jurnal sains dan seni pomits vol. 1, no. 1, (2014) 1-4...
TRANSCRIPT
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 1, No. 1, (2014) 1-4
1
Abstrak— Revitalisasi Studio Musik Lokananta ini merupakan
proses penghidupan kembali sebuah bangunan studio musik
bersejarah terbesar di Indonesia yang berlokasi di Surakarta,
Jawa Tengah. Bangunan ini dibangun pada tahun 1956.
Dibawahi oleh pemerintah yang pada dahulunya sempat berjaya
sebagai studio terbesar, namun akibat adanya praktek
pembajakan aktifitas studio ini mulai lesu. Beberapa arsip mulai
dijual, dan kini bangunannya kian tak terurus. Lokananta
merupakan sebuah tempat yang luar biasa berdasarkan sumber
sejarah yang ada, tempat perekaman pertama di Indonesia ini
adalah saksi sejarah perjalanan musik di kita, sayangnya
Lokananta ini masih dipandang sebelah mata, bahkan saat ini
apabila menyebut soal Lokananta yang terbesit adalah tempat
futsal yang ada di depannya. Dalam revitalisasi ini penulis ingin
menghidupkan kembali Studio ini agar tidak ditinggalkan
masyarakat. Mengingat pentingnya sejarah bagi kita. Studio
Lokananta ini juga berperan dalam proses budaya musik kita dan
turut memberikan sumbangsih kepada musisi musisi terdahulu
hingga kini. Diharapkan nantinya masyarakat lebih mengenal
mendalam mengenai Studio Lokananta tidak hanya namanya saja
tetapi juga sejarah dan perkembangannya. Menggunakan
pendekatan tema koneksi, rancangan yang dihasilkan
memberikan peningkatan image bahwa Lokananta masih
memiliki potensi sebagai sebuah studio bersejarah. Ditambah,
dengan adanya fasilitas penunjang baru yang lebih bersifat
publik diharapkan mampu menarik kembali animo masyarakat
terhadap Lokananta
Kata kunci : Revitalisasi, Lokananta, Konservasi, Koneksi
PENDAHULUAN
Sejak berdirinya, Lokananta mempunyai dua tugas besar,
yaitu produksi dan duplikasi piringan hitam dan kemudian
cassette audio. Mulai tahun 1958, piringan hitam mulai dicoba
untuk dipasarkan kepada umum melalui RRI dan diberi label
Lokananta yang kurang lebih berarti “Gamelan di Kahyangan
yang berbunyi tanpa penabuh”.
Semenjak tahun 1983 Lokananta juga pernah mempunyai
unit produksi penggandaan film dalam format pita magnetik
(Betamax dan VHS). Melihat potensi penjualan piringan
hitampada saat itu, maka melalui PP Nomor 215 Tahun 1961
status Lokananta menjadi Perusahaan Negara. Lokananta kini
menjadi salah satu cabang dari Perum Percetakan Negara RI,
dengan kegiatannya antara lain :
Gambar 1. Bangunan Utama Pada Eksisting
Pendekatan Tema Koneksi Pada Rancangan
Revitalisasi Studio Musik Lokananta
Irfan Irwanuddin, Sri Nastiti Nugrahani Ekasiwi dan Arina Hayati
Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111
E-mail: [email protected]
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 1, No. 1, (2014) 1-4
2
1. Recording
2. Music Studio
3. Broadcasting
4. Percetakan dan Penerbitan
Lokananta merupakan sebuah tempat yang luar biasa
berdasarkan sumber sejarah yang ada, tempat perekaman
pertama di Indonesia ini adalah saksi sejarah perjalanan musik
di Indonesia, sayangnya Lokananta ini masih dipandang
sebelah mata, bahkan saat ini apabila menyebut soal
Lokananta yang terbesit adalah tempat futsal yang ada di
depannya. Untuk mendapatkan dana tambahan bagi
karyawannya, beberapa ruang di Lokananta disewakan untuk
publik. Saat ini terdapat kelas akademi yang menyewa sebuah
ruang di Lokananta, gedung pendopo yang disewa sebuah klub
olahraga, halaman depan yang disewa untuk sebuah resto dari
pihak luar, dan bekas gudang yang kini didirikan futsal
Lokananta. Maraknya praktik copy-paste banyak merugikan
pihak Lokananta, pasalnya pembajakan yang ada sama halnya
dengan tidak menghargai karya-karya musisi.
METODA PERANCANGAN
Terletak di area yang strategis dan berada di lokasi tengah
kota membuat bangunan ini memiliki potensi yang cukup
bagus. Disekitar lokasi dikelilingi oleh permukiman yang
cukup padat, serta pertokoan dan bangunan jasa lainnya. Sisi
barat dan Selatan berbatasan dngan pemukiman penduduk.
sedangkan sisi Timurnya berbatasan dengan sebuah komplek
SD, dan sisi utaranya berbatasan dengan jalan dan berhadapan
dengan sebuah hotel. Di dalam site sendiri telah terdapat
beberapa bangunan yang didirikan, namun sesuai dengan
fungsinya sebagai cagar budaya, tidak semua bangunan ini
memiliki nilai sejarah dan harus dilindungi sehingga ada
beberapa bangunan yang dipertahankan karena memiliki nilai
sejarah, dan ada bangunan yang dihancurkan karena fungsinya
yang sudah tidak potensial dan tidak terdapat nilai sejarah
yang bermakna didalamnya. Di dalam lahan itu sendiri
terdapat 5 massa bangunan yang terdiri dari bangunan utama,
bangunan recording, rumah dinas pngelola, rumah dinas
pejabat, serta mes pegawai kebersihan (Gambar. 2).
Berdasarkan RDTRK Surakarta, area Lokananta ini termasuk
dalam kecamatan Kerten, dan tergolong area cagar budaya
(Gambar. 3)
Proses revitalisasi yang dilakukan dengan cara mendata
beberapa massa bangunan yang ada pada eksisting dan menilai
bangunan - bangunan tersebut dengan dasar nilai historik, nilai
arsitektur, nilai sejarah, dan usianya. Lalu, dari data tersebut
didapatkan kesimpulan mengenai mana bangunan yang akan di
pertahankan dan mana yang tidak perlu dipertahankan sesuai
dengan kondisinya masing - masing.
Pemecahan masalah yang menjadi fokus perancang adalah
bagaimana meningkatkan kembali image Lokananta yang baru
tetap sebagai Lokananta yang dulu serta mengenalkan kembali
citra Lokananta sebagai studio rekaman legendaris kepada
masyarakat (Gambar. 4). Untuk itu penulis memilih
Gambar 2. Layout Plan Eksisting
Gambar 3. Peta RDTRK Surakarta
Gambar 4. Konsep Dasar Tema
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 1, No. 1, (2014) 1-4
3
pendekatan tema „koneksi‟ sebagai solusi dalam
perancangan ini karena bagaimana menghidupkan dan
mengangkat kembali citra Lokananta kembali ke masyarakat
merupakan hal terpenting dalam Revitalisasi, untuk itu
dibutuhkan connector yang mampu menyelesaikan problem
dalam rancangan ini.
Pendekatan tema koneksi ini tidak hanya diterapkan pada
skala mikro antar bangunannya saja, namun juga hubungan
bangunan Lokananta dengan sekitarnya. Hal ini dituangkan
dalam konsep inner connectivity dan outer connectivity.
I. HASIL DAN EKSPLORASI
A. Konsep Site dan Ruang Luar
Untuk menentukan batas rancangan yang akan
dikembangkan, diperlukan beberapa pertimbangan terkait
kondisi pada lahan eksisting. Maka dari itu, beberapa faktor
perlu dipertimbangkan.
Lahan keseluruhan memiliki luas 21.500 m2, sedangkan luas
total kebutuhan area Lokananta yang baru hanya membutuhkan
8.859 m2. Serta untuk menjaga image Lokananta tetap sebagai
studio rekaman dan tetap menonjolkan bangunan lamanya
maka rancangan yang baru harus mengedepankan posisi
bangunan lama sebagai fokus utama. Oleh sebab itu, proses
pemilihan fokus rancangan yang dilakukan hanya pada area
sesuai Gambar 5. Tahap selanjutnya adalah penerapan konsep
outer connectivity, dengan memberikan barrier softscape serta
akses diantara lahan dengan batas kanan kirinya dan
meletakkan bangunan baru dengan prinsip foreground dan
background serta sentuhan kontras dengan membedakan
orientasi agar mudah diketahui mana bangunan yang lama dan
mana bangunan yang baru.
Diantara ruang luar tersebut dilakukan persilangan jalur
pejalan kaki dengan dasar orientasi masing - masing bangunan
sehingga tercipta jalur pedestrian yang saling terkoneksi antar
massanya (gambar. 5). Ruang luar disini hadir sebagai
pengikat antar massa. Lalu dengan pendekatan sains
pencahayaan alami, maka didapat ruang luar yang memiliki
pembayangan paling banyak sebagai plaza dan amphiteater.
Plaza berfungsi sebagai pusat sirkulasi atau titik berkumpul
ketika pengunjung akan menuju salah satu bangunan dalam
kompleks Lokananta. Amphiteater berfungsi untuk tempat
berkumpul, berdiskusi, serta tempat untuk mengadakan acara -
acara kecil di Lokananta. Diantara bangunan galeri dan
bangunan utama ini juga terdapat ruang terbuka untuk aktifitas
publik yang mana jika terdapat aktifitas pada ruang tersebut,
bangunan utama ini mampu menjadi penunjang/background
bagi bangunan baru.
B. Konsep Gubahan Massa dan Eksterior
Jika dilihat dari fasadnya, selubung merupakan unsur terkuat
dalam bangunan utama, sementara unsur lainnya kurang
memiliki ciri khas visual. Maka dilakukan penggantian unsur
atap yang lebih modern agar terjadi kesatuan diantara
Gambar 5. Diagram Konsep Outer Connectivity
Gambar 6. Diagram Konsep Inner Connectivity
JURNAL SAINS DAN SENI POMITS Vol. 1, No. 1, (2014) 1-4
4
keduanya. Setelah itu, dibutuhkan sebuah unsur yang
mampu menghubungkan kedua massa secara fisik. Maka
ditambahkan bangunan penunjang berupa galeri dan museum
diantara gedung utama dan gedung rekaman tersebut sehingga
koneksi antara bangunan lama dan baru tersebut lebih terasa
(Gambar. 6).Selain itu bangunan galeri dan museum ini
berlaku sebagai sirkulasi utama bagi publik.
Jika dilihat dari jalan, konsep fasad bangunan galeri ini
memiliki kecondongan ke arah Barat. Hal ini karena jika
dilihat dari skala kota sirkulasi kendaraan yang paling ramai
adalah dari sisi Barat. Sehingga untuk menarik perhatian
pengunjungnya diperlukan sesuatu yang mampu menjadi focal
point pada tampilan fasad bangunan ini di sisi tersebut.
C. Konsep Sirkulasi
Pada bangunan Lokananta terdapat pembagian zona
sirkulasi dilihat dari jenis pengunjungnya. Pertama, sirkulasi
untuk pengelola ditempatkan pada bangunan utama saja, dan
akses masuk dipusatkan pada bangunan utama. Kedua,
sirkulasi publik dipusatkan di bangunan galeri dan museum.
Disinilah fungsi galeri memegang peran penting sebagai pusat.
sirkulasi, mengingat penggunaan galeri ini yang bersifat
temporer, sehingga jika terjadi persilangan sirkulasi, aktifitas -
aktifitas yang berada disekitarnya tidak terganggu (Gambar.
7).
KESIMPULAN
Objek revitalisasi adalah studio musik yang memiliki fungsi
sebagai tempat rekaman. Proses konservasi yang dilakukan
adalah dengan mempertahankan beberapa bangunan yang vital
dan menambahkan fungsi - fungsi penunjang baru.
Menggunakan Tema Koneksi sebagai solusi atas problem yang
ada. Tema ini diterapkan pada konsep site, ruang luar, gubahan
massa. Baik menggunakan pertimbangan skala makro maupun
skala mikro.
DAFTAR PUSTAKA
[1] White, Edward T. Buku Sumber Konsep, Terjemahan dari : Concept
Source Book, Intermatra, Bandung.
[2] Neufert, Ernst, 1984, Architect‟s Data, Collins, London.
[3] Duerk, Donna P. 1993. Architectural Programming : Information
Management for Design. New York
[4] Charles Jenks, The Language of Post Modern Architecture, 1991
[5] Geoffrey Broadbent, Design in Architecture, 1995
[6] Leone Batista Alberti dalam buku Poetics of Architecture Theory of
Design, Anthony C. Antoniades, 1990
Gambar 7. Site Plan Komposisi Massa dan Ruang Luar yang
Tercipta
Gambar 8. Layout Plan Sirkulasi