahwa akan tercipta suatu negara
bahagia oleh seorang juru selamat adikodrati atau mesias. Sang mesias dalam tradisi
milenarisme Jawa adalah tokoh yang dikenal sebagai Ratu Adil, yang pada suatu ketika
akan datang membawa kemerdekaan dan kemakmuran yang berlimpah.
Gambaran tentang juru selamat yang menjadi raja sudah lama kita dapati dalam
sejarah Jawa. Schrieke memberi banyak contoh dalam sastra klasik Jawa-Hindu tentang
raja-raja yang dianggap sebagai juru selamat. Kebanyakannya sebagai penjelmaan
Dewa Wishnu. Ramalan yang paling terkenal tentang datangnya seorang Ratu Adil
adalah ramalan Jayabaya, yang dinyatakan berasal dari raja abad ke-12 yang memakai
nama yang sama dari kerajaan Kediri. Ramalan-ramalan Jayabaya muncul dalam paruh
kedua abad yang lalu, dengan banyak macam versinya.
Selanjutnya gerakan milenarisme di Indonesia mempunyai ciri yang dalam
kepustakaan tentang gerakan sosial primitive yang disebut juga dengan istilah
“Nativisme”. Pengertian ini mencakup berbagai gejala yang menunjukkan adanya
kebencian yang kuat terhadap penguasa asing yang dianggap bertanggung jawab akan
keruntuhan masyarakat yang sekarang berlangsung dan hasrat untuk kembali kepada
masyarakat masa sebelum tibanya orang asing yang biasanya sangat diidamkan.
Di Jawa hasrat nativistis akan pemulihan masyarakat tradisional ini tertuju pada
kerajaan-kerajaan Jawa dahulu kala. Kebencian terhadap penjajah asing ada kalanya
menghasilkan upaya-upaya bersenjata untuk mengusir mereka, tetapi karena persiapan
yang buruk upaya tersebut selalu gagal. Milenarisme Indonesia juga telah mengalami
pengaruh Islam yang kuat. Agama Islam mengenal ajaran eskatologi yang menyatakan
bahwa masyarakat yang sempurna akan dibawa oleh mesias Islam, Sang Mahdi.
8
Harapan akan kedatangan Mahdi telah merasuk agak dini, kira-kira sejak abad tujuh
belas, dan berbaur dengan ajaran dan harapan-harapan Hindu-Jawa.
Di Indonesia perbauran antara gerakan milenaristis dan gerakan sosial modern
muncul dalam gerakan Serekat Islam, yang pada dasarnya memperlihatkan sifat-sifat
milenaristis yang kuat, seraya di “bangunan atas” ia merupakan gerakan yang modern
dan rasional walaupun tidak merupakan gerakan sosial yang revolusioner. Seperti telah
dikemukakan bahwa dalam tradisi Jawa yang milenaristis tokoh mesias-raja
memainkan peranan penting. Hal ini kita lihat juga dalam milenarisme yang terjalin
dalam Serikat Islam di Jawa.
Harapan yang ditimbulkan atau digerakkan oleh Serikat Islam akan datangnya
mesias-raja kebanyakan tertuju kepada keraton Surakarta. Kenyataan bahwa Serikat
Islam timbul di ibukota kerajaan ini memainkan peranan yang sangat penting. Harapan
mesianistis dalam rangka Serekat Islam sesungguhnya tidak hanya tertuju kepada
Susuhunan Surakarta. Beberapa kali kita jumpai pula contoh tentang harapan yang
tertuju pada Mangkunegara. Residen Surakarta menyatakan bahwa pada kongres
Serekat Islam di Surakarta pada tahun 1913, tersebar desas-desus bahwa H. Samanhudi
bertindak sebagai utusan susuhunan disana, hal yang sama pula terjadi dengan
beredarnya cerita tentang Tjokroaminoto di sekitar Sidoarjo, daerah Surabaya.
Pemimpin-pemimpin Serekat Islam kadang-kadang menjadi tumpuan harapan
mesianistis. Hal ini terutama berlaku bagi Tjokroaminoto. Juga Goenawan
menimbulkan harapan demikian pada rakyat Sumatra Selatan. Mengenai
Tjokroaminoto sendiri, Bupati Surabaya menyebutkan dalam suatu nota tentang
gerakan Serekat Islam: keterangan saksi yang menyatakan bahwa Tjokroaminoto
sebagai “raja” Serekat Islam. Dalam kedudukan ini orang menghubungkannya dengan
raja yang akan datang yang menurut ramalan Jayabaya pasti akan tiba. Di Jawa Barat
diumumkan bahwa Tjokroaminoto-lah yang akan menjadi raja Jawa yang baru. Juga
terdapat suatu laporan saksi mata tentang bagaimana Tjokroaminoto disambut oleh
rakyat Situbondo dan sekitarnya, diJawa Timur yang memberikan kesan kuat bahwa
Sang juru selamat-lah yang disambut, bukan pemimpin utama Serekat Islam. Laporan
ini dibuat oleh H. Agus Salim. Bagaimana reaksi sikap pemimpin Serekat Islam
terhadap gejala milenaristis dalam gerakan tersebut..?? Pada umumnya mereka
menolak. Laporan H. Agus Salim tentang penyambutan Tjokroaminoto oleh rakyat
Situbondo merupakan bukti bahwa Tjokroaminoto tidak menerima peranan mesias
yang diberikan orang kepadanya.
9
Dalam pidatonya pada kongres di Bandung tahun 1916 Tjokroaminoto berkata,
“walaupun hati kita penuh dengan harapan dan hasrat yang agung, tidak pernah kita
bermimpi akan datangnya seorang ratu adil, atau keadaan-keadaan lain yang mustahil.”
Pada kesempatan yang sama seorang pemimpin Serekat Islam yang lain
memperingatkan rakyat agar jangan mempercayai omongan para propagandis
milenaristis. Mereka mengingatkan kepada suatu pemberontakan milenaristis terkenal
“yang banyak menumpahkan darah orang yang tidak berdosa.” (pemberontakan
Gedangan, 1904 disekitar Sidoarjo, Jawa Timur) Redaksi Kaoem Moeda pada bulan
oktober 1914 memperingatkan pengaruh yang merusak dari suatu tulisan milenaristis
Islam yang tersebar disekitar Manonjaya (Priangan), dan dengan tegas menyatakan
bahwa Serekat Islam tidak punya urusan apa-apa dengan Tjokroaminoto masalah ini.
2.4 Konsep keadilan dalam masyarakat
2.4.1 Pengertian Keadilan
Keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia.
Kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara kedua ujung ekstrem yang terlalu
banyak dan terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrem itu menyangkut dua orang atau benda.
Bila kedua orang tersebut mempunyai dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka
masing-masing orang harus memperoleh benda atau hasil yang sama. Kalau tidak sama,
maka masing-masing orang akan menerima bagian yang tidak sama. Sedangkan
pelanggaran terhadap proporsi tersebut berarti ketidakadilan.
Menurut Socrates keadilan tercipta bilamana warga negara sudah merasakan
bahwa pihak pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan baik. Menurut pendapat
yang lebih umum dikatakan bahwa keadilan itu adalah pengakuan dan perlakuan yang
seimbang antara hak dan kewajiban. Keadilan terletak pada keharmonisan menuntut hak
dan menjalanan kewajiban atau dengan kata lain keadilan adalah keadaan bila setiap
orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan setip orang memperoleh bagian yang
sama dari kekayaan bersama.
Bung Hatta dalam uraiannya mengenai sila “Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia” menulis sebagai berikut “Keadilan sosial adalah langkah yang
menentukan untuk melaksanakan Indonesia yang adil dan makmur. Selanjutnya
diuraikan bahwa para pemimpin Indonesia yang menyusun UUD ’45 percaya bahwa
cita-cita keadilan sosial dalam bidang ekonomi ialah dapat mencapai kemakmuran
yang merata.
10
2.4.2 Macam-macam keadilan
Berbagai macam kadilan diantaranya :
Keadilan legal atau keadilan moral
Plato berpendapat bahwa keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum
dari masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam suatu masyarakat
yang adil setiap orang menjalankan yang menurut sifat dasarnya paling cocok
baginya. Pendapat plato itu disebut keadilan moral sedangkan, Sunoto menyebutnya
keadilan illegal
Keadilan Distributif
Aristoteles berpendapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama
diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama.
Keadilan Komutatif
Keadilan ini bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum.
2.5 Peran Ratu Adil dalam tercapainya keadilan masyarakat
Ratu adil merupakan sosok pemimpin yang memiliki sifat-sifat kepemimpinan
yang mampu menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran didalam masyarakat. Sifat-
sifat kepemimpinan tersebut adalah sifat adil dalam memperlakukan masyarakat
walaupun terdapat perbedaan pangkat dan derajat didalamnya, bijaksana dalam
mengambil sebuah keputusan, jujur dalam menjalankan pemerintahan serta mampu
mengayomi masyarakatnya. Sehingga dari sifat-sifat tersebut masyarakat akan tunduk
dan patuh terhadap peraturan-peraturan yang diberikan. Seperti pada jaman kerajaan
dahulu, bahwa seorang raja bagi masyarakatnya adalah panutan. Setiap perkataan
seorang raja selalu dipatuhi dan dilakukan apa yang diperintahkannya, hingga mucul
istilah “ Sabdha Pandhita Ratu” yaitu apa yang diperintahkan oleh raja maka akan
dilaksanakan oleh rakyatnya. Hal tersebut merupakan cerminan dari seorang pemimpin
yang mampu menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakatnya.
Sehingga rakyat atau masyarakat akan mematuhi semua peraturan pemimpin dan tidak
melakukan pemberontakan apabila seorang pemimpin menjalankan roda pemerintahan
sesuai dengan harapan masyarakat, didalam pemerintahan tersebut tidak terjadi
penyelewengan apakah itu pada dana ataupun sistem pemerintahan.
Peran ratu adil dalam masyarakat sangat dibutuhkan demi terciptanya
keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Mereka membutuhkan seorang
11
pemimpin yang mampu memberikan perlindungan serta mampu merealisasikan aspirasi
rakyatnya. Apabila telah tercapai apa yang diinginkan masyarakat maka kepercayaan
masyarakat terhadap pemimpinnya akan terwujud. Namun pada masa sekarang ini sulit
untuk mencari pemimpin yang memiliki sifat seperti ratu adil. Dalam memimpin
pemerintahannya masih banyak terdapat penyelewengan - penyelewengan terkait
dengan sistematika pemerintahan. Para pejabat pemerintahan yang seharusnya
menjalankan roda pemerintahan dengan jujur, baik dan benar, banyak melakukan
penyelewengan meskipun tidak semua pejabat pemerintahan yang melakukan itu. Hal
ini membuktikan bahwa pemimpin tersebut belum bisa memimpin sebuah pemerintahan
seperti prinsip pemerintahan ratu adil. Sifat kejujuran, keadilan, dan kebijaksanaan
masih belum diterapkan dalam menjalankan pemerintahan. Apabila seorang pemimpin
seperti itu, maka masyarakat akan membangkang perintahnya, serta kepercayaan yang
diberikan akan hilang. Hal ini dibuktikan dengan sering banyaknya terjadi orasi yang
dilakukan masyarakat terkait dengan kebijakan pemerintah yang diturunkan tidak sesuai
dengan harapan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat belum memperoleh
pengayoman, kesejahteraan dan kemakmuran dari pemimpin mereka.
Peran ratu adil merupakan prinsip utama yang harus digunakan oleh seorang
pemimpin apabila kepemimpinan tersebut ingin mendapat kepercayaan dan dukungan
dari masyarakatnya. Sehingga dari kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat, akan
timbul interaksi sosial yang baik antara masyarakat dengan pemimpinnya. Selain itu
untuk melakukan perubahan kedepan menjadi lebih baik akan terwujud karena adanya
kerjasama yang saling mendukung antara rakyat dengan pemimpinnya.
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ratu Adil merupakan suatu faham atau sosok pemimpin yang memiliki sifat
jujur, adil, dan bijaksana dalam melaksanakan pemerintahannya. Dimana pemimpin
tersebut mampu merealiasaikan aspirasi dari rakyatnya. Sehingga rakyat dapat
mematuhi dan melaksanakan peraturan – peraturan yang dibuat pemimpin. Rakyat
merasa pemimpin tersebut dapat mengayomi, melindungi, dan mampu menciptakan
rasa aman, kemakmuran, serta kesejaheraan. Peran ratu adil sangat dibutuhkan dalam
tercapainya keadilan masyarakat, hal ini dikarenakan apa yang diciptakan oleh sosok
ratu adil sinkron terhadap keinginan masyarakat. Sehingga untuk tercapai keadilan dan
terciptanya pemerintahan yang maju, antar pemimpin dan masyarakat dapat saling
mendukung.
13
DAFTAR PUSTAKA
Budiono Herusatoto. 1983. Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogyakarta : Penerbit
PT Hanindita
Clifford Geertz. 1989. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, Jakarta :
Pustaka Jaya
14