jumat, 15 april 2011 momentum rekonstruksi kehutanan filepenebang bakau akan dikenai sanksi membayar...

1
Momentum Rekonstruksi Kehutanan KERUSAKAN HUTAN: Pemandangan dari udara menunjukkan kerusakan hutan alami yang terus dirambah di kawasan Kabupaten Merangin, Jambi, be hutan akan lenyap dalam 50 tahun mendatang. Kehadiran program REDD+ diharapkan dapat memperbaiki kondisi tersebut. JUMAT, 15 APRIL 2011 18 H UMA S IANG itu, Minggu (10/4), gerimis kecil turun tiba-tiba. Namun hal itu tak menyurutkan langkah kami, rombongan media massa peserta pelatihan jurnalistik lingkungan, untuk melihat keadaan hutan bakau di pesisir Desa Jungut Batu, Pulau Nusa Lembongan, Bali. Berbekal perahu berkapasitas empat penumpang, kami menyusuri saluran mirip kanal yang menembus lebatnya hutan bakau. Di antara rerimbunan hijau bakau itu, sejumlah burung berloncatan di dahan bakau, dan beberapa kepiting mengumpat di akar-akarnya. Begitulah sekilas perjalanan ’menyejukkan jiwa’ yang ditawarkan Mangrove Tour, sebuah kelompok jasa wisata lokal Desa Jungut Batu yang menawarkan paket wisata hutan bakau. “Dengan paket wisata ini, lumayan buat kami. Tarif sewa satu perahu saja Rp70 ribu, uang itu dibagi dua, separuh untuk pemilik, separuh lagi masuk kas desa dan digunakan untuk kepentingan bersama,” jelas sang perintis, Wayan Sukitra, 47. Mengucurnya rezeki itu kian bertambah ketika memasuki Juli-September. Sebab, pada masa-masa itu kunjungan wisatawan mencapai puncaknya. Agar pendapatan mereka tetap eksis, masyarakatnya benar- benar menjaga hutan bakau itu. Tak lain, agar desa mereka itu terlindung dari bahaya abrasi akibat hantaman ombak. Wayan berkisah, dulunya pada 1975-an, hutan bakau di desanya itu sempat rusak karena kayu-kayunya diambil petani garam sebagai bahan bakar pengering air laut dalam produksi garam. Beruntung, kesadaran penduduk bangkit. Terlebih, saat masuknya budi daya rumput laut yang mendatangkan keuntungan lebih besar daripada menjadi petani garam. Dalam perkembangannya, muncul larangan penebangan bakau yang bahkan dimasukkan ke hukum adat desa, baik di Desa Jungut Batu maupun di Desa Lembongan. Dalam hukum itu, penebang bakau akan dikenai sanksi membayar beras 5 kg dan membersihkan pura desa. “Sanksi itu mungkin ringan, namun sanksi sosial yang menyertainya jauh lebih berat. Hukum itu cukup efektif,” ungkap Wayan Ujiana, 47, perintis pembibitan bakau di Desa Lembongan. Perpaduan dari kesadaran warga atas pentingnya bakau, pemberlakuan hukum adat, dan keuntungan Bakau, Komponen ENI KARTINAH I SU pemanasan global mendapat perhatian serius dari masyarakat dunia. Pasalnya, dampaknya bisa sangat merugikan. Dari ti- dak menentunya cuaca yang berimbas pada sulitnya petani dan nelayan memperhitungkan musim serta munculnya se- rangan hama tanaman hingga kenaikan permukaan air laut yang membuat pantai me- nyempit dan bahkan meneng- gelamkan pulau-pulau kecil. Tak ayal, upaya mitigasi ter- hadap pemanasan global itu terus dilakukan. Saat ini, dunia tengah mempertimbangkan program Reduction of Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+) se- bagai skema untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang berasal dari deforestasi dan degradasi dari sektor kehu- tanan. Pertimbangannya yakni biang keladi pemanasan global adalah emisi gas-gas rumah kaca, terutama karbon dalam bentuk karbon dioksida. Mengapa emisi deforestasi dan degradasi hutan diuta- makan dalam sebuah program khusus seperti REDD+ Tidak lain karena emisi gas rumah kaca yang timbul akibat de- forestasi dan degradasi hutan itu memang cukup signikan. Itu mencapai 18% dari total emisi gas rumah kaca. Jum- lah itu melebihi emisi yang ditimbulkan sektor transpor- tasi. Melalui proses yang berlang- sung sejak 2005 ketika konsep REDD+ diperkenalkan pertama kalinya, masyarakat dunia me- nyepakati bahwa negara-negara yang berkeinginan dan mampu untuk mengurangi emisi dari deforestasi hutan harus diberi kompensasi secara nansial. Dari mana kompensasi fi- nansial itu? Tak lain tak bukan, berasal dari negara-negara industri yang tidak lagi me- miliki hutan. Negara-negara itu berkewajiban menurunkan emisi karbon dalam negeri mereka, terutama karena ting- kat penggunaan energi fosil, industrialisasi, dan transportasi yang sangat tinggi. Pada Pertemuan para Pihak (Conference of Parties/COP) Ke-13 Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Peru- bahan Iklim (UNFCC) Desem- ber 2007 di Bali, disepakati untuk mengganti kewajiban penurunan karbon di dalam negeri masing-masing, nega- ra-negara industri itu perlu memberi dana hibah kepada negara-negara berkembang yang memiliki sumber daya hutan. Dana itu ditujukan untuk mendanai upaya me- ngurangi laju deforestasi dan degradasi hutan. Saat ini, konsep REDD+ masih terus disempurnakan. Sejumlah pilot project dilakukan di berbagai negara untuk kelak diperbandingkan dan dipadu- kan untuk memperoleh skema ideal REDD+. Skema REDD+ direncanakan bakal nal dan mulai diimplementasikan pada 2012. Sebagai negara yang me- miliki hutan terluas ketiga di dunia, Indonesia tentu terlibat dalam skema REDD+. Dalam COP Ke-15 pada Desember 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, “In- donesia melakukan perubahan kebijakan yang akan mengu- rangi emisi sampai 26% pada 2020 jika dibandingkan dengan kondisi BAU (business as usual). Dengan dukungan internasio- nal, kami dapat mengurangi emisi sampai 41%. Kami akan mengubah status hutan dari net emitter (mengemisikan karbon) menjadi net sink (menyimpan karbon) pada 2030.” Pernyataan itu kemudian diterjemahkan dalam kebi- jakan-kebijakan terkait dengan kehutanan termasuk perenca- naan implementasi REDD+. Sejauh ini, beberapa negara tertarik mendanai pilot project REDD+ di sejumlah daerah. “Di Kalimantan Tengah, Kali- mantan Selatan, dan Jambi, kita ada kerja sama dengan Australia. Nilainya A$77 juta. Kemudian ada kerja sama dengan Jerman, di Kalimantan Timur dan Kali- mantan Tengah yang nilainya 6 juta euro,” jelas Sekretaris Jen- deral Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto. Selain itu, ada dana hibah dari Norwegia senilai US$1 miliar (sekitar Rp9 triliun) yang disepakati lewat letter of intent (LoI) antara Indonesia dan Nor- wegia pada Mei 2010. Potensi hambatan Sayangnya, hingga saat ini dana tersebut belum bisa dicairkan akibat persyaratan moratorium (penghentian) izin penebangan hutan yang disyaratkan Norwegia belum bisa dipenuhi. Draf morato- rium belum juga kelar disusun akibat adanya pertarungan kepentingan antara masyara- kat pecinta lingkungan dan pengusaha hutan. Pertarungan kepentingan yang pelik itu menunjukkan tidak mudah mengimplemen- tasikan REDD+ di Indonesia. Selain penundaan moratorium kehutanan, banyak potensi ham- batan pelaksanaan REDD+ yang tentu saja perlu diantisipasi. Maraknya kejahatan hutan, misalnya, jelas mengancam kelestarian hutan. Kasus-kasus seperti pembalakan liar atau illegal logging, penambangan, dan perluasan areal perkebu- nan di lahan konservasi masih kerap terjadi bahkan dengan melibatkan kongkalikong ok- num pengusaha dengan ok- num pejabat. Tata ruang penggunaan la- han hutan juga masih kacau balau. Belum jelas mana hutan yang tidak boleh dieksploitasi dan mana pula lahan yang boleh dimanfaatkan untuk eks- pansi pertanian, perkebunan, dan pertambangan. Ditambah lagi, REDD+ men- cakup pengukuran, pelaporan, dan verikasi (MRV) terhadap sejumlah parameter yang men- jadi penentu berhasil-tidaknya program REDD+. Soal MRV itu, Indonesia terbilang masih lemah. “Kurangnya kapasitas ma- syarakat sekitar hutan, peme- rintah daerah, dan birokrasi pusat serta kurangnya pema- haman terhadap REDD+ masih menjadi kendala yang terus kami perbaiki,” imbuh Hadi. Meski banyak kendala yang menghadang, berbagai pihak sangat berharap hadirnya REDD+ menjadi momentum untuk merekonstruksi sektor kehutanan yang selama ini dinilai kacau balau. (*/FO/SS/ RK/H-2) [email protected] Kehadiran REDD+ seharusnya menjadi momentum untuk membenahi sektor kehutanan. Komitmen dan kepemimpinan yang kuat amat diperlukan untuk mengoptimalkan momentum itu. EKOWISATA: Sejumlah wisatawan menikm Nusa Lembongan, Bali. Selain mendatang menjaga pulau dari abrasi dan menahan e

Upload: ledung

Post on 26-Apr-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: JUMAT, 15 APRIL 2011 Momentum Rekonstruksi Kehutanan filepenebang bakau akan dikenai sanksi membayar beras 5 kg dan membersihkan pura desa. “Sanksi itu mungkin ringan, namun sanksi

Momentum Rekonstruksi Kehutanan

KERUSAKAN HUTAN: Pemandangan dari udara menunjukkan kerusakan hutan alami yang terus dirambah di kawasan Kabupaten Merangin, Jambi, behutan akan lenyap dalam 50 tahun mendatang. Kehadiran program REDD+ diharapkan dapat memperbaiki kondisi tersebut.

JUMAT, 15 APRIL 201118 HUMA

SIANG itu, Minggu (10/4), gerimis kecil turun tiba-tiba. Namun

hal itu tak menyurutkan langkah kami, rombongan media massa peserta pelatihan jurnalistik lingkungan, untuk melihat keadaan hutan bakau di pesisir Desa Jungut Batu, Pulau Nusa Lembongan, Bali.

Berbekal perahu berkapasitas empat penumpang, kami menyusuri saluran mirip kanal yang menembus lebatnya hutan bakau. Di antara rerimbunan hijau bakau itu, sejumlah burung berloncatan di dahan bakau, dan beberapa kepiting mengumpat di akar-akarnya.

Begitulah sekilas perjalanan ’menyejukkan jiwa’ yang ditawarkan Mangrove Tour, sebuah kelompok jasa wisata lokal Desa Jungut Batu yang menawarkan paket wisata

hutan bakau. “Dengan paket wisata ini,

lumayan buat kami. Tarif sewa satu perahu saja Rp70 ribu, uang itu dibagi dua, separuh untuk pemilik, separuh lagi masuk kas desa dan digunakan untuk kepentingan bersama,” jelas sang perintis, Wayan Sukitra, 47.

Mengucurnya rezeki itu kian bertambah ketika memasuki Juli-September. Sebab, pada masa-masa itu kunjungan wisatawan mencapai puncaknya. Agar pendapatan mereka tetap eksis, masyarakatnya benar-benar menjaga hutan bakau itu. Tak lain, agar desa mereka itu terlindung dari bahaya abrasi akibat hantaman ombak.

Wayan berkisah, dulunya pada 1975-an, hutan bakau di desanya itu sempat rusak karena kayu-kayunya diambil

petani garam sebagai bahan bakar pengering air laut dalam produksi garam.

Beruntung, kesadaran penduduk bangkit. Terlebih, saat masuknya budi daya rumput laut yang mendatangkan keuntungan lebih besar daripada menjadi petani garam.

Dalam perkembangannya, muncul larangan penebangan bakau yang bahkan dimasukkan ke hukum adat desa, baik di Desa Jungut Batu maupun di Desa Lembongan.

Dalam hukum itu, penebang bakau akan dikenai sanksi membayar beras 5 kg dan membersihkan pura desa. “Sanksi itu mungkin ringan, namun sanksi sosial yang menyertainya jauh lebih berat. Hukum itu cukup efektif,” ungkap Wayan Ujiana, 47, perintis pembibitan bakau di Desa Lembongan.

Perpaduan dari kesadaran warga atas pentingnya bakau, pemberlakuan hukum adat, dan keuntungan

Bakau, Komponen

ENI KARTINAH

ISU pemanasan global mendapat perhatian serius dari masyarakat dunia. Pasalnya, dampaknya bisa

sangat merugikan. Dari ti-dak menentunya cuaca yang berimbas pada sulitnya petani dan nelayan memperhitungkan musim serta munculnya se-rangan hama tanaman hingga kenaikan permukaan air laut yang membuat pantai me-nyempit dan bahkan meneng-gelamkan pulau-pulau kecil.

Tak ayal, upaya mitigasi ter-hadap pemanasan global itu terus dilakukan. Saat ini, dunia tengah mempertimbangkan program Reduction of Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+) se-bagai skema untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang berasal dari deforestasi dan degradasi dari sektor kehu-tanan. Pertimbangannya yakni biang keladi pemanasan global adalah emisi gas-gas rumah kaca, terutama karbon dalam bentuk karbon dioksida.

Mengapa emisi deforestasi dan degradasi hutan diuta-makan dalam sebuah program khusus seperti REDD+ Tidak lain karena emisi gas rumah kaca yang timbul akibat de-forestasi dan degradasi hutan itu memang cukup signifi kan. Itu mencapai 18% dari total emisi gas rumah kaca. Jum-lah itu melebihi emisi yang di timbulkan sektor transpor-tasi.

Melalui proses yang berlang-sung sejak 2005 ketika konsep REDD+ diperkenalkan pertama kalinya, masyarakat dunia me-nyepakati bahwa negara-negara yang berkeinginan dan mampu untuk mengurangi emisi dari deforestasi hutan harus diberi kompensasi secara fi nansial.

Dari mana kompensasi fi-nansial itu? Tak lain tak bukan, berasal dari negara-negara industri yang tidak lagi me-miliki hutan. Negara-negara itu berkewajiban menurunkan emisi karbon dalam negeri mereka, terutama karena ting-kat penggunaan energi fosil, industrialisasi, dan transportasi yang sangat tinggi.

Pada Pertemuan para Pihak (Conference of Parties/COP)

Ke-13 Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Peru-bahan Iklim (UNFCC) Desem-ber 2007 di Bali, disepakati untuk mengganti kewajiban penurunan karbon di dalam negeri masing-masing, nega-ra-negara industri itu perlu memberi dana hibah kepada negara-negara berkembang yang memiliki sumber daya hutan. Dana itu ditujukan untuk mendanai upaya me-ngurangi laju deforestasi dan degradasi hutan.

Saat ini, konsep REDD+ masih terus disempurnakan. Sejumlah pilot project dilakukan di berbagai negara untuk kelak diperbandingkan dan dipadu-kan untuk memperoleh skema ideal REDD+. Skema REDD+ direncanakan bakal fi nal dan mulai diimplementasikan pada 2012.

Sebagai negara yang me-miliki hutan terluas ketiga di dunia, Indonesia tentu terlibat dalam skema REDD+. Dalam COP Ke-15 pada Desember 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, “In-donesia melakukan perubahan kebijakan yang akan mengu-rangi emisi sampai 26% pada 2020 jika dibandingkan dengan kondisi BAU (business as usual). Dengan dukungan internasio-nal, kami dapat mengurangi emisi sampai 41%. Kami akan mengubah status hutan dari net emitter (mengemisikan karbon) menjadi net sink (menyimpan karbon) pada 2030.”

Pernyataan itu kemudian diterjemahkan dalam kebi-jakan-kebijakan terkait dengan kehutanan termasuk perenca-naan implementasi REDD+. Sejauh ini, beberapa negara tertarik mendanai pilot project REDD+ di sejumlah daerah.

“Di Kalimantan Tengah, Kali-mantan Selatan, dan Jambi, kita ada kerja sama dengan Australia. Nilainya A$77 juta. Kemudian ada kerja sama dengan Jerman, di Kalimantan Timur dan Kali-mantan Tengah yang nilainya 6 juta euro,” jelas Sekretaris Jen-deral Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto.

Selain itu, ada dana hibah dari Norwegia senilai US$1 miliar (sekitar Rp9 triliun) yang disepakati lewat letter of intent (LoI) antara Indonesia dan Nor-

wegia pada Mei 2010.

Potensi hambatanSayangnya, hingga saat

ini dana tersebut belum bisa dicairkan akibat persyaratan moratorium (penghentian) izin penebangan hutan yang disyaratkan Norwegia belum bisa dipenuhi. Draf morato-rium belum juga kelar disusun akibat adanya pertarungan kepentingan antara masyara-kat pecinta lingkungan dan pengusaha hutan.

Pertarungan kepentingan yang pelik itu menunjukkan tidak mudah mengimplemen-tasikan REDD+ di Indonesia. Selain penundaan moratorium kehutanan, banyak potensi ham-batan pelaksanaan REDD+ yang tentu saja perlu diantisipasi.

Maraknya kejahatan hutan, misalnya, jelas mengancam kelestarian hutan. Kasus-kasus seperti pembalakan liar atau illegal logging, penambangan, dan perluasan areal perkebu-nan di lahan konservasi masih kerap terjadi bahkan dengan melibatkan kongkalikong ok-num pengusaha dengan ok-num pejabat.

Tata ruang penggunaan la-han hutan juga masih kacau balau. Belum jelas mana hutan yang tidak boleh dieksploitasi dan mana pula lahan yang boleh dimanfaatkan untuk eks-pansi pertanian, perkebunan, dan pertambangan.

Ditambah lagi, REDD+ men-cakup pengukuran, pelaporan, dan verifi kasi (MRV) terhadap sejumlah parameter yang men-jadi penentu berhasil-tidaknya program REDD+. Soal MRV itu, Indonesia terbilang masih lemah.

“Kurangnya kapasitas ma-syarakat sekitar hutan, peme-rintah daerah, dan birokrasi pusat serta kurangnya pema-haman terhadap REDD+ masih menjadi kendala yang terus kami perbaiki,” imbuh Hadi.

Meski banyak kendala yang menghadang, berbagai pihak sangat berharap hadirnya REDD+ menjadi momentum untuk merekonstruksi sektor kehutanan yang selama ini dinilai kacau balau. (*/FO/SS/RK/H-2)

[email protected]

Kehadiran REDD+ seharusnya menjadi momentum untuk membenahi sektor kehutanan. Komitmen dan kepemimpinan yang

kuat amat diperlukan untuk mengoptimalkan momentum itu.

EKOWISATA: Sejumlah wisatawan menikmNusa Lembongan, Bali. Selain mendatangmenjaga pulau dari abrasi dan menahan e