jahe merah

2
1 PENDAHULUAN Bangsa Indonesia kaya akan keanekaragaman obat tradisional. Lebih dari 30.000 spesies tanaman di Indonesia dan 940 spesies di antaranya diketahui berkhasiat sebagai obat atau digunakan sebagai bahan obat (Paimin & Murhananto 1999). Setiap tanaman obat memiliki khasiat yang berbeda-beda dan bergantung pada komponen kimia yang terkandung dalam tanaman obat tersebut. Kuantitas dan mutu komponen kimia yang terkandung dalam tanaman obat sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu letak geografis (lokasi), waktu tanam, waktu panen, iklim, dan curah hujan (Liang et al. 2004). Jahe (Zingiber officinale Rosc) merupakan salah satu tanaman obat yang sering digunakan dalam industri jamu. Terdapat tiga jenis jahe berdasarkan aroma, warna dan ukuran rimpangnya, yaitu jahe gajah, jahe emprit, dan jahe merah. Jahe merah lebih sering digunakan sebagai bahan baku obat karena memiliki kandungan senyawa kimia seperti gingerol, oleoresin, dan minyak atsiri yang lebih tinggi dibanding dengan jahe gajah dan jahe emprit (Tim Lentera 2004). Jahe merah yang digunakan dalam industri jamu umumnya berasal dari sentra produksi di berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perbedaan lokasi ini dapat menyebabkan kandungan komponen kimia (metabolit sekunder) yang terkandung dalam jahe merah juga dapat berbeda. Adanya perbedaan metabolit sekunder yang dihasilkan juga berpengaruh terhadap kualitas dan khasiat jahe merah tersebut. Oleh karena itu untuk menjamin kualitas dan khasiat pada jahe merah tersebut perlu dilakukan identifikasi dan diferensiasi. Identifikasi dan diferensiasi juga dilakukan untuk menghindari adanya pemalsuan bahan baku mengingat jahe merah yang di jual di pasaran umumnya sudah dalam bentuk rajangan kering atau serbuk/simplisia, sehingga sulit dibedakan baik terhadap jenis jahe lainnya maupun dengan suku Zingiberaceae lainnya seperti bangle dan lengkuas. selain itu juga harga jual rimpang jahe merah 2 sampai 3 kali lebih mahal dibanding jahe gajah, jahe emprit, dan lengkuas. sehingga hal inilah yang memungkinkan dari semua jenis tanaman ini dapat menjadi bahan pemalsu satu sama lainnya. Terdapat dua pendekatan dalam mengevaluasi kualitas tanaman obat, yaitu melalui penetapan kadar senyawa penciri dan memprofilkan senyawa secara keseluruhan (Zeng 2008). Dalam Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Volume 1 oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), gingerol ditetapkan sebagai senyawa penciri pada tanaman jahe untuk evaluasi kualitas bahan baku maupun ekstrak sebelum dikonversi menjadi obat herbal komersial. Saat ini pendekatan memprofilkan senyawa secara keseluruhan (metabolic profiling) lebih sering digunakan karena dapat mempresentasikan kompleksitas senyawa yang ada dalam tanaman obat tersebut. Analisis yang sering digunakan untuk memprofilkan senyawa keseluruhan adalah analisis pola sidik jari kromatografi. Salah satu teknik kromatografi yang dapat digunakan yaitu dengan kromatografi lapis tipis (KLT). Pemilihan teknik KLT pada penelitian ini didasarkan pada beberapa keunggulan dari KLT tersebut, diantaranya mudah dalam preparasi sampel, kesederhanaan dalam prosedur kerja, biaya relatif murah karena sampel dan standar dapat diujikan dalam waktu yang sama, volume pelarut yang digunakan sedikit, selektif, dan sensitif, serta kromatogramnya dapat diamati secara visual (Kimura et al. 2008). Keberhasilan proses pemisahan pada KLT sangat bergantung pada fase gerak yang digunakan. Oleh karena itu, perlu dicari fase gerak yang optimum sehingga didapatkan hasil pemisahan yang baik. Suatu metode percobaan yang tepat diperlukan untuk menggambarkan fase gerak yang optimum. Beberapa rancangan yang sering digunakan untuk menentukan kondisi optimum antara lain rancangan faktorial (factorial design), metode respon permukaan (respon surface methodology), dan mixture design (Nutan 2004). Pada penelitian ini digunakan metode central composite design untuk optimasi ekstraksi dengan sonikasi dan simplex centroid design untuk optimasi fase gerak. Kedua metode ini dipilih karena memiliki keunggulan, diantaranya biaya relatif murah, cepat, mudah, dan menitikberatkan pada nilai yang konstan dari penjumlahan tingkatan faktor untuk tiap-tiap kombinasi. Berdasarkan metode tersebut kondisi optimum dari fase gerak dapat dilihat secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif dengan melihat penampakan kurva tiga dimensi, sedangkan secara kuantitatif dilihat berdasarkan

Upload: moody-infinity

Post on 16-Apr-2015

71 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Jahe merah

TRANSCRIPT

Page 1: Jahe merah

1

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia kaya akan

keanekaragaman obat tradisional. Lebih dari

30.000 spesies tanaman di Indonesia dan

940 spesies di antaranya diketahui

berkhasiat sebagai obat atau digunakan

sebagai bahan obat (Paimin & Murhananto

1999). Setiap tanaman obat memiliki

khasiat yang berbeda-beda dan bergantung

pada komponen kimia yang terkandung

dalam tanaman obat tersebut. Kuantitas dan

mutu komponen kimia yang terkandung

dalam tanaman obat sangat dipengaruhi oleh

beberapa faktor, yaitu letak geografis

(lokasi), waktu tanam, waktu panen, iklim,

dan curah hujan (Liang et al. 2004). Jahe

(Zingiber officinale Rosc) merupakan salah

satu tanaman obat yang sering digunakan

dalam industri jamu. Terdapat tiga jenis jahe

berdasarkan aroma, warna dan ukuran

rimpangnya, yaitu jahe gajah, jahe emprit,

dan jahe merah. Jahe merah lebih sering

digunakan sebagai bahan baku obat karena

memiliki kandungan senyawa kimia seperti

gingerol, oleoresin, dan minyak atsiri yang

lebih tinggi dibanding dengan jahe gajah dan

jahe emprit (Tim Lentera 2004).

Jahe merah yang digunakan dalam

industri jamu umumnya berasal dari sentra

produksi di berbagai daerah di Jawa Tengah

dan Jawa Timur. Perbedaan lokasi ini dapat

menyebabkan kandungan komponen kimia

(metabolit sekunder) yang terkandung dalam

jahe merah juga dapat berbeda. Adanya

perbedaan metabolit sekunder yang

dihasilkan juga berpengaruh terhadap

kualitas dan khasiat jahe merah tersebut.

Oleh karena itu untuk menjamin kualitas dan

khasiat pada jahe merah tersebut perlu

dilakukan identifikasi dan diferensiasi.

Identifikasi dan diferensiasi juga dilakukan

untuk menghindari adanya pemalsuan bahan

baku mengingat jahe merah yang di jual di

pasaran umumnya sudah dalam bentuk

rajangan kering atau serbuk/simplisia,

sehingga sulit dibedakan baik terhadap jenis

jahe lainnya maupun dengan suku

Zingiberaceae lainnya seperti bangle dan

lengkuas. selain itu juga harga jual rimpang

jahe merah 2 sampai 3 kali lebih mahal

dibanding jahe gajah, jahe emprit, dan

lengkuas. sehingga hal inilah yang

memungkinkan dari semua jenis tanaman ini

dapat menjadi bahan pemalsu satu sama

lainnya.

Terdapat dua pendekatan dalam

mengevaluasi kualitas tanaman obat, yaitu

melalui penetapan kadar senyawa penciri

dan memprofilkan senyawa secara

keseluruhan (Zeng 2008). Dalam Monografi

Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia Volume

1 oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan

(BPOM), gingerol ditetapkan sebagai

senyawa penciri pada tanaman jahe untuk

evaluasi kualitas bahan baku maupun

ekstrak sebelum dikonversi menjadi obat

herbal komersial. Saat ini pendekatan

memprofilkan senyawa secara keseluruhan

(metabolic profiling) lebih sering digunakan

karena dapat mempresentasikan

kompleksitas senyawa yang ada dalam

tanaman obat tersebut.

Analisis yang sering digunakan untuk

memprofilkan senyawa keseluruhan adalah

analisis pola sidik jari kromatografi. Salah

satu teknik kromatografi yang dapat

digunakan yaitu dengan kromatografi lapis

tipis (KLT). Pemilihan teknik KLT pada

penelitian ini didasarkan pada beberapa

keunggulan dari KLT tersebut, diantaranya

mudah dalam preparasi sampel,

kesederhanaan dalam prosedur kerja, biaya

relatif murah karena sampel dan standar

dapat diujikan dalam waktu yang sama,

volume pelarut yang digunakan sedikit,

selektif, dan sensitif, serta kromatogramnya

dapat diamati secara visual (Kimura et al.

2008).

Keberhasilan proses pemisahan pada

KLT sangat bergantung pada fase gerak

yang digunakan. Oleh karena itu, perlu

dicari fase gerak yang optimum sehingga

didapatkan hasil pemisahan yang baik. Suatu

metode percobaan yang tepat diperlukan

untuk menggambarkan fase gerak yang

optimum. Beberapa rancangan yang sering

digunakan untuk menentukan kondisi

optimum antara lain rancangan faktorial

(factorial design), metode respon permukaan

(respon surface methodology), dan mixture

design (Nutan 2004). Pada penelitian ini

digunakan metode central composite design

untuk optimasi ekstraksi dengan sonikasi

dan simplex centroid design untuk optimasi

fase gerak. Kedua metode ini dipilih

karena memiliki keunggulan, diantaranya

biaya relatif murah, cepat, mudah, dan

menitikberatkan pada nilai yang konstan dari

penjumlahan tingkatan faktor untuk tiap-tiap

kombinasi. Berdasarkan metode tersebut

kondisi optimum dari fase gerak dapat

dilihat secara kualitatif maupun kuantitatif.

Secara kualitatif dengan melihat

penampakan kurva tiga dimensi, sedangkan

secara kuantitatif dilihat berdasarkan

Page 2: Jahe merah

2

persamaan regresi yang dihasilkan

(Anderson & Mclean 1974).

Penelitian ini bertujuan membandingkan

pola kromatogram jahe merah dari metode

ekstraksi yang berbeda, yaitu maserasi dan

sonikasi. Ekstraksi yang menghasilkan

pemisahan terbaik kemudian diujikan pada

jahe merah dari berbagai daerah untuk

melihat perbedaan pola sidik jarinya.

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat

memberikan informasi pola kromatogram

sidik jari KLT jahe merah dari berbagai

sentra produksi di Pulau Jawa.

TINJAUAN PUSTAKA

Jahe Merah

Jahe merah diklasifikasikan kedalam

divisi Spermatophyta, subdivisi

Angiospermae, kelas Monokotyledonae,

ordo Zingiberales, family Zingiberaceae,

genus Zingiber, dan spesies Zingiber

officinale Rosc (Muhlisah 1999). Setiap

jenis jahe memiliki perbedaan fungsi yang

disesuaikan dengan karakteristik masing-

masing varietas. Jahe gajah lebih banyak

digunakan untuk produk minuman, permen

dan asinan. Jahe emprit banyak digunakan

sebagai penyedap rasa makanan. Jahe merah

mempunyai keunggulan dari jumlah

kandungan senyawa kimianya sehingga

lebih sering digunakan sebagai bahan baku

obat (Herlina et al. 2002). Bagian jahe yang

banyak digunakan adalah rimpangnya.

Rimpang jahe yang biasa digunakan

berumur antara 9 sampai 11 bulan. Rimpang

jahe bercabang-cabang tidak teratur dengan

daging berwarna merah atau jingga muda,

berukuran kecil dan memiliki serat yang

kasar (Koswara 1995).

Jahe (Zingiber officinale Rosc) adalah

tanaman yang tumbuh tegak dengan tinggi

30–60 cm. Daun tanaman jahe berupa daun

tunggal, berbentuk lanset dan berujung

runcing. Mahkota bunga berwarna ungu,

berbentuk corong dengan panjang 2 – 2.5

cm. Sedangkan buah berbentuk bulat

panjang berwarna cokelat dengan biji

berwarna hitam (Matondang, 2005).

Guzman dan Siemonsma (1999),

menyatakan bahwa jahe merah sama seperti

varietas jahe yang lain yaitu merupakan

tanaman berbatang semu yang tumbuh tegak

tidak bercabang dengan tinggi tanaman

dapat mencapai 1.25 meter. Tanaman ini

tersusun atas pelepah daun berbentuk bulat

berwarna hijau pucat dengan warna pangkal

batang kemerahan dan bentuk daun

memanjang (Gambar 1).

Berdasarkan aroma, warna, bentuk, dan

ukuran rimpangnya, jahe dibedakan menjadi

tiga jenis, yaitu jahe besar atau jahe badak,

jahe kecil atau jahe emprit dan jahe merah

atau jahe sunti (Sastroamidjojo 1997).

Herlina et al (2002) menambahkan bahwa

jahe gajah berwarna hijau muda, berbentuk

bulat, beraroma kurang tajam dan

mempunyai rasa kurang pedas, jahe emprit

memiliki ukuran rimpang kecil, berbentuk

sedikit pipih, berwarna putih beraroma agak

tajam dan mempunyai rasa pedas.

Sedangkan jahe merah berwarna kuning

kemerahan, berserat kasar, mempunyai rasa

sangat pedas dan beraroma tajam.

Jahe merah mempunyai banyak

keunggulan dibandingkan dengan jenis jahe

lainnya. Terutama ditinjau dari segi

kandungan senyawa kimianya yang terdiri

atas zat gingerol, oleoresin, dan minyak

atsiri yang tinggi sehingga lebih banyak

digunakan sebagai obat (Tim Lentera 2004).

Rimpang jahe mengandung beberapa

komponen kimia lain seperti air, pati, serat

kasar dan abu, komposisi setiap komponen

berbeda-beda berdasarkan varietas, iklim,

curah hujan, dan topografi atau kondisi

lahan (Koswara 1995). Kandungan kimia

jahe merah antara lain gingerol, sineol,

geraniol, zingiberan, zingeron, zingiberol,

shagol, farnesol, d-borneol, linalool, kavikol,

metilzingediol, dan resin (Wijayakusuma

2006).

Senyawa metabolit sekunder yang

dihasilkan tumbuhan Suku Zingiberaceae

umumnya dapat menghambat pertumbuhan

mikroorganisme patogen yang merugikan

kehidupan manusia (Nursal 2006). Ekstrak

air jahe yang berasal dari jahe segar maupun

jahe bubuk dan ekstrak diklrometana jahe

mempunyai aktivitas antioksidan terhadap

asam linoleat (Septiana et al. 2002). Ekstrak

air jahe dapat menurunkan kadar

malonadehida dan meningkatkan vitamin E

plasma pada manusia yang mengkonsumsi

ekstrak air jahe (Zakaria et al. 2000).

Berbagai komponen bioaktif dalam ekstrak

jahe antara lain gingerol, shagol,

diarilheptanoid dan kurkumin, mempunyai

aktivitas antioksidan yang melebihi

tokoferol (Kikuzaki & Nakatani 1993). Jahe

merah juga mempunyai efek melancarkan

sirkulasi darah, antirematik, antiradang,

peluruh keringat, peluruh dahak, dan

antibatuk (Wijayakusuma 2006).