jurnal fotosintesis ai

11
1 REFLEKTANSI TANAMAN SEBAGAI PERANGKAT UNTUK PEMANTAUAN AKTIFITAS FOTOSINTESIS TANAMAN TOMAT DI RUMAHKACA Crop Reflectance as Tool for Monitoring The Tomatoes Crop Photosyntetic Activity in Greenhouse Nur Aini Iswati Hasanah 1 Abstrak Pemanfaatan sawah untuk memproduksi komoditas pertanian di Indonesia tidak optimal. Sawah di Indonesia tidak terawat dan tidak terjaminnya kelestariannya. Konversi sawah di daerah perkotaan tinggi karena desakan kebutuhan lahan untuk pembangunan begitu kuat, sementara luas lahan terbatas. Perancangan sawah multiguna dapat mengatasi permasalahan-permasalahan sawah yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, sawah multiguna dapat menjadi solusi baru dalam mengoptimalkan pemanfaaatan sawah untuk memproduksi komoditas pertanian yang tidak hanya terbatas pada tanaman padi dan palawija karena tinggi muka air pada sawah multiguna dapat diatur, sehingga ketersediaan air dapat disesuaikan dengan kebutuhan air pada tiap jenis tanaman. Sawah multiguna tersebut merupakan suatu kebaruan yang mampu menyelesaikan permasalahan luas sawah, tetapi juga mampu menghemat penggunaan air dan menurunkan dampak buruk bagi lingkungan akibat pertanian . Penelusuran state of the art merupakan hal penting dalam melihat kebaruan. Untuk itu, makalah ini menyajikan state of the art terkait sistem irigasi – drainase media berpori dan media tanam . Kata Kunci : drainase, irigasi, otomatisasi, sawah PENDAHULUAN Latar Belakang 1 Mahasiswa Pascasarjana (S3) Ilmu Keteknikan Pertanian (TEP), SPs IPB

Upload: widya-effendi

Post on 14-Sep-2015

11 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

fotosintesis

TRANSCRIPT

6

REFLEKTANSI TANAMAN SEBAGAI PERANGKAT UNTUK PEMANTAUAN AKTIFITAS FOTOSINTESIS TANAMAN TOMAT DI RUMAHKACA

Crop Reflectance as Tool for Monitoring The Tomatoes Crop Photosyntetic Activity in Greenhouse

Nur Aini Iswati Hasanah[footnoteRef:1] [1: Mahasiswa Pascasarjana (S3) Ilmu Keteknikan Pertanian (TEP), SPs IPB]

AbstrakPemanfaatan sawah untuk memproduksi komoditas pertanian di Indonesia tidak optimal. Sawah di Indonesia tidak terawat dan tidak terjaminnya kelestariannya. Konversi sawah di daerah perkotaan tinggi karena desakan kebutuhan lahan untuk pembangunan begitu kuat, sementara luas lahan terbatas. Perancangan sawah multiguna dapat mengatasi permasalahan-permasalahan sawah yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, sawah multiguna dapat menjadi solusi baru dalam mengoptimalkan pemanfaaatan sawah untuk memproduksi komoditas pertanian yang tidak hanya terbatas pada tanaman padi dan palawija karena tinggi muka air pada sawah multiguna dapat diatur, sehingga ketersediaan air dapat disesuaikan dengan kebutuhan air pada tiap jenis tanaman. Sawah multiguna tersebut merupakan suatu kebaruan yang mampu menyelesaikan permasalahan luas sawah, tetapi juga mampu menghemat penggunaan air dan menurunkan dampak buruk bagi lingkungan akibat pertanian. Penelusuran state of the art merupakan hal penting dalam melihat kebaruan. Untuk itu, makalah ini menyajikan state of the art terkait sistem irigasi drainase media berpori dan media tanam.Kata Kunci: drainase, irigasi, otomatisasi, sawah

PENDAHULUANLatar BelakangPerekonomian Indonesia sebagai negara agraris sangat bergantung pada komoditas yang dihasilkan sektor pertaniannya (Adimiharja 2006). Komoditas pertanian tersebut beragam, mulai dari komoditas pangan seperti padi dan palawija hingga komoditas non pangan seperti kelapa sawit. Namun padi tetap merupakan komoditas pertanian utama bagi Indonesia yang produksinya umumnya dilakukan di sawah pada musim basah karena terbatasnya ketersediaan air yang digunakan untuk mengairi sawah pada musim kemarau. Petani umumnya memilih palawija, seperti jagung sebagai alternatif tanaman di sawah di musim kemarau (Faesal et al. 2009). Dalam hal ini, pemanfaatan sawah untuk memproduksi komoditas pertanian menjadi tidak optimal yang merupakan salah satu permasalahan di Indonesia. Permasalahan lain pada sawah di Indonesia adalah tidak terawat dan tidak terjaminnya kelestarian sawah. Data luas lahan sawah 2012 berdasarkan hasil pemetaan citra satelit Kementrian Pertanian adalah 8095962 Ha (BPS 2014). Apabila produksi pertanian diharapkan mampu mengimbangi kebutuhan penduduk yang terus meningkat, maka seharusnya luas dan produktivitasnya juga terus ditingkatkan. Namun, kenyataan menunjukkan hal lain. Sawah yang diandalkan sebagai penghasil bahan pangan utama cenderung menurun luas bakunya akibat konversi ke nonpertanian (Adimiharja 2006). Menurut Hariyanto (2010), konversi di daerah perkotaan adalah fenomena yang tidak dapat dihindari karena desakan kebutuhan lahan untuk pembangunan begitu kuat, sementara luas lahan terbatas. Konversi ke non pertanian terjadi karena selama ini sawah dianggap mempunyai land rent yang rendah dibanding sektor lain. Padahal, sawah tidak hanya mempunyai nilai ekonomi sebagai penyangga kebutuhan pangan, namun juga berfungsi ekologi seperti mengatur tata air, penyerapan karbon di udara, dan sebagainya. Untuk menggantikan peranan dari sawah yang telah hilang di daerah perkotaan tersebut, maka muncullah istilah urban farming. Urban farming adalah sebuah alternatif pengganti pertanian konvensional yang bersifat adaptif pada daerah perkotaan (Christensen 2007). Perancangan sawah multiguna dapat mengatasi permasalahan-permasalahan sawah yang ada di Indonesia. Dalam hal ini, sawah multiguna dapat menjadi solusi baru dalam mengoptimalkan pemanfaaatan sawah untuk memproduksi komoditas pertanian yang tidak hanya terbatas pada tanaman padi dan palawija karena tinggi muka air pada sawah multiguna dapat diatur, sehingga ketersediaan air dapat disesuaikan dengan kebutuhan air pada tiap jenis tanaman. Pengaturan tinggi muka air tersebut memungkinan sawah tidak digenangai secara terus-menerus seperti halnya yang terjadi pada sawah konvensional yang ada di Indonesia. Hal ini memberikan dampak positif pada penggunaan air yang lebih efisien karena kemungkinan terjadinya kehilangan air dari air yang diirigasikan lebih kecil (Fonteh et al. 2013). Selain itu, jumlah pelepasan gas metan (CH4) yang berpotensi mengakibatkan pemanasan global akibat penggenangan pada sawah juga dapat dihindari (FAO 2010, Jain et al. 2004, Regazzoni et al. 2013). Selain itu, penggunaan sawah multiguna yang bersifat portabel, sehingga mudah diangkut dan dipasang di berbagai tempat dan ketinggian dapat menjadi sarana urban farming di perkotaan yang minim lahan terbuka. Dengan adanya sawah multiguna, maka nilai ekologis dari sawah yang hilang akibat konversi di daerah perkotaan dapat tergantikan. Gardner et al. (1999) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman dalam konteks produksi menuntut hasil panen yang tinggi pada tanaman bernilai ekonomis. Untuk memenuhi hal tersebut, pemahaman mengenai lingkungan tanah dimana tanaman tumbuh perlu dimiliki untuk mengenali keterbatasan yang ada di lingkungan dan memperbaikinya tanpa merusak kualitas tanah. Dalam hal ini, tanah adalah salah satu sumberdaya alam penting untuk produksi tanaman. Tanaman membutuhkan tanah untuk mendapatkan air, nutrisi untuk pertumbuhan, dan stabilitas ketika tumbuh. Biji akan berkecambah, bibit muncul dan tumbuh untuk menghasilkan tanaman di bawah berbagai macam kondisi yang baik. Oleh karena itu, penelitian mengenai komposisi serta sifat fisik tanah yang ada di sawah multiguna perlu dilakukan dalam melakukan perancangan sawah multiguna. Sawah multiguna yang dirancang selain terdiri dari bak dalam tempat tumbuh tanaman dengan konduktivitas media tanam tertentu dan saluran air irigasi permukaan dan drainase bawah permukaan yang dilapisi media berpori dan dilengkapi pengendali otomatis tinggi muka air. Untuk itu, makalah ini menyajikan state of the art sawah multiguna, khusunya yang terkait sistem irigasi drainase media berpori dan media tanam.

TujuanTujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai aktifitas fotosintesis dan reflektansi pada tanaman tomat, serta menelusuri status ilmiah (state of the art) penelitian-penelitian terdahulu yang terkait aplikasi reflektansi tanaman sebagai perangkat monitoring aktivitas fotosintesis pada tanaman tomat di rumahkaca.

AKTIFITAS FOTOSINTESIS TANAMAN TOMAT Irigasi diatur berdasarkan kesetimbangan neraca air sedemikian hingga agar tinggi muka air di sawah mampu memberikan kondisi kelembaban tanah yang optimum bagi pertumbuhan tanaman. Tata air yang biasanya diterapkan di sawah adalah irigasi dengan sistem penggenangan terus-menerus dan irigasi berselang. Dari kedua sistem tersebut, sawah dengan irigasi berselang terbukti lebih baik daripada irigasi dengan sistem penggenangan terus-menerus dalam hal produktifitas air. Menurut Fonteh et al. (2013), produktifitas air tersebut mencapai 100% pada penerapan tinggi muka air yang sama. Pada penelitian Saptomo et al. (2012) diketahui bahwa pada tinggi muka air di sawah irigasi berselang sebesar -10 cm sampai 2 cm, kelembaban tanah selalu berada pada kondisi pF dibawah 2. Hal ini berarti kondisi jenuh atau macak-macak dan tidak kekurangan air sudah dapat dicapai dan dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman secara optimum tanpa harus menggunakan air secara berlebihan. Irigasi permukaan (furrow, basin, dan bay) merupakan metode irigasi dimana air disampaikan di permukaan lahan oleh aliran gravitasi, namun pada saat yang sama juga masuk ke dalam tanah. Irigasi permukaan sangat umum digunakan di berbagai wilayah. Pada irigasi alur, salah satu teknik irigasi permukaan tertua, air disampaikan melalui saluran kecil dengan kemiringan tertentu hingga hilir. Jarak antar saluran berhubungan dengan jarak tanaman yang sedang dibudidayakan. Berbeda dengan alur, basin dirancang untuk pengaliran ke segala arah dan dapat berupa bentuk persegi atau persegi panjang. Sistem ini secara tradisional telah umum digunakan untuk menanam padi. Selain itu juga terdapat bays. Bays mirip dengan basin, tetapi memiliki sedikit lereng dan kondisi pengeringan bebas pada bagian hilir. Bay adalah metode irigasi yang disukai untuk irigasi padang rumput (Koech et al. 2010).Irigasi permukaan sangat sederhana dengan konsumsi energi yang rendah. Namun, irigasi tersebut sangat terkait dengan kebutuhan pekerja yang tinggi dan efisiensi penggunaan air yang rendah (Smith et al. 2005). Irigasi ini sangat memungkinkan untuk diterapkan pada sawah multiguna. Irigasi permukaan dalam bentuk basin sejauh ini tidak dilewatkan melalui media berpori dengan konduktifitas tertentu. Hal ini merupakan suatu hal yang baru di topik basin irrigation dimana mekanisme pengaliran airnya adalah air merembes sedikit demi sedikit melalui pori-pori dinding media berpori ke zona perakaran karena adanya tekanan hydrostatis dan atau hisapan matriks tanah serta konduktivitas hidrolik jenuh media berpori. Perbedaan tekanan hidrostatiknya merupakan beda tinggi relatif air di basin dengan di media tanam (Setiawan 1998).Penelitian Reskiyana (2014) menunjukkan bahwa nilai konduktivitas bahan berpori sangat terkait dengan kemapuan merembeskan air ke tanah dan pemenuhan suplai air untuk pertumbuhan tanaman. Semakin besar nilai konduktivitas maka semakin cepat merembeskan atau melolosakan air karena memiliki pori atau rongga yang lebih besar. Tabel 1 menunjukkan nilai konduktivitas berbagai media berpori tersebut.

Tabel 1. Nilai konduktivitas berbagai media berpori

REFLEKTANSI TANAMAN TOMATMedia tanam pada sawah umumnya berupa tanah yang memiliki tekstur tertentu, yakni persentase dari pasir, debu dan liat pada tanah (Delbari et al. 2011). Tekstur tanah tersebut dapat berpengaruh secara langsung pada porositas tanah yang terkait dengan kemampuan tanah menyimpan air dan karakteristik aliran air di tanah, serta kemampuan menampung nutrient dan kesuburan tanah (Zhao et al. 2009). Menurut Zhao et al. (2009), tanah liat memiliki persentase pori-pori kecil dan kapasitas menahan air pada potensial air yang lebih rendah yang lebih tinggi, serta sering dikaitkan dengan kondisi drainase buruk dengan aerasi terbatas untuk pertumbuhan tanaman. Di sisi lain, tanah berpasir memiliki persentase pori-pori besar yang relatif lebih tinggi, kapasitas menahan air dalam kondisi yang lebih rendah pada kondisi tanah relatif kering. Hal tersebut dibuktikan dengan baik pada hasil analisis Molen et al. (2007), terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai pori dan konduktivitas berbagai tekstur tanah

Penggabungan tekstur tanah yang berbeda dapat memberikan dampak yang berbeda bagi tanaman. Hal ini dibuktikan oleh Vishnoi et al. (2010) dalam penelitiannya dimana dilakukan pencampuran tanah tektur pasir dengan tanah kontrol dengan soil ratio pasir : tanah kontrol sebesar 80:20, 40:60, dan 0:100. Hasilnya pada ketiga kondisi sampel tanah, tanaman (Terminalia arjuna) memberikan respon yang berbeda pada beberapa parameter. Pola pertumbuhan tanaman lebih baik pada soil ratio 80:20. pH juga lebih tinggi pada soil ratio 80:20 yang memiliki % liat paling kecil. Ismail dan Ozawa (2006) juga mendapati peningkatan pada hasil panen, retensi air dan efisiensi penggunaan air terjadi pada tanah berpasir yang dicampur dengan liat. Lebar daun, panjang dan diameter batang, batang mentimun serta jumlah daun pada jagung juga meningkat pada tanah berpasir dengan perlakuan penambahan liat. Akar tanaman pun tumbuh secara intensif pada tanah percobaan tersebut. Selain itu, efisiensi penggunaan air juga meningkat dimana sekitar 45% - 64% dari air irigasi dapat disimpan dibandingkan dengan tanah kontrol. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa penggabungan tanah liat dengan tanah berpasir adalah metode yang menjanjikan untuk meningkatkan hasil panen, memperbaiki kelembaban tanah, meningkatkan distribusi dan efisiensi penggunaan air, serta meningkatkan jumlah air yang tersimpan di dalam tanah. Namun dalam hal ini, stabilitas agregat dan rasio optimal pencampuran kedua tekstur tanah tersebut perlu diketahui. Hal ini dikarenakan pada penelitian Eneje dan Anya (2012), hasil dari penelitian menunjukkan bahwa tanah yang memiliki stabilitas agregat rendah dan rasio yang tinggi antara pasir dan tanah liat justru memiliki kapasitas penyimpanan air dan hasil panen tanaman yang rendah.

APLIKASI REFLEKTANSI TANAMAN TOMAT PADA MONITORING AKTIFITAS FOTOSINTESIS Irigasi diatur berdasarkan kesetimbangan neraca air sedemikian hingga agar tinggi muka air di sawah mampu memberikan kondisi kelembaban tanah yang optimum bagi pertumbuhan tanaman. Tata air yang biasanya diterapkan di sawah adalah irigasi dengan sistem penggenangan terus-menerus dan irigasi berselang. Dari kedua sistem tersebut, sawah dengan irigasi berselang terbukti lebih baik daripada irigasi dengan sistem penggenangan terus-menerus dalam hal produktifitas air. Menurut Fonteh et al. (2013), produktifitas air tersebut mencapai 100% pada penerapan tinggi muka air yang sama. Pada penelitian Saptomo et al. (2012) diketahui bahwa pada tinggi muka air di sawah irigasi berselang sebesar -10 cm sampai 2 cm, kelembaban tanah selalu berada pada kondisi pF dibawah 2. Hal ini berarti kondisi jenuh atau macak-macak dan tidak kekurangan air sudah dapat dicapai dan dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman secara optimum tanpa harus menggunakan air secara berlebihan. Irigasi permukaan (furrow, basin, dan bay) merupakan metode irigasi dimana air disampaikan di permukaan lahan oleh aliran gravitasi, namun pada saat yang sama juga masuk ke dalam tanah. Irigasi permukaan sangat umum digunakan di berbagai wilayah. Pada irigasi alur, salah satu teknik irigasi permukaan tertua, air disampaikan melalui saluran kecil dengan kemiringan tertentu hingga hilir. Jarak antar saluran berhubungan dengan jarak tanaman yang sedang dibudidayakan. Berbeda dengan alur, basin dirancang untuk pengaliran ke segala arah dan dapat berupa bentuk persegi atau persegi panjang. Sistem ini secara tradisional telah umum digunakan untuk menanam padi. Selain itu juga terdapat bays. Bays mirip dengan basin, tetapi memiliki sedikit lereng dan kondisi pengeringan bebas pada bagian hilir. Bay adalah metode irigasi yang disukai untuk irigasi padang rumput (Koech et al. 2010).Irigasi permukaan sangat sederhana dengan konsumsi energi yang rendah. Namun, irigasi tersebut sangat terkait dengan kebutuhan pekerja yang tinggi dan efisiensi penggunaan air yang rendah (Smith et al. 2005). Irigasi ini sangat memungkinkan untuk diterapkan pada sawah multiguna. Irigasi permukaan dalam bentuk basin sejauh ini tidak dilewatkan melalui media berpori dengan konduktifitas tertentu. Hal ini merupakan suatu hal yang baru di topik basin irrigation dimana mekanisme pengaliran airnya adalah air merembes sedikit demi sedikit melalui pori-pori dinding media berpori ke zona perakaran karena adanya tekanan hydrostatis dan atau hisapan matriks tanah serta konduktivitas hidrolik jenuh media berpori. Perbedaan tekanan hidrostatiknya merupakan beda tinggi relatif air di basin dengan di media tanam (Setiawan 1998).Penelitian Reskiyana (2014) menunjukkan bahwa nilai konduktivitas bahan berpori sangat terkait dengan kemapuan merembeskan air ke tanah dan pemenuhan suplai air untuk pertumbuhan tanaman. Semakin besar nilai konduktivitas maka semakin cepat merembeskan atau melolosakan air karena memiliki pori atau rongga yang lebih besar. Tabel 1 menunjukkan nilai konduktivitas berbagai media berpori tersebut.

Tabel 1. Nilai konduktivitas berbagai media berpori

SIMPULANIrigasi dan drainase merupakan sarana penting dalam budidaya tanaman. Penggunaan irigasi basin yang dilengkap media berpori merupakan hal yang baru. Kemapuan merembeskan air ke tanah dan pemenuhan suplai air untuk pertumbuhan tanaman sangat terkait dengan konduktivitas media berpori yang digunakan pada saluran irigasi maupun drainase tersebut. Dalam pemanfaatan media berpori dalam saluran drainase, faktor penyumbatan perlu dikaji. Selain itu, media tanam adalah penentu hasil budidaya. Pencampuran tanah liat dengan tanah berpasir pada media tanam adalah metode yang menjanjikan untuk meningkatkan hasil panen, memperbaiki kelembaban tanah, meningkatkan distribusi dan efisiensi penggunaan air, serta meningkatkan jumlah air yang tersimpan di dalam tanah. Namun dalam hal ini, stabilitas agregat dan rasio optimal pencampuran kedua tekstur tanah tersebut perlu diketahui.

DAFTAR PUSTAKAAdimiharja A. 2006. Strategi Mempertahankan Multifungsi Pertanian di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 25(3): 99-100.[BPS] Badan Pusat Statistik Indonesia, 2014. Statistik Indonesia 2014, Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik Indonesia. Available at: http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/SI_2014/index3.php?pub=Statistik%20Indonesia%202014.Christensen R. 2007. SPIN-Farming: Advancing Urban Agriculture from Pipe Dream to Populist Movement. Sustainability: Science, Practice, & Policy. 3(2): 57.CIGR. 1999. Handbook of Agricultural Engineering. MI: American Society of Agriculural Engineers. Delbari M, Afrasiab P, Loiskandi W. 2011. Geostatistical Analysis of Soil Texture Fractions on the Field Scale. Soil & Water Res. 6(4): 173.Eneje RC, Anya KS. 2012. Relationship between Aggregate Stability, Sand: Clay Ratio and Electrical Conductivity in Plantation Soils. PAT. 8(1): 108109.Faesal, Syuryawati, Zubachtirodin. 2009. Panen Hujan Untuk Pengembangan Jagung Pada Lahan Sawah Irigasi Terbatas di Sulawesi Selatan. Seminar Nasional Serealia. 150152.[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2010. Climate-Smart Agriculture: Policies, Practices and Financing For Food Security, Adaptation and Mitigation. Rome (IT): Communication Division FAO.Fonteh MF, Tabi FO, Wariba AM, Zie J. 2013. Effective Water Management Practices in Irrigated Rice to Ensure Food Security and Mitigate Climate Change in a Tropical Climate. Agriculture and Biology Journal of North America. 4(3): 285-289. Gardner CMK, Laryea KB, Unger PW. 1999. Soil Physical Constraints to Plant Growth and Crop Production. Rome (IT): Land and Water Development Division, Food and Agriculture Organization of The United Nations.Hariyanto. 2010. Pola dan Intensitas Konversi Lahan Pertanian di Kota Semarang Tahun 2000-2009. Jurnal Geografi. 7(1): 1.Ismail SM, Ozawa K. 2006. Improvement of Crop Yield, Soil Moisture Distribution and Water Use Efficiency in Sandy Soils by Clay Application. In: Tenth International Water Technology Conference. 798808.Jain, N. et al. 2004. Emission of Methane from Rice Fields - a Review. Journal of Scientific and Industrial Research. 63:103.Jung KY, Yun ES, Park KD, Lee YH, Hwang JB, Park CY, Ramos EP. 2010. Effect of Subsurface Drainage For Multiple Land Use in Sloping Paddy Fields [paper]. 19th World Congress of Soil Science, Soil Solutions for a Changing World. Brisbane (AU): Tidak diterbitkan. 33Koech R, Smith R, Gillies M. 2010. Automation and Control in Surface Irrigation Systems: Current Status and Expected Future Trends. Southern Region Engineering Conference. 1.Molen, W.H.V.D., Beltran, J.M. and Ochs, W.J. 2007. Food and Agriculture. Rome(IT) : Food and Agriculture Organization of the United Nations.Nijland HJ., Croon FW, Ritzema HP. 2005. Subsurface Drainage Practices: Guidelines for the implementation, operation and maintenance of subsurface pipe drainage systems. Alterra (NL): ILRI Publication. 19-21.Regazzoni O, Sugito Y, Suryanto A. 2013. Sistem Irigasi Berselang (Intermittent Irrigation) Pada Budidaya Padi (Oryza sativa L.) Varietas Inpari-13 Dalam Pola SRI (System of Rice Intensification). Jurnal Produksi Tanaman. 1(2): 43.Reskiyana. 2014. Desain dan Uji Kinerja Emiter Irigasi Cakram. Bogor (ID): Mayor Teknik Sipil dan Lingkungan, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.Saptomo SK, Chadirin Y, Setiawan BI, Sofiyudin HA. 2012. Peningkatan Efisiensi Air Irigasi dengan Introduksi Sistem Otomatis Pada Sistem Irigasi di Lahan Produksi Pangan. Pertemuan Ilmiah Tahunan Himpunan Ahli Teknik Hidraulik Indonesia. 43-47.Setiawan BI. 1998. Sistem Irigasi Kendi Untuk Tanaman Sayur di Daerah Kering. Bogor (ID): Laporan Riset Terpadu IV, FATETA IPB.Smith RJ, Raine SR, Minkovich J. 2005. Irrigation Application Efficiency and Deep Drainage Potential Under Surface Irrigated Cotton. Agricultural Water Management. 71(2): 117-130.Stuyt LCPM, Dierickx W, Beltran JM. 2005. Materials for Subsurface Land Drainage Systems. FAO Irrigation and Drainage Paper. 68.[USDA] United States Department of Agriculture. 1971. Drainage of Agricultural Land. Soil Conservation Service National Engineering Handbook. 16: 4.2.Vishnoi R, Rajwar GS, Kuniyal P. 2010. Effect of Different Sand and Soil Ratios on the Growth of Terminalia arjuna W. & A. New York Science Journal. 3(11): 2425.Zhao Z, Chowb TL, Rees HW, Yang Q, Xing Z, Meng F. 2009. Predict Soil Texture Distributions Using an Artificial Neural Network Model. Computers and Electronics in Agriculture. 65: 3637.