jurnal anima

14
KONFLIK SOSIAL dan POST-TRAUMATIC STRESS DISORDER (GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA): Suatu Pendekatan Pustaka Oleh Yulius Yusak Ranimpi, S.Psi, M.Si (Staf Pengajar dan anggota Cadre UKSW) PROGRAM PROFESIONAL UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2002

Upload: niroxnirox

Post on 26-Nov-2015

18 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

GSTP

TRANSCRIPT

  • KONFLIK SOSIAL dan

    POST-TRAUMATIC STRESS DISORDER (GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA):

    Suatu Pendekatan Pustaka

    Oleh Yulius Yusak Ranimpi, S.Psi, M.Si

    (Staf Pengajar dan anggota Cadre UKSW)

    PROGRAM PROFESIONAL UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

    SALATIGA 2002

  • ABSTRAK

    Realitas kebangsaan bangsa Indonesia saat ini sangat menyedihkan. Bermula dengan krisis ekonomi pada tahun 1997 dan selanjutnya ibarat bola salju krisis tersebut merambat ke bidang sosial, politik, budaya, pendidikan, dan bahkan krisis kemanusiaan. Kondisi ini dikenala dengan krisis multidimensi. Masyarakat yang dulunya dikenal sebagai masyarakat yang ramah tamah kini berubah menjadi masyarakat yang sangat rentan terhadap provokasi untuk melakukan tindakan destruktif. Kemampuan untuk mengendalikan diri mengalami gangguan. Hal ini terpantul dengan jelas dengan terjadinya konflik social di berbagai daerah. Konflik tersebut telah menelan korban yang sangat besar, mulai dari bidang materi, sosial, dan psikologis. Hanya sayangnya, penanganan terhadap dampak psiklogis kurang mendapat perhatian. Kurangnya perhatian ini merupakan akibat dari kurangnya pengetahuan terhadap dampak ini. Salah satu dampak tersebut adalah munculnya gangguan stress pasca trauma/post-traumatic stress disorder. Gangguan ini memiliki kriteria diagnostik yang khas, berbeda dengan gangguan kecemasan yang lainnya. Kriteria tersebut adalah stresornya harus merupakan peristiwa yang tidak biasa dialami oleh manusia, seperti pemerkosaan, peperangan, penyiksaan anak, kekerasan domestik, dan sebagainya Kriteria lainnya adalah penderita mengalami ingatan yang tidak dikehendaki/ingatan yang mengganggu, meningkatnya tingkah laku yang menghindar, dan peningkatan kesadaran/kewaspadaan. Konflik sosial yang terjadi di Indonesia dengan berbagai dimensi kekerasannya merupakan stressor yang dapat mengakibatkan munculnya gangguan ini. Oleh karena itu pemahaman dan pengetahuan terhadap gangguan ini meruapakn syarat utama bagi pihak-pihak yang konsern terhadap upaya penyelesaian konflik sosial di Indonesia.

    ABSTRACT

    Nowadays, the reality of Indonesian nationality is very saddened. It was begun with economics crisis in 1997, and then just like a snow ball, it spreader up go social field, politics, culture, education, and even humanity. This kind of condition is known as multidimensional crisis. Once Indonesian people were known very hospitable and friendly but now they have turned into people who are very susceptible of provocation to do destructive action. The ability to restrain they self has surely disrupted. It is reflected clearly from the social conflicts that happen in assorted regions. As a result, this conflict has caused heavy loses from material side, social side, and psychological side. Unfortunately the handling of the psychological impacts gets less attention, which are caused by the lack of knowledge toward these impacts. One of these impacts is post-traumatic stress disorder. This disorder has several significant diagnostic criteria, which are different with other anxiety disorders. The main criteria are its stressor should be an experience that emerges unusually such as rape, war, hostage, children abuse, domestic violence, etc. Other criteria are the sufferer has intrusive and unwanted memories, avoidance behaviors, and arousal symptoms. Social conflict that happens in Indonesia with its various violence dimension is a stressor that creates this kind of disorder. Therefore the understanding and knowledge toward this problem are needed as the main condition for those who concern about the settlement effort of social conflict in Indonesia.

  • KONFLIK SOSIAL dan GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA: Suatu Pendekatan Teoritis1

    I. Pendahuluan.

    Konflik sosial yang disertai dengan tindak kekerasan seperti telah menjadi

    mainan (Dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh Eric Berne dalam

    bukunya Games People Play, 1967, terlihat bahwa konflik sosial yang terjadi itu

    merupakan transaksi (ditunjukkan dengan saling tindak dan saling ucap antarkelompok),

    bersifat repetitif (adanya pola yang serupa), bersifat rasional dangkal (dengan mudahnya

    dikatakan bahwa penyebab dari semua itu adalah kesenjangan ekonomi dan sosial atau

    adanya provokator), dan mengandung motivasi yang tersembunyi (ditunjukkan dengan

    tidak terungkapnya dengan tuntas kasus-kasus ini) baru bagi bangsa Indonesia. Dimulai

    dengan tumbangnya pemerintahan represif Soeharto, disusul dengan aksi penjarahan

    pertokoan, pembunuhan dan pemerkosaan warga nonpribumi (Mei 1998) di Jakarta,

    pertikaian antarkelompok beragama yang disertai dengan pembakaran gedung gereja

    (peristiwa ketapang-Jakarta dan Ambon) dan pembakaran Masjid (Kupang) yang

    menjalar ke Ambon (bulan Januari 1999) dan Ujung Pandang (bulan April 1999),

    perkelahian antarsuku yang disertai dengan tindak pembunuhan di Sambas dan Batam

    pada tahun 1999 (Emil Salim, 2001)

    Aksi massa yang dengan terang-terangan menggunakan tindak kekerasan telah

    menjadi bukti yang otentik untuk menyatakan bahwa masyarakat mampu melakukan apa

    saja yang diinginkan tanpa merasa takut lagi akan tindak represif Pemerintah dan Militer.

    Gejala sosial ini menjadi menarik ketika masyarakat mengembangkan mekanisme

    pertahanan ego (Ronald M. Doctor and Ada P. Kahn., 1989) yang seakan menjawab

    pertanyaan mengapa melakukan tindakan seperti itu. Mekanisme itu antara lain, proyeksi

    yang melihat bahwa segala keruwetan yang menimpa bangsa saat ini merupakan hasil

    dari kesalahan yang dibuat oleh pemerintahan pimpinan Soeharto; rasionalisasi terhadap 1 Pernah dimuat dalam Jurnal ANIMA (Indonesian Psychological Journal), Volume 18, Nomor 2, Januari 2003. Fakultas Psikologi Universitas Surabaya

  • setiap perbuatan yang melanggar aturan hukum yang berlaku dengan menyatakan bahwa

    semua orang juga melakukan hal yang sama; regresi yang menunjukkan adanya

    kemunduran kemampuan anggota masyarakat untuk mengendalikan diri.

    Dengan berbagai alasan dan argumentasi segala tindakan tersebut telah merusak

    hasil-hasil kebudayaan manusia sekaligus manusianya sendiri, seperti gedung

    perkantoran, pusat perbelanjaan, rumah-rumah, serta sarana transportasi. Selain itu

    hubungan sosial antarindividu maupun antarkelompok (agama, etnis, dan budaya)

    menjadi renggang sekaligus rentan untuk diprovokasi. Primordialisme menjadi ancaman

    yang sangat serius bagi terciptanya hubungan sosial yang baik.

    Konflik sosial yang terjadi di negara kita ini telah merusak kehidupan masyarakat.

    Masyarakat yang dahulunya hidup dalam ketenangan dan kedamaian berubah menjadi

    masyarakat yang saling membenci, menyerang, dan bahkan saling membunuh. Makna

    hidup bersama dalam masyarakat yang plural menjadi terabaikan oleh makna hidup yang

    semata-mata didasarkan kepentingan golongan atau kelompok, seperti hanya berdasarkan

    pada kepentingan politik dan agama. Kehidupan antarpribadi maupun kelompok diwarnai

    oleh rasa curiga, takut, benci, dendam, cemas, dan juga keengganan untuk kembali hidup

    bersama dalam situasi kepelbagaian. Di samping itu, konflik telah mengakibatkan

    terjadinya arus pengungsian yang sangat besar.

    Kehilangan tempat tinggal, kehilangan mata pencaharian/pekerjaan, dan bahkan

    kehilangan orang-orang yang dicintai telah menimbulkan rasa tidak aman dan tidak

    percaya, telah memaksa mereka untuk mengungsi. Dalam laporan yang dikeluarkan oleh

    lembaga Lintas SARA (Institute for Intercultural and Intergroup Movement) pada

    tanggal 21 Juni 2000 di Yogyakarta, pengungsi dikategorikan ke dalam pengungsi tetap

    dan tidak tetap. Pengungsi tetap adalah pengungsi yang telah kehilangan rumahnya

    karena dibumihanguskan oleh massa penyerang. Sedangkan pengungsi tidak tetap adalah

    pengungsi yang rumahnya tidak dirusakkan, tetapi mereka mengungsi karena mendapat

    teror dan intimidasi dari berbagai isu yang berkembang.

    Kondisi yang dialami oleh pengungsi sebagai dampak dari konflik sosial ini

    memungkinkan untuk dialaminya suatu gangguan kejiwaan ( Rusdi Maslim), dan secara

    khusus munculnya gangguan psikologis yang dikenal dengan istilah post-traumatic

    stress disorder. ( Dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Di

  • Indonesia Edisi Ke-II tahun 1983 yang penyusunannya dilakukan oleh Direktorat

    Kesehatan Jiwa Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Departemen Kesehatan

    Republik Indonesia dan yang mengacu pada ICD (International Classification of

    Diseases) revisi ke 9, tahun 1977, gangguan ini diterjemahkan menjadi gangguan stres

    pascatrauma) Gangguan ini adalah gangguan psikologis yang berkembang atau muncul

    dari terjadinya peristiwa-peristiwa traumatik. (American Psychiatric Association,1987;

    Bart Smet,1994; Judith Herman,1997). Reaksi gangguan stress pasca trauma dimulai saat

    individu mengalami tekanan-tekanan psikologis secara hebat dari sumber tekanan yang

    berada di luar jangkauan pengalaman yang biasa dialaminya (adanya extreme stressor).

    Adapun yang termasuk extreme stressor antara lain: kecelakaan serius atau bencana alam,

    pemerkosaan atau tindak kriminal yang disertai dengan kekerasan, peperangan terbuka,

    pelecehan seksual pada anak-anak, menyaksikan peristiwa traumatik, dan kematian yang

    tiba-tiba dari orang-orang yang sangat dicintai. ( Foa EB, Davidson JRT, Frances A.

    (eds), 1999). Dengan demikian konflik sosial di Indonesia dengan dimensi kekerasannya

    telah mendapat tempat untuk disebutkan sebagai stresor yang dapat mengakibatkan

    munculnya gangguan gangguan stress pasca trauma.

    Dampak yang dapat ditimbulkan pada penderita gangguan stress pasca trauma

    antara lain mudah merasa tersinggung, kehilangan kemampuan berkonsentrasi,

    kehilangan minat untuk berinteraksi dengan lingkungan, memiliki perasaan terasing dari

    orang lain, dan mengalami mimpi buruk.

    Melihat dampak psikologis yang dapat ditimbulkan oleh konflik sosial,

    menjadikan tema ini menarik untuk dibahas. Dampak psikologis konflik sosial di

    Indonesia, baik pemahamannya maupun upaya penanganannya, belum mendapat

    perhatian maksimal dari pemerintah maupun anggota masyarakat. Perhatian pemerintah

    dan anggota masyarakat lebih terpusat pada penanganan bidang sosial dan materi.

    Upaya-upaya tersebut dapat terlihat dengan mengalirnya bantuan bagi pembangunan

    kembali tempat tinggal dan dilakukannya upaya perdamaian antara pihak yang bertikai

    serta pemulihan situasi keamanan. Sangat disayangkan bahwa upaya penyelesaian ini

    belum menyeluruh, karena dampak psikologisnya diabaikan.

  • II. Sejarah Perkembangan Studi dan SimptomologiGangguan Stres Pasca Trauma

    Pada akhir abad 19 muncul sebuah diagnosa (Kartini Kartono (penerjemah), 2000; Leslie

    Stevenson & David L. Haberman, 2001) psikiatri yang saat itu dikenal dengan sebutan

    histeria. Histeria dipahami sebagai suatu penyakit yang asing, berhubungan dengan

    kaum perempuan dan bersumber dalam uterus ( Judith Herman, hal. 10; Leslie Stevenson

    & David L. Haberman, hal. 228; Anne M. Dietrich, 2001) Histeria merupakan suatu

    reaksi terhadap tekanan hidup yang ditandai dengan respon somnambulistic crises

    (hasutan dan tidak terkontrolnya keinginan yang kuat untuk melakukan tindak kekerasan

    bagi diri sendiri atau orang lain), abulia (keluhan psikosomatik dan tingkah laku yang

    pasif), dan masalah disosiasi ( Bessel A. van der Kolk, David Pelcovitz, Susan Roth,

    Francine S. Mandel, Alexander McFarlane, Judith L. Herman, 1995). Konsep ini

    merupakan penemuan yang dilakukan oleh seorang neurolog Prancis, Jean Martin

    Charcot pada tahun 1880. Charcot menamakan gangguan ini dengan istilah The Great

    Neurosis (Herman, hal 11). Dengan metode hipnotis, Charcot berhasil menampilkan

    keadaan lumpuh yang dialami oleh pasien histeris. Penelitian yang dilakukan di rumah

    sakit terkenal di Paris yang bernama La Salpetriere membuktikan bahwa kelumpuhan

    histeris berkaitan dengan faktor-faktor emosional dan pikiran-pikiran yang ada dalam

    benak pasien dan tidak berasal dari gangguan fisik ( Bartens K,1987).

    Penemuan Charcot tersebut telah merangsang penelitian-penelitian mengenai

    histeria. Pada pertengahan tahun 1890, Pierre Janet di Prancis dan Sigmund Freud beserta

    Joseph Breuer di Vienna secara bersama-sama menemukan bahwa histeria merupakan

    kondisi yang disebabkan oleh trauma psikologis. Reaksi emosi yang tidak ditampakkan

    terhadap suatu peristiwa trauma menghasilkan suatu perubahan terhadap kondisi

    kesadaran. Janet menamakan perubahan ini sebagai disosiasi. Sedangkan Freud dan

    Breuer menamakannya kesadaran ganda ( Herman, hal 11; Bartens, hal. Xvii). Respon

    yang ditampilkan oleh penderita histeria sebagaimana yang dikemukakan oleh Charcot,

    menurut Janet merupakan respon dari tingkah laku dan emosi terhadap suatu peristiwa

    masa lalu yang menakutkan.

    Peristiwa traumatik membuat pasien histeria menderita, tidak saja karena ingatan-

    ingatan terhadap peristiwa tersebut, tetapi karena secara emosional masih terikat dengan

  • peristiwa tersebut. Mereka tidak mampu melepaskan diri dari masa lalu dan mengabaikan

    peristiwa-peristiwa yang terjadi pada saat ini. Pasien histeria mengalami fiksasi( Bartens,

    hal 54) yang merupakan salah satu ciri terpenting dalam neurosa (Bartens, hal. 11).

    Dengan kata lain, pasien histeria dikuasai oleh pengalaman masa lalu yang disertai

    dengan kecemasan (Calvin S. Hall,2000).

    Penelitian tentang trauma psikologis yang diakibatkan oleh perang baru

    mendapat tempat pada saat terjadi Perang Dunia I. Individu yang berada dalam medan

    peperangan dibuat merasa dan dibatasi oleh rasa tak berdaya, senantiasa menjadi sasaran

    ancaman penghancuran, dan didorong untuk menyaksikan penghancuran dan kematian,

    tanpa ada harapan untuk mendapat keringanan atau penangguhan hukuman. Banyak

    tentara mengalami gejala-gejala psikologis yang menyerupai gejala yang dimiliki oleh

    pasien histeria. Mereka bisa berteriak dan menangis tersedu-sedu tanpa kontrol. Mereka

    menjadi bisu dan tidak memberikan respon. Mereka kehilangan ingatan dan

    kemampuannya untuk merasa-secara emosional. Oleh psikolog asal Inggris, Charles

    Myers, kondisi psikologis yang dialami oleh tentara akibat perang tersebut disebut shell

    shock ( Herman, hal. 20; Jim Goodwin, 1987; Rachel Yehuda and Alexander C.

    McFarlane, 1995).

    Pada periode tahun 1970-an, banyak orang yang mengalami pengalaman

    traumatis yang penyebabnya lebih bervariasi (tidak saja disebabkan oleh perang), seperti

    kecelakaan pesawat terbang, bencana alam, kebakaran, aksi teroris, dan peristiwa lainnya.

    Gejala-gejala psikologis yang dialami oleh individu yang terlibat langsung ataupun

    menyaksikan peristiwa traumatik itu sama dengan gejala yang dialami oleh veteran

    perang (Jim Goodwin, 1987)

    Pada tahun 1980, untuk pertama kalinya karakteristik gejala trauma psikologi

    menjadi sebuah diagnosa yang jelas. Pada tahun tersebut oleh Asosiasi Psikiatri Amerika,

    gejala-gejala yang muncul akibat pengalaman traumatis dikategorikan sebagai gangguan

    mental yang disebut post traumatic stress disorder (gangguan stress pasca trauma).

    (Herman, hal. 27-28)

  • B. Simptomologi gangguan stress pasca trauma

    Pengalaman traumatis dikonsepkan oleh DSM-III (Diagnostic and Statistical

    Manual of Mental Disorder) sebagai suatu bencana yang besar, yang berada di luar

    jangkauan pengalaman manusia yang biasa dihadapi. Sebagai contoh, peristiwa yang

    dimaksud antara lain, pemerkosaan, penyiksaan, bencana alam dan sebagainya. Hal

    tersebut di atas berbeda dengan pengalaman/peristiwa seperti perceraian, penolakan,

    penyakit yang serius, atau masalah keuangan, yang oleh DSM-III dikategorikan sebagai

    gangguan penyesuaian (Adjustment Disorder). Asumsi yang menjadi dasar untuk

    pembedaan kedua gangguan ini adalah meskipun banyak orang yang memiliki

    kemampuan untuk mengatasi stres, namun ketika berhadapan dengan suatu peristiwa

    traumatis, maka besar kemungkinan kapasitas adaptif mereka akan terganggu. (

    Friedman, National Center of PTSD)

    Pada tahun 1987 diterbitkan DSM-III edisi revisi (DSM-III-R), gangguan stress

    pasca trauma memiliki kategori sebagai berikut (American Psychiatry Association,1987):

    1. Mengalami kembali peristiwa traumatik.

    2. Penghindaran terhadap stimulus yang dapat dihubungkan dengan peristiwa traumatik

    atau timbulnya respon yang hampa (matirasa) terhadap aktivitas-aktivitas yang

    bersifat umum.

    3. Adanya peningkatan kesadaran, seperti kewaspadaan serta kecurigaan yang

    berlebihan.

    Sedangkan kategori peristiwa traumatik sebagai stresor, DSM-III-R

    membaginya dalam 4 bagian, yaitu ( Patience H.C. Mason,1995):

    1. Ancaman kematian atau kehilangan integritas fisik (seperti pada peperangan,

    pemerkosaan, insest, gempa bumi, dan lain-lain).

    2. Kematian, ancaman kematian atau kehilangan integritas fisik pada keluarga atau

    teman dekat.

    3. Kehilangan rumah atau komunitas secara tiba-tiba.

    4. Melihat orang lain terbunuh atau terluka parah.

    Tahun 1994, Asosiasi Psikiater Amerika mengeluarkan DSM-IV yang di

    dalamnya diagnosa mengalami perluasan, yaitu ( Harold I. Kaplan, Benjamin J. Saddock,

    Jack A. Grebb, hal. 55):

  • A. Individu telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik di mana kedua dari berikut

    terdapat:

    Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan kejadian-kejadian yang

    berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang

    serius, atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri maupun orang lain

    Respon orang tersebut berupa rasa yakut tang hebat, rasa tidak berdaya, atau

    mengerikan (horor). Pada anak-anak hal ini dapat diekspresikan dengan perilaku

    yang kacau atau teragitasi.

    B. Kejadian traumatis secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara

    berikut:

    1. Pengingatan yang berulang-ulang dan mengganggu tentang kejadian, termasuk

    bayangan, pikiran, atau persepsi. Pada anak kecil dapat menunjukkan permainan

    yang berulang-ulang dengan tema atau aspek trauma

    2. Mimpi menakutkan yang berulang-ulang tentang kejadian. Pada anak-anak

    mungkin terdapat mimpi menakutkan tanpa isi yang dapat dikenali

    3. Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali

    (termasuk perasaan penghidupan kembali pengalaman, ilusi, halusinasi dan kilas

    balik, disosiasi, termasuk yang terjadi selama terbangun atau saat terintoksikasi.

    Pada anak kecil dapat terjadi penghidupan kembali yang spesifik dengan trauma

    4. Penderitaan/tekanan psikologis yang hebat saat berhadapan dengan tanda-tanda,

    baik secara internal atau eksternal yang menyerupai peristiwa traumatik

    5. Munculnya reaksi fisik saat berhadapan dengan tanda-tanda, baik secara internal

    atau eksternal yang menyerupai peristiwa traumatik (Kaplan, hal. 52)

    C. Penghindaran yang tetap terhadap stimulus yang berhubungan dengan trauma dan

    matirasa/kaku (tidak muncul sebelum trauma), yang ditunjukkan oleh tiga (atau lebih)

    hal sebagai berikut:

    1. Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan

    dengan trauma

    2. Usaha untuk menghindari aktivitas, tempat, atau orang yang dapat

    mengingatkannya dengan trauma

    3. Tidak mampu untuk mengingat aspek yang penting dari trauma

  • 4. Hilangnya minat atau peran serta dalam aktivitas yang bermakna

    5. Perasaan terasing atau lepas dari orang lain

    6. Rentang afek yang terbatas (misalnya: tidak mampu untuk memiliki rasa cinta)

    7. Perasaan bahwa masa depan adalah pendek (misalnya: tidak berharap memiliki

    karir, menikah, dan anak-anak).

    D. Adanya gejala peningkatan kesadaran yang tetap (tidak ditemukan sebelum trauma),

    seperti yang ditunjukkan oleh dua hal (atau lebih) berikut:

    1. Kesulitan untuk tertidur/tetap tertidur

    2. Iritabilitas atau ledakan kemarahan

    3. Sulit berkonsentrasi

    4. Kewaspadaan yang berlebihan

    5. Respon terkejut yang berlebihan

    E. Lama gangguan (gejala dan kriteria B, C, dan D) adalah lebih dari 1 (satu) bulan.

    F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan

    dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.

    Jika pemunculan gejala kurang dari 3 bulan setelah mengalami stresor, maka akan

    digolongkan sebagai penderita gangguan stress pasca trauma akut, dan akan digolongkan

    sebagai penderita gangguan stress pasca trauma kronis ketika pemunculan gejala lebih

    dari 3 (tiga) bulan. Sedangkan, jika gejala muncul sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan

    setelah stresor akan digolongkan sebagai penderita gangguan stres pasca trauma dengan

    onset lambat.

    Dalam DSM-III, DSM-III-R, dan DSM-IV terdapat beberapa perbedaan yang

    cukup signifikan. Perbedaan itu yaitu kriteria stresor, khususnya ketika orang mengalami,

    menyaksikan, atau dihadapkan dengan kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian

    atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada

    integritas fisik diri sendiri maupun orang lain (kriteria A1) bukan lagi sesuatu yang

    berada di luar jangkauan normal pengalaman manusia tetapi sebagai aspek yang tidak

    biasa bagi kondisi manusia. Kemudian terdapat penambahan kriteria stresor yang

    menyatakan bahwa pasien juga mengalami reaksi emosi yang hebat terhadap peristiwa

    traumatik (A2). Dalam DSM-III dan DSM-III-R kriteria A hanya dibahas untuk A1 dan

    tidak untuk A2. Pada kriteria B, C, dan D gejala-gejala tetap sama dengan pengecualian

  • bahwa D6 di DSM-III-R telah diubah menjadi B5 (munculnya reaksi fisik saat

    berhadapan dengan tanda-tanda, baik secara internal atau eksternal yang menyerupai

    peristiwa traumatik) dalam DSM-IV.

    DSM-IV menyebutkan bahwa gejala yang ada dalam gangguan stress pasca

    trauma harus berlangsung lebih sari 1 (satu) bulan. Bagi pasien yang mengalami gejala

    kurang dari 1 (satu) bulan, maka diagnosanya adalah gangguan stres akut (Kaplan, hal.

    56). DSM-IV juga memungkinkan klinisi untuk dapat menentukan apakah gejala yang

    dialami oleh pasien adalah akut, krosnis, atau onset lambat. Dalam hal ini faktor yang

    dapat mempercepat munculnya gejala gangguan stress pasca trauma adalah adanya

    stimulus yang mirip dengan peristiwa traumatik yang dialaminya atau dialaminya

    peristiwa traumatik lainnya.

    Upaya pemulihan terhadap penderita posttraumatic stress disorder biasanya

    mengalami kesulitan. Kendala yang biasa dialami dan yang perlu mendapat perhatian

    adalah:

    1. Individu yang mengalami peristiwa traumatik biasanya mencoba untuk

    mengatasi sendiri atau mencoba untuk melupakan.

    2. Adanya perasaan bersalah pada diri sendiri mengenai peristiwa traumatik yang

    dialaminya. Peristiwa tersebut dirasakan sebagai sesuatu yang menyakitkan atau

    memalukan untuk dibicarakan dengan orang lain.

    3. Keengganan untuk kembali mengingat sesuatu yang menyakitkan. Dengan

    kata lain penderita PTSD mengembangkan perilaku menghindar.

    4. Perasaan terisolasi dan kesepian membuat penderita PTSD enggan untuk

    mencari pertolongan atau bantuan.

    5. Kurang informasi mengenai lembaga-lembaga atau perorangan yang

    memberikan layanan kepada penderita gangguan ini.

    6. Kurangnya perhatian yang diberikan oleh masyarakat dalam menyediakan

    layanan untuk membantu penderita gangguan ini.

    7. Belum terciptanya situasi keamanan yang kondusif.

  • III. Penutup

    Mencermati konflik sosial di Indonesia yang belum tuntas penyelesaiannya dan

    aksi-aksi kekerasan di berbagai bidang, serta implikasi dialaminya gangguan ini maka

    upaya untuk mensosialisasikan pemahaman mengenai gangguan ini menjadi sangat

    penting. Adalah merupakan tantangan bagi kita semua yang mempunyai konsern

    terhadap situasi kemanusiaan bangsa ini untuk juga memberikan perhatian kepada

    pendekatan psikologis. Semua upaya perdamaian dan rekonsialiasi akan menjadi sia-sia

    ketika pemahaman terhadap kondisi psikologis masyarakat yang terkena atau mengalami

    konflik social tidak mendapat perhatian.

    Salatiga, November 2002

    Yulius Yusak Ranimpi, S.Psi, M.Si

  • Pustaka

    American Psychiatric Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, Third Revised-Edition, Washington DC: 1987

    Berne, Eric., Games People Play, New York: Grove Press,1967 Caplin,C.P, Kamus Lengkap Psikologi, Dr. Kartini Kartono (penerjemah), Rajagrafindo

    Persada:Jakarta,2000 Doctor,Ronald M. and Kahn, Ada P., The Ensyclopedia of Phobias, Fears, and Anxieties,

    New York-Oxford:Facts On File,1989 Dietrich,Anne M, As the Pendulum Swings: The Etiology of PTSD, Complex PTSD, and

    Revictimization, TRAUMATOLOGYe, Volume 6 (1): 2001 dalam http://www.fsu.edu

    Foa EB, Davidson JRT, Frances A. (Eds), The Expert Consensus Guideline Series:

    Treatment of Posttraumatic Stress Disorder, The Journal of Clinical Psychiatry, Vol. 60 Supplement 16:1999

    Friedman, Matthew J., PTSD Dignosis and Treatment for Mental Health Clinicians,

    National Center of PTSD:USA dalam http://www.ncptsd.org Goodwin, Jim., The Etiology of Combat-Related Post-Traumatic Stress Disorder,

    Ohio:1987 dalam http://www.fsu.edu Goble, Frank G, Mazhab Ketiga Psikologi Humanistik Abraham Maslow, A. Supratiknya

    (penerjemah) Yogyakarta: Kanisius,1994 Herman, Judith, Trauma and Recovery: The Aftermath of Violence-from Domestic Abuse

    to Political Terror, New York:Basic Books,1997 Hall, Calvin S, Libido Kekuasaan Sigmund Freud, S. Tasrif (penerjemah),

    Yogyakarta:Tarawang,2000 Kaplan, Harold I., Benjamin J. Saddock, Jack A. Grebb., Sinopsis Psikiatri:Ilmu

    Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis,jilid II,edisi ke 7,Widjaja Kusuma (penerjemah),Jakarta:Binarupa Aksara,1997

    . K. Bartens, (Penterjemah dan Pendahuluan), Sigmund Freud: Memperkenalkan

    Psikoanalisa,Jakarta:Gramedia,1987 Maslim, Rusdi (editor) Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari

    PPDGJ-III

  • Mason, Patience H.C., PTSD:What it is and How to Recover, The Post-Traumatic

    Gazette:Florida,1995 dalam http://www.patiencepress.com Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa Di Indonesia Edisi Ke-II tahun

    1983 yang penyusunannya dilakukan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia

    Salim, Emil., Membangun Integrasi Bangsa (bag. I), Kompas, Kamis 2 September 1999

    van der Kolk, Bessel A., Pelcovitz, David, et.al., Dissociation, Affect Dysregulation and Somatization: The Complex Nature of Adaptation to Trauma ,1995 dalam http://www.fsu.edu

    KONFLIK SOSIAL dan POST-TRAUMATIC STRESS DISORDER (GANGGUAN STRES PASCA TRAUMA):Suatu Pendekatan Pustaka

    ABSTRACTB. Simptomologi gangguan stress pasca trauma