kajian peredaran dan tata usaha kayu rakyat di …puspijak.org/uploads/info/esa - kajian puhh kayu...
TRANSCRIPT
1
KAJIAN PEREDARAN DAN TATA USAHA KAYU RAKYAT DI CIAMIS JAWA BARAT
Oleh : Epi Syahadat
Ringkasan
Penatausahaan hasil hutan dan pelaksanaannya oleh petugas/instansi di
daerah asal dan tujuan peredaran kayu masih belum mampu menjamin kelestarian
hutan dan meningkatkan penerimaan negara atas hasil hutan secara optimal. Kajian
penatausahaan hasil hutan pada hutan hak/rakyat dilakukan untuk mengetahui
efektifitas kebijakan dan pelaksanaan penatausahaan hasil hutan di hutan hak/rakyat
mengendalikan peredaran hasil hutan. Kajian dilakukan dengan melakukan review
kebijakan penatausahaan hasil hutan, mengkaji tugas dan wewenang pejabat/instansi
di daerah asal dan tujuan peredaran hasil hutan serta mengkaji kemampuan petugas
memantau produksi dan peredaran hasil hutan. Hasil kajian menunjukan bahwa SK
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Nomor 51/Kpts/Dishut-PH/2001 sudah
seharusnya di revisi karena tidak sesuai lagi dengan SK Menteri Kehutanan Nomor
126/2003, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/2005 dan Nomor P.26/2005.
Demikian juga dengan Perda Kabupaten Ciamis No. 19 Tahun 2004, seharusnya
memberi iklim yang baik kepada petani untuk berpartisipasi dalam pembangunan
hutan rakyat.
Kata kunci: penatausahaan, produksi, peredaran, distribusi, kayu rakyat.
I. PENDAHULUAN
Peraturan Pemerintah No 34 tahun 2002 menetapkan bahwa dalam rangka
melindungi hak-hak negara atas hasil hutan dan kelestarian hutan maka dilakukan
pengendalian peredaran dan pemasaran hasil hutan melalui penatausahaan hasil hutan
(Anonim, 2002). Penatausahaan hasil hutan dimaksudkan untuk memberikan
pedoman kepada semua pihak yang melakukan usaha atau kegiatan di bidang
kehutanan, sehingga penatausahaan berjalan dengan tertib dan lancar agar kelestarian
hutan, pendapatan negara dan pemanfaatan hasil hutan yang optimal dapat dicapai.
2
Obyek penatausahaan hasil hutan adalah semua jenis hasil hutan yang berasal dari
hutan negara (hutan alam dan hutan tanaman), hutan rakyat, hasil hutan olahan dari
industri primer hasil hutan dan industri pengolahan kayu lanjutan (wood working)
serta hasil hutan lelang (Anonim, 2003).
Pemanfaatan hasil hutan dari hutan hak/rakyat di atur dalam Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005, tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak.
Dalam Permenhut tersebut, pada pasal 1, ayat (1) dinyatakan bahwa : Hutan hak
adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah yang
dibuktikan dengan alas titel atau hak atas tanah, yang lazim disebut hutan rakyat yang
diatasnya di dominasi oleh pepohonan dalam suatu ekosistem yang ditunjuk oleh
Bupati/Walikota. Kemudian pada ayat (2) dinyatakan bahwa, pemanfaatan hutan
adalah bentuk kegiatan untuk memperoleh manfaat optimal dari hutan untuk
kesejahteraan masyarakat dalam pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil
hutan bukan kayu, dan pemanfaatan jasa lingkungan. Dalam pasal 2, ayat (2)
dinyatakan bahwa, hutan hak mempunyai tiga fungsi, yaitu : a) fungsi konservasi; b)
fungsi lindung; dan c) fungsi produksi.
Pada pasal 16 dinyatakan, bahwa tata cara pemanfaatan hutan hak sebagaimana
dimaksud dalam Permenhut No. P.26 pasal 13, pasal 14 dan pasal 15 diatur dengan
peraturan Bupati/Walikota. Kemudian pada pasal 18 dinyatakan, bahwa Pemerintah
Kabupaten/Kota menetapkan lebih lanjut petunjuk pelaksanaan tentang pemanfaatan
hutan hak dengan mengacu kepada peraturan ini dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Untuk penatausahaan hasil hutan peraturan perundang-undangan yang
berlaku adalah Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 126/Kpts-II/2003, yang
kemudian beberapa pasal dalam SK tersebut disempurnakan oleh Peraturan Menteri
Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2005.
Masalah yang timbul dalam penatausahaan hasil hutan di era otonomi daerah
adalah, pertama, kebijakan penatausahaan hasil hutan tersebut tidak memiliki petunjuk
teknis pelaksanaan sehingga pelaksanaan penatausahaan hasil hutan antar daerah
dapat berbeda. kedua, daerah tujuan kayu tidak memperoleh bagian insentif hasil
3
hutan dari kayu yang diproduksi di daerah lain sehingga tidak ada insentif untuk
memantau kayu ilegal yang masuk ke wilayahnya. Hal ini dapat menyebabkan
koordinasi pemantauan antara daerah asal kayu dan daerah tujuan kayu tidak berjalan
dan menurunkan efektifitas pemantauan produksi dan peredaran kayu (Triyono P.,
2001).
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka dipandang perlu untuk melakukan
kajian penatausahan hasil hutan di hutan hak/rakyat, sehingga dapat diketahui apa
permasalahan yang menyebabkannya tidak mampu mengendalikan produksi dan
peredaran kayu ilegal. Fokus kajian adalah kemampuan pejabat/instansi kehutanan
dalam melaksanakan kegiatan penatausahaan hasil hutan, termasuk pemantauan
terhadap kegiatan tersebut dan koordinasi pemantauan antara daerah asal kayu dan
daerah tujuan peredaran kayu.
Adapun rumusan masalah, adalah sebagai berikut :
Dalam sistem penatausahaan hasil hutan yang dilakukan secara official
assessment, pengesahan laporan hasil produksi kayu bulat serta penerbitan dokumen
angkutan kayu dilakukan oleh petugas kehutanan. Setelah kayu bulat yang diedarkan
sampai di industri, pemeriksaan fisik dan dokumen kayu juga dilakukan oleh petugas
kehutanan. Selain daripada itu juga dilakukan pemantauan terhadap produksi dan
peredaran kayu olahan. Jika kegiatan-kegiatan tersebut dilaksanakan dengan baik
maka dapat diharapkan bahwa hutan akan lestari, produksi kayu riil akan terpantau
serta hak negara atas hasil hutan berupa PSDH-DR atau Retribusi dapat terpenuhi,
dan peredaran kayu ilegal dapat dikendalikan. Akan tetapi dalam kenyataannya hal
tersebut tidak tercapai, saat ini, peredaran kayu ilegal masih marak terjadi dan belum
dapat dikendalikan. Ini menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut, termasuk
pengawasannya belum dilaksanakan dengan baik, dengan kata lain masih ada hal-hal
yang perlu diperbaiki dalam sistim penatausahaan hasil hutan.
Tujuan dan sasaran penatausahaan hasil hutan, adalah sebagai berikut :
4
1. Tujuannya, adalah:
a. Untuk mengetahui efektifitas penatausahaan hasil hutan dari hutan hak/rakyat
dalam mengendalikan produksi dan peredaran kayu.
b. Mengetahui sejauhmana Perda yang diterbitkan oleh Pemda Kabupaten/Kota
setempat di dalam menunjang pelaksanaan penatausahaan hasil hutan dari hutan
hak/rakyat.
2. Sasarannya, adalah :
a. Terlaksananya penatausahaan hasil hutan dari hutan hak/rakyat yang baik,
tertib, lancar dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan perundang-
undangan yang berlaku.
b. Tersedianya informasi kinerja pemantauan kayu pada hutan rakyat.
3. Luarannya, adalah :
Rekomendasi efektifitas kebijakan penatausahaan kayu untuk hutan hak /
rakyat kepada Departemen Kehutanan Cq Direktorat Jenderal Bina Produksi
Kehutanan.
4. Adapun ruang lingkupnya, adalah :
Kajian peredaran dan tata usaha kayu rakyat di Ciamis Jawa Barat dilakukan
terhadap kegiatan yang dilakukan oleh: (a) pemegang Ijin Pemanfaatan Kayu (IPK)
yang melakukan produksi dan peredaran kayu bulat dari hutan hak/rakyat. (b)
pemegang Ijin Industri Kayu Primer yang menerima kayu bulat serta memproduksi
dan mengedarkan kayu olahan, (c) Ijin Lainnya yang Sah, (ILS), (d) Petugas atau
pejabat kehutanan yaitu Pejabat Pengesah Laporan Hasil Produksi (P2LHP),
Pejabat Penerbit Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (P2SKSHH), dan Petugas
Pemeriksa Penerimaan Kayu Bulat/Kayu Olahan (P3KB/P3KO), dan (e) Instansi
yang melakukan pengendalian produksi dan peredaran kayu yaitu Dinas
Kabupaten/Kota, Dinas Provinsi.
5
II. METODOLOGI
1. Kerangka Pemikiran
Kayu rakyat merupakan salah satu komoditas yang memberikan
pendapatan bagi masyarakat dan mempunyai kontribusi yang cukup besar
dalam upaya pemenuhan bahan baku industri kayu dan rumah tangga. Di
dalam Perarturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/2005, tentang Pedoman
Pemanfaatan Hutan Hak/Rakyat, pasal 12 ayat (1) dinyatakan bahwa,
pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan sesuai dengan fungsinya, kemudian dalam ayat (2) dinyatakan
bahwa, pemanfaatan hutan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertujuan
untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi pemegang hak dengan tidak
mengurangi fungsinya. Oleh karena itu untuk mencegah kerusakan hutan
negara yang kian memprihatinkan akibat perambahan, penjarahan, penebangan
liar dan sebagai pengamanan serta pengendalian peredaran kayu rakyat di lintas
kabupaten, maka dipandang perlu untuk membuat petunjuk teknis pelaksanaan
penatausahaan hasil hutan dari hutan hak/rakyat.
Dalam upaya untuk mencegah kerusakan hutan negara dan sebagai
pengaman, pengendalian serta keseragaman dalam melaksanakan peredaran
kayu rakyat di lintas kabupaten, sesuai dengan undang-undang Otonomi Daerah
Nomor 32, tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah. Pada pasal 13, pasal 14,
pasal 16, dan pasal 17, Dinas Provinsi dalam hal ini adalah Dinas Kehutanan
Provinsi setempat diharapkan membuat Acuan atau Pedoman Petunjuk
Pelaksanaan Penatausahaan Hasil Hutan di hutan hak/rakyat, yang mengacu
pada SK Menteri Kehutanan No. 126/2003 dan Permenhut No. P.18/2005,
dimana petunjuk pelaksanaan tersebut merupakan acuan atau pedoman
penatausahaan hasil hutan di hutan hak/rakyat bagi seluruh wilayah
Kabupaten/Kota yang masih berada di bawah wilayah koordinasi Dinas
Kehutanan Provinsi itu sendiri. Untuk mempermudah dalam pelaksanaannya di
tingkat Kabupaten/Kota acuan atau pedoman tersebut kemudian dijabarkan
6
kedalam Petunjuk Pelaksanaan Teknis di hutan hak/rakyat oleh masing-masing
Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota setempat. Penjabaran petunjuk teknis
tersebut, mengingat setiap daerah Kabupaten/Kota mempunyai karakteristik
yang berbada dalam pemanfaatan dan pengelolaan kayu rakyat atau
penatausahaan hasil hutan dari hutan hak/rakyat, dan ini merupakan pedoman
bagi para pejabat pelaksana penatausahaan hasil hutan di seluruh wilayah
kabupaten/kota.
2. Pengumpulan Data dan Referensi
Data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh melalui pengamatan dan wawancara dengan Pejabat Kehutanan di
daerah dan Badan Usaha yang melakukan kegiatan pengelolaan hasil hutan.
Data primer yang dikumpulkan seperti pelaksanaan penatausahaan kayu,
kesenjangan pelaksanaan dan uraian tugas, pengeluaran perusahaan dalam
pengurusan izin, pengesahan dan penerbitan dokumen penatausahaan hasil
hutan, sedangkan data sekunder diperoleh di kantor kehutanan, perusahaan, dan
perpustakaan adapun data yang diperoleh seperti potensi hutan rakyat (luasan
hutan rakyat, potensi tegakan), luas dan produksi kayu rakyat.
Referensi pemanfaatan / pengelolaan hasil hutan di hutan hak/rakyat,
adalah sebagai berikut :
a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34, tahun 2002,
tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan.
b. Undang-undang Nomor 32, tahun 2004. Tentang Pemerintahan Daerah.
c. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 126/Kpts-II/2003, tentang
Penatausahaan Hasil Hutan.
d. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2005, tentang
Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
126/Kpts-II/2003, tentang Penatausahaan Hasil Hutan.
7
e. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005, tentang
Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak/Rakyat.
3. Metode Analisis
Efektifitas pemantauan produksi dan peredaran kayu di ukur secara tidak
langsung dengan menganalisis kemampuan penatausahaan hasil hutan dalam,
pemeriksaan silang dokumen produksi dan peredaran kayu, serta kinerja
pemantauan. Indikator efektifitas penatausahaan hasil hutan, adalah tersedianya
pedoman teknis pelaksanaan yaitu perundang-undangan yang berlaku (SK
Menhut No. 126/2003, Permenhut No. P.18/2005, Permenhut No. P.26/2005,
Perda Kabupaten/Kota setempat). Efektifitas penatausahaan hasil hutan diukur
dengan cara membandingkan dan atau adanya kesesuaian antara peraturan
perundang-undangan (pedoman teknis pelaksanaan) yang berlaku dengan
realisasi pelaksanaannya.
a. Pemeriksaan silang dokumen.
Pemeriksaan silang dokumen produksi dan peredaran kayu dilakukan
untuk mengontrol kinerja yang dilakukan oleh P2LHP, P2SKSHH dan
P3HH (P3KB/ P3KO). Dokumen dan paramater yang digunakan untuk
menilai kinerja tersebut disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Pemeriksaan Silang Dokumen Produksi dan Peredaran Kayu di Hutan Hak/Rakyat
Kegiatan Dokumen Parameter
Pengesahan LHP LHP-SKSHH Jenis, vol. dan ukuran kayu
Penerbitan SKSHH LHP-SKSHH-LMK-lap. P3HH Jenis, vol. dan ukuran kayu
Penerimaan kayu SKSHH-LMKB-LMKO Rendemen
Kinerja Pejabat Pengesah LHP, SKSHH serta P3HH dinilai baik jika
isi dokumen yang satu dengan isi dokumen lainnya menunjukkan
kesamaan, dan di nilai rendah apabila sebaliknya.
b. Kinerja Pemantauan
8
Kinerja P2LHP, P2SKSHH, P3HH dan petugas yang melakukan
pemeriksaan silang dokumen dianalisa secara deskriptif, dengan mengecek
ketersediaan pedoman teknis pelaksanaan pemantauan dan membandingkan
pedoman teknis tersebut dengan pelaksanaannya. Pemantauan di nilai baik
apabila realisasi pelaksanaan sesuai dengan pedoman teknis pelaksanaan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Potensi Hutan Hak/Rakyat.
Berdasarkan data statistik kehutanan yang diperoleh dari Dinas
Kehutanan Provinsi rata-rata Luas hutan rakyat di Provinsi Jawa Barat dari
tahun 2000 s/d 2004 berturut-turut, adalah 6.789,13 Ha, 7.473,16 Ha,
24.384,97 Ha, 24.345,50 Ha, dan 11.938,47 Ha, seperti yang terlihat pada
Tabel 2 di bawah.
Tabel 2 Perkembangan Luas Hutan Rakyat di Provinsi Jawa Barat dari Tahun 2000 s/d 2004 (Ha)
No Kabupaten/Kota 2000 2001 2002 2003 2004
1 Bogor 635,0 50,0 13.320,0 12.848,4 14.965,3
2 Sukabumi 11.832,5 12.785,3 14.664,6 14.664,6 30.153,9
3 Cianjur 15.163,0 32.787,6 29.566,5 29.256,2 35.886,3
4 Karawang 406,0 406,0 4.251,4 4.251,4 4.251,4
5 Bekasi 391,0 391,0 78,4 78,4 935,7
6 Purwakarta 389,7 88,9 9.119,0 9.119,0 3,6
7 Subang 1.620,0 206,0 6.198,0 6.709,0 8.065,0
8 Bandung 2.403,5 278,0 13.043,8 23.130,0 23,8
9 Garut 8.307,0 11.701,0 11.091,0 601,8 6.018,6
10 Sumedang 10.302,0 10.302,0 14.377,7 14.377,7 14.338,7
11 Majalengka 6.446,9 8.491,0 9.639,1 9.639,1 2.990,0
12 Tasikmalaya 22.796,0 23.626,8 27.187,5 23.784,9 23.784,9
13 Ciamis 28.945,5 28.945,5 255.910,0 255.910,0 23.806,4
14 Cirebon 2.949,0 2.952,0 4.639,0 5.677,7 5.677,7
15 Kuningan 9.004,4 1.525,9 20.184,9 15.446,9 15.446,9
16 Indramayu 633,0 633,0 1.315,0 1.315,0 24.372,5
17 Kota Tasikmalaya 0 0 3.348,3 3.799,3 2.439,6
18 Kota Banjar 0 0 995,5 2.190,9 1.732,2
Jumlah 122.204,4 134.516,9 438.929,5 438.219,0 214.892,4
Rata-rata 6.789,13 7.473,16 24.384,97 24.345,50 11.938,47
Sumber : Statistik Kehutanan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, 2005
9
Pada Tabel 3 di bawah dapat di lihat bahwa rata-rata produksi kayu
rakyat di Jawa Barat, dari tahun 2000 s/d 2004 berturut-turut adalah sebagai
berikut : 615.750,84 m³, 300.632,36 m³, 72.803,20 m³, 72.551,49 m³, dan
216,071,10 m³.
Tabel 3 Perkembangan Produksi Hutan Rakyat di Provinsi Jawa Barat dari
Tahun 2000 s/d 2004 (M³)
No Kabupaten/Kota 2000 2001 2002 2003 2004
1 Bogor 367,5 432,0 444.000,0 1127952 130909,8
2 Sukabumi 11.149,0 1.678,5 16.742,9 167429 158650,1
3 Cianjur 7..916,7 5.114,6 17.542,7 5816034 14.184,1
4 Karawang 156,0 143,0 7.495,0 74950 2.716,0
5 Bekasi 457,0 134,0 25.723,1 257231 65.499,0
6 Purwakarta 31.782,0 7.699,0 8.468,9 84689 468,3
7 Subang 1.079.568,0 136.612,0 48.147,0 533400 48.296,0
8 Bandung 14.916,0 5.613,4 6.295,2 49245 3.068,5
9 Garut 15.785,0 2.244,5 7.476,1 21318 7.476,0
10 Sumedang 23.769,0 29.876,0 36.259,8 362598 43.933,7
11 Majalengka 21.510,0 3.652,5 5.474,5 54745 3.000,0
12 Tasikmalaya 9.842.338,3 5.164.077,1 608.453,0 3567730 190.456,0
13 Ciamis 28.028,8 25.542,3 60.792,6 607926 1.723.731,0
14 Cirebon 775,0 783,6 771,9 7022 771,9
15 Kuningan 4.650,8 3.279,3 77.833,6 141955 31.841,3
16 Indramayu 346,0 4.534,0 1.594,4 15944 2.580,7
17 Kota Tasikmalaya 0 0 7.437,0 155261 19.516,8
18 Kota Banjar 0 0 0 13840 14.329,7
Jumlah 11.083.515,1 5.406.522,5 1.310.457,6 13059268 3.889.279,8
Rata-rata 615.750,84 300.362,36 72.803,20 72.551,49 216.071,1
Sumber : Statistik Kehutanan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, 2005
Rata-rata Luas hutan rakyat di Kabupaten Ciamis dari tahun 2000 s/d
2004 adalah 118.703,48 Ha dengan rata-rata produksi dari tahun 2000 s/d
2004 sebanyak 379.777,46 m³, seperti yang terlihat pada Tabel 4 di bawah
Perkembangan luas dan produksi hutan rakyat di Kabupaten Ciamis dari
tahun 2000 s/d 2004, adalah sebagai berikut :
10
Tabel 4 Perkembangan Luas dan Produksi Hutan Rakyat di Kabupaten
Ciamis dari Tahun 2000 s/d 2004
No Tahun Luas (Ha) % Produksi (m³) %
1 2000 28.945,50 4,88 28.028,80 1,48
2 2001 28.945,50 4,88 25.542,30 1,35
3 2002 255.910,00 43,12 60.792,60 3,20
4 2003 255.910,00 43,12 60.792,60 3,20
5 2004 23.806,40 4,01 172.373,10 90,78
Jumlah 593.517,40 100 1.898.887,30 100
Rata-rata 118.703,48 379.777,46
Sumber : Statistik Kehutanan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, 2005
2. Pemanfaatan Hasil Hutan Hak/Rakyat
Pemanfaatan hasil hutan hak/rakyat di atur berdasarkan Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005, tentang Pedoman
Pemanfaatan Hutan Hak. Pada pasal 12 ayat (1) dinyatakan bahwa,
pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan sesuai dengan fungsinya, kemudian dalam ayat (2) dinyatakan
bahwa, pemanfaatan hutan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi pemegang hak
dengan tidak mengurangi fungsinya.
Pada pasal 16 dinyatakan, bahwa tata cara pemanfaatan hutan hak
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.26/2005
pasal 13, pasal 14 dan pasal 15 diatur dengan peraturan Bupati/Walikota.
Selanjutnya pada pasal 18 dinyatakan, bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota
menetapkan lebih lanjut petunjuk pelaksanaan tentang pemanfaatan hutan hak
dengan mengacu kepada peraturan ini dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Untuk penatausahaan hasil hutan peraturan perundang-undangan
yang berlaku adalah Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 126/Kpts-
11
II/2003, yang kemudian beberapa pasal dalam SK tersebut disempurnakan
dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2005.
Sesuai dengan kerangka pemikiran yang dibuat bahwa dalam upaya
untuk mencegah kerusakan hutan negara dan sebagai pengaman, pengendalian
serta keseragaman dalam melaksanakan peredaran kayu rakyat di lintas
kabupaten, Dinas Provinsi dalam hal ini adalah Dinas Kehutanan setempat
diharapkan membuat Petunjuk Pelaksanaan Penatausahaan Hasil Hutan di
hutan hak/rakyat, yang mengacu pada SK Menteri Kehutanan No. 126/2003
dan Permenhut No. P.18/2005.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas Dinas Kehutanan Provinsi Jawa
Barat pada tahun 2001 telah membuat petunjuk teknis tata usaha kayu rakyat,
yaitu Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Nomor
51/Kpts/Dishut-PH/2001, tentang Petunjuk Teknis Tata Usaha Kayu Rakyat
Di Propinsi Jawa Barat. Akan tetapi beberapa ketentuan / aturan yang
terkandung dalam SK tersebut terdapat ketidak sesuaian dengan ketentuan
yang berlaku, yaitu SK Menhut No. 126/2003 dan Permenhut No. P18/2005.
Oleh karenanya untuk lebih mengoptimalkan penatausahaan hasil hutan di
hutan hak/rakyat dan dalam upaya memberikan pelayanan yang terbaik,
mudah, dan dapat dipertanggungjawabkan secara fungsi dan profesionalisme
Institusi Kehutanan kepada masyarakat, maka dipandang perlu SK Kepala
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Nomor 51/Kpts/Dishut-PH/2001
tersebut di revisi, dan isi nya disesuaikan dengan peraturan perundang-
undangan penatausahaan hasil hutan yang berlaku saat ini.
Merevisi atau merubah isi aturan SK Kadishut Provinsi Jawa Barat No.
51/2001 harus dilakukan, karena antara SK yang dikeluarkan oleh Kadishut
Provinsi Jawa Barat, dengan SK Menteri Kehutanan No 126/2003 terdapat
perbedaan yang cukup mendasar dalam hal pemanfaatan hasil hutan di hutan
hak/rakyat, seperti contoh, dalam pemberitahuan rencana penebangan, di
dalam SK Kadishut Provinsi Jawa Barat No. 51/2001, pada Bab II Produksi
12
dan Peredaran, huruf (A) no 1, menyatakan bahwa, setiap badan
usaha/perorangan yang akan menebang pohon harus melaporkan /
memberitahukan rencana kegiatannya kepada Kepala Dinas yang menangani
tentang Kehutanan Kabupaten/Kota setempat, sedangkan dalam SK Menteri
Kehutanan No 126/2003, pasal 33, pemberitahuan rencana penebangan cukup
diberitahukan kepada Kepala Desa atau Pejabat Setara yang diangkat oleh
Kepala Dinas Provinsi dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten/
Kota. Pelimpahan kewenangan pemberitahuan rencana penebangan kayu
rakyat kepada Kepala Desa setempat dimana tegakan pohon berada tersebut
terutama dilatarbelakangi pada kenyataannya, bahwa pihak yang lebih
mengetahui potensi kayu rakyat adalah aparat desa, sehingga pemberitahuan
rencana penebangan kayu rakyat kepada Kepala Desa atau pejabat yang setara
tersebut akan lebih meningkatkan nilai obyektivitas dalam memberikan
perijinan penebangan kayu rakyat kepada masyarakat.
Selanjutnya, pada huruf (E), no 3, mengenai penggunaan dokumen SKSHH
kayu rakyat dalam SK Kadishut Provinsi Jawa Barat No. 51/2001,
menyatakan bahwa Pejabat Penerbit SKSHH pada Dinas yang menangani
tentang Kehutanan Kabupaten/Kota hanya boleh menerbitkan kayu bulat
produksi kayu rakyat/milik dan setelah berubah bentuk, maka SKSHH
lanjutan diterbitkan oleh pejabat penerbit SKSHH Sentra Industri (SI) pada
wilayah kerja yang bersangkutan. Pembagian wewenang P2SKSHH tersebut
di atas di nilai kurang tepat, karena dasar hukum pembagian kewenangan
tersebut tidak jelas.Apa yang membedakan pembagian kewenangan tersebut ?.
Sentra Industri (SI) berkedudukan di kabupaten/kota yang berada di
seluruh wilayah Provinsi Jawa Barat, karena SI merupakan perwakilan dari
UPTD Balai Pelayanan dan Pengamanan Peredaran Hasil Hutan (BP3HH)
Provinsi Jawa Barat yang berkedudukan di Cirebon, BP3HH ini dikepalai oleh
seorang Kepala Balai (eselon III). Dalam SK Menteri Kehutanan No.
126/2003 tersebut, tidak ada ketentuan yang mengatur apabila kayu masih
berupa log atau kayu bulat, penerbitan SKSHH dilakukan oleh Dinas
13
Kehutanan kabupaten/kota setempat, atau apabila kayu log (kayu bulat)
tersebut telah berubah menjadi kayu olahan maka penerbitan SKSHH
dilakukan oleh Sentra Industri (SI). Pada pasal 43, ayat (2) SK Menhut No.
126/2003, mengenai tugas pokok P2SKSHH, dimana P2SKSHH berfungsi
sebagai penanggung jawab penerbitan SKSHH dalam mengendalikan
peredaran hasil hutan, agar hasil hutan yang beredar benar-benar berasal dari
perijinan yang sah. Apabila di lihat dari fungsi dan tanggung jawabnya,
pejabat P2SKSHH tidak ada pembatasan / perbedaan kewenangan dalam
menerbitkan SKSHH, akan tetapi yang membedakan kewenangan seorang
Pejabat Penerbit Hasil Hutan adalah Kualifikasi Ijin yang dimiliki oleh pejabat
itu sendiri.
Didalam Permenhut No. P.18/2005 pasal 20, mengenai tata cara
penerbitan SKSHH, dinyatakan bahwa Pemohon SKSHH mengajukan
permohonan penerbitan SKSHH kepada P2SKSHH dan tembusannya kepada
Kepala Dinas Kehutanan setempat, maka atas permohonan penerbitan SKSHH
tersebut P2SKSHH melakukan pengecekan fisik dan administrasi, apabila
hasil pengecekan fisik dan administrasi telah sesuai dengan DHH yang
menyertai kayu tersebut maka di buatkan BAP pemeriksaan, dan atas dasar
BAP pemeriksaan dan sudah membayar kewajiban kepada negara (PSDH-DR,
Retribusi), maka P2SKSHH menandatangani DHH dan menerbitkan SKSHH,
dan atas dasar SKSHH yang telah diterbitkan, selanjutnya SKSHH tersebut
disampaikan kepada pejabat eselon III yang membidangi kehutanan di wilayah
kerja P2SKSHH untuk dketahui dan disetujui. Apabila kita melihat alur
permohonan penerbitan SKSHH tersebut di atas, maka permohonan
penerbitan SKSHH di Sentra Industri (SI) yang berada dan berkedudukan di
wilayah Kabupaten/Kota, tidak efisien dan tidak efektif, karena pejabat eselon
III yang mempunyai kewenangan untuk mengetahui dan menyetujui SKSHH,
yaitu Kepala Balai berkedudukan di luar wilayah Dinas Kabupaten/Kota
dimana SI berada, sehingga dapat dibayangkan dalam pengurusan penerbitan
SKSHH tersebut, pemohon harus meluangkan waktu dan mengeluarkan biaya
14
yang tidak sedikit dalam pengurusannya, akan tetapi hal ini mau tidak mau
harus ditempuh oleh para pemohon / pengusaha kayu rakyat, karena ketentuan
dalam penerbitan SKSHH sesuai dengan Permenhut No. P18/2005
menyatakan bahwa SKSHH tersebut sah apabila telah diketahui dan disetujui
oleh pejabat eselon III di Kabupaten/Kota yang menangani masalah
kehutanan, keadaan yang demikian sangat memberatkan para pemohon /
pengusaha kayu rakyat itu sendiri.
Dari keadaan atau kondisi seperti tersebut di atas dikhawatirkan adanya
praktek penatausahaan hasil hutan yang tidak benar/tidak sesuai dengan SK
Menteri Kehutanan No. 126/2003 dan Permenhut No. P.18/2005. Untuk itu
dalam upaya menciptakan pelaksanaan penatausahaan hasil hutan yang baik
dan benar sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku saat ini,
sebaiknya penerbitan SKSHH baik kayu log/kayu bulat maupun kayu olahan
yang berasal dari hutan hak/rakyat atau hasil hutan lainnya diserahkan /
dilimpahkan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota setempat, dengan
pertimbangan bahwa pemohon SKSHH masih berada di wilayah Dinas
Kehutanan Kabupaten/Kota tersebut sehingga dalam pengecekan kebenaran
dan keabsahan (legalitas) bukti kepemilikan kayu atau hasil hutan dengan fisik
kayu/hasil hutan yang akan di kirim atau di angkut akan lebih mudah untuk
dilakukan dan dipertagung jawabkan.
3. Legalitas Kayu Rakyat.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/2005 pasal 17,
ayat (1) yang menyatakan bahwa semua hasil hutan kayu dan bukan kayu
yang berupa rotan dan gaharu dari areal hutan hak yang akan digunakan dan
atau diangkut kedaerah lainya dilengkapi dengan Surat Keterangan Asal Usul
(SKAU) yang diterbitkan oleh Kepala Desa atau pejabat yang setara. Di
Kabupaten Ciamis pemberlakuan SKAU sebagai dokumen resmi tanda
legalitas kepemilikan kayu yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang,
dalam hal ini adalah Kepala Desa sebagai bukti kepemilikan kayu rakyat telah
15
berjalan, dengan sebutan Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAUK) yang
dicantumkan dalam Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Ciamis Nomor 19,
tahun 2004, tentang Produksi dan Peredaran Kayu Rakyat. SKAUK ini selain
merupakan bukti kepemilikan atau legalitas kayu rakyat, juga berfungsi
sebagai Surat Ijin Tebang Kayu Rakyat. Pelimpahan kewenangan perijinan
tebang pohon kayu rakyat kepada Kepala Desa setempat dimana tegakan
pohon berada, tersebut dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa pihak yang
lebih mengetahui potensi kayu rakyat adalah aparat desa itu sendiri, sehingga
perijinan tebang pohon rakyat oleh Kepala Desa tersebut akan meningkatkan
nilai obyektivitas terhadap perijinan penebangan kayu rakyat yang diterbitkan.
Untuk lebih mengoptimalkan dalam penatausahaan hasil hutan dalam
upaya menjaga Kelestarian Hutan sesuai dengan PP No. 34/2002, pejabat yang
berwenang dalam menerbitkan bukti kepemilikan kayu rakyat atau SKAUK
dalam hal ini adalah Kepala Desa atau pejabat yang setara diberikan pelatihan
setingkat pejabat penerbit lainnya seperti P2LHP, P2SKSHH, P3HH dan
kemudian diberikan sertifikat serta Surat Ijin Penerbitan SKAUK, sedangkan
untuk pengendalian dan pengawasan terhadap pejabat tersebut dilakukan oleh
Dinas Kabupaten/Kota setempat yang membidangi kehutanan.
4. Penebangan Kayu Rakyat.
Pada pasal 35, ayat (1) SK Menteri Kehutanan No. 126/2003,
dinyatakan bahwa Pemilik hutan hak /rakyat termasuk pemilik kebun yang
memanfaatkan kayu bulat dari land clearing wajib membuat dan melaporkan
realisasi penebangan / pemanenan dan pengangkutan kayu bulat dengan
menggunakan format blanko LMKB, dan kemudian pada ayat (2) dinyatakan
bahwa laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada
Kepala Dinas Kabupaten/Kota dengan tembusan Kepala Dinas Provinsi. Akan
tetapi di Kabupaten Ciamis, sesuai dengan Surat Keputusan Bupati Ciamis
Nomor 185.A, Tahun 2004, tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah
Kabupaten Ciamis No. 19 tahun 2004, tentang Produksi Peredaran Kayu
Rakyat. pasal 6, ayat (1) dinyatakan bahwa, Pemegang SKAUK wajib
16
melaporkan hasil produksi kayu rakyat hasil penebangannya kepada Kepala
Desa/Kelurahan asal penerbitan SKAUK. Dari kedua pernyataan tersebut di
atas terdapat perbedaan yang sangat mendasar, yaitu dalam pasal 35, ayat (2)
SK Menhut No.126/2003, laporan hasil penebangan disampaikan kepada
Kepala Dinas Kabupaten/Kota, sedangkan dalam SK Bupati Ciamis No.
185.A/2004, pasal 6, ayat (1) dinyatakan bahwa pemegang SKAUK
melaporkan hasil penebangannya kepada Kepala Desa / Kelurahan, ketentuan
tersebut sangat membingungkan bagi para pengusaha kayu rakyat, ketentuan
yang mana yang harus digunakan. Akan tetapi apabila kita kembali melihat
pada Permenhut No. P26/2005, tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak,
pasal 17, ayat (1) dengan diberlakukannya SKAU sebagai bukti legalitas
kepemilikan kayu atau hasil hutan lainnya yang diterbitkan oleh Kepala Desa
asal kayu berada, maka dalam penyerahan laporan hasil produksi penyerahan
laporan hasil penebangan/produksi akan lebih baik, lebih masuk akal bila
diserahkan kepada Kepala Desa yang menerbitkan SKAU. Sebagai
pertanggung jawaban pejabat penerbit SKAU dan penerima LHP dalam hal ini
Kepala Desa harus membuat membuat laporan rekapitulasi hasil produksi dan
penerbitan SKAU, yang disampaikan kepada Dinas Kehutanan
Kabupaten/Kota setempat.
Sehubungan dengan hasil kayu rakyat atau hasil hutan dari hutan hak
yang akan diterbitkan SKSHH nya, maka apabila kita lihat pada SK Menteri
Kehutanan No. 126/2005, BAB VI Hasil Hutan Dari Hutan Hak/rakyat, Hasil
Hutan Lelang, Hasil Hutan Ekspor/Impor dan Hasil Hutan di Pelabuhan
Umum, pasal 33 ayat (3) huruf (d), yaitu Kayu yang akan diterbitkan SKSHH
untuk diangkut/dijual ke industri pengolahan kayu wajib dilakukan
pengukuran oleh petugas kehutanan yang berkualifikasi Penguji Hasil Hutan
(PHH), dan kemudian dalam huruf (e), dinyatakan bahwa Hasil pemeriksaan
dituangkan dalam Daftar Hasil Hutan dengan cap KR (DHH-KR), dengan
prosedur sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan ditanda tangani oleh
petugas bersangkutan sebagai dasar penerbitan SKSHH oleh P2SKSHH.
17
DHH-KR dibuat atas dasar hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Penguji
Hasil Hutan (PHH), dan harus disahkan oleh petugas Kehutanan yang
berkualitas Penguji Hasil Hutan (PHH), dan ini merupakan dasar dalam
permohohonan penerbitan SKSHH serta sesuai dengan mekanisme
penatausahaan hasil hutan yaitu SK Menteri Kehutanan No. 126/2005 dan
Permenhut No. P.18/2005.
5. Pengangkutan Kayu Rakyat
Berdasarkan ketentuan teknis yang ada, bahwa setiap peredaran hasil
hutan kayu rakyat wajib disertai dokumen pengangkutan, dan sesuai dengan
pasal 16 ayat (1) SK Menteri Kehutanan No 126/2003, yang menyatakan
bahwa : Setiap pengangkutan hasil hutan kayu dari lokasi
penebangan/pemanenan di tempat tebangan atau dari TPn yang akan di angkut
ke TPk hutan wajib menggunakan Daftar Pengangkutan (DP), yang
diterbitkan oleh Petugas Perusahaan Pemegang IUPHHK, IPHHK atau ILS
dengan menggunakan blanko model DK. A. 202, kemudian dalam ayat (2)
Daftar Pengangkutan dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai dokumen
pengangkutan antara dan bukti keabsahan hasil hutan.
Dokumen angkutan tersebut merupakan bentuk pelayanan dari
pemerintah guna memberikan perlindungan sekaligus sebagai pemenuhan
persyaratan pada aspek legalitas hasil hutan itu sendiri, akan tetapi pada
kenyataannya dalam kegiatan angkutan tersebut terdapat tujuan angkutan
dalam wilayah Kabupaten/Kota yang sulit dilayani oleh dokumen SKSHH.
Dalam konteks tersebut di atas, di Kabupaten Ciamis sesuai dengan Perda
Kabupaten Ciamis Nomor 19, tahun 2004 pasal 7 ayat (1), dinyatakan bahwa
Pengangkutan kayu rakyat dari lokasi tebangan dan atau TPn ke tempat
pemnumpukan kayu (TPK) dalam daerah sepanjang belum berpindah
kepemilikan, menggunakan Daftar Pengangkutan (DP) yang diterbitkan oleh
pemegang SKAUK. Kemudian dalam ayat (2), dinyatakan bahwa :
Pengangkutan kayu rakyat antar Tempat Penumpukan Kayu (TPK) dalam
daerah sepanjang belum berpindah kepemilikan, menggunakan Daftar
18
Pengangkutan Lanjutan Kayu Bulat (DPL-KB) yang diterbitkan oleh Petugas
Kehutanan yang ditunjuk. Selanjutnya pada ayat (3) dinyatakan bahwa :
Pengangkutan kayu rakyat dengan tujuan ke luar Daerah dan atau industri
primer pengolahan kayu dan atau pengangkutan dalam daerah yang telah
berpindah kepemilikan dan kayu hasil lelang, wajib menggunakan dokumen
Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang diterbitkan oleh Pejabat
Penerbit SKSHH (P2SKSHH).
Dokumen-dokumen tersebut diatas (DP, DPL-KB, DPL-KO) digunakan
sebagai dokumen angkutan kayu rakyat, untuk mempermudah dalam melayani
peredaran kayu rakyat. Apabila setiap pengangkutan kayu rakyat, baik dari
TPn ke, TPK, atau dari TPK ke TPK lainnya harus selalu menggunakan
SKSHH, ini kurang efisien, mengingat mobilitas pengangkutan kayu rakyat di
Kabupaten Ciamis sangat tinggi, mencapai 200 truk dalam satu hari, selain
daripada itu untuk permohonan penerbitan SKSHH itu sendiri membutuhkan
waktu pengurusan yang tidak sebentar (lebih dari satu hari), dan ketersediaan
blanko SKSHH terbatas. Keterbatasan persediaan blanko SKSHH
dikarenakan, dalam pendistribusian blanko SKSHH oleh Dinas Kehutanan
Provinsi dilaksanakan sesuai dengan permohonan dan kebutuhan Dinas
Kehutanan Kabupaten/Kota setempat, selain daripada itu dalam pengurusan
permohonan blanko tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama (lebih dari
satu hari).
Penerbitan DP, DPL-KB, DPL-KO sepanjang dipergunakan dengan
benar dan dapat dipertanggung jawabkan oleh instansi setempat dalam hal ini
adalah Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota tidak masalah, dan apabila kita
melihat pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/2005 pasal 20, ayat
(6), dinyatakan bahwa : Pengangkutan kayu bulat, kayu olahan maupun kayu
HHBK yang karena sesuatu hal tidak efisien dalam pengangkutan yang
disebabkan faktor alam atau hambatan dalam pengangkutan, maka
pelaksanaan pengangkutan di atur secara khusus oleh Kepala Dinas Provinsi.
Dari pernyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa penerbitan dokumen
19
angkutan selain SKSHH oleh Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota, dan atas
rekomendasi yang diperoleh dari Dinas Kehutanan Provinsi, dapat
dilaksanakan, dan ini tidak menyalahi peraturan peundang-undangan yang
berlaku dalam penatausahaan hasil hutan, untuk itu Dinas Kehutanan Provinsi
setempat membuat pedoman atau ketentuan dalam permohonan ijin penerbitan
dokumen angkutan selain SKSHH, agar tercipta keseragaman dalam
pelaksanaannya.
6. Peran P2LHP, P2SKSHH, dan P3HH dalam Penatausahaan Hasil Hutan /
Peredaran Hasil Hutan.
Dalam SK Menteri Kehutanan No. 126/2003, BAB VII, mengenai
Tugas Pokok, Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Dan Pemberhentian
P2LHP, P2SKSHH, dan P3KB/P3KG/P3KL/P3HHBK, dinyatakan pada :
a. Pasal 42, ayat (2), Fungsi P2LHP adalah mengendalikan penebangan /
pemanenan / pungutan hasil hutan pada lokasi yang telah ditetapkan
berdasarkan ijin yang sah.
b. Pasal 43, ayat (2), Funsi P2SKSHH, adalah penanggung jawab penerbitan
SKSHH dalam mengendalikan peredaran hasil hutan, agar hasil hutan
yang beredar benar-benar berasal dari perijinan yang sah.
c. Pasal 44, ayat (2) P3KB/P3KG/P3KL/P3HHBK, juga mempunyai tugas
dan bertanggung jawab terhadap penerimaan di tempat tujuan dalam
peredaran hasil hutan, agar hasil hutan yang di terima langsung di industri
pengolahan kayu atau melalui pelabuhan umum benar-benar dari perijinan
yang sah.
Apabila kita melihat kepada pasal-pasal tersebut di atas, P2LHP,
P2SKSHH, dan P3KB/P3KG/P3KL/P3HHBK mempunyai peranan yang
sangat penting dalam penatausahaan hasil hutan atau dalam peredaran hasil
hutan sesuai dengan fungsi dan tugas pokoknya, atau dengan perkataan lain
P2LHP, P2SKSHH, dan P3KB/P3KG/P3KL/P3HHBK merupakan satu tim
kerja yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, sehingga di dalam
peredaran hasil hutan ketiga unsur tersebut harus selalu ada dan mempunyai
20
peranan yang penting, contohnya dalam pasal 20, ayat (2), huruf (b),
Permenhut No. P.18/2005, mengenai tata cara penebitan SKSHH, dimana
dinyatakan bahwa : P2SKSHH sebelum melakukan pemeriksaan fisik, terlebih
dahulu wajib meneliti Daftar Hasil Hutan (DHH) yang diajukan untuk
memastikan bahwa kayu bulat dalam DHH adalah berasal dari LHP-KB yang
telah disahkan oleh P2LHP, atau berasal dari SKSHH Asal yang telah
dilakukan pemeriksaan kebenarannya oleh P3KB. Dari pernyataan di atas
menunjukan bahwa SKSHH tidak akan terbit apabila DHH bukan berasal dari
LHP-KB yang telah disahkan oleh P2LHP, atau dari SKSHH Asal yang telah
dilakukan pemeriksaan kebenarannya oleh P3KB, jadi antara P2LHP dan
P3KB mempunyai peran yang sama pentingnya dalam persyaratan penerbitan
SKSHH, hanya yang membedakan, adalah, apabila dasar pembuatan SKSHH
tersebut dari LHP, maka LHP nya harus disahkan terlebih dahulu ole P2LHP,
dan apabila dasar pembuatan SKSHH berasal dari SKSHH Asal kayu, maka
SKSHH Asal kayu nya harus di cek kebenarannya oleh P3KB. Selain daripada
itu apabila kita melihat pada pasal 33 ayat (3) huruf (d), yaitu Kayu rakyat
yang akan diterbitkan SKSHH untuk diangkut/dijual ke industri pengolahan
kayu wajib dilakukan pengukuran oleh petugas kehutanan yang berkualifikasi
Penguji Hasil Hutan (PHH), dan kemudian dalam huruf (e), menyatakan
bahwa Hasil pemeriksaan dituangkan dalam Daftar Hasil Hutan dengan cap
KR (DHH-KR), dengan prosedur sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan
ditanda tangani oleh petugas bersangkutan sebagai dasar penerbitan SKSHH
oleh P2SKSHH. Dari uraian tersebut di atas jadi jelas bahwa, P2LHP,
P2SKSHH, dan P3KB/P3KG/P3KL/P3HHBK mempunyai peran yang penting
dalam penatausahaan hasil hutan terutama dalam peredaran hasil hutan, sesuai
dengan fungsi dan tugas pokoknya, keberadaan ketiga unsur tersebut juga
merupakan salah satu upaya dalam mencegah illegal logging, terutama bukti
keabsahan / legalitas hasil hutan.
Dalam peredaran kayu rakyat, untuk terciptanya penatausahaan hasil
hutan kayu rakyat yang baik, mudah, benar dan dapat dipertanggung
21
jawabkan, maka peranan keberadaan P2LHP, P2SKSHH, dan P3KB /P3KG
/P3KL/P3HHBK (P3HH) harus difungsikan sebagaimana mustinya, sesuai
dengan SK Menteri Kehutanan No 126/2003 dan Permenhut No. P.18/2005.
Di Kabupaten Ciamis, sehubungan dengan peran P2LHP, P2SKSHH, P3HH,
masih belum jelas mengenai tugas dan wewenang pejabat penguji hasil hutan
(PHH), ada kesimpang siuran antara tugas dan wewenang P2LHP dan P3HH,
dan ini tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Di dalam SK Bupati
Ciamis Nomor 185.A, Tahun 2004, tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan
Daerah Kabupaten Ciamis No. 19 tahun 2004, tentang Produksi Peredaran
Kayu Rakyat. pasal 6, ayat (1) menyatakan Pemegang SKAUK wajib
melaporkan hasil produksi kayu rakyat hasil penebangannya kepada Kepala
Desa/Kelurahan asal penerbitan SKAUK, sesuai dengan ketentuan yang
berlaku apabila kayu tersebut akan dingkut harus menggunakan SKSHH,
adapun dasar penerbitan SKSHH kayu yang akan diangkut harus diperiksa dan
disahkan oleh Pejabat Penguji Hasil Hutan (pasal 33, ayat (3), huruf d, SK
Menteri Kehutanan No.126/2003), akan tetapi kenyataan dilapangan Di
Kabupaten Ciamis masih ada kesimpang siuran mengenai tugas dan
wewenang P2LHP dengan P3HH, dari hasil wawancara dengan petugas
UPTD Wilayah II Banjarsari, mengatakan LHP disahkan oleh P3HH, dan ini
berbeda dengan keterangan yang di peroleh dari UPTD Wilyah I Kawali, yang
menyatakan LHP disahkan oleh P2LHP, dari kedua pernyataan tersebut jelas
bahwa penatausahaan hasil hutan di Kabupaten Ciamis khususnya pejabat
yang mensahkan LHP masih belum sama dan ini tidak sesuai dengan SK
Menteri Kehtanan No 126/2003. Seperti yang kita ketahui bahwa P3HH,
mempunyai tugas dan bertanggung jawab terhadap penerimaan di tempat
tujuan dalam peredaran hasil hutan, agar hasil hutan yang di terima langsung
di industri pengolahan kayu atau melalui pelabuhan umum benar-benar dari
perijinan yang sah.(pasal 44, ayat 2), atas dasar tersebut di atas, P3HH bukan
merupakan pejabat pengesah LHP.
22
7. Kelembagaan Kayu Rakyat.
Dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.26/2006 pasal (24) ayat (1)
dinyatakan bahwa Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota berkewajiban untuk mengembangkan hutan hak melalui
pengembangan kelembagaan. kemudian pada ayat (2) dinyatakan bahwa,
Pengembangan kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari
kegiatan pembangunan dan penguatan kelembagaan masyarakat dan sistem
usaha. Di Kabupaten Ciamis Kelompok Tani Hutan Rakyat / Kayu Rakyat
belum ada, akan tetapi kelembagaan yang ada di tingkat petani adalah
Kelompok Tani Konservasi Hutan. Untuk kelembagaan kayu rakyat, di
Kabupaten Ciamis ada, yaitu Asosiasi Pengusaha Kayu Rakyat (APKR).
adapun status sifat APKR, adalah organisasi yang bergerak di bidang sosial
ekonomi, merupakan organisasi independen, sebagai wadah penyaluran
aspirasi dan pembinaan para pengusaha kayu rakyat, yang bersifat
kekeluargaan dan gotong royong.
Keberadaan APKR harus didukung sepenuhnya oleh Dinas atau Instansi
terkait, diharapkan dengan keberadaan APKR salah satu permasalahan
mengenai peredaran kayu rakyat di Kabupaten Ciamis dapat diatasi dan
diselesaikan dengan baik, selain daripada itu dengan adanya APKR paling
tidak akan menunjang di dalam pembangunan dan pengembangan hutan
rakyat atau kayu rakyat di Kabupaten Ciamis, dan juga diharapkan dapat
meningkatkan posisi tawar kayu rakyat yang berasal dari Kabupaten Ciamis di
Industri Kayu Primer (IPK) atau industri lainnya.
Permasalahan yang mungkin timbul/ada, adalah di tingkat petani itu
sendiri, dimana seperti kita ketahui bahwa petani menjual pohon/kayu karena
keperluan yang sangat mendesak atau menjual karena butuh dana, oleh
karenanya sejauhmana APKR dapat menanggulangi atau menyikapi
permasalahan tersebut, karena permasalahan ini sangat mendasar berkaitan
dengan kebutuhan dan kesejahteraan para petani itu sendiri. Mungkin
alangkah lebih baiknya apabila dibentuk juga Koperasi Pemilik Hutan Rakyat,
23
yang akan dapat membantu petani pada saat petani tersebut membutuhkan atau
memerlukan dana, sehingga petani tersebut tidak menjual kayunya dengan
harga yang rendah, selain daripada itu dengan keberadaan koperasi pemilik
hutan rakyat diharapkan harga kayu rakyat stabil, dan koperasi ini yang
melakukan negosiasi dengan APKR mengenai harga kayu rakyat
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1 Penatausahaan hasil hutan di hutan hak/rakyat belum secara rinci diatur
dalam perundang-undangan, prosedur / tata cara pemanfaatan hasil hutan
di hutan hak/rakyat belum jelas.
2 Belum terciptanya keseragaman dalam peredaran kayu rakyat di Provinsi
Jawa Barat atau dengan perkataan lain terdapat perbedaan dalam
penyelenggaraan penatausahaan hasil hutan di hutan hak/rakyat di setiap
Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Jawa Barat sehingga menyulitkan
para pengusaha kayu rakyat / petani dalam mengusahakan kayu rakyat.
3 Penggunaan SKAU sebagai bukti legalitas kepemilikan kayu rakyat, di
Kabupaten Ciamis telah berjalan dengan istilah SKAUK, selain daripada
itu SKAUK juga berfungsi sebagai surat ijin penebangan kayu rakyat.
Penggunaan SKAUK dituangkan kedalam Perda Kabupaten Ciamis No.
19, tahun 2004, tentang Produksi dan Peredaran Kayu Rakyat.
4 Di Kabupaten Ciamis, berdasarkan Perda Kabupaten Ciamis No. 19/2004,
tentang Produksi dan Peredaran Kayu Rakyat dokumen pengangkutan
kayu rakyat selain menggunakan SKSHH, juga menggunakan DP, DPL-
KB, DPL-KO.
5 Hutan hak/rakyat mempunyai fungsi yang penting bagi pembangunan
nasional dan hasil hutan dari hak/rakyat mempunyai potensi dan
kontribusi yang besar dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku industri
pengolahan kayu dan kebutuhan rumah tangga, akan tetapi belum tertata
dengan baik.
24
B. Saran
1 Penatausahaan hasil hutan di hutan hak/rakyat masih perlu untuk
disempurnakan, dalam rangka perbaikan pelayanan terhadap publik di
dalam pengeloaan hutan atau peredaran kayu rakyat agar pengelolaan
hutan hak/rakyat dapat lebih efisien, efektif, dan lestari.
2 Perlu dibuatkan aturan atau Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan atau
Petunjuk Teknis (Juknis) dari sistim penatausahaan hasil hutan di hutan
hak/rakyat agar tercipta penyelenggaraan hasil hutan hak/rakyat, tertib
lancar, efisien dan bertanggung jawab sesuai dengan potensi yang
dimiliki.
3 Surat Keputusan Kepala Dinas Provinsi Jawa Barat Nomor
51/Kpts/Dishut-PH/2001, tentang Petunjuk Teknis Tata Usaha Kayu
Rakyat Di Propinsi Jawa Barat, perlu di revisi dan disesuaikan dengan SK
Menteri Kehutanan Nomor 126/2003, Permenhut Nomor P.18/2005 dan
Permenhut Nomor P.26/2005.
4 Kebijakan mengenai keberadaan P2LHP, P2SKSHH, dan P3HH di
Kabupaten Ciamis dalam peredaran kayu rakyat atau penatausahaan hasil
hutan di hutan hak/rakyat, agar ditinjau kembali dan disesuaikan dengan
fungsi dan tugas pokoknya masing-masing sesuai dengan perundang-
undangan penatausahaan hasil hutan yang berlaku saat ini..
5 Agar terciptanya peredaran kayu rakyat atau penatausahaan hasil hutan di
hutan hak/rakyat berjalan dengan baik sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, maka aspek kontrol terhadap kinerja para Pejabat Penguji Hasil
Hutan (P2LHP, P2SKSHH, dan P3HH) harus berjalan dengan baik juga,
untuk itu disarankan P2LHP dan P2SKSHH, merupakan petugas Dinas
Kehutanan Kabupaten/Kota, sedangkan P3HH di TPK, IPKH/IPK/ILS,
merupakan petugas Dinas Kehutanan Provinsi.
25
DAFTAR PUSTAKA
Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No.521/Kpts/IV-Tib/1985, tanggal 4 Desember 1985. Tentang Petunjuk Teknis Tata Usaha Kayu. Departemen Kehutanan, Jakarta.
Keputusan Menteri Kehutanan No.402/Kpts-IV/1990, tanggal 7 Agustus 1990. Tentang Tata Usaha Kayu. Departement Kehutanan, Jakarta.
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, tanggal 30 September 1999. Tentang Kehutanan, Jakarta.
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 316/Kpts-II/1999, tanggal 7 Mei 1999. Tentang Tata Usaha Hasil Hutan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta.
Keputusan Menteri Kehutanan No.126/Kpts-II/2003, tanggal 4 April 2003. Tentang Penatausahaan Hasil Hutan. Departemen Kehutanan, Jakarta.
Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2002, tanggal 8 Juni 2002. Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Departemen Kehutanan, Jakarta.
Peraturan Menteri Kehutanan No.P.18/Menhut-II/2005, tanggal 13 Juli 2005. Tentang Perubahan Ketiga SK Menteri Kehutanan No. 126/Kpts-II/2003, Tentang Penatausahaan Hasil Hutan. Departemen Kehutanan, Jakarta.
Peraturan Menteri Kehutanan No.P.26/Menhut-II/2005, tanggal 6 Agustus 2005. Tentang Pedoman Pemanfaatan Hutan Hak. Departemen Kehutanan, Jakarta.
Surat Keputusan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat Nomor 51/Kpts/Dishut-PH/2001, tanggal 28 Juni 2001. Tentang Petunjuk Teknis Tata Usaha Kayu Rakyat Di Provinsi Jawa Barat. Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, Bandung.
26
Undang-undang Otonomi Daerah No.32 Tahun 2004, tangaal 15 Oktober 2004. Tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta.
Peraturan Daerah Kabupaten Ciamis Nomor 19 Tahun 2004, tanggal 14 Mei 2004.
Tentang Produksi dan Peredaran Kayu Rakyat. Dinas Kehutanan Kabupaten Ciamis, Ciamis.
Surat Keputusan Bupati Kabupaten Ciamis Nomor 185.A Tahun 2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Nomor 19 Tahun 2004, tanggal 23 Juli 2004. Tentang Produksi dan Peredaran Kayu Rakyat, Ciamis.
______. 2005. Statistik Kehutanan Tahun 2000 s/d Tahun 2004. Dinas Kehutanan
Provinsi Jawa Barat, Bandung. Triyono P. 2001. Sistem Pemantauan Produksi dan Peredaran Kayu di Era Otonomi
Daerah. Info Sosial Ekonomi Vol. 2 No. 1. Puslitbang Sosial Budaya dan Ekonomi Kehutanan, Bogor.