iv. hasil dan pembahasan - repository.ipb.ac.id · sirkulasi darah, misalnya pada ... dan...
TRANSCRIPT
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Evaluasi Data Kematian Ayam
Tanaman obat Sirih Merah (Piper crocatum) secara umum memiliki
potensi sebagai bahan pendukung (prekursor) untuk menangkal infeksi virus AI
H5N1 ke sel target pada ayam. Berdasarkan data kematian ayam yang diberi
ekstrak sirih merah kemudian diuji tantang dengan virus H5N1 ekstrak sirih
merah dalam komposisi tunggal mampu menghambat kematian ayam sebesar
62.5% setelah uji tantang virus H5N1 hingga hari ke 7 yakni dari 8 ayam yang
diinfeksi 3 ayam mati pada hari ke- 7 post infeksi. Walaupun demikian
kemampuan ekstrak sirih merah dalam menahan infeksi virus H5N1 masih harus
dilakukan kajian lebih lanjut lagi. Oleh karena itu ketika ekstrak sirih merah ini
terbukti dapat menghambat kematian ayam hingga hari ke-7 post infeksi, maka
sejauh mana esktrak sirih merah tersebut dapat dimetabolisme dengan baik di
dalam tubuh ayam, dan efek samping terhadap perubahan-perubahan patologis
secara mikroskopik. Oleh karena itu kajian lebih lanjut dilakukan dengan melihat
gambaran histopatologi pada organ hati dan ginjal baik diakibatkan secara
langsung ataupun tidak langsung oleh virus H5N1 dan ekstrak sirih merah.
Tabel 1 Jumlah Kematian Pada Ayam yang Ditantang Virus AI H5N1
Ekstrak
Tanaman
Obat
Jumlah
Ayam
Jumlah ayam mati pada hari ke-
setelah tantangan Virus AI
Persentase
Kematian
(%)
1 2 3 4 5 6 7
Kelompok P1 8 - - - - - - 3 37,5
Kelompok K1 8 - - - - - - 8 100
Dalam penelitian ini sebelumnya telah dilakukan analisa kandungan bahan
kimia sirih merah menggunakan metode Gas kromatografi spektrometri massa
(GC-MS) menunjukkan kadar komponen kimia yang terdapat di dalam kandungan
tanaman obat sirih merah dirangkum dalam Tabel 2.
Tabel 2 Analisa Kandungan Bahan Kimia Tanaman Obat Dengan Metode Gas
Kromatografi Spektrometri Massa (GC-MS)
No. Tanaman Obat Komponen Kimia Konsentrasi
( ≥ 0,5 % )
1. Sirih Merah 1. Chavikol
2. Chavibetol
3. 5-amino-1,2,4-triazole
0,78
1,39
5,75
Sumber : (Setiyono et al. 2008)
Carvacrol, eugenol dan chavibetol merupakan isomer dari eugenol, sebagai
komponen antibakteria paling aktif. Mekanisme kerja komponen tersebut yakni
dengan merusak membran sitoplasma dan mengkoagulasi isi sel. Selain itu
chavibetol dan chavicol pun merupakan salah satu komponen yang mempunyai
peranan penting sebagai antioksidan. Antioksidan adalah substansi yang
diperlukan tubuh menetralisir radikal bebas dan mencegah kerusakan yang
ditimbulkan oleh radikal bebas dengan melengkapi kekurangan elektrolit yang
dimiliki radikal bebas dan menghambat terjadinya reaksi berantai dari
pembentukan radikal bebas yang dapat menimbulkan stres oksidatif. Radikal
bebas merupakan jenis oksigen yang memiliki tingkat reaktif yang tinggi dan
secara alami ada di dalam tubuh sebagai hasil dari reaksi biokimia tubuh, radikal
bebas juga terdapat di lingkungan sekitar kita yang berasal dari polusi udara, asap
tembakau, penguapan alkohol yg berlebihan, bahan pengawet dan pupuk, sinar
ultr violet, x-rays dan ozon (Rachmawati 2010). Sedangkan menurut Han et al.
(2006) antioksidan merupakan molekul yang mempunyai fungsi sebagai pengikat
radikal bebas yang ada di dalam tubuh maupun sel, selain itu antioksidan pun
mempunyai peranan dalam meningkatkan sistim imun tubuh.
2. Hasil Evaluasi Histopatologi Hati
Berdasarkan hasil evaluasi histopatologi perubahan terjadi pada seluruh
kelompok baik kelompok kontrol positif maupun kelompok perlakuan. Berikut
persentase hasil skoring histopatologi organ hati dirangkum dalam Tabel 3.
Tabel 3 Persentase lesio histopatologi organ hati pada setiap perlakuan setelah
pemberian ekstrak ethanol sirih merah dan di uji tantang dengan virus AI
H5N1
Kode SKOR
Perlakuan Perlakuan
Lesio Histopatologi (%)
0 1 2 3 4 5 6
K 1a Virus AI H5N1
0 45 38 7 0 4 6
K2b Kontrol Negatif
0 38 38 0 0 21 3
P1b Sirih Merah + Virus AI H5N1 0 48 1 47 0 4 0
P2b Sirih Merah 0 37 4.6 41 0 0.4 17
Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan hasil yang berbeda
nyata (p<0.05).
Keterangan :
Skor 0= normal Skor 2= degenerasi Skor 3= degenerasi difuse Skor 6= nekrosa
Skor 1= kongesti Skor 4= pendarahan Skor 5 = infiltrasi sel radang
Berdasarkan hasil persentase lesio histopatologi pada masing-masing
perlakuan, lesio didominasi oleh kongesti, degenerasi dan nekrosa. Pada
kelompok K1 perubahan didominasi oleh kongesti sebesar 45%, kelompok K2
perubahan didominasi oleh kongesti dan degenerasi sebesar 38%, selanjutnya
pada kelompok P1 perubahan didominasi oleh kongesti dan degenerasi difuse
sebesar 48%, dan sama halnya pada kelompok P2 perubahan didominasi oleh
degenerasi difuse sebesar 41%. Kemudian, didapat hasil analisa statistik antara
kelompok kontrol positif (K1) dengan kelompok perlakuan (P2), kelompok
kontrol positif (K1) dengan kelompok kontrol negatif (K2), kelompok kontrol
negatif (K1) dengan kelompok perlakuan (P1), adalah berbeda nyata. Namun lain
halnya dengan kelompok kontrol positif (K2) dibandingkan kelompok perlakuan
(P1) dan kelompok perlakuan (P1) dengan kelompok perlakuan (P2) adalah tidak
berbeda nyata.
Perubahan patologi pada kelompok kontrol (K1) adalah kongesti,
degenerasi dan nekrosis. Menurut Tabbu (2000), unggas yang terinfeksi virus AI
H5N1 menimbulkan perubahan mikroskopik pada organ hati berupa degenerasi
dan nekrosis. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan oleh Budiantono
(2003) bahwa, perubahan organ hati yang dilihat secara mikroskopis akibat
terinfeksi HPAI adalah kongesti, hemorhagi, degenerasi dan nekrosa. Hal ini
dapat disebabkan adanya gangguan sirkulasi dan metabolisme baik pada organ
hati maupun pada organ lain. Selain itu, hal ini sesuai dengan pendapat Winekler
et al. (1971) bahwa oksigen sangat penting bagi reaksi seluler sehingga
terganggunya suplai oksigen berakibat reaksi seluler tidak berjalan dengan
semestinya. Selain itu suplai oksigen dapat disebabkan oleh terganggunya
sirkulasi darah, misalnya pada keadaan kongesti sehingga mengakibatkan sel hati
mengalami degenerasi hingga nekrosis karena kekurangan natrium dan oksigen.
Sementara itu menurut Kwon et al. (2005) dalam kajian histologi unggas yang
terkena HPAI ditemukan beberapa fokus nekrosis dengan sel inflamatoris pada
multipel organ seperti jantung, otak, pankreas dan hati. Pada hati terlihat
peningkatan aktivitas seluler pada sinusoidal dengan timbulnya hiperplasia dari
sel Kuppfer, dan peningkatan jumlah sel mononuklear pada sistim portal hati.
Namun menurut Setiyono et al. (2008), dalam penelitian kali ini belum
dapat diterangkan sejauh mana infeksi telah terjadi dan seberapa jauh agen
patogen berhasil masuk ke dalam jaringan atau organ ayam yang diinfeksi virus
AI H5N1. Kongesti terjadi pada semua kelompok perlakuan terutama pada vena
sentralis dan sinusoid-sinusoid hati. Kongesti adalah suatu keadaan yang disertai
meningkatnya volume darah dalam pembuluh darah yang melebar pada suatu alat
atau bagian tubuh. Sementara itu Harada et al. (1999) menjelaskan bahwa zat
toksik dapat mengganggu sistem sirkulasi sehingga sel-sel kekurangan oksigen
dan zat-zat makanan.
Kongesti dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu (1) kenaikan jumlah
darah yang mengalir ke suatu lokasi atau (2) penurunan jumlah darah yang
mengalir dari suatu lokasi. Jika aliran darah ke dalam lokasi bertambah dan
menimbulkan kongesti, maka disebut kongesti aktif. Sementara kongesti pasif
tidak menyangkut kenaikan jumlah darah yang mengalir ke suatu lokasi, tetapi
lebih merupakan gangguan aliran dari lokasi itu. Apapun yang dapat menekan
venula-venula dan vena-vena yang mengalirkan darah dari jaringan dapat
menimbulkan kongesti pasif (Price dan Lorraine 2006).
Gambar 6 Hati : Kongesti sinusoid (a), kelompok K1 (Pewarnaan
HE, pembesaran objektif 20 kali).
Selanjutnya perubahan yang terlihat dari kelompok perlakuan (P2)
didominasi oleh sel hepatosit yang mengalami degenerasi hidropik baik lokal
maupun menyebar (difuse). Degenerasi hidropis adalah terjadinya peningkatan
jumlah air di dalam sel yang menyebabkan sitoplasma dan organel sel tampak
membengkak dan bervakuola. Ada faktor yang mengganggu kemampuan
membran sel untuk melakukan transport aktif ion natrium keluar sel yang
berakibat masuknya air dalam jumlah yang berlebihan ke dalam sel (Jones et al.
1997).
Ada beberapa literatur terkait dengan degenerasi hidropik diantaranya
menurut Spector dan Spector (1993) degenerasi dalam patologi dapat
didefinisikan secara luas sebagai kehilangan struktur fungsi normal, biasanya
progresif, dan tidak ditimbulkan oleh induksi radang dan neoplasia. Degenerasi
sel sering diartikan sebagai kehilangan struktur normal sel sebelum kematian sel.
Degenerasi yang terjadi umumnya adalah degenerasi hidropis. Menurut
Underwood (1992) degenerasi hidropis umumnya disebabkan oleh gangguan
metabolisme seperti hipoksia atau keracunan bahan kimia. Gangguan metabolisme
a
a
a
a
sel biasanya di dahului oleh berkurangnya oksigen karena pengaruh senyawa
toksik ke dalam tubuh (Rusmiati dan Lestari 2004).
Selain itu, perubahan yang terjadi pada kelompok perlakuan (P2) dapat
juga diakibatkan belum menemukan dosis maksimal ekstrak sirih merah.
Ketepatan dosis pemberian ekstrak sirih merah pun diduga dapat mempengaruhi,
karena apabila ketepatan dosis yang diberikan tidak diperhitungkan secara baik,
maka akan menjadi toksik bagi tubuh sehingga secara langsung akan
menimbulkan kerusakan pada sel hati sebagai organ detoksikasi. Hati adalah
organ pertama yang dicapai oleh obat atau zat sesudah diabsorpsi oleh intestinum.
Sehingga di dalam hati, obat atau ekstrak sirih merah tersebut akan mengalami
proses metabolisme dan detoksifikasi yang meliputi reaksi oksidasi, reduksi,
hidrolisis dan konjugasi menjadi bentuk terlarut atau bentuk terionisasi sehingga
dapat dieksresikan oleh ginjal. Hati merupakan organ yang paling mudah
mengalami kerusakan sesudah terpapar oleh zat kimia, terutama dengan
pemberian secara peroral. Pemberian obat atau zat yang bersifat toksik, setelah
diabsorpsi dan mengalami seluruh proses yang terjadi dalam hati akan
mempengaruhi hati dengan timbulnya perubahan patologis (Dewi 2005).
Kerusakan dan perubahan patologi pada organ hati dapat disebabkan oleh ekstrak
sirih merah yang masuk ke dalam tubuh secara peroral, kemudian akan
mengalami absorbsi di dalam usus halus. Ketika ekstrak ethanol sirih merah
tersebut yang mengandung saponin, tannin, flavonoid, minyak atsiri, dan alkaloid
mengalami detoksifikasi dan biotransformasi di dalam hati tidak sempurna,
tentunya akan menimbulkan kerusakan hati, sehingga fungsi hati pun akan
terganggu dan akan menyebabkan perubahan-perubahan patologis seperti
kongesti, degenerasi dan nekrosis. Menurut Spector dan Spector (1993), bahwa
tiga penyebab utama kematian dan disfungsi sel hati adalah virus, kekurangan
oksigen dan keracunan sel, yaitu termasuk zat-zat toksik bakteri, yang berasal dari
tumbuhan dan hewan atau sintetis.
Sementara itu menurut Henryk dan Peter (2010), degenerasi hidropik
(ballooning degeneration, toxic swelling, vacuolar degeneration, hidropic
change) merupakan perubahan hepatoseluler yang bersifat reversibel, namun
perubahan ini akan bersifat letal apabila degenerasi hidropik ini berlangsung
dalam jangka waktu yang lama. Degenerasi hidropik dapat terjadi akibat virus,
toksik (alkohol), dan kerusakan akibat iskemik hati, terutama pada lokasi
sentrolobular (zona 3) hepatosit. Oleh karena itu dosis optimum untuk
penggunaan ekstrak sirih merah ini perlu diteliti lebih lanjut, supaya ekstrak sirih
merah tidak menjadi toksik dalam tubuh terutama pada organ hati .
Gambar 7 Hati : Degenerasi hidropis sel hepatosit (a), kongesti pada
sinusoid hati (b) pada kelompok P2, (pewarnaan HE,
pembesaran objektif 40 kali).
Perubahan – perubahan yang terjadi pada kelompok kontrol K2 maupun
kelompok perlakuan P1 dan P2 tidak terlepas dari faktor lingkungan dan faktor
stress, tepatnya pada penangan ayam selama perlakuan pemberian ekstrak sirih
merah, walaupun faktor stress ini hanya memberikan sedikit kontribusi terhadap
perubahan patologis. Faktor stress dalam jangka panjang akan mempengaruhi
peningkatan kortisol di dalam tubuh. Hal tersebut sesuai dengan Arifah dan
Purwanti (2008) bahwa, peningkatan epinefrin dan kortisol secara terus menerus
dapat terjadi pada stres kronis, sehingga dapat menyebabkan penurunan sistem
imun secara keseluruhan yang ditandai dengan mudahnya individu terserang
penyakit. Hal ini dapat disebabkan karena menurunnya produksi sel plasma akibat
b
a a
b
menurunnya jumlah germinal center. Tekanan jangka panjang akan menekan
kemampuan sistem imun dalam melawan virus, bakteri dan parasit, dimana stres
kronis menurunkan kekebalan tubuh. Kemudian penurunan jumlah limfosit dapat
disebabkan oleh penurunan proliferasi limfosit pada jaringan limfoid. Keadaan
kortisol yang tinggi menimbulkan mobilisasi cadangan energi (glikogen) di hati
dan otot. Peningkatan kortisol dan epinefrin terjadi pada keadaan semua jenis stres
baik fisik, psikologis, lingkungan, kimiawi maupun trauma. Selain kortisol yang
tinggi di dalam darah dapat menyebabkan ketidakseimbangan gula darah,
penurunan densitas tulang, dan jaringan otot (Scott 2000).
Gambar 8 Hati : Fokus Nekrosis sel hepatosit (a) pada kelompok K1,
(pewarnaan HE, pembesaran objektif 20 kali).
Perubahan yang terjadi pada organ hati kelompok perlakuan (P1) dapat
diakibatkan oleh pemberian ekstrak sirih merah maupun infeksi virus H5N1, juga
dapat diduga bahwa ekstrak sirih merah belum mampu mengurangi perubahan
patologis yang disebabkan oleh infeksi virus H5N1 pada organ hati tersebut.
a
3. Hasil Evaluasi Histopatologi Ginjal
Berdasarkan hasil evaluasi histopatologi organ ginjal perubahan patologi
terjadi pada seluruh kelompok, baik kelompok kontrol maupun kelompok
perlakuan. Kongesti, degenerasi maupun nekrosa terjadi pada kelompok kontrol.
Hal ini diduga bahwa organ ginjal merupakan salah satu tempat virus H5N1 untuk
melakukan replikasi, hal tersebut sesuai dengan Swayne dan Slemons (1992),
bahwa ginjal yang terisolasi virus H5N1 mempunyai perubahan seperti nefrosis
dan akut nefritis serta nukleoprotein dari virus influenza terlihat di nukleus dan
sitoplasma dari epitel tubuli ginjal yang nekrosis, serta ditemukan fokus nekrosis
dan sel inflamatoris pada multipel organ seperti jantung, otak, pankreas dan hati.
Pada hati terlihat peningkatan aktivitas seluler pada sinusoidal dengan timbulnya
hiperplasia dari sel Kuppfer, dan peningkatan jumlah sel mononuklear pada
sistim portal hati. Sementara itu Kwon et al. (2005) bahwa, pada kajian histologi
organ ginjal yang terkena HPAI mempunyai ciri ditemukannya fokus nekrosis
dari epitel tubuli ginjal.
Selain itu perubahan patologi seperti kematian sel dapat disebabkan oleh
berbagai faktor, salah satunya adalah hipoksia akibat terganggunya sistem
sirkulasi oleh zat toksik yang masuk. Bagian korteks ginjal merupakan bagian
yang sangat sensitif terhadap terjadinya hipoksia. Khususnya pada tubulus
proksimal. Cedera hipoksia bergantung pada kecepatan transport ion di dalam
tubulus proksimal dan jerat Henle. Hipoksia dipengaruhi oleh permintaan energi
dan penggunaan oksigen. Jerat Henle asenden (menaik) secara selektif sangat
mudah mengalami defisiensi oksigen karena aktifitas transportnya yang tinggi dan
kurang mendapat suplai oksigen (Cheville 1999). Selain hipoksia, kematian sel
juga dapat disebabkan karena iskemia. Menurut Price dan Lorraine (2006),
kerusakan tubulus yang disebabkan oleh iskemia sangat bervariasi bergantung
pada luas dan durasi penurunan aliran darah ginjal.
Berdasarkan hasil evaluasi histopatologi perubahan terjadi pada seluruh
kelompok baik kelompok kontrol positif maupun kelompok perlakuan. Berikut
rataan hasil skoring histopatologi organ ginjal dirangkum dalam Tabel 4.
Tabel 4 Persentase lesio histopatologi organ ginjal pada setiap perlakuan setelah
pemberian ekstrak ethanol sirih merah dan di uji tantang dengan virus
H5N1
Kode
SKOR
Perlakuan Perlakuan
Lesio Histopatologi (%)
0 1 2 3 4 5 6
K 1b Virus AI H5N1
0 22 0 41 0 0 37
K2a Kontrol Negatif
0 0 0 73 0 0 27
P1ab
Sirih Merah + Virus AI H5N1 0 33 0 34 0 1 32
P2a Sirih Merah 0 44 0 49 0 2 5
Huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukan hasil yang berbeda
nyata (p<0.05).
Keterangan :
Skor 0= normal Skor 2= degenerasi Skor 3= degenerasi difuse Skor 6= nekrosa
Skor 1= kongesti Skor 4= pendarahan Skor 5 = infiltrasi sel radang
Berdasarkan hasil persentase lesio histopatologi pada masing-masing
perlakuan, lesio didominasi oleh kongesti, degenerasi dan nekrosa. Pada
kelompok K1 perubahan didominasi oleh degenerasi difuse sebesar 41%,
kelompok K2 perubahan didominasi oleh degenerasi sebesar 73%, selanjutnya
pada kelompok P1 perubahan didominasi oleh degenerasi difuse sebesar 34%,
sedangkan pada klompok P2 perubahan didominasi oleh degenerasi difuse sebesar
49%. Selanjutnya, didapat hasil analisa statistik antara kelompok kontrol positif
(K1) dengan kelompok perlakuan (P1), kelompok perlakuan (P1) dengan
kelompok perlakuan (P2) adalah tidak berbeda nyata. Sedangkan pada kelompok
kontrol positif (K1) dengan kelompok kontrol negatif (K2), dan antara kelompok
kontrol positif (K1) dengan kelompok perlakuan (P2) adalah berbeda nyata
Dari hasil pengamatan histopatologi organ ginjal pada kelompok
perlakuan P2 yakni kelompok perlakuan yang hanya diberi ekstrak sirih merah
terdapat beberapa perubahan patologis diantaranya adalah kongesti, degenerasi,
nekrosis. Dengan adanya perubahan patologis terutama nekrosis pada sel tubular
ginjal, maka diduga bahwa pemberian ekstrak sirih merah sebanyak 1 ml/ hari
selama 3-4 minggu berturut-turut sebagai faktor timbulnya perubahan tersebut.
Gambar 9 Ginjal : Degenerasi hidropis pada sel tubuli ginjal (a) dan
kongesti pada interstisial tubuli (b), (pewarnaan HE,
pembesaran objektif 40 kali).
Perubahan yang terjadi pada kelompok perlakuan (P2) diduga dapat
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah pengaruh zat yang terkandung
di dalam ekstrak sirih merah terhadap organ ginjal sebagai organ eksretori. Seperti
yang kita ketahui ginjal merupakan salah satu jalur eksretori dari berbagai obat,
sehingga apabila terdapat zat toksik maka ginjal merupakan organ sasaran utama
dari efek toksik tersebut, karena nefrotoksikan dapat menyebabkan efek buruk
terhadap berbagai bagian ginjal. Selain itu karena dalam sirih merah mengandung
senyawa flavonoid, hal ini pun diduga sebagai salah satu faktor pemicu perubahan
patologis pada organ ginjal tersebut, karena menurut Jiang et al. (2008) bahwa
mengkonsumsi tanaman herbal yang mengandung flavonoid dengan kadar tinggi
setelah dilakukan pemeriksaan biopsi pada organ ginjal, ditemukan kerusakan –
kerusakan seperti tubular nekrosis, nefritis interstitial, dan kerusakan hemoglobin.
Oleh karena itu untuk mendapatkan dosis optimal agar ekstrak sirih merah ini
dapat dijadikan sebagai imunomodulator terhadap pencegahan infeksi virus H5N1
serta tidak menimbulkan kerusakan pada organ ginjal, maka harus dilakukan
penelitian lebih lanjut.
a b
b
a
Gambar 10 Ginjal : Nekrosa (a) dan degenerasi hidropis pada sel tubuli
ginjal (b) pada kelompok K1, (pewarnaan HE, pembesaran
objektif 40 kali).
Namun, terdapat perbedaan yang tidak nyata antara kelompok kontrol K1
dengan kelompok perlakuan P1, hal tersebut dapat disebabkan bahwa ekstrak sirih
merah yang diberikan pada kelompok perlakuan P1 belum mampu memberikan
efek yang signifikan terhadap mengurangi perubahan sel akibat infeksi virus
H5N1, terutama efek terhadap organ ginjal.
a
a
b