kajian cendawan entomopatogen lecanicillium lecanii (zimm ... · cendawan l. lecanii di lapangan...
TRANSCRIPT
KAJIAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN
Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams UNTUK MENEKAN PERKEMBANGAN TELUR HAMA
PENGISAP POLONG KEDELAI Riptortus linearis (F.) (HEMIPTERA: ALYDIDAE)
YUSMANI PRAYOGO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul “Kajian Cendawan Entomopatogen Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams untuk Menekan Perkembangan Telur Hama Pengisap Polong Kedelai Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: Alydidae)” adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan di dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir disertasi ini. Bogor, Mei 2009
Yusmani Prayogo
NIM A461060101
ABSTRACT YUSMANI PRAYOGO. Study of Entomopathogenic Fungi Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams to Control Pod Sucking Bug Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: Alydidae) Egg. Under Supervision of TEGUH SANTOSO, UTOMO KARTOSUWONDO, and LISDAR I. SUDIRMAN. Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams is one of the most entopathogenic fungi that can be used to control pod sucking bug Riptortus linearis F. (Hemiptera: Alydidae) egg. The effectiveness of fungi were affected by intraspecies virulence, conidia density, host developmental stage, and environmental factors. The purposes of this research are: (1) to study the phisiological character of various L. lecanii isolates and their virulence to pod sucking bug R. linearis egg, (2) to obtain the maximal conidia density of L. lecanii to control different ages of R. linearis eggs, and (3) to study the effect of several vegetable oils as adjuvant to increase the effectiveness of fungi. Among 37 isolates tested, isolates Ll-JTM11, Ll-JTM12, Ll-JTM15, and Ll-TB2 were judged as the most virulent. The fungi that were virulent were isolated from insect cadaver killed by fungi in the field, while fungi isolated from the soil in general did not show high infectivity. The virulent isolates showed higher growth rate, formed wholly colony, produced more conidia than avirulent isolates, had large conidial size up to 6.5 x 2.5 µm. More than 95% germ tubes of virulent isolates were formed after 12 hours incubation in the water. The conidia density of 108/ml was found as an effective preparation against newly laid and less than one day old insect eggs. During in vitro experiment, peanut, soybean, and coconut oil increased the growth and development of the fungi. The persistence of fungal conidia on the soybean leaf surface could be maintained until seven days after application. Mixing the vegetable oil at concentration 10 ml/l fungal suspension, increased infectivity of the fungi and decreased hatchability of the egg until 20%. Therefore, damage intensity as indicated by sum of spots, empty pods, and weight of grains were reduced. Adding vegetable oil to the fungal preparation, yielded 40% more grain weight as compared to control. Among three vegetable oils tested, the effect of peanut oil was more pronounced than soybean and coconut oil. Key words: conidia, vegetable oils, persistent, soybean pod, virulence.
RINGKASAN YUSMANI PRAYOGO. Kajian Cendawan Entomopatogen Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams untuk Menekan Perkembangan Telur Hama Pengisap Polong Kedelai Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: Alydidae). Dibimbing oleh TEGUH SANTOSO, UTOMO KARTOSUWONDO, dan LISDAR I. SUDIRMAN.
Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: Alydidae) merupakan salah satu hama pengisap polong kedelai yang sangat penting karena dapat menyebabkan kehilangan hasil mencapai 80% jika tidak dilakukan pengendalian. Lebih dari 98% usaha pengendalian yang dilakukan petani masih mengandalkan aplikasi insektisida kimia. Insektisida kimia hanya mampu membunuh stadia nimfa dan imago, sedangkan stadia telur masih bertahan dan berkembang menjadi serangga dewasa sehingga populasi di lapangan selalu menjadi tumpang tindih. Dengan demikian, pengendalian menggunakan insektisida kimia menjadi kurang berhasil. Oleh karena itu, perlu dicari alternatif teknologi pengendalian yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan dengan cara memanfaatkan peran agens hayati. Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams (=Verticillium lecanii) merupakan salah satu jenis cendawan entomopatogen bersifat toksik terhadap telur R. linearis sehingga telur yang terinfeksi akhirnya tidak mampu menetas. Di Indonesia, informasi pemanfaatan cendawan L. lecanii sebagai agens untuk pengendalian hama pengisap polong kedelai belum pernah dilaporkan. Penelitian ini bertujuan untuk; (1) mempelajari karakter fisiologi 37 isolat cendawan entomopatogen L. lecanii dan virulensinya terhadap telur R. linearis, (2) memperoleh kerapatan konidia maksimal cendawan L. lecanii untuk mengendalikan telur R. linearis pada berbagai umur, dan (3) memperoleh jenis maupun konsentrasi minyak nabati yang efektif serta efisien untuk mempertahankan persistensi dan keefektifan L. lecanii dalam mengendalikan telur R. linearis.
Penelitian dilakukan di laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (BALITKABI) yang dimulai dari bulan Maret 2007 sampai dengan Agustus 2008. Penelitian di laboratorium menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), sedangkan penelitian di rumah kasa disusun menggunakan RAL faktorial. Setiap perlakuan diulang empat kali.
Dari percobaan diperoleh empat isolat L. lecanii yang virulen untuk mengendalikan telur R. linearis, yaitu Ll-JTM11, Ll-JTM12, Ll-JTM15 yang diperoleh dari Jawa Timur, dan Ll-TB2 diperoleh dari Lampung. Virulensi empat isolat mencapai di atas 70%, kecuali Ll-JTM15 (69%). Isolat yang diperoleh dari bangkai serangga (cadaver) Spodoptera litura memiliki virulensi lebih tinggi dibandingkan dengan isolat dari cadaver R. linearis maupun cadaver yang lain. Fenomena ini mengindikasikan bahwa cendawan tersebut bersifat tidak spesifik inang dan memiliki keragaman intraspesies yang cukup tinggi. Diperoleh informasi baru untuk mendapatkan isolat yang lebih virulen dapat diisolasi dari sumber inang lain. Pengamatan karakter fisiologi menunjukkan bahwa isolat yang lebih virulen mampu
tumbuh dan mengkolonisasi telur lebih cepat dan lebih tebal, produksi konidia lebih banyak hingga di atas 7 x 106 pada tiap telur yang tidak menetas, ukuran konidia lebih besar mencapai 6.5 x 2.5 µm, dan daya kecambah konidia di atas 95% dalam rentang waktu hanya 12 jam setelah diinkubasi (JSI). Kemiripan karakter fisiologi pada isolat yang virulen mencapai 98%. Keempat isolat yang virulen mempunyai peluang yang besar dapat digunakan sebagai salah satu agens hayati dalam konsep pengelolaan hama terpadu (PHT) khususnya dalam mengendalikan telur R. linearis.
Hasil uji kerapatan konidia menunjukkan bahwa semakin tinggi kerapatan konidia L. lecanii yang diaplikasikan semakin efektif dalam menekan perkembangan telur R. linearis. Kerapatan konidia 108/ml sangat efektif untuk menekan perkembangan telur R. linearis dibandingkan dengan kerapatan konidia yang lebih rendah. Semakin muda umur telur R. linearis semakin rentan terhadap infeksi L. lecanii. Aplikasi cendawan L. lecanii pada telur yang berumur kurang satu hari sampai dengan satu hari lebih efektif dan lebih efisien dibandingkan telur yang berumur empat sampai dengan enam hari. Dengan demikian, peluang nimfa yang dapat berkembang menjadi serangga dewasa hanya sekitar 9%. Di lapangan, aplikasi pada umur tersebut umumnya terjadi pada tanaman yang berumur kurang lebih 35 hari setelah tanam (HST). Telur R. linearis yang terinfeksi L. lecanii pada umur kurang satu hari sampai dengan satu hari akan terlambat menetas hingga 4.5 hari dibandingkan kontrol. Pergeseran waktu penetasan telur R. linearis yang terjadi mengakibatkan perkembangan serangga menjadi terlambat dan tidak sesuai dengan perkembangan polong kedelai yang ada sehingga kejadian tersebut sangat menguntungkan bagi keselamatan polong dan biji kedelai. Setiap telur yang tidak menetas mampu memproduksi konidia di atas 7 x 106/ml. Semakin banyak jumlah telur yang diproduksi pada setiap telur yang tidak menetas semakin efektif cendawan tersebut sebagai agens hayati. Konidia yang terbentuk merupakan sumber inokulum sekunder yang cukup potensial dalam proses transmisi patogen sehingga cepat terjadi epizooti dan peledakan hama di lapangan diharapkan dapat dihindari.
Semua jenis minyak nabati yang ditambahkan dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan cendawan L. lecanii secara in vitro. Peningkatan pertumbuhan cendawan ditunjukkan dari hasil pertambahan diameter koloni lebih lebar pada media yang mengandung minyak nabati dibandingkan kontrol. Peningkatan diameter koloni tertinggi diperoleh dari penambahan minyak kacang tanah terutama pada konsentrasi 10 ml/l, yaitu mencapai 70%. Di duga penambahan minyak nabati mampu meningkatkan kualitas media tumbuh sehingga mempunyai korelasi positif terhadap produksi konidia yang dibentuk. Penambahan minyak kacang tanah, minyak kedelai, dan minyak kelapa pada konsentrasi 10/ml mampu meningkatkan produksi konidia 98-99%. Konidia yang dihasilkan dari media yang memiliki kualitas lebih baik mengakibatkan daya kecambah konidia juga lebih tinggi. Daya kecambah konidia merupakan syarat utama bagi keberhasilan proses infeksi cendawan entomopatogen pada serangga inang. Penambahan minyak nabati juga mampu meningkatkan persistensi cendawan di lapangan. Hasil uji menunjukkan bahwa penambahan minyak nabati dengan konsentrasi 10 ml/l mampu mempertahankan persistensi konidia di pertanaman kedelai hingga tujuh hari setelah aplikasi (HSA). Tanpa penambahan minyak, persistensi cendawan hanya mampu
bertahan satu hari di lapangan. Hasil uji penambahan minyak nabati terutama pada konsentrasi 10 ml/l mampu menekan perkembangan telur sehingga peluang telur akan menetas hanya sekitar 20%. Dengan demikian, peluang nimfa yang berkembang menjadi serangga dewasa juga terbatas. Jumlah serangga yang terbatas mengakibatkan peluang polong yang dapat dirusak oleh serangga juga lebih rendah sehingga jumlah polong hampa yang terbentuk lebih sedikit dibandingkan dengan kontrol. Penambahan minyak nabati mampu mempertahankan keefektifan L. lecanii dalam menyelamatkan hasil biji mencapai 40% dibandingkan kontrol. Minyak nabati yang berasal dari kacang tanah lebih baik digunakan sebagai adjuvant dibandingkan minyak kedelai maupun minyak kelapa. Minyak kedelai dan minyak kelapa dapat digunakan sebagai alternatif pengganti minyak kacang tanah.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pengendalian R. linearis pada stadia telur merupakan cara yang efektif untuk menekan kehilangan hasil kedelai. Aplikasi cendawan L. lecanii dianjurkan menggunakan isolat yang paling virulen yaitu Ll-JTM11 dengan kerapatan konidia maksimal 108/ml. Aplikasi sebaiknya dilakukan pada telur yang berumur kurang satu hari sampai dengan satu hari atau pada tanaman yang berumur 35 HST. Untuk meningkatkan persistensi cendawan L. lecanii di lapangan agar pengendalian lebih efektif dan efisien maka dianjurkan menambahkan minyak nabati terutama dari biji kacang tanah dengan konsentrasi 10 ml/l. Cendawan L. lecanii merupakan salah satu agens hayati yang mempunyai prospek baik untuk mengendalikan telur R. linearis dalam menekan kehilangan hasil kedelai.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KAJIAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams
UNTUK MENEKAN PERKEMBANGAN TELUR HAMA PENGISAP POLONG KEDELAI Riptortus linearis (F.)
(HEMIPTERA: ALYDIDAE)
YUSMANI PRAYOGO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Entomologi - Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2009
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. I. Wayan Winasa, M.Si. Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. Suyamto Hardjosuwirjo Dr. Ir. Ruly Anwar, M.Si
Judul Disertasi : Kajian Cendawan Entomopatogen Lecanicillium lecanii
(Zimm.) (Viegas) Zare & Gams untuk Menekan Perkembangan Telur Hama Pengisap Polong Kedelai Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: Alydidae)
Nama : Yusmani Prayogo NIM : A 461060101
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA Ketua
Prof. Dr. Ir. Utomo Kartosuwondo, MS. Dr. Ir. Lisdar I. Sudirman Anggota Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Entomologi / Fitopatologi Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi yang berjudul “Kajian Cendawan Entomopatogen Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams untuk Menekan Perkembangan Telur Hama Pengisap Polong Kedelai Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: Alydidae)”.
Sebagian dari disertasi ini telah diterbitkan di Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan (PUSLITBANGTAN), Volume 27, No 2, tahun 2008 dengan judul “Efektivitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen Lecanicillium lecanii (Zimm.) Viegas terhadap Telur Hama Pengisap Polong Kedelai”. Artikel dengan judul ”Uji Konsentrasi Konidia Cendawan Entomopatogen Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams pada Berbagai Umur Telur Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: Alydidae)’ diterbitkan di Jurnal AGRITEK, Institut Pertanian Malang Vol 16, No 6 tahun 2008. Artikel lain yang masih dalam proses adalah; (1) Kerentanan Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams terhadap Perbedaan Tingkat Temperatur yang diterbitkan di Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan (PUSLITBANGTAN), (2) Pengaruh Minyak Nabati terhadap Pertumbuhan, Perkembangan, dan Persistensi Cendawan Entomopatogen Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams yang diterbitkan di Jurnal Hama Penyakit Tropika, Universitas Lampung, dan (3) Karakterisasi Fisiologi Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams yang diterbitkan di Jurnal Plasma Nutfah, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Utomo Kartosuwondo, MS dan Ibu Dr. Ir. Lisdar I. Sudirman sebagai Anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan pengarahan, bimbingan, saran, motivasi, dan bantuan sarana maupun prasarana yang sangat memadai kepada penulis mulai dari penyusunan proposal penelitian dan pelaksanaan penelitian hingga sampai penyusunan disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Subandi selaku Kepala Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Prof. Dr. Marwoto, dan Prof. Dr. Nasir Saleh yang telah memberi rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan studi Program Doktor (S3) di Institut Pertanian Bogor. Kepada Bapak Kepala Badan Litbang Pertanian di Jakarta diucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk dapat melanjutkan pendidikan Program Doktor. Terima kasih banyak disampaikan juga kepada Badan Litbang Pertanian yang telah memberi sponsor dana penelitian melalui Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (LPPM–IPB) sehingga penelitian disertasi ini dapat dilakukan dengan lancar.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB, Ketua Program Studi Entomologi-Fitopatologi (Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc.) serta seluruh staf pengajar di Departemen Proteksi Tanaman IPB terutama Prof. Dr. Syafrida Manuwoto, MSc. dan Dr. Damayanti Buchori atas motivasi dan dorongan sehingga penulis mampu menyelesaikan studi. Kepada Dr. Ir. Pudjianto, M.Si dan Dr. Ir. I. Wayan Winasa, M.Si diucapkan banyak terima kasih atas kesediaannya dalam menguji penulis mulai dari Ujian Komprehensif sampai dengan Ujian Tertutup dan saran maupun masukan yang sangat konstruktif. Ungkapan terima kasih yang sama juga disampaikan kepada Prof. Dr. Suyamto Hardjosuwirjo dan Dr. Ir. Ruly Anwar, M.Si yang telah menguji pada Sidang Terbuka dan memberi banyak saran yang sangat konstruktif sehingga akan menambah nilai bobot dari disertasi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ibu Ir. Wedanimbi Tengkano, MS (APU) atas bimbingan, arahan, nasehat yang tulus, serta bantuan baik moril maupun materiil yang tidak ternilai selama ini sehingga penulis mampu menyelesaikan studi S3. Kepada Ir. Gatut Wahyu Anggoro Susanto, MP diucapkan terima kasih banyak atas bantuan analisis data dari disertasi ini, saudara Antoni yang telah banyak membantu penelitian di rumah kasa BALITKABI, serta Yunimar S.Si yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan studi.
Terima kasih setulus-tulusnya penulis ucapkan kepada kedua orang tua (Piranata dan Jumiana), istri (Lenny Mas’Udah), dan kedua anak tercinta (Ajeng dan Pandhu), serta seluruh keluarga yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan baik moril maupun materiil kepada penulis dalam menyelesaikan studi. Penulis juga mengucapkan terima kasih banyak kepada teman-teman di laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi Tanaman IPB atas bantuan dan kerjasamanya.
Semoga Allah SWT memberikan balasan amal baik kepada mereka semua dengan balasan kebaikan yang tak terhingga. Akhirnya semoga Karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2009 Yusmani Prayogo
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tulungagung, Jawa Timur pada tanggal 3 Maret 1971 sebagai anak kelima dari pasangan Ir. Piranata dan Jumiana.
Pendidikan Sarjana Pertanian ditempuh di Program Studi Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Malang lulus pada tahun 1994. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai Staf Peneliti Hama dan Penyakit pada Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang hingga sekarang. Pada tahun 2002, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Program Magister Sains pada Program Studi Entomologi-Fitopatologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 2004. Tahun 2006, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Program Doktor di Program Studi dan perguruan tinggi yang sama.
Penulis menikah dengan drg. Lenny Mas’ Udah pada tahun 1997 dengan dikaruniai seorang putri yang bernama Shashabilla Ajeng Prayogo (1 April 1998) dan seorang putra yang bernama Muhammad Pandhu Prayogo (1 April 2006).
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………………………….
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xii
xiii
xvi
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………….... Latar Belakang ……………………………………………….. Tujuan Penelitian ……………………………………………... Manfaat Penelitian …………………………………………….
1 1 3 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………… Hama Pengisap Polong Kedelai Riptortus linearis (F.) ............. Cendawan Entomopatogen Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams ............................................................... Morfologi ............................................................................. Kisaran Inang dan Virulensi Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams ........................................... Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Virulensi Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams ......... Asal Isolat ........................................................................ Kerapatan Konidia ........................................................... Kerentanan Umur Stadia Inang ....................................... Faktor Lingkungan ........................................................... Peranan Minyak Nabati dalam Mempertahankan Viabilitas Cendawan Entomopatogen ........................................................
4 4 5 5 6 7 7 9 10 11
12
BAB III
KARAKTERISASI FISIOLOGI BEBERAPA ISOLAT CENDAWAN ENTOMOPATOGEN Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams DAN VIRULENSINYA TERHADAP TELUR HAMA PENGISAP POLONG KEDELAI Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: Alydidae) ................................................................................... Abstrak ……………………………………………………….. Abstract ………………………………………………………. Pendahuluan ………………………………………………….. Bahan dan Metode …………………………………………… Hasil dan Pembahasan ………………………………………... Kesimpulan …………………………………………………… Saran ………………………………………………………….. Daftar Pustaka …………………………………………………
14 14 15 15 17 22 46 47 47
BAB IV BAB V BAB VI BAB VII
UJI KERAPATAN KONIDIA CENDAWAN ENTOMOPATOGEN Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams PADA BERBAGAI UMUR TELUR Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: Alydidae) ........................................... Abstrak ……………………………………………………….. Abstract ………………………………………………………. Pendahuluan ………………………………………………….. Bahan dan Metode …………………………………………… Hasil dan Pembahasan ………………………………………... Kesimpulan ………….………………………………………... Daftar Pustaka ………………………………………………... PENAMBAHAN MINYAK NABATI UNTUK MEMPERTAHANKAN KEEFEKTIFAN CENDAWAN ENTOMOPATOGEN Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams DALAM MENGENDALIKAN TELUR Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: Alydidae) ………………… Abstrak ……………………………………………………….. Abstract ………………………………………………………. Pendahuluan ………………………………………………….. Bahan dan Metode …………………………………………… Hasil dan Pembahasan ……………………………………….. Kesimpulan …………………………………………………... Daftar Pustaka ………………………………………………... PEMBAHASAN UMUM ...………………………………….. KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………… Kesimpulan ............................................................................... Saran .........................................................................................
55 55 56 56 58 61 78 79
85 85 86 86 88 93 114 115
122
133 133 134
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 135
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1 2 3 4 5 6 7 8
9
10
Isolat cendawan L. lecanii yang diperoleh dari empat sentra produksi kedelai di Indonesia ....................................................... Rata-rata persentase telur R. linearis yang tidak menetas setelah terinfeksi L. lecanii ....................................................................... Ukuran dan daya kecambah konidia L. lecanii setelah diinkubasi di dalam air selama 10 jam, serta periode waktu kecambah konidia hingga 95% ...................................................... Rata-rata diameter koloni 37 isolat L. lecanii pada berbagai tingkat suhu .................................................................................. Jumlah konidia yang diproduksi oleh 37 isolat L. lecanii pada berbagai tingkat suhu ..................................................................... Karakteristik tekstur koloni dari 37 isolat L. lecanii .................... Rata-rata diameter koloni L. lecanii pada media yang mengandung berbagai jenis minyak nabati .................................. Jumlah koloni L. lecanii yang tumbuh pada media PDA setelah konidia dipaparkan pada permukaan daun kedelai dengan penambahan minyak nabati .......................................................... Persentase telur R. linearis yang menetas setelah terinfeksi L. lecanii dengan penambahan minyak nabati ................................. Pengaruh jenis dan konsentrasi minyak nabati terhadap keefektifan L. lecanii dalam mempertahankan jumlah polong isi dan menekan terbentuknya polong hampa tiap tanaman ...............
19
25
33
37
39
41
94
101
103
111
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1 2 3
4
5 6 7 8 9
10
11
Kolonisasi miselium isolat L. lecanii yang virulen (a) dan isolat yang kurang virulen (b) pada telur R. linearis tujuh hari setelah aplikasi (HSA) ................................................................................... Perbedaan jumlah konidia L. lecanii yang diproduksi oleh setiap tangkai konidiofor pada isolat yang virulen (a) dan isolat yang kurang virulen (b) .............................................................................. Nimfa I R. linearis yang gagal ganti kulit menjadi nimfa II (a) dan nimfa I R. linearis mati setelah terinfeksi L. lecanii pada isolat Ll-JTM11(b) ........................................................................................... Ukuran konidia dan tabung kecambah L. lecanii yang terbentuk pada isolat yang virulen (Ll-TB2) (a & b) serta isolat yang kurang virulen (Vl-NTB6) (c & d) ................................................................ Karakter koloni isolat L. lecanii yang berbentuk wholly (a), pellicular (b), cottony (c), farinaceous (d), plumose (e), dan velvety (f) ........................................................................................................ Pengelompokan 37 isolat L. lecanii berdasarkan kemiripan karakter fisiologi cendawan .............................................................. Rata-rata jumlah telur R. linearis yang menetas setelah terinfeksi L. lecanii pada berbagai tingkat kerapatan konidia ......................... Rata-rata jumlah telur R. linearis pada berbagai umur yang menetas setelah terinfeksi L. lecanii ............................................................... Konidia L. lecanii yang tidak berkecambah setelah 24 jam inokulasi pada permukaan korion telur R. linearis yang berumur 6 hari ..................................................................................................... Struktur telur R. linearis yang akan menetas pada umur enam hari setelah diletakkan imago tanpa aplikasi L. lecanii ........................... Perbedaan struktur korion telur R. linearis berdasarkan umur setelah diletakkan imago; (a) kurang satu hari, (b) satu hari, (c) dua hari, (d) tiga hari, (e) empat hari, (f) lima hari, dan (g) enam hari ....
26
27
29
31
42
45
62
64
65
66
68
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
Apresorium L. lecanii yang terbentuk sebelum penetrasi ke dalam telur R. linearis pada 13 jam setelah aplikasi .................................... Miselium L. lecanii yang menembus keluar struktur korion telur R. linearis pada empat hari setelah aplikasi (HSA) ........................ Telur R. linearis yang tidak menetas setelah terkolonisasi miselium L. lecanii isolat Ll-JTM11 pada tujuh HSA (a) dan 10 HSA (b) ..... Periode waktu penetasan telur R. linearis setelah terinfeksi L. lecanii ................................................................................................ Produksi konidia L. lecanii pada tiap telur R. linearis yang tidak menetas …………………….................……………………………. Rata-rata persentase nimfa II R. linearis yang mampu hidup setelah terinfeksi L. lecanii pada stadia telur................................................. Nimfa I R. linearis yang gagal berkembang menjadi nimfa II setelah terkolonisasi L. lecanii (a) dan struktur abdomen nimfa I R. linearis yang mengalami lisis setelah terinfeksi L. lecanii (b) ..... Telur R. linearis berumur kurang satu hari yang diinfestasikan di permukaan daun kedelai pada umur 35 hari setelah tanam (HST) ... Tanaman kedelai yang disungkup kain kasa setelah diinfestasi telur R. linearis yang berumur kurang satu hari dan diaplikasi dengan suspensi konidia L. lecanii yang ditambah dengan minyak nabati ... Rata-rata jumlah konidia L. lecanii yang diproduksi pada media yang mengandung minyak nabati. KT2 (Kacang Tanah 2 ml/l), KT5 (Kacang Tanah 5 ml/l), KT10 (Kacang Tanah 10 ml/l), KD2 (Kedelai 2 ml/l), KD5 (Kedelai 5 ml/l), KD10 (Kedelai 10 ml/l), KP2 (Kelapa 2 ml/l), KP5 (Kelapa 5 ml/l), dan KP10 (Kelapa 10 ml/l) ................................................................................................... Rata-rata jumlah konidia L. lecanii yang berkecambah setelah diinkubasi selama 12 jam di dalam air. KT2 (Kacang Tanah 2 ml/l), KT5 (Kacang Tanah 5 ml/l), KT10 (Kacang Tanah 10 ml/l), KD2 (Kedelai 2 ml/l), KD5 (Kedelai 5 ml/l), KD10 (Kedelai 10 ml/l), KP2 (Kelapa 2 ml/l), KP5 (Kelapa 5 ml/l), dan KP10 (Kelapa 10 ml/l) .................................................................................................
69
70
71
72
74
76
77
91
92
96
98
23
24
25
26
27
Konidia L. lecanii yang berkecambah pada permukaan korion telur R. linearis tanpa penambahan minyak nabati setelah satu hari aplikasi ........................................................................................ Konidia L. lecanii yang berkecambah dengan penambahan minyak kacang tanah pada konsentrasi 10 ml/l .............................................. Rata-rata jumlah luka tusukan stilet R. linearis pada tiap biji kedelai setelah diaplikasi dengan L. lecanii yang ditambah dengan minyak nabati ................................................................................................. Rata-rata jumlah luka tusukan stilet R. linearis pada tiap biji kedelai setelah diaplikasi dengan L. lecanii yang ditambah dengan minyak nabati pada berbagai tingkat konsentrasi ............................. Berat biji kedelai yang dihasilkan tiap tanaman setelah mendapat perlakuan aplikasi L. lecanii yang ditambah dengan minyak nabati pada berbagai tingkat konsentrasi. KT2 (Kacang Tanah 2 ml/l), KT5 (Kacang Tanah 5 ml/l), KT10 (Kacang Tanah 10 ml/l), KD2 (Kedelai 2 ml/l), KD5 (Kedelai 5 ml/l), KD10 (Kedelai 10 ml/l), KP2 (Kelapa 2 ml/l), KP5 (Kelapa 5 ml/l), dan KP10 (Kelapa 10 ml/l) ...................................................................................................
104
106
109
110
113
DAFTAR LAMPIRAN
No. Teks Halaman
1 2 3 4 5 6
Rata-rata suhu udara, curah hujan, dan kelembaban di Kebun Percobaan, Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang (Juni 2006) ............................................. Rata-rata suhu udara, curah hujan, dan kelembaban di Kebun Percobaan, Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang (Juli 2006) .............................................. Rata-rata suhu udara, curah hujan, dan kelembaban di Kebun Percobaan, Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang (Agustus 2006) ....................................... Rata-rata suhu udara, curah hujan, dan kelembaban di Kebun Percobaan, Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang (Juni 2008) ............................................. Rata-rata suhu udara, curah hujan, dan kelembaban di Kebun Percobaan, Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang (Juli 2008) .............................................. Rata-rata suhu udara, curah hujan, dan kelembaban di Kebun Percobaan, Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang (Agustus 2008) ......................................
151
152
153
154
155
156
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di Indonesia, produktivitas kedelai masih tergolong rendah yaitu hanya 0,8
t/ha (PUSLITBANGTAN 2005). Salah satu faktor penyebab rendahnya produksi
kedelai adalah adanya serangan hama. Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: Alydidae)
merupakan salah satu hama pengisap polong kedelai yang sangat penting. Daerah
penyebaran hama tersebut meliputi hampir di seluruh sentra produksi kedelai di
Indonesia (Tengkano et al. 2003; 2005; 2006). Kehilangan hasil kedelai yang
diakibatkan oleh serangan R. linearis dapat mencapai 80% apabila tidak dilakukan
pengendalian (Arifin & Tengkano 2008).
Lebih dari 90% usaha pengendalian hama pengisap polong kedelai di tingkat
petani masih mengandalkan aplikasi insektisida kimia dengan volume semprot dan
konsentrasi yang tidak mengikuti dosis anjuran sehingga menyebabkan pengendalian
menjadi kurang berhasil (Marwoto 1992). Keadaan tersebut mendorong petani untuk
meningkatkan konsentrasi insektisida (Rauf et al. 1994). Walaupun konsentrasi dan
frekuensi aplikasi pestisida sudah ditingkatkan, namun kenyataan di lapangan
menunjukkan bahwa hama pengisap polong masih menjadi kendala utama dalam
usaha peningkatan produksi. Sementara itu, aplikasi insektisida kimia yang
berlebihan dan kurang bijaksana akan menimbulkan pengaruh negatif yang tidak
diinginkan seperti resistensi hama sasaran, resurjensi, terbunuhnya musuh alami dan
serangga berguna lainnya, serta pencemaran lingkungan (Michaud 2001; Michaud &
Grant 2003; Kannan et al. 2004; Badji et al. 2007). Oleh karena itu, perlu dicari
alternatif teknologi pengendalian hama yang lain untuk menekan penggunaan
insektisida kimia, yaitu dengan memanfaatkan peran agens hayati seperti cendawan
entomopatogen.
Lecanicillium lecanii (=Verticillium lecanii) (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams
merupakan salah satu jenis agens hayati yang sudah diketahui potensinya untuk
2
mengendalikan berbagai jenis hama (Ahmadi et al. 2004; Zare & Gams 2008). Pada
tahun 2004, V. lecanii diketahui efektif untuk mengendalikan hama R. linearis
(Prayogo 2004). Keefektifan cendawan ditunjukkan dari kemampuan V. lecanii dalam
menginfeksi semua stadia R. linearis meliputi telur, nimfa, dan imago. Telur yang
terinfeksi V. lecanii akhirnya tidak menetas hingga mencapai 51%. Telur yang
berhasil menetas menjadi nimfa I selanjutnya tidak dapat berkembang menjadi nimfa
II, hal ini diduga cendawan sudah menginfeksi embrio di dalam telur. Oleh karena
itu, L. lecanii dapat digunakan untuk mengendalikan R. linearis pada stadia telur.
Pengendalian R. linearis pada stadia telur menggunakan V. lecanii memiliki
beberapa kelebihan dibandingkan dengan insektisida kimia. Telur tidak bergerak
sehingga suspensi konidia cendawan yang diaplikasikan mudah mengenai sasaran, V.
lecanii bersifat ovisidal sehingga telur tidak mampu menetas, dan telur tidak
mampu menyebabkan kerusakan pada polong maupun biji.
Keberhasilan pengendalian hama menggunakan cendawan entomopatogen
dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu virulensi isolat, kerapatan konidia, kerentanan
stadia inang, dan faktor lingkungan (Gindin et al. 2000; Wang et al. 2004; Aiuchi et
al. 2007). Menurut Parker et al. (2003), untuk memperoleh isolat yang virulen dapat
dilakukan dengan cara eksplorasi dan uji virulensi. Hal ini disebabkan cendawan V.
lecanii mudah diperoleh di lapangan dan memiliki kisaran inang yang cukup luas
sehingga memiliki keragaman isolat yang cukup tinggi (Sugimoto et al. 2003a &
2003b; Anyala-Zermeno et al. 2005). Keragaman isolat yang tinggi dapat
mengakibatkan terjadinya keragaman virulensi cendawan. Menurut Fatiha et al.
(2007), virulensi isolat dipengaruhi oleh karakter genetis maupun karakter fisiologi.
Vu et al. (2007) mengemukakan ada beberapa karakter fisiologi cendawan yang
dapat digunakan sebagai tolok ukur dalam pemilihan isolat yang virulen antara lain;
kemampuan mematikan inang, kecepatan pertumbuhan koloni, jumlah konidia yang
diproduksi, toleransi terhadap suhu, dan daya kecambah konidia. Selain virulensi
isolat, keberhasilan pengendalian hama juga ditentukan oleh kerapatan konidia yang
diaplikasikan dan aplikasi harus dilakukan pada stadia inang yang rentan (Wang et al.
2004; Shinya et al. 2008a & 2008b). Efikasi cendawan entomopatogen di lapangan
3
juga dibatasi oleh faktor lingkungan terutama sinar matahari (Braga et al. 2002).
Sinar matahari, dalam hal ini berkas sinar UV dapat merusak struktur DNA konidia
(McCoy et al. 2004). Untuk meningkatkan persistensi konidia cendawan di lapangan
dianjurkan memakai bahan pelindung (Hirose et al. 2001; Hazzard et al. 2003; Luz et
al. 2004; Lee et al. 2006; Silva et al. 2006). Oleh karena itu, perlu dilakukan
serangkaian penelitian meliputi eksplorasi isolat untuk memperoleh L. lecanii yang
virulen, uji kerapatan konidia maksimal, uji kerentanan umur stadia inang, dan
pemilihan bahan pelindung (protectant) yang efektif dan efisien untuk menekan
perkembangan telur R. linearis. Dengan demikian, kehilangan hasil kedelai akibat R.
linearis dapat ditekan dan penggunaan insektisida kimia dapat dikurangi sehingga
pencemaran lingkungan dapat dihindari.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mempelajari karakter fisiologi 37 isolat cendawan L. lecanii dan virulensinya
terhadap telur R. linearis.
2. Memperoleh kerapatan konidia maksimal cendawan L. lecanii untuk
mengendalikan telur R. linearis pada berbagai umur.
3. Memperoleh jenis dan konsentrasi minyak nabati yang efektif dan efisien
untuk meningkatkan persistensi dan keefektifan L. lecanii dalam
mengendalikan telur R. linearis.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman dasar untuk
penyusunan rekomendasi pengendalian R. linearis pada stadia telur dengan cendawan
entomopatogen L. lecanii.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hama Pengisap Polong Kedelai, Riptortus linearis (F.)
Hama pengisap polong kedelai yang dominan di lapangan ada tiga jenis, yaitu
Piezodorus hybneri (L.), Nezara viridula (L.), dan Riptortus linearis F.). Hasil survei
yang dilakukan Tengkano et al. (2003; 2005; 2006) di empat sentra produksi kedelai
di Indonesia meliputi provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Nusa
Tenggara Barat menunjukkan bahwa R. linearis termasuk salah satu jenis hama yang
sangat penting. Hal ini ditunjukkan dari populasi hama tersebut tertinggi dan daerah
sebarannya terluas diantara jenis hama lainnya. Keadaan tersebut didukung oleh
adanya kelimpahan tanaman inang yang tersedia terus menerus di lapangan. Tanaman
inang R. linearis meliputi kedelai, kacang hijau, kacang panjang, kacang tunggak,
kacang gude, Crotalaria spp., Sesbania sp., Desmodium sp., dadap, Tephrosia sp.,
Acacia villosa, Solanaceae, dan Convolvulaceae (Tengkano & Suhardjan 1993).
Imago R. linearis pertama kali datang di pertanaman kedelai varietas Wilis,
yaitu pada waktu tanaman menjelang berbunga atau umur antara 35-42 hari setelah
tanam (HST). Pada waktu tersebut imago bertujuan untuk meletakkan telurnya pada
permukaan atas maupun bagian bawah daun (Tengkano et al. 1992). Telur yang baru
diletakkan berwarna hijau muda kemudian berubah secara bertahap menjadi hijau
gelap dan akhirnya menjadi coklat tua sebelum menetas. Telur berbentuk bulat dan di
bagian tengahnya agak cekung dengan diameter 1.2 mm. Telur yang diletakkan
imago akan menetas setelah tujuh hari untuk berkembang membentuk nimfa I. Nimfa
R. linearis terdiri dari lima stadia sebelum serangga berkembang menjadi imago. Baik
stadia nimfa maupun imago mempunyai peluang yang sama dalam merusak seluruh
fase pertumbuhan polong dan biji (Arifin & Tengkano 2008).
Tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh R. linearis bergantung pada
frekuensi serangan hama pada tahap pertumbuhan polong dan biji. Selain itu,
kerusakan dapat juga dipengaruhi oleh jumlah dan letak tusukan pada biji (Tengkano
5
et al. 1992). Serangan R. linearis pada fase pembentukan polong akan menyebabkan
polong kering dan gugur. Serangan pada fase pertumbuhan polong dan perkembangan
biji menyebabkan polong dan biji hampa. Serangan R. linearis yang terjadi pada fase
pengisian biji menyebabkan biji berwarna hitam dan busuk. Serangan pada fase
pemasakan polong menyebabkan biji berlubang dan akhirnya menyebabkan kuantitas
maupun kualitas hasil panen berkurang hingga 80% (Tengkano et al. 1992).
Cendawan Entomopatogen Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams
Morfologi
Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams merupakan cendawan
entomopatogen yang pertama kali ditemukan oleh Zimmermann pada tahun 1898
(Kouvelis et al. 1999) dengan nama Cephalosporium lecanii. Pada tahun 1939,
Viegas mengubah nama menjadi Verticillium lecanii berdasarkan studi kisaran inang
(Kouvelis et al. 1999). Didasarkan pada pengamatan lebih lanjut terhadap morfologi
dan analisis molekuler, cendawan tersebut mengalami perubahan nama menjadi L.
lecanii hingga sekarang (Zare & Gams 2001; Cortez-Madrigal et al. 2003; Roy et al.
2006; Zare & Gams 2008). Berdasarkan karakter morfologi dan molekulernya
cendawan L. lecanii dibedakan dari spesies L. muscarium, L. longisporum, L.
nodulosum, maupun L. psalliotae yang umumnya ditemukan di daerah subtropik
(Marshall et al. 2003; Koike et al. 2007; Kouvelis et al. 2008). Sedangkan spesies
Lecanicillium yang ditemukan di Indonesia adalah L. lecanii (Kouvelis et al. 2008).
Baik L. muscarium maupun L. longisporum sudah dikomersialkan dengan nama
produk masing-masing Mycotal dan Vertalec, sedangkan nama produk L. nodulosum
dan L. psalliotae belum ada laporan (Kouvelis et al. 2008).
Karakteristik L. lecanii adalah koloni cendawan berwarna putih pucat dengan
diameter berkisar dari 4.0-7.3 cm setelah 20 hari inokulasi pada media PDA (potato
dextrose agar) (Fatiha et al. 2007). Konidiofor berbentuk berupa fialid (whorls)
seperti huruf V, setiap konidiofor memproduksi 5-10 konidia yang terbungkus dalam
kantong lendir (Aiuchi et al. 2007). Bentuk konidia berupa silinder hingga elips,
6
terdiri dari satu sel, tidak berwarna (hialin), berukuran 1.9-2.2 x 5.0-6.1 µm (Feng et
al. 2002). L. lecanii mudah tumbuh pada berbagai jenis media, terutama pada PDA
maupun beras. Cendawan tumbuh baik pada suhu 15–30 oC, namun pertumbuhan
optimum terjadi pada suhu 25 oC dan pertumbuhan mengalami penghambatan pada
suhu 35 oC (Yeo et al. 2003; Cuthbertson et al. 2005). Pada kelembaban lebih dari
90%, cendawan akan tumbuh optimal (Helyer et al. 2006). Kelembaban yang tinggi
berfungsi untuk perkecambahan konidia dan proses infeksi terhadap serangga inang
(Monteiro et al. 2004; Helyer et al. 2006). Konidia akan berkecambah lebih cepat
pada suhu 20-25 oC (Barbosa et al. 2002; Anyala-Zermeno et al. 2005).
Kisaran Inang dan Virulensi Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams
Cendawan Lecanicillium lecanii ditemukan pertama kali menginfeksi
serangga kutu sisik scale insect (Homoptera: Diaspididae) yang menyerang tanaman
kopi di pulau Jawa, yang oleh Zimmermann cendawan ini diberi nama
Cephalosporium lecanii (Zimmermann 1898 dalam Fatiha et al. 2007). L. lecanii
yang sebelumnya diberi nama V. lecanii dilaporkan juga mampu menginfeksi
beberapa jenis serangga inang meliputi ordo Orthoptera, Hemiptera, Lepidoptera,
Thysanoptera, Coleoptera, dan Lepidoptera dengan tingkat mortalitas yang sangat
bervariasi (Malsam et al. 1997; Alavo et al. 2004; Ahmadi et al. 2004;
Cuthbertson et al. 2005; Murakoshi et al. 2005; Quesada-Moraga et al. 2006).
Perbedaan tingkat mortalitas serangga akibat infeksi cendawan ini dipengaruhi oleh
asal isolat dan serangga inang (Sugimoto et al. 2003a & 2003b).
Menurut Kim et al. (2001), cendawan entomopatogen ini mampu menginfeksi
Aphis gossypii (Homoptera: Aphididae) dan menyebabkan mortalitas mencapai
50%. Gindin et al. (2000) melaporkan bahwa cendawan ini juga mampu menginfeksi
kutu kebul Bemisia argentifolii (Homoptera: Aleyrodidae) dengan kematian serangga
mencapai 52%. Hasil penelitian Cuthbertson et al. (2005) menunjukkan bahwa
aplikasi cendawan tersebut mampu menyebabkan mortalitas Thrips palmi
7
(Thysanoptera: Thripidae) di atas 90%. Larva kumbang large elm bark beetle
Scolytus scolytus (Coleoptera: Scolytidae) juga dapat terinfeksi oleh cendawan itu
hingga menyebabkan mortalitas mencapai 100% (Barson 2008).
Olivares-Bernabeu dan Lopez-Llorca (2002) melaporkan bahwa V. lecanii
juga dapat menginfeksi telur nematoda parasit tanaman. Uziel dan Sikora (1992) juga
menginformasikan bahwa cendawan tersebut sangat efektif untuk mengendalikan
nematoda Globodera pallida Stone pada tanaman kentang. Selain itu dilaporkan juga
sangat efektif untuk mengendalikan telur dan juvenil nematoda Heterodera glycines
(Shinya et al. 2008a & 2008b). Bahkan V. lecanii dilaporkan mampu memarasit spora
penyakit embun tepung Sphaerotheca fuliginea dan busuk akar Phytium ultimum
pada mentimun, karat daun kedelai Phakopsora pachyrizi Syd., karat daun kopi
Hemileia vastatrix, serta kapang hijau Penicillium digitatum pada buah jeruk (Shaw
1987; Benhamou & Brodeur 2000 & 2001; Benhamou 2004; Saksirirat & Hoppe
2008). Oleh karena itu, Kim et al. (2007) menyatakan bahwa cendawan
entomopatogen ini dapat digunakan sebagai salah satu agens hayati yang dapat
dipadukan dengan cara pengendalian hama lainnya dalam program pengendalian
hama terpadu (PHT).
Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Virulensi Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams
Asal Isolat
Salah satu faktor yang mempengaruhi virulensi cendawan entomopatogen
dalam mengendalikan hama adalah tingkat virulensi isolat. Virulensi antar isolat
cendawan entomopatogen disebabkan karena adanya keragaman intraspesies
(Velasquez et al. 2007). Hal ini disebabkan isolat yang diperoleh dari lokasi yang
sama tetapi dari jenis serangga yang berbeda atau sebaliknya, yaitu isolat dari lokasi
yang berbeda tetapi dari jenis serangga yang sama dimungkinkan memiliki karakter
yang berbeda baik secara fisiologis maupun genetis (Varela & Morales 1996;
8
Sugimoto et al. 2003b; Rangel et al. 2005; Xiang et al. 2007). Pada umumnya
keragaman spesies berhubungan dengan serangga inang dan daerah geografis asal
isolat cendawan diperoleh (Yoon et al. 1999; Bidochka et al. 2000; Kim et al. 2001;
Sugimoto et al. 2003b). Sementara itu, keragaman genetik dalam populasi dapat
terjadi karena adanya perubahan nukleotida penyusun DNA yang disebabkan oleh
adanya hibridisasi (reproduksi seksual), paraseksual, heterokariosis, heteroploidi,
mutasi, dan rekombinasi atau migrasi gen dari suatu tempat ke tempat lain
(McDonald & McDermott 1993; Xiang et al. 2007). Heteroploidi sering berpengaruh
terhadap kecepatan tumbuh, ukuran konidia, kecepatan produksi konidia, warna hifa,
aktivitas enzim, dan virulensi cendawan (Sugimoto et al. 2003b). Sedangkan
heterokariosis merupakan proses yang cukup penting bagi cendawan dalam
pembentukan strain atau ras baru yang mungkin akan menyebabkan perubahan
tingkat virulensi cendawan (Sugimoto et al. 2003b).
Altre dan Vandenberg (2001) melaporkan bahwa virulensi cendawan
entomopatogen sering berhubungan dengan laju perkecambahan konidia dan
pertumbuhan cendawan. Isolat cendawan yang virulen akan bersporulasi dan
berkecambah lebih cepat dibandingkan isolat yang kurang virulen. Fenomena ini juga
diperkuat oleh hasil penelitian Varela dan Morales (1996) bahwa isolat cendawan
Beauveria bassiana (Bals.) Vuillemin (Deuteromycotina: Hyphomycetes) yang
virulen akan menghasilkan jumlah konidia lebih banyak dan tumbuh lebih cepat
dibandingkan dengan isolat yang kurang virulen.
Hasil penelitian Prayogo (2004) menunjukkan bahwa isolat V. lecanii yang
diperoleh dari serangga Leptocorixa oratorius (Hemiptera: Alydidae) di Probolinggo
(Jawa Timur) ternyata lebih virulen jika diaplikasikan pada R. linearis dibandingkan
V. lecanii yang diperoleh dari serangga Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae)
dari Jember. Kim et al. (2001) melaporkan bahwa isolat V. lecanii strain CS-626 dari
Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae) lebih efektif untuk mengendalikan
Trialeurodes vaporariorum (Homoptera: Aleyrodidae) dengan mortalitas hingga
mencapai 100% dibandingkan isolat yang lainnya. Menurut Ahmadi et al. (2004), L.
lecanii isolat DAOM-198499 yang diperoleh dari B. tabaci paling efektif untuk
9
mengendalikan B. tabaci dibandingkan isolat DAOM-198490 yang diperoleh dari
serangga lain. Demikian juga isolat V. lecanii (V24) yang diisolasi dari Myzus
persicae (Homoptera: Aphididae) menunjukkan virulensi yang sangat tinggi hingga
mencapai 100% apabila diaplikasikan pada spesies hama yang sama (Alavo et al.
2004).
Kerapatan Konidia
Kerapatan konidia tidak kalah pentingnya dalam menentukan tingkat
keefektifan cendawan terhadap serangga inang yang akan dikendalikan (Wang et al.
2004; Vu et al. 2007). Pada umumnya semakin tinggi tingkat kerapatan konidia yang
diaplikasikan pada serangga uji, semakin tinggi mortalitas serangga yang dicapai.
Hasil penelitian Kim et al. (2001) menunjukkan bahwa aplikasi L. lecanii pada B.
tabaci dan T. vaporariorum dengan kerapatan 104-107 konidia/ml mengakibatkan
mortalitas serangga hanya di bawah 40%. Apabila kerapatan konidianya ditingkatkan
menjadi 108/ml mampu menyebabkan mortalitas T. vaporariorum hingga mencapai
100% hanya dalam kurun waktu lima hari setelah aplikasi.
Ahmadi et al. (2004) melaporkan bahwa L. lecanii pada kerapatan konidia
106/ml mampu menyebabkan mortalitas B. tabaci di atas 50%. Sementara itu, hasil
penelitian Korolev dan Gindin (1999) menunjukkan bahwa aplikasi V. lecanii pada
kerapatan 107/ml mampu membunuh B. tabaci hingga 83%. Aplikasi L. lecanii
dengan kerapatan konidia 106/ml pada kutu daun Cinara atlantica (Homoptera:
Aphididae) pada tanaman pinus mampu membunuh serangga hingga mencapai 86%
(Loureiro et al. 2004). Pengujian V. lecanii pada kerapatan konidia 107/ml terhadap
imago B. argentifolii mampu menyebabkan kematian serangga mencapai 98%
(Gindin et al. 2000). Fenomena ini mengindikasikan bahwa keragaman mortalitas
serangga uji cukup bervariasi yang ditentukan oleh jenis dan stadia stadia, serta
kerapatan konidia yang diaplikasikan.
10
Umur atau Stadia Perkembangan Inang
Agens hayati dapat bekerja secara optimal apabila hama sasaran yang akan
dikendalikan berada pada stadia yang rentan (Shinya et al. 2008b). Meskipun stadia
inang cukup rentan terhadap infeksi L. lecanii akan tetapi jika stadia serangga inang
tersebut dalam proses ganti kulit maka infektivitas cendawan juga sangat rendah.
Hal ini disebabkan konidia akan terlepas bersama kutikula sebelum menginfeksi
inang (Alavo et al. 2002). Menurut Alavo et al. (2002 & 2004), aplikasi V. lecanii
pada M. persicae instar II kurang berhasil meskipun pada stadia tersebut serangga
pada kondisi sangat rentan terhadap infeksi cendawan. Hal ini disebabkan stadia
tersebut hanya berlangsung pendek, kemudian serangga mengalami ganti kulit
sehingga konidia terlepas dan gagal menginfeksi inang. Oleh karena itu, Kim et al.
(2001) menganjurkan aplikasi V. lecanii pada kelompok kutu daun lebih baik
dilakukan pada stadia telur agar diperoleh hasil yang optimal.
Menurut Gindin et al. (2000), persentase telur B. argentifolii yang tidak
menetas akibat terinfeksi V. lecanii dipengaruhi oleh umur telur setelah diletakkan
oleh imago. Lebih lanjut dilaporkan Gindin et al. (2000) bahwa telur yang baru
diletakkan oleh imago lebih mudah terinfeksi dan dikolonisasi oleh cendawan
tersebut. Hal ini disebabkan struktur telur bagian terluar, yaitu korion masih lentur
belum mengalami pengerasan (melanisasi) sehingga tabung kecambah (germ tube)
yang baru terbentuk pada konidia selanjutnya lebih mudah untuk penetrasi masuk ke
dalam jaringan telur. Namun, hasil penelitian del-Prado et al. (2008) menunjukkan
hasil yang berbeda bahwa telur kutu kapuk kelapa Aleurodiscus cocois Curtis, 1846
(Homoptera: Aleyrodidae) yang berumur tujuh hari atau yang akan menetas, lebih
mudah terinfeksi oleh cendawan Paecilomyces fumosoroseus (Deuteromycotina:
Hyphomycetes) maupun L. lecanii dengan tingkat kematian mencapai 82%. Hal ini
disebabkan struktur korion mulai pecah sehingga konidia yang berkecambah
langsung penetrasi ke dalam telur dan menginfeksi nimfa yang terbentuk, meskipun
untuk menyebabkan kematian membutuhkan waktu yang lebih lama.
11
Faktor Lingkungan
Cendawan L. lecanii merupakan salah satu jenis agens hayati yang
mempunyai potensi tinggi untuk dikembangkan sebagai agens pengendali hama
(Goettel et al. 2007). Potensi cendawan di lapangan sangat bergantung pada beberapa
faktor lingkungan, antara lain suhu (Yeo et al. 2003; Shimazu 2004 ; Avery et al.
2004; Kope et al. 2007), kelembaban (Rangel et al. 2005 ; Drummond et al. 2007),
air hujan (Fransen 1995; Pell et al. 1997; Furlong & Pell 1997), dan pengaruh UV
oleh sinar matahari (Braga et al. 2001a ; 2001b ; 2001c ; 2001d). Tiga kelompok
sinar UV, yaitu UV-A dengan panjang gelombang 320-400 nm, UV-B dengan
panjang gelombang 280-320 nm, dan UV-C kurang dari 280 nm (Yuen et al. 2002).
Dari ketiga jenis panjang gelombang tersebut yang sangat berpengaruh secara biologi
maupun fisiologi cendawan entomopatogen adalah sinar UV-A dan UV-B.
Sedangkan sinar UV-C kurang penting karena panjang gelombang tersebut pada
umumnya sebagian besar sudah diabsorbsi oleh atmosfir bumi.
Hasil penelitian Braga et al. (2002) menunjukkan bahwa V. lecanii yang
terpapar pada sinar UV-B selama tiga jam mampu tumbuh namun pemaparan selama
empat jam akan menyebabkan cendawan mati. Menurut Yuen et al. (2002) dan
McCoy et al. (2004), dampak UV-A dan UV-B dari sinar matahari secara langsung
akan menyebabkan kematian sel dan mutasi akibat terjadi kerusakan susunan
kromosom pada DNA. Moore et al. (1993) menyatakan bahwa sinar UV-C
menyebabkan terjadinya penundaan dan penurunan perkecambahan konidia.
Penurunan daya kecambah konidia cendawan diakibatkan oleh meningkatnya
respirasi dan aktivitas metabolik di dalam konidia sehingga menurunkan cadangan
makanan di dalam konidia.
Hallsworth dan Magan (1996) melaporkan bahwa tingkat perkecambahan
konidia ditentukan oleh kandungan poliol dan trehalosa. Sementara itu, kedua
senyawa ini sangat berperan dalam pengaturan tekanan osmotik di dalam konidia dan
tekanan osmotik tersebut ditentukan oleh suhu lingkungan tumbuh konidia.
Sehubungan dengan hal tersebut maka isolat cendawan entomopatogen yang
12
mempunyai toleransi terhadap suhu tinggi, berpeluang besar untuk digunakan sebagai
salah satu agens hayati khususnya pada lahan yang beriklim kering. Hal ini
disebabkan sebagian besar agens hayati kurang toleran terhadap faktor abiotik
khususnya sinar matahari (McCoy et al. 2004). Oleh karena itu, untuk mengurangi
kendala faktor tersebut maka pengendalian hama menggunakan agens cendawan
disarankan mengatur waktu aplikasi maupun menggunakan bahan pelindung (Verhaar
et al. 1999; Williams et al. 2000; Samodra & Ibrahim 2006).
Peranan Minyak Nabati dalam Mempertahankan Viabilitas Cendawan Entomopatogen
Menurut Leland (2001a), keefektifan cendawan entomopatogen akan menurun
hingga mencapai 70% apabila diaplikasikan di lahan terbuka tanpa menggunakan
bahan pelindung. Bahan pelindung mampu mempertahankan persistensi cendawan
dari pengaruh sinar matahari sehingga efikasi pengendalian di lapangan meningkat
(Shah et al. 1998; Inyang et al. 2000). Katatny (2003), Smith dan Sinoquet (2004)
menganjurkan pada waktu aplikasi sebaiknya ditambah larutan minyak untuk
meningkatkan persistensi dan proliferasi cendawan pada permukaan daun yang
hidrofobik. Sedangkan Williams et al. (2000) dalam mempertahankan keefektifan V.
lecanii dari pengaruh sinar UV menganjurkan memakai bahan pelindung dan bahan
perekat.
Beberapa jenis bahan pelindung yang dianjurkan antara lain minyak mineral
dan minyak nabati yang sudah dilaporkan mampu mempertahankan dan melindungi
kelembaban pada konidia sewaktu aplikasi di lapangan (Verhaar et al. 1999). Hal ini
disebabkan oleh senyawa gliserol yang terkandung di dalam minyak mampu
mengabsorpsi sinar matahari yang mendera. Menurut Leland (2001a), minyak nabati
yang ditambahkan pada suspensi konidia akan membentuk lapisan biofilm yang
berfungsi dapat melapisi konidia sehingga konidia terhindar dari pengaruh negatif
sinar UV.
13
Penambahan minyak ke dalam suspensi cendawan mempunyai peluang yang
besar untuk diterapkan pada pengendalian hama terutama di lahan yang mempunyai
tipe iklim kering (Leland 2001a & 2001b). Kandungan minyak nabati, disamping
berfungsi sebagai pelindung dari kekeringan diduga juga berperan sebagai sumber
nutrisi bagi konidia cendawan. Dengan demikian, konidia yang diaplikasikan
mendapatkan sumber makanan yang cukup sebelum mampu menemukan inang.
Menurut Williams et al. (2000) dan Alavo et al. (2002), minyak nabati dari
biji kedelai, biji kacang tanah, dan biji sawi dapat diformulasikan dengan V. lecanii
sehingga mampu mempertahankan keefektifan cendawan dalam mengendalikan M.
persicae. Minyak kacang tanah dan kedelai, selain mengandung lemak juga memiliki
komposisi protein yang cukup tinggi. Bender (2005) dan Mercola (2008) melaporkan
bahwa minyak kacang tanah dan minyak kedelai mengandung asam lemak tidak
jenuh lebih tinggi dibandingkan asam lemak jenuh. Diduga kandungan asam lemak
tidak jenuh tersebut terhidrolisis dan segera dirombak oleh enzim lipase cendawan L.
lecanii. Dengan demikian, minyak nabati dapat digunakan sebagai sumber nutrisi
yang kaya energi bagi perkecambahan konidia dan perkembangan cendawan di
lapangan.
BAB III
KARAKTERISASI FISIOLOGI BEBERAPA ISOLAT CENDAWAN ENTOMOPATOGEN Lecanicillium lecanii (Zimm.)
(Viegas) Zare & Gams DAN VIRULENSINYA TERHADAP TELUR HAMA PENGISAP POLONG KEDELAI
Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: Alydidae)
[Physiological characterization of various entomopathogenic fungi (Lecanicillium lecanii) (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams isolates and Their
Virulence to pod sucking bug Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: Alydidae) egg]
Abstrak Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams merupakan salah satu jenis cendawan entomopatogen yang memiliki kisaran inang cukup luas. Virulensi cendawan dipengaruhi oleh keragaman intraspesies yang memiliki perbedaan karakter fisiologi. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakter fisiologi beberapa isolat L. lecanii dan virulensinya terhadap telur Riptortus linearis. Perlakuan adalah 37 isolat L. lecanii yang diperoleh dari beberapa lahan pertanaman kedelai di Indonesia. Dari penelitian telah diperoleh empat isolat L. lecanii yang virulen terhadap telur R. linearis. yaitu Ll-JTM11, Ll-JTM12, Ll-JTM15, dan Ll-TB2 dengan persentase telur yang tidak menetas masing-masing 75%, 72%, 69%, dan 73%. Isolat yang virulen tumbuh lebih cepat dengan membentuk karakter koloni wholly yang memiliki kemampuan memproduksi konidia lebih banyak, ukuran konidia lebih besar, serta memiliki daya kecambah konidia di atas 95% dalam waktu hanya 12 jam. Suhu untuk fase vegetatif semua isolat L. lecanii lebih luas yaitu 20-27 oC, sedangkan suhu untuk fase generatif lebih sempit pada 27 oC. Tiga puluh tujuh isolat yang diuji membentuk dua kelompok berdasarkan kesamaan karakter fisiologi cendawan. Empat isolat yang virulen memiliki kesamaan karakter fisiologi yang sangat dekat dengan derajat kemiripan 98%. Pengelompokan karakter fisiologi isolat tidak berkaitan dengan sumber inang maupun geografi isolat. Kata kunci: karakter fisiologi, konidia, isolat, suhu, telur.
15
Abstract
Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams is one of the entomopathogenic fungi which has a broad host insect. The virulence of fungi is affected by intraspecies diversity having different physiological characters. The aim of the research is to study the physiological character and their virulence of various L. lecanii isolates to Riptortus linearis eggs. Thirty seven L. lecanii isolates as treatment were obtained from several soybean plantations in Indonesia. The result showed that four isolates. namely Vl-JTM11, Vl-JTM12, Vl-JTM15, and Vl-TB2 were considered virulent against insect eggs. These isolates could kill respectively 75%, 72%, 69%, and 73% eggs. The virulent isolates were physiologically characterized by greater growth rate than other isolates. thick and wholly colony which indicated higher conidia production, and more than 95% germ tubes were formed after 12 hours of incubation in the water. Vegetative stage of all L. lecanii isolates grew well in a wider range of temperature between 20-27 oC as compared with generative stage which was only 27 oC. None of the fungal isolates could tolerate temperature above 32 oC. All isolates tested based on physiological characters formed two groups. Four virulent isolates exhibited high similarity in physiological character equal to 98%. Clustering of isolates did not correlate with the host type nor the geographic origin. Key words: physiological character, conidia, isolate, temperature, egg.
Pendahuluan
Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: Alydidae) merupakan salah satu hama
pengisap polong kedelai yang sangat penting karena mampu menyebabkan
kehilangan hasil hingga mencapai 80% (Tengkano et al. 1988). Pengendalian R.
linearis hingga saat ini masih mengandalkan keampuhan pestisida kimia. hal ini
disebabkan hasilnya dapat diketahui dalam waktu singkat. Pengendalian R. linearis
menggunakan insektisida kimia hanya mampu membunuh stadia nimfa maupun
imago. Sedangkan stadia telur masih dapat bertahan dan berkembang menjadi stadia
lebih lanjut sehingga keberadaan hama tersebut di lapangan dapat berlangsung terus
menerus. Oleh karena itu, pengendalian R. linearis menggunakan insektisida kimia
menjadi kurang berhasil.
Prayogo (2004) melaporkan bahwa stadia telur R. linearis dapat diinfeksi oleh
cendawan entomopatogen Verticillium lecanii (=Lecanicillium lecanii) (Zimm.)
16
(Viegas) Zare & Gams (Deuteromycotina: Hyphomycetes). Telur yang terinfeksi L.
lecanii akhirnya tidak mampu menetas hingga mencapai 51%, sedangkan telur yang
mampu menetas menjadi nimfa I akhirnya tidak dapat berkembang lebih lanjut. Hal
ini disebabkan cendawan sudah menginfeksi embrio di dalam telur. Laporan lain
menyebutkan bahwa V. lecanii juga mampu menginfeksi telur Bemisia tabaci. B.
argentifolii. dan Trialeurodes vaporariorum (Homoptera: Aleyrodidae) (Gindin et al.
2000; Aiuchi et al. 2008b). Shinya et al. (2007) melaporkan bahwa cendawan ini
sangat toksik terhadap telur nematoda Heterodera glycines. Kejadian tersebut
disebabkan cendawan mampu memproduksi toksin yang bersifat ovisidal (Soman et
al. 2000). Oleh karena itu. cendawan tersebut dapat digunakan sebagai salah satu
agens hayati dalam program pengendalian hama terpadu (PHT) (Koike et al. 2004).
Menurut Anyala-Zermeno et al. (2005) L. lecanii memiliki tingkat virulensi
yang sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh adanya keragaman isolat yang cukup
tinggi yang banyak ditemukan di lapangan. baik daerah tropis maupun subtropis
(Jung et al. 2006; Aiuchi et al. 2008a). Untuk memperoleh isolat yang virulen maka
langkah awal yang dapat dilakukan adalah eksplorasi dari berbagai sumber inang dan
lokasi yang berbeda (Lee et al. 2002; Alavo et al. 2004; Aiuchi et al. 2007). Zhen-
Hiang et al. (2005) dan Fatiha et al. (2007) melaporkan bahwa virulensi cendawan
entomopatogen dipengaruhi oleh karakter fisiologi. Sementara itu. karakter fisiologi
cendawan berkaitan erat dengan kecepatan pertumbuhan koloni (Ibrahim et al. 2002;
Kope et al. 2007), sporulasi (Grajek 2008), daya kecambah konidia (Feng et al. 2002;
Yeo et al. 2003), dan toleransi terhadap perbedaan suhu (Davidson et al. 2003; Kope
et al. 2008).
Di Indonesia, pemanfaatan cendawan L. lecanii untuk digunakan sebagai
agens pengendalian hama belum banyak dilaporkan. Oleh karena itu. dengan
diperolehnya isolat L. lecanii yang virulen dari berbagai lokasi diharapkan
pengendalian R. linearis dapat diatasi sehingga kehilangan hasil kedelai dan biaya
pengendalian dapat ditekan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakter
fisiologi beberapa isolat L. lecanii dan virulensinya terhadap telur R. linearis.
17
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di Laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang dimulai dari bulan Maret
sampai dengan September 2007.
Eksplorasi Isolat L. lecanii L. lecanii diperoleh dengan cara mengumpulkan isolat dari empat sentra
produksi kedelai di Indonesia meliputi provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Jawa
Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Metode eksplorasi cendawan dilakukan dengan
tiga cara menurut Humber (1997 & 1998) dan Zimmermann (1998); yakni isolasi dari
bangkai serangga mati (cadaver), pengumpanan (insect bait methode), dan isolasi
dari dalam tanah.
Isolasi dari cadaver dilakukan dengan mengambil beberapa serangga hama
meliputi; R. linearis (F.), Nezara viridula (L.), Piezodorus hybneri (F.), Trialeurodes
sp., dan Spodoptera litura (F.) yang mati terinfeksi cendawan dari lapangan
kemudian dibawa ke laboratorium. Cadaver dipotong-potong sebesar ± 0.5 cm
kemudian direndam di dalam larutan hipoklorit 0.25% selama 30 detik untuk
mematikan mikrob kontaminan. Masing-masing potongan cadaver kemudian
direndam di dalam air steril selama 60 detik dan dikeringkan menggunakan kertas
saring sebelum ditumbuhkan pada media potato dextrose agar (PDA). Pada umur
tujuh hari setelah inokulasi (HSI), semua jenis koloni yang tumbuh diidentifikasi
berdasarkan karakter morfologi cendawan (Samson et al. 1988).
Metode pengumpanan diperoleh dengan cara memaparkan serangga hidup R.
linearis dan S. litura pada contoh tanah di dalam cawan Petri (Anderson et al. 2007).
Tanah diambil dari lahan pertanaman kedelai dari masing-masing lokasi yang
tersebut di atas. Setiap cawan Petri kemudian dimasukkan ke dalam inkubator sampai
serangga mati dan terkolonisasi cendawan. Cadaver dipotong-potong 0.5 cm
kemudian direndam di dalam larutan hipoklorit 0.25% selama 30 detik untuk
mematikan mikrob kontaminan. Potongan cadaver direndam di dalam air steril
18
selama 60 detik kemudian dikeringkan dengan kertas saring terlebih dahulu sebelum
ditumbuhkan pada media PDA. Pada umur tujuh HSI. semua jenis koloni yang
tumbuh diamati secara mikroskopis dan diidentifikasi berdasarkan karakter morfologi
cendawan (Samson et al. 1988).
Isolasi dari tanah dilakukan dengan cara mengambil contoh tanah dari sekitar
lahan pertanaman kedelai dengan kedalaman kurang lebih 10 cm beserta sisa-sisa
tanaman kemudian dicampur hingga homogen (Asensio et al. 2003). Contoh tanah
ditimbang 1 g dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambah air steril 9
ml. Tabung reaksi dikocok menggunakan vortex selama 60 detik dan suspensi yang
terbentuk diambil 1 ml dengan mikro pipet kemudian dibuat seri pengenceran
bertingkat hingga 10-4. Dari masing-masing seri pengenceran diambil 1 ml yang
sebelumnya dikocok menggunakan vortex selama 30 detik kemudian diinkubasi di
dalam cawan Petri steril yang diisi media PDA 10 ml. Pada umur tujuh HSI, semua
jenis koloni yang tumbuh diamati secara mikroskopis dan diidentifikasi berdasarkan
karakter morfologi cendawan (Samson et al. 1988).
Uji Virulensi Berbagai Isolat L. lecanii terhadap Telur R. linearis Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) yang diulang
sebanyak empat kali. Perlakuan adalah 37 isolat L. lecanii yang sudah teridentifikasi
(Tabel 1).
Perbanyakan Isolat L. lecanii
Setiap isolat L. lecanii ditumbuhkan pada media PDA di dalam cawan Petri
yang berdiameter 9 cm. Pada umur 21 HSI, konidia cendawan yang terbentuk dikerok
dengan kuas halus yang dibasahi dengan air kemudian dimasukkan ke dalam tabung
reaksi yang berisi air steril. Suspensi konidia kemudian dikocok menggunakan vortex
selama 30 detik dan dihitung kerapatan konidianya dengan menggunakan
19
haemocytometer merk Griffin & George (German) hingga diperoleh kerapatan
107/ml.
Tabel 1 Isolat cendawan L. lecanii yang diperoleh dari empat sentra produksi kedelai di Indonesia
Nomor
Isolat
Asal isolat
Lokasi 1 Ll-JTM1 Tanah Klabat1, Banyuwangi 2 Ll-JTM2 Tanah Klabat2, Banyuwangi 3 Ll-JTM3 Tanah Klabat3, Banyuwangi 4 Ll-JTM4 Tanah Tisnogambar1, Jember 5 Ll-JTM5 Tanah Tisnogambar2, Jember 6 Ll-JTM6 Tanah Jambirono1, Jember 7 Ll-JTM7 Tanah Jambirono2, Jember 8 Ll-JTM8 Spodoptera litura Jambirono3, Jember 9 Ll-JTM9 Spodoptera litura Jambirono4, Jember
10 Ll-JTM10 Nezara viridula Yosowilangun1, Lumajang 11 Ll-JTM11 Spodoptera litura Yosowilangun2, Lumajang 12 Ll-JTM12 Spodoptera litura Yosowilangun3, Lumajang 13 Ll-JTM13 Tanah Yosowilangun4, Lumajang 14 Ll-JTM14 Tanah Muneng1, Probolinggo 15 Ll-JTM15 Riptortus linearis Muneng2, Probolinggo 16 Ll-JTM16 Spodoptera litura Muneng3, Probolinggo 17 Ll-JTM17 Trialeurodes sp. Karangan, Trenggalek 18 Ll-ME1 Spodoptera litura Muara Enim1, Palembang 19 Ll-ME2 Nezara viridula Muara Enim2, Palembang 20 Ll-ME3 Piezodorus hybneri Muara Enim3, Palembang 21 Ll-OK1 Tanah OKU1, Palembang 22 Ll-OK2 Tanah OKU2, Palembang 23 Ll-LT1 Tanah Kalirejo1, Lampung Tengah 24 Ll-LT2 Tanah Kalirejo2, Lampung Tengah 25 Ll-LT3 Tanah Kalirejo3, Lampung Tengah 26 Ll-TB1 Spodoptera litura Tulang Bawang1, Lampung 27 Ll-TB2 Spodoptera litura Tulang Bawang2, Lampung 28 Ll-TB3 Tanah Tulang Bawang3, Lampung 29 Ll-TB4 Tanah Tulang Bawang4, Lampung 30 Ll-TB5 Tanah Tulang Bawang5, Lampung 31 Ll-TB6 Spodoptera litura Tulang Bawang6, Lampung 32 Ll-NTB1 Tanah Kediri1, Lombok Barat 33 Ll-NTB2 Tanah Kediri2, Lombok Barat 34 Ll-NTB3 Tanah Ampenan1, Mataram 35 Ll-NTB4 Tanah Ampenan2, Mataram 36 Ll-NTB5 Tanah Ampenan3, Mataram 37 Ll-NTB6 Tanah Ampenan4, Mataram
20
Pembiakan Imago R. linearis untuk Mendapatkan Telur
Telur R. linearis diperoleh dengan cara mengembangbiakkan imago di dalam
laboratorium. Imago R. linearis diambil dengan jaring dari lahan pertanaman kedelai
di Probolinggo, Jawa Timur pada tahun 2006 kemudian dipelihara di dalam sangkar
kawat yang disungkup dengan kain trikot. Serangga diberi pakan kacang panjang
yang sudah terbentuk bijinya dan setiap dua hari pakan diganti dengan kacang yang
segar. Pada bagian dinding di dalam sangkar diselipkan benang-benang halus
berwarna kuning yang berfungsi sebagai tempat peletakkan telur oleh imago betina.
Inokulasi L. lecanii pada Telur R. linearis
Suspensi tiap isolat L. lecanii yang sudah dihitung kerapatan konidianya
kemudian diaplikasikan pada kelompok telur R. linearis yang berumur satu hari di
dalam cawan Petri berdiameter 18 cm. Dosis aplikasi 2 ml yang disemprotkan pada
100 butir telur sebagai perlakuan per ulangan. Di dalam cawan Petri diberi lapisan
kertas tissue yang dibasahi dengan air dan kelembaban dipertahankan di atas 80%
setiap hari. Variabel yang diamati adalah; (1) jumlah telur tidak menetas akibat
terinfeksi L. lecanii yang dihitung mulai sejak waktu aplikasi sampai dengan umur 6
hari setelah aplikasi (HSA), (2) jumlah nimfa II R. linearis hidup yang dihitung sejak
stadia telur, dan (3) jumlah konidia L. lecanii yang diproduksi pada tiap telur R.
linearis yang tidak menetas. Tiap butir telur yang tidak menetas dimasukkan ke
dalam tabung reaksi dan ditambah air 10 ml kemudian dikocok menggunakan vortex
selama 30 detik. Masing-masing suspensi pada tiap-tiap perlakuan dihitung jumlah
konidia yang terbentuk menggunakan haemocytometer.
Ukuran Konidia Konidia yang terbentuk pada tiap telur yang tidak menetas diambil
menggunakan kuas kemudian diletakkan di atas kaca obyek yang ditetesi dengan air
selanjutnya ditutup dengan gelas penutup (cover glass). Konidia tiap isolat diukur
21
menggunakan mikrometer okuler dari mikroskup optik merk Zeiss, tipe 47.30159901
(German) yang sudah dikalibrasi dengan perbesaran 40x. Setiap isolat diukur
sebanyak 10 konidia sebagai ulangan.
Daya Kecambah dan Periode Waktu Kecambah Konidia L. lecanii
Konidia dari masing-masing isolat pada telur yang tidak menetas diinkubasi di
dalam air. Setelah 10 jam diinkubasi kemudian dilakukan pengamatan terhadap
jumlah konidia yang berkecambah dengan menggunakan mikroskup optik merk
Olympus, model CX 21FSI. Pengamatan periode waktu kecambah dimulai dari waktu
inkubasi konidia dan dihentikan setelah konidia yang berkecambah mencapai 95%
(Feng et al. 2002).
Toleransi Berbagai Isolat L. lecanii pada Berbagai Tingkat Suhu
Isolat L. lecanii ditumbuhkan pada media PDA di dalam cawan Petri yang
berdiameter 9 cm kemudian biakan cendawan disimpan pada suhu yang berbeda.
yaitu 20 oC, 25 oC, 27 oC, 30 oC, dan 32 oC. Pertumbuhan koloni diukur hingga umur
21 HSI. Jumlah konidia yang diproduksi dihitung dengan cara mengambil sebanyak 1
g dari masing-masing isolat beserta medianya dan dimasukkan ke dalam labu
Erlenmeyer kemudian ditambah air 100 ml. Labu dikocok menggunakan vortex
selama 30 detik kemudian jumlah konidia dihitung menggunakan haemocytometer.
Bentuk karakter koloni setiap isolat diamati berdasarkan metode yang dikembangkan
oleh Rayner dan Boddy (1988).
Analisis Data
Semua data yang diperoleh dianalisis menggunakan program MINITAB 14.
Apabila terdapat perbedaan di antara perlakuan maka dilanjutkan dengan uji beda
nyata terkecil (BNT) pada taraf nyata α = 0.05.
22
Analisis Pengelompokan Isolat
Pengelompokan isolat L. lecanii didasarkan dari kemiripan karakter fisiologi
cendawan, meliputi; (1) virulensi, (2) jumlah konidia yang diproduksi pada tiap telur
yang tidak menetas, (3) ukuran konidia, (4) daya kecambah konidia, (5) periode
waktu kecambah, (6) toleransi terhadap suhu, dan (7) karakter koloni menggunakan
program MINITAB 14. Hasil analisis pengelompokan isolat adalah berupa
dendogram hubungan kemiripan antar isolat.
Hasil dan Pembahasan Virulensi Beberapa Isolat L. lecanii terhadap Telur R. linearis
Virulensi isolat diukur dari persentase telur R. linearis yang tidak menetas
hingga enam hari setelah aplikasi (HSA). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perbedaan asal isolat berpengaruh nyata terhadap virulensi cendawan. Virulensi
tertinggi dicapai pada isolat Ll-JTM11 dengan jumlah telur yang tidak menetas
mencapai 75% (Tabel 2). Sedangkan telur yang tidak menetas terendah hanya 12%.
yaitu pada isolat Ll-NTB4. Dari percobaan diperoleh empat isolat yang memiliki
virulensi tinggi, yaitu Ll-JTM11, Ll-JTM12, Ll-JTM15, dan Ll-TB2 dengan
persentase telur yang tidak menetas berturut-turut 75%, 72%, 69%, dan 73%.
Isolat L. lecanii yang virulen terhadap telur R. linearis semuanya diperoleh
dari cadaver Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae), kecuali isolat Ll-JTM15
yang diperoleh dari cadaver R. linearis. Hasil penelitian ini menginformasikan bahwa
cendawan L. lecanii tidak spesifik inang. Isolat yang lebih virulen dapat diperoleh
dengan cara eksplorasi dari berbagai serangga lain. Hasil penelitian ini mendukung
Trizelia (2005) yang mendapatkan isolat Beauveria bassiana (Deuteromycotina:
Hyphomycetes) yang diperoleh dari serangga yang sama dengan serangga uji juga
tidak menunjukkan virulensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan isolat yang
diperoleh dari jenis serangga yang berbeda dengan serangga uji.
23
Tabel 2 menunjukkan bahwa isolat L. lecanii yang diperoleh dari metode
pengumpanan maupun isolasi dari tanah mengindikasikan virulensi lebih rendah,
yaitu hanya di bawah 45% apabila dibandingkan dengan isolat yang diperoleh dari
bangkai serangga. Hal ini diduga karena isolat yang diperoleh dari tanah mengalami
fase saprob dan cendawan mengalami banyak cekaman, seperti aktivitas pestisida
kimia maupun senyawa metabolit bekas tanaman yang ada dipermukaan tanah. Oleh
karena itu, isolat L. lecanii yang diperoleh dari tanah maupun metode pengumpanan
sebaiknya diinfeksikan ke serangga inang terlebih dahulu sebelum diuji agar totalitas
fase patogenesis setiap isolat dapat diekspresikan. Menurut Ropek dan Para (2002),
pertumbuhan V. lecanii yang diperoleh dari tanah dipengaruhi oleh berbagai
kontaminan dari logam berat seperti cadmium (Cd) dan plumbum (Pb). Popowska-
Nowak et al. (2000) juga melaporkan bahwa pertumbuhan cendawan Paecilomyces
farinosus (Wize) Brown & Simth (Deuteromycotina: Hyphomycetes) dipengaruhi
oleh aktivitas logam berat. Sementara itu, Klingen et al. (2002) melaporkan bahwa
senyawa metabolit sekunder tanaman dapat menghambat pertumbuhan cendawan
Metarhizium anisopliae (Metsch.) (Deuteromycotina: Hyphomycetes) dalam
konsentrasi yang rendah, sedangkan pada konsentrasi yang tinggi dapat menyebabkan
toksik. Senyawa metabolit dari serasah berbagai tanaman khususnya dari kelompok
Brassicaceae sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan
cendawan B. bassiana meskipun cendawan tersebut sudah dikulturkan beberapa kali
(Sudirman et al. 2008).
Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa virulensi isolat sangat beragam
tergantung dari asal isolat, serangga inang, maupun kondisi ekologi setempat. Alavo
et al. (2004) menyatakan bahwa kisaran inang dan kondisi ekologi dapat
mempengaruhi keragaman genetik yang berpengaruh langsung terhadap tingkat
virulensi cendawan. Menurut Fatiha et al. (2007) perbedaan virulensi isolat V. lecanii
dipengaruhi oleh keragaman intraspesies. Sementara itu, keragaman intraspesies
dipengaruhi oleh keragaman genetik isolat V. lecanii (Sugimoto et al. 2003a &
2003b). Keragaman genetik dapat terjadi karena mutasi, rekombinasi gen, reproduksi
24
seksual dan paraseksual, seleksi, heterokariosis, dan migrasi gen dari suatu tempat ke
tempat lain (McDonald & McDermott 1993; Dalzoto et al. 2003).
Isolat yang diperoleh dari serangga inang yang sama tetapi dari geografi yang
berbeda atau isolat yang diperoleh dari serangga yang berbeda namun dari geografi
yang sama kemungkinan memiliki virulensi yang berbeda (Fatiha et al. 2007). Hasil
penelitian Mor et al. (1996) menunjukkan bahwa virulensi V. lecanii yang diuji
berkisar dari 0-83% dan variasi ini dipengaruhi oleh serangga inang maupun geografi
isolat. Ekesi (2001) menyatakan bahwa perbedaan virulensi pada cendawan M.
anisopliae dan B. bassiana (Deuteromycotina: Hyphomycetes) juga dipengaruhi oleh
faktor intraspesies.
Jumlah Konidia pada Telur R. linearis yang Tidak Menetas
Hasil penelitian menunjukkan bahwa asal isolat berpengaruh terhadap jumlah
konidia yang terbentuk pada tiap telur R. linearis yang tidak menetas (Tabel 2).
Jumlah konidia L. lecanii yang terbanyak diperoleh pada isolat Ll-TB2, yaitu hingga
7.825 x 106 per telur. Jumlah konidia terbanyak diikuti oleh isolat Ll-JTM15, Ll-
JTM12, dan Ll-JTM11 masing-masing 7.373 x 106, 7.250 x 106, dan 7.150 x 106 per
telur. Isolat Ll-JTM13 juga mampu memproduksi konidia cukup tinggi hingga
mencapai 6.45 x 106 per telur dan isolat tersebut tidak berbeda nyata dengan isolat Ll-
JTM11 dan Ll-JTM12. Namun, jumlah konidia pada isolat Ll-JTM13 tidak
berkorelasi dengan tingkat virulensi jika dilihat dari jumlah telur yang tidak menetas
hanya di bawah 50%. Produksi konidia pada isolat yang kurang virulen sangat
rendah. yaitu hanya berkisar 1–5.1 x 106 per telur. Dari 37 isolat yang diuji, Ll-TB2
mampu memproduksi konidia terbanyak meskipun tidak berbeda nyata dengan
jumlah konidia yang terbentuk pada isolat Ll-JTM11, Ll-JTM12, maupun Ll-JTM15.
25
Tabel 2 Rata-rata persentase telur R. linearis yang tidak menetas setelah terinfeksi L. lecanii
No.
Isolat Telur tidak
menetas (%)* Jumlah konidia tiap
telur (x106)* Persentase nimfa II
hidup (%)* 1 Ll-JTM1 25 ± 11.0 efghi 2.675 ± 1.342 hijk 53 ± 5.5 defgh 2 Ll-JTM2 23 ± 10.6 fghi 3.125 ± 1.142 ghijk 61 ± 12.6 cdef 3 Ll-JTM3 20 ± 13.0 hi 1.775 ± 0.231 lmn 71 ± 14.0 bc 4 Ll-JTM4 21 ± 7.4 hi 2.050 ± 0.410 jklmn 63 ± 7.1 bcdef 5 Ll-JTM5 35 ± 5.5 def 1.500 ± 0.392 n 46 ± 9.3 gh 6 Ll-JTM6 32 ± 5.2 defg 2.800 ± 0.744 hijklm 58 ± 3.7 cdefg 7 Ll-JTM7 27 ± 7.6 efgh 4.225 ± 0.673 cdefg 60 ± 7.4 cdefg 8 Ll-JTM8 37 ± 13.3 cd 3.925 ± 0.945 cdefgh 59 ± 10.6 cdefg 9 Ll-JTM9 24 ± 5.2 efghi 2.250 ± 0.547 jklmn 57 ± 7.6 cdefgh
10 Ll-JTM10 26 ± 3.7 efgh 2.150 ± 0.652 jklmn 52 ± 5.2 efgh 11 Ll-JTM11 75 ± 9.7 a 7.150 ± 1.125 ab 18 ± 6.4 i 12 Ll-JTM12 72 ± 11.7 a 7.250 ± 0.358 ab 21 ± 5.5 i 13 Ll-JTM13 44 ± 10.9 c 6.450 ± 0.469 b 53 ± 9.7 defgh 14 Ll-JTM14 44 ± 8.0 c 4.950 ± 1.157 cd 50 ± 7.7 fgh 15 Ll-JTM15 69 ± 12.2 a 7.375 ± 0.929 ab 21 ± 4.6 i 16 Ll-JTM16 32 ± 9.1 defg 4.425 ± 1.028 cdef 62 ± 8.8 bcdef 17 Ll-JTM17 30 ± 4.8 efgh 1.625 ± 0.819 mn 53 ± 6.3 defgh 18 Ll-ME1 49 ± 4.6 b 3.000 ± 0.818 ghijkl 43 ± 8.7 h 19 Ll-ME2 44 ± 6.0 c 4.550 ± 0.727 cdef 43 ± 1.8 h 20 Ll-ME3 37 ± 14.3 cd 1.775 ± 0.977 lmn 53 ± 8.0 efgh 21 Ll-OK1 35 ± 7.6 def 2.700 ± 0.855 hijklm 46 ± 13.7 gh 22 Ll-OK2 30 ± 7.7 efgh 4.550 ± 0.746 cdef 57 ± 10.6 cdefgh 23 Ll-LT1 22 ± 4.8 ghi 4.400 ± 0.495 cdef 69 ± 8.2 bc 24 Ll-LT2 21 ± 7.0 hi 3.600 ± 0.941 efghi 66 ± 6.4 bcde 25 Ll-LT3 26 ± 7.7 efgh 2.550 ± 0.410 ijklmn 66 ± 15.6 bcde 26 Ll-TB1 19 ± 6.7 hi 2.025 ± 0.681 klmn 71 ± 19.7 bc 27 Ll-TB2 73 ± 10.6 a 7.825 ± 0.681 a 22 ± 12.3 i 28 Ll-TB3 27 ± 3.5 efgh 3.775 ± 0.706 defghi 61 ± 7.1 cdef 29 Ll-TB4 28 ± 10.9 efgh 3.025 ± 0.086 ghijkl 65 ± 14.0 bcde 30 Ll-TB5 36 ± 4.3 cde 5.100 ± 2.338 c 50 ± 6.4 fgh 31 Ll-TB6 32 ± 11.7 defg 4.575 ± 0.706 cde 63 ± 6.3 bcdef 32 Ll-NTB1 26 ± 8.8 efgh 1.900 ± 0.627 klmn 57 ± 4.6 cdefgh 33 Ll-NTB2 29 ± 9.6 efgh 2.600 ± 0.434 ijklmn 57 ± 8.2 cdefgh 34 Ll-NTB3 25 ± 8.2 efghi 3.300 ± 1.302 fghij 60 ± 3.0 cdefg 35 Ll-NTB4 12 ± 5.2 j 1.400 ± 0.839 cdef 76 ± 10.0 b 36 Ll-NTB5 23 ± 6.4 fghi 2.525 ± 0.886 ijklmn 67 ± 9.2 bcd 37 Ll-NTB6 17 ± 6.3 i 2.175 ± 0.416 jklmn 59 ± 12.2 cdefg
LSD (0.05) 13.4 1.268 14.1 * Data ditransformasi ke arc sin √x sebelum sidik ragam. Rata-rata selajur yang
diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji BNT, α = 0.05).
26
Tabel 2 menunjukkan bahwa isolat yang mampu memproduksi konidia
terbanyak mempunyai korelasi positif dengan virulensi cendawan. Pengamatan secara
mikroskopis mengindikasikan bahwa karakter isolat yang virulen ditandai dengan
tingkat pertumbuhan dan kolonisasi miselium pada telur lebih cepat dan lebih tebal
(Gambar 1a) dibandingkan dengan isolat yang kurang virulen (Gambar 1b). Geden et
al. (1995) mengindikasikan bahwa isolat B. bassiana yang virulen terhadap Musca
domestica memiliki pertumbuhan yang lebih cepat, struktur miselium lebih padat,
dan konidia yang dihasilkan lebih banyak. Sementara itu, isolat yang kurang virulen
tumbuh lebih lambat, miselium lebih tipis, dan jumlah konidia yang dihasilkan lebih
sedikit.
Gambar 1 Kolonisasi miselium isolat L. lecanii yang virulen (a) dan isolat yang
kurang virulen (b) pada telur R. linearis tujuh hari setelah aplikasi (HSA).
Pada tiap konidiofor isolat yang virulen mampu memproduksi konidia lebih
banyak dibandingkan dengan isolat yang kurang virulen (Gambar 2a & 2b). Hasil
penelitian Kamp dan Bidochka (2002) menunjukkan bahwa isolat yang virulen
memiliki karakter kolonisasi lebih cepat, miselium yang terbentuk lebih tebal dan
(a) Ll-TB2 (b) Ll-ME1
27
padat. Karakter fisiologi isolat yang virulen berbeda dengan isolat yang kurang
virulen, yaitu ditandai dengan jumlah konidia lebih banyak. Namun, hasil penelitian
Drummond et al. (1987) tidak menampakkan adanya korelasi yang jelas antara
ukuran konidia terhadap virulensi V. lecanii pada Trialeurodes vaporariorum
(Homoptera: Aleyrodidae). Hal ini disebabkan karena jumlah isolat yang diuji lebih
sedikit sehingga akan mempengaruhi tingkat keragaman isolat.
Gambar 2 Perbedaan jumlah konidia L. lecanii yang diproduksi oleh setiap tangkai
konidiofor pada isolat yang virulen (a) dan isolat yang kurang virulen (b).
Monteiro et al. (2004) melaporkan bahwa setiap isolat V. lecanii akan
memproduksi konidia yang berbeda meskipun ditumbuhkan pada media yang sama.
Hasil serupa juga terjadi pada cendawan entomopatogen yang lain, yaitu B. bassiana
yang menginfeksi Lygus lineolaris (Hemiptera: Miridae) (Liu et al. 2003). Hassani et
al. (2001) juga melaporkan bahwa jumlah konidia Nomuraea rileyi
(Deuteromycotina: Hyphomycetes) yang terbentuk berbeda antar isolat. Kemampuan
cendawan entomopatogen untuk memproduksi konidia mempunyai arti yang sangat
penting karena konidia merupakan propagul infektif bagi cendawan tersebut yang
berperan utama sebagai organ untuk pemencaran dan proses infeksi untuk
a (Ll-TB2) b (Ll-ME1)
28
menimbulkan epizooti (Chun & Mingguang 2004; Lerche et al. 2004). Isolat yang
mampu memproduksi konidia lebih banyak akan lebih cepat pemencarannya (Lerche
et al. 2004). Dengan demikian, akan lebih menguntungkan karena isolat tersebut
mampu menimbulkan epizooti dalam waktu yang lebih pendek sehingga lebih efektif
sebagai bioinsektisida dalam pengendalian hama (Ganga-Visalakshy et al. 2004).
Jumlah Nimfa II Hidup Infeksi telur R. linearis oleh L. lecanii secara tidak langsung berpengaruh juga
terhadap kelangsungan hidup nimfa II yang akan berkembang menjadi dewasa.
Jumlah nimfa II yang mampu hidup terendah terjadi pada aplikasi L. lecanii isolat Ll-
JTM11, yaitu hanya 18% kemudian diikuti oleh isolat Ll-JTM12 dan Ll-JTM15
masing-masing 21%, serta isolat Ll-TB2 sebesar 22% (Tabel 2). Ada tiga isolat yang
mampu menekan jumlah nimfa II yang hidup di bawah 50%, yaitu isolat Ll-ME1, Ll-
ME2, dan Ll-JTM5 masing-masing jumlah nimfa hidup 43%, 43%, dan 46%. Selain
isolat-isolat yang disebut di atas. persentase nimfa II yang hidup masih relatif tinggi
hingga di atas 50%. Jumlah nimfa II yang hidup terbanyak mencapai di atas 70%
yang terjadi pada isolat Ll-JTM3 dan Ll-TB1 masing-masing 71%, serta Ll-NTB4
yaitu hingga 76%. Nimfa II yang mampu bertahan memiliki peluang hidup yang
tinggi untuk berkembang menjadi serangga dewasa.
Keberadaan serangga yang bertahan hingga dewasa sangat merugikan
terhadap keselamatan polong dan biji kedelai di lapangan. Hal ini disebabkan baik
nimfa maupun imago mempunyai peluang yang sama besarnya dalam merusak
polong dan biji. Isolat L. lecanii yang kurang mampu menekan perkembangan nimfa
II maka isolat-isolat tersebut kurang efektif dalam mengendalikan R. linearis. Hasil
penelitian Prayogo et al. (2005) menunjukkan bahwa nimfa II yang terbentuk
mempunyai peluang hidup menjadi imago hingga 100%. Oleh karena itu, pengamatan
kelangsungan hidup pada penelitian ini hanya dibatasi setelah serangga berkembang
menjadi nimfa II.
29
Nimfa yang berkembang dari telur yang sudah terinfeksi L. lecanii, tidak
dapat melangsungkan hidupnya menjadi nimfa II karena serangga tidak berhasil
berganti kulit dan akhirnya serangga mati (Gambar 3a & 3b). Dengan demikian,
pengendalian R. linearis pada stadia telur lebih menguntungkan karena
perkembangan serangga tertekan lebih awal sehingga peluang serangga yang akan
hidup menjadi terbatas. Hoddle (1999) melaporkan bahwa L. lecanii mampu
menginfeksi semua stadia Bemisia argentifolii Bellows & Perring (Homoptera:
Aleyrodidae) yaitu stadia telur, nimfa, maupun imago. Peluang telur untuk menetas
dan berkembang menjadi nimfa I sangat kecil jika sudah terinfeksi V. lecanii. Bahkan
nimfa I yang mampu terbentuk akhirnya tidak dapat melangsungkan hidupnya
menjadi nimfa instar II.
Gambar 3 Nimfa I R. linearis yang gagal berganti kulit menjadi nimfa II (a) dan
nimfa I mati setelah terinfeksi L. lecanii pada isolat Ll-JTM11 (b).
Gindin et al. (2000) juga melaporkan bahwa V. lecanii yang mengkolonisasi
telur B. tabaci sebenarnya sudah menginfeksi jaringan embrio yang ada di dalam
telur sehingga nimfa yang terbentuk akan mati. Hasil penelitian del-Prado et al.
(2008) mengindikasikan bahwa telur kutu kapuk kelapa Aleurodicus cocois Curtis.
1864 (Homoptera: Aleyrodidae) yang terinfeksi L. lecanii akhirnya tidak menetas
(a) (b)
30
mencapai 83%. Meskipun telur berhasil menetas akan tetapi tidak mempunyai
peluang berkembang menjadi serangga dewasa karena nimfa yang terbentuk sudah
terinfeksi cendawan.
Ukuran Konidia L. lecanii
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran konidia L. lecanii cukup
bervariasi mulai dari (3.5 x 1.2) – (6.5 x 2.5) µm (Tabel 3). Isolat L. lecanii yang
memiliki ukuran konidia lebih besar mencapai 6.5 x 2.5 µm adalah Ll-JTM11, Ll-
JTM12, Ll-JTM13, Ll-JTM14, Ll-JTM15, Ll-JTM16, Ll-ME2, dan Ll-TB2 (Gambar
4a). Delapan isolat yang tersebut di atas, umumnya lebih virulen dibandingkan
dengan isolat lainnya. kecuali isolat Ll-JTM16. Rendahnya virulensi isolat Ll-JTM16
diduga disebabkan oleh periode waktu kecambah konidia relatif lebih lambat hingga
mencapai 18 jam setelah inkubasi (JSI). Selain itu, isolat tersebut juga diperoleh dari
metode isolasi pengumpanan serangga. Hasil uji virulensi mengindikasikan bahwa
isolat yang memiliki virulensi tinggi hanya diperoleh dari metode isolasi cadaver.
Isolat yang memiliki ukuran konidia lebih kecil, yaitu Ll-NTB6 (Gambar 4b),
Ll-NTB5, Ll-NTB4, Ll-NTB3, Ll-NTB2, Ll-NTB1, Ll-TB6, Ll-TB5, Ll-TB4. Ll-
TB3, Ll-TB1, Ll-LT1, Ll-LT2, Ll-LT3, Ll-JTM1, Ll-JTM2, Ll-JTM3, Ll-JTM4, dan
Ll-JTM7 bersifat kurang virulen. Sedangkan isolat Ll-JTM5, Ll-JTM6, Ll-JTM8, Ll-
JTM9, Ll-JTM10, Ll-JTM17, Ll-JTM18, Ll-ME3, Ll-OK1, Ll-OK2, dan Ll-TB1
meskipun ukuran konidianya lebih besar dari 3.5 x 1.3 µm, namun virulensinya relatif
rendah hanya di bawah 50%. Hal ini disebabkan sebagian besar isolat tersebut
mempunyai periode waktu kecambah lebih lambat hingga mencapai 20 JSI. Menurut
Humber (1998) ukuran konidia L. lecanii cukup bervariasi mulai 2.5-10 x 1-2.5 µm,
sedangkan Olivares-Bernabeu & Lopez Llorca (2002) menyatakan bahwa ukuran
konidia L. lecanii adalah 1.6 x 4.8 µm. Hasil penelitian Vu et al. (2007)
mengindikasikan bahwa ukuran konidia L. lecanii berhubungan dengan tingkat
perkecambahan dan virulensi cendawan. Tingkat virulensi L. lecanii berkaitan dengan
kandungan dan aktivitas enzim amilase dan kitinase yang tinggi. Diduga semakin
31
besar ukuran konidia semakin banyak kandungan enzim yang terdapat pada konidia
tersebut.
Tabung kecambah yang terbentuk pada isolat-isolat yang virulen juga lebih
besar dan lebih panjang dibandingkan dengan isolat yang berindikasi kurang virulen
(Gambar 4c & 4d). Tabung kecambah yang terbentuk akan berkembang membentuk
apresorium yang berfungsi untuk menempelkan organ infektif pada permukaan inang.
Semakin cepat tabung kecambah terbentuk dan semakin besar ukurannya diduga akan
semakin besar pula peluang inang dapat dipenetrasi oleh cendawan karena permukaan
inang lebih cepat dihidrolisis oleh enzim yang dihasilkan oleh cendawan.
Gambar 4 Ukuran konidia dan tabung kecambah L. lecanii yang terbentuk pada
isolat yang virulen (Ll-TB2) (a & b), serta isolat yang kurang virulen (Ll-NTB6) (c & d).
a b
dc
6 µm
32
Daya Kecambah dan Periode Waktu Kecambah Konidia L. lecanii
Daya kecambah konidia semua isolat di atas 80% setelah diinkubasi di dalam
air selama 10 jam dan diantara 37 isolat yang diuji tidak berbeda (Tabel 3). Daya
kecambah tertinggi dicapai oleh isolat Ll-JTM11 (86%) kemudian diikuti oleh Ll-
JTM12 (85.5%), Ll-JTM15 (84.8%), dan Ll-TB2 (84.6%). Daya kecambah terendah
terjadi pada isolat Ll-JTM8, yaitu hanya 80.1%. Daya kecambah mengekspresikan
kemampuan konidia yang dapat tumbuh dan berkembang apabila faktor lingkungan
mendukung. Daya kecambah konidia mempunyai peran yang cukup besar bagi
keberhasilan konidia dalam proses penetrasi dan infeksi ke serangga inang (Sitch &
Jackson 1997; Alavo et al. 2002). Semakin tinggi daya kecambah konidia maka
semakin besar pula peluang agens hayati tersebut dapat menginfeksi serangga inang
sehingga kolonisasi dan proses epizooti di lapangan cepat terjadi (Wagner & Lewis
2000; Lewis et al. 2000). Oleh karena itu, daya kecambah konidia sebagai karakter
fisiologi cendawan perlu diprioritaskan sebagai salah satu kriteria dalam pemilihan
agens hayati (Fatiha et al. 2007).
Menurut Kassa (2003), Luz dan Fargues (2004) daya kecambah konidia
cendawan entomopatogen yang digunakan sebagai agens hayati minimal harus 80%.
Liu et al. (2003) menyarankan bahwa daya kecambah konidia cendawan yang akan
digunakan sebagai agens hayati harus di atas 90%. Lebih lanjut, Samuels dan
Coracini (2004) menegaskan bahwa proses infeksi akan mencapai optimal apabila
daya kecambah konidia isolat yang digunakan mencapai 99%. Namun demikian,
periode waktu yang dibutuhkan konidia untuk berkecambah pada beberapa hasil
penelitian tersebut di atas lebih dari 18 jam setelah diinkubasi di dalam air. Bahkan
hasil penelitian Trizelia (2005) menunjukkan bahwa daya kecambah cendawan B.
bassiana hingga mencapai 24 jam. Daya kecambah diduga dipengaruhi oleh strain
isolat dan jenis cendawan, hal ini disebabkan setiap isolat memiliki kebutuhan nutrisi
yang berbeda. Selain itu, ukuran konidia juga ada pengaruhnya terhadap kecepatan
perkecambahan, semakin besar ukuran konidia semakin cepat waktu yang dibutuhkan
konidia untuk berkecambah.
33
Tabel 3 Ukuran dan daya kecambah konidia L. lecanii setelah diinkubasi di dalam air selama 10 jam, serta periode waktu kecambah konidia hingga 95%
No. Isolat Ukuran konidia
(µm) Konidia yang
berkecambah setelah 10 jam diinkubasi (%)
Periode waktu kecambah konidia 95% (JSI)*
1 Ll-JTM1 3.5 x 1.3 82.3 ± 0.1 tn 19.3 ± 0.3 abc 2 Ll-JTM2 3.5 x 1.3 83.5 ± 1.2 tn 19.3 ± 0.5 abc 3 Ll-JTM3 3.5 x 1.3 80.1 ± 0.8 tn 15.3 ± 0.8 l 4 Ll-JTM4 3.5 x 1.3 83.3 ± 0.3 tn 16.3 ± 0.8 ijk 5 Ll-JTM5 5.3 x 2.0 80.5 ± 1.1 tn 18.0 ± 0.3 efg 6 Ll-JTM6 5.3 x 2.0 84.8 ± 1.3 tn 19.0 ± 0.6 bcd 7 Ll-JTM7 3.5 x 1.3 83.8 ± 1.4 tn 19.3 ± 0.5 ab 8 Ll-JTM8 5.3 x 2.0 80.1 ± 2.2 tn 17.3 ± 0.5 ghi 9 Ll-JTM9 5.3 x 2.0 80.3 ± 2.0 tn 19.0 ± 0.3 bcd
10 Ll-JTM10 5.3 x 2.0 80.7 ± 0.9 tn 19.0 ± 0.3 bcd 11 Ll-JTM11 6.5 x 2.5 86.0 ± 1.7 tn 12.3 ± 0.0 m 12 Ll-JTM12 6.5 x 2.5 85.5 ± 0.3 tn 12.3 ± 0.3 m 13 Ll-JTM13 6.5 x 2.5 80.5 ± 2.1 tn 13.3 ± 1.1 m 14 Ll-JTM14 6.5 x 2.5 81.1 ± 1.6 tn 13.3 ± 0.5 m 15 Ll-JTM15 6.5 x 2.5 84.8 ± 0.9 tn 13.0 ± 0.3 m 16 Ll-JTM16 6.5 x 2.5 81.9 ± 0.5 tn 18.0 ± 0.3 efg 17 Ll-JTM17 5.3 x 2.0 81.9 ± 2.0 tn 18.0 ± 0.3 efg 18 Ll-ME1 5.3 x 2.0 80.9 ± 4.3 tn 13.3 ± 0.3 m 19 Ll-ME2 6.5 x 2.5 81.3 ± 1.3 tn 17.0 ± 0.0 hij 20 Ll-ME3 5.3 x 2.0 81.4 ± 3.0 tn 17.3 ± 0.6 fgh 21 Ll-OK1 5.3 x 2.0 82.7 ± 1.6 tn 18.0 ± 0.3 efg 22 Ll-OK2 5.3 x 2.0 81.9 ± 2.2 tn 19.0 ± 0.3 bcd 23 Ll-LT1 3.5 x 1.2 80.9 ± 2.2 tn 18.3 ± 0.9 def 24 Ll-LT2 3.5 x 1.3 81.1 ± 1.9 tn 19.3 ± 0.9 abc 25 Ll-LT3 3.5 x 1.3 80.8 ± 2.8 tn 19.0 ± 0.6 bcd 26 Ll-TB1 5.3 x 2.0 82.3 ± 1.6 tn 20.0 ± 0.3 a 27 Ll-TB2 6.5 x 2.5 84.6 ± 0.4 tn 12.3 ± 0.0 m 28 Ll-TB3 3.5 x 1.3 81.8 ± 1.2 tn 19.0 ± 0.6 bcd 29 Ll-TB4 3.5 x 1.3 81.4 ± 2.6 tn 18.3 ± 0.6 cde 30 Ll-TB5 3.5 x 1.3 80.2 ± 1.9 tn 17.3 ± 0.6 fgh 31 Ll-TB6 3.5 x 1.3 81.7 ± 2.3 tn 18.0 ± 0.6 efg 32 Ll-NTB1 3.5 x 1.2 80.9 ± 1.5 tn 19.0 ± 0.3 bcd 33 Ll-NTB2 3.5 x 1.2 83.5 ± 0.7 tn 19.0 ± 0.3 bcd 34 Ll-NTB3 3.5 x 1.2 81.3 ± 2.3 tn 19.0 ± 0.6 bcd 35 Ll-NTB4 3.5 x 1.3 82.2 ± 1.4 tn 20.0 ± 0.3 a 36 Ll-NTB5 3.5 x 1.3 82.2 ± 2.8 tn 18.3 ± 0.6 cde 37 Ll-NTB6 3.5 x 1.2 81.7 ± 3.1 tn 20.0 ± 0.3 a
LSD (0.05) 0.2 6.0 Keterangan: JSI (jam setelah inkubasi), tn (tidak nyata antar perlakuan). *Rata-rata selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji BNT, α = 0.05).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa periode waktu yang dibutuhkan
untuk berkecambah di atas 95% pada semua isolat yang diuji hanya di bawah 20 jam
(Tabel 3). Diperoleh 7 isolat yang memiliki periode waktu terpendek di bawah 15
34
jam. yaitu Ll-JTM11 (12.30 jam), Ll-JTM12 (12.30 jam), Ll-TB2 (12.30 jam), Ll-
JTM15 (13 jam), Ll-ME1 (13.30 jam), Ll-JTM13 (13.30 jam), dan Ll-JTM14 (13.30
jam). Akan tetapi tidak semua isolat yang membutuhkan waktu kecambah lebih
pendek memiliki virulensi lebih tinggi. Fenomena tersebut terjadi pada isolat Ll-
JTM13, Ll-JTM14, dan Ll-ME1 yang ketiganya hanya membutuhkan waktu 13.30
jam. Jumlah telur yang tidak menetas pada isolat tersebut masing-masing 44-49%
(Tabel 2). Persentase telur yang tidak menetas pada ketiga isolat tersebut lebih rendah
dibandingkan dengan keempat isolat Ll-JTM11, Ll-JTM12, Ll-JTM15, dan Ll-TB2.
Namun demikian, persentase pada ketiga isolat tersebut masih lebih unggul
dibandingkan dengan isolat lain yang termasuk kurang virulen.
Semakin lama periode waktu berkecambah maka semakin rendah peluang
agens hayati tersebut untuk dapat menginfeksi serangga inang. Hal ini disebabkan
konidia sebagai inokulum akan terpapar di alam terbuka lebih lama. Sementara itu,
apabila kondisi suhu dan kelembaban kurang mendukung maka konidia akan
mengalami kekeringan sehingga akhirnya mati sebelum menemukan inang (Barbosa
et al. 2002; Lazzarini et al. 2006). Menurut Helen et al. (2003) dan Devi et al. (2005)
perkecambahan konidia sangat dipengaruhi oleh suhu, kelembaban, nutrisi, dan jenis
isolat. Hal ini disebabkan setiap jenis isolat cendawan entomopatogen membutuhkan
kebutuhan nutrisi yang berbeda-beda (Safavi et al. 2007). Dengan demikian.
persentase daya kecambah dan periode waktu berkecambah sangat berperan dalam
menentukan virulensi cendawan.
Toleransi Berbagai Isolat L. lecanii terhadap Berbagai Tingkat Suhu Diameter Koloni Berbagai Isolat L. lecanii
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua isolat L. lecanii mampu tumbuh
pada suhu antara 20 oC sampai dengan 30 oC (Tabel 4). Pada suhu 20 oC, isolat yang
menunjukkan rata-rata diameter koloni terlebar hingga mencapai 60 mm dicapai oleh
empat isolat. yaitu Ll-JTM11, Ll-JTM17, Ll-ME3, dan Ll-TB5. Sedangkan diameter
35
koloni terendah hanya 42. 47, dan 48 mm yang terjadi pada isolat Ll-TB4, Ll-JTM13,
dan Ll-NTB1. Sementara itu, isolat lainnya menunjukkan diameter koloni di atas 50
mm. Pada suhu tersebut semua isolat tumbuh dengan baik meskipun ada tiga isolat
yang menunjukkan tingkat pertumbuhan lebih rendah.
Pada suhu 25 oC, hampir semua isolat menunjukkan peningkatan
pertumbuhan. Hal ini dapat diketahui dari total diameter koloni, meskipun ada
beberapa isolat yang diameter koloninya sama dengan pada suhu 20 oC. Diameter
koloni terlebar yaitu isolat Ll-JTM11 (62.7 mm), Ll-JTM12 (60.3 mm), Ll-JTM17
(60 mm), Ll-ME3 (60 mm), dan Ll-TB5 (60 mm). Diameter koloni empat isolat yang
disebut di atas pada suhu 20 oC juga lebih lebar. Peningkatan diameter koloni terus
terjadi dengan meningkatnya suhu hingga 27 oC. Pada suhu 27 oC, isolat yang
memiliki diameter koloni terlebar yaitu Ll-JTM4 (60 mm), Ll-JTM11 (63 mm), Ll-
JTM12 (63.7 mm), Ll-JTM15 (61.3 mm), Ll-JTM17 (63.7 mm), Ll-ME3 (61 mm),
dan Ll-TB2 (64.3 mm). Di antara tujuh isolat tersebut yang menunjukkan diameter
koloni terlebar adalah isolat Ll-TB2 dengan rata-rata diameter 64.3 mm.
Pertumbuhan cendawan umumnya mengalami penghambatan apabila suhu
naik hingga 30 oC. Hal ini ditunjukkan dari rata-rata diameter tiap-tiap koloni lebih
sempit dibandingkan dengan diameter koloni pada suhu 27 oC dan 25 oC, maupun 20 oC. Penghambatan pertumbuhan cendawan terus terjadi apabila kondisi suhu naik
hingga menjadi 32 oC, hal ini ditandai dengan diameter koloni hanya bertambah
kurang lebih 1-2 mm dalam waktu 21 hari.
Diameter koloni terlebar pada suhu 32 oC dicapai pada isolat Ll-TB5 (13.7
mm). Namun demikian, diameter isolat tersebut tidak berbeda nyata dengan isolat Ll-
JTM3 (12.7 mm), Ll-JTM4 (13.3 mm), Ll-JTM5 (13.3 mm), Ll-JTM6 (12.7 mm),
Ll-JTM8 (12.7 mm), Ll-JTM11 (13 mm), Ll-JTM12 (13 mm), Ll-ME2 (12.7 mm),
Ll-OK1 (12.3 mm), Ll-TB2 (12. 7 mm), Ll-TB6 (13 mm), Ll-NTB3 (12.3 mm), dan
Ll-NTB6 (13 mm). Dilihat dari diameter koloni yang terbentuk maka diperoleh 13
isolat yang agak toleran terhadap suhu 32 oC meskipun pertumbuhannya sangat
terhambat. Lima isolat diantaranya berasal dari lahan pertanaman kedelai yang
mempunyai kondisi iklim kering, yaitu Ll-TB2, Ll-TB5, Ll-TB6 dari Lampung,
36
sedangkan Ll-NTB3 dan Ll-TB6 dari Nusa Tenggara Barat. Kedua lokasi tersebut
mempunyai rata-rata suhu harian yang cukup tinggi pada bulan-bulan tertentu.
bahkan pada waktu pengambilan contoh suhu hingga mencapai 32 oC. Hasil
penelitian ini mendukung Vu et al. (2007), lebih dari 40 isolat L. lecanii yang diuji
tidak diperoleh satu isolat yang benar-benar mampu bertahan pada suhu 32 oC. Lee et
al. (2006) juga melaporkan bahwa untuk mendapatkan isolat L. lecanii yang toleran
terhadap suhu tinggi dan lebih virulen sulit diperoleh sehingga untuk aplikasi pada
tipe lahan kering, dianjurkan memakai bahan pelindung (UV protectant).
Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa toleransi isolat L. lecanii terhadap
suhu mungkin juga dipengaruhi oleh asal isolat cendawan. Yeo et al. (2003)
menjelaskan bahwa kerentanan isolat cendawan terhadap suhu sangat ditentukan oleh
strain isolat. Begitu juga Lopez-Llorca & Carbonell (1999) menegaskan bahwa
kerentanan V. lecanii terhadap suhu ditentukan oleh karakter isolat cendawan.
Karakter isolat yang toleran terhadap suhu tinggi mengindikasikan terbentuknya
struktur dinding konidia yang lebih tebal dibandingkan dengan isolat yang kurang
toleran (Parker et al. 2003; Sugimoto et al. 2003b).
Perbedaan toleransi terhadap suhu hasil penelitian ini dengan kondisi suhu
pada lingkungan asal isolat disebabkan suhu pada perlakuan dipertahankan sesuai
masing-masing perlakuan selama penelitian berlangsung. Sementara itu, kondisi suhu
di lapangan asal isolat hanya berlangsung beberapa jam pada siang hari kemudian
suhu turun menjelang sore hari hingga pagi. Dengan demikian, cendawan tidak
mengalami cekaman suhu tinggi terus menerus. Dilihat dari kondisi yang demikian
maka isolat-isolat yang menunjukkan tingkat pertumbuhan koloni yang cepat pada
kondisi suhu yang tinggi diduga akan mempunyai peluang yang sangat besar untuk
diadopsi sebagai agens hayati yang adaptif pada iklim kering. Pengamatan secara
mikroskopis menunjukkan bahwa dinding miselium maupun konidia yang terbentuk
mengalami penebalan dibandingkan miselium yang tumbuh pada suhu yang lebih
rendah. Penebalan dinding tersebut berfungsi untuk mempertahankan diri pada
kondisi lingkungan yang kurang mendukung bagi pertumbuhan cendawan (Hegedus
et al. 1992).
37
Tabel 4 Rata-rata diameter koloni 37 isolat L. lecanii pada berbagai tingkat suhu
Rata-rata diameter koloni berbagai isolat L. lecanii pada umur 21 HSI (mm)* No.
Isolat 20 oC 25 oC 27 oC 30 oC 32 oC
1 Ll-JTM1 56.7 abcde 58.0 abcdef 58.7 abcdefgh 19.3 defghi 12.0 bcde 2 Ll-JTM2 55.0 abcdefg 55.7 bcdefgh 56.0 cdefghij 18.0 fghi 11.7 cde 3 Ll-JTM3 53.3 cdefgh 54.7 bcdefghij 54.7 fghijkl 17.3 ghi 12.7 abcd 4 Ll-JTM4 59.0 abcd 59.3 abcd 60.0 abcde 19.7 cdefgh 13.3 ab 5 Ll-JTM5 55.7 abcdefg 56.7 abcdefgh 57.3 bcdefghi 18.0 fghi 13.3 ab 6 Ll-JTM6 50.0 fghi 50.7 hij 52.0 jklm 17.0 hi 12.7 abcd 7 Ll-JTM7 53.7 bcdefgh 54.3 cdefghij 54.7 fghijkl 17.3 ghi 11.3 de 8 Ll-JTM8 56.3 abcdef 56.7 abcdefgh 58.0 abcdefghi 20.3 bcdef 12.7 abcd 9 Ll-JTM9 51.7 efghi 52.3 efghij 53.7 hijkl 16.7 i 12.0 bcde 10 Ll-JTM10 51.7 efghi 52.0 fghij 53.3 ijkl 21.0 bcde 12.0 bcde 11 Ll-JTM11 61.3 a 62.7 a 63.0 a 22.0 bcd 13.0 abc 12 Ll-JTM12 57.3 abcde 60.3 abc 63.7 a 21.3 bcd 13.0 abc 13 Ll-JTM13 47.0 ij 49.0 jk 50.7 klmn 19.3 defghi 11.7 cde 14 Ll-JTM14 52.7 defghi 54.0 defghij 54.5 ghijkl 21.3 bcd 11.3 de 15 Ll-JTM15 54.3 bcdefgh 59.7 abcd 61.3 ab 21.3 bcd 12.0 bcde 16 Ll-JTM16 53.7 bcdefgh 54.7 cdefghi 55.7 defghijk 20.0 bcdefg 11.3 de 17 Ll-JTM17 60.0 ab 60.0 abc 63.7 a 21.0 bcde 11.3 de 18 Ll-ME1 54.7 bcdefgh 55.3 bcdefghi 56.0 cdefghij 22.7 ab 11.3 de 19 Ll-ME2 53.7 bcdefgh 54.3 cdefghij 56.3 bcdefghij 20.3 bcdef 12.7 abcd 20 Ll-ME3 60.0 ab 60.0 abc 61.0 abc 20.3 bcdef 11.3 de 21 Ll-OK1 57.0 abcde 57.3 abcdef 59.0 abcdefg 21.7 bcd 12.3 abcde 22 Ll-OK2 58.3 abcd 59.0 abcd 59.3 abcdef 22.0 bcd 11.3 de 23 Ll-LT1 54.3 bcdefgh 55.0 bcdefghij 57.7 bcdefghi 21.7 bcd 11.3 de 24 Ll-LT2 56.0 abcdefg 56.7 abcdefgh 56.0 cdefghij 21.7 bcd 11.0 e 25 Ll-LT3 56.7 abcde 57.0 abcdefg 56.7 bcdefghij 21.0 bcde 11.0 e 26 Ll-TB1 54.7 bcdefgh 55.3 bcdefghi 55.7 defghijk 20.7 bcdef 11.0 e 27 Ll-TB2 57.7 abcde 59.3 abcd 64.3 a 22.3 abc 12.7 abcd 28 Ll-TB3 55.3 abcdefg 55.7 bcdefgh 56.7 bcdefghij 21.7 bcd 12.0 bcde 29 Ll-TB4 42.0 j 45.0 k 45.0 n 24.7 a 11.0 e 30 Ll-TB5 60.0 ab 60.0 abc 55.3 efghijkl 19.3 defghi 13.7 a 31 Ll-TB6 57.7 abcde 58.7 abcd 50.3 klm 20.0 bcdefg 13.0 abc 32 Ll-NTB1 48.3 hi 49.3 ijk 50.0 klm 18.3 efghi 11.7 cde 33 Ll-NTB2 59.7 abc 51.0 ghij 50.7 klm 20.7 bcdef 12.0 bcde 34 Ll-NTB3 54.0 bcdefgh 54.3 cdefghij 55.0 efghijkl 20.7 bcdef 12.3 abcde 35 Ll-NTB4 55.0 abcdefg 56.3 bcdefgh 57.0 bcdefghij 20.3 bcdef 12.0 bcde 36 Ll-NTB5 53.7 bcdefgh 54.3 cdefghij 55.3 defghijk 20.3 bcdef 11.3 de 37 Ll-NTB6 55.0 abcdefg 56.7 abcdefgh 58.0 abcdefghi 21.3 bcd 13.0 abc
LSD 0.05 5.3 5.1 5.2 2.3 1.1 KK (%) 6.4 5.6 5.7 6.9 5.8 * Data ditransformasi ke arc sin √x sebelum sidik ragam. Rata-rata selajur yang diikuti oleh huruf yang
sama tidak berbeda nyata (uji BNT, α = 0.05).
Jumlah Konidia Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah konidia yang dihasilkan dari
setiap isolat berhubungan dengan laju pertumbuhan cendawan meskipun tidak terjadi
pada semua isolat. Pada suhu 20 oC, jumlah konidia terbanyak dihasilkan oleh isolat
Ll-JTM11, Ll-TB2, dan Ll-JTM12 yaitu masing-masing 27 x 106, 25.6 x 106, dan
38
24.7 x 106 (Tabel 5). Jumlah konidia terbanyak diikuti oleh isolat Ll-ME1 (19.2 x
106), Ll-JTM15 (17.2 x 106), dan Ll-JTM14 (16 x 106). Jumlah konidia terendah
terjadi pada isolat Ll-JTM1 yaitu hanya 4 x 106. Semakin tinggi suhu maka jumlah
konidia yang dihasilkan juga semakin bertambah banyak. Isolat-isolat yang
menunjukkan jumlah konidia terbanyak pada temperatur 20 oC juga meningkat
produksi konidianya pada suhu 25 oC. Keadaan ini terjadi pada isolat Ll-JTM11 (28.9
x 106), Ll-JTM12 (28.5 x 106), Ll-TB2 (27.7 x 106), Ll-JTM15 (22.5 x 106), Ll-ME1
(19.3 x 106), dan Ll-JTM14 (17 x 106). Begitu juga terjadi pada suhu 27 oC, jumlah
konidia yang dihasilkan oleh isolat yang disebut di atas tetap konsisten memproduksi
konidia lebih banyak dibandingkan pada suhu 20 oC maupun 25 oC. Diperoleh empat
isolat L. lecanii yang memproduksi jumlah konidia lebih banyak yaitu Ll-JTM15
(256.1 x 106), Ll-TB2 (234.7 x 106), Ll-JTM12 (213.3 x 106), dan isolat Ll-JTM11
(192.2 x 106).
Pada suhu 30 oC, selain menyebabkan pertumbuhan cendawan terhambat juga
berpengaruh nyata terhadap produksi konidia yang dihasilkan. Jumlah konidia yang
dihasilkan dari semua isolat yang diuji pada suhu tersebut menurun, bahkan jumlah
konidia lebih rendah dibandingkan pada suhu 20 oC. Jumlah konidia terbanyak pada
suhu 30 oC sama dengan pada suhu 20-27 oC. Isolat Ll-TB2 tetap konsisten
menghasilkan jumlah konidia terbanyak hingga mencapai 19.25 x 106 dan secara
statistik berbeda nyata dengan isolat lainnya. Jumlah konidia terbanyak selanjutnya
diikuti oleh isolat Ll-JTM11, yaitu hingga mencapai 14.11 x 106 akan tetapi tidak
berbeda nyata dengan isolat Ll-JTM17 (12.4 x 106), Ll-JTM15 (12.3 x 106), Ll-ME1
(11.5 x 106), Ll-JTM12 (10.6 x 106), Ll-TB6 (10.1 x 106), dan Ll-TB4 (10 x 106).
Pada suhu 32 oC, jumlah konidia yang terbanyak dicapai oleh lima isolat,
yaitu Ll-JTM12 dan Ll-TB2 masing-masing (0.04400 x 106), Ll-TB5 (0.04133 x 106),
Ll-TB4 (0.03730 x 106), dan Ll-JTM8 (0.03400 x 106). Hasil penelitian ini
menginformasikan bahwa pada suhu 30-32 oC produksi konidia L. lecanii lebih
rendah dibandingkan dengan suhu 27 oC, meskipun delapan isolat yang disebut di
atas masih menunjukkan potensi produksi konidia lebih banyak dibandingkan dengan
39
isolat lainnya. Aiuchi et al. (2008b) melaporkan bahwa suhu cukup berperan
terhadap produksi konidia L. lecanii.
Tabel 5 Jumlah konidia yang diproduksi oleh 37 isolat L. lecanii pada berbagai tingkat suhu
Rata-rata jumlah konidia tiap g biakan isolat L. lecanii (x106/ml)* No.
Isolat 20 oC 25 oC 27 oC 30 oC 32 oC
1 Ll-JTM1 4.0 k 5.4 m 42.7 cd 2.2 i 0.00134 e 2 Ll-JTM2 12.5 def 13.2 ef 33.3 cd 6.9 efghi 0.00267 de 3 Ll-JTM3 8.7 fghij 10.4 fghijkl 31.3 cd 5.8 fghi 0.00534 cde 4 Ll-JTM4 8.8 fghij 10.3 fghijkl 20.7 cd 6.4 efghi 0.01070 bcde 5 Ll-JTM5 9.5 efghij 10.8 fghijkl 33.3 cd 7.1 efghi 0.01600 bc 6 Ll-JTM6 6.8 ghijk 7.8 jklm 21.3 cd 4.8 ghi 0.02000 bc 7 Ll-JTM7 8.1 fghijk 9.6 fghijkl 14.0 cd 7.2 defghi 0.00134 e 8 Ll-JTM8 10.4 efgh 10.7 fghijkl 37.3 cd 7.5 cdefgh 0.03400 a 9 Ll-JTM9 10.9 efgh 11.7 efghijk 42.7 cd 6.8 efghi 0.00540 cde
10 Ll-JTM10 6.4 hijk 8.1 ijklm 21.3 cd 7.4 cdefgh 0.00400 de 11 Ll-JTM11 27.0 a 28.9 a 192.2 b 14.1 b 0.01600 bc 12 Ll-JTM12 24.7 a 28.5 a 213.3 ab 10.6 bcdef 0.04400 a 13 Ll-JTM13 9.2 fghij 11.0 fghijkl 64.0 c 8.8 cdefgh 0.00200 de 14 Ll-JTM14 16.0 bcd 17.0 cd 42.7 cd 9.2 bcdefg 0.00670 cde 15 Ll-JTM15 17.2 bc 22.5 b 256.1 a 12.3 bcd 0.01600 bc 16 Ll-JTM16 10.6 efgh 12.0 efghijk 33.3 cd 9.9 bcdef 0.00670 cde 17 Ll-JTM17 12.5 def 14.0 def 42.7 cd 12.4 bc 0.00130 e 18 Ll-ME1 19.2 b 19.9 bc 42.7 cd 11.5 bcde 0.00400 de 19 Ll-ME2 5.1 jk 6.7 lm 17.3 cd 6.2 fghi 0.00400 de 20 Ll-ME3 11.0 efgh 11.8 efghijk 13.3 cd 4.4 ghi 0.00400 de 21 Ll-OK1 10.9 efg 12.3 efghi 17.3 cd 7.4 cdefgh 0.00267 de 22 Ll-OK2 6.9 ghijk 10.4 fghijkl 14.7 cd 5.8 fghi 0.00670 de 23 Ll-LT1 13.8 cde 15.4 de 21.3 cd 8.6 cdefgh 0.00267 de 24 Ll-LT2 10.5 efgh 13.0 ef 9.3 cd 8.5 cdefgh 0.00267 de 25 Ll-LT3 7.1 ghijk 9.7 fghijkl 14.1 cd 5.6 fghi 0.00134 e 26 Ll-TB1 10.7 efgh 12.6 efgh 21.3 cd 8.1 cdefgh 0.00200 e 27 Ll-TB2 25.6 a 27.7 a 234.7 ab 19.2 a 0.04400 a 28 Ll-TB3 9.6 efghi 11.5 efghijk 21.3 cd 8.4 cdefgh 0.00267 de 29 Ll-TB4 10.7 efgh 12.1 efghij 21.3 cd 10.0 bcdef 0.03730 a 30 Ll-TB5 9.0 fghij 10.1 fghijkl 50.7 cd 6.5 efghi 0.04133 a 31 Ll-TB6 11.2 efg 13.0 efg 21.3 cd 10.1 bcdef 0.00400 de 32 Ll-NTB1 7.1ghijk 8.6 hijklm 14.7 cd 5.9 fghi 0.00400 de 33 Ll-NTB2 5.5 ijk 7.7 klm 12.1 cd 4.2 ghi 0.00400 de 34 Ll-NTB3 10.5 efgh 11.2 efghijk 29.3 cd 6.3 fghi 0.00134 e 35 Ll-NTB4 7.2 ghijk 8.6 ghijklm 21.3 cd 6.1 fghi 0.00400 de 36 Ll-NTB5 7.6 ghijk 8.3 hijklm 14.1 d 3.7 hi 0.01600 bc 37 Ll-NTB6 9.6 efghi 11.3 efghijk 25.3 cd 7.3 defgh 0.01070 bcde
LSD 0.05 3.6 3.5 47.6 5.1 0.00943 KK (%) 20.1 17.0 31.8 29.4 24.89 * Data ditransformasi ke arc sin √x sebelum sidik ragam. Rata-rata selajur yang diikuti oleh huruf
yang sama tidak berbeda nyata (uji BNT, α = 0.05).
40
Hasil penelitian Yeo et al. (2003) menunjukkan bahwa pertumbuhan dan
pembentukan konidia L. lecanii yang optimal terjadi pada suhu 25-27 oC
dibandingkan dengan suhu yang lebih rendah antara 10-15 oC maupun suhu yang
lebih tinggi (30-32 oC). Kope et al. (2008) juga melaporkan bahwa pertumbuhan dan
pembentukan konidia L. lecanii optimal juga terjadi pada suhu antara 25-27oC.
Selain faktor suhu, pembentukan konidia berkaitan dengan kandungan C/N ratio yang
terdapat pada media tumbuh (Sun & Liu 2006). Kamp dan Bidochka (2002)
menambahkan bahwa ketebalan media tumbuh yang digunakan untuk seleksi juga
mempunyai peran yang cukup penting dalam menentukan jumlah konidia yang
dihasilkan selain faktor suhu. Suhu untuk fase generatif L. lecanii lebih sempit, yaitu
terjadi pada 27 oC sedangkan suhu untuk fase vegetatif lebih luas berkisar dari 20-27 oC. Oleh karena itu, waktu aplikasi cendawan di lapangan harus mendapat perhatian
khusus karena yang diaplikasikan adalah konidia agar kinerja agens hayati tersebut
tetap optimal.
Karakter Koloni Berbagai Isolat L. lecanii
Dari 37 isolat yang diuji menunjukkan bahwa koloni L. lecanii memiliki enam
karakter yaitu; (1) cottony (hifa agak panjang dan menyebar ke segala arah), (2)
velvety (hifa pendek, lurus, dan tebal), (3) wholly (hifa atau kelompok hifa agak
panjang, koloni tumbuh menebal, merata, dan berbentuk seperti wol), (4) plumose
(tumpukan miselium dengan hifa panjang dan kelompok hifa muncul dari tengah
berbentuk kipas), (5) farinaceous (bentuk koloni seperti tepung), dan (6) pellicular
(koloni tipis saling berhubungan dengan garis konsentris) (Tabel 6).
Dari 37 isolat yang mengindikasikan karakter koloni cottony ada enam, yaitu
Ll-JTM1, Ll-JTM2, Ll-JTM3, Ll-JTM4, Ll-JTM5, dan Ll-JTM8 (Gambar 5c). Isolat
yang membentuk karakter wholly ada 13 isolat, yaitu Ll-JTM11, Ll-JTM12, Ll-
JTM13, Ll-JTM15, Ll-JTM16, Ll-JTM17, Ll-ME1, Ll-LT1, Ll-LT2, Ll-TB2, Ll-
TB3, Ll-TB4, Ll-TB5, dan Ll-TB6 (Gambar 5a). Sementara itu, isolat yang
41
membentuk karakter velvety, yaitu Ll-JTM6, Ll-JTM7, Ll-JTM9, Ll-JTM10, Ll-
JTM14, Ll-LT3, Ll-TB1, Ll-NTB1, dan Ll-NTB2 (Gambar 5f).
Tabel 6 Karakteristik tekstur koloni dari 37 isolat L. lecanii No. Isolat Karakteristik
koloni Diskripsi
1 Ll-JTM1 Cottony Hifa agak panjang dan menyebar ke segala arah 2 Ll-JTM2 Cottony Hifa agak panjang dan menyebar ke segala arah 3 Ll-JTM3 Cottony Hifa agak panjang dan menyebar ke segala arah 4 Ll-JTM4 Cottony Hifa agak panjang dan menyebar ke segala arah 5 Ll-JTM5 Cottony Hifa agak panjang dan menyebar ke segala arah 6 Ll-JTM6 Velvety Hifa pendek, lurus, dan tebal 7 Ll-JTM7 Velvety Hifa pendek, lurus, dan tebal 8 Ll-JTM8 Cottony Hifa agak panjang dan menyebar ke segala arah 9 Ll-JTM9 Velvety Hifa pendek, lurus, dan tebal 10 Ll-JTM10 Velvety Hifa pendek, lurus, dan tebal 11 Ll-JTM11 Wholly Hifa atau kelompok hifa agak panjang, menebal, berbentuk seperti wol 12 Ll-JTM12 Wholly Hifa atau kelompok hifa agak panjang, menebal, berbentuk seperti wol 13 Ll-JTM13 Wholly Hifa atau kelompok hifa agak panjang, menebal, berbentuk seperti wol 14 Ll-JTM14 Velvety Hifa pendek, lurus, dan tebal 15 Ll-JTM15 Wholly Hifa atau kelompok hifa agak panjang, menebal, berbentuk seperti wol 16 Ll-JTM16 Wholly Hifa atau kelompok hifa agak panjang, menebal, berbentuk seperti wol 17 Ll-JTM17 Wholly Hifa atau kelompok hifa agak panjang, menebal, berbentuk seperti wol 18 Ll-ME1 Wholly Hifa atau kelompok hifa agak panjang, menebal, berbentuk seperti wol 19 Ll-ME2 Plumose Tumpukan miselium dengan hifa yang panjang, kelompok hifa muncul
dari tengah berbentuk kipas 20 Ll-ME3 Plumose Tumpukan miselium dengan hifa yang panjang, kelompok hifa muncul
dari tengah berbentuk kipas 21 Ll-OK1 Farinaceous Koloni seperti tepung 22 Ll-OK2 Farinaceous Koloni seperti tepung 23 Ll-LT1 Wholly Hifa atau kelompok hifa agak panjang, menebal, berbentuk seperti wol 24 Ll-LT2 Farinaceous Koloni seperti tepung 25 Ll-LT3 Velvety Hifa pendek, lurus, dan tebal 26 Ll-TB1 Velvety Hifa pendek, lurus, dan tebal 27 Ll-TB2 Wholly Hifa atau kelompok hifa agak panjang, menebal, berbentuk seperti wol 28 Ll-TB3 Wholly Hifa atau kelompok hifa agak panjang, menebal, berbentuk seperti wol 29 Ll-TB4 Wholly Hifa atau kelompok hifa agak panjang, menebal, berbentuk seperti wol 30 Ll-TB5 Wholly Hifa atau kelompok hifa agak panjang, menebal, berbentuk seperti wol 31 Ll-TB6 Wholly Hifa atau kelompok hifa agak panjang, menebal, berbentuk seperti wol 32 Ll-NTB1 Velvety Hifa pendek, lurus, dan tebal 33 Ll-NTB2 Velvety Hifa pendek, lurus, dan tebal 34 Ll-NTB3 Pellicular Koloni tipis, hifa saling berhubungan dengan garis konsentris 35 Ll-NTB4 Pellicular Koloni tipis, hifa saling berhubungan dengan garis konsentris 36 Ll-NTB5 Velvety Hifa pendek, lurus, dan tebal 37 Ll-NTB6 Velvety Hifa pendek, lurus, dan tebal
Karakter koloni plumose hanya ditunjukkan oleh dua isolat, yaitu Ll-ME2
dan Ll-ME3 yang masing-masing diperoleh dari Muara Enim (Gambar 5e). Ada dua
isolat L. lecanii yang membentuk karakter pelicullar yaitu Ll-NTB3 dan Ll-NTB4
42
(Gambar 5b). Sedangkan isolat L. lecanii yang membentuk karakter koloni
farinaceous adalah isolat Ll-OK1 dan Ll-OK2 (Gambar 5d).
Gambar 5 Karakter koloni isolat L. lecanii yang berbentuk wholly (a), pellicular
(b), cottony (c), farinaceous (d), plumose (e), dan velvety (f).
Karakter koloni berhubungan dengan karakter fisiologi yang lain seperti
virulensi. produksi konidia, dan periode waktu kecambah konidia. Isolat L. lecanii
yang mempunyai karakter koloni wholly terutama pada Ll-JTM11, Ll-JTM12, Ll-
JTM15, dan Ll-TB2 umumnya memiliki virulensi lebih tinggi, mampu memproduksi
konidia lebih banyak, dan daya kecambah konidia hanya membutuhkan waktu yang
relatif lebih singkat. Isolat yang memiliki karakter koloni wholly tidak semuanya
virulen dan periode waktu kecambahnya juga relatif lebih lama. Namun demikian,
jumlah konidia yang dihasilkan pada isolat yang memiliki karakter wholly relatif
a b c
d e f
43
lebih banyak dibandingkan dengan isolat yang kurang virulen. Isolat L. lecanii yang
memiliki karakter koloni wholly akan tetapi kurang virulen diduga disebabkan
periode waktu kecambah konidia membutuhkan rentang waktu yang relatif lama,
yaitu hingga 18 jam (Ll-JTM16, Ll-JTM17, Ll-LT1, Ll-TB3, Ll-TB4, Ll-TB5, dan
Ll-TB6). Dengan demikian, konidia yang menempel pada korion telur berpeluang
besar mengalami kekeringan akibat kelembaban yang kurang mendukung sehingga
konidia gagal melakukan infeksi.
Karakter koloni farinaceous mengindikasikan produksi konidia lebih sedikit,
yaitu hanya 9.33 x 106 (Ll-LT2), kecuali isolat Ll-OK1 dan Ll-OK2 dengan jumlah
konidia berturut-turut 17.33 x 106 dan 14.67 x 106. Sedangkan karakter koloni
cottony, velvety, plumose, dan pelicullar juga hampir serupa dengan karakter
farinaceous yang ditandai dengan produksi konidia lebih sedikit dibandingkan
dengan karakter wholly. Dengan demikian, karakter koloni dapat digunakan sebagai
salah satu tolok ukur potensi dari agens hayati dalam skrening isolat cendawan
entomopatogen. Menurut Feng et al. (2000) isolat V. lecanii yang mempunyai tekstur
koloni tebal, padat, dan kompak yang membentuk wol maka konidia yang diproduksi
lebih mudah dipanen dari permukaan media dengan jumlah inokulum yang lebih
banyak sehingga waktu yang dibutuhkan untuk perbanyakan hanya sedikit. Selain itu,
cendawan tersebut lebih mampu bersaing dengan mikroorganisme lainnya dan di
lapangan isolat tersebut lebih cepat dalam proses transmisi ke serangga inang sehat
sehingga epizooti lebih mudah tercipta (Atkinson & Durshner-Pelz 1995).
Analisis Pengelompokan Isolat
Pengelompokan isolat berdasarkan kemiripan pada karakter fisiologi
cendawan, meliputi virulensi, jumlah konidia yang diproduksi pada tiap telur yang
tidak menetas, ukuran konidia, daya kecambah konidia, periode waktu kecambah,
toleransi terhadap suhu, dan karakter koloni. Pengelompokan karakter fisiologi
cendawan pada jarak ketidaksamaan 25, menunjukkan bahwa dari 37 isolat yang diuji
membentuk dua kelompok (Gambar 6). Kelompok pertama dengan koefisien
44
ketidaksamaan 2 membentuk dua sub kelompok. Sub kelompok pertama terdiri dari
25 isolat, yaitu Ll-JTM10, Ll-TB1, Ll-NTB5, Ll-TB3, Ll-LT1, Ll-JTM4, Ll-JTM2,
Ll-NTB6, Ll-JTM3, Ll-JTM1, Ll-JTM9, Ll-NTB4, Ll-ME1, Ll-ME2, Ll-TB4, Ll-
NTB1, Ll-LT2, Ll-NTB3, Ll-LT3, Ll-ME3, Ll-OK1, Ll-OK2, Ll-JTM7, Ll-NTB2,
dan Ll-JTM6. Sub kelompok kedua terdiri dari 8 isolat meliputi Ll-JTM17, Ll-TB6,
Ll-TB5, Ll-JTM5, Ll-JTM8, Ll-JTM16, Ll-JTM14, dan Ll-JTM13. Semua isolat
yang termasuk ke dalam kelompok pertama mengindikasikan isolat-isolat yang
memiliki virulensi lebih rendah di bawah 50%.
Pada kelompok kedua dengan jarak ketidaksamaan 2% membentuk dua sub
kelompok dengan masing-masing sub terdiri dari dua isolat. Sub kelompok pertama
dengan kemiripan 99% terdiri dari isolat Ll-JTM11 dan Ll-JTM12. Sedangkan sub
kelompok kedua pada jarak kemiripan yang sama ada dua isolat, yaitu Ll-JTM15 dan
Ll-TB2. Empat isolat yang virulen Ll-JTM11, Ll-JTM12, Ll-JTM15, dan Ll-TB2
membentuk satu kelompok dengan kemiripan karakter fisiologi mencapai 98%.
Keempat isolat yang tergabung dalam kelompok ini memiliki peluang yang sama
besarnya untuk dapat digunakan sebagai salah satu agens hayati untuk mengendalikan
telur R. linearis.
Menurut Fatiha et al. (2007). karakter morfologi dan fisiologi berkaitan
dengan virulensi cendawan sehingga isolat yang memiliki kesamaan karakter fisiologi
mempunyai peluang yang sama besarnya untuk digunakan sebagai agens hayati.
Meskipun Varela dan Morales (1996) mengindikasikan bahwa karakter fisiologi dan
morfologi belum tentu digunakan sebagai salah satu tolok ukur dalam menyeleksi
cendawan entomopatogen sebagai agens biokontrol pengendalian hama.
45
Rescaled Distance Cluster Combine C A S E 0 5 10 15 20 25Label Num +----------------+-----------------+----------------+-----------------+------------------+
L1-JTM10 10 L1-TB1 26 L1-NTB5 36 L1-TB3 28 L1-LT1 23 L1-JTM4 4 L1-JTM2 2 L1-NTB6 37 L1-JTM3 3 L1-JTM1 1 L1-JTM9 9 L1-NTB4 35 L1-ME1 18 L1-ME2 19 L1-TB4 29 L1-NTB1 32 L1-LT2 24 L1-NTB3 34 L1-LT3 25 L1-ME3 20 L1-OK1 21 L1-OK2 22 L1-JTM7 7 L1-NTB2 33 L1-JTM6 6 L1-JTM17 17 L1-TB6 31 L1-TB5 30 L1-JTM5 5 L1-JTM8 8 L1-JTM16 16 L1-JTM14 14 L1-JTM13 13 L1-JTM11 11 L1-JTM12 12 L1-JTM15 15 L1-TB2 27
Gambar 6 Pengelompokan 37 isolat L. lecanii berdasarkan kemiripan karakter
fisiologi cendawan.
I
II
46
Pengelompokan karakter fisiologi cendawan pada penelitian ini tidak
berkaitan dengan sumber inang maupun geografi isolat. Hasil penelitian Mor et al.
(1996) mengindikasikan bahwa sumber isolat maupun lokasi geografi juga tidak
berkaitan dengan pengelompokan karakter fisiologi cendawan. Kenyataan itu terbukti
dari isolat yang diperoleh dari serangga B. tabaci dari lokasi yang sama. yaitu di
Israel tidak membentuk dalam satu kelompok. Satu isolat termasuk ke dalam
kelompok 10, sementara satu isolat lainnya dalam kelompok 11. Lebih lanjut
dilaporkan juga bahwa tiga isolat L. lecanii yang diperoleh dari sumber isolat yang
sama, yaitu pada spora penyakit karat Puccinia graminis dari Rusia mengindikasikan
tidak membentuk dalam satu kelompok. Masing-masing isolat berada dalam
kelompok yang berjauhan, satu isolat dalam kelompok 2, sementara satu isolat berada
dalam kelompok 8 dan satu isolat lagi terdapat dalam kelompok 9. Hal ini disebabkan
karakter fisiologi merupakan ekspresi total karakter yang sangat dipengaruhi oleh
interaksi dari faktor genetis dan lingkungan (Hegedus & Khachatourians 1993; Farsi
et al. 2005; Trizelia 2005).
Kesimpulan Dari percobaan diperoleh empat isolat L. lecanii yang virulen untuk menekan
perkembangan telur R. linearis, yaitu Ll-JTM11, Ll-JTM12, Ll-JTM15, dan Ll-TB2
dengan persentase telur yang tidak menetas berturut-turut 75%, 72%, 69%, dan 73%.
Isolat yang virulen mampu memproduksi konidia hingga di atas 7 x 106 per telur R.
linearis yang tidak menetas. Isolat yang virulen mampu menekan jumlah nimfa yang
akan berkembang menjadi imago hingga di bawah 20%.
Karakter koloni 37 isolat L. lecanii ada enam macam yaitu; (1) wholly, (2)
pellicular, (3) cottony, (4) farinaceous, (5) plumose, dan (6) velvety. Empat isolat
yang virulen memiliki karakter koloni wholly dengan ciri-ciri hifa atau kelompok hifa
agak panjang, tumbuh merata dan tebal, berbentuk seperti wol yang mampu
memproduksi konidia lebih banyak dengan kemampuan daya kecambah di atas 95%
setelah 12 jam diinkubasi di dalam air. Kisaran suhu untuk fase vegetatif L. lecanii
47
lebih luas mulai dari 20-27 oC, sedangkan untuk fase generatif lebih sempit pada 27 oC.
Pengelompokan 37 isolat L. lecanii berdasarkan kemiripan karakter fisiologi
membentuk dua kelompok dengan derajat ketidaksamaan sebesar 25%. Empat isolat
yang virulen memiliki kemiripan karakter fisiologi yang sangat dekat, yaitu 98%.
Pengelompokan karakter fisiologi isolat tidak berkaitan dengan sumber inang
maupun geografi isolat, akan tetapi karakter fisiologi merupakan ekspresi total
karakter yang sangat dipengaruhi oleh faktor genetis dan lingkungan.
Saran
1. Isolat L. lecanii di lapangan cukup berlimpah sehingga dianjurkan eksplorasi
dalam jumlah lebih banyak yang dapat diperoleh dari berbagai sumber.
2. Isolat L. lecanii yang baru diperoleh dari lapangan sebaiknya diinfeksikan
pada serangga inang terlebih dahulu sebelum diuji untuk menghilangkan
cekaman lingkungan dari lapangan.
3. Semua isolat L. lecanii perlu diuji lebih lanjut terhadap hama pengisap
polong lain maupun ke hama kedelai yang lain.
Daftar Pustaka Aiuchi D et al. 2007. Screening of Verticillium lecanii (=Lecanicillium lecanii)
hybrid strains based on evaluation of pathogenicity against cotton aphid and greenhouse whitefly and viability on the leaf surface. J Appl Entomol and Zool 51:205-212.
Aiuchi D et al. 2008a. A new method for producing hybrid strains of
entomopathogenic fungus Verticillium lecanii (=Lecanicillium lecanii) through protoplast fusion by using nitrate non-utilizing (Nit) mutants. Mycol Aplicada International 20;1:1-16.
48
Aiuchi D et al. 2008b. Variation in growth at different temperatures and production and size of conidia in hybrid strains of Verticillium lecanii (=Lecanicillium lecanii) (Deuteromycotina: Hyphomycetes). J Appl Entomol 43;3:427-436.
Alavo TBC, Sermann H, Bochow H. 2002. Biocontrol of aphid using Verticillium
lecanii in greenhouse: Factor reducing the effectiveness of the entomopathogenic fungus. J Arch Phytopathol and Plant Protect 34;6:407-424.
Alavo TBC, Sermann H, Bochow H. 2004. Virulence of strains of the
entomopathogenic fungus Verticillium lecanii to Aphids: Strain improvement. J Arch of Phytopathol and Plant Protect 34;6:379-398.
Anderson CMT, McGee PA, Nehl DB, Mensah RK. 2007. The fungus Lecanicillium
lecanii colonies the plant Gossypium hirsutum and the aphid Aphis gossypii. Australasian Mycol 26;2:65-70.
Anyala-Zermeno MA, Mier T, Robles JB, Toriello C. 2005. Intraspecific variability
of Lecanicillium lecanii (=Verticillium lecanii): Effect of temperature on growth. Revista Mexiana De Micol 20:93-97.
Asensio L, Carbonell T, Lopez-Jimenez JA, Lopez-Llorca LV. 2003.
Entomopathogenic fungi in soils from Alicante province. Spanish J Agric Res 1;3:37-45.
Atkinson HJ, Durshner-Pelz U. 1995. Spore transmission and epidemiology of
Verticillium chlamydosporium. an endozoic fungal parasite of nematodes in soil. J Invertebr Pathol 65:237-242.
Barbosa CC, Monteiro AC, Correia AdoCB. 2002. Growth and sporulation of
Verticillium lecanii isolates under different nutritional conditions. Pesq Agropec Bras 37;6:821-829.
Chun C, Mingguang F. 2004. Observation on the initial inoculum source and
dissemination of entomophthorales caused epizootics in populations of cereal aphids. Sci China C Life Sci 47;1:38-43.
Dalzoto PR, Glienke-Blanco C, Kava-Cordeiro V, Araujo WL, Azevedo JL. 2003.
RAPD analyses of recombinantion processes in the entomopathogenic fungus Beauveria bassiana. Mycol Res 107;9:1069-1074.
Davidson G et al. 2003. Study of temperature-growth interactions of
entomopathogenic fungi with potential for control of Varroa destructor (Acari: Mesostigmata) using nonlinear model of poikilotherm development. J Appl Microbiol 94;5:816-825.
49
del-Prado EN, Lannacone J, Gomez H. 2008. Effect of two entomopathogenic fungi in controlling Aleurodicus cocois (CURTIS. 1846) (Homoptera: Aleyrodidae). Chilean J Agric Res 68;1:21-30.
Devi KU, Sridevi V, Mohan CM, Padmavathi J. 2005. Effect of high temperature and
water stress on invitro germination and growth in isolates of the entomopathogenic fungus Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin. J Invertebr Pathol 88:181-189.
Drummond J, Heale JB, Gillespie AT. 1987. Germination and effects of reduced
humidity on expression of pathogenicity in Verticillium lecanii against the glasshouse whitefly Trialeurodes vaporariorum. Ann Appl Biol 111;1:193-201.
Ekesi S. 2001. Pathogenicity and antifeedant activity of entomopathogenic
hyphomycetes to the cowpea leaf beetle Ootheca mutabilis Shalberg. Insect Sci Applic 21;1:55-60.
Farsi MJ, Askary H, Jahromi KT, Pakdel AK. 2005. Effect of important ecological
factors on blastospore production of Verticillium lecanii DAOM 198499 in liquid medium. Iran J Agric Sci 36;1:109-119.
Fatiha L, Ali S, Ren S, Afzal M. 2007. Biological characteristics and pathogenicity of
Verticillium lecanii against Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae) on eggplant. J Pak Entomol 29;2:63-72.
Feng KC, Liu BL, Tzeng YM. 2000. Verticillium lecanii spore production in solid-
state fermentations. Bioproc Engine 23;1:25-29. Feng KC, Liu BL, Tzeng YM. 2002. Morphological characterization and germination
of aerial and submerged spores of the entomopathogenic fungus Verticillium lecanii. World J Microbiol and Biotechnol 18;3:217-224.
Ganga Visalakshy PN, Manoj Kumar A, Krishnamoorthy A. 2004. Epizootics of
fungal pathogen Verticillium lecanii Zimmermann on Thrips palmi Karny. Insect Environ 10;3:134-135.
Geden CJ, Rutz DA, Steinkraus DC. 1995. Virulence of different isolates and
formulations of Beauveria bassiana for house flies and the parasitoid Musci difurax raptor. Biocontr 5:615-621.
Gindin G, Geschtovt NU, Raccah B, Barash I. 2000. Pathogenicity of Verticillium
lecanii to different developmental stages of the silverleaf whitefly Bemisia argentifolii. Phytopar 28;3:231-242.
50
Grajek W. 2008. Sporogenesis of the entomopathogenic fungus Verticillium lecanii in solid-state cultures. Folia Microbiol 39;1:29-32.
Hassani M, Keller S, Deshpande MV, Tour U. 2001. Effect of various liquid culture
media on growth. propagule production. and morphology of the entomopathogenic mitosporic fungus Nomuraea rileyi. 8th European Meeting of The OBC/WPRS Working Group “ Insect Pathogens and Parasitic Nematodes. 29 May-2 Jun 2001. Athens. Greece.
Hegedus DD, Bidochka MJ, Miranpuri GS, Khachatourians GG. 1992. Comparison
of the virulence. stability. and cell-wall-surface characteristic of three spore type produced by the entomopathogenic fungus Beauveria bassiana. J Appl Microbiol and Biotechnol 36;6:785-789.
Hegedus DD, Khachatourians GG. 1993. Identification of molecular variants in
mitochondrial DNAs of members of the genera Beauveria. Verticillium. Paecilomyces. Tolypocladium. and Metarhizium. Appl and Environ Microbiol 59;12:4283-4288.
Helen Y, Pell JK, Anderson PG, Clark SJ, Pye BJ. 2003. Laboratory evaluation of
temperature effects on the germination and growth of entomopathogenic fungi and on their pathogenicity to two aphid species. Pest Manag Sci 59:156-165.
Hoddle MS. 1999. The Biology and management of Silverleaf Whitefly Bemisia
argentifolii Bellows and Perring (Homoptera: Aleyrodidae) on greenhouse grown ornamentals. http://www.biocontrol.ucr.edu/ bemisia.html# verticillium [5 Jan 2008].
Humber RA. 1997. Fungi: Identification. Di dalam: Lacey LA, editor. Manual of
Techniques in Insect Pathology. Academic Press, London. hlm 153-185. Humber RA. 1998. Entomopathogenic fungal identification. APS/ESA Workshop.
APS/ESA Joint Annual Meeting. 8-12 November 1998. Las Vegas. NV. http://www.ppru.cornell.edu/mycology/insect_mycology.html [23 Nop 2008].
Ibrahim L, Butt TM, Jenkinson P. 2002. Effect of artificial culture media on
germination. growth. virulence. and surface properties of the entomopathogenic hyphomycete Metarhizium anisopliae. Mycol Res 106:705-715.
Jung HS, Lee HB, Kim K, Lee EY. 2006. Selection of Lecanicillium lecanii
(=Verticillium lecanii) strains for aphid (Myzus persicae) control. Korean J Mycol 34:112-118.
Kamp AM, Bidochka MJ. 2002. Conidium production by insect pathogenic fungi on
commercially available agars. Appl Microbiol 35;1:74-77.
51
Kassa A. 2003. Development and testing of mycoinsecticides based on submerged spores and aerial conidia of the entomopathogenic fungi Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae (Deuteromycotina: Hyphomycetes) for control of locusts. grasshoppers. and storage pests. [disertation]. Gotingen: http://wcbdoc.sub.gwdg.de/diss/2003/kassa/kassa.pdf. [5 Mar 2007].
Klingen I, Hajek A, Meadow R, Renwick JAA. 2002. Effect of brassicaceous plants
on the survival and infectivity of insect pathogenic fungi. Biol Contr 47:411-425.
Koike M et al. 2004. Verticillium lecanii (=Lecanicillium lecanii) as epiphyte and
their application to biological control of pest and disease in a glasshouse and a field. IOBC/WPRS Bull 27:41-44.
Kope HH, Alfaro RI, Lavallee R. 2007. Effects of temperature and water activity on
Lecanicillium spp. conidia germination and growth and mycosis of Pisodes strobe. Biol Contr 53:489-500.
Kope HH, Alfaro RI, Lavallee R. 2008. Effects of temperature and water activity on
Lecanicillium spp. conidia germination and growth. and mycosis of Pissodes strobi. Pest Manag Sci 53;3:489-500.
Lazzarini GMJ, Rocha LFN, Luz C. 2006. Impact of moisture on in vitro germination
of Metarhizium anisopliae. Beauveria bassiana. and their activity on Triatoma infestans. Mycol Res 110;4:485-492.
Lee MH, Yoon YS, Yun T, Kim HS, Yoo JK. 2002. Selection of a highly virulent
Verticillium lecanii strain against Trialeurodes vaporariorum at various temperatures. J Microbiol Biotechnol 12:145-148.
Lee MH et al. 2006. Verticillium lecanii spore formulation using UV protectant and
wetting agent and the biocontrol of cotton aphids. Biotechnol Letters 28;13:1041-1045.
Lerche S, Meyer U, Sermann H, Buettner C. 2004. Dissemination of the
entomopathogenic fungus Verticillium lecanii (Zimmermann) Viegas (Deuteromycotina: Hyphomyecetes) in population of Frankliniella occidentalis (Thysanoptera: Thripidae). Commun Agric Appl Biol Sci 69;3:195-200.
Lewis LC, Bruck DJ, Gunnarson RD, Bidne KG. 2000. Colonization of
entomopathogenic fungus Beauveria bassiana (Deuteromycotina: Hyphomycetes) on Bt transgenic corn (Zea maize Still) and their genetic isolines and assesement of possible plant pathogenicity. Crop Sci 39:191-200.
52
Liu H, Skinner M, Brownbridge M, Parker BL. 2003. Characterization of Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae isolates for management of tarnished plant bug Lygus lineolaris (Hemiptera: Miridae). J Invertebr Pathol 82;3:139-147.
Lopez-Llorca LV, Carbonell T. 1999. Characterization of Spanish strains of
Verticillium lecanii. Rev Iberoam Micol 16:136-142. Luz C, Farques J. 2004. Temperature and moisture requirements for conidial
germination of an isolate of Beauveria bassiana. pathogenic to Rhodnius prolixus. Mycopathol 138;3:117-125.
McDonald BM, McDermott JM. 1993. Population genetic of plant pathogenic fungi.
electrophoretic markers given unprecedented precision to analysis of genetic structure of population. Bio Sci 43: 311-319.
Monteiro AC, Barbosa CC, Correia ACB. 2004. Growth and sporulation of
Verticillium lecanii isolates under different enviromental conditions. Pesq Agroprec Bras 39;6:561-565.
Mor H et al. 1996. Diversity among isolates of Verticillium lecanii as expressed by
DNA polymorphism and virulence towards Bemisia tabaci. Phytopar 24;2:111-118.
Olivares-Bernabeu CM, Lopez-Llorca LV. 2002. Fungal egg-parasites of plant-
parasitic nematodes from Spanish soils. Rev Iberoam Micol 19:104-110. Parker BL et al. 2003. Entomopathogenic fungi of Eurygaster integriceps Puton
(Hemiptera: Scutelleridae): Collection and characterization for development. Biol Contr 27;3:260-272.
Popowska-Nowak E, Bienkowski P, Bajan C, Tyrawaska D. 2000. Influence of some
heavy metal ions on biological activity of two strains of entomopathogenic fungus Paecilomyces farinosus. Chem Ins Ekol 7;11:1121-1128.
Prayogo Y. 2004. Keefektifan lima jenis cendawan entomopatogen terhadap hama
pengisap polong kedelai Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: Alydidae) dan dampaknya terhadap predator Oxyopes javanus Thorell (Araneida: Oxyopidae). [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Prayogo Y, Santoso T, Widodo. 2005. Kerentanan stadia nimfa hama pengisap
polong kedelai Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: Alydidae) terhadap jamur entomopatogen Verticillium lecanii. Bandung: Fakultas Pertanian. Universitas Padjajaran Bandung. J Agrikultura 16;2:125-132
53
Rayner ADM, Boddy L. 1988. Fungal Decomposition of Wood. New York: John Wiley & Sons.
Ropek D, Para A. 2002. The effect of heavy metal ions and their complexons upon
the growth. sporulation. and pathogenicity of the entomopathogenic fungus Verticillium lecanii. J Invertebr Pathol 79:123-125.
Safavi SA et al. 2007. Effect of nutrition on growth and virulence of the
entomopathogenic fungus Beauveria bassiana. FEM Microbiol Letters 270;1:116-123.
Samson RA, Evans HC, Latge JP. 1988. Atlas of entomopatogenic fungi.
Prinejerverlag Berlin Heodelberg New York. London. Tokyo. Samuels RI, Coracini DLA. 2004. Selection of Beauveria bassiana and Metarhizium
anisopliae isolates for the control of Blissus antillus (Hemiptera: Lygaenidae). Sci Agric 61;3:271-275.
Shinya R et al. 2007. Effects of fungal culture filtrates of Verticillium lecanii
(=Lecanicillium lecanii) hybrid strains on Heterodera glycines eggs and juveniles. J Invertebr Pathol 72:181-183.
Sitch JC, Jackson CW. 1997. Pre-penetration events affecting host specificity of
Verticillium lecanii. Mycol Res 101:535-541. Soman AG, Gloer JB, Angawi RF, Wicklow DT, Dowd PK. 2000. Vertilecanins:
New phenopicolinic acid analoques from Verticillium lecanii. J Nat Prod 64;2:189-192.
Sudirman LI, Prayogo Y, Yunimar, Ginting S. 2008. Effect of leaf litters and soils on
viability of entomopathogenic fungi Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. Hayati J Biosci 15;3:93-98.
Sugimoto M, Koike M, Nagao H, Okumura K, Tani M. 2003a. Genetic diversity of
the entomopathogen Verticillium lecanii on the basis of vegetative compatibility. Phytopar 31:450-457.
Sugimoto M, Koike M, Hiyana N, Nagao H. 2003b. Genetic. morphological. and
virulence characterization of the entomopathogenic fungus Verticillium lecanii. J Invertebr Pathol 82:176-187.
Sun MH, Liu XZ. 2006. Carbon requirements of some nematophagous.
entomopathogenic. and mycoparasitic Hyphomycetes as fungal biocontrol agents. Mycopathol 161;5:295-305.
54
Tengkano W, Okada T, Tohir AM. 1988. Pengaruh serangan pengisap polong terhadap daya kecambah benih kedelai. Seminar Hasil Penelitian Hama Kedelai. Bogor. 6 Des 1988. Balittan Bogor.
Trizelia. 2005. Cendawan entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuill.
(Deuteromycotina: Hyphomycetes): Keragaman genetik. karakterisasi fisiologi. dan virulensinya terhadap Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera: Pyralidae). [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Varela A, Morales E. 1996. Characterization of some Beauveria bassiana isolates and
their virulence toward the coffee berry Hypothenemus hampei. J Invertebr Pathol 67:147-152.
Vu VH, Hong SII, Kim K. 2007. Selection of entomopathogenic fungi for aphid
control. J Bio Sci and Bio Engine 104;6:498-505. Wagner BL, Lewis LC. 2000. Colonization of corn. Zea maize L.. by endophytic
fungus Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin. Environ Microbiol 66:3468-3473.
Yeo H, Pell HK, Alderson PG, Clark SJ, Pye BJ. 2003. Laboratory evaluation of
temperature effects on the germination and growth of entomopathogenic fungi and their pathogenicity to two aphid species. Pest Manag Sci 59;2:156-165.
Zhen-Hiang L, Andre L, Huang HC. 2005. Isolation and characterization of chitinases
from Verticillium lecanii. Can J Microbiol 51;12:1045-155. Zimmermann. 1998. Suggestion for a standardized methode for reisolation of
entomopathogenic fungi from soil using the bait method. Insect pathogen and insect parasitic nematodes. IOBC Bull 21;4:289-298.
BAB IV UJI KERAPATAN KONIDIA CENDAWAN ENTOMOPATOGEN
Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams PADA BERBAGAI UMUR TELUR Riptortus linearis (F.)
(Hemiptera: Alydidae)
[The effect of conidia density of entomopatogenic fungi Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams in controlling different ages
Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: Alydidae) egg]
Abstrak
Riptortus linearis merupakan salah satu hama pengisap polong kedelai yang sangat penting karena mampu menyebabkan kehilangan hasil mencapai 80%. Pada stadia telur, hama tersebut dapat terinfeksi oleh cendawan entomopatogen Lecanicillium lecanii. Penelitian ini bertujuan untuk; (1) mempelajari kerapatan konidia maksimal cendawan L. lecanii untuk mengendalikan telur R. linearis dan (2) mempelajari kerentanan perbedaan umur telur R. linearis terhadap infeksi L. lecanii. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan konidia L. lecanii berpengaruh nyata dalam mengendalikan telur R. linearis. Kerapatan konidia L. lecanii 108/ml mampu menyebabkan telur R. linearis tidak menetas hingga mencapai 91%. Semakin tua umur telur semakin toleran terhadap infeksi L. lecanii, sedangkan telur yang baru diletakkan sampai dengan umur kurang satu hari sangat rentan. Telur yang berumur empat, lima, dan enam hari sangat toleran terhadap infeksi cendawan. Telur yang tidak menetas akibat infeksi L. lecanii mampu memproduksi konidia di atas 7.25 x 106/ml. Pengendalian R. linearis dengan cendawan L. lecanii dianjurkan menggunakan kerapatan konidia 108/ml yang diaplikasikan pada telur yang baru diletakkan sampai dengan umur satu hari. Kata kunci: konidia, menetas, kerentanan, nimfa, toleran.
56
Abstract Riptortus linearis is one of the most important pod sucking bugs that could cause crop losses up to 80%. The egg of this pest can be infected by entomopatogenic fungi Lecanicillium lecanii. The purposes of this research are: (1) to study the maximal conidia density of L. lecanii to control of R. linearis egg, and (2) to study the susceptibility of different ages of R. linearis egg to be infected by L. lecanii. The result showed that conidia densities were signifficantly different in controlling insect eggs. Conidia density of 108/ml could kill insect egg up to 91%. The older insect eggs are more tolerant to the infection than the younger ones. The newly laid (one day or less) were most susceptible by infection. The fungi could not kill the eggs of four days old and afterwards. Conidia production above 7.25 x 106/ml could be harvested in one egg infected by fungi. The pest control using L. lecanii could be suggested with 108/ml conidia density against newly laid until one day old insect egg. Key words: conidia, hatch, susceptibility, nymph, tolerant.
Pendahuluan
Riptortus linearis F. (Hemiptera: Alydidae) merupakan salah satu hama
pengisap polong kedelai yang sangat penting di Indonesia (Tengkano et al. 1992).
Hasil pengamatan yang dilakukan oleh Tengkano et al. (2003; 2005; 2006) di
beberapa sentra produksi kedelai di Indonesia menunjukkan bahwa R. linearis
mempunyai daerah sebaran yang sangat luas dan populasinya lebih tinggi
dibandingkan dengan hama pengisap polong kedelai yang lain. Di lapangan,
keberadaan R. linearis perlu mendapat perhatian lebih, karena siklus hidupnya yang
relatif pendek yaitu hanya 29 hari sehingga perkembangan populasinya sangat cepat.
Seekor imago betina R. linearis mampu memproduksi telur hingga mencapai 70 butir
(Tengkano et al. 1992).
Hama R. linearis datang pertama kali di lahan kedelai, yaitu pada waktu
tanaman mulai membentuk bunga pada umur 35-42 hari setelah tanam (HST). Pada
waktu tersebut, imago datang dengan tujuan untuk meletakkan telurnya. Telur
diletakkan satu persatu pada permukaan bagian atas dan bawah daun maupun organ
tanaman lainnya (Tengkano et al. 1992). Telur yang baru diletakkan berwarna hijau
57
dengan struktur kulit telur masih lentur, setelah beberapa jam berubah menjadi hijau
gelap kemudian berangsur-angsur berubah warna menjadi coklat dengan lapisan
korion mengeras. Telur berbentuk bulat dengan diameter 1.2 mm. Pada bagian ujung
telur terdapat lubang yang berbentuk cekung, yaitu mikropil yang berfungsi sebagai
tempat masuknya sperma dari kantong spermateka pada waktu pembuahan sebelum
telur diletakkan oleh imago.
Tujuh hari setelah telur diletakkan oleh imago, telur menetas membentuk
nimfa I. Stadia nimfa I berlangsung selama tiga hari kemudian berganti kulit
membentuk nimfa II. Nimfa II juga berlangsung selama tiga hari sebelum
berkembang menjadi nimfa III. Baik stadia nimfa III maupun nimfa IV masing-
masing berlangsung selama enam hari. Sedangkan nimfa V berlangsung delapan hari
sebelum berkembang menjadi imago. Baik stadia nimfa maupun imago mempunyai
peluang yang sama besarnya untuk merusak seluruh fase pertumbuhan polong dan
biji.
Hingga saat ini pengendalian hama pengisap polong kedelai masih
mengandalkan aplikasi insektisida kimia (Marwoto 1992). Pengendalian R. linearis
menggunakan insektisida kimia hanya mampu membunuh stadia nimfa dan imago.
Sementara itu, struktur populasi R. linearis di lapangan selalu tumpang tindih, yaitu
ada telur, nimfa, dan imago. Hal ini disebabkan stadia telur tidak dapat dikendalikan
dengan insektisida kimia sehingga perkembangan hama akan berlangsung terus
menerus. Oleh karena itu, perlu dicari alternatif pengendalian lain yang mampu
membunuh stadia telur sehingga populasi hama dapat ditekan. Hasil penelitian
Prayogo (2004) menunjukkan bahwa pengendalian hama R. linearis menggunakan
agens hayati cendawan entomopatogen Verticillium lecanii (=Lecanicillium lecanii)
(Zimm.) (Viegas) Zare & Gams memberi harapan yang cukup besar. Hal ini
disebabkan karena cendawan tersebut mampu menginfeksi semua stadia serangga
baik nimfa, imago, maupun telur. Menurut Lacey et al. (1999), Gindin et al. (2000),
dan Aiuchi et al. (2008a) telur yang terinfeksi cendawan entomopatogen umumnya
tidak mampu menetas karena cendawan tersebut dapat bersifat ovisidal.
58
Efikasi L. lecanii tergantung dari kerapatan konidia yang diaplikasikan dan
kerentanan stadia serangga inang (Ashouri et al. 2004; del-Prado et al. 2008; Aiuchi
et al. 2008b; Shinya et al. 2008b). Informasi efikasi L. lecanii terhadap beberapa
jenis telur pada ordo Homoptera dan telur nematoda parasit tanaman sudah pernah
dilaporkan meskipun masih relatif sedikit. Sementara itu, informasi kerentanan umur
telur R. linearis terhadap aplikasi L. lecanii belum ada. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari pengaruh kerapatan konidia L. lecanii untuk mengendalikan telur R.
linearis dan mempelajari kerentanan berbagai umur telur R. linearis terhadap infeksi
L. lecanii.
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di laboratorium Patologi Serangga, Departemen Proteksi
Tanaman, Institut Pertanian Bogor (IPB) yang dimulai dari bulan Juli sampai dengan
September 2007.
Uji Kerapatan Konidia L. lecanii pada Telur R. linearis
Pembiakan Imago R. linearis untuk Mendapatkan Telur
Telur R. linearis diperoleh dengan cara mengembangbiakkan imago di dalam
laboratorium. Imago R. linearis diambil dengan jaring dari lahan pertanaman kedelai
di Probolinggo, Jawa Timur pada tahun 2006 kemudian dipelihara di dalam sangkar
yang disungkup dengan kain kasa. Serangga diberi pakan kacang panjang yang sudah
membentuk biji dan setiap dua hari pakan diganti dengan kacang yang segar. Pada
bagian dinding di dalam sangkar diselipkan benang-benang halus berwarna kuning
yang berfungsi sebagai penempelan telur yang diletakkan oleh imago betina.
Perbanyakan Cendawan L. lecanii
Cendawan yang dipakai dalam penelitian ini adalah isolat Ll-JTM11 yang
memiliki virulensi tertinggi hasil penelitian tahap I. Isolat cendawan ditumbuhkan
59
pada media PDA (potato dextrose agar) di dalam cawan Petri yang berdiameter 9 cm.
Pada umur 21 hari setelah inokulasi (HSI), biakan cendawan ditambah air 10 ml
kemudian koloni dikerok dengan kuas halus untuk mengambil konidia yang
terbentuk. Suspensi konidia dikocok menggunakan vortex selama 60 detik kemudian
kerapatan konidia dihitung menggunakan haemocytometer untuk menentukan
kerapatan konidia 105, 106, 107, 108, dan 0 (kontrol) sebagai perlakuan. Masing-
masing perlakuan diulang sebanyak empat kali. Penelitian disusun menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL).
Aplikasi L. lecanii pada Telur R. linearis
Masing-masing kerapatan konidia sebagai perlakuan diaplikasikan pada telur
R. linearis yang berumur satu hari sebanyak 100 butir per perlakuan per ulangan yang
diletakkan di dalam cawan Petri dengan diameter 18 cm. Dosis aplikasi L. lecanii
adalah 2 ml per 100 butir telur. Perlakuan dilakukan dengan cara disemprotkan pada
seluruh permukaan telur. Pada bagian dasar di dalam cawan dilapisi kertas tissue
yang dilembabkan dengan air steril dan kelembaban kertas dipertahankan kurang
lebih di atas 80% setiap hari. Kacang panjang segar yang sudah membentuk polong
dipotong-potong berukuran 5 cm kemudian dimasukan ke dalam cawan Petri sebagai
sumber makanan yang disediakan bagi telur yang mampu menetas. Setiap cawan diisi
dua potong kacang panjang kemudian diganti setiap dua hari sekali dengan ukuran
yang sama. Variabel yang diamati adalah jumlah telur yang tidak menetas setelah
terinfeksi L. lecanii.
Uji Kerentanan Berbagai Umur Telur R. linearis terhadap Infeksi L. lecanii
Sebagai perlakuan adalah perbedaan umur telur R. linearis yang sudah
diletakkan oleh imago, yaitu; (1) kurang satu hari, (2) satu hari, (3) dua hari, (4) tiga
hari, (5) empat hari, (6) lima hari, dan (7) enam hari. Setiap kelompok telur yang
berumur sama dari hasil pembiakkan serangga uji kemudian dimasukkan ke dalam
cawan Petri berdiameter 18 cm. Pada bagian dasar cawan Petri dilapisi dengan kertas
60
tissue yang dilembabkan dengan air steril dan kelembaban dipertahankan setiap hari
kurang lebih di atas 80%. Setiap cawan Petri diisi telur R. linearis sebanyak 100
butir sebagai perlakuan.
Isolat cendawan L. lecanii yang digunakan adalah Ll-JTM11 hasil penelitian
tahap pertama. Cendawan diperbanyak pada media PDA di dalam cawan Petri. Pada
umur 21 HSI, biakan cendawan ditambah air steril 10 ml kemudian diambil
konidianya dengan cara dikerok menggunakan kuas halus. Suspensi konidia
dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian dikocok menggunakan vortex selama
60 detik. Suspensi konidia dihitung menggunakan haemocytometer hingga diperoleh
kerapatan konidia yang optimal sesuai hasil uji pada penelitian kerapatan konidia.
Suspensi konidia kemudian diaplikasikan pada kelompok telur R. linearis yang ada di
dalam cawan Petri sesuai dengan perlakuan. Dosis aplikasi adalah 2 ml per 100 butir
telur. Perlakuan dilakukan dengan cara disemprotkan pada seluruh bagian permukaan
telur.
Variabel yang diamati adalah; (1) jumlah telur yang tidak menetas setelah
terinfeksi L. lecanii yang dihitung mulai dari waktu aplikasi sampai dengan umur 6
hari setelah aplikasi (HSA), (2) periode waktu penetasan telur yang dihitung sejak
waktu aplikasi L. lecanii sampai dengan telur menetas, (3) jumlah konidia yang
diproduksi pada setiap telur yang tidak menetas. Jumlah konidia dihitung dengan cara
tiap telur yang terkolonisasi L. lecanii dan tidak menetas dimasukkan ke dalam
tabung reaksi. Telur tersebut ditambah air 10 ml dan dikocok menggunakan vortex
selama 60 detik kemudian suspensi konidia pada masing-masing perlakuan dihitung
menggunakan haemocytometer. (4) jumlah nimfa II yang mampu bertahan hidup
dihitung sejak dari stadia telur. Jumlah konidia L. lecanii dihitung menggunakan
haemocytometer dan mikroskup optik merk Olypmus, model CX21FSI. Pengamatan
perkecambahan konidia dan proses infeksi L. lecanii pada struktur telur R. linearis
dilakukan dengan mikroskup elektron, merk JEOL (JAPAN) tipe JSM-5310LV.
61
Analisis Data
Semua data yang diperoleh dianalisis menggunakan program MINITAB 14.
Apabila terdapat perbedaan di antara perlakuan maka dilanjutkan dengan uji jarak
berganda (Duncan’s Multiple Range Test) pada taraf nyata α = 0.05.
Hasil dan Pembahasan
Uji Berbagai Kerapatan Konidia L. lecanii pada Telur R. linearis Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan tingkat kerapatan konidia L.
lecanii yang diaplikasikan berpengaruh nyata terhadap tingkat infeksi pada telur R.
linearis sehingga mempengaruhi jumlah telur yang menetas. Semakin tinggi
kerapatan konidia yang diaplikasikan semakin banyak jumlah telur yang terinfeksi
cendawan dan akhirnya telur yang akan menetas menjadi terbatas (Gambar 7).
Aplikasi pada kerapatan konidia terendah, yaitu 2.25 x 105/ml mengakibatkan jumlah
telur R. linearis yang menetas hingga mencapai 91%. Pada kerapatan konidia tersebut
hanya 9% telur R. linearis yang tidak menetas dan persentase tersebut tidak berbeda
nyata dengan kontrol (air). Pada kerapatan konidia tersebut dapat dikatakan tidak
efektif karena jumlah telur yang menetas hampir sama dengan kontrol.
Peningkatan kerapatan konidia dari 2.25 x 105 menjadi 2.25 x 106/ml
mengakibatkan jumlah telur yang mampu menetas menjadi berkurang sebanyak 32%,
yaitu dari 91% menjadi 59%. Walaupun jumlah telur yang menetas sudah mengalami
penurunan, namun peluang telur yang mampu berkembang menjadi nimfa II masih
mencapai 41%. Keberadaan populasi serangga tersebut di lapangan diduga masih
akan membahayakan tanaman. Jika kerapatan konidia ditingkatkan lagi menjadi 2.25
x 107/ml maka jumlah telur yang menetas menjadi lebih rendah, yaitu 31.5%.
Peningkatan kerapatan konidia hingga 2.25 x 108/ml mengakibatkan penetasan telur
R. linearis hanya 9%.
62
Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa untuk mencapai hasil yang
maksimal dalam mengendalikan telur R. linearis disarankan menggunakan kerapatan
konidia minimum 2.25 x 108/ml. Dengan demikian, peluang nimfa yang mampu
hidup lebih lanjut hanya sedikit sehingga diduga peledakan hama menjadi sangat
rendah. Menurut Loureiro et al. (2004) untuk mengendalikan stadia nimfa kutu daun
Cinara atlantica (Homoptera: Aphididae) maka kerapatan konidia V. lecanii yang
digunakan harus 108/ml. Ashouri et al. (2004) juga melaporkan bahwa kerapatan 107-
108/ml mampu membunuh nimfa instar III Myzus persicae (Homoptera: Aphididae)
hingga 100%. Kim et al. (2001) mengindikasikan bahwa pengendalian Aphis gosypii
(Homoptera: Aphididae) pada stadia nimfa dengan V. lecanii harus menggunakan
kerapatan konidia di atas 108/ml agar mampu menyebabkan mortalitas hingga 100%.
Gambar 7 Rata-rata jumlah telur R. linearis yang menetas setelah terinfeksi L. lecanii
pada berbagai tingkat kerapatan konidia.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
1 2 3 4 5
Kerapatan konidia L. lecanii /ml
Pers
enta
se te
lur
R. li
near
is y
ang
men
etas
(%)
Kontrol (air) 2.25 x 105 2.25 x 106 2.25 x 107 2.25 x 108
a a
b
c
d
63
Menurut Wang et al. (2004), tingkat mortalitas serangga yang akan
dikendalikan dipengaruhi oleh virulensi isolat yang digunakan, selain pengaruh dari
faktor kerapatan konidia maupun stadia serangga. Lee et al. (2002) untuk
mengendalikan Trialeurodes vaporariorum (Homoptera: Aleyrodidae) harus
menggunakan kerapatan konidia 108/ml supaya mampu membunuh serangga di atas
80% jika menggunakan isolat L. lecanii yang kurang virulen. Sedangkan untuk isolat
yang virulen hanya membutuhkan kerapatan konidia 106/ml. Aiuchi et al. (2008b)
melaporkan bahwa virulensi L. lecanii berkaitan erat dengan karakter fisiologi
cendawan yang meliputi ukuran dan daya kecambah konidia selain kerapatan konidia
yang diaplikasikan. Hal ini disebabkan isolat yang memiliki daya kecambah konidia
dalam waktu lebih singkat maka isolat tersebut memiliki aktivitas enzim amilase,
protease, dan kitinase dalam jumlah yang berlebih. Isaka et al. (2005) juga
mengindikasikan pernyataan yang sama bahwa tingkat virulensi isolat L. lecanii
tergantung adanya kandungan senyawa bioaktif (bioactive substances).
Senyawa yang terkandung pada L. lecanii bersifat toksik terhadap telur dan
stadia juvenil nematoda Heterodera glycines (Shinya et al. 2008a & 2008b) dan
terhadap telur nematoda Globodera pallida (Stone) sehingga telur tidak mampu
menetas (Goettel et al. 2008). Vey et al. (2001) dan Murakoshi et al. (2005)
mengemukakan bahwa V. lecanii memproduksi beberapa jenis toksin, yaitu
dipicolinic acid, hydroxycarboxylic acid, dan cyclosporin dengan kadar yang
berbeda.
Uji Kerentanan Berbagai Umur Telur R. linearis terhadap Infeksi L. lecanii
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan umur telur R. linearis setelah
diletakkan imago mempunyai kerentanan yang berbeda terhadap infeksi L. lecanii.
Semakin tua umur telur semakin toleran terhadap infeksi L. lecanii. Telur R. linearis
yang terinfeksi L. lecanii pada umur empat, lima, dan enam hari setelah diletakkan
imago mempunyai peluang menetas hingga mencapai 100% (Gambar 8). Kejadian ini
menginformasikan bahwa telur R. linearis pada umur tersebut kurang efisien apabila
64
dilakukan pengendalian dengan aplikasi L. lecanii jika dibandingkan dengan umur
kurang satu hari maupun satu hari. Hal ini disebabkan pada umur tersebut struktur
jaringan kulit telur (chorion) sudah mengalami melanisasi, sehingga konidia yang
sudah menempel pada lapisan tersebut sulit untuk berkecambah.
Menurut Wilson et al. (2008), melanisasi merupakan faktor yang sangat
berperan dalam meningkatkan ketahanan serangga terhadap serangan patogen. Lebih
lanjut dilaporkan Wilson et al. (2008), pengaruh melanisasi pada struktur telur
Spodoptera exempta F. (Lepidoptera: Noctuidae) lebih besar perannya terhadap
pertahanan diri dari infeksi Beauveria bassiana (Bals.) Vuill. (Deuteromycotina:
Hyphomycetes) dibandingkan dengan melanisasi pada stadia larva.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
1 2 3 4 5 6 7
Umur telur R. linearis setelah diletakkan imago (hari)
Pers
enta
se te
lur
R. li
near
is y
ang
men
etas
(%
)
Gambar 8 Rata-rata jumlah telur R. linearis pada berbagai umur yang menetas setelah
terinfeksi L. lecanii.
Di permukaan korion telur yang berumur enam hari, belum tampak adanya
konidia yang berkecambah hingga 24 jam setelah inokulasi (JSI) (Gambar 9).
Walaupun telur R. linearis yang terinfeksi L. lecanii pada umur empat, lima, dan
enam hari masih ada konidia yang mampu berkecambah, tetapi karena struktur korion
sudah keras maka tabung kecambah yang terbentuk sulit melakukan penetrasi masuk
a a a ab b
c
d
< 1 1 2 3 4 5 6
65
ke dalam. Dengan demikian, tabung kecambah yang berkembang membentuk
apresorium akhirnya tidak mampu bertahan untuk berkembang lebih lanjut. Pada
kondisi demikian apabila suspensi konidia ditambah dengan bahan pembawa sebelum
aplikasi maka cendawan masih mampu bertahan untuk melangsungkan hidupnya
(Shi et al. 2006; Sahayaraj & Namasivayam 2008).
Gambar 9 Konidia L. lecanii yang tidak berkecambah setelah 24 jam inokulasi pada
permukaan korion telur R. linearis yang berumur 6 hari.
Telur yang berumur enam hari kurang rentan terhadap aplikasi cendawan, hal
ini disebabkan telur sudah mendekati waktu penetasan, bahkan struktur ujung telur
sudah pecah (Gambar 10). Meskipun demikian, cendawan masih berpeluang besar
untuk menginfeksi nimfa yang sudah terbentuk. Hal ini disebabkan L. lecanii mampu
menginfeksi stadia nimfa maupun imago selain stadia telur (Prayogo 2004; Prayogo
et al. 2005). Akan tetapi jika kondisi lingkungan kurang mendukung maka konidia
yang sudah berkecambah dan berkembang membentuk apresorium akan mengalami
plasmolisis kemudian mengering dan akhirnya mati sebelum menginfeksi inang. Oleh
karena itu, untuk mendukung keberhasilan pemanfaatan cendawan entomopatogen
dalam pengendalian hayati maka sangat diperlukan bahan pelindung apalagi
SEM MERK JEOL JAPAN TYPE JSM-5000 MAG X10.000
66
diaplikasikan di daerah kering (Williams et al. 2000; Verhaar et al. 2004; Lee et al.
2006).
Gambar 10 Struktur telur R. linearis yang akan menetas pada umur 6 hari setelah diletakkan imago tanpa aplikasi L. lecanii.
Hasil penelitian ini berbeda dengan yang dilaporkan del-Prado et al. (2008),
yang mendapatkan telur kutu kapuk kelapa Aleurodicus cocois (Curtis, 1846)
(Homoptera: Aleyrodidae) yang berumur tujuh hari lebih rentan terhadap infeksi L.
lecanii. Hal ini ditandai dengan nimfa I yang mati hingga mencapai 82%, sedangkan
telur yang berumur kurang satu hari sampai dengan dua hari lebih toleran karena
jumlah telur yang menetas dan berkembang menjadi nimfa II di atas 90%. Struktur
telur A. cocois pada umur tujuh hari mulai pecah meskipun belum sepenuhnya dan
konidia yang diaplikasikan pada waktu tersebut tidak hanya menempel pada bagian
korion terluar akan tetapi ada yang menempel pada embrio di dalam telur. Oleh
SEM MERK JEOL JAPAN TYPE JSM-5000 MAG X50
SEM MERK JEOL JAPAN TYPE JSM-5000 MAG X50
67
karena itu, proses penetrasi dan infeksi dari cendawan lebih mudah terjadi karena
embrio pada saat itu dalam kondisi yang masih sangat rentan (del-Prado et al. 2008).
Persentase telur yang menetas terendah terjadi pada perlakuan telur yang
berumur kurang satu hari (baru diletakkan imago), yaitu hanya 15%. Dengan kata lain
bahwa efikasi L. lecanii dalam mengendalikan telur R. linearis hingga mencapai
85%. Persentase telur yang tidak menetas pada umur kurang satu hari lebih rendah
dibandingkan dengan hasil uji kerapatan konidia meskipun kerapatan yang digunakan
sama. Hal ini diduga isolat L. lecanii yang digunakan sudah mengalami perbanyakan
berulangkali sehingga virulensi isolat menurun. Menurut Nahar et al. (2008),
perbanyakan cendawan Metarhizium anisopliae (Sorokin) (Deuteromycotina:
Hyphomycetes) secara berulang-ulang sebanyak 20 kali akan mengakibatkan
penurunan virulensi hingga 20%. Pada kondisi tersebut apresorium dan produksi
enzim pendegradasi kutikula, yaitu chitinase, chitin deacetylase, amylase,
chitosanase, dan protease akan menurun drastis. Oleh karena itu, Bradley et al.
(1992) menganjurkan infeksi ulang ke serangga inang untuk meningkatkan kembali
virulensi cendawan sebelum agens hayati tersebut diproduksi secara masal.
Aplikasi L. lecanii pada telur R. linearis yang berumur satu hari
mengakibatkan telur yang menetas hanya 31.2% (Gambar 8). Tingginya persentase
telur yang tidak menetas pada perlakuan telur umur kurang dari satu hari hingga satu
hari disebabkan struktur lapisan korion masih sangat lentur sehingga tabung
kecambah yang terbentuk lebih mudah penetrasi ke dalam telur. Pada umur tersebut
telur berwarna hijau dengan struktur korion yang sangat lentur (Gambar 11a & 11b).
Dengan pertambahan umur maka kondisi struktur kulit telur mulai mengeras dan
mengalami perubahan warna menjadi hijau gelap (Gambar 11c & 11d) bahkan
cenderung berwarna coklat setelah empat hari (Gambar 11e, 11f, dan 11g).
68
Gambar 11 Perbedaan struktur korion telur R. linearis berdasarkan umur setelah
diletakkan imago. (a) kurang satu hari, (b) satu hari, (c) dua hari, (d) tiga hari, (e) empat hari, (f) lima hari, dan (g) enam hari.
Telur yang baru diletakkan hingga berumur satu hari memperlihatkan struktur
kulit telur yang masih lentur sehingga akan mempermudah konidia L. lecanii yang
menempel pada korion. Konidia yang menempel kemudian berkecambah dan
berkembang membentuk apresorium (Gambar 12) untuk melakukan penetrasi secara
aktif mendegradasi korion dengan perangkat enzim yang dimiliki oleh cendawan atau
melalui lubang mikropil. Bagian di sekitar mikropil dilengkapi oleh lapisan gel yang
diproduksi dari kelenjar asesori imago betina yang berfungsi sebagai sarana untuk
melekatkan telur pada subtrat. Pada kondisi di lapangan, gel tersebut berfungsi untuk
melekatkan telur pada organ tanaman yang umumnya pada permukaan daun di sekitar
sumber makanan yang tersedia, yaitu polong kedelai.
Gel tersebut diduga sangat menguntungkan bagi proses pertumbuhan tabung
kecambah karena kondisi di sekitar mikropil menjadi lebih lembab sehingga sangat
kondusif bagi cendawan dalam proses penetrasi ke dalam telur, meskipun fenomena
a b c
d e f
g
69
tersebut belum banyak dilaporkan. Menurut Sahlen (2000) dan Gaino et al. (2008),
telur yang baru diletakkan dibekali senyawa berbentuk gel yang dihasilkan dari
kelenjar asesori imago betina yang berfungsi untuk melekatkan telur pada suatu
tempat di dekat sumber makanan yang tersedia bagi turunan yang akan terbentuk. Gel
tersusun dari gliserol yang mengandung gula sehingga merupakan senyawa yang
dibutuhkan oleh perkembangan cendawan.
Telur serangga terdiri dari tiga lapisan, yaitu (1) eksokorion yang
mengandung karbohidrat, (2) endokorion tersusun dari protein, dan (3) lapisan
kristalin paling dalam mengandung protein (dos-Santos & Gregorio 2003). Beberapa
senyawa yang terkandung pada lapisan korion tersebut merupakan senyawa yang
dibutuhkan oleh konidia meskipun harus melalui perombakan terlebih dahulu.
Cendawan L. lecanii menghasilkan beberapa jenis enzim meliputi protease, lipase,
amilase, dan kitinase yang berfungsi sebagai perombak struktur dinding sel yang
tersusun dari protein, lemak, karbohidrat, dan kitin (Fenice et al. 1998; Liu et al.
2003; Lu et al. 2005 ; Wang et al. 2005).
Gambar 12 Apresorium L. lecanii yang terbentuk sebelum penetrasi ke dalam telur
R. linearis pada 13 jam setelah aplikasi.
SEM MERK JEOL JAPAN TYPE JSM-5000 MAG X7.500
70
Karbohidrat dan protein merupakan sumber nutrisi utama yang dibutuhkan
untuk pertumbuhan cendawan entomopatogen (Barbosa et al. 2002; Gao et al. 2006).
Setelah miselium terbentuk, cendawan dapat mengeksploitasi sumber nutrisi yang ada
di dalam telur. Pada kondisi tersebut telur sudah tidak normal atau embrio yang
terbentuk di dalam telur sudah mati sehingga cendawan dalam fase saprogenesa. Fase
selanjutnya, miselium tumbuh keluar menembus korion telur (Gambar 13), kemudian
miselium mengkolonisasi seluruh permukaan telur dan bersporulasi (Gambar 14)
yang berfungsi untuk transmisi patogen ke inang yang sehat. Hasil penelitian Behnke
dan Yendol (2006) mengindikasikan bahwa semua telur Galleria mellonella yang ada
baik telur sehat maupun yang sudah rusak dapat diinfeksi oleh cendawan Aspergillus
flavus. Keadaan tersebut menginformasikan bahwa telur merupakan sumber inang
yang potensial bagi perkembangan cendawan di lapangan. Oleh karena itu, jika stadia
telur dapat dikendalikan dengan cendawan entomopatogen maka peluang
perkembangan hama dapat ditekan lebih awal sehingga peledakan hama dapat
ditekan.
Gambar 13 Miselium L. lecanii yang menembus keluar struktur korion telur R.
linearis pada empat hari setelah aplikasi (HSA).
SEM MERK JEOL JAPAN TYPE JSM-500 MAG X7.500
71
Gambar 14 Telur R. linearis yang tidak menetas setelah terkolonisasi miselium L. lecanii isolat Ll-JTM11 pada tujuh HSA (a) dan 10 HSA (b).
Periode Waktu Penetasan Telur R. linearis setelah Terinfeksi L. lecanii
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi cendawan L. lecanii
berpengaruh nyata terhadap periode waktu penetasan telur R. linearis. Telur yang
baru diletakkan (kurang satu hari) apabila terinfeksi L. lecanii akan menetas pada
hari ke 11.5 (Gambar 15), sedangkan pada telur normal (tanpa infeksi) akan menetas
tujuh hari setelah diletakkan imago. Dengan kata lain bahwa telur akan terlambat
menetas selama 4.5 hari jika dibandingkan dengan telur normal (tanpa infeksi).
Keterlambatan periode penetasan telur yang sama juga terjadi pada telur R. linearis
yang terinfeksi L. lecanii pada umur satu, dua, dan tiga hari yaitu masing-masing
pada hari ke 11.5. Telur R. linearis yang berumur empat dan lima hari apabila
terinfeksi L. lecanii mengakibatkan telur akan menetas pada hari ke 8.7 yang artinya
terlambat berkisar selama 1.7 hari. Walaupun sebenarnya pada umur tersebut telur
lebih toleran terhadap infeksi cendawan. Hal ini terlihat dari hasil uji kerentanan telur
yang menunjukkan bahwa telur yang menetas hingga mencapai 100%. Telur yang
a b
72
berumur enam hari setelah diletakkan imago apabila diaplikasi dengan L. lecanii
maka telur akan menetas satu hari setelah aplikasi.
Gambar 15 Periode waktu penetasan telur R. linearis setelah terinfeksi L. lecanii.
Menurut Hoddle (1999), aplikasi cendawan V. lecanii pada telur Bemisia
tabaci dan Trialeurodes vaporariorum (Homoptera: Aleyrodidae) menyebabkan
penetasan telur akan terlambat dan peluang telur untuk menetas hanya 1%. Wang et
al. (2007) juga melaporkan bahwa telur B. tabaci yang terinfeksi V. lecanii akan
terlambat menetas, bahkan dapat menggagalkan penetasan telur hingga 100%. Lebih
lanjut dilaporkan bahwa telur yang tidak menetas ditandai dengan perubahan warna,
yaitu kusam dan tidak berkilau. Hal ini disebabkan cendawan entomopatogen
menghasilkan toksin yang dapat bersifat ovisidal (Lacey et al. 1999; Lu et al. 2005;
Watts 2006). Liande et al. (2007) juga menyebutkan bahwa ekstrak kasar miselium V.
0 1 2 3 4 5 6 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
1 2 3 4 5 6 7
Umur telur setelah diletakkan oleh imago (hari)
Perio
de w
aktu
pen
etas
an te
lur (
hari)
b b b b a
a
a
< 1 1 2 3 4 5 6
73
lecanii mengandung dua jenis toksin dengan kode V3450 dan VP28 yang bersifat
ovisidal dan larvisidal.
Cendawan B. bassiana dan M. anisopliae yang menginfeksi telur Nezara
viridula (Hemiptera: Alydidae) juga mengakibatkan waktu penetasan telur menjadi
terlambat dan jumlah telur yang menetas sangat terbatas (Soesanto & Darsam 1993).
Hal ini disebabkan telur yang terinfeksi cendawan tersebut akan mengalami
penghambatan dalam proses metabolismenya sehingga proses pematangan embrio
menjadi terhambat. Selain itu, serangga yang keluar dari telur akhirnya mati karena
secara fisiologis tumbuh tidak normal akibat infeksi cendawan dari fase embrio.
Hoddle (1999) juga mengindikasikan bahwa telur Rhipicephalus appendiculatus dan
Amblyoma variegatum (Acari: Ixodidae) yang terinfeksi cendawan B. bassiana dan
M. anisopliae akan mengalami penghambatan waktu penetasan. Lebih lanjut
dilaporkan bahwa telur R. appendiculatus dan A. variegatum yang terinfeksi
cendawan akhirnya tidak menetas hingga 100%. Samuels et al. (2002) menguji
cendawan M. anisopliae dan B. bassiana yang diaplikasikan pada telur Blisus antillus
(Hemiptera: Lygaeidae), akhirnya telur yang terinfeksi juga tidak menetas hingga
100%.
Hasil penelitian ini menginformasikan bahwa semakin muda umur telur R.
linearis terinfeksi cendawan L. lecanii, semakin lama periode penetasan telur
maupun persentase penetasan telur semakin rendah. Keterlambatan periode penetasan
telur akan mengakibatkan bergesernya perkembangan stadia R. linearis yang
terbentuk. Di lapangan, kondisi tersebut akan sangat menguntungkan bagi
keselamatan polong dan biji kedelai yang terbentuk karena perkembangan stadia
serangga tidak sesuai dengan perkembangan polong kedelai. Hal ini terjadi karena
nimfa yang masih bertahan hidup akan kesulitan mendapatkan polong yang masih
muda karena polong yang ada sudah mengalami proses pemasakan biji sehingga
struktur polong dalam keadaan keras akhirnya stilet serangga tidak berhasil
mengksploitasi biji di dalam polong.
74
Produksi Konidia L. lecanii pada Telur R. linearis yang Tidak Menetas
Telur R. linearis yang dikolonisasi L. lecanii dan tidak menetas, masing-
masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambah air 10 ml kemudian
dikocok dengan vortex selama 60 detik. Suspensi konidia kemudian dihitung
menggunakan haemocytometer dan mikroskop. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
rata-rata jumlah konidia yang terbanyak terjadi pada telur R. linearis yang terinfeksi
L. lecanii pada umur kurang satu hari dan dua hari, kedua perlakuan tersebut
mencapai 7.255 x 106/ml (Gambar 16). Jumlah konidia terbanyak diikuti dengan
perlakuan telur yang terinfeksi L. lecanii pada umur satu hari, yaitu 7.251 x 106/ml.
Akan tetapi, jumlah konidia pada ketiga perlakuan tersebut tidak berbeda nyata.
Jumlah konidia L. lecanii terendah terjadi pada telur yang terinfeksi pada umur 3 hari,
yaitu hanya 1.650 x 106/ml. Telur yang berumur empat, lima, dan enam hari tidak
ditemukan adanya kolonisasi oleh cendawan L. lecanii.
012
34
567
89
10
11
1 2 3 4 5 6 7
Umur telur R. linearis setelah diletakkan oleh imago (hari)
Jum
lah
koni
dia
L. l
ecan
ii pa
da ti
ap te
lur
yang
tida
k m
enet
as (x
106 )
Gambar 16 Produksi konidia L. lecanii pada tiap telur R. linearis yang tidak menetas.
a a
a
b
c c c
< 1 1 2 3 4 5 6
75
Jumlah konidia yang diproduksi pada tiap telur yang tidak menetas akan
sangat berperan di lapangan sebagai sumber inokulum sekunder bagi perkembangan
patogen di lapangan (Samuels & Coracini 2004). Semakin banyak jumlah konidia
yang terbentuk pada tiap telur yang tidak menetas mengakibatkan semakin efektif
agens hayati tersebut dalam menyebabkan epizooti yang akan terjadi pada hama
inang di lapangan (Purlong & Pell 2001; Ganga-Visalakshy et al. 2004). Hal ini
disebabkan konidia merupakan salah satu organ infektif cendawan entomopatogen
yang berperan utama untuk pemencaran dan proses infeksi (Wraight et al. 2001;
Lerche et al. 2004). Menurut Fatiha et al. (2007) cendawan entomopatogen yang
mampu bersporulasi dengan baik akan lebih menguntungkan karena isolat tersebut
mampu menimbulkan epizooti dalam waktu yang lebih pendek. Selain itu, untuk
perbanyakan dengan tujuan produksi massal maka bioinsektisida tersebut
membutuhkan jumlah inokulum yang lebih sedikit sehingga lebih efisien. Di
lapangan, umumnya sistem transmisi cendawan entomopatogen terjadi secara
horizontal artinya pindah dari serangga yang mati ke serangga inang sehat dengan
bantuan angin, air, serangga, maupun aktivitas manusia (Wagner & Lewis 2000;
Chun & Mingguang 2004).
Jumlah Nimfa II R. linearis yang Mampu Hidup
Pengamatan peluang hidup nimfa R. linearis untuk berkembang menjadi
serangga dewasa hanya dibatasi pada stadia nimfa II. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa nimfa II yang berhasil hidup akan berpeluang besar berkembang
menjadi imago. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nimfa II yang mampu hidup
terendah terjadi pada perlakuan telur umur kurang satu hari, yaitu hanya 9% (Gambar
17). Pada perlakuan tersebut jumlah nimfa I yang hidup awalnya sebanyak 15%,
setelah tiga hari sebagian serangga tidak dapat berganti kulit karena tubuh serangga
dikolonisasi miselium L. lecanii (Gambar 18a). Hal ini diduga karena embrio di
dalam telur sebenarnya sudah terinfeksi cendawan sebelum telur menetas sehingga
76
perkembangan embrio terganggu dan tidak dapat melanjutkan menjadi serangga
dewasa.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
1 2 3 4 5 6 7
Umur telur R. linearis setelah diletakkan oleh imago (hari)
Pers
enta
se n
imfa
II
R. li
near
is y
ang
hidu
p (%
)
Gambar 17 Rata-rata persentase nimfa II R. linearis yang mampu hidup setelah
terinfeksi L. lecanii pada stadia telur.
Infeksi L. lecanii pada telur mengakibatkan banyak nimfa I yang tidak dapat
berkembang menjadi nimfa II, meskipun pada tubuh serangga tidak tampak adanya
kolonisasi miselium. Kematian serangga ditandai pembengkaan dan rusaknya organ
tubuh serangga khususnya pada bagian abdomen yang terlihat perubahan warna
cenderung menjadi hitam (Gambar 18b). Kejadian ini disebabkan serangga
mengalami lisis pada struktur abdomen bagian dalam. Diduga penyebab kerusakan
struktur organ tersebut sebagai akibat dari reaksi toksin yang dihasilkan oleh L.
lecanii. Cendawan L. lecanii menghasilkan toksin beauvericin, dipicolinic acid,
hydroxycarboxylic acid, dan cyclosporin yang mampu mendegradasi dinding kutikula
serangga (Charnley 2003a & 2003b; Murakoshi et al. 2005). Paralisis yang terjadi
pada tubuh serangga muda yang diakibatkan oleh toksin dari cendawan
entomopatogen juga sudah banyak dilaporkan oleh beberapa peneliti sebelumnya
(Soman et al. 2001; Asaff et al. 2005; Liande et al. 2007).
d
c
< 1 1 2 3 4 5 6
b b
a a a
77
Gambar 18 Nimfa I R. linearis yang gagal berkembang menjadi nimfa II setelah
terkolonisasi L. lecanii (a) dan struktur abdomen nimfa I R. linearis yang mengalami lisis setelah terinfeksi L. lecanii (b).
Hasil penelitian Gindin et al. (2000) menunjukkan bahwa peluang untuk
menetas telur B. tabaci yang terinfeksi V. lecanii sangat kecil. Meskipun telur masih
mampu menetas namun akhirnya nimfa yang terbentuk juga gagal melangsungkan
hidupnya karena tubuh serangga diduga sudah terinfeksi cendawan. Cendawan V.
lecanii mempunyai kelebihan, yaitu mampu menginfeksi stadia telur, nimfa, maupun
imago pada banyak jenis serangga, khususnya B. argentifolii Bellows & Perring
(Homoptera: Aleyrodidae) (Hoddle 1999). Olivares-Bernabeu dan Lopez-Llorca
(2002) juga melaporkan bahwa V. lecanii mampu menginfeksi telur nematoda parasit
tanaman Meloidogyne spp. dan Heterodera spp. Pengamatan dengan mikroskop
elektron menunjukkan bahwa hifa V. lecanii yang terbentuk mampu melakukan
penetrasi ke dalam telur nematoda Globodera pallida (Stone) hanya dalam waktu 24
jam (Aviva & Sikora 1992). Selanjutnya, telur yang terinfeksi V. lecanii tidak dapat
melangsungkan hidupnya berkembang menjadi stadia juvenil.
Hasil penelitian ini menginformasikan bahwa telur yang baru diletakkan oleh
imago (<1–1 hari) sangat rentan terhadap infeksi L. lecanii. Oleh karena itu, untuk
(a) (b)
78
menekan perkembangan R. linearis di lapangan sebaiknya dianjurkan aplikasi L.
lecanii yang dilakukan pada tanaman berumur kurang lebih 35 hari setelah tanam
(HST). Berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan Tengkano et al. (1992), di
lapangan pada umur tersebut imago R. linearis datang pertama kali di pertanaman
kedelai untuk meletakkan telurnya. Meskipun aplikasi L. lecanii pada telur R.
linearis yang berumur lebih tua kurang efektif dibandingkan telur yang berumur lebih
muda, namun telur-telur tersebut yang berhasil dikolonisasi oleh cendawan dapat
berperan sebagai sumber inokulum sekunder yang potensial bagi penyebaran patogen
di lapangan. Dengan demikian, sumber inokulum tersebut juga memberi kontribusi
yang cukup besar dalam proses epizooti sehingga keberadaannya perlu
diperhitungkan dalam mempertahankan populasi hama di lapangan.
Kesimpulan
Semakin tinggi kerapatan konidia L. lecanii yang diaplikasikan semakin
efektif untuk menekan perkembangan telur R. linearis. Kerapatan konidia L. lecanii
yang maksimal untuk menekan perkembangan telur R. linearis adalah 108/ml.
Semakin tua umur telur akan semakin toleran terhadap infeksi L. lecanii. Telur R.
linearis yang baru diletakkan imago (<1–1 hari) sangat rentan terhadap infeksi L.
lecanii. Telur yang berumur 2 dan 3 hari agak toleran, sedangkan telur yang berumur
empat, lima, dan enam hari sangat toleran terhadap infeksi L. lecanii. Telur R.
linearis yang terinfeksi L. lecanii akan terlambat waktu menetasnya sehingga
perkembangan serangga yang ada menjadi tidak sesuai dengan perkembamgan
polong dan biji kedelai. Setiap telur yang tidak menetas setelah terinfeksi L. lecanii
mampu memproduksi konidia hingga mencapai 7.2 x 106/ml. Semakin banyak
konidia yang diproduksi dari tiap telur yang tidak menetas semakin potensial
cendawan tersebut sebagai sumber inokulum sekunder yang berfungsi sebagai sistem
transmisi patogen.
79
Daftar Pustaka
Aiuchi D, Horie S, Koike M. 2008a. Lecanicillium lecanii (=Verticillium lecanii)
penetrate into Trialeurodes vaporariorum egg. 41st Annual Meeting of the Society for Invertebrate Pathology and 9th International Conference on Balcillus thuringiensis. 3-7 Aug 2008. University of Warwick, Coventry, United Kingdom.
Aiuchi D et al. 2008b. Variation in growth at different temperatures and production
and size of conidia in hybrid strains of Verticillium lecanii (=Lecanicillium lecanii) (Deuteromycotina: Hyphomycetes). J Appl Entomol Zool 43;3:427-436.
Asaff A, Cerda-Gracia-Rojas C, Torre MdeLa. 2005. Isolation of dipicolinic acid as a
insecticidal toxin from Paecilomyces fumosoroseus. Appl Microbiol and Biotechnol 68;4:542-547.
Ashouri A, Arzanian N, Askary H, Rasoulian GR. 2004. Pathogenicity of the fungus
Verticillium lecanii to the green peach aphid Myzus persicae (Homoptera: Aphididae). Commun Agric Appl Biol Sci 69;3:205-209.
Aviva U, Sikora RA. 1992. Use of non-target isolates of the entomopathogenic
Verticillium lecanii (Zimm.) Viegas to control the potato cyst nematode Globodera pallida (Stone). Nematol 38;4:123-130.
Barbosa CC, Monteiro AC, Correia Ado-CB. 2002. Growth and sporulation of
Verticillium lecanii isolates under different nutritional conditions. Pesq Agropec Braz 37;6:821-829.
Behnke CN, Yendol WG. 2006. Pathogenesis of an Aspergillus flavus infection of
Galleria mellonella eggs. Biol Contr 14;2:177-184. Bradley CA, Black WE, Kearns R, Wood P. 1992. Role of production technology in
mycoinsecticide development. Di dalam: Leatham GF, editor. Frontiers in Industrial Mycol. Chapman & Hall, New York, hlm 160-173.
Charnley AK. 2003a. Fungal pathogens of insects from mechanisms of pathogenicity
to host defense. Department of Biology & Biochemistry University of Bath. http://www.bath.ac.uk/expertice/showperson.php?employeenumber=573 [12 Sep 2008].
Charnley AK. 2003b. Fungal pathogens of insects: Cuticle degrading enzymes and
toxins. Advances in Botanical Res 40:241-321.
80
Chun C, Mingguang F. 2004. Observation on the initial inoculum source and dissemination of entomophthorales-caused epizootics in populations of cereal aphids. Sci China C Life Sci 47;1:38-43.
del-Prado EN, Lannacone J, Gomez H. 2008. Effect of two entomopathogenic fungi
in controlling Aleurodicus cocois (CURTIS, 1846) (Homoptera: Aleyrodidae). Chilean J Agric Res 68;1:21-30.
dos-Santos DC, Gregorio EA. 2003. Deposition of the eggshell layers in the sugar
cane borer (Leipdoptera: Pyralidae): ultrastructure aspects. Acta Micros 12;1: 37-41.
Fatiha L, Ali S, Ren S, Afzal M. 2007. Biological characteristics and pathogenicity of
Verticillium lecanii against Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae) on eggplant. Pak Entomol 29;2:63-72.
Fenice M, Selbmann L, di-Giambattistar R, Federici F. 1998. Chitinolytic activity at
low temperature of an antartic strain (A3) of Verticillium lecanii. Res in Microbiol 149;4:289-300.
Ganga-Visalakshy PN, Manoj-Kumar A, Krisnamoorthy A. 2004. Epizootics of
fungal pathogen Verticillium lecanii Zimmermann on Thrips palmi Karny. Insect Environ 10;3:134-135.
Gaino E, Piersanti S, Rebora M. 2008. Egg envelop synthesis and chorion
modification after oviposition in the dragonfly Libellula depressa (Odonata: Libellulidae). Tissue and Cell 40;5:317-324.
Gao L, Sun MH, Liu XZ, Che S. 2006. Effect of carbon concentration and carbon to
nitrogen ratio on the growth and sporulation of several biocontrol fungi. Mycol Res 111;1:87-92.
Gindin G, Geschtovt NU, Raccah B, Barash I. 2000. Pathogenicity of Verticillium
lecanii to different developmental stages of the silverleaf whitefly Bemisia argentifolii. Phytopar 28;3:231-242.
Goettel MS et al. 2008. Potential of Lecanicillium spp. for management of insects,
nematodes, and plant disease. J Invertebr Pathol 98;3:256-261. Hoddle MS. 1999. The biology and management of Silverleaf Whitefly Bemisia
argentifolii Bellows and Perring (Homoptera: Aleyrodidae) on greenhouse grown ornamentals. http://www.biocontrol.urc.edu/bemisia.html#verticillium [5 Sep 2008].
81
Isaka M, Kittakoop P, Kirtikara K, Hywel-Jones NL, Thebtaranonth Y. 2005. Bioactive substances from insect pathogenic fungi. Acc Chem Res 38:813-823.
Kim JJ et al. 2001. Control of cotton aphid and greenhouse whitefly with a fungal
pathogen. http://www. agnet. org/ library/article/eb502b.html. [17 Sep 2006]. Lacey LA, Kirk AA, Millar L, Mercadier G, Vidal C. 1999. Ovicidal and larvicidal
activity of conidia and blastospores of Paecilomyces fumosoroseus (Deuteromycotina: Hyphomycetes) against Bemisia argentifolii (Homoptera: Aleyrodidae) with a description of a bioassay system allowing prolonged survival of control insects. Biol Contr Sci and Technol 9:9-18.
Lee MH, Yoon YS, Yun T, Kim HS, Yoo JK. 2002. Selection of a highly virulent
Verticillium lecanii strain against Trialeurodes vaporariorum at various temperatures. J Microbiol and Biotechnol 12;1:145-148.
Lee J, Kang S, Yoon C, Kim J, Chei D. 2006. Verticillium lecanii spore formulation
using UV protectant and wetting agent and the biocontrol of cotton aphids. Mycopathol 161;2:1041-1045.
Lerche S, Meyer U, Sermann H, Buetther S. 2004. Dissemination of the
entomopathogenic fungus Verticillium lecanii (Zimmermann) Viegas (Deuteromycotina: Hyphomycetes) in a population of Frankliniella occidentalis Pergande, 1895 (Thysanoptera: Thripidae). Commun Agric Appl Biol Sci 69;3: 195-200.
Liande W, Jian H, Minsheng Y, Xiong G, Bo L. 2007. Toxicity and feeding deterence
of crude toxin extracts of Lecanicillium lecanii (=Verticillium lecanii) (Deuteromycotina: Hyphomycetes) against sweet potato whitefly, Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae). Pest Manag Sci 63;4:381-387.
Liu BL, Kao PM, Tzeng YM, Feng KC. 2003. Production of chitinase from
Verticillium lecanii F091 using submerged fermentation. Enzym and Microbiol and Technol 33;4:410-415.
Loureiro E de S, de-Oliveira NC, Wilcken CF, Filho AB. 2004. Pathogenicity of
Verticillium lecanii to pine aphid. Soc de Inves Flor 28;5:765-770. Lu ZX, Laroche A, Huang HC. 2005. Isolation and characterization of chitinases
from Verticillium lecanii. Can J Microbiol 51;12:1045-1055. Marwoto. 1992. Masalah pengendalian hama kedelai di tingkat petani. Di dalam:
Marwoto, Saleh N, Sunardi, Winarto A, editor. Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Malang, 8-10 Agu 1991. Balittan Malang: hlm 37-43.
82
Murakoshi S et al. 2005. Presence of toxic substance in fungus bodies of the entomopathogenic fungi, Beauveria bassiana and Verticillium lecanii. Appl Entomol and Zool 13;2:97-102.
Nahar PB et al. 2008. Effect of repeated in vitro subculturing on the virulence of
Metarhizium anisopliae against Helicoverpa armigera (Lepidoptera: Noctuidae). Biol Contr Sci and Technol 18;4:337-355.
Olivares-Bernabeu CM, Lopez-Llorca LV. 2002. Fungal egg-parasites of plant-
parasitic nematodes from Spanish soils. Rev Iberoam Micol 19:104-110. Purlong MJ, Pell JK. 2001. Horizontal transmission of entomopathogenic fungi by
the diamondback moth. Biol Contr 22:288-299. Prayogo Y. 2004. Keefektifan lima jenis cendawan entomopatogen terhadap hama
pengisap polong kedelai Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: Alydidae) dan dampaknya terhadap predator Oxyopes javanus Thorell (Araneida: Oxyopidae). [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Prayogo Y, Santoso T, Widodo. 2005. Kerentanan stadia nimfa hama pengisap
polong kedelai Riptortus linearis (F.) (Hemiptera; Alydidae) terhadap jamur entomopatogen Verticillium lecanii. J Agrikultura, Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung 16;2:125-132.
Sahayaraj K, Namasivayam SKR. 2008. Mass production of entomopathogenic fungi
using agricultural products and by products. African J Biotechnol 7;12:1907-1910.
Sahlen G. 2000. Eggshell ultrastructure in Onychogomphus forcipatus (Odonata:
Gomphidae). International J Insect Morphol and Embryol 24;3:281-286.
Shi Z, Li M, Zang L. 2006. Effects of nutrients on germination of Verticillium lecanii (=Lecanicillium lecanii) conidia and infection of greenhouse whitefly (Trialeurodes vaporariorum). Biol Contr Sci and Technol 16;6:599-606.
Shinya R et al. 2008a. Effect of fungal culture filtrates of Verticillium lecanii
(=Lecanicillium lecanii) hybrid strain on Heterodera glycines eggs and juveniles. Biol Contr 16;5:245-251.
Shinya R et al. 2008b. Pathogenicity and its mode of action in different sedentary
stages of Heterodera glycines (Tylenchida: Heteroderidae) by Verticillium lecanii (=Lecanicillium lecanii) hybrid strains. J Appl Entomol Zool 43;2:227-233.
83
Samuels RI, Coracini DLA. 2004. Selection of Beauveria bassiana and Metarhizium anisopliae isolates for the control of Blissus antillus (Hemiptera: Lygaenidae). Sci Agric Piracicaba Braz 61;3:271-275.
Soman AG, Gloer JB, Angawi RF, Wicklow DT, Dowd PF. 2001. Vertilecanins: A
new phenopicolinic acid analoques from Verticillium lecanii. J Nat Prod 64;2:189-192.
Soesanto L, Darsam. 1993. Mikroba entomopatogenik: patogenisitasnya terhadap
telur Nezara viridula L. Di dalam: Martono E, Mahrub E, Putra NS, Trisetyawati Y, editor. Simposium Patologi Serangga I. Yogyakarta, 12-13 Okt 1993.
Tengkano W, Arifin M, Tohir AM. 1992. Biokeologi, Serangan dan Pengendalian
Hama Pengisap dan Penggerek Polong Kedelai. Di dalam: Marwoto, Saleh N, Sunardi, Winarto A, editor. Risalah Lokakarya Pengendalian Hama Terpadu Tanaman Kedelai. Malang, 8-10 Agu 1991. Balittan Malang. hlm 117-153.
Tengkano W et al. 2003. Status hama penyakit kedelai dan musuh alami di lahan
kering masam. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2003. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang.
Tengkano W et al. 2005. Status hama kedelai dan musuh alaminya di lahan kering
masam Propinsi Lampung. Lokakarya dan Seminar Nasional Peningkatan Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan. Malang, 26-27 Juli 2005.
Tengkano W et al. 2006. Evaluasi status hama penyakit kedelai dan musuh alami
sebagai agens hayati untuk pengendalian OPT pada kedelai. Laporan Hasil Penelitian Tahun 2006 C-1. Balikabi Malang.
Verhaar MA, Hijwegen T, Zadoks JC. 2004. Improvement of the efficacy of
Verticillium lecanii used in biocontrol of Sphaerotheca fuliginea by addition of oil formulation. Biol Contr 44;1: 73-87.
Vey A, Hoagland RE, Butt TM. 2001. Toxic metabolites of fungal biocontrol agents.
Di dalam: Butt TM, Jackson CW, Magan N, editor. Fungi as Biocontrol Agents : Progress, Problem, and Potential. CABI Publishing; CABI International Wallingford, Oxon. hlm 311-346.
Wang L, Huang J, You M, Liu B. 2004. Time-dose-mortality modelling and
virulence indices for six strains of Verticillium lecanii against sweet potato whitefly Bemisia tabaci (Genadius). J Appl Entomol 128;7:294-500.
84
Wang L, Huang J, You M, Guan X, Liu B. 2005. Effects of toxins from two strains of Verticillium lecanii (Deuteromycotina: Hyphomycetes) on bioattributes of a predatory ladybeetle Delphastus catalinae (Coleoptera: Coccinellidae). J Appl Entomol 129;1:32-38.
Wang L, Huang J, You M, Guan X, Liu B. 2007. Toxicity and feeding deterence of
crude toxin extracts of Lecanicillium lecanii (=Verticillium lecanii) (Deuteromycotina: Hyphomycetes) against sweet potato whitefly Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae). Pest Manag Sci 63;4:381-387.
Wagner BL, Lewis LC. 2000. Colonization of corn Zea maize by the
entomopathogenic fungus Beauveria bassiana. Appl Environ Microbiol 66;8: 3468-3473.
Williams MDC, Edmondson RN, Gill. 2000. The potential of some adjuvants in
promoting infection with Verticillium lecanii : laboratory bioassays with Myzus persicae. Ann of App Biol 137;3:337. http://www.blackwell-synergy.com/doi/abs/10.1111/j.1744-7348.2000.tb00075X [26 Jul 2006].
Wilson K, Cotter SC, Reeson AF, Pell JK. 2008. Melanism and disease resistance in
insects. Ecol Letters 4;6:637-649. Wraight SP, Jackson MA, de-Kock SL. 2001. Production, stabilization, and
formulation of fungal biocontrol agents. Di dalam: But TM, Jackson C, Magan N, editor. Fungi as Biocontrol Agents. United Kingdom: CABI Publishing. hlm 253-287.
BAB V
PENAMBAHAN MINYAK NABATI UNTUK MEMPERTAHANKAN KEEFEKTIFAN CENDAWAN
ENTOMOPATOGEN Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams DALAM MENGENDALIKAN TELUR
Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: Alydidae)
[Addition of vegetable oils to increase the effectiveness of Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams in controlling Riptortus linearis (F.)
(Hemiptera: Alydidae) eggs]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh penambahan minyak nabati terhadap keefektifan Lecanicillium lecanii untuk mengendalikan telur Riptortus linearis. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap disusun secara faktorial. Faktor pertama adalah jenis minyak nabati, yaitu; (1) kacang tanah, (2) kedelai, dan (3) kelapa. Faktor kedua adalah konsentrasi minyak, yaitu; (1) 2 ml/l, (2) 5 ml/l, (3) 10 ml/l, dan kontrol (hanya L. lecanii). Penelitian dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang, dari bulan Maret sampai dengan Agustus 2008. Hasil penelitian menunjukkan bahwa minyak nabati sebagai bahan pembawa berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan perkembangan L. lecanii pada uji in vitro. Minyak nabati dengan konsentrasi 10 ml/l mampu mempertahankan persistensi konidia L. lecanii di pertanaman kedelai hingga tujuh hari setelah aplikasi. Minyak kacang tanah mampu meningkatkan keefektifan L. lecanii sehingga telur R. linearis yang menetas hanya 20%. Telur yang menetas tidak semuanya mampu berkembang menjadi serangga dewasa. Penambahan minyak nabati mampu mempertahankan keefektifan L. lecanii di lapangan mencapai 40% dibandingkan dengan kontrol. Di antara tiga jenis minyak yang diuji, minyak kacang tanah lebih baik dibandingkan dengan minyak kedelai maupun minyak kelapa. Kata kunci: minyak kacang tanah, minyak kedelai, minyak kelapa, konidia, polong
hampa.
86
Abstract
The aim of this research was to study the effect of the addition of vegetable oils to the effectiveness of Lecanicillium lecanii in controlling R. linearis egg. Randomized complete design with two factor was set. The first factor is three vegetable oils i.e; (1) peanut, (2) soybean, and (3) coconut. The second factor is oil concentration i.e; (1) 2 ml/l, (2) 5 ml/l, (3) 10 ml/l, and (4) control (only L. lecanii). The research was conducted from March to August 2008 in the screen house of The Research Institute of Legume and Tuber Crops, Malang. The result showed that the addition of vegetable oils as adjuvant signifficantly increased the growth and development of fungi. Both colony diameter and conidia of L. lecanii increased during experiment invitro. The fungal conidia on the soybean plantation persisted until seven days after application by adding 10 ml/l adjuvant. Only 20% of R. linearis eggs hatched after treatment by fungal preparation mixed with peanut oil. Not all of the eggs that hatched could develop to adult, therefore the number of insects causing damage on soybean pod was limited. In general, the addition of vegetable oil could increase the fungal effectiveness up to 40%. Among three vegetable oils tested, peanut oil was the best adjuvant as compared with soybean and coconut oils.
Key words: peanut oil, soybean oil, coconut oil, conidia, empty pod.
Pendahuluan Cendawan entomopatogen Lecanicillium lecanii (=Verticillium lecanii)
(Zimm.) (Viegas) Zare & Gams (Deuteromycotina: Hyphomycetes) sudah diakui
sebagai agens hayati yang cukup potensial untuk mengendalikan berbagai jenis hama
maupun penyakit (Benhamou & Brodeur 2000; Benhamou & Brodeur 2001;
Olivares-Bernabeu & Lopez-Llorca 2002; Benhamou 2004). Hasil penelitian Wang et
al. (2007) menunjukkan bahwa aplikasi cendawan L. lecanii mampu menekan jumlah
telur Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae) yang tidak menetas hingga mencapai
100%. Cendawan V. lecanii juga efektif untuk mengendalikan Myzus persicae
(Homoptera: Aphididae) (Williams et al. 2000). V. lecanii dapat digunakan juga
sebagai agens hayati pada pengendalian penyakit embun tepung Sphaerotheca
fuliginea pada buah mentimun (Verhaar et al. 1997). Salah satu penghambat yang
mempengaruhi keefektifan cendawan di lapangan adalah faktor abiotik, khususnya
aktivitas sinar matahari (Braga et al. 2002). Sinar matahari selain menghasilkan
87
panas juga mengandung sinar UV yang akan merusak konidia sehingga keefektifan
cendawan menjadi rendah.
Tingkat kerusakan konidia akibat pengaruh sinar UV sangat tergantung dari
berapa lama waktu konidia terpapar pada sinar tersebut. Hasil penelitian Braga et al.
(2002) menunjukkan bahwa cendawan V. lecanii yang terpapar pada sinar UV-B
selama tiga jam masih mampu tumbuh namun pemaparan selama empat jam
menyebabkan cendawan mati. Menurut Yuen et al. (2002) dan McCoy et al. (2004),
dampak UV-A dan UV-B dari sinar matahari secara langsung akan menyebabkan
kematian sel dan mutasi akibat dari kerusakan susunan kromosom pada DNA.
Sedangkan menurut Moore et al. (1993) UV-C menyebabkan terjadinya penundaan
dan penurunan perkecambahan konidia.
Penurunan daya kecambah konidia cendawan diakibatkan oleh meningkatnya
respirasi dan aktivitas metabolik di dalam konidia sehingga dapat menurunkan
cadangan makanan di dalam konidia. Hasil penelitian Hallsworth dan Magan (1996)
menunjukkan bahwa tingkat perkecambahan konidia ditentukan oleh kandungan
poliol dan trehalosa. Sementara itu, kedua senyawa ini sangat berperan dalam
pengaturan tekanan osmotik di dalam konidia dan tekanan osmotik ditentukan oleh
suhu lingkungan tumbuh konidia. Oleh karena itu disarankan dalam aplikasi di
lapangan perlu dihindarkan dari pengaruh sinar matahari secara langsung, yaitu
dengan mengatur waktu aplikasi maupun menggunakan bahan pelindung (Williams et
al. 2000; Samodra & Ibrahim 2006; Verhaar et al. 2004).
Menurut Leland (2001), ada beberapa strategi untuk melindungi biopestisida
yang mengandung mikroorganisme dari pengaruh degradasi sinar UV, yaitu; (1)
penggunaan bahan pelindung (UV protectant) yang dapat terlarut dalam minyak, (2)
penggunaan emulsi antara minyak dan air, (3) penggunaan suspensi penyerap, dan (4)
metode enkapsulasi. Ganga-Visalakshy et al. (2005) melaporkan bahwa minyak
nabati mampu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan V. lecanii sehingga
keefektifan cendawan menjadi meningkat. Hasil penelitian Silva et al. (2006)
menunjukkan bahwa minyak nabati yang berasal dari biji sayuran mampu
meningkatkan perkecambahan konidia cendawan Paecilomyces fumosoroseus,
88
Metarhizium anisopliae, dan Beauveria bassiana (Deuteromycotina: Hyphomycetes)
hampir mencapai 100% dalam waktu yang relatif lebih singkat. Hasil Penelitian
Prayogo (2004) menunjukkan bahwa beberapa jenis cendawan yang disebut di atas
dapat digunakan sebagai agens hayati untuk mengendalikan hama pengisap polong
kedelai Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: Alydidae). Menurut Arifin dan Tengkano
(2008), R. linearis merupakan salah satu kendala utama dalam peningkatan produksi
kedelai. Kajian penambahan minyak nabati untuk mempertahankan keefektifan L.
lecanii sebagai satu teknologi pengendalian R. linearis di Indonesia belum pernah
dilaporkan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh penambahan minyak
nabati dalam mempertahankan keefektifan L. lecanii untuk mengendalikan telur
Riptortus linearis.
Bahan dan Metode
Penelitian dilakukan di rumah kasa Balai Penelitian Tanaman Kacang-
kacangan dan Umbi-umbian (BALITKABI) Malang yang dimulai dari bulan Maret
sampai dengan Agustus 2008. Rancangan percobaan yang digunakan adalah acak
lengkap (RAL) dan disusun secara faktorial. Faktor pertama adalah jenis minyak
nabati, yaitu; (1) kacang tanah, (2) kedelai, dan (3) kelapa. Sedangkan faktor kedua
adalah konsentrasi minyak nabati, yaitu; (1) 2 ml/l, (2) 5 ml/l, (3) 10 ml/l, dan (4)
tanpa minyak (hanya L. lecanii). Setiap perlakuan diulang empat kali.
Uji In Vitro Pertumbuhan dan Perkembangan L. lecanii pada Media Minyak Nabati Masing-masing jenis minyak nabati sesuai konsentrasi (0, 2, 5, dan 10 ml/l)
ditambahkan pada media WA (water agar) kemudian disterilisasi di dalam autoclave
selama 15 menit pada suhu 121 oC. Media WA kemudian dituang ke dalam cawan
Petri 10 ml per cawan. L. lecanii yang digunakan pada penelitian ini adalah isolat Ll-
JTM11, sebelumnya isolat tersebut ditumbuhkan pada media PDA. Pada umur 14
89
hari setelah inokulasi (HSI), biakan L. lecanii dilubangi dengan bor yang berdiameter
1 cm kemudian diinokulasikan pada media yang mengandung minyak nabati sebagai
perlakuan. Pada perlakuan kontrol, L. lecanii hanya ditumbuhkan pada media WA.
Variabel yang diamati adalah; (1) diameter koloni yang diukur setiap 24 jam setelah
inokulasi sampai dengan umur 21 HSI dengan cara mengukur jari-jari koloni, (2)
jumlah konidia yang diproduksi setiap 1 g biakan cendawan yang dicampur dengan
air 100 ml kemudian dikocok menggunakan vortex selama 60 detik selanjutnya
dihitung menggunakan haemocytometer, dan (3) daya kecambah konidia yang sudah
diinkubasi di dalam air selama 12 jam. Pengamatan pada semua variabel dilakukan
dengan mikroskup optik merk Zeiss tipe 47.30159901 (German).
Uji Persistensi L. lecanii di Pertanaman Kedelai Penanaman Kedelai
Kedelai varietas Wilis ditanam di dalam kantong plastik yang berisi tanah
sebanyak 5 Kg. Setiap kantong plastik berisi dua tanaman yang dipelihara
(pemupukan, pengairan, dan penyiangan) sesuai dengan rekomendasi bertanam
kedelai. Tanaman ditempatkan di rumah kasa BALITKABI. Tanaman dibebaskan
dari aplikasi insektisida kimia untuk menghindari pengaruh negatif terhadap L.
lecanii yang akan diaplikasikan.
Perbanyakan dan Aplikasi L. lecanii
Cendawan L. lecanii yang digunakan adalah isolat Ll-JTM11 yang
ditumbuhkan pada media PDA di dalam cawan Petri dengan diameter 9 cm. Pada
umur 21 HSI, biakan cendawan ditambah air 10 ml kemudian koloni dikerok
menggunakan kuas halus untuk diambil konidianya. Suspensi konidia dikocok
menggunakan vortex selama 60 detik kemudian dihitung kerapatan konidianya hingga
memperoleh konsentrasi 108/ml. Suspeni konidia dimasukkan ke dalam labu
Erlenmeyer 250 ml kemudian ditambah dengan minyak nabati sesuai dengan
90
masing-masing perlakuan. Suspensi konidia di dalam labu Erlenmeyer kemudian
dikocok menggunakan shaker selama 30 menit dengan harapan suspensi konidia
dapat bercampur homogen dengan minyak nabati. Suspensi konidia yang terbentuk
diaplikasikan pada seluruh permukaan daun kedelai. Aplikasi dilakukan pada pagi
hari pukul 07.00 WIB di permukaan bagian atas daun yang terpapar pada sinar
matahari secara langsung. Aplikasi dilakukan dengan cara disemprotkan dengan dosis
2 ml per tanaman. Suhu dan kelembaban di sekitar tanaman diukur menggunakan
Thermohygrograph merk Lambercht (Gottingen) selama penelitian berlangsung.
Isolasi Ulang L. lecanii dari Daun Kedelai
Isolasi ulang dari daun kedelai yang sudah diaplikasi L. lecanii dilakukan
setiap hari untuk mengetahui tingkat persistensi cendawan setelah penambahan
minyak nabati. Daun kedelai yang sudah diaplikasi suspensi konidia L. lecanii dipetik
setiap hari, pengambilan daun dilakukan pada bagian atas dengan harapan yang
memperoleh sinar matahari secara penuh. Tiap perlakuan diambil 1 g kemudian
ditambah air 9 ml dan digerus di dalam mortar hingga halus. Hasil gerusan daun
dikocok menggunakan vortex selama 60 detik kemudian diambil 1 ml dengan
mikropipet dan dimasukkan ke dalam cawan Petri. Media PDA sebanyak 9 ml
ditambahkan ke dalam cawan Petri dan dicampur hingga homogen. Setelah tiga hari
dilakukan pengamatan jumlah koloni L. lecanii yang tumbuh. Pengambilan contoh
daun dihentikan apabila sudah tidak ditemukan adanya koloni L. lecanii yang tumbuh
pada media di masing-masing perlakuan.
Pengaruh Penambahan Minyak Nabati untuk Mempertahankan Keefektifan L. lecanii dalam Mengendalikan Telur R. linearis
Penanaman Kedelai
Penanaman kedelai dilakukan seperti pada kegiatan uji persistensi L. lecanii.
Pada awal pertumbuhan tanaman dipertahankan agar tidak diserang hama. Aplikasi
91
insektisida kimia diperlukan apabila tanaman diserang hama, tetapi aplikasi
dihentikan tujuh hari sebelum perlakuan untuk menghindari pengaruh negatif
terhadap L. lecanii yang akan diaplikasikan.
Infestasi Telur R. linearis pada Tanaman Kedelai
Telur R. linearis diperoleh dengan cara pembiakkan imago di laboratorium.
Imago dipelihara di dalam sangkar dan setiap hari diberi pakan kacang panjang yang
sudah membentuk polong. Setiap dua hari, pakan diganti dengan kacang panjang
yang masih segar. Pada bagian dinding sangkar diselipkan benang-benang dengan
tujuan sebagai tempat untuk peletakan telur oleh imago. Pada umur 35 HST, tanaman
kedelai diinfestasi telur R. linearis yang berumur kurang satu hari atau yang baru
diletakkan imago. Jumlah telur R. linearis yang diinfestasi adalah 25 butir per
tanaman yang ditempelkan menggunakan gom arab pada satu helai daun permukaan
bagian atas dengan harapan terpapar pada sinar matahari (Gambar 19).
Gambar 19 Telur R. linearis berumur kurang satu hari yang diinfestasikan di
permukaan daun kedelai pada umur 35 hari setelah tanam (HST).
92
Aplikasi L. lecanii
Cendawan L. lecanii yang digunakan adalah isolat Ll-JTM11, sebelumnya
ditumbuhkan pada media PDA di dalam cawan Petri berdiameter 9 cm. Pada umur
21 HSI, biakan cendawan ditambah 10 ml air kemudian konidia dikerok dengan kuas
halus. Konidia dicampur dengan air dan dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer
kemudian dikocok dengan vortex selama 60 detik dan dihitung hingga memperoleh
kerapatan konidia 108/ml. Suspensi konidia dicampur dengan minyak nabati sesuai
dengan konsentrasi pada masing-masing perlakuan. Suspensi konidia dikocok
menggunakan shaker selama 30 menit kemudian diaplikasikan pada telur yang sudah
diinfestasi di permukaan daun kedelai. Aplikasi suspensi konidia dengan dosis 2 ml
per tanaman yang disemprotkan pada permukaan daun dengan harapan mengenai
seluruh permukaan telur. Tanaman selanjutnya disungkup menggunakan sangkar
kawat dan ditutup dengan kain trikot yang tembus sinar matahari (Gambar 20).
Gambar 20 Tanaman kedelai yang disungkup kain kasa setelah diinfestasi telur R.
linearis yang berumur kurang satu hari dan diaplikasi dengan suspensi konidia L. lecanii yang ditambah dengan minyak nabati.
93
Variabel yang diamati adalah; (1) jumlah telur yang tidak menetas setelah
terinfeksi L. lecanii, (2) jumlah nimfa II yang mampu bertahan hidup menjadi imago,
(3) jumlah tusukan pada biji kedelai akibat tusukan stilet R. linearis yang diambil
secara acak dari 20 biji kemudian direndam ke dalam larutan asam fushin 0.25%, (4)
jumlah polong hampa dan polong isi yang terbentuk per tanaman, dan (5) berat kering
biji per tanaman. Pengamatan perkecambahan konidia L. lecanii setelah penambahan
minyak nabati pada korion telur R. linearis menggunakan mikroskup elektron, merk
JEOL (JAPAN) tipe JSM-5310LV.
Analisis Data
Semua data yang diperoleh dianalisis menggunakan program MINITAB 14.
Apabila terdapat perbedaan di antara perlakuan maka dilanjutkan dengan uji jarak
berganda (Duncan’s Multiple Range Test) pada taraf nyata α = 0.05.
Hasil dan Pembahasan
Pengaruh Penambahan Minyak Nabati terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan L. lecanii Diameter Koloni L. lecanii
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis dan konsentrasi minyak nabati yang
diuji mampu meningkatkan pertumbuhan L. lecanii (Tabel 7). Semakin tinggi
konsentrasi minyak nabati semakin bertambah lebar diameter koloni L. lecanii yang
terbentuk. Pada umur 48 jam setelah inokulasi (JSI), rata-rata diameter koloni sudah
mencapai di atas 20 mm. Diameter koloni terlebar terjadi pada perlakuan minyak
kacang tanah dengan konsentrasi 10 ml, yaitu hingga mencapai 27.2 mm. Pada
konsentrasi 10 ml/l pada minyak kedelai juga menghasilkan diameter koloni L.
lecanii lebih lebar dibanding dengan konsentrasi di bawahnya. Diameter koloni
tersebut mencapai 27 mm dan tidak berbeda nyata dengan diameter koloni pada
94
perlakuan minyak kacang tanah dengan konsentrasi 10 ml. Sedangkan diameter
koloni terendah terjadi pada perlakuan minyak kelapa dengan konsentrasi 2 ml/l,
yaitu hanya 22.7 mm.
Tabel 7 Rata-rata diameter koloni L. lecanii pada media yang mengandung berbagai
jenis minyak nabati
Rata-rata diameter koloni L. lecanii pada ke ..n JSI (mm) ± SD* Jenis minyak nabati
Konsentrasi (ml/l) 48 72 90 120
Kacang Tanah
0
18.2 ± 1.9 e
21.9 ± 2.4 d
22.5 ± 2.1 d
24.7 ± 2.1 f
2 24.7 ± 1.1 c 32.8 ± 3.1 c 54.3 ± 1.3 bc 82.0 ± 3.4 b 5 25.5 ± 2.8 bc 32.9 ± 3.1 c 54.5 ± 2.2 bc 83.4 ± 1.6 a 10 27.2 ± 1.6 a 36.6 ± 2.3 a 64.4 ± 2.1 a 83.9 ± 2.2 a Kedelai
0
18.1 ± 1.9 e
21.8 ± 0.6 d
22.3 ± 1.2 d
24.1 ± 2.4 f
2 25.3 ± 1.7 bc 34.5 ± 1.0 b 50.9 ± 2.4 c 81.0 ± 1.5 c 5 25.8 ± 3.0 b 34.8 ± 0.9 b 50.7 ± 1.3 c 82.0 ± 1.6 b 10 27.0 ± 1.9 a 36.6 ± 1.3 a 59.6 ± 1.7 ab 82.2 ± 1.2 b Kelapa
0
18.3 ± 2.4 e
21.2 ± 2.1 d
22.7 ± 2.9 d
24.9 ± 1.9 f
2 22.7 ± 3.0 d 32.3 ± 1.5 c 50.8 ± 2.2 c 68.0 ± 0.6 e 5 25.0 ± 0.9 bc 32.8 ± 1.3 c 50.7 ± 1.7 c 79.1 ± 1.3 d 10 25.8 ± 1.4 b 34.3 ± 2.1 b 57.4 ± 1.0 abc 79.1 ± 1.2 d
DMRT (0.05) 0.9 0.8 6.8 0.7 KK (%) 2.0 1.3 7.1 2.5 * Keterangan: JSI (jam setelah inokulasi). Rata-rata selajur yang diikuti oleh huruf
yang sama tidak berbeda nyata (uji DMRT, α = 0.05).
Pada umur 72 JSI, diameter koloni bertambah lebar dari masing-masing
perlakuan terutama pada perlakuan minyak kacang tanah dan kedelai pada
konsentrasi 10 ml, yaitu di atas 36 mm kecuali perlakuan minyak kelapa.
Pertambahan diamater koloni terus terjadi seiring bertambahnya umur. Pada umur
120 JSI, koloni pada perlakuan media minyak kacang tanah tetap menunjukkan
diameter lebih lebar dibandingkan kedua jenis minyak yang diuji. Perlakuan minyak
kacang tanah pada konsentrasi 5 dan 10 ml/l mengindikasikan diameter koloni
terlebar, yaitu di atas 83 mm. Diameter koloni terlebar diikuti oleh perlakuan minyak
kedelai dengan konsentrasi 10 dan 5 ml/l berturut-turut 82.2 mm dan 82 mm.
Perlakuan minyak kelapa mulai konsentrasi 2-10 ml/l mengindikasikan pertumbuhan
95
diameter koloni lebih rendah dibandingkan dengan minyak kacang tanah maupun
kedelai pada konsentrasi yang sama.
Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa penambahan minyak kacang tanah
dan kedelai pada media biakan dapat meningkatkan pertumbuhan koloni L. lecanii
terutama jika menggunakan konsentrasi 10 ml/l. Hal ini diduga karena kandungan
asam lemak tidak jenuh yang terdapat pada kedua jenis minyak nabati tersebut lebih
tinggi dibandingkan minyak kelapa. Asam lemak tidak jenuh yang terkandung pada
minyak kacang tanah dan kedelai masing-masing 82% dan 80%, sedangkan minyak
kelapa hanya 10% (Adsule et al. 1989; Mercola 2008; Luthana 2008). Namun,
minyak kelapa memiliki kandungan asam lemak jenuh yang tinggi hingga mencapai
90%. Asam lemak jenuh yang tinggi mengakibatkan minyak menjadi lebih stabil
sehingga sulit terhidrolisis (Luthana 2008). Asam lemak merupakan sumber nitrogen
yang baik bagi pertumbuhan mikrob. Perombakan asam lemak biasanya dilakukan
oleh enzim lipase dari cendawan entomopatogen (Kerwin 1984; Kerwin & Washino
1986a & 1986b). Tahapan perombakan ini dimulai dengan dekomposisi gliserida
menjadi gliserol dan asam lemak. Perombakan gliserol dapat menghasilkan lebih
kurang 20 macam senyawa yang termasuk golongan aldehida, asam organik, dan
senyawa lainnya (Ketaren 2005). Baik gliserol maupun asam lemak merupakan
sumber energi yang baik bagi mikrob untuk pertumbuhan maupun perkembangan.
Jumlah Konidia L. lecanii
Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi dan jenis minyak nabati
selain berpengaruh terhadap pertumbuhan juga berpengaruh pada perkembangan L.
lecanii. Hal ini tampak dari jumlah konidia yang terbentuk lebih banyak pada
masing-masing konsentrasi dan masing-masing jenis minyak nabati jika
dibandingkan dengan kontrol (tanpa minyak). Penambahan minyak kacang tanah
dengan konsentrasi 10 ml/l mampu memproduksi konidia terbanyak, yaitu hingga
mencapai 10.6 x 107/ml (Gambar 21). Pada konsentrasi 10 ml minyak kedelai dan
minyak kelapa tidak berbeda nyata dengan perlakuan minyak kacang tanah meskipun
96
jumlah konidia yang dihasilkan pada kedua jenis minyak nabati tersebut cenderung
lebih sedikit. Hasil ini mengindikasikan bahwa kedua jenis minyak nabati tersebut
pada konsentrasi 10 ml/l mempunyai peluang yang sama dengan minyak kacang
tanah.
0
2
4
6
8
10
12
14
KT2 KT5 KT10 KD2 KD5 KD10 KP2 KP5 KP10 Kontrol
Jenis dan konsentrasi minyak nabati
Jum
lah
koni
dia
L. l
ecan
ii (x
107 /m
l)
Gambar 21 Rata-rata jumlah konidia L. lecanii yang diproduksi pada media yang
mengandung minyak nabati. KT2 (Kacang Tanah 2 ml/l), KT5 (Kacang Tanah 5 ml/l), KT10 (Kacang Tanah 10 ml/l), KD2 (Kedelai 2 ml/l), KD5 (Kedelai 5 ml/l), KD10 (Kedelai 10 ml/l), KP2 (Kelapa 2 ml/l), KP5 (Kelapa 5 ml/l), dan KP10 (Kelapa 10 ml/l).
Pada konsentrasi 2 dan 5 ml/l masih memungkinkan untuk digunakan sebagai
bahan pelindung untuk aplikasi L. lecanii di lapangan meskipun kontribusinya tidak
sebesar jika dibandingkan pada konsentrasi 10 ml/l. Hal ini ditunjukkan dari jumlah
konidia yang diproduksi dari hasil penelitian ini di atas 1 x 107/ml. Jumlah konidia
tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan L. lecanii yang hanya ditumbuhkan pada
media WA, yaitu hanya 0.1 x 107 konidia/ml. Hasil penelitian ini mengindikasikan
2.7 cd
4.5 c
10.6 a
1.4 d 2.6 cd
8.8 ab
1.0 d
2.5 cd
8.1 ab
0.1 e
97
bahwa penambahan minyak nabati selain mampu melindungi konidia dari faktor
abiotik, khususnya sinar matahari ternyata berfungsi lain yaitu sebagai sumber energi
yang baik untuk pembentukan konidia.
Penambahan minyak ke dalam media tumbuh akan meningkatkan kandungan
nutrisi pada media tersebut. Nutrisi yang optimal pada media tumbuh akan
meningkatkan kuantitas maupun kualitas konidia yang diproduksi (Jakson 1997;
Magan 2001). Kualitas konidia yang baik akan meningkatkan virulensi cendawan
tersebut dalam membunuh serangga inang (Amiri-Besheli et al. 1999; Amiri-Besheli
et al. 2000). Semakin banyak jumlah konidia yang diproduksi semakin efektif
cendawan tersebut sebagai agens hayati dalam proses diseminasi sehingga epizooti
cepat terjadi (Vega et al. 2000). Hal ini disebabkan konidia merupakan organ infektif
yang digunakan untuk membunuh inang (Vandenberg et al. 1998). Selain itu, konidia
merupakan organ penyebaran patogen ke serangga inang baru.
Daya Kecambah Konidia L. lecanii
Daya kecambah konidia dapat digunakan sebagai tolok ukur potensi dari
cendawan entomopatogen sebagai agens hayati. Semakin tinggi daya kecambah
konidia dalam waktu yang singkat, semakin besar peluang konidia akan menginfeksi
serangga inang apabila faktor lingkungan sangat mendukung. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penambahan minyak nabati ke dalam media tumbuh
mempengaruhi daya kecambah konidia L. lecanii. Daya kecambah terbanyak terjadi
pada perlakuan media minyak kacang tanah dan minyak kedelai pada konsentrasi 10
ml/l, yaitu masing-masing 97.3% dan 97.2% meskipun kedua perlakuan tersebut
tidak berbeda nyata dengan daya kecambah pada perlakuan lainnya (Gambar 22).
Perlakuan media yang mengandung minyak kacang tanah cenderung menghasilkan
daya kecambah konidia lebih tinggi dibandingkan dengan jenis minyak lainnya,
kecuali pada konsentrasi 2 ml/l. Sementara itu, perlakuan media yang mengandung
minyak kelapa menunjukkan daya kecambah cenderung lebih rendah dibandingkan
98
dengan minyak kacang tanah maupun minyak kedelai meskipun tidak berbeda nyata
di antara perlakuan tersebut.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
KT2 KT5 KT10 KD2 KD5 KD10 KP2 KP5 KP10 Kontrol
Jenis dan konsentrasi minyak nabati
Day
a ke
cam
bah
koni
dia
L. le
cani
i (%
)
Gambar 22 Rata-rata jumlah konidia L. lecanii yang berkecambah setelah diinkubasi
selama 12 jam di dalam air. KT2 (Kacang Tanah 2 ml/l), KT5 (Kacang Tanah 5 ml/l), KT10 (Kacang Tanah 10 ml/l), KD2 (Kedelai 2 ml/l), KD5 (Kedelai 5 ml/l), KD10 (Kedelai 10 ml/l), KP2 (Kelapa 2 ml/l), KP5 (Kelapa 5 ml/l), dan KP10 (Kelapa 10 ml/l).
Daya kecambah konidia pada kontrol (L. lecanii) rata-rata di atas 95%. Pada
perlakuan tersebut tidak berbeda nyata dengan perlakuan lainnya, dengan kata lain
konidia tersebut memiliki kemampuan berkecambah yang cukup tinggi. Namun
demikian, apabila diaplikasikan di lapangan belum menjamin daya kecambah yang
sebesar itu dapat berhasil menginfeksi inang. Hal ini disebabkan suspensi konidia
belum dibekali dengan bahan pelindung sehingga masih memungkinkan terjadi
dehidrasi akibat cekaman abiotik. Isolat yang digunakan pada penelitian ini adalah
Ll-JTM11, yang memiliki kriteria virulensi tertinggi di antara isolat lainnya. Dengan
demikian, secara fisiologis isolat tersebut memang memiliki karakter yang lebih baik
dibandingkan isolat lainnya. Menurut Altre et al. (1999) ada korelasi antara tingkat
96.3ab 97.0ab 97.3a 97.0ab 97.0ab 97.2a 96.4ab 96.3ab 97.0ab 96.0ab
99
kecepatan kecambah konidia terhadap infektivitas cendawan dalam membunuh larva
ulat kubis Plutella xylostella (Lepidoptera: Yponomeutidae).
Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa semua jenis minyak nabati pada
semua konsentrasi menunjukkan daya kecambah di atas 95% setelah konidia
diinkubasi di dalam air selama 12 jam. Kandungan nutrisi yang terdapat di dalam
minyak menyebabkan kualitas media semakin baik sehingga konidia yang dihasilkan
memiliki figor yang baik pula. Hal serupa juga dilaporkan oleh Ibrahim et al. (1999),
daya kecambah konidia cendawan Metarhizium anisopliae (Deuteromycotina:
Hyphomycetes) meningkat lebih tinggi jika diformulasikan dengan minyak. Magan
(2001) mengindikasikan bahwa perkecambahan konidia M. anisopliae dan
Paecilomyces fumosoroseus (Deuteromycotina: Hyphomycetes) lebih tinggi pada
media yang dimodifikasi dengan penambahan gliserol dibandingkan dengan kontrol.
Lebih lanjut dilaporkan, bahwa tingkat perkecambahan konidia meningkat hingga
mencapai 92% sedangkan tanpa gliserol hanya 47% setelah diinkubasi selama 14
jam.
Minyak tersusun dari trigliserida, gliserol, dan senyawa asam lemak yang di
dalamnya banyak mengandung sumber karbon dan nitrogen. Karbon merupakan
sumber utama untuk pembentukan konidia dan perkecambahan (Hallsworth & Magan
1994a & 1994b; Hallsworth & Magan 1995; Barbosa et al. 2002). Menurut Smith dan
Grula (1982), tingkat perkecambahan konidia dipacu oleh adanya senyawa asam
lemak tidak jenuh, terutama asam linoleat. Kandungan asam linoleat yang terdapat
pada minyak kacang tanah, kedelai, dan kelapa berturut-turut 21.8%, 12%, dan 2.5%
(Christie 2002; Ketaren 2005). Sementara itu, gliserol dapat digunakan sebagai salah
satu sumber energi bagi pertumbuhan dan perkembangan konidia yang mengalami
cekaman lingkungan terutama pada daerah kering (Pascual et al. 1998). Hal ini
disebabkan gliserol tersusun dari gula dan karbohidrat (Sutanto 2008). Selain itu,
gliserol mampu mempertahankan kelembaban konidia karena mampu mengabsorpsi
sinar matahari yang mendera sehingga konidia terlindung dari kekeringan
(Hallsworth & Magan 1995).
100
Pengaruh Penambahan Minyak Nabati terhadap Persistensi Konidia L. lecanii di Pertanaman Kedelai Jumlah Koloni L. lecanii Persistensi konidia cendawan di pertanaman diuji untuk mengetahui tingkat
eksistensi konidia di pertanaman kedelai akibat pengaruh sinar matahari. Dengan
diketahuinya persistensi konidia maka frekuensi aplikasi dapat ditetapkan sehingga
pengendalian menjadi lebih efektif dan efisien. Pengamatan dilakukan dengan cara
menghitung jumlah koloni L. lecanii yang tumbuh setelah diisolasi ulang dari daun
yang sudah diaplikasi dengan suspensi konidia berdasarkan waktu yang sudah
ditetapkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konidia L. lecanii di pertanaman
kedelai mampu bertahan lebih lama dengan penambahan minyak nabati (Tabel 8).
Sementara itu, tanpa penambahan minyak nabati mengakibatkan cendawan di
tanaman hanya mampu bertahan satu hari saja dengan persentase yang sangat rendah.
Pada 1 HSA, persistensi L. lecanii tertinggi terjadi pada perlakuan dengan
penambahan minyak kedelai pada konsentrasi 10 ml/l (135.7 koloni). Penambahan
minyak kedelai dengan konsentrasi 5 ml/l pada hari pertama, persistensi cendawan di
tanaman masih tinggi karena setara dengan konsentrasi 10 ml/l, yaitu 111.7 koloni.
Jumlah koloni terbanyak hingga mencapai 119.3 yang terjadi pada perlakuan minyak
kacang tanah dengan konsentrasi yang sama. Perlakuan minyak kelapa pada
konsentrasi 10 ml/l juga mampu mempertahankan persistensi L. lecanii yang setara
dengan penambahan minyak kedelai maupun kacang tanah pada konsentrasi yang
sama. Sedangkan persistensi L. lecanii yang terendah pada hari pertama terjadi pada
perlakuan minyak kelapa pada konsentrasi 2 ml/l (76 koloni). Pada konsentrasi 2 ml/l,
peran minyak nabati terhadap persistensi cendawan sangat lemah jika dibandingkan
dengan konsentrasi yang lebih tinggi.
Pada 2 HSA, jumlah L. lecanii terbanyak mencapai 74.3 koloni yang terjadi
pada perlakuan minyak kacang tanah 10 ml/l. Jumlah koloni tersebut tidak berbeda
nyata dengan perlakuan penambahan minyak kedelai dan kelapa pada konsentrasi 5
maupun 10 ml/l. Sementara itu, tanpa penambahan minyak nabati (hanya L. lecanii)
101
sudah tidak ditemukan konidia yang mampu tumbuh. Dengan kata lain bahwa L.
lecanii tidak mampu bertahan lebih dari satu hari tanpa bahan pelindung. Pada
pemaparan lebih lanjut, meskipun persistensi L. lecanii di pertanaman semakin
menurun namun penambahan minyak nabati masih menguntungkan. Akan tetapi
penambahan konsentrasi 2 ml/l minyak kacang tanah dan kelapa nampaknya kurang
menguntungkan karena pada 4 HSA perlakuan tersebut sudah tidak mampu
melindungi konidia di lapangan.
Tabel 8 Jumlah koloni L. lecanii yang tumbuh pada media PDA setelah konidia
dipaparkan pada permukaan daun kedelai dengan penambahan minyak nabati
Jumlah koloni L. lecanii yang tumbuh setelah dipaparkan di pertanaman kedelai
pada ke..n (HSA)*
Perlakuan 0 1 2 3 4 5 6 7
KT0 315.0 a 21.2 e 1.0 e 0.0 de 0.0 e 0.0 d 0.0 c 0.0 c
KT2 315.0 a 90.7 bcd 35.3 d 19.7 cd 0.0 e 0.0 d 0.0 c 0.0 c
KT5 314.0 a 104.0 bcd 41.0 cd 28.0 bc 14.7 cd 0.0 d 0.0 c 0.0 c
KT10 315.0 a 119.3 ab 74.3 a 56.7 a 43.0 b 41.0 b 37.0 a 15.0 a
KD0 316.0 a 26.0 e 0.0 e 0.0 de 0.0 e 0.0 d 0.0 c 0.0 c
KD2 315.0 a 80.3 cd 31.3 d 20.3 cd 8.0 d 3.0 d 0.0 c 0.0 c
KD5 317.0 a 111.7 abc 67.7 ab 39.0 b 16.0 c 5.7 d 0.0 c 0.0 c
KD10 316.0 a 135.7 a 67.7 ab 64.7 a 57.3 a 53.0 a 44.0 a 18.0 a
KP0 316.0 a 25.0 e 0.0 e 0.0 de 0.0 e 0.0 d 0.0 c 0.0 c
KP2 314.0 a 76.0 d 54.7 bc 10.7 d 0.0 e 0.0 d 0.0 c 0.0 c
KP5 316.0 a 98.7 bcd 63.7 ab 37.3 b 11.0 cd 0.0 d 0.0 c 0.0 c
KP10 315.0 a 106.0 abcd 65.7 ab 54.0 a 41.7 b 29.3 c 15.0 b 8.0 b
DMRT (0.05) 5.8 28.6 13.7 14.7 6.9 11.0 19.2 7.5
KK (%) 0.3 16.1 14.4 23.7 18.9 23.5 30.6 29.7
* Data ditransformasi ke arc sin √x sebelum uji sidik ragam. Rerata selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji DMRT, α = 0.05). HSA (Hari setelah aplikasi). KT2 (Kacang Tanah 2 ml/l), KT5 (Kacang Tanah 5 ml/l), KT10 (Kacang Tanah 10 ml/l), KD2 (Kedelai 2 ml/l), KD5 (Kedelai 5 ml/l), KD10 (Kedelai 10 ml/l), KP2 (Kelapa 2 ml/l), KP5 (Kelapa 5 ml/l), dan KP10 (10 ml/l).
102
Daya tahan konidia L. lecanii hingga 5 HSA semakin rendah, koloni L.
lecanii hanya ditemukan pada penambahan minyak dengan konsentrasi 10 ml/l.
Meskipun penambahan minyak kedelai pada konsentrasi 2 dan 5 ml masih
ditemukan koloni yang tumbuh namun jumlahnya sangat rendah dan tidak berbeda
nyata dengan perlakuan kontrol. Dengan bertambahnya hari, jumlah koloni yang
tumbuh semakin menurun bahkan setelah lima hari hanya pada konsentrasi 10 ml/l
saja yang mampu melindungi konidia di pertanaman. Pada konsentrasi 10 ml/l,
minyak kacang tanah dan kedelai lebih baik dalam mempertahankan persistensi L.
lecanii di pertanaman dibandingkan dengan minyak kelapa.
Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa penambahan minyak nabati
kacang tanah, kedelai, dan kelapa dengan konsentrasi 10 ml/l menambah daya
persistensi konidia L. lecanii di pertanaman kedelai hingga tujuh hari. Oleh karena
itu, aplikasi berikutnya dianjurkan setelah tujuh hari. Sementara itu, stadia telur R.
linearis berlangsung selama tujuh hari baru akan menetas membentuk nimfa I.
Namun, aplikasi secara berulang-ulang tidak menunggu sampai hingga tujuh hari juga
diperlukan apabila populasi serangga hama yang ada di lapangan sangat tinggi
dengan struktur populasi yang tumpang tindih. Dengan demikian, kinerja cendawan
entomopatogen tersebut dapat optimal sehingga keampuhannya diharapkan mampu
setara dengan insektisida kimia.
Widayat dan Rayati (1993) menganjurkan aplikasi cendawan P. fumosoroseus
sebanyak tiga kali secara berturut-turut selama tiga hari untuk menekan populasi
hama ulat jengkal Ectropis bhurmitra (Lepidoptera: Geometridae). Hal ini
disebabkan struktur populasi serangga kurang seragam dan larva yang diaplikasi
banyak yang mengalami ganti kulit. Selain itu, persistensi cendawan sangat rendah
karena tidak mampu bertahan lama akibat tanpa memakai bahan pelindung. Meskipun
penambahan minyak nabati dengan konsentrasi tinggi semakin efektif dalam
mempertahankan persistensi konidia di pertanaman, namun perlu diuji lebih lanjut
batasan maksimal konsentrasi yang dibutuhkan. Hal ini dikawatirkan dengan
konsentrasi yang lebih tinggi akan meninggalkan residu yang berdampak buruk
seperti fitotoksisitas terhadap organ tanaman, meskipun dampak negatif aplikasi
103
minyak nabati terhadap tanaman belum dilaporkan (Bateman et al. 1993; Burges
1998; Inyang et al. 2000).
Pengaruh Penambahan Minyak Nabati terhadap Keefektifan Cendawan L. lecanii dalam Mengendalikan Telur R. linearis Jumlah Telur R. linearis yang Menetas
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah telur R. linearis yang mampu
menetas dipengaruhi oleh jenis maupun konsentrasi minyak nabati yang digunakan
sebagai bahan pelindung. Semakin tinggi konsentrasi minyak nabati mengakibatkan
semakin sedikit jumlah telur yang menetas, sehingga semakin efektif dalam
mempertahankan keefektifan cendawan. Pada konsentrasi yang terendah yaitu 2 ml/l,
semua perlakuan menunjukkan persentase telur yang menetas lebih banyak jika
dibandingkan dengan konsentrasi 5 maupun 10 ml/l. Jumlah telur yang menetas
terbanyak hingga mencapai 28.7% yang terjadi pada konsentrasi 2 ml/l dengan
penambahan minyak kelapa (Tabel 9). Namun perlakuan tersebut tidak berbeda nyata
dengan minyak kedelai maupun minyak kacang tanah pada konsentrasi yang sama.
Tabel 9 Persentase telur R. linearis yang menetas setelah terinfeksi L. lecanii dengan
penambahan minyak nabati
Konsentrasi minyak nabati (ml/l) Jenis minyak nabati 0 (kontrol) 2 5 10
Rata-rata persentase telur R. linearis yang menetas (%) Kacang Tanah
63.0 ± 7.1 d
25.5 ± 3.8 ab
25.1 ± 4.5 ab
20.7 ± 4.4 c
Kedelai 61.7 ± 11.9 d 26.1 ± 6.9 ab 25.4 ± 5.2 ab 22.3 ± 6.5 bc Kelapa 64.7 ± 9.4 d 28.7 ± 9.4 a 25.1 ± 9.8 abc 23.3 ± 5.1 bc
KK (%) 8.9 DMRT (0.05) 4.2
* Rata-rata selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji DMRT, α = 0.05).
104
Pada konsentrasi 5 ml/l, jumlah telur yang menetas pada ketiga jenis minyak
nabati lebih rendah dibandingkan konsentrasi 2 ml/l. Sedangkan pada konsentrasi 10
ml jumlah telur yang menetas terendah terjadi pada perlakuan penambahan minyak
kacang tanah, yaitu hanya sekitar 20%. Sementara itu pada perlakuan kontrol (hanya
L. lecanii), jumlah telur yang menetas hingga mencapai 64%. Hal ini disebabkan
konidia yang diaplikasikan pada telur kurang memperoleh bahan pelindung sehingga
konidia banyak yang tidak mampu berkecambah, dengan demikian peluang konidia
untuk menginfeksi telur juga rendah. Minyak yang ditambahkan pada suspensi
konidia akan membentuk lapisan biofilm sehingga konidia terhindar dari cekaman
lingkungan khususnya sinar matahari yang mendera. Hal ini disebabkan sinar akan
diabsorpsi oleh lapisan biofilm pada konidia (Leland et al. 2001). Pengamatan secara
mikroskopis mengindikasikan bahwa suspensi konidia yang diaplikasikan pada telur
tanpa bahan pelindung minyak, jumlah konidia yang berkecambah hanya sedikit
setelah satu hari dipaparkan di alam terbuka (Gambar 23).
Gambar 23 Konidia L. lecanii yang berkecambah pada permukaan korion telur R.
linearis tanpa penambahan minyak nabati setelah satu hari aplikasi.
SEM MERK JEOL JAPAN TYPE JSM-5000 MAG X5.000
105
Jumlah telur menetas yang terendah terjadi pada perlakuan minyak kacang
tanah konsentrasi 10 ml/l. Hal ini diduga karena kandungan protein yang terdapat
pada minyak tersebut lebih tinggi dibandingkan minyak kedelai maupun kelapa
sehingga mempengaruhi daya emulsi antara suspensi konidia dengan minyak
tersebut. Biji kacang-kacangan memiliki kandungan protein yang lebih tinggi
dibandingkan minyak kelapa (Sutanto 2008). Di dalam protein pada minyak kacang-
kacangan terkandung senyawa lesitin dan kasein yang keduanya merupakan bahan
pengemulsi yang baik (Daniel 2004; Lawhon 2008). Semakin tinggi kandungan
protein pada minyak nabati maka semakin besar peluang konidia yang dapat
teremulsi dengan minyak. Dengan demikian, konidia yang dapat dilindungi oleh
minyak sebagai bahan pelindung semakin meningkat sehingga apabila konidia
terpapar di alam terbuka lebih toleran. Batta (2003) melaporkan bahwa minyak nabati
yang berasal dari kacang-kacangan, khususnya kedelai lebih baik daya emulsi dan
viskositasnya dibandingkan dengan minyak kelapa.
Menurut Bender (2005), di dalam minyak kacang tanah terkandung asam
lemak sekitar 46-52% dan protein 25-30%. Sementara itu, minyak kedelai dan kelapa
mengandung lemak masing-masing 19% dan 34%. Di dalam lemak (trigliserida),
setelah terhidrolisis akan menghasilkan 3 molekul asam lemak yang berantai panjang
dan 1 molekul gliserol. Gliserol merupakan salah satu senyawa yang mampu
mengabsorpsi sinar matahari yang mendera. Dengan demikian keadaan kelembaban
konidia dapat dipertahankan akibat penambahan gliserol, sehingga konidia menjadi
lebih cepat berkecambah dalam jumlah yang lebih banyak (Gambar 24).
Di dalam gliserol terkandung senyawa gula (Khomsan 2005; Sutanto 2008).
Hasil penelitian Shi et al. (2006) menunjukkan bahwa penambahan larutan gula 2%
akan meningkatkan pembentukan kecambah L. lecanii hingga 99% dalam waktu
singkat hanya 10 jam. Selain mempercepat waktu pembentukan tabung kecambah,
gliserol juga meningkatkan ukuran tabung kecambah yang terbentuk. Ukuran
kecambah cendawan Piptocephalis unispora mencapai 45 µm pada suspensi gliserol,
sedangkan pada air tanpa gliserol hanya 4 µm (Jeffries & Young 1994). Peningkatan
pembentukan kecambah akan mempercepat proses penetrasi dan infeksi pada
106
serangga inang sehingga epizooti patogen lebih cepat terjadi (Schreiter et al. 1994;
Vega et al. 2000; Hajek & Eastburn 2003).
Gambar 24 Konidia L. lecanii yang berkecambah dengan penambahan minyak
kacang tanah pada konsentrasi 10 ml/l.
Hasil penelitian ini mendukung William et al. (2000) yang menyatakan bahwa
bahan pelindung dari minyak nabati yang mengandung gliserol mampu
mempertahankan keefektifan cendawan V. lecanii dalam mengendalikan Myzus
persicae. Alavo et al. (2002) juga mengindikasikan bahwa bahan pelindung dari
minyak kacang-kacangan lebih baik dalam meningkatkan keefektifan V. lecanii untuk
mengendalikan aphid. Fenomena tersebut ditandai dengan jumlah anak yang
terbentuk menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan kontrol. Peranan gliserol
biasanya juga digunakan pada berbagai bahan utama sebagai pelindung yang sudah
diperdagangkan di pasar. Trigliserida dan asam lemak yang dikandung oleh minyak
dari kacang-kacangan merupakan sumber utama karbon dan nitrogen bagi
mikroorganisme yang memiliki perangkat enzim lipase. Karbon dan nitrogen
merupakan salah satu sumber nutrisi yang dibutuhkan bagi cendawan untuk
SEM MERK JEOL JAPAN TYPE JSM-500 MAG X1.000
107
memproduksi konidia dan meningkatkan virulensi (Sun & Liu 2006; Gao et al. 2006;
Adejoye et al. 2006).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa minyak kacang tanah lebih baik
dibandingkan minyak kedelai maupun minyak kelapa. Minyak dari biji kacang-
kacangan, khususnya kacang tanah banyak mengandung kasein selain lesitin yang
keduanya berfungsi dalam mempersatukan dua senyawa yang berbeda sifat
polaritasnya yaitu minyak (non-polar) dan air (polar). Semakin banyak kandungan
kasein maka semakin besar pula peluang konidia yang dapat terlapisi oleh senyawa
minyak. Kasein adalah asam amino yang dapat dirombak oleh mikroorganisme
sebagai sumber karbon dan energi (Lay 1994). Berbeda dengan yang dilaporkan
Ganga-Visalakshy et al. (2005), bahwa minyak dari bunga matahari dan minyak biji
mimba sangat efektif dalam mempertahankan keefektifan V. lecanii dibandingkan
dengan minyak kacang tanah maupun kelapa. Perbedaan yang terjadi diduga karena
varietas kacang tanah yang digunakan berbeda sehingga kandungan lemak yang
terdapat pada minyak tersebut juga berbeda. Menurut Branch et al. (1990), Bansal et
al. (1993), dan Young et al. (2007), kandungan minyak maupun asam lemak dari biji
kacang tanah sangat ditentukan oleh varietas, lokasi, musim tanam, dan kelembaban
tanah (sistem irigasi).
Jumlah Luka Akibat Tusukan Stilet R. linearis pada Biji Kedelai
Luka pada biji akibat tusukan stilet R. linearis merupakan indikasi bahwa
serangga masih hidup sehingga masih mampu mengeksploitasi sumber makanan
yaitu biji kedelai. Penambahan minyak nabati bertujuan untuk melindungi konidia
pada waktu aplikasi agar terhindar dari faktor abiotik sehingga proses penetrasi dan
infeksi cendawan berjalan dengan baik. Akibatnya telur R. linearis yang terinfeksi
cendawan menjadi lebih sedikit yang menetas sehingga peluang nimfa yang
berkembang menjadi dewasa juga terbatas. Dengan demikian, kerusakan pada biji
sebagai satu-satunya sumber pakan yang ada diharapkan dapat ditekan. Hasil sidik
ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi antara jenis dan konsentrasi
108
minyak nabati terhadap keefektifan L. lecanii dalam menekan jumlah luka akibat
tusukan stilet R. linearis pada tiap biji. Namun jenis minyak dan konsentrasi yang
diaplikasikan berpengaruh nyata terhadap kerusakan biji akibat R. linearis.
Penambahan minyak kacang tanah mampu menekan jumlah luka pada biji
sebesar 53.9% jika dibandingkan dengan tanpa penggunaan minyak (Gambar 25).
Sedangkan perlakuan minyak kedelai dan minyak kelapa tidak berbeda nyata dalam
menekan jumlah luka pada biji, yaitu masing-masing 38.6% dan 38.4%. Pada
perlakuan tanpa penambahan minyak nabati (hanya V. lecanii), jumlah luka pada tiap
biji mencapai 16.2 tusukan. Jumlah luka pada tiap biji pada perlakuan minyak kacang
tanah dari hasil penelitian ini lebih banyak dibandingkan dengan uji pendahuluan
yang dilakukan Prayogo (2006), yaitu hanya 3.3 tusukan. Perbedaan jumlah luka
tersebut diduga karena perbedaan suhu yang terlihat jelas pada kedua musim tersebut
(Lampiran 1 - 6). Pada tahun 2006, rata-rata suhu terendah 17.7 oC dan tertinggi
mencapai 30.4 oC, sedangkan pada tahun 2008 suhu terendah 19.6 oC dan tertinggi
mencapai 32 oC. Selain itu, kelembaban pada kedua musim tersebut juga berbeda
meskipun tidak mencolok.
Peningkatan suhu sangat berpengaruh terhadap perubahan iklim mikro bagi
konidia cendawan entomopatogen, hal ini mengakibatkan kandungan poliol dan
trehalosa di dalam konidia akan menurun (Hallsworth & Magan 1996). Poliol dan
trehalosa merupakan senyawa yang terdapat di dalam konidia yang berfungsi sebagai
pengatur tekanan osmotik dan stimulus dalam percepatan perkecambahan konidia.
Dengan demikian, secara langsung akan mempengaruhi kondisi iklim mikro bagi
perkembangan konidia sehingga eksistensi konidia di lapangan terganggu (Galaini-
Wraight et al. 1991; Ferron 1997; Farques & Luz 2000). Peningkatan suhu yang
terjadi akan menyebabkan kerusakan sebagian besar konidia, sehingga kinerja L.
lecanii menurun (Cuthbertson et al. 2005).
109
0
5
10
15
20
25
K. Tanah Kedelai Kelapa Kontrol
Jenis minyak nabati
Jum
lah
luka
tusu
kan
R. l
inea
ris p
ada
tiap
biji
Gambar 25 Rata-rata jumlah luka tusukan stilet R. linearis pada tiap biji kedelai setelah diaplikasi dengan L. lecanii dan ditambah dengan minyak nabati.
Uji karakter fisiologi (BAB III) menunjukkan bahwa peningkatan suhu di atas
27 oC menyebabkan pertumbuhan semua isolat L. lecanii menurun bahkan cendawan
akan mengalami stagnasi pada suhu 32 oC. Kejadian ini mengindikasikan bahwa
peningkatan suhu menjadi faktor pembatas untuk pengembangan agens hayati.
Lazzarini et al. (2006) menambahkan bahwa selain suhu, faktor kelembaban juga
menjadi syarat utama bagi keberhasilan pengendalian hama Triatoma infestan
(Hemiptera: Reduviidae) dengan menggunakan cendawan M. anisopliae dan B.
bassiana. Oleh karena itu, untuk mempertahankan keefektifan cendawan L. lecani
maka konidia yang akan diaplikasikan harus diformulasikan dengan bahan pelindung
yang toleran terhadap sinar UV (Lee et al. 2006).
Semakin tinggi konsentrasi minyak nabati yang ditambahkan ke dalam
suspensi konidia L. lecanii mengakibatkan semakin efektif dalam menekan jumlah
luka tusukan R. linearis. Meskipun pada konsentrasi 5 ml/l tidak menampakkan
perbedaan yang nyata apabila konsentrasi dinaikkan menjadi 10 ml/l (Gambar 26).
7.4 a
9.9 b 9.9 b
16.2 c
110
Namun, jumlah luka tusukan pada tiap biji lebih rendah pada perlakuan penambahan
minyak nabati dengan konsentrasi tertinggi. Dengan demikian, konsentrasi minyak
nabati 10 ml/l memberikan hasil yang lebih baik untuk menekan jumlah luka tusukan
R. linearis pada biji kedelai. Semakin banyak jumlah luka tusukan pada biji akan
menyebabkan tingkat kerusakan semakin tinggi sehingga kualitas maupun kuantitas
biji menjadi rendah.
Kerusakan biji akibat luka tusukan stilet R. linearis apabila mencapai bagian
dalam biji akan menyebabkan daya tumbuh biji tersebut menurun. Bahkan luka yang
disebabkan R. linearis pada waktu pengisian biji akan menyebabkan tidak
terbentuknya biji sehingga polong menjadi hampa. Oleh karena itu, keberadaan hama
tersebut harus dikendalikan karena jika dibiarkan maka akan menyebabkan
kehilangan hasil dapat mencapai 80%. Hasil penelitian ini memberikan informasi
baru bahwa pengendalian hama menggunakan agens hayati dengan cendawan
entomopatogen masih diperlukan berbagai penelitian pendukung untuk
mempertahankan keefektifan cendawan di lapangan.
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Kontrol 2 5 10
Konsentrasi minyak nabati (ml/l suspensi konidia)
Jum
lah
luka
tusu
kan
R. li
near
is p
ada
tiap
biji
Gambar 26 Rata-rata jumlah luka tusukan stilet R. linearis pada tiap biji kedelai
setelah diaplikasi dengan L. lecanii yang ditambah dengan minyak nabati pada berbagai tingkat konsentrasi.
12.0 a
5.8 b
2.0 c 1.7 c
111
Jumlah Polong Isi dan Polong Hampa tiap Tanaman
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah polong isi dan polong hampa
yang terbentuk dipengaruhi oleh interaksi antara jenis dan konsentrasi minyak nabati
yang ditambahkan (Tabel 10). Penambahan ketiga jenis minyak nabati pada suspensi
konidia L. lecanii dengan konsentrasi tertinggi menunjukkan jumlah polong isi yang
terbentuk lebih banyak dibandingkan dengan penambahan pada konsentrasi yang
lebih rendah. Rata-rata jumlah polong isi terbanyak yaitu hingga mencapai 65.7
polong tiap tanaman terjadi pada perlakuan minyak kacang tanah dengan konsentrasi
10 ml/l. Meskipun sebetulnya jumlah polong isi yang terbentuk tersebut tidak
berbeda nyata dengan konsentrasi 2 maupun 5 ml/l. Sedangkan pada perlakuan
kontrol (hanya L. lecanii), jumlah polong isi yang terbentuk hanya 31.1 buah.
Tabel 10 Pengaruh jenis dan konsentrasi minyak nabati terhadap keefektifan L.
lecanii dalam mempertahankan jumlah polong isi dan menekan terbentuknya polong hampa per tanaman
Jenis minyak
nabati Konsentrasi
(ml/l) Jumlah polong isi
per tanaman (± SD) Jumlah polong hampa per tanaman (± SD)
Kacang tanah
0
31.1 ± 9.2 c
11.3 ± 3.2 a
2 55.0 ± 5.8 ab 5.2 ± 0.1 bc 5 60.3 ± 11.1 a 5.3 ± 1.1 bc 10 65.7 ± 10.9 a 2.3 ± 0.6 c
Kedelai 0 33.8 ± 10.4 c 14.7 ± 3.9 a 2 57.0 ± 9.9 ab 5.0 ± 3.9 bc 5 61.3 ± 10.8 a 5.8 ± 2.7 bc 10 57.3 ± 4.8 ab 7.0 ± 2.45 b
Kelapa 0 29.1 ± 9.1 c 12.1 ± 4.6 a 2 53.3 ± 7.8 ab 5.8 ± 4.5 bc 5 44.7 ± 4.9 b 6.5 ± 4.3 bc 10 59.7 ± 11.1 a 4.7 ± 3.9 bc KK (%) 10.2 29.6 DMRT (0.05) 14.7 4.5 * Rata-rata selajur yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata (uji DMRT, α =
0.05).
112
Setiap penambahan konsentrasi minyak kelapa juga menyebabkan
peningkatan jumlah polong isi. Hal ini disebabkan karena jumlah R. linearis yang
berkembang menjadi serangga dewasa juga semakin terbatas sehingga peluang
serangga yang dapat menyebabkan kerusakan polong menjadi rendah. Pada perlakuan
minyak kedelai, kenaikan konsentrasi dari 5 ml/l sampai 10 ml/l justru menurunkan
jumlah polong isi yang terbentuk, yaitu dari 61.3 buah menjadi 57.3 buah meskipun
kedua perlakuan tersebut tidak berbeda nyata.
Pada Tabel 10 juga terlihat bahwa setiap kenaikan konsentrasi minyak nabati
menunjukkan kecenderungan yang positif dalam menekan jumlah polong hampa yang
terbentuk. Kejadian tersebut terlihat pada perlakuan minyak kacang tanah maupun
minyak kelapa. Namun demikian, hal ini pada perlakuan minyak kedelai tidak terjadi
dan jumlah polong hampa semakin bertambah. Konsentrasi minyak kedelai 10 ml/l
mengakibatkan kenaikan jumlah polong hampa menjadi 7 buah polong tiap tanaman.
Sementara itu, rata-rata jumlah polong hampa terendah terjadi pada perlakuan minyak
nabati kacang tanah dengan konsentrasi 10 ml/l yaitu hanya 2.3 buah. Rendahnya
jumlah polong hampa yang terjadi pada penambahan minyak kacang tanah pada
konsentrasi tertinggi disebabkan pada perlakuan tersebut jumlah telur yang mampu
menetas juga lebih sedikit dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Dengan demikian,
jumlah imago yang terbentuk juga lebih sedikit sehingga peluang polong akan
terserang oleh serangga akibat tusukan stiletnya juga lebih rendah.
Berat Kering Biji Kedelai tiap Tanaman
Rata-rata berat kering biji kedelai dipengaruhi oleh interaksi antara jenis dan
konsentrasi minyak nabati yang ditambahkan pada suspensi konidia L. lecanii
(Gambar 27). Semakin tinggi konsentrasi minyak nabati mengakibatkan semakin
meningkat berat kering biji tiap tanaman. Perlakuan konsentrasi minyak kacang tanah
dari 2 ml/l menjadi 5 ml/l mampu meningkatkan berat biji tiap tanaman mencapai
6.4%. Jika konsentrasi minyak tersebut ditingkatkan hingga 10 ml/l menyebabkan
berat biji yang dapat diselamatkan mencapai 13.6%. Perlakuan minyak kelapa juga
113
mengindikasikan hal yang serupa, namun perlakuan minyak kedelai justru
menyebabkan penurunan berat biji. Penambahan konsentrasi dari 2 ml/l hingga 5
ml/l akan menurunkan berat biji sekitar 5.9%.
0
5
10
15
20
25
KT2 KT5 KT10 KD2 KD5 KD10 KP2 KP5 KP10 Kontrol
Jenis dan konsentrasi minyak nabati
Bera
t biji
tiap
tana
man
(g)
Gambar 27 Berat biji kedelai yang dihasilkan tiap tanaman setelah mendapat
perlakuan aplikasi L. lecanii yang ditambah dengan minyak nabati pada berbagai tingkat konsentrasi. KT2 (Kacang Tanah 2 ml/l), KT5 (Kacang Tanah 5 ml/l), KT10 (Kacang Tanah 10 ml/l), KD2 (Kedelai 2 ml/l), KD5 (Kedelai 5 ml/l), KD10 (Kedelai 10 ml/l), KP2 (Kelapa 2 ml/l), KP5 (Kelapa 5 ml/l), dan KP10 (Kelapa 10 ml/l).
Peningkatan konsentrasi dari 5 ml/l menjadi 10 ml/l akan menurunkan berat
biji sebesar 5.5% meskipun di antara ketiga jenis konsentrasi tersebut tidak berbeda
nyata. Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa pada konsentrasi 2 ml/l diduga
sudah mampu mempertahankan keefektifan cendawan dalam menekan kerusakan
akibat R. linearis. Hal ini dilihat dari jumlah polong isi yang terbentuk lebih sedikit
dan jumlah polong hampa lebih banyak sehingga secara langsung berpengaruh
terhadap hasil yang diperoleh. Fakta lain menunjukkan bahwa pada pengamatan
terhadap persistensi konidia di lapangan, pada konsentrasi tersebut cendawan masih
mampu bertahan hingga 4 hari setelah aplikasi, meskipun jumlah telur yang menetas
12.1 b 12.9 ab 15.0 a
13.4 ab
12.6 ab 11.9 b
11.8b 11.8 b
13.1 ab
8.9 c
114
pada perlakuan tersebut masih lebih banyak dibandingkan dengan konsentrasi yang
lebih tinggi. Namun demikian, masih diperlukan pembuktian dengan penelitian lebih
lanjut.
Pada Gambar 27, tampak bahwa berat biji tiap tanaman yang terbanyak
dicapai pada perlakuan penambahan minyak kacang tanah dengan konsentrasi 10
ml/l, yaitu mencapai 15 g. Sementara itu, berat biji terendah dicapai pada perlakuan
kontrol (hanya L. lecanii), yaitu hanya 8.9 g. Dengan demikian, penambahan minyak
kacang tanah mampu mempertahankan keefektifan cendawan sebesar 40.5%.
Sedangkan minyak kelapa mampu mempertahankan keefektifan cendawan sebesar
32.2%. Dilihat dari potensinya maka minyak nabati mempunyai peluang yang besar
dapat digunakan sebagai bahan pelindung cendawan entomopatogen untuk
pengendalian hama. Dengan demikian, salah satu faktor kelemahan penurunan
infektivitas cendawan entomopatogen akibat faktor abiotik, khususnya sinar matahari
dapat diatasi. Verhaar et al. (2004) melaporkan bahwa minyak nabati kacang tanah
cukup efektif untuk mempertahankan kelembaban konidia V. lecanii dari pengaruh
negatif sinar matahari yang akan merusak. Meskipun pemakaian bahan pelindung
sangat dianjurkan dalam mempertahankan persistensi cendawan dari pengaruh sinar
UV (Alves et al. 2000; Silva et al. 2006), akan tetapi pemilihan strain yang memiliki
toleransi tinggi masih tetap perlu dikedepankan untuk meningkatkan kinerja agens
hayati tersebut (Mathews 2001).
Kesimpulan
Penambahan minyak nabati pada media tumbuh mampu meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan L. lecanii secara in vitro. Semakin tinggi konsentrasi
minyak nabati sebagai bahan pelindung yang ditambahkan ke dalam suspensi konidia
maka semakin lama persistensi konidia di pertanaman. Penambahan minyak nabati 10
ml/l ke dalam suspensi konidia L. lecanii mampu mempertahankan persistensi
konidia hingga tujuh HSA. Persistensi L. lecanii tanpa penambahan minyak nabati
hanya bertahan satu hari.
115
Penambahan minyak nabati 10 ml/l menyebabkan telur R. linearis yang tidak
menetas mencapai 80%. Oleh karena itu, biji yang dapat diselamatkan akibat
serangan R. linearis menjadi meningkat dibandingkan tanpa penambahan minyak.
Penambahan minyak nabati mampu mempertahankan keefektifan L. lecanii dalam
mengendalikan telur R. linearis hingga mencapai 40.5%. Minyak nabati dari kacang
tanah lebih baik dibandingkan minyak kedelai maupun minyak kelapa dalam
melindungi persistensi konidia L. lecanii. Minyak nabati kedelai dan kelapa dapat
digunakan sebagai alternatif pengganti apabila minyak kacang tanah sulit diperoleh.
Daftar Pustaka Adsule RN, Kadam SS, Salunkhe DK. 1989. Peanut CRC Handbook of world food
legumes: Nutritional chemistry, processing technology, and utilization. Vol II. Di dalam: Salunkhe DK, Kadam SS, editor. p:193-214. CRC. Press, In. Boca Raton, Florida.
Adejoye OD, Adebayo-Tayo BC, Ogunjobi AA, Olaoye OA, Fadahunsi FI. 2006.
Effect of carbon, nitrogen, and mineral sources on growth of Pleurotus florida, a Nigeria edible mushroom. Afric J Biotechnol 5;14:1355-1359.
Alavo TBC, Sermann H, Bochow H. 2002. Biocontrol of aphid using Verticillium
lecanii in green house: factor reducing the effectiveness of the entomopathogenic fungus. Arch Phytopathol and Plant Protect 34;6:407-424.
Altre JA, Vandenberg JD, Cantone FA. 1999. Pathogenicity of Paecilomyces
fumosoroseus isolates to the diamondback moth Plutella xylostella: correlation with spore size, germination speed, and attachment to cuticle. J Invertebr Pathol 73:332-338.
Alves RT, Bateman RP, Prior C, Leather SR. 2000. Evaluation of application
techniques of emulsifiable adjuvant fungal formulation. International Congress of Entomology 21. Brazilian Congress of Entomology 18 Foz de Iguassu. Abstract. Londrina Embrapa Soja. hlm 512.
Amiri B, Ibrahim L, Butt TM. 1999. Antifeedant properties of destruxins and their
use with the entomogenous fungus Metarhizium anisopliae for the improved control of crucifer pests. Biol Contr Sci and Technol 9:487-498.
116
Amiri-Besheli B, Khambay B, Cameron S, Deadman ML, Butt TM. 2000. Inter and intraspecific variation in destruxin production by the insect pathogenic Metarhizium anisopliae and its significance to pathogenesis. Mycol Res 104:447-452.
Arifin M, Tengkano W. 2008. Tingkat kerusakan ekonomi hama kepik coklat pada
kedelai. J Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 27;1:47-54. Bansal UK, Satija DR, Anula KL. 1993. Oil composition of diverse groundnut
Arachis hypogea L. genotype relation to different enviroment. J Sci Food Agric 63:17-19.
Barbosa CC, Monteiro AC, Correia AdoCB. 2002. Growth and sporulation of
Verticillium lecanii isolates under different nutritional conditions. Pesq Agropec Bras 37;6:821-829.
Bateman RP, Carey M, Moore D, Prior C. 1993. The enhanced infectivity of
Metarhizium flavoviride in oil formulations to desert locusts at low humidities. Ann Appl Biol 122:145-152.
Batta YA. 2003. Production and testing of novel formulations of the
entomopathogenic fungus Metarhizium anisopliae (Metschnikoff) Sorokin (Deuteromycotina: Hyphomycetes). Crop Protect 22;2:415-422.
Bender DA. 2005. Arachis oil: A dictionary of food and nutrition. Oxford University
Press. http://www.encyclopedia.com/doc/1039-arachisoil.html [24 Mar 2008]. Benhamou N, Brodeur J. 2000. Evidence for antibiosis and induced hosts defense
reactions in the interaction between Verticillium lecanii and Penicillium digitatum, the causal agent of green mold. Phytopathol 90:932-943.
Benhamou N, Brodeur J. 2001. Pre-inoculation of Ri-T-DNA transformed cucumber
roots with the mycoparasite, Verticillium lecanii induces host defense reactions against Phytium ultimum infection. Physiol Mol Plant Pathol 58:133-146.
Benhamou N. 2004. Potential of the mycoparasite Verticillium lecanii to protect
citrus fruit against Penicillium digigatum, the causal agent of green mold: A comparison with the effect of citosan. Biochem and Biol 94;7:693-705.
Braga GUL et al. 2002. Damage and recovery from UV-B exposure in conidia of the
entomopathogens Verticillium lecanii and Aphanocladium album. Mycol 94;6:912-920.
Branch WD, Nakayama T, Chinnan MS. 1990. Fatty acid variation among US
runner-type peanut cultivars. J Am Oil Chem Soc 67:591-593.
117
Burges HD. 1998. Formulation of mycoinsecticides. Di dalam: Burges HD, editor. Formulation of Microbiol Biopesticides: Beneficial Microorganisms, Nematodes, and Seed Treatments. Kluwer Academic Publishers. Dordrecht. hlm 131-185.
Christie WW. 2002. The analysis of conjugated linoleic acid. Lipid Technol 12:64-66. Cuthbertson AGS, North JP, Walters KFA. 2005. Effect of temperature and host plant
leaf morphology on the efficacy of two entomopathogen biocontrol agents of Thrips palmi (Thysanoptera: Thripidae). Bull Entomol Res 95:321-327.
Daniel KT. 2004. Soy lecithin from sludge to profit. Wise traditions in food, farming
and the healing arts. http://.Lecithin/Lecithin-growth.html [2 Des 2008]. Farques J, Luz C. 2000. Effects of fluctuating moisture and temperature regimes on
sporulation of Beauveria bassiana on cadavers of Rhodnius prolixus. Biol Contr Sci and Technol 8:323-334.
Ferron P. 1997. Influence of relative humidity on the development of fungal infection
caused by Beauveria bassiana (Deuteromycotina: Hyphomycetes) in imagines of Acanthoscelides obtectus (Coleoptera: Bruchidae). Entomophag 22:393-396.
Galaini-Wraight S, Wraight SP, Carruthers RI, Magalhaes BP, Roberts DW. 1991.
Description of a Zoophthora radicans (Zygomycetes: Entomophthoraceae) epizootic in a population of Empoasca kraemeri (Homoptera: Cicadellidae) in central Brazil. J Invertebr Pathol 58:311-326.
Ganga-Visalakshy PN, Krishnamoorthy A, Manoj-Kumar A. 2005. Effect of plant
oils and adhesive stickers on the mycelia growth and condition of Verticillium lecanii, a potential entomopathogen. Phytopar 33;4:367-369.
Gao L, Sun MH, Liu XZ, Che YS. 2006. Effects of carbon concentration and carbon
to nitrogen ratio on the growth and sporulation of several biocontrol fungi. Mycol Res 111;1:87-92.
Hajek AE, Eastburn CC. 2003. Attachment and germination of Entomophaga
maimaiga conidia on host and non-host larval cuticle. J Invertebr Pathol 16:203-254.
Hallsworth JE, Magan N. 1994a. Improved biological control by changing
polyols/trehalose in conidia of entomopathogens. Di dalam: Brighton Crop Protection Conferencce-Pests and Disease 1994. Proceedings 3. British Crop Protection Council, Farnham, UK. hlm 1091-1096.
118
Hallsworth JE, Magan N. 1994b. Effects carbohydrate tupe and concentration on polyhydroxyalcohols and trehalose in conidia of three entomopathogenic fungi. Letters Appl Microbiol 18:8-11.
Hallsworth JE, Magan N. 1995. Manipulation of intracellular glycerol and erythritol
enhances germination of conidia at low water availability. Microbiol 141:1109-1115.
Hallsworth JE, Magan N. 1996. Culture age, temperature, and pH affect the polyol
and trehalose contents of fungal propagule. Appl and Environ Microbiol 67;7:2435-2442.
Ibrahim L, Butt TM, Beckett A, Clark SJ. 1999. Germination of oil formulated
conidia of the insect-pathogen Metarhizium anisopliae. Mycol Res 103:901-907. Inyang EN et al. 2000. Effect of formulation, application, and rain on the persistence
of the entomopathogenous fungus Metarhizium anisopliae on rape oils. Mycol Res 104:653-661.
Jakson MA. 1997. Optimizing nutritional conditional for the liquid culture production
of effective fungal biological control agents. J Industrial Microbiol Biotechnol 19;3:180-187.
Jeffries P, Young TWK. 1994. Physiological aspects of mycoparasitism. Di dalam:
Interfungal Parasitic Relationships. CABI International. hlm 123-146. Kerwin JL. 1984. Fatty acid regulation of the germination of Erynia variabilis
conidia on adults and puparia of the lesser housefly Fannia canicularis. Can J Microbiol 30:158-161.
Kerwin JL, Washino RK. 1986a. Oosporogenesis by Lagenidium giganteum:
Induction and maturation are regulated by calcium and calmodulin. Can J Microbiol 32;8: 663-672.
Kerwin JL, Washino RK. 1986b. Regulation of oosporogenesis by Lagenidium
giganteum: Promotion of sexual reproduction by unsaturated fatty acid and sterol availability. Can J Microbiol 32:294-300.
Ketaren S. 2005. Minyak dan lemak pangan. Penerbit Universitas Indonesia. Ed.1.
316 hlm. Khomsan A. 2005. Dibalik gurihnya minyak goreng. Department of Food Science
and Technology, Faculty of Agricultural Technology and Enginering, Bogor Agricultural University. http://www.pikiran-rakyat+com /cetak/1002 /20/ 1001 .htm.
119
Lawhon C. 2008. Lecithin supplements effectiveness in weight loss. The health
psychology home page. http://www.Lecithin/LECITHIN_SUPPLEMENT.html [2 Des 2008].
Lay BW. 1994. Analisis mikroba di laboratorium. Jakarta. Raja Grafindo Persada. Ed
1. Lazzarini GMJ, Rocha LFN, Luz C. 2006. Impact of moisture on invitro germination
of Metarhizium anisopliae, Beauveria bassiana, and their activity on Triatoma infestans. Mycol Res 110;4:485-492.
Lee J et al. 2006. Verticillium lecanii spore formulation using UV protectan and
wetting agent and the biocontrol of cotton Aphids. Mycopathol 161;2:1041-1045.
Leland JE. 2001. Enviromental-stress tolerant formulations of Metarhizium
anisopliae var. Acridum for control of African Desert Locust (Schistocerca gregaria). [dissertation]. Virginia: Faculty of Virginia Polytechnic. http:// scholar .lib.vt.edu/theses/available/etd_12052001_115455/unrestrictited/Jleland [disertation]. PDF (21 Jul 2007).
Luthana YK. 2008. Minyak kelapa: Komposisi asam lemak. http://www.
food%20entertaining.html [28 Mar 2009] Magan N. 2001. Physiological approaches to improving the ecological fitness of
fungal biocontrol agents. Di dalam: Butt TM, Jackson C, Magan N, editor. Fungi as Biocontrol Agents “Progress, Problems, and Potential. London: CABI Publishing. hlm 239-251.
Mathews G. 2001. Can biological agenst be sprayed like chemical pesticides?
http://pubs.nrc-cnrc.gc.ca/cgi-bin/rp/rp2abste?cjw99-08545nsnfcjm [2 Des 2008].
McCoy C, Quintela ED, de-Faria M. 2004. Enviromental persistance of
entomopathogenic fungi. University of Florida. http://www.agctr. Isu.edu. /S265/mccoy.htm [ 27 Mar 2008].
Mercola J. 2008. Virgin coconut oil – Certified organic from tropical tradition.
http://www.coconutoil-online.com/ [14 Mar 2008]. Moore D, Bridge PD, Higgins PM, Bateman RP, Prior C. 1993. Ultra-violet radiation
damage to Metarhizium flavoviride conidia and the protection given by vegetable and mineral oils and chemical sunscreens. Ann Appl Biol 122:605-616.
120
Olivares-Bernabeu CM, Lopez-Llorcha LV. 2002. Fungal egg-parasites of plant-
parasitic nematodes from Spanis soils. Rev Iberoam Micol 19:104-110. Pascual S, Magan N, Melgarejo P. 1998. Improvement of growth and biocontrol
ability of Epicoccum nigrum under water stress. Di dalam: Proceeding of 7th International Congree of Plant Pathology, Edinburgh. British Crop Protection Council, Farnham, UK. hlm 6-52.
Prayogo Y. 2004. Keefektifan lima jenis cendawan entomopatogen terhadap hama
pengisap polong kedelai Riptortus linearis (F.) (Hemiptera: Alydidae) dan dampaknya terhadap predator Oxyopes javanus Thorell (Araneida: Oxyopidae). [tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Prayogo Y. 2006. Pertumbuhan dan perkembangan cendawan V. lecanii pada
berbagai jenis media alami. Laporan Penelitian Tahun 2006. [siap terbit]. Samodra H, Ibrahim Y. 2006. Effects of dust formulations of three entomophatogenic
fungal isolates against Sitophilus oryzae (Coleoptera: Curculionidae) in Rice grain. J Bios 17;1:1-7.
Schreiter G, Butt TM, Beckett A, Vestergard S, Moritz G. 1994. Invasion and
development of Verticillium lecanii in the western flower thrips Frankliniella occidentalis. Mycol Res 98:1025-1034.
Shi Z, Li M, Zang L. 2006. Effects of nutrients of germination of Verticillium lecanii
(=Lecanicillium lecanii) conidia and infection of greenhouse whitefly (Trialeurodes vaporariorum). Biol Contr Sci and Technol 16;6:599-606.
Silva RZD, Neves PMOJ, Santoro PH, Cavaguchi ESA. 2006. Effect of
agrochemicals based on vegetable and mineral oil on the viability of entomopathogenic fungi Beauveria bassiana (Bals.) Vuillemin, Metarhizium anisopliae (Metsch.) Sorokin, and Paecilomyces sp. Bainer. Bioassay 1;1:667-674.
Smith RJ, Grula EA. 1982. Toxic components on the larval surface of the Corn
Earworm Heliothis zea and their effects on germination and growth of Beauveria bassiana. J Invertebr Pathol 39:15-22.
Sun MH, Liu XZ. 2006. Carbon requirements of some nematophagous,
entomopathogenic, and mycoparasitic Hyphomycetes as fungal biocontrol agents. Mycopathol 161;5:295-305.
121
Sutanto A. 2008. Minyak: Jenis dan komposisi. NTUST Indonesian Student Association. http://www/NTUST%20Indonesian%20Association20-%20 minyak %20Goreng.html [15 Jan 2008].
Vandenberg JD, Jackson MA, Lacey LA. 1998. Relative efficacy of blastospores and
aerial conidia of Paecilomyces fumosoroseus against the Russian wheat aphid. J Invertebr Pathol 72:181-183.
Vega FE, Jackson MA, McGuire MR. 2000. Germination of conidia and blastospores
of Paecilomyces fumosoroseus on the cuticle silverleaf whitefly Bemisia argentifolii. Mycopathol 147:33-35.
Verhaar MA, Ostergaard KK, Hijwegen T, Zadocks JC. 1997. Preventative and
curative applications of Verticillium lecanii for biological control of cucumber powdery mildew. Biol Contr Sci and Technol 7;4:543-552.
Verhaar MA, Hijwegen T, Zadoks JC. 2004. Improvement of the efficacy of
Verticillium lecanii used in biocontrol of Sphaerotheca fuliginea by addition of oil formulation. Biol Contr 44;1:73-87.
Wang L, Huang J, You M, Guan X, Liu B. 2007. Toxicity and feeding deterence of
crude toxin extracts of Lecanicillium lecanii (=Verticillium lecanii) (Deuteromycotina: Hyphomycetes) agaisnt sweet potato whitefly, Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae). Pest Manag Sci 63;4:381-387.
Widayat W, Rayati DJ. 1993. Pengaruh Frekuensi Penyemprotan Jamur
Entomopatogenik terhadap Ulat Jengkal (Ectropis bhurmitra) di Perkebunan Teh. hlm. 91-103 Di dalam: Martono E, Mahrub E, Putra NS, Trisetyawati Y, editor. Simposium Patologi Serangga I. Yogyakarta, 12-13 Oktober 1993.
Williams MDC, Edmondson RN, Gill. 2000. The potential of some adjuvants in
promoting infection with Verticillium lecanii : laboratory bioassays with Myzus persicae. Ann of App Biol 137;3:337. http://www.blackwell-synergy.com/doi/ abs /10.1111/j.1744-7348.2000.tb00075X [26 Mar 2008].
Young CT et al. 2007. Fatty acid composition of Spanish peanut oils as influenced by
planting location, soil moisture conditions, variety, and season. J The American Oil Chemists Society 51;7:312-315.
Yuen GY et al. 2002. UV-B biodosimetry in turfgrass canopies. Crop Sci 42:859-
868.
BAB VI
PEMBAHASAN UMUM
Lecanicillium lecanii (=Verticillium lecanii) (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams
merupakan salah satu cendawan entomopatogen yang bersifat kosmopolit sehingga
mudah ditemukan di berbagai tempat, baik di daerah tropik maupun subtropik. L.
lecanii mempunyai kisaran inang yang cukup luas sehingga cendawan tersebut
memiliki keragaman intraspesies yang cukup besar di lapangan (Sugimoto et al.
2003a; Koike et al. 2007; Leal et al. 2008). Menurut Kope et al. (2006) dan Kouvelis
et al. (2008) keragaman isolat yang tinggi pada L. lecanii mengakibatkan perbedaan
tingkat virulensi cendawan. Hasil penelitian Mor et al. (1996) menunjukkan bahwa
dari 35 isolat V. lecanii yang diuji memiliki virulensi yang bervariasi mulai dari 0-
83%. Pernyataan yang sama juga disampaikan oleh Meade dan Byrne (1991) dan
Gindin et al. (2000) bahwa isolat yang diperoleh dari sumber inang yang sama tetapi
berbeda lokasi maupun isolat yang diperoleh dari lokasi yang sama tetapi inang yang
berbeda mengakibatkan perbedaan tingkat virulensi. Oleh karena itu, eksplorasi dari
berbagai macam inang maupun lokasi yang berbeda merupakan langkah awal yang
dapat ditempuh untuk mendapatkan sumber inokulum yang lebih potensial (Milner et
al. 1998; Hatting et al. 1999; Butt & Goettel 2000; Vega et al. 2000; Jung et al.
2006).
Indonesia merupakan daerah agraris yang memiliki keanekaragaman hayati
yang cukup tinggi sehingga peluang untuk memperoleh isolat L. lecanii yang lebih
potensial sangat besar. Hal ini tampak dari hasil eksplorasi di empat sentra produksi
kedelai di Indonesia mengindikasikan adanya kelimpahan agens hayati tersebut di
lapangan. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa L. lecanii dapat diperoleh dari
berbagai sumber, baik dari dalam tanah, pengumpanan, maupun cadaver. Meskipun
demikian, tidak menutup kemungkinan untuk memperoleh isolat dari sumber lain.
Hal ini disebabkan Kouvelis et al. (1999) dapat mengisolasi L. lecanii dari cadaver
kutu tempurung Coccus viridis (Homoptera: Coccidae) pada tanaman kopi dan
Icerya purchasi (Homoptera: Coccidae) pada tanaman jeruk. Meyer dan Meyer
123
(1996) dan Gan et al. (2007) juga berhasil mengisolasi L. lecanii yang berasal dari
telur nematoda Heterodera glycines dan Meloidogyne incognita. Bahkan Spencer dan
Atkey (1981) maupun Allen (1982) memperoleh isolat V. lecanii yang sedang
memarasit penyakit karat.
Hasil uji virulensi mengindikasikan bahwa virulensi L. lecanii yang diperoleh
dari cadaver Riptortus linearis lebih rendah dibandingkan dengan isolat yang berasal
dari cadaver Spodoptera litura. Fakta ini menginformasikan bahwa virulensi L.
lecanii dipengaruhi oleh keragaman intraspesies yang cukup tinggi di lapangan dan
cendawan tersebut tidak bersifat spesifik inang. Oleh karena itu, terbuka peluang
yang besar untuk mendapatkan isolat L. lecanii dengan cara eksplorasi dari sumber
inang yang berbeda. Hasil penelitian Trizelia (2005) menunjukkan bahwa isolat
Beauveria bassiana (Deuteromycotina: Hyphomycetes) yang diperoleh dari sumber
inang yang sama dengan serangga uji juga tidak memiliki virulensi lebih tinggi jika
dibandingkan dengan isolat yang diperoleh dari inang yang berbeda. Meskipun
beberapa peneliti sebelumnya mengindikasikan bahwa isolat yang diperoleh dari
sumber inang yang sama dengan serangga uji memiliki virulensi lebih tinggi jika
dibandingkan dengan isolat yang diperoleh dari inang yang berbeda (Jackson et al.
1989; Poprawski & Jones 2000).
Menurut Fatiha et al. (2007) dan Aiuchi et al. (2008a & 2008b), isolat L.
lecanii yang lebih virulen memiliki karakter fisiologi yang berbeda dengan isolat
yang kurang virulen. Tingkat pertumbuhan isolat yang lebih virulen lebih cepat,
produksi konidia yang dihasilkan lebih banyak, daya kecambah lebih tinggi dalam
waktu yang lebih singkat, dan kemampuan membunuh inang lebih besar
dibandingkan isolat yang kurang virulen (Devi et al. 2003). Altre et al. (1999)
melaporkan bahwa virulensi cendawan entomopatogen berkaitan erat dengan ukuran
konidia, kecepatan perkecambahan konidia, dan produksi enzim yang berfungsi
sebagai pendegradasi kutikula inang. Beberapa karakter fisiologi yang disebut di atas
memiliki peran yang cukup besar bagi cendawan entomopatogen sebagai agens
hayati, baik pada kondisi di laboratorium untuk perbanyakan masal maupun
pertumbuhan cendawan di lapangan. Perbanyakan di laboratorium, cendawan akan
124
tumbuh lebih cepat untuk menguasai seluruh permukaan media sehingga peluang
mikrob sebagai kontaminan dapat tumbuh sangat kecil. Sedangkan di lapangan, isolat
yang tumbuh lebih cepat mengakibatkan kolonisasai dan transmisi patogen
berlangsung lebih optimal sehingga diduga peledakan hama mungkin sulit terjadi
(Kaakeh et al. 1996; Authurs & Thomas 1999; Wagner & Lewis 2000).
Efikasi cendawan entomopatogen di lapangan juga dipengaruhi oleh
kerapatan konidia cendawan yang diaplikasikan (Ashouri et al. 2004; Wang et al.
2004). Semakin tinggi kerapatan konidia L. lecanii yang diaplikasikan semakin
efektif pengendalian yang diperoleh. Pengendalian telur R. linearis juga
mengindikasikan hasil yang serupa, pada kerapatan konidia L. lecanii 105/ml hanya
mampu menekan perkembangan telur sebesar 9%, sedangkan aplikasi dengan
kerapatan konidia 108/ml mampu menekan jumlah telur yang tidak menetas hingga
mencapai 91%. Oleh karena itu, kerapatan konidia memegang peranan sangat penting
dalam usaha pengendalian hama menggunakan agens hayati L. lecanii.
Selain faktor kerapatan konidia, efikasi cendawan entomopatogen masih dapat
ditingkatkan lagi dengan cara memperbaiki formulasi cendawan, hal ini disebabkan
oleh daya persistensi cendawan yang rendah akibat faktor lingkungan (Wraight et al.
2001). Menurut Inglis et al. (1995a & 2000) dan Katatny (2003) bentuk formulasi
konidia sangat mempengaruhi daya persistensi konidia di lapangan. Selain itu metode
aplikasi juga mampu meningkatkan efikasi cendawan di lapangan (Krueger et al.
1992; Devi 1995). Namun, metode aplikasi cendawan entomopatogen di lapangan
berkaitan dengan perilaku serangga hama yang akan dikendalikan. Pengendalian R.
linearis pada stadia telur dapat diaplikasikan pada permukaan daun atau organ
tanaman lainnya. Hal ini disebabkan imago R. linearis meletakkan telurnya di bagian
organ tanaman terutama daun. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan telur
yang diletakkan imago akan jatuh ke permukaan tanah akibat faktor angin maupun
hujan. Aplikasi L. lecanii di permukaan tanah juga memungkinkan meskipun belum
dapat dianjurkan. Hal ini disebabkan cendawan tersebut merupakan organisme
penghuni tanah yang mampu bertahan pada bahan-bahan organik maupun serasah
tanaman (Nielsen et al. 1998; Asensio et al. 2003). Oleh karena itu, kajian berbagai
125
metode aplikasi L. lecanii untuk menekan perkembangan telur R. linearis di lapangan
masih sangat diperlukan.
Jenis serangga yang akan dikendalikan juga mempengaruhi terhadap tingkat
keberhasilan pengendalian, terutama stadia perkembangan serangga. Hal ini
disebabkan setiap perkembangan serangga memiliki kerentanan yang berbeda (Glare
1994; Gindin et al. 2000; Shinya et al. 2008a & 2008b). Pada umumnya stadia awal
merupakan umur yang cukup rentan terhadap aplikasi cendawan. Penelitian Kulkarni
et al. (2003) dan del-Prado (2008) menunjukkan hasil yang berbeda, pada stadia
dewasa lebih rentan terhadap infeksi cendawan dibandingkan stadia muda. Menurut
Gindin et al. (2006) stadia larva kumbang sagu Rhynchophorus ferrugineus
(Coleoptera: Curculionidae) lebih toleran terhadap aplikasi Metarhizium anisopliae
dan B. bassiana (Deuteromycotina: Hyphomycetes) dibandingkan dengan stadia
telur maupun imago. Penelitian Prayogo (2004) mengindikasikan bahwa efikasi V.
lecanii terhadap R. linearis lebih tinggi jika diaplikasikan pada stadia nimfa II
maupun imago dengan tingkat mortalitas mencapai 82%. Akan tetapi pada stadia
tersebut mobilitas serangga sangat aktif sehingga pada waktu aplikasi di lapangan
efikasi cendawan menjadi rendah. Oleh karena itu, pengendalian R. linearis pada
stadia telur menggunakan cendawan L. lecanii mempunyai peluang yang sangat besar
tingkat keberhasilannya dalam menekan perkembangan populasi hama di lapangan.
Stadia telur R. linearis berlangsung tujuh hari setelah diletakkan imago
kemudian menetas membentuk nimfa I. Hasil uji kerentanan berbagai umur telur
terhadap infeksi L. lecanii menunjukkan bahwa telur yang baru diletakkan imago (<1-
1 hari) sangat rentan dibandingkan dengan telur yang berumur empat sampai dengan
enam hari. Sehubungan dengan hal tersebut, aplikasi L. lecanii sebaiknya dilakukan
pada telur yang baru diletakkan imago yang umumnya di lapangan terjadi pada umur
tanaman 35 hari setelah tanam (HST). Keadaan tersebut didukung oleh hasil
monitoring yang dilakukan Tengkano et al. (1992), peletakan telur R. linearis
pertama kali di pertanaman kedelai varietas Wilis terjadi pada waktu menjelang
berbunga, yaitu umur 35 HST.
126
Menurut Tengkano et al. (1992) waktu peletakan telur R. linearis dimulai
pada siang hari di atas pukul 13.00 WIB sampai dengan tengah malam. Telur-telur
yang baru diletakkan oleh imago tersebut apabila pada sore harinya langsung
diaplikasi dengan suspensi cendawan maka peluang telur yang dapat terinfeksi
cendawan sangat besar. Suhu mikrolimat di sekitar tanaman pada waktu sore hari
sudah mulai rendah dan perubahan waktu ke malam hari membuat kelembaban
meningkat sehingga memicu perkecambahan konidia. Periode waktu kecambah
konidia berlangsung selama 12 jam (hasil uji karakterisasi fisiologi) sehingga pada
pagi hari telur-telur yang diaplikasi sudah terinfeksi cendawan L. lecanii. Dengan
demikian, eksistensi cendawan yang diaplikasikan dapat terhindar dari deraan sinar
matahari. Oleh karena itu, aplikasi cendawan entomopatogen dianjurkan pada sore
hari dan tindakan tersebut merupakan salah satu usaha untuk mempertahankan efikasi
cendawan entomopatogen (Wang et al. 2004). Waktu aplikasi perlu mendapat
perhatian khusus karena sebagian besar agens hayati kurang toleran terhadap suhu
tinggi. Keadaan tersebut terjadi pada semua isolat L. lecanii yang diuji tidak toleran
pada suhu di atas 32 oC.
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang memberi kontribusi cukup
penting bagi terjadinya infeksi pada inang oleh patogen (Hajek & St-Leger 1994;
Hong et al. 1997; Ferron 1997). Suhu dan kelembaban merupakan syarat utama yang
diperlukan untuk perkecambahan V. lecanii (Hsiao et al. 1992; Kope et al. 2007).
Oleh karena itu, jika aplikasi dilakukan di daerah kering dianjurkan memakai bahan
pelindung agar kinerja agens hayati tersebut stabil (Hedgecock et al. 1995; Inyang et
al. 2000; Sabbour & El-Aziz 2002; Williams et al. 2000). Pemakaian bahan
pelindung juga mampu mempertahankan persistensi cendawan dari pengaruh air
hujan, angin, bahkan sinar UV (Inglish et al. 1995b; McCoy et al. 2004).
Menurut Batta (2003) bahan pelindung yang baik untuk mempertahankan
keefektifan V. lecanii di lapangan adalah minyak nabati terutama yang berasal dari
jenis kacang-kacangan. Hasil uji penambahan minyak nabati menunjukkan semakin
tinggi konsentrasi minyak semakin lama persistensi L. lecanii. Konsentrasi tertinggi
10 ml/l mampu meningkatkan persistensi konidia pada tanaman kedelai hingga 7 hari
127
setelah aplikasi (HSA) sehingga frekuensi aplikasi cendawan berikutnya dapat
dilakukan pada umur 42 HST jika aplikasi pertama kali dilakukan pada umur 35
HST. Penentuan frekuensi aplikasi sangat diperlukan untuk menghindari aplikasi
yang berlebihan sehingga pengendalian menjadi kurang efisien, meskipun
pengendalian menggunakan agens hayati relatif lebih murah dan tidak berdampak
negatif terhadap lingkungan (Saik et al. 1990; Vinson 1990; Goettel & Johnson
1992).
Faktor lain yang dapat mempengaruhi kinerja agens hayati ini adalah sistem
budidaya yang diterapkan termasuk penggunaan pestisida kimia, baik insektisida
maupun fungisida yang digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit.
Fungisida akan menghambat perkecambahan konidia sehingga secara langsung
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan cendawan entomopatogen
(Gopalkrishnan & Mohan 2000; Filho et al. 2001; Rachappa et al. 2007; Kouassi et
al. 2008). Tkaczuk et al. (2004) juga melaporkan bahwa beberapa jenis insektisida
yang berbahan aktif amitraz endosulfan, fosalone, dan pendimethalin sangat toksik
terhadap cendawan Hirsutella nodulosa. Kecenderungan yang sama juga disebutkan
bahwa insektisida yang berbahan aktif endosulfan, monokrotophos, dan deltametrin
akan menghambat perkecambahan konidia cendawan B. bassiana, M. anisopliae,
Nomuraea rileyi, dan Paecilomyces farinosus (Deuteromycotina: Hyphomycetes)
(Filho et al. 2001). de-Oliveira et al. (2003) menyatakan bahwa B. bassiana
kompatibel dengan beberapa jenis insektisida kimia yang diaplikasikan untuk
mengendalikan hama bubuk buah kopi. Informasi jenis mikroorganisme dan senyawa
pestisida kimia yang mempengaruhi kinerja L. lecanii sebagai bioinsektisida di
Indonesia belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu, waktu aplikasi pestisida perlu
mendapat perhatian khusus agar residu yang ditinggalkan tidak berdampak buruk
terhadap kinerja agens hayati ini.
128
Prospek dan Potensi Pemanfaatan L. Lecanii
Cendawan L. lecanii mempunyai keragaman intraspesies yang cukup tinggi
dan bersifat kosmopolit sehingga keberadaannya dapat dijumpai hampir di seluruh
sentra produksi kedelai di Indonesia. Kenyataan ini terbukti dari hasil eksplorasi yang
diperoleh sebanyak 37 isolat dari bangkai serangga maupun isolasi dari dalam tanah
di pertanaman kedelai di provinsi Lampung, Sumatera Selatan, Jawa Timur, dan Nusa
Tenggara Barat. Keberadaan L. lecanii di berbagai lokasi pertanaman kedelai
mengindikasikan bahwa cendawan tersebut dalam keadaan berlimpah. Akan tetapi
eksistensi cendawan belum berkerja secara optimal di lapangan meskipun keberadaan
inang (R. linearis) juga berlimpah. Hal ini diduga karena tindakan agronomis yang
dilakukan oleh petani dapat menggangu unjuk kerja agens hayati ini. Salah satu
tindakan agronomis yang dapat mengganggu kinerja cendawan entomopatogen
adalah penggunaan pestisida kimia (Quintela & McCoy 1998; Delgado et al. 1999).
Oleh karena itu, cara untuk meningkatkan kinerja agens hayati tersebut dapat
dilakukan dengan menekan penggunaan insektisida kimia atau dikenal dalam
pengendalian hayati sebagai konservasi.
Keberadaan isolat L. lecanii yang berlimpah di lapangan memberi peluang
yang besar untuk dapat dieksplorasi guna memperoleh isolat yang memiliki karakter
lebih virulen. Isolat yang sudah diperoleh mempunyai peluang yang besar untuk
diperbanyak di laboratorium untuk mendapatkan inokulum dalam jumlah yang besar.
Hal ini disebabkan cendawan entomopatogen umumnya mudah diperbanyak pada
media sederhana yang murah dan mudah didapat sehingga dapat dilakukan oleh
setiap pengguna (Miller 1995; Dorta & Arcas 1998). Oleh karena agens hayati
tersebut lebih murah maka dapat diaplikasikan beberapa kali dalam jumlah yang
berlimpah agar mampu menekan perkembangan populasi hama seperti aksi pestisida
kimia sehingga pengendalian lebih optimal dan peledakan hama dapat ditekan.
Pengendalian R. linearis melalui penekanan pada stadia telur lebih mudah
dilakukan karena keberadaan telur di lahan pertanaman kedelai dapat diketahui
dengan mudah. Hasil monitoring yang dilakukan Tengkano et al. (1992)
129
menunjukkan bahwa pertama kali imago R. linearis datang di pertanaman kedelai
pada tanaman menjelang berbunga atau kurang lebih umur 35 HST. Pada umur
tersebut imago sedang meletakkan telurnya pada organ tanaman, yaitu daun atau
organ lainnya. Hasil uji kerentanan menunjukkan bahwa telur yang baru diletakkan
imago (<1-1 hari) merupakan umur yang sangat rentan terhadap infeksi L. lecanii.
Oleh karena itu, waktu tersebut merupakan saat yang paling tepat aplikasi L. lecanii
di lahan kedelai agar perkembangan populasi serangga lebih lanjut akan tertekan
sehingga tidak terjadi peledakan populasi. Peluang tersebut kemungkinan besar dapat
terjadi karena L. lecanii memiliki kemampuan menginfeksi semua stadia R. linearis,
yaitu telur, nimfa maupun imago. Dengan demikian, telur yang masih mampu
berkembang menjadi nimfa dan masih bertahan di lahan akhirnya juga akan terinfeksi
oleh cendawan.
L. lecanii juga berpotensi tinggi untuk diaplikasikan bersama-sama dengan
agens hayati lainnya. Hal ini disebabkan karena L. lecanii kompatibel dengan
sebagian predator maupun parasitoid (Koike et al. 2005; Kim et al. 2005). Pada
penelitian ini tidak dilakukan pengujian dampak aplikasi L. lecanii atau uji
kompatibilitas L. lecanii dengan agens hayati yang lain, khususnya predator yang
umumnya juga sangat potensial dalam menekan populasi hama kedelai (Powprawski
et al. 1998; Taulu 2001; Tengkano & Bedjo 2002). Namun demikian, hasil penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa aplikasi V. lecanii tidak mempengaruhi eksistensi
kinerja predator penghuni tajuk kedelai Oxyopes javanus Thorell (Prayogo 2004). Hal
ini ditandai dengan mortalitas predator hanya sekitar 2% atau setara dengan kontrol
(aplikasi air) hingga pengamatan sampai dengan 30 hari setelah aplikasi. Koike et al.
(2005) juga melaporkan bahwa V. lecanii dapat diaplikasikan bersama-sama dengan
predator Phytoseiulus persimilis (Acarina: Phytoseiidae) untuk mengendalikan hama
tungau (Tetranichus urticae) (Acarina: Tetranychidae). Lebih lanjut dilaporkan
Koike et al. (2005) bahwa dampak aplikasi V. lecanii terhadap kematian predator
hanya di bawah 5%.
Wang et al. (2005) melaporkan bahwa V. lecanii dapat diaplikasikan dengan
imago predator Delphastus catalinae (Coleoptera: Coccinellidae) yang biasa
130
memangsa kutu kebul T. vaporariorum. Namun tidak dianjurkan aplikasi bersama-
sama dengan predator tersebut pada stadia larvanya karena sangat rentan terhadap
infeksi V. lecanii. Hasil penelitian Kim et al. (2005) menunjukkan bahwa dampak
aplikasi V. lecanii hanya menyebabkan kematian parasitoid Aphidius colemani
(Hymenoptera: Braconidae) sekitar 2%. Dilihat dari kompatibilitas L. lecanii dengan
beberapa jenis agens hayati lainnya maka L. lecanii berpeluang besar untuk dapat
dipadukan dengan agens hayati lainnya dalam konsep pengelolaan hama terpadu
(PHT) tanaman kedelai.
Implikasi untuk PHT Kedelai
Salah satu pendekatan dalam konsep pengendalian hayati adalah augmentasi
yang dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu inokulasi dan inundasi. Inokulasi yaitu
pelepasan agens hayati dalam jumlah sedikit dengan harapan dapat berkembang
banyak untuk menekan populasi hama dalam kurun waktu yang lama. Sedangkan
inundasi adalah pelepasan agens hayati dalam jumlah yang berlimpah dengan harapan
dapat menekan populasi hama hingga di bawah ambang ekonomi dalam waktu yang
singkat. Tanaman kedelai merupakan tanaman semusim yang setiap tiga bulan sudah
dipanen kemudian diganti dengan jenis tanaman yang lain atau tanaman serupa.
Sehubungan dengan keadaan tersebut maka cara inokulasi kurang sesuai dan hasilnya
tidak akan memuaskan karena proses kolonisasi agens hayati tersebut akan berjalan
lambat. Sementara itu, perkembangan populasi R. linearis sangat cepat sehingga
perlakuan cendawan kurang mampu menekan struktur populasi di lapangan. Oleh
karena itu, pada kondisi demikian yang lebih sesuai dan adaptif adalah cara inundasi.
Kegiatan inundasi dilakukan dengan tujuan untuk menekan populasi hama
dalam waktu yang singkat agar populasi hama hanya berada di bawah posisi ambang
ekonomi. Inundasi dapat dilakukan berulangkali untuk menekan populasi hama
dengan cepat karena struktur populasi hama yang ada di lapangan dalam keadaan
tumpang tindih. Kegiatan tersebut sangat memungkinkan karena cendawan
131
entomopatogen lebih murah, mudah diperbanyak, dan tidak mengakibatkan efek
negatif terhadap lingkungan (Cook et al. 1996; Goettel et al. 2001).
Aplikasi L. lecanii dalam jumlah besar untuk menekan R. linearis dapat
dilakukan secara preventif, yaitu sebelum hama datang dan mengkolonisasi tanaman
kedelai. Tindakan ini dilakukan pada saat umur tanaman kurang lebih 35 HST.
Aplikasi ini bertujuan untuk melindungi tanaman apabila terdapat imago yang datang
meletakkan telurnya pada waktu menjelang berbunga. Pengendalian pada waktu
tersebut diduga akan berhasil sangat memuaskan, hal ini disebabkan telur-telur yang
baru diletakkan akan langsung terinfeksi cendawan. Hasil penelitian pada BAB IV
menunjukkan bahwa aplikasi L. lecanii mampu menekan populasi telur yang menetas
hanya di bawah 20%. Sementara itu, tidak semua nimfa yang terbentuk dapat
melangsungkan hidupnya menjadi serangga dewasa. Cendawan L. lecanii
mempunyai kelebihan yaitu mampu menginfeksi semua stadia R. linearis (Prayogo et
al. 2004). Dengan demikian, imago yang datang dan sedang meletakkan telur juga
berpeluang besar dapat terinfeksi L. lecanii. Oleh karena itu, perkembangan populasi
hama di lapangan dapat tertekan sehingga peledakan hama diharapkan tidak akan
terjadi.
Menurut Shah et al. (1998) peledakan hama sulit terjadi apabila persistensi
cendawan yang diaplikasikan di lapangan mampu bertahan lama (Shah et al. 1998).
Untuk meningkatkan persistensi V. lecanii di lapangan diperlukan bahan tambahan
atau pelindung (Bateman et al. 1993; Inglis et al. 1995a; Boyette et al. 1996; Ibrahim
et al. 1999). Hasil uji penambahan minyak nabati dengan konsentrasi 10 ml/l mampu
mempertahankan persistensi L. lecanii di pertanaman kedelai hingga tujuh hari
setelah aplikasi. Jika aplikasi L. lecanii dilakukan pada umur kurang lebih 35 HST,
maka konidia yang diaplikasikan masih bertahan di tanaman kedelai hingga umur 42
HST. Dalam rentang waktu tujuh hari, apabila ada telur yang baru diletakkan oleh
imago diharapkan dapat diinfeksi oleh konidia yang masih bertahan di lapangan.
Aplikasi berulang-ulang sebelum tujuh hari masih dianjurkan apabila masih
diperlukan, meskipun Wraight dan Ramos (2002) mengindikasikan bahwa aplikasi B.
bassiana secara inundatif yang dilakukan dalam selang waktu tujuh hari masih
132
dinilai cukup efektif untuk mengendalikan hama Leptinotarsa decemlineata Say.
(Coleoptera: Chrysomelidae).
Pada umur 35 HST, apabila dilakukan aplikasi dengan L. lecanii dengan
dosis yang tepat maka perkembangan populasi R. linearis dapat diatasi. Hal ini
terbukti dari hasil penambahan minyak nabati dari kacang tanah mampu menekan
populasi hama sehingga kerusakan polong yang terjadi sangat rendah dibandingkan
minyak kedelai maupun minyak kelapa. Oleh karena itu, L. lecanii merupakan agens
hayati yang sangat prospektif dan perlu diprioritaskan dalam pengendalian hama R.
linearis untuk mengurangi ketergantungan terhadap pestisida kimia sehingga akan
tercipta sistem pertanian yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Menurut
Rauf (1999), pemanfaatan agens hayati harus dikedepankan dalam upaya
pengendalian hama sebagai subtitusi pestisida kimia pada tanaman kedelai.
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Cendawan Lecanicillium lecanii (Zimm.) (Viegas) Zare & Gams memiliki
virulensi yang bervariasi dalam menekan perkembangan telur R. linearis. Isolat yang
diperoleh dari bangkai serangga lebih virulen dibandingkan dengan isolat yang
berasal dari tanah maupun pengumpanan serangga. Isolat yang virulen memiliki
karakter fisiologi antara lain; kolonisasi lebih cepat, koloni tebal dan merata
berbentuk wholly, produksi konidia lebih banyak, ukuran konidia lebih besar, daya
kecambah lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat. Isolat yang virulen memiliki
kemiripan karakter fisiologi yang sangat dekat yaitu hingga mencapai 98%.
Kerapatan konidia L. lecanii optimal untuk menekan perkembangan telur R.
linearis adalah 2.25 x 108/ml. Umur telur R. linearis yang paling rentan terhadap
infeksi L. lecanii adalah yang baru diletakkan oleh imago (<1-1 hari). Pada kondisi di
lapangan keadaan tersebut umumnya terjadi pada tanaman yang berumur kurang
lebih 35 hari setelah tanam (HST). Telur yang terinfeksi L. lecanii akan terlambat
menetas sehingga menyebabkan perkembangan serangga tidak sesuai dengan
perkembangan polong kedelai. Telur R. linearis yang terinfeksi cendawan dan tidak
menetas merupakan sumber inokulum sekunder bagi transmisi patogen ke inang yang
sehat untuk proses epizooti.
Penambahan minyak nabati mampu meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan L. lecanii secara in vitro. Penambahan minyak nabati 10 ml/l sebagai
bahan pelindung mampu mempertahankan persistensi cendawan di pertanaman
hingga tujuh hari setelah aplikasi. Peningkatan persistensi cendawan menyebabkan
peluang telur yang terinfeksi L. lecanii semakin meningkat dan telur yang mampu
menetas hanya di bawah 20%. Perkembangan nimfa yang terbatas menjadi serangga
dewasa mengakibatkan peluang polong yang dapat dirusak oleh serangga juga
terbatas. Oleh karena itu, jumlah polong hampa yang terbentuk lebih sedikit dan
134
jumlah polong isi yang dapat dipertahankan lebih banyak. Penambahan minyak
nabati mampu mempertahankan keefektifan cendawan L. lecanii untuk
mengendalikan telur R. linearis. Minyak kacang tanah lebih baik dibandingkan
minyak kedelai maupun minyak kelapa. Minyak kedelai dan minyak kelapa dapat
digunakan sebagai alternatif pengganti minyak kacang tanah.
Saran
Eksplorasi L. lecanii masih perlu dilakukan terus menerus untuk memperoleh
isolat yang lebih virulen. Tiga puluh tujuh isolat yang sudah diperoleh perlu diuji
virulensinya terhadap hama pengisap polong kedelai yang lain maupun hama utama
kedelai lainnya. Persistensi konidia L. lecanii di dalam tanah perlu dikaji lebih lanjut
untuk mencari metode aplikasi yang sesuai karena cendawan tersebut mampu
bertahan di dalam tanah sebagai saprob. Uji di lapangan masih perlu dikaji lebih
lanjut untuk mendukung optimasi pengendalian R. linearis dengan penambahan
minyak nabati kacang tanah.
151
Lampiran 1 Rata-rata suhu udara, curah hujan, dan kelembaban di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang (Juni 2006)
Suhu udara
(oC) 0.7.00 WIB 13.00 WIB 17.00 WIB
Tanggal pengamatan Min. Max. CH (mm) KB (%) CH (mm) KB (%) CH (mm) KB (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
17.5 17.5 17.5 17.5 17.5 18.0 18.5 18.5 17.5 18.0 17.5 17.5 17.5 17.0 17.0 18.0 17.5 17.5 18.0 17.5 21.0 20.5 19.5 20.0 21.0 19.0 18.5 18.0 18.0 18.0
32.0 32.0 31.5 31.5 32.5 32.0 32.0 32.5 31.0 32.0 31.5 32.0 31.5 32.0 32.0 32.0 31.5 31.5 32.0 32.0 32.0 32.0 30.5 30.0 32.0 31.5 32.0 32.0 32.0 32.0
8.8 6.5 0
2.5 1.8
19.2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
36.0 0
90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 89.0 89.0 90.0 98.0 89.0 89.0 88.0 88.0 90.0 90.0 90.0 89.0 88.0 89.0 88.0 89.0 89.0 90.0 89.0 90.0 90.0 90.0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
78.0 75.0 78.0 77.0 77.0 76.0 75.0 80.0 81.0 78.0 78.0 80.0 80.0 80.0 78.0 78.0 78.0 78.0 78.0 75.0 78.0 80.0 80.0 78.0 78.0 80.0 78.0 80.0 78.0 81.0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0
Rata-rata 18.2 31.8 2.5 89.7 0 78.3 0 90.0 Keterangan: CH (curah hujan), KB (Kelembaban) Sumber: Klimatologi, Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.
152
Lampiran 2 Rata-rata suhu udara, curah hujan, dan kelembaban di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang (Juli 2006)
Suhu udara
(oC) 0.7.00 WIB 13.00 WIB 17.00 WIB
Tanggal pengamatan Min. Max. CH (mm) KB (%) CH (mm) KB (%) CH (mm) KB (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
19.0 18.0 18.5 18.0 18.0 18.0 19.0 18.0 18.0 18.0 17.5 17.0 17.0 17.0 17.0 17.0 17.0 17.0 17.0 17.0 17.5 17.0 17.5 17.0 17.0 18.0 18.0 17.5 17.0 17.0 17.0
30.5 31.5 31.5 32.0 31.0 32.0 32.0 32.0 32.0 31.5 32.0 30.0 29.0 29.5 30.0 30.0 29.5 30.0 31.0 30.0 30.0 31.0 30.5 30.0 30.0 31.5 32.0 30.0 30.5 30.0 30.0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
32.0 20.0 29.0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
90.0 90.0 90.0 90.0 91.0 89.0 90.0 90.0 90.0 89.0 90.0 98.0 89.0 89.0 88.0 88.0 90.0 90.0 90.0 89.0 88.0 89.0 88.0 89.0 89.0 90.0 89.0 90.0 90.0 90.0 90.0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
80.0 80.0 80.0 79.0 78.0 79.0 79.0 80.0 80.0 79.0 79.0 81.0 81.0 80.0 80.0 80.0 80.0 79.0 79.0 78.0 79.0 80.0 80.0 80.0 80.0 80.0 80.0 80.0 78.0 81.0 80.0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 89.0 89.0 89.0 89.0 90.0 90.0 90.0 90.0 89.0 90.0 89.0 89.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 89.0 90.0 90.0 90.0 90.0 89.0
Rata-rata 17.5 30.7 2.6 89.7 0 79.6 0 89.0 Keterangan: CH (curah hujan), KB (Kelembaban) Sumber: Klimatologi, Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.
153
Lampiran 3 Rata-rata suhu udara, curah hujan, dan kelembaban di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang (Agustus 2006)
Suhu udara
(oC) 0.7.00 WIB 13.00 WIB 17.00 WIB
Tanggal pengamatan Min. Max. CH (mm) KB (%) CH (mm) KB (%) CH (mm) KB (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
17.0 17.0 17.5 17.5 17.5 17.5 17.0 17.0 17.5 17.5 17.0 17.0 17.5 17.5 17.0 16.5 16.0 17.5 16.0 16.5 17.5 17.0 17.0 16.5 17.0 18.0 18.5 17.0 18.5 20.5 20.5
29.0 29.0 28.5 28.0 28.0 28.0 27.5 27.5 27.0 27.0 27.5 28.0 27.5 28.0 30.0 30.5 29.5 30.0 28.5 28.5 28.5 28.0 30.0 28.5 28.5 30.0 29.0 29.0 30.0 28.5 29.0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
89.0 90.0 90.0 90.0 98.0 89.0 90.0 90.0 89.0 89.0 90.0 98.0 89.0 89.0 88.0 88.0 90.0 90.0 90.0 89.0 88.0 89.0 88.0 89.0 89.0 90.0 89.0 90.0 90.0 90.0 90.0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
80.0 78.0 80.0 78.0 78.0 80.0 80.0 80.0 81.0 80.0 80.0 80.0 80.0 78.0 80.0 81.0 80.0 81.0 81.0 80.0 78.0 78.0 78.0 80.0 80.0 80.0 80.0 80.0 80.0 81.0 81.0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 89.0 89.0 89.0 90.0 90.0 90.0 90.0 89.0 89.0 90.0 90.0 90.0 89.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 89.0 90.0 90.0 90.0
Rata-rata 17.4 28.6 0 89.9 0 79.7 0 89.8 Keterangan: CH (curah hujan), KB (Kelembaban) Sumber: Klimatologi, Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.
154
Lampiran 4 Rata-rata suhu udara, curah hujan, dan kelembaban di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang (Juni 2008)
Suhu udara
(oC) 0.7.00 WIB 13.00 WIB 17.00 WIB
Tanggal pengamatan Max. Min. CH (mm) KB (%) CH (mm) KB (%) CH (mm) KB (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
18.0 18.0 18.5 18.5 18.5 21.5 21.0 21.0 21.5 21.5 21.0 20.0 20.5 21.5 21.0 20.5 21.0 20.5 20.0 21.5 21.5 20.0 20.0 20.5 21.0 20.0 20.5 20.0 20.0 19.5
32.5 32.5 32.0 32.0 32.0 32.0 32.0 31.5 31.5 32.0 32.5 32.5 31.5 31.5 31.5 31.5 31.5 32.5 32.5 32.5 32.0 32.0 32.5 32.5 32.5 31.5 32.5 32.5 32.5 32.5
0 0 0 0 0 0
5.2 0 0 0 0 0 0
2.3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
90.0 90.0 89.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 89.0 89.0 90.0 90.0 89.0 89.0 88.0 88.0 90.0 90.0 90.0 89.0 88.0 89.0 88.0 89.0 89.0 90.0 89.0 90.0 90.0 90.0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
81.0 84.0 81.0 81.0 77.0 76.0 75.0 81.0 84.0 78.0 78.0 81.0 84.0 81.0 77.0 78.0 78.0 77.0 77.0 77.0 78.0 80.0 81.0 78.0 78.0 80.0 78.0 80.0 78.0 81.0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
89.0 89.0 89.0 90.0 90.0 90.0 90.0 90.0 89.0 89.0 89.0 89.0 89.0 89.0 90.0 89.0 89.0 90.0 90.0 90.0 89.0 89.0 90.0 90.0 89.0 90.0 89.0 90.0 89.0 90.0
Rata-rata 20.3 32.1 0 89.4 0 79.3 0 89.5
Keterangan: CH (curah hujan), KB (Kelembaban) Sumber: Klimatologi, Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.
155
Lampiran 5 Rata-rata suhu udara, curah hujan, dan kelembaban di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang (Juli 2008)
Suhu udara
(oC) 0.7.00 WIB 13.00 WIB 17.00 WIB
Tanggal pengamatan Max. Min. CH (mm) KB (%) CH (mm) KB (%) CH (mm) KB (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
20.0 21.0 20.5 21.5 21.5 21.5 20.0 20.0 21.5 20.5 20.0 20.0 20.5 20.5 21.0 20.5 21.0 20.5 20.0 21.5 21.5 20.0 20.0 20.5 21.0 20.0 20.5 20.0 21.5 19.0 19.0
31.5 31.5 31.0 32.0 32.0 32.0 32.0 32.0 32.0 32.5 31.5 31.5 32.5 31.0 31.5 32.0 32.5 32.0 32.0 31.0 31.5 31.5 32.0 32.5 32.0 32.0 32.0 32.5 32.5 32.5 32.0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
89.0 90.0 90.0 89.0 90.0 89.0 90.0 90.0 89.0 89.0 88.0 90.0 89.0 89.0 88.0 88.0 89.0 89.0 89.0 89.0 88.0 89.0 88.0 89.0 89.0 90.0 89.0 90.0 90.0 89.0 90.0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
80.0 81.0 80.0 81.0 77.0 76.0 75.0 81.0 80.0 78.0 78.0 79.0 80.0 80.0 77.0 78.0 78.0 77.0 77.0 77.0 78.0 80.0 79.0 78.0 78.0 80.0 78.0 79.0 78.0 78.0 79.0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
90 89 90 90 90 90 89 90 90 90 89 90 90 90 90 90 90 89 90 89 90 89 89 90 89 90 90 89 90 90 89
Rata-rata 20.5 31.9 0 89.2 0 78.5 0 89.7 Keterangan: CH (curah hujan), KB (Kelembaban) Sumber: Klimatologi, Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.
156
Lampiran 6 Rata-rata suhu udara, curah hujan, dan kelembaban di Kebun Percobaan Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Malang (Agustus 2008)
Suhu udara
(oC) 0.7.00 WIB 13.00 WIB 17.00 WIB
Tanggal pengamatan Max. Min. CH (mm) KB (%) CH (mm) KB (%) CH (mm) KB (%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
18.5 18.5 18.5 18.0 17.0 17.0 18.0 18.0 18.5 18.5 18.0 18.0 18.5 18.5 18.0 18.0 18.0 17.0 17.0 17.5 17.5 17.0 17.0 18.0 18.0 18.5 18.5 18.0 18.0 19.0 19.0
32.5 32.5 32.0 32.5 32.5 32.5 32.0 32.5 32.5 32.0 31.0 31.5 31.5 31.5 32.0 32.5 32.0 32.0 32.5 32.5 32.5 32.0 32.0 32.0 32.0 32.5 32.0 31.5 31.5 32.0 32.0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
90.0 90.0 90.0 90.0 89.0 89.0 89.0 89.0 89.0 89.0 89.0 89.0 89.0 89.0 88.0 88.0 89.0 89.0 90.0 89.0 88.0 89.0 88.0 89.0 89.0 90.0 89.0 89.0 89.0 89.0 89.0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
78.0 78.0 80.0 80.0 75.0 78.0 78.0 80.0 80.0 78.0 78.0 80.0 80.0 80.0 77.0 80.0 80.0 75.0 75.0 75.0 78.0 78.0 80.0 78.0 78.0 75.0 78.0 78.0 78.0 78.0 78.0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
89.0 90.0 90.0 89.0 89.0 89.0 90.0 89.0 90.0 89.0 90.0 89.0 90.0 89.0 90.0 90.0 89.0 89.0 89.0 89.0 89.0 90.0 89.0 89.0 90.0 90.0 90.0 90.0 89.0 89.0 89.0
Rata-rata 18.0 32.1 0 89.1 0 78.1 0 89.4 Keterangan: CH (curah hujan), KB (Kelembaban) Sumber: Klimatologi, Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.
UCAPAN TERIMAKASIH Assallam Wr, Wb. Alhamdullilah Wasyukurillah Alloh SWA pada hari