issn 0853 - 8204 w a r t aperkebunan.litbang.pertanian.go.id/dbasebun/asset_dbase... · 2018. 5....
TRANSCRIPT
Permasalahan, peluang dan tantangan pengembangan kopi .....
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 1
PENYAKIT BERCAK BERTEPUNG (Cercosporella dioscorephylli) PADA TANAMAN
ANTAWALI (Tinospora crispa) DAN PENGENDALIANNYA
Bercak bertepung pada tanaman antawali (Tinospora crispa) di-sebabkan oleh cendawan Cercos-porella dioscoreophylli. Cendawan ini masuk ke dalam jaringan daun melalui lubang stomata atau lubang luka/kerusakan jaringan yang ada pada daun. Inang dari C. dioscoreophylli hanya terbatas pada Tinospora spp. Cendawan ini telah ditemukan pada tanaman antawali di beberapa daerah dengan kejadian penyakit yang bervariasi antara 10 - 50%. Memusnahkan sumber inokulum disertai dengan pengaturan kon-disi lingkungan dan perawatan tanaman merupakan cara pengen-dalian C dioscoreophylli yang paling murah dan aman.
inospora crispa (Syn.
Tinospora rumphii, Tino-
spora tuberculata, Tino-
spora nudiflora) dikenal dengan
nama antawali atau brotowali
merupakan tanaman obat yang
merambat pada tanaman lain,
pagar atau benda-benda yang ada
di sekitarnya. Tanaman ini relatif
tahan pada kondisi lingkungan
yang terbuka atau terpapar oleh
sinar matahari secara penuh.
Meskipun dapat tumbuh di daerah
yang relatif kering tetapi antawali
banyak ditemukan dan tumbuh subur
di hutan yang lebat dan lembap
dengan merambat di semak-
semak yang di dekatmya. Daya
regenerasinya yang tinggi menye-
T
Volume 23, Nomor 3 Desember 2017
W A R T A
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN
TERBIT TIGA KALI SETAHUN
ISSN 0853 - 8204
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN TANAMAN INDUSTRI
Gambar 1. a) Daun antawali yang terserang Cercosporella dioscoreophylli, b) gejala pada pada permukaan atas daun, c) struktur cendawan nampak seperti tepung pada bagian bawah daun, d) konidiofor dan konidium, dari C dioscoreophylli
a
b
c
d
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 2
babkan tanaman ini mudah
ditemukan pada hutan-hutan yang
baru saja mengalami kerusakan.
Batang tanaman antawali mem-
punyai fungsi sebagai bahan obat.
Tetapi hingga saat ini, antawali
belum dibudidayakan secara besar-
besaran sehingga informasi terkait
dengan budidaya tanaman ini masih
terbatas.
Demikian juga dengan hama
dan penyakit yang menyerang
tanaman ini masih sangat ter-
batas informasinya. Larva dari
Ohreis fullonia sejenis ngengat
dilaporkan merusak daun Tinos-
pora di Thailand, juga nematoda
Meloidogyne di Pakistan. Di In-
donesia, sampai saat ini belum
pernah dilaporkan adanya gangguan
yang disebabkan oleh penyakit
tanaman maupun hama pada
tanaman ini, selain penyakit bercak
bertepung.
Gejala
Di Indonesia, penyakit bercak
bertepung merupakan penyakit yang
penting pada tanaman ini karena
menyebabkan tanaman menggu-
gurkan daunnya lebih cepat dan
mengakibatkan tanaman lemah.
Tanaman yang kehilangan daunnya
dalam jumlah besar masih dapat
bertunas untuk menghasilkan daun
yang baru, tetapi apabila hal ini terus
dibiarkan kemungkinan tanaman
akan lemah dan rentan terhadap
kekeringan maupun gangguan lain-
nya. Belum ada laporan adanya
kematian tanaman antawali akibat
penyakit bercak bertepung.
Keberadaan penyakit ini dapat
diketahui dengan melihat adanya
bercak kuning yang umumnya
berbentuk bulat berdiameter ± 1 cm.
Di lokasi dengan serangan yang
berat bercak dapat ditemui dalam
jumlah banyak pada satu helai
daun dan saling menyatu sehingga
membentuk bercak kuning yang
lebar dan tidak teratur (Gambar 1a).
Pada stadia lanjut akan terben-
tuk nekrosis (kematian jaringan)
berwarna cokelat kehitaman di
jaringan daun yang terinfeksi,
membesar dan menyebabkan daun
gugur lebih awal. Pada bagian
bawah daun akan terlihat massa dari
cendawan penyebab berwarna
kuning terang dan tebal yang
menyerupai tepung yang sebenarnya
merupakan kumpulan konidium
(spora) dan konidiofor (tangkai
konidium) dari cendawan penyebab
(Gambar 1b).
Pada stadia lebih lanjut akan
terjadi kematian jaringan daun
(nekrosis) sehingga terbentuk warna
cokelat pada bagian tengah dari
jaringan yang berwarna kuning
tersebut.
Penyebab Penyakit
Penyakit bercak bertepung
pada tanaman antawali disebabkan
oleh cendawan Cercosporella
dioscoreophylli, sinonim dengan
Cercospora dioscoreophylli dan
Cercospora tinosporae (Mycobank
2017. www.mycobank.org). Cen-
dawan ini hanya menyerang bagian
daun dan tidak menginfeksi bagian
tanaman lainnya.
Secara morfologi cendawan ini
dikenal dari karakteristik konidio-
for dan konidiumnya. Konidiofor
umumnya bersepta, tidak bercabang
dan hialin (jernih). Konidofor
terbentuk di atas stroma yang
keluar dari stomata yang ada di
permukaan bawah daun. Dalam
satu lubang stomata dapat keluar
lebih dari satu stroma dengan
konidiofor yang banyak di atas-
nya (sporodokium). Terdapat bekas
luka (scar) di ujung konidiofor
yang menandakan konidium per-
nah terbentuk di situ sebelum-
nya (Gambar 1c). Konidiumnya
berbentuk bulat hingga memanjang,
terbentuk pada ujung konidiofor,
Warta Penelitian dan Pengem-bangan Tanaman Industri me-muat pokok-pokok kegiatan serta hasil penelitian dan pengem-bangan tanaman perkebunan.
PELINDUNG : Kapuslitbang Perkebunan
FADJRY DJUFRY
PENANGGUNG JAWAB :
JELFINA CONSTANSYE ALOUW
A. DEWAN REDAKSI Ketua Merangkap Anggota
ENDANG HADIPOENTYANTI
Anggota :
DONO WAHYUNO DYAH MANOHARA
E. RINI PRIBADI OCTIVIA TRISILAWATI IWA MARA TRISAWA
SUDARSONO HERNANI
B. REDAKSI PELAKSANA
ELFIANSYAH DAMANIK TARUNA P. SURIANATA
Alamat Redaksi dan Penerbit Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan. Jln. Tentara Pelajar No. 1 Bogor 16111
Telp. (0251) 8313083 Faks. (0251) 8336194
Sumber Dana :
DIPA 2O17 Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Perkebunan, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian
DAFTAR ISI Informasi Komoditas
Penyakit bercak bertepung (Cercosporella
dioscoreophylli) pada tanaman antawali
(Tinospora crispa) dan pengendaliannya 1
Permasalahan, peluang dan tantangan
pengembangan kopi di Indonesia .............. ... 4
Komunikasi inovasi pertanian bioindustri
integrasi serai wangi - ternak ....................... ... 7
Keragaman pohon induk terpilih (PIT)
kayumanis pada karakter pertumbuhan
dan produksi kulit di Kabupaten Hulu
Sungai Selatan, Kalimantan Selatan ............ 12
Koleksi plasma nutfah kopi robusta di
Kebun Percobaan Pakuwon Balittri ............. 15
Penyakit jamur upas ( Pink diseases)
pada tanaman kemiri sunan (Reutealis
trisperma) .................................................... 20
Pati sagu dan produk olahan bagea ............. 22
Potensi genetik dan produksi 6 kultivar
lokal tembakau di Kabupaten Tulung-
agung ........................................................... 26
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang
tanaman karet .............................................. 29
Berita
Dukungan inovasi teknologi Balitbangtan
dalam pengembangan kawasan agrowisata
Kota Solok .................................................. 32
Pedoman bagi penulis .................................. 32
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017
3
hialin, terdiri dari 1 - 4 septa pada
tiap konidium. Di bagian bawah dari
konidium terdapat penebalan yang
menjadi salah satu cara untuk
mengkonfirmasi identitasnya secara
morfologi (Gambar 1d).
Konidium cendawan ini ber-
kecambah kurang dari 48 jam, dan
umumnya menginfeksi jaringan
daun melalui lubang stomata atau
luka yang terdapat pada daun. Ke-
mampuan untuk berkecambah dalam
waktu yang singkat dan segera
masuk ke dalam jaringan tanaman
merupakan bentuk adaptasi dari
cendawan ini untuk bertahan hidup.
Sebaran Penyakit
Kunjungan yang telah dilakukan
di beberapa daerah dimana T. crispa
ditanam, gejala bercak bertepung
pernah ditemukan, antara lain di
Cahaya Negeri, Lampung Utara,
Provinsi Lampung dan Sukamulya,
Sukabumi, Provinsi Jawa Barat;
selain di Bogor, Jawa Barat dengan
tingkat kejadian penyakit yang
bervariasi antara 10-50%.
C. dioscoreophylli merupakan
cendawan tular udara, dengan
sumber inokulum penyebaran be-
rupa konidium. Cendawan ini
mempunyai kekhususan inang yang
tinggi sehingga belum ada tanaman
lain di Indonesia yang menjadi inang
alternatif dari C dioscoreophylli
selain Tinospora spp.
Pengendalian
Pemanfaatan varietas tahan me-
rupakan cara pengendalian yang
paling efektif dan efisien untuk
cendawan patogen yang mempunyai
kisaran inang yang sempit. Tetapi
sampai saat ini tidak ada dan belum
ada rencana untuk mengembangkan
antawali yang tahan terhadap
penyakit bercak bertepung, karena
secara ekonomi belum mengun-
tungkan.
Pengendalian dengan cara
menghilangkan sumber inokulum
sehingga tidak menjadi sumber
infeksi pada daun-daun baru yang
akan muncul merupakan cara yang
aman dan murah. Salah satu karak-
teristik dari tanaman Tinospora
adalah tanaman ini masih dapat
hidup walaupun tidak berdaun dan
dapat digunakan sebagai bahan
tanaman setelah disimpan untuk
waktu yang cukup lama (Patel
2016). Membuang semua daun
yang terinfeksi maupun yang terlihat
sehat secara serentak, dilanjutkan
dengan membenamkannya ke dalam
tanah akan mengurangi potensi ter-
jadinya infeksi pada musim selanjut-
nya. Tanaman antawali dapat tum-
buh baik di tempat yang terbuka
sehingga pengaturan kondisi ling-
kungan dengan memangkas tanaman
penegak mungkin perlu untuk
menurunkan peluang terjadinya
infeksi konidium C. dioscoreophyli.
Pengendalian dengan cara apli-
kasi fungisida tidak dianjurkan
karena tanaman ini berfungsi sebagai
bahan obat. Tetapi, pada kondisi
yang mendesak, jumlah tanaman
yang terserang dalam luasan yang
banyak misalnya, maka aplikasi
fungisida mungkin bisa dipertim-
bangkan dan tetap dikelola dengan
bijaksana. Mengingat cendawan ini
mempunyai siklus hidup yang relatif
singkat. Konidium akan berke-
cambah 24 - 48 jam setelah ada di
permukaan daun. Infeksi akan terjadi
48 - 72 jam melalui lubang stomata
dan 192 - 240 jam (8 - 10 hari)
gejala khas berupa bercak bertepung
sudah terlihat jelas. Konidium yang
jatuh pada permukaan atas daun
jarang menimbulkan gejala karena
cendawan ini masuk ke dalam
jaringan daun hanya melalui lubang
stomata atau luka pada daun. Jumlah
stomata yang sangat sedikit pada
permukaan atas daun menyebabkan
infeksi melalui bagian ini tidak
berhasil. Tetapi, apabila terdapat
luka di permukaan atas daun, maka
gejala bercak bertepung akan muncul
di sekitar luka. Pada tanaman black-
berry, serangan cendawan Cerco-
sporella rubi dapat ditekan setelah
fungsida diaplikasikan 5 kali selama
musim tanam; dua kali di awal
tanam, sekali di pertengahan tanam
dan dua kali menjelang akhir musim
tanam.
Sebagai pencegahan, antawali
sebaiknya ditanam di tempat dimana
penyakit ini tidak ada, atau pe-
nanaman dilakukan dalam tempat
yang terkurung sehingga secara fisik
ada hambatan penyebaran koni-
dium. Harlman dan Jones (1996)
menggunakan bahan tanaman
blackberry yang bebas dari serangan
C. rubi, yaitu bahan tanaman yang
keberadaannya ada di dalam tanah,
berupa akar dengan menyisakan
batang yang pendek. Untuk pe-
nanaman antawali, di daerah baru
sebaiknya tidak menyertakan
daunnya, tetapi cukup batangnya
saja sehingga kemungkinan mem-
bawa sumber inokulum ke daerah
baru dapat dihindari. Membuang
seluruh daun dan sanitasi diperlu-
kan untuk memotong siklus hidup
C dioscoreophylli.
Penutup
Penyakit bercak bertepung pada
tanaman antawali telah ditemukan di
beberapa lokasi di Indonesia. Nilai
ekonomi tanaman ini yang belum
tinggi, menyebabkan perhatian yang
diberikan untuk merawat tanaman
ini masih sedikit. Penyakit bercak
bertepung seharusnya dapat diken-
dalikan dengan efektif dan efisien
dengan melakukan perawatan
tanaman yang baik, khususnya di
saat awal terjadinya serangan.
Monitoring secara berkala ke-
beradaan sumber inokulum di lapang
dan kondisi lingkungan yang
mendorong terjadinya infeksi
penting untuk dilakukan
Dono Wahyuno, Balittro
Permasalahan, peluang dan tantangan pengembangan kopi .....
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 4
PERMASALAHAN, PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN KOPI DI INDONESIA
Kebutuhan kopi dan keter-
sediaannya merupakan dua hal
saling terkait. Kopi Indonesia
tidak hanya terkenal dari cita
rasanya, namun memiliki kualitas
dan menjadi selera kelas dunia
sepanjang sejarah. Namun, seiring
dengan perkembangan perubahan
lingkungan strategis, riset dan
teknologi pertanian telah men-
ciptakan persaingan pasar dunia
semakin tidak terbendung ter-
utama terkait kualitas dan
kemasan dari kopi. Menyikapi hal
tersebut, Indonesia terus berupaya
untuk meningkatkan jumlah dan
kualitas kopi yaitu dengan per-
baikan sistem budidaya, pengolah-
an dan pengemasan agar menjadi
sumber devisa yang strategis di-
masa mendatang dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan
petani.
opi adalah jenis minuman
yang penting bagi sebagian
besar masyarakat dunia,
karena kenikmatan aroma dan nilai
ekonomis bagi negara produsen dan
pengekspornya. Kopi yang di-
perdagangkan biasanya adalah
kombinasi dari dua varietas kopi:
arabika dan robusta. Perbedaan di
antara kedua varietas ini terutama
terletak pada rasa dan tingkat
kafeinnya. Biji arabika, lebih mahal
di pasar dunia, memiliki rasa yang
lebih lembut dan memiliki kan-
dungan kafein 70% lebih rendah
dibandingkan dengan biji robusta.
Wilayah subtropis dan tropis
merupakan lokasi yang baik untuk
budidaya kopi. Oleh karena itu,
negara-negara yang mendominasi
produksi kopi dunia berada di
wilayah Amerika Selatan, Afrika,
dan Asia Tenggara. Kopi adalah
salah satu komoditi yang diper-
dagangkan di bursa-bursa komoditi
di London dan New York. Indonesia
adalah salah satu dari lima besar
produsen dan eksportir kopi dunia
(International Coffee Organization),
penyumbang devisa terbesar ke-
empat untuk Indonesia setelah
minyak sawit, karet dan kakao.
Indonesia dikenal karena karena
memiliki sejumlah kopi khusus
seperti kopi luwak' (dikenal sebagai
kopi yang paling mahal di dunia)
dan 'kopi Mandailing'.
Sejak tahun 1960an, luas areal
dan produksi kopi Indonesia me-
nunjukkan trend positif. Akan tetapi
menurut data dari Badan Pusat
Statistik (BPS), saat ini luas
perkebunan kopi di Indonesia
menurun karena petani telah
mengubah fokus usaha tani mereka
ke tanaman perkebunan lain se-
perti sawit, karet dan kakao yang
memberikan pendapatan yang lebih
menjanjikan. Selain itu ekspansi
negara eksportir kopi lainnya untuk
meningkatkan mutu dan kemasan
yang menarik, merupakan tantang-
an yang perlu diantisipasi oleh
Indonesia. Dengan kondisi ter-
sebut, tulisan ini akan mengurai-
kan tentang permasalahan, peluang
dan tantangan pengembangan kopi
Indonesia.
Potensi Produksi Kopi Indonesia
Kopi diperkenalkan di Nusantara
oleh Belanda yang pada awalnya
ditanam di sekitar wilayah Batavia,
kemudian dengan cepat berkembang
ke wilayah Bogor, Sukabumi dan
wilayah Jawa Barat lainnya pada
abad ke-17 dan ke-18. Karena
iklim yang menunjang, maka
wilayah pengembangan kopi pada
saat itu meluas ke wilayah-wilayah
lain di Jawa, Sumatera dan juga di
Sulawesi.
Produksi kopi Indonesia tahun
2014 tercatat sebesar 643.857 ton.
Produksi ini berasal dari 1.230.495
ha luas areal perkebunan kopi di-
mana 96,19% di antaranya diusaha-
kan oleh rakyat (Perkebunan Rakyat)
sementara sisanya diusahakan oleh
perkebunan besar milik swasta
(PBS) sebesar 1,99% dan perkebun-
an besar milik negara (PBN) sebesar
1,82% (Ditjend Perkebunan, 2015).
Jika dilihat dari jenis kopi yang
diusahakan kopi robusta mendo-
minasi produksi kopi Indonesia. Di
tahun 2014, dari 643.857 ton pro-
duksi kopi Indonesia sebanyak
73,57% (473.672 ton) adalah kopi
robusta sementara sisanya sebanyak
26,43% (170,185) ton adalah kopi
arabika. Sentra produksi kopi ro-
busta di Indonesia adalah provinsi
Sumatera Selatan, Lampung, Beng-
kulu, Jawa Timur dan Sumatera
Barat. Sementara itu sentra produksi
kopi arabika terdapat di provinsi
Sumatera Utara, Aceh, Sulawesi
Selatan, Sumatera Barat dan Nusa
Tenggara Timur.
Harga kopi pada tahun 2015 di
pasar domestik Indonesia rata-rata
adalah Rp 19.135/kg, sedangkan
tingkat konsumsi kopi pada tahun
2015 berdasarkan SUSENAS yang
mencapai 0,8 % kg/kapita/tahun.
Prospek Ekspor Kopi Indonesia
Kopi merupakan salah satu
komoditas unggulan dalam subsektor
perkebunan di Indonesia karena
memilki peluang pasar yang baik di
dalam negeri maupun luar negeri.
Sebagian besar produk kopi di
K
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017
5
Indonesia merupakan komoditas
perkebunan yang dijual ke pasar
dunia. Menurut International Coffee
Organization (ICO) konsumsi kopi
meningkat dari tahun ke tahun
sehingga peningkatan produksi kopi
di Indonesia khususnya memiliki
peluang besar untuk merespon
kebutuhan dunia melalui jalur ekspor
ke negara-negara pengkonsumsi kopi
utama dunia yaitu Uni Eropa,
Amerika Serikat dan Jepang.
Indonesia juga terkenal sebagai
penghasil kopi karena memiliki
sejumlah kopi khusus seperti kopi
luwak dan kopi mandailing. Biji
kopi arabika yang berkualitas
lebih tinggi kebanyakan diproduksi
oleh negara-negara Amerika Selatan
Oleh karena itu, sebagian besar
ekspor kopi Indonesia (kira-kira
80%) terdiri dari biji robusta.
Saat ini produksi kopi Indonesia
lebih kurang 740.000 ton dengan
produksi kopi robusta 600.000 ton
dan arabika 140.000 ton. Pada tahun
2012, 70% dari total produksi
tahunan biji kopi Indonesia diekspor,
Negara tujuan ekspor kopi Indonesia
dengan bentuk total segar dan olahan
dengan volume ekspor terbesar pada
tahun 2015 adalah USA sebesar
65.509 ton (13,05%). Negara tujuan
ekspor berikutnya adalah Jerman
sebesar 47.664 ton (9,49%), Itali
43.048 ton (8.58%), Jepang 41.241
ton (8,21%), Malaysia 39.394 ton
(7,85%), Thailand 29.305 ton
(5,84%) dan Rusia 26.940 ton
(5,37%). Ekspor kopi olahan
hanyalah bagian kecil dari total
ekspor kopi Indonesia.
Sementara Indonesia mengimpor
kopi dari Vietnam dalam bentuk
segar dan olahan pada sebesar
62.83% atau setara dengan 7.582
ton pada tahun 2015. Brazil se-
besar 7,99% (965 ton), Malaysia
1,56% (188 ton) dan United States
Amerika 1,34% (162 ton).
Permasalahan, Peluang dan Tan-
tangan Pengembangan Kopi di
Indonesia.
Potensi ekspor kopi Indonesia
yang sangat besar tersebut bukannya
tanpa tantangan, karena banyak
permasalahan yang harus diatasi
baik untuk meningkatkan pro-
duktivitas maupun mutu. Per-
masalahan pengembangan kopi di
Indonesia di antaranya : 1) rendah-
nya produktivitas tanaman, (2)
serangan organisme pengganggu
tanaman (OPT), (3) lemahnya
kelembagaan petani, (4) rendahnya
penguasaan teknologi pasca panen,
(5) produk yang dihasilkan dan
diekspor sebagian besar berupa biji
kopi (green beans), (6) rendahnya
tingkat konsumsi kopi per kapita di
dalam negeri (0,86 kg/kapita/tahun),
(7) belum optimalnya pengelolaan
kopi spesial (Specialty coffee), (8)
terbatasnya akses permodalan bagi
petani, dan (9) rantai tataniaga yang
belum efisien (masih panjang).
Untuk mengantisipasi tantangan
pengembangan dan ekspor kopi
Indonesia, beberapa peluang yang
dapat dilakukan adalah: (1) per-
luasan areal tanaman kopi ara-
bika, khususnya di wilayah yang
memiliki kesesuaian agroklimat, (2)
penerapan sistem budidaya per-
kebunan kopi yang baik (GAP) dan
berkelanjutan (sustainable coffee
production), (3) penyediaan tek-
nologi pengendalian OPT yang
ramah lingkungan, (4) peningkatan
mutu khususnya kopi arabika yang
dapat diarahkan menjadi kopi
spesialty, (5) teknologi diversifikasi
produk vertikal dan horizontal,
seperti pengolahan kopi menjadi
Instant coffee dan Liquid coffee
dan (6) peningkatan konsumsi
kopi/kapita di dalam negeri dari
860 g/kapita/tahun menjadi 1.000
g/kapita/tahun.
Peluang pengembangan kopi di
Indonesia dapat dioptimalkan lebih
lanjut dengan cara : (1) penerapan
usaha tani kopi berkelanjutan (sus-
tainable coffee production), (2)
penerapan Standar ISO 9000, 14000,
(3) peningkatan pengetahuan petani
dan konsumen kopi tentang ke-
sadaran pada aspek kesehatan
dengan sosialisasi terhadap toleran-
si komponen bahan kimia yang
berbahaya bagi tubuh seperti
Ochratoxin dan residu pestisida dan
(4) adanya kesepakatan dari anggota
ICO untuk tidak mengekspor kopi
dengan kualitas rendah.
Teknologi Budidaya
Untuk meningkatkan daya saing
kopi Indonesia, perlu adanya
peningkatan kualitas dan kuantitas
produksi yang efisien dengan
meningkatkan produktivitas melalui
perbaikan cara budidaya yang ramah
lingkungan dengan produktivitas
yang tinggi, penggunaan benih
bersertifikat serta input yang
bermutu, pengolahan produk pri-
mer yang mengacu pada standar
mutu. Badan Litbang pertanian me-
lalui Balai Penelitian Tanaman
Industri lain, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perkebunan telah
menghasilkan teknologi untuk
mendukung program tersebut, di
antaranya :
Kopi Liberoid Meranti 1 (LIM 1)
Varietas unggul kopi Liberoid
Meranti 1 (LIM 1) merupakan hasil
seleksi pada populasi kopi Liberoid
di Desa Kedaburapat, Kecamatan
Rangsang Pesisir, Kabupaten Ke-
pulauan Meranti, Provinsi Riau.
Kopi tersebut memiliki rata-rata
produksi 2,37 kg biji kering/pohon/
tahun atau setara dengan 1,69 ton
biji kopi/ha dengan jumlah populasi
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 6
714 tanaman. Selain itu, varietas
kopi LIM 1 juga memiliki keung-
gulan tahan penyakit karat daun dan
agak tahan sampai tahan terhadap
hama penggerek buah kopi. Dari
sisi cita rasa, varietas ini berhasil
memperoleh nilai kesukaan (pre-
ferensi) berkisar antara 80 - 84,25
atau rata-rata 82,28. Dengan de-
mikian, varietas kopi LIM 1 me-
miliki mutu cita rasa “excellent”.
Tingkatan mutu tersebut merupakan
yang tertinggi untuk cita rasa kopi.
Varietas ini juga adaptif di lahan sub
optimal (gambut) dengan tipe iklim
A. Umur panen kopi rata-rata 3
tahun.
Kopi Liberoid Meranti (LIM 2).
Kopi Liberoid Meranti 2 (LIM 2)
juga merupakan hasil seleksi pada
populasi kopi Liberoid di Desa
Kedaburapat, Kecamatan Rangsang
Pesisir, Kabupaten Kepulauan
Meranti, Propinsi Riau. Kopi ini
memiliki buah yang besar dan
memiliki potensi produksi 2,78 kg
kopi biji/pohon/tahun atau setara
dengan 1,98 ton biji kopi/ha dengan
jumlah populasi 714 tanaman.
Varietas ini memiliki ketahanan
terhadap penyakit karat daun dan
hama penggerek buah kopi. Sama
halnya dengan varietas LIM 1,
varietas LIM 2 juga adaptif di lahan
sub optimal (gambut) dengan tipe
iklim A. Umur panen kopi rata-
rata 3 tahun. Nilai cita rasa dari
varietas kopi LIM 2 mencapai
84,50 sehingga dapat dikategorikan
memiliki mutu “excellent”.
Teknologi Pengemasan Dan
Penyimpanan Entres Kopi
Robusta Untuk Meningkatkan
Viabilitas Benih
Salah satu faktor pembatas
keberhasilan pendistribusian entres
kopi adalah tingkat kesegaran-
nya. Peningkatan lama simpan
entres kopi tersebut akan mem-
bantu penyediaan entres untuk
perbanyakan kopi robusta secara
vegetatif, yaitu penyetekan dan
penyambungan. Teknik pengemasan
entres kopi rosbuta dengan meng-
gunakan pengemas plastik + koran
+ superabsorbent polyacrylamide
polymer mampu mempertahan-
kan viabilitas entres kopi robusta
sebesar 75% walaupun telah me-
lewati masa distribusi entres selama
± 10 hari pada suhu 35 - 400C.
Teknologi Pemupukan Organik
Dengan Pelarut P Dan K pada
Tanaman Kopi Robusta
Tanah yang rendah tingkat
kesuburannya dapat ditingkatkan
dengan memanfaatkan kelompok
mikrobia indigenous pelarut fosfat
(MPF) melalui peningkatan kelarut-
an pupuk P yang diberikan maupun
senyawa P yang tertinggal sebagai
residu tanah. Mikroba pelarut P
mampu berperan melepaskan ikatan
P tersebut dan menyediakannya
bagi tanaman. MPF yang potensial
memiliki kemampuan melarutkan
unsur hara P antara lain Bacillus dan
Aspergillus. Inokulasi MPF mampu
meningkatkan berat biomassa dan
serapan hara N, P dan K. Pemberi-
an pupuk NPK dengan interval tiga
kali dan mikroba sebanyak 20 g/
tahun dapat meningkatkan keter-
sediaan hara K dan Ca sebesar 25%.
Penggunaan pupuk hayati pelarut
P dan K pada berbagai sumber
bahan organik memberikan pe-
ngaruh yang positif terhadap
tanaman kopi asal setek berakar.
Keunggulan yang ditonjolkan
dari teknologi penggunaan pupuk
hayati pelarut P dan K adalah
mampu mengurangi penggunaan
pupuk kimia sebesar 25%. Selain
itu, teknologi ini juga dapat me-
manfaatkan bahan organik lokal
yang tersedia. Dengan demikian,
penggunaan teknologi ini, mampu
mengefisienkan usaha tani kopi
secara signifikan.
Saran dan Langkah Kebijakan
Menyikapi peningkatan per-
mintaan komoditas kopi untuk
konsumsi dalam negeri dan luar
negeri terutama untuk menjaga
eksistensi produksi dan produktivi-
tas serta kualitas yang tinggi, peme-
rintah dan seluruh pelaku pengem-
bangan kopi Indonesia harus men-
cermati perkembangan lingkungan
strategis domestik dan internasional.
Langkah-langkah nyata yang perlu
dilakukan dalam menyikapi per-
masalahan, peluang dan tantangan
tersebut adalah: (1) melakukan
produksi kopi berkelanjutan, de-
ngan penerapan sistem budidaya
kopi yang baik (Good Agriculture
Practices/GAP), (2) penetapan stan-
dar/kriteria Kopi Berkelanjutan
Indonesia (Indonesian Sustainable
Coffee/ISCoffee) dalam satu standar
nasional. Saat ini sertifikasi kopi
memiliki kriteria yang berbeda-beda
tergantung pada konsumen. Apabila
akan dibuat, belum tentu dapat
diterima oleh konsumen yang lain
sehingga memerlukan persepsi
yang sama dari para konsumen
(harmonisasi). Contoh sertifikasi
kopi di dunia : Fairtrade, Utzkapeh,
Organic Coffee, Common Code for
Coffee Community (C4), Rainforest
Alliance, Coffee And Farmer Equity
(CAPE), Practices (Starbucks), (3)
peningkatan mutu kopi yang akan
diekspor ke Jepang dengan cara
menurunkan kadar carbaryl kurang
dari 30%, (4) diversifikasi vertikal
dan horizontal ekspor kopi Indonesia
untuk meningkatkan nilai tambah
dan daya saing kopi Indonesia di
pasar Internasional, (5) peningkatan
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017
7
potensi kopi spesialty, untuk itu
perlu terus diupayakan potensi kopi
spesialty lainnya yang belum muncul
dan bagi kopi spesialty yang telah
dikenal serta memiliki nama agar
segera dilakukan sertifikasi In-
dikasi Geografisnya, dan (6)
Pengembangan kopi dalam model
kawasan agribisnis kopi yang
meliputi pengembangan dari hulu
sampai hilir, dengan dukungan
infrastruktur yang cukup memadai
antara lain jalan, listrik, energi dan
pelabuhan.
Penutup
Pemerintah perlu memberikan
perhatian serius dalam pengem-
bangan kopi dengan sistim agribisnis
modern yang berkelanjutan, me-
ngingat besarnya peluang dan
tantangan ke depan. Aktivitas riset
yang menghasilkan inovasi teknologi
terutama varietas unggul baru perlu
terus ditingkatkan agar mampu
bersaing di pasar dunia sehingga
kopi Indonesia menjadi pilihan
konsumen domestik dan inter-
nasional. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian melalui
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan harus mampu men-
jawab atas tantangan dan peluang
perubahan dan persaingan dunia
tersebut dengan bekerja keras
dan serius dalam mengelola
produktivitas dan kualitas kopi
nasional.
KOMUNIKASI INOVASI PERTANIAN BIOINDUSTRI INTEGRASI SERAI WANGI-TERNAK
Komunikasi menjadi bagian
penting dalam desiminasi ino-
vasi teknologi Badan Litbang
Pertanian. Teknik komunikasi
yang efektif dan efisien diperlukan
agar inovasi yang disampaikan
dimengerti dan diadopsi oleh
stakeholder. Salah satu inovasi
unggulan adalah bioindustri ber-
basis integrasi serai wangi dengan
ternak. Inovasi tersebut telah
didesiminasikan kepada petani di
Desa Cikahuripan. Desiminasi
yang dilakukan terbukti efektif
menggunakan saluran komuni-
kasi interpersonal melalui dialog,
ceramah, dan didukung demons-
trasi hasil melalui partisipasi aktif
petani dan staf Balittro. Petani
Desa Cikahuripan mendapatkan
sumber informasi pertanian
bioindustri dari sesama petani,
tokoh masyarakat, kelembagaan,
aparat desa, penyuluh dan staf
KP/Balittro. Namun sumber
informasi yang paling dominan
memberikan informasi mengenai
inovasi pertanian bioindustri
adalah sesama petani dan staf
KP/Balittro. Kredibilitas sumber
informasi sesama petani dan staf
KP/Balittro dalam hal tingkat
pengetahuan dan tingkat ke-
percayaan sesama petani dan staf
KP/Balittro berada pada kategori
tinggi, dan tingkat kompetensi
kategori mahir.
ermasalahan yang dihadapi di
sektor pertanian di antaranya
perubahan lahan pertanian
menjadi non-pertanian dan pe-
nurunan kualitas lingkungan yang
mengancam keberlanjutan sistem
pertanian sehingga konsep keber-
lanjutan menjadi faktor penting
dalam pengelolaan sektor pertanian
(Listyanti, 2015). Dengan semakin
sedikitnya lahan pertanian, maka
diperlukan pengembangan diver-
sifikasi pertanian melalui keter-
paduan subsektor pertanian (Dillon,
2009).
Salah satu alternatif untuk
menjawab permasalahan di sektor
pertanian, adalah melalui terobosan
inovasi Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (Balit-
bangtan) telah menciptakan inovasi -
inovasi terbaru salah satunya ada-
lah inovasi pertanian bioindustri
integrasi tanaman dan ternak. Ino-
vasi tersebut mengkombinasikan
kegiatan tanaman serai wangi dan
ternak sapi yang merupakan salah
satu upaya meningkatkan pro-
duktivitas lahan dan mengurangi
input dari luar. Keuntungan integrasi
tanaman ternak adalah (1) diver-
sifikasi penggunaan sumber daya;
(2) mengurangi risiko usaha; (3)
efisiensi penggunaan tenaga kerja;
(4) efisiensi pengunaan input; (5)
mengurangi ketergantungan energi
kimia; (6) ramah lingkungan; (7)
meningkatkan produksi dan (8)
meningkatkan pendapatan petani
(Handaka et al. 2009). Inovasi
pertanian bioindustri integrasi serai
wangi - ternak menurut Sukamto et
al. (2012) dapat mendorong pihak-
pihak terkait untuk mengembang-
kannya dan menjadi peluang
meningkatkan pendapatan petani
dari minyak atsiri dan ternak sapi.
Di antara isu utama komunikasi
pembangunan di dunia saat ini
adalah komunikasi pembangun-
an berkelanjutan (sustainable
development communication). Se-
lama bertahun-tahun inisiatif ko-
munikasi untuk penanggulangannya
P
Saefudin, Puslitbang Perkebunan
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 8
lebih difokuskan pada penyebaran
dan adopsi paket teknis yang hanya
menghasilkan dampak terbatas.
Komunikasi pembangunan dipahami
sebagai aplikasi yang terencana
dalam metode komunikasi serta alat
yang memfasilitasi pertukaran
informasi. Pelaksanannya dilaku-
kan dengan dialog, partisipasi, serta
perubahan sikap dan praktek se-
hingga tujuan pembangunan di-
sepakati di antara semua pemangku
kepentingan, sesuai kebutuhan dan
kapasitasnya.
Pengembangan teknologi inovasi
pertanian bioindustri sampai saat ini
terus berlanjut, namun penyampaian
inovasi kepada masyarakat belum
optimal. Hal ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain bentuk
komunikasi yang disampaikan,
metode penyampaian, individu atau
kelompok penerima inovasi.
Menurut Hayanto (2009) sistem
penyampaian inovasi teknologi
menentukan cepat-lambatnya inovasi
teknologi yang diterapkan oleh
pengguna. Tulisan ini akan me-
nelaah efektivitas komunikasi dalam
pengembangan inovasi pertanian
bioindustri pada masyarakat seki-
tar khususnya Desa Cikahuripan,
Kecamatan Lembang, Kabupaten
Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat.
Pertanian Bioindustri
Pertanian bioindustri adalah
sistem pertanian yang pada prinsip-
nya mengelola dan/atau memanfaat-
kan secara optimal seluruh sum-
berdaya hayati termasuk biomasa
dan atau limbah organik pertanian,
bagi kesejahteraan masyarakat dalam
suatu ekosistem secara harmonis
(Kementan 2013; Basit 2014).
Dalam pengembangannya, per-
tanian bioindustri tidak terlepas dari
konsep pertanian berkelanjutan,
memutus kebergantungan petani
terhadap input eksternal dan
penguasa pasar yang mendominasi
sumber daya pertanian. Konsep
dasar pertanian berkelanjutan adalah
mengintegrasikan aspek lingkungan
dengan sosial ekonomi masyarakat
pertanian untuk mempertahankan
ekosistem alami lahan pertanian
yang sehat, melestarikan kualitas
lingkungan, dan sumber daya alam.
Dalam hal ini keuntungan ekonomi,
keuntungan sosial, dan konservasi
lingkungan secara berkelanjutan
harus menjadi keniscayaan dalam
pertanian berkelanjutan. Secara
holistik, konsep pembangunan
pertanian berkelanjutan disajikan
dalam Gambar 1.
Tiga prinsip keberlanjutan sistem
pertanian bioindusti adalah : (1) self
financing: sedapatnya bersifat
membiayai dirinya sendiri melalui
usaha yang saling menunjang dan
berjenjang; (2) menerapkan tek-
nologi skala usaha kecil dan (3)
usaha yang layak teknis dan
ekonomis. Contoh kasus bioindustri
yang menerapkan ketiga prinsip
tersebut adalah integrasi sapi perah
dengan serai wangi yang
menghasilkan susu, minyak serai
wangi, biogas dan pupuk organik di
Lembang (Hendriadi 2014).
Penyebaran Inovasi Pertanian
Lembaga penelitian dan pengem-
bangan merupakan salah satu unsur
penghasil ilmu pengetahuan dan
teknologi dalam bentuk hasil
penemuan (inovasi). Supaya inovasi
dapat didiseminasikan, diadopsi dan
diterapkan oleh masyarakat, maka
diperlukan sebuah wahana yang
dapat memfasilitasi aliran inovasi
secara lebih efisien dan efektif. Salah
satu wahana tersebut adalah kebun
percobaan (KP). KP merupakan
salah satu aset potensial mendukung
peningkatan kinerja Unit Pelaksana
Teknis (UPT) yang sekaligus dapat
dijadikan sebagai salah satu sumber
inovasi yang dapat diakses dan
dilengkapi sarana untuk masyarakat
atau pengguna yang ingin me-
nerapkan inovasi yang telah ada.
Inovasi Balitbangtan tentang
pertanian bioindustri integrasi serai
Gambar 1. Konsep holistik pertanian berkelanjutan
Hama dan
Penyakit
Pengetahuan dan
keyakinan petani
Sistem
Sosial
Keaneka
ragaman
Hayati
Tanaman/
Ternak/ikan
Tanah
Faktor
Produk/Saprodi
Pertanian Keberlanjutan
Produksi
Biota Tanah
Kuantitas dan
Kualitas Air Degradasi Sistem
Ekonomi
Sistem
Politik
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017
9
wangi ternak merupakan model
pengembangan tanaman ternak yang
berorientasi pada kesejahteraan
sosial petani, pekerja/masyarakat
sekitar, ramah lingkungan dan
menciptakan nilai tambah ekonomi
bagi petani dan pengusaha (Balit-
bangtan, 2014). Inovasi ini telah
dikembagkan di KP. Manoko,
Lembang Bandung. Untuk itu peran
komunikasi pembangunan diharap-
kan dapat menjadi sarana untuk
mempercepat diseminasi inovasi
tersebut.
Inovasi Pertanian Bioindustri
Integrasi Serai Wangi - Ternak
Model inovasi pertanian bio-
industri integrasi serai wangi - ter-
nak, merupakan model pengem-
bangan bioindustri sebagai sistem
pertanian terpadu yang berdaya
saing. Inovasi pertanian bioindustri
integrasi serai wangi- ternak terdiri
atas kegiatan usaha tani serai
wangi, penyulingan minyak atsiri,
peternakan, energi biogas, pem-
buatan kompos dan kegiatan
pertanian lain yang memungkinkan
untuk dikembangkan. Tanaman serai
wangi menghasilkan minyak atsiri
yang dapat digunakan dalam industri
parfum, pewangi berbagai produk,
kosmetik, pestisida nabati dan
bioaditif bahan bakar minyak.
Limbah penyulingan serai wangi
digunakan sebagai pakan ternak,
serta kotoran ternak dimanfaatkan
sebagai pupuk tanaman dan biogas
(Balitbangtan, 2014).
Biogas yang dihasilkan diman-
faatkan untuk memasak dalam
rumah tangga dan membakar tungku
penyulingan serai wangi. Untuk
meningkatkan nilai tambah susu,
dilakukan proses lanjutan menjadi
yogurt, atau produk lainnya (Balit-
bangtan, 2014). Lokasi pengembang-
an pertanian bioindustri integrasi
serai wangi-ternak di KP Manoko
Lembang, Bandung tersaji pada
Gambar 2.
Pendampingan KP. Manoko pada
Diseminasi Inovasi Pertanian
Bioindustri Integrasi Serai Wangi-
Ternak
Pendampingan dilakukan oleh
Balai Penelitian Tanaman Rempah
dan Obat (Balittro) yang merupakan
balai nasional di bawah Pusat
Penelitian dan Pengembangan Per-
kebunan - Balitbangtan- Kementeri-
an Pertanian dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya melakukan
penelitian komoditas tanaman
rempah, obat dan minyak atsiri.
Di samping itu mendiseminasikan
hasil penelitian dan inovasi melalui
bimbingan bersifat teknis (bim-
bingan teknis), dengan memanfaat-
kan sumber daya yang terdapat di
kebun percobaan.
Pada diseminasi inovasi tekno-
logi inovasi pertanian bioindustri
integrasi serai wangi-ternak di KP.
Manoko, pendampingan dilakukan
dalam bentuk :
Bimbingan Teknis
Salah satu faktor kunci ke-
berhasilan program yang sudah
diidentifikasi adalah melakukan
pembinaan, bimbingan teknis dan
penyeliaan yang sistematis dan
intensif. Kegiatan bimbingan teknis
kepada petani dilakukan oleh
peneliti Balittro Kepala Kebun
Percobaan Dan Teknisi KP. Manoko
melalui pemaparan materi bersifat
teknis, demonstrasi hasil dan
demplot komponen inovasi di
kawasan KP. Manoko. Materi yang
diberikan berkaitan dengan inovasi
pertanian bioindustri yaitu cara
memperoleh bibit serai wangi,
Gambar 2. Lokasi pengembangan inovasi pertanian bioindustri integrasi serai
wangi-ternak di Kebun Percobaan Manoko, Desa Cikahuripan,
Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat.
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 10
budidaya, penyulingan, pasca panen
dan kemudahan dalam pemasaran.
Kelembagaan
Penguatan kelembagaan menjadi
faktor yang perlu mendapat per-
hatian dalam mengarahkan pengem-
bangan inovasi pertanian bioindustri
integrasi serai wangi-ternak di Desa
Cikahuripan. Dengan asumsi petani
memahami manfaat akan inovasi
tersebut, maka diperlukan dukungan
penguatan kelembagaan yang ber-
pihak kepada petani/kelompok tani/
gapoktan melalui pengelolaan untuk
memenuhi kebutuhan yang disesuai-
kan dengan kondisi lingkungan
sosial budaya setempat, dan mening-
katkan partisipasi anggota ke-
lompok. Dengan demikian daya tarik
tidak terbatas pada kelompok petani
usia tua tetapi juga pemuda dan
calon petani. Penumbuhan kelem-
bagaan melibatkan para petani di
sekitar Desa Cikahuripan sehingga
dapat mengakomodasi aspirasi pe-
tani, pengembangan yang dibangun
secara partisipatif melalui proses
bekerja bersama. Menurut Hen-
dayana dan Hutahaen (2015) pe-
nguatan kelembagaan tani menjadi
faktor penentu keberlanjutan sis-
tem pertanian bioindustri berbasis
tanaman-ternak sebagaimana di Kab.
Majalengka Provinsi Jawa Barat.
Kerjasama
Teknologi hasil Balitbangtan
dialihkan kepada dunia industri
(perusahaan mitra kerjasama Balit-
bangtan) agar dapat dikembang-
kan secara massal menjadi produk
yang bermanfaat bagi masyarakat.
Oleh karenanya diperlukan jejaring
kerjasama antara Balitbangtan
dengan dunia industri (perusahaan)
sebagai mitra kerjasama alih tek-
nologi. Kegiatan kerjasama yang
telah dilakukan pada inovasi
pertanian bioindustri integrasi serai
wangi-ternak yaitu melalui kerja-
sama pengembangan komponen
inovasi diversifikasi produk serai
wangi antara Balittro dengan PT
Sinergi Alam Bersama tahun 2010-
2014, dengan produk bioaditif
Gastrofac yang berasal dari minyak
serai wangi sebagai bahan aditif
untuk menghemat solar dan
premium sekitar 20 - 40%.
Kegiatan kerjasama lainnya
antara Balittro dengan PT Sapa
Berkah Persada melalui pengemasan
dan pemasaran produk pestisida
nabati Smartz Plus yang berasal dari
diversifikasi minyak serai wangi,
dan dengan PT Sainindo Kurnia
Sejati melalui kerjasama pengemas-
an dan pemasaran atraktan lem
perangkap lalat buah berbahan
minyak serai wangi tahun 2011 -
2014.
Strategi inovasi yang dilakukan
Kebun Percobaan Manoko dan
Balittro dalam pengembangan model
pertanian bioindustri integrasi serai
wangi-ternak, juga dilakukan me-
lalui pelaksanaan gelar teknologi
lapang dan pengembangan benih
sumber. Kegiatan gelar teknologi
yang dilaksanakan yaitu dalam
rangka launching inovasi pertani-
an bioindustri pada tahun 2014
yang diadakan Balittro. Kegiatan
pengelolaan benih sumber selain
di Kebun Percobaan Manoko
juga telah dilakukan melalui
pembinaan kepada petani penang-
kar yang salah satunya di Desa
Wanayasa Purwakarta.
Kerjasama lainnya dengan Ke-
menterian Kesehatan dan Kemen-
terian Ristekdikti melalui riset
insentif terapan (RIT) yaitu : (1)
Formulasi produk pestisida nabati
berbahan aktif azadirachtin, eugenol,
sinamaldehid, sitronela yang efektif
menekan serangan Aphis gossypii
dan kerusakan buah oleh lalat
buah (30%), menurunkan tingkat
serangan Pachyzanda stutalis (50-
60%) pada nilam; (2) Formula
pestisida nabati berbahan aktif
eugenol, sitronela, azadiractin yang
efektif menekan Conopomorpha
cramerella dan Helopeltis sp pada
kakao (>50%); (3) Pemanfaatan
formula pestisida nabati dan agen-
sia hayati untuk mengendalikan
penyakit jamur akar putih tahun
2011 - 2012.
Saluran Komunikasi Inter-
personal Petani Inovasi Pertanian
Bioindustri Integrasi Serai Wangi-
Ternak
Komunikasi inovasi merupakan
bentuk komunikasi yang bersifat
khusus berkaitan dengan penyebaran
pesan-pesan yang berupa gagasan-
gagasan baru yang tidak hanya top-
down tetapi bottom up dan linear.
Agar proses inovasi pertanian
menjadi nyata maka perlu dilakukan
pengaturan teknis dan hubungan
sosial yang efektif antara petani,
pemerintah dan pihak yang tertarik.
tersebut. Komunikasi yang efektif
dapat berpengaruh secara signifikan
terhadap hambatan institusional/
kelembagaan dan kebijakan, yaitu
bagaimana pemangku kebijakan
mengorganisir, membuat kesepa-
katan melalui negosiasi untuk
mencegah konsekuensi negatif
terhadap inovasi tersebut. Usaha
seperti ini memerlukan waktu
yang cukup lama agar tercipta
perasaan saling membutuhkan
dan menimbulkan kesadaran
akan pentingnya inovasi tekno-
logi tersebut.
Kegiatan komunikasi bila di-
selenggarakan dengan baik, maka
tidak hanya berfungsi untuk
penyebarluasan teknologi baru,
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017
11
tetapi juga dapat berfungsi untuk
mengembangkan kapasitas diri
petani selanjutnya petani dapat
mengembangkan usaha pertanian-
nya. Selain itu komunikasi inovasi
yang baik akan menghasilkan umpan
balik terhadap teknologi yang
dibutuhkan petani.
Pembinaan kelompok tani dapat
meningkatkan dinamika kelompok
tani dan memberi peluang bermitra
secara saling menguntungkan
(partnership) dengan pengusaha.
Kemitraan semacam ini merupakan
salah satu jalan untuk mengatasi
kesulitan pengadaan modal usaha
pertanian dan pemasaran hasilnya.
Saluran komunikasi dapat di-
lakukan secara interpersonal cara ini
memungkinkan penyampaian pe-
san buatan, menarik perhatian,
mendukung pembelajaran aktif
dalam pengambilan keputusan,
membangun dan menggunakan
hubungan kepercayaan dan saling
keterlibatan, dan untuk mencapai
audien berpotensi tinggi (Leeuwis,
(2009). Rogers (2003) menyatakan
bahwa saluran komunikasi sebagai
sesuatu yang dapat dimanfaatkan
sumber maupun penerima informasi
untuk menyalurkan atau menyampai-
kan pesan-pesannya. Saluran ko-
munikasi interpersonal dalam
pengembangan inovasi teknologi
integrasi serai wangi dan ternak
dilakukan pada petani di Desa
Cikahuripan. Petani yang mem-
peroleh informasi diharapkan
dapat mengambil suatu keputusan
mengadopsi inovasi tersebut.
Saluran komunikasi interpersonal
terdiri atas ragam sumber informasi
dan kredibilitas sumber.
Ragam Sumber Informasi
Menurut Soekartawi (2005) salah
satu faktor intern yang dapat
memengaruhi kecepatan adopsi
inovasi, adalah pola hubungan
pengadopsi dalam memperoleh
sumber informasi. Ragam sumber
informasi inovasi untuk mengambil
keputusan mengadopsi inovasi
pertanian bioindustri integrasi serai
wangi-ternak adalah melalui ke-
giatan dialog, ceramah, pelatihan
dan demonstrasi hasil. Sumber
informannya adalah petani, tokoh
masyarakat, kelembagaan, aparat
desa, penyuluh dan staf Balittro.
Namun demikian sumber informasi
yang paling dominan adalah sesama
petani dan staf Kebun Percobaan
Balittro.
Kredibilitas Sumber Informasi
Kredibilitas sumber informasi
merupakan penilaian sejauh mana
sumber pesan inovasi pertanian
bioindustri integrasi serai wangi-
ternak sampai ke petani. Penilaian
didasarkan pada tingkat penge-
tahuan dan kompetensi dari sum-
ber informasi. Dalam hal tingkat
pengetahuanan tingkat kepercaya-
an sumber informasi, sesama petani
dan pihak Balittro berada pada
kategori tinggi. Untuk tingkat
kompetensi, sesama petani dan
staf Balittro kategori sedang. Hal
ini berarti bahwa kompetensi petani
dan staf Balittro dapat dipertim-
bangkan oleh petani untuk me-
ngambil keputusan adopsi inovasi.
Terbukti di lapangan bahwa staf
Balittro dan sesama petani sebagai
sumber informasi yang memiliki
kredibilitas tinggi, sehingga dapat
mengubah sikap sebagian petani
dari menanam sayuran beralih
menanam serai wangi. Perilaku
petani beralih ke sistem tumpang-
sari tanaman sayuran brokoli
dengan serai wangi dipercaya
petani memiliki keuntungan yang
lebih besar. Berdasarkan wawan-
cara dengan Kepala Kebun Per-
cobaan Manoko bahwa pola
tumpang sari tanaman serai wangi
dan tanaman sayuran dapat meng-
hemat biaya pengolahan tanah,
pemupukan, dan memberi ke-
untungan lebih.
Rekomendasi Strategi Diseminasi
Inovasi Pertanian Bioindustri
Integrasi Serai Wangi-Ternak
Strategi diseminasi dalam
pengembangan inovasi pertanian
bioindustri berbasis integrasi serai
wangi-ternak disusun berdasarkan
temuan-temuan penelitian dan
sebagai bahan masukan di tingkat
pemangku kebijakan Balitbangtan.
Strategi komunikasi difokuskan
terhadap sasaran khalayak yang
potensial, pengemasan isi pesan,
metode penyuluhan yang efektif dan
kerjasama pengembangan inovasi
agar inovasi pertanian bioindustri
integrasi serai wangi-ternak dapat
berkembang di masyarakat.
Sasaran potensial yang dituju
untuk mengintensifkan pengem-
bangan inovasi pertanian bioindustri
integrasi serai wangi-ternak yaitu
petani perempuan. Akses menanam
serai wangi lebih mudah dilaku-
kan bekerjasama dengan Kebun
Percobaan Manoko untuk meng-
intensifkan lahan-lahan yang tidak
terpakai melalui sistem bagi hasil.
Perlu upaya komunikasi ber-
ulang-ulang yang akan menghasil-
kan persepsi yang positif ter-
hadap komponen inovasi yang di-
perkenalkan agar diadopsi. Dengan
adanya persepsi menguntungkan
yaitu menanam serai wangi di
tingkat masyarakat, maka perlu
adanya pengemasan pesan. Materi
pesan adalah membandingkan
keuntungan menurunkan serai
wangi dengan tanaman lain. Ben-
tuk pesan dapat berupa audio-
visual interaktif, poster dan
leaflet-leaflet. Jika ada persepsi
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 12
kompleksitas/sulit dipraktekkan
beberapa komponen inovasi di
tingkat petani, maka perlu
pengemasan pesan melalui pen-
dampingan peragaan langsung/
demonstrasi hasil. Pelaksana-
anya dilakukan pada waktu per-
temuan kelompok tani, gelar tek-
nologi, temu lapang dan pameran-
pameran.
Agar inovasi pertanian bio-
industri integrasi serai wangi-ternak
dapat berkembang dan komponen
inovasi diterima di masyarakat,
maka metode penyuluhan yang
diperlukan berupa (1) pendampingan
pada peternak agar menggunakan
limbah penyulingan serai wangi
untuk pakan ternaknya. Limbah
penyulingan serai wangi memiliki
kandungan gizi protein lebih tinggi
dibanding pakan jerami; (2)
pendampingan cara penyulingan
serai wangi karena tidak semua
masyarakat mengerti cara menyuling
dan menggunakan alat penyulingan;
(3) sosialisasi dan pendampingan
pemanfaatan kotoran ternak men-
jadi sumber energi biogas untuk
tungku penyulingan. Di samping
pemanfaatan limbah urine menjadi
biofertilizer cair karena masyarakat
belum mengetahui kedua komponen
tersebut; (4) pelatihan di tingkat
masyarakat pada komponen diver-
sifikasi produk minyak serai wangi
diantaranya membuat pestisida
nabati, sabun serai wangi, lotion
antinyamuk dan bioaditif BBM.
Komponen tersebut memerlukan
keterampilan dalam pembuatannya.
Inovasi pertanian bioindustri
integrasi serai wangi-ternak akan
berhasil bila adanya kerjasama
dengan berbagai pihak, seperti
penyuluh dinas peternakan setempat
dalam penyuluhan tentang adaptasi
pemberian pakan ternak sapi dari
rumput gajah ke limbah penyulingan
serai wangi. Kerjasama dengan
penyuluh pertanian di tingkat ke-
camatan/kabupaten dan penyuluh
Balitbangtan diperlukan untuk
bimbingan teknis budidaya dan
teknologi penyulingan. Kerjasama
lainnya dengan lembaga permodalan
melalui kementerian/dinas koperasi
dan usaha kecil menengah berkait-
an dengan pengembangan dan
pemasaran hasil produk diversifikasi
minyak serai wangi. Dengan modal
tersebut dapat mendorong petani
kecil untuk melakukan usaha
diversifikasi minyak serai wangi.
Penutup
Komunikasi inovasi pertanian
bioindustri integrasi serai wangi-
ternak dilaksanakan di Kawasan
Kebun Percobaan Manoko Desa
Cikahuripan terbukti efektif.
Komunikasi menggunakan saluran
komunikasi interpersonal melalui
dialog, ceramah dan didukung
demonstrasi hasil melalui partisi-
pasi aktif petani dan staf Balittro.
Keberlanjutan implementasi ino-
vasi pertanian bioindustri integrasi
serai wangi - ternak oleh petani perlu
dipercepat dan difasilitasi oleh
Balitbangtan dalam hal teknologi
hilirisasi khususnya masalah
diversifikasi produk olahan serai
wangi untuk meningkatkan nilai
tambah. Upaya tersebut perlu
disertai dengan penyuluhan dan
bimbingan teknis budidaya serai
wangi.
KERAGAMAN POHON INDUK TERPILIH (PIT) KAYUMANIS PADA KARAKTER PERTUMBUHAN
DAN PRODUKSI KULIT DI KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN, KALIMANTAN SELATAN
Kayumanis merupakan salah satu
tanaman ekspor Indonesia yang
diambil hasilnya dari kulit batang,
cabang dan dahannya sebagai
bahan rempah-rempah. Tanaman
kayumanis yang dikembangkan
di Indonesia terutama jenis
Cinnamomum burmanii Blume.
Tingkat keragaman pohon induk
terpilih bisa dilakukan dengan
pemilihan melalui seleksi masa
positif dengan cara memilih
langsung pohon secara individu
dengan lompatan setiap 10 pohon
dipilih satu pohon yang memiliki
produksi tinggi dengan cara
acak, sehingga diperoleh 20 pohon
terpilih. Parameter yang diamati
tinggi tanaman, panjang lingkar
batang, jumlah cabang dan pro-
duksi kulit kayumanis. Tingkat
keragaman 20 PIT kayumanis
berdasarkan karakter tinggi
tanaman, panjang lingkar batang,
jumlah cabang dan produksi kulit
kayu manis mempunyai tingkat
keragaman yang tinggi berkisar
antara 52,407 - 100 dengan ting-
kat kedekatan antara 1,0 - 76,5,
terbagi menjadi dua kelompok
yaitu kelompok I dan II. Pada
kelompok I dan II dipisahkan
oleh karakter produksi kulit dan
lingkar batang. Pada kelompok I
dipisahkan oleh produksi kulit
kayumanis terkecil berkisar
Rushendi dan Jajat Sudrajat,
Balittro
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017
13
antara 20 - 30 kg per pohon dan
panjang lingkar batang terkecil
berkisar antara 65 - 100 cm. Pada
kelompok II dipisahkan oleh pro-
duksi kulit tertinggi antara 30 -
35 kg dan panjang lingkar batang
tertinggi antara 110 - 140 cm.
Karakter panjang lingkar batang
dan jumlah cabang sangat mem-
mengaruhi produsi kulit kayu
manis. Semakin besar lingkar
batang dan jumlah cabang primer
maka akan semakin tinggi produsi
kulit kayumanis yang dihasilkan.
ayumanis merupakan salah
satu tanaman ekspor In-
donesia yang diambil hasil-
nya dari kulit batang, cabang dan
dahannya sebagai bahan rempah-
rempah. Tanaman kayumanis yang
dikembangkan di Indonesia terutama
dari jenis Cinnamomum burmanii
Blume dengan daerah produksinya
di Sumatera Barat dan Jambi.
Produknya di kenal sebagai cassia-
vera atau Korinjii cassia. Selain itu
jenis C. zeylanicum Nees , dikenal
sebagai kayu manis Ceylon karena
sebagian besar diproduksi di Sri
Lanka (Ceylon) dan produknya
dikenal sebagai cinnamon. Jenis
kayumanis ini juga terdapat di Pulau
Jawa. Selain kedua jenis tersebut,
terdapat pula jenis C. cassia yang
terdapat di Cina (Abdullah, 1990).
Sebagian besar kulit kayumanis yang
diekspor Indonesia adalah jenis
C.burmanii. Kulit kayumanis dapat
digunakan langsung dalam bentuk
asli atau bubuk, minyak atsiri dan
oleoresin. Minyak kayu manis dapat
diperoleh dari kulit batang, cabang,
ranting dan daunnya dengan cara
destilasi, sedangkan oleoresinnya
dapat diperoleh dengan cara
ekstraksi kulit kayu manis dengan
pelarut organik (Rusli dan Abdullah,
1988).
Sampai saat ini Indonesia hanya
mengekspor produk kulit kayu-
manis dari C. burmanii dari daerah
Sumatera Barat. Pada tahun 2006
Indonesia masih menjadi produsen
dan eksportir utama kayumanis
dengan pangsa pasar 25% senilai
25,4 juta US$. Dengan negara tuju-
an Amerika Serikat 41% dengan
13 US$ dalam bentuk gulungan atau
stick, Singapura dalam bentuk
broken sebanyak 53%.
Cara Pemilihan Pohon Induk
Pemilihan pohon induk dilakukan
melalui seleksi masa positif dengan
cara memilih langsung pohon secara
individu dengan lompatan setiap 10
pohon dipilih satu pohon yang
memiliki produksi tinggi dengan
cara acak, sehingga diperoleh 20
pohon terpilih tersebut. Parameter
yang diamati pada pohon terpilih
diantaranya tinggi tanaman, panjang
lingkar batang, jumlah cabang
dan produksi kalit kayumanis.
Pengamatan pada tinggi tanaman
diukur dari mulai pangkal batang
sampai ujung batang utama dengan
menggunakan meteran bambu.
Panjang lingkar batang diukur pada
bagian pangkal batang yang paling
besar 1 meter dari permukaan tanah.
Jumlah cabang primer dengan
menghitung cabang utama yang
mempunyai produksi kulit per
pohon. Sedangkan pada karakter
produksi kulit kayu manis dengan
menggunakan rumus balok dimana
lebar merupakan dari lingkar, tinggi
tanaman merupakan panjang balok
dan tebal kulit. Data hasil rata-
rata kemudian diolah dengan
menggunakan analisis kelompok
dengan menggunakan linkage
methode: Single, distance measure
Euclidean (Minitab, 2017).
Karakter Kualitataif
Karakter kualitatif ke 20 PIT
kayu manis pada umumnya tidak
begitu bervariasi atau hampir sama.
Warna kulit bagian luar cokelat
keabuan dengan tekstur kulit bagian
permukaan luar kasar. Warna kulit
bagian dalam krem oranye dengan
K
Tabel 1. Karakter kualitatif 20 pohon induk terpillih (PIT) kayumanis
No PIT Warna kulit bagian luar Warna kulit bagian
dalam
Permukaan kulit
bagian luar
Permukaan kulit bagian
dalam
Bentuk percabangan Bentuk kanopi
1 Cokelat keabuan Krem orenye Kasar Halus berlendir Semi tegak Oval
2 Cokelat keabuan Krem orenye Kasar Halus berlendir Semi tegak Oval
3 Cokelat keabuan Krem orenye Kasar Halus berlendir Semi tegak Oval
4 Cokelat keabuan Krem orenye Kasar Halus berlendir Semi tegak Oval
5 Cokelat keabuan Krem orenye Kasar Halus berlendir Semi tegak Oval
6 Cokelat keabuan Krem orenye Kasar Halus berlendir Semi tegak Oval
7 Cokelat keabuan Krem orenye Kasar Halus berlendir Semi tegak Oval
8 Cokelat keabuan Krem orenye Kasar Halus berlendir Semi tegak Oval
9 Cokelat keabuan Krem orenye Kasar Halus berlendir Semi tegak Oval
10 Cokelat keabuan Krem orenye Kasar Halus berlendir Semi tegak Oval
11 Cokelat keabuan Krem orenye Kasar Halus berlendir Semi tegak Oval
12 Cokelat keabuan Krem orenye Kasar Halus berlendir Semi tegak Oval
13 Cokelat keabuan Krem orenye Kasar Halus berlendir Semi tegak Oval
14 Cokelat keabuan Krem orenye Kasar Halus berlendir Semi tegak Oval
15 Cokelat keabuan Krem orenye Kasar Halus berlendir Semi tegak Oval
16 Cokelat keabuan Krem orenye Kasar Halus berlendir Semi tegak Oval
17 Cokelat keabuan Krem orenye Kasar Halus berlendir Semi tegak Oval
18 Cokelat keabuan Krem orenye Kasar Halus berlendir Semi tegak Oval
19 Cokelat keabuan Krem orenye Kasar Halus berlendir Semi tegak Oval
20 Cokelat keabuan Krem orenye Kasar Halus berlendir Semi tegak Oval
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 14
tekstur permukaan kulit bagian
dalam halus dan berlendir berwarna
bening dangan rasa kulit manis.
Bentuk percabangan pada umumnya
hampir semua bentuk percabangan
semi tegak dengan bentuk kanopi
oval (Tabel 1).
Karakter Pertumbuhan dan Pro-
duksi Kulit Kayumanis.
Karakter pertumbuhan dan pro-
duksi kulit kayu manis ke-20 PIT
yang ada di Kabupaten Hulu Sungai
Selatan mempunyai variasi pada
umur tanaman lebih dari 20 tahun.
Pada karakter tinggi tanaman ke 20
PIT berkisar antara 12 - 14 meter,
dengan panjang lingkar batang
berkisar antara 65 - 140 cm, jumlah
cabang berkisar antara 3 - 5 cabang
dengan produksi kulit berkisar
antara 20 - 35 kg/pohon. Karakter
panjang lingkar batang dan jumlah
cabang sangat mempengaruhi pro-
duksi kulit kayu manis. Semakin
besar lingkar batang dan jumlah
cabang primer akan semakin banyak
produksi kulit kayumanis yang
dihasilkan.
Tingkat Keragaman PIT
Kayumanis
Keragaman 20 pohon induk
terpilih kayumanis di Kabupaten
Hulu Sungai Selatan yang dianalisa
berdasarkan karakter tinggi tanam-
an, panjang lingkar batang, jumlah
cabang dan produksi kulit kayu
manis mempunyai tingkat ke-
ragaman yang tinggi berkisar antara
52,407 - 100 dengan tingkat ke-
dekatan antara 1,0 - 76,5, terbagi
menjadi dua kelompok yaitu ke-
lompok I dan II. Kedua kelompok
tersebut dipisahkan oleh karakter
produksi kulit dan panjang lingkar
batang. Pembagian kelompok sesuai
yang tertera pada Gambar 1.
Pemisahan Kelompok Antar PIT
Kayumanis
Pemisahan kelompok antar PIT
kayumanis berdasarkan karakter
tinggi tanaman, panjang lingkar
batang, jumlah cabang dan produksi
kulit kayumanis. Pada kelompok I
dan II dipisahkan oleh karakter
produksi kulit dan lingkar batang.
Pada kelompok I dipisahkan oleh
produksi kulit kayumanis terkecil
berkisar antara 20 - 30 kg/pohon
dan panjang lingkar batang terkecil
berkisar antara 65 - 100 cm. Pada
kelompok II dipisahkan oleh pro-
duksi kulit kayumanis tertinggi
berkisar antara 30 - 35 kg/pohon
dan panjang lingkar batang berkisar
antara 110 - 140 cm. Pada kelompok
I terdiri dari dua sub kelompok yaitu
sub 1 dipisahkan oleh karakter
panjang lingkar batang terkecil
berkisar antara 65 cm, sedangkan
sub 2 dipisahkan oleh karakter
lingkar batang tertinggi berkisar
antara 90 - 100 cm. Pada kelompok
sub 2 terbagi menjadi dua sub-sub
kelompok yaitu kelompok sub-sub 1
yang dipisahkan oleh karakter
produksi kulit terkecil yaitu 20 kg,
sedangkan sub-sub 2 dipisahkan oleh
karakter produksi kulit tertinggi
yaitu 25 kg.
Pada kelompok II terdiri dari dua
sub kelompok yaitu kelompok sub 1
dipisahkan oleh karakter panjang
lingkar batang tertinggi berkisar
antara 130 - 140 cm, sedangkan
Tabel 2. Pemisahan kelompok pada tinggi tanaman, panjang lingkar batang,
jumlah cabang dan produksi kulit.
Kelompok Kelompok Sub Kelompok
Sub-sub
Pohon Induk Terpilih Kelompok yang memisahkan
I Produksi kulit terkecil 20 - 30 kg
dan panjang lingkar batang terkecil
65 - 100 cm
Sub 1 1 dan 2 Panjang lingkar batang terkecil 65
cm
Sub 2 Panjang lingkar batang tertinggi 90 -
100 cm
Sub-sub 1 7, 8, 17 Produksi kulit terkecil 20 kg
Sub-sub 2 14, 15, 16, dan 19 Produksi kulit tertinggi 25 kg
II Produksi kulit tertinggi 30 - 35 kg
dan panjang lingkar batang tertinggi
110 - 140 cm
Sub 1 3, 6, 9, 10, 11 dan 20 Panjang lingkar batang tertinggi
130 - 140 cm
Sub 2 4, 5, 12, 13, dan 18 Panjang lingkar batang terkecil 110
- 120 cm
Gambar 1. Dendogram kayumanis pada karakter tinggi tanaman, panjang
lingkar batang,jumlah cabang dan produksi kulit
1218513411102096319161514178721
0,00
33,33
66,67
100,00
Pohon Induk Terpilih
Ker
agam
an
I II
Sub 1
Sub-sub 1 Sub-sub 2
Sub 1 Sub 2Sub 2
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017
15
kelompok sub 2 dipisahkan oleh
karakter lingkar batang terkecil
antara 110 - 120 cm.
Penutup
Tingkat keragaman 20 PIT
kayumanis di Kabupaten Hulu
Sungai Selatan berdasarkan karakter
tinggi tanaman, panjang lingkar
batang, jumlah cabang dan produksi
kulit kayu manis mempunyai tingkat
keragaman yang tinggi berkisar
antara 52,407- 100 dengan tingkat
kedekatan antara 1,0 - 76,5, terbagi
menjadi dua kelompok yaitu
kelompok I dan II. PIT kayumanis
pada kelompok I dan II dipisahkan
oleh karakter produksi kulit dan
lingkar batang. Pada kelompok I
dipisahkan oleh produksi kulit
kayumanis terkecil berkisar antara
20 - 30 kg/pohon dan panjang
lingkar batang terkecil berkisar
antara 65 - 100 cm. Sedangkan pada
kelompok sub dan sub-sub lainnya
dipisahkan oleh karakter panjang
lingkar batang dan jumlah produksi
terkecil dan tertinggi.
Karakter panjang lingkar batang
dan jumlah cabang sangat mem-
pengaruhi produksi kulit kayu manis.
KOLEKSI PLASMA NUTFAH KOPI ROBUSTA DI KEBUN PERCOBAAN PAKUWON BALITTRI
Plasma nutfah kopi memegang peranan penting dalam men-dukung program pemuliaan ta-naman kopi, untuk menghasilkan bahan tanam unggul. Salah satu kegiatan plasma nutfah yang banyak dilakukan adalah eks-plorasi yang merupakan kegiatan paling hulu dan menjadi ujung tombak dalam kegiatan plasma nutfah tanaman. Langkah-lang-kah yang perlu dilakukan dalam upaya penyediaan plasma nutfah untuk perbaikan tanaman kopi adalah eksplorasi, koleksi, kon-servasi, karakterisasi, evaluasi dan
dokumentasi serta utilisasi. Varie-tas lokal, introduksi maupun klon-klon baru hasil seleksi secara individu yang memiliki sifat ung-gul spesifik lokasi merupakan koleksi plasma nutfah yang perlu dikelola dengan baik dan berke-sinambungan. Plasma nutfah hasil eksplorasi maupun yang berasal dari donor perlu dikonservasi se-cara ex situ di kebun percobaan suatu instansi dan kemudian perlu dilakukan konservasi, kolek-si, karakterisasi, evaluasi, do-kumentasi dan utilisasi. Kegiatan plasma nutfah kopi yang telah dilakukan di kebun percobaan Pakuwon-Balittri diawali dengan konservasi dan karakterisasi, tahap selanjutkan akan dilakukan
evaluasi mengenai karakter-karakter unggul yang dimiliki oleh tanaman kopi robusta yang ada dikoleksi plasma nutfah di kebun Percobaan Pakuwon. Database koleksi plasma nutfah kopi yang dikonservasi sebanyak 265 aksesi yang terkumpul dari sentra pro-duksi kopi di Lampung. Dari 265 aksesi koleksi yang ada baru 75 aksesi kopi robusta yang terkarak-terisasi baik morfologi vegetatif maupun generatif. Berdasarkan hasil karakterisasi terlihat be-berapa tanaman kurang tahan terhadap kekeringan di antaranya
CORO 001, 002, 003, 019, 031, 032 dan 037. Sedangkan 045 terlhat lebih vigor. Ujung daun merun-cing, pangkal daun tumpul, tepi daun bergelombang, warna pucuk cokelat, cokelat kehijauan dan hijau muda. Sedangkan daun muda berwarna hijau muda sam-pai hijau dan daun tua berwarna hijau dan hijau tua. Khusus untuk koleksi plasma nutfah kopi ara-bika dikonservasi di kebun Per-cobaan Gunung Putri, sesuai dengan persyaratan tumbuh kopi arabika sangat baik pertum-buhannya pada ketinggian di atas 1000 m dpl.
opi bukan jenis tanaman asli
dari Indonesia, namun ta-
naman ini dapat beradaptasi
cukup baik dan menjadi salah satu
sumber mata pencaharian penting
bagi jutaan rakyat dengan total
luasan pengusahaan mencapai 1,3
juta hektar (AEKI, 2007). Dua jenis
yang memegang peranan penting
dalam perdaganagan kopi secara
internasional adalah kopi arabika
(Coffea arabica L.) dan kopi robusta
(Coffea canephora Pierre ex
A.Froehner). Tanaman ini mulai
dibudidayakan di Indonesia pada
permulaan abad ke-17, yaitu sejak
keberhasilan introduksi jenis arabika
ke Indonesia oleh Belanda pada
tahun 1699. Pada tahun 1900 intro-
duksi jenis kopi robusta yang cukup
tahan terhadap penyakit karat daun
(Hemileia vastatrix) yang mulai
nampak menyerang pada jenis
kopi Arabika tahun 1876.
Pada tahun 2012, Balittri men-
dapat mandat baru untuk mengem-
bangkan dan meneliti tanaman kopi,
kakao, karet dan teh. Atas dasar
tersebut, dalam upaya membangun
kebun koleksi plasma nutfah dan
K
Cheppy Syukur dan Wawan
Haryudin, Balittro
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 16
untuk memperbaiki potensi genetik
tanaman kopi, perlunya dilakukan
eksplorasi untuk mengetahui sifat
morfologi dan sifat penting lainnya.
Koleksi plasma nutfah merupakan
kumpulan varietas, populasi, strain,
galur, klon, mutan termasuk jenis
liar yang berasal dari lokasi, agro-
klimat, atau asal usul yang berlainan
(Sumarno, 1994). Untuk memanfaat-
kan koleksi plasma nutfah sebagai
bahan tanaman maupun tetua dalam
perakitan bahan tanam unggul
diperlukan karakterisasi dari setiap
nomor aksesi koleksi. Konservasi
plasma nutfah dalam bentuk kebun
koleksi memerlukan tenaga dan
biaya besar, namun hal ini tidak ada
artinya kalau tidak dimanfaatkan.
Untuk mendukung pemanfaatan
plasma nutfah diperlukan pangkalan
data yang dikelola dengan baik.
Pengelolaan Plasma Nutfah
Plasma nutfah yang sudah ada
harus dilestarikan agar selalu tersedia
baik untuk masa kini maupun untuk
masa mendatang. Gen-gen yang
nampaknya sekarang belum berguna,
di masa mendatang mungkin diper-
lukan dalam pembentukan varietas
unggul baru. Penggunaan varietas-
varietas unggul telah menyebar cukup
luas di Indonesia. Diperkitakan se-
kitar 70 % areal tanaman di Indonesia
telah ditanami dengan varietas-
varietas unggul. Dengan semakin
berkembangnya penggunaan varietas
unggul baru oleh petani, maka
varietas lokal akan terdesak dan tidak
mustahil akan musnah. Sebelum
terlambat varietas lokal (landraces)
dan kerabat liarnya perlu diselamat-
kan melalui eksplorasi dan di-
lestarikan dalam bank gen, karena
sangat berpotensi karena mengandung
“gen-gen tertentu” yang sewaktu-
waktu dapat dimanfaatkan.
Eksplorasi yang merupakan ke-
giatan paling hulu dalam pengem-
bangan pertanian dan menjadi ujung
tombak dalam kegiatan pengem-
bangan tanaman pada tahap selanjut-
nya. Sumbangan pemuliaan tanam-
an tampak jelas dalam mendukung
peninggatan produksi berbagai
komoditas pertanian.
Eksplorasi adalah kegiatan men-
cari, mengumpulkan serta meneliti
jenis varietas lokal tertentu (di
daerah tertentu) untuk mengamankan
dari kepunahannya. Langkah ini
diperlukan guna menyelamatkan
varietas-varietas lokal dan kerabat
liar yang semakin terdesak keberada-
annya. Kegiatan eksplorasi sebaik-
nya dilakukan di daerah sentra pro-
duksi, daerah produksi tradisional,
daerah terisolir, daerah pertanian
lereng-lereng gunung, pulau ter-
pencil, daerah suku asli, daerah
dengan sistem pertanian tradisional/
belum maju, daerah yang masya-
rakatnya menggunakan komoditas
yang bersangkutan sebagai makan-
an pokok, daerah endemik hama/
penyakit serta daerah transmigrasi
lama dan baru.
Karakterisasi merupakan ke-
giatan dalam rangka menghasilkan
sifat-sifat penting yang bernilai
guna, atau yang merupakan penciri
dari varietas yang bersangkutan.
Karakter yang diamati dapat berupa
karakter morfologis (bentuk daun,
bentuk buah, warna dan sebagainya),
karakter agronomis (umur panen,
tinggi tanaman, panjang tangkai
dan sebagainya), sedangkan karakter
fisiologis berupa kandungan yang
ada di dalamnya.
Konservasi dan karakterisasi
memiliki arti dan peran penting yang
akan menentukan nilai guna dari
materi plasma nutfah yang ber-
sangkutan. Kegiatan konservasi dan
karakterisasi dilakukan secara ber-
tahap dan sistematis dalam rangka
mempermudah upaya pemanfaatan
plasma nutfah. Kegiatan tersebut
menghasilkan gen-gen dari sifat-sifat
potensial yang siap untuk digunakan
dalam program pemuliaan.
Konservasi tanaman merupakan
rangkaian dari kegiatan eksplorasi
yang dilanjutkan dengan pemelihara-
an tanaman yang mempunyai
karakter/sifat-sifat yang dianggap
baik dan perlu untuk dikoleksi
sebagai bahan sumber plasma
nutfah. Dalam setiap konservasi
plasma nutfah sebaiknya dilakukan
untuk tiga macam koleksi, yaitu
untuk koleksi dasar, koleksi aktif
dan koleksi kerja. Konservasi untuk
koleksi dasar dilakukan pada semua
aksesi plasma nutfah termasuk
varietas yang sudah dilepas, dengan
jumlah tanaman per aksesi yang
dikonservasi biasanya minimal, dan
koleksi ini tidak boleh diganggu
gugat oleh siapapun dan untuk
keperluan apapun. Koleksi aktif,
adalah koleksi yang diperuntuk-
kan memenuhi permintaan, misalnya
untuk pertukaran dengan bank gen
lain atau kebutuhan penggunaan
lain. Koleksi kerja adalah koleksi
pada aksesi yang sedang dalam
penelitian oleh pemulia.
Konservasi plasma nutfah di
lapang untuk koleksi dasar berkait-
an erat dengan kegiatan rejuvenasi
dan pemeliharaan, Jumlah tanaman
yang dikonservasi per aksesi sangat
terbatas, biasanya hanya sekitar 10-
20 tanaman. Untuk memenuhi
permintaan bank gen lain maupun
pengguna lain perlu dilakukan
perbanyakan terhadap aksesi yang
menjadi objek permintaan.
Evaluasi merupakan kegiatan
plasma nutfah lanjutan dalam
tahapan untuk melakukan penguji-
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017
17
an varietas tanaman yang terselek-
si, mempunyai sifat-sifat unggul
dan mutu yang baik dari koleksi
terpilih.
Pohon terpilih diamati secara
morfologi memiliki vigor yang
cukup baik tumbuh tegak, per-
cabangan banyak, mempunyai ben-
tuk rimbun dan berbentuk piramid.
Pemeliharaan koleksi dalam
petak konservasi ini sangat me-
nentukan hasil yang akan diperoleh,
karena itu diperlukan cara budidaya
yang tepat, agar potensi genetik yang
dimiliki setiap aksesi dapat terlihat
nyata di lapangan.
Koleksi Plasma Nutfah Kopi di
Indonesia.
Indonesia juga dikenal se-
bagai negara yang melakukan
kegiatan konservasi plasma nut-
fah kopi. Di Puslitkoka Jember
pada tahun 2008 telah terkumpul
plasma nutfah kopi sebanyak
1.628. Dari jumlah plasma nutfah
kopi tersebut sebanyak 82,5%
merupakan jenis robusta dan 11,5%
dari jenis arabika, sedangkan sisanya
merupakan beberapa jenis kopi yang
lain.
Sampai tahun 1989 koleksi
plasma nutfah kopi juga terdapat
di Kebun Percobaan Cimanggu,
Bogor yang dikelola oleh Lem-
baga Penelitian Tanaman Industri
(LPTI). Sejak tahun itu dilakukan
penyelamatan plasma nutfah oleh
Puslitkoka sebanyak 104 aksesi
dan yang bisa diselamatkan sam-
pai saat ini sebanyak 84 aksesi
saja yang ditanam di Kebun
Percobaan Kaliwening dan Ke-
bun Percobaan Sumber Asin. Ada-
pun jenis kopi yang bisa disela-
matkan antara lain: C. canephora
(Robusta, Uganda, Quillou), C.
stenopphylla var liberika, C. liberica
var dewevrei exsels, C. congensis,
C. zangueberiae, C. arabica dan
persilangan antar spesies seperti
Kawisari (C. arabica X C. liberica)
dan Congusta (C. congensis X C.
canephora var Robusta).
Konservasi Kebun Koleksi di
Kebun Percobaan Pakuwon
Plasma nutfah di KP. Pakuwon
dikoleksi secara ex situ dalam
bentuk working collection. Koleksi
plasma nutfah yang ada didapat
dari hasil eksplorasi di sentra
produksi kopi di Lampung dan
Jawa. Koleksi yang terkumpul
merupakan jenis kopi robusta
dikarakterisasi dan dikonservasi
serta didokumentasikan sebagai data
base. Konservasi secara ex situ
sangat penting untuk menghindari
kepunahan jenis kerabat liar akibat
penanaman varietas unggul yang
mempunyai produksi tinggi, pem-
bukaan lahan baru, peralihan
pengusahaan ke tanaman lain dan
pengembangan pemukiman.
Pemeliharaan kolesi plasma
nutfah sebagai working collection
memerlukan lahan yang cukup luas
untuk menampung semua aksesi dan
perlu biaya pemeliharaan yang
berkesinambungan.
Pemeliharaan tanaman kopi
dalam working collection di Kebun
Percobaan. Pakuwon dilakukan
sesuai dengan standar budidaya
dimana jarak tanam yang digunakan
3 x 3 m, tiap baris berisi 10 aksesi
tanaman kopi robusta dengan
penaung gliricidea berjarak 3 x 3 m,
pada tiap blok diberi batas 6 meter,
yang berfungsi sebagai jalan masuk
kebun. Pada masing-masing blok
ditanam 200 aksesi kopi robusta,
blok yang ada berjumlah 4 blok.
Karakterisasi Plasma Nutfah
Karakterisasi merupakan ke-
giatan dalam rangka menghasil-
kan sifat-sifat penting yang ber-
nilai guna, atau yang merupakan
penciri dari varietas yang ber-
sangkutan. Karakter yang diamati
dapat berupa karakter morfologis
(bentuk daun, bentuk buah, warna
dan sebagainya), karakter agrono-
mis (umur panen, tinggi tanaman,
panjang tangkai dan sebagainya),
sedangkan karakter fisiologis
berupa kandungan yang ada di
dalamnya.
Kegiatan karakterisasi dan kon-
servasi memiliki arti dan peran
penting yang akan menentukan
nilai guna dari materi plasma nutfah
yang bersangkutan. Kegiatan karak-
terisasi dan konservasi dilakukan
secara bertahap dan sistematis dalam
rangka mempermudah upaya pe-
manfaatan plasma nutfah. Kegiat-
an tersebut menghasilkan gen-gen
dari sifat-sifat potensial yang siap
Tabe 1. Jenis kopi dan jumlah aksesi kopi yang dikoleksi oleh Puslitkoka
(2009) dan Balittri (2012)
Jenis Kopi Jumlah aksesi
Puslitkoka Balittri
C. arabica L 187 12 C.canephora Pierre rx Froehn 1343 800 C. congensis A. Froehn 11 0 C. kapakata (A.Chev.) Bridson 1 1 C. liberica Bull ex Hiern 45 12 C. racemosa Lour 1 0 C. sessiliflora Bridson 1 0 C. stenophylla G. Don 3 1 C. zangueberiae Lour 1 0 Hasil persilangan antar jenis 34 10 Psilanthus horsfieldianus RHAM 1 0 C. exselsa 0 5
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 18
untuk digunakan dalam program
pemuliaan.
Format karakterisasi meliputi
dua bagian penting yaitu data pas-
por dan data karakterisasi. Data
paspor yang digunakan secara
umum sama dengan komoditi lain
yang meliputi nama kolektor,
tanggal koleksi, asal dan nomor
aksesi. Sistem penomoran aksesi
pada kopi robusta menggunakan
seri Coro pada bagian awal,
selanjutnya diikuti oleh nomor yang
berurutan berdasarkan urutan
masuknya aksesi tersebut dalam
koleksi. Sedangkan plasma nutfah
untuk kopi arabika yang dikon-
servasi di kebun Percobaan Gunung
Putri, sesuai dengan persyaratan
tumbuh kopi arabika sangat baik
pertumbuhannya pada ketinggian di
atas 1000 m dpl. Sistem penomoran-
nya menggunakan seri Coar pada
bagian awalnya.
Koleksi plasma nutfah kopi
robusta yang ada di KP. Pakuwon
baru terkarakterisasi sebanyak 75
aksesi dan berdasarkan karakterasi
yang diamati memiliki bentuk ujung
daun meruncing, pangkal daun
tumpul, tepi daun bergelombang,
permukaan daun bergelombang,
warna pucuk cokelat 11 aksesi,
warna pucuk cokelat kehijauan 44
aksesi dan warna pucuk hijau 20
aksesi, warna daun muda hijau, daun
tua hijau, warna buah muda hijau
dan warna buah merah.
Dokumentasi dan Sistem Infor-
masi Plasma Nutfah
Pengelolaan plasma nutfah dalam
setiap tahapan akan menghasilkan
Tabel 2. Karakter kuantitatif koleksi plasma nutfah kopi robusta di Kebun
Percobaan Pakuwon Balittri.
No. Aksesi
Tinggi tanaman
(cm)
Diameter Batang (cm)
Jumlah Cabang
Daun
Panjang (cm)
Lebar (cm)
Panjang tangkai (cm)
Keterangan
Coro 001 178 1.47 43 22 10 1.5 Tidak tahan kering Coro 002 178 1.40 47 23 10 1.2 Tidak tahan kering Coro 003 174 1.46 50 21 10 1.4 Tidak tahan kering Coro 004 176 1.45 45 21 9 1.1 Coro 005 172 1.46 35 23 11 1.4 Coro 006 177 1.45 46 22 11 1.7 Coro 007 200 1.50 43 23 10 1.5 Coro 008 170 1.47 50 20 9 1.3 Coro 009 170 1.42 48 16 7 1.0 Coro 010 200 1.49 50 20 10 1.4 Coro 011 174 1.50 37 20 9 1.1 Coro 012 170 1.50 34 21 10 1.5 Coro 013 170 1.50 39 28 13 1.5 Coro 014 172 1.43 42 18 8 1.4 Coro 015 175 1.46 36 18 7 1.3 Coro 016 180 1.50 46 22 10 1.7 Coro 017 178 1.50 46 24 11 1.3 Coro 018 200 1.50 34 26 10 1.3 Coro 019 174 1.43 39 23 11 1.4 Tidak tahan kering Coro 020 170 1.37 47 28 14 1.6 Coro 021 178 1.25 51 26 10 1.2 Coro 022 178 1.21 43 28 13 1.5 Coro 023 178 1.36 47 21 11 1.5 Coro 024 174 1.33 32 25 12 1.3 Coro 025 186 1.50 39 20 10 1.2 Coro 026 182 1.50 47 22 12 1.6 Coro 027 187 1.48 35 26 14 1.4 Coro 028 178 1.38 42 26 12 1.6 Coro 029 170 1.50 39 22 12 1.2 Coro 030 177 1.15 48 24 11 1.6 Coro 031 170 0.50 30 22 12 1.5 Tidak tahan kering Coro 032 174 1.50 37 24 11 1.4 Tidak tahan kering Coro 033 170 1.50 44 24 14 1.6 Coro 034 170 1.32 50 26 12 1.3 Coro 035 172 1.46 36 23 12 1.1 Coro 036 185 1.22 45 28 14 1.5 Coro 037 170 0.50 30 22 11 1.3 Tidak tahan kering Coro 038 172 1.35 39 21 11 1.1 Coro 039 189 1.50 48 21 9 1.2 Coro 040 173 1.30 50 18 10 1.1 Coro 041 179 1.15 42 24 11 1.6 Coro 042 181 1.18 48 26 13 1.2 Coro 043 170 1.22 37 24 11 1.4 Coro 044 174 1.25 46 23 12 1.3 Coro 045 183 1.50 52 28 14 1.5 Jagur (Vigor) Coro 046 185 1.19 36 23 10 1.5 Coro 047 189 1.24 45 26 12 1.5 Coro 048 179 1.18 30 25 11 1.5 Coro 049 170 1.26 39 22 12 1.3 Coro 050 170 1.32 48 17 8 1.1 Coro 051 175 1.44 50 27 13 1.4 Coro 052 185 1.17 42 22 10 1.5 Coro 053 179 1.50 48 24 11 1.3 Coro 054 177 1.24 37 21 9 1.4 Coro 055 178 1.21 46 27 12 1.5 Coro 056 178 1.28 42 22 11 1.3 Coro 057 176 1.23 36 25 11 1.5 Coro 058 172 1.47 46 26 13 1.5 Coro 059 173 1.50 46 26 14 1.3 Coro 060 173 1.23 34 21 10 1.5 Coro 061 184 1.49 39 20 9 1.1 Coro 062 172 1.50 47 23 10 1.1 Coro 063 174 1.44 51 23 11 1.3 Coro 064 170 1.22 43 27 12 1.5 Coro 065 180 1.24 47 24 11 1.1 Coro 066 173 1.33 32 19 7 1.1 Coro 067 178 1.25 46 24 11 1.1 Coro 068 180 1.47 52 27 13 1.1 Coro 069 184 1.45 36 23 10 1.1 Coro 070 190 1.38 45 23 10 1.1 Coro 071 195 1.24 30 24 10 1.5 Coro 072 192 1.43 39 24 11 1.1 Coro 073 183 1.50 48 24 11 1.1 Coro 074 187 1.48 50 23 11 1.1 Coro 075 186 1.50 42 19 9 1.1
Tabel 3. Karakter kualitatif koleksi plasma nutfah kopi robusta di Kebun Percobaan Pakuwon Balittri
No aksesi Ujung
daun
Pangkal
daun
Tepi daun Permukaan
daun
Warna pucuk Warna daun
muda
Warna daun
tua
Warna buah
muda
Warna buah tua
Coro 001 Meruncing Tumpul Gelombang Gelombang Cokelat Hijau Hijau Hijau Merah
Coro 002 Meruncing Tumpul Gelombang Gelombang Cokelat kehijauan Hijau Hijau Hijau Merah
Coro 003 Meruncing Tumpul Gelombang Gelombang Hijau Hijau Hijau Hijau Merah
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017
19
data yang sangat diperlukan oleh
pemulia tanaman umtuk merakit
varietas unggul baru dan juga untuk
pengelolaan selanjutnya. Nilai guna
plasma nutfah akan tergantung pada
validitas data yang terdokumentasi
dan seberapa banyak data yang dapat
diakses oleh pengguna.
Pemanfaatan data plasma nutfah
perlu didukung oleh dokumentasi
yang tertata cukup baik dan dapat
diakses secara sistematis. Penge-
lolaan data plasma nutfah dapat
dilakukan dengan berbagai cara
diantaranya menggunakan kartu
data, buku, katalog dan cara
elektronik yang akan membentuk
suatu pangkalan data (data base).
Perkembangan sistem dan tek-
nologi informasi saat ini berdampak
pada pengembangan cara dokumen-
tasi plasma nutfah sehingga infor-
masi plasma nutfah yang dapat
diakses secara mudah dan cepat.
Penggunaan sistem database plasma
nutfah di Balittri telah menggunakan
yang diseragamkan dengan balai-
balai lain sesuai dengan kondisi
pengelolaan plasma nutfah di Badan
Litbang Pertanian.
Tantangan dan Hambatan dalam
Pengelolahan Plasma Nutfah Kopi
Konservasi tanaman merupakan
rangkaian dari kegiatan eksplorasi
yang dilanjutkan dengan pemelihara-
an tanaman yang mempunyai
karakter/sifat-sifat yang dianggap
baik dan perlu untuk dikoleksi
sebagai bahan sumber plasma
nutfah. Dalam setiap konservasi
plasma nutfah sebaiknya dilakukan
untuk tiga macam koleksi, yaitu
untuk koleksi dasar, koleksi aktif
dan koleksi kerja. Konservasi untuk
koleksi dasar dilakukan pada semua
aksesi plasma nutfah termasuk
varietas yang sudah dilepas, dengan
jumlah tanaman per aksesi yang
dikonservasi biasanya minimal, dan
koleksi ini tidak boleh diganggu
gugat oleh siapapun dan untuk
keperluan apapun. Koleksi aktif,
adalah koleksi yang diperuntukkan
memenuhi permintaan, misalnya
untuk pertukaran dengan bank gen
lain atau kebutuhan penggunaan
lain. Koleksi kerja adalah koleksi
pada aksesi yang sedang dalam
penelitian oleh pemulia.
Konservasi plasma nutfah di
lapang untuk koleksi dasar berkait-
an erat dengan kegiatan rejuvenasi
dan pemeliharaan. Jumlah tanaman
yang dikonservasi per aksesi sangat
terbatas, biasanya hanya sekitar 10 -
20 tanaman. Untuk memenuhi
permintaan bank gen lain maupun
pengguna lain perlu dilakukan
perbanyakan terhadap aksesi yang
menjadi objek permintaan.
Pemeliharaan koleksi dalam
petak konservasi ini sangat
menentukan hasil yang akan
diperoleh, karena itu diperlukan cara
budidaya yang tepat, agar potensi
genetik yang dimiliki setiap aksesi
dapat terlihat nyata di lapangan.
Permasalahan kekeringan ter-
utama bila terjadi kemarau panjang
seperti terjadi pada tahun 2014 -
2015, di lokasi koleksi plasma
nutfah kopi sulit mendapatkan
sumber mata air sehingga meng-
akibatkan banyak tanaman kopi
hampir mati. Strategi untuk meng-
atasi masalah kekeringan tersebut
dengan melakukan pemberian bahan
organik sesuai standar, memberikan
irigasi tetes dengan menggantung-
kan plastik yang berisi air di setiap
tanaman, menyediakan drum pe-
nampungan air, dan menutup pang-
kal tanaman kopi dengan mulsa.
Kesulitan pendanaan yang tidak
memadai merupakan salah satu
kendala dalam usaha pengelolaan
standar plasma nutfah kopi, hal ini
juga sering terjadi di lembaga lain
seperti Centre National de Recherche
Agronomique (CNRA) di Pantai
Gambar 1. Penampilan kopi liberika (a), penampilan kopi exselca (b),
penam pilan kopi robusta (c), penampilan kopi arabika (d)
a b
c d
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 20
Gading, dan FOTIFA di Madagas-
kar. Pengelolaan plasma nutfah di
Balittri mendapat sumber dana dari
APBN, dana tersebut dikhususkan
untuk perawatan dan pemeliharaan
koleksi yang ada di beberapa kebun
yang dimiliki Balittri. Kegiatan lain
seperti karakterisasi dan dokumen-
tasi berjalan relatif lambat karena
menyesuaikan dengan sumber daya
manusia (SDM) yang terampil dan
perangkat lainnya.
Berdampingannya kebun koleksi
dengan pemukiman masyarakat juga
dapat mengakibatkan dampak yang
cukup parah terhadap koleksi plasma
nutfah yang ada, beberapa aktivitas
masyarakat sekitar kebun yang
sering keluar masuk kebun sering
kali berdampak tidak langsung
pada kerusakan koleksi, seperti
pengambilan tanaman penaung
untuk makan ternak pada saat musim
kemarau dimana pakan sulit didapat.
Pencurian buah kopi pada saat
menjelang buah masak panen,
hancurnya pagar kebun akibat
pengrusakan, tidak adanya lampu
penerangan di sekitar kebun. Untuk
mengatasi hal ini sering dilakukan
secara persuasif dengan melakukan
penjagaan dengan memberikan
intensif terhadap penjaga kebun.
Penutup.
Plasma nutfah adalah keaneka-
ragaman genetik termasuk jenis liar
yang merupakan aset yang sangat
berharga untuk perakitan varietas
unggul. Untuk dapat menjadikan
bahan atau materi perakitan plasma
nutfah tersebut harus diketahui sifat-
sifat apa yang dimilikinya. Sifat-
sifat tersebut akan diketahui jika
dilakukan identifikasi dan karak-
terisasi. Plasma nutfah yang sudah
ada harus dilestarikan agar selalu
tersedia baik untuk masa kini
maupun untuk masa mendatang.
Gen-gen yang nampaknya sekarang
belum berguna, di masa men-
datang mungkin diperlukan dalam
pembentukan varietas unggul baru.
Penggunaan varietas-varietas unggul
telah menyebar cukup luas di
Indonesia.
PENYAKITJAMUR UPAS (Pink disease) PADA TANAMAN KEMIRI SUNAN (Reutealis trisperma)
Penyakit jamur upas (pink disease)
disebabkan oleh cendawan
Erythricium salmonicolor syn.
Corticium salmonicolor. Cendawan
tersebut memiliki kisaran inang
yang luas yaitu berbagai jenis
tanaman berkayu seperti akasia,
apel, karet, kopi dan kakao.
Penyakit jamur upas ditemukan
pada tanaman kemiri sunan di
kebun koleksi Pusat Penelitian
dan Pengembangan Perkebunan
Cimanggu Bogor, dengan gejala
layu dan ditandai dengan adanya
lapisan miselium berwarna putih
atau jingga pada bagian batang
utama, cabang primer atau ran-
ting tanaman. Tindakan pen-
cegahan penyebaran penyakit
jamur upas di lapangan dilakukan
dengan pemangkasan cabang
tanaman kemiri sunan dengan
tujuan mengurangi kelembapan
diikuti dengan melakukan sanitasi
kebun. Pada awal penanaman ke-
miri sunan disarankan melakukan
pengaturan jarak tanam agar
dapat menekan insidensi penyakit
jamur upas yang disebabkan oleh
cendawan E. salmonicolor. Apli-
kasi fungisida berbahan aktif tem-
baga hidroksida dan mankozeb
dapat dilakukan secara bijaksana.
anaman kemiri sunan
(Reutealis trisperma) berbeda
jenis dengan kemiri dapur
(Aleurites moluccana) yang sering
digunakan untuk memasak. Kemiri
sunan merupakan salah satu komo-
ditas perkebunan penghasil minyak
nabati yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku energi ter-
barukan. Organisme pengganggu
tanaman kemiri sunan yang telah
dilaporkan terdiri dari serangga
seperti ulat kantong, kutu putih,
tungau dan belalang (Siswanto
2016); beberapa cendawan patogen
seperti Oidum sp., Rigidophorus sp.
dan Phellinus sp. (Siswanto 2016;
Winarno 2016).
Penyakit jamur upas pada ta-
naman kemiri sunan dijumpai di
kebun koleksi Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman
Perkebunan Cimanggu Bogor. Pe-
nyebabnya adalah cendawan dan
telah diidentifikasi sebagai Ery-
thricium salmonicolor (Syn.
Corticium salmonicolor).
Di Indonesia, tercatat 103 genus
tanaman yang menjadi inang
cendawan E. salmonicolor di
antaranya akasia, apel, karet, kopi
dan kakao.
Infeksi E. salmonicolor pada
tanaman kemiri sunan dapat
menyebabkan tanaman merana
dan mati jika kondisi lingkung-
an mendukung. Gejala serangan
cendawan ini dapat terjadi pada
batang utama, cabang primer dan
T
Laba Udarno, Balittri
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017
21
ranting yang letaknya jauh dari
permukaan tanah sehingga infeksi
awal sulit dideteksi.
Dampak ekonomi akibat penyakit
jamur upas pada tanaman kemiri
sunan belum diketahui. Namun
demikian karena penyakit tersebut
dapat menyebabkan kematian
tanaman, maka perlu dilakukan
tindakan pencegahan.
Gejala Penyakit Jamur Upas (Pink
disease)
Penyakit jamur upas menyerang
batang utama dan cabang serta
ranting tanaman kemiri sunan yang
sudah berkayu. Serangan dapat
dimulai pada bagian cabang atau
ranting yang ditandai dengan adanya
lapisan miselium berwarna putih
kemerahan atau jingga (Gambar 1a);
bagian tanaman di atas cabang yang
terserang menjadi layu. Pada musim
kemarau, koloni E. salmonicolor
cenderung tumbuh di bagian bawah
cabang atau ranting yang terlindungi
dari sinar matahari. Infeksi serangan
awal, akan nampak lapisan miselium
seperti jaring laba-laba (cobweb)
(Gambar 1b). Tahap selanjutnya
tampak titik-titik berwarna terang
(pustule) dari lapisan miselium yang
menebal (Gambar 1c), kemudian
terjadi pink incrustation, yaitu kulit
batang terinfeksi pecah atau
mengelupas (Gambar 1d). Serangan
pada batang utama dapat menyebab-
kan kematian tanaman apabila
kondisi lingkungan mendukung
untuk pertumbuhan dan per-
kembangan koloni E. salmonicolor
(Gambar 1e).
Biologi Erythricium salmonicolor
Cendawan E. salmonicolor
termasuk ke dalam kelas Basi-
diomisetes yang mempunyai tubuh
buah tipe resupinate, yaitu tumbuh
rata dengan permukaan medium dan
memiliki 4 tahap pertumbuhan yaitu
koloni tumbuh tipis menyerupai
jaring laba-laba, fase infeksi
miselium mengumpul, tebal dan
sporadis (pustule), terjadi kerak atau
pecah pada kulit batang terinfeksi
(pink incrustation) dan fase
pembentukan konidium (necator).
Secara mikroskopis, cendawan
ini dicirikan dengan adanya struktur
berupa massa miselium yang tebal
Gambar 1. a. Serangan Erythricium salmonicolor pada tanaman kemiri b.
sunan. serangan cendawan pada batang utama, c fase jaring laba-
laba, d. fase pustular dan e. fase pink incrustation, tanaman mati
akibat serangan berat E salmonicolor,
Sumber: Florina et al. J Fitopatol Indones 2017. 13(2): 35-42
Gambar 2. a. Erythricium salmoncolor pada tanaman kemiri sunan, b.
Himenium dengan miselium, c. Basidium (→) pada permukaan
himenium, d. Basidiospora dan Konidium
Gambar 3. Curah hujan, hari hujan dan pertambahan keparahan penyakit jamur
upas yang menyerang tanaman kemiri sunan di Cimanggu, Bogor
antara tahun 2016 - 2017.
1a b c d e
a b c
d
1,47 1,39 2,78
0
2,78 1,39
3,25 3,24 3,25
6,9
0
5,6
1,4
4,1 2,8 2,8 2,8
0
5
10
15
20
25
30
0
100
200
300
400
500
600
700
Mar Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul
Hari
hu
jan
Cu
rah
hu
jan
(m
m)
Bulan (2016-2017)
Pertambahan keparahan (%) Curah hujan (mm) Hari hujan
d
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 22
berupa himenium pada permukaan
kulit batang yang terinfeksi (Gambar
2a); memiliki basidium berben-
tuk gada dengan 4 sterigmata,
merupakan ciri khas cendawan
E. salmonicolor (Gambar 2b).
Basidiospora berbentuk bulat atau
lonjong dengan ekor (apiculus) di
bagian ujungnya (Gambar 2c).
Konidium ditemukan pada koloni
E. salmonicolor yang terlihat tebal
dan tua (Gambar 2d). Miselium
berwarna putih tebal hingga jingga
setelah diinkubasi selama 2 - 3
minggu merupakan ciri khas
cendawan E. salmonicolor.
Koloni cendawan dapat tumbuh
pada kisaran suhu 25 hingga 340C.
Isolat yang diperoleh dari Bogor
mempunyai suhu optimum 280C,
lebih tinggi dibandingkan dengan
E. salmonicolor yang tumbuh di
daerah subtropis, yang umumnya
tumbuh optimum pada kisaran suhu
250C.
Penyebaran E. salmonicolor
Penyakit jamur upas telah
ditemukan pada tanaman kemiri
sunan khususnya yang ada di Jawa
Barat. Pada kebun yang tidak
terawat dengan baik koloni E
salmonicolor banyak dijumpai.
Perkembangan penyakit jamur
upas pada tanaman kemiri sunan di
Cimanggu Bogor yang diamati
sepanjang tahun 2016 dan 2017
(Gambar 3), mengindikasikan per-
tambahan keparahan penyakit jamur
upas sebesar 6,9% pada bulan
Desember 2016. Kondisi cuaca di
wilayah Bogor selama tiga bulan
sebelumnya, yaitu bulan September
hingga November 2016 curah hujan
tinggi sehingga menyebabkan kon-
disi lingkungan yang lembap dan
basah yang mendukung perkem-
bangan cendawan E. salmonicolor.
Pada bulan Januari 2017, tidak
terjadi pertambahan keparahan
penyakit seiring dengan intensitas
curah hujan dan hari hujan yang
tidak terlalu tinggi. Pada saat curah
hujan dan hari hujan meningkat di
bulan Februari 2017, keparahan
penyakit jamur upas akibat serangan
cendawan E. salmonicolor mening-
kat sebesar 5,6%. Periode kelem-
bapan yang tinggi untuk waktu yang
lama merupakan kondisi ideal untuk
terjadinya infeksi E. salmonicolor.
Pengendalian Penyakit Jamur
Upas
Pengendalian penyakit jamur
upas pada beberapa tanaman berkayu
sudah banyak dilakukan baik secara
kultur teknis, mekanis maupun
dengan menggunakan fungisida
sintetis. Kejadian penyakit semakin
meningkat terutama pada waktu
musim hujan dengan kondisi
kelembapan tinggi sehingga di-
perlukan tindakan budidaya berupa
pemangkasan tajuk tanaman kemiri
sunan yang sudah terlalu rapat,
sanitasi dan pengaturan jarak tanam
pada waktu penanaman.
Untuk menekan sumber ino-
kulum khususnya selama musim
hujan, ranting dan cabang tanaman
yang terinfeksi harus dimusnahkan.
Setelah itu diikuti dengan pemu-
pukan dan perawatan tanaman
dengan baik khususnya menciptakan
kondisi lingkungan yang tidak sesuai
untuk terjadinya infeksi.
Aplikasi fungisida dapat di-
lakukan secara bijaksana. Fungisida
sintetis berbahan aktif tembaga
hidroksida dan mankozeb diketahui
efektif saat diuji di laboratorium.
Penggunaan agensia hayati seperti
bakteri Pseudomonas sp. dilaporkan
efektif mengendalikan jamur upas
pada tanaman karet di Malaysia
tetapi hal ini belum dicobakan di
Indonesia.
Penutup
Insidensi dan keparahan penyakit
jamur upas akibat serangan patogen
E. salmonicolor pada tanaman ke-
miri sunan terus meningkat terutama
pada waktu musim hujan dan dapat
menyebabkan kematian tanaman.
Tindakan pencegahan dapat di-
lakukan dengan memperhatikan
jarak tanam khususnya di daerah
dengan curah hujan tinggi dan
pemangkasan cabang serta ranting
yang sudah tidak produktif. Aplikasi
fungisida sintetis berbahan aktif
tembaga hidroksida dan mankozeb
dapat dilakukan secara bijaksana.
PATI SAGU DAN PRODUK OLAHAN BAGEA
Tanaman sagu merupakan komo-ditas potensial, karena sekitar 1,1 juta hektar atau sekitar 51% dari total area sagu dunia berada di Indonesia. Setiap batang sagu mengandung sekitar 200 kg pati sagu sehingga setiap hektar ta-naman sagu memproduksi 20-25
ton per hektar. Potensi ini belum dimanfaatkan secara maksi- mal, dibanding dengan negara Malaysia yang hanya memiliki luasan 1,5% dan Thailand 0,2% dari 2,2 juta lahan sagu dunia. Pati sagu merupakan makanan pokok hanya pada sebagian
daerah di Indonesia, sehingga secara nasional konsumsi pati sagu di kawasan perkotaan hanya 0,08 kg/kapita/tahun, se-dangkan di pedesaan 0,71 kg/ kapita/tahun. Dibandingkan de-ngan konsumsi terigu tahun 2009 mencapai 12,88 kg/kapita/tahun
Dini Florina, Balittro
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017
23
di kota, sementara di desa 9,05 kg/kapita/tahun. Oleh karena itu diperlukan upaya diversifikasi produk pangan dari pati sagu. Salah satu produk pangan dari pati sagu adalah kue bagea yang proses pengolahannya masih secara tradisional. Prosesnya hanya mencampurkan pati sagu, santan, gula pasir, telur, kenari, kayumanis sampai membentuk adonan, dicetak, dibungkus daun sagu dan dipanggang. Proses pe-manggangan, menggunakan sum-ber panas langsung, menggunakan bahan bakar limbah kelapa. Pe-merintah setempat sangat men-dukung usaha pengolahan kue bagea dengan memberikan bim-bingan cara pengolahan yang baik dan higienis, sehingga produk ini telah memperoleh sertifikat dengan P-IRT.No. 606710502000419 dan sering diikut sertakan dalam kegiatan-kegiatan pameran baik lokal maupun nasional. Pemasaran kue bagea masih terbatas di pasar swalayan dan toko-toko souvenir di Provinsi Sulawesi Utara. Perbaikan fasilitas pro-duksi masih diperlukan melalui dukungan dana dari Pemerintah Daerah.
i Indonesia, sagu yang
dihasilkan dari pohon sagu
telah menjadi bahan pangan
utama (Staple food) bagi sebagi-
an masyarakat Papua, Maluku,
Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara dan Mentawai di
Sumatera Barat (Anonim, 2003).
Diperkirakan luas areal sagu di dunia
mencapai lebih dari 2 juta hektar dan
Indonesia merupakan negara dengan
areal sagu yang terluas, yaitu sekitar
1,1 juta hektar atau sekitar 51% dari
total area sagu dunia. Tetapi peman-
faatannya masih jauh tertinggal
dengan negara-negara tetangga,
seperti Malaysia yang hanya
memiliki luasan 1,5% dan Thailand
0,2% dari 2,2 juta lahan sagu dunia
(Anonim, 2010a).
Berdasarkan data Perhimpunan
Pendayagunaan Sagu Indonesia
(PPSI), produksi sagu nasional saat
ini mencapai 200.000 ton/ tahun atau
baru mencapai sekitar 5% dari
potensi sagu nasional. Rendahnya
produksi nasional juga diakibatkan
oleh teknologi pemanfaatannya
masih sangat sederhana dan tra-
disional. Setiap batang sagu me-
ngandung sekitar 200 kg sagu
sehingga setiap hektar tanaman sagu
memproduksi 20 - 25 ton/hektar.
Pada daerah-daerah tertentu di
Indonesia, seperti Papua dan
Maluku, pati sagu telah diman-
faatkan sebagai sumber pangan
utama, namun secara nasional
kontribusinya masih rendah. Seiring
dengan terjadinya perubahan sosial
di masyarakat, peran sagu sebagai
pangan pokok mulai tergeser. Ada
anggapan bahwa sebagai pangan
pokok, sagu berada pada posisi yang
lebih rendah dibanding beras atau
terigu (Hutapea et al., 2003).
Dikemukakan juga oleh Menteri
Pertanian, bahwa "dibandingkan
dengan konsumsi terigu, konsumsi
sagu semakin tertinggal, yaitu
konsumsi terigu tahun 2009
mencapai 12,88 kg/kapita/tahun
di kota, sementara di desa 9,05
kg/kapita/tahun. Sedangkan kon-
sumsi sagu di kawasan perkotaan
0,08 kg/kapita/tahun lebih rendah
dibanding pedesaan 0,71 kg/kapita/
tahun". Oleh karena itu Kemen-
terian Pertanian mengusulkan agar
penyaluran beras untuk rakyat
miskin (raskin), ditambah sagu atau
lainnya sebagai sumber karbohidrat.
Selain usulan tersebut, upaya
untuk meningkatkan konsumsi pati
sagu dapat dilakukan diversifikasi
pangan dari sagu. Meskipun, ditinjau
dari kandungan gizinya, pati sagu
memang tergolong berkadar protein
rendah, namun daya terima sagu
sebagai bahan substitusi cukup baik.
Produk pangan yang telah meng-
gunakan pati sagu, antara lain
biskuit, roti, kerupuk, sagu mutiara,
mie, beras analog, sirup glukosa,
popeda dan bagea. Bagea adalah
salah satu produk (kue) yang telah
diolah lebih dari 30 tahun di
Amurang, Kabupaten Minahasa
Selatan, Provinsi Sulawesi Utara.
Pengolahannya masih tradisional,
menggunakan bahan bakar dari
limbah kelapa dan kemasannya dari
bahan alami, yaitu daun sagu.
Pengolahan Pati Sagu
Proses utama pengolahan sagu
adalah memarut empulur batang dan
mengekstrak hancuran empulur
dengan air untuk memisahkan pati
dengan ampas. Pengolahan yang
dilakukan petani sagu adalah
menggunakan peralatan manual
berupa tokok yang berfungsi untuk
pemarutan empulur sagu yang
terdapat dalam batang sagu. Alat
tokok berupa potongan kayu yang
pada bagian ujungnya dipasang besi
untuk memudahkan pemarutan
empulur sagu, kadang-kadang dalam
bentuk papan yang dipasang paku.
Untuk mengekstrak pati sagu dari
hancuran empulur sagu meng-
gunakan kain saring berupa kain
blacu atau kain sifon. Untuk
menampung ekstrak yang dihasilkan
atau pati sagu dapat menggunakan
kulit kayu atau lembaran plastik.
Pengolahan sagu basah pada skala
pabrik dilakukan dengan meng-
gunakan mesin pemarut dengan
kapasitas olah mencapai 100 pohon/
hari dan untuk mengekstrak pati
sagu dari hancuran empulur
D
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 24
menggunakan bak pengendap yang
dilengkapi pengaduk dan saringan
sehingga akan terpisah pati basah
dan serat empulur.
Untuk pengolahan pati sagu skala
pedesaan sudah tersedia alat
pengolahan sagu mekanis, yang
dikenal dengan nama alat
pengolahan sagu mekanis sistem
terpadu. Proses pemarutan dan
ekstraksi menggunakan alat ini
berlangsung secara mekanis dan
terpadu dalam satu sistem proses.
Kapasitas olah sekitar 2 pohon/hari,
rendemen pati sagu basah berkisar
25 - 30% dan tingkat kehilangan
hasil berkisar 2,2 - 2,5%. Apabila
dibanding dengan alat pengolahan
sagu mekanis yang umum dipakai
pada pengolahan sagu, alat ini lebih
efisien, karena sedikit mengguna-
kan tenaga kerja, penanganan lebih
praktis, dan sesuai untuk digunakan
pada skala kelompok tani (Lay,
2002)
Karakteristik dan Keunggulan
Pati Sagu
Karakteristik pati sagu
Sagu mengandung karbohidrat
yang cukup penting di Indonesia dan
menempati urutan ke-empat setelah
ubikayu, jagung dan ubi jalar. Berat
molekul dan ukuran butir pati sagu
lebih besar dibanding bahan pati
lainnya. Komposisi kimia pati sagu
per 100 g bahan dapat dilihat
pada Tabel 1.
Keunggulan pati sagu
Ditinjau dari kandungan gizi-
nya, sagu memang tergolong ber-
kadar protein rendah, namun daya
terima sagu sebagai bahan substitusi
pada beberapa produk makanan
olahan (snack, noodles, gel dan lain-
lain) cukup baik. Ini mengindi-
kasikan, bahwa potensi sagu dapat
ditingkatkan melalui teknologi peng-
olahan makanan. Pati sagu dalam
keadaan basah dengan kadar air
sekitar 33% dapat tahan simpan
selama 2 sampai 3 bulan (Gambar
1), keunggulan ini tidak dimiliki pati
dari tanaman lain.
Selain itu sagu mengandung
pati resisten (Resistant Starch, RS)
yang sangat bermanfaat untuk
kesehatan, antara lain: a) kesehatan
saluran pencernaan (memperbaiki
kesehatan kolon dengan cara
mendorong perkembangan sel-sel
sehat yang kuat); b) manfaat
prebiotik (menstimulasi pertumbuh-
an dan aktivitas bakteri meng-
untungkan (seperti bifidobacteria),
serta menurunkan konsentrasi
bakteri patogen (misal Escherichia
coli dan Clostridia); c). pengelola-
an energi dan respon glisemik
(dapat menurunkan ketersediaan
karbohidrat tercerna, yang hasilnya
adalah tingkat respon glisemik
yang rendah sehingga pemanfaat-
an pati resisten dapat diarahkan
pada pengembangan pangan untuk
penderita diabetes maupun untuk
mereka yang melakukan diet
(Munarso, 2004; Sajilata et al.,
2006). Pati sagu juga resisten
memiliki nilai kalori rendah, yaitu
1,9 Kkal/g sehingga dapat di-
jadikan sebagai pangan rendah
kalori (Taggart, 2004). Oleh karena
itu dalam upaya meningkatkan
ketahanan pangan dari sagu, perlu
dilakukan diversifikasi pangan dari
sagu.
Kue Bagea
Kue kering yang disebut “Bagea”,
merupakan usaha turun temurun yang
proses pengolahannya masih secara
tradisional tetapi sudah berlangsung
lebih dari 30 tahun, di Amurang,
Kabupaten Minahasa Selatan,
Provinsi Sulawesi Utara. Kue Bagea
memiliki merk “FL”, merupakan
nama dari pemilik, yaitu Frans dan
Lintje (suami isteri).
Pengolahan Bagea
Bahan yang digunakan terdiri dari
pati sagu, santan, gula pasir, telur,
kenari, kayumanis, dan daun sagu
(untuk kemasan). Alat yang di-
gunakan parutan kelapa, pengepres
santan, tungku dan alat bantu
lainnya. Untuk satu kali proses
dibutuhkan 100 kg pati sagu.
Proses pengolahannya adalah
sebagai berikut: daging buah kelapa
diparut lalu dibungkus kain saring
dan diperas menggunakan alat
pengepres sehingga diperoleh san-
tan. Telur ayam diaduk sehingga
membentuk adonan yang homogen.
Selanjutnya masukkan santan secara
perlahan dan gula pasir. Pengadukan
dilakukan terus menerus sampai
membentuk adonan yang kental
(Gambar 2a). Adonan dibentuk silin-
der secara manual, seukuran jari
telunjuk dengan panjang kurang
lebih 5 cm, kemudian dibungkus
Tabel 1. Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan
Kandungan Jumlah
Kalori1 326,82 Kal
Kadar Protein1 0,43 g
Kadar Lemak1 0,26 g
Kadar Air1 18,10 g
Kadar Abu1 0,14 g
Kadar Pati1 62,59 g
Vitamin B12 0,1 mg
Kalsium (Ca)2 10 mg
Fosfor (P)2 95 mg
Besi (Fe)2 1,5 mg
Amilosa3 35,13 - 38,65 %
Sumber: 1 Lawalata, 2004;
2 Mahmud et al., 2005;
3 Polnaya et al., 2008
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017
25
daun sagu yang sudah dikeringkan
dan diberi penjepit dari lidi daun
sagu (Gambar 2b dan 2c).
Adonan yang sudah terbungkus
diletakkan pada baki aluminium
dengan kapasitas sekitar 90 bungkus
(Gambar 2d), kemudian dipanggang
dalam tungku kapasitas 12 baki
(Gambar 2d), menggunakan bahan
bakar dari kelapa atau kayu lainnya.
Proses pemanggangan pertama,
dilakukan sampai timbul aroma yang
harum. Selanjutnya didinginkan,
lalu dilanjutkan pemanggangan
kedua pada alat pemanggang lain
menggunakan bahan bakar tem-
purung (Gambar 2e). Proses pe-
manggangan dilakukan agar tekstur
produk lebih keras/padat dan warna
lebih kuning-keemasan. Selanjutnya
dikemas menggunakan plastik yang
sudah diberi logo, berisi 30 buah
(Gambar 2f).
Nilai Gizi Bagea
Pada kemasan kue “Bagea”
produksi Amurang belum di-
cantumkan nilai gizinya. Informasi
gizi berikut diperoleh dari daftar
komposisi bahan makanan yang
dikeluarkan Persatuan Ahli Gizi
Indonesia (PERSAGI), yaitu dalam
100 g bahan (kue “Bagea”),
mengandung energi sebesar 416
Kkal, air 7,2 g protein 6,5 g,
karbohidrat 76,3 g, lemak 9,4 g,
serat 0,4 g, abu 0,6 g, kalsium 49
mg, fosfor 77 mg dan zat besi 4,9
mg. Selain itu terkandung karoten
total 312 ug, niasin 2,6 mg dan
vitamin B1 0,08 mg.
Upaya Peningkatan Kualitas
Kue Bagea dan Pemasaran
Bahan baku pati sagu me-
rupakan masalah utama, karena
pengolah hanya bergantung pada
pasokan dari petani yang ada
di daerah Boroko, Kabupaten
Bolaang Mongodow Utara, Pro-
vinsi Sulawesi Utara. Oleh karena
itu jika pasokan bahan baku
berkurang, pengolah harus mem-
beli pada daerah lain yang
lokasinya lebih jauh sehingga
mempengaruhi harga bahan baku.
Selanjutnya dari segi proses
pengolahan, masih dilakukan
secara tradisional, menggunakan
peralatan yang sederhana dan
bahan bakar dari kelapa (sabut,
tempurung, kulit batang kelapa)
atau kayu lainnya. Bahan bakar
dari kelapa, mudah diperoleh
karena Kabupaten Minsel adalah
salah satu daerah penghasil kopra
di Sulawesi Utara. Akan tetapi
berdasarkan tahap-tahap pengolah-
an seperti pada gambar di atas,
dapat dilihat bahwa ada proses
pembakaran/pemanggangan yang
dilakukan secara langsung sehing-
ga menyebabkan partikel-partikel
debu dari hasil pembakaran me-
lekat pada kemasan bagian luar.
Akan tetapi karena proses pem-
bungkusan menggunakan dua
lapisan daun sagu, diharapkan
tidak mempengaruhi produk di
dalamnya.
Untuk meningkatkan kualitas
kue bagea, Pemerintah Daerah
setempat memberikan penyuluhan
tentang tata cara pelaksanaan
Gambar 1. Pati sagu basah a) dalam kemasan tradisional dan pati sagu
kering b) dalam kemasan plastik, c) adonan bagea d), daun sagu
e), pencetakan dan pembungkusan bagea f), bagea siap dibakar
g), proses pembakaran h), proses pemanggangan i), bagea siap
dikemas j) dan bagea dalam kemasan berlogo k) dan l) produk
kue bagea di salah satu etalase pasar swalayan
a b
c d e f
g h i j
k
l
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 26
produksi yang baik dan higienis.
Instansi terkait yang sering
berkunjung di tempat pengolahan
kue bagea, antara lain Dinas
Kesehatan Kabupaten Minahasa
Selatan (Minsel) dan BPOM
Propinsi Sulawesi Utara, Dinas
Tenaga Kerja Kabupaten Minsel,
Dinas Koperasi Kabupaten Minsel,
dan Dinas Pariwisata Kabupaten
Minsel. Produk kue bagea sudah
mendapatkan sertifikat P-IRT.No.
606710502000419. Dengan demi-
kian, maka produk kue Bagea FL,
meskipun proses pengolahannya
masih tradisional, tetapi dengan
adanya dukungan pemerintah
setempat, maka kualitas produknya
tidak diragukan lagi. Namun
demikian, untuk lebih meningkatkan
fasilitas yang digunakan dalam
proses produksi kue bagea,
dukungan dana Pemerintah Daerah
sangat diperlukan, antara lain
pengadaan alat-alat yang terbuat
dari bahan stainles steel dan
perbaikan dalam pengemasannya
sehingga lebih menarik konsumen.
Selain itu diperlukan terobosan
untuk menghasilkan produk kue
bagea dalam berbagai rasa, sehing-
ga konsumen kue bagea dapat
menikmati aneka rasa dari kue
bagea.
Pengelola kue bagea, memasar-
kan produk tersebut melalui pasar
swalayan, toko souvenir di wilayah
Propinsi Sulawesi Utara. Pemilik
mengantarkan langsung ke pasar
swalayan dan toko suvenir. Pada
Gambar 3, dapat dilihat produk kue
bagea di salah satu etalase pasar
swalayan di Kota Manado.
Berdasarkan hasil pengecekan
penulis, harga eceran di pasar
swalayaan pada bulan Oktober 2017,
berkisar Rp 20.600,- per kemasan
(isi 30 buah). Untuk meningkatkan
pemasarannya, pengelola sering
diundang untuk memamerkan
produknya pada kegiatan pamer-
an yang diselenggarakan oleh
Pemerintah Daerah baik tingkat
lokal maupun nasional.
Penutup
Luas areal sagu yang mencapai
1,1 juta hektar atau sekitar 51% dari
total area sagu dunia, merupa-
kan potensi yang besar untuk
dimanfaatkan sebagai sumber pati
pada pengolahan produk pangan.
Proses untuk memperolah pati
sagu pada tingkat petani masih
dilakukan dengan cara tradisio-
nal dan menggunakan peralatan
yang sederhana. Salah satu produk
pangan tradisional yang meman-
faatkan pati sagu adalah kue bagea.
Teknologi pengolahan masih tra-
disional, tetapi telah berlangsung
lebih dari 30 tahun dan dilaku-
kan turun temurun. Bahan yang
digunakan terdiri dari pati sagu,
santan, gula pasir, telur, kenari,
kayumanis. Setelah dibuat adonan,
dicetak dibungkus daun sagu dan
dipanggang. Pengolahannya tanpa
bahan pengawet, menggunakan
bahan bakar dari limbah kelapa dan
kemasan utamanya dari bahan alami
(daun sagu).
Pemasaran kue bagea masih
terbatas di daerah Sulawesi Utara
dan pemiliknya langsung mengan-
tar ke pasar swalayan dan toko-
toko souvenir. Pemerintah setempat
sangat mendukung usaha peng-
olahan kue bagea dengan mem-
berikan bimbingan cara peng-
olahan yang baik dan higie-
nis sehingga produk ini telah
memperoleh sertifikat P-IRT.No.
606710502000419 dan sering di-
ikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan
pameran baik lokal maupun
nasional. Dukungan Pemerintah
masih diperlukan dalam peningkatan
peralatan pengolahan, mulai dari
proses memperoleh pati sagu basah
sampai pada pengolahan produk
pangan.
POTENSI GENETIK DAN PRODUKSI 6 KULTIVAR LOKAL TEMBAKAU DI KABUPATEN TULUNGAGGUNG
Tembakau Tulungagung makin digemari konsumen. Saat ini permintaannya sudah sampai pasar lelang Kabupaten Sume-dang, Jawa Barat dan Malaysia. Tembakau Tulungagung digemari oleh komunitas perokok berat,
karena rasanya yang berat (ampeg). Potensi produksi tembakau lokal ini berkisar antara 643,3664 - 1221,82 kg/ha. Produksi tertinggi pada kultivar Rejeb Arang, sedangkan terendah pada kultivar Gagang Jembrak.
Hal ini selaras dengan nilai indeks tanaman, dimana kultivar Rejeb Arang tertinggi, yaitu sebesar 74,99.
Rindengan Barlina, Astuti
Irundu dan Jerry Wungkana,
Balit Palma
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017
27
embakau Tulungagung me-
rupakan tembakau rakyat/
asli yang sebagian besar
diproses secara rajangan. Tembakau
ini sudah cukup lama berkembang
di Kabupaten Tulungagung. Me-
nurut petani setempat, tembakau ini
mulai ditanam pada zaman pen-
jajahan Belanda. Pada mulanya
tembakau Tulungagung hanya
ditanam di sekitar Desa Tawing,
Kecamatan Gondang.
Sebelum tahun 1960, kultivar
yang banyak ditanam petani ada-
lah Tawing dan Sompok, tetapi lama
kelamaan hilang. Selanjutnya petani
setempat mengembangkan kultivar-
kultivar Gagang Sidi, Gagang Rejeb,
Rejeb Jae, Gagang Jembrak, Gagang
Ijo dan Sompok. Tembakau lokal
Tulungagung banyak ditanam petani
di sawah tadah hujan, di lahan tegal,
dan sebagian kecil di sawah
pengairan setengah teknis. Di da-
erah tersebut produk tembakau
rajangan merupakan sumber utama
pendapatan petani. Di Desa Boyo-
langu harga tembakau rajangan
halus (polosan) saat ini mencapai
Rp 75.000/kg. Harga bisa naik
hingga Rp 95.000 - 120.000/kg jika
diolah menjadi tembakau hitam
(ilesan).
Pengembangan Tembakau di
Kabupaten Tulungagung
Hasil observasi tim Balittas dan
informasi dari Dinas Pertanian
Kabupaten Tulungagung diketahui
bahwa daerah pengembangan utama
tembakau lokal terletak di Ke-
camatan Boyolangu, Campurdarat,
Gondang, Pakel, serta sebagian
kecil wilayah Sumbergempol (Dis-
hutbun Kabupaten Tulungagung,
2016), dengan ketinggian tempat
kurang dari 150 m di atas permukaan
laut. Jenis tanah Aluvial dengan
kemiringan kurang dari 15%. Curah
hujan antara 1507 - 3096 mm per
tahun dengan jumlah bulan kering
antara 3 - 5 bulan.
Luas areal rata-rata tanaman
tembakau tahun 2014 - 2015 men-
capai 1657,17 ha, dengan produk-
tivitas sekitar 1.466,67 t/ha. Lebih
dari 45% luas areal di Kabupaten
Tulungagung menanam kultivar
Gagang Sidi, 35% didominasi kul-
tivar Gagang Rejeb, sisanya 20%
luas areal ditanam kultivar cam-
puran, yaitu Gagang Ijo, Rejeb Jae,
Gagang Jembrak dan Sompok.
Existing areal untuk petanam-
an tembakau tahun 2014/2015 di
Kabupaten Tulungagung seluas
1857,69 ha (terdiri atas 5 ke-
camatan). Tahun 2017, dimana
kondisi cuaca cukup normal,
pertanaman tembakau meluas
T
(Dok. Ruly H.)
Gambar 1. Pertanaman tembakau lokal kultivar Rejeb Arang di Desa
Kendalbulur, Kecamatan Boyolangu, Tulungagung. 2. Variasi
genetik dari bentuk daun 6 kultivar lokal tembakau Tulungagung:
a. Rejeb Arang, b. Gagang Ijo, c. Gagang Sidi, d. Gagang
Jembrak, e. Rejeb Jae dan f. Sompok
Tabel 1. Luas areal pengembangan, jenis tembakau dan kebutuhan pasar
tembakau
Lokasi (Kecamatan)
Areal (ha)
Jenis tembakau Kebutuhan pasar Tahun
2014/2015
Tahun
2017
Pakel 445,65 508,85
45% Gagang Sidi
35% Rejeb Arang
20% kultivar campuran
(Gagang Ijo, Rejeb Jae,
Gagang Jembrak, dan
Sompok)
4,7 ton/thn
(panen 1 : 3,2ton/th;
panen 2 : 1,5ton/th)
↓
Pabrikan : 30%
Pengepul : 70%
Campurdarat 492 527
Gondang 305,04 341,5
Sumbergempol 35 40
Boyolangu 580 721
Karangrejo - 5
Tulungagung - 20
Kedungwaru - 6
Ngantru - 4,5
Kalidawir - 40
Sumber : Dispertan Kab. Tulungagung (2017)
a b c
d e e
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 28
menjadi 10 kecamatan, dengan
luasan mencapai 2.313,85 ha.
Eksplorasi, Seleksi, dan
Identifikasi Kultivar Tembakau
Tulungagung
Eksplorasi pertama dilakukan
tahun 1989-1998, diperoleh kultivar
Gagang Rejeb, Rejeb Jae dan
Sembung Lancur. Koleksi tersebut
selanjutnya dikarakterisasi, diseleksi
untuk dimurnikan dan dievaluasi.
Tetapi saat ini Gagang Rejeb dan
Sembung Lancur sudah tidak
diminati dan tidak ditanam di
Kabupaten Tulungagung.
Eksplorasi kedua dilakukan pada
tahun 2013 di sentra pengembangan
tembakau Tulungagung dengan cara
menginventarisasi petani yang telah
dibina untuk menjaga kemurnian
tanaman. Petani pemilik kultivar
diseleksi dengan cara wawancara
yaitu petani yang memiliki fanatisme
terhadap salah satu kultivar. Petani
yang demikian berpeluang memiliki
kultivar dengan kemurnian yang
tinggi. Hasil eksplorasi kedua ini
diperoleh kultivar Rejeb Arang,
Gagang Ijo, Gagang Sidi, Gagang
Jembrak dan Sompok.
Tanaman tembakau merupakan
tanaman menyerbuk sendiri. Seleksi
dan pemurnian pertama dilakukan
pada tahun 1998 dan seleksi kedua
pada tahun 2013 dilakukan seleksi
massa lagi untuk memurnikan
kultivar-kultivar tersebut. Dari hasil
pengamatan ternyata 2 - 3 kali
seleksi, sudah tidak ditemukan
lagi tipe simpang (off type). Hasil
eksplorasi kedua dilakukan pe-
murnian dengan cara seleksi
massa positif yaitu memilih
individu-individu terbaik yang
bertujuan untuk memperoleh kul-
tivar yang secara genetis bersifat
homosigot. Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Tulung-
agung bekerjasama dengan Balittas
melakukan pembinaan terhadap
petani tentang cara-cara melakukan
seleksi dan pembuatan benih
yang benar. Selanjutnya dinas
menyediakan kerodong untuk me-
lakukan isolasi tanaman-tanaman
terpilih. Dengan cara tersebut
diharapkan petani memperoleh benih
dengan tingkat kemurnian tinggi.
Pada pengujian tahun 2014-2016
dilakukan pengamatan morfologi
terhadap ke-6 kultivar tersebut dan
diperoleh beberapa perbedaan
karakter seperti pada Tabel 2.
Parameter pengukuran pada daun
(jumlah, panjang dan lebar)
merupakan sifat yang cukup penting
pada tanaman tembakau, karena
berkaitan dengan produktivitas.
Hasil penelitian Suwarso (1996),
menunjukkan bahwa jumlah daun
berkorelasi genotipik positif de-
ngan hasil dan berkorelasi positif
dengan umur berbunga. Dengan
demikian hasil produksi yang tinggi,
diperoleh dari kultivar yang jumlah
daunnya banyak.
Berdasarkan data produktivitas-
nya, 2 kultivar memperlihatkan
produktivitas yang tinggi. Jika
dirunut dari nilai tertinggi sampai
terendah: Rejeb Arang (1221,8
kg/ha), Gagang Ijo (1033,1 kg/ha),
Gagang Sidi (948,7 kg/ha), Gagang
Jembrak (833,1 kg/ha), Sompok
(746,2 kg/ha) dan Rejeb Jae (676,6
kg/ha). Hasil ini sesuai dengan
karakter genetik daun, dimana
jumlah daun terbanyak diperoleh
dari kultivar Rejeb Arang sebanyak
27,9 lembar daun/pohon.
Selain pengukuran produktivitas
tanaman, pada tembakau juga
dilakukan penghitungan nilai indeks
mutu dan indeks tanaman. Mutu
merupakan faktor penting bagi
tembakau sebagai bahan penikmat.
Mutu tembakau merupakan panduan
dari rasa, aroma, warna, pegangan
dan lain-lain. Mutu tembakau
(grade) juga dipengaruhi oleh selera
konsumen (pabrik rokok). Mutu
yang diinginkan oleh pabrik rokok
tertentu bisa berbeda dengan mutu
yang diinginkan oleh pabrik rokok
lain. Pada umumnya pabrik rokok
lebih memilih tembakau dari segi
aroma dan rasanya yang ringan,
karena digunakan sebagai bahan
racikan. Sedangkan konsumen rokok
tra-disional (lintingan) lebih memilih
pada rasa isapan yang lebih berat.
Hasil penghitungan nilai indeks
mutu menunjukkan bahwa Gagang
Sidi memiliki mutu yang paling
tinggi dibandingkan kultivar yang
lain, yaitu sebesar 61,33, selanjutnya
diikuti kultivar Sompok (58,73),
Gagang Jembrak (57,51), Rejeb
Tabel 2. Keragaan karakter morfologi 6 kultivar lokal tembakau
Tulungagung
Karakter Rejeb Arang Gagang Ijo Gagang Sidi Gagang
Jembrak Rejeb Jae Sompok
Habitus Kerucut Kerucut Kerucut Kerucut Kerucut Kerucut
Tipe daun Bertangkai Bertangkai Bertangkai Bertangkai Bertangkai Duduk
Ujung daun Sangat runcing Runcing Runcing Runcing Sangat runcing Meruncing
Tepi daun
Tidak
Berombak Berombak Berombak Rata Berombak Berombak
Permukaan daun Bendol kuat Berbendol Berbendol Berbendol Berbendol Berbendol
Phylotaxi 3/8 kanan 3/8 kanan 3/8 kanan 3/8 kanan 3/8 kanan 2/5 kiri
Bentuk daun Lanset Lanset Lanset Lanset Lanset Membulat
Tinggi tanaman (cm) 153,4 ± 8,1 154,7 ± 4,8 103,2 ± 8,1 111,7 ± 6,7 143,5 ± 12,3 96,2 ± 9,2
Jumlah daun (lb/ph) 27,9 ± 1,1 24,5 ± 1,1 21,7 ± 0,7 23,7 ± 1,2 20,7 ± 1,1 21,2 ± 0,8
Panjang daun (cm) 51,1 ± 3,7 49,1 ± 2,1 49,6 ± 3,0 52,1 ± 2,4 52,0 ± 2,4 47,2 ± 2,0
Lebar daun (cm) 23,9 ± 3,4 27,1 ± 1,1 31,2 ± 2,2 31,7 ± 2,3 36,7 ± 3,3 34,8 ± 3,4
Umur berbunga (hst) 48,4 ± 1,1 49,7 ± 1,2 52,4 ± 1,5 50,5 ± 1,6 49,2 ± 1,9 54,1 ± 1,3
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017
29
Arang (56,98), Gagang Ijo (55,90),
dan terendah adalah kultivar Re-
jeb Jae (53,97). Sedangkan hasil
penghitungan indeks tanaman
menunjukkan bahwa Rejeb Arang
memiliki nilai tertinggi (74,99),
diikuti kultivar Gagang Sidi (70,90),
Gagang Jembrak (61,04), Gagang Ijo
(60,73), Rejeb Jae (57,68) dan nilai
terendah kultivar Sompok (45,87).
Indeks tanaman merupakan hasil
perkalian antara indek mutu dengan
produksi per hektar, yang berarti
merupakan gambaran dari nilai
komersial suatu kultivar. Semakin
tinggi nilai indeks tanaman, maka
semakin tinggi pula pendapatan
petani. Oleh karena itu pemilihan
kultivar akan lebih tepat apabila
mengutamakan nilai indek tanaman.
Penutup
Kabupeten Tulungagung me-
miliki potensi yang cukup besar
untuk pengembangan tembakau.
Hasil eksplorasi, seleksi, dan
identifikasi menghasilkan 6 kul-
tivar yang potensial, yaitu Rejeb
Arang, Gagang Ijo, Gagang Sidi,
Gagang Jembrak, Rejeb Jae dan
Sompok. Sebagai tanaman per-
kebunan rakyat, tembakau ini
perlu dikembangkan potensi genetik-
nya dengan memanfaatkannya
sebagai bahan untuk menghasilkan
kultivar yang lebih disenangi oleh
konsumen.
PENGARUH TANAMAN SELA TERHADAP LILIT BATANG TANAMAN KARET
Untuk mengetahui pengaruh
tanaman sela terhadap lilit batang
tanaman karet dan klasifikasi lilit
batang pada tiap perlakuan, telah
dilakukan observasi langsung
terhadap lilit batang tanaman
karet belum menghasilkan umur
dua tahun (TBM 2) klon PB 260
di Kebun Percobaan Pakuwon.
Luas areal 1,5 ha, jumlah populasi
830 pohon ditanam bulan April
tahun 2014, dengan pohon terpilih
sebanyak 180 jarak tanam 6 x 3 m.
Sebanyak 60 pohon dipilih pada
tanaman karet yang ditumpang-
sarikan dengan tanaman sela
kacang tanah, 60 pohon dengan
tanaman sela jagung dan 60 pohon
karet monokultur. Tanaman sela
jagung dan kacang tanah masing-
masing ditanam sebanyak empat
musim. Hasil observasi menun-
jukkan bahwa lilit batang ta-
naman karet dengan tanaman
sela kacang tanah lebih besar
dibandingkan tanaman karet
dengan tanaman sela jagung dan
tanaman karet monokultur, tetapi
lilit batang tanaman karet dengan
tanaman sela jagung sama besar
dengan tanaman karet mono-
kultur. Hasil klasifikasi terhadap
lilit batang tanaman karet yang
ditumpangsarikan dengan ta-
naman kacang tanah menunjuk-
kan bahwa sebanyak 83,33% dari
jumlah tanaman karet termasuk
kategori baik (superior dan
standar) dan hanya 11,67%
termasuk kategori kurang baik
(inferior). Tanaman karet yang
ditumpangsarikan dengan tanam-
an jagung sebanyak 73,33% dari
jumlah tanaman termasuk baik
dan 26,67% termasuk kurang
baik. Sedangkan pada tanaman
karet monokultur sebanyak
80,00% dari jumlah tanaman
termasuk baik dan 20,00%
termasuk kurang baik.
ada tahun 2013 produktivitas
perkebunan karet nasional
rendah, tercatat sebesar 1.022
kg/ha/tahun dibandingkan potensi
produksinya yang mencapai 2.100
kg/ha/tahun. Banyaknya tanaman
tua dan budidaya seadanya di-
duga menjadi sebagian penyebab
rendahnya produktivitas tersebut.
Hasil penelitian adopsi inovasi
teknologi jarak tanam, bahan tanam
dan pemupukan mendapat respon
baik dari petani karet. Sedangkan
inovasi teknologi penanaman ta-
naman sela di antara tanaman karet,
yang berpeluang menjadi pintu ke-
luar terhadap permasalahan rendah-
nya produktivitas dan pendapatan
petani karet, belum diketahui
adopsinya.
Cukup banyak jenis tanaman
sela yang diketahui dapat tumbuh
baik di antara tanaman karet belum
menghasilkan (TBM), di antaranya
adalah kacang tanah dan jagung.
Sayangnya efek kehadiran beberapa
jenis tanaman sela terhadap tanam-
an karet belum banyak dilapor-
kan. Beberapa manfaat kehadiran
tanaman sela terhadap tanaman
karet di antaranya adalah: adanya
pengolahan tanah yang dapat mem-
bantu memperbaiki sifat fisik
tanah; penambahan bahan organik
dengan cara mengembalikan sisa-
sisa panen tanaman sela ke areal
bekas penanaman; pemupukan dan
pengapuran terhadap tanaman sela;
dan pemeliharaan tanaman sela
meliputi penyiangan, pengendalian
P
Ruly Hamida, Balittas
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 30
hama dan penyakit yang sangat
menguntungkan terhadap tanaman
pokok karet.
Kebun karet dinyatakan men-
capai matang sadap apabila ≥ 60%
dari jumlah tanaman dalam satu
hektar telah mempunyai lilit
batang ≥45 cm. Persentase tersebut
diketahui melalui pengukuran lilit
batang setiap individu tanaman karet
atau sering disebut dengan sen-
sus lilit batang. Dengan demikian
semakin banyak tanaman yang
mempunyai lilit batang >45 cm
maka potensi hasilnya akan makin
besar.
Lilit batang merupakan parameter
penting pada tanaman karet, karena
lateks diperoleh dari kulit batang-
nya. Kondisi lingkungan dan
pemeliharaan tanaman karet akan
sangat menentukan kecepatan
tanaman karet dapat disadap. Oleh
karena itu, setiap aktivitas yang
kemungkinan akan mempengaruhi
pertambahan lilit batang perlu
dicermati agar berpengaruh mem-
percepat dan bukan sebaliknya,
seperti halnya penanaman tanaman
sela pada tanaman karet TBM.
Pertumbuhan tanaman karet
mengalami titik belok pada umur 36
bulan (TBM 3), artinya bahwa
perlakuan budidaya untuk merubah
pertumbuhan tanaman karet akan
berpengaruh secara signifikan
apabila dilakukan terhadap tanam-
an karet sebelum TBM 3, sedang-
kan pada TBM 4 dan TBM 5 kurva
pertumbuhan mulai landai sehing-
ga perlakuan budidaya menjadi
tidak efektif lagi.
Tujuan kegiatan ini adalah untuk
mengetahui pengaruh tanaman sela
terhadap lilit batang tanaman karet
pada umur dua tahun (TBM 2) dan
klasifikasi lilit batang tanaman karet
pada setiap jenis tanaman sela.
Metode Pelaksanaan
Kegiatan dilakukan di Kebun
Percobaan Pakuwon, Sukabumi-
Jawa Barat, ketinggian 450 m dpl,
jenis tanah Latosol dan tipe iklim B
menurut (Schmidt dan Fergusson),
tanggal 25 - 27 April 2016. Luas
areal 1,5 ha, jumlah populasi 830
pohon ditanam bulan April tahun
2014, dengan pohon terpilih
sebanyak 180 dan jarak tanam
6 x 3 m. Pemilihan pohon contoh
menggunakan metode observasi
langsung pada tanaman karet asal
bibit okulasi umur 2 tahun klon
PB 260. Sebanyak 60 pohon dipilih
pada tanaman karet yang di-
tumpangsarikan dengan tanaman
sela kacang tanah, 60 pohon de-
ngan tanaman sela jagung dan 60
pohon karet monokultur. Tanaman
sela jagung dan kacang tanah
masing-masing ditanam sebanyak
empat musim.
Pemeliharaan tanaman yang
dilakukan antara lain: Pemupukan
dengan dosis mengikuti anjuran dari
Balai Penelitan Karet Sembawa
(2012), penyiangan dilakukan setiap
dua bulan pada jalur tanaman karet
selebar 2 m dan dibobokor empat
kali setahun serta wiwilan dilakukan
mengikuti perkembangan tunas air
yang tumbuh. Sedangkan penanam-
an dan pemeliharaan tanaman sela
kacang tanah dan jagung mengikuti
budidaya anjuran kedua jenis
tanaman tersebut.
Untuk mengetahui kondisi per-
tumbuhan lilit batang tanaman karet
yang ditumpangsarikan dengan 3
jenis tanaman sela, dilakukan
pengklasifikasian tanaman karet
Tabel 1. Lilit batang tanaman karet TBM 2 pada berbagai perlakuan jenis
tanaman sela.
Jenis tanaman sela Lilit batang (Cm)
Karet monokultur 14,13 b
Karet dengan jagung 13,92 b
Karet dengan kacang tanah 14,67 a
Rata-rata 14,24
Simpangan deviasi 1,496
Sumber: Saefudin et al., 2015
Gambar 1. Pengukuran lilit batang tanaman karet TBM 2 pada berbagai
perlakuan tanaman sela
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017
31
TBM 2 menjadi 3 kategori yaitu
kategori sangat baik (superior),
baik (standar) dan kurang baik
(inferior), dan dihitung mengguna-
kan cara perhitungan Paardekoo-
per tahun 1973 dalam Rouf et. al,.
2013 sebagai berikut: lebar kelas
ditentukan = 1,5 x Simpangan
Deviasi. Jumlah tanaman yang
memiliki lilit batang berada pada
cakupan lebar kelas termasuk pada
kategori standar, lebih besar
termasuk kategori superior dan lebih
rendah termasuk kategori inferior
atau pertumbuhannya kurang
optimal. Terhadap individu-indi-
vidu tanaman yang masuk kate-
gori inferior inilah yang diper-
lukan pemupukan ekstra (melebihi
dosis rekomendasi) agar pada
pariode TBM 4 atau TBM 5
sebagian dapat masuk kategori
pertumbuhan standar.
Keragaan lilit batang tanaman
karet TBM 2
Hasil pengamatan lilit batang
tanaman karet TBM 2 pada berbagai
perlakuan jenis tanaman sela
menunjukkan bahwa penanaman
tanaman sela kacang tanah ber-
pengaruh positif terhadap parameter
lilit batang tanaman karet asal
benih okulasi sampai dengan umur 2
tahun dan lebih baik dibanding-
kan tanaman karet yang mendapat
perlakuan penanaman tanaman sela
jagung maupun tanaman karet
monokultur (Tabel 1).
Rata-rata lilit batang tanaman
karet dengan tanaman sela kacang
tanah adalah 14,67 cm, lebih besar
dibandingkan dengan tanaman karet
dengan tanaman sela jagung
maupun tanaman karet monokultur
masing-masing sebesar 13,92 cm
dan 14,13 cm. Sedangkan lilit
batang tanaman karet dengan
tanaman sela jagung dan tanaman
karet monokultur sama besar. Pen-
cangkulan seluruh areal pada
pertanaman karet dengan tanaman
sela kacang tanah dan bebas dari
gulma selama ada tanaman sela
kacang tanah diduga menjadi hal
positif penyebab perbedaan ini.
Klasifikasi lilit batang
Hasil penghitungan terhadap
keseluruhan tanaman karet
pengamatan menunjukkan bahwa
rataan lingkar batang sebesar
14,24 cm dan simpangan deviasi
1,496 sehingga lebar selang men-
jadi 2,244. Oleh karena itu kla-
sifikasinya memasukkan kelompok
individu tanaman karet yang me-
miliki lilit batang >15,36 cm
termasuk superior, antara 13,12-
15,36 cm termasuk standar dan <
13,12cm termasuk inferior (Tabel
2).
Berdasarkan uraian di atas dapat
dinyatakan bahwa klasifikasi per-
tumbuhan lilit batang tanaman karet
TBM 2 yang ditumpangsarikan
dengan tanaman kacang tanah
memiliki paling banyak tanaman
dengan kategori baik dan sangat baik
yaitu sebanyak 83,33% dari jumlah
tanaman dan hanya 11,67% ter-
masuk kurang baik (inferior), diikuti
dengan perlakuan tanaman karet
monokultur sebanyak 80,00% dari
jumlah tanaman termasuk baik dan
sangat baik dan sebanyak 20,00%
termasuk inferior dan tanaman
karet yang ditumpangsarikan dengan
tanaman jagung memiliki 73,33%
dari jumlah tanaman termasuk
baik dan sangat baik dan 26,67%
termasuk inferior.
Penutup
Hasil observasi menunjukkan
bahwa lilit batang tanaman karet
dengan tanaman sela kacang tanah
lebih besar dibandingkan tanaman
karet dengan tanaman sela jagung
dan tanaman karet monokul-
tur, tetapi lilit batang tanaman
karet dengan tanaman sela jagung
sama besar dengan tanaman karet
monokultur.
Hasil klasifikasi terhadap lilit
batang tanaman karet yang di-
tumpangsarikan dengan tanaman
kacang tanah menunjukkan bahwa
sebanyak 83,33% dari jumlah
tanaman karet termasuk kategori
baik (superior dan standar) dan
hanya 11,67% termasuk kategori
kurang baik (inferior). Tanaman
karet yang ditumpangsarikan dengan
tanaman jagung sebanyak 73,33%
dari jumlah tanaman termasuk baik
dan 26,67% termasuk kurang baik.
Sedangkan pada tanaman karet
monokultur sebanyak 80,00% dari
jumlah tanaman termasuk baik dan
20,00% termasuk kurang baik.
Tabel 2. Klasifikasi lilit batang tanaman karet TBM 2 pada berbagai
perlakuan tanaman sela
Klasifikasi
lilit batang
Perlakuan tanaman sela
Karet monokultur Karet dengan kacang tanah Karet dengan jagung
Jumlah
pohon
persentase Jumlah
pohon
persentase Jumlah
pohon
persentase
Inferior 12 20,00 7 11,67 16 26,67
Standard 37 61,67 33 50,00 35 58,33
Superior 11 18,33 20 33,33 9 15,00
Sumber: Saefudin et al., 2015
Saefudin dan Nana Heryana,
Balittri
Permasalahan, peluang dan tantangan pengembangan kopi .....
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017 32
orkshop perumusan dan
sinergi dukungan ino-
vasi teknologi Badan
Penelitian dan Pengembangan Per-
tanian (Balitbangtan), Kementerian
Pertanian, khususnya komoditas
hortikultura dan perkebunan dalam
Pengembangan Kawasan Agro-
wisata Kota Solok telah dilak-
sanakan pada hari Senin-Selasa (4 -
5 Desember 2017) di Sentul, Jawa
Barat.
Workshop bertujuan untuk
menindaklanjuti MoU antara Pe-
merintah Kota Solok dan Balit-
bangtan serta membahas Grand
Design Dukungan Inovasi Balit-
bangtan dalam Pengembangan
Kawasan Agrowisata Solok yang
telah disusun berdasarkan hasil
observasi lapangan, FGD dan
analisis yang comprehensive dari
tim peneliti Balitbangtan. Workshop
yang dikoordinir oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan
Hortikultura dihadiri oleh Kepala
Balitbangtan yang diwakili oleh
Sekretaris Balitbangtan, Kapuslit
Hortikultura, Kapuslitbang Per-
kebunan yang diwakili oleh Kabid
KSPHP, Walikota Solok, kepala
Bapeda, Kadis Pertanian, Kadis
Pangan, Kadis Lingkungan hidup,
Kadis Pariwisata Pemkot Solok,
Kepala BPTP Sumatera Barat,
Kepala Balittri, dan para peneliti
Balitbangtan.
Sekretaris Balitbangtan, Dr.
Muhammad Prama Yufdy, yang
membuka workshop, dalam
sambutannya menyampaikan bahwa
inovasi teknologi Balitbangtan perlu
didiseminasikan kepada para
stakeholder dan kerjasama dengan
Pemkot Solok merupakan salah satu
bentuk diseminasi inovasi teknologi.
Pertanian perlu dilihat sebagai
industri pertanian sehingga
penggunaan alat dan mesin per-
tanian (ALSINTAN) diperlukan.
Balitbangtan menyiapkan prototipe
ALSINTAN yang bisa dimanfaatkan
oleh daerah. Selanjutnya disarankan
PEMKOT Solok untuk bersinergi
dengan pihak swasta dan perbankan
dalam pengembangan kawasan
agrowisata untuk meningkatkan
pendapatan petani dan masyarakat.
Walikota Solok, H. Zul Elfian Dt.
Tianso, SH, MSi., sangat peduli
terhadap peningkatan taraf hidup
rakyatnya. Hal ini ditunjukkan
dengan dukungannya terhadap
program agrowisata ini sebagaimana
disampaikan oleh Kepala Puslitbang
Hortikultura.
Hasil FGD, survey dan analisis
oleh Balitbangtan dipresentasikan
oleh para nara sumber antara lain:
Prof. Subarja memaparkan Hasil
pemetaan sumberdaya lahan dan
arahan pengembangan komoditas,
Dr. Buharman menyampaikan hasil
kajian sosial ekonomi masyarakat
Payo, sedangkan Dr. Idha Widi
Arsanti mempresentasikan grand
design dukungan inovasi teknologi
Balitbangtan dalam pengembang-
an agrowistata Payo. Puslitbang
Perkebunan berkontribusi dengan
menyiapkan inovasi teknologi
perkebunan mulai dari hulu sampai
hilir antara lain kopi, cengkeh,
tanaman rempah dan obat-obatan.
Jelfina C. Alouw, Puslitbangbun
PEDOMAN BAGI PENULIS
Pengertian : Warta merupakan in-
formasi teknologi, prospek komo-
ditas yang dirangkum dari sejumlah
hasil penelitian yang telah diter-
bitkan.
Bahasa : Warta memuat tulisan
dalam Bahasa Indonesia.
Struktur : Naskah disusun dalam
urutan : judul tulisan (15 kata),
Ringkasan, pendahuluan, topik-topik
yang dibahas, penutup dan saran,
serta daftar pustaka maksimal 5 serta
nama penulis dengan alamat ins-
tansinya.
Bentuk Naskah : Naskah diketik di
kertas A4 pada satu permukaan saja,
dua spasi huruf Times New Roman-
ce ukuran 12 pt dengan jarak 1,5
spasi. Tepi kiri kanan tulisan dise-
diakan ruang kosong minimal 3,5
cm dari tepi kertas. Panjang naskah
sebaiknya tidak melebihi 15 halam-
an termasuk tabel dan gambar.
Judul Naskah : Judul tulisan me-
rupakan ungkapan yang menggam-
barkan fokus masalah yang dibahas
dalam tulisan tersebut.
Pendahuluan : Berisi poin-poin
penting dari isi naskah, suatu peng-
antar atau paparan tentang latar
belakang topik, ruang lingkup ba-
hasan dan tujuan tulisan. Jika diper-
lukan disajikan pengertian-penger-
tian dan cakupan bahasan.
Topik bahasan : Informasi tentang
topik yang dibahas disusun dengan
urutan logika secara sistematis.
Penutup dan Saran : Berisi inti sari
pembahasan himbauan atau saran
tergantung dari materi bahasan.
DUKUKNGAN INOVASI TEKNOLOGI BALITBAGNTAN DALAM
PENGEMBANGAN KAWASAN AGROWISATA KOTA SOLOK
W BERITA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERKEBUNAN
Pengaruh tanaman sela terhadap lilit batang tanaman karet
Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri, Volume 23 Nomor 3, Desember 2017
33