kajian evaluasi risiko fiskal atas kebijakan pso … · di bawah ini, adalah bagan model...
TRANSCRIPT
KAJIAN EVALUASI RISIKO FISKAL ATAS KEBIJAKAN PSO DAN PEMBENTUKAN HOLDING COMPANY
Abstraksi
Berdasarkan data realisasi subsidi APBN, selama ini meningkatnya angka subsidi APBN di-drive oleh, salah satunya besaran subsidi listrik. Sejak tahun 2005 subsidi listrik memiliki kecenderungan yang terus meningkat tajam hingga tahun 2008.
Dalam konteks ini, pemerintah sebagai pemberi subsidi listrik perlu untuk memiliki model keuangan sendiri untuk perhitungan subsidi listrik. Sebab, model PT PLN (Persero) yang digunakan untuk menghitung besaran subsidi listrik hanya memberikan informasi untuk perhitungan besaran subsidi listrik secara agregat dan tidak menampilkan perhitungan secara detail sampai ke biaya pembangkit. Selain itu, juga tidak memberikan informasi yang bisa dipakai dalam rangka pengelolaan dan pengendalian biaya pembangkit, BPP - Tegangan Tinggi, BPP - Tegangan Menengah dan BPP - Tegangan Rendah. Dan, ujungnya, tidak dapat memberikan informasi untuk dipakai dalam rangka pengelolaan dan pengendalian Subsidi Listrik
Dengan memiliki model keuangan seperti tersebut di atas, diharapkan pemerintah mampu mengelola dan mengendalikan dengan baik subsidi listrik melalui pengendalian BPP listrik dan biaya pembangkit sehingga setiap ada usulan perubahan besaran subsidi listrik oleh PT PLN (Persero) pada akhirnya diharapkan tidak berdampak pada meningkatnya risiko fiskal.
Adapun tujuan pembuatan model keuangan tersebut adalah untuk: a. mengidentifikasi faktor-faktor ekonomi yang memiliki keterkaitan dengan struktur
biaya pembangkit listrik sebagai dasar penetapan subsidi listrik oleh pemerintah kepada PT PLN (Persero)
b. mengembangkan kerangka analisis yang dapat menjelaskan keterkaitan dan sensitivitas variabel makro ekonomi terhadap besaran subsidi yang diberikan oleh pemerintah kepada PT PLN (Persero)
c. mengembangkan model spreadsheet yang digunakan untuk analisis keterkaitan variabel makro ekonomi terhadap struktur biaya pembangkit listrik di PT PLN (Persero).
I. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Ketersediaan tenaga listrik adalah salah satu prasyarat mutlak bagi
keberlangsungan kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, usaha penyediaan tenaga
listrik dikuasai serta dijamin oleh negara dan penyediaannya perlu terus ditingkatkan
sejalan dengan perkembangan pembangunan dalam jumlah yang cukup, merata dan
bermutu yang pada akhirnya dapat menumbuhkan perekonomian seluruh daerah di
Indonesia.
Seiring dengan hal tersebut di atas, PT PLN (Pesero) melalui visi 75/100 bercita-
cita bahwa pada tahun 2020 kelak seluruh penduduk Indonesia bisa menikmati layanan
tenaga listrik dari BUMN tersebut. Berdasarkan data Departemen ESDM tahun 2008,
total kapasitas terpasang dari seluruh pembangkit listrik adalah sekitar 30 ribu MW (terdiri
dari pembangkit PLN 24.925 MW, IPP 4.044 MW dan lainnya 916 MW). Dengan
sejumlah infrastruktur tersebut, PT PLN (Persero) baru mampu mencapai rasio
elektrifikasi 64,3%.
Disamping itu, saat ini terdapat program percepatan pembangunan pembangkit
listrik 10 ribu MW tahap pertama. Tentu saja ini merupakan kewajiban PT PLN (Persero)
untuk membiayai seluruh proyek ini, baik dengan cara menjual obligasi maupun dengan
pinjaman bank.
Dengan meningkatnya kapasitas pembangkit listrik yang masuk ke dalam sistem
ketenagalistrikan nasional yang berasal dari program percepatan pembangkit listrik
10.000 MW diperkirakan hal itu akan meningkatkan pula risiko fiskal. Alur berpikirnya
adalah sebagai berikut: dengan selesainya beberapa proyek pembangkit listrik tentu saja
ini akan menambah kapasitas pembangkit listrik secara nasional. Dengan meningkatnya
jumlah kapasitas pembangkit listrik maka jumlah masyarakat yang dapat mengkonsumsi
tenaga listrik makin bertambah. Bertambahnya masyarakat yang terlayani oleh PT PLN
(Persero) atau semakin meningkatnya angka rasio elektrifikasi tentu saja akan
berdampak pada meningkatnya jumlah subsidi listrik karena Harga Jual Tenaga Listrik
(HJTL) rata-rata atau Tarif Dasar Listrik (TDL) yang ditetapkan pemerintah lebih rendah
daripada Biaya Pokok Penyediaan (BPP) Listrik rata-rata. Dengan demikian, makin besar
kapasitas layanan tenaga listrik PT PLN (Persero), makin besar pula potensi
meningkatnya risiko fiskal yang berasal dari subsidi listrik.
Salah satu cara untuk merumuskan subsidi secara lebih tepat adalah dengan
membuat suatu financial model perhitungan subsidi listrik yang menggunakan basis data
yang sama dengan financial model perhitungan subsidi listrik milik PT PLN (Persero),
namun dengan perspektif yang berbeda (dalam hal ini perspektif negara sebagai pemberi
subsidi).
Model keuangan PT PLN (Persero) yang selama ini menghasilkan usulan besaran
subsidi listrik tidak dilengkapi dengan informasi secara detail hingga biaya pembangkit
dan proses perhitungan Biaya Pokok Penyediaan per tegangan (Tegangan Tinggi,
Tegangan Menengah dan Tegangan Rendah). Selain itu, analisis sensitivitas antara
asumsi makro ekonomi dan industri listrik terhadap biaya pembangkit, BPP listrik dan
subsidi listrik juga tidak dimiliki oleh model PT PLN (Persero).
Dengan memiliki model keuangan seperti tersebut di atas, diharapkan pemerintah
mampu mengelola dan mengendalikan dengan baik subsidi listrik melalui pengendalian
BPP listrik dan biaya pembangkit sehingga setiap ada usulan perubahan besaran subsidi
listrik oleh PT PLN (Persero) pada akhirnya tidak berdampak pada meningkatnya risiko
fiskal.
1.2. Tujuan
Berdasarkan paparan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk:
a. Mengidentifikasi faktor-faktor ekonomi apa saja yang memiliki keterkaitan dengan
struktur biaya pembangkit listrik sebagai dasar penetapan subsidi listrik oleh
pemerintah kepada PT PLN (Persero)
b. Mengembangkan kerangka analisis yang dapat menjelaskan keterkaitan dan
sensitivitas variabel makro ekonomi terhadap besaran subsidi yang diberikan oleh
pemerintah kepada PT PLN (Persero)
c. Mengembangkan model spreadsheet yang akan digunakan untuk analisis keterkaitan
variabel makro ekonomi terhadap struktur biaya pembangkit listrik di PT PLN
(Persero).
1.3. Output dan Outcome
Adapun output yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
a. Faktor-faktor ekonomi yang memiliki keterkaitan dengan struktur biaya pembangkit
listrik sebagai dasar penetapan subsidi listrik oleh pemerintah kepada PT PLN
(Persero)
b. Kerangka analisis yang dapat menjelaskan keterkaitan dan sensitivitas variabel
makro ekonomi terhadap besaran subsidi yang diberikan oleh pemerintah kepada PT
PLN (Persero)
c. Model spreadsheet yang akan digunakan untuk analisis keterkaitan variabel makro
ekonomi terhadap struktur biaya pembangkit listrik di PT PLN (Persero).
Sedangkan outcome yang diharapkan adalah tersedianya analisis sensitivitas variabel
makro ekonomi terhadap perubahan struktur biaya pembangkit listrik di PT PLN (Persero)
yang akan digunakan sebagai dasar perhitungan besaran subsidi listrik oleh pemerintah.
II. Metodologi Penelitian
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah berdasarkan:
1. Model Pengelolaan dan Pengendalian Risiko Keuangan dalam APBN
2. Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penyediaan Anggaran, Perhitungan,
Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Subsidi Listrik.
Di bawah ini, adalah bagan Model Pengelolaan dan Pengendalian Risiko Keuangan da
lam APBN yang menggambarkan dukungan pemerintah bagi pelaksanaan PSO listrik
sehingga misi PSO bidang ketenagalistrikan dari pemerintah dapat tercapai.
Bagan 1 - Model Pengelolaan dan Pengendalian Risiko Keuangan dalam APBN
Untuk data asumsi yang diduga terkait dengan besaran subsidi listrik, variabel
makro ekonomi yang akan digunakan dalam model spreadsheet tersebut adalah harga
bahan bakar (ICP, gas, batubara, panas bumi), inflasi, kurs, tingkat suku bunga dan
pertumbuhan ekonomi.
Untuk biaya pembangkitan (sebagai komponen pembentuk BPP TT) sudah
termasuk biaya pembelian tenaga listrik dari Independent Power Producer (IPP) dan
sewa pembangkit. Data biaya pembangkitan dikumpulkan per jenis pembangkit listrik per
lokasi (bottom up approach). Selanjutnya, data biaya pembangkitan, biaya transmisi TT
dan lainnya yang berada dalam satu sistem jaringan ketenagalistrikan akan diproses oleh
model penelitian ini berdasarkan sistem jaringan yang ada.
Sedangkan BPP listrik yang digunakan sebagai dasar perhitungan subsidi listrik
adalah sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara
Penyediaan Anggaran, Perhitungan, Pembayaran, dan Pertanggungjawaban Subsidi
Listrik yaitu: BPP Tegangan Tinggi, BPP Tegangan Menengah dan BPP Tegangan
Rendah. Perhitungan detailnya adalah sebagai berikut:
RPJP, RPJM, RKP, UU 19/2003, UU Sektor, Perpres 5/2006, PMK Subsidi Listrik
Aktivitas PSO Output PSO Misi PSO Pemerintah
Efisiensi PSO Efektivitas PSO
Peningkatan pelayanan umum Pertumbuhan ekonomi Diversifikasi energi primer
Dukungan Pemerintah berupa Subsidi Listrik
Ketersediaan tenaga listrik Terlaksananya investasi dan pemeliharaan pembangkit listrik non BBM
Kemudian, berdasarkan persamaan BPP TT, BPP TM dan BPP TR di atas, maka
besaran subsidi listrik yang harus dibayarkan pemerintah adalah sesuai dengan
persamaan sebagai berikut:
Besaran subsidi ini diperoleh per golongan tarif dan per jenis tegangan (TT, TM,
TR). Tarif Dasar Listrik (TDL) yang berlaku hingga saat ini adalah berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 104 Tahun 2003 tentang Harga Jual Tenaga Listrik Tahun
2004.
Dari uraian di atas, alur dari model perhitungan subsidi listrik yang dibangun
dalam penelitian ini adalah seperti berikut ini:
Bagan 2 – Alur Model Perhitungan Subsidi Listrik
III. Analisis dan Pembahasan
Dalam penjelasan bab terdahulu, telah dipaparkan bahwa model ini dibangun
dengan menggunakan bottom up approach sebagai dasar perhitungan besaran subsidi
listrik. Dengan pendekatan tersebut, bisa diketahui berdasarkan variabel apa saja biaya
pembangkit dari suatu pembangkit listrik itu dibentuk, bagaimana pengaruh faktor makro
ekonomi itu berdampak terhadap biaya pembangkit, seberapa besar faktor industri listrik
Pengisian data asumsi makro ekonomi dan
lainnya
Pengisian data HJTL, Volume penjualan tenaga listrik, Biaya pembangkit
Perhitungan BPP TT, BPP TM, BPP TR
Perhitungan Subsidi Listrik
BPP TT = Total Biaya di TT / kWh net di TT
= (Biaya Pembangkitan + Biaya Transmisi TT) / (kWh diterima di TT – kWh
losses di TT)
BPP TM = (Total Biaya di TM – Pendapatan di TT) / kWh net di TM
= ((Total Biaya di TT + Biaya Distribusi di TM) – (kWh terjual di TT x BPP
TT)) / (kWh diterima di TM – kWh losses di TM)
BPP TR = (Total Biaya di TR – (Pendapatan di TT dan TM) / kWh net di TR
= ((Total Biaya di TM + Biaya Distribusi di TR) – (kWh terjual di TT x BPP TT
+ kWh terjual di TM x BPP TM)) / (kWh diterima di TR – kWh losses di
TR)
Subsidi = - (Harga Jual Tenaga Listrik – BPP (1 + margin)) x kWh terjual
berdampak terhadap biaya pembangkit sampai dengan bagaimana cara faktor makro
ekonomi dan industri listrik itu berpengaruh terhadap besaran subsidi listrik.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini ditampilkan struktur model simulasi yang
menghubungkan asumsi makro ekonomi dan industri ke model biaya pembangkit, volume
penjualan listrik hingga subsidi listrik.
Bagan 3 Struktur Model Simulasi Biaya Pembangkit
3.1 Faktor Sensitivitas Biaya Pembangkit
Faktor-faktor makro ekonomi yang masuk dalam pertimbangan model penelitian
ini yaitu:
Harga energi primer: Indonesian Crude Petroleum, batubara dunia, gas dan
panas bumi;
Inflasi: Indonesia dan dunia
Kurs Rp terhadap USD
Asumsi makro ekonomi dan
industri
Perhitungan Biaya Pokok
Penyediaan listrik
Model biaya pembangkit
Rekap pembangkit
Volume penjualan listrik per
golongan tarif dan tegangan
Harga jual tenaga listrik per
golongan tarif dan tegangan
Perhitungan subsidi listrik
Output: Biaya pembangkit, Fuel mix, BPP, Subsidi per golongan , Subsidi total
Tingkat pertumbuhan ekonomi
Tingkat suku bunga: SBI dan London Inter Bank Offered Rate (LIBOR)
Sedangkan faktor-faktor industri listrik yang dipertimbangkan dalam model ini
adalah:
Alpha Pertamina untuk bahan bakar minyak (HSD, IDO, dan MFO)
Pajak Pertambahan Nilai BBM
Susut jaringan TT, TM dan TR
Tingkat marjin dari BPP
Tingkat pertumbuhan permintaan listrik
Pada dasarnya, biaya pembangkit terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel.
Sekitar 60 persen biaya pembangkit disumbang dari komponen biaya bahan bakar.
Biaya bahan bakar merupakan biaya variabel yang paling signifikan terhadap
biaya pembangkit. Biaya variabel lainnya adalah biaya pemeliharaan yang nilainya
bergerak sesuai dengan jumlah produksi tenaga listrik oleh pembangkit listrik tersebut.
Sedangkan Biaya tetap pembangkit terdiri dari:
Biaya kepegawaian
Biaya administrasi
Biaya beban bunga
Penyusutan
Biaya-biaya ini tetap ada walaupun pembangkit listrik tidak memproduksi tenaga listrik.
3.2. Pengaruh Faktor Makro dan Industri Terhadap Biaya Pembangkit
Bagan 4 - Pengaruh Faktor Makro dan Industri Terhadap Biaya Pembangkit
Berdasarkan diagram di atas, dapat diketahui bahwa hampir semua faktor
asumsi, baik makro ekonomi maupun industri, mempengaruhi besaran biaya pembangkit,
baik melalui biaya variabel maupun biaya tetap.
Harga ICP, harga batu bara dunia, harga gas dan harga panas bumi akan
mempengaruhi biaya pembangkit melalui biaya bahan bakar. Faktor kurs Rp terhadap
USD ini mempengaruhi besaran biaya pembangkit melalui banyak komponen biaya.
Komponen biaya yang dpengaruhi secara langsung oleh faktor kurs adalah biaya bahan
bakar, biaya material dan jasa borongan yang biasanya berdenominasi valas, biaya
beban bunga pinjaman luar negeri, biaya pemeliharaan (berdenominasi Rp namun
mengikuti pergerakan nilai USD) dan biaya penyusutan.
Sedangkan suku bunga LIBOR hanya mempengaruhi biaya bunga pinjaman,
yang merupakan bagian dari biaya tetap pembangkit listrik.
Selanjutnya, dari sisi industri listrik, faktor alpha Pertamina untuk bahan bakar
HSD, IDO maupun MFO serta Pajak Pertambahan Nilai BBM mempengaruhi besaran
biaya pembangkit melalui biaya bahan bakar.
Makro: 1. Harga ICP 2. Harga Batubara 3. Harga Gas 4. Harga Panas Bumi 5. Inflasi Indonesia 6. Inflasi Dunia 7. Kurs Rp/USD 8. Pertumbuhan
Ekonomi 9. Suku Bunga SBI 10. Suku Bunga LIBOR
Industri:
1. Alpha HSD 2. Alpha IDO 3. Alpha MFO 4. PPN BBM 5. Susut Jaringan TT 6. Susut Jaringan TM 7. Susut Jaringan TR 8. Marjin 9. Pertumbuhan listrik
Biaya Pembangkit: Biaya Variabel:
Biaya Bahan Bakar
Biaya pemeliharaan
Biaya Tetap:
Biaya kepegawaian
Biaya administrasi
Biaya Material
Jasa Borongan
Biaya beban bunga a. Komponen Rp b. Komponen USD
Penyusutan
3.3. Model Biaya Pembangkit
Berikut ini tampilan dari model simulasi biaya pembangkit bagian input. Pada
bagian input ini, terdiri dari kumpulan asumsi, baik makro ekonomi maupun industri listrik.
Tabel 1. Asumsi Faktor Makro dan Industri Listrik
Asumsi faktor-faktor di atas selanjutnya menjadi masukan untuk menghitung biaya
pembangkit.
3.4 Biaya Pokok Penyediaan Listrik
Sebagaimana dijelaskan pada bab terdahulu, Biaya Pokok Penyediaan (BPP)
terdiri dari BPP Tegangan Tinggi, BPP Tegangan Menengah dan BPP Tegangan
Rendah.
Sedangkan variabel makro ekonomi dan industri listrik BPP adalah sejumlah
variabel yang mempengaruhi biaya pembangkit serta susut dan jumlah listrik yang terjual
di tiap jaringan tegangan (TT, TM dan TR). Juga biaya transmisi (untuk TT) atau biaya
INPUT
Asumsi faktor-faktor makro
2008 Satuan Nilai Referensi
Harga ICP 130 USD per barrel 130
Harga Batubara Dunia 70 USD per ton 70
Harga Gas 3,8 USD per MMBTU 3,8
Harga Panas Bumi 752 Rp./kWh 752
Inflasi Indonesia 6,0% per tahun 6,00%
Inflasi dunia 2,5% per tahun 2,50%
Kurs USD 9250 Rp. Per USD 9250
Pertumbuhan Ekonomi 5,60% per tahun 5,60%
Tingkat suku bunga SBI 8,0% per tahun 8,00%
Tingkat suku bunga LIBOR 3,0% per tahun 3,00%
Asumsi faktor-faktor industri
2008 Satuan
Alfa Pertamina, HSD 5% 5,00%
Alfa Pertamina, MFO 5% 5,00%
Alfa Pertamina, IDO 5% 5,00%
PPN BBM 10% 10,00%
Harga Pembelian Listrik 0%
Komponen Valas 0,05 USD/kWh 0,05
Komponen Rupiah 31,73 Rp/kWh 31,73
Harga Sewa Pembangkit 268,15 Rp/kWh 268,15
Susut Jaringan TT 2,75% 2,75%
Susut Jaringan TM 2,75% 2,75%
Susut Jaringan TR 5,50% 5,50%
Marjin BPP untuk perhitungan Subsidi 0,00% 0,00%
Pertumbuhan permintaan listrik 8,96% per tahun 8,96%
distribusi (TM dan TR) yang disebabkan komponen biaya tersebut berdenominasi US
dollar atau bergerak seiring dengan fluktuasi kurs US dollar terhadap Rupiah.
Adapun persamaan dari BPP Tegangan Tinggi adalah sebagai berikut:
Biaya Transmisi TT adalah penjumlahan dari biaya-biaya fungsional di transmisi
tegangan tinggi. Biaya fungsional tersebut meliputi biaya pemeliharaan (material dan jasa
borongan) TT, biaya administrasi TT, biaya kepegawaian TT, biaya penyusutan TT dan
biaya pinjaman TT.
Adapun persamaan dari BPP Tegangan Menengah adalah sebagai berikut:
Biaya Distribusi TM adalah penjumlahan dari biaya-biaya fungsional di distribusi
tegangan menengah. Biaya fungsional tersebut meliputi biaya pemeliharaan (material
dan jasa borongan) TM, biaya administrasi TM, biaya kepegawaian TM, biaya
penyusutan TM dan biaya pinjaman TM.
Adapun persamaan dari BPP Tegangan Rendah adalah sebagai berikut:
Biaya distribusi TR adalah penjumlahan dari biaya-biaya fungsional di distribusi
tegangan rendah. Biaya fungsional tersebut meliputi biaya pemeliharaan (material dan
jasa borongan) TR, biaya administrasi TR, biaya kepegawaian TR, biaya penyusutan TR
dan biaya pinjaman TR.
3.5. Model Biaya Pokok Penyediaan Listrik
Pada Model Biaya Pembangkit mempunyai keluaran berupa biaya pembangkit
dan jumlah bruto produksi listrik secara agregat. Variabel biaya pembangkit tersebut
menjadi masukan bagi model biaya pokok penyediaan.
BPP TT = Total Biaya di TT / kWh net di TT
= (Biaya Pembangkitan + Biaya Transmisi TT) / (kWh diterima
di TT – kWh losses di TT)
BPP TM = (Total Biaya di TM – Pendapatan di TT) / kWh net di TM
= ((Total Biaya di TT + Biaya Distribusi di TM) – (kWh terjual di
TT x BPP TT)) / (kWh diterima di TM – kWh losses di TM)
BPP TR = (Total Biaya di TR – (Pendapatan di TT dan TM) / kWh net di
TR
= ((Total Biaya di TM + Biaya Distribusi di TR) – (kWh terjual di
TT x BPP TT + kWh terjual di TM x BPP TM)) / (kWh diterima
di TR – kWh losses di TR)
Implementasi perhitungan biaya pokok penyediaan di level tegangan tinggi,
tegangan menengah dan tegangan rendah adalah seperti di bawah ini:
Tabel 2 Perhitungan Biaya Pokok Penyediaan TT, TM dan TR
3.6. Perhitungan Subsidi Listrik
Dalam bab sebelumnya disebutkan bahwa formula perhitungan subsidi listrik
seperti berikut ini:
IV. Penutup
4.1 Kesimpulan
Susut TW I
a Biaya Pembangkitan (Rp. Milyar) 37.801
b Biaya Transmisi Tegangan Tinggi - 1.046
c=a+b Total Biaya di Tegangan Tinggi 38.847
d GWh diterima di Tegangan Tinggi 36.721
e GWh losses di Tegangan Tinggi 2,75% 1.010
f=d-e GWh net di Tegangan Tinggi 35.711
g GWh jual di Tegangan Tinggi 3.224
h=c/f Biaya Pokok Penyediaan TT (Rp./kWh) 1.087,8
Item
i Biaya Distribusi di Tegangan Menengah 1.046
j=c+i Total Biaya di Tegangan Menengah 39.893
k=f-g GWh diterima di Tegangan Menengah 32.487
l GWh losses di Tegangan Menengah 2,75% 893
m=k-l GWh net di Tegangan Menengah 31.593
n GWh jual di Tegangan Menengah 11.895
o=(j-gxh)/m Biaya Pokok Penyediaan TM 1.152
Subsidi = - (Harga Jual Tenaga Listrik – BPP (1 + margin)) x kWh
terjual
p Biaya Distribusi di Tegangan Rendah 1.046
q=j+p Total Biaya di Tegangan Rendah 40.940
r=m-n GWh diterima di Tegangan Rendah 19.698
s GWh losses di Tegangan Rendah 5,50% 1.083
t=r-s GWh net di Tegangan Rendah 18.614
u GWh jual di Tegangan Rendah 18.614
v=((j+p)-(hxg+nxo))/t Biaya Pokok Penyediaan TR 1.275
Model simulasi yang sedang dibangun dalam rangka pengelolaan dan
pengendalian subsidi listrik ini untuk sementara sudah bisa memenuhi harapan dalam
konteks kerangka berpikir proses perhitungan subsidi listrik yang relatif lebih baik dengan
alasan proses ini dimulai dari bawah, yaitu dari level pembangkit listrik (bottom up).
Setidaknya terdapat dua hal yang dapat disimpulkan dari pembangunan model
simulasi ini, yakni:
1. Model tersebut dapat menjelaskan keterkaitan antara asumsi makro ekonomi dan
industri listrik terhadap biaya pembangkit, BPP listrik sampai subsidi listrik.
2. Model tersebut dapat digunakan untuk pengendalian besaran subsidi listrik
dengan cara peningkatan efisiensi BPP listrik melalui pengendalian biaya
pembangkit.
Oleh karena itu, beberapa manfaat yang diharapkan dari model simulasi ini
adalah:
1. Model tersebut diharapkan berguna sebagai pembanding terhadap model milik PT
PLN (Persero) untuk mengalokasikan besaran subsidi listrik secara lebih tepat.
2. Model tersebut diharapkan berguna sebagai alat untuk memproyeksi besaran
subsidi listrik di masa depan.
3. Model tersebut diharapkan berguna sebagai alat pengendalian besaran subsidi
listrik.
Di sisi lain, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111 Tahun 2007 yang menjadi
pedoman teknis pembayaran subsidi listrik saat ini perlu dikaji ulang. Kegiatan verifikasi
dari instansi berwenang yang hanya berbasis dokumen pengajuan tagihan memiliki
beberapa kelemahan diantaranya:
(1) Skema pemberian subsidi (PSO) listrik kepada PT PLN (Persero) belum dapat
menjamin pengelolaan pengendalian risiko fiskal atas perubahan besaran subsidi
listrik.
(2) Ketidakmampuan, kelalaian dan kerugian yang ditimbulkan oleh manajemen PT PLN
(Persero) dalam penyediaan listrik secara otomatis dialihkan kepada pemerintah,
dan bagi PT PLN (Persero) sendiri tidak berlaku sistem reward dan punishment;
4.2 Rekomendasi
Dengan demikian, diperlukan langkah-langkah yang harus dilakukan Badan
Kebijakan Fiskal antara lain adalah:
1. Dalam hal operasionalisasi model untuk pengelolaan dan pengendalian subsidi
listrik, Badan Kebijakan Fiskal perlu meningkatkan koordinasi dengan PT PLN
(Persero) untuk memperkuat data base model tersebut.
2. Perlunya pengaturan alokasi risiko fiskal atas perubahan subsidi listrik dimana:
(1) perubahan yang disebabkan oleh faktor internal PT PLN (Persero) menjadi
tanggung jawab BUMN tersebut.
(2) perubahan karena faktor eksternal menjadi tanggung jawab Pemerintah.
3. Terkait dengan nomor 2 tersebut di atas, Badan Kebijakan Fiskal menjadi inisiator
untuk mengkaji ulang materi PMK Nomor 111 Tahun 2007 (draft revisi terlampir)
tersebut.
V. Daftar Pustaka
Undang Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan.
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan
Tenaga Listrik.
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1994 Tentang Pengalihan Bentuk Perseroan
Umum (Perum) Listrik Negara Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).
Keputusan Presiden Nomor 104 Tahun 2003 Tentang Harga Jual Tenaga Listrik Tahun
2004 yang Disediakan oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT. PLN.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.02/2007 Tahun 2007 Tentang Tata Cara
Penyediaan Anggaran, Penghitungan, Pembayaran dan Pertanggungjawaban
Subsidi Listrik Tahun 2007.
Murray, B (2009),”Power Markets and Economics: Energy Costs, Trading, Emissions”,
Wiley
Marsudi, Djiteng, (2005),”Pembangkitan Energi Listrik”, Jakarta: Penerbit Erlangga
Moltke, A. McKee, C. Morgan, T (2004), “Energy Subsidies: Lessons Learned in
Assessing Their Impact”
Kementerian Bidang Perekonomian, 2007, “Dengan PSO Menjembatani Kesenjangan
Infrastruktur: Kajian Awal Evaluasi Kebijakan PSO BUMN Infrastruktur”.
Nahadi, Bin, 2007, “Komersialisasi Public Service Obligation (PSO)”.