kajian kebijakan pembangunan dan dampaknya€¦ · negara-negara ini justru memiliki kekayaan...
TRANSCRIPT
17
DUA
KAJIAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN
DAN DAMPAKNYA
Pengantar
Pembangunan sebagai wacana atau diskursus (discourse development) telah menduduki tempat dalam sejarah perkembangan
pemikiran dari teori-teori pembangunan itu sendiri (Fakih, 2001:12-13;
Grillo and Strirrat, 1977). Wacana pembangunan kemudian dipahami
sebagai upaya sadar, terencana, dan melembaga untuk mencapai
sesuatu masyarakat yang dibayangkan (imagine community)
(Anderson, 2001). Mengacu kepada teori-teori modernisasi masyarakat
yang dibayangkan (Suparlan, 1993:viii; dan Ibrahim, 2004:37-38)
adalah membebaskan diri dari ketertinggalan menjadi negara maju atau
negara sejahtera yang umumnya lebih menggunakan angka-angka laju
pertumbuhan ekonomi sebagai kategori tersendiri untuk mengukur
keberhasilan pembangunan.
Berdasarkan angka-angka pertumbuhan ekonomi misalnya,
negara-negara yang umumnya dikategorikan tertinggal secara ekonomi
pada dasarnya memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah
sehingga dapat digunakan sebagai modal untuk mengejar
ketertinggalannya. Kekayaan tersebut kemudian dijual negara kepada
para investor agar dapat memperoleh modal membiayai pembangunan.
Sayangnya modal yang diperoleh dalam banyak hal tidak untuk
mensejahterakan rakyat tetapi mensejahterakan segelintir orang yang
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual
18
memiliki kekuasaan. Dampaknya adalah muncul sejumlah perlawanan
yang dilakukan rakyat untuk mempertanyakan kepada negara terkait
masa depan dari kebijakan pembangunan tersebut dimasa mendatang,
terutama dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam yang
dimilikinya (Fauji, 2005).
Atas dasar latar belakang di atas, bab ini akan menjawab
pertanyaan tentang bagaimana luasan persoalan dan pemaknaan
kebijakan pembangunan yang dipilih oleh negara dalam memanfaatkan
sumber daya alamnya dalam hal ini tambang dan akibat-akibat yang
ditimbulkannya termasuk di dalamnya berkembangnya konflik
pembangunan. Konflik ini kemudian berkembang menjadi gerakan
sosial. Karenanya pada akhir paparan akan dijelaskan munculnya
berbagai dinamika gerakan sosial melawan kebijakan negara yang
dinilai justru menyengsarakan dan menciptakan ketidak-adilan bagi
rakyatnya.
Dinamika Pembangunan
Sebagai negara yang “umumnya” belum lama merasakan
kemerdekaannya, adalah negara-negara yang dikategorikan sebagai
negara berkembang termasuk Indonesia. Ciri utama dari negara
berkembang adalah secara ekonomi dinilai paling miskin dengan
kepadatan penduduk yang tinggi. Namun dibalik penilaian tersebut,
negara-negara ini justru memiliki kekayaan sumber daya alam, karena
memiliki luasan bentang tanah pertanian dan hutan, serta kandungan
minyak bumi, tambang dan mineral (Fauji, 2005:2-3). Meskipun
rakyatnya tidak merasa memiliki permasalahan dengan namanya
pembangunan, tetapi bagi para penguasa negara justru mempersoalkan
ketidak-tepatan dalam menentukan arah dari kebijakan pembangunan.
Hal ini terjadi karena menurut penguasa negara masih banyak
permasalahan pembangunan yang dihadapi seperti kemiskinan,
kesenjangan sosial dan lain sebagainya.
Suparlan (1993) mencatat bahwa pada masa pemerintahan Orde
Baru arah kebijakan pembangunan didasarkan pada prinsip dan
Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya
19
pendekatan pembangunan untuk melakukan transformasi masyarakat
melalui 5 (lima) tahapan pertumbuhan ekonomi (five-stage scheme)
seperti yang dikembangkan oleh Rostow (1960). Kelima tahapan
pembangunan yang dimaksudkan adalah : (1) Tahap Masyarakat
Tradisional (The Traditional Society): (2) Tahap Prasyarat Tinggal
Landas (The Preconditions for Take-Off); (3) Tahap Tinggal Landas
(The Take-Off); (4) Tahap Menuju Kedewasaan (The Drive to Maturity); dan (5) Tahap Konsumsi Tinggi (The Age og High Mass Consumption).
Untuk menjalankan tahapan pertumbuhan ekonomi tentunya
dibutuhkan persyaratan. Meir and Baldwin (1957) menyatakan bahwa
pendekatan kebijakan pembangunan dapat berjalan dengan baik
apabila ditopang oleh tersedianya dan/atau mengalirnya modal atau
investasi untuk menggerakkan perubahan-perubahan variabel dalam
jangka panjang baik pada struktur permintaan maupun perubahan pada
penawaran. Menjamin mengalirnya modal, tentunya negara harus kuat
dan menjadi pemeran utama untuk memimpin pembangunan (state-led-develoment) (Achwan, 1999 dan Giddens, 1984). Negara kemudian
mengeluarkan UU tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan UU
tentang Pemanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).7 Dengan
dikeluarkan UU ini, negara kemudian dapat memberikan berbagai
konsesi kepada para investor untuk memanfaatkan dan/atau
mengeskploitasi kekayaan sumber daya alam yang ada dibumi
Indonesia melalui mekanisme pemberian Hak Penguasaan Hutan
(HPH); Hutan Tanaman Industri (HTI); Kuasa Pertambangan (KP);
Kontrak Karya (KK); dan Hak Guna Usaha (HGU). Selain itu negara
juga memberikan dukungan tambahan berupa insentif pajak
penghasilan bagi para investor yang ingin menanamkan modal di
Indonesia.
7 Terkait dengan UU tentang Penanaman Modal mulai dikeluarkan pada tahun 1967, yaitu UU No. 1 Tahun 1967 tentang Pemananaman Modal Asing (PMA), dilanjutkan pada tahun 1968, yaitu; UU No. 6 Tahun 1968 tentang Pemanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Kemudian pada tahun 2007 diperbaharui menjadi UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual
20
Kebijakan menempatkan negara sebagai pemeran utama untuk
memimpin pembangunan (state-led-develoment) kembali dikritik dan
digugat keberadaannya karena kekuasaan dan kekayaan ekonomi
menjadi terpusatnya pada segelintir pemegang kekuasaan politik dan
aktor ekonomi. Di pihak lain, potensi politik masyarakat sipil lumpuh
dan tidak ada kontrol rakyat terhadap pengambilan keputusan yang
menyangkut kepentingan publik (MacIntyr, 1994:224-267). Ekonomi
kemudian menjadi ”teramputasi” dan ketika terjadi krisis sulit untuk
bisa ke luar dari belenggu, sehingga melahirkan krisis
multidimensional (Van Klinken dan Nordholt; 2007, Lane, 2007 serta
Basyaib, 2006). Hadar (2006) kemudian menilai pemerintah Orde Baru
telah gagal dalam melaksanakan pembangunan karena membawa
masyarakat, hidup dalam pembangunan yang ”semu” atau hanya
terbawa pada mitos-mitos pembangunan di mana konsep
pembangunan lebih menekankan dan memfokuskan pada
pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan materi, dan tingkat konsumsi,
sementara variasi-variasi lokal yang ada di masyarakat terus diabaikan.
Dampaknya adalah munculnya korban-koban pembangunan atau
korban kemajuan (Davis, 1976).
Selanjutnya Rahardjo (1986;288-289) juga mengungkapkan bahwa
mitos-mitos pembangunan yang dikembangkan oleh pemerintah Orde
Baru hanyalah untuk menggerakkan rakyat atau mendapatkan
dukungan politik dari rakyat. Namun di balik istilah itu tersembunyi
realitas lainnya, misalnya dominasi modal asing, monopoli ekonomi
pada golongan tertentu, pemerasan petani dan seterusnya. Ditandai
dengan menumpuknya sejumlah persoalan pembangunan, di
antaranya; merajalelanya korupsi, kolusi dan nepotisme;
menumpuknya permasalahan sosial, politik, ekonomi dan budaya; serta
perekonomian tertumpu kepada sekelompok orang yang dekat dengan
birokrasi/pemerintahan. Persoalan pembangunan ini juga menjadi
pemicu munculnya krisis di mana banyak perusahaan yang terpaksa
gulung tikar; Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mengakibatkan
meningkatnya pengangguran, kerawanan sosial, menurunnya
pendapatan per kapita, permasalahan ekologi akibat penggunaan
teknologi yang berlebihan, semakin meningkatnya kemiskinan, perang
Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya
21
sipil terus terjadi, bencana kelaparan terjadi di mana-mana,
merebaknya penyakit AIDs serta kemiskinan (Martinussen, 1997; dan
Sachs, 2005; Ife, 2002; dan Escobar, 1995). Kondisi ini menjadi salah
satu aspek hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap kekuasaan
Orde Baru dibawah Soeharto dan dipaksa lengser dari kekuasaannya
oleh gerakan mahasiswa pada bulan Mei 1998 (Suharsih dan
Mahendra, 2007).
Pada saat pergantian rezim, diskursus tentang pembangunan
seakan-akan terlupakan karena para elit lebih disibukkan dengan
kebijakan yang bersifat politis, mengiringi derasnya desakan
masyarakat untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis.
Selain itu, pihak elit politik dari tingkat pusat hingga daerah juga
disibukkan dengan persoalan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi
daerah dengan dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1999 yang kemudian
diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 23 Tahun
2014 tentang Pemerintah Daerah.
Penyelenggaraan negara seakan-akan tidak menjalankan tugasnya
dengan baik dikarenakan adanya tarik menarik kepentingan baik
secara struktural maupun kultural ditingkat lokal; ketidakjelasan fungsi
antar tingkat pemerintahan dalam melaksanakan pembangunan;
maraknya praktik politik uang; hilangnya hubungan fungsional dan
sinerjik antara kabupaten/kota dengan provinsi untuk menopang
pembangunan serta bermunculan ‟raja-raja‟ kecil di daerah (Suwondo,
2003; World Bank, 2005; dan Kompas, 17 Agustus 2007). Negara juga
terus menghadapi berbagai konflik sosial dari konflik antar agama,
antar suku hingga konflik ideologi dibarengi dengan munculnya
tekanan berbagai bencana alam yang terjadi, seperti tsunami di Aceh
hingga meletusnya gunung Merapi di Jawa Tengah. Kondisi ini seakan-
akan menjadikan proses-proses kebijakan pembangunan yang
dijalankan oleh negara tanpa memiliki arah dan tujuan.
Rakyat kemudian mempertanyakan kebijakan pembangunan
seperti apakah yang seharusnya dijalankan dan bagaimanakah posisi
kebijakan pembangunan itu sebenarnya. Pertanyaan inilah yang sering
muncul karena negara selama masa pemerintah Orde Baru hingga
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual
22
pemerintahan sekarang ini hanyalah menunjukkan data-data yang
bersifat makro ekonomi (seperti; pertumbuhan ekonomi) sebagai tolak
ukur keberhasilannya pembangunan. Di pihak lain persoalan-persoalan
yang berkaitan dengan kemiskinan dan pengangguran serta persoalan
ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi, baik dari pendapatan per
kapita, pendapatan antarwilayah (regional inequality) maupun
kepemilikan aset juga masih belum bisa teratasi (Wicaksana, 2007),
seperti yang ingin di atasi penguasa negara.
Menjelang berakhir abab 20, dorongan untuk menciptakan sistem
pemerintahan yang demokratis menyebabkan beberapa negara juga
mengalami krisis kepercayaan dan berujung pada krisis politik, seperti
terpecahnya Uni Soviet dan runtuhnya tembok Berlin serta beberapa
penguasa yang otoritarian. Arah kebijakan pembangunan yang
kemudian didorong adalah mendukung upaya privatisasi, deregulasi
dan perdagangan bebas, serta peningkatan investasi swasta. Pendekatan
ini mengedepankan pencabutan peran negara dalam berbagai kebijakan
pembangunan dipangkas ke tingkat yang minimal seperti pengurangan
kepemilikan unit-unit bisnis, penguasaan dan pengelolaan langsung
sumber-sumber ekonomi, penjaminan asuransi sosial, penciptaan
regulasi yang berlebihan atas segala kegiatan masyarakat dan lain
sebagainya.
Dampak dari pencabutan peran negara mendorong ekspansi
investasi dari perusahaan-perusahaan multinasional secara besar-
besaran ke negara-negara yang memiliki SDA termasuk Indonesia
karena mendapat dukungan pendanaan sepenuhnya dari badan-badan
pembangunan internasional (IMF, ADB, World Bank dll) yang pada
waktu itu menjadi penentu arah dari kebijakan pembangunan. Negara
atau bangsa di berbagai belahan dunia “mau tidak mau” harus
menerima kenyataan ini, dan dalam konsep Wallerstain (1987) tidak
ada negara maupun masyarakat nasional yang dapat disebut sebagai
“suatu sistem sosial” yang bebas dari keterikatan dengan “sistem sosial
dunia”. Karenanya perubahan sistem sosial dunia jelas akan
mempengaruhi sistem sosial negara atau masyarakat tertentu sekalipun
mereka berada jauh. Kondisi ini kemudian membuka debat secara
Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya
23
terbuka karena dinilai menggadaikan atau menjual bangsa ini kepada
pihak asing (Swasomo, 2007:7) melalui melalui kolom opini di Kompas
pada bulan Oktober hingga Nopember 2010.
Meskipun mendapat kritik tetapi arah kebijakan untuk membuka
selebar-lebarnya peluang investasi tetap dijalankan oleh pemerintahan
Indonesia (Wirjawan, 2010). Hal ini dilakukan karena Indonesia masih
membutuhkan dana investasi untuk pembangunan hingga Rp. 2.000
triliun agar dapat mendorong laju pertumbuhan 7% dalam lima tahun
ke depan (2009-2014). Di pihak lain kemampuan pemerintah untuk
menyediakan dana hanya sebesar 20% atau Rp. 400 triliun, sedangkan
sisanya Rp. 1.600 triliun (80%) berasal dari sektor swasta baik dari
dalam negeri maupun luar negeri termasuk Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) (Kompas, 7 Nopember 2010:11). Pada masa kabinet
pembangunan I (2004-2009), pemerintahan SBY membutuhkan dana
untuk pembangunan infrastruktur mencapai Rp. 1.305 triliyun.
Sejumlah Rp. 810 triliyun akan dicari dari lembaga-lembaga keuangan
internasional (Rp. 90 triliyun), serta dari pengusaha swasta domestik
dan luar negeri (Rp. 750 triliyun) melalui tawaran berbagai proyek
(Setiawan, 2005; 16). Dampak dari kebijakan ini, Indonesia pada tahun
2010 oleh UK Trade and Investment yaitu sebuah departemen di
pemerintahan Inggris yang bertugas membantu perusahaan-
perusahaan Inggris untuk berhasil dalam persaingan ekonomi global
ditempatkan sebagai urutan kedua di dunia untuk tujuan investasi di
luar Brasil, Rusia, India, dan China (Kompas, 17 September 2010).
Walaupun dalam beberapa hal kebijakan pengurangan peran
negara dirasakan membawa hasil-hasil yang menggembirakan
ditunjukkan dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, dan
perekonomian terintegrasi dengan pasar. Namun dalam beberapa hal
yang lain justru membuat kapasitas negara tidak dapat menjalankan
fungsinya untuk membuat kebijakan pembangunan yang berpihak dan
membela kepentingan rakyat. Ditunjukkan dengan munculnya
berbagai keresahan, ketidakpuasan dan ketidakadilan menuju pada
proses-proses pemiskinan ekonomi, sosial dan budaya terutama yang
berkembang di berbagai daerah di luar Jawa di mana daerahnya
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual
24
kebanyakan memiliki kekayaan sumber daya alam. Kondisi ini oleh
Burger (2002), diartikan sebagai “biaya korban manusia” sebagai
konsekuensi dari kebijakan negara mengundang investor.
Keresahan, ketidakpuasan dan ketidakadilan yang dimaksud
berakar pada beberapa fakta: pertama, pembangunan ternyata telah
meminggirkan posisi ekonomi masyarakat (the development of underdevelopment) seperti yang diungkapkan Roxborough (1994);
serta Seligson and Passe-Smith (2003). Kedua, pembangunan
menafikan eksistensi sistem sosio-budaya masyarakat, sehingga bukan
kemajuan yang dihasilkan dari proses pembangunan tersebut
melainkan “kemadegan”. Dalam hal ini, para scholars menyebutnya
sebagai modernization without development (Sajogyo, 1973 dalam
Anonymous, 2003). Ketiga, pembangunan sangat menguntungkan
pertumbuhan dan ekspansi modal serta proses akumulasi kapital bagi
perekonomian kapitalis (Frank, 1978; Wallerstein, 1976). Keempat, pembangunan justru mendorong proses-proses disintegrasi sosial-
masyarakat di kawasan sedang berkembang, di mana semangat
kolektivitas (misal: gotong-royong) sebagai ciri sosiologis penting
meluntur (hilang) secara dramatis (Galtung, 1995 dan Panjaitan, 2016).
Kondisi ini tentunya menjadi salah satu pemicu berbagai konflik yang
oleh Ngadisah (2003) disebut sebagai konflik pembangunan yang
apabila tidak dikelola dengan baik akan bermuara pada konflik politik.
Untuk mengatasi kemungkinan terjadi konflik, Fukuyama (2005)
mengusulkan kembali pentingnya kekuatan negara (state led development) dalam mengambil berbagai kebijakan pembangunan agar
dapat mengatasi persoalan-persoalan yang terjadi demi peningkatan
keadilan dan kesejahteraan. Hal ini ditunjukkan dari berbagai gejala
politik di mana negara sebagai institusi terpenting dalam masyarakat
gagal menjalankan perannya sehingga dapat menjadi ancaman
hancurnya sebuah bangsa (Mallarangeng, 2005:xi). Argumentasi lain,
hadirnya negara adalah untuk mewujudkan dan menjamin
kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia (keadilan sosial) dan
menjamin kedaulatan kita di bidang ekonomi (kedaulatan ekonomi)
yang harus diperjuangkan negara (Keraf, 2010). Negara juga harus
Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya
25
menjamin bahwa beroperasinya modal dapat memberikan dampak
yang bersifat mutliplier dan menjalar ke mana-mana (tricle down effect) (Gie, 2010). Pada Presiden Jokowi, nampaknya posisi negara
sebagai pelayan masyarakat dikembalikan.
Berdasarkan diskusi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
kebijakan pembangunan itu sendiri sangatlah kompleks dan
berdimensi banyak ditunjukkan dengan berbagai variasi kebijakan
yang harus dibuat oleh negara. Sebagai proses politik, apakah kebijakan
pembangunan yang dipilih dapat mencapai suatu tatanan kehidupan
masyarakat yang lebih baik terutama untuk “merealisasikan potensi
manusia” seperti yang diungkapkan oleh Soejatmoko (Ibrahim, 2004).
Apabila kebijakan pembangunan tersebut belum mampu
merealisasikan potensi manusia, maka yang tercipta adalah munculnya
berbagai konflik akibat dari kebijakan pembangunan itu sendiri.
Konflik Pembangunan
Konflik pembangunan yang terjadi di Indonesia mulai tumbuh
dan berkembang ketika rakyat mulai berani bertanya kepada negara
melalui aksi protes atau unjuk rasa menolak kebijakan yang dibuat dan
dilaksanakan oleh negara. Meskipun rezim Orde Baru yang terkenal
memiliki pemerintahan yang otoriter dan represif, tetapi rakyat sudah
berani melakukan protes, seperti pada kasus pembangunan proyek
Pelabuhan Peti Kemas (Jakarta); pembangunan proyek Waduk Kedung
Ombo (Jawa Tengah); pembangunan proyek Waduk Nipah (Jawa
Timur); pembangunan proyek PLTA Danau Lindu (Sulawesi Tenggara);
serta protes terhadap PT Indorayon (Sumatera Utara), dan PT Freeport
Indonesia (Papua) (Ngadisah, 2003).
Konflik berawal ketika negara dengan segala kekuasaan yang
dimilikinya mengambil alih berbagai sumber daya yang ada dalam satu
wilayah kekuasaan tanpa mempertimbangkan kehidupan rakyat yang
seharusnya dilindungi oleh negara. Rakyat menjadi resah dan
menghadapi perasaan ketidakpuasan serta ketidakadilan ketika negara
tidak lagi berpihak bahkan tidak lagi mengakui keberadaan kehidupan
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual
26
rakyatnya. Kondisi ini yang kemudian memicu terjadinya berbagai aksi
protes yang berujung pada konflik.
Nordholt (1971:317-346;2004), dan Pitaloka (2004); serta Haynes,
(2000:7-14), menyimpulkan bahwa konflik merupakan suatu realitas
sejarah yang telah mengakar dalam setiap perilaku manusia di dunia.
Karenanya hampir semua negara pernah mengalami minimal satu atau
lebih konflik, baik konflik antar manusia, antar golongan, antar etnis,
antar agama, hingga konflik antar negara (Strauss, 2002). Konflik
kemudian diartikan sebagai akibat persaingan antar paling tidak dua
pihak; di mana tiap-tiap pihak baik perorangan, keluarga, kelompok
dan/atau satu komunitas atau mungkin satu lapisan kelas sosial hingga
negara saling bersaing (Dahrendorf, 1959). Persaingan ini terjadi
karena adanya perbedaan kepentingan dari satu kelompok/organisasi,
satu suku bangsa, dan atau satu pemeluk agama tertentu dengan
lainnya bahkan dengan negara (Nader, 1998;236-241). Konflik-konflik
yang berdimensi ekonomi dan politik acap kali terkait dengan siapa
mendapat apa, siapa kehilangan apa, dan berapa banyak
kehilangannya, dan cenderung bersifat riil, sedangkan konflik yang
berdimensi budaya dan ideologi memiliki aspek yang fundamental dan
arena itu cenderung abstrak. Persoalannya adalah apakah konflik-
konflik yang terjadi harus dipandang sebagai sesuatu yang rasional,
konstruktif, dan berfungsi secara sosial, atau sesuatu yang irasional,
patologis, dan tidak berfungsi secara sosial.
Kajian dimensi konflik awalnya lebih mengarah pada konflik
antar negara (inter-state), di mana rakyat di wilayah jajahan
memberontak terhadap penguasa kolonial. Kurasawa (1993:50-52); dan
Gurr (1970:162), mencatat bahwa gerakan pemberontakan rakyat
terhadap negara pada masa pemerintahan kolonial karena penguasa
pada masa itu cenderung menciptakan ketimpangan (pembangunan)
antara nilai harapan dan kenyataan sehingga menimbulkan rasa
kecewa yang mendalam. Menjelang berakhirnya abab ke-20, konflik
beralih dari konflik dalam negara (intra-state) menjadi konflik antar
negara. Haris dan Reilly (2000) menunjukkan bahwa konflik-konflik
yang paling kejam sepanjang awal dan pertengahan abab ke-20 adalah
Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya
27
konflik antarnegara, tetapi pada tahun 1990-an hampir semua konflik
besar di dunia terjadi di dalam negara. Antara tahun 1989 dan 1996,
misalnya tercatat ada 95 dari 101 konflik bersenjata terjadi di dalam
negara. Perhatian sempat menghilang beberapa saat ketika penyatuan
kembali Jerman Timur dan Jerman Barat (Juliastuti, 1999:12-14; dan
Tambunan, 2004:1-10).
Selanjutnya merujuk dari perkembangan teori konflik yang
awalnya menekankan pada perimbangan kekuasaan (balance of power), menjadi teori pencegahan (deterrence theory) seperti pada
kasus perang dingin (cold war) di mana Uni Soviet dan Yogoslavia
terpecah menjadi negara-negara kecil. Teori pencegahan berdasar pada
asumsi bahwa perimbangan terror (balance of terror) karena ada nuklir
di negara-negara adikuasa akan mencegah konflik. Teori ini kemudian
membuka jalan bagi perkembangnya teori-teori yang lebih canggih
seperti teori pengambilan keputusan (decision making theory) dan teori permainan (game theory). Konflik sendiri pada akhirnya dimulai
dari perbedaan kepentingan (sosial, ekonomi, budaya, dan keagamaan)
antar kelompok masyarakat dan atau antara kelompok masyarakat
dengan negara yang pada akhirnya berkembang menjadi konflik
ideologi.
Dimulai dari ketegangan dengan negara yang dinilai rakyat tidak
mampu memberikan jaminan kehidupan sosial-ekonominya. Dalam
perkembangannya, rakyat mencari legitimasi dengan memasukkan
unsur kepentingan politik (etnisitas dan keagamaan) agar dapat
mempertanyakan kepada penguasa negara (Pradaya, 1995). Fenomena
konflik seperti ini sekarang sedang menguat dan terjadi di berbagai
negara yang bercirikan multination-state atau nation-state (Fauji,
2005:vii-xiv). Dari seluruh negara di dunia hanya 10% sampai 15%
negara yang benar-benar bisa dikategorikan memiliki etnis yang
homogen, sisanya memiliki keragaman kultural dan diversitas etnisnya
(Vayrinen, 1994; dan Connor, 1994 dalam Budiman, 1997). Kondisi
yang sama dinyatakan oleh Osawa (1997:126) bahwa kurang lebih 90%
negara-negara di dunia yang dikategorikan sebagai multination-state,
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual
28
50% di antaranya memiliki satu atau lebih kelompok rakyat yang
berlandaskan pada kepentingan identitas
Di Indonesia sendiri persoalan konflik mempunyai sejarah
panjang dan beragam. Dimulai dari berbagai perang antar suku untuk
memperebutkan wilayah kekuasaan (territoriality), dominasi,
sexualitas, dan kelangsungan hidup (survival). Lane (2007;1-2)
mencatat ada tiga ratus kelompok etnik di Indonesia yang memiliki
perbedaan dalam budaya maupun kepercayaan keagamaan. Konflik ini
bisa terjadi karena sistem pemerintahan terbentang dari pemerintahan
tradisional kesukuan hingga kerajaan ditopang dengan sistem
kekerabatan masyarakatnya termasuk matrilineal, patrineal, dan pola-
pola bilateral. Pada masa kolonial Belanda, kondisi ini dimanfaatkan
untuk menjalankan kebijakan politik “adu-domba” untuk memecah
belah masyarakat agar dapat menguasai wilayah jajahannya.
Meskipun telah memperoleh kemerdekaan sebagai suatu bangsa,
namun kehidupan rakyat Indonesia yang masih berbentuk komunitas-
komunitas tinggal di daerah pedalaman yang terisolasi hingga kota
besar modern. Ketika ketimpangan antar daerah terjadi karena
perbedaan dalam penerapan kebijakan pembangunan, maka identitas
komunitas dan atau kedaerahan (etnik, budaya dan kepercayaan
keagamaan) akan menjadi simbol untuk melakukan pemberontakan
terhadap kekuasaan negara (Achmad, 2001). Dalam pandangan ini,
konflik dilihat sebagai hasil sosialisasi dan kondisioning (rekayasa), dari
suatu fenomena organisasi manusia, perencanaan, dan pemrosesan
informasi bermain-main dengan potensi-potensi emosional dan
motivasional. Misalnya Suprayitno (2001:1-7) mencatat bahwa pada
periode tahun 1947-1950, telah terjadi pemberontakan terhadap negara
yang dimotori oleh tokoh-tokoh masyarakat (dari golongan penduduk
asli, masyarakat Cina dan tokoh Republik yang menjadi korban
revolusi sosial tahun 1946 di Sumatera Timur (Kahin, 1980:428-431).
Pemberontakan ini terjadi karena setelah kemerdekaan negara
mengambil alih seluruh kekuasaan ekonomi dan politik yang dikuasai
para aktor dari masyarakat.
Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya
29
Pemberontakan yang sama juga terjadi di Sulawesi melalui
Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA); Maluku terkenal dengan
Republik Maluku Selatan (RMS); Papua dengan Organisasi Papua
Merdeka (OPM); dan di Aceh dengan Gerakan Aceh Merdekanya
(GAM) serta di Jawa Barat dengan gerakan NII untuk membentuk
Negara Islam Indonesia. Inti dari pemberontakan adalah para aktor di
daerah menggunakan isu mensejahterakan masyarakatnya juga ingin
menjadi orang nomor satu di “rumahnya sendiri”.
Pemberontakan kemudian dapat diredam pada masa kekuasaan
Orde Baru (1965-1998) yang terkenal dengan sistem pemerintahan
yang sangat represif-otoritarian dengan menggunakan teror yang
sangat menakutkan serta melakukan penyeragaman budaya secara
nasional membuat tradisi dan budaya lokal yang dapat menjadi simbol
pemersatu di berbagai daerah tidak lagi dapat berkembang. Baswesdan
(2007:x-xi) menyebut masa otoritarian sebagai masa konflik politik
atau masa revolusi di mana penduduk tidak diberi peluang untuk
mengartikulasikan dan menegosiasikan kepentingannya secara bebas.
Sistem ini juga menjalankan pemerintahan dengan sistem sentralistik
dengan melakukan tindakan-tindakan yang represif (Wardaya,
2007;17-51). Teror-teror yang menakutkan dengan melakukan
penangkapan, pembuangan, pembunuhan dan hukuman penjara tanpa
proses peradilan secara transparan juga digunakan oleh Orde Baru
(Pitaloka, 2004:1-2). Penguasa Orde Baru juga melakukan penindasan
terhadap organisasi yang tidak mendukung pemerintah guna
mengakhiri politik mobilisasi terbuka serta penghancuran psikologi
melalui gerakan demoralisasi (Lane, 2007:40-41). Daerah-daerah yang
bergejolak dijadikan sebagai Daerah Operasi Militer (DOM), dan
kelompok-kelompok yang melakukan perlawanan disebut sebagai
Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) serta tokoh-tokohnya dicap
sebagai separatisme. Meskipun demikian tidak lantas nasionalisme
kedaerahan hilang begitu saja.
Bagi daerah-daerah yang memiliki kekayaan alam dan
dieksploitasi secara terus menerus oleh negara demi kepentingan
pembangunan, nasionalisme kedaerahan justru semakin berkembang.
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual
30
Pasalnya, rakyat di daerah ini umumnya mempunyai standar hidup
yang rendah, kemiskinan yang tinggi, tingkat anak balita gizi buruk
juga tinggi, serta rendahnya layanan kesehatan dari pada daerah-
daerah yang tidak memiliki sumber daya alam. Ross (2001;7)
menyebutkan bahwa negara-negara yang bergantung kepada sumber
daya alam terutama di sektor hutan dan tambang umumnya berstandar
hidup rendah, kemiskinan tinggi, skala korupsinya masif, tingkat anak
balita gizi buruk tinggi, rendahnya layanan dana kesehatan, rentan
geger ekonomi, dan kerap dilanda perang sipil. Kondisi ini pada titik
tertentu menjadi ”geger ekonomi” yang kemudian menjadi penyebab
pemberontakan terjadi seperti di Aceh di bawah bendara kelompok
GAM.
Menjelang runtuhnya kekuasaan Orde Baru (1997) dengan
munculnya berbagai aksi demontrasi mahasiswa, maka ruang politik
dan proses demokratisasi mulai terbuka. Meskipun demikian patut
dicatat bahwa pemerintah Orde Baru telah mencatat prestasi dalam hal
keberhasilannya dalam pembangunan, tetapi kekuasaan yang
dijalankan justru membunuh aspirasi politik warganya selama
bertahun-tahun sebagai pendorong utama runtuhnya kekuasaan Orde
baru (Affandi, 2004:64-166; dan Klinken, 2007). Pemberontakan rakyat
yang dahulu tersembunyi di bawah selimut “demokratisasi” sebagai
ideologi modern dan sekuler kembali tampil di permukaan. Para aktor
yang terorganisir dan memiliki simbol kultural kedaerahan kembali
tampil di panggung politik meskipun harus menghadapi berbagai
konflik horizontal yang memakan korban agar dapat mengambil-alih
kembali kekuasaan yang pernah dimiliki oleh daerah baik secara
ekonomi maupun politik (Emerson, 2001). Kondisi ini pernah
menjadikan Indonesia dikategorikan sebagai negara „gagal‟ (failed state)
atau negara berantakan (Nordhot dan Klinken, 2007:1-3) karena tidak
lagi dapat menjamin kehendak bersama (general will). Rujukan
indikator konsep gagal negara seperti yang ditunjukkan kondisi-
kondisi akhir runtuhnya kekuasaan Orde Baru: (1) kekacauan politik
terjadi secara terus-menerus sehingga terjadi fragmentasi aktor politik
yang menimbulkan ketidakmampuan satu negara untuk mengatasi
konfliknya sehingga mengundang intervensi pihak asing; dan (2)
Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya
31
terjadinya proses pemiskinan sistematis karena negara tidak memiliki
kemampuan untuk menyediakan pelayanan publik (Wardhani, 2006).
Memasuki masa transisi peralihan kekuasaan dari era Orde Baru
ke era Reformasi, muncul polemik mempertanyakan kembali identitas
negara bangsa (nation-state). Kusni (2009) misalnya menginginkan
negara berbentuk tribal state (negara-suku atau negara etnik) seperti
yang berkembang di Irlandia Utara, Israel, India, Balkan, dan Sarejevo
sebagai identitas baru yang lebih sempit menggantikan konsep nation-state. Konsep negara ini sulit untuk diterima karena tidak
mencantumkan latar belakang teori dalam tulisannya dan nampaknya
dipengaruhi oleh pemikiran tentang konflik etnis yang memiliki tujuan
untuk menguasai suatu negara, dan pembebasan dari penguasaan oleh
kelompok-kelompok lainnya atau pemaknaan lain agar mereka dapat
menguasai negara itu sendiri sehingga dapat menjamin terpenuhinya
kebutuhan etnis-nya, dengan cara merugikan atau merusak kelompok-
kelompok pesaingnya (Horowitz, 1985).
Menanggapi berbagai polemik, para elit politik di Jakarta mencari
jalan tengah agar konsep nation-state tetap dipertahankan dengan dua
opsi (Suara Pembaharuan, 6 Desember 1999) ; (1) pemberian otonomi
seluas-luasnya kepada daerah; atau (2) memberlakukan kembali konsep
Negara Federal. Namun setelah Habibie mengambil alih kekuasaan,
opsi yang dipilih adalah otonomi daerah dengan mengeluarkan Undang
Undang (UU) No. 22 Tahun 1999 yanag kemudian mengalami
perubahan menjadi UU No. 32 Tahun 2004 dan terakhir menjadi UU
No. 23 Tahun 2014. Pertanyaannya apakah dengan dikeluarkan UU ini
dapat mengurangi bahkan dapat meredam berbagai konflik yang terus
berkembang di di berbagai.
Otonomi daerah yang dijalankan sejak awal tahun 2001 dalam
salah satu tujuannya adalah mengupayakan terjadinya pemerataan dan
keadilan pembangunan dengan memberikan kepada daerah kebebasan
mengatur dan menjalankan strategi pembangunannya sendiri. Namun
dalam perjalanannya aspirasi rasa ketidakpuasan dan ketidakadilan
(aspiration of inequality) masih saja menjadi persoalan menyangkut
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual
32
hak hidup serta hak untuk mendapatkan ketentraman dan kebahagian
hidup (Kompas 02 Januari 2007).
Persoalan ini menunjukkan bahwa otonomi daerah yang
dijalankan masih “setengah hati” mengingat keuntungan dari kekayaan
yang dimiliki daerah yang seharusnya porsi terbesar diserahkan kepada
daerah ternyata masih saja dikuasai oleh pusat dan umumnya
terkonsentrasi bagi kepentingan elit-elit politik dan para pengusaha
yang dekat dengan para elit politik (McCarthy, 2007:189-195).
Dampaknya adalah muncullah gerakan perlawanan rakyat berkaitan
dengan penguasaan dan/atau pemilikan terhadap kekayaaan sumber
daya alam dikarenakan negara tidak memberikan kepastian atas hak
kepada rakyat yang selama ini telah menguasai dan memanfaatkan
kekayaan tersebut (Kartodihardjo dan Jhmantani, 2006;10-11). Hal ini
terjadi karena mengiringi pembangunan juga terjadi pemindahan
penduduk (transmigrasi dan migrasi) dan penaklukan yang tidak
sepenuhnya (incomplete conquest) juga menimbulkan munculnya
berbagai jenis keluhan sejarah (histories) yang tak kunjung hilang.
Sekelompok pribumi yang dijajah dan terpaksa membiarkan masuknya
etnis asing untuk tujuan-tujuan ekonomi penjajah, belakangan
mungkin menganggap keberadaannya dianggap tidak sah
Selain itu, dengan dilaksanakannya otonomi daerah juga
memunculkan persoalan ”raja-raja kecil” di mana para elit politik lokal
bekerjasama dengan para elit di pusat menjadi pengusaha untuk
mengobral dan menguras habis kekayaan daerah dengan alasan
mendorong laju investasi ke daerah. Kondisi ini oleh Evans (1995)
merupakan ciri khas dari negara-negara berkembang dengan
membentuk integrasi vertikal. Hubungan-hubungan timbal-balik
antara para pejabat tingkat kabupaten dan lembaga-lembaga hukum,
para wiraswasta, pialang dan orang-orang kuat pada akhirnya
membentuk sistem akses dan kontrol sumber yang terdesentralisasi.
Namun sayangnya pengurasan ini bukan untuk peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) guna melakukan transformasi sosial
tetapi terus mengucilkan posisi penduduk asli dari pembagian
kekuasaan (a share of power) dan seringkali pengembaliannya dengan
Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya
33
melakukan pengusiran atau pembasmian pada status qua ante (sebelum
status qua) yang diperlukan dengan mengatasnamakan pembangunan.
Pelaksanaan otonomi daerah juga menjadi penyebab terjadinya
erosi norma-norma yang selama ini telah dianut oleh masyarakat
sebagai modal sosial. Salah satu penyebabnya elit politik lokal lebih
memilih mengarahkan kekayaan daerah pada kepentingan ”politik
praktis” agar dapat terus berkuasa dari pada mengalokasinya untuk
kepentingan masyarakat. Hasil Simposium Indonesia Timur dan
Tengah (Menado, 27-29 Januari 2009) mendesak pemerintah untuk
menertibkan berbagai bentuk kegiatan terutama investasi ke wilayah
Timur dan Tengah Indonesia yang telah merusak lingkungan dan
budaya lokal serta menurunkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu
ada banyak produk hukum dan perundangan serta berbagai kebijakan
pembangunan yang secara nyata semakin meminggirkan, menghalangi,
bahkan menurunkan tingkat kesejahteraan rakyat. Bahkan lebih dari
itu, tatanan kehidupan sosial yang beragam, struktur dan sistem
tradisional serta dunia spritual religius lokal eksistensi telah berubah.
Diperparah oleh adanya lembaga formal modern yang dipaksakan dari
luar untuk menjadi acuan. Di pihak lain karena pemerintah daerah
belum memiliki kemampuan dalam hal permodalan, ketrampilan atau
teknologi, serta akses terhadap informasi, memberikan peluang bagi
para elit politik lokal memasukkan para investor dan memposisikan
rakyat hanya sebagai penerima manfaat bukan sebagai penguasa
terhadap kekayaan tersebut.
Kelembagaan politik yang seharusnya menunjukkan komitmen
sebagai artikulator kehendak rakyat guna menyalurkan aspirasi
ketidakpuasan dan rasa ketidakadilan yang dihadapi ternyata
masyarakat belum memiliki passion, feeling of responsibility, dan sense of propotion (Wiloso, 2010). Hasil jajak pendapat LSI (September 2009)
menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan rakyat untuk menyalurkan
aspirasinya lebih didominasi kepada media massa (55,5%), dari pada ke
DPR (45%), birokrat (40,3%), dan Partai Politik (36,3%). Fungsi-
fungsinya yang seharusnya diperjuangkan kelembagaan politik adalah
aspirasi rakyat dinilai masih rendah atau 47,1% dibandingkan dengan
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual
34
fungsi lainnya; pengawasan (57,7%), memberi masukan ke pemerintah
(58,6%), membuat UU (57,2%), dan membuat anggaran (55,8%).
Kondisi ini berkembang karena ada tembok pembatas yang begitu tebal
membatasi kehidupan sosial dan ekonomi kelompok elit dengan
rakyatnya (Wertheim, 2009).
Di samping itu, para aktor politik juga mengetahui kegelisahan
yang dirasakan oleh rakyat, tetapi akses untuk menangguk keuntungan
dari sumber-sumber daya alam (Ribot, 1998 dalam McCarthy,
2007:194) yang mereka miliki justru lebih dimanfaatkan untuk
kepentingan mereka sendiri terpisah dari kepentingan rakyat. Para
aktor ini kemudian berjuang untuk menarik keuntungan dari
pemanfaatan sumber-sumber daya yang dimiliki dengan
memanfaatkan faktor-faktor yang mempengaruhi proses mendapatkan
akses ke sumber-sumber (McCarthy, 2007:194). Faktor-faktor yang
dimaksud adalah; kerangka-kerangka legal, kekuasaan institusional,
keanggotaan kelompok, identitas etnis atau sosial, status sosial,
dinamika dalam suatu kelompok pengendali sumber, akses ke negara,
modal, sumber-sumber material, otoritas adat, pasar-pasar,
pengetahuan dan kemampuan memanfaatkan mekanisme-mekanisme
institusional.
Fenomena seperti ini oleh Huntington (1996) diterangkan sebagai
berikut: (…) it was in large part of the product of social change and rapid mobilization of new group into politics coupled with the slow development of political institutions. (…) The rates of social mobilization and the expansion of political participation are high; the rates of political organization and institutionalization are low. The result is political instability and disorder. The primary problem of politics is the lag in development of political institutions behind social and economic change. Dampaknya muncul berbagai gerakan
perlawanan di berbagai daerah untuk mempertanyakan posisi negara
serta para elit politik yang menentukan dan menjalankan kebijakan
negara. Disamping negara dan elit politik, gerakan perlawanan juga
ditujukan kepada aktor neoliberal dalam menjalankan kepentingannya,
Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya
35
semuanya dilakukan dengan tujuan pemupukan profil dengan
mengibiri negara sebagai pelindung rakyat.
Gerakan Sosial
Secara teoritik, konsep gerakan perlawanan rakyat dapat dipahami
sebagai gerakan sosial karena sama-sama menjadikan tindakan atau aksi
kolektif beserta tujuan-tujuan atau klaim-klaim agar dapat
mengarahkan sebuah proses perubahan tatanan sosial. Hal ini sesuai
dengan pendapat Auda (dalam Haynes, 2000), yang menyatakan bahwa
gerakan sosial pada dasarnya selalu menantang status quo, anti sistem,
menyerukan dan memadukan tuntutan akan perubahan tatanan sosial,
politik dan/atau ekonomi. Karenanya menurut Escobar dan Alvarez
(Haynes, 2000), gerakan sosial dicirikan sebagai upaya untuk
menandingi dasar politis dari negara dan gerakan ini tidak tumbuh
dalam isolasi dari pelaku sosial dan politik lain tetapi merupakan
pelaku kolektif terorganisir yang terlibat dalam perjuangan politik atau
kultural yang berkelanjutan melalui jalan lain ke arah bentuk aksi yang
institusional dan ekstra-institusional.
Mengacu van Klinken (2007:11) bahwa definisi gerakan sosial yang
paling komprehensif adalah dari The Blackwell Companion to Sosial Movements di mana gerakan sosial dipahami sebagai: “...kolektivitas-
kolektivitas yang dengan organisasi dan kontinuitas tertentu bertindak
di luar saluran-saluran institusional atau organisasional dengan tujuan
menggugat atau mempertahankan otoritas, entah yang didasarkan
secara institusional atau kultural dan berlaku dalam kelompok,
organisasi, masyarakat, kebudayaan atau tatanan dunia di mana mereka
merupakan salah satu bagiannya.”
Meskipun definisi gerakan sosial dari The Blackwell Companion to Sosial Movements lebih komprehensif, tetapi ada hal yang perlu
ditambahkan terkait dengan jaringan antara kelompok-kelompok lokal
tertentu yang oleh Young (1996) perlu mendapatkan perhatian.
Kelompok-kelompok ini pada dasarnya tidak terkait dengan gerakan
massa dari suatu partai politik atau suatu perserikatan, serta memiliki
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual
36
prinsip dan cara tersendiri dalam melakukan aksi-aksi protes. Hal ini
didukung oleh Rosenthal, Fingrutd, dkk (1985), yang melihat bahwa
setiap gerakan sosial harus memiliki hubungan khusus dengan
organisasi gerakan sosial lain yang memiliki misi sama atau serupa. Ia
melihat gerakan sosial yang terjadi di pusat lebih ideologis daripada
gerakan di tingkat lokal. Sementara itu, Molyneux (1998) dalam
karyanya Analysing Women‟s Movements menyebutkan bahwa
gerakan sosial itu dilakukan untuk meraih tujuan bersama. Gerakan
sosial cenderung memerlukan dukungan jaringan melalui mobilisasi
personal maupun mobilisasi kognitif (Keun, 2000).
Atas dasar pemahaman di atas, secara konseptualisasi gerakan sosial
paling tidak dicirikan oleh; adanya tindakan kolektif atau gabungan;
tujuan-tujuan atau klaim-klaim lebih berorientasi pada perubahan;
melakukan sesuatu tindakan kolektif yang bersifat ekstra-institusional
atau non institusional; organisasi sampai tingkat tertentu (relasi);
keberlanjutan dalam hal waktu sampai tingkat tertentu; dan
membangun jaringan antar aktor baik lokal, regional, nasional dan
global. Dengan kata lain studi-studi tentang gerakan sosial tentunya
merupakan satu bagian terbesar dan paling luas untuk dipahami dalam
disiplin ilmu sosiologi.
Dalam khasanah teori gerakan sosial, ada banyak perspektif yang
dapat digunakan. Misalnya Tarrow (1998;14-18) mengusulkan ada
empat perspektif atau pendekatan dalam memahami gerakan sosial,
yakni; perspektif perilaku kolektif (collective behavior), mobilisasi
sumber daya (resource mobilization), proses politik (political process) dan gerakan sosial baru (new social movements). Berbeda dengan
Tarrow, McAdam (1999;2) melihat ada tiga faktor utama dalam
menganalisis kemunculan dan perkembangan gerakan sosial, yakni;
mobilisasi sumberdaya (resource mobilization), peluang politik
(political opportunities) dan proses pembingkaian (framming process).
Selain perspektif, ada banyak pula pendekatan yang dapat
digunakan terkait dengan bangkitnya organisasi gerakan sosial yang
lebih spesifik pada titik-titik tertentu dalam sejarah. Seperti
pendekatan yang melihat pada tren dan peristiwa tingkat makro dalam
Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya
37
upaya untuk menghubungkan berbagai macam demografis dalam skala
besar, transformasi ekonomi dan politik terhadap munculnya secara
regional, nasional, dan bahkan global dari sebuah gerakan sosial.
Keragaman pendekatan juga digunakan untuk mempelajari berbagai
bentuk tindakan kolektif yang juga sangat bervariasi. Misalnya analisis
terhadap penggunaan teknologi media dan dampaknya terhadap para
aktor gerakan sosial, pendekatan lain menggunakan dampak dari
kemiskinan dan kelas sosial pada kemunculan gerakan sosial. Terdapat
lagi pendekatan terutama dari kelompok ilmuan kontemporer yang
mengeksplorasi faktor identitas dan munculnya rangkaian baru dari
kepentingan bersama yang menyatukan masyarakat yang berbeda
melintasi jarak fisik yang besar dan dari berbagai budaya dan sistem
politik (Haryanto dkk, 2013:187-188).
Selanjutnya bagi Young (1996) penting menempatkan aktor
gerakan sosial dengan berbagai pertimbangan keikut-sertaannya, di
antaranya; pertama, pada keseluruhan isu, para aktor tidak didasarkan
pada hak kewarganegaraan maupun pelebaran dasar ekonomi. Isu
mereka lebih secara rinci pada persoalan sosial untuk menentukan
nasib sendiri atas perbedaan tanggung jawab dan pluralisme budaya di
dalam gaya hidup, sebagai cerminan atas kekuasaan di dalam interaksi,
keikutsertaan di dalam kegiatan sosial dan ekonomi, dan dalam
institusi politis. Kedua, format organisasi dari gerakan ini tidak
menyerupai gerakan massa yang membentuk partai politik atau
perserikatan, untuk mempersatukan birokrasi memperoleh kekuasaan
dengan mengerahkan sumber daya. Gerakan sosial ini cenderung
menggunakan jaringan dari kelompok lokal, masing-masing dengan
gaya dan kebijakan mereka sendiri, meskipun demikian bertindak di
dalam persetujuan bersama dalam beberapa aksi protesnya.
Pertimbangan muncul dari Cohen (dalam Haynes, 2000) terkait
dengan pentingnya tema tantangan terhadap status quo. Menurut
Cohen, gerakan sosial berupaya membangun identitas sosial,
menciptakan ruang demokrasi bagi aksi sosial yang otonom dan
menafsirkan kembali norma dan membentuk ulang lembaga-lembaga.
Dengan kata lain, gerakan sosial harus dipandang sebagai reaksi
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual
38
terhadap manifestasi modernisasi kultural, teknologis, dan institusional
yang berupaya untuk mendominasi pandangan sosial politik baru di
sebagian besar dunia. Ringkasnya bahwa gerakan sosial berupaya untuk
mengerahkan bagian-bagian dan kelompok-kelompok yang tertindas
dengan menggunakan berbagai isu, seperti pelanggaran HAM dan lain
sebagainya.
Larana (1994) selanjutnya merangkum pemahaman dengan
mengindentifikasi ciri-ciri gerakan sosial; (1) menstransendensikan
struktur kelas, (2) memperhatikan kemajemukan gagasan dan nilai-
nilai, (3) memfokuskan pada isu-isu budaya dan simbolik yang lebih
terkait dengan identitas daripada ekonomi, (4) hubungan antara
individu dan ekonomi kabur, (5) melibatkan segi-segi pribadi dan
keakraban kehidupan manusiawi, (6) mengandalkan semangat anti-
kekerasan dan pembangkangan sipil, (7) berkaitan dengan adanya krisis
kredibilitas dan ruang partisipasi, dan (8) cenderung tersegmentasi,
Ciri-ciri ini hampir mirip dengan Epstein (1991) dan Fakih (2002),
Menurut Epstein maupun Fakih, ada gejala baru dalam analisa gerakan
sosial dan perubahan dari analisis perjuangan kelas menuju ke analisis
yang didasarkan pada non-kelas. Epstein mencatat bahwa gejala ini
menunjukkan lemahnya kepentingan dan terbatasnya ruang lingkup
kepentingan aksi.
Dilihat dari perkembangan, maka analisis gerakan sosial pada era
tahun 1970-an dan 1980-an tidak lagi menekankan ke arah perjuangan
kelas (Marxis tradisional) dan cenderung memisahkan diri dari
perjuangan kelas, seiring munculnya berbagai gerakan, seperti: gerakan
spritualitas, gerakan feminisme, gerakan hak asasi manusia dan hak
sipil, gerakan anti perang dan anti-nuklir, gerakan sosial berbasis
komunitas dan gerakan pencinta lingkungan (enviromentalist) serta
gerakan LSM, maupun gerakan sosial lainnya. Kerangka kerja gerakan
kemudian berkaitan dengan kelompok atau kepentingan sosial lain
sambil melekatkan proses kemasyarakatan yang lebih luas. Hal ini
senada dengan pengamatan Escobar dan Alvarez tentang gerakan sosial
di negara-negara Dunia Ketiga kontemporer, seperti yang dikutip
Fakih di mana gerakan itu mulai beralih dari perjuangan kelas ekonomi
Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya
39
yang terbatas ke gerakan transformasi sosial yang lebih luas, sehingga
menciptakan pendekaan baru dalam menganalisa gerakan sosial.
Teori-teori baru tentang gerakan sosial melihat gerakan sosial
sebagai usaha untuk menghasilkan transformasi mendasar dalam
hakikat praktik politik maupun teori tentang gerakan sosial itu sendiri.
Salah satu ciri gerakan sosial yang ditemukan adalah penolakan atas
analisis sosial yang didasarkan pada pembagian ruang politik menjadi
dua kubu yang saling bertentangan (konsep Marx tentang borjuis dan
proletar). Keberagaman aktor sosial memapankan kehadiran ruang
otonomi mereka dalam lingkungan sosial dan politik yang
terfragmentasi. Analisis dampak gerakan sosial ditempatkan dalam
konteks proses demokrasi yang sangat luas, yang juga sebagai proses
transformasi sosial atas aspek-aspek budaya, sosial, ekonomi, dan
politik maupun aspek kehidupan lainnya. Tentunya ada banyak faktor
yang menjadi penyebab munculnya dan berkembangnya teori tentang
gerakan sosial terutama dimasukkannya faktor budaya, seperti yang
disampaikan McAdam (1999).
Terkait dengan faktor budaya selalu berhubungan dengan; (1)
simbol-simbol budaya bisa mendorong partisipasi seseorang atau
kelompok masyarakat untuk memiliki perasaan yang sama; (2) dengan
menumbuhkembangkan budaya, maka akan terbentuk semacam
stimulus bagi kelompok masyarakat untuk melakukan suatu gerakan;
dan (3) organisasi dan jaringannya akan menyebabkan tumbuhnya
budaya gerakan untuk terus berlanjut. Dengan kata lain, apa yang
dilakukan oleh aktor-aktor gerakan sosial tidak terlepas dari upaya
mereka untuk memperoleh kekuasaan dan pengaruh melalui aspek
budaya. Simbol-simbol budaya yang dimaksud dapat berbentuk tanah,
agama, dan bahasa yang menyebabkan kelompok masyarakat berjuang
yang akibatnya timbul ketidakcocokan antara satu kelompok dengan
kelompok lainnya. Simbol-simbol itu juga menjadi penghubung
identitas individual dan kolektif untuk membedakan diri dengan
kelompok lain dan sebagai wadah bagi terbentuknya aksi dan motif
dari suatu kelompok masyarakat. Simbol budaya juga dapat menjadi
sumber terbentuknya organisasi untuk mencapai tujuan yang tidak bisa
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual
40
dilakukan secara langsung. Budaya menjadi fokus pertentangan utama
suatu kelompok masyarakat dengan kelompok lainnya dalam
memperjuangkan identitas mereka.
Bahwa dalam perkembangannya, gerakan sosial di dunia ketiga
terus mengalami perubahan seiring dengan terjadinya pergeseran
konfigurasi kekuasaan yang tadinya kukuh mempertahankan isu
kepentingan bergeser menjadi isu identitas dalam bentuk regionalisme
dan etnisitas (Fauzi, 2005:6-10). Mengikuti gelombang perubahan
tersebut dapat menggunakan klasifikasi dari Mirsel (2004:21-105);
periode pertama, berlangsung dari tahun 1940-an hingga 1960-an
disebut periode klasik atau periode tradisional di mana pusat perhatian
gerakan sosial adalah pada aspek irasional dengan merujuk pada
beberapa kasus sosial, di antaranya; gerakan antidemokrasi dan represif
serta militerisasi persaingan dan konflik antara tiga negara penggerak
perang dunia II (Amerika Serikat, Uni Soiviet dan Jepang) (McAdam,
1999; Mayer, 1991; McCarthy&Zald, 2004; dan Jenkins, 1982).
Pada periode kedua berawal dari tahun 1960-an dan masih
bertahan sampai sesudah tahun 1970-an. Periode kedua penekanan
lebih pada aspek tindakan rasional di dalam pemaksaan yang besifat
struktural. Gagasan periode kedua didasarkan pada perkembangan
berbagai paradigma baru seperti; teori-teori pilihan rasional (rational choice models) dan studi-studi tentang perilaku organisatoris di dalam
ilmu-ilmu sosial. Kasus-kasus sosial yang diacu pada periode ini terkait
dengan munculnya gerakan perjuangan hak sipil; gerakan-gerakan
pembebasan nasional dan dekolonisasi; gerakan-gerakan kaum
perempuan (womens movements) dan gerakan-gerakan lingkungan
hidup.
Selanjutnya, ada dua tema besar yang menjadi perhatian pada
periode ini, yaitu; munculnya ketegangan struktural (structural strain),
dan penggalangan sumber daya (resource mobilization). Terkait
dengan ketegangan struktural yang paling menarik adalah teori yang
dikembangkan oleh Gurr (1970) yang menyatakan bahwa kemarahan
dan frustasi sebagai gerak emosional yang disebabkan oleh ketegangan
sosial pada level makro dan bertolak dari asumsi ini dikembangkan
Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya
41
pengukuran-pengukuran kuantitatif bagi hal-hal yang berhubungan
dengan alasan lahirnya ketegangan dan pemberontakan dalam
masyarakat. Terkait dengan ketegangan struktural juga dapat dikaitkan
dengan Smelser (1970) dengan teori nilai-tambah enam-tahap (six-stage value-added theory) atau yang dikenal juga teori jawaban agen-
agen kontrol sosial di mana ketegangan struktural sebagai faktor
penjelas dengan keyakinan-keyakinan yang tergeneralisasi (generalized beliefs), kepemimpinan dan komunikasi serta insiden-insiden pemicu
(precipitating incidents). Faktor struktural lain yang penting adalah
dukungan struktural (structural conduciveness).
Teori di atas mendapat kritik karena dinilai ambiguitas mengenai
ketegangan struktural dalam sistem keyakinan para pelaku gerakan
yang tidak mesti cocok dengan karekteristik suatu masyarakat saat itu.
Untuk melengkapinya perlu memadu-satukan antara dimensi-dimensi
ekonomis, ruang dan kulturalnya sebagai pendorong munculnya
gerakan sosial dengan memperhatikan peralihan dari ekonomi agraris
kepada ekonomi industri seiring terjadinya urbanisasi di Amerika
Serikat (Gusfield, 1963). Kritik ini kemudian memunculkan teori
mobilisasi sumber daya (resource mobilization theory) pada tahun
1960-an dengan tidak lagi mempersoalkan ketegangan struktural tetapi
memfokuskan pada tindakan-tindakan yang dilakukan para aktor yang
umumnya rasional untuk mencapai tujuan organisasi, seperti yang
dipikirkan oleh Weber.
Pergeseran pada periode ketiga ditandai dengan berkembangnya
tren-tren ekonomi dan politik yang baru menandai perlunya
melakukan pemberontakan besar-besaran terhadap paradigma
mobilisasi sumber daya alam serta paradigma-pradigma Marxis.
Kelompok-kelompok yang tadinya solid dalam mendukung gerakan-
gerakan kemasyarakatan terpecah-pecah ke dalam kelompok-
kelompok etnis ketimbang kelas sosial yang kemudian disebut sebagai
gerakan tandingan. Muncul gerakan tandingan ini mengakhiri bentuk-
bentuk aksi protes yang lebih disiplin dan terorganisir.
Di aras global, negara-negara yang terbentuk lewat gerakan-
gerakan kemerdekaan dengan orientasi nasionalis atau sosialis seperti
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual
42
yang terjadi di negara-negara dunia ketiga tertua (negara-negara
Amerika Latin) memasuki fase yang sulit dalam membangun
perekonomiannya (Lowy, 2003). Di dalam batas-batas laju
pertumbuhan yang begitu lamban dan berlanjutnya ketergantungan
pada sistem ekonomi kapitalis menyebabkan negara-negara ini menjadi
semakin represif supaya menjaga dan mengkonsolidasi apa yang di
dalam kepemimpinan disebut lembaga-lembaga inti.
Mendasarkan pemahaman tersebut di atas, maka gerakan sosial
dapat dipahami sebagai penggabungan aneka bentuk, strategi, dan
taktik organisasi secara sengaja dan sadar dengan tujuan-tujuan yang
ingin dicapai. Organisasi kemudian ditempatkan sebagai faktor penting
dari keberhasilan gerakan dengan menekankan perbedaan kontribusi
antara para penganut (anggota tetap dan peserta), konstituensi (sumber
dari sumber-sumber daya), dan para pencari keuntungan (beneficiaries) untuk membentuk bagian dari strategi dan taktik organisasi.
Kaitan dengan strategi dan taktik organisasi gerakan, Gamson
(1975) mengemukakan bahwa keberhasilan organisasi gerakan terkait
erat dengan tujuan-tujuan jangka pendek, struktur birokrasi, dan
metode mengganggu terus-menerus (disruptive methods) yang
digunakan. Peranan kaum professional atau intelektual kemudian
memainkan menjadi penting terutama keahlian teknisnya dalam
mengelola sumber-sumber daya, merencanakan strategi, menghimpun
dana, melakukan tekanan (pressure) terhadap kelompok elit, dan
mengadakan kontak dengan media massa dan terpusat pada otoritas
internal organisasi.
Selanjutnya Sujatmoko (2006) dengan mengacu pada gejala
perkembangan gerakan sosial membaginya menjadi 2 (dua) kategori,
yaitu: Old Social Movement yang kemudian berkembang menjadi New Social Movement. Kategorikan yang sama juga dinyatakan Mirsel
(2004:18-19) dengan menambah satu periode yang dinamakan dengan
periode dekonstuksi. Periode keempat ini dimunculkan mengiringi
terjadi gerakan-gerakan seperti: ultra-nasionalis di wilayah-wilayah
bekas Uni Soviet, sayap kanan baru, kebangkitan kembali Nazisme dan
etnosentrisme, gerakan fundamentalis baik di kalangan Kristen, Hindu
Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya
43
dan Islam, politik identitas dan politik rasial di Amerika Serikat, dan
kondisi negara-negara sosialis Dunia Ketiga yang memprihatinkan
melahirkan penilaian-penilaian yang lebih negatif terhadap berbagai
gerakan sosial. Periode keempat cenderung menjadi gerakan
chauvinistis, dalam sebuah masyarakat yang miskin, tidak adil dan
berpemerintahan yang buruk (Van Klinken, 2007:228).
Sebelum menjelaskan lebih lanjut, terlebih dahulu akan
dipaparkan pendekatan dari gerakan sosial baru atau dIsingkat dengan
GSB terutama yang dikemukakan oleh para ilmuan kontemporer.
Gerakan sosial baru dipahami berbeda dengan gerakan sosial lama
(klasik) yang melibatkan wacana ideologis yang lebih meneriakkan anti
kapitalisme, revolusi kelas dan perjuangan kelas. Karekteristik GSB
sifatnya plural, di antaranya seputar isu yang berhubungan dengan anti
rasisme, anti nuklir, perlucutan senjata, feminisme, lingkungan hidup,
kebebasan sipil sampai pada isu-isu Perdamaian (Singh, 2007: 122).
Dalam konteks penulisan ini lebih melihat dengan perspektif GSB
berangkat dari asumsinya bahwa dalam kasus yang terjadi di
Kalimantan Tengah, walaupun ditemukan adanya ketegangan yang
sifatnya strukturalis antara pemerintah dan masyarakat, tetapi ide dasar
gerakan berdasarkan isu seputar lingkungan dan etnisitas. Mobilisasi
yang dilakukan berbagai Organisasi Non-Pemerintah (NGO) adalah
menciptakan berbagai bentuk perlawanan terhadap kehadirannya para
investor yang kemudian menjadi dasar penggunaan konsepsi GSB.
Mengacu kepada Singh (2007: 124-134), GSB mempunyai
beberapa ciri yang dapat dikenali antara lain; pertama, GSB menaruh
konsepsi ideologis pada asumsi bahwa masyarakat sipil berada pada
titik nadir; ruang sosialnya mengalami penciutan dikarenakan kontrol
negara yang berlebihan. Selain negara, pasar juga menerobos masuk
kedalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Kedua, perjuangan
seperti anti rasisme, gerakan feminis etnisitas, dan lingkungan hidup
bukanlah persoalan perjuangan kelas. Pengelompokan mereka adalah
lintas kelas, sehingga paradigma Marxisme menjadi model yang tidak
cocok. Karenanya kebanyakan GSB didefinisikan sebagai gerakan non
klas dan non materialistik.
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual
44
Ketiga, GSB umumnya melibatkan politik akar rumput, aksi-aksi
akar rumput yang kerap memprakarsai gerakan mikro. Mereka
melahirkan secara horisontal asosiasi demokratis terorganisir yang
terjalin dalam federasi longgar pada tingkat nasional sebuah negara
maupun dalam tingkat global. GSB secara umum merespon isu seputar
demoralisasi struktur kehidupan sehari-hari dan memusatkan
perhatian pada bentuk-bentuk komunikasi dan identitas kolektif
dibandingkan membidik domain perekonomian dan negara.
Diharapkan untuk menata kembali relasi negara, masyarakat dan pasar
untuk menciptakan ruang publik yang berisi kebebasan individu,
kolektivitas dan identitas selalu bisa didiskusikan dan diawasi.
Keempat, lain halnya dengan teori klasik, struktur GSB didefinisikan
oleh pluralitas cita-cita, tujuan, kehendak, orientasi oleh heterogenitas
basis sosial mereka.
Sesuai dengan esensinya, maka GSB umumnya bersifat global dan
tidak tersegmentasi. Wilayah aksi, strategi dan cara mobilisasi mereka
transnasional menyeberangi batas-batas bangsa dan masyarakat. Aktor-
aktor yang beroprasi dalam GSB bukan karena kepentingan kelas
mereka tetapi dengan alasan kemanusiaan. Aktor GSB seperti feminis,
ekolog, dan aktivis perdamaian, memiliki pemahaman diri berupa
identitas, tujuan, dan cara-cara berasosiasi mereka ditinjau secara
historis adalah baru.
Secara teoritis mengenai GSB sebagai analisis, maka tulisan ini
meminjam konsep framing. Pendekatan framing dalam gerakan sosial
paling erat terkait dengan karya David Snow, William Gamson dan
Todd Gitlin (McAdam et.al, 2007:12). Menurut Haryanto, dkk (2013),
istilah frame dipinjam dari Erving Goffman yang mengacu pada skema
penafsiran bahwa individu mengadopsi untuk memahami dunia di
sekitar mereka dan menempatkan diri di dalamnya. Menurut Snow
(2004), frame memberikan makna pada peristiwa dan “berfungsi untuk
mengatur pengalaman dan panduan tindakan (kolektif dan
individual).”
Untuk menarik massa, gerakan sosial harus membangun frame
yang sangat mirip dengan frame dari individu-individu yang sedang
Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya
45
berusaha untuk dimobilisasi. Proses ini disebut “kerangka berpihak”
dan tergantung pada seberapa sukses pemimpin gerakan yang
menjembatani kerangka aksi gerakan mereka sendiri dengan frame
tindakan kolektif dari simpatisan sehingga mereka akan mampu
memobilisasi berbagai individu.
Dalam rangka untuk menjelajahi bagaimana orang bisa
membangun frame tindakan kolektif, Gamson menganalisa kelas
pekerja. Gamson (1975) memeriksa tiga frame tindakan kolektif yang
berbeda yang ia sebut, ketidakadilan, lembaga dan identitas.
Sehubungan dengan frame ketidakadilan, Gamson menemukan bahwa
orang yang bekerja tidak menyederhanakan menerima penggambaran
frame ketidakadilan tanpa terlebih dahulu mereka memproses melalui
kerangka interpretif dan pengalaman mereka. Seperti teori framing
lainnya, Gitlin juga memulai dengan definisi Irving Goffman tentang
frame, tetapi fokusnya pada dampak cara media terhadap frame
gerakan sosial bukannya pembangunan frame individu. Sementara
Gamson menentang gagasan bahwa media memiliki pengaruh langsung
pada individu terhadap frame tindakan kolektif, Gitlin menyatakan
bahwa media massa itu sendiri memainkan peran penting dalam
membentuk persepsi publik, dan gerakan sosial tertentu. Gitlin
menyatakan bahwa media memiliki dampak langsung dan signifikan
terhadap keberhasilan, atau kegagalan, gerakan sosial modern.
Framing (pembingkaian) memusatkan perhatian pada peranan
usaha menguasai ide-ide dan identitas-identitas baru dalam
membentuk gerakan-gerakan sosial. Para organisator gerakan
melakukan mobilisasi dengan jalan melukiskan isu-isu untuk para
calon peserta gerakan dengan cara memberikan makna bagi mereka
(Van Klinken, 2007:14). Framing menurut Todd Gitlin adalah strategi
bagaimana realitas/dunia dibentuk dan disederhanakan sedemikian
rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa
ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak menonjol dan menarik
perhatian khalayak pembaca. Proses itu dilakukan dengan seleksi,
pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas.
Karenanya konsep framing selalu merujuk pada pemberian definisi,
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual
46
penjelasan, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk
menekankan dalam kerangka berpikir tertentu terhadap peristiwa yang
diwacanakan.
Selain itu, konsep kedua yang dipakai dalam tulisan ini adalah
mekanisme relasi (relational mechanisms) yang diambil dalam teori
contentious politics (McAdam et.al: 2004). Secara umum mekanisme
didefinisikan sebagai sebuah kejadian yang mengubah hubungan-
hubungan di antara elemen-elemen tertentu dan cara-cara serupa.
Sebuah contoh sentral tentang mekanisme relasional adalah brokerage (perantara), di mana dua unit sosial dibawa memasuki sesuatu
hubungan dengan satu sama lain oleh unit ketiga (Van Klinken,
2007:17). Mekanisme relasional mengubah hubungan antara orang-
orang, kelompok, dan jaringan interpersonal. Brokerage
menghubungkan dua atau lebih situs sosial yang sebelumnya tidak
terhubung oleh sebuah unit yang menengahi hubungan mereka
dengan satu sama lain dan atau tanpa agen lain. Mekanisme berkaitan
dengan kelompok dan individu satu sama lain yang termobilisasi
selama periode politik perdebatan (contentious politics) sebagai
kelompok baru yang disatukan oleh interaksi yang meningkat dan
situasi ketidakpastian, sehingga menemukan kepentingan bersama
mereka (McAdam et.al, 2004:26).
Contentious politics itu sendiri oleh McAdam, Tilly dan Tarrow
didefinisikan sebagai peristiwa yang terjadi secara episodik atau tiba-
tiba dari pada reguler. Definisi contentious politics yang dimaksud
berdasarkan dua alasan, yaitu: pertama, banyak contoh ketegangan
yang tumbuh di luar dari kebiasaan yang ada; kedua, perubahan dalam
jangka waktu singkat sebuah ketegangan politik dan perubahan sosial
sering muncul dari transgresif yang memiliki kecenderungan lebih
sering memproduksi rezim-rezim yang ada.
Proses pembingkaian dan pemanfaatan kesempatan politik dengan
runtuhnya kekuasaan Orde Baru tentunya membutuhkan ruang untuk
membangun opini dan mengekspresikan secara bebas, tanpa ada
tekanan atau pemaksaan (coersion) kepada siapapun. Oleh Habermas
(1962) dipahami sebagai public sphere atau „ruang sosial‟ yang terbuka,
Kajian Kebijakan Pembangunan dan Dampaknya
47
dan di dalamnya masyarakat dapat melakukan diskusi secara kritis
terbuka kepada semua orang.
Seperempat abab terakhir ini, ruang publik mengalami
perkembangan pesat mengiringi tumbuhnya ICT (information communication technology). Ruang publik dalam konteks
perkembangan ICT dipahami sebagai „ruang imajiner‟ atau „ruang
maya‟ yang bersifat artifisial, di mana setiap orang melakukan apa saja
yang biasa dilakukan dalam kehidupan sosial sehari-hari dengan cara
yang baru. Hal menarik lainnya dari ruang publik virtual ini adalah;
(1) identitas aktor-aktor sosial tersembunyi di balik tanda; (2) Isu-isu
politik tersebar dengan cepat dan menjangkau penerima yang amat
luas, tanpa dibatasi ruang dan waktu; dan (3) masyarakat kemudian
diarahkan untuk mengembangkan hidupnya melalui jejaring (the network society). Berdasarkan ciri seperti ini, peran ruang publik
virtual kemudian dikaitkan dengan berkembangnya demokrasi politik
seperti yang sedang terjadi di Indonesia (Lim, 2002).
Dalam konteks seperti yang dijelaskan di atas, ruang publik
tentunya tidak hanya dilihat dalam artian ruang publik fisik belaka
karena dipengaruhi juga dengan tumbuhnya ICT yang justru mampu
membuka kembali wacana otonomi; dan kebebasan individu,
kolektifvitas dan identitas. Dalam ruang ini, aktor-aktor pendukung
gerakan kemudian menggunakan teori proses framing untuk
memahami sukses dan gagalnya sebuah gerakan sosial. Snow dan
Banford (1980) mencatat, suksesnya gerakan sosial terletak sampai
sejauhmana mereka memenangkan pertempuran atas arti. Hal ini
berkaitan dengan upaya para aktor perubahan mempengaruhi makna
dalam kebijakan publik. Oleh karena itu, aktor perubahan memiliki
tugas penting guna mencapai tujuan perjuangan melalui pembentukan
framing atas masalah-masalah sosial dan ketidakadilan yang
diperjuangkan. Pembentukan framing ini sendiri tergantung dari
bagaimana ICT mampu mewadahinya sehingga dapat membentuk
ruang publik tanpa campur tangan negara, yang kemudian oleh Dewi
dan Royke (2015) menyebutnya sebagai ruang publik virtual, seperti
yang ditemukan dalam kasus “Save Satinah”.
ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual
48
Pada akhirnya, suatu gerakan sosial di ruang publik virtual dapat
berkembang dikarenakan adanya jaringan, aktor, translasi, dan
intermediari seperti yang dikembangkan oleh Bruno Latour (2005)
yang kemudian disebut sebagai Teori Jaringan-Aktor atau Actor-Network-Theory atau sering disingkat ANT. Para penggagas ANT
berpendirian bahwa masyarakat itu bukan hanya sekadar berisi unsur-
unsur individu manusia serta norma yang mengatur kehidupan
mereka, tetapi lebih dari itu dia ak dalam sebuah “jaringan”.
Konsep jaringan tidak hanya berfokus pada relasi sosial aktor
manusia, tetapi mencakup aktor-aktor nonmanusia (sebuah jaringan
heterogen atau beragam). Aktor didefinisikan sebagai sesuatu yang ikut
beraksi, yang bukan hanya manusia, melainkan juga merupakan obyek
teknis. Translasi berarti penjajakan dan penyesuaian aksi-aksi yang
berlangsung antara aktor-aktor sampai tercapai suatu relasi yang stabil
sehingga obyek teknis dapat terus berfungsi. Sedangkan intermediari
adalah aktor yang ”bersirkulasi” di antara aktor-aktor dan yang
memelihara relasi di antara mereka.
Atas dasar pemahaman di atas, penelitian ini secara khusus
menggunakan konsep jaringan aktor, translasi dan intemediasi dalam
mengkaji bagaimana perlawanan orang Dayak melawan Tambang,
studi gerakan sosial baru di dalam ruang publik virtual.