kajian bentuk pertunjukan wayang topeng dhalang “rukun pewaras” desa slopeng kecamatan dasuk...
DESCRIPTION
Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya, author : SULITRANSCRIPT
KAJIAN BENTUK PERTUNJUKAN WAYANG TOPENG DHALANG “RUKUN PEWARAS” DESA SLOPENG KECAMATAN DASUK
KABUPATEN SUMENEP
Oleh:Suli
NIM 08020134250
Abstrak
Topeng dhalang memiliki pengertian suatu seni pertunjukan teater tradisional yang menyerupai wayang orang dimana masing-masing pemeran menggunakan topeng sebagai penutup wajah, dan segala dialognya dikendalikan oleh dalang. Bentuk pertunjukan topeng dhalang di Sumenep sangat berbeda dengan seni pertunjukan tradisional lainnya, yang ada di wilayah Sumenep. Selain karena penyajiannya menggunakan topeng (penutup wajah), juga adanya peran dalang yang mengendalikan semua pemain/peraga topeng menjadikan kesenian ini berbeda dengan seni pertunjukan lainnya. Di Desa Slopeng, Kecamatan Dasuk Kabupaten Sumenep terdapat kelompok seni pertunjukan topeng dhalang yang hingga saat ini masih tetap eksis dan fungsional dalam kehidupan masyarakat pendukungnya, kelompok tersebut dikenal dengan nama “Rukun Pewaras”.
Dalam tulisan ini kelompok wayang topeng dhalang tersebut menjadi fokus penelitian dengan menggunakan pendekatan asal-usul, bentuk pertunjukan, dan keunikan apa yang ada pada pertunjukan wayang topeng dhalang “Rukun Pewaras” sehingga masih tetap eksis dan digemari oleh masyarakat sekitar.
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian deskriptif kualitatif, dimana data-data yang tersajikan merupakan data-data deskriptif melalui observasi, wawancara, serta studi dokumentasi.
Dilihat dari segi bentuk pertunjukan, topeng dhalang “Rukun Pewaras” memiliki keunikan tersendiri dibanding kelompok topeng dhalang lainnya termasuk “Rukun Perawas” yang ada di Desa Slopeng. Pada sisi teknik tata pentas, pertunjukan yang disajikan oleh “Rukun Pewaras” dapat dikatakan lebih maju. Teknik tata lampu sudah menerapkan teknik yang lebih modern menggunakan lampu yang dapat dikendalikan dengan pengaturan dimer serta dekorasi pementasan lebih variatif. Dalam hal dalam garap cerita, “Rukun Pewaras” tetap mempertahankan cerita Ramayana dan Mahabarata sebagai identitas wayang topeng dhalang Sumenep. Meskipun demikian, kemasan cerita berusaha menyesuaikan selera masyarakat penanggap. Dalam garap karawitan sebagai musik pengiring, telah disesuaikan selera masyarakat dengan adanya pengembangan-pengembangan pada teknik tabuhan. Unsur keunikan yang dimiliki oleh kelompok wayang topeng dhalang “Rukun Pewaras” terdapat pada bentuk dekorasi, teknik pencahayaan, pembuatan efek-efek pertunjukan, serta dalang yang mengendalikan pertunjukan wayang topeng.
Kata Kunci: Bentuk Pertunjukan, Wayang Topeng Dhalang, Rukun Pewaras
Pendahuluan
Topeng dhalang dari segi
penulisannya terdiri dari dua suku kata yakni
“topeng” dan “dhalang”. Topeng dalam
sebuah pertunjukan topeng dhalang memiliki
arti yaitu penutup wajah yang terbuat dari
kayu Mentaos dan memiliki bentuk sesuai
karakter masing–masing tokoh dalam cerita
pewayangan, sedangkan dhalang adalah
orang yang memiliki keahlian khusus dalam
menyajikan cerita secara lisan dengan
menggunakan sebuah media seperti wayang.
Dengan demikian, topeng dhalang
mengandung pengertian suatu seni
pertunjukan teater tradisional yang
menyerupai wayang orang dimana masing-
masing pemeran menggunakan topeng
sebagai penutup wajah, dan segala dialognya
dikendalikan oleh dhalang. Dalam hal ini,
topeng dan topeng dhalang mempunyai
korelasi yang tidak dapat dipisahkan.
Keduanya mempunyai keterkaitan yang
saling mengikat sebagai sebuah ekspresi
dalam sebuah pertunjukan.
Pertunjukan tersebut dikatakan
topeng dhalang karena semua pemain yang
memerankan tokoh dalam cerita
menggunakan topeng (dalam bahasa
Madura: tokop), sesuai dengan peran yang
dibawakan oleh pemain. Topeng yang
dipakai oleh pemain tidak ada celah pada
bagian mulut sehingga pemain tidak bisa
berbicara sendiri, akan tetapi dialognya
dibawakan atau disuarakan oleh seorang
dhalang yang posisi keberadaannya duduk
dibalik layar. Akan tetapi khusus untuk
tokoh punakawan semar, petruk, dan gareng
dilakukan sendiri oleh pemeran, karena
topengnya terdapat celah atau lubang
dibagian mulut dan dagunya. Hal inilah yang
menjadi sebab mengapa dinamakan topeng
dhalang, karena sebagian besar dialog yang
disuarakan adalah diucapkan oleh seorang
dhalang, dan pemain hanya berperan sebagai
wayang.
Bentuk pertunjukan topeng dhalang
di Sumenep sangat berbeda dengan seni
pertunjukan tradisional lainnya, yang ada di
wilayah Sumenep. Selain karena
penyajiannya menggunakan topeng (penutup
wajah), juga adanya peran dhalang yang
mengendalikan semua pemain/peraga topeng
menjadikan kesenian ini berbeda dengan seni
pertunjukan lainnya.
Secara historis keberadaan pertun-
jukan topeng dhalang di Madura khususnya
di Sumenep sudah ada pada jaman kerajaan.
Namun hingga sekarang masih tetap hidup,
walaupun hanya tinggal beberapa kelompok
saja. Di Desa Slopeng, Kecamatan Dasuk
Kabupaten Sumenep terdapat kelompok seni
pertunjukan topeng dhalang yang hingga saat
ini masih tetap eksis dan fungsional dalam
kehidupan masyarakat pendukungnya. Desa
Slopeng merupakan sebuah desa terletak di
wilayah pesisir pantai utara Pulau Madura,
1
tepatnya di wilayah pantai Slopeng. Para
kawula muda di wilayah ini banyak yang
masih menggandrungi seni pertunjukan
tradisonal topeng dhalang, meskipun pada
era globalisasi seperti sekarang ini kesenian
modern telah mengintervensi di masyarakat.
Hal tersebut terjadi akibat perkembangan
peradaban teknologi informasi yang telah
maju. Akan tetapi, ternyata tidak
mempengaruhi surutnya apresiasi para
kawula muda di wilayah Dasuk terhadap seni
pertunjukan tradisional. Di Desa Slopeng
dahulunya hidup beberapa kelompok seni
pertunjukan topeng dhalang, namun saat ini
sudah tenggelam (punah) tinggal dua
kelompok saja yaitu kelompok “Rukun
Perawas” dan “Rukun Pewaras”. Diantara
dua kelompok tersebut yang menjadi
perhatian peneliti adalah kelompok “Rukun
Pewaras”
Dilihat dari segi bentuk pertunjukan,
topeng dhalang “Rukun Pewaras” memiliki
keunikan tersendiri dibanding kelompok
topeng dhalang lainnya termasuk “Rukun
Perawas” yang ada di Desa Slopeng. Pada
sisi teknik tata pentas, pertunjukan yang
disajikan oleh “Rukun Pewaras” dapat
dikatakan lebih maju. Teknik tata lampu
sudah menerapkan teknik yang lebih modern
menggunakan lampu yang dapat
dikendalikan dengan pengaturan dimer serta
dekorasi pementasan lebih variatif. Dalam
hal dalam garap cerita, “Rukun Pewaras”
tetap mempertahankan cerita Ramayana dan
Mahabarata sebagai identitas wayang topeng
dhalang Sumenep. Meskipun demikian,
kemasan cerita berusaha menyesuaikan
selera masyarakat penanggap. Para pemain
berusaha menampilkan kualitas pertunjukan
melalui profesionalisme pemeranan demi
penguatan-penguatan karakter tokoh. Dalam
garap karawitan sebagai musik pengiring,
telah disesuaikan selera masyarakat dengan
adanya pengembangan-pengembangan pada
teknik tabuhan. Dhalang Siman sebagai
pendukung pertunjukan topeng dhalang
“Rukun Pewaras” telah dikenal oleh
masyarakat Sumenep, beliau memiliki jam
terbang lama, dan merupakan dhalang tua
yang dianggap memiliki kharisma sebagai
dhalang rokat.
Pertunjukan topeng dhalang “Rukun
Pewaras” sangat diminati masyarakat,
terbukti pada bulan Agustus hingga Oktober
2014 kelompok ini nyaris tanpa istirahat,
hampir setiap hari melakukan pertunjukan.
Oleh karena itu dapat dikatakan
keberadaannya sangat fungsional dalam
masyarakat Sumenep. Masyarakat masih
sangat mengharapkan kehadiran
pertunjukannya berfungsi sebagai sarana
ritual. Tradisi ritual yang masih hidup dalam
masyarakat Sumenep terutama di wilayah
pedesaan adalah tradisi rokat, salah satunya
adalah rokat pandhaba.
Latar Belakang Topeng Dalang “Rukun Pewaras”
Di Sumenep terdapat beberapa
kelompok seni pertunjukan tradisional
topeng dhalang yang hingga saat ini masih
mampu berjuang melawan pengaruh
perkembangan teknologi. Salah satu
kelompok topeng dhalang yang hingga saat
ini masih terkesan sangat populer dan eksis
dikalangan masyarakat pendukungnya adalah
topeng dhalang “Rukun Pewaras” yang ada
di Desa Slopeng Kecamatan Dasuk.
Pada tahun 1817, Muncari salah
seorang tokoh seni di Sumenep mendirikan
sebuah kelompok topeng dhalang dengan
nama “Muncar Are”. Topeng dhalang
“Muncar Are” ini menjadi aset berharga bagi
keluarganya sehingga dapat diwariskan
secara turun-temurun kepada anak cucunya.
Oleh sebab itu, pada saat Muncari mulai
merasa kurang mampu dalam melaksankan
tugas sebagai pimpinan, maka topeng
dhalang yang diasuhnya selama bertahun-
tahun tersebut diwariskan kepada puteranya
yang bernama Mardisa. Bersamaan dengan
dinobatkannya Mardisa sebagai pimpinan
topeng dhalang warisan orang tuanya ini,
topeng dhalang “Muncar Are” berganti nama
menjadi “Pendowo”. Topeng dhalang
“Pendowo” yang diasuh oleh Mardisa
kemudian diturunkan kepada puteranya yang
bernama Luhbanjir dan nama topeng
dhalangnya berganti nama “Se Banjir”.
Luhbanjir yang dijuluki “Ju’ Serep”
ini memiliki empat anak laki-laki satu anak
perempuan yang bernama Busaha, Supakra,
Pathan, Me’olla (perempuan), dan Mas’ed.
Pada saat Luhbanjir lanjut usia topeng
dhalang “Se Banjir” diwariskan kepada anak
pertamanya yakni Busaha, namun oleh
Busaha dipercayakan kepada Supakra yang
menurutnya dianggap lebih mampu dalam
mengemban amanah menjaga kejayaan
topeng dhalang warisan nenek moyang
tersebut. Kelompok topeng dhalang yang
berada di bawah asuhan supakra pada saat itu
berganti nama “Rukun Perawas”.
Seiring berjalannya waktu Supakra
mulai merasa ingin mewariskan topeng
dhalangnya kepada keturunannya, namun
oleh karena adanya sengketa keluarga yang
disebabkan oleh perbedaan pendapat tentang
hal politik masyarakat Slopeng pada saat itu
menjadi sebuah dampak negatif bagi
kelangsungan topeng dhalang tersebut.
Adanya perpecahan hubungan saudara dan
anggota-anggota lain dalam kelompok
membuat topeng dhalang “Rukun Perawas”
mengalami perpecahan pada akhir bulan
Januari tahun 1994 M. Suasana yang
semakin memanas pada saat itu juga tidak
dapat dipungkiri oleh berbagai pihak dan
seluruh masyarakat Slopeng, sehingga
Mas’ed memutuskan untuk mendirikan
topeng dhalang lain sebagai solusi terbaik,
sedangkan topeng dhalang “Rukun Perawas”
sendiri dipercayakan kepada putera dari
Supakra yang bernama Suraji.
Tahun 1994 M merupakan salah satu
momen yang sangat berharga sekaligus
sebagai pengalaman penuh kesedihan bagi
Mas’ed sebagai anak bungsu dari Luhbanjir
karena pada saat itu beliau berjuang dengan
sekuat tenaga untuk mendirikan sebuah
kelompok topeng dhalang dan akhirnya
berhasil pentas pertama kali pada tanggal 5
Mei 1994 M di Desa Slopeng Kecamatan
Dasuk dengan menggunakan nama
kebesaran “Rukun Pewaras”. Dengan
berdirinya topeng dhalang “Rukun Pewaras”
ini tidak sedikit dari pihak topeng dhalang
“Rukun Perawas” yang kurang
menyukainya. Hal ini memicu ketatnya
persaingan dari kedua kelompok topeng
dhalang tersebut untuk menjadi yang lebih
eksis dan lebih banyak digandrungi
masyarakat pendukungnya.
Sampai saat ini seni pertunjukan
topeng dalang “Rukun Pewaras” masih
mampu bersaing dengan seni pertunjukan
lain bahkan dengan seni pertunjukan yang
bersifat modern sekalipun. Topeng dhalang
“Rukun Pewaras” saat ini dipimpin oleh Adi
Sutipno putra dari Mas’ed, sedangkan topeng
dhalang “Rukun Perawas” saat ini berada
dalam asuhan Merto yakni saudara dari
Suraji. Meskipun pada mulanya kedua
kelompok topeng dhalang ini bersaing untuk
menjadi yang terdepan namun sekarang ini
baik pimpinan ataupun anggota dari kedua
belah pihak tidak saling bermusuhan. Hal
tersebut dikuatkan oleh pendapat dari
seorang informan yaitu Adi Sutipno sendiri
selaku pimpinan topeng dhalang “Rukun
Pewaras” yang memberikan penjelasan
bahwa persaingan “Rukun Pewaras” dengan
“Rukun Perawas” saat ini hanya cukup di
saat pementasan saja, dan tentunya tidak
akan pernah manjadi sebuah penyebab atau
alasan untuk dijadikan sengketa lagi.
Suryanto yang memiliki peran sebagai
sutradara dalam topeng dhalang “Rukun
Pewaras” juga menambahkan bahwa topeng
dhalang “Rukun Pewaras” selalu siap
bersaing dari segi apapun juga akan tetapi
persaingan tersebut masih berjalan sportif
dan berdampak positif supaya lebih
membangun.
Bentuk Pertunjukan Topeng Dhalang
“Rukun Pewaras”, Desa Slopeng
Kecamatan Dasuk Kabupaten Sumenep
1. 1. Prosesi Pertunjukan
Sebelum pementasan topeng dhalang
dimulai, biasanya para pengrawit (najaga
dalam sebutan bahasa Madura) terlebih
dahulu melantunkan gending–gending gaya
Madura. Disajikannya gending – gending
tersebut bertujuan untuk menyambut para
tamu dan penonton dalam menyaksikan
pertunjukan wayang topeng dhalang “Rukun
Pewaras”. Gending – gending yang dipakai
untuk penyambutan para tamu tersebut
terdiri dari gending garapan “Rukun
Pewaras” sendiri, selanjutnya gending
“Cokro” dan gending “Puspowarno”.
Seperti halnya Ludruk yang
mengawali setiap pementasannya dengan
ngremo(1), topeng dhalang juga membuka
pagelarannya dengan penyajian sebuah karya
tari. Pada topeng dhalang “Rukun Pewaras”
pementasannya diawali dengan suguhan tari
yang merupakan tari garapan asli komunitas
topeng dalang “Rukun Pewaras”, yaitu tari
Gambu Pamongkas. Kemudian dilanjutkan
dengan penampilan tari Kelana Tunjung Seta
yang membawa empat raksasa pengiring.
Cerita yang terkandung dalam tari pembuka
ini sendiri adalah tentang dewa Siwa yang
sedang mengirim Kelana Tanjung Seta
beserta anak buahnya untuk mengawasi
keadaan serta perilaku manusia di bumi.
Tarian tersebut juga diiringi percakapan
dhalang untuk membuka pementasan topeng
dhalang.
Pertunjukan dilanjutkan dengan
tembang-tembang Suluk, dimana alunan
tembang ini mengantarkan para penonton
untuk memasuki inti cerita pertunjukan
wayang topeng dhalang “Rukun Pewaras”
yang akan dipentaskan. Suluk dan dialog
dalam topeng dhalang Madura memakai
bahasa Madura halus, sedangkan untuk suluk
pembukaan menggunakan bahasa Jawa kuno.
Dalam setiap pertunjukan wayang
topeng dhalang, tokoh utama yang 1Ngremo: tari tradisional Jawa Timur yang
menggambarkan kegagahan pemuda / pemudi melalui gerak tarinya.
menggerakkan semua pemeranan adalah
Dalang. Ki dalang berperan sebagai
pemimpin orkestra gamelan, menyajikan
suluk, narasi dan mengucapkan dialog.
Dengan suaranya yang lembut, kadang
menghentak keras Ki dalang untuk
memimpin penari-penari yang bergerak di
belakang topeng. Semua pemeran
lakon/penari tidak berbicara, kecuali para
Punakawan(2).
Dialog dan nyanyian seluruhnya
diucapkan oleh Dalang yang duduk di
belakang layar. Pada layar tersebut dibuat
lubang kecil, dari lubang berbentuk segi
empat inilah dalang mengisahkan lakon
sesuai dengan cerita. Di depan layar, para
pemain lakon menyesuaikan dengan
gerakan-gerakan tari setiap alur cerita yang
dikisahkan dalang.
Adapun dalam setiap pementasan
seluruh pemain wayang topeng dalang serta
para penari didominasi pemain laki-laki.
Setiap pementasan dibutuhkan penari
sebanyak 15 sampai 25 orang dalam setiap
lakon, yang dipentaskan semalam suntuk,
namun sekarang ini khususnya pada topeng
dhalang “Rukun Pewaras” hanya dibutuhkan
penari sebanyak 11 orang dalam setiap
lakon, karena beberapa pemeran topeng
banyak yang menguasai tarian sekaligus
karakter lebih dari satu karakter tokoh.
Dengan kata lain, ada beberapa penari yang
2Punakawan: sebutan keempat tokoh wayang yakni Semar, Bagong, Pitruk, dan Gareng.
dapat berperan ganda (memerankan dua
karakter topeng sekaligus), atau bahkan
lebih, yang terpenting sutradara mahir dan
mampu dalam mengatur adegan supaya
kedua tokoh yang diperankan oleh satu orang
tidak keluar secara bersamaan.
Setiap lakon yang dibawakan, selalu
sarat dengan gaung cinta, adegan heroik
ataupun beragam petuah bermakna filosofis
kehidupan yang kental. Ditambah dengan
gerak tarian, terangkai dalam gerak yang
kompleks. Kadang-kadang gerakan tarinya
halus, lemah lembut, lalu berubah kasar,
kaku dan sedikit naif, namun dibawakan
dengan penuh emosi yang ekspresif.
Dalam setiap pementasan,
penampilan para penari sangat sederhana,
tetapi ekspresif. Sekalipun setiap gerak tari
agak naif dan sedikit kaku, tetapi
mengandung nilai spiritual yang tinggi. Dan
itu merupakan salah satu nilai plus, karena
nilai-nilai yang terkandung dalam setiap
gerakan masih brilian, bersih dan otentik.
Adapun gerakan/gaya tarian yang
dipakai dalam pertunjukan topeng Dalang
ada beberapa macam, diantaranya:
a. Tandhang Alos (tari halus),
b. Tandhang baranyak (tari sedang),
c. Tandhang ghalak (tari kasar) dan putri
( gerak penari perempuan).
Masing-masing tandhang ini diiringi
oleh gending-gending tersendiri:
a. Tandhang Alos diiringi gending-
gending Puspawarna, Tallang, Rarari,
dan lain-lainnya.
b. Tandhang Baranyak diiringi gending-
gending, Calilit, Pedat, gunungsari,
dan biskalan.
c. Tandhang Ghalak diiringi gending-
gending Gagak, Pucung, Gunjing
Miring, Ketawang Memper, dan Kuda
Nyirik.
Alat-alat musik yang dipakai adalah
seperangkat alat gamelan dengan ditambah
crek-crek (sea’ dalam bahasa Madura) yang
dipakai dan dimainkan oleh dalang sendiri.
Menurut Dr. Sutyiyono dalam bukunya
“Puspowarna Seni Tradisi Dalam
Perubahan Sosial Budaya”, mengatakan
bahwa gending dapat menguatkan karakter
setiap tokoh/wayang yang sedang disabetkan
oleh dalang. Gerak wayang yang disajikan
dalang, tentu saja berada pada sikon pada
saat itu. Dalam artian, wayang yang
berwanda halus akan diiringi dengan gending
yang sifatnya halus. Jika situasi dalam
adegan peperangan akan diiringi dengan
gending yang sifatnya tegang.
Pemilihan gending yang tepat, disertai
ekspresi wayang yang hebat dapat
mengakibatkan penonton terngiang – ngiang,
terutama bagi mereka yang serius
menghayatinya. Pada saat – saat tertentu
banyak dijumpai para penonton yang
menangis tersedu–sedu ketika melihat suatu
adegan yang menyedihkan, seperti pada saat
adegan Gatot Kaca disiksa oleh ayahnya
yakni Bima akibat dituduh mencuri Jimat
Kalimasada.
Nilai plus pada topeng dhalang “Rukun
Pewaras” adalah suasana dengan nuansa
magis yang dibangun oleh bunyi
gemerincing gungseng(3). Seolah-olah
getaran gungseng menyebar ke seluruh arena
membentuk suasana yang diperlukan, baik
suasana sedih, gembira ataupun tegang.
Ditambah ketika penari menghentak-
hentakkan kaki, sepanjang pertunjukan tak
sepi dari suara gungseng, apabila disimak
memang suara satu dan lainnya memberikan
ekspresi tersendiri.
Pada masa lalu, lakon yang dimainkan
dalam wayang topeng dhalang banyak
mengambil kisah Panji atau kisah-kisah
seperti Damar Wulan. Namun dalam
perkembangannya, kisah-kisah yang
dipentaskan saat ini banyak
mengambil cerita dari topik Ramayana dan
Mahabharata.
Dalam setiap pementasan kisah
Mahabharata lebih sering ditampilkan
ketimbang kisah-kisah lainnya. Hal ini
dikarenakan kisah-kisah dalam Mahabharata
terdapat lebih banyak pertentangan,
perseteruan dan konflik. Konflik multi
dimensi dari masalah cinta, perang saudara,
perebutan tahta, ideologi maupun
pertentangan antara anak dengan orang tua, 3Gunseng:salahsatubusanatari yang dipakai di pergelangan kaki yang menimbulkanbunyijikadihentakkan.
murid dengan guru, saudara dengan saudara
menjadi salah satu cerita yang menarik yang
dipertunjukan di wayang topeng dhalang.
Konflik-konflik tersebut dibumbui dengan
adu kekuatan, baik berupa senjata mustika
maupun kesaktian yang dimiliki oleh para
ksatria.
2. Pembagian Waktu Dalam Prosesi
Pertunjukan Wayang Topeng Dhalang
“Rukun Pewaras”
Dalam pementasan pertunjukan wayang
topeng dhalang semalam suntuk biasanya
berlangsung dari pukul 20.00 WIB sampai
pukul 03.30 WIB. Waktu yang ditentukan
tersebut terbagi atas beberapa susunan acara
pementasan sebagai berikut.
a. Pukul 20.00 WIB–21.00 WIB,
merupakan acara penyambutan bagi para
tamu dengan suguhan gending – gending
gaya Sumenep, Madura.
b. Pukul 21.00 WIB–22.00 WIB,
merupakan acara pembukaan yang
dipimpin oleh sutradara yang
dilanjutkan dengan pementasan tari–tari
pembuka seperti Tari Gambo
Pamungkas dan dilanjutkan dengan
pagelaran Tari Klono Tunjung Seta.
c. Pukul 22.00 WIB–22.30 WIB, cuplikan
yaitu sebuah adegan sekilas tentang
cerita yang akan disajikan pada malam
itu.
d. Pukul 22.30 WIB–02.30WIB,
merupakan acara inti yaitu pementasan
cerita yang terdiri dari beberapa adegan.
e. Pukul 02.30 WIB–03.30 WIB,
merupakan acara rokat pandhaba.
Jika tidak ada acara rokat pandaba maka
pementasan cerita akan terus berlangsung
sampai pukul 03.30 WIB. Hal ini
menunjukkkan bahwa para pelaku seni
topeng dhalang “Rukun Pewaras” selalu
berusaha memberikan kepuasan kepada para
penonton namun juga tidak pernah lupa akan
batasan waktu yang tersedia. Jika sudah tiba
waktunya sholat subuh tentu saja acara harus
segera disudahi.
Keunikan Wayang Topeng Dhalang
“Rukun Pewaras”
1. Layar Dekorasi Panggung Topeng
Dalang Rukun Pewaras
Pada umumnya, beberapa kelompok
kesenian Topeng Dalang di Madura
menggunakan panggung dengan layar
dekorasi yang dapat digulung ke atas untuk
menunjukkan suasana yang dilukis pada
layar dekorasi lainnya. Begitu pun juga
dengan kelompok kesenian Topeng Dhalang
“Rukun Pewaras” desa Slopeng, Kecamatan
Dasuk, Kabupaten Sumenep, Madura.
Layar–layar dekorasinya dibuat untuk
menunjukkan suasana dan tempat peristiwa
dimana peran itu dimainkan. Layar-layar
dekorasi tersebut dibuat dari kain kanvas
berukuran kurang lebih 3x5,5 meter yang
digulung dan digantungkan di atas sebuah
kerangka bambu berbentuk segi empat yang
biasa disebut dengan para-para. Layar-layar
tersebut kemudian direntangkan dari sisi
kanan dan kiri panggung bagian belakang
dengan cara diturun-naikkan dengan bantuan
seutas tali oleh dua orang petugas dekorasi
yang sudah standby atau bersiap-siap
sebelum acara pagelaran dimulai. Setelah
layar dekorasi tersebut diturunkan, para
pemain bertopeng kemudian bergerak
didepannya dengan tanpa tirai panggung
yang menutupi mereka.
Untuk pewarnaan dan pola ukiran pada
layar dekorasinya sendiri menggunakan cat
Aga dengan warna-warna yang cerah
mencolok. Sedangkan proses pemasanganny
dipercayakan langsung kepada pelukis yang
berpengalaman.
Kumpulan ini menggunakan empat
layar utama yang dijadikan latar belakang
dalam setiap pementasannya. Layar-layar
tersebut selalu dipakai dalam setiap lakon
atau cerita yang dimainkan. Menurut Adi
Soetipno menambahkan, setiap layar dalam
kelompok keseniannya dibuat sedemikian
rupa dengan ala kadarnya tanpa memiliki
dasar rujukan yang melatarbelakangi
pembuatannya sehingga layar dekorasi yang
ditampilkan kurang mendapat perhatian dari
para penonton yang melihatnya. Perhatian
penonton lebih banyak terfokus pada para
pemain topeng yang sedang bermain di atas
panggung.
Dari tata kelola panggungnya sendiri,
bentuk dan bahan materialnya masih sama
tidak ada perubahan dari dulu hingga
sekarang, hanya sedikit penambahan warna
pada aksesoris panggung yang mulai pudar.
Sedangkan dari bentuk rangka
bangunnya, panggung Topeng Dhalang
“Rukun Pewaras” dibangun dengan
menggunakan pondasi yang terbuat dari
kerangka pipa besi dan bambu dengan
ukuran panjang 8 meter dan lebar kurang
lebih 5,5 m persegi. Sedangkan pada
tingginya memiliki ukuran kurang lebih 6 m.
Pada lantainya menggunakan bahan
kayu yang terbuat dari pohon mangga,
disusun sejajar mengikuti ukuran panggung
dengan baut yang berfungsi untuk mengunci
kayu yang satu dengan yang lainnya agar
tidak goyang. Pada atapnya terdapat para-
para bambu dan kayu. Para-para ini berjejer
atau berderet sejajar dengan arah panggung
bawah ke panggung atas, meliputi juga
seluruh daerah atas panggung. Dari kerangka
para-para ini tergantung semua perlengkapan
gantungan, misalnya: layar, siben, satu-
satuan lampu, dan lain sebagainya.
Semuanya dipasang secara manual dengan
menggunakan baut dan tali pengikat. Untuk
siben atau sayap-sayap panggung terdiri dari
3 macam, yaitu siben utama, siben pelapis
dan siben penutup area samping kanan dan
kiri panggung. Semuanya terbuat dari bahan
kayu dan kain yang dilukis bercorak ukiran
khas Madura. Untuk layar penutupnya
menggunakan kain saten warna biru. Para
pemusik pengiring ditempatkan di depan
area panggung membaur dengan para
penonton. Aspek penataan semacam ini
lazim dilakukan oleh kelompok ini dalam
setiap pertunjukannya. Menurut Adi
Soetipno, salah satu cara untuk menampilkan
seni pemanggungan dalam cerita topeng
haruslah terfokus pada satu titik pandangan
mata dengan satu bingkai proscenium. Untuk
itulah pemusik menempati posisi di depan
para pemain yang dimaksudkan untuk
memudahkan para pemusik menabuh yang
sesuai dengan gerak para pemainnya.
2. Teknik Pencahayaan
Topeng dalang “Rukun Pewaras” pada
saat ini sudah menggunakan lampu dengan
beragam warna sebagai pendukung suasana.
Lampu yang digunakan pada suatu
pementasan terdiri dari:
a. Lampu neon:
- hitam sebanyak 3 buah.
- Biru sebanyak 2 buah.
- Putih sebanyak 2 buah.
b. Lampu warna:
- Merah, di atas sebanyak 4 buah dan
di bawah sbanyak 2 buah.
- Hijau, di atas sebanyak 4 buah dan di
bawah sebanyak 2 buah.
- Kuning, di atas sebanyak 2 buah dan
di bawah sebanyak 2 buah.
- Biru, di atas sebanyak 2 buah dan di
bawah sebanyak 2 buah.
c. Lampu dop 1 buah di bagian bawah.
Masing – masing lampu memiliki
jumlah kapasitas watt sebesar 40 watt.
3. Unsur Pendukung Pertunjukan
Dalam pementasan topeng dalang juga
ada beberapa adegan yang butuh adanya
efek tambahan untuk pendukung suasana.
misalnya pada saat arjuna melepaskan
panahnya kemudian mengenai musuhnya,
ini dapat diimbuhi dengan efek suara
ledakan yaitu dengan menggunakan petasan
yang dipukul. Petasan ini tidak berbahaya
hanya suaranya saja yang begitu keras di
telinga sehingga konsentrasi penonton
sempat teralihkan dan ini merupakan
kesempatan bagi tokoh untuk adegan
menghilang dari pandangan para penonton.
Selain itu, di bagian belakang ada
sebuah layar hitam yang dapat
mengumpamakan seorang tokoh yang
sedang terbang, dibantu dengan alat yang
dapat membuatnya berjalan ke atas dengan
cepat sehingga tampak seperti terbang
sungguhan. Dalam hal ini lampu yang
digunakan adalah lampu neon ultra warna
hitam yang dapat membuat benda apapun
yang berwarna mencolok menjadi terlihat
jelas.
4. Dalang Wayang Topeng Dhalang
“Rukun Pewaras”
Bahasa yang digunakan oleh dalang
dalam suatu pementasan topeng dalang
“Rukun Pewaras” pada umumnya adalah
berbahasa Madura. Namun sekarang ini
bahasa yang digunakan juga adalah bahasa
Indonesia yakni ketika sedang pentas ke luar
kota seperti dalam sebuah acara festival yang
pernah diikuti di Jakarta.
Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
Topeng dhalang merupakan salah satu seni
pertunjukan tradisional yang hidup dan
berkembang hingga saat ini. Seni
pertunjukan topeng dhalang ini dapat
dijumpai pada Pulau Madura tepatnya di
bagian ujung timur Pulau Madura, yakni di
Kabupaten Sumenep. Salah satu seni
pertunjukan topeng dhalang yang sampai
saat ini masih eksis di kalangan masyarakat
adalah kelompok topeng dhalang “Rukun
Pewaras” yang ada di Desa Slopeng
Kecamatan Dasuk.
Dalam pertunjukannya, topeng
dhalang “Rukun Pewaras” diawali dengan
para pengrawit (najaga) melantunkan
gending–gending gaya Madura. Gending–
gending yang digunakan dalam mengawali
pementasan untuk menyambut para tamu
terdiri dari gending garapan “Rukun
Pewaras” sendiri, gending Cokro dan juga
gending Puspowarno. Setelah diawali oleh
permainan gendhing dari para pengrawit
pada topeng dhalang “Rukun Pewaras” hal
selanjutnya adalah dengan suguhan tari yang
merupakan tari garapan asli komunitas
topeng dhalang “Rukun Pewaras”, yaitu Tari
Gambuh Pamongkas. Disusul kemudian
dengan penampilan Tari Kelana Tunjung
Seta. Adapun dalam setiap pementasan
seluruh pemain topeng dalang serta para
penari didominasi pemain laki-laki. Setiap
pementasan dibutuhkan penari sebanyak 15
sampai 25 orang dalam setiap lakon, yang
dipentaskan semalam suntuk. Tidak menutup
kemungkinan hal tersebut dapat berkurang
dengan kemampuan masing-masing penari
yang dapat memerankan dua peran dalam
setiap pertunjukan wayang topeng dhalang
“Rukun Pewaras”. Unsur keunikan yang
dimiliki oleh kelompok wayang topeng
dhalang “Rukun Pewaras” terdapat pada
bentuk dekorasi, teknik pencahayaan,
pembuatan efek-efek pertunjukan, serta
dalang yang mengendalikan pertunjukan
wayang topeng.
Daftar Rujukan
Pustaka Tercetak
Kusumayati, Hermin, A.M. 2000. Arak–Arakan Seni Pertunjukan dalam Upacara Tradisional di Madura. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.
Ellfelt, Louis. 1986. Pedoman Dasar Penata Tari. Diterjemahkan oleh Sal Murgiyanto. Jakarta : LPKJ
Padmodarmaya, Pramana. 1988. Tata Dan Teknik Pentas. Jakarta: Balai Pustaka.
Soedarsono, Prof. Dr. R.M. 2001. Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan Dan Seni Rupa. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Soedarsono, Prof. Dr. R.M. 2002. Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada.
Widyastutieningrum, Sri Rochana. 2004. Sejarah Tari Gambyong (Seni Rakyat Menuju Istana). Surakarta: Etnika.
Penyusun, Tim. 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Redaksi, Tim. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Wibowo. 2002. Tata Krama Suku Bangsa Madura. Yogyakarta
Pamungkas, Ragil. 2008. Tradisi Ruwatan. Yogyakarta: Penerbit NARASI.
Daftar Pustaka Maya
Digitizedby USU Digital Library, (http:// library.usu.ac.id /downloud/fs/etnomusikologi-Arifni.pdf.). Vol.2. Diakses 19 Februari 2008
http://tiyantiyanti09.blogspot.com/2014/01/pengaruh-mitos-seputar-kehamilan.html.
Arifni. 2003. Dalam http://library.usu.ac.id/download/fs/etnomusikologi_Arifni.pdf. Diakses 19 Pebruari 2012