jalan ketiga peran intelektual: konvergensi kekuasaan dan …
TRANSCRIPT
JALAN KETIGA PERAN INTELEKTUAL:
KONVERGENSI KEKUASAAN DAN
KEMANUSIAAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gadjah Mada
Diucapkan di depan Rapat Terbuka Dewan Guru Besar
Universitas Gadjah Mada
pada tanggal 6 Februari 2019
di Yogyakarta
oleh:
Prof. Dr. Cornelis Lay, M.A.
Yang saya hormati,
Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Wali Amanat Universitas
Gadjah Mada;
Ketua, Sekretaris, dan Anggota Dewan Guru Besar Universitas
Gadjah Mada;
Ketua, Sekretaris, dan Anggota Senat Akademik Universitas Gadjah
Mada;
Rektor dan para Wakil Rektor Universitas Gadjah Mada;
Dekan dan para Wakil Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik;
Rekan-rekan dosen, mahasiswa dan segenap sivitas akademia
Universitas Gadjah Mada, para tamu undangan, serta keluarga
yang saya cintai.
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas anugerah waktu
dan kesehatan sehingga hari ini kita bisa berkumpul bersama di ruang
yang sangat bersejarah ini: Balai Senat Universitas Gadjah Mada. Hari
ini saya akan menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar
dalam bidang Ilmu Politik dan Pemerintahan dengan tema “Jalan
Ketiga Peran Intelektual: Konvergensi Kekuasaan dan
Kemanusiaan” sebagai pertanggungjawaban ilmiah saya –– tema
yang tak lekang dimakan waktu; tema yang terus mampu
mereproduksi relevansi dan urgensinya untuk dikaji dari generasi ke
generasi, bahkan hingga hari ini.
Hadirin yang saya muliakan,
Izinkan saya mengawali pidato ini dengan membuka kembali
secara acak sejumlah pemberitaan media dan catatan lama, ketika
nama Universitas Gadjah Mada (UGM) disebut baik dengan rasa
takzim dan hormat, maupun sebaliknya. Hal ini dimaksudkan untuk
mendemonstrasikan dilema yang melekat dalam relasi antara
intelektual, kekuasaan, dan politik pengetahuan.
Tim peneliti Pusat Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran,
Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan dengan pendanaan Yayasan
Tahija berhasil mengembangkan nyamuk Aedes Aegypti yang
mengandung bakteri Wolbachia, satu-satunya penelitian guna
2
mengendalikan penyakit endemik di Indonesia: Demam Berdarah
Dengue (Wardani, 2016). Kepala Laboratorium Rekayasa
Biomaterial, Fakultas Kehutanan, Ragil Widyorini, menemukan
inovasi pengolahan limbah serat kotoran gajah menjadi papan
komposit, sebagai alternatif papan komposit pabrikan, yang aman dan
ramah lingkungan. Inovasi ini sekaligus diarahkan guna kepentingan
konservasi gajah (Kusuma, 2018). Fakultas Peternakan
menyelenggarakan sekolah gratis bagi peternak dengan materi
perkuliahan di sekitar sapi perah, sapi potong, unggas potong, unggas
petelur, ransum ternak berkualitas, penyembelihan halal, kambing dan
domba, integrated farming, serta diversifikasi hijauan pakan (Rahayu,
2017).
Pada level individual, UGM telah melahirkan sederet intelektual
besar, seumpama Prof. Mubyarto dengan gagasan Ekonomi Pancasila;
Prof. Kuntowijoyo, pionir pendekatan prophetic science–kombinasi
ilmu pengetahuan dan agama—sebagai pandangan baru dalam melihat
dan memahami perubahan sosial dan pembangunan di Indonesia; Prof.
Koesnadi Hardjasoemantri, pendekar lingkungan terkemuka dan
pionir gagasan Kuliah Kerja Nyata (KKN); Prof. Sudarsono,
penggagas Koperasi Unit Desa (KUD); Prof. Masri Singarimbun,
pakar antropologi sosial dan ahli kependudukan yang banyak meneliti
mengenai Keluarga Berencana; Dr. Samsu Rizal Panggabean, ahli
resolusi konflik yang terlibat jauh dalam rangkaian usaha pembebasan
10 Warga Negara Indonesia yang disandera kelompok separatis Abu
Sayyaf pada April–Mei 2016 di Filipina Selatan. Dari generasi awal,
UGM memiliki Prof. Sardjito, yang tidak hanya seorang intelektual,
tetapi juga tokoh pergerakan Boedi Oetomo, pembuat biskuit ransum
tentara di masa perang—dikenal dengan ―Biskuit Sardjito‖; Prof.
Notonagoro, Bapak Pendidikan Filsafat Pancasila; Prof. Sartono
Kartodirdjo, begawan historiografi yang mentransformasi penyusunan
historiografi baru pasca-kemerdekaan dari visi Eropasentrisme yang
mendewakan peran Eropa dalam sejarah Indonesia ke
Indonesiasentrisme (Nursam, 2008, hal. x).
Hanya saja, kisah indah ketika UGM dikenang dengan rasa
hormat berjalan bersisian dengan pemberitaan yang bersifat negatif.
Jumat, 20 Maret 2015, puluhan petani dan perempuan dari Kabupaten
3
Rembang dan Pati melakukan orasi di depan Gedung Pusat menuntut
penyelamatan kelestarian Pegunungan Kendeng dan menolak
kehadiran PT Semen Indonesia (Apriando, 2015). Nama UGM juga
muncul dalam pusaran kontroversi di sejumlah kasus: sengketa petani
Desa Pagilaran, Bismo, Kalisari, Keteleng, dan Gondang di
Kecamatan Blado, Batang dengan perkebunan teh PT Pagilaran
(Prayitno, 2003), penolakan konversi lahan pertanian menjadi lokasi
penambangan pasir besi di pesisir Kulonprogo (Kuntadi, 2012),
reklamasi Pantai Utara, Jakarta (Syarif, 2017).
Rangkaian peristiwa yang terbagi ke dalam dua bilahan besar di
atas tidak saja menggambarkan wajah kontroversial pilihan-pilihan
sikap kaum intelektual dalam memproyeksikan disiplin ilmu yang
dikaji ke dalam kehidupan kemasyarakatan yang konkret, tetapi
sekaligus menggambarkan kompleksitas dan sifat interlocking di
antara kekuasaan, intelektual, dan ilmu pengetahuan yang tidak mudah
diurai.
Hadirin yang berbahagia,
Rangkaian kasus di atas sekaligus merepresentasikan sifat biner
pemahaman umum mengenai posisi intelektual dan ilmu pengetahuan
berkaitan dengan kekuasaan dan implikasinya pada pilihan jalan
intelektual ke kekuasaan. Intelektual—di sini didefinisikan sebagai
akademisi yang memiliki kemampuan berpikir bebas (Soemardjan,
1976) dan kearifan dalam bertindak, serta aktif dalam proses produksi
ilmu pengetahuan dan pemecahan masalah-masalah kemanusiaan;
dan, karenanya, memiliki reputasi tinggi—seolah-olah dihadapkan
hanya pada dua pilihan jalan yang saling meniadakan, yaitu pertama,
mendekat dan menjadi bagian dari kekuasaan; atau sebaliknya, kedua
menjauhi dan bahkan memusuhi kekuasaan. Tidak tersedia jalan lain
bagi intelektual dan kekuasaan untuk bisa hadir berdampingan.
Soedjatmoko (1980)—intelektual, diplomat, dan politikus terkemuka
Indonesia—menempatkan dua pilihan di atas sebagai dilema
intelektual dalam berelasi dengan kekuasaan. Pembilahan yang paralel
dilakukan Dhakidae (2015) yang mengontraskan technical
intellegentia dengan humanistic intellectual, meskipun ia memberikan
4
catatan penting bahwa keduanya tidak bisa dibaca hitam-putih.
Gramsci (1971) membedakan intelektual ke dalam dua kelompok,
yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Intelektual
tradisional akan bertindak sebagai antek penguasa, bahkan ketika
mereka bersikap kritis terhadap status quo penguasa. Sedangkan
intelektual organik adalah mereka yang berfungsi sebagai perumus
dan artikulator ideologi dan kepentingan kelas. Hal yang sama terlihat
dalam pembilahan Kleden (1987) mengenai relevansi sosial versus
relevansi intelektual sebagai dua pilihan dilematis intelektual dalam
memproduksi ilmu pengetahuan.
Pembilahan yang bersifat dikotomis di atas membuat
―kemampuan berpikir bebas‖ sebagai karakter pokok intelektual tidak
mendapat ruang ekspresi memadai. Intelektual secara dangkal dinilai
hampir sepenuhnya dari jarak yang diambilnya dari kekuasaan yang
secara hampir absolut diwakili negara yang dalam kebanyakan kasus
direduksi menjadi sebatas rezim atau pemerintah. Mengontrol
perangai kekuasaan negara lewat kontrol atas pemerintah, dengannya,
menjadi satu-satunya pilihan. Pilihan ini, sudah tentu, adalah sahih
karena memiliki justifikasi empiris sangat kuat. Sejarah panjang
peradaban manusia mendemonstrasikan keganasan tak terbayangkan
yang berulang dipamerkan rezim politik di sembarang era; di
sembarang peradaban atas nama negara dan keselamatan publik.
Namun, obsesi ini juga punya sisi gelap: ia dengan mudah
mengantarkan imajinasi publik memberikan penekanan berlebihan
pada sentralitas konflik sebagai sifat pokok relasi antara intelektual,
ilmu pengetahuan, dan negara. Sifat yang mengawetkan pemisahan
ekstrem antara ilmu pengetahuan, intelektual dan negara menutup
peluang bagi persinggungan apalagi kolaborasi. Karenanya, tidak
mengherankan jika persinggungan atau kolaborasi antara intelektual
dan kekuasaan, dalam banyak kasus, secara cepat dan enteng dihakimi
sebagai ―pengkhianatan‖. Pada saat bersamaan, obsesi ini membuat
sebagian intelektual kehilangan kepekaan untuk menangkap argumen
sekaligus peringatan Russell (1938, hal.10) bahwa kekuasaan—yang
merupakan konsep fundamental dalam ilmu sosial, sebagaimana
energi menjadi fundamental dalam ilmu fisika—memiliki raut
beragam. Kekuasaan bisa memanifestasikan diri ke dalam wajah yang
5
berbeda-beda (Lukes, 1974), tidak sebatas pengorganisasian dalam
bentuk negara atau rezim/pemerintah; dan bahkan tidak memiliki
wajah sama sekali (Hayward, 2000) meski tidak bisa
menyembunyikan naluri dasarnya, meminjam perkataan Russell,
untuk mensubordinasi yang lain.
Secara subjektif, kontruksi berpikir di atas berakibat pada
munculnya sindrom antipolitik pada sebagian, bahkan mayoritas,
intelektual yang secara bangga mempersepsikan diri—dan, karenanya,
mudah tunduk pada represi opini publik—sebagai makhluk apolitis.
Posisi yang dikemas dalam jargon seumpama ―netral‖, ―profesional‖,
dan sederet pendakuan lainnya. Ironisnya, bahkan setelah terlibat jauh
menjadi instrumen teknokratis dari kekuasaan lewat berbagai proyek
kajian teknis yang dimintakan oleh kekuasaan, sejumlah intelektual
masih gegabah mendapuk diri sebagai ―netral dan profesional‖ dan
terus bersembunyi di balik argumen kabur bahwa kekuasaan adalah
dunia menjijikkan yang tidak pantas dimasuki. Hal ini, mengisolasi
kaum intelektual dari kekuasaan dan menempatkannya dalam posisi
rapuh, mudah dimanipulasi kekuasaan, atau mengikuti alur pemikiran
Gramsci, mudah dihegemoni. Secara objektif, persepsi yang sama
mengakibatkan mayoritas intelektual gagal memahami fungsinya
sebagai agen dalam memproduksi pengetahuan yang di dalamnya
sekaligus merupakan proses produksi kekuasaan. ―Ipsa scientia
potestas est‖, ―knowledge itself is power‖, pengetahuan adalah
kekuasaan, adagium yang pertama kali dideklarasikan Bacon—filsuf,
ilmuwan, dan politisi berkebangsaan Inggris— menggarisbawahi sifat
dari kedekatan dan relasi simbiotik antara pengetahuan dan kekuasaan.
Di tengah-tengahnya berdiri kaum intelektual dan institusi-institusi
pendidikan seperti UGM sebagai mata rantai utama yang
menghubungkan keduanya, seperti tersirat dalam postulat filsafat
Descartes, filsuf dan matematikawan Perancis: ―Aku berpikir maka
Aku ada‖ – cogito, ergo sum.
Hadirin yang saya hormati,
Bagi Indonesia, konstruksi biner tersebut punya akar empiris
cukup panjang. Persentuhan dan proses awal pembentukan kelas
6
intelektual Indonesia melalui sistem pendidikan kolonial sebagai
bagian Politik Etis menggarisbawahi sifat instrumentalistis ilmu
pengetahuan di hadapan kekuasaan. Di fase formatif pembentukan
negara bangsa, peran intelektual dan ilmu pengetahuan bahkan
menyatu dengan gerak kekuasaan, menjadi instrumen sekaligus pelaku
aktif proses nation and character building. Sudjatmoko melabeli
mereka sebagai ―activists-intelectual‖ yang mendapatkan penerimaan
luas karena kesediaannya mengambil risiko menghadapi kekuasaan
kolonial. Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno,
memberikan penekanan bentuk ideal interaksi ilmu pengetahuan dan
kekuasaan yang menandai periode formatif ini. Dalam pidato
penerimaan gelar Doctor Honoris Causa Ilmu Hukum, yang berjudul
―Ilmu dan Amal‖ (1986), enam puluh delapan tahun lalu, 19
September 1951, di ruang yang kita tempati hari ini, Balai Senat
Universitas Gadjah Mada, Bung Karno berujar,
―Ilmu pengetahuan hanyalah berharga penuh jika ia dipergunakan
untuk mengabdi kepada praktek hidupnya manusia, atau praktek hidupnya
bangsa, atau praktek hidupnya kemanusiaan. … itulah sebabnya saya selalu
mencoba menghubungkan ilmu dengan amal; menghubungkan pengetahuan
dengan perbuatan, sehingga pengetahuan ialah untuk perbuatan dan
perbuatan dipimpin oleh pengetahuan. … bahwa pengetahuan, bahwa ilmu,
bahwa kennis, bahwa wetenschap, bahwa teori adalah tiada guna, tiada
wujud, doelloos, jika tidak dipergunakan untuk mengabdi kepada prakteknya
hidup. Buatlah ilmu berdwitunggal dengan amal!‖
Hanya saja pengalaman romantik di atas berusia sangat singkat.
Pengalaman interaksi antara kekuasaan, kaum intelektual, dan ilmu
pengetahuan, terutama ilmu sosial, selama 32 tahun rezim otoritarian
Orde Baru (Orba) membangkitkan kembali pengalaman traumatik era
kolonial yang menggiring tuntutan ke arah otonomi ilmu pengetahuan
dan kaum intelektual dari kekuasaan semakin mengeras dan menjadi
agenda politik ilmu pengetahuan. Rekayasa dan pengendalian ilmu
pengetahuan guna bisa berfungsi sebagai alat pembenaran pelaksanaan
kekuasaan negara mengantar Hadiz dan Dhakidae pada kesimpulan
bahwa tantangan pengembangan ilmu sosial pasca-Orba tidak sebatas
pada persoalan melipatgandakan jumlah akademisi, tetapi justru pada
penciptaan lingkungan politik, ekonomi, dan sosial yang memberikan
7
otonomi bagi riset-riset ilmu sosial (Hadiz dan Dhakidae, 2005, hal.
26). Ini sebanding dengan argumen Foucault dan Deleuze (1977) yang
menekankan pentingnya mengubah rezim produksi kebenaran yang
sifatnya politis, ekonomi, dan institusional sebagai tantangan pokok
politik ilmu pengetahuan. Dengannya, otonomi yang dibayangkan
bukan saja bermakna terbebas dari belenggu dominasi kekuasaan
negara dan perangkat-perangkat institusional yang bekerja dalam
masyarakat, tetapi sekaligus dari tirani pasar.
Poin kedua menjadi krusial dalam perkembangan Indonesia
kontemporer seiring dengan semakin meluasnya penggunaan secara
manipulatif argumen-argumen ilmu pengetahuan sebagai instrumen
konsolidasi identitas: suku dan agama. Akibatnya, ilmu pengetahuan
dan intelektual gagal berfungsi sebagai fasilitas dialog yang
menjembatani perbedaan antaridentitas guna menemukan basis dan
nilai yang merupakan alasan fundamental hadirnya kekuasaan dan
ilmu pengetahuan, yaitu kemanusiaan. Sebaliknya, ilmu pengetahuan
dan intelektual justru semakin mengokohkan pembilahan menurut
garis-garis identitas. Akibat lebih lanjut, secara politik, intelektual
dengan segala pengetahuannya, gagal menghasilkan voice, kecuali
kebisingan yang semakin diperburuk oleh kealpaan ―saling
mendengar‖ (Lay, 2016) sebagai fondasi sebuah masyarakat yang
baik. Intelektual, dan pengetahuan yang dimilikinya, menghasilkan
suara, berupa kata-kata dan jargon yang dangkal, gagal mencapai
derajat keadaban yang dapat diletakkan dalam suatu dialektika
berbasis ilmu pengetahuan. Kata-kata yang diproduksi semakin
memperuncing pembilahan berbasis identitas ini dan mengalami
konsolidasi secara masif dan cepat dengan fasilitasi teknologi
sebagaimana didemonstrasikan melalui media sosial akhir-akhir ini.
Kecenderungan ini membuat ilmu sosial dan ilmu politik bukan saja
semakin menjauhi fungsi kemanusiaannya guna membebaskan
masyarakat dari penjara praduga indentitas–suku, agama dan gender–
yang membelenggu masyarakat pada fase kegelapan sejumlah
peradaban di masa lalu. Akan tetapi, juga mengonsolidasi dan
menjustifikasi kemunculan ―post-truth‖ sebagai corak baru
masyarakat.
8
Sementara poin terakhir, yakni tirani pasar, bahkan menjadi
tantangan global yang sedang dihadapkan pada proses komersialisasi
ilmu pengetahuan dan institusi yang memproduksi ilmu pengetahuan
yang sedang berlangsung sedahsyat-dahsyatnya (Washburn, 2005).
Sebuah persoalan–komersialisasi pendidikan—yang menjadi tema
percakapan sosial yang semakin membesar dari waktu ke waktu.
Para hadirin yang terhormat,
Tuntutan otonomi di atas berangkat dari kombinasi pemahaman
mengenai fungsi atau peran ideal kaum intelektual, dilema-dilema
yang dihadapi berikut bagaimana ilmu pengetahuan didefinisikan dan
diperlakukan oleh kekuasaan, termasuk oleh institusi-institusi sosial
dan pasar. Pemahaman yang bisa dilacak dari aneka kajian yang
memusatkan perhatian pada intelektual sebagai aktor (Sparingga,
1997; Dhakidae, 2003, 2015; Latif, 2003; Kusman, 2018) dan
pemahaman yang memusatkan perhatian pada politik ilmu
pengetahuan (Kleden, 1987; Hadiz dan Dhakidae, 2005). Benda
(1999) misalnya, menggarisbawahi peran intelektual sebagai pencerah
masyarakat yang memiliki sifat altruistik dalam memburu kebenaran
dan mengupayakan kemaslahatan bersama, serta keteguhan pada
prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan. Kerja intelektual,
dengannya, adalah kerja mental. Dan dosa terbesar kaum intelektual
tidak diperhitungkan berdasarkan jumlah kesalahan yang dibuat, tetapi
oleh kebohongan dan ketakutan dalam mengungkapkan kebenaran
yang diketahuinya.
Seperti diindikasikan di atas, secara empiris, kerasnya tuntutan
otonomi merupakan respons atas pengalaman relasi kekuasaan dan
intelektual selama Orba yang bersifat instrumentalistis. Orba
berkepentingan memengaruhi dan bahkan, mendikte agenda-agenda
ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial, guna mendukung
agenda pembangunan maupun ideologi negara. Peran sebagai alat
rekayasa di aneka sektor publik—pendidikan, kebudayaan, hukum
serta moral—ini, dalam pandangan Kleden (1987, hal. 6–7), menjadi
lahan subur bagi berkembangnya budaya ilmu pengetahuan yang tidak
reflektif dan ateoretis: budaya yang tidak peduli dengan
9
pengembangan teori sebagai bagian dari tanggung jawab intelektual
dalam memproduksi pengetahuan global bagi kepentingan
kemanusiaan; budaya yang cenderung birokratis.
Sayangnya, pergantian rezim politik menyusul tumbangnya
Orba tidak dengan sendirinya melahirkan budaya ilmu pengetahuan
baru untuk kerja-kerja intelektual menemukan lingkungan atau
ekosistem sosial, ekonomi dan politik yang kondusif. Dalam
realitasnya, posisi instrumentalistis ilmu pengetahuan dan intelektual
tidak mengalami perubahan berarti; bahkan mengalami pendangkalan
sangat serius, yakni menjadi pelayan dari hasrat birokratisasi yang
semakin tidak terkendali. Kita sama-sama menyaksikan dengan putus
asa—bahkan menjadi bagian darinya—bagaimana proses riset di
perguruan tinggi dan pusat-pusat riset berakhir dengan memproduksi
bukti-bukti administrasi yang dari waktu ke waktu bukan saja semakin
menghina akal sehat, tetapi sekaligus berangkat dari praduga bahwa
kaum intelektual pertama-tama adalah makhluk ―licik yang tidak bisa
dipercayai‖, yang menihilkan ―kejujuran‖ sebagai fondasi etik paling
utama yang melandasi kerja intelektual. Kita sama-sama menyaksikan
dengan sedih betapa kaum intelektual justru harus menghabiskan lebih
banyak waktu dan energi guna melayani kekakuan rezim administratif
ketimbang melakukan penelitian dalam kerangka produksi ilmu
pengetahuan dan pemecahan masalah-masalah kemanusiaan.
Di tengah-tengah proses birokratisasi yang sangat melelahkan,
ajaibnya, volume keterlibatan kaum intelektual Indonesia dalam
memproduksi ilmu pengetahuan secara global semakin membesar
akhir-akhir ini. Meskipun demikian, posisi tradisional kaum
intelektual Indonesia, terutama ilmuwan sosial, tetap tunduk pada
logika klasik ―pembagian kerja global‖ yakni menjadi konsumen dan
sekaligus berfungsi terutama sebagai penyedia scientific evidence
sebagai bahan mentah dalam proses produksi ilmu pengetahuan yang
tetap dihegemoni oleh pusat-pusat produksi ilmu pengetahuan di
negara-negara maju.
10
Hadirin yang saya muliakan,
Saya harus menggarisbawahi bahwa fenomena birokratisasi
bukanlah monopoli dunia ilmu pengetahuan Indonesia. Ia menjadi
tantangan di banyak negara sebagaimana digambarkan Evans dalam
bukunya Killing Thinking: The Death of the Universities (2004)
melalui pengalaman di Inggris ketika birokratisasi menjadi monster
yang membunuh daya kreativitas intelektual. Dan justru karena
wataknya yang semakin mengglobal, persoalan ini harus menjadi
kepedulian kita bersama. Pengabaian terhadapnya, bukan saja dapat
membuat ilmu pengetahuan rawan terhadap manipulasi dan dengan
mudah dijadikan alat pembenar dari tindakan represi dan aneka
penyimpangan kekuasaan lainnya, tetapi sekaligus, dan terutama, bisa
menjadi pembunuh kreativitas sebagai energi pokok bagi
pembangunan peradaban dan kemanusiaan jangka panjang.
Terbunuhnya kreativitas kaum intelektual perlu mendapatkan
perhatian khusus terutama di kalangan ilmuwan politik dan
pemerintahan. Saya melihat ada perkembangan yang bersifat
paradoksal. Di satu sisi, kita menyaksikan secara kuantitas tingkat
kepadatan intelektual yang menggeluti ilmu-ilmu sosial, terutama
politik dan pemerintahan semakin tinggi. Label intelektual – sering
dihadirkan dengan penyebutan beragam seumpama ahli, pengamat,
dan seterusnya – juga semakin mudah disematkan pada sembarang
orang. Di sisi lain, dari sudut kualitas, kita menyaksikan
berlangsungnya proses pendangkalan produksi ilmu pengetahuan dan
metode pemecahan masalah-masalah kemanusiaan. Dari waktu ke
waktu kita menyaksikan pengetahuan yang dihasilkan semakin
monolitik. Sesuatu yang, menurut saya, mengungkapkan kealpaan
pertarungan ide, perspektif, apalagi paradigma dalam proses produksi
ilmu pengetahuan sosial Indonesia kontemporer.
Kita mencatat, pada fase-fase awal dan tengah Orba, produksi
ilmu sosial ditandai oleh lebarnya spektrum perdebatan sekalipun
dengan keresahan yang sama, yakni seberapa luas dan dalam
kekuasaan menyebar. Jawaban atas keresahan besar ini melahirkan
aneka label tentang Orba yang bersifat stereotyping mulai dari negara
yang homogen hingga yang lebih plural, sebagaimana diistilahkan
11
oleh McVey (1982) sebagai beamstenstaat hingga bureaucratic
pluralism ala Emerson (1983), sekaligus menghasilkan aneka
rekomendasi tindakan yang—sekalipun harus dibayar dengan harga
mahal—cukup fungsional dalam mengontrol kekuasaan. Kini,
sebaliknya, kita menyaksikan bagaimana ilmu sosial seakan dibangun
di atas satu perspektif tunggal. Telah bertahun-tahun kita tenggelam
dalam mereproduksi satu perspektif secara terus-menerus.
―Governance” sebagai tema sentral yang diturunkan dari perspektif
neo liberal dengan segala ramifikasinya, misalnya, tanpa memberikan
ruang refleksi yang cukup terhadapnya. Padahal bertumpuk-tumpuk
dokumen abstraksi dan rekomendasi yang sama telah diproduksi
dengan akibat yang sangat terbatas bagi pemuliaan kemanusiaan dan
pembangunan peradaban. Demikian pula, dalam beberapa tahun
terakhir, ketika politik elektoral menjadi corak baru politik Indonesia,
kita menyaksikan pergeseran pendulum di mana energi intelektual dan
ilmu pengetahuan hampir sepenuhnya terkuras guna melayani dan
memahami isu ini. Luar biasanya, kaum intelektual seakan tidak
memiliki daya untuk keluar dari jebakan elektoral dan
menempatkannya dalam kerangka mengontrol dan mengkritik
kekuasaan. Di Indonesia, kita menyaksikan dengan sedih betapa ilmu
politik dan pemerintahan mengalami proses pengerdilan, seolah
menjadi penjabaran tunggal dari (frasa) ―Pemilu‖ dengan segala
pernak-perniknya, setelah sebelumnya di-setali-tiga-uang-kan dengan
governance dengan segala pernak-perniknya.
Pada saat bersamaan, fungsi klasik ilmu pengetahuan dan
intelektual yang diwarisi dari pengalaman di era Orba tetap
menghantui alam pikir intelektual Indonesia yang tergambar dari
pemusatan energi secara berlebihan pada usaha mengontrol kekuasaan
negara lewat kontrol atas pemerintah atau rezim. Sebuah tema klasik
yang menandai pergulatan ilmu pengetahuan di era otoritarian.
Padahal, seperti yang akan didiskusikan lebih lanjut, kekuasaan telah,
sedang dan, bisa dipastikan, akan mengalami transformasi ke fase
ketika negara bukan lagi menjadi satu-satunya lokus kekuasaan yang
harus dikontrol.
Perkembangan ini sangat mencemaskan karena Indonesia telah
melewati tahun ke-20 Reformasi. Dalam rentang waktu antara 1998–
12
2019 awal ini, kekuasaan telah mengalami transformasi berlapis-lapis.
Telah terjadi migrasi sekaligus pemajemukan lokus kekuasaan yang
mengubah secara mendasar sumber, skala, pola relasi, dan watak
hingga agensi serta institusi yang berproses di dalamnya. Kekuasaan
bermigrasi dari Jakarta sebagai ruang satu-satunya selama Orba ke
lapis-lapis governance yang berbeda mengikuti logika desentralisasi
yang menghadirkan multi-layers governance. Kekuasaan bermigrasi
dari ruang tradisional—pusat-pusat kekuasaan di tingkat lokal—ke
ruang baru seiring dengan terjadinya pemekaran wilayah secara masif
(Lay, 2019). Kekuasaan juga bergeser dari penguasaan hampir mutlak
di tangan segelintir agensi (institusi dan aktor, seperti presiden dan
sejumlah terbatas elit militer, birokrasi teknokrat) di masa lalu ke
agensi dan arena baru yang semakin beragam. Arena negara dan
politik, misalnya birokrasi, partai politik, dan parlemen tidak lagi
menjadi lokus yang memonopoli kekuasaan. Kekuasaan menyebar ke
masyarakat sipil (CSO dan kelompok-kelompok terorganisasi lainnya,
seperti masyarakat adat, kelompok relawan, kelompok keagamaan),
berikut aneka lembaga sampiran negara. Institusi perantara, seperti
partai dan pemilu, elit, kelas menengah, hingga kelompok yang
termarjinalkan di masa lalu, kini ikut sebagai bagian dari pemilik
kekuasaan. Singkat cerita, selama ini telah, sedang, dan akan terus
terjadi ramifikasi kekuasaan. Lebih jauh, perkembangan teknologi
informasi tampaknya akan menggiring transformasi kekuasaan
memasuki tingkatan masa baru yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Fase ketika kekuasaan nir-rupa, nir-bentuk, menjadi amorf dan cair.
Kita telah menyaksikan cukup banyak kasus sebagai prolog ke arah
sana: sebuah video testimonial pendek yang menjadi viral bisa
menjadi agenda setter dan sekaligus instrumen mobilisasi politik
mahadahsyat yang merombak secara mendasar baik lanskap maupun
konfigurasi kekuasaan. Kisah ―Agni‖ yang baru saja mengguncang
UGM adalah salah satu ekspresi dari watak amorf dan cair kekuasaan
yang mudah bermigrasi secara cepat tanpa bisa diperkirakan.
Sayangnya, transformasi ini tidak diikuti kesiapan dan kapasitas
ilmu politik dan pemerintahan berikut intelektualnya untuk merespons
secara memadai, apalagi menemukan jalan keluar dari dilema yang
dihasilkan proses ini. Ketiganya seakan menjadi true believer dari cara
13
berpikir tradisional mengenai negara sebagai sesuatu yang omnipoten
dan, karenanya, menjadi satu-satunya representasi kekuasaan yang
harus dipelototi.
Rangkaian fenomena di atas mengantarkan saya pada
kesimpulan awal bahwa ilmu politik dan pemerintahan kini sedang
membeku di satu titik waktu dengan Orba sebagai simpul referensi
utamanya. Ilmu politik dan pemerintahan mengalami stagnasi dan
secara pasti mulai tunduk pada hukum spiral involusi–terminologi
yang diperkenalkan oleh Geertz (1963)—yang membuatnya
kehilangan relevansi dan orientasi dasarnya sebagai ilmu pengetahuan
untuk kemanusiaan. Akibatnya, ilmu-ilmu sosial, terutama ilmu
politik dan pemerintahan, semakin kehilangan kredibilitas dan
kapasitas objektif untuk bisa menuntun ilmu-ilmu yang secara disiplin
betul-betul steril dari kemasyarakatan, tetapi memiliki dampak luas,
mendalam, dan permanen ketika diproyeksikan ke dalam masyarakat.
Karenanya, ia membutuhkan kehadiran ilmu-ilmu sosial sebagai pelita
kecil yang memberikan penerangan.
Hadirin yang saya muliakan,
Di samping refleksi seperti digambarkan secara panjang lebar,
pidato pengukuhan ini berupaya untuk menemukan jalan ketiga di
antara kedua oposisi biner di atas. Seperti diindikasikan pada bagian-
bagian sebelumnya, jalan pertama yang mendominasi wacana relasi
antara intelektual dan kekuasaan dibangun di atas sikap pemujaan atas
dan penaklukan diri pada kekuasaan yang menempatkan kekuasaan
sebagai ruang yang nyaman bagi intelektual. Sementara jalan kedua
berangkat dari sikap kepura-puraan, pengabaian atau ketidaktahuan
atas kekuasaan yang mengandaikan kaum intelektual memiliki
kedigdayaan untuk hidup di luar dan terbebas dari jangkauan
kekuasaan. Kedua jalan di atas ibarat tiket satu arah, masuk atau
keluar. Jalan ketiga yang saya tawarkan, sebaliknya, bersifat timbal
balik. Kaum intelektual bisa masuk dan keluar dari kekuasaan
berdasarkan penilaian yang matang dan menyeluruh, bukan didikte
oleh motif kecintaan atau kebencian terhadap kekuasaan. Jalan ketiga
ini berbeda dengan logika ―berumah di angin‖ ala Rendra si Burung
14
Merak, yang menekankan fungsi ―resi‖ kaum intelektual yang hadir
hanya dalam situasi darurat dalam kerangka memperbaiki, jalan ketiga
yang saya tawarkan justru mengharuskan kehadiran intelektual dan
ilmu pengetahuan dalam praksis rutin kekuasaan. Jalan ketiga ini
menekankan sentralitas voluntarism dalam politik.
Jalan timbal balik ini diperlukan karena cukup banyak
intelektual yang mengalami kesulitan menemukan jalan kembali
begitu mereka berada di dalam lingkaran kekuasaan. Mereka seakan
tersesat di rimba raya politik yang tak bertepian. Atau sebaliknya,
banyak intelektual sedemikian traumatisnya pada politik sehingga
membunuh semua alasan untuk kembali memasukinya. Sebagian
lainnya, bahkan sejak dini mengharamkan dunia politik yang
digambarkan secara stereotyping sebagai dunia ―kotor‖; dunia ―para
pendosa‖ yang tidak layak dimasuki kaum intelektual sebagai simbol
―kebersihan‖ dan ―kesucian‖. Sifat homo homini lupus dari dunia
politik diikuti watak bengis ―Leviathan‖ dari kekuasaan (Hobbes,
1982), serta ―tujuan menghalalkan cara‖ ala Kautilyan (1992)—
penyusun Arthashastra, sebuah risalah India kuno mengenai
keterampilan kenegarawanan, kebijakan ekonomi, strategi militer dan
intelijen, serta politik luar negeri—atau Machiavellian (2003)––yang
nasihat-nasihatnya kepada Lorenzo de‘ Medici, penguasa Florence,
Italia, periode 1516–1519, telah didokumentasikan ke dalam karya
monumental The Prince––menyisakan terlampau sedikit alasan bagi
mereka untuk kembali memasuki dunia politik tempat kekuasaan
bekerja secara rutin dan lebih kasat mata.
Usaha menemukan jalan ketiga ini berangkat dari optimisme
saya bahwa “all good things can go together”. Dalam hal ini, saya
meyakini bahwa kekuasaan dan ilmu pengetahuan lahir dan
bertumbuh di atas cita-cita pembebasan manusia dan pemuliaan
kemanusiaan. Keduanya bisa menemukan alasan moral yang kuat dan
masuk akal untuk jalan bersisian di tengah-tengah pesimisme yang
berkembang. Saya sepenuhnya menyadari bahwa jalan ketiga ini
bukan jalan yang gampang. Berlapis-lapis jebakan yang bersumber
dari kombinasi antara daya merayu berkelanjutan dari kekuasaan yang
sangat luar biasa dan sifat alamiah manusia, termasuk dan terutama
kaum intelektual yang membutuhkan ―pengakuan‖ dan ―penghargaan‖
15
atas kontribusinya. Pengakuan dan penghargaan yang ekspresi riilnya
dapat berupa jabatan, kekayaan atau sebatas penghormatan sosial.
Lebih lagi, setiap lapis jebakan menyediakan alasan pembenar yang
secara moral tampak meyakinkan.
Hadirin yang saya muliakan,
Di sepanjang pergaulan dan interaksi panjang saya dengan
banyak pelaku di dunia politik, saya telah cukup menyaksikan
bagaimana sebagian mereka bahkan gagal pada jebakan yang paling
sederhana ketika mendapatkan kekuasaan, yakni menempatkan
kekuasaan sebagai sesuatu yang wajar, sesuatu yang normal. Begitu
banyak pelaku politik tergagap menerima kekuasaan dan berakhir
dengan perilaku membelakangi akal sehat; menampakkan diri sebagai
manusia kemaruk yang gila hormat. Ada yang begitu mudah
tersinggung ketika diundang dan tidak menempati tempat duduk yang
dianggap mewakili derajatnya, ada yang kebingungan mengatur
penampilan, ada yang merasa perlu mendeklarasikan kehadirannya
secara rutin di jalanan lewat suara ngiung-ngiung voorijder, ada yang
membangun jarak sangat panjang, bahkan dengan sahabat masa lalu
melalui penciptaan saluran protokoler yang rumit dan panjang, ada
yang merasa perlu mendemonstrasikan kepemilikan kekuasaannya
dengan kawin lagi atau memiliki ―peliharaan‖, dan masih sederetan
perangai lainnya.
Sejumlah pelaku politik yang mampu melewati fase awal ini
kadang gagal melewati jebakan fase berikutnya: penyalahgunaan
kekuasaan yang membuat imparsialitas, sebagai properti khas dari
institusi dan jabatan publik, kehilangan jejaknya; bertukar wajah
menjadi institusi dan jabatan partisan; bahkan tidak jarang merosot
menjadi properti keluarga atau individual pemegang kekuasaan. Hal
ini seakan membangkitkan kembali klaim yang begitu luas dikritik,
L’Etat C’est Moi (Negara adalah Aku) ala Louis XIV. Sialnya,
bertumpuk alasan yang bisa membenarkan godaan ke arah
penyalahgunaan kekuasaan, mulai dari yang bersifat askriptif
(identitas dan kekerabatan) hingga alasan kemanusiaan seumpama
membantu orang yang membutuhkan. Saya menyaksikan, cukup
16
banyak pelaku politik yang gugur di fase ini. Bagi yang mampu
melewati, di hadapannya telah menghadang jebakan lain: menjadikan
kekuasaan bermanfaat bagi banyak orang. Di fase ini sebagian pelaku
politik gagal karena dua alasan yang berada pada aras yang berbeda:
mentahnya penguasaan ideologi dan rendahnya penguasaan aspek
teknokratik-manajerial yang menandai kebanyakan pelaku politik
Indonesia. Keasyikan intelektual Indonesia mengontrol, mengkritik,
bahkan memaki dan menghina bekerjanya kekuasaan dan para
pelakunya, membikin mayoritas mereka, terutama ilmuwan sosial,
alpa dalam menjalankan fungsi empowering dan strengthening yang
justru sangat diperlukan para pelaku politik guna menjadikan
kekuasaan yang digenggam bermanfaat bagi publik, bangsa, negara,
dan, di atas segalanya, bagi kemanusiaan. Bagi pelaku politik yang
melewati fase ini, tantangan berikutnya yang tidak mudah dilewati
adalah menemukan alasan dan jalan turun dari kekuasaan secara
elegan dan bermartabat. Secara subjektif banyak alasan untuk bertahan
di kekuasaan, bahkan tidak jarang dengan cara-cara yang tidak masuk
akal. Secara objektif, saya menyaksikan terlampau banyak alasan di
luar kontrol sang pelaku politik yang membikin penemuan alasan dan
jalan mundur seakan menjadi pekerjaan yang mustahil. Karena alasan
tersebut, penting digarisbawahi bahwa jalan ketiga ini, mengandaikan
setiap intelektual, terlepas dari disiplin ilmu yang digeluti, adalah
sekaligus zoon politicon dalam pengertian Aristotelian—makhluk
politik yang bermasyarakat yang bukan saja mempersenjatai diri
dengan pengetahuan dan kesadaran tentang politik, tapi sekaligus
bersedia bertindak secara politik bagi kepentingan kolektivitas ketika
diperlukan.
Bagi intelektual yang ingin memasuki atau keluar dari dunia
politik, mereka dituntut senantiasa sadar dan waspada akan bahaya
yang melekat dalam kekuasaan, baik yang terbentang di belantara
dunia politik maupun di dunia ilmu pengetahuan sebagai ekosistem di
mana proses memproduksi dan mereproduksi ilmu pengetahuan
sekaligus merupakan proses produksi dan reproduksi kekuasaan dalam
raut yang lain. Kaum intelektual harus waspada bahwa hukum
sederhana ―power changes people!‖ berlaku universal, termasuk bagi
kaum intelektual. Kaum intelektual harus menyadari bahwa kekuasaan
17
tidak mungkin dihilangkan dan exercise of power tidak melulu
merupakan hal yang buruk (Wallace, 2015, hal. 111–113). Seorang
intelektual juga harus menyadari bahwa setiap keterlibatannya
mempunyai suatu sifat politis seperti yang secara indikatif
disampaikan Soedjatmoko (1980). Yang sama pentingnya, kaum
intelektual harus menyadari bahwa idealisme sekalipun bukan
merupakan jaminan memadai untuk menghindarkan diri dari jebakan
kekuasaan dan sindrom superioritas. Intelektual harus menyadari
bahwa, sebagai agen utama untuk memproduksi dan mendesiminasi
ilmu pengetahuan, intelektual dan institusi perguruan tinggi sangat
terpengaruh oleh politik pengetahuan (Weiller, 2011). Karena itu,
intelektual harus menyadari beragam kekuatan politik yang
berkontribusi dalam membentuk kurikulum dan penelitian, penilaian
kualitas akademik, dan relasinya dengan negara.
Bagi saya, ujian terbesar seorang intelektual bukanlah pada
kemampuan dan kesiapannya untuk dengan lantang memaki
kekuasaan dan para pelakunya, tetapi justru ketika ia bisa bersahabat
dan menjadi bagian dari kekuasaan sembari tetap mampu menjaga
kewarasan dan karakter dasar intelektual: berpikir bebas dan bertindak
bijak bagi kepentingan kemanusiaan. Hal terakhir ini perlu
digarisbawahi karena saya menyaksikan cukup banyak intelektual
yang terjangkiti sindrom superioritas yang secara keliru mengira
dirinya unggul secara intelektual dan moral di hadapan kekuasaan.
Sindrom yang mengantarkan mereka pada sikap jemawa yang
memosisikan pelaku politik sebatas sebagai robot pelaksana atau
corong baginya. Saya sudah cukup sering menyaksikan betapa
intelektual berubah menjadi musuh paling gigih dari kekuasaan yang
pernah didukungnya hanya karena alasan sangat sederhana: pemikiran
atau usulannya tidak diakomodasi. Dengan serangkaian alasan ini,
saya perlu menggarisbawahi bahwa jalan ketiga yang ditawarkan—
masuk dan keluar kekuasaan secara fleksibel dengan menempatkan
kemanusiaan sebagai motif pokoknya—menuntut kematangan,
kepekaan dan kapasitas dalam menilai politik. Sesuatu yang tidak bisa
dihasilkan secara instan.
18
Hadirin yang saya muliakan,
Mengakhiri pidato ini, izinkan saya menggarisbawahi keyakinan
saya bahwa tujuan-tujuan mulia yang melekat dalam kelahiran dan
menjadi fondasi dari ilmu pengetahuan dan tujuan yang melekat
dalam filsafat kekuasaan bertumpu pada kehendak yang sama: cita-
cita pembebasan manusia dan pemuliaan kemanusiaan. Kesamaan
kehendak inilah yang menjadi titik konvergensi di antara keduanya.
Dengannya, sekalipun tampak hidup dalam dunia yang terpisah, pada
dasarnya keduanya saling menghidupi: intelektual pasti hidup dalam
kekuasaan, dan kekuasaan membutuhkan ilmu pengetahuan.
Hadirin yang saya muliakan,
Jabatan Guru Besar ini telah melalui jalan panjang yang
melibatkan begitu banyak individu dan kerja kolektif. Kepada mereka,
ucapan terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan.
Kepada Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi,
Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti, Rektor UGM, Senat
Akademik, Dewan Guru Besar, Senat Fakultas, Dekan Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik UGM, dan para wakil dekan, terima kasih atas
segenap dukungannya atas pengajuan jabatan guru besar saya.
Kepada Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) sebagai
komunitas epistemik, terima kasih atas pertukaran ide yang sangat luar
biasa. Sebagai komunitas sosial, DPP telah menciptakan ruang
harmoni dan gotong royong yang memungkinkan saya berkarya
selama ini. Pada rekan-rekan DPP secara individu: alm. Pak Mariun,
Pak Josef Riwu Kaho, Pak Ibnu, Pak Hardiman, alm. Pak Afan, alm.
Mas Ris, Pak Andre Bayo Ala, almh. Bu Lin, Pak Mashuri, Mas Har,
Mbak Ratna, Mas Tik, Mas Pur, Mas BP, Bli Ari, Cak Gaffar, Mas
Mada, Mbak Linda, Mas Wawan, Mas NIK, Mbak Aziz, Mas Sigit,
Mas Acong, Mas Bayu, Mas Ayik, Mas Hanif, Mbak Nova, Mas
Joash, Mbak There, Mas Hari, Mbak Pipin, Mas Arya, Mbak Ina, dan
Mas Djindan. Rekan-rekan DPP yang mengurusi administrasi, serta
19
staf peneliti, publikasi dan media Research Centre for Politics and
Government (PolGov).
Terima kasih saya haturkan pada para senior guru besar dan
kolega dosen di lingkungan FISIPOL UGM, serta rekan-rekan muda
dan milenial Fisipolers yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.
Untuk Mbak Megawati Soekarnoputri, alm. Mas TK, dan
tokoh-tokoh partai politik terutama dari PDI hingga generasi PDI
Perjuangan ucapan terima kasih saya haturkan untuk rangkaian
pengalaman yang saya alami bersama.
Kepada kawan-kawan Jurusan Ilmu Pemerintahan angkatan
1980, para guru teman-teman SD Piet Kupang, SMP Negeri 2
Kupang, SMA Negeri 173 (1) Kupang, kawan-kawan asrama
mahasiswa NTT ―Pa Radja‖ Tegal Panggung, serta warga
Persaudaraan Kupang Raya Yogyakarta (PERKURAY), terima kasih
untuk persahabatannya. Kepada rekan-rekan ―Semar‖, senior dan
alumni serta adik-adik GMNI yang mendidik saya tentang
kebhinekaan dan ke-Indonesia-an, untuk rekan-rekan aktivis dan
intelektual dari berbagai perguruan tinggi dan berbagai kota yang
tidak bisa saya sebutkan satu per satu, terima kasih saya haturkan.
Terima kasih khusus kepada asisten saya, Umi Lestari, dan
mantan asisten saya, Erwin Endaryanta serta Eko Agus Wibisono,
yang membantu dalam berbagai riset dan hal-hal terkait administrasi.
Terima kasih yang sangat mendalam dihaturkan kepada
keluarga: Om Josef Riwu Kaho dan tanta, alm. Om Robert Riwu
Kaho, alm. Om Adi Boeky, alm. Om Lado di Bintaran, alm. Opa
Manu Toebe, Tanta Rien Utomo-Bengu, alm. Om Piet Talo, Om Lius
Riwu Kaho, alm. Pak Ismandar, Nomleni, almh. Ibu Karels-Suek,
George Eman, Kore Mega, Huma, Ba‘ki, Rudy Rohi, Rony Riwu
Kaho, Dimu Tagudedo, Anton Nomleni, Handoko Ismandar, Johny
Abubakar, Ira Merciana, Mbah Gino, serta Kak Lina.
Untuk keluarga: Markus, Wie Lawa, Djara Nyoera, Kana Djara,
Dimu, Malada, Mone, Leo-Paitiba, La‘a, Duru Kana, Paman Kadir,
Ratu Dara, Djo, Hede, Mondolang, Bunga Nawa, Lawa, Lobo, Bola,
Ito, Baleare, Dima, Lena, Kana, Mira Kaho, Ha‘ba Medo, Kore,
Messakh, Lodo, Bale, Ludji Pau, Moedak, Riwu Manu, Talo, Dila,
Tinge, Do, Lino, Wenyi, Nathan, Bire, Radja, Maru, Kaho, Rihi Heke,
20
Lado, Kota Dia, Edji, Lado Hado, Dja‘ra, Djari, Radja, Lado Beng‘u,
Oma Wele, Ama Bua, D‘ida, Medah, dan sejumlah lainnya semuanya
di lingkungan kampung Fontein dan sekitarnya, berikut keluarga Aka
di Bonipoi, Babu di Nunhila, Wila Hege, Djami, Mauguru dan
Makarim di Mantasi, serta teman-teman yang tumbuh bersama di
jalanan Pasar Pelita dan Pasar Oeba, ucapan terima kasih yang tak
terhingga saya sampaikan.
Untuk orang tua kami Oma Tel dan alm. Opa Tos, berikut
saudara ipar: keluarga Bu No Manuhutu-Mama Ina, Arthur Lokollo,
Clif Lokollo, Ai Lokollo, Deny Lokollo, serta Nedy-Mei ucapan
terima kasih yang dalam saya haturkan. Ucapan yang sama
disampaikan kepada keluarga alm. Papa Eman Lokollo di Ambon dan
Om Bert Lokollo di Makasar.
Papa Kici-Mama Os dan adik-adik Lius, Polce, Eny, Dince, Evi,
ama Bua, Ester, dan Heintji; Papa-Mama Rote dan semua adik-adik;
alm. Om Kela-almh. tanta Rika dan adik-adik Ruben, Peu, Djara,
Nico, alm. Meu; alm. Om Doro Raga beserta kakak-adikku; alm. Om
Ney Dimu Djami dan almh. Mami serta adik-adik almh. Moni, Welly
dan almh. Waty; alm. Mama Na Kana, Mama Rica, Papa Dane Lay
dan Kakak Dai serta adik-adik di Sabu, Nan Lay di Kupang berikut
mama Nela di Ende dan adik-adik, alm. Aa Ratu dan kak Omi, almh.
Aa Tenga dan Aa Ngahu semuanya di Kupang ucapan terima kasih
tak terhingga saya sampaikan.
Untuk Kak Yaty dan Aba Dato beserta Faisal, Engko-Chia, Iwan
dan Ona-Adam; Kak Tina dan alm. Kak Ipu beserta Melan-Calvin,
Ongen-Deby, dan Remon; Kak Lele; Ince-Adi dan Nabila serta almh.
adik tercinta Ina, Carlos, dan Mama Anna beserta Nadhia, Ama, Isak,
dan Susan.
Almarhum ayah tercinta yang kami panggil dengan sebutan
Nene Tana (Paulus Lay) dan Almarhumah ibu tercinta yang kami sapa
dengan Babu Tana (Elizabeth Raga-Lay), berikut Jeanne Cynthia Lay-
Lokollo istri tercinta; serta Dhiera Anarchy Rihi Lay dan Dhivana
Anarchia Ria Lay anak-anakku tersayang, terima kasih untuk doa dan
cinta kasih kalian yang tak bertepi. Akhirnya, syukur tak terhingga
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa: kehendak-Mu jadilah!!!
21
DAFTAR PUSTAKA
Apriando, T. 2018. Warga Rembang dan Pati Minta Dosen UGM
Jujur Selamatkan Kendeng. Ada Apa? Diakses dari:
http://www.mongabay.co.id/2015/03/22/warga-rembang-dan-
pati-minta-dosen-ugm-jujur-selamatkan-kendeng-ada-apa/. [30
Oktober 2018].
Benda, J. 1999. Pengkhianatan Kaum Intelektual, Gramedia Pustaka
Utama bekerja sama dengan Forum Jakarta, Jakarta.
Dhakidae, D. 2003. Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde
Baru, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Dhakidae, D. 2015. Menerjang Badai Kekuasaan: Meneropong
Tokoh-Tokoh dari Sang Demonstran, Soe Hok Gie, sampai
Putra Sang Fajar, Bung Karno, Kompas, Jakarta.
Emmerson, D.K. 1983. ‗Understanding the New Order: Bureaucratic
Pluralism in Indonesia‘, Asian Survey, vol. 23, no. 11, hal.1220-
1241.
Evans, M. 2004. Killing Thinking: The Death of the Universities,
Continuum, London.
Foucault, M & Deleuze, G. 1977. ‗Intellectuals and Power‘ dalam DF
Bouchard, (ed), Language, counter-memory, practice: Selected
essays and interview, hal. 205–217, Cornell University Press,
Ithaca.
Gramsci, A. 1971. Selections from the Prison Notebooks, eds and
translated Q Hoare & GN Smith, Lawrence & Wishart, London.
Geertz, C. 1963. Agricultural Involution: The Process of Ecological
Change in Indonesia, University of California Press, Berkeley.
Hadiz, V.R. & Dhakidae, D. 2005. Social Science and Power in
Indonesia, ISEAS/Equinox Publishing, Singapore.
Hayward, C.R. 2000. De-facing Power, Cambridge University Press,
Cambridge.
Hobbes, T. 1982. Leviathan, Penguin Classics, London.
Idhom, A.M. 2015. Akademisi Gusur Penduduk demi Restorasi
Gumuk Pasir. Diakses dari: https://nasional.tempo.co/read/
710426/akademisi-gusur-penduduk-demi-restorasi-gumuk-pasir/
full &view=ok. [30 Oktober 2018].
22
Kautilya. 1992. The Arthashastra, Penguin Books India, Gurugram.
Kleden, I. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Lembaga
Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial
(LP3ES), Jakarta.
Kuntadi. 2012. Penambangan Pasir Pesi Ditolak Berbagai Pihak.
Diakses dari: https://daerah.sindonews.com/read/670548/22/
penambangan-pasir-besi-ditolak-berbagai-pihak-1346914186.
[30 Oktober 2018].
Kusman, A.P. 2018. The Vortex of Power: Intellectuals and Politics in
Indonesia’s Post-Authoritarian Era, Palgrave Macmillan,
Singapore.
Latif, Y. 2005. Inteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi
Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20, Mizan, Jakarta.
Lay, C. 2016. ‗Kegaduhan Politik: Demokrasi Para Politisi Tuli‘
dalam Tim Kompas-KAGAMA, Dari Bulaksumur untuk
Indonesia: Kumpulan Pemikiran Insan Universitas, hal. 143–
159, Kompas, Jakarta.
Lay, C. 2019 forthcoming. ‗The Politics of Centre-local Relations in
Contemporary Indonesia‘ dalam M Lane, (ed), After Reformasi:
Changes in Political and Ideological Contestation, ISEAS-
Yusof Ishak Institute, Singapore.
Lukes, S. 1974. Power: A Radical View, Palgrave Macmillan,
London.
Machiavelli, N. 2003. The Prince, Reissue edn, Penguin Books,
London.
McVey, R. 1982. ‗The Beamtenstaat in Indonesia‘ dalam BRO‘G
Anderson & A Kahin, (eds), Interpreting Indonesian politics:
Thirteen Contributions to the Debate, hal. 137–148, Equinox
Publishing, Singapore.
Nursam, M. 2008. Membuka Pintu bagi Masa Depan: Biografi
Sartono Kartodirdjo, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
Prayitno, T.H. 2003. Warga Pagilaran Tetap Menuntut Lahan
Garapan Dikembalikan. Diakses dari: https://www.liputan6.
com/news/read/50393/warga-pagilaran-tetap-menuntut-lahan-
garapan-dikembalikan .[30 Oktober 2018].
23
Rahayu, N. 2017. Melihat Peluang Bisnis Peternakan Potensial, UGM
Gelar Kuliah Gratis untuk Petani. Diakses dari
https://www.wartaekonomi.co.id/read155714/melihat-peluang-
bisnis-peternakan-potensial-ugm-gelar-kuliah-gratis-untuk-
petani.html. [20 Desember 2018].
Russell, B. 1938. Power: A New Social Analysis, London, Allen &
Unwin.
Soedjatmoko. 1981. ‗Cendekiawan dalam Suatu Bangsa yang
Berkembang‘ dalam Hartoko, D, (ed), Mereka yang Berumah di
Angin: Sebuah Bunga Rampai, hal. 39–56, Gramedia, Jakarta.
Soemardjan, S. 1976. ‗Peranan Cendekiawan dalam Pembangunan
Nasional‘, Prisma, no. 11, hal. 1–15.
Sukarno. ―Ilmu dan Amal‖, Kumpulan pidato, YPS, Jakarta.
Sparingga, D.T. 1997. ―Discourse, Democracy and Intellectuals in the
New Order Indonesia: A Qualitative Sociological Study‖, Phd
thesis, Flinders University.
Syarif, E.Y. 2017. Kampus Rakyat di Proyek Konglomerat. Diakses
dari https://www.indopress.id/article/nasional/kampus-rakyat-di-
proyek-konglomerat. [30 Oktober 2018].
Wardani, A.S. 2016. Keren, Hasil Penelitian UGM Ini Siap Basmi
Penyakit DBD. Diakses dari https://www.liputan6.com/
tekno/read/2575364/keren-hasil-penelitian-ugm-ini-siap-basmi-
penyakit-dbd.[19 November 2018].
Washburn, J. 2005. University, inc: The Corporate Corruption of
Higher Education, Basic Books, New York.
Weiler, H.N. 2011. ‗Knowledge and Power: The New Politics of
Higher Education‘, Journal of Educational Planning and
Administration, vol. xxv, no. 3, hal. 215–221.
Kusuma, W. 2018. Di Tangan Mereka, Kotoran Gajah diolah Jadi
Papan Komposit yang Berkualitas. Diakses dari
https://regional.kompas.com/read/2018/03/28/15440061/di-
tangan-mereka-kotoran-gajah-diolah-jadi-papan-komposit-yang-
berkualitas. [19 November 2018].
24
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Cornelis Lay
Tempat, tanggal lahir : Kupang, 6 September
1959
Pekerjaan : Dosen
NIP : 195909061988031002
Pangkat, Golongan : Pembina Utama Muda,
IV/c
Alamat Kantor : Departemen Politik dan Pemerintahan, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah
Mada.
Alamat Rumah : Perum Taman Cemara, Maguwoharjo, Depok,
Sleman, DIY
Keluarga
Istri : Jeanne Cynthia Lay Lokollo
Anak : 1. Dhiera Anarchy Rihi Lay
2. Dhivana Anarsya Ria Lay
Riwayat Pendidikan
2015, Dr., Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIPOL), UGM.
1992, M.A., International Development Studies, St. Marry‘s
University.
1987, Drs., Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIPOL, UGM.
1984, B.A., Jurusan Ilmu Pemerintahan, FISIPOL, UGM.
25
Riwayat Pekerjaan
1988–sekarang, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan,
FISIPOL, UGM.
2016–sekarang, Kepala Research Center for Politics and
Government (PolGov), Departemen Politik dan Pemerintahan,
FISIPOL, UGM.
PUBLIKASI
Buku
Mas‘udi, W & Lay, C. (eds). 2018. The Politics of Welfare: Contested
Welfare Regimes in Indonesia, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta.
Lay, C. & van Klinken, G. 2014. ‗Growing up in Kupang‘, dalam G
van Klinken, G. & W. Berenschot, (eds.), Middle Classes in
Provincial Town, pp. 147–170, Brill, London.
Lay, C. & Pratikno. 2013. ‗From Populism to Democratic Polity:
Problems and Challenges in Solo‘, dalam K Stokke & O
Törnquist, Democratization in the Global South: The
Importance of Transformative politics, pp. 254–276, Palgrave
Macmillan, Hampshire.
Artikel Jurnal
Lay, C. 2018. ‗Hometown Volunteers: A Case Study of Volunteers
Organisations in Surakarta Supporting Joko Widodo‘s
Presidential Campaign‘, Copenhagen Journal of Asian Studies,
vol. 36, no. 1, hal. 79–105, https://rauli.cbs.dk/ index.php/cjas/
article/view/5513.
Lay, C. 2018. ‗Musyawarah‘, Prisma, vol. 37, no. 2, hal. 72–85.
Haryanto, Lay, C. & Purwoko, B. 2018. ‗Asymmetrical
Decentralization, Representation, and Legitimacy: A Case Study
of Majelis Rakyat Papua‘, Asian Survey, vol. 58, no. 2, hal. 365–
386, http://as.ucpress.edu/content/58/2/365.
26
Lay, C., Hanif, H., Ridwan, & Rohman, N. 2017. ‗The Rise of
Uncontested Elections in Indonesia: Case Studies of Pati and
Jayapura‘, Contemporary Southeast Asia, vol. 39, no. 3, hal.
427–448, https://muse.jhu.edu/article/683832.
Lay, C. 2017. ‗Volunteers from Periphery: Case Studies of the
Survivors of the Lapindo Mudflow and Stren Kali, Surabaya
Forced Evictions‘, Southeast Asian Studies, vol. 6, no. 1, hal.
31–61,Ohttps://englishkyoto-seas.org/2017/04/vol-6-no-1-
cornelis-lay/.
Lay, C. 2017. ‗Political Linkages between CSOs and Parliament in
Indonesia: A Case Study of Political Linkage in Drafting The
Aceh Governance Law‘, Asian Journal of Political Science, vol.
25, no. 1, hal. 130–150, https://www.tandfonline.com/
doi/abs/10.1080/02185377.2017.1297243.
Lay, C. 2017. ‗The Emerging of New Democratic Space: CSOs and
Parliament in Post-Soeharto Indonesia‘, Power, Conflict and
Democracy Journal, vol. 5, no. 1, hal. 1–24, 2017,
https://jurnal.ugm.ac.id/pcd/article/view/26286.