jtptunimus gdl dianajipra 5442 2 babii
DESCRIPTION
Usus Buntu akutTRANSCRIPT
-
BAB II
KONSEP DASAR
A. PENGERTIAN
Appendiksitis adalah peradangan dari appendik vermiformis, dan semua
penyebab akut yang paling sering (Mansjoer & Arif, 2000). Menurut Smeltzer C
(2002), dalam Long (1996), pengertian appendiksitis adalah ujung seperti jari
yang kecil panjangnya kira-kira sekitar 10cm (4 inchi), melekat pada sekum
tepat bawah katup ileocecal. Appendiksitis adalah suatu peradangan yang
berbentuk cacing, yang berlokasi di katup ileocecal. Hal lain yang disebutkan
(Price, 2006), appendiksitis adalah peradangan appendiks yang mengenai semua
lapisan dinding organ.
Jadi yang dapat disimpulkan peengertian dari appendiksitis adalah suatu
peradangan yang terjadi pada appendiks seperti jari yang kecil panjangnya kira-
kira sekitar 10cm (4 inchi), melekat pada sekum tepat bawah katup ilocecal yang
merupakan dan memerlukan pembedahan segera untuk mencegah komplikasi
yang lebih buruk jika telah terjadi perforasi.
Klasifikasi appendiksitis terbagi menjadi 2 macam yaitu:
1. Appendiksitis akut, dibagi atas: Appendiksitis akut fokalis atau segmentalis,
yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal appendiksitis purulenta difusi,
yaitu sudah bertumpuk nanah. Appendiks akut merupakan infeksi bakteri.
Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen
appendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus di
6
-
samping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor appendiks dan cacing
ascaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat
menimbulkan appendiksitis adalah erosi mukosa appendiks karena parasit
seperti E. Histolytica.
2. Appendiksitis kronik, dibagi atas: Apendiksitis kronis fokalis atau parsial,
setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendiksitis kronis oblivertiva
yaitu appendiksitis miring, biasanya ditemukan pada usia tua. Diagnosis
appendiksitis kronik ditegakkan jika dipenuhi semua syarat: riwayat nyeri
perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik appendiks secara
makroskopis dan mikroskopis, dan keluhan menghilang setelah
appendiktomi.
B. ANATOMI DAN FISIOLOGI
http://www.google.co.id/search=anatom/fisiologi/sistem/pencernaan
7
-
Appendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10
cm (kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar dibagian distal. Namun demikian, pada bayi, menyempit
ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden
appendiksitis pada usia itu. Pada 65% kasus, appendiksitis terletak
intraperitonial. Kedudukan itu memungkinkan appendik bergerak dan ruang
geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungannya.
Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu dibelakang
sekum, di belakang kolon assenden, atau tepi lateral kolon assenden. Gejala klinis
appendiksitis ditentukan oleh letak appendiks.
Persyarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti
a.mesentrika superior dan a.apendikularis. Sedangkan persyarafan simpatis
berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendiksitis
bermula dari umbilicus.
Peradarahan appendiksitis berasal dari a.apendikularis yang merupakan
arteri tanpa kolateral. Jika ini tersumbat misalnya karena thrombosis pada infeksi
appendiks akan mengalami gangrene.
(De jong, dkk, 2004)
8
-
FISIOLOGI
1. Usus halus
Usus halus atau intestinum minor adalah bagian dari sistem pencernaan
makanan yang berpangkal pada pilorus dan berakhir pada sekum yang
panjanngnya kurang lebih 6 m. Merupakan saluran paling panjang tempat
proses pencernaan dan absorpsi hasil pencernaan yang terdiri dari lapisan
usus halus (lapisan mukosa [sebelah dalam]), lapisan otot melingkar
(M.sirkuler), lapisan otot memanjang (M.longitudinal) dan lapisan serosa.
2. Duodenum
Duodenum disebut juga usus 12 jari, panjangnya kurang lebih 25 cm,
berbentuk sepatu kuda melengkung kiri, pada lengkungan ini terdapat
pankreas. Pada bagian kanan duodenum ini terdapat selaput lendir, yang
membukit disebut papila vateri ini bermuara saluran empedu (duktus
koledokus) dan saluran pankreas (duktus wirsungi/duktus pankrestikus).
Empedu dibuat di hati untuk dikeluarkan ke duodenum melalui duktus
koledokus yang fungsinya mengemulsikan lemak, dengan bantuan lipase.
Pankreas juga menghasilkan amilase yang berfungsi mencerna hidrat arang
menjadi sakarida, dan tripsin yang berfungsi mencerna protein menjadi asam
amino atau albumin dan polipeptida.
Dinding duodenum mempunyai lapisan mukosa yang banyak
mengandung kelenjar-kelenjar bruner, berfungsi untuk memproduksi getah
intesnium.
9
-
3. Jejenum dan ileum
Jejunum dan ileum mempunyai panjang sekitar kurang lebih 6 m. Dua
perlima bagian atas adalah (jejenum) dengan panjang kurang lebih 23 m dan
ileum dengan panjang 4-5 m. Lekukan jejenum dan ileum melekat pada
dinding abdomen posterior dengan perantaraan lipatan peritonium yang
berbentuk kipas dikenal sebagai mesentrium.
Akar mesentrium memungkinkan keluar dan masuknya cabang-
cabang arteri dan vena mesentirka superior, pembuluh limfe dan saraf ke
ruang antara 2 lapisan peritoneum yang membentuk mesentrium. Sambungan
antara jejenum dan ileum tidak mempunyai batas tegas. Ujung bawah ileum
berhubungan dengan sekum dengan perantaan lubang yang bernama orifisium
ileosikalis. Orifisium ini diperkuat oleh sfingter ileosekalis dan pada bagian
ini terdapat katup valvula sekalis atau valvula baukhini yang berfungsi untuk
mencegah cairan dalam kolon asenden tidak masuk kembali ke ileum.
4. Usus besar
Usus besar atau intestinum mayor panjangnya kurang lebih 1,5 m,
lebarnya 5-6 cm. Lapisan-lapisan usus besar dari dalam ke luar: selaput
lendir, lapisan otot memanjang, jaringan ikat. Fungsi usus besar adalah
menyerap air dari makanan, tempat tinggal bakteri koli, tempat feses.
5. Sekum
Dibawah sekum terdpat appendiks vermiformis yang berbenruk
cacing sehingga disebut juga umbai cacing, panjangnya 6 cm. Seluruhnya
ditutupi oleh peritonium mudah bergerak walaupun tidak mempunyai
10
-
mesenterium dan dapat diraba melalui dinding abdomen pada orang yang
masih hidup.
6. Kolon assendens
Panjangnya 13 cm, terletak di bawah abdomen sebelah kanan,
membujur ke atas dari ileum ke bawah hati melengkung ke kiri, lengkungan
ini disebut fleksura hepatica, dilanjutkan sebagai kolon transversum.
7. Appendiks (usus buntu)
Bagian dari usus besar yang muncul seperti corong dari ujung sekum,
Mempunyai pintu keluar yang senpit tetapi masih memungkinkan dapat
dilewati oleh beberapa isi usus. Appendiks tergantung menyilang pada linea
terminalis masuk ke dalam rongga pelvis minor, terletak horizontal di
belakang sekum. Sebagai suatu organ pertahanan terhadap infeksi kadang
appendiks bereaksi secara hebat dan hiperaktif yang bisa menimbulkan
perforasi dindingnya ke dalam rongga abdomen.
8. Kolon transversum
Panjangnya kurang lebih 38 cm, membujur dari kolon assendens
sampai ke kolon desendens berada dibawah abdomen, sebelah kanan terdapat
fleksura hepatica dan sebelah kiri terdapat fleksura lienalis.
9. Kolon desendens
Panjangnya kurang lebih 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian
kiri membujur dari kiri atas ke bawah fleksura lienalis sampai ke depan ileum
kiri, bersambung dengan kolom sigmoid.
11
-
10. Kolon sigmoid
Kolon sigmoid merupakan lanjutan dari kolon desendens, terletak
miring dalam rongga pelvis sebelah kiri, bentuknya menyerupai huruf S,
ujungnya bawahnya berhubungan dengan rectum.
11. Rektum
Rektum terletak di bawah kolon sigmoid yang menghubungkan
intesnium mayor dengan anus, terletak dalam rongga pelvis di depan os
sakrum dan os koksigis.
(Syarifuddin H, 2006)
C. ETIOLOGI/PREDISPOSISI
Menurut (Smeltzer,2001) etiologi atau predisposisi appendiksitis adalah
sebagai berikut:
1. Obstruksi lumen
2. Infeksi, biasanya secara hematogen. Antara lain jenis kuman: E. Coli,
Streptocouccus.
3. Makan makanan yang rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap
timbulnya appendiks.
Yang mempengaruhi terjadinya appendiksitis ada 4 faktor yaitu:
1. Adanya lumen
2. Derajat sumbatan terus meneurs
3. Sekresi mukus ysng terus menerus
4. Sifat inelastis/tak lentur dari mukosa appendik
12
-
D. PATOFISIOLOGI
Appendiksitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks oleh
hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebutkan mukus yang diproduksi mukosa yang
mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun
elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan
peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan
ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi appendiksitis akut fokal yang ditandai
oleh nyeri epigastrium.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini
disebut dengan appendiksitis supuraktif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding
appendiks yang diikuti gangren. Stadium ini disebut dengan appendiksitis
gangreosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendiksitis
perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak kearah appendiks hingga timbul suatu massa lokal yang
disebut infiltrat appendilkularis. Peradangan appendiks tersebut menjadi abses
13
-
atau menghilang. Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan appendiks
lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
kurang memudahkan tejadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua, perforasi
mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.
(Mansjoer. A, 2000)
E. MANIFESTASI KLINIK
1. Nyeri di daerah umbilikus atau periumbulikus.
2. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan ke titik Mc Burney,
kadang juga tidak timbul nyeri.
3. Sering mual dan muntah.
4. Nafsu makan menurun.
5. Mengeluh sakit perut pada saat batuk dan berjalan.
6. Demam tidak terlalu tinggi suhu sekitar 37,50-38,50C.
7. Malaise.
F. KOMPLIKASI
Appendiksitis merupakan penyakit yang jarang mereda dengan spontan,
tetapi penyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan
menjadi progresif dan mengalami perfoarsi. Karena perforasi jarang terjadi dalam
8 jam pertama, observasi aman dilakukan dalam masa tersebut. Tanda-tanda
perforasi meliputi nyeri, spasne otot dinding peut kuadran kanan bawah dengan
14
-
tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, dan
leukositasis semakin jelas.
Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah
operasi untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai
penunjang: tirah baring dalam posisi fowler medium (setengah duduk),
pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian cairan dan
elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik berspektrum luas
dilanjutkan dengan hasil kultur, transfusi untuk mengatasi anemia, dan
penanganan syok septic secara intensif bila ada.
Bila terbentuk abses appendiks akan teraba massa kuadran kanan bawah
yang cenderung menggelembung ke arah rectum atau vagina. Terapi dini dapat
diberikan kombinasi antibiotik (misalnya ampisilin, genatmisin, metronidazol,
atau klindamsin). Dengan sediaaan ini abses akan segera menghilang, dan
appendiktomi dapat dilakukan 6-12 minggu. Pelvis yang menonjol ke arah
rektum atau vagina dengan flukuasi posisi juga perlu dibutakan drainase
Tromboflebitis sufuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi merupakan
komplikasi yang letal. Hal ini harus kita curigai bila dietmukan demam sepsis,
menggigil, hepatomaegali, dan ikterus setelah terjadi perforasi appendiks. Pada
keadaan ini diindikasikan pemberian antibiotic kombinasi dengan drainase.
Kompilkasi yang lain dapat terjadi berupa abses subfrenikus dan fokal sepsis
intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.
15
-
G. PENATALAKSANAN
Appendiktomi
Ada 3 cara tehnik operatif yang mempunyai keuntungan dan kerugian
1. Insisi menurut Mc.Burney (grid incision atau muscle splitting incision).
Sayatan dilakukan pada garis yang tegak lurus pada garis yang
menghubungkan spinal iliaka anterior superior (SIAS) dengan umbilikus
pada batas sepertiga lateral (titik Mc.Burney). Sayatan ini mengenai kutis,
subkutis dan fasia. Otot-otot dinding perut dibelah secara tumpul menurut
arah serabutnya. Setelah itu akan tampak peritonium parietal (mengkilat
berwarna biru ke abu-abuan) yang disayat secukupnya untuk meluksasi
sekum. Sekum di kenal dari ukurannya yang besar, megkilat, lebih
kelabu/putih, mempunyai hustrae dan taenia koli. Sedangkan ileum lebih
kecil, lebih merah, dan tidak mempunyai haustrae atau taenia koli. Basis
apendiks dicari pada pertemuan ketiga taenia koli .
Tehnik inilah yang paling sering dikerjakan karena keuntungannya tidak
terjadi benjolan dan tidak mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum
pada alat-alat tubuh dan masa istirahat pasca bedah yang lebih pendek karena
penyembuhan lebih cepat. Kerugiannya adalah lapangan operasi terbatas, sulit
diperluas, dan waktu operasi lebih lama. Lapangan operasi dapat diperluas
dengan memotong otot secara tajam.
2. Insisi menurut Roux (muscle cutting incision)
Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc. Burney, hanya sayatannya
langsung menembus dinding perut tanpa memperdulikan arah serabut sampai
16
-
tampak peritonium. Keuntungannya adalah lapangan operasi lebih luas,
mudah diperluas, sederhana dan mudah.
Sedangkan kerugiannya adalah diagnosis yang harus tepat sehingga
lokasi dapat dipastikan, lebih banyak memotong syaraf dan pembuluh darah
sehingga perdarahan menjadi lebih banyak, masa istirahat pasca bedah lebih
lama karena adanya benjolan yang mengganggu pasien, nyeri pasca operasi
lebih sering terjadi kadang-kadang ada hematoma yang terinfeksi dan massa
penyembuhan lebih lama.
3. Insisi pararektal
Dilakukan sayatan pada garis batas lateral m. rektus abdominalis dekstra
secara vertical dati cranial ke kaudal sepanjang 10 cm. Keuntungan teknik ini
dapat dipakai kasus-kasus appendiks yang belum pasti dan kalau perlu
sayatan dapat diperpanjang dengan mudah. Sedangkan kerugiannya sayatan
ini tidak secara langsung mengarah ke appendiks atau sekum, kemungkinan
memotong saraf dan pembuluh darah lebih besar dan untuk menutup luka
operasi jahitan perlu dilakukan jahitan penunjang.
H. PENGKAJIAN FOKUS
1. Data dasar pengkajian
a. Aktivitas istirahat
Gejala: malaise
b. Sirkulasi
Tanda: Takikardi
c. Eliminasi
17
-
Gejala: Konstipasi pada awitan awal
Diare (kadang-kadang)
Tanda: Distensi abdomen, nyeri tekan/nyeri lepas, kekakuan
Penurunan atau tidak ada bising usus
d. Makanan dan cairan
Gejala: Anoreksia
Mual/muntah
e. Nyeri/kenyamanan
Gejala: Nyeri abdomen sekitar epigastrum dan umbilikus, yang meningkat
berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney (setengah jarak antara
umbilikus dan tulang kanan ileum kanan), meningkat karena
berjalan, bersin, batuk, atau napas dalam (nyeri berhenti tiba-tiba
diduga perforasi atau infark pada appendiks)
Tanda: Perilaku berhati-hati, berbaring ke samping atau telentang dengan
lutut ditekuk, meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah
karena posisi ekstensi kaki kanan/posisi duduk tegak.
f. Keamanan
Tanda: Demam
g. Pernapasan
Tanda: Takipnea, pernapasan dangkal
2. Usia
3. Pemeriksaan fisik
18
-
a. Inspeksi perut: tidak ditemukan gambaran spesifik, kembung sering
terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut
kanan bawah bisa dilihat massa atau abses periappendikuler
b. Palpasi: didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa
disertai nyeri lepas. Defans musparietale. Nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosis.
c. Peristaltik usus sering normal: peristaltik dapat hilang karena ileus
paralitik pada peritonitis generalsata akibat appendisitis perforate
4. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih
ditujukan untuk mengetahui letak appendiks. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau flesi aktif
sendi panggul kanan atau flesi aktif sendi ditahan. Bila apendiks yang
meradang menempel di m.psoas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan
nyeri. Uji obrutor digunakkan untuk melihat apakah apendiks meradang
kontak dengan m.obrutor interneus yang merupakan dinding panggul kecil.
5. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
1) Leukosit ringan (10.000-20.000) dengan peningkatan jumlah nefrotil
2) Pemeriksaan urin
3) Pada kondisi akut tidak memperbolehkan melakukan barineum enema,
namun jika kronik perlu dilakukan
b. Pemeriksaan USG bila terjadi infiltrat appendikularis
c. Pemeriksaan laparoskopi
19
-
I. PATHWAYS KEPERAWATAN
Hyperplasia folikel limfoit, fekalit,benda asing, cacing, tumor, peradangan
Obstruksi lumen appendik
Pembengkakan jaringan limfoid
Peningkatan produksi mukus
Bendungan pada dinding appendiks
Peningkatan tekanan intralumal sehingga menghambat Saluran limfe yang mengeluarkan mukus
Edema dan ulserasi appendiks
Appendisitis akut Obstruksi vena dan perluasan peradangan
gangguan pada aliran darah arteri
gangrene,nekrosis,perforasi
Apendiktomi
Luka post operasi
Insisi bedah resiko perdarahan Nyeri
Terputusnya kontinuitas jaringan ketidakseimbangan cairan tubuh
penurunan pertahanan primer tubuh
Manjoer,Arief (2000), Price, A.Sylvia (2006)
20
Gangguan rasa aman
nyeri Resti kekurangan volume cairan
Resti infeksi
Kurang pengetahuan
-
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Gangguan rasa aman nyeri berhubungan dengan adanya insisi bedah
2. Resiko kekurangan volume cairan ketidak seimbangan cairan tubuh
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tubuh
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan prosedur tindakan
K. FOKUS INTERVENSI DAN RASIONAL
1. Gangguan rasa aman nyeri berhubungan dengan adanya insisi bedah
a. Fokus intervensi
1) Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik, beratnya (skala 0-10)
2) Pertahankan istirahat dengan posisi semi fowler
3) Dorong ambulasi dini
4) Berikan aktivitas hiburan
5) Pertahankan puasa
6) Berikan analgesik sesuai indikasi
b. Rasional
1) Berguna dalam pengawasan keefektifan obat, kemajuan
penyembuhan. Perubahan pada karakteristik nyeri menunjukkan
terjadinya abses/peritonitis, memerlukan upaya evalusi medik dan
intervensi
2) Gravitasi melokalisasi eksudat inflamasi dalam abdomen bawah atau
pelvis, menghilangkan tegangan abdomen yang bertambah dengan
posisi telentang
21
-
3) Meningkatkan normalisasi fungsi organ, contoh merangsang
peristaltik dan kelancaran flatus, menurunkan ketidaknyamanan
abdomen
4) Fokus perhatian kembali, meningkatkan relaksasi, dan dapat
meningkatkan kemampuan koping
5) Menurunkan ketidaknyamanan pada peristaltik usus dini dan irigasi
gaster/muntah
6) Menghilangkan nyeri mempermudah kerja sama dengan intervensi
terapi lain contoh ambulasi, batuk
2. Resiko kekurangan volume cairan ketidakseimbangan cairan tubuh
a. Fokus intervensi
1) Awasi TD dan nadi
2) Lihat membran mukosa, kaji turgor kulit dan pengisian kapiler
3) Pantau masukan dan keluaran; catat warna urine/konsentrasi, berat
jenis
4) Berikan sejumlah kecil minuman jernih bila pemasukkan peroral
dimulai, dan dilanjutkan diet sesuai toleransi
5) Berikan cairan IV dan elektrolit
b. Rasional
1) Tanda yang membantu mengidentifikasi fluktuasi volume
intravaskuler
2) Indikator keadekuatan sirkulasi perifer dan hidrasi seluler
22
-
3) Penurunan haluaran urine pekat dengan peningkatan berat jenis diduga
dehidrasi/kebutuhan peningkatan cairan
4) Menurunkan iritasi gaster/muntah untuk meminimalkan kehilangan
cairan
5) Peritonium bereaksi terhadap iritasi/infeksi dengan menghasilkan
sejumlah besar cairan yang dapat menurunkan volume sirkulasi darah,
mengakibatkan hipovolemia. Dehidrasi dan dapat terjadi
ketidakseimbangan elektrolit.
3. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tubuh
a. Fokus intervensi
1) Pantau tanda vital, perhatikan demam, menggigil, berkeringat,
perubahan mental, meningkatnya nyeri abdomen
2) Lakukan pencucian tangan yang baik dan perawatan luka aseptic.
Berikan perawatan paripurna
3) Lihat insisi balutan. Catat karakteristik drainase luka drein (bila
dimasukkan)
4) Berikan antibiotik sesuai indikasi
b. Rasional
1) Dugaan terjdinya infeksi/terjadinya sepsis, abses, peritonitis
2) Menurunkan resiko pentebaran bakteri
3) Memberikan deteksi dini terjadinya proses infeksi, dan/atau
pengawasan penyembuhan peritonitis yang telah ada sebelumnya
23
-
4) Mungkin diberikan secara profilaktik atau menurunkan jumlah
organisme (pada infeksi yang telah ada sebelumnya) untuk
menurunkan penyebaran dan pertumbuhannya pada rongga abdomen.
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan prosedur tindakan
a. Fokus intervensi
1) Diskuksikan perawatan insisi, termasuk mengganti balutan,
pembatasan mandi, dan kembali ke dokter untuk mengangkat
jahitan/pengikat
2) Identifikasi gejala yang memerlukan evaluasi medic, contoh
peningkatan nyeri , edema/eritema luka, adanya drainase, demam
b. Rasional
1) Pemahaman meningkatkan kerja sama dengan program terapi,
menigkatkan penyembuhan dan proses perbaikan
2) Upaya intervensi menurunkan resiko komplikasi serius contoh
lambatnya penyembuhan, peritonitis.
24