isola pos 52

36

Upload: upm-isola-pos

Post on 22-Mar-2016

237 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

REINKARNASI AYAT KOMERSIAL

TRANSCRIPT

Page 1: ISOLA POS 52
Page 2: ISOLA POS 52

2 | | Juni 2012

UPM UPI 2012-2013

KETUA UMUM: ISMAN R. YOEZRON SEKRETARIS: RIFQI NURUL ASLAMI BENDAHARA: LIA ANGGRAENI BIDANG ORGANISASI: NISA RIZKIAH BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN: RESTI SRI CAHYATI BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN: SITI HARYANTI

Pemimpin UmumIsman R. Yoezron

Pemimpin RedaksiSiti Haryanti

Staf RedaksiNisa Rizkiah, Rifqi Nurul Aslami, Resti Sri

Cahyati, Lia Anggraeni, Julia Hartini

Reporter MagangYuni Misdiantika, Farid Maulana, Ratih Ika

Wijayanti

Setter/LayouterResti Sri Cahyati, Yuni Misdiantika

FotograferResti Sri Cahyati, Rifqi Nurul Aslami

Kontributor GambarRedy N. Saputra

Pemimpin PerusahaanLia Anggraeni

IklanNisa Rizkiah

SirkulasiJulia Hartini

ProduksiRifqi Nurul Aslami

Kulit MukaDipta Radia Saras Perdana

PenerbitUnit Pers Mahasiswa

Universitas Pendidikan Indonesia

Pelindung Rektor Universitas Pendidikan Indonesia

PembinaPembantu Rektor

Bidang Kemahasiswaan dan KemitraanUniversitas Pendidikan Indonesia

Penasihat Dr. Zakaria Sukarya Soetedja, M.Sn.

Dr. Yuyus suherman, M.Si

Alamat RedaksiSekretariat UPM UPI, Gedung Pusat Kegiatan

Mahasiswa (PKM) UPI Lt.1 Ruang 02Jl. Dr. Setiabudhi No.229 Bandung 40154.

Tel: 022-2013163 ext 3207 Fax: 022-2103651 E-mail: [email protected]: http://isolapos.com

Twitter : @isolapos

Redaksi menerima opini, esai sastra, cerita pendek serta feature tentang riset/hasil riset.

Dikirim via e-mail: [email protected] dengan identitas lengkap. Redaksi berhak menyunting

naskah tanpa mengubah substansi.

DARI REDAKSI

TE R K A D A N G kita sulit untuk bertemu dengan

sebuah kebenaran, karena dia seringkali berada di tempat yang tersembunyi, atau malah disembunyikan. Namun, hal tersebut tidak mengurungkan niat kami untuk menyajikannya di hadapan pembaca Isola Pos. Setelah kesulitan yang berhasil kami lalui, maka hadirlah Isola Pos edisi 52 ini di tangan para pembaca. Ya, setelah sekian lama.

Kami adalah segelintir mahasiswa yang setiap hari berjibaku dengan aktifitas akademis dan berusaha menjadi mahasiswa luar biasa. Yakni dengan menambah peran kami dengan menjadi agen perubahan yang menyampaikan kebenaran. Ya, luar biasa bukan? Dengan tulisan, kami mencoba merubah wajah dunia khususnya dunia pendidikan. Tak seperti super hero yang selalu berakhir kemenangan dan bahagia, misi kami tak jarang berakhir nestapa. Tapi kami yakin tak ada yang sia-sia dari upaya tulus kami. Entah kapan, kami yakin semua yang kami lakukan akan memberi arti.

Keterlambatan merupakan kesalahan kami, terlambatnya Isola Pos terbit membuat pembaca bertanya-tanya apakah Isola Pos akan terbit lagi atau tidak. Dan sekarang pertanyaan pembaca setia Isola Pos terjawab. Isola Pos kembali hadir dihadapan pembaca dengan wajah ceria setelah lama tak bersua.

Meskipun berbagai hambatan dan permasalahan kerap terjadi dalam redaksi kami, bongkar pasang isu dan rubrikasi merupakan salah satunya. Namun, akhirnya dengan

penuh keyakinan Isola Pos edisi 52 terbit!

Pada Laporan Utama kami sajikan pembahasan mengenai Rancangan Undang-undang Perguruan Tinggi (RUU PT) yang menjadi kontroversi namun disambut baik oleh UPI yang memang mengharapkannya. Pasalnya, dengan status Perguruan Tinggi Pemerintah (PTP) yang sekarang disandang, UPI merasa demikian terkekang. Yang menjadi pertanyaan, ada apa di balik keinginan kuat UPI memiliki otonomi penuh? Temukan jawabannya dalam Laporan Utama!

Lalu persoalan UPI yang menggebu membuka prodi-prodi baru yang laku dipasaran, mengenai kasus plagiat yang ramai diperbincangkan dua bulan lalu, dan prodi keperawatan yang terabaikan kami sajikan pada rubrik Kampus. Selain itu, pada rubrik Konteks kami membahas mengenai jurnal ilmiah.

Itulah beberapa rubrik yang ada dalam Isola Pos edisi kali ini, dengan semangat dan keyakinan “harus terbit lagi” kami mengucapkan terimakasih. Dengan penuh bangga kami ucapkan selamat membaca!

Tulisan Mengubah Wajah Dunia

Page 3: ISOLA POS 52

3Juni 2012 | |

SKETSA

SURAT PEMBACA

Khayalan Bertemu RektorKapan yah, kita bisa bertemu

langsung dengan pak Rektor? Ya! Itu merupakan pertanyaan yang pasti semua mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) pernah lontarkan. Kebanyakan dari mereka bertemu dengan rektor hanya saat kuliah umum saja, atau ketika baru menjadi mahasiswa, selain itu tidak pernah lagi. Suatu hal yang langka untuk mahasiswa UPI bisa bertatap muka langsung dengan rektor. Bertemu dengan Rektor UPI bagaikan pungguk merindukan bulan. Ya, itu yang saya rasakan sampai sekarang, selama hampir tiga tahun kuliah. Berbeda dengan rektor-rektor di kampus tetangga, mereka sangat mudah ditemui dan selalu hadir dalam acara mahasiswa, baik diskusi bersama, futsal bersama dan sholat berjamaah.

Di kampus lain, saya dengar dari teman saya, rektor berbaur dengan mahasiswanya. Mungkin rektor di kampus saya sangat sibuk sehingga meluangkan waktu untuk berjumpa

dengan anaknya saja susah. Saya berharap semoga surat yang saya sampaikan melalui Isola Pos ini dapat sampai kepada yang bersangkutan.

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi Angkatan 2010 Fakultas Pendidikan

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

BEM Kurang Menyentuh Rakyatnya

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) merupakan lembaga eksekutif mahasiswa yang ada dalam setiap universitas. Dapat kita ketahui bahwa salah satu fungsi adanya BEM yaitu sebagai katalisator, inisiator, dan fasilitator seluruh mahasiswa. Namun, di kampus ini (UPI-red), saya tidak merasakan BEM berfungsi sebagaimana di atas. Saya melihat BEM yang ada di UPI sekarang sudah tidak layak dinamakan sebagai BEM lagi, kurang menyentuh mahasiswanya, yang dalam

Pojok Isola

“Kalau ingin nama universitas itu bersih maka universitas harus tegas, karena plagiarisme merupakan kejahatan terbesar dalam bidang akademik,” kata Guru Besar Filsafat Sosial STF Driyakara, Franz Magnis Suseno.

Jadi kalau tak tegas menindak, berarti tak ingin nama universitas bersih ya, pak?

“Dibukanya prodi baru di UPI harus dibarengi dengan kesiapan UPI yang matang pula. Jika hal itu tidak terpenuhi, tujuan UPI untuk memperkokoh jati dirinya dapat terbantahkan dan hanya berlandaskan permintaan masyarakat saja,” kata anggota Dewan Guru Besar UPI, Achmad Munandar.

Yang penting permintaan pasar, pak! Wong kampusnya kapitalis, kok!

Page 4: ISOLA POS 52

4 | | Juni 2012

SURAT PEMBACA

hal ini mahasiswa merupakan rakyat dan anggota BEM diibaratkan anggota DPR, MPR, dan para menterinya. Jika digambarkan, ini merupakan miniatur pemerintahan dan saya rasakan di dalam kampus ini kurang adanya satu kesatuan yang dapat menyatukan seluruh sivitas akademika UPI. Di mana seharusnya dalam satu sivitas akademika ada keterikatan satu sama lain dan itu merupakan tugas BEM untuk dapat mempersatukannya. Hal ini tidak hanya dirasakan oleh saya, mungkin teman-teman saya yang lain juga seperti itu.

Lucky PrasetyoMahasiswa Jurusan Pendidikan Biologi

Angkatan 2010 Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Alam

Plagiat Merupakan Korupsi di Bidang Akademik

Benar-benar bikin malu mengenai kejadian kemarin tentang tiga dosen UPI plagiat! Hal tesebut merupakan korupsi dalam bidang akademik. Sebagai salah satu mahasiswa yang pernah diajar oleh dosen yang terkena kasus plagiat tersebut, terkadang saya malu. Beliau dahulu mengajar bak seorang yang perfect tanpa cacat, bisa dibilang begitu. Namun, dengan kejadian seperti ini semua agungan tentang dia punah dan anggapan buruk menghampirinya. Ternyata efek ini tidak hanya muncul dalam sivitas akademika saja. Namun, beberapa minggu yang lalu saya bertemu dengan seorang bapak dan dia berbicara panjang lebar yang dalam pembicaraan terakhirnya dia menyinggung mengenai

kasus plagiat. Bapak itu mengatakan, “Awas loh waspada, jangan-jangan tidak hanya dosen itu saja yang terkena plagiat!” Orang tersebut juga mengatakan mungkin dosen yang lain juga melakukan plagiat. Kemudian bapak tersebut menambahkan, “Saya khawatir nanti lulusannya (para calon guru) diajarkan plagiat juga, ingat buah jatuh tak jauh dari pohonnya.” Dari perkataan bapak tersebut merupakan tamparan untuk saya kala itu, dan semoga apa yang bapak itu katakan tidak terjadi pada kenyataan. Cukup kasus tiga dosen itu saja.

Deri RahadianMahasiswa Jurusan Pendidikan

Kewarganegaraan Angkatan 2009 Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

IKLAN

Page 5: ISOLA POS 52

5Juni 2012 | |

EDITORIAL

AKHIR-AKHIR ini wacana tentang penggodokan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi

(RUU PT) makin menyeruak. Selepas dibatalkannya UU No.9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 31 Maret 2010 lalu, Perguruan Tinggi (PT) yang sebelumnya berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kontan kehilangan naungan hukumnya.

Tak puas dengan putusan MK, kabarnya mereka yang kehilangan naungan hukumnya (PT BHMN) menawarkan win-win solution kepada DPR RI untuk menggodok RUU PT. Benar saja, DPR akhirnya menyidangkan RUU PT yang bernafas serupa dengan UU BHP: Legitimasi Badan Hukum.

Semenjak dibentuknya draft RUU PT hingga rencana memaripurnakan RUU ini pada 10 April 2012 lalu, RUU ini telah mengundang berbagai kontroversi. Dari beberapa kali uji ke publik, responnya tak pernah bernada positif.

Ada yang menilai RUU ini memiliki substansi sama dengan UU BHP yang telah dibatalkan MK. Belum lagi penilaian tentang kecenderungan liberalisasi pendidikan. Dengan memberikan peluang untuk PT berbadan hukum, dinilai sebagai langkah menjadikan PT serupa badan usaha. Dampaknya, segala hal yang terkandung dalam institusi pendidikan, termasuk jasa pendidikan, dijadikan sebagai komoditas komersial.

Dari sudut pandang hukum, ada pula yang menilai bahwa RUU ini bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak selaras dengan UU lain. Misalnya, seperti kata pakar Guru Besar Hukum Tata Negara, Astim Riyanto, dalam kacamata hukum, RUU ini tak memiliki dasar hukum yang jelas dan hanya buang-buang duit saja. Pasalnya, substansi RUU PT ini serupa dengan UU BHP.

Begitupun kata Endang, yang juga berlatar belakang pendidikan sama dengan Astim. Dari kacamata Hukum Tata Negara, RUU ini memang telah menyalahi logika hukum, bahkan bertentangan dengan UUD 1945.

Katanya, dengan munculnya RUU ini akan bertendensi bertentangan dengan UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang diamanatkan UUD 1945 pasal 31 ayat 3.

Memang, jika kita lihat, dalam UU Sisdiknas pasal 24 ayat 4 sudah jelas tercantum bahwa ketentuan yang menyangkut tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP). Jadi benar apa yang dikatakan mereka, bahwa yang diperlukan bukanlah UU melainkan PP saja.

Namun, perguruan tinggi yang semula BHMN tak sudi menerima kenyataan itu. Mereka beralasan bahwa UU Sisdiknas tidak mengakomodasi mereka. Akhirnya, pengingkaran PT BHMN terhadap UU Sisdiknas itu menafikan juga terbitnya PP sebagaimana tersemat dalam UU Sisdikas. Alasannya satu: mereka sudah berbadan hukum. Atas hal itu UU tentang PT adalah sebuah keharusan.

Padahal, jika ditilik, alasan itu bisa terbantahkan. Pertama, jika argumennya sudah berbadan hukum, sudah dibuktikan disaat UU BHP dibatalkan MK, membentuk badan hukum dalam pendidikan adalah tidak inkonstitusional.

Kedua, saat ini, PT yang semula BHMN sudah tidak lagi berbadan hukum. Melalui Perpres yang merujuk pada amanat PP 66 tahun 2010, PT BHMN sudah ditetapkan sebagai Perguruan Tinggi Pemerintah (PTP). Lantas apalagi yang diinginkan mereka

sehingga merasa perlu untuk ada UU tentang PT?

Begitu ngototnya PT yang semula BHMN untuk melahirkan UU PT, memunculkan berbagai pertanyaan dalam benak kita. Argumen secara hukum jelas telah terbantahkan. Kecuali, alasan politis yang menghendaki otonomi PT yang lebih bebas dan berbadan hukum.

Memang, otonomi untuk PT diperlukan untuk memutus keruwetan birokrasi pemerintah. Namun, semestinya otonomi yang diberikan adalah otonomi dalam pengembangan akademik dan keilmuan sebagaimana tercantum dalam UU Sisdiknas pasal 24.

Jika otonomi dibarengi dengan pembentukan badan hukum, ini perlu diperhitungkan. Dengan pembentukan badan hukum bagi PT, tendensinya adalah pelepasan tanggung jawab pemerintah membiayai pendidikan.

Dengan berbadan hukum, PT dibiarkan untuk mencari dana secara mandiri. Suntikan dari APBN pun berkurang dengan alasan telah berbadan hukum. Akibatnya, kurangnya suntikan dana dari pemerintah dijadikan alasan PT berbadan hukum untuk mematok biaya pendidikan yang tinggi.

Atas hal ini, masyarakat miskin lagi yang jadi korban karena kesulitan membayar dana pendidikan yang melambung. Harusnya, jika memang mau otonomi berbadan hukum, jangan ada lagi kasus mahasiswa yang dicutikan karena tak mampu bayar SPP. Jangan ada lagi masyarakat miskin yang tak jadi kuliah karena tak mampu bayar.

Adanya mahasiswa tidak mampu secara finansial yang akhirnya tidak bisa kuliah, atau mahasiswa yang “dipaksa” keluar karena tak mampu membayar, menjadi salah satu indikator sulitnya mengatakan otonomi PT berbadan hukum tidak disalahgunakan.

Jika hal ini masih terjadi, maka jelas terlihat bahwa orientasi PT bukanlah ingin otonom dalam keilmuan, melainkan otonom dalam mencari duit sebanyak-banyaknya. Maka akhirnya terjawablah teka-teki kenapa RUU PT ini keukeuh diperjuangkan meski dalam sudut pandang hukum bertentangan.

Pokoknya Badan Hukum!

Page 6: ISOLA POS 52

6 | | Juni 2012

OPINI

HARI pendidikan nasional yang selalu diperingati setiap tanggal 2 Mei seolah-olah

hanya dijadikan ajang seremonial belaka. Pasalnya, kualitas pendidikan di Indonesia masih belum merata. Pemerintah saat ini sepertinya lebih terfokus pada pelaksanaan Ujian Nasional (UN), yang konon dapat dijadikan barometer kualitas pendidikan di Indonesia. Tiap tahun, standar kelulusan UN selalu ditingkatkan dengan harapan mampu mengejar ketertinggalan dari Negara tetangga, Malaysia atau Singapura.

Dengan alasan tersebut, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan setiap tahunnya menaikkan standar minimum kelulusan. Ini merupakan langkah keliru yang dilakukan oleh pemerintah kita, karena kualitas infrastruktur pendukung pendidikan di setiap daerah di Indonesia belum memadai.

Memang, sekolah bertaraf internasional mulai bermunculan dengan berbagai fasilitas pendidikan yang ditawarkan yang dianggap mampu mendongkrak kualitas pendidikan di Indonesia.

Namun, tidak sebanding dengan jumlah siswa yang masih belajar di sekolah-sekolah biasa dengan fasilitas seadanya. Selain itu, mahalnya biaya pendidikan di sekolah berkualitas juga menjadi salah satu faktor yang menghambat peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia secara menyeluruh.

Peran pemerintah dalam upaya peningkatan infrastruktur pendidikan masih bersifat sentralistik. Di daerah, usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan nyaris tidak terasa. Entah karena kurangnya koordinasi antara pusat dengan daerah atau ada hal-hal lain.

Pemerintah tidak seharusnya membuat standar umum penilaian tanpa melakukan standarisasi dalam hal

infrastruktur di dunia pendidikan. Peningkatan infrastrukur dapat

dilakukan melalui berbagai hal, tetapi yang paling utama harus dilakukan adalah peningkatan fasilitas transportasi ke sekolah. Bukan rahasia lagi banyak sekolah di Indonesia, terletak di daerah terpencil dengan kondisi jalan yang tidak layak digunakan.

Pemerintah seakan-akan tidak peduli, atau mungkin secara halus dapat dikatakan Menteri Pendidikan Nasional kurang berkoordinasi dengan Kementerian Pekerjaan Umum untuk membuat jalan yang baik menuju sekolah-sekolah di daerah.

Selain permasalahan akses jalan yang rusak, pemerintah juga harus berupaya untuk meningkatkan mutu pelayanan sekolah.

Masih banyak sekolah baik tingkat dasar maupun menengah, yang belum memiliki sarana yang memadai.

Kebanyakan sekolah tersebut berada di wilayah yang jauh dari ibu kota.

Pemerintah seharusnya melakukan pengecekan terhadap ketersediaan buku-buku di perpustakaan sekolah, juga kelengkapan alat-alat laboratorium.

Hal ini wajib dilakukan oleh pemerintah agar seluruh sekolah di Indonesia dapat mencetak lulusan yang berkualitas secara nyata, bukan sekedar nilai-nilai besar di dalam ijazah.

Selain faktor materiil, pemerintah juga harus peka terhadap kondisi pengajar, khususnya yang mengabdi di daerah terpencil. Saat ini tidak sedikit kondisi pengajar yang jauh dari kata layak.

Memang, sekarang pemerintah memunculkan program sertifikasi yang dapat menambah penghasilan guru, tapi lagi-lagi program sertifikasi ini tidak merata di setiap daerah.

Terlebih lagi, para pengajar yang mendapat sertifikasi kebanyakan tidak mempertanggungjawabkan apa yang mereka peroleh. Adanya sertifikasi tidak berbanding lurus dengan peningkatan kualitas mengajar.

Pemerintah seharusnya mengevaluasi hal ini secara menyeluruh. Karena pada kenyataannya, banyak pengajar yang berkualitas dan berdedikasi penuh terhadap dunia pendidikan tidak mendapat kado sertifikasi.

Lalu di mana wajah keadilan itu? Apakah pemerintah masih menutup mata dengan pemberitaan di media mengenai sekolah yang ambruk? Juga tentang akses jalan yang terlampau ekstrim untuk dilalui pelajar? Apakah pemerintah masih tuli dengan teriakan dari suara perut para pengajar di daerah terpencil?

Mudah-mudahan pemerintah tidak lagi hanya mengejar kualitas dari besarnya angka-angka yang diraih murid ketika mengikuti ujian, tetapi juga mengejar nilai-nilai pendidikan yang seharusnya dimiliki oleh setiap siswa di Indonesia.

Oleh Angga Yudhistira Permana

Alumni Mahasiswa Sejarah Angkatan 2007

Wajah Muram Pendidikan

Page 7: ISOLA POS 52

7Juni 2012 | |

OPINI

SOSOK mahasiswa berada pada posisi sentral dalam laju dinamika bangsa. Usia muda

yang khas akan progresivitas kerja, ditopang pengalaman menempuh pendidikan formal hingga tingkatan tertinggi, menjadi kekuatan utama sosok mahasiswa.

Wajar bila mahasiswa mendapat predikat sebagai agent of change. Bahkan seorang Tan Malaka berujar dalam bukunya Aksi Massa (1926), bahwa golongan intelektual muda mahasiswa, merupakan penuntun harapan rakyat menuju kondisi yang merdeka.

Dalam konteks demokrasi, peran mahasiswa adalah sebagai pengawal rakyat meraih hak-hak yang semestinya didapat dari pemangku kebijakan. Segala ilmu yang dimiliki mahasiswa dicurahkan penuh bagi kesejahteraan rakyat. Idealisme yang mengakar, digunakan untuk memberangus segala ketidakadilan. Jika hal demikian terjadi, pengabdian lah yang menjadi kata kunci orientasi hidup mahasiswa.

Hanya saja, narasi besar tersebut masih jauh dari harapan. Agen perubahan itu, kini belum dapat menjadi messiah di tengah problema rakyat. Mahasiswa seakan berjibaku dengan kepentingannya sendiri.

Dominasi mahasiswa kekinian cenderung mengarah antipati terhadap kondisi rakyat. Bandingkan saja jumlah mahasiswa yang getol turun aksi bersama rakyat dengan mahasiswa yang berfoya-foya di mall. Atau seberapa banyak mahasiswa yang berani kerja di desa dengan mahasiswa yang bekerja di kota.

Meminjam istilah Arnold Green (1996), dinamika mahasiswa kekinian berada dalam kondisi “penyimpangan dimensi realitas”. Semakin terasa

kontradiksi pada realitas sosial, sejatinya harus diiringi oleh langkah cepat dari golongan potensial.

Padahal, sudah jelas realitas-realitas tersebut mengarah pada kesenjangan. Pemangku kebijakan yang korup, kemiskinan, dan pengangguran setidaknya menjadi gambaran kompleksitas dalam kehidupan rakyat.

Dampak Liberalisasi Pendidikan Degradasi kualitas yang terjadi,

tidak mungkin lahir dari internal golongan mahasiswa sendiri. Persoalan terbesar lahir dari Perguruan Tinggi (PT) yang notabene sebagai ‘rumah’ ilmiah mahasiswa. Liberalisasi yang merasuki sektor pendidikan tinggi, berhasil membisukan para peserta didiknya.

Alih-alih memberikan subsidi secara penuh terhadap pendidikan, pemerintah malah menerapkan otonomisasi kepada PT. Akibatnya, orientasi bisnis kian kentara dalam tubuh pendidikan tinggi. Sarana-sarana yang dimiliki kampus mulai di “go public” kan demi mendapatkan surplus. Program studi baru pun bermunculan mengikuti kebutuhan pasar.

Ketika kesahihan pendidikan ternodai oleh kepentingan komersil, objek yang terkena dampak adalah peserta didik! Mahasiswa dicetak untuk cepat lulus seiring kebutuhan pasar yang menghendaki banyak pekerja murah.

Logika pragmatisme tersebut, otomatis mencemari paradigma mahasiswa. Segalanya bergulir bak bola salju yang melesat cepat. Kehidupan di kampus hanya sekadar batu loncatan menuju kepentingan masa depan. Keniscayaan suatu proses pendidikan pun rela ditanggalkan, terkikis oleh gelimang penghasilan yang menjadi titik utama. Nurani pengabdian seketika luntur oleh

naluri mendapat nilai akademik semata.

Kelas menjadi tempat yang akrab untuk dijamahi mahasiswa. Akibatnya, ruang-ruang sekretariat Organisasi Mahasiswa (Ormawa) kebanyakan kosong melompong, tak berpenghuni. Diskusi-diskusi tentang kondisi rakyat pun menjadi hal yang mistis untuk dibicarakan. Mau tak mau, mahasiswa dipaksa patuh terhadap arus kebijakan pemerintah.

Kesadaran KolektifRestorasi ruang gerak mahasiswa

kiranya dapat menjadi sintesis dari berbagai problema dunia kemahasiswaan. Bentuk kongkretnya adalah kesadaran kolektif mahasiswa. Wadah yang telah tersedia untuk merealisasikannya adalah organisasi.

Kaderisasi dalam Ormawa setidaknya dapat menjadi alternative education untuk mencetak mahasiswa kritis yang siap diterjunkan dalam kehidupan bermasyarakat. Pengutamaan suatu proses ketimbang hasil, diejawantahkan dengan melibatkan mahasiswa dalam perumusan kegiatan-kegiatan insidental Ormawa.

Ruang-ruang sekretariat Ormawa lah yang selayaknya menjadi kelas sesungguhnya. Bila seluruh mahasiswa berkumpul dalam suatu organisasi, maka akan semakin menguatkan kesadaran kolektif. Setidaknya, daya jelajah ilmu mahasiswa tidak terbatasi oleh jumlah SKS setiap semester. Proses silang pendapat antar mahasiswa pun tidak terkekang oleh lamanya waktu perkuliahan.

Kesadaran kolektif sejatinya harus mengakar tertanam dalam nalar mahasiswa. Sadar akan pentingnya pengabdian kepada rakyat. Dan kolektivitas sebagai kunci menciptakan kekuatan maha dahsyat dari mahasiswa.

Ambang Batas MahasiswaOleh Restu Nur Wahyudin

Ketua UKM Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) Universitas Pendidikan Indonesia

Page 8: ISOLA POS 52

8 | | Juni 2012

BINCANG

MARAKNYA kasus plagiarisme yang ada di Perguruan Tinggi akhir-akhir ini, seolah menjadi

sebuah fenomena yang membudaya di Indonesia. Sebelumnya, terdapat 20 Perguruan Tinggi Negeri dan beberapa Perguruan Tinggi Swasta di tujuh wilayah koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) diduga melakukan plagiat. Tidak hanya mahasiswa yang melakukan plagiat bahkan calon guru besar pun melakukan plagiat. Tentunya hal tersebut membuat dunia pendidikan di Indonesia semakin memprihatinkan. Plagiarisme merupakan kesalahan terbesar dalam dunia pendidikan yang harus dihilangkan agar tidak menjadi budaya berkelanjutan dalam pendidikan di Indonesia.

Dalam kesempatan ini, Rifqi Nurul Aslami melakukan wawancara bersama Franz Magnis Suseno, budayawan sekaligus Direktur Program Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara. Berikut merupakan petikan wawancaranya.

Pandangan tentang plagiarisme di Perguruan Tinggi?Plagiarisme yang ada di Perguruan Tinggi merupakan

suatu kemerosotan budaya intelektual dan kemerosotan etika. Ini merupakan gejala yang sangat berbahaya karena orang cenderung sudah tidak mementingkan mutu tulisan dan tanggung jawab isi dari tulisannya, tetapi hanya mementingkan tujuan seperti halnya hanya mementingkan ijazah atau tempat yang basah dalam jabatannya. Tentu plagiat di mana pun ada, tetapi jika itu sudah menjadi kebiasaan ini merupakan suatu hal yang sangat berbahaya dan harus ditindak dengan tegas.

Bentuk-bentuk yang digolongkan sebagai plagiarisme?Yang tergolong ke dalam plagiat itu ada dua menurut

saya, plagiat mulai dari hal terkecil yaitu menyalin kalimat lengkap alinea-alinea dari sumber lain tanpa menyebutkan catatan kaki. Berpidato kepada khalayak umum dengan mengutip pemikiran orang lain tanpa diungkapkan dari

mana gagasan tersebut, serta membuat karya yang sangat mirip dengan karya orang lain meskipun itu dikatakan mengutip dari orang lain. Plagiat lebih besar jika mengakui karya orang lain sebagai karyanya serta menyalin tulisan orang lain dengan mengaku itu tulisannya padahal bukan.

Apa penyebab utama plagiarisme menjamur di tataran akademik?

Plagiarisme yang sudah membudaya di Indonesia saya kira berkaitan dengan budaya dalam masyarakatnya, di mana dalam masyarakat Indonesia ada kesalahan pemikiran tentang “Sukses”. Sukses orang Indonesia yang asal mau cepat maju, dan sayang sekali anggapan masyarakat Indonesia mulai dari atas sampai bawah ingin cepat maju tanpa kerja keras.

Dalam pandangan masyarakat Indonesia yang sudah mengakar, ada pandangan bahwa yang akan meningkatkan kemajuan adalah kolusi tanpa kerja keras. Sehingga saya berpikir hanya orang yang bodoh di Indonesia yang ingin maju dengan kerja keras. Banyak dari mereka yang beranggapan ketika

Oleh Rifqi Nurul Aslami

Kemerosotan Budaya Intelektual

Franz Magnis Suseno

RIFQI/ISOLA POS

Page 9: ISOLA POS 52

9Juni 2012 | |

BINCANG

Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno SJ adalah rohaniwan yang lahir 1 Januari 1936 di Eckersdorf, Jerman. Sejak

1961, tinggal di Indonesia. Dia adalah guru besar filsafat sosial pada Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.

Guru besar luar biasa Falkutas Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Dosen tamu pada Geschwister-Scholl-Institut

Universitas Munchen, Hochschule fur Philosophie, Munchen, juga pada Falkutas Teologi Universitas di

Innsbruck. Ia belajar filsafat, teologi dan teori politik di Pullach, Yogyakarta dan Munchen. Pada tahun 1973

Ia memperoleh gelar Doktor dalam ilmu filsafat dari Universitas Munchen dengan sebuah disertasi tentang

Normative Voraussetzungen im Denken des jungen Marx (1843-1848) (1975, Alber).

memerlukan gelar atau jabatan maka jalan pintas yang ada dalam pikirannya. Dan menurut saya benar dalam diri mereka hanya menginginkan orientasi materiil saja. Dalam diri mereka ada sebuah kemerosotan dalam menafsirkan masalah cita-cita yang hanya ingin jabatan saja tanpa kerja keras sebelumnya.

Bagaimana jika calon guru besar melakukan plagiat karena alasan kelalaian?

Seorang guru besar jika mengatakan seperti itu tidak bisa dianggap kelalaian. Itu merupakan hal yang tidak logis sama sekali dan tidak bisa diterima dengan alasan apapun. Apapun alasannya orang yang melakukan plagiarisme harus ditindak dengan tegas dan cermat. Contohnya kejadian plagiarisme seperti di Jerman, pada disertasinya kelupaan menyebutkan sumbernya dan itu tidak bisa diterima dan akhirnya ditindak secara tegas dan dengan sanksi yang tegas pula. Jika mengutip tentunya harus dicatat semua sumbernya jika tidak, ya itu namanya mencuri karya orang.

Dampak dari praktik plagiarisme?Dampak plagiarisme adalah

menjadikan mutu akademis orang-orang kita di dunia Perguruan Tinggi menurun. Hanya mementingkan kuantitas tanpa mementingkan kualitas dari tulisannya. Dampaknya sangat terasa yaitu membuat pelajar tidak bisa berpikir dan selalu mengandalkan karya orang lain untuk diconteknya.

Dalam karya ilmiah contohnya tidak akan ada orang yang ingin membaca karyanya karena dianggap ecek-ecek dan tidak bagus. Dampak yang lain menurutnya tidak ada reward pada pelajar yang benar-benar pintar secara akademik dan tidak ada pengakuan yang lain karena dianggap biasa saja. Menurut saya, “sinting” itu, jadi orang yang hanya memandang satu sisi saja.

Upaya real untuk mengurangi praktik plagiarisme?

Harus ada kontrol yang tepat, contohnya dengan adanya software. Dan yang lain, jika seorang yang mempunyai bakat, perhatian akademik harus mendukung pada hal itu. Didukung, agar menjadi bangga untuk menggali prestasinya.

Contohnya universitas membuat majalah mahasiswa yang mengangkat tulisan-tulisan mahasiswa yang berkualitas. Di mana majalah tersebut akan dibaca minimal di lingkungan kampus, sehingga jika tulisannya ada mengutip dari orang lain dan ketahuan maka perlu ditindak lanjuti agar menjadi efek jera kepada yang bersangkutan.

Pendapat terkait kasus plagiat yang menimpa beberapa calon guru besar?

Mereka yang terkena kasus plagiarisme harus kehilangan keprofessorannya sebagai kepangkatan akademik, tentu jika tulisan ada sebuah jiplakan dari karya orang lain maka harus diberikan sanksi yang

Franz Magnis Suseno

berat. Sanksinya bisa dikeluarkan jika itu permasalahan berat, bisa dicopot jabatannya. Berbeda ketika yang melakukan plagiat mahasiswa, ketika ketahuan menjiplak, sanksinya hanya tidak diluluskan, karena mahasiswa karyanya hanya dibaca oleh dosen saja tidak untuk dipublikasi. Sedangkan guru besar, karyanya dipublikasi dan menjadi bahan rujukan orang lain. Saran saya untuk guru besar yang plagiat, dia harus segera bertobat dan kembali ke jalan yang benar dengan tidak mengulangi perbuatannya tersebut.

Seandainya universitas tidak tegas menindak plagiator dampak apa yang muncul?

Jika tidak ada ketegasan dalam menangani kasus plagiat, tentunya akan terjadi kemerosotan nilai pendidikan dalam bidang akademik di universitas tersebut. Dan universitas itu menanggung malu berkelanjutan, kalau ingin nama universitas itu bersih maka tindakan universitas harus tegas karena plagiarisme merupakan kejahatan terbesar dalam bidang akademik. Jika tidak ditindak dengan tegas maka akan menyebabkan menjamurnya kasus serupa dalam kampus dan tidak ada kepercayaan dari masyarakat tentang integritas akademik kampus tersebut.

Apakah pemberlakuan jurnal ilmiah memicu suburnya budaya plagiat?

Ya, pemberlakuan jurnal ilmiah menjadi ladang subur budaya plagiat di Indonesia. Saya menulis tentang edaran Dikti tentang jurnal ilmiah, saya rasa itu konyol dan tidak tepat Dikti mengeluarkan kebijakan seperti itu.

Saya rasa, Dikti itu tidak mengerti untuk menumbuhkan budaya menulis di Indonesia itu seperti apa. Di Indonesia budaya menulis itu sangat kurang dan itu saya maklumi, karena di Indonesia dari SD sampai SMA anak-anak tidak pernah diajarkan cara menulis bagus itu seperti apa. Kalau di Jerman dulu waktu saya sekolah di sana ada sebuah kebiasaan di mana anak-anak diajarkan untuk bisa menulis dan nantinya akan terbiasa ketika dia masuk jadi mahasiswa.

Page 10: ISOLA POS 52

10 | | Juni 2012

SORE itu, di lobby Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), tampak seorang mahasiswa

Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan, Ageng Sine Yogi tengah terpaku pada komputer jinjingnya. Ia terlihat asik berselancar di internet dengan membuka beberapa laman web. Iseng, Ageng lantas menuliskan alamat situs www.upi.edu di address bar aplikasi penjelajahnya. Sambil menggeser-geserkan kursor, matanya tertuju melihat informasi seputar UPI yang tersedia di situs itu.

Sejenak Ageng tertegun saat membaca informasi bahwa UPI membuka Program Studi (Prodi) baru yakni Prodi Ilmu Komunikasi (Ikom). “Wah, coba dari dulu ada prodi ini, pasti saya masuk situ, deh,” gumam Ageng. Dalam informasi yang tersedia di laman tersebut, Prodi Ikom UPI membuka

pendaftaran untuk mahasiswa baru tahun ajaran 2012-2013. Prodi yang resmi dibuka pada 20 Mei 2011 ini disahkan melalui Surat Keputusan Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) No. 3288/UN40/DT/2011. Dengan begitu, Ikom merupakan satu-satunya prodi yang bergerak di bidang humas dan jurnalistik yang tergabung dalam FPIPS.

Memang, sejak digantinya nama IKIP menjadi UPI pada 1999, dan UPI berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN), prodi baru non kependidikan (non-dik) semakin menjamur. Dari mulai Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, Prodi Fisika, Prodi Kimia, hingga prodi-prodi non-dik lainnya.

Misalnya, tercatat pada tahun 2005 berdiri Prodi Ilmu Komputer dibawah Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FPMIPA). Selanjutnya, Prodi Kepariwisataan muncul dibawah naungan FPIPS, yakni

Oleh Rifqi Nurul Aslami

Ketagihan Buka Prodi

KAMPUS

Selembar brosur Program Studi Ilmu Komunikasi tengah dibaca oleh seorang mahasiswi. Prodi yang didirikan pada 20 Mei 2012 ini membuka angkatan pertama tahun ajaran 2012/2013

RIFQI/ISOLA POS

Page 11: ISOLA POS 52

11Juni 2012 | |

Manajemen Resort and Leisure (MRL), Manajemen Pemasaran dan Pariwisata (MPP) serta Manajemen Industri Katering (MIK).

Lalu dari Fakultas Pendidikan Teknik dan Kejuruan (FPTK) pun ikut muncul prodi baru non-dik, yakni Teknik Tenaga Elektrik dan Teknik Tenaga Sipil. Bahkan tahun 2010 UPI membuka Prodi Keperawatan Gerontologi yang ikut bergabung dalam Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK).

Menjamurnya prodi-prodi baru non-dik di UPI, mengingatkan kita pada apa yang pernah dikatakan pimpinan UPI. Dalam pidatonya pada Dies Natalis UPI ke-57, Rektor UPI Sunaryo Kartadinata, pernah mengatakan bahwa UPI akan tetap kokoh di atas platform untuk mengembangkan nilai-nilai kependidikan meski telah diberi kewenangan membuka program profesi dan non kependidikan.

Kala itu Sunaryo menegaskan, UPI akan tetap mengembangkan misi pendidikannya. Misi yang dimaksud ialah melahirkan corps pendidik dan tenaga kependidikan dalam membentuk generasi baru yang dijiwai cita-cita kebangsaan. “UPI masih mempertahankan jati dirinya dalam bidang pendidikan,” ujar Sunaryo kala itu. Namun, munculnya prodi non-dik yang tak ada sangkut pautnya dengan pendidikan, seperti Prodi Keperawatan Gerontologi (Perawat Jompo) atau Teknik Tenaga Sipil, seolah menegasikan apa yang dikatakan rektor.

Saat menemui Pembantu Rektor Bidang Akademik dan Hubungan Internasional, Furqon, Ia menjelaskan perihal munculnya prodi Ikom dan prodi non-dik lainnya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk meningkatkan kualitas dan mutu UPI dalam bidang pendidikan. Menurutnya, melalui Prodi Ikom UPI dapat melahirkan lulusan yang kompeten, tidak hanya dalam bidang pendidikan saja. “Yang nantinya dari prodi non-kependidikan ini dapat memberikan sumbangsih ilmu kepada prodi kependidikan,” ujar Furqon.

Furqon menjelaskan terlebih kondisi UPI yang sudah menjadi universitas memberikan kebebasan bagi UPI membuka prodi, baik prodi kependidikan maupun non kependidikan. Jadi, kata Furqon, tidak

salah UPI melahirkan prodi non-dik seperti Ikom. “Nantinya, prodi non kependidikan dapat meningkatkan sumber daya, mutu, kinerja UPI, eksistensi universitas, dan ketersediaan fasilitas penunjang pendidikan,” tutur Furqon.

Terkait bermunculannya prodi baru ini, anggota Dewan Guru Besar UPI, Achmad Munandar menjelaskan bahwa untuk memunculkan prodi sebelumnya harus memenuhi syarat dahulu. Syarat tersebut diantaranya harus sesuai dengan akar keilmuan, juga didukung dengan dosen yang benar-benar berkaitan dengan keilmuan prodi tersebut, dan harus menetap dalam prodi itu. Minimal jumlah dosen yang ada dalam suatu prodi terdapat enam dosen tetap dan dua guru besar.

Berbeda dengan apa yang dikatakan Furqon, Achmad menilai, sebenarnya munculnya prodi-prodi non-dik tidak akan memberikan kontribusi langsung untuk peningkatan kualitas pendidikan UPI. Namun, tidak menutup kemungkinan pula prodi non-dik tersebut bisa bermanfaat kepada lingkungan yang lain.

Membuktikan apa yang dinilai Achmad, kenyataannya memang bermunculannya prodi baru di UPI ternyata tidak dibarengi dengan meningkatnya mutu kualitas pendidikan di UPI. Terbukti salah satunya di prodi non kependidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Prodi yang berdiri sejak 1998 itu hingga sekarang ini belum terakreditasi. Bahkan, prodi kependidikan, seperti Pendidikan Bahasa dan Sastra Sunda yang sebelumnya terakreditasi A malah turun menjadi B.

Achmad memandang, mendirikan prodi baru tidak boleh hanya dilihat dari besarnya jumlah permintaan masyarakat, tetapi harus pula mempertimbangkan pengajar yang berkompeten dalam bidang tersebut dan terkait berbagai akar keilmuannya. “Sehingga dapat menghasilkan ilmuan-ilmuan atau pengajar yang benar-benar berkompeten di UPI ini, dan yang penting dasar keilmuannya harus jelas,” ujar Achmad.

Mahasiswa Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia 2009, Pratiwi Sulistiana pun mengeluhkan hal ini. Kata Pratiwi, lulusan Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia sering menemui kesulitan

ketika hendak melamar perkerjaan maupun mendaftar untuk melanjutkan ke universitas lain. Pasalnya, tidak semua universitas mempercayai ijazah yang mereka peroleh dari UPI karena terganjal akreditasi. ”Jangan hanya karena belum terakreditasi, malah menyulitkan alumni yang ingin mengenyam pendidikan ke jenjang lebih tinggi,” ujar Pratiwi yang biasa dipanggil Tiwi.

Sama halnya dengan Tiwi, mahasiswa Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS), Elita Suratmi mengungkapkan keluhannya terhadap prodinya PIPS yang belum terakreditasi hingga saat ini. “Saya harap PIPS segera terakreditasi, minimal B juga gak masalah,” katanya.

Menurut Elita dengan adanya akreditasi yang jelas tentunya akan lebih memastikan dirinya jika nanti lulus dari UPI. Elita yang kala itu ditemui selesai perkuliahan mengatakan, bukan hanya masalah akreditasi yang belum terselesaikan di PIPS, namun jumlah pengajar di PIPS pun dirasa masih kurang.

Sejak tahun 2009 hingga 2012, dosen tetap yang ada dalam prodi PIPS hanya ada dua dosen tetap, selebihnya hanya dosen-dosen jurusan lain yang mengajar di PIPS. Terkadang hal seperti itu menyulitkan Elita dan teman-teman kelasnya. “Ya, itu mungkin karena jurusan saya jurusan baru,” tutur Elita.

Disinggung persoalan akreditasi, Achmad menjelaskan bahwa akreditasi suatu prodi memang sangat penting, karena akan menjadi bahan pertimbangan ketika para lulusannya mencari pekerjaan. Akreditasi juga dapat dijadikan sebagai bahan untuk penilaian dari masyarakat. “Sehingga jika mahasiswa lulus nanti dengan akreditasi prodinya A, prodi tersebut bisa dipertanggung jawabkan,” terang Achmad.

Selain itu, Achmad menekankan bahwa dibukanya prodi baru di UPI harus dibarengi dengan kesiapan UPI yang matang pula. Jika hal tersebut tidak terpenuhi, tujuan UPI untuk memperkokoh jati dirinya dapat terbantahkan dan hanya berlandaskan permintaan masyarakat saja.

KAMPUS

Page 12: ISOLA POS 52

12 | | Juni 2012

DUA bulan lalu, Maret 2012 kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menjadi bahan perbincangan banyak kalangan. Selain ramai

diberitakan media massa, beberapa organisasi mahasiswa UPI ikut membicarakan hal ini, dari mulai mengkaji hingga turun ke jalan.

Perbincangan tersebut dipicu karena tiga dosen UPI diketahui melakukan plagiarisme pada karya ilmiahnya sebagai syarat utama pengajuan guru besar. Tiga dosen yang dimaksud yaitu Cecep Darmawan; dosen politik di Jurusan Pendidikan Kewarganegaran dan Direktur Pembinaan Kemahasiswaan UPI, B. Lena Nuryanti; dosen Manajemen Bisnis, dan Ayi Suherman; dosen kampus derah Sumedang.

Sanksi pun diberikan kepada ketiga dosen tadi berupa penurunan pangkat dan jabatan setelah dirapatkan oleh Senat Akademik (SA) pada 2 Maret 2012. Sanksi ini berdasarkan Peraturan Pemerintah No.53 tahun 2010 tentang disiplin PNS, Permendiknas No.17 tahun 2010 tentang pencegahan dan penanggulangan plagiat di Perguruan Tinggi, dan Keputusan Senat Akademik No.001/Senat.Akd./UPI-SK/V/2008 tentang Kode Etik Dosen UPI. Selain itu, SA memutuskan untuk menggugurkan persetujuan atas usulan kenaikan jabatan

guru besar kepada ketiga calon guru besar. Artinya, ketiga dosen ini masih melakukan aktivitas mengajar di UPI.

Salah seorang Guru Besar Administrasi Pendidikan UPI, Djam’an Satori mengatakan, secara legal formal keputusan tersebut sah meski merupakan sanksi yang paling rendah. “Yang saya ketahui seperti itu, tapi tinggi rendahnya tergantung pada kultur kelembagaan,” kata Djam’an.

***

Selang beberapa waktu setelah berkembangnya kasus plagiat, pada 6 Maret 2012 UPI langsung mengeluarkan Peraturan Rektor UPI Nomor 1487/UN40/HK/2012 tentang Pedoman Kenaikan Jabatan Fungsional Dosen ke Guru Besar di Lingkungan UPI, yang bertujuan untuk mengatur jalannya pengajuan guru besar agar lebih baik dan bermutu.

Apalagi target penambahan jumlah guru besar semakin meningkat tiap tahunnya. Target saat ini saja seperti yang tertera dalam Rancangan Strategis atau Renstra UPI 2009-2014, jumlah guru besar yang harus dihasilkan sebanyak 125 orang selama setahun. Tentunya ini bukan angka yang kecil. Jumlah tersebut dipertaruhkan. “Kalau tidak mencapai kuota tersebut kinerja universitas dianggap tidak baik,” ujar Ketua

Oleh : Nisa Rizkiah

KAMPUS

Berbenah Setelah Gaduh

ISMAN/ISOLA POS

Nampak seorang mahasiswa tengah memajang poster bertuliskan “Stop Plagiarisme”, saat aksi moralitas menyikapi kasus tiga guru besar UPI yang diduga plagiat.

Page 13: ISOLA POS 52

13Juni 2012 | |

SA UPI, Sihabuddin,

Tidak hanya UPI yang bergegas setelah mencuatnya kasus plagiat. Dikti pun melakukan hal yang sama. Untuk mengantisipasi terjadinya plagiat di semua perguruan tinggi, keluar surat edaran Dikti yang menyebutkan bahwa anggota peer group atau tim penilai dalam pemeriksaan karya tulis ilmiah calon guru besar harus berjumlah empat orang. Semula hanya tiga orang dari universitas yang sama. Kini, dua dari empat orang tersebut berasal dari universitas yang sama, sementara yang dua lagi berasal dari dua universitas yang berbeda.

M e n u r u t S i h a b u d d i n , p e n a m b a h a n anggota peer group dipandang akan membuat mutu calon guru besar semakin baik. Alasannya penilaian yang akan diberikan semakin objektif. Kekurang cermatan dalam pemeriksaan karya tulis ilmiah kata Sihabuddin, menjadi salah satu faktor terjadinya plagiarisme. “Seharusnya setiap halaman dan setiap baris diperiksa dengan teliti, dan yang bersangkutan harus dapat bertanggung jawab,” tegas Sihabuddin.

Pada sosialisasi anti plagiarisme di Auditorium FPIPS UPI tanggal 11 Mei 2012, Kepala Divisi Pelayanan Perpustakaan UPI, Euis Rosinar yang akrab disapa Nana mengatakan, terdapat beberapa faktor terjadinya plagiarisme. Diantaranya para dosen terlalu berlomba-lomba meraih jabatan guru besar dengan tujuan memperoleh tunjangan yang cukup menggiurkan. Besarannya mencapai Rp 15 juta per bulan.

Faktor selanjutnya, kata Nana, kebanyakan orang berorientasi pada skor. Baginya yang terpenting adalah proses, bukan hasil atau prestasi. “Hal semacam ini menandakan akademisi

masih mempunyai consumer mentality atau mentalitas pemakai,” ujarnya. Penyebab lainnya, yaitu karena seorang calon guru besar terlalu sibuk, sehingga yang dilakukan adalah meminta mahasiswa melakukan penelitian kemudian diklaim sebagai karyanya.

UPI dipandang Nana tidak memiliki standar pengutipan karya ilmiah. Terlihat dari kasus plagiat yang terjadi di UPI diduga karena persoalan

pengutipan sumber. Ia berharap, UPI memiliki standar gaya yang sama dalam pengutipan.

Pembantu Rektor Bidang Akademik dan Hubungan Internasional, Furqon mengambil langkah dalam mengantisipasi terjadinya plagiat, yakni dengan menggunakan software pendeteksi adanya plagiat. Menurutnya, UPI sudah membeli software tersebut, namun terdapat pula yang gratis dan UPI sudah mengunduhnya. Nantinya setiap tesis dan disertasi akan diproses terlebih dahulu menggunakan software tersebut.

Dengan software akan terlihat, apakah karya ilmiah seseorang terdapat unsur plagiat atau tidak. Jika terdeteksi terdapat unsur plagiat pada saat bimbingan akan diminta perbaikan. Namun, jika sudah pada tahap akhir, UPI akan mengambil tindakan dengan cara mengeluarkan yang bersangkutan. “Kita berusaha untuk memperbaiki dengan lebih preventif,” jelas Furqon.

Penggunaan software ini difokuskan di Sekolah Pascasarjana dan perpustakaan UPI.

Menanggapi persoalan tadi, salah seorang Guru Besar UPI Chaedar Alwasilah mengatakan, penggunaan software itu seperti black box untuk mendeteksi kecelakaan pesawat. Padahal plagiarisme disebabkan karena human error. “Silahkan saja pakai software itu, tapi jauh lebih penting

menanamkan kejujuran sekaligus ilmu dan praktik academic writing lewat MKDU (Mata Kuliah Dasar Umum-red) itu,” ujar Chaedar.

C h a e d a r melanjutkan, banyak cara lain yang lebih efektif menangani kasus plagiarisme di perguruan tinggi, salah satunya melalui pembelajaran menulis sejak dini. Misalkan saja pada MKDU Bahasa Indonesia, seharusnya bisa memberdayakan budaya menulis akademik. “Sejak tahun 1991 saya mengkritik MKDU

yang kurang fungsional,” kata Chaedar. Menurutnya, dosen mata kuliah ini tidak bisa sembarangan karena dosen MKDU harus bisa berkolaborasi dengan pakar studi lain, seperti kimia, biologi, psikologi dan yang lainnya. Ini dimaksudkan agar MKDU terasa fungsional bagi mahasiswa.

Persoalan latar belakang dosen juga menjadi salah satu pemicu adanya plagiat di banyak perguruan tinggi. Menurut Chaedar, seharusnya dosen yang diangkat berasal dari bekas mahasiswa yang sudah terbiasa menulis. Tujuannya, saat menjadi dosen dia tinggal mengasah ilmunya, bukan keterampilan menulisnya. “Mayoritas dosen di Indonesia lemah academic writing,” jelasnya.

KAMPUS

Press Realease, tentang keputusan Senat Akademik menjatuhkan sanksi kepada tiga calon guru besar yang kedapatan plagiat.

Page 14: ISOLA POS 52

14 | | Juni 2012

KAMPUS

PAGI itu, 1 Mei 2012, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) kedatangan tamu istimewa yang

berasal dari Negeri Sakura. Enam orang tamu yang datang itu merupakan tamu dari Tokyo Metropolitan University (TMU) Jepang. Mereka yang datang langsung diantar memasuki ruangan rapat gedung rektorat UPI. Kedatangan mereka disambut hangat oleh pihak UPI yang diwakili oleh Pembantu Rektor Bidang Akademik dan Hubungan Internasional, Furqon. Tak hanya Furqon, beberapa dosen Prodi Keperawatan dan Dekan Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK), Yudha M.Saputra pun ikut menyambut mereka.

Terdengar percakapan serius antara keduanya. Salah satu dosen dari

Fakultas Health Science TMU, Kinoshita Masanobu mulai mengungkapkan maksud kedatangannya mereka ke UPI. Dalam percakapan itu, terlontar bahwa TMU menawarkan sebuah program pelatihan yang akan diberikan kepada calon perawat Indonesia yang akan bekerja di Jepang. Hal itu dilakukan karena melihat tingkat kelulusan ujian nasional calon perawat Indonesia di Jepang tergolong rendah tiap tahunnya. Ujian nasional merupakan tes yang mesti dilewati oleh para calon perawat Indonesia yang ingin menjadi perawat di Jepang nantinya.

TMU pun menggandeng UPI yang masih terbilang pemain baru untuk memegang program training keperawatan itu. UPI pun menyambut baik tawaran tersebut. “UPI mendukung

penuh kerjasama dengan TMU dalam bidang keperawatan ini,” ujar Furqon. UPI sangat berharap calon perawat di Indonesia memiliki peluang yang lebih besar untuk lolos ujian nasional di Jepang nanti.

TMU menjelaskan bahwa akan ada tiga program utama dalam training keperawatan yang dibuatnya. Program tersebut yaitu first grade yang fokus pada pembelajaran bahasa dan kebudayaan, second grade yang fokus pada pembelajaran keperawatan, dan third grade untuk mempersiapkan ujian nasional. Ketiga program tersebut dilaksanakan dengan menggunakan sistem e-learning.

Kehadiran tamu dari Jepang seakan mengingatkan kembali peristiwa tiga tahun yang lalu, tepatnya pada September

Perjuangan Mencari KepastianOleh Lia Anggraeni dan Rifqi Nurul Aslami

Nampak Perwakilan Universitas Pendidikan Indonesia Yudha M. Saputra dan Nakimura Tengah Rapat Membahas Kerjasama antara Prodi Keperawatan UPI dengan Tokyo Metropolitan University (TMU) di Tokyo, Jepang.

DOK. PRODI KEPERAWATAN UPI

Page 15: ISOLA POS 52

15Juni 2012 | |

KAMPUS

2009. Prodi Keperawatan UPI diajak bekerjasama dengan pihak Kensyokai Social Welfare Corporation dan Takushima Kensyokai Collage of Health and Welfare dari Jepang juga. Nota kesepakatan (MoU) pun ditandatangani. Saat itu Prodi Keperawatan masih dipegang oleh Hamidie Ronald Daniel Ray.

Namun, baru menjabat selama 2 tahun, Ronald tiba-tiba mengundurkan diri dari jabatannya sebagai ketua Prodi Keperawatan. Ronald menceritakan bahwa ia mendapatkan beasiswa untuk belajar ke Australia dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Setelah mendapat restu dari Rektor UPI, Sunaryo Kartadinata, bulan Juni 2012 nanti Ronald akan berangkat ke Negeri Kangguru tersebut. “Di UPI kan ketika sedang menjabat tidak diperbolehkan untuk sekolah lagi, jika ingin melanjutkan sekolah mau tidak mau harus mengundurkan diri dari jabatannya,” tutur Ronald.

Pasca lengsernya Ronald, Iman Imanuddin pun dipilih oleh Dekan FPOK, Yudha untuk menjabat sebagai ketua Prodi Keparawatan yang baru. Otomatis segala tugas dan kerja sama antara Jepang dan UPI yang pernah terjadi pada masa Ronald pun berpindah tangan kepada Iman. Awalnya Iman sempat kebingungan ketika menduduki jabatan barunya tersebut. Salah satunya terkait kejelasan MoU yang ditandatangani Ronald September 2009 lalu. Masih menjadi pertanyaan apakah semua lulusan Prodi Keperawatan sudah pasti akan bekerja di Jepang. “Tidak mungkin semudah itu Jepang menerima, yang namanya keperawatan dari seluruh negara pada saat masuk ke Jepang tetap ada tes,” papar Iman saat ditemui di ruang kerjanya.

Selain nasib lulusan mahasiswa Prodi Keperawatan masih dipertanyakan, belum diakuinya Prodi Keperawatan UPI oleh PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) menambah kekhawatiran Iman. Pasalnya setiap lulusan Keperawatan bisa mendapatkan izin praktek jika mendapat rekomendasi dari PPNI. “Takut tidak lolos ke Jepang,

ya Keperawatan ini harus diakui oleh masyarakat, satu-satunya diakui adalah oleh PPNI,” ujar Imam.

Menurut staff pengajar Prodi Keperawatan, Lisna Anisa Fitriana, pihak PPNI merasa terlangkahi karena sebelumnya UPI tidak memberitahukan kepada PPNI jika akan membuka prodi Keperawatan. “Pihak PPNI merasa terlangkahi lah istilahnya,” ujar Lisna yang mendampingi Iman saat wawancara dengan Isola Pos.

Namun, satu per satu pertanyaan Iman mulai terjawab. MoU antara Kensokai Social Welfare Corporation dan Takushima Kensyokai Collage of Health and Welfare sudah menemukan titik terangnya. Iman menjelaskan bahwa kerjasama yang dijalin lebih difokuskan kepada teleconference. “Jadi ada pembelajaran jarak jauh yang

langsung dilakukan oleh pihak Jepang, khususnya di bidang keperawatan untuk mahasiswa-mahasiswa keperawatan,” kata Iman. Jelas sudah bagi Iman bahwa tidak ada jaminan semua lulusan Prodi Keperawatan akan bekerja di Jepang.

Hal tersebut tak membuat Iman patah arang. Masih ada setitik harapan bagi Iman dan Prodi Keperawatan terkait akreditasi yang sempat akan menghambat lulusan Keperawatan UPI. Iman mengungkapkan bahwa sekarang Prodi Keperawatan tengah memperjuangkan akreditasinya sendiri. “Alhamdulillah semua persyaratan untuk akreditasi sudah beres. Sedang kami jalani sekarang, 80% sedang kita benahi,” jelasnya. Ia pun begitu sumringah ketika

mendapati PPNI memberikan hak dan pengakuan kepada Prodi Keperawatan UPI. “Kami sudah melakukan lobbying dengan PPNI dan mereka sangat welcome untuk memberikan hak ke kita sebagai keperawatan dan bisa diterima di masyarakat,” ujar Iman sambil tersenyum.

Hal tersebut Iman lakukan bersama Prodi Keperawatan dan FPOK untuk memperjuangkan nasib para lulusannya nanti. Ia mengkhawatirkan jika nanti lulusannya tidak lulus ujian nasional di Jepang, setidaknya mereka dapat diakui oleh masyarakat sebagai perawat karena adanya akreditasi tersebut. “Itu pernah membuat down tapi setelah dijelaskan semuanya akhirnya mereka mengerti dan satu-satunya cara adalah dengan mendapatkan akreditasi dan bekerjasama dengan PPNI,” tutur Iman.

Sayang, perjuangan untuk mendapatkan akreditasi yang ditempuh prodi Keperawatan tak mendapat sokongan kuat dari UPI. Hal tersebut terlihat dari seloroh Direktur Direktorat Akademik, Tjutju Yuniarsih kepada Iman. “Gimana pak mau dilanjutin atau ditutup saja,” ucap Iman menirukan Tjutju. Seloroh itu menurut Iman muncul karena pada tahun 2011 Prodi Keperawatan hanya mampu menarik 10 orang mahasiswa baru.

Jauh dibandingkan tahun 2010 yang mampu menyerap 30 orang mahasiswa.

Tentang jumlah mahasiswa Prodi Keperawatan yang menurun, Yudha pun angkat bicara. Menurutnya berkurangnya mahasiswa Prodi Keperawatan pada tahun 2011 karena kurangnya peran UPI dalam mempromosikan Prodi Keperawatan secara luas. Padahal Yudha sempat meminta Ronald untuk mempromosikan Prodi Keperawatan, tapi Ronald mengatakan bahwa hal tersebut diambil alih oleh Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kemitraan. “Namun promosi dari PR 3 itu tidak seperti tahun kemarin. Jadi banyak orang yang tidak tahu,” tuturnya.

Kunjungan Empat Perwakilan Mahasiswa Keperawatan bersama Dosen Keperawatan di Kenysokai University

DOK. PRODI KEPERAWATAN UPI

Page 16: ISOLA POS 52

16 | | Juni 2012

LAPORAN UTAMA

SIANG itu, 10 April 2012, matahari tengah berada tepat di atas kepala. Sengatan panas dan raungan

kendaraan lalu lalang membuat pelataran Gedung Sate Bandung seakan wajan di tungku api. Seolah tak peduli dengan panasnya siang itu, tak kurang dari seratus mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) terlihat khidmat menundukkan kepala sambil melantunkan hymne Darah Juang. “Di negeri permai ini, Berjuta rakyat bersimbah luka, Anak kurus tak sekolah, Pemuda desa tak kerja...Mereka dirampas haknya, Tergusur dan lapar...”

Usai bernyanyi, dengan poster serta spanduk bergurat nada protes ditangan, beberapa kali mereka berteriak menyulut semangat peserta demonstrasi yang lain. “Hidup Mahasiswa! Tolak Komersialiasi Pendidikan!,” teriak mereka lantang sembari mengangkat kepalan tangan disahut teriakan yang lain. Di penghujung unjuk rasa, bersama-sama mereka mulai membakar replika draft Undang-undang (UU) bertuliskan RUU PT, tanda ketidak sepakatan mereka terhadap rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT).

Aksi demonstrasi siang itu merupakan bentuk protes mereka akan munculnya RUU PT. Sebenarnya, isu ini bergulir sejak tahun 2010, pasca Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010 menyatakan UU No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), diketuk tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Efek dari pencabutan UU BHP itu menjadikan ketiadaan payung hukum yang menaungi Perguruan Tinggi (PT) yang berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

PT yang berstatus BHMN itu yakni

Universitas Indonesia (UI), Universitas Gajah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sumatra Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan Universitas Airlangga (Unair). Kontan, pasca ketidakabsahan UU BHP itu, kemudian kedudukan ke tujuh PT BHMN itu ikut tak memiliki naungan hukum untuk menyelenggarakan pendidikan dengan status BHMN.

Akibatnya, kekosongan payung hukum ini melahirkan Peraturan Pemerintah No.66 Tahun 2010. Di pasal 220 A ayat 4 dan 220 B ayat 1, menyatakan bahwa ke tujuh PT yang sebelumnya berstatus BHMN, ditetapkan menjadi Perguruan Tinggi milik Pemerintah (PTP) dengan pola pengelolaan Badan Layanan Umum (BLU). Melalui ketetapan itu, maka atribut keleluasaan otonomi yang semula diberikan semasa BHMN ikut terserabut.

Ketiadaan payung hukum itulah yang akhirnya membuat ketujuh perguruan tinggi eks-BHMN resah sebab keleluasaannya tak lagi berlaku. Akhirnya, seperti dituturkan Guru Besar Administrasi Pendidikan UPI, Djam’an Satori, pasca hilangnya UU BHP, ketujuh PT BHMN ini memperjuangkan UU yang nantinya kembali memberikan otonomi seperti halnya UU BHP.

Bahkan, UU tersebut direncanakan membagi kategori PT dalam hal otonomi, “Yang mandiri, sedang dan kurang, yang mandiri persis dengan BHMN,” katanya saat ditemui Isola Pos tahun lalu.

Djam’an menjelaskan, jika UU itu benar-benar disahkan, nantinya seolah-olah PT terbagi pada tiga kelas. PT kelas I yang kewenangan otoritasnya seperti BHMN, PT kelas II berkategori kewenangan otoritasnya sedang, dan

Kembalinya Pasal BasiOtonomi

Oleh Isman R Yoezron

PT kelas III yang otoritasnya terbatas. “Nantinya seolah-olah ada perguruan tinggi kelas I yang mantan BHMN, ada perguruan tinggi kelas menengah, dan ada perguruan tinggi kelas bawah,” tuturnya.

Djam’an menilai rencana ter se-but sangat tidak masuk akal. Me nu-rutnya, sangat aneh jikalau UU meng-klasifikasikan PT. “Saya sendiri tidak setuju, masa undang-undang meng-klasifikasikan,” katanya.

Jika benar apa yang dikatakan Djam’an, bisa jadi itulah yang menjadi latar belakang hadirnya RUU PT. Kepentingan PT yang semula berstatus BHMN, akhirnya mewacanakan solusi baru bernada sama dengan UU BHP. Setelah ketuk palu dicabutnya UU BHP, mereka tetap tidak sudi untuk kehilangan kebebasannya menahkodai PT.

Benar saja, akhirnya di penghujung 2010, menyeruaklah wacana akan disahkannya RUU PT yang salah satu pasalnya, yakni pasal 77 ayat 1 RUU PT berbunyi “Status pengelolaan Perguruan Tinggi terdiri atas Otonomi Terbatas, Semi Otonomi dan Otonomi Penuh.”

Menurut Pengamat Pendidikan, Darmaningtyas, pengklasifikasian otonomi PT tersebut dinilai percuma dan tidak akan mengubah kondisi apapun. “Pasal ini hanya bermakna penegasan terhadap kastanisasi di PTN, yang selama ini terbagi dalam PT BHMN, PT BLU, dan PTN reguler,” katanya. Akan tetapi, pasal tersebut tidak tegas memberikan fleksibilitas kepada PTN dalam menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Namun belakangan, pembaruan terakhir draft RUU PT tertanggal 31 Maret 2012, pasal itu dihapus. Namun,

LAPORAN UTAMA

ISMAN/ISOLA POS

Page 17: ISOLA POS 52

17Juni 2012 | |

LAPORAN UTAMA

semangat kebebasan otonomi masih ada, yakni termaktub di Pasal 63 ayat 1, “Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya...” Tak di sebutkan klasifikasinya, namun dipasal selanjutnya disebutkan bahwa otonomi dipilih sesuai kemampuan PT masing-masing.

Di pasal berikutnya, lebih tegas lagi RUU ini menjelaskan persoalan otonomi. Yakni Pasal 66 yang menyatakan “...otonomi perguruan tinggi sebagaimana dimaksud diberikan secara selektif berdasarkan kinerja oleh Menteri kepada Perguruan Tinggi Negeri yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum dan Perguruan Tinggi Negeri berbadan hukum untuk menghasilkan sumber daya manusia unggul dan ilmu pengetahuan.”

Artinya, kelak jika jadi RUU PT ini disahkan menjadi UU, maka PT bebas memilih otonomi yang disesuaikan de ngan kemampuannya. Bahkan, tak hanya otonomi yang didapatkan, melainkan dibuka kesempatan PTN untuk membentuk badan hukumnya sendiri.

Badan hukum yang dimaksud, disebutkan pada ayat 2 Pasal itu yakni PTN memiliki tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri; unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi; hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel; wewenang meng angkat dan memberhentikan pegawai sendiri; mendirikan badan usa ha dan mengembangkan dana abadi; menyelenggarakan dan menutup program studi; dan wewenang untuk mengelola kekayaan Negara yang dipisahkan kecuali tanah.

Atas persoalan ini Darmaningtyas menilai, sebenarnya PT memang memerlukan otonomi baik akademik maupun non akademik, akan tetapi jika otonomi tersebut hanya berlaku untuk PTN tertentu dan disertai dengan perubahan status kelembagaan dengan membantuk badan hukum baru, maka hal tersebut hanya akan menambah masalah baru.

Pasalnya, jika membentuk badan hukum, dana operasional PT dicari oleh PT sendiri. “Selama ini yang ada di PTN kita adalah otonom dalam mencari dana saja, yang kemudian berdampak tingginya SPP mahasiswa,” katanya. Konsep otonomi yang ia tawarkan ialah seperti halnya otonomi di negara Eropa atau Australia. Disana, dana operasional PTN berasal dari pemerintah, namun pengelolaannya secara penuh menjadi otoritas PT, bukan seperti poin ayat 2 tadi yang terkesan memberi kewenangan mencari duit sendiri melalui badan usaha.

Pendapat Darmaningtyas tadi

sejalan saat Isola Pos berbincang dengan Praktisi Hukum Tata Negara, Endang. Menurut Endang, dalam kacamata hukum tata negara, tidak ada yang dinamakan otonomi di Perguruan Tinggi. Apalagi otonomi dalam bidang finansial ataupun kelembagaan, “Yang ada di Perguruan Tinggi itu hanya otonomi keilmuan dan akademik saja,” cetus Endang.

Artinya, dalam sudut pandang hukum tata negara, institusi negara yang menghendaki otonomi apalagi otonomi penuh, jelas tidak memiliki rujukan hukum, “Otonomi penuh? nggak ada itu,” ujar Endang. “Juga tidak ada otonomi menyangkut keuangan, saklek!,” tambahnya. Adapun, otonomi yang selama ini disalah artikan ialah hanya kewenangan yang dimiliki lembaga, namun hal tersebut juga terbatas oleh UU atau PP, “jadi bukan otonomi,” tegas Endang.

Bagi Endang, keinginan PT untuk otonomi apalagi kehendak otonomi keuangan, dinilainya tidak penting. “Yang penting itu semangat penyelenggaraan untuk kepentingan Bangsa dan Negara,” ujarnya. Jika otonomi dengan spirit keleluasaan mencari keuangan, lembaga (PT) eksistensinya tak akan tetap bersinambung memelihara warga negara untuk tetap mengikuti pendidikan. “Jangan sampai, ketika datang ke lembaga pendidikan, jadi mundur karena tidak ada uang,” ujar Endang.

Selain itu, Endang juga menegaskan bahwa jika PT diberikan otonomi akan tidak sesuai dengan nafas UUD 1945. Karena sistem pendidikan wa-jib dikelola oleh negara, melalui ke-men trian pendidikan dan kebudayaan, penyelenggaraannya dibawah peng-awasan dan kendali pemerintah. “Ber-tentangan dengan UU (Sisdiknas-red) apalagi dengan UUD 1945,” tegasnya.

***

RUU PT Tak Jelas dan Buang DuitSemenjak wacana penggodokan

RUU PT ini menyeruak ke khalayak, berbagai reaksi muncul dari para pakar. Banyak yang memandang RUU PT ini hanyalah plagiasi dari UU BHP yang dibatalkan MK. Terutama yang giat mendesak munculnya RUU ini ialah PT BHMN yang naungan hukumnya hilang. “Faktanya memang menjadi pengganti UU BHP yang dibatalkan MK,” kata Darmaningtyas.

Namun menurutnya, munculnya RUU PT ini merupakan pemikiran yang keblinger. Yang menjadi dalih RUU PT ini seakan-akan perlu ialah anggapan bahwa saat UU BHP batal, seolah-olah terjadi kekosongan hukum. Padahal, menurut Darmaningtyas hal itu jelas

sama sekali tidak benar, pasalnya UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional masih tetap eksis.

Memang, termaktub dalam dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat 3 berbunyi, “Pemerintah mengusahakan dan me-nye lenggarakan satu sistem pen didikan nasional, ..., yang diatur dengan undang-undang”, beramanatkan Pemerintah wajib membentuk hanya satu UU yang mengatur sistem pendidikan nasional.

Dan UU No.20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dibuat merujuk amanat UUD 1945 pasal 31 ayat 3 tadi, yang didalamnya juga termasuk mengatur tentang Perguruan Tinggi. Dan sebagaimana pada pasal 20 ayat 4, UU tersebut mengamanatkan untuk membentuk PP untuk mengatur PT. “Amanat sisdiknas tidak untuk membuat UU baru, melainkan PP,” kata Darmaningtyas. “Karena itu pembuatan RUU PT ini tidak punya rujukan yang jelas,” tambahnya.

Hal senada juga diungkapkan pakar hukum tata negara yang juga dosen UPI, Astim Riyanto. Menurutnya, muncul RUU PT tersebut sangat bertentangan dengan UU yang sudah ada (UU No.20 tahun 2003). Secara hukum, menurut Astim, tak perlu lagi ada UU akan tetapi cukup dengan Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana diamanatkan UU Sisdiknas. “Ini sangat memaksakan kehendak, ya nggak bisa lah!,” ujar Astim saat dihubungi Isola Pos beberapa waktu lalu.

Astim mengatakan, RUU PT jika tetap diteruskan akan sangat rentan dibatalkan kembali seperti nasib UU BHP. Karena, menurut Astim, RUU PT ini mengatur bentuk tidak mengatur fungsi penyelenggaraan pendidikan, “Nanti masyarakat akan Judicial Review, akhirnya pasti dibatalkan.” Selain itu, kata Astim, jika sudah jelas akan bertentangan, penggodogan RUU PT ini jadinya hanya buang-buang duit semata.

Pandangan tersebut juga dikuatkan oleh pendapat Endang. Menurutnya, RUU PT yang tengah digodok itu merupakan kemunduran. Pasalnya, kata Endang, UU Sisdiknas juga sudah cukup dan memiliki kekuatan hukum yang jelas. Secara logika hukum, UU Sisdiknas merupakan amanat UUD 1945, dan di UU Sisdiknas tersemat amanat untuk membuat PP bukan UU baru lagi.“Tinggal PP saja, tak perlu undang-undang, PP juga sudah ada jadi buat apa lagi?,” katanya.

Akankah nanti RUU PT yang disinyalir menyalahi logika hukum dan hanya buang anggaran negara tetap akan disahkan? “Itu kan kebijakan politis,.. nggak ada otonomi dalam sudut pandang pendidikan saya (Hukum Tata Negara-red),” kata Endang.

Page 18: ISOLA POS 52
Page 19: ISOLA POS 52

19Juni 2012 | |

Page 20: ISOLA POS 52

20 | | Juni 2012

LAPORAN UTAMA

UNIVERSITAS Pendidikan Indonesia (UPI) pada 12 April 2012, memulai

babak baru dalam perjalanan panjang menemukan identitasnya. Melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 43 Tahun 2012, resmilah UPI menjadi Perguruan Tinggi Pemerintah (PTP).

Saat Perpres tersebut berlaku, sebagaimana tersurat dalam pasal 4 maka semua kekayaan, hak, dan kewajiban UPI sebagai Perguruan Tinggi (PT) Badan Hukum Milik Negara (BHMN) menjadi kekayaan, hak, dan kewajiban UPI sebagai PT yang diselenggarakan oleh Pemerintah.

Artinya, legalitas penyelenggaraan UPI sebagai BHMN, tak lagi berlaku serta beralih status menjadi PTP. Hal tersebut diawali dengan dibatalkannya Undang-undang No.9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) oleh Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010 lalu.

Pasca batalnya UU BHP, PT yang berstatus BHMN termasuk UPI tak lagi punya sandaran hukum. Akhirnya, enam bulan kemudian, 28 September 2010, terbitlah Peraturan Pemerintah No.66 tahun 2010 yang di dalamnya, pada Pasal 220 A ayat 4 menetapkan PT yang berstatus BHMN dialihkan menjadi PT yang diselenggarakan oleh pemerintah.

Peralihan status ini diberi jangka waktu sampai tiga tahun

semenjak PP tersebut ditetapkan. Dan Perpres No. 43/2012 merupakan jawaban dari peraturan tersebut. Perpres ini

menandai rujuknya UPI dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), setelah “dicerai”

melalui PP No.6 tahun 2004 yang menetapkan UPI sebagai BHMN

delapan tahun lalu.

Namun, alih-alih bahagia, UPI justru seakan tertimpa

petaka. Seperti yang dikatakan Pembantu Rektor bidang Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan UPI, Aminudin Aziz, kembalinya UPI menjadi satuan kerja dari Kemendiknas merupakan sebuah pengekangan.

Memang, saat berstatus sebagai BHMN,

UPI seakan bebas dari intervensi pemerintah. Kewenangannya sebagai badan hukum, membuat UPI bebas mengatur dirinya sendiri. Misalnya,

mulai dari buka tutup prodi atau jurusan, mengangkat dosen dan karyawan,

mencari dana mandiri, sampai pada

menetapkan tarif masuk menjadi kewenangan penuh UPI. Sekarang, saat berstatus

PTP, semua kewenangan itu tak lagi dimiliki.

“Ini kan menjadi tidak otonom lagi, tidak ada

kewenangan lagi untuk mengatur diri sendiri, semua ya terserah sana (Kemendikbud-red) saja. Ini kan membunuh kreatifitas,” keluhnya saat ditemui Isola Pos di ruang kerjanya.

Selain itu, kata Amin, dengan menjadi PTP, pengelolaan

Menunggu Bebas LagiOleh Siti Haryanti

Page 21: ISOLA POS 52

21Juni 2012 | |

LAPORAN UTAMA

keuangan dikembalikan kepada pemerintah, PT tidak memiliki keleluasaan dalam hal penggunaan dana. Jika memiliki otonomi UPI bisa mengatur sendiri kebutuhan dan pengeluarannya. Sehingga jika ada sisa bisa ditabung untuk keperluan masa depan tidak perlu dikembalikan ke pemerintah.

Berakhirnya episode BHMN dan dimulainya status UPI jadi PTP menjadi pertanda kembalinya UPI sebagai instansi pendidikan yang dikelola oleh Negara. Penilaian tentang status BHMN yang disebut-sebut sebagai swastanisasi, kini berakhir sudah.

Sebelumnya, memang santer terdengar UU BHP yang menaungi BHMN dinilai merupakan liberalisasi pendidikan yang sarat akan praktik komersialisasi. Seperti yang dikatakan Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, H.A.R Tilaar, pada saat ramai perdebatan tentang pengesahan UU BHP pada 2005 lalu. Ia menyatakan, rencana pemerintah membentuk Badan Hukum Pendidikan adalah bagian dari praktik neo-liberalisme dunia pendidikan. “Jelas agenda neo-liberalisme, pemerintah terlihat ingin cuci tangan dari tanggung jawabnya pada pembiayaan pendidikan,” ujarnya.

***

Kini, tiga tahun pasca pembatalan UU BHP, semangat otonomi Perguruan Tinggi berbadan hukum kembali didengungkan. Hal ini ditandai dengan digodoknya Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) oleh pemerintah. Disinyalir, RUU PT yang saat ini sedang digodok merupakan prakarsa tujuh eks-PT BHMN yang menginginkan kembali otonomi (Lihat: Kembalinya Pasal Basi Otonomi).

Aminudin Aziz mengatakan, PT yang semula BHMN merasa “dikekang” saat kembali sebagai PT yang diselenggarakan pemerintah. Ia juga menjelaskan bahwa UPI menginginkan otonomi, sehingga bebas untuk mengatur diri sendiri. Pasalnya, UPI selama ini sudah nyaman dengan kebebasannya dalam mengelola penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. “Ya jelas, kita mau itu!” tegas Amin.

Amin bahkan menegaskan UPI akan memilih otonomi penuh berbadan

hukum. “Masak kita sudah berdiri 58 tahun, kita mau disamakan dengan Perguruan Tinggi kemarin sore,” ujarnya.

Jika RUU PT jadi disahkan, UPI akan kembali menghirup udara kebebasan dalam tata kelola dan pengambilan keputusan, mengelola dana secara mandiri mengangkat dan memberhentikan pegawai, mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi, menyelenggarakan dan menutup program studi, serta mengelola kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah.

Menanggapi penilaian sebagian kalangan yang menganggap bahwa RUU PT ini merupakan bentuk liberalisasi pendidikan, Amin membantahnya. Ia pun meragukan penilaian beberapa kalangan bahwa UU BHP merupakan suatu bentuk komersialisasi di dunia pendidikan. “Kalau dikatakan oh dengan BHMN UPI sekarang jadi mahal, saya ragu,” tuturnya.

Padahal, sejak berstatus PT BHMN biaya masuk UPI terus naik dan tahun 2011 UPI juga menaikkan biaya SPP hingga dua kali lipat. Namun, Aminudin menilai hal tersebut sesuai dengan peningkatan program yang dijalankan UPI jika dibanding sebelum berstatus PT BHMN. “Jumlah program untuk mahasiswa, untuk dosen itu terus bertambah,” ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, salah seorang mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah angkatan 2000, yang sekarang melanjutkan studinya di Sekolah Pascasarjana UPI, Endin Hardianto mengungkapkan, memang ada perbedaan baik dari sisi akademik maupun kegiatan kemahasiswaan saat UPI berstatus PT BHMN. Menurutnya, saat berstatus PT BHMN, dana untuk kegiatan kemahasiswaan lebih besar. “Mungkin karena pemasukannya juga banyak kali, ya,” ucapnya.

Selain itu, Ia menilai beasiswa juga lebih banyak jika dibanding saat berstatus PTN. Namun di sisi lain Endin menyatakan kurikulum menjadi lebih sedikit. “Jadi mahasiswa lebih cepat lulus,” ucapnya.

Ketua Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan, Restu Nur Wahyudin pun turut angkat bicara. Berbeda dengan Endin, Ia menyatakan tidak merasa ada

peningkatan program untuk mahasiswa baik dari sisi akademik maupun kegiatan kemahasiswaan. “Dari dulu alat-alat lab (laboratorium-red) gitu-gitu aja, gak ada yang beda,” ujarnya.

Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Republik Mahasiswa UPI, Hamdan Ardiansyah, tak mau ketinggalan. Ia angkat bicara perihal keinginan UPI yang akan memilih otonomi penuh tersebut. Hamdan menyatakan jika otonomi di bidang akademik tidak menjadi masalah. Namun, jika di bidang keuangan Hamdan kurang sepakat. “Nyatanya hari ini otonomi kampus hanya dijadikan topeng, orientasinya bagaimana menambah pendanaan,” ujarnya.

Dari sudut pandang pengelolaan, Guru besar Administrasi Pendidikan, Johar Permana mengatakan pemberian otonomi hendaknya diikuti dengan kematangan dan profesionalitas lembaga tersebut. Jika tidak, maka akan menimbulkan masalah. “Sekarang diberikan otonomi malah kasus korupsinya merebak di mana-mana,” tuturnya.

Menanggapai otonomi di PT yang dinilai sarat akan komersialisasi, Johar menyatakan bahwa otonomi mestinya memberikan ruang kepada setiap lapisan masyarakat khususnya yang memiliki ekonomi lemah untuk dapat mengakses PT. “Jangan kemudian Perguruan Tinggi otonom tapi mahasiswa yang DO (drop out-red) nya banyak karena masalah finansial, jelas itu ada indikasi komersialisasi,” ujarnya sambil tertawa lepas.

Johar pun mengatakan jangan sampai otonomi hanya dijadikan alat untuk mendapatkan keuntungan semata. “Jangan kemudian meminta otonomi tapi di balik itu adalah mencari keuntungan secara finansial,” ujarnya.

Selain itu, menurut Johar otonomi berbadan hukum bisa diberikan jika sarana yang dimiliki telah memadai dan telah akuntabel. Ia pun mengatakan ketika otonom sebuah lembaga pasti memiliki kualitas yang tinggi. “Keliru kalau orang bilang otonom tapi kualitasnya tidak baik,” ujar Johar.

Page 22: ISOLA POS 52

22 | | Juni 2012

LAPORAN UTAMA

DI TENGAH geliat penolakan pembahasan Rancangan Undang-undang Perguruan

Tinggi (RUU PT), dengan percaya diri Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) langsung memantapkan keinginannya untuk memilih otonomi berbadan hukum.

Ditemui seusai mengajar, Pembantu Rektor Bidang Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan UPI, Aminudin Aziz mengungkapkan, “Inginnya Perguruan Tinggi yang berbadan hukum dong, kelas yang tertinggi,” ujar Aminudin.

Keinginan UPI untuk memiliki otonomi penuh bukan tanpa alasan. Kebebasan dalam mengatur diri sendiri di bidang akademik maupun pengelolaan keuangan menjadi alasan utama pilihan tersebut. Meski dinilai beberapa kalangan sarat komersialisasi, hal itu tak menyurutkan keinginan UPI. “Ya kalau kita karena sudah mengalami otonom ya maunya kita otonom,” tegas Aminudin.

Begitupun Ketua Senat Akademik, Sihabudin, meski tidak secara langsung, otonom penuh sudah dipastikan akan dipilih. Sempat ia membandingkan, semenjak UPI menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), peningkatan di berbagai aspek sudah dilalui. “Jumlah mahasiswa dulu berapa sekarang berapa, jumlah dosen dengan kualifikasi S3 berapa, anda bisa bandingkan sendiri,” tutur Sihabudin kepada Isola Pos.

Aminudin juga mengatakan, dengan kewenangan penuh untuk mengatur diri sendiri terbukti menghasilkan peningkatan jumlah program di UPI. Ia mencontohkan, penelitian dosen dari tahun ke tahun terus meningkat. “Aktivitas penelitian dosen besar sekali

Belum Matang Jika Otonom Penuh

Oleh Siti Haryanti

ISMAN/ISOLA POS

Page 23: ISOLA POS 52

23Juni 2012 | |

LAPORAN UTAMA

peningkatannya,” ujar Aminudin.Tapi, apa yang dikatakan Aminudin

berbeda dengan data yang berasal dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UPI. Tercatat, dalam kurun waktu 5 tahun (2005-2010) penelitian dosen yang sumber dananya dari UPI hanya sebanyak 718 penelitian dan 291 penelitian bersumber dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

Padahal, jika dibandingkan, sebelum UPI menjadi BHMN, yakni semasa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) jumlah penelitian dosen tak jauh beda. 21 tahun yang lalu, dalam kurun waktu 1987-1991, tercatat IKIP mampu menghasilkan 800 judul penelitian yang melibatkan 650 peneliti per tahunnya.

Melihat keinginan kuat UPI yang menginginkan status otonom penuh, Guru Besar Administrasi Pendidikan, Johar Permana menilai UPI belum cukup matang untuk menjadi otonom penuh berbadan hukum. Sebab menurutnya, belum semua unsur di UPI memiliki kemampuan yang memadai untuk menjadi otonom.

Johar mencontohkan, dari sisi pengelolaan keuangan, UPI masih belum cukup profesional dalam mengelola keuangan secara mandiri. Menurut Johar, fungsi kontrol dari Satuan Audit Internal (SAI) masih belum berjalan dengan baik. “SAI nya orang kita sendiri, mana dosen pula,” ujarnya dilanjutkan dengan tawa lepas.

Penilaian tersebut bukan sembarangan, namun didasarkan pada pengamatan Johar terhadap pengelolaan UPI selama berstatus Perguruan Tinggi BHMN. Menurutnya, selama ini kemampuan Sumber Daya

UPI dalam mengelola keuangan masih kurang. “Sekarang UPI, apa sudah siap menyediakan sekian banyak akuntan masuk dalam setiap unit terkecil? hal seperti ini harus secara jujur kita baca,” ucap Johar.

Saat ini menurut Johar UPI masih membutuhkan kontrol dari pemerintah khususnya dalam pengelolaan aset dan keuangan. “Dampak dari ketidakmatangan, disertai dengan sistem yang belum berfungsi bisa tergelincir lah kepentingannya, visinya bisa tergelincir,” ungkap Johar.

Memang, jika melihat pada draft RUU PT revisi April 2012, prinsip utama yang harus dipenuhi PT yang akan berbadan hukum adalah menjunjung tinggi akuntabilitas dan transparansi. Namun, setelah hampir delapan tahun memiliki otonomi berbadan hukum, saat berstatus BHMN, UPI masih belum memenuhi dua prinsip tersebut. “Saat otonomi harusnya semua data itu sudah on line dan bisa diakses oleh semua orang, tapi sekarang kan aduh..,” kata Johar menyangsikan.

Begitupun menyoal transparansi, sampai hari ini suara sumbang masih terdengar jika berbicara persoalan transparansi pengelolaan keuangan di UPI. Informasi penggunaan dana praktikum misalnya, hal ini masih sulit diakses oleh sivitas akademika. (Baca: Mengendus Dana Praktikum)

Atas hal ini, kekhawatiran muncul dari Ketua Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Zulfa Nasrulloh. Ia mengatakan jika pengelolaan keuangan diberikan kepada UPI, maka akan terjadi privatisasi oleh pejabat UPI. “Contohnya saja kenaikan biaya masuk yang naik 100 %, dari situ

sudah terlihat UPI tidak siap mengelola keuangan secara otonom,” ucap Zulfa.

Komisi Pengawasan Dewan Perwakilan Mahasiswa Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah, Ilham Gilang pun angkat bicara. Menurutnya otonomi dalam bidang keuangan baik, asal semangatnya tidak untuk memeras mahasiswa. Namun, Ia menyayangkan pelaksanaan otonomi selama ini justru mengakibatkan kenaikan biaya kuliah. “Sekarang kan malah jadi ekslusif, masyarakat ekonomi lemah takut masuk UPI,” paparnya.

Senada dengan mereka, Praktisi Hukum Tata Negara, Endang pun khawatir disaat RUU PT disahkan, akan muncul pandangan pragmatis dari PT yang memilih otonomi berbadan hukum. Endang menilai, situasi ini akan membahayakan bagi rakyat yang kemampuan ekonominya lemah. “Ini yang harus dicermati, apakah sudah sesuai dengan suasana ekonomi masyarakat?,” tanya Endang.

Kalau diberikan otonomi secara penuh, menurut Endang, akan menjadi bahaya karena tingkat pengendaliannya tidak akan seefektif ketika PTN, “Karena merasa sudah berdiri sendiri, sudah bisa melakukan kebijakan-kebijakan sendiri.”

Padahal, kekhawatiran Endang itulah, yang justru menjadi tujuan UPI memilih otonomi berbadan hukum. Seperti kata Aminudin, saat ditanya UPI pilih mana, Aminudin dengan mantap menjawab, “Otonomi berbadan hukum dong, karena supaya bisa mengatur, mengatur diri sendiri, gitu,” ujarnya.

IKLAN

Page 24: ISOLA POS 52

24 | | Juni 2012

LAPORAN UTAMA

Hamdan Herdiansyah(Ketua BEM Rema UPI)

“Dari RUU PT ini banyak sarat dengan komersialisasi dan liberalisasi, apalagi dengan adanya konsep internasionalisasi

pendidikan yang seolah negara lain seenaknya saja berada dalam negara kita. Di RUU PT ada semangat mengomersialisasikan

pendidikan. Boleh jadi pendidikan itu mahal namun, pendidikan bukan menjadi tanggung jawab masyarakat”.

Apa Kata Mereka Tentang RancanganUndang-undang Perguruan Tinggi (RUU PT)

M.Aldi Febrian(Kepala Departemen Advokasi dan P2M UKSK UPI)

“Kalau saya mengamati RUU PT ini merupakan suatu skema pemerintah di sektor pendidikan, di mana pendidikan hari ini diserahkan kepada persaingan pasar internasional yang kemudian akan berdampak terkikisnya nilai-nilai filosofis

pendidikan”.

Fajar Abdullah Azzam(Menteri Pendidikan BEM Rema UPI) “Ia gagal secara hukum. Hukum di Undang-Undang (UU) Sisdiknas pasal 24 ayat 4 menyatakan bahwa pengaturan tentang PT (Perguruan Tinggi-red) itu dilaksanakan dengan PP (Peraturan Pemerintah-red) bukan UU (Undang-undang-red)”.

Adi Saputra(Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan) “Pemerintah harus secara bijak dalam membuat regulasi terutama dalam bidang pendidikan, bisa jadi ini merupakan cara lain pemerintah dalam rangka upaya liberalisasi pendidikan di Indonesia. Secara, BHMN dan Undang-undang BHP mengalami jalan buntu. Kita hanya berharap agar Pendidikan Tinggi ini semakin terjangkau oleh setiap anak bangsa, bukan hanya sekedar berkualitas. Jika nyatanya nanti

RUU PT berhasil diundangkan malah semakin meresahkan, lalu kemudian biaya Pendidikan Tinggi semakin mahal, ini merupakan kegagalan reformasi dalam bidang pendidikan”.

Asep Abdul Aziz(Ketua Senat Mahasiswa FIP)“RUU PT sebenarnya merupakan kedok dari UU BHP. Adanya komersialisasi pendidikan yang membolehkan Perguruan Tinggi asing membuka kampus di Indonesia merupakan bentuk penindasan bagi pendidikan di Indonesia. Ini seharusnya menjadi koreksi bagi pemerintah Indonesia”.

Setiawan Hidayat(Ketua Umum Kajian Ilmu Keislaman UPI)

“Menurut saya RUU PT tidak jauh berbeda dengan BHP (Undang-undang Badan Hukum Pendidikan-red) yang kemarin.

Di dalamnya berisi tentang lepasnya tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat mengenai pendidikan. Hal ini tercermin dari

keharusan PT untuk mandiri”.

Pasal Kontroversi RUU PT(Revisi April 2012)

Pasal 66

(1) Otonomi pengelolaan perguruan tinggi meliputi bidang akademik dan bidang non akademik.

Pasal 67

(1) Penyelenggaraan otonomi perguruan tinggi dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk badan hukum untuk menghasilkan pendidikan tinggi bermutu.(3) PTN badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki:

1. tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri;2. unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi;3. hak mengelola dana secara mandiri, transparan, dan akuntabel;4. wewenang mengangkat dan memberhentikan pegawainya sendiri;5. wewenang mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi;6. wewenang untuk menyelenggarakan dan menutup program studi; dan7. wewenang untuk mengelola kekayaan negara yang dipisahkan kecuali tanah.

Pasal 75

(1) Pemerintah, Pemerintah daerah, dan/atau perguruan tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik.(2) Pemenuhan hak mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara memberikan:

1. beasiswa kepada mahasiswa berprestasi;2. bantuan atau membebaskan biaya pendidikan; dan/atau3. pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.

Pasal 89

(3) Pemerintah mengalokasikan dana bantuan operasional PTN paling sedikit 2,5% (dua koma lima persen) dari anggaran fungsi pendidikan.

Pasal 90

(1) Perguruan Tinggi negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan tinggi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 25: ISOLA POS 52

25Juni 2012 | |

LAPORAN UTAMAADVETORIAL

2012 STAR OF FPMIPA1. Srie Mulyati (Mahasiswa Berprestasi)2. Arief Hidayat, S.Pd., M.Si. (Dosen Berprestasi), 3. Dr. Hernani, M.Si. (Ketua Program Studi Berprestasi), 4. Drs. H. Jajang Saefulloh (Pengelola Keuangan Berprestasi), 5. Drs. Rindang Supriatno (Pengelola Akademik Berprestasi), dan 6. Iin Maemunah, S.Pd. (Laboran Berprestasi).

Dosen FPMIPA Studi Lanjut di Luar Negeri: 1. Lala Septem Riza, S.Si., M.T. (Spanyol),

2. Drs. Suhendra, M.Ed. dan Tuszie Widhiyanti, S.Si., M.Pd. Australia), 3. Heli Siti Halimatul Munawaroh, S.Pd., M.Si. dan Irma Rahma Suwarma, S.Si., M.Pd. (Jepang)

Dosen yang Meraih Gelar Doktor: 1. Galuh Yuliani, S.Si., M.Si. (Monash Australia),

2. Dr. Ir. Aan Hasanah, M.Pd. (UPI, Indonesia)Short Training Dosen di Luar Negeri: 1. Jajang Kusnendar, S.T., M.T. (USA),

2. Imam Nugraha Albania, S.Si., M.Pd. (Jepang)

Pengukuhan 4 Guru Besar: 1. Prof. Dr. Fransisca Sudargo, M.Pd. (Guru Besar Bidang Pendidikan Biologi), 2. Prof. Hj. Hertien Koosbandiah Surtikanti, M. Sc. ES., Ph.D.(Guru Besar Bidang Biologi Lingkungan), 3. Prof. Dr. H. Nanang Priatna, M.Pd. (Guru Besar Bidang Pendidikan Matematika), 4. Prof. Dr. H. Darhim, M.Si. (Guru Besar Bidang Pendidikan Matematika)Peserta Teaching Practice di Warragul Australia: 1. Dea Kaniawati (Prodi Pendidikan Matematika), 2. Ari Raharja (Prodi Pendidikan Kimia), dan 3. Octy Viali Zahara (Prodi Pendidikan Biologi)Peserta Pertukaran Mahasiswa Ke Kanada: Srie MulyatiPeserta Short Course IELSP di University Kansas USA: Siti Asri S.L10 Mahasiswa Masuk Seleksi ON MIPA Tingkat Nasional: • Matematika (Salwa Nursyahida, Sofihara Al Hazmi, Sugiri Aryanto, Wahyu Hidayat, Winda Yulia), • Kimia (Ari Raharja, Hasanudin, Risma Yulistiana), • Fisika (Imam Akbar Ramadhan), • Biologi (Amalia Pratiwie)Pengajar Muda Indonesia Mengajar: Verawati, S. Pd. Persetujuan Pembukaan Program Studi Pendidikan Fisika dan Pendidikan Kimia Jenjang S2 oleh Senat Akademik UPI 32 Proposal PKM dibiayai Dikti

MENGUCAPKAN SELAMAT ATAS BERBAGAI PRESTASI YANG SUDAH

DIRAIH

Page 26: ISOLA POS 52

26 | | Juni 2012

KEMAHASISWAAN

MAHASISWI semester empat itu nampak serius menekuri laptop di hadapannya. Ia tengah

mengerjakan tugas menulis surat pembaca, yang ditugaskan dosennya. Dari beberapa ide di kepalanya, ada satu persoalan yang membuatnya gundah sejak semester pertama. Maka menulislah ia mengungkapkan kegelisahan yang dirasakan sejak lama.

Ditulis awal Mei lalu, surat pembaca berbahasa Sunda itu mempersoalkan penggunaan dana praktikum. Tertulis dalam surat itu: “Nepi ka tingkat dua Sim kuring jadi Mahasiswa di Jurusan ieu, sim kuring can apal kana fungsi duit praktek anu dibayar ku mahasiswa, anu dibaréngan ku mayar SPP unggal semester, padahal unggal semester

kuring jeung sakabéh mahasiswa kudu mayar duit praktikum éta.”

Nabilla Azmi penulisnya, Mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa Sunda ini merasa tak pernah merasakan uang praktikum, padahal tiap semester Ia tak pernah absen membayar sebesar Rp 250.000.

Kegundahan Nabila itu belum pernah terjawab. Sampai saat Isola Pos mengkonfirmasi Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Dingding Haerudin, ternyata jawabannya uang itu sebagian dialokasikan untuk kegiatan mahasiswa. “Seperti teater mahasiswa,” ujar Dingding.

Tidak hanya itu, Dingding menyatakan dana praktikum juga digunakan untuk berbagai keperluan.

Seperti untuk memperbaiki sarana dan prasana jurusan, laboratorium bahasa, kunjungan mahasiswa, bahkan untuk honor dosen. Meski demikian, Ia mengatakan menggunakan dana praktikum sesuai prosedur dan Rancangan Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) universitas.

Berbeda dengan Nabilla, Ketua Himpunan Mahasiswa Pendidikan Geografi, Ricky Ramadhan mengatakan dirinya sangat sering melakukan kegiatan praktikum, selama satu semester ini ia telah lima kali melakukan praktikum. Tapi, kata Ricky bantuan uang dari jurusan sangat kecil. “Tiap semester kita bayar Rp 500.000, dibantu jurusan Rp 10.000 untuk tiap mata kuliahnya,” ujarnya menyayangkan.

Mengendus Dana PraktikumOleh Farid Maulana

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Geografi tengah mengikuti kuliah praktikum lapangan di Tempat Pembuangan Akhir Subang .

RESTI/ISOLA POS

Page 27: ISOLA POS 52

27Juni 2012 | |

KEMAHASISWAAN

Selain itu, pengadaan peralatan untuk praktik juga jadi sorotan. Ricky mengungkapkan, jika uang praktikum digunakan untuk membeli peralatan praktek lapangan tidak masalah, tapi kenyataannya mahasiswa kesulitan saat praktek di lapangan akibat minimnya alat. Merasakan hal itu, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Geografi menanyakan penggunaan dana praktikum kepada ketua jurusan dalam sebuah diskusi. Namun, mahasiswa tidak mendapatkan jawaban pasti.

Saat ditemui Isola Pos, Ketua Jurusan Pendidikan Geografi, Epon Ningrum, mengakui hanya memberikan

dana Rp 10.000 untuk praktikum setiap mata kuliah. Epon mengatakan tidak pernah mengganggu dana praktikum untuk pendanaan laboratorium dan perpustakaan. “Kecuali peralatan praktik, seperti semiograf,” katanya.

Keluhan penggunaan dana praktikum telah berlangsung sejak lama. Tahun 2006, di laman web forum UPI beberapa mahasiswa ramai membincangkan duit praktikum yang tidak menyentuh mahasiswa. Seorang mahasiswa dengan identitas Firshutotti memulai perbincangan. “Gue bingung uang praktikum itu buat apa sih?,” tulisnya memulai perbincangan. “Praktikum cuma bikin korupsi baru. Coba aja tanya alokasi dananya, pasti nggak akan jawab, karena aku pernah nyoba,” ungkap mahasiswa beridentitas Dian Mardiana menimpali.

Seorang mahasiswa Jurusan Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), Adi Nugraha juga mengatakan masih belum memahami peruntukan dana praktikum. Adi

beserta teman-temannya, pernah mengajukan dana untuk observasi ke sekolah, namun pihak jurusan tidak memberi dana dengan alasan tidak ada anggaran untuk kegiatan tersebut. “Observasi itu termasuk praktikum bukan?” tanyanya.

Berbeda dengan mereka, ada pula mahasiswa yang memang merasakan adanya uang praktikum. Annisa Utami salah satunya, mahasiswa Jurusan International Program on Science Education (IPSE) Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam (FPMIPA). Menurutnya, dalam satu semester, mereka diharuskan

membayar uang p r a k t i k u m sebesar Rp 1.000.000. Namun, ia menganggap penggunaan dana praktikum sudah tepat, mahasiswa di jurusannya s e r i n g m e n g a d a k a n

praktik. “Satu minggu itu pasti ada, minimal satu kali,” ujarnya.

Hal senada dikatakan oleh salah satu Mahasiswa Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan, Asep Mauludin Syahdani. Ia memandang, pengelolaan dana praktikum di jurusannya sudah cukup baik. Jurusannya selalu memberi bantuan uang untuk praktikum. “Misalkan mengunjungi sekolah, terus bikin laporan, itu diganti uangnya,” ujar Asep. Praktik lapangan tiap akhir

semester, kata Asep juga menggunakan dana praktikum, misalnya pergi ke MPR atau Mahkamah Agung.

***Menyoal transparansi uang

praktikum ternyata banyak memunculkan suara sumbang dari mahasiswa. “Mahasiswa nggak bakal nanya lagi kalau sudah jelas digunakan untuk apa saja,” ungkap Nabilla.

Bertanya kepada Pembantu Dekan Bidang Keuangan dan Sumber Daya Usaha Fakultas Ilmu Pendidikan, Johar Permana, Ia mengungkapkan ternyata pihak universitas dan fakultas tidak ikut campur mengenai pengelolaan dana praktikum. Pasalnya, mekanisme dan besaran dana praktikum diusulkan langsung dari setiap jurusan ke fakultas, setelah itu sampai di tangan universitas untuk disahkan oleh Majelis Wali Amanat. “Dari fakultas digulirkan semuanya, karena sudah jelas anggarannya sesuai RKAT masing-masing jurusan,” kata.

Untuk mendapatkan kepastian, Isola Pos sempat beberapa kali mendatangi

D i r e k t o r a t Keuangan untuk m e n a n y a k a n s i s t e m pengelolaaan dana praktikum dan penggunaannya. Alih-alih diberikan keterangan terkait pengelolaan serta penggunaan dana praktikum, Isola Pos malah terkesan di ping-pong kesana kemari.

B e b e r a p a kali meminta, tak pernah m e n d a p a t k a n jawaban yang jelas. Terakhir, Isola Pos mesti meminta ijin dari Pembantu

Rektor Bidang Keuangan Sumber Daya dan Usaha, Idrus Affandi yang kala itu sedang pergi Umrah. ”Minta disposisi dulu sama bapak,” kata Kepala Divisi Anggaran, Agus Amir.

Mahasiswa sedang praktikum di laboratorium .

Dok: http//kimia.upi.edu/lab/labriset1.htm

Page 28: ISOLA POS 52

28 | | Juni 2012

KONTEKS

Oleh Lia Anggraeni

SELEMBAR surat edaran bernomor 152/E/T /2012 dilayangkan ke seluruh

Perguruan Tinggi di Indonesia, 27 Januari 2012 lalu. Surat edaran yang beralamat asal Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) itu, susulan dari wacana diwajibkannya penulisan karya ilmiah yang sebelumnya telah menyeruak di media massa lokal maupun nasional.

Kebijakan baru itu menyebutkan tiga putusan yang membidik tiga strata akademik sekaligus, yakni lulusan Sarjana (S1), program Magister (S2) serta program Doktoral (S3) yang harus membuat jurnal ilmiah yang dipublikasikan. Adapun secara rinci disebutkan S1 harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah, sedangkan S2 diharuskan menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal nasional yang terakreditasi oleh Dirjen Dikti, dan S3 harus menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal internasional.

Entah angin apa yang melatarbelakangi kebijakan tersebut, edaran itu muncul secara tiba-tiba. Sekilas, isi surat itu menggambarkan Dirjen Dikti yang seolah “panas” pada Negeri Jiran yang jauh lebih produktif dalam penulisan jurnal ilmiah dibandingkan Indonesia. Tertulis jelas pada alinea pertama edaran itu, membandingkan total jurnal ilmiah Indonesia yang dinilai jauh lebih rendah dibandingkan Malaysia. Ketertinggalan Indonesia dari Negeri Jiran itu pun akhirnya dijadikan sebagai tantangan dan latar belakang kebijakan ini muncul.

Hal itu diamini Direktur Dirjen Dikti, Joko Santoso. Ia mengatakan Indonesia dalam hal penulisan karya ilmiah, sangat tertinggal jauh, apalagi dibandingkan dengan negara lain. Sebagai contoh, Joko menyebutkan bahwa karya ilmiah Indonesia hanya berada di kisaran 13.000 karya. “Jauh jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang mencapai angka 5,7 juta karya ilmiah dan Cina 1,7 juta karya ilmiah,” kata Joko membandingkan. Ia mengungkapkan bahwa Indonesia perlu mengubah

budaya bicara menjadi budaya menulis.Protes pun mulai bermunculan, khususnya dari Perguruan

Tinggi Swasta yang tergabung dalam Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi). Aptisi menolak kewajiban memublikasikan karya ilmiah. Mereka menilai, kebijakan itu tidak perlu dikaitkan dengan kelulusan mahasiswa. Beberapa Perguruan Tinggi lainnya pun ikut menyangsikan kebijakan tersebut. Pasalnya, pemerintah belum memiliki sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menjaga kualitas dan kredibilitas sebuah karya ilmiah sebelum dipublikasikan secara luas

Selang beberapa minggu setelah surat edaran tersebut menuai kritik dari berbagai pihak, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M.Nuh tiba-tiba melunakkan kebijakannya. Kebijakan publikasi karya ilmiah yang semula berpotensi wajib pun berubah menjadi sebuah anjuran saja. Mendengar adanya perubahan itu, Joko Santoso seolah ikut menyuarakan keberpihakannya atas perubahan keputusan M.Nuh. Ia memandang, kewajiban publikasi karya ilmiah tidak perlu

Kertas Buram Jurnal Ilmiah

Mahasiswi dengan berjubel skripsi. Mereka tengah bergegas menyelesaikan skripsinya, karena mulai Agustus 2012, kewajiban membuat jurnal ilmiah yang dipublikasikan bagi lulusan S1 mulai berlaku.

RIFQI/ISOLA POS

Page 29: ISOLA POS 52

29Juni 2012 | |

KONTEKS

dituliskan dalam sebuah peraturan. “Sebetulnya tidak ditulis pun semua orang sudah tahu,” ujarnya saat ditemui Isola Pos.

Bagi Joko, universitas yang mematuhi edaran Dikti dianalogikannya seperti orang yang berpakaian lengkap. “Nanti ada bedanya, universitas yang pake celana dalam, batik, maupun dasi. Biar masyarakat yang memberikan penilaian,” ucap Joko. “Misalnya saya punya tamu kehormatan, masa saya mau manggil (universitas-red) yang cuma pakai celana dalam,” lanjut Joko.

Di tengah kontroversi terkait kebijakan publikasi karya ilmiah, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) optimis dapat menampung karya ilmiah mahasiswa S1 yang nantinya akan membludak. Pembantu Rektor Bidang Akademik dan Hubungan Internasional, Furqon menjelaskan bahwa Rektor UPI, Sunaryo Kartadinata telah memberikan instruksi agar mahasiswa UPI secepatnya harus menulis karya ilmiah di jurnal. Hal ini disebabkan oleh edaran Dikti yang akan diberlakukan setelah Agustus 2012 nanti.

Furqon pun bergegas untuk meminta semua Program Studi di UPI untuk merancang antologi dan e-journal. Ia mengatakan e-journal diperuntukkan bagi karya ilmiah dosen dan mahasiswa yang bagus, sedangkan karya ilmiah mahasiswa lainnya dimasukkan ke dalam antologi. “Jadi ada bedanya juga,” tegasnya. Dekan Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni UPI, Nenden Sri Lengkanawati pun ikut bersiap-siap dengan menghimbau kepada ketua jurusan-jurusan di FPBS untuk merintis adanya e-journal.

Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UPI, Edi Suryadi menangkap bahwa kebijakan publikasi karya ilmiah merupakan sebuah anjuran dari atasan yang menjadi sebuah keharusan. Meski baginya kebijakan tersebut terkesan ambigu namun, pihak UPI termasuk dirinya harus setuju atas kebijakan tersebut.

Menjelang pemberlakuan publikasi karya ilmiah di UPI, Edi mengaku kerepotan untuk menampung tulisan-tulisan mahasiswa yang nanti akan dibuat. Ia membayangkan akan ada ratusan tulisan mahasiswa yang harus diperiksa. “Jangan sampai jurnal itu hanya jadi sampah,” harapnya. Senada dengan Edi, Nenden pun masih menunggu keputusan pasti dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia,

M.Nuh. Meski ia memandang edaran Dikti sebagai hal positif namun ia masih mempertanyakan bagaimana mekanisme pemberlakuan karya ilmiah tersebut.

Hingga saat ini dirinya masih menunggu peraturan baru terkait kebijakan tersebut. “Suatu peraturan itu akan luluh jika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut membuat peraturan yang baru lagi,” tuturnya.

Ditemui di ruangannya, Edi mengatakan bahwa Sunaryo telah memfasilitasi setiap Prodi untuk membuat e-journal dan antologi sebagai wadah untuk memuat makalah yang nanti dibuat oleh mahasiswa. Sekali lagi, Edi mengungkapkan kekhawatirannya, “Yang jadi masalah jurnalnya itu, kita akan kerepotan memasukkan jurnal yang ada. E-journal itu kan ada batasan per edisinya,” ucapnya.

Pendidikan Kewarganegaraan (PKN), salah satu jurusan yang mulai memberlakukan kebijakan dari Dikti tahun ini bagi lulusannya masih dibuat kebingungan. Pasalnya sampai saat ini belum ada rambu-rambu dalam penulisan karya ilmiah yang harus dibuat oleh mahasiswa S1.

Sekretaris umum jurusan PKN, Prayoga Bestari mengungkapkan bahwa pihak universitas baru mensosialisasikan kebijakan dari Dikti tersebut ke jurusan-jurusan di UPI. “Tidak hanya sosialisasi saja menurut saya, namun sampai ke teknis pendampingan mahasiswa menuangkan dari skripsi sampai ke artikel. Itu yang belum terjawab,” tuturnya.

Ketidakpastian dalam mekanisme kebijakan tersebut pun belum mampu diselesaikan oleh UPI. Furqon mengatakan bahwa saat ini regulasi akreditasi baru diperuntukkan untuk jurnal saja, sedangkan akreditasi untuk antologi belum ada sistem yang mengaturnya. “Pokoknya kita upayakan saja masuk ke web UPI dan dibaca orang, itu saja tujuannya,” ujarnya.

Lain halnya dengan Furqon, Nenden mengungkapkan bahwa makalah mahasiswa S1 tidak perlu diakreditasi. “Kalau S2 diutamakan akreditasinya dan S3 harus diakreditasi,” kata Nenden.

Beberapa mahasiswa UPI yang akan lulus setelah bulan Agustus 2012 pun angkat bicara mengenai hal ini. Salah satunya mahasiswa dari Pendidikan Bahasa Indonesia 2008, Amaturrasyidah,

Ia mengaku bahwa posisinya sebagai mahasiswa akhir cukup diberatkan dengan adanya kebijakan tersebut. “Saya pribadi merasa keberataan kalau kebijakan tersebut dijadikan syarat kelulusan, ditambah lagi di semester 8,” keluhnya.

Berbeda dengan Amaturrasyidah, mahasiswa Agrobisnis 2008, Rahmat menanggapi kebijakan Dikti bukan sebagai sebuah hambatan. Ia menjelaskan bahwa yang menjadi

hambatan yang sesungguhnya adalah saat melakukan penelitian nantinya. “Mulai dari mencari alat dan bahan, metode, rancangan dan strategi penelitian, teknik pengumpulan data, dan lain-lain,” tuturnya.

Menanggapi munculnya reaksi dari mahasiswa tersebut, Nenden menjelaskan kebijakan publikasi karya ilmiah untuk S1 tidak akan menghambat kelulusan jika universitas menyediakan fasilitas. Ia pun menilai bahwa membuat karya ilmiah itu tidak sulit bahkan hal tersebut dapat memperlancar kelulusan. Ia menceritakan bahwa dirinya sekarang tengah sibuk merancang pedoman penulisan karya ilmiah baik untuk dosen maupun mahasiswa di komisi C Senat Akademik, yang melingkupi bidang Penelitian dan Pengembangan. “Ini merupakan pembelajaran yang bagus, jangan dipandang negatifnya. Mengajak mereka belajar menulis, asal ada bimbingan dan rambu-rambu yang jelas,” tutupnya.

Surat Edaran Dikti tentang publikasi karya ilmiah.

Page 30: ISOLA POS 52

30 | | Juni 2012

BUDAYA

SEIRING perjalanan waktu, gaya busana muslimah khususnya kerudung telah mengalami

banyak perkembangan. Jika dulu kerudung digunakan sebatas untuk menutup aurat, kini kerudung telah menjadi fashion berbusana muslim. Dewasa ini, model kerudung sangat beragam. Tak hanya asal memakai kerudung, melainkan berbagai inovasi dilahirkan baik oleh desainer maupun masyarakat yang terbiasa mengenakan kerudung modis.

Memadupadankan gaya berbusana muslim seperti memilih pilihan warna yang serasi atau yang mencolok, dapat

membuat perempuan tampil gaya dengan penampilannya. Berbagai gaya balutan kain kerudung pun kian menjamur demi menampilkan style yang lebih modern. Bergaya dengan balutan busana muslim, bukan saja dikenakan saat jalan-jalan di mall, tetapi juga dikenakan waktu pesta pernikahan bahkan saat kuliah.

Kebiasaan itu sering dilakukan oleh salah seorang mahasiswi Jurusan Pendidikan Manajemen Bisnis, Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Fajri Febriani. Ditemui saat duduk-duduk santai di sofa lantai satu University Center UPI, Fajri

mengatakan bahwa mengenakan kerudung yang modis, membuat dirinya lebih percaya diri. “Saya nyaman pakai busana seperti ini,” ujar Fajri sambil tersenyum.

Meski menggunakan kerudung modis, kata Fajri, Ia masih mengenakan busana muslim sesuai syar’i. “Jilbab harus menutup dari kepala sampai dada,” ujarnya.

Banyaknya pengguna kerudung modis, dalam pandangan Fajri, karena pada awalnya orang-orang yang memakai kerudung dianggap ketinggalan jaman di mata beberapa masyarakat. Menurutnya cara

Oleh Julia Hartini

Antara Syar’i dan Style

Hijabbers Community Bandung saat Berfoto Bersama setelah Beauty Class

DOK. HIJABBER COMMUNITY BANDUNG

Page 31: ISOLA POS 52

31Juni 2012 | |

BUDAYA

mengubah pandangan tersebut dengan mengadakan ha-hal yang berbau modern seperti mengadakan fashion show busana muslim.

Di Hijabbers Community Bandung misalnya, salah satu komunitas pengguna kerudung modis ini sering kali melakukan berbagai kegiatan demi menambah kemampuan dalam menggunakan kerudung modis. ”Di sana kita diajarin gimana caranya pakai kerudung yang modis, soalnya ada kelas tutorialnya,” tutur Fajri yang juga aktif di komunitas itu.

Model yang beragam, dibarengi dengan menjamurnya komunitas-komunitas pengguna kerudung modis. Komunitas itu biasa dikenal dengan nama komunitas Hijabbers. Di Bandung, ada beberapa komunitas Hijabers diantaranya yaitu Hijabbers Comunity Bandung (HCB) dan Hijabbers Style Community (HSC) .

Sama halnya dengan Fajri, mahasiswi dari Jurusan Pendidikan Tata Busana angkatan 2009, Liliek A. K yang bergabung dengan HSC sejak Februari 2011 menuturkan, penggunaan kerudung modis tak

hanya untuk menutup aurat semata, melainkan juga untuk memainkan style. “Karena style yang ada pun bervariasi,” katanya.

Ia menambahkan, penggunaan kerudung modis juga sekaligus membuat busana yang dipakai terlihat elegan. “Saya jadi terlihat nggak kampungan,” ujar Liliek.

Liliek bercerita, sebelum ia bergabung dengan HSC, dirinya tidak memakai jilbab. Namun, saat ia mengikuti beauty class di HSC untuk pertama kalinya, Ia jadi tertarik mengenakan kerudung.

Selama menggunakan kerudung modis, Liliek mengutarakan bahwa banyak juga yang kontra karena menganggap pakaiannya tidak sesuai syar’i. “Tapi ketika itu masih pakaian tertutup, yah sesuai syar’i, lagipula gimana orangnya aja,” ujar Liliek yang saat itu sedang bersama teman-temannya sesama hijabbers.

Melihat fenomena tersebut, Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Bandung (UNISBA), Ikin Asikin yang ditemui di kantornya

angkat bicara. Dalam sudut pandang agama, perubahan budaya dalam suatu masyarakat lazim saja terjadi. Namun, untuk perubahan hukum Allah tidak akan berubah. Ia menekankan, perubahan penggunaan kerudung dari corak, bentuk, atau pun motif tidak masalah asalkan sesuai syar’i. “Menutupi kepala sampai dada dan pakaian tidak membentuk lekuk tubuh,” ujar Ikin sambil tersenyum.

Ia menambahkan, perempuan boleh berdandan dan memang dianjurkan bagi seorang muslimah untuk berdandan, tapi berdandan pun sepatutnya untuk suaminya. “Bukan untuk dirinya ataupun orang lain,” kata Ikin sambil tersenyum.

Hampir senada, dari sudut pandang sosiologi, perubahan kebudayaan memang bukanlah hal yang aneh. Seperti diutarakan Ketua Program Studi Sosiologi UPI, Siti Komariah, perubahan kebudayaan dalam suatu masyarakat bisa kerap terjadi. Menurutnya, dalam kaca mata sosiologis, perubahan fashion tidak masalah selama tidak keluar dari koridor, artinya masih sesuai dengan aturan. “Masih menutup aurat dan tidak keluar jalur,” ujar Siti.

Menanggapi adanya fenomena Hijabbers, Siti lebih menekankan pada dampak yang timbulkan dengan munculnya komunitas-komunitas tersebut. Secara tidak langsung, menurut Siti, hal itu akan memunculkan kelas-kelas sosial atau eksklusifitas. “Jangankan jadi komunitas, orang yang sudah memakai kerudung modis saja sudah mencirikan identitasnya yang berbeda,” ujar Siti.

Meskipun menggunakan hijab, tapi apakah dengan gaya stylish, mereka perhatikan penggunaan jilbab yang sesuai dengan tuntunan agama?

Hijabbers Community Bandung saat mengikuti Beauty Class

DOK. HIJABBER COMMUNITY BANDUNG

Page 32: ISOLA POS 52

32 | | Juni 2012

RESENSI

RATUSAN orang tampak berkumpul siang itu. Mereka akan menyaksikan eksekusi

mati seorang perempuan dengan tubuh terpasung dan kaki terikat rantai. Perempuan itu merelakan dirinya demi revolusi, demi sebuah pembaharuan. “Kematianku ini adalah untuk semua anak-anak. Kematianku kali ini adalah demi revolusi,” ujarnya.

Perempuan itu dihukum mati akibat dianggap memberontak kepada Dinasti Qing. Saat itu, siapa saja rakyat China yang ingin mendirikan Republik dianggap pemberontak. Revolusi 1911 dimulai saat kekuasaan dinasti Qing melemah. Rakyat China ingin merasakan sebuah pembaharuan, setelah berabad-abad mereka hidup dalam situasi yang sangat menderita di bawah ancaman imperialisme asing dan feodalisme kerajaan. Dinasti ini kerap meminjam uang kepada bankir-bankir Eropa. Tak tanggung-tanggung Dinasti Qing juga memberikan wilayah penting China pada Eropa, seperti Hongkong dan Taiwan.

Cerita di atas merupakan penggalan awal dari film 1911 yang juga dimainkan oleh aktor kawakan Jackie Chan. 1911 dibuat untuk memperingati Revolusi China tahun 1911. Kali ini Jackie Chan berperan sebagai Huang Keqiang, panglima perang kaum revolusioner. Ia dipercaya oleh Sun Wen atau kemudian lebih dikenal dengan Dr. Sun Yat Sen, diperankan oleh Winston Chao. Saat pecah revolusi, Dr. Sun Yat Sen tidak berada di China, tetapi di San Fransisco Amerika Serikat.

Alur yang disajikan, di awal cerita adalah alur mundur. Dalam adegan itu digambarkan sosok-sosok pemuda revolusioner China yang masih hidup dalam keadaan damai dan menikmati masa muda mereka. Akan tetapi, begitu revolusi pecah, mereka berjuang tanpa pamrih dan enggan berdamai dengan dinasti. Mereka lebih memilih mati ketimbang harus berdamai.

Awal pertempuran di Guangzhou dikemas dalam konsep begitu apik dan membuat penonton akan merasa kagum. Seperti biasa, Jackie Chan tampil memukau dalam memimpin serangan tersebut. Pemain lainnya pun

tampil dengan cukup meyakinkan. Nampak para pemuda tersebut berjuang hingga titik darah penghabisan.

Salah seorang panglima perang Dinansti Qing akhirnya memilih untuk bergabung dengan tentara revolusioner. Ia menandai hal itu dengan memotong kepangan rambut panjangnya. Pasalnya, lelaki yang dianggap bagian dari dinasti Qing harus memiliki rambut panjang yang dikepang. Apabila rambut tersebut dipotong, itu menandakan keluar dari dinasti.

Adegan yang paling menarik dalam film ini adalah saat pertempuran di medan perang antara tentara dinasti dan tentara revolusioner yang banyak menelan korban. Keadaan tentara revolusioner juga sangat memprihatinkan, tak sedikit dari mereka kehilangan anggota tubuhnya. Dalam adegan ini, nampak sekali keadaan darurat perang, antara tentara dan para relawan yang sibuk mengurusi korban.

Saat bersamaan, Dr. Sun Yat Sen berjuang di Eropa. Ia berusaha meyakinkan para bankir Eropa agar tidak meminjamkan uang pada Dinasti Qing. Para bankir awalnya tidak percaya, karena menurut mereka uang itu akan digunakan untuk pembangunan rel kereta api dan akan menguntungkan mereka. Namun, Sun Yat Sen berusaha keras menjelaskan

bahwa uang itu akan digunakan untuk membiayai perang antara kaum revolusioner dan dinasti Qing. Akhirnya, para bankir mau mempercayai perkataan Sun Yat Sen.

Sun Yat Sen akhirnya pulang ke China, keadaan mulai terkendali. 17 provinsi sudah menginginkan lepas dari dinasti. Maka diadakanlah pemilihan presiden sementara. Sesi ini cukup dramatis, tiga orang menjadi calon, yaitu Sun Yat Sen, Huang Keqiang, dan salah seorang panglima perang bekas Dinasti Qing. Akhirnya, Sun Yat Sen terpilih. Winston Chao mampu memerankan tokoh Sun Yat Sen dengan begitu baik. Nampak Winston Chao begitu mendalami perannya sebagai Sun Yat Sen.

Film besutan Jackie Chan dan Zhang Li ini mampu mengemas cerita di masa lalu dengan apik. Misalkan, pakaian yang digunakan oleh Winston Chao sudah begitu mirip dengan pakaian asli Sun Yat Sen. Juga, pakaian yang digunakan oleh Ratu dinasti Qing melambangkan kemakmuran dan kemegahan dinasti saat itu. Kuku tangan Sang Ratu saja berhiaskan kuku palsu yang terbuat dari emas.

Akhir cerita, dua sutradara itu sukses mengemas suasana dramatis saat Dr. Sun Yat Sen mengundurkan diri menjadi presiden sementara, setelah menyerahnya dinasti Qing.

Namun sayangnya film ini dibuat dalam keadaan berwarna. Kesan klasik akhirnya kurang terasa. Tapi film ini sangat menarik untuk ditonton. Kita dapat mengetahui arti penting sebuah revolusi, terutama di China.

Jalan Lain Menuju RepublikOleh Nisa Rizkiah

Judul : 1911 Revolution

Sutradara : Jackie Chan, Zhang Lie

Produksi : Shanghai Film Group

Skenario : Wang Xingdong

Durasi : 120 Menit

ia.media-imdb.com

Page 33: ISOLA POS 52

33Juni 2012 | |

RESENSI

INDONESIA sempat mengalami kejayaan pada masanya. Pohon kelapa yang disebut-sebut sebagai

emas hijau pernah tumbuh subur di sepanjang pantai Indonesia. Pernah pula Indonesia dinobatkan sebagai penghasil gula nomor dua di dunia. Dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, Indonesia pernah meraih predikat pengekspor garam terbesar tahun 1990-an dan sukses memproduksi lahan tambak garamnya yang luas. Jutaan tumbuhan herbal juga ikut meramaikan pertumbuhan industri Indonesia lewat ramuan jamunya.

Namun, satu per satu kekayaan yang mengantarkan Indonesia pada kejayaan tersebut mulai terpuruk. Kelapa sawit tumbang oleh serangan bertubi-tubi tentang citra buruk minyak yang dihasilkan kelapa sawit. Gula produksi lokal mulai habis akibat dokumen populer letter of intent yang diteken oleh pemerintah atas desakan IMF. Garam pun menerima nasib yang serupa. Akibat kampanye besar-besaran penggunaan garam beryodium di Indonesia yang dilakukan oleh Akzo Nobel, berguguranlah para petani garam, dan merosotlah popularitas garam Indonesia. Sama merosotnya ketika jamu dipandang sebelah mata oleh pemerintah Indonesia sendiri yang lebih menganak-emaskan sistem farmasi modern.

Abhisan DM, Hasriadi Ary, dan Miranda Harlan secara gamblang mengungkap kebijakan-kebijakan terselubung untuk membunuh Indonesia oleh organisasi-organisasi di dunia, negara-negara maju, dan pemerintah Indonesia sendiri terkait kekayaan Indonesia. Buku yang fasih mengulas kehancuran kekayaan Indonesia ini secara langsung ikut memberikan pandangan kepada pembacanya terhadap sikap pemerintah Indonesia yang pasif. Misalnya ketika diceritakan kelapa sawit hingga jamu yang dimiliki Indonesia menuai kehancuran akibat pengaruh negara

asing seperti Amerika Serikat yang begitu mendominasi. Pemerintah seakan mudah terpengaruh oleh manipulasi yang sengaja dibuat-buat tersebut. Mereka memakai berbagai dalih dengan mengusung isu mulia untuk membunuh industri Indonesia.

Secara umum buku ini mampu mengobok-obok rasa nasionalisme para pembacanya. Dengan membeberkan satu per satu bukti secara apik, Membunuh Indonesia menguraikan berbagai upaya konspirasi yang dilakukan WHO dengan perusahaan farmasi terbesar di dunia. Saat fase seperti ini pembaca sengaja dibawa untuk membuka mata agar tersadar bahwa negerinya sedang berada dalam kemelut konspirasi global.

Setelah kelapa sawit hingga jamu, kini sasaran pencaplokan untuk

menambah akumulasi kekayaan mereka tertuju pada kretek yang telah menjadi identitas nusantara. Kretek yang telah ada sejak zaman penjajahan kolonialisme kini tengah diperebutkan sektor asing yang tak terlihat oleh mata telanjang.

Kretek yang telah lama memberikan sumbangsih terbesar setiap tahunnya kepada Indonesia, kini mulai diusik oleh pemerintah yang memiliki kepentingan di dalamnya. Kini beberapa RUU pun tengah digodok untuk membunuh usaha kretek di Indonesia. Bea cukai makin melonjak tinggi hingga membuat produsen kretek megap-megap dan gulung tikar. Sedangkan di belakangnya tengah ada negara besar seperti Amerika Serikat yang siap mencaplok kretek Indonesia.

Bagaimana peran pemerintah dalam mengatasi persoalan yang tak kasat mata ini? Akan kah pemerintah membiarkan kretek yang notabene telah menjadi kebudayaan lokal Indonesia dihancurkan begitu saja? Lantas apa peran kita sebagai kaum terdidik dalam mempertahankan laju persekutuan kolonialis global?

Membunuh Indonesia, membuka mata kita bahwa tidak hanya negara asing yang memiliki peran di dalamnya. Faktanya, pemerintah kita pun ikut andil dalam pengerdilan industri Indonesia. Namun, buku yang terkesan menyentil pemerintah Indonesia ini hanya sedikit memberikan ruang kepada pemerintah untuk angkat bicara menanggapi permasalahan yang dimunculkan. Sehingga menimbulkan pembentukan opini dari penulis yang sangat kuat kepada pembaca. Tak jarang fakta-fakta yang disampaikan cenderung mendominasi dan hanya menjabarkan dari satu sudut pandang saja. Meski begitu, buku Membunuh Indonesia mengajak kita agar peduli dan bangkit untuk melawan kekuatan neokolonialisme. Mari kita tebarkan semangat patriotik untuk membela bangsa Indonesia di mata dunia !

Judul : Membunuh Indonesia Penyusun : Abhisan DM,

Hasriadi Ary Miranda Harlan

ISBN : 9786028672306

Terbit : Desember 2011

Penerbit : Kata-Kata

Ukuran : 12,5 x 17,5

Halaman : 157

Oleh Lia Anggraeni

Konspirasi GlobalPenghancuran Kretek

indonesiabuku.com

Page 34: ISOLA POS 52

34 | | Juni 2012

KOLOM

Oleh Isman R Yoezron

BEGITULAH penggalan pidato spontan yang terlontar dari mulut sang founding father, yang kelak dikemudian hari menjadi presiden pertama Republik Indonesia, Ir.

Soekarno. Saat itu, di hari yang penuh harapan dan semangat membangun republik, 1 Juni 1945, sederet anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tertegun mendengarkan pidato yang berapi-api itu.

Kemudian pidato itu kini kita kenal dengan judul “Lahirnya Pancasila”. Dan memang, momen itu kini kita kenal dan abadikan sebagai hari lahirnya prinsip-prinsip dasar negara Republik Indonesia: Pancasila.

Meski masih merupakan polemik dan kontroversi, sejarah mencatat bahwa sang pemula yang mencetuskan ide dasar negara ini konon berasal dari kerangka presentasi lisan dari Muh.Yamin, sehari sebelum sebutan Pancasila itu diorasikan Soekarno pada 1 Juni 1945.

Dalam pidato Soekarno itu pun terisyaratkan: lahirnya sebuah kata sakti yakni Pancasila, didasarkan pada petunjuk “seorang teman kita ahli bahasa”, yang tiada lain ialah Muh.Yamin yang kala itu duduk tepat disamping Soekarno.

Ya! Muh.Yamin, sang negarawan pendiri bangsa ini. Juga sang pemula yang menggagas pendirian kampus pendidikan, yang kini dikenal dengan Universitas Pendidikan Indonesia.

Sedikit berbeda dengan lima bilangan prinsip yang disebutkan Soekarno pada pidatonya, Muh.Yamin mencetuskan gagasan calon dasar negara yakni Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri ke-Tuhanan, Peri Kerakyatan dan Kesejahteraan Rakyat.

Dari kelima gagasan itu, dapat disarikan inti dari cikal bakal berdirinya negara ini. Bisa kita baca, lima gagasan Muh.Yamin yang mengilhami Pancasila itu berisikan tiga hal: Kebangsaan, Ketuhanan, dan tiga gagasan tentang manusia sejahtera.

Jika kita rengkuh inti dari pondasi Indonesia, dominasinya adalah cita-cita untuk manusia Indonesia –yakni rakyat– yang sejahtera: merdeka dari segala jajahan. Sang pemula itu sungguh visioner, menciptakan dasar negara yang berintisari sejahteranya bangsa Indonesia.

Pertanyaannya, jika kita mau renungkan, cita-cita apa sebenarnya yang mendasari terbentuknya negeri ini? Spirit apa yang terkandung dalam usaha mempersiapkan kemerdekaan republik ini? Merujuk dari gagasan Muh.Yamin, jelas jawabannya: Rakyat Indonesia yang sejahtera.

Hari berganti, masa demi masa berlalu. Rumusan dasar negara yang pertama kali atas dasar gagasan Muh.Yamin itu pun rampung menjadi sebuah rumusan baku. Singkatnya, enam puluh tujuh tahun hingga saat ini sang Pancasila masih

dijadikan sandaran negara.Namun, ternyata kini keadaannya berbeda. Meminjam

istilah B.J Habibie dalam pidatonya di hari yang sama tahun lalu, bangsa ini benar-benar tengah mengalami “Amnesia Nasional” dalam mengingat Pancasila. Pancasila, dikatakan Habibie kini seperti tersandar di lorong sunyi, tenggelam dalam pusaran sejarah, dan hilang dari memori kolektif bangsa.

Betapa tidak, negeri ini lupa untuk mewujudkan cita-cita dasar yang terkandung dalam kalimat sakti tilam negara. Rakyat yang sejahtera tak lagi jadi misi utama pembangunan bangsa.

Ini bukan kalimat arbitrer. Kenyataannya negara ini lupa menjadikan rakyat sejahtera. Negara ini masih bermental penjajah, terbukti rakyat kini masih belum “Merdeka”.

Dari sebagian amnesia bangsa tentang Pancasila, berefek domino pula pada kealfaan tentang spirit utama pendidikan. Jika dikaitkan, dalam kacamata lima sila negara Indonesia, pendidikan patutnya memiliki spirit yang selaras: Menjadikan rakyat sejahtera.

Tapi, jelas, jauh panggang dari pada api pada kenyataannya. Pendidikan alih-alih dijadikan sebagai alat untuk membebaskan rakyat dari penjajahan, tapi malah dijadikan alat untuk tambah menyengsarakan rakyat.

Pendidikan kini telah digantungkan pada mekanisme pasar yang menyengsarakan. Pendidikan dijadikan komoditas yang diperjual belikan. Padahal, jika pendidikan sudah dijadikan sebagai salah satu alat penjajahan, lalu bagaimana nasib bangsa ini dimasa datang?

Kita lihat di kampus pendidikan ini, tampak jelas spirit untuk menyejahterakan rakyat sebagaimana tersari dari gagasan Yamin sudah sedemikian dilupakan. Pendidikan tak lagi mudah diakses oleh rakyat kita yang terpinggir. Pendidikan sudah jadi barang mahal, jauh dari sebagai sarana untuk rakyat sejahtera.

Padahal, jika kita tahu, pendiri kampus ini sendiri yang mencetuskan ide utama Ideologi bangsa. Dan sudah barang pasti, kampus ini didirikan pun atas dasar cita-cita yang sama. Jika direnungkan, sungguh kampus ini berdosa! Berdosa karena mengkhianati cita-cita pendirinya.

Maka akhirnya, para petinggi kampus ini perlu segera introspeksi diri. Di momen bulan lahirnya Pancasila ini, sepatutnya kampus pendidikan mengembalikan cita-cita sebagaimana di isyaratkan Muh.Yamin, pendiri kampus ini. Jika tidak, berkhianatlah artinya para penerus kepada pencetus.

Selamat hari lahir Pancasila! Jika kita tidak lupa...

Pancasila, Muh.Yamin dan Kampus Kita Lupa

Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.

Page 35: ISOLA POS 52

ZOOM

35Juni 2012 | |

RENCANA pembangunan besar-besaran yang akan dilakukan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dari mulai tempat parkir, business center, Fakultas

Kedokteran, serta gedung-gedung lainnya memerlukan lahan yang cukup luas. Untuk itu, universitas meratakan bangunan-bangunan yang berdiri di area proyak pembangunan.

Plang-plang berisi tulisan calon bangunan di area tersebut dipasang. Sampai pada hari dimana bangunan tersebut tinggal hanya reruntuhan sisa-sisa puing bangunan.

Sisa reruntuhan bangunan yang merupakan rumah dinas para pejabat UPI tempo dulu, dan beberapa asrama untuk mahasiswa yang berkuliah di UPI itu kini tinggal menunggu gedung-gedung baru berdiri di sisa tempatnya dulu.

Oleh Resti Sri Cahyati

Atap RuntuhPlang Menjamur

Page 36: ISOLA POS 52