jurnal spa
DESCRIPTION
THTTRANSCRIPT
Manajemen Epistaksis Posterior Refrakter dengan Kauterisasi Arteri
Sfenopalatina (SPA)
Pendahuluan : Epistaksis merupakan keadaan darurat yang sering ditemukan di rumah sakit.
Pilihan penanganan konvensional seperti kauterisasi kimia, tampon nasal anterior (ANP), dan
tampon nasal posterior (PNP). Ligasi arteri etmoidalis anterior dan arteri carotis ekterna tidak
termasuk karena tingkat morbiditas, tingginya tingkat kegagalan dan komplikasi.
Tujuan : Untuk menilai keefektifan kauterisasi SPA pada pendarahan hidung posterior
Bahan & Metode : Pengalaman endoskopi kauterisasi arteri sphenopalatina dalam anastesi
umum pada 7 pasien. Semua pasien telah dilakukan tampon nasal anterior, menggunakan
invotec (baloon catheter) untuk pendarahan hidung posterior dan beberapa pasien telah
dilakukan tampon nasal posterior namun gagal dalam mengontrol pendarahan.
Hasil : Epistaksis berhasil dikontrol pada ketujuh pasien setelah kauterisasi arteri
sphenopalatina
Diskusi : Tehnik kauterisasi arteri sphenopalatina digambarkan. Tehniknya sederhana, efektif
tanpa banyak morbiditas dan komplikasi, dan diterapkan pada pasien yang pendarahannya
gagal dikontrol dengan ANP dan PNP. Tehnik ini sebaiknya diterapkan pada pasien dengan
pendarahan hidung posterior sebelum tampon nasal posterior.
Kesimpulan : meskipun ini hasil awal, endoskopi kauterisasi arteri sphenopalatina tampaknya
aman, sederhana dan prosedur yang efektif untuk penanganan epistaksis posterior refrakter.
Keyword : Epistaxis, Sphenopalatine artery, endoscopic surgery
Pendahuluan
Epistaksis yang tak terkontrol masih merupakan tantangan bagi ahli bedah THT.
Terkadang hal ini dapat mengancam jiwa akibat aspirasi, hipotensi, anemia, dan komorbiditas
lainnya. Kebanyakan kasus epistaksis ditatalaksana secara konservatif dengan kauter kimia
atau tampon. Ketika prosedur tersebut gagal, ligasi arteri dipertimbangkan. Sebelumnya,
ligasi arteri maxillaris interna dengan pendekatan transantral umum digunakan. Namun,
teknik ini banyak komplikasi, seperti edema wajah, baal, fistula oroantral dan juga risiko
kegagalan 10-15%. Kauterisasi arteri sfenopalatina endoskopik saat ini telah dikenal dan
mulai sering digunakan untuk mengontrol epistaksis yang tak terkontrol. Namun menemukan
foramen sfenopalatina pada pasien yang sedang epistaksis sangat sulit, membutuhkan
pengetahuan anatomi yang baik. Untuk menurunkan tekanan arteri secara efektif, ligasi
sebaiknya dilakukan sedekat mungkin dengan tempat pendarahan yang memungkinkan.
Untuk tujuan ini, ligasi arteri sfenopalatina endoskopi pada bagian distal persambungan
anastomosis dan retrograd adalah lokasi yang efektif dan logis untuk terapi.
Bahan dan metode
Peneliti telah melakukan kauterisasi arteri Sfenopalatina endoskopik pada 7 pasien
dengan epistaksis yang tak terkontrol. Semua pasien telah ditatalaksana awal dengan tampon
nasal anterior dengan BIPP (Bismuth Iodine Parafin Paste), dan ketika gagal dilakukan
kateterisasi balon invotec atau tampon nasal posterior. Pasien yang masih mengalami
perdarahan setelahnya merupakan subjek untuk dilakukan kauterisasi arteri Sfenopalatina
endoskopik dalam anestesi umum. Empat diantaranya merupakan pasien dengan hipertensi.
Tidak ada pasien yang diidentifikasi memiliki kelainan koagulasi darah (Table 1).
Umur / Jenis
KelaminPresentasi Sisi Penyakit penyerta
36 / Laki-laki Epistaksis rekuren yg
butuh 2x ANP dan
invotec
Kanan -
58 / Laki-laki Epistaksis rekuren yg
butuh ANP & PNP
Kanan Hipertensi
58 / laki-laki Epistaksis rekuren yg
butuh ANP & PNP
Kanan Hipertensi dan
stenosis vestibular
22 / Laki-laki Epistaksis rekuren yg
butuh ANP invotec
Kiri -
48 / Perempuan Epistaksis rekuren yg
butuh ANP invotec
Kanan Hipertensi dengan
anemia
48 / Laki-laki Epistaksis rekuren dg
ANP yg diulang
Kiri Hipertensi
49 / Perempuan Epistaksis rekuren dg
ANP & PNP
Kiri -
Prosedur
Prosedur dilakukan dalam anestesi umum. Pertama, 1 ml xylocaine 2% dalam
adrenaline 1:200.000 disuntikkan melalui suntikan insulin ke dalam foramen palatina mayor.
Hal ini bertujuan untuk mencapai cabang terminal dari arteri maksilaris interna di fosa
pterygopalatina dan menyebabkan vasokonstriksi. Larutan saline 3 ml juga disuntikkan ke
area tersebut sebagai tampon menekan pembuluh darah. Foramen palatine terbesar terletak
antara 1cm gigi molar ke 2 dan 3 medial ke area ini. Xilocaine 2% dengan adrenaline juga
disuntikkan ke dinding lateral kavum nasi. Chonca media diketengahkan dengan hati-hati dan
insisi mukosa 1,5 cm dibuat posteroinferior dari bulla ethmoidalis dengan pisau otologi.
Lipatan mucoperiosteal diangkat dalam fontanella posterior pada maxilla media dan os
palatum. Lipatan tersebut diangkat lebih jauh posterosuperior hingga foramen sfenopalatina
tampak. Kita mencari tonjolan tulang krista ethmoidalis pada foramen sfenopalatina. Arteri
Sfenopalatina melintas di medial dan dalam lipatan mukosa. Arteri pada percabangan utama
atau setelah percabangan dikauterisasi dengan pisau bipolar khusus. Setelah itu lipatan
dikembalikan dan dimasukkan tampon unilateral BIPP dan dipertahankan selama 24 jam.
Hasil
Prosedur ini memakan waktu sekitar 45 menit. Tidak ada pasien yang mengalami
komplikasi akibat tindakan ini. Semua pasien epistaksis berhasil dikontrol perdarahannya.
Satu pasien yang vestibulumnya menyempit akibat penggunaan tampon nasal posterior
berulang mengalami perdarahan hidung ringan 3 bulan setelah operasi, yang dapat dikontrol
dengan tampon nasal anterior. Pada endoskopi nasal, terdapat krusta didalam hidung disertai
vestibulitis, maka dioleskan neosporin salep. Ketujuh pasien dipulangkan pada hari ke-3 post
operasi, dan diberikan ciprofloxacin oral 500 mg selama seminggu, disemprotkan normal
saline ke dalam hidung, dan dioleskan salep neosporin untuk mencegah pembentukan krusta
dan perdarahan kembali.
Diskusi
Manajemen epistaksis dapat menjadi sulit terutama pendarahan di posterior. Pilihan
terapi untuk epistaksis mencakup kauterisasi, tampon nasal anterior, tampon nasal posterior,
septoplasty dengan pengangkatan flap bilateral, ligasi a. Maxillaris interna, dan ligasi a.
Ethmoidalis anterior atau a. Carotis externa. Semuanya memiliki risiko kegagalan sebesar 26-
52%. Tampon nasal posterior mengakibatkan rasa tidak nyaman, trauma mukosa dan
kesakitan akibat hipoksia. Ligasi a. Carotis externa memiliki angka kegagalan yang tinggi
akibat anastomosis distal dari lokasi ligasi. Manajemen terkini epistaksis meliputi angiografi
dan embolisasi pembuluh darah yang pecah dan kauterisasi a. Sfenopalatina. Angiografi dan
embolisasi a. Maxillaris memerlukan ahli radiologi intervensi, lebih besar kemungkinan
mengakibatkan komplikasi neurologi yang serius. Pendekatan operasi mikroskopik pada
foramen sfenopalatina pertama kali digambarkan oleh Pradesh. Setelah kemajuan pada teknik
endoskopi nasal, ligasi endoskopi a. Sfenopalatina untuk penanganan epistaksis posterior
diujicobakan, dan menjadi populer untuk epistaksis refrakter. Banyak studi juga melaporkan
keberhasilan hingga 90% tanpa komplikasi yang signifikan. Tujuh pasien pada penelitian ini
dapat dikontrol epistaksisnya dengan prosedur ini tanpa komplikasi. Disamping itu juga
menghindari kesakitan akibat penggunaan tampon nasal posterior yang berkepanjangan dan
pendekatan operasi eksternal lainnya.
Kesimpulan
Meskipun hasilnya masih permulaan, kauterisasi a. Sfenopalatina endoskopik
tampaknya aman, mudah dan efektif sebagai manajemen epistaksis posterior refrakter.
Karena tingkat kesakitan yang minimal dan keefektifan yang tinggi, kita merencanakan untuk
memperbanyak prosedur ini pada pasien yang mana dengan tampon nasal anterior tidak dapat
mengontrol pendarahan. Tampon nasal posterior sangat menyakitkan untuk pasien, juga dapat
menyebabkan hipoksia dan ada kecenderungan laserasi yang berkelanjutan pada mukosa
nasal setelah pemakaian tampon yang dapat mempersulit pengangkatan lipatan
mucoperiosteal untuk kauterisasi a. Sfenopalatina.