isu gender

53
KEBIJAKAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DI DAERAH BENCANA: STUDI KASUS DI PADANG DAN SIDOARJO Aris Munandar Mohammad Noer ABSTRAK Kebijakan yang tidak sensitive gender akan berpengaruh pada keadilan dalam akses, kontrol, partisipasi dan pemanfaatan sumber daya pembangunan antara laki-laki dan perempuan. Dengan perspektif gender, studi ini mengkaji penanggulangan bencana di Padang dan Sidoarjo dengan fokus pada empat fase kebijakan penanganan bencana yaitu Pra-bencana, Tanggap Darurat, Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Hasil studi menunjukkan bahwa isu gender di kedua daerah bencana belum terintegrasi ke dalam kebijakan pengelolaan bencana. PENDAHULUAN Pengalaman bencana yang menimpa Indonesia mulai dari Tsunami Aceh, tanah longsor, gempa bumi, badai tropis, angin puting beliung, rob, yang datang secara berturut- turut, membuat kita gagap dan terkesan tidak siap menghadapinya. Meskipun tidak mengharapkan kejadian itu berulang, akan tetapi menghadapi kenyataan bahwa Indonesia terletak di ‘sabuk bencana Pasifik’ sehingga kewaspadaan dan kesiapan dalam bentuk pengelolaan bencana adalah suatu keniscayaan. Banyak isu yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan bencana; dari isu yang berkaitan dengan hal-hal fisik lingkungan, infrastruktur, sampai isu yang menyangkut 1

Upload: aris-munandar

Post on 05-Jul-2015

689 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Isu Gender

KEBIJAKAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DI DAERAH BENCANA:STUDI KASUS DI PADANG DAN SIDOARJO

Aris MunandarMohammad Noer

ABSTRAK

Kebijakan yang tidak sensitive gender akan berpengaruh pada keadilan dalam akses, kontrol, partisipasi dan pemanfaatan sumber daya pembangunan antara laki-laki dan perempuan. Dengan perspektif gender, studi ini mengkaji penanggulangan bencana di Padang dan Sidoarjo dengan fokus pada empat fase kebijakan penanganan bencana yaitu Pra-bencana, Tanggap Darurat, Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Hasil studi menunjukkan bahwa isu gender di kedua daerah bencana belum terintegrasi ke dalam kebijakan pengelolaan bencana.

PENDAHULUAN

Pengalaman bencana yang menimpa Indonesia mulai dari Tsunami Aceh, tanah

longsor, gempa bumi, badai tropis, angin puting beliung, rob, yang datang secara

berturut-turut, membuat kita gagap dan terkesan tidak siap menghadapinya. Meskipun

tidak mengharapkan kejadian itu berulang, akan tetapi menghadapi kenyataan bahwa

Indonesia terletak di ‘sabuk bencana Pasifik’ sehingga kewaspadaan dan kesiapan dalam

bentuk pengelolaan bencana adalah suatu keniscayaan.

Banyak isu yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan bencana; dari isu

yang berkaitan dengan hal-hal fisik lingkungan, infrastruktur, sampai isu yang

menyangkut ekonomi dan sosial-budaya. Dari semua isu itu, kecenderungan yang ada

memperlihatkan isu sosial-budaya khususnya isu perempuan dan isu gender belum

mendapat perhatian secara proporsional. Meskipun sangat penting dan relevan, tetapi

sering luput dalam pertimbangan ketika pengelolaan bencana diformulasi, ketika

kebijakan dan strategi ditentukan dan ketika program, panduan, prosedur standar operasi

serta hal-hal teknis lainya, dikembangkan dan diimplementasikan.

Isu gender dalam pengelolaan bencana dewasa ini mendapat perhatian yang

sangat penting mengingat dalam beberapa pengalaman peristiwa bencana di berbagai

tempat, keberadaan perempuan, anak-anak, dan orang-orang yang tergolong ke dalam

kelompok rentan seringkali kurang atau bahkan tidak terlindungi secara memadai,

1

Page 2: Isu Gender

sehingga mereka menjadi korban yang paling besar akibat peristiwa bencana. Di sisi

lain, peran perempuan pada peristiwa bencana cukiup besar, misalnya ketika mereka

berusaha menyelamatkan anak-anak, harta benda, dan memberikan pertolongan kepada

korban yang lain, tetapi seringkali peran mereka kurang diperhatikan.

Sehubungan dengan itu, pemerintah dan masyarakat perlu memberikan perhatian

yang lebih tinggi terhadap upaya perlindungan perempuan dan kelompok rentan pada

peristiwa bencana, karena kaum perempuan mempunyai pengalaman, perhatian,

kecepatan, dan keterampilan yang berbeda dengan kaum laki-laki ketika menghadapi

bencana.

Penyelenggaraan pengelolaan bencana berperspektif gender adalah suatu cara

untuk memperlakukan adil dan setara terhadap perempuan dan laki-laki, mengingat

keduanya berbeda dalam peran gender yang mereka sandang serta hubungan sosial yang

mengaturnya. Peran gender laki-laki dianggap sebagai pemimpin, kepala keluarga dan

pengambil keputusan sehingga mereka lebih terpapar dengan pemegang otoritas,

kesempatan, pilihan-pilihan, akses terhadap sumber daya termasuk informasi,

pengetahuan, keterampilan; dibandingkan dengan perempuan yang peran gendernya

lebih pada ranah rumahtangga (care giver). Hasilnya, perempuan (keberadaan, suara,

pengalaman, kebutuhan, kerisauann dan rasa amannya) terpinggirkan dari arusutama

(mainstream) kebijakan, program dan kegiatan. Itulah sebabnya dalam setiap upaya

men-gender-kan kebijakan, program, termasuk penanggulangan bencana, kecenderungan

lebih difokuskan pada perempuan. Yaitu dengan memberi keadilan gender melalui

kebijakan, program dan kegiatan agar mereka dapat ikut serta dengan memperhatikan

kesulitan mereka sebagai perempuan. Dengan demikian dipercayai kesetaraan (hak dan

status) antara keduanya dapat tercapai.

Keberadaan kaum perempuan sering luput dari perhatian para otoritas pengelola

bencana. Suara perempuan hampir tidak terwakili karena sudah dianggap terwakili oleh

suara laki-laki. Akibatnya perempuan (suara, aspirasi, kebutuhan, dst) terabaikan dalam

proses pengambilan keputusan sejak fase tanggap darurat sampai dengan fase

membangun kembali kehidupan dirancang, diformulasikan dan dimplementasikan.

Adalah suatu kenyataan bahwa sampai saat ini perspektif gender hampir-hampir absen

dalam analisis bencana.

2

Page 3: Isu Gender

Sejatinya perempuan itu bukan saja sebagai korban tetapi mereka adalah

sumberdaya yang berpotensi dapat memobilisasi kekuatan dalam masyarakatnya,

terutama ketika sendi-sendi kehidupan tidak berfungsi seperti dalam keadaan bencana.

Dari pengalaman berbagai bencana yang baru kita alami, peran dan inisiatif perempuan

untuk menjaga kelangsungan kehidupan keseharian dalam keluarga dan dalam

bermasyarakat, berjalan dan diakui secara luas. Potensi ini akan dapat lebih bermanfaat

jika peran serta dan inisiatif mereka itu diapresiasi dan diakomodasi dalam

penyelenggaraan pengelolaan bencana pada setiap tahapannya.

Studi ini bermaksud mengakomodasi pendekatan sensitif gender ke dalam

penyelenggaraan pengelolaan bencana dengan bertolak dari argumen banwa

menggunakan lensa gender memperkaya analisis penanggulangan bencana dan

menyodorkan lebih banyak option response yang cocok untuk kemaslahatan perempuan

dan laki-laki. Jadi tujuannya tidak semata-mata untuk memberi perhatian pada nasib

perempuan saja, akan tetapi juga untuk kebaikan dari penyelenggaraan pengelolaan

bencana itu sendiri, yang selama ini bias laki-laki.

Permasalahan

Dalam kajian ini ada dua pertanyaan besar yang akan dijawab:

1. Apakah isu perempuan dan isu gender sudah terintegrasi dalam pengelolaan

bencana? Jika sudah, bagaimana implementasinya di lapangan?

2. Jika belum, mengapa isu perempuan dan isu gender tidak terintegrasi ke dalam

pengelolaan bencana?

Tujuan Penelitian

1. Melakukan telaah dari perspektif gender atas peraturan, kebijakan, strategi, program-

program kegiatan, pedoman dan instrumen berkaitan dengan perlindungan perempuan

dalam pengelolaan bencana pada fase-fase penanganan bencana yang meliputi

persiapan, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi yang dikeluarkan oleh

beberapa Kementerian / Lembaga serta organisasi lainya.

2. Melakukan studi yang berkaitan dengan implementasi beberapa program kegiatan

terpilih (meliputi fase persiapan, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi)

3

Page 4: Isu Gender

termasuk implementasi metode dan instrumen untuk penguatan kapasitas kelembagaan,

dengan fokus pada keterkaitan antara gender dan pengelolaan bencana, sembari

mengidentifikasi ‘celah’ di mana integrasi perspektif gender dapat meningkatkan

model-model penyelenggaraan pengelolaan bencana yang ada.

Metode Penelitian

1. Melakukan telaah atas dokumen (desk review) yang berkaitan dengan pengelolaan

bencana dari perspektif gender

2. Melakukan studi lapanga untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai

implementasi; best practice, pengalaman serta tantangan yang dihadapi serta

rekomendasi dari:

a. Stakeholders terpilih (pemegang otoritas dari Dinas/ Lembaga di daerah terpilih

yang bertanggung jawab menangani penanggulangan bencana di tingkat daerah;

b. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Sosial Kemasyarakatan

yang bekerja dalam penanggulangan bencana di daerah;

c. Para korban (khususnya perempuan dan penduduk rentan (anak-anak, lansia,

penderita cacat).

Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara:

a. Obervasi

b. FGD dengan 5 kelompok terpilih : survivor (1)kelompok-kelompok perempuan

dan lansia perempuan; (2)survivor laki-laki dan lansia laki-laki; (3)remaja; (4)

masyarakat di tingkat desa; dan (5) otoritas di tingkat desa

c. Wawancara mendalam dengan narasumber di lapangan bekerjasama dengan

PSW setempat

TINJAUAN KONSEPTUAL

Beberapa konsep dan definisi yang dipakai dalam kajian ini mencakup:

Kebijakan (Policy). Prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan

pengambilan keputusan. Menurut Titmuss, kebijakan senantiasa berorientasi pada

masalah (problem-oriented) dan kepada tindakan (action-oriented). Dengan demikian,

4

Page 5: Isu Gender

kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-

bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.

Perempuan. Kategori jenis kelamin (sex) yang ditandai oleh ciri-ciri biologis

tertentu, antara lain; memiliki alat menyusui, memiliki vagina, memiliki alat reproduksi

dan melahirkan. Ciri-ciri biologis yang melekat pada perempuan seringkali berimplikasi

pada perbedaan peran atau perbedaan gender yang meliputi; kultur, psikologis, dan

sosial dengan laki-laki, di mana kaum perempuan menjadi subordinasi kaum laki-laki.

Perempuan menjalankan peran domestik dan laki-laki menjalankan peran publik;

perempuan menjalankan peran ibu rumah tangga dan laki-laki menjadi kepala rumah

tangga. (Fakih, 2005).

Bencana. Suatu kejadian alam maupun kesalahan ulah manusia yang membuat

fungsi kehidupan masyarakat terganggu (karena banyaknya manusia yang tewas,

kehilangan materi, kerusakan lingkungan) untuk dapat memanfaatkan sumberdaya

sendiri.

Penanggulangan Bencana. Serangkaian upaya/ kegiatan yang meliputi

penetapan kebijakan pembangunan untuk antisipasi menghadapi risiko timbulnya

bencana, dari upaya/ kegiatan kesiapsiagaan menghadapi bencana, tanggap darurat,

rehabilitasi dan rekonstruksi dengan mengakomodasi pengalaman serta kebutuhan

masyarakat dengan memperhatikan bahwa masyarakat tidak homogen; masyarakat

terdiri dari perempuan dan laki-laki termasuk anak-anak, lansia dan penduduk rentan

lainnya.

Fase Kesiapsiagaan. Serangkaian upaya/ kegiatan yang dilakukan untuk

mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah-langkah yang tepat

guna dan berdaya guna, dengan memperhatikan bahwa masyarakat yang terdiri dari

perempuan dan laki-laki berpotensi berbeda dalam kesiapsiagaannya karena adanya isu

gender (isu yang muncul karena adanya perbedaan diantara keduanya dalam memperoleh

akses dan manfaat dari adanya informasi, pengetahuan tentang bencana, dst).

Fase Tanggap Darurat Bencana. Serangkaian upaya/ kegiatan yang dilakukan

dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang

ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,

5

Page 6: Isu Gender

pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta

pemulihan prasarana dan sarana, dengan memperhatikan bahwa pengalaman, kerisauan,

tantangan/ kesulitan, kebutuhan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki.

Fase Rehabilitasi. Perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau

masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran

utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan

kehidupan masayarakat pada wilayah pascabencana, dengan memastikan adanya

keterlibatan perempuan terutama yang berkaitan dengan partisipasinya dalam

pengambilan keputusan pada setiap tahap fase rehabilitasi ini.

Fase Rekonstruksi. Pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,

kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun

masayarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian,

sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta

masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana;

dan memastikan tertampungnya aspirasi dan kebutuhan perempuan dalam fase

rekonstruksi ini.

Analisis Gender. Suatu cara untuk menelaah perbedaan dalam kehidupan

perempuan dan kehidupan laki-laki (perbedaan dalam peran, kewajiban, hubungan

sosial, kebutuhan, kesempatan dalam konteks tertentu, dalam hal ini konteks bencana)

yang bisa berpengaruh terhadap keduanya di dalam mendapatkan akses dan manfaat dari

usaha/ kegiatan setiap fase pengelolaan bencana.

Integrasi Gender. Mengintegrasikan/ mengakomodasikan isu gender termasuk

isu yang spesifik perempuan (seperti pengalaman, kerisauan, kebutuhan, tantangan

perempuan) ke dalam keseluruhan fase pengelolaan bencana; termasuk meningkatkan

partisipasi perempuan untuk ikut serta mengambil keputusan yang berkaitan dengan

pengelolaan bencana.

Pengelola Bencana. Suatu kelembagaan dengan kebijakan dan keputusan serta

kegiatan-kegiatan operasional yang berkaitan dengan berbagai tahapan penanganan

bencana (meliputi fase persiapan, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi).

6

Page 7: Isu Gender

Perspektif Gender. Sudut pandang dalam menilai sesuatu usaha dari

kemaslahatan dan mudaratnya terhadap perempuan dan laki-laki. Dalam konteks

pengelolaan bencana sudut pandang itu dipakai dalam menilai setiap tahapan usaha/

kegiatan penanggulangan bencana dengan fokus pada implikasi yang mungkin muncul

terhadap perempuan dan laki-laki.

Pengarusutamaan Gender. Suatu strategi untuk memastikan kebutuhan,

kepedulian dan pengalaman perempuan dan juga laki-laki terintegrasi ke dalam

rancangan, implementasi, pengawasan dan evaluasi pada setiap tahapan pengelolaan

bencana. Dengan demikian, baik laki-laki maupun perempuan akan mendapatkan akses

yang adil dan mendapatkan manfaat yang setara dari semua tahapan usaha/ kegiatan

penanggulangan bencana.

Kerangka Analisis

Studi ini menawarkan pendekatan dengan menggunakan lensa gender dalam

(pengembangan) penyelenggaraan pengelolaan bencana serta bekerja dengan para

pelaku (para pemegang otoritas, implementator serta beneficieries), sehingga

memperkaya analisis dan konteks, pada giliranya memberikan lebih banyak response

options yang adil bagi perempuan dan laki-laki, dan ’masuk’ dengan sistim yang ada.

Ada 3 komponen sebagai ’entry point’ untuk men-gender-kan pengelolaan

bencana, yaitu (1) pengumpulan data dan informasi; (2) proses analisis (gender) dalam

menemukenali faktor-faktor (berpengaruh) risiko dan cara praktis integrasi gender ; (3)

rekomendasi: formulasi response options.

7

Page 8: Isu Gender

Kerangka AnalisisIntegrasi isu gender ke dalam Pengelolaan Bencana

Untuk komponen 1, telaah dokumen menggunakan Gender Analysis Pathway

(GAP-POP), terutama dalam mengidentifikasi isu gender;

Untuk komponen 2, studi lapangan menggunakan analisis gender terhadap data

dan informasi yang terkumpul:

1) Faktor-faktor dominan yang memengaruhi para pejabat yang bertanggung jawab

terhadap pengelolaan bencana (para pengambil keputusan/ perumus kebijakan dan

pengelola program, dalam usaha melaksanakan Pengarusutamaan Gender (PUG)

dalam pengelolaan bencana;

2) Gambaran realitas kehidupan di masyarakat dengan mengidentifikasikan peran dan

kedudukan perempuan dan laki-laki serta memahami berbagai perbedaan antara

kehidupan perempuan dan laki-laki di daerah bencana. Gambaran perbedaan bisa

8

1a. Data dan informasi:

(1) hasil dari:telaah dokumen pengelolaan bencana;

(2). Hasil dari: obeservasi, FGD, wawancara mendalam, di tingkat nasional dan daerah studi

2.Analisis Gender

2aFaktor-faktor

utama berpengaruh

2bCara tepat dan

praktis integrasi isu gender

dalam pengelolaan

bencana

3Formulasi

response options

1. Hasil Telaah

Dokumen

Page 9: Isu Gender

juga mencakup perbedaan antara kehidupan sesama perempuan atau sesama laki-

laki dalam setting (sosial-ekonomi dan sosial-budaya) yang berbeda;

3) Gambaran yang spesifik perempuan di daerah rawan bencana dalam implementasi

program penanggulangan bencana (pada fase-fase penanganan bencana yang

meliputi persiapan, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi);

4) Gambaran bagaimana pengelolaan bencana yang netral (tidak bermaksud

diskriminatif) sekalipun, dapat berdampak berbeda terhadap perempuan dan laki-

laki;

5) Kesenjangan (jika ada) antara perempuan dan laki-laki (korban bencana) dalam

mendapatkan manfaat akses dari pengelolaan bencana yang ada (di fase fase

persiapan, tanggap darurat); serta keikutsertaan keduanya dalam mengambil

keputusan atau dalam mengakomodasi kebutuhan/ kepeduliannya di fase

rehabilitasi dan rekonstruksi melalui penyajian data dan informasi terpilah menurut

jenis kelamin.

Komponen 3 adalah rekomendasi formulasi response options sebagai masukan

untuk bahan persiapan penanggulangan bencana dan mitigasi yang responsive gender

melalui penguatan kelembagaan; strategi dan mekanisme pelaksanaan kebijakan

perlindungan perempuan di daerah bencana.

TELAAH DOKUMEN: ISU GENDER DALAM KEBIJAKAN PENGELOLAAN BENCANA

Hasil telaah dan evaluasi terhadap dokumen pengelolaan bencana selama ini

memperlihatkan kegagalan dalam mengintegrasikan isu perempuan dan isu gender ke

dalam kebijakan pengelolaan bencana. Sekalipun isu perempuan atau isu gender sudah

terintegrasi dalam formulasi pengelolaan bencana, namun masih berpotensi gagal dalam

implementasinya. Berbagai kemungkinan sebagai penyebab dan pemecahannya harus

diidentifikasi. Mungkin karena pemahaman dari berbagai pihak yang terlibat masih

’buta’ terhadap isu perempuan dan isu gender sehingga tidak ada kemauan dan

dukungan. Atau juga karena faktor eksternal, seperti kondisi sosial-budaya dan sikap

masyarakat yang tidak kondusif.

9

Page 10: Isu Gender

Respon pemerintah dalam upaya penanganan dan pengelolaan bencana

sebenarnya sangat baik, mencakup semua aspek; dari tahap pencegahan sebelum teerjadi

bencana sampai pada tahap pemulihan pasca bencana; dari mullai pembangunan sarana

dan prasarana sampai pada penyelematan korban bencana; serta pengerahan tenaga-

tenaga ahli dan pelibatan partisipasi masyarakat dari mulai tingkat lokal, nasional,

sampai tingkat internasional. Respon pemerintah ini diwujudkan, antara lain dalam

kegiatan-kegiatan:

1. Januari 2007 Bappenas meluncurkan Rencana Aksi Nasional untuk Pengurangan

Resiko Bencana (RAN PRB).

2. Maret 2007 DPR mengesahkan UU No. 24 tentang Penanggulangan Bencana (UU

PB).

3. Peraturan Pemerrintah RI No. 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan

Bencana.

4. Peraturan Pemerintah RI No. 23 Tahun 2008 tentang Peranserta Lembaga

Internasional dan Lembaga Non Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana.

5. Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penangggulangan

Bencana (BNPB).

6. Respon darikejadian Tsunami Aceh, berrbagai sektor/ institusi telah mempunyai

pedoman, SOP, Manual sendiri-sendiri.

Namun demikian, dari 38 dokumen yang telah ditelaah meliputi; Undang-

Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Pedoman, Panduan, dan Buku Saku

yang telah dirumuskan dinilai masih kurang sensitif terhadap isu gender, atau luput

mempertimbangkan bahwa peran dan relasi gender antara laki-laki dan perempuan tidak

setara.

1. Hampir semua dokumen yang ditelaah menunjukkan netral gender; tidak mengintegrasikan isu gender ke dalam kebijakan pengelolaan bencana, baik eksplisit maupun implisit.

Misalnya dalam buku pedoman yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial tentang

Pedoman Komunikasi Penanggulangan Bencana Tahun 2004. Pada bagian

pendahuluan menjelaskan, ”Mekanisme penanggulangan bencana terdiri: keluarga,

organisasi informal (kegiatan keagamaan berrupa pengajian dan pelayanan

10

Page 11: Isu Gender

kemattian, kegiatan kegotongroyongan, arisan, dan lain-lain), serta masyarakat

lokal.” Istilah keluarga, organisasi informal, kelompok arisan adalah istilah yang

netral gender. Padahal dalam penanggulangan bencana peran serta kelompok

perempuan sangat penting karena ada sejumlah kepentingan atau kebutuhan kaum

perempuan sukar dipahami atau tidak sensitif bagi kaum laki-laki. Oleh karena itu,

keterlibatan kaum perempuan perrlu dinyatakan secara eksplisit dan aktif di dalam

penanggulangan bencana sesuai dengan kodrat dan kapasitasnya.

Dalam penataan sistem komunikasi juga belum sensitif gender, sebagaimana tertulis

dalam aspek tujuan yaitu ”Agar tercapai terciptanya pemahaman dan kesatuan

pelaksanaan kegiatan Bantuan Komunikasi Penanggulangan Bencana di seluruh

Indonesia. Data informasi bencana meliputi; tempat kejadian, jumlah korban,

bantuan logistik yang diperlukan, kerusakan akibat bencana (sarana fisik dan jalan),

Jembatan, rumah, sekolah, tempat ibadah, fasos, fasum...” Data informasi mengenai

jumlah korban dan bantuan logistik tidak menjelaskan secara rinci kategori korban

seperti; jumlah korban laki-laki dan perempuan, jumlah korban anak-anak dan lanjut

usia. Dalam sistem informasi bencana data harus terinci untuk menentukan tindakan

penyelamatan dan distribusi bantuan yang cepat dan tepat.

Lebih lanjut dapat dilihat dalam Kebijakan Pergudangan pada buku pedoman yang

sama, berkaitan dengan penataan barang bantuan disebutkan bahwa ”...kelompokan

barang sesuai dengan jenisnya.” Pengelompokan barang menurut jenisnya bisa

ditafsirkan bahwa barang yang akan didistribusikan mempertimbangkan keperluan

untuk perempuan dan laki-laki. Tetapi kata ”jenis barang” ini masih bersifat netral

gender. Begitu pula yang menyangkut mekanisme penyaluran barang dinyatakan

bahwa ”Mekanisme Penyaluran Barang Bantuan dari gudang ke lokasi bencana: a.

Jumlah data korban bencana; b. Jenis barang bantuan yang dibutuhkan.” Poin a dan b

masih bersifat netral gender.

Dalam Pedoman Umum Bantuan Sosial Korban Bencana Alam yang dikeluarkan

oleh Departemen Sosial RI. Tahun 2005 pada sub bab Kebijakan Umum menyatakan

bahwa ”Pemantapan bantuan kepada para korban bencana alam, baik bantuan pada

tahap darurat bencana alam (bantuan pangan dan sandang), bantuan pada tahap pasca

11

Page 12: Isu Gender

bencana alam (bantuan rehabilitasi rumah/ BRR), maupun bantuan tahap

resosialisasi dan rujukan (pemberdayaan masyarakat dan kemitraan).” Dalam hal

pemberdayaan masyarakat dan kemitraan bencana tidak memuat pertimbangan

gender, padahal dalam kenyataan di lapangan sebagian besar pemulihan ekonomi

keluarga banyak ditopang oleh peranan kaum perempuan. Mereka ikut terlibat

menjadi tulang punggung/ pencari nafkah keluarga.

Pada saat bencana juga dapat dilihat telah ada pertimbangan gender tapi masih netral

seperti yang tercantum dalam kutipan buku pedoman terutama pada poin 1) dan poin

3) di bawah ini :

Protap saat Bencana :

1. Mendapatkan informasi lokasi bencana dan korban bencana dari petugas/

masyarakat.

2. Memonitor perkembangan lokasi bencana, melakukan upaya penyelamatan

pertama dan bila dianggap perlu mengaktifkan Posko, penampungan dan Dapur

Umum.

3. Menyiapkan tempat penampungan bantuan.

Kemudian pada sasaran kebijakan disebutkan “Pelatihan bagi Petugas maupun

Masyarakat dibidang Penanggulangan Bencana 20 orang”. Jumlah ini juga belum

menyebutkan berapa komposisi laki-laki dan perempuan. Katagori gender perlu

dimasukkan agar dalam pelaksanaan di lapangan para petugas dapat melakukan

pemilahan sesuai dengan kebutuhan penganan bencana. Hakikatnya, penanganan

korban laki-laki dan perempuan dalam batasan tertentu perlu mempertimbangkan

siapa melayani siapa.

Pada bagian lain, dalam kontek pemberian bantuan program sudah mulai

mempertimbangkan gender, seperti tercantum dalam poin 2, 3 dan 5 pada kutipan

berikut, “…..2. Bantuan sandang bagi para korban bencana alam yang tidak mampu

dan atau pakaiannya rusak/hilang, diberikan bantuan sandang berupa antara lain:

kain sarung, kain panjang, kaos, daster, pakaian anak, selimut, tikar dan lain-lain;

3. Bagi para korban bencana alam yang tidak mampu dan atau peralatan dapurnya

rusak/ hilang, diberikan bantuan peralatan dapur berupa: kompor, panci, tempat

12

Page 13: Isu Gender

nasi, wajan, piring, gelas, sendok dan lain-lain;….5. Penampungan Sementara.

Mendirikan tenda-tenda atau barak-barak untuk penampungan sementara para

korban bencana alam yang diungsikan. Tempat penampungan sementra harus aman

dari jangkauan bencana dan atau aman dan segi kesehatan dan keamanan.”

2. Sebagian kecil memasukkan kata gender, tetapi terkesan menempel tidak memperlakukannya sebagai cross-cutting issue.

Sebagian kecil memasukkan kata gender tetapi terkesan ’menempel’ tidak

memperlakukannya sebagai cross-cutting issue; tidak mempertimbangkan dan

mengintegrasikan isu gender ke dalam keseluruhan proses pengelolaan bencana pada

setiap tahapan (pra bencana; tanggap darurat; rekonstruksi, dan rehabilitasi). Pada

tingkat kebijakan, tidak menunjukkan keterkaitan antara kebijakan strategis ((UU;

PP; Inpres, RPJMN, dst), kebijakan managerial (SK. Menteri; Misi, Renstra,

Program kegiatan), dan kebijakan teknis (Pedoman; Manual, Rencana Aksi,

Mekanisme MONEV, data dan informasi, indikator, pencatatan pelaporan).

Misalnya, pada bagian Pendahuluan buku Pedoman Manajemen Sumber Daya

Manusia (SDM) Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana, Departemen Kesehatan

RI tahun 2006 dikatakan bahwa ”kebijakan penanganan krisis dan dan masalah

kesehatan merupakan bagian integral pembangunan kesehatan dengan visi

“Masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat” dan misinya “Membuat Rakyat Sehat”

Peningkatan profesionalisme, berdasarkan pola desentralisasi dan pengembangan

peran serta masyarakat melalui dukungan sumberdaya masyarakat dan potensi yang

ada. Kebijakan dilakukan adalah peningkatan kerjasama. Peningkatan kemampuan

sumberdaya manusia kesehatan, pemberdayaan masyararakat daerah bencana,

peningkatan mutu dan keterjangkauan pelayayanan kesehatan bagi korban bencana

serta meningkatkan bantuan kemanusiaan” Dari isi pendahuluan tersebut ada

beberapa poin yang dapat dijadikan fokus masalah isu gender. Pertama, menciptakan

masyarakat yang mandiri hidup sehat. Kedua, meningkatkan peran serta masyarakat.

Ketiga, profesionalisme. Beberapa pokok pikiran tersebut hendak diwujudkan dalam

pelatihan bagi tenaga pelayan kesehatan. Ketiga prinsip tersebut tidak terintegrasi

13

Page 14: Isu Gender

dalam isi buku pedoman tentang pelatihan penanganan kesehatan, khususnya dilihat

dari kurikulum.

Contoh lain dapat dilihat dalam buku pedoman yang dikeluarkan oleh Departemen

Kesehatan tahun 2007 tentang Kurikulum Peningkatan Kapasitas Petugas Teknis

Penanggulangan Bencana Alam. Dari tujuh materi inti pelatihan hanya satu yang

secara eksplisit mencantumkan gender yaitu pada materi “Penanganan Kesehatan

Reproduksi dan Pengarusutamaan gender”. Materi pelatihan tersebut memang syarat

dengan upaya penanganan bantuan yang mempertibangkan kepentingan gender.

Sedangkan 6 materi lainnya seperti; Manajemen Penanganan Air bersih, Manajemen

Penanganan Masalah Gizi Darurat, Manajemen Penanganan Kesehatan Jiwa, Sarana

Penunjang Kesehatan di RS Lapangan, Pengelolaan RS. Lapangan, masih bersifat

umum. Dari gambaran ini dapat disimpulkan bahwa pencantuman kata gender hanya

tempelan saja karena pada isi materi lainnya tidak memuat isu gender secara

kongkrit.

Kemudian pada bagian Pelatihan Pengelola Pelayanan Kesehatan Korban Bencana

Alam dinyatakan bahwa “….jumlah peserta sebanyak 30 orang”. Tidak menjelaskan

berapa komposisi lelaki dan perempuan, padahal pelayanan kesehatan sangat erat

berhubungan dengan kebutuhan kaum perempuan dan anak-anak. Komposisi

perempuan dan laki-laki perlu dijelaskan karena hasil pelatihan itu akan terkait

langsung dengan pelayanan yang akan diberikan kepada kelompok gender.

3. Dalam beberapa dokumen isu gender tercermin secara implisit tetapi tidak by design, atau tidak dirancang sebagai pendekatan khusus yang menekankan pengarusutamaan gender dalam pengelolaan bencana.

Pasal 1 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan

Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa “Pencegahan bencana adalah

serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko

bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak

yang terancam bencana”. Pada pernyataan tersebut isu gender secara implisit

dimasukkan dalam kata kerentanan, tetapi dalam keseluruhan dokumen tersebut isu

gender tidak merupakan pendekatan khusus sebagai suatu kebijakan pengelolaan

14

Page 15: Isu Gender

bencana. Kaum perempuan sebagai bagian dari kelompok rentan, hanya menjadi

bagian kecil dari kelmpok masyarakat yang perlu diperhatikan ketika terjadi peristiwa

bencana bukan sebagai subyek yang perlu dilibatkan secara aktif.

Pasal 28 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan

Pengelolaan Bantuan Bencana menyatakan bahwa “Bantuan darurat bencana untuk

pemenuhan kebutuhan dasar korban bencana diberikan dengan memperhatikan

standar minimal kebutuhan dasar dengan memperhatikan prioritas kepada kelompok

rentan”. Pada pasal ini juga isu gender hanya secara implisit dimasukkan sebagai

bagian dari pengelolaan bencana.

Isu gender tercermin secara implisit pada Pedoman Pemetaan dalam Penanggulangan

Bencana di Puskesmas yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Bina Kesehatan

Masyarakat, Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2006. dalam maksud

dan tujuan pemetaan, yaitu “mampu melakukan pemetaan berbagai komponen peta

antara lain jenis potensi bencana atau resiko bencana, sumber daya kesehatan,

masyarakat kelompok rentan beserta lokasinya, yang ada di wilayah kerja”. Dalam

pernyataan maksud dan tujuan tersebut pemetaan sumber daya kesehatan tidak

diuraikan secara spesifik tentang kepentingan gender, misalnya; dokter umum, dokter

anak, dokter kandungan, bidan, rumah sakit, rumah bersalin, dan sebagainya.

4. Isu gender tercermin dalam target atau kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk spesifik perempuan.

Misalnya dalam PP No. 21 pasal 55 ayat 2 tertulis, ”Kelompok rentan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Bayi, balita dan anak-anak; b. Ibu yang

sedang mengandung dan menyusui; c. Penyandang cacat dan d. Orang lanjut usia”

Ayat ini dipahami oleh BPNB sudah memperhatikan atau sensitif gender (FGD tim

peneliti yang dilakukan bersama BPNB dan Kementerian Negara Pemberdayaan

Perempuan di Jakarta, 15 September 2008).

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN BENCANA

A. Kasus Bencana Alam di Sumatera Barat

15

Page 16: Isu Gender

Sejak tahun 2005 hingga 2006 berbagai bencana alam telah melanda berbagai

daerah di Sumatera Barat. Bencana tersebut teridentifikasi dalam berbagai bentuk, yaitu

gempa bumi telah terjadi sebanyak 4 kali, bencana longsor 2 kali, abrasi pantai 1 kali.

Dari bencana tersebut tercatat banyak korban jiwa diantaranya; 12 orang meninggal, 4

orang luka berat, dan 20 orang luka ringan. Selanjutnya pada tahun 2007, bencana alam

kembali melanda beberapa wilayah di Sumatera Barat, khususnya yang terparah adalah

kenagarian Koto Tuo IV dan Kabupaten Agam; pemukiman warga yang rusak mencapai

300, baik rusak berat maupun ringan. Demikian pula kerusakan infrastruktur terjadi di

berbagai wilayah kabupaten/kota (Dinas Sosial Sumatera Barat, 2008).

Kebijakan penanganan dan pengelolaan bencana alam di Sumatera Barat belum

menunjukkan adanya program pentahapan secara sistemik dalam hal tahap-tahap pra-

bencana, tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Produk peraturan daerah belum

ada yang spesifik proaktif untuk menghadapi bencana alam. Permasalahan klasik yang

sering muncul dari pemerintah daerah adalah keterbatasan sumber dana untuk

mempersiapkannya, sehingga langkah yang sering dilakukan adalah penanganan

bencana yang bersifat umum pada saat bencana itu tiba.

Berkenaan dengan pentingnya mengakomodasi isu gender dalam kebijakan

pengelolaan bencana, studi kasus bencana alam di Sumatera Barat bertujuan untuk

menelaah sejauhmana perspektif gender tercermin dalam kebijakan penanganan dan

pengelolalan bencana di Sumetera Barat? Pada umumnya, pemahaman pihak pemerintah

dan masyarakat tentang konsep gender sangat terbatas. Gender dianggap sebagai

masalah perbedaan jenis kelamin atau lebih memberikan perhatian pada masalah

perempuan, sehingga kerap terjadi salah pengertian bahkan sinisme terhadap kaum

perempuan. Hal ini karena sosialisasi konsep gender pada jajaran pemerintah masih

terbatas, sehingga pertimbangan gender tidak diakomodasi dalam pembuatan kebijakan

maupun pengeloaan program.

Hasil kajian terhadap hal ini terpapar dalam empat fase kebijakan penanganan

bencana sebagai berikut:

1. Isu Gender pada Tahap Pra-Bencana

16

Page 17: Isu Gender

Secara umum, pemerintah daerah belum mampu menempatkan program-program

yang sensitif gender untuk menghadapi dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya

bencana. Studi-studi tentang pengarusutamaan gender untuk menghadapi berbagai

bentuk bencana alam yang potensial terjadi di Sumatera Barat belum dimanfaatkan

untuk merumuskan program dan tindakan yang prioritas dalam mengantisipasi bencana.

Ironisnya, hasil studi lapangan justru menunjukkan bahwa pertimbangan gender menjadi

perhatian utama dari berbagai LSM untuk mengantisipasi datangnya bencana. Bahkan,

beberapa LSM secara khusus mempunyai kelompok perempuan.

Praktis pada tahap pra-bencana tidak ada persiapan menghadapi bencana.

Masyarakat umumnya mengetahui informasi dari berbagai sumber bahwa Sumatera

Barat adalah daerah rawan bencana sehingga mereka dihimbau untuk selalu waspada

terhadap kemungkinan datangnya bencana. Sosialisasi tentang potensi bencana yang

mungkin terjadi di Sumatera Barat dilakukan pemerintah secara terbatas dengan alasan

keterbatasan dana. Oleh karena itu, program atau bantuan yang diberikan pemerintah

pada masa pra-bencana sebatas penyampaian informasi secara umum pada masyarakat

tentang posisi daerah Sumatera Barat sebagai daerah rawan bencana. Pemerintah daerah

menggunakan elemen-elemen organisasi pemerintah di tingkat bawah untuk

mengingatkan masyarakat akan potensi bencana alam di wilayah Sumatera Barat.

Permasalahannya adalah sistem itu kurang efektif karena dilaksanakan tanpa kebijakan

yang jelas sehingga tidak dapat terevaluasi dengan baik. Kebijakan pemerintah untuk

menyediakan program yang sensitif gender di masa pra-bencana belum terlaksana

dengan baik.

Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa dalam fase pra-bencana:

Keterlibatan Pemda lebih pada memberi informasi tentang titik rawan (zona merah)

agar masyarakat waspada.

Studi-studi mengenai bencana dan menghadapi bencana serta isu gender dalam

pengelolaan bencana sudah dilakukan, tetapi ’terisolasi’ di kalangan akademisi dan

belum dimanfaatkan.

Pertimbangan gender baru menjadi perhatian LSM, terutama LSM yang berkaitan

dengan pemberdayaan perempuan.

17

Page 18: Isu Gender

Masyarakat tidak ada persiapan spesifik mengadapi bencana, tetapi mendapat cukup

informasi tentang zona merah, yaitu daerah yang paling potensial menjadi kawasan

bencana alam berdasarkan kajian ilmiah Badan Meteorologi dan Geofisika.

Kebijakan pemerintah yang pro-gender pada tahap pra-bencana belum terpapar

setiap kali program diarahkan untuk mengantisipasi terjadinya bencana.

2. Isu Gender pada Tahap Tanggap Darurat

Pada tahap tanggap darurat, pelayanan yang diberikan oleh pemerintah bersifat

umum dan belum ada perhatian khusus pada isu gender. Prmerintah berkeyakinan bahwa

fase ini adalah fase di mana semua korban memerlukan bantuan dan perlakuan yang

sama. Kondisi ini dapat djelaskan dengan beberapa alasan:

1. Program kegiatan yang dilakukan pada saat tanggap darurat lebih berorientasi pada

pendekatan klinis, yaitu berupa pelayanan bermakna sempit yang bertumpu pada

penyelamatan secara umum (belum ada data terpilah), evakuasi warga, memberi

makanan untuk kebutuhan sementara (sembako), mengobati korban yang luka, dan

memulangkan mereka setelah bencana alam reda.

2. Pengarusutamaan gender dalam perumusan kebijakan belum mendapat perhatian

sehingga tanggup jawab pengelolaan bencana dianggap berhasil jika sudah

melakukan pelayanan secara umum kepada para korban bencana alam.

3. Pendekatan program kegiatan penanganan bencana saat tanggap darurat belum

berdasarkan pada aspek keberlanjutan dan penuntasan dalam menormalkan keadaan

para korban bencana alam, sehingga pertimbangan-pertimbangan gender relatif

terabaikan.

Pada lingkup keluarga, pelayanan bantuan penyelamatan sesungguhnya lebih

banyak dilakukan sendiri oleh anggota keluarga korban bencana. Keadaan ini sekaligus

memberi informasi bahwa Pemerintah belum mempunyai pilihan-pilihan kebijakan yang

memang secara spesifik sensitif gender. Selama ini, tindakan-tindakan kebijakan yang

dipilih lebih umum untuk memberi pertolongan pada korban bencana pada titik-titik

yang paling rawan saat bencana itu tiba. Alasan klasik yang banyak didapatkan dari

permasalahan ini adalah keterbatasan dana dan sumber daya yang dimiliki pemerintah.

Oleh karena itu, gerakan penyelamatan korban bencana berdasar gender secara umum

18

Page 19: Isu Gender

lebih banyak dilakukan pada tingkat keluarga itu sendiri untuk saling membantu

mengatasi resiko bencana yang terjadi.

Pada tingkat komunitas, permasalahan yang dialami para korban bencana alam

tidak berbeda. Tindakan yang lebih utama mereka lakukan adalah menolong keluarga

mereka sendiri. Bantuan yang diterima dari pemerintah saat bencana bersifat umum

(evakuasi dan pangan), sehingga isu gender tidak terakomodasi dalam pelaksanaan

program bantuan. Kepekaan gender dalam pemberian bantuan, justru dilakukan sendiri

oleh organisasi keluarga yang terkenan bencana dengan mendahulukan pertolongan pada

anak, isteri dan orang tua renta.

Meskipun program bantuan pemerintah dalam penanganan masih netral gender,

namun sensitifitas gender ditunjukkan oleh kelompok-kelompok LSM yang terlibat aktif

dalam menolong dan mengevakusi para korban bencana, terutama para korban yang

tidak berdaya seperti anak-anak, orang tua renta, dan kaum ibu yang tidak mampu

menolong dirinya. Peranan LSM saat tanggap darurat lebih dominan dalam melakukan

pelayanan bantuan yang berorientasi gender dibanding dengan peran lembaga-lembaga

pemerintah itu sendiri. Masalahnya kemudian adalah kerjasama dan koordinasi di

tingkat lapangan antara peran pemerintah dan LSM hampir tidak ada, sehingga

pelayanan bantuan sering tidak merata menjangkau para korban bencana.

Meskipun demikian, pada tanggap darurat penanganan bencana alam sebenarnya

sudah baik, tetapi pola penanganan yang terkait dengan isu gender belum terlihat,

semuanya bersifat umum seperti pembagian kebutuhan pangan. Masalah lain yang

dihadapi adalah distribusi bantuan belum dapat menjangkau semua korban bencana,

selain karena keterbatasan kemampuan dana pemerintah, juga disebabkan karena

ketidaktertiban pendataan administrasi kependudukan.

3. Isu Gender pada Tahap Rehabilitasi

Sebagaimana pada tahap sebelumnya, pada tahap rehabilitasi pun isu gender

luput dari perhatian. Peranan pemerintah pada tahap rehabilitasi lebih terfokus pada

bantuan fisik. Ketidakpekaan ini dilatarbelakangi oleh minimnya pengalaman

pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah tentang manajemen penanggulangan

bencana alam. Di samping itu, regulasi penanggulangan bencana yang dibuat oleh

19

Page 20: Isu Gender

pemerintah belum cukup memadai untuk mengakomodasi isu gender. Misalnya, dalam

sistem pendataan korban masih bersifat umum dan belum ada data terpilah, tidak

memunculkan katagori gender; jumlah laki-laki, perempuan, anak-anak, orang tua dan

sebagainya.

Pada tahap rehabilitasi, peranan LSM cukup aktif dalam mengumpulkan bantuan

dari para donor untuk disalurkan kepada masyarakat yang terkena bencana. Peranan ini

sangat positif, mengingat kemampuan pemerintah dalam pengelolaan program dan

bantuan sangat terbatas, baik dalam hal ketersediaan dana maupun sumber daya

manusia. Disamping itu, LSM juga aktif melakukan sosialisasi tentang resiko bencana,

terutama kepada ibu-ibu rumah tangga. Peranan LSM tidak hanya memfokuskan pada

penyaluran logistik, tetapi mengambil peran strategis, yaitu menawarkan pelbagai

program pelatihan untuk mengatasi masalah trauma bencana kepada kelompok

perempuan. Sementara pemerintah lebih banyak memberikan perhatian pada penyaluran

bantuan pembangunan fisik terutama rumah tinggal.

4. Isu Gender pada Tahap Rekonstruksi

Pada fase rekonstruksi bantuan kepada korban sudah berkurang bahkan boleh

dikatan sudah tidak ada. Para korban sudah kembali normal menjalani aktifitas hidup

sehari-hari seperti sediakala. Fase rekonstruksi tidak terdapat banyak perbedaan antara

peranan LSM dan peranan pemerintah. Dari segi variasi program dan kegiatan juga tidak

bertambah, hanya meneruskan program pada masa rehabilitasi. Perhatian pemerintah

lebih banyak difokuskan pada bantuan fisik yaitu kegiatan identifikasi dan perbaikan

tempat para korban.

Bantuan fisik dan keuangan yang diberikan oleh pemerintah lebih banyak

mengarah pada perbaikan rumah tempat tinggal yang sama sekali tidak mengakomodasi

isu gender. Bantuan fisik, perbaikan atau pengadaan rumah bagi korban bencana

pemerintah mengikuti standar teknis yang sudah baku, ada ruangan dan ada kamar

mandi dan disesuaikan dengan persedianan dana yang sangat terbatas.

Sementara itu, kelompok LSM pada fase ini aktif menawarkan program tentang

pelatihan untuk mengatasi masalah trauma bencana kepada kelompok perempuan.

Program yang dibuat oleh LSM lebih bersifat spontan, karena memang tidak

20

Page 21: Isu Gender

dilatarbelakangi oleh perspektif gender yang sengaja dipersiapkan secara sistematis.

Program LSM ini merupakan kesinambungan dari masa rehabilitasi, fokusnya lebih

banyak pada penyuluhan dan mengatasi trauma.

B. Kasus Bencana Luapan Lumpur di Sidoarjo

Tragedi bencana luapan lumpur panas yang melanda Kabupaten Sidoarjo yang

bersumber dari eksplorasi PT. Lapindo Brantas Inc. dimulai sejak tanggal 29 Mei 2006.

Tragedi tersebut telah menyebabkan kerugian yang tidak terhingga bagi masyarakat

Porong dan wilayah luapan lumpur lainnya di Kabupaten Sidoarjo. Volume lumpur

diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik per hari (setara dengan muatan

penuh 690 truk peti kemas berukuran besar). Akibatnya, semburan lumpur ini membawa

dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di

Jawa Timur. Jumlah korban akibat luapan lumpur pada Tahap I di Kecamatan Porong

mencapai 10.223 jiwa (2.655 KK) yang kemudian diungsikan ke Pasar Baru Porong.

Pada Tahap II luapan lumpur menjangkau Kecamatan Tanggulangin dan Jabon yang

memaksa lebih dari 12.000 jiwa juga harus mengungsi ke Pasar Baru Porong (Dinas

Kesejahteraan Sosial Kabupaten Sidoarjo, Juli 2008).

Berbagai fasilitas publik seperti jalan, sekolah, saluran irigasi dan ratusan

rumah penduduk terbenam lumpur. Dampak sosial, ekonomi dan lingkungan menjadi

konsekuensi logis yang harus dibayar warga masyarakat korban musibah luapan lumpur

panas. Beberapa perusahaan yang berada di sekitar sumber luapan lumpur ekplorasi PT.

Lapindo Brantas telah menjadi korban dan praktis mengganggu aktivitas dan kinerja

perindustrian yang mempengaruhi perekonomian di Kabupaten Sidoarjo, seperti

semakin meningkatnya angka pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja yang tak

terhindarkan.

Menanggapi permasalahan luapan lumpur dengan segala dampak sosial

ekonomi, dan lingkungan yang semakin kompleks, pemerintah melalui Peraturan

Presiden Nomor 14 Tahun 2007 membentuk suatu badan khusus yang sifatnya jangka

panjang yaitu Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang bertugas

menangani persoalan infrastruktur atas dampak luapan lumpur. Di samping itu, Presiden

juga menunjuk beberapa menteri yang ditugasi untuk menangani musibah ini, di

21

Page 22: Isu Gender

antaranya Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Lingkungan Hidup, dan Menteri Energi

dan Sumberdaya Mineral (ESDM).

Dalam Peraturan Presiden tersebut pemerintah menginstruksikan agar PT.

Lapindo Brantas bertanggung jawab membeli lahan dan menangani dampak sosial

terhadap masyarakat yang masuk dalam wilayah peta terdampak seluas 615 hektar yang

terdiri dari 7 desa, yang merupakan wilayah paling dekat dengan pusat semburan

lumpur. Sedangkan untuk wilayah di luar peta terdampak, menurut pasal 15 (3) Perpres

tersebut, pelaksanaan ganti rugi akan dibayar oleh APBN.

1. Isu Gender pada Tahap Pra-Bencana

Secara normatif, program sosialisasi untuk mempersiapkan warga masyarakat

menghadapi bencana sudah ada meskipun tidak sensitif gender, misalnya sebagaimana

tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan

Penaggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 Tentang

Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana. Bahkan, dalam kebijakan pembangunan

Kabupaten Sidoarjo, Pemerintah Kabupaten menjadikan isu gender sebagai

pengarusutamaan dalam pembangunan sebagaimana tercantum dalam Instruksi Bupati

Sidoarjo Nomor 1 Tahhun 2004. Tetapi dalam tahap implementasi khususnya berkaitan

dengan penanggulangan bencana, sosialisasi gender terhadap masyarakat dalam

menghadapi bencana belum menjadi program prioritas kerena daerah ini sebelum

terjadinya peristiwa bencana luapan lumpur tidak termasuk dalam peta daerah rawan

bencana. Terjadinya bencana luapan lumpur tidak diperkirakan sebelumnya dan

dianggap bukan sebagai bencana alam biasa, tetapi merupakan akibat kesalahan operasi

PT. Lapindo Brantas

Kondisi daerah Sidoarjo yang tenteram dan tidak termasuk dalam peta daerah

rawan bencana menyebabkan warga masyarakat kurang peduli dan tidak mempunyai

pengetahuan yang cukup tentang bagaimana cara-cara menghadapi bencana, termasuk di

dalamnya peran gender. Peristiwa bencana luapan lumpur yang terjadi secara tiba-tiba,

menyebabkan tidak ada pelayanan persiapan baik yang dilakukan oleh pemerintah,

swasta, LSM, maupun masyarakat pada umumnya. Isu gender tidak terakomodasi dan

tidak terintegrasi sama sekali dalam tahap persiapan menghadapi bencana.

22

Page 23: Isu Gender

2. Isu Gender pada Tahap Tanggap Darurat

Pada tahap tangggap darurat, Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui

Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor: 360/1417/031/2006 tanggal 27 Juni 2006,

memberikan pelayanan dan program dalam upaya penyelematan korban bencana lumpur

Sidoarjo di bawah koordinasi SATKORLAK. Dalam tahap ini, tindakan evakuasi

terhadap warga yang berada di daerah semburan lumpur dilakukan dan dikonsentrasikan

pada suatu tempat guna memudahkan penyediaan fasilitas umum pendukung serta

sarana dan prasarana penunjang antara lain; Posko Satkorlak, lokasi pengungsian

korban, Dapur Umum, penyediaan air bersih, sarana/ prasarana belajar mengajar

sementara, pos kesehatan.

Pelayanan tersebut diberikan kepada seluruh korban bencana dengan

pertimbangan bahwa pemberian bantuan tersebut merupakan prioritas utama yang paling

dibutuhkan warga korban saat itu untuk menyelamatkan jiwa dan sebagian harta benda

mereka. Selain itu, kelangsungan hidup mereka terutama yang berkaitan dengan

pemenuhan kebutuhan dasar, seperti; makan, kesehatan, pendidikan anak, sanitasi, air

bersih, merupakan kebutuhan yang harus diutamakan karena mereka tidak mungkin bisa

memenuhinya sendiri dalam suasana kepanikan.

Pada tahap tanggap darurat tidak ada isu gender yang mengemuka dalam

program/ bantuan yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur terhadap korban

bencana. Semua pelayanan diberikan secara umum kepada seluruh korban bencana tanpa

mempertimbangkan aspek gender. Namun demikian, pertimbangan gender lebih

mengemuka dalam program pelayanan yang diberikan oleh Badan Keluarga Berencana,

Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (BKBPMP), diantaranya adalah::

Pembuatan Posko Peduli Perempuan dan Anak Pengungsi Korban luapan lumpur

dan membantu pelayanan distribusi barang kebutuhan perempuan dan anak.

Kegiatan pendampingan psikososial perempuan dan anak pengungsi korban luapan

lumpur.

Operasional Mobil Media Informasi Keliling (MONIK) perempuan dan anak

berperspektif gender bagi pengungsi korban musibah luapan lumpur.

23

Page 24: Isu Gender

Program Pemberdayaan Perempuan Pengembang Ekonomi Lokal (P3EL) pada masa

pengungsian.

Peran Pemerintah Daerah dalam penanggulangan bencana hanya dilakukan

pada tahap tanggap darurat, karena dalam perkembangan selanjutnya penanganan

bencana dilaksanakan oleh Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di

Sidoarjo sebagaimana Keputusan Presiden RI Nomor: 13 Tahun 2006, kemudian pada

tanggal 8 April 2007 tugas Tim Nasional digantikan oleh BPLS sebagaimana Peraturan

Presiden RI Nomor: 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.

Dengan demikian, dalam tahapan penangan bencana selanjutnya (Rehabilitasi dan

Rekonstruksi) Pemerintah Daerah tidak terlibat secara langsung, melainkan hanya

sebatas mengawasi dan membantu memfasilitasi kepentingan warga korban dengan

BPLS/ PT. Lapindo Brantas Inc.

Selain pemerintah, pemberian pelayanan dalam rangka penanggulangan korban

akibat bencana juga melibatkan beberapa komponen masyarakat, seperti LSM dan

organisasi komunitas/ lokal. Ada tiga organisasi/ lembaga komunitas yang menjadi

narasumber dalam studi ini, yaitu Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A);

Posko Keadilan, dan Perkumpulan Aisyiah. Pelayanan yang diberikan oleh ketiga

lembaga/ organisasi kemasyarakatan tersebut lebih sensitif gender. Program-program

yang dirancang diorientasikan untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan dan

anak. Dalam tahap implementasi, pelayanan tersebut dilakukan bekerjasama dengan

pemerintah Sidoarjo, swasta, dan kaum professional dalam bentuk pelatihan, pusat

konsultasi, advokasi, pelayanan kesehatan, dan bantuan barang yang sensitif gender.

Isu gender cukup terakomodasi dalam tahap tanggap darurat, tetapi dalam

pelaksanaannnya tidak terintegrasi dengan baik. Pemerintah melalui BPLS tidak tanggap

terhadap isu gender, sementara pemerintah daerah dan LSM sangat responsif gender

meskipun kurang terimplementasi sepenuhnya dalam program karena keterbatasan dana

dan kurang mendapat tanggapan dari korban yang lebih mementingkan ganti rugi atas

kehilangan tempat tinggal.

3. Isu Gender pada Tahap Rehabilitasi

24

Page 25: Isu Gender

Pada tahap rehabilitasi, secara operasional Pemerintah Daerah Jawa Timur dan

Kabupaten Sidoarjo tidak memberikan bantuan atau pelayanan yang bersumber dari

APBD, karena berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, penangangan

bencana Lumpur Sidoarjo diambil alih oleh BPLS. Ada tiga tugas utama atau program

pelayanan yang menjadi tanggung jawab BPLS: (1) Melakukan penanggulangan luapan

lumpur; (2) Mengatasi dampak sosial kemasyarakatan; (3) Membangun infrastruktur.

Pada tahap rehabilitasi, pelayanan yang diberikan oleh BPLS adalah

memberikan penggantian kerugian atas kehilangan tempat tinggal kepada para korban

akibat luapan lumpur sesuai dengan nilai yang disepakati antara BPLS dan korban

bencana. Selain itu, dalam upaya rehabilitasi korban, BPLS juga memberi bantuan

berupa pemberian uang tunai untuk jatah hidup (Jadup) kepada setiap korban sebesar

300 rupiah per bulan yang diserahkan lepada setiap kepala keluarga, serta pemberian

bantuan uang kontrak sebesar 5 juta rupiah untuk dua tahun dan ditambah uang pindah

rumah sebesar 500 ribu rupiah.

Program pelayanan lain yang diberikan oleh BPLS adalah penyelenggaraan

pelatihan kerja bagi 400 orang pemuda melalui penyeleksian. Ir. Cahyono, Deputi III

Bidang Sosial BPLS mengatakan, “…pelatihan ini hanya diberikan kepada kaum laki-

laki karena mereka paling bertanggung jawab sebagai pencari nafkah dan diberikan

untuk jumlah yang terbatas karena dananya juga terbatas”. Dengan demikian, isu gender

tidak mendapat perhatian yang serius dalam pemberian pelayanan yang diberikan oleh

BPLS.

Meskipun ada regulasi yang berkaitan dengan tanggung jawab penanggulangan

bencana lumpur Sidoarjo, namun tidak membatasi komitmen Pemerintah Sidoarjo

(BKBPMP), LSM dan Organisasi Kemasyarakatan untuk tetap membantu dan

memberikan dukungan sepenuhnya terhadap korban bencana terutama kaum permpuan.

Pada tahap rehabilitasi, BKBPMP bekerjasama dengan Pusat Perlindungan Perempuan

dan Anak (P3A), dan Pusat Studi Wanita Universitas Airlangga mengupayakan

pemulihan sumber-sumber penghidupan keluarga yang terkena dampak bencana melalui

program (P3EL) Pasca Pengungsian dalam bentuk kegiatan:

Penelusuran dan penilaian sumber-sumber penghidupan secara cepat.

25

Page 26: Isu Gender

Penguatan kapasitas dan pelatihan bagi fasilitator Pemerintah, LSM, dan Ormas

setempat.

Pelatihan Persiapan Sosial Kelompok

Pelatihan keterampilan usaha mikro

Bantuan modal usaha

Tetapi upaya tersebut kurang membuahkan hasil yang optimal. Hal ini

disebabkan oleh:

Belum pulihnya kemauan dan semangat bangkitnya korban dari trauma dan

keterpurukan.

Mobilitas korban yang masih sering berpindah-pindah tempat tinggal sehingga sulit

teridentifikasi.

Lokasi program P3EL belum tersebar ke seluruh desa/ kelurahan se Kabupaten

Sidoarjo dan ada kemungkinan tempat tinggal baru korban belum terjangkau oleh

program.

Keterbatasan kemampuan pendanaan pemerintah kabupaten (BKBPMP).

LSM dan Organisasi Kemasyarakatan juga terlibat dalam program pelayanan

dalam bentuk penguatan mental dan pelatihan keterampilan sebagai bekal buat para

korban menjalani kehidupan di tempat tinggalnya yang baru. Akan tetapi, program

pelayanan ini seringkali tidak diterima dengan mudah oleh para korban. Mereka

beranggapan bahwa program pelayanan tersebut kurang memberikan manfaat dan

mereka lebih menghendaki disegerakannya pembayaran ganti rugi atas kehilangan

tempat tinggal yang sangat penting bagi kelangsungan hidupnya.

Isu gender dalam tahap rehabilitasi sudah terakomodasi dalam beberapa

program pelayanan, khususnya yang dilakukan oleh BKBPMP, P3A, dan beberapa

organisasi sosial lokal, tetapi tidak terintegrasi sebagai kebijakan atau program yang

terencana dan terkoordinasi, di mana BPLS sebagai pemegang otoritas dalam

penanggulangan dampak luapan lumpur tidak merespons isu gender dalam tahap

rehabilitasi ini, sehingga pelayanan yang diberikan oleh instansi/ lembaga di luar BPLS

berjalan sendiri tanpa ada koordinasi dan tidak terintegrasi dengan program BPLS.

4. Isu Gender pada Tahap Rekontruksi

26

Page 27: Isu Gender

Prioritas program dalam tahap rekonstruksi lebih terfokus pada pembangunan

fisik dan penggantian kerugian harta benda kepada para korban, sehingga isu gender

pada tahap ini tidak mendapat perhatian sama sekali dari pihak BPLS.

Dalam tahap rehabilitasi LSM, Organisasi Kemasyarakatan, dan lembaga

donor, tidak lagi menunjukkan peran yang besar. Hal ini bukan karena mereka tidak lagi

memperhatikan kepentingan korban bencana, tetapi lebih disebabkan oleh adanya

penolakan dari korban dan juga kesulitan melakukan mobilisasi terhadap korban yang

sudah pindah dari pengungsian dan menempati rumah tinggalnya yang baru dari hasil

penggantian. Penolakan terhadap bantuan dari LSM maupun organisasi kemasyarkatan

oleh para korban karena dinilai oleh korban bahwa bantuan tersebut kurang bermanfaat

dan tidak membantu mengatasi masalah mereka yang sesungguhnya. Sebagaimana

dikatakan oleh Dodi (korban bencana), ”.....program bantuan yang saya dapatkan tidak

mengatasi masalah yang sebenarnya; pelatihan yang diikuti juga tidak memberikan

manfaat.... sampai saat ini saya masih tidak punya pekerjaan yang jelas.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Terletak di ‘sabuk bencana Pasifik’ dengan perubahan iklim global yang semakin

intens, Indonesia menghadapi bencana alam dengan intensitas yang semakin menaik.

Oleh sebab itu, suatu pengelolaan bencana yang komprehensif adalah suatu keniscayaan.

Pemerintah telah mengeluarkan beberapa piranti hukum, UU Nomor 24 Tahun 2007

tentang Penanggulangan Bencana; diikuti dengan tiga buah Peraturan Pemerintah (PP)

yaitu PP Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana; PP

Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bencana; PP Nomor 23

Tahun 2008 tentang Peranserta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing

Nonpemerintah dalam Penanggulangan Bencana. Selanjutnya, untuk pengaturan

kelembagaan di tingkat nasional pemerintah telah mengelurakan Peraturan Presiden

Nomer 8 Tahun 2008 tentang pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana

(BPNB).

Sebelum BPNB dibentuk kordinasi penanganan bencana di tingkat nasional

ditangani oleh Bakornas, di tingkat propinsi oleh Satkorlak dan ditingkat

27

Page 28: Isu Gender

Kabupaten/Kota ditangani oleh Satlak. Sejak Tsunami Aceh banyak sektor menangani

bencana sesuai dengan tugas dan fungsinya, demikian juga halnya dengan organisasi

masyarakat. Berbagai macam pedoman, panduan, manual, Standar Operasi Prosedur

(SOP) telah dikeluarkan oleh masing-masing sektor.

Dari hasil telaah piranti hukum, dokumen yang dikeluarkan sektor dan beberapa

lembaga, memperlihatkan bahwa: (1) hampir semua piranti hukum dan dokumen yang

ditelaah bersifat netral gender; tidak mengintegrasikan isu gender ke dalam pengelolaan

bencana, baik secara eksplisit maupun implisit; (2) sebagian kecil memasukan kata

gender, tetapi terkesan ’menempel’, karena tidak memperlakukan gender sebagai cross-

cutting issue. (3) lainnya isu gender tercermin secara implisit, tetapi tidak by design; (4)

Isu gender tercermin dalam target atau kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk spesifik

perempuan.

Hasil kajian di lapangan, yaitu di Padang dan Sidoarjo, memperlihatkan bahwa

tanggapan terhadap isu gender dalam pengelolaan bencana beragam sifatnya.

1. Di Padang:

Keterlibatan Pemda lebih pada memberi informasi, termasuk tempat-tempat titik

rawan bencana (zona merah) agar masyarakat waspada.

Studi-studi mengenai bencana dan menghadapi bencana serta isu gender dalam

pengelolaan bencana, sudah dimulai, tetapi hasilnya masih ’terisolasi’ di

kalangan akademisi, belum dimanfaatkan luas.

Kelompok LSM dan akademisi/ peneliti gender cukup berperan dalam

’mewarnai’ pengelolaan bencana dengan isu gender. Khususnya yang berkaitan

dengan penyuluhan-penyuluhan ke masyarakat serta penelitian di daerah

bencana. Mereka juga ikut memberikan rekomendasi yang berkaitan dengan

gender dalam pengelolaan bencana. Tetapi pihak otoritas/ pemerintah daerah

masih kurang memberi tanggapan.

Masyarakat umum belum mempunyai persiapan spesifik mengadapi bencana,

tetapi sudah mendapat cukup informasi tentang zona merah

2. Di Sidoarjo

28

Page 29: Isu Gender

Keterlibatan Pemda Sidoarjo dalam pengelolaan bencana terbatas. Sesuai dengan

Keputusan Presiden RI No. 13 tahun 2006, pengelolaan bencana diambil alih

oleh Tim Nasional Penanggulan Semburan Lumpur. Kemudian diganti oleh

BPLS sesuai dengan Keputusan Presiden RI No. 14 Tahun 2007 . Semua

pelayanan/ pengelolaan bencana bersifat umum, lebih menekankan pada

pengelolaan fisik; tidak mempertimbangkan isu gender dan tingkat kerentanan.

Pertimbangan gender menjadi perhatian LSM, terutama LSM yang berkaitan

dengan pemberdayaan perempuan. Isu gender justru lebih menjadi kepedulian

Organisasi Kemasyarakatan dan LSM yang berkaitan dengan pemberdayaan

perempuan. Kegiatan mereka banyak memfasilitasi kebutuhan korban,

khususnya yang berkaitan dengan bantuan materi (sandang, pangan), layanan

kesehatan, Counseling, bimbingan agama, pendampingan para korban, dengan

fokus perempuan dan anak.

Kalangan akademisi juga melakukan kajian, misalnya yang berkaitan dengan

aspek trauma dari kejadian ’lumpur Sidoarjo’ ini.

Permasalahanya adalah isu gender belum diangkat ke tingkat kebijakan strategis

maupun kebijakan managerial. Di tingkat kebijakan teknis isu gender sudah mulai

diangkat, meskipun masih terfokus pada isu perempuan ketimbang isu gendernya,

seperti yang telah dilakukan oleh Organisasi Kemasyarakatan, LSM maupun kalangan

Perguruan Tinggi, akan tetapi masih terbatas cakupanya.

Padahal melaksanakan gender mainstreaming adalah mandatori untuk semua

usaha pembangunan, termasuk pengelolaan bencana (Instruksi Presiden No.9 /2000).

Hasil kajian yang dilakukan dan juga kajian lain memperlihatkan kentalnya isu gender

dilapangan,yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan bencana.

Masalah yang harus menjadi perhatian adalah:

1. Pemahaman yang masih rancu tentang apa itu gender; mengapa gender masuk

dalam pengelolaan bencana; apalagi jika harus mengintegrasikan bagaimana gender

ke dalam pengelolaan bencana. Keengganan untuk mengintegrasikan gender ke

dalam pengelolaan bencana seringkali bersumber karena ketidak-tahuan; kerancuan

dalam memahami konsep gender dan pengarusutamaan gender

29

Page 30: Isu Gender

2. Penanggulangan dan pengelolaan bencana masih bersifat netral gender. Umumnya

para penglola merasa bahwa bencana tidak ’berkelamin’ sebab itu pengelolaan

bencana dimaksudkan untuk semua anggota masyarakat, tanpa harus memperhatikan

kebutuhan atau pengalaman perempuan atau laki-laki.

3. Pengelolaan bencana yang komprehensif dan terintegrasi merupakan hal yang baru,

belum tersosialisasi dengan baik.

4. Dengan adanya otonomi daerah, kebutuhan masyarakat di kala bencana maupun

pasca bencana seharusnya lebih ’dekat’ terpantau; tetapi dalam kenyataan tidak

selalu demikian. Bahkan di daerah yang mengalami bencana sekalipun kebutuhan

serta pengalaman para korban (perempuan) kurang menjadi pertimbangan.

Rekomendasi

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengintegrasikan isu gender

sebagai cross-cutting issue ke dalam pengelolaan bencana:

1. Di tingkat pengelola. Idealnya semua kebijakan di tingkat kebijakan strategis,

kebijakan managerial dan kebijakan teknis yang belum mengintegrasikan isu

gender, direvisi agar gender ditempatkan sebagai cross-cutting issue.

2. Di tingkat kebijakan teknis. Isu gender dapat diintegrasikan ketika kebijakan

managerial dijabarkan menjadi kebijakan teknis, dalam bentuk manual, pedoman,

rencana aksi, protap maupun indikator.

3. Dikeluarkanya Surat Keputusan atau Instruksi dari pimpinan lembaga/ sektor/

Perda/ Surat Bupati/ Walikota tentang keharusan pengarusutamaan gender dalam

pengelolaan bencana, yaitu sebagai cerminan dari political will dan dukungan

nyata pimpinan. Untuk itu diperlukan advokasi dan sosialisasi isu gender dalam

pengelolaan bencana.

4. Pengelolaan bencana, meskipun menjadi tanggung-jawab pemerintah, harus

melibatkan peran serta masyarakat serta pihak swasta, media dan lembaga terkait

lainya seperti Perguruan Tinggi/ PSW/ pakar gender, dalam mengembangkan

kebijakan strategis, managerial dan teknis yang responsif gender

5. Di tingkat masyarakat. Menempatkan perempuan (survivor) bukan hanya sebagai

obyek, tetapi menempatkan mereka sebagai ‘change of agent’ dalam mengurangi

30

Page 31: Isu Gender

bencana maupun dalam pengelolaan bencana. Perempuan medapat peran aktif

dalam pengambilan keputusan dan pengelolan bencana, sehingga kebutuhan,

pengalamanya ’terdengar’ dan terakomodasi dalam pengelolaan bencana.

6. Akses informasi dan edukasi KIE bagi masyarakat, khususnya bagi perempuan dan

kelompok rentan.

7. Kearifan lokal dalam pengelolaan bencana sebagai bagian dari pengelolaan

bencana.

DAFTAR BACAAN

Buku:

Bemmelen, Sita van. 1995. “Gender dan Pembangunan; Apakah yang Baru?” dalam Kajian Wanita dalam Pembangunan. TO Ihromi (Ed). Jakarta. Yayasan Obor.

Dun, william. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Edi Suharto. 2005. Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Alfabeta. Bandung.

Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. 2001. Bunga Rampai Bahan Pembelajaran Pelatihan Pengarusutamaan Gender Bidang Kesehatan Reproduksi dan Kependudukan, Jakarta.

Mansour Fakih. 2005. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Sjaifudin, H. 1996. “Sensitifitas Gender Dalam Perumusan Kebijakan Publik”. Jurnal Analisis Sosial. Edisi 4, November 1996.

Dokumen, Undang-Undang, Buku Pedoman:

1. Peraturan Pemerintah RI No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

2. Peraturan Pemerintah RI No. 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan Dan Pengelolaan Bantuan Bencana

3. Undang-undang RI No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana

31

Page 32: Isu Gender

4. Pedoman Bantuan Santunan Bagi Ahli Waris Keluarga Korban yang Meninggal Dunia Akibat Bencana Alam, Direktorat bantuan Sosial Korban Bencana Alam, Departemen Sosial RI, 2007

5. Pedoman Pemetaan dalam Penanggulangan Bencana di Puskesmas, Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, 2006

6. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana (Mengacu pada standar internasional) – Panduan bagi Petugas Kesehatan yang bekerja dalam Penanganan Krisis Kesehatan Akibat Bencana di Indonesia, Departemen Kesehatan RI, 2007

7. Kesehatan Reproduksi Bagi Pengungsi (Referensi Bagi Pengelolaan Program), Departemen Kesehatan RI dan World Health Organization, 2003

8. Pedoman Umum Bantuan Sosial Korban Bencana Alam, Departemen Sosial RI Tahun 2005

9. Panduan Rehabilitasi Sosial Korban Bencana Sosial, Departemen Sosial RI Direktorat Jendral Bantuan dan Jaminan Sosial Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial, 2006

10. Pedoman Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas, Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial, Direktorat bantuan Sosial Korban Bencana Alam, 2005

11. Pedoman Pelatihan Taruna Siaga Bencana (Tagana), Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial, Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Alam, 2005

12. Keputusan Presiden RI No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Penaggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi dan Keputusan Presiden RI No. 111 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, Sekretariat Bakornas PBP, 2001

13. Pedoman Umum Penanganan/ Penanggulangan Dampak Bencana dan Kemiskinan Tahun 2007, Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian, 2007

14. Membaca Strategi dan Kebijakan Penanganan Bencana di Indonesia, Departemen Komunikasi dan Informasika Badan Informasi Publik Pusat Informasi Kesejahteraan Rakyat, 2007

15. Panduan Tim Rehabilitasi Psikososial Korban Bencana Alam, Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jamian Sosial, Direktorat Bantuan Sosial KTK dan PM, 2008

16. Kebijakan Teknis Penanggulangan Korban Bencana Sosial, Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial Departemen RI, 2006

17. Pedoman TRC Tim Reaksi Cepat, Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial, Direktorat bantuan Sosial Korban Bencana Alam, 2005

32

Page 33: Isu Gender

18. Pedoman Nasional Manajemen Bencana di Indonesia, Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Kemanan RI, 2005

19. Taruna Siaga Bencana (Youth Disaster Preparedness Unit) Sebagai Gugus Tugas Penanggulangan Bencana Berbaasis Komunitas (disusun oleh Peserta Pemantapan Taruna Siaga Bencana (TAGANA) Nasional sebagai masukan untuk penanggulangan bencana berbaasis masyarakat diselenggarakan oleh Departemen Sosial RI tanggal 3 s/d 7 April 2006, di Lembang Bandung, Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial, Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Alam, 2006

20. Partisipasi Perempuan dalam Penyelesaian Konflik dan bencana di Provinsi Nangroe Aceh Darusalam, Kerjasama Biro Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, 2006

21. Pedoman Bantuan Bahan Bangunan Rumah (BBR)/ Rumah Tumbuh untuk Korban Bencana Alam, Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Alam Departemen Sosial RI, 2007

22. Pedoman Teknis Manajemen Gudang Penanggulangan Bencana, Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Alam Departemen Sosial RI, 2005

23. Pedoman Komunikasi Penanggulangan Bencana Bantuan Sosial, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Alam, 2004

24. Pedoman Pengelolaan Bantuan Beras Untuk Korban Bencana, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Alam, 2004

25. Kurikulum Peningkatan Kapasitas Petugas Teknis Penanggulangan Bencana, Pusat Penanggulangan Krisis (PPK) Departemen Kesehatan – RI, 2007

26. Pedoman Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana, Departemen Kesehatan RI, 2006

27. Pedoman Pengelolaan Bantuan Sosial Lauk Pauk Untuk Korban Bencana Alam, Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Alam, 2006

28. Pedoman Bantuan Santunan Bagi Ahli Waris Keluarga Korban yang Meninggal Dunia Akibat Bencana Alam, Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Alam Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial, Departemen Sosial RI, 2006

29. Panduan Assertive Training dalam Penanganan Korban Kebakaran, Departemen Sosial RI Direktorat Jendral Bantuan dan Jaminan Sosial Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial, 2006

30. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Lingkungan Hidup (tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut serta Pengendalian Pencemaran Udara, Departemen Komunikasi dan Informasi RI Badan Informasi Publik Pusat Informasi Kesehatan Rakyat, 2006

33

Page 34: Isu Gender

31. Penanggulangan Bencana Alam dalam Perspektif Agama di Indonesia, Departemen Komunikasi dan Informasi RI Badan Informasi Publik Pusat Informasi Kesehatan Rakyat, 2007

32. Penilaian Cepat Masalah Kesehatan pada Kejadian Bencanan (Rapid Health Assessment), Departemen Kesehatan RI, 2005

33. Pedoman Sistem Informasi Penanggulangan Krisis Akibat Bencana, Pusat Penanggulangan Krisis, Departemen Kesehatan, 2006

34. Pedoman Teknis Standardisasi Bantuan Sosial Korban Bencana Alam, Departemen Sosial RI, 2005

35. Panduan Kegiatan Sosialisasi Deteksi Dini Rawan Bencana Sosial, Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Alam, 2007

36. Pedoman Bantuan Sosial Bagi Warga Negara Indonesia Terlantar Dalam dan Luar Negeri serta Pelintas Batas Antarnegara, Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial, Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial, 2006

37. Pengembangan Program Penanggulangan Bencana Sosial (Edisi II), Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial, Departemen Sosial RI, 2006

38. Laporan Penelitian Pengembangan Model Partisipasi Perempuan Dalam Penanganan Konflik di Kabupaten Poso, Kerjasama Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Poso dengan Pusat Studi Pengembangan Masyarakat Ilmiah (PSPMI) Universitas Sintuwu Maroso Poso, 2006

34