isi refert

38
1 BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang ditimbulkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan. Dengan berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun 2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat TB di seluruh dunia (WHO, 2009). Selain itu, pengendalian TB mendapat tantangan baru seperti ko-infeksi TB/HIV, TB yang resisten obat dan tantangan lainnya dengan tingkat kompleksitas yang makin tinggi. Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga DEPKES tahun 1995 menunjukan angka kematian nomor satu dari seluruh golongan penyakit infeksi. WHO memperkirakan (2000) setiap tahun terjadi 583.000 kasus tuberkulosis baru dan kematian mencapai 140.000. Laporan Internasional (1999) bahkan menunjukan Indonesia adalah “penyumbang kasus penderita tuberkulosis terbesar ke tiga di dunia sesudah Cina dan India”. Padahal pada tahun 1980 berdasarkan survei Departemen Kesehatan tergolong empat besar.

Upload: iip-alifatu-zulfah

Post on 19-Jul-2016

4 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Isi Refert

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang ditimbulkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih menjadi

masalah kesehatan masyarakat. Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB

merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan. Dengan berbagai kemajuan

yang dicapai sejak tahun 2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus

baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat TB di seluruh dunia (WHO,

2009). Selain itu, pengendalian TB mendapat tantangan baru seperti ko-infeksi

TB/HIV, TB yang resisten obat dan tantangan lainnya dengan tingkat

kompleksitas yang makin tinggi.

Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga DEPKES tahun 1995 menunjukan

angka kematian nomor satu dari seluruh golongan penyakit infeksi. WHO

memperkirakan (2000) setiap tahun terjadi 583.000 kasus tuberkulosis baru dan

kematian mencapai 140.000. Laporan Internasional (1999) bahkan menunjukan

Indonesia adalah “penyumbang kasus penderita tuberkulosis terbesar ke tiga di

dunia sesudah Cina dan India”. Padahal pada tahun 1980 berdasarkan survei

Departemen Kesehatan tergolong empat besar.

WHO menyatakan bahwa kunci keberhasilan penanggulangan tuberkulosis

adalah menerapkan strategi DOTS. Oleh karena itu pemerintah menggalakan Stop

TB yang baru berdasarkan strategi DOTS dengan standar pelayanan mengacu

pada International Standard for TB Care (ISTC), yang telah teruji ampuh di

berbagai negara. Karena itu, pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang amat

penting agar tuberkulosis dapat ditanggulangi dengan baik

I.2 Tujuan

Secara keseluruhan referat ini bertujuan :

1) Untuk mengetahui TBC dan permasalahannya secara umum.

2) Untuk mengetahui pengertian DOTS dan ISTC.

Page 2: Isi Refert

2

3) Sebagai salah satu tugas untuk memenuhi persyaratan mengikuti

ujian akhir blok (UAB).

I.3 Manfaat

1. Agar mahasiswa lebih mengerti tentang stadar penanganan TB secara

nternasional

2. Memberikan wawasan tambahan pada mahasiswa bagaimana penangan

baku TB.

Page 3: Isi Refert

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tuberkulosis pada Dewasa

Tuberculosis adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim

paru. Tuberculosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, terutama

meningens, ginjal, tulang, dan nodus limfe. Tuberculosis (TB) adalah penyakit

infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dengan gejala

yang bervariasi, akibat kuman Mycobacterium tuberkulosis sistemik sehingga

dapat mengenai semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di paru paru yang

biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Isselbacher, 1999). Kuman batang

aerobik dan tahan asam ini, dapat merupakan organisme patogen dan saprofit. Ada

beberapa mikrobakteri patogen tetapi, hanya strain bovin dan tuberculosa yang

menyerang manusia. (Price, 2006)

Klasifikasi tuberculosis di Indonesia yang banyak dipakai berdasarkan

kelainan klinis, radiologist dan mikrobiologis :

1. Tuberkulosis paru

2.   Bekas tuberkulsis paru

3.   Tuberkulosis paru tersangka.

Tuberkulosis tersangka yang terbagi dalam :

a.       TB paru tersangka yang diobati (sputum BTA negatif, tapi tanda-

tanda lain positif)

b.      TB paru tersangka yang tidak diobati (sputum BTA negatif dan

tanda-tanda lain meragukan) (Aru, 2009)

A. Etiologi

Tuberkulosis disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, sejenis

kuman yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 4 µm dan tebal 0,3

– 0,6 µm dan digolongkan dalam basil tahan asam (BTA). (Aru, 2009. Price,

2006)

B. Epidemiologi

Page 4: Isi Refert

4

Indonesia sekarang berada pada ranking kelima negara dengan beban TB

tertinggi di dunia. Estimasi prevalensi TB semua kasus adalah sebesar

660,000 (WHO, 2010) dan estimasi insidensi berjumlah 430,000 kasus baru

per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61,000 kematian per

tahunnya.

Tabel 1.1 Data WHO terhadap insidensi sakit , prevalensi dan mortalitas

TBC di regio asia tenggara

Indonesia merupakan negara dengan percepatan peningkatan epidemi

HIV yang tertinggi di antara negara-negara di Asia. HIV dinyatakan sebagai

epidemik terkonsentrasi (a concentrated epidemic), dengan perkecualian di

provinsi Papua yang prevalensi HIVnya sudah mencapai 2,5% (generalized

epidemic). Secara nasional, angka estimasi prevalensi HIV pada populasi

dewasa adalah 0,2%. Sejumlah 12 provinsi telah dinyatakan sebagai daerah

prioritas untuk intervensi HIV dan estimasi jumlah orang dengan HIV/AIDS

di Indonesia sekitar 190.000- 400.000. Estimasi nasional prevalensi HIV pada

pasien TB baru adalah 2.8%.

Page 5: Isi Refert

5

Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia

merupakan negara pertama diantara High Burden Country (HBC) di wilayah

WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB untuk

deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun

2009, tercatat sejumlah sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan

diobati (data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi

BTA+. Dengan demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73

per 100.000 (Case Detection Rate 73%). Rerata pencapaian angka

keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan pada

kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut

merupakan tonggak pencapaian program pengendalian TB nasional yang

utama.

Tabel 1.2 data WHO terhadap persentasi penanggulangan TBC di

Indonesia

Meskipun secara nasional menunjukkan perkembangan yang meningkat

dalam penemuan kasus dan tingkat kesembuhan, pencapaian di tingkat

provinsi masih menunjukkan disparitas antar wilayah (Tabel 3). Sebanyak 28

provinsi di Indonesia belum dapat mencapai angka penemuan kasus (CDR)

70% dan hanya 5 provinsi menunjukkan pencapaian 70% CDR dan 85%

kesembuhan.

CDR ≥ 70% CDR < 70%

SR

≥85%

Jabar, Sulut, Maluku, DKI Jakarta, Bali, Sulbar, Babel,

Jateng, Lampung, NTB, Jambi,

Page 6: Isi Refert

6

Sumbar, Kalteng, Jatim, Sulsel,Banten (5)

NAD, Kalsel,Sumsel, Sultra, Kepri, Sumut, Gorontalo, Bengkulu,Kalbar, NTT Kaltim, Sulteng (23)

SR <

85%

Tidak ada Papua Barat, Papua, DIY, Malut, Riau (5)

Tabel 1.3 Pencapaian target pengendalian TB per provinsi 2009

C. Patofisiologi

Individu rentan yang menghirup basil tuberculosis dan terinfeksi. Bakteri

dipindahkan melalui jalan nafas ke alveoli untuk memperbanyak diri, basil

juga dipindahkan melalui system limfe dan pembuluh darah ke area paru lain

dan bagian tubuh lainnya.

Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit

menelan banyak bakteri, limfosit specific tuberculosis melisis basil dan

jaringan normal, sehingga mengakibatkan penumpukkan eksudat dalam

alveoli dan menyebabkan bronkopnemonia. Massa jaringan paru/granuloma

(gumpalan basil yang masih hidup dan yang sudah mati) dikelilingi makrofag

membentuk dinding protektif.

Granuloma diubah menjadi massa jaringan fibrosa, yang bagian

sentralnya disebut komplek Ghon. Bahan (bakteri dan makrofag) menjadi

nekrotik, membentuk massa seperti keju. Massa ini dapat mengalami

klasifikasi, membentuk skar kolagenosa. Bakteri menjadi dorman, tanpa

perkembangan penyakit aktif.

Individu dapat mengalami penyakit aktif karena gangguan atau respon

inadekuat sistem imun, maupun karena infeksi ulang dan aktivasi bakteri

dorman. Dalam kasus ini tuberkel ghon memecah, melepaskan bahan seperti

keju ke bronki. Bakteri kemudian menyebar di udara, mengakibatkan

penyebaran lebih lanjut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih membengkak

mengakibatkan bronkopnemonia lebih lanjut.

Page 7: Isi Refert

7

D.  Manifestasi klinik

Gambaran klinis tuberculosis mungkin belum muncul pada infeksi awal

dan mungkin tidak akan pernah timbul bila tidak terjadi infeksi aktif. Bila

timbul infeksi aktif klien biasanya memperlihatkan gejala : batuk purulen

produktif disertai nyeri dada, demam (biasanya pagi hari), malaise, keringat

malam, gejala flu, batuk darah, kelelahan, hilang nafsu makan dan penurunan

berat badan.

E. Tanda dan Gejala

1.      Tanda

a.       Penurunan berat badan

b.      Anoreksia

c.       Dispneu

d.      Sputum purulen/hijau, mukoid/kuning.

2.      Gejala

a.       Demam

Biasanya menyerupai demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi

oleh daya  tahan tubuh penderita dengan berat-ringannya infeksi kuman

TBC yang masuk.

b.      Batuk

Terjadi karena adanya infeksi pada bronkus. Sifat batuk dimulai dari

batuk kering  kemudian setelah timbul peradangan menjadi batuk

produktif (menghasilkan  sputum). Pada keadaan lanjut berupa batuk

darah karena terdapat pembuluh darah  yang pecah. Kebanyakan batuk

darah pada ulkus dinding bronkus.

c.       Sesak nafas.

Sesak nafas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut dimana

infiltrasinya sudah setengah bagian paru.

d.      Nyeri dada

Timbul bila infiltrasi radang sudah sampai ke pleura (menimbulkan

pleuritis)

e.       Malaise

Page 8: Isi Refert

8

Dapat berupa anoreksia, tidak ada nafsu makan, berat badan turun, sakit

kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam

G. Penatalaksanaan

1.      Pengobatan

Tujuan terpenting dari tata laksana pengobatan tuberkulosis adalah

eradikasi cepat M. tuberculosis, mencegah resistensi, dan mencegah

terjadinya komplikasi.

Jenis dan dosis OAT :

a.       Isoniazid (H)

Isoniazid (dikenal dengan INH) bersifat bakterisid, efektif terhadap

kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang

berkembang. Efek samping yang mungkin timbul berupa neuritis

perifer, hepatitis rash, demam Bila terjadi ikterus, pengobatan dapat

dikurangi dosisnya atau dihentikan sampai ikterus membaik. Efek

samping ringan dapat berupa kesemutan, nyeri otot, gatal-gatal. Pada

keadaan ini pemberian INH dapat diteruskan sesuai dosis.

b.      Rifampisin (R)

Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dorman (persisten).

Efek samping rifampisin adalah hepatitis, mual, reaksi demam,

trombositopenia. Rifampisin dapat menyebabkan warnam merah atau

jingga pada air seni dan keringat, dan itu harus diberitahukan pada

keluarga atau penderita agar tidak menjadi cemas. Warna merah

tersebut terjadi karena proses metabolism obat dan tidak berbahaya.

c.       Pirazinamid (P)

Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel

dengan suasana asam. Efek samping pirazinamid adalah

hiperurikemia, hepatitis, atralgia.

d.      Streptomisin (S)

Bersifat bakterisid, efek samping dari streptomisin adalah nefrotoksik

dan kerusakan nervus kranialis VIII yang berkaitan dengan

keseimbangan dan pendengaran.

Page 9: Isi Refert

9

e.       Ethambutol (E)

Bersifat bakteriostatik, ethambutol dapat menyebabkan gangguan

penglihatan berupa berkurangnya ketajaman penglihatan, buta warna

merah dan hijau, maupun optic neuritis (Aru, 2006).

2.      Pembedahan

Dilakukan jika pengobatan tidak berhasil, yaitu dengan mengangkat

jaringan paru yang rusak, tindakan ortopedi untuk memperbaiki kelainan

tulang, bronkoskopi untuk mengangkat polip granulomatosa tuberculosis

atau untuk reseksi bagian paru yang rusak.

3.      Pencegahan

Menghindari kontak dengan orang yang terinfeksi basil tuberkulosis,

mempertahankan status kesehatan dengan asupan nutrisi adekuat, minum

susu yang telah dilakukan pasteurisasi, isolasi jika pada analisa sputum

terdapat bakteri hingga dilakukan pengobatan, pemberian imunisasi BCG

untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi oleh basil

tuberkulosa (Isselbacher, 1999)

II.2 Permasalahan Pengobatan TB Paru

Banyak faktor yang mempengaruhi keberadaan penyakit ini disamping faktor

medis faktor sosio, ekonomi dan budaya sifat dan prilaku orang terhadap penyakit

ini sangat mempengaruhi keberhasilan dalam penanggulangan penyakit ini.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengobatan:

1) Faktor sarana

a. Tersedianya obat yang cukup dan kontinue

b. Oedikasi petugas pelayanan kesehatan

c. Pemberian regimen OAT yang adekuat

2) Faktor penderita ( yanf ditentukan oleh )

a. Pengetahuan penderita yang cukup mengenai TB paru, cara pengobatan

dan bahaya akibat berobat tidak adekuat

Page 10: Isi Refert

10

b. Menjaga kondisi tubuh yang baik dengan makanan yang bergizi, cukup

istirahat, tidur teratur dan tidak minum alkohol atau merokok

c. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan dengan tidak membuang dahak

sembarangan, bila batuk menutup mulut dengan saputangan, jendela yang

cukup besar untuk mendapat lebih banyak sinar matahari

d. Tidak perlu merasa rendah diri atau hina karena TB paru adalah penyakit

infeksi biasa yang dapat disembuhkan bila berobat dengan benar.

e. Kesadaran dan tekad penderita untuk sembuh

3) Faktor Keluarga Masyarakat atau Lingkungan

a. Dukungan keluarga sangat mendukung keberhasilan seseorang dengan

selalu mengingatkan penderita agar makan obat, pengertian yang dalam

terhadap penderita yang sedang sakit dan memberi semangat agar tetap

rajin berobat.

Faktor-faktor lain menurut dr. Erina burhan adalah

a. Penyedia pelayanan kesehatan:Buku paduan yang tidak sesuai.

1) Tidak mengikuti paduan yang tersedia.

2) Tidak memiliki paduan.

3) Pelatihan yang buruk.

4) Tidak terdapatnya pemantauan program pengobatan.

5) Pendanaan program penanggulangan TB yang lemah.

b. Obat: Penyediaan atau kualitas obat tidak adekuat.

1) Kualitas obat yang buruk.

2) Persediaan obat yang terputus.

3) Kondisi tempat penyimpanan yang tidak terjamin.

4) Kombinasi obat yang salah atau dosis yang kurang.

c. Pasien: Kepatuhan pasien yang kurang.

1) Kepatuhan yang kurang.

2) Kurangnya informasi.

3) Kekurangan dana (tidak tersedia pengobatan cuma-cuma).

4) Masalah transportasi.

5) Masalah efek samping.

6) Masalah sosial.

Page 11: Isi Refert

11

7) Malabsorpsi.

8) Ketergantungan terhadap substansi tertentu

(Annisa, 2010)

II.3 Strategi DOTS dan ISTC

Keberhasilan upaya penanggulangan TB diukur dengan kesembuhan

penderita. Kesembuhan ini selain dapat mengurangi jumlah penderita juga

mencegah terjadinya penularan. Oleh karena itu, untuk menjamin kesembuhan,

obat harus tersedia di setiap tempat dan setiap saat, selama periode pengobatan,

obat harus diminum dan penderita harus diawasi secara ketat oleh keluarga

maupun teman sekelilingnya dan jika memungkinkan dipantau oleh petugas

kesehatan agar terjamin kepatuhan penderita minum obat. Upaya menjamin

kesembuhan ini memerlukan teknologi tersendiri. Teknologi yang sudah

dipergunakan diberbagai negara dan telah menunjukkan hasil yang

menggembirakan adalah strategi DOTS (directly observed treatment, short-

course). Strategi ini dikembangkan sejak tahun 1993, dan telah terbukti cukup

efektif dalam menyembuhkan penderita TB di beberapa negara (Idris, 2004).

Di Indonesia, konsep strategi DOTS telah diterapkan sejak tahun 1995

(Depkes, 2002). Saat ini pelaaksanaan strategi DOTS melalui sarana pelayanan

kesehatan pemerintah sedang dikembangkan. Di puskesmas-puskesmas yang

sudah menjalankan DOTS, secara keseluruhan komponen-komponen DOTS

sudah dijalankan, termasuk ketersediaan obat secara gratis (Idris, 2004).

Strategi DOTS terdiri dari lima komponen, yaitu:

1. Komitmen bersama untuk mengobati TB (terutama komitmen politik)

2. Penemuan penderita atau diagnosis TB dimulai dengan pemeriksaan

sputum secara mikroskopis langsung

3. Adanya pengawas menelan obat ( PMO )

4. Jaminan kelangsungan penyediaan obat

5. Pencatatan dan pelaporan yang baku dalam memantau dan mengukur hasil

pengobatan TB (WHO, 2005)

1) Komitmen

Page 12: Isi Refert

12

Komitmen berarti keterikatan untuk melakukan sesuatu (Depdikbud

RI, 1988). Dalam menjalankan strategi DOTS, komitmen merupakan

komponen yang pertama. Komitmen yang dimaksud adalah komitmen

dari seluruh pelaksana strategi DOTS. Untuk membangun komitmen

bersama, departemen kesehatan telah membentuk gerakan Terpadu

Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (Depkes, 2011).

Gerakan terpadu Nasional Tuberkulosis adalah satu gerakan multi

sektor dan multikoponen dalam masysarakat yang terkait dalam P2TB

(Depkes RI, 2000 . Gerdunas TB, 2000). Upaya penanggulangan TB

dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan

Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum lintas sektor

dibawah koordinasi Menko Kesra. Menteri Kesehatan R.I. sebagai

penanggung jawab teknis upaya penanggulangan TB (Depkes, 2006).

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 203/Menkes/ SK/ III/1999

tentang Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis.

2) Diagnosis dengan Pemeriksaan Sputum

Hampir sebagian besar dokter memerlukan sarana rontgen untuk

menegakkan diagnosa TB. Sebagian besar dokter menganggap bahwa

rotgen adalah sarana diagnosis yang utama, dan sebaliknya sputum

adalah pelengkap (idris,2004). Padahal secara etiologis, diagnosis TB

dengan sputum memiliki kesahihan dan tingkat kepercayaan yang jauh

lebih tinggi.

Diagnosis TB melalui pemeriksaan kultur atau biakan dahak

merupakan metode baku emas. Namun, pemeriksaan kultur

memerlukan waktu lebih lama (paling cepat sekitar 6 minggu) dan

mahal. Pemeriksaan 3 spesimen (SPS) dahak secara mikroskopis

nilainya identik dengan pemeriksaan dahak secara kultur atau biakan.

Pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan pemeriksaan yang paling

efisien, mudah, murah, bersifat spesifik, sensitif dan dapat

dilaksanakan di semua unit laboratorium. (Annisa, 2010)

Untuk mendukung kinerja program, diperlukan ketersediaan

Laboratorium Tuberkulosis dengan pemeriksaan dahak mikroskopis

Page 13: Isi Refert

13

yang terjamin mutunya dan terjangkau di seluruh wilayah Indonesia

(Depkes, 2006)

3) Pengawas Minum Obat (PMO)

Permasalahan utama dalam program eliminasi TB adalah

ketidakpatuhan penderita untuk minu obat. Untuk mengatasi hal ini

WHO mengembangkan metode DOTS (Idris, 2004). Salah satu

komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek

dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan

pengobatan diperlukan seorang PMO.

a. Persyaratan PMO

i. Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh

petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani

dan dihormati oleh pasien.

ii. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.

iii. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

iv. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-

sama dengan pasien

b. Siapa yang bisa menjadi PMO

i. Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan

di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan

lain lain.

ii. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan,

PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota

PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota

keluarga.

c. Tugas seorang PMO.

i. Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur

sampai selesai pengobatan.

ii. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.

iii. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada

waktu yang telah ditentukan ( Depkes, 2006 ).

4) Jaminan ketersediaan obat

Page 14: Isi Refert

14

Paduan obat yang efektif merupakan elemen pokok dari strategi DOTS

yang dapat menjamin kesembuhan penderita Tbdan mencegah MDR (

multidrug resistance ). Dan untuk itu diperlukan jaminan kelangsungan

ketersediaan obat (Idris, 2004).

Upaya pemerintah meningkatkan mutu pelayanan dan menjamin

ketersediaan obat dan sarana lainnya.

a. Peningkatan manajemen manajemen OAT dan sarana lainnya di

kab/kota dan UPK.

b. Faktor yang paling berpengaruh dalam meningkatkan mutu kerja

petugas pelaksana program, termasuk mutu kinerja laboratorium.

c. Faktor-faktor yang menjamin kepuasan pasien dalam memperoleh

pelayanan di UPK DOTS. (Depkes,2006)

5) Pencatatan dan pelaporan

Pemantauan yang baik dalam hal deteksi kasus,manajemen kasus dan

hasil pengobatan merupakan faktor penting untuk menjamin kualitas

P2TB. Untuk melaksanakan pemantauan, diperlukan suatu

sistempencatatan dan pelaporan baku yang dilaksanakan dengan baik

dan benar. Hasil pemantauan sangat diperlukan untuk mengevaluasi

kinerja dari P2TB.

Sistem pencatatan dan pelaporan program TB nasional dikembangkan

mengacu pedoman internasional dari WHO dengan TB03 sebagai

register utama yang dikelola oleh wasor kabupaten/kota sebagai

penanggung jawab. Meskipun pencatatan dan pelaporan dari tingkat

fasilitas pelayanan kesehatan ke pusat telah semakin membaik,

rekapitulasi data tahun 2009 masih menunjukkan beberapa

permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi ketepatan waktu

pelaporan, kelengkapan data, akurasi data (misalnya tidak mengikuti

kaidah dalam penutupan data, registrasi ganda) serta kemampuan

untuk memilah berdasarkan jenis fasilitas pelayanan kesehatan.

Masalah yang lebih spesifik dalam pencatatan pelaporan antara lain

format TB 12 dan TB 13 yang belum standar, surveilans TB-HIV

yang masih lemah, demikian pula surveilans rumah sakit dan sektor

Page 15: Isi Refert

15

swasta lainnya. Selain itu analisis data dan indikator program di

beberapa daerah juga masih lemah. Meskipun berbagai perbaikan

sistem telah mulai diujicoba, yaitu penyempurnaan TB elektronik,

pengisian dan distribusi data berbasis web, otomatisasi software, akan

tetapi inovasi ini masih membutuhkan investasi waktu, tenaga dan

biaya yang cukup besar sebelum dapat diterapkan secara optimal.

Pertemuan monitoring dan evaluasi yang diselenggarakan setiap

triwulan di hampir seluruh provinsi dan kabupaten/kota memberikan

kontribusi terhadap perbaikan manajemen data dan monitoring kinerja

program. Depkes RI menetapkan indikato-indikator nasional yang

dipergunakan untuk mengevaluasi kinerja P2TB, yaitu: angka

penemuan penderita (case detection rate), angka kesembuhan ( cure

rate), angka konversi (convertion rate) dan anka kesalahan

laboratorium ( eror rate) (Idris, 2004).

Banyak kemajuan telah dicapai dalam perluasan program pengendalian TB

nasional, namun penatalaksanaan TB di sebagian besar rumah sakit dan praktik

swasta belum sesuai dengan strategi DOTS dengan penerapan standar pelayanan

berdasar International Standards for Tuberculosis Care (ISTC). ISTC merupakan

serangkaian standar yang digunakan secara internasional yang diharapkan dapat

digunakan oleh semua praktisi medis, baik swasta maupun pemerintah. ISTC

menunjang peningkatan pelayanan terhadap pasien TB dengan strategi DOTS oleh

para pemberi layanan kesehatan (Depkes,2011).

Organisasi profesi pada saat ini telah merekomendasikan ISTC sebagai

standar untuk penatalaksanaan TB bagi seluruh anggotanya. Di tingkat nasional

dan provinsi telah dibentuk kelompok kerja ISTC untuk penguatan kebijakan dan

implementasinya. Pada periode ini (2011–2014), intervensi terfokus pada

implementasi ISTC melalui kelompok kerja ISTC di semua tingkatan melalui

cabang-cabang organisasi profesi.

Sosialisasi ISTC versi kedua kepada tenaga kesehatan di berbagai fasilitas

pelayanan kesehatan terutama dokter spesialis, dokter umum dan perawat akan

ditingkatkan intensitas dan efektivitasnya. Selain mensosialisasikan ISTC secara

Page 16: Isi Refert

16

langsung kepada penyedia pelayanan, diseminasi ISTC juga akan dilakukan oleh

rumah dan fasilitas pelayanan kesehatan yang telah terlibat dalam inisiatif PPM.

Pelatihan berbasis kasus dan pelatihan berbasis komputer (computer-based

training) akan dikembangkan. Untuk mempersiapkan calon tenaga kesehatan di

masa mendatang, ISTC akan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan dan

pendidikan berkelanjutan, khususnya bagi tenaga kesehatan dokter dan perawat.

Model sertifikasi pelatihan ISTC untuk para praktisi swasta akan dikembangkan

untuk proses perijinan.

Penilaian efektivitas pelatihan tersebut akan diintegrasikan dengan kegiatan

monitoring dan evaluasi penerapan ISTC di berbagai fasilitas pelayanan

kesehatan. Sistim monitoring dan evaluasi pelaksanaan ISTC tersebut perlu

dikembangkan oleh organisasi profesi (Depkes,2006)

Pada tahun 2007, organisasi-organisasi profesi secara resmi sudah

mengesahkan ISTC sebagai standar pelayanan TB. UU Nomor 4/1984

mewajibkan seluruh fasilitas pelayanan kesehatan umum dan swasta untuk

melaporkan kejadian penyakit menular prioritas kepada pihak yang berwenang,

dalam hal ini dinas kesehatan setempat (Depkes, 2011).

ISTC tidak hanya mencakup panduan penatalaksanaan kasus TB nonresisten,

namun juga mencakup panduan untuk pencegahan TB MDR. Panduan

pencegahan TB MDR ini telah dijelaskan dalam standard 14, di mana pada semua

pasien seharusnya dilakukan penilaian kemungkinan resistensi obat berdasarkan

riwayat pengobatan terdahulu, pajanan dengan sumber yang mungkin resisten,

dan prevalensi resistensi obat dalam masyarakat.

Pasien gagal pengobatan dan kasus kronik juga harus selalu dipantau

kemungkinan resistensi obatnya. Untuk pasien dengan kemungkinan resistensi

obat, biakan dan uji sensitiviti obat terhadap isoniazid, rifampisin, dan etambutol

seharusnya dilaksanakan segera. Jika penanganan TB dilakukan dengan benar

sesuai dengan standard ISTC dan memakai strategi DOTS maka kemungkinan

untuk terjadi MDR akan sangat kecil.

Berikut adalah standar-standar ISTC

Page 17: Isi Refert

17

INTERNATIONAL STANDARDS FOR TUBERCULOSIS CARE

STANDARD UNTUK DIAGNOSIS

Standard 1

Setiap orang dengan batuk produktif selama 2-3 minggu atau lebih, yang

tidak jelas penyebabnya, harus dievaluasi untuk tuberkulosis.

*) Lihat addendum

Standard 2

Semua pasien (dewasa, remaja dan anak yang dapat mengeluarkan dahak)

yang diduga menderita tuberkulosis paru harus menjalani pemeriksaan dahak

mikroskopik minimal 2 dan sebaiknya 3 kali. Jika mungkin paling tidak satu

spesimen harus berasal dari dahak pagi hari.

Standard 3

Pada semua pasien (dewasa, remaja dan anak) yang diduga menderita

tuberkulosis ekstraparu, spesimen dari bagian tubuh yang sakit seharusnya

diambil untuk pemeriksaan mikroskopik dan jika tersedia fasiliti dan sumber

daya, dilakukan pemeriksaan biakan dan histopatologi.

*) Lihat addendum

Standard 4

Semua orang dengan temuan foto toraks diduga tuberculosis seharusnya

menjalani pemeriksaan dahak secara mikrobiologi.

Standard 5

Diagnosis tuberkulosis paru sediaan apus dahak negatif harus didasarkan

kriteria berikut : minimal pemeriksaan dahak mikroskopik 3 kali negatif

(termasuk minimal 1 kali dahak pagi hari); temuan foto toraks sesuai tuberkulosis

dan tidak ada respons terhadap antibiotika spektrum luas (Catatan :

fluorokuinolon harus dihindari karena aktif terhadap M.tuberkulosis complex

sehingga dapat menyebabkan perbaikan sesaat pada penderita tuberkulosis).

Untuk pasien ini, jika tersedia fasiliti, biakan dahak seharusnya dilakukan. Pada

pasien yang diduga terinfeksi HIV evaluasi diagnostik harus disegerakan.

Standard 6

Page 18: Isi Refert

18

Diagnosis tuberkulosis intratoraks (yakni, paru, pleura dan kelenjar getah

bening hilus atau mediastinum) pada anak dengan gejala namun sediaan apus

dahak negatif seharusnya didasarkan atas kelainan radiografi toraks sesuai

tuberkulosis dan pajanan kepada kasus tuberkulosis yang menular atau bukti

infeksi tuberkulosis (uji kulit tuberkulin positif atau interferron gamma release

assay). Untuk pasien seperti ini, bila tersedia fasiliti, bahan dahak seharusnya

diambil untuk biakan (dengan cara batuk, kumbah lambung atau induksi dahak).

*) Lihat addendum

STANDARD UNTUK PENGOBATAN

Standard 7

Setiap praktisi yang mengobati pasien tuberkulosis mengemban tanggung

jawab kesehatan masyarakat yang penting. Untuk memenuhi tanggung jawab ini

praktisi tidak hanya wajib memberikan paduan obat yang memadai tapi juga harus

mampu menilai kepatuhan pasien kepada pengobatan serta dapat menangani

ketidakpatuhan bila terjadi. Dengan melakukan hal itu, penyelenggara kesehatan

akan mampu meyakinkan kepatuhan kepada paduan sampai pengobatan selesai.

Standard 8

Semua pasien (termasuk mereka yang terinfeksi HIV) yang belum pernah

diobati harus diberi paduan obat lini pertama yang disepakati secara internasional

menggunakan obat yang biovalibilitinya telah diketahui. Fase awal seharusnya

terdiri dari isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Etambutol boleh

dihilangkan pada fase inisial pengobatan untuk orang dewasa dan anak dengan

sediaan hapus dahak negatif, tidak menderita tuberkulosis paru yang luas atau

penyakit ekstraparu yang berat, serta telah diketahui HIV negatif. Fase lanjutan

yang dianjurkan terdiri dari isoniazid dan rifampisin diberikan selama 4 bulan.

Isoniazid dan etambutol selama 6 bulan merupakan paduan alternatif pada fase

lanjutan yang dapat dipakai jika kepatuhan pasien tidak dapat dinilai, akan tetapi

hal ini berisiko tinggi untuk gagal dan kambuh , terutama untuk pasien yang

terinfeksi HIV. Dosis obat antituberkulosis yang digunakan harus sesuai dengan

rekomendasi internasional. Kombinasi dosis tetap yang terdiri kombinasi 2 obat

(isoniazid dan rifampisin), 3 obat (isoniazid, rifampisin dan pirazinamid), dan 4

Page 19: Isi Refert

19

obat(isoniazid, rifampisin, pirazinamid dan etambutol) sangat direkomendasikan

terutama jika menelan obat tidak diawasi.

*) Lihat addendum

Standar 9

Untuk membina dan menilai kepatuhan (adherence) kepada pengobatan, suatu

pendekatan pemberian obat yang berpihak kepada pasien, berdasarkan kebutuhan

pasien dan rasa saling menghormati antara pasien dan penyelenggara kesehatan,

seharusnya dikembangkan untuk semua pasien. Pengawasan dan dukungan

seharusnya sensitif terhadap jenis kelamin dan spesifik untuk berbagai usia dan

harus memanfaatkan bermacam-macam intervensi yang direkomendasikan serta

layanan pendukung yang tersedia, termasuk konseling dan penyuluhan pasien.

Elemen utama dalam strategi yang berpihak kepada pasien adalah penggunaan

cara-cara menilai dan mengutamakan kepatuhan terhadap paduan obat dan

menangani ketidakpatuhan, bila terjadi.

Cara-cara ini seharusnya dibuat sesuai keadaan pasien dan dapat diterima

oleh kedua belah pihak, yaitu pasien dan penyelenggara pelayanan. Cara-cara ini

dapat mencakup pengawasan langsung menelan obat (directly observed therapy -

DOT) oleh pengawas menelan obat yang dapat diterima dan dipercaya oleh pasien

dan sistem kesehatan.

Standard 10

Semua pasien harus dimonitor responsnya terhadap terapi; penilaian terbaik

pada pasien tuberkulosis ialah pemeriksaan dahak mikroskopik berkala (dua

spesimen) paling tidak pada waktu fase awal pengobatan selesai (dua bulan), pada

lima bulan, dan pada akhir pengobatan. Pasien dengan sediaan apus dahak positif

pada pengobatan bulan kelima harus dianggap gagal pengobatan dan pengobatan

harus dimodifikasi secara tepat (lihat standard 14 dan 15).

Pada pasien tuberkulosis ekstraparu dan pada anak, respons pengobatan

terbaik dinilai secara klinis. Pemeriksaan foto toraks umumnya tidak diperlukan

dan dapat menyesatkan.

*) Lihat addendum

Standard 11

Page 20: Isi Refert

20

Rekaman tertulis tentang pengobatan yang diberikan, respons bakteriologis

dan efek samping seharusnya disimpan untuk semua pasien.

Standard 12

Di daerah dengan prevalensi HIV tinggi pada populasi umum dan daerah

dengan kemungkinan tuberkulosis dan infeksi HIV muncul bersamaan, konseling

dan uji HIV diindikasikan bagi semua pasien tuberkulosis sebagai bagian

penatalaksanaan rutin. Di daerah dengan prevalensi HIV yang lebih rendah,

konseling dan uji HIV diindikasikan bagi pasien tuberkulosis dengan gejala

dan/atau tanda kondisi yang berhubungan dengan HIV dan pada pasien

tuberkulosis yang mempunyai riwayat risiko tinggi terpajan HIV.

Standard 13

Semua pasien dengan tuberkulosis dan infeksi HIV seharusnya dievaluasi

untuk menentukan perlu/tidaknya pengobatan antiretroviral diberikan selama

masa pengobatan tuberkulosis. Perencanaan yang tepat untuk mengakses obat

antiretroviral seharusnya dibuat untuk pasien yang memenuhi indikasi. Mengingat

kompleksnya penggunaan serentak obat antituberkulosis dan antiretroviral,

konsultasi dengan dokter ahli di bidang ini sangat direkomendasikan sebelum

mulai pengobatan serentak untuk infeksi HIV dan tuberkulosis, tanpa

memperhatikan mana yang muncul lebih dahulu. Bagaimanapun juga pelaksanaan

pengobatan tuberkulosis tidak boleh ditunda. Pasien tuberkulosis dan infeksi HIV

juga seharusnya diberi kotrimoksazol sebagai pencegahan infeksi lainnya.

Standard 14

Penilaian kemungkinan resistensi obat, berdasarkan riwayat pengobatan

terdahulu, pajanan dengan sumber yang mungkin resisten obat dan prevalensi

resistensi obat dalam masyarakat seharusnya dilakukan pada semua pasien. Pasien

gagal pengobatan dan kasus kronik seharusnya selalu dipantau kemungkinannya

akan resistensi obat. Untuk pasien dengan kemungkinan resitensi obat, biakan dan

uji sensitiviti obat terhadap isoniazid, rifampisin, dan etambutol seharusnya

dilaksanakan segera.

Standard 15

Pasien tuberkulosis yang disebabkan kuman resisten obat (khususnya MDR)

seharusnya diobati dengan paduan obat khusus yang mengandung obat

Page 21: Isi Refert

21

antituberkulosis lini kedua. Paling tidak harus digunakan empat obat yang masih

efektif dan pengobatan harus diberikan paling sedikit 18 bulan. Cara-cara yang

berpihak kepada pasien disyaratkan untuk memastikan kepatuhan pasien terhadap

pengobatan. Konsultasi dengan penyelenggara pelayanan yang berpengalaman

dalam pengobatan pasien dengan MDR- TB harus dilakukan.

STANDARD UNTUK TANGGUNG JAWAB KESEHATAN

MASYARAKAT

Standard 16

Semua penyelenggara pelayanan untuk pasien tuberkulosis seharusnya

memastikan bahwa semua orang (khususnya anak berumur di bawah 5 tahun dan

orang terinfeksi HIV) yang mempunyai kontak erat dengan pasien tuberkulosis

menular seharusnya dievaluasi dan ditatalaksana sesuai dengan rekomendasi

internasional. Anak berumur di bawah 5 tahun dan orang terinfeksi HIV yang

telah terkontak dengan kasus menular seharusnya dievaluasi untuk infeksi laten

M.tuberkulosis maupun tuberkulosis aktif.

Standard 17

Semua penyelenggara pelayanan kesehatan harus melaporkan kasus

tuberkulosis baru maupun kasus pengobatan ulang serta hasil pengobatannya ke

kantor dinas kesehatan setempat sesuai dengan peraturan hukum dan kebijakan

yang berlaku.

*) Lihat addendum

ADDENDUM

Standard 1.

Untuk pasien anak, selain gejala batuk, entry untuk evaluasi adalah berat

badan yang sulit naik dalam waktu kurang lebih 2 bulan terakhir atau gizi buruk.

Standard 3.

Sebaiknya dilakukuan juga pemeriksaan foto toraks untuk mengetahui ada

tidaknya TB paru dan TB millier. Pemeriksaan dahak juga dilakukan, bila

mungkin pada anak.

Standard 6.

Untuk pelaksanaan di Indonesia, diagnosis didasarkan atas pajanan kepada

kasus tuberkulosis yang menular atau bukti infeksi tuberkulosis (uji kulit

Page 22: Isi Refert

22

tuberkulin positif atau interferron gamma release assay) dan kelainan radiografi

toraks sesuai TB.

Standard 8.

a. Etambutol boleh dihilangkan pada fase inisial pengobatan untuk orang

dewasa dan anak dengan sediaan hapus dahak negatif, tidak menderita

tuberkulosis paru yang luas atau penyakit extraparu yang berat, serta telah

diketahui HIV negatif.

b. Secara umum terapi TB pada anak diberikan selama 6 bulan, namun pada

keadaan tertentu (meningitis TB, TB tulang, TB milier dan lain-lain) terapi TB

diberikan lebih lama (9-12) dengan paduan OAT yang lebih lengkap sesuai

dengan derajat penyakitnya.

Standard 10.

Respons pengobatan pada pasien TB milier dan efusi pleura atau TB paru

BTA negatif dapat dinilai dengan foto toraks .

Standard 17.

Pelaksanaan pelaporan seharusnya difasilitasi dan dikoordinasikan oleh Dinas

Kesehatan setempat, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat (Erlina, 2010).

Page 23: Isi Refert

23

BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

1. TB masih merupakan masalah di Indonesia

2. Faktor- faktor yang mempengaruhi masalah pengobatan adalah

a. faktor sarana

b. faktor penderita

c. faktor keluarga dan masyarakat lingkungan

3. Penanggulangan TB yang dilaksanakan pemerintah berdasarkan strategi DOTS

dengan standar pelayanan mengacu pada International Standard for TB Care

(ISTC)

4. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci:

a. Komitmen politis

b. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya.

c. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan

tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung

pengobatan.

d. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu.

e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian

terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program secara

keseluruhan.

6. Standar internasional untuk penanggulangan TB ( ISTC)

a. Standard Diagnosis (1-6) mencakup:

1. Identifikasi suspek TB ( Standard 1 )

2. Pemeriksaan Dahak SPS ( Standard 2 )

3. Diagnosis extra paru ( Standard 3 )

4. Tetap lakukan pemeriksaan dahak walaupun ada foto toraks ( Standard 4)

5. Diagnosis TB BTA negatif ( Standard 5 )

6. Diagnosis TB anak ( Standard 6 )

Page 24: Isi Refert

24

b. Standard untuk Pengobatan (standard 7- 15)

1. Tanggung jawab kesehatan masyarakat praktisi menilai kepatuhan

pengobatan (Standard 7)

2. Paduan obat lini pertama bagi pasien yang belum pernah diobati

(Standard 8)

3. Pengawasan/ dukungan pengobatan yg berpusat kepada pasien

(Standard 9)

4. Monitor respon terhadap terapi pada akhir bulan ke-2 dan akhir

bulan ke 5 (Standard 10)

5. Rekam medis tertulis tentang pengobatan, respon bakteriologis dan

efek samping (Standard 11)

6. Konseling dan uji HUV bagi Pasien TB (Standard 12)

7. Obat ARV bagi pasien TB-HIV (Standard 13)

8. Penilaian kemungkinan Resisrtensi Obat (Standard 14)

9. Pengobatan pasien TB resissten obat (Standard 15)

c. Pengobatan pasien TB resisten obat Standard Kesehatan masyarakat (16-

17).

1. Keharusan memastikan anak di bawah 5 tahun dan orang dengan

infeksi HIV yang berkontak erat dengan pasien TB menular

dievaluasi untuk TB (Standard 16)

2. Keharuskan melaporkan pasien TB sesuai peraturan yang berlaku

(Standard 17)

III.2 Saran

Dalam praktik keseharian hendaklah seorang dokter mendiagnosis pasien TB

berdasarkan strategi DOTS dengan standar pelayanan mengacu pada International

Standard for TB Care (ISTC).

Page 25: Isi Refert

25

DAFTAR PUSTAKA

1. Burhan, Erlina. (2010). Peran ISTC dalam pencegahan MDR. Departemen

pulmonologi dan ilmu kedokteran respirasi FKUI

2. Depkes RI. (2002). Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis

Cetakan ke 8

3. Depkes RI. (2006). Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis edisi 2,

cetakan 1

4. Depkes RI. (2011). Stop TB Trobasan Menuju Akses Universal Strategi

Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014

5. Gerdunas TB. (2000). Gerakan Terpadu Nasional (GERDUNAS) TBC

Kongres Nasional TBC I Stop TB

6. Idris, fachmi. (2004). Manajemen Public Private Mix Penanggulangan

Tuberculosis Strategi DOTS Dokter Praktik Swasta. Cikal Media. Jakarta

7. Isselbacher, et al. 1999). Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam

ed:13 vol:2. EGC. Jakarta

8. Permatasari, fAnnisa. (2010). Pemberantasan penyakit TB paru dan strategi

DOTS. USU. Sumatera Utara.

9. Price, S.L. dan Lorraine M.W. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-

proses Penyakit, vol:2 Ed:6. EGC. Jakarta.

10. Sudoyo, Aru W. Dkk. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalan Jilid III edisi

V. Balai pusat penerbitan FKUI. Jakarta

11. WHO. (2010). TB in South East Asia. Communicable Disease Department