jurnal psikobuana vol3no2-okt2011
TRANSCRIPT
Editorial
Psikobuana Vol. 3 No. 2 ini menghadirkan delapan buah artikel dari berbagai sub-disiplin
psikologi. Artikel pertama berkaitan dengan Psikologi Industri dan Organisasi, dengan judul
"Peranan Sumber Daya Manusia Dalam Membangun Daya Saing Perguruan Tinggi". Artikel ini
merupakan hasil penelitian empiris yang dilakukan oleh Purwanto S. K., Aida V. Hubeis, M. Joko
Affandi, dan Arya H. Dharmawan. Sebagaimana kita ketahui, pentingnya sumber daya manusia
telah mulai dikenal sejak Adam Smith (1963/1976) mengemukakan gagasan "the acquired and
useful abilities" dari individu sebagai sumber pendapatan atau keuntungan. Atas dasar ini, para
ilmuwan mengembangkan konstruk "human capital" dalam tradisi psikologi sampai dengan
ekonomi. Pada tingkat mikro, ilmuwan mempelajari sumber daya manusia (human resources / HR),
perilaku organisasi (organizational behavior / OB), dan psikologi industri/organisasi (PIO). Pada
tingkat makro, ilmuwan mempelajari agregat atau himpunan dari pengalaman tingkat organisasi,
pendidikan, dan keterampilan pekerja sebagai sumber daya yang dapat diungkit untuk mencapai
keuntungan kompetitif yang bertahan. Artikel penelitian Purwanto, dkk., menyentuh semua
tingkatan ini dalam setting perguruan tinggi dalam rangka membangun daya saing.
Artikel kedua berkaitan dengan Psikologi Sosial ditulis oleh Ardiningtyas Pitaloka. Ia
mengangkat judul "Liputan Media Tentang Hukuman Mati Para Pelaku Bom Bali I dan Identitas
Muslim di Indonesia", dengan menggunakan pendekatan studi psikologi sosial yang berkembang di
Eropa, yakni representasi sosial, sebuah orientasi sosiologis dari psikologi sosial.
Artikel ketiga bernuansa Psikologi Kesehatan ditulis oleh Puji Hermawanti dan Mochamad
Widjanarko, dengan judul "Penerimaan Diri Perempuan Pekerja Seks Yang Menghadapi Status
HIV Positif di Pati Jawa Tengah".
Artikel keempat tentang penerapan Psikometri dengan judul "Aplikasi Teori Respon Butir
Untuk Menguji Invariansi Pengukuran Psikologi Guna Keperluan Survei dan Seleksi Pekerjaan"
ditulis oleh Wahyu Widhiarso.
Artikel kelima dalam bidang Psikologi Pendidikan berjudul "Efektivitas Metode Kata Kunci
Untuk Meningkatkan Memori Kosa Kata Bahasa Inggris Siswa Taman Kanak-Kanak" ditulis oleh
Anindiyati Kusumawardhani, Sri Weni Utami, dan Diantini Ida Viatrie.
Artikel keenam terkait dengan Psikologi Penerbangan mengupas tentang "Keselamatan
Penerbangan dan Aspek Psikologis Fatigue", ditulis oleh Widura Imam Mustopo.
Artikel ketujuh, "Support Group Therapy Untuk Mengembangkan Potensi Resiliensi Remaja
Dari Keluarga Single Parent di Kota Malang", ditulis oleh M. Salis Yuniardi dan Djudiyah.
Akhirnya, Bonar Hutapea menulis artikel dengan warna Psikologi Filosofis, tentang
"Menggeser Kesadaran Sebagai Pusat Manusia Yang Mutlak dan Otonom: Subjek Freudian Dalam
Kritik Terhadap Filsafat Subjektivitas".
Penyunting
Daftar Isi Editorial Penyunting Daftar Isi Peranan Sumber Daya Manusia Dalam Membangun Daya Saing Perguruan Tinggi Purwanto S. K., Aida V. Hubeis, M. Joko Affandi, dan Arya H. Dharmawan Liputan Media Tentang Hukuman Mati Para Pelaku Bom Bali I dan Identitas Muslim di Indonesia: Studi Representasi Sosial Ardiningtyas Pitaloka Penerimaan Diri Perempuan Pekerja Seks Yang Menghadapi Status HIV Positif di Pati Jawa Tengah Puji Hermawanti dan Mochamad Widjanarko Aplikasi Teori Respon Butir Untuk Menguji Invariansi Pengukuran Psikologi Guna Keperluan Survei dan Seleksi Pekerjaan Wahyu Widhiarso Efektivitas Metode Kata Kunci Untuk Meningkatkan Memori Kosa Kata Bahasa Inggris Siswa Taman Kanak-Kanak Anindiyati Kusumawardhani, Sri Weni Utami, dan Diantini Ida Viatrie Keselamatan Penerbangan dan Aspek Psikologis "Fatigue" Widura Imam Mustopo "Support Group Therapy" Untuk Mengembangkan Potensi Resiliensi Remaja Dari Keluarga "Single Parent" di Kota Malang M. Salis Yuniardi dan Djudiyah Menggeser Kesadaran Sebagai Pusat Manusia Yang Mutlak dan Otonom: Subjek Freudian Dalam Kritik Terhadap Filsafat Subjektivitas Panduan Bagi Penulis Jurnal Psikobuana
i
ii
73–83
84–93
94–103
103–117
118–125
126–134
135–140
141–148
149-150
Psikobuana ISSN 2085-4242 2011, Vol. 3, No. 2
LATAH DAN EMOSI KEBUDAYAAN 3
3
d d d
Peranan Sumber Daya Manusia Dalam Membangun Daya Saing Perguruan Tinggi
Purwanto S. K.
Fakultas Psikologi, Universitas Mercu Buana – Alumnus Program Doktor Institut Pertanian Bogor
Aida V. Hubeis, M. Joko Affandi, dan Arya H. Dharmawan Institut Pertanian Bogor
The competitiveness of Indonesian universities nationwide in 2010 is still
relatively lower than some other countries such as Malaysia, Thailand and
Singapore. The main pillars of the competition are in productivity and
innovation which depend on the competence and commitment of human
resources. The purposes of this study are to determine factors that
influence the competitiveness and organizational performance and to find
the effect of competence and commitment of human resources and other
factors to improve competitiveness and organizational performance. This
research is a case study in two universities, PTN X and PTS Y. The results
showed that the competitiveness strongly influenced the performance of
HR besides other factors such as competence and commitment of human
resources. The implementation of HRM variables, especially training and
development and compensation variables, significantly affect
performance. The variables of leadership, especially the willingness to
give an example and speed of act affect on performance. Good
Governance variables, accountability and social responsibility,
significantly affected performance. Several important variables to increase
competitiveness are: product academic improvement, consumer and
financial perceptions improvement, basic competencies improvement, and
higher emotional closeness and willingness to work more for the
organization.
Keywords: competitiveness, competence, commitment, implementation
of human resource management, leadership and good governance
Daya saing Perguruan Tinggi (PT)
Indonesia secara nasional dan dibandingkan
dengan beberapa negara lain di dunia sampai
tahun 2010 masih relatif rendah (APTISI 2009;
Jalal 2009a). Data peringkat PT versi THES
QS (Times Higher Education Supplement) pada
tahun 2010, Indonesia hanya memiliki dua PT
yang masuk peringkat seratus PT terbaik di
Asia, sedangkan Malaysia ada lima, Singapura
dan Thailand ada dua. Daya saing yang rendah,
Psikobuana ISSN 2085-4242 2011, Vol. 3, No. 2, 73–83
73
74 PURWANTO, HUBEIS, AFFANDI, DAN DHARMAWAN
apabila dilihat dari kriteria ARWU, THES QS,
Webometric, dan BAN-PT tergantung pada
unsur SDM. Hampir semua faktor yang
menentukan dalam pemeringkatan PT
tergantung pada produktivitas dosen, yaitu
jumlah penelitian dan publikasi, angka efisiensi
edukasi, dan karya yang mendapatkan
pengakuan paten (Badan Akreditasi Nasional
Perguruan Tinggi, 2009).
Daya saing PT, baik menurut THES-QS,
Webometrics maupun Sanghai Jia Tong
(ARWU), pada dasarnya menekankan pada
unsur manusia yaitu kualitas penelitian, kualitas
pengajaran, kompetensi lulusan dan prospek
internasional (Suharyadi, 2008). PT di
Indonesia pada umumnya mempunyai
permasalahan yang hampir sama, yaitu dalam
persoalan peningkatan produktivitas atau
kinerja dosen. Hal ini disebabkan oleh dua hal,
yaitu kompetensi atau kualifikasi SDM dan
komitmen SDM (Suharyadi, 2008).
Kompetensi SDM di PT terkait dengan
pendidikan dan keterampilan dosen. Data pada
tahun 2010 menunjukkan bahwa 51% jumlah
dosen masih berpendidikan S1, sedangkan S2
mencapai 42%, dan S3 hanya 7%. Masalah
komitmen SDM di PT yang diukur oleh BAN-
PT ditunjukkan dengan kinerja akademik yang
menyangkut tridarma perguruan tinggi, yaitu
pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada
masyarakat. Dari data tahun 2008 terlihat
bahwa hampir 80% jenjang kepangkatan
akademik dosen di Indonesia adalah di bawah
lector; bahkan 40% belum mempunyai
kepangkatan akademik. Hal ini menunjukkan
adanya permasalahan dalam kompetensi dan
komitmen dosen terkait dengan kinerja dan
daya saing organisasi.
Permasalahan dalam daya saing perguruan
tinggi adalah (1) daya saing yang rendah, (2)
kinerja dosen terkait dengan kompetensi dan
komitmen, dan (3) kesehatan organisasi terkait
kebijakan dalam implementasi manajemen
sumber daya manusia, kepemimpinan dan tata
kelola.
Berdasarkan permasalahan yang ada, tujuan
penelitian ini adalah: (1) Mengetahui faktor-
faktor yang menyebabkan daya saing perguruan
tinggi, (2) Mengetahui faktor-faktor yang
menyebabkan kinerja dosen di perguruan tinggi
rendah dan hubungannya dengan faktor
kompetensi dan komitmen sumber daya
manusia, dan (3) Mengetahui hubungan dan
dampak dari faktor implementasi manajemen
sumber daya manusia, kepemimpinan dan tata
kelola organisasi terhadap kinerja dosen di
perguruan tinggi.
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif
dilakukan dengan prosedur statistik dengan
pengujian hipotesa, sedangkan kualitatif
dilakukan dengan observasi dan wawancara
serta focus group discussion.
Penelitian ini merupakan studi kasus di PTN
X dan PTS Y. Kedua institusi dipilih dengan
mempertimbangkan perbedaan status, yaitu
PTN dan PTS serta memiliki jumlah mahasiswa
yang hampir sama, yaitu 18.000 orang.
Pemilihan sampel dilakukan dengan
proportionate stratified random sampling yaitu
sampel distratifikasi berdasarkan kepangkatan
akademik mulai asisten ahli, lektor, lektor
kepala dan guru besar. Jumlah sampel tiap
stratifikasi bersifat proporsional terhadap
sampel total.
Jumlah sampel sebanyak 285 orang terdiri
150 orang dosen di PTN X dan 135 dosen di
PERANAN SUMBER DAYA 75
PTS Y. Jumlah sampel 285 ditentukan
berdasarkan standar normal, dan tingkat
kesalahan 5%.
Pengambilan data dilakukan dengan
kuesioner dan wawancara. Pengukuran variabel
dilakukan dengan menggunakan skala, baik
ordinal maupun interval. Skala interval
menggunakan skala Likert dari 1 (Sangat Tidak
Setuju) sampai dengan 5 (Sangat Setuju). Daya
saing menggunakan indikator dari Ferguson
(2006). Kinerja menggunakan indikator dari
Chen, Wang, dan Yang (2009). Kompetensi
menggunakan indikator dari Pahlan (2007).
Komitmen menggunakan indikator Meyer dan
Herscovitch (2001). Implementasi MSDM
menggunakan indikator dari Cathy (2007).
Kepemimpinan menggunakan indikator dari
Bass atau MLQ (1996) dan tata kelola
menggunakan dari Silveira dan Saito (2009).
Sebelum kuesioner dipakai dalam penelitian,
dilakukan pre-test terhadap 10 orang dosen di
PTN X dan PTS Y. Data selanjutnya dilakukan
uji validitas dan reliabilitas dan dianalisis
dengan menggunakan Structural Equation
Modeling (SEM) untuk menemukan hubungan
kausalitas dengan data skala atau multivariat.
Hasil dan Pembahasan
Deskripsi tentang PTN X: PTN X
mempunyai program studi S2 dan S3 sebanyak
105 (67%) dan S1 serta diploma 52 (31%).
Jumlah mahasiswa S2 dan S3 13% dan 82% S1
dan diploma. Pendidikan dosen S2 dan S3 82%
dan S3 saja 41%. Jumlah program studi yang
terakreditasi A mencapai 69% dan peringkat
Webometrics di Indonesia pada peringkat 13
dan di dunia 1.204. Melihat komposisi program
studi dan pendidikan dosen, PTN X sudah pada
tahap Universitas Riset.
Deskripsi tentang PTS Y: PTS Y
mempunyai program studi S2 sebanyak 23%
dan S1 serta Diploma mencapai 77%. Jumlah
Gambar 1. Model struktural daya saing perguruan tinggi di PTN X dan PTS Y (t > 1,96)
76 PURWANTO, HUBEIS, AFFANDI, DAN DHARMAWAN
mahasiswa S2 sebanyak 9% dan S1 serta
Diploma 91%. Pendidikan dosen S2 dan S3
mencapai 100% dan yang berpendidikan S3
sebesar 15%. Akreditasi program studi 63% B
dan 25% A. Peringkat Webometrics di
Indonesia pada posisi 22 dan di dunia 2.063.
Melihat komposisi program studi dan
pendidikan dosen, PTS Y termasuk universitas
dengan titik berat pendidikan.
Deskripsi responden PTN X: Pendidikan
dosen 61% S3 dengan lama kerja 48% diatas 20
tahun. Kepangkatan akademik dosen untuk
lektor kepala dan guru besar mencapai 47% dan
guru besar 11%. Berdasarkan suku, dosen yang
berasal dari suku jawa dan sunda mencapai
89%, suku di luar jawa dan keturunan 12%.
Berdasarkan tipe kepribadian (Pearson & Marr,
2002), 40% the sage, 48% the ruler, dan 12%
the jester.
Deskripsi responden PTS Y: Pendidikan
dosen S2 85% dan S3 15% dengan lama kerja
89% kurang dari 20 tahun. Kepangkatan
akademik lektor kepala dan guru besar sebesar
24% dan guru besar 3%. Berdasarkan suku,
dosen yang bersuku Jawa dan sunda mencapai
62% dan non jawa serta keturunan mencapai
38%. Berdasarkan tipe kepribadian, the sage
31%, the ruler 54%, dan the jester 15%.
Analisis deskripsi yang berasal dari persepsi
dosen PTN X menunjukkan bahwa: (a) daya
saing organisasi mencapai 76% dari harapan
dimana daya saing produk tertinggi diikuti
pangsa pasar dan loyalitas konsumen; (b)
kinerja dosen mencapai 76% dimana perspektif
internal proses tertinggi dan diikuti perspektif
konsumen, pembelajaran dan yang terendah
adalah perspektif keuangan; (c) kompetensi
dosen mencapai 82% dan termasuk sangat baik,
dimana kompetensi dasar relatif lebih tinggi
dibandingkan kompetensi fungsional; (d)
komitmen dosen mencapai 68% dari harapan
dengan komitmen tertinggi adalah kemauan
tinggal di organisasi dan kemudian kedekatan
emosional dan keinginan berkinerja lebih; (e)
implementasi MSDM mencapai 68% dari
harapan. Implementasi yang dipandang baik
adalah pelatihan dan pengembangan dan yang
perlu perbaikan kompensasi serta promosi; (f)
kepemimpinan mencapai 74% dari harapan.
Indikator kepemimpinan yang terbaik adalah
optimisme, keyakinan dan kemauan memberi
teladan dan indikator dua yang terakhir adalah
kejelasan visi dan delegasi wewenang; (g) tata
kelola mencapai 74% dari harapan dan yang
terbaik adalah akuntabilitas dan keadilan, serta
yang terendah adalah transparansi.
Analisis deskripsi yang berasal dari persepsi
dosen PTS Y menunjukkan bahwa: (a) Daya
saing organisasi mencapai 68% dari harapan
dimana daya saing produk tertinggi diikuti
loyalitas konsumen dan pangsa pasar; (b)
Kinerja dosen mencapai 62% dimana perspektif
konsumen tertinggi dan diikuti internal proses,
pembelajaran dan yang terendah adalah
perspektif keuangan; (c) Kompetensi dosen
mencapai 70% dimana kompetensi fungsional
dasar lebih tinggi dibandingkan kompetensi
dasar; (d) Komitmen dosen mencapai 62% dari
harapan dengan komitmen tertinggi adalah
kedekatan emosional dan kemudian kemauan
tinggal di organisasi dan terakhir keinginan
berkinerja lebih; (e) Implementasi MSDM
mencapai 66% dari harapan. Implementasi yang
dipandang baik adalah seleksi dan rekrutmen,
kemudian pelatihan dan pengembangan dan
yang perlu perbaikan kompensasi serta promosi;
(f) Kepemimpinan mencapai 68% dari harapan.
Indikator kepemimpinan yang terbaik adalah
keyakinan, kejelasan visi dan optimisme serta
indikator dua yang terakhir adalah pencapaian
PERANAN SUMBER DAYA 77
visi dan kecepatan tindakan. (g) Tata kelola
mencapai 64% dari harapan dan yang terbaik
adalah akuntabilitas dan keadilan, serta yang
terendah adalah transparansi.
Hasil analisis menggunakan SEM disajikan
dalam Gambar 1. Daya saing ternyata sangat
berhubungan dengan kinerja SDM sebesar 97%
(t = 15,01). Hasil ini memperkuat pendapat teori
diamond dari Porter (1985) bahwa SDM adalah
kunci dalam meningkatkan daya saing
organisasi sebagaimana yang dilakukan Korea
Selatan, Jepang, Taiwan dan Singapura yang
mengandalkan SDM dibandingkan sumber daya
alam.
Kinerja SDM mempunyai hubungan 41%
dengan kompetensi (t = 4,71) dan 58% dengan
komitmen (t = 9,47). Hasil penelitian ini
memperkuat pendapat Goleman (2002) yang
menyimpulkan pencapaian kinerja ditentukan
oleh 20% IQ sedangkan 80% oleh kecerdasan
emosi (EQ). Kompetensi pada dasarnya melekat
pada pendidikan dan pelatihan sebagai hard
skill; sedangkan komitmen menyangkut
kecerdasan emosi di mana komitmen
merupakan sesuatu yang mendasari orang untuk
melakukan sesuatu yang memadukan antara
motivasi individu dengan motivasi organisasi.
Hasil ini mendorong perlunya organisasi
membangun komitmen dengan meningkatkan
keterlibatan atau partisipasi dari seluruh dosen
serta menciptakan reward dan punishment
dalam mendorong kinerja organisasi.
Implementasi MSDM mempunyai
hubungan 48% (t = 3,00) dengan kompetensi
dan 45% dengan komitmen (t = 2,69).
Implementasi MSDM yang mencakup seleksi
dan rekrutmen, pelatihan dan pengembangan,
kompensasi dan benefit serta promosi
mempunyai dampak positif terhadap
kompetensi dan komitmen. Pengaruh
implementasi MSDM ternyata lebih besar dan
kuat terhadap kompetensi dibandingkan
komitmen. Hal ini terjadi karena proses MSDM
lebih banyak menekankan pada aspek
kompetensi seperti pada proses seleksi dengan
menekankan pada indeks prestasi kumulatif
(IPK), kemampuan bahasa Inggris, serta tes
potensi akademik (TPA) di samping jenjang
pendidikan. Program pelatihan dan
pengembangan tugas melekat pada aspek
kompetensi yaitu pelatihan dan pengembangan
yang menyangkut kompetensi dasar terkait
dengan bidang ilmu. Faktor pendorong
komitmen seperti kompensasi dan benefit serta
promosi relatif kurang maksimal dikembangkan
dengan adanya keterbatasan dalam ketersediaan
dana, sistem penggajian yang belum berbasis
kinerja, promosi yang belum berbasis pada
desain organisasi.
Kepemimpinan mempunyai hubungan 23%
dengan kompetensi (t = 2,05) dan 45% dengan
komitmen (t = 3,65). Pengaruh kepemimpinan
jauh lebih kuat terhadap komitmen
dibandingkan dengan kompetensi. Hasil ini
sesuai dengan pendapat Yukl (2005) bahwa
fungsi kepemimpinan memberikan pelatihan
dan bimbingan dalam rangka meningkatkan
kompetensi dan memberikan visi yang memberi
inspirasi dalam rangka meningkatkan
komitmen. Oleh sebab itu, implementasi
MSDM dan kepemimpinan dapat saling
melengkapi. Implementasi MSDM memperkuat
sistem dan kepemimpinan memperkuat kinerja
melalui komitmen. Fungsi kepemimpinan
adalah menyinergikan antara motif individu dan
organisasi dengan menyamakan visi dan misi,
memberikan teladan, dan mengambil keputusan
yang cepat serta keyakinan bahwa organisasi
akan terus berkembang yang dapat memberikan
rasa aman bagi anggota organisasi.
78 PURWANTO, HUBEIS, AFFANDI, DAN DHARMAWAN
Tata kelola mempunyai hubungan 15%
dengan kompetensi (t = 2,04) dan 9% dengan
komitmen (t = 2,39). Tata kelola organisasi
mencakup akuntabilitas, keadilan,
tanggungjawab sosial dan transparansi. Tata
kelola organisasi dikembangkan dalam rangka
meningkatkan akuntabilitas dan transparansi
dalam anggaran dan kegiatan. Dampak dari
akuntabilitas dan transparansi adalah efisiensi
dan efektivitas yang akhirnya berdampak pada
kompetensi yang dimiliki dosen. Hal ini dapat
terjadi karena adanya ketersediaan dana akibat
akuntabilitas dan motivasi yang tinggi dari
dosen dalam pelatihan dan pengembangan
akibat dituntut adanya akuntabilitas dari
kegiatan yang diikuti. Komitmen juga dapat
terbentuk dengan adanya keadilan dan
tanggungjawab sosial. Prinsip keadilan akan
mendorong setiap SDM akan meningkatkan
keterlibatan dan partisipasi dalam organisasi. Di
sisi lain, tanggungjawab sosial akan
meningkatkan kedekatan emosional antara
SDM dan organisasi sehingga pada akhirnya
akan mendorong kemauan bekerja lebih bagi
organisasi.
Penelitian ini melakukan pembaharuan
dengan memasukkan variabel tipe kepribadian
sebagai salah satu variabel yang mempengaruhi
kinerja SDM disamping kompetensi dan
komitmen yang pada awalnya disebut variabel
“X”, suatu variabel yang belum ditentukan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe
kepribadian mempunyai hubungan 1% dengan
kinerja (t = 2,01), mempunyai hubungan dengan
kompetensi 61% (t = 2,32) dan mempunyai
hubungan dengan komitmen 34% (t = 2,06).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tipe
kepribadian banyak berpengaruh terhadap
kompetensi, kemudian komitmen dan relatif
kecil dengan kinerja secara langsung.
Kepribadian merupakan keseluruhan cara di
mana seorang individu bereaksi dan berinteraksi
dengan individu lain. Terdapat dua hal penting
yang mempengaruhi kepribadian yaitu
keturunan dan lingkungan. Pengaruh keturunan
dan lingkungan inilah yang mempengaruhi
kompetensi dan komitmen. Orang yang bertipe
the ruler akan optimal menjadi pengajar, dan
orang yang bertipe the seeker akan sesuai
sebagai peneliti.
Tabel 1.
Peringkat Indikator Daya Saing
Peringkat Indikator daya saing PTN X PTS Y
Hasil SEM
Produk 1 1 1 Loyalitas
konsumen 3 2 2
Pangsa pasar 2 3 3
Peningkatan daya saing secara berurutan
diindikasikan oleh produk, loyalitas konsumen
dan pangsa pasar (Tabel 1). Produk berupa
kualitas akademik menempati peringkat ke-1
berdasarkan hasil SEM PTN X dan PTS Y.
Dengan demikian, produk akademik baik
kualitas dan jumlah ketersediaan menjadi
penentu daya saing. Loyalitas konsumen di
PTN X menempati peringkat ke-3, dan pangsa
pasar ke-2, hal ini disebabkan PTN X sebagai
PTN besar dan banyak calon mahasiswa
sehingga tidak kesulitan mencari calon
mahasiswa. Implikasi manajerial bagi PTN X
adalah meningkatkan pemahaman kepada dosen
untuk memperhatikan mahasiswa dan pihak
pemakai jasa PTN X sebagai konsumen
sehingga perspektif konsumen berada pada
peringkat kedua dan pangsa pasar pada
peringkat ketiga. Bagi PTS Y, urutan daya saing
sudah sesuai, dan permasalahan pada
PERANAN SUMBER DAYA 79
peningkatan kapasitas organisasi dengan
menambah SDM sesuai dengan kebutuhan
terutama yang berpendidikan S3,
berkepangkatan akademik lektor kepala dan
guru besar.
Tabel 2.
Peringkat Indikator Kinerja
Peringkat Indikator kinerja PTN
X PTS Y
Hasil SEM
Perspektif konsumen 2 1 1 Penerimaan/keuangan 4 4 2 Pembelajaran 3 3 3 Proses internal 1 2 4
Analisis terhadap kinerja dalam penelitian
ini menunjukkan bahwa perspektif konsumen
dan keuangan berada pada peringkat ke-1 dan
ke-2, sedangkan pembelajaran dan proses
internal pada peringkat ke-3 dan ke-4 (Tabel 2).
Dosen PTN X dan PTS Y sama-sama
menempatkan perspektif proses internal dan
konsumen pada peringkat ke-1 dan ke-2,
sedangkan pembelajaran dan keuangan pada
peringkat ke-3 dan ke-4. Hal ini menunjukkan
bahwa dosen masih fokus pada aspek akademik.
Hal ini menunjukkan adanya perbedaan dosen
di satu sisi dan manajemen di sisi lainnya; yaitu
manajemen berpikir dari perspektif keuangan
dan konsumen, sedangkan dosen pada
perspektif proses internal dan pembelajaran.
Bagi dosen PTN X, internal proses menjadi
utama dan konsumen menjadi kedua, hal ini
disebabkan kompetensi dosen yang tinggi dan
bergerak secara individual sehingga fokus pada
tridarma atau dari sisi supply side, dan
konsumen belum menjadi fokus. Bagi PTS Y
perspektif konsumen sudah menjadi utama,
karena mahasiswa sumber utama pendapatan,
namun perspektif internal menjadi nomor dua
dari seharusnya perspektif konsumen. Hal ini
terjadi karena ada perbedaan pandangan antara
sisi dosen yang fokus pada akademik dan
manajemen yang fokus pada aspek konsumen
dan keuangan. Implikasi manajerial bagi PTN X
dan PTS Y adalah bagaimana meningkatkan
kesadaran dosen akan perspektif konsumen dan
keuangan, dimana keberlanjutan organisasi juga
ditentukan oleh kepuasan konsumen atau repeat
order, dan aspek keuangan sebagai nadi
organisasi.
Tabel 3.
Peringkat Indikator Kompetensi SDM
Peringkat Indikator kompetensi SDM
PTN X
PTS Y
Penelitian
Kompetensi dasar 1 2 1 Kompetensi
fungsional 2 1 2
Kompetensi dosen PTN X sudah sangat
bagus dan sudah sesuai dengan kebutuhan
peningkatan daya saing (Tabel 3). Salah satu
alasan dosen PTN X untuk komitmen tinggal di
organisasi tinggi adalah kemudahan untuk
pendidikan dan pelatihan terutama di luar
negeri. Implikasi manajerial bagi PTN X adalah
meningkatkan kompetensi fungsional dosen,
yaitu kemampuan dalam berinteraksi dengan
dosen lain, serta berinteraksi dengan organisasi
lain dalam rangka perbaikan bisnis proses
kepakaran. Implikasi manajerial bagi PTS Y
adalah meningkatkan kompetensi dasar pada
peringkat ke-1 dan fungsional ke-2. Hal ini
tentu berimplikasi pada pengembangan dosen
yang bersifat formal terkait dengan hard skill
dosen yang melekat pada pendidikan.
Komitmen dosen untuk daya saing secara
berurutan adalah kedekatan emosi, keinginan
bekerja lebih dan kemauan tinggal di organisasi
80 PURWANTO, HUBEIS, AFFANDI, DAN DHARMAWAN
(Tabel 4). Kedekatan emosional di PTN X pada
peringkat kedua, hal ini disebabkan kompetensi
dosen yang tinggi dan bergerak sendiri-sendiri,
kurangnya kesatuan gerak antara manajemen
disatu sisi dan dosen di sisi lain. Implikasi
manajerial bagi PTN X adalah merubah suasana
kerja PNS menjadi lebih dinamis. Kedekatan
emosi dibangun dengan melibatkan partisipasi,
kemauan bekerja lebih di dorong dengan sistem
reward dan punishment dan loyalitas organisasi
harus dijadikan lebih produktif dengan
menyusun key performance indicators (KPI)
sesuai visi dan misi organisasi. Implikasi
manajerial bagi PTS Y adalah meningkatkan
kinerja lebih ke peringkat ke-2 dan kemauan
tinggal ke peringkat ke-3. Hal ini dapat
dilakukan dengan membangun partisipasi,
sistem insentif serta reward dan punishment
yang jelas dan terukur serta konsisten
dilaksanakan.
Tabel 4.
Peringkat Indikator Komitmen SDM
Peringkat Indikator komitmen SDM
PTN X PTS Y Penelitian
Kedekatan emosi
2 1 1
Keinginan berkinerja lebih
3 3 2
Kemauan tinggal di organisasi
1 2 3
Implementasi MSDM untuk meningkatkan
daya saing adalah pelatihan dan pengembangan,
kompensasi dan benefit, promosi serta seleksi
dan rekrutmen (Tabel 5). Bagi PTN X,
pelatihan dan pengembangan dosen menjadi
peringkat ke-1, dan ini menyebabkan komitmen
tinggal di organisasi tinggi dan kompetensi
individual sangat tinggi. Implikasi manajerial
bagi PTN X adalah mengembangkan desain
pelatihan dan pengembangan sesuai dengan
kebutuhan organisasi, perbaikan sistem
kompensasi dan benefit. Integrasi seluruh
penerimaan dan adanya persepsi yang sama
dalam bidang SDM dan keuangan dapat
dilakukan untuk memperbaiki kompensasi dan
benefit. Proses promosi baik jenjang fungsional
dan struktural harus menjadi kewajiban dan
bukan hak bagi karyawan karena akan
berdampak pada kinerja organisasi. Implikasi
manajerial bagi PTS Y adalah mengembangkan
pelatihan dan pengembangan. Selama ini PTS Y
mengandalkan sistem seleksi dengan
mendapatkan SDM yang relatif sudah jadi. Hal
ini menyebabkan suasana akademik dan
kemauan tinggal di organisasi tidak terlalu
tinggi. Implikasi bagi PTS Y adalah pendidikan
S3 harus menjadi fokus bagi SDM. Selain itu
perbaikan sistem gaji yang adil, dan promosi.
Tabel 5.
Peringkat Indikator Implementasi MSDM
Peringkat Indikator implementasi MSDM
PTN X PTS Y Penelitian
Pelatihan dan pengembangan
1 2 1
Kompensasi dan benefit
3 3 2
Promosi 4 4 3 Seleksi dan
rekrutmen 2 1 4
Kepemimpinan yang dibutuhkan di
organisasi adalah kemauan memberi teladan,
kecepatan dalam tindakan dan keyakinan (Tabel
6). Ketiga hal tersebut membutuhkan
pengalaman menjadi seorang pemimpin
sehingga dapat memberi contoh, bertindak
cepat dan yakin. Bagi PTN X dan PTS Y
PERANAN SUMBER DAYA 81
mempunyai kondisi yang hampir sama, dimana
peranan dosen senior atau guru besar
berdampak pada efektifitas organisasi.
Sedangkan pemimpin struktural yang dipilih
secara demokratis pada berbagai tingkatan
menyebabkan tidak sinkronnya visi dan misi
organisasi. Oleh sebab itu, bagi perguruan
tinggi diperlukan adanya sistem yang
memadukan profesionalitas, kinerja dan
demokrasi yang menjamin sinerginya visi dan
misi dari rektorat sampai dosen.
Tabel 6.
Peringkat Indikator Kepemimpinan
Peringkat Indikator kepemimpinan PTN
X PTS Y
Penelitian
Kemauan memberi teladan
3 4 1
Kecepatan tindakan 4 7 2 Keyakinan 2 1 3 Pencapaian visi 5 6 4 Kejelasan visi 6 2 5 Optimisme 1 3 6 Delegasi
wewenang 7 5 7
Tata kelola organisasi dimaksudkan agar
pengelolaan organisasi efektif dan efisien
dengan memastikan adanya akuntabilitas dan
transparansi (Tabel 7). PTN X dan PTS Y telah
meningkatkan akuntabilitas dengan melakukan
audit keuangan oleh akuntan publik dengan
hasil wajar tanpa pengecualian. Transparansi
dilakukan dengan menyampaikan program
kerja, prosedur dan target kerja melalui
berbagai media. Permasalahan yang terjadi
adalah efektivitas komunikasi yaitu kemauan
untuk mendorong dosen mau mencari dan
membaca dari bebagai kegiatan yang
disampaikan universitas. Hal penting dalam tata
kelola adalah bagaimana meningkatkan rasa
keadilan dari posisi ketiga menjadi kedua. Hal
demikian dapat dilakukan dengan
mengembangkan sistem kinerja, dimana orang
yang bekerja lebih banyak mendapatkan
penghasilan yang lebih banyak. Manajemen
berbasis kinerja serta reward dan punishment
yang jelas akan mendorong keadilan organisasi.
Tabel 7.
Peringkat Indikator Tata Kelola
Peringkat Indikator tata
kelola PTN X
PTS Y
Penelitian
Akuntabilitas 1 1 1
Tanggungjawab sosial
3 3 2
Keadilan 2 2 3
Transparansi 4 4 4
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa daya
saing organisasi sangat terkait dengan kinerja
SDM terutama peningkatan kualitas produk
akademik, dan loyalitas konsumen. Kinerja
SDM berhubungan erat dengan kompetensi dan
komitmen SDM. Kompetensi SDM dilakukan
dengan pemenuhan kompetensi dasar berupa
pendidikan dan komitmen dengan membangun
kedekatan emosional dengan menyamakan visi
individu dan organisasi, keinginan berkinerja
lebih dengan menerapkan manajemen kinerja
dan kemauan tinggal pada organisasi dengan
jaminan rasa aman dalam organisasi.
Implementasi MSDM berupa pendidikan dan
pelatihan, dan sistem kompensasi serta benefit
82 PURWANTO, HUBEIS, AFFANDI, DAN DHARMAWAN
sangat penting untuk mendorong kinerja SDM.
Kepemimpinan di perguruan tinggi untuk
meningkatkan daya saing adalah kemauan
memberi teladan, kecepatan mengambil
tindakan dan keyakinan atau ing ngarso sung
tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri
handayani. Tata kelola organisasi berpengaruh
kuat terhadap komitmen dan kompetensi
dengan meningkatkan akuntabilitas dan
tanggungjawab sosial. Tipe kepribadian
berpengaruh positif terhadap kinerja, namun
pengaruhnya lebih kuat melalui kompetensi dan
kemudian komitmen. Penugasan yang tepat
bagi dosen dalam tridarma yang sesuai dengan
tipe kepribadian akan meningkatkan daya saing
organisasi.
Saran
Untuk peningkatan kinerja dosen, maka
harus diperhatikan perspektif konsumen dan
keuangan agar dosen mempunyai perspektif
terhadap mahasiswa sebagai konsumen serta
aspek keuangan dari seluruh aktivitas yang
dilakukan dosen. Untuk meningkatkan kinerja
dosen, kebijakan implementasi MSDM harus
menekankan pada aspek pelatihan dan
pengembangan dosen, serta kebijakan gaji dan
benefit berdasarkan pada manajemen kinerja.
Sistem kepemimpinan dibuat secara berjenjang
berdasarkan kinerja, dan merupakan bagian dari
jenjang karir, serta proses demokrasi hanya
memilih orang yang terbaik dari kinerja dan
rekam jejaknya. Peningkatan akuntabilitas
organisasi dengan menyampaikan
pertanggungjawaban keuangan kepada semua
pihak yang berkepentingan. Seleksi dosen agar
memperhatikan tipe kepribadian. Bagi dosen
dengan tipe the sage fokus pada penelitian, dan
dosen tipe the ruler fokus pada pengajaran.
Saran untuk penelitian lanjutan adalah: (a)
melakukan analisis mendalam dengan
mengembangkan indikator dari implementasi
MSDM seperti cara atau metode seleksi,
kebutuhan training needs analysis, metode
penggajian dan insentif, serta tanggungjawab
individu dan organisasi terhadap promosi, (b)
secara metodologi melakukan analisis secara
terpisah dengan memperbanyak jumlah
responden sehingga dapat dibedakan setiap
organisasi dan gabungan, dan (c) mengkaji tipe
kepribadian secara lebih luas sebagaimana
dikemukakan dalam teori Jung.
Bibliografi
Brodjonegoro, S. S. (2008). Beberapa
pemikiran dalam rangka peningkatan mutu
dan daya saing perguruan tinggi. Makalah
Universitas Brawijaya, Malang.
Chen, T. Y., Hwang S., & Liu, Y. (2009).
Employee trust, commitment and
satisfaction as moderators of the effects of
idealized and consideration leadership on
voluntary performance. International
Journal of Management, 26(1).
Ferguson, K. L. (2006). Human resource
management system and firm performance.
Disertasi, tidak diterbitkan, University of
Louisville, Kentucky.
Pahlan, R. (2007). Competency management: A
practicioner’s guide (Terjemahan). Jakarta:
PPM.
Noe, R., Hollenbeck, J. R., Gerhart, B., &
Wright, P. M. (2008). Human resource
management: Gaining a competitive
advantage. Boston: McGraw Hill Irwin.
Pearson, C. S. & Marr, H. K. (2002).
Introduction to archetypes: The guide to
interpreting results from the Pearson-Marr
PERANAN SUMBER DAYA 83
Archetype Indicator Instrument. Florida:
Center for Applications of Psychological
Type.
Porter, M. (1985). Outside-in business
strategy: Explanation of five competitive
forces. Ditemukembali pada 11 Juli 2009,
dari http://www.12manage.com
Silveira, A. D., & Saito, R. (2009). Corporate
governance in Brazil: Landmarks, codes of
best practices, and main challenges. The
IUP Journal of Corporate Governance,
3(2).
Suharyadi. (2008). Manajemen pendidikan
tinggi: Strategi memenangkan kompetisi.
Makalah yang dipresentasikan pada
Seminar Pendidikan Tinggi di APTISI
Wilayah III, Jakarta.
Wijayanto, S. H. (2008). Structural Equation
Modeling dengan Lisrel 8.8. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Yukl, G. (2005). Kepemimpinan dalam
organisasi (terjemahan). Jakarta: Indeks.
Liputan Media Tentang Hukuman Mati Para Pelaku Bom Bali I dan Identitas Muslim
di Indonesia: Studi Representasi Sosial
Ardiningtyas Pitaloka Fakultas Psikologi, Universitas YARSI
The Islamic fundamentalism movement has raised and grown in Indonesia
in the last 10 years. The most remarkable and traumatic Bali bombing
2001 and 2002 alarmed Indonesia and the world about the real movement
in East Asia region. In 2008, the three Bali bombers, Amrozi, Muklas, and
Ali Gufron had been executed by dead penalty. Pro and cons emerged
around the execution, and mass media had prominent role to create
discourse among society. At the mean time, media exposures concern to
construct public opinion about supporting jihad movement by three
bombers, even as mainstream of Moslem in Indonesia refused the
movement. This study intends to look deeper how mass media construct
meaning for society. Using semiotic method and social identity theory,
this study analyzed newspaper articles about dead-penalty execution in
2008. Interesting impact of mass media exposure towards Moslem identity
in Indonesia will be discussed further in this study.
Keywords: social representation, social identity, fundamentalism
Pada 9 November 2008, Indonesia
melaksanakan eksekusi hukuman mati atas
terpidana Bom Bali I, yakni Amrozi bin
Nurhasyim, Ali Ghufron, dan Imam Samudera.
Meski telah banyak negara yang menentang
hukuman mati, seperti seluruh anggota Uni
Eropa, hukuman ini tidak bertentangan dengan
konstitusi di Indonesia. Menurut Mahkamah
Konstitusi, pidana mati tidak bertentangan
dengan hak hidup yang dijamin oleh Undang-
Undang Dasar 1945, karena konstitusi
Indonesia tidak menganut asas kemutlakan hak
asasi manusia (Supandji, 2008). Peristiwa Bom
Bali I pada 12 Oktober 2002 yang
menyebabkan 202 korban meninggal, dengan
88 orang di antaranya warga negara Australia
(Hutchison, 2008), merupakan peristiwa yang
menyadarkan negara Indonesia akan keberadaan
gerakan Islam fundamental.
Peristiwa traumatik yang telah terjadi lebih
dari lima tahun itu kembali menuai beragam
pandangan di tahun 2008. Media massa dalam
hal ini memiliki andil besar untuk
menghadirkan sekaligus membentuk opini
publik. Tidak hanya opini, namun studi telah
menunjukkan pengaruh media terhadap kondisi
psikologis seperti kecemasan dan sikap
terhadap isu tertentu. Summers dan Winefield
(2009) menemukan adanya pengaruh
pemberitaan media terhadap kecemasan dalam
Psikobuana ISSN 2085-4242 2011, Vol. 3, No. 2, 84–93
84
LIPUTAN MEDIA 85
isu perang dan terorisme. Studi pada usia
remaja menunjukkan perlunya diskusi
mendalam tentang informasi perang dan
terorisme untuk menurunkan tingkat tekanan
psikologis. Penelitian Shoshani dan Slone
(2008) juga menunjukkan adanya tingkat
keterlibatan emosi dan sikap yang tinggi
terhadap pemberitaan terorisme dibandingkan
non-terorisme.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji
pembentukan identitas sosial terpidana Bom
Bali oleh media massa dalam rangkaian
pemberitaannya. Henri Tajfel (1978) dalam
teori identitas sosial menyatakan adanya
kecenderungan bias ingroup dalam hal mana
sekelompok orang cenderung menilai positif
kelompoknya dibandingkan kelompok lain
(Aronson, Wilson, & Akert, 2004). Anggota
kelompok gerakan fundamentalis akan lebih
memiliki identitas sosial yang religius dan
sangat diutamakan dibandingkan anggota dari
kelompok non-fundamentalis (Herriot, 2007).
Peneliti menggunakan pendekatan
representasi sosial, dalam hal mana wacana
sosial berupa percakapan sehari-hari di
masyarakat, termasuk media, memegang peran
penting. Melalui komunikasi, masyarakat
berbagi dan membentuk realitas yang bermakna
(Wagner & Hayes, 2005). Fokus penelitian ini
adalah representasi sosial pelaksanaan eksekusi
terpidana mati Bom Bali melalui media massa.
Pertanyaan utama penelitian ini adalah
“Bagaimanakah representasi sosial eksekusi
para terpidana mati pelaku Bom Bali I 2008?”
Gerakan Fundamentalisme Islam
Sejarah menunjukkan bahwa gerakan ini
telah ada sejak kemerdekaan Indonesia tahun
1945, seperti DI-TII di tahun 1953. Yang
kembali marak dalam pemberitaan adalah
gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Secara
mendasar, gerakan tersebut memperjuangkan
berdirinya negara Islam yang menggunakan
syariat Islam sebagai konstitusi negara (Syu'aibi
& Kibli, 2011). Syariat Islam sendiri
diklasifikasikan dalam ibadah dan mu'amalah.
Ibadah merujuk pada hubungan antara manusia
dan Allah SWT, sementara mu'amalah pada
hubungan antar manusia, manusia ke benda
serta penguasa (Amal & Panggabean, 2004).
Berbagai upaya teoretis dalam memahami
politik Islam di Indonesia mendasarkan pada
kisah kekalahan politik Islam secara formal
(Effendy, 2008), atau bagaimana dunia Barat
menyudutkan umat Islam (Ma'arif, 2009). Pada
awal kemerdekaan Indonesia, Nieuwenhuijze
dalam artikelnya di tahun 1950-1960-an
menuliskan pandangannya tentang Islam di
Indonesia, yakni bahwa penerimaan Pancasila,
bukan Islam, sebagai landasan negara tidak
serta merta berarti kekalahan politis umat Islam
(Effendy, 1998).
Pada kenyataannya, kisah kekalahan dan
ketidakadilan terhadap umat Islam di Indonesia
lah yang menjadi argumentasi kelompok-
kelompok fundamentalisme Islam hingga saat
ini. Jika melihat sejarah Indonesia setelah
Reformasi 1998, salah satu pemicu yang
nampaknya memberikan celah bagi gerakan ini
adalah “kekosongan” ideologi negara.
Kekosongan di sini bukan berarti tidak adanya
landasan, melainkan gelombang penolakan
segala sesuatu yang terkait dengan
kepemimpinan Soeharto. Indonesia seperti
memasuki fase pembentukan ulang sehingga
terbuka sekaligus rentan. Perubahan sistem
negara dari sentralisasi menjadi desentralisasi
ditunjukkan salah satunya dengan penerapan
hukum Islam di Daerah Istimewa Aceh,
86 PITALOKA
kompromi politik atas konflik senjata yang
panjang, merujuk pada UU No. 18 Tahun 2001
tentang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD) yang mengatur lebih jauh otonomi
khusus bagi NAD, seperti mahkamah syariat,
qanun, lambang daerah, kepolisian dengan ciri
khas Aceh, kepemimpinan adat, dan lain-lain
(Amal & Panggabean, 2004). Peristiwa ini
disadari atau tidak memberikan peluang
kembalinya isu penerapan syariah di Indonesia
secara luas.
Pemicu lain perkembangan radikalisme
agama adalah ketidakadilan dan persepsi
ketidakadilan. Ancok (2008) menyatakan
bahwa ketidakadilan prosedural dan
ketidakadilan distributif dipersepsikan
dilakukan oleh negara Barat di bawah pimpinan
Amerika Serikat dengan instrumen ekonomi
dan politik seperti lembaga IMF, Bank Dunia,
dan WTO. Ketidakadilan tercermin antara lain
dengan penerapan standar ganda dalam
hubungan negara Barat dan Israel yang sangat
berbeda dengan perlakuan mereka pada negara-
negara yang berpenduduk mayoritas agama
Islam.
Milla (2008) dalam studinya juga
menemukan adanya kepercayaan yang sangat
kuat tentang peran penting jihad dalam Islam,
faktor situasional berupa tekanan dari
pemerintah yang menghalangi penerapan
syariah Islam, serta ketidakadilan dalam kondisi
terbatasnya akan pilihan sumber daya, pada
pelaku aksi terorisme. Pada perkembangannya,
aksi fundamentalisme mengerucut pada
ideologi jihad yang menggerakkan terjadinya
kekerasan suci, suatu tindak kekerasan yang
diyakini layak dan sah untuk dilakukan sebagai
pembelaan agama (Chusniyah, 2006).
Tindakan kekerasan atas nama agama
kemudian menjadi teror di masyarakat.
Terorisme merupakan salah satu masalah yang
menjadi perhatian dalam psikologi. Ketika
sistem sosial tidak mampu memenuhi
kebutuhan masyarakat, maka bencana muncul.
Seperti halnya bencana, terorisme
menghadirkan perubahan yang mengguncang,
tidak diharapkan, dan tidak diinginkan. Hal ini
karena munculnya ancaman terhadap aspek
fisik, simbol, dan aspek afektif di masyarakat
(Lavanco, Romano & Milio, 2008). Ancaman
tersebut juga mencakup identitas sosial, seperti
nampak dalam penyerangan atau ancaman
terhadap simbol yang mewakili kelompok sosial
masyarakat. Menurut Houghton (2009),
terorisme adalah suatu “pertunjukan atau teater”
karena dampaknya yang sangat kuat menarik
perhatian masyarakat luas, sebagaimana dalam
kutipan berikut:
What sets terrorism apart from other violence
is this: terrorism consists of acts carried out
in a dramatic way to attract publicity and
create an atmosphere of alarm that goes far
beyond the actual victims. Indeed, the identity
of the victims is often secondary or irrelevant
to the terrorists who aim their violence at the
people watching. This distinction between
actual victims and a target audience is the
hallmark of terrorism and separates it from
other modes of armed conflict. Terrorism is
theater.
Identitas Sosial
Identitas sosial berbeda dengan identitas
personal yang lebih menekankan aspek
kepribadian seseorang. Setiap orang memiliki
dan dapat memilih identitas sosial, seperti
agama, bangsa, pekerjaan, dan lainnya; meski
beberapa identitas sosial juga bersifat melekat,
seperti etnisistas. Setiap orang juga dapat
LIPUTAN MEDIA 87
melepaskan identitas sosialnya dan beralih ke
identitas sosial lain yang dapat memberikan
self-esteem positif dan keuntungan lainnya
(Aronson, Wilson & Akert, 2004). Teori
identitas sosial juga menggambarkan
bagaimana dinamika konsep diri dan interaksi
antar anggota dalam sebuah kelompok (Abrams
& Hogg, 1999).
Tajfel dan kawan-kawan di Bristol berhasil
menunjukkan bahwa kategorisasi sosial yang
paling sederhana pun cukup untuk
menyebabkan diskriminasi antar kelompok.
Fenomena ini yang selanjutnya dikenal sebagai
minimal group paradigm (Abbrams & Hogg,
1999). Identitas sosial berhubungan dengan
diskriminasi antar kelompok, identifikasi kuat
terhadap kelompok, favoritisme kelompok dan
meningkatnya self-esteem (Páez, Martínez-
Taboada, Arróspide, Insúa & Ayestarán, 1998).
Identitas sosial juga mempengaruhi konsep diri
seseorang atau anggotanya. Oleh karena itu,
menjadi anggota kelompok yang berstatus lebih
tinggi sangatlah diinginkan, karena dapat
memberikan identitas sosial positif dan konsep
diri positif juga. Sebaliknya, keanggotaan dalam
kelompok yang berstatus rendah tidak
diinginkan, karena akan mempengaruhi konsep
diri anggota kelompok menjadi negatif
(Ellemers, Wilke, & van Knippenberg, 1993).
Keanggotaan dalam hal ini tidak bermakna
secara formal, melainkan bagaimana seseorang
mengaitkan atau mengakui satu kelompok
menjadi identitas sosialnya. Studi Tajfel
menunjukkan bahwa bahkan kategorisasi paling
sederhana pun cukup untuk menciptakan
"kelompok saya" dan "kelompok kamu", atau
in-group dan out-group (Abbrams & Hogg,
1999).
Prinsip utama dalam teori identitas sosial
adalah: (a) individu berusaha untuk memiliki
atau menjaga identitas sosial positif, (b)
identitas sosial positif menjadi landasan untuk
favoritisme kelompok atas kelompok lain
(kelompok sendiri lebih positif), (c) jika
identitas sosial yang ada tidak memuaskan,
maka individu akan meninggalkan
kelompoknya dan beralih ke kelompok lain
yang lebih memberikan identitas sosial positif,
atau memperjuangkan agar kelompoknya
memiliki identitas sosial positif (Tajfel &
Turner, 2001). Interaksi erat antara individu
dengan kelompoknya juga dapat mendorong
terjadinya depersonalisasi. Pada
depersonalisasi, individu memandang dirinya
sendiri sama, sejajar dan tidak tergantikan
dengan sebagai anggota kelompok, daripada
sebagai seorang individu yang memiliki
keunikan. Kondisi ini akan membuat seseorang
bertindak sesuai karakter atau standar
kelompoknya, sehingga menampilkan pola yang
sama (Lorenzi-Cioldi, 2006). Pembentukan
identitas sosial cenderung digerakkan oleh
proteksi-ego atau bias optimisme tentang diri
yang berpotensi terjadinya favoritisme diri dan
kelompok (Comstock & Scharrer, 2005).
Representasi Sosial dan Media
Representasi kolektif adalah fenomena
spesifik yang terkait dengan pola pemahaman
dan komunikasi, suatu pola yang membentuk
baik realitas dan logika. Representasi sosial
memberikan gambaran untuk memahami dunia
yang beragam dan kompleks berupa gambaran
yang memiliki makna, bobot, dan struktur
terhadap fenomena di kehidupan sehari-hari,
sekaligus menentukan karakter stimulus dan
respon (Moscovici, 2001). Makna dan struktur
ini selanjutnya memberikan kepastian dan efek
positif, karena adanya keselarasan antara
88 PITALOKA
ekspektasi dan data atau fakta (bukti) dalam
interaksi dengan dunia (Wagner &
Hayes,2005).
Komunikasi antar manusia bersifat aktif,
bermakna, dan dinamis, berbeda dengan pola
mekanis seperti telekomunikasi (Rogers, 2003).
Media massa merupakan salah satu media
dalam mana terjadi interaksi antar berbagai
simbol. Berbeda dengan subjek penelitian
dalam disiplin psikologi yang menggunakan
informasi kognitif maupun afektif dari individu,
media massa baik dalam bentuk teks maupun
gambar telah menjadi obyek penelitian.
Wagner, Kronberger, & Seifert (dalam Wagner
& Hayes, 2005) menyatakan bahwa kuantitas
dan intensitas pemberitaan media secara
langsung terkait dengan terbentuknya
pemahaman metafora dan objektivikasi
representasi.
Dalam alam demokrasi, keterbukaan
pemberitaan media seperti “pedang bermata
dua”. Seringkali pemberitaan membentuk
personalisasi yang cenderung menghambat atau
menghalangi identitas kolektif sehingga
memancing mobilisasi masyarakat akar rumput
terkait satu isu.
Gamson (2009) mengemukakan beberapa
kritik terhadap media, antara lain: (a) tidak
rasional dan menghadirkan argumentasi tak
berdasar, (b) distorsi informasi, (c) rendahnya
penghargaan terhadap peradaban, (d) polarisasi
isu dan menghambat keragaman pandangan, (e)
menitikberatkan emosi daripada logika, (f) tidak
mendalam; (g) perspektif tidak beragam, (h)
memicu sikap pasif masyarakat.
Di sisi lain, demokrasi menuntut adanya
ruang publik untuk beragam pemikiran dan
pandangan, seperti dinyatakan oleh Cohen
(1989, dalam Gamson, 2009) berikut:
The notion of a deliberative democracy is
rooted in the intuitive ideal of a democratic
association in which justification of the terms
and conditions of association proceeds
through public argument and reasoning
among equal citizens.
Pada masyarakat kontemporer, media massa
mendominasi makna dari representasi opini dan
pengalaman kolektif. Masyarakat menonton
televisi, membaca media cetak, mendengarkan
radio dan mencari informasi melalui internet
untuk mendapatkan apa yang orang lain
pikirkan, rasakan, dan alami dalam hidupnya
(Comstock & Scharrer, 2005).
Metode
Studi ini merupakan penelitian kualitatif
dengan menggunakan analisis konten. Holsti
(dalam Triandis & Berry, 1980) mendefinisikan
analisis konten sebagai segala teknik untuk
mengambil kesimpulan secara sistematis dan
objektif dengan mengidentifikasi karakteristek
spesifik pada suatu catatan atau pesan teks.
Janis (dalam Triandis & Berry, 1980)
mendefinisikan analisis konten secara lebih
operasional, seperti dalam kutipan berikut:
Content analysis may be defined as referring
to any technique (a) for the classification of
the sign-vehicles, (b) which relies solely upon
the judgments (which theoretically, may range
from perceptual discriminations to sheer
guesses) of analyst or group of analysts as to
which sign-vehicles fall into which categories,
(c) on the basis of explicitly formulated rules,
(d) provided that the analyst's judgments are
regarded as the reports of a scientific
observer.
LIPUTAN MEDIA 89
Objek analisis penelitian ini adalah media
massa dengan karakteristik (a) media cetak
nasional, dan (b) telah dikenal masyarakat
secara luas. Asumsi karakteristik tersebut
adalah besarnya potensi media untuk
menciptakan wacana dan makna untuk para
pembacanya. Berdasarkan karakter subyek
penelitian, maka peneliti memilih media harian
Kompas. Unit analisis penelitian berupa artikel
pemberitaan eksekusi pelaku Bom Bali I di
surat kabar nasional sejak Oktober hingga
November 2008 yang diunduh dari situs resmi
surat kabar tersebut (Kompas.com). Data
penelitian berupa artikel pemberitaan eksekusi
terpidana mati pelaku Bom Bali I sejumlah 40
artikel dengan rincian: (a) 14 artikel pada bulan
Oktober 2008 (6-13 Oktober 2008), (b) 13
artikel pada bulan November sebelum
pelaksanaan eksekusi (2-8 November 2008),
dan (c) 13 artikel setelah pelaksanaan eksekusi
(9-17 November 2008).
Analisis data penelitian dilakukan terhadap
pemberitaan yang berisi (a) kategorisasi
terpidana pelaku Bom Bali I sebagai korban; (b)
identifikasi pelaksanaan eksekusi terpidana
pelaku Bom Bali 1 sebagai peristiwa besar atau
penting, dan (c) pembandingan terpidana
dengan tokoh penting atau ternama.
Hasil
Kategorisasi terpidana sebagai korban
Judul maupun isi berita menunjukkan
adanya pengategorisasian terpidana sebagai
korban. Perlakuan tersebut dapat
dikelompokkan ke dalam (a) perlakuan tidak
adil oleh pemerintah kepada keluarga Amrozi,
(b) dukungan dari pemimpin dan pengikut
tokoh kelompok Islam fundamental, (c) Amrozi
dan kawan-kawan sebagai korban suatu rezim.
Contoh-contoh pemberitaan dimaksud
adalah sebagai berikut:
“Mereka juga meminta, kalau mereka
dieksekusi, maka eksekutornya juga harus
dieksekusi," tambah Kholid. Selain itu, TPM
juga diminta melaporkan perbuatan dzalim ini
ke Mahkamah Internasional (MI). ("Jika
Dieksekusi", 2008)
Keluarga Amrozi menyayangkan kenapa
pemerintah mempercepat eksekusi. Kakak
Amrozi Ustad Jakfar yang juga pengasuh
Ponpes Al Islam Desa Tenggulun menuturkan
kenapa terpidana mati yang sudah belasan
tahun belum dieksekusi, tetapi Amrozi cs
dieksekusi. Dia juga menyayangkan tidak ada
lagi kesempatan membesuk ke LP
Nusakambangan Cilacap, Jawa Tengah.
("Warga Tanggapi", 2008)
Hingga saat ini keluarga Amrozi dan Ali
Ghufron, terpidana mati bom Bali I belum
mendapatkan kepastian kapan eksekusi
dilaksanakan. Kakak Amrozi, Ustad Khozin
Jumat (31/10) menyatakan sampai Jumat sore
belum ada pemberitahuan secara resmi kapan
eksekusi dilaksanakan baik dari kejaksaan
maupun dari Tim Pembela Muslim.
("Keluarga Amrozi ", 2008)
"Jelang rencana pembunuhan Amrozi cs
(eksekusi-Red), kami menyayangkan
pengamanan begitu ketat seperti mau perang.
Soal urusan perlawanan hukum kami percaya
pada Tim Pembela Muslim. Kami hanya
berdakwah dan melawan dengan lisan, dengan
cara bersilaturahmi ke Tenggulun dan
menyampaikan pendapat," kata Muzayyin.
("Anggota Ansharut", 2008)
Hal yang sama diungkapan Pimpinan Pondok
90 PITALOKA
Pesantren Dzikrussyifa Brojomusti Desa
Sendangagung, Kecamatan Paciran,
Kabupaten Lamongan, Kiai M Muzakkin.
Muzakkin mengatakan setiap orang punya
kepentingan yang sama menuju ke jalan Allah
tetapi jalannya berbeda-beda. ("Anton Medan
", 2008)
Identifikasi eksekusi sebagai peristiwa besar
Judul ("Warga Tanggapi Dingin Eksekusi
Amrozi", "Pangdam: Waspadai Dampak
Eksekusi Amrozi", "Regu Tembak dan 2
Helikopter Siaga di Nusakambangan", "Jakarta
Siaga Satu Jelang Eksekusi Amrozi dkk",
"Jelang Eeksekusi Amrozi cs, Turis
Berkurang", "Jalan Panjang Amrozi dkk
Menuju Eksekusi", "Adi Masardi Sesalkan
Perlakuan Khusus Untuk Amrozi", "Eksekusi
Amrozi dkk Menggunakan Satu Peluru",
"Detik-detik Eksekusi Amrozi dkk") dan isi
berita menunjukkan identifikasi pelaksanaan
eksekusi terpidana sebagai peristiwa besar,
seperti peristiwa nasional di Indonesia. Secara
garis besar, identifikasi tersebut meliputi (a)
pengumuman tanggal eksekusi oleh tokoh atau
institusi ternama di Indonesia, (b) pemberitaan
tentang proses, perangkat dan infrastruktur
eksekusi secara detil, (c) peningkatan tingkat
pengamanan di kota-kota besar, dan (d) kilas
balik gerakan Amrozi dan kawan-kawan
(terpidana).
Contoh-contoh pemberitaan dimaksud
adalah sebagai berikut:
"Silakan datang besok jam 10 pagi. Besok
akan diumumkan soal eksekusi Amrozi Cs.
Tapi saya belum tahu, siapa yang akan
mengumumkan dan apa yang akan
diumumkan," tegas Kepala Pusat Penerangan
Hukum (Kapuspenkum) Kejagung M Jasman
Panjaitan di Kejagung, Jakarta. ("Besok,
Kejagung", 2008)
Dua helikopter milik Polri itu diperkirakan
akan digunakan untuk angkutan pasca-
eksekusi. ("Dua Helikopter ", 2008)
"Ya. Ini kami sedang melakukan persiapan
untuk mengumumkannya kepada publik.
Mudah-mudahan sebelum pukul 12.00
konferensi pers sudah bisa dilakukan," ujar
Kepala Pusat Penerangan Hukum Jasman
Pandjahitan ketika dihubungi, Minggu.
("Kejaksaan Akan", 2008)
Pembandingan terpidana dengan tokoh penting
Judul dan isi berita menunjukkan bahwa
media menghadirkan tokoh-tokoh tingkat
nasional dan internasional dalam isi
pemberitaan mengenai proses eksekusi dan
terpidana. Hal ini mengindikasikan bahwa
terpidana (Amrozi, dkk.) memiliki posisi yang
sama signifikansinya dengan para tokoh
pembanding. Selain itu, media cenderung
menghadirkan pandangan tokoh atau pimpinan
kelompok agama yang memiliki ideologi Islam
fundamentalisme yang secara tegas membela
terpidana dan tidak menyetujui eksekusi. Dalam
pemberitaan selama dua bulan tersebut, media
tidak menghadirkan tokoh agama Islam yang
tidak berpihak pada satu golongan atau umat
Muslim mainstream seperti Muhammadiyah
atau Nahdhatul Ulama.
Contoh-contoh pemberitaan dimaksud
adalah sebagai berikut:
Ustad Abu Bakar Ba'asyir, Senin (6/10), tidak
diizinkan menjenguk tiga terpidana mati kasus
bom Bali I, Amrozi, Mukhlas, dan Imam
LIPUTAN MEDIA 91
Samudra, yang saat ini mendekam di
Lembaga Pemasyarakatan Batu,
Nusakambangan, Cilacap. ("Abu Bakar",
2008)
Menjelang eksekusi tiga terpidana mati pelaku
bom Bali I, Duta Besar Australia Bill Farmer
menemui Jaksa Agung Hendarman Supandji
di kantor Kejaksaan Agung Kejagung, Senin
(27/10). ("Dubes Australia ", 2008)
Sumber Persda Netowrk di Polda Jawa
Tengah menyebutkan, eksekusi akan
dilakukan setelah Pangeran Charles
meninggakan Indonesia. "Setelah Pangeran
Charles meninggalkan Indonesia, eksekusi
akan dilaksanakan," tegasnya, Selasa (4/11)
("Eksekusi Amrozi Cs. ", 2008)
Kesimpulan dan Saran
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa
media, dengan (a) mengidentifikasikan
terpidana sebagai korban suatu
pemerintahan/negara, (b) mengategorisasikan
pelaksanaan eksekusi terpidana mati bom Bali
sebagai peristiwa penting, (c) membandingkan
terpidana dengan tokoh dan institusi penting
tingkat nasional/internasional, (d) lebih
menampilkan pandangan pemimpin agama
yang membela terpidana, serta (e) tidak
menampilkan pandangan tokoh agama dari
organisasi Islam yang netral atau memiliki
pandangan berbeda dengan terpidana, telah
memicu pembentukan identitas sosial positif
bagi gerakan kelompok fundamentalis.
Hal tersebut karena (a) representasi sosial
menjadi korban berarti pembom menjadi pihak
yang "tidak bersalah" sehingga memicu kesan
sebagai pahlawan, (b) kesan tersebut
membentuk citra identitas positif sebagai
penegak agama Islam di mata pengikut atau
siapapun yang bersimpati, dan menyulut
dukungan umat muslim secara luas karena
media hanya menampilkan pandangan tokoh
yang bersimpati terhadap pembom.
Representasi sosial bersifat dinamis. Pemikiran
tidak hanya dimiliki sekelompok orang seperti
kalangan akademis.
Oleh karena itu, media massa diharapkan
dapat menampilkan berita secara berimbang
karena perannya yang signifikan dalam
membentuk identitas sosial bagi pihak yang
menjadi pemberitaan dan masyarakat lebih luas.
Meskipun unit analisis penelitian ini adalah
media nasional, namun sebaiknya menggunakan
lebih dari satu media nasional. Media lain yang
juga berpotensi mempengaruhi masyarakat
adalah media elektronik atau televisi. Peneliti
dapat membandingkan analisis konten dari satu
media dan lainnya sehingga mendapatkan
representasi sosial yang lebih komprehensif.
Penelitian mendatang hendaknya
menggunakan lebih dari satu sumber sebagai
unit analisis. Selain itu, peneliti juga dapat
melakukan elaborasi dengan metode focus
group discussion dan wawancara terkait
pemberitaan media. Analisis pendamping
seperti statistik deskriptif juga dapat
memperkuat representasi sosial yang terbentuk
tentang satu isu atau permasalahan sosial.
Bibliografi
Abbrams, D., & Hogg, M. (1999). Social identity and social cognition. Massachusetts: Blackwell Publishers.
Abu Bakar Ba'asyir tak diizinkan temui Amrozi dkk. (2008, 6 Oktober. Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://www.kompas.com/lipsus112009/kpkr
92 PITALOKA
ead/2008/10/06/14251028/Abu.Bakar.Ba.asyir.Tak.Diizinkan.Temui.Amrozi.dkk
Amal, T. A., & Panggabean, R. S. (2004). Politik syariat Islam. Jakarta: Pustaka Alvabet
Ancok, D. (2008). Ketidakadilan sebagai sumber radikalisme dalam agama: Suatu analisis berbasis teori keadilan dalam pendekatan psikologi. Jurnal Psikologi Indonesia, 1, 1-8.
Anggota Ansharut Tauhid beri dukungan Amrozi cs. (2008, 4 November). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://www.kompas.com/lipsus102008/readib/xml/2008/11/04/14115599/Anggota.Ansharut.Tauhid..Beri.Dukungan.Amrozi.Cs
Anton Medan doakan Amrozi cs. (2008, 7 November). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/11/07/19465874/anton.medan.doakan.amrozi.cs
Aronson, E., Wilson, T. D., & Akert, R. M. (2004). Social psychology (4th ed.). New Jersey: Prentice Hall.
Besok, Kejagung umumkan eksekusi Amrozi Cs. (2008, 23 Oktober). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/10/23/18262323/Besok.Kejagung.Umumkan.Eksekusi.Amrozi.Cs
Chusniyah, T. (2006). Ideologi, mortality salience dan kekerasan suci: Analisis model struktural. Insan, 8(2).
Comstock, G., & Scharrer, E. (2005) The psychology of media and politics. London: Elsevier Academic Press.
Dua helikopter dikirim ke Nusakambangan. (2008, 2 November). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://kesehatan.kompas.com/read/2008/11/02/1946244/Regu.Tembak.dan.2.Helikopter.Siaga.di.Nusakambangan.
Dubes Australia temui Jaksa Agung. (2008, 27 Oktober). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/10/27/21300236/dubes.australia.temui.jaksa.agung
Effendy, B. (1998). Islam dan negara. Jakarta; Paramadina.
Eksekusi Amrozi cs. setelah Pangeran Charles balik ke Inggris. (2008, 5 November). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://www.kompas.com/read/xml/2008/11/05/06041083/eksekusi.amrozi.cs.setelah.pangeran.charles.balik.ke.inggris
Ellemers, N., Wilke, H., & van Knippenberg, A. (1993). Effects of the legitimacy of low group or individual status on individual and collective status-enhancement strategies.
Journal of Personality and Social Psychology, 64, 766-778.
Gamson, W. A. (2009). Collective identity and the mass media. Dalam Borgida, E., Federico, E. M., & Sullivan, J. L. (2009),
The political psychology of democratic citizenship. New York: Oxford University Press.
Herriot, P. (2007). Religious fundamentalism and social identity. New York: Routledge.
Houghton, D. P. (2009) Political psychology: situations, individuals, and cases. New York: Routledge.
Hutchison, E. (2008). The politics of post-
trauma emotions: Securing community after the Bali bombing. Working paper. Canberra: Department of International Relations, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University.
Jika dieksekusi Amrozi cs tuntut Jaksa Agung. (2008, 24 Oktober). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/10/24/22001953/Jika.Dieksekusi..Amrozi.Cs.Tu
LIPUTAN MEDIA 93
ntut.Jaksa.Agung
Kejaksaan akan umumkan detail eksekusi Amrozi, dkk. (2008, 9 November). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://www.kompas.com/lipsus052009/antasariread/2008/11/09/11404962/Kejaksaan.Akan.Umumkan.Detail.Eksekusi.Amrozi.dkk
Keluarga Amrozi belum dapat pemberitahuan. (2008, 31 Oktober. Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/10/31/18071885/keluarga.amrozi.belum.dapat.pemberitahuan
Lavanco, G., Romano, F., & Milio, A. (2008). Terrorism's fear: perceived personal and national threats. International Journal of Human and Social Sciences, 3-4.
Lorenzi-Cioldi, F. (2006). Group status and individual differentiation. Dalam Postmes, T., & Jetten, J. (2006), Individuality and the group: advances in social identity. London: Sage Publication,Ltd.
Ma'arif, A. S. (2009). Masa depan Islam di Indonesia. Dalam Wahid, A. (2009), Ilusi
Negara Islam: Ekspansi gerakan Islam transnasional di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute.
Milla, M. N. (2008). Bias heuristik dalam proses penilaian dan pengambilan strategi terorisme. Jurnal Psikologi Indonesia, 1, 9-12.
Moscovici, S. (2001). Social representations: Explorations social psychology. New York: University Press.
Páez, D., Martínez-Taboada, C., Arróspide, J. J., Insúa, P., & Ayestarán, S. (1998). Constructing social identity: The role of status, collective values, collective self-esteem, perception and social behaviour. Dalam Worchel, M., Páez, D., & Deschamps, Social identity: International perspectives. London: Sage Publications.
Rogers, W. S. (2003). Social psychology: Experimental and critical approach. Bristol: Open Unity Press.
Shoshani, A., & Slone, M. (2008). The drama of media coverage of terrorism: Emotional and attitudinal impact on the audience. Studies in Conflict & Terrorism, 31(7), 627-640.
Summers, J., & Winefield, H. (2009). Anxiety about war and terrorism in Australian high-school children. Journal of Children and Media, 3(2), 166-184.
Supandji, H. (2008). Eksistensi pidana mati dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Jurnal Kajian Wilayah Eropa, 4(2).
Syu'aibi, A., & Kibil, G. (2011). Merunut akar kekerasan dalam Islam. Dalam Prasetyo, B., Merunut akar kekerasan dalam Islam. Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/entertainmen/2011/05/14/3375/Merunut-Akar-Kekerasan-dalam-Islam.
Tajfel, H. & Turner, J. (2001). An integrative theory of intergroup conflict. Dalam Hogg, M. A., & Abrams, D., Intergroup relations: Key readings in social psychology. Philadelpia: Psychology Press.
Triandis, H. C. & Berry, J. W. (1998) Handbook of cross-cultural psychology: Methodology (Vol. 2). Boston: Allyn and Bacon.
Wagner, W., & Hayes, N. (2005). Everyday
discourse and common sense: The theory of representations. Hampshire: Palgrave MacMillan.
Warga tanggapi dingin eksekusi Amrozi. (2008, 30 Oktober). Ditemukembali pada 10 Juni 2011, dari http://nasional.kompas.com/read/2008/10/30/17340922/warga.tanggapi.dingin.eksekusi.amrozi
Penerimaan Diri Perempuan Pekerja Seks Yang Menghadapi Status HIV Positif di Pati Jawa Tengah
This research is motivated by the complexity of HIV/AIDS problems
among female sex workers. In Pati Regency, the number of female sex
workers with HIV infection is the highest and whom most of the workers
are still working without using condoms. Meanwhile, the classic problem
of HIV/AIDS stigma and discrimination is still high and affecting their
level of self-acceptance. The research is conducted to understand the self-
acceptance aspects of female sex workers with HIV positive. To obtain
the in depth data, the researcher uses phenomenological qualitative
research method. The results of the research shows that the self-
acceptance of female sex workers infected with HIV has a different level
of maturity influenced by the support, experience, knowledge,
independence, and self respect as well as work respect.
Keywords: self-acceptance, female sex workers
Istilah HIV/AIDS sering terdengar, terutama
pada 1 Desember yang diperingati sebagai Hari
AIDS Sedunia. Keberadaan tempat prostitusi
merupakan faktor pendukung perkembangan
kasus HIV/AIDS di Jawa Tengah. Salah satu
kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki
tempat prostitusi dengan sebaran lokasi cukup
luas adalah Pati. Kabupaten Pati terletak sekitar
75 km sebelah timur Semarang dan berada di
jalur pantai utara (pantura) Semarang-Surabaya.
Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten
Jepara dan Laut Jawa di Utara, Kabupaten
Rembang dan Laut Jawa di sebelah Timur,
Kabupaten Blora dan Kabupaten Grobogan di
Selatan, serta Kabupaten Kudus dan Kabupaten
Jepara di sebelah Barat. Luas wilayah
kabupaten Pati 1.503,68 km² dengan jumlah
penduduk 1.247.881 pada akhir tahun 2007 dan
kepadatan penduduk 830 jiwa/km² (Badan Pusat
Statistik Pati, 2007).
Luas wilayah kabupaten tersebut diikuti
pula oleh luasnya persebaran tempat prostitusi.
Berdasarkan data survei Lembaga Swadaya
Masyarakat “Sahabat Pantura” (SAPA), pada
Desember 2007 lalu terdapat 24 tempat
prostitusi yang tersebar di 21 kecamatan,
dengan jumlah pekerja seks mencapai 484
orang (Tabel 1). Dari sejumlah tempat prostitusi
yang tercatat, terdapat 4 tempat prostitusi
terlokalisasi dengan jumlah pekerja seks cukup
tinggi, yaitu Lorong Indah, Pasar Hewan
Margorejo, Kampung Baru, dan Gajah Asri,
yang berada di Kecamatan Margorejo dan
Batangan. Keempat lokasi tersebut terletak di
Psikobuana ISSN 2085-4242 2011, Vol. 3, No. 2, 94–103
Puji Hermawanti Mochamad Widjanarko Sahabat Pantura, Pati, Jawa Tengah Fakultas Psikologi, Universitas Muria Kudus
94
PENERIMAAN DIRI 95
jalur Pantura. Jumlah pekerja seks berdasarkan
data Desember 2007 sebanyak 374 orang, dan
data Desember 2008 sebanyak 321 orang.
Dengan maraknya tempat prostitusi di
Kabupaten Pati, maka risiko penularan penyakit
seperti infeksi menular seksual (IMS) dan
HIV/AIDS sangat besar. Satu kasus HIV/AIDS
pertama kali ditemukan di kabupaten Pati pada
1996. Berdasarkan data Subdin PPM & PL
DKK Pati, Desember 2008, sampai dengan
September 2008 lalu telah terdapat 115 kasus
(Tabel 2); 15 orang diantaranya sudah
meninggal.
Tabel 1.
Jumlah Pekerja Seks di Kabupaten Pati
Kecamatan Jumlah Lokasi
Jumlah Perempuan
Pekerja Seks (PPS)
Tambakromo 1 6 Gabus 4 11 Winong 2 7 Margorejo 2 269 Pati Kota 2 6 Trangkil 1 15 Juwana 2 30 Batangan 2 105 Jakenan 1 3 Pucakwangi 1 1 Tayu 2 16 Margoyoso 2 7 Wedarijaksa 2 8 Jumlah 484
Sebagian besar kasus HIV/AIDS di
Kabupaten Pati ditemukan pada kelompok
risiko tinggi pekerja seks dengan melakukan
VCT mobile (program pendampingan dan tes
pemeriksaan darah untuk mendeteksi
HIV/AIDS yang dilakukan secara mobile) rutin.
LSM SAPA mencatat 27 pekerja seks terinfeksi
HIV pada tahun 2007-2008 di 5 tempat
prostitusi; tiga diantaranya telah meninggal
pada tahun sama ditemukan kasus. Sementara
itu 7 kasus yang masih hidup meninggalkan
lokasi sehingga tidak terpantau oleh
pendamping, sedangkan 17 kasus dalam
pendampingan.
Tabel 2.
Jumlah Pekerja Seks di Kabupaten Pati
Tahun Jumlah Kasus
Kumulatif
1996 1 1 1997 0 1 1998 2 3 1999 0 3 2000 2 5 2001 4 9 2002 3 12 2003 3 15 2004 2 17 2005 10 27 2006 12 39 2007 22 61 2008 54 115
Dalam perkembangannya, kasus HIV/AIDS
di Kabupaten Pati mulai banyak dialami oleh
kelompok masyarakat umum, namun
kompleksitas permasalahan pada kelompok
pekerja seks tetap tinggi. Mobilisasi pekerja
seks yang tinggi, berpindah dari satu lokasi ke
lokasi lain menyulitkan proses pendampingan
serta pemantauan terutama bagi pekerja seks
dengan status HIV positif. Proses perawatan
tindak lanjut seperti melakukan pemeriksaan
jumlah sel darah putih secara bertahap,
pengobatan infeksi oportunistik pada HIV, dan
perawatan lain, belum banyak dilakukan oleh
pengidap HIV yang masih aktif bekerja di
lokasi prostitusi.
Pengusiran sudah banyak terjadi pada
pekerja seks yang mengalami penurunan
96 HERMAWANTI DAN WIDJANARKO
kondisi fisik seperti badan yang semakin kurus,
tampak tidak sehat, mengalami infeksi menular
seksual yang parah, serta beberapa kondisi yang
diduga mengarah pada HIV/AIDS menurut
informan dari lingkungan setempat. Beberapa
pekerja seks yang mengetahui dirinya terinfeksi
HIV kemudian sengaja meninggalkan tempat
kerja mereka karena diduga takut statusnya
diketahui lingkungan lalu diusir.
Stigma Pengidap HIV/AIDS Pada
Perempuan Pekerja Seks
Meskipun lebih dari 20 tahun lalu kasus
HIV/AIDS ditemukan di Indonesia, namun
stigma dan perlakuan diskriminatif masih
terjadi sampai sekarang. Stigma dan
diskriminasi disebabkan oleh kurang tepatnya
informasi yang diperoleh masyarakat tentang
HIV/AIDS. Tidak jarang perlakuan buruk justru
dilakukan oleh tenaga kesehatan, seperti yang
pernah terjadi di sebuah rumah sakit di
Kabupaten Pati tahun 2008 lalu (pengamatan
penulis). Pada waktu mengetahui bahwa pasien
yang dirawat adalah seorang pengidap HIV,
perawat rumah sakit tersebut menyebarkan
informasi kepada teman-temannya sehingga
mempengaruhi perlakuan perawatan terhadap
pasien. Perlakuan pihak rumah sakit tersebut
terhadap pasien HIV positif sampai saat ini
terkesan masih menyamakan dengan pasien
yang mengidap penyakit menular. Bila pada
umumnya tempat makan untuk pasien
menggunakan piring, maka untuk pasien HIV
positif diberikan kemasan yang sekali pakai
meskipun pasien tidak memiliki indikasi infeksi
oportunistik yang menular.
Perempuan pekerja seks tak terpisahkan
dengan permasalahan HIV/AIDS. Tubuh
pengidap HIV positif sangat rentan menerima
penyakit lain. Pada perempuan pekerja seks
yang mengidap HIV positif, risiko terinfeksi
berbagai penyakit sangat tinggi karena perilaku
berganti-ganti pasangan seks yang tidak aman.
Oleh karena itu perempuan pekerja seks
tersebut seringkali disarankan untuk berhenti
sebagai alternatif terbaik. Bila tidak dapat,
maka perempuan disarankan untuk (a) merayu
pelanggan untuk menjaga penggunaan 100%
kondom dan berani menolak bila pelanggan
tidak bersedia menggunakannya, (b) rutin
memeriksakan kondisi IMS dan keluhan lain
yang muncul, (c) mencari informasi tentang
keluhan-keluhan yang dialami, dengan bertanya
kepada dokter maupun pendamping, berbagi
dengan teman sebaya, dan membaca buku-buku
seputar keluhan yang dirasakan, (d) mencari
teman sebaya untuk mendapatkan dukungan
dan berbagi pengalaman, (e) bagi pengidap HIV
yang belum mempercayai hasil, hendaknya
memahami ada atau tidaknya perilaku berisiko
yang dilakukan, serta bila perlu berkonsultasi
dengan konselor VCT.
Dalam penanggulangan HIV/AIDS, pekerja
seks dikategorikan sebagai kelompok risiko
tinggi yang menjadi sasaran utama program
penanggulangan HIV/AIDS. Kenyataan ini
semakin memperkuat stigmatisasi pekerja seks
sebagai kaum marjinal sekaligus berisiko tinggi
tertular maupun menularkan HIV. Dengan kata
lain, pekerja seks menyandang stigma ganda
yang cenderung bermakna negatif. Siapapun
pengidap HIV positif, termasuk pekerja seks,
kemungkinan besar akan memberikan reaksi
psikis terhadap penyakit yang diderita meskipun
dalam bentuk yang berbeda-beda. Reaksi
tersebut dapat berpengaruh terhadap kondisi
fisik. Tingginya stigma dan perlakuan
diskriminatif sangat berpengaruh terhadap
PENERIMAAN DIRI 97
kondisi mental klien dengan HIV positif,
meskipun reaksi individu satu dengan yang lain
tidak sama. Perasaan cemas, khawatir, maupun
takut diketahui selalu membayangi. Mitos
mengenai HIV/AIDS yang tidak bisa
disembuhkan dan hanya tinggal menunggu
kematian seringkali mengganggu pikiran
mereka. Beberapa gangguan psikis yang sering
muncul adalah susah tidur, sindrom rasa sakit,
keinginan bunuh diri, gangguan kepanikan,
serta gangguan kecemasan. Kecenderungan
masyarakat yang menganggap bahwa pengidap
HIV adalah orang-orang dengan perilaku
menyimpang justru lebih menyakitkan dan
memperparah kondisi pengidap HIV daripada
penyakit itu sendiri.
Minimnya pengetahuan masyarakat juga
sangat berpengaruh terhadap tingginya stigma
HIV, yang mengakibatkan rendahnya dukungan
dan perawatan yang diterima pengidap HIV.
Pengidap HIV tidak hanya membutuhkan
perawatan medis, tetapi juga dukungan psikis
agar mereka tidak merasa dikucilkan.
Dukungan dari orang-orang terdekat diharapkan
dapat membantu membangun kembali semangat
pengidap HIV serta membantu proses
penerimaan dirinya.
Penerimaan Diri
Sehubungan dengan masih sensitifnya isu
tentang HIV/AIDS pada kalangan kelompok
berisiko tinggi seperti pekerja seks, maka
penanganan kasus perlu berhati-hati dan
memperhatikan kode etik kerahasiaan. Stigma
buruk yang masih terjadi seringkali berdampak
pada perlakuan diskriminatif, seperti pengucilan
maupun pengusiran terhadap pekerja seks.
Adanya stigma dan diskriminasi inilah yang
seringkali menyebabkan seorang pengidap HIV
positif sulit menerima kondisi dirinya tersebut
secara apa adanya. Penerimaan diri pada
pengidap HIV positif dimaksudkan agar
individu yang bersangkutan memiliki motivasi
untuk tetap hidup sehat dan tidak terpuruk.
Seseorang yang dapat menerima diri secara
baik, menurut Calhoun dan Acocella (1990)
tidak memiliki beban perasaan terhadap diri
sendiri, sehingga lebih banyak memiliki
kesempatan untuk beradaptasi dengan
lingkungan. Kesempatan itu membuat individu
mampu melihat peluang-peluang berharga yang
memungkinkan diri berkembang. Seorang
pengidap HIV yang mampu menerima keadaan
diri apa adanya diharapkan dapat melihat
kembali masa depannya serta mampu
mengembangkan potensi dirinya dengan baik.
Hurlock (1990) mengemukakan ada beberapa
kondisi yang mempengaruhi pembentukan
penerimaan diri seseorang, yaitu pemahaman
diri, harapan yang realistis, bebas dari hambatan
sosial, perilaku sosial yang menyenangkan,
konsep diri yang stabil, dan adanya kondisi
emosi yang menyenangkan. Hurlock (Izzaty,
1996, dalam Novidda, 2007) juga mengatakan
bahwa individu yang menerima dirinya
memiliki penilaian yang realistik tentang
sumber daya yang dimilikinya, yang
dikombinasikan dengan apresiasi atas dirinya
secara keseluruhan.
Sheerer (Cronbach, 1963, dalam Novidda,
2007) menjelaskan lebih lanjut mengenai
karakteristik individu yang dapat menerima
dirinya, yaitu (a) individu mempunyai
keyakinan akan kemampuannya untuk
menghadapi persoalan, (b) adanya anggapan
bahwa dirinya berharga sebagai seorang
manusia dan sederajat dengan orang lain, (c)
individu tidak menganggap dirinya aneh atau
abnormal dan tidak ada harapan ditolak orang
98 HERMAWANTI DAN WIDJANARKO
lain, (d) individu tidak malu atau hanya
memperhatikan dirinya sendiri, (e) individu
berani memikul tanggung jawab terhadap
perilakunya dan individu dapat menerima
pujian atau celaan secara objektif.
Schlutz (Izzaty, 1996, dalam Novidda,
2007) mengatakan bahwa penerimaan diri
memiliki hubungan yang erat dengan tingkat
fisiologik. Tingkat fisiologik yang dimaksud
adalah tingkat kesehatan individu yang dilihat
dari kelancaran kerja organ tubuh dan aktivitas
dasar, seperti makan, minum, istirahat dan
kehidupan seksual, yang semuanya merupakan
faktor penunjang utama kesehatan fisik.
Penerimaan diri mengandaikan adanya
kemampuan diri dalam psikologis seseorang,
yang menunjukkan kualitas diri. Hal ini berarti
bahwa tinjauan tersebut akan diarahkan pada
seluruh kemampuan diri yang mendukung
perwujudan diri secara utuh. Hal ini sesuai
dengan pendapat Schultz (Ratnawati, 1990,
dalam Novidda, 2007) mengenai penerimaan
diri, bahwa penerimaan diri merupakan hasil
dari tinjauan pada seluruh kemampuan diri.
Metode
Penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif dengan pendekatan alur
pikir penelitian sebagaimana nampak dalam
Gambar 1. Dalam penelitian ini, data
dikumpulkan melalui observasi dan wawancara.
Analisis data dilakukan dengan pendekatan
sedemikian sehingga penafsiran atau
interpretasi itu mengandung arti sebagai upaya
memberikan makna atas suatu data empirik
yang diperoleh dalam penelitian, menjelaskan
pola atau kategori dan mencari hubungan dari
suatu konsep. Validitas penelitian ini peneliti
Gambar 1. Alur pikir penelitian
Stigma dan
Diskriminasi
Perawatan dan
dukungan
- Adanya keyakinan dan kemampuan diri dalam menghadapi persoalan
- Adanya anggapan berharga pada diri sendiri sebagai seorang manusia dan sederajat
- Tidak ada anggapan aneh atau abnormal terhadap diri sendiri dan tidak ada harapan ditolak
- Tidak adanya rasa malu atau memperhatikan diri sendiri
- Ada keberanian memikul tanggungjawab terhadap perilaku sendiri
- Dapat menerima pujian, saran, kritikan atau celaan secara objektif
- Tidak adanya penyalahan diri atas keterbatasan yang dimiliki ataupun pengingkaran berlebihan
PPS HIV Positif
Penerimaan Diri Mengalami gangguan
psikis
PENERIMAAN DIRI 99
menggunakan metode triangulasi data,
kecermatan transkripsi, dan pemeriksaan teman
sejawat. Teman sejawat yang dimaksudkan
adalah pendamping subjek penelitian yang
mengetahui status HIV dari subjek.
Hasil
Ada tiga orang yang menjadi subjek
penelitian ini, yaitu E, M, dan S. Meskipun
mereka sekarang sudah terbuka dengan
pendamping, namun proses awal keterbukaan
mereka tidak sama. Ada yang langsung terbuka,
ada yang memerlukan pendekatan intensif, serta
ada pula yang menunggu tes kedua karena
belum percaya hasil tes pertama. Selain perilaku
menghindar pernah terjadi pada awal
keterbukaan, perasaan cemas dan susah tidur
juga sering mereka alami pada awal menerima
hasil tes, terutama sebelum membuka diri.
Penerimaan diri pada penderita HIV/AIDS,
khususnya pada penelitian ini mengalami
tingkatan yang berbeda-beda.
Dilihat dari keyakinan akan kemampuan
individu dalam menghadapi persoalan, pada
dasarnya, semua subjek penelitian memiliki
keyakinan dan kemampuan menghadapi
persoalan, namun hal tersebut sangat lemah
pada M dan S. Mereka tidak mengatakan yakin
mampu, namun harus mau menerima.
Sedangkan pada E, aspek tersebut muncul kuat
dilihat dari pengakuan serta usaha rutinnya
memeriksakan diri, mencari tahu, konsultasi,
mengikuti pertemuan support group. Keyakinan
dan kemampuan E ini sangat dipengaruhi oleh
banyaknya dukungan yang ia terima dari
berbagai pihak seperti pendamping, dokter
klinik, serta teman-temannya sesama pengidap
HIV yang menyebabkan ia mudah menemukan
tempat untuk berbagi masalahnya yang
menambah semangat informan untuk terus
memperbaiki diri. Sedangkan pada subjek yang
lain, dukungan tersebut tidak mereka dapatkan
karena mereka cenderung pasif dan masih
menutup diri untuk mencari dukungan. Bahkan
M seakan-akan tidak membutuhkan orang lain
untuk mendukung perawatan dirinya.
Dari aspek keyakinan individu (untuk dapat
berarti atau berguna bagi orang lain) dan tidak
memiliki rasa rendah diri (karena merasa sama
dengan orang lain yang masing-masing
memiliki kelebihan dan kekurangan), semua
subjek terlihat memilikinya terutama pada E
dan S. Faktor pemahaman terhadap gejala-
gejala HIV serta apresiasi kondisi sebagai
pekerja seks sangat berpengaruh dalam
meningkatkan keyakinan bahwa mereka masih
berarti. Semakin rendah faktor pemahaman dan
penghargaan ini, maka keyakinan untuk
berharga juga semakin rendah. Hal ini tampak
pada M yang tidak memahami dan tidak mau
menerima pendapat orang lain mengenai gejala-
gejala HIV, sehingga tidak bersedia
melanjutkan terapi. M juga memandang rendah
pekerjaan sebagai pekerja seks yang ia jalani,
sehingga ia juga memandang rendah terhadap
dirinya sendiri.
Dari aspek tidak adanya anggapan aneh atau
abnormal terhadap diri sendiri dan tidak ada
harapan ditolak oleh orang lain, seluruh subjek
penelitian memilikinya. E dan S cenderung
menjaga jarak dengan lingkungan, namun
alasan mereka sangat berbeda. E sengaja
menjaga jarak agar tidak terjadi penularan virus
kepada orang lain, sehingga ia tidak
sembarangan menggunakan peralatan makan
bersama serta berhati-hati berinteraksi langsung
untuk menghindari ketidaksengajaan penularan.
Di samping itu, E menjaga diri untuk tidak
membicarakan orang lain dan lebih banyak
100 HERMAWANTI DAN WIDJANARKO
merenung melihat kedalam dirinya, namun
bukan berarti ia menjauh dari teman-temannya;
hubungan dengan teman-temannya masih baik
seperti biasanya. E mengalami perubahan sikap
karena sebenarnya takut terhadap kematian
yang selama ini dianggap dekat dengan
pengidap HIV. Sementara itu, S menjaga jarak
dengan teman-temannya karena memang terjadi
perselisihan. Selain itu sebelumnya S memang
tidak banyak memiliki teman karena sifatnya
yang pendiam. Di lingkungan sekitar rumah, S
tidak merasakan perubahan tingkah laku dari
tetangga terhadapnya yang menandakan bahwa
ia tidak mengalami gangguan interaksi dengan
orang lain. E tidak merasakan adanya perbedaan
antara dirinya dengan orang lain, apalagi ia
memang merasa baik-baik saja tanpa HIV
dalam tubuhnya. Teman-temannya juga
bersikap seperti biasa tidak menampakkan
kecurigaan. Hal ini semakin menguatkan
pendapat E bahwa dirinya tidak sakit. E
menjadi tidak merasa khawatir. Sayangnya, hal
ini menyebabkab ia meremehkan statusnya
tersebut. Dalam hal ini, sikap orang lain
mempengaruhi pengidap HIV untuk tidak
membedakan dirinya.
Dari aspek individu tidak malu atau hanya
memperhatikan dirinya sendiri, hal ini terlihat
kuat pada E, namun lemah pada M dan S.
Kuatnya aspek ini pada E terlihat pada
Gambar 2. Penerimaan diri perempuan pekerja seks yang menghadapi status HIV positif
Faktor resiko pekerja seks
Gangguan psikis
Perawatan dan dukungan
Penerimaan Diri
Bergantian pasangan seks Tertular dan menularkan virus
Tidak percaya, menyangkal Merasa hidup tidak adil Takut mati
Faktor penerimaan diri subjek : 1.Dukungan 2.Pengalaman 3.Pengetahuan 4.Penghargaan
diri 5.Mandiri
Kuat
Sedang
Lemah
Aspek-aspek penerimaan diri
PENERIMAAN DIRI 101
pengalaman E di lingkungan pengidap HIV. E
sering mengikuti pertemuan bagi pengidap HIV
dan memungkinkan untuk bertemu dengan
teman-teman baru sesama pengidap HIV, yang
bermanfaat untuk saling memberikan motivasi
maupun berbagi pengalaman. Pengalaman
inilah yang menyebabkan E menjadi lebih
terbuka namun tetap selektif menentukan
kepada siapa ia mengutarakan keluhan seputar
HIV-nya. M dan S cenderung tertutup dan tidak
mau keluar mencari pengalaman atau pun
sekedar mencari tahu mengenai perkembangan
virus dalam tubuhnya. Mereka juga belum
memperlihatkan rasa senasib kepada sesama
pengidap HIV.
Dari aspek keberanian memikul tanggung
jawab atas perilaku sendiri, E memahami bahwa
dirinya memang berisiko tertular HIV karena
lingkungan kerja yang sangat mendukung.
Untuk itu, ia berani melakukan VCT dan
menerima hasilnya dengan lapang dada.
Sementara itu, M tidak mau tahu bahwa dirinya
terinfeksi HIV, karena ia masih tidak percaya
dinyatakan positif. Hal ini memperlihatkan
bahwa ia belum berani menerima kenyataan
sebenarnya, sehingga aspek keberanian
memikul tanggung jawab tidak terlihat pada M.
S sempat tidak percaya dinyatakan HIV positif.
Ia mengaku tidak kuat menghadapi cobaan
hidup dan keadaan ini dipandang tidak adil
olehnya. Kadang ia bertanya-tanya pelanggan
mana yang telah menularkan virus, namun S
mencoba menerima kondisinya meskipun
terpaksa. Dalam hal ini, penerimaan diri
dipengaruhi oleh pemahaman terhadap perilaku
berisiko yang dilakukan oleh subjek.
Dari aspek objektivitas dalam penerimaan
pujian dan celaan, E menerima kritik, saran,
pujian, serta mampu menanggapi kecurigaan
orang lain mengenai statusnya dengan tenang,
tidak emosional. Hal ini tampak pada waktu E
menanggapi kecurigaan temannya dengan
gurauan, menanggapi kritik dan saran peneliti
dengan jawab yang tidak menentang, melainkan
mengemukakan apa adanya yang dirasakannya.
Objektivitas penerimaan pujian dan celaan ini
pada E dipengaruhi oleh kebiasaannya untuk
terbuka mengenai masalah yang ia alami. Usaha
mencari dukungan ia lakukan tanpa malu-malu.
Sementara itu, M agak terkejut ketika peneliti
menuduhnya sengaja menularkan virus,
kemudian ia menjawab memberitahukan
usahanya menawarkan kondom namun ditolak
pelanggan. Pada waktu peneliti menjelaskan
risiko bila tetap bekerja, M mengatakan masa
bodoh karena semuanya sudah diatur Tuhan dan
ia hanya menjalani. M belum bisa menolak
pelanggan yang tidak bersedia memakai
kondom. Sewaktu peneliti memuji
ketegarannya, ia hanya tersenyum tersipu.
Ketika ditanya tentang risiko yang semakin
tinggi karena masih bekerja, S tersenyum dan
mengakui bahwa ketika melayani tamu yang
menolak memakai kondom, hatinya "ngganjel",
berpikir akan menambah penyakit. Sebenarnya
S ingin berhenti, namun belum tahu kapan
waktunya. Kalau ia berhenti, tidak ada yang
mencarikan nafkah.
Aspek penyalahan atas keterbatasan yang
ada ataupun mengingkari kelebihan nampak
pada semua subjek penelitian, meskipun pada
informan S tidak sekuat E dan M. Hal ini
dipengaruhi sikap kemandirian menjalani hidup.
E dan M cenderung mandiri dan menerima
kejadian yang mereka alami, sedangkan S
cenderung mengeluh dan menyalahkan orang
lain. E dan M tidak berusaha mencari siapa
yang disalahkan. Mereka melakukan pekerjaan
sebagai pekerja seks karena keterbatasan yang
harus diakui.
102 HERMAWANTI DAN WIDJANARKO
Hal yang ditemukan mempengaruhi ketiga
subjek penelitian dalam menerima status HIV
antara lain karena adanya dukungan orang lain
yang diterima, sehingga menimbulkan
keyakinan dalam diri untuk menghadapi
masalah. Namun dukungan tersebut tidak
datang sendiri. Mereka berusaha mencari
dukungan dan memberikan kepercayaan kepada
orang lain tersebut. Faktor lain adalah
pemahaman subjek penelitian terhadap HIV
yang menyerangnya. Dengan mengetahui
informasi ini, lebih mudah bagi mereka untuk
memantau perkembangan kesehatannya. Selain
memahami faktor penyakit, subjek juga
memahami bahwa ia melakukan perilaku
berisiko sebagai pekerja seks. Melalui
pekerjaan tersebut, subjek berganti-ganti
pasangan seks dan berisiko tertular dan
menularkan penyakit. Meskipun demikian,
subjek tidak terlalu memandang rendah
pekerjaannya, karena justru ia akan menjadi
semakin merasa bersalah terlebih statusnya
sebagai pengidap HIV. Seseorang yang
terinfeksi HIV membutuhkan perawatan dan
dukungan agar kesehatan fisik dan psikisnya
pulih. Dalam hal ini, kemandirian subjek sangat
membantu dalam mencari pengobatan serta
menghadapi risiko yang ia terima. Sikap orang
lain di sekelilingnya yang tidak mencurigai dan
tidak mengucilkan juga sangat membantu
subjek untuk menerima keadaannya.
Diskusi, Kesimpulan, dan Saran
Pada pekerja seks, risiko tertular IMS cukup
tinggi dan bisa memperparah HIV dalam
tubuhnya. Pekerja seks pengidap HIV yang
dapat menerima keadaannya akan rutin
melakukan pemeriksaan IMS, seperti halnya
yang dilakukan oleh subjek E. Dari tiga subjek
penelitian ini, E memiliki tingkat penerimaan
diri paling matang dibandingkan dengan M dan
S. Selain rutin mengontrol kondisi IMS,
menjaga pola hidup agar teratur juga
merupakan bagian dari penerimaan diri seorang
pengidap HIV. Pola hidup teratur yang
dimaksudkan adalah menjaga makanan dan
minuman yang dikonsumsi, misal tidak
mengkonsumsi minuman beralkohol. Kebiasaan
buruk mengkonsumsi alkohol masih dilakukan
oleh M dan S. E sudah mulai menerapkan pola
hidup sehat dengan melakukan hampir semua
aktivitas tersebut tanpa mengalami hambatan
yang berarti. Artinya, E sudah bisa menerima
keadaan dirinya seperti yang dikemukakan oleh
Schlutz (Izzaty, 1996).
Penelitian ini menyimpulkan bahwa
penerimaan diri terhadap status HIV positif
pada perempuan pekerja seks berbeda
tingkatannya yang dipengaruhi oleh dukungan,
pengalaman, pengetahuan, penghargaan
terhadap diri sendiri dan pekerjaan serta
kemandirian (Gambar 2). Semakin tinggi
faktor-faktor tersebut dimiliki oleh subjek,
maka semakin kuat penerimaan diri subjek
menghadapi status HIV positif.
Penerimaan diri memiliki tingkatan yang
berbeda beda antar orang, dan sewaktu-waktu
dapat berubah karena pengaruh kondisi
psikologis seseorang. Pada perempuan pekerja
seks, proses penerimaan diri bisa lebih sulit
terjadi karena kompleksnya permasalahan baik
dalam lingkup internal pekerja seks sendiri
maupun di lingkungan prostitusi tempat mereka
bekerja. Kompleksitas masalah penerimaan diri
pada perempuan pekerja seks sangat menarik
untuk diteliti lebih lanjut.
Bibliografi
PENERIMAAN DIRI 103
Calhoun, J. F., & Acocella, J. R. (1990).
Psychology of adjustment and human
relationship. New York: McGrawHill.
Cronbach, L. J. (1963). Educational
psychology. New York: Harcourt, Brace &
World, Inc.
Hurlock, E. B. (1990). Developmental
psychology: A life span approach (5th ed.).
Boston: McGraw-Hill.
Izzaty, R. E. (1996). Penerimaan diri dan
toleransi terhadap stres pada wanita
berperan ganda. Skripsi, tidak diterbitkan,
Fakultas Psikologi, Universitas Gajah
Mada.
Novidda, K. (2007). Penerimaan diri dan stres
pada penderita diabetes mellitus. Skripsi,
tidak diterbitkan, Fakultas Psikologi dan
Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam
Indonesia. Diakses dari
http://rac.uii.ac.id/server/document/Public/2
0080505120738SKRIPSI.doc
Ratnawati, D. (1990). Hubungan keasertifan
dengan penerimaan diri atas kecacatan
yang disandang oleh para penyandang
cacat tubuh di PRPCT. Skripsi, tidak
diterbitkan, Fakultas Psikologi, Universitas
Gajah Mada.
Aplikasi Teori Respon Butir Untuk Menguji Invariansi Pengukuran Psikologi Guna Keperluan Survei dan
Seleksi Pekerjaan
Wahyu Widhiarso Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada
This study aims was exploring model that explain faking responses on the
psychological scale through item response theory modeling (IRT) and
tested its goodness of fit. This research use quasi-experimental design that
manipulates participant instructions to response Five Factors Personality
Scale. In the first instruction, participants were asked to give honest
response to given scale, while the second condition were asked to imagine
as job applicants so they consider to manipulate their response to give
positive impression. IRT based modeling was done on both types of
response by using partial credit model (PCM). Results of analysis suggest
whether there is no difference in threshold parameters between the two
types of responses. Additional analysis with differential item functioning
(DIF) test found inconsistent results. There are some items affected by
DIF that indicated participants who manipulated their response have
probability of getting a high score than others. Overall, this study shows
that the nature invariance of IRT modeling interrupted by faking response.
Keywords: item response theory, faking response, differential item
functioning
Penelitian banyak yang telah membuktikan
bahwa skala psikologi sangat rentan terhadap
respons tipuan sehingga diperlukan penelitian
yang intensif untuk mengatasi permasalahan ini
(Zickar & Robie, 1999). Viswesvaran dan Ones
(1999) melalui studi meta analisis menemukan
bahwa rerata skor skala kepribadian dari
aplikan yang mengikuti seleksi kerja lebih
tinggi 0,48 hingga 0,65 di atas rerata skor dari
subjek yang telah bekerja. Penelitian lain juga
menunjukkan bahwa hadirnya respons tipuan
mempengaruhi skor total (Hough, Eaton,
Dunnette, Kamp, & McCloy, 1990), estimasi
theta dengan menggunakan IRT (Zickar &
Drasgow, 1996), struktur faktor tes kepribadian
baterai (Schmit & Ryan, 1993), korelasi antar
sub-skala (Douglas, McDaniel, & Snell, 1996)
dan validitas kriteria dan utilitas sistem seleksi
(Zickar, Rosse, & Levin, 1996). Paparan
tersebut menunjukkan bahwa pengukuran
psikologi rentan terhadap respon yang menipu
dan adanya respon menipu tersebut dapat
mengganggu properti psikometris pengukuran
yang dilakukan.
Penelitian mengenai respons tipuan (faking)
telah banyak dilakukan dengan desain
Psikobuana ISSN 2085-4242 2011, Vol. 3, No. 2, 104–117
104
APLIKASI TEORI 105
penalitian yang dipakai sangat beragam.
Pertama, beberapa peneliti berusaha
mengidentifikasi tipuan dengan bantuan
instrumen pengukuran yang khusus mendeteksi
respons tipuan misalnya Balanced Inventory of
Desirable Responding (Paulhus, 1984),
Unlikely Virtues Scales, Assessment of
Background and Life Experiences (ABLE),
Validity Scale, serta Skala Kecenderungan
Sosial (Social Desirability Scale) yang
kembangkan oleh beberapa peneliti, misalnya
Social Desirability Scale (Edwards, 1957),
Marlowe-Crowne Social Desirability Scale
(Crowne & Marlowe, 1960), dan Jackson
Social Desirability Scale. Zickar dan Robie
(1999) mengatakan bahwa meskipun skala
tersebut didesain untuk tahan terhadap respons
tipuan, hasil penelitian menunjukkan bahwa
banyak individu yang bisa mengatasi ‘jebakan’
ini. Korelasi antara skala tersebut dengan skala-
skala kepribadian yang bersumber dari aplikan
pekerjaan lebih tinggi dibanding dari responden
non-aplikan. Dapat disimpulkan bahwa
instrumen-instrumen tersebut tidak tahan
terhadap respons tipuan.
Kedua, desain penelitian dalam
mengidentifikasi respons tipuan dilakukan
dengan membandingkan rerata skor total skala
psikologi dari dua kelompok yang memiliki
motivasi yang berbeda, misalnya subjek
pelamar pekerjaan dibandingkan dengan subjek
penelitian atau subjek yang diinstruksikan
menjawab jujur dan subjek yang diinstruksikan
memberikan respon yang menggambarkan citra
diri sebaik-baiknya. Desain ini memiliki
keterbatasan karena fenomena respons tipuan
tidak berada pada tataran skor total akan tetapi
pada tataran skor butir. Von Davier (2010)
mengatakan bahwa skor total kurang
memberikan banyak informasi karena tidak bisa
menjangkau dinamika psikologis secara
mendetail. Dalam konteks penelitian mengenai
respons tipuan, investigasi melalui skor total
juga kurang direkomendasikan (Zickar &
Gibby, 2006).
Ketiga, respons tipuan dikaji melalui
analisis faktor baik eksploratori maupun
konfirmatori (Montag & Comrey, 1990).
Perbedaan struktur faktor data yang didapatkan
dari partisipan yang memiliki motivasi berbeda
(netral vs. motivatif) diinterprestasikan
merupakan resultan dari respons tipuan. Asumsi
bahwa konstrak empirik berkaitan dengan
faktor secara linier menyebabkan teknik analisis
ini kurang berhasil jika diterapkan pada skala
psikologi yang menyediakan alternatif respon
yang sedikit, misalnya dua alternative respons
(ya dan tidak). Ditambah lagi dengan ukuran
sampel yang sedikit dan jumlah faktor yang
diekstrak terlalu banyak akan menghambat
kestabilan hasil analisis faktor yang diterapkan
(S. Stark, O. S. Chernyshenko, K. Y. Chan, W.
C. Lee, & F. Drasgow, 2001).
Keempat, respons tipuan dikaji melalui teori
respon butir (Item Response Theory/IRT)
(Zickar & Robie, 1999). Teknik IRT yang
banyak digunakan adalah perbedaan
keberfungsian butir (differential item
functioning/DIF) yang dipakai
mengindentifikasi perbedaan seberapa jauh
probabilitas kelompok referen (respon jujur)
dan fokal (respon menipu) dalam mengatasi
butir dalam skala psikologi (Stark et al., 2001).
Perbedaan keberfungsian tes (differential test
functioning/DTF) juga dipakai untuk melihat
apakah properti pengukuran satu kelompok
dengan kelompok lainnya memiliki perbedaan
setelah rerata perbedaan skor murni
dikendalikan (Woods, Oltmanns, &
Turkheimer, 2008).
106 WIDHIARSO
Secara metodologis IRT merupakan
pelengkap dari teknik analisis konfirmatori
(Reise, Widaman, & Pugh, 1993). Berbeda
dengan analisis faktor konfirmatori yang
dipakai untuk mengidentifikasi hubungan yang
linier antara respon terhadap indikator, IRT
dapat dipakai untuk mengidentifikasi hubungan
antara pola respons individu terhadap indikator
dengan faktor ukurnya. Selain itu kelebihan IRT
dibanding analisis faktor konfirmatori adalah
tersedianya model-model alternatif pilihan
respon, misalnya pada model politomi dikenal
model parsial kredit (PCM), skala rating (RM)
dan model respons bergradasi (GRM). Model
politomi memiliki keunggulan karena dapat
dipakai untuk menyusun model yang
menjekaskan interaksi antara subjek dengan
butir. Oleh karena itu model politomi dapat
diterapkan pada skala kepribadian dengan
format Likert yang memiliki alternatif respon
bergradasi dari setuju hingg tidak setuju. Model
IRT politomi yang banyak dipakai untuk
mengidentifikasi skor dari Skala Likert adalah
model response bergradasi (Samejima, 1969)
dan model kredit parsial (Masters, 1982),
namun penelitian ini menggunakan model
kredit parsial karena pendekatan yang dipakai
dalam penelitian ini pendekatan Rasch.
Pemodelan Respons Tipuan
Menurut Zickar & Robie (1999) pemodelan
respons tipuan dapat dibagi menjadi dua jenis,
yaitu model perubahan butir dan perubahan
individu. Model perubahan butir
mengasumsikan bahwa respons tipuan
menyebabkan perubahan parameter butir dan
alternatif pilihan respon. Karena memiliki
harapan atau intensi yang berbeda, maka
individu yang merespon jujur dan menipu pada
butir yang memiliki struktur yang sama akan
memiliki persepsi yang berbeda terhadap butir
yang dihadapi. Dengan demikian, karena
perubahan hanya terletak pada parameter model
maka nilai theta yang menunjukkan abilitas
kedua orang di atas tidak berbeda.
Model perubahan individu menunjukkan
bahwa respons tipuan menyebabkan informasi
mengenai abilitas laten individu menjadi
berbeda. Subjek yang merespon butir dengan
tidak jujur akan memperoleh nilai theta yang
tinggi. Model ini bertolak belakang dengan
asumsi IRT yang menjelaskan bahwa theta
relatif stabil dan tidak terpengaruh oleh
karakteristik subjek dan situasi pengukuran.
Individu yang melakukan penipuan respon
diasumsikan akan merespon butir seakan-akan
dia memiliki nilai theta yang tinggi atau rendah
dari nilai theta dia sebenarnya. Asumsi tersebut
dapat diartikan bahwa model ini
memperkenankan parameter butir bervariasi.
Dengan mengasumsikan parameter butir
bervariasi maka perubahan nilai theta tidak
bersifat konstan, akan tetapi berbeda-beda pada
tiap butir (Zickar dan Robie, 1999).
Beberapa ahli telah mengembangkan model
dalam menggambarkan respon menipu pada
level butir. Levine dan Rubin (1979)
mengembangkan model yang dinamakan
dengan ketepatan pengukuran (appropriateness
measurement) yang dapat dipakai untuk
menguji apakah respon individu telah sesuai
dengan model IRT yang menggambarkan pola
respon individu di dalam sampel. Model
tersebut dapat mengidentifikasi perbedaan antar
pola respon individu teramati dengan pola
respon individu harapan berdasarkan posisi
individu pada rentang nilai theta dan perangkat
fungsi respon butir (IRF). Fungsi respon butir
adalah fungsi yang menunjukkan hubungan
APLIKASI TEORI 107
posisi trait individu dengan probabilitas dalam
merespon butir.
Beberapa peneliti telah mengembangkan
model untuk mendeteksi kemunculan dan
kuantitas respons tipuan. Levine dan Drasgow
(1988) mengembangkan ketepatan pengukuran
optimal yang memadukan antara respon netral
dengan respon tipuan yang dapat dipakai untuk
mendeteksi respon menipu. Zickar dan
Drasgow (1996) mengembangkan model respon
menipu yang dinamakan dengan model
perpindahan nilai theta (theta-shift models)
yang mendeteksi perubahan nilai theta akibat
respons tipuan. Model tersebut merupakan
modifikasi dari model dua parameter (IRT 2-
PL) yang banyak dipakai dalam
mengidentifikasi properti data dari skala
kepribadian dan skala sikap karena model ini
cukup ini sederhana dan memiliki properti yang
cukup atraktif. Peneliti banyak membuktikan
ketepatan model ini dengan data yang berasal
pengukuran kepribadian (Reise & Waller,
1990). Model perpindahan nilai theta
mengasumsikan pada butir yang diduga rentan
terhadap respon menipu, individu yang
memberikan respon menipu akan mengalami
peningkatan nilai theta (misalnya sebesar +0,5)
pada kontinum skala theta.
Model IRT politomi dasar juga dapat
dipakai dalam pemodelan respon menipu. Sub-
model IRT politomi yang banyak dipakai
adalah model GRM. Zickar dan Robie (1999)
melakukan pemodelan respons tipuan dengan
model GRM dari Samejima dengan
menekankan pada ketepatan data dengan fungsi
pilihan respons (option respon function/ORF).
Ketepatan model ditentukan melalui uji kai-
kuadrat yang menguji perbedaan antara jumlah
respon pilihan harapan dan jumlah respon
pilihan dari data. Kai-kuadrat dihitung
berdasarkan jumlah waktu harapan bahwa
responden akan memilih pilihan-k pada model
probabilitas IRT. Tingginya nilai kai-kuadrat
menunjukkan bahwa model tidak tepat dengan
data.
Penelitian mengenai pemodelan respon
menipu pada skala kepribadian melalui
pemodelan IRT memberikan manfaat yang
besar dalam pengembangan skala psikologi.
Informasi mengenai pengaruh respons tipuan
terhadap parameter butir akan memudahkan
peneliti untuk memahami invariansi properti
psikometris butir. Informasi ini sekaligus akan
menjadi masukan bagi pengembang alat ukur
psikologi dalam menyusun butir yang tahan
terhadap respons tipuan.
Model yang akurat mengenai respon yang
menipu dapat dijadikan sebagai panduan untuk
mengidentifikasi respon tipuan subjek terhadap
skala kepribadian. Model IRT yang dipakai
dalam penelitian ini adalah model kredit parsial
(PCM).
Penelitian ini memiliki dua tujuan, pertama
untuk mengeksplorasi pengaruh respon menipu
terhadap perubahan parameter butir melalui
pemodelan IRT. Investigasi pengaruh respons
tipuan terhadap parameter butir dapat dilakukan
dengan membandingkan parameter butir dari
dua kondisi pengukuran, yaitu kondisi jujur dan
kondisi menipu. Kedua, mengidentifikasi model
IRT yang tepat dalam menggambarkan respons
tipuan.
Metode
Desain
Penelitian ini menggunakan metode
eksperimen kuasi dengan dua kondisi
perlakuan. Pada kondisi pertama (kondisi
108 WIDHIARSO
netral), peneliti menginstruksikan subjek untuk
merespon butir dengan jujur, pada kondisi
kedua (kondisi motivatif) peneliti
menginstruksikan subjek untuk merespon butir
seakan-akan sebagai aplikan yang sedang
melamar pekerjaan dan sedang mengikuti
proses seleksi pekerjaan. Untuk menghindari
efek urutan, peneliti membagi subjek menjadi
dua kelompok dengan urutan pemberian
instruksi yang berbeda.
Partisipan
Partisipan yang berpartisipasi dalam
eksperimen adalah mahasiswa yang Fakultas
Psikologi UGM yang berjumlah 120 (46% laki-
laki dan 54% perempuan. Usia sampel bergerak
dari 19-23 tahun (M = 20,21). Pelaksanaan
eksperimen dilakukan di kelas setelah mereka
mengikuti perkuliahan. Sebelum melakukan
eksperimen peneliti memperkenalkan diri dan
menjelaskan tujuan kegiatan yang dilakukan.
Semua mahasiswa setuju untuk mengisi lembar
persetujuan partisipasi sebelum mereka
mengikuti jalannya eksperimen dengan mengisi
instrumen yang dibagikan.
Instrumen
Instrumen yang dipakai untuk mengukur
adalah Inventori Kepribadian Lima Faktor yang
diadaptasi oleh peneliti dari Big Five Inventory
(BFI) yang dikembangkan oleh John, Donahue,
& Kentle (1991). Instrumen ini menggunakan
model skala Likert yang terdiri dari lima
alternatif respons yang berbenyuk pelaporan
mandiri (self report). Subjek diminta untuk
melengkapi butir-butir pernyataan yang
menggambarkan berbagai karakteristik
individu. Respon yang disediakan ada lima
alternatif respons dari sangat setuju hingga
sangat tidak setuju dengan penyekoran butir
bergerak dari 1 hingga 5.
Skala ini mengukur lima faktor kepribadian
antara lain ekstraversi (extroversion),
keramahan (agreeableness), ketelitian
(conscentiousness), neurotisisme (neuroticism)
dan keterbukaan (openess). Dari kelima faktor
BFI, hanya tiga faktor yang dilibatkan dalam
penelitian ini, yaitu faktor kepribadian teliti,
ekstrovert dan terbuka. Ketiga faktor tersebut
dalam penelitian-penelitian sebelumnya lebih
terkait dengan pekerjaan dibanding dengan dua
faktor lainnya (Birkeland, Manson, Kisamore,
Brannick, & Smith, 2006). BFI versi Bahasa
Indonesia telah diujicobakan oleh peneliti pada
sampel mahasiswa (n = 185) yang
menghasilkan nilai reliabilitas (α) sebagai
berikut: faktor ekstraversi (0,839), keramahan
(0,789), ketelitian (0,924), kestabilan emosi
(0,848) dan keterbukaan (0,807). Hasil ini mirip
versi asli yang dilaporkan oleh John dan
Srivastava BFI memiliki reliabilitas (α) antara
0,75 hingga 0,80 dan reliabilities tes-tes ulang
antara 0,80 hingga 0,90. Validitas konkuren BFI
cukup tinggi yang terlihat dari korelasi yang
tinggi dengan NEO-FFI dan TDA menghasilkan
rata-rata korelasi sebesar 0,83 hingga 0,91
(John & Srivastava, 1999).
Analisis
Analisis data dilakukan dengan
menggunakan prosedur pemodelan IRT.
Prosedur yang dilakukan adalah pengujian
invariansi dan unidimensionalitas model yang
kemudian dilanjutkan pada kalibrasi parameter
butir. Proses kalibrasi ini dilakukan dengan
menggunakan model kredit parsial (PCM) dari
Master Masters (1982). Model ini termasuk
APLIKASI TEORI 109
dalam pendekatan model pengukuran Rasch
yang menitikberatkan pada lokasi butir pada
proses pemodelannya. Prosedur ini dilakukan
pada data dari kondisi netral saja karena model
ini dipakai untuk mengevaluasi model yang
didapatkan dari data motivatif. Untuk menguji
perbedaan model tersebut peneliti melakukan
uji perbedaan keberfungsian butir (DIF) antar
dua kondisi. Program lunak komputer yang
dipakai untuk melakukan prosedur pemodelan
ini adalah Winstep (Linacre, 2000).
Hasil
Deskripsi data
Deskripsi data statistik dapat dilihat pada
Tabel 1 yang menunjukkan rerata (M) dan
deviasi standar (SD) pada masing-masing faktor
kepribadian dan kondisi pengukuran. Secara
umum rerata antara dua kondisi pengukuran
berbeda yang telihat dari tingginya rerata skor
faktor kepribadian pada kondisi motivatif
dibanding dengan kondisi netral. Hal ini
menunjukkan bahwa partisipan mampu
meningkatkan nilai skor skalanya ketika
diminta untuk dengan sengaja memanipulasi
tanggapannya terhadap butir-butir skala. Nilai
deviasi standar antar dua kondisi tidak berbeda
jauh yang menunjukkan adanya peningkatan
sistematis skor skala subjek dari kondisi netral
menuju kondisi motivatif. Dengan kata lain,
sebagian besar peningkatan skor partisipan
meningkat dalam selisih skor yang sama antar
dua kondisi. Deskripsi statistik pada tataran
butir dapat dilihat pada Tabel 2 yang
menunjukkan rerata dan deviasi standar skor
butir pada tiap faktor kepribadian.
Variasi asumsi model
Teori respon butir memiliki beberapa
asumsi yang perlu diverifikasi sebelum proses
pemodelan dilakukan. Asumsi tersebut adalah
unidimensionalitas data, independensi lokal dan
invariansi pengukuran (Embretson & Reise,
2000). Unidimensionalitas menunjukkan
apakah model mengukur atribut tunggal ataukah
majemuk, independensi lokal menunjukkan
apakah respons terhadap satu butir tidak
dipengaruhi oleh respons terhadap butir lainnya
sedangkan invariansi menunjukkan bahwa
model tersebut tidak dipengaruhi oleh
karakteristik sampel.
Konfirmasi asumsi pada penelitian ini
dilakukan dengan prosedur berikut:
unidimensionalitas data diuji dengan
menggunakan analisis faktor konfirmatori,
independensi lokal ditunjukkan dengan
penelaahan butir-butir yang tidak tumpang
tindih dalam mengukur target ukur, dan
invariansi dilakukan dengan mengidentifikasi
kesamaan hasil kalibrasi parameter butir.
Invariansi dibuktikan dengan tingginya korelasi
antara hasil kalibrasi parameter butir antara
kelompok sampel yang dibagi secara acak.
Prosedur konfirmasi ini dilakukan pada data
dari kondisi netral.
Hasil analisis data menunjukkan bahwa
semua asumsi IRT pada semua faktor
kepribadian dapat dibuktikan. Hasil analisis
dimensionalitas pengukuran melalui analisis
faktor konfirmatori menunjukkan bahwa asumsi
model pengukuran tunggal pada masing-masing
konstrak menghasilkan indeks ketepatan model
yang dapat dibuktikan. Hasil analisis invariansi
menunjukkan bahwa semua data bersifat
invarian. Pengujian invariansi menunjukkan
bahwa korelasi antara hasil kalibrasi pada kedua
110 WIDHIARSO
kelompok semuanya tinggi (0,76 – 0,89).
Pengujian DIF yang dilakukan sebagai uji
pelengkap pengujian invariansi menunjukkan
bahwa terdapat satu butir yang memiliki
perbedaan hasil kalibrasi parameter, yaitu satu
pada faktor keramahan dan satu pada faktor
emosi stabil. Hasil ini tidak mempengaruhi
kesimpulan peneliti karena penelitian lebih
mengutamakan pada korelasi antar hasil
kalibrasi parameter.
Pemodelan IRT
Hasil pemodelan IRT pada tiap faktor
disajikan pada Tabel 4 yang menunjukkan
perbandingan parameter butir ditinjau
berdasarkan kondisi pengukuran dan faktor
kepribadian. Statistik yang dipaparkan pada
tabel tersebut adalah parameter ambang batas
(threshold) yang menunjukkan titik pada
sepanjang kurva karakteristik butir (ICC), yang
memperlihatkan probabilitas respons untuk
mendapatkan skor yang tinggi pada butir
tertentu. Semakin besar nilai parameter ini
semakin mudah seorang individu untuk
mendapatkan skor tinggi. Dalam tes kognitif,
parameter ini dinamai tingkat kesukaran butir
yang menunjukkan semakin tinggi tingkat
kesukaran butir maka probabilitas subjek untuk
mendapatkan skor tinggi semakin rendah.
Parameter lainnya yang dipaparkan adalah
OUTFIT dan INFIT beserta nilai standarnya
(ZSTD). OUTFIT adalah statistik yang
menunjukkan informasi yang menunjukkan
kecocokan antara butir dan subjek yang tidak
terstandarisasi dan terbobot. INFIT adalah
statistik yang menunjukkan informasi yang
menunjukkan kecocokan antara butir dan subjek
yang terstandarisasi dan terbobot. Ketika data
sesuai dengan model, maka statistik ini nilainya
akan mendekati nilai t yang dalam pengaturan
ini, perkiraan nilai t memiliki rerata sebesar 0
dan deviasi standar sebesar 1.
Hasil analisis yang ditunjukkan oleh Tabel 4
menginformasikan bahwa hasil pengujian
parameter butir baik pada kondisi netral dan
kondisi motivatisional tidak memiliki
perbedaan. Nilai ambang untuk tiap kondisi
adalah sama. Sebagian besar parameter butir
pada INFIT dan OUTFIT adalah setara. Nilai
rerata Z pada INFIT dan OUTFIT untuk antar
dua kondisi adalah setara. Diantara kelima
faktor kepribadian, faktor keterbukaan memiliki
nilai kecocokan butir yang rendah yang terlihat
pada tingginya nilai deviasi standar INFIT dan
OUTFIT baik pada kondisi netral dan kondisi
motivatif. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata
butir-butir dalam mengukur keterbukaan kurang
tepat dikenakan pada sampel penelitian.
Permasalahan ini tidak dibahas lebih lanjut
dalam penelitian ini karena fokus penelitian ini
adalah membandingkan hasil pemodelan antara
dua kondisi pengukuran. Kesimpulan analisis
yang didapatkan adalah pemodelan pada
respons netral dan motivatif secara umum
memiliki kesetaraan.
Pengujian Diferensial Keberfungsian Butir
Selain membandingkan pemodelan
berdasarkan IRT, penelitian ini juga bertujuan
untuk membandingkan probabilitas individu
untuk mendapatkan skor tinggi pada
pengukuran kepribadian dengan menggunakan
teknik diferensial keberfungsian butir (DIF).
Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel tersebut menunjukkan bahwa pada faktor
ekstraversi dari 9 butir yang mengukurnya, 8
butir terjangkit DIF. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa probabillitas partisipan
APLIKASI TEORI 111
Tabel 1. Deskripsi Statistik Skor Skala Pada Tiap Faktor Kepribadian dan Kondisi Pengukuran
Faktor Kondisi M SD SE Skewness Kurtosis Netral 31,832 5,951 0,611 -0,174 -0,114 Ekstraversi Motivatif 37,044 4,432 0,467 -0,321 0,520 Netral 35,337 3,962 0,406 -0,323 0,453 Keramahan Motivatif 39,483 3,721 0,394 -0,096 -1,047 Netral 30,495 5,945 0,610 0,030 -0,273 Keuletan Motivatif 38,767 5,208 0,549 -1,331 2,763 Netral 24,400 4,483 0,460 0,089 1,033 Emosi Stabil Motivatif 30,444 4,037 0,426 0,102 -0,104 Netral 33,200 5,400 0,554 -0,014 0,619 Keterbukaan Motivatif 37,878 4,434 0,467 -0,319 0,248
Tabel 2. Deskripsi Statistik Skor Butir Pada Tiap Faktor Kepribadian
Faktor kepribadian Ekstraversi Keramahan Keuletan Emosi Stabil Keterbukaan
Nomor butir
M (SD) M (SD) M (SD) M (SD) M (SD) 1 3,87 (1,01) 4,00 (0,85) 4,23 (0,72) 3,76 (0,88) 3,94 (0,89) 2 3,73 (1,10) 3,91 (0,87) 3,92 (1,14) 3,91 (0,69) 4,37 (0,63) 3 3,79 (0,93) 4,36 (0,64) 4,11 (0,83) 2,62 (0,95) 3,98 (0,81) 4 4,10 (0,79) 4,30 (0,75) 3,62 (1,18) 3,54 (1,02) 4,04 (0,81) 5 3,58 (1,14) 4,35 (0,65) 3,68 (1,17) 3,67 (0,95) 3,99 (0,86) 6 3,68 (0,98) 4,21 (0,83) 3,64 (0,97) 2,80 (1,07) 4,22 (0,67) 7 3,76 (1,08) 4,22 (0,62) 3,94 (0,85) 3,59 (0,95) 3,35 (1,06) 8 4,01 (0,85) 3,73 (1,10) 4,01 (0,78) 3,45 (0,95) 3,89 (0,82) 9 3,85 (0,94) 4,27 (0,75) 3,37 (1,04) 3,69 (2,27)
Tabel 3. Hasil Pengujian Invariansi Estimasi Parameter Model Pada Tiap Faktor Kepribadian
Unidimensi Invariansi Faktor Kepribadian λ2 (db = 24) GFI RMSEA rxy Σ DIF
Ekstraversi 42,16 0,92 0,08 0,86 0 Keramahan 25,51 0,94 0,02 0,72 1 Keuletan 36,18 0,92 0,08 0,89 0 Emosi stabil 32,73 0,93 0,07 0,76 1 Keterbukaan 30,25 0,93 0,04 0,85 0
Keterangan. Nilai kai kuadrat unidimensi faktor ekstraversi memiliki signifikansi di atas 0.05 namun memiliki nilai indeks pendukung yang cukup tinggi untuk penerimaan model yaitu GFI (0.92) dan RMSEA (0.08)
112 WIDHIARSO
Tabel 4. Deskripsi Statistik Skor Butir pada Tiap Faktor Kepribadian
Nilai Ambang Infit Outfit Kondisi Faktor Kepribadian M SE MNSQ Z.STD MNSQ Z
Ekstraversi 0,00 (0,59)
0,15 (0,02)
1,01 (0,27)
0,00 (1,70)
1,03 (0,31)
0,00 (1,90)
Keramahan 0,00 (0,53)
0,16 (0,02)
1,01 (0,12)
0,10 (0,80)
1,00 (0,14)
0,00 (0,90)
Keuletan 0,00 (0,76)
0,17 (0,02)
0,98 (0,19)
-0,10 (1,40)
1,06 (0,30)
0,30 (1,90)
Emosi Stabil 0,00 (0,42)
0,16 (0,02)
0,99 (0,19)
-0,10 (1,50)
0,99 (0,18)
-0,10 (1,40)
Netral
Keterbukaan 0,00 (1,03)
0,15 (0,04)
0,92 (0,51)
-0,50 (2,90)
1,05 (0,50)
0,00 (3,00)
Ekstraversi 0,00 (0,48)
0,17 (0,04)
0,99 (0,17)
-0,20 (1,00)
1,12 (0,30)
0,40 (1,50)
Keramahan 0,00 (0,69)
0,20 (0,04)
0,99 (0,10)
-0,10 (0,50)
1,09 (0,35)
0,30 (1,30)
Keuletan 0,00 (0,64)
0,22 (0,02)
1,01 (0,45)
-0,30 (1,90)
1,00 (0,52)
-0,20 (1,90)
Emosi Stabil 0,00 (0,39)
0,16 (0,02)
0,99 (0,26)
-0,20 (1,70)
1,05 (0,38)
0,10 (2,30)
Motivatif
Keterbukaan 0,00 (0,67)
0,21 (0,03)
0,96 (0,49)
-0,50 (2,50)
1,03 (0,70)
-0,20 (3,10)
Keterangan. Yang ditampilkan pada tabel adalah rerata parameter dari butir-butir di dalam faktor. Angka yang di dalam kurung adalah deviasi standar dari parameter tersebut.
Tabel 5. Hasil Uji Perbedaan Keberfungsian Butir Diferensial Pada Tiap Faktor Kepribadian
Faktor kepribadian Nomor Butir Ekstraversi Keramahan Keuletan Emosi stabil Keterbukaan
a1 3,298** 10,242** 0,196 0,150 4,948* a2 26,280** 4,799* 3,254 2,494 0,465 a3 9,567** 0,900 0,467 0,491 2,124 a4 2,265 1,927 1,048 0,267 0,000 a5 10,164** 1,158 0,098 0,092 5,755* a6 10,010** 6,646** 0,272 0,485 11,915** a7 38,879** 2,841 0,784 2,055 0,282 a8 43,701** 4,830* 3,247 0,246 3,518 a9 21,566** 0,255 1,151 7,799** a10
Keterangan. Yang ditampilkan adalah hasil nilai kai-kuadrat. ** p < 0,01 * p < 0,05
APLIKASI TEORI 113
untuk mendapatkan skor tinggi pada kondisi
motivatif lebih tinggi dibanding ada kondisi
netral. Dengan kata lain, partisipan pada kondisi
motivatif cenderung untuk memberikan respon
yang mendukung tingginya perolehan skor pada
faktor ini. Selain faktor ekstraversi, faktor-
faktor lain menghasilkan adanya butir yang
terjangkit DIF yaitu faktor keramahan (4 butir)
dan keterbukaan (3 butir). Butir-butir pada
faktor keuletan dan emosi stabil tidak ada yang
terjangkit DIF.
Diskusi
Penelitian ini menghasilkan beberapa
temuan. Pertama, pemodelan IRT dengan
menggunakan data yang berasal dari data
partisipan yang memanipulasi responnya
terhadap butir skala secara umum memiliki
kesamaan dengan dari data partisipan yang
tidak memanipulasi responnya. Hasil kalibrasi
parameter butir pada kedua kondisi
menunjukkan nilai ambang yang setara pada
semua faktor skala kepribadian lima faktor.
Kedua, probabilitas untuk mendapatkan
skor butir yang tinggi antara partisipan yang
netral dan partisipan memiliki motivasi
(memberikan impresi positif), cenderung
bervariasi. Pada faktor keterbukaan, keramahan
dan keterbukaan, beberapa butir memberikan
probabilitas yang berbeda antara kedua jenis
respons tersebut. Partisipan yang memanipulasi
responsnya memiliki probabilitas yang tinggi
untuk mendapatkan skor yang tinggi pada butir
skala. Sebaliknya pada faktor keuletan dan
emosi stabil probabilitas antar kedua jenis
respons tersebut adalah sama.
Temuan pertama penelitian ini
membuktikan asumsi pemodelan IRT yang
menyatakan bahwa pemodelan IRT adalah
sampel independen. Artinya nilai parameter
butir di dalam model tidak terpengaruh oleh
karakteristik sampel (invarian). Selama ini
penelitian mengenai independensi pemodelan
sampel IRT dipakai terhadap karakteristik
sampel dilakukan berdasarkan karakteristik
sampel berdasarkan kondisi demografis
(misalnya jenis kelamin dan budaya) maupun
karakteristik sampel (misalnya tingkat
kecerdasan dan unit kelompok). Penelitian ini
menambahkan informasi baru bahwa
pemodelan IRT ternyata juga invarian terhadap
sampel yang netral dan sampel yang memiliki
motivasi tertentu.
Tidak adanya perbedaan antara model IRT
antara partisipan yang jujur dan menipu dapat
disebabkan oleh pola respons partisipan ketika
pada situasi netral dan situasi motivatif adalah
sama. Peningkatan terjadi hanya pada nilai
rerata skor saja akan tetapi tidak pada nilai
varians. Peningkatan rerata ini menyebabkan
adanya perbedaan yang terjadi adalah
perbedaan sistematis. Dengan adanya perbedaan
yang sistematis antara skor dari kondisi jujur
dan menipu menyebabkan analisis tidak
mendeteksi adanya perbedaan model.
Kesamaan parameter model tersebut
dikarenakan nilai varians respons pada kedua
kondisi tersebut adalah sama. Variabilitas yang
sama ini mengurangi kemanjuran pendeteksian
terhadap respons yang khas dan unik yang
diberikan oleh partisipan yang menipu. Ketika
respon butir yang unik tersebut digabungkan
dengan respon butir yang unik secara
keseluruhan, maka keunikan tersebut saling
membatalkan satu dengan lainnya. Akibatnya
model IRT yang dihasilkan konstan dengan
model IRT pada sampel jujur.
Invariansi berdasarkan karakteristik sampel
114 WIDHIARSO
dari fitur parameter butir merupakan salah satu
kekuatan pemodelan IRT. Pernyataan bahwa
nilai-nilai parameter butir bukan hanya untuk
kelompok tertentu yang menanggapi butir
(Natarajan, 2009) telah dibuktikan dalam
penelitian ini. Parameter butir yang
diperkirakan dari setiap segmen kurva respons
butir menunjukkan bahwa parameter tersebut
dapat diperkirakan dari setiap kelompok
pengambil tes. Dengan adanya berlakunya
invariansi pemodelan IRT berdasarkan situasi
yang dihadapi partisipan, maka pemodelan
khusus untuk partisipan yang memberikan
respon menipu tidak dapat dikenakan. Hal ini
dikarenakan hasil pemodelan sampel yang
melakukan tipuan akan sama dengan sampel
yang memberikan respon jujur. Dengan tidak
berlakunya pemodelan khusus untuk partisipan
yang melakukan tipuan maka estimasi nilai
theta tidak dapat dipakai untuk membedakan
mana partisipan yang jujur dan menipu. Hal ini
sama halnya dengan membedakan skor skala
yang tinggi dan rendah yang tidak dapat dipakai
untuk mengetahui tingginya skor skala tersebut
dikarenakan mereka menipu ataukah tidak.
Fenomena ini telah diperkirakan oleh Zickar
dan Robie (1999) yang menggunakan istilah
perpindahan nilai theta (theta shift).
Penyebab lain kesamaan model antara
partisipan yang jujur dan menipu adalah strategi
yang dilakukan oleh partisipan dalam
memanipulasi responnya (Zickar, Gibby, &
Robie, 2004). Dari deskripsi statistik didapatkan
informasi pendukung bahwa upaya partisipan
untuk memberikan impresi positif tidak
dilakukan dengan sekedar memanipulasi
responnya untuk mendapatkan skor maksimal
skala. Pada kondisi motivatif seperti ini, subjek
menghindari untuk mendapatkan skor maksimal
skala. Hal ini dikarenakan skor maksimal akan
memberikan informasi bahwa mereka
memberikan respons yang menipu. Analisis
lebih lanjut untuk menjawab mengapa ketiga
faktor di dalam skala kepribadian lima faktor
rentan terhadap respons tipuan sedangkan kedua
faktor lainnya tidak dapat diwujudkan dalam
penelitian lanjutan yang menggunakan analisis
secara mendetail. Hasil ini didukung oleh hasil
penelitian eksperimental yang menggunakan
desain mirip dengan desain penelitian ini yang
menemukan bahwa respon tidak benar-benar
memberikan respon yang menipu sesuai dengan
instruksi yang diberikan (Eid & Zickar, 2007).
Penelitian ini menemukan bahwa nilai
varians skor antara partisipan pada kondisi
netral dan motivatif. Penulis berargumen bahwa
jika variasi di dalam respon pada kondisi netral
diakibatkan oleh variasi karakteristik
kepribadian antar partisipan, variasi di dalam
respon motivatif diakibatkan oleh perbedaan
strategi dalam memberikan impresi positif.
Argumen ini didukung oleh pernyataan Zickar,
et al. (2004) yang mengatakan bahwa
perbedaan skor di antara para pelamar pekerjaan
dapat disebabkan oleh perbedaan motivasi,
perbedaan tingkat kejujuran, dan kemampuan
untuk memalsukan respon. Partisipan yang
memiliki motivasi tertentu memiliki persepsi
dan kemampuan berbeda terhadap butir-butir di
dalam skala.
Temuan penelitian ini yang kedua adalah
mengenai probabilitas partisipan untuk
mendapatkan skor butir tinggi yang berbeda
pada tiap faktor. Adanya probabilitas yang
berbeda antar partisipan menunjukkan bahwa
pengukuran kepribadian dengan menggunakan
skala psikologi yang menggunakan teknik
pelaporan mandiri (self report) tidak tahan
terhadap respons tipuan. Subjek yang memiliki
motivasi tertentu dalam merespon alat ukur
APLIKASI TEORI 115
memiliki probabilitas tinggi untuk mendapatkan
yang skor tinggi. Motivasi tersebut diwujudkan
dengan memanipulasi responsnya untuk
memberikan impresi positif. Secara umum,
penelitian ini menemukan hasil yang tidak
konsisten mengenai adanya butir yang
terjangkit DIF berdasarkan kondisi partisipan.
Sebagian butir terjangkit DIF sedangkan
sisanya tidak terjangkit. Hasil penelitian ini
paralel dengan temuan penelitian Zickar dan
Robie (1999) yang menemukan adanya DIF
akan tetapi pada sebagian kecil butir pada alat
ukur yang dipakai dalam penelitian mereka.
Penelitian ini memiliki beberapa
keterbatasan yang perlu dicatat. Pertama,
ukuran sampel yang dipakai dalam pemodelan
IRT relatif kecil untuk mengembangkan model
yang stabil. Kedua, desain penelitian ini yang
menggunakan antar amatan dapat
mengakibatkan tidak ditemukannya perbedaan
parameter butir pada partisipan yang jujur dan
menipu. Rekomendasi yang dapat diberikan
adalah agar penelitian ke depan menggunakan
desain penelitian campuran yang melibatkan
manipulasi dalam dan antar subjek. Hasil ini
merekomendasikan kepada penelitian ke depan
untuk mengarahkan upaya pendeteksian respon
menipu pada skala kepribadian yang bersifat
pelaporan mandiri dilakukan pada parameter
IRT yang lain, misalnya indeks ketepatan
personal (person fit). Partisipan yang
melakukan tipuan dapat dideteksi dari
kecocokan responnya terhadap skala dengan
model IRT (Meade, Ellington, & Craig, 2004).
Penggunaan indeks kecocokan personal ini
merupakan indeks ketepatan yang juga dapat
dipakai sebagai model untuk mendeteksi respon
menipu. Indeks ini akan menunjukkan
ketidaktepatan pola respon individu terhadap
konstrak yang diukur. Respon individu terhadap
butir - butir alat ukur yang tidak konsisten
dengan tingkat abilitasnya dapat diprediksi
bahwa individu tersebut melakukan respon
menipu.
Penelitian ini diselenggarakan atas
dukungan dana hibah kompetisi oleh Fakultas
Psikologi UGM tahun 2009.
Bibliografi
Birkeland, S. A., Manson, T. M., Kisamore, J.
L., Brannick, M. T., & Smith, M. A. (2006).
A Meta-Analytic Investigation of Job
Applicant Faking on Personality Measures.
International Journal of Selection and
Assessment, 14(4), 317-335.
Crowne, D. P., & Marlowe, D. (1960). A new
scale of social desirability independent of
psychopathology. Journal of Counseling
Psychology, 24, 349-354.
Douglas, E. F., McDaniel, M. A., & Snell, A. F.
(1996). The validity of non-cognitive
measures decays when applicants fake.
Paper presented at the Annual meeting of
the Academy of Management, Cincinnati,
Ohio.
Edwards, A. L. (1957). The social desirability
variable in personality assessment and
research. . New York: Dryden.
Eid, M., & Zickar, M. J. (2007). Detecting
response styles and faking in personality
and organizational assessments by mixed
rasch models (pp. 255-270). New York:
Springer.
Embretson, S. E., & Reise, S. P. (2000). Item
response theory for psychologists:
Multivariate applications book series
Mahwah (NJ): Lawrence Erlbaum
Associates, Inc.
Hough, L. M., Eaton, N. K., Dunnette, M. D.,
116 WIDHIARSO
Kamp, J. D., & McCloy, R. A. (1990).
Criterion-related validities of personality
constructs and the effect of response
distortion on those validities [Monograph].
Journal of Applied Psychology, 75, 581-
595.
John, O. P., & Srivastava, S. (1999). The big
five trait taxonomy: History, measurement,
and theoretical perspectives. Dalam L. A.
Previn & O. P. John (Eds.), Handbook of
personality: Theory and research (2nd ed).
New York: Guilford Press.
John, O. P., Donahue, E. M., & Kentle, R. L.
(1991). The Big Five Inventory - Versions
4a and 54. California: University of
California, Berkeley, Institute of Personality
and Social Research.
Levine, M. V., & Drasgow, F. (1988). Optimal
appropriateness measurement.
Psychometrika, 53, 161-176.
Levine, M. V., & Rubin, D. B. (1979).
Measuring the appropriateness of multiple-
choice test scores. Journal of Educational
Statistics, 4, 269-290.
Linacre, J. M. (2000). WINSTEPS: Rasch
Model Computer Program (Version 3.68.2).
Chicago: Winstep.com.
Masters, G. N. (1982). A Rasch model for
partial credit scoring. Psychometrika, 47(2),
149-174.
Meade, A. W., Ellington, J. K., & Craig, S. B.
(2004). Exploratory measurement
invariance: a new method based on item
response theory. Paper presented at the
Symposium presented at the 19th Annual
Conference of the Society for Industrial and
Organizational Psychology,, Chicago.
Montag, I., & Comrey, A. L. (1990). Stability
of major personality factors under changing
motivational conditions. Journal of Social
Behavior and Personality, 5, 265 – 274.
Natarajan, V. (2009). Basic principles of IRT
and application to practical testing &
assessment. Bangalore MeritTracers.
Paulhus, D. L. (1984). Two component models
of socially desirable responding. Journal of
Personality and Social Psychology, 46, 598-
609.
Reise, S. P., & Waller, N. G. (1990). Fitting the
two-parameter model to personality data.
Applied Psychological Measurement, 14,
45-58.
Reise, S. P., Widaman, K. F., & Pugh, R. H.
(1993). Confirmatory Factor-Analysis and
Item Response Theory - Two Approaches
for Exploring Measurement Invariance.
Psychological Bulletin, 114(3), 552-566.
Samejima, F. (1969). Estimation of latent
ability using a response pattern of graded
scores. Psychometrika Monographs,
34((Suppl. 17).).
Schmit, M. J., & Ryan, A. M. (1993). The big
five in personnel selection: Factor structure
in applicant and nonapplicant populations.
Journal of Applied Psychology, 78(966-
974).
Stark, S., Chernyshenko, O. S., Chan, K. Y.,
Lee, W. C., & Drasgow, F. (2001). Effects
of the testing situation on item responding:
Cause for concern. Journal of Applied
Psychology, 86, 943-953.
Stark, S., Chernyshenko, O. S., Chan, K.-Y.,
Lee, W. C., & Drasgow, F. (2001). Effects
of the testing situation on item responding:
Cause for concern. Journal of Applied
Psychology, 86, 943-953.
Viswesvaran, C., & Ones, D. S. (1999). Meta-
analysis of fakability estimates:
Implications for personality measurement.
Educational and Psychological
APLIKASI TEORI 117
Measurement, 59, 197-210.
von Davier, M. (2010). Why sum scores may
not tell us all about test takers. Newborn and
Infant Nursing Reviews, 10(1), 27-36. doi:
10.1053/j.nainr.2009.12.011
Woods, C. M., Oltmanns, T. F., & Turkheimer,
E. (2008). Detection of aberrant responding
on a personality scale in a military sample:
An application of evaluating person fit with
two-level logistic regression. Psychological
Assessment, 20(2), 159-168.
Zickar, M. J., & Drasgow, F. (1996). Detecting
faking on a personality instrument using
appropriateness measurement. Applied
Psychological Measurement, 20(1), 71-87.
Zickar, M. J., & Gibby, R. E. (2006). A history
of faking and socially desirable responding
on personality tests. Dalam R. L. Griffith &
M. H. Peterson (Eds.), A closer examination
of applicant faking behavior. Greenwich,
CT: Information Age Publishing.
Zickar, M. J., & Robie, C. (1999). Modeling
faking good on personality items: An item-
level analysis. [doi:10.1037/0021-
9010.84.4.551]. Journal of Applied
Psychology, 84(4), 551-563. doi:
10.1037/0021-9010.84.4.551
Zickar, M. J., Gibby, R. E., & Robie, C. (2004).
Uncovering faking samples in applicant,
incumbent, and experimental data sets: An
application of mixed-model item response
theory. Organizational Research Methods,
7(2), 168-190.
Zickar, M. J., Rosse, J., & Levin, R. (1996).
Modeling the effects of faking on
personality instruments. Paper yang
disajikan pada The Annual meeting of the
Society for Industrial and Organizational
Psychology, San Diego, CA.
Efektivitas Metode Kata Kunci Untuk Meningkatkan Memori Kosa Kata Bahasa Inggris
Siswa Taman Kanak-Kanak
Anindiyati Kusumawardhani, Sri Weni Utami, dan Diantini Ida Viatrie Program Studi Psikologi, Universitas Negeri Malang
English has been presented as one of extra curricular subjects in
kindergarten. The main English lesson given is simple vocabularies.
Mnemonic skill such as keyword is known as an effective method to
improve memory ability. The research tried to find the effectiveness of
keyword method to improve the subjects' memory on English
vocabularies. The 20 subjects aged 5-7 years old and divided into two
groups. Using the Mann-Whitney analysis and Post Test Only Control
Group Design, it was found that the experiment group showed
significantly better memory ability. Mnemonics effectiveness and memory
ability are discussed further in the article.
Keywords: memory, keyword method, English vocabularies
Dunia pendidikan di Indonesia telah
mengalami perkembangan yang cukup pesat.
Salah satu kemampuan dasar yang diajarkan
pada tingkat pendidikan Taman Kanak-kanak
(TK) adalah bahasa. Bahasa dianggap sebagai
salah satu komponen penting yang digunakan
anak untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Mengingat arti pentingnya bahasa Inggris dalam
kehidupan mendatang, maka bahasa Inggris
dikenalkan sejak dini.
TK, sebagai salah satu lembaga pendidikan
untuk anak usia dini, mulai mengenalkan
bahasa Inggris kepada anak-anak didiknya
sebagai salah satu kegiatan ekstrakurikuler.
Mempertimbangkan perkembangan kognitif
pada anak TK yang masih cukup awal, maka
materi bahasa Inggris yang dikenalkan pun
masih cukup sederhana. Anak-anak mulai
diperkenalkan dengan kosa kata bahasa Inggris
untuk anggota badan, angka-angka dan benda-
benda sederhana yang ada di sekitarnya.
Anak-anak dikenalkan dengan bahasa
Inggris melalui proses listening
(mendengarkan) ucapan dari guru ataupun
media compact disc (CD). Biasanya guru hanya
mengenalkan kosa kata bahasa Inggris dari hal-
hal yang berkenaan dengan diri anak itu sendiri
dan benda-benda yang berada di sekitarnya.
Anak-anak akan tertarik juga apabila
mempelajari bahasa Inggris dengan
menggunakan nyanyian atau gambar. Anak TK
memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap
hal-hal yang masih dianggapnya asing. Agar
tidak cepat lupa biasanya kepada mereka
dikenalkan kosakata bahasa Inggris melalui
media gambar menarik, selain itu alasan lain
adalah karena anak-anak belum banyak
mengenal tulisan. Namun ada juga anak-anak
Psikobuana ISSN 2085-4242 2011, Vol. 3, No. 2, 118–125
118
EFEKTIVITAS METODE 119
yang kurang mampu dalam mengingat kosa
kata bahasa Inggris yang telah diajarkan.
Pembelajaran kosa kata bahasa Inggris ini
melibatkan proses kognitif pada anak. Proses
kognitif meliputi proses persepsi, memahami,
dan mengingat. Masing-masing individu
memiliki kemampuan kognitif berbeda-beda,
tergantung pada bagaimana mereka
menggunakan dan melatihnya. Kendala dalam
dunia pendidikan saat ini pada umumnya
terletak pada kesulitan para siswa menangkap
informasi, baik itu dalam memahami maupun
mengingat kembali apa yang telah dipelajari di
sekolah.
Memori merupakan suatu proses biologis
yang terjadi dalam individu dimana individu
dapat memanggil kembali informasi yang telah
diberi kode. Memori ini terbagi atas tiga tahap
yaitu penyandian (encoding), penyimpanan
(storage) dan pengambilan (retrieval). Memori
berfungsi penting dalam suatu proses
pembelajaran.
Pembelajaran bahasa Inggris merupakan
salah satu jenis pembelajaran verbal dalam
mana guru memberikan pembelajaran berupa
kata-kata. Salah satu jenis tugas pembelajaran
verbal yang biasa digunakan adalah
pembelajaran pasangan berkaitan, dalam mana
ketika salah satu anggota suatu pasangan
disajikan, anggota pasangan yang lain dapat
diingat. Salah satu teknik untuk mengingat
dalam pembelajaran pasangan berkaitan adalah
metode kata kunci (keyword method).
Metode kata kunci adalah salah satu teknik
mnemonik. Mnemonik adalah strategi yang
digunakan untuk memberi makna, untuk
mengelompokkan, dan membayangkan materi
yang bila tanpa strategi ini akan sulit diingat
(Esgate, et al., 2005). Menurut Atkinson dan
Rough (1975), metode kata kunci adalah suatu
prosedur mnemonik untuk mengasosiasikan
sebuah kata asing dengan terjemahannya.
Metode ini membagi pembelajaran sebuah kata
asing ke dalam dua tahapan. Tahap yang
pertama melibatkan asosiasi kata asing yang
diucapkan dengan kata dalam bahasa Indonesia
atau bahasa lokal yang terdengar kurang lebih
seperti bagian dari kata asing tersebut. Pada
umumnya, kata kunci tidak memiliki
keterkaitan dengan kata asing kecuali
persamaan bunyi. Tahap yang kedua, subjek
mampu membentuk suatu gambaran mental
yang menggambarkan interaksi antara kata
kunci dengan terjemahan kosa kata bahasa
asing. Gambaran mental yang dibentuk
mungkin dapat berupa sesuatu yang aneh dan
tidak masuk akal atau tidak sepatutnya sesuai
seperti apa yang diinginkan subjek, agar
membuat gambaran mental tersebut hidup dan
mudah untuk diingat.
Berdasarkan pemahaman tersebut penelitian
ini bertujuan mengetahui efektivitas metode
kata kunci untuk meningkatkan memori kosa
kata bahasa Inggris siswa TK Dharma Rini II
Kota Pasuruan.
Metode
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah siswa
kelompok B TK Dharma Rini II di Kota
Pasuruan tahun ajaran 2009/2010, sebanyak 20
siswa, yang terbagi dalam kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol secara acak.
Teknik random yang digunakan adalah acaj
sederhana (simple random) dengan melakukan
undian. Kelompok eksperimen adalah
kelompok yang dikenai perlakuan metode kata
kunci, sedangkan kelompok kontrol adalah
120 KUSUMAWARDHANI, UTAMI, DAN VIATRIE
kelompok yang tidak dikenai perlakuan metode
kata kunci. Adapun karakteristik anak yang
akan digunakan dalam penelitian eksperimen ini
adalah (1) berada dalam rentang usia 5-7 tahun,
(2) memiliki standar kompetensi dalam
akademik yang sama, (3) belum pernah
diajarkan kosa kata bahasa Inggris yang akan
digunakan dalam eksperimen, dan (4) mengerti
bahasa Jawa.
Menurut teori kognitif yang dikembangkan
oleh Piaget, anak usia 5-7 tahun telah memasuki
tahap pra-operasional, yaitu tahap dalam mana
anak-anak mulai melukiskan dunia dengan kata-
kata dan gambar-gambar (Santrock, 2002). Hal
ini sesuai dengan tujuan pemberian metode kata
kunci, dalam hal mana anak-anak diberikan
kosa kata bahasa Inggris dan media gambar
yang mampu mengilustrasikan arti dari kosa
kata tersebut. Subjek penelitian adalah anak-
anak yang berada dalam satu kelompok belajar,
yaitu TK B, karena dianggap telah lulus dari
kelompok TK A dan memiliki standar
kompetensi dalam akademik yang sama. Selain
itu, anak-anak dalam kelompok TK B juga
mendapatkan pelajaran ekstra bahasa Inggris,
sehingga penelitian ini dapat menjadi salah satu
variasi metode pengajaran bahasa Inggris yang
terdapat di TK tersebut. Sebagai upaya untuk
menghindari pengaruh pembelajaran
sebelumnya maka digunakan kosakata bahasa
Inggris yang belum pernah diajarkan. Oleh
karena itu, peneliti melakukan kontrol dengan
memberikan kosa kata bahasa Inggris di luar
tema-tema yang diajarkan di TK B tersebut,
serta berdiskusi dengan guru pengajar untuk
mengetahui kosa kata bahasa Inggris yang
sudah dan belum diajarkan. Adanya kriteria
anak harus mengerti bahasa Jawa dikarenakan
adanya penggunaan bahasa lokal (bahasa Jawa)
untuk beberapa kata kunci yang akan diberikan.
Desain dan Analisis
Desain penelitian yang digunakan adalah
Post Test Only Control Group Design. Ada tiga
hal yang menjadi pertimbangan peneliti untuk
menggunakan desain ini, yakni (1) subjek
penelitian dibagi ke dalam kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol, (2) dapat
digunakan untuk menguji ada tidaknya
pengaruh metode kata kunci untuk
meningkatkan memori kosa kata bahasa Inggris,
yaitu dari perbandingan hasil post-treatment
antara kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol, dan (3) pembagian subjek penelitian ke
dalam kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol dilakukan secara acak.
Dalam penelitian ini analisis yang
digunakan adalah analisis statistik non-
parametrik karena penelitian ini menggunakan
sampel kecil, yaitu 20 anak. Uji statistik non-
parametrik yang digunakan adalah uji Mann-
Whitney (U). Analisis tersebut dipakai untuk
menguji dua variable dalam penelitian ini, yaitu
satu variabel bebas berupa metode kata kunci
dan satu variabel terikat yaitu memori.
Prosedur
Dalam penelitian ini, instrumen yang
digunakan ada dua. Instrumen pertama berupa
daftar kata. Daftar kata ini terdiri atas empat
kolom (Tabel 1). Kolom yang pertama adalah
kata bahasa Inggris, kolom yang kedua adalah
kata kunci yang digunakan, kolom yang ketiga
adalah arti kosa kata bahasa Inggris, dan kolom
yang keempat adalah gambaran mental yang
akan diceritakan kepada subjek. Daftar kata ini
merupakan pegangan bagi guru atau peneliti
mengenai kata bahasa Inggris beserta kata kunci
yang akan digunakan dalam pemberian metode
EFEKTIVITAS METODE 121
Tabel 1. Contoh Instrumen Daftar Kata Bertemakan “Kitchen and Utensils”
Kata bahasa Inggris Kata kunci Arti Gambaran mental Spoon (spuwn) Spon Sendok Mencuci sendok dengan spon Bowl (bowl) Bola Mangkuk Mangkuk yang berisi bola Spatula (spæ’tyulə) Sepatu Sutil/Sudip Sutil yang digunakan untuk
menggoreng sepatu Cup (kΛp) Kapal Cangkir Kapal kecil yang berlayar di
dalam cangkir Saucer (‘souser) Saos Lepek/Piring kecil Saos yang dituangkan di atas
lepek
Catatan. dalam kurung / (……….), adalah cara pengucapan bahasa Inggrisnya
Gambar 1. Contoh instrumen daftar gambar
kata kunci. Kosa kata bahasa Inggris yang
dikenalkan kepada subjek berjumlah 20 item,
dengan empat tema yang berbeda. Tiap tema
berisi lima butir kosa kata bahasa Inggris.
Tema-tema yang diberikan yaitu Accessories,
Buildings and Places, Foods, dan Kitchen and
Utensils.
Instrumen kedua adalah media gambar
berupa kartu bergambar untuk mengilustrasikan
kata bahasa Inggris dan kata kunci yang
diajarkan (Gambar 1). Kartu yang digunakan
untuk kata bahasa Inggris dan kata kunci
memiliki ukuran yang sama, yaitu 15,5 x 22 cm.
Diharapkan dengan media gambar ini subjek
mampu berimajinasi, sehingga dapat
mengasosiasikan antara kosa kata bahasa
Inggris dan kata kunci sesuai dengan gambaran
mental yang diberikan.
Pemberian materi kosa kata bahasa Inggris
terhadap kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol dilakukan secara bersamaan, tetapi
berbeda ruangan. Kemudian keesokan harinya
diberikan suatu tes secara lisan yang bertujuan
untuk menguji memori siswa terhadap kosa kata
bahasa Inggris yang diberikan sebelumnya.
Pemberian perlakuan dilakukan empat sesi
dengan tema yang berbeda pada tiap-tiap sesi.
Pada setiap pertemuan waktu yang dibutuhkan
122 KUSUMAWARDHANI, UTAMI, DAN VIATRIE
kurang lebih sekitar 45 menit.
Pemberian perlakuan dilakukan oleh
peneliti dan dibantu guru pengajar. Langkah
konkret prosedur pemberian perlakuan bagi
kelompok eksperimen pada setiap sesi meliputi
(1) menyiapkan ruangan dan instrumen yang
sesuai bagi kelompok eksperimen saat diberikan
perlakuan, (2) menjelaskan kepada subjek
manfaat dari pemberian perlakuan, yaitu dapat
meningkatkan kemampuan memori siswa
terhadap kosa kata bahasa Inggris, (3)
menjelaskan kepada subjek mengenai tata cara
pemberian perlakuan dan apa yang harus
dilakukan subjek ketika perlakuan diberikan,
(4) subjek diberi perlakuan yaitu metode kata
kunci. Pemberian metode kata kunci dibagi ke
dalam tiga tahap. Tahap pertama yaitu
mengajarkan mengenai kosa kata bahasa Inggris
(disertai gambar), dan arti katanya dalam
bahasa Indonesia. Tahap kedua, yaitu
mengenalkan kata kunci (disertai gambar).
Tahap ketiga adalah memberikan gambaran
mental yang dapat mengasosiasikan kata bahasa
Inggris dengan kata kunci.
Setelah diberikan perlakuan pada kelompok
eksperimen, peneliti dibantu oleh guru
memberikan tes kepada subjek penelitian untuk
mengetahui jumlah kosa kata bahasa Inggris
yang dapat diingat oleh subjek. Sedangkan
untuk kelompok kontrol, tes yang serupa akan
diberikan kepada subjek setelah diberi materi
kosa kata bahasa Inggris tanpa menggunakan
kata kunci. Tes ini diberikan melalui proses
tanya jawab dan dilakukan setelah berselang ±
24 jam dari pemberian perlakuan.
Hasil
Berdasarkan hasil analisis perbedaan
dengan menggunakan uji Mann Whitney (U)
terhadap skor memori didapatkan nilai
Asymptotic Significance (2-tailed) adalah 0,004
(p < 0,05). Artinya, ada perbedaan kemampuan
memori antara kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol.
Hasil analisis deskriptif terhadap skor
memori yang diperoleh kelompok eksperimen
dan kelompok kontrol, menunjukkan bahwa
skor rata-rata kelompok eksperimen adalah
17,7, sedangkan skor rata-rata kelompok
kontrol adalah 14,2. Artinya, skor rata-rata yang
diperoleh kelompok eksperimen lebih tinggi
dibandingkan nilai rata-rata yang diperoleh
kelompok kontrol. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa kemampuan memori
kelompok eksperimen terhadap materi kosa kata
bahasa Inggris yang diajarkan lebih tinggi
dibandingkan kelompok kontrol.
Diskusi dan Kesimpulan
Penelitian ini menemukan bahwa metode
kata kunci efektif untuk meningkatkan memori
kosa kata bahasa Inggris siswa taman kanak-
kanak. Metode kata kunci dapat bekerja cukup
efektif dikarenakan dua hal (Shapiro & Waters,
2005). Salah satu alasan yang membuat metode
ini efektif adalah metode ini mengambil
keuntungan terhadap kekuatan ingatan visual.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kata-
kata yang mudah digambarkan lebih mudah
untuk diingat daripada kata-kata abstrak. Ellis
dan Beaton (dalam Shapiro & Waters, 2005)
menemukan bahwa metode kata kunci
menghasilkan memori pengenalan superior
untuk kosa kata baru. Hal ini sesuai dengan
salah satu prinsip pendidikan bagi anak yaitu
prinsip pengamatan. Stimulasi pendidikan anak
usia dini memberikan kesempatan yang banyak
bagi berkembangnya fungsi penglihatan melalui
EFEKTIVITAS METODE 123
indera mata. Hal ini menunjukkan bahwa
pengembangan kemampuan visual-memory
menjadi prioritas utama dalam perkembangan
anak usia dini. Melalui berbagai kegiatan
pengamatan yang sengaja diberikan, anak
memiliki kemampuan mengenal, memahami
dan membedakan, menyimpulkan dan
menyampaikan kembali berbagai informasi
(pengetahuan) yang telah diterimanya.
Selain menggunakan bentuk visual,
informasi juga disajikan dalam bentuk verbal.
Siswa diberitahukan nama dari setiap gambar
yang ditunjukkan secara verbal. Konsep ini
terkait dengan teori kode ganda daya ingat (dual
code theory of memory) dari Paivio (dalam
Slavin, 2008), yang memprediksi bahwa
informasi yang disajikan secara visual maupun
verbal diingat dengan lebih baik daripada
informasi yang disajikan dengan satu cara.
Alasan lain yang mungkin menyebabkan
kesuksesan dari metode kata kunci adalah siswa
yang menggunakan metode ini mengeluarkan
kemampuan berpikir yang lebih besar sehingga
dapat mengakibatkan meningkatnya memori
siswa.
Ketika menggunakan metode kata kunci,
siswa taman kanak-kanak melakukan suatu
kegiatan yang berkenaan dengan proses kognitif
mereka, siswa membayangkan gambaran
mental yang menghubungkan antara arti kosa
kata bahasa Inggris dengan kata kunci. Menurut
Dryden dan Vos (dalam Afiatin, 2001),
modalitas belajar mempengaruhi proses
memori. Jeannette Vos (dalam Afiatin, 2001)
menyatakan bahwa model belajar yang efektif
dapat dikembangkan melalui apa yang kita
lihat, dengar, kecap, bau, sentuh, lakukan,
bayangkan, intuisikan, dan rasakan. Ketika
siswa menggunakan metode kata kunci, siswa
diberikan informasi dengan cara melihat,
mendengar dan membayangkan. Semakin
banyak jalan yang digunakan untuk
menyampaikan informasi yang diberikan,
semakin banyak stimulan yang menstimulasi
otak, sehingga otak menjadi semakin kaya atau
memiliki banyak jaringan koneksi (Afiatin,
2001). Suatu studi menemukan bahwa jumlah
rangsangan sejak dini dalam perkembangan
anak terkait dengan jumlah koneksi saraf, atau
synapses, yang merupakan dasar untuk
pembelajaran dan daya ingat yang lebih tinggi
(Slavin, 2008). Dengan demikian, kegiatan
melihat, mendengar dan membayangkan yang
dilakukan oleh siswa dapat meningkatkan
memori siswa terhadap kosa kata bahasa Inggris
yang diberikan.
Efektivitas penggunaan metode kata kunci
ini diperkuat oleh penelitian yang pernah
dilakukan Atkinson dan Rough pada tahun
1975. Atkinson dan Rough menggunakan
metode ini untuk mengajari siswa daftar 120
kata Rusia dalam kurun waktu 3 hari, setiap hari
disajikan 40 kata. Sedangkan siswa yang lain
diberi terjemahan Inggris kata-kata Rusia
tersebut dan dibolehkan belajar seperti yang
mereka inginkan. Pada akhir eksperimen, siswa
yang menggunakan metode kata kunci tersebut
mengingat 72 persen kata-kata tadi, sedangkan
siswa lainnya hanya mengingat 46 persen. Hal
ini membuktikan bahwa metode kata kunci
yang diterapkan oleh Atkinson dan Rough
efektif untuk meningkatkan kemampuan
memori siswa terhadap beberapa kata Rusia.
Hasil yang hampir serupa juga diperoleh ketika
mempelajari bahasa-bahasa asing lainnya.
Perbedaan penerapan metode kata kunci
yang diterapkan pada anak yang sudah
bersekolah atau orang dewasa dengan anak-
anak pra sekolah (TK) adalah pada
pembentukan gambaran mental (Slavin, 2008).
124 KUSUMAWARDHANI, UTAMI, DAN VIATRIE
Anak-anak pra-sekolah belum mampu untuk
membentuk gambaran mental yang
menghubungkan antara kata kunci dengan arti
kata yang dipelajari, tetapi telah mampu
berimajinasi untuk membayangkan apa yang
diucapkan. Salah satu strategi yang dapat
digunakan untuk meningkatkan memori jangka
panjang adalah dengan imajinasi. Menciptakan
bayangan-bayangan mental adalah strategi lain
untuk mengembangkan memori. Namun,
menggunakan imajinasi untuk mengingat
informasi verbal memberi hasil lebih baik bagi
anak-anak yang berusia lebih tua dibandingkan
anak-anak yang lebih muda (Santrock, 2007).
Kemampuan anak-anak TK untuk
berimajinasi diperkuat oleh teori perkembangan
kognitif dari Piaget, dalam mana anak-anak TK
yang berusia 4 hingga 7 tahun telah memasuki
tahap pra-operasional. Pada tahap ini anak-anak
memiliki kapasitas kognitif baru yang disebut
mental representation (gambaran mental).
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam
hal perhitungan dan generalisasi hasil. Sampel
yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
sampel kecil yaitu 20 subjek penelitian, dengan
rincian 10 subjek pada kelompok eksperimen
dan 10 subjek pada kelompok kontrol. Sampel
yang kecil menyebabkan peneliti menggunakan
uji statistik non-parametrik.
Menurut Kerlinger (2003), statistik yang
dihitung berdasarkan sampel besar adalah lebih
tepat daripada yang dihitung dari sampel kecil,
jika semua hal lain tetap sama. Sampel kecil
memiliki keterbatasan dalam generalisasi hasil,
maka hasil dalam penelitian mengenai
efektivitas metode kata kunci untuk
meningkatkan memori kosa kata bahasa Inggris
siswa taman kanak-kanak ini cukup sulit untuk
digeneralisasikan pada siswa taman kanak-
kanak kelompok TK yang lain. Hasil penelitian
ini hanya dapat berlaku bagi siswa taman
kanak-kanak di TK Dharma Rini II Kota
Pasuruan ketika penelitian ini dilaksanakan.
Selain keterbatasan dalam hal perhitungan
dan generalisasi hasil, penelitian ini juga tidak
dapat mengendalikan kemungkinan bahwa
subjek penelitian mendapatkan pengetahuan
kosa kata bahasa Inggris yang diberikan di luar
pembelajaran di TK. Peneliti berasumsi bahwa
subjek hanya mendapatkan pembelajaran
bahasa Inggris di TK dan tidak mendapatkan
pembelajaran dari luar TK, sehingga peneliti
hanya melakukan diskusi dengan guru pengajar
mengenai kosa kata bahasa Inggris apa sajakah
yang belum diajarkan di TK tersebut.
Namun demikian, penelitian ini dapat
melengkapi dan mendukung penelitian yang
telah dilakukan oleh Atkinson dan Rough
(1975), yakni dapat membuktikan bahwa
metode kata kunci cukup efektif untuk
meningkatkan memori dalam pembelajaran
kosa kata bahasa asing, terutama bahasa
Inggris. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa
metode kata kunci dapat pula diterapkan pada
siswa taman kanak-kanak yang baru saja
memasuki tahap pra-operasional dalam
perkembangan kognitifnya.
Bibliografi
Afiatin, T. (2001). Belajar pengalaman untuk
meningkatkan memori. Anima, Indonesian
Psychological Journal, 17(1), 26-35.
Atkinson, R. C., & Raugh, M. R. (1975). An
application of the mnemonic keyword
method to the acquisition of a Rusian
EFEKTIVITAS METODE 125
vocabulary. Journal of Experimental
Psychology: Human Learning and
Memory, 104(2), 126-133.
Esgate, A., Groome, D., Baker, K., Heathcote,
D., Kemp, R., Maguire, M., & Reed, C.
(2005). An introduction to applied cognitive
psychology. East Sussex, Great Britain:
Psychology Press.
Kerlinger, F. N. (2003). Asas-asas penelitian
behavioral. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Santrock, J. W. (2002). Life span development:
Perkembangan masa hidup. Jakarta:
Erlangga.
Santrock, J. W. (2007). Perkembangan anak.
Jakarta: Erlangga.
Shapiro, A. M., & Waters, D. L. (2005). An
investigation of the cognitive processes
underlying the keyword method of foreign
vocabulary learning. Language Teaching
Research, 9(2), 129-146.
Slavin, E. R. (2008). Psikologi pendidikan:
Teori dan praktik (Jilid I). Jakarta: PT
Indeks Kelompok Gramedia.
Keselamatan Penerbangan dan Aspek Psikologis "Fatigue"
Widura Imam Mustopo
Asosiasi Psikologi Penerbangan Indonesia—Himpunan Psikologi Indonesia
Fatigue is frequently considered as one of the influential factors for
aviation safety. Pilots and aviation technicians are likely to suffer from
fatigue. The technicians are responsible for aircraft maintenance. This
article is intended to explore some studies about fatigue. This article tries
to find the clear definitions of fatigue, its causes, its clear indicators, and
its influence to psychological aspects related to performance failure
especially pilots' performance failure. The article is closed with some tips
to avoid the performance failure due to fatigue and some tips to overcome
fatigue.
Keywords: fatigue, performance, aviation safety, accident
Salah satu permasalahan yang menonjol di
penerbangan frekuensi insiden dan kecelakaan
pesawat (accidents) yang meningkat.
Meningkatnya insiden dan kecelakaan dapat
merupakan indikator bagi kesiapan operasional
penerbangan. Kecelakaan penerbangan dapat
disebabkan karena berbagai kemungkinan.
Salah satunya karena kegagalan pada mesin
pesawat udara, atau karena kondisi cuaca yang
buruk. Sebab-sebab lainnya terhadap terjadinya
insiden atau kecelakaan penerbangan dapat
timbul karena kesalahan di tingkat individu
(penerbang atau awak pesawat lainnya) atau
pengendali lalu lintas udara yang sering dikenal
dengan air traffic controller (ATC). Salah satu
kondisi yang sering menjadi perhatian di tingkat
individu ini adalah kelelahan individu atau
sering dikenal dengan istilah “fatigue”.
Memperhatikan hal di atas, kajian terhadap
fatigue dalam upaya untuk mencegah terjadinya
kecelakaan penerbangan dan sekaligus
mempromosikan derajat keselamatan
penerbangan adalah upaya yang penting.
Tulisan ini akan mengungkap berbagai studi
tentang “fatigue”, menyangkut pengertiannya,
sebab-sebab timbulnya fatigue, apa saja yang
dapat menjadi indikator fatigue, dan
pengaruhnya pada aspek-aspek psikologis yang
berhubungan dengan kegagalan performance
seseorang dan/atau penerbang pada khususnya.
Pada akhir tulisan akan diulas juga upaya
pencegahan penurunan performance karena
sebab-sebab fatigue termasuk cara dan kiat-kiat
menghadapi dan mengatasi fatigue.
Hal yang perlu diingat adalah bahwa
pemahaman tentang timbulnya fatigue dan
pengaruhnya terhadap performance yang
dicurigai sebagai penyebab terjadinya insiden
atau accident antara kasus kecelakaan yang satu
dan lainnya tidak selalu sama. Tulisan ini
merupakan kajian literatur yang didasarkan atas
penelitian empirik maupun studi kasus.
Psikobuana ISSN 2085-4242 2011, Vol. 3, No. 2, 126–134
126
KESELAMATAN PENERBANGAN 127
Fatigue
Secara harafiah, fatigue dapat diartikan
secara sederhana sebagai kelelahan yang sangat
(deep tiredness), mirip stres, bersifat kumulatif.
Bila dikaitkan dengan pengalaman “seperti apa
sebenarnya fatigue itu?”, pengertiannya menjadi
bervariasi. Dari berbagai literatur, fatigue sering
dihubungkan dengan kondisi kurang tidur,
kondisi akibat tidur yang terganggu, atau
kebutuhan kuat untuk tidur yang berhubungan
dengan panjangnya waktu kerja, dan stres-stres
kerja (dan penerbangan) yang bervariasi. Ahli
lainnya sering mengaitkan fatigue dengan
perasaan lelah bersifat subjektif, hilangnya
perhatian bersifat temporer, dan menurunnya
respon psikomotor; atau berhubungan dengan
gejala-gejala yang dikaitkan dengan
menurunnya efisiensi performance dan skill;
atau, berhubungan dengan menurunnya
performance sebagai hasil dari akumulasi stres-
stres penerbangan. Fatigue juga kerap dikaitkan
dengan kondisi non-patologis yang dapat
membuat kemampuan seseorang menurun
dalam mempertahankan kinerja yang
berhubungan dengan stres fisik maupun mental;
atau, terganggunya siklus biologis tubuh (jet
lag).
Terdapat dua macam fatigue, yaitu fatigue
jangka pendek (short-term fatigue) dan fatigue
jangka panjang (long-term fatigue/chronic
fatigue).
Short-term fatigue sering dihubungkan
dengan kelelahan yang biasanya dikaitkan
dengan kurang tidur atau istirahat, kerja fisik
atau mental yang berlebihan, periode waktu
tugas yang lama, kurang asupan, atau jet lag.
Short-term fatigue relatif mudah dikenali dan
dapat diatasi dengan tidak terbang dan
beristirahat yang cukup.
Long-term fatigue atau fatigue yang bersifat
kronis lebih sulit dikenali. Fatigue jenis ini
dapat muncul dari sejumlah penyebab yang
bervariasi, termasuk tidak fit, baik fisik maupun
mental; kondisi stres, baik karena masalah
pekerjaan ataupun rumah tangga; kekhawatiran
finansial, dan beban kerja. Fatigue ini juga
dapat bersifat subjektif, artinya ada penerbang
yang memiliki toleransi yang cukup, namun
yang lainnya tidak; bisa juga terjadi pada
seorang penerbang dalam hal mana saat ini ia
lebih toleran terhadap fatigue waktu dari
sebelumnya. Bagi siapa saja yang mengalami
fatigue yang bersifat kronis, tidak terbang
adalah tindakan yang bijaksana.
Terdapat beberapa situasi yang dapat
mengakibatkan seseorang menjadi fatigue.
Situasi tersebut bisa fisik-fisiologis maupun
psikologis. Secara umum, fatigue merupakan
hasil dari konsumsi resources, baik fisik
dan/atau mental. Manifestasi fatigue dapat
berupa perasaan letih (feeling of tiredness) atau
menurunnya kinerja (drop of performance).
Beberapa situasi yang dapat dikaitkan sebagai
penyebab terjadinya fatigue, antara lain
kebutuhan tidur (baik karena kurang tidur atau
terganggu), jadwal waktu kerja dan istirahat
yang menyebabkan circadian
desynchronization, posisi duduk yang terbatas
dalam durasi penerbangan yang lama,
kekurangan nutrisi dan cairan yang
berhubungan dengan terbatasnya asupan,
cockpit ergonomics and equipment yang tak
nyaman, noise atau kebisingan, vibration,
hypoxic environments (perubahan tekanan
atmosfer, tingkat kelembaban dan perubahan
temperatur), akibat dari zat-zat dan obat-obatan
tertentu (seperti caffeine, alkohol,
antihistamines), accelerative forces and G-
related stress, stres-stres psikologis yang
128 MUSTOPO
berhubungan dengan situasi kerja maupun misi-
misi penerbangan khususnya di lingkungan
militer.
Selain memahami sebab-sebab timbulnya
fatigue, perlu diwaspadai konsekuensi dari
timbulnya fatigue. Oleh karenanya, penting
untuk memperhatikan simtom-simtom
penurunan performance yang disebabkan
fatigue (Rosekind, Gregory, Miller, Lebacqz, &
Brenner, 2003). Beberapa simtom penurunan
performance yang disebabkan fatigue, antara
lain, sebagai berikut:
Pertama, penurunan motivasi dan
perubahan suasana hati. Simtom awal dari
fatigue dan kurang tidur biasanya adalah
berubahnya perasaan atau suasana hati (moods)
menjadi lebih negatif. Terkait dengan hal ini,
umumnya orang melaporkan munculnya rasa
malas untuk memulai kerja, atau merasa kurang
bertenaga, mudah tersinggung, diliputi perasaan
negatif, dan mengantuk. Mereka yang
mengalami hal tersebut seringkali menyangkal
bahwa mereka mengalami hal tersebut.
Perubahan minat dan motivasi sering dikaitkan
dengan menurunnya performance. Menurunnya
inisiatif dan meningkatnya perasaan tidak suka
serta perasaan mudah tersinggung pada
akhirnya akan menurunkan pula kemauan untuk
berinteraksi dengan orang lain; suatu indikasi
dari kemungkinan kegagalan kerjasama tim.
Kedua, penurunan rentang perhatian (span
of attention). Hasil sejumlah penelitian (dalam
Cassie, Foklema, & Parry, 1964; Dhenin, Sharp,
& Ernsting, 1978) menunjukkan bahwa fatigue
dan terganggunya waktu tidur akan
menyempitkan rentang perhatian dan kesulitan
berkonsentrasi terhadap tugas-tugas tertentu
khususnya yang membutuhkan tingkat
kewaspadaan tinggi. Gangguan tidur, seperti
terbangun karena mimpi, mempunyai efek yang
sama dengan gangguan sistematika berpikir
yang dapat menyebabkan kehilangan perhatian
sesaat (lapses of attention) dan menurunnya
kemampuan konsentrasi. Sejalan dengan
meningkatnya fatigue dan berkurangnya waktu
tidur, lapses of attention menjadi meningkat
pula.
Ketiga, kehilangan daya ingat jangka
pendek. Tanda yang jelas sebagai akibat
hilangnya waktu tidur adalah ketidakmampuan
mengingat apa yang pernah didengar, dilihat,
atau dibaca sebelumnya (Dhenin, et al., 1978).
Hilangnya daya ingat terutama terjadi pada
daya ingat jangka pendek (short term memory).
Seseorang yang mengalami fatigue akan lupa
tentang pesan-pesan, data yang baru dibacanya.
Sebuah penelitian melaporkan, individu yang
tidak tidur dalam 24 jam akan gagal mengingat
beberapa informasi atau materi yang baru
dibacanya. Setelah 48 jam tidak tidur karena
harus bekerja terus menerus, daya ingat
terhadap bahan/materi yang baru dibacanya
akan menurun lebih dari 40 persen.
Keempat, waktu reaksi melambat.
Sebenarnya fatigue dan terganggunya waktu
tidur tidak hanya menurunkan kecepatan reaksi,
melainkan juga akurasi reaksi. Bahaya fatigue
dan hilangnya waktu tidur kadang kurang dapat
diprediksi, seperti jenis respon-respon apa
sajakah yang terganggu. Hal ini tergantung dari
tugas apa yang sedang dilakukan, karena pada
tugas tertentu ada yang lebih peka terhadap
terganggunya waktu tidur dan fatigue,
sedangkan untuk tugas yang lain kurang peka.
Tidak tidur dalam satu malam mungkin efeknya
kecil pada 5 menit pertama pelaksanaan tugas
yang menuntut kewaspadaan, namun bila tugas
tersebut harus dilakukan selama 15 menit maka
performance akan memburuk. Bertambahnya
tingkat kesulitan tugas menyebabkan respon
KESELAMATAN PENERBANGAN 129
jadi lebih lama yang mengakibatkan
performance menjadi rusak.
Kelima, tidak menyadari adanya penurunan
performance. Dalam kondisi fatigue, individu
biasanya lebih mudah menerima tingkat
performance yang lebih rendah dan seringkali
sebenarnya mereka tahu kesalahannya tetapi
tidak berusaha mengoreksinya. Di samping itu,
kondisi fatigue juga membuat seseorang
kehilangan fleksibilitas dalam pendekatan
masalah serta kemampuannya mengamati suatu
persoalan, atau dalam melihat kemungkinan
baru dalam mengatasi masalah.
Keenam, menurunnya interpersonal skills
dan kegagalan crew coordination. Seperti telah
disinggung sebelumnya, fatigue dapat
menyebabkan menurunnya inisiatif dan
meningkatnya perasaan negatif, serta perasaan
mudah tersinggung yang pada akhirnya akan
menurunkan pula kemauan untuk berinteraksi
dengan orang lain; suatu indikasi dari
kemungkinan kegagalan interaksi antar awak
yang menyebabkan menurunnya kerjasama tim
(Rosekind, et al., 2003). Dapat dikatakan bahwa
faktor utama yang mendukung keberhasilan dan
kegagalan operasi penerbangan adalah
kemampuan awak pesawat memelihara
komando, kendali, dan koordinasi antar awak
pesawat. Problem koordinasi antar awak
pesawat sebagai dampak dari fatigue, dapat
dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu (1)
ketidaktepatan dalam menetapkan prioritas
tugas, (2) komunikasi yang tidak efektif, atau
(3) tidak adanya tindakan koordinasi. Ketiga
macam keterampilan ini dipercaya paling peka
terhadap fatigue dan hilangnya waktu tidur.
Selain hal yang telah disebutkan di atas,
masih terdapat simtom lainnya, yaitu lack of
awareness, menurunnya keterampilan motorik,
konsentrasi terpaku, poor instrument flying, dan
cenderung kembali ke kebiasaan lama.
Kegagalan Penerbangan
Tanda-tanda penurunan performance seperti
telah diuraikan di atas dapat kita amati melalui
beberapa kasus kejadian. Beberapa kejadian
atau kecelakaan penerbangan yang disebabkan
penurunan performance karena fatigue diulas di
bawah ini.
Fatigue dan Mental Block serta Penyempitan
Rentang Perhatian
Hubungan antara pengalaman kecelakaan
pesawat terbang dan situasi yang berkaitan
dengan fatigue (shift kerja yang panjang,
istirahat yang kurang memadai, dan sebagainya)
sebenarnya telah dibuktikan oleh McFarlan,
seorang peneliti di bidang penerbangan. Dalam
laporan penelitiannya ia menyimpulkan bahwa
bila penerbang mengalami fatigue di luar batas
kemampuannya akan meningkatkan frekuensi
dari “personnel error” (seperti lupa, tidak
akurat dalam mengendalikan pesawat, dan
sebagainya).
Salah satu efek fatigue yang meningkat
tajam, mengakibatkan apa yang dikenal dengan
“mental block”. Aspek mental yang berkaitan
dengan hambatan dalam mengingat dan
menurunnya daya assosiatif. Hal ini dapat
terjadi ketika seseorang sedang melakukan
tugas-tugas yang relatif mudah sekalipun.
Konsekuensinya, nama yang akrab menjadi tak
teringat, dan detil yang penting tidak
terperhatikan, walaupun sesaat sebelumnya ia
mampu mengingat dengan baik. Kondisi seperti
ini merupakan isyarat yang perlu diwaspadai,
bahwa yang bersangkutan tidak siap untuk
130 MUSTOPO
berfikir dan bertindak efisien.
Dalam kasus lainnya, kondisi fatigue dapat
menyebabkan tatapan perhatian cenderung
menyempit dan rentang perhatian menjadi
terbatas. Dalam kondisi seperti ini, penerbang
cenderung lupa mencek instrumen di luar
rentang perhatiannya, misalnya panel di
samping. Ia lebih memusatkan perhatiannya
pada pengamatan dan/atau kesulitan-kesulitan
yang membuatnya khawatir daripada aspek-
aspek yang lebih penting dalam situasi
penerbangan (Rosekind, et al., 2003).
Konsekuensinya, reaksi-reaksi yang seharusnya
dilakukan terhadap tanda-tanda yang diberikan
oleh instrumen utama dapat berubah secara
cepat ke reaksi-reaksi otomatis (refleks) yang
bersifat primitif (suatu reaksi alamiah bila
seseorang mulai menjadi takut dan panik).
Selanjutnya dapat diperkirakan bahwa yang
bersangkutan dapat membuat kesalahan dalam
mengambil tindakan vital atau paling esensial.
Fatigue dan Fleksibilitas Dalam Pengambilan
Keputusan
Pengambilan keputusan merupakan salah
satu mata rantai yang penting dalam tindakan
penerbangan, terlebih bila penerbang
menghadapi situasi emergency. Kondisi fatigue
yang dialami penerbang dapat mengakibatkan
dampak yang sangat merugikan di bidang ini
(Rosekind, et al., 2003).
Dalam keadaan fatigue, pengambilan
keputusan cenderung kaku. Penerbang menjadi
tidak fleksibel dalam mengamati berbagai
alternatif tindakan yang paling aman. Keadaan
ini selanjutnya akan menimbulkan dampak yang
berlawanan dari apa yang diharapkan, dan
tentunya dapat berakibat fatal.
Sebenarnya pengambilan keputusan tak
terlepas dari faktor psikologis yang telah
dibicarakan sebelumnya. Seperti telah
disinggung di atas, blocking mental dan
penyempitan perhatian dapat mempengaruhi
penerbang terutama dalam mendapatkan data
informasi untuk dasar pertimbangan (judgment)
sebelum keputusan diambil.
Bilamana fatigue mulai menyempitkan
perhatian dan menghambat fleksibilitas berfikir,
biasanya seseorang akan mengambil beberapa
kemungkinan tindakan. Kemungkinan pertama,
ia berusaha mengatasi situasi darurat dengan
terpaku pada satu set prosedur yang khusus
(biasanya yang termudah). Misalnya, ketika ia
membuat suatu manuver dalam situasi
pendaratan yang sulit, ia hanya mengandalkan
instrumen saja. Atau, kemungkinan lainnya,
dalam menghadapi situasi yang tak
menguntungkan, penerbang mulai menurunkan
standar akurasi performance yang lebih rendah.
Suatu penyelidikan yang dikenal dengan
“Cambridge Cockpit Experiment” (Cassie, et
al., 1964) melaporkan bahwa seseorang yang
mengalami fatigue cenderung meningkat
keinginannya untuk menerima standar akurasi
performance yang lebih rendah. Kemungkinan
lain yang bisa terjadi, penerbang terpaku hanya
mengandalkan satu cara atau tindakan yang
sering lebih sulit untuk mengatasi situasi yang
dihadapinya. Hal ini terjadi karena, menurut
pengalaman subjektifnya, bila ia tidak
menggunakan cara tersebut akan
mengakibatkan konsekuensi yang lebih buruk.
Ia mengambil tindakan yang diyakini secara
subjektif tanpa didasarkan atas pemikiran yang
logis dan realistis.
Fatigue dan Deteriorisasi Akhir
Efek fatigue lainnya yang menarik untuk
KESELAMATAN PENERBANGAN 131
diamati adalah kekeliruan atau kesalahan-
kesalahan yang muncul bila penerbang mulai
mendekati atau memasuki tempat pendaratan.
Efek ini sering disebut “end deterioration”
(Dhenin, et al., 1978). Suatu kecenderungan
kegagalan penerbang meningkat pada tahap-
tahap akhir penerbangan. Interpretasi dari efek
ini ialah kelelahan penerbang yang tak tertahan
lagi untuk relaks atau beristirahat bila pesawat
terbang mendekati akhir penerbangan.
Sebenarnya efek fatigue pada tahap-tahap
akhir penerbangan dapat dimengerti. Dalam
suatu penerbangan yang penuh dengan stres,
pada titik tertentu penerbang akan mengalami
kelelahan dan keinginan yang besar untuk
beristirahat. Bila keinginan tersebut tak
terbendung lagi akan menyebabkan penerbang
ingin cepat-cepat sampai di pangkalan.
Konsekuensinya, kewaspadaan dan kesiagaan
menjadi menurun. Efek yang lebih buruk lagi
bila saat itu fatigue mulai mempengaruhi
“skilled performance”. Beberapa eksperimen
dari Bartlett dan Davis (dalam Cassie, et al.,
1964) menunjukkan bahwa stres yang dialami
secara terus menerus akan menyebabkan fatigue
yang muncul dalam bentuk menurunnya
“skilled performance”. Dilaporkan pula bahwa
penurunan performance tersebut umumnya
tidak disadari oleh yang bersangkutan.
Berbagai efek dari “end deterioration”
tersebut mempunyai implikasi yang besar untuk
terjadinya kecelakaan. Dari berbagai penelitian
dilaporkan bahwa frekuensi kecelakaan pada
saat pendaratan dapat dikatakan cukup tinggi.
Suatu penelitian mengindikasikan bahwa
kecelakaan pada saat pendaratan yang
berhubungan dengan sebab-sebab fatigue
adalah “undershoot” (Cassie, et al., 1964).
Dilaporkan kasus ini terjadi tidak kurang dari
17 kejadian di antara 23 kasus kecelakaan yang
diteliti dalam jangka waktu tertentu.
Fatigue dan Rangkaian Kesalahan
Efek fatigue tidak saja mengakibatkan
kecelakaan pada akhir suatu sort penerbangan.
Ia bisa juga terjadi ketika lepas landas atau tak
berapa lama setelah lepas landas. Hal ini
biasanya disebabkan oleh suatu rangkaian
kesalahan (“series of error”) sejak persiapan
penerbangan saat masih di darat.
Dari suatu misi penerbangan yang panjang,
para awak pesawat tiba dengan selamat di suatu
pangkalan untuk beristirahat dan keesokan
harinya akan melanjutkan penerbangan,
mungkin melakukan penerbangan untuk
kembali ke home base, atau melanjutkan
penerbangan ke pangkalan terdepan dalam misi
operasi lainnya. Diharapkan, pada malam
sebelumnya penerbang (dan awak pesawat
lainnya) dapat memanfaatkan waktu untuk
beristirahat. Tetapi sering kali keterbatasan
waktu membuat penerbang tidak mungkin
beristirahat secara memadai, atau pada kasus
lainnya penerbang tidak memanfaatkan waktu
istirahatnya dengan baik. Keadaan seperti ini
jelas tidak menguntungkan kondisi fisik
maupun mental yang bersangkutan. Kondisi
fatigue yang disebabkan waktu istirahat yang
terganggu atau tidak dimanfaatkan dengan baik
setelah suatu penerbangan yang panjang dapat
mengakibatkan menurunnya kewaspadaan dan
kelambanan reaksi. Lebih jauh lagi bila kondisi
tersebut sudah mempengaruhi pola dan
sistimatika berpikir, maka sedikit banyak akan
mempengaruhi persiapan dan perencanaan
penerbangan.
Hasil penelitian dari “series of error”
(Angus, Heselgrave, & Miles, 1985) yang
132 MUSTOPO
berkaitan dengan terjadinya kecelakaan pesawat
terbang dapat disimpulkan beberapa hal, antara
lain (a) kecenderungan kekeliruan dalam
membuat persiapan penerbangan, (b) penerbang
melakukan error yang serius dalam
memperkirakan ketahanan penerbangan, (c)
keliru dalam mengamati penyelurusan ketika
memasuki ketinggian tertentu pada saat
merencanakan penerbangan, (d) keliru ketika
memeriksa navigasi karena perkiraan posisi
yang salah, (e) keliru dalam mempertahankan
ketinggian yang aman, (f) kesalahan ketika
penerbang secara prematur mulai menurunkan
ketinggian.
Upaya Pencegahan Penurunan Performance
Karena Fatigue
Oleh karena biasanya penerbang atau awak
pesawat lainnya tidak bisa sepenuhnya
beristirahat di sela-sela operasi yang terus
menerus, maka penting mereka dapat
memanfaatkan waktu untuk beristirahat dan
tidur yang minimal, setidaknya untuk
memelihara atau mengembalikan kondisi agar
performance dapat tetap efektif. Beristirahat
atau breaks (istirahat tapi tidak tidur) dipercaya
cukup bermanfaat bagi individu yang sedang
melaksanakan tugas terbang terus menerus
(Angus, Heselgrave, Pigeu, & Jamieson, 1987).
Performance dan kondisi suasana hati (mood)
secara konsisten menjadi lebih baik segera
setelah orang beristirahat lebih kurang satu jam.
Namun efek positif dari istirahat di sela-sela
tugas operasi intensif terhadap performance
bersifat jangka pendek. Cara ini tidak
bermanfaat untuk seterusnya bekerja dengan
performance optimal. Karena cara yang paling
efektif untuk mengatasi efek negatif dari fatigue
dan tidak tidur adalah dengan tidur itu sendiri.
Bila tidak memungkinkan untuk tidur tanpa
terganggu, tidur sejenak tetap lebih baik
daripada tidak tidur sama sekali. Lebih lamanya
waktu tidur akan lebih baik bagi kondisi
seseorang untuk tetap siaga (alert). Walau ada
perdebatan antar ahli dalam hal ini, namun tidur
sejenak (nap) yang dilakukan antara 20-30
menit di tempat duduk cukup efektif untuk
kembali segar, dan durasi nap minimum tidak
kurang dari 10 menit untuk memperoleh efek
pemulihan (Angus, et al., 1987). Namun yang
perlu diperhatikan adalah nap bersifat
individual, sehingga bervariasi antara individu
satu dan lainnya. Ada yang mendapatkan
dampak positif, namun mungkin ada yang tidak
mendapatkan dampak atau manfaat. Bagi
mereka yang belum terbiasa melaksanakan nap,
dampaknya bisa berbeda. Selain itu, yang perlu
diwaspadai adalah bahwa setelah nap kondisi
segar (fresh) tidak terjadi serta merta.
Diperlukan beberapa menit untuk
mengumpulkan kesadaran, adanya reaksi yang
lambat, dan umumnya untuk kembali dapat
bereaksi secara normal setelah ± 5 menit
terbangun.
Pada dasarnya fungsi tidur tidak diartikan
bahwa seseorang harus tidur lebih lama sebagai
persiapan tubuh agar hari berikutnya tidak usah
tidur. Fungsi tidur tidak dilihat sebagai
tabungan. Tidur normal adalah 7 sampai 8 jam
sebelum tugas operasi (Rosekind, et al., 2003),
bukan tidur lebih lama untuk mempersiapkan
kondisi tubuh menghadapi tugas operasi dimana
kemungkinan sulit untuk mencari waktu
istirahat dan tidur. Waktu tidur akan lebih
efektif dimanfaatkan untuk beristirahat setelah
waktu yang cukup lama tidak tidur. Penelitian
Naitoh, Englund, dan Ryman (1986)
menunjukkan bahwa setelah 36 sampai 48 jam
KESELAMATAN PENERBANGAN 133
bekerja terus menerus, tingkat minimum
performance dapat dicapai kembali sesudah
beristirahat 12 jam, walaupun suasana hati
relatif tak berubah.
Di samping cara-cara seperti tersebut di
atas, masih ada beberapa kiat yang dapat
dilakukan sebagai upaya mencegah penurunan
performance karena fatigue, antara lain (1)
menerima bahwa fatigue merupakan potensi
yang dapat menimbulkan masalah, (2)
rencanakan tidur / istirahat secara proaktif
(rencanakan tidur / istirahat sebelum
melaksanakan aktivitas berdurasi
lama/panjang), (3) manfaatkan olah raga
(exercise) sebagai bagian untuk relaksasi dan
jaminan bahwa kita dalam kondisi fit, (4)
kendalikan emosi dan kehidupan psikologis, (5)
yakinkan diri bahwa kondisi kokpit nyaman, (6)
yakinkan diri bahwa telah tersedia makanan dan
minuman yang cukup untuk penerbangan yang
panjang, (7) yakinkan diri bahwa tempat duduk
sudah disesuaikan (adjusted).
Cara lain namun lebih membutuhkan
keahlian, terutama dari flight surgeon (dokter
penerbangan), adalah dengan memanfaatkan
obat-obat tertentu seperti stimulan, atau caffeine
untuk memperoleh kondisi tetap terjaga atau
menahan kantuk. Upaya-upaya ini cukup efektif
namun diperlukan keahlian dan pengalaman,
karena bila tidak sesuai atau berlebihan malah
akan memberikan dampak yang tidak
diinginkan.
Kesimpulan
Sebenarnya, sejauh seseorang berada dalam
keadaan segar, ia akan mampu melaksanakan
tugas-tugas yang paling rumit sekalipun, pun
bila tugas-tugas tersebut sangat menuntut
perhatiannya. Bila penerbang mengalami
kelelahan atau fatigue, baik karena stres yang
berlangsung terus menerus ataupun waktu
istirahat yang tidak dimanfaatkan dengan
memadai, ia akan memperlihatkan penurunan
performance. Cara yang paling efektif untuk
mengatasi efek negatif dari fatigue dan tidak
tidur adalah dengan tidur itu sendiri. Bila tidak
memungkinkan untuk tidur tanpa terganggu,
tidur sejenak tetap lebih baik daripada tidak
tidur sama sekali. Lebih lamanya waktu tidur
akan lebih baik bagi kondisi seseorang untuk
tetap siaga (alert).
Bibliografi
Angus, R. G., Heselgrave, R. J., & Miles, W. S,
(1985, Mei). Effects of prolonged sleep
deprivation, with and without chronic
physical exercise, in mood and
performance. Psychophysiology, 22(3),
276-82.
Angus, R. G., Heselgrave, R. J., Pigeu, R. A., &
Jamieson, D. W. (1987, Maret).
Psychological performance during sleep
loss and continuous mental work: The effort
of interjected naps. Paper yang disajikan
pada The NATO Seminar "Sleep and its
Implications for the Military", Lyon,
France.
Cassie, A., Foklema, S. D., & Parry, J. B.
(Eds.). (1964). Aviation psychology: studies
on accident liability, proficiency criteria
and personnel selection. Paris: Mouton &
Co.
Dhenin, S. G., Sharp, G. R., & Ernsting, J.,
(1978). Aviation medicine, physiology and
human factors. London: Tri-Med Books
Ltd.
134 MUSTOPO
Naitoh, P., Englund, C. E., & Ryman, D. H.,
(1986). Sleep management in sustained
operation’s user guide (NHRC Report No.
86-22). San Diego: Naval Health Research
Center.
Rosekind, R. M., Gregory, B. K., Miller, D. L.,
Lebacqz, J. V., & Brenner, M. (2003).
Examiner fatigue factors in accident
investigations: Analysis of Guantanmo Bay
aviation accident. Alertness Solutions,
NASA Ames Research Center, and National
Transportation Safety Board.
Sells, S. B., & Berry, C. A. (1961). Human
factors in jet and space travel. New York:
The Roland Press Co.
The Oxford Aviation Training. (2001). Human
performance and limitation. Oxford
Aviation Services Limited.
“Support Group Therapy” Untuk Mengembangkan Potensi Resiliensi Remaja Dari Keluarga
“Single Parent” di Kota Malang
M. Salis Yuniardi dan Djudiyah Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang
This research aimed to measure the efficacy of support group therapy
empowering resiliency potentials among adolescent coming from single
parent families. This study used case study method and the subject of this
research were 15 students of SMU 1 Batu, SMK PGRI 3 Malang and
SMK Muhammadiyah 2 Malang. The data was collected using interview
and self report and then analyzed using qualitative descriptive analysis.
The result reveals that the support group therapy has proven successfully
enhancing self-concept of all participants.
Keywords: resiliency, adolescent, single parent, support group therapy
Keluarga merupakan lingkungan pertama
dan utama bagi pertumbuhan dan
perkembangan diri setiap anak. Sejak lahir
anak membutuhkan bantuan dari orang dewasa
disekitarnya terutama orang tua. Peran orang
tua dalam perkembangan anak sangatlah
penting karena orang tua dan keluarga
merupakan lingkungan sosial pertama yang
dikenal anak. Orang tua berkewajiban sebagai
pendidik utama bagi anak dalam perkembangan
kepribadiannya. Orang tua dan keluarga juga
merupakan lembaga paling utama dan pertama
yang bertanggung jawab ditengah masyarakat
dalam menjamin kesejahteraan sosial dan
kelestarian biologis anak (Kartono, 1992).
Namun sayang, di era modern seperti
sekarang ini banyak fenomena di masyarakat
orang tua bercerai dengan berbagai alasan. Kota
Malang merupakan salah satu wilayah di Jawa
Timur yang rentan terhadap perceraian dan
bahkan menduduki peringkat pertama dalam
kasus ini. Berdasarkan data Pengadilan Agama
dan Pengadilan Negeri, antara tahun 2007
hingga tahun 2008 terdapat 2.306 kasus
perceraian (Jawa Pos, 19 Pebruari 2009).
Terjadinya kasus perceraian tersebut
mengakibatkan besarnya angka keluarga single
parent yang diprediksi menjadi penyebab
terjadinya penyimpangan perilaku remaja.
Single parent memiliki kecenderungan
kurang optimal dalam pengasuhan remaja
karena memiliki beban yang lebih berat bila
dibandingkan dengan orangtua yang utuh. Hal
ini mengakibatkan remaja kurang mendapat
perhatian dan cenderung memiliki perilaku
negatif karena pembentukan konsep diri dalam
keluarga kurang dapat berjalan secara optimal,
sehingga berkecenderungan melakukan perilaku
Psikobuana ISSN 2085-4242 2011, Vol. 3, No. 2, 135–140
135
136 YUNIARDI DAN DJUDIYAH
menyimpang, seperti dendam terhadap
orangtua, frustasi, mengalami guncangan jiwa,
terlibat pemakaian narkotika dan obat-obatan
terlarang, dan bentuk kenakalan remaja lainnya.
Pada keluarga single parent, orangtua
berperan ganda dalam menjalankan
kewajibannya sebagai orangtua. Hal ini dapat
menghambat hubungan antara anak dan
orangtua. Baik orangtua maupun anak biasanya
kurang mampu beradaptasi dan menerima
keadaan tersebut sebagai sesuatu yang harus
dijalani. Keadaan seperti ini dapat
menimbulkan konflik antar anggota keluarga,
sehingga memunculkan masalah, baik dari
pihak orang tua maupun anak (Balson, 1993, h.
95). Berbeda dengan kondisi remaja yang
memiliki ayah dan ibu, kondisi remaja dari
keluarga single parent secara umum mengalami
ketimpangan dalam menjalani kehidupannya.
Hal ini diakibatkan selain menghadapi beban
psikologis yang cukup berat, mereka juga harus
menanggung perlakuan dari masyarakat yang
kurang mendukung eksistensi single parent di
masyarakat (Calhoun & Acocella, 1990, h. 66).
Pada satu sisi, remaja membutuhkan
bimbingan dan arahan dari orangtua, sementara
pada sisi lain orangtua tidak mampu berperan
secara optimal. Hal ini akan mengakibatkan
frustrasi pada diri remaja sehingga mereka
cenderung melamun, menekuni hobi secara
berlebihan, dan suka menyendiri (Balson, 1995,
h. 96).
Kendati demikian, diyakini bahwa bila
seseorang menghadapi permasalahan, maka
sebenarnya ia memiliki kekuatan untuk
mengatasinya. Kekuatan semacam ini disebut
resiliensi. Tidak ada definisi universal
mengenai resiliensi, namun secara umum
pengertian yang mudah dimengerti adalah apa
yang diungkap Wolin (1993), yakni
“kemampuan untuk bangkit kembali”. Lebih
lengkap diungkap pada makalah yang disusun
International Resiliency Projecets (dalam
Henderson & Milstein, 2003), bahwa resiliensi
adalah kemampuan setiap orang, kelompok,
atau komunitas, untuk mencegah,
meminimalkan, atau mengatasi dampak buruk
suatu kemalangan atau masalah. Resiliensi
adalah sebuah kapasitas mental untuk bangkit
kembali dari sebuah kesengsaraan dan untuk
terus melanjutkan kehidupan yang fungsional
dengan sejahtera (Turner, 2001). Jadi dapat
disederhanakan bahwa resiliensi adalah proses
menemukenali hal positif di balik suatu
kemalangan dan memanfaatkannya sebagai
tenaga untuk memantul bangkit.
Resiliensi ini sangat penting karena orang
yang resilien mengetahui bagaimana
mengembalikan mental dari suatu kemalangan
atau kesengsaraan dan membaliknya menjadi
sesuatu yang lebih baik, bahkan dibandingkan
keadaan sebelum kemalangan itu sendiri.
Mereka maju dengan cepat dalam perubahan
yang berlangsung terus menerus karena mereka
fleksibel, cerdas, kreatif, secara cepat
menyesuaikan diri, sinergik, danbelajar dari
pengalaman. Mereka dapat mengendalikan
kesulitan-kesulitan besar, dengan lebih baik
meski ketika dipukul oleh kemunduran besar,
mereka tetap tidak mengeluh dengan
kehidupannya yang tidak wajar (Siebert, 2000).
Merujuk hal tersebut, perlu dilakukan upaya
untuk mengembangkan potensi resiliensi
tersebut. Salah satu yang memungkinan untuk
diupayakan adalah melalui support group
therapy. Support group therapy adalah terapi
yang dilakukan dengan menggunakan
kelompok sebaya yang memiliki problem yang
relatif sama dengan cara berbagi (sharing)
informasi tentang permasalahan yang dialami
SUPPORT GROUP 137
serta solusi yang perlu dilakukan sekaligus
proses saling belajar dan menguatkan (Yalom,
1985). Tujuan utamanya adalah tercapainya
kemampuan coping yang efektif terhadap
masalah ataupun trauma yang dialami (Gazda,
1989).
Resiliensi
Berdasarkan beberapa teori resiliensi yang
dikemukakan pada bagian sebelumnya di atas,
dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah
kemampuan seseorang untuk bangkit kembali
dari tekanan hidup, belajar dan mencari elemen
posistif dari lingkungannya, untuk membantu
mencapai kesusksesan melalui proses adaptasi
dengan segala keadaan dan mengembangkan
seluruh kemampuannya, meski berada dalam
kondisi hidup tertekan, baik secara eksternal
maupun internal.
Menurut Grotberg (1999, h. 12) resiliensi
berasal dari tiga sumber. Pertama, “Saya
Memiliki (I Have)”. I Have merupakan sumber
resiliensi yang berhubungan dengan pemaknaan
individu terhadap besarnya dukungan yang
diberikan oleh lingkungan sosisl terhadap
dirinya. Kedua, “Saya (I Am)”. I am merupakan
sumber resiliensi yang berkaitan dengan
kekuatan pribadi yang dimilki oleh banyak
individu, yang terdiri atas perasaan, sikap dan
keyakinan pribadi. Ketiga, “Saya dapat (I
Can)”. I can merupakan sumber resiliensi yang
berkaitan dengan apa saja yang dapat dilakukan
individu sehubungan dengan keterampilan-
keterampilan sosial dan interpersonal.
Support Group Therapy
Support group therapy adalah suatu proses
terapi pada suatu kelompok yang memiliki
permasalahan yang sama untuk
mengkondisikan dan memberi penguatan pada
kelompok maupun perorangan dalam kelompok
sesuai dengan permasalahannya (Seligman &
Marhsak, 1990).
Berdasarkan penjelasan tentang support
group therapy yang dikemukakan pada bagian
sebelumnya di atas, dapat disimpulkan bahwa
support group therapy adalah terapi yang
dilakukan dengan menggunakan kelompok
sebaya yang memiliki problem yang relatif
sama dengan cara berbagi (sharing) informasi
tentang permasalahan yang dialami serta solusi
yang perlu dilakukan sekaligus proses saling
belajar dan menguatkan, dengan tujuan utama
tercapainya kemampuan penanggulangan
(coping) yang efektif terhadap masalah ataupun
trauma yang dialami.
Metode
Penelitian ini merupakan studi kasus dengan
subjek penelitian sebanyak 15 siswa dari
SMAN 1 Batu, SMK PGRI 3 Malang dan SMK
Muhammadiyah 2 Malang yang berasal dari
keluarga single parent, baik yang hidup
bersama ayah saja, atau ibu saja, baik karena
perceraian maupun karena meninggal dunia.
Istrumen penelitian yang digunakan adalah
sebagaimana nampak dalam Tabel 1.
Teknik pengumpulan data yang digunakan
adalah wawancara dan laporan diri (self report).
Wawancara dalam penelitian ini dilakukan tiga
sesi, yaitu pada saat sebelum support group
diberikan, pasca support group dilakukan, serta
pada saat tindak lanjut (dua hari setelah support
group dilakukan). Rangkaian wawancara
dimaksudkan untuk mengetahui perkembangan
138 YUNIARDI DAN DJUDIYAH
resiliensi subjek dari waktu kewaktu. Laporan
diri dalam penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perkembangan daya resiliensi
subjek sebelum, selama, dan sesudah proses
terapi. Laporan diri ini nantinya akan dianalisis
berbentuk deskriptif.
Hasil dan Diskusi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
support group therapy dapat digunakan untuk
mengembangkan resiliensi remaja dari keluarga
single parent. Keseluruhan subjek penelitian
mampu mengembangkan resiliensi yang
dimiliki. Hal ini dibuktikan dengan
berkembangnya faktor I am, I have, dan I can;
yang dapat dilihat dari perubahan hasil
rangkaian wawancara. Keseluruh subjek
penelitian selama proses terapi secara umum
mampu menjalankan serangkaian prosedur yang
telah ditetapkan bersama secara bertahap baik
dari proses sebelum terapi hingga masa follow
up selesai sehingga mereka dapat bangkit
kembali dalam berbagai kesulitan yang sedang
dialami.
Pengembangan faktor I am terlihat pada
semua subjek. Mereka dapat mengetahui
kelebihan dan kekurangan dirinya, meyakini
bahwa setiap orang juga memiliki kelebihan
dan kekurangan. Support group therapy yang
diberikan membuat peserta mampu mengenali
dirinya, memahami bahwa setiap orang
memiliki kelebihan kekurangan dan juga
sejarah masing-masing, serta bisa menerima
dirinya. Erikson (dalam Dahlan, 2009)
mengatakan bahwa remaja berkaitan erat
dengan perkembangan sense of identity vs role
confusion, yaitu perasaan atau kesadaran
dirinya.
Tabel 1.
Instrumen Penelitian
Sesi Tujuan Metode Instrumen
1. 1. Membangun
hubungan
baik
(rapport)
2. Penjelasan
program
1. Berbagi
(sharing)
tentang
tujuan
program
2. Pembuatan
kontrak
aturan
kelompok
1. Kartu-
kartu
harapan
dan
kecemas
an
2. Flipchart
3. Spidol
2. I-AM
(menemu
kenali
kekuatan diri)
1. Jendela
Johari
2. Support
group
therapy
1. Jendela
Johari
3. I-HAVE
(menemu
kenali
kekuatan
lingkungan)
1. Kartu
Sahabat
2. Support
group
therapy
1. Kartu
Sahabat
4. I-CAN
(membangun
rencana
pengembangan
kekuatan)
1. My
Dreams
2. Support
Group
Therapy
3. Surat
Sahabat
1. My
Dreams
2. HVS
5. Penutup 1. Evaluasi
2. Positive
summary
1. Kertas
koran
2. Flipchart
SUPPORT GROUP 139
Apabila remaja berhasil memahami dirinya
dan makna hidup beragama, maka remaja akan
menemukan jati dirinya. Sebaliknya, apabila
gagal, maka remaja akan mengalami
kebingungan, yang akan berdampak pada
kesulitan menyesuaikan diri. Dengan lebih
memahami tentang kelebihan dan kekurangan
dirinya, semua subjek lebih percaya diri baik
ketika berhubungan dengan orang lain maupun
pada kemampuan yang dimiliki, suatu hal yang
belum dipahami subjek sebelumnya.
Keyakinan dan kepasrahan tiap-tiap subjek
terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan
perwujudan dari I am yang ada dalam diri
masing-masing subjek. Hal ini membuat
mereka kuat dan tabah menjalani cobaan.
Keyakinan ini awalnya tidak ada dalam diri
beberapa subyek, namun berubah setelah proses
support group therapy. Menurut Hurlock
(1980), bagi remaja keraguan religius dapat
membuat mereka kurang taat pada agama,
sedangkan remaja lain berusaha untuk mencari
kepercayaan lain yang dapat lebih memenuhi
kebutuhan daripada kepercayaan yang dianut
oleh keluarganya.
Beberapa subjek awalnya cenderung
menyalahkan Tuhan atas apa yang telah
menimpa keluarganya, sehingga subjek berfikir
bahwa tidak ada gunanya beribadah karena
Tuhan tidak adil terhadap diri dan keluarganya.
Namun, setelah diberikan terapi yang
membuatnya lebih bersyukur dengan apa yang
dimilikinya sekarang, keyakinan mereka kepada
Tuhan berubah, meyakini bahwa Tuhan tidak
akan memberikan cobaan melebihi kemampuan
hambanya. Selain itu, subjek yakin bahwa
cobaan yang ada membawa banyak hikmah
melatih dirinya untuk bersyukur dan lebih tegar.
Hal yang sama terjadi terkait pandangan
mereka mengenai diri dan juga keluarga.
Mereka awalnya merasa minder dan tidak
percaya diri, serta merasa tidak memiliki
kelebihan. Selain itu, mereka juga merasa
kurang mendapat dukungan dari orangtua,
dalam hal mana orangtua yang tersisa, baik
ayah atau ibu, sering diterima sebagai figur
yang selalu hanya memarahi serta jarang
memberi mereka pujian ataupun dukungan.
Namun demikian melalui proses support group
therapy para subjek diajak untuk melihat dan
fokus pada sisi sebaliknya, menemukenali
hikmah dibalik kemalangan, sehingga
memunculkan sikap penerimaan diri,
kebanggaan, dan optimisme.
Hal tersebut sesuai dengan diungkap
Henderson dan Milstein (2003), bahwa selalu
ada hikmah dibalik suatu kejadian dan klien
memiliki potensi untuk menemukan hikmah
tersebut dan menggunakannya untuk bangkit
kembali dari keterpurukannya. Potensi inilah
yang disebut resiliensi. Penelitian ini
menemukan bahwa resiliensi menawarkan dua
hal penting pada diri subjek, yakni (1)
kemalangan atau masalah tidak selalu
membawa pada disfungsi melainkan dapat
memberi variasi hasil pada individu yang
mengalaminya, (2) sekalipun ada reaksi awal
yang disfungsi sekalipun, setiap orang tetap
memiliki kemungkinan membalikkannya.
Kesimpulan
Support group therapy terbukti mampu
mengembangkan resiliensi siswa dari keluarga
single parent. Hal ini dapat terlihat dari para
subjek yang awalnya banyak yang merasa tidak
memiliki potensi yang dapat dibanggakan (I
am), kurang mendapat dukungan utamanya dari
keluarga (I have), serta tidak memiliki rencana
masa depan, bahkan pesimis melihatnya (I can),
140 YUNIARDI DAN DJUDIYAH
namun setelah proses support group therapy
keseluruhan subyek dapat menyadari adanya
potensi-potensi positif yang sesungguhnya ia
miliki dan menjadi kekuatannya. Subjek
menerima hal-hal yang menjadi kekurangan
diri, dapat melihat bahwa masih ada orang-
orang di sekitarnya terutama keluarga yang
sesungguhnya mendukung mereka dengan
ekspresi yang mungkin berbeda dari yang para
subjek harapkan. Subjek juga mampu melihat
kedua hal tersebut sebagai modal mereka untuk
optimistis melihat masa depan.
Bibliografi
Balson. (1993). Psychology of family. New
york: Mac Garw-Hill, Co.
Calhoun, J. F., & Acocella, J. R. (1990).
Psychology of adjustment and human
relationships. USA: McGraw-Hill, Inc.
Dahlan. (2009). Psikologi perkembangan.
Jakarta: Arcan.
Gazda, G. M. (1989). Group counselling: A
developmental approach (4th ed.). Boston:
Allyn and Bacon.
Grotberg, E. H. (1999). How to deal with
anything. New York: MJF Books, Fine
Communications.
Henderson, N., & Milstein, M. M. (2003).
Resiliency in schools. California: Corwin
Press, Inc.
Hurlock, E. B. (1980). Developmental
psychology: A life span approach (5th ed.).
Boston: McGraw-Hill.
Kartono, K. (1992). Psikologi wanita. Bandung:
Mandar Maju
Seligman, M., & Marhsak, L. E. (Eds.). (1990).
Group psychotherapy: Interventions with
special populations. Boston: Allyn and
Bacon
Siebert, A. (2000). The five levels of resiliency.
Diakses pada 10 September 2011, dari
http://www.resiliencycenter.com/articles/5le
vels.shtml
Turner, S. G. (2001). Resilience and social
work practice: Three case studies. Families
in Society, 82(5), 441-448.
Wolin. (1993). Resiliency and factor defined.
California: Corwin Press.
Yalom, I. (1985). The theory and practice of
group psychotherapy (3rd ed.). New York:
Basic Books.
Menggeser Kesadaran Sebagai Pusat Manusia Yang Mutlak dan Otonom: Subjek Freudian Dalam Kritik
Terhadap Filsafat Subjektivitas
Bonar Hutapea Fakultas Psikologi, Universitas Persada Indonesia Y. A. I.
The critique or the deconstruction of subjectivity or putting into question
of the "subject" according to the structure, the meaning, and the value
subsumed under this term, is to be considered one of the great motifs of
contemporary philosophical work and it has been taken off from several
teachings including Psychoanalysis of Sigmund Freud, as the First Force
in Psychology, in the beginning of twentieth-century. This paper is
intended to describe how the subject of Freudian regarded as critique for
modern subject as Cartesian tradition legacy. According to Freud's view,
decentering consciousness as the autonomous and absolute center of the
human is one of main antecedent for the deconstructionist critique of
unified subjectivity. It is surely regarded that Freud's work that underpins
the postmodern thesis that fragmentation is the condition of contemporary
subjectivity.
Keywords: consciousness, unconsciousness, human, Freudian,
philosophy of subjectivity
Freud adalah salah satu pemikir abad kedua
puluh yang melakukan revolusi terhadap
pemahaman mengenai hakikat manusia. Freud
menghabiskan hampir lima puluh tahun untuk
membangun dan memodifikasi teori-teorinya,
dan ia menulis sangat banyak materi sehingga
seringkali dikatakan para komentator bahwa
hanya seorang spesialis sajalah yang diharapkan
mampu menyelami semua isinya (Leslie &
Haberman, 2001). Psikoanalisa yang dibangun
Freud menjadi mazhab besar yang dikenal
sebagai Mazhab Pertama dalam Psikologi.
Tempatnya yang begitu penting dalam budaya
masyarakat dunia, dalam sejarah psikologi, dan
model psikodinamikanya yang amat penting,
membuat psikoanalisis begitu populer.
Psikoanalisis lahir dalam alur sejarah psikologi
saat psikologi didominasi oleh gagasan
psikologi strukturalisme dengan penekanan
pada proses-proses kesadaran dan memandang
kesadaran sebagai aspek utama dari kehidupan
kejiwaan.
Gagasan-gagasan besar dan penting Freud
amat berpengaruh tak hanya di lapangan
psikologi dan psikiatri, namun juga bidang lain
seperti sosiologi, antropologi, ilmu politik,
kesusasteraan, kesenian dan filsafat,
membuatnya dianggap revolusioner sekaligus
Psikobuana ISSN 2085-4242 2011, Vol. 3, No. 2, 141–148
141
142 HUTAPEA
kontroversial (Koeswara, 1986). Tulisan singkat
ini mencoba mengurai bagaimana Freud
menentang pemikiran yang menjadi arus utama
(mainstream) pada masa hidupnya saat ia
mendirikan psikoanalisa. Secara khusus
bagaimana subjek yang dimaksudkan Freud
dalam psikoanalisa berhadapan dengan subjek
modern hasil konstruksi pemikiran Descartes.
Tulisan ini akan diawali dengan uraian singkat
mengenai posisi Freud antara psikologi dan
filsafat, selanjutnya akan dibahas ringkas
pandangan Freud tentang hakikat manusia—
jika tidak mungkin mengatakannya sebagai
filsafat manusia dari Freud. Selanjutnya akan
dijelaskan secara ringkas filsafat subjektivitas
dari Descartes yang menjadi semacam “lawan”
yang hendak dikonfrontasikan terhadap
psikoanalisa Freud. Pada bagian akhir akan
disajikan dampak dari “perlawanan” Freud
terhadap konvensi pemikiran yang diturunkan
dari pemikiran Descartes tadi.
Freud, Filsafat, dan Metapsikologi
Sigmund Freud dilahirkan di Moravia,
sebuah kota kecil di Austria (sekarang kota ini
menjadi bagian dari negara Cekoslowakia), 6
Mei 1856, dari sebuah keluarga Yahudi. Pada
usia 4 tahun, Freud pindah ke Wina karena
mengalami kemerosotan ekonomi keluarga.
Semasa menjadi mahasiswa kedokteran, Freud
tidak merasa cocok dengan ilmu pengobatan,
malah mengikuti kuliah-kuliah lain seperti
kuliah filsuf Franz Brentano yang pada waktu
itu sangat berpengaruh di bidang pemikiran
manusia. Selain seorang dokter, dokter jiwa
(sekarang lebih dikenal sebagai psikiater),
sarjana ilmu pengetahuan alam, sarjana
psikologi, Freud juga disebut ahli filsafat—
sebuah status yang mungkin masih
diperdebatkan. Namun, konon suratnya tahun
1896 berisikan pengakuan bahwa ia ingin
memahami ilmu filsafat. Kutipan suratnya itu
kurang lebih berbunyi sebagai berikut: “Sebagai
seorang muda saya tidak menginginkan yang
lain selain daripada mempunyai pengetahuan
tentang ilmu falsafah, dan saya sekarang
sedang memuaskan keinginan itu dengan jalan
beralih dari lapangan kedokteran ke lapangan
ilmu jiwa” (Hall, 1980). Hal ini sebenarnya
tidak terlalu luar biasa mengingat merupakan
hal yang lazim bila seorang sarjana abad
kesembilan belas merasa tertarik kepada
filsafat, di samping karena, bagi sebagian besar
sarjana pada waktu itu, sains adalah filsafat
dikarenakan pengartian filsafat sebagai cinta
terhadap pengetahuan. Semacam pertanyaan
retoris yang diajukan untuk menguatkan hal ini
adalah, “Jalan apa yang lebih baik untuk
memperlihatkan cinta seseorang terhadap
pengetahuan selain daripada menjadi
sarjana?” Pertanyaan ini diajukan oleh Goethe
kepada setiap intelektual Jerman, dan Freud
tidak dapat menghindarkan dirinya dari
pengaruh Goethe. Bahkan pilihannya terhadap
bidang ilmu alam adalah karena diilhami oleh
essai Goethe tentang alam dalam kuliah umum
yang amat inspiratif. (Hall, 1980)
Meski begitu, apakah Freud sesungguhnya
ahli filsafat? Jawabannya adalah tidak sama
sekali, bila yang dimasudkan adalah filsuf
profesional ataupun filsuf akademis.
Perhatiannya terhadap filsafat lebih bersifat
sosial dan kemanusiaan, dalam arti mengambil
suatu pendirian filosofi hidup, yakni suatu
filsafat yang berdasarkan pengetahuan yang
hakiki tentang hakekat manusia, suatu
pengetahuan yang hanya mungkin didapat
dengan cara mengadakan penelitian ilmiah.
Freud lebih menganut filsafat hidup yang
MENGGESER KESADARAN 143
berdasarkan ilmu pengetahuan daripada
berdasarkan metafisika.
Freud tidak merasa perlu bahwa
Psikoanalisa yang dikembangkannya menjadi
Weltanschaung baru, melainkan memperluas
pandangan dunia yang berciri ilmiah hingga
mencakup studi tentang manusia. Freud dengan
psikoanalisanya tidak bermaksud memandang
manusia secara filosofis. Tidak sedikit
komentator yang mengatakan bahwa Freud
segan (atau tidak merasa perlu?) berdialog
dengan filsafat. Maka psikoanalisa dapat
disebut sebagai pandangan tentang manusia
dalam arti yang paling umum.
Pandangan Freud dalam psikoanalisa
menjadi relevan dengan refleksi filosofis
disebabkan adanya hubungan yang erat antara
filsafat manusia dengan psikologi (dalam
bahasa Freud disebut ilmu jiwa), di mana
batasan keduanya kadang tidak begitu jelas;
meski secara teoritis perbedaan keduanya cukup
jelas, yakni psikologi sebagai ilmu empiris dan
filsafat manusia bersifat spekulatif ataupun
metafisis. Namun harus diakui, dari semua ilmu
pengetahuan kemanusiaan, barangkali tidak ada
yang hubungannya lebih erat dengan filsafat
manusia selain psikologi, dalam mana psikologi
memberi manfaat praktis yang besar dan
berkontribusi untuk memberi pemahaman yang
lebih baik tentang manusia, sedangkan filsafat
bisa memberikan kata terakhir tentang manusia
di mana psikologi tak memilikinya.
Uraian Freud dalam arti yang paling teoritis
disebut metapsikologi yang memiliki unsur-
unsur yang sulit dipisahkan dari pandangan
filosofis. Kata “metapsikologi” digunakan
Freud untuk menamai dua hal yang amat
berbeda yakni analisis filosofis, di satu pihak;
dan opini-opini macam spekulatif, di pihak lain,
yang tidak ilmiah ataupun pengetahuan
filosofis, melainkan “teori” dugaan. (Adler,
1995, h. 105). Bahkan dapat dikatakan bahwa
refleksinya tentang manusia melampaui refleksi
filosofis. Metapsikologi diakui Freud sebagai
doktrin tingkat lanjut yang bukan merupakan
pengetahuan ilmiah yang ketat melainkan
filsafat psikologi.
Hakikat Manusia Menurut Freud
Sebelum kita berlanjut membicarakan
subjek dan subjektivitas dalam Freudianisme,
ada baiknya melihat sejenak pendekatan Freud
pada hakikat manusia dengan asumsi-asumsi
yang mendasarinya. Pertama adalah asumsi
materialisme yakni pengakuan terhadap
perbedaan kondisi kejiwaan dengan kondisi
fisiologis namun tak menyetujui dualisme dua
substansi (jiwa dan tubuh), sekalipun Freud tak
menyangkal bahwa postulatnya tentang semua
kondisi dan proses kejiwaan yang amat rumit
memiliki beberapa dasar fisiologis. Asumsi
Freud ini mendapat dukungan dari banyak filsuf
yang setuju bahwa berbicara mengenai kondisi
kesadaran (pemikiran, harapan, dan emosi)
tidak harus terikat dengan dualisme metafisis
dan tidak beralasan menolak teori bawah sadar
seperti yang dipostulasikan Freud. (Stevenson
& Haberman, 2001)
Kedua, asumsi determinisme yang ketat,
yakni bahwa setiap kejadian memiliki penyebab
bagi realitas kejiwaan. Tak ada tingkah laku,
pikiran, dan perkataan yang bersifat kebetulan.
Pendapat Freud ini tampaknya menolak
kebebasan berkehendak yang beranggapan
manusia bebas memilih secara sempurna
bahkan mungkin arbitrer. Isi kesadaran kita jauh
dari “kebebasan” yang sempurna dan “rasional”
secara unik karena dibatasi oleh penyebab-
penyebab yang normalnya tidak kita sadari.
144 HUTAPEA
Tampaknya ada persamaan atau kemiripan
paralel dengan Karl Marx. Hanya saja Marx
menyatakan bahwa penyebab itu adalah hakikat
sosial dan ekonomi manusia, sedangkan Freud
beranggapan itu bersifat individual dan berakar
pada dorongan-dorongan biologis.
Ketiga, asumsi tentang kondisi kejiwaan
bawah sadar. Kondisi ini muncul dari asumsi
kedua. Namun perlu sedikit lebih berhati-hati
agar tidak mencampuradukkan kondisi bawah
sadar dengan “pra-sadar”, yakni sesuatu yang
siap menjadi sadar karena dapat dipanggil
kembali ke kesadaran jika dibutuhkan. Istilah
“bawah sadar” digunakan untuk menunjukkan
keadaan yang tidak dapat menjadi sadar dalam
keadaan normal melainkan dengan cara-cara
khusus, seperti tafsir mimpi, hipnotis, dan
asosiasi bebas. Pembedaan antara sadar,
prasadar, dan bawah sadar ini lebih dikenal
sebagai topografi kesadaran. Analogi Freud
yang dekat dengan hal ini adalah fenomena
gunung es (iceberg phenomenon), dalam mana
kesadaran digambarkan sebagai puncak gunung
es yang mengambang di atas air, sedangkan
sebagian besarnya tersembunyi di bawah
permukaan air. Mirip seperti itulah
ketidaksadaran. Selain dimensi deskriptif dari
bawah sadar, Freud juga melibatkan dinamika
dalam hakikat manusia yang melibatkan bawah
sadar di mana eksistensi ide-ide yang diisi
secara emosional dalam alam pikiran bahwa
dasar yang secara misterius berpengaruh
terhadap apa yang dipikirkan, dirasakan dan
dilakukan seseorang. Hasrat-hasrat atau
ingatan-ingatan bawah sadar dapat
menyebabkan seseorang melakukan sesuatu
yang tidak bisa dijelaskan secara rasional
kepada orang lain, bahkan kepada diri sendiri.
Beberapa keadaan bawah sadar mungkin
sebelumnya disadari. Misalnya, pengalaman-
pengalaman emosional yang traumatis, namun
telah ditekan (repressed) karena terlalu
menyakitkan untuk dihadapi. Namun, menurut
Freud, dorongan-dorongan tertinggi kehidupan
kejiwaan sudah ada sejak lahir dan beroperasi
secara tak sadar sejak masa bayi
Freud juga mengajukan teori tiga struktur
jiwa yang tidak sama dengan topografi
kesadaran, yang membedakan tiga aspek atau
komponen atau aparatus jiwa yakni (1) id yang
berisikan semua dorongan instinktif yang
mencari pemuasan langsung dan berjalan
dengan prinsip kesenangan; (2) ego berisikan
kondisi kejiwaan yang sadar yang berfungsi
menguji realitas dan memutuskan bagaimana
bertindak serta menjembatani dunia luar dan id;
(3) super ego yang diidentifikasikan sebagai
bagian khusus jiwa yang berisikan kesadaran
hati nurani dan norma-norma sosial hasil
internalisasi semasa kanak-kanak. Ketiga
aparatus jiwa ini senantiasa berhadapan
menjadikan manusia berada dalam kondisi yang
selamanya dikepung oleh masalah-masalah
eksternal dan konflik-konflik internal. Bila
diperhatikan lebih seksama, tampak teori
struktur ini agaknya paralel dengan hakikat
manusia menurut Plato. Id agak mirip dengan
Hasrat/keinginan, ego dan super ego sedikit ada
kemiripan dengan Rasio dan Roh.
Perbedaannya barangkali pada muatan fungsi
moral yang diberikan Plato pada Rasio.
Keempat, asumsi dasar tentang naluri atau
dorongan-dorongan, yang menjadi penggerak
dasar kekuatan-kekuatan aparatus jiwa dan
semua energi psikis. Pandangannya tentang
naluri ini dianggap yang paling spekulatif dan
tidak pasti.
Konsep Ketidaksadaran Freud Lebih Jauh
MENGGESER KESADARAN 145
Jasa Freud yang amat besar dalam
mengubah kebiasaan yang berlaku selama abad-
abad sebelumnya adalah pemikirannya yang
menguraikan secara sistematis perihal peranan
ketidaksadaran atau alam tak sadar dalam
kehidupan psikis manusia. Manusia tidak hanya
terdiri dari kesadaran, bahkan yang sadar itu
hanya sebagian kecil dibandingkan dengan
ketidaksadaran (fenomena gunung es sebagai
model topografi kesadaran)
Secara umum, ketidaksadaran menunjuk
pada suatu fenomena yang tak mudah dikuasai,
sulit dimengerti, tersembunyi di dalam diri
manusia. Demikian pula menurut Freud, yang
menganggap ketidaksadaran mengungkapkan
sesuatu yang lebih dalam, lebih kompleks,
penuh teka-teki dan arti, sehingga untuk
memahaminya orang harus menggunakan
metode atau teknik tertentu antara lain
analisis/tafsir mimpi, hipnosis, dan asosiasi
bebas.
Konsep Freud mengenai ketidaksadaran erat
kaitannya dengan represi. Tanpa teori tentang
represi, tak mungkin kesadaran dapat dipahami.
Represi dipahami sebagai proses tak sadar di
mana suatu pikiran atau keinginan yang
mengganggu tidak diizinkan untuk mencapai
yang sadar, dan dipindahkan ke ketidaksadaran.
Ketidaksadaran merupakan ketidaksadaran yang
dinamis.
Istilah "Subjek" dan Freudianisme
Sebelum kita kembali ke melanjutkan
pembahasan ini, sejenak kita singgung tentang
istilah subjek dalam psikoanalisa. Istilah ini
hampir tidak muncul dalam Freud, yang lebih
memilih membicarakan “ego” “id” “superego”
atau bahkan “kesadaran” dan “ketidaksadaran.”
Maka ada baiknya kita mulai menyadari
sebelumnya bahwa “subjek” muncul, bukan
dari Freud sendiri, tapi dari interpretasi tertentu
atas karyanya yakni dari Lacan dengan
“kembali ke Freud”-nya mulai di awal tahun
1950-an, di mana terdapat penggunaan kata
subjek yang kebablasan oleh psikoanalis
Perancis.(Borch-Jacobsen, 1991).
Kata subjek diambil dari filsafat dan
mungkin bisa dianggap sebagai istilah kunci
metafisika Barat. Konsep subjek modern ini
dengan sukses diimpor Lacan ke psikoanalisis
dari Rasionalisme Cartesian dalam bentuk
Cogito Cartesian, ultimum subjectum, bahwa
ego menjadi suatu “subjek” dalam pengertian
kata yang modern secara tepat.(Borch-Jacobsen,
1991). Penggunaan kata “subjek” dalam
konteks tertentu, sejarahnya, asal muasal, dan
genealogi yang dari Descartes ini membuat
pemahaman bahwa sebenarnya istilah subjek
menjadi tidak tepat diterapkan pada individu
dalam Freud mengingat subjek yang
dimaksudkan Descartes adalah “aku” yang
mutlak dan otonom yakni auto-foundation atau
auto-positioning yang menghadirkan dirinya
sendiri terhadap dirinya sendiri sebagai
kesadaran, dalam representasi atau dalam
kehendak. Sedangkan subjek dalam Freud
subjek dipahami dalam pengertian determinasi
pada pengada egois atau subjektivis. Subjek
Freud dianggap justru direduksi pada hasrat-
hasrat, dorongan-dorongan dan keinginan-
keinginan. Dalam hal ini, Freud sebenarnya
amat berbeda dengan Jacques Lacan yang
membedakan secara tegas antara ego dengan
subjek. Diri dalam bentuk ego berbeda dengan
diri dalam bentuk subjek. Posisi ego dalam
pemahaman Lacan berseberangan dengan ego
dalam psikoanalisa Freud. (Lihat Yudiarso,
2003).
Konsep subjek dalam Freud juga berbeda
146 HUTAPEA
dengan konsep subjek dari penerusnya di
kemudian hari termasuk pewarisnya seperti Erik
H. Erikson, Goerge Klein, Melanie Klein,
Ronald Fairbank yang beranggapan bahwa ego
itu otonom, kuat dan kreatif. Tak seperti
penggambaran Freud bahwa ego sangat
tergantung pada Id karena diturunkan (derived)
dari Id karena Freud mengakarkan (rooting) ego
dari id. Subjek Freud tampaknya menjadi
terpecah atau terbelah karena terdiri dari
beberapa aspek atau komponen berbeda dalam
sistem kepribadian. Ego hanyalah salah satu
dengan fungsi tertentu.
Subjektivitas Descartes dan
Dualisme Substansi Manusia
Penyelidikan Descartes terhadap obyek-
obyek pengetahuan tanpa mengandaikan
apapun agar sampai pada pengetahuan yang
benar dan bertanggung jawab dilakukannya
dengan segenap akal budinya. Jalan yang
ditempuhnya adalah meragu-ragukan segala
sesuatu, yang dikenal sebagai metode atau cara
kerja “penyangsian metodis”. Meragukan segala
sesuatu dalam hal ini dengan optimisme akan
menemukan kebenaran, yang berbeda dengan
skeptisisme yang menolak adanya yang disebut
kebenaran. Pernyataan Descartes “Cogito ergo
sum” yang artinya “saya berpikir maka saya
ada” adalah hasil penyangsiannya yang
pertama. Tetapi kata “cogito” sebenarnya lebih
tepat dipahami sebagai ”saya menyadari”. Oleh
karenanya, pernyataan “Cogito ergo sum”
harusnya dimengerti sebagai “saya menyadari
maka saya ada”. Kata “menyadari” sangat
penting di sini karena selanjutnya Descartes tiba
pada kesimpulan bahwa “ aku” sebagai “yang
sadar” dan bahwa “yang sadar” atau kesadaran
itu adalah “aku” yang secara langsung
mengenal diri sendiri. Ini yang disebut
imanentisme Descartes, yaitu bahwa “aku”
secara langsung mengenal diriku sendiri.
Alasan Descartes untuk ini sangat jelas yakni
bahwa apa yang ada di luar dirinya masih
berada dalam taraf penyangsian, maka tidak ada
kebenaran yang pasti bagi Descartes selain
dirinya sendiri yang sedang meragu-ragukan itu
memang ada.
Dengan pernyataan yang amat terkenal itu,
Descartes dipandang berjasa menemukan “aku”.
Pengalaman filsuf sebagai “aku” menjadi pusat
dan dasar bagi setiap refleksi filosofis. Dapat
dikatakan bahwa Descartes mendasarkan
filsafat atas subjektivitas. Atau dengan kata lain
yang kurang lebih sama tepatnya, Descartes
mendasarkan filsafat pada kesadaran atau
mungkin lebih tepat lagi kesadaran diri (self-
consciousness). Suatu refleksi filosofis tentang
manusia harus berpangkal pada subjektivitas
atau pengalaman saya sebagai “aku”. Subjek
yang dimaksudkan Descartes adalah “subjek
sadar” dan kesadaran termasuk subjektivitas
sendiri. Dapat disimpulkan bahwa kesadaran
adalah dimensi hakiki dari subjektivitas.
Penyangsian Descartes bersifat radikal dan
terus menerus, maka tak berhenti pada “cogito
ergo sum”. Descartes juga sampai pada
pandangan tentang manusia yang dualistis.
Manusia sebagai “res cogitans” (manusia yang
pada hakekatnya berpikir) atau jiwa merupakan
kenyataan pertama yang tak tergoyahkan, dan
kenyataan kedua adalah manusia sebagai “res
extensa” (substansi yang memiliki keluasan)
atau badan. Adanya dua kenyataan dalam diri
manusia ini membuat filsafat Descartes disebut
“dualisme Descartes” yang berarti pandangan
bahwa dalam diri manusia tak ada kesatuan
antara jiwa dan badan, tidak ada saling
MENGGESER KESADARAN 147
pengaruh-mempengaruhi.
Gugatan Terhadap Filsafat Subjektivitas
dan "Decentering" Kesadaran
Karena Freud bukan filsuf profesional atau
filsuf akademis serta tidak berniat
merefleksikan manusia secara filosofis maka
hampir tidak mungkin Freud melakukan
konfrontasi terhadap sistem filosofi tertentu
khususnya yang berlawanan dengan teori yang
dikonstruksi dan dikembangkannya. Barangkali
dapat disebut Freud melakukan kritik implisit
secara khusus terhadap kesadaran Cartesian,
seolah-olah hanya kesadaran lah yang penting.
Subjektivitas manusia sebagai “aku yang
berpikir” atau “aku yang menyadari” yang
menjadi titik tolak refleksi filosofis sejak
Descartes, tampak tergantikan oleh pandangan
Freud. Kesadaran bukan lagi satu-satunya
komponen dalam diri manusia. Temuan-temuan
psikoanalisa secara tak langsung mengajukan
keberatan-keberatan terhadap pandangan
Cartesian.
Asumsi-asumsi yang diajukan Freud dalam
membangun teori psikoanalisa sebagaimana
telah dijelaskan di atas membuat konvensi yang
diterima atas dasar pemikiran Descartes atau
filsafat subjektivitasnya menjadi tak dapat
diterima lagi. Ada beberapa alasan untuk ini
antara lain: Pertama, asumsi Freud tentang
materialisme dan perbedaan namun
berhubungan erat antara kondisi kejiwaan
dengan kondisi fisiologis (khususnya sistem
syaraf) mengandaikan bahwa tidak adanya
dualisme jiwa dan badan. Hal ini didukung oleh
asumsi Freud tentang prinsip deterministik
kondisi kejiwaan terhadap pikiran, tingkah laku
atau perkataan seseorang. Prinsip ini menolak
kebebasan kehendak termasuk otonomi dan
kemutlakan kesadaran karena penyebab-
penyebab yang ada dalam jiwa memiliki daya
pengaruh yang amat kuat menentukan
kesadaran. Kedua, teori topografi kesadaran
dan teori sistem kepribadian (id, ego, super ego)
semakin menegaskan adanya unsur lain yang
sungguh-sungguh ada di dalam kehidupan
psikis manusia. Secara khusus dapat dikatakan
bahwa kehidupan psikis (jiwa) manusia tidak
bisa disamakan begitu saja dengan kesadaran.
Hal-hal yang ada dalam ketidaksadaran dapat
berada pada taraf kesadaran dalam menyatakan
diri dalam pengaruhnya terhadap tingkah laku
manusia. Ketiga, perbedaan pemikiran dan
pandangan tentang hakekat manusia. Menurut
Descartes, hakekat manusia adalah makluk
berpikir (maka berarti kesadaran) sedangkan
menurut Freud adalah keinginan-keinginan
yang lebih ditentukan ketidaksadaran daripada
kesadaran. Alam tak sadar menentukan tingkah
laku manusia. Keinginan-keinginan itu bersifat
libidinal yang bersumber pada seksualitas
kanak-kanak. Maka bila “cogito” Descartes itu
berakhir menjadi “cogito tertutup” karena tidak
membutuhkan apapun yang lain, sebaliknya
libido selalu mencari obyek pemuasan dan
mengarah kepada yang lain.
Secara lebih tajam dapat dikatakan bahwa
manusia tidak lagi tuan dan penguasa dalam
rumahnya sendiri karena kesadaran yang mutlak
dan otonom itu sebagai pusat manusia telah
“digusur”. Dapat dikatakan Freud dengan
psikoanalisanya telah melakukan penggeseran
(decentering) kesadaran dari pusat manusia
yang otonom dan mutlak dan menggantikannya
dengan ketidaksadaran.
Penutup
148 HUTAPEA
Uraian yang relatif singkat dan jauh dari
memadai ini telah berupaya menyampaikan
kritik Freud terhadap filsafat subjektivitas.
Freud secara tak langsung telah menolaknya.
Penemuan psikoanalisa dan perkembangan
teori-teorinya seakan menggugat tradisi
Cartesian. Namun uraian ini perlu dilanjutkan
mengingat minat filsafat terhadap psikoanalisa
tampaknya terus bertambah dan masih
berlangsung. Barangkali masih banyak masalah
yang dihadapi psikoanalisa terhadap filsafat
setelah Descartes. Bidang filsafat seperti
philosophy of mind atau psychological
philosophy bisa menjadi ranah di mana
hubungan psikoanalisa dan filsafat dikaji.
Bibliografi
Adler, M. J. (1995). Platonisme & positivisme
in psychology. New Jersey: Transaction
Publisher.
Borch-Jacobsen, M. (1991). The Freudian
subject, from politics to ethics. Dalam
Cadava, E., Connor, P., & Nancy, J (Ed.),
Who comes after the subject. New York:
Routledge, Chapman, and Hall, Inc.
Hall, C. S. (1980). Sigmund Freud: Suatu
pengantar ke dalam ilmu jiwa Sigmund
Freud (terjemahan). Jakarta: Pustaka
Sarjana PT. Pembangunan Jakarta.
Koeswara, E. (1986). Teori-teori kepribadian.
Bandung: Eresco
Stevenson, L., & Haberman, D. L. (2001).
Hakikat manusia (terjemahan). Yogyakarta:
Penerbit Yayasan Bentang Budaya.
Yudiarso, A. (2003). Kritik psikoanalisis
Jacques Lacan. Antitesis: Jurnal Psikologi
Alternatif, 1(1), 19-52.
Panduan Bagi Penulis Jurnal Psikobuana (Judul, 22 point Centered)
Nama penulis, lengkap, tanpa gelar, tanpa posisi Nama dan alamat lembaga (12 point centered)
Abstract is written in English and Indonesian, limited to 200 words, and written in single paragraph. Abstract should contain goal, research method, and short description of result. (11 point, use block format, no indentation).
Keywords: written inline, three to ten words (10 point).
Dokumen ini ditulis sebagai pedoman format
final artikel Jurnal PsikoBuana. Bagian pendahuluan ini tanpa menggunakan heading "Pendahuluan" atau "Latar Belakang".
Panduan Bagi Penulis
Revisi artikel hanya akan diterima dalam bentuk softcopy, dengan mengikuti format cetak (dokumen ini), selambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah surat pemberitahuan revisi.
Penyunting tidak berkewajiban mengembalikan artikel yang tidak dimuat. Kepastian pemuatan/penolakan /revisi dilakukan secara tertulis.
Manuskrip orisinal beserta tiga eksemplar salinannya dikirimkan dalam format soft copy (Microsoft Word atau OpenOffice Writer) melalui media cakram kompak ke alamat surat Sidang Penyunting, atau melalui surat elektronik dengan alamat [email protected]
Format, Sistematika, Tabel, dan Gambar
Artikel ditulis pada kertas A4, huruf Times New
Roman ukuran 12, spasi 1,25, rata kiri-kanan, tidak melebihi 15 halaman. Penulisan naskah pada
umumnya mengikuti kaidah-kaidah yang tertuang dalam Publication Manual of the American Psychological Association (APA) 6th ed. (2010). Heading tanpa penomoran dengan maksimal dua peringkat sub-heading:
Ini Heading
Ini Sub-Heading Peringkat 1 (Italicize, Flush Left, Capitalize Keywords)
Teks dalam paragraf ini diberi indentasi first
line dengan spasi atas ganda. Apabila sub-heading peringkat satunya adalah "Prosedur Pengumpulan dan Analisis Data", maka teks dalam paragraf ini menerangkan hal tersebut.
Badan utama artikel hasil penelitian berisi: (a) pendahuluan (memuat latar belakang & pernyataan masalah, tinjauan pustaka, kerangka berpikir, tujuan dan manfaat penelitian, hipotesis yang hendak diuji), (b) metode (memuat rancangan penelitian, gambaran partisipan, serta prosedur pengumpulan dan analisis data), (c) hasil (memuat hasil uji hipotesis, yang dapat menyertakan tabel, grafik, dan sebagainya), (d) pembahasan (memuat interpretasi dan evaluasi terhadap hasil penelitian, serta ulasan problem-problem terkait yang dipandang dapat memengaruhi hasil penelitian), dan (e) kesimpulan,
Psikobuana ISSN 2085-4242 2011, Vol. 3, No. 2, 149–150
PANDUAN BAGI PENULIS implikasi, dan rekomendasi. Artikel hasil pemikiran meliputi: (a) pendahuluan (latar belakang, tujuan, ruang lingkup), (b) bahasan utama (terbagi dalam beberapa bagian), dan (c) penutup atau kesimpulan dan rekomendasi.
Tabel dan gambar harus diberi caption (judul/keterangan) menggunakan huruf besar di awal kata (Title Case untuk tabel dan Sentence case untuk gambar), serta dengan penomoran yang berurutan. Caption tabel diletakkan di atas, sedangkan gambar di bawah. Tabel dan gambar simetris di tengah (centered), dan dibuat ukurannya tidak terlalu kecil.
Usahakan penggunaan gambar dua warna (hitam-putih), dan hilangkan garis tepi gambar. Gambar disertakan dalam bentuk soft-copy dalam format JPEG. Sumber gambar disebutkan di bagian bawah gambar apabila bukan karya sendiri. Izin penggunaan atau bukti kepemilikan gambar harus disertakan apabila gambar tersebut dimiliki hak ciptanya oleh orang lain. Penulisan hasil olah statistik seperti contoh berikut: F(2, 116) = 2,80, p <0,05 untuk ANOVA; atau t(60) = 1,99, p < 0,05 untuk uji-t; χ2 (4, N = 90) = 10,51, p < 0,05 untuk kai kuadrat, dan sejenisnya.
Cara Mengacu dan Bibliografi
Penulisan acuan mengikuti format APA (2001). Contoh cara mengacu:
Kotter (1995, h. 152) mengingatkan, "Setiap fase dari tahapan itu hendaknya dilalui," namun ....
Subagyo ("Kesalehan Lingual," 2008) berargumen bahwa kekerasan verbal ....
Sejumlah penulis (Harter, 1990, 1993; Harter, Whitesell, & Waters, 1997; McIntosh, 1996a; McIntosh, 1996b) menyampaikan kesimpulan yang serupa mengenai ....
Bibliografi, terbatas pada sumber yang dirujuk, disusun urut berdasarkan abjad. Utamakan pustaka termuktahir (terbit sepuluh tahun terakhir), dan yang berasal dari sumber primer (laporan penelitian, artikel jurnal / majalah ilmiah). Contoh penulisan bibliografi:
Bibliografi
Alison, L., Bennell, C., Mokros, A., & Ormerod, D. (2002). The personality paradox in offender profiling: A theoretical review of the processes involved in deriving background characteristics from crime scene actions. Psychology, Public Policy, and Law, 8(1), 115-135.
Canter, C. (2003). Mapping murder: The secrets of geographical profiling. UK: Virgin Books.
Harter, S., Waters, P. L., & Whitesell, N. R. (1997, April). Level of voice among adolescent males and females. Paper yang disajikan pada The bi-annual meeting of the Society for Research in Child Development, Washington, D. C.
Johnson, E. (1995). The role of social support and gender orientation in adolescent female development. Disertasi, tidak diterbitkan, University of Denver, Denver, CO.
Murphy, H. B. M. (1976). Notes for a theory of latah. Dalam Lebra, W. P. (Ed.), Culture-bound syndromes, ethnopsychiatry, and alternative therapies. Honolulu: The University Press of Hawaii.
National Council Against Health Fraud. (2001). Pseudoscientific psychological therapies scrutinized. NCAHF news, 24(4). Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.ncahf.org/nl/2001/7-8.html
Petition for the recognition of police psychology as a proficiency in professional psychology. (2008). Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.apa.org/crsppp/APA%20Police %20Psychology%20Proficiency%20Petition-Final.pdf
Shaw, M. E., & Costanzo, P. R. (2002). Teori-teori psikologi sosial (Sarlito W. Sarwono, Penerj. & Peny.). Jakarta: RajaGrafindo Persada. (Karya asli diterbitkan tahun 1970)
Taylor, C., & Clara, S. (2005, April). A New Brain for Intel. Time Magazine, 9-10.