kajian kritis terhadap merosotnya pemaknaan nilai luhur ......untuk masyarakat batak sendiri, tetapi...
TRANSCRIPT
i
“ULOS”
Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur Ulosbagi Masyarakat
Batak Toba di Salatiga
oleh,
Ade Marella Simarmata
712013040
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Program Studi Ilmu: Teologi, Fakultas: Teologi
Guna Memenuhi Sebagian dari prasyaratanmencapai Gelar Sarjana Sains Teologi
( S.Si-Teol )
Fakultas Teologi
Universitas Kristen Satya Wacana
2018
ii
iii
iv
v
vi
MOTTO
Bahwa hanya Allah lah yang menciptakan, membentuk, menuntun, mengasihi, menebus,
melindung, dan lain sebagainya. Maka, segala yang ada di dalam diri kita ataupun kehidupan
kita, semua berasal dari pada Tuhan. Syukuri, hargai dan jagalah! sebab itu adalah anugerah
dari Tuhan sebagai salah satu lambang dari Kasih Setianya kepada kita. ―Sebab itu marilah
kita mengajar apa yang mendatangkan damai sejahtera dan yang berguna untuk saling
membangun.(Roma 14:19)‖. Kiranya Allah memperkaya kita dengan kerinduan untuk
menjadi berkat.
vii
KATA PENGANTAR
Penulis mengucapkan puji syukur kepada Tuhan yang telah mengaruniakan berkat dan kasih
sayang-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang berdujul ― Ulos
Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur Ulos bagi Masyarakat Batak
Toba di Salatiga‖ dengan baik.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya tugas akhir ini tidak lepas dari dukungan,
perhatian, doa, bimbingan, kasih dan ilmu dari berbagai pihak. Karena itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Pdt. Dr. Ebenhaizer I Nuban Timo sebagai pembimbing 1 dan Pdt. Merry Rungkat
sebagai pembimbing 2 yang telah membimbing penulis dengan kesabaran. Terima
kasih bapak Eben dan ibu Merry yang tidak pernah lelah membaca serta memberikan
masukan untuk penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Terima kasih juga untuk
waktu, motivasi serta serta ilmu yang diberikan kepada penulis selama proses
bimbingan.
2. Ayah, Mama, kakak Hotmaulina Simarmata, kakak Abdi.H. Simarmata, kakak
Candia.A. Simarmata, kakak Coningiya Simarmata dan keluarga besar Simarmata
yang selalu memberikan dukungan dan motivasi, sehingga penulis bisa
menyelesaikan tugas akhir ini sengan baik. Kiranya Tuhan selalu memberkati kita.
3. N. A. S yang sudah bersedia meluangkan waktunya. Terima kasih sudah selalu setia
memberikan penulis semangat, motivasi, serta menghibur penulis disaat penulis
mengalami kesusahan dalam penulisan tugas akhir. Kiranya Tuhan selalu
memberkati.
4. Para Dosen Fakultas Teologi UKSW, antara lain: Bapak David, bapak Eben
(pembimbing 1), bapak Jhon, ibu Retno, bapak Rama, kakak Merry (pembimbing 2),
bapak Yusak, bapak Toni, bapak Handri, ibu Ningsih,bapak Nimali, bapak Simon,
kakak Astrid, kakak Feri, kakak Irene, kakak ira, bapak Izak, bapak Yopi, bapak
Totok, bapak Nelman, bapak Agus, bapak Yusak, serta seluruh dosen fakultas
Teologi. Terima kasih untuk ilmu, kedisiplinan, pengalaman, motivasi serta doa yang
di peroleh penulis. Berkat ilmu dan motivasi dari para dosen, penulis dapat
menyelesaikan dan meraih keberhasilan ini. Kiranya Tuhan selalu memberkati bapak
dan ibu serta kehidupan selanjutnya.
viii
5. Para Pegawai dan Tata Usaha Fakultas Teologi, antara lain : ibu Budi, bapak Adi,
bapak Eko dan ibu Liana. Terima kasih atas bantuan dan informasi yang diberikan
selama penulis menempuh studi di UKSW. Kiranya Tuhan memberkati bapak dan ibu
serta kehidupan selanjutnya.
6. HBKP Salatiga yang menjadi tempat penelitian penulis, yang sudah bersedia
membantu penulis dalam memberikan data atau informasi dengan baik. Penulis
mengucapkan terima kasih kepada para narasumber yang sudah bersedia membantu
penulis dalam proses penyelesaian penulisan tugas akhir. Kiranya Tuhan selalu
memberkati kehidupan selanjutnya dan pelayanan di HKBP Salatiga.
7. Teman-teman angkatan 2013 dan sahabat-sahabat penulis yang selama ini membantu
demi kelancaran skripsi. Penulis mengucapkan terimakasih untuk kebersamaan yang
telah kita lewati bersama-sama. Sukses untuk kita semua.
Salatiga, 01 Juni 2018
Penulis
Ade Marella Simarmata
ix
ABSTRAK
Kebudayaan telah menjadi salah satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia. Melalui
budaya, manusia hendak memahami kesehariannya secara bermakna. Baik secara individu
maupun dalam relasinya dengan masyarakat. Kekayaan budaya baik dari bahasa, busana,
kuliner, filsafat, dan berbagai nilai lainnya telah memperkaya sekaligus mewarnai perjalanan
kehidupan manusia. Budaya Batak adalah satu dari sekian kekayaan budaya di Indonesia
yang terus berkembang. Seiring berkembangnya zaman pemaknaan terhadap budaya Batak
pun semakin berbeda. Salah satunya adalah pemaknaan terhadap ulos. Simbol yang telah
dimaknai sebagai sesuatu yang luhur ini telah mendapatkan peranan tambahan seiring
berkembangnya zaman. Tambahan peranan tersebut merupakan salah satu bagian dari
ketidaktahuan subyek yang hendak memakai ulos. Baik ketidaktahuan fungsi, makna, sejarah,
dan nilai lainnya. Pergeseran ini merupakan salah satu hal yang perlu diperhatikan kembali
dalam melestarikan kebudayaan Batak di Indonesia.
Kata Kunci: Kebudayaan, Simbol, Ulos
x
DAFTAR ISI
Halaman Judul .......................................................................................................................... i
Lembar Pengesahan................................................................................................................. ii
Pernyataan Tidak Plagiat...................................................................................................... iii
Pernyataan Persetujuan Akses .............................................................................................. iv
Pernyataan Persetujuan Publikasi Tugas Akhir Untuk Kepentingan Akademis ............. v
Motto ........................................................................................................................................ vi
Kata Pengantar ...................................................................................................................... vii
Abstrak..................................................................................................................................... ix
DAFTAR ISI............................................................................................................................. x
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. 5
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................................. 5
1.5 Metode Penelitian .................................................................................................. 5
1.6 Sistematika Penulisan ............................................................................................ 6
II. TEORI .............................................................................................................................
2.1 Kebudayaan dan Simbol .......................................................................................... 7
2.2 Teori Perubahan Sosial dan Busana ....................................................................... 11
III. HASIL PENELITIAN ...................................................................................................
3.1 Sejarah Ulos Batak Toba dan Fungsinya ............................................................. 15
3.2 Sejarah Latar Belakang Kehidupan Jemaat HKBP Salatiga .................................. 15
3.3 Makna Ulos Menurut Masyarakat Batak Toba di Salatiga .................................... 17
3.4 Hasil Kuesioner Terhadap Pemaknaan Ulos dan Budaya Batak Toba .................. 19
IV. Kajian Kritis Terhadap Kemerosotan Pemaknaan Nilai Luhur Ulos dalam
Masyarakat Batak Toba di Salatiga ……………………………………………....22
V. KESIMPULAN dan SARAN……………………………………………………....27
VI. DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….........32
1
“ULOS”
Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur Ulosbagi
Masyarakat Batak Toba di Salatiga
1 Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Negara Indonesia dikenal sebagai negara yang sangat majemuk. Kemajemukan
Indonesia sangat kaya mulai dari suku, kebudayaan, bahasa, kepercayaan, seni, dan berbagai
keragaman lainnya. Kekayaan itu terbentang dari Sabang sampai Merauke. Setiap masyarakat
memiliki corak hidup berbudaya yang berbeda-beda. Salah satunya terdapat di dalam suku
Batak. Corak budaya yang berbeda-beda itu menghiasi setiap kehidupan yang tidak hanya
untuk masyarakat Batak sendiri, tetapi juga Indonesia. Misalnya saja, dalam suku Batak
terbagi menjadi 6 yaitu Toba, Simalungun, Mandailing, Pakpak, Angkola, Karo.1
Perbedaan itu tidak menghambat relasi mereka dalam menjalani persaudaraan, justru
dengan perbedaan itu mereka saling melengkapi dan menghiasi satu sama lain. Salah satu
faktornya adalah karena sejak kecil mereka ditanamkan kepada nilai-nilai persaudaraan yang
tinggi dan terus dibekali mengenai silsilah dari marganya. Salah satu penanaman nilai
persaudaraan yang seringkali ditanamkan dalam masyarakat Batak adalah Dalihan Na Tolu.
Mengingat bahwa penelitian ini akan berpusat kepada suku BatakToba, maka yang akan
dipaparkan adalah Dalihan Na Tolu yang berasal dari BatakToba.
Istilah Dalian Na Tolu (DNT) diartikan sebagai tungku nan tiga. Masyarakat Batak itu
diumpamakan sebagai kuali, maka DNT itulah tungkunya. Terlebih bahwa tungku digunakan
oleh masyarakat sebagai tempat kuali untuk memasak yang terdiri dari tiga batu. Tungku
akan berfungsi dengan baik, jika ia mempunyai tiga kaki dengan panjang yang sama. Sebab,
itu akan memberikan keseimbangan yang baik ketika meletakkan kuali atau peralatan
memasak di atasnya dan bahan yang dimasakpun tidak akan oleng atau tumpah. Selain itu,
jika tungku terbuat dari besi, terlebih tungku itu mempunyai tiga bagian penopang yang
sejajar, maka tempat duduk kuali pun akan kuat. Karena tungku itulah, maka terjadi
1Payung Bangun, ―Kebudayaan Batak,‖ ed. Koentjaraningrat (Sapdodadi: Djambatan, 1975), 94-95.
2
keseimbangan kuali yang digunakan menanak nasi diatasnya dan melalui itu menyalalah api
solidaritas masyarakat.2
Masyarakat Batak selalu berpedoman pada DNT dalam segala geraknya termasuk
dalam usaha menegakkan pergaulan dan adat istiadat. Dan fungsi DNT telah bermanfaat
mengatur tata cara dan tata hidup masyarakat.3Sistem DNT dalam masyarakat Batak dibagi
atas tiga dasar adat yaitu, (1) hula-hula, (2) dongan tubu, dan (3) boru. Hubungan antara suatu
marga dengan yang lainnya sangat erat bagi orang Batak yang diwujudnyatakan dalam tutur
sapa sehari-hari yang ditentukan oleh DNT.
DNT sebagai dasar demokrasi Batak yang lebih sempurna dari susunan hubungan
antar masyarakat bangsa lain. Demokrasi dalam arti sesungguhnya di Toba itu adalah sikap
musyawarah antara anggota-anggota masyarakat dalam DNT yang secara teratur dalam
perundingan karena hal-hal yang perlu dikerjakan bersama demi kepatuhan kepada adat.4
Maka daripada itu tutur sapa dalam masyarakat itu sangat penting sehingga dimana saja
orang Batak bertemu selalu lebih dahulu menanyakan marga. Seperti pepatah Batak yang
mengatakan “jolo tinitip sangar bahan huru-huruan, jolo sinungkun marga asa binoto
partuturan.” Artinya harus lebih dahulu mengetahui marga, baru dapat mengetahui tutur
sapa. Itulah sebabnya setiap orang tua, mengajarkan kepada keturunannya tentang pentingnya
bertutur sapa satu sama lain. “Pantun hangoluan tois hamagoan.” Artinya orang yang sopan
santun akan selamat, tetapi orang yang serakah atau kasar akan celaka.5 Hubungan kekerabat
dalam masyarakat Batak yang disebut sebagai partuturan atau tegur sapa.
Salah satu simbol yang menjadi pelengkap makna dari DNT adalah ulos. Peneliti akan
membahas topik mengenai salah satu kekayaan di suku Batak yaitu, Ulos. Mengingat arti dan
makna ulos merupakan simbol adat budaya warisan leluhur. Misalnya, dalam pesta
pernikahan, orang tua perempuan bersama DNT nya harus menyerahkan ulos kepada orang
tua laki-laki dan kepada anak serta menantunya sesuai dengan kewajiban adat.
Ulos menjadi salah satu simbol yang mudah dipahami oleh masyarakat sebagai bagian
dari budaya Batak. Selain itu, ulos adalah semacam kain khusus yang ditenun dengan motif-
motif tersendiri. Contohnya jika ada seseorang yang menggunakan atribut yang bermotifkan
ulos sudah pasti dikenal sebagai orang Batak (Identitas). Motif dan warna-warna kain itu
2E.H. Tambunan, Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya (Bandung: Tarsito, 1982), 112. 3E.H Tambunan, Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya, 113. 4T.E Tarigan dan Emilkam Tambunan, Struktur dan Organisasi Masyarakat Toba (Ende: Nusa Indah, 1974), 48. 5E.H. Tambunan, Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya, 120.
3
mengandung arti yang khusus pula, dan tidak dapat dipakai pada sembarang acara adat.6Ulos
merupakan salah satu pelestarian budaya Batak yang begitu berharga. Dahulu, dalam
kehidupan sehari-haruulos digunakan oleh leluhur sebagai selendang atau sarung.
Terkhusunyaulos dipakai untuk menghangatkan tubuh mereka yang memang tinggal di
daerah pegunungan. Mengingat leluhur masyarakat Batak dahulu tinggal di daerah
pegunungan.
Ulos menjadi begitu berharga bagi masyarakat Batak tidak hanya pada upacara-
upacara adat tertentu, tetapi dalam kehidupan sehari-haripun ulos begitu berharga. Selain itu,
ada pemaknaan berharga yang terkandung di dalam ulosyaitupada nilai kekerabatannya yang
amat tinggi. Hal itu terlihat jelas pada adanya aturan tertentu mengenai pemberian ulos.
Misalnya pemberian ulos terhadap kerabat yang berada di bawah kita, seperti halnya
pemberian ulos kepada anak mereka. Lalu, pemberian ulos terhadap orang yang menikah atau
yang disebut sebagai ―ulos holong‖. Dikatakan bahwa pemberian ulos kepada kedua
mempelai menjadi pelambang kasih sayang dari mereka yang memberikannya.
Berbicara tentang ulos, ia mempunyai makna yang sakral dan penggunaannya harus
disesuaikan dengan kondisi yang ada. Nenek moyang orang Batak zaman dahulu membuat
ulos sebagai lambang yang akan mendatangkan kesejahteraan jasmani dan rohaniah serta
digunakan pada upacara yang khusus. Selain itu, fungsi ulos membawa arti yang khusus
dalam setiap upacara dari yang terkecil hingga terbesar.
Ada tiga warna dasar pada ulos, yaitu warna Putih, Merah, dan Hitam. Ketiga warna
ini memiliki makna masing-masing yang dipandang masih sakral dalam kalangan masyarakat
BatakToba. Putih merupakan Banua Ginjang (Benua Atas), yang memiliki makna tempat
bersemayam Mulajadi Na Bolon (Tuhan).Merah merupakan Banua Tongah (Benua Tengah),
yang memiliki makna suatu dunia fana yakni bumi yang didiami manusia.Hitam merupakan
Banua Toru (Benua Bawah), yang memiliki makna tempat roh-roh jawab dan tempat yang
sangat gelap.7
Beranjak di zaman modern, tentu pemaknaan terhadap ulos akan terkikis oleh
semangat zaman. Terutama oleh muda/i Batak yang memiliki peran sebagai penerus
budayanya. Mengingat saat ini sudah banyak masyarakat Batak yang telah merantau. Tidak
heran banyak diantara mereka yang tidak begitu peduli terhadap makna luhur dari ulos.
6E.H. Tambunan, Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya, 92. 7T.E Tarigan dan Emilkam Tambunan, Struktur dan Organisasi Masyarakat Toba (Ende: Nusa Indah, 1974), 26.
4
Jangankan pemaknaan luhur terhadap ulos, untuk berbahasa Batakpun mereka mengalami
kesulitan. Ya, itu tidak dapat disangkal mengingat zaman yang semakin modern. Kesadaran
masyarakat tidak lagi tertuju terhadap kebudayaan yang luhur, tetapi bagaimana budaya itu
dapat bersatu padu dalam semangat zaman. Kesulitan semakin dihadapi disini dan
masyarakat semakin ditantang untuk tetap melestarikan kebudayaannya yang sangat kaya itu.
Salah satu contohnya adalah bagaimana muda/i Batak yang malu untuk berbahasa Batak
terhadap sesamanya. Terlebih mereka yang begitu mengikuti arus zaman yang modern dan
mengatakan bahwa budaya leluhur adalah suatu hal yang sangat kuno. Begitu juga dengan
memaknai ulos yang hanya dipakai pada momen tertentu dan setelah itu disimpan rapat-rapat
di dalam lemari mereka. Selain itu cara mereka yang mencoba untuk memasukkan motif
Batak ke dalam pakaian atau semangat modern mereka tanpa melihat makna luhurnya. Jadi,
tidak heran jika semakin lama kebudayaan itu semakin terkikis bahkan semakin praktis untuk
memaknainya sebagai harta yang begitu berharga.
Zaman semakin berkembang dan pemaknaan ulos semakin merosot. Hal ini menjadi
suatu kekhawatiran sendiri dikalangan masyarakat BatakToba, terkhusunya orang-orang
Batak yang sudah merantau. Seringkali pemaknaan terhadap ulos tidak dihayati sebagaimana
adanya. Selain itu kekeliruan juga terjadi pada penjualan-penjualan souvenir, pakaian,
aksesoris yang memotif ulos. Misalnya, ulos Ragi Idup yang sering dijadikan pakaian
ataupun jas, padahal jika dilihat dari makna luhurnya, ulos Ragi Idup ini dimaknai hanya
boleh dipakai ataupun digunakan oleh sesorang yang sudah mengawinkan anaknya menurut
adat budaya BatakToba.
Maka dari pada itu, sangat penting bagi masyarakat BatakToba untuk lebih
menghayati dan memahami makna luhur dari ulos, supaya tidak menggunakan ulos dengan
semena-mena dan mengejar nilai ekonomi semata. Karena ulos merupakan salah satu aspek
kebudayaan yang paling penting, sekaligus sering kali digunakan pada setiap acara-acara adat
maupun keluarga di masyarakat Toba. Seharusnya ulos tidak hanya dipakai terus-menurus
untuk hal komersialisasi tapi perlu dilihat juga makna atau nilai adat budayanya.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti akan meneliti topik dengan judul
“Kajian Kritis Terhadap Merosotnya Pemaknaan Nilai Luhur Ulosbagi Masyarakat
Batak Toba di Salatiga.”Walaupun di sisi lain masyarakat tidak begitu peduli terhadap
pemaknaan ulos dan kebudayaannya. Namun, itu tidak menjadikan masyarakat pesimis.
Semangat zaman tentu akan selalu berubah, tetapi perhatian disini adalah bagaimana cara
5
agar budaya tidak termakan oleh semangat zaman, melainkan semakin kaya setiap harinya.
Ulos hendaklah menjadi salah satu aspek budaya yang menyatukan masyarakat Batak dari
berbagai sikap individualistis masyarakat modern yang begitu egois dan serba praktis. Biarlah
kiranya harta budaya yang berharga itu semakin dipelihara dan dimaknai semakin baik oleh
masyarakat Batak Toba. Sebab itu juga merupakan pemberian dari Tuhan kepada manusia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan masyarakat Batak Toba di Salatiga terhadap pemaknaan
nilai luhur pada ulos?
2. Apa yang menyebabkan merosotnya pemaknaan nilai luhur pada ulos?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan makna dari nilai luhur ulos yang sebenarnya dalam masyarakat
BatakToba di Salatiga.
2. Menganalisa kemerosotan pemaknaan nilai luhurulos yang menjadi
komersialisasi.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan peneliti dalam penelitian ini adalah:
1. Peneliti hendak memberikan sumbangan kepada jemaat di HKBP Salatigauntuk lebih
memahami dan menghayati kembali nilai luhur dari ulos, supaya persaudaraan dan
keakraban di jemaat dapat diwujudkan kembali.
2. Penelitian ini hendak memberikan suatu kontribusi kepada masyarakat Batak Toba di
Salatiga untuk lebih memahami dan menghayati nilai luhur ulos, terkhsusnya kepada
generasi muda atau masyarakat Batak Toba yang sudah merantau supaya terwujudnya
nilai-nilai historis, kultural, filosofis, dan religi.
1.5 Metode Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu, metode kualitatif dan
kuantitatif yakni dengan cara wawancara dan mengumpulkan data di lapangan. Saya
memakai metode wawancara dan pengumpulan data karena penelitian ini membutuhkan
keterangan yang jelas langsung dari masyarakat BatakToba dan juga jemaat di HKBP
Salatiga. Mengingat bahwa penelitian kuantitatif terkait erat dengan proses induktif, yaitu
6
bertitik tolak dari data spesifik kepada yang umum. Selain itu, penelitian kuantitatifhendak
mencari fakta dan penyebab perilaku manusia dan ingin mengetahui banyak tentang sejumlah
variabel sehingga perbedaan-perbedaan dapat diidentifikasi.8Terlebih bahwa tujuan metode
kuantitatif adalah menemukan berapa banyak dan jenis manusia apa saja dalam populasi
umum yang memiliki karakteristik.
1.6 Sistematika Penulisan
Dalam penulisan Tugas Akhir ini peneliti akan membagi tulisannya dalam beberapa
bagian. Bagian pertama, peneliti akan menjabarkan latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, dan manfaat penelitian. Bagian kedua, peneliti akan memaparkan teori-teori yang
akan dipakai dalam pembuatan Tugas Akhir. Peneliti menggunakan beberapa teori
kebudayaan untuk mengkaji sejauh mana antara kebudayaan dan peradaban terkait erat di
dalam kehidupan masyarakat Batak Toba.Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Budaya
adalah pikiran; akal budi ataupun sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang
(beradab, maju). Sedangkan kebudayaan ialah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi)
manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat, ataupun keseluruhan pengetahuan
manusia sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungan serta
pengalamannya, serta yang menjadi pedoman tingkah langkuhnya. Menurut
Koentjaraningrat, istilah peradaban biasanya dipakai untuk menunjuk bagian-bagian dan
unsur-unsur kebudayaan yang halus dan indah, seperti kesenian, ilmu pengetahuan serta
sopan-santun dan sistem pergaulan yang kompleks dalam suatu masyarakat dengan struktur
yang kompleks9. Bagian ketiga, peneliti akan mengumpulkan dan menyampaikan data-data
melalui wawancara dan mengumpulkan data dari para partisipan.Bagian keempat, peneliti
akan menganalisa antara teori-teori dengan data yang telah didapatkan/dikumpulkan dari
partisipan yang terdapat di bagian ketiga.Bagian kelima, berisikan penutup serta peneliti akan
membuat kesimpulan dan saran
8William Chang, Metodologi Penulisan Ilmiah Teknik Penulisan Esai, Skripsi, Tesis, dan Disertasi (Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2014), 32. 9Rafael Raga Maran, Manusia dan Kebudayaan Dalam Perspekti Ilmu Budaya Dasar (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), 36.
7
2. Perspektif Teori Simbol dan Busana terhadap Ulos dalam Masyarakat Batak Toba di
Salatiga
2.1 Kebudayaan dan Simbol
Manusia diciptakan oleh Allah dengan kebaikan. Berulang kali dalam kisah
penciptaan di kitab Kejadian mengatakan hal itu. Seluruh ciptaan Allah selalu terlahir dengan
kebaikan. Terlebih manusia yang diciptakan seturut gambar-Nya atau dengan istilah yang
sangat dikenal yaitu Imago Dei. Manusia terlahir dengan kekhasan bahwa dia dapat berpikir,
bertindak, dan memiliki perasaan. Keterlahirannya sebagai ciptaan yang khusus itu
memberikan arti penting bahwa manusia diberikan kesempatan oleh Allah untuk menamai
seluruh ciptaan-Nya. Kesempatan yang baik dan luhur itu tidak dapat disalahartikan bahwa
manusia adalah makhluk yang superior. Namun, dipahami sebagai suatu aktivitas berpikir
dan bertindak yang dilakukan oleh manusia.
Aktivitas berpikir dan bertindak sudah selalu sarat dengan istilah memahami. Salah
satu anugerah yang diberikan oleh Allah kepada manusia adalah pemberian akal budi untuk
memahami. Ada istilah bahwa mengerti dari luar, memahami dari dalam. Kedua istilah itu
menyiratkan bahwa aktivitas memahami tidak hanya sekedar permasalahan data, tetapi juga
pada keseluruhan aspek yang hendak dipahami. Pemahaman tidak akan lahir tanpa pikiran
manusia dan pewahyuan dari Yang Ilahi.
Ada berbagai macam cara manusia memahami atas apa yang ditemuinya. Mulai dari
memahami apa yang dilihatnya, dirasakannya, dihirupnya, terlebih pada relasi dengan seluruh
ciptaan Allah. Salah satu bentuk yang mewakili proses pemahaman itu adalah simbol. Apa itu
simbol dan mengapa harus simbol? Simbol merupakan kesatuan sebuah kelompok, seperti
semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan memakai simbol. Ia sekaligus merupakan
sebuah pusat perhatian yang tertentu, sebuah sarana komunikasi, dan landasan pemahaman
bersama. Setiap komunikasi, dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan simbol-
simbol. Masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa simbol-simbol.10
Manusia sudah disertai oleh simbol sejak ia datang ke dunia. Tanpa simbol, manusia
tidak dapat memahami apa yang dihadapinya. Simbol adalah representasi atas apa yang
hendak dipahami manusia. Ia digunakan untuk mengerti kebudayaan, agama, masyarakat,
kitab suci, bahkan sampai kepada Tuhan. Setiap unsur yang terdapat di dalam kehidupan
10 F.W. Dillistone, diterjemahkan., Daya Kekuatan Simbol (Yogyakarta:Kanisius, 2006), 15.
8
akan bersinggungan dengan simbol. Melalui simbol manusia menciptakan sesuatu agar ia
mudah menyatu dengannya, sehingga tidak terasing dengan yang lainnya. Kebudayaan adalah
salah satu bagian dari perwujudan simbol yang diciptakan manusia itu. Sebelum memasuki
pembahasan selanjutnya, ada baiknya perlu diterangkan pemaknaan terhadap budaya melalui
para ahli kebudayaan.
Raymond Williams mengemukakan bahwa kebudayaan (culture) merupakan kata
yang begitu kompleks untuk dipahami, terutama dalam bahasa inggris. Awalnya, kata
―culture” erat kaitannya dengan kultivasi, yaitu pemeliharaan ternak, hasil bumi, dan
upacara-upacara religius.11
Namun, mengalami perkembangan sejak abad ke-16 hingga 19
mengingat istilah ini mulai diterapkan dengan luas pada akal budi manusia dan sikap-perilaku
pribadi lewat pembelajaran. Tidak hanya untuk individu saja, melainkan mulai memasuki
perannya sampai kepada masyarakat sebagai keseluruhan, mulai dari situ terciptalah
peradaban (civilization). Selanjutnya, semakin berkembang ketika memasuki kebangkitan
Romantisisme, budaya dipakai sebagai penggambaran akan perkembangan kerohanian yang
dikontraskan dengan perubahan material dan infrastruktural. Terlebih pada akhir abad ke-19
yang ikut mempengaruhi dinamika pemaknaan atas budaya, di mana lahir istilah ―budaya
rakyat‖ (folk culture) dan ―budaya nasional‖ (national culture).12
Penjabaran sejarah itu memberikan 3 bentuk pemahaman terkait perubahan-perubahan
historis yaitu, (1) mengacu pada perkembangan intelektual, spiritual, dan estetis dari seorang
individu, sebuah kelompok, atau masyarakat; (2) memetakan khazanah kegiatan intelektual
dan artistik sekaligus produk-produk yang dihasilkan, kerap dipahami dalam istilah kesenian;
(3) menggambarkan keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan-keyakinan, dan adat
kebiasaan sejumlah orang, kelompok, atau masyarakat.13
Clifford Geertz juga mengemukakan bahwa kebudayaan berarti suatu pola makna
yang ditularkan secara historis, yang diejawantahkan dalam simbol-simbol, suatu sistem
konsep yang diwarisi, terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis, yang menjadi sarana
manusia untuk menyampaikan, mengabdikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka
tentang serta sikap-sikap mereka terhadap hidup.14
Bentuk-bentuk simbolis, dalam suatu
konteks sosial yang khusus, mewujudkan suatu pola atau sistem yang dapat disebut suatu
11Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 7. 12Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan,8. 13Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, Teori-Teori Kebudayaan,8. 14 F.W. Dillistone, Daya Kekuatan Simbol, 115-116.
9
kebudayaan. Menafsirkan suatu kebudayaan adalah menafsirkan sistem bentuk simbolnya
dan dengan demikian menurunkan makna yang autentik. Geertz mengajukan setiap objek,
tindakan, peristiwa, sifat, atau hubungan yang dapat berperan sebagai wahana suatu konsepsi,
dan konsepsi ini adalah makna simbol. Jadi, penafsiran kebudayaan pada dasarnya adalah
penafsiran simbol-simbol, sebab simbol-simbol bersifat teraba, tercerap, umum, dan
konkret.15
Mary Douglas mengemukakan bahwa simbol-simbol alami tidak akan ditemukan
dalam butir-butir leksikal yang individual. Tubuh jasmani dapat mempunyai makna universal
hanya sebagai sistem yang menjawab sistem sosial, dengan mengungkapkannya sebagai
sebuah sistem. Apa yang disimbolkannya secara alami adalah hubungan bagian-bagian
sebuah organisme dengan keseluruhan ... Dua tubuh itu adalah diri sendiri dan masyarakat:
kadang-kadang keduanya sedemikian dekatnya sehingga hampir menjadi satu; kadang-
kadang keduanya terpisah jauh. Tegangan antara keduanya memungkinkan pengembangan
makna-makna.16
Selanjutnya adalah Paul Tillich yang memiliki definisi lain mengenai simbol yang
sejati. Ada 3 fungsi yang menurutnya perlu diperhatikan dalam memahami simbol. Pertama,
ia membedakan antara simbol dan tanda. Keduanya menunjukkan pada sesuatu yang lain di
luar dirinya sendiri. Namun, kalau sebuah tanda bersifat univok, arbitrer dan dapat diganti,
karena tidak mempunyai hubungan intrinsik dengan sesuatu yang ditunjuknya itu, sebuah
simbol sungguh-sungguh mengambil bagian dalam realitas yang ditunjuknya dan yang
sampai tingkat tertentu diwakilinya. Simbol berfungsi seperti ini tidak secara mandiri tetapi
dalam kekuatan hal yang ditunjuknya.
Kedua, membukakan kepada manusia adanya tingkat-tingkat realitas yang tidak dapat
dimengerti dengan cara lain. Hal ini secara khusus berlaku untuk simbol-simbol seni. Tillich
berpendapat, simbol-simbol sendi –sebenarnya, semua hasil karya seni — membukakan roh
manusia kepada dimensi pengalaman estetis dan membukakan realitas kepada dimensi makna
intrinsiknya. Simbol-simbol keagamaan menjadi medium realitas tertinggi melalui barang-
barang, orang-orang, peristiwa-peristiwa yang, berkat fungsi-fungsinya sebagai medium,
menerima sifat ―kudus‖. Dalam mengalami tempat-tempat, saat-saat, buku-buku, kata-kata,
gambar-gambar, dan tindakan-tindakan yang kudus, simbol-simbol yang kudus menyatakan
15 F.W. Dillistone, Daya Kekuatan Simbol, 116. 16 F.W. Dillistone, Daya Kekuatan Simbol, 108.
10
sesuatu dari ―Yang Kudus sendiri‖ dan menghasilkan pengalaman akan kekudusan dalam
orang-orang dan kelompok-kelompok.17
Ketiga, simbol adalah membuka dimensi-dimensi roh batiniah manusia sehingga
terwujudlah suatu korespondensi atau korelasi dengan segi realitas tertinggi. Ciri ketiga ini
hanya melukiskan satu segi dari apa yang tidak boleh tidak merupakan proses dua arah.
Simbol memperluas penglihatan tentang realitas transenden; bersamaan dengan itu, simbol
memperluas roh manusia untuk memampukannya ditangkap oleh penglihatan itu dan dengan
demikian tumbuh berkembanglah pengertian rohaninya.
Pemahaman-pemahaman mengenai budaya telah dipaparkan di atas. Hal itu
menandakan bahwa betapa pentingnya peran budaya terhadap kelangsungan hidup. Manusia
masuk di dalamnya dan menghayati setiap bagian kebudayaan. Ia menciptakan budaya, tetapi
dirinya dibentuk oleh budaya tersebut. Keadaan itu menandakan bahwa manusia dan budaya
merupakan dialog yang tidak dapat terpisahkan. Misalnya, orang mengenal budaya batak
melalui simbol berupa motif ulos, atau seseorang dengan mudah mengenal bahwa orang yang
dijumpainya beragama Kristen karena memakai kalung salib, dan berbagai macam contoh
lainnya. Jadi, budaya seringkali dipahami melalui simbol entah itu berwujud benda ataupun
yang lainnya.
Satu permasalahan yang kerap dipergumulkan hingga saat ini adalah kecenderungan
manusia yang mudah mengenal budaya asing, tetapi mengindahkan kebudayaannya sendiri.
Masyarakat Indonesia merupakan salah satu dari bagian tersebut. Kerapkali budaya dipahami
hanya pada objek, benda tertentu tanpa menghayati nilai-nilai budaya yang sebenarnya lebih
dalam dibandingkan benda-benda saja. Tidak heran jika budaya menjadi barang dagangan
atau komoditi yang sangat menguntungkan sampai saat ini. Indonesia dikenal akan
kemajemukannya dan itu merupakan simbol berharga yang dimilikinya. Namun, apakah
simbol itu hanya sebatas ―simbol‖ saja tanpa memaknainya secara utuh?
Keragaman itu ada dan hidup di setiap daerah di Indonesia. Tidak ada daerah yang
tidak memiliki kebudayaan. Masyarakat menghayati dan memaknainya baik sebagai individu
maupun masyarakat. Sudiarja dalam salah satu tulisannya mengenai kebudayaan mengatakan
bahwa ―kebudayaan daerah tidak dapat diartikan sekadar penampakan luar seperti cara
berpakaian maupun adat istiadat lahiriah. Lebih dari itu, kebudayaan daerah, terutama, adalah
17F.W. Dillistone, Daya Kekuatan Simbol,125.
11
perasaan, pemikiran, dan pandangan filsafatnya yang mendalam, yang tidak mustahil bisa
mengubah tampilan luarnya. Sering dikatakan bahwa budaya adalah akitivitas atau bahkan
kreativitas, bukan benda atau barang hasil karya.‖18
Ungkapan Sudiarja memberikan salah satu pemahaman penting bahwa kebudayaan
daerah tidak sekedar kepada materi belaka, tetapi juga kepada penghayatan hidup manusia.
Dalam hal ini ulos yang dimiliki oleh masyarakat Batak tidak dapat dimaknai sebatas benda
sejarah belaka. Namun, ulos merupakan sarana penting yang merepresentasikan keeratan
masyarakat batak. Hal ini menjadi permasalahan tertentu ketika ulos dimaknai sebagai barang
komoditi belaka. Terlebih, masyarakat lainnya mengenal ulos sebatas benda sejarah atau
budaya dari masyarakat Batak saja. Seharusnya budaya dimaknai sebagai keseluruhan hidup
manusia. Artinya budaya adalah aktivitas yang mempengaruhi dan membentuk keseluruhan
individu yang seharusnya berbudaya, bukan ―ber-buaya‖.
2.2Teori Perubahan Sosial dan Busana
Manusia adalah makhluk sosial dan memiliki peran dalam perubahan sosial di
sekitarnya. Ia tidak hanya hidup sebagai individu yang otentik, tetapi juga hidup bersama
dengan yang lainnya. Kebersamaan dengan yang lain itu disebut sebagai hidup
bermasyarakat. Hal itu mengindikasikan suatu peran, kontribusi, dan tanggung jawab dalam
menata kehidupan bersama. Indentitasnya sebagai makhluk sosial telah membentuk suatu
aktivitas sosial dan menciptakan tatanan sosial bersama yang nantinya akan berdampak pada
perubahan sosial yang terus menerus.
Walaupun perubahan sosial sebetulnya bukan merupakan satu titik, dua titik
perubahan sikap komunitas suatu masyarakat akibat berubahnya suatu tatanan masyarakat,
atau perubahan yang terjadi karena dipakainya ide-ide inovatif, tetapi suatu gerak perubahan
yang sangat besar dan maha dahsyat. Artinya ada kebutuhan-kebutuhan yang dirasa begitu
penting dari kebutuhan sebelumnya. Kebutuhan untuk perubahan yang berkelanjutan,
pengembangan yang lebih maju, dan sebagainya. Misalnya, peningkatan fungsi handphone
yang awalnya hanya digunakan untuk menelepon, tetapi sudah ditambahkan dengan fitur
yang lebih canggih seperti kamera, edit video, permainan, dan lainnya. Hal itu semakin
membentuk sifat masyarakat yang konsumerisme, sekaligus membentuk sikap masyarakat
yang semakin individualistik.
18 Sudiarja, ―Pendidikan versus Kebudayaan?‖, BASIS, Nomor 11-12, Tahun ke-64, 9.
12
Akibatnya, perubahan sosial membentuk peradaban manusia semakin berkembang
dan meningkat. Satu sisi manfaat dari perubahan sosial adalah manusia memahami
kehidupannya yang berkaitan dengan lingkungan kebudayaannya. Karena perubahan sosial
bukan lagi akibat pembangunan yang sedang gencar dilakukan oleh seperangkat birokrasi
pemerintah, tetapi suatu bentuk perubahan yang benar-benar menjadi keinginan organisme
sosial dalam bentuknya yang wajar.
Ada dua proses perubahan sosial menurut Roy Bhaskar yaitu proses reproduction dan
proses transformation. Proses reproduction adalah proses mengulang-ulang, menghasilkan
kembali segala hal yang diterima sebagai warisan budaya dari nenek moyang sebelumnya.19
Penekanannya mengacu kepada proses pengulangan kehidupan manusia, adanya keterkaitan
antara masa lampau dengan masa kini dan yang akan datang. Baik itu dari segi material
(kebendaan, teknologi) maupun immaterial (non-benda, adat, norma, dan nilai-nilai).
Sedangkan proses transformation adalah proses penciptaan hal yang baru yang dihasilkan
oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berubah adalah aspek budaya yang sifatnya
material, sedangkan yang sifatnya norma dan nilai sulit sekali diadakan perubahan (bahkan
ada kecenderungan untuk dipertahankan).20
Misalnya, seorang laki-laki batak yang cenderung
memilih pakaian dengan setelan kemeja, jas, sepatu, dan celana panjang untuk beribadah di
gereja, tetapi ia tetap memakai bahasa batak untuk berkomunikasi dengan jemaat lainnya.
Wilbert Moore mendefinisikan perubahan sosial sebagai perubahan penting dari
struktur sosial, dan struktur sosial yang dimaksudkannya adalah pola-pola perilaku dan
interaksi sosial. Lebih tepatnya, perubahan sosial adalah proses di mana terjadi perubahan
struktur masyarakat yang selalu berjalan sejajar dengan perubahan kebudayaan dan fungsi
suatu sistem sosial, hal ini dinamakan ―perubahan sosial hubungan fungsional‖, karena setiap
struktur mendapat dukungan dari nilai-nilai dan norma-norma kebudayaan.21
Istilah-istilah perubahan sosial dalam kebudayaan akan dikenakan pada penerapan
cara masyarakat batak toba dalam menghadapi perubahan sosial yang terjadi di dalam
kehidupan mereka. Salah satunya adalah mengenai cara berbusana masyarakat batak toba
yang telah mengalami perubahan-perubahan yang signifikan. Sebelumnya, diperlukan
beberapa pemahaman yang akan terkait pada cara berbusana.
19 Agus Salim, Perubahan Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002),20. 20 Agus Salim, Perubahan Sosial, 21. 21 Jacobus Ranjabar, Perubahan Sosial dalam Teori Makro Pendekatan Realitas Sosial (Bandung: Alfabeta, 2008), 17.
13
Teori busana akan selalu berkaitan dengan ekspresi atau presentasi diri manusia.
Busana, dalam hal ini seperti pakaian, tempat tinggal, rumah yang dihuni, dan lainnya
merupakan bagian di mana manusia mengekspresikan dirinya. Salah satu pendekatan yang
dapat dipakai sejauh ini adalah pendekatan dramaturgis. Pendekatan yang penekanannya
cenderung kepada bagaimana masyarakat melakukannya. Kiranya pernyataan berikut dapat
membantu untuk memahami pendekatan dramaturgis dalam hubungannya dengan teori
busana:
Pemahaman yang layak atas perilaku manusia harus bersandar pada tindakan,
dramaturgi menekankan dimensi ekspresif/impresif aktivitas manusia, yakni bahwa makna
kegiatan manusia terdapat dalam cara mereka mengekspresikan diri dalam interaksi dengan
orang lain yang juga ekspresif. Oleh karena perilaku manusia bersifat ekspresif inilah
perilaku manusia bersifat dramatik.22
Salah satu bentuk presentasi diri adalah interaksi individu dengan individu lainnya.
Interaksi-interaksi yang dilakukan oleh setiap individu merupakan suatu penyajian gambaran
diri yang akan diterima oleh individu lainnya. Kebanyakan atribut, milik atau aktivitas
manusia digunakan untuk presentasi-diri ini, termasuk busana yang dipakainya, tempat
tinggalnya, rumah yang dihuninya, cara berjalan, cara berbicara, bekerja merupakan bagian
bentuk dari presentasi diri. Kiranya pernyataan yang dikemukakan oleh Mari S.
Condronegoro dapat membantu untuk memahami secara mendalam bagaimana busana begitu
mempengaruhi cara orang berbudaya yakni:
Busana adalah sebuah ekspresi budaya, yang pada tingkat pertama dari kebutuhan
manusia pakaian berfungsi sebagai pelindung, baik pelindung terhadap kotoran, terhadap
sengatan matahari maupun terhadap dingin. Namun pada tingkatan kedua kebutuhan
manusia, pakaian berfungsi sosial pula. Semakin rumit struktur suatu masyarakat semakin
bervariasi pula ragam busana manusia mengikuti aneka peranan dan golongan manusia di
dalamnya. Dengan kata lain keanekaragaman itu terkait dengan aneka status sosial tertentu.
Disamping itu, seringkali pula busana itu dikenai konvensi-konvensi tertentu yang dikaitkan
dengan peristiwa-peristiwa atau situasi-situasi tertentu.23
22 Yuke Ardhiati, Bung Karno Sang Arsitek: Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior, Kria, Simbol,
Mode Busana dan Teks Pidato 1926-1965 (Depok: Komunitas Bambu, 2005), 40. 23 Yuke Ardhiati, Bung Karno Sang Arsitek: Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior, Kria, Simbol,
Mode Busana dan Teks Pidato 1926-1965, 69-70
14
Salah satu contohnya adalah seseorang yang menggunakan kain ulos tentu mudah
dikenal ia sebagai individu yang bersuku Batak. Walaupun suku Batak sendiri terdiri dari
berbagai macam jenisnya seperti Angkola, Toba, Simalungun, Mandailing, dan lainnya.
Intinya siapapun yang menggunakan ulos sudah dipastikan dikenal sebagai individu yang
bersuku Batak. Contoh lainnya juga dapat dilihat melalui atribut agama. Seseorang yang
menggunakan kalung salib dikenal sebagai seorang Kristen, begitu juga dengan peci maupun
jilbab sudah tentu dikenal sebagai seorang muslim. Kiranya setiap atribut-atribut
menyingkapkan status dari penggunanya. Jadi, busana tidak hanya dipakai sebagai pelindung
fisik manusia saja, tetapi juga sebagai penyingkapan status sosial manusia.
15
3. Hasil Penelitian Terhadap Pemaknaan Ulos bagi Masyarakat Batak Toba di Salatiga
3.1 Sejarah Ulos Batak Toba dan Fungsinya
Ulos adalah pakaian sehari-hari sejak leluhur suku Batak ada di dunia ini. Mengingat
dulu belum dikenal produksi tekstil yang menggunakan teknologi canggih seperti sekarang
ini, di mana pakaian dapat didapatkan dengan mudah dan cepat. Laki-laki memakai ulos
sebagai hande-hande atau ikat kepala atau detar. Perempuan memakai kain sebatas dada,
ditambah dengan selendang dan tambahan di bagian kepala. Seiring berkembangnya zaman,
masyarakat Batak Toba mulai mengenal benang sebagai bahan untuk membuat pakaian. Ada
tiga jenis warna yang dipakai saat itu adalah merah, hitam, dan putih. Warna merah adalah
simbol hidup dan kehidupan itu sendiri. Sedangkan putih adalah simbol dan lambang
kepribadian yang suci. Terakhir yaitu hitam melambangkan perilaku yang mantap.24
Fungsinya pun beragam di antaranya sebagai pakaian, selendang, dan kain penutup
kepala. Mengingat para leluhur masyarakat Batak hidup di daerah pegunungan, sehingga
dibutuhkan ulos untuk menghangatkan tubuh mereka. Kegunaan ini berdasarkan kebutuhan
fisik sebagai penghangat tubuh. Pakaian tentu dipakai untuk menghangatkan tubuh mereka
dari dingginnya iklim pegunungan, sekaligus untuk menutup bagian badan yang tidak pantas
diperlihatkan. Selendang seringkali dipakai oleh perempuan dan dipakai dalam aktivitas
sehari-hari maupun acara tertentu seperti pesta, serta acara adat lainnya. Kain penutup kepala
dipakai untuk menutup serta melindungi bagian kepala, saat ini masih terdapat perempuan
yang memakai kain penutup kepala untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
3.2 Sejarah Latar Belakang Kehidupan Jemaat HKBP Salatiga
Gereja HKBP Salatiga berkembang seirama dengan perkembangan orang dari suku
Batak yang berada di Salatiga. Awalnya HKBP masuk ke Salatiga pada tahun 1956.25
Kerinduan muda/i akan suasana kebaktian yang bernuansa Batak, maka inisiatif saat itu
adalah mendirikan HKBP Salatiga. Menjelang akhir tahun 1957 adanya keinginan yang lebih
untuk mendirikan HKBP. Awalnya jemaat HKBP menggunakan gedung gereja GPIB
Salatiga yang hingga saat ini berdiri di Taman Sari Salatiga. Kebaktian untuk jemaat HKBP
Salatiga dimulai pukul 10:00 WIB. Sejak tahun 1958 ditetapkan sebagai hari berdirinya
HKBP Salatiga dan pada tahun 1983 barulah HKBP Salatiga memiliki gedungnya sendiri.
24 R.H.P Sitompul, Ulos Batak Tempo Dulu – Masa Kini (Jakarta:KERABAT, 2009), 15. 25 Majelis,Sejarah HKBP Salatiga,Salatiga, 2008, 4.
16
Terkait dengan penelitian mengenai pemaknaan ulos bagi masyarakat Batak Toba
yang dilakukan di gereja HKBP Salatiga. Penulis akan memaparkan hasil penelitiannya yang
berdasarkan wawancara. Penelitian tidak hanya dilakukan di gereja HKBP Salatiga, tetapi
berkunjung ke rumah warga yang tentunya berbudaya Batak Toba dan beberapa mahasiswa/i
Batak Toba yang berada di universitas. Gereja HKBP Salatiga merupakan salah satu gereja
yang tetap memakai kebudayaan Batak Toba baik dalam liturgi, bahasa, dan cara
bergerejanya. Hal itu yang menjadi salah satu penimbang di mana penelitian lebih banyak
dilakukan di gereja, mengingat banyaknya masyarakat Batak Toba Salatiga yang beribadah di
gereja tersebut.
Mayoritas masyarakat Batak yang berada di Salatiga adalah para perantau. Terkait
dengan data statistik jemaat HKBP Salatiga saat ini terdapat 67 untuk Kepala Keluarga,
terdapat 15 Muda/i yang asli dari HKBP Salatiga, sedangkan 44 lainnya merupakan perantau.
Tidak semua di antara mereka yang memahami budaya Batak secara mendalam. Beberapa di
antara mereka yang memahaminya adalah para orang tua, sedikit menemukan para muda/i
yang memahami budaya Batak. Tidak berarti mereka tidak dapat menggunakan bahasa Batak
untuk berinteraksi. Mereka tetap menggunakan bahasa Batak dalam berkomunikasi dengan
sesamanya. Walaupun tidak sepenuhnya memahami budaya Batak, bahkan tidak jarang
mereka mencampur bahasa Batak dengan Jawa untuk berkomunikasi.
Masyarakat Batak Toba di Salatiga pada umumnya tidak meninggalkan kebudayaan
mereka sepenuhnya. Ada begitu banyak di antara mereka yang membentuk perkumpulan
seperti arisan, ibadah keluarga dengan tujuan agar mempererat persaudaraan. Walaupun
hidup dalam perantauan, semangat untuk hidup bersama layaknya keluarga tetaplah erat.
Tidak peduli dari golongan mana, agama apa, atau perbedaan lainnya, mereka tetap menjalin
relasi dengan acara-acara tersebut. Salah satunya terlihat dari bagaimana cara mereka agar
tetap saling membantu jika ada permasalahan baik di dalam gereja, masyarakat, pekerjaan,
kesulitan perekonomian, dan lainnya. Terlebih kepada UKSW yang dari tahun ke tahun
mengalami kenaikan jumlah mahasiswa/i-nya. Mereka datang dengan latar belakang suku,
agama, budaya, maka tidak mengherankan jika banyak di antara mereka juga bergabung dan
berbaur dengan masyarakat sekitar. Peran muda/i Batak Toba baik dalam lingkup universitas,
masyarakat, maupun gereja juga terbukti melalui pelayanan yang mereka lakukan. Jadi,
dalam hal ini mereka merupakan bagian dari masyarakat Salatiga, sebab partisipasi mereka
dalam masyarakat, gereja, dan universitas pun terbukti dengan jelas.
17
3.3 Makna Ulos Menurut Masyarakat Batak Toba di Salatiga
Ada beragam pendapat dan pemaknaan yang dimiliki masyarakat Batak Toba di
Salatiga terkait dengan pemaknaan ulos. Perbedaan paham terjadi diakibatkan beragamnya
latar belakang kehidupan yang dimiliki oleh setiap narasumber. Ada narasumber dengan latar
belakang sebagai keluarga yang membuat ulos. Narasumber yang lainnya lahir dan tumbuh
besar di desa, tetapi memiliki pemahaman yang lebih terbuka dan tidak menunjukkan adanya
eksklusivitas dalam berbudaya. Ada juga narasumber yang lahir dan tumbuh besar di
perkotaan dan tidak diajarkan mengenai makna ulos maupun budaya Batak. Perbedaan latar
belakang kehidupan tersebut tentunya akan memperkaya hasil penelitian yang hendak dikaji.
Berikut akan dipaparkan hasil penelitian melalui wawancara oleh beberapa narasumber.
Pertama, akan dipaparkan pada narasumber yang tidak setuju jika ulos dipakai atau
dijadikan sebagai barang hiasan, komoditi, ataupun lainnya.26
Narasumber pertama adalah
Bonar Dominggus Simanjuntak. Ia hidup dalam latar belakang keluarga penenun ulos yang
tidak menggunakan mesin, tetapi alat menenun tradisional. Menurutnya ulos dimaknai
sebagai simbol sakral dengan maknanya yang mendalam. Kesakralannya terwujudkan dalam
bentuk penyembahan kepada Tuhan, terutama dalam acara-acara tertentu seperti pernikahan,
kematian, ibadah, serta pengikat tali persaudaraan. Dahulu ulos sangat dihormati dan
dimaknai sebagai simbol yang begitu berharga, terlebih jika itu pemberian dari tulang (paman
atau saudara laki-laki dari pihak ibu). Pemberian ulos dari tulang merupakan nilai yang sakral
menurut kebudayaan Batak, sehingga ulos tersebut harus dijaga dengan baik-baik. Sebab
dalam tradisi Batak sendiri, peran tulang sangat diperhatikan dan penting, terkhususnya
dalam acara pernikahan mengingat tulang adalah saudara dari marga ibu.
Perkembangan zaman juga turut mempengaruhi paradigma masyarakat Batak Toba.
Menurut Bonar, jika dahulu orang Batak membuat ulos dengan kain penenun yang tradisional
itu, maka sekarang ulos dapat dibuat menggunakan mesin jahit. Ada ketidaksetujuan darinya
jika ulos dibuat menggunakan mesin jahit. Menurutnya, ulos harus dibentuk dengan penuh
penghayatan, terlebih tidak sembarangan membentuknya, harus ada pola yang jelas dalam
pembentukan ulos. Komposisi warna, benang yang bagus, dan ritual dalam pembuatan ulos
perlu dibentuk oleh sang penenun ulos. Jadi, menenun ulos merupakan salah satu bentuk
penghayatan berbudaya dan itu berasal dari satu sumber yang jelas yaitu Tuhan. Seorang
26 Berdasarkan ―wawancara‖ dengan Bonar Dominggus Simanjuntak (mahasiswa fakultas teologi UKSW angkatan 2015)
pada tanggal 26 Februari 2018.
18
penenun yang menghayati dengan sungguh-sungguh dalam membuat ulos, tentu akan
menghasilkan ulos dengan kualitas terbaik.
Ketidaksetujuan atas pembentukan ulos menjadi barang komoditi, maupun pajangan,
hiasan, ataupun lainnya tidak mengindikasikan nilai konservatisme berbudaya. Mengingat
sejak dahulu nenek moyang orang Batak menggunakan ulos sebagai busana juga, tidak
berarti bahwa ada ulos yang tidak dapat dipakai sebagai busana. Ada ulos yang dapat
dijadikan sebagai busana, maupun barang komoditi. Ulos yang tidak dapat dipakai sebagai
komoditi ataupun hiasan, pajangan, dan lainnya adalah ulos Ragi Hotang. Ulos ini
merupakan salah satu simbol yang selalu dipakai pada acara-acara penting, sakral, dan yang
tertentu saja. Ia sangat menyesalkan dengan banyaknya masyarakat Batak saat ini yang tidak
memahami makna ulos dengan baik. Ulos Ragi Hotang yang menurutnya amatlah sakral dan
saat ini telah diperjualbelikan sebagai baju, celana, jas, tas, dan lainnya. Menurutnya, tidak
sepantasnya ulos dipergunakan untuk hal seperti itu. Ada ulos yang dapat dijadikan busana
yaitu ulos sadum dan beberapa ulos lainnya.
Kedua, akan dipaparkan hasil wawancara berdasarkan beberapa narasumber yang
setuju jika ulos dijadikan barang komoditi, hiasan, pajangan, dan lainnya. Ada dua
narasumber yaitu St. M.I.H Siregar dan Sihaloho.27
Keduanya lebih terbuka terhadap
pemaknaan ulos, misalnya peran ulos yang dijadikan barang komoditi merupakan bentuk dari
perkenalan terhadap budaya Batak kepada masyarakat lain. Hal ini dapat disimpulkan sebagai
sebuah perluasan, pelebaran terhadap identitas kebudayaan Batak melalui simbol ulos.
Seseorang yang menggunakan ulos tentu sudah dapat ditebak sebagai orang Batak.
Menurut st. Marid Siregar, seharusnya masyarakat Batak bangga jika ulos dijadikan
barang komoditi. Karena melalui hal tersebut kebudayaan Batak semakin terkenal dan maju.
Jadi, membentuk masyarakat lain untuk mengenal budaya Batak lebih mendalam. St. A.
Sihaloho juga memberikan pendapat bahwa setiap jenis ulos dapat dijadikan busana maupun
barang komoditi dan dijadikan hiasan. Masyarakat yang menjadikan ulos sebagai busana,
komoditi, hiasan ataupun lainnya tentu merupakan bentuk ekspresi terhadap budaya mereka.
Adanya suatu kebanggan bagi mereka untuk memperkenalkan kepada masyarakat bahwa ia
adalah individu yang berbudaya Batak. Salah satu narasumber juga memiliki berbagai macam
ulos dengan motifnya yang lengkap, baik itu ikat kepala, penutup kepala, dan sebagai
27 Berdasarkan ―wawancara‖ dengan St. Marid Iwan Harrys Siregar dan St. A. Sihaloho (majelis gereja HKPB Salatiga)
pada tanggal 26 Februari 2018.
19
penghias tempat persembahan gereja. Menurutnya, masyarakat Batak tidak harus kaku dalam
memperlakukan ulos. Seharusnya ulos dibentuk semakin kreatif dan mengikuti gaya
perkembangan zaman. Kebudayaan Batak harus berkembang di tengah-tengah zaman yang
semakin modern. Jikalau masyarakat Batak tidak mau mengembangkan kebudayaannya,
maka budaya Batak juga akan musnah suatu saat nanti.
3.4 Hasil Kuesioner Terhadap Pemaknaan Ulos dan Budaya Batak Toba
Bagian ini akan memaparkan beberapa hasil kuesioner dari sejumlah pertanyaan
mengenai pemaknaan terhadap ulos dan budaya Batak. Penulis mengambil beberapa
narasumber dan memfokuskan kepada muda/i Batak di dalam tubuh gereja HKBP Salatiga.
Berikut hasil kuesioner yang telah dibagikan.
Bagian pertama dalam kuesioner adalah pemahaman terhadap budaya Batak itu
sendiri. Sepuluh pernyataan disiapkan dan narasumber hanya perlu memberikan tanda
centang antara ya dan tidak. Bagian pertama ini meliputi bagaimana narasumber menghayati
kebudayaan Batak baik melalui penggunaan bahasa Batak, falsafahnya, penghayatan terhadap
nilai budaya Batak sebagai pemberian dari Tuhan. Menurut hasil kuesioner yang dibagikan
kepada setiap narasumber, ada satu pernyataan di mana mereka tidak malu untuk berbahasa
Batak, berbudaya Batak dalam kehidupan sehari-harinya. Ada suatu kebanggaan tersendiri
dalam pribadi mereka sendiri dalam berbudaya Batak. Penghargaan mereka terhadap budaya
Batak sebagai pemberian dari Tuhan pun tertera dalam kusioner dengan hasil 9:1. Hal ini
membuktikan bagaimana antusias masyarakat Batak Toba di Salatiga begitu menghormati
kebudayaan Batak sebagai nilai-nilai dalam hidup mereka. Sekalipun mereka adalah para
perantau, tetapi kebudayaan tetap mereka hayati sebagai pemberian berharga dari Tuhan.
Bagian kedua dalam kuesioner meliputi pemahaman terhadap ulos. Masyarakat Batak
Toba di Salatiga menghargai bahwa ulos merupakan salah satu simbol yang begitu bermakna
dimiliki oleh masyarakat Batak sejak dulu. Namun, dalam kuesioner tertera bahwa ulos
sebagai simbol yang bermakna bagi mereka tidak mendapati tempat untuk dipakai setiap hari.
Namun, mereka menyetujui bahwa ulos dipakai oleh para leluhur setiap harinya. Hal ini
mengindikasikan adanya perubahan paradigma dalam berbudaya. Masyarakat saat ini lebih
memilih ulos untuk dipakai dalam acara-acara tertentu saja. Keberhargaan ulos ditentukan
tidak dipakai dalam kegiatan sehari-hari, melainkan dalam acara tertentu saja. Walaupun
pada hakikatnya, ulos merupakan salah satu bagian yang sulit dipisahkan sejak dulu dalam
masyarakat Batak, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun acara tertentu. Hasil kuesioner
20
dalam bagian dua ini juga membuktikan bahwa adanya ketidaksetujuan dari masyarakat
Batak Toba di Salatiga jika para muda-mudi Batak tidak peduli dengan budaya Batak. Hasil
kuesioner menjawab justru banyak muda-mudi yang peduli dengan budayanya. Hal ini
memberikan satu indikasi bahwa diperlukannya pendidikan khusus untuk mendalami
pemahaman mereka terhadap ulos. Begitu juga terhadap kontribusi orang tua dalam
kehidupan sehari-hari para muda-mudi Batak Toba. Hasil kuesioner membuktikan masih
banyak orang tua yang peduli terhadap budaya Batak dan mengajarkan kepada anak-anaknya
mengenai budaya Batak.
Selanjutnya, ada hal menarik ketika melihat hasil kuesioner terhadap pemaknaan
masyarakat Batak Toba di Salatiga terkait dengan ulos. Dalam kuesioner nomor tujuh sampai
dengan sepuluh mengindikasikan adanya kesulitan dalam memahami ulos secara mendalam.
Banyak di antara mereka yang setuju jika ulos dipakai sebagai barang pajangan dan hiasan di
dalam rumah. Menurut mereka itu merupakan suatu kebanggaan tersendiri dalam kehidupan
orang Batak jika mereka mau memajang atau memperlihatkan ulos di dalam rumah mereka
sendiri. Namun, mereka juga sangat setuju jika ulos merupakan salah satu simbol yang
mempererat tali persaudaraan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba. Hasil kuesioner juga
membuktikan adanya keragu-raguan mereka dalam memahami ulos dengan baik. Satu sisi
mereka mengetahui ulos memiliki banyak macam motifnya, tetapi sisi lainnya banyak di
antara mereka yang tidak mengetahui dan memahami jenis ulos dengan baik.
Bagian ketiga dalam kuesioner merupakan kebermaknaan ulos dalam masyarakat
Batak di Salatiga. Umumnya, masyarakat Batak di Salatiga lebih memilih agar ulos tidak
dijadikan sebagai barang komersialisasi. Ulos merupakan simbol berharga bagi mereka dan
sulit untuk menyangkal hal tersebut. Hasil kuesioner membuktikan bahwa ulos tidak hanya
sekedar sebagai simbol yang mempererat persaudaraan dalam masyarakat Batak, tetapi itu
merupakan anugerah terindah yang diberikan dari Tuhan kepada masyarakat Batak. Terlebih
dari itu, ulos merupakan salah satu simbol yang dipergunakan untuk menyembah Tuhan.
Misalnya, dalam acara pernikahan, ulos merupakan salah satu simbol sekaligus representasi
doa, harapan, berkat dari si pemberi kepada si penerima ulos.
Terkait dengan permasalahan apakah ulos dapat dijadikan kemeja, tas, rok, celana,
dan lainnya tentu merupakan hal yang sulit untuk ditentukan. Tidak heran jika para
narasumber menghadapi kesulitan untuk menentukan pendapatnya, sebab hal itu tetap
dipergumulkan hingga sekarang. Jadi, banyak di antara mereka yang memilih untuk
21
menjawab netral. Selebihnya, mereka sangat setuju jika gereja juga turut ambil bagian untuk
memperkaya tradisi budaya Batak dan terus mengembangkan pemaknaan ulos kepada
jemaatnya. Tujuannya agar gereja tidak senantiasa sibuk dengan program tahunan dan
berbagai macam acara lainnya, sehingga nilai-nilai kebudayaan pun menjadi tersingkirkan.
22
4. Kajian Kritis Terhadap Kemerosotan Pemaknaan Nilai Luhur Ulos dalam
Masyarakat Batak Toba di Salatiga.
Awalnya, ulos dimaknai yang erat kaitannya dengan kondisi fisik manusia, sekaligus
sebagai simbol yang bermakna. Masyarakat Batak dahulu pada umumnya memahami ulos
sebagai pemberi panas. Maksudnya adalah secara fisik ulos sangat berguna untuk
menghangatkan tubuh mereka dari dinginnya cuaca. Mengingat para leluhur masyarakat
Batak hidup di daerah pegunungan, sehingga dibutuhkan ulos untuk menghangatkan tubuh
mereka. Ada tiga elemen kehidupan yang dipahami oleh suku Batak. Ketiganya terdiri dari
(1) darah, (2) nafas, (3) panas. Unsur panas memiliki tiga bagian lagi yaitu matahari, api, dan
ulos.28
Darah adalah elemen budaya kekerabatan marga. Nafas merupakan elemen
kepedulian akan harkat dan martabat sesama manusia. Terlebih suku Batak memahami
matahari sebagai sumber kehangatan dalam kehidupan manusia dengan alam semesta. Api
dipahami sebagai sumber kehangatan dalam kehidupan tubuh jasmani. Sedangkan ulos
merupakan sumber kehangatan dalam hubungan spiritual kekerabatan Batak. Setidaknya
unsur-unsur ini yang dipahami oleh leluhur bangsa Batak dahulu, sehingga perlu dipahami
oleh masyarakat Batak saat ini.
Ulos pada umumnya memiliki beragam jenis dan makna. Diantaranya adalah ulos
ragi jugia, ulos ragi idup, ulos ragi sibolang, ulos ragi hotang, ulos sadum, ulos ragi runjat,
ulos ragi mangiring, ulos bintang maratur, dan lainnya. Ulos ragi jugia memiliki kekhususan
berdasarkan raginya. Jika ulos pada umumnya memiliki 5 ragi saja, ulos ragi jugia memiliki
7 ragi. Begitu juga dengan ulos ragi sibolang yang dalam situasi tertentu memiliki warna
yang berbeda. Misalnya untuk warna dominan putih dipakai untuk acara sukacita, sedangkan
hitam kepada acara dukacita seperti halnya ulos saput. Setiap ulos memiliki peran dan
fungsinya masing-masing. Misalnya untuk ulos ragi idup hanya dapat dipakai oleh mereka
yang sudah memiliki cucu. Hal itu merupakan suatu keindahan tersendiri bagi mereka yang
telah layak memakai ulos ragi idup. Artinya mereka yang telah memakai ulos ragi idup
sedang menikmati kehidupannya. Setidaknya untuk setiap ulos memiliki makna dan
fungsinya masing-masing. Hal ini seringkali tidak dihiraukan oleh masyarakat Batak yang
hidup di zaman modern.
28 H.P Panggabean Kata Sambutan dalam buku R.H.P Sitompul, Ulos Batak Tempo Dulu – Masa Kini (Jakarta:KERABAT,
2009), vi.
23
Melalui hasil penelitian terhadap masyarakat Batak toba di Salatiga. Penulis hendak
menganalisis bahwa masyarakat Batak toba pada dasarnya mengetahui dan memaknai ulos
sebagai sesuatu yang sakral. Namun, mereka memiliki kebimbangan dengan masalah teknis.
Misalnya apakah ulos dapat dijadikan taplak meja, baju, pajangan, dan lainnya. Sekiranya
untuk hal ini perlu diperlihatkan kembali apa fungsi dan makna ulos bagi leluhur bangsa
Batak dulu. Terutama gambaran ulos dalam acara adat budaya Batak itu sendiri. Pertama,
ulos dimaknai sebagai hubungan kekerabatan antara si pemberi dan penerima ulos. Kedua,
ulos merupakan hubungan penghormatan/penghargaan dari si pemberi kepada penerima ulos.
Ketiga, ulos dimaknai sebagai hubungan kekerabatan spiritual yang dilandasi pengharapan
spiritual dalam doa bagi kehidupan si penerima ulos.
Seturut apa yang dinyatakan oleh Paul Tillich bahwa simbol membuka dimensi-
dimensi roh batiniah manusia sehingga terwujudlah suatu korespondensi atau korelasi dengan
segi realitas tertinggi. Simbol memperluas penglihatan tentang realitas transenden; bersamaan
dengan itu, simbol memperluas roh manusia untuk memampukannya ditangkap oleh
penglihatan itu dan dengan demikian tumbuh berkembanglah pengertian rohaninya.29
Artinya
ulos sendiri memiliki dimensi yang memperluas penglihatan masyarakat Batak Toba sejak
dulu tentang realitas yang transenden. Ada nilai rohani yang dimakanai melalui ulos dan
sekiranya hal ini diketahui oleh masyarakat Batak toba di Salatiga secara umum. Namun,
dalam mengambil suatu keputusan penting yang menyangkut hal teknis mereka kesulitan
untuk hal itu.
Ulos tidak hanya berhenti pada makna spiritual belaka. Terlepas dari itu ia juga
memiliki makna historis di dalamnya. Makna historis itu selalu dilakukan secara turun-
temurun sejak leluhur Batak hidup. Adanya hubungan kekeraabtan antara si pemberi dan
penerima ulos. Berdasarkan apa yang dinyatakan oleh Clifford Geertz bahwa kebudayaan
berarti suatu pola makna yang ditularkan secara historis, yang diejawantahkan dalam simbol-
simbol, suatu sistem konsep yang diwarisi, terungkap dalam bentuk-bentuk simbolis, yang
menjadi sarana manusia untuk menyampaikan, mengabdikan, dan mengembangkan
pengetahuan mereka tentang serta sikap-sikap mereka terhadap hidup.30
Artinya ulos sebagai
simbol luhur dari suku Batak merupakan salah satu penularan kebudayaan yang historis. Ulos
juga merupakan bagian dari cara memahami masyarakat Batak akan nilai persatuan dan
persaudaraan. Tidak hanya sebatas penurunan atau pewarisan secara historis belaka, tetapi
29 F.W. Dillistone, Daya Kekuatan Simbol, 125. 30 F.W. Dillistone, Daya Kekuatan Simbol, 115-116.
24
sekiranya penghayatan terhadap nilai-nilai kehidupan terdapat di setiap tenunan ulos. Nilai,
warna, bentuk, ukuran dan setiap instrumen yang terdapat di dalam ulos merupakan satu
kumpulan pengetahuan, penghayatan, pemaknaan tertentu yang telah dihidupi oleh
masyarakat Batak.
Menurut Mari S. Condronegoro busana begitu mempengaruhi cara orang berbudaya.
Busana adalah sebuah ekspresi budaya, yang pada tingkat pertama dari kebutuhan manusia
pakaian berfungsi sebagai pelindung, baik pelindung terhadap kotoran, terhadap sengatan
matahari maupun terhadap dingin. Namun pada tingkatan kedua kebutuhan manusia, pakaian
berfungsi sosial pula. Semakin rumit struktur suatu masyarakat semakin bervariasi pula
ragam busana manusia mengikuti aneka peranan dan golongan manusia di dalamnya. Dengan
kata lain keanekaragaman itu terkait dengan aneka status sosial tertentu. Di samping itu,
seringkali pula busana itu dikenai konvensi-konvensi tertentu yang dikaitkan dengan
peristiwa-peristiwa atau situasi-situasi tertentu.31
Ulos secara busana dimaknai sebagai suatu simbol pengerat persaudaraan dengan
sesama. Pemakaian ulos memiliki suatu golongan dan pemaknaan yang bervariasi di
dalamnya. Misalnya, ulos ragi jugia yang saat ini sudah sangat langka dimiliki oleh
masyarakat Batak tentu memiliki standarisasi dan tidak sembarangan individu yang dapat
memilikinya. Mengingat bahwa individu yang telah memiliki dan memakai ulos ragi jugia
merupakan subyek yang sangat dihormati dalam masyarakat Batak. Status sosial dari ulos
telah mengikat setiap individu dan masyarakat Batak untuk menghormati siapapun yang
layak memakai ulos tersebut.
Hal itu merupakan sarana penting untuk memahami ulos dengan baik. Tentu saja
diperlukan lebih lagi agar dalam pemahaman, pemaknaan, dan pengaplikasiannya tidak
keliru. Sekiranya hasil penelitian dalam masyarakat Batak toba di Salatiga dengan
pemahaman yang telah dipaparkan seputar ulos dapat dipertimbangkan kembali. Pertama,
ulos perlu diajarkan kembali kepada masyarakat Batak pada umumnya. Ulos sangat penting
untuk dipahami dan dihayati dengan baik. Tujuannya agar dalam pengaplikasiannya ia tidak
disalahartikan sebagai barang komoditi belaka. Pengembangan ulos tentu diperbolehkan,
tetapi sekiranya tidak melupakan maknanya yang mendalam. Tentu tidak dapat menilai ulos
pada sekedar bagus atau tidaknya, tetapi maknanya juga perlu diperhatikan. Jika hanya
31 Yuke Ardhiati, Bung Karno Sang Arsitek: Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota, Interior, Kria, Simbol,
Mode Busana dan Teks Pidato 1926-1965, 69-70.
25
melihat ulos berdasarkan indah atau tidaknya melalui luarnya, tentu perlu dipertanyakan
pemahamannya terhadap ulos sekaligus budaya Batak itu sendiri.
Kedua, kebudayaan selalu berjalan dinamis dan dalam pergumulan perkembangan
zaman tentu ia selalu dimaknai secara berbeda. Sekiranya ulos sebagai suatu simbol berharga
untuk masyarakat Batak perlu diperhatikan kembali. Boleh saja mengembangkan ulos dengan
baik dan memahaminya secara beragam, tetapi sekiranya tidak layak juga jika ulos dimaknai
secara sesuka hati. Misalnya, ulos ragi idup yang dijadikan sebagai jas, pakaian, tas, ataupun
barang lainnya. Tentu itu sudah sangat menyimpang dari makna aslinya yang seharusnya
dapat dipakai oleh mereka yang telah memiliki cucu. Hal ini sudah menjadi trend tersendiri
dalam masyarakat Batak saat ini yang hanya mengedepankan arus zaman tanpa mau melihat
kembali maknanya secara mendalam. Sekiranya hal itu perlu diperhatikan kembali dalam
memaknai ulos sebagai suatu simbol luhur dari Tuhan.
Ketiga, perlu diupayakan untuk memberikan pemahaman kepada generasi muda sejak
dini. Mengingat ada satu ulos yang saat ini sudah sangat jarang ditemukan yaitu ulos ragi
jugia. Ulos yang dikatakan merupakan ulos tertinggi diantara seluruh ulos dalam adat Batak.
Tentu budaya Batak akan semakin dimaknai secara keliru nantinya jika tidak diberikan
pemahaman yang benar dan jelas sejak dini. Sekiranya gereja seperti HKBP atau gereja suku
yang terkait dapat membantu secara terus menerus dalam mengupayakan ulos sebagai simbol
yang sangat luhur dimiliki oleh suku Batak. Misalnya, gereja dapat membentuk program
pengembangan budaya baik dengan memperkenalkan dan pendalaman ulos setiap satu kali
dalam seminggu. Sekiranya itu sangat membantu para muda/i terkhususnya yang lahir di
kota. Gereja tentu sangat membantu jika ia berkontribusi untuk terus mengupayakan nilai,
makna, penghayatan kepada jemaatnya akan ulos. Tentu ada beberapa lembaga yang
bertanggungjawab untuk melestarikan kebudayaan, tetapi tidak dapat sepenuhnya bergantung
pada lembaga seperti itu. Sekiranya kesadaran diri sendiri juga perlu ditumbuhkan untuk
melestarikan ulos dengan baik. Terlebih kepada pemahaman, pemaknaan kepada seluruh
kehidupan masyarakat Batak.
Berdasarkan pemaparan di atas, penulis hendak menganalisis bahwa ulos tidak
sepenuhnya dapat digunakan sebagai hiasan seperti taplak meja, pajangan dinding, maupun
barang komoditi lainnya. Penulis hendak mengambil sikap konsisten terhadap pemaknaan
ulos sebagai suatu pemberian luhur dari Tuhan dan setiap ulos memiliki penghayatannya
masing-masing. Ulos tidak dapat secara sembarangan diperjualbelikan begitu saja dengan
26
alasan untuk memperluas kebudayaan Batak ataupun mengikuti arus zaman yang terus
berubah. Sekiranya ulos merupakan simbol yang luhur, di mana setiap pemberi dan penerima
terdapat doa di dalamnya, pengharapan, dan nilai-nilai lainnya. Tidak sepantasnya pula ulos
dijadikan barang komoditi karena itu telah merusak citra, pemaknaan, dan penghayatan
terhadap ulos sebagai simbol luhur dari Tuhan.
Ada berbagai bentuk kebimbangan dalam memutuskan apakah ulos dapat dijadikan
sebagai hiasan, taplak meja, maupun barang komoditi lainnya. Sekiranya masyarakat Batak
sendiri sudah dapat mengetahuinya bahwa itu tidak dapat digunakan secara sembarangan.
Walaupun ada diantara masyarakat Batak Salatiga tersendiri yang mengatakan bahwa ulos
dapat dijadikan pajangan dinding sebagai suatu kebanggaan dalam rumahnya, terlebih jika
seseorang berkunjung ke rumahnya. Penulis hendak menyikapi bahwa kalaupun ulos
digunakan sebagai suatu kebanggaan, mengapa tidak digunakan saja media print untuk hal
tersebut? Sebab banyak masyarakat Batak saat ini yang memahami ulos sebagai simbol luhur
justru tidak menggunakan ulos secara sembarangan seperti itu. Justru masyarakat yang
memaknai dan menghayati ulos sebagai nilai luhur tentu cenderung menggunakan media
print dibandingkan memakai ulos asli sebagai pajangan dengan alasan ‗kebanggaan‘.
Kebimbangan tersebut tentu akan selalu dilanjutkan jika masyarakat Batak sendiri
tidak diberikan pemahaman yang jelas terhadap makna ulos. Jelas secara simbolis, ulos
mendapatkan pemaknaan yang luhur. Tentu sudah sepantasnya juga ulos tidak dijadikan
barang murahan yang dapat dijadikan apa saja sesuai dengan keinginan pemiliknya. Ulos
diberikan oleh si pemberi kepada si penerima dengan penghayatan yang mendalam dengan isi
pengharapan, doa, syukur, dan hal-hal baiknya. Tentu dalam hal ini ulos tidak dapat dijadikan
barang komoditi ataupun hal lainnya, mengingat sebagai simbol yang luhur tentu ulos sudah
selayaknya diperlakukan dengan baik.
27
5. Penutup
5.1. Kesimpulan
Melalui proses penelitian dan kajian kritis terhadap kemerosotan pemaknaan nilai luhur ulos
dalam masyarakat Batak Toba di Salatiga. Penulis menyimpulkan bahwa ada kemerosotan
pemaknaan nilai luhur terhadap ulos. Kemerosotan itu ada ketika beberapa narasumber
mengatakan bahwa semua ulos dapat dijadikan barang komoditi. Misalnya saat penulis hendak
mengajukan pertanyaan apakah semua jenis ulos dapat dijadikan barang komoditi, diantara
mereka yang menjawab ―ya, tentu boleh‖. Narasumber tersebut tidak menjawab secara ragu-ragu,
melainkan dengan leluasanya ia mengatakan hal tersebut. Ketidaksesuaian ini tentu perlu
diperhatikan kembali bahwa pada dasarnya tidak semua ulos dapat dijadikan barang komoditi.
Alasannya, ada ulos yang memiliki makna dan fungsi yang sangat mendalam untuk digunakan.
Misalnya, ulos ragi idup yang hanya dapat dipakai oleh seorang bapak yang sudah memiliki cucu.
Tentu tidak logis jika ulos ragi jugia dipakai oleh mereka yang belum memiliki cucu dengan
bentuk jas, baju, dan jenis lainnya.
Selanjutnya, penulis hendak mendapatkan satu kesimpulan bahwa banyak masyarakat Batak
Toba yang tidak mengetahui setiap jenis ulos dan makna luhurnya. Hal ini terkikis akibat
berkembangnya zaman dan kesadaran untuk memahami kebudayaan semakin sedikit. Salah
satunya adalah proses penenunan ulos yang saat ini telah memakai mesin. Ulos dibentuk dengan
penghayatan dari si penenun. Setiap tenunan memiliki penghayatan spiritual dari si penenun yang
ia dapatkan dari Tuhan. Misalnya untuk jenis ulos ragi jugia, ulos yang dikatakan sudah semakin
sedikit masyarakat Batak yang memilikinya. Ulos ragi jugia dibentuk secara khusus dengan
memiliki 7 ragi dan tidak 5 ragi seperti ulos yang lainnya. Simbol ini dibentuk dengan 7 ragi yang
melambangkan 7 harapan bagi si penerima ulos. Diantaranya, (1) Hagabeon atau sudah memiliki
keturunan baik dari anak laki-laki dan perempuan(2) Hamoraon atau kekayaan (3) Hasangapon
atau kehormatan (4) Garis Parngoluan (5) Mempunyai Kharisma (6) Keturunan yang rukun (7)
Memiliki ilmu yang tinggi (Elmu). Tepatnya bahwa spiritualitas si penenun ulos dengan 7 harapan
untuk si penerimanya tentu melambangkan suatu pemaknaan luhur yang tidak dapat disepelekan.
Seperti Tuhan yang memberikan anugerah kepada manusia dengan seluruh kasih-Nya. Demikian
juga setiap tenunan ulos dimaknai sebagai anugerah dari Tuhan yang hendak diberikan melalui
ulos sebagai simbol yang begitu luhur dimiliki oleh suku Batak Toba.
28
5.2 Saran
Setelah melakukan proses penelitian dan kajian kritis, penulis hendak mengkhususkan diri
kepada gereja suku yang memiliki nuansa kebudayaan Batak. Misalnya, HKBP, GKPS, HKI, dan
lain sebagainya. Gereja-gereja tersebut merupakan bagian dari kebudayaan Batak. Tentu tidak
selamanya gereja hanya berkutat dalam masalah program gereja tahunan, dan menghiraukan di
dalam tubuhnya sendiri bahwa jemaat tidak mengetahui dan memahami dengan baik
kebudayaannya sendiri. Banyak diantara masyarakat Batak yang tidak memahami ulos dengan
baik, terlebih kepada kebudayaannya sendiri. Dalam hal ini saran tidak hanya kepada mereka
yang mengurusi pelestarian budaya dalam tingkat pemerintahan, tetapi gereja juga perlu
berpartisipasi. Mengingat gereja-gereja suku tersebut berdiri tidak hanya pada landasan firman
Tuhan, tetapi juga pada nilai kebudayaan. Kiranya gereja dapat memberikan pendidikan yang
lebih kepada masyarakat Batak dapat melalui pertemuan-pertemuan gereja yang diadakan setiap
satu bulan sekali. Tentu dengan melibatkan para pakar kebudayaan, selain itu setiap jemaat perlu
hadir dengan tujuan memperkaya penghayatan serta pemaknaan bagi masyarakat Batak. Terlebih
kepada pemaknaan ulos sebagai suatu nilai luhur yang diberikan dari Tuhan kepada suku Batak.
29
Lampiran
1. Kuesioner Pemahaman Terhadap Budaya Batak
No Pertanyaan Ya Tidak
1. Saya adalah orang batak yang memahami budaya saya dengan baik. 6 4
2. Saya dilahirkan dalam tradisi batak yang begitu ketat. 7 3
3. Sejak kecil saya diajarkan untuk mengetahui silsilah marga saya. 8 2
4. Saya dapat berkomunikasi dengan bahasa batak dengan lancar. 5 5
5. Saya mahir dalam berbahasa batak bukan karena keluarga saja, tetapi juga
karena lingkungan saya.
7 3
6. Saya senang dengan seluruh warisan budaya batak seperti falsafahnya,
busana, kuliner, kesenian, dan lainnya.
9 1
7. Saya sering memperkenalkan budaya batak kepada orang lain. 9 1
8. Saya tidak pernah malu untuk berbahasa batak, menggunakan busana batak
dalam kehidupan sehari-hari.
10 0
9. Saya sangat menghargai budaya batak sebagai pemberian dari Tuhan yang
sangat berharga.
9 1
10. Saya sangat menghidupi nilai-nilai budaya batak seperti Dalian Na Tolu. 8 2
2. Kuesioner Pemahaman Terhadap Ulos
Keterangan:
SS = Sangat Setuju TS = Tidak Setuju S = Setuju STS =
Sangat Tidak Setuju N = Netral
No. Pertanyaan SS S N TS STS
1. Ulos adalah salah satu simbol dan makna berharga yang dimiliki
atau diwarisi oleh masyarakat batak sejak dulu.
7 3
2. Saya setuju jika ulos dipakai untuk acara tertentu saja dan tidak
dipakai setiap hari.
3 4 2 1
3. Saya setuju jika semua masyarakat batak memiliki pemahaman 7 2 1
30
yang mendalam mengenai ulos dalam budaya batak.
4. Saya tahu jika nenek moyang orang batak dulu memakai ulos
dalam kegiatan sehari-harinya.
1
5. Banyak muda/i yang tidak lagi peduli dengan budaya batak,
bahkan malu mengakuinya.
1 2 2 4 1
6. Banyak orang tua saat ini yang tidak lagi mengajari kepada
anak-anaknya mengenai budaya batak karena dianggap tidak
relevan lagi dalam perkembangan zaman.
2 1 7
7. Saya menyukai rumah-rumah orang batak yang memakai ulos
untuk taplak meja, pajangan dinding, dan lainnya.
4 4 1 ?
8. Ulos merupakan simbol yang mempererat tali persaudaraan
dalam kehidupan masyarakat batak.
3 6 1
9. Banyak macam motif dan jenis ulos dalam budaya batak. 7 3
10. Saya mengetahui dan memahami setiap motif dan jenis ulos
dengan baik.
1 ? 3 2 3
3. Kuesioner atas Kebermaknaan Ulos dalam Masyarakat Batak Salatiga
Keterangan:
SS = Sangat Setuju TS = Tidak Setuju S = Setuju STS =
Sangat Tidak Setuju N = Netral
No. Pertanyaan SS S N TS STS
1. Ulos harus diperkenalkan dan diajari sejak dini bagi generasi penerus
budaya batak agar tidak senantiasa dipahami sebagai busana belaka,
tetapi ada nilai-nilai luhur disetiap ulos.
9 1
2. Saya setuju jika ulos hendaknya dipakai setiap hari untuk
melestarikan kebudayaan batak yang semakin merosot.
3 3 2 2
3. Saya setuju jika ulos dapat dibentuk sebagai kemeja, tas, rok, celana,
dan lainnya demi komersialisasi belaka.
2 1 5 2
4. Ulos tidak hanya sekedar busana yang dipakai dalam acara tertentu
saja, lebih dari itu ulos merupakan simbol persaudaraan yang
harmoni dan anugerah dari Tuhan yang sangat berharga.
5 3 2
5. Ulos tidak sepantasnya dipakai sebagai taplak meja, pajangan 2 1 3 3 ?
31
dinding, dan lainnya, sebab ulos merupakan warisan yang sangat
berharga dan bermakna untuk masyarakat batak.
6. Tidak semua ulos dapat diperjualbelikan, sebab ada ulos yang
memiliki nilai yang sangat berharga, sehingga hanya ulos tertentu
saja yang dapat dijadikan komersialisasi.
3 3 2 2
7. Saya setuju jika gereja turut berpartisipasi dalam mengembangkan
dan memberikan pemahaman yang lebih mengenai ulos atas nilai
luhurnya yang diberikan oleh Tuhan.
2 5 3
8. Saya setuju jika ulos diperjualbelikan dengan berbagai macam motif
seperti baju, celana, rok, tas, dan busana lainnya.
2 4 3 1
9. Saya tidak setuju jika ulos dipakai dalam kegiatan sehari-hari, sebab
itu sangat berlebihan.
1 4 3 1 1
10. Saya setuju jika ulos dipakai dan dimaknai tidak hanya sebagai
mempererat tali persaudaraan, tetapi juga penyembahan kepada
Tuhan.
2 4 1 2
32
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ardhiati,Yuke.Bung Karno Sang Arsitek: Kajian Artistik Karya Arsitektur, Tata Ruang Kota,
Interior, Kria, Simbol, Mode Busana dan Teks Pidato 1926-1965.Depok: Komunitas Bambu,
2005.
Bangun, Payung. “Kebudayaan Batak”. Sapdodadi: Djambatan, 1975.
Chang, William. Metodologi Penulisan Ilmiah Teknik Penulisan Esai, Skripsi, Tesis, dan
Disertasi. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2014.
Dillistone, F.W. Daya Kekuatan Simbol. Diterjemahkan oleh A. Widyamartaya. Yogyakarta:
Kanisius, 2006.
Majelis,Sejarah HKBP Salatiga. Salatiga, 2008
Maran, Rafael Raga. Manusia dan Kebudayaan Dalam Perspekti Ilmu Budaya Dasar.Jakarta:
Rineka Cipta, 2007.
Ranjabar, Jacobus. Perubahan Sosial dalam Teori Makro Pendekatan Realitas
Sosial.Bandung: Alfabeta, 2008.
Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 2013.
Salim, Agus. Perubahan Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2002.
Sitompul,R.H.P.Ulos Batak Tempo Dulu – Masa Kini.Jakarta:KERABAT, 2009.Tarigan, T.
E dan Emilkam Tambunan. Struktur dan Organisasi Masyarakat Toba. Ende: Nusa Indah,
1974.
Tambunan, E. H. Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya.
Bandung: Tarsito, 1982.
Majalah
Majalah Basis: Edisi Dalam Kerja Sama Peringatan 60 Tahun Sanata Dharma, No. 11-12, Tahun ke-
64, November-Desember, 2015.