jurnal ditjen pp dan pl kemenkes ri tahun 2011
TRANSCRIPT
Kata Pengantar
Dalam rangka meningkatkan penyebarluasan informasi tentang pengendalian penyakit
dan penyehatan lingkungan di Indonesia, maka berbagai upaya dilakukan antara lain
melalui penerbitan Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Jurnal ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber informasi untuk mengetahui
perkembangan pengendalian penyakit, baik penyakit menular maupun penyakit tidak
menular serta program penyehatan lingkungan yang telah dilaksanakan oleh Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan
Rl.
Jurnal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan ini merupakan edisi terbitan
pertama, direncanakan akan terbit setiap tahun.
Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak atas kontribusi yang telah diberikan,
sehingga Jurnal ini dapat diterbitkan.
Semoga informasi yang kami tuliskan pada jurnal ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
6 - 8
9 - 11
12 - 16
17 - 21
22 - 27
28 - 31
32 - 37
1 - 5
1
Deteksi Dini Faktor Risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Kabupaten Bireun, Provinsi Aceh
¹Subdit Pengendalian Penyakit jantung dan Pembuluh Darah, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular,
²Dinas Kesehatan Kabupaten Bireun
Abstract
One of the main activities in controlling
cardiovascular disease is early detection of active
conduct of its risk factor in the community. Through
the early detection of risk factors can be expected
to handle as early as possible, so that the
prevalence of risk factors for heart disease and
blood vessels can be derived as optimal as
possible. The Objectives of this activity is to define
the prevalence of risk factors of cardiovascular
diseases in the community. This survey adopted
observational study design. It was conducted in
Bireun District, Aceh Province. There were 315
respondents involved in the study. Several
measurements were carried out including blood
pressure, weight, height, blood lipid and ECG. The
instrument of questionare was used to gain
anamnesa of behaviour factors. It found that the
percentage of respondent with family history of
cardiovascular disease, hypertension and stroke is
tend to high. The prevalence of daily smoking
prevalence is higher than the provincial and national
levels. Some risk factors of cardiovascular disease
showed an increase that need to take into account.
Latar Belakang Salah satu masalah kesehatan masyarakat yang menjadi isu terkini adalah adanya beban ganda penyakit (double burden diseases), yaitu disatu pihak masih terdapat penyakit infeksi yang harus ditangani, dilain pihak semakin meningkatnya penyakit tidak menular. Terdapat peningkatan yang cukup signifikan kematian penyakit tidak menular, dimana pada tahun 1995 tercatat 41,7% meningkat menjadi 59,5% pada tahun 2007 (Riskesdas, 2007). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi beberapa faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah seperti berat badan lebih dan obesitas (obesitas umum) mencapai 19,1%, obesitas sentral 18,8%, sering makan makanan asin sebesar 24,5%, sering makan makanan berlemak sebesar 12,8%, kurang makan sayur buah 93,6%, kurang aktifitas fisik 48,2%, gangguan mental emosional 11,6%, perokok setiap hari 23,7% dan konsumsi alkohol dalam 12 bulan terakhir mencapai 4,6%.
Salah satu kegiatan pokok pengendalian penyakit jantung dan pembuluh darah adalah melaksanakan deteksi dini aktif faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah di masyarakat. Melalui kegiatan deteksi dini faktor risiko diharapkan dapat dilakukan penanganannya sedini mungkin, sehingga prevalensi faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah dapat diturunkan serendah mungkin. Tujuan Diketahuinya prevalensi faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah yang dapat digunakan dalam penyusunan rencana kegiatan pengendalian penyakit tidak menular khususnya penyakit jantung dan pembuluh darah di Kabupaten Bireun. Cara Deteksi dini aktif di masyarakat dilaksanakan di Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireun Provinsi Aceh pada bulan Agustus 2011. Jumlah responden sebanyak 315 orang, usia ≥18 tahun. Pemilihan kecamatan dilakukan secara multi-stage random sampling. Sebelum kegiatan deteksi dini, dilakukan pelatihan tentang cara pengumpulan data terhadap 20 enumerator yang terdiri dari 10 petugas kesehatan (dokter, perawat, bidan, analis) Dinas Kesehatan Kabupaten Bireun dan Puskesmas Gandapura dan 10 kader kesehatan. Pelatihan petugas kesehatan dan kader dilaksanakan secara terpisah. Materi pelatihan meliputi: Cara pengisian ‖Kartu Kontrol‖ dan ‖Kartu Menuju Sehat, Terhindar dari Faktor Risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (KMS FR-PJPD)‖; Penentuan IMT; Pengukuran lingkar perut dan tekanan darah; Penentuan skor FR-PJPD; Pengukuran lemak darah dengan cardiocheck; dan pemeriksaan Electrocardiogram (EKG). Materi cara pemeriksaan lemak darah pemeriksaan EKG hanya diberikan kepada petugas kesehatan. Wawancara dan pengukuran dilakukan di aula masjid desa dengan seizin pemuka agama setempat. Responden terpilih diminta hadir di tempat pemeriksaan tiga hari
M. Sugeng Hidayat¹, Rifaunama R¹, Amir Addani², Toni Wandra¹
2
sebelumnya melalui ketua Rukun Warga setempat. Apabila responden berhalangan datang ke tempat pemeriksaan, dilakukan kunjungan rumah oleh petugas. Pengumpulan data diawali dengan pengisian KMS-FR-PJPD dan Kartu Kontrol (KK) dengan wawancara serta pengukuran berat badan, tinggi badan untuk menentukan Indeks Massa Tubuh (IMT), lingkar perut dan tekanan darah. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan lemak darah dengan menggunakan alat cardiocheck terhadap 100 responden yang dipilih dari total responden berdasarkan total skor faktor risiko. Semakin tinggi/banyak faktor risiko pada responden, semakin diprioritaskan untuk pemeriksaan lemak darah. Pemeriksaan ECG dilakukan terhadap 10 responden yang dipilih dari 100 responden yang diperiksa lemak darahnya apabila yang bersangkutan memiliki riwayat penyakit jantung (seperti berdebar-debar dan keluhan lainnya) atau termasuk dalam kelompok 10-20 responden dengan skor tertinggi. Selanjutnya KMS FR-PJPD yang telah terisi lengkap diserahkan/disimpan oleh responden dan diminta agar KMS-PJPD tersebut dibawa pada saat kontrol ke Puskesmas bila diperlukan, sedangkan Kartu Kontrol (KK) FR-PJPD disimpan oleh petugas. Hasil dan Pembahasan 1. Karakteristik responden a. Jenis kelamin
- Laki-laki : 129 (41%) - Perempuan : 186 (59%)
b. Umur responden (tahun) - 18-24 : 30 (9,5 %) - 25-34 : 70 (22,2%) - 35-44 : 94 (29,8%) - 45-54 : 51 (16,2% ) - 55-64 : 41 (13,0%) - 65-74 : 25 (7,9%) - ≥ 75 : 4 (1,3%)
c. Pendidikan Responden -Tidak Sekolah : 4 (1,3 %) -Tidak Tamat SD : 11 (3,5%) -Tamat SD : 81 (25,7%) -Tamat SMP : 101 (32,1%) -Tamat SMA : 81 (25,7%) -Tamat Perguruan Tinggi : 37 (11,7%) d. Pekerjaan responden Tidak bekerja : 157 (49,8%) Sekolah : 17 (5,4%)
Pedagang : 18 (5,7%) PNS/Guru/TNI/ Polri : 16 (5,1%) Pelajar / Mahasiswa : 74 (23,5%) Lainnya : 33 (10,5%)
2. Riwayat keluarga Persentase responden umur 18 tahun
ke atas yang mempunyai riwayat penyakit jantung adalah 4,4%. Sedangkan responden yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi 17,5% dan stroke 3,2%. Riwayat keluarga merupakan salah satu faktor risiko utama dalam penentuan prioritas pengukuran lemak darah responden. 3. Perilaku Merokok
Hasil deteksi dini menunjukkan bahwa prevalensi responden umur 18 tahun ke atas yang merokok setiap hari adalah 22,2% (Tabel). Prevalensi responden merokok setiap hari tertinggi pada kelompok umur 35-44 tahun (30,9%), diikuti kelompok umur 45-54 tahun dan 25-34 tahun masing-masing 29,4% dan 15,7%.
Risiko penyakit jantung koroner pada perokok 2-4 kali lebih besar daripada yang bukan perokok. Rokok dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen ke jantung, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi, penurunan kadar kolesterol-HDL (―kolesterol baik‖), peningkatan penggumpalan darah, dan kerusakan endotel pembuluh darah koroner. 4. Perilaku Minum Minuman Beralkohol
Informasi minum alkohol diperoleh dengan menanyakan kepada responden umur 18 tahun ke atas. Karena perilaku minum alkohol seringkali periodik maka ditanyakan perilaku minum alkohol dalam periode 12 bulan terakhir.
3
Hasil deteksi memperlihatkan prevalensi responden umur 18 tahun ke atas peminum alkohol 12 bulan terakhir, yaitu sebanyak 0,6% (Tabel).
Minuman beralkohol dapat menyebabkan penyakit gangguan hati, kerusakan saraf otak dan jaringan di dalam tubuh serta penyakit jantung dan pembuluh darah. 5. Sering Makan Makanan Asin
Responden yang sering makan makanan asin (makanan yang lebih dominan rasa asin) dianggap sebagai berperilaku mengkonsumsi makanan berisiko terkena penyakit jantung dan pembuluh darah. Perilaku konsumsi makanan asin dikelompokkan ―sering‖ apabila responden mengkonsumsi makanan tersebut satu kali atau lebih setiap hari.
Prevalensi responden umur 18 tahun ke atas dengan konsumsi makanan asin yaitu sebesar 43,9% responden (Tabel). Prevalensi responden sering makan makanan asin tampak tertinggi pada kelompok umur 75 tahun k atas (75,0%) diikuti kelompok umur 45-54 tahun dan umur 35-44 tahun masing-masing 64,7% dan 37,8%. Sebanyak 41,1% responden yang sering makan makanan asin adalah laki-laki.
Menurut pekerjaan, responden yang paling sering makan makanan asin adalah Petani/Buruh/Nelayan (44,6%), diikuti responden yang tidak bekerja dan PNS/TNI/ POLRI/BUMN, masing-masing sebesar 44,5%. Konsumsi makanan asin yang berlebih terutama yang berasal dari garam dan sumber lain, seperti produk susu dan bahan makanan yang diawetkan dengan garam merupakan pemicu timbulnya hipertensi. Hipertensi penyebab tersering stroke dan serangan jantung. 6. Sering Makan Makanan Tinggi Lemak
Responden yang sering makan makanan tinggi lemak/berlemak (makanan yang lebih dominan kandungan lemak) dianggap sebagai berperilaku mengkonsumsi makanan berisiko terkena penyakit jantung dan pembuluh darah. Perilaku konsumsi makanan tinggi lemak dikelompokkan ―sering‖ apabila responden mengkonsumsi makanan tersebut satu kali atau lebih setiap hari.
Hasil deteksi dini menunjukkan prevalensi responden umur 18 tahun ke atas yang mengkonsumsi makanan tinggi lemak sebanyak 37,8%.
Prevalensi responden sering makan makanan tinggi lemak tertinggi pada kelompok umur 25-34 (57,1%), sedangkan
menurut pekerjaan, responden yang sering makan makanan tinggi lemak adalah responden yang tidak bekerja (39,5%). Makanan yang mengandung asam lemak tak jenuh ganda dan tak jenuh tunggal umumnya berasal dari makanan nabati, kecuali minyak kelapa. Makanan sumber asam lemak jenuh umumnya berasal dari hewan. Mengkonsumsi lemak hewani secara berlebihan dapat menyebabkan penyempitan pembuluh darah arteri dan penyakit jantung koroner. 7. Kurang Sayur Buah
Responden dikategorikan kurang sayur buah apabila makan sayur kurang dari 2 kali (2 porsi) perhari dan makan buah kurang dari 3 kali (3 porsi) per hari selama 7 hari dalam seminggu.
Survei di Bireun menunjukkan bahwa secara keseluruhan responden umur 18 tahun ke atas kurang konsumsi buah sayur sebesar 97,5%.
Prevalensi tertinggi yang kurang mengkonsumsi sayur buah adalah kelompok umur 18-24 (100%), diikuti kelompok umur 35-44 tahun (98,9%).
Dewasa ini, perubahan pola makan menjurus ke sajian siap santap yang tidak sehat dan tidak seimbang, karena mengandung kalori, lemak, protein, dan garam tinggi, tetapi rendah serat pangan (dietary fiber). Jenis makanan ini membawa konsekuensi terhadap perubahan status gizi, yaitu gizi lebih dan obesitas yang memicu berkembangnya penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, khususnya penyakit jantung koroner.
Makan makanan beraneka ragam sangat bermanfaat bagi kesehatan, karena tidak ada satu jenis makanan yang mengandung semua zat gizi yang dibutuhkan seseorang untuk tumbuh kembang menjadi sehat dan produktif. 8. Kurang Aktivitas Fisik
Prevalensi kurang aktivitas fisik pada responden 18 tahun ke atas adalah 84,4%. Menurut jenis pekerjaan, responden yang kurang aktivitas fisik pada umumnya adalah pelajar/mahasiswa (94,1%).
Aktivitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Beberapa studi menunjukkan adanya hubungan antara aktivitas fisik dengan penyakit jantung dan pembuluh darah. Bila melakukan latihan fisik (olahraga) minimal 30 menit setiap hari selama 3-4 hari dalam seminggu, diharapkan tercapai hasil yang
4
optimal setelah latihan 4-6 minggu dan kemampuan fisik meningkat sebesar 30-33%. 9. Stress
Data stres dikumpulkan secara kualitatif pada responden umur 18 tahun ke atas. Dikategorikan stres apabila responden merasa panik, tegang atau cemas satu kali atau lebih setiap hari.
Hasil deteksi memperlihatkan prevalensi responden umur 18 tahun ke atas dengan stres, yaitu sebesar 4,7%. Prevalensi responden yang sering mengalami stres tampak tinggi pada kelompok umur ≥75 tahun (25,0%). Prevalensi pada laki-laki (7,8%) lebih tinggi dibanding dengan perempuan (2,6%). Sedangkan menurut pekerjaan, responden yang stres umumnya adalah Petani/Buruh/Nelayan (5,4%).
Dampak negatif stres antara lain: Sikap agresif, frustasi, gugup, kejenuhan, bosan dan kesepian; Alkoholik, merokok, makan berlebihan, penyimpangan seks; Daya pikir lemah, tidak mampu membuat keputusan, tidak konsentrasi; Peningkatan tekanan darah, denyut jantung, dan gula darah. 10. Obesitas Umum
Status gizi responden umur 18 tahun ke atas dinilai dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks Massa Tubuh dihitung berdasarkan berat badan dan tinggi badan dengan rumus: BB(Kg)/TB(m)2.
Berikut ini adalah batasan IMT untuk menilai status gizi responden umur 18 tahun ke atas:
Kurus: IMT <18,5 (Kg/m2) Normal: IMT 18,5-24,9 (Kg/m2) BB lebih: IMT 25-27 (Kg/m2) Obesitas: IMT >27 (Kg/m2)
Prevalensi responden umur 18 tahun ke atas dengan obesitas umum adalah sebesar 23,5%. Prevalensi responden dengan obesitas umum tertinggi pada kelompok umur 25-34 tahun (28,6%), prevalensi obesitas lebih tinggi pada laki-laki (31,8%) dibandingkan dengan perempuan (18,8%).
Fakta menunjukkan bahwa distribusi lemak tubuh berperan penting dalam peningkatan faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah. 11. Lingkar Perut
Indikator status gizi yang lain adalah ukuran lingkar perut (LP) untuk mengetahui adanya obesitas sentral. Untuk laki-laki dengan LP 90 cm atau lebih dan untuk perempuan LP 80 cm atau lebih dinyatakan sebagai obesitas sentral.
Dari hasil deteksi dini diketahui bahwa prevalensi responden umur 18 tahun ke atas dengan obesitas sentral sebesar 24,1%.
Prevalensi responden dengan obesitas sentral tertinggi pada kelompok umur 45-54 tahun (25,5%). Obesitas sentral akan meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah. 12. Hipertensi
Data hipertensi diperoleh dengan metode pengukuran. Hipertensi berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah/tensi yang ditetapkan menggunakan standar baku pengukuran tekanan darah (sphigmomanometer air raksa manual). Pengukuran tekanan darah dilakukan pada responden umur 18 tahun ke atas. Setiap responden diukur tensinya minimal 2 kali, jika hasil pengukuran kedua berbeda lebih dari 10 mmHg dibanding pengukuran pertama, maka dilakukan pengukuran ketiga. Dua data pengukuran dengan selisih kecil dihitung reratanya sebagai sebagai hasil ukur tekanan darah. Kriteria hipertensi yang digunakan merujuk pada kriteria JNC VII 2003, yaitu hasil pengukuran tekanan darah sistolik ≥120 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg. Kriteria JNC VII 2003 hanya berlaku untuk usia 18 tahun ke atas.
Berdasarkan hasil deteksi, prevalensi responden umur 18 tahun ke atas dengan hipertensi sebesar 35,6%.
Prevalensi responden dengan hipertensi tertinggi pada kelompok umur 45-54 tahun (61,0%), sedangkan hipertensi pada kelompok umur 25-34 tahun yaitu sebesar 28,6%. Prevalensi hipertensi lebih besar pada laki-laki (45,7%). Sedangkan menurut pekerjaan, prevalensi tertinggi adalah Wiraswasta (47,4%).
Risiko penyakit jantung dan pembuluh darah meningkat sejalan dengan peningkatan tekanan darah. Hasil penelitian Framingham menunjukkan bahwa tekanan darah sistolik 130-139 mmHg dan tekanan diastolik 85-89 mmHg meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah sebesar 2 kali dibandingkan dengan tekanan darah kurang dari 120/80 mmHg. Hipertensi merupakan penyebab tersering penyakit jantung koroner dan stroke, serta faktor utama dalam gagal jantung kongestif. 13. Dislipidemia
Data dislipidemia pada responden umur 18 tahun ke atas didapat dengan metode pemeriksaan lipid darah menggunakan
5
Cardiocheck dan menggunakan standar nilai normal sebagai berikut: -Kolesterol total: ≥190 mg/dL -Kolesterol-LDL: ≥115 mg/dL -Kolesterol-HDL: <40 mg/dL (laki-laki) dan <45 mg/dL (perempuan) -Trigliserida: > 150 mg/dL Istilah dislipidemia digunakan apabila salah satu atau lebih nilai stadar di atas tidak normal. Berdasarkan pemeriksaan lemak darah pada responden umur 18 tahun ke atas ditemukan prevalensi dislipidemia sebesar 21,0%. Sedangkan responden dengan kolesterol total tinggi, kolesterol-LDL tinggi, kolesterol-HDL rendah dan trigliserida tinggi berturut-berturut 47,1%, 57,6%, 32,4% dan 35,3%. Prevalensi dislipidemia pada laki-laki dan perempuan yaitu 96,9% dan 94,3%.
Untuk menurunkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah, maka nilai kolesterol total plasma harus <190 mg/dL dan Low Density Lipoprotein (LDL) <115 mg/dL. Pada pasien dengan DM atau pasien asimptomatik dengan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah, maka target kadar kolesterol total darah harus <175 mg/dL dan LDL <100 mg/dL. Kadar High Density Lipoprotein (HDL) <40 mg/dL pada laki-laki dan <45 mg/dL pada perempuan, serta kadar trigliserida puasa >150 mg/dL akan meningkatkan risiko penyakit jantung dan pembuluh darah.
Perbadingan prevalensi faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah di Kabupaten Bireun dengan prevalensi di Provinsi Aceh dan Nasional hasil Riskesdas 2007 sebagaimanat terlihat pada Tabel. Kesimpulan
Persentase responden 18 tahun ke atas yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi 17,5%, penyakit jantung 4,4% dan stroke 3,2%.
Prevalensi merokok setiap hari pada responden umur 18 tahun ke atas yaitu sebesar 22,2%
Prevalensi peminum alkohol 12 bulan terakhir adalah 0,6%.
Prevalensi sering mengkonsumsi makanan asin sebanyak 43,9%.
Prevalensi sering mengkonsumsi makanan tinggi lemak sebanyak 37,8%.
Prevalensi kurang makan sayur dan buah sebesar 86,6% dan 96,8%
Prevalensi kurang aktivitas fisik adalah 77,7%.
Prevalensi stres sebesar 90,7%. Prevalensi Berat Badan Lebih adalah
10,5%. Prevalensi Obesitas adalah 13,0%.
Prevalensi Obesitas Umum (Berat Badan Lebih dan Obesitas) adalah 23,5%.
Prevalensi Obesitas sentral adalah 30,2%. Prevalensi hipertensi adalah 35,6%. Prevalensi hipertensi sistolik adalah 15,9%. Prevalensi hipertensi diastolik adalah
35,6%. Prevalensi kolesterol total tinggi adalah
47,1%. Prevalensi kolesterol-LDL tinggi adalah
57,6%. Prevalensi kolesterol-HDL rendah adalah
32,4%. Prevalensi trigliserida tinggi adalah 35,3%. Prevalensi dislipidemia sebanyak 21,0%
Saran
Perlu penanganan faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah secara intensif dan berkesinambungan, yaitu upaya modifikasi gaya hidup (lifestyle) pada responden dan masyarakat pada umumnya dengan melaksanakan penyuluhan (KIE) secara terus-menerus dan kontrol (follow up) faktor risiko penyakit jantung dan pembuluh darah secara berkala. Daftar Pustaka 1. AHA/ACC Scientific Statement, Assesment of
Cardiovascular Risk by Use of Multiple Risk Factor Assesment Equations (1999), A Statement for Healthcare, Professionals from the American Heart Association and the American College of Cardiology. September 1999 2. AHA Scientific Statement, AHA Guidelines for Primary prevention of Cardiovascular Diseases and Stroke : 2002 Update. July. 2002 3. Arisman, M.B. (2003). Gizi dalam daur kehidupan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta 4. Bowers, J. (1992). Fat and oil in foods, in Food Theory and Application. Maxwell Macmillan International. 5. Deteksi Dini Faktor Risiko Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (2010), Edisi I, cetakan-2, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta 6. Pedoman Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (2009), Kementerian Kesehatan RI, Jakarta 7. Sunita Altmatsier. (2003). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
6
Registrasi Kanker Berbasis Populasi di DKI jakarta
Subdit Pengendalian Penyakit Kanker, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular
Abstrak Kanker merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa kanker merupakan penyebab kematian nomor 7 dari semua jenis penyakit. Akan tertapi, besaran permasalah kanker baik angka kesakitan (prevelens, insindes) maupun angka kematian belum tersedia karena belum ada registrasi kanker berbasis populasi. Sejak tahun 2007 sampai 2011, Sub Direkorat Pengendalian Penyakit Kanker bekerja sama dengan berbagai pihak yang berkaitan mengembangan registrasi kanker berbasis populasi dengan model di DKI Jakarta. Registrasi kanker berbasis populasi dengan model di DKI Jakarta dikembangkan dengan langkah-langkah advokasi dan sosialisasi, pembentukan tim registrasi kanker tingkat nasional, provinsi DKI Jakarta, 5 kota. Langkah-langkah reknis dalam registrasi kanker mencakup pengumpulan data, verifikasi, validasi, pengolahan, analisis data, dan publikasi. Proses pengumpulan dan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan abstrak dan software SRIKANDI, yang terdiri dari 3 komponen utama yaitu informasi tentang pasien, tumor, dan tindak lanjut. Sumber data registrasi kanker di DKI Jakarta adalah 79 rumah sakit, 44 Puskesmas Kecamatan yang membawahi 301 Puskesmas Kelurahan, 2 klinik, dan 90 laboratorium patologi. Variabel yang dikumpulkan dari rumah sakit sebanyak 32, sedangkan dari sumber lain 18 variabel. Hasil registrasi menunjukkan bahwa insidens kanker tertinggi di DKI Jakarta tahun 2005-2007 pada perempuan adalah kanker payudara, kanker leher rahim/serviks, kanker kolorektal, kanker bronkhus dan paru, dan kanker ovarium. Kanker tertinggi pada laki-laki adalah kanker bronkhus dan paru, kanker prostat, kanker kolorektal, kanker pharing, dan kanker ginjal-pervis-kandung kemih. Sedangkan insidens kanker pada anak (0-17 tahun) adalah 90,5 per 1 juta anak, tertinggi adalah leukemia, kemudian kanker mata/retinoblastoma, kanker tulang, CNS, dan limfoma. Dengan pengembangan model registrasi kanker di DKI Jakarta, mekanisme kerja registrasi kanker sudah disepakati, diperoleh insidens kanker tertinggi pada perempuan, laki-laki, dan anak-anak, dan kesiapan pengembangan registrasi kanker di wilayah lain diIndonesia mengacu pada model Jakarta.
Latar Belakang Salah satu masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia adalah penyakit kanker. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007, kanker merupakan penyebab kematian nomor 7 dari seluruh penyebab kematian di Indonesia, sebesar 5,7%. Sedangkan prevalensi nasional sebesar 4,3 per 1000 penduduk.
Data tersebut dapat menjadi data dasar (baseline data) permasalahan kanker di masyarakat. Akan tetapi, data tersebut belum dapat menggambarkan permasalahan yang valid pada suatu populasi/masyarakat, karena masih berbentuk survei. Data kanker yang valid dapat diperoleh melalui registrasi kanker yang memungkinkan tidak adanya duplikasi data.
Registrasi kanker adalah suatu proses pengumpulan data yang sistematik dan terus menerus yang meliputi kejadian, karakteristik dan outcome, serta pengolahan, penyimpanan, dan penganalisaan data menjadi informasi tentang kanker pada populasi tertentu. Informasi tersebut dipakai sebagai dasar kebijakan pengendalian penyakit kanker. Ada beberapa jenis registrasi kanker berdasarkan cara perolehan data, yaitu registasi kanker berbasis rumah sakit dan registrasi kanker berbasis populasi. Registrasi berbasis rumah sakit adalah registrasi yang dilakukan berdasarkan data kanker yang didiagnosa oleh seluruh bagian RS yang menanggulangi kanker. Registrasi ini bertujuan untuk membantu pihak administrasi dalam merencanakan dan mengorganisir sumber daya untuk mengoptimalkan penanggulangan penyakit kanker di RS tersebut.
Registrasi kanker berbasis populasi/ masyarakat adalah registrasi yang dilakukan berdasarkan data kanker yang ada di masyarakat/populasi tertentu dari semua sarana kesehatan (RS, Puskesmas, Lab, Klinik, Catatan Sipil, dll) yang mendiagnosa/ terdapat informasi kanker mengenai tempat dan jumlah penduduk. Registrasi ini bertujuan mendapatkan besaran masalah kanker, baik morbiditas (prevalens, insidens) dan kematian untuk menjadi bahan perencanaan dan evaluasi program pengendalian penyakit kanker di masyarakat.
Upaya registrasi kanker telah dimulai sejak tahun 1970 di Kota Semarang, Jawa Tengah. Selanjutnya ada beberapa upaya
Mugi Wahidin, SKM
7
registrasi kanker di beberapa kota di Indonesia sampai tahun 2004. Akan tetapi, upaya registrasi kanker tersebut tidak berlanjut (terhenti), karena berbagai hal, seperti tidak adanya sumber daya manusia yang fokus dalam pengembangan registrasi kanker dan tidak adanya unit khusus di Kementerian Kesehatan yang bertanggung jawab dalam pengembangan registrasi kanker.
Untuk itu, sejak berdirinya Subdit
Pengendalian Penyakit Kanker di Direktorat
Pengendalian Penyakit Tidak Menular,
registrasi kanker mulai dikembangkan lagi.
Registrasi kanker berbasis populasi yang
berkelanjutan mulai dikembangkan tahun
2007, dengan model di DKI Jakarta. Registrasi
kanker tersebut awalnya berbasis rumah sakit,
selanjutnya dikembangkan menjadi berbasis
populasi. Model ini dikembangkan oleh Sub
Direktorat Pengendalian Penyakit Kanker
bekerja sama dengan berbagai pihak seperti
Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan, RS
Kanker Dharmais, dan Dinas Kesehatan
Provinsi DKI Jakarta. Model di DKI Jakarta ini
akan menjadi referensi dalam pengembangan
registrasi kanker di wilayah lain di Indonesia.
Metodologi Langkah-langkah pengembangan
registrasi kanker dengan dengan model di DKI Jakarta dimulai dengan advokasi dan sosialisasi, pembentukan tim registrasi kanker tingkat nasional, provinsi DKI Jakarta, 5 kota (Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Selatan), penyusunan abstrak dan software, pelatihan, implementasi di lapangan, monitoring, dan evaluasi.
Langkah-langkah reknis dalam
registrasi kanker mencakup pengumpulan
data, verifikasi, validasi, pengolahan, analisis
data, dan publikasi. Pengumpulan data
dilakukan di fasilitas kesehatan yang
mempunyai data kanker oleh petugas regitrasi
(registrar). Di DKI Jakarta, sumber data adalah
79 rumah sakit, 44 Puskesmas Kecamatan
yang membawahi 301 Puskesmas Kelurahan,
2 klinik, dan 90 laboratorium patologi. Data
dikumpulkan menggunakan formulir abstrak
(ringkasan informasi kanker perorangan) dan
diiput ke dalam Software Sistem Registrasi
Kanker di Indonesia (SRIKANDI). Data mentah
kemudian dikumpulkan ke tim registrasi kanker
kabupaten/kota, dan selanjutnya dikumpulkan
di tim registrasi kanker provinsi. Pengumpulan
data dilakukan secara pasif dengan
mengadakan pertemuan 3 bulanan.
Verifikasi data dilakukan untuk memastikan keabsahan data kanker yang dikumpulkan, jangan sampai ada data selain kanker yang masuk. Verifikasi data dilakukan di masing-masing fasilitas kesehatan yang mengumpulkan data kanker oleh dokter patologi atau dokter umum terlatih. Validasi data dilakukan di tingkat kabupaten/kota, tingkat provinsi, dan tingkat nasional oleh tim registrasi kanker untuk membersihkan data dari duplikasi. Selain validasi, di setiap tingkat juga dilakukan verifikasi kembali dengan memeriksa keabsahan data.
Pengolahan dan analisa data dilakukan di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Tim provinsi membantu pengolahan dan analisa data tingkat provinsi, dan tim provinsi membantu tim tingkat kabupaten/kota. Berhubung software SRIKANDI masih terbatas dalam mengolah dan menganalisa data, kegiatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan Micosoft Excel atau SPSS. Informasi hasil analisa berupa angka kesakitan (prevalens, insidens) maupuan angka kematian. Selanjutnya, setelah data diolah dan dianalisa, hasilnya dipublikasi dengan mengeluarkan dokumen/buku resmi, seminar, maupaun lewat media cetak maupun elektronik
Software SRIKANDI merupakan adaptasi dari software CanReg 4 yang dikembangkan oleh International Association of Cancer Registries (IACR). Software SRIKANDI berisi 3 bagian pokok yaitu informasi pasien, informasi tumor, dan tindak lanjut (follow-up). Software berbasis Microsoft Access dan bekerja independen (belum online). Jumlah variabel yang dikumpulkan untuk RS sebanyak 32 buah, sedangkan untuk sumber lain (Puskesmas, Laboratorium, klinik) sebanyak 18 buah. Hasil dan Pembahasan
Data yang dihasilkan dari registrasi kanker berbasis populasi di DKI Jakarta menunjukkan bahwa 5 jenis kanker tertinggi tahun 2005-2007 pada perempuan adalah kanker payudara (insidens 31.2 per 100,000 perempuan), kanker leher rahim/serviks (17.6 per 100,000), kanker kolorektal (11.7 per 100,000), kanker bronkhus dan paru (7.7 per 100,000), dan kanker ovarium (7.6 per 100,000).
Kanker tertinggi pada laki-laki adalah kanker bronkhus dan paru (insindens 19.6 per 100,000 laki-laki), kanker prostat (13.5 per
8
100,000), kanker kolorektal(12.5 per 100,000) kanker pharing (7.9 per 100,000), dan kanker ginjal-pervis-kandung kemih (5.1 per 100,000). Sedangkan insidens kanker pada anak (0-17 tahun) adalah 90,5 per 1 juta anak. Leukemia merupakan kanker tertinggi pada anak (28 per 1 juta), kemudian kanker mata/retinoblastoma (24 per 1 juta), kanker tulang (9,7 per 1 juta), CNS (8 per 1 juta) dan limfoma 7,5 per 1 juta. Kesimpulan dan Saran Kesimpulan - Permasalahan kanker tertinggi di DKI Jakarta adalah kanker payudara dan kanker leher rahim (pada perempuan), kanker brokhus dan paru dan kanker prostat (pada laki-laki), serta leukemia dan kanker mata/retinoblastoma (pada anak-anak) - Modeling registrasi kanker berbasis populasi di DKI Jakarta telah dikembangkan dengan baik, meskipun memerlukan perbaikan. - Mekanisme registrasi kanker sudah disepakati agar dapat diterapkan di wilayah lain di Indonesia Saran - Registrasi kanker di DKI Jakarta perlu terus dilaksanakan agar berkesinambungan, dengan kerja sama semua pihak yang terlibat
- Pengoptimalan kerja tim registrasi kanker baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota di DKI Jakarta - Software registrasi kanker perlu disempurnakan untuk dipergunakan di seluruh wilayah Indonesia - Pedoman registrasi kanker perlu segera diterbitkan untuk menjadi panduan dalam pengembangan registasi kanker - Perlunya intervensi pengendalian kanker sesuai dengan besaran masalah kanker berdasarkan hasil registrasi kanker di DKI Jakarta - Pengembangan registrasi kanker di wilayah lain di Indonesia dapat dilakukan dengan mengacu kepada modeling di Jakarta Daftar Pustaka
1. Parkin D.M., Chen V.W., Ferlay J., Galceran J., Storm H. H., and Whelan S. L. Comparability and Quality Control in Cancer Registration. IARC Technical Report No. 19. Lyon, 1994
2. Parkin D.M., Jensen O.M., et.al. Cancer Registration Principles and Methods, IARC Scientific Publication No. 95. Lyon, 1991
3. Registrasi Kanker Berbasis Populasi di Kota Semarang 1985-1989
4. Riset Kesehatan Dasar, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2008
9
Pemberdayaan Tuha Peut (Tokoh Masyarakat) dalam Program Penanggulangan TB melalui Peningkatan Pengetahuan Masyarakat
di Kabupaten Bireuen Wilayah Pemerintah Aceh Tahun 2009
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, ²Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, ³Dinas Kesehatan
Kabupaten Aceh Besar, ⁴Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Surabaya
Abstrak Indonesia adalah penyumbang jumlah penderita TB nomor lima setelah India, China, Afrika Selatan, dan Nigeria (WHO, 2010). Tahun 2009, terdapat 294731 penderita, maka diperkirakan setiap jam muncul 34 penderita baru dan setiap jam muncul 20 penderita baru yang menular. Demikian juga di Aceh setiap tahun insiden TB terus meningkat, terdapat 6000-7000 kasus baru per tahun, 75% penderita usia produktif (15-50 tahun), dari 4,67 juta penduduk. Maka setiap 4 hari ada 1 penduduk Aceh meninggal karena TB (100 orang meninggal/tahun). Apabila hal ini tidak ditanggulangi secara radikal, akan mengakibatkan kerugian dari segi ekonomi berupa hari kerja yang hilang sehingga akan menurunkan produktivitasnya. Permasalahan utama penanggulanan TB di Aceh adalah rendahnya cakupan suspek atau Case Detection Rate (CDR). Dengan intervensi kepada Tuha Peut melalui pelatihan untuk selanjutnya Tuha Peut menyuluh masyarakat sehingga terdapat peningkatan pengetahuan masyarakat untuk mendorong suspek TB mendatangi Puskesmas untuk diagnosis dan pengobatan TB. Kajian tentang Pemberdayaan Tuha Peut dalam program TB yang telah dilakukan bertujuan untuk mengetahui pengetahuan masyarakat tentang program TB, angka kunjungan suspek TB ke Puskesmas dan kendala-kendala Tuha Peut dalam pemberdayaan masyarakat di daerah intervensi. Penelitian ini menggunakan rancangan quasi eksperimen. Dua kabupaten yang jaraknya satu sama lain berjauhan terpilih sebagai daerah penelitian (Kabupaten Bireuen sebagai daerah intervensi dan Kabupaten Aceh Besar sebagai daerah kontrol). Panduan kuesioner tentang program penanggulangan TB digunakan untuk mengetahui pengetahuan masyarakat sebelum dan sesudah intervensi oleh Tuha Peut. Pengetahuan responden tentang program TB (penyebab, gejala, cara pemeriksaan, cara penularan, pencegahan, dan penyembuhan TB) setelah intervensi meningkat pada kelompok perlakuan, sedangkan pada kelompok kontrol tetap. Setelah Tuha Peut memberikan penyuluhan kepada masyarakat dan memotivasinya mengakibatkan kunjungan ke Puskesmas meningkat dari 64 suspek pada 3 bulan terakhir (2008) menjadi 112 (2009) pada periode waktu yang sama. Dimana 67 di antaranya dikirim oleh Tuha Peut dengan dibekali T4 card, tetapi hanya 57 suspek (85%) yang sampai ke Puskesmas. Pada Tuha Peut kategori 3 (yang tidak mengirim suspek) terdapat kendala dalam meningkatkan
pengetahuan masyarakat antara lain karena Tuha Peut sebagai pedagang, tidak ada supervisi yang berkelanjutan dan adanya stigma tentang TB di masyarakat. Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan responden tentang TB setelah perlakuan meningkat signifikan pada kelompok intervensi, sedangkan pada kelompok kontrol tetap. Pemberdayaan Tuha Peut dalam program PenanggulanganTB dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang TB dan kemampuan Tuha Peut dalam memotivasi suspek TB di masyarakat meningkatkan angka kunjungan suspek TB ke Puskesmas. Namun kendala Tuha Peut untuk memberdayakan masyarakat dalam program TB, antara lain kurangnya waktu sebagian Tuha Peut untuk berinteraksi dengan masyarakat, dan adanya stigma tentang TB. Rekomendasi: Dari hasil penelitian ini dapat
direkomendasikan pelibatan Tuha Peut sebagai
model lokal spesifik dalam program
penanggulangan TB di Aceh.
Pendahuluan Data dari Dinas Kesehatan
Pemerintah Aceh tahun 2007, terdapat 7000 kasus baru TB dari 4,2 juta penduduk, dengan mortalitas 100 orang/tahun. Dari angka tersebut sekitar 75% penderita berasal dari usia produktif (15-50 tahun). (M.Thaib, 2008). Permasalahan utama penanggulangan TB di Aceh adalah rendahnya cakupan suspek dan Case Detection Rate (CDR).
Untuk meningkatkan cakupan suspek dan CDR ini, perlu adanya peran serta masyarakat melalui peran serta tokoh masyarakat. Di dalam struktur masyarakat Aceh, terdapat kelompok yang keberadaannya sangat berpengaruh yaitu Tuha Peut. Kelompok ini mempunyai fungsi yang cukup signifikan. Tuha Peut berfungsi terutama dalam mengambil keputusan dan kebijaksanaan yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat. Keberadaan mereka diakui secara resmi dalam UU RI. No.11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Qanun Aceh No.08 tahun 2004 tentang Pemerintahan Gampoeng (desa).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pemberdayaan Tuha Peut dalam meningkatkan pengetahuan
Mudatsir¹, Muhammad Jamil² , Ikhwanuddin³, Sarah Firdausa¹, Rima Novirianti¹, Chatarina Umbul
Wahyuni⁴
10
masyarakat tentang program TB sebelum dan sesudah perlakuan, menilai hubungan antara kemampuan Tuha Peut dengan perubahan angka kunjungan suspek ke puskesmas dan mengidentifikasi kendala Tuha Peut dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat. Metode
Penelitian ini menggunakan rancangan quasi eksperimen. Populasi adalah seluruh masyarakat yang tinggal di Aceh. Sampel (responden) kasus diambil di Kabupaten Bireuen dan sampel kontrol di Kabupaten Aceh Besar yang berjarak 250 km. Masing-masing sebanyak 210 responden diambil secara simpel random. Variabel dependen adalah pengetahuan, kunjungan suspek dan kemampuan Tuha Peut. Variable independen adalah karakteristik, tindakan dan kemampuan motivasi Tuha Peut. Intervensi dilakukan dengan memberikan pelatihan kepada Tuha Peut tentang pengetahuan Program Penanggulangan TB, membekali tuha peut dengan modul, poster, leaflet, Tuha Peut Card dan Form aktifitas Tuha Peut. Selanjutnya Tuha Peut memotivasi masyarakat yang mempunyai gejala TB untuk berkunjung ke Puskesmas dan dimonitor setiap bulan selama 3 bulan dengan melihat peningkatan jumlah suspek yang berkunjung. Pengetahuan responden benar apabila menjawab: penyebab TB karena kuman atau M.tuberculosis, Gejalanya; demam, berkeringat dan batuk berdarah, Pemeriksaan Tb dengan laboratorium; Tb dapat menular, TB dapat dicegah dan TB dapat disembuhkan. Hasil penelitian dianalisis menggunakan uji
statistik t-Test untuk melihat perbedaan
pengetahuan responden sebelum dan
sesudah perlakuan.
Pembahasan Hasil Penelitian: Proporsi responden terbanyak pada kedua daerah, berumur 26-55 tahun yaitu sekitar 68,8%, responden perempuan lebih dominan (68,1%), tingkat pendidikan responden terbanyak adalah tingkat menengah (59,76%), pekerjaan responden yang paling banyak adalah ibu rumah tangga (48,85%). Dari tabel 1 di bawah dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan responden pada semua variabel lebih baik pada kelompok intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol, akan tetapi pada variabel pencegahan TB di daerah intervensi lebih banyak menjawab tidak benar dibandingkan yang menjawab benar. Hasil uji statistik menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara pengetahuan responden
sebelum dengan sesudah perlakuan pada daerah kontrol dan intervensi
Tabel 1. Pengetahuan responden tentang TB di Kabupaten Aceh Besar dan Bireuen pra dan pasca perlakuan Tahun 2009
Pra Perlakuan
Variabel Jawaban Aceh Bireuen P Besar Value Penyebab TB Benar 55 50 0.573 (13.1%) (11.9%) Gejala TB Benar 136 162 0.005 (32.4%) (38.6%) Pemeriksaan Benar 111 105 0.313 TB (26.4%) (25.0%) Penularan TB Benar 108 109 0.922 (25.7%) (26.0%) Pencegahan Benar 23 24 0.887 TB (5.5%) (5.7%) Penyembuhan Benar 173 162 0.033 TB (41.2%) (38.6%) Tidak 11 5 Benar (2.6%) (1.2%) Tidak 26 43 Tahu (6.2%) (10.2%) Pasca Perlakuan
Penyebab TB Benar 56 107 0.00 (13.3%) (25.5%) Gejala TB Benar 55 124 0.00 (13.1%) (29,52%) Pemeriksaan TB Benar 90 159 0.00 (21.4%) (37.9%) Penularan TB Benar 83 137 0.00 (19.8%) (32.6%) Pencegahan TB Benar 31 89 0.00 (7.4%) (21.2%) Penyembuhan TB Benar 184 166 0.001 (43.8%) (39.5%) Tidak 10 4 Benar (2.4%) (1.0%) Tidak 16 Tahu (3.8%) (9.5%)
Adanya motivasi dari Tuha Peut
mengakibatkan kunjungan ke puskesmas
meningkat dari 64 suspek pada 3 bulan
terakhir (2008) menjadi 112 (2009) pada
periode waktu yang sama. Dimana 67
Diantaranya dikirim oleh Tuha Peut dengan
dibekali T4 card, tetapi hanya 57 suspek
(85%) yang sampai ke puskesmas,
selengkapnya dapat dilihat pada gambar
berikut:
Gambar 1. Hubungan antara kemampuan Tuha Peut
dengan kunjungan suspek ke puskesmas di daerah
intervensi tahun 2009
11
Kendala Tuha Peut dalam meningkatkan
pengetahuan tentang TB antara lain karena
Tuha Peut berprofesi sebagai pedagang
keliling yang hampir setap hari tidak bersama
warga sehingga waktu untuk berinteraksi dan
memberikan penyuluhan menjadi sangat
terbatas dan adanya stigma tentang TB di
masyarakat, yang menganggap bahwa TB
merupakan penyakit yang memalukan
sehingga tidak etis menyuluh di warung kopi,
sedangkan bagi masyarakat Aceh, warung
kopi merupakan pusat informasi, bersosialisasi
dan berinteraksi.
Kesimpulan dan Saran
Dari hasil penelitian itu dapat dilihat bahwa tingkat pengetahuan masyarakat antara kelompok kontrol (Aceh Besar) dan kelompok intervensi (Bireuen) sebelum perlakuan relatif sama. Sedangkan pascaperlakuan kepada Tuha peut, pengetahuan responden antara kelompok kontrol dengan kelompok intervensi berbeda. Hal ini sesuai dengan temuan Hoa PP, dkk (2006) bahwa pengetahuan tentang TB pada masyarakat dipengaruhi oleh banyaknya sumber informasi yang diakses dari berbagai media. Dengan demikian perlakuan terhadap tokoh masyarakat dapat meningkatkan pengetahuan pada komunitas. Menurut Ghimire dkk. (2010) di Nepal menemukan bahwa walaupun pendidikan masyarakat rendah tetap dapat dilibatkan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat lain di sekitarnya apabila dididik sebelumnya. Dapat disimpulkan bahwa pengetahuan responden tentang TB setelah perlakuan meningkat signifikan pada kelompok intervensi, sedangkan pada kelompok kontrol tetap. Pemberdayaan Tuha Peut dalam program Penanggulangan TB dapat
meningkatkan pengetahuan masyarakat tetang TB dan kemampuan Tuha Peut dalam memotivasi suspek TB di masyarakat meningkatkan angka kunjungan suspek TB ke Puskesmas. Namun kendalanya pada Tuha Peut antara lain kurangnya waktu sebagian Tuha Peut untuk berinteraksi dengan masyarakat, dan adanya stigma tentang TB. Dari hasil penelitian ini dapat direkomendasikan pelibatan Tuha Peut sebagai model lokal spesifik dalam program penanggulangan TB di Aceh. Daftar Pustaka
1. Hoa NP, Chuc NT, Thorson A, 2009.
Knowledge, attitudes, and practices about
tuberculosis and choice of communication
channels in a rural community in Vietnam.
Health Policy : 90(1):8-12.
2. Ida Leida, Widyaningrum, Anna Khuzaimah,
Muh. Nasrum Massi, Chatarina Umbul
3. Wahyuni. 2008. Efek Promosi Kesehatan Pada
Kelompok Masyarakat Informal Dalam
Mendeteksi Suspek TB Di Kabupaten Gowa.
Makassar.
4. Mata JI. 1985. Integrating the client's
perspective in planning a tuberculosis education
and treatment program in Honduras. Med
Anthropol. 9(1):57-64.
5. M. Thaib. 2008. Situasi TB di NAD. Dinas
Kesehatan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Banda Aceh
6. Qanun Aceh No. 8 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Gampong (Desa)
12
Potensi Risiko Paparan Kadar PM2,5 Di Sekitar Semburan Lumpur Sidoarjo Tahun 2011
Drs. Arief Bintoro
Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BBTKLPPM) Surabaya
Abstrak
Pada tahun 2011, BBTKLPPM Surabaya melakukan
analisis potensi risiko kesehatan masyarakat yang
ditimbulkan oleh semburan lumpur di Sidoarjo, Jawa
Timur, dengan membandingkan risiko antara jarak yang
dekat dan yang jauh dari pusat semburan lumpur.
Populasi berasal dari 2 desa, yaitu Desa Besuki dan
Desa Semampir Kecamatan Sedati. Analisis ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran kadar paparan
PM2,5; kejadian gangguan fungsi faal paru; serta
variabel lain, seperti umur, jenis kelamin, keberadaan
penghuni yang merokok, status gizi, penggunaan obat
nyamuk bakar, kepadatan hunian, dan luas ventilasi
rumah. Hasil analisis antara lain menunjukkan bahwa
ada pengaruh paparan kadar PM2,5 jarak dekat dan
jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo serta faktor
ventilasi dan kepadatan hunian rumah terhadap
gangguan fungsi faal paru penduduk sekitar pusat
semburan lumpur Sidoarjo. Peningkatan kesehatan
lingkungan permukiman di sekitar pusat semburan
lumpur Sidoarjo merupakan salah satu upaya yang
perlu ditingkatkan dan menjadi perhatian dari pihak-
pihak terkait bersama masyarakat.
Pendahuluan
Bencana lumpur Sidoarjo diawali dengan
terjadinya penyemburan lumpur panas di lokasi
pengeboran PT Sidoarjo Brantas di Desa
Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten
Sidoarjo, Jawa Timur, pada 27 Mei 2006.
Semburan lumpur panas yang tereksplorasi tidak
terkendali menyebabkan tergenangnya kawasan
permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga
kecamatan di sekitarnya serta memengaruhi
aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Selain itu,
kondisi lingkungan, sosial, dan kesehatan
masyarakat juga ikut terpengaruh. Semburan ini
berdampak pada pencemaran udara di
permukiman penduduk sekitar, berupa gas
berbahaya, zat kimia, dan debu dengan berbagai
ukuran dan komposisi. Akibat semburan lumpur
Sidoarjo, konsentrasi dan jenis bahan pencemar
udara bertambah di wilayah tersebut.
Gambaran kualitas udara ambien di wilayah
sekitar luapan lumpur Sidoarjo diperoleh dari
pengujian kualitas udara. Parameter pencemar
udara yang diukur, antara lain SOx, NOx, NH3,
H2S, HC, serta debu TSP (total suspended
particulate). Salah satu parameter pencemar yang
tidak memenuhi syarat berdasarkan hasil
pengukuran kualitas udara tersebut adalah debu
TSP, dimana baku mutu TSP sesuai Peraturan
Gubernur Provinsi Jawa Timur Nomor 10 Tahun
2009 adalah maksimal 0.26 µg/l (mg/m3).
Data hasil pengukuran kualitas udara,
khususnya TSP, oleh BBTKLPPM Surabaya tiap
tahunnya menunjukkan konsentrasi debu yang
fluktuatif menurut waktu dan tempat. Pada tahun
2007 pengambilan sampel udara di Desa Mindi
dengan kadar debu TSP 0.191 µg/m3. Tahun
2008 diperoleh konsentrasi debu tertinggi di Desa
Siring, yaitu rata-rata 0.3652 µg/m3. Pengukuran
kadar debu TSP tahun 2009 dilakukan di Desa
Glagah Arum dengan hasil konsentrasi 0.943
µg/m3, sedangkan pengukuran konsentrasi debu
TSP tahun 2010 mengambil sampel di Desa
Siring Barat dengan kadar debu TSP maksimal
0.439 µg/m3.
Penyakit batuk, sakit tenggorokan, bronchitis
akut dan kronik, asma, pneumonia, emphysema
paru dan kanker paru merupakan manifestasi
penyakit saluran pernapasan akibat adanya
paparan terhadap polutan udara secara terus-
menerus dan berlangsung cukup lama. Partikulat
debu yang melayang beterbangan selain
mengganggu pernapasan juga dapat menembus
paru-paru. Partikel udara yang lebih kecil, yaitu
PM2,5, dapat terhirup ke dalam paru-paru
dibandingkan partikel debu kasar atau PM10.
Partikel debu yang masuk ke saluran pernapasan
tersebut dapat mengganggu proses respirasi.
Sehubungan dengan situasi tersebut, pada
tahun 2011 BBTKLPPM Surabaya melakukan
analisis potensi risiko pada populasi dengan
membandingkan risiko antara jarak yang dekat
dengan yang jauh dari pusat semburan lumpur,
sehingga dapat diketahui gambaran dampak atau
potensi risiko yang diakibatkan oleh semburan
lumpur Sidoarjo dari segi kesehatan masyarakat.
13
Gambar 1. Lokasi Desa yang Menjadi Tempat Kajian
Metodologi
Pengambilan sampel dilakukan secara
purposive pada 2 desa yang memiliki jarak dekat
dengan pusat semburan lumpur Sidoarjo, yaitu
Desa Besuki dengan jarak ± 500 meter, dan desa
yang memiliki jarak jauh dengan pusat semburan
lumpur Sidoarjo, yaitu Desa Semampir
Kecamatan Sedati dengan jarak ± 10 km. Adapun
gambaran yang ingin diperoleh adalah :
1. kadar paparan PM2,5;
2. kejadian gangguan fungsi faal paru; serta
3. variabel lain, meliputi umur, jenis kelamin,
keberadaan penghuni yang merokok, status
gizi, penggunaan obat nyamuk bakar,
kepadatan hunian, dan luas ventilasi rumah
yang merupakan faktor risiko terjadinya
gangguan fungsi faal paru.
Secara rinci distribusi responden yang
diambil menurut desa terpilih seperti pada Tabel 1
di bawah ini
Tabel 1. Daftar Pengambilan Sampel dan Responden
Rumah Ke-
Lokasi Dekat Lokasi Jauh
Jumlah Penghuni
Jumlah Responden
Jumlah Penghuni
Jumlah Responden
1 5 5 5 5
2 5 4 6 6
3 6 5 5 5
4 5 4 4 4
5 4 4 5 4
6 5 5 6 6
7 5 4 5 5
8 6 5 5 4
9 4 4 6 5
10 4 4 6 6
11 4 4 6 5
12 4 4 - -
13 4 3 - -
Jumlah - 55 - 55
Total Responden 110
Hasil dan Pembahasan
Gambaran Potensi Risiko Gangguan Fungsi
Faal Paru akibat paparan PM2,5 di sekitar
semburan lumpur Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo,
dapat diuraikan sebagai berikut.
14
a. Analisis Situasi Berdasarkan Tempat
Tabel 2. Distribusi kadar PM2,5 Menurut Jarak
Rumah Ke- Jarak Dekat
(µg/nm3)
Jarak Jauh
(µg/nm3)
1 56.4 66.4
2 67.3 18.5
3 66.5 32.7
4 43.6 65.7
5 47.5 56.3
6 68.2 53.3
7 66.6 34.6
8 67.2 54.1
9 48.1 67.4
10 43.2 46.8
11 41.4 31.6
12 68.4 #
13 71.6 #
Rata-Rata 58.2 47.9
Berdasarkan tabel 2 di atas dapat diketahui
bahwa rata-rata kadar PM2,5 dalam rumah yang
berada pada jarak dekat dengan pusat semburan
lumpur lebih tinggi dibandingkan dengan kadar
PM2,5 dalam rumah yang berada pada jarak jauh
dengan pusat semburan lumpur.
b. Analisis Situasi Berdasarkan Kasus Grafik 1. Distribusi Responden Menurut
Status Fungsi Faal Paru
Berdasarkan Grafik 1, diketahui bahwa
responden yang memiliki gangguan fungsi faal
paru sebanyak 59 orang (54%).
Grafik 2. Distribusi Responden Menurut Umur
Berdasarkan Grafik 2, diketahui bahwa
sebanyak 40 responden (36,36%) yang berusia
lebih dari 40 tahun dan 19 responden (17,27%)
yang berusia kurang dari 40 tahun mengalami
gangguan fungsi faal paru.
Grafik 3. Distribusi Responden Menurut Jenis Kelamin
Berdasarkan Grafik 3, diketahui bahwa 27
responden (24,55%) laki-laki dan 32 responden
(29,91%) perempuan mengalami gangguan fungsi
faal paru.
c. Analisis Situasi Berdasarkan Faktor Risiko Grafik 4. Perbandingan Paparan Kadar PM2,5
pada Jarak Dekat dan Jarak Jauh
dengan Gangguan Fungsi Faal Paru
15
Berdasarkan Grafik 4 di atas diketahui bahwa
gangguan fungsi faal paru pada responden yang
berada dekat dengan pusat semburan lumpur
Sidoarjo lebih tinggi dibanding dengan gangguan
fungsi faal paru pada responden yang berada
jauh dengan pusat semburan lumpur Sidoarjo.
Perhitungan secara statistik menunjukkan
bahwa rata-rata kadar PM2,5 responden pada
jarak rumah jauh dari pusat semburan lumpur
Sidoarjo yang tidak mengalami gangguan fungsi
faal paru dengan responden pada jarak rumah
dekat dari pusat semburan lumpur Sidoarjo yang
mengalami gangguan fungsi faal paru memiliki
perbedaan yang bermakna. Selain itu, rata-rata
responden pada jarak rumah jauh dari pusat
semburan lumpur Sidoarjo yang mengalami
gangguan fungsi faal paru dengan responden
pada jarak rumah dekat mengalami gangguan
fungsi faal paru juga memiliki perbedaan yang
bermakna.
Variabel lain yang dapat memengaruhi
kondisi tersebut adalah :
1. Umur
Secara statistik hubungan antara umur dengan
kejadian gangguan fungsi faal paru pada
responden dengan jarak rumah dekat dan jauh
dari pusat semburan lumpur Sidoarjo tidak
bermakna.
2. Jenis kelamin
Secara statistik hubungan antara jenis kelamin
dengan kejadian gangguan fungsi faal paru
pada responden dengan jarak rumah dekat
dan jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo
tidak bermakna.
3. Keberadaan penghuni yang merokok
Secara statistik hubungan antara keberadaan
penghuni yang merokok dengan kejadian
gangguan fungsi faal paru pada responden
dengan jarak rumah dekat dan jauh dari pusat
semburan lumpur Sidoarjo tidak bermakna.
4. Status gizi
Secara statistik hubungan antara status gizi
dengan kejadian gangguan fungsi faal paru
pada responden dengan jarak rumah dekat
dan jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo
tidak bermakna.
5. Penggunaan obat nyamuk bakar
Secara statistik hubungan antara penggunaan
obat nyamuk bakar dengan kejadian gangguan
fungsi faal paru pada responden dengan jarak
rumah dekat dan jauh dari pusat semburan
lumpur Sidoarjo tidak bermakna.
6. Kepadatan hunian
Secara statistik hubungan antara kepadatan
hunian dengan kejadian gangguan fungsi faal
paru pada responden dengan jarak rumah jauh
dari pusat semburan lumpur Sidoarjo
bermakna, sedangkan hubungan antara
kepadatan hunian dengan kejadian gangguan
fungsi faal paru pada responden dengan jarak
rumah dekat dari pusat semburan lumpur
Sidoarjo tidak bermakna.
7. Luas ventilasi rumah
Secara statistik hubungan antara luas ventilasi
rumah dengan kejadian gangguan fungsi faal
paru pada responden dengan jarak rumah
dekat dan jauh dari pusat semburan lumpur
Sidoarjo tidak bermakna.
d. Analisis Kecenderungan
Pengaruh partikulat debu bentuk padat
maupun cair yang berada di udara sangat
bergantung pada ukurannya. Ukuran partikulat
debu yang membahayakan kesehatan berkisar
antara 0,1 mikron sampai dengan 10 mikron.
Pada umumnya ukuran partikulat debu sekitar 5
mikron merupakan partikulat udara yang dapat
langsung masuk ke dalam paru-paru dan
mengendap di alveoli. Keadaan ini bukan berarti
bahwa ukuran partikulat yang lebih besar dari 5
mikron tidak berbahaya, karena partikulat yang
lebih besar dapat mengganggu saluran
pernapasan bagian atas dan menyebabkan iritasi.
Keadaan ini akan lebih bertambah parah apabila
terjadi reaksi sinergistik dengan gas SO2 yang
terdapat di udara juga.
PM2,5 lebih cytotoxic terhadap sel paru-paru in
vitro, rata-rata pajanan individu terhadap PM10 di
antara sekelompok masyarakat yang sensitif
adalah serupa dengan rata-rata konsentrasi PM2,5
di luar ruangan tetapi secara signifikan lebih tinggi
dari rata-rata konsentrasi di dalam ruangan. PM2,5
dan PM10 dapat menyebabkan pneumonia,
gangguan sistem pernapasan, iritasi mata, alergi,
dan bronchitis khronis. PM2,5 dapat masuk ke
dalam paru-paru yang berakibat timbulnya
emfisema paru, asma bronchial, dan kanker paru-
paru serta gangguan kardiovaskular atau
kardiovascular (KVS).
16
Secara umum PM2,5 dan PM10 timbul dari
pengaruh udara luar (kegiatan manusia akibat
pembakaran dan aktifitas industri). Sumber dari
dalam rumah antara lain dapat berasal dari
perilaku merokok, penggunaan energi masak dari
bahan bakar biomassa, dan penggunaan obat
nyamuk bakar.
Berdasarkan hasil pemantauan yang
dilakukan oleh Tim BBTKLPPM Surabaya,
diperoleh bahwa rata-rata kadar PM2,5 responden
pada jarak rumah jauh dari pusat semburan
lumpur Sidoarjo yang tidak mengalami gangguan
fungsi faal paru dengan responden pada jarak
rumah dekat dari pusat semburan lumpur Sidoarjo
yang mengalami gangguan fungsi faal paru
memiliki perbedaan yang bermakna. Sementara
itu, rata-rata responden pada jarak rumah jauh
dari pusat semburan lumpur Sidoarjo yang
mengalami gangguan fungsi faal paru dengan
responden pada jarak rumah dekat mengalami
gangguan fungsi faal paru memiliki perbedaan
yang bermakna.
Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah
penduduk yang berada pada jarak dekat
semburan lumpur Sidoarjo agar mendapatkan
penanganan segera sehingga tidak terjadi
dampak buruk terhadap kesehatan dalam jangka
panjang.
Kesimpulan dan Saran
Hasil kajian ini secara statistik membuktikan
adanya pengaruh paparan kadar PM2,5 jarak dekat
dan jauh dari pusat semburan lumpur Sidoarjo
terhadap gangguan fungsi faal paru penduduk
sekitar pusat semburan lumpur Sidoarjo. Faktor
ventilasi dan kepadatan hunian rumah juga
berpengaruh terhadap gangguan fungsi faal paru
warga sekitar pusat semburan lumpur Sidoarjo.
Oleh karena itu, disarankan agar pihak-pihak
yang terkait bersama masyarakat perlu lebih
memperhatikan masalah kesehatan yang timbul
akibat bencana lumpur Sidoarjo, khususnya
mengenai kelayakan hidup di sekitar pusat
semburan lumpur Sidoarjo, antara lain melalui
upaya peningkatan kesehatan lingkungan
permukiman.
Daftar Pustaka
1. Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik,
Ditjen PP & PL, Depkes. (2008)
2. Bahan-bahan Berbahaya dan Dampaknya terhadap
Kesehatan manusia, Ditjen PP & PL, Depkes. (2001)
3. Analisa Risiko Kesehatan Lingkungan, BTKLPPM Jakarta
(2008)
4. Parameter Pencemar Udara dan Dampaknya terhadap
Kesehatan, Ditjen PPM & PL, Depkes RI (2001)
5. Toksilogi Lingkungan, Mukono, H.J., Airlangga University
Surabaya (2005)
6. Deteksi Pencemar Air Minum, Pitojo Setijo, Aneka Ilmu
(2003)
7. Pedoman Pemantauan Terpadu Kualitas Air Sungai di
Jawa Timur. Bapedal Propinsi Jawa Timur (2007)
8. Permenkes No. 492/Menkes/PER/IV/2010 Tentang
Persyaratan Kualitas Air Minum
9. Pergub Jatim No. 10 tahun 2009 Tentang Baku Mutu
Udara Ambien & Emisi Sumber Tidak Bergerak di Jatim
10. SK Menkes No. 718 tahun 1987 Tentang Kebisingan
11. Kepmenkes RI No. 87/Menkes/SK/VIII/2001 Tentang
Pedoman Teknis ADKL
17
Kajian Kualitas Air Kolam Renang Permenkes 416 tahun 1990
Dr. Hening Darpito, SKM, Dip SE
Dosen Teknik Lingkungan Universitas Satya Negara Indonesia, Ketua I FORKAMI dan Ketua Kolegium Kesehatan Lingkungan
Abstrak
Persyaratan Kualitas Air Kolam Renang terakhir ditetapkan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 416 tahun 1990. Kemajuan ilmu pengetahuan dan peningkatan kebutuhan manusia akan kesehatan, kenyamanan dan relaksasi mendorong kebutuhan akan kualitas air kolam renang yang lebih baik. Beberapa peristiwa infeksi penyakit menular pernafasan mencurigai ditularkan oleh air kolam renang khususnya yang mempergunakan air panas yang mengandung bakteri Legionella terutama menginfeksi para wisatawan manca negara. Untuk meningkatkan perlindungan kesehatan bagi perenang perlu ditetapkan persyaratan kesehatan yang baru. Perlindungan kesehatan dengan penetapan kualitas air ditujukan pada parameter fisik, kima dan bakteriologi. Kualitas bakteriologi kolam renang yang semula ditetapkan untuk Total coliform dan jumlah kuman diusulkan dipersyarat menjadi E.coli, jumlah kuman atau HPC dan ditambah parameter bakteri Legionella dan Pseudomonas. Perlindungan kesehatan penting lain dilakukuan dengan memperbaiki persyaratan kandungan sisa klor bebas dan sisa klor terikat. Perlindungan kesehatan parameter sisa klor perlu dibedakan untuk air kolam renang suhu ruangan, suhu panas, air kolam bermain ataupun air kolam renang yang mempergunakan sumber air alam.
Pendahuluan Peningkatan pengguna kolam renang
dan kolam bermain di kota-kota merupakan kebutuhan masyarakat untuk rekreasi dan olah raga serta kebutuhan gaya hidup. Disinfeksi air kolam renang dan kolam bermain bertujuan untuk menjamin keamanan air yang dipergunakan masyarakat. Air kolam harus aman dan tidak menyebabkan gangguan atau risiko kesehatan. Air kolam harus mempunyai sisa disinfektan yang cukup guna mengantisipasi bertambah banyaknya mikro-organisme dan organik.
Kolam renang dan kolam bermain dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok risiko. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengelompokan risiko adalah beban kolam, kemampuan pengolahan kualitas air, tingkat kontaminasi, suhu udara sekitar dan status kesehatan pengguna kolam. Kolam yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi perlu terus diawasi oleh tenaga yang mempunyai kompetensi dan terlatih, pengetesan kualitas air kolam dilakukan lima kali sehari. Kolam dangkal yang padat oleh pengguna seperti
kolam bermain merupakan kelompok kolam berisiko tinggi.
Kolam risiko sedang, seperti kolam renang yang ada di hotel dan resot perumahan yang terbatas penggunanya, tetap memerlukan pengawasan yang memadai. Kolam kategori risiko rendah memerlukan pengawasan yang tidak terlalu ketat, pengetesan kualitas air dilakukan ketika kolam dipadati pengunjung. Kolam yang termasuk kategori ini adalah kolam renang yang berada di rumah, perumahan yang pengunjungnya sangat terbatas.
Perenang yang menggunakan kolam renang kelompok risiko tinggi mempunyai kesempatan terkontaminasi organisme penyakit lebih beragam daripada yang menggunakan kolam renang kelompok risiko di bawahnya, karena kolam ini lebih terbuka terhadap masyarakat umum. Organisme penyebab penyakit yang mungkin menginfeksi berasal dari banyak sumber utamanya dari para perenang sendiri. Organisme ini bisa disebarkan oleh perenang melalui kulit, ludah, kencing atau tinja. Namun ada juga organisme yang berasal dari debu, kotoran burung, atau tanah yang terinjak oleh kaki perenang. Beberapa organisme penyakit tersebut hidup dan mungkin berkembang atau tumbuh di dalam air kolam kecuali penyaringan air dan pembubuhan disinfektan dilakukan terus menerus sesuai dengan pedoman yang berlaku.
Tujuan penulisan ini adalah untuk menyiapkan materi teknis bagi Kementerian Kesehatan dan para pakar dalam menetapkan persyaratan kualitas air kolam renang yang baru guna melindungi kesehatan para perenang. Metodologi
Tinjauan Kualitas Air Kolam Renang Permenkes 416 Tahun 1990 ini dilakukan dengan melakukan studi kepustakaan dan diskusi berseri dengan berbagai stakeholder pengelola, ahli laboratorium, pejabat pengambil keputusan sector terkait. Studi kepustakaan dilakukan terhadap Peraturan Menteri Kesehatan yang berkaitan dengan air kolam renang, persyaratan kualitas air kolam renang beberapa negara tetangga dan maju
18
serta pedoman atau guideline WHO terkait dengan kolam renang. Hasil dan Pembahasan Suhu
Kolam renang yang mempergunakan air panas atau suhu tinggi perlu melakukan pengawasan yang lebih ketat, suhu air kolam tidak boleh lebih tinggi dari 40
oC. Standar air
kolam renang Queensland, Australia menyatakan, bila suhu air lebih tinggi dari suhu tubuh, dianjurkan perenang dewasa yang sehat tidak berada di kolam melebihi dari waktu 20 menit. Permenkes 416 tahun 1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air tidak mempersyaratkan suhu untuk air kolam renang.
Kejernihan dan Kekeruhan:
Kejernihan air perlu dijaga sampai mencapai tingkat yangdipersyaratkan. Kejernihan air merupakan faktor penting dalam menjamin keselamatan perenang. WHO menyatakan kekeruhan air minum kurang dari 5 NTU masih bisa diterima oleh masyarakat, sedangkan untuk mendapatkan efektifitas disinfeksi diperlukan kekeruhan kurang dari 0,5 NTU.
Untuk mengetahui kejernihan air, bisa ditandai dengan masih dapat terlihat dengan jelas marka atau tanda garis yang dibuat pada dasar kolam terdalam dari tepi kolam. Demikian pula Piringan Secchi yang diletakkan di dasar kolam terdalam masih terlihat jelas. Permenkes 416 tahun 1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air menyatakan piringan Secchi yang diletakkan pada dasar kolam terdalam dapat dilihat dengan jelas dari tepi kolam pada jarak lurus 9 meter. pH pH ideal air kolam renang sangat diperlukan untuk menjaga efisiensi proses disinfeksi dan proses koagulasi, mencegah kerusakan peralatan dan rasa nyaman. pH antara 7,2 dan 7,8 diperlukan untuk menjaga efektifitas disinfeksi yang mempergunakan klorin.
Sisa Klor bebas dan sisa klor terikat Klorin adalah disinfektan yang paling umum dipergunakan, biasanya berbentuk gas, cair, padat atau serbuk. Air yang mempunyai sisa klor dianggap tetap mempunyai kemampuan mendisinfeksi air dan tetap menjaga kenyamanan air.
Dalam mengklorinasi air kolam renang harus melewati Break Pont Chlorination (BPC) untuk memastikan bahwa sisa klor adalah sisa klor bebas. Sesudah melewati Breakpoint Point Chlorination semua bentuk klorin yang
terikat telah dioksidasi oleh klorin, sehingga keseluruhan sisa klor adalah sisa klor bebas.
Sisa klor bebas dapat dengan mudah mengoksidasi bahan organik nitrogen yang banyak diperoleh dari kencing dan sekresi perenang. Sisa klor bebas dapat berikatan dengan ammonia membentuk kloramin, yang dapat menyebabkan mata terasa pedas menyengat. Kloramin yang terbentuk masih mempunyai daya disinfeksi tetapi sangat lemah dan disebut sebagai sisa klor terikat. Keberadaan kloramin dalam air kolam renang harus dijaga seminimal mungkin, bila kloramin berlebih harus dikurangi dengan cara mengklorinasi air kolam renang dengan dosis tinggi.
Sisa klor bebas ini diperlukan untuk membunuh kuman yang baru menginfeksi air atau bahan organik yang dibuang oleh perenang. Berbagai referensi menyebutkan angka sisa klor bebas yang harus tetap ada dalam air kolam renang sebesar 1,0 mg/L atau bahkan 2,0 mg/L di seluruh bagian kolam untuk menjaga air kolam tidak menimbulkan risiko bagi kesehatan. WHO menyatakan sisa klor bebas air kolam renang adalah 1,0 mg/L dan untuk kolam air panas sebesar 2 – 3 mg/L.
Sementara itu sisa klor terikat harus serendah mungkin, ada referensi sisa klor terikat tidak boleh lebih dari setengah konsentrasi sisa klor bebas, ada yang mensyaratkan sebaiknya kandungan sisa klor terikat kurang dari 0,5 mg/L dan bahkan WHO mensyaratkan sebaiknya kurang dari 0,2 mg/L. Air panas untuk hot tubs ataupun air untuk terapi air (hydrotheraphy) memerlukan sisa klor bebas yang lebih tinggi karena mempergunakan suhu air lebih tinggi dan biasanya rasio jumlah pemakai dan volume air hot tubs juga lebih tinggi.
Sisa klor untuk kolam renang umum tidak lebih dari 5 mg/L. Bilamana ozon atau sinar UV juga dipergunakan sebagai disinfeksi mendampingi klorin, maka sisa klor sebesar 0,5 mg/L cukup memadai. Jika pengelola kolam renang mempergunakan asam isosianurat untuik menstabilkan klorin, maka asam sianurat tidak boleh lebih dari 100 mg/L. Sisa asam sianurat yang ada dalam air dijaga antara 50 – 100 mg/L dan tidak boleh lebih dari 100 mg/L.
HPC (Heterotrophic Plate Count) Pemeriksaan HPC dilakukan untuk mengetahui angka kerapatan bakteri secara umum dalam air kolam renang. Konsentrasi HPC diharapkan selalu di bawah suatu angka tertentu, ada yang menyatakan di bawah 200
19
cfu/mL atau ada yang menyebutkan di bawah 100 cfu/mL (colony form units).
Pertumbuhan kembali bakteri setelah pengolahan air di dalam kolam bisa saja terjadi, hal ini dapat diindikasi dari tingginya hasil pemeriksaan HPC air sampel. E. coli E.coli adalah anggota keluarga Enterobacteriaceae, tumbuh pada 44 – 45
OC
pada media yang komplek, menghasilkan asam dan gas. E.coli dianggap merupakan indikator paling cocok untuk mengetahui adanya pencemaran tinja. Secara umum populasi bakteri coliform termotoleran didominasi oleh E.coli, dengan demikian E.coli tepat dipergunakan sebagai indikator dalam penetapan persyaratan dan monitoring kualitas air. E.coli juga dipergunakan sebagai indikator keberhasilan proses disinfeksi air tetapi hasilnya diketahui jauh lebih terlambat dibandingkan dengan memeriksa sisa disinfektan. Namun demikian, pengetesan E.coli ini lebih sensitif untuk mengetahui adanya virus dan protozoa. Kerapatan E.coli dalam air kolam renang dari semua referensi harus kurang dari 1/100 mL air. Pseudomonas aeruginosa
Pseudomonas aeruginosa adalah mikroorganisme anaerobik yang banyak dijumpai dalam air, tanam-tanaman dan tanah. Manusia yang terinfeksi menjadi sumber utama P. aeruginosa di kolam renang dan kolam air panas. Lingkungan sekitar yang hangat, saluran air, lantai kolam, bisa menjadi tempat pertumbuhan. P. aeruginosa tumbuh dengan baik dalam suhu sampai dengan 41 OC, terutama pada saringan pengolahan air
yang tidak dirawat dengan baik. Pemeriksaan P.aeruginosa secara
teratur direkomendasikan untuk kolam air panas. Di samping itu, disarankan segera dilakukan pemeriksaan ketika diketahui terjadi kegagalan atau masalah dalam sistem penyaringan air. WHO merekomendasikan air yang didisinfeksi secara terus menerus jumlah P. aeruginosa tidak boleh lebih dari 1 per 100 mL, sedangkan air kolam sumber air alam yang tidak didisinfeksi tidak boleh lebih dari 10 per 100 mL air.
Legionella spp.
Legionella spp. merupakan bakteri heterotrofik yang dapat ditemukan di berbagai lingkungan air dan dapat berkembang biak pada suhu di atas 25
OC. Bakteri ini
mungkin ada dalam jumlah banyak di air
panas yang peralatannya kurang terpelihara. Legionella spp. juga dapat berkembang pada bahan saringan air, termasuk karbon aktif.
Pemeriksaan Legionella secara berkala sangat berguna, terutama kolam air panas, kerapatan harus kurang dari 1/100 mL. Bilamana tidak dipenuhi maka kolam harus ditutup, dikeringkan dan dibersihkan. Apabila diduga saringan pengolahan air menjadi sumber Legionella, maka perlu dilakukan klorinasi dengan dosis tinggi. WHO menyarankan air kolam renang yang airnya didisinfeksi, ketika diperiksa jumlah kuman Legionella spp. harus kurang dari satu setiap 100 mL sampel, sedangkan untuk air hot tubs dan natural water juga harus kurang dari 1 per 100 mL. Kesimpulan dan Saran 1. Suhu (
OC). Persyaratan kesehatan suhu
air kolam renang perlu diatur, karena bila suhu air melebihi 40
oC dikhawatirkan
dapat mengganggu konsentrasi perenang karena berada di kolam dalam waktu yang lama dapat meyebabkan gangguan dan keselamatan. Beberapa referensi menyatakan air yang panas tidak baik untuk wanita hamil, anak-anak, orang tua, orang dengan kelemahan jantung. Temperatur tinggi akan menyebabkan daya bunuh disinfektan menurun, menjadi tempat yang ideal untuk pertumbuhan bakteri seperti Legionella, juga bisa menyebabkan heat stress.
2. pH air sangat perlu dijaga dalam batas tertentu untuk menjaga efektifitas disinfeksi, pengolahan air kolam, dan kesetimbangan parameter kimia yang lain seperti kesadahan, korosifitas air dll. pH air di atas tujuh akan mengurangi daya atau kekuatan sisa klor bebas demikian juga pada pH rendah akan menurunkan kekuatan klorin. Disarankan pH air ideal adalah antara 7,2 – 7,6; namun bila sulit dicapai disarankan tidak lebih dari 7,8.
3. Sisa klor bebas berupa Cl2, HOCl atau OCl
- merupakan sisa klor yang diharapkan
tetap selalu ada dalam air kolam renang. Sisa klor rendah kurang dari 1 mg/L menyebabkan air kondusif untuk terbentuknya kloramin. Seperti diketahui saat awal air dibubuhi, klorin akan bereaksi dengan bahan organik, bakteri dan amonia. Reaksi klorin dengan amonia menghasilkan kloramin. Kloramin masih mempunyai daya disinfeksi walau kekuatannya tidak sekuat klor bebas, namun bila konsentrasinya kloramin tinggi bisa menyebabkan air kolam berbau dan
20
menyebabkan iritasi dan gatal pada kulit. Dilaporkan penambahan klorin yang menghasilkan sisa klor bebas akan mempunyai kekuatan disinfeksi 50 kali lebih efektif daripada sisa klor terikat. Penambahan klorin lebih lanjut akan juga menghancurkan kloramin yang ada. Kloramin berlebihan yang sulit dihancurkan bisa dikurangi dengan melakukan disinfeksi klorin dosis tinggi. Kondisi ini menjamin bahwa air bebas dari bakteri peyebab penyakit. Berkaitan dengan disinfeksi air kolam dengan klorin disarankan: a. Air kolam renang yang di disinfeksi
dengan klorin mempunyai sisa klor bebas ideal 1,0 – 1,5 mg/L, minimal 1,0 mg/L dan maksimal 5,0 mg/L,
b. Air kolam renang yang di disinfeksi dengan klorin yang dikombinasi dengan Ozon atau sinar UV disarankan mempunyai sisa klor bebas ideal 1,0 – 1,5 mg/L, minimal 0,5 mg/L dan maksimal 5,0 mg/L,
c. Air kolam renang air panas yang didisinfeksi dengan klorin disarankan mempunyai sisa klor bebas ideal 2,0 – 3,0 mg/L, minimal 1,0 mg/L dan maksimal 5,0 mg/L,
d. Air kolam renang yang didisinfeksi dengan klorin yang dikombinasi dengan asam sianurat disarankan mempunyai sisa klor bebas ideal 2,0 – 3,0 mg/L, minimal 2,0 mg/L dan maksimal 5,0 mg/L,
e. Air kolam bermain yang didisinfeksi dengan klorin disarankan mempunyai sisa klor bebas ideal 2,0 – 3,0 mg/L, minimal 1,5 mg/L dan maksimal 5,0 mg/L,
f. Sisa klor terikat yang ideal untuk semua air kolam disarankan < 0,5 mg/L dan maksimal < 1 mg/L.
4. Eschericia coli merupakan mikroba yang jumlahnya sangat banyak di dalam perut manusia, binatang dan burung. Air yang tercemar tinja dikhawatirkan mengandung mikro-organisme yang dapat menyebabkan penyakit bagi para perenang. Dengan demikian dipersyaratkan setiap 100 mL air kolam renang mengandung E.coli kurang dari satu.
5. Heterotrophic Plate Count atau HPC atau jumlah kuman secara umum. Pemeriksaan HPC < 100 per mL yang dilakukan pada suhu 35 – 37
oC dalam jangka waktu 48
jam menunjukkan air kondisi baik. Disarankan kerapatan kuman air kolam renang adalah < 200 per 100 mL dan
untuk kolam renang air panas adalah < 100 per mL.
6. Monitoring teratur terhadap Pseudomonas aeroginosa disarankan untuk air kolam renang air panas dan air sumber alam. Pemeriksaan juga dilakukan terhadap air kolam renang yang mengalami masalah proses penyaringan atau disinfeksi. Disarankan untuk air yang didisinfeksi tidak dijumpai P. aeroginosa dalam 100 mL air dan untuk air kolam yang tidak disinfeksi tidak boleh ada dalam 10 mL air.
7. Pemeriksaan secata teratur Legionella sp. bermanfaat untuk air kolam panas. Legionella bisa dijumpai dalam jumlah yang banyak dalam air sumber alam yang panas dan tumbuh dalam air kolam panas yang tidak dirawat dengan baik. Disarankan kerapatan Legionella sp untuk semua jenis air tidak boleh ada dalam 100 mL air.
Kepustakaan Christiane Höller, Pool water quality–The German
philosophy, Bayerisches Landesamt für, Gesundheit und Lebensmittelsicherheit, Bavarian Health and Food Safety Authority, German,
Department of Human Services Victoria, The Pool
Operator’s Handbook 2000, Australian Pesticide and Veterinary medicine Autority, APVMA GUIDE FOR DEMONSTRATING EFFICACY OF POOL AND SPA SANITISERS,. APVMA Australia, 2007
Direktorat Penyehatan Lingkungan, Naskah Teknis
Pedoman Pengawasan Kualitas Air Kolam Renang, Kementerian Kesehatan, 2011
ENVIRONMENTAL HEALTH DEPARTMENT,
ENVIRONMENTAL PUBLIC HEALTH DIVISION, Code Practice on Environmental Health, NATIONAL ENVIRONMENT AGENCY, SINGAPORE, 2005
Great Lakes-Upper Mississippi River Board of State and
Province Public Health and Environmental Managers, Recommended Standard for Swimming Pools Design and Operation, USA, 1996
Kementerian Kesehatan RI, Permenkes 416 tahun 1990 tentang Syarat-syarat dan Pengawasan Kualitas Air, 1990.
New South Wales HEALTH, PUBLIC SWIMMING POOL
AND SPA POOL GUIDELINES, Department of Health New South Wales, 1996
Oregon Public Health Division, Pool Operator Training
Manual, Oregon Health Authority, 2011 Saskatchewan HEALTH, Swimming pools Design/Operational Standards, The Swimming Pool Regulations, Saskatchewan, 1999
21
Queensland Government, Queensland Health, Swimming
and Spa Pool Water Quality and Operational Guidelines, Queensland Health, 2004
WHO, Guidelines for safe recreational water
environments VOL 2 SWIMMING POOLS AND SIMILAR ENVIRONMENTS, WHO, 2006
22
Pengembangan Database Registri Cedera di Rumah Sakit
Dra. Woro Riyadina, M.Kes, Anna Maria Sirait, SKM, M.Kes dan Dra. Marice Sihombing, MSi
Peneliti Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat, Balitbangkes Kemenkes RI
Abstrak Beban cedera makin meningkat sehingga
dibutuhkan penyediaan dan penyajian data yang cepat dan terbaru. Sistem dokumentasi data cedera dari berbagai sumber masih bersifat manual sehingga pemanfaatan data kurang optimal. Diperlukan model sistem registri data dasar trauma yang sederhana, aplikatif, informatif dan mudah diakses oleh pengguna sebagai penunjang sistem surveilans cedera. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan model database registri cedera yang aplikatif dan informatif.
Penelitian ini dilaksanakan dengan rancangan potong lintang dengan ujicoba formulir dan software registri cedera di 3 rumah sakit yaitu RSUD Koja Jakarta Utara, RS Sumber Waras Jakarta Barat dan RS Dr. Kariadi Semarang, Januari – Agustus 2010 sebanyak 962 kasus. Selanjutnya data dianalisa dengan uji Kai Kuadrat.
Hasil penelitian berupa model database (formulir dan software) registri cedera yang berisi 9 variabel inti (core) dan 31 variabel tambahan (additional). Program (software) cedera2010.exe menggunakan aplikasi Microsoft Acces dan data berbentuk .mdb sehingga mudah ditransfer ke program lain untuk dianalisis lanjut. Tampilan hasil software berupa grafik batang (jumlah kasus) dan grafik lingkaran (persentase kasus). Proporsi cedera pada pasien rawat inap di rumah sakit mayoritas akibat kecelakaan transportasi darat (59,6%), mengalami cedera di bagian kepala (47,5%) dengan jenis luka patah tulang (27,3%) dan mengalami kematian sekitar 3,2%. Proporsi cedera berbeda bermakna (p<0.05) menurut jenis rumah sakit.
Model database registri cedera dirancang dan dibuat sangat praktis aplikatif, informatif dan cepat. Penelitian lanjut diperlukan untuk ujicoba dan standarisasi penerapan formulir dan program (software) registri cedera di rumah sakit.
Pendahuluan
Cedera telah menjadi masalah utama kesehatan masyarakat. Lebih dari dua per tiga masalah cedera dialami oleh negara-negara berkembang.
1,2Kematian akibat cedera
diproyeksikan meningkat dari 5,1 juta menjadi 8,4 juta (9,2% dari kematian global) dan diestimasikan menempati peringkat ketiga dari DALYs (Disability adjusted life years) pada tahun 2020.
3,4Cedera menduduki peringkat ke
delapan dari 15 penyebab kematian pada kelompok umur 15-29 tahun terutama untuk cedera akibat kecelakaan lalu lintas, bunuh diri,
dibunuh, tenggelam, terbakar, perang, keracunan dan jatuh.
5Masalah cedera
memberikan kontribusi pada kematian 15%, beban penyakit 25% dan kerugian ekonomi 5% GDP (Growth Development Product).
6Hasil
Riset kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi cedera sekitar 8% sedangkan menurut laporan rutin dari rumah sakit menggambarkan bahwa jumlah korban cedera mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun yaitu 56.818 kasus pada tahun 2004 menjadi 72.281 kasus di tahun 2005.
8
Permasalahan ketersediaan data cedera di Indonesia membutuhkan perhatian yang serius. Data dari berbagai sumber tersebut perlu digabung menjadi satu set data sehingga informasi lebih lengkap. Untuk itu diperlukan suatu sistem atau jejaring informasi data cedera yang mudah diakses. Sistem surveilans cedera merupakan salah satu solusi sebagai jejaring data cedera lintas sektor. Jejaring informasi data cedera antar rumah sakit perlu dibentuk sebagai embrio dari sistem surveilans cedera lintas sektor.
Database registri cedera merupakan upaya menyatukan (agregrasi) data dari berbagai sumber data baik yang ada di rumah sakit ataupun dari lintas sektor. Data dari registri data dasar trauma seharusnya dapat digabung dalam registri regional dan disambungkan dengan data dari seluruh tahapan perawatan (pre rumah sakit, di rumah sakit dan rehabilitasi) yang mudah diakses dalam 1 set data.
9
Selain itu, registri data dan pelaporan cedera di rumah sakit yang ada sekarang ini masih bersifat laporan rutin yang bersifat manual sehingga belum optimal. Untuk itu diperlukan suatu sistem elektronik registri data dasar trauma (computerized) yang aplikatif sehingga memudahkan input data dan pembuatan laporannya serta informatif. Data dasar tersebut diupayakan dapat disambung (link) dengan jejaring antar rumah sakit dan atau pihak terkait untuk dimanfaatkan.
Untuk menjawab tantangan tersebut maka
diperlukan suatu pengembangan model
database dengan cara merancang model
23
database registri cedera yang aplikatif dan
informatif. Penelitian ini bertujuan untuk
mendapatkan model database registri cedera yang aplikatif dan informatif berupa formulir dan program/software. Rancangan registri data dasar trauma ini diharapkan dapat digunakan oleh petugas rumah sakit untuk memudahkan menyimpan data dan membuat laporan rutin serta dimanfaatkan sebagai penyedia informasi data yang standar penunjang sistem surveilans cedera secara keseluruhan. Manfaat lain diharapkan dapat sebagai embrio untuk terbentuknya jejaring surveilans cedera antar rumah sakit dan lintas sektor dalam perencanaan upaya pencegahan cedera.
Metodologi
Artikel ini merupakan sebagian hasil dari penelitian ―Pengembangan Database Registri Trauma sebagai Penunjang Sistem Surveilans Cedera‖. Tahapan penelitian ini meliputi pengembangan formulir dan pembuatan program (software) registri cedera. Penelitian dengan desain potong lintang dengan metode pengisian formulir (abstraksi) dan ujicoba entri 962 kasus cedera pada pasien rawat inap di bagian rekam medis 3 rumah sakit (RSUD Koja Jakarta Utara, RS Sumber Waras Jakarta Barat dan RSUP Dr. Kariadi Semarang, Jawa Tengah) dari bulan Januari – Agustus 2010. Data dianalisis secara deskriptif dengan aplikasi software cedera2010.exe dan analisis lanjut dengan uji statistik kai kuadrat.
Hasil dan Pembahasan
Penelitian ini merupakan tahapan kegiatan merancang model database registri cedera meliputi kegiatan penyusunan formulir dan membuat software registri cedera. a.Formulir Registri Cedera Tahap awal merancang database cedera adalah dengan penyusunan formulir registri cedera sebagai bahan materi (substansi) untuk merancang software database registri cedera. Formulir registri cedera yang sudah disepakati dalam pertemuan dengan lintas sektor terdiri 2 halaman tampilan atau 1 lembar bolak-balik. Jumlah keseluruhan variabel ada 40 variabel yang terdiri dari 9 variabel inti dan 31 variabel tambahan.
Penambahan jumlah variabel atau data suplemen masih sangat dimungkinkan untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan data dan informasi.
b.Pengisian formulir registri cedera (abstraksi) Langkah awal untuk membuat database cedera yang lengkap adalah dengan melakukan proses abstraksi (menyalin data) dari rekam medis ke dalam formulir registri cedera. Proses ini memerlukan upaya mencari sumber data selain di rekam medis, seperti data biaya perawatan di rumah sakit dari bagian bendahara. Idealnya semua variabel dalam formulir registri bisa terisi untuk mendapatkan data yang lengkap. Kenyataannya bahwa ada beberapa variabel yang tidak dapat terisi dikarenakan kesulitan untuk mendapatkan informasi (tabel 1).
Tabel 1. Prosentase variabel yang sulit mendapatkan informasi
Tabel 1 terlihat bahwa variabel aktivitas menjelang cedera merupakan variabel yang paling banyak tidak terisi atau diisi tidak tahu yaitu sebanyak 34%. Data demografi pasien untuk pendidikan dan pekerjaan yang merupakan variabel inti (core) dalam registri cedera perlu ditegaskan agar data penting tersebut bisa diisi secara lengkap. Biaya perawatan cedera diperlukan untuk kebutuhan analisis biaya terkait dengan beban ekonomi. Idealnya untuk formulir registri cedera seharusnya digabung dalam rekam medis. Secara teknis formulir diisi oleh petugas di bagian IGD dan tahap akhir dilengkapi oleh petugas di bagian rekam medis.
Ada empat jenis kesalahan utama yang teridentifikasi dalam registri trauma meliputi kegagalan untuk mengidentifikasi pasien yang terkait, inklusi pasien yang tidak sesuai, record data rumah sakit tidak cukup atau tidak akurat dan data di registri trauma tidak cukup atau tidak akurat. Registri trauma di Queensland menemukan 5% kesalahan data rumah sakit.
10
No.
Nama variable
Jumlah yang kosong (missing)
%
1.
Aktivitas menjelang cedera
332
34,5
2.
Pemakaian helm 237 24,6
3. Cara angkut pasien
230 23,9
4. Pekerjaan 225 23,1
5. Pendidikan 171 17,8
6. Jam kejadian cedera 118 12,3
7. Biaya pengobatan di rumah sakit
51 5,3
24
c. Software Registri Cedera
Software registri cedera terdapat dalam satu
folder CEDERA yang terdiri dari 3 file yaitu
dbase-cedera, file cedera2010.exe dan file
INITDB.UDL. Tampilan program terdiri dari 2 sheet (halaman) yaitu halaman registri dan halaman laporan (tabel dan grafik). Tampilan program entri (registri) terdiri dari 5 layar yang menunjukkan sub bagian dalam formulir yaitu identitas pasien (variabel 01 – 09), penyebab luar cedera (variabel 10 – 16), penyebab luar cedera (variabel 17 – 20), penanganan di UGD RS (variabel 22 – 31) dan jenis cedera dan anggota tubuh cedera (32 – 40). Fasilitas tampilan grafik dalam bentuk Bar (batang) dan Pie (lingkaran). Program (software) ini dirancang sangat praktis dan mudah dalam pengoperasiannya (entri, edit dan analisis) serta menghasilkan produk laporan dalam tampilan grafik yang menarik dan informatif. Aplikasi pembuatan laporan dalam bentuk grafik tersedia menurut 11 variabel yaitu jenis kelamin, kelompok umur, pendidikan, pekerjaan, domisili, sumber biaya, penyebab luar cedera, tempat kejadian, hari kejadian, bagian tubuh cedera, sifat/jenis cedera. Pengembangan awal registri cedera harus melibatkan teknisi dalam mengoperasikan sistem seperti hardware, software, sistem operasionalisasi, dukungan memori dan keamanan (security). Database cedera membutuhkan biaya yang mahal dan apabila tidak dirancang dengan baik maka akan tidak efektif.
11
d. Tampilan hasil analisis dari program (software) registri cedera Salah satu kelebihan program (software) registri cedera adalah menampilkan laporan hasil dalam bentuk grafik yang menarik dan informatif dengan cara yang sangat mudah. Kemudahan ditunjukkan dengan hanya mengaplikasikan ―mouse‖ (―klik‖) pada pilihan laporan yang ingin ditampilkan. Grafik tersebut dapat secara langsung dilakukan cetak hasilnya apabila langsung dihubungkan dengan printer.
Analisis deskriptif dihasilkan dalam bentuk tampilan grafik batang (jumlah kasus) dan lingkaran (persentase/proporsi). Contoh grafik untuk jumlah kasus dan proporsi cedera menurut jenis kelamin dan kelompok umur ditampilkan pada gambar 1 dan 2
Gambar 1. Jumlah Kasus Cedera Menurut Jenis Kelamin Pasien
Rawat Inap di Rumah Sakit Koja Jakarta Utara, Januari-Agustus 2010
Gambar 2. Persentase Kasus Cedera Menurut Kelompok Umur pada
Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Koja Jakarta Utara, Januari-Agustus 2010
e. Proporsi cedera pada pasien rawat inap di rumah sakit. Sumber data berasal dari database cedera di 3 rumah sakit yang merupakan hasil entri dengan program (software) cedera 2010.exe. Data dianalisis lanjut dengan melakukan transfer data.mdb ke data.sav, selanjutnya dianalisis dengan uji Kai Kuadrat di program SPSS. Urutan proporsi terbanyak penyebab cedera pada pasien rawat inap menurut rumah sakit disajikan pada tabel 2.
25
Tabel 2. Urutan proporsi terbanyak penyebab luar cedera menurut
rumah sakit
Penyebab luar cedera
RumahSakit
RS Kariadi n (%)
RS Sumber Waras n (%)
RS Koja n (%)
Total n (%)
Transportasi darat
240 (41,9)
196 (34,2)
137 (23,9)
573 (100)
Terjatuh 35 (26,0)
77 (57,0)
23 (17,0)
135 (100)
Terkena benda tajam
7 (6,0)
10 (8,5)
100 (85,5)
117 (100)
Kriminalitas 5 (14,3) 9 (25,7) 21 (60,0) 35 (100)
Terkena mesin 8 (30,8) 11 (42,3) 7 (26,9) 26 (100)
Kejatuhan benda
6 (24,0) 12 (48,0) 7 (28,0) 25 (100)
Terkena api 0 (0,0) 1 (12,5) 7 (87,5) 8 (100)
KDRT 0 (0,0) 1 (14,3) 6 (85,7) 7 (100)
Terkena benda panas
0 (0,0) 1 (20,0) 4 (80,0) 5 (100)
*Proporsi penyebab luar cedera yang lain di bawah ≤ 0,1%
Proporsi penyebab luar cedera yang
menempati urutan teratas adalah transportasi darat untuk ketiga rumah sakit. Apabila dibandingkan ketiga rumah sakit tersebut tampak bahwa proporsi tertinggi ada di Rumah Sakit Kariadi Semarang yaitu sekitar 41,9%. Hasil ini lebih jauh lebih tinggi jika dibandingkan hasil survei di populasi masyarakat (Riskesdas tahun 2007)
12 yaitu 27%. Urutan kedua
penyebab cedera terbanyak adalah terjatuh dan proporsi terbesar terdapat di RS Sumber Waras yaitu 57%. Hasil tersebut hampir sesuai dengan hasil Riskedas 2007 yaitu sekitar 59,5%. Sedangkan posisi ke tiga penyebab cedera adalah terkena benda tajam yang mayoritas pasiennya dirawat di RS Koja yakni sebesar 85,5%. Hasil analisis lanjut ini menambah bukti bahwa penanganan dan pencegahan cedera akibat transportasi darat perlu segera dilakukan dan diprioritaskan. Perbedaan proporsi bagian tubuh yang terkena cedera menurut rumah sakit tercantum dalam tabel 3.
Tabel 3. Proporsi bagian tubuh yang terkena cedera menurut RS
Bagian tubuh yang terkena cedera
RumahSakit
RS Kariadi n (%)
RS SumberWaras n (%)
RS Koja n (%)
Total n (%)
Kepala 379 (52,7)
197 (27,4)
143 (19,9)
749 (100)
Leher 4 (44,5)
2 (22,2)
3 (33,3)
9 (100)
Dada 67 (77,0)
3 (3,5)
17 (19,5)
87 (100)
Perut,punggung, pinggang,panggul
23 (40,4)
19 (33,3)
15 (26,3)
57 (100)
Bahu, lenganatas 59 (69,4)
20 (23,5)
6 (7,1)
85 (100)
Siku , lengan bawah
36 (52,9)
14 (20,6)
18 (26,5)
68 (100)
Pergelangan tangan,
56 (58,9)
17 (17,9)
22 (23,2)
95 (100)
Sendi pinggul, Tungkai atas
26 (49,1)
15 (28,3)
12 (22,6)
56 (100)
Lutut, tungkai bawah
30 (43,5)
20 (29,0)
19 (27,5)
69 (100)
Pergelangan kaki 10 (21,7)
17 (37,0)
18 (41,3)
46 (100)
* Daerah cedera bisa lebih dari satu (multiple injuries) * Proporsi cedera berbeda bermakna: p = 0,000 > 0,05
Proporsi cedera terbanyak adalah bagian kepala. Sebagian besar proporsi cedera di hampir semua bagian tubuh didominasi oleh pasien yang dirawat di RS Kariadi, hanya untuk cedera di bagian pergelangan kaki tertinggi pada pasien di RS Koja yaitu 41,3%. Karakteristik bagian tubuh yang cedera menurut rumah sakit akan memberikan masukan dan infomasi bagi rumah sakit untuk ketersediaan sarana dan prasarana pendukung untuk peningkatan pelayanan pasien cedera. Perbedaan proporsi jenis cedera menurut rumah sakit disajikan dalam tabel 4.
Tabel 4 Proporsi jenis cedera menurut rumah sakit
Jenis cedera
RumahSakit
RS Kariadi n (%)
RS SumberWaras n (%)
RS Koja n (%)
Total n (%)
Superfisial 28 (31,1)
50 (55,6)
12 (13,3)
90 (100)
Luka terbuka 52 (28,7)
20 (11,1)
109 (60,2)
181 (100)
Patah tulang (gigi)
276 (66,8)
87 (21,1)
50 (12,1)
413 (100)
Dislokasi/sprain,strain
15 (68,2)
6 (27,3)
1 (4,5)
22 (100)
Cedera saraf/sumsum tulang belakang
2 (33,3)
1 (16,7)
3 (50,0)
6 (100)
26
Jenis cedera
RumahSakit
RS Kariadi n (%)
RS SumberWaras n (%)
RS Koja n (%)
Total n (%)
Superfisial 28 (31,1)
50 (55,6)
12 (13,3)
90 (100)
Luka terbuka 52 (28,7)
20 (11,1)
109 (60,2)
181 (100)
Patah tulang (gigi)
276 (66,8)
87 (21,1)
50 (12,1)
413 (100)
Dislokasi/sprain,strain
15 (68,2)
6 (27,3)
1 (4,5)
22 (100)
Cedera saraf/sumsum tulang belakang
2 (33,3)
1 (16,7)
3 (50,0)
6 (100)
Cedera pembuluh darah
1 (14,3)
6 (85,7)
0 (0,0)
7 (100)
Cedera otot dan tendo
7 (50,0)
3 (21,4)
4 (28,6)
14 (100)
Cedera mata 12 (85,7)
1 (7,2)
1 (7,1)
14 (100)
Cedera jantung/organ intra abdomen
5 (62,5)
2 (25,0)
1 (12,5)
8 (100)
Cedera organ thorax lainnya/pelvis
29 (70,7)
5 (12,2)
7 (17,1)
41 (100)
Komosiocerebri 82 (33,9)
94 (38,8)
66 (27,3)
242 (100)
Kontusio, laserasi dan perdarahan dalam otak
95 (85,6)
7 (6,3)
9 (8,1)
111 (100)
Perdarahan epidural
26 (74,3)
6 (17,1)
3 (8,6)
35 (100)
Perdarahan subdural
36 (87,8)
4 (9,8)
1 (2,4)
41 (100)
Remuk 2 (100,0)
0 (0,0)
0 (0,0)
2 (100)
Amputasi 7 (63,6) 2 (18,2) 2 (18,2) 11 (100)
Lainnya 15 (30,0)
30 (60,0)
5 (10,0)
50 (100)
*Daerah cedera bisa lebih dari satu (multiple injuries) * Proporsi cedera berbeda bermakna: p = 0,000 > 0,05
Proporsi terbesar untuk cedera superfisial terbanyak dialami oleh pasien di rumah sakit Sumber Waras (55,6%), luka terbuka di RS Koja (60,2%), patah tulang di RS Kariadi (66,8%), komosio cerebri di RS Sumber Waras (38,8%), kontusio, laserasi dan pendarahan dalam otak di RS Kariadi (85,6%), perdarahan epidural dan subdural di RS Kariadi masing-masing 74,3% dan 87,8%. Proporsi jenis cedera ini dapat menggambarkan tingkat keparahan pasien cedera. Pola cedera pada pasien rawat inap di rumah sakit sangat berbeda dengan hasil Riskesdas 2007 dikarenakan untuk pola cedera di masyarakat menunjukkan cedera yang lebih ringan tingkat keparahannya dibandingkan dengan pasien cedera yang harus dirawat inap.
Mortalitas akibat cedera pada pasien rawat inap di rumah sakit diperlihatkan dengan proporsi keadaan pasien saat keluar dari rumah sakit (tabel 5).
Tabel 5. Proporsi keadaan pasien cedera saat keluar dari rumah
sakitmenurut rumah sakit
Keadaanpasiensaatkeluar
RS
RumahSakit
RS Kariadi n (%)
RS SumberWaras n (%)
RS Koja n (%)
Total n (%)
Hidup 294 (91,8)
321 (99,4)
316 (99,1)
931 (96,8)
Meninggal 26 (83,9)
2 (6,5)
3 (0,9)
31 (3,2)
Total 320 323 319 962 (32,3) (33,5) (33,2) (100)
Mortalitas pasien cedera yang dirawat inap di rumah sakit sekitar 3,2%. Hasil tersebut tampak lebih tinggi apabila dibandingkan dengan hasil Riskesdas 2007 sekitar 6,5 per mil dan merupakan penyebab kematian urutan ke 4 setelah strok, TB dan hipertensi. Hasil ini bisa dijadikan data untuk evaluasi pelayanan dan tingkat keparahan cedera. Proporsi kematian pasien cedera di RS Kariadi paling tinggi (83,9%) dibandingkan dengan RS lain. Hal tersebut sesuai dengan tingkat keparahan cedera pada pasien yang dirawat di RS Kariadi. Kesimpulan dan Saran
Hasil penelitian mendapatkan model database (formulir dan program/software) registri cedera yang berisi elemen 9 variabel inti (core) dan 31 variabel tambahan (additional). Program (software) cedera2010.exe menggunakan aplikasi Microsoft Acces dan data berbentuk .mdb sehingga mudah ditransfer ke program lain untuk dianalisis lanjut. Laporan hasil analisis dalam bentuk grafik batang (jumlah kasus) dan grafik lingkaran (persentase). Pola cedera pasien rawat inap menunjukkan bahwa proporsi cedera mayoritas akibat kecelakaan transportasi darat (59,6%), mengalami cedera di bagian kepala (47,5%) dengan jenis luka patah tulang (27,3%) dan mengalami kematian sekitar 3,2%. Proporsi cedera berbeda bermakna (p<0,05) menurut jenis rumah sakit. Model database registri cedera dirancang dan dibuat sangat praktis aplikatif, informatif dan cepat. Penelitian selanjutnya diperlukan untuk melakukan ujicoba dan standarisasi penerapan formulir dan program (software) registri cedera di rumah sakit.
27
Daftar Pustaka 1. Smith GS, Barss P: Unintentional injuries in developing
countries: Epidemiology of neglected problem. Epidemiol Rev 1991, 13:228-66.
2. Forjuoh SN, Gyebi-Ofosu E: Injury Surveiillance: should it be a concern to developing countries?. J Public Health Pol 1993, 14:355-9.
3.
information systems-Projections of mortality and
http://www.who.int. 4. Murray CJ, Lopez AD: Alternative projections of
mortality and disability by cause 1990-2020: Global Burden of Diseases Study. Lancet 1997, 349:1498-504.
5. Injuries, Violence and Disabilities BIENNIAL REPORT 2004–2005, World Health Organization 2006, WHO Press. Geneva.
6. Etienne G., Krug, MD,MPH.,Gyanendra K., Sharma, MD, MSc and Rafael, Lozano, MD, MSC, The global burden of injuries, Am J Public Health. 2000;90:523-526.
7. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia tahun 2007. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. Desember 2008, hal: 160 – 169.
8. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI. Kebijakan Pelaksanaan Program Gangguan Akibat Kecelakaan dan Tindak Kekerasan. Makalah. Subdit Gangguan Akibat Cedera. Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular. Depkes RI. Jakarta. 2007.
9. Clark,DE And Hahn,DR. Hospital Trauma Registries Linked with Population-Based Data. J Trauma. 1999 Sep;47(3):448-54
10. McKenzie K, Walker S, Besenyei A, Aitken LM, Allison B. Assessing the concordance of trauma registry data and hospital records.HIM J. 2005;34(1):3-7.
11. Acosta JA, Hatzigeorgiou C, Smith LS. Developing a trauma registry in a forward deployed military hospital: Preliminary report. J Trauma. 2006;61:256–260.
12. Riyadina,W. Pola dan Determinan Cedera di Indonesia. Analisis lanjut data Riskesdas 2007. Laporan Hasil. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pemberantasan Penyakit. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.Jakarta. 2008
28
Ujicoba Efektivitas Desinfektan Kaporit Dan Lisol Terhadap Jarum Suntik Yang Dihancurkan/Tanpa Dihancurkan
Hadi Suhatman, S.Si
Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BBTKLPPM) Jakarta
Abstrak Menurut laporan WHO tahun 1999, melaporkan bahwa di Prancis pernah terjadi 8 kasus pekerja kesehatan terinfeksi HIV melalui luka, 2 kasus diantaranya menimpa petugas yang menangani limbah medis. Pemakaian alat suntik setiap bulan untuk pengobatan mencapai 10 juta pelayanan. Padahal selain untuk pengobatan, alat suntik juga digunakan dalam program imunisasi bagi bayi dan anak-anak yang setiap tahunnya mencapai 4.9 juta anak dan setiap anak memerlukan 8 suntikan. Dengan demikian jumlah limbah medis tajam di indonesia menjadi sangat tinggi. Kemampuan kaporit sebagai desinfektan sangat baik dibandingkan dengan lisol dengan diperoleh hubungan sebagai berikut Ntk = Ntl 0,0096 [C]
-0,126,
dengan variasi konsentrasi yang sama untuk desinfektan yang digunakan jumlah kuman setelah dikontakan untuk kaporit lebih kecil dibandingkan dengan lisol. Terhadap variasi waktu perendaman terhadap penurunan jumlah kuman, untuk lisol memiliki hasil uji F berbeda bermakna, artinya sifat desinfeksi tergantung dari konsentrasi sedangkan terhadap variasi konsentrasi terhadap jumlah penurunan kuman tidak berbeda bermakna, artinya variasi konsentrasi menghasilkan grafik jumlah penurunan kuman yang sama.
Pendahuluan
Limbah tajam adalah obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau bagian menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit seperti jarum hipodermik, perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelas, dan pisau bedah. Semua benda tajam ini memiliki potensi bahaya dan dapat menyebabkan cidera melalui sobekan atau tusukan. Benda-benda tajam yang terbuang tersebut mungkin terkontaminasi oleh darah, cairan tubuh, bahan mikrobiologi, bahan beracun yang mempunyai risiko untuk menularkan penyakit atau bahaya lainnya. Menurut laporan WHO tahun 1999,
melaporkan bahwa di Prancis pernah terjadi 8
kasus pekerja kesehatan terinfeksi HIV melalui
luka, 2 kasus diantaranya menimpa petugas
yang menangani limbah medis. Pemakaian
alat suntik setiap bulan untuk pengobatan
mencapai 10 juta pelayanan. Padahal selain
untuk pengobatan, alat suntik juga digunakan
dalam program imunisasi
bagi bayi dan anak-anak yang setiap tahunnya mencapai 4.9 juta anak dan setiap anak memerlukan 8 suntikan. Dengan demikian jumlah limbah medis tajam di Indonesia menjadi sangat tinggi. Hasil survey dilakukan di dua puskesmas di Kabupaten Tangerang oleh BBTKL-PPM Jakarta tahun 2007, menunjukkan bahwa penggunaan jarum suntik rata-rata perbulan untuk Puskesmas Balaraja sebanyak 9.348 buah dan Puskesmas Kresek sebanyak 1.912 buah. Sebagian besar limbah tersebut beasal dari kegiatan imunisasi. Jumlah puskesmas yang ada di Kabupaten Tangerang ± 46 puskesmas. Total kapasitas limbah diperkirakan 87.952 – 430.008 buah/bulan, kapasitas limbah tersebut belum termasuk kegiatan rumah sakit, laboratorium klinik dan balai pengobatan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, BBTKL-PPM Jakarta merasa terpanggil sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya untuk mencari alternatif penanganan limbah tajam dari jarum suntik yang aman dan akseptik. Penanganan limbah tersebut dengan menggunakan sistem pengikisan secara mekanikal. Tujuan Tujuan Umum
Memberikan kontribusi dalam meningkatkan kesehatan manusia untuk mencegah kontaminasi limbah tajam dengan menciptakan alat pengolah limbahnya.
Tujuan Khusus
Mencari limit kadar dan jenis desinfektan komersil dan efektif. Metodologi
Metodologi yang digunakan dalam penangan limbah tajam infeksius (jarum suntik) terdiri atas dua tahap :
a) Uji dosis desinfektan Tahap ini dilakukan ujicoba dosis
efektivitas desinfektan untuk
membunuh bakteri, virus dan lain-lain.
Desinfektan yang digunakan adalah
kaporit dan lisol dengan variasi
konsentrasi.
29
b) Uji dosis terhadap variasi waktu Ujicoba dilakukan dengan variasi waktu perendaman terhadap jumlah kuman dengan variasi konsentrasi desinfektan
Alat dan Bahan Alat : Gurinda dengan pengaman Alat Pelindung Personal BSL Tipe 1 Petri Dish Bunsen Korek Api Pinset Pipet 1 mL / 10 mL Bahan : Alkohol 70% Spiritus Plate Count Agar (APHA) Limbah jarum infeksius dan spuit Lisol Kaporit Prosedur
1. Siapkan cairan desinfeksi yang umum digunakan (seperti lisol dan kaporit) pada berbagai kadar untuk merendam serpihan jarum hasil gurinda
2. Lakukan gurinda untuk limbah tajam infeksius, seperti limbah jarum.
3. Rendam jarum hasil gurinda/tanpa dihancurkan cairan desinfektan yang telah dipersiapkan tersebut dengan pembedaan durasi waktu pendesinfeksian.
4. Secara aseptis ambil 1 mL cairan desinfektan yang telah dimasuki jarum hasil gurinda, letakkan dalam petri steril (spesimen cairan).
5. Secara aseptis ambil pula sejumlah serpihan jarum dengan pinset, letakkan dalam petri steril (spesimen jarum).
6. Tuangkan PCA hangat (jangan terlalu panas) ke dalam petri yang telah berisi baik spesimen cairan maupun spesimen jarum.
7. Inkubasikan dalam inkubator suhu
37C selama 48 jam. 8. Amati dan hitung koloni kuman yang
tumbuh. 9. Catat dalam buku catatan
pemeriksaan hasil untuk menginterpretasikan hasil penelitian uji limbah tersebut.
Hasil dan Pembahasan
Konsentrasi Lisol
Angka Kuman (CFU/mL)
Jarum
Angka Kuman (CFU/mL)
Cairan
Blanko L – 0,1% L – 0,5% L – 1,0% L – 5,0% L – 10% L – 30%
0 3 0
19 68 0
10
411 214 154 30
109 0 0
Konsentrasi Kaporit
Angka Kuman (CFU/mL)
Jarum
Angka Kuman
(CFU/mL) Cairan
Blanko K – 0,1% K – 0,5% K – 1,0% K – 5,0% K – 10% K – 30%
17 1 1 1 1 1 0
392 3 1 1 0 0 0
Tabel 1 Jumlah kuman pada cairan desinfektan dan jarum
suntik (tanpa dihancurkan) terhadap variasi konsentrasi desinfektan selama perendaman 24 jam
Tabel 2 Jumlah kuman pada cairan desinfektan dan hancuran jarum
terhadap variasi waktu perendaman Konsentrasi Desinfektan
Waktu Ke- (Menit)
Angka Kuman
(CFU/mL) Cairan
Angka Kuman
(CFU/mL) Jarum
Lisol 2, 5 %
5 20 35 50 65
27 21 18 14 15
3 1 7 6 3
Lisol 5 %
5 20 35 50 65
4 2 3 7 2
0 1 1 3 2
Lisol 7,5 %
5 20 35 50 65
1 1 1 2 2
2 2 2 2 1
Kaporit 0,1 %
5 20 35 50 65
0 0 0 0 0
0 0 0 2 0
Kaporit 0,5 %
5 20 35 50 65
0 0 0 0 1
1 0 0 0 1
Kaporit 1 %
5 20 35 50 65
0 0 1 0 0
1 0 0 0 0
Blanko Positip 143 Positip
30
Pembahasan Masalah Dari Tabel 1, jumlah kuman pada cairan desinfektan setelah dikontakkan dapat diperoleh data sebagai berikut : Dengan menurunkan rumus Nt = N0 k [C]
-n...............(1)
Maka diperoleh persamaan, Ln [Nt/ N0] = -n Ln [C] + Ln [k]..........(2) Maka dengan memplotkan Ln [C] terhadap Ln [Nt] akan diperoleh grafik seperti di bawah ini Berikut untuk kaporit : Maka dengan memplotkan Ln [C] terhadap Ln [Nt] akan diperoleh grafik seperti di bawah ini.
Dengan memplotkan persamaan (2) dengan persamaan garis yang diperoleh dari grafik, maka diperoleh nilai n yaitu 0,387 untuk lisol dan 0,513 untuk kaporit. Ini memberikan arti bahwa gradien desinfeksi dari kaporit lebih besar daripada lisol maka untuk membunuh kuman kaporit lebih baik dibandingkan lisol. Selain itu diperoleh nilai k untuk lisol 0,2283 dan 0,0022 untuk kaporit. Nilai k kaporit yang sangat kecil dibandingkan lisol menunjukkan penurunan kuman dengan kaporit sangat baik dibandingkan dengan lisol. Persamaan dapat ditulis sebagai berikut : Jika persamaan di atas diturunkan kembali maka akan diperoleh persamaan seperti di bawah ini, Data Tabel 2 di atas setelah diolah diperoleh hasil variasi waktu rendam terhadap variasi konsentrasi Lisol sebagai persentase penurunan jumlah angka kuman sebagaimana di bawah ini :
Konsentrasi Kaporit
Ln [Konsentrasi] Ln [Nt/N0]
L – 0,1% L – 0,5% L – 1,0% L – 5,0% L – 10% L – 30%
-2,3025 0,6931
0 1,609 2,302 3,401
-4,873 -5,971 -5,971
- - -
Ket : * = nilai diabaikan karena mengalami pencilan dan sebab khusus - = kuman telah mati
Keterangan Nt = Jumlah kuman setelah kontak N0 = Jumlah kuman pada blanko positif C = Konsentrasi desinfektan n = Koefisien pangkat konsentrasi k = Koefisien konversi
Gambar 1. Grafik Hubungan Ln [Konsentrasi Lisol]
terhadap Ln [Nt/N0]
Konsentrasi Kaporit
Ln [Konsentrasi] Ln [Nt/N0]
L – 0,1% L – 0,5% L – 1,0% L – 5,0% L – 10% L – 30%
-2,3025 0,6931
0 1,609 2,302 3,401
-4,873 -5,971 -5,971
- - -
Gambar 2. Grafik Hubungan Ln [Konsentrasi Kaporit] terhadap Ln
[Nt/N0]
Gambar 1. Grafik Hubungan Ln [Konsentrasi Lisol]
terhadap Ln [Nt/N0]
Ntk = N0 0,0022 [C]-0,513
Untuk Kaporit
Ntl = N0 0,2283 [C] -0,387
Untuk Lisol
Ntk = Ntl 0,0096 [C]-0,126
Ntk = Jumlah angka kuman setelah kontak untuk kaporit Ntl = Jumlah angka kuman setelah kontak untuk lisol
Menit Ke-
Persentase Penurunan Jumlah Kuman
Lisol 2,5 % Lisol 5% Lisol 7,5%
0 0 0 0
5 81,12 97,20 99,30
20 85,31 98,60 99,30
35 87,41 97,90 99,30
50 90,21 95,10 98,60
65 89,51 98,60 98,60
31
Diperoleh grafik sebagai berikut :
Uji coba diperoleh data di Tabel 2, menggunakan dua macam spesimen, yaitu spesimen cairan dan specimen, jarum, serta menggunakan kontrol positif spesimen jarum dan spesimen cairan. Hasil koloni yang diperoleh makin turun dengan makin lamanya waktu rendam dan makin besar konsentrasi yang digunakan maka jumlah koloni makin berkurang untuk setiap desinfektan lisol sebagaimana gambar di atas. Namun cenderung tidak mampu untuk menghilangkan secara total karena masih terdapatnya kuman selama direndam selama 24 jam, demikian pula dengan hancuran jarumnya. Hal tersebut dapat terjadi karena masih terdapat kuman yang lebih relatif tahan terhadap desinfektan lisol. Gambar 3 dapat diamati pada menit ke-5 sebagian besar kuman telah mengalami penurunan yang sangat drastis, penurunan dapat diamati oleh bentuk slope garis dari menit ke-0 sampai ke-5 yang tajam. Slope/gradien penurunan jumlah kuman sangat dipengaruhi oleh konsentrasi lisol. Hasil analisis statistik inferensial Uji F Jumlah Angka Kuman cairan lisol terhadap variasi konsentrasi dan waktu lama rendam hancuran jarum suntik menggunakan program Minitab uji ANOVA taraf nyata 0,05 pada tabel di bawah ini dengan data asal dari tabel 2.
Hipotesis yang diberikan sebagai berikut : H0 : µ1 = µ2 = µ3 , Jika Fhit < Ftabel H1 : µ1 = µ2 = µ3, Jika Fhit > Ftabel
Ket : * berbeda signifikan
Berdasarkan uji F dan Gambar 3 di atas, variasi konsentrasi memberikan hasil yang berbeda dan dapat diamati dengan gambar bahwa semakin besar konsentrasi lisol maka penurunan jumlah kuman semakin besar. Variasi waktu tidak berbeda signifikan karena bentuk grafik memberikan pola yang sama untuk setiap konsentrasi lisol.
Untuk desinfektan kaporit dengan variasi waktu, ternyata untuk konsentrasi 0,1% sudah mampu untuk mendesinfeksi kuman. Ini memberikan fakta bahwa faktor sifat bahan kaporit mampu mensterilkan kuman sangat baik dibandingkan faktor dari waktu kontak. Kesimpulan dan Saran
Semakin tinggi kadar desinfektan, keberadaan kuman cenderung semakin berkurang.
Sifat desinfeksi kaporit lebih efektif dalam membunuh kuman dibandingkan sifat desinfeksi lisol.
Disarankan untuk dilakukan difraksi sinar X agar lebih memahami struktur hancuran jarum suntik.
Alat penghancur jarum suntik yang dibuat oleh BBTKL-PPM Jakarta sangat cocok dan aman untuk digunakan untuk skala puskesmas asal proses desinfeksi dipastikan berlangsung dengan baik.
Daftar Pustaka
1. Alaerts. G dan S.S Santika. 1987. Metoda Penelitian Air. Usaha Nasional. Surabaya
2. APHA., AWWA. 1998. Standard Methode for The Examination of Water and Wastewater.
3. Deborde, Marie & von Gunter, Urs. 2007. Reactions of chlorine with inorganic and organic compound during water treatment – kinetic and mechanisms: A critical review. Switzerland.
4. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1204/MENKES/SK/X/2004
5. Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Derajat Bebas
Sum Square
Mean Square
Fhit Ftabel
Variasi Konsentrasi Variasi Waktu Kesalahan Total
2 4 8 14
919,6 31,3 97,1 1048
459,8 7,8 12,1
38* 0,645
3,98 3,98
Gambar 3. Grafik Penurunan Jumlah Kuman Terhadap Waktu
Lisol 2,5 % Lisol 5% Lisol 7,5%
27 21 18 14 15
4 2 3 7 2
1 1 1 2 2
Tabel 5. Uji F Jumlah Angka Kuman cairan lisol terhadap
variasi konsentrasi dan waktu lama rendam hancuran jarum suntik
32
Kajian Pajanan Merkuri Pada Penduduk Di Pinggiran Sungai Kabupaten Kutai Karta Negara Tahun 2011
Hamidi
Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular (BBTKLPPM) Banjarbaru
Abstrak
Pada tahun-tahun terakhir ini beberapa air sungai
di wilayah Kalimantan Timur dilaporkan telah
tercemar oleh logam berat jenis merkuri(Hg).
Sungai salah satu sumber air baku PDAM, selain
itu sungai juga dipergunakan untuk keperluan
sehari-hari seperti mandi, cuci dan masak. Hasil
pantauan Badan Lingkungan Hidup Daerah
Kabupaten Kutai Kartanegara pada air baku,
daerah aliran sungai, sedimen(lumpur sungai) dan
beberapa ikan juga sudah terindikasi adanya
kandungan merkuri.Tujuan Penelitian adalah untuk
mengetahui rata-rata konsumsi ikan segar
perorang/hari, jenis Ikan sungai yang paling
banyak dikonsumsi, kadar merkuri pada ikan,
kadar merkuri pada air sungai, rata-rata kadar
merkuri dalam rambut, rata-rata kadar merkuri
dalam darah, dan kadar merkuri dalam sidemen
(lumpur) sungai. Hasil dari kajian ini adalah rata-
rata konsumsi ikan per orang pada desa Sidomulyo
180.65 gram/hari, Kotabangun 216.67 gram/hari,
dan Mangkurawang 200 gram/hari. Ada 12 jenis
ikan terbanyak yang dikonsumsi oleh responden
Kadar merkuri pada ikan sungai yang diperiksa
bervariasi mulai dari 0.0051 mg/kg sampai dengan
0.0926 mg/kg dan telah melebihi baku mutu . Kadar
merkuri yang terdapat dalam air sungai mulai dari
tidak terdeteksi sampai dengan 0.0039 mg/L dan
pada lumpur sungai 0.0016 sampai 0.2328 mg/L.
Kadar Merkuri didalam darah yang diperiksa
menunjukan hasil 96.7 % responden belum
melebihi baku mutu, dan didalam darah responden
yang diperiksa 100 % hasilnya belum melebihi
baku mutu.
Pendahuluan Ikan memiliki kandungan protein yang
tinggi, sehingga dengan mengkonsumsi ikan dalam jumlah yang banyak maka akan menghasilkan pemenuhan kebutuhan yang sangat diperlukan oleh tubuh kita. Protein yang tinggi selain didapatkan pada ikan juga ada pada sejenis moluska yang mempunyai protein yang disebut dengan metallotionein. Protein jenis ini memiliki kemampuan mengikat sejenis logam berat seperti merkuri, kadmium, dan seng (Kosnuputranto H, 1996:50). Kandungan merkuri di dalam ikan terdapat pada ototnya (Lippman & Schlesinger,
1974:114-115). Menurut Food and Drug Administration (FDA) batas maksimum yang diperbolehkan adalah sebesar 0,5 ppm.
Pada tahun-tahun terakhir ini beberapa air sungai di wilayah Kalimantan Timur dilaporkan telah tercemar oleh logam berat jenis merkuri (Hg). Sungai merupakan salah satu sumber air baku PDAM. Selain itu, sungai juga dipergunakan untuk keperluan sehari-hari seperti mandi, cuci dan masak. Di samping itu juga sungai merupakan tempat masyarakat mencari ikan sebagai pekerjaan tambahan untuk menambah penghidupan di samping dikonsumsi oleh keluarga. Kondisi inilah yang memprihatinkan kita semua karena habitat ikan tumbuh dan berkembang sudah tidak semestinya lagi.
Berdasarkan hasil pantauan Badan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara pada air baku, daerah aliran sungai, sedimen (lumpur sungai) dan beberapa ikan juga sudah terindikasi adanya kandungan merkuri.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui rata-rata konsumsi ikan segar per orang/hari, jenis Ikan sungai yang paling banyak dikonsumsi, kadar merkuri pada ikan, kadar merkuri pada air sungai, rata-rata kadar merkuri dalam rambut, rata-rata kadar merkuri dalam darah, dan kadar merkuri dalam sidemen (lumpur) sungai.
Metode Penelitian Penelitian ini adalah obsevasional menggunakan rancangan potong lintang. Sampel pada penelitian ini adalah laki-laki dewasa yang berdiam di pinggiran sungai dan berusia 17 sampai dengan 60 tahun dan telah bermukim minimal selama 5 tahun, yang diambil secara acak. Lokasi penelitian ini adalah Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur, yaitu Desa Sidomulyo kecamatan Tabang, Desa Kota Bangun kecamatan Kota Bangun, dan Desa Mangkurawang kecamatan Tenggarong kabupaten Kutai Kartanegara. Jumlah sampel yang diambil dalam 3 desa tersebut sebesar 88 sampel.
33
Pembahasan Hasil pengambilan data tingkat konsumsi masyarakat disajikan sebagaimana terlihat seperti pada tabel 1.
Tabel 1. Distribusi konsumsi ikan per orang per hari
No konsumsi
ikan
Sidomulyo Kota
bangun
Mangkura
wang
Jlh % Jlh % Jlh %
1 100 – 150
gram
11 35.
5
10 37.
0
14 46.
7
2 151 – 200
gram
13 41.
9
10 37.
0
13 43.
3
3 201 – 250
gram
7 22.
6
7 25.
9
3 10
Jumlah 31 100 27 100 30 100
Sumber : data primer yang diolah
Berdasarkan data tersebut konsumsi ikan tertinggi berada pada kisaran 151-200 gram, Ada 12 jenis ikan yang ditemukan dalam kajian ini meliputi ikan patin, Lampam, seluang, dan Tabel 2. Kandungan Hg Total pada jenis ikan yang paling
banyak dikonsumsi
Sumber : data primer yang diolah
pipih. Keempat jenis ini memiliki kandungan
Hg total yang tertinggi seperti pada tabel 2.
Berdasarkan Food and Drug Administration
(FDA), batas maksimal yang diperbolehkan
dalam makanan termasuk ikan adalah sebesar
0,5 ppm. Angka tersebut setara dengan 0,5
µg/gram. Berdasarkan angka hasil kajian
semua ikan yang diperiksa sudah melebihi
baku mutu seperti pada tabel 2.
Cara pemasakan atau pengolahan ikan di tiga
tempat tersebut seperti pada table 3
bervariasi, ada yang digoreng, dibakar atau
dipanggang, dan direbus/pepes/pais. Dari
ketiga cara pengolahan tersebut yang paling
banyak adalah digoreng ( 71.0 %).
Tabel 3. Cara pengolahan ikan yang dikonsumsi responden
Sumber : data primer yang diolah
Kadar Hg total dalam darah responden pada
tiga lokasi pengukuran persentasenya
berbeda-beda. Menurut International Labour
Organization (ILO, 1994) baku mutu Hg dalam
darah sebesar 5 µg/100 ml. Rata rata kadar
Hg total dalam darah; Sidomulyo : 0.013039
mg/L, Kotabangun: 0.011811 mg/L, dan
Mangkurawang: 0.022107 mg/L. Dengan
mengkonversi satuan yang ada sehingga
hasilnya terlihat seperti pada tabel 4 berikut
ini.
No
Jenis
ikan Satuan Sidomulyo Kota Bangun Mangkurawang
1 Patin mg/kg 0.0926 0.0457 -
2 Lampa
m
mg/kg 0.0808
- -
3 Seluan
g
mg/kg 0.0816
- -
4 Pipih mg/kg 0.0786 - -
5 Repan
g
mg/kg 0.0510 0.0446 -
6 Kleper
e
mg/kg 0.0581
- -
7 Baung mg/kg 0.0433 0.103 -
8 Puyau 0.0002 ttd 0.0435
9 Kalui mg/kg 0.0286 - -
10 Gabus mg/kg - - 0.0051
11 Jelawat mg/kg - 0.0519 -
12 Lele mg/kg - -
0.0187
No
Cara
mengola
h ikan
Sidomulyo Kotabang
un
Mangkura
wang
Jlh % Jlh % Jlh %
1 Digoren
g
22 71.0 21 77.8 25 83.3
2 Dipangg
ang/Bak
ar
2 6.5 6 22.2 5 16.7
3 Direbus/
pais/pep
es
7 22.6 0 0 0 0
Jumlah 31 100 27 100 30 100
34
Tabel 4 Kadar Hg dalam darah responden
Sumber : data primer yang diolah
Kadar Hg total dalam rambut responden pada
tiga lokasi pengukuran persentasenya
berbeda-beda. Menurut International Labour
Organization (ILO, 1994) baku mutu Hg dalam
rambut sebesar 13 mg/kg. Rata rata kadar Hg
total dalam rambut; Sidomulyo : 0.045965
mg/kg, Kotabangun: 0.082667 mg/L, dan
Mangkurawang: 0.023253 mg/kg. Dengan
mengkonversi satuan yang ada sehingga
hasilnya terlihat seperti pada tebel 5 berikut
ini.
Tabel 5. Kadar Hg Total dalam rambut
Sumber : data primer yang diolah
Hasil pemeriksaan terhadap Hg total di 3
lokasi sungai, ternyata kualitas air sungai
Belayan yang sudah melebihi baku
mutu(0.0020 mg/l), dan pada bagian hilirnya
kandungan Hg totalnya lebih tinggi, seperti
terlihat pada tabel 6.
Tabel 6. Kadar Hg Total dalam dalam air sungai
N
o Lokasi
Satu
an Hulu Tengah Hilir
1
Sungai
Belayan
mg/L 0,0023 0,0015 0,0039
Kecamatan
Tabang
2
Sungai
Mahakam
mg/ 0,0016 0,0017 0,0015 Kecamatan
Kota
Bangun
3
Sungai
Mahakam
mg/ ttd 0,0012 ttd
Kota
Tenggarong
Sumber : data primer yang diolah
Hasil pemeriksaan terhadap Hg total di 3
lokasi sungai, ternyata lumpur sungai Belayan
dan sungai Mahakam yang sudah melebihi
baku mutu (0.2 mg/L), dan pada bagian
hilirnya terutama di Tenggarong kandungan
Hg totalnya lebih tinggi, seperti terlihat pada
tabel 7.
Tabel 7. Kadar Hg Total dalam dalam lumpur
sungai/sediment
Rata-rata konsumsi ikan per orang adalah:
pada desa Sidomulyo 180.65 gram/hari,
Kotabangun 216.67 gram/hari, dan
Mangkurawang 200 gram/hari, angka ini
melebihi dari rata-rata nasional yaitu sebesar
71,6 gram. Penelitian Syoe’aib terhadap
No
Variasi
Kadar Hg
dalam
rambut
Sidomulyo Kotabang
un
Mangkuraw
ang
Jlh % Jlh % Jlh %
1 < 13
mg/kg
31 100 27 100 30 100
2 > 13.0
mg/kg
0 0 0 0 0 0
Jumlah 31 100 27 100 30 100
N
o Lokasi
Satua
n Hulu Tengah Hilir
1
Sungai
Belayan
mg/L 0,0743 0,0372 0,2328
Kecamatan
Tabang
2
Sungai
Mahakam
mg/L 0,1600 0,0311 0,0796 Kecamatan
Kota
Bangun
3
Sungai
Mahakam
mg/L 0,0016 0,0781 0,5195
Kota
Tenggarong
No
Variasi
Kadar Hg
dalam
darah
Sido
mulyo
Kota
bangun
Mangku
rawang
Jlh % Jlh % Jlh %
1 < 5 µg/100
ml
30 96.8 27 100 28 93.3
2 > 5,0
µg/100 ml
1 3.2 0 0 2 6.7
Jumlah 31 100 27 100 30 100
35
nelayan di kota semarang rata-rata
mengkonsumsi ikan sebasar 105 gram/hari.
Pada kasus Minamata mereka mengkonsumsi
ikan sebesar 286 gram/hari untuk musim
dingin dan 410 gram/hari diwaktu musim
panas (Syoe’aib, 1999). Kalau kita
konversikan orang Jepang dalam satu
tahunnya untuk musim dingin mengkonsumsi
ikan lebih kurang 104 kg, sedang pada musim
panas mencapai 150 kg. Angka yang
didapatkan di desa Sidomulyo : sekitar 66
kg/orang/tahun, Kotabangun : 79
kg/orang/tahun, dan Tenggarong diperoleh
sebesar 73 kg/orang/tahun, dengan demikian
dapat dikatakan angka tersebut masih
berada/ berbeda dengan yang ada di Jepang.
Asupan merkuri pada responden akan sangat
tergantung pada, seberapa besar kadar
merkuri yang ada pada ikan. Semakin besar
kadar merkuri dalam ikan, maka akan semakin
besar pula asupan terjadi.
Kajian yang dilakukan terhadap ikan yang di konsumsi responden pada ketiga desa tersebut didapatkan beberapa jenias ikan yang dikonsumsi diantaranya adalah ―Patin‖ dan ―lampam‖ ―seluang‖ ―Pipih‖ dan ―Baung‖ dengan kadar merkuri sudah melebihi baku mutu.
Konsentrasi Merkuri didalam darah yang diperiksa menunjukan hasil 96.7 % responden belum melebihi baku mutu, hanya 3.3 % saja yang telah melebihi baku mutu. Angka-angka tersebut masih berkorelasi dengan konsentarsi merkuri yang berada dalam rambut responden. Hg total dalam rambut 100 % masih berada di bawah baku mutu. Keadaan ini menarik untuk dikaji lebih lanjut, mengingat konsentrasi Hg total di ikan telah melebihi baku mutu. Justifikasi keadaan tersebut adalah, pertama meskipun pengukuran pajanan merkuri organik seperti metil merkuri dilakukan dengan memeriksa merkuri dalam darah (Clayton, 1983:2134), Malaka T, 1997), tetapi ini hanya bersifat untuk pemajanan yang baru berlangsung, tidak cocok untuk pajanan yang telah lalu/lewat. Pajanan yang telah lalu/lewat dionitor melalui konsentrasi metil merkuri dalam rambut. Waktu paruh metil merkuri didalam tubuh diperkirakan 70 hari(WHO, 1975:54). kecepatan akumulasi ditentukan oleh waktu paruh, waktu paruh dari merkuri adalah waktu yang diperlukan untuk menurunkan kadar merkuri dalam tubuh menjadi separuh dari yang ada. Keadaan ini bisa saja terjadi dalam kurun waktu relatif baru karena dari hasil tes di
rambut responden angkanya masih sangat kecil, berarti pajanan dalam waktu lama belum terjadi. Kedua, melihat dari kadar merkuri di lingkungan dimana sidemen lumpur yang angkanya sudah ada yang melebihi baku mutu ini mengisyaratkan bahwa biota air yang ada perlu perhatian ekstra karena tebukti sampel ikan yang diperiksa sebagian besar telah melebihi baku mutu.
Diantara jenis ikan yang terbanyak dikonsumsi, ambil contoh ikan Patin untuk contoh perhitungan asupan. Menggunakan rumus A = K x C , dimana A adalah asupan merkuri kedalam tubuh, K adalah besarnya konsumsi, C adalah kadar merkuri pada ikan, maka besarnya asupan merkuri rata-rata kedalam tubuh respoden didesa Sidomulyo = 16.73 mikrogram (µg) perhari. Menurut WHO asupan yang diperkenankan dalam seminggu (Permissible tolerable weekly intake/PTWI) untuk metilmerkuri direkomendasikan 200 µg untuk berat badan 70 kg (Anonim 1989). Untuk penduduk desa Sidomulyo mempunyai berat badan rata-rata 55.58 kg direkomendasikan sebesar 158.8 µg perminggu atau 22.69 µg perhari. Dengan demikian asupan merkuri belum melewati nilai ambang batas yang diperkenankan WHO, demikian juga dengan perhitungan yang sama untuk jenis ikan lainnya.
Berbeda dengan penduduk Minamata yang suka makan ikan mentah, responden lokasi kajian terlebih dahulu memasak ikan sebelum dikonsumsi. Pemasakan akan menurunkan kadar merkuri dalam ikan antara 68 % sampai 83 % dengan rata-rata 74,5 % (Ayoni, 2003). Ini terlihat dari data yang ditemukan bahwa 100 % ikan yang dimakan, dimasak terlebih dahu. Hal itu bukan berarti dengan adanya penurunan, setelah pemasakan bahaya pajanan merkuri dari ikan yang dikonsumsi tidak berarti lagi. Keadaan ini relatif tergantung dari besarnya kadar merkuri pada ikan segar dan frekuensi mengkonsumsinya.
Bila kadar merkuri ikan segar tinggi walau ada penurunannya sebesar 68 — 83 % (rata-rata 74,57%) setelah pemasakan tentu intake nya lebih besar dari ikan segar yang kandungan merkurinya kecil bila sama-sama dimasak. Demikian pula frekuensi makan ikan yang tinggi akan menyebabkan akumulasi merkuri dalam tubuh lebih besar dan pada eksresinya, sehingga semakin lama kandungan merkuri dalam tubuh makin besar dan suatu saat akan melampaui nilai ambang batas yang dapat mengakibatkan toksisitas pada tubuh.
Kontaminan merkuri kontinyu dalam tingkatan diatas normal seperti adanya
36
tambang-tambang emas terutama yang ellegal atau industri yang menggunakan bahan merkuri, secara alami dalam selang waktu antara lima sampai sepuluh tahunan akan menyebabkan terjadinya pencemaran merkuri pada lingkungan, dan dampak kesehatan akan muncul pada masyarakat yang secara pelan-pelan terpajan oleh bahan tersebut dalam kurun waktu 15 sampai 30 tahun kedepan.
Kesimpulan Rata-rata konsumsi ikan per orang adalah: pada desa Sidomulyo 180.65 gram/hari, Kotabangun 216.67 gram/hari, dan Mangkurawang 200 gram/hari. Ada 12 jenis ikan terbanyak yang dikonsumsi oleh responden meliputi : ikan patin, Lampam, seluang, dan pipih, Repang, Klepere, Baung, Puyau, Kalui, Gabus, Jelawat, dan Lele. Kadar merkuri pada ikan sungai yang diperiksa bervariasi mulai dari 0.0051 mg/kg sampai dengan 0.0926 mg/kg dan telah melebihi baku mutu . Kadar merkuri yang terdapat dalam air sungai mulai dari tidak terdeteksi sampai dengan 0.0039 mg/L dan pada lumpur sungai 0.0016 sampai 0.2328 mg/L. Kadar Merkuri didalam darah yang diperiksa menunjukan hasil 96.7 % responden belum melebihi baku mutu, dan didalam darah responden yang diperiksa 100 % hasilnya belum melebihi baku mutu.
Daftar Pustaka
Achmadi, U. F, (1997) Epidemiologi Lingkungan dan Analisis Dampak Risiko, Makalah Kuliah Pasca Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat universitas Indonesia, Depok.
Adiwisastra, A, (1985) Keracunan, Sumber, Bahaya serta penanggulangannya, Angkasa, Bandung.
Aldrich, T. E, dan Griffith,J. (1983) Environmental Epidemiology and Risk Assesment, Van Nostrand Reinhold, New York.
Ariens, E.J, dkk, (1986) Toksikologi Umum Pengantar, Diterjemahkan oleh Wattimena, Y. R, dkk, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Clayton, (1981) Patty’s Industrial Hygiene and Toxicology, Vol II Part C 4
th ed, Inter Science
Publication, New York. Departemen Kesehatan , (1996) Info Pangan dan Gizi,
Vol VII No. 1, Jakarta. Fardiaz, R.S, (1993) Nutrisional Assesment A
Laboratory Manual, Oxford University Press, New York and Oxford.
Hutagalung,H.P, dan Hamidah, R, (1982) Kandungan Logam Berat Dalam Beberapa Perairan Laut Indonesia, Lemabaga Oceanologi Nasional, LIPI, Jakarta.
ILO, (1989) Encyclopedia of Occupational Health and Safety, Vol 2 Third ed, Geneva.
Kumara Rai, (1996) Makalah Peranan Ikan Dalam Pola Konsumsi Penduduk Indonesia, Hari Pangan Sedunia 1996, Departemen Kesehatan , Jakarta.
Kusnoputranto, H, (2000) Pengantar Toksikologi Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Jakarta.
Kusnoputranto, H, (1995) Pengantar Toksikologi Lingkungan Toksik dan B-3, tan Masyarakat Universitas Indonesia & Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan, Jakarta.
Lippman, M dan Schlesinger, R,(1979) Chimacal Contamination in The Human Environment, Oxford University Press, New York.
Pratiknya, A. W, (1993) Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran, Edisi 1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sigel, H dan Sigel, A, (1986) Metal Ions in Biological System, Consept on Metal Ion Toxicologi, Vol 20 Marcel Dekker Inc, New York and Basel.
Sidharta, P, (1994) Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum, Dian Rakyat, Jakarta.
WHO, (1979) Mercury, Environmental Creteria 1, Geneva.
C. Lu, Frank, (1995) Toksikologi Dasar, Asas, Organ, Sasaran, dan Penilaian Risiko, UI Press, Jakarta
Darmono, (2001) Lingkungan Hidup dan Pencemaran, UI Press, Jakarta
Effendi, Hefni, (2003) Telaah Kualitas Air, Kanisius, Yogyakarta
Connell, Des W, (1995) Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran, UI Press, Jakarta
37
HIV-AIDS DALAM ANGKA (SEPTEMBER 2011) Subdit Pengendalian AIDS dan PMS, Direktorat PPML, Ditjen PP dan PL
Jumlah Kasus HIV dan AIDS di Indonesia Tahun 2005-2011
Persentase Kumulatif Kasus AIDS Menurut Jenis Kelamin di Indonesia sampai dengan Juni 2011
dan Tahun 2011 (sampai dengan Juni)
Persentase Kumulatif Kasus AIDS Menurut
Kelompok Umur di Indonesia sampai dengan 2011
10 Provinsi dengan Kumulatif Kasus AIDS
Terbanyak sampai dengan September 2011
Case Fatality Rate (CFR) Kasus AIDS di Indonesia,
1987-2011
Proporsi Kumulatif Kasus AIDS Menurut
Faktor Risiko Sampai dengan Tahun 1995, 2000, 2005, dan 2010
s.d. 1995 s.d. 2000
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi
s.d. 2005 s.d. 2010
38