jurnal pk 1 hplc.docx
DESCRIPTION
xxxTRANSCRIPT
PENETAPAN KADAR TABLET PARASETAMOL DALAM SEDIAAN FARMASI
DENGAN METODE HPLC
( High Performance Liquid Chromatography )
I. TUJUAN
1. Mengetahui prinsip pemisahan dengan High Performance Liquid Chromatography
(HPLC).
2. Mengetahui prosedur kerja metode High Performance Liquid Chromatography
(HPLC).
3. Menetapkan kadar parasetamol dalam sediaan farmasi dengan metode High
Performance Liquid Chromatography ( HPLC).
II. DASAR TEORI
HPLC dimanfaatkan dalam analisis beberapa senyawa sekaligus misalnya obat
beserta metabolitnya. Penggunaan utama HPLC meliputi studi farmakokinetik dan
metabolik, pengukuran konsentrasi obat plasma yang diberikan dalam terapi, dan dalam
pemantauan paparan bahan kimia beracun (Flannagan et al., 2007). Prinsip pemisahan
dengan HPLC adalah memisahkan suatu analit dalam sampel dari pengotor-pengotornya
dengan melewatkan sampel melalui kolom yang mengandung padatan stasioner dengan
bantuan aliran bertekanan dari fase gerak cair, kemudian komponen bermigrasi melalui
kolom pada kecepatan yang berbeda yang disebabkan oleh perbedaan afinitas antara fase
diam dan fase gerak berdasarkan adsorpsi, ukuran atau muatan (Fifield and Kealey, 2000).
Pemisahan solut-solut ini diatur oleh distribusi dalam fase gerak dan fase diam. Fase
gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat bercampur yang secara
keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan
oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen-komponen
sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).
Instrumentasi HPLC pada dasarnya terdiri dari 8 komponen pokok yaitu wadah fase
gerak, pompa, kolom, detektor, wadah penampung buangan fase gerak, tabung
penghubung, dan komputer (Gandjar dan Rochman, 2007) seperti yang ditunjukkan pada
gambar di bawah ini:
1
Instrumentasi KCKT pada dasarnya terdiri atas delapan komponen pokok yaitu wadah
fase gerak, pompa, injektor, kolom,detector, dan lain - lain (Gandjar dan Rohman, 2007).
1. Wadah Fase Gerak
Wadah fase gerak harus bersih dan lembam (inert). Wadah pelarut kosong ataupun
labu laboratorium dapat digunakan sebagai wadah fase gerak. Wadah ini biasanya dapat
menampung fase gerak antara 1 sampai 2 liter pelarut (Gandjar dan Rohman, 2007).
2. Pompa
Pompa yang cocok digunakan untuk KCKT adalah pompa yang mempunyai syarat
sebagaimana syarat wadah pelarut yakni : pompa harus inert terhadap fase gerak. Ada 2
jenis pompa dalam KCKT yaitu: pompa dengan tekanan konstan dan pompa dengan aliran
fase gerak yang konstan (Gandjar dan Rohman, 2007).
3. Injektor
Sampel-sampel cair dan larutan disuntikan secara langsung ke dalam fase gerak yang
mengalir dibawah tekanan menuju kolom menggunakan alat penyuntik yang terbuat dari
tembaga tahan karat dan katub teflon yang dilengkapi dengan keluk sampel (sample loop)
internal atau eksternal (Gandjar dan Rohman, 2007).
4. Kolom
2
Gambar 2.4 Skema instrumentasi HPLC (Snyder et al., 2010)
Ada 2 jenis kolom pada KCKT yaitu kolom konvensional pada kolom mikrobor.
Kolom mikrobor mempunyai 3 keuntungan yaitu:
Konsumsi fase gerak kolom mikrobor hanya 80% atau lebih kecil dibanding
dengan kolom konvensional.
Adanya aliran fase gerak yang lebih lambat membuat kolom mikrobor lebih
ideal jika digabung dengan spektrometer massa.
Sensitivitas kolom mikrobor ditingkatkan karena solut lebih pekat, karenanya
jenis kolom ini sangat bermanfaaat jika jumlah sampel terbatas misal sampel
klinis (Gandjar dan Rohman, 2007).
5. Detektor
Idealnya, suatu detektor harus mempunyai karakteristik sebagai berikut:
Mempunyai respon terhadap solut yang cepat dan reprodusibel
Mempunyai sensitifitas yang tinggi
Stabil dalam pengoperasiannya
Tidak peka terhadap perubahan suhu dan kecepatan alir fase gerak.
(Gandjar dan Rohman, 2007).
Detektor photodiodie-array PDA
Detektor PDA merupakan detector UV – Vis dengan berbagai keistimewaan. Detektor
ini mampu memberikan kumpulan kromatogram secara simultan pada panjang gelombang
yang berbeda dalam sekali proses ( single run). Selama proses berjalan, suatu
kromatogram pada panjang gelombang yang diinginkan (biasanya antara 190-400) dapat
ditampilkan.
Dengan demikian PDA memberikan lebih banyak informasi sampel dibandingkan
dengan detector UV – Vis. Dengan detector ini, spectrum UV tiap puncak yang terpisah
sehingga dapat dijadikan sebagai alat yang penting untuk memilih panjang gelombang
maksimal untuk system HPLC yang digunakan. Dan akhirnya dengan detector ini pula,
dapat dilakukan uji kemurnian puncak dengan membandingkan antara sepektra analit
dengan sepektra senyawa yang sudah diketahui (Gandjar dan Rohman, 2007).
Diode Array Detector (DAD) merupakan salah satu detekang lebih banyak digunakan
karena mampu memberikan kumpulan kromatogram secara simultan pada panjang
gelombang yang berbeda dalam sekali proses (Gandjar dan Rochman, 2007). Selain itu,
DAD dapat menghasilkan spektra lengkap beberapa analit dalam suatu sampel (Snyder et
al., 2010). DAD berguna untuk campuran kompleks yang mengandung senyawa dengan
3
rentang absorbansi yang sangat berbeda dan untuk senyawa yang puncaknya saling
tumpang tindih tapi masih dapat dipisahkan dengan faktor absorban UV. Detektor ini
memberikan spektrum UV yang penuh untuk tiap puncak dalam kromatogram, yang
membantu dalam identifikasi senyawa-senyawa yang belum dikenal (Watson, 2005).
Keunggulan HPLC antara lain pengoperasiannya pada temperatur rendah sehingga
dapat meminimalkan terjadinya dekomposisi termal dibandingkan dengan Gas
Chromatography (GC), dapat digunakan untuk menganalisa senyawa non-volatile atau
senyawa polar, kemampuannya dalam memisahkan senyawa dengan perbedaan rentang
polaritas yang luas, lebih fleksibel karena dapat memilih berbagai fase gerak atau fase
diam yang akan digunakan untuk keperluan analisis serta mudah diautomatisasi, selain itu
pada HPLC tidak perlu dilakukan derivatisasi serta tidak dipengaruhi oleh sifat kepolaran
yang berbeda dari analit (Watson, 2005).
Faktor kromatografi
2.5.1. Waktu Retensi
Waktu tambat (retention time) adalah periode waktu yang dilalui dari penyuntikan sampel hingga diperoleh serapan puncak maksimum. Waktu tambat suatu zat selalu konstan pada kondisi kromatografi yang sama sehingga dapat dijadikan suatu dasar analisis kualitatif (Dong, 2006). Sedangkan waktu retensi pelarut yang tidak tertahan atau waktu yang dibutuhkan oleh fase gerak untuk melewati kolom disebut dengan void time/dead time (tm) (Meyer, 2010).
4Gambar 2.5 Kromatogram yang menunjukkan waktu retensi, void
time, dan tinggi puncak (Dong, 2006)
2.5.2. Faktor Retensi (k)
Faktor retensi atau faktor kapasitas (k) didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan zat terlarut berada di dalam fase diam (tR) dibagi dengan waktu zat terlarut berada dalam fase gerak (tm), dengan persamaan sebagai berikut:
k =
t 'R
tm
=tR − tM
tM .......................................(Dong, 2006) (2.2)
Faktor retensi sampel (k) pada saat elusi secara isokratik biasanya dikontrol dengan memvariasikan komposisi dari fase gerak. Tujuan pemisahan adalah mendapatkan nilai k ≤10 untuk semua puncak, karena dengan nilai k ≤10 biasanya didapatkan puncak yang sempit dan tinggi dan untuk meningkatkan intensitas deteksi karena dalam jangka waktu yang pendek sampel yang dapat dianalisis menjadi lebih banyak. Nilai k <1 dapat menghasilkan resolusi yang kurang baik, terutama adanya kemungkinan tumpang tindih (overlap) antara analit dengan matriks pengganggu yang biasanya menumpuk di dekat tm (dead time). Oleh karena itu nilai 1≤ k ≤10 biasanya merupakan tujuan dalam pemisahan akhir suatu senyawa untuk semua puncak (Snyder, 2010).
5
Gambar 2.6 Kromatogram yang menunjukkan perhitungan faktor
retensi (Dong, 2006)
2.5.3. Faktor Selektifitas (α)
Selektifitas (α) adalah kemampuan sistem kromatografi untuk membedakan analit yang berbeda. Selektifitas ditentukan sebagai rasio perbandingan faktor retensi dari analit yang berbeda (Dong, 2006).
α =
k2
k1
=tR 2 − tm
t R 1− t m ........................................(Dong, 2006) (2.3)
Nilai selektivitas yang didapatkan dalam sistem HPLC harus >1. Jika α = 1, maka tidak terjadi pemisahan 2 puncak yang sempurna karena waktu retensi 2 puncak tersebut identik. Selektivitas dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain sifat fase diam, komposisi fase gerak, dan sifat zat terlarut (Dong, 2006).
2.5.4. Resolusi (Rs)
Resolusi merupakan derajat pemisahan dari dua puncak analit yang bersebelahan. Resolusi didefinisikan sebagai perbedaan waktu retensi antara dua puncak (ΔtR = tR2 -tR1) dibagi dengan rata-rata lebar pada setengah tinggi puncak (W0,5).
Rs =
1 , 18 ΔtR
(W (0,5)1 + W (0,5 )2 ) ..........................(Dong, 2006) (2.4)
6
Gambar 2.7 Faktor selektivitas 2 puncak kromatogram (Dong, 2006)
Dua puncak dikatakan terpisah dengan baik apabila nilai Rs ≥1,5 (Gandjar dan Rochman, 2007)
2.5.5 Efisiensi Kolom (N)
Efisiensi kolom ditunjukkan dari jumlah lempeng teoritis atau theoritical plates (N), yang dapat dihitung dengan rumus :
N = 5 , 546 ( tR
W 0,5)2
.........................(Dong, 2006) (2.5)
Kolom yang efisien adalah kolom yang mampu menghasilkan puncak yang sempit dan tajam, serta memisahkan analit dengan baik dalam waktu yang relatif singkat. Nilai lempeng akan semakin tinggi jika ukuran kolom semakin panjang, hal ini berarti proses pemisahan yang terjadi semakin baik (Dong, 2006).
2.5.6 Tailing Factor (Tf)
Idealnya, puncak kromatogram akan memperlihatkan bentuk Gaussian dengan derajat simetris yang sempurna. Namun kenyataannya, puncak yang simetris secara sempurna jarang dijumpai. Jika diperhatikan secara cermat, maka hampir setiap puncak dalam kromatografi memperlihatkan tailing. Pengukuran derajat asimetris puncak dapat dihitung dengan 2 cara yaitu faktor tailing dan faktor asimetris seperti yang ditampilkan pada gambar 2.9. Faktor tailing (Tf) dihitung dengan menggunakan lebar puncak pada ketinggian 5%, rumusnya dituliskan sebagai berikut
Tf = W0,05 / 2f..........................................(Dong, 2006) (2.6)
Tf lebih dari 1 (Tf >1) menunjukkan adanya tailing pada puncak kromatogram, sedangkan Tf kurang dari 1 (Tf <1) menandakan adanya fronting. Nilai 0,5< Tf <2,0 masih dapat dianggap mengintegrasikan luas puncak secara tepat (Meyer, 2010).
7
Validasi Metode Analisis
Validasi metode analisis menurut United State Pharmacopeia (USP) dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis akurat, spesifik, reprodusibel, dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis. Validasi harus mencakup semua langkah dalam analisis, dimulai dari pemilihan sampel, preparasi sampel, perolehan kembali analit, kalibrasi instrumen, prosedur, interpretasi, dan pelaporan hasil (Moffat et al., 2005). Suatu metode harus divalidasi ketika
a. Metode baru dikembangkan untuk mengatasi masalah analisis tertentu
b. Metode yang sudah baku direvisi untuk menyesuaikan perkembangan atau karena
munculnya suatu masalah yang mengarahkan bahwa metode tersebut harus direvisi
c. Penjaminan mutu yang mengindikasikan bahwa metode telah berubah seiring
dengan berjalannya waktu (Gandjar dan Rochman, 2007)
Dalam uji validasi metode analisis terdapat beberapa parameter yang harus dipertimbangkan dalam penetapan kadar atau studi kuantitatif yaitu kecermatan (accuracy), keseksamaan (precision), spesifisitas, batas kuantitasi (limit of quantitation/LOQ), rentang dan linearitas, serta kekasaran metode (ruggedness) (Swartz dan Krull, 1997).
2.7.1. Kecermatan (accuracy)
Kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil analisis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Kecermatan hasil analisis sangat tergantung kepada sebaran galat sistematik dalam keseluruhan tahapan analisis. Sehingga untuk mencapai kecermatan yang tinggi, terjadinya galat sistematik harus dikurangi seperti menggunakan peralatan yang telah dikalibrasi, menggunakan pereaksi dan pelarut yang baik, pengontrolan suhu dan pelaksanaannya yang cermat, taat asas sesuai prosedur. Kecermatan ditentukan dengan dua cara yaitu metode simulasi (spiked-placebo recovery) atau metode penambahan baku (standard addition method) (Harmita, 2004).
8
Gambar 2.8 Diagram yang menunjukkan faktor tailing dan faktor
asimetri pada kromatogram (Dong, 2006)
Dalam kedua metode tersebut, persen perolehan kembali dinyatakan sebagai rasio antara hasil yang diperoleh dengan hasil yang sebenarnya. Perhitungan perolehan kembali dapat ditetapkan dengan rumus sebagai berikut:
% Perolehan kembali = kadar yang didapat
kadar yang sebenarnya x 100%...................(Harmita, 2004) (2.7)
Selisih kadar pada berbagai penentuan (Xd) harus ≤5% atau kurang pada setiap konsentrasi analit pada mana prosedur dilakukan. Harga rata-rata selisih secara statistik harus 1,5% atau kurang (Harmita, 2004). Dalam penentuan parameter akurasi diperlukan minimal 3 larutan dengan konsentrasi berbeda dengan pengulangan sebanyak 3 kali. Data yang dilaporkan dalam bentuk persen perolehan kembali dari zat yang ditambahkan pada larutan atau perbedaan antara nilai rata-rata perolehan kembali dengan jumlah yang sebenarnya dengan interval kepercayaan ± 1 SD.
2.7.2. Keseksamaan (precision)
Keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajat penyebaran hasil individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen. Keseksamaan dinyatakan dalam standar deviasi (SD) dan koefisien variasi (KV). Keseksamaan dapat dilakukan dengan keterulangan (repeatability) dan ketertiruan (reproducibility). Keterulangan merupakan keseksamaan metode jika dilakukan berulang kali oleh analis yang sama pada kondisi sama dan dalam interval waktu yang pendek, sedangkan ketertiruan (reproducibility) merupakan keseksamaan metode jika dikerjakan pada kondisi yang berbeda seperti analisis dilakukan dalam laboratorium-laboratorium yang berbeda menggunakan peralatan, pereaksi, pelarut, dan analis yang berbeda pula. Jika hasil analisis adalah x1, x2, x3, x4,.....................xn dan ditentukan rata-ratanya maka simpangan bakunya (SD) adalah:
1
2
n
xxSD
Simpangan baku relatif (RSD) atau koefisien variasi (KV) adalah :
%100xx
SDKV
Kriteria seksama diberikan jika metode memberikan simpangan baku relatif atau koefisien variasi 2% atau kurang. Akan tetapi kriteria ini sangat fleksibel. Dari penelitian dijumpai bahwa koefisien variasi meningkat dengan menurunnya kadar analit yang dianalisis.
9
.........................................(Harmita, 2004) (2.8)
......................................... (Harmita, 2004) (2.9)
Untuk menetapkan batas presisi, dapat digunakan persamaan 2.10 dan 2.11 untuk menentukan metode ketertiruan dan keterulangan yang tepat.
RSD¿ 2(1−0,5 log c )
dan untuk keterulangan :
RSD¿2(1−0,5log c )x0 , 67
c = konsentrasi analit sebagai fraksi desimal (contoh: 0,1% = 0,001)
2.7.3. Batas deteksi (LOD) dan batas kuantitasi (LOQ)
Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat dideteksi dan masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan blanko. Batas kuantitasi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama. Penentuan batas deteksi suatu metode dapat dihitung dengan mengukur respon blanko beberapa kali lalu dihitung simpangan baku respon blanko dengan rumus :
Q =K x S y /x
b
S y /x = √∑ ( y− y \) rSup { size 8{2} } } over {N - 2} } } } { ¿¿¿¿...................................(Harmita, 2004) (2.13)
Dimana Q adalah LOD atau LOQ, K adalah konstanta (3 untuk LOD dan 10 untuk LOQ),
S y /x adalah simpangan baku respon analitik dari blanko, b adalah slope (b pada persamaan garis y = bx+a), y adalah absorbansi larutan parasetamol yang diperoleh berdasarkan pengukuran, y” adalah absorbansi larutan parasetamol setelah dimasukkan ke dalam persamaan linearnya, dan N adalah jumlah sampel.
Batas deteksi dan kuantitasi dapat dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari kurva kalibrasi. Nilai pengukuran akan sama dengan nilai b pada persamaan garis linier y = bx + a, sedangkan simpangan baku blanko sama dengan simpangan baku residual (Sy/x.).
a. Batas deteksi (LOD)
Nilai K pada penentuan LOD adalah 3, maka LOD dapat ditentukan dengan rumus :
LOD =3 x S y /x
b ………………...….............(Harmita, 2004) (2.14)
10
.............................................(Harmita, 2004) (2.12)
.......................................(Harmita, 2004) (2.11)
b. Batas kuantitasi (LOQ)
Nilai K pada penentuan LOQ adalah 10, maka LOQ dapat ditentukan dengan rumus :
LOQ =10 x S y / x
b ......………………............(Harmita, 2004) (2.15)
2.7.4. Rentang dan Linearitas
Rentang metode adalah batas terendah dan tertinggi analit dalam sampel yang menunjukkan bahwa prosedur analisis tersebut memiliki nilai kesesuaian presisi, akurasi, dan linearitas yang tinggi. Rentang ini biasanya dinyatakan dalam satuan yang sama dengan hasil yang diperoleh dengan metode uji (misalnya ng/mL) (Harmita, 2004; Snyder et al., 2010).
Linearitas adalah kemampuan metode analisis memberikan respon yang secara langsung atau dengan bantuan persamaan matematik yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Linearitas biasanya dinyatakan dalam istilah variansi sekitar arah garis regresi yang dihitung berdasarkan persamaan matematik data yang diperoleh dari hasil uji analit dalam sampel dengan berbagai konsentrasi analit (Harmita, 2004). ICH merekomendasikan digunakan minimal 5 variasi konsentrasi dalam penentuan linearitas (Swartz and Krull, 1997).
Data linearitas dilaporkan dalam bentuk kurva kalibrasi dan koefisien determinasi (r2) (Snyder et al., 2010)
2.7.5. Kekuatan (Robustness)
Kekuatan prosedur analitis didefinisikan sebagai kemampuan untuk memperoleh hasil yang sebanding dan dapat diterima ketika terganggu oleh variasi dalam yang ditentukan kondisi percobaan. Kekuatan memberikan indikasi bahwa metode yang digunakan memberikan kesesuaian (suitability) dan kehandalan (reliability) selama penggunaan secara normal. Untuk memvalidasi kekuatan suatu metode perlu dibuat perubahan metodologi yang kecil dan terus menerus dan mengevaluasi respon analitik dan efek presisi dan akurasi (Harmita, 2004; Snyder et al., 2010). Perubahan yang dibutuhkan untuk menunjukkan kekuatan prosedur HPLC dapat mencakup perubahan komposisi organik fase gerak (1%), pH fase gerak (± 0,2 unit), dan perubahan temperatur kolom (±2-30C) (Harmita, 2004).
Tabel 2.1. Perubahan yang dilakukan untuk menunjukkan kekuatan prosedur HPLC dalam
pemisahan isokratik (Snyder et al., 2010)
11
Faktor Batas Rentang
Konsentrasi pelarut organik ± 2-3%
Konsentrasi buffer ± 1-2%
pH dapar (jika digunakan) ± 0,1-0,2 pH unit
Temperatur ± 30C
Laju alir ± 0,1-0,2 mL/menit
Panjang gelombang pengukuran ± 2-3 nm untuk 5 nm lebar pita
2.7.6. Spesifisitas
Spesifisitas adalah kemampuan pengukuran secara akurat dan spesifik terhadap analit yang ada dalam sampel (Snyder, 2010). Untuk tujuan identifikasi, spesifisitas ditunjukkan dengan kemampuan suatu metode analisis untuk membedakan antar senyawa yang mempunyai struktur molekul yang hampir sama. Untuk tujuan uji kemurnian dan tujuan pengukuran kadar, spesifisitas ditunjukkan oleh daya pisah 2 senyawa yang berdekatan (Gandjar dan Rochman, 2007).
Internal Standar (IS)
Larutan baku internal atau internal standar merupakan senyawa yang berbeda dengan analit dan dapat terpisah dengan baik selama proses pemisahan. Salah satu alasan utama digunakannya internal standar adalah sebagai pengoreksi hilangnya sampel jika suatu sampel memerlukan perlakuan signifikan yang dapat mengurangi konsentrasi sampel meliputi proses derivatisasi, ekstraksi, dan filtrasi (Gandjar dan Rochman, 2007). Syarat-syarat suatu senyawa dapat digunakan sebagai intenal standar adalah :
1. Terpisah dengan baik dari senyawa yang dituju atau puncak-puncak lain
2. Mempunyai kemiripan sifat dengan analit dalam hal preparasi sampel
3. Tidak mempunyai kemiripan secara kimiawi dengan analit
4. Tersedia dalam kemurnian yang tinggi
5. Stabil dan tidak reaktif dengan sampel atau dengan fase gerak
6. Mempunyai respon detektor yang hampir sama dengan analit pada konsentrasi yang digunakan.
12
Parasetamol
2.2.1. Sifat Fisikokimia Parasetamol Trihidrat
parasetamol memiliki struktur kimiawi C8H9NO2 atau Acetaminophen; N-Acetyl–p–aminophenol dengan berat molekul 151.2 g/mol.
Gambar 2. Struktur Kimia Paracetamol (Mofatt et all, 2005).
Parasetamol mengandung tidak kurang dari 98.0% dan tidak lebih dari 101,0% C8H9NO2dihitung sebagai anhidrat. (Depkes RI, 1995).
Parasetamol berwarna putih, tidak berbau, serbuk hablur, rasa sedikit pahit, larut dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida 0,1 N, dan mudah larut dalam etanol (Depkes RI, 1995). Parasetamol memiliki konstanta disosiasi pKa 9,5. Panjang gelombang maksimum (λmaks) spektrum UV dalam suasana asam adalah 245 nm, sedangkan pada suasana basa pada 257 nm (Moffat et al., 2005).
13
2.2.2. Farmakokinetika Parasetamol
14
Gambar 3. Spektrum UV parasetamol (Moffat et al., 2005)
III. ALAT DAN BAHAN
a. Alat
Perkamen
Sendok tanduk
Pipet volume
Ballfiller
Alat HPLC
Detektor UV-Vis
Syringe
Kolom dengan fase diam C18
Mortir
Stamper
Batang pengaduk
Beaker glass
Labu ukur
Gelas ukur
Pipet tetes
Timbangan analitik
Pompa vakum
b. Bahan
Methanol
WFI
Tablet Parasetamol
Baku Parasetamol
Sulfametaksasol
IV. PROSEDUR KERJA
a. Pembuatan fase gerak
Fase gerak disiapkan dengan cara menambahkan 330 mL metanol dengan 660 mL WFI
hingga homogen. Larutan tersebut ditambahkan dengan asam orthoposfat 10 % hingga
mencapai pH 3,0.
15
b. Pembuatan Larutan Stok Parasetamol
10 mg parasetamol standar ditimbang. Dimasukkan dalam beaker glass. Ditambahkan
metanol secukupnya, diaduk hingga larut. Dimasukkan dalam labu ukur 10 mL.
Ditambahkan metanol hingga tanda batas, digojog hingga homogen.
c. Pembuatan Larutan Stok Internal Standar
Ditimbang 10 mg sulfametaksasol kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 10 mL
dan dilarutkan dengan pelarut metanol sampai tanda batas. Diperoleh larutan stok
sulfametaksasol 1 mg/mL
d. Pembuatan Larutan Standar Parasetamol
Dipipet 1 mL larutan stok baku parasetamol ke dalam labu ukur 10 mL. Ditambahkan
fase gerak sampai tanda batas pada masing-masing labu. Digojog hingga homogen
(diperoleh larutan standar 100 μg/mL). Dipipet masing-masing 0,5 mL; 1mL; 1,5 mL;
2mL dan 2,5 mL larutan standar 100 μg/mL ke dalam labu ukur 5 mL. Ditambahkan
fase gerak sampai tanda batas pada masing-masing labu. Digojog hingga homogen.
Dari langkah di atas diperoleh seri larutan standar parasetamol dengan konsentrasi 5
µg/mL; 10 µg/mL; 15 µg/mL; 20 µg/mL dan 30 μg/mL.
e. Pembuatan Larutan Sampel
20 tablet digerus, ditimbang setara dengan 50 mg parasetamol. Dilarutkan dengan 100
ml fase gerak, disonikasi, disaring. Dipipet sebanyak 0,4 ml kemudian ditambahkan
dengan fase gerak hingga volume 10 ml (5000 µg/mL). Dipipet sebanyak 0,5 ml
kemudian ditambahkan dengan fase gerak hingga volume 5 ml (500 µg/mL). Dipipet
0,15 ml lalu dari larutan tersebut dan ditambahkan fase gerak hingga volume 5 ml
hingga diperoleh konsentrasi sebesar 15 µg/mL. Tahap ini dilakukan sebanyak 3 kali
sehingga diperoleh 3 larutan sampel.
f. Pencucian Kolom
Sebelum digunakan, sistem HPLC diprekondisikan berturut-turut dengan metanol selama 30
menit dengan laju alir 1 mL/menit. Pada penelitian ini digunakan fase gerak yaitu campuran
methanol dan WFI (33,3 : 66,67 v/v). Kemudian, dilakukan pengaturan panjang gelombang
16
deteksi parasetamol yaitu pada rentang 210 - 400 nm dan laju alir fase gerak melewati kolom
saat proses pemisahan 1,78 mL/menit. Sistem HPLC dicuci (flushing) dengan metanol selama
30 menit setelah penggunaan fase gerak hingga stabil (± 1 jam, baseline check PASS).
g. Pembuatan Kurva Standar
Larutan standar disaring terlebih dahulu. Salah satu larutan standar parasetamol (5
µg/mL) diinjeksikan sebanyak 40 µl ke dalam injector HPLC dengan laju alir 1
mL/menit. Discanning pada panjang gelombang 200-400 nm. Ditentukan panjang
gelombang maksimumnya. Larutan standar lain diukur pada panjang gelombang
maksimum. Dibuat kurva kalibrasi standar parasetamol dan persamaan regresi linier y =
bx + a, y = AUC dan x = kadar sampel (µg/mL)
h. Penetapan Kadar Sampel
Larutan sampel parasetamol diinjeksikan ke injektor HPLC sebanyak 40 μL dengan
laju alir 1 mL/menit. Dilakukan pengamatan pada panjang gelombang maksimum. Data
AUC yang diperoleh dimasukkan ke dalam persamaan regresi linier. Langkah diatas
diulangi 3 kali. Ditentukan perolehan kembali kadar parasetamol pada sampel yang
diperoleh dengan kadar parasetamol yang sebenarnya pada monografi tablet.
i. Validasi Sampel
Untuk mengetahui kesalahan yang mungkin terjadi pada saat proses praktikum
berlangsung atau proses pemisahan dapat dilakukan validasi metode . Validasi metode
yang dilakukan meliputi akurasi, presisi, LOD, dan LOQ.
SKEMA KERJA
1. Pembuatan Larutan
j. Pembuatan Larutan Stok parasetamol
Perhitungan
17
Diketahui : kadar stok parasetamol = 1 mg/mL
V larutan = 10 mL = 0,01 L
BM parasetamol = 151,16 g/mol = 151,16 mg/mmol
Ditanya : massa parasetamol = …?
Jawab :
M pasetamol =
1mg
ml
151,16mg
mmol
= 6,62 × 10-3M
Massa parasetamol = M × BM × V
= 6,62 × 10-3 M × 151,16 g/mol × 0,01 L
= 0,01 g
=10 mg
=10 mg
k. Pembuatan Larutan Standar
Pembuatan Larutan Stok Sekunder Parasetamol
Larutan baku pembanding parasetamol ini dibuat dalam 5 konsentrasi, yaitu 5
µg/mL; 10 µg/mL; 15 µg/mL; 20 µg/mL dan 25 µg/mL. Maka larutan baku yang
diambil adalah :
M1 x V1 = M2 x V2
50 μg/mL x 10 mL = 1000 μg/mL x V2
V2 = 0,5 mL
Jadi volume larutan parasetamol 1 mg/mL dipipet sebanyak 0,5 mL
Seri konsentrasi 1
M1 x V1 = M2 x V2
5 μg/mL x 5 mL = 50 μg/mL x V2
V2 = 0,5 mL
Jadi volume larutan parasetamol 50 μg/mL dipipet sebanyak 0,5 mL
Seri Konsentrasi 2
M1 x V1 = M2 x V2
10 μg/mL x 5 mL = 50 μg/mL x V2
18
V2 = 1 mL
Jadi volume larutan parasetamol 50 μg/mL dipipet sebanyak 1 mL
Seri Konsentrasi 3
M1 x V1 = M2 x V2
15 μg/mL x 5 mL = 50 μg/mL x V2
V2 = 1,5 mL
Jadi volume larutan parasetamol 50 μg/mL dipipet sebanyak 1,5 mL
Seri Konsentrasi 4
M1 x V1 = M2 x V2
20 μg/mL x 5 mL = 50 μg/mL x V2
V2 = 2 mL
Jadi volume larutan parasetamol 50 μg/mL dipipet sebanyak 2 mL
Seri Konsentrasi 5
M1 x V1 = M2 x V2
25 μg/mL x 5 mL = 50 μg/mL x V2
V2 = 2,5 mL
Jadi volume larutan parasetamol 50 μg/mL dipipet sebanyak 2,5 mL
l. Pembuatan Larutan Sampel
Sampel A
Perhitungan
Diketahui : kadar parasetamol dalam tablet = 500 mg
massa serbuk 20 tablet = 11903 mg
massa parasetamol yang diinginkan = 100 mg
Ditanya :massa serbuk parasetamol yang setara dengan 100 mg serbuk
parasetamol = ...?
Jawab :
Kadar parasetamol dalam 20 tablet = 20 × 500 mg
= 10.000 mg
Massa tablet yang setara 100 mg parasetamol =
19
100mg10 . 000mg
× 11903 mg= 119,03 mg
Kadar awal sampel yang ingin dibuat = 10 mg/ml
Volume fase gerak yang dibutuhkan untuk menghasilkan sampel 10 mg/ml yang
mengandung 100 mg parasetamol
100 mgx
= 10 mg/ml
10 x = 100 mg
x = 10 ml
jadi volume methanol yang dibutuhkan sebesar 10 ml.
Dibuat pengenceran hingga kadar 5000 µg/ml, dengan volume 5 ml
M1 × V1 = M2 × V2
10.000 µg/mL × V1 = 5000 µg/mL × 5 mL
V1 = 2,5 mL
Dibuat pengenceran hingga kadar 500 µg/ml, dengan volume 5 ml
M1 × V1 = M2 × V2
5000 µg/mL × V1 = 500 µg/mL × 5 mL
V1 = 0,5 mL
Dibuat pengenceran hingga kadar 15 µg/ml, dengan volume 5 ml
M1 × V1 = M2 × V2
500 µg/mL × V1 = 15 µg/mL × 5 mL
V1 = 0,15 mL
Dilakukan tahap yang sama untuk kedua sampel sehingga setiap sampel memiliki
kadar sebesar 15 µg/mL.
Sampel B
Perhitungan
Diketahui : kadar parasetamol dalam tablet = 500 mg
massa serbuk 20 tablet = 12020 mg
massa parasetamol yang diinginkan = 100 mg
Ditanya :massa serbuk parasetamol yang setara dengan 100 mg serbuk
parasetamol = ...?
Jawab :
Kadar parasetamol dalam 20 tablet = 20 × 500 mg
20
= 10.000 mg
Massa tablet yang setara 100 mg parasetamol =
100mg10 . 000mg
× 12020 mg= 120,02 mg
Kadar awal sampel yang ingin dibuat = 10 mg/ml
Volume fase gerak yang dibutuhkan untuk menghasilkan sampel 10 mg/ml yang
mengandung 100 mg parasetamol
100 mgx
= 10 mg/ml
10 x = 100 mg
x = 10 ml
jadi volume methanol yang dibutuhkan sebesar 10 ml.
Dibuat pengenceran hingga kadar 5000 µg/ml, dengan volume 5 ml
M1 × V1 = M2 × V2
10.000 µg/mL × V1 = 5000 µg/mL × 5 mL
V1 = 2,5 mL
Dibuat pengenceran hingga kadar 500 µg/ml, dengan volume 5 ml
M1 × V1 = M2 × V2
5000 µg/mL × V1 = 500 µg/mL × 5 mL
V1 = 0,5 mL
Dibuat pengenceran hingga kadar 15 µg/ml, dengan volume 5 ml
M1 × V1 = M2 × V2
500 µg/mL × V1 = 15 µg/mL × 5 mL
V1 = 0,15 mL
Dilakukan tahap yang sama untuk kedua sampel sehingga setiap sampel memiliki
kadar sebesar 15 µg/mL.
Sampel C
Perhitungan
Diketahui : kadar parasetamol dalam tablet = 500 mg
massa serbuk 20 tablet = 12065 mg
massa parasetamol yang diinginkan = 100 mg
Ditanya :massa serbuk parasetamol yang setara dengan 100 mg serbuk
parasetamol = ...?
21
Jawab :
Kadar parasetamol dalam 20 tablet = 20 × 500 mg
= 10.000 mg
Massa tablet yang setara 100 mg parasetamol =
100mg10 . 000mg
× 12065 mg= 12065 mg
Kadar awal sampel yang ingin dibuat = 10 mg/ml
Volume fase gerak yang dibutuhkan untuk menghasilkan sampel 10 mg/ml yang
mengandung 100 mg parasetamol
100 mgx
= 10 mg/ml
10 x = 100 mg
x = 10 ml
jadi volume methanol yang dibutuhkan sebesar 10 ml.
Dibuat pengenceran hingga kadar 5000 µg/ml, dengan volume 5 ml
M1 × V1 = M2 × V2
10.000 µg/mL × V1 = 5000 µg/mL × 5 mL
V1 = 2,5 mL
Dibuat pengenceran hingga kadar 500 µg/ml, dengan volume 5 ml
M1 × V1 = M2 × V2
5000 µg/mL × V1 = 500 µg/mL × 5 mL
V1 = 0,5 mL
Dibuat pengenceran hingga kadar 15 µg/ml, dengan volume 5 ml
M1 × V1 = M2 × V2
500 µg/mL × V1 = 15 µg/mL × 5 mL
V1 = 0,15 mL
Dilakukan tahap yang sama untuk kedua sampel sehingga setiap sampel memiliki
kadar sebesar 15 µg/mL.
22