jurnal tb paru
DESCRIPTION
jurnal penelitian tentang tuberkulosis paruTRANSCRIPT
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 1
Jurnal Penelitian
FAKTOR RISIKO KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS BARA-BARAYA KECAMATAN MAKASSAR
KOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN
TAHUN 2014
Risk Factors Of Pulmonary Tuberculosis In The Working Area Of Bara-Baraya Health
Center, Sub-District Of Makassar, Makassar City, South Sulawesi Province In 2014
Andi Marjuni (141 2010 0281)
DR. drg. A. Zulkifli Abdullah, M.Kes (Pembimbing I)
Muh. Ikhtiar, SKM.,M.Kes (Pembimbing II)
Alamat Koresponden
Jl. Pelabuhan Bajoe No.17
Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kabupaten Bone
Provinsi Sulawesi Selatan
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2014
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 2
Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja
Puskesmas Bara-Baraya Kecamatan Makassar
Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan
Tahun 2014
PENULIS
Andi Marjuni*
DR. drg. A. Zulkifli Abdullah, M.Kes**
Muh. Ikhtiar, SKM., M.Kes**
NAMA INSTANSI
*) Mahasiswa Epidemiologi FKM UMI
**) Tim Pembimbing FKM UMI
Andi Marjuni (141 2010 0281)
DR. drg. A. Zulkifli Abdullah, M.Kes (Pembimbing I)
Muh. Ikht iar ,SKM.,M.Kes (Pembimbing II)
Alamat Koresponden
Jl. Pelabuhan Bajoe No.17
Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kabupaten Bone
Provinsi Sulawesi Selatan
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 3
Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja
Puskesmas Bara-Baraya Kecamatan Makassar
Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan
Tahun 2014
Risk Factors Of Pulmonary Tuberculosis In The Working Area Of Bara-Baraya Health Center, Sub-District Of Makassar, Makassar City, South Sulawesi Province In 2014
Andi Marjuni*, Andi Zulkifli**, Muh. Ikhtiar**
Epidemiology Department of Public Health Faculty of Indonesian Moslem
University
ABSTRACT
Background : Pulmonary tuberculosis is the number one cause of disease in the group of infectious diseases or infectious diseases. the level of the highest prevalence of cases of pulmonary tuberculosis in a health center is the city of Makassar in 2012 in the coal-baraya health centers, the incidence rate is 64 cases, while the prevalence rates were 68 cases, or 183 per 100,000 population. in 2013, the incidence rate of as many as 71 cases of pulmonary tuberculosis. when compared to the last five years of data, namely in 2009 and 2013, the incidence rate of lung tuberculosis is increasing. This study aims to analyze the risk factors of pulmonary tuberculosis in the working area of Bara-Baraya Health Center, Sub-District Of Makassar, Makassar City, South Sulawesi Province In 2014.
Methods : This study is an observational analytic study using a case-control study design, in which the independent variable is suspected as a factor affecting the dependent variable. independent variable in this study is the knowledge, personal hygiene, nutritional status, occupation, and residential density, while the dependent variable was the incidence of pulmonary tuberculosis. cases were pulmonary tuberculosis patients, the control is not pulmonary tuberculosis patients or neighbors of patients with pulmonary tuberculosis. sample size is determined by the formula Lemeshow, namely 71 cases and 71 controls. sampling is purposive sampling is sampling based on certain considerations. Data analysis was univariate analysis (frequency distribution), bivariate analysis (odds ratios) and multivariate analysis (multiple logistic regression).
Result : Results of the bivariate analysis showed, the knowledge (OR=5.057, 95% CI: 2.328-10.985), personal hygiene (OR=2.515, 95% CI: 1.277-4.951), nutritional status (OR=2.902, 95% CI: 1.453-5.795), type of work (OR=2.403, 95% CI: 1.216-4.751), and residential density (OR=4.024, 95% CI: 1.973-8.205). Multivariate analysis showed that risk factors influence the incidence of pulmonary tuberculosis is the density residential (OR=4.683, 95% CI: 2.036-10.770), and the obtained logistic regression model, namely logit = -2.170 + pulmonary tuberculosis 1.544 (density residential) + 1.422 (knowledge) + 1.348 (nutritional status) + 0.704 (type of work). The forecast probability (risk) of a person or an individual who lived in crowded homes occupants or 10m² > 1 person, with knowledge score of < 50 %, nutritional status with BMI < 18.5, and the type of work, such as drivers, carpenters / laborers, carpenters tricycles, retired, scavengers, klining service, newspaper sellers, etc. have a probability for pulmonary tuberculosis disease by 94 % .
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 4
Conclusion : The knowledge of risk factors on the incidence of pulmonary tuberculosis, personal hygiene is a risk factor on the incidence of pulmonary tuberculosis, nutritional status is a risk factor for pulmonary tuberculosis incidence, type of work is a risk factor on the incidence of pulmonary tuberculosis, and residential density is a risk factor for the incidence of tuberculosis lung because each independent variable has a value OR > 1.
Suggestion : Expected for local health officers to remain on efforts to increase public knowledge about the prevention of disease transmission potential of pulmonary tuberculosis, for patients and visitors Baraya-Baraya other Health Centers in order to carry out good hygiene measures, such as closing the mouth when coughing and sneezing, and do not spit in any place, so as to isolate the transmission of pulmonary tuberculosis, the local community with a low nutritional status nutritional status need to make improvements, such as eating foods that contain carbohydrates, proteins, vitamins, and minerals sufficient protection efforts in anticipation of the work environment-related tuberculosis lung, such as using a mask, and hands sanitizers, and as residents or homeowners who are going to renovate the house, so that environmental sanitation aspects need to be considered, especially those in crowded housing conditions of residents.
Keywords : Pulmonary Tuberculosis, An Infectious Disease
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 5
Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja
Puskesmas Bara-Baraya Kecamatan Makassar
Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan
Tahun 2014
Andi Marjuni*, Andi Zulkifli**, Muh. Ikhtiar**
Peminatan Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Muslim Indonesia
RINGKASAN
Latar Belakang : Tuberkulosis paru merupakan penyebab penyakit nomor satu pada kelompok penyakit menular atau penyakit infeksi. Tingkat prevalensi kasus Tuberkulosis Paru tertinggi se Puskesmas di Kota Makassar tahun 2012 adalah di Puskesmas Bara-Baraya, dengan tingkat insidensi sebanyak 64 kasus, sedangkan tingkat prevalensi sebanyak 68 kasus atau 183 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2013, tingkat insidensi Tuberkulosis Paru sebanyak 71 kasus. jika dibandingkan data lima tahun terakhir yaitu tahun 2009 hingga 2013, tingkat insidensi penyakit Tuberkulosis Paru semakin meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko kejadian Tuberkulosis Paru di wilayah kerja Puskesmas Bara-Baraya, Kecamatan Makassar, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2014.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan menggunakan desain case-control study, dimana variabel independen diduga sebagai faktor yang mempengaruhi variabel dependen. Variabel independen dalam penelitian ini adalah pengetahuan, higiene perorangan, status gizi, jenis pekerjaan, dan kepadatan hunian, sedangkan variabel dependen adalah kejadian Tuberkulosis Paru. Kasus adalah penderita Tuberkulosis Paru, Kontrol adalah bukan penderita Tuberkulosis Paru atau tetangga dari penderita Tuberkulosis Paru. Besar sampel ditentukan berdasarkan rumus lemeshow, yaitu 71 kasus dan 71 kontrol. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu. Analisis data yang digunakan adalah analisis univariat (distribusi frekuensi), analisis bivariat (odds ratio) dan analisis multivariat (multiple logistic regression).
Hasil : Hasil analisis bivariat menunjukkan, pengetahuan (OR=5,057; 95%CI: 2,328-10,985), higiene perorangan (OR=2,515; 95%CI: 1,277-4,951), status gizi (OR=2,902; 95%CI: 1,453-5,795), jenis pekerjaan (OR=2,403; 95%CI: 1,216-4,751), dan kepadatan hunian (OR=4,024; 95%CI: 1,973-8,205). Hasil analisis multivariat menunjukkan, faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian Tuberkulosis Paru yaitu kepadatan hunian (OR=4,683; 95%CI: 2,036-10,770), dan didapatkan model persamaan regresi logistik, yaitu Logit Tuberkulosis Paru = -2,170 + 1,544 (Kepadatan Hunian) + 1,422 (Pengetahuan) + 1,348 (Status Gizi) + 0,704 (Jenis Pekerjaan). Dengan ramalan probabilitas (risiko) seseorang atau individu yang tinggal di rumah yang padat penghuni atau 10m
2 > 1 orang, pengetahuan dengan
skor < 50%, status gizi dengan IMT < 18,5, dan jenis pekerjaan, seperti supir, tukang/buruh, tukang becak, pensiunan, pemulung, klining servis, penjual koran, dll mempunyai probabilitas untuk terkena penyakit Tuberkulosis Paru sebesar 94%.
Kesimpulan : Pengetahuan merupakan faktor risiko terhadap kejadian Tuberkulosis Paru, higiene perorangan merupakan faktor risiko terhadap kejadian Tuberkulosis Paru, status gizi
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 6
merupakan faktor risiko terhadap kejadian Tuberkulosis Paru, jenis pekerjaan merupakan faktor risiko terhadap kejadian Tuberkulosis Paru, dan kepadatan hunian merupakan faktor risiko terhadap kejadian Tuberkulosis Paru karena masing-masing variabel independen tersebut mempunyai nilai OR > 1.
Saran : Diharapkan bagi petugas Puskesmas setempat untuk tetap melakukan upaya peningkatan pengetahuan masyarakat tentang pencegahan potensi penularan penyakit Tuberkulosis Paru, bagi penderita dan pengunjung Puskesmas Baraya-Baraya lainnya agar melakukan tindakan higiene yang baik, misalnya menutup mulut pada waktu batuk dan bersin, serta tidak meludah di sembarang tempat, sehingga dapat mengisolir penularan penyakit Tuberkulosis Paru, masyarakat setempat dengan status gizi yang rendah perlunya melakukan perbaikan status gizi, seperti makan makanan yang mengandung karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral yang cukup, melakukan upaya proteksi di lingkungan kerja terkait antisipasi terhadap penyakit Tuberkulosis Paru, seperti menggunakan masker, dan hands sanitizer, dan sebagai penghuni rumah atau pemilik rumah yang sedang akan merenovasi rumah, agar aspek sanitasi lingkungan perlu diperhatikan, terkhusus pada kondisi rumah yang padat penghuni.
Kata Kunci : Tuberkulosis Paru, Penyakit Infeksi
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 7
PENDAHULUAN
Tuberkulosis Paru merupakan penyebab
kematian nomor tiga terbesar setelah
penyakit kardiovaskuler dan penyakit
saluran pernapasan atas (ISPA) pada semua
golongan umur. Tuberkulosis Paru juga
penyebab penyakit nomor satu pada
kelompok penyakit menular atau penyakit
infeksi23.
Sampai saat ini, belum ada negara yang
berhasil terbebas dari Mycobacterium
Tuberculosis. India, Cina dan Indonesia
berkontribusi > 50% dari seluruh kasus
Tuberkulosis yang terjadi di 22 negara.
Sekitar 583 ribu orang dan diperkirakan
sekitar 140 ribu orang meninggal dunia tiap
tahun akibat Tuberkulosis Paru22.
Di Indonesia penyakit ini adalah
pembunuh nomor satu di antara penyakit
menular dan merupakan penyebab kematian
nomor tiga setelah penyakit jantung dan
penyakit pernapasan akut pada seluruh
kalangan usia. Meskipun keberhasilan
strategi dalam mengontrol kasus
Tuberkulosis cukup tinggi, keberadaan
Tuberkulosis di berbagai belahan dunia
menunjukkan kebutuhan untuk
mengidentifikasi berbagai faktor yang
meningkatkan risiko terjadinya TB11.
Indonesia masih menempati urutan
kelima dari 22 negara dengan beban tinggi
Tuberkulosis Paru semenjak tahun 2010.
Pada tahun 2012, jumlah penderita
Tuberkulosis Paru 429.730 kasus dan jumlah
kasus baru dari 183.366 kasus. Jumlah kasus
pengobatan ulang sebanyak 6.589 kasus dan
(67%) adalah kasus kambuh8.
Berdasarkan Data Dinas Kesehatan
Provinsi Sulawesi Selatan (2012), untuk
tahun 2011, penderita penyakit menular ini
mencapai 8.939 kasus dengan peningkatan
jumlah penderita sebesar 55%. Angka ini
meningkat signifikan dibanding tahun
sebelumnya yang hanya 7.783 kasus.
Kabupaten Takalar menduduki peringkat
pertama dalam jumlah kasus dengan
pertumbuhan penderita Tuberkulosis Paru
di atas 109%, menyusul Pare-pare 79%,
Pinrang 75%, disusul Makassar 70%,
Kabupaten Luwu 33%, Jeneponto 36%.
Angka insidens Tuberkulosis Paru BTA
positif sebesar 9,162% per 100.000
penduduk yaitu 5.367 laki-laki dan 3.795
perempuan, prevalensi Tuberkulosis Paru
sebesar 107 per 100.000 penduduk yaitu 127
laki-laki dan 87 perempuan dan kematian
akibat Tuberkulosis Paru BTA positif
sebesar 322 (3,7%) per 100.000 penduduk,
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 8
angka penemuan penderita Tuberkulosis
Paru BTA positif Case Detection Rate
(CDR) sebesar 55,13% sedangkan angka
kesuksesan (Success Rate) sebesar 89,18%
bila dibandingkan pada tahun 2010
mengalami penurunan. Berdasarkan angka
penemuan kasus Tuberkulosis Paru
sebanyak 12.310 kasus atau sebesar 56%,
sedangkan jumlah kasus Tuberkulosis Paru
BTA positif sebanyak 9.404 kasus.
Kabupaten Takalar menempati urutan
pertama dengan angka penemuan kasus
sebesar 103,39%, Pinrang 76,13%,
Makassar 72,92%, dan 18,52% di Tana
Toraja sebagai Kabupaten dengan angka
penemuan yang terendah dari 24
Kabupaten6.
Khusus di kota Makassar, berdasarkan
data yang diperoleh dari Bidang Bina
Pencegahan Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan Dinas Kesehatan Kota
Makassar, pada tahun 2009 jumlah penderita
Tuberkulosis Paru Klinis sebanyak 9.916
penderita, dengan rincian 3.568 berdasarkan
pencatatan dan pelaporan Puskesmas se
Kota Makassar, sisanya 4.412 berdasarkan
laporan dari 15 RS yang ada di Kota
Makassar. Sedangkan jika dibandingkan
pada tahun 2009, angka kejadian
Tuberkulosis Paru meningkat pada tahun
2010, dimana jumlah penderita Tuberkulosis
Paru Klinis sebanyak 18.835 penderita,
berdasarkan pencatatan dan pelaporan dari
Puskesmas, dan RS. Pada tahun 2011, angka
kejadian Tuberkulosis Paru mengalami
penurunan dibandingkan tahun 2010,
dilaporkan jumlah penderita Tuberkulosis
Paru Klinis di Puskesmas dan Rumah Sakit
sebanyak 511 jumlah penderita Tuberkulosis
Paru Klinis, Tuberkulosis BTA + sebanyak
1.608 penderita (Puskesmas dan Rumah
Sakit)13.
Pada tahun 2012, angka kejadian
Tuberkulosis Paru mengalami penurunan
dibandingkan tahun sebelumnya, tingkat
insidensi Tuberkulosis Paru di Puskesmas
dan RS se Kota Makassar sebanyak 1.819
kasus, tingkat prevalensi Tuberkulosis Paru
sebanyak 1.932 kasus atau 143 per 100.000
penduduk, dengan jumlah keseluruhan kasus
Tuberkulosis Paru BTA positif untuk
wilayah Puskesmas dan RS se Kota
Makassar sebanyak 1.819 kasus, sedangkan
untuk angka kesuksesan (Success Rate)
adalah 80,3%5.
Tingkat prevalensi kasus Tuberkulosis
Paru tertinggi se- Puskesmas di Kota
Makassar tahun 2012 adalah di Puskesmas
Bara-Baraya, dengan tingkat insidensi
sebanyak 64 kasus, sedangkan tingkat
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 9
prevalensi sebanyak 68 kasus atau 183 per
100.000 penduduk5.
Berdasarkan Data P2PM Puskesmas
Bara-Baraya (2013), tingkat insidensi
Tuberkulosis Paru sebanyak 71 kasus. jika
dibandingkan data lima tahun terakhir yaitu
tahun 2009 hingga 2013, tingkat insidensi
penyakit Tuberkulosis Paru semakin
meningkat7.
Dari uraian di atas maka akan dianalisis
besar risiko yang mempengaruhi kejadian
Tuberkulosis Paru diantaranya pengetahuan,
higiene perorangan, status gizi, pekerjaan,
kepadatan hunian di wilayah kerja
Puskesmas Bara-Baraya, Kecamatan
Makassar, Kota Makassar, Provinsi
Sulawesi Selatan Tahun 2014.
BAHAN DAN METODE
Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah jenis penelitian
kuantitatif dengan menggunakan metode
observasional analitik dengan rancangan
“Case Control Study”, dimana variabel
independen diduga sebagai faktor yang
mempengaruhi variabel dependen. Variabel
independen dalam penelitian ini adalah
pengetahuan, higiene perorangan, status
gizi, jenis pekerjaan, dan kepadatan hunian.
Sedangkan variabel dependen adalah
kejadian Tuberkulosis Paru.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah
kerja Puskesmas Bara-Baraya, Kecamatan
Makassar, Kota Makassar, Provinsi
Sulawesi Selatan pada tanggal 2 Desember
sampai dengan 20 Februari 2014
Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah
semua pasien yang datang berkunjung di
Puskesmas Bara-Baraya, Kecamatan
Makassar, Kota Makassar, Provinsi
Sulawesi Selatan Tahun 2013. Penelitian ini
terdiri dari 2 kelompok sampel, yakni
kelompok kasus dan kelompok kontrol.
Kelompok kasus adalah pasien yang telah
didiagnosis dan tercatat sebagai penderita
Tuberkulosis Paru (BTA positif dan BTA
negatif) yang berjumlah 71 orang di ruangan
program P2PM Puskesmas Bara-Baraya.
Sedangkan kelompok kontrol adalah
Tetangga dari penderita penyakit
Tuberkulosis Paru yang belum pernah
didiagnosis menderita Tuberkulosis Paru
(BTA positif maupun BTA negatif) dan
dalam sebulan terakhir. Sampel diambil
dengan metode “ purposive sampling”.
D a n b esar sampel yang diperoleh
berdasarkan rumus Lemeshow untuk kasus
dan kontrol sebesar 7 1 responden dengan
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 10
perbandingan 1:1, sehingga jumlah sampel
secara keseluruhan adalah 142.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data diperoleh dengan dua
cara, yakni data primer (wawancara
langsung antara peneliti dengan responden
yang terpilih sebagai sampel dengan
menggunakan kuesioner dan observasi) dan
data sekunder diperoleh dari catatan medik
berupa nama dan alamat pasien yang
terkumpul di Puskesmas Bara-Baraya Kota
Makassar Tahun 2014.
Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan analisis
univariat (Distribusi Frekuensi) untuk
mengetahui distribusi frekuensi atau
distribusi tunggal pada masing-masing
variabel independen, analisis bivariat (Odds
Ratio) untuk melihat besaran risiko variabel
indepeden terhadap variabel dependen, dan
analisis multivariat (Multiple regression
logistic) untuk mengetahui besarnya OR
murni yang sudah dikontrol dengan
menghilangkan pengaruh variabel yang
diduga sebagai variabel lain dengan variabel
bebas utama, setelah memperhitungkan
variabel lain.
HASIL PENELITIAN
Distribusi Frekuensi Subyek Penelitian
Berdasarkan karakteristik responden pada
subvariabel pengetahuan menunjukkan,
bahwa dari 94 orang (66,2%) pada
pengetahuan risiko tinggi, terdapat lebih
banyak pada penderita Tuberkulosis Paru
yaitu 59 orang (83,1%), dibandingkan pada
bukan penderita Tuberkulosis Paru yaitu 35
orang (49,3%), sedangkan dari 48 orang
(33,8%) pada pengetahuan risiko rendah,
terdapat lebih banyak pada bukan penderita
Tuberkulosis Paru yaitu 36 orang (50,7%),
dibandingkan pada penderita Tuberkulosis
Paru yaitu 12 orang (16,9%).
Pada subvariabel higiene perorangan
menunjukkan, bahwa dari 66 orang (66,2%)
pada higiene perorangan risiko tinggi,
terdapat lebih banyak pada penderita
Tuberkulosis Paru yaitu 41 orang (57,7%),
dibandingkan pada bukan penderita
Tuberkulosis Paru yaitu 25 orang (35,2%),
sedangkan dari 76 orang (53,5%) pada
higiene perorangan risiko rendah, terdapat
lebih banyak pada bukan penderita
Tuberkulosis Paru yaitu 76 orang (53,5%),
dibandingkan pada penderita Tuberkulosis
Paru yaitu 30 orang (42,3%).
Pada subvariabel status gizi
menunjukkan, bahwa dari 60 orang (42,3%)
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 11
pada status gizi risiko tinggi, terdapat lebih
banyak pada penderita Tuberkulosis Paru
yaitu 39 orang (54,9%), dibandingkan pada
bukan penderita Tuberkulosis Paru yaitu 21
orang (29,6%), sedangkan dari 82 orang
(57,7%) pada status gizi risiko rendah,
terdapat lebih banyak pada bukan penderita
Tuberkulosis Paru yaitu 50 orang (70,4%),
dibandingkan pada penderita Tuberkulosis
Paru yaitu 32 orang (45,1%).
Pada subvariabel jenis pekerjaan
menunjukkan, bahwa dari 81 orang (57,0%)
pada jenis pekerjaan risiko tinggi, terdapat
lebih banyak pada penderita Tuberkulosis
Paru yaitu 48 orang (67,6%), dibandingkan
pada bukan penderita Tuberkulosis Paru
yaitu 33 orang (46,5%), sedangkan dari 61
orang (43,0%) pada jenis pekerjaan risiko
rendah, terdapat lebih banyak pada bukan
penderita Tuberkulosis Paru yaitu 38 orang
(53,5%), dibandingkan pada penderita
Tuberkulosis Paru yaitu 23 orang (32,4%).
Pada subvariabel kepadatan hunian
menunjukkan, bahwa dari 83 orang (58,5%)
pada kepadatan hunian risiko tinggi, terdapat
lebih banyak pada penderita Tuberkulosis
Paru yaitu 53 orang (74,6%), dibandingkan
pada bukan penderita Tuberkulosis Paru
yaitu 30 orang (42,3%), sedangkan dari 59
orang (41,5%) pada kepadatan hunian risiko
rendah, terdapat lebih banyak pada bukan
penderita Tuberkulosis Paru yaitu 41 orang
(57,7%), dibandingkan pada penderita
Tuberkulosis Paru yaitu 18 orang (25,4%).
Analisis Risiko Variabel Bebas Dengan
Kejadian TB Paru
Hasil analisis odds ratio terhadap variabel
pengetahuan diperoleh nilai OR = 5,057
yang berarti risiko kejadian Tuberkulosis
Paru pada responden yang mempunyai
pengetahuan dengan skor < 50% (risiko
tinggi) adalah 5,057 kali lebih besar
dibanding responden yang mempunyai
pengetahuan dengan skor > 50% (risiko
rendah). Berdasarkan 95% Confidence
Interval (CI) diperoleh nilai Lower Limit dan
Upper Limit = 2,328 - 10,985, dalam hal ini
tidak mencakup nilai 1 yang berarti faktor
pengetahuan rendah merupakan faktor risiko
yang bermakna terhadap kejadian
Tuberkulosis Paru.
Hasil analisis odds ratio terhadap variabel
hygiene perorangan diperoleh nilai OR =
2,515 yang berarti risiko kejadian
Tuberkulosis Paru pada responden dengan
higiene perorangan yang kurang (risiko
tinggi) adalah 2,515 kali lebih besar
dibanding responden dengan higiene
perorangan yang baik (risiko rendah).
Berdasarkan 95% Confidence Interval (CI)
diperoleh nilai Lower Limit dan Upper Limit
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 12
= 1,277 - 4,951, dalam hal ini tidak
mencakup nilai 1 yang berarti faktor higiene
perorangan yang kurang baik merupakan
faktor risiko yang bermakna terhadap
kejadian Tuberkulosis Paru.
Hasil analisis odds ratio terhadap variabel
status gizi diperoleh nilai OR = 2,902 yang
berarti risiko kejadian Tuberkulosis Paru
pada responden dengan status gizi < 18,5
(risiko tinggi) adalah 2,902 kali lebih besar
dibanding responden dengan status gizi ≥
18,5 (risiko rendah). Berdasarkan 95%
Confidence Interval (CI) diperoleh nilai
Lower Limit dan Upper Limit = 1,453 -
5,795, dalam hal ini tidak mencakup nilai 1
yang berarti faktor status gizi kurang
merupakan faktor risiko yang bermakna
terhadap kejadian Tuberkulosis Paru.
Tabel 1
Hasil Analisis Bivariat Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru di Wilayah
Kerja Puskesmas Bara-Baraya Kecamatan Makassar
Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan
Tahun 2014
No Variabel
Independen
Kasus Kontrol n % OR 95%CI
n % n %
1. Pengetahuan
a. Risiko tinggi
b. Risiko rendah
59
12
83,1
16,9
35
36
49,3
50,7
94
48
66,2
33,8
5,057
2,328-10,985
2. Higiene Perorangan
a. Risiko tinggi
b. Risiko rendah
41
30
57,7
42,3
25 46
35,2
64,8
66
76
46,5
53,5
2,515 1,277-4,951
3. Status Gizi
a. Risiko tinggi
b. Risiko rendah
39
32
54,9
45,1
21
50
29,6
70,4
60
82
42,3
57,7
2,902
1,453-5,795
4. Jenis Pekerjaan
a. Risiko tinggi
b. Risiko rendah
48
23
67,6
32,4
33
38
46,5
53,5
81
61
57,0
43,0
2,403
1,216-4,751
5. Kepadatan Hunian
a. Risiko tinggi
b. Risiko rendah
53
18
74,6
25,4
30
41
42,3
57,7
83
59
58,5
41,5
4,024
1,973-8,205
Sumber : Data Primer
Hasil analisis odds ratio terhadap
variabel jenis pekerjaan diperoleh nilai OR
= 2,403 yang berarti risiko kejadian
Tuberkulosis Paru pada responden dengan
jenis pekerjaan seperti, supir, tukang/buruh,
tukang becak, pensiunan, pemulung, klining
servis, penjual koran, dll adalah 2,403 kali
lebih besar dibanding responden dengan
jenis pekerjaan seperti pekerja kantoran.
Berdasarkan 95% Confidence Interval (CI)
diperoleh nilai Lower Limit dan Upper Limit
= 1,216 - 4,751, dalam hal ini tidak
mencakup nilai 1 yang berarti faktor jenis
pekerjaan risiko tinggi merupakan faktor
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 13
risiko yang bermakna terhadap kejadian
Tuberkulosis Paru.
Hasil analisis odds ratio terhadap
variabel kepadatan hunian diperoleh nilai
OR = 4,024 yang berarti risiko kejadian
Tuberkulosis Paru pada rumah yang padat
penghuni atau 10m2 > 1 orang (risiko tinggi)
adalah 4,024 kali lebih besar dibanding
rumah yang tidak padat penghuni atau 10m2
= 1 orang (risiko rendah). Berdasarkan 95%
Confidence Interval (CI) diperoleh nilai
Lower Limit
Lower Limit dan Upper Limit = 1,973 -
8,205, dalam hal ini tidak mencakup nilai 1
yang berarti faktor kepadatan hunian
merupakan faktor risiko yang bermakna
terhadap kejadian Tuberkulosis Paru.
Analisis Faktor Risiko Yang Paling
Dominan Terhadap Kejadian TB Paru
Pada tahap ini, variabel pengetahuan,
higiene perorangan, status gizi, jenis
pekerjaan, dan kepadatan hunian di analisis
secara bersama-sama untuk menjawab faktor
mana yang dominan berisiko terhadap
kejadian Tuberkulosis Paru, maka perlu
dilakukan analisis multivariat.
Variabel
Variabel independen yang diikutkan
dalam analisis multivariat adalah variabel
yang mempunyai nilai p < 0,25 dan
Tabel 2
Hasil Analisis Bivariat Untuk Menilai Variabel Yang Akan Diikutkan Dalam Analisis Multivariat Pada
Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Bara-Baraya Kecamatan Makassar
Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan
Tahun 2014
No Variabel OR LL – UL (CI:95%) p Diikutkan
1 Pengetahuan 5,057 2,328 – 10,985 0,000 Ya
2 Higiene Perorangan 2,515 1,277 – 4,951 0,012 Ya
3 Status Gizi 2,902 1,453 – 5,795 0,004 Ya
4 Jenis Pekerjaan 2,403 1,216 – 4,751 0,018 Ya
5 Kepadatan Hunian 4,024 1,973 – 8,205 0,000 Ya Sumber: Data Primer
Tabel 3
Hasil Model 1 Analisis Multivariat Multiple Logistic Regression Faktor Risiko Kejadian
Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Bara-Baraya Kecamatan Makassar
Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan
Tahun 2014
No
Variabel B Sig. Exp (B)
95,0% C.I for Exp (B)
Lower Upper
1 Kepadatan Hunian 1,502 0,000 4,492 1,942 10,391
2 Pengetahuan 1,368 0,002 3,928 1,638 9,418
3 Status Gizi 1,306 0,002 3,693 1,603 8,510
4 Jenis Pekerjaan 0,710 0,084 2,033 0,910 4,544
5 Higiene Perorangan 0,626 0,119 1,869 0,851 4,107
Constant -2,170 0,000 0,114 Sumber: Data Primer
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 14
mempunyai kemaknaan secara substansi.
Adapun metode yang di gunakan adalah
Backward Stepwise (Conditional) pada
tingkat kemaknaan 95% dengan
menggunakan software SPSS versi 16,0.
Adapun hasil analisis beberapa variabel
yang masuk pemodelan analisis multivariat
yang terkait dengan faktor risiko kejadian
Tuberkulosis
Tuberkulosis Paru yang dapat dilihat pada
tabel 2.
Pada tabel 2 menunjukkan, variabel
independen yang mempunyai p < 0,25 pada
hasil analisis bivariat yaitu pengetahuan,
higiene perorangan, status gizi, jenis
pekerjaan dan kepadatan hunian, sehingga
kelima variabel independen tersebut
diikutkan
Tabel 4
Pemodelan Dengan Mengeluarkan Variabel Dengan
P Value < 0,05 Dan Mempertimbangkan
Perubahan Nilai OR Higiene Perorangan
Variabel
OR Higiene
Perorangan
(Ada)
OR Higiene
Perorangan
(Tidak Ada)
Perubahan
OR (%)
Kepadatan Hunian
Pengetahuan
Status Gizi
Jenis Pekerjaan
Higiene Perorangan
4,492
3,928
3,693
2,033
1,869
4,683
4,146
3,849
2,021
-
4,0
5,2
4,2
5,9
-
Jenis Pekerjaan
Variabel
OR Higiene
Perorangan
(Ada)
OR Higiene
Perorangan
(Tidak Ada)
Perubahan
OR (%)
Kepadatan Hunian
Pengetahuan
Status Gizi
Jenis Pekerjaan
4,683
4,146
3,849
2,021
4,559
4,639
3,916
-
2,7
10,6
1,7
- Sumber: Data Primer
Tabel 5
Hasil Model 1 Analisis Multivariat Multiple Logistic Regression
Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja
Puskesmas Bara-Baraya Kecamatan Makassar
Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan
Tahun 2014
No
Variabel B Sig. Exp (B)
95,0% C.I for Exp (B)
Lower Upper
1 Kepadatan Hunian 1,544 0,000 4,683 2,036 10,770
2 Pengetahuan 1,422 0,001 4,146 1,762 9,753
3 Status Gizi 1,348 0,001 3,849 1,682 8,811
4 Jenis Pekerjaan 0,704 0,083 2,021 0,911 4,484
Constant -2,170 0,000 Sumber: Data Primer
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 15
diikutkan dalam analisis multivariat. Pada
tabel 3 menunjukkan, terdapat tiga variabel
independen yang mempunyai nilai p wald <
0,05. Namun, terdapat juga dua variabel
independen yang mempunyai nilai p wald >
0,05, yaitu variabel higiene perorangan dan
variabel jenis pekerjaan, sehingga kedua
variabel tersebut dikeluarkan dari model.
Kemudian dilakukan pertimbangan pada
kedua variabel yang dikeluarkan dari model
tadi dengan membandingkan koefisien atau
OR masing-masing variabel pada model.
Jika perubahan koefisien tersebut besar
(>10%), berarti variabel tersebut tidak dapat
dikeluarkan dari model karena akan
mengganggu estimasi koefisien variabel
lainnya. Perubahan pada nilai OR pada
masing-masing variabel setelah variabel
higiene perorangan dan jenis pekerjaan
dikeluarkan dari model dapat dilihat pada
tabel 4.
Pada tabel 4 menunjukkan, setelah
variabel higiene perorangan dikeluarkan,
terlihat tidak menunjukkan perubahan pada
nilai OR dari masing-masing variabel,
sedangkan setelah variabel jenis pekerjaan
dikeluarkan diperoleh perubahan OR > 10%
yaitu 10,6. Walaupun variabel jenis
pekerjaan mempunyai p wald > 0,05, tapi
setelah di uji confounding ternyata variabel
jenis pekerjaan confounder terhadap variabel
pengetahuan karena variabel pengetahuan
mengalami perubahan OR > 10% yaitu
10,6% maka variabel jenis pekerjaan tetap
dimasukkan dalam model selanjutnya dan
higiene perorangan dikeluarkan dalam
pemodelan karena mempunyai p wald <
0,05. Kemudian diproses lagi dengan
mengikutkan variabel pengetahuan, status
gizi, jenis pekerjaan, dan kepadatan hunian
pada model 2 yang terlihat pada tabel 5.
Pada tabel 5, hasil analisis multivariat
menunjukkan, terdapat empat variabel yang
berperan bersama-sama sebagai faktor risiko
terhadap kejadian Tuberkulosis Paru,
variabel tersebut dari yang memiliki OR
terbesar.
Risiko faktor kepadatan hunian pada hasil
uji analisis multivariat diperoleh nilai odds
ratio diperoleh nilai OR = 4,683 yang
berarti risiko kejadian Tuberkulosis Paru
pada rumah yang padat penghuni atau 10m2
> 1 orang (risiko tinggi) adalah 4,683 kali
lebih besar dibanding rumah yang tidak
padat penghuni atau 10m2
= 1 orang (risiko
rendah). Berdasarkan 95% Confidence
Interval (CI) diperoleh nilai Lower Limit dan
Upper Limit = 2,036 - 10,770, dalam hal ini
tidak mencakup nilai 1 yang berarti faktor
kepadatan hunian merupakan faktor risiko
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 16
yang bermakna terhadap kejadian
Tuberkulosis Paru.
Risiko faktor pengetahuan pada hasil uji
analisis multivariat diperoleh nilai odds
ratio (OR) adalah 4,639 yang berarti risiko
kejadian Tuberkulosis Paru pada responden
yang mempunyai pengetahuan dengan skor
< 50% (risiko tinggi) adalah 4,639 kali lebih
besar dibanding responden yang mempunyai
pengetahuan dengan skor ≥ 50% (risiko
rendah). Berdasarkan 95% Confidence
Interval (CI) diperoleh nilai Lower Limit dan
Upper Limit = 1,762 - 9,753, dalam hal ini
tidak mencakup nilai 1 yang berarti faktor
pengetahuan rendah merupakan faktor risiko
yang bermakna terhadap kejadian
Tuberkulosis Paru.
Risiko faktor status gizi pada hasil uji
analisis multivariat diperoleh nilai odds
ratio diperoleh nilai OR = 3,849 yang
berarti risiko kejadian Tuberkulosis Paru
pada responden dengan status gizi < 18,5
(risiko tinggi) adalah 3,849 kali lebih besar
dibanding responden dengan status gizi
≥18,5 (risiko rendah). Berdasarkan 95%
Confidence Interval (CI) diperoleh nilai
Lower Limit dan Upper Limit = 1,682 -
8,811, dalam hal ini tidak mencakup nilai 1
yang berarti faktor status gizi kurang
merupakan faktor risiko yang bermakna
terhadap kejadian Tuberkulosis Paru.
Risiko faktor jenis pekerjaan pada hasil
uji statistik multivariat menunjukkan,
analisis odds ratio diperoleh nilai OR =
2,021 yang berarti risiko kejadian
Tuberkulosis Paru pada responden dengan
jenis pekerjaan seperti, supir, tukang/buruh,
tukang becak, pensiunan, pemulung, klining
servis, penjual koran, dll adalah 2,021 kali
lebih besar dibanding responden dengan
jenis pekerjaan seperti pekerja kantoran.
Berdasarkan 95% Confidence Interval (CI)
diperoleh nilai Lower Limit dan Upper Limit
= 0,911 - 4,484, dalam hal ini tidak
mencakup nilai 1 yang berarti faktor jenis
pekerjaan risiko tinggi merupakan faktor
risiko yang bermakna terhadap kejadian
Tuberkulosis Paru.
Setelah mempertimbangkan semua
keempat variabel tersebut, maka persamaan
regresi logistik yang telah dimiliki, yaitu :
Logit Tuberkulosis Paru = -2,170 + 1,544
(Kepadatan Hunian) + 1,422 (Pengetahuan)
+ 1,348 (Status Gizi) + 0,704 (Jenis
Pekerjaan), maka dapat dihitung ramalan
probabilitas (risiko) individu untuk
mengalami penyakit Tuberkulosis Paru
dengan menggunakan rumus:
p = 1
1+e–(−α+ β1X 1+ β1X 1…β iXi )
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 17
P =1
1 + 2,72–(−2,170+ 1,544 X1 + 1,422 X2 + 1,348 X3 + 0,704 X4 )
= 1
1 + 2,72–(2,848 )
= 1
1,057 = 0,94 = 94%
Jadi, seseorang atau individu yang tinggal
di rumah yang padat penghuni atau 10m2 >
1 orang, pengetahuan dengan skor < 50%,
status gizi dengan IMT < 18,5, dan jenis
pekerjaan, seperti supir, tukang/buruh,
tukang becak, pensiunan, pemulung, klining
servis, penjual koran, dll mempunyai
probabilitas untuk terkena penyakit
Tuberkulosis Paru sebesar 94%.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengumpulan,
pengolahan, dan penyajian data penelitian
diatas, maka akan dibahas sesuai dengan
variabel yang diteliti.
Risiko Pengetahuan dengan Kejadian
Tuberkulosis Paru
Pengetahuan kesehatan adalah mencakup
apa yang diketahui seseorang terhadap cara
memelihara kesehatan. Pengetahuan
kesehatan dapat diukur dengan mengajukan
pertanyaan secara langsung (wawancara)
atau melalui pertanyaan tertulis atau angket.
Indicator pengetahuan tentang kesehatan
adalah “tingginya pengetahuan” responden
tentang kesehatan atau besarnya persentase
kelompok responden atau masyarakat
tentang variabel atau komponen kesehatan,
misalnya berapa persen responden atau
masyaraat yang tahu tentang cara mencegah
penyakit Tuberkulosis Paru10.
Perilaku mempunyai peran 50% yang
dapat menunjang tercapainya status
kesehatan yang optimal, termasuk di
dalamnya adalah pengetahuan. Tindakan
yang didasari oleh pengetahuan akan lebih
baik daripada tindakan yang tidak didasari
oleh pengetahuan.
Pengetahuan dalam penelitian ini adalah
hasil penilaian atau skoring dari jawaban
responden terhadap beberapa pertanyaan
yang meliputi pengertian, penyebab, tanda
dan gejala, cara penularan dan cara
pencegahannya yang diukur dengan
menjumlahkan skor pada setiap pertanyaan.
Jawaban benar diberi nilai 1 dan jawaban
salah diberi nilai 0.
Hasil uji bivariat menunjukkan, analisis
odds ratio diperoleh nilai OR = 5,057 yang
berarti risiko kejadian Tuberkulosis Paru
pada responden dengan pengetahuan < 50%
(risiko tinggi) adalah 5,057 kali lebih besar
dibanding responden dengan pengetahuan >
50% (risiko rendah). Berdasarkan 95%
Confidence Interval (CI) diperoleh nilai
Lower Limit dan Upper Limit = 2,328 -
10,985, dalam hal ini tidak mencakup nilai 1
yang berarti faktor pengetahuan rendah
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 18
merupakan faktor risiko yang bermakna
terhadap kejadian Tuberkulosis Paru.
Hasil yang ditemukan dalam penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Rusnoto dkk (2007) di Balai
Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru
Pati menunjukkan, proporsi tingkat
pengetahuan kurang pada kelompok
penderita Tuberkulosis Paru 90,6 % lebih
besar dari kelompok bukan Tuberkulosis
Paru 26,4 %. Hasil analisa statistik
menunjukkan adanya perbedaan yang
signifikan dengan nilai p = 0,0001, hasil
kategorikal terbukti ada hubungan yang
bermakna dengan didapatkan hasil odds
ratio (OR) sebesar 26,743 dengan 95 %
Confidence Interval (CI) 8,857 – 80,74915.
Hasil penelitian ini juga diperkuat dalam
penelitian yang dilakukan oleh Sididi (2013)
di wilayah kerja Puskesmas Pasarwajo
Buton menunjukkan, orang dengan
pengetahuan kurang mempunyai risiko
terkena Tuberkulosis Paru 2,870 kali lebih
besar dibandingkan dengan yang
berpengetahuan cukup, bermakna secara
statistic (95% CI = 1,207 – 6,825)18.
Keadaan pengetahuan dan tingkat
pendidikan yang kurang mempengaruhi
terjadinya berbagai macam penyakit,
terutama Tuberkulosis Paru. Pada penelitian
yang didapatkan menunjukkan, masih
banyak responden yang tidak tahu mengenai
penyebab dari penyakit Tuberkulosis Paru,
gejala, tindakan higiene, dan lain-lain,
terutama bagi penderita Tuberkulosis Paru
dengan proporsi (83,1%).
Pemahaman tentang penyebab penyakit
sangat penting dalam bidang kesehatan tidak
hanya untuk mencegah timbulnya penyakit,
tetapi juga untuk mendiagnosis dan tindakan
pengobatan yang benar. Penyebab penyakit
adalah peristiwa, kondisi, sifat atau
kombinasi dari berbagai faktor tersebut yang
dapat berperan penting dalam timbulnya
penyakit. Logisnya suatu penyebab harus
mendahului terjadinya sakit4.
Risiko Higiene Perorangan dengan
kejadian Tuberkulosis Paru
Pada analisis kebiasaan membuang
dahak, yaitu di luar tubuh manusia, kuman
Mycobacterium tuberculosis hidup baik
pada lingkungan yang lembab, akan tetapi
tidak tahan terhadap sinar matahari. Hal ini
terkait dengan keadaan di lingkungan
responden yang rumahnya berdempetan,
masyarakatnya tidak menerapkan praktik
kesehatan yang baik, maka responden
tersebut kemungkinan tertular sangat
tinggi12.
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 19
Hasil uji bivariat menunjukkan, analisis
odds ratio diperoleh nilai OR = 2,515 yang
berarti risiko kejadian Tuberkulosis Paru
pada responden dengan higiene perorangan
yang kurang (risiko tinggi) adalah 2,515 kali
lebih besar dibanding responden dengan
higiene perorangan yang baik (risiko
rendah). Berdasarkan 95% Confidence
Interval (CI) diperoleh nilai Lower Limit dan
Upper Limit = 1,277 - 4,951, dalam hal ini
tidak mencakup nilai 1 yang berarti faktor
higiene perorangan yang kurang baik
merupakan faktor risiko yang bermakna
terhadap kejadian Tuberkulosis Paru.
Hasil yang ditemukan dalam penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Pertiwi dkk (2012) di Kecamatan
Semarang Utara, terdapat hubungan
signifikan kebiasaan tidak menutup mulut
pada saat batuk maupun bersin dan
kebiasaan meludah disembarang tempat. Di
mana responden yang mempunyai kebiasaan
tidak menutup mulut saat batuk cenderung
lebih banyak daripada yang mempunyai
kebiasaan menutup mulut saat batuk12. Hasil
yang ditemukan dalam penelitian ini juga
sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Tri Wahyu (2008) di Magetan,
diperoleh nilai OR = 3,8, sehingga
kebiasaan membuang dahak di sembarang
tempat merupakan faktor risiko
Tuberkulosis Paru21.
Pada saat melakukan wawancara dengan
responden, tidak sedikit responden yang
ketika diwawancarai batuk dengan tidak
menutup mulut bahkan ketika mereka
menggendong anaknya, dimana proporsi
responden dengan higiene perorangan yang
kurang dalam penelitian ini yaitu 66%, dan
terutama proporsi higiene perorangan yang
kurang bagi penderita Tuberkulosis Paru
yaitu 57%, dibandingkan yang bukan
penderita Tuberkulosis Paru yaitu 35,2%.
Pada waktu batuk atau bersin penderita
mengeluarkan dahak/sputum. Apabila
dibuang sembarangan tempat, maka
dahak/sputum akan mengering, sehingga
kuman Tuberkulosis akan beterbangan dan
terhirup oleh pejamu disekitarnya.
Begitupun pada batuk dengan tidak menutup
mulut di dalam rumah, ditambah lagi dengan
kondisi rumah yang padat penghuni,
sehingga memungkinkan untuk menularkan
kepada seluruh anggota keluarga.
Faktor risiko higiene perorangan terhadap
kejadian Tuberkulosis Paru merupakan
faktor yang perlu untuk diwaspadai.
Reservoir dari kuman Tuberkulosis atau
mycobacterium tuberculosis adalah percikan
droplet dari manusia yang terinfeksi.
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 20
Penderita dapat menyebarkan bakteri ke
udara dalam bentuk percikan dahak, yang
dalam istilah kedokteran disebut droplet
nuclei. Sekali batuk dapat menghasilkan
3000 percikan dahak. Melalui udara yang
tercemar oleh Mycobacterium tuberculosis
yang dilepaskan/ dikeluarkan oleh penderita
Tuberkulosis Paru saat batuk. Bakteri akan
masuk ke dalam paru-paru dan berkumpul
hingga berkembang menjadi banyak
terutama pada orang yang memiliki daya
tahan tubuh rendah. Sementara, bagi yang
mempunyai daya tahan tubuh baik, maka
penyakit Tuberkulosis Paru tidak akan
terjadi1.
Risiko Status Gizi dengan kejadian TB
Paru
Penyakit-penyakit atau gangguan-
gangguan kesehatan masyarakat akibat dari
kelebihan atau kekurangan gizi merupakan
masalah kesehatan masyarakat di Indonesia,
seperti penyakit Tuberkulosis Paru dan
penyakit lainnya. Kekurangan gizi pada
seseorang akan berpengaruh terhadap
kekuatan daya tahan tubuh dan responden
imunologis terhadap penyakit19.
Hasil uji bivariat menunjukkan, analisis
odds ratio diperoleh nilai OR = 2,902 yang
berarti risiko kejadian Tuberkulosis Paru
pada responden dengan status gizi < 18,5
(risiko tinggi) adalah 2,902 kali lebih besar
dibanding responden dengan status gizi ≥
18,5 (risiko rendah). Berdasarkan 95%
Confidence Interval (CI) diperoleh nilai
Lower Limit dan Upper Limit = 1,453 -
5,795, dalam hal ini tidak mencakup nilai 1
yang berarti faktor status gizi kurang
merupakan faktor risiko yang bermakna
terhadap kejadian Tuberkulosis Paru.
Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Rusnoto
(2007) di Balai Pencegahan dan Pengobatan
Penyakit Paru Pati menunjukkan, proporsi
status gizi (IMT) kurang baik pada
kelompok Tuberkulosis Paru 64,2 % lebih
besar dari kelompok bukan TB 11,3 %.
Hasil analisa statistik menunjukkan adanya
perbedaan yang bermakna dengan nilai p =
0,038, hasil kategorikal menunjukkan ada
hubungan yang bermakna dengan
didapatkan hasil odds ratio (OR) sebesar
3,789 dengan 95 % Confidence Interval (CI)
1,694 – 8,475, sehingga status gizi
merupakan faktor risiko kejadian
Tuberkulosis Paru15.
Hasil penelitian inipun juga diperkuat
oleh penelitian yang dilakukan oleh
Ruswanto (2010) di Kabupaten Pekalongan,
Hasil analisis statistik menunjukkan, nilap ρ
= 0,005 dan OR = 2,923 dengan CI 95% =
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 21
1,355<OR<6,308 sehingga bermakna karena
nilai ρ < 0,05 dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa status gizi merupakan
faktor risiko terhadap kejadian Tuberkulosis
Paru16.
Kondisi berat badan dan tinggi badan
responden secara retrospektif, juga diperkuat
dengan hasil pengukuran IMT responden
oleh peneliti untuk membuktikan, bahwa
beberapa responden memiliki berat badan
ideal atau normal sebelum terinfeksi kuman
Tuberkulosis, dan kondisi berat badan
menurun setelah responden terinfeksi kuman
Tuberkulosis. Dan terdapat juga beberapa
responden yang memang memiliki berat
badan yang sudah tidak ideal sebelum
terinfeksi kuman Tuberkulosis, dimana
proporsi status gizi risiko tinggi terbanyak
adalah penderita Tuberkulosis Paru yaitu
54,9%, dibandingkan proporsi status gizi
risiko rendah terbanyak adalah responden
yang bukan penderita yaitu 70,4%.
Status gizi dalam kaitannya dengan faktor
risiko kejadian Tuberkulosis Paru
merupakan salahsatu pintu penularan kuman
Tuberkulosis, karena status gizi itu
menggambarkan outcome dari asupan gizi
seseorang. Sistem imun dalam tubuh akan
selalu terjaga dengan baik, jika asupan
makro nutrisi dan mikro nutrisi yang
disuplei setiap hari tetap terjaga kualitasnya.
Semakin baik asupan gizi seseorang, maka
akan semakin baik pula sistem imun yang
dimilikinya, sehingga ancaman dari berbagai
macam penyakit akan tertangani secara
alami oleh sistem imun, terkhusus bagi
penularan penyakit Tuberkulosis Paru.
Bakteri akan tetap ada di dalam paru
dalam keadaan tidur atau dormant, namun
jika setelah bertahun-tahun daya tahan tubuh
menurun maka bakteri yang sebelumnya
”tidur” akan ”bangun” dan menimbulkan
penyakit. Salah satu contoh ekstrim keadaan
ini adalah status gizi kurang yang akan
menurunkan daya tahan tubuh, sehingga
Tuberkulosis Paru muncul.
Risiko Jenis Pekerjaan dengan Kejadian
Tuberkulosis
Pekerjaan merupakan suatu aktifitas yang
dilakukan untuk mencari nafkah. Faktor
lingkungan kerja mempengaruhi seseorang
untuk terpapar suatu penyakit. Lingkungan
kerja yang buruk mendukung untuk
terinfeksi Tuberkulosis Paru antara lain
supir, buruh, tukang becak dan lain-lain
dibandingkan dengan orang yang bekerja di
daerah perkantoran3.
Hasil uji bivariat menunjukkan, analisis
odds ratio diperoleh nilai OR = 2,403 yang
berarti risiko kejadian Tuberkulosis Paru
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 22
pada responden dengan jenis pekerjaan
risiko tinggi seperti, supir, tukang/buruh,
tukang becak, pensiunan, pemulung, klining
servis, penjual koran, dll adalah 2,403 kali
lebih besar dibanding responden dengan
jenis pekerjaan risiko rendah seperti pekerja
kantoran. Berdasarkan 95% Confidence
Interval (CI) diperoleh nilai Lower Limit dan
Upper Limit = 1,216 - 4,751, dalam hal ini
tidak mencakup nilai 1 yang berarti faktor
jenis pekerjaan risiko tinggi merupakan
faktor risiko yang bermakna terhadap
kejadian Tuberkulosis Paru.
Hasil yang ditemukan dalam penelitian
ini juga sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Rusnoto (2007) di Balai
Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru
Pati menunjukkan, hasil odds ratio (OR)
sebesar 2,606 dengan 95 % Confidence
Interval (CI) 1,076 – 6,310, dengan nilai p =
0,031, sehingga jenis pekerjaan merupakan
faktor risiko kejadian Tuberkulosis Paru15.
Hasil penelitian ini juga diperkuat dengan
penelitian yang dilakukan oleh Sididi (2013)
Di Wilayah Kerja Puskesmas Pasarwajo
Kabupaten Buton menunjukkan, nilai OR =
2,613 pada Confidence Interval 95% dengan
LL = 0,884 dan UL = 7,772. Karena OR >
1,sehingga pekerjaan merupakan faktor
risiko pada kejadian Tuberkulosis Paru18.
Tingkat pendidikan responden juga bisa
dikaitkan dengan jenis pekerjaan yang kini
mereka dapatkan, bahwa pada kelompok
responden kasus tingkat pendidikan SD
lebih dominan yaitu sebanyak 26 orang
(36,6%). Dan jenis pekerjaan yang ia tekuni
tidak sedikit sebagai supir angkutan umum,
buruh harian dan tukang. Jenis – jenis
pekerjaan yang disebutkan tadi merupakan
jenis pekerjaan yang rentan interaksinya
dengan agent , misalkan supir angkutan
umum dapat tertular penyakit Tuberkulosis
Paru melalui uang yang terkontaminasi
droplet dari dahak seorang pejamu yang
terinfeksi, dan juga paparan debu yang bisa
menurunkan fungsi paru. Begitupun pada
jenis pekerjaan seperti tukang becak, buruh
harian ataupun tukang bangunan yang rentan
dengan interaksi antara pejamu atau pekerja
dengan agent. Beda halnya dengan
pekerjaan kantoran yang tidak rentan untuk
terinfeksi, kecuali pekerjaan kantoran
tersebut terdapat pejamu terinfeksi ataupun
lingkungan kerja yang tentunya juga
memungkinkan untuk terjadinya penularan
penyakit Tuberkulosis Paru.
Jenis pekerjaan seseorang sangat
berdampak terhadap terjadinya Tuberkulosis
Paru. Pada penelitian ini diperoleh bahwa
pekerjaan responden dapat dihubungkan
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 23
dengan penyakit paru akibat kerja dan
lingkungan kerja yang memungkinkan
keterpaparan yaitu infeksi Tuberkulosis
Paru. Penyakit Tuberkulosis Paru adalah
airborne infection, maka penyebaran
penyakit dapat terjadi di lingkungan,
terkhusus di lingkungan kerja oleh pejamu
terinfeksi kepada pejamu yang rentan
melalui percikan dahak atau droplet.
Risiko Kepadatan Hunian dengan
Kejadian Tuberkulosis
Kepadatan hunian menentukan insidensi
penyakit maupun kematian, terutama di
negara Indonesia yang masih banyak sekali
terdapat penyakit menular, seperti penyakit
pernapasan dan semua penyakit yang
menyebar lewat udara misalnya tuberkulosis
menjadi mudah sekali menular19.
Dalam hubungannya dengan penularan
Tuberkulosis Paru, maka kepadatan hunian
dapat menyebabkan infeksi silang (Cross
infection). Adanya penderita Tuberkulosis
Paru dalam rumah dengan kepadatan cukup
tinggi, maka penularan penyakit melalui
udara ataupun “droplet” akan lebih cepat
terjadi. Kepadatan penghuni rumah yang
menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen,
di mana bila salah satu anggota keluarga
terkena penyakit infeksi seperti Tuberkulosis
Paru, maka akan mudah menular kepada
anggota keluarga lain20.
Hasil uji bivariat menunjukkan, analisis
odds ratio diperoleh nilai OR = 4,024 yang
berarti risiko kejadian Tuberkulosis Paru
pada rumah yang padat penghuni atau 10m2
> 1 orang (risiko tinggi) adalah 4,024 kali
lebih besar dibanding rumah yang tidak
padat penghuni atau 10m2
= 1 orang (risiko
rendah). Berdasarkan 95% Confidence
Interval (CI) diperoleh nilai Lower Limit dan
Upper Limit = 1,973 - 8,205, dalam hal ini
tidak mencakup nilai 1 yang berarti faktor
kepadatan hunian merupakan faktor risiko
yang bermakna terhadap kejadian
Tuberkulosis Paru.
Hasil yang ditemukan dalam penelitian
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Ruswanto (2010) di Kabupaten
Pekalongan menunjukkan, nilai ρ = 0,003
dan OR = 3,101 dengan CI 95% =
1,440<OR<6,681 sehingga bermakna karena
nilai ρ < 0,05 dengan demikian dapat
dinyatakan bahwa kepadatan penghuni
dalam rumah merupakan faktor risiko
terhadap kejadian Tuberkulosis Paru16.
Hasil penelitian ini juga diperkuat pada
penelitian yang dilakukan oleh Sairi (2012)
di wilayah kerja Puskesmas Pasarwajo
Kabupaten Buton menunjukkan, nilai OR =
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 24
2,778 dengan nilai LL = 1,006 dan UL =
7,673 yang tidak mencakup nilai 1 pada
tingkat kepercayaan 95% maka Ho ditolak
dan Ha diterima artinya dengan kepadatan
penghuni berisiko 2,778 kali untuk terkena
penyakit Tuberkulosis Paru dibandingkan
dengan responden yang rumahnya tidak
padat penghuni17.
Pada lokasi penelitian ini, terdapat
banyak pemukiman yang berdempetan
bahkan mempunyai ventilasi yang tidak
sesuai dengan luas ruangan, dan juga
termasuk pemukiman yang padat penduduk.
Bahkan satu rumah terdapat dua hingga
lebih dari dua KK (kepala keluarga). Dalam
pembagian ruangannya tidak tertata dengan
baik dan menjadikan satu ruangan sebagai
ruangan serba guna, misalnya pada ruang
depannya yang berfungsi sebagai ruang
tamu saja, namun merangkap menjadi ruang
tidur, sekaligus tanpa dipisahkan oleh
dinding pembatas.
Luas bangunan yang tidak sebanding
dengan jumlah penghuninya akan
menyebabkan over crowded, hal ini tidak
sehat, sebab disamping menyebabkan
kurang konsumsi O₂, juga bila salah satu
anggota keluarga terkena infeksi penyakit
menular akan menularkan kepada anggota
keluarga yang lain9.
Risiko Paling Dominan Terhadap
Kejadian Tuberkulosis Paru
Pada hasil uji analisis multivariat
menunjukkan, variabel yang mempunyai
nilai p < 0,05 adalah pengetahuan, status
gizi, jenis pekerjaan, dan kepadatan hunian.
Variabel tersebut merupakan faktor risiko
yang berpengaruh terhadap kejadian
Tuberkulosis Paru. Sedangkan faktor risiko
yang paling dominan berisiko terhadap
kejadian Tuberkulosis Paru adalah
kepadatan hunian yang mempunyai nilai
odds ratio (OR) = 4,683 yang berarti risiko
kejadian Tuberkulosis Paru pada rumah
yang padat penghuni yaitu 10m2 > 1 orang
(risiko tinggi) adalah 4,683 kali lebih besar
dibanding rumah yang tidak padat penghuni
yaitu 10m2
= 1 orang (risiko rendah).
Berdasarkan 95% Confidence Interval (CI)
diperoleh nilai Lower Limit dan Upper Limit
= 2,036 - 10,770, dalam hal ini tidak
mencakup nilai 1 yang berarti faktor
kepadatan hunian merupakan faktor risiko
yang bermakna terhadap kejadian
Tuberkulosis Paru.
Hasil uji analisis multivariat dalam
penelitian ini juga sejalan pada penelitian
yang dilakukan oleh Amiluddin (2009) di
Kecamatan Tamalatea Kabupaten
Jeneponto, analisis statistik multivariat
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 25
dengan uji odds ratio diperoleh nilai OR =
2,024 (LL = 0,803 dan UL = 5,102),
sehingga kepadatan hunian merupakan fakto
risiko kejadian Tuberkulosis Paru2.
Hasil uji analisis multivariat dalam
penelitian ini juga diperkuat pada penelitian
yang dilakukan oleh Razak (2009) di
wilayah kerja Dinas Kesehatan Kota
Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara
menunjukkan, uji analisis statistik
multivariat dengan uji odds ratio diperoleh
nilai OR = 2,611 (LL = 1,208 dan UL =
5,645) dengan nilai p = 0,015, sehingga
kepadatan hunian merupakan fakto risiko
kejadian Tuberkulosis Paru14.
Hasil penelitian kepadatan penghuni
rumah telah menunjukkan bahwa pada
umumnya kepadatan penghuni rumah yang
memenuhi syarat rumah sehat yang telah
ditentukan oleh Departemen Kesehatan yaitu
10 m2 per orang. Kondisi kepadatan
penghuni yang demikian turut mendukung
perpindahan penyakit Tuberkulosis Paru.
Oleh sebab itu, kepadatan penghuni
merupakan variabel yang berperan penting
dalam kejadian Tuberkulosis Paru.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan pada bab sebelumnya, maka
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengetahuan merupakan faktor risiko
terhadap kejadian Tuberkulosis Paru
karena mempunyai nilai OR > 1 yang
menunjukkan, pengetahuan dengan skor
< 50% berisiko 5,057 kali lebih besar,
dibandingkan dengan responden yang
mempunyai pengetahuan dengan skor >
50%.
2. Higiene perorangan merupakan faktor
risiko terhadap kejadian Tuberkulosis
Paru karena mempunyai nilai OR > 1
yang menunjukkan, higiene perorangan
yang kurang baik berisiko 2,515 kali
lebih besar, dibandingkan responden
dengan higiene perorangan yang baik.
3. Status gizi merupakan faktor risiko
terhadap kejadian Tuberkulosis Paru
karena mempunyai nilai OR > 1 yang
menunjukkan, status gizi dengan IMT <
18,5 berisiko 2,902 kali lebih besar,
dibandingkan responden dengan status
gizi dengan IMT ≥ 18,5.
4. Jenis pekerjaan merupakan faktor risiko
terhadap kejadian Tuberkulosis Paru
karena mempunyai nilai OR > 1 yang
menunjukkan, jenis pekerjaan seperti,
supir, tukang/buruh, tukang becak,
pensiunan, pemulung, klining servis,
penjual koran, dll berisiko 2,403 kali
lebih besar, dibandingkan responden
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 26
dengan jenis pekerjaan seperti pekerjaan
kantoran.
5. Kepadatan hunian merupakan faktor
risiko terhadap kejadian Tuberkulosis
Paru karena mempunyai nilai OR > 1
yang menunjukkan, rumah yang padat
penghuni yaitu 10m² > 1 orang berisiko
4,024 kali lebih besar, dibandingkan
dengan rumah yang tidak padat penghuni
yaitu 10m² = 1 orang.
SARAN
1. Bagi petugas Puskesmas setempat untuk
tetap melakukan upaya peningkatan
pengetahuan masyarakat tentang
pencegahan potensi penularan penyakit
Tuberkulosis Paru, misalnya melakukan
kegiatan penyuluhan ataupun pendidikan
kesehatan. Agar dengan pengetahuan
yang baik, maka pengetahuan terkhusus
gejala Tuberkulosis Paru, status gizi,
higiene perorangan, dan sanitasi
lingkungan dari masyarakat bisa mereka
terapkan sebagai upaya pencegahan.
2. Bagi Penderita dan pengunjung
Puskesmas Baraya-Baraya lainnya
berdasarkan temuan, agar melakukan
tindakan higiene yang baik, misalnya
menutup mulut pada waktu batuk dan
bersin, serta tidak meludah di sembarang
tempat, sehingga dapat mengisolir
penularan penyakit Tuberkulosis Paru.
3. Bagi Penderita dan pengunjung
Puskesmas Baraya-Baraya lainnya
dengan status gizi yang rendah perlunya
melakukan perbaikan status gizi, seperti
makan makanan yang mengandung
karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral
yang cukup.
4. Bagi Penderita dan pengunjung
Puskesmas Baraya-Baraya lainnya perlu
untuk melakukan upaya proteksi di
lingkungan kerja terkait antisipasi
terhadap penyakit Tuberkulosis Paru,
seperti menggunakan masker, dan hands
sanitizer.
5. Bagi Penderita dan pengunjung
Puskesmas Baraya-Baraya lainnya
sebagai penghuni rumah atau pemilik
rumah yang sedang akan merenovasi
rumah, agar aspek sanitasi lingkungan
perlu diperhatikan, terkhusus pada
kondisi rumah yang padat penghuni.
DAFTAR PUSTAKA
1. Aditama, Tjandra Yoga. 2006.
Tuberkulosis, Rokok, dan Perempuan.
Jakarta FKUI.
2. Amiluddin. 2009.“Faktor Risiko
KejadianTuberkulosis Paru Di
Kecamatan Tamalatea Kabupaten
Jeneponto”.Tesis Pascasarjana UNHAS.
3. Arsin A, Azriful,.Aisyah. Beberapa
Faktor Yang Berhubungan Dengan
Kejadian TB Paru Di Wilayah Kerja
Jurnal Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Online di http://epidemiologmu.blogspot.com
Andi Marjuni Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat UMI @2014 Page 27
Puskesmas Kassi-Kassi, Jurnal Medika
Nusantara Volume 25 no.3; 2004.
4. Beaglehole, R, Bonit, K. T. 1993. Basic
epidemiology. Geneva, World Health
Organization.
5. Data Dinas Kesehatan Kota Makassar
Tahun 2012
6. Data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2012
7. Data P2 TB Puskesmas Bara-Baraya
Makassar Tahun 2013
8. Kemenkes RI. 2012. Profil Data
Kesehatan Indonesia Tahun 2011.
Jakarta: Kemenkes RI.
9. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
829 Menkes SK/VII/1999 Tentang
Persyaratan Kesehatan Perumahan.
10. Knutson, A. L, 1999. The individual,
society, and health behavior. Rusel
Sange Fundation, New York.
11. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,
2002. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia.
12. Pertiwi, Rikha Nurul, dkk. Hubungan
Antara Karakteristik Individu, Praktik
Hygiene Dan Sanitasi Lingkungan
Dengan Kejadian Tuberculosis Di
Kecamatan Semarang Utara Tahun
2011. Jurnal Kesehatan Masyarakat,
Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012,
Halaman 435 – 445.
13. Profil Kesehatan Kota Makassar Tahun
2011
14. Razak, Abd. 2009. “Faktor Risiko
Kejadian Tuberkulosis Paru Di Wilayah
Kerja Dinas Kesehatan Kota Kendari
Propinsi Sulawesi Tenggara Tahun
2008”. Tesis pascasarjana UNHAS.
15. Rusnoto dkk. 2007. Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian Tb Paru
Pada Usia Dewasa (Studi kasus di Balai
Pencegahan Dan Pengobatan Penyakit
Paru Pati). Jurnal Magister
Epidemiologi UNDIP.
16. Ruswanto, Bambang. 2010.“Analisis
Spasial Sebaran Kasus Tuberkulosis
Paru Ditinjau Dari Faktor Lingkungan
Dalam Dan Luar Rumah Di Kabupaten
Pekalongan”. Tesis Kesehatan
Lingkungan Undip.
17. Sairi, Suriaty. 2012. “Faktor Risiko
Kejadian TBC Paru Di Wilayah Kerja
Puskesma Pasarwajo Kecamatan
Pasarwajo Kabupaten Buton Tahun
2011”. Skripsi FKM STIKES Mandala
Waluya Kendari.
18. Sididi, Mansur. 2013. “Faktor Risiko
Kejadian Tuberkulosis Paru BTA (+) Di
Wilayah Kerja Puskesmas Pasarwajo
Kabupaten Buton Tahun 2012”. Skripsi
FKM UMI.
19. Soemirat, J. 2000. Epidemiologi
Lingkungan, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta.
20. Suyono, pokok Bahan Modul
Perumahan dan pemukiman Sehat,
Pusdiknakes, 2005.
21. Wahyu R, Tri. 2008. Hubungan Kondisi
Fisik Rumah Dan Praktek Kesehatan
Dengan Kejadian TB Paru di Puskesmas
Masopati Kabupaten Magetan [Tidak
diterbitkan]. Semarang: UNDIP.
22. World Health Oranization. 2010. Pursue
High Quality DOTS Expansion and
Enhancement. Geneva.
23. World Health Oranization. Global
Tuberculosis Control: WHO Report
2011. Available from:
http://whqlibdoc.who.int/ diakses pada
tanggal 20 Maret 2012.