jurnal pelopor vol vii no 3 tahun 2013 finish
DESCRIPTION
jurnalTRANSCRIPT
Vol. VII No. 3 Tahun 2013 ISSN: 0854-1307
Jurnal Kajian Ilmu Administrasi Negara dan Bisnis, Sosial dan Politik
Jurnal Kajian Ilmu Administrasi Negara dan Bisnis, Sosial dan Politik
SUSUNAN DEWAN PENYUNTING
Penanggung Jawab
Rektor Universitas Islam Malang
Penasehat
Dekan Fakultas Ilmu Administrasi
Ketua Dewan Penyunting
Drs. Agus Zainal Abidin, M.Si
Wakil Ketua Dewan Penyunting
Khoiron
Sekretaris Dewan Penyunting
Hayat
Wakil Sekretaris
Daris Zunaida
Dewan Penyunting
Slamet Muchsin
Sri Nuringwahyu
Rini Rahayu Kurniati
Siti Saroh
Abdul Aziz SR
Ratna Nikin Hardati
Nurul Umi Ati
Susilowati
Roni Pindahanto Widodo
Penyunting Ahli/ Mitra Bestari
M. Bashori Muchsin
Yaqub Cikusin
Ali Masykur Musa
Pelaksana Tata Usaha
Wawan Budi Cahyono
Rudi Nawono
Diterbitkan Oleh
Fakultas Ilmu Administrasi Unisma Press
Alamat
Kantor FIA Unisma
Jl. MT. Haryono 193 Malang, 65144. Telp. 0341 565802
Email: [email protected]
Vol. VII No. 3 Tahun 2013 ISSN: 0854-1307
Jurnal Kajian Ilmu Administrasi Negara dan Bisnis, Sosial dan Politik
DAFTAR ISI
Pengantar Redaksi
PELAYAN PUBLIK SEBAGAI GURU YANG BAIK UNTUK MEWUJUDKAN GOOD
GOVERNANCE
Rulam Ahmadi ....................................................................................................................... 1-10
BICAMERALISME SISTEM PERWAKILAN DI INDONESIA
Hayat .................................................................................................................................. 11-22
ESTABLISHING AN INSPECTION SYSTEM FOR THE PLACES OF DETENTION
MODELLED ON THE OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION AGAINST
TORTURE (OPCAT) IN INDONESIA
Ahmad Aniq ......................................................................................................................... 23-47
GERAKAN NEOPATRIONALISME:
REFLEKSI HARI PENDIDIKAN DAN KEBANGKITAN NASIONAL
Umi Salamah ...................................................................................................................... 48-50
PENGEMBANGAN MODEL PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DALAM
MENINGKATKAN SKILL SANTRI; Kasus Di Ponpes Alhayatul Islamiyah
Kedungkandang Malang
Siti Saroh ............................................................................................................................ 51-59
NEOPATRIONALISM MOVEMENT: Counter To The Hegemony Of Neoimperialism
(Capitalist)
Umi Salamah ...................................................................................................................... 60-61
PERSPEKTIF KEBIJAKAN DALAM PENANGANAN ANAK JALANAN Nurul Umi Ati ..................................................................................................................... 62-76
PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN, TINGKAT PENDIDIKAN DAN
PENGALAMAN KERJA PIMPINAN TERHADAP KEMAMPUAN
MELAKSANAKAN TUGAS PADA KANTOR DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN
OLAHRAGA DI KABUPATEN WAROPEN
Frince Ayomi, Masykuri Bakri, Nurul Umi Ati .................................................................. 77-86
PELAKSANAAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BIDANG DIKLAT PADA BADAN
KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN DAN LATIHAN DALAM MENINGKATKAN
EFEKTIVITAS PEGAWAI DI KABUPATEN WAROPEN
Frits Isak Yesaya Masini, Masykuri Bakri, Nurul Umi Ati ................................................. 87-95
PENGARUH FAKTOR GAYA KEPEMIMPINAN, MOTIVASI DAN KOMUNIKASI
TERHADAP PRESTASI KERJA; Studi Pada Pegawai Negeri Sipil Di Pemda
Kabupaten Waropen
Henike Waitariri, M. Bashori Muchsin, Slamet Muchsin ................................................ 96-105
DAMPAK PENGALAMAN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI BADAN
PENYULUHAN PERTANIAN, PERKEBUNAN, PETERNAKAN, PERIKANAN DAN
KEHUTANAN (BP4K) KABUPATEN WAROPEN (BP4K) KABUPATEN WAROPEN
Henriko Arisoy, Masykuri Bakri, Nurul Umi Ati ........................................................... 106-113
Vol. VII No. 3 Tahun 2013 ISSN: 0854-1307
Jurnal Kajian Ilmu Administrasi Negara dan Bisnis, Sosial dan Politik
STUDI TENTANG PENGARUH SUPERVISI KETUA FRAKSI DAN MOTIVASI
KETUA DEWAN TERHADAP KINERJA ANGGOTA DPRD KABUPATEN
WAROPEN
Hilal Askar, M. Bashori Muchsin, Rini Rahayu K ......................................................... 114-123
PERSEPSI PEGAWAI TENTANG MOTIVASI PIMPINAN DAN KUALITAS
KINERJA PEGAWAI DALAM MEMBERIKAN PENGARUH TERHADAP
KOMITMEN KERJA PEGAWAI DI DINAS PERTANIAN WAROPEN
Johanis Wattimury, M. Bashori Muchsin, Slamet Muchsin ........................................... 124-133
KOMUNIKASI POLITIK; Sebuah Kajian Teoritis
Khoiron ............................................................................................................................ 134-140
FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN PILIHAN JENIS PEKERJAAN DAN
LIMITASINYA PADA SEKTOR INFORMAL PERKOTAAN; Studi Kasus pada
Masyarakat Miskin di Kelurahan Kotalama Kota Malang
Agus Zainal Abidin .......................................................................................................... 141-150
Vol. VII No. 3 Tahun 2013 ISSN: 0854-1307
Jurnal Kajian Ilmu Administrasi Negara dan Bisnis, Sosial dan Politik
PENGANTAR REDAKSI
Jurnal Pelopor kali ini merupakan terbitan ketujuh dengan Volume VII Nomor 3 bulan
September tahun 2013. Jurnal Pelopor terbit 3 (tiga) kali dalam satu satu tahun, yaitu bulan
Januari, bulan Juni dan bulan September. Semoga dapat memberikan pemahaman dari fokus
yang diangkat dalam terbitan juranl pelopor dan memberikan konskuensi nyata untuk
pengembangan Tri Dharma Peguruan Tinggi sebagai penunjang kemaslahatan masyarakat
secara kontinue.
Kami mengundang seluruh komponen masyarakat ilmiah secara umum, mahasiswa,
dosen, akademisi, para ahli serta professional untuk menyumbangkan pemikiran keilmuannya,
terutama dalam bidang sosial, politik, maupun budaya untuk menjadikan tambahan khasanah
keilmuan dan kemaslahatan ummat secara mandiri dan kompatibel.
Seluruh isi dan substansi jurnal pelopor merupakan tanggung jawab dari penulis, redaksi
berhak mengedit dengan tidak mengubah substansi isi dari jurnal. Redaksi jurnal pelopor
tidak bertanggung jawab atas isi dan substansi dari keseluruhan jurnal yang sudah diterbitkan.
Selamat membaca.
Malang, September 2013
Redaksi
1
PELAYAN PUBLIK SEBAGAI GURU YANG BAIK
UNTUK MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE
Rulam Ahmadi
Dosen Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik
Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
Abstrak
Terwujudnya good governance merupakan harapan seluruh masyarakat, yakni nilai
yang menjunjung tinggi kepentingan rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan
kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian, pembanguan
berkelanjutan dan keadilan sosial.. Berhasil atau tidak cita-cita pembangunan nasional
antara lain ditentukan oleh bagaimana pelayanan publik berjalan dengan baik, yakni
pelayanan yang sesuai dengan aturan yang berlaku dan mempermudah proses pemenuhan
kepentingan orang banyak (publik) atau masyarakat, khususnya kebutuhan dasar, seperti
kesehatan, pendidikan, keamanan dan sebagainya. Sedangkan baik atau tidaknya
pelaksanaan pelayanan publik itu tergantung pada sikap dan perilaku pelayan publik
(pemerintah) itu sendiri. Sikap dan perilaku pelayan publik yang baik adalah semisal sikap
dan perilaku (karakteristik) guru yang baik. Pelayan publik secara langsung atau tidak
langsung juga berperan sebagai guru (pendidik) rakyat.
kata kunci: pelayanan publik, guru yang baik, good governance
Abstract
Good governance is the hope of the entire society , the values that uphold the interests
of the people , and the values that can improve the ability of people in the achievement of (
national ) self-reliance , sustainable development and social justice .. Successful or not
national development goals , among others, is determined by how the public service goes well
, the service is in accordance with the applicable rules and simplify the process of fulfilling
the public interest (public) or the community , especially basic needs , such as health ,
education , security and so on . While whether or not the implementation of the public service
depends on the attitudes and behavior of public servants ( government ) itself . Attitudes and
behavior of public servants is such a good attitude and behavior ( characteristic ) of good
teachers . Public servants directly or indirectly act as teachers ( educators ) people .
keyword : public services , good teachers , good governance
PENDAHULUAN
Pada dasarnya setiap manusia
dilahirkan di dunia sebagai khalifah di
bumi. Manusia itu mengemban tugas dan
kewajiban untuk menyebarkan dan
melaksanakan kebaikan dan melarang serta
menghindari perbuata terlarang pada
seluruh umat manusia, sehingga manusia
itu menjadi orang-orang yang membawa
rahmat di permukaan bumi. Pemerintah
sebagai lembaga atau badan yang
menyelenggarakan pemerintahan negara,
negara bagian, atau kota dan sebagainya
(Sedarmayanti, 2004: 2) memiliki tugas
kekhalifahan, yakni menjalankan tugas-
tugas negara dengan baik menuju
2
terciptanya kepemerintahan yang baik
(good governance) demi terwujudnya cita-
cita pembangunan nasional..
Istilah guru hingga saat ini masih
dikonotasikan dengan orang-orang yang
mengajar di sekolah (formal) semata.
Umumnya, orang-orang yang tidak bekerja
mengajar di sekolah tidak disebut sebagai
guru. Misalnya, seorang petani dan
pedagang merupakan sebutan yang
dikaitkan dengan pekerjaan sehari-hari. Ada
juga di masyarakat yang disebut guru
spiritual, tetapi umumnya orang-orang yang
disebut guru spiritual itu lebih cenderung
berkenaan dengan kepentingan di luar nalar
(non-ilmiah) dalam memecahkan suatu
peroalan yang dihadapi manusia dalam
hidupnya.
Sebenarnya setiap orang yang
menyampaikan pengetahuan, keterampilan,
dan sikap (semua itu disebut ilmu) pada
orang lain, walau hanya satu huruf,
termasuk guru. Guru itu bisa yang bertugas
di sekolah (formal), di luar sekolah (non-
formal), maupun bersifat individual
(informal). Pelayan publik, pada hakikatnya
juga adalah memainkan peran sebagai
seorang guru dalam arti luas, yakni guru
yang berperan secara tidak langsung
melalui proses pemberian layanan publik.
Pelayan publik sebagai guru adalah
bertugas menyampaikan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap, memotivasi, dan
mengarahkan masyarakat tentang kebaikan
dan mencegah berbuat yang sebaliknya
(kemungkaran) terkait dengan bidang tugas
yang diembannya. Pelayan publik itu harus
menunjukkan ketauladanan pada
masyarakat sehingga masyarakat patuh dan
tunduk pada mereka.. Kalau pelayan publik
melakukan kemungkaran maka fungsi
sebagai guru sudah gugur dengan
sendirinya. Kalau melakukan kejahatan,
maka mereka termasuk penjahat di atas
segala penjahat. Mereka bukan sebagai
sumber kebaikan, melainkan sebagai
sumber kejahatan yang memungkinkan
rusaknya tatanan nilai dan norma yang ada
di masyarakat. Sebagai guru artinya
pelayanan publik adalah orang-orang yang
dapat ditiru atau ditauladani tentang
pengetahuan, sikap, dan perilakunya yang
baik. Pengetahuan yang dimaksud di sini
adalah pengetahuan tentang tugas yang
yang berkenaan dengan tugas diembannya.
Mereka harus tahu dan paham benar bidang
tugasnya. Misalnya, kalau mereka seorang
petugas keamanan harus paham betul
pengetahuam tentang keamanan dan strategi
bagaimana memelihara dan meningkatkan
keamanan di masyarakat. Bukan
sebaliknya, justeru petugas keamanan
menjadi terlibat kerusuhan di masyarakat.
Dalam pengalaman keseharian sering
sekali sikap dan perilaku pelayan publik
tidak mewujudkan peran dan fungsi
sebagaimana mestinya. Sebagian diantara
mereka justeru menciptakan kerusakan atau
kemungkaran di tengah-tengah masyarakat,
yang membuat masyarakat kecewa, cemas,
takut, dan kadang tersakiti baik fisik
maupun psikologisnya. Banyak juga
penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan yang sangat bertentangan dengan
tugas dan kewajiban yang diembannya.
Tidak jarang kita membaca di berbagai
sumber media bahwa petugas keamanan
minum-minuman keras yang membuatnya
mabuk lalu berbuat onar di masyarakat.
Dalam memberikan pelayanan publik
para pelayan publik harus memiliki ilmunya
bagaimana melaksanakan tugas sebagai
pelayan publik. Banyak sumber bacaan
sebagai sumber ilmu dan sebagai pedoman
dalam melaksanakan tugas. Namun
kenyataanya, mereka tidak begitu
termotivasi untuk belajar untuk
menunjukkan kinerja yang baik sehingga
memuaskan publik sebagai penerima
layanan. Karena mereka enggan belajar,
maka tidak heran jika beberapa pelayan
publik tidak mampu melaksanakan
tugasnya dengan baik, bahkan membuat
ketidaktenangan bagi masyarakat luas.
Malas belajar adalah melangkah menuju
kemunduran dan kegagalan.
Sekali seseorang diangkat sebagai
pelayan publik tidak berarti sudah berhasil
dalam mencapai cita-cita untuk bekerja
sebagai pelayan publik. Justeru sebagai
pelayan publik harus belajar secara terus-
menerus untuk terus meningkatkan
kinerjanya sebagai pelayan publik.
Kehidupan terus berubah yang cenderung
3
membawa lahirnya kebutuhan dan tuntutan
baru yang mensyaratkan dimilikinya
pengetahuan baru, sikap baru, dan
pengetahuan baru. Untukbisa beradaptasi
dengan perubahan itu maka pelayan publik
harus terus belajar meng-upgrade
kemampuannya.
PEMBAHASAN
Konsep Pelayanan Publik
Kata pelayanan merupakan istilah
yang lazim digunakan oleh masyarakat luas
dalam seluruh bidang pembangunan,
khususnya dalam sektor pemerintahan.
Kemudian kata pelayanan (atau kadang
disebut layanan) dipadukan dengan kata
publik atau masyarakat sehingga menjadi
pelayanan (atau) layanan publik atau
layanan masyarakat. Dalam sejarah
perjalanan administrasi publik, pelayanan
publik semula dipahami secara sederhana
sebagai pelayanan yang diselenggarakan
oleh pemerintah. Semua barang dan jasa
yang diselenggarakan pemerintah kemudian
disebut sebagai pelayanan publik
(Dwiyanto, 2010. 14). Pelayanan publik
dapat diartikan sebagai pemberian layanan
oleh pemerintah pada masyarakat yang
membutuhkan layanan dari pemerintah dan
sesuai dengan kepentingan masyarakat.
Dengan kata lain bahwa pelayanan publik
dapat diartikan sebagai pemenuhan
keinginan dan kebutuhan masyarakat oleh
penyelenggara negara (Sinambela dkk.,
2008:5). Selanjutnya Sinambela dkk.
(2008:5) menyatakan bahwa pelayanan
publik adalah sebagai setiap kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintah terhadap
sejumlah manusia yang memiliki setiap
kegiatan yang menguntungkan dalam suatu
kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan
kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat
pada suatu produk secara fisik. Menurut
Kepmenpan No.63/KEP/M.PAN/7/2003
tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan
Pelayanan Publik bahwa layanan publik
adalah segala kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan
publik sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan penerima pelayanan maupun
pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan (Sinambela, 2008:5).
Kemudian dalam UU RI Nomor 25 Tahun
2009 dikemukakan bahwa pelayanan publik
adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan
dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan bagi setiap warga
negara dan penduduk atas barang, jasa,
dan/atau pelayanan administratif yang
disediakan oleh penyelenggara pelayanan
publik. Dengan adanya transformasi peran
korporasi dan lembaga non-pemerintah
dalam layanan publik , maka banyak
koporasi dan lembaga non-pemerintah
terlibat dalam layanan barang dan jasa yang
menurut peraturan perundangan menjadi
kewajiban pemerintah untuk
mennyediakannya (Dwiyanto, 2010, 17).
Dengan adanya transformasi tersebut maka
membawa pergeseran konsep pelayanan
publik di mana pelayanan publik bukan
pelayanan yang dilaksanakan oleh
pemerintah semata, tetapi bisa dilaksanakan
oleh lembaga non-pemerintah.
Sebagaimana ditegaskan oleh Dwiyanto
(2010: 17) bahwa tidak semua lembaga
penyelenggara layanan publik adalah
instansi pemerintah. Lembaga non-
pemerintah dapat menjadi lembaga
penyelenggara pelayanan publik apabila
mereka berpartisipasi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.
Adapun pelayanan yang dibutuhkan
oleh masyarakat adalah menyangkut segala
kepentingan masyarakat atau dimensi
pembangunan. Pelayanan publik tidak harus
pemerintah yang melakukannya, tetapi juga
bisa jadi dilakukan oleh non-pemerintah,
seperti dikatakan oleh Sinambela (2008:14)
bahwa pelayanan publik adalah pengadaan
barang dan jasa publik, baik yang dilakukan
oleh pemerintah maupun non-pemerintah.
Konsep Sinambela ini lebih luas di mana
pelayan publik bukan terbatas pada
pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah,
tetapi juga oleh non-pemerintah (swasta
yang menjadi partner pemerintah).
Kemudian siapa yang disebut sebagai
pelayan publik. Lazimnya kalau kita
berbicara tentang istilah pelayan publik
maka menunjuk pada instansi pemerintah.
Di dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
4
diketengahkan ada istilah penyelenggara
pelayanan publik dan pelaksana pelayanan
publik. Pada Bab I, Pasal 1, Ayat 2 bahwa
“Penyelenggara pelayanan publik yang
selanjutnya disebut Penyelenggara adalah
setiap institusi penyelenggara negara,
korporasi, lembaga independen yang
dibentuk berdasarkan undangundang untuk
kegiatan pelayanan publik, dan badan
hukum lain yang dibentuk semata-mata
untuk kegiatan pelayanan publik.”
Sedangkan pada Ayat 5 disebutkan bahwa
“Pelaksana pelayanan publik yang
selanjutnya disebut Pelaksana adalah
pejabat, pegawai, petugas, dan setiap orang
yang bekerja di dalam organisasi
penyelenggara yang bertugas melaksanakan
tindakan atau serangkaian tindakan
pelayanan publik.” Pada intinya pelayan
publik adalah intituasi pemerintah , pejabat,
pegawai, petugas, dan setiap orang yang
bekerja melaksanakan pelayanan publik.
Termasuk institusi atau orang-orang non-
pemerintah (swasta ) yang menjadi partner
pemerintah yang memiliki kewajiban dan
tanggung jawab melaksanakan tugas
pelayanan publik.
Karakteristik Kepemerintahan yang
Baik
Karakteristik kepemerintahan yang
baik (good governance) telah dikemukakan
oleh banyak ahli yang didasarkan pada
pengetahuan dan pengalamannya masing-
masing. Salah satu karakteristik
kepemerintahan yang baik dikemukakan
oleh UNDP. Menurut UNDP (1997) dalam
Serdarmayanti (2004: 5) bahwa
karakteristik atau prinsip yang harus dianut
dan dikembangkan dalam praktek
penyelenggaraan kemerintahan yang baik,
meliputi: (1) partisipasi (participation):
Setiap orang atau warga masyarakat, baik
laki-laki maupun perempuan memiliki hak
suara yang sama dalam proses pengambilan
keputusan, baik secara langsung, maupun
melalui lembaga perwakilan, sesuai dengan
kepentingan dan aspirasinya masing-
masing; (2) aturan hukum (rule of law):
Kerangka aturan hukum dan perundang-
undangan harus berkeadilan, ditegakkan
dan dipatuhi secara utuh, terutama aturan
hukum tentang dan hak azazi manusia; (3)
transparansi (tranparency): Transparansi
harus dibangun dalam rangka kebebabasan
aliran informasi; (4) daya tanggap
(responsiveness): Setiap institusi dan
prosesnya harus diarahkan pada upaya
untuk melayani berbagai pihak yang
berkepentingan (stakeholders); (5)
berorientasi konsensus (concensus
orientation): Pemerintahan yang baik akan
bertindak sebagai penengah bagi berbagai
kepentingan yang berbeda untuk mencapai
konsensus atau kesempatan yang terbaik
bagi kepentingan masing-masing pihak, dan
jika dimungkinkan juga dapat diberlakukan
terhadap berbagai kebijakan dan prosedur
yang akan ditetapkan pemerintah; (6)
berkeadilan (equity): Pemerintahan yang
baik akan memberikan kesempatan yang
baik gterhadap laki-laki maupun perempuan
dalam upaya mereka untuk meningkatkan
dan memelihara kualitas hidupnya; (7)
efektivitas dan efisiensi (effectiveness and
efficiency): Setiap proses kegiatan dan
kelembagaan diarahkan untuk
menghasilkan sesuatu yang benar-benar
sesuai dengann kebutuhan melalui
pemanfaatan sebaik-baiknya berbagai
sumber-sumber yang tersedia; (8)
akuntabilitas (accountability): Para
pengambil keputusan dalam organisasi
sektor publik, swasta, dan masyarakat
madani memiliki pertanggungjawaban
kepada publik, sebagai halnya (masyarakat
umum), sebagaimana halnya kepada para
pemilik (stakeholders); (9) visi strategis
(strategic vision): Para pemimpin dan
masyarakat memiliki perspektif yang luas
dan jangka panjang tentang
penyelenggaraan pemerintahan yang baik
dan pembangunan manusia, bersamaan
dengan dirasakannya kebutuhan untuk
pembangunan tersebut.
Ide-ide Pokok New Public Service
Ide New Public Service ini sengaja
diangkat karena memberikan inspirasi bagi
upaya pelaksanaan pelayanan publik yang
baik yang potensial bagi upaya
mewujudkan good governance. Dalam
bukunya yang berjudul New Public Service:
5
Serving Rather than Steering, Robert B.
Denhardt & Janet Vinzant Denhardt
(Nawawi, 2010:34-35 dan Terry, 2000:549)
mengetengahkan ide-ide pokok tentang
New Public Service sebagai berikut: (1)
melayani warga negara, bukan pelanggan
(serve the citizens not customers).
Kepentingan publik adalah hasil daripada
dialog tentang nilai-nilai bersama daripada
kumpulan kepentingan pribadi individual.
Oleh karena itu para pelayan publik tidak
hanya merespon tuntutan para “pelanggan”
tetapi fokus pada membina hubungan
kepercayaan dan kerjasama dengan dan
antar warga negara; (2) kepentingan publik
adalah tujuan, bukan produk (the public
interest is the aim, not the by-product). Para
administrator publik harus berkontribusi
untuk membina gagasan kolektif dan
bersama tentang kepentingan publik.
Tujuannya adalah bukan untuk menemukan
solusi cepat yang dikendalikan oleh pilihan-
pilihan individual. Lebih dari itu adalah
kreasi kepentingan bersama dan tanggung
jawab bersama; (3) mengutamakan
warganegara dan layanan publik daripada
kewiraswastaan (value citizenship and
public service above entrepreneurship).
Kepentingan publik dikedepankan dengan
lebih baik oleh para pelayan publik dan
warga negara yang komit untuk membuat
kontribusi yang bermanfaat bagi
masyarakat daripada manajer pengusaha
yang bertindak seolah-olah uang publik
adalah milik mereka sendiri; (4) berpikir
secara strategis, bertindak secara
demokratis (think strategically, act
democratically). Kebijakan dan program
untuk memenuhi kebutuhan publik dapat
dicapai secara paling efektif dan
bertanggung jawab melalui usaha bersama
dan proses kerjasama; (5) akuntabilitas
adalah tidaklah mudah (accountability isn‟t
simple). Para pelayanan publik harus
perhatian pada orang banyak daripada
pasar; mereka harus juga mengikuti
peraturan perundangan dan konstitusi, nilai-
nilai masyarakat, norma politik, standar
profesional, dan kepentingan warga negara;
(6) melayani daripada mengendalikan
(serve rather than steers). Peranan
pelayanan publik yang semakin meningkat
untuk membantu warga negara
mengartikulasi dan memenuhi kepentingan-
kepentingan bersama mereka daripada
mengarah untuk mengawasi atau
mengendalikan masyarakat dalam arah-arah
baru; (7) menghargai masyarakat, bukan
hanya produktivitas (value people, not just
productivity). Organisasi publik dan
jaringan kerja di mana mereka
berpartisipasi lebih mungkin untuk berhasil
dalam jangka panjang apabila mereka
beroperasi melalui proses kolaborasi dan
kepemimpinan bersama berbasis pada
penghargaan terhadap semua warga negara.
Ide New Public Service Robert B.
Denhardt & Janet Vinzant Denhardt
tersebut sebenarnya bisa dijadikan indikator
bagi pelayan publik yang baik. Artinya
bahwa bahwa pelayan publik yang baik
apabila mereka melaksanakan pelayanan
publik dengan menerapkan ide-ide pokok
tersebut.
Pelayan Publik sebagai Guru yang Baik
Pelayan publik yang baik memiliki
karakteristik lain sebagai guru yang baik.
Artinya bahwa seorang pelayan publik
selain memiliki karakteristik spesifik sesuai
tugas dan tanggungjawabnya mereka perlu
menginternalisasikan sifat-sifat guru yang
baik sehingga pelayanan publik terlaksana
dengan secara efisien dan efektif.
Keberhasilan pelayanan publik adalah
ditandai oleh kepuasan publik penerima
pelayanan. Menurut Amin Ibrahim
(Ibrahim, 2008:71) bahwa kepuasan
pelanggan dalam konteks pelayanan publik
yang prima antara lain meliputi: 1) Selalu
meningkatkan kualitas pelayanan kepada
masyarakat dengan memperhatikan aspek-
aspek: komunikasi yang baik, suasana
psikologis dan perilaku melayani. 2) Selalu
berupaya menciptakan citra positif dimata
masyarakat yang dilayani. 3) Membuat
pihak yang dilayani merasa diperhatikan. 4)
Menyeleraskan antara apa yang dikatakan
dengan cara mengatakanya dan dengan
perbuatan yang nyata. 5) Mengenal dengan
baik pihak-pihak yang dilayani.
Cara-cara dalam pelaksanaan
pelayanan publik hendaknya
memperhatikan nilai dan etika karena baik
6
pelayan publik dan masyarakat sama-sama
sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang
memiliki harga diri dan perasaan yang
harus dihormati dan dimuliakan apapun
status sosial manusia. Pelayan publik,
dalam hal ini aparatur pemerintah maupun
para pelaku korporasi atau lembaga-
lembaga non-pemerintah, adalah juga guru
atau pendidik yang baik.
Konsep guru yang baik dikutip dari
ide seorang ahli yang bernama Paul
Ramsden. Beberapa karakteristik guru yang
baik (great teacher) dijadikan suatu
kerangka konseptual untuk menggambarkan
pelayan publik sebagai guru yang baik.
Beberapa karakteristik pelayan publik
sebagai guru yang baik adalah sebagai
berikut: Pertama, guru yang baik adalah
juga murid yang baik. Artinya bahwa
pelayan publik itu harus terus belajar seperti
murid yang belajar mencari pengetahuan
dan pengalaman baru dalam rangka
meningkatkan kualitas kinerjanya dalam
memberikan layanan publik. Pelayan publik
bukan hanya belajar dari bahan bacaan
berupa buku dan sejenisnya, melainkan
mau belajar melalui mendengarkan orang-
orang yang menerima layanan publik.
Selain itu juga pelayan publik berkenan
untuk berbagi pengetahuan dan kemampuan
dengan sesama kolega pelayan publik
melalui pertemuan berkala atau insidental
dengan bentuk kegiatan dialog atau diskusi.
Mengapa pelayan publik harus terus
belajar? Dalam konsep pendidikan seumur
hidup bahwa belajar itu berlangsung
seumur hidup manusia. Konsep ini
beralasan karena sebagaimana kita pahamai
bersama bahwa kehidupan ini terus berubah
dan semakin kompleks yang tidak jarang
membawa dampak pada munculnya
persoalan-persoalan baru di masyarakat
yang tidak pernah dialami sebelumnya.
Pelayan publik harus mau belajar dari
pengalaman masa lalunya sendiri selama
melaksanakan tugas memberikan layanan
pada publik, sehingga mereka mampu
mengubah cara-cara memberikan layanan
jika sekiranya ternyata cara-cara tempo
dulu tidak baik. Selain itu mereka mau
meneruskan dan meningkatkan cara-cara
melayani publik yang sekiranya publik
merasa puas dengan layanan yang pernah
diberikan.
Kedua, pelayan publik juga berkenan
untuk belajar dari teman koleganya tentang
berbagai hal yang berkenaan dengan tugas
utamanya melayani publik. Pelayan publik
yang baik tidak memandang rendah pada
sesama koleganya walaupun mungkin
karena perbedaan posisi. Setiap orang
memili pengalaman tersendiri yang
mungkin berbeda satu sama lain, maka
dengan cara tukar pengalaman dan
pemikiran akan mampu meningkatkan
kualitas kinerja pelayan publik. Dalam
kenyataan tidak jarang dijumpai pelayan
publik tidak memiliki pengetahuan yang
cukup tentang tugasnya, sehingga kadang-
kadang bingung pada saat memberikan
layanan publik.Selain belar dari kolega
sendiri, pelayan publik yang baik mau
belajar dari publik yang menerima layanan
dengan cara tukar pikiran atau melalui
permintaan respon terhadap publik tentang
layanan yang diberikan selama ini.
Ketiga, pelayan publik yang baik
menunjukkan antusias dalam melayani
publik dan berkenan untuk menyampaikan
pengetahuan dan pengalamannya pada
publik, sehingga kedua belah pihak
memiliki pemahaman yang sama tentang
tugas dan kewajiban yang harus dilakukan
oleh keduanya. Pelayan publik yang baik
menunjukkan semangat dan hangat dalam
melayani publik sehingga mereka merasa
senang dan puas tehradap layanan yang
diberikan baik tentang ketepatan layanan
maupun cara memberikan layanan. Dengan
menunjukkan keantusiasan dalam melayani
publik maka akan memungkinkan
munculnya rasa hormat publik terhadap
mereka. Lain halnya jika pelayan publik
bersikap acuh tak acuh dalam melayani
publik yang membuatnya publik kecewa.
Rasa kecewa ini bisa mengubah sikap
publik yang semula berharap menerima
layanan dengan baik ternyata dilayani
dengan kurang perhatian maka mereka akan
menilai bahwa pelayan publik tidak
memperhatikannya. Di sini yang perlu
dipahami bahwa semua manusia dilahirkan
dengan potensi perasaan yang mana
perasaan seseorang bisa berubah-ubah
7
tergantung bagaimana orang lain
menyikapinya atau memperlakukannya.
Siapapun manusia tidak akan merasa puas
jika disikapi secara acuh tak acuh, dan tidak
ada manusia yang tidaki merasa senang jika
dilayani dengan antusias. Sikap antusias
dalam melayani publik ini sangat
dibutuhkan untuk meningkatkan partisipasi
publik dalam setiap aktivitas pembangunan
yang menjadi program pemerintah.
Keempat, pelayanan publik yang baik
adalah tahu bagaimana cara memodifikasi
strategi-strategi pelayanan publik dalam
menghadapi publik sesuai dengan
karakteristik gtersendiri (spesifik), pokok
persoalan, dan lingkungan bertugas.
Pelayan publik yang baik senangtiasa
merekam pengalaman-pengalaman dalam
melaksanakan tugasnya. Mereka mau
membaca atau mengingat pengalaman-
pengalaman dalam bertugas baik gagal atau
berhasil dalam memberikan layanan publik.
Jika ada sebuah pengalaman buruk, yakni
jelek atau gagal dalam memberikan layanan
maka mereka mau belajar untuk melakukan
perbaikan strategi yang lebih efektif dalam
memberikan layanan. Sebuah strategi
layanan dalam waktu dan lokasi yang
berbeda cenderung menuntut strategi
layanan yang berbeda pula. Sama halnya
dengan menghadapi murid, mengajar murid
di wilayah yang berbeda kadang-kadang
memerlukan strategi yang berbeda karena
masing-masing wilayah karakteristik
penduduknya berbeda, termasuk budaya
yang berkembang di daerah setempat.
Pembelajaran pada suatu waktu tidak bisa
dilaksanakan sebagaimana pada waktu-
waktu sebelumnya karena musim yang
berbeda. Contoh, kegiatan sekolah pada
musim panen berbeda dengan pada masa
menunggu panen. Pada masa tunggu
mereka menghadapi masa pengangguran
atau setengah nganggur sehingga waktunya
lebih leluasa untuk belajar. Tetapi pada
musim panen biasanya sebagian besar
murid dari keluarga miskin pilih bekerja
daripada sekolah. Sama halnya jika
pemerintah ingin memberikan pelayanan
publik seperti memberikan pelatihan
keterampilan pada warga miskin.
Memberikan layanan pada masyarakat
miskin di latar yang berbeda memerlukan
strategi layanan yang berbeda pula.
Termasuk penentuan waktu kapan
sebaiknya layanan pelatihan itu diberikan.
Dengan demikian pelayan publik yang baik
ditunut untuk senantiasa melakukan
modifikasi strategi layanan guna lebih
mengoptimalkan pelaksanaan pemberian
layanan publik.
Kelima, pelayan publik yang baik
terdorong untuk belajar memahami dan
perhatian untuk mengembangkan
keterampilan berpikir kritis, keterampilan
memecahkan masalah, dan perilaku
pendekatan masalah. Pelanan publik tidak
bekerja seperti robot yang bekerja secara
mekanis sesuai dengan petunjuk dalam
pedoman kerja, melainkan harus
menggunakan kemampuan berpikir
kritisnya sehingga bisa memberikan
layanan terbaiknya pada publik. Pelayan
publik yang baik senantiasa berlatih
menggunakan pikiran kritisnya untuk
memecahkan persoalan-persoalan tugas.
Melaksanakan tugas dengan cara-cara yang
yang tidak baik dan tidak cocok sebaiknya
ditinggalkan. Hal ini karena keadaan sudah
berubah dan persoalan publik semakin
kompleks dan rumit sehingga menuntut
para pelayan publik untuk mengembangkan
cara berpikir yang kritis. Banyak cara yang
bisa dilakukan oleh pelayan publik untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kritis
dan memecahkan persoalan. Pelayan publik
hendaknya banyak berinteraksi dengan
orang-rang seprofesi yang terkenal dan
berhasil dalam melaksanakan tugas
pelayanan publik. Berinteraksi secara
intensif menjadi sangat penting sehingga
terjadi transfer kemampuan cara berpikir
kritis. Berlatih memecahkan persoalan
dengan kolega merupakan salah satu
alternatif yang disarankan. Dengan sering
berlatih memecahkan persoalan maka akan
terjadi suatu kepekaan dan kecepatan dalam
berpikir, sehingga jika suatu saat
dihadapkan dengan suatu persoalan dalam
menjalankan tugas mereka akan secara
cepat dapat mengatasinya dengan tepat.
Kalau suatu persoalan tidak teratasi dengan
cepat dan tepat maka persoalan yang
dihadapi bisa semakin memburuk dan bisa
8
menimbulkan persoalan-persoalan lain atau
persoalan baru yang sangat tidak
diharapkan. Katakanlah, bagaimana
pemeringtah memberikan layanan berupa
pemberian pelatihan keterampilan pada
penduduk miskin. Bagi pelayan publik yang
tidak berpikir kritis biasanya tidak pernah
berpikir bahwa identifikasi kebutuhan dan
sumber potensi dipandang tidak penting.
Yang penting bagi mereka memberikan
pelayanan pelatihan dan program selesai
dilaksanakan, walaupun tidak membawa
hasil sebagaimana diharapkan. Tidak
sedikit program pemerintah yang gagal
karena para pelayan publik tidak mau
beripikir kritis atau memang tidak mau
beripikir lebih jauh tentang bagaimana cara
memberikan pelayanan publik yang tepat.
Begitu ada program layanan pelatihan
keterampilan misalnya, langsung ditentukan
waktu dan tempat pelaksanaan program,
tanpa melalui suatu tahapan yang seksama,
khususnya identifikasi kebutuhan
masyarakat miskin dan potensi pendukung
keberhasilan program. Mengapa terjadi?
Karena mereka memang tidak mau atau
tidak mampu berpikir kritis dan tidak
terbiasa belajar memecahkan persoalan
secara disiplin.
Keenam, pelayan publik yang baik
adalah menunjukkan kemampuan untuk
mentransformasikan dan mengembangkan
pngetahuan daripada hanya
mentransformasikannya apa adanya.
Mereka menunjukkan pengetahuan tentang
bidang tugasnya, pemahaman tentang
publik yang dilayani, dan pengetahuan
tentang teknik-teknik berkomunikasi yang
efektif untuk mentransformasikan
pengetahuan tentang tugasnya ke dalam
istilah-istilah yang mudah dipahami oleh
publik. Pelayan publik yang baik adalah
paham betul tentang tugas yang
diembannya, menggunakan metode-metode
penilaian yang cocok, dan memberikan
balikan yang berkualitas tinggi pada publik
yang menerima layanan. Pelayan publik
yang baik senantiasa berusaha untuk
meningkatkan kemampuan berkomunikasi
dengan publik sehingga setiap pesan atau
informasi yang disampaikan pada publik
bisa diterima dengan pemahaman yang
sama dengan maksud penyampaian
pesan/informasi tersebut. Kadang-kadang
ada kesalahan persepsi atau pemahaman
publik terhadap apa yang disampaikan oleh
pelayan publik. Hal ini semata karena
mereka gtidak memiliki kemampuan
berkomunikasi secara memadai. Pelayan
publik yang baik paham betul tugas yang
diembannya dan mampu
mengkomunikasikannya pada publik
sehingga publik tahu dan paham tentang
tugas yang harus ditunjukkan oleh pelayan
publik. Perbedaan pemahaman atas
pesan/informasi yang disampaikan oleh
pelayan publik pada publik bisa juga
disebabkan karena kemampuan
berkomunikasi pelayan publik yang terbatas
atau kemampuan menerima pesan pada
pihak publik yang lemah. Perbedaan
persepsi bisa juga disebabkan karena publik
telah memiliki pengalaman buruk terhadap
layanan publik sehingga walau sudah ada
perubahan tetap disikap dan direspon secara
negatif. Apapun yang terjadi pelayan
publik harus tetap pada kewajiban yang
dipikulkan di pundaknya untuk
memberikan layanan publik yang prima.
Mereka harus belajar untuk memahami
publik yang dilayani dan belajar bagaimana
mampu mengkomunikasi suatu persoalan
secara jelas dan mudah diterima. Proses
komunikasi dengan penerima pesan
(publik) dengan latar budaya dan
pendidikan yang berbeda berpengaruh pada
tingkat keberhasilan proses komunikasi.
Berkomunikasi dengan publik yang latar
belakang pendidikan buta hurup beda
dengan mereka yang lulusan SMA, dan
beda pula dengan mereka yang sarjana.
Berkomunikasi dengan masyarakat di
daerah pegunungan atau daerah pedalaman
berbeda dengan masyarakat yang tinggal
diperkotaan. Semua hendaknya dihadapi
dengan cara komunikasi yang cocok dengan
perbedaan latar tersebut sehingga tidak
terjadi kesalahan memaknakan pada setiap
pesan/informasi yang disampaikan.
Perbedaan masud yang disebabkan
lemahnya teknik berkomunikasi dari
pelayan publik dengan publik yang dilayani
akan menimbulkan kekacauan dalam
pikiran dan ketidakmenentuan dalam
9
mengambil keputusan pada publik tentang
apa yang seharusnya sampai pada
pemahaman mereka. Akibatnya sering
terjadi konflik antara pelayan publik dengan
publik yang dilayani.
Ketujuah, pelayan publik yang baik
menunjukkan sikap respek terhadap publik
penerima layanan. Mereka tertarik dalam
pengembangan profesi dan personalnya,
mendorong kemandiriannya, dan
mempertahankan harapan yang tinggi dari
mereka.
Pelayan publik dan publik yang
termasuk warga miskin sekalipun adalah
sama-sama manusia yang dilahirkan dengan
harga diri yang harus dimulyakan. Siapa
yang lebih mulian antara pelayan publik
dengan publik? Apakah pelayan publik
(pemerintah) lebih mulia daripada
masyarakat miskin yang menanti uluran
tangan (kebijakan) pemerintah sehingga
mereka mampu menyambung hidup?
Pengemis adalah pengemis, orang miskian
adalah orang miskin, namun demikian
mereka tetap memiliki perasaan dan harga
diri yang juga secara manusiawi harus
dimuliakan. Pelayan publik yang baik
senantiasa berusaha untuk menghargai
mereka walau status sosialnya jauh di
bawah pelayan publik.
Gejala di lapangan tidak jarang sikap
dan prilaku pelayan publik sangat arogan
yang sering memberikan layanan dengan
cara-cara yang keras dan congkak, sehingga
publik merasa tidak aman dan damai dalam
hatinya. Apalagi jika kedapatan publik
melakukan kesalahan sedikit saja akan
menjadi besar dan memang dibesar-
besarkan bukan untuk membuat mereka jera
atau tidak mengulangi kesalahannya,
melainkan untukmemperoleh
keberuntungan di balik perbuatan salah
publik. Pencuri ayam bisa diperlakukan
dengan kejam, sedang jika sesama kolega
melakukan kesalahan dilayani dengan baik.
Bila orang biasa berbuat salah adalah
masalah besar, jika sesama kolega
melakukan kesalahan dianggap hal yang
wajar sehingga seolah bebas berbuat
apapun terhadap publik dengan dalih
melaksanakan tugas dan ingin emmbuat
keamanan di masyarakat. Merke berkelit
dengan kepribadiannya yang buruk
sehingga tidak memiliki etika yang baik
dalam melayani publik.
Pelayan publik yang baik senangtiasa
berusaha tetap menghargaan publik dan
memperlakukannya sesuai dengan aturan
yang berlaku, bukan dengan caranya sendiri
di luar aturan yang berlaku. Pelayan publik
yang baik tidak bersikap kasar pada publik,
melainkan senantiasa menunjukkan sikap
ramah dan hormat pada mereka. Dengan
cara yang demikian bisa menjadi suatu
pengalaman dan motivasi yang berharga
bagi publik sehingga mereka mau terus
berpartisipasi dalam pembangunan.
Penutup
Pelayan publik atau pemerintah
adalah sebagai pemberi layanan pada publik
atau masyarakat memiliki tanggung jawab
atau kewajiban untuk melaksanakan tugas
dengan benar dan baik sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Melaksanakan
tugas dengan benar, artinya sesuai dengan
aturan yang berlaku, dan bahkan lebih dari
itu di mana pelayan publik harus belajar
ilmu bagaimana cara melaksanakan tugas
dengan baik sehingga masyarakat dapat
menerima layanannya dengan memuaskan.
Menjadi pelayan publik yang baik
menjadi harapan masyarakat. Pelayan
publik yang baik adalah menunjukkan sikap
dan perilaku seperti guru yang baik, yang
antara lain adalah menguasai bidang
kerjanya dan senantiasa belajar untuk lebih
meningkatkan kualitas kinerjanya, bersedia
untuk belajar dari kolega dan
mendengarkan opini dari masyarakat,
melayani masyarakat dengan antusias,
memperbarui strategi pelayanan, dan
menghargai masyarakat sehingga
masyarakat juga menghargainya. Sikap
yang demikian akan memungkinkan
tumbuh dan berkembangkan saling percaya
dan saling menghargai antara pemerintah
dan masyarakat, sehingga pada gilirannya
tujuan pemerintah dapat tercapai
sebagaimana diharapkan.
10
DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto. 2010. Manajemen Pelayanan
Publik: Peduli, Inklusi, dan
Kolaboratir. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Ibrahim, Amin. 2008. Teori Dan Konsep
Pelayanan Publik Serta
Implementasinya. Bandung:
Mandar Maju.
Kepmenpan No.63/KEP/M.PAN/7/2003
tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan
Publik.
Nawawi, Ismail. 2009b. Pembangunan dan
Problema Masyarakat. Kajian
konsep, Model, Teori dan Aspek
Ekonomi dan sosiologi. Surabaya:
CV. Putera Media Nusantara.
Sedarmayanti. 2004. Good Governance
(Kepemerintahan yang Baik. Bagian
kedua. Bandung: Mandar Maju.
Sinambela dkk. 2008. Reformasi Pelayanan
Publik. Teori, Kebijakan, dan
Implementasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Terry, Larry D.. 2000. Public
Administration Review.
November/December, Volume 60,
Number 6.
11
BICAMERALISME SISTEM PERWAKILAN DI INDONESIA
Hayat
Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Administrasi-Universitas Islam Malang
email: [email protected]
Abstrak
Sistem perwakilan Indonesia merupakan sebuah konsep pemikiran representasi politik
dari rakyat sebagai upaya menyelaraskan keinginan dan harapan bagi masyarakat untuk
kehidupan yang lebih sejahtera. Kedudukan MPR sebagai majelis permusyawaratan rakyat
mempunyai implikasi dalam menentukan presiden dan wakil presiden dan memberhentikan
serta menggantikan ketika berhalangan tetap atau mengundurkan diri dan menyosialisasikan
empat pilar kebangsaan dan kenegaraan yaitu pancasila, UUD 1945, Bhinneka Ika dan NKRI
dalam rangka meperkuat nilai-nilai Negara kesatuan republic Indonesia secara menyeluruh.
disamping itu, MPR sebagai lembaga perwakilan Negara yang terdiri dari anggota DPR dan
DPD yang dipilih lansung oleh rakyat, tentunya mempunyai komitmen dalam menentukan
arah dan stabilitas politik rakyat untuk berkehidupan yang lebih baik. DPR merupakan
dewan perwakilan rakyat yang dipilih secara langsung melalui pemilihan umum dengan
system keterwakilan dari tingkat daerah kabupaten/kota sebagai representasi untuk
penyampaian keluhan dan masalah yang dihadapi oleh rakyat. DPR sebagai penyambung
lidah rakyat yang direpresentasikan untuk diteruskan kepada ekskutif sebagai pelaksana
kebijakan pemerintahan. Rakyat yang mempunyai sebuah kedaulatan pemerintahan dalam
konteks kenegaraan, maka sudah sepantasnya Dewan perwakilan rakyat sebagai wakilnya
menjadikan prioritas utama dalam kinerja dan pengawasan yang dijalani. DPR mempunyai
sebuah ruang legislasi sebagai perancang perundang-undangan untuk membuat produk
hokum agar dijalankan dan diimplementasikan oleh pemerintah. DPR juga mempunyai fungsi
budgeting untuk penganggaran dari setiap kebijakan yang akan dilakukan terkait dapur
rumah tangga kepemerintahan secara akuntabel dan seimbang. Sistem keterwakilan di
Indonesia ditambah dengan adanya DPD sebagai dewan perwakilan daerah dengan
kelahirannya setelah amademen UUD 1945 dengan mempunyai fungsi dan kewenangan yaitu
representasi dari daerah sebagai bagian dari proses penyaluran aspirasi yang mewakili
daerah dalam menyikapi persoalan-persoalan didaerah yang melingkupi kompleksitas
kedaerahan untuk menjadikan keseimbangan antara daerah yang maju dan daerah yang
berkembang serta menglokalisir dan mendokumentasikan partisipasi daerah dalam kemajuan
daerah secara bersama. dalam hal ini, DPD hanya mempunyai hak merekomendasikan atas
temuan-temuannya di daerah dan disampaikan kepada DPR terkait dengan rancangan
perundang-undangan untuk ditindaklanjuti dan diputuskan oleh DPR sebagai Undang-
undang. namun saat ini, DPD mempunyai hak menginisiasi rancangan peraturan perundang-
undangan untuk diajukan dan dibahas bersama pemerintah dan DPR dalam pembuatan
perundang-undangan, sehingga perwakilan DPD semakin menguatkan keterwakilan system
pemerintahan Indonesia dalam hal bikameralisme system perwakilan.
kata kunci: bicameralisme, sistem perwakilan
12
Abstract
Indonesia is a representative system of thought the concept of political representation of
the people in an effort to align the desire and hope for the community to a more prosperous
life . MPR as a consultative assembly of the people has implications in determining the
president and vice president and to dismiss and replace when remains incapacitated or
resigns and socialize the four pillars of nationhood and statehood , namely Pancasila , the
1945 Constitution , Unity in Diversity and Homeland in order meperkuat the values of the
State unitary republic Indonesia as a whole . besides that , the State Assembly as a
representative body composed of members of DPR and DPD are chosen directly by the
people , of course, have a commitment in determining the direction and stability for the
people's political life which is better. Parliament is a parliament directly elected by universal
suffrage with representation system from the local district / city as a representation for the
submission of complaints and problems faced by the people . Parliament as a mouthpiece for
the people who represented to be forwarded to the executive as executors of government
policy . People have a rule in the context of state sovereignty , it is appropriate that the
Council of Representatives as a representative to make a priority in the performance and
monitoring undertaken. Parliament has legislative chamber as a designer legislation to make
legal products that are run and implemented by the government . Parliament also has the
function of any budgeting budgeting for planned policies associated household kitchen
accountable governance and balanced . Representation system in Indonesia coupled with the
DPD as a regional council with his birth after the 1945 amendment to have the functions and
authority of the representation of the area as part of the distribution that represents the
aspirations of the region in addressing the issues surrounding the complexity of regional
areas to make a balance between developed regions and developing regions and
menglokalisir and documenting the progress of local participation in the joint area . in this
case , DPD has the right to recommend the only findings in the area and presented to
Parliament relating to draft legislation to be followed and it was decided by the House of
Representatives as the Law . but this time , DPD has the right to initiate draft legislation to be
presented and discussed with the government and Parliament in making laws , thus further
strengthen the DPD representative system of government representation Indonesia in terms of
bicameralism representation system .
keywords : bicameralisme , representative system
PENDAHULUAN
Undang-Undang Dasar (UUD)
Negara Republik Indonesia (NKRI) tahun
1945 mengamanatkan bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia menganut
prinsip kedaulatan rakyat yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan. Makna
kedaulatan rakyat menjadi tolak ukur
keberhasilan sebuah tatanan pemerintahan
yang mewakili seluruh aspirasi rakyat
secara utuh dengan mencerminkan nilai-
nilai demokrasi secara objektif maupun
subjektifitasnya untuk menjamin
keberlangsungan suatu proses pembelajaran
bagi seluruh lapisan masyarakat.
Perwakilan rakyat dalam hal ini merupakan
suatu representasi rakyat kepada wakilnya
di dewan perwakilan rakyat, baik daerah
maupun pusat untuk menyambungkan
suaranya kepada ekskutif sebagai
pemangku kebijakan melalui perantara DPR
sebagai tugas pokok dan fungsinya sebagai
penyeleras keinginan rakyat dengan
keinginan pemerintah. mewakili, artinya
menjadi bagian terpenting terhadap yang
diwakili untuk dilaksanakan dan diserap
segala kebutuhannya dalam rangka
membentuk karakter masyarakat yang etis
menuju kehidupan yang lebih baik bagi
seluruh rakyat Indonesia. Keterwakilan
tersebut telah ditopang oleh adanya suatu
badan perwakilan, yakni Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan
13
Perwakilan Rakyat (DPR) baik tingkat
pusat sampai daearah yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baik
provinsi maupun kabupaten.
Sementara itu, sejak amandemen
atau perubahan ketiga UUD 1945 yang
dihasilkan melalui Pemilihan Umum
(Pemilu) 2004 menghasilkan suatu
perwakilan baru yaitu dewan perwakilan
rakyat daerah atau yang disingkat dengan
DPD RI yang menjadi perwakilan daerah
dalam memberikan masukan terhadap
pemerintah pusat atau sebagai representasi
masayarakat daerah untuk melaksanakan
tugas dan fungsinya sebagai sarana
mengimplementasikan kebutuahan dan
keberlanjutan daerah secara arif dan
berwibawa dalam rangka mensejahterakan
daerah dan memperkuat NKRI secara utuh.
Sedangkan MPR bukan lagi sebagai
pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat
bersama lembaga Negara lainnya. karena
MPR merupakan gabungan dari DPR dan
DPD yang dipilih melalui pemilu.dari
pelbagai penafsiran, bahwa DPR RI
merupakan suatu perwakilan yang mewakili
rakyat secara menyeluruh dan DPD RI
sebagai representasi perwakilan bagi
wilayahnya. walaupun pada prinsipnya
mempunyai tugas pokok, fungsi, dan
wewenang yang sama, namun dalam
prakteknya DPR RI lebih dominan dalam
aplikasinya menjalankan tupoksinya
sebagai representasi penduduk, sementara
DPD RI hanyalah sebagai penyelaras dan
penyeimbang dari kinerja DPR bahkan bias
dikatakan keberadaan DPD sama halnya
dengan “adanya sesuatu tapi sesuatu itu
tidak pernah ada”. Hal itu dijewantahkan
oleh UUD NRI 1945 dan Undang-Undang
Nomor 22 tahun 2003 tentang susunan dan
kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
PEMBAHASAN
Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR)
Sebelum amandemen UUD 1945,
menurut risalah BPUPKI dan PPKI telah
disepakati bahwa MPR merupakan temapt
bagi bersatunya perwakilan politik rakyta,
perwakilan utusan daerah dan perwakilan
utusan golongan sebagai pelaksana
sepenuhnya kedaulatan rakyat (Anwar C.
2:2013). Kedaulatan pemerintah berada
ditangan rakyat, sementara MPR hanya
merupakan representasi kedaulatan rakyat
itu sendiri karena MPR terdiri dari anggota
DPR dan anggota DPD yang dipilih secara
langsung oleh rakyat untuk menjadi
perwakilan pemangku kedaulatan rakyat
melalui pemilihn umum. Dalam perubahan
UUD 1945 pasal 2 ayat (1) menjelaskan
bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat
terdiri atas anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan
Daerah yang dipilih melalui pemilihan
umum dan diatur lebih lanjut dengan
undang-undang. Hal ini tentu mempnyai
sebuah spectrum tersendiri atas perubahan
keanggotaan MPR, yaitu dimaksudkan
untuk mengoptimalkan pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang seluruh anggota
MPR dipilih langsung oleh rakyat melalui
pemilu dan untuk meningkatkan kualitas
legitimasi MPR. Dengan begitu maka
demokrasi perwakilan yang dicita-citakan
menjadi lebih berkualitas dan sesuai dengan
representation by election.
Laica Marzuki, 2004, dalam
Anwar C. (2013), menyatakan bahwa MPR
adalah mandataris rakyat, bukan penerima
delegasi, selaku mandataris maka tindakan
yang dilakukannya adalah untuk dan atas
nama rakyat karena
pertanggungjawabannya langsung kepada
rakyat. Pasal 3 jo pasal 8 UUD 1945
menyatakan bahwa MPR mempunyai
kewenang antara lain: mengubah dan
menetapkan UUD; memberhentikan
presiden dan/atau wakil presiden dalam
masa jabatannya menurut UUD; memilih
presiden dan/atau wakil presiden untuk
mengisi kekosongan dalam jabatan presiden
dan/atau wakil presiden menurut UUD; dan
mengadakan siding MPR untuk pelantikan
dan pengucapan sumpah/janji jabatan
presiden dan/wakil presiden. dalam pasal 2
ayat (1) UUD 1945, keanggotaan dalam
MPR terdiri dari tiga pilar perwakilan yaitu:
pertama, perwakilan politik (political
representation), yaitu para anggota DPR
yang dipilih dalam pemilihan umum, yang
pada masa orde baru hanya mendapatkan
jatah 40 % dari total keseluruh anggota
14
MPR yang berjumlah total 1000 orang;
kedua, perwakilan fungsional (functional
representation), yang terdiri dari para
utusan golongan, perwakilan golongan ini
adalah ABRI yang waktu itu gabungan
antara TNI dan POLRI yang notabene
dipilih langsung oleh presiden untuk
mengisi jabatan MPR, yaitu 100 orang;
ketiga, perwakilan kedaerahan (regional
representation) yaitu para utusan daerah.
Utusan daerah dipilh oleh DPRD provinsi
yang mempunyai hubungan erat dengan
pemerintahan yaitu terdiri dari pangdam
dan tokoh masyarakat yang sudah
ditentukan oleh pemerintah daerah melalui
intervensi pemerintah pusat. Oleh karena
itu, dari berbagai utusan terhadap
perwakilan rakyat selama orde baru, pasal 2
ayat (1) tidak sejalan dengan realitas
kehidupna perwakilan. Karena secara nyata
UUD 1945 menyatakan bahwa anggota
MPR terdiri dari anggota DPR yang dipilih
langsung melalui pemilihan umum dan
ditambah oleh utusan golongan dan daerah.
maklumatnya adalah seharusnya anggota
MPR itu didominasi oleh anggota DPR
yang sejatinya menjadi perwakilan rakyat.
Kedudukan, tugas dan wewenang
MPR setelam perubahan merupakan sebuah
lembaga permusyawaratan rakyat yang
berkedudukan sebagai lembaga Negara
yang mempunyai tugas dan wewenang
antara lain: (1) mengubah dan menetapkan
Undang-Undang Dasar; (2) melantik
presiden dan wakil presiden; (3)
memutuskan usul DPR berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi untuk
memberhentikan Presiden dan/atau wakil
presiden; (4) melantik wakil presiden
menjadi presiden apabila presiden mangkat,
berhenti, atau diberhentikan, atau tidak
dapat melaksanakan kewajibannya dalam
masa jabatannya; (5) memilih dan melantik
wakil presiden dari dua calon yang diajukan
presiden apabila terjadi kekosongan jabatan
wakil presiden sealmbat-lambatnya dalam
waktu enam puluh hari; (6) memilih dan
melantik presiden dan wakil presiden
apabila keduanya berhenti secara
bersamaan dalam masa jabatnnya dari dua
paket calon presiden dan wakil presiden
yang diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik yang paket calon
presiden dan wakil presidenya meraih suara
terbanyak pertama dan kedua dalam
pemilihan umum sebelumnya sampai habis
masa jabatannya selambat-lambatnya dalam
waktu tiga puluh hari; (7) menetapkan
peraturan tata tertib kode etik; (8) memilih
dan menetapkan pimpinan majelis; (9)
membentuk alat kelengkapan majelis. Hal
itu menjadikan sebuah perbedaan yang
signifikan sebelum amandemen terhadap
kewenangan MPR dalam kelembagaan
Negara seperti pada ayat (7) bahwa Majelis
Permusyawaratan Rakyat meminta
pertanggungjawaban kepada presiden
dalam implementasi pelaksanaan undang-
undang (sebelum perubahan) dihilangkan.
Maka pertanggungjawaban presiden
langsung kepada rakyat secara langsung,
karena pemilihan umum dilakukan oleh
rakyat, tentunya untuk rakyat dan dari
rakyat sebagai pemegang kedaulatan rakyat
secara utuh.
Kedudukan MPR (setelah
amandemen) sejajar dengan DPR sesuai
yang tercantum dalam pasal 2 ayat (1) yang
berbunyi: Majelis permusyawaratan rakyat
terdiri atas anggota dewan perwakilan
rakyat dan anggota dewan perwakilan
daerah yang dipilih melalui pemilihan
umum dan diatur lebih lanjut dengan
undang-undang. Keberadaan MPR saat ini
adalah terdiri dari anggota DPR dan
anggota DPD yang dipilih langsung oleh
rakyat melalui pemilu legislative. sehingga
pada tataran kedudukannya MPR sama
kedudukannya dengan DPR dan DPD,
hanya saja untuk kewenangannya tetap
berbeda. lebih lanjut bagir manan dalam
Anwar C. (2003. hal. 74-76)
mengemukakan bahwa untuk menutupi
penyalahgunaan praktek dari UUD 1945
perubahan kedudukan dan mekanisme
keanggotaan MPR untuk mewujudkan:
pertama, gagasan meniadakan kedudukan
MPR sebagai lembaga tertinggi negara,
MPR bukan satu-satunya lembaga yang
melaksanakan kedaulatan rakyat; kedua,
gagasan system perwakilan dua kamar
(bikameral); ketiga, gagasan
menyederhanakan system keanggotaan
dengan meniadakan utusan golongan dan
15
mengubah utusan daerah menjadi DPD; dan
keempat, gagasan mewujudkan demokrasi
dalam mengisi keanggotaan MPR dengan
cara pemilihan umum. Bikameralisme
dalama gagasan ini menunjuk kepada
wewenang yang berbeda dari tugas dan
fungsi MPR dengan DPR dan DPD yang
mempunyai tupoksi yang lebih rinci.
sehingga dapat disimpulkan bahwa, tugas
MPR saat ini adalah menetapkan UUD
1945 dan/atau perubahan UUD 1945,
melantik dan presiden dan/atau wakil
presiden; memberhentikan presiden
dan/atau wakil presiden; dan menetapkan
presiden dan/atau wakil presiden pengganti
sampai terpillihnya presiden dan/atau wakil
presiden sebagaimana mestinya.
Memperhatikan tugas dan
kewenangan MPR dalam UUD 1945,
merupakan suatu perwakilan yang berbeda
dari segi tugas dan fungsinya. bisa
dikatakan bahwa MPR mempunyai kamar
tersendiri dari pada DPR maupun DPD
seperti yang telah disebutkan diatas.
walaupun secara parsial keberadaan MPR
merupakan kumpulan dari DPR dan DPD
yang dipilih langsung oleh rakyat, namun
secara tegas berbeda dari tupoksinya.
sebagai lembaga perwakilan, MPR hanya
memiliki tiga fungsi yang pokok yaitu;
pertama, fungsi legislasi ialah melakukan
perubahan dan atau menetapkan undang-
undang dasar; kedua, fungsi administratif,
yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden
serta memilih/mengangkat Presiden atau
Wakil Presiden dalam hal-hal tertentu; dan
ketiga fungsi judikatif yaitu memutuskan
untuk memberhentikan atau tidak
memberhentikan Presiden atau Wakil
Presiden dalam masa jabatannya yang
diusulkan oleh DPR. Dengan demikian
dibanding dengan sebelum perubahan UUD
1945, kewenangan dari MPR menjadi
sangat terbatas dan limitatif. Walaupun
demikian kewenangan MPR merubah dan
menetapkan undang-undang dasar serta
memberhentikan serta mengangkat dan
memilih presiden atau wakil presiden dalam
hal-hal tertentu menunjukkan adanya
kwenangan besar yang dimiliki MPR. Hal
ini adalah wajar karena MPR adalah
gabungan dari seluruh anggota DPR dan
DPD.
Melihat dari tugas dan wewenang
MPR dengan analisa nyata, bahwa
kewenangan itu merupakan sebuah
ketumpulan terhadap kedaulatan yang ada.
karena pada dasarnya kekuatan kedaulatan
merupakan sebuah implikasi nyata yang
dibutuhkan oleh sang pemberi mandate
dengan kekuasaan yang dimilikinya. akan
tetapi, melihat dari keempat kewenangan
tersebut, maka tugas MPR sebagai majelis
permusyawaratan rakyat perlu dikaji ulang,
artinya fungsi yang diperankan oleh MPR
saat ini masih belum menunjukkan
kedaulatan secara harfiah kepada rakyat.
sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UUD 1945
bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat,
dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Kamar dalam keterwakilan MPR
mempunyai sinkronisasi terhadap
keterwakilan yang lain. Secara nyata sudah
dipertegas dari wewenang MPR dalam
keterwakilan sistem bangsa ini.
keterwakilan tersebut mewakili secara
mnyeluruh dalam konteks tatanan
pemerintahan dan ketentuan-ketentuan yang
harus dijalani oleh lembaga-lembaga
Negara lainnya. Anwar C (2013),
mengatakan bahwa hubungan MPR dengan
lembaga Negara lainya didasarkan kepada;
a) MPR mengatur dan menetapkan
kekuasaan lembaga-lembaga tinggi Negara
lainnya melalui penetapan dan perubahan
UUD; b) MPR membuat pedoman lebih
rinci untuk menjadi acuan bagi lembaga
tinggi Negara dalam menjalankan
kekuasaannya, dalam bentuk ketetapan
MPR; dan c) MPR mengawasi pelaksanaan
kekuasaan lembaga tinggi Negara.
pengejewantahan kedaulatan MPR yang
merupakan kedaulatan rakyat seperti yang
disampaikan oleh Padmo Wahyono dalam
Anwar C. (2013), mengatakan bahwa
kekuasaan tertinggi itu dikuasai oleh rakyat,
dengan paradigma bahwa: pertama, MPR
merupakan representasi rakyat dalam
menetapkan UUD dan menetapkan GBHN
serta menetukan mandataris presiden dan
wakil presiden; kedua, rakyat mewakilkan
kepada DPR untuk melaksanakan GBHN
16
dalam bentuk Undang-Undang bersama-
sama dengan presiden; ketiga, mewakilkan
kepada MA berdasarkan Undang-Undang
untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman
yang merdeka; keempat, mewakilkan
kepada presiden untuk melaksankan
GBHN; dan kelima, mewakilkan kepada
BPK melalui Undang-Undang untuk
menjalankan pemeriksaan keuangan Negara
dan menyampaikan hasil pemeriksaannya
kepada DPR.
Kaitan dengan lembaga tinggi
Negara merupakan sebuah keniscayaan bagi
MPR untuk mengembangkan potensi
kewenangan yang diamanatkan oleh rakyat,
untuk rakyat dan bagi rakyat merupakan
sebuah konskuensi logis bagi lembaga
permusyawaratan itu untuk dijalankan dan
diamalkan melalui fungsi dan tugas
pokoknya agar ketetapan-ketetapan berada
pada pengawasan yang maksimal terhadap
lembaga tinggi Negara lain. Keberadaan
MPR merupakan sebuah konsepsi dasar
sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, karena
setiap implementasi yagn telah dilakukan
akan dikembalikan kepada rakyat secara
menyeluruh dan akuntabel.
Namun, Isrok (2013:hal.3)
memberikan pandangan yang berbeda
dengan mengatakan bahwa prinsip
bicameral yang dianut diberbagai Negara,
misalnya America yang menganut strong
bicameral, pasal 1 ayat (1) UUD AS (1787)
menyebutkan all legislative powers here in
granted shall be vested in a congress of the
united states, which shall consist of a
senate and house of representatives. artinya
bahwa semua kekuasaan legislative
diberikan kepada kongres amerika serikat
yang terdiri dari senat dan house of
representatives. Sehingga dengan adanya
perubahan ini UUD 1945 tidak lagi
menganut system MPR berdasarkan prinsip
supremasi parlemen dan system pembagian
kekuasaan (distribution of power).
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
DPR merupakan perwakilan rakyat
secara menyeluruh karena ditetapkan
melalui pemilihan umum yang dipilih oleh
rakyat. Sehingga representasi rakyat
terhadap DPR sangatlah besar. Rakyat
sebagai konstituen DPR mempunyai
pengaruh realistis dalam berkehidupan
kebangsaan yang adil dan makmur sesuai
yang diamantkan oleh UUD 1945 yaitu
kerakyatan yang dipimpin oleh
kebijaksanaan dalam permusyawaratan
rakyat. Secara garis besar fungsi DPR
adalah fungsi legislasi, fungsi budgeting
dan fungsi controlling. artinya, bahwa
keterwakilan yang dimiliki oleh DPR lebih
berperan penting terhadap representasi
rakyat. Fungsi legislasi DPR mempunyai
hak menentukan siapa yang menjadi
pemimpin suatu lembaga Negara, dengan
fungsi budgetingnya, DPR mempunyai
peran penganggaran diseluruh sektor
pemerintahan, dan pada fungsi pengawasan,
DPR mempunyai kewenangan mengawasi
seluruh implementasi pemerintah (ekskutif)
terhadap rancangan yang telah
dilaksanakan.
Perubuahan UUD 1945 pasal 19
ayat (1), (2), dan (3) mengamanatkan
terhadap keanggotaan, susunan dan waktu
siding DPR dengan harapan bahwasanya
DPR secara menyeluruh dipilih langsung
oleh rakyat dan tidak ada anggota DPR
yang dipilih melalui penunjukan langsung
(diangkat). Hal itu sesuai dengan prinsip
demokrasi keterpilihan (representation by
election) untuk menghasilkan demokrasi
yang semakin dewasa dan berkembang dan
sebagai legitimasi bagi DPR. Lebih lanjut,
dalam pasal 20 ayat (1), (2), (3), dan (4)
dikatakan bahwa DPR memegang
kekuasaan untuk membentuk undang-
undang yang semula pembentukan undang-
undang yang semula dilakukan oleh
presiden pasal 5 ayat (1) UUD 1945
(sebelum perubahan). Secara garis besar
keberadaan wewenang DPR masih dibatasi
oleh kewenangan presiden. Karena
pengajuan RUU baik oleh presiden maupun
oleh DPR sama-sama harus mempunyai
persetujuan yang sama, kalau salah satu
tidak menyetujuinya, maka RUU itu tidak
dapat dilanjutkan. Dalalm kaitannya hal ini,
antara presiden dan DPR mempunyai peran
yang sama dalam menentukan sebuah UU,
karena pembentukan UU tersebut harus
melalui persetujuan bersama antara DPR
17
dan presiden sehingga dapat di sahkan
menjadi UU.
Namun perubahan dalam
kewenangan pembentukan undang-undang
adalah dengan motivasi saling mengawasi
dan mengimbangi (check and balance)
sebagai prinsip yang melekat dalam tatanan
pemerintahan yang demokratis dan
merupakan sebuah penafsirasn untuk
memperkuat sistam yang kita anut, yaitu
system presidensial. Hal itu juga sudah
sepantasnya meninggalkan teori pembagian
kekuasaan (distribution of power) dengan
prinsip MPR menjadi pemisah (separation
of power).
Namun, dalam hal kedudukan,
DPR mempunyai power yang tidak dapat
disentuh oleh presiden yang memegang
kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan
negara. Karena represention by election
yang menjadi pedoman dan kekuasaan
tertinggi dalam menjalankan kedaulatan
rakyat. Tugas-tugas DPR dalam UUD
1945 hasil amandemen adalah sebagai
berikut: a) membentuk undang-undang
(Pasal 20 Ayat 1); b) membahas rancangan
undang-undang (RUU) bersama presiden
(Pasal 20 Ayat 2); dan c) membahas
rencana anggaran pengeluaran belanja
negara (RAPBN) bersama presiden (Pasal
23 Ayat 2). Power yang dimiliki oleh DPR
saat ini terkait dengan pembentukan
undang-undang melalui rancangan undang-
undang yang semula menjadi tugas
presiden, namun setelah amandemen UUD
1945 RUU menjadi kewenang DPR, akan
tetapi dalam pengesahannya tetap harus
melibatkan pemerintah, dalam hal ini
presiden mempunyai peran penting dalam
pengesahan RUU menjdai UU yang
tentunya harus ada kesepakatan bersama
terkait dengan yang diajukan oleh DPR
kepada pemerintah untuk selanjutnya
dilaksanakan oleh pemerintah dan di awasi
pelaksanannya oleh DPR. UUD 1945 hasil
amandemen juga mencantumkan fungsi dan
hak DPR. Pasal 20 ayat (5) setelah
perubahan sejatinya memperkuat kewenang
DPR dalam menghasilkan undang-undang,
dikatakan bahwa dalam hal rancangan
undang-undang yang telah disetujui
bersama tersebut tidak disahkan oleh
presiden dalam waktu tiga puluh hari
semenjak rancangan undang-undang
tersebut sah menjadi undang-undang dan
wajib diundangkan. Dalam hal ini,
penguatan check and balance dalam
menerapkan fungsi dan kewenangan antara
presiden dan DPR merupakan wujud nyata
untuk mencari solusi secara institusional
dan mendapatkan kepastian hokum secara
konstitusional untuk menghindari
kesimpangsiuran hokum yang akan
berdampak negatif terhadap berkehidupan
kebangsaan dan bernegara.
Dewan Perwakilan Rakyat juga
memeliki fungsi-fungsi lainnya yang
tersebar dalam UUD 1945 yaitu:
mengusulkan pemberhentian Presiden
sebagai tindak lanjut hasil pengawasan;
(pasal 7A); melantik Presiden dan atau
Wakil Presiden dalam hal MPR tidak dapat
melaksanakan sidang untuk itu; (pasal 9);
memberikan pertimbangan atas
pengengkatan duta dan dalam hal menerima
duta negara lain (pasal 13); memberikan
pertimbangan kepada Presiden atas
pemberian Amnesti dan Abolisi; (Pasala 14
ayat 2); memberikan persetujuan atas
pernyataan perang, membuat perdamaian
dan perjanjian dengan negara lain; (pasal
11); memilih anggota Badan Pemeriksa
Keuangan; Pasal 23F); memberikan
persetujuan atas pengangkatan anggota
Komisi Yudisial; (pasal 24B ayat 3);
memberikan persetujuan atas pengangkatan
Hakim Agung (Pasal 24A ayat 3); dan
mengajukan 3 dari 9 orang anggota hakim
konstitusi; (pasal 24C ayat 3)
Dalam melaksanakan fungsinya,
DPR diberikan hak-hak yang diatur dalam
pasal-pasal UUD 1945. Hak-hak tersebut
adalah sebagai berikut: a) hak interpelasi
yaitu hak DPR untuk meminta keterangan
kepada presiden; b) hak angket yaitu hak
DPR untuk mengadakan penyelidikan atas
suatu kebijaksanaan presiden/pemerintah;
c) hak menyampaikan pendapat; d) hak
mengajukan pertanyaan, menyampaikan
usul dan pendapat; e) hak imunitas, yaitu
hak DPR untuk tidak dituntut di pengadilan
karena pernyataan/pendapat yang
disampaikan dalam rapat; dan f) hak
mengajukan usul RUU. dari beberapa hak
18
yang dimiliki oleh DPR terkait dengan
control terhadap pemerintah dalam tatanan
kenegaraan merupakan sebuah pengawasan
yang harus dijalani secara akuntabel dan
professional serta proporsionalitas
dikedepankan, bukan pada tataran like and
dislike, akan tetapi lebih merupakan kepada
sebuah realitas berbangsa dan bernegara
dalam rangka menjalankan perintah UU
yang telah dibuat. sehingga dalam prinsip
pelaksanaan UU secara nyata memberikan
dampak dengan pembenaran secara
obyektif. obyektifitas DPR dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya serta
wewenangnya merupakan sebuah
pembagian tugas antara lembaga tinggi
Negara dari internal pengawasan atau
keterwakilan terhadap rakyat menjadikan
kamar di DPR berbeda dengan MPR
maupun DPD. Karena pada prinsipnya yang
membedakan kamar perwakilan itu adalah
wewenangnya, bukan lembaganya.
wewenang merupakan sebuah kewajiban
bagi suatu lembaga perwakilan untuk
menjalankan tugasnya sesuai dengn
ketentuan UUD 1945. Fungsi DPR yang
berbeda merupakan prinsipil dari
kewenangannya untuk menfokuskan kinerja
keterwakilan dari representasi rakyat. tidak
serta merta disamakan atau dijadikan satu
kamar dengan lembaga perwakilan yang
lain, seperti MPR yang telah dibahas diatas,
walaupun anggota MPR terdiri dari anggota
DPR, namun secara kelembagaan tugas dan
fungsinya mengacu kepada kewenang MPR
yang telah diatur oleh UUD 1945 bukan
lagi mengembalikan fungsi lembaga itu
kepada individualnya. secara konstitusional
anggota DPR yang berada di MPR
seyogyangnya memang mempunyai
kewenangan yang sama secara harfiah,
namun konteksnya berbeda ketika anggota
DPR sudah masuk dalam lembaga MPR
yang mempunyai tugas dan wewenang yang
berbeda dengan DPR. oleh karena itu,
kamar dari lembaga itu juga harus berbeda
agar tidak terjadi ketimpangan secara
kelembagaan.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Perubahan UUD 1945 menjadi
sejarah baru dalam ketatanegaraan bangsa
Indonesia. Dalam amandemen UUD 1945
mengamanatkan kelahirannya Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) dalam tatanan
lembaga kenegaraan dalam system
representasinya sebagai perwakilan dari
setiap daerah provinsi. Hal ini memperkuat
system perwakilan dalam menjalankan
fungsi pemerintahan yang notabene dipilih
langsung melalui pemilihan umum oleh
rakyat dan menjadi bagian dari anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dengan
kehadiran DPD sebagai aspirasi dan paham
politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan
rakyat diharapkan dapat menjadi
representasi daerah dalam menampung
prinsip keterwakilan daerah yang
multukulturalisme dalam budaya bangsa
Indonesia.
Dalam panduan pemasyarakatan
yang diterbitkan oleh MPR RI dikatakan
bahwa keberadaan DPD RI dimaksudkan
untuk (1) memperkuat ikatan daerah-daerah
dalam wadah Negara Kesatuan Republic
Indonesia dan memperteguh persatuan
kebangsaan seluruh daerah; (2)
meningkatkan agresi dan akomodasi
aspirasi dan kepentingan daerah-daerah
dalam perumusan kebijakan nasional
berkaitan dengan Negara dan daerah; (3)
mendorong percepatan demokrasi,
pembangunan dan kemajuan daerah secara
serasi dan seimbang.
Pasal 41 Undang-Undang No. 22
tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah bahwa fungsi DPD yaitu: a)
pengajuan usul, ikut dalam membahas dan
memberikan pertimbangan yang berkaitan
dengan bidang legislasi tertentu; dan b)
pengawasan atas pelaksanaan undang-
undang tertentu. lebih lanjut kewenang
DPD sebagaimana diatur dalam pasal 42-47
bahwa: a) DPD dapat mengajukan kepada
DPR rancangan undag-undang yang
berkaitan dengan otonomi daerah,
hubungan pusat dan daerah, pembentukan
dan pemekaran daerah, dan penggabungan
daerah, penggolongan sumber daya alam,
dan sumber daya ekonomi lainnya serta
yang berkaitan dengan perimbangan
19
keuangan pusat dan daerah; b) DPD
mengusulkan rancangan undang-undang
kepada DPR dan DPR mengundang DPD
untuk membahas sesuai tata tertib DPR; c)
pembahasan rancangan undang-undang
dilakukan sebelum DPR membahas
rancangan undang-undang dengan
pemerintah; d) DPD ikut membahas
rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah
yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh
pemerintah; e) DPD diundang oleh DPR
untuk melakukan pembahasan rancangan
undang-undang bersama dengan pemerintah
pada awal pembicaraan tingkat I sesuai
peraturan tata tertib DPR; f) pembicaraan
tingkat I dilakukan bersama DPR, DPD dan
pemerintah dalam hal penyampaian
pandangan dan pendapat DPD atas
rancangan undang-undang serta tanggapan
ata pandangan danpendapat dari masing-
masing lembaga; g) pandangan, pendapat
dan tanggapan dijadikan sebagai masukkan
untuk pembahasan lebih lanjut antara DPR
dan pemerintah; h) DPD memberikan
pertimbangan kepada DPR atas rancangan
undang-undang APBN dan rancangan
undang-undang yang berkaitna dengan
pajak, pendidikan dan agama; i)
pertimbangan diberikan dalam bentuk
tertulis sebelum memasuki tahapan
pembahasan antara DPR dan pemerintah; j)
pertimbangan menjadi bahan bagi DPR
dalam melakukan pembahasan dengan
pemerintah; k) DPD memberikan
pertimbangan kepada DPR dalam
pemilihan anggota badan pemeriksa
keuangan; l) pertimbangan diberikan secara
tertulis sebelum pemilihan anggota badan
pemeriksa keuangan; m) DPD dapat
melakukan pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang mengenai otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan
daerah, pengelolaan sumber daya alam dan
sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan
APBN, pajak, pendidikan dan agama; n)
pengawasan merupakan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang dan hasil
pengawasan disampaikan kepada DPR
sebagai bahan pertimbangan untuk
ditindaklanjuti; dan o) DPD menerima hasil
pemeriksaan keuangan Negara dari badan
pemeriksa keuangan untuk dijadikan bahan
membuat pertimbangan bagi DPR tentang
rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan APBN.
Dari kewenang DPD diatas, jelas
bahwa DPD tidak mempunyai kewenang
untuk mengajukan rancangan undang-
undang atau membuat undang-undang
secara mandiri, hanya ketentuan undang-
undang tertentu saja yang dapat diajukan
sebagai rancangan undang-undang. peran
DPD lebih kepada pengawasan dan
kedudukanya adalah auxiliary dari DPR.
DPD diperankan untuk lebih focus
mengurus terkait dengan kedaerahannya
sebagai utusan daerah dalam merancang
dan mensejahterakan daerahnya. dari fungsi
DPD yang bisa dikatakan lebih ringan dari
DPR sebagai pengendali power perwakilan
dalam system keterwakilan.
Dalam kelahirannya, DPD
seringkali menjadi bahan kritikan, karena
DPD merupakan design kamar kedua pada
masa yang akan dating, namun dalam
fungsinya DPD tidak mempunyai fungsi-
fungsi yang dimiliki oleh DPR. namun,
bagi penulis bahwa keberadaan DPD sangat
membantu DPR dalam keterwakilannya
didaeah, karena tidak semua daerah akan
terjangkau oleh DPR dalam hal
perwakilannya. sekalipun didaerah sudah
ada DPRD, akan tetapi kurang efektif
dalam pelaksanaannya, karean perwakilan
DPRD langsung bersentuhan dengan
masyarakat sehingga efisiensi dan
efektifitas keterwakilan kurang maksimal.
DPD mempunyai kamar berbeda secara riil
dari DPR maupun MPR. keberadaannya
ditentukan oelh fungsi pengwasannya
terhadap kinerja pemerintah dibidang
tertentu, hal itu lbih bisa meminimalisir
adanya penyalahgunaan dan overload
keterwakilan yang ada di DPR. karena
tugas DPD lebih rinci terhadap fungsi dan
pengawasannya.
20
Isrok (20013:4) membuat sebuah
perbandingan bicameralism keterwakilan.
Seperti dicontohkan di inggris yang
menganut system dua kamar yaitu kamar
satu untuk perwakilan kaum bangsawan
yang disebut majelis tinggi (house of lords)
dan kamar kedua mewakili rakyat umu
yang disebut majelis rendah (house of
commors). Sistem dua kamar tersebut tidak
dapat dilepaskan dari sejarah dan proses
demokrasi pada badan perwakilan di
inggris. majelis tinggi berperan dalam
pembuatan dan perumusan kebijakan luar
negeri, sendagkan majelis rendah diberi
wewenang untuk mengambil prakarsa
mengajukan rancana anggaran dan
pendapatan Negara. Pada dasaranya kedua
kamar tersebut mempunyai kedudukan
yang sama, baik secara politik maupun
secara legislatif, dan setiap pengesahan
undang-undang harus melalui persetujuan
bersama antara majelis tinggi dan majelis
rendah. Bikameralisme tidka dapat
disederhanakan seperti diinggris, sebagai
Negara kerjaan tidak bisa disamakan
dengan system yang menganut republik.
Karena pada prinsipnya, sistem
keterwakilan itu merujuk kepada siapa yang
mewakili, mewakili siapa dan apa yang
diwakili. pertanyaan itu tentunya harus
dijawab dengan gambling. Dalam sistem
pemerintahan yang demokratis, tentu itu
merupakan urgensi perwakilan yang
diharapkan dari tingkat pusat hingga
pelosok tanah air.
Berbeda dengan inggris, Indonesia
mempunyai keunikan sistem pemerintahan
yang khas dalam memilih siapa yang
menjadi wakilnya, siapa yang diwakili dan
mewakili apa. Sistem pemilihan secara
langsung dalam pemilihan umum (pasal 22
C ayat 1) dipilih oleh rakyat terhadap
seluruh anggota keterwakilan tentu
mempunyai proses yang berbeda pula. DPD
mungkin bisa dikatakan lebih berat
persaingan dan persyaratannya walaupun
secara tekstual bisa disamaratakan dengan
DPR. Pemilihan DPD dilakukan disetiap
provinsi yang jumlahnya sama, sedangkan
jumlah kursinya ditentukan oleh kursi DPR.
Kursi DPD adalah sepertiga dari kursi DPR
dari setiap propinsi (ayat 2). Untuk dapat
duduk di kursi DPD harus berjuang keras
secara mandiri tanpa dukungan lambing
atau partai politik dan komposisi yang
diberikan hanya lebih sedikit sepertiga dari
kursa DPR. Tentunya ini menjadi
pertarungan yang memberatkan. berbeda
dengan calon yang berangkat ke DPR,
dimana setiap caleg DPR pasti mempunyai
partai politik dari tingkat puat hingga
daerah, sehinngaa memudahkan dlam
proses mobilisasi dukunngan dan jatah
kursi lebih besar dari DPD. oleh karena itu,
banyak orang pesimis terhadap kinerja dan
fungsi DPD sebagai lembaga keterwakilan
dari daerah.
Keterbatasan wewenang dan
fungsi DPD karena berkaitan dengan
system yang saling mengawasi dan
mengimbangi dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia, yaitu: (1) dapat mengajukan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat
rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan dan pemekran
daerah serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah; (2) ikut membahas rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran, dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan ekonomi lainnya, serta
perimbangan keuangan pusat dan daerah,
serta memberikan pertimbangan kepada
DPR atau rangan undang-undang anggaran
pendapatan dan belanja Negara dan
rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan dan agama; (3)
dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang mengenai
otonomi daerah, pembentukan, pemekaran
dan penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran
pendapatan dan belanja Negara, pajak,
pendidikan, dan agama serta
menyampaikan hasil pengawasannya itu
kepada DPR sebagai bahan pertimbangan
untuk ditindaklanjuti. (MPR. 2011).
21
Namun, lebih lanjut Valina
Subekti dalam Isrok (2013) mengatakan
bahwa, peningkatan utusan daerah dari
sekedar “utusan” yang dipilih oleh DPRD
provinsi menjadi “perwakilan” yang dipilih
langsung oleh rakyat di daearahnya masing-
masing yang mmepunyai tujuan untuk
memperkuat penyaluran aspirasi daerah di
pusat. hal ini diharapkan dapat menciptakan
keseimbangan ekonomi dan politik yang
lebih adil dan egaliter antara pusat dan
daerah. menyikapi masalah
peningkatanperan utusandaerah ini, terdapat
tiga pandangan utama yaitu: DPD sebagai
lembaga yang kedudukannya sama sejajar
dengan DPR (bikameral); DPD sebagai
lembaga dengan kewenangan legislasi
terbatas (soft bicameral); dan DPD sebagai
lembaga, tetapi tetap mempertahankannya
sebagai utusan yang dipilih langsung oleh
rakyat.
Masih menurut Isrok. DPD
sejatinya harus menjaga citranya dengan
berpegangan kepada: 1) serat kalatida
(karya ronggo warsito), yaitu keadaan
Negara saat ini, terlihat semakin merosot,
tatanan dan aturannya. oleh sebab tiada
yang dapat dicontoh, semua sudah
meninggalkan etika, orang baik, orang
pintar terbelenggu jaman yang serba tidak
tentu. suasana kehdupan mencekam, sebab
dunia penuh godaan, sesungguhnya rajanya
adalah raja yang baik, patihnya yang cerdik,
semua pegawai hatinya baik, pemuka
masyarakat juga baik-baik, semuanya itu
tidak mampu menciptakan kebaikan,
bahkan kerusakan makin menjadi,
gangguan yang selalu membikin susah,
seberuntung orang lupa, masih beruntung
orang yang ingat/sadar dan waspada; 2)
nilai demokrasi yang menjadi acuan adalah
vox populi vox de dan menjauhkan dari vox
nihili dan vox populi vox argentums (suara
rakyat suara tuhan, dan menjauhkan suara
rakyat diabaikan dan suara rakyat suara
uang); dan 3) mempersiapkan kualitas
sumber daya manusia DPD utamanya
dalam perundang-undangan.
PENUTUP
Lembaga perwakilan rakyat secara
penuh yang terdiri dari MPR, DPR, dan
DPR merupakan suatau lembaga Negara
yang mempunyai tugas dan kewenangn
yang berbeda dalam menjalankan UUD
1945. Namun dalam hal fungsi sebagai
lembaga keterwakilan, ketiga lembaga itu
merupakan sebuah afiliasi dari
bikameralisme system perwakilan.
keberadaan MPR dalam system
keterwakilan merupakan suatu perwakilan
dari DPR dan DPD yang menjadi
pengwujudan dari rakyat untuk
menjalankan tugasnya sebagai majelis
permusayarawatan rakyat yang mengontrol
keberlanjutan roda pemerintahan dan
kedudukan dari UUD 1945 tentang
relevansi dari sebuah keberadaan bangsa
dan Negara. lembaga MPR tidak bisa
dipisahkan dari sistem pengisiannya yang
nyata dipilih langsung oleh rakyat yaitu dari
unsure DPR dan DPD. hal inilah yang
memberikan sebuah sebutan kamar
terhadap lembaga perwakilan, yaitu
lembaga DPR sebagai perwakilan rakyat
secara utuh dan DPD sebagai perwakilan
daerah untuk membangun daerahnya terkait
dengan isu-isu kedaerah karena
keberdaannya bersala dari daerah/provinsi.
DPR relevan dengan tugasnya untuk
mewakili rakyat disetiap tingkatan dan
saling berintegrasi baik DPR RI maupun
DPRD I/ II, sehingga kamar DPR
terpisahkan dengan DPD yang mempunyai
tugas terkait dengan kedaerahan untuk
pengembangan dan pembangunan daerah
yang lebih baik serta control antara daerah
dan pusat. Artinya, unsure DPD merupakan
sebuah balance dari DPR dalam
melaksanakan fungsinya sebagai lembaga
perwakilan. sehingga dapat disimpulkan
perwakilan daerah dan perwakilan rakyat
mempunyai kamar yang berbeda dengan
ruang dan arsitektur yang berbeda pula
sebagai penguat akar NKRI.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar C. Sistem Perwakilan Menurut
UUD 1945 dan Sistem
Perwakilan Yang Ideal Pada
Perubahan UUD berikutnya.
disampaikan dalam seminar
nasional sistem ketatanegaraan
22
Indonesia. tema “Format Ideal
Sistem Perwakilan Indonesia”.
PP OTODA dengan MPR RI.
23 Mei 2013, Hotel Savanna
Convention Hall Malang.
Bagir Manan. DPR, DPD, dan MPR dalam
UUD 1945 baru, FH-UII Press,
Yogyakarta, maret. 2003, hlm.
74-76. dalam Anwar C. Sistem
Perwakilan Menurut UUD 1945
dan Sistem Perwakilan yang
Ideal Pada Perubahan UUD
berikutnya. Disampaikan Dalam
Seminar Nasional Sistem
Ketatanegaraan Indonesia. tema
“Format Ideal Sistem
Perwakilan Indonesia”. PP
OTODA dengan MPR RI. 23
Mei 2013, Hotel Savanna
Convention Hall Malang.
H.M. Lica Marzuki. Kedudukan MPR
Setelah Amandemen UUD
1945, dalam Soewoto
Mulyosudarmo, Pembaharuan
Ketatanegaraan Melalui
Perubahan Konstitusi, Aosiasi
Pengajar HTN-HAN Jawa
Timur dan In-Trans, Malang,
2004., hlm. 278-279.
Hamdan Zoelva. system perwakilan rakyat
di Indonesia.
http://hamdanzoelva.wordpress.
com/2008/04/28/sitem-
perawakilan-rakyat-di-
indonesia/. diakses 01 agustus
2013.
Isrok. Citra Dewan Perwakilan Daerah dan
Format yang Diharapkan ke
Depan. Disampaikan dalam
Seminar Nasional Sistem
Ketatanegaraan Indonesia. tema
“Format Ideal Sistem
Perwakilan Indonesia”. PP
OTODA dengan MPR RI. 23
Mei 2013, Hotel Savanna
Convention Hall Malang.
Mohammad Jafar Hafsah. Format Ideal
Sistem Perwakilan Di
Indonesia. disampaikan dalam
Seminar Nasional Sistem
Ketatanegaraan Indonesia. tema
“Format Ideal Sistem
Perwakilan Indonesia”. PP
OTODA dengan MPR RI. 23
Mei 2013, Hotel Savanna
Convention Hall Malang.
Tiarlidya‟s blog. lembaga-lembaga Negara
menurut UUD 1945 hasil
amandemen.
http://tiarlidya.wordpress.com/2
010/11/25/lembaga-lembaga-
negara-menurut-uud-1945-
hasil-amandemen/. di akses 01
agustus 2013.
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945
UU No. 22 tahun 2003 tentang susunan dan
kedudukan Majelis Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Panduan
Pemasyarakatan. 2013
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Empat
Pilar Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara. 2012.
23
ESTABLISHING AN INSPECTON SYSTEM FOR THE PLACES OF DETENTION
MODELLED ON THE OPTIONAL PROTOCOL TO THE CONVENTION AGAINST
TORTURE (OPCAT) IN INDONESIA
Ahmad Aniq
International Law and the Law of International Organization
Groningen University – The Nitherlands
Kp. Cikunir Jaka Mulya Bekasi, Jakarta
email: [email protected]
Abstract
As the party to the United Nations Convention against Torture and Ohter Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (UNCAT), Indonesia has an obligation to
establish an effective visiting system to prevent acts of torture and other ill-treatment as
stipulated in Article 2(1) of the Convention. However, the existing visiting system in Indonesia
is facing some deficiencies regarding its mandate clarity, level of independency, and
insufficient expertise required. The fact that Indonesia is not party to the Optional Protocol to
the United Nations Convention against Torture (OPCAT) complicates the matter. The OPCAT
system has been hailed to be the most effective way to combat torture, as it combines national
and international approaches. This thesis provides an alternative for Indonesia to enhance its
inspection system to places of detention. By taking the OPCAT approach as the model,
Indonesia will be very likely to have a more effective inspection system, as this system has set
out a clear standard on how a visiting system should be conducted. By granting the National
Human Rights Commission (Komnas HAM) the role of national preventive mechanisms
(NPMs) under the OPCAT system, Indonesia might have a better opportunity to enjoy a more
effective inspection system. At least by establishing a better inspection system, Indonesia‟s
compliance to the obligation under the UNCAT, especially under Article 2(1) could be
considered fulfilled, even though the Government may not ratify the OPCAT.
INTRODUCTION
Prohibition on the acts of torture
and ill-treatment has been stated in several
international documents. This prohibition
falls under the scope of universal and
regional treaties. Article 5 of the Universal
Declaration of Human Rights (UDHR), and
also Article 7 of the International Covenant
on Civil and Political Rights (ICCPR)
stipulate that no one should be subjected to
torture and other ill-treatment. The ban on
torture and other cruel, inhuman or
degrading treatment or punishment can also
be found in the European Convention on
Human Rights and Fundamental Freedom
(ECHR), the America Convention on
Human Rights (ACHR), and the African
Charter on Human and Peoples‟ Rights.
However, those various international and
regional bans are not enough. It is proven
that the practices of torture and other
inhuman treatments are still widely spread
around the world (Kerstin Buchinger,
2009). Therefore, The United Nations
Convention against Torture and Other
Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment (UNCAT) was adopted to
make the struggle against torture and other
cruel, inhuman or degrading treatment or
punishment more effective.
The UNCAT has a significant
impact in combating torture and other ill-
treatments as it envisages a number of new
obligations to States Parties (Chris Ingelse,
2001), for example: an obligation to
criminalize acts of torture and ill-treatment
24
under domestic law and an obligation not to
send a person to a State where he or she is
presumed to be subjected to torture (non-
refoulement principle). It is undisputed that
the main features of the UNCAT lie within
its repressive measures, although certain
provisions regulate preventive measure.
Therefore, another important document,
namely the Optional Protocol to the United
Nations Convention against Torture
(OPCAT), is regarded as a “new weapon”
against torture as it is mainly attributed to
create prevention measurements.
Inspired by the International
Committee of the Red Cross (ICRC) which
could conduct visits to places of detention,
Jean-Jacques Gautier promoted a system of
regular and unannounced visits to places of
detention as a tool to prevent torture (Chris
Ingelse, 2001). He believed that the legal
obligations of States concerning the
eradication of torture would likely be
fulfilled if a system of periodic visits to
places of detention was established. An
inspection to places of detention is
important because people who are deprived
of their liberty are prone to be subjected to
practises of torture and inhuman treatment.
That is what the OPCAT offers. One of the
OPCAT‟s goals is to establish a system of
regular visits to places of detention
undertaken by independent international
and national bodies as stated in the Article
1 of the OPCAT.
Indonesia is party to the UNCAT.
Therefore, Indonesia is subjected to several
obligations mentioned in the UNCAT. One
of the obligations is to take legislative,
administrative, judicial and other measures
to prevent acts of torture in its jurisdiction
as stated in the Article 2(1) of the UNCAT.
It can be concluded that Indonesia has an
obligation to establish a system of
prevention against torture. However,
Indonesia is not party to the OPCAT. Due
to lack of ratification of OPCAT,
Indonesia‟s fulfilment of the obligation in
Article 2(1) of the UNCAT is perhaps more
difficult to realize. Indonesia has several
institutions dealing with human rights
protection which could participate in torture
prevention by undertaking visits to places
of detention. Unfortunately, this effort does
not seem to function well. The absence of
an authorized institution to undertake
unannounced inspections to detentions and
the lack of power to scrutinize official or
“unofficial” places of detentions can be
seen as its weaknesses (Committee against
Torture (CAT), 2008). And the fact that the
number of allegations of acts of torture and
ill-treatment committed by members of the
police forces, the army (TNI) and other
groups linked to authorities is still high
suggests that the existing visiting system in
Indonesia does not work properly.
As given the fact that Indonesia is
not party to the OPCAT and the existing
visiting system does not function
satisfactorily, it raises a question as to
whether there is a need to establish a
visiting system modelled on the OPCAT in
Indonesia. And an additional question
would be how this visiting system à la
OPCAT should be formed in Indonesia in
order to comply with the obligations under
the UNCAT, more specifically in term of
prevention. Since Indonesia is not party to
the OPCAT, Indonesia is not obliged to
establish a prevention system based on the
OPCAT. However, Indonesia is bound to
take measures to prevent torture and other
inhuman treatments as stated in the
UNCAT. Therefore, the goal of this study is
to provide the best alternative visiting
system other than the OPCAT system for
Indonesia in order to comply with the
obligations under the UNCAT especially
regarding the obligation to prevent acts of
torture and other inhuman treatment.
The research for this thesis will
mainly be on library based approach.
Primary, secondary sources, as well as
other relevant sources will be analysed.
Special attention will be paid to the
domestic laws of Indonesia in the field of
torture and related issues. The further
elaboration will be on the conformity
between Indonesia‟s regulations concerning
torture and the international conventions,
more specifically the UNCAT. This thesis
will apply an inductive analytical approach
in which relevant information will be
observed and analyzed to detect some
25
patterns and regularities. Then, I will
formulate a hypothesis that we can explore,
and finally end up with some general
conclusions. Documents either in the form
of regulations, books, journals or articles
which are relevant are presented as they
provide reliable information to the topic
and help the writer to substantiate his
claims.
Chapter I of this thesis will focus
on the UNCAT system. The discussion will
go into the depth regarding the States
Parties‟ obligations under the Convention.
The mandate of the Committee against
Torture will also be analysed here. Chapter
one will also explore the prevention system
against torture established by the OPCAT.
Chapter two will discuss the existing
visiting system in Indonesia. Special
attention will be addressed regarding the
weaknesses of the existing inspection
system in preventing the acts of torture and
other inhuman treatment. Chapter three will
focus on the effort to find a possible
formulation of the à la OPCAT visiting
system, given the fact that Indonesia is not
member to the OPCAT. Finally, in Chapter
four, a conclusion will be provided and an
alternative visiting system for Indonesia
will be proposed.
States Parties’ Obligations Under the
UNCAT
The UNCAT imposes obligations
on Member States in several articles. Under
Article 2(1) of the UNCAT, Member States
are obliged to take effective measures to
prevent acts of torture under their
jurisdiction. The measurements comprise
legislative, administrative, judicial and any
other type of measures. Therefore, Article
2(1) can be seen as an umbrella provision,
covering all other obligations to prevent
this kind of treatment as explained in the
Convention. Article 10 on the education
and training of law enforcement and other
personnel, Article 11 regarding systematic
review of interrogation methods, Article 13
about investigation of allegations by torture
victims, and Article 15 on non-admissibility
of evidence extracted by torture, are the
typical obligations to prevent torture
because they are interrelated and indivisible
to prevent torture. Thus, the obligation to
prevent torture in Article 2 covers a broad
scope, not only to reinforce the prohibition
against torture through legislative,
administrative and other actions but also
includes all necessary measures-taken are
effective in preventing the acts of torture
and other ill-treatment.
The prevention of torture requires
criminalisation of the acts of torture.
Impunity of the perpetrators of torture is
one of the reasons for the widespread
practice of torture (Committee against
Torture (CAT), 2008). Article 4 of the
UNCAT comes in order to repress the
practice of impunity by imposing an
obligation for States Parties to criminalize
acts of torture under domestic law. This
article also requires Member States to
punish torture with the appropriate
penalties. The term “torture” in the Article
4(1) should be interpreted in accordance
with the definition of torture in the Article
1, which means that not only acts of torture
itself, but also the attempt, incitement,
instruction from the superior, consent and
acquiescence must also be criminalized.
The idea that there is no need to qualify
torture as a specific and separate offence
has led to much confusion among States
Parties (Manfred Nowak and Elizabeth Mc
Arthur, 2008). Some States argued that
torture had already been included in their
traditional offences.
The OPCAT features
The international community has
recognised torture and other inhuman
treatment as among the most brutal assaults
on human dignity. Although the prohibition
of torture and other inhuman treatments has
already been stipulated in various
international or regional instruments, these
abuses still persist around the world
(Association for the Prevention of Torture
(APT) and Inter-American Institute of
Human Rights (IIHR), 2011). This fact
suggested that the international legal
prohibition of torture was in need of a much
more effective control mechanism. To
prevent torture and other inhuman
26
treatments regular visits to places of
detention is needed. The Optional Protocol
to the United Nations Convention against
Torture (OPCAT) was brought into
existence to enforce the implementation of
the principle laid down in Article 2(1) of
the UNCAT and to find a way of how to
prevent torture.
The OPCAT system is considered
to be a breakthrough in the struggle to
combat acts of torture or other inhuman
treatment world (Association for the
Prevention of Torture (APT) and Inter-
American Institute of Human Rights
(IIHR), 2011). There are some distinctive
features that make the OPCAT system
special. The inclusion of national bodies in
the system of prevention is really
something new. Unlike other international
human rights treaties, the OPCAT is seen as
an operational treaty rather than a standard-
setting instrument. It introduces a practical
and complementary preventive framework
to its parent treaty (the UNCAT) rather than
imposing new obligations.
Another interesting feature is its
emphasis on prevention. The objective of
the OPCAT system is to establish a system
of regular visits to places of detention, in
order to prevent torture and other ill-
treatment. Another notable distinction
between the UNCAT and the OPCAT is the
issue of States‟ consent. When a State
ratifies the OPCAT, it automatically gives
its consent to allow regular, unannounced
visits by international or national bodies to
all types of detentions. On the other hand,
under UNCAT, the Committee can conduct
visits to States Parties only in case of
allegations of systematic torture. These
visits require prior consent of the State.
Article 28 of the Convention gives States
Parties the option not to accept the inquiry
procedure.
The combination of simultaneous
and complementary international and
national efforts also makes the OPCAT
system unique. The OPCAT establishes an
international expert body within its system
called the Subcommittee on Prevention of
Torture and other Cruel, Inhuman or
Degrading treatment or Punishment (the
SPT). It also requires Member States to
establish or designate a national body called
National Preventive Mechanisms (NPMs).
The relationship between the SPT and
NPMs gives a new important ground in
human rights protection since it combines
prevention in the international and national
plane. This preventive system should
perform at an optimum level if the SPT,
NPMs and the States parties are able to
build strong co-operation among them. The
principle of co-operation plays an important
role with regard to the performance of the
visits. The co-operation can be in the form
of exchanging information between the SPT
and NPMs.
The scope of the OPCAT is a
controversial issue. The scope of the
visiting mechanisms under the OPCAT
should also include “unofficial” places of
detention. The description of a place of
detention can be found in Article 4(1) and
4(2) of the OPCAT. Article 4(1) of the
OPCAT contains an obligation to allow
visits to any place where people are
deprived from their liberty with the order,
consent, or acquiescence by a public
authority. Article 4(1) has a broader
definition, as it also encompasses private
custodial settings where people are detained
by non-State actors with the acquiescence
of a public authority. On the other hand,
Article 4(2) gives a more limited definition
of the term “deprived of their liberty”, as it
requires an explicit order of a public
authority, mere consent and acquiescence
are not enough (Manfred Nowak and
Elizabeth,2008). However, Article 4(2)
should be interpreted in line with broader
definitions as stated in Article 4(1).
Consequently, “deprivation of liberty” must
be read to include not only „traditional‟
forms of deprivation of liberty such as
imprisonments, but also „less traditional‟
ones like -social care homes, mental health
institutions, foster homes and other places
in which a State can be held responsible
(Rachel Murray, Elina Steinerte, Malcom
Evans, and Antenor Hallo de Wolf, 2011).
The issue of the scope of OPCAT in Article
4(1) and 4(2) is important as it explains
27
how far the mandate of the SPT and of the
NPMs should extend.
Once a State ratifies the OPCAT,
they do not have to submit any additional
reports. Instead, the Member States have to
establish, designate or maintain a single or
multiple NPMs. They also have to open all
places of detention to be the subject of
scrutiny of the SPT and NPMs. Given the
fact that the SPT could not visit all
detention places in the Member States due
to the growing number of the members and
financial problem, it will give NPMs a
significant visiting role (United Nations
Human Rights Office of the High
Commissioner, 2013).
The SPT
Under Article 14 of the Optional
Protocol the SPT can conduct visits to any
places under its member States‟ jurisdiction
where people are deprived of their liberty.
During its first year, the SPT conducted
visits to Maldives, Mauritius and Sweden.
In 2012 the Subcommittee carried out five
visits to Argentine, Kyrgyzstan, Gabon,
Republic of Moldova and Senegal. The SPT
has also continued its dialogue with all
States parties which have not yet designated
their NPMs.
The SPT has two inter-related
functions: an advisory function by
providing advice on issues concerning
NPMs and domestic preventive measures;
and an operational function, for example:
carrying out in-country missions to monitor
places of detention to the States Parties to
the Protocol. For example, the members of
the SPT held meetings with the
Government of Cambodia and Guatemala
on NPM establishment issues.
Unfortunately, the SPT is facing budgetary
difficulties as well as mandate clarity
problems (SPT, First Annual Report,2008).
These difficulties are getting worse because
of the novelty of its visiting mechanism
within the UN context. Those challenges
have direct negative impacts concerning the
fulfilment of the SPT‟s mandate. The SPT‟s
limited financial resources to fund its in-
country visits for example, have been the
detriment of its advisory role.
As explained by Article 5(1) of the
OPCAT, the SPT initially comprised of ten
members, the number will rise to twenty
five following the 50th
ratification or
accession. In September 2009, the threshold
was reached. SPT members must be
equipped with enough skills and
competencies, and they must carry out their
functions in an independent manner. The
issue about the expanded membership is not
without any hurdles. The new members will
take time to adapt and establish a
relationship with one another and the issues
which were previously settled may be up
for discussion again. Other practical
problems might create significant
challenges, for example: the issue on
working languages as well as expansion of
the secretariat to support the workload.
Article 11(c) of the Protocol
should be seen as an important provision;
the article stipulates that the SPT shall co-
operate not only with relevant United
Nations (UN) organs, but also with other
international, regional, and national
institutions which are active in the
prevention of torture. The SPT should build
a constructive relationship with the
ComCAT and the Special Rapporteur on
torture because these two bodies are the
main UN bodies in charge of torture issues.
At the regional level, the SPT can learn
from the experienced European Committee
for the Prevention of Torture (CPT) or
benefit from the practices carried out by the
Special Rapporteur from Africa and
America regions. The Rapporteur‟s
mandate is broad covering all United
Nations Member States. However, the
Rapporteur can only visit a State if invited
to do so by the government.
NPMs
NPMs are the central bodies in the
system of prevention that the OPCAT puts
in place, especially given the fact that the
SPT itself feels doubt as to whether it could
conduct effective visits to all State Parties
due to expenditure inadequacy (Elina
Steinerte and Rachel Murray, 2009). The
inclusion of NPMs within the OPCAT
framework is the key factor of the effective
28
prevention, as they are located within the
States Parties territory so that frequent
visits are most likely possible.
When States become a party to the
OPCAT, they are obliged to establish,
designate, or maintain an independent NPM
or multiple NPMs as stipulated in Article
17 of the OPCAT. However, the OPCAT
contains very few prescriptions as to how
NPMs are constituted. This has led to
variety in the structure and composition of
the NPMs. A State may designate a single
ombudsmen office or a series of Human
Rights Commissions as the NPM/NPMs.
For instance, in Denmark it is the
Ombudsman who has been designated as an
NPM, in Mexico; it is the Mexican Human
Right Commission that has been designated
as an NPM, whereas in New Zealand five
institutions have been designated to carry
out the mandate of the NPM.
Under Article 19 of the OPCAT,
NPMs have a mandate to conduct regular
visits to places of detention and make
recommendations to the authorities. NPMs
should also have access to all places of
detention and freedom to choose the places
to visit. The access to visit places of
detention must also include unofficial
places of detention as stipulated in Article 4
of the OPCAT.
A strategic decision should be
made when it comes to determination on
the formulation of an NPM or multiple
NPMs. The choice is either establishing a
new institution or designating an existing
body as an NPM. Specific advantages and
disadvantages are associated with the
design of a new body versus the designation
of an existing body (Assosiation for the
Prevention of Torture (APT), 2006).
Countries with large geographical areas and
dispersed at long distance detentions may
be in a better position if they were to
consider having multiple NPMs to cut the
travel budget. Designating an existing body
as an NPM has some benefits as it may
already enjoy significant public confident
and have accumulated experience.
However, designating a national human
rights institution as an NPM also involves
challenges in relation to the institution‟s
broad mandate and a lack of financial and
personnel independence. For example
Poland and Mexico enjoy infavorable
NPM‟s performance. The Polish
Government appointed the existing body,
the Polish Commissioner for Civil Rights
Protection, a large institution with a wide
mandate, as an NPM and the Mexican
Government designated a current institution
named National Human Right Commission
as an NPM. However, those institutions
failed to conduct their mandates because of
insufficient staff and inadequate financial
support (High Commissioner for Human
Rights (OHCHR), 2008).
There are several requirements that
NPMs should meet in order to perform
effectively. Independence is the most
important characteristic that an NPM must
possess. Article 18(1) OPCAT calls for
functional and personnel independence of
NPMs. Representativeness, necessary
expertise, and adequate funding are also
important considerations to guarantee
independence.
The OPCAT, the SPT guidelines
and the Paris Principles all place stress on
the importance of NPMs being
independent. The law creating an NPM
should not place the institution under the
institutional control of a government
ministry, cabinet, or president. Each
member of Commission or each member of
staff should be personally independent from
State authorities, and the NPM should not
include individuals who are presently
occupying active positions in the
Government. Financial autonomy is also
crucial. The usage of their resources on an
independent basis, ability to draft their own
annual budgets, freedom from control and
the need for governmental approval can be
seen as a safeguard to preserve the
independence of NPMs. This independence
will enable NPMs to be capable of
performing their functions. Conflicts of
interest are very likely to arise when the
institutions or the staff cannot act in an
impartial manner. For example, an NPM
member who also occupies an active
position in the criminal justice system
would find difficulties in conducting his
29
multiple roles as they have conflicting
interest.
In conclusion, the UNCAT as an
effort to combat torture and other inhuman
treatments mainly takes repressive
measurements to fight against torture,
however Article 2 of the UNCAT gives
concern on the prevention. The ComCAT is
established with the objective to supervise
the States Parties‟ compliance with the
obligations under the UNCAT. It can also
be concluded that the Committee has a wide
range of mandates. They can take the
position of preventive role through the
framework of reporting procedure and
inquiry procedure. The Convention also
gives way to an effective prevention system
through the OPCAT. The OPCAT
establishes a system of prevention which
mixes international and domestic
approaches. A very critical role will be
conducted by NPMs as they are located
within the country meaning that regular
visits are possible. However, the NPMs
would not be able to function properly if
they are not independent and not well
equipped with required human resources‟
expertise.
The Existing Visiting System in
Indonesia; The Conformity between
Indonesia’s National Legislation with the
UNCAT’s Provisions
A few years after ratifying the
UNCAT through Law Number 5/1998,
Indonesia enacted several new laws as part
of Indonesia‟s on-going efforts for
comprehensive legal reform for the purpose
of protecting human rights including the
right not to be subjected to torture and other
cruel, inhuman, or degrading treatment or
punishments. Among the most notable
legislative measures is the amendment of
the 1945 Constitution, the highest legal
authority in Indonesia. The protection of
human rights is one of the values which has
been given a special attention regarding its
amendments. The amended 1945
Constitution in Article 28G(2) and 28I(1)
stipulate the right to be free from torture or
inhuman and degrading treatment. Other
provisions grant people with some basic
human rights. This revision can be seen as a
huge leap to the protection of human rights
as the original 1945 Constitution lacked
with the sufficient human rights provisions.
Similarly, the Government of
Indonesia also enacted some other
legislation which reflects the Government‟s
awareness of its responsibility on the
protection of human rights. Law Number
39/1999 on Human Rights has made a
significant progress in which it establishes
and gives a wide mandate to the National
Commission on Human Rights (Komnas
HAM), ranging from the power to study,
research, disseminate, monitor and mediate
human rights issues. With the existence of
an independent institution monitoring
human rights, it is expected that protection
to human rights will be more effective.
Another important regulation is Law
Number 26/2000 on Human Rights Courts
which guarantees that any violations of
human rights will be brought to justice. In
those both documents, we can find the
definition of torture.
Article 1 section 4 of the Law
Number 39/1999 provides that: “Torture
means all deliberate acts that cause deep
pain and suffering, both physical or
emotional, inflicted on an individual person
to obtain information or knowledge from
that person or from a third party, by
punishing an individual for an act carried
out or suspected to have been carried out by
an individual or third party, or by
threatening or coercing an individual or
third party, or for reasons based on
discriminative considerations, should this
pain or suffering arise as a result of
provocation by, with the approval of, or
with the knowledge of any person or public
official whosoever.”
The Government of Indonesia
claims that the above definition is in line
with the Convention. In fact, according to
the Government, Indonesia‟s torture
definition is more advanced since it
includes the acts conducted not only by
public authorities but also by individuals.
Unfortunately, there is no single provision
in Law Number 39/1999 regulates
punishment to the torture perpetrators
30
(Working Group on the Advocacy against
Torture (WGAT), 2010). In addition, the
Law Number 26/2000 on Human Rights
Court in Article 9(f) also stipulates the
definition of torture. Article 39 of the Law
stipulates that every person who commits or
is suspected of having committed, or
attempts to, participates in, or accomplices
torture, shall be punished by five to fifteen
years imprisonment. Conversely, former
UN Special Rapporteur for Torture
Manfred Nowak in his report recommended
that Indonesia should define torture in
accordance with Article 1 and 4 of the
UNCAT, as the definition of torture under
the Law number 26/2000 is restricted to a
massive, broad, and systematic attack
against civilians. Therefore, in the view of
above mentioned laws, an individual attack
as well as sporadic and unsystematic
attacks would not fall under the definition
of torture. The consequence of these
phenomena is that it is difficult to charge
perpetrators with committing acts of torture
under these laws, which then leads to
impunity practises.
Amid the vacuum of a torture
definition which is in line with the
Convention‟s definition, Indonesia‟s Penal
Code offers a solution. Actions that result
in physical or mental violence and other ill-
treatment are punishable under the
Indonesian Penal Code. Under Article 422,
officials who, in a criminal case use means
of coercion for the purpose of a confession
or to get information shall be punished.
However, the scope of Article 422 is
limited only for investigations of criminal
acts. It means that other offences not under
the investigation process cannot be
punished by this provision. Articles 351 to
358 of the code also punish acts which have
elements similar to torture, but still miss
several elements of the torture definition,
such as elements of purpose and agency.
Those offences are punished under
“maltreatment” charges. As a result, torture
offenders are charged with the offence of
maltreatment, leading to less severe
punishment.
From above points, it can be
shown that Indonesia‟s legislation
concerning acts of torture lack an
appropriate form of punishment. This
happens because the legislation concerning
the acts of torture as stipulated in Law
Number 26/2000, defines torture with
higher thresholds than the one regulated in
the UNCAT, as it requires the acts to be
systematic, massive and broad. That
definition has led to impunity since there
have been no persons brought to court
charged with torture under the Law Number
26/2000. In its penal code, Indonesia
qualifies acts of torture as “maltreatment”
which misses some important elements of
what constitutes torture, and results in less
severe punishments for the act of torture.
Therefore, regarding Article 4(2) of the
UNCAT, Indonesia is not yet able to
comply with its obligation.
Indonesia has not yet declared the
competency of ComCAT as indicated in
Article 21 and 22. Under these provisions,
the Committee would have the power to
receive complaints and communications
from other signatory countries, as well as
individuals upon declaration. The absence
of a declaration to acknowledge the
competency of the ComCAT gives more
space for the internal complaint mechanism
within Indonesian system.
Under Indonesia‟s criminal
system, any complaints shall be submitted
to the Police. This raises a concern as most
cases of torture are committed by members
of law enforcement agencies. This
mechanism has difficulties to realise an
impartial investigation. This fact is not in
line with Article 13 of the UNCAT which
stipulates the obligation to ensure a prompt
and impartial complaint mechanism on
torture allegation.
The Role of the National Human Rights
Institutions in Preventing the Acts of
Torture and Ill Treatment in Indonesia
As Indonesia is not party to the
OPCAT, Indonesia is not legally obliged to
establish a preventive mechanism under the
OPCAT. However, Indonesia has several
institutions dealing with human rights
which have a mandate to take preventive
measures against acts of torture and other
31
inhuman treatment. The National Human
Rights Commission (Komnas HAM), the
National Commission on Violence against
Women (Komnas Perempuan), the
Witnesses and Victims Protection
Institution (LPSK), and the Ombudsman of
the Republic of Indonesia are among the
potential institutions to conduct
preventative measures against torture.
The Komnas HAM plays a key
role in prevention against acts of torture as
it has conferred a mandate from both Law
Number 39/1999 and Law Number
26/2000. It can be concluded from above
regulations that the Komnas HAM has
functions to study, research, disseminate,
monitor and mediate human rights issues,
as well as a power to conduct inquiries of
alleged acts qualified as crimes against
humanity including torture. The monitoring
function attached to Komnas HAM has a
close relation with the preventative efforts
against torture. In conducting its monitoring
function, the Komnas HAM could carry out
a survey of the locations where incidents
have taken place and other locations which
are deemed necessary. The Komnas HAM
could also examine sites such as houses,
yards, building and other places occupied
by certain parties with the agreement of the
chief of the court. The inability to conduct
visits without prior authorization from other
bodies has impeded this institution from
functioning properly. In contrast to Article
4(1) of the OPCAT, the NPMs can carry
out visits to any places of detention without
any further consent required. Impartiality
and independency are the key elements of
the Komnas HAM to ensure that its
mandate is carried out effectively.
However, the Komnas HAM has some
problems regarding its independence.
Further elaboration on the independency of
the Komnas HAM will be discussed in the
next chapter.
In the light of Komnas HAM‟s
mandates being derived from Law Number
39/1999, a Memorandum of Understanding
(MoU) with the National Police was
concluded, where the Police granted free
access for the Komnas HAM to visit all
detention facilities under police
jurisdictions. However, no visits undertaken
by the Komnas HAM are unannounced.
The visiting team has to make some
arrangements with the authorities before
carrying out the inspection. This means that
the Komnas HAM does not have a strong
monitoring function, as it always needs
other institutions‟ permission to conduct
visits, for example from the Police. Aside
from its inspection function, the Komnas
HAM is obliged to disseminate human
rights values including the prohibition on
torture. Recently, the Komnas HAM has
published leaflets as a medium to publicize
the UNCAT, to educate people regarding
the norms and to promote the values
contained in the Convention.
Under Articles 90 to 92 of Law
Number 39/1999 on Human Rights, the
Komnas HAM has a mandate to receive
complaints either from individuals or
groups. This function is rather different to
those that the NPMs have. NPMs under the
OPCAT have at least two core mandates; to
conduct visits and make recommendations
to the Governments. However, States may
endow an NPM with broader mandates, for
example to adjudicate individual
complaints. But this may give rise to
considerable obstacles when it comes to
achieving the OPCAT‟s objectives, as it
may upset the co-operative relation with the
Government. This broad mandate by the
Komnas HAM could have a negative
impact to its proactive inspection body role.
Similar to Komnas HAM, The
National Commission on Violence against
Women (Komnas Perempuan) can also
conduct inspections to places of detention.
One of the National Commission on
Violence against Women‟s (Komnas
Perempuan) mandates is to strengthen
efforts on prevention against torture on
women. In line with its mandates, the
Komnas Perempuan has conducted several
visits to places of detention. However, these
visits are not without any restrictions. The
Komnas Perempuan cannot have access to
detention centres without prior consent
from the authorities, the same rule that
applies to the Komnas HAM. The Komnas
Perempuan may conduct monitoring only
32
on an ad hoc basis which means that this
institution does not have the capacity to
carry out a comprehensive monitoring
system (UN Human Rights Council, 2008).
The Presidential Regulation No. 65/2005 on
National Commission on Violation against
Women (Komnas Perempuan) in Article 3
claims that the Komnas Perempuan is an
independent institution. But, given the fact
that this institution was established by a
presidential regulation, it can be shown that
this institution begins with something
unindependent, as the President has a power
to alter or dissolve the Komnas
Perempuan‟s mandate at anytime.
Furthermore, in its law, there is no
statement of any kind regarding the
requirement for a level of expertise when
appointing members.
Indonesia established a witness
protection body, called the Witnesses and
Victims Protection Institution (LPSK), as
part of the mandate derived from Law
Number 13/2006 on the Witnesses and
Victims Protection Institutions (LPSK). The
LPSK has a significant role in the
prevention of acts of torture and other
inhuman treatment. The mandate of this
institution is to provide protection and
support to witnesses and victims of crimes,
including cases of torture and maltreatment.
Article 5(2) of Law Number 13/2006
stipulates the parties who will fall under the
protection of LPSK, inter alia: victims or
witnesses of corruption, terrorism, and
drugs abuse cases. However, this provision
is not exhaustive; therefore, it is possible to
include torture victims as a party who
qualify for special protection. Given the
fact that acts of torture tend to be
perpetrated by the law enforcement officers
who also process a criminal charge,
protection and assistance by a third party
for the witnesses and victims in every step
of criminal procedures becomes crucial.
That is the importance of LPSK. However,
the Government of Indonesia shows a lack
of support toward this institution. In terms
of budget and legal framework, this
organisation has a very slow progress. The
budget for LPSK was not disbursed until
November 2008, two years later after its
establishment.
Another institution, which has a
high potential to carry out prevention
measures, is the Ombudsman of the
Republic of Indonesia. The formation of
this body was initially derived from
Presidential decree Number 44/2000 on the
National Ombudsman Commission. In
order to strengthen its legal framework, the
Law Number 37/2008 on the Ombudsman
of the Republic of Indonesia was
concluded. Pursuant to Article 6 of Law
Number 37/2008, the Ombudsman has a
mandate to monitor governmental
institutions or the State‟ organs and conduct
investigations on grievance of
maladministration in administering- public
services. Pursuant to Article 8(f) of Law
Number 37/2008, the Ombudsman could
make recommendations on the disposition
of the grievance. This includes complaints
from detainees. Concerning the handling of
complaints, a memorandum of
understanding (MoU) is concluded between
the Ombudsman and the Ministry of Justice
and Human Rights. The objective of this
MoU is to raise the standard of the
conditions in places of detention, as well as
the detainee‟s treatment. The LPSK and the
Ombudsman share similarities, as they are
facing problems with their independency or
expertise issues. Article 11(1) of the Law
Number 13/2006 on the Witnesses and
Victims Protection Institutions (LPSK)
stated that this institution is independent.
However, in Article 13(1) gives a clue that
this institution is not totally independent, as
they have to be responsible to the President
which means they are placed under the
President‟s supervision.
As explained above, it can be
concluded that the Indonesian national
human rights bodies have a role in the
prevention of torture and other inhuman
treatment. These roles range from
conducting visits, educating people and
officers, to disseminating the norms
regarding the prohibition of the acts of
torture. However, the visits conducted by
those bodies still lack the important
elements compared to the OPCAT system.
33
How this existing visiting system works,
will be explained in the subsection below.
The Weaknesses of the Existing Visiting
System in Indonesia
The OPCAT visiting system is
recognized as an effective prevention
mechanism against acts of torture and other
inhuman treatment. This visiting system
combines an international approach through
SPT, as well as a domestic approach
through NPM. Aside from its dual
approach, this system also establishes
regular visits, either announced or
unannounced, which cover official and
unofficial places of detention. The inclusion
of NPMs within the OPCAT framework is
the key factor of the effective prevention
because NPMs, by nature, are located
within State Parties so that they can conduct
more frequent visits.
Co-operation between the
ComCAT, SPT, NPM, and the State plays
an important role in the performance of
effective preventive visits (Kerstin
Buchinger, 2009). The ComCAT and the
SPT holds at least one annual meeting in a
year, and the SPT also submits an annual
report to the ComCAT. The SPT can make
use of the reports submitted by State Parties
to the ComCAT to help its work. A solid
relation between the SPT, State Parties, and
NPM will lead to a good visiting system
performance, as they are in the very heart of
this system. The SPT assists the State
Parties on the establishment or designation
of NPM. NPM, in conducting its visiting
mandate, should keep in constant contact
with the SPT and follow its guidelines.
As the main player in the OPCAT
visiting system, it is essential that NPMs
meet several requirements in order to
function well. Independence is the most
important characteristic that an NPM must
possess. Article 18(1) OPCAT calls for
functional independence and independence
of the personnel of NPMs.
Representativeness, necessary expertise,
and adequate funding are also important
considerations to guarantee effective
performance. The OPCAT requires States
to consider the Paris Principles when
establishing or designating their NPM(s) as
it lists a set of criteria for national human
rights institutions to be considered
independent (Antenor Hallo de Wolf,
2009).
Under Article 19 of the OPCAT,
the NPM will have a mandate to conduct
regular visits to places of detention and
make recommendations to the authorities.
NPMs should have access to all places of
detention in which it is permitted under
Article 4 of the OPCAT, including
unofficial places of detention, for example
hospitals, care homes for elderly, and
mental health institutions. There are some
institutions in Indonesia which carry out the
function of monitoring detention places.
However, this monitoring function creates
the visiting system but does not perform
well since it lacks the important elements
that the OPCAT system requires. By
comparing the existing visiting system in
Indonesia to that of the visiting mechanism
under the OPCAT, the shortcomings of the
current visiting system become apparent.
Visits by the Komnas HAM, the
Komnas Perempuan, the Ombudsman and
Independence actors form a potential
visiting system in Indonesia, similar to the
one envisaged under the OPCAT. Under the
Article 76(1) of the Law Number 39/1999,
The Komnas HAM has a function to
monitor places of detention. This body
could visit all detention places under the
Police‟s jurisdiction. The Komnas HAM
can also conduct visits to less traditional
places of detention such as houses and other
buildings where people are deprived of their
liberty. Similarly, the Komnas Perempuan
also conducts visits, but with a more
specific theme, the protection of women
being the main concern. However, both
visits by the Komnas HAM and Komnas
Perempuan require permission from the
respective authorities, for example from the
Police or local Governments.
Independent visits by NGOs are
also possible. However, these visits are
only for a particular purpose, for example
conducting surveys, and not for regularly
monitoring places where there is a
deprivation of liberty. Visits with purposes
34
other than prevention could also be done by
the Ombudsman. The Ombudsman could
visit detention places as part of their
investigation function. Inspections to places
of detention are carried out based on the
grievance they received. Therefore, the
visits conducted by the Ombudsman are not
preventive visits in nature, as it focuses on
reactive measures.
The existing visiting system is
proven to be ineffective. The number of
allegations of acts of torture and ill-
treatment committed by members of the
police forces, the army (TNI) and other
groups linked to authorities, is still high,
confirming the validity of the previous
statement, (Office for Justice and Peace of
Jayapura and Impartial-Jakarta, 2007). The
failure to bring the perpetrators of these acts
of torture to justice is just another example.
The existing visiting system in
Indonesia has some characteristics which
result in performance ineffectiveness. First,
the institutions which have preventive
functions do not have authentic mandates to
visit places of detention. In other words,
these institutions have limited mandate
concerning the monitoring function, as all
the visits shall be announced and require
consent from the related authorities. The
practices shown by Komnas HAM and
Komnas Perempuan are clear enough to
support above premise. They could not
access places of detention without the
consent from the Police, local Court, or
local Government. The absence of
unannounced visits confirms the failure of
this system. The above facts describe a
great different as to what the NPM has
under the OPCAT system. NPMs could
conduct visits without prior consent from
the authorities. These visits could be either
announced or unannounced. Even the SPT
could conduct visits without any prior
consent from the Government. Once a State
ratifies the OPCAT, it is considered that
they already given their consent to allow
visits.
The second factor which causes
underperformance within the visiting
system in Indonesia, regards the broadness
of the institutions‟ mandate. The mandates
of the institutions who conduct the visits
covers broad tasks. The Komnas HAM has
an abundant workload ranging from
studying, researching, disseminating,
mediating and monitoring human rights
issues which makes no difference in terms
of the broadness of its mandates with its
counterpart Komnas Perempuan. Like the
Komnas HAM and the Komnas Perempuan,
the Ombudsman also has an extremely
broad mandate dealing with
maladministration in administering public
services. They will hardly have sufficient
financial and human resources to properly
undertake preventative visits. The fact that
the Komnas Perempuan could not
undertake visits on a regular basis has
impeded this system from functioning
properly. Similarly, given the fact that
preventative visits are not part of the
Ombudsman‟s mandate and the visits they
conduct are reactive rather than preventive
based on the complaints they received, this
leaves the Komnas HAM as the sole
institution which could conduct preventive
visits on a regular basis.
Third, this current visiting system
does not prescribe minimum standard to the
bodies which would allow them to
functioning effectively. The State does not
grant enough functional, personnel
independence as well as pluralistic and
competent experts as stipulated in the
OPCAT, the Paris Principles and the SPT
guidelines on NPMs. The SPT, in its
guidelines regarding NPMs‟ establishment
states that it is a basic principle for NPMs
to be independent (Subcommittee on
Prevention of Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment (SPT), 2010). Although the
Law Number 39/1999 and the Law Number
26/2000 have rectified the Komnas HAM
independence by reducing the President‟s
role in electing the members of this body,
but this level of independence is considered
insufficient, as the proper function by the
Komnas HAM depends on the other
institutions‟ assistance, for example from
the Police, by giving them permission to
conduct visits to places of detention under
its power. Disharmony relation with the
35
Attorney-General has hindered this body
from performing its mandate. Under the
Article 20 of the Presidential Decree
Number 65/2005, the members of Komnas
Perempuan are responsible to the president.
This lack of independency causes
imbalance and prevents the body from
performing well. The Komnas HAM also
appears to be insufficiently resourced in
terms of either the number of staff or
pluralistic expertise as their members are
only those who have a legal background. In
order to conduct an effective visit, a mix of
professional backgrounds should be
included during the missions who are not
only lawyers, but also doctors and
psychologists.
To summarize, it can be concluded
that there is no effective monitoring
mechanisms currently in place in Indonesia.
The Ombudsman can conduct visits to
places of detention, the Komnas Perempuan
and the Komnas HAM have been
conducting announced visits to police
detention centres. However, there is no
effective mechanism which would have the
power to conduct unannounced, preventive
visits to all places of detention throughout
the country. The existing monitoring bodies
are facing problems with some basic
requirements which would allow them to
function well, such as the clarity of
mandate, expertise and institutional
independence. Both the ComCAT and the
United Nations (UN) Special Rapporteur on
torture through their reports highlight the
lack of effective mechanisms in Indonesia.
Establishing a visiting system à la
OPCAT in Indonesia; Issues upon
Ratification of the OPCAT
The OPCAT visiting system
comprises of two approaches, the
international and domestic approach, which
are regarded as an effective way to prevent
the acts of torture and inhuman treatment (,
Kirsten Buchinger, 2009). However, some
States are reluctant to ratify and implement
the OPCAT considering that international
and regional torture-related bodies already
exist. Those States argue that the OPCAT
bodies will duplicate the work of existing
institutions, such as the European
Committee for the Prevention of Torture
and Inhuman or degrading treatment or
punishment (CPT). For many Asia-Pacific
States including Indonesia, monitoring from
the SPT as a representation of international
monitoring bodies is considered
controversial. The mandate of the SPT
which could conduct announced or
unannounced visits to places of detention
might be seen as an infringement of State‟s
sovereignty. In the traditional
understanding, sovereignty means that only
the State has the highest authority in its
territory. Therefore, protection to the people
in its jurisdiction should be undertaken by
the State without any interference from any
international bodies.
States‟ sensitivity to sovereignty,
as well as national security issues, has
driven many States in Asia-Pacific to be
hesitant as to whether they should or should
not ratify the OPCAT. For example, the
Philippines prior to ratifying the OPCAT,
addressed the issue of sovereignty very
seriously. They were questioning whether
granting the SPT the right to access all
places of detention could be seen as a form
of sovereignty infringement. Finally, they
ended up with the conclusion that it was not
the case; the OPCAT system was deemed to
support national sovereignty instead of
violating it. The SPT works based on
mutual trust and confidentiality rather than
condemnation, but not all States share the
same understanding in that respect.
Indonesia, to some extent, holds
different views to the Philippines regarding
the issue of international monitoring in
relation to States‟ sovereignty. Upon the
ratification of the UNCAT, Indonesia had
already made a declaration to article 20(1),
(2) and (3). Indonesia brought up the issue
of sovereignty and territorial integrity upon
the application of article 20 of the UNCAT.
Under Article 20 of the Convention, the
Committee can launch an inquiry into
allegations of systematic torture. Indonesia
also refused to recognise the competence of
the ComCAT to investigate a complaint
from another State by the absence of the
declaration of intention in relation to article
36
20 and 21(1) of the UNCAT. This means
that Indonesia rejected the competency of
the ComCAT, which to some extent could
play a role as an international monitoring
body. Similarly, the OPCAT system, which
allows outside monitoring conducted by the
SPT to scrutinize places of detention, has
many pros and cons. Therefore, the role of
the SPT is crucial in explaining Indonesia‟s
current position upon the ratification of the
OPCAT.
The idea of outside scrutiny by the
SPT being seen as a breach of a State‟s
sovereignty is absolutely misleading as the
visiting system under the Optional Protocol
is based on cooperation rather than
confrontation. The work of the SPT is
guided by the principle of cooperation
between the Subcommittee and the State
Parties. The principles of confidentiality,
impartiality, and objectivity also become
guidelines relating to how the SPT conduct
its tasks. So, the visits by the SPT under the
OPCAT system do not recognize the
element of “naming and shaming”. For
example, The SPT communicates its
recommendations and observations
confidentially to the Member States. It
cannot announce its reports or observations
in public unless the State itself requests to
do so, or the State refuses to cooperate with
the Subcommittee. Furthermore, the
decision to publish the report by the SPT
should be decided by majority of the
ComCAT members. If a State has a good
will and they are willing to cooperate, they
should not be afraid of ratifying this
Optional Protocol; the signing the Optional
Protocol should not be considered a threat
to a States‟ sovereignty.
Even so, we could not say that
Indonesia is totally resistant to outside
world monitoring. The invitation of the
Government to the UN Special Rapporteur
on Torture to conduct visits to detention
facilities demonstrates the willingness of
Indonesia to open itself to visits from
outside institutions. Indonesia is in the
process of consultation within government
and civil society regarding ratification of
the OPCAT, indicating that this issue is to
be taken seriously by the Government. Its
ongoing discussions with all the stake
holders also suggest that the final decision
has not been concluded as of yet.
Aside from the sovereignty issue,
the geographical, socio-cultural, religious,
politics and ethnic diversities could be the
reasons behind Indonesia‟s tardiness upon
ratification of the OPCAT (Richard
Harding and Neil Morgan, 2010). As an
example, Indonesia‟s geographical feature
is very scattered; there are 17.000 islands in
total and it is also prone to natural disasters.
Therefore, the national priority in terms of
places of detention is still to provide safe
detention facilities and enough food for its
whole population. However, regardless of
the reasons behind this ongoing uncertainty
upon ratification of the OPCAT, real action
needs to be instituted promptly to bridge the
gap between the high number of torture
records and the absence of an effective
prevention mechanism.
An Obligation to Establish a Visiting
System Based on the OPCAT
The Committee, in its concluding
observations to Indonesia, stresses the
importance of the OPCAT ratification. The
Special Rapporteur on torture, in his reports
during his visits to Indonesia strongly
requests, and calls upon the Government to
ratify the Optional Protocol. Those strong
positions from both the ComCAT and the
Special Rapporteur on torture question
whether there is an obligation to ratify the
OPCAT or an obligation to establish a
preventive visiting system based on the
OPCAT.
In general, States are the highest
authority in the international community.
Neither treaties nor international
organizations can force a State to ratify a
treaty and become party to it. Conversely, it
is up to the State, based on their consent,
whether they wish to ratify a particular
treaty or not. In that respect, State Parties to
the UNCAT cannot be obliged to ratify the
OPCAT. The UNCAT stipulates a general
obligation to prevent torture as stated in
Article 2(1) of the Convention, it makes no
reference to the OPCAT since the Protocol
was concluded later. Therefore, it can be
37
concluded that there is no obligation to be
party to the OPCAT nor an obligation to
establish a visiting system based on the
OPCAT. There is, however, a general
obligation to prevent the acts of torture.
This situation gives some leeway for States
to develop their own domestic visiting
system out of the OPCAT system.
The obligation to prevent torture
entails not only the compliance with legal
commitments, as set out in international
instruments which have a preventive
impact, but also the idea that a State should
embrace any required actions which can
contribute to the lessening of the risk of
torture occurring. In the ICJ case involving
Bosnia and Herzegovina v. Yugoslavia, the
court decided that the Federal Republic of
Yugoslavia (Serbia and Montenegro) had
violated the Convention on the Prevention
and Punishment of the Crime of Genocide
by virtue of having failed to prevent and to
punish acts of genocide(ICJ reports, 1996).
Similar to the UNCAT, a State can be
considered breaching its obligation to
prevent torture if it is proven that it failed to
take necessary actions to prevent the acts of
torture.
In line with above notion, State
Parties to the UNCAT are considered to be
successful carrying out their obligations
under Article 2(1) of the UNCAT, if they
can establish an effective system of torture
prevention, regardless of whether they are
party to the OPCAT or not. The critical
question arises as to how we define an
effective preventive visiting system against
torture.
The OPCAT system is hailed to be
the most effective visiting system in place
today. International NGO‟s such as the
Association for the Prevention of Torture
(APT) and Inter-America Institute for the
Human Rights (IIHR) hail that the new
approach enshrined in the OPCAT is
needed to effectively prevent the acts of
torture. The Special Rapporteur to the
mission of Indonesia reiterates the
effectiveness of the OPCAT visiting
system. In its concluding observations to
Australia, the Committee urges Australia to
ratify the OPCAT in order to strengthen the
prevention against torture. Similarly,
through its concluding observations to
Albania, the Committee requests that the
State establish an NPM in order to
effectively prevent torture.
The ComCAT, in its general
comment on Article 2 of the UNCAT,
reiterates that the legislative, administrative,
judicial and other actions taken by States
Parties must in the end be effective in
preventing the acts of torture. Furthermore,
the Committee ascertains that the obligation
to prevent torture in Article 2 is wide-
ranging. The scope of the effective
measures enshrined under Article 2 of the
UNCAT, therefore also includes
establishing an effective monitoring
preventive system. This document as if
gave reference to a visiting system based on
the OPCAT to be established in any States
Members of the UNCAT, since this system
is considered the most effective.
The National Human Right Commission
of the Republic of Indonesia (Komnas
HAM) works à la NPMs
The notion of a visiting system is
not new in Indonesia. The mandate of the
Komnas HAM, the Komnas Perempuan,
and the Ombudsman of the Republic of
Indonesia have made it clear that prison
oversight mechanisms are already in place.
But this system faces deficiencies regarding
the mandate and quality of the visits.
Therefore, efforts should be made to
improve and ensure effective protection of
persons in detention. The strengthening of
the domestic oversight mechanism should
remain a goal even if states have not yet
signed or ratified the OPCAT, since the
OPCAT requires the designation of an
NPM at a domestic level, which may
appoint the existing body (Berber Hettinga,
Aquinaldo Mandlate, Lukas Muntingh,
2011).
Concerning Indonesia‟s inspection
system, improving and strengthening
domestic visiting systems should be
initiated by giving the institutions dealing
with the monitoring a clear and strong
mandate. The strong words concerning its
mandate, and as how far the institutions
38
could go in conducting its mandate should
be clearly stated in the regulations. To date,
this has not been the case.
As mentioned earlier, the
inspection system in Indonesia has some
weaknesses; the Komnas Perempuan and
the Ombudsman of the Republic of
Indonesia have a visiting mandate, but it is
limited in its scope. The Komnas
Perempuan could carry out inspections and
conduct interviews but this is only
applicable for female prisoners. Similarly,
the Ombudsman can also conduct
inspections, but only upon receiving a
complaint; the visits conducted are more
reactive than preventive in nature. Unlike
other human rights institutions, The
Komnas HAM has a broader and more
general mandate as they can carry out
inspections with no limitation to the gender
and visit places where acts of torture are
most likely to happen. It would seem that
the Komnas HAM is the only human rights
institution which has an ideal mandate for
the prevention of torture. Thus, it should be
the leading institution for the prevention
against torture and other inhuman
treatment. In regard to the establishment of
the NPM, once Indonesia ratifies the
OPCAT, the Komnas HAM could be
appointed as the NPM.
In principle, as long as the body
can conduct its visiting function well, it
should not matter whether it is new or not.
However, establishing an entirely new
OPCAT focused institution is not a good
option in Indonesia, as it has several
institutions with more or less the same
mandate. Creating a new institution can
result in a more complicated system since it
will duplicate the work of the existing
bodies. Furthermore, the Komnas HAM has
already enjoyed a good reputation in the
society, something that could be difficult
for the new body to achieve.
The concern of improving the
existing visiting system should focus on
how to improve the quality of the visits.
The quality of the visits has been shown to
correlate with institutional independence, as
well as the independence of their personnel.
Visits by national preventive mechanisms
cannot effectively prevent torture and other
inhuman treatment unless the institution is
truly independent.
The Komnas HAM‟s
independence is very much questioned. In
its concluding observations to Indonesia,
the Committee against Torture reiterates the
insufficiency of the level of the
independence and impartiality of the
Komnas HAM. In 2008, the ComCAT
through its concluding observation
recommended that the Government of
Indonesia strengthens the independence of
the Komnas HAM. The level of
independence is really an issue in the case
of the Komnas HAM‟s mandate under Law
Number 26/2000 on the Human Rights
Court. The mandate under the Law Number
26/2000 for conducting the initial
investigations relating gross violation of
human rights will come to nothing because
it is up to the Attorney General to decide
whether or not the case will proceed,
despite the Komnas HAM saying
otherwise.
The independence of an institution
will be undermined if the Government has
the legal authority to dissolve, replace, or
alter its mandate. This can be called
institutional independence. The
independence of a human rights institution
also means that the law creating the
institution should not place the institution
and its member under the Government
control. The independence of members and
staff is also important as the members of
the human rights institution should be
experts and personally independent from
the Government itself. Visits to places of
detention by independence and impartial
authorities are the fundamental principle
underlying the OPCAT.
Law Number 26/2000 claims that
the Commission is an independent
institution, but the law does not elaborate
more on the extent of said independence.
However, Article 85(2) of Law Number
39/1999 on Human Rights, stipulates that a
member of the Commission may be
discharged if he is no longer able to carry
out his mandate independently, such as by
joining a political party. Following this with
39
regard to the independency issue, it can be
concluded that the above laws only focus
on personnel independence, giving no
reference to functional independence.
The Komnas HAM cannot be
regarded as having a level of independence
high enough in carrying out its inspection
mandate, even though it secured „A‟ status
accreditation from the International
Coordinating Committee of National
Human Rights Institutions (ICC) in 2012 to
show its compliance to the standard set out
in the Paris Principles. The inter-relation
between the Komnas HAM and the
Attorney General in proceeding gross
violations of human rights has put the
Komnas HAM in a very weak position and
has undermined its independence; it is up to
the Attorney General to continue or halt the
legal process regarding an allegation of a
human rights violation. Furthermore,
concerning the Komnas HAM‟s visits to
places of detention under the Police
authority in which require permissions from
the Police in the form of an agreement, it
has undermined the inspection mandate
stipulated in the regulation. The existence
of an agreement before conducting visits
has made unannounced visits impossible.
Therefore, the Komnas HAM in conducting
its inspection mandate has clearly fallen
short of required independency and
authority. Therefore, functional
independence by the Komnas HAM should
be given more concern. The Commission
should be able to conduct its mandate
without any restrictions or dependency
from another institution. The only solution
is by amending the law regulating the
mandate of the commission.
The personnel expertise is also an
issue in the effort to improve the quality of
the visits by the Komnas HAM. It is not
enough that the Commission‟s members are
independent from the Government. In order
to be effective at conducting visits, the
members of the monitoring institutions
must each have relevant expertise. The lists
of expertise are not only lawyers but also
individuals of other professions, including
doctors, psychologists, anthropologists, etc.
Unfortunately, Law Number 39/1999 on
Human Rights does not recognise the
variety of expertise of its members. Article
84 of above mentioned law stipulates the
individuals who are eligible to be appointed
as the members of the Komnas HAM are
those who have an experience in the legal
profession. Therefore, the lists will be
limited to lawyers, judges, police, and
attorneys. In the upcoming time, it has to be
made possible for other professions, aside
from legal professionals, to become
members of the Commission. This can be
done by amending Law Number 39/1999.
3.3.2. Improving the Frequency of the
Visits
The frequency of visits by the
human rights institutions can be shown to
have contributed to the decreasing number
of torture cases (Berber Hettinga,
Aquinaldo Mandlate, Lukas Muntingh,
2011). The repeated visits to a given place
of detention will have a deterring effect.
These frequent visits and interviews will be
able to illuminate the early signals in which
torture or inhuman treatment might take
place. However, the Komnas HAM is
facing problems regarding its ability to
conduct frequent visits due to the issue of
consent and the broad scope of the
definition of detentions. An institution
might reject the request by the Komnas
HAM to visit its place for a certain ground,
and wide-range of places that need visiting
will be an obstacle for the Komnas HAM to
cover them all. Therefore, the issue of
consent and scope of mandate is closely
related to the frequency of the visits by the
Komnas HAM.
The Komnas HAM, as the human
rights primary monitoring institution, has
some problems regarding the ability to
conduct frequent visits. Under Article 89(3)
of Law Number 39/1999 on Human Rights,
and Article 19 of Law Number 26/2000 on
Human Rights Court, the Komnas HAM is
conferred a mandate to conduct visits to
places where torture and other inhuman
treatments are likely to occur. However,
these two legal frameworks are considered
not enough to be a legal basis of the
Komnas HAM to conduct visits to all
places of detention, as in reality it requires
40
permission from other bodies, meaning that
they might say no to these visits.
The Komnas HAM can only
conduct visits in a limited fashion. They
need permissions prior visits whish also
means that they cannot conduct
unannounced visits to places of detention.
That fact is affirmed by the ComCAT‟s
concluding observation to Indonesia in
which it is concerned about the absence of
an effective monitoring mechanism on the
situation of detainees, including
unannounced visits to all places of
detention or custody. Regarding the
discussion on the establishment of NPMs,
Government institutions have a tendency to
object to the key mandate of the NPMs to
conduct visits without prior notice. This
objection to other institutions monitoring
also applies to the Komnas HAM. In order
to get access to visit detention facilities
under the Police‟s authority, the consent
and some arrangements from the Police
should be first secured by the Komnas
HAM. Similarly, the Komnas HAM has
also concluded an agreement with the
Ministry of Law and Human Rights of the
Republic of Indonesia to gain the right to
visit places of detention under its
jurisdiction, for example migrant detention
centres (Nurkholis Hidayat and Restaria
Hutabarat, 2012). These agreements and
arrangements have had a detrimental effect
to an effective visiting mission.
Furthermore, all the visits
conducted by the Komnas HAM only target
the places of detention in the traditional
sense which only includes police cells and
prisons. From its practises, the Komnas
HAM never exercises its inspection
mandate to visit less traditional places of
detention like care homes, psychiatric
institutions, etc. Once again, the practices
above have shown that the authority of the
Komnas HAM to conduct preventive
missions against torture has not yet
achieved a strong legal framework.
Therefore, there is an urgent necessity to
amend the regulations regarding the
mandate of the Komnas HAM. The ability
to conduct more frequent announced and
unannounced visits covering not only
prisons and police cells, but also places of
detention that regularly do not fall under the
criminal justice system, should be given
more concern.
In the travaux preparatoires
during the drafting of the Optional Protocol,
there were some positives and negatives
discussed regarding the unannounced visits
conducted by the SPT and NPM(s). Several
States stated that the principle of State
sovereignty and territory integrity should
prevail, and therefore, the Subcommittee
needed to obtain prior consent from the
respective government for any mission to
its territory (Manfred Nowak and Elizabeth
Mc Arthur, 2008). However, other States
criticized such a requirement as it
contradicts the basic purpose of the
Protocol, to conduct preventive visits as
spelled out in Article 1. The recent text of
the OPCAT constitutes the compromise
over that issue. An example being that,
Article 13(2) of the OPCAT, it s requires
the SPT notify the State Parties so that they
can make some arrangements for the visits
to be conducted and by virtue of Article
14(2), the State Parties may object to a visit
to a particular place of detention on urgent
grounds, for example national defence or
public safety. In 2006, the UN Special
Rapporteur on Torture said that upon
ratification of the Optional Protocol, State
Parties have agreed to accept unannounced
visits to all places of detention because they
have waived their sovereignty right.
The reason why the absence of
unannounced visits in Indonesia has been
addressed in a serious manner is because
the visits with no prior notice have some
additional value. The visits without notice
are not mentioned in the OPCAT, however,
this concept is widely accepted and
admitted to be important by the State
Parties. The UN Special Rapporteur on
Torture has elaborated that unannounced
visits could reveal and formulate a
distortion-free picture of the real conditions
in the detention facilities. Therefore, by
having the mandate to conduct
unannounced inspections, the Komnas
HAM could see the actual problems in
detention facilities, and thus address the
41
problems with accurate recommendations.
But then the question arises of how
frequently frequent visits must be
conducted.
The problem regarding the
frequency of these visits is how to
determine if a certain number of visits is
frequent enough. The OPCAT requires that
the NPM itself have the power to determine
how frequently it visits particular places of
detention. In general, the more frequent the
visits are, the more effective the visiting
system is. The idea of the establishment or
designation of the NPMs was initially
because the SPT is dealing with a serious
obstacle when it came to conducting visits
on a regular basis due to budget constraints.
Then, the NPM was adopted in order to
make it possible to have more frequent
visits.
In Indonesia‟s context, the visits
aside from the Komnas HAM should be
made possible in order to enhance the
number of visits. The Komnas Perempuan
and The Ombudsman should be given more
room to conduct preventive visits to places
of detention. In that case, some form of
coordination is necessary in order to
overcome a conflict of mandates or
overlapping functions. Those institutions,
for example, can conclude an agreement
between them regarding who will conduct
visits in a particular area or hold an annual
meeting to discuss recent problems on
torture prevention.
The Komnas HAM itself will
determine how often the visits will be
conducted. This determination should take
into account some considerations such as
the types of visits and the types of
detentions. Suggestions include that the
follow-up visits should be less frequent
than the regular visits, and places with the
higher torture records should be subject to
more inspections in comparison to places
with a low number of torture cases.
Strengthening the Impact of the
Inspections
At the end of a visit, the Komnas
HAM issues a report on its findings,
including recommendations for actions. In
Article 89(2) of the Law Number 39/1999,
the Komnas HAM could also give
recommendations upon amendment or
revocation of the legislation concerning
human rights. This function is in line with
the NPMs mandate under Article 19(2) of
the OPCAT. According to the OPCAT, the
NPM should be granted the minimum
power to inter alia to make
recommendations to the authorities with the
aim to prevent the acts of torture and other
inhuman treatments. Regarding the
recommendations by the Komnas HAM,
the Committee, in its concluding
observation expressed its disappointment
on the fact that all of the reports of the
Komnas HAM were not published. The
Komnas HAM does not have the right to
challenges a decision by the authorities,
even if that decision contradicts the
Commission‟s recommendations. For
instance, the Komnas HAM is powerless
against the decision of the Attorney General
to not prosecute a case of torture, even
though the Komnas HAM recommends
conversely. Therefore, it is important to
give more effects to the recommendations
issued by the Komnas HAM by turning
words in the papers into real
implementations of practice.
The first question to answer
regarding the recommendation power
possessed by the Komnas HAM is whether
there is an obligation for the Government‟s
institutions to implement those
recommendations. In the United Nations
charter there are two words,
recommendations and decisions which have
different meanings. The word decision is
usually used for binding resolutions,
whereas “recommendation” is used to
express non-binding resolutions (Marko
Divac Oberg, 2006). Furthermore, the
OPCAT system ascertains the non-binding
power of the recommendations. This
system works through a process of
recommendations and persuasive dialogue,
as opposed to binding powers. Therefore,
there is no obligation for the Government to
carry out the Komnas HAM
recommendations.
42
The fight against torture and other
inhuman treatment will be effective, if the
recommendations by the Komnas HAM are
implemented by the Government.
Therefore, there is a need to give more
impact to the recommendations. Making the
recommendations available to the public is
one of the ways to strengthen the effect of
recommendations. By doing so,
independent monitoring from the public
will grow and strengthen the pressure
placed on the government to implement the
recommendations.
In conclusion, Indonesia has no
obligation to establish a preventive visiting
system under the OPCAT, but indeed
Indonesia has an obligation to set up an
effective preventive system under Article
2(1) of the UNCAT. The OPCAT system
has set a clear requirement for the human
rights institutions to function effectively in
the prevention against the acts of torture
and other ill-treatment.
Using the OPCAT approach, the
Komnas HAM should address at least three
fields in order to function effectively.
Firstly, concern should be expressed
regarding the quality of the visits;
improving the quality of the visits means
strengthening the independency of the
institution, not only in terms of human
resources but also in term of functionality.
The mandate of the Komnas HAM must be
made clear, and should include the
possibility of conducting announced or
unannounced visits to traditional or less
traditional places of detention. The variety
of expertise should also come under
scrutiny, this expertise does not merely
include legal professions, but also other
fields of profession. Secondly, the Komnas
HAM must pay attention to the frequency
of visits; the more visits are in place, the
better the protection will be. And thirdly,
the Komnas HAM should strengthen the
power of its recommendations by making it
accessible to the public.
Conclusion
From the above explanation, it can
be seen that a system of inspection
regarding places of detention is already in
place in Indonesia. Under Law Number
39/1999 on Human Rights and the Law
Number 26/2000 on Human Rights Court,
the National Human Right Commission
(Komnas HAM) has a mandate to conduct
monitoring visits to places of detention.
Similarly, Under Presidential Decree
Number 65/2005 on the National
Commission on Violence against Women,
the Komnas Perempuan has a mandate to
visits places of detention. The Ombudsman
could also conduct visits based on the Law
Number 37 on the Ombudsman of the
Republic of Indonesia.
However, this existing visiting
system has some basic shortcomings; the
mandate of the Komnas Perempuan and the
Ombudsman is limited. The scope of the
Komnas Perempuan‟s mandate to conduct
visits is only limited to female detention
centres or female detainees, whereas the
Ombudsman can only carry out its
inspection mandate when a complaint is
made regarding maladministration in the
places of detention. Thus, this circumstance
has left the Komnas HAM as the sole
institution with more ideal power, in which
they can conduct inspections to any place
where acts of torture are likely to take place
in line with the broad scope of the Article 4
of the OPCAT. But this is not without any
problems. The Komnas HAM cannot
perform properly in the prevention against
torture as they face obstacles regarding the
clarity their mandates and the level of
independence, as well as the competency of
their human resources.
The problems discussed above
have lead to an absence of effective visiting
systems, meaning that the effective visiting
system is not yet available in Indonesia.
Facts in the ground and the reports from
international bodies have confirmed this
claim. Internal reports from NGO‟s have
revealed a data regarding the high number
of torture cases. Reports from the Special
Rapporteur on torture and the concluding
observation from the Committee against
Torture stated that there is still a lack of
effective preventive visiting system against
torture in Indonesia.
43
Amid this uncertainty, a question
arises as to whether there is an obligation to
establish a visiting system based on the
OPCAT. From the above explanation, it has
been made clear that there is no obligation
to be party or obligation to establish a
visiting system based on the OPCAT.
However, Article 2(1) of the UNCAT
stipulates a general obligation to prevent
the acts of torture. This obligation is wide-
ranging, as the general comment on Article
2 of the UNCAT has stipulated that the
obligation under Article 2(1) also includes
the obligation to establish an effective
visiting system. Therefore, as a party to the
UNCAT, Indonesia has an obligation to
formulate an effective inspection system to
prevent the acts torture and other inhuman
treatment.
Continuous debates have taken
place within the country on the sovereignty
upon the ratification of the OPCAT, these
debates have been a key issue relating to
Indonesia‟s tardiness when it comes to the
ratification of the OPCAT. This situation
may last for quite some time and
consequently, more people will be victims
of torture due to the lack of an effective
inspection system. Therefore, to tackle this
situation, a system of effective inspection
needs to be established immediately.
The visiting system based on the
OPCAT is hailed to be the effective way to
prevent torture. The OPCAT system has set
clear requirements for the human rights
institutions to function effectively in the
prevention against the acts of torture and
other ill-treatment. The establishment of the
SPT and NPMs has made regular visits to
places of detention possible. In order to
function well, NPMs should meet several
requirements. The NPMs should have a
strong mandate as stated in the OPCAT, the
institution must be independent
(functionally or personally), and the
institution must be equipped with the
required expertise. How this system works
should inspire Indonesia with its effort to
establish an effective visiting system. The
establishment of a national preventive
mechanism modelled on the OPCAT should
be considered as a solution to effectively
prevent the acts of torture.
By using the OPCAT approach as
the model, several areas of improvements
are required in order to enhance the
performance of the existing inspection
system. Strengthening the quality of the
visits must be the first thing addressed.
Quality inspections will be able to capture
the actual or potential acts of torture or
other ill-treatment. Improving the quality of
the visits means strengthening the
independence of the institutions dealing
with visiting mandate. The institutions must
be free from Government‟s intervention;
the personnel must not hold positions in the
government or any political parties. In this
regard, the Komnas HAM, as the primary
institution dealing with inspection, should
be given enough level of independence in
terms of institutional and human resources.
The Komnas HAM institutionally should
not be placed under the supervision of any
ministries or other governmental
institutions.
Quality visits are also connected
with the mandate conferred to the
institutions. This mandate should be clear in
explaining to what extent the mandate can
be carried out. In exercising their mandate,
the respective institution should be given
enough room to function properly. In this
respect, the Komnas HAM should be given
a mandate to visit places of detention
without requiring any consent to the related
authorities. The Komnas HAM should not
be placed in the weaker positions regarding
its relation with the Attorney General and
the Police. Furthermore, the mandate
possessed by the Komnas HAM should also
include the possibility to conduct
announced or unannounced visits to places
of detention either in the traditional sense,
such as prisons, or in the less traditional
sense such as care homes, or psychiatric
institutions. The variety of expertise should
be given more concern in order to improve
the quality of the visits as it could enrich
the findings and therefore a more detial and
specific solution can be established. The
expertise should not only come from those
who have a legal background professions
44
such as the police, or members of judiciary,
but should also include those from other
professional fields such as doctors,
psychologists, and anthropologists.
Therefore, the Komnas HAM should
diversify its expertise to include other, non-
legal professions.
The second step in improving the
performance of the existing system is to
make the visits more frequent; the more
visits that take place, the more effective the
prevention. The Komnas HAM should be
given a room to determine the number of
visits they would like to conduct to achieve
its prevention objectives. In order to
enhance the frequency of the visits, the
visits from the Komnas Perempuan should
be made regular instead of in ad hoc basis,
and the visits in more preventive sense by
the Ombudsman should be also made
possible.
Lastly, the Komnas HAM should
strengthen the impact of visits by making
its recommendations accessible to the
public. In this way, a pressure is placed
upon the Government to implement the
recommendations, both from the public and
civil societies.
At least by establishing a better
visiting system, Indonesia‟s compliance to
the obligation under the UNCAT,
especially under Article 2(1) could be
considered fulfilled in spite of the fact that
the Government may not ratify the OPCAT.
The Komnas HAM as an organ of
the state, which fulfils the role of oversight,
needs to develop and redefine its model to
meet requirements of the effective oversight
system. With the limited legislative
amendments, the Komnas HAM can be
appropriately placed to act as the NPM
required by OPCAT and can fulfil such
role.
BIBLIOGRAPHY
International Instruments
The Vienna Convention on the Law of
Treaties, 1155 U.N.T.S. 331, 8 I.L.M.
679, January, 1980.
UN General Assembly, International
Covenant on Civil and Political
Rights, 16 December 1966, United
Nations, Treaty Series, vol. 999, p.
171.
UN General Assembly, Universal
Declaration of Human Rights, 10
December 1948, 217 A (III).
UN General Assembly, Convention against
Torture and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment,
10 December 1984, United Nations,
Treaty Series, vol. 1465, p.85.
UN General Assembly, Optional Protocol
to the Convention against Torture
and Other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment,
New York, 18 December 2002,
United Nations, Treaty Series, vol.
2375, p. 237.
Treaty of Westphalia. Available at:
http://avalon.law.yale.edu/17th_centu
ry/westphal.asp, (Accessed 12 June
2013).
Council of Europe, European Convention
for the Protection of Human Rights
and Fundamental Freedoms, as
amended by Protocols Nos. 11 and
14, 4 November 1950, ETS 5.
Organization of American States, American
Convention on Human Rights, "Pact
of San Jose", Costa Rica, 22
November 1969, available at:
http://www.oas.org/dil/treaties_B-
32_American_Convention_on_Huma
n_Rights.pdf, (Accessed 1 April
2013).
Organization of African Unity, African
Charter on Human and Peoples'
Rights ("Banjul Charter"), 27 June
1981, CAB/LEG/67/3 rev. 5, 21
I.L.M. 58 (1982).
International Court of Justice, Reparation
for Injuries Suffered in the Service of
the United Nations, Advisory
Opinion, 11 April 1949, ICJ Report
(1949), p.174.
International Court of Justice, Application
of the Convention on the Prevention
and Punishment of the Crime of
Genocide, preliminary Objections,
Judgement, 1996.
National Legislations
The 1945 Constitution of Indonesia as
Amended by First Amendment of
45
1999, the Second Amendment of
2000, the Third Amendment of 2001
and the Fourth Amendment 2002.
Available at:
http://www.ilo.org/wcmsp5/groups/pu
blic/---ed_protect/---protrav/---
ilo_aids/documents/legaldocument/w
cms_174556.pdf. (Accessed 19 April
2013).
Law Number 1/1946 on Criminal acts,
Penal Code of
Indonesia [Indonesia], 27 February
1982, available at:
http://www.unhcr.org/refworld/docid/
3ffc09ae2.html [Accessed 6 October
2012].
The Indonesia‟s Criminal Code (KUHAP)
Law Number 8/1981 on Indonesia‟s
Criminal Code.
Law Number 5 Year 1998 on Pengesahan
Convention against Torture and Other
Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment. Available
at:
http://www.komnasperempuan.or.id/
wp-content/uploads/2009/07/UU-No-
5-Thn-1998-ttg-Ratifikasi-CAT.pdf.
(Accessed 9 April 2013).
Consideration of the Republic of Indonesia
Legislation Number 39 of 1999 on
Human Rights, Available at:
http://hrli.alrc.net/mainfile.php/indonl
eg/133/. (Accessed 21 April 2013).
Republic of Indonesia Regulation Number
26 of 2000 on Human Rights Court,
Available at:
http://hrli.alrc.net/mainfile.php/indonl
eg/132/.
Presidential Decree Number 65/2005 on
National Commission on Violation
against Women (Komnas
Perempuan). Available at
http://www.komnasperempuan.or.id/
wp-content/uploads/2008/11/pepres-
nomor-65-tahun-2005.pdf. (Accessed
16 January 2013).
Law Number 13/2006 on Witnesses and
Victims‟ Protection. Available at
http://www.komisiinformasi.go.id/ass
ets/data/arsip/uuperlindungansaksikor
ban.pdf. (Accessed 16 January 2013).
Law Number 37/2008 on the Ombudsman
of the Republic of Indonesia.
Available at:
http://www.hukumonline.com/pusatd
ata/download/fl56948/parent/28453.
(Accessed 20 February 2013). See
also Presidential Decree Number
44/2000 on the National Ombudsman
Commission, Available at:
http://hukum.unsrat.ac.id/pres/keppre
s_44_2000.pdf.
Presidential Decree Number 44/2000 on the
National Ombudsman Commission,
Available at:
http://hukum.unsrat.ac.id/pres/keppre
s_44_2000.pdf.
Books
Chris Ingelse, the UN Committee against
Torture: an Assessment, (Kluwer
International, 2001).
Kerstin Buchinger, the Optional Protocol to
the United Nations Convention
against Torture, (NWV, Wien-Graz,
2009).
International Commission of Jurists and
Swiss Committee against Torture:
Torture: How to Make the
International Convention Effective - a
Draft Optional Protocol,
(International Commission of Jurists,
Geneva, 1980).
Syarif M, Trisasongko D: Jalan Panjang
Penghapusan Penyiksaan (Kemitraan
bagi Pembaharuan Tata
Pemerintahan, June 2012), pp.56-57.
Manfred Nowak and Elizabeth Mc Arthur,
the United Nations Convention
against Torture: A Commentary
(Oxford University Press, 2008).
Rachel Murray, Elina Steinerte, Malcom
Evans, and Antenor Hallo de Wolf,
The Optional Protocol to the
Convention against Torture, (Oxford
University Press, 2011), pp.70-76.
Denny Indrayana, Indonesia Constitutional
Reform 1999-2002: An Evaluation of
Constitutional-Making in Transition,
(Kompas Book Publishing, 2008),
p.287.
Nurkholis Hidayat and Restaria Hutabarat,
Membangun Dunia Tanpa
Penyiksaan: Panduan Pemantuan
46
dan Pencegahan Penyiksaan bagi
Pembela HAM, (Kemitraan bagi
Pembaharuan Tata Pemerintahan,
2012).
Papers and Reports
UN Committee against Torture (CAT),
Concluding Observations of the
Committee against Torture:
Indonesia, 1 July
2008, CAT/C/IDN/CO/2, p.10,
para.26.
Committee against Torture, Consideration
of the Reports Submitted by States
Parties Under Article 19 of the
Convention-Concluding Observations
of the Committee against Torture:
Australia, CAT/C/AUS/CO/3, p.10
para. 34.
Committee against Torture, Consideration
of Reports Submitted by States
Parties under Article 19 of the
Convention: Concluding Observation
of the Committee against Torture-
Indonesia, CAT/C/IND/CO/2, pp.10-
14.
Committee against Torture, Consideration
of the Reports Submitted by States
Parties under Article 19 of the
Convention-Second Periodic Report
of the States Parties Due in 2007:
Albania, p.10, para. 35.
Committee against Torture, Convention
against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment: General Comment No.2,
CAT/C/GC/2, 24 January, 2008, p.1
paras 2-3.
Committee against Torture, Concluding
observations: Indonesia. 01/11/2002,
A/57/44, paras.36-46.
Committee against Torture, Consideration
of Reports Submitted by States
Parties under Article 19 of the
Convention: Second Periodic Reports
of States Parties due in 2003-
Indonesia, CAT/C/72/Add.1, paras.6-
68.
Human Rights Council, Promotion and
Protection of All Human Rights,
Civil, Political, Economic, Social,
and Cultural Rights, Including the
Right to Development: Report of the
Special Rapporteur on the Torture
and Other Cruel, Inhuman, or
Degrading Treatment or Punishment,
Manfred Nowak- Mission to
Indonesia, A/HRC/7/3/Add.7 (10
March 2008), pp.3-23.
Human Right Council, Report of the
Special Rapportuer on Torture and
Other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment: Manfred
Nowak, A/HRC/13/39/Add.6, 26
February, 2010, p. 77, para.33.
Office of the High Commissioner for
Human Rights, Concluding
observations: Indonesia.01/11/
2002.A/57/44,paras.8-46.
(Concluding
Observations/Comments), p.2.
UN Special Rapporteur on Torture, 2006
Report to the Commission on Human
Rights, UN Doc.E/CN.4/2006/6, (23
December 2005), Para. 24.
UN Special Rapporteur on Torture, 2006
Report to the General Assembly, UN
Doc. A/61/259 (14 August 2006),
para.68, see also para.75.
Association for the Prevention of Torture
(APT), Establishment and
Designation of National Preventive
Mechanisms (APT, 2006), pp.14-88.
Available at
http://www.apt.ch/content/files_res/N
PM.Guide.pdf (accessed 25 October
2012).
Association for the Prevention of Torture
(APT) and Inter-American Institute of
Human Rights (IIHR), Optional
Protocol to the UN Convention
against Torture: Implementation
Manual, (APT and IIHR, 2011),
pp.11-12. Available at
http://www.iidh.ed.cr/BibliotecaWeb/
Varios/Documentos/BD/opcating.pdf
(Accessed 30 October 2012).
Inter-America Institute of Human Rights
(IIHR) and Association for the
Prevention of Torture (APT),
Optional Protocol to the United
Nations Convention Against Torture
and other Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment:
A Manual for Prevention,(IIHR and
47
APT, 2005) p.47. Available
at:http://www.iidh.ed.cr/BibliotecaW
eb/Varios/Documentos/BD_1199618
190/Protocoloingles.pdf?url=%2FBib
liotecaWeb%2FVarios%2FDocument
os%2FBD_1199618190%2FProtocol
oingles.pdf. (Accessed 17 February
2013).
National Commission on Violence against
Women (Komnas Perempuan),
Indonesia‟s Compliance with the
Convention against Torture and
Other Cruel, Inhuman and Degrading
Treatment or Punishment, p.2
Available at:
www2.ohchr.org/english/.../Komnasp
erempuan_Indonesia40th.doc.
(Accessed 19 April 2013).
Working Group on the Advocacy against
Torture (WGAT), Alternative Follow
up Report on the Progress of the
Implementation of the
Recommendations Made by the
Committee against Torture to
Indonesia, (March, 2010), p.12.
Working Group on the Advocacy against
Torture (WGAT), Shadow report:
Prepared for the UN Committee
against Torture in Connection to Its
Review of Indonesia‟s Second
Periodic Report under the Convention
against Torture Cruel, Inhuman or
Degrading Treatment or Punishment,
(May, 2008),p.22.
Working Group on the Advocacy against
Torture (WGAT), Toward One Year
of Implementation of the
Recommendations of the Committee
against Torture by Indonesia, (March,
2010), pp.21-23.
Human Rights Watch (HRC), Mexico
National Human Right Commission:
A Critical Assessment, Volume 20,
No.1(B), pp. 78-81.
Office of the High Commissioner for
Human Rights (OHCHR), Report of
the Commissioner for Civil Rights
Protection on the activities of the
National Preventive Mechanism in
Poland in 2008, pp.83-84, Available
at:
http://www2.ohchr.org/english/bodies
/cat/opcat/docs/Poland_2008FirstAnn
ualReport.pdf.
Audrey Oliver and Marina Narvaez,
OPCAT Challenges and the Way
Forward: the Ratification and
implementation of the Optional
Protocol to the UN Convention
against Torture, p.51.
Felipe Gomez Isa and Koen de Feyter,
International Protection of Human
Rights: Achievements and the
Challenges, (University of Deusto
Bilbao, 2006), p.211.
Berber Hettinga, Aquinaldo Mandlate,
Lukas Muntingh, Survey of Detention
Oversight Mechanism Provided for in
the Laws of SADC Countries,
(Community Law Centre, 2011),
p.22.
The Association for the Prevention of
Torture, Rehabilitation and Research
Centre for Torture Victims and
United Against Torture Coalition
Philippines, The Philippines and the
Optional Protocol to the UN
Convention against Torture: Briefing
Note, (May, 2006).
Elina Steinerte and Rachel Murray, Same
but Different: National Human Rights
Commission and Ombudsman
Institutions as National Preventive
Mechanism under the Optional
Protocol to the UN Convention
against Torture, (Essex Human
Rights Review, 2009) 6(1) 54-72.
Antenor Hallo de Wolf, Visits to Less
Traditional Places of detention,
(2009) 6(1) Essex Human Right
Review 103-137.
Richard Harding and Neil Morgan, OPCAT
in the Asia-Pacific and Australia,
(2010) 6(2) Essex Human Right
Review, 101-124.
Office for Justice and Peace of Jayapura
and Impartial-Jakarta, the Practice of
Torture in Aceh and Papua 1998-
2007, (November, 2007).
Marko Divac Oberg, The Legal Effects of
Resolutions of the UN Security
Council and the General Assembly in
the Jurisprudence of the ICJ, (Ejil,
2006).
48
GERAKAN NEOPATRIONALISME:
REFLEKSI HARI PENDIDIKAN DAN KEBANGKITAN NASIONAL
Umi Salamah
Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Satra Indonesia
IKIP Budi Utomo Malang
Menang atau bisa bertahan dalam
medan perang sangat tergantung pada
strategi yang dimainkan. “Perang” terbesar
saat ini adalah melawan hegemoni kapitalis
dalam berbagai bidang yang merupakan
perwujudan dari neoimperialis.Cara yang
dilakukan oleh para teroris dengan bom
bunuh diri atau mengebom tempat tertentu
yang dilakukan atas nama melawan
kapitalis merupakan tindakan “konyol” dan
sia-sia. Image “bodoh” dan “jahat” akan
menempel pada pelaku pengeboman dan
kelompoknya. Yang lebih fatal jika asal
negara pengebom juga dijuluki sebagai
negara teroris dan pelabelan tersebut akan
diperlakukan bagi seluruh masyarakat yang
berasal dari negara yang disebut sebagai
negara asal “teroris”. Dampaknya sangat
buruk bagi keberlansungan dan kemajuan
suatu negara yang terkena pelabelan
tersebut.Seharusnya perang kecerdasan
harus dilawan dengan kecerdasan,
pencitraan dilawan dengan pencitraan,
difusi kebudayaan harus dilawan dengan
kekuatan kebudayaan sendiri.
Bercermin pada Tokoh-tokoh Besar
melawan neoimperialis
Telah banyak tokoh besar bangsa
Indonesia yang memberikan tauladan
membangkitkan semangat patriotisme dan
nasionalisme dalam berbagai bidang tanpa
kekerasan.Mereka berhasil apabila
mendapat dukungan dari masyarakat.Sebut
saja Bung Karno dengan keberanian dan
kepiawaian melawan hegemoni politik dan
kebudayaan kapitalis.Kecerdasan dan
kepiawaian Bung Karno dalam menegosiasi
dan melobi dunia mendapat dukungan yang
sangat besar dari seluruh bangsa bahkan di
seluruh dunia.Strategi itulah yang berhasil
mengantar Indonesia mencapai
kemerdekaan dan keharuman putra-putri
bangsa Indonesia sebagai anak
revolusi.Putra-putri yang penuh rasa
percaya diri dan bangga sebagai anak
Indonesia di kancah dunia.
Di bidang pendidikan, Ki Hajar
Dewantoro berhasil menancapkan pilar
pendidikan yang sangat kuat melalui
filosofi dan strategi pendidikan berbasis
kebudayaan.Pilar-pilar tersebut sangat
kokoh, sesuai dengan karakter dan
kebudayaan bangsa Indonesia, serta
fleksibel sepanjang zaman. Pilar “Ing
ngarso sung tuladha, ing madya mangun
karso, dan tutwuri handayani” serta “Asah
asih asuh” adalah warisan kebudayaan yang
sudah terbukti kehandalannya dalam
membentuk karakter bangsa yang patriotis
dan nasionalis dalam segala bidang. Pilar-
pilar ini berhasil karena didukung oleh
kebijakan politik pemerintah zaman
Soekarno.Moralitas anak-anak pada saat itu
benar-benar menghargai orang tua dan
guru, agama dan ilmu, dan bangga terhadap
bangsa dan negaranya.Keinginan untuk
memajukan bangsa merupakan cita-cita
setiap anak bangsa.
Ironis, warisan budaya yang begitu
adiluhung itu kini seakan lenyap di telan
masa.Para pengambil kebijakan pendidikan
cenderung lebih suka mengimpor model
pendidikan dari asing yang belum tentu
cocok dengan kondisi di negeri
ini.Pendidikan berbasis “nano-nano” dan
berbau kapitalis ini tidak membentuk
karakter anak menjadi baik.Akibatnya,
perilaku anak jauh dari fondamen
kebudayaan bangsa Indonesia.Sikap sopan-
santun/tata-krama, mentalitas kerja keras,
suka menolong dan gotong royong yang
49
merupakan fondamen kebudayaan bangsa
Indonesia bergeser menjadi urakan, malas-
malas, egois, hedonis, konsumtif, dan
membentuk geng perkelahian.
Untuk mengembalikan kepada
pendidikan yang berbasis kebudayaan kita
harus berani bersikap teguh dan kokoh pada
kebudayaan sendiri.Pendidikan harus
kembali pada basis kebudayaan yaitu
Pansacila dan UUD 1945.Model pendidikan
kita juga harus diambil dari pilar yang
berbasis kebudayaan sendiri.Pendidikan
Indonesia seharusnya adalah pendidikan
yang mampu menjawab problema-problema
dan tantangan masyarakat Indonesia, bukan
pendidikan yang berorientasi pada teori
kapitalis.Pendidikan harus bertolak dari
hasil riset masyarakat Indonesia dalam
berbagai bidang.Misalnya di bidang
pertanian seharusnya kita lebih maju
daripada negara-negara tetangga, karena
kita memiliki lahan yang sangat luas,
varietas tanaman yang banyak, dan sarjana
pertanian yang lebih dari cukup baik dari
kuantitas maupun kualitas.Negara kita
seharusnya menjadi pelopor di bidang
pertanian. Sangat ironis jika masalah
“bawang putih, bawang merah, cabe, gula,
daging, dan beras” kita masih mengimpor
dari negara tetangga.
Di bidang teknologi, Habibie
dengan penguasaan teknologi berhasil
menakhlukkan teknologi penerbangan dan
kereta api dunia. Namanya membawa
harum bangsa Indonesia di kancah dunia.
Di bidang perdagangan, Chairul Tanjung,
Aburizal Bakrie, Rachmad Gobel,
Sukamdani Sahid Gito Sardjono, dan
lainnya dengan strategi bisnisnya mampu
bersaing di kancah bisnis global. dan masih
banyak anak bangsa yang patut diteladani
dan dicontoh serta menjadi inspirasi positif
dengan semangat optimis dapat membawa
kemajuan bangsa dan negara ini.Di bidang
teknologi informatika, sebenarnya bangsa
Indonesia tidak kekurangan ahli.Banyak
potensi mahasiswa dan siswa yang belum
terakomodasi secara maksimal oleh sistem
kebijakan pemerintah.Akibatnya Indonesia
belum mampu mengkaunter derasnya
pencitraan yang dihembuskan oleh negara-
negara kapitalis.Apa yang salah dengan
negeri kita ini?
Serangan hegemoni kapitalis di negara
kita meliputi berbagai sendi kehidupan
Hegemoni kapitalis di negeri ini telah
merasuk ke dalam pembuluh darah
sebagian besar bangsa ini dalam berbagai
bidang.Bahkan telah merobek hati dan akal
sehat sebagian bangsa ini.Rendahnya
kualitas hidup sebagian besar rakyat
menyebabkan menurunnya kualitas mental
dan moral bangsa.Rasa kurang percaya diri
dan bermental budak telah menggerogoti
mentalitas sebagian besar rakyat kecil,
sementara budaya korupsi dan bermental
koloni telah memanjakan para pejabat dan
sebagian besar birokrat negeri ini.Ini
merupakan imbas dari telah dibukannya
kran kapitalis modern di Indonesia secara
besar-besaran di bidang pertambangan,
industri raksasa, dan jaringan perdagangan
kapitalis.
Akibatnya masyarakat kita saat ini
cenderung represif dan terbius oleh
kediaman.Keadaan seperti ini membuat
kreativitas dan produktivitas anak bangsa
lumpuh, sehingga banyak orang yang lari
dari idealism demi kedudukan di tengah
masyarakat.Meskipun dalam masyarakat
kita terjadi kepincangan-kepincangan,
penyelewengan, dan penyimpangan sosial
sudah dianggap sebagai hal yang lumrah
dan layak terjadi.Bagaimana
tidak?Sebagaian besar bangsa ini telah lama
dininabobokan dengan budaya hedonis,
pragmatis, dan konsumtif. Bersenang-
senang dengan jalan pintas, bekerja dengan
jalan pintas, belajar dengan jalan pintas,
memperoleh jabatan juga dengan jalan
pintas telah menjadi trend yang dilakukan
oleh sebagian besar bangsa ini. Mulai dari
rakyat kecil sampai dengan pejabat
tinggi.Sikap ini menyebabkan kebiasaan
untuk tidak kritis, apatis, dan terkungkung
dalam masyarakat yang tidak rasional
(mistis).Apakah karakter bangsa ini sudah
demikian jauh dari kebudayaan yang
tercermin dalam Pancasila dan UUD
1945?Ironisnya hanya orang-orang tertentu
yang menyadarinya.Apakah yang harus kita
lakukan?
50
Diperlukan pemimpin visioner dan
bermental neopatrionalisme dalam
Melawan Kapitalis
Penguasaan media oleh kapitalis
menjadikan bangsa ini tidak berdaya dan
krisis rasa percaya diri.Media memiliki
peranan yang sangat penting dalam
membangkitkan semangat patriotisme dan
nasionalisme.Namun media juga berperan
besar dalam menghancurkan semangat
tersebut.Pemberitaan dan penayangan acara
yang tidak seimbang antara prestasi dan
dedikasi yang diperoleh bangsa dengan
penyimpangan-peyimpangan moral
memberikan dampak yang sangat fatal bagi
masyarakat dan generasi muda.Penayangan
penyimpangan moral, seperti korupsi,
manipulasi, perselingkuhan, perdukunan,
perkelahian, kecurangan, secara berulang-
ulang justru memberikan dampak buruk
berupa sikap apatis terhadap keberadaan
dan kemajuan bangsa dan
negara.Sebaliknya penayangan prestasi dan
dedikasi anak bangsa yang membawa
kemajuan bangsa akan berdampak positif
bagi keberlangsungan dan kemajuan
bangsa.
Siapa yang berwewenang
mengatur?Apalah artinya pencanangan
pendidikan berbasis pendidikan karakter
apabila tidak didukung oleh tayangan media
dan kebijakan pemerintah yang tidak
berbasis pada kebudayaan
sendiri.Diperlukan pemimpin yang visioner
dan bermental neopatrionalis. Pemimpin
yang visioner dan bermental
neopatrionalisakan selalu mendukung dan
memberikan peluang seluas-luasnya kepada
rakyat untuk eksis dan memajukan
bangsanya. Pemimpin yang berpegang
teguh pada dasar negara dan konstitusi
negara akan selalu membela hak dan
berpihak pada kemakmuran, keadilan,
harkat, dan martabat bangsa dan negaranya.
Pemimpin yang tanggap terhadap problema
dan tantangan masyarakat bangsa dan
negara selalu melihat permasalahan dan
kebutuhan rakyatnya sebagai bahan kajian
peningkatan kualitas pendidikan, teknologi,
dan ilmu pengetahuan di
negaranya.Pemimpin yang dapat menjadi
contoh patrionalis bagi rakyatnya adalah
pemimpin yang teguh pendirian dan
konsisten melaksanakan dasar negara dan
konstitusi negara serta berani melawan
kebijakan kapitalis yang tidak sesuai
dengan dasar negara dan konstitusi
negaranya.
51
PENGEMBANGAN MODEL PENDIDIKAN KEWIRAUSAHAAN DALAM
MENINGKATKAN SKILL SANTRI; Kasus Di Ponpes Alhayatul Islamiyah
Kedungkandang Malang
Siti Saroh
Lecturer of Bisnis Administration Department
Faculty of Administrasi Science Islamic University Malang
Abstract
Peningkatan SDM seharusnya diimbangi dengan tingkat kualitas daya saing global.
Tujuan penelitian ini adalah Mendeskripsikan orientasi pengembangan kewirausahaan
sumber daya santri, pola pengembangan wirausaha mix-farming system dan mengetahui
faktor pendukung dan penghambat pengembangan wirausaha mix-farming system dalam
meningkatkan sumber daya para santri. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif,
analisa data melalui pendekatan data diskriptif. Pondok pesantren dipandang memiliki
potensi besar dalam pembangunan kualitas SDM terutama di bidang pertanian,
pengembangan pembelajaran pola integrasi (mix farming system) sangat signifikan diberikan
pada santri, karena berujung pada penciptaan SDM yang produktif, berdaya saing, serta
antisipasi pangan berkelanjutan. Sehingga santri tidak hanya menjadi penempa nilai-nilai
spiritual saja, tetapi juga mampu meningkatkan kecerdasan sosial, dan ketrampilan (skill)
dalam membangun masyarakat di sekitarnya.
kata kunci: SDM, pondok pesantren, kewirausahaan, mix-farming system
Abstract
Human resource development should be balanced with the quality level of global
competitiveness. The purpose of this research is describe the development orientation of
entrepreneurial resource students, development pattern of entrepreneurial mix-farming
systems and identify factors supporting and inhibiting the development of entrepreneurial
mixed-farming system in increasing the resources of the students. This study used qualitative
methods, analysis descriptive approach. Pondok Pesantren considered to have great potential
in the development of human resources, especially in agriculture, the development of learning
patterns of integration (mixed farming system) very significant given the students, because it
led to the creation of productive human resources, competitiveness, and anticipation of
sustainable food. So that students not only to Hammersmith spiritual values, but also to
increase social intelligence, and skill in building the community around it.
Keyword: human resources, Pondok pesantren, Entrepreneurship, Mix-Farming system
PENDAHULUAN
Peningkatan sumber daya manusia
merupakan keharusan dalam upaya
pemecahan persoalaan kualitas masyarakat
di era kompetitif sekarang ini. Pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, menciptakan struktur baru, yaitu
struktur global. Struktur tersebut
mengakibatkan semua bangsa di dunia
termasuk Indonesia, terlibat dalam suatu
tatanan global tanpa mengenal batas-batas
negara. Sumber Daya manusia (SDM)
merupakan salah satu faktor kunci dalam
persaingan, yakni bagaimana menciptakan
SDM yang berkualitas dan memiliki
keterampilan serta berdaya saing tinggi
52
dalam persaingan global yang selama ini
kita abaikan (Anonimus: 2008).
Kualitas SDM pada dasarnya
merupakan hasil proses regenerasi yang
diwariskan secara turun temurun dan
hasilnya tidak hanya dipengaruhi oleh
faktor keturunan (genetik) tetapi juga oleh
faktor lingkungan seperti: lingkungan
geografis, lingkungan budaya, lingkungan
peradaban dan sebagainya. Inilah yang
menimbulkan adanya perbedaan yang nyata
antara kualitas SDM. Di Indonesia, dilihat
dari segi pendidikan masih didominasi oleh
mereka yang berpendidikan rendah. Badan
Pusat Statistik pada Februari 2010,
menunjukan bahwa pekerja pada jenjang
pendidikan SD ke bawah jumlahnya tetap
tinggi yaitu sekitar 55,31 juta orang (51,50
persen). Penyerapan tenaga kerja
berdasarkan pendidikan dalam periode
Agustus 2009–Februari 2010, terlihat pada
tabel berikut;
Tabel 1.
Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas yang Bekerja
Menurut Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan, 2008–2010
(juta orang)
Sumber: BPS Mei 2010
Kualitas SDM menyangkut banyak
aspek, yaitu aspek sikap mental, perilaku,
aspek kemampuan, aspek intelegensi, aspek
agama, aspek hukum, aspek kesehatan dan
sebagainya (Djaafar: 2001 ). Kesemua
aspek ini merupakan dua potensi yang
masing-masing dimiliki oleh tiap individu,
yaitu jasmaniah dan rohaniah. Tidak dapat
dipungkiri bahwa aspek jasmaniah selalu
ditentukan oleh rohaniah yang bertindak
sebagai pendorong dari dalam diri manusia.
Thomas J. Peters dan Robert H.Waterman
dalam Sanaky (2009) manusia berkualitas
adalah orang yang menampilkan ciri-ciri
sebagai berikut : (1) memiliki kegemaran
untuk selalu berbuat sesuatu, dari pada
banyak bertanya; (2) menampilkan
hubungan yang erat dengan para rekannya;
(3) bersifat otonom dan memperlihatkan
kewiraswastaan; (4) membina kesadaran
bawahannya untuk menampilkan upaya
terbaik; (5) memandang penting keuletan
dalam menjalankan usaha; (6)
menempatkan orang secara proporsional;
dan (7) menggunakan prinsip pengawasan
yang lentur (longgar tapi ketat). Sedangkan
menurut Sanaky sendiri mengatakan,
manusia yang berkualitas yaitu berdasar
tolak ukur Al-Quran, yakni memiliki
kualitas iman, kualitas ilmu pengetahuan,
kualitas amal saleh, dan kualitas sosial.
Menurut Faozan (2006), pondok
pesantren dengan berbagai harapan dan
predikat yang melekat, sesungguhnya
berujung pada tiga fungsi utama yang
senantiasa diemban, yaitu: Pertama, sebagai
pusat pengkaderan pemikir-pemikir agama
(Center of Excellence). Kedua, sebagai
lembaga yang mencetak sumber daya
manusia (Human Resource). Ketiga,
sebagai lembaga yang mempunyai kekuatan
melakukan pemberdayaan pada masyarakat
(Agent of Development). Pondok pesantren
juga dipahami sebagai bagian yang terlibat
dalam proses perubahan sosial (Social
Change) di tengah perubahan yang terjadi.
Pondok pesantren memegang peranan
Pendidikan Tertinggi
yang Ditamatkan
2008 2009 2010
Pebruari Agustus Pebruari Agustus Pebruari
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
SD Kebawah
SMP
SMA
SMK
Diploma I/II/III
Universitas
55,62
19,39
13,90
6,71
2,66
3,77
55,33
19,04
14,39
6,76
2,87
4,15
55,43
19,85
15,13
7,19
2,68
4,22
55,21
19,39
14,58
8,24
2,79
4,66
55,31
20,30
15,63
8,34
2,89
4,94
Total 102,05 102,55 104,49 104,87 107,41
53
kunci sebagi motivator, inovator, dan
dinamisator masyarakat.
Pondok pesantren dalam kamus
besar bahasa Indonesia diartikan sebagai
asrama tempat santri atau tempat murid-
murid belajar mengaji. Sedangkan secara
istilah pesantren adalah lembaga pendidikan
Islam dimana para santri biasa tinggal di
pondok (asrama) dengan materi pengajaran
kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum
bertujuan untuk menguasai ilmu agama
Islam secara detail serta mengamalkan
sebagai pedoman hidup keseharian dengan
menekankan pada pentingnya moral dalam
kehidupan bermasyarakat
(Anonimus:2010a).
Pondok pesantren mempunyai peran
besar dalam pembinaan umat. Anas (2010)
menjelaskan bahwa ”Pondok pesantren
berperan sebagai pengembangan
pendidikan dilihat dari misi utama, yakni
untuk menyebarluaskan ajaran dan
universalitas Islam ke seluruh pelosok
nusantara yang berwatak pluralis, baik
dalam dimensi kepercayaan, budaya
maupun kondisi sosial ekonomi
masyarakat. Selain itu pondok pesantren
memiliki peran sebagai pemberdayaan
masyarakat dilihat dari transformasi nilai
yang ditawarkannya (amar ma'ruf nahy
munkar). Segenap potensi pondok
pesantren telah berhasil membawa
perubahan serta transformasi kehidupan
masyarakat dari kekafiran kepada
ketakwaan, dari kefakiran menuju kepada
kesejahteraan. Pondok pesantren telah
berhasil menanamkan semangat
kewiraswastaan, semangat berdikari, dan
memiliki potensi untuk menjadi pelopor
pembangunan masyarakat di
lingkungannya”.
Santri pondok pesantren setelah
lulus, diharapkan tidak hanya
mengandalkan untuk mengisi lowongan
kerja (job seeker), tetapi juga diharapkan
mampu untuk memanfaatkan ilmu yang
telah dimiliki untuk kerja mandiri dengan
menciptakan lapangan kerja (job creator).
Oleh karenanya pemahaman kewirausahaan
harus dimiliki oleh santri, sehingga setelah
lulus memiliki motivasi berpikir secara
kreatif terhadap peluang bisnis yang ada di
masyarakat dan berani mencoba untuk
memulai usaha. Pondok pesantren
dipandang memiliki potensi besar dalam
pembangunan di bidang pertanian, karena
sebagian besar lokasinya dipedesaan dan
sumber daya alam yang tersedia masih luas,
seperti lahan dan pengairan pada umumnya
masih cukup besar, sehingga sangat
mendukung dalam pengembangan
agribisnis dan ketahanan pangan yang
berkelanjutan, misalnya pengembangan
pertanian terintegrasi dengan peternakan.
Pola integrasi (mix farming system) ini
belum banyak dilakukan atau dikenal oleh
petani skala kecil. Padahal kesempatan
untuk melakukan integrasi sangat besar
ditinjau dari potensi lahan dan ternak yang
ada. Salah satu penyebabnya adalah
kurangnya pengetahuan, penguasaan dan
pemanfaatan teknologi pertanian
(Ishak:2009).
Pondok Pesantren Al-Hayatul
Islamiyah berlokasi di pedesaan pinggiran
hutan kota Malang. Pondok pesantren ini
turut berpartisipasi dalam pembangunan
dibidang pendidikan yang berwawasan
pengetahuan dunia dan ukhrowi, yang
mengemban misi sebagai pengembang
pendidikan islami secara luas yang
disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Cakupan kegiatan pondok pesantren
semakin luas dan mendalam, kegiatan tidak
lagi terbatas pada pendidikan agama,
dakwah, pembinaan umat dan kegiatan
sosial lainnya, tetapi juga telah merambah
pada kegiatan ekonomi. Hal ini bertujuan
menyiapkan santri menjadi kader-kader
bangsa yang mampu mengadakan
perubahan, memiliki kecakapan hidup (life
skill), berdaya saing dan dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungannya
secara arif dan bijak.
Membangun SDM tidaklah cukup
dengan pendidikan yang membentuk budi
pekerti saja, melainkan diperlukan pula
berbagai pengetahuan dan ketrampilan
(skill), sehingga SDM memiliki mental
mandiri dan berjiwa kompetitif, sesuai
tuntutan dan kebutuhan pasar dewasa ini.
Secara eksplisit, ketentuan yuridis terkait
dengan pendidikan nasional kita
memprioritaskan adanya suatu persepsi
54
tentang perlunya setiap lembaga pendidikan
memberikan pembelajaran yang orientasi
proses pendidikannya kepada peserta didik
untuk lebih tertanam sikap kemandirian dan
jiwa kewirausahaannya. Secara aktual
bahwa orientasi proses pendidikan
seharusnya memberikan proses
pembelajaran yang efektif bagi terbukanya
kesempatan bagi lulusan untuk
menghasilkan produk keilmuannya dan
menerapkannya sendiri dalam aktivitas
usaha.
Oleh karena itu pendidikan
kewirausahaan sangat penting bagi peserta
didik, disamping membangun jiwa
wirausaha juga dapat digeluti sebagai karir
wirausaha kelak kalau sudah lulus.
Kewirausahaan (entrepreneurship) dapat
berarti suatu kemampuan dalam berfikir
kreatif dan berperilaku inovatif yang
dijadikan dasar, sumber daya, tenaga
penggerak, tujuan, siasat, kiat, dan proses
dalam menghadapi tantangan hidup Alma
(2000). Pengertian tersebut menunjukan
bahwa kewirausahaan dapat dipelajari dan
diciptakan, apabila seseorang mempunyai
kemampuan untuk memodifikasi sesuatu
produk atau hasil karya yang lain dari yang
telah ada sebelumnya.
Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif dengan analisa data
melalui pendekatan data diskriptif. Hal ini
digunakan karena menyangkut sebuah
fenomena sosial dan ingin memberikan
gambaran tentang sebuah jejak sesuai apa
adanya berdasarkan informasi di lapangan.
Adapun sumber informasi berasal dari
Ketua YPPAI, pengurus, pembina dan
santri. Teknik pengumpulan data yang
digunakan, yaitu Observasi, interview dan
dokumentasi.
Analisis informasi meliputi :(1)
Reduksi Data, melalui proses pemilihan,
pemusatan perhatian pada penyederhanaan
pengabstrakan dan transformasi data /
informasi kasar yang muncul dari catatan-
catatan selama melakukan penelitian di
lapangan. (2) Penyajian Data dari
sekumpulan informasi yang tersusun dan
memberikan kemungkinan adanya
penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. (3) Proses Penafsiran terhadap
hubungan antara fenomena yang terjadi dan
membandingkannya dengan fenomena-
fenomena lain di luar penelitian. (4)
Penyimpulan Hasil Peneliti, dilakukan
setelah proses reduksi dan penyajian data
diolah, diedit kemudian perlu dibaca
kembali untuk dilakukan perbaikan-
perbaikan jika masih terdapat hal-hal yang
salah atau masih meragukan.
HASIL ANALISIS DAN
PEMBAHASAN
Tata kehidupan masyarakat
pinggiran hutan kelurahan Kedungkang
kecamatan Kedungkandang kota Malang,
sebelum berdiri pondok pesantren Al-
Hayatul Islamiyah pada waktu itu benar-
benar memprihatinkan. Pemahaman akan
ajaran agama sangat minim, sehingga
masyarakatnya ada yang berprofesi pencuri,
perampok, preman dan profesi penyakit
masyarakat lainnya.
Pondok pesantren Al-Hayatul
Islamiyah, didirikan oleh ketua Yayasan
Pengembangan Pendidikan Al-Hayatul
Islamiyah (YPPAI) yaitu KH.Abd Aziz,
Sebelum mendirikan Pondok yayasan ini
memiliki 2 (dua) lembaga pendidikan
Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniah,
pada tahun 1984 lembaga pendidikannya
bertambah yaitu Madrasah Tsanawiyah dan
panti asuan tahun, pada tahun 2001 Bapak
KH Abd Aziz meninggal dunia dan
diteruskan oleh putranya yaitu Bapak Drs.
KH Irfan Aziz, M.Ag bersama empat
saudaranya. Sekarang lembaga
pendidikannya telah lengkap yaitu
Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah
dan Panti Asuan, PAUD, serta Tarbiyatul
Athfal (TA). Tahun 2011membuka jenjang
pendidikan S1 yang telah dirintis 3 tahun
lalu.
Pondok pesantren Al-Hayatul
Islamiyah, menjadi perhatian masyarakat
disekitarnya karena dapat merubah kondisi
masyarakat kearah yang lebih baik. Usaha
yang dilakukan oleh YPPAI melalui
kegiatan keagamaan, seperti pengajian,
yasinan, dan dzibaiyah dan lainnya. Dari
usaha itulah mendorong banyak orang yang
datang ke pondok, dari berbagai kalangan.
Selain itu masyarakat juga terdorong untuk
55
memondokkan anaknya dan jumlah santri
yang mukim dipondok semakin banyak.
Orientasi Pengembangan Sumber Daya
Santri
Jumlah santri pada tahun 2010
sebanyak 500 orang, tidak semua santri
bermukim di pondok pesantren, yang
mukim dipondok 200 santri, dan lainnya
diluar pondok. 85% dari mereka adalah
duafa‟ sedang sisanya adalah yatim. Oleh
karena itu para santri hanya dikenakan
biaya sebesar 5 % yang digunakan untuk
uang makan sehari-hari, sedangkan
sebanyak 95 % ditanggung oleh yayasan
serta kadang-kadang ada donatur yang mau
membantu. Biaya sebesar itupun bagi santri
yatim masih terlalu berat. sehingga
membayarnya sesuai kesanggupan dan ada
pula yang tidak mampu membayar. YPPAI
juga memiliki jamaah pengajian rutin setiap
hari jumat yang berjumlah 500 orang dan
terus bertambah jumlahnya. Jamaah
tersebut berasal dari masyarakat sekitar
pondok.
Kegiatan pendidikan pondok
pesantren Al-Hayatul Islamiyah, dirangkum
dalam Tri Dharma Pondok Pesantren, yaitu
meliputi keimanan dan ketaqwaan terhadap
Allah SWT., pengembangan ilmu yang
bermanfaat, dan pengabdian terhadap
agama, masyarakat serta negara.
Pengabdian kepada masyarakat yang
menjadi salah satu Dharma, mengisyaratkan
bahwa pondok pesantren Al-Hayatul
Islamiyah memiliki kewajiban bersama-
sama masyarakat untuk mengembangkan
diri melalui pendidikan dan melakukan
perubahan sosial dalam pembangunan serta
mengatasi permasalahan yang terjadi
dilingkungannya.
Sarana yang tersedia meliputi
bangunan masjid, rumah tinggal, bangunan
sekolah/madrasah, koperasi, kantin,
perpustakaan, area sekolah alam, bumi
perkemahan, stodio musik, lapangan olah
raga, laboratorium komputer dan internet,
lahan pertanian dan peternakan. Sarana
tersebut adalah sangat ideal sebagai tempat
mendidik untuk mendapatkan sosok
sumberdaya manusia berkualitas yang
berakhlaq al-karimah. Sarana yang lengkap
belumlah cukup, tetapi juga diperlukan
membangun kesadaran santri, kesadaran
sebagai individu maupun sebagai
komunitas pesantren dan masyarakat
sekitar. Sekarang ini yayasan berusaha
meningkatkan kesejahteraan santri dengan
mengupayakan adanya beasiswa melalui
kerjasama dengan pihak lain, ada beberapa
santri yang sudah mendapatkan beasiswa,
bahkan ada yang memperoleh beasiswa ke
Perguruan Tinggi. Hal ini dilakukan
sebagai upaya menciptakan santri yang
berdaya saing .
Menghadapi tuntutan globalisasi
saat ini, Ketua YPPAI Drs. KH Irfan Aziz,
M.Ag mempunyai idealisme untuk
mengembangkan pendidikan yang dapat
menciptakan santri yang tangguh, ulet,
terdidik, mandiri, berdaya saing dan
berwawasan kedepan. Sumberdaya santri
diharapkan memiliki potensi yang betul-
betul bisa diandalkan dan bisa menjadi
panutan. Beliau menyadari bahwa santri
adalah kader umat dan aset bangsa harus
dijaga kualitas keilmuan, keterampilan dan
moralitasnya. Sebagaimana dikatakan oleh
Drs. KH Irfan Aziz, M.Ag dalam forum
diskusi di ruang pondok pada tanggal 8
September 2010: “Saya melihat kenyataan,
banyak umat Islam yang tertinggal dalam
pendidikan maupun dalam kesejahteraan.
Sekarang sumber daya atau unsur-unsur
pondok pesantren termasuk guru atau kyai,
masjid, santri, kitab kitab klasik hingga
ilmu pengetahuan yang baru dapat
didayagunakan dalam proses pendidikan
secara berkelanjutan untuk membangun
manusia yang memiliki paham ilmu
pengetahuan, potensi kemasyarakatan, dan
pembangunan wilayah. Hal ini berujung
pada penciptaan Sumber Daya Manusia
yang produktif dan berdaya saing sehingga
tidak hanya menjadi penempa nilai-nilai
spiritual saja, tetapi juga mampu
meningkatkan kecerdasan sosial, dan
ketrampilan dalam membangun masyarakat
di sekitarnya. Ini dimulai dari kemampuan
pesantren memberdayakan potensi-potensi
yang ada di lingkungannya yang dilakukan
oleh Sumber Daya Manusia yang ada di
pesantren itu sendiri. Selain itu yayasan
juga punya angan-angan bagaimana
56
menjadikan pondok pesantrennya dapat
mandiri dan tidak tergantung dari donatur.
Sehingga pondok pesantren Al-Hayatul
Islamiyah dapat dijadikan agen perubahan
(agent of change) ”.
Pola Pengembangan Wirausaha Mix-
Farming System
Lahan pertanian yang dimiliki
YPPAI cukup luas, lahan yang letaknya
terpisah dari pondok sekitar 2 hiktar dan di
tanami tanaman dengan sistem
tumpangsari. Meliputi pohon sengon, johar,
jati mas, pohon kelapa, pohon nangka,
pohon pepaya dan tanaman singkong serta
ubi jalar, polowijo, pakan ternak. Hasil dari
tanaman pohon sebagai persediaan untuk
renovasi dan pengembangan bangunan
pondok. Tanaman pangan selama ini selain
dikonsumsi warga pondok sendiri,
selebihnya dijual dan belum pernah berfikir
untuk meningkatkan nilai tambah melalui
pengolahan terlebih dahulu. Sedangkan
tanaman pakan ternak dipersiapkan untuk
ternak peliharaan.
Selain itu terdapat pula lahan
pekarangan di sekitar pondok pesantren
seluas 6000 m, selama ini belum
dioptimalkan pemanfaatannya. Lahan
tersebut baru dimanfaatkan untuk, (1)
Pembuatan batu bata sebagai stock
bangunan pondok, (2) Pemeliharaan
kambing kacang sebagai persediaan apabila
ada orang berhajat kekahan yang dilakukan
dipanti asuhan. Terdapat 2 ekor kambing
yang berada dalam kandang, dengan
kondisi kandang kurang layak untuk
beternak. Pemeliharaan kambing kacang ini
apabila dikembangkan menjadi peternakan
sebenarnya memiliki prospek yang baik,
karena kambing kacang merupakan
kambing asli Indonesia yang mudah
beradaptasi terhadap lingkungan alam.
Reproduksinya tergolongkan sangat tinggi
karena kambing kacang betina sangat subur
dan nafsu kawin kambing kacang jantan
sangat besar. Sedang produksi air susu
kambing kacang hanya 0,5 liter per hari
namun jenis kambing ini merupakan
sumber daging yang potensial. Sesuai
dengan yang disampaikan oleh Anonimus
(2011), peluang pasar usaha ternak kambing
kacang sangat baik karena jumlah
penduduk Indonesia saat ini sekitar 240 juta
jiwa dan akan terus bertambah, tentunya
kebutuhan konsumsi daging juga akan
bertambah. Kambing selalu dibutuhkan
untuk aqiqah dan lebaran Idhul Adha, selain
dikonsumsi sehari-hari. Luasnya lahan
kosong yang belum dioptimalkan, telah
lama menjadi perbincangan dan pemikiran
para pengurus pondok, apa yang bisa
dilakukan terhadap lahan tersebut sehingga
dapat bermanfaat dan memiliki daya
ekonomis. Namun keterbatasan para
pengurus dalam hal manajemen usaha
agrobisnis maka lahan tersebut dikelola
secara sederhana sesuai dengan
pengalamannya sambil berupaya untuk
menjalin hubungan dengan instansi-instansi
terkait seperti dinas pertanian,
perekonomian dan perguruan tinggi.
Pada tahun 2010, pondok pesantren
Alhayatul Islamiyah mendapat bantuan dari
Universitas Islam Malang (UNISMA),
dalam rangka pelaksanaan hibah program
Iptek bagi Masyarakat (IbM). Program IbM
berbentuk pelatihan pembuatan kandang
kambing yang layak untuk peternakan dan
berupa sumbangan 3 ekor kambing, terdiri
dari satu ekor kambing jantan jenis
peranakan etawa dan dua ekor kambing
betina ( peranakan etawa dan kambing
Sumbawa). Tujuannya untuk pembinaan
usaha peternakan kambing sebagai
persediaan daging dan kambing sebagai
penghasil susu perah. Selain itu program
IbM juga memberikan pendidikan dan
pelatihan manajemen mix-farming system
pada pengurus, pembina, santri senior dan
perwakilan masyarakat sekitar pondok
pesantren Al-Hayatul Islamiyah.
Berdasarkan pengamatan, para santri saling
bergantian melakukan kegiatan mulai dari
mencari pakan, memberi pakan dan
minuman, membersihkan kandang. Para
santri juga belajar menanam rumput gajah,
mulai menyiapkan lahan yang ada dibawah
pohong jati dan sengon, serta di pinggiran
lahan, serta mempraktekan pembuatan
pupuk organik kemudian diaplikasikan
langsung dalam mempersiapkan penanaman
rumput gajah.
57
Sementara ini pembelajaran usaha
Mix-Farming System yang akan
dikembangkan dipondok pesantren Al-
Hayatul Islamiyah dapat digambar sebagai
berikut:
Gambar 1.
Pembelajaran Usaha Mix-Farming System yang akan dikembangkan
dipondok pesantren Al-Hayatul Islamiyah
Faktor Pendukung dan Penghambat
Pengembangan Usaha Mix-Farming
System
Pondok pesantren sangat gigih
dalam upaya meningkatan sumber daya
santri, berbagai cara dilakukan agar kelak
para santri dapat menyesuaikan dengan
tuntutan perkembangan zaman. Mulai dari
reformasi pendidikan dan kurikulum,
memberikan pembekalan baik dibidang
iptek maupun iptag serta ketrampilan untuk
kecakapan hidup, sedang upaya yang
terbaru dilakukan adalah pembelajaran
mengenai pengembangan usaha mix
farming system. Pembelajaran mengenai
pengembangan usaha mix farming system
sangat siqnifikan diterapkan di pondok
pesantren, karena didukung dengan adanya
lahan kosong yang cukup luas, jiwa
wirausaha yang dimiliki oleh pemimpin
pondok, sudah terjalinnya akses dengan
instansi-intansi pemerintah dan perguruan
Lahan Kosong
Pertanian Tanaman Pakan
Ternak
Peternakan
Kambing
Kotoran
Kambing
Kambing
Sumbawa
Peranakan
Etawa Tanaman
Pangan
Diolah
Pupuk
organik
Susu Daging
Diolah
Penjualan/penghasilan
58
tinggi, para santri yang berasal dari
lingkungan petani dan lingkungan pondok
yang sangat strategis yaitu dipinggiran
hutan dan dekat dengan sungai.
Sedangkan faktor yang menghambat
proses pembelajaran mix farming system,
antara lain terbatasnya pengetahuan
pembina pondok tentang manajemen usaha,
administrasi dan produksi. Kurangnya
waktu luang untuk kegiatan ekstrakulikuler
santri. Modal dana yang belum ada untuk
anggaran kegiatan ini. mahalnya harga
pupuk dan sulit untuk mendapatkan pupuk.
Pengurus dan pembina pondok telah
berusaha untuk meminimalisasi hambatan-
hambatan yang dihadapi melalui beberapa
cara yaitu meminta bantuan dari anggota
jamaah pengajian yang memiliki kopetensi
dibidang tersebut untuk menularkan
ilmunya kepada pengurus dan pembina,
selain terus menjalin hubungan dengan
perguruan tinggi. Para santri senior
membantu mengatur waktu santri dalam
melakukan kegiatan ini, dengan harapan
kalau usaha yang dikembangkan ini
berhasil tentunya akan menghasilkan
pendapatan bagi pondok. Sehingga dapat
digunakan sebagai modal pengembangan
usaha lebih lanjut, selain itu para santri
mampu memproduksi pupuk sendiri bahkan
dapat menjualnya.
PENUTUP
Pengembangan pendidikan pondok
pesantren Alhayatul Islamiyah, meliputi
berbagai pengetahuan dan ketrampilan,
dengan tujuan berusaha menciptakan santri
yang tangguh, ulet, terdidik, mandiri,
berdaya saing dan berwawasan kedepan.
Pondok pesantren dipandang memiliki
potensi besar dalam pembangunan kualitas
SDM terutama di bidang agrobisnis, karena
sebagian besar lokasinya dipedesaan dan
sumber daya alam yang tersedia masih luas
seperti lahan dan air. Apalagi sebagian
besar santrinya berasal dari berbagai
pedesaan, dimana kehidupan orang tuanya
menyatu dengan kegiatan-kegiatan yang
ada kaitannya dengan pertanian.
Pembelajaran pola integrasi (mix
farming system) sangat signifikan diberikan
pada santri, mix farming system merupakan
usaha pertanian dengan dikelola secara
bersinambungan, sehingga tidak mengenal
produk limbah. Pola ini belum banyak
dilakukan atau dikenal oleh petani skala
kecil. Namun saat ini, pengurus dan
pembina pondok pesantren masih dalam
keterbatasan pengetahuan tentang
manajemen usaha, administrasi, produksi,
dan usaha agrobisnis.
DAFTAR PUSTAKA
Alma. B (2000). Kewirausahaan. Bandung.
Alfabeta
Anas, Ali.Peran Pesantren Dalam
Pemberdayaan Masyarakat.
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurn
al/Ed160892107.pdf. diakses tanggal
21 desember 2010
Anonimus. 2007. Karakteristik Sdm Di
Masa Mendatang: Peluang Dan
Hambatan
http://www.depsos.go.id/modules.ph
p?name=News&file=article&sid=46
3
Anonimus (2008) SDM Indonesia dalam
persaingan global.
www.geogle/SDM Indonesia dalam
persaingan global/.co.id
Anonimus (2010a) Pengertian Pondok
Pesantren.
http://blog.re.or.id/pondok-
pesantren-sebagai-lembaga-
pendidikan-islam.htm . akses Jumat
14-12-2010. jam: 20.07WIB.
Anonimus (2010b) Pengertian Pondok
Pesantren
http://tsalmans.blogspot.com/2010/0
5/pengertian-pondok-
pesantren.html.
Anomimus (2011). Keuntungan Beternak
Domba Bulu. http://peternakan-
kambing-sapi-
kerbau.blogspot.com/2011/01/keunt
ungan-beternak-domba-bulu.html
BPS.(2010) Keadaan Ketenagakerjaan
Indonesia Februari 2010, Berita
Resmi Statistik, No. 33/05/Th. XIII,
10 Mei 2010
Saydan, Caouzali.(2000). MSDM Suatu
Pendekatan Mikro. Djumabata.
Jakarta. halaman 15.
59
Faozan, Akhmad. (2006). Pondok Pesantren
dan Pemberdayaan Ekonomi. Ibda`
Vol. 4| No. 1 Jan-Jun 88-102
Djaafar, T. Z. (2001). Pendidikan Non
Formal Dan Peningkatan Sumber
Daya Manusia Dalam Pembangunan.
Padang : Penerbit FIP UNP.
Ishak, Andi.(2009). Sistem Integrasi Ternak
Dengan Tanaman Perkebunan
http://uripsantoso.wordpress.com/200
9/11/30/sistem-integrasi-ternak-
dengan-tanaman-perkebunan/
Sanaky, Hujair, AH. 2009. Konsep manusia
Berkualitas Menurut Al-Qur‟an dan
Upaya Pendidikan.
http://www.sanaky.com/wp-
content/uploads/2009/02/konsep_man
usia_berkualitas_menurut_al.pdf
Vandha. 2008. Pendidikan Islam Dan
Sumber Daya Manusia
http://vandha.wordpress.com/2008/06/22/pe
ndidikan-islam-dan-sumber-daya-
manusia/
60
NEOPATRIONALISM MOVEMENT: COUNTER TO THE HEGEMONY OF
NEOIMPERIALISM (CAPITALIST)
UmiSalamah
Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia IKIP Budi Utomo Malang
Dosen Universitas Brawijaya Malang
Winning or surviving on the
battlefield depends on the strategies played.
The biggest "war" is currently against
capitalist hegemony in various fields which
is a manifestation of neoimperialism. The
way of committed suicide bombing is done
by the terrorists or bombing certain places
in the name of action against capitalist is
"ridiculous" and in vain. Image "stupid" and
"evil" will be attached to the bomber and
his group. More fatal if the country of
origin bombers also dubbed as a terrorist
state and the labeling will be treated to all
the people who come from a country known
as the country of origin "terrorists". Impact
is very bad for the survival and progress of
a country is affected by the labeling.
Intelligence wars should be fought with
intelligence, imaging countered with
imaging, diffusion of culture must be
confronted with the power of their own
culture.
Reflecting the great figures against
neoimperialism There have been many leaders of
nations in the developing world who
provide role models to evoke the spirit of
patriotism and nationalism in the various
fields of non-violence. They work best
when they get sympathy and support from
the world community. Just mention of
Pakistan Mohammad Ali Jinah, Bung
Karno from Indonesia, Jawaharal Nehru of
India, and Nelson Mandela of South Africa.
They beat the neo-colonialists with courage
and skill, set strategy and intelligence
cooperation between countries in
negotiating and non-aligned against the
political hegemony of the colonialist.
Currently all non-aligned countries
are de jure independence is already
irrespective of the colonialists, but de facto
it was colonized by capitalist hegemony in
various aspects of life, such as economics,
media, culture, education, technology, and
science. Emerging countries are still
dependent on the capitalist powers.
Developing countries have not been able to
even become masters in their own country.
Our nation still enslaved by capitalist
countries in our own country. Most of the
people impoverished, while officials and
the government bureaucracy and the
establishment pampered with a variety of
pleasures. The result is a huge gap between
state officials and the people.
Capitalist hegemony in the country
we have penetrated into most of the nation's
blood vessels in a variety of fields. Even the
heart has been ripped off and most of the
common sense of our nation. The low
quality of life of the majority of the people
have resulted in mental and moral nation. A
lack of confidence and mentality have
undermined the slave mentality of the
majority of ordinary people, while the
culture of corruption and colonial mentality
has spoiled most officials and bureaucrats
of our country. This is the impact of
modern capitalist has been opened faucet in
developing countries on a large scale in the
mining, industrial giant, and capitalist trade
networks. Ironically, the leaders of the
developing countries , or most of them
bendtheir knees and more capitalist than the
policy side to defend the rights and
prosperity of its people. Even for the sake
of defending the capitalist policies and the
establishment of office, they would be
willing to sacrifice its people.
61
As a result of our current society
tends repressive and anesthetized by
residence. These circumstances make the
creativity and productivity of the nation
paralyzed, so many people who fled from
idealism for the position / positions in
society. Although in our society occurs
lameness lameness-social, social diversion,
and social deviance has been regarded as
reasonable and decent thing going on. How
could I not? Most of the nation has long
been lulled by the hedonistic culture,
pragmatic, and consumptive. Have fun with
shortcuts, working with shortcuts, learn the
shortcuts, earn position with shortcut also
has become a trend for the majority of this
nation. It happened from small people to
people with high-ranking officials. This
attitude led to the habit of not critical,
apathetic, and stuck in an irrational society
(mystical).
Is the character of our nation is so
far from the culture which is reflected in the
state and the state constitution? Ironically,
only certain people are aware of it. It takes
a movement to raise awareness in the fight
against capitalist hegemony
neopatrionalism in various fields. What
should we do? In this case the presence of
the media and public figures who are still
idealists hold on religion, the state and the
state constitution is very effective to
develop the movement. Ad delivery that is
both patriotic and nationalist spirit of
defending the country for the progress and
prosperity of nations is motivation and
optimism for the younger generation to
save the nation and the state of capitalist
hegemony.
Visionary leadership and mentality
neopatrionalism are requiredagainst
Capitalist HegemonyDomination.
The power of capitalist media make
our nation powerless and the crisis of
confidence. The media has a very important
role in raising the spirit of patriotism and
nationalism. But the media also plays a
major role in destroying the spirit of
patriotism and nationalism. News event and
broadcasting that are not balanced between
performance and dedication earned the
nation with moral deviations, then gives a
very bad impact for the community and
young people. Impressions moral
aberrations in various media, such as
corruption, manipulation, adultery,
witchcraft, fights, cheating that are
repeated over and over again give a bad
impact apathy towards the existence and
progress of the nation and the state. Instead
aired achievements and dedication of the
nation that brought the nation's progress
will positively impact the survival and
progress of the nation.
Who is authorized to regulate?
What's a declaration of religious education
based education and culture if it is not
supported by media impressions and
government policies that are not based on
religion and culture itself. Visionary leader
and mentally neopatrionalismare required to
attack against capitalist hegemony. Leaders
who cling to the basic state and the state
constitution. Leaders are responsive to the
problems and challenges of the nation and
the state. A leader who can set an example
of patriot for their people.
Visionary leader and
neopatrionalism mentality will always
support and provide the broadest possible
opportunity to the people to advance the
nation. Leaders who cling to the basic
constitution of the state and country will
always defend the rights and pro-prosperity,
justice, dignity, and the dignity of the
nation and country. Leaders are responsive
to the problems and challenges of the nation
and the state always see the problems and
needs of its people as study materials to
improve the quality of education,
technology, and science in the country. A
leader who can set an example of patriot for
their peopleis courageous leaders and
consistently implement the establishment of
the state and the country's constitution and
daring against the capitalist policies that are
not in accordance with the constitution of
the state and country.
62
PERSPEKTIF KEBIJAKAN DALAM PENANGANAN ANAK JALANAN
Nurul Umi Ati
Dosen Program Studi Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Islam Malang
Abstract
The government is like eating fruit simalakama, on the one hand raided and curb street
children to be held coaching-coaching and training in order to alleviate the street children
from adversity. But on the other hand, street children need to eat to live. Need to land a job
and ironically, the Government has not adequately provide, due to limited energy and costs
are available. In efforts to address street children can be done in 2 ways: first handler is done
by the government, that is by holding counseling to street children, vocational training,
scholarships and provision of venture capital. While efforts to address street children both
performed by non-governmental organizations (NGOs), which is conducted by Shelter Homes
or Institutions. The outreach programs and mentoring on the road and at home, re-
socialization, fellowship, food and medical aid, empowerment of street children, street
children and terminalisasi meeting service termination.
These efforts Shelter Homes Government and may experience successes and failures in
implementing programs that exist. This is because many complexities of the issues circling
street children.
key words : policy perspektives, the treatment of street children
PENDAHULUAN
Salah satu masalah sosial yang timbul
di berbagai kota besar pasca krisis adalah
melonjaknya jumlah anak jalanan dan anak
keluarga pra sejahtera yang belakangan ini
makin mencemaskan. Hal itu merupakan
realitas nyata yang betul-betul terjadi di
Indonesia, namun oleh pemerintah hanya
dianggap sebagai bayangan. Di tahun 2005
diperkirakan jumlah penduduk yang taraf
hidupnya di bawah garis kemiskinan,
menurut ukuran Bank Dunia (2 dollar
AS/hari), masih sebesar 49,5% (Kompas
(4), 26 April 2005). Sementara itu data BPS
menyebutnya bahwa jumlah anak yang
berusia 10-14 tahun sebanyak 22,4 juta,
sehingga ini berarti diperkirakan terdapat
14 juta anak yang berada di bawah garis
kemiskinan. Yang kemudian menjadi
masalah, sebagai anak miskin terpaksa
mencari penghasilan dengan caranya
sendiri, termasuk menjadi anak jalanan.
Menurut TKSK (Tenaga
Kesejahteraan Sosial Kecamatan) Ponorogo
tahun 2010: Fenomena merebaknya anak
jalanan di Indonesia diatas merupakan
persoalan sosial yang komplek. Hidup
menjadi anak jalanan memang bukan
merupakan pilihan yang menyenangkan,
karena mereka berada dalam kondisi yang
tidak bermasa depan jelas, dan keberadaan
mereka tidak jarang menjadi “masalah”
bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat
dan negara. Namun, perhatian terhadap
nasib anak jalanan tampaknya belum begitu
besar dan solutif. Padahal mereka adalah
saudara kita. Mereka adalah amanah Allah
yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya,
sehingga tumbuh-kembang menjadi
manusia dewasa yang bermanfaat, beradab
dan bermasa depan cerah.
Hasil Survei Sosial Ekonomi
Nasional (SUSENAS) Badan Pusat Statistik
Republik Indonesia tahun 1998
memperlihatkan bahwa anak jalanan secara
63
nasional berjumlah sekitar 2,8 juta anak.
Dua tahun kemudian, tahun 2000, angka
tersebut mengalami kenaikan sekitar 5,4%,
sehingga jumlahnya menjadi 3,1 juta anak.
Pada tahun yang sama, anak yang tergolong
rawan menjadi anak jalanan berjumlah 10,3
juta anak atau 17, 6% dari populasi anak di
Indonesia, yaitu 58,7 juta anak (Soewignyo,
2002). Angka-angka tersebut menunjukkan
bahwa kualitas hidup dan masa depan anak-
anak sangat memperihatinkan, padahal
mereka adalah aset, investasi SDM dan
sekaligus tumpuan masa depan bangsa. Jika
kondisi dan kualitas hidup anak kita
memprihatinkan, berarti masa depan bangsa
dan negara juga kurang menggembirakan.
Bahkan, tidak tertutup kemungkinan,
sebagian dari anak bangsa kita mengalami
lost generation (generasi yang hilang).
SUSENAS tahun 2000 juga
menunjukkan bahwa salah satu faktor
ketidakberhasilan pembangunan nasional
dalam berbagai bidang itu, antara lain,
disebabkan oleh minimnya perhatian
pemerintah dan semua pihak terhadap
eksistensi keluarga. Perhatian dan treatment
yang terfokus pada “keluarga sebagai basis
dan sistem pemberdayaan” yang menjadi
pilar utama kehidupan berbangsa dan
bernegara relatif belum menjadi komitmen
bersama dan usaha yang serius dari banyak
pihak. Padahal, masyarakat dan negara
yang sehat, kuat, cerdas, dan berkualitas
dipastikan karena tumbuh dan berkembang
dari dan dalam lingkungan keluarga yang
sehat, kuat, cerdas dan berkualitas. Dengan
demikian, masalah anak termasuk anak
jalanan perlu adanya penanganan yang
berbasis keluarga, karena keluarga adalah
penanggung jawab pertama dan utama masa
depan anak-anak mereka.
Sementara itu munculnya fenomena
anak jalanan, menurut Baihaqi (1998:10) di
karenakan: Pertama, anak jalanan yang
punya komunitas. Mereka masih memiliki
orang tua, ada tempat tinggal yang jelas
meski di pinggir-pinggir gang sebagai kaum
urban. Sebagian besar bekerja sebagai
asongan. Kedua, anak jalanan gelandangan.
Mereka sudah putus hubungan dengan
orang tua dan anggota keluarga lain.
Selama 24 jam, hidup dan bekerja di
jalanan atau di emper-emper toko.
Pekerjaan sebagai pengamen, pengemis,
pemulung, dan penyemir sepatu. Seiring
dengan pendapat diatas Ahmad Fikri (2010)
Anak Jalanan adalah: Mereka yang hidup di
jalanan sebagai, pengamen, pedagang
asongan, pengemis, dan pelacur. Paru-paru
mereka tidak hanya menghirup kerasnya
udara yang mengandung timbal dan karbon
monoksida tapi juga menghisap asap
kekerasan purba langsung dari akarnya.
Fenomena anak jalanan tersebut
merupakan ekses lingkaran setan
kemiskinan bangsa Indonesia. Kendala
yang dihadapi mobilitas anak-anak itu
cukup tinggi. Anak-anak yang dibimbing di
rumah singgah, setelah keluar, “kadang”
kembali menjadi anak-anak jalanan. Sebab,
kebutuhan ekonomi tidak terelakkan.
Sayangnya, perhatian kepada anak-anak
terkesan digelar pada momen-momen
tertentu saja. Secara, struktural negara bisa
disalahkan sebagai penyebab buruknya
kondisi anak-anak di negeri ini. Karena
negara sebagai pemegang kekuasaan
membuat kebijakan yang sering tak
berpihak pada masyarakat bawah.
Kebijakan itu menyebabkan orang miskin
yang makin terbelenggu dan tidak berdaya.
Kemiskinan menjadi satu faktor pemicu
terjadinya pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) pada anak. Anak dalam keluarga
miskin mengalami subordinasi ganda, yaitu
ada supremasi dari yang kaya dan orang
dewasa. Hak anak bisa dilanggar karena dia
anak-anak dan miskin.
Menyalahkan negara sebagai satu-
satunya pihak yang bertanggung jawab tak
secara otomatis membawa kehidupan anak
menjadi lebih baik. Tanpa disadari manusia
yang telah menjadi orang dewasa, akan
berperan sebagai para ”orang tua” yang
merangkap sebagai eksekutor bagi anak-
anaknya sendiri. Algojo yang menghukum
anak secara tidak proporsional. Hukuman
yang menghabiskan seluruh energi
kehidupan dan masa depan anak-anak
dalam bayang-bayang trauma jalanan, dan
debu peperangan, menjadi orang tua yang
mengambil terlampau banyak dari
kehidupan anak.
64
Menurut Undang-Undang Dasar 1945
pasal 34 ayat 1,”fakir miskin dan anak
terlantar itu dipelihara oleh negara”.
Artinya pemerintah mempunyai tanggung
jawab terhadap pemeliharaan dan
pembinaan anak-anak terlantar, termasuk
anak jalanan. Lebih lanjut dalam pasal 28 B
dikatakan setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi. Dalam
Garis-garis Besar Halauan Negara tahun
1999/2004 juga telah disebutkan bahwa
arah kebijakan sosial dan budaya, bidang
kesehatan dan kesejahteraan sosial adalah
meningkatkan kepedulian penyandang
cacat, fakir miskin, dan anak-anak
terlantar,serta kelompok rentan sosial
melalui penyediaan lapangan kerja yang
seluas-luasnya dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Hak-hak asasi anak terlantar dan anak
jalanan inilah, pada hakekatnya sama
dengan hak-hak asasi manusia pada
umumnya, seperti halnya tercantum dalam
Undang-Undang Nomor. 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan
Presiden RI Nomor. 36 Tahun 1990 tentang
Pengesahan Convention on the Right of the
Child (Konvensi tentang hak-hak Anak).
Mereka perlu mendapatkan hak-haknya
secara normal sebagaimana layaknya anak,
yaitu hak sipil dan kemerdekaan (civil righ
and freedoms), lingkungan keluarga dan
pilihan pemeliharaan (family envionment
and alternative care), kesehatan dasar dan
kesejahteraan (basic health and welfare),
pendidikan, rekreasi dan budaya (education,
laisure and culture activites), dan
perlindungan khusus (special protection).
Sehubungan dengan penanganan anak
jalanan diatas pemerintah sekarang melalui
Kementerian Sosial Republik Indonesia
mulai ada upaya membangun kemitraan
dengan para wakil rakyat untuk turut serta
merumuskan kebijakan anak jalanan. Model
pemusatan kebijakan itu dikenal dengan
model imperatif atau kebijakan terpusat
(Dye, I976). Namun sekarang ini telah
bergeser paradigma dari kebijakan imperatif
ke kebijakan Endikalif atau partisipatif,
dimana pemerintah pusat hanya
menentukan besaran kebijakan dan
pelaksanaannya diserahkan kepada LSM
dan masyarakat lokal. Kondisi ini
merupakan hal yang seharusnya
dilaksanakan di masa depan sejalan dengan
berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Produk
legislasi tersebut menjadi tantangan bagi
Pemerintah Daerah, masyarakat maupun
LSM untuk berpartisipasi melahirkan
kebijakan yang sesuai dengan kondisi di
daerah. Namun apakah kebijakan terpusat
sudah sepenuhnya ditinggalkan, atau
integrasi kedua model kebijakan itukah
yang menjadi alternatif terbaik bagi
pemecahana permasalahan anak jalanan.
Dalam hal ini sangat diperlukan
restrukturisasi kebijakan pada tingkat
makro (nasional), mezzo (propinsi) sampai
mikro (kabupatenkota); yang dapat
memadukan perencanaan dari atas dan dari
bawah secara proporsional. OIeh karena itu,
tujuan peningkatan kualitas hidup dan
kesejahteraan anak tetap harus memadukan
komitmen nasional yang harus didukung
dengan kebijakan operasional yang sesuai
dengan kondisi daerah yang beragam.
Sesuai dengan tempat penelitian,
Kota Malang merupakan salah satu daerah
otonom dan merupakan kota besar ke dua di
Jawa Timur setelah Kota Surabaya. Sebagai
kota besar, Malang tidak lepas dari
permasalahan sosial dan lingkungan yanmg
semakin buruk kualitasnya. Kota yang
pernah dianggap mempunyai tata kota yang
terbaik di antar kota-kota Hindia Belanda
ini, kini banyak dikeluhkan warganya
seperti kemacetan dan kesemrawutan lalu
lintas, suhu udara yang mulai panas,
sampah yang berserakan atau harus
merelokasi pedagang kaki lima yang
memenuhi alun-alun kota dan banyaknya
anak-anak jalanan di berbagai sudut
kota.Namun,terlepas dari berbagai
permasalahan tata kotanya, pariwisata Kota
Malang mampu menarik perhatian
tersendiri. Dari segi geografis, Malang
diuntungkan oleh keindahan alam daerah
sekitarnya seperti Batu dengan
agrowisatanya, pemandian
Selecta,Songgoriti atau situs-situs
purbakala peninggalan Kerajaan
65
Singosari.Jarak tempuh yang tidak jauh dari
kota membuat para pelancong menjadikan
kota ini sebagai tempat singgah dan
sekaligus tempat belanja. Perdagangan ini
mampu mengubah konsep pariwisata Kota
Malang dari kota peristirahatan menjadi
kota wisata belanja. Kota Malang
berkembang dengan pesatnya. Berbagai
kebutuhan masyarakat pun semakin
meningkat terutama akan ruang gerak
melakukan berbagai kegiatan. Akibatnya
terjadilah perubahan tata guna tanah, daerah
yang terbangun bermunculan tanpa
terkendali. Perubahan fungsi lahan
mengalami perubahan sangat pesat, seperti
dari fungsi pertanian menjadi perumahan
dan industri.
Sejalan perkembangan tersebut di
atas, urbanisasi terus berlangsung dan
kebutuhan masyarakat akan perumahan
meningkat di luar kemampuan pemerintah,
sementara tingkat ekonomi urbanis sangat
terbatas, yang selanjutnya akan berakibat
timbulnya perumahan-perumahan liar yang
pada umumnya berkembang di sekitar
daerah perdagangan, di sepanjang jalur
hijau, sekitar sungai, rel kereta api dan
lahan-lahan yang dianggap tidak bertuan.
Selang beberapa lama kemudian daerah itu
menjadi perkampungan, dan degradasi
kualitas lingkungan hidup mulai terjadi
dengan segala dampak bawaannya. Gejala-
gejala itu cenderung terus meningkat, dan
sulit dibayangkan apa yang terjadi
seandainya masalah itu diabaikan.
Lebih ironis lagi Koordinator Aliansi
Masyarakat Miskin Kota Malang (AMM)
Amrullah menyebutkan: Beberapa data
yang cukup mengenaskan terkait
pertumbuhan jumlah anak jalanan yang
terus meningkat. Disepanjang tahun 2009
AMM telah mengadvokasi sebanyak 240
anak jalanan yang putus sekolah untuk bisa
mendapatkan pendidikan gratis. Jumlah
anak jalanan pun meningkat sebanyak 50
orang di tahun yang sama. Sementara
tentang keberadaan rumah singgah AMM
menyebut tidak ada satupun rumahsinggah
yang beroperasi di tahun ini karena tidak
ada dana operasionalnya.”Tahun 2010 tidak
ada anggaran untuk rumah singgah dari
Dinas Tenaga Kerja dan Sosial. Tahun 2009
ada dana untuk rumah singgah dari Provinsi
besarnya Rp 20 juta dan itu hanya untuk
satu griya baca saja.
Penanganan anak jalanan oleh
Pemerintah Kota Malang diatas dinilai tidak
optimal oleh anggota dewan. Terbukti
dengan sedikitnya bantuan yang diberikan
oleh Pemerintah Kota Malang untuk
menangani dan menanggulangi anak
jalanan. Menurut Amrullah, sebagai contoh
adalah lembaganya yang telah malang
melintang menangani kaum miskin dan
anak jalanan di Kota Malang. "Pada 2009
tidak mendapat bantuan sama sekali dari
Pemerintah Kota, yang membantu justru
Pemerintah Provinsi Jawa Timur”. Padahal,
menurut Amrullah, anak jalanan yang
berkeliaran di Kota Malang saat ini berkisar
diantara 500-800 orang.
Lebih lanjut dikatakan, anak jalanan
semakin bertambah karena kealpaan
Pemerintah Kota dalam menangani dan
menanggulangi kemiskinan yang
mengepung kota. "Kemiskinan keluarga
dan mahalnya pendidikan, itulah yang
membuat mereka bertahan di Jalanan," ujar
mahasiswa salah satu perguruan tinggi di
Malang ini. Pemerintah yang 'hanya'
melatih anak jalanan dengan keahlian
tertentu kemudian dibelikan alat untuk
bekerja, menurutnya tidak optimal,
"Bagaimana mungkin anak jalanan yang
hobi menggambar disuruh buka bengkel di
pinggir jalan?".
Oleh karena itu sampai saat ini
Pemerintah Pusat ataupun Pemerintah
Daerah setempat dianggap belum berhasil
memberikan pembinaan kepada mereka.
Tetap saja mereka berkeliaran di beberapa
kota besar Indonesia. Ketidak efektifan
pemerintah disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama, tidak adanya klasifikasi
dari latar belakang mereka memilih hidup
di jalanan. Anak-anak jalanan dianggap rata
semua, yaitu karena faktor ekonomi,
dimana semua anak jalanan mereka
dianggap dari latar belakang orang miskin.
Kedua, kurangnya perhatian pemerintah
terhadap masalah-masalah anak jalanan,
sehingga sampai sekarang lembaga khusus
yang mengurus masalah anak jalanan masih
bisa dihitung dengan jari. Bahkan yang
66
lebih banyak perhatian terhadap anak
jalanan adalah LSM-LSM yang dapat
sokongan dari luar negeri. Maka dari itu
pemerintah perlu merekonstruksi model
pembinaan bagi anak jalanan, dengan
memperhatikan potensi, minat dan bakat
mereka. Anak jalanan janganlah dianggap
sebagai masalah bangsa tetapi anggaplah
hal itu sebagai pluralisme bangsa Indonesia.
Pemahaman Tentang Anak
Banyak pengertian tentang kriteria
terhadap definisi anak dari aspek umur,
khususnya dalam aturan perundang-
undangan, ataupun dalam pengertian agama
Islam. Menurut Nawawi dan kawan-kawan
(hal. 16) Kitab Fiqih, yang dimaksud
dengan anak adalah seorang laki-laki atau
perempuan yang belum menemui masa
baligh yaitu; belum berumur lima belas
tahun untuk laki-laki atau perempuan,
belum keluar cairan mani bagi laki-laki dan
perempuan, dan belum keluar darah haid
khusus bagi perempuan, dimana ketika
belum menemui masa baligh maka belum
dikenai kewajiban melaksanakan perintah
agama dan meninggalkan atau menjauhi
larangan-larangan agama. UU Pengadilan
Anak (UU No. 3 tahun 1997). Disebutkan
dalam pasal 1 (2) bahwa anak adalah orang
dalam perkara anak nakal yang telah
mencapai umur 8 tahun (delapan) tahun,
tetapi belum mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun dan belum kawin.
Ada beberapa teori tentang perilaku
anak khususnya menyangkut apakah
perilaku anak merupakan pembawaan atau
karena faktor lingkungan, terdapat beberapa
aliran yang mengemukakan pendapat
berbeda sebagaimana yang dijelaskan oleh
Purwanto (1995 : 59-61) sebagai berikut:
(1) aliran nativisme. Aliran ini
berpendapat bahwa perkembangan manusia
telah ditentukan oleh faktor-faktor yang
dibawa semenjak lahir; pembawaan yang
telah terdapat pada waktu melahirkan itulah
yang menentukan hasil perkembangannya;
(2) aliran naturalisme. Hampir senada
dengan aliran Nativisme, maka aliran ini
(naturalisme) berpendapat bahwa pada
hakekatnya semua anak sejak dilahirkan
adalah baik. Bagaimana perkembangannya
kemudian sangat ditentukan oleh
pendidikan yang diterimanya atau yang
mempengaruhinya; (3) aliran empirisme.
Aliran ini berpendapat berlawanan dengan
aliran nativisme, karena berpendapat bahwa
perkembangan anak sama sekali ditentukan
oleh lingkungannya; (4) aliran konvergensi.
Aliran ini, atau sebagian pakar
menyebutnya dengan hukum konvergensi
yakni dibawa oleh William Stern
berkebangsaan Jerman yang berpendapat
bahwa pembawaan dan lingkungan kedua-
duanya menentukan perkembangan pola
perilaku anak hingga dewasa nanti; (5) Tut
Wuri Handayani. Konsep ini berasal dari
pakar pendidikan Indonesia Ki Hajar
Dewantoro. Dibandingkan dengan keempat
aliran di atas aliran ini mirip dan lebih dekat
dengan aliran/hukum konvergensinya
William Stern, yakni berpendapat bahwa
perkembangan anak (manusia) lebih
ditentukan oleh bagaimana interaksi antara
pembawaan atau potensi-potensi yang
dimiliki anak bersangkutan dan lingkungan
ataupun pendidikan yang mempengaruhi
anak dalam perkembangannya.
Dengan begitu kepribadian ataupun
perilaku anak sangat dipengaruhi oleh
bagaimana pendidikannya ataupun gesekan
lingkungannya, tanpa terlepas dari faktor
keturunan atau pembawaan semenjak lahir.
Salah satu dari banyak faktor yang
membedakan manusia dan binatang lainnya
adalah jangka waktu perkembangan yang
memerlukan proses panjang sebelum
kematangan dan kemandirian sepenuhnya
dicapai. Kebutuhan terbesar bagi anak
selama perkembangannya adalah rasa aman
yang timbul dari kesadaran bahwa ia
diinginkan dan disayang oleh orang dewasa
sebagai tempatnya bergantung. Mc Ghie
(1996:21).
Sebab itu lingkungan anak yang
mula-mula terbatas sifatnya dan pandangan
dunia serta tempatnya sendiri di dalamnya
akan terbentuk terutama oleh hubungannya
dengan dan dalam keluarga. Lingkungan
yang pertama kali dikenal oleh anak adalah
orang tuanya, dengan begitu yang paling
berperan dan yang paling dekat dengan pola
yang mempengaruhinya termasuk dalam hal
ini perilakunya, adalah orang tua mereka,
67
walaupun diakui masih banyak yang
mempengaruhi dari faktor-faktor diluar
keluarga khususnya orang tua.
Darajat menyatakan bahwa :‟‟…
bagaimana peranan orang tua dalam
perkembangan diri anak, bahwa orang tua
adalah pembina pribadi utama dan pertama
dalam kehidupan anak. Kepribadian orang
tua, sikap dan cara hidup mereka,
merupakan unsur-unsur pendidikan yang
tidak langsung, yang dengan sendirinya
akan masuk dalam pribadi anak yang
sedang tumbuh.” Darajat (1996:38). Lebih
lanjut disebutkan bahwa orang tua adalah
pusat kehidupan mental anak dan sebagai
penyebab perkenalannya dengan dunia luar,
maka setiap reaksi emosi anak dan
pemikirannya dikemudian hari, terpengaruh
oleh sikap terhadap orang tuanya pada
permulaan hidupnya dulu.
Tidak bisa dibantah, selain pengaruh
orang tua, bahwa terdapat faktor besar lain
yang menjadi designer dalam rangka
konstruksi bangunan pengendalian prilaku
manusia terlebih perilaku anak yang kelak
menjadi referensi dalam menilai dan
berperilaku dalam pola hidupnya. Di satu
pihak selalu dihadapkan pada kenyataan
yang tidak dapat dibantah bahwa tindakan
manusia dibentuk oleh pengaruh sosial
lingkungannya, pada pihak lain terdapat
fakta bahwa individu tidak secara pasif
tunduk dibawah pengaruh-pengaruh ini
dengan cara yang seragam tetapi bereaksi
menurut pola dan kepribadian masing-
masing. Itu semua terjadi karena perbedaan
lingkungan yang menghasilkan
keanekaragaman dalam perbedaan individu
per individu.
Menurut Andrew (1996 : 222).
Meskipun faktor genetik tetap menjadi
bahan rujukan sebuah tingkah dan perilaku
anak, namun tidak bisa menegaskan
pengaruh lingkungan yang melingkupi dan
mempengaruhi perkembangan anak. Karena
manusia mengalami perkembangan dan
pertumbuhan, faktor genetik akan terus
menjadi matang dan mempengaruhi
jalannya proses perkembangan. Namun ini
tidak berkembang dalam keadaan vakum,
dunia yang dihadapi penuh dengan
stimulasi, aksi serta reaksi. Stimulasi
lingkungan semacam itulah yang
mempengaruhi kepribadian, termasuk anak
dan mungkin menentukan batas-batas
tertentu bagi perkembangan selanjutnya.
Untuk melihat sebuah karakter kepribadian
anak dalam mengekspresikan perilakunya
haruslah melihat dampak dari
lingkungannya yang dengan melalui proses
panjang menjadi satu pengalaman pribadi
kemudian kelak akan menjadi rujukan
perjalanan perkembangannya.
Dalam konteks ini dibutuhkan suatu
sarana serta wadah yang akan memproses
keberlangsungan sebuah tata kehidupan
anak, dapat menjamin pertumbuhannya
secara wajar, baik fisik, psikis ataupun
kehidupan dan kesejahteraan sosialnya.
Wadah tersebut yang nantinya akan
mendorong dan menjadi fasilitator
sekaligus penggerak keberlangsungan
kesejahteraan anak. Piranti pokok dan
mendasar adalah penyediaan pendidikan
murah dan terjangkau bagi semua kalangan
serta ketetapan yuridis formil yang tertuang
dalam aturan perundang-undangan. Dengan
pendidikan anak bangsa akan menjadi
tercerahkan dan segala hal, piranti hukum
akan menjadi pijakan absah/legal formal
guna menjamin kelangsungan dan
kesejahteraannya terlebih menyangkut hak-
hak anak.
Pada tanggal 20 Nopember 1989,
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa
(PBB) telah menyetujui Konvensi Hak-hak
Anak. Konsideran konvensi itu memuat
pokok-pokok pikiran, pengakuan atas
martabat yang melekat dan hak-hak yang
sama dan tidak dapat dicabut yang dimiliki
seluruh anggota keluarga manusia. Ini
menjadi landasan dari kemerdekaan,
perdamaian di seluruh dunia. Deklarasi Hak
Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa
menyatakan, bahwa masa kanak-kanak
berhak memperoleh pemeliharaan dan
bantuan keluarga sebagai inti dari
masyarakat dan sebagai lingkungan alami
bagi pertumbuhan dan kesejahteraan
seluruh anggotanya, terlebih anak-anak
hendaknya diberi perlindungan dan bantuan
yang diperlukan. Sehingga mampu
mengemban tanggung jawab dalam
masyarakat.
68
Tahun 1924 dicetuskan Deklarasi
Jenewa tentang Hak-hak Asasi Anak yang
menyatakan perlunya perluasan pelayanan
khusus bagi anak. Ini kemudian disetujui
oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1989
dan diakui dalam deklarasi Hak-hak Asasi
Manusia se-dunia. Dengan begitu semua
negara anggota PBB diharuskan
meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-
Hak Anak.
Sebagai anggota PBB Indonesia telah
meratifikasi Konvensi PBB tanggal 20
Nopember 1989 tentang Hak-hak Anak
dengan Keputusan Presiden No. 36 tahun
1990, tetapi mulai berlaku mulai tanggal 5
Oktober 1990. Kusmadi (2001). Dalam
Konvensi Hak Anak (KHA) PBB 20
Nopember 1989 terkandung prinsip-prinsip
sebagai berikut: (1) non diskriminatif.
Adalah hak yang diakui di dalam Konvensi
Hak Anak (KHA) dengan tidak membeda-
bedakan suku, agama, ras, keyakinan, etnik,
latar belakang budaya pendidikan dan lain-
lain; (2) kepentingan terbaik bagi anak.
Semua tindakan dan langkah yang diambil
mengenai anak harus berorientasi kepada
kepentingan anak, bukan bagi pembuat
policy atau kelompok tertentu; (3)
kelangsungan hidup dan perkembangan
anak. Adalah hak hidup yang melekat pada
diri anak diakui serta dijamin tanpa kecuali;
(d) penghargaan terhadap pendapat anak.
Setiap anak mempunyai hak untuk
berpendapat atas sesuatu masalah yang
menimpa dirinya, termasuk dalam
menentukan arah pendidikan, atau arah
keluarga.
Namun begitu, diakui bahwa hingga
kini di Indonesia belum terdapat unifikasi
tentang hukum anak,a kan tetapi masih
terkodivikasi dalam beberapa perundang-
undnagan yang berlaku saat ini, seperti
Hukum Perburuhan, Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang
Peradilan Anak (UU No. 3 tahun 1997),
Undang-Undang Pemasyarakatan (UU. No.
12 tahun 1995), Undang-Undang
Kesejahteraan Anak (UU No. 4 tahun
1979), dan lain sebagainya (Darwin Prist,
1997;1). Kenyataan ini (dengan belum
terunifikasinya Hukum Anak) di Indonesia
membuktikan bahwa persoalan
perlindungan anak masih belum tergarap
secara rapi dan sistemik.
Karena untuk menentukan
perlindungan hukum atas hak anak masih
tersebar dalam bentuk-bentuk Undang-
undang, Keputusan Presiden, Keputusan
Menteri, misalnya tentang buruh anak
diatur sendiri dalam Undang-Undang
Perburuhan (UU No. 12 tahun 1948)
dengan pemahaman yang berbeda pula
dalam melihat serta memposisikan anak
dalam sebuah permasalahan tertentu.
Misalnya masih belum terdefinisikannya
tentang kriteria umur anak. Hal ini
menyebabkan sulitnya memahami hukum
anak itu sendiri.
Penanganan Anak Jalanan
Kehidupan anak jalanan adalah
sebuah dinamika.Dikatakan dinamika,
karena sebuah keadaan dan kejadian sosial
manusia bersangkut dengan suatu
perubahan alam termasuk tingkah dan pola
perilakunya. Anak jalanan sebenarnya
sebuah fenonema yang sudah lama
berlangsung, namun karena semakin
bertambahnya jumlah anak yang menekuni
dunia jalanan menjadi fenomena tersendiri
bagi dinamika kehidupan perkotaan.
Kehidupan perkotaan, sarat dengan
kelompok anak yang perlu mendapatkan
perlindungan khusus yaitu: termasuk anak
jalanan, buruh anak, eksploitasi seksual
komersial anak, perlaku salah, anak yang
berkonflik dengan hukum, anak dalam
situasi darurat, ketidak jelasan status anak
karena tidak memiliki akte kelahiran,
praktek-praktek sosial kultural yang
merugikan anak dan anak cacat.
Fenomena Anak Jalanan
Menurut Karnaji (1999: 31-41).
Dikatakan fenomena karena sebuah
kejadian sosial manusia yang bersangkut
dengan suatu perubahan alam termasuk
tingkah dan pola perilakunya. Anak jalanan
sebenarnya sebuah fenomena yang sudah
lama berlangsung, namun karena semakin
bertambahnya jumlah anak yang menekuni
dunia jalanan menjadi fenomena tersendiri
bagi dunia anak-anak. Anak jalanan sendiri
adalah anak-anak atau yang akan menginjak
69
dewasa yang sehariannya hidup di jalanan,
dan kegiatan tersebut sudah tidak dianggap
wajar, karena selain membahayakan
keselamatannya, secara profesi hal itu tidak
layak dilakukan oleh anak-anak. Kendati
anak jalanan memiliki karakteristik yang
heterogen tetapi setidaknya dapat
mengklasifikasikan menjadi tiga, yaitu: (1)
anak jalanan putus hubungan sementara
dengan orang tua. Karakteristik yang
pertama ini dirincikan anak jalanan masih
memiliki orang tua. Namun situasi dalam
keluarga dirasa tidak menyenangkan bagi
anak untuk tinggal sehingga anak
meninggalkan sementara keluarganya,
tetapi masih menjalin interaksi kendati amat
jarang. Persoalan anak meninggalkan
keluarga dipacu oleh beberapa persoalan
misalnya: (a) cara orang tua melakukan
sosialisasi/mendidik dengan “tangan besi”.
Semua kehendak atau kemauan orang tua
harus dituruti, orang tua cenderung
mengatur-atur dan memposisikan anak pada
tempat yang tidak tahu apa-apa; (b) kedua
orang tuanya sering terlibat cekcok,
umumnya juga menyebabkan anak tidak
kerasan di rumah; (c) perceraian orang tua,
setelah orang tua cerai, anak kemudian
dihadapkan pada pilihan suka atau tidak
suka ikut ayah atau ikut ibunya; (2) anak
jalanan yang masih tinggal dengan orang
tuanya. Baik orang tuanya masih lengkap-
bapak dan ibunya masih hidup atau tinggal
ibu/bapak saja. Anak jalanan yang berasal
dari latar belakang seperti ini biasanya
didorong oleh faktor ekonomis. Karena
ekonomi orang tuanya serba pas-pasan,
umumnya mendorong anak untuk mencari
alternatif mencari penghasilan sendiri.
Setidaknya tiga hal yang menjadi penyebab
anak jalanan yang bermula dari faktor
ekonomis keluarga, yaitu: (a) motivasi
muncul dari anak itu sendiri untuk
membantu ekonomi keluarga; (b) ingin
memenuhi kebutuhannya sendiri; (c)
dipaksa orang tua untuk mencari
penghasilan; (3) hidup sebatang kara. Anak
jalanan yang termasuk kategori ini biasanya
tidak lagi menjalin hubungan dengan orang
tuanya. Anak jalanan seperti ini biasanya
sudah tidak lagi memiliki orang tua, baik
secara fisik maupun non fisik. Keberadaan
orang tua secara fisik diartikan orang
tuanya masih hidup tetapi tidak ada
hubungan lagi dengan anaknya. Orang tua
tidak lagi memperhatikan nasib anaknya
dan tidak mau tahu lagi. Anak-anak yang
dari latar belakang semacam ini biasanya,
ikut orang lain, saudara, tinggal di rumah
singgah, sesama teman atau bahkan tinggal
tak tentu.
Fenomena ini menjadi menarik
setelah bangsa ini dilanda krisis ekonomi,
tingkat pendapatan masyarakat semakin
menurun berakibat pada sulitnya
menyediakan biaya bagi kebutuhan hidup,
disisi lain harga kebutuhan sehari-hari
semakin meningkat tanpa ada kesempatan
turun. Kondisi ini menyebabkan sebagian
masyarakat mencari celah untuk menutupi
biaya hidupnya, termasuk anak-anak
mereka yang membutuhkan tambahan uang.
Faktor Penyebab Adanya Anak Jalanan
Menurut Dinas Sosial Propinsi dalam
buku Pedoman Penanganan Anak Jalanan
(2000 : 7) bahwa anak jalanan adalah anak-
anak yang tersisih marjinal, dan teraaikan
dari perlakuan kasih sayang, karena
kebanyakan pada usia dini mereka harus
berhadapan dengan lingkungan yang keras
dan tidak bersahabat yang kesehariannya
hidup di jalanan, dan kegiatan tersebut
sudah tidak dianggap wajar, karena selain
membahayakan keselamatannya, secara
profesi hal itu tidak layak dilakukan oleh
anak-anak. Keberadaan sebagian anak di
jalanan yang lebih dikenal sebagai anak
jalanan (anak jalanan) terdapat beberapa
faktor penyebab, antara lain: (1) kehidupan
orang tua yang miskin, sehingga : rumah
tidak layak huni yang menyebabkan anak
tidak betah tinggal di rumah, tidak mampu
memenuhi kebutuhan anak di rumah, tidak
mampu menyekolahkan anak, anak terpaksa
dengan kesadaran dan kemauan baik untuk
membantu menambah penghasilan
keluarganya atau untuk meneruskan
sekolahnya, dan anak dipaksa atau
dimotivasi oleh orang tuanya untuk
membantu menambah penghasilan keluarga
yang berada pada kondisi kekurangan; (2)
masalah psiko sosial di lingkungan keluarga
(masalah hububgan dan kejiwaan antar
70
anggota keluarga) dan sekaligus juga
kemiskinan, yang memaksa anak untuk
meninggalkan rumahnya dan berada di
jalanan: pertikaian terus menerus antara ibu
dan bapak, anak menjadi korban kekerasan,
anak dipaksa mencari nafkah di jalanan
(dieksploitasi), adanya gangguan pribadi
dalam diri anak yang menimbulkan ketidak
stabilan kejiwaannya, dan perpindahan dari
desa-kota dalam mencari kerja.
Kebanyakan di antara mereka
berjualan asongan, jual koran,
menyediakan/menyediakan jasa (menyemir
sepatu, mengelap mobil, ngamen, ojeg
payung), meminta-minta dan sebagainya
dimana aktivitas tersebut dilakukan di
jalanan tanpa kenal waktu. Karena itu
mereka sering disebut anak jalanan yang
biasa disingkat dengan anak jalanan.
Kebijakan Penanganan Anak Jalanan
Mengingat semakin banyak dan
maraknya anak jalanan dan seakan menjadi
trend anak-anak, hal ini haruslah menjadi
perhatian pemerintah dan masyarakat. Ini
penting karena menyangkut
keberlangsungan hari depan dan
kesejahteraan mereka. Dalam kebijakan
penanganan anak jalanan ada beberapa hal
yang perlu dipertimbangkan, yaitu:
Pertama, visi pembangunan kesejahteraan
sosial, yaitu pembangunan kesejahteraan
yang menasional, serta menjadi mental bagi
seluruh bangsa guna memberikan perhatian
yang lebih serius terhadap generasi bangsa
yang oleh karena kondisi tertentu tidak
mendapat kesejahteraan layaknya orang
lain. Kedua, dalam penanganannya
diharapkan terjadi sinergi sistemik antara
pemerintah dan masyarakat. Hal ini perlu,
karena selain secara yuridis menjadi
tanggung jawab pemerintah, namun peran
serta masyarakat diperlukan guna lebih
meningkatkan partisipasi masyarakat
khususnya dalam penanganan anak jalanan.
Ketiga, penajaman kebijakan terhadap
program yang diberikan serta berkelanjutan,
hal ini untuk menghindari atau paling tidak
mengeliminir kebijakan program yang tidak
tepat karena kurang memahami bagaimana
permasalahan sebenarnya, telebih lagi
kebijakan program JPS untuk anak jalanan
yang tidak tepat sasaran, selain itu program
kegiatan bagi anak jalanan haruslah
berkesinambungan dengan memberikan
keterampilan tambahan bagi anak jalanan
dan pendidikan khusus. Potret, Buletin
(2001 : Edisi Pertama).
Pendidikan Alternatif Bagi Anak
Jalanan
Data pendidikan anak menunjukkan,
Sekitar 9,5 juta anak berumur 7-15 tahun
tidak dapat meneruskan pendidikan (drop-
out) dan pada tahun 1997 Depdikbud
mencatat bahwa anak usia 7-15 tahun
berkisar 38,8 juta sedang menempuh
pendidikan SD dan SLTP sebanyak 34,4
juta. Ini berarti masih ada sekitar 4,5 juta
anak tidak menikmati dunia pendidikan dan
mayoritas mereka berada pada pendidikan
selepas Sekolah Dasar. Krisis ekonomi
yang sedang melanda Indonesia
memberikan kontribusi yang buruk pada
dunia pendidikan Indonesia, termasuk
pendidikan dasar. Lima belas bulan pasca
krisis melanda 35% anak-anak dan remaja
tidak meneruskan pendidikannya.
Kemiskinan dalam keluarga, mahalnya
biaya pendidikan, adalah beberapa kendala
yang menyebabkan anak jalanan tidak dapat
menikmati pendidikan. (Progressia Buletin,
tahun 2000 : Edisi V).
Kalau melihat kondisi anak jalanan
diatas,maka sudah menjadi kewajiban
pemerintah untuk mengentas mereka dari
kemiskinan yang membelenggunya supaya
mereka bisa menggunakan hak-haknya
untuk sekolah. Oleh karena itu dengan telah
diratifikasinya Konvensi Hak Anak oleh
Pemerintah Indonesia, maka dengan begitu
Indonesia terikat secara yuridis pada
ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya.
Itu artinya pemerintah harus dapat
menjamin bahwa anak-anak jalanan dapat
menikmati hak-hak mereka, termasuk
memperoleh akses dan pelayanan
pendidikan.
Strategi Penanganan Anak Jalanan
Dalam pedoman penanganan anak
jalanan dari Dinas Sosial Provinsi Jawa
Timur (2001) bahwa secara umum model
penanganan yang banyak digunakan untuk
71
menangani anak jalanan adalah sebagai
berikut: Pertama, penanganan yang
berbasiskan anak jalanan (street based
strategy), yakni program dan kegiatan yang
dirancang untuk menjangkau dan melayani
anak di lingkungan mereka sendiri yaitu di
jalanan; a) tujuan strategi penanganan
berbasis anak jalanan adalah
mengidentifikasi kebutuhan anak jalanan,
memenuhi kebutuhan anak jalanan akan
stabilitas emosional dan keamanan,
menyediakan fasilitas dasar di jalan antara
lain pendidikan dan kesempatan mencari
uang yang halal, melengkapi anak dengan
bakat dan keterampilan yang dibutuhkan
untuk bertahan secara fisik di jalan,
mengatur anak untuk memanfaatkan
program dan pelayanan yang ada secara
optimal, menghubungi anak jalanan dengan
sumber daya yang ada, mengimbangi
unsur-unsur yang merugikan anak di jalan,
Contoh program yang diterapkan misalnya,
menyediakan makanan, pakaian dan lain
sebagainya. Kedua, hal-hal yang
dibutuhkan dalam strategi ini adalah visi,
misi dan saran yang jelas dan nyata antara
semua pihak, kelompok-kelompok yang
kuat, motivasi dari badan/agen/instansi
yang terlibat, bantuan hukum dan politik,
bantuan masyarakat, faktor penghambat
pelaksanaan strategi. Ketiga, harus diakui
bahwa anak-anak di jalan yang sedang
berjuang mencari nafkah, untuk membina
kehidupan mereka kadang-kadang susah
meluangkan waktu berhubungan dengan
pekerja sosial dijalanan. Adapun yang
sedang ditolong/disalurkan melalui
intervensi program mempunyai akibat
terputus dengan “kawan” mereka yang
sudah dikenal. Keempat, kelebihan strategi
strategi ini luwes dengan begitu dapat
mendorong anak jalanan berpartisipasi
dengan suka rela dalam berbagai kegiatan,
tidak mengganggu kelangsungan dari
jaringan bantuan yang sudah ada, baik dari
keluarga, sesama anak ataupun dari
masyarakat, lebih banyak anak jalanan yang
terjangkau program karena kegiatan ini
berada di tengah-tengah anak jalanan, dan
memberikan informasi pada anak-anak
jalanan tentang pelayanan lain yang bisa
didapatkan baik dari pemerintah, lembaga
non pemerintah (ornop). Kelima,
keberlanjutan program. Efektifitas strategi
adalah mendorong masyarakat agar tetap
mendukung program anak jalanan. Langkah
yang harus ditempuh adalah
pembelaan/penentuan hak (advocay) akan
perundang-undangan yang responsif,
keterlibatan dalam bentuk partisipasi dari
orang tua dan tokoh masyarakat, pengakuan
masyarakat terhadap program dan
pelayanan yang terarah pada anak jalanan,
pembentukan pusat data dan informasi
sebagai tempat bagi masyarakat atau pihak
lain guna menginginkan informasi yang
dibutuhkan.
Penanganan yang berbasiskan panti
(center based strategy)
Yaitu penanganan anak-anak jalanan
yang dilakukan oleh lembaga dengan
memusatkan usaha mereka pada
peningkatan kesejahteraan anak sebagai
pengganti keluarga. Strategi ini juga disebut
dengan tempat berlindung sementara,
misalnya open house atau rumah terbuka
yang menyediakan fasilitas asrama bagi
anak terlantar dan anak-anak jalanan. (a)
tujuan strategi yang berbasiskan panti.
Penanganan yang berpusat pada panti
mempunyai tujuan adalah memberi
kesempatan bagi perkembangan anak sesuai
pribadi anak masing-masing, menyediakan
pelayanan dan program yang mampu
memenuhi kebutuhan pokok anak-anak
jalanan, memberikan kesempatan pada
anak-anak jalanan mendapatkan
kebahagiaan secara psiko-sosial,
mengintegrasikan kembali anak dalam
keluarganya dan masyarakat, bertindak
sebagai penyeleksi dan penyalur dimana
anak-anak dapat diwawancarai dan
disalurkan kepada badan yang sesuai
dengan kebutuhan anak; (b) faktor
penunjang. Penjelasan nyata dan pengertian
mengenai visi, misi dan sasaran dari
lembaga (yang menyelenggarakan panti
untuk anak-anak jalanan), binaan serta
kerjasama dari anak, masyarakat, keluarga
anak-anak jalanan, pemerintah dan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sifat
positif dan ketekunan dari lembaga,
pengadaan dan penerapan aturan-aturan,
72
dukungan media massa, banyaknya relawan
yang berdedikasi tinggi, program dan
pelayanan yang relevan dan afektif dari
berbagai lembaga. (c) faktor penghambat.
Pelanggaran oleh lembaga dan kurangnya
komitmen guna melakukan upaya
penanganan bagi anak-anak jalanan,
keadaan politik sering berubah, prioritas
rendah dalam anggaran belanja pemerintah
baik APBN ataupun APBD, kurangnya
jaringan koordinasi antara pemerintah dan
LSM serta struktur-struktur lain.
ketidakjelasan visi, misi, sasaran dan tujuan
panti; (d) penanganan berbasiskan
masyarakat (community based strategy).
Penanganan yang berbasiskan pada
masyarakat adalah sebuah penanganan yang
bertumpu pada sumber-sumber internal dan
eksternal masyarakat dalam hal perencanaa,
monitoring ataupun evalusi dengan cara
pendekatan yang menggerakkan organisasi
masyarakat mencakup partisipasi secara
luas dan penuh. Dengan kata lain strategi
ini lebih bersifat prefentif, yakni dengan
menggunakan pendekatan yang berbasiskan
pada masyarakat sendiri, dengan sebuah
tanggung jawab bersama, yang dimulai dari
komunitas warga masyarakat yang paling
kecil yakni keluarga. Pendekatan ini
tergantung bagaimana political will atau
kemauan masyarakat dalam pengelolaan
serta peran keluarga dalam mendidik anak-
anak mereka.Tujuan penanganan yang
berbasiskan pada masyarakat adalah
mendekati anak-anak jalanan dan
keluarganya, menghindarkan anak-anak
menjadi anak jalanan, memperkuat
masyarakat, yakni organisasi masyarakat
yang melindungi anak-anak dengan cara
yang berkesinambungan, melengkapi
pelayanan pemerintah dan LSM, realisasi
tanggung jawab sosial, membuat
kesimpulan tentang masalah keluarga dan
masyarakat, mengembangkan kepercayaan
masyarakat, meningkatkan kemampuan
politik, mencegah eksploitasi masyarakat
terhadap anak jalanan. Faktor penunjang.
(1) kemauan politik pemerintah guna
memberi perhatian yang lebih serius dalam
menangani fenomena anak jalanan; (2)
kematangan politik masyarakat, terlebih
partisipasi aktif masyarakat; (3) penyediaan
sumber-sumber baik sumber daya manusia
ataupun sumber-sumber lain yang menjadi
modal dalam penanganan anak jalanan; (4)
nilai-nilai budaya untuk mempermudah
pengorganisasian masyarakat; (5)
pengenalan dan pengakuan terhadap
masalah; (6) jaringan berbagai kelompok
dalam masyarakat bagi terlaksananya
program penanganan anak jalanan
berbasiskan masyarakat; (7) dukungan dari
keluarga anak-anak jalanan; (8)
kepercayaan masyarakat terhadap program-
program masyarakat. Faktor penghambat.
nilai budaya dan apatisme masyarakat,
struktur sosial politik dalam masyarakat,
kompleksitas program,
Pendekatan Pekerjaan Sosial Dalam
Penanganan Anak Jalanan
Dalam Pedoman Penanganan Anak
Jalanan Dari Dinas Sosial Propinsi Jawa
Timur disebutkan : a) tujuan pendekatan
pekerjaan sosial. Tujuan pendekatan
pekerjaan sosial dalam penanganan anak
jalanan, beraneka ragam karena disesuaikan
dengan: kondisi anak jalanan, kemampuan
pekerjaan sosial, serta ketersediaan fasilitas.
Beberapa tujuan yang dimaksud adalah: 1)
kemampuan anak untuk merespons secara
tepat berbagai situasi di jalan yang
mengancam dirinya; 2) kemampuan anak
untuk memperoleh penghasilan yang layak
dari usaha yang layak pula; 3) kemampuan
anak untuk melanjutkan sekolah dengan
baik bagi yang masih bersekolah dan
tinggal bersama keluarganya; 4)
kemampuan anak untuk berusaha secara
mandiri dengan baik bagi yang tidak
mungkin lagi sekolah atau tidak tinggal
bersama keluarganya; 5) kemampuan
keluarga dibidang sosial-ekonomis-psikis
untuk hidup dengan baik bersama anak-
anaknya; b) sistem dasar pekerjaan sosial.
Sistem dasar dalam pendekatan pekerjaan
sosial guna penanganan anak jalanan adalah
semua orang atau semua pihak
(lembaga/organisasi) yang terlibat atau
dilibatkan dalam semua aspek dan proses
penanganan anak jalanan. Sistem dasar
pekerjaan sosial meliputi: 1) sistem
pelaksana, yakni sebuah lembaga atau
organisasi dengan segala struktur
73
organisasinya; 2) sistem klien, yakni semua
anak jalanan (secara individual mapan
kelompok); 3) sistem sasaran: yakni orang
tua anak jalanan, guru (bagi yang sekolah),
LSM, pemerintah dan lain-lain yang
menangani anak jalanan; 4) sistem
kegiatan, yakni misalkan dokter yang
menangani kesehatannya, polisi sebagai
pengatur jalan, pemuka masyarakat,
pengusaha, media massa dan lain-lain yang
mendukung suksesnya penanganan anak
jalanan; c) model pendekatan pekerjaan
sosial. Secara universal, keberhasilan
penanganan anak jalanan tergantung dari
bagaimana pendekatan yang diambil dalam
pekerjaan sosial. Kenyataan ini disebabkan
kemampuan: 1) Memadukan kehidupan
anak jalanan dengan kehidupan lingkungan
sosialnya (pendekatan dualistis), terutama
keluarga dan sekolah; 2) memadukan
berbagai fungsi pelayanan sesuai dengan
kebutuhan anak (basis jalanan, basis
lembaga dan basis masyarakat termasuk
keluarga); 3) memadukan berbagai fungsi
pelayanan sesuai dengan kebutuhan anak
dan keluarga (pencegahan, peredaman
dampak, pemberdayaan, perlindungan,
penyembuhan, serta rehabilitasi); 4)
Menjangkau variabel-variabel anak dan
lingkungan sosialnya yang dibutuhkan guna
penanganan anak jalanan dan lingkungan
sosialnya (persepsi, kebutuhan, nilai,
kemampuan, harapan, pengalaman,
perasaan, dan masalah).
Beberapa pendekatan pekerjaan sosial
yang layak diterapkan dalam penanganan
anak jalanan adalah: 1) pendekatan “pulau
psikologis”, yakni menghindarkan adanya
kekhawatiran dan ketakutan dari semua
pihak yang berhubungan dengan pekerjaan
sosial (misalnya: anak jalanan sendiri,
orang tua anak jalanan, anggota keluarga
yang lain, guru dan lain sebagainya); 2)
Pendekatan “investasi emosional”, yaitu
pentingnya sikap dan perilaku pekerja
sosial sebagai faktor penentu utama
keberhasilan upaya penanganan anak
jalanan; 3) pendekatan “disini, sekarang,
dan masa yang akan datang”, yaitu
pentingnya upaya perencanaan dan
penanganan berdasarkan kondisi anak
jalanan dan lingkungan sosialnya pada saat
ini; 4) pendekatan “keanekaragaman
pelayan”, yaitu penyediaan berbagai bentuk
pelayanan sesuai dengan persepsi,
kebutuhan, nilai, kemampuan, harapan,
pengalaman, perasaan dan masalah anak
dan keluarganya; 5) pendekatan
“destigmatisasi”, yaitu menghindarkan
masuknya penilaian yang tidak baik
(stigma) tentang anak jalanan dalam
penanganannya. 6) pendekatan
“desentisasi”, yakni menghindarkan
berbagai bentuk kepekaan anak jalanan
dalam proses penanganannya; 7)
pendekatan “deisolasi”, yaitu
menghindarkan pengisolasian anak jalanan
dari lingkungan sosialnya, misalnya
keluarga dan teman-temannya di
lingkungan tetangganya, di sekolah dan lain
sebagainya.
Kebijakan Kementerian sosial dalam
mengatasi anak jalanan
Permasalahan-permasalahan yang
dihadapi anak jalanan seperti eksploitasi
dan kekerasan, baik kekerasan fisik, psikis,
dan seksual, masih menjadi problematika di
negara ini. Permasalahan anak jalanan yang
masih marak terjadi tersebut adalah
tanggung jawab kita sebagai orang Islam.
Dimana di dalam Islam diajarkan untuk
membantu dan menyantuni anak yatim atau
fakir miskin. Permasalahan anak-anak
jalanan tersebut juga merupakan tanggung
jawab pemerintah sebagai ulul amri di
negara ini. Dalam Undang-undang Dasar
juga telah dijelaskan bahwa fakir miskin
dan anak-anak terlantar, termasuk anak
jalanan merupakan tanggung jawab
pemerintah untuk memeliharanya. Dalam
melakukan tanggung jawabnya tersebut,
ada berbagai hal yang telah dilakukan
pemerintah khususnya Kementrian Sosial,
yang merupakan departemen yang tugasnya
mengurusi dan meneyelesaikan masalah-
masalah tersebut.
Kebijakan-kebijakan yang telah
dilakukan oleh Kementrian Sosial untuk
mengatasi masalah tersebut antara lain
adalah melakukan asesment yang
bekerjasama dengan berbagai lembaga
masyarakat, Dinas Sosial dan kepolisian
yang bertujuan untuk mengurangi populasi
74
anak jalanan. Asesment yang dilakukan
berupa pendataan anak jalanan,
mengindentifikasi korban kekerasanmelalui
teknik wawancara secara persuasif, menarik
anak jalanan yang terspaksa bekerja dijalan
dengan tetap memperhatikan hak anak-
anak, melakukan penegakan hukum
terhadap anak jalanan, melakukan program
pemberdayaan keluarga secara efektif untuk
mengurangi kemiskinan. Assesmement ini
dilakukan untuk memperoleh data identitas
populasi anak jalanan di wilayah DKI
Jakarta dan mengetahui secara rinci
masalah, penyebab, akibat dan kebutuhan
anak jalanan. Pelaksanaan kebijakan
tersebut lebih mengedepankan langkah
persuasif terhadap anak jalanan agar pada
saat pendataan mereka tidak mengalami
trauma atau ketakutan.
Kebijakan lain yang telah dilakukan
oleh Kementrian Sosial adalah menyiapkan
anggaran Rp 184 miliar bagi penanganan
140.000 anak jalanan pada tahun 2010.
Anggaran tersebut digunakan untuk
membangun rumah-rumah panti sosial dan
panti anak dengan melakukan koordinasi
dengan pemerintah daerah serta lembaga
sosial masyarakat di bidang anak jalanan.
Selain itu, pemerintah juga telah
menyediakan lebih dari 400 rumah singgah
yang berguna untuk menampung anak-anak
jalanan di seluruh Indonesia. Langkah
strategis lain yang ditempuh Kementrian
Sosial dalam melakukan perlindungan
terhadap anak jalanan adalah dengan
melakukan berbagai kerjasama dengan
institusi-institusi sosial lain seperti Save
The Children.
Kerjasama tersebut meliputi
pemulangan, pemulihan dan reintegrasi
korban eksploitasi anak. Kesepakatan lain
adalah antara Kementrian Sosial dan
Kepolisian Republik Indonesia tentang
perlindungan dan rehabilitasi anak yang
dihadapkan dengan hokum. Kementrian
Sosial juga menyelenggarakan berbagai
rapat koordinasi nasional tentang
perlindungan anak jalanan. Rapat
koordinasi perlindungan anak jalanan
dihadiri berbagai perwakilan pemerintah
dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
dan lembaga internasional dibidang anak
diantaranya Kementerian Pendidikan
Nasional, Kementerian Kesehatan RI,
Kementerian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak, Kementerian
Agama RI, Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, Save The Children, UNICEF,
ILO, KPAI, Komnas PA, Komnas HAM,
Kepolisian dan Dinas Sosial di masing-
masing daerah di seluruh Indonesia.
Dengan adanya kebijakan-kebijakan
tersebut, pemerintah berharap pada tahun
2011 nanti, Indonesia bisa bebas anak
jalanan.
Meskipun pemerintah telah
melakukan berbagai kebijakan, tantangan
dan penderitaan yang dialami anak-anak
jalanan masih belum berakhir. Masalah
eksploitasi anak jalanan bukan merupakan
masalah internal dalam keluarga yang tidak
boleh diikutcampuri oleh masyarakat dan
pemerintah. Semua komponen negara yang
terdiri dari pemerintah, masyarakat, dan
LSM juga harus turut berperan serta dalam
menyelesaikan masalahan eksploitasi anak
jalanan. Upaya penanganan masalah harus
secara profesional, terorganisir, dan
berkesinambungan. Penanganan yang
dilakukan harus menggunakan metode yang
tepat, misalnya dengan cara persuasif,
manusiawi, serta memahami karakteristik
mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, Mohammad, Aliansi Masyarakat
Miskin Kota Malang, Rabu 10
Februari 2010, PKS Ajukan
Raperda Anak Jalanan,
http://www.malang-
post.com/index.php?.option=com_c
ontent&view=article&id=7069%3ap
ks-ajukanrapenda-anjal&itemid=69
Anak Jalanan,
http://octharina.blogspot.com/2010/0
5/kebijakan-kebijakan-departemen-
sosial.html
Anderson, J. E. (1979) Public Policy
Making. Holt, Rinehart and
Winston, New York.
Ati, Nurul, Umi, (2007), Dinamika Anak
Jalanan dan Kehidupan Perkotaan,
hasil penelitian program penelitian
Dosen Muda Dirjen Dikti
75
Bakri, Masykuri, Zainal, Abidin, Agus,
Model Pemerintah dan Masyarakat
Dalam Memberdayakan Anak
Jalanan, Hasil Penelitian, 2009.
Basuki Heru, Pemberdayaan Anak Jalanan
Oleh Masyarakat, Hasil Penelitian
Pada Rumah Singgah Flamboyan Di
Kota Malang, 2010
Darajat, Zakiah. 1996. Ilmu Jiwa Agama.
Cet. 15. PT. Bulan Bintang. Jakarta
Dye, Thomas .R. (1981) Understanding
Public Policy. Englewood Eliff,
Practice Hall, New Jersey
Easton, D. (1953) The Political System.
Knop, New Jersey.
Edward, George dan Ira Sharkansky.
(1979). The Policy Predicement.,
W.H. Preeman, San Fransisco.
Fikri, Ahmad, 2010, Program Bebas Anak
Jalanan Dimulai di Jakarta,
http://memobisnis.tempointeraktif.co
m/hg/hukum/2010/07/27/brk,201007
27-266760,id.html
Gunarsa, Singgih D. dan Singgih, Y. 1995.
Psikologi Perkembangan Anak
Jalanan dan remaja. Cet 7. PT.
BPK Gunung Mulia. Jakarta
Hariadi, Sri Sanituti. 1999. Pekerja Anak
Kekerasan Anak-Anak. Karnaji
…(et.al). Lembaga Perlindungan
Anak. Surabaya
Inokofu, 2008. Profil Kota Malang,
http://profilkotamalang.blogspot.co
m/
Irmayani. Rima. 2000. Pendidikan
Alternatif Usaha Pemberdayaan
Pekerja Anak. Dalam Buletin
Progressia. Ed. 5
Jenkin, I.W. (1984) Policy Analysis.
Oxford, Martin Robertson, Oxford
Kusmadi. 2001. Hak Anak. Makalah Pada
Seminar dan Lokakarya
Penanganan Anak Jalanan
Lasswell, Harold D. (1951) “The Policy
Orientations “. in Daniel Lerner and
Harold Lasswell (Eds), The Policy
Sciences, Stanford University Press.
Mazmanian dan Sabatier. (1983)
Implementation and Public policy.
Illinois: Scolt Foreman and
Company.
McGhie, Andrew. 1996. Psycology as
Applied to Nursing. (terj. Penerapan
Psikologi Dalam Perawatan : Ika
Pattinasarany), Yayasan Medica dan
Penerbit Andi, Yogyakarta.
Nawawi, Imam, Aljawi, Al-Bantani.
Kasyifatuss Saja. Tanpa Tahun
Penerbitan. Darul Fikr. Beirut
Nur Octharina, 2010, Kebijkan-kebijakan
Departemen Sosial dalam
Mengatasi Masalah Anak Jalanan,
http://octharina.blockspot.com/2010/
05/kebijakan-kebijakan-
Departemen-Sosial.html
Prist, Darwin. 1997. Hukum Anak
Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti.
Bandung
Purwanto, Ngalim. 1995. Ilmu Pendidikan
Teoritis dan Praktis. Ed. 2. Cet 9.
PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Santoso, Amir. (1988) “Analisa
Kebijaksanaan Publik “. Dalam
Jurnal Ilmu Politik, No. 3, Gramedia
, Jakarta
Siahaan, M.Rondang, 2010, Kampanye
social penanggulangan anak
jalanan: Studi penanganan anak
jalanan oleh Direktorat
kesejahteraan Anak, Departemen
Sosial RI,
http://garuda.dikti.go.id/jurnal/detil/i
d/0:7017/q/
pengarang:SIAHAAN%20/offset/75
/limit/15
Surbakti, Ramlan. (1992) Memahami Ilmu
Politik. Gramedia Widiasasono,
Jakarta.
Stiliman, II, Richard J. (1988) Public
Administration Concepts Cases,
Houghton Muffin Company, Boston
Tauran, 2000. Dilema Ketenaga Kerjaan di
Kota-Kota Besar di Indonesia.
Jurnal Penelitian Sosial, Mei.
TKSK, Ponorogo, 2010, Permasalahan
Anak Jalanan dan Alternatif Model
Pemecahannya Berbasis
Pemberdayaan Keluarga,
http://tkskponorogo.blockspot.com/2
010/03/peta-masalah-anak-jalanan-
dan.html
76
Wahab Sholicin Abdul (1990 ) Analisis
Kebijaksanaan Ncgara. Rineka
Cipta, Jakarta.
----------. (1991) Analisis Kebijaksanaan
Dan Formulasi ke implementasi
Kebijaksanaan Negara. Bumi
Aksara, Jakarta.
---------. (1997a ) Analisis Kebijaksanaan
Dari Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara. Edisi
Kedua, Bumi Aksara, Jakarta
---------. (1997a ) Evaluasi kebijakan
Publik. IKIP Malang.
---------. ( 1998a ) Analisis Kebijakan
Publik. Teori dan Aplikasi, FIA
Unibraw Malang.
---------. ( 1998b ) Reformasi Pelayanan
Publik, Menuju Sistem Pelayanan
Yang Responsif Dan Berkualitas,
Universitas Brawijaya, Pasca
Sarjana Malang
Wibawa, Samudra. (1994) Kebijakan
Publik Proses, dan Analisis.,
Intermedia, Jakarta.
Wibawa, Samudra, Yuyun Purbakusumah,
Agus Pramusinto. (1994) Evaluasi
Kebijakan Publik. PT. Grafindo
Persada, Jakarta.
Undang-Undang Keputusan :
Undang-Undang Dasar 1945
Konvensi Hak Anak PBB 20 November
1989
Keppres No. 36 Tahun 1990 tentang
Ratifikasi Konvensi Hak Anak
Undang-Undang Pengadilan Anak
(Undang-Undang No. 3 Tahun
1997)
Hukum Perburuhan (Undang-Undang No.
12 Tahun 1948)
Undang-Undang No. 6 Tahun 1974
Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kesejahteraan Sosial
Undang-Undang No. 4 Tahun 1979
Tentang Kesejahteraan Anak
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1988
Tentang Usaha Kesejahteraan Sosial
Bagi Anak Yang Mempunyai
Masalah
Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1989
Tentang Pembinaan Kesejahteraan
Anak
Peraturan Walikota Malang Nomor : 57
Tahun 2008 Tentang Uraian Tugas
Fungsi dan Tata Kerja Dinas
Ketenagakerjaan dan Sosial
Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur.
Pedoman Penanganan Anak
Jalanan. 2001
Kompas. 1998. Edisi 30 Oktober. PT.
Harian Kompas Indonesia
Kompas. 2005. Edisi 26 April. PT. Harian
Kompas Indonesia
Malang Post, 2010. PKS Ajukan Raperda
Anak Jalanan, http://www.malang-
post.com/index.php?option=com_co
ntent &view=article&id=7069% 3
pks-ajukan-ranperda-anjal &
temid=69
Potret, Buletin. 2001. Diterbitkan oleh
Yayasan Pendidikan dr. Moh. Saleh
Kota Probolinggo. Ed I.
Progessia, Buletin. 2000. Diterbitkan oleh
JARAK (Jaringan Penanggulangan
Pekerja Anak Indonesia). Ed. V
Warta warga gunadarma, 21010, Fenomena
Pekerja Anak dan Anak Jalanan,
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2
010/3/fenomena-pekerja-anak-dan
anak jalanan/
77
PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN, TINGKAT PENDIDIKAN DAN
PENGALAMAN KERJA PIMPINAN TERHADAP KEMAMPUAN
MELAKSANAKAN TUGAS PADA KANTOR DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN
OLAHRAGA DI KABUPATEN WAROPEN
1Frince Ayomi,
2Masykuri Bakri,
3Nurul Umi Ati
1Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik
2, 3 Dosen Program Studi Magister Ilmu Administrasi
Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
Abstrak
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui apakah terdapat
pengaruh yang signifikan secara parsial gaya kepemimpinan terhadap kemampuan
melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten
Waropen. (2) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara parsial
tingkat pendidikan terhadap kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Waropen. (3) Untuk mengetahui apakah terdapat
pengaruh yang signifikan secara parsial pengalaman kerja pimpinan terhadap kemampuan
melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten
Waropen. (4) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan
gaya kepemimpinan, tingkat pendidikan dan pengalaman kerja pimpinan terhadap
kemampuan melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda Dan Olahraga Di
Kabupaten Waropen. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuantitatif. Lokasi
penelitian dalam penelitian ini yaitu Kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di
Kabupaten Waropen. Untuk itu sebelum memilih teknik analisis statistik yang sesuai untuk
menguji hipotesis, maka asumsi – asumsi yang melandasi penggunaan teknik statistik
tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu. Dengan menggunakan perangkat tes parametrik,
yaitu melalui uji normalitas, uji homogenitas dan uji multikolonieritas. Hasil analisis
korelasi, untuk menguji hipotesis penelitian, diperoleh hasil sebagai berikut (1) Terdapat
pengaruh yang cukup erat antara gaya kepemimpinan pimpinan dengan kemampuan
melaksanakan tugas pimpinan pada Kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di
Kabupaten Waropen. Hal ini dapat dipahami karena gaya kepemimpinan yang telah
ditempuh seseorang berkaitan erat dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.
Karena itu, kemampuan pimpinan dalam melaksanakan tugas berkaitan erat dengan gaya
kepemimpinan yang dimilikinya. (2) Terdapat pengaruh yang cukup erat antara tingkat
pendidikan terhadap kemampuan melaksanakan tugas. Karena itu, kemampuan pimpinan
dalam melaksanakan tugas berkaitan erat dengan latar belakang pendidikan baik pendidikan
formal maupun nonformal yang pernah dan akan diikutinya. (3) Terdapat pengaruh yang
kuat antara pengalaman kerja pimpinan terhadap kemampuan melaksanakan tugas. Agar
seseorang pimpinan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, memerlukan waktu minimal
tujuh tahun pengalaman kerja. (4) Terdapat pengaruh gaya kepemimpinan, tingkat
pendidikan dan pengalaman kerja pimpinan secara simultan terhadap kemampuan
melaksanakan tugas pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di Kabupaten
Waropen.
kata kunci: gaya kepemimpinan, tingkat pendidikan, dan pengalaman kerja
78
Abstract
The objectives of this study were ( 1 ) To determine whether there is a significant effect
of leadership styles partially on the ability to carry out the office of Education, Youth and
Sports in Waropen . ( 2 ) To determine whether there is a significant effect on the ability level
of education partial duty at the office of Education, Youth and Sports in Waropen . ( 3 ) To
determine whether there is a significant effect of the partial work experience led to the ability
to perform tasks at the office of the Department of Education, Youth and Sports in Waropen .
( 4 ) To determine whether there is a significant effect of leadership styles simultaneously ,
level of education and work experience led to the ability to perform tasks at the office of the
Department of Education Youth and Sports In Waropen. This research uses quantitative
research . Research sites in this study , namely the Office of Education, Youth and Sports in
Waropen . Therefore before selecting the appropriate statistical analysis techniques to test the
hypothesis , the assumptions - assumptions underlying the use of statistical techniques to be
proved first . By using the parametric test , namely through the normality test , homogeneity
test and test multikolonieritas. Results of correlation analysis , to test the hypothesis of the
study, obtained the following results ( 1 ) There is a fairly strong effect between leadership
style leadership with the ability to carry out the task of leadership in the Office of Education,
Youth and Sports in Waropen . This is understandable because of the style of leadership that
has been taken by someone closely associated with the knowledge and skills they have .
Therefore, the ability of the leadership in carrying out the task is closely related to its
leadership style . ( 2 ) There is a fairly strong effect between the level of education the ability
to perform the task . Therefore, the ability of the leadership in implementing the tasks closely
related to the educational background of both formal and non-formal education and will
never follow. ( 3 ) There is a strong influence between work experience led to the ability to
perform the task . So that one leader can do their job properly , requires a minimum of seven
years of work experience . ( 4 ) There is the influence of leadership style , level of education
and work experience led simultaneously to the ability to perform tasks at the office of the
Department of Education, Youth and Sports in Waropen .
keywords : leadership styles , level of education , and work experience
PENDAHULUAN
Sebagai pimpinan dalam satuan
kerja sebuah instansi, pimpinan dituntut
pula memiliki kemampuan dalam
menyusun program, kemampuan dalam
menyusun organisasi/personalia kantor,
kemampuan menggerakkan staf (pegawai)
dan kemampuan mengoptimalkan sumber
daya kantor. Pimpinan juga mengemban
tugas dalam bidang hubungan kantor
dengan masyarakat, dan pembinaan
pegawai. Karenanya, pimpinan harus
menguasai beberapa kemampuan dasar
yang berkaitan erat dengan tugasnya
sebagai pimpinan kerja, terutama dalam hal
pengawasan atau supervisi kepada pegawai.
Dengan demikian pimpinan diharapkan
benar-benar dapat memainkan peranannya
sebagai supervisor pelaksanaan tugas di
kantor yang dipimpinnya.
Dengan supervisi pelaksanaan tugas
yang baik para pegawai diharapkan mampu
berkembang dan mengembangkan potensi
yang dimiliki. Hal ini berarti pimpinan
adalah orang yang paling diharapkan
pegawai untuk membantu memecahkan
permasalahan-permasalahan yang mereka
hadapi.
Agar pimpinan dapat melaksanakan
perannya dengan baik, maka sifat,
pengetahuan dan pengalaman pimpinan
harus dapat digunakan dalam melaksanakan
kepemimpinannya. Pimpinan harus mahir
menggunakan berbaga i cara/tata kinerja
yang didasarkan atas pengetahuan dan
pengalamannya itu.
Dengan demikian ia perlu memiliki
berbagai ketrampilan, khususnya mengenai
supervisi. Pimpinan dituntut harus cepat
dapat memilih dan menggunakan tindakan,
79
sikap, prosedur kinerja yang sesuai dengan
situasi dan kondisi yang dihadapinya.
Pengetahuan tentang kepemimpinan
bagi seorang pimpinan penting untuk
diketahui, tetapi yang lebih penting lagi
adalah bahwa ia dapat bertindak sebagai
pemimpin. Tindakan/penampilan sebagai
pemimpin itu harus dapat dilaksanakannya
secara cepat dan tepat, serta secara terampil.
Ia harus menguasai bagaimana caranya : (1)
menyusun rencana bersama; (2) mengajak
anggota kelompoknya berpartisipasi; (3)
memberikan bantuan yang diperlukan para
anggotanya; (4) menimbulkan dan
memupuk moral kelompok yang tinggi; (5)
turut serta dengan kelompoknya dalam
menyusun keputusan bersama; (6)
membagi-bagi dan memindahkan
tanggungjawab; (7) mempertinggi
kreativitas anggota-anggota kelompoknya;
dan (8) menghilangkan rasa malu dan
rendah diri pada anggota-anggotanya
supaya mereka berani tampil ke muka.
Abraham Zalesnit (dalam Robbin:
2000:74), menyatakan bahwa tidak semua
pimpinan adalah manajer, sehingga kalau
dibalik apakah semua manajer adalah
pimpinan. Seorang manajer yang diberi
hak-hak tertentu dalam suatu organisasi,
belum tentu dapat menjadi seorang
pimpinan-pimpinan yang efektif. Tetapi
tidak disangsikan lagi bahwa kemampuan
untuk mempengaruhi orang lain yang
didapatkan di luar struktur yang formal
adalah sama atau bahkan lebih penting dari
pengaruh formal sehingga dapat
disimpulkan bahwa seorang pimpinan dapat
muncul secara informal dan dapat juga
ditunjuk secara formal.
Karena itu, untuk menjalankan tugas
sebagai pimpinan yang baik diperlukan
seseorang yang memiliki syarat-syarat
tertentu. Di samping syarat ijazah (yang
merupakan syarat formal), juga pengalaman
kerja dan kepribadian yang baik perlu
diperhatikan.
Syarat-syarat lain kecuali ijazah dan
pengalaman adalah kepribadian dan
kecakapan yang dimilikinya atau yang biasa
disebut gaya kepemimpinan. Seorang
pimpinan hendaknya memiliki kepribadian
yang baik dan sesuai dengan kepemimpinan
yang akan dipegangnya. Karena itu seorang
pimpinan hendaknya memiliki sifat-sifat
jujur, adil dan dapat dipercaya, suka
menolong dan membantu pegawai dalam
menjalankan tugas dan mengatasi kesulitan-
kesulitannya, bersifat sabar dan memiliki
kestabilan emosi, percaya kepada diri
sendiri dan dapat mempercayai pegawai-
pegawainya, bersifat luwes dan ramah,
mempunyai sifat tegas dan konsekuen yang
tidak kaku dan lain sebagainya.
Di samping sifat-sifat kepribadian
seperti di atas, seorang pimpinan
hendaknya memiliki pengetahuan dan
kecakapan yang sesuai dengan spesifikasi
atau jurusan serta bidang-bidang pekerjaan
yang menjadi tanggung jawabnya. Tanpa
memiliki sifat-sifat serta pengetahuan dan
kecakapan seperti diuraikan di atas, sangat
sulit baginya untuk dapat menjalankan
peranan kepemimpinan yang baik dan
diperlukan bagi kemajuan kantornya.
Bertolak dari latar belakang masalah
diatas, maka rumusan masalah yang akan
penulis teliti adalah sebagai berikut (1)
Apakah terdapat pengaruh yang signifikan
secara parsial gaya kepemimpinan terhadap
kemampuan melaksanakan tugas pada
kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga di Kabupaten Waropen? (2)
Apakah terdapat pengaruh yang signifikan
secara parsial tingkat pendidikan terhadap
kemampuan melaksanakan tugas pada
kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga di Kabupaten Waropen? (3)
Apakah terdapat pengaruh yang signifikan
secara parsial pengalaman kerja pimpinan
terhadap kemampuan melaksanakan tugas
pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga di Kabupaten Waropen ? (4)
Apakah terdapat pengaruh gaya
kepemimpinan, tingkat pendidikan dan
pengalaman kerja pimpinan secara simultan
terhadap kemampuan melaksanakan tugas
pada kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga di Kabupaten Waropen? Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah (1) Untuk
mengetahui apakah terdapat pengaruh yang
signifikan secara parsial gaya
kepemimpinan terhadap kemampuan
melaksanakan tugas pada kantor Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga di
80
222
2 . YYNXXN
YXXYNxyr
Kabupaten Waropen. (2) Untuk mengetahui
apakah terdapat pengaruh yang signifikan
secara parsial tingkat pendidikan terhadap
kemampuan melaksanakan tugas pada
kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga di Kabupaten Waropen. (3) Untuk
mengetahui apakah terdapat pengaruh yang
signifikan secara parsial pengalaman kerja
pimpinan terhadap kemampuan
melaksanakan tugas pada kantor Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga di
Kabupaten Waropen. (4) Untuk mengetahui
apakah terdapat pengaruh yang signifikan
secara simultan gaya kepemimpinan,
tingkat pendidikan dan pengalaman kerja
pimpinan terhadap kemampuan
melaksanakan tugas pada kantor Dinas
Pendidikan Pemuda Dan Olahraga Di
Kabupaten Waropen. Penelitian ini dapat
digunakan antara lain (1) Sebagai masukan
bagi pimpinan untuk meningkatkan
kemampuan melaksanakan tugas dalam
mencapai tujuan kantor. (2) Bermanfaat
bagi Kantor Wilayah Dinas Pendidikan
dalam mengembangkan sistem perekrutan
dan seleksi calon pimpinan. (3) Dapat
mendorong pembaca yang lain untuk
mengadakan pendalaman maupun
penelitian yang lebih luas tentang
kemampuan melaksanakan tugas bagi
pimpinan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis
penelitian kuantitatif. Lokasi penelitian
dalam penelitian ini yaitu Kantor Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga di
Kabupaten Waropen. Dalam penelitian ini
yang menjadi populasi adalah kepala dinas
dan pegawai baik pegawai tetap maupun
pegawai tidak tetap pada kantor Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga di
Kabupaten Waropen yang berjumlah 39
orang.
Variabel penelitian terbagi menjadi
dua yaitu variabel bebas (X) dan variabel
terikat (Y). yang termasuk dalam variabel
bebas pada penelitian ini Gaya
kepemimpinan (X1) Tingkat pendidikan
(X2) dan Pengalaman kerja Pimpinan (X3).
Sedangkan yang termasuk dalam variabel
terikat pada penelitian ini adalah
kemampuan melaksanakan tugas (Y).
Dalam suatu penelitian memerlukan
data yang berupa data primer dan data
sekunder. Dalam penelitian ini, data primer
diperoleh dari responden, yaitu kepala
kantor dan pegawai yang ada pada kantor
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga di
Kabupaten Waropen, sedang data sekunder
diperoleh dari bagian Personalia pada
kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga di Kabupaten Waropen.
Sebelum penyebaran angket di
lapangan, dilakukan uji validitas dan
reliabilitas instrumen tersebut. Menurut
Arikunto (1998: 89) ada dua jenis validitas
instrumen yaitu validitas logis dan validitas
empiris. Suatu instrumen memiliki validitas
logis, jika instrumen tersebut secara logis
telah sesuai dengan aspek dan isi yang
diungkap. Untuk keperluan validitas isi,
instrumen penelitian diuji melalui penilaian
dan pendapat para pakar.
Hasil uji validitas dianalisis dengan
mengkorelasikan skor butir dengan skor
total menggunakan rumus korelasi Product
Moment, sebagai berikut:
Dimana : r = Koefisien korelasi
antar skor butir dan skor total, x = skor
butir, y = skor total, N = jumlah sampel
Hasil r hitung dengan rumus di atas
dikonsultasikan dengan r tabel pada taraf
signifikansi 5%. Jika r hitung lebih besar dari
pada r tabel maka test tersebut dinyatakan
valid.
Untuk menetukan keterandalan
dalam penelitian ini, indikator yang
digunakan uji keterandalannya. Setelah
sahih, selanjutnya dikorelasikan dengan
korelasi product moment. Angka korelasi
yang diperoleh adalah indeks keterandalan
alat ukur yang dimaksud. Selanjutnya
angka korelasi dibandingkan dengan nilai
kritis tabel korelasi product moment pada
taraf signifikansi 5%. Bila indeks
keterandalan berada di atas nilai kritis
81
berarti alat pengukur tersebut telah andal.
Sedangkan bila indeks keterandalan berada
di bawah nilai kritis berarti alat pengukuran
itu tidak andal.
Untuk itu sebelum memilih teknik
analisis statistik yang sesuai untuk menguji
hipotesis, maka asumsi – asumsi yang
melandasi penggunaan teknik statistik
tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu.
Dengan menggunakan perangkat tes
parametrik, yaitu melalui uji normalitas, uji
homogenitas dan uji multikolonieritas.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Normalitas merupakan sebaran
normal sebagai suatu pendekatan fungsi
dari suatu kumpulan. Metode pengujian
normalitas yang digunakan pada penelitian
ini adalah uji the goodness of fit.
Pengambilan keputusan atau kesimpulan
didasarkan pada ketentuan apabila
probabilitas dari hasil uji chi square hitung
lebih kecil dari chi square tabel maka data
yang terdistribusi secara normal dan
sebaliknya, jika chi square hitung lebih
besar dari chi square tabel maka data tidak
terdistribusikan secara normal.
Homogenitas sampel menunjukkan
bahwa keadaan sampel yang sama,
sehingga sampel yang ditarik dari populasi
adalah sampel yang representatif yang
artinya merupakan wakil yang baik dari
populasi. Pengujian homogenitias dalam
penelitian ini dihitung dengan
menggunakan test of Homogeneity of
Varians, dengan ketentuan jika probabilitas
yang dihasilkan > 0,05 berarti terjadi
homogenitas yang artinya data tersebut
memiliki varian populasi yang sama.
Hasil pengujian normalitas dan
homogenitis terhadap data yang diperoleh
disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 1
Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Variabel
Variabel
Chi square
(²)
Hitung
df
Chi
square
(²)
Tabel
Signifikan
(1-tailed)
Gaya Kepemimpinan 5,267 6 10,6446 0,828
Tingkat pendidikan 4,200 8 13,3616 0,839
Pengalaman kerja 5,267 6 10,6446 0,828
Kemampuan melaksanakan tugas 7,333 9 14,9190 0,602
Sumber Data : Output SPSS
Dari tabel tersebut dapat diketahui
bahwa untuk gaya kepemimpinan
menunjukkan hasil chi square hitung
sebesar 5,267 dimana nilai chi square table
sebesar 10,6446 sehingga data pada
variabel gaya kepemimpinan telah
terdistribusi secara normal. Untuk variabel
tingkat pendidikan menunjukkan hasil chi
square hitung sebesar 4,200 dimana nilai
chi square tabel sebesar 13,3616. Hal ini
berarti bahwa data pada variabel tingkat
pendidikan telah terdistribusi secara
normal. Untuk variabel pengalaman kerja
menunjukkan hasil chi square hitung
sebesar 5,2267 dimana nilai chi square
tabel 10,6446 sehingga data pada variabel
pengalaman kerja telah terdistribusi secara
normal. Sedangkan pada variabel
kemampuan dalam melaksanakan tugas
menunjukkan keadaan yang sama dimana
hasil chi square hitung < chi square tabel
(7,333 < 14,9190) yang berarti data pada
variabel kemampuan melaksanakan tugas
juga telah terdistribusi secara normal.
Hasil pengujian homogenitas yang
tercantum pada tabel 1 terlihat bahwa nilai
probabilitas masing-masing variabel
berturut-turut adalah sebesar 0.828, 0.839,
0.828 dan 0.602. Hal ini menunjukkan
bahwa nilai probabilitas pada masing-
masing variabel lebih besar dari taraf
signifikansi 0,05, sehingga data dari
keempat variabel penelitian tersebut
memiliki varian populasi yang relatif sama.
82
Perhitungan dengan korelasi
sederhana dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara variabel bebas secara
sendiri-sendiri dengan variabel terikat.
Hasil pengujian terhadap korelasi sederhana
yang telah dilakukan tercantum dalam tabel
berikut:
Tabel 2
Rekapitulasi Korelasi antar Variabel Penelitian
Hubungan Antar Variabel Koef.
Korelasi (r)
Nilai
Probabilitas
(thitung)
Gaya kepemimpinan dengan Kemampuan
Melaksanakan tugas 0.725 0.000
Tingkat Pendidikan dengan Kemampuan
Melaksanakan tugas 0.799 0.000
Pengalaman Kerja pimpinan dengan
Kemampuan Melaksanakan tugas 0.725 0.000
Sumber : Data Hasil Perhitungan
Sedangkan perhitungan korelasi
berganda dilakukan untuk mengetahui
hubungan variabel bebas secara bersama
dengan variabel terikat. Hasil perhitungan
yang telah dilakukan tercantum dalam tabel
di bawah ini:
Tabel 3
Rekapitulasi Korelasi Berganda
Hubungan Antar variabel
Keeratan
hubungan
( R )
Koef.
Determ.
( R2 )
F Sig.
Gaya kepemimpinan,
Tingkat pendidikan dan
Pengalaman Kerja pimpinan
dengan kemampuan
melaksanakan tugas
0.750 0.565 12.888 0.001
Sumber : Data hasil Olahan
Pengujian Hipotesis Pertama
Hipotesis pertama dalam penelitian
ini adalah “Pengaruh antara gaya
kepemimpinan pimpinan dengan
kemampuan melaksanakan tugas pada
kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga di Kabupaten Waropen”. Secara
statistik, hipotesis itu dijelaskan sebagai
berikut:
Ha : y1 > 0 : Terdapat pengaruh antara
gaya kepemimpinan
pimpinan terhadap
kemampuan melaksanakan
tugas pada kantor Dinas
Pendidikan Pemuda dan
Olahraga di Kabupaten
Waropen.
Ho : y1 = 0 : Tidak ada pengaruh antara
gaya kepemimpinan
pimpinan terhadap
kemampuan melaksanakan
tugas pada kantor Dinas
Pendidikan Pemuda dan
Olahraga di Kabupaten
Waropen.
Pengujian Hipotesis Kedua
Hipotesis kedua dalam penelitian ini
adalah “Terdapat pengaruh antara tingkat
pendidikan terhadap kemampuan
melaksanakan tugas pada kantor Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga di
Kabupaten Waropen”. Secara statistik,
hipotesis itu dijelaskan sebagai berikut:
83
Ha : y2 > 0 : Terdapat pengaruh antara
latar belakang pendidikan
terhadap kemampuan
melaksanakan tugas pada
kantor Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga di
Kabupaten Waropen.
Ho : y2 = 0 : Tidak ada pengaruh antara
latar belakang pendidikan
terhadap kemampuan
melaksanakan tugas pada
kantor Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga di
Kabupaten Waropen.
Pengujian Hipotesis Ketiga
Hipotesis ketiga dalam penelitian ini
adalah “Terdapat pengaruh antara
Pengalaman Kerja pimpinan terhadap
kemampuan melaksanakan tugas pada
kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga di Kabupaten Waropen”. Secara
statistik, hipotesis ini dapat dijelaskan
sebagai berikut:
Ha : y3 > 0 : Terdapat pengaruh
antara Pengalaman Kerja
Pimpinan terhadap
kemampuan melaksanakan
tugas pada kantor Dinas
Pendidikan Pemuda dan
Olahraga di Kabupaten
Waropen.
Ho : y3 = 0 : Tidak ada pengaruh
antara Pengalaman Kerja
Pimpinan terhadap
kemampuan melaksanakan
tugas pada kantor Dinas
Pendidikan Pemuda dan
Olahraga di Kabupaten
Waropen.
Pengujian Hipotesis Keempat
Hipotesis keempat dalam penelitian
ini adalah “Terdapat pengaruh yang
signifikan antara gaya kepemimpinan,
tingkat pendidikan dan pengalaman kerja
pimpinan terhadap kemampuan
melaksanakan tugas pada kantor Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga di
Kabupaten Waropen.” Secara statistik,
hipotesis ini dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Ha : y1,2,3 > 0 : Terdapat
pengaruh yang signifikan
antara gaya kepemimpinan,
tingkat pendidikan dan
pengalaman kerja pimpinan
terhadap kemampuan
melaksanakan tugas pada
kantor Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga di
Kabupaten Waropen.
Ho : y1,2,3 = 0 : Tidak ada
pengaruh yang signifikan
antara gaya kepemimpinan,
tingkat pendidikan dan
pengalaman kerja pimpinan
terhadap kemampuan
melaksanakan tugas pada
kantor Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga di
Kabupaten Waropen.
PEMBAHASAN
Hasil Pengujian Hipotesis Pertama;
Pengaruh antara Gaya Kepemimpinan
terhadap Kemampuan Melaksanakan
Tugas
Tujuan pertama dari penelitian ini
untuk mengetahui sejauh mana pengaruh
gaya kepemimpinan terhadap kemampuan
melaksanakan tugas. Dari hasil pengujian
hipotesis pertama, dapat diketahui bahwa
Ho ditolak dan Ha diterima, dimana
kesimpulan yang dapat diambil adalah
terdapat pengaruh antara gaya
kepemimpinan terhadap kemampuan
melaksanakan tugas.
Sedangkan besarnya pengaruh
tersebut dapat diketahui dari harga
koefisien korelasi dimana koefisien korelasi
yang diperoleh untuk pengaruh antara gaya
kepemimpinan terhadap kemampuan
melaksanakan tugas adalah sebesar 0,725.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
antara gaya kepemimpinan pimpinan
terhadap kemampuan melaksanakan tugas
pengaruh yang cukup erat.
Berdasarkan hasil pengujian
hipotesis, diketahui bahwa terdapat
pengaruh yang cukup signifikan antara gaya
kepemimpinan pimpinan terhadap
kemampuan melaksanakan tugas.
84
Jadi, gaya kepemimpinan yang
dimiliki seseorang berkaitan erat dengan
pengetahuan dan keterampilan yang
dimilikinya. Hal ini berlaku juga bagi
pimpinan, dimana kemampuannya dalam
melaksanakan tugas akan berkaitan erat
dengan gaya kepemimpinan yang dimiliki.
Hasil Pengujian Hipotesis Kedua;
Pengaruh antara Tingkat Pendidikan
terhadap Kemampuan Melaksanakan
Tugas
Tujuan kedua dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui sejauh mana
pengaruh latar belakang pendidikan
terhadap kemampuan melaksanakan tugas.
Dari hasil pengujian hipotesis kedua, dapat
diketahui bahwa Ho ditolak dan Ha
diterima, dimana kesimpulan yang dapat
diambil adalah terdapat pengaruh antara
latar belakang pendidikan terhadap
kemampuan melaksanakan tugas pimpinan.
Sedangkan besarnya pengaruh
tersebut dapat diketahui dari harga
koefisien korelasi dimana koefisien korelasi
yang diperoleh untuk hubungan antara latar
belakang pendidikan terhadap kemampuan
melaksanakan tugas adalah sebesar 0,799.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
antara latar belakang pendidikan terhadap
kemampuan melaksanakan tugas memiliki
pengaruh yang cukup erat.
Berdasarkan hasil pengujian
hipotesis, diketahui bahwa terdapat
pengaruh yang cukup signifikan antara latar
belakang pendidikan terhadap kemampuan
melaksanakan tugas.
Hasil penelitian ini didukung oleh
penelitian yang dilakukan Bahar yang ingin
mengkaji hubungan antara latar belakang
pendidikan, masa kerja dan wilayah tempat
kerja pimpinan SDN dengan pelaksanaan
supervisi pengajaran di Kabupaten
Donggala, yang menyimpulkan bahwa
terdapat pengaruh yang positif antara latar
belakang pendidikan formal, latar belakang
pendidikan inservice dan lamanya masa
kerja pimpinan dengan pelaksanaan
supervisi pengajaran.
Jadi latar belakang pendidikan baik
pendidikan formal maupun nonformal yang
telah ditempuh seseorang berkaitan erat
dengan pengetahuan dan keterampilan yang
dimilikinya. Hal ini berlaku juga bagi
pimpinan, dimana kemampuannya dalam
melaksanakan tugas akan berkaitan erat
dengan latar belakang pendidikan baik
pendidikan formal maupun nonformal yang
pernah dan akan diikutinya.
Hasil Pengujian Hipotesis Ketiga;
Pengaruh antara Pengalaman Kerja
dengan Kemampuan Melaksanakan
Tugas
Tujuan ketiga dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui sejauhmana
hubungan pengalaman kerja pimpinan
dengan kemampuan melaksanakan tugas.
Dari hasil pengujian hipotesis ketiga, dapat
diketahui bahwa Ho ditolak dan Ha
diterima, dimana kesimpulan yang dapat
diambil adalah terdapat pengaruh antara
pengalaman kerja pimpinan terhadap
kemampuan melaksanakan tugas.
Untuk mengetahui besarnya
pengaruh tersebut dapat diketahui dari
harga koefisien korelasi dimana koefisien
korelasi yang diperoleh untuk pengaruh
antara Pengalaman Kerja Pimpinan
terhadap kemampuan melaksanakan tugas
adalah sebesar 0,725. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa antara Pengalaman
Kerja Pimpinan terhadap kemampuan
melaksanakan tugas memiliki pengaruh
yang cukup erat.
Berdasarkan hasil pengujian
hipotesis, dapat disimpulkan bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan antara
Pengalaman Kerja Pimpinan terhadap
kemampuan melaksanakan tugas. Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Madhelan (1999:59) yang
menyimpulkan bahwa semakin banyak
pengalaman kerja yang dimiliki oleh
seorang pimpinan, maka unjuk kerja yang
dimilikinya juga semakin baik, sehingga
prestasi bekerja yang dicapai semakin baik
pula.
Karena itu, untuk dapat
melaksanakan tugas dengan baik, pegawai
harus memiliki pengalaman kerja sehingga
semakin banyak pengalaman kerja yang
dimiliki diharapkan kinerja para pegawai
85
dapat meningkat yang akhirnya dapat
meningkatkan kualitas di kantor tersebut.
Hasil Pengujian Hipotesis Keempat;
Pengaruh antara Gaya Kepemimpinan,
Tingkat Pendidikan dan Pengalaman
Kerja terhadap Kemampuan
Melaksanakan Tugas
Tujuan keempat dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui sejauhmana
signifikansi pengaruh antara gaya
kepemimpinan, tingkat pendidikaan dan
Pengalaman Kerja pimpinan terhadap
kemampuan melaksnakan tugas. Dari hasil
pengujian hipotesis keempat yang
dilakukan terbukti bahwa Ho ditolak dan
Ha diterima, sehingga dapat disimpulkan
bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
antara gaya kepemimpinan, tingkat
pendidikan dan pengalaman kerja terhadap
kemampuan melaksanakan tugas.
Untuk melihat besarnya pengaruh
tersebut, dapat diketahui dari nilai koefisien
korelasi, dimana hasil perhitungan yang
telah dilakukan didapatkan harga koefisien
korelasi adalah sebesar 0,750. Dari harga
koefisien tersebut membuktikan bahwa
pengaruh antara gaya kepemimpinan,
tingkat pendidikan dan pengalaman kerja
terhadap kemampuan melaksanakan tugas
adalah cukup erat.
Dari hasil pengujian hipotesis yang
telah dilakukan terbukti bahwa terdapat
pengaruh yang signifikan antara Gaya
Kepemimpinan, Tingkat Pendidikan dan
Pengalaman Kerja Pimpinan terhadap
Kemampuan Melaksanakan Tugas. Hal ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan
oleh Bahar yang menyimpulkan bahwa
terdapat pengaruh yang positif antara gaya
kepemimpinan, tingkat pendidikan formal,
tingkat pendidikan inservice dan lamanya
masa kerja pimpinan dengan kemampuan
melaksanakan tugas.
Agar pimpinan mampu
melaksanakan tugas dengan baik, maka
pimpinan harus selalu berusaha
meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilannya. Karena itu gaya
kepemimpinan, tingkat pendidikan dan
Pengalaman Kerja pimpinan akan sangat
berpengaruh terhadap pelaksanaan tugas
yang dilakukannya.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis korelasi,
untuk menguji hipotesis penelitian,
diperoleh hasil sebagai berikut (1) Terdapat
pengaruh yang cukup erat antara gaya
kepemimpinan pimpinan dengan
kemampuan melaksanakan tugas pimpinan
pada Kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga di Kabupaten Waropen. Hal ini
dapat dipahami karena gaya kepemimpinan
yang telah ditempuh seseorang berkaitan
erat dengan pengetahuan dan keterampilan
yang dimilikinya. Karena itu, kemampuan
pimpinan dalam melaksanakan tugas
berkaitan erat dengan gaya kepemimpinan
yang dimilikinya. (2) Terdapat pengaruh
yang cukup erat antara tingkat pendidikan
terhadap kemampuan melaksanakan tugas.
Hal ini dapat dipahami karena latar
belakang pendidikan baik pendidikan
formal maupun nonformal yang telah
ditempuh seseorang berkaitan erat dengan
pengetahuan dan keterampilan yang
dimilikinya. Karena itu, kemampuan
pimpinan dalam melaksanakan tugas
berkaitan erat dengan latar belakang
pendidikan baik pendidikan formal maupun
nonformal yang pernah dan akan
diikutinya. (3) Terdapat pengaruh yang kuat
antara pengalaman kerja pimpinan terhadap
kemampuan melaksanakan tugas. Agar
seseorang pimpinan dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik, memerlukan waktu
minimal tujuh tahun pengalaman kerja. (4)
Terdapat pengaruh gaya kepemimpinan,
tingkat pendidikan dan pengalaman kerja
pimpinan secara simultan terhadap
kemampuan melaksanakan tugas pada
kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan
Olahraga di Kabupaten Waropen
Berdasarkan pembahasan penelitian
dan kesimpulan penelitian, disarankan hal-
hal sebagai berikut (1) Bagi Pimpinan
Sebagai pimpinan dan orang yang
bertanggung jawab atas kantor, pimpinan
hendaknya berusaha melaksanakan tugas
dengan baik, sehingga tercipta lingkungan
kerja yang kondusif, yang mampu memberi
perasaan nyaman bagi pegawai yang
86
bekerja. Selain itu disarankan agar setiap
pimpinan dapat meningkatkan
pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
(2) Bagi Pejabat di Instansi yang Terkait
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan sumbangan pikiran dan
pendapat bagi pejabat di lingkungan Dinas
Pendidikan Pemuda dan Olahraga di
Kabupaten Waropen dalam upaya
pengembangan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Ancok, Dj., 1986. Teknik Penyusunan Alat
Pengukur. Yogyakarta : Pusat
Penelitian Kependudukan UGM.
Arikunto, S., 1989. Manajemen Penelitian.
Jakarta : Depdikbud Dirjen Dikti
P2LPTK.
Black, James A., dan Dean J. Champion.
1992. Metode dan Masalah
Penelitian Sosial. Bandung : Eresco.
Boediono dan Wayan Koster. 2001.
Statistika dan Probabilitas.
Bandung : Remaja Rosdakarya.
Dissertational Abstracts Interbasional.
1985. The Humanities and social
Sciences. Michigan ; univercity
Micro Film‟s Internasional.
Djajadisastra, Joesoef., 1990. Pengantar
Administrasi Pemerintahan. Jakarta
: Depdikbud.
Elsbree, W.S. and Reuter Jr. E.E. 1964.
Staff Personel In Public Schooll, 6
th. Edition. New York ; Mc Grow –
Hill Book Company.
Fuller, B. 1987. “What School Factors,
Raise Achievement In The Third
Work”. Review of Educational
Research No. 3 Vol. 57.
Fleishman, Haris. 2004. Leadership and
Democration. New York ; Mc Grow
– Hill Book Company.
Gorton, richard A. 1976. School
Administration. Dubuque Indiana ;
Wm. C. Brown ; Company
publishers.
Hersey, Paul and Blanchard, Keneth H.
1992. Manajemen Perilaku
Organisasi ; Pendayagunaan
Sumber Daya Manusia Alih Bahasa
; Agus Dharma., Jakarta : Erlangga.
Miftah Thoha (2001). Pendayagunaan
Sumber Daya Manusia, Jakarta :
Erlangga.
Unisma. 2012. Metodologi Penelitian.
Malang : Rineka Cipta.
Poerwadarminto WJS., 1984, Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai
Pustaka.
Suhud,. 1999. Pengaruh Tingkat
Pendidikan dan Masa Kerja
Pegawai Terhadap Prestasi Kerja
Pegawai Di Dinas Perhutani
Lamongan. Tesis. STIE Jakarta :
Widyajayakarta.
Purwanto, Ngalim., 1994. Administrasi Dan
Supervisi. Cetakan ke-7 PT.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
_________, 2001, Administrasi dan
Supervisi, Cetakan ke-10, Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya,
Lewin, Lippit and White. 1999. Leadershif
and Management. . New York ; Mc
Grow – Hill Book Company.
Wiles, Kimbal. 1967. Supervision for Better
School. New Jersey: Prentice-Hall.
87
PELAKSANAAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI BIDANG DIKLAT PADA BADAN
KEPEGAWAIAN PENDIDIKAN DAN LATIHAN DALAM MENINGKATKAN
EFEKTIVITAS PEGAWAI DI KABUPATEN WAROPEN
1Frits Isak Yesaya Masini,
2Masykuri Bakri,
3Nurul Umi Ati
1Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik
2, 3 Dosen Program Studi Magister Ilmu Administrasi
Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
Jl. MT. Haryono 193 Malang, 65144
Abstrak
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan diklat
prajabatan pada Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Daerah Kabupaten
Waropen. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif yang menggunakan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dan
dokumentasi. Pengumpulan informasi melalui wawancara terhadap key informan yang
compatible terhadap penelitian kemudian observasi langsung ke lapangan untuk menunjang
penelitian yang dilakukan agar mendapatkan sumber data yang diharapkan. Pada tahap
akhir adalah penarikan kesimpulan dilakukan secara cermat dengan melakukan verifikasi
berupa tinjauan ulang pada catatan-catatan di lapangan sehingga data-data dapat diuji
validitasnya. Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa pelaksanaan
diklat prajabatan pada Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan Daerah Kabupaten
Waropen belum efektif karena adanya faktor Widyaswara dan sarana dan prasarana yang
kurang menunjang terselenggaranya diklat tersebut.
kata kunci : pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dan bidang diklat
Abstract
Generally, this study aims to determine the effectiveness of the implementation of the
Pre-service training on the Personnel Board of Education and Regional Training Waropen.
The research approach used in this study is a qualitative approach that uses data collection
techniques such as observation, interviews, and documentation. Gathering information
through interviews with key informants were compatible to research and then directly into the
field observations to support research undertaken in order to obtain the expected data
sources. In the final stage is the conclusion to be done carefully to verify the form of a review
of the records in the field so that the data can be tested validity. Based on these results it can
be concluded that the implementation of the training prajabatan the Personnel Board,
Education and Training District Waropen not been effective because of factors Widyaswara
and Krang facilities and infrastructure that support the implementation of such training.
keywords: implementation of main tasks and functions and field trainin.
PENDAHULUAN
Sumber Daya Manusia merupakan
penentu keberhasilan bagi setiap organisasi
untuk menjadi lebih profesional dan sebagai
pembangun citra pelayanan publik. Oleh
karena itu, sumber daya manusia yang
profesional sangat mendukung keberhasilan
suatu organisasi untuk bisa bersaing di era
global dalam rangka mewujudkan
Pembangunan Nasional. Untuk
88
mewujudkan Pembangunan Nasional,
dituntut adanya peran sumber daya manusia
yang berkualitas. Oleh sebab itu kegiatan
pengembangan sangat dibutuhkan dalam
proses pembangunan itu sendiri. Kegiatan
pengembangan diharapkan dapat
memperbaiki dan mengatasi kekurangan
dalam melaksanakan pekerjaan lebih baik
sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan
itu, kedudukan dan peranan pegawai sangat
penting dalam menentukan berhasil atau
tidaknya tugas dari penyelenggara
pemerintah dan pembangunan dalam rangka
pencapaian tujuan. Peningkatan kualitas
sumber daya manusia merupakan suatu
yang sangat penting untuk penigkatan
akselerasi suatu pembangunan dalam
bidang apapun juga.
Dalam rangka pencapaian tujuan
nasional yang tercantum dalam pembukuan
UUD 1945, maka pegawai negeri perlu
dibina dengan sebaik – baiknya atas dasar
sistem karir berdasarkan pasal 31 UU
No.43 tahun 1999 tentang Pokok- Pokok
Kepegawaian yang berbunyi bahwa untuk
mencapai daya guna dan hasil guna yang
sebesar – besarnya diadakan pengaturan
dan penyelenggraan pendidikan dan
pelatihan jabatan Pegawai Negeri Sipil
yang bertujuan untuk meningkatkan
pengabdian, keahlian, kemampuan dan
keterampilan. Disini, sangat jelas bahwa
pengembangan sumber daya manusia
sangat penting dalam meningkatkan
kualitas aparatur Negara.
Pengembangan pegawai
dititikberatkan pada pelaksanaan
pendidikan dan pelatihan disamping untuk
meningkatkan profesionalisme setiap
pegawai. Pelaksanaan diklat pegawai perlu
diupayakan, karena berpengaruh langsung
terhadap hasil kerja pegawai itu sendiri.
Pendidikan dan Pelatihan bagi sumber daya
manusia merupakan topik yang penting
dalam rangka manajemen sumber daya
manusia yaitu usaha meningkatkan
keunggulan bersaing dalam organisasi.
Pendidikan dan Pelatihan bagi sumber daya
manusia merupakan topik yang sangat
penting dalam rangka menajemen sumber
daya manusia, yaitu dalam usaha
meningkatkan keunggulan bersaing dalam
organisasi. Jhon Kendrick dalam
simanjuntak (1989:690) mengatakan bahwa
pendidikan dan pelatihan tidak saja
menambah pengetahuan akan tetapi juga
meningkatkan keterampilan bekerja,
sehingga akan meningkatkan produktivitas
kerja organisasi.
Adapun perbandingan atau
perbedaan antara pendidikan dan pelatihan
menurut Notoatmodjo (2009:16) sebagai
berikut :
Tabel 1
Perbandingan Antara Pendidikan dan Pelatihan
Perbandingan Pendidikan Pelatihan
1. Pengembangan
Kemampuan Menyeluruh (overall)
Mengkhususkan
(spesifik)
2. Area Kemampuan
(penekanan)
Kognitif, afektif,
Psychomotoric
Psikomotor dan
keterampilan
3. Jangka Waktu
Pelaksanaan Panjang (long time)
Pendek (short time)
4. Materi yang
diberikan Lebih umum Lebih Khusus
5. Penekanan
Penggunaan Belajar
Mengajar
Conventional Inconventional
6. Penghargaan akhir
proses Gelar (degree) Sertifikat (non degree)
(Sumber : Notoatmodjoyo 2009:16)
89
Oleh sebab itu, pusat pendidikan
dan pelatihan di setiap institusi mempunyai
tugas pokok untuk melaksanakan
pendidikan dan pelatihan untuk para
pegawai guna meningkatkan kemampuan
pegawai atau karyawan dilingkungan
institusi tersebut yang akan memberi
dampak terhadap pengembangan organisasi
atau institusi yang bersangkutan.
Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan
(Diklat) merupakan salah satu bidang yang
dibawahi oleh Badan Kepegawaian Daerah
(BKD), yang dilaksanakan sesuai dengan
tugas pokok dan fungsi pada kantor Badan
Kepegawaian Daerah (BKD) yaitu
membantu pejabat pembina kepegawaian
daerah dalam melaksanakan menajemen
Pegawai Negeri Sipil Daerah untuk
menyiapkan peraturan perundang –
undangan daerah di bidang kepegawaian,
sesuai dengan undang – undang yang
berlaku serta menyiapkan kebijakan teknis
mengenai pengembangan kepegawaian
daerah dan lain – lain.
Pegawai Negeri Sipil adalah
pegawai negeri yang gajinya dibebankan
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBD) dan belanja pada
departemen, lembaga, pemerintah non-
departemen, kesekertariatan lembaga
tertinggi dan lembaga tinggi Negara.
Instansi vertikal di daerah provinsi atau
kabupaten/kota atau dipekerjakan untuk
menjalankan tugas Negara lainnya.
Berdasarkan pengamatan penulis,
kelemahan dalam sistem Diklat yang ada
pada Badan Kepegawaian Pendidikan dan
Pelatihan Daerah Kabupaten Waropen
adalah Diklat Prajabatan belum mampu
menyadarkan pegawai dalam pelaksanaan
tugas sehingga pegawai yang telah
mengikuti Diklat Prajabatan belum mampu
memberikan kontribusi secara maksimal
bagi pengembangan awal mereka sebagai
Pegawai Negeri Sipil.
Berdasarkan latar belakang yang
telah diuraikan di atas maka permasalahan
yang diteliti dirumuskan sebagai berikut
pertama, Apakah dalam Pelaksanaan Diklat
Prajabatan Pada Badan Kepegawaian
Pendidikan dan Pelatihan dapat
meningkatkan Efektivitas Pegawai
Kabupaten Waropen? Keduaa, Apa sajakah
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Efektivitas Pegawai dalam Pelaksanaan
Diklat Prajabata? Adapun tujuan dari
penelitian ini yaitu pertama, Untuk
menganalisis penyebab kurang efektifnya
Pelaksanaan Diklat Prajabatan Pada Badan
Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan
Daerah Kabupaten Waropen. Kedua,
Mempelajari faktor internal dan eksternal
dalam pelaksanaan peningkatan pelayanan
masyarakat di Kabupaten Waropen untuk
mengidentifikasi tingkat kekuatan,
kelemahannya dan mempertimbangkan
ancaman serta peluang yang ada. Dalam
penelitian ini nantinya diharapkan
mempunyai guna dan manfaat sebagai
berikut Manfaat Akademis (Dalam
penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
sebagai referensi yang dapat menunjang
untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan
sebagai bahan masukan bagi penelitian-
penelitian yang akan datang) dan Manfaat
Praktis (Pada penelitian ini diharapkan
dapat bermanfaat sebagai bahan acuan atau
masukan bagi pemerintah khususnya
Kantor Badan Kepegawaian Pendidikan dan
Pelatihan Daerah Kabupaten Waropen
dalam mengefektifkan pelaksanaan Diklat
Prajabatan).
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini penulis
menggunakan pendekatan kualitatif dimana
dalam penelitian yang dilakukan bersifat
Deskriptif. Penelitian direncanakan selama
3 bulan sejak bulan Juni 2012 sampai
dengan September 2012. Dalam penelitian
ini yang menjadi lokasi penelitian adalah
Badan Kepegawaian Pendidikan dan
Pelatihan Kabupaten Waropen.
Jenis dan Sumber Data diperoleh
dari Data Primer dan data sekunder. Data
primer adalah data yang diperoleh langsung
dari hasil wawancara yang diperoleh dari
narasumber atau informan yang dianggap
berpotensi dalam memberikan informasi
yang relevan dan sebenarnya di lapangan.
Data sekunder adalah sebagai data
pendukung data primer dari literatur dan
dokumen serta data yang diambil dari suatu
organisasi atau perusahaan dengan
90
permasalahan di lapangan yang terdapat
pada lokasi penelitian berupa bahan bacaan,
bahan pustaka, dan laporan-laporan
penelitian.
Teknik pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan cara wawancara, observasi, dan
dokumentasi. Proses analisis data dilakukan
secara terus menerus dimulai dengan
menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber, yaitu dari wawancara,
pengamatan yang sudah dituliskan dalam
catatan lapangan, dokumen dan sebagainya
sampai dengan penarikan kesimpulan.
Pengumpulan informasi melalui
wawancara terhadap key informan yang
compatible terhadap penelitian kemudian
observasi langsung ke lapangan untuk
menunjang penelitian yang dilakukan agar
mendapatkan sumber data yang diharapkan.
Reduksi data (data reduction) yaitu
proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyerderhanaan, transformasi data kasar
yang muncul dari catatan-catatan di
lapangan selama meneliti tujuan diadakan
transkrip data (transformasi data) untuk
memilih informasi mana yang dianggap
sesuai dan tidak sesuai dengan masalah
yang menjadi pusat penelitian di lapangan.
Penyajian data (data display) yaitu
kegiatan sekumpulan informasi dalam
bentuk naratif, grafik jaringan, tabel dan
bagan yang bertujuan mempertajam
pemahaman penelitian terhadap informasi
yang dipilih kemudian disajikan dalam
tabel ataupun uraian penjelasan.
Pada tahap akhir adalah penarikan
kesimpulan dilakukan secara cermat dengan
melakukan verifikasi berupa tinjauan ulang
pada catatan-catatan di lapangan sehingga
data-data dapat diuji validitasnya.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Peningkatan Keefektivitasan Pegawai
dalam Pelaksanaan Diklat Prajabatan
Pada Badan Kepegawaian Pendidikan
dan Pelatihan Kabupaten Waropen
Pegawai Negeri Sipil (PNS)
merupakan unsur utama Sumber Daya
Manusia (SDM) Aparatur Negara
mempunyai peranan yang sangat penting
dalam keberhasilan penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan. Oleh
karena itu perlu adanya upaya peningkatan
kompetensi bagi Pegawai Negeri Sipil agar
dapat menghasilkan sosok PNS yang
bertanggung jawab, bermoral, profesional
serta dapat mejadi acuan bagi masyarakat
luas, bangsa dan Negara.
Untuk dapat membentuk sosok PNS
seperti diatas, maka perlu dilaksanakan
pembinaan bagi pegawai melalui
Pendidikan dan Pelatihan seperti Diklat
Prajabatan yang mengarah kepada
peningkatan-penigkatan sebagai berikut: (1)
meningkatkan pengetahuan, keahlian,
keterampilan dan sikap untuk dapat
melaksanakan tugas secara profesionalisne
dengan dilandasi kepribadian dan etika
Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan
kebutuhan instansi; (2) menciptakan
aparatur yang mampu berperan sebagai
pembaharu dan perekat pesatuan dan
kesatuan bangsa; (3) menetapkan sikap dan
semangat pengabdian yang berorietasikan
pada pelayanan, pengayoman dan
pemberdayaan masyarakat; (4) menciptakan
kesamaan visi dan dinamika pola pikir
dalam melaksanakan tugas pemerintahan
umum dan pembangunan demi terwujudnya
kepemerintahan yang baik.
Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan
merupakan syarat pengangkatan CPNS
menjadi PNS. Menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang
Pendidikan dan Pelatihan jabatan PNS,
Diklat Prajabatan terdiri dari 3 (tiga)
jenjang Diklat Prajabatan, yaitu Diklat
Prajabatan Golongan I untuk menjadi PNS
Golongan I, Diklat Prajabatan Golongan II
untuk menjadi PNS Golongan II, dan Diklat
Prajabatan Golongan III untuk menjadi
PNS Golongan III.
Hasil wawancara penulis terhadap
informan salaku pembina dalam Diklat
Prajabatan melalui wawancara bahwa:
“Para CPNS wajib mengikuti Diklat
Prajabatan jika ingin mendapatkan
predikat sebagai PNS murni menurut
Golongan mereka masing-masing sesuai
dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, selain itu penyelenggaraan
Diklat Prajabatan perlu dilaksanakan
91
penanganan secara khusus sebagai
pembinaan awal untuk membentuk karakter
para calon PNS yang akan melaksanakan
tugas untuk kepentingan rakyat, bangsa
dan Negara yang merupakan salah satu
syarat pengangkatan PNS”
Adapun tujuan dan sasaran dari
Diklat Prajabatan sesuai dengan PP. Nomor
101 Tahun 2000, Diklat Prajabaan
bertujuan untuk: (1) meningkatkan
pengetahuan, keahlian, keterampilan dan
sikap untuk dapat melaksanakan tugas
secara profesionalisme dengan dilandasi
kepribadian dan etika Pegawai Negeri Sipil
sesuai dengan kebutuhan instansi; (2)
menciptakan aparatur yang mampu
berperan sebagai pembaharu dan perekat
persatuan dan kesatuan bangsa; (3)
menetapkan sikap dan semangat
pengabdian yang berorientasikan pada
pelayanan, pengayoman dan pemberdayaan
masyarakat; (4) menciptakan kesamaan visi
dan dinamika pola pikir dalam
melaksanakan tugas pemerintahan umum
dan pembangunan demi terwujudnya
kepemerintahan yang baik.
Sasaran Diklat Prajabaan adalah: (1)
sasaran Diklat Prajabatan adalah
terwujudnya Pegawai Negeri Sipil yang
memiliki kompetensi yang sesuai dengan
persyaratan pengangkatan untuk menjadi
pegawai Negeri Sipil; (2) untuk
memberikan pengetahuan dalam rangka
pembentukan wawasan kebangsaan,
kepribadian dan etika pegawai negeri sipil,
disamping pengetahuan dasar tentang
sistem penyelenggara Pemerintah Negara,
bidang tugas dan budaya organisasi agar
mampu melaksanakan tugas dan perannya
sebagai pelayan masyarakat.
Standar kompetensi yang diperlukan
bagi CPNS, materi pelajaran atau
kurikulum berbeda-beda berdasarkan
golongan peserta Diklat sesuai keputusan
Kepala LAN RI Nomor 18 Tahun 2010.
Persyaratan peserta Diklat Prajabatan
adalah semua pegawai yang berstatus
CPNS layak untuk mengikuti Diklat
Prajabatan dengan melihat aspek-aspek
penilian sebagai berikut: (1) aspek sikap
dan perilaku meliputi kedisiplinan,
kepemimpinan, kerja sama, dan prakarsa;
(2) aspek penguasaan materi. Unsur
penguasaan materi mencakup bahan ujian
tertulis. Indikator penguasaan materi
tersebut adalah angka yang dihasilkan dan
jawaban peserta dalam ujian tertulis; (3)
cara penilian, Nilai terendah adalah 0 (nol),
sedangkan nilai tertinggi adalah 100
(seratus). Nilai seluruh aspek sikap dan
perilaku (antara 0 dan 100) dikalikan bobot
60%. Nilai penguasaan meteri merupakan
nilai dari hasil ujian yang diperoleh dengan
cara nilai hasil ujian (antara 0 dan 100)
dikalikan bobot 40%. Jumlah nilai sikap
dan perilaku ditambah nilai hasil ujian
adalah nilai yang diperoleh peserta.
Penilaian terhadap peserta dilakukan oleh
tim yang dibentuk oleh Kepala Lembaga
Penyelenggara Diklat Prajabatan yang
bersangkutan; (4) kualifikasi kelulusan
peserta ditetapkan dengan lulus sangat
memuaskan (skor : 92,5-100), lulus
memuaskan (skor : 85,0 – 92,4), lulus baik
sekali (skor : 77,5-84,9), lulus baik (skor :
70,0-77,4), dan tidak lulus (skor : dibawah
70,0)
Anggara Pendidikan dan Pelatihan
Prajabatan bersumber dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten
Waropen tahun 2011 yang dialokasikan paa
pos anggaran Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) Badan Kepegawaian,
Pendidikan dan Pelatihan Daerah (BKPPD)
Kabupaten Waropen.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
efektivitas pelaksanaan diklat prajabatan
antara lain: Pertama, peserta diklat
penetapan peserta diklat bersifat selektif
dan merupakan penugasan instansi yang
bersangkutan untuk memenuhi persyaratan
kompetensi jabatan. Peserta Diklat dalam
suatu Diklat Prajabatan di sebut CPNS.
Yang merupakan faktor kunci
terselenggaranya suatu Diklat dan memiliki
peranan terpentig dalam Diklat. CPNS
adalah Warga Negara Indonesia yang
melamar, lulus seleksi, dan diangkat untuk
dipersiapkan menjadi Pegawai Negeri Sipil
sesuai dengan perundang – undangan yang
berlaku. Hasil wawancara penulis dengan
informan Pembina dalam Diklat Prajabatan,
yaitu : “Peserta dalam Diklat Prajabatan
jelas sehat jasmani dan rohani, kami tidak
92
mungkin memaksa peserta untuk ikut dalam
pelatihan ini jika tidak memenuhi syarat
dan ketentuan yng berlaku. Selain itu,
selama mengikuti Diklat Statusnya masih
menjadi CPNS, sampai pada saat peserta
telah mengikuti seluruh proses dalam
Diklat dan dinyatakan lulus oleh Badan
Diklat Provinsi sebagai tempat bekerja
sama, maka peserta yang bersangkutan
dapat diusulkan untuk menjadi PNS murni
dan juga mendapatkan gaji 100% sesuai
dengan peraturan perundangan yang
berlaku, dan kami sebagai pembina, para
peserta hampir keseluruhan mengikuti
Diklat Prajabatan dengan sangat disiplin
dan bertanggung jawab”.
Sedangakan wawancara dengan
salah satu peserta dalam Diklat Prajabatan,
memaparkan sebagai berikut : “Tentunya
kami termotivasi untuk mengikuti diklat
prajabatan ini, selain dengan perubahan
status kami menjadi PNS, kami juga
tentunya memiliki rasa tanggung jawab
yang besar setelah kembali ke instansi kami
masing2, karena dalam diklat ini kami bisa
memahami peran kami sesungguhnya
sebagai PNS itu seperti apa.”
Dari pemaparan dari beberapa
informan diatas, dapat disimpulkan bahwa
peserta dalam Diklat Prajabatan termotivasi
untuk ikut dalam diklat ini karena adanya
perubahan status dari CPNS menjadi PNS
yang juga berpengaruh dengan gaji yang
mereka terima tiap bulannya.
Kedua, widyaswara merupakan
meraka yang berstatus sebagai PNS yang
diangkat sebagai pejabat fungsional oleh
pejabat yang berwanang dengan tugas dan
tanggung jawab, wewenang untuk
mendidik, mengajar, dan melatih para
CPNS dan PNS pada Lembaga Diklat
Pemerintah. Seseorang yang dapat ditugasi
memberikan fasilitas dalam agenda
pembelajaran Diklat PNS, terdiri dari
widyaswara dan widyaswara luar biasa.
Penilaian terhadap widyaswara dilakukan
oleh peserta dan penyelenggaraan Diklat.
Hasilnya diolah dan disampaikan oleh
penyelengara kepada widyaswara yang
bersangkutan sebagai masukan untuk
peningkatan kinerja pada masa yang akan
datang. Tugas, kewajiban dan
pendayagunaan Widyaswara untuk setiap
jenis, jenjang dan program Diklat mengacu
pada pedoman yang telah ditetapkan. Dari
hasil pengamatan penulis mengenai
widyaswara adalah tidak semua tenaga
widyaswara yang dipakai dalam Diklat
Prajabatan berkompeten, hal ini terbukti
dari hasil wawancara terhadap beberapa
peserta Diklat yang memaparkan kalau ada
beberapa widyaswara yang dalam
menyampaikan materi masih belum jelas
karena adanya faktor penggunaan bahasa
yang susah dipahami oleh peserta Diklat.
Ketiga, kurikulum yang digunakan
dalam Diklat PNS disusun berdasarkan
kebutuhan kompetensi pegawai untuk suatu
jabatan tetentu. Setiap jenis dan jenjang
Diklat mempunyai Tujuan Kurikuler
Umum (TKU) dan Tujuan Kurikuler
Khusus (TKK) yang mengacu pada
kompetensi jabatan. Pembina dalam Diklat
Prajabatan Kabupaten Waropen
menjelaskan tentang kurikulum yang di
gunakan: “Kurikulum yang kami pakai
dalam Diklat Prajabatan mengacu pada
standar kompetensi jabatan dan
perundang-undangan yang berlaku dan
disusun dan ditetapkan oleh Instansi
Pembina Diklat yaitu Lembaga
Administrasi Negara yang
bertanggungjawab dalam penyelenggaraan
Diklat yang menurut kami kualitas materi
yang diberikan sangat relevan dengan
pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi
pegawai yang bersangkutan”.
Sedangkan peserta pada Diklat
Prajabatan golongan III memaparkan
pendapatnya tentang kurikulum yang
diberikan pada Diklat yaitu: “Kualitas
materi yang kami dapatkan saat mengikuti
Diklat tergolong relevan, karena kami
sebagai peserta mendapatkan Modul atau
bahan ajar yang asli yang diterbitkan oleh
Lembaga Administrasi Negara sebagai
penanggungjawab dalam pelaksanaan
Diklat sekaligus sabagai Pembina
Kurikulum”.
Dari hasil wawancara terhadap
informan – informan diatas, dapat
disimpulkan bahwa kurikulum dan kualitas
materi yang disajikan penyelenggara Diklat
Prajabatan tergolong cukup baik, karena
93
dilihat dari pemaparan beberapa peserta
diklat, substansi materi yang disajikan bisa
menambah wawasan dan pengetahuan
peserta, selain itu peserta juga mendaptkan
modul asli yang diterbitkan oleh
penanggungjawab kediklatan.
Keempat, sarana dan prasarana
diklat merupakan alat bantu dan fasilitas
yang digunakan untuk menjamin efektivitas
agenda pembelajaran dalam sebuah diklat.
Sarana dan prasarana Diklat dapat dimiliki
sendiri dan atau memanfaatkan saran dan
prasana Diklat Lembaga Diklat Instansi lain
dengan memperhatikan kesesuaian standar
persyaratan setiap jenis, jenjang dan
program Diklat serta jumlah peserta Diklat.
Wawancara penulis dengan salah satu
pembina pada Dilat Prajabatan menyatakan
bahwa : “Sarana dan Prasarana yang
disediakan penyelenggara salah satunya
adalah gedung asrama bagi peserta yang
menurut kami layak untuk dihuni selama
proses Diklat Prajabatan berlangsung, juga
disediakan tempat untuk panitia pelaksana,
tempat meeting dan ruang belajar yang
cukup kondusif untuk keberlangsungan
Diklat”.
Sedangkan salah satu peserta Diklat,
mengungkapkan pendapatnya yaitu
“Sarana dan prasarana yang tersedia
belum memadai karena fasiitas – fasilitas
penunjang seperti ruangan belajar yang
belum dilengkapi dengan AC sehingga kami
sebagai peserta kadang merasa kepanasan
saat menerima materi, selain itu
keterbatasan kamar penginapan yang
membuat beberapa peserta sampai 5 orang
dalam satu kamar padahal peserta butuh
istirahat pada malam hari, ini tentu tidak
kondusif.”
Dari hasil wawancara diatas dapat
disimpulkan bahwa sarana dan prasarana
dalam Diklat prajabatan kurang kondusif,
sehingga peserta merasa tidak nyaman saat
mengikuti Diklat.
Kelima, proses. Berdasarkan hasil
wawancara penulis terhadap informan yaitu
salah satu Pembina dalam Diklat Prajabatan
memaparkan pendapatnya sebagai
berikut:“selama proses Diklat, di mulai
dengan pemaparan materi oleh
widyaswara, kemudian dilanjutkan dengan
diskusi antara peserta dan widyaswara,
kadang diselingi dengan games atau
praktek langsung seperti cara pembuatan
surat dan lain-lain, selama proses Diklat
berlangsung para peserta aktif mengikuti
materi demi materi, dan saat proses diskusi
juga mereka aktif, peserta termotivasi
karena adanya penambahan jumlah poin
nilai yang akan berpengaruh terhadap nilai
akhir mereka.”
Selanjutnya salah satu peserta Diklat
memaparkan pendapatnya sebagai berikut:
“selama proses Diklat berlangsung,
diusahakan untuk bisa lebih aktif dalam
diskusi-diskusi dan praktek langsung, selain
mendapatkan penambahan poin pada
penilaian juga dapat meningkatkan
kemampuan berkomunikasi antara sesama
peserta dan antara peserta dan
widyaswara. Biasanya kami diberikan
games di tengah-tengah materi seperti
peserta di tunjuk untuk menyanyi agar
teman sesama peserta tidak merasa jenuh
saat mengikuti diklat”
Menurut hasil wawancara diatas
dapat disimpulkan bahwa proses Diklat
cukup efektif, karena peserta lebih aktif
selama proses Diklat karena adaya
penambahan poin penilaian, aktifnya
peserta karena didukung oleh agenda
selingan materi seperti games dan praktek
langsung yang tentunya ini cukup baik
karena memotivasi peserta untuk aktif
selama proses diklat berlangsung.
Keenam, evaluasi dalam Diklat
Prajabatan dilakukan oleh Lembaga Diklat
Instansi yang bersangkutan dan atau
Instansi Pembina untuk mengetahui
perkembangan pelaksanaan dan tingkat
pencapaian kinerja penyelenggara Diklat.
Hasil wawancara terhadap informan
terhadap salah satu informan yang juga
sebagai Pembina Diklat Prajabatan
memaparkan evaluasi atau hasil yang
dicapai setelah Diklat terselenggara, yaitu :
“Menurut saya hasil dari Diklat Prajabatan
Tahun Anggaran 2011, tercapai belum
maksimal, terlihat ada beberapa hambatan
yang ditemui dilapangan seperti waktu yang
telah ditentukan biasanya berbeda dengan
yang ditetapkan pada jadwal, hal ini
disebabkan karena komunikasi antara
94
penyelenggara dengan tenaga pengajar
tidak terkontrol sehingga ada beberapa
agenda tidak terlaksana.”
Sedangkan pemaparan dari salah
satu peserta Diklat Prajabatan Tahun
Anggaran 2011, memaparkan sebagai
berikut: “keseluruhan proses Diklat dari
pembukaan sampai penutupan menurut
kami sebagai peserta Diklat Prajabatan
masih kurang efektif karena selama proses
berlangsung kami menghadapi beberapa
permasalahan selama proses Diklat
berlangsung, seperti adanya wadyswara
pengganti, dan suasana belajar yang kurang
nyaman, ini tentunya berpengaruh terhadap
semangat kami sebagai peserta Diklat. kami
harap kedepan para CPNS yag mengikuti
Diklat Prajabatan lebih memperhatikan
masalah – masalah seperti ini.”
Jadi dapat disimpulkan bahwa hasil
dari evaluasi Diklat menurut beberapa
informan Diklat Prajabatan belum cukup
efektif, hal ini diungkapkan oleh salah satu
informan yang mana sebagai peserta dalam
Diklat Prajabatan.
PEMBAHASAN
Pelaksanaan Diklat Prajabatan
merupakan tahap awal begi pengembangan
Calon Pegawai Negeri Sipil untuk
membentuk kepribadian sebelum menjadi
Pegawai Negeri Sipil untuk lebih disiplin
dan lebih terarah menjalankan tugas dan
tanggung jawab sebagai aparatur Negara.
Pelaksanaan Diklat Prajabatan mengacu
kepada UU Nomor 101 Tahun 2000 tentang
Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai
Negeri Sipil.
UU ini menjadi dasar pelaksanaan
Diklat Prajabatan maupun Diklat Dalam
Jabatan. Mulai dari peserta diklat,
widyaswara, sarana prasarana, waktu dan
tempat pelaksanaan, kurikulum, dan proses
Diklat tersebut, indikator tersebut juga
dikemukakan oleh syadam (2006) beberapa
faktor yang mempengaruhi keberhasilan
Diklat. dari hasil penelitian dilapangan
faktor – faktor tersebut adalah Peserta
Diklat, Widyaswara, Kurikulum, Sarana
dan prasarana,Proses Diklat dan Evaluasi.
PENUTUP
Dari hasil penelitan yang telah
dilakukan oleh penulis dapat disimpulkan
bahwa pelaksanaan Diklat Prajabatan pada
Badan Kepegawaian Pendidikan dan
Pelatihan Daerah Kabupaten Waropen
belum efektif disebabkan oleh faktor
widyaswara dan sarana prasarana.
Sedangkan faktor-faktor lainnya seperti
peserta diklat, kurikulum dan proses diklat
dapat disimpulkan cukup efektif. Faktor
widyaswara dan sarana prasarana
merupakan faktor penunjang keberhasilan
diklat sehingga peningkatan pelayanan yang
memadai dapat dilakukan oleh pihak
penyelenggara Diklat yang akan
berpengaruh kepada kepuasan pegawai agar
pelaksanaan diklat kedepan dapat tercapai
secara efektif.
Adapun saran yang penulis
paparkan terkait dengan hasil penelitian
adalah sebagai berikut pertama,
Widyaswara yang dipakai dalam
pelaksanaan diklat prajabatan seharusnya
benar–benar tenaga pengajar yang memiliki
kompetensi dalam bidangnya serta dapat
menjadi motivator bagi peserta diklat.
Kedua, Peningkatan fasilitas sarana dan
prasarana dalam pelaksanaan diklat perlu
diupayakan agar peserta merasa tidak jenuh
selama diklat berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Cahyono, Bambang Tri. 1996. Manajemen
Sumber Daya Manusia. Badan
Penerbit IPWI. Jakarta.
Charter, Good V. 1998. Dictionary of
Education.. New York : Mac-Graw-
Hill. Fourth Edition
Djajadisastra, Joesoef. 1990. Pengantar
Administrasi Kerja. Jakarta :
Depdikbud.
Djarwanto, PS dan Pangestu Subagyo.
1990. Statistik Induktif. Yogyakarta
: BPFE.
Hadi, Sutrisno. 1981. Unsur-unsur Pokok
Dalam Metodologi Penelitian
Ilmiah. Bandung : Depdikbud.
Hasibuan, M. 2005. Manajemen Sumber
Daya Manusia. PT Bumi Aksara,
Jakarta.
95
Hamalik,Oemar. 2005. Pengembangan
SDM Manajemen Ketenagakerjaan
Pendidikan , Jakarta:Bumii Aksara.
Hasibuan, Malayu S.P.1994. Manajemen
Sumber Daya Manusia. Jakarta :
CV. Haji Mas Agung.
Hasibuan,Malayu S.P.2009. Manajemen
Sumber Daya Manusia
.Jakarta:Bumi Aksara.
LAN-RI.1994. Sistem Administrasi Negara
Republik Indonesia. Jakarta:
CV.Haji Mas Agung.
Moleong, Lexi J,Dr.M.A. 2001. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Mangkunegara, Anwar Prabu. 2008.
Perencanaan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia. Bandung :
Refika Aditama.
Moekijat. 2001. Latihan dan
Pengembangan Sumber Daya
Manusia. Bandung : Mandar Maju.
Margono. 1997. Metodologi Penelitian
Kerja. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Maslow, Abraham H. 1971. Motivasi dan
Kepribadian, Jakarta : Pustaka
Binaman Presindo.
Musanef. 1996. Manajemen Kepegawaian
di Indonesia. PT Toko Gunung
Agung,
Jakarta.
Nawawi, Hadari. 1993. Administrasi Kerja.
Jakarta : PT. Gunung Agung.
Noatmodjo,Soekidjo.2009.Pengembangan
Sumber Daya Manusia.
Jakarta:Rineka Cipta.
Ruky, S.A. 2003. SDM Berkualitas. PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sugiyono, 1990. Metode Penelitian
Administrasi. Bandung : Alfabeta.
Surakhmad, Winarno. 1980. Pengantar
Interaksi Kinerja. Tarsito. Bandung.
Susilo, Martoyo. 1987. Manajemen Sumber
Daya Manusia. Edisi 2. Yogyakarta
: BPFE.
Sutisna, Oteng. 1995. Administrasi Kerja:
Dasar-dasar Teoritis untuk Praktek
Profesional. Penerbit Angkasa.
Bandung.
Subagyo,P.1995. Manajemen Kepegawaian
.Jakarta: Ghalia Indonesia.
Steers, M Richard. 1985.Efektivitas
Organisasi. Jakarta: Erlangga.
Sedarmayanti.2007. Manajemen Sumber
Daya Manusia. Bandung:Reflika
Aditama.
Sastro, Dr.B.Siswanto.2003.Manajemen
Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta:
Bumi Aksara.
Unisma. 2011. Pedoman Penulisan Tesis.
Malang. Unisma Malang
Umar, H. 2005. Riset Sumber Daya
Manusia dalam Organisasi. PT
Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Referensi Internet :
Sambas.2009.EfektifitasOrganisasi.http://sa
mbasalim.com/manajemen/konsep-
efektivitas-organisasi.html.
http://elib.unikom.ac.id/download.p
hp?id=99247
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 43 Tahun 1999 Tentang
Perubahan UU Nomor 8 Tahun
1974 Tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 101 Tahun 2000
tentangPendidikan dan Pelatihan
Jabatan Pegawai Negeri Sipil.
Dokumen :
Laporan Hasil Diklat. 2011. Waropen :
Badan Kepegawaian, Pendidikan
dan Pelatihan Daerah Kabupaten
Waroepen. Pedoman Diklat
Prajabatan Golongan I,II dan
III.2008. Tana Toraja : Badan
Kepegawaian, Pendidikan dan
Pelatih
96
PENGARUH FAKTOR GAYA KEPEMIMPINAN, MOTIVASI DAN KOMUNIKASI
TERHADAP PRESTASI KERJA; Studi Pada Pegawai Negeri Sipil Di Pemda
Kabupaten Waropen
1Henike Waitariri,
2M. Bashori Muchsin,
3Slamet Muchsin
1Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik 2, 3
Dosen Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik
Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
Jl. Mt. Haryono 193 Malang, 65144
Abstrak
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu (1) Untuk mengetahui apakah ada pengaruh
yang signifikan gaya kepemimpinan terhadap prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup
Kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen. (2) Untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang
signifikan motivasi pimpinan terhadap prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup Kerja
Kantor Pemda Kabupaten Waropen. (3) Untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang
signifikan komunikasi terhadap prestasi Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup Kerja Kantor
Pemda Kabupaten Waropen. (4) Untuk mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan
gaya kepemimpinan, motivasi pimpinan dan komunikasi secara bersama-sama terhadap
prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup Kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen.
Populasi adalah semua Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup Kerja Kantor Pemda Kabupaten
Waropen yang berjumlah 56 orang yang sekaligus menjadi sample penelitian. Metode
pengumpulan data yang dipakai kuesioner dan dokumentasi. Sedangkan teknik analisis yang
dipakai teknik analisis regresi berganda. Dari hasil analisis yang telah dilakukan dalam
penelitian ini dapat ditarik beberapasebagai berikut. Pertama, Terdapat pengaruh yang
signifikan gaya kepemimpinan terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja
Kantor Pemda Kabupaten Waropen. Kedua, Terdapat pengaruh yang signifikan motivasi
pimpinan terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja Kantor Pemda
Kabupaten Waropen. Ketiga, Terdapat pengaruh yang signifikan komunikasi terhadap
prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen.
Keempat, Terdapat pengaruh yang signifikan gaya kepemimpinan, motivasi pimpinan dan
komunikasi terhadap prestasi kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja Kantor Pemda
Kabupaten Waropen.
kata kunci : gaya kepemimpinan, motivasi pimpinan, komunikasi dan prestasi kerja
Abstract
The purpose of this study are (1) To determine whether there are significant effects of
leadership style on job performance in the Scope of the Civil Service Employment Office
Waropen government. (2) To determine whether there is any significant effect on achievement
motivation of the leadership of the Civil Service working in the Scope of Government Office
Waropen. (3) To determine if communications have a significant effect on achievement in the
Scope of the Civil Service Employment Office Waropen government. (4) To determine whether
there are significant effects of leadership style, motivation, leadership and communication
together against job performance in the Scope of the Civil Service Employment Office
Waropen government. The population is all the Civil Service Employment Office in the Scope
of Local Government Waropen totaling 56 people of both the study sample. Methods of data
97
collection used questionnaires and documentation. While the analytical techniques used
multiple regression analysis techniques. From the results of the analysis conducted in this
study can be drawn following beberapasebagai. First, There is a significant effect of
leadership styles on work performance of civil servants working in the scope of the Office of
Government Waropen. Secondly, There is a significant effect of leadership on achievement
motivation of civil servants working in the scope of work of the Office of Government
Waropen. Third, There is a significant effect of communication on work performance of civil
servants working in the scope of the Office of Government Waropen. Fourth, There is a
significant effect of leadership styles, motivational leadership and communication on the
performance of civil servants working in the scope of work for the Office of Government
Waropen.
key words: leadership style, motivation leadership, communication and work performance.
PENDAHULUAN
Sumber daya manusia merupakan
aset paling penting dalam suatu organisasi
karena merupakan sumber yang
mengarahkan organisasi serta
mempertahankan dan mengembangkan
organisasi dalam berbagai tuntutan
masyarakat dan zaman. Sumber daya
manusia perlu dikembangkan terus-menerus
agar diperoleh sumber daya manusia yang
bermutu dalam arti yang sesungguhnya
yaitu pekerjaan yang dilaksanakan akan
menghasilkan sesuatu yang dikehendaki
memenuhi syarat kualitas dan kuantitas. Di
dalam mencapai tujuan organisasi secara
efektif dan efisien tidaklah mudah, untuk
itu dalam suatu organisasi baik organisasi
pemerintah maupun swasta, formal maupun
informal perlu pengelolaan yang optimal.
Kecanggihan alat dan melimpahnya modal
bukanlah jaminan pencapaian tujuan
organisasi karena keduanya hanyalah benda
mati dan sumber daya manusia merupakan
faktor yang paling menentukan karena
manusia yang akan mengolahnya hingga
nantinya akan menghasilkan apa.
Dalam rangka meningkatkan citra,
kerja dan kinerja instansi pemerintah
menuju kearah profesionalisme dan
menunjang terciptanya pemerintahan yang
baik (good governance), perlu adanya
penyatuan arah dan pandangan bagi
segenap jajaran pegawai Pemerintah yang
dapat dipergunakan sebagai pedoman atau
acuan dalam melaksanakan tugas baik
manajerial maupun operasional diseluruh
bidang tugas dan unit organisasi Instansi
Pemerintah secara terpadu. Pada sebuah
organisasi pemerintahan, sumber daya
manusia terdiri dari pimpinan dan pegawai.
Pemda Kabupaten Waropen merupakan
suatu organisasi pemerintah yang memiliki
personil berjumlah 56 pegawai. Untuk
mewujudkan sikap kerja pegawai yang
baik, diperlukan berbagai cara yang dapat
dilakukan oleh seorang pemimpin suatu
organisasi pemerintah, yaitu dengan
menggunakan gaya kepemimpinan yang
tepat.
Peranan seorang pimpinan penting
untuk mencapai tujuan organisasi yang
diinginkan termasuk organisasi
pemerintahan di lingkup kerja Kantor
Pemda kabupaten Waropen terutama
berkaitan dengan peningkatan prestasi kerja
pegawai dalam melaksanakan tugasnya.
Prestasi kerja pegawai merupakan hasil
kerja yang dapat dicapai seseorang atau
sekelompok orang dalam suatu organisasi
sesuai wewenang dan tanggung jawab
masing-masing dalam rangka mewujudkan
tujuan organisasi. Kepemimpinan adalah
suatu proses kegiatan dan kemampuan
seseorang dalam memimpin, membimbing,
mempengaruhi atau mengontrol pikiran,
perasaan, atau tingkah laku orang lain
dalam mencapai suatu tujuan tertentu
(Wahjosumidjo, 1999 : 16). Sedangkan
yang dimaksud dengan gaya kepemimpinan
(leadership style) adalah merupakan norma
perilaku yang dipergunakan seseorang
pemimpin pada saat mencoba
mempengaruhi perilaku orang lain.
Menurut Oliva (1996, hal 390) pemimpin
98
(leader) adalah : the individual in the group
given the task of directing and coordinating
task relevant group activities. Suatu proses
atau aktivitas yang dilakukan oleh
pemimpin dalam upaya mempengaruhi
perilaku bawahannya guna mencapai tujuan
organisasi, disebut kepemimpinan. Hal ini
sebagaimana dikemukakan oleh Owens
(1997, hal 129) bahwa : leadership may be
viewed as a process through which others
are influenced achieve goals in a specific
situation.
Di dalam teori sistem sosial, pola
perilaku seseorang sebagian besar muncul
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
suatu sistem sosial yang saling menjalin
dengan pola perilaku orang lain. Pola
perilaku seseorang bukan di sebabkan oleh
kejadian atau peristiwa yang terisolasi. Bila
hal ini dikaitkan dengan situasi kerja maka
antara pimpinan dan pegawai-pegawai
terdapat suatu hubungan timbal balik dan
saling ketergantungan dalam berbagai
kegiatan kantor. Jika pegawai merasa
antipati terhadap pimpinan, maka hal ini
akan mengendorkan semangat kerja para
pegawai di bawah pimpinan itu (Nurtain,
1990 : 57).
Selain bertugas sebagai pemimpin
kantor, pimpinan juga bertugas sebagai
seorang motivator, yaitu memotivasi
pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai,
dimana salah satu bagian pokok dalam
supervisi tersebut adalah memotivasi
pegawai dalam melaksanakan tugasnya.
Motivasi lebih banyak digunakan dan lebih
tepat dalam menggerakkan kinerja pegawai.
Konsepsi tersebut mengaitkan antara
meningkatnya prestasi kerja seseorang
dengan pemuasan berbagai kebutuhan dan
keinginan manusia. Motivasi berasal dari
kata “movere” yang berarti dorongan.
Motivasi diartikan sebagai suatu usaha
untuk menimbulkan suatu dorongan pada
individu atau kelompok agar bertindak atau
melakukan sesuatu (Mohyi, 1996 : 157).
Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Vroom (dalam Mulyasa, 2003) yang
mengatakan bahwa ”kinerja seseorang
merupakan fungsi perkalian antara
kemampuan (ability) dan motivasi”.
Namun demikian, perlu juga
dipahami bahwa gaya kepemimpinan dan
motivasi pimpinan bukanlah merupakan
satu-satunya cara meningkatkan prestasi
kerja pegawai, tetapi ada komunikasi.
Dalam melaksanakan tugasnya, pegawai
tidak lepas dari komunikasi dengan sesama
rekan sekerja, dengan atasan dan dengan
bawahan. Komunikasi yang baik dapat
menjadi sarana yang tepat dalam
meningkatkan kinerja pegawai. Melalui
komunikasi, pegawai dapat meminta
petunjuk kepada atasan mengenai
pelaksanaan tugas. Melalui komunikasi
juga pegawai dapat saling bekerja sama satu
sama lain. Secara etimologis (menurut asal-
usul kata), istilah komunikasi dalam bahasa
Inggris “communication”, berasal dari
bahasa Latin “communicatio”, dan
perkataan ini bersumber pada kata
“communis”. Kata communis mengandung
arti sama, maksudnya sama makna.
Sedangkan bentuk dari kata kerja
“comunicatio” adalah “Communicare” yang
artinya bermusyawarah, berunding atau
berdialog. Komunikasi menyarankan
adanya suatu pikiran, suatu makna atau
suatu pesan dianut secara sama. (Mulyana,
2005 : 41). Komunikasi merupakan sebuah
pentransferan makna maupun pemahaman
makna kepada orang lain dalam bentuk
lambang-lambang, simbol, atau bahasa-
bahasa tertentu sehingga orang yang
menerima informasi memahami maksud
dari informasi tersebut (Robbins, 1996 :
65).
Berangkat dari dasar pemikiran
tersebut, peneliti mencoba untuk mengkaji
gaya kepemimpinan dan fungsi pimpinan
sebagai supervisor dan motivator dalam
kaitannya dengan kemampuan kinerja
pegawai dalam sebuah karya tulis dalam
bentuk tesis dengan mengambil judul
penelitian ”Analisis Faktor Gaya
Kepemimpinan, Motivasi Pimpinan dan
Komunikasi Dalam Mempengaruhi Prestasi
Kerja Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup
Kerja Kantor Pemda Kabupaten Waropen”.
Berdasarkan latar belakang masalah
yang telah diuraikan di atas, rumusan
masalah yang dapat dikemukakan dalam
penelitian ini adalah (1) Apakah ada
99
pengaruh yang signifikan gaya
kepemimpinan secara partial terhadap
prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil di
Pemda Kabupaten Waropen? (2) Apakah
ada pengaruh yang signifikan motivasi
pimpinan secara partial terhadap prestasi
kerja Pegawai Negeri Sipil di Pemda
Kabupaten Waropen? (3) Apakah ada
pengaruh yang signifikan komunikasi
secara partial terhadap prestasi kerja
Pegawai Negeri Sipil di Pemda Kabupaten
Waropen? (4) Apakah ada pengaruh yang
signifikan gaya kepemimpinan, motivasi
pimpinan dan komunikasi secara simultan
terhadap prestasi kerja Pegawai Negeri
Sipil di Pemda Kabupaten Waropen?
Berdasarkan rumusan masalah tersebut di
atas, penelitian ini dibagi menjadi dua
tujuan yaitu Secara umum tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui apakah ada
pengaruh yang signifikan gaya
kepemimpinan, motivasi pimpinan dan
komunikasi secara bersama-sama terhadap
prestasi kerja Pegawai Negeri Sipil di
Pemda Kabupaten Waropen. Sedangkan
tujuan khususnya meliputi (1) Untuk
mengetahui apakah ada pengaruh yang
signifikan gaya kepemimpinan secara
partial terhadap prestasi kerja Pegawai
Negeri Sipil di Pemda Kabupaten Waropen,
(2) untuk mengetahui apakah ada pengaruh
yang signifikan motivasi pimpinan secara
partial terhadap prestasi kerja Pegawai
Negeri Sipil di Pemda Kabupaten Waropen,
(3) untuk mengetahui apakah ada pengaruh
yang signifikan komunikasi secara partial
terhadap prestasi kerja Pegawai Negeri
Sipil di Pemda Kabupaten Waropen, dan
(4) untuk mengetahui apakah ada pengaruh
yang signifikan gaya kepemimpinan,
motivasi pimpinan dan komunikasi secara
simultan terhadap prestasi kerja Pegawai
Negeri Sipil di Pemda Kabupaten Waropen.
Adapula manfaat dari hasil penelitian ini
adalah (1) Bagi Pemerintah Daerah. Hasil
penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran tentang pentingnya
gaya kepemimpinan, motivasi dan
komunikasi yang dapat meningkatkan
prestasi kerja pegawai. (2) Bagi kantor
sebagai bahan informasi yang berguna bagi
kantor mengenai pentingnya gaya
kepemimpinan, motivasi serta pentingnya
komunikasi yang dapat meningkatkan
prestasi kerja pegawai. (3) Bagi Peneliti
lain. Berguna sebagai bahan referensi bagi
penelitian di masa mendatang sekalipun
dalam perspektif yang berbeda dan
sekaligus sebagai bahan pembanding bagi
penelitian di masa lalu.
METODE PENELITIAN
Metode dalam penilitian
menggunakan metode kuantitatif. Dalam
penelitian ini yang menjadi populasi adalah
semua staf Biro Kepegawaian di Pemda
Kabupaten Waropen yang berjumlah 56
orang. Penelitian ini menggunakan dua
variabel yaitu variabel bebas (X) dan
variabel terikat (Y). Yang termasuk
variabel bebas dalam penelitian ini adalah
gaya kepemimpinan (X1), motivasi
pimpinan (X2) dan komunikasi (X3).
Sedangkan yang termasuk variabel terikat
pada penelitian ini adalah prestasi kerja
pegawai (Y).
Syarat mutlak untuk mendapatkan
hasil penelitian yang valid dan reliabel,
adalah digunakannya instrumen penelitian
yang valid dan reliabel di dalam
pengumpulan datanya. Untuk menguji
validitas butir-butir angket dilakukan uji
coba instrumen atau disebut dengan
validitas empiris. Hasil uji validitas
dianalisis dengan mengkorelasikan skor
butir dengan skor total menggunakan rumus
korelasi Product Moment, perhitungan
menggunakan bantuan komputer program
SPSS 14. Hasil r hitung dengan rumus di
atas dikonsultasikan dengan r tabel pada
taraf signifikansi 5%. Jika r hitung lebih
besar dari pada r tabel maka test tersebut
dinyatakan valid. Dalam penelitian ini
penentuan keterandalan dilakukan
diantaranya alat pengukur (indikator) yang
mengukur suatu variabel yang sama.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya
bahwa indikator-indikator yang hendak
dilihat keterandalannya setelah sahih, oleh
karena itu dapat dilakukan langkah
selanjutnya yang mengkorelasikan
indikator-indikator yang mengukur suatu
variabel yang sama. Teknik korelasi yang
dipergunakan adalah korelasi product
100
moment yang rumus serta perhitungannya
telah dibahas sebelumnya pada pengujian
kesahihan. Angka korelasi yang diperoleh
adalah indeks keterandalan alat ukur yang
dimaksud. Selanjutnya dibandingkan
dengan nilai kritis tabel korelasi product
moment pada taraf signifikansi 5%. Bila
indeks keterandalan berada di atas nilai
kritis berarti alat pengukur tersebut telah
andal. Sedangkan bila indeks keterandalan
berada di bawah nilai kritis berarti alat
pengukuran itu tidak andal.
Jenis data yang dipakai dalam
penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang
diperoleh langsung dari para responden
yaitu para pegawai di lingkup kerja Kantor
Pemda Kabupaten Waropen. Sedangkan
data sekunder diperoleh dari bagian
Personalia yang ada di lingkup kerja
Kantor Pemda Kabupaten Waropen.
Pengumpulan data dalam penelitian
ini menggunakan metode angket/kuesioner.
Metode ini merupakan cara yang paling
efektif untuk mengumpulkan data yang
akan digunakan dalam penelitan ini.
Sebelum dilakukan analisis data yang
sesuai untuk hipotesis, maka asumsi-asumsi
yang melandasi penggunaan teknik statistik
tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu
dengan menggunakan perangkat tes
parametrik meliputi Uji Normalitas,Uji
Homogenitas dan Uji Multikolinieritas.
Teknik analisis ini digunakan untuk melihat
besarnya pengaruh dua atau lebih variabel
bebas terhadap suatu variabel tergantung.
Adapun persamaan regresinya adalah
sebagai berikut : Y = a + b1X1 + b2X2 +
b3X3…. (Margono, 1997 : 227)
Keterangan :
Y = kriterium
a = harga konstan
b = koefisien prediktor
X1;X2;X3 =variabel bebas gaya
kepemimpinan, motivasi
pimpinan dan komunikasi.
Adapun perhitungan analisis regresi
berganda dilakukan dengan bantuan
program komputer SPSS 14.0.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Rekapitulasi Hasil Pengujian Hipotesis
Adapun hasil pengujian normalitas
data bahwa variabel gaya kepemimpinan
mempunyai nilai chi square hitung sebesar
9,487 yang lebih kecil dari nilai chi square
tabel pada df 6 sebesar 12,592 (9,487 <
12,592). Kemudian variabel motivasi
pimpinan mempunyai nilai chi square
hitung sebesar 17,592 yang lebih kecil dari
nilai chi square tabel pada df 11 sebesar
19,675 (17,592 < 19,675), variabel
komunikasi mempunyai nilai chi square
hitung sebesar 16,488 yang lebih kecil dari
nilai chi square tabel pada df 10 sebesar
18,307 (16,488 < 18,307) dan yang terakhir
variabel prestasi kerja pegawai yang
mempunyai nilai chi square hitung sebesar
23,459 yang lebih kecil dari nilai chi square
tabel pada df 15 yaitu sebesar 24,996
(23,459 < 24,996).
Hasil pengujian homogenitas
variabel menunjukkan bahwa nilai
probabilitas pada masing-masing variabel
yaitu variabel gaya kepemimpinan (X1)
sebesar 0,464, variabel motivasi pimpinan
(X2) mempunyai nilai probabilitas sebesar
0,295, variabel komunikasi (X3)
mempunyai nilai probabilitas sebesar 0,133
dan variabel prestasi kerja pegawai (Y)
mempunyai nilai probabilitas sebesar 0,194
yang kesemuanya mempunyai nilai
probabilitas yang lebih besar dari taraf
signifikansi 0,05.
Hasil pengujian multikolinieritas
melalui SPSS 14 dapat diketahui bahwa
nilai VIF dari masing-masing variabel
bebas lebih kecil dari 5 sehingga dapat
disimpulkan bahwa tidak terdapat
multikolinieritas pada model yang
digunakan.
Untuk mengetahui bagaimana
hubungan antara variabel bebas terhadap
variabel terikat dilakukan dengan teknik
analisis regresi linier berganda. Berikut ini
akan disajikan rekapitulasi hasil
perhitungan regresi berganda.
101
Tabel 1
Rekapitulasi Regresi Berganda
Variabel Koefisien
Regresi
t hitung α =
0,05 P r Parsial
Gaya kepemimpinan (X1) 0,434 2,843 0,041 0,404
Motivasi pimpinan (X2) 0,411 2,653 0,018 0,337
Komunikasi (X3) 0,383 2,327 0,037 0,307
Constant = 52,667
R = 0,645
R squared = 0,496
Fratio = 3,538
P = 0,000
Sumber : Hasil Perhitungan SPSS Release 14.0
Berdasarkan hasil perhitungan di
atas, maka diperoleh persamaan regresi
linier berganda sebagai berikut : =
52,667 + (0,434) X1 + (0,411) X2 +
(0,383) X3
Pengujian Hipotesis Pertama
Secara statistik, hipotesis dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Ha : py1 > 0 : Terdapat pengaruh yang
signifikan gaya
kepemimpinan terhadap
prestasi kerja pegawai
negeri sipil di lingkup
Kantor Pemda Kabupaten
Waropen.
Ho : py1=0 : Tidak terdapat pengaruh
yang signifikan gaya
kepemimpinan terhadap
prestasi kerja pegawai
negeri sipil di lingkup
Kantor Pemda Kabupaten
Waropen.
Pengujian Hipotesis Kedua
Secara statistik, hipotesis dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Ha : py2 > 0 : Terdapat pengaruh yang
signifikan motivasi
pimpinan terhadap prestasi
kerja pegawai negeri sipil
di lingkup Kantor Pemda
Kabupaten Waropen.
Ho:py2= 0 : Tidak terdapat pengaruh
yang signifikan motivasi
pimpinan terhadap prestasi
kerja pegawai negeri sipil
di lingkup Kantor Pemda
Kabupaten Waropen.
Pengujian Hipotesis Ketiga
Secara statistik, hipotesis dapat
dijelaskan sebagai berikut :
Ha : py3 > 0 : Terdapat pengaruh yang
signifikan komunikasi
terhadap prestasi kerja
pegawai negeri sipil di
lingkup Kantor Pemda
Kabupaten Waropen.
Ho:py3=0 : Tidak terdapat pengaruh
yang signifikan komunikasi
terhadap prestasi kerja
pegawai negeri sipil di
lingkup Kantor Pemda
Kabupaten Waropen.
Pengujian Hipotesis Keempat
Secara statistik, hipotesis dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Ha : py1,2,3 > 0 : Terdapat pengaruh yang
signifikan gaya
kepemimpinan, motivasi
pimpinan dan
komunikasi secara
bersama-sama terhadap
prestasi kerja pegawai
negeri sipil pada di
Y
102
lingkup Kantor Pemda
Kabupaten Waropen.
Ho : py1,2,3 = 0 : Tidak terdapat pengaruh
yang signifikan gaya
kepemimpinan, motivasi
pimpinan dan
komunikasi secara
bersama-sama terhadap
prestasi kerja pegawai
negeri sipil di lingkup
Kantor Pemda
Kabupaten Waropen.
Interpretasi Hasil Persamaan Regresi
Berdasarkan hasil persamaan regresi
yang telah dikemukakan diatas, dapat
diketahui bahwa dari ketiga variabel bebas
yang diteliti diketahui bahwa variabel gaya
kepemimpinan (X1) mempunyai pengaruh
yang dominan terhadap prestasi kerja
pegawai yaitu sebesar bX1 = 0,434,
kemudian diikuti dengan variabel motivasi
pimpinan (X2) dengan koefisien regresi
sebesar bX2 = 0,411 dan yang terakhir
variabel komunikasi (X3) dengan koefisien
regresi sebesar bX3 = 0,383.
Interpretasi Pengujian Hipotesis
Pertama
Dari hasil pengujian hipotesis yang
telah dilakukan tersebut, maka interpretasi
hasil pengujian hipotesis pertama diketahui
bahwa koefisien regresi partial diketahui
sebesar 0,404 yang menunjukkan bahwa
variabel gaya kepemimpinan memberikan
kontribusi pengaruh sebesar 40,4%
terhadap variabel prestasi kerja pegawai.
Sedangkan untuk mengetahui tingkat
signifikansi variabel bebas terhadap
variabel terikat Y dapat dilihat pada hasil t
ratio.
Interpretasi Pengujian Hipotesis Kedua
Berdasarkan hasil pengujian
hipotesis yang telah dilakukan tersebut,
maka interpretasi hasil pengujian hipotesis
kedua diketahui koefisien regresi partial
sebesar 0,337 yang menunjukkan bahwa
variabel motivasi pimpinan memberikan
kontribusi pengaruh sebesar 33,7%
terhadap variabel prestasi kerja pegawai.
Interpretasi Pengujian Hipotesis Ketiga
Berdasarkan hasil pengujian
hipotesis yang telah dilakukan tersebut,
maka interpretasi hasil pengujian hipotesis
ketiga diketahui koefisien regresi partial
sebesar 0,307 yang menunjukkan bahwa
variabel komunikasi memberikan kontribusi
pengaruh sebesar 30,7% terhadap variabel.
Interpretasi Pengujian Hipotesis
Keempat
Dari hasil analisis dapat diketahui
bahwa signifikansi Fhitung adalah sebesar
0,000 yang lebih kecil dari α = 0,05. Hal ini
berarti hipotesis nihil ditolak dan hipotesis
alternatif diterima (SigFhitung = 0,000 < α =
0,05).
Dengan kata lain bahwa variabel
gaya kepemimpinan, motivasi dan
komunikasi secara bersama-sama memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap variabel
prestasi kerja pegawai, sehingga hipotesis
nihil ditolak dan hipotesis alternatif
diterima.
PEMBAHASAN
Pengaruh Gaya Kepemimpinan
Terhadap Prestasi Kerja Pegawai Negeri
Sipil Di Lingkup Kerja Kantor Pemda
Kabupaten Waropen
Tujuan pertama dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh gaya
kepemimpinan terhadap prestasi kerja
pegawai negeri sipil di lingkup kerja Kantor
Pemda Kabupaten Waropen. Dari hasil
analisis yang telah dikemukan di atas
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
yang signifikan gaya kepemimpinan
terhadap prestasi kerja pegawai, yang
ditunjukkan dengan nilai probabilitas thitung
lebih kecil dari α=0,05 (p= 0,041 < 0,05).
Oleh karena itu gaya kepemimpinan
sangat berperan dalam meningkatkan
prestasi kerja pegawai, hal ini dikarenakan
kemampuan setiap pimpinan akan sangat
mempengaruhi bawahan, baik dalam
mengembangkan pola perilaku, baik berupa
tingkah laku, tindakan, maupun cara-cara
dalam keseluruhan kegiatan yang
digunakan kantor untuk mencapai
keberhasilan suatu kantor.
103
Pengaruh Motivasi Pimpinan Terhadap
Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil Di
Lingkup Kerja Kantor Pemda
Kabupaten Waropen
Dari hasil analisis yang telah
dikemukan di atas menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan motivasi
pimpinan terhadap prestasi kerja pegawai,
yang ditunjukkan dengan nilai probabilitas
thitung lebih kecil dari α=0,05 (p= 0,018 <
0,05).
Hal ini berarti seseorang yang
termotivasi tinggi, dia dengan penuh
kesadaran dan tanggungjawab akan
melakukan tugas yang diembannya dengan
lebih baik, dan berusaha lebih keras
memperbaiki kualitas kinerjanya, dengan
mencari metode kerja baru yang lebih
mudah diterima oleh pegawai.
Pengaruh Komunikasi Terhadap
Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil Di
Lingkup Kerja Kantor Pemda
Kabupaten Waropen
Tujuan ketiga dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh
komunikasi terhadap prestasi kerja pegawai
negeri sipil di lingkup kerja Kantor Pemda
Kabupaten Waropen. Dari hasil analisis
yang telah dikemukan di atas menunjukkan
bahwa terdapat pengaruh yang signifikan
komunikasi terhadap prestasi kerja
pegawai, yang ditunjukkan dengan nilai
probabilitas thitung lebih kecil dari α=0,05
(p= 0,037 < 0,05).
Melalui komunikasi yang efektif
dalam kantor, pihak pimpinan dapat
mengetahui saran, tanggapan terhadap
kebutuhan pegawai sehingga dapat
mengambil suatu kebijaksanaan untuk
mencapai tujuan kantor. Sedangkan pihak
pegawai dapat memahami pekerjaan
mereka dengan baik, dapat melakukan
koordinasi dengan atasan dan rekan kerja
sehingga tercipta rasa keterikatan dan
loyalitas pegawai terhadap kantor.
Pengaruh Gaya Kepemimpinan,
Motivasi dan Komunikasi Secara
Bersama-Sama Terhadap Prestasi Kerja
Pegawai Negeri Sipil Di Lingkup Kerja
Kantor Pemda Kabupaten Waropen
Tujuan keempat dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh gaya
kepemimpinan, motivasi pimpinan dan
komunikasi secara bersama-sama terhadap
prestasi kerja pegawai negeri sipil di
lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten
Waropen. Dari hasil analisis yang telah
dikemukakan di atas menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh yang signifikan gaya
kepemimpinan, motivasi pimpinan dan
komunikasi secara bersama-sama terhadap
prestasi kerja pegawai negeri sipil di
lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten
Waropen, yang ditunjukkan dengan
signifikansi Fhitung adalah sebesar 0,000
yang lebih kecil dari α = 0,05 (SigFhitung =
0,000 < α = 0,05).
Namun demikian, perlu juga
dipahami bahwa gaya kepemimpinan dan
motivasi pimpinan bukanlah merupakan
satu-satunya cara meningkatkan prestasi
kerja pegawai, tetapi ada komunikasi.
Dalam melaksanakan tugasnya, pegawai
tidak lepas dari komunikasi dengan sesama
rekan sekerja, dengan atasan dan dengan
bawahan. Komunikasi yang baik dapat
menjadi sarana yang tepat dalam
meningkatkan kinerja pegawai. Melalui
komunikasi, pegawai dapat meminta
petunjuk kepada atasan mengenai
pelaksanaan tugas. Melalui komunikasi
juga pegawai dapat saling bekerja sama satu
sama lain.
PENUTUP
Dari hasil analisis yang telah
dilakukan dalam penelitian ini dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, Terdapat pengaruh yang
signifikan gaya kepemimpinan terhadap
prestasi kerja pegawai negeri sipil di
lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten
Waropen. Kedua, Terdapat pengaruh yang
signifikan motivasi pimpinan terhadap
prestasi kerja pegawai negeri sipil di
lingkup kerja Kantor Pemda Kabupaten
Waropen. Ketiga, Terdapat pengaruh yang
104
signifikan komunikasi terhadap prestasi
kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja
Kantor Pemda Kabupaten Waropen.
Keempat, Terdapat pengaruh yang
signifikan gaya kepemimpinan, motivasi
pimpinan dan komunikasi terhadap prestasi
kerja pegawai negeri sipil di lingkup kerja
Kantor Pemda Kabupaten Waropen.
Berdasarkan kesimpulan di atas,
maka beberapa saran yang dapat diajukan
dalam penelitian ini sebagai berikut.
Pertama, Hendaknya pimpinan memiliki
gaya kepemimpinan yang tangguh. Kedua,
Hendaknya mempunyai kemampuan dalam
memberikan motivasi yang tepat dan lebih
banyak. Ketiga, Pimpinan perlu
memperhatikan komunikasi pegawai
dengan memberikan penjelasan tentang apa
yang harus dilakukan pegawai, seberapa
baik mereka mengerjakannya dan apa yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan
kinerja jika sedang berada di bawah
standar. Keempat, Hasil penelitian ini dapat
dijadikan sebagai acuan pada penelitian
pengembangan dan penelitian lanjutan
dengan menambahkan atau
mengembangkan variabel lain atau aspek-
aspek lain yang tidak termasuk dalam
penelitian ini yang berhubungan dengan
prestasi kerja pegawai.
DAFTAR PUSTAKA
As‟ad, M., 1995. Psikologi Industri.
Yogyakarta:Liberty
Adams, H.F and Dickey, F.G. 1990. Basic
Prinsiples of Supervision. New
York : American Book Company.
Arikunto, Suharsimi., 1990. Manajemen
Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.
___________________1997. Metodologi
Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Briggs, T.H. 1991., Improving Instruction.
New York : Mc. Millan Company.
Black, James A. dan Dean J. Champion.
1994. Metode dan Masalah
Penelitian Sosial. Bandung:
Eresco.
Cahyono, B.T., 1996. Manajemen Sumber
Daya Manusia. Jakarta : Badan
Penerbit IPWI.
Charter, V.G. 1998., Dictionary of
Education. Fourth edition. New
York : Mc-Graw-Hill.
Cherrington, D.J., 1994. Organizational
Behavior The Management of
Individual and Organizational
Performance. Second edition.
Needham Heights, Massachusetts.
Dessler, G., 1986. Manajemen Personalia.
(Edisi Ketiga) (Terjemahan oleh
Agus Dharma). Jakarta: Erlangga.
Djailani. 1984. Pengaruh Supervisi Kepala
Dinas Terhadap Kinerja Pegawai di
Dinas Pertanian Kabupaten
Lamongan. Tesis Magister
Administrasi. PPs STIE Widya
Jayakarta, Jakarta.
Dharma, Agus., 1992. Manajemen Perilaku
Organisasi; Pendayagunaan
Sumber Daya Manusia. Edisi
Keempat. Jakarta : Penerbit
Erlangga.
Fine, S. A. 1986. Job Analysis. Dalam R.
A. Berk (Ed.), Performance
Assessment. Baltimore: The John
Hopkins University Press.
Gusnaldi. 2004. Analisis Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Kinerja
Karyawan PT. KAI Madiun.
Skripsi. Fakultas Ekonomi. PPs
STIE Widya Jayakarta, Jakarta.
Gomes, F.C., 2000. Manajemen Sumber
Daya Manusia. Yogyakarta : Andi
Offset.
Hasibuan, M.S.P., 2003. Manajemen
Sumber Daya Manusia. Jakarta :
Bumi Aksara.
Hasan, Z. M., 1991. Jenis dan Rancangan
Penelitian Kuantitatif. Malang :
Pusat Penelitian IKIP.
Handoko, T. Hani., 1993. Manajemen
Personalia dan Sumber Daya
Manusia. Yogyakarta : BPFE.
Halphin, F., 1991. Educational
Administration. New York :
Random House Inc.
Purwanto, N., 2001. Administrasi dan
Supervisi Pimpinan. Cet-13.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Pidarta, Made., 1995. Manajemen
Pemerintahan Indonesia. Jakarta:
Bina Aksara.
105
Rifai, M., 1992. Supervisi Pimpinan. Edisi
keempat. Bandung : Penerbit
Jemmars.
Sarwono, Jonathan., 2006. Analisis Data
Penelitian Menggunakan SPSS 14.
CV. Andi Offset.
Sudjana, Nana., 2000. Teori-teori
Pelaksanaan Tugas. Jakarta :
Lembaga Penerbit Fakultas
Eknomi UI.
Sudrajat. 2001. Analisis Orientasi
Kepemimpinan dan Pemberian
Motivasi Kerja Pegawai di Instansi
Kesdam V Brawijaya. Tesis
Magister Administrasi Publik. PPs
STIE Widya Jayakarta, Jakarta.
Singodimejo, M., 1999. Manajemen
Sumber Daya Manusia. Jakarta :
AIMI.
Siagian, S., 2002. Kiat Meningkatkan
Produktivitas Kerja. Jakarta :
Rineka Cipta.
La Sulo, S.L., 1991. Pendekatan dan
Teknik-teknik Supervisi Klinis.
Cet-10. Jakarta: Departemen P dan
K, Ditjen Pend. Tinggi, PPLPTK.
UNISMA. 2012. Metodologi Penelitian.
Malang.
Maeir, N.R.F., 1965. Designing Training
Programs. The Critical Evant
Model : Addison Wesley
Publishing Company. California
London.
Mataheru, F. 1995. Supervisi Kantor.
Surabaya : Penerbit Usaha
Nasional.
Mohyi, Ach., 1996. Teori dan Perilaku
Organisasi. UMM Pres. Surabaya:
Rajasa.
Mulyasa., 2002. Menjadi Pimpinan yang
Profesional. Bandung : Remaja
Rosda Karya.
Nawawi, H., 1997. Administrasi
Pemerintahan. Jakarta : PT. Toko
Gunung Agung.
Owens, R.G., 1997. Organizational
Behavior In Educatio. New Jersey:
Prentice Hall Inc. Englewood
Cliffs..
Wahjosumidjo., 1992. Kepemimpinan dan
Motivasi. Jakarta : Ghalia
Indonesia.
Wiyono. 1999. Analisis Hubungan Gaya
Kepemimpinan Kepala Dinas,
Upah insebtif dan Beban Kerja
Terhadap Motivasi Kerja Pegawai
Pemda Kabupaten Lamongan.
Skripsi Administrasi Publik. PPs
STIE Widya Jayakarta, Jakarta.
106
DAMPAK PENGALAMAN KERJA TERHADAP KINERJA PEGAWAI BADAN
PENYULUHAN PERTANIAN, PERKEBUNAN, PETERNAKAN, PERIKANAN DAN
KEHUTANAN (BP4K) KABUPATEN WAROPEN
(BP4K) KABUPATEN WAROPEN
1Henriko Arisoy,
2Masykuri Bakri,
3Nurul Umi Ati
1Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik 2, 3
Dosen Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik
Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
Jl. MT. Haryono 193 Malang, 65144
Abstrak
Tujuan penelitian ini antara lain (1) Mendiskripsikan dampak dari faktor pengalaman
kerja terhadap kinerja pegawai Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan, Peternakan,
Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen. (2) Mendiskripsikan upaya peningkatan
kinerja pegawai melalui promosi jabatan pada Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan,
Peternakan, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen. Populasi yang digunakan
pada penelitian ini adalah seluruh Pegawai yang ada di Badan Pelaksana Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dank ehutanan (BP4K) Kabupaten Waropen. Sampel pada penelitian
ini ditetapkan sebanyak 20 orang Pegawai secara proporsional pada Badan Pelaksana
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Waropen. Dalam
penelitian ini peneliti menggunakan 2 maca jenis data, yaitu data primer dan data sekunder.
Pengumpulan data yang utama dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (indepth
interview) atau wawancara kualitatif, dokumentasi dan observasi. Pelaksanaan teknik
pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Ada empat kriteria yang
dikembangkan oleh Lincoln dan Guba (1985) dalam Moleong (2009:324-342), yaitu derajat
kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability) dan
kepastian (confirmability). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pengalaman kerja
dapat mempengaruhi meningkatnya Kinerja Pegawai pada Badan Pelaksana Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Waropen, yang ditunjukkan dengan
adanya responden yang lebih banyak memilih meningkatnya kinerja pegawai dari
pengalaman kerja dan promosi jabatan dalam meningkatkan kinerja Pegawai pada Badan
Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Waropen.
kata kunci : pengalaman kerja, kinerja pegawai
Abstract
The purpose of this study include (1) Describing the impact of factors on the
performance of employee work experience Agricultural Extension Agency, Agriculture,
Animal Husbandry, Fisheries and Forestry Waropen. (2) To describe efforts to improve
employee performance through the promotion of the Agency for Agricultural Extension,
Agriculture, Animal Husbandry, Fisheries and Forestry Waropen. The population used in this
study are all existing employees in the Executive Agency for Agricultural Extension, Fisheries
dank ehutanan (BP4K) Waropen. The samples in this study are set as many as 20 employees
in proportion to the Executive Agency for Agricultural Extension, Fisheries and Forestry
(BP4K) Waropen. In this study the researchers used two maca types of data, namely primary
data and secondary data. Primary data collection in this study were in-depth interviews or
107
qualitative interviews, documentation and observation. Implementation of inspection
techniques based on certain criteria. There are four criteria developed by Lincoln and Guba
(1985) in Moleong (2009:324-342), the degree of confidence (credibility), transferability,
dependability and certainty (confirmability). The results showed that work experience factors
can affect employee performance increase in Counseling Executive Agency of Agriculture,
Fisheries and Forestry (BP4K) Waropen, as indicated by the respondents are more likely to
choose the improved performance of the employees and the promotion of work experience in
improving the performance of employees in Education Executive Agency of Agriculture,
Fisheries and Forestry Waropen.
keywords: work experience, employee performance.
PENDAHULUAN Perkembangan lingkungan strategis
nasional dan internasional yang dihadapi
dewasa ini dan di masa datang
mensyaratkan perubahan paradigma
kepemerintahan, pembaharuan sistem
kelembagaan, dan peningkatan kompetensi
sumber daya manusia dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan bangsa serta hubungan antar
bangsa yang mengarah pada
terselenggaranya kepemerintahan yang baik
(good governance). Berbagai pengaruh
perubahan yang terjadi akibat reformasi
menuntut organisasi baik organisasi swasta
maupun pemerintah untuk mengadakan
inovasi-inovasi guna menghadapi tuntutan
perubahan dan berupaya menyusun
kebijakan yang selaras dengan perubahan
lingkungan. Suatu organisasi haruslah
mampu menyusun kebijakan yang tepat
untuk mengatasi setiap perubahan yang
akan terjadi. Keberhasilan penyusunan
kebijakan yang menjadi perhatian adalah
Manajemen yang menyangkut
pemberdayaan sumber daya manusia.
Sebuah ironi apabila otonomi hanya
menjadi sarang kejahatan yang sama.
Dewasa ini pembangunan bidang
pemerintahan khususnya dalam rangka
meningkatkan pelayanan masyarakat
semakin banyak mendapat sorotan. Hal ini
disebabkan karena kehidupan masyarakat
yang semakin modern, sehingga kualitas
pelayanan terhadap masyarakat semakin
dituntut pada peningkatan kualitas seluruh
tatanan administrasi pemerintahan,
termasuk peningkatan kemampuan dan
disiplin, pengabdian dan
keteladanan.Kenyataan di atas menuntut
para pejabat pemerintah, agar semakin
mampu melaksankana tugas pemerintah dan
pembangunan dengan sebaik-baiknya,
hususnya dalam melayani, mengayomi serta
menumbuhkan prakarsa dan peran aktif
masyarakat dalam pembangunan.
Keberhasilan suatu organisasi dalam
mencapai tujuannya sangat ditentukan oleh
sumber daya manusia atau pegawai yang
kompeten. Dalam organisasi sumber daya
manusia yang baik dapat dilihat dari
tingkah laku setiap orang yang baik,
hubungan atau kerja sama yang baik setiap
anggotanya, penataan susunan organisasi
secara rapi, dan prosedur kerja dalam roda
organisasi, sedangkan kompetensi pegawai
adalah suatu uraian keterampilan,
pengetahuan dan sikap yang utama
diperlukan untuk mencapai kinerja yang
efektif dalam pekerjaan. Efektif
mengandung pengertian bila suatu tujuan
dapat dicapai dengan baik dan benar.
Pembentukan dan pembinaan
Sumber Daya Manusia (SDM) yang
berkualitas menghadapi tantangan yang
cukup berat dan sarat dengan keterbatasan,
khususnya dalam menyiapkan kualitas
sumber daya manusia yang mampu
bersaing di pasar global. Kondisi ini
menjadi semakin berat karena hingga saat
ini Indonesia belum mampu keluar
sepenuhnya dari krisis multi dimensi yang
terjadi sejak tahun 1997 dan sangat
berpengaruh pada berbagai aspek
kehidupan. Kualitas SDM di Indonesia
belum menunjukkan hasil yang belum
sesuai tuntutan jaman. Organisasi sangat
berkepentingan dengan sumber daya
108
manusia, hal ini terlihat dari pernyataan
Werther dan Davis (dalam Marwansyah dan
Mukaram, 1999, h. 5): “organisasi hanya
dapat tumbuh dan berkembang melalui
perhatian yang sungguh-sungguh kepada
kebutuhan-kebutuhan para karyawan”.
Agar organisasi dapat berkembang dan
mampu mencapai tujuannya, maka perlu
diciptakan iklim organisasi yang kondusif.
Pentingnya iklim organisasi yang kondusif
bagi pengembangan sumber daya manusia
dinyatakan Randy et.al (2002, h. 132-133):
“The climate within organization is an
important factor in human resource
development success. If the climate is not
conducive to human resource development,
designing and implementing a program will
be difficult“.
Berbagai program pengembangan
SDM telah dicanangkan dalam rangka
pembentukan SDM berkualitas dan
profesional serta mampu bersaing di pasar
bebas, namun sampai dengan saat ini belum
tampak tanda-tanda SDM Indonesia mampu
bersaing dengan SDM negara-negara lain.
Dengan demikian dapat diduga dalam
jangka pendek, Indonesia akan sulit
bersaing pada berbagai aspek dengan
negara-negara disekitarnya, karena SDM
yang dimilikinya masih lemah. Untuk itu
perlu dibangun SDM Indonesia secara
berkesinambungan.
Kinerja atau prestasi kerja pegawai
terlihat dari keseriusan mereka dalam
melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya. Salah satu indikasi dari
keseriusan menjalankan tugas tersebut
adalah kehadiran Pegawai dalam
menjalankan tugas yang menjadi tanggung
jawabnya. Kinerja (performance) menurut
William (1995, h. 41) adalah suatu tampilan
kerja yang diperlihatkan seseorang berupa
hasil kerja dalam satu satuan waktu.
Sementara Gibson Ivancevich dan Donelly
(1996, h. 118) menyatakan bahwa kinerja
adalah tingkat keberhasilan dalam
melaksanakan tugas dan kemampuan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Cardoso Gomes (1996, h. 142) menyatakan
kinerja adalah catatan hasil produksi pada
fungsi pekerjaan yang spesifik atau
aktivitas selama periode waktu tertentu.
Pegawai sebagai ujung tombak
penyelenggara kepentingan dan aspirasi
rakyat merupakan orang yang paling dekat
hubungannya dengan masyarakat. Fungsi
dan peran pegawai sebagai pelayan
masyarakat memiliki arti yang strategis
dalam pencapaian tujuan yang dikehendaki
oleh masyarakat. Oleh karena itu pegawai
harus mampu menunjukkan prestasi kerja
dan dapat melaksanakan tugas-tugas yang
diberikan manajer (Pimpinan), khususnya
dalam melaksanakan tugas profesi pegawai
yakni sebagai abdi negara yang
memberikan pelayanan pada masyarakat.
Selain dipengaruhi oleh faktor
internal seperti latar belakang pendidikan,
pengalaman kerja, motivasi kerja ataupun
kepuasan atas balas jasa dari pekerjaannya,
kinerja atau prestasi kerja Pegawai
dipengaruhi pula oleh faktor eksternal.
Faktor eksternal yang diduga kuat
memberikan pengaruh terhadap kinerja
pegawai adalah iklim organisasi.
Keberadaan pegawai di kantor tidak
terlepas dari iklim organisasi tempat ia
menjalankan tugasnya. Iklim organisasi
dapat memberikan pengaruh positif atau
negatif kepada pegawai, serta dapat pula
mempengaruhi hubungan personal di kantor
tersebut. Hubungan-hubungan tersebut
meliputi hubungan antar pegawai, pegawai
dengan pimpinan, dan yang paling
mendasar adalah hubungan pegawai dengan
masyarakat.
Pegawai yang mempunyai
pengalaman kerja yang memadai, secara
positif akan mendukung kemampuannya
dalam cara melaksanakan tugas yang
menjadi tanggung jawabnya. Pegawai yang
berpengalaman akan merasa lebih mudah
dalam menghadapi masalah-masalah dalam
proses pelaksanaan tugas yang berkaitan
dengan pelayanan terhadap masyarakat.
Berangkat dari asumsi penulis
paparkan diatas sangat relevan dengan
kondisi perkembangan pengalaman kerja
terhadap kinerja pegawai pada Badan
Penyuluhan Pertanian, Perkebunan,
Peternakan, Perikanan dan Kehutanan
Kabupaten Waropen sehingga penulis
merasa perlu untuk melakukan penelitian
lebih lanjut dengan judul “Dampak
109
Pengalaman Kerja Terhadap Kinerja
Pegawai Badan Penyuluhan Pertanian,
Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan
Kehutanan (BP4K) Kabupaten Waropen”
Berdasarkan uraian di atas dapat
dirumuskan permasalahan-permasalahan
sebagai berikut, (1) Apakah dampak dari
faktor pengalaman kerja terhadap kinerja
Pegawai Badan Penyuluhan Pertanian,
Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan
Kehutanan Kabupaten Waropen? (2)
Bagaimana upaya peningkatan kinerja
pegawai melalui promosi jabatan pada
Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan,
Peternakan, Perikanan dan Kehutanan
Kabupaten Waropen? Adapun tujuan
penelitian ini antara lain (1)
Mendiskripsikan dampak dari faktor
pengalaman kerja terhadap kinerja pegawai
Badan Penyuluhan Pertanian, Perkebunan,
Peternakan, Perikanan dan Kehutanan
Kabupaten Waropen. (2) Mendiskripsikan
upaya peningkatan kinerja pegawai melalui
promosi jabatan pada Badan Penyuluhan
Pertanian, Perkebunan, Peternakan,
Perikanan dan Kehutanan Kabupaten
Waropen. Hasil penelitian diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai berikut (1)
Secara konseptual, hasil penelitian
diharapkan memberikan dukungan terhadap
konsep dan teori yang berkaitan dengan
manajemen sumber daya manusia. (2)
Secara praktis, hasil penelitian diharapkan
dapat memberikan masukan kepada
Pegawai Badan Penyuluhan Pertanian,
Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan
Kehutanan Kabupaten Waropen atas
kinerja yang telah diraih untuk dijadikan
bahan referensi dalam rangka meningkatkan
kemampuan profesi dan prestasi kerja dan
Institusi (Badan Penyuluhan Pertanian,
Perkebunan, Peternakan, Perikanan dan
Kehutanan Kabupaten Waropen),
khususnya Pimpinan dalam rangka
menyusun dan menetapkan strategi
manajemen yang mengarah kepada
perbaikan dan peningkatan pengelolaan
organisasi.
METODE PENELITIAN
Pendekatan yang dipakai dalam
penelitian adalah pendekatan kualitatif.
Penelitian ini dilaksanakan di BP4K
Kabupaten Waropen. Subjek dalam
penelitian ini adalah Kepala Badan
Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan
dan Kehutanan Kabupaten Waropen,
Kepala BPP Sawara Jaya, Tokoh
Masyarakat/Kepala Kampung.
Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan 2 maca jenis data, yaitu (1)
Data Primer dari hasil wawancara
mendalam terhadap informen kunci, (2)
Data sekunder adalah data pendukung yang
bersumber dari pihak-pihak tertentu
berhubungan dengan penelitian ini seperti
data laporan penelitian dan refrensi
pendukung, dokumentasi yang berkaitan
dengan objek penelitian.
Pengumpulan data yang utama
dalam penelitian ini adalah wawancara
mendalam (indepth interview) atau
wawancara kualitatif, dokumentasi dan
observasi. Dalam konteks penelitian ini
penulis menggunakan interview bebas
Metode ini digunakan untuk mengetahui
keterangan atau data tentang sekitar
problematika Faktor Pengalaman Kerja
Terhadap Kinerja Pegawai Badan Pelaksana
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan Kabupaten Waropen.
Dokumentasi pada penelitian ini dilakukan
dengan cara pencacatan dokumen maupun
data lain yang relevansi atau berkaitan
dengan Faktor Pengalaman Kerja Terhadap
Kinerja Pegawai Badan Pelaksana
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan Kabupaten Waropen. Tahap
Observasi dilakukan dengan cara
mendatangikantor Badan Pelaksana
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan Kabupaten Waropen .
Untuk menetapkan keabsahan
(trustworthiness) data diperlukan teknik
pemeriksaan. Pelaksanaan teknik
pemeriksaan didasarkan atas sejumlah
kriteria tertentu. Ada empat kriteria yang
dikembangkan oleh Lincoln dan Guba
(1985) dalam Moleong (2009:324-342),
yaitu derajat kepercayaan (credibility),
keteralihan (transferability),
kebergantungan (dependability) dan
kepastian (confirmability).
Data hasil penelitian tentang Faktor
110
Pengalaman Kerja Terhadap Kinerja
Pegawai Badan Pelaksana Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
Kabupaten Waropen sehingga peneliti
mereduksi dalam beberapa bagian yang
dianggap penting, terkait dengan
pengalaman kerja dan kinerja pegawai.
Dalam mereduksi data ini bertujuan untuk
mengetahui perkembangan Faktor
Pengalaman Kerja Terhadap Kinerja
Pegawai Badan Pelaksana Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
Kabupaten Waropen. Proses terakhir dalam
analisis menurut Miles and Humberman
adalah penarikan kesimpulan dan
verifikasi.
HASIL PENLITIAN DAN
PEMBAHASAN
Terhadap Kinerja Pegawai Badan
Penyuluhan Pertanian, Perkebunan,
Peternakan, Perikanan Dan Kehutanan
(Bp4k) Kabupaten Waropen
Hasil Penelitian dilakukan dengan
wawancara terhadap 1). Kepala Badan
Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan
dan Kehutanan Kabupaten Waropen yaitu
(Bapak Korinus Reri SP, MM, 2). Kepala
BPP Sawar Jaya yaitu Bapak Sedari N.
Wonatorey,SST; dan 3). Kepala Kampung
Rorisi selaku tokoh Masyarakat yaitu
Bapak Maklon Wonatorei. Hasil
Wawancara dengan Bapak Kepala Badan
Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan
dan Kehutanan Kabupaten Waropen adalah
sebagai berikut: “Pegawai Badan
Pelaksana Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan Kabupaten
Waropen pada umumnya merupakan
pegawai yang memiliki pengalaman di
semua sub sector pertanian yaitu pertanian,
peternakan perkebunan, perikanan dan
kehutanan, dengan demikian diharapkan
sejak berdirinya Badan Pelaksana
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan Kabupaten Waropen Tahun
2008 maka adanya perubahan-
perubahandalam peningkatan produksi
pertanian yang menjadi tolok ukur bagi
peningkatan kinerja pegawai,
sehinggaperlahan-lahan harga pasar dapat
diimbagi dengan peningkatan harga
produksi pertanian”.
Wawancara dengan Bapak Kepala
BPP Sawara Jaya yaitu Bapak Sedar
Wonatorei, SP.MM adalah sebagai berikut:
“Sebagian Besar Pegawai Badan
Pelaksana Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan Kabupaten
Waropen adalah Pegawai yang masa
kerjanya kurang dari sepuluh tahun
terutama bagi Penyuluh-penyuluh
pertanian, hal ini menunjukan kepada kita
bahwa untuk meningkatkan produksi
pertanian terutama ketahanan pangan local
yang handal terutama untuk pemenuhan
kebutuhan keluarga belum dapat terwujud
maksimal seperti yang kita harapkan. Hal
ini ditandai dengan tingginya harga pasar
hasil-hasil pertanian. Berpulang dari
pengalaman tersebut maka dapat
dikategorikan bahwa kurangnya
pemahaman dan pembekalan serta
pelatihan-pelatihan bagi penyuluh untuk
pengembangan dirinya akan mempengaruhi
transfer informasi kepada masyarakat
untuk lebih menggunakan tekhnologi
pertanian tepat guna dalam rangka
peningkatan produksi hasil pertanian.
Diharapkan semakin banyak kegiatan
penyuluhan di sector pertanian,
peternakan, perkebunan, perikanan dan
kehutanan dapat memberikan kontribusi
positif bagi peningkatan produksi
pertanian. Semakin banyak kegiatan
tersebut dan seiring dengan masa kerja
maka penyuluh lebih solid dalam
meningkatkan kinerja penyuluh dalam
implementasinya di masyarakat”.
Lamanya masa kerja Pegawai pada
Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan Kabupaten
Waropen masa kerja pegawai sangat
memberikan dampak kinerja atau prestasi
kerja, hal ini ditandai dengan lama masa
kerja pegawai berarti semakin lama
berpengalaman dan lebih profesional dalam
menangani seluruh pekerjaan dengan hasil
yang baik.
111
Upaya Peningkatan Kinerja Pegawai
Badan Penyuluhan Pertanian,
Perkebunan, Peternakan, Perikanan Dan
Kehutanan (Bp4k) Kabupaten Waropen
Kinerja yang baik adalah kinerja
yang mengikuti tata cara atau prosedur
sesuai standar yang telah ditetapkan. Akan
tetapi didalam kinerja tersebut harus
memiliki beberapa kriteria agar
meningkatkan produktifitas sehingga apa
yang diharapkan bisa berjalan sesuai apa
yang di inginkan. Untuk meningkatkan
kinerja yang baik harus introspeksi diri
demi tercapainya kinerja yang lebih baik
kedepannya, bekerja sesuai posisi, porsi,
dan jobnya masing-masing. Namun
demikian hal tersebut tidaklah semudah
membalikan telapak tangan tetapi mesti ada
peran langsung ke ikut sertaan manajemen
untuk bisa mengontrol dan memberikan
teknik cara agar bagaimana bisa
terjaminnya mutu dan kualitas sehingga
karyawan bisa dengan mudah bekerja tanpa
ada rasa terbebenani dan hubungan antara
pihak manajemen dengan bawahan semakin
kuat.
Adapun upaya yang telah
dilakuakan untuk peningkatan kinerja
pegawai Badan Penyuluhan Pertanian,
Perkebunan, Perternakan Perikanan dan
Kehutanan (BP4K) Kabupaten Waropen
melalui Penyuluhan kepada pegawai Badan
Penyuluhan Pertanian, Perkebunan,
Perternakan Perikanan dan Kehutanan
(BP4K) Kabupaten Waropen.
Hasil wawancara dengan Tokoh
masyarakat/Kepala kampung Rorisi yaitu
Bapak Maklon Wonatorey adalah: ”Para
penyuluh yang melakukan kegiatan
lapangan dikampung kami sudah cukup
baik memberikan informasinya kepada
masyarakat dan kami merasa bahwa masih
sangat terbatas jadi mohon untuk
mendapatkan kegiatan-kegiatan pertanian
yang lebih banyak lagi karena hampir
semua semua kegiatan belum dilaksanakan
secara baik, terutama tong punya mama-
mama yang lebih banyak di dapur tapi juga
lebih banyak di kebun. Dulu Tong punya
hasil kebun sedikit skarang sudah mulai
banyak”
PEMBAHASAN
Menurut Kepala Badan Pelaksana
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan Kabupaten Waropen, ( Korinus
Reri, SP.MM ) yang diwawancarai pada
tanggal 22 Oktober 2012; Lamanya masa
kerja Pegawai pada Badan Pelaksana
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan Kabupaten Waropen masa kerja
pegawai sangat mempengaruhi kinerja atau
prestasi kerja, hal ini ditandai dengan lama
masa kerja pegawai berarti semakin lama
berpengalaman dan lebih profesional dalam
menangani seluruh pekerjaan dengan hasil
yang baik. Sedangkan menurut kepala
Badan, faktor promosi jabatan juga sangat
berpengaruh karena seorang pegawai
merasa termotivasi dengan adanya jabatan
baru yang dapat meningkatkan kariernya
dan sekaligus menciptakan suasana kerja
yang lebih baik terutama pelayanan kepada
masyarakat. Hasil wawancara dengan
kepala Balai Penyuluh Pertanian (BPP)
Sawara Jaya dan Penyuluh Pertanian
Lapangan (PPL) menunjukan bahwa adanya
peningkatan kinerja penyuluh pertanian
yang signifikan. Wawancara dengan kepala
Kampung Rorisi menunjukan bahwa
adanya peningkatan produksi pertanian di
kampong hal ini menunjukan bahwa adanya
peningkatan peran penyuluh dalam
nebtransfer informasi teknologi pertanian
tepat guna.
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan yang ada,
dapat disimpulkan bahwa: Pertama,
terdapat hubungan antara tingkat
pendidikan dan pengalaman kerja terhadap
kinerja pegawai karena semakin tinggi
tingkat pendidikan pegawai dan semakin
banyak pengalaman kerjanya maka semakin
tinggi pula prestasi kerja pegawainya.
Pengalaman kerja yang dimiliki oleh
seseorang pegawai menjadi penentu
pencapaian hasil kerja yang akan diraih
oleh pegawai. Pengalaman kerja yang
cukup, dalam arti waktu yang telah di lalui
oleh seseorang pegawai dalam
melaksanakan tugasnya akan mendukung
pencapaian prestasi kerja yang maksimal
sebagai tujuan yang akan di raih dari
112
kinerja Pegawai di Badan Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
Kabupaten Waropen.
Kedua, adapun upaya yang telah
dilakuakan untuk peningkatan kinerja
pegawai Badan Penyuluhan Pertanian,
Perkebunan, Perternakan Perikanan dan
Kehutanan (BP4K) Kabupaten Waropen
melalui Penyuluhan kepada pegawai Badan
Penyuluhan Pertanian, Perkebunan,
Perternakan Perikanan dan Kehutanan
(BP4K) Kabupaten Waropen. Dengan
adanya penyuluhan dapat membantu
meningkatkan kinerja Pegawai di Badan
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan Kabupaten Waropen.
Berdasarkan kesimpulan hasil
penelitian yang dikemukakan di atas, maka
saran yang dapat diajukan dalam penelitian
ini adalah Peningkatan kinerja Pegawai di
masa yang akan datang perlu dilakukan
upaya peningkatan kualitas iklim organisasi
yang berkaitan dengan iklim pemberian
tugas insidental, penciptaan keterbukaan
relasi antar fungsi, pemberian kesempatan
Pegawai untuk berlatih dan
mengembangkan potensi diri, konsistensi
penerapan reward dan punishment, iklim
organisasi yang dapat memupuk semangat
kerja, kreasi, dan inovasi Pegawai dalam
melaksanakan tugas, meminimalisasi jarak
sosial antar fungsi yang ada pada tempat
kerja, dan perhatian Pimpinan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Muzayyim. H. 2009. Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: Edisi
Revisi.bumi Aksara
Adtwikarta, Sudardja. 1988. Sosiologi
Pendidikan: Isyu dan Hipotesis
Tentang Hubungan Pendidikan
dengan Msyarakat. Jakarta:
Depdikbud. Jederal Pendidikan
Tinggi. Proyek Pengembangan
Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan.
Ahmadi, Abu. H. Uhbiyati, Nur, Ilmu
Pendidikan 2007. Jakarta: Rineka Cipta.
Bakri, Masykuri. (Ed.). 2009. Metode
penelitian Kualitatif. Tinjauan
Teoritis dan Praktis. Malang:
Lembaga Penelitian Unisma.
Visipress Media.
Connoly, Peter. (ed). 2009. Approaches to
The Study of Realigion; Aneka
Pendekatan Studi Agama.
Yogyakarta: Lkis
Departemen Agama RI. 2002. Al-Qur‟an
dan Terjemahan. Surabaya: Penerbit
Mekar.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
1991. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBDI). Jakarta: Balai
Pustaka.
Ekopriyono. 2005. The Spirit of Pluralism:
Menggali Nilai-nilai Kehidupan
Mencapai Kearifan. Jakarta:
Penerbit. PT Elex Media
Komputindo Gramedia.
Hamim, Thohah (Eds). 2007. Resolusi
Konflik Islam Indonesia.
Yogyakarta: Lembaga Studi Agama
dan Sosial. (LSAS) IAIN Sunan
Ampel prees dan IKIS.
Kahmad, Dadang. 2006. Sosiologi Agama.
Bandung: Remajarosdakarya
Kamisa. 1994. Kamus Lengkap Bahasa
Indonesia. Surabaya: Penerbit Kartika.
Koencoroningrat. 1990. Metode-metode
Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Bumi Aksara.
Muhaimin. 2008. Paradigma Pendidikan
Islam: Upaya Mengefektifkan
pendidikan Agama di Sekolah.
Bandung: Remaja Roesdakarya.
Muhaimin. 2010. Pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam
di sekolah, Madrasah dan
Perguruan Tinggi,. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada
Muhammad, Nur. Abubakar. 2009. Merajut
Damai Maluku Utara; Telaah
Konstruktif Konflik Malifut 1999-
2000. Ternate: UMMU Press.
Mudyahardjo, Redja. 2008. Filsafat Ilmu
Pendidikan; Suatu Pengantar.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mujtahid, Ali.& Nur, Zainuddin. 2009.
Pendidikan Islam dari Paradigma
Klasik hingga Kontemporer.
Malang: Tim Pakar Fakultas
Tarbiyah UIN Malang Ikapi.
113
Moh, Nazir. 2005. Metode Penelitian.
Bogor: Ghalia Indonesia
Moleong, Lexy.J. 2009. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung;
Edisi Revisi Ikapi.
Qomar, Mujamil. 2009. Manajemen
Pendidikan Islam; Strategi baru
Pengelolaan Lembaga Pendidikan
Islam. Surabaya: Erlangga.
Rokib, Moh. 2009. Ilmu Pendidikan Islam;
Pengembangan Pendidikan
Integratif di Sekolah, Keluarga dan
Masyarakat. Yogyakarta: Lkis
Sadulloh. 2009. Pengantar Filsafat
Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Suharsimi, Arikuto. 2006. Prosedur
penelitian, satu pendekatan prkatik.
Jakarta: Edisi revisi VI. Rineka
cipta.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian
Kuantitatif kualitatif dan R & D.
Bandung: Alfabeta.
Suprayogo, Imam. 2001. Metodologi
Penelitian Sosial-Agama. Bandung:
Rosdakarya.
Thalib, B. Syamsul. 2010. Psikologi
Pendidikan Berbasis Analisis
Empiris Aplikatif. Jakarta: Kencana.
Tirtarahardjo, Umar. Sulo, La, L. 2005.
Pengantar Pendidikan. Jakarta:
Edisi Revisi. PT. Adi Mohasatia
Ikapi.
Tim Dosen Pendidikan Agama Islam. 2006.
Reorientasi Pendidikan Islam;
Menuju Pengembangan Insan
Kamil. UM. Malang: penerbit Hilal
Pustaka.
Tomagola, A. Tamrin, 2006. Republik
Kapling. Yogyakarta: Naili printika
Undang-Undang Republik Indonesia No 14
Tentang Guru dan Dosen. 2006.
Surabaya: Penerbit PGRI Kota
Surabaya
Undang-Undang sistim pendidikan
nasional 2003 (Online),
(http://www.google.co.id/search
?client=firefox- filetype & btn
G = Penelusuran Google,
diakses 21 Agustus 2011).
Undang-Undang RI tentang Sistem
Pendidikan Nasional 2003,
(Online), (http://www.
google.co.id/search filetype &
btn G= Penelusuran Google),
diakses 21 Agustus 2011).
(Online),(http://organisasi.org/pengerti
an-sejarah-dan-pokok-isi-kandungan--
alquran-pengetahuan-agama-islam,
akses, 19 september 2011).
(Online),
(http://www.almanhaj.or.id/content/1715/sl
ash/0,akses, 19 septemer 2011)
(Online), (http://www. anneahira.
com/pengertian-ijtihad. htm, akses,
19 september 2011).
114
STUDI TENTANG PENGARUH SUPERVISI KETUA FRAKSI DAN MOTIVASI
KETUA DEWAN TERHADAP KINERJA ANGGOTA DPRD KABUPATEN
WAROPEN
1Hilal Askar,
2M. Bashori Muchsin,
3Nurul Umi Ati
1Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik 2, 3
Dosen Program Studi Magister Ilmu Administrasi Publik
Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
Jl. MT. Haryono 193 Malang, 65144
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh
yang signifikan secara parsial antara Supervisi Ketua Fraksi terhadap Kinerja Anggota
DPRD Kabupaten Waropen. (2) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan
secara parsial antara Motivasi Ketua Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten
Waropen. (3) Untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan
antara Supervisi Ketua Fraksi dan Motivasi Ketua Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD
Kabupaten Waropen. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Dalam
penelitian ini tidak dilakukan penarikan sampel, karena peneliti hanya meneliti anggota
DPRD Kabupaten Waropen yang berjumlah 35 orang anggota. Data yang digunakan dalam
penelitian ini ada 2 yaitu Data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah melalui penyebaran angket/kuesioner. Analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Tes parametrik (uji asumsi Klasik) yang meliputi : 1) uji
normalitas 2) uji homogenitas, dan 3) uji multikolinieritas. Hasil dari penelitian ini adalah
(1) Terdapat pengaruh yang signifikan antara Supervisi Ketua Fraksi terhadap Kinerja
Anggota DPRD Kabupaten Waropen yang ditunjukkan dengan probabilitas thitung sebesar
0,021 yang lebih kecil dari α = 0,05. (2) Terdapat pengaruh yang signifikan antara Motivasi
Ketua Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD Kabupaten Waropen yang ditunjukkan
dengan probabilitas thitung sebesar 0,006 yang lebih kecil dari α = 0,05. (3) Terdapat
pengaruh yang signifikan antara Supervisi Ketua Fraksi dan Motivasi Ketua Dewan secara
Bersama-sama terhadap kinerja anggota DPRD Kabupaten Waropen yang ditunjukkan
dengan probabilitas Fhitung sebesar 0,014 yang lebih kecil dari α = 0,05.
kata kunci: pengaruh, supervisi, motivasi, dan kinerja
Abstract
The purpose of this study is (1) To determine whether a significant difference between
the partial supervision of the Chairman of the Members of Parliament Waropen performance.
(2) To determine whether a significant difference between the partial motivation of the
Chairman of the Board of Members of Parliament Waropen performance. (3) To determine
whether a significant difference between the simultaneous and Motivation Chairman of the
Supervisory Board Chairman of the Members of Parliament Waropen performance. In this
study using a quantitative approach. In this study sampling was not done, because the
researchers only examined legislators Waropen totaling 35 members. The data used in this
study there are two, namely primary data and secondary data. Data collection techniques in
this study is through distributing questionnaires / questionnaires. Analysis of the data used in
this study is a parametric test (test assumptions Classic) which includes: 1) test for normality
2) homogeneity test, and 3) test multicollinearity. The results of this study were (1) There is a
115
significant relationship between the Chairman of the Supervisory Council Member Waropen
performance as indicated by the probability t of 0.021 which is smaller than α = 0.05. (2)
There is a significant relationship between motivation Chairman of the Board of Members of
Parliament Waropen performance as indicated by the probability t of 0.006 which is smaller
than α = 0.05. (3) There is a significant relationship between motivation and the Chairman of
the Supervisory Board Chairman of the Collaborative legislators Waropen performance as
indicated by the probability of the F value of 0.014 is less than α = 0.05.
keywords: effects, supervision, motivation, and performance
PENDAHULUAN
Sebagai badan legislatif, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
mempunyai peran yang penting selaku
pemegang kekuasaan membentuk undang-
undang daerah. Untuk itu penyelenggaraan
tugas legislasi di kantor dewan harus
didukung oleh sumber daya manusia
berkualitas yang memiliki dedikasi tinggi,
kreatif, inovatif yang dapat meningkatan
kesejahteraan rakyat.
Di badan legislatif Anggota DPRD
merupakan salah satu komponen kerja yang
berpengaruh terhadap keberhasilan tugas
legislasi. Anggota DPRD mutlak dituntut
memiliki kemampuan yang tinggi, dan
didukung oleh sikap mental yang baik
sehingga tugas legislasi yang sangat mulia
dapat dicapai. Sikap mental yang baik dapat
dilihat dari kinerja anggota DPRD dalam
memberikan pelayanan pada masyarakat,
memegang teguh dan mengamalkan nilai-
nilai Pancasila.
Salah satu upaya meningkatkan
kinerja, anggota DPRD juga dapat
dilakukan dengan kegiatan supervisi oleh
Ketua Fraksi. Supervisi merupakan setiap
layanan kepada anggota DPRD yang
bertujuan untuk menghasilkan perbaikan
kinerja anggota DPRD. Adams dan Dickey
(1990) menambahkan bahwa supervisi
adalah suatu program yang berencana untuk
memperbaiki kinerja. Program itu dapat
berhasil bila supervisor memiliki
keterampilan (skill) dan kemampuan dalam
memberikan kegiatan supervisi dan
memberikan evaluasi kinerja.
Pengertian supervisi sangat
beragam, sama halnya dengan istilah
”pengawasan”, ”pemeriksaan”,
”monitoring”, dan ”supervisi”. Hal ini
sangat tergantung dengan proses dan
sasarannya. Perkataan supervisi berasal dari
Bahasa Inggris, yaitu “supervision”, yang
terdiri dari dua perkataan”super” dan
”vision”. Super berarti atas, sedangkan
vision berarti melihat. Oleh karena itu,
secara etimologis supervisi (supervision)
berarti melihat dari atas dan menilai dari
atas yang dilakukan oleh pihak atasan
(orang yang memiliki kelebihan) terhadap
perwujudan kegiatan dan hasil kerja
bawahan (Nawawi : 1997). Kekurangan
atau kesalahan yang ditemukan dalam
kegiatan supervisi itu, lebih diupayakan
untuk membina dan memberitahukan
bagaimana seharusnya serta bagaimana pula
meningkatkannya. Dengan demikian,
kegiatan pengawasan dalam arti inspeksi
berbeda dengan supervisi.
Pengertian supervisi diarahkan pada
upaya peningkatan kemampuan personil
atau anggota DPRD yang erat kaitannya
dengan pendayagunaan sumber daya
manusia. Fokus supervisi itu antara lain
meliputi administrasi, acuan kinerja dewan,
kerjasama antar manusia, manajemen dan
kepemimpinan. Maka dapat dikatakan,
bahwa supervisi merupakan pembinaan
yang ditujukan kepada anggota DPRD agar
mereka dapat meningkatkan kemampuan
mengembangkan situasi kinerja dengan
lebih baik.
Motivasi merupakan hal yang
sederhana akan tetapi rumit. Hal ini
dikarenakan seseorang pada dasarnya
termotivasi atau terdorong untuk
berperilaku dalam cara tertentu yang
dirasakan mengarah pada ganjaran. Dalam
suatu instansi, lembaga, organisasi atau
perusahaan, motivasi selalu menjadi bagian
116
yang mendapat perhatian dari para
pimpinan atau manajer.
Karena motivasi berhubungan erat
dengan keberhasilan seseorang atau
organisasi dalam mencapai tujuannya.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh
Vroom (dalam Mulyasa, 2003) yang
mengatakan bahwa ”kinerja seseorang
merupakan fungsi perkalian antara
kemampuan (ability) dan motivasi”.
Dengan kata lain, apabila salah satu saja
dari dua komponen (antara ability atau
motivasi) rendah, maka kinerjanya juga
akan rendah. Mengingat motivasi
mempunyai peran penting dalam
meningkatkan performan atau kinerja
seseorang, oleh sebab itu perlu adanya
upaya-upaya pembinaan motivasi.
Dengan adanya kepedulian Ketua
Dewan melalui pemberian motivasi
terhadap anggota DPRD, maka mereka
(anggota DPRD) merasa diperhatikan dan
diberi dukungan dalam melaksanakan dan
penyelesaian tugas yang diembannya
sebagai Anggota DPRD.
Berdasarkan alur pemikiran, maka
masalah yang dipecahkan dalam penelitian
ini dirumuskan sebagai berikut (1) Apakah
terdapat pengaruh yang signifikan secara
parsial antara Supervisi Ketua Fraksi
terhadap Kinerja Anggota DPRD
Kabupaten Waropen? (2) Apakah terdapat
pengaruh yang signifikan secara parsial
antara Motivasi Ketua Dewan terhadap
Kinerja Anggota DPRD Kabupaten
Waropen? (3) Apakah terdapat pengaruh
yang signifikan secara simultan antara
Supervisi Ketua Fraksi dan Motivasi Ketua
Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD
Kabupaten Waropen? Tujuan dari
penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui
apakah terdapat pengaruh yang signifikan
secara parsial antara Supervisi Ketua Fraksi
terhadap Kinerja Anggota DPRD
Kabupaten Waropen. (2) Untuk mengetahui
apakah terdapat pengaruh yang signifikan
secara parsial antara Motivasi Ketua Dewan
terhadap Kinerja Anggota DPRD
Kabupaten Waropen. (3) Untuk mengetahui
apakah terdapat pengaruh yang signifikan
secara simultan antara Supervisi Ketua
Fraksi dan Motivasi Ketua Dewan terhadap
Kinerja Anggota DPRD Kabupaten
Waropen. Sedangkan manfaat dari
penelitian ini adalah (1) Bagi Ketua Fraksi,
hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan kegunaan dalam menetapkan
model kegiatan supervisi yang tepat sesuai
dengan karakteristik yang dimiliki masing-
masing anggota DPRD, serta untuk
menciptakan suasana kinerja yang kondusif
sehingga anggota DPRD terpanggil untuk
memberikan kinerja yang lebih baik. (2)
Bagi Ketua Partai Politik, hasil penelitian
ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
pertimbangan sekaligus masukan
menyangkut peningkatan kinerja anggota
DPRD dari Partai Politik yang
bersangkutan, khususnya yang ditempuh
melalui cara pemberian motivasi yang tepat
dan berhasil guna, sehingga dapat
membantu anggota DPRD dalam
melaksanakan tugas.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif. Dalam penelitian ini
tidak dilakukan penarikan sampel, karena
peneliti hanya meneliti anggota DPRD
Kabupaten Waropen yang berjumlah 35
orang anggota. Mengingat jumlah sampel
yang sedikit, sehingga penelitian ini disebut
sebagai studi populasi atau studi sensus.
Sesuai dengan hipotesis yang telah
dirumuskan, maka variabel-variabel dalam
penelitian ini dapat diidentifikasikan
sebagai berikut Variabel Bebas (X) yaitu
Supervisi Ketua Fraksi (X1), Motivasi
Ketua Dewan (X2) dan Variabel Terikat
(Y) yaitu kinerja anggota DPRD.
Data yang digunakan dalam penelitian
ini ada 2 yaitu (1) Data primer, yaitu data
yang langsung dikumpulkan dari obyek
yang diteliti secara langsung dari lokasi
penelitian dengan menyebarkan angket atau
kuesioner kepada para anggota DPRD
Kabupaten Waropen.
Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini adalah melalui penyebaran
angket/kuesioner. Validitas instrumen
penelitian adalah suatu hasil penilaian yang
menggambarkan bahwa suatu instrumen
benar-benar mampu mengukur variabel-
variabel yang akan diukur di dalam
117
penelitian yang bersangkutan. Dalam
penelitian ini, uji validitas instrumen yang
digunakan adalah uji validitas konstruk.
Pengujian dilakukan dengan
mengkorelasikan semua butir item dengan
total skor pada masing-masing variabel, di
mana perhitungan dengan bantuan
komputer program SPSS 14. “Jika koefisien
korelasi menunjukkan angka > 0,3, maka
dapat dikatakan bahwa instrumen tersebut
adalah valid”(Uma Sekaran, 1992:61).
Uji reliabilitas yang digunakan dalam
penelitian ini adalah uji reliabilitas
konsistensi item-item, yaitu konsistensi dari
jawaban responden pada item dalam suatu
ukuran koefisien Alpha Cronbach (Uma
Sekaran, 1992:120). Di mana pengujian
dilakukan dengan cara seperti pada
pengujian validitas dengan rumus product
moment tersebut. Jika koefisien Alpha
menunjukkan > 0,6, maka dapat dikatakan
bahwa item-item dalam kuesioner tersebut
adalah reliabel (Maholtra, 1996: 89). Untuk
menguji validitas dan reliabilitas variabel
penelitian digunakan bantuan program
SPSS 14.0.
Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Tes parametrik (uji
asumsi Klasik) yang meliputi : 1) uji
normalitas dengan menggunakan uji test of
goodness of fit, 2) uji homogenitas dengan
menggunakan test of Homogeneity of
Varians, dan 3) uji multikolinieritas dengan
menghitung nilai VIF (Variance Inflating
Factor). Teknik analisis regresi berganda.
Analisis ini berusaha melihat besarnya
pengaruh dua atau lebih variabel bebas
terhadap suatu variabel tergantung.
Besarnya pengaruh tersebut ditunjukkan
oleh Koefisien Regresi (b). Pertama
digunakan persamaan garis regresi.
Selanjutnya penghitungan koefisien regresi
diperoleh melalui pengolahan komputer
dengan program SPSS Rel.14.0.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Uji normalitas dilakukan untuk
mengetahui apakah data dalam penelitian
ini telah berdistribusi secara normal atau
belum. Adapun hasil pengujian normalitas
data dapat dilihat bahwa variabel Supervisi
Ketua Fraksi (X1) mempunyai nilai chi
square (χ²) hitung sebesar 9,571 yang
nilainya lebih kecil dari chi square (χ²)
tabel pada df 7 sebesar 14,017 (9,571 <
14,017), kemudian variabel Motivasi Ketua
Dewan (X2) mempunyai nilai chi square
(χ²) hitung sebesar 7,650, yang nilainya
lebih kecil dari chi square (χ²) tabel pada df
6 sebesar 12,592 (7,650 < 12,592).
Sedangkan variabel kinerja anggota DPRD
(Y) mempunyai nilai chi square (χ²) hitung
sebesar 11,952 yang nilainya lebih kecil
dari chi square (χ²) tabel pada df 11 sebesar
19,675 (11,952 < 19,675). Hal ini
menunjukkan bahwa data pada masing-
masing variabel di atas telah terdistribusi
secara normal.
Uji homogenitas dilakukan untuk
mendapatkan sampel yang sama
(homogen), sehingga sampel yang ditarik
dari populasi adalah sampel yang
representatif. Berikut disajikan hasil
pengujian homogenitas variabel bahwa nilai
probabilitas chi square (χ²) hitung untuk
variabel Supervisi Ketua Fraksi (X1)
mempunyai nilai probabilitas sebesar 0,087,
variabel motivasi Ketua Dewan (X2)
mempunyai nilai probabilitas sebesar 0,162.
Sedangkan variabel kinerja anggota DPRD
(Y) mempunyai nilai probabilitas sebesar
0,234, dimana masing-masing variabel
mempunyai nilai probabilitas chi square
(χ²) hitung yang lebih besar dari taraf
signifikansi 0,05. Dengan demikian dapat
diartikan bahwa data pada keempat variabel
penelitian tersebut memiliki varian populasi
yang relatif sama.
Agar dalam model regresi yang
dihasilkan tidak terjadi penyimpangan,
dalam arti menghindari adanya hubungan
linier yang sempurna di antara beberapa
atau semua variabel bebas dari model
regresi maka uji multikolieritas perlu
dilakukan. Berikut disajikan hasil pengujian
multikolinieritas yang dapat diketahui
bahwa nilai VIF dari masing-masing
variabel bebas lebih kecil dari 5 sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat
multikolinieritas pada model yang
digunakan.
118
Berikut disajikan rekapitulasi
perhitungan analisis regresi berganda
melalui bantuan program SPSS 14.0 yang
digunakan untuk mengetahui pengaruh
variabel bebas terhadap variabel terikat
sebagai berikut:
Tabel 1
Rekapitulasi Hasil Pengujian Hipotesis
Change Statistic
M
odel
R R
squared
Adjusted
R
squared
Std.
Error of
the
Estimate
R
Squared
Change
F
Change
d
f1
d
f2
Sig. F
Change
1 .
599a
.
477
.
442
5
.254
.
477
3
.052
3 3
1
.
014
Model
Undstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
B Std. Error Beta t Sig
1 (Constant)
Supervisi Ketua Fraksi
(X1)
Motivasi Ketua Dewan
(X2)
4
0.667
.408
.374
14.7
24
.243
.231
.216
.214
3
.492
3
.184
3
.127
.
001
.
021
.
006
Sumber : Hasil Perhitungan SPSS Release 14.0
Dari hasil analisis dapat ditarik garis
persamaan regresi sebagai berikut : Y =
40,667 + 0,408 X1 + 0,374 X2
Garis persamaan regresi tersebut
dapat diinterpretasikan sebagai berikut :
bahwa tanpa adanya variabel bebas
Supervisi Ketua Fraksi (X1), Motivasi
Ketua Dewan (X2), besarnya kinerja
anggota DPRD (Y) adalah sebesar 40,667.
Hal ini menunjukkan tanpa dipengaruhi
oleh kedua variabel bebas di atas besarnya
kinerja anggota DPRD adalah sebesar
40,667. Sedangkan interprestasi nilai 0,408
menunjukkan besarnya koefisien regresi
untuk variabel X1, dimana setiap kenaikan
1% dari Supervisi Ketua Fraksi (X1) akan
meningkatkan kinerja anggota DPRD
sebesar 40,8%. Interpretasi nilai 0,374
menunjukkan besarnya koefisien regresi
untuk variabel X2, dimana setiap kenaikan
1% dari motivasi Ketua Dewan akan
meningkatkan kinerja anggota DPRD
sebesar 37,4%.
Analisis Pengujian Hipotesis Pertama
Scara statistik, hipotesis pertama
dalam penelitian ini berbunyi sebagai
berikut :
Ha : py1 > 0 : Terdapat pengaruh yang
signifikan antara
Supervisi Ketua Fraksi
terhadap Kinerja Anggota
DPRD Kabupaten
Waropen.
Ho : py1 = 0 : Tidak Terdapat
pengaruh yang signifikan
antara Supervisi Ketua
Fraksi terhadap Kinerja
Anggota DPRD
Kabupaten Waropen.
Hasil analisis seperti yang
ditunjukkan pada tabel 4.4 di atas
menunjukkan probabilitas thitung untuk
variabel supervisi Ketua Fraksi (X1) adalah
sebesar 0,021 yang lebih kecil dari α =
0,05. Hal ini menunjukkan hipotesis nihil
ditolak dan hipotesis alternatif diterima (p =
0,021 < α = 0,05), sehingga diambil
119
keputusan statistik yaitu terdapat pengaruh
yang signifikan antara Supervisi Ketua
Fraksi terhadap Kinerja Anggota DPRD
Kabupaten Waropen.
Dengan demikian hipotesis pertama
dalam penelitian ini yang berbunyi diduga
ada pengaruh yang signifikan antara
Supervisi Ketua Fraksi terhadap Kinerja
Anggota DPRD Kabupaten Waropen
adalah terbukti.
Analisis Pengujian Hipotesis Kedua
Secara statistik, hipotesis kedua
dapat dijelaskan sebagai berikut :
Ha : py2 > 0 : Terdapat pengaruh yang
signifikan antara Motivasi
Ketua Dewan terhadap
Kinerja Anggota DPRD
Kabupaten Waropen.
Ho : py2 = 0 : Tidak terdapat pengaruh
yang signifikan antara
Motivasi Ketua Dewan
terhadap Kinerja Anggota
DPRD Kabupaten
Waropen.
Hasil analisis seperti yang
ditunjukkan pada tabel 4.4 di atas
menunjukkan probabilitas thitung untuk
variabel Motivasi Ketua Dewan sebesar
0,006 yang lebih kecil dari α = 0,05. Hal ini
menunjukkan hipotesis nihil ditolak dan
hipotesis alternatif diterima (p = 0,006 < α
= 0,05), sehingga keputusan statistik yang
dapat diambil adalah terdapat pengaruh
yang signifikan antara Motivasi Ketua
Dewan terhadap Kinerja Anggota DPRD
Kabupaten Waropen.
Dengan demikian hipotesis kedua
dalam penelitian ini yang berbunyi diduga
ada pengaruh yang signifikan antara
Motivasi Ketua Dewan terhadap Kinerja
Anggota DPRD Kabupaten Waropen
adalah terbukti.
Analisis Pengujian Hipotesis Ketiga
Secara statistik, hipotesis ketiga
dapat dijelaskan sebagai berikut:
Ha : py1,2,3 > 0 : Terdapat pengaruh yang
signifikan antara
Supervisi Ketua Fraksi
dan Motivasi Ketua
Dewan secara bersama-
sama terhadap Kinerja
Anggota DPRD
Kabupaten Waropen.
Ho : py1,2,3 = 0 : Tidak terdapat
pengaruh yang signifikan
antara Supervisi Ketua
Fraksi dan Motivasi
Ketua Dewan secara
bersama-sama terhadap
Kinerja Anggota DPRD
Kabupaten Waropen.
Dari hasil pengujian analisis seperti
yang dapat dilihat pada tabel 4.4 di atas
dapat dilihat probabilitas Fhitung sebesar
0,014 yang lebih kecil dari α = 0,05. Hal ini
berarti hipotesis nihil ditolak dan hipotesis
alternatif diterima (p=0,014< α=0,05).
Sehingga keputusan statistik yang dapat
diambil adalah terdapat pengaruh yang
signifikan antara Supervisi Ketua Fraksi
dan Motivasi Ketua Dewan terhadap
Kinerja Anggota DPRD Kabupaten
Waropen.
Dengan demikian hipotesis ketiga
dalam penelitian ini yang menyatakan
bahwa, diduga ada pengaruh yang
signifikan antara Supervisi Ketua Fraksi
dan Motivasi Ketua Dewan secara
Bersama-sama terhadap Kinerja Anggota
DPRD Kabupaten Waropen adalah terbukti.
Sedangkan dari perhitungan analisis
regresi di atas dapat dilihat koefisien
korelasi determinan (R) menunjukkan
angka sebesar 0,599, hal ini menunjukkan
adanya korelasi atau hubungan yang cukup
antara variabel supervisi Ketua Fraksi (X1)
dan motivasi Ketua Dewan (X2) dengan
variabel terikat kinerja anggota DPRD
Kabupaten Waropen..
Sedangkan hasil koefisien
determinasi R2 (R square) menunjukkan
angka sebesar 0,477 yang diinterpretasikan
bahwa kinerja anggota DPRD dipengaruhi
oleh variabel bebas supervisi Ketua Fraksi
dan motivasi Ketua Dewan sebesar 47,7%,
sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor
lain diluar penelitian ini.
120
PEMBAHASAN
Pengaruh Supervisi Ketua Fraksi
terhadap Kinerja Anggota DPRD
Kabupaten Waropen
Dari hasil pengujian hipotesis
diketahui bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan antara supervisi Ketua Fraksi
terhadap kinerja anggota DPRD Kabupaten
Waropen. Supervisi merupakan setiap
layanan kepada anggota DPRD yang
bertujuan untuk menghasilkan perbaikan
instruksional, kinerja dan profesionalisme
kinerja. Adams dan Dickey (1990)
menambahkan bahwa supervisi adalah
program yang berencana untuk
memperbaiki kinerja. Program itu dapat
berhasil bila supervisor memiliki
keterampilan (skill) dan kemampuan dalam
memberikan layanan supervisi dan
memberikan evaluasi kerja.
Supervisi dapat dilaksanakan oleh
Ketua Fraksi yang berperan sebagai
supervisor yang lebih independent.
Supervisi yang dilakukan Ketua Fraksi
dipandang lebih independent, dan dapat
meningkatkan objektivitas dalam
melakukan pembinaan dan pelaksanaan
tugasnya. Pengawasan dan pengendalian ini
merupakan kontrol agar kegiatan kerja di
kantor DPRD terarah pada tujuan yang
telah ditetapkan.
Pengawasan dan pengendalian juga
merupakan tindakan preventif untuk
mencegah agar para anggota DPRD tidak
melakukan penyimpangan dan lebih
berhati-hati dalam melaksanakan
pekerjaannya. Kegiatan supervisi yang
sering pula disebut dengan istilah inspeksi,
yang bertujuan mencari kekurangan,
kelemahan atau kesalahan rencana yang
ditetapkan atau orang-orang dalam
melakukan tugasnya. Dimana kekurangan
atau kesalahan yang ditemukan dalam
kegiatan supervisi itu, lebih diupayakan
untuk membina dan memberitahukan
bagaimana seharusnya, serta bagaimana
pula meningkatkannya.
Supervisi mempunyai arti luas, tidak
hanya dalam arti melihat atau
memperhatikan apa yang terjadi dan
bagaimana terjadinya, tetapi juga
mengandung arti mengendalikan, yaitu
mengusahakan agar kegiatan benar-benar
sesuai dengan rencana yang tertuju pada
pencapaian hasil yang telah ditentukan.
Sehingga peran supervisi pengawas dalam
memberikan layanan supervisi pada
anggota DPRD bukan hanya sekedar
berfungsi kontrol untuk melihat apakah
segala kegiatan telah dilaksanakan sesuai
dengan rencana atau program yang telah
digariskan, tetapi kegiatan supervisi
mencakup penentuan kondisi-kondisi atau
syarat-syarat personil maupun material
yang diperlukan untuk terciptanya situasi
kerja yang efektif, yang dapat membantu
meningkatkan kemampuan anggota DPRD
dalam melaksanakan tugas, dan
berpengaruh pada peningkatan kinerja
anggota DPRD.
Pengaruh Motivasi Ketua Dewan
terhadap Kinerja Anggota DPRD
Kabupaten Waropen
Dari hasil pengujian hipotesis
diketahui bahwa terdapat pengaruh yang
signifikan antara Motivasi Ketua Dewan
terhadap Kinerja Anggota DPRD
Kabupaten Waropen, dan hasil penelitian
ini relevan dengan kajian teoritis, seperti
yang telah dikemukakan pada Bab II,
bahwa motivasi merupakan hal penting
yang ada di dalam diri manusia sebagai
penggerak untuk berperilaku.
Kesediaan bekerja atas dasar
motivasi ditunjukkan dengan aktifitas yang
terus-menerus dan berorientasikan tujuan,
karena seseorang yang mempunyai
motivasi yang tinggi, akan memiliki
semangat kinerja yang tinggi pula.
Karena itu, motivasi dan kinerja
anggota DPRD memiliki pengaruh yang
sangat erat. Hal ini sesuai dengan pendapat
Armstrong (1993) yang menyatakan bahwa
“meningkatnya motivasi akan
menghasilkan lebih banyak usaha dan
kinerja yang lebih baik dan perbaikan
kinerja akan menimbulkan motivasi”. Hal
ini berarti seseorang yang termotivasi
tinggi, dia dengan penuh kesadaran dan
tanggungjawab akan melakukan tugas yang
diembannya dengan lebih baik, dan
berusaha lebih keras memperbaiki kualitas
kinerjanya.
121
Untuk itu pemberian motivasi dari
Pimpinan Dewan perlu diarahkan pada
pemenuhan kebutuhan dimana menurut
Teori Herzberg bahwa faktor-faktor
pemenuhan kebutuhan tersebut akan
menyebabkan kepuasan anggota dewan
dalam bekerja. Faktor-faktor yang menjadi
sumber kepuasan kerja meliputi: (1)
pengakuan (recognition), maksudnya
bahwa anggota DPRD dalam bekerja perlu
mendapat pengakuan (diberi penghargaan,
dipuji, dimanusiakan) oleh pihak
perusahaan atau manajer; (2)
tanggungjawab (responsibility), maksudnya
bahwa anggota DPRD disamping
melaksanakan pekerjaan, ia juga harus
bertanggungjawab terhadap pekerjaan yang
dilaksanakannya; (3) prestasi
(achievement), maksudnya bahwa anggota
dewan dalam bekerja diberi kesempatan
untuk mencapai hasil yang baik (banyak,
berkualitas) atau berprestasi; (4)
pertumbuhan dan pengembangan (growth
and development), maksudnya bahwa
dalam pekerjaan itu harus ada kesempatan
untuk tumbuh dan berkembang; (5)
pekerjaan itu sendiri (job it self),
maksudnya bahwa pekerjaan yang
dilaksanakan itu memang sesuai dan
menyenangkan bagi anggota DPRD.
Kelima faktor tersebut diatas
terdapat dalam pekerjaan, dan merupakan
faktor instrinsik (intrinsic factors), sebagai
kandungan pekerjaan (job content). Jika
faktor-faktor tersebut dinilai baik oleh
anggota DPRD maka akan menimbulkan
rasa puas, dan ada motivasi untuk bekerja
secara produktif. Sebaliknya, jika anggota
DPRD menilai buruk faktor-faktor tersebut,
maka pada anggota DPRD tidak ada
kepuasan kerja. Faktor-faktor ini disebut
faktor-faktor motivasi atau motivators, atau
faktor-faktor satisfiers (yang membuat
kepuasan, pemuas).
Sedangkan faktor-faktor yang
membuat ketidakpuasan kerja (dan tidak
ada). Uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa kemampuan memberikan motivasi
Ketua Dewan berpengaruh positif terhadap
kinerja anggota DPRD, sehingga agar
kinerja anggota DPRD dapat ditingkatkan
maka Ketua Dewan hendaknya berupaya
memberikan motivasi kepada para anggota
DPRD dengan cara-cara yang baik dan
teknik-teknik yang sesuai. Dengan
demikian hasil penelitian ini telah
mendukung kajian teori yang telah
dilakukan.
Pengaruh Supervisi Ketua Fraksi dan
Motivasi Ketua Dewan Terhadap
Kinerja Anggota DPRD Kabupaten
Waropen
Dari hasil pengujian hipotesis
penelitian diketahui bahwa terdapat
pengaruh yang signifikan antara Supervisi
Ketua Fraksi dan Motivasi Ketua Dewan
secara Bersama-sama terhadap Kinerja
Anggota DPRD Kabupaten Waropen.
Kinerja anggota DPRD akan baik apabila
didukung oleh Ketua Fraksi dan Ketua
Dewan yang mempunyai kompetensi dan
kinerja yang tinggi, karena Ketua Dewan
merupakan ujung tombak dan perencana
terdepan lembaga legislasi. Ketua Fraksi
dan Ketua Dewan yang mempunyai kinerja
yang baik akan mampu menumbuhkan
semangat dan motivasi kerja yang lebih
baik terhadap anggota DPRD, yang pada
akhirnya akan mampu meningkatkan
kualitas kinerja anggota DPRD yang dibina
dan dipimpinnya.
Oleh karena itu perlu diupayakan
peningkatan kinerja anggota DPRD melalui
program pembinaan kemampuan baik
supervisi yang diberikan oleh Ketua Fraksi
maupun motivasi dari Ketua Dewan, yang
kesemuanya sama-sama bertujuan untuk
memperbaiki kualitas kinerja anggota
DPRD. Apabila anggota DPRD mempunyai
kinerja yang baik, secara otomatis upaya
untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi
kerja akan tercapai, sehingga tujuan
lembaga DPRD dapat dicapai secara
maksimal.
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut (1) Terdapat
pengaruh yang signifikan antara Supervisi
Ketua Fraksi terhadap Kinerja Anggota
DPRD Kabupaten Waropen yang
ditunjukkan dengan probabilitas thitung
122
sebesar 0,021 yang lebih kecil dari α =
0,05. (2) Terdapat pengaruh yang signifikan
antara Motivasi Ketua Dewan terhadap
Kinerja Anggota DPRD Kabupaten
Waropen yang ditunjukkan dengan
probabilitas thitung sebesar 0,006 yang lebih
kecil dari α = 0,05. (3) Terdapat pengaruh
yang signifikan antara Supervisi Ketua
Fraksi dan Motivasi Ketua Dewan secara
Bersama-sama terhadap kinerja anggota
DPRD Kabupaten Waropen yang
ditunjukkan dengan probabilitas Fhitung
sebesar 0,014 yang lebih kecil dari α =
0,05.
Berdasarkan kesimpulan tersebut,
ada beberapa saran yang dapat diajukan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut
(1) Bagi Ketua Fraksi Menciptakan suasana
yang hangat dan tidak kaku pada saat
melakukan kegiatan supervisi serta
memberikan dorongan semangat pada
anggota DPRD untuk mengikuti program-
program supervisi dengan baik. (2) Bagi
Ketua Dewan Hendaknya memberikan
motivasi yang tepat dan lebih banyak
diarahkan pada upaya peningkatan
kemampuan anggota DPRD yang erat
kaitannya dengan pendayagunaan sumber
daya manusia serta pemenuhan kebutuhan
anggota DPRD. (3) Bagi Peneliti Lain
Diharapkan bagi peneliti lain untuk
mengembangkan hasil penelitian ini dengan
mengadakan penelitian lain yang berkaitan
dengan kinerja anggota DPRD dengan
menambah variabel lain yang tidak diteliti
dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 1998. Metodologi Penelitian.
Jakarta: Rineka Cipta.
Adams, H.F and Dickey, F.G. 1990. Basic
Prinsiples of Supervision. 17th
Edition. New York: American Book
Company.
Dessler, G. 1996. Manajemen Personalia.
Alih Bahasa Agus Dharma.
Erlangga. Jakarta.
Djailani. 1984. Pengaruh Supervisi Kepala
Dinas Terhadap Kinerja Pegawai di
Dinas Pertanian Kabupaten
Lamongan. Tesis Magister
Administrasi Publik. PPs STIE
Widya Jayakarta, Jakarta.
Gomes, F.C. 2000. Manajemen Sumber
Daya Manusia. Yogyakarta:Andi
Offset.
Hasibuan, M.S.P. 1997. Manajemen
Sumber Daya Manusia. Jakarta:
Bumi Aksara.
Lasulo. 1991. The Critical Evant Model :
Addison Wesley Publishing
Company. California London.
Maholtra, N.K. 1996. Marketing Research:
An Applied Orientation. New
Jersey: Prentice Hall International
Inc., second edition.
Mardapi, D. 1996. Penilaian Unjuk Kerja
sebagai Usaha untuk Meningkatkan
Kemampuan Sumber Daya
Manusia. Pidato Dies disampaikan
pada Upacara Dies Natalis XXXII,
IKIP Yogyakarta. IKIP Yogyakarta.
Margono. 1997. Metodologi Penelitian
Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
Mulyasa, E., 2004. Manajemen Berbasis
sekolah (Konsep, Strategi dan
Implementasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mulyasa, E. 2006. Menjadi Kepala Sekolah
Profesional. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Mohyi, Ach. 1996. Teori dan Perilaku
Organisasi. UMM Pres. Rajasa.
Surabaya.
Nawawi, H. 2003. Administrasi
Pendidikan. Jakarta: PT. Toko
Gunung Agung.
Neagly and Evans. 1990
Purwanto, N. 2004. Administrasi dan
Supervisi Pendidikan. Cet-13.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Rifai, M. 1992. Supervisi Pimpinan. Edisi
keempat. Bandung : Penerbit
Jemmars.
Rusli, R.S. 1988. Tes dan Pengukuran
dalam Pendidikan. Jakarta:
PPLPTK.
Sevilla (1993) An Introduction to Research
Method, Philipines : Rex Printing
Company Inc
Sekaran, U. 1992. Research Methods for
Business : A Skill Building
123
Approach. New York: John Willey
and Sons Inc, Second Edition.
Singodimejo, M. 1999. Manajemen Sumber
Daya Manusia. Jakarta : AIMI.
Soeprihanto, J. 2000. Penilaian Kinerja dan
Pengembangan Karyawan.
Yogyakarta: BPFE-UGM.
Schuler, R.S. 1987. Personal and Human
Resources Management. St. Paul,
New York, Los Angeles, and San
Fransisco.
Sudrajat. 2001. Analisis Orientasi
Kepemimpinan dan Pemberian
Motivasi Kerja terhadap Kinerja
Anggota DPRD Kota Surabaya.
Tesis Magister Administrasi Publik.
PPs STIE Widya Jayakarta, Jakarta.
Wahjosumidjo. 1992. Kepemimpinan dan
Motivasi. Jakarta : Ghalia
Indonesia.
124
PERSEPSI PEGAWAI TENTANG MOTIVASI PIMPINAN DAN KUALITAS
KINERJA PEGAWAI DALAM MEMBERIKAN PENGARUH TERHADAP
KOMITMEN KERJA PEGAWAI DI DINAS PERTANIAN WAROPEN
1Johanis Wattimury,
2M. Bashori Muchsin,
3Slamet Muchsin
1Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Administrasi
2, 3 Dosen Program Studi Magister Ilmu Administrasi
Program Pascasarjana Universitas Islam Malang
Jl. MT. Haryono 193 Malang, 65144
Abstrak
Secara Operasional tujuan dan maksud dari penelitian ini dapat dijabarkan sebagai
berikut (1) Untuk mengetahui hubungan motivasi pimpinan dengan peningkatan komitmen
kerja pegawai di Dinas Pertanian Kabupaten Waropen (2) Untuk mengetahui hubungan
antara kualitas kinerja pegawai dengan peningkatan komitmen kerja pegawai di Dinas
Pertanian Kabupaten Waropen (3) Untuk mengetahui manakah diantara motivasi pimpinan
dan kualitas kinerja pegawai yang paling erat hubungannya dengan peningkatan komitmen
kerja pegawai di Dinas Pertanian Kabupaten Waropen Kebutuhan akan SDM yang
berkualitas sangat diharapkan dalam upaya memberikan mutu pelayanan yang baik kepada
masyarakat. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan
pendekatan kuantitatif. Lokasi penelitian yang dipilih peneliti untuk mengadakakan suatu
penelitian terletak di Dinas Pertanian Waropen. Oleh sebab itu populasi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah 35 pegawai di Dinas Pertanian Kabupaten Waropen. Sebelum
memilih teknik analisis statistik yang sesuai untuk menguji hipotesis, maka asumsi–asumsi
yang melandasi penggunaan teknik statistik tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu.
Pengujian persyaratan statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat tes parametrik
yaitu uji normalitas, uji homogenitas dan uji multikolinieritas. Sesuai dengan perumusan dan
tujuan penelitian ini, berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, sebagai berikut
(1) Terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi pimpinan dengan komitmen kerja
pegawai, yang ditunjukkan dengan probabilitas thitung sebesar 0,038 yang lebih kecil dari α
=0,05 (р). (2) Terdapat hubungan yang signifikan antara kualitas kinerja pegawai dengan
peningkatan komitmen kerja pegawai, yang ditunjukkan dengan probabilitas thitung sebesar
0,029 yang lebih kecil dari α =0,05 (р). (3) Terdapat hubungan yang signifikan antara
motivasi pimpinan dan kualitas kinerja pegawai secara bersama-sama dengan peningkatan
komitmen kerja pegawai yang ditunjukkan dengan probabilitas Fhitung sebesar 0,000 yang
lebih kecil dari α =0,05 (р).
kata kunci: motivasi, kualitas kinerja, dan peningkatan komitmen
Abstract
In Operational objectives and intent of this study can be described as follows (1) To
determine the relationship of motivation led to an increase in employee commitment in the
Department of Agriculture Waropen (2 To determine the relationship between the quality of
employee performance by increasing employee commitment in the Department of Agriculture
Waropen (3) to determine which of the motivation of the leadership and the quality of
employee performance most closely related to an increase in employee commitment in the
Department of Agriculture Waropen need for qualified human resources is expected in an
effort to provide good quality service to the community. The approach used in this study is a
125
quantitative approach. The selected study site investigator for a research mengadakakan
located in the Department of Agriculture Waropen. Therefore, the population used in this
study were 35 employees in the Department of Agriculture Waropen. Before choosing the
appropriate statistical analysis techniques to test the hypothesis, the assumptions underlying
the use of statistical techniques to be proved first. Testing requirements performed by using
the statistical parametric test normality test, homogeneity test and multicollinearity tes. In
accordance with the formulation and goals of this study , based on data analysis that has
been carried out, as follows: (1) There is a significant relationship between motivation and
leadership to employee commitment, as indicated by the probability t of 0.038 which is
smaller than α = 0.05 (р). (2) There is a significant relationship between the quality of
employee performance by increasing employee commitment , as indicated by the probability t
of 0.029 which is smaller than α = 0.05 (р) . (3) There is a significant relationship between
motivation employee performance management and quality together with increased employee
commitment shown by the probability of the F value of 0.000 is less than α = 0.05 (р).
keywords : motivation, quality performance, and increasing commitment
PENDAHULUAN
Belakangan ini telah terjadi
perubahan yang cukup fundamental dalam
mekanisme penyelenggaraan pemerintahan
di Indonesia. Perubahan tersebut terutama
terkait dengan dilaksanakannya otonomi
daerah sebagaimana yang diamanatkan
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-
undang itu mensyaratkan ada otonomi yang
memberikan desentralisasi kewenangan
yang lebih luas dari Pemerintah Pusat
kepada Pemerintah Daerah.
Konsekuensi logis terjadinya
pelimpahan wewenang adalah dalam hal
penataan perangkat organisasi yang berubah
baik dalam struktur maupun pola
manajemen birokrasinya. Sebab
bagaimanapun juga perangkat aturan dan
hukum yang ditetapkan dalam rangka
mengatur pemerintahan, efektivitasnya akan
sangat ditentukan dalam implementasinya.
Perkembangan pemerintah sebagai
organisasi moderen yang pada hakekatnya
merupakan organisasi pelayanan
masyarakat, efektivitasnya tergantung
kepada sistem administrasi dan pola
manajemen yang diterapkan (Kaspinor,
2004:75).
Manajemen sumber daya manusia
pada organisasi harus dilakukan dengan
sasaran utama untuk meningkatkan
kepuasan kerja. Dengan kepuasan kerja
yang tinggi, diharapkan produktivitas
peningkatan prestasi kerja bagi organisasi
menempati posisi tenang dan strategis.
Modal dan teknologi yang dimiliki akan
menjadi lebih efektif, jika ditangani oleh
orang-orang yang berkemampuan memadai
dan yang lebih lagi mempunyai prestasi
kerja yang tinggi. Agar organisasi berhasil
dalam mencapai tujuannya, selain faktor
prestasi kerja yang tinggi, diperlukan pula
pemimpin dan para pegawai yang cukup
terampil dan mentaati semua peraturan serta
mampu dalam melaksanakan tugas-
tugasnya dengan baik. Prestasi kerja
pegawai dipengaruhi oleh faktor -faktor
antara lain: kepemimpinan, komitmen,
motivasi, komunikasi, lingkungan kerja,
tingkat pendidikan, dan lain-lain.
Peran kepemimpinan tidak hanya
tentang arah suatu organisasi yang kuat di
mana permasalahan dan solusi banyak
diketahui, tetapi keteladanan pemimpin
mengambil bagian dalam suatu konteks
perubahan, dalam perubahan yang terus
menerus dan tidak menentu tersebut (Alison
dan Hartley, 2000: 83). Hal ini
membutuhkan suatu pendekatan yang tidak
hanya tentang ”implementasi” kebijakan
yang telah ditetapkan sebelumnya tetapi
undang-undang yang mengatur (Weick,
1995: 46) dalam (Allison dan Hartley,
2000: 87).
Inovasi tidak dapat ditetapkan
sebelumnya dan oleh karena itu peran
kepemimpinan adalah untuk memberikan
126
suatu kerangka dalam mengamati,
memelihara, membagi, menggambarkan
dan juga mengimplementasikan. Akhirnya
hasil tersebut menunjukan bahwa peran
pemimpin (supervisor) berpengaruh positif
terhadap kepuasan kerja dan kinerja
pegawai.
Ada banyak definisi mengenai
kepemimpinan, tergantung dari perspektif
mana yang digunakan. Ada beberapa
definisi kepemimpinan, “kepemimpinan
sebagai kemampuan untuk mempengaruhi
motivasi atau kompetensi individu-individu
lainnya dalam suatu kelompok” (Nasution,
2001: 149). Dengan kata lain selain
keteladanan kepemimpinan, motivasi juga
menjadi salah satu prediktor bagi kepuasan
kerja dan kinerja pegawai.
Menurut House et al (1993: 193)
menyatakan bahwa “30% dari waktu para
pimpinan digunakan untuk mengurusi
masalah lingkungan manusia (pegawai).
Pendekatan yang digunakan dalam
memberikan motivasi pada pegawai perlu
memperhatikan karesteristik pegawai yang
bersangkutan”. Studi yang dilakukan oleh
Jurkeiwick (2001: 105) membandingkan
antara karyawan dan supervisor sektor
publik dan swasta memberikan hasil yang
berbeda. Pada pegawai sektor publik lebih
cendrung motivasi kerja mereka disebabkan
oleh adanya kestabilan dan keamanan
dalam bekerja dimasa mendatang sebagai
faktor utama yang berpengaruh.
Hasil penelitian terhadap pegawai
sektor publik dan swasta tersebut sama-
sama menunjukkan motivasi berpengaruh
signifikan terhadap kepuasan kerja
pegawai. Penelitian yang dilakukan oleh
Smith et al. (2000: 137) juga menemukan
bahwa motivasi mempunyai hubungan yang
positif terhadap kepuasan kerja.
Ketika komitmen seorang pegawai
telah tinggi maka efektivitas sumber daya
organisasi secara umum akan lebih
terjamin. Ini karena komitmen organisasi
merupakan bagian kunci dalam manajemen
sumber daya manusia. Oleh karena itu
penegakan kaidah prosedural menjadi
bagian penting dalam membangun
kepercayaan dan kejujuran dalam
organisasi, sehingga pada akhirnya
memberikan efek positif terhadap
komitmen organisasi secara menyeluruh.
Indikasi yang paling jelas dapat dilihat dari
rendahnya komitmen organisasi secara
praktis adalah tingginya jumlah pegawai
yang mangkir dan mengundurkan diri atau
keluar dari organisasi.
Pegawai dengan komitmen tinggi,
ikut memperhatikan nasib organisasi.
Keinginan juga termasuk kehendak untuk
tetap berada dalam organisasi. Pada
pegawai yang memiliki komitmen tinggi,
hanya sedikit alasan untuk keluar dari
organisasi dan berkeinginan untuk
bergabung dengan organisasi yang telah
dipilihnya dalam waktu lama.
Dari permasalahan pokok tersebut
dapat diuraikan beberapa permasalahan
sebagai berikut (1) Adakah hubungan
antara motivasi pimpinan dengan
peningkatan komitmen kerja pegawai di
Dinas Pertanian Kabupaten Waropen? (2)
Adakah hubungan antara kualitas kinerja
pegawai dengan peningkatan komitmen
kerja pegawai di Dinas Pertanian
Kabupaten Waropen? (3) Manakah diantara
motivasi pimpinan dan kualitas kinerja
pegawai yang paling erat hubungannya
dengan peningkatan komitmen kerja
pegawai di Dinas Pertanian Kabupaten
Waropen? Secara Operasional tujuan dan
maksud dari penelitian ini dapat dijabarkan
sebagai berikut (1) Untuk mengetahui
hubungan motivasi pimpinan dengan
peningkatan komitmen kerja pegawai di
Dinas Pertanian Kabupaten Waropen (2)
Untuk mengetahui hubungan antara kualitas
kinerja pegawai dengan peningkatan
komitmen kerja pegawai di Dinas Pertanian
Kabupaten Waropen (3) Untuk mengetahui
manakah diantara motivasi pimpinan dan
kualitas kinerja pegawai yang paling erat
hubungannya dengan peningkatan
komitmen kerja pegawai di Dinas Pertanian
Kabupaten Waropen Kebutuhan akan SDM
yang berkualitas sangat diharapkan dalam
upaya memberikan mutu pelayanan yang
baik kepada masyarakat. Oleh sebab itu
hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat
bagi (1) Bagi Dinas Pertanian (a)
Diharapkan mampu memberikan informasi
yang cukup penting sebagai dasar dalam
127
proses pengambilan keputusan dan
kebijaksanaan secara tepat dan ilmiah
dalam upaya meningkatkan kinerja SDM
dan pemberian motivasi oleh pimpinan
kepada pegawai yang menunjang sebagai
landasan dalam peningkatan komitmen
kerja pegawai. (b) Diharapkan dapat
meningkatkan kualitas pelayanan publik
terhadap masyarakat dengan jalan
meningkatkan komitmen kerja pegawai. (2)
Bagi Penulis, Sebagai bahan pembelajaran
dan pengalaman, terutama dalam kaitannya
dengan kualitas kinerja pegawai terhadap
peningkatan komitmen kerja pegawai. (3)
Pihak Lain, Diharapkan berguna sebagai
referensi tambahan terutama diperuntukkan
bagi pengembangan pengetahuan mengenai
peningkatan komitmen kerja pegawai.
METODE PENLITIAN
Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah menggunakan
pendekatan kuantitatif. Lokasi penelitian
yang dipilih peneliti untuk mengadakakan
suatu penelitian terletak di Dinas Pertanian
Waropen. Oleh sebab itu populasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah 35
pegawai di Dinas Pertanian Kabupaten
Waropen.
Adapun variabel independen
(variabel bebas) atau disebut variabel X
terdiri dari dua variabel yaitu: variabel
motivasi pimpinan (X1), kualitas kinerja
pegawai (X2). Sebagai variabel dependen
(variabel tergantung) atau disebut variabel
Y adalah peningkatan komitmen kerja
pegawai Dinas Pertanian Kabupaten
Waropen.
Adapun teknik yang digunakan
untuk mengumpulkan data dalam penelitian
ini adalah kuisoner dan dokumentasi.
Instrumen penelitian adalah alat atau
fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data agar pekerjaannya
lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam
arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis
sehingga mudah diolah. Variasi jenis
instrumen adalah : angket, ceklis atau daftar
centang, pedoman wawancara dan pedoman
pengamatan.
Dalam suatu penelitian, data
mempunyai kedudukan yang paling tinggi,
karena data merupakan penggambaran
variabel yang diteliti dan yang berfungsi
sebagai pembuktian hipotesis. Oleh karena
itu benar tidaknya data, sangat menentukan
baik tidaknya hasil penelitian. Sedangkan
benar tidaknya data, tergantung dari baik
tidaknya instrumen pengumpul data.
Instrumen yang baik harus memenuhi dua
persyaratan penting yaitu valid dan reliabel.
Hasil uji validitas dianalisis dengan
mengkorelasikan skor butir dengan skor
total menggunakan rumus korelasi Product
Moment, sebagai berikut:
222
2 . YYNXXN
YXXYNxyr
(Arikunto, 1998: 162)
Dimana : r = Koefisien korelasi antar
skor butir dan skor total
x = skor butir
y = skor total
N = jumlah sampel
Masrun (dalam Sekaran, 1992)
menyatakan jika koefisien korelasi
menunjukkan angka ≥ 0,3, maka dapat
dikatakan bahwa instrumen tersebut adalah
valid. Selanjutnya perhitungan dilakukan
dengan bantuan program komputer SPSS
Release 16.0
Untuk mengetahui tingkat
reliabilitas kuesioner dalam penelitian ini
diuji dengan rumus Cronbach‟s Alpha,
karena jawaban responden cenderung
terarah pada sikap yang berjenjang. Rumus
digunakan sebagai berikut :
2
2
11
t
b
ttk
kr
Dimana :
r11 : reliabilitas instrumen
K : banyaknya butir pertanyaan atau
banyaknya soal.
b2 : jumlah varians butir
t : varians total
Menurut Maholtra (1996 : 89) jika
koefisien Alpha menunjukkan ≤ 0,6, maka
dapat dikatakan bahwa item-item dalam
kuesioner tersebut adalah reliabel.
Sebelum memilih teknik analisis
statistik yang sesuai untuk menguji
hipotesis, maka asumsi–asumsi yang
128
melandasi penggunaan teknik statistik
tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu.
Pengujian persyaratan statistik dilakukan
dengan menggunakan perangkat tes
parametrik yaitu uji normalitas, uji
homogenitas dan uji multikolinieritas.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Pengujian Persyaratan Analisis
Analisis data sebelum dilakukan,
terlebih dahulu data skor kuesioner
dilakukan pengujian agar dapat memenuhi
persyaratan uji statistik. Oleh sebab itu data
skor kuesioner perlu diuji dengan
menggunakan uji normalitas dan
homogenitas.
Tabel 1
Hasil Uji Normalitas
Variabel
Chi square
(χ²)
Hitung
Chi square
(χ²)
Tabel
Keterangan
Motivasi pimpinan (X1) 17,600 24.9958 Normal
Kualitas kinerja
Pegawai (X2) 15,250 26.2962 Normal
Peningkatan komitmen
Pegawai (Y) 7,700 27.5871 Normal
Sumber Data : Output SPSS 16.0
Setelah dilakukan pengujian
normalitas, sebagaimana ditunjukkan pada
tabel di atas, bahwa nilai chi square hitung
untuk masing-masing variabel (motivasi
pimpinan, kualitas kinerja pegawai dan
peningkatan komitmen kerja pegawai) lebih
kecil dari chi square tabel (χ²hitung <
χ²tabel) sehingga berdasarkan ketentuan
yang harus dipenuhi maka data pada
masing-masing variabel dalam penelitian
ini telah tersebar secara normal.
Dengan demikian berarti,
persyaratan statistik terhadap data yang
digunakan yaitu kenormalan data, telah
terpenuhi dan dapat digunakan untuk
pengujian berikutnya.
Uji Homogenitas
Pengujian homogenitas dilakukan
dengan menggunakan test Homogenity of
Varians dengan ketentuan jika probabilitas
yang diperoleh lebih besar dari 0,05 berarti
terjadi homogenitas, sebaliknya jika
probabilitas lebih kecil dari 0,05 berarti
tidak terjadi homogenitas. Berikut hasil
pengujian homogenitas terhadap data pada
masing-masing variabel:
Tabel 2
Hasil Uji Homogenitas
Variabel Probabilitas
χ²hitung
Keterangan
Motivasi pimpinan (X1) 0,284 Homogen
Kualitas Kinerja Pegawai (X2) 0,506 Homogen
Peningkatan komitmen
Pegawai (Y) 0,973
Homogen
Sumber Data : Output SPSS 16.0
Sebagaimana telah dilakukan
pengujian Normalitas dan Homogenitas
Data, terlihat nilai probabilitas pada
masing-masing variabel lebih besar dari
129
0,05 sehingga dapat dikatakan bahwa data
pada masing-masing variabel tersebut
terjadi homogenitas (sebagaimana
ditunjukkan pada tabel di atas). Dengan
demikian berarti bahwa data tersebut
memiliki varian populasi yang sama. Jadi,
persyaratan statistik terhadap data yang
digunakan untuk analisis yaitu data yang
memiliki varian populasi yang sama, telah
terpenuhi.
Hal ini menunjukkan bahwa data
penelitian telah memenuhi salah satu
persyaratan statistik yaitu memiliki varian
populasi yang sama. Jadi data pada masing-
masing variabel dapat digunakan untuk
pengujian berikutnya.
Hasil Pengujian Hipotesis
Setelah data yang ada telah
memenuhi persyaratan statistik, maka
langkah berikutnya adalah melakukan
pengujian hipotesis. Adapun hasil
perhitungan regresi berganda setelah
melalui perhitungan SPSS 16.0 diperoleh
hasil sebagai berikut:
Tabel 3
Rekapitulasi Hasil Perhitungan Regresi Berganda
Variabel Thitung Sig.
Thitung Fhitung
Sig.
Fhitung R R
2
Motivasi pimpinan (X1) 1,199 0,038 14,354 0,000 0,661 0,437
Kualitas kinerja pegawai(X2) 3,778 0,029
Hasil Persamaan Regresi :
Contans : 2,862
Koefisien Regresi X1 : 0,376
Koefisien Regresi X2 : 0,673
Sumber : SPSS 16.0
Hasil Persamaan Regresi
Berdasarkan hasil perhitungan di
atas, maka diperoleh persamaan regresi
linier berganda sebagai berikut :
Y = 2,862 + (0,376) X1 +
(0,673) X2 + e
Dari persamaan regresi tersebut
diketahui bahwa dari kedua variabel bebas
yang dianalisis, variabel kualitas kinerja
pegawai mempunyai pengaruh yang paling
besar terhadap peningkatan komitmen
pegawai yaitu dengan perolehan koefisien
korelasi sebesar 0,673, sedangkan untuk
variabel motivasi pimpinan diperoleh
koefisien korelasi sebesar 0,376.
Pengujian Hipotesis Pertama
Ha : рy1 = 0 : Ada hubungan yang
signifikan antara motivasi
pimpinan dengan komitmen
kerja pegawai.
Ho : рy1 > 0 : Tidak ada hubungan yang
signifikan antara motivasi
pimpinan dengan komitmen
kerja pegawai.
Untuk menentukan hubungan
signifikan tidaknya variabel bebas terhadap
variabel terikat dilihat melalui cara
alternatif non konvensional pada α = 0,05.
Dimana hubungan antar variabel dinyatakan
signifikan bila probabilitas thitung lebih kecil
atau sama dengan 0,05 (p 05,0 ),
sebaliknya hubungan antar variabel
dinyatakan tidak signifikan bila probabilitas
thitung lebih besar dari 0,05. Hasil
perhitungan statistik (melalui program
komputer SPSS 16.0) menunjukkan
probabilitas thitung sebesar 0,038 yang lebih
kecil dari α =0,05.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka
hipotesis nihil ditolak dan hipotesis
alternatif diterima. Sehingga dengan
demikian hipotesis pertama dalam
penelitian ini yang menyatakan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara
motivasi pimpinan dengan komitmen kerja
pegawai adalah terbukti.
130
Pengujian Hipotesis Kedua
Ha : рy2 = 0 : Ada hubungan yang
signifikan antara kualitas
kinerja pegawai dengan
komitmen kerja pegawai.
Ho : рy2 > 0 : Tidak ada hubungan yang
signifikan antara kualitas
kinerja pegawai dengan
komitmen kerja pegawai.
Sama dengan ketentuan di atas,
untuk menentukan hubungan signifikan
tidaknya variabel bebas dengan variabel
terikat dilihat melalui cara alternatif non
konvensional pada α = 0,05. Dimana
hubungan antar variabel dinyatakan
signifikan bila probabilitas t hitung lebih kecil
atau sama dengan 0,05 (р 05,0 ) sebaliknya
hubungan antar variabel dinyatakan tidak
signifikan bila probabilitas thitung lebih besar
dari 0,05.
Hasil perhitungan SPSS 16.00
menunjukkan probabilitas t hitung sebesar
0,029 yang lebih kecil dari α =0,05.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka
hipotesis nihil ditolak dan hipotesis
alternatif diterima. Sehingga dengan
demikian hipotesis kedua dalam penelitian
ini yang menyatakan bahwa terdapat
hubungan yang signifikan antara kualitas
kinerja pegawai dengan komitmen kerja
pegawai adalah terbukti.
Hasil Pengujian Koefisien Regresi
Berganda
Uji serempak atau uji F digunakan
untuk membuktikan hipotesis ke tiga dalam
penelitian, yaitu untuk mengetahui
hubungan yang signifikan antara lebih dari
satu variabel bebas secara bersama-sama
dengan variabel terikat. Sama dengan
ketentuan di atas, untuk menentukan
hubungan signifikan tidaknya variabel
bebas secara bersama-sama dengan variabel
terikat dilihat melalui cara alternatif non
konvensional pada α =0,05. Dimana
hubungan antar variabel dinyatakan
signifikan bila probabilitas Fhitung lebih kecil
atau sama dengan 0,05 (р 05,0 ),
sebaliknya hubungan antar variabel
dinyatakan tidak signifikan bila probabilitas
Fhitung lebih besar dari 0,05.
Adapun secara statistik, hipotesis
ketiga dalam penelitian ini dapat diuraikan
sebagai berikut :
Ha : рy1,2,3 > 0 : Terdapat hubungan yang
signifikan antara
motivasi pimpinan dan
kualitas kinerja pegawai
secara bersama-sama
dengan komitmen kerja
pegawai.
Ho : рy1,2,3 = 0 : Tidak terdapat hubungan
yang signifikan
antara motivasi
pimpinan dan kualitas
kinerja pegawai
secara bersama-sama
dengan komitmen
kerja pegawai.
Dari hasil perhitungan statistik
melalui pengujian regresi berganda (pada
tabel 4.13) menunjukkan probabilitas Fhitung
sebesar 0,000 yang lebih kecil dari α
=0,05 (р 05,0 ), yang menunjukkan
hipotesis nihil ditolak dan hipotesis
alternatif diterima. Dengan demikian
hipotesis ketiga dalam penelitian ini yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara motivasi pimpinan dan
kualitas kinerja pegawai secara bersama-
sama dengan komitmen kerja pegawai
adalah terbukti.
Hasil perhitungan analisis juga
menunjukkan koefisien multiple R sebesar
0,661. Hal ini dapat diinterpretasikan
bahwa ada hubungan yang cukup kuat
antara variabel motivasi pimpinan (X1) dan
kualitas kinerja pegawai(X2) secara
bersama-sama terhadap komitmen kerja
pegawai (Y).
Sumbangan Efektif Variabel Bebas
terhadap Variabel Terikat
Sumbangan Efektif dari masing-
masing variabel bebas ke variabel terikat,
dapat dilihat melalui hasil analisis SPSS
16.00, dimana masing-masing variabel
bebas mempunyai Sumbangan Efektif
sebagai berikut :
SE% X1 = SR%X1 x R2
SE% X2 = SR%X2 x R2
SE% X3 = SR%X3 x R2
131
Dimana :
SE = Sumbangan Efektif
SR = Sumbangan Relatif
R2 = Kuadrat dari koefisien
korelasi berganda
X1 = 0,376 x 0,388 x 100% =
14,58%
X2 = 0,673 x 0,644 x 100% =
43,34%
1. Jumlah SE = X1 + X2
= 14,58% + 43,34%
= 57,92%
Dari kedua variabel bebas diatas,
dapat dilihat bahwa sumbangan efektif yang
paling dominan adalah variabel kualitas
kinerja pegawai (X2) yaitu sebesar 43,34%.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel
kualitas kinerja pegawai mempunyai
hubungan dengan komitmen kerja pegawai
dan untuk variabel motivasi pimpinan
memiliki sumbangan efektif sebesar
14,58% terhadap komitmen kerja pegawai.
Mengingat kualitas kinerja pegawai
mempunyai hubungan yang dominan
dengan komitmen kerja pegawai, maka
peningkatan profesionalisme kualitas
kinerja pegawai perlu ditingkatkan lagi.
PENUTUP
Sesuai dengan perumusan dan
tujuan penelitian ini, berdasarkan hasil
analisis data yang telah dilakukan, dapat
ditarik beberapa simpulan, sebagai berikut
(1) Terdapat hubungan yang signifikan
antara motivasi pimpinan dengan komitmen
kerja pegawai, yang ditunjukkan dengan
probabilitas thitung sebesar 0,038 yang
lebih kecil dari α =0,05 (р). (2) Terdapat
hubungan yang signifikan antara kualitas
kinerja pegawai dengan peningkatan
komitmen kerja pegawai, yang ditunjukkan
dengan probabilitas thitung sebesar 0,029
yang lebih kecil dari α =0,05 (р). (3)
Terdapat hubungan yang signifikan antara
motivasi pimpinan dan kualitas kinerja
pegawai secara bersama-sama dengan
peningkatan komitmen kerja pegawai yang
ditunjukkan dengan probabilitas Fhitung
sebesar 0,000 yang lebih kecil dari α =0,05
(р).
Hasil penelitian telah menunjukkan
bahwa kinerja pegawai memberikan
kontribusi pengaruh paling dominan dalam
meningkatkan komitmen kerja pegawai
berdasarkan penilaian dari pegawai Dinas
Pertanian Kabupaten Waropen, untuk itu
perlu adanya upaya peningkatan
profesionalisme kerja pegawai melalui
serangkaian kegiatan pembinaan
profesionalisme, pelatihan ataupun seminar-
seminar yang memberikan tambahan
wawasan serta ilmu bagi para pegawai.
Disamping perlu juga didukung dengan
motivasi pimpinan yang dapat
meningkatkan komitmen kerja pegawai
dalam melakukan tugas di kantor.
DAFTAR PUSTAKA
Adam I, Indrawijaya. 1989. Perubahan dan
Pengembangan Organisasi.
Bandung: Penerbit Sinar Baru.
Amstrong, M and Baron, A. 1999.
Performance Management- The
New Realities, London: Institute of
Personal and Development.
Angle, H. L., & Perry, J. L. 1981. An
empirical assessment of
organization commitment and
organizational effectiveness.
Administrative Science Quarterly,
26, 1-13.
Allison, M & Hartley, J, 2000, “The Role
Of Leadership of in the
Moderenisasi and Improfment of
Public Service”, Public Money
And Management, April-June.
Ancok, Djamaluddin, 1992, Teknik
Penyusunan Skala Pengukuran.
(Seri Metodologi No.9),
Yogyakarta : Universitas Gajah
Mada.
As‟ad M. 1995. Psikologi Industri,
Yogyakarta : Liberty.
Bateman T dan S. Strasser. 1984.
A Longitudinal Analysis of
Determinant of The Antecedent of
Organizational Commitment.
Academy of Manajement Journal,
27.
Barney, J.B, 1991,”Firm Resources and
Sustained Competitive Advantage”,
Journal Management, Vol. 17, No.
1, p.99-120.
132
Bache, Robert. 1992. Performance
Management (Alih Bahasa :
Dharma & Irawan), Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Dessler, Gray., 1996. Manajemen Sumber
Daya Manusia, Jakarta: PT.
Prenhallindo.
Dessler, G. 1996. Manajemen Personalia.
(Edisi Ketiga) (Terjemahan oleh
Agus Dharma). Jakarta: Erlangga.
Djarwanto., 1988. Statistik Non Parametrik,
Edisi 3, Yogyakarta: BPFE.
Dunham, 1994. Analisis Kebijakan Publik,
Yogyakarta : Gajah Mada
University Press.
Fine, S. A. 1986. Job Analysis.
Dalam R. A. Berk (Ed.), s.
Baltimore: The John Hopkins
University Press.
Gomes, Faustino. Cordoso., 1997.
Manajemen Sumber Daya Manusia.
Yogyakarta: Andi Offset.
Gunz, H.P & Gunz, S.P, 1994,
“Professional/Organizacional
Commitment and Job Satisfaction
for Employed Lawyer”, Human
Relations, Vol. 47, p. 801-807.
Hadi, S., 1979. Metodologi Research.
Yogyakarta: Yayasan Penerbit
Fakultas Psikologi UGM.
Hadi, S. 1991. Statistika Jilid II.
Yogyakarta: Andi Offset.
Handoko. 1985. Manajemen Personalia
dan Sumber Daya Manusia.
Yogyakarta: Liberty.
House, R. J & Shamir, B, 1993, “Toward an
Integration of Transformational,
Charismatic and Visionary Theories
of Leadership, Leadership
Perspectives and Research
Directions: p.81-107. New York:
Academic Press.
Hasibuan, M.S.P. 2003. Manajemen
Sumber Daya Manusia. Jakarta :
Bumi Aksara.
Jacobalis, S., 1989. Menjaga Komitmen
Kerja Pegawai. Jakarta: PP. Persi.
Jurkeiwicz, Massey, 2001, “Motivation in
Public and Private Organization: A
Comparative Study”, Public
Productivity and Management
Review, Vol. 21, No. 3, March.
Kottler, P., 1994. Marketing Management:
Analysis, Planning, Implementation,
and Control ; New Jersey : Prentice
Hall, inc Englewood Cliffs.
Kumorotomo, Wahyuni, 2000. Etika
Administrasi Negara, Jakarta:
Rajawali press.
Laschinger, H.K., Finegen, J., & Shamian ,
J, 2001, ”The Impact of Workplace
Empowerment, Organizational Trust
on Stuff Nurses: Work Satisfaction
and Organizational Commitment”,
Health care Management Review,
Vol: 26, p. 7-23.
Longnecker and Pringle. 1981. In Seacrh
Result, Performance Management
Practices in Norway, Public
Management Service, OECD.
Malayu, Hasibuan., 2003. Manajemen
Sumber Daya Manusia, Jakarta: PT.
Toko Gunung Agung.
Margono, S., 1997. Metode Penelitian.
Jakarta: Rineka Cipta.
Meyer, J. P., & Allen, N. J. 1991.
Commitment in the workplace:
Theory, research, and application.
Newbury Park, CA: Sage.
Mc-Neece-Smith, Donna, 1996, “Increasing
Employee Productivity, Job-
Satisfaction and Organizational
Commitment”, Journal Hospital &
Health Services Administration.
Mowday, 1982, Employee-Organization
Linkages : The Psychology of
Commitment, Absenteeism and
Turnover, New York : Academic
Press.
Mitchell, 1982. Pengelolaan Sumberdaya
dan Lingkungan, Terjemahan,
Cetakan Pertama (Agustus 2000),
Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Mathiu dan Zajack, 1993. Manajemen
Kepegawaian di Indonesia, Jakarta
: PT. Gunung Agung.
Morgan and Hunt, 1994. Modern Public
Administration, New York: Harper
International Edition.
Mc. Clelland. 1999. Pedoman
Pengembangan Organisasi (Terjemahan).
Jakarta: Penerbit PT Pustaka
Binaman Pressindo.
133
Nasution, 2001. Manajemen Sumber Daya
Manusia, Jakarta : Penerbit Bumi
Aksara
Owens, Robert G. 1997. Organizational
Behavioral in Education: New
Jersey: Prentice Hall. Inc.
Englewood Cliffs.
Ostroff, C, 2003, “The Relationship
Between Satisfaction, Attitudes and
Performance An Organization Level
Analysis”, Journal of Apllied
Psychology, Vol: 77, No. 6, p. 933-
973.
Porter. 2002. Paradigma Baru-Manajemen
Sumber Daya Manusia, Yogyakarta
: Amara Books.
Robbins, Stephen.P. 2007. Prinsip-Prinsip
Perilaku Organisasi, Edisi Kelima,
Jakarta: Erlangga.
Riggs, Frew W, 1961. The Ecology of
Public Administration, New York:
Asia Publishing House.
Rivai, Veithzal, 1985. Kepemimpinan dan
Perilaku Organisasi, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada
Singodimejo., 1999. Manajemen Sumber
Daya Manusia. Jakarta: AIMIN.
Singarimbun M dan Sofian, E. 1982.
Metode Penelitian Suevey, Cetakan
Kedua, Jakarta: LP3ES.
Stephen, P. Robbins. 2003. Organisational
Behavior, new Jersey: Prentice-
Hall,inc.
Sudjana, Nana., 2000. Dasar-dasar Proses
Pelaksanaan Tugas, Bandung: Sinar
Baru.
Sugiarto, 2000. Pengaruh Kepemimpinan
dan Kemampuan Individual
terhadap Produktivitas Kerja ( Study
Empiris pada Kantor Cabang BRI di
Yogyakarta), Jurnal Bisnis dan
Manajemen. Vol.1 no.3.
Suharsimi, Arikunto., 1998. Prosedur
Penelitian Suatu Pengantar
Praktek, Cetakan kedua, Edisi
Revisi IV, Jakarta: Rieneka Cipta.
Smith, Kirk., Jones, Eli, & Blair, Edward,
2000, “Managing Salesperson
Motivation in a Territory
Realigment” Journal of Personal
Selling & Sales Management, Vol.
XX, No. 4, p. 215-226.
Simmons, E. S, 2005, ”Predictors of
Organizational Commitment
Among Staff in Assisted Living”
The Gerontologist, Vol. 45 No. 2,
p.196-206.
Smith, Kirk et al, 1976, “Managing
Salesperson Motivation in a
Territory Realignment”, Journal of
Personal Selling & Sales
Management, Vol. XX, No. 4 P.
215-226.
Santoso, Budi. Hubunngan Antara Motivasi
Pimpinan dan Kualitas Kinerja
Pegawai Terhadap Tingkat
Pelayanan Pegawai Pada Dinas
Pertanian Kabupaten Kediri. Tesis
tidak dipublikasikan. IMNI Jakarta.
Sevilla, 1993, Pengantar Metode
Penelitian, Cetakan Pertama.
Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia (UI-Press).
Siegel, dan Lane, (1992). Manajemen, Edisi
Ketiga, Jakarta : Intermedia.
Wahjosumidjo., 1999. Kepemimpinan dan
Motivasi. Jakarta : Ghalia Indonesia.
Weicks, K.E. (1995), Organizational
Culture and High Reliability,
California Management Review,
29(2), pp.112-127.
Zubaidah, Indah. 2005, Hubungan Antara
Motivasi Pimpinan dan Kualitas
Kinerja Pegawai Terhadap
Komitmen Kerja Pegawai di Dinas
Pertanian Lamongan. Tesis, Tidak
dipublikasikan, Malang,
Pascasarjana IMNI Jakarta.
134
KOMUNIKASI POLITIK; Sebuah Kajian Teoritis
Khoiron
Staf Pengajar Pada Program Studi Administrasi Negara
Fakultas Ilmi Administrasi Universitas Islam Malang
Abstrak
Setiap manusia membutuhkan komunikasi antar sesama, baik untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya ataupun kebutuhan lainnya. Komunikasi dapat melampaui batas-batas
sosial, ekonomi dan politik antar sesama manusia. Bahkan tidak sedikit manusia
membutuhkan komunikasi dengan hal-hal diluar akal manusia itu sendiri. Dalam kehidupan
sosial-politik, istilah komunikasi apabila dikaitkan dengan isu-isu politik startegis telah
banyak dibahas dan dikaji di dalam berbagai forum ilmiah. karena, diakui atau tidak
“komunikasi” menjadi begitu “urgent” dan penting ketika menyangkut persoalan kehidupan
sosial dan politik di era demokrasi sekarang ini dalam mempertahankan indentitas.
kata kunci: komunikasi, politik
Abstract Every man is in need of communication between people, both to meet their basic needs or
other needs. Communication can transcend the boundaries of social, economic and political
among humans. Even some people require communication with things outside the human
mind itself. In the socio-political life, the term communication when linked with strategic
political issues have been widely discussed and studied in various scientific forums. because,
recognized or not "communication" to be so "urgent" and is important when it comes to
issues of social and political life in the era of democracy today in sustaining identity.
keywords: communication, politics
PENDAHULUAN
Belum lama ini fenomena
terpilihnya seorang Joko Widodo sebagai
Gubernur Jakarta pada pemilihan gubernur
tahun 2012 yang lalu, disinyalir tidak lepas
dari gaya “blusukan” atau gaya komunikasi
politik yang telah mendobrak gaya
komunikasi politik konvensional, monoton
dan cenderung datar dari gaya elit politik
selama ini. Model komunikasi tersebut
terkesan sedikit “nyleneh” dan keluar dari
mainstream kepemimpinan yang
diperlihatkan oleh para pemimpin kita.
Akan tetapi, gaya tersebut justru membuat
Joko Widodo di anggap sebagai pemimpin
yang sederhana (low profile) mau
mendengar suara rakyat, meskipun tidak
sedikit yang bersikap skeptis. Namun,
komunikasi politik dengan gaya “blusukan”
tersebut sudah terlanjur menjadi semacam
“trand” di mata publik dalam setiap pemilu
diberbagai daerah di Indonesia. Hal yang
sama juga dilakukan oleh beberapa calon
legislative dalam menghadapi pemilu 2014,
dengan model komunikasi ala Joko
Widodo. Para caleg berlomba-lomba turun
langsung di tengah-tengah masyarakat
dengan menanggalkan atribut dalam
menarik simpati masyarakat.
Dalam istilah komunikasi atau
bahasa Inggris communication berasal dari
kata Latin communicatio, dan bersumber
dari kata communis yang berarti sama.
Sama di sini maksudnya adalah sama
makna. Jadi, kalau dua orang terlibat dalam
komunikasi, misalnya dalam bentuk
135
percakapan, maka komunikasi akan terjadi
atau berlangsung selama ada kesamaan
makna mengenai apa yang dipercakapkan.
Kesamaan bahasa yang dipergunakan dalam
percakapan itu belum tentu menimbulkan
kesamaan makna. Dengan lain perkataan,
mengerti bahasanya saja belum tentu
mengerti makna yang dibawakan oleh
bahasa itu. Jelas bahwa percakapan kedua
orang tadi dapat dikatakan komunikatif
apabila kedua-duanya, selain mengerti
bahasa yang dipergunakan, juga mengerti
makna dari bahan yang dipercakapkan.
Akan tetapi, pengertian komunikasi
yang dipaparkan di atas sifatnya dasariah,
dalam arti kata bahwa komunikasi itu
minimal harus mengandung kesamaan
makna antara dua pihak yang terlibat.
Dikatakan minimal karena kegiatan
komunikasi tidak hanya informatif, yakni
agar orang lain mengerti dan tahu, tetapi
juga persuasif, yaitu agar orang lain
bersedia menerima suatu paham atau
keyakinan, melakukan suatu perbuatan atau
kegiatan, dan lain-lain. Pentingnya
komunikasi bagi kehidupan sosial, budaya,
pendidikan, dan politik sudah disadari oleh
para cendekiawan sejak Aristoteles yang
hidup ratusan tahun sebelum Masehi. Akan
tetapi, studi Aristoteles hanya berkisar pada
retorika dalam lingkungan kecil. Baru pada
pertengahan abad ke-20 ketika dunia
dirasakan semakin kecil akibat revolusi
industri dan revolusi teknologi elektronik,
setelah ditemukan kapal api, pesawat
terbang, listrik, telepon, surat kabar, film,
radio, televisi, dan sebagainya maka para
cendekiawan pada abad sekarang
menyadari pentingnya komunikasi
ditingkatkan dari pengetahuan (knowledge)
menjadi ilmu (science).
Dalam kajian ilmu komunikasi, ada
beberapa pendapat tentang komunikasi
yang dianggap relevan untuk menjelaskan
tentang apa itu komunikasi sebelum
membahas mengenai komunikasi politik
secara panjang lebar. Seperti yang
diutarakan oleh Carl l. Hovland dalam
Onong U Effendy (2003), bahwa ilmu
komunikasi adalah upaya yang sistematis
untuk merumuskan secara tegar asas-asas
penyampaian informasi serta pembentukan
pedapat dan sikap.
Definisi Hovland di atas,
menunjukkan bahwa yang dijadikan objek
studi ilmu komunikasi bukan saja
penyampaian informasi, melainkan juga
pembentukan pendapat umum (public
opinion) dan sikap publik (public attitude)
yang dalam kehidupan sosial dan kehidupan
politik memainkan peranan yang amat
penting. Bahkan dalam definisinya secara
khusus mengenai pengertian
komunikasinya sendiri, Hovland
mengatakan bahwa komunikasi adalah
proses mengubah perilaku orang lain. Akan
tetapi, seseorang akan dapat mengubah
sikap pendapat atau perilaku orang lain
apabila komunikasinya itu memang
komunikatif seperti diuraikan di atas.
Konseptualiasi komunikasi Hovland terlihat
hanya berdimensi pada perubahan sikap dan
perilaku orang jika komunikasinya sangat
efektif dan benar-benar mampunyai power
dalam mempengaruhi orang lain, sehingga
proses tranformasi pesan dapat berbanding
lurus dengan tujuan komunikasi itu sendiri.
Namun Hovland tidak mampu
menjelaskan tentang subtansi dari
komunikasi yang tidak efektif, artinya
pengertian mampu merubah sikap dan
perilaku orang hanya dapat dilakukan
secara efektif, padahal komunikasi yang
tidak efektif juga disebut sebagai bagian
dari komunikasi itu sendiri jika kita
meminjam pengertian komunikasi dari Dan
Nimmo.
Selanjutnya, sebagaimana
pengertian yang berbeda dengan Hovland,
Dan Nimmo (1989), mengatakan bahwa
komunikasi adalah proses interaksi sosial
yang digunakan orang untuk menyusun
makna yang merupakan citra mereka
mengenai dunia (yang berdasarkan itu
mereka bertindak) dan untuk bertukar citra
itu melalui simbol-simbol. Oleh karena itu,
untuk memahami pengertian komunikasi
secara lebih luas sehingga dapat
dilancarkan secara efektif, para peminat
komunikasi sering kali mengutip paradigma
yang dikemukakan oleh Harold D. Lasswell
dalam karyanya, The structure and
Function of communication in society.
136
Harold D. Lasswell mengatakan
bahwa cara yang baik untuk menjelaskan
komunikasi ialah menjawab pertanyaan
sebagai berikut; Who Says What In Which
Channel To Whom With What Effect?
Paradigma Lasswell di atas menunjukkan
bahwa komunikasi meliputi lima unsur
sebagai jawaban dari pertanyaan yang
diajukan itu yakni: komunikator
(communicator, source, sender), pesan
(message), media (channel, media),
komunikan (communicant, communicatee,
receiver, recipient), dan efek (effect,
impact, influence)
Jadi, berdasarkan paradigma
Lasswell tersebut, komunikasi adalah
proses penyampaian pesan oleh
komunikator kepada komunikan melalui
media yang menimbulkan efek tertentu.
Lasswell menghendaki agar komunikasi
dijadikan objek studi ilmiah, bahkan setiap
unsur diteliti secara khusus. Studi mengenai
komunikator dinamakan control analysis;
penelitian mengenai pers, radio, televisi,
film, dan media lainnya disebut media
analysis; penyelidikan mengenai pesan
dinama content analysis; audience analysis
adalah studi khusus tentang komunikan;
sedangkan effect analysis merupakan
penelitian mengenai efek atau dampak yang
ditimbulkan oleh komunikasi.
Sebuah komunikasi akan dipandang
efektif, jika mampu memberikan efek
positif terhadap suatu permasalahan sosial
dan lain sebagainya. Komunikasi dianggap
sebagai instrumen dalam menyatukan
pandangan, paradigma dan bahkan
perbedaan ideologi tertentu untuk
mendialogkan dalam kehidupan sosial,
politik, hukum dan agama. Sebagaimana
yang di kemukakan oleh Firmanzah bahwa
komunikasi adalah suatu proses yang
mencoba membangun pemahaman bersama
akan suatu hal.
Komunikasi dalam hal ini
melibatkan dua pihak atau lebih. Tujuan
utama komunikasi bukan sekadar
memberikan data dan informasi kepada
pihak lain, tetapi lebih dari itu berusaha
rnembangun pemahaman bersama agar
kedua belah pihak memiliki persepsi yang
sama. Sebelum kesamaan persepsi
terwujud, tujuan komunikasi belum tercapai
pula. Untuk membangun dan menciptakan
kesamaan persepsi ini tentu saja tidak
mudah. Dibutuhkan keterbukaan masing-
masing pihak yang terlibat dalam proses
komunikasi untuk dapat saling membuka
diri dan menerima masukan dari pihak lain.
selain itu harus ada keinginan berbagi yang
dilandasi oleh “trust” (saling
mempercayai) di antara pihak-pihak yang
terlibat dalam proses komunikasi tersebut.
Komunikasi dan Politik
Jika dianggap bahwa ilmu politik
mempelajari politik, maka kiranya perlu
dibahas dulu istilah “politik” itu. Pemikiran
mengenai politik (politics) di dunia Barat
banyak dipengaruhi oleh filsuf Yunani
Kuno abad ke-5 S.M. Filsuf seperti Plato
dan Aristoteles menganggap politik
(politics) sebagai suatu usaha untuk
mencapai masyarakat politik (polity) yang
terbaik. Di dalam polity semacam itu
manusia akan hidup bahagia karena
memiliki peluang untuk mengembangkan
bakat, bergaul dengan rasa kemasyarakatan
yang akrab, dan hidup dalam suasana
moralitas yang tinggi.
Dalam sejarahnya, politik selalu
diidentikkan dengan cara untuk merebut
sebuah kekuasaan. Meskipun demikian
memang sangat rasional jika pemberian
label kekuasaan pada praktik berpolitik
dikehidupan bernegara seperti sekarang ini.
Karena politik adalah seni dalam merebut
kekuasaan, sehingga sering dilakukan
secara konstitusional atau bahkan bisa
dengan cara inkonstitusional jika itu
menjadi pilihan rasional dalam praktik
berpolitiknya.
Sebagaimana pakar komunikasi
politik Harold D. Lasswell dalam buku Who
Gets What, When, How mengatakan bahwa
politik adalah siapa mendapatkan apa,
kapan, dan bagaimana. Dengan pengertian
politik seperti itu, tentulah seseorang yang
berpolitik akan terus mengejar sesuatu yang
menjadi kepentingannya baik kepentingan
itu bersifat individu atau kelompok.
Dalam sejarah klasik, Aristoteles
menyatakan bahwa suatu bentuk negara
boleh disebut baik, jika diarahkan pada
137
kepentingan umum, yakni kepentingan
setiap individu. Sedang bentuk negara yang
diarahkan pada kepentingan penguasa harus
disebut buruk. Konsep kehidupan bernegara
yang dikemukakan oleh Aristoteles di atas
mencoba untuk membentuk masyarakat
yang berkeadilan sosial, dimana dimensi-
dimensinya terletak pada bagaimana sebuah
penyelenggaraan Negara harus ditujukan
kepada kepentingan umum.
Sedangkan di era modern,
masyarakat yang berpengetahuan akan
menuntut atas hak-hak dasar sebagai warga
Negara. Seperti yang di jelaskan oleh P.
Eric Laouw dalam bukunya The Media and
Political Process (2005), mencoba memberi
uraian bahwa di tengah kelangkaan sumber
daya yang tersedia, masyarakat akan
berusaha mendapatkan akses untuk
memperoleh sumber daya yang terbatas
dalam memenuhi tuntutan hidupnya. Jika
masyarakat tidak bisa memperoleh
kepuasan yang maksimal dalam memenuhi
tuntutan hidupnya, diperlukan keputusan
alokasi sumber daya. Misalnya siapa yang
akan memperoleh apa, bagaimana sumber
daya yang terbatas itu terkelola dengan
baik, siapa yang diberi wewenang
(legitimasi) mengambil keputusan karena
keputusan yang diambil bisa menghasilkan
ada pihak yang menang dan ada pula yang
kalah, diperlukan mekanisme untuk
mengajak mereka untuk menerima
keputusan tersebut.
Selanjutnya, sejak keputusan itu
mempengaruhi kesempatan hidup orang,
akan terjadi perebutan, baik antar pribadi
maupun antar kelompok untuk menentukan
siapa yang akan menduduki posisi kunci
dalam pengambilan keputusan. Perebutan
juga timbul dalam memperebutkan nilai-
nilai pondasi organisasi dan juga alokasi
sumber daya. Oleh karena itu, elemen yang
paling mendasar pada politik adalah sebuah
proses pengambilan keputusan, sebuah
perebutan untuk memperoleh akses pada
posisi pengambilan keputusan, dan proses
kewenangan untuk menjalankan keputusan-
keputusan itu. Dari pemahaman yang dibuat
Eric Louw ini, politik mengandung
sejumlah konsep kenegaraan, yakni
kekuasaan (power), pengambilan keputusan
(decision making), kebijaksanaan (policy),
dan pembagian atau alokasi sumber daya
(resource).
Politik juga bisa dipandang sebagai
sebuah kegiatan yang dilakukan dalam
suatu negara yang menyangkut proses
menentukan tujuan dan melaksanakan
tujuan tersebut. Untuk melaksanakan tujuan
itu, diperlukan kebijaksanaan umum (public
policy) yang mengatur alokasi sumber daya
yang ada, dan untuk melaksanakan
kebijaksanaan itu, perlu ada kekuasaan
(power) dan kewenangan (authoity) yang
akan dipakai, baik untuk membina
kerjasama maupun menyelesaikan konflik
yang bisa timbul setiap saat.
KAJIAN TEORI
Komunikasi Politik
Komunikasi politik dalam ilmu
politik (political science), telah mengalami
perkembangan dalam pengertiannya.
Sebagaimana pemikir politik Gabriel
Almond dalam Alfian (1991), pernah
mengkategorikannya sebagai satu dari
empat fungsi input dari sistem politik.
Kemudian mereka yang menggunakan
pendekatan komunikasi politik terhadap
sistem politik telah menjadikan komunikasi
politik sebagai penyebab bekerjanya semua
fungsi sistem politik. Ia diibaratkan sebagai
sirkulasi darah dalam tubuh. Bukan
darahnya, tapi apa yang terkandung di
dalam darahnya itu yang menjadikan sistem
politik itu hidup. Komunikasi politik
dianggap sebagai layaknya darah,
mengalirkan pesan-pesan politik berupa
tuntutan, protes, dan dukungan (aspirasi dan
kepentingan) ke jantung (pusat)
pemprosesan sistem politik, dan hasil
pemprosesan itu yang tersimpul dalam
fungsi-fungsi out-put, dialirkan kembali ke
komunikasi politik yang selanjutnya
menjadi feedback sistem politik. Seperti itu
model komunikasi politik (political
communication), menjadikan sistem politik
itu hidup dan lebih dinamis.
Selanjutnya, pandangan yang
berbeda tentang komunikasi politik dari
Dan Nimmo (1983), yang berpandangan
bahwa komunikasi politik menggunakan
politik hanya untuk mengartikan kegiatan
138
orang secara kolektif yang mengatur
perbuatan mereka di dalam kondisi konflik
sosial. Sedangkan menurut Mark Roelofs
dan Barn Lund, bahwa komunikasi politik
lebih memusatkan kajiannya pada bobot
materi muatan yang berisi pesan-pesan
politik (isu politik, peristiwa politik dan
perilaku politik individu-individu, baik
sebagai penguasa maupun yang berada
dalam asosiasi-asosiasi kemasyarakatan
atau asosiasi politik).
Bertolak dari konsep komunikasi
dan konsep politik yang telah diuraikan
pada bagian awal, upaya untuk mendekati
pengertian yang dimaksud dengan
komunikasi politik, menurut Dahlan (1999)
ialah suatu bidang atau disiplin yang
menelaah perilaku dan kegiatan komunikasi
yang bersifat politik, mempunyai akibat
politik atau berpengaruh terhadap perilaku
politik. Dengan demikian pengertian
komunikasi politik dapat dirumuskan
sebagai suatu proses pengoperan lambang-
lambang atau simbol-simbol komunikasi
yang berisi pesan-pesan politik dari
seseorang atau kelompok kepada orang lain
dengan tujuan untuk membuka wawasan
atau cara berpikir, serta mempengaruhi
sikap dan tingkah khalayak yang menjadi
target politik.
Meadow dalam Nimmo (2004)
juga membuat definisi bahwa “political
communication refers to any exchange of
symbols or messages that to a significant
extent have been shaped by or have
consequences for political system". Di sini
Meadow memberi tekanan bahwa simbol-
simbol atau pesan-pesan yang disampaikan
itu secara signifikan dibentuk atau memiliki
konsekuensi terhadap sistem politik.
Akan tetapi, Nimmo sendiri yang
mengutip Meadow dalam bukunya itu
hanya member tekanan pada pengaturan
umat manusia yang dilakukan di bawah
kondisi konflik, sebagaimana disebutkan
"communication (activity) concidered
political by virtue of its consequences
(actual or potential) which regulate human
conduct under the condition of conflict.
Baik Meadow maupun Dan Nimmo,
termasuk Gabriel Almond adalah sarjana-
sarjana politik keluaran 1950-an dengan
aliran behavioristik yang melihat politik
tidak saja membahas masalah negara,
melainkan dalam hubungannya dengan
komunikasi (media massa) dan opini
publik.
Unsur Komunikasi Politik
Seperti halnya dengan disiplin
komunikasi lainnya, komunikasi politik
sebagai body of knowledge juga terdiri aras
berbagai unsure yakni: sumber
(komunikator), pesan, media atau saluran,
penerima dan efek.
Komunikator Politik
Komunikasi politik tidak hanya
menyangkut parrai politik, melainkan juga
lembaga pemerintahan legislatif dan
eksekutif. Dengan demikian, sumber atau
komunikator politik adalah mereka-mereka
yang dapat memberi informasi tentang hal-
hal yang mengandung makna atau bobot
politik, misalnya presiden, menteri, anggota
DPR, MPR, KPU, gubernur,
bupati/walikota, DPRD, politisi,
fungsionaris partai politik, fungsionaris
Lembaga Swadaya Myasarakat (LSM), dan
kelompok-kelompok penekan dalam
masyarakat yang bisa pempengaruhi
jalannya pemerintahan. Adapun pesan
politik ialah pernyataan yang disampaikan,
baik secara tertulis maupun tidak tertulis,
baik secara verbal maupun non verbal,
tersembunyi maupun terang-terangan, baik
yang disadari maupun yang tidak disadari
yang isinya mengandung bobot politik.
Komponen terpenting dalam proses
komunikasi adalah komunikan atau
penerima pesan. Menurut Effendy
(2001:13), komunikan memiliki fungsi
mengawasandi (decode) pesan dari
komunikator sehingga komunika disebut
sebagai (decoder).
Relasi Wakil dan Terwakil
Secara substansial, perwakilan
berarti adanya para wakil yang bertindak
sebagaimana kepentingan atau yang
diinginkan oleh orang-orang yang
diwakilinya.
Dalam hal ini, Suzanne Dovi,
lebih jauh mengatakan bahwa; A good
139
representative is simply one who advance
the policy preferences of her constituents
(provided that those policy preferences are
lawful). Good representatives are good
lackeys (the theoretical literature calls such
representatives “delegates”). In fact, most
contemporary empirical research on
representation assumes that democratic
representation occurs when a
representative‟s action reflect and respond
to constituents‟ expressed p0licy
preferences. According to this way of
thinking, there is nothing more to
representing in a democratic fashion than
responsiveness to democratic citizens‟
policy preferences.
Adanya wakil yang berkarakter
semacam inilah yang diharapkan bisa
terjadi setelah pemerintah Orde Baru jatuh.
Hanya saja, seperti telah disinggung
sebelumnya, harapan itu belum menjadi
kenyataan karena masih terjadi disconnect
electoral antara para wakil dan terwakil.
Secara kelembagaan, sudah diupayakan
untuk membangun relasi yang lebih baik
antara wakil dan terwakil. Adanya sistem
pendapilan yang dimulai sejak tahun 2004,
merupakan contohnya. Melalui sistem ini,
bisa teridentifdikasi lebih jelas tentang
siapa mewakili siapa dan dari daerah mana.
Para wakil bisa menyadari bahwa meraka
terpilih karena mewakili orang dan daerah
tertentu. Sebaliknya, para pemilih juga bisa
mengetahui siapa yang mewakili mereka
dan daerahnya, baik di DPR maupun
DPRD.
Di samping itu, secara
kelembagaan para wakil juga didorong
untuk mengadakan kunjungan secara rutin
ke daerah pemilihannya masing-masing,
baik pada masa reses maupun pada hari-hari
kerja. Program itu disebut sebagai program
Jaring Aspirasi Masyarakat (Jaring
Asmara). Melalui program ini para rakyat
bisa mengetahui permasalahan-
permasalahan apa yang selalu di hadapi
oleh masayarakat di daerah pemilihannya.
Pada saat itu, masyarakat juga bisa
menyalurkan aspirasi yang dimilikinya
secara langsung. Diharapkan, melalui
kegiatan semacam itu para wakil rakyat
berusaha memperjuangkan kepentingan dan
menyelesaikann permasalahan di daerah
pemilihannya melalui kebijakan-kebijkan
yang dibuat bersama-sama pemerintah. Para
wakil rakyat juga bisa menyalurkan jalan
pemecahannya melalui institusi-institusi
yang terkait langsung permasalahan yang
dihadapi oleh masyarakat.
Kerangka kelembagaan itu
dirancang agar para wakil rakyat lebih
responsif terhadap isu-isu yang berkembang
di daerah pemilihannya masing-masing,
yakni melalui proses pengumpulan berbagai
masukan dan memperjuangkannya melalui
keputusan-keputusan politik. Selain itu,
secara politik, mekanisme kelembagaan
semacam itu juga memungkinkan
terjadinya akuntabilitas dari wakil rakyat.
Secara politik para wakil rakyat dikatakan
accountable ketika masyarakat memberi
hadiah untuk memilihnya kembali sebagai
wakil rakyat pada pemilu berikutnya.
Sebaliknya, dikatakan tidak accountable
ketika mereka gagal memperoleh mandat
kembali.
Melalui desain semacam itu,
relasi antara para wakil rakyat sebagai
agent dengan para pemilih sebagai
principal, di harapkan bisa lebih
melembaga. Sebagai agent, para wakil
rakyat diharapkan lebih banyak mendengar
dan mengagregasikan kepentingan yang
diwakilinya. Sementara itu, konstituen
sebagai principal diharapkan bisa lebih
melakukan pengawasan dan bisa
memberikan reward dan punishment
kepada para wakil. Manakala para waklli
bekerja cukup baik untuk rakyat, bisa diberi
reward melalui keterampilan kembali.
Sebaliknya, ketika tidak bekerja untuk
rakyat, dihukum ketidakterpilihan kembali.
Masalah akuntabilitas para wakil
juga masih menjadi masalah yang cukup
serius, bukan hanya berkait para wakil
sendiri, melainkan juga terjadi ketika
dikaitkan dengan konstituen. hal ini terkait
dengan realitas bahwa para pemilih tidak
sepunuhnya memiliki informasi yang cukup
terhadap kinerja para wakilnya. Padahal
penguasaan informasi yang cukup
merupakan dasar yang sangat penting bagi
para pemilih rasional dalam menetukan
pilihannya, termasuk apakah akan tetap
140
mempertahankan para wakilnya ataukah
memilih alternatif yang lain, baik dari
partainya sendiri maupun dari partai lain.
DAFTAR PUSTAKA Alfian. Komunikasi Politik dan Sistem
Politik Indonesia. PT Gramedia
Pustaka Indoensia. Jakarta, 1991
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu
Politik: PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta, 2008
Cangara, Hafied. Komunikasi Politik;
Konsep, Teori, dan Strategi: PT
Raja Grafindo Persada. Jakarta,
2009
Effendy, Onong Uchjana. Ilmu
Komunikasi; Teori dan Praktek:
PT. ROSDA. Bandung, 2003
Firmanzah. Marketing Politik; Antara
Pemahaman dan Realitas:
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta,
2008
Fakhri, Mustofa. Buku Panduan Tentang
Menjalin Hubungan Konstituen
dan Keterwakilan. UNDP :
Jakarta, 2009
Gaffar, Affan. Politik Indonesia. Transisi
Menuju Demokrasi: PT. Pustaka
Pelajar. Yogjakarta, 1999
Gaffar, Affan. Profil Budaya Politik
Indonesia: PT Pustaka Utama
Grafiti. Jakarta, 1991
Hardiman. F. Budi. Demokrasi Deliberatif,
Menimbang „Negara Hukum‟ dan
„Ruang Publik‟ dalam Teori
Diskursus Jurgen Habermas:
Kanisius. Yogyakarta, 2009
Hikmat, M. Mahi. Komunikasi Politik;
Teori dan Praktik. Simbiosa
Rekatama Media. Bandung, 2010
Locke, John. Kuasa itu Milik Rakyat:
Kanisius. Yogyakarta, 2002
Marijan, Kacung. Sistem Politik Indonesia.
Konsolidasi Demokrasi Pasca-
Orde Baru. Kencana Predana
Media Group. Jakarta, 2010
Nimmo, Dan. Komunikasi Politik;
Komunikator, Pesan, dan Media:
CV. Ramadja Karya. Bandung,
1989
Revith, Diani dan Thernstrom, Abigail.
Demokrasi Klasik dan Modern:
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta,
2005
Sanit, Arbi. Perwakilan Politik di
Indonesia: Rajawali. Jakarta, 1985
SANKRI. Buku III Landasan dan Pedoman
Pokok Penyelenggaraan Sistem
Administrasi Negara. Lembaga
Administrasi Negara Republik
Indonesia. Jakarta, 2005
Internet :
www. http/sistem-perwakilan-politik-di-
indonesia.htm
www. Kompas. “ Pedagang Malang Merasa
diabaikan DPRD”. Com
www. http:/ mencermati-kembali-
representasi.html
www/http.blog-arya-budi-reformasi-
parlemen-100%.html
141
FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN PILIHAN JENIS PEKERJAAN DAN
LIMITASINYA PADA SEKTOR INFORMAL PERKOTAAN; Studi Kasus pada
Masyarakat Miskin di Kelurahan Kotalama Kota Malang
Agus Zainal Abidin
Dosen Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Islam Malang
PENDAHULUAN
Terbatasnya kesempatan kerja yang
ada di dalam negeri, khususnya di
perdesaan telah mengakibatkan arus
urbanisasi yang pesat. Urbanisasi ini
kebanyakan adalah buruh tani atau
sebelumnya sebagai pengangguran di desa,
setelah di kota merupakan kajian penting
dan berpengaruh terhadap kawasan
destinasi. Pada kawasan destinasi (kota)
lazimnya mereka bekerja di sektor informal,
misalnya pemulung, buruh bangunan,
penarik becak, pelacur, pedagang kaki lima
dan sebagainya.
Melihat fakta dimana angka
pengangguran di Indonesia pada tahun
2000, sebagaimana dikatakan Simanjuntak,
yang ditaporkan pada harlan Kompas
tanggat 26 Februari 2000 yang begitu besar
dan masih ditambah dengan adanya sekitar
2,5 sampai 3,5 juta angkatan kerja yang
masuk ke pasar kerja. Dengan semakin
tingginya angka pengangguran saat ini dan
masih ditambah dengan masuknya angkatan
kerja baru, justru akan mempersempit
kesempatan kerja, terutama pada lapangan
kerja sektor formal.
Pertumbuhan kesempatan kerja yang
berbeda secara mencolok menjadi salah
satu ciri yang menandal besarnya arus
mobilitas tenaga kerja. Dengan kata lain,
besarnya arus inigrasi tenaga kerja sangat
dipengaruhi oleh kurangnya kesempatan
kerja (pada sektor formal khususnya) atau
upah yang relatif sangat rendah di daerah
asal (origin area). Sebagian besar urbanit
tersebut di perkotaan banyak yang bekerja
pada sektor informal untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Beberapa studi yang
dilakukan menyimpulkan bahwa inigrasi ini
disebabkan semakin menyempitnya
kesempatan kerja pada sektor formal di
suatu wilayah dan masih ditambah lagi
dengan kurangnya kemampuan dan
ketrampilan yang dimiliki oleh para inigran
atau urbanit di perkotaan.
Oleh karena itu sektor informal
merupakan keterpaksaan pilihan bagi
sebagian besar kaum inigran di perkotaan.
Mereka terpaksa dan memaksa din dan
keluarganya untuk beradaptasi dengan
lingkungannya, sehingga tidak jarang anak-
anak mereka dipekerjakan untuk membantu
mereka, baik itu menjadi penjaga barang
dagangannya ataupun ditempat yang
berbeda seperti pengamen, pengeinis dan
pedagang asongan (Adi, 2003).
Penduduk miskin di Indonesia
mengalaini fluktuatif yang dipengaruhi oleh
banyak faktor. Krisis ekonomi yang
melanda di Indonesia pada pertengahan
tahun 1997 telah menyebabkan
bertambahnya penduduk yang hidup di
bawah garis kemiskinan, padahal sebelum
terjadinya krisis jumlah penduduk miskin
sudah terus berkurang. Kalau kita amati
hasil Survai Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas) pada tahun 2002 dan 2003
penduduk miskin di Propinsi Jawa Timur
menduduki peringkat teratas dibandingkan
dengan propinsi lain di Indonesia sehingga
penelitian yang dilakukan di Kota Malang
inincukup beralasan sebagai kota terbesar
kedua di Provinsi Jawa Timur dengan
jumlah penduduknya yang sebagman besar
bekerja pada sektor informal. Jadi sekalipun
kemiskinan sudah berkurang persertasinya
hingga pada tahun 2003, penduduk
Indonesia sekitar 210 juta jiwa hampir 40
juta masih hidup dalam serba kemiskinan
(Mubyarto, 2003) namun jurang kaya
miskin makin menganga di kota.
142
Menurut hemat saya, penelitian
mengenai bagaimana menentukan pilihan
pekerjaan yang lebih difokuskan pada
masyarakat miskin perkotaan yang bekerja
pada sektor informal masih jarang
dilakukan. Padahal sebagian besar
masyarakat (miskin) perkotaan tertampung
dalam sektor informal. Dengan mengetahui
faktor-faktor dominan yang menentukan
pilihan jenis pekerjaan pada sektor informal
bagi masyarakat miskin ini merupakan
potensi sekaligus tantangan bagi mereka
dan pemerintah daerah pada umumnya.
Faktor-faktor tersebut dianggap sebagai
peluang jika sangat mendukung pilihan
pekerjaannya. Namun dianggap sebagai
tantangan apabila taktor-faktor tersebut
merupakan kekurangan atau kelemahan
yang secara sadar dihindari dalam
menentukan pilihan jenis pekerjaan.
Oleh karena itu, terkait dengan
upaya pembangunan lokal dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat
miskin di perkotaan, maka hasil penelitian
ini menjadi sangat penting dalam
pelaksanaan berbagai program dan proyek
pemberdayaan dan pengentasan kerniskinan
karena diketahui tantangan dan peluang
masyarakat miskin itu sendiri agar upaya
pemberdayaan dapat berjalan tepat sasaran.
Penelitian ini berusaha untuk
memahami menurut perspektif mereka Oleh
karena itu upaya pemahaman faktor-faktor
yang menentukan pilhan pekerjaan tersebut
dipandang perlu berangkat dari mereka
sendiri sebagai pelaku. Sehingga apabila
dirumuskan, permasalahan pokok yang
menjadi pusat perhatian dalam penektian ini
adalah: (1) pertimbangan apa saja yang
dijadikan dasar bagi keluarga miskin
perkotaan dalam menentukan pilihan jenis
pekerjaan pada sektor informal bidang
usaha distribusi kecil-kecilan atau jasa
(enterprener); (2) bagaimana eksistensi dan
kontribusi pekerjaan yang digeluti terhadap
kesejahteraan bagi keluarga miskin
perkotaan pada sektor informal enterprener;
(3) faktor-faktor apa yang menjadi limitasi
pekerjaan tersebut dalam meningkatkan
kesejahteraan keluarga miskin perkotaan
pada sektor informal enterprener.
Penelitian ini pada dasarnya
bertujuan untuk mendeskripsikan etos kerja
masyarakat miskin pada sektor informal di
perkotaan tempat penelitian. Sehingga, dan
hasil penelitian studi kasus ini bertujuan
untuk menguraikan gambaran umum
mengenai: (1) penelitian ini berusaha untuk
mendeskripsikan secara mendalam
pertimbangan-pertimbangan keluarga
miskin perkotaan dalam menentukan
pilihan jenis pekerjaan di sektor informal
bidang usaha distribusi kecil-kecilan atau
jasa (enterprener); (2) penelitian juga akan
medeskripsikan eksistensi
(keberlangsungan) dan kontribusi pekerjaan
tersebut terhadap kesejahteraan bagi
keluarga miskin di perkotaan enterprener;
(3) disamping itu juga akan medsekripsikan
secara mendalam kendala-kendala yang
dihadapi dan yang menjadi limitasi mereka
dalam mengembangkan usahanya.
Hasil penelitian ini diharapkan
memberikan kontribusi ganda, yaitu
kontribusi dalam rangka pengembangan
ilmu pengetahuan (teoretik) dan kontribusi
pemecahan masalah pembangunan
(praktis). Secara lebih spesifik antara lain:
(1) memberikan kontribusi terhadap
pengembangan pengetahuan di bidang
sosiologi pembangunan, khususnya terkait
dengan kemiskinan dan sektor informal
perkotaan. Kedua masalah ini tiada habis--
habisnya untuk dikaji karena terus
berkembang dan selalu aktual, sehingga
lebih memperluas dan bahkan
memperdalam pemahaman fenomena ini;
(2) praktis, diharapkan hasil studi ini
berguna sebagai masukan bagi Pemerintah
Daerah khususnya, terutama dalam rangka
memahami masalah kemiskinan pada sektor
informal perkotaan. Dengan demikian,
strategi dan pelaksanaan pemberdayaan
masyarakat miskin semakin terfokus pada
sasaran sehingga bisa berjalan lebih efektif;
(3) memberikan informasi mengenai jenis
pekerjaan masyarakat miskin sektor
informal perkotaan macam apa yang bisa
dikembangkan (diberdayakan) dan yang
tidak, bantuan macam apa yang dibutuhkan
agar kesejahteraan meningkat
143
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif (qualitative research)
di mana dalam menafsirkan fakta
meaggunakan hermeneutika ganda yang
terdiri atas: pertama, penafsiran tingkat
pertama (the first order understanding)
menunjuk pada pemahaman terhadap
praktek sosial berdasarkan apa yang
dimengerti, difahami, dan ditafsirkan para
pelaku. Kedua, pemahaman tingkat ke dua,
di mana peneliti berusaha mengangkat hasil
tafsiran tingkat pertama ke dalam bahasa
ilmiah (metalanguage). Sedangkan strategi
penelitian dipengunakan “studi kasus”.
Rancangan studi kasus yang dipergunakan
mencakup studi kasus observasional dan
community study dengan teknik observasi
peran serta (participant observation) di
lokasi kantong-kantong kemiskinan.
Pengambilan responden (sebanyak 18
orang) dan informan (9 orang) yang
menggunakan teknik purposive, snowball
sampling, dan accident sampling. Seberapa
banyak unit analisis (responden) yang
diperlukan sangat tergantung pada
kejenuhan data penelitian. Teknik
pengumpulan data lapangan yang
dipergunakan: wawancara mendalam
(indepth interviewing), pengamatan peran
serta (participant observation), studi
dokumentasi, dan rekaman arsip. Analisis
data menggunakan model interaktif Miles
dan Huberman yang terdiri atas: reduksi
data, penyajian data, dan penarikan
gambaran kesimpulan. Sedangkan untuk
memeriksa kredibilitas data dalam
penelitian ini menggunakan: triangulasi
sumber dan pengecekan sejawat.
TEMUAN-TEMUAN PENELITIAN
DAN PEMBAHASAN
Sekilas Lokasi Penelitian dan Profil
Masyarakat Miskin Perkotaan Pada
Sektor Informal
Kota Malang memiliki luas
110.06km2 yang terletak pada ketinggian
antara 440-667 meter di atas permukaan
laut. Kota Matang berhawa sejuk dan
kering dengan kelembaban udara 72% serta
suhu rata-rata 24,130C, dengan suhu
terendah 140C pada bulan Juli/Agustus dan
suhu tentinggi 32,20C pada bulan
Nopemben. Kota Malang terdiri dari lima
kecamatan yaitu: Kedungkandang, Sukun,
Klojen, Blimbing, dan Lowokwaru serta
terdiri atas 57 kelurahan. Di kota Malang
mengalir tiga sungai yaitu sungai Brantas,
Amprong, dan Bango. Data kependudukan
kota Malang menunjukkan bahwa
Kecamatan Kedungkandang memiliki
jumlah RT pada urutan ke dua, jumlah
keluarga (KK) urutan pertama, jumlah
penduduk urutan ke tiga, rata-rata penduduk
per keluarga urutan pertama. Oleh karena
itu pemilihan lokasi di kecamatan
Kedungkandang kami anggap masih
“represertatif” sebagai lokasi penelitian.
Penduduk Kota Malang dilihat dari
segi ketenagakerjaan sebesar 77,8%
merupakan kelompok usia produktif
(angkatan kerja) dan 22,2% bukan angkatan
kerja. Usia di atas 60 tahun (7,4%)
kenyataannya juga masih produktif
khususnya disektor informal. Dilihat dan
jenis pekerjaan, penduduk Kota Malang
sebesar 32,76% lapangan usaha
perdagangan, 23,45% lapangan pekerjaan
jasa, 20,80% lapangan pekerjaan industri,
sisanya terbagi berbagai lapangan usaha. Di
bidang sosial (pendidikan), kota Malang
terkenal sebagai kota pendidikan tentunya
sarana pendidikan dasar, menengah, dan
tinggi sangat memadai baik kuantitas
maupun kualitasnya.
Kelurahan Kotalama sebagai lokasi
penelitian, terletak di Kecamatan
Kedungkandang. Kecamatan ini terdiri atas
12 kelurahan dengan luas wilayah 4.025Ha.
Berdasarkan pembentukan struktur kota,
maka Kecamatan Kedungkandang dapat
dilihat dan segi: pertama, interaksi
penduduknya yaitu masing-masing individu
yang memiliki kebutuhan untuk bertemu
dan berinteraksi. Kebutuhan ini dapat
timbul karena kepentingan sosial, ekonomi,
dan budaya penduduk Interaksi ini
menimbulkan aliran orang, barang, dan
komunikasi. Kedua, kondisi fisik kota yang
mengakomodasikan berbagai aktivitas
kegiatan yang berlangsung didalamnya.
Ketiga, dengan melihat kota sebagai
susunan dan lokasi-lokasi penduduk
melakukan kegiatan.
144
Kodisi fisik rumah dan lingkungan,
jenis bahan bangunan rumah bervariasi,
yang terdiri atas dinding anyaman bambu
(gedhek), separoh tembok klenengan dan
gedhek, tembok penuh. Luas bangunan
rumah berkisar antara 40-50 meter2. Jenis
lantai juga bervariasi, mulai dan tanah,
sebagian plesteran semen, plesteran semen,
hingga keramik bekas. Sirkulasi udara dan
pencahayaan sinar matahari di lingkungan
cukup baik, umumnya mereka tinggal di
sekitar sungai. Bagi yang tinggal di
perkampungan sirkulasi kurang memadai
karena padat penduduk. Ketersediaan air
bersih dan MCK, sebagian lagi kurang
memadai.
Kondisi sosial dan keagamaan,
prasarana pendidikan tersedia yaitu SD,
Madrasah lbtidaiyah, SMP swasta dan
tsanawiyah. Tingkat pendidikan mereka
rendah, pada umumnya tidak tamat SD,
sebagian tamat SD, dan sebagian kecil
tamat SMP. Tingkat pendidikan anak-anak
mereka rata-rata lulusan SD, sebagian kecil
tamat SMP. Penduduk miskin mayoritas
memeluk agama Islam. Tersedia sarana
peribadatan yang memadai berupa mushola,
masjid, dan pondok pesantren. Kegiatan
orgasisasi-organisasi keagamaan berjalan
dengan baik.
Kondisi ekonomi, jenis pekerjaan:
sebagian besar sebagai pemulung,
pengendang, tukang nombeng, pedagang
kaki lima, pedagang keliling, penarik becak,
tukang kayu dan bangunan, penjaga malam
keamanan pasar, pengemis. Penghasilan
mereka berkisar antana 15-20 ribu perhari.
Besar beban keluarga termasuk istri antana
2-5 orang. Rata-rata jam kerja antara 6-9
jam perhari, bahkan ada yang lebih 10 jam
untuk pekerjaan ganda.
Pertimbangan Dominan Dalam
Menentukan Pilihan Jenis Pekerjaan
Menentukan pilihan jenis pekerjaan
bukanlah pekerjaan yang mudah. Pekerjaan
yang dianggap “cocok” atau sesuai
cenderung berlangsung dalam waktu yang
lama. Dan mempertahan pekerjaan sektor
informal yang ditekuninya bukanlah
persoalan yang mudah, oleh karena
diperlukan pengorbanan, ketabahan,
kesabaran, dan keuletan untuk mencapai
hasil yang “diharapkan”. Berbagai kendala
juga dihadapi oleh masyarakat yang
terserap dalam sektor informal terutama
enterpener atau usaha mandiri. Memang
secara umum pekerjaan sektor informal
dibedakan menjadi dua kelompok yaitu
sektor informal yang ikut orang atau
juragan disebut buruh sehingga upah yang
diterima berasal dan juragan atau pemilik
usaha. Kedua, sektor informal yang
berusaha sendiri tanpa menggantungkan
diri pada orang lain yang disebut dengan
sektor informal enterprener atau wirausaha.
Penelitian ini mengkhususkan diri
pada jenis pekerjaan sektor informal kedua,
yaitu enterprener dan masyarakat miskin di
Kelurahan Kotalama Kota Malang. Karena
jenis enterprener ini membutuhkan
keunggulan-keunggulan tertentu dalam
bekerja/berwirausaha usaha tanpa harus
menggantungkan diri pada orang lain. Yang
menarik dan penelitian ini adalah
bagaimana orang miskin dengan segala
ketidakberdayaannya mampu
mempertahankan diri memenuhi kebutuhan
hidupnya di perkotaan yang semakin sulit.
Keunggulan-keunggulan inilah yang perlu
dikembangkan sehingga mereka yang
kurang berdaya bisa dibantu dengan
program pemberdayaan masyarakat miskin
sehingga tujuan meningkatnya
kesejahteraan mereka dapat tercapai.
Pada hasil penelitian sudah tersirat
bahwa masyarakat miskin memasuki
lapangan kerja sektor informal khususnya
enterprener merupakan suatu
“keterpaksaan”. Mereka dipaksa oleh
keadaan dimana kesempatan kerja yang
terbuka pada sektor formal sudah demikian
sempitnya. Jangankan di sektor formal,
mencari pekerjaan pada sektor informal
dengan ikut orang saja sekarang sudah sulit
apalagi di sektor formal. Oleh karena itu,
menurut hemat kami faktor-faktor dominan
yang menentukan jenis pekerjaan
enterprener bagi masyarakat miskin
menjadi penting untuk dikaji.
Secara umum, karakteristik yang
banyak ditemukan di kantong-kantong
kemiskinan di perkotaan adalah tingkat
pendidikan masyarakat yang rendah.
145
Demikian juga di lokasi penelitian,
sebagian besar masyarakatnya
berpendidikan sekolah dasar, atau
setidaknya setingkat sekolah menengah
pertama. Jelas tingkat pendidikan yang
rendah akan menentukan kualitas sumber
daya manusia terkait dengan keahlian dan
ketrampilan yang dimilikinya. Sehingga
kemampuan nalar dan pikin juga lebih
rendah dibandingkan dengan masyarakat
yang berpendidikan menengah. Rendahnya
pendidikan orang tua karena kondisi
ekonomi akan berakibat masa depan anak-
anaknya terutama dibidang pendidikan.
Meskipun pemerintah melaksanakan
program pendidikan 9 tahun tetapi belum
sepenuhnya dapat dinikmati sebagian
kelompok masyarakat ini. Karena tuntutan
ekonomi mendorong anak-anak mereka
membantu orang tua mencari nafkah untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Beberapa faktor dominan dalam
mempertimbangkan pilihan pekerjaan
enterprener tersebut antara lain. Pertama,
keahlian dan ketrampilan yang dimiliki.
Dengan rendahnya tingkat pendidikan maka
masyarakat pada umumnya tidak meinifiki
keahlian atau ketrampilan khusus yang bisa
dijual atau dibutuhkan masyarakat. Karena
tidak memiliki ketrampilan tersebut mereka
menentukan pilihan pekerjaan apa yang
dianggap bisa dilakukannya. Tidak
memiliki ketrampilan menyebabkan mereka
sulit untuk masuk dalam lapangan kerja
formal. lni mendorong mereka untuk
melakukan usaha enterprener di sektor
informal.
Biasanya berdagang kecil-kecilan
baik secara menetap maupun keliling
misalnya menjual kue gorengan, menjual
pentol cilok, jualan es, mainan anakanak di
depan sekolah-sekolah dasar, dan
sebagainya. Jika tidak berdagang, pilihan
lain adalah sebagai pemulung karena
pekerjaan ini membutuhkan ketrampilan
dan cepat menghasilkan pendapatan.
Mereka cukup dengan berkeliling
mengumpulkan segala macam plastik,
kertas, kaleng, atau apa saja yang masih
laku dijual dipenampungan atau pengepul
rosok. Pilihan lain adalah sebagai tukang
becak karena pekerjaan hanya
membutuhkan modal tenaga dan
kepercayaan untuk menyewa becak dan
pemiliknya.
Secara sederhana mereka hanya
berpikir apa yang bisa dilakukan untuk
dapat menghasilkan uang guna memenuhi
kebutuhan keluarganya. Mau belajar dan
melatih ketrampilan yang benar-benar
dibutuhkan masyarakat rasanya tidak ada
peluang dan kesempatan. Misalnya program
pelatihan khusus bagi mereka untuk
menghasilkan suatu produk yang benar-
benar dibutuhkan masyarakat sehingga
penghasilan mereka meningkat, nasanya
belum pernah ada. Kalaupun mereke bisa
menghasilkan sesuatu sifatnya hanya
sementara dan bersifat musiman.
Kedua, dana usaha. Pertimbangan
kedua adalah masalah modal finansial.
Modal tenaga dan kemauan ada tetapi
masalah finansial biasanya menjadi kendala
utama masyarakat miskin dalam berusaha.
Tidak sedikit masyarakat miskin yang jujur,
tetapi juga tidak sedikit diantara mereka
yang “tidak jujur”. Kalau mereka pinjam
uang di bank thithil keliling dapat berjalan
dengan baik mengapa program
pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan
perkotaan terkadang tidak berhasil,
termasuk program P2KP juga tidak berhasil
di lokasi penelitian ini. Yang jelas akan
utamanya adalah selektifitas, kontrol, dan
kurang mengikutsertakan tokohtokoh
masyarakat setempat menjadi penyebab
utama ketidakberhasilan program ini.
Meskipun rencaranya baik tetapi jika tidak
diimbangi dengan pelaksanaan yang baik,
jelas tujuannya tidak akan tercapai.
Bagi mereka modal uang sangat
beranti bagi mereka. Tentunya besarannya
juga menyesuaikan dan diperlukan
kalkulasi secara khusus sebatas apa dana itu
benar-benar dibutuhkan untuk
mengembangkan usaha. Selama ini tidaklah
demikian. Misalnya ada batas maksimal
peminjaman yang ditentukan pengurus
untuk kelompok-kelompok masyarakat
(pokmas), biasanya mereka mengambil
rata-nata tanpa ada survai yang memadai
sebatas mana dana tersebut benar-benar
dibutuhkan untuk mengembangkan usaha.
Proses seleksi dengan wawancara dikantor
146
kalaupun toh ada survai biasanya
sekedarnya saja sebagai formalitas. Padahal
seharusnya survai sebagai penentu layak
tidaknya pengajuan besaran pinjaman yang
diajukan. Apapun alasannya bagi mereka
modal finansiil tetap mendasar dan akan
menentukan usaha apa yang akan
dilakukan.
Ketiga, kemudahan usaha.
Masyarakat miskin di lokasi penelitian
dalam menentukan pilihan jenis pekerjaan
diantaranya mempertimbangkan
kemudahan usaha/pekerjaan tersebut.
Artinya apakah perkerjaan tersebut benar-
benar bisa dilaksanakan apa tidak.
Pekerjaan yang dipilihya adalah pekerjaan
yang dapat dilakukan dan dianggap bersifat
lebih “menguntungkan” danipada pekerjaan
lain. Mereka tidak akan melaksanakan
pekerjaan yang tidak dapat dikerjakan
meskipun penghasilannya besar dan akan
melakukan pekerjaan yang mampu
dilaksanakan meskipun penghasilannya
kecil, tetapi akan memilih pekerjaan yang
dapat dilakukan namun memberikan
penghasilan yang ebih besar.
Keempat, resiko yang dihadapi
enterprener. Tidak hanya itu, kemudahan
usaha di sini terkait pula dengan resiko
yang dihadapinya. Baik resiko kerugian
modal finansiil, resiko keamanan, resiko
sosial, resiko meninggalkan keluarga, dan
sebagainya. Pada umumnya resiko yang
dianggapnya paling kecil dipentimbangkan
terkait dengan kemudahan usaha atau
pekerjaan yang ditekuninya. Sesuatu yang
dianggap resiko ini bagi mereka memiliki
nilai yang lebih tinggi dan sekedar
penghasilan yang diperolehnya. Modal
usaha lebih penting dan sekedar
penghasilan, keluarga lebih berarti dan
sekedar penghasilan, keselamatan lebih
berarti dari sekedar penghasilan seterusnya.
Sehingga pertimbangan resiko tersebut
dianggap lebih tinggi nilainya dan sekedar
penghasilan yang diperolehnya.
Eksistensi dan kontribusi pekerjaan
dalam meningkatkan kesejahteraan
keluarga
Pada umumnya berbagai jenis
pekerjaan enterprener yang ditekuni
masyarakat miskin lokasi penelitian dapat
dilakukan untuk jangka waktu yang
panjang. Usaha distribusi kecil-kecilan dan
jasa. Distribusi kecil-kecilan yang banyak
dilakukan antara lain : sebagai pemulung,
pedagang keliling, tukang rombeng,
pedagang kaki lima. Sedangkan untuk jasa
antara tukang becak tukang bangunan dan
kayu.
Eksistensi pekerjaan pemulung dan
segi waktu dapat dilakukan secara terus
menerus. Dengan pertambahan jumlah
penduduk yang semakin pesat tentunya
barang-barang limbah seperti plastik,
kertas, dan kaleng juga semakin meningkat
kuantitasnya. Oleh karena itu semakin padat
penduduk semakin menguntungkan bagi
pemulung. Lagipula pekerjaan ini tidak
banyak diminati dibandingkan jenis
pekerjaan lainnya karena diperlukan mental
yang kuat untuk melaksanakannya.
Demikian pula pedagang keliling, baik
pedagang makanan, sayuran, mainan anak-
anak dan seterusnya dapat dilakukan dalam
waktu yang lama. Semakin padat penduduk
semakin menguntungkan menguntungkan
pedagang keliling. Jenis pekerjaan tukang
rombeng keliling dilakukan dengan cara
berkeliling mencari barang kemudian dijual
ke penimbangan. Seperti pekerjaan diatas
dapat dilakukan dalam waktu yang relative
panjang. Pedagang kaki lima
keberadaannya tumbuh menjamur, semakin
banyak yang menekuni sebagai pedagan
kaki lima barang bekas karena : mudah
dilakukan, modal kecil namun terkadang
memberikan keuntungan yang lumayan.
Bidang jasa, misalnya penarik becak,
pekerjaan ini dapat dilakukan dalam waktu
yang panjang, semakin padat penduduk
pekerjaan semakin eksis meskipun banyak
memiliki kelemahan-kelemahan (faktor
limitasi).
Namun secara umum pekerjaan
yang mereka tekuni selama ini memiliki
kesamaan karakteristik diantaranya
pekerjaan mereka masih tetap eksis dalam
waktu yang lama sejalan dengan
perkembangan perkotaan. Namun meskipun
masih eksis dalam kehidupan perkotaan,
pada umunya penghasilan mereka tetaplah
rendah sehingga hanya cukup untuk
147
memenuhi kebutuhan fisik sehari-hari.
Meskipun upaya keras telah dilakukan
secara faktual besar penghasilan mereka
relative stabil. Tentunya disebabkan oleh
berbagai factor limitasi masing-masing
pekerjaan sektor informal entenprener
masyarakat miskin perkotaan. Sehingga
kontribusi pekerjaan ini untuk peningkatan
kesejahteraan keluanga masih kecil.
Limitasi Pekerjaan dalam
Mengembangan Pekerjaan
Limitasi pekerjaan disini adalah
faktor-faktor yang menjadi kendala
masyarakat miskin dalam melaksanakan
dan mengembangkan pekerjaannya.
Dimana limitasi untuk masing-masing
pekerjaan tidak sama terutama usaha
distribusi kecil-kecilan dan jasa. Beberapa
jenis pekerjaan dapat dikembangkan dengan
baik melalui strategi dan kalkulasi yang
tepat. Namun tendapat pula beberapa jenis
pekerjaan yang memang tidak dapat
dikembangkan, oleh karena diperlukan
alternatif pemecahan lain yang lebih tepat.
Faktor limitasi untuk usaha
distribusi kecil-kecilan enterprener antara
lain: Pertama, pedagang keliling. Sebagian
besar usaha bendagang kecil-kecilan atau
padagang keliling kendala utamanya adalah
modal finansial (dana). Untuk
mengembangkan usahanya diperlukan
tambahan dana sesuai dengan kebutuhan.
Dana yang dibutuhkan sesungguhnya
tidaklah terlalu besar, namun pada
umumnya mereka mengalami kesulitan
mendapatkan tambahan dana
pengembangan usaha. Penghasilan mereka
yang rendah hanya cukup untuk memenuhi
“kebutuhan” sehari-hari sehingga benar
untuk menabung apalagi investasi untuk
pengembangan usaha. Bisa dilakukan
dengan bantuan pinjaman bank thithil
dengan bunga tinggi. Terkadang mereka
untuk menutupi kebutuhan tersebut
terpaksa juga pinjam lembaga keuangan
informal tersebut. Disamping dana,
penalatan yang diperlukan sebagai
penunjang kerja barangkali juga dianggap
sebagai kendala pengembangan usaha.
Kedua, tukang rombeng keliling.
Pekerjaan ini memiliki limitasi pekerjaan
masalah dana. Dana dipergunakan untuk
membeli barang-barang bekas dan rumah
tangga-rumah tangga yang kemudian
disetorkan atau dijual kepada pengepul.
Sesama tukang rombeng keliling juga
tenjadi persaingan dalam menawar barang-
barang bekas tersebut. Sebenarnya usaha
rombeng keliling ini juga tidak memerlukan
dana yang besar, maklum namanya usaha
kecil. Sesungguhnya mereka memerlukan
dana permanen untuk kepentingan kerja
karena sebagai modal utama. Selama ini
dana tersebut dipergunakan secara
serabutan, disamping untuk keperluan
modal tidak jarang dipergunakan juga untuk
menutupi kebutuhan rumahtangga.
Keempat, pedagang kaki lima.
Faktor limitasi jenis pekerjaan ini lebih
kompleks dibandingkan dengan rombeng
keliling atau padagang keliling. Disamping
limitasi dalam hal dana, bagi mereka
lokasi/tempat jualan menjadi persoalan
tersendiri bagi mereka serta dalam berusaha
juga membutuhkan ketenangan.
Menentukan lokasi berjualan yang
dianggap strategis menurut mereka
bukanlah hal yang mudah. Sehingga
kendala lain yang dihadapi adalah dengan
petugas ketertiban kota. Setidaknya
pengaruh secara psikis mempengaruhi
ketenangan usaha.
Kelima, pemulung. Pekerjaan ini
banyak ditekuni masyarakat di kantong-
kantong kemiskinan. Untuk melakukan
pekerjaan ini tidak memerlukan dana yang
besar, tetapi bekal yang dibutuhkan adalah
tenaga dan ketekunan. Namun bukan berarti
tidak ada limitasi dalam melaksanakan
pekerjaan ini. Limitasi terbesar tendapat di
lapangan berupa sanksi sosial masyarakat.
Tidak jarang dilingkungan kita terpampang
“pemulung dilarang masuk”. Ini sebagai
akibat beberapa ulah sebagian pemulung
yang bekerja dengan tidak benar atau
terkadang pemulung hanya terkena awu
anget apabila anggota masyarakat
kehilangan suatu barang. Tidak sedikit
pemulung yang bekerja secara benar,
namun karena dimasyarakat sudah
terbangun anggapan bahwa pemulung
dianggap sosok yang “membahayakan”
barang-barang mereka.
148
Disamping itu sebagian pemulung
menganggap limitasinya adalah peralatan
(sarana kenja) berupa transportasi. Tidak
banyak pemulung yang dapat meminjam
becak dan juragannya, padahal untuk
menempuh janak yang jauh besak sangat
diperlukan untuk membawa hasil
memungut barang-barang tersebut.
Faktor limitasi untuk usaha jasa
yang bersifat enterprener antara lain:
Pertama, penarik becak. Pekerjaan jasa
penarik becak banyak diminati masyarakat
migran karena begitu mudahnya melakukan
pekerjaan ini, sifatnya langsung kerja dan
memperoleh penghasilan. Namun akhir-
akhir ini terdapat limitasi terhadap
pekerjaan tersebut diantaranya semakin
banyaknya alat transpontasi umum maupun
pribadi. Jumlah angkutan kota yang
mencari penumpang sangat banyak.
Demikian pula kendaraan roda empat,
apalagi roda dua yang semakin padat akibat
kemudahan fasilitasi kredit pemilikan
kendaraan bermotor membawa dampak
negatif bagi para penanik becak.
Disamping itu, pada tempat-tempat
ramai pengunjung atau strategis tidak
jarang kita temukan tanda larangan untuk
becak. Bagi mereka kondisi ini kurang
menguntungkan, sehingga tidak jarang
terkadang mereka harus berhadapan dengan
petugas untuk “ditertibkan”.
Kedua, tukang kayu atau bangunan.
Hanya sedikit masyarakat lokasi penelitian
yang menekuni pekerjaan ini. Memang
pekerjaan ini membutuhkan ketrampilan
dan kahlian khusus dibandingkan dengan
pekerjaan lain ditekuni masyarakat miskin
dilokasi penelitian. Untuk mencapai
kualitas hasil yang bagus serta tercapainya
efisiensi waktu dan tenaga dibutuhkan
sarana penunjang peralatan pertukangan
yang memadai. Bagi mereka yang tidak
memapu dalam pembelian penalatan yang
memadai sesuai perkembangan teknologi
akan tentinggal sehingga mereka tidak
mampu bensaing dengan tukang lain yang
memiliki penalatan yang “memadai”.
KESIMPULAN DAN SARAN
Bebenapa faktor dominan dalam
mempertimbangkan pilihan pekerjaan
enterprener tersebut antana lain: Pertama,
keahlian dan ketrampilan yang dimiliki.
Dengan rendahnya tingkat pendidikan maka
masyarakat pada umumnya tidak memiliki
keahlian atau ketrampilan khusus yang bisa
dijual atau dibutuhkan masyarakat. Karena
tidak memiliki ketrampilan tersebut mereka
menentukan pilihan pekerjaan apa yang
dianggap bisa dilakukannya. Biasanya
berdagang kecil-kecilan baik secara
menetap maupun keliling cukup diminati.
Jika tidak berdagang, pilihan lain adalah
sebagai pemulung karena pekerjaan ini
membutuhkan ketrampilan dan cepat
menghasilkan pendapatan. Pilihan lain
adalah sebagai tukang becak karena
pekerjaan hanya membutuhkan modal
tenaga dan kepercayaan untuk menyewa
becak dan pemiliknya. Mau belajar dan
melatih ketnampilan yang benar-benar
dibutuhkan masyarakat rasanya tidak ada
peluang dan kesempatan. Misalnya program
pelatihan khusus bagi mereka untuk
menghasilkan suatu produk yang benar--
benar dibutuhkan masyarakat sehingga
penghasilan mereka meningkat, rasanya
belum pernah ada. Kalaupun mereka bisa
menghasilkan sesuatu sifatnya hanya
sementana dan bersifat musiman.
Kedua, modal dana usaha.
Pertimbangan kedua adalah masalah dana.
Modal tenaga dan kemauan ada tetapi
masalah dana biasanya menjadi kendala
utama masyarakat miskin dalam berusaha.
Tidak sedikit masyarakat miskin yang jujur
tetapi juga tidak sedikit diantara mereka
yang “tidak jujur”. Kalau mereka pinjam
uang di bank thithil keliling dapat berjalan
dengan baik mengapa program
pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan
perkotaan terkadang tidak berhasil,
termasuk program P2KP juga tidak berhasil
di lokasi penelitian ini. Yang jelas akar
utamanya adalah selektifitas, kontrol, dan
kurang mengikutsertakan tokoh-tokoh
masyarakat setempat menjadi penyebab
utama ketidakberhasilan program ini. Bagi
mereka dana sangat berarti. Tentunya
besarannya juga menyesuaikan dan
diperlukan kalkulasm secara khusus sebatas
apa dana itu benar-benar dibutuhkan untuk
mengembangkan usaha. Apapun alasannya
149
bagi mereka faktor dana tetap mendasar dan
akan menentukan usaha apa yang akan
dilakukan.
Ketiga, kemudahan usaha.
Masyarakat miskin di lokasi penelitian
dalam menentukan pilihan jenis pekerjaan
diantaranya mempertimbangkan
kemudahan usaha/pekerjaan tersebut.
Artinya apakah pekerjaan tersebut benar-
benar bisa dilaksanakan apa tidak.
Pekerjaan yang dipilihya adalah pekerjaan
yang dapat dilakukan dan dianggap bensifat
lebih “menguntungkan” danipada pekerjaan
lain.
Keempat, resiko yang dihadapi
enterprener. Tidak hanya itu, kemudahan
usaha di sini terkait pula dengan resiko
yang dihadapinya. Baik resiko kenugian
modal finansiil, resiko keamanan, resiko
sosial, resiko meninggalkan keluarga, dan
sebagai. Pada umumnya resiko yang
dianggapnya paling kecil dipertimbangkan
terkait dengan kemudahan usaha atau
pekerjaan yang ditekuninya. Sesuatu yang
dianggap resiko ini bagi mereka memilliki
nilai yang lebih tinggi dan sekedar
penghasilan yang diperolehnya. Modal
usaha lebih penting dan sekedar
penghasilan, keluarga lebih berarti dan
sekedar penghasilan, keselamatan lebih
berarti dari sekedar penghasilan, dan
seterusnya. Sehingga pertimbangan resiko
tersebut dianggap lebih tinggi nilainya dan
sekedar penghasilan yang diperolehnya.
Untuk mencapai kualitas hasil yang bagus
serta tercapainya efisiensi waktu dan tenaga
dibutuhkan sarana penunjang peralatan
pertukangan yang memadai. Bagi mereka
yang tidak memapu dalam pembelian
peralatan yang memadai sesuai
perkembangan teknologi akan tertinggal
sehingga mereka tidak mampu bersaing
dengan tukang lain yang memiliki peralatan
yang “memadai”.
Beberapa rekomendasi hasil
penelitian ini terkait dengan program
pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan
perkotaan, antara lain: (1) dalam rangka
mencapai tujuan program pemberdayaan
dan pengentasan kemiskinan masyarakat
kota, sebaiknya pelaksanaannya dilakukan
secara terpadu dengan melibatkan tokoh
masyarakat sekitan sehingga turut
memberikan kontrol sosial pelaksanaan
program; (2) berbagai limitasi yang
melingkupi pekerjaan masyarakat miskin
sektor informal enterprener perlu
diperhatikan, mislanya dengan memberikan
bantuan dana sesuai kebutuhan secara tepat,
kalkulasi yang tepat, serta pelaksanaan
kontrol yang baik; (3) agar dapat keluar dari
lingkaran kemisikinan mereka, perlu
dipikirkan adanya program pelatihan
pembuatan produk yang benar-benar
dibutuhkan masyarakat sehingga pekerjaan
yang kiranya tidak bisa dikembangkan bisa
beralih pada pekerjaan yang lebih
produktif; (4) pemerintah daerah perlu
memperhatikan nasib pendidikan
masyarakat miskin. Oleh karena itu
diupayakan memberi fasilitas khusus bagi
mereka untuk dapat melanjutkan sekolah
sampai ke tingkat menengah atas kejuruan
sehingga memiliki keahlian dengan harapan
mampu bekerja secara mandiri.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Isbandi Rukminto. 2003.
Pemberdayaan, Pengembangan
Masyarakat dan Intervensi
Komunitas (Pengantar pada
Pemikiran dan Pendekatan Praktis).
Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi Unversitas Indonesia. hal. 6.
Arifin, Imron. 1994. Orientasi Teoritik dan
Memilih Pokok Studi; Jenis Studi
Kasus Dalam Penelitian Kualitatif
dalam Arifin, Imron (ed.), Penelitian
Kualitatif Dalam Bidang limu-ilmu
Sosial dan Keagamaan. Kalimasada
Press, Malang, hal. 18.
Bakhit, Izzeddin (et al.) 2001. Attacking
The Roots of Poverty dalam
Sugihardjanto, Ali (Penterjemah).
2001. Menggempur Akar-akar
Kemiskinan. Yakoma-PGI. Jakarta.
hal.3.
Bogdan, R.C. dan Biklen, S.J., 1982.
Qualitative Research for Education:
An Introduction to Theory and
Methods. Boston: Ally and Beacon
Inc. p. 154.
Bogue, Donald J. 1959. “Internal
Inigration,” in studi of Population:
An Inventoryand Apprrasial. Chapter
150
21. p. 486-509. Chicago: University
of Chicago Press.
Badan Pusat Statistik. 2003. Statistik
Indonesia Statistical Yearbook of
Indonesia. Jakarta. h. 575-577.
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data
penelitian Kualitatif : Pemahaman
Filosofis Metodologis ke Arah
Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta.
PT Raja Grafindo Persada.
Dyson, L. 1995. Siapakah Golongan
Miskin itu? dalam Suyanto, Bagong
(ed.), Perangkap Kemiskinan,
Problem dan Strategi
Pengentasannya. Airlangga
University Press. Malang. hal. 3
Effendy, Tadjuddin Noer. 1995
“Pembangunan Pasar Kerja di
lndonesia, “ Seminar World bank
Report, 22 November.
Effendy, Tadjuddin Noer. 1988.
Kesempatan Kerja Sektor In formal di
Perkotaan Indonesia (Analisis
Pertumbuhan dan Peranannya).
Majalah Geografi I ndonesia.2.
Yogjakarta.
Eta. 2004. “Setengah Pekerja Dunia
Miskin”. Kompas. Rabu, 8 Desember
2004. hal. 14.
Hart, Keith. 1996. Sekton Informal dalam
Manning, Chris dan Effendi,
Tadjuddin Noen (ed.). Urbanisasi,
Pengangguran, dan Sektor Informal
di Kota. Yogyakarta. Yayasan Obon
Indonesia. hal. 78.
Henlianto. 1997. Urbanisasi, Pembangunan
dan Kerusuhan Kota. Bandung.
Alumni.
Hidayat. 1983. Situasi Pekerjaan, Setengah
Pengangguran dan Kesempatan Kerja
di Sektor Infonmal. Makalah
Lokakarya Nasional Angkatan Kerja
dan Kesempatan Kenja. Jakarta,
November 1983.
Kuncoro, Mudrajad. 2003. Men gkaji Ulang
Strategi Pembangunan Indonesia
Dalam Era Otonoini Daerah dan
Globalisasi. Jurnal Salam. Edisi 5.
Tahun IV.
Miles, Mathew B. dan Huberman, A.
Michael. 1992. Analisis Data
Kualitatif: Buku Sumber tentang
Metode-metode baru. Jakarta.
Universitas Indonesia Press. hal. 15-
21.
Moeljarto, Vidhyandika. 1994.
Kemiskinan: Hakekat, Ciri, Dimensi
dan Kebijakan. Kemiskinan Mengais
Sumber Daya. Analisis CS/S. 23 (3):
196-203.
Mubyarto. 2003. Tantangan Ilmu Ekonomi
Dalam Menanggulangi Kemiskinan,
Artikel: Ekonomi Rakyat dan
Pendidikan ilmu Ekonomi. http: www.
ekonomi rakyat .orqledisi 1/artikel
4.htm. Manet, 2003.
Murdiyati. 1999. Kemandirian Sektor
Informal: Limitasi dan Faktor-faktor
yangMempengaruhinya. Thesis.
Universitas Gajahmada. Yogyakarta.
Rizal, Bashori. 1995. Perang Dunia
Melawan Kemiskinan dalam Suyanto,
Bagong (ed.), Perangkap Kemiskinan,
Problem dan Strategi
Pengentasannya. Airlangga
University Press.
Sethurahman, S.V. 1996. Sektor Informal di
Negara Sedang Berkembang, dalam
Manning, Chris dan Effendi,
Tadjuddin Noer (ed.). Urbanisasi,
Pengangguran, dan Sektor Informal
di Kota. Yogyakarta. Yayasan Obon
Indonesia. hal. 108.
Simanjuntak, Panjaman.
2000.”Pengangguran di Indonesia,”
Kompas 26 Februari, hIm. 6.
Soetrisno,
Loekman. 1997. Kemiskinan, Perempuan,
dan Pemberdayaan. Yogyakarta.
Kanisius. hal. 17.
Sucipto, Tn dan Tukiran. 1995. Proyeksi
Penduduk Indonesia Tahun 1990-
2000. Yogyakarta. Pusat Penelitian
Kependudukan Universitas Gajah
Mada.
Widodo, Yoto. 1998. Stratifikasi Sosial dan
Strategi Survival Para Pekerja
Informal: Studi Kehidupan Para
Pemulung di Kotamadya Surakarla.
Thesis. Univensitas Gajahmada.
Yogyakarta.
Yin, Robert K. 2002. Studi Kasus (Design
dan Metode). Jakarta. PT Raja
Grafinda Persada.
141
PEDOMAN PENULISAN JURNAL PELOPOR
1. Jurnal PELOPOR terbit dua kali setahun: Januari dan Juli.
2. Naskah adalah hasil karya asli yang belum pernah dipublikasikan dan tidak
dipertimbangkan akan dimuat dalam media publikasi lain.
3. Naskah dapat berupa hasil penelitian, kajian pustaka/teoritis, kajian metodologis, gagasan
orisinal yang kritis, ulasan masalah penting/isu pembangunan yang sedang hangat, dan
ulasan suatu hasil seminar.
4. Naskah disusun dalam bahasa Indonesia yang baku sesuai dengan Ejaan Yang
Disempurnakan atau dalam bahasa Inggris. Untuk naskah berbahasa Indonesia, (abstract)
ditulis dalam bahasa Inggris dan naskah dalam bahasa Inggris, (abstrak) ditulis dalam
bahasa Indonesia.
5. Naskah diketik dua spasi ukuran A4, font Time New Roman 12, Jarak tepi halaman: kiri,
atas, kanan (3 cm) dan bawah (2,5 cm). Jumlah naskah maksimal 20 halaman termasuk
tabel, grafik, gambar dan lampiran. Naskah dikirim ke penyunting dalam bentuk cetakan
(print out) rangkap dua, dan disertakan softcopy file naskah format MS.Word dalam
bentuk CD.
6. Naskah disusun dengan sistematika:
a. Judul (diketik dengan huruf kapital dan maksimal 12 kata), Nama Penulis (tanpa
gelar), Alamat/Institusi, telepon/fax, dan E-mail,
b. Abstract/Abstrak (tidak lebih 200 kata, mengandung masalah, tujuan, metode, dan
hasil serta disertai kata kunci maksimal 6 kata),
c. Pendahuluan (mencakup latar belakang permasalahan/isu, tujuan
penelitian/penulisan, dan tinjauan pustaka atau teoritis (bila ada)),
d. Metode Penelitian, e. Hasil dan Pembahasan,
f. Simpulan dan Saran (a. Simpulan, b. Saran/Implikasi Kebijakan, dan c. Ucapan
Terima Kasih (bila ada)),
g. Daftar Pustaka, dan Lampiran (sesuai dengan keperluan).
7. Ketentuan-ketentuan Lainnya:
a. Tabel (judul tabel diatas, tabel tanpa garis vertikal, dan tanpa Blok/cetak tebal),
b. Gambar atau Grafik (judul dibawah) diberi nomor secara berurutan dan cantumkan
sumber data yang digunakan (bila perlu).
c. Daftar pustaka disusun menurut abjad nama penulis. Apabila ada dua atau lebih
pustaka yang sama penulisnya dan tahunnya, beri tanda a, b, c, dan seterusnya
dibelakang tahun terbit. Bagi pustaka yang merujuk dari jurnal, majalah ilmiah, dan
prosiding, harus menyebutkan nama penulis, tahun, judul, penerbit, halaman, dan
editor (penyunting). Daftar pustaka hanya memuat pustaka yang dirujuk dalam
tulisan/artikel.
8. Naskah dikirim ke alamat redaksi:
Kantor FIA Unisma
JL. MT. Haryono 193 Malang 65144. Telp./Fax. 0341565802
Email: [email protected]