kajian potensi penggunaan blotong …bbp2tp.litbang.pertanian.go.id/images/download/buletin...padi...
TRANSCRIPT
Buletin INOVASI PERTANIAN SPESIFIK LOKASI
Volume 4, Nomor 2, Desember Tahun 2018
Penanggungjawab:
Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Reviewer:
Ketua merangkap Anggota: Rubiyo (Peneliti Utama, Pemuliaan dan Genetika Tanaman, BBP2TP)
Anggota: Rachmat Hendayana (Peneliti Utama, Ekonomi Pertanian, BBP2TP) Trip Alihamsyah (Peneliti Utama, Sistem Usaha Pertanian, BBP2TP) Mohammad Jawal Anwarudin Syah (Peneliti Utama, Pemuliaan dan Genetika Tanaman, Puslitbanghorti) Mewa Ariani (Peneliti Utama, Ekonomi Pertanian, PSE-KP) Nur Richana (Prof. (R.), Teknologi Pascapanen, BB Pasca Panen) I Wayan Laba (Prof. (R), Hama Penyakit Tanaman, PHT dan Pestisida, Balittro) Sofjan Iskandar (Prof. (R.), Pakan dan Nutrisi Ternak, Balitnak) Arief Hartono (Kimia Tanah, Institut Pertanian Bogor) Mitra Bestari
I Wayan Rusastra (Ekonomi Pertanian) Fahmudin Agus (Hidrologi dan Konservasi Tanah) I Made Jaya Mejaya (Pemuliaan dan Genetika Tanaman)
Redaksi Pelaksana
Achmad Subaidi Elya Nurwullan Yovita Anggita Dewi Vyta Wahyu Hanifah Lira Mailena Widia Siska Ume Humaedah Nanik Anggoro Purwatiningsih Mulni Erfa Agung Susakti Alamat Redaksi
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jalan Tentara Pelajar No.10, Bogor, Indonesia Telepon/Fax : (0251) 8351277 / (0251) 8350928 E-mail : [email protected] Website : http://www.bbp2tp.litbang.pertanian.go.id
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi diterbitkan dua kali setahun, oleh balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, merupakan media ilmiah yang memuat artikel hasil Litkaji dan diseminasi inovasi pertanian, khususnya yang bernuansa spesifik lokasi. Buletin ini dapat juga memuat tinjauan kritis terhadap hasil litkaji dan diseminasi inovasi pertanian yang berupa gagasan, opini maupun konsepsi orisinil inovasi pertanian. Substansial inovasi
pertanian dapat mencakup aspek teknis maupun aspek sosial, ekonomi, dan kelembagaan.
ISSN-2407-0955
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi
Volume 4 Nomor 2, Bulan Desember 2018
BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
ISSN-2407-0955
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi
Volume 4 Nomor 2, Bulan Desember 2018
SEBARAN VARIETAS UNGGUL BARU PADI DI KALIMANTAN TENGAH
Twenty Liana, Andy Bhermana, dan Andriansyah ............................................................................... 107-116
PRODUKSI DAN POLA DISTRIBUSI BENIH SUMBER PADI UPBS DI PROVINSI BENGKULU Yahumri, Yuliasari, S., Artanti, H.dan Musaddad, D .............................................................................
117-126
PROSPEK PENGEMBANGAN MICROGREEN DALAM MENDUKUNG PERTANIAN PERKOTAAN DI JAKARTA
Iskandar Zulkarnaen dan Ana Feronika Cindra Irawati..........................................................................
127-135
POTENSI DAN NILAI EKONOMIS PEMANFAATAN ONGGOK TERFERMENTASI SEBAGAI PAKAN AYAM MERAWANG DI BANGKA BELITUNG
Sigit Puspito dan Suharyanto................................................................................................................ 137-145
UJI ADAPTASI VARIETAS KEDELAI DI LAHAN PASANG SURUT KAB. SAMBAS KALIMANTAN BARAT
Dina Omayani Dewi dan Tietyk Kartinaty............................................................................................
147-153
MODEL PREDIKSI DINAMIKA POPULASI HAMA PENGGEREK BATANG TEBU BERGARIS (Chilo sacchariphagus) DI PERKEBUNAN CINTA MANIS SUMATERA SELATAN
Muh Dimas Arifin, Yonny Koesmaryono dan Muhamad Hidayanto .................................................... 155-168
PENGARUH SISTEM TANAM TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN SERANGAN OPT BEBERAPA VARIETAS UNGGUL PADI
Teddy Wahyana Saleh dan Awaludin Hipi…………………………………………………………………...
169-177
PENGARUH APLIKASI BIOCHAR DAN PUPUK KANDANG TERHADAP KELEMBABAN TANAH DAN PRODUKSI TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.)
Asis, Rachman Jaya, Muhammad Ismail, Irhas dan Eko…………………………………………………
179-186
PRODUKTIVITAS DAN KOMPONEN HASIL BEBERAPA VARIETAS PADI GOGO DI LAHAN SAWAH UNTUK PRODUKSI BENIH
Ammini Amrina Saragih, Awaludin Hipi, Erythrina…………………………………………………………
187-194
PENUMBUHAN PENANGKAR BENIH JAGUNG BERBASIS MASYARAKAT MELALUI DESA MANDIRI BENIH DI SULAWESI TENGGARA
Sri Bananiek Sugiman dan Muh. Asaad …………………………………………………………………..
195-206
107 Sebaran Varietas Unggul Baru Padi Di Kalimantan Tengah (Twenty Liana, Andy
Bhermana, dan Andriansyah)
INTRODUKSI VARIETAS UNGGUL BARU PADI DI KALIMANTAN TENGAH
Twenty Liana, Andy Bhermana, dan Andriansyah Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah,
Jl. G. Obos km. 5 Palangka Raya
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
The Distribution of High Yielding Variety of IATA in Central Kalimantan. The information of variety
characteristics preferred by breeders and farmer groups in relation with distribution and prospect of area
development for the) of Balibangtan in Central Kalimantan is required. The of Central Kalimantan as
management unit for seed has produced 32 varieties of Inbred Rice, with a total seeds production of 343,157 kg
and they have been distributed with total varieties of 31 HYV at entire Central Kalimantan region. The distribution
of HYV is mainly depending on the characteristics of each HYV. There are three characteristics of HYV that are
always required by breeders or farmer groups when producing the seeds i.e. plant age, rice taste and potential
yield. Based on plant age, rice seeds produced by the of Central Kalimantan is dominated by early maturing rice
variety. Based on the rice taste, characteristic of pulen rice dominates the choice of planting, and the favorite
variety of Inpari 30 Ciherang Sub-1 is then chosen by breeders and farmers, while in the last two years, the
demand for seeds of Inpari 42 Agritan GSR increased due to fluffy rice flavor and it has a large number of tillers
during the planting. Based on the potential yield, most rice seeds produced have potential yields between 7 - 10
tons / hectares, such as Inpari 30 Ciherang Sub-1 and Inpari 42 Agritan GSR. The results of spatial identification
for the distribution of VUB of Inbred Rice produced by SSPU of IATA of Central Kalimantan showed that
distribution of seeds in Central Kalimantan region has not been spread evenly and based on the zonation, it can be
identified that there is only 1 (one) administrative area which has the highest number of varieties of VUB i.e
Kapuas district with total varieties available more then 20 varieties.
Keywords: rice seeds, HYV, distribution, Central Kalimantan.
ABSTRAK
Informasi karakteristik varietas yang disukai dan diminati penangkar dan kelompok tani yang berperan pada
sebaran serta arah wilayah pengembangan VUB Balibangtan di Kalimantan Tengah sangat diperlukan. UPBS
BPTP Kalimantan Tengah telah memproduksi 32 VUB Padi Inbrida, dengan total produksi 343.157 kg benih dan
telah tersebar sebayak 31 VUB di seluruh wilayah Kalimantan Tengah. Sebaran VUB tidak terlepas dari
karakteristik masing-masing VUB, terdapat tiga karakter VUB yang selalu ditanya penangkar atau kelompok tani
saat memproduksi dan memerlukan benih, yaitu umur tanaman, rasa nasi dan potensi hasil. Berdasarkan umur
tanaman, benih padi hasil produksi UPBS BPTP Kalimantan Tengah didominasi oleh varietas padi berumur genjah.
Berdasarkan rasa nasi, rasa nasi pulen lebih mendominasi dalam pilihan penanaman, dengan pilihan Inpari 30
Ciherang Sub-1 menjadi favorite penangkar dan petani, dan dua tahun terakhir permintaan benih Inpari 42 Agritan
GSR meningkat karena rasa nasi yang pulen dan jumlah anakannya yang banyak. Berdasarkan potensi hasil, benih
padi yang pernah diproduksi kebanyakan memiliki potensi hasil antara 7 - >10 t/ha, seperti Inpari 30 Ciherang Sub-
1 dan Inpari 42 Agritan GSR. Hasil identifikasi secara spasial terhadap sebaran VUB Padi Inbrida yang di produksi
UPBS BPTP Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa distribusi benih untuk wilayah regional Kalimantan Tengah
secara relatif masih belum merata. berdasarkan pengelompokkan wilayah dapat terindentifikasi bahwa hanya
terdapat 1 (satu) wilayah administrasi saja yang memiliki sebaran jumlah varietas VUB Padi Inbrida Balitbangtan
paling banyak yaitu Kabupaten Kapuas dengan jumlah ketersediaan jenis varietas diatas 20 jenis.
Kata kunci: padi, VUB, sebaran, Kalimantan Tengah.
108 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:107-116
PENDAHULUAN
Tanaman padi (Oryza sativa L.)
merupakan tanaman pangan penting yang telah
menjadi makanan pokok lebih dari setengah
penduduk dunia. Di Indonesia, padi merupakan
komoditas utama dalam menyokong pangan
masyarakat. Untuk meningkatkan produksi
sekaligus peningkatan pendapatan petani, pada
wilayah pertanaman padi maka perlu diupayakan
penggunaan teknologi benih. Benih bermutu
merupakan salah satu hasil teknologi benih. Benih
berkualitas sangat diperlukan, karena akan
menunjang kesuksesan usaha tani. Benih yang
berkualitas baik akan mampu menghasilkan
produk yang tinggi berdasarkan karakter agronomi
dan komponen hasil yang baik (Mulsanti, dkk.,
2014; Suastika dkk, 2016). Penggunaan benih
berkualitas dari varietas unggul berkontribusi
cukup besar dalam meningkatkan produksi beras
nasional (Sutopo, 2002; Hadi dkk, 2005; De Silva
dkk, 2011). beberapa keunggulan varietas tersebut
antara lain produktivitas tinggi, tahan terhadap
hama dan penyakit, rasa enak, genjah dan harga
jual yang baik. Varietas unggul yang telah dilepas
selain unggul dalam produksi (misalnya tahan
terhadap suatu penyakit), varietas itu juga harus
memiliki sifat yang jelas berbeda dari varietas
lainnya yang sebelumnya sudah beredar
(distinctive), seragam kinerja tanaman dan
pertanamannya (uniform), mantap (stable) dalam
keunggulan sifat kinerja tanaman dan pertanaman
(Hadi dkk, 2005).
Keinginan pengguna benih perlu diketahui
sejak awal, yaitu saat pemilihan varietas yang akan
diproduksi oleh produsen benih. Informasi awal ini
sangat diperlukan agar benih yang diproduksi
menjadi tepat guna dan tepat sasaran. Pemilihan
varietas yang akan diproduksi biasanya dilihat dari
deskripsi pada karakter VUB yang digunakan.
Menurut Kartina (2010), keunggulan suatu varietas
tanaman padi tidak bersifat universal dan tidak
kekal sepanjang masa. Untuk itu mutu genetis
suatu varietas tanaman padi harus selalu
diperbaharui melalui penyediaan benih sumber.
Selama delapan tahun (2011 – 2018), UPBS BPTP
Kalimantan Tengah telah mendistribusikan benih
sumber kelas Benih Dasar (BD) dan Benih Pokok
(BP) serta Benih Sebar (BR) dari 38 varietas
unggul baru (VUB) padi inbrida Balitbangtan atau
43,67% dari total varietas yang telah dilepas oleh
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (Wahab dkk.,
2017), dengan klasifikasi padi sawah irigasi, padi
gogo, dan padi rawa. Karakter masing-masing
VUB menentukan banyaknya jenis dan sebarannya
di Kalimantan Tengah. Oleh sebab itu tulisan ini
menginformasikan karakteristik varietas-varietas
yang disukai dan diminati penangkar dan
kelompok tani yang berperan pada sebarannya
serta bagamana arah wilayah pengebangan VUB
Balibangtan di Kalimantan Tengah.
METODE
Kegiatan dilaksanakan di Kota Palangka
Raya, Provinsi Kalimantan Tengah, pada bulan
Juni – Oktober 2018. Jenis data yang digunakan
adalah data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh melalui observasi dan wawancara secara
langsung terhadap responden. Penentuan sampel
dilakukan secara purposive pada kelompok
penangkar atau kelompok tani yang memerlukan
benih VUB Padi dari UPBS BPTP Kalimantan
Tengah. Responden penelitian berjumlah 50 orang
yang berasal dari penangkar dan kelompok tadi di
13 (tiga belas) kabupaten dan 1 (satu) kota di
Kalimantan Tengah. Data sekunder diperoleh dari
SI UPBS dan form bantuan serta form pembelian
benih.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Karakteristik responden merupakan ciri
spesifik dari responden seperti asal kelompok yang
memerlu benih dan pengalaman usahatani (Tabel
1). Berdasarkan hasil observasi dan wawancara
kelompok pemerlu benih terbagi menjadi tiga
kelompok, yaitu Dinas Pertanian Kabupaten/Kota
atau Balai Benih Umum Tanaman Pangan,
109 Sebaran Varietas Unggul Baru Padi Di Kalimantan Tengah (Twenty Liana, Andy
Bhermana, dan Andriansyah)
penangkar dan kelompok tani. Dimana biasanya
kelompok Dinas Pertanian Kabupaten/Kota atau
Balai Benih Umum Tanaman Pangan bisa juga
mewakili untuk penangkar dan kelompok tani
binaanya. Dari kelompok pemerlu benih ini, kelas
benih sumber yang diperlukan juga bervariasi,
untuk kelompok pemerlu benih dari Dinas
Pertanian Kabupaten dan Kota atau Balai Benih
Umum Tanaman Pangan, kelas benih yang
digunakan dari FS/BD, SS/BP dan ES/BR.
Kelompok pemerlu benih dari penangkar akan
memerlu benih kelas FS/BD, dan SS/BP,
sedangkan pemerlu benih dari kelompok tani
adalah SS/BP dan ES/BR.
Sebaliknya jika dilihat dari keperluan
benih, kelompok tani masih mendominas kuantitas
keperluan benih, khususnya untuk kelas benih
ES/BR, diikuti oleh kelompok Dinas Pertanian
Kabupaten/Kota atau Balai Benih Umum Tanaman
Pangan dan penangkar.
Proses Pengambilan Keputusan Penggunaa
Benih
Produksi UPBS BPTP Kalimantan Tengah
dimulai pada akhir tahun 2011 di Terusan Karya,
Kecamatan Bataguh, Kabupaten Kapuas, dan
sampai tahun 2018 telah berkembang di Desa
Netampin dan Desa Talohen Hulu, ampah Kota,
Kabupaten Barito Timur. Selama delapan tahun
telah diproduksi 32 VUB padi inbrida (Tabel 2)
(Wahab dkk. 2017), dengan total produksi 343.157
kg benih, terdiri dari 81.870 kg kelas BD, 118.741
kg kelas BP, dan 142.546 kg kelas BR.
Tabel 1. Karakteristik Responden
Karakteristik Katagori Persentase
Kelompok pemerlu benih Kelompok Tani 73,67 %
Keperluan benih Kelompok tani 81,33 %
Pengalaman usaha tani 1-5 90,33 %
Sumber: Data olahan dari form pembelian dan form bantua benih tahun 2018
Tabel 2. Varietas padi inbrida yang telah diproduksi UPBS BPTP Kalimantan Tengah
Varietas Jenis Padi Jumlah
Inpari 9 Elo, Inpari 10 Laeya, Inpari 13, Inpari 14 Pakuan, Inpari 15
Parahyangan, Inpari 18, Inpari 19, Inpari 20, Inpari 22, Inpari 23 Bantul, Inpari
29 Rendaman, Inpari 30 Ciherang Sub-1, Inpari 33, Inpari 34 Salin Agritan,
Inpari 35 Salin Agritan, Inpari 38 Tadah Hujan Agritan, Inpari 39 Tadah Hujan
Agritan, Inpari 40 Tadah Hujan Agritan, Inpari 41 Tadah Hujan Agritan, Inpari
42 Agritan GSR, Inpari 43 Agritan GSR
Padi Sawah Irigasi 21
Inpago 4, Inpago 5, Inpago 6, Inpago 8, Situ Bagendit Padi Gogo 5
Inpara 2, Inpara 3, Inpara 4, Inpara 5, Inpara 6, Inpara 7 Padi Rawa 6
Sumber : Data olahan dari SI UPBS 2011 - 2017
110 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:107-116
Tabel 3. Keragaan verietas yang mempengaruhi pilihan penangkar
Keragaan Varietas Varietas
Umur tanaman Sedang Inpara 2, Inpara 3, Inpara 4, Inpago 4, dan Inpari 9 ELO
Genjah Inpara 5, Inpara 6, Inpara 7, Inpago 5, Inpago 6, Inpago 8, Inpari 10
Laeya, Inpari 14 Pakuan, Inpari 15 Parahyangan, Inpari 18, Inpari 19,
Inpari 20, Inpari 22, Inpari 23 Bantul, Inpari 29 Rendaman, Inpari 30
Ciherang Sub , Inpari 33, Inpari 34 Salin Agritan, Inpari 35 Salin
Agritan, Inpari 38 Tadah Hujan Agritan, Inpari 39 Tadah Hujan
Agritan, Inpari 40 Tadah Hujan Agritan, Inpari 41 Tadah Hujan
Agritan, Inpari 42 Agritan GSR, Inpari 43 Agritan GSR dan Situ
Bagendit.
Sangat
Genjah
Inpari 13
Rasa Nasi Pulen Inpari 9 ELO, Inpari 10, Inpari 13, Inpari 14 Pakuan, Inpari 15
Parahyangan, Inpari 18, Inpari 19, Inpari 20, Inpari 22, Inpari 23
Bantul, Inpari 29 Rendaman, Inpari 30 Ciherang Sub 1, Inpari 38 Tadah
Hujan Agritan, Inpari 39 Tadah Hujan Agritan, Inpari 41 Tadah Hujan
Agritan, Inpari 42 Agritan GSR, Inpari 43 Agritan GSR, Situ Bagendit,
Inpago 4, Inpago 5, Inpago 6, Inpago 8, Inpara 2, dan Inpara 7
Sedang Inpari 33, Inpari 40 Tadah Hujan Agritan, Inpara 5, dan Inpara 6
Pera Inpari 34 Salin Agritan, Inpari 35 Salin Agritan, Inpara 3, dan Inpara 4
Potensi Hasil 7 – >10 t/ha Inpari 9 Elo, Inpari 10 Laeya, Inpari 13, Inpari 14 Pakuan, Inpari 15
Parahyangan, Inpari 18, Inpari 19, Inpari 20, Inpari 22, Inpari 23
Bantul, Inpari 29 Rendaman, Inpari 30 Ciherang Sub-1, Inpari 33,
Inpari 34 Salin Agritan, Inpari 35 Salin Agritan, Inpari 38 Tadah Hujan
Agritan, Inpari 39 Tadah Hujan Agritan, Inpari 40 Tadah Hujan
Agritan, Inpari 41 Tadah Hujan Agritan, Inpari 42 Agritan GSR, Inpari
43 Agritan GSR, Inpago 8, Inpara4 dan Inpara 5
5 - <7 t/ha Inpago 4, Inpao 5, Inpago 6, Inpara 2, Inpara 3, Inpara 6, dan Inpara 7
Sumber : Data olahan dari SI UPBS 2011 - 2017
Dari 32 VUB padi inbrida yang telah
diproduksi, telah tersebar dan terdistribusi 31 VUB
di seluruh wilayah Kalimantan Tengah, sedangkan
1 varietas lagi masih pada tahap prosesing calon
benih (Kegiatan UPBS 2018). Sebaran VUB ini
tidak terlepas proses pengambilan keputusan
pengguna benih. Dari karakteristik masing-masing
VUB, terdapat tiga keragaan VUB yang selalu
ditanya penangkar atau kelompok tani saat
memproduksi dan memerlukan benih dari UPBS
BPTP Kalimantan Tengah, yaitu umur tanaman,
rasa nasi dan potensi hasil (Tabel 3). Berdasarkan
umur tanaman, varietas-varietas unggul padi dibagi
menjadi tiga golongan, yaitu : 1). Berumur genjah,
varietas yang berumur kurang dari 120 hari. 2).
Berumur sedang, varietas yang berumur antara 120
– 130 hari. 3). Berumur dalam, varietas yang
berumur lebih dari 130 hari (Hadi dkk, 2005).
Benih padi hasil produksi UPBS BPTP Kalimantan
Tengah masuk dalam dua kelompok umur yaitu
berumur sedang dan berumur genjah. Kelompok
padi berumur sedang yang telah diproduksi
sebanyak 5 varietas. Sedangkan padi berumur
genjah sebanyak 26 varietas. Di lapangan,
penggunaan varietas padi yang berukur genjah dan
sangat genjah mampu meningkatkan produktivitas
lahan yaitu meningkatkan indek pertanaman.
Menurut Samaullah (2009) dan Supriatna (2012),
111 Sebaran Varietas Unggul Baru Padi Di Kalimantan Tengah (Twenty Liana, Andy
Bhermana, dan Andriansyah)
bahwa untuk mencapai peningkatan indek
pertanaman (IP) Padi, yang harus diperhatikan
adalah perakitan umur tanaman ultra genjah atau
kurang dari 90 hari. Penggunaan varietas padi
berumur genjah juga
Berdasarkan rasa nasi, rasa nasi yang pulen
lebih mendominasi dalam pilihan penanaman oleh
penangkar atau kelompok tani. Terdapat 24 VUB
padi yang telah diproduksi memiliki rasa nasi yang
pulen, dengan pilihan Inpari 30 Ciherang Sub-1
masih menjadi favorite penangkar dan petani, dan
pada dua tahun terakhir permintaan benih Inpari 42
Agritan GSR juga meningkat dengan alasan rasa
nasinya yang pulen dan jumlah anakan yang
banyak pada tiap rumpun. Menurut Yang dkk.,
(2010) menyatakan bahwa masing-masing VUB
menghasilkan beras dengan karakteristik yang
berbeda dan unik seperti cita rasa, aroma, warna,
zat gizi, dan komposisi kimia. Sejalan dengan itu,
Larasati (2012) dalam Setyowati dan Kurniawati
(2015) menyampaikan bahwa konsumen di setiap
daerah mempunyai preferensi yang berbeda-beda
terhadap mutu beras. Selain perbedaan preferensi
terhadap mutu beras, preferensi penduduk
Indonesia terhadap karakteristik nasi juga beragam.
Hubeis (1985) dalam Setyowati dan Kurniawati
(2015)menyatakan bahwa mutu nasi berdasarkan
alat indra lebih utama didasarkan pada aroma, cita
rasa, tingkat kelunakan, dan tingkat keputihan nasi.
Menurut Hadi dkk, (2005), rasa nasi
ditentukan oleh kadar amilosa yang dikandung
pada nasi. Semakin tinggi kadar amilosa yang
dikandung oleh suatu varietas maka, rasanya akan
semakin kurang enak. Varietas memiliki rasa enak
apabila kadar amilosa yang dikandungnya 20-23%,
rasa nasi sedang dengan kadar amilosa 24-26%,
dan rasa nasi kurang enak apabila kadar amilose
lebih dari 27%. Varietas yang memiliki kadar
amilosa kurang dari 20% termasuk memiliki rasa
ketan.
Berdasarkan potensi hasil, varietas padi
yang pernah diproduksi kebanyakan memiliki
potensi hasil antara 7 - >10 t/ha (25 VUB) dan 5 -
<7 t/ha (7 VUB). Diantara VUB dengan potensi
hasil antara 7 - >10 t/ha, pilihan terbanyak yang
ditangkarkan petani adalah Inpari 30 Ciherang
Sub-1 dan Inpari 42 Agritan GSR.
Distribusi VUB Padi Inbrida Produksi UPBS
BPTP Kalimantan Tengah Secara Kewilayahan
di Kalimantan Tengah
Hasil identfikasi secara spasial terhadap
sebaran VUB Padi Inbrida yang di produksi UPBS
BPTP Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa
distribusi benih untuk wilayah regional Kalimantan
Tengah secara relatif masih belum merata. Untuk
wilayah Kalimantan Tengah secara umum telah
terdistribusi sebanyak 31 jenis varietas padi
unggul. Data jenis varietas dan jumlah varietas
yang terdistribusi dituangkan dalam informasi peta
sebagaimana tersaji pada Gambar 1 dan Gambar 2
(Sumber: Data peta diolah dari Data SI UPBS
2011-2017 untuk distribusi benih).
Berdasarkan pengelompokkan wilayah
dapat terindentifikasi bahwa hanya terdapat 1
(satu) wilayah administrasi saja yang memiliki
sebaran jumlah varietas VUB padi inbrida paling
banyak yaitu kabupaten Kapuas dengan jumlah
ketersediaan jenis varietas diatas 20 jenis (27
varietas padi). Sedangkan jumlah varietas yang
berada pada kelompok jumlah 10-20 jenis hanya 6
kabupaten masing-masing yaitu: kabupaten Pulang
Pisau (14 varietas), Barito Timur (13 varietas),
Katingan dan Sukamara (12 varietas), dan
Kotawaringin Barat dan Kotawaringin Timur (10
varietas). Dan sisanya adalah beberapa kabupaten
yang masih memiliki jumlah varietas paling sedikit
yaitu < 10 jenis, masing-masing yaitu: Seruyan (8
varietas), Gunung Mas (7 varietas), Lamandau dan
Barito Selatan (4 varietas), Barito Utara (3
varietas), dan Murung Raya (2 varietas).
112 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:107-116
Gambar 1. Informasi Distribusi VUB Balitbangtan di Kalimantan Tengah
113 Sebaran Varietas Unggul Baru Padi Di Kalimantan Tengah (Twenty Liana, Andy
Bhermana, dan Andriansyah)
Gambar 2. Peta sebaran banyaknya VUB Balitbangtan di Kalimantan Tengah
Berdasarkan data sebagaimana telah
jelaskan, ternyata untuk wilayah Kalimantan
Tengah masih terdapat beberapa wilayah (6
kabupaten) yang memiliki keberadaan jenis
varietas yang relatif masih sedikit yaitu sekitar 2-8
varietas saja. Hal ini dapat dijadikan sebagai dasar
pertimbangan untuk memprioritaskan program
terkait diseminasi VUB Balitbangtan pada
wilayah-wilayah tersebut. Hasil identifikasi secara
spasial menjelaskan bahwa untuk beberapa
wilayah ini sebagian besar memang berada pada
agroekosistem lahan kering yang berada pada
bentuk wilayah (landform) dataran tinggi yang
bergelombang hingga berbukit. Sebagian besar
kawasan-kawasan ini hanya diusahakan untuk
usahatani padi ladang dengan luas areal pada skala
kecil. Jenis varietas yang digunakan pada
umumnya adalah padi lokal. Upaya pengembangan
VUB Balitbangtan dapat dilakukan dengan
mengintroduksi VUB padi sawah tadah hujan dan
padi gogo spesifik lokasi. Beberapa lokasi yang
dapat dipriopritaskan untuk implementasi program
pengembangan perbenihan meliputi kabupaten
Lamandau, Seruyan, Gunung Mas, Barito Selatan,
Barito Utara, dan Murung Raya.
Beberapa program tambahan dapat
disisipkan dalam rangka meningkatkan
penyebaaran VUB Balitbangtan pada wilayah-
wilayah yang relatif masih sedikit mengadopsi
VUB Balitbangtan, salah satunya adalah dengan
program perbanyakan dan perluasan areal
penangkaran perbenihan dengan memperhatikan
114 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:107-116
beberapa faktor penting yang menyangkut aspek
biofik lingkungan dan sosial ekonomi. Beberapa
faktor tersebut mencakup beberapa hal seperti
kesesuaian lahan, ketersediaan sumberdaya petani
baik secara kualitas maupun kuantitas, kemampuan
fiansial, sistem penyimpanan dan pergudangan,
pendisitribusian dan penyanggaan harga jual benih
bermutu/unggul.
Prioritas pengembangan perbenihan
selanjutnya adalah diarahkan pada wilayah-
wilayah yang termasuk dalam kelompok dengan
jumlah jenis varietas antara 10-20 varietas.
Perencanaan program dapat diarahkan pada
beberapa kabupaten sebagaimana telah
dideskripsikan secara kewilayahan pada Gambar 2
meliputi kabupaten Sukamara, Kotawaringin Barat,
Kotawaringin Timur, Katingan, Pulang Pisau dan
Barito Timur. Sedangkan untuk wilayah kabupaten
Kapuas yang sudah memiliki ketersediaan benih
dalam wujud jumlah varietas yang terbanyak (>20
varietas) perlu untuk dipertahankan dan
ditingkatkan yang disesuaikan dengan kebutuhan.
Sebagian besar wilayah-wilayah ini berada
pada tipologi lahan basah yang memang sudah
banyak dijumpai aktivitas usahatani padi yang
eksisting hingga saat ini. Daerah-daerah untuk
alokasi pengembangan perbenihan dapat diarahkan
pada sentra-sentra pengembangan padi yang sudah
eksisting. Selain itu upaya perluasan areal tanam
dapat dilakukan pada daerah persekitaran
pertanaman padi dengan tetap mempertimbangkan
kesesuaian lahan dan faktor pembatas lainnya.
Arahan Perwilayahan Pengembangan
Perbenihan Berbasis Kesesuaian Lahan
Program pengembangan perbenihan tidak
terlepas dari upaya melaksanakan usahatani padi
untuk tujuan penyediaan benih sumber. Aspek
biofisik lingkungan khususnya sumberdaya lahan
merupakan faktor penting penentu keberhasilan
dalam berusatani. Penetapan lokasi untuk
perencanaan wilayah pengembangan perbenihan
memerlukan informasi spasial utnuk kawasan-
kawasan yang memiliki jenis peruntukan lahan
untuk budidaya padi. Melalui pendekatan evaluasi
kesesuaian maka dapat ditentukan daerah-daerah
yang sesuai berdasarkan karakteristik lahan dan
persyaratan tumbuh tanaman padi (Ritung et al.,
2011). Hasil evaluasi yang diintegrasikan ke dalam
sistem informasi yang berorientasi pada kebumian
selanjutnya menghasilkan data dalam format
spasial berupa informasi peta peruntukkan lahan
untuk pengembangan perbenihan padi
sebagaimana disajikan pada Gambar 3.
Berdasarkan informasi peta tersebut dapat
dijelaskan bahwa luas keseluruhan kawasan untuk
proyeksi pengembangan padi di Kalimantan
Tengah mencapai 2.116.012 Ha atau 13,70% dari
luas total Kalimantan Tengah. Hasil analisis
spasial menunjukkan bahwa kawasan-kawasan ini
hampir terdapat pada selurh wilayah kabupaten
yang ada di Kalimantan Tengah dengan proporsi
luas areal yang berbeda. Terdapat 2 wilayah yang
tidak memiliki kawasan untuk peruntukkan
pengembangan padi yaitu kabupaten Lamandau
dan Murung Raya. Hal ini dikarenakan adanya
faktor kendala secara biofisik yaitu kelerengan.
Namun hal tersebut dapat ditanggulangi dengan
pembuatan teras dan bedengan untuk
pengembangan padi gogo. Namun hal ini perlu
dipertimbangkan mengingat beaya yang diperlukan
untuk penataan lahan cukup banyak sehingga
wilayah memang tidak direkomendasikan. Dengan
mempertimbangkan data-data perbenihan
sebagaimana sudah disusun sebelumnya maka
program pengembangan perbenihan yang akan
direncanakan dapat dipadukan dan disesuaikan
dengan lokasi geografis daerah yang memiliki
peruntukan lahan untuk pengembangan padi.
115 Sebaran Varietas Unggul Baru Padi Di Kalimantan Tengah (Twenty Liana, Andy
Bhermana, dan Andriansyah)
Gambar 3. Peta peruntukkan lahan untuk pengembangan perbenihan padi di Kalimantan Tengah
KESIMPULAN
Keberadaan varietas unggul baru padi di
Kalimantan Tengah yang banyak diapresiasi
penangkar dan kelompok tani adalah yang
memiliki karakteristik umur tanaman, rasa nasi dan
potensi hasil Karakteristik ini pulalah yang
menentukan sebaran varietas di Kalimantan
Tengah. Kabupaten dengan sebaran varietas VUB
padi Balitbangtan terbanyak berada Kapuas.
DAFTAR PUSTAKA
De Silva H, Triatono J, dan Murdolelono B, 2011,
Potensi, Peluang dan Kendala Percepatan
Penyebaran Verietas Unggul Baru Padi dan
Jagung di NTT, Semiar Nasional Serealia.
Hadi S, Budiarti T, dan Haryadi, 2005, Studi
Komersialisasi Benih Padi Sawah Varietas
Unggul, Bul. Agron. 33 (1): 12 – 18.
Kartina AM, 2010, Evaluasi Potensi Genetis
Pertumbuhan Dan Produksi Varietas Unggul
Baru Tanaman Padi (Oryza Sativa) Di
Kecamatan Banjar Kabupaten Pandeglang
Provinsi Banten, Jur. Agroekotek. 2 (2): 18-
23.
Mulsanti IW, Wahyuni S, dan Sambiring H, 2014,
Hasil Padi Dari Empat Kelas Benih Yang
Berbeda, Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan, 33 (3): 169-176.
Ritung, S., K. Nugroho, A. Mulyani, dan E.
Suryani. 2011. Petunjuk Teknis Evaluasi
Lahan Untuk Komoditas Pertanian (Edisi
Revisi). Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan
116 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:107-116
Pertanian, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Bogor.
Samaullah Yamin. 2009. IP Padi 400. Pers
Release.
Setyowati I dan Kurniawati S, 2015, Preferensi
masyarakat terhadap karakter nasi varietas
unggul baru padi: Kasus di Kecamatan
Cibadak, Kabupaten Lebak, Banten, Pros
Sem Nas Masy Biodiv Indon, 1 (4): 889-893
Shereen, A., H. E. ElDeeb., and D. M. Atiya. 2011.
A New Model for Automatic Raster-to-
Vector Conversion.International Journal of
Engineering and Technology, 3 (3), 2011:
182-190.
Suastika IBK, Kamandalu AANB dan Aryawai
SAN, 2016, Peranan UPBS BPTP Bali
dalam Produksi dan Distribusi Benih
Sumber Padi Mendukung Kedaulatan
Pangan di Provinsi Bali, Prosiding Seminar
Nasional Inovasi Teknologi Pertanian,
Banjarbaru, 20 Juli 2016
Supriatna A, 2012, Meningkatkan Indeks
Pertanaman Padi Sawah Menuju Padi IP
400, Agrin. 16 (1): 1 – 18.
Sutopo L, 2002, Teknologi Benih, Rajawali Press,
Jakarta, 245 hal.
Tomlinson, R. F. 1968. A Geographical
Information System for Regional Planning.
Papers of a CSIRO Symposium Organized
in Cooperation with UNESCO 26-31 August
1968. Macmillan of Australia: 200-210.
Wahab MI, Satoto, Rachmat R, Guswara A, dan
Suhama, 2017, Deskripsi Varietas Unggul
Baru Padi, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Kementerian
Pertanian.
Wirosoedarmo, R., Rahadi, B., dan Sasmito, D. A.
2007. Penggunaan Sistem Informasi
Geografi (SIG) Pada Penentuan Lahan Kritis
di Wilayah Sub DAS Lesti Kabupaten
Malang. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian
Indonesia. Edisi Khusus, No. 3. 2007: 452-
456.
Yang DS, Lee KS, Kays SJ, 2010, Characterization
and discrimination of premium-quality,
waxy and black pigmented rise based on
odoractive compounds. J Sci Food Agric,
DOI: 10.1002/jsfa.4126.
117 Produksi dan Pola Distribusi Benih Sumber Padi UPBS di Provinsi Bengkulu (Yahumri,
Yuliasari, S., Artanti, H.dan Musaddad, D)
PRODUKSI DAN POLA DISTRIBUSI BENIH SUMBER PADI UPBS DI PROVINSI BENGKULU
Yahumri, Yuliasari, S., Artanti, H. dan Musaddad, D
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bengkulu
Jl. Irian Km. 6,5 Kelurahan Semarang Kota Bengkulu
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Production And Distribution Scheme Seeds Source Of Paddy By Ssmu In Bengkulu Province. Source Seed
Management Unit (SSMU) in Assessment Institute of Agricultural Technology (AIAT) Bengkulu has a mandate to
produce FS and SS grade seed sources with a number and varieties that are according of needs, demands,
preferences and characteristics of agroecosystems and local socio-culture. The availability of seeds with principle
6 precises at the farmer level plays an important role, and this is inseparable from the role of the large seed
breeders. In order to establish sustainable continuity between producers and technology users, especially varieties,
the provision of sustainable source seeds is one of the most important activities. In an effort to ensure the
availability of quality seeds from high-yielding varieties and to increase their use among farmers, the development
program of seedlings from upstream to downstream must be more directed, integrated and sustainable. This aims
of the study was to evaluate the production aspects and distribution patterns of source seeds produced by SSMU in
AIAT Bengkulu to meet the needs of rice seed sources in Bengkulu Province in 2017. The evaluation is focused on
production aspects and patterns of seed distribution to users. Data tabulated and analyzed descriptively based on
percentage. The results revealed that the UPBS seed production process in 2017 carried out in Seluma District and
Bengkulu City gave the results of VUB rice seeds with SS seed classes of 3,530 kg or 50.43% compared to the
production target of 7 tons. The pattern of seed distribution is carried out through two ways, commercialization
and assistance. Distribution of rice seeds in SSMU AIAT Bengkulu in 2017 included production seeds in 2016 as
many as 1,720 kg (21.46%) through commercialization and 2,674 kg (33.36%) through assistance, and production
seeds in 2017 for 1,035 kg through commercialization.
Keywords: Paddy, source seeds, production, pollen patterns
ABSTRAK
Unit Pengelola Benih sumber (UPBS) di BPTP mempunyai mandat untuk menghasilkan benih sumber kelas FS
dan SS dengan jumlah dan varietas yang disesuaikan dengan kebutuhan, permintaan, preferensi serta karakteristik
agroekosistem dan sosial budaya setempat. Ketersediaan benih dengan prinsip 6 tepat ditingkat petani memegang
peranan penting, dan hal ini tidak terlepas dari peranan para penangkar benih yang cukup besar. Agar terjalin
kesinambungan yang berlanjut antara penghasil dengan pengguna teknologi utamanya varietas, maka penyediaan
benih sumber yang berkelanjutan merupakan salah satu kegiatan yang sangat penting. Dalam upaya menjamin
ketersediaan benih bermutu dari varietas unggul serta meningkatkan penggunaannya di kalangan petani maka
program pengembangan perbenihan dari hulu sampai hilir harus lebih terarah, terpadu, dan berkesinambungan.
Kajian ini bertujuan untuk mengevaluasi aspek produksi dan pola distribusi benih sumber yang dihasilkan oleh
UPBS BPTP Balitbangtan Bengkulu terhadap pemenuhan kebutuhan benih sumber tanaman padi di Provinsi
Bengkulu tahun 2017. Evaluasi difokuskan pada aspek produksi dan pola distribusi benih ke pengguna. Data
ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif berdasarkan persentase. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa proses
produksi benih UPBS tahun 2017 yang dilaksanakan di Kabupaten Seluma dan Kota Bengkulu memberikan hasil
benih padi VUB dengan kelas benih SS sebanyak 3.530 kg atau 50,43% dibandingkan target produksi sebanyak 7
ton. Pola distribusi benih dilakukan melalaui dua cara, yaitu komersialisasi dan bantuan. Distribusi benih padi
UPBS BPTP Bengkulu pada tahun 2017 meliputi benih produksi Tahun 2016 sebanyak 1.720 kg (21,46%) melalui
118
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:11-19
komersialisasi dan 2.674 kg (33,36%) melalui pemberian bantuan, serta benih produksi Tahun 2017 sebanyak
1.035 kg melalui komersialisasi.
Kata kunci: Padi, benih sumber, produksi, polasebuk sari
PENDAHULUAN
Benih merupakan salah satu komponen
produksi yang mempunyai kontribusi cukup besar
dalam peningkatan produktivitas tanaman padi.
Penggunaan dan varietas unggul dan bermutu
tinggi yang berdaya hasil tinggi, responsif terhadap
pemupukan dan toleran terhadap serangan hama
penyakit utama telah memberikan manfaat berupa
pertumbuhan tanaman yang seragam,
menghasilkan bibit yang sehat dengan akar yang
banyak, masak dan panen serempak dan
produktivitas tinggi sehingga dapat meningkatkan
produksi padi yang akhirnya memberikan
sumbangan pada pendapatan usahatani, efisiensi
produksi, dan kecukupan pangan (Nugraha, et al.,
2007; Suprihatno et al., 2010; Wahyuni, 2011;
Yusuf, 2012). Selanjutnya, penggunaan benih
unggul menunjukkan kontribusi terbesar terhadap
produksi dibandingkan dengan penerapan
teknologi lainnya (Saryoko, 2009; Badan Litbang
Pertanian, 2011).
Sistem perbenihan yang tangguh
(produktif, efisien, berdaya saing, dan
berkelanjutan) sangat diperlukan untuk mendukung
upaya peningkatan penyediaan benih padi dan
peningkatan produksi beras nasional. Produksi
benih bersertifikat di Indonesia sekitar 60% (tahun
2014) dari total kebutuhan benih potensial
(Direktorat Perbenihan Tanaman Pangan 2015).
Produksi benih besertifikat Indonesia
tertinggi di Asia. Perbandingan produksi benih
padi bersertifikat di India 13,5%, Pakistan 5%,
Bangladesh 4%, Vietnam 8%. Implikasinya adalah
akan sangat tidak realistis bila kita mengharapkan
sektor formal menyediakan 100% benih
(bersertifikat) untuk memenuhi semua kebutuhan
benih padi. Bahkan di negara-negara yang
pertaniannya telah sangat maju sekalipun, sektor
perbenihan informal masih tetap menunjukkan
kontribusi penting dalam penyediaan benih
varietas unggul baru (Suparman, 2016).
Selain tersedia benih dalam jumlah yang
cukup, untuk mendorong percepatan penggunaan
benih bermutu diperlukan upaya penangkaran dan
sertifikasi benih. UPBS dilembaga sebagai bentuk
tindakan reponsif atas lemahnya kinerja
kelembagaan perbenihan di daerah, kurangnya
promosi dan diseminasi VUB oleh sumber inovasi,
serta minimnya stok dan logistik benih VUB
spesifik lokasi. Sejak tahun 2007, Badan Litbang
Pertanian, melalui BPTP sebagai unit pelaksana
teknis terdepan di daerah, melakukan
pengembangan dan pembinaan penangkaran benih
padi untuk mendukung industri benih padi melalui
pembentukan Unit Pengelola Benih Sumber
(UPBS) di setiap BPTP. Selanjutnya UPBS
diharapkan mampu menyediakan benih bermutu
sesuai kebutuhan daerah, mensosialisasikan
varietas unggul baru (VUB) yang dihasilkan Badan
Litbang Pertanian dan mendapatkan umpan balik
mengenai preferensi pengguna (Supriatna et al.,
2011). UPBS di BPTP mempunyai mandat untuk
menghasilkan benih sumber kelas FS dan SS
dengan jumlah dan varietas yang disesuaikan
dengan kebutuhan, permintaan, preferensi serta
karakteristik agroekosistem dan sosial budaya
setempat (BBP2TP, 2013).
Produksi benih yang efektif dan efisien
dengan memperhatikan jaminan mutu dalam skala
komersial dapat terwujud melalui suatu industri
benih dengan sistem manajemen mutu yang
memadai. Sektor perbenihan informal yang
menyediakan benih baru yang berasal dari
penangkar atau petani sendiri juga sebaiknya tidak
119 Produksi dan Pola Distribusi Benih Sumber Padi UPBS di Provinsi Bengkulu (Yahumri,
Yuliasari, S., Artanti, H.dan Musaddad, D)
diabaikan, karena sektor ini merupakan sumber
benih yang mensuplai sekitar 60% benih padi bagi
petani. Agar benih varietas unggul baru sampai
kepada para petani melalui sektor informal, maka
perlu mendapat perhatian semua pihak yang terkait
dengan upaya peningkatan produksi padi melalui
adopsi variets unggul (Nugraha, 2013).
Total benih yang diproduksi oleh
Lembaga/Instansi/Perusahaan Perbenihan di
Provinsi Bengkulu pada tahun 2015 hanya sebesar
121,95 ton dengan luas lahan penangkaran sebesar
115,21 ha. Dari total produksi benih tersebut tidak
semua calon benih lulus seleksi. Jumlah benih
berlabel yang diproduksi pada tahun 2015 hanya
sebanyak 58,21 ton, sedangkan kebutuhan benih
mencapai 3.471,19 ton. Ini berarti jumlah benih
yang diproduksi oleh lembaga perbenihan yang ada
di Provinsi Bengkulu pada tahun 2015 hanya
mampu memenuhi sebanyak 1,7% dari total
kebutuhan benih di Provinsi Bengkulu tahun 2015.
Upaya yang dapat dilakukan untuk dapat
meningkatkan kontribusi pemenuhan kebutuhan
benih padi di Provinsi Bengkulu adalah dengan
mempercepat proses produksi dan distribusi benih
padi Varietas Unggul Baru (VUB) kepada
pengguna. Untuk meningkatan produktivitas dalam
proses produksi diperlukan penerapan teknologi
dengan pendekatan teknolgi PTT dan rekomendasi
Kalender Tanam (KATAM) Terpadu Moder
terutama rekomendasi pemupukan. Tujuan dari
penulisan ini adalah untuk mengevaluasi aspek
produksi dan pola distribusi benih sumber yang
dilakukan dalam kegiatan penangkaran benih padi
yang dilakukan oleh UPBS BPTP Balitbangtan
Bengkulu.
METODE
Lokasi penangkaran UPBS BPTP
Bengkulu tahun 2017 berada di Kabupaten Seluma
dan Kota Bengkulu. Produksi benih sumber
dilakukan pola kerjasama dengan petani
penangkar. Sistem kerjasama yang disepakati
antara UPBS BPTP Bengkulu dan petani
kooperator di lokasi penangkaran di Kabupaten
Seluma adalah sistem bagi hasil dengan
perbandingan 70:30 (petani : UPBS BPTP
Bengkulu) dalam bentuk Gabah Kering Panen.
Lokasi penangkaran di Kota Bengkulu yang
digunakan untuk kegiatan UPBS BPTP
Balitbangtan Bengkulu pada Tahun 2017 adalah
lahan sawah milik Balai Benih Dinas Pangan dan
Pertanian Kota Bengkulu. Sistem kerjasama yang
disepakati dalam kontrak kerjasama antara UPBS
BPTP Balitbangtan Bengkulu dan Dinas Pangan
dan Pertanian Kota Bengkulu adalah bagi hasil
dengan perbandingan 2:1 (UPBS BPTP
Balitbangtan Bengkulu : Dinas).
Kegiatan penangkaran padi pada lahan
UPBS dilakukan dengan pendekatan 2 komponen
teknologi utama yaitu Teknologi Pengelolaan
Tanaman Terpadu (PTT) dan Kalender Tanam
(KATAM). Komponen PTT dan teknologi yang
diterapkan disajikan pada Tabel 1.
Tahapan budidaya padi diawali dengan
penyiapan lahan. Secara umum pengolahan tanah
meliputi 3 fase, yaitu (1) Penggenangan tanah
sawah sampai tanah jenuh air, (2) Pembajakan
sebagai awal pemecahan bongkah dan membalik
tanah, dan (3) Penggaruan untuk menghancurkan
dan melumpurkan tanah. Ketiga fase pengolahan
tanah tersebut menggunakan 1/3 kebutuhan air dari
total kebutuhan air selama pertumbuhan tanaman.
Pengolahan tanah dengan cara basah yaitu tanah
sawah dibajak dalam keadaan basah serta digaru
memanjang dan menyilang sampai tanah
melumpur dengan baik. Pengolahan tanah paling
lambat 15 hari sebelum pemindahan bibit.
120
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:11-19
Penanaman dilakukan pada saat bibit
masih muda yaitu pada umur < 21 hari setelah
semai. Sistem tanam yang digunakan adalah sistem
tanam jajar legowo (Jarwo) 2 : 1. Manfaat yang
dapat diperoleh petani dengan menggunakan
sistem tanam jarwo, antara lain semua barisan
rumpun tanaman berada pada bagian pinggir yang
biasanya memberi hasil lebih tinggi (efek tanaman
pinggir), serta memberikan kesempatan yang sama
pada setiap tanaman dalam memperoleh sinar
matahari. Dengan demikian, pertumbuhan tanaman
lebih baik dan serempak. Pertumbuhan tanaman
yang baik tersebut dapat meningkatkan
produktivitas tanaman. Berbeda dengan sistem
tanam tegel yang barisan tanamannya rapat,
sehingga ketika tanaman padi sudah mulai tinggi
dan besar, tanaman yang berada ditengah kurang
mendapatkan sinar matahari sehingga pertumbuhan
tidak serempak.
Pengendalian hama, penyakit dan gulma
lebih mudah. Dengan sistem tanam jarwo, pangkal
tanaman tidak ternaungi karena sinar matahari
langsung dapat menyinari bagian pangkal tanaman.
Dengan keadaan seperti demikian, hama/penyakit
dan gulma yang dapat hidup dalam suasana lembab
seperti wereng dapat ditekan keberadaannya.
Penggunaan pupuk lebih berdaya guna.
Pemberian pupuk yang dilakukan pada sistem
tanam jarwo yaitu pupuk hanya ditaburkan
ditengah barisan antara tanaman. Jika pupuk
diberikan dengan cara ditaburkan di atas tanaman
seperti yang biasa petani lakukan justru membuat
pupuk banyak yang menempel pada tengah batang
tanaman, sehingga pupuk yang diperlukan lebih
banyak. Selainitu, pemberian pupuk dengan sistem
legowo dapat menghambat pertumbuhan gulma
karena pupuk hanya diberikan ditengah baris
dalam pertanaman saja, sedangkan pada baris
legowonya tidak. Dengan demikian gulma yang
berada di sekitar baris legowo pertumbuhannya
tidak terlalu pesat karena kurang menyerap pupuk.
Pemeliharaan pertanaman padi meliputi
pemupukan, pengendalian gulma, pengairan dan
pengendalian hama/penyakit. Pemupukan dibagi
menjadi tiga tahap. Pemupukan pertama diberikan
pada saat umur tanaman 7-14 hst. Pada saat itu
perakaran tanaman padi sudah mulai berkembang
Tabel 1. Komponen PTT dan teknologi yang diterapkan pada kegiatan penangkaran UPBS BPTP Bengkulu
tahun 2017.
No Komponen PTT Teknologi Yang Diterapkan
1 Varietas Unggul Baru Inpari 6, Inpari 30, Inpari 23, Inpari 32, dan Situ
Bagendit
2 Bibit bermutu dan sehat Kelas benih FS (label putih)
3 Pengaturan cara tanam (jajar legowo) Legowo 2:1 dengan jarak tanam (20 cm – 40 cm) x
10 cm.
4 Penggunaan bibit muda Umur kurang dari 21 hari setelah semai
5 Jumlah bibit per lubang 1-3 batang
6 Pemupukan berimbang dan efisien
menggunakan PUTS dan Rekomendasi
Katam
Rekomendasi Kalender Tanam:
Kecamatan Talo Kecil: NPK Phonska 350 kg/ha dan
Urea 100 kg/ha. Kota Bengkulu: Urea 250 kg, TSP
100 kg, KCl 50 kg
7 Pengendalian hama dan penyakit
tanaman
Terpadu
8 Pengolahan Tanah Olah tanah sempurna (maximum tillage)
9 Pengelolaan air Berselang (intermitten)
10 Penanganan panen dan pascapanen Tepat waktu dan segera dirontok
121 Produksi dan Pola Distribusi Benih Sumber Padi UPBS di Provinsi Bengkulu (Yahumri,
Yuliasari, S., Artanti, H.dan Musaddad, D)
dan siap menghisap pupuk yang diberikan walau
dalam jumlah sedikit. Pemupukan kedua pada saat
umur tanaman 21-28 hst dan pemupukan ketiga
pada saat 35-40 hst. Rekomendasi dosis
pemupukan ditentukan berdasarkan hasil analisis
tanah awal dan pendekatan Kalender Tanam
(KATAM). Rekomendasi pemupukan di
Kecamatan Talo Kecil Kabupaten Seluma adalah
NPK 350 kg/ha, Urea 50 kg/ha, dan Za 50 kg/ha,
sedangkan di Kecamatan Sungai Serut Kota
Bengkulu Urea 250 kg/ha, TSP 100 kg/ha dan KCl
50 kg/ha.
Pengumpulan data primer yang terdiri dari
data produksi dan distribusi benih sumber ke
pengguna. Data produksi diperoleh dari hasil riil
dalam bentuk Gabah Kering Panen (GKP)
berdasarkan luas masing-masing varietas yang
ditanam, dikumpulkan dari petani kooperator. Data
Distribusi diperoleh dari data base yang ada di
UPBS BPTP Balitbangtan Bengkulu. Selanjutnya
data primer ditabulasi dan dianalisis secara
proporsional berdasarkan persentase. Untuk
menjawab tujuan yang ingin dicapai dilakukan
analisis deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada umur pertanaman padi sekitar 45-50
hst telah dilakukan pemeriksaan lapang (roguing
tahap I) dengan melibatkan petugas lapang BPSB-
TPH. Hasil pengamatan yang dilakukan terhadap
masing-masing varietas padi di lahan penangkaran
di Desa Taba Kecamatan Talo Kecil Kabupaten
Seluma dan Kelurahan Semarang kecamatan
Sungai Serut Kota Bengkulu disajikan pada Tabel
2.
Tabel 2. Hasil pengamatan OPT pada tanaman padi di lahan penangkaran
Varietas Serangan Hama dan
Penyakit Tanaman
Tingkat
Serangan
Tindakan yang dilakukan
Inpari 23 Tikus
Hawar daun jingga
Sedang
Sedang
Dibasmi dengan racun, belum
sistematis perlu pengendalian serius
Dilakukan penyemprotan
Inpari 30 Ulat daun Ringan Dilakukan penyemprotan
Inpari 6 Tidak ada serangan - -
Situbagendit Hawar daun jingga Sedang Dilakukan penyemprotan
Inpari 32 Tikus dan burung Sedang Tikus dibasmi dengan racun, belum
sistematis perlu pengendalian serius
Tabel 3. Jumlah produksi dan bagi hasil benih padi kegiatan UPBS Tahun 2017
No. Varietas Luas
Penangkaran
(ha)
Jumlah produksi
riil
(kg GKP)
Bagi Hasil yang
diterima UPBS
(kg GKP)
Persentase
Bagi Hasil
(%)
1. Inpari 32 0,84 1.728 1.248 72,22
2. Inpari 6 1,00 3.360 629 18,72
3. Inpari 23 1,90 4.700 1.122 23,87
4. Inpari 30 1,08 2.640 368 13,94
5. Situ Bagendit 2,06 3.300 788 23,88
4.155
Sumber : Data primer, 2017.
122
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:11-19
Hawar daun bakteri (HBD) merupakan
penyakit bakteri yang tersebar luas dan
menurunkan hasil sampai 36%. Penyakit terjadi
pada saat musim hujan atau musim kemarau yang
basah, terutama pada lahan sawah yang selalu
tergenang, dan dipupuk N tinggi (> 250 kg
Urea/ha). Hawar merupakan gejala yang paling
umum pada tanaman yang telah mencapai fase
tumbuh dan sampai fase pemasakan. Gejala
diawali dengan timbulnya bercak abu-abu
(kekuningan) umumnya pada tepi daun. Dalam
perkembangannya gejala meluas, membentuk
hawar, dan akhirnya daun mengering. Dalam
keadaan lembab (terutama pagi hari), kelompok
bakteri, berupa butiran berwarna kuning keemasan,
dapat dengan mudah ditemukan pada daun-daun
yang menunjukkan gejala hawar. Dengan bantuan
angin, gesekkan antar daun, dan percikan air hujan,
massa bakteri ini berfungsi sebagai alat penyebar
penyakit HDB. Saran yang diberikan kepada petani
adalah untuk mengurangi penggunaan urea, serta
menerapkan sistem pengairan intermitten (genang-
kering) sehingga kelembaban yang terjadi di
bagian bawah tanaman dapat berkurang.
Penyakit HDB secara efektif dikendalikan
dengan varietas tahan; pemupukan lengkap; dan
pengaturan air. Untuk daerah-daerah yang endemis
penyakit HDB, tanam varietas tahan seperti code
dan angke dan gunakan pupuk NPK dalam dosis
yang tepat. Bila memungkinkan, hindari
penggenangan yang terus menerus, misalkan 1 hari
digenangi dan 3 hari dikeringkan. Salah satu
keunggulan dari padi varietas Inpari 6, 23, dan 30
adalah daun yang tegak sehingga seluruh batang
tanaman dapat terkena sinar matahari yang
menyebabkan kelembaban di area bawah tanaman
sedikit saja.
Penyakit ini dikendalikan melalui
penanaman varietas tahan secara bergantian untuk
mengantisipasi perubahan ras blas yang sangat
cepat, dan pemupukan NPK yang tepat.
Penanaman dalam waktu yang tepat dan perlakuan
benih dapat pula diupay. Bila diperlukan dapat
menggunakan fungisida yang berbahan aktif metil
tiofanat, fosdifen, atau kasugamisin.
Proses produksi benih UPBS tahun 2017
yang dilaksanakan di Kabupaten Seluma dan Kota
Bengkulu memberikan hasil benih padi VUB
dengan kelas benih SS sebanyak 3.530 kg atau
50,43% dibandingkan target produksi sebanyak 7
ton. Rendahnya produksi benih tersebut
disebabkan beberapa spot pertanaman diserang
oleh hama tikus dan mengalami kekeringan, karena
debit air pada saluran irigasi sangat kecil akibat
musim kemarau sehingga air tidak dapat mencapai
lokasi lahan pertanaman padi. Direktorat
Perlindungan Tanaman Pangan (2015) melaporkan
bahwa 445.001 ha sawah terserang OPT dan 2.424
ha mengalami gagal panen. OPT menyebabkan
kehilangan hasil antara 24-41% (Savary dan
Willocquet 2000; Sparks et al. 2012) atau rata-rata
37% (Sparks et al. 2012). Tanaman yang
mengalami kekeringan pada fase pertumbuhan
vegetatif maun generatif juga dapat menurunkan
produksi tanaman padi yang ditangkarkan. Kondisi
ini dikarenakan pada saat padi ditanam bulan
periode April-September, dimana pada kondisi
tersebut tanaman mengalami kekeringan, menurut
Kamandalu, et al. (2010)
Tabel 4. Produksi benih sumber padi VUB melalui kegiatan UPBS BPTP Balitbangtan Bengkulu tahun 2017.
No. Varietas Kelas Benih Jumlah
(kg GKG)
1. Inpari 32 SS 1.035
2. Inpari 6 SS 555
3. Inpari 23 SS 930
4. Inpari 30 SS 310
5. Situ Bagendit SS 700
Jumlah (Kg GKG) 3.530
Sumber : Data primer, 2017
123 Produksi dan Pola Distribusi Benih Sumber Padi UPBS di Provinsi Bengkulu (Yahumri,
Yuliasari, S., Artanti, H.dan Musaddad, D)
Tab
el 5. R
incian
pen
distrib
usian
VU
B p
adi U
PB
S B
PT
P B
engkulu
tahun 2
016
-2017.
Varietas
Tah
un
Pro
duksi
Kelas
Ben
ih
Jum
lah y
ang d
iko
mersialisasik
an
Jum
lah y
ang d
iberik
an d
alam b
entu
k b
antu
an
Pen
gguna
Jum
lah
(kg)
Pen
gguna
Jum
lah (k
g)
Inpari 3
0
2016
FS
Kelo
mpo
k T
ani
K
egiatan
Disp
lay V
UB
pad
i di K
abupaten
Selu
ma
995
185
K
elom
po
k T
ani M
ekar
Sari M
uko
mu
ko d
an
Kep
ahian
g
M
ahasiw
a Univ
ersitas
Ben
gkulu
D
inas P
ertanian
Kab
up
aten L
ebo
ng
150
15
2.0
00
Inpari 6
2016
FS
Kelo
mpo
k T
ani d
i Kota
Ben
gkulu
K
egiatan
Disp
lay V
UB
pad
i di K
abupaten
Selu
ma
40
95
K
elom
po
k T
ani d
i
Kab
up
aten S
elum
a
M
ahasiw
a Univ
ersitas
Ben
gkulu
50
5
Giliran
g
2016
FS
Kelo
mpo
k T
ani d
i Kab
upaten
Selu
ma
95
- -
Situ
Bag
endit
2016
FS
Kelo
mpo
k T
ani d
i Kota
Ben
gkulu
, Kab
upaten
Ben
gkulu
Ten
gah
dan
Ben
gkulu
Utara
K
egiatan
Disp
lay V
UB
pad
i di K
abupaten
Selu
ma d
alam ran
gka
pen
ingkatan
IP P
adi
185
125
M
ahasiw
a Univ
ersitas
Ben
gkulu
B
alai Ben
ih K
abupaten
Leb
on
g
D
inas P
ertanian
Kab
up
aten L
ebo
ng
5
210
239
Ju
mla
h
1.7
20
2.6
74
Inpari 3
2
2017
SS
Kelo
mpo
k T
ani d
i Kota B
engkulu
,
Kab
upaten
Ben
gkulu
Ten
gah
,
Muko
mu
ko d
an B
engkulu
Selatan
1.0
35
-
-
Inpari 6
2017
SS
- -
- -
Inpari 2
3
2017
SS
-
- -
-
Inpari 3
0
2017
SS
-
- -
-
Situ
Bag
endit
2017
SS
-
- -
-
Ju
mla
h
1.0
35
-
Sum
ber: D
ata prim
er, 20
17.
124
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:11-19
kondisi kekeringan pada fase generative dapat
berpengaruh terhadap kehampaan gabah dan hasil
akhir, sehingga bobot 1000 butir gabah lebih
rendah dibandingkan yang dicapai BB Padi
(Suprihatno et al., 2011).
Selain itu, penerapan sistem kerjasama
bagi hasil semakin memperkecil jumlah bagi hasil
yang diterima oleh UPBS. Produksi benih sumber
padi melalui kegiatan UPBS BPTP tahun 2017
disajikan pada Tabel 3.
Kegiatan yang dapat dilakukan untuk
promosi dan distribusi hasil benih UPBS BPTP
Bengkulu, antara lain (1) Melakukan promosi
benih bersama dengan Dinas, penangkar, penjual
beras dan masyarakat (2) Pemberian bantuan benih
kepada petani melalui dinas pertanian
kabupaten/kota dan/atau badan pelaksana
penyuluhan pertanian kabupaten/kota setempat
untuk dimanfaatkan dalam kegiatan uji adaptasi
varietas, demonstrasi benih unggul (dembul),
demplot, display varietas unggul baru (VUB), kaji
terap varietas unggul, dan sebagainya, dan (3)
Monitoring oleh UPBS dalam hal pemanfaatan
benih bantuan perlu dilakukan agar tepat sasaran.
Jumlah benih sumber yang telah didistribusikan
oleh UPBS BPTP Bengkulu pada tahun 2017
meliputi benih produksi Tahun 2016 sebanyak
1.720 kg (21,46%) melalui komersialisasi dan
2.674 kg (33,36%) melalui pemberian bantuan,
serta benih produksi Tahun 2017 sebanyak 1.035
kg melalui komersialisasi. Benih produksi Tahun
2017 sebanyak 1.035 kg tersebut mampu
mencukupi kebutuhan benih padi sawah irigasi
seluas 25.875 Ha yang tersebar di beberapa
Kabupaten/Kota di Provinsi Bengkulu, antara lain
Kota bengkulu, Kabupaten Bengkulu Tengah,
Bengkulu Selatan, Mukomuko dan Lebong.
Rincian pendistribusian dan stok benih padi VUB
UPBS BPTP Bengkulu per 31 Desember 2017
disajikan pada Tabel 5.
KESIMPULAN
Produksi benih sumber UPBS yang
dilaksanakan di Kabupaten Seluma dan Kota
Bengkulu berhasil memproduksi benih padi VUB
dengan kelas benih SS. Varietas benih yang
dihasilkan meliputi Inpari 32, Inpari 6 Inpari 23,
Inpari 30 dan Situ Bagendit
Pola distribusi benih sumber padi
UPBS di Provinsi Bengkulu dilakukan melalui dua
cara, yaitu Pertama, pola komersialisasi dan Kedua
dengan pola bantuan. Benih UPBS yang
didistribusikan adalah meliputi produksi benih
tahun 2016 dan tahun 2017.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
atas pembiayaan yang diberikan melalui program
kerjasama (KKP3SL) TA. 2016 pada kegiatan
Kajian Efisiensi Usahatani Bawang Merah Menuju
Ramah Lingkungan di Jawa Tengah. Ucapan
terimakasih juga disampaikan kepada: 1) Dr.
Bambang Prayudi yang telah purna tugas atas
segala bimbingan dan masukan selama
pelaksanaan kegiatan, dan 2) Prof. Suwandi dari
Balitsa dan S. Endang Ambarwati, SP., MSi atas
kerjasama selama pelaksanaan kegiatan di
Kabupaten Demak.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian. 2013. Petunjuk
Pelaksanaan UPBS. Balai Besar Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Bogor.
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2015.
Laporan Kinerja Tahun 2014. Direktorat
Perlindungan Tanaman Pangan, Ditjen
125 Produksi dan Pola Distribusi Benih Sumber Padi UPBS di Provinsi Bengkulu (Yahumri,
Yuliasari, S., Artanti, H.dan Musaddad, D)
Tanaman Pangan Kementerian Pertanian,
Jakarta.
Direktorat Perbenihan Tanaman Pangan. 20015.
Kebijakan dan Strategi Pengembangan
Perbenihan Tanaman Pangan. Jakarta:
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.
Kamandalu, Suryawan, dan H.M. Toha. 2010.
Produktivitas beberapa varietas unggul baru
padi melalui pendekatan pengelolaan
tanaman dan sumberdaya terpadu. Proseding
Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi,
Balai Besar Peneltian Tanaman Padi-
Sukamandi. Buku 2: 539-548.
Nugraha, U.S. 2013. Perkembangan industri dan
kelembagaan perbenihan padi. 30p.
Nugraha, U.S, Sri Wahyuni, M.Y. Samaullah, dan
A. Ruskandar. 2007. Perbenihan di
Indonesia. Prosiding Hasil Penelitian Padi
Tahun 2007. Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi. Subang – Jawa Barat.
Saryoko, A. 2009. Kajian Pendekatan Penanda
Padi (Rice Check) di Provinsi Banten.
Widyariset 12(2):43-52.
Savary, S. and L. Willocquet. 2000. Rice pest
constraints in tropical Asia: quantification of
yield losses due to rice pests in a range of
production situations. Plant Dis. 84(3): 357-
369.
Suparman, 2016. Kajian Produksi Benih Sumber
Padi UPBS BPTP Kalimantan Tengah.
Prosiding Seminar Nasional Inovasi
Teknologi Pertanian. Banjarbaru. Hal: 423-
428.
Supriatna, A., J. Mulyono, dan Zakiah. 2011.
Percepatan Pengembangan Varietas Unggul
Baru Padi melalui Unit Pengelola Benih
Sumber. Iptek Tanaman Pangan Vol. 6 (2):
203-216.
Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Baehaki
S.E., Suprihanto, A. Setyono, S.D. Indrasari,
I.P Wardana, dan H. Sembiring. 2010.
Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi-Jawa
Barat.
Suprihatno B., A.A. Daradjat, Satoto, Baehaki,
S.E., I.P. Wardana, Suwarno, S. Dewi
Indrasari, E. Lubis, dan M.J. Mejaya. 2011.
Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar
Tanaman Padi. Sukamandi-Jawa Barat.
Sparks, A., A. Nelson, and N. Castilla. 2012.
Where rice pests and diseases do the most
damage. Rice Today Oct-Nov 2012.
International Rice Research Institute,
Philippines.
Yusuf, R. 2012. Kajian Teknologi Perbanyakan
Benih Unggul Padi Sawah Spesifik Lokasi
di Kabupaten Rokan Hulu. Prosiding
Seminar UR-UKM ke-7. ”Optimalisasi Riset
Sains dan Teknologi Dalam Pembangunan
Berkelanjutan”. Universitas Riau. Hal.:
174-176.
Wahyuni, S. 2011. Teknik Produksi Benih Sumber
Padi. Makalah disampaikan dalam
Workshop Evaluasi Kegiatan Pendampingan
SL-PTT 2001 dan Koordinasi UPBS 2012
tanggal 28-29 November 2011. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi.
126
127 Prospek Pengembangan Microgreen Dalam Mendukung Pertanian Perkotaan di Jakarta
(Iskandar Zulkarnaen dan Ana Feronika Cindra Irawati)
PROSPEK PENGEMBANGAN MICROGREEN DALAM MENDUKUNG PERTANIAN PERKOTAAN DI JAKARTA
Iskandar Zulkarnaen dan Ana Feronika Cindra Irawati Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jakarta
Jalan Raya Ragunan No.30, Jatipadang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan
E-mail : [email protected]
ABSTRACT
Microgreens Occasion Development to Support Jakarta’s Urban Farming. Microgreens are
vegetables, herbs or other plant consumed at very early stage when the cotyledon fully grown or true leaves not
shown up yet. Purpose of this review are to discover occasion development and some cultivation components of
microgreen appropriate to develop on urban area like Jakarta. This review explained key value and classification,
commodity, microgreen existing condition in Jakarta, household and commercial scale development of microgreens
also nutritional value between microgreens and plant that grown conventionally. This review also describe
cultivation technique in some countries that have already developed it. Generally, microgreens has great potential
and compatible to grown in Jakarta. However, there are still needs some action to develop microgreens such as food
safety counseling, local seeds production that free of hazardous chemicals and research about adaptive commodities
and how significant microgreens can affect nutrition and public health.
Keywords: microgreens, narrow land, sprouts, urban farming
ABSTRAK
Microgreen adalah tanaman sayuran, tanaman rempah atau tanaman lainnya yang dikonsumsi saat masih berumur
sangat muda yaitu saat kotiledon tanaman sudah berkembang sempurna atau saat daun sejati belum muncul (tinggi
tanaman 5 - 10 cm). Ulasan ini dlakukan untuk mengetahui prospek pengembangan dan teknologi budi daya
microgreen yang sesuai untuk dikembangkan di perkotaan khususnya daerah Jakarta. Ulasan ini menjelaskan
tentang definisi dan klasifikasi, komoditas, kondisi microgreen di Jakarta saat ini, pengembangan skala rumah
tangga dan komersial serta perbandingan nilai gizi microgreen dengan tanaman yang dibudidayakan secara
konvensional. Ulasan ini juga menjelaskan teknologi budi daya microgreen yang berkembang di beberapa negara
yang sudah lebih dulu mengembangkannya. Secara umum, microgreen cocok dan memiliki potensi yang besar
untuk dikembangkan di Jakarta namun masih perlu dilakukan beberapa kegiatan untuk melakukan pengembangan
microgreen seperti sosialisasi microgreen dan keamanan pangannya, produksi benih bebas bahan kimia berbahaya
di dalam negeri dan penelitian mengenai komoditas yang adaptif dan seberapa signifikan microgreen dapat
memengaruhi tingkat gizi dan kesehatan masyarakat.
Kata kunci: kecambah, lahan sempit, microgreen, pertanian perkotaan
128 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:127-135
PENDAHULUAN
Penyediaan buah dan sayur yang sehat
dengan nilai gizi yang seimbang dapat diupayakan
dengan budi daya tanaman yang dipanen saat
masih kecambah atau sering disebut dengan
microgreen. Microgreen adalah tanaman sayuran,
tanaman rempah atau tanaman lainnya yang
dikonsumsi saat masih berumur sangat muda yaitu
saat kotiledon tanaman sudah berkembang
sempurna atau saat daun sejati belum muncul
(tinggi tanaman 5-10 cm). Microgreen dikenal
karena variasi warna yang menarik, cita rasa yang
kuat dan mengandung senyawa bioaktif yang lebih
tinggi baik dari segi vitamin, mineral dan
antioksidan (Kou et al., 2013; Sun et al., 2013)
Menurut Waterland (2017), pada tanaman Kubis
hijau terdapat perbedaan signifikan pada total
kandungan mineral (K, Ca, Mg, P, Na, Fe, Mn, Zn
dan Cu) antara tanaman microgreen yang dipanen
saat kotiledon berkembang sempurna dan saat
memiliki 2 (dua) daun sejati dengan tanaman
dewasa yang dipanen pada saat terdapat 8
(delapan) atau lebih daun sejati. Pada penelitian
tersebut, tanaman microgreen yang dipanen saat
kotiledon berkembang sempurna dan memiliki 2
(dua) daun sejati mengandung ±17-18 %
kandungan mineral dari bobot keringnya,
sedangkan pada tanaman dewasa kandungan
mineral yang terkandung hanya ±5%. Hasil panen
microgreen umumnya diolah menjadi salad atau
pelengkap hidangan utama. Pemenuhan kebutuhan
microgreen di Jakarta disuplai dari daerah sekitar
Jakarta seperti Bekasi dan Bogor. Pelaku usaha
microgreen di Bekasi dan Bogor ini umumnya ada
pada skala komersial yang tujuan melakukan budi
daya untuk dijual bukan untuk dikonsumsi sendiri
seperti usaha skala rumah tangga.
Provinsi DKI Jakarta dengan luasan lahan
pertanian 1.137 ha yang hanya 0,008% dari luasan
lahan pertanian nasional di tahun 2015 (BPS,
2018), budi daya microgreen merupakan salah satu
solusi untuk melakukan budi daya berbagai
tanaman sayur, rempah ataupun tanaman lainnya
untuk daerah dengan lahan pertanian yang sangat
terbatas. budi daya microgreen dapat dilakukan di
pekarangan bahkan dalam rumah. Selain
pemeliharaan yang cukup praktis, teknik budi daya
ini juga hanya memerlukan waktu yang relatif
singkat. Tanaman microgeen ini tidak memerlukan
pengendalian hama menggunakan bahan kimia
yang berbahaya karena tanaman microgreen
umumnya dipanen pada umur tanaman yang sangat
muda sehingga tanaman microgreen ini aman
dikonsumsi serta bebas dari pestisida kimia
sintetik. Tujuan dari ulasan ini adalah untuk
mengetahui prospek pengembangan dan teknologi
budi daya microgreen yang sesuai untuk
dikembangkan di perkotaan khususnya daerah
Jakarta.
PROSPEK PENGEMBANGAN
MICROGREEN
Microgreen
Microgreen adalah tanaman yang dipanen
muda dan biasanya digunakan sebagai pelengkap
untuk memperindah warna dan memperkaya cita
rasa salad maupun sebagai garnish berbagai
macam hidangan utama. Berdasarkan ukuran dan
umurnya, terdapat 3 (tiga) klasifikasi tanaman
yang dipanen berumur muda yaitu: kecambah,
microgreen dan baby green. Kecambah adalah fase
yang paling muda dengan ukuran yang paling
kecil. Microgreen berukuran lebih besar
dibandingkan kecambah dan berumur lebih tua,
sedangkan baby green adalah yang berukuran
terbesar dan tertua di antara tanaman yang dipanen
muda. Microgreen dipanen saat sebelum tumbuh
daun sejati, sedangkan baby green dipanen setelah
tumbuh daun sejati. Microgreen dan baby green
sebenarnya tidak memiliki definisi baku dalam
penggunaannya. Microgreen dan baby green
merupakan istilah pasar yang berkembang di
lapangan untuk menjelaskan perbedaan fase dalam
waktu pemanenan tanaman (Treadwell et al.,
2010).
Jenis tanaman yang dikembangkan untuk
budi daya microgreen cukup bervariasi. Treadwell
et al. (2010) melaporkan terdapat sebanyak 80-100
jenis tanaman yang telah dicoba sebagai tanaman
129 Prospek Pengembangan Microgreen Dalam Mendukung Pertanian Perkotaan di Jakarta
(Iskandar Zulkarnaen dan Ana Feronika Cindra Irawati)
microgreen, antara lain: wortel, selada air, arugula,
basil, bawang lokio, adas, serai, jagung berondong,
soba, dan seledri. Komoditas yang benihnya
mudah dikecambahkan antara lain: kubis, bit,
bunga kol, mizuna, mustar, lobak, swiss chard dan
berbagai jenis bayam. Pada beberapa jenis bit,
benih disarankan untuk direndam terlebih dulu
untuk membantu proses perkecambahan
(Treadwell et al. 2010). Pengembangan
microgreen memiliki fokus untuk mendapatkan
kandungan mineral yang lebih tinggi untuk volume
dan bobot yang sama pada tanaman dewasa
(Weber, 2016). Selain untuk mendapatkan tanaman
yang kaya akan mineral, pengembangan
microgreen juga dilakukan untuk mempersingkat
waktu produksi dan mengurangi biaya produksi
(Murphy dan Pill, 2010)
Microgreen di Jakarta saat ini
Penggunaan microgreen sebagai bahan
makanan sudah cukup dikenal pada beberapa hotel,
restoran dan kafe di Jakarta namun secara umum
masih banyak masyarakat yang belum
mengenalnya. Microgreen umumnya digunakan
sebagai bahan baku salad atau bahan pelengkap
dari makanan utama. Kebutuhan microgreen untuk
daerah Jakarta saat ini masih disuplai dari daerah
Gambar 1. Contoh beberapa komoditas tanaman microgreen yang dikembangkan (berurutan dari kiri ke
kanan) adas/fennel; arugula; mizuna; dan soba/buckwheat
(Sumber : (berurutan dari kiri ke kanan) woolworths.co.au; medicalnewstoday.com; specialityproduce.com; dan
123RF.com)
Gambar 2. Microgreen sebagai bahan baku salad
(Sumber : vegetariantimes.com)
130 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:127-135
di luar Jakarta seperti Bekasi, Bogor bahkan dari
Bandung. Microgreen memiliki pangsa pasar
khusus namun kontinyu. Microgreen sebagian
besar distribusikan ke hotel, restoran dan kafe.
Menurut Ramadhiani A., dalam Kompas (2018)
terdapat 815 hotel berbintang 4 dan 837 hotel
berbintang 5 di Jakarta. Jumlah hotel yang banyak
membuat usaha microgreen di Jakarta memiliki
potensi pasar yang sangat besar untuk terus
dikembangkan. Harga microgreen bervariasi
bergantung pada ukuran media tanam dan
komoditas yang digunakan. Salah satu pengusaha
microgreen yang ada di Bandung menjual
microgreen dengan harga Rp 25.000 – 35.000/pot
untuk microgreen komoditas tanaman sayuran dan
Rp 50.000/pot untuk microgreen komoditas
tanaman rempah. Harga yang cukup tinggi tentu
membuat microgreen memiliki potensi pasar untuk
diadopsi dan dikembangkan lebih lanjut lagi
karena sampai pada saat ini masih sedikit pelaku
usahanya terutama usaha skala rumah tangga.
Keamanan pangan menjadi hal yang
esensial dalam pengembangan microgreen. Saat ini
di Indonesia beberapa perusahaan benih
menggunakan lapisan fungisida, insktisida atau
bahan kimia berbahaya sejenisnya untuk
melindungi benih dari serangan hama dan penyakit
sedangkan pada benih curah yang umumnya tidak
berlabel tidak terdapat perlakuan pelapisan bahan
kimia pada benih. Tindak lanjut dari masalah
keamanan pangan tersebut adalah penyediaan
benih yang bebas dari bahan kimia berbahaya
untuk dikonsumsi manusia. Selain perlakuan
pelapisan bahan kimia pada benih, disebutkan oleh
ECO City Farms (2010) masalah keamanan pangan
pada microgreen antara lain kontaminasi bakteri
oleh manusia, kontak serangga dan hewan lainnya
dengan tanaman serta akibat penanganan pasca
panen yang tidak tepat.
Pengembangan microgreen skala rumah tangga
dan skala komersial
Pengembangan budi daya microgreen tidak
terbatas pada skala komersial saja, microgreen
juga dapat dikembangkan pada skala yang lebih
kecil seperti skala rumah tangga. Belum ada pelaku
usaha microgreen baik skala rumah tangga ataupun
skala komersial di Jakarta. Padahal Jakarta
merupakan wilayah dengan potensi tinggi untuk
pengembangan budi daya microgreen karena budi
daya microgreen ini dapat dilakukan di
pekarangan, lahan sempit lainnya atau bahkan di
dalam rumah dengan bantuan cahaya lampu.
Pengembangan microgreen skala rumah tangga
dapat menjadi sayuran yang kaya mineral serta
dapat menjadi penghasilan tambahan bagi keluarga
bila hasilnya dipasarkan. Budi daya microgreen
dalam skala rumah tangga dapat dilakukan secara
Gambar 2. Budi daya microgreen skala komersial
(Sumber : tmagazine.blogs.nytimes.com)
131 Prospek Pengembangan Microgreen Dalam Mendukung Pertanian Perkotaan di Jakarta
(Iskandar Zulkarnaen dan Ana Feronika Cindra Irawati)
Gambar 4. Grafik perbandingan kandungan beberapa unsur mineral antara microgreen dan tanaman dewasa
pada tanaman selada (g/kg)
(Sumber: Pinto et al., 2015; 40)
sesederhana mungkin. Alat dan bahan yang
digunakan dapat memanfaatkan barang alternatif
tidak harus sama seperti alat dan bahan yang
digunakan pada skala komersial. Misal
penggunaan wadah tidak harus menggunakan tray
khusus untuk microgreen, bekas kemasan brownies
ataupun wadah lain sejenis pun dapat digunakan.
Microgreen dalam skala usaha komersial
dan bisnis, dikenal dengan istilah “sweet”, “mild”,
“colorful” dan “spicy” yang mewakili beberapa
karakter dari microgreen. Warna yang unik dan
menarik menjadi salah satu faktor tingginya nilai
ekonomis dari tanaman ini (Treadwell et al., 2010).
Menurut Ebert et al. (2015), paduan dan kombinasi
berbagai komoditas ataupun variasi berbagai
varietas dalam satu komoditas dilakukan guna
mendapatkan rasa, warna dan tekstur yang lebih
beragam. Target pemasaran microgreen lebih
kepada koki restoran atau toko makanan mewah.
Secara umum microgreen dikemas menggunakan
wadah plastik dengan berbagai macam ukuran
mulai dari 100 g, 200 g, sampai dengan 500 g.
Sebagai pembanding dengan di Indonesia, harga
jual microgreen di Amerika Serikat mencapai US$
30-50 untuk ukuran ± 500 g. Penentuan fase dan
teknik pemanenan yang tepat merupakan kunci
keberhasilan dalam usaha microgreen skala
komersial. Pengusaha microgreen harus
menggunakan jenis tanaman dengan laju
pertumbuhan yang tidak jauh berbeda, sehingga
tanaman microgreen dapat langsung dipanen
secara bersamaan (Treadwell et al., 2010).
Kandungan gizi microgreen
Pekembangan budi daya microgreen terus
meluas karena pada beberapa penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya membuktikan bahwa
tanaman microgreen memiliki kandungan gizi
yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman
dewasa yang dikembangkan secara konvensional.
Penelitian yang dilakukan oleh Janovska et al.
(2010) pada tanaman soba membuktikan adanya
kandungan antioksidan pada tanaman yang
dibudidayakan secara microgreen, serta kandungan
yang tinggi untuk flavonoid, karotenoid dan α-
tocopherol. Pinto et al., (2015) pada penelitian
yang dilakukannya pada tanaman selada juga
menunjukan adanya perbedaan yang signifikan
untuk kandungan mineral pada selada yang
dipanen dewasa dan microgreen.
Penelitian terakhir yang dilakukan oleh
Weber CF (2017) pada tanaman brokoli pun
menunjukkan hasil yang tidak berbeda dengan
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Pada
penelitiannya, Weber CF (2017) menyatakan
bahwa tanaman brokoli dengan budi daya
microgreen memiliki kandungan P, K, Mg, Mn,
Zn, Fe, Ca, Na, dan Cu yang lebih tinggi
dibandingkan tanaman brokoli dewasa. Lebih dari
itu, Weber (2017) juga membandingkan beberapa
metode budi daya microgreen untuk mendapatkan
132 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:127-135
kandungan mineral yang paling optimal. Metode
yang dibandingkan adalah metode budi daya
microgreen yang ditumbuhkan pada (C) kompos,
(HFG) Hyrophonics FloraGro (NFT), dan (HW)
hanya menggunakan air.
TEKNOLOGI BUDI DAYA MICROGREEN
Media tanam
Budi daya microgreen dapat dilakukan
tanpa tanah sebagai media tanamnya. Microgreen
dapat tumbuh baik pada media tanam yang gembur
dan harus dalam kondisi yang steril. Pada skala
usaha komersial, media tanam yang digunakan
adalah media lembaran seperti tikar atau karung
yang dapat diangkat dengan mudah dari wadah
sehingga akan memudahkan proses panen.
Menurut Treadwell et al. (2010), media tanam
yang baik digunakan untuk microgreen adalah
peat, cocopeat, perlite dan vermiculite. Ketebalan
atau tinggi media tanam bervariasi antara 1,25-5
cm bergantung dari ukuran wadah yang digunakan.
Gambar 5. Grafik perbandingan metode budi daya microgreen yang ditumbuhkan pada (C) kompos, (HFG)
Hyrophonics FloraGro (NFT), dan (HW) hanya menggunakan air
(Sumber : Weber CF, 2017; 5)
Gambar 6. Jenis media tanam pada budi daya microgreen (kiri) cocopeat; (kanan) vermiculite; dan perlite
(Sumber : (kiri) http://hidroponikstore.com ; dan (kanan) https://www.vertigro.com
133 Prospek Pengembangan Microgreen Dalam Mendukung Pertanian Perkotaan di Jakarta
(Iskandar Zulkarnaen dan Ana Feronika Cindra Irawati)
Penggunaan benih
Hal yang harus dilakukan dalam memilih
benih yang akan digunakan adalah memilih benih
yang bebas dari perlakuan pestisida, fungisida
ataupun bahan yang berbahaya lainnya. Menurut
Ebert et al. (2015) benih yang berasal dari semi
domestikasi ataupun varietas liar umumnya
memiliki kandungan fitonutrien yang tinggi, rasa
yang enak dan tekstur yang lembut. Pada fase
penyemaian, khususnya terkait dengan kerapatan
benih yang akan ditanam, kerapatan benih akan
berbeda-beda berdasarkan komoditas yang akan
ditanam tetapi yang perlu diperhatikan bila
ditanam terlalu rapat akan meningkatkan
kemungkinan serangan penyakit (Treadwell et al.
2010) seperti serangan cendawan. Murphy dan Pill
(2010) melakukan penelitian dan mendapatkan
hasil kerapatan penyemaian benih yang tepat untuk
meningkatkan bobot segar microgreen arugula
secara optimal yaitu dengan penyebaran 55g/m2
benih arugula. Perlu dilakukan penelitian yang
lebih spesifik pada masing-masing komoditas guna
mendapatkan kerapatan penyemaian benih untuk
mendapatkan hasil yang optimal.
Pemeliharaan tanaman
Pemeliharaan pada tanaman microgreen
sangat sedikit bahkan tanpa dilakukan
pemeliharaan, karena umur panennya yang singkat.
Kebutuhan air pada tanaman microgreen dipenuhi
dengan pengairan sistem pengkabutan sampai
dengan benih berkecambah. Selanjutnya, air
diberikan melalui perendaman sebagian media
tanam untuk menghindari kelembapan bagian tajuk
yang terlalu tinggi (Treadwell et al., 2010).
Alternatif lainnya seperti pada penelitian yang
dilakukan Murphy & Pill (2010) pemberian air
juga dapat dilakukan dengan melembabkan 2 g
air/g bobot kering media tanam (vermiculite).
Murphy & Pill (2010) menyatakan pada tanaman
microgreen arugula penyediaan hara dilakukan
dengan memberikan 75-150 mg N/l sedangkan
menurut Treadwell et al., (2010) microgreen
secara umum dapat diberikan hara dengan
konsentrasi 80 ppm N dengan merendam wadah
selama 30 detik dalam larutan hara tersebut.
Panen dan pasca panen
Panen microgreen dapat dilakukan pada
saat tinggi tanaman ± 5 cm atau sekitar 7-21 hari
setelah penyemaian bergantung pada jenis tanaman
yang dibudidayakan. Panen dapat dilakukan
dengan menggunakan gunting, pisau elektrik dan
alat pemangkas lainnya yang telah disterilkan
terlebih dulu (Kou et al., 2013; Treadwell et al.,
2010). Kegiatan sterilisasi alat panen dilakukan
bertujuan menghindari kontaminasi mikroba pada
alat pemangkas. Microgreen harus segera
dibersihkan dan disimpan pada udara yang sejuk
sesegera mungkin setelah dilakukan pemanenan
(Treadwell et al., 2010). Menurut hasil penelitian
yang dilakukan Kou et al., (2013) mengenai pasca
panen tanaman microgreen soba, untuk menekan
peningkatan populasi mikroba diperlukan suhu
penyimpanan 1-10˚C. Selain dengan kontrol suhu,
peningkatan populasi mikroba dapat ditekan
dengan menambahkan Klorin (Cl) dengan
konsentrasi 100 mg/l. Peningkatan populasi
mikroba terjadi signifikan pada 7 (tujuh) hari
setelah masa penyimpanan pada tanaman
microgreen yang dicuci setelah panen (Kou et al.,
2013) sehingga setelah dilakukan pemanenan
sebaiknya microgreen tidak dicuci.
ARAH PENGEMBANGAN MICROGREEN
DI JAKARTA
Jumlah hotel dan restoran yang banyak dan
sistem budi daya microgreen yang sederhana dan
singkat membuat budi daya microgreen memiliki
potensi yang besar untuk dikembangkan di wilayah
Jakarta. Perlu dilakukan beberapa upaya untuk
kegiatan pengembangan microgreen ini.
Pemerintah daerah bekerjasama dengan pemerintah
pusat perlu melakukan sosialisasi dan penyuluhan
mengenai keamanan pangan. Sosialisasi dan
penyuluhan ini sangat penting dilakukan sehingga
pelaku usaha microgreen di Jakarta dapat
menyajikan pangan yang aman dikonsumsi oleh
masyarakat. Keamanan pangan yang dimaksud
mencakup benih yang bebas dari bahan kimia
berbahaya serta microgreen segar yang bebas dari
bakteri, jamur maupun virus, baik yang disebabkan
134 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:127-135
oleh serangan hama dan penyakit tanaman,
penanganan pasca panen yang tidak tepat maupun
teknik budi daya yang keliru (tumbuhnya jamur
akibat tajuk tanaman yang terlalu rapat dengan
kelembapan relatif yang tinggi).
Produksi benih bebas bahan kimia
berbahaya juga penting dilakukan sebab saat ini
pelaku usaha microgreen masih menggunakan
benih impor organik yang bebas bahan kimia
berbahaya dengan harga yang relatif tinggi.
Adanya benih bebas bahan kimia berbahaya yang
diproduksi dalam negeri tentu akan menambah
segmentasi pasar bagi produsen benih lokal, lebih
penting lagi produksi benih ini akan memancing
munculnya pelaku usaha microgreen baru sebab
akan menurunkan biaya produksi sehingga
keuntungan yang didapat menjadi lebih besar.
Kegiatan lain yang perlu dilakukan untuk
mendukung pengembangan microgreen ini adalah
penelitian mengenai komoditas lokal yang sesuai
untuk dikembangkan karena tidak semua
komoditas yang dikembangkan di luar negeri dapat
beradaptasi baik di Indoneia. Selanjutnya dapat
dilakukan penelitian mengenai berbagai komoditas
yang paling disukai masyarakat Indonesia sehingga
microgreen dibeli dan dikonsumsi masyarkat.
Penelitian mengenai kandungan mineral komoditas
lokal juga perlu dilakukan untuk mengetahui
kandungan mineral tanaman microgreen dan
sejauh apa pengaruhnya untuk meningkatkan gizi
dan kesehatan masyarakat.
Secara umum, microgreen cocok
dikembangkan di wilayah Jakarta yang memiliki
lahan pertanian yang sangat terbatas sebab
microgreen dapat dikembangkan pada lahan
sempit dan di dalam ruangan. Selain tidak
memerlukan area yang luas, budi daya microgreen
juga sederhana dan relatif singkat. Arah
pengembangan di Jakarta saat ini dilakukan dengan
pengenalan microgreen serta aspek keamanan
pangannya. Di samping itu juga dibutuhkan
penyediaan benih non-impor yang bebas bahan
kimia berbahaya serta penelitian mengenai
komoditas yang adaptif dan seberapa signifikan
microgreen dapat memengaruhi tingkat gizi dan
kesehatan masyarakat.
KESIMPULAN
Pengembangan budi daya microgreen di
Jakarta cukup prospektif, karena selain tidak
membutuhkan lahan pertanian yang luas, budi daya
microgreen memerlukan waktu yang relatif
singkat. Hasil panen tanaman microgreen dapat
disalurkan sebagai bahan baku salad ke berbagai
hotel, restoran dan kafe yang ada di wilayah
Jakarta. Perlu dilakukan beberapa kegiatan untuk
melakukan pengembangan microgreen seperti
sosialisai microgreen dan keamanan pangannya,
produksi benih bebas bahan kimia berbahaya di
dalam negeri dan penelitian mengenai komoditas
yang adaptif dan seberapa signifikan microgreen
dapat memengaruhi tingkat gizi dan kesehatan
masyarakat.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Dr. Sumedi, S.P., M.Si., dan Dr. Ana Feronika
Cindra Irawati, S.P., M.P., serta peneliti BPTP
Jakarta dan peneliti BBP2TP yang telah
memberikan informasi, saran dan masukan untuk
tulisan ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik. 2018. Luas Panen,
Produktivitas dan Produksi Tanaman
Pangan Menurut Provinsi (Dinamis).
https://www.bps.go.id/subject/53/tanaman-
pangan.html#subjekViewTab3 [26
November] 2018
Ebert AW. 2012. Sprouts, microgreens, and edible
flowers: the potential for high value
specialty produce in Asia [disampaikan
pada] SEAVEG2012 Regional Symposium,
24-26 January 2012
135 Prospek Pengembangan Microgreen Dalam Mendukung Pertanian Perkotaan di Jakarta
(Iskandar Zulkarnaen dan Ana Feronika Cindra Irawati)
Ebert AW, Wu TH, Yang RY. 2015. Amaranth
sprouts and microgreens – a homestead
vegetable production option to enhance food
and nutrition security in the ruralurban
continuum. [disampaikan pada] Conference:
Regional Symposium on Sustaining Small-
Scale Vegetable Production and Marketing
Systems for Food and Nutrition Security
(SEAVEG2014). Bangkok. Thailand
ECO City Farms. 2010. Guidelines for Growing
Microgreens. ECO City Farms. Maryland,
USA: p. 24
Janovska D, Stockova L, Stehno Z. 2010.
Evaluation of buckwheat sprouts as
microgreens. Acta Agriculturae Slovenica,
95 (2010) 2
Ramadhiani A,. 2018. Hotel Bintang 4 di Jakarta
Bertambah 815 Kamar. Kompas.
https://properti.kompas.com/read/2018/05/1
0/140000121/hotel-bintang-4-di-jakarta-
bertambah-815-kamar [27 November] 2018
Kou L, Luo Y, Yang T, Xiao Z, Turner ER, Lester
GE, Wang Q, Camp MJ. 2013. Postharvest
Biology, Quality and Shelf Life of
Buckwheat Microgreens. LWT – Food
Science and Technology. 51 (2013) 73-78
Murphy C, Pill W. 2010. Cultural practices to
speed the growth of microgreen arugula
(roquette; Eruca vesicaria subsp. sativa).
Journal of Horticultural Science &
Biotechnology. 85(3) 171–176
Pinto E, Almeida AA, Aguiar AA, Ferreira I. 2010.
Comparison between the mineral profile and
nitrate content of microgreens and mature
lettuces. Journal of Food Composition and
Analysis. 37 (2015) 38–43
Sun J, Xiao Z, Lin L, Lester GE, Wang Q, Harnly
JM, Chen P. 2013. Profiling Polyphenols in
Five BrassicaSpecies Microgreens by
UHPLC-PDA-ESI/HRMS. Journal of
Agricultural and Food Chemistry. 61,
10960−10970
Treadwell DD, Hochmuth R, Landrum L, Laughlin
W. 2010. Microgreens: A New Specialty
Crop. Horticultural Sciences Department,
Florida Cooperative Extension Service,
Institute of Food and Agricultural Sciences,
University of Florida
Waterland NL, Moon Y. 2017 Mineral Content
Differs among Microgreen, Baby Leaf, and
Adult Stages in Three Cultivars of Kale.
HortScience. 52(4):566–571
Weber CF. 2016. Nutrient Content of Cabbage and
Lettuce Microgreens Grown on
Vermicompost and Hydroponic Growing
Pads. J Hortic 2016, 3:4
Weber CF. 2017. Broccoli Microgreens: A
Mineral-rich crop That Can Diversify Food
Systems. Front. Nutr. 4:7
136 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:127-135
137 Potensi Dan Nilai Ekonomis Pemanfaatan Onggok Terfermentasisebagai Pakan Ayam Merawang Di
Bangka Belitung (SigitPuspito danSuharyanto)
PEMANFAATAN ONGGOK TERFERMENTASI SEBAGAI PAKAN AYAM MERAWANG DI BANGKA BELITUNG
Sigit Puspito dan Suharyanto Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung
Jl. Raya Mentok Km 4, Pangkal Pinang Bangka Belitung
Email : [email protected]
ABSTRACT
The Potential and Economic Value of Fermented Tapioca By-Product as Merawang Chicken Feed in
Bangka Belitung. This paper aimed to find out the potential and economic value of fermented tapioca by product
as merawang chicken feed. Merawang chicken is a local chicken of Bangka Belitung which has the potential as
dual purpose chicken as meet produser and egg produser. Tapioca by product has potential to become an alternative
feed source but constrained by low level of nutrition. One of the effort to improve the quality of tapioca by product
is by applying fermentation technology.Tapioka by product has been proven to increased productivity and eggs
quality in broiler and layer chicken and also have high economic value because it can substitute corn to level 20 %
in the ransum.
Keywords: economic value, fermented tapioka by product, merawang chicken, Bangka Belitung
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan nilai ekonomis onggok terfermentasi sebagai pakan ayam
merawang. Ayam merawang merupakan ayam lokal Bangka Belitung yang mempunyai potensi sebagai ayam
kampung dwiguna yaitu sebagai ayam pedaging sekaligus petelur. Onggok mempunyai potensi untuk menjadi
sumber pakan alternatife ayam merawang untuk memaksimalkan produktifitasnya tetapi terkendala dengan
nutrisinya yang rendah dan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas onggok adalah dengan menerapkan
teknologi fermentasi. Onggok terfermentasi telah terbukti dapat meningkatkan produktifitas dan kualitas telur pada
ayam pedaging dan ayam petelur dengan nilai ekonomis yang tinggi karena bisa mengantikan jagung sampai level
20 % dalam ransum.
Kata kunci: nilai ekonomis, onggok terfermentasi, ayam merawang, bangka belitung
138
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:137-145
PENDAHULUAN
Di wilayah Bangka Belitung usaha
peternakan belum menjadi perhatian para petani
yang tergambar dari pemenuhan kebutuhan hasil
ternak khususnya daging ayam masih dipenuhi dari
luar daerah yang tercermin dari produksi daging
ayam kampung tahun 2017 adalah sebesar 1.186
ton sedangkan konsumsi daging ayam sebesar
12.877 ton/tahun (BPS Bangka Belitung, 2018),
sehingga peluang pasar sektor peternakan
khususnya unggas masih besar di Bangka. Salah
satu potensi ternak yang bisa dikembangkan di
Bangka Belitung adalah Ayam Merawang
dikarenakan ayam tersebut adalah ayam lokal asli
Bangka Belitung dan merupakan kekayaan sumber
daya genetik lokal Bangka Belitung dengan
ditetapkannya SK Mentan No.
2846/Kpts./LB.430/8/2012. Ayam Merawang
berpotensi dikembangkan sebagai ayam dwiguna
yaitu sebagai ayam penghasil daging dan telur.
Saat ini budidaya ayam merawang di
Bangka Belitung masih tradisional dengan sistem
umbaran sehingga belum terkelola secara baik
terutama dalam hal manajeman pakan. Pakan
masih menjadi kendala karena biaya pakan
mencapai 76,16 % biaya produksi (Dewanti,
2012), sehingga jika mampu menekan biaya pakan
maka keuntungan akan semakin besar. Selain itu
dengan memperbaiki kualitas pakan dapat
meningkatkan produksi dari ternak dan juga
efisiensi pakan, hal ini sesuai dengan penelitian
Hasnelly et al., (2006) bahwa perbaikan kualitas
pakan pada pagi atau sore hari berpengaruh nyata
terhadap pertambahan berat badan dan
berpengaruh sangat nyata terhadap konsumsi
energi dan protein serta dapat meningkatkan
efisiensi penggunaan protein dan energi pakan
untuk pertumbuhan ayam merawang. Salah satu
usaha untuk meningkatkan efisiensi produksi
khususnya menyangkut pakan adalah mencari
sumber pakan alternatif dengan kualitas tinggi,
harga murah dan tidak bersaing dengan kebutuhan
manusia.
Sumber pakan alternatif yang bisa didapat
adalah dengan memanfaatkan limbah industri
pangan. Industri pangan yang saat ini sedang
berkembang adalah industri tapioka yang berbahan
dasar singkong. Pabrik tapioka di Bangka Belitung
cukup berkembang dan hampir tersebar di semua
kabupaten seperti di Bangka Barat, Bangka,
Bangka Selatan, dan di Belitung Timur. Industri ini
membutuhkan bahan baku berupa singkong.
Produksi singkong di Provinsi Bangka Belitung
mencapai kurang lebih 70.254 ton/tahun pada 2017
(BPS Babel, 2018) yang akan diolah menjadi
tepung tapioka yang merupakan bahan baku
berbagai olahan produk pangan.
Menurut Adnan et al., (2009) dalam
pengolahan singkong menjadi tepung tapioka akan
dihasilkan 145 ton tepung tapioka dan 175 ton
onggok dari 700 ton singkong. Jika dikonversikan
ke dalam prosentase akan dihasilkan 21 % tepung
tapioka dan 25% onggok dari jumlah kilogram
bahan baku berupa singkong.
Onggok yang dianggap mempunyai nilai
yang rendah dan kurang bermanfaat akan
mempunyai nilai lebih jika dimanfaatkan sebagai
pakan ayam merawang yang tentunya tidak kalah
dibandingkan dengan pakan komersial dalam hal
peningkatan produktifitas ternak tetapi masih
mempunyai keterbatasan berupa nilai nutrisi yang
rendah sehingga perlu ditingkatkan salah satunya
dengan teknologi fermentasi. Onggok
terfermentasi telah banyak dimanfaatkan sebagai
pakan terutama ayam yang beberapa penelitian
sudah membuktikan potensi onggok terfermentasi
tersebut (Irawati et al., 2016, Nuraini et al., 2008,
Supriyati et al., 2003).
Tujuan dari penulisan makalah ini untuk
mengetahui potensi onggok terfermentasi sebagai
bahan pakan alternatif ayam merawang untuk
memaksimalkan potensi ayam merawang sebagai
ayam dwiguna dengan dengan metode kajian
literature, mengolah data yang di keuluarkan BPS
dan melakukan pengamatan di peternakan ayam
merawang di 3 kabupaten yaitu Kota Pangkal
Pinang, Kab. Bangka, Kab Bangka Tengah.
139 Potensi Dan Nilai Ekonomis Pemanfaatan Onggok Terfermentasisebagai Pakan Ayam Merawang Di
Bangka Belitung (SigitPuspito danSuharyanto)
AYAM MERAWANG DI BANGKA
BELITUNG
Pertama kali Ayam Merawang dibawa
oleh penambang timah dari daratan Cina ke
Indonesia pada masa penjajahan Belanda
sekitar300 tahun lalu. Ayam Merawang merupakan
salah satu dari ayam lokal yang berasal dari spesies
Gallus-gallus, family Phasianidae (Nataamijaya
2010). Dalam perkembangannya ayam ini sudah
beradaptasi di daerah setempat sehingga ayam
Merawang menjadi ayam lokal yang berasal dari
Desa Merawang Kecamatan Merawang Kabupaten
Bangka, Propinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Ayam merawang mempunyai karakteristik warna
bulu coklat kemerahan (jantan) dan coklat (betina),
corak bulu baik jantan maupun betina dominan
polos sedangkan lurik hanya sebagian kecil saja
untuk betina. Pola warna bulu dominan columbian,
wama shank kuning sedangkan bentuk jengger
single comb baik ayam merawang jantan maupun
betina (Hidayat, et al., 2016).
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa
ayam merawang mempunyai keunggulan jika
dilihat dari prosentase karkas 63-65 % lebih tinggi
daripada ayam KUB dan mempunyai produksi
telur antara 125-150 butir/tahun lebih tinggi
dibanding ayam sentul dan ayam pelung.
Di peternak Bangka Belitung ayam
merawang di pelihara secara tradisional dengan
menggunakan pakan berupa campuran beberapa
bahan seperti dedak padi, jagung, dan konsentrat
komersial. Penyusunan ransum pakan ayam
merawang harus memperhatikan kebutuhan nutrisi
ayam merawang untuk menghasilkan produksi
yang maksimal. Menurut penelitian yang dilakukan
oleh Balitnak Ciawi, (2010) kebutuhan nutrisi
ayam buras pada umumnya adalah seperti pada
tabel 2.
Dengan mengacu kepada kebutuhan
tersebut di atas, penyusunan ransum ayam
merawang harus memperhatikan kebutuhan nutrisi
terutama kebutuhan energi metabolisme yang bisa
didapat dari pakan sumber karbohidrat dan
kebutuhan protein kasar yang didapat dari pakan
sumber protein. Salah satu sumber pakan tersebut
adalah onggok yang merupakan limbah dari
pengolahan tepung tapioka.
POTENSI UBI KAYU DAN ONGGOK
SEBAGAI PAKAN
Ubi kayu atau singkong di Bangka
Belitung mempunyai luas panen mencapai 2.228
ha dengan produksi mencapai 70.254 ton/tahun
Tabel 1. Tabel 1. Perbandingan ayam merawang dengan ayam kampung lainnya
Jenis Ayam Bobot Badan Prosentase Karkas Produksi Telur
Jantan (gr) Betina (gr) % Butir/tahun
Ayam Merawang 2291a 1342a 63-65b 125-150a
Ayam KUB 59-62c
Ayam Broiler - - 68-69d -
Ayam kampung 800 700 70-80g
Ayam Sentul 1300-3000 800-2200 50-53 % 118e
Ayam Pelung 119f
Sumber : a) Nuraini et al., (2016), b) Hidayat et al., (2016), c). Ayu, et al., (2016), d). Risnajati, 2012., e). Hidayat
et al., (2010), f). Setioko, et al., (2015) ,g). Iskandar, S. 2010.
140
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:137-145
pada 2017 atau produktifitasnya mencapai 31,54
ton/ha. Angka tersebut naik dibanding tahun 2015
yang hanya sebesar 61.471 ton bahkan ditahun
2014 produksinya 35.024 ton/tahun (BPS Babel,
2018). Kenaikan tersebut dipicu karena
berkembang pesatnya industri tapioka di Bangka
Belitung yang membutuhkan singkong sebagai
bahan baku utamanya. Dari pengolahan tapioka
tersebut menurut Adnan et al., (2009) dihasilkan
21 % tepung tapioka dan 25% onggok dari
jumlah kilogram bahan baku berupa singkong,
sehingga jika dikonversikan akan dihasilkan
tepung tapioka sebesar 14.753 ton/tahun dan
onggok sebesar 17.563 ton/tahun.
Tentunya produk utama berupa tepung
tapioka mempunyai nilai yang tinggi akan tetapi
akan timbul limbah hasil samping berupa onggok
dan jika tidak dimanfaatkan akan menimbulkan
masalah tersendiri seperti pencemaran lingkungan
dan dampak lainnya seperti dampak buruk sosial
ekonomi dari limbah (Liswati, 2010), bahkan
sampai pencemaran air sungai (Agustira, 2013).
Onggok yang merupakan limbah menurut beberapa
penelitian mempunyai potensi untuk digunakan
sebagai bahan penyusun pakan ayam sehingga jika
di manfaatkan sebagai pakan ayam merawang akan
mempunyai nilai lebih disamping mengurangi
dampak buruk tersebut.
Untuk melihat potensi keberlangsungan
onggok sebagai bahan pakan ayam merawang di
Bangka Belitung, kita terlebih dahulu perlu
mengetahui konsumsi pakan harian ayam
merawang. Menurut Nuraini et al., (2015)
pemberian pakan pada ayam merawang 120
gr/ekor/hari, jika dikonversikan dalam 1 tahun
membutuhkan pakan 43 kg/ekor/tahun.
Berdasarkan penelitian Nuraini et al., (2008)
penggunaan onggok terfermentasi sampai taraf 30
% dalam ransum, maka setiap ekor ayam akan
membutuhkan 13 kg onggok terfermentasi/tahun.
Dengan ketersediaan onggok sebesar 17.563
ton/tahun akan mampu memenuhi kebutuhan
1.351.000 ekor ayam merawang dalam setahun.
Dari perhitungan tersebut maka ketersediaan
onggok untuk dibuat onggok terfermentasi sebagai
bahan pakan ayam merawang mencukupi.
Tabel 2. Kebutuhan Nutrisi Ayam buras (ayam kampung)
Gizi pakan Umur (minggu)
0-12 12-18 >18
Energi metabolis, (kkal/kg) 2800 2800 2600
Kalsium, (%) 0.9 1 3.4
Fosfor tersedia, (%) 0,45 0,40 0,45
Protein kasar (%) 17 16 17
Metionin, (%) 0,37 0,21 0,30
Lisin, (%) 0,87 0,45 0,68
Sumber : Balitnak (2010)
Tabel 3. Kandungan nutrient Onggok tanpa fermentasi dan onggok fermentas
Nutrisi Tanpa Fermentasi Fermentasi
% BK
Protein Kasar 2.2 25,6
Karbohidrat 51.8 36.2
Abu 2.4 2.6
Serat Kasar 10.8 10.45
Sumber: Supriyati, (2003)
141 Potensi Dan Nilai Ekonomis Pemanfaatan Onggok Terfermentasisebagai Pakan Ayam Merawang Di
Bangka Belitung (SigitPuspito danSuharyanto)
ONGGOK TERFERMENTASI (OT)
Menurut Balai Penelitian Ternak (2016),
onggok mempunyai potensi yang besar untuk
menjadi pakan tetapi mempunyai keterbatasan
yaitu nilai nutrientnya yang rendah (Protein Kasar
2,2 % dan Serat Kasar 10,8 %) sehingga untuk
dapat menjadi pakan yang baik kualitas onggok
perlu ditingkatkan. Salah satu pendekatan yang
dikembangkan Balitnak adalah dengan melakukan
fermentasi/biofermentasi terhadap onggok tersebut
menggunakan spora Aspergillus Niger (Supriyati,
2003).
Dilihat dari tabel 3 terjadi peningkatan
nilai nutrient khususnya protein kasar setelah
dilakukan fermentasi menjadi 25,6 % dari
sebelumnya 2,2 % dan penurunan nilai karbohidrat
dari 51,8 % menjadi 36,2 %.
Menurut Febrianti et al.,(2017) fermentasi
onggok menggunakan Azzospirilium sp JG3
selama lima hari mampu meningkatkan kandungan
nutrient dari onggok dan dedak yaitu protein kasar
meningkat 29,15 %, lemak kasar meningkat 24,83
% dan serat kasar mengalami penurunan sebesar
36,63 %. Sedangkan menurut Wizna et al., (2009)
onggok dapat ditingkatkan kualitasnya dengan
fermentasi menggunakan Bacillus
amyloliquefaciens dengan dosis inokulen 2 %, 6
hari waktu fermentasi dan dengan suhu 40 C dapat
meningkatkan protein kasar hingga lebih dari 3
kali dari kandungan nutrient sebelumnya dan
menurunkan serat kasar hingga 32 % serta dapat
meningkatkan energy termetabolisme dari onggok
dari 1798 kkal/Kg menjadi 2190 kkal/kg sehingga
layak untuk menjadi bahan pakan ternak
khususnya unggas.
Fermentasi melalui inokulasi mikroba
telah diteliti dan memiliki kemungkinan yang
paling masuk akal untuk mengolah limbah tapioka
ini dan bisa diubah menjadi bahan pakan yang
lebih baik untuk ternak (Aro, 2008), salah satu
penelitian yang menunjukkan itu adalah onggok
fermentasi di manfaatkan sebagai penyusun
ransum ayam kampung petelur yang dipelihara
secara kelompok dan individu dan diberikan
sebesar 10 % mampu meningkatkan produksinya
masing-masing 9,7 % dan 30,9 % dan juga
mengalami peningkatan bobot telur yang
dihasilkan dan bahkan penggunaan onggok
terfermentasi tersebut bisa menekan biaya pakan
jika diasumsikan onggok terfermentasi
mensubstitusi jagung sebesar 15 % (Supriyati et
al., 2003).
OT SEBAGAI PAKAN AYAM MERAWANG
Potensi onggok sebagai bahan pakan ayam
merawang terkendala oleh kandungan nutrisinya
yang rendah yaitu protein kasarnya hanya sebesar
2,2 % dan upaya untuk meningkatkan nilai nutrisi
onggok khususnya protein kasar dapat dilakukan
melalui teknologi fermentasi sehingga nilai
nutrisinya meningkat menjadi Protein Kasar 25,6
% dan Karbohidrat 36,2 % (Supriyati, 2003).
Jika dilihat dari kandungan nutrisinya,
onggok terfermentasi berpotensi menjadi pakan
sumber protein dan sekaligus sumber karbohidrat.
Kebutuhan nutrisi ayam merawang sendiri seperti
pada jenis ayam kampung pada umumnya
menitikberatkan kepada kebutuhan protein kasar
dan energi metabolisme yang menurut penelitian
Sidadolog et al., (2009) penggunaan pakan ayam
merawang dengan konsentrasi protein-energi
sedang (protein 18 %, ME 2690,2 kkal/kg) adalah
yang terbaik karena efisiensi protein dan energi
yang tinggi pada usia ayam 0-4 minggu dan
selanjutnya sampai usia 12 minggu dapat
menggunakan pakan dengan konsentrasi protein-
energi sedang bahkan konsentrasi protein-energi
rendah juga dapat digunakan (protein 15 %, ME
2269,9 kkal/kg) dan hasil penelitian tersebut sesuai
dengan Iskandar (2012), ransum terbaik untuk
ayam lokal adalah ransum ganda yang terdiri dari
ransum starter untuk umur 0-4 minggu dan ransum
finisher untuk umur 5-12 minggu. Dari uraian
diatas kebutuhan nutrisi ayam merawang berkisar
antara 15-18 % untuk protein kasar dan ME antara
2269,9 – 2690 kkal/kg sehingga onggok
142
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:137-145
terfermentasi bisa digunakan sebagai pakan
sumber protein.
NILAI TEKNIS PEMANFAATAN OT
SEBAGAI PAKAN AYAM
Beberapa penelitian sebelumnya
menyebutkan bahwa onggok terfermentasi
mempunyai pengaruh yang baik dalam
meningkatkan produktifitas ternak. Menurut
Irawati et al., (2016), penggunaan onggok
fermentasi hingga 10-30 % dalam ransum ayam
buras memberikan pengaruh yang berbeda nyata
terhadap konsumsi ransum dan berbeda sangat
nyata terhadap pertambahan bobot badan dan
konversi ransum. Sedangkan menurut penelitian
Nuraini et al., (2008) penggunaan onggok
fermentasi sampai 30 % pada ransum dapat
meningkatkan penampilan produksi dan kualitas
telur ayam petelur. Supriyati et al., (2003) dalam
penelitiannya menyebutkan penggunaan onggok
terfermentasi sampai 10 % dalam ransum ayam
petelur dapat meningkatkan produksi telur sebesar
32,2 % dan 26,06 % untuk pemeliharaan secara
individu dan kelompok serta meningkatkan bobot
telur sebesar 7,9 %.
Penggunaan onggok terfermentasi sampai
level 30 % pada ransum ayam buras menunjukkan
hasil yang baik dalam konversi pakan dan
pertambahan bobot badan dengan hasil terbaik
pada taraf 15 % dan 20 % onggok terfermentasi
dalam ransum yang menunjukkan tingkat
palatabilias onggok terfermentasi baik selain
dikarenakan tingginya kandungan protein dalam
onggok terfermentasi (Irawati et al., 2016).
Hasil-hasil penelitian diatas menunjukan
onggok terfermentasi mempunyai tingkat
palatabilitas yang baik dibuktikan dengan unggas
dalam percobaan-percobaan diatas mampu
mengkonsumsi dan mengkonversikan bahan pakan
yang mengandung OT untuk meningkatkan
produktifitas. Hal ini juga menunjukkan kecernaan
bahan pakan onggok terfermentasi cukup tinggi
karena kecernaan yang tinggi akan dilihat dari
manfaat yang dihasilkan bahan pakan tersebut
terhadap produktifitas. Sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Sulisttyawan (2015) bahwa
kecernaan protein bahan pakan yang mengandung
onggok terfermentasi tinggi mencapai 72,17 %.
Secara teknis pemberian OT pada ransum
unggas telah terbukti meningkatkan produktifitas
tetapi perlu diperhatikan juga secara teknik
pembuatannya OT, apakah mudah dilakukan oleh
petani atau sulit dilakukan. Teknologi fermentasi
pakan khususnya onggok dari beberapa penelitian
bisa dilakukan di skala lapang oleh petani seperti
pada penelitian Supriyati (2003) yang dilakukan di
Malambong Garut dengan hasil protein kasar
meningkat sebesar 7 kali dari protein sebelumnya.
Pemanfaatan MOL (mikroorganisme lokal) juga
bisa digunakan secara skala petani di karenakan
mikroorganisme lokal bisa dibuat sendiri oleh
petani.
Berdasarkan uraian dan penelitian diatas
nilai nutrisi onggok terfermentasi dapat diberikan
sampai level 30 % dalam ransum dan sanggup
memenuhi kebutuhan nutrisi ayam merawang
untuk mamaksimalkan potensi yang dimiliki ayam
merawang sebagai ayam dwiguna.
NILAI EKONOMI PEMANFAATAN OT
SEBAGAI PAKAN AYAM MERAWANG
Penggunaan onggok terfermentasi sebagai
salah satu bahan penyusun pakan ayam merawang
akan meningkatkan efisiensi usaha ternak, karena
menurut penelitian Putri et al., (2014) biaya
produksi yang efisien salah satunya dipengaruhi
oleh faktor pakan, hal ini karena 70-80 % biaya
produksi berasal dari pakan sedangkan biaya
produksi sangat berpengaruh terhadap pendapatan
usaha ternak ayam kampung (Penggu et al., 2014)
dengan kata lain efisiensi pakan akan
meningkatkan pendapatan usaha ternak. Saat ini
peternak ayam merawang di Bangka Belitung pada
umumnya menggunkan jadung, dedak padi dan
konsentrat sebagai bahan pakan dengan komposisi
143 Potensi Dan Nilai Ekonomis Pemanfaatan Onggok Terfermentasisebagai Pakan Ayam Merawang Di
Bangka Belitung (SigitPuspito danSuharyanto)
yang digunakan adalah 30%:35%:35%. Onggok
terfermentasi dapat digunakan sebagai pengganti
jagung berdasarkan penelitian Yohanista et al.,
(2008) Onggok fermentasi dengan menggunakan
Aspergilus niger dan Rhizopus oligosporus dengan
waktu inkubasi 2 hari dapat menggantikan jagung
dengan kandungan nutrisi protein kasar 18,95 %,
serat kasar 24,85 % dan gross energy 4222,45 %.
Dalam tabel 3 dibawah ini merupakan formula
pakan ayam merawang dengan dan tanpa
menggunakan onggok terfermentasi yang mengacu
pada penelitian Nuraini et al., (2008) onggok
terfermentasi dapat digunakan sampai 30 % dalam
ransum.
Dari tabel 4 diatas komposisi pakan ayam
merawang dengan bahan pakan jagung,dedak dan
konsentrat mempunyai nilai nutrisi Protein Kasar
14, 48 % dan Metabolisme Energi 2678 kkal/gr
dengan harga Rp 6950/kg sedangkan ransum yang
menggunakan onggok fermentasi mempunyai nilai
nutrisi Protein Kasar 17.86 % dan Metabolisme
Energi 2512 kkal/gr dengan harga Rp. 5.630/kg.
Dari perhitungan diatas terjadi efisiensi
biaya pakan sebesar Rp. 1.320/kg dengan
menggunakan onggok terfermentasi dalam pakan
ayam merawang sebagai subtitusi dari jagung
sampai 20 % untuk setiap kilogram pakan. Ayam
merawang dalam satahun membutuhkan 43
kg/ekor/tahun sehingga untuk setiap ekor ayam
merawang dapat menghemat biaya pakan sebesar
Rp 56.760 dalam setahun atau efisiensi biaya
pakan sebesar 18 % jika dibanding dengan pakan
tanpa onggok terfermentasi. Pendapatan peternak
kecil dengan skala 100 ekor ayam merawang dapat
meningkat sebesar Rp 567.600 dalam setahun jika
diilustrasikan dengan menggunakan pakan onggok
terfermentasi
Bahkan onggok terfermentasi dapat
menggantikan konsentrat komersial sebagai
sumber protein jika dilihat dari kandungan Protein
Kasar sebesar 25,6 % (Supriyati et al., 2003)
karena rata-rata kandungan protein konsentrat
komersial sebesar 18-21 % dengan harga Rp.
8.500/Kg sehingga efisiensi biaya pakan dapat
ditingkatkan.
Dilihat dari segi ekonomi onggok
terfermentasi berpotensi dapat menggantikan
bahan pakan khususnya jagung dan konsentrat
komersial dengan biaya yang lebih murah dan
efisien
KESIMPULAN
Penggunaan onggok terfermentasi
berpotensi besar sebagai bahan pakan ayam
merawang jika dilihat dari kandungan nutrisi,
ketersediaan di Bangka Belitung Kandungan
nutrisi onggok fermentasi berupa Protein Kasar
sebesar 25.6 % dapat menjadi bahan penyusun
ransum sebagai pengganti jagung dengan efisiensi
biaya pakan mencapai 18,9 % dan ketersediaan
onggok di Bangka Belitung mampu memenuhi
kebutuhan 1.351.000 ekor ayam merawang dalam
setahun.
Tabel 4. Komposisi Ransum Ayam Merawang
Bahan Baku
Tanpa Onggok
Fermentasi Dengan Onggok Fermentasi
Jagung 30 10
Dedak 35 35
Konsentrat 35 35
Onggok Fermentasi 0 20
Total 100 100
Komposisi Ransum
Protein Kasar (%) 14.48 17.86
Metabolisme Energi (kkal/gr) 2678 2512
Harga (kg) 6950 5630
144
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:137-145
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis memberikan ucapan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
penulisan karya tulis ilmiah ini yaitu kepada Ibu
Nuraini, SPt, MSc sebagai Peneliti di BPTP
Bangka Belitung yang sudah membantu dalam
berdiskusi dan memberikan literatur-literatur dan
tentunya kepada bapak Dr. drh. Wasito, MSi yang
telah menjadi pembimbing dalam tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, M, G., Hendrawati, T. 2009. Pedoman
Pengelolaan Limbah Industri Pengelolaan
Tapioka. Kementerian Lingkungan Hidup.
Agustira, R., Lubis, K, S., Jamilah. 2013. Kajian
Karakteristik Kimia Air, Fisika Air dan
Debit Sungai Pada Kawasan DAS Padang
Akibat Pembuangan Limbah Tapioka. Jurnal
Online Agroteknologi 1 (3) : 615 – 625
Aro, S, O. 2008. Improvement In The Nutritive
Quality of Cassava and Its By-Products
Through Microbial Fermentation. African
Journal of Biotechnology Vol. 7 (25), pp.
4789-4797.
Ayu, P.A., Nyoman, S., dan Eni. S.R. 2016.
Pertumbuhan dan Persentase Karkas Ayam
Kampung Unggul Badan Litbang (KUB)
pada Pemberian Ransum yang Berbeda.
Prosiding Seminar Nasional Inovasi
teknologi Pertanian, Banjarbaru.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bangka Belitung.
2018. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
Dalam Angka 2018.
Dewanti, R., Sihombing, G. 2012. Analisis
Pendapatan Usaha Peternakan Ayam Buras
(Studi Kasus di Kecamatan Tegalombo,
Kabupaten Pacitan).Buletin Peternakan Vol.
36(1): 48-56.
Dinas Pangan Kab. Bangka Tengah, (2018, 12
September). Daftar Harga Komoditas.
Diperoleh 12 September 2018 dari
http://pangan.bangkatengahkab.go.id/.
Ferbrianti, T., Oedjijono, Iriyanti, N. 2017.
Peningkatan Nutrien Onggok dan Dedak
sebagai Bahan Baku Pakan Melalui
Fermentasi Menggunakan Azospirillum sp.
JG3. Widyariset 3 (2) : 173 – 182.
Hasnelly, Z., Kuntoro, A, N. 2006. Pengaruh
Perbaikan Kualitas Dan Waktu Pemberian
Pakan Terhadap Pertumbuhan Ayam
Merawang. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Peternakan dan Veteriner Hal
639-645.
Hidayat, C., Sopiyana, S. 2010. Potensi Ayam
Sentul sebagai Plasma Nutfah Asli Ciamis
Jawa Barat. Wartazoa 20 (4) : 190 - 205
Hidayat, Z., Nuraini, Asmarhansyah. 2016. Studi
Krakteristik Dan Ukuran-Ukuran Tubuh
Ayam Merawang F2 Di KP Petaling
Kepulauan Bangka Belitung.Prosiding
Seminar Nasional Agroinovasi Spesifik
Lokasi Untuk Memantapkan Ketahanan
Pangan Pada Era Masyarakat Ekonomi
ASEAN.
Irawati, E., Mirzah, Ciptaan, G. 2016. Pemakaian
Onggok Fermentasi Dalam Ransum
Terhadap Performa Ayam Buras Periode
Pertumbuhan. Jurnal Peternakan 13 (2) : 48 -
53.
Iskandar, S. 2010. Usaha Tani Ayam Kampung.
Balai Penelitian Ternak.
Iskandr, S. 2012. Optimalisasi Protein dan Energi
Ransum Untuk Meningkatkan Produksi
Daging Ayam Lokal. Jurnal Pengembangan
Inovasi Pertanian 5 (2) : 96-107.
Liswati, S., Budiningsih, S., Dumasari. 2010.
Kajian Permasalaham Sosial Ekonomi dan
Solusi Pengelolaan Limbah Padat Tapioka
Pada U.D Bangkit Prima Desa Nangkod
Kecamatan Kejobong. AGRITECH XII (1) :
39 – 49.
Nataamijaya, A.G. 2010. Pengembangan Potensi
Ayam Lokal untuk Menunjang Peningkatan
Kesejahteraan Petani. Jurnal Litbang 29 (4) :
131-138.
Nuraini, Sabrina, Latif, S., A. 2008. Performa
Ayam dan Kualitas Telur yang
145 Potensi Dan Nilai Ekonomis Pemanfaatan Onggok Terfermentasisebagai Pakan Ayam Merawang Di
Bangka Belitung (SigitPuspito danSuharyanto)
Menggunakan Ransum Mengandung
Onggok Fermentasi dengan Neurospora
crassa. Media Peternakan, Desember 2008,
hal. 195-202.
Nuraini, Yolanda, K., Suyatno. 2015. Karakter
Fenotip Dan Produktifitas Ayam Merawang
Berasal Dari Kabupaten Bangka. Buletin
Pengkajian Spesifik Lokasi 2(1): 9-20.
Nuraini, Hidayat, Z., Yolanda, K. 2016.
Identifikasi Karakteristik Genetik Eksternal
Dan Ukuran Tubuh Ayam Merawang Di KP
Petaling BPTP Kepulauan Bangka Belitung.
Prosiding Seminar Nasional Kebangkitan
Peternakan II 2016.
Penggu, P., Santa, N, M., Makalew, A., Waleleng,
P, O, V. 2014. Hubungan Biaya Produkso
Dengan Pendapatan Usaha Ternak Ayam
Kampung ( Studi Kasus Di Desa Pungkol
Kecamatan Tatapaan Kabupaten Minahasa
Selatan). Jurnal Zootek (“Zootek” Journal)
Vol 34 (Edisi Khusus): 67-75.
Putri, S.C., Suwandari, A., Mustapit. 2014.
Analisis Pendapatan dan Kontribusi Usaha
Ternak Ayam Buras Terhadap Pendapatan
Keluarga serta Prospek Pengembangannya.
Berkala Ilmiah Pertanian 1(1): 1-10
Risnajati, D. 2012. Perbandingan Bobot Akhir,
Bobot Karkas dan Persentase Karkas
Berbagai Strain Broiler. Jurnal Sains
Peternakan 10 (1) : 11-14.
Setioko, A, G., Iskandar, S. 2005. Review Hasil-
Hasil Penelitian dan Dukungan Teknologi
dalam Pengembangan Ayam Lokal.
Prosiding Lokakarya Nasional Inovasi
Teknologi Pengembangan Ayam Lokal. Hal
10-15
Sidadolog, J.H.P. dan T. Yuwanta. 2009.Pengaruh
konsentrasi protein-energi pakan terhadap
pertambahan berat badan, efisiensi energi
dan efisiensi protein pada masa
pertumbuhan ayam merawang. J. Anim.
Prod.11(1): 15-22.
SK Menteri Pertanian No.
2846/Kps/L8.410/8/2012 tentang Penetapan
Rumpun Ayam Merawang.
Subekti, S. 2009. Ketahanan Pakan Ternak
Indonesia. Mediagro 5 (2) : 63 – 71.
Sulistyawan, I, H. 2015. Perbaikan Kualitas Pakan
Ayam Broiler melalui Fermentasi Dua
Tahap Menggunakan Trichoderma reseei
dan Saccaromyces cerevisiae. Agripet 15 (1)
: 66 – 71.
Supriyati, Zainuddin, D., Kompiang, I. P.,
Soekamto, P. 2003. Onggok Terfermentasi
Sebagai Bahan Baku Pakan Ayam Kampung
Petelur. Lokakarya Nasional Inovasi
Teknologi Dalam Mendukung Usaha ternak
Unggas Berdaya saing.
Supriyati. 2003. Onggok Terfermentasi dan
Pemanfaatannya dalam Ransum Ayam Ras
Pedaging. JITV 8(3): 146-150.
Wizna, Abbas, H., Rizal, Y., Dharma, A.,
Kompiang, I, P. 2009. Improving the
Quality of Tapioca By-Products (Onggok) as
Poultry Feed Through Fermentation by
Bacillus amyloliquefaciens. Pakistan Journal
of Nutrition 8 (10): 1636-1640.
Yohanista, M., Sofjan, O., Widodo, E. 2008.
Evaluasi nutrisi campuran onggok dan
ampas tahu terfermentasi Aspergillus niger,
Rizhopus oligosporus dan kombinasi sebagai
bahan pakan pengganti tepung jagung.
Jurnal Ilmu-Ilmu Peternakan 24 (2): 72 - 83
146
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:137-145
147 Uji Adaptasi Varietas Kedelai di Lahan Pasang Surut Kab. Sambas Kalimantan Barat
(Dina Omayani Dewi)
UJI ADAPTASI VARIETAS KEDELAI DI LAHAN PASANG SURUT KAB. SAMBAS KALIMANTAN BARAT
Dina Omayani Dewi dan Tietyk Kartinaty Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Barat
Jl. Budi Utomo No. 45 Siantan Hulu, Pontianak Utara Kalimantan Barat
E-mail:[email protected]
ABSTRACT
The efforts to increase soybean production to support the National food security program face
increasingly severe challenges. Drought, land degradation, limited soil fertililty, pests and diseases and
the limited genetic ability of existing varieties for higher production. For this reason, a strong
technological recommendation is needed so that soybean production can increase along with the increase
in farmers' income and welfare. This assessment activity was carried out in Sambas District on April -
July 2017. The design used Randomized Block Design (RBD) with 5 treatments (5 New Superior
Varieties) with 5 replications. The varieties that will be studied include: Detam, Grobogan, Agromulyo,
Burangrang, and Anjasmoro. These varieties are planted in plots measuring 20 x 10 m with the number
of seeds 2 pieces per planting hole with a spacing of 30 x 20 cm. From the observations in the field, the
Burangrang variety has plant height and number of pods which are significantly different than other
varieties, namely 84.40 cm and 127 pods per plant. While for the parameters of the number of branches
per anjasmoro variety plants have more branches than the other varieties. Meanwhile, the Grobogan
variety has a faster flowering time than other varieties and has a weight of 100 seeds and higher
production which is 17.84 gr with a production of 2.55 tons / ha.
Keywords: Soybean Production, New Superior Varieties
ABSTRAK
Upaya peningkatan produksi kedelai untuk mendukung program ketahanan pangan nasional
menghadapi tantangan yang semakin berat. Kekeringan, degradasi lahan, terbatasnya lahan subur, hama
dan penyakit serta terbatasnya kemampuan genetic varietas yang ada untuk produksi lebih tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui daya adaptasi varietas kedelai di Lahan Pasang Surut Kasus di
Kabupaten Sambas Kalimantan Barat . Kegiatan pengkajian ini dilaksanakan di Kab. Sambas pada bulan
April – Juli 2017.Rancangan yang digunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan (5
Varietas Unggul Baru) dengan 5 ulangan. Varietas yang akan dikaji meliputi: Detam, Grobogan,
Agromulyo, Burangrang, dan Anjasmoro. Varietas tersebut ditanam pada plot berukuran 20 x 10 m
dengan jumlah biji 2 buah per lubang tanam dengan jarak tanam 30 x 20 cm. Dari hasil pengamatan di
lapangan, varietas Burangrang memiliki tinggi tanaman dan jumlah polong yang berbeda nyata
dibanding varietas lainnya yaitu 84.40 cm dan 127 buah polong per tanamannya. Sedangkan untuk
parameter jumlah cabang per tanaman Varietas anjasmoro memiliki jumlah cabang yang lebih banyak
dari varietas yang lain. Varietas Grobogan memiliki daya adaptasi yang baik di lahan pasang surut yang
ditunjukkan oleh hasil biji relatif lebih berat, dan menghasilkan produksi yang relatif tinggi.
Kata Kunci: Produksi Kedelai, Varietas Unggul Baru
148
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:147-153
PENDAHULUAN
Kedelai (Glycine max L merrill)
merupakan salah satu tanaman budidaya dengan
kandungan nutrisi yang tinggi, diantaranya
mengandung protein 30-50% (Richard et al.,
1984). Kandungan protein yang tinggi memberi
indikasi bahwa tanaman kedelai memerlukan hara
nitrogen yang tinggi pula. Di Indonesia sampai saat
ini produksi kedelai belum dapat memenuhi
kebutuhan konsumen dalam negeri.
Kedelai dapat tumbuh pada kondisi suhu
yang beragam. Suhu tanah yang optimal dalam
proses perkecambahan yaitu 30o C, bila tumbuh
pada suhu yang rendah (< 15o C), proses
perkecambahan menjadi sangat lambat bisa
mencapai 2 minggu. Hal ini dikarenakan
perkecambahan biji tertekan pada kondisi
kelembapan tanah tinggi, banyaknya biji yang mati
akibat respirasi air dari dalam biji yang terlalu
cepat (Adisarwanto, 2005). Suhu yang dikehendaki
tanaman kedelai antara 21-34o C, akan tetapi suhu
optimum bagi pertumbuhan tanaman kedelai 23-
27o C. Pada proses perkecambahan benih kedelai
memerlukan suhu yang cocok sekitar 30o C.
Kedelai menghendaki kondisi tanah yang
lembab, tetapi tidak becek. Kondisi seperti ini
dibutuhkan sejak benih ditanam hingga pengisian
polong. Kekurangan air pada masa pertumbuhan
akan menyebabkan tanaman kerdil, bahkan dapat
menyebabkan kematian apabila kekeringan telah
melampaui batas toleransinya.
Varietas kedelai berbiji kecil, sangat cocok
ditanam di lahan dengan ketinggian 0,5-300 m dpl.
Varietas kedelai berbiji besar cocok ditanam di
lahan dengan ketinggian 300-500 m dpl. Kedelai
biasanya akan tumbuh baik pada ketinggian lebih
dari 500 m dpl sehingga tanaman kedelai sebagian
besar tumbuh di daerah yang beriklim tropis dan
subtropis. Sebagai barometer iklim yang cocok
bagi kedelai adalah bila cocok bagi tanaman
jagung. Bahkan daya tahan kedelai lebih baik dari
jagung. Tanaman kedelai dapat tumbuh baik di
daerah yang memiliki curah hujan sekitar 100-400
mm/bulan. Untuk mendapatkan hasil optimal,
tanaman kedelai membutuhkan curah hujan antara
100-200 mm/bulan (Najiyati, 1999).
Luas lahan rawa pasang surut di Indonesia
sekitar 20,12 juta ha, terdiri dari 2,07 juta ha lahan
potensial, 6,72 juta ha lahan sulfat masam, 10,89
juta ha lahan gambut dan 0,44 juta ha lahan salin.
Lahan rawa pasang surut yang berpotensi untuk
dijadikan lahan pertanian sekitar 9,53 juta ha
(Alihamsyah, 2002). Menurut Direktorat Rawa dan
Pantai (2006) lahan rawa pasang surut yang
potensial untuk lahan pertanian di Indonesia
tersebar di pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi,
Papua, dan Jawa dengan luas sekitar 8.535.708 ha.
Luas lahan yang telah direklamasi baik oleh
pemerintah maupun masyarakat sekitar 2.833.814
ha, sedang yang belum direklamasi seluas
5.701.894 ha.
Lahan pasang surut merupakan salah satu
lahan marginal yang dijumpai sangat luas di
Kalimantan Barat. Luas lahan pasang surut dan
lebak sekitar 2.803.744 ha (18,32%) dari luas
propinsi Kalimantan Barat, dan lahan tersebut
belum dimanfaatkan secara optimal. Keadaan
lahan pasang surut pada umumnya mempunyai
keragaman biofisik yang sangat tinggi, dan oleh
karena itu penggunaannya harus benar-benar
berlandaskan pada kesesuaian lahan atau
tipologinya. Kendala yang sering dihadapi di lahan
pasang surut antara lain pH rendah, salinitas tinggi,
kahat unsur hara makro (N, P, K, Ca dan Mg )
maupun mikro (Cu), drainase jelek, serangan
hama dan penyakit yang lebih tinggi.
Pengembangan lahan pasang surut merupakan
alternatif pilihan yang sangat strategis untuk
mengatasi tantangan peningkatan produksi dan alih
fungsi lahan-lahan pertanian menjadi lahan non
pertanian. Lahan pasang surut mempunyai prospek
yang besar untuk dikembangkan menjadi lahan
pertanian untuk tanaman kedelai terutama dalam
kaitannya dengan pelestarian swasembada pangan,
peningkatan produksi, peningkatan pendapatan
petani dan lapangan kerja serta pengembangan
agribisnis.
Untuk meningkatkan produktivitas lahan
rawa pasang surut, pengelolaan air memegang
peranan sangat penting. Untuk menanggulangi,
149 Uji Adaptasi Varietas Kedelai di Lahan Pasang Surut Kab. Sambas Kalimantan Barat
(Dina Omayani Dewi)
mengurangi, dan menghilangkan kemasaman serta
untuk meningkatkan hasil komoditas yang
dibudidayakan di lahan pasang surut, pengelolaan
air didasarkan pada tipologi lahan pasang surut dan
tipe luapan. Tipologi lahan sulfat masam potensial
dengan tipe luapan A, tipologi lahan sulfat masam
aktual dengan tipe luapan B, C, D (Ritzema et al.,
1993).
Upaya peningkatan produksi kedelai untuk
mendukung program ketahanan pangan nasional
menghadapi tantangan yang semakin berat.
Kekeringan, degradasi lahan, terbatasnya lahan
subur, hama dan penyakit serta terbatasnya
kemampuan genetic varietas yang ada untuk
produksi lebih tinggi. Disisi lain kebutuhan pangan
masyarakat terus meningkat untuk memenuhi
kebutuhan, impor bahan pangan terpaksa dilakukan
yang beberapa tahun terakhir ini mengalami
peningkatan.
Untuk mengurangi ketergantungan pada
kedelai perlu diantisipasi sedini mungkin, baik
melalui program intensifikasi maupun
ekstensifikasi, program ekstensifikasi merupakan
pilihan utama karena lahan diluar Jawa cukup luas
yang cukup potensial dimanfaatkan antara lain
Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya
yang sebagian besar didominasi lahan marginal,
seperti lahan rawa baik rawa pasang surut, rawa
lebak, maupun rawa pantai.
Konsumsi kedelai di Kalimantan barat
rata-rata sebesar 8 kg/kapita/tahun (Kalbar Prov,
2014), dengan jumlah penduduk sekitar 4,789,574
orang (BPS, 2016) sehingga jumlah kebutuhan
kedelai sebesar 38,316 ton. Produksi kedelai di
Kalimantan Barat pada Tahun 2014 sebesar 1.5
Ton/ha (BPS, 2014), dengan luas panen sebesar
2.026 Ha atau 823 Ha lebih luas dari tahun
sebelumnya. Untuk mencukupi kebutuhan kedelai
yang ada di Kalimantan Barat memerlukan luas
panen sekitar 25,544 ha, sehingga kekurangan luas
panen kedelai di Kalbar sekitar 23,518 ha. Dalam
rangka pemenuhan kebutuhan kedelai dalam negeri
khususnya di Kalimantan Barat, pemerintah
mencanangkan program swasembada kedelai pada
tahun 2014. Untuk memacu tercapainya program
tersebut, perlu dilakukan berbagai terobosan baik
melalui perluasan areal ke lahan-lahan berpotensi,
intensifikasi pertanaman yang ada dan kebijakan
khusus untuk memacu produksi kedelai (crass
program kedelai).
Kedelai pada dasarnya dapat tumbuh
hampir di setiap jenis tanah termasuk di lahan
rawa, baik lahan pasang surut maupun lahan lebak.
Tetapi agar tanaman kedelai dapat tumbuh dan
berproduksi dengan baik diperlukan persyaratan
tumbuh tertentu. Kedelai tergolong tanaman yang
tidak tahan terhadap kemasaman tanah tinggi dan
genangan. Oleh karena itu syarat utama agar
kedelai dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik
diperlukan lahan dengan tingkat kemasaman tanah
sedang (pH >4,5), kandungan C-organik rendah,
N-total sedang, P2O5 tinggi, K2O sedang dan
kejenuhan Al < 20% serta tidak terjadi genangan
air.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
daya adaptasi varietas kedelai di Lahan Pasang
Surut Kasus di Kabupaten Sambas Kalimantan
Barat
METODE
Tempat dan Waktu Penelitian
Lokasi pengkajian dilaksanakan di Kab.
Sambas, dimana Kabupaten Sambas merupakan
sentra produksi kedelai yang ada di Kalimantan
Barat. Pengkajian SUT berskala agribisnis
melibatkan minimal satu kelompok tani
sehamparan dengan luasan sekitar 0.5 ha, Waktu
pelaksanaan adalah musim kemarau (April – Juli
2017), Adapun bahan dan alat yang diperlukan
dalam kegiatan ini meliputi; Benih kedelai, pupuk
dan obat-obatan. Bahan dan alat pengkajian yang
dibutuhkan di lapangan
150
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:147-153
Rancangan Kegiatan
Kajian ini menggunakan Rancangan Acak
Kelompok (RAK) dengan 5 perlakuan (5 Varietas
Unggul Baru) dengan 5 ulangan. Varietas yang
akan dikaji meliputi: Detam, Grobogan,
Agromulyo, Burangrang, dan Anjasmoro. Varietas
tersebut ditanam pada plot berukuran 20 x 10 m
dengan jumlah biji 2 buah per lubang tanam
dengan jarak tanam 30 x 20 cm. Adapun dosis
pupuk yang digunakan untuk setiap perlakuan
sama yaitu: Urea 50 Kg, SP36 100 Kg, KCl 100
Kg, dimana pupuk dasar diberikan saat tanam
kemudian pemupukan susulan dilakukan pada saat
tanaman berumur 14 dan 28 hari. Pengendalian
hama dan penyakit dilakukan apabila terdapat
serangan di lapangan dengan menggunkan
insektisida dan fungisida.
Parameter yang diamati
Adapun parameter yang diamati meliputi:
tinggi tanaman (cm), jumlah cabang (buah), jumlah
polong per tanaman (buah), berat 100 biji (gr),
produksi (ton/ha) serta data curah hujan saat kajian
berlangsung.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk parameter tinggi tanaman
menunjukkan bahwa varietas Burangrang berbeda
nyata dibanding varietas lainnya, dimana varietas
ini memiliki performan tinggi tanaman yang lebih
tinggi dari varietas lainnya yaitu sebesar 84.40 cm,
lebih tinggi dari deskripsi dari Balitkabi (60-70
cm), sedangkan varietas Anjasmoro memiliki
tinggi yang lebih rendah yaitu sekitar 67 cm, sesuai
dengan deskripsi dari Balitkabi (64-68 cm).
Perbedaan tinggi tanaman masing-masing varietas
disebabkan oleh sifat genetik tanaman berbeda.
Perbedaan sifat genetik ini dapat pula
menyebabkan terjadinya perbedaan respon dari
tanaman terhadap pupuk yang diberikan.
Sedangkan untuk parameter jumlah cabang
per tanaman Varietas anjasmoro memiliki jumlah
cabang yang lebih banyak dari varietas yang lain.
Akan tetapi jumlah cabang yang banyak tidak
diikuti dengan jumlah polong, dimana jumlah
polong untuk varietas Anjasmoro rata-rata 46
buah polong. Polong terbanyak terdapat pada
Varietas Burangrang yaitu berkisar antara 127
buah polong per tanamannya. Varietas Burangrang
jumlah polongnya berbeda sangat nyata dibanding
varietas lainnya tapi tidak berbeda nyata dengan
varietas Agromulyo (112,4 buah). Kecepatan
pembentukan polong dan pembesaran biji akan
semakin cepat setelah proses pembentukan bunga
berhenti.
Untuk waktu berbunga varietas Grobogan
memiliki waktu berbunga lebih cepat dibanding
varietas lainnya. Berbedanya umur tanaman
berbunga antar varietas diduga dipengaruhi oleh
sifat genetik pada masing-masing varietas dan
lingkungan. Menurut Baharsjah et al. (1985) faktor
utama dalam pembungaan pada tanaman kedelai
lebih dominan dipengaruhi sifat genetik tanaman.
Tanaman kedelai termasuk tanaman hari pendek
dimana kedelai tidak akan berbunga apabila
panjang hari melampaui batas kritis, karena
Tabel 1. Tinggi Tanaman (cm), Jumlah Cabang per Tanaman (buah), Jumlah Polong per Tanaman (buah) pada
Kajian Uji Varietas Kedelai di Kec Tangaran, Kab. Sambas 2017
Varietas Tinggi Tanaman (cm) Jumlah Cabang Per
Tanaman (buah)
Jumlah Polong Per Tanaman
(buah)
Detam 80.20 ab 9 b 105.40 b
Grobogan 66.80 b 5c 69.00 c
Agromulyo 71.40 ab 7bc 112.40 ab
Burangrang 84.40 a 8bc 127.80 a
Anjasmoro 67.40 b 19a 46.20 d
151 Uji Adaptasi Varietas Kedelai di Lahan Pasang Surut Kab. Sambas Kalimantan Barat
(Dina Omayani Dewi)
masing-masing kultivar batas kritis yang berbeda.
Darjanto dan Sarifah (1987) menambahkan bahwa
factor utama munculnya bunga ditentukan oleh
sifat genetik dari suatu varietas yang digunakan.
Jumlah polong per tanaman berkorelasi
positif dengan jumlah biji per tanaman sementara
hasil per satuan luas dipengaruhi oleh berat 100
biji dan jumlah biji Hidajat (1985). Varietas
Grobogan memiliki jumlah polong terendah kedua
setelah Anjasmoro, namun varietas ini memiliki
ukuran biji yang lebih besar dan lebih berat
sehingga produksi yang diperoleh pun lebih tinggi.
Untuk Parameter berat 100 biji dan
produksi, varietas Grobogan memiliki berat 100
biji yang lebih berat dari varietas lainnya yaitu
sebesar 17.84 gr, dimana mendekati deskripsi dari
varietas tersebut (18 gr) dengan produksi sebesar
2.55 ton/ha, sementara untuk varietas lain yang
memiliki jumlah polong yang banyak seperti
varietas Burangrang justru memiliki berat 100 biji
yang terendah kedua setelah Detam yaitu 14 gr,
sehingga produksi per ton nya juga rendah.
Jumlah curah hujan pada sat awal tanam
menengah yaitu berkisar antara 256,5 mm/bulan
dengan jumlah hari hujan sebanyak 13 hari.
Tabel 2. Waktu Berbunga Tanaman Kedelai pada Kajian Uji Varietas Kedelai di Kec Tangaran, Kab. Sambas 2017
Varietas Waktu Berbunga (Hari)
Detam 35
Grobogan 30-32
Agromulyo 35
Burangrang 35
Anjasmoro 35-39
Grafik 1. Berat 100 Biji (gr) dan Produksi (ton/ha) Tanaman Kedelai di Lahan Pasang Surut, Kec. Tangaran,
Kab. Sambas 2017
152
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:147-153
Sampai menjelang panen curah hujan semakin
menurun pada kisaran 195,86 mm dengan jumlah
hari hujan sebanyak 9 hari. Selama
pertumbuhannya kedelai (85-100 hari)
membutuhkan air sebanyak 300 mmm hingga 450
mm atau 2,5 – 3,3 mm/hari. Kebutuhan air selama
periode vegetative (sampai umur 35 hati) adalah
126 mm dan selama pertumbuhan generative
(umur 35-85 hari) 203 mm. Kebutuhan air tanaman
pada awal periode pertumbuhan sedikit, kemudian
meningkat hingga kanopi daun berkembang dan
menutup sempurna, selanjutnya berkurang hingga
menjelang panen. Pada puncak berbunga dan fase-
fase kritis terhadap kekeringan, tanaman
membutuhkan air lebih banyak (cybex. Pertanian,
2014)
KESIMPULAN
Dari hasil kajian menunjukkan bahwa
Varietas Grobogan memiliki daya adaptasi yang
baik di lahan pasang surut yang ditunjukkan oleh
hasil biji relatif lebih berat, dan menghasilkan
produksi yang relatif tinggi. Hal yang perlu
diperhatikan dalam penanaman kedelai adalah
waktu tanam yang tepat sehingga hasil yang
diperoleh menjadi optimal.
DAFTAR PUSTAKA
Adiningrat, E. A. 2008. Permasalahan dalam
membangun industri perbenihan.
Disampaikan dalam Integrated Workshop:
“Konsolidasi Sumberdaya Iptek Pangan
Untuk Mencapai Kemandirian Benih dan
Bibit Dalam Rangka Mewujudkan
Ketahanan Pangan dan MDG’s 2015. BPPT.
Jakarta. 15p
Badan Pusat Statistik Kalimantan Barat. 2003.
Kalimantan Barat dalam angka, BPS Kalbar
Pontianak
Badan Pusat Statistik Kalimantan Barat. 2003.
Kubu Raya dalam angka, BPS Kalbar
Pontianak
Cyber Extension,2014, Kementerian Pertanian,
Badan Penyuluhan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Pertanian
Harjowigeno,S. 1996. Pengembangan lahan pasang
surut untuk pertanian suatu peluang dan
tantangan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap
Ilmu Tanah Fakultas Pertanian IPB.22 Juni
1996
Grafik 2. Jumlah Curah Hujan (Mm) Dan Jumlah Hari Hujan (Day) Di Kecamatan Tangaran
153 Uji Adaptasi Varietas Kedelai di Lahan Pasang Surut Kab. Sambas Kalimantan Barat
(Dina Omayani Dewi)
Jusniati, Pertumbuhan Dan Hasil Varietas Kedelai
(Glycine Max L.) Di Lahan pasang surut
Pada Berbagai Tingkat Naungan Jurusan
Agroteknologi Fakultas Pertanian
Universitas Tamansiswa, Jurnal UNITAS,
Yogyakarta
Margaretha. 2002. Pengaruh Molybdenum
Terhadap Nodulasi dan Hasil Kedelai yang
Diinokulasi Rhizobium pada Tanah Ultisol.
Jurnal MAPETA. Vol X No 2: 4-7.
Mawardi, E., Azwar dan Tambidjo, A., 2001.
Potensi dan Peluang Pemanfaatan
Harzeburgite sebagai Amelioran Lahan
pasang surut. Prosiding Seminar Nasional
Memantapkan Rekayasa Paket Teknologi
Pertanian dan Ketahanan Pangan dalam Era
Otonomi Daerah, 31 Oktober – 1 November
2001. Bengkulu
Najiyati, S. dan Danarti, 1999. Palawija Budidaya
dan Analisa Usaha Tani. Penebar Swadaya,
Jakarta
Purwono, M.S dan Purnamawati, H., 2007.
Budidaya dan 8 Jenis Tanaman Pangan
Unggul. Penebar Swadaya, Jakarta.
Rachman, I dan Setiyohadi, B. 2007. Penyakit
Osteoporosis.
http://www.medicastore.com/osteoporosis/in
dex.
Richard. J.D., J.G. Louis, and Henry. 1984.
Soybeans Crop Production. 5th edition.
Engelwood Cliffs, N.J.: Practice Hall. Inc.
Sudaryanto, T dan Swastika, D. K. S. 2007.
Ekonomi Kedelai di Indonesia. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Bogor.
154
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:147-153
155 Model Prediksi Dinamika Populasi Hama Penggerek Batang Tebu Bergaris (Chilo
sacchariphagus) di Perkebunan Cinta Manis Sumatera Selatan
(Muh Dimas Arifin, Yonny Koesmaryono, dan Muhamad Hidayanto1)
MODEL PREDIKSI DINAMIKA POPULASI HAMA PENGGEREK BATANG TEBU BERGARIS (Chilo sacchariphagus) DI PERKEBUNAN CINTA MANIS
SUMATERA SELATAN
Muh Dimas Arifin1,2, Yonny Koesmaryono2 dan Muhamad Hidayanto1 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur
Jl. PM. Noor-Sempaja, Samarinda 2Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor
Jl. Meranti Darmaga Bogor 16690
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
Prediction model of population dynamics on sugarcane borer (Chilo sacchariphagus) in sugarcane plantation,
South Sumatera. Chilo sacchariphagus or Spotted Sugarcane Stemborer is one of the main pests attacking at Cinta
Manis Sugarcane Estate South Sumatera. Climatic factors including rainfall, minimum and maximum air
temperature, maximum and minimum relative humidity affect the presence of the pest. The purpose of this study is to
analyze the influence of climatic factors on population dynamics of Chilo sacchariphagus in Cinta Manis Sugar
Estate and building a prediction model of this pest. Simulation conducted over year of 2008-2013 by using DYMEX
3.0 pest lifecycle model. Simulation model gives a good prediction with high value of coefficient determination (R2)
of calibration and validation respectively 76% and 84%. The model predicted insect population decreased following
the air temperature rise. The pest attack should be anticipated as the other climate factors change.
Keywords: Climate, Sugarcane stemborer, Model Simulation DYMEX 3.0
ABSTRAK
Chilo sacchariphagus atau penggerek batang tebu bergaris adalah salah satu hama utama yang paling banyak
menyerang tanaman tebu di Perkebunan Cinta Manis Sumatera Selatan. Salah satu faktor yang mempengaruhi
keberadaan hama adalah faktor iklim, yaitu curah hujan, suhu minimum dan maksimum, RH maksimum dan
minimum. Penelitian ini bertujuan menganalisa hubungan antara dinamika populasi hama Chilo sacchariphagus
dan menyusun model simulasi untuk memprediksi populasi hama. Model siklus hidup dan pendugaan populasi
hama ini memanfaatkan model simulasi DYMEX 3.0. Simulasi dilakukan selama lima tahun tanam pada 2008 -
2013. Koefisien determinasi (R2) kalibrasi dan validasi model masing-masing sebesar 76% dan 84%. Model
memprediksi populasi hama menurun dengan tren meningkatnya suhu udara. Namun peningkatan populasi hama
tetap perlu diwaspadai sebab pengaruh perubahan faktor-faktor iklim yang lain.
Kata kunci: Iklim, Penggerek batang tebu, Model simulasi DYMEX 3.0
156
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:155-168
PENDAHULUAN
Salah satu faktor yang menyebabkan
penurunan rendemen tebu adalah serangan hama.
Penggerek batang merupakan salah satu hama
utama yang menyerang perkebunan tebu dan hama
ini terdiri atas beberapa spesies, namun yang
terpenting adalah penggerek berkilat (Chilo
auricilius) dan penggerek bergaris (Chilo
sacchariphagus) atau biasa disebut Chilo sp
(Pramono, 2005; Wirioatmodjo, 1977; Goebel et
al., 2013). Keberadaan Chilo sacchariphagus di
lapangan lebih dominan serta hampir selalu
ditemukan di semua kebun tebu di Indonesia
(Pramono et al., 2009; Indrawanto et al., 2010;
Subiyakto 2016) sehingga nilai tingkat serangan
penggerek batang di Indonesia dapat mewakili
tingkat serangan Chilo sacchariphagus.
Rejeki dan Zahro’in (2013) mencatat
bahwa 31% dari keseluruhan serangan organisme
pengganggu tanaman di Jawa Timur pada triwulan
kedua tahun 2013 merupakan serangan Chilo sp.
Investigasi di Pesantren Baru, Jawa Timur
menemukan bahwa tingkat serangan Chilo sp.
tertinggi tanpa perlakuan pengendalian hama
adalah sebesar 14,5% (Goebel et al., 2011).
Tingkat kerusakan oleh penggerek batang
tebu dinyatakan dalam persentase batang/ruas yang
rusak (Pramono et al., 2009). Goebel et al. (2011)
menyatakan bahwa tingkat serangan Chilo
sacchariphagus sebesar 10% setara dengan
penurunan kandungan sukrosa sebesar 23% (R2 =
0,331). Kerusakan ruas sebesar 1% di perkebunan
Jawa dapat mengakibatkan kerugian gula hingga
100 kg per hektar yang setara dengan kerugian
ekonomi sebesar 0,5% (Pramono, 2005; Yuniarti
dan Yuliyanto, 2013). Dengan demikian,
kerusakan ruas tertinggi di Perkebunan Tebu Cinta
Manis Sumatera Selatan pada periode 2007 – 2013
sebesar 9,91% (Winarno, 2014, Komunikasi
Pribadi) setara dengan kerugian ekonomi sebesar
4,95%. Meidalima dan Kawaty (2014) menemukan
pada serangan berat penggerek batang tebu di
Perkebunan Cinta manis mengakibatkan potensi
kehilangan gula mencapai 30,67%.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika mencatat terjadi tren peningkatan suhu
udara secara merata di seluruh Indonesia.
Perubahan iklim berupa peningkatan suhu udara
dan kenaikan curah hujan diprediksi dapat
meningkatkan serangan hama serangga pada
komoditas pertanian di Indonesia. Penggerek
Batang Padi Kuning diprediksi meningkat di
Indramayu dan Kuningan dalam beberapa tahun ke
depan berdasarkan skenario perubahan iklim SRES
A1FI dan B1 (Koem et al., 2015) serta RCP 2.6
dan 8 (Nurhayati et al., 2017). Pengaruh serupa
diduga juga terjadi pada hama penggerek batang
tebu. Penelitian bertujuan untuk menganalisa
hubungan antara dinamika populasi hama Chilo
sacchariphagus dengan faktor iklim serta
menyusun model simulasi untuk memprediksi
populasi hama tersebut sehingga kerugian dapat
diantisipasi.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilaksanakan di
Laboratorium Agrometeorologi, Departemen
Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian
Bogor pada April 2014 sampai September 2014.
Data iklim harian daerah Palembang dan
sekitarnya diperoleh dari bulan Juni 2008 sampai
Agustus 2013 berupa data curah hujan, suhu udara
minimum, suhu udara maksimum, kelembaban
udara pada pukul 09.00 dan pukul 15.00 dari
stasiun meteorologi Sultan Mahmud Badarudin 2
dengan nomor WMO: 962210 (WIPP) melalui
website tutiempo.com, data persentase serangan
bulanan hama Penggerek Batang Tebu Bergaris
(Chillo sacchariphagus) pada wilayah Perkebunan
Tebu Cinta Manis tahun 2008-2013 dikumpulkan
oleh Bagian Penelitian dan Pengembangan PTPN
VII Unit Usaha Cinta Manis. Data prediksi suhu
udara harian pada tahun 2015-2022 diperoleh
berdasarkan catatan tren suhu oleh BMKG untuk
daerah Palembang dan sekitarnya. Penelitian ini
menggunakan perangkat lunak DYMEX 3.0 untuk
memodelkan dinamika populasi hama serta
Microsoft Excel dalam mengolah data.
157 Model Prediksi Dinamika Populasi Hama Penggerek Batang Tebu Bergaris (Chilo
sacchariphagus) di Perkebunan Cinta Manis Sumatera Selatan
(Muh Dimas Arifin, Yonny Koesmaryono, dan Muhamad Hidayanto1)
Deskripsi Model DYMEX
Model DYMEX merupakan alat
penyusunan dan simulasi model diskrit yang
memanfaatkan konsep kohort. Setiap individu
organisme yang dimodelkan membentuk kohort
baru saat kondisi fisiologis tertentu terpenuhi
(Maywald et al., 2007; Kriticos et al., 2009).
Penyusunan model dinamik populasi hama
penggerek batang tebu bergaris diawali dengan
mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh di
dalam perkembangan fisiologis hama. Faktor-
faktor tersebut diperlukan untuk menentukan
modul yang digunakan dalam model builder
(Gambar 1).
Modul lifecycle menggambarkan
perkembangan siklus hidup hama penggerek
batang tebu bergaris. Perkembangan hama
melewati siklus telur, larva, pupa dan telur
dipengaruhi oleh developmental rate, mortalitas,
transfer, migrasi, fekunditas dan serta reproduksi.
Faktor-faktor tersebut digunakan untuk
mensimulasikan perkembangan populasi hama
dengan pendekatan cohort.
Developmental Rate
Jarosik et al. (2004) menyatakan
Developmental rate (DR) atau laju perkembangan
adalah fungsi linear dari suhu. Perpotongan antara
kurva dan sumbu-x (suhu) menunjukkan lower
development temperature (LDT) yang merupakan
suhu ambang batas bawah perkembangan hama.
Hubungan antara suhu udara (T) dan laju
perkembangan hama serta nilai LDT dari masing-
masing stadia dikemukakan dalam persamaan
dalam Tabel 1 oleh Goebel (2006). Laju
perkembangan menurun pada suhu di atas suhu
optimum (30°C). Persamaan DR pada suhu di atas
suhu optimum didapatkan melalui regresi linear
antara suhu udara dan laju perkembangan hama
berdasarkan data pengamatan Goebel (2006).
Mortalitas
Mortality Rate (MR) atau laju kematian
dinyatakan sebagai fungsi dari suhu. Nilai MR
Tabel 1 Persamaan laju perkembangan dan ambang batas bawah suhu
Stadia Persamaan laju perkembangan Ambang batas bawah suhu (LDT)
Telur 0,0087T – 0,1140 13,1 oC
Larva 0,0017T – 0,0220 12,7 oC
Pupa 0,0058T – 0,0750 13 oC
Imagoa 0,0074T – 0,0121 1,64 oC aberdasarkan data Moth Longevity (Goebel, 2006)
Gambar 1 Diagram model populasi dinamik penggerek batang tebui dalam DYMEX 3.0
158
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:155-168
linear menurun di bawah suhu optimum serta
meningkat saat melewati suhu optimum. MR
dihitung dari data pengamatan Goebel (2006)
dengan menggunakan formula Yonow et al.
(2004):
𝑀𝑅 = 1 − 𝑆𝐷
𝑆𝐷 = 𝑆𝑇
1
𝐷𝐷
Keterangan:
SD : laju survival harian (proporsi)
ST : total individu yang bertahan hidup
DD : waktu perkembangan (hari)
Persamaan mortalitas telur dimodelkan
dengan regresi linear antara suhu udara dan laju
kematian. Mortalitas imago dimodelkan dengan
menggunakan usia fisiologis pada imago,
sedangkan nilai laju kematian larva diasumsikan
konstan dan dimanfaatkan sebagai parameter yang
diubah-ubah pada proses kalibrasi.
Migrasi diasumsikan mengikuti
peningkatan mobilitas seiring kenaikan suhu udara
rata-rata (Koesmaryono, 1999; Child, 2007).
Potensi bertelur yang dihasilkan imago dengan
rasio kelamin 1:1 sebesar 250 butir. Imago betina
bertelur bertahap dengan progeny sebesar 40 butir
tiap kali bertelur yang jumlahnya menurun
terhadap waktu (Kalshoven, 1981; Pramono, 2005;
Goebel, 2006)
Simulasi, kalibrasi dan validasi model
Model simulator dijalankan dengan
memasukkan data meteorologi harian berupa suhu
udara minimum, suhu udara maksimum serta
kelembaban udara pada rentang waktu tahun 2008-
2013 dan letak lintang dari daerah kajian. Data-
data tersebut diolah oleh model simulator sehingga
dihasilkan data simulasi populasi harian.
Pengamatan populasi larva aktual dengan
membelah batang tebu tidak dapat dilakukan
karena akan menyebabkan kerusakan tanaman.
Sehingga data pembanding yang digunakan untuk
kalibrasi dan validasi model didapatkan dari
dugaan populasi larva berdasarkan data persentase
serangan. Kerusakan akibat serangan penggerek
batang dapat diamati sejak tebu berusia 1,5 bulan.
Persentase serangan pada tebu yang belum beruas
(berusia kurang dari 6 bulan) merupakan
perbandingan batang tebu yang terserang dengan
jumlah total batang tebu, sedangkan persentase
serangan tebu yang sudah beruas merupakan
perbandingan antara jumlah ruas yang terserang
dengan jumlah ruas total yang diamati (Pramono et
al., 2009). Hubungan antara usia tanaman dan
jumlah ruas merujuk kepada Hunsigi (2001) serta
asumsi jumlah tanaman 11210 tanaman dalam 10
petak amatan berukuran 10 juring x 10 m
(pengamatan oleh Bagian Litbang PTPN VII UU
Cinta Manis pada tanggal 2 Januari 2014).
Kalibrasi model dilakukan dengan
menggunakan data pada tahun tanam 2008 - 2009.
Kalibrasi dilakukan dengan mengubah parameter
mortalitas pada model lifecycle stadia larva,
sedangkan validasi terhadap model dilakukan
dengan menggunakan data pada tahun tanam 2009
- 2010, 2010 – 2011, 2011 – 2012 ,dan 2012 -
2013. Kesesuaian model dalam proses kalibrasi
dan validasi dinyatakan dalam nilai koefisien
determinasi (R2).
Hubungan Faktor Iklim dengan populasi hama
Luaran model berupa populasi hama harian
dibandingkan dengan data iklim untuk
Tabel 2 Hubungan antara jumlah ruas dan usia tanaman tebu (Hunsigi, 2001)
Fase Tebu Usia tebu (bulan) Jumlah ruas
Germinating 1 - 2 1
Tillering 3 - 4 1
Grand Growth 5 5
Maturation 6 - 14 bertambah 4 ruas / bulan
159 Model Prediksi Dinamika Populasi Hama Penggerek Batang Tebu Bergaris (Chilo
sacchariphagus) di Perkebunan Cinta Manis Sumatera Selatan
(Muh Dimas Arifin, Yonny Koesmaryono, dan Muhamad Hidayanto1)
mendapatkan analisis keterkaitan antara keduanya.
Data iklim yang digunakan adalah data pada
tanggal 1 Juni 2008 sampai 31 Juli 2013 yang
merupakan rentang waktu 5 masa tanam. Analisis
dilakukan terhadap dinamika populasi yang
teramati selama simulasi serta kondisi iklim yang
menyertai. Hubungan antara populasi larva dan
parameter iklim bulanan secara khusus ditampilkan
dalam grafik scatter/pencar serta dianalisis dengan
menggunakan regresi linear. Hubungan antara
parameter iklim dengan populasi bulanan hasil
estimasi dari persentase serangan ditampilkan
untuk mengevaluasi hasil simulasi model.
Prediksi populasi hama
Prediksi populasi hama disimulasikan oleh
model dengan data masukan berupa data prediksi
suhu udara maksimum dan minimum pada tahun
2015-2016, 2018-2019 serta 2021-2022. Data
prediksi suhu udara dihitung dengan
menambahkan tren kenaikan suhu udara tahunan
dari BMKG.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi iklim wilayah kajian dan persentase
serangan hama
Perkebunan Cinta Manis berlokasi di enam
kecamatan kabupaten Ogan Ilir yaitu Indralaya
Kota, Indralaya Selatan, Tanjung Batu, Payaraman,
Lubuk Keliat, serta Rambang Kuang. Letak
astronomis Kabupaten Ogan Ilir berada pada 3o02'
dan 3o48' LS serta 104o20' dan 104o48' BT. Suhu
bulanan di wilayah kabupaten Ogan Ilir seperti
daerah lain di Indonesia yang beriklim tropis tidak
terlalu berfluktuasi. Suhu udara rata-rata selama
bulan Juni 2009 hingga Juli 2013 adalah 27 oC – 29 oC. Suhu udara bulanan minimum rata-rata adalah
23 oC – 25 oC, sedangkan suhu maksimum berkisar
antara 30 oC – 34 oC. Nilai kelembaban udara di
kabupaten Ogan Ilir berfluktuasi pada musim
kemarau dan musim hujan. Nilai RH maksimum
bulanan pada bulan Juni 2009 hingga Juli 2013
adalah 66% - 85%, sementara nilai RH minimum
bulanan pada rentang 56% - 72% (Gambar 2).
Persentase serangan memiliki
kecenderungan tinggi pada saat usia tanaman muda
(Gambar 3). Hal tersebut disebabkan oleh struktur
tanaman muda yang lunak dan sesuai bagi
perkembangan larva hama (Meidalima dan
Kawaty, 2015). Setelah bulan desember dimana
curah hujan meningkat serangan juga turut
meningkat dan umumnya berlanjut hingga akhir
tanam. Tingkat serangan tertinggi terjadi pada
tahun tanam 2010 – 2011 diduga berkaitan dengan
tingginya curah hujan pada tahun tersebut.
Gambar 2 Kondisi iklim bulanan Juni 2008 – Juni 2013 dari stasiun meteorologi Sultan Badarudin 2 (tutiempo.com)
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0
50
100
150
200
250
300
350
400Ju
n-0
8
Sep
-08
Dec
-08
Mar
-09
Jun
-09
Sep
-09
Dec
-09
Mar
-10
Jun
-10
Sep
-10
Dec
-10
Mar
-11
Jun
-11
Sep
-11
Dec
-11
Mar
-12
Jun
-12
Sep
-12
Dec
-12
Mar
-13
Jun
-13
Kel
emb
aban
ud
ara
(%)
Suh
u u
dar
a (°
C)
Cu
rah
Hu
jan
(m
m)
Bulan
Curah hujan RHmin RHmax Suhu Maksimum Suhu Minimum
160
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:155-168
Laju Perkembangan di atas Suhu Optimum dan
Laju Mortalitas
Laju perkembangan dari masing-masing
stadia mengalami penurunan saat suhu udara
melewati suhu optimum. Persamaan (Tabel 1)
dihitung berdasarkan data Goebel (2006).
Persamaan laju mortalitas untuk telur berdasarkan
data Goebel (2006) dinyatakan dengan persamaan
MR = - 0,0148 T + 0,3852 pada T < 25oC, MR =
0,0291 T – 0,7474 pada T >25oC serta MR = 0
pada saat suhu optimum (25oC)
Model Kalibrasi
Gambar 4 menunjukkan perbandingan
antara populasi larva yang diperkirakan model dan
populasi yang diestimasi dari persentase serangan
sebagai data observasi selama bulan juni 2008
hingga bulan juli 2009. Nilai hasil simulasi dan
hasil pengamatan menunjukkan angka yang
berbeda namun memiliki pola yang mirip. Hasil
regresi linear terhadap kedua data populasi
menunjukkan angka koefisien determinasi tertinggi
sebesar 76% pada nilai koefisien mortalitas larva
0,05 (Gambar 4). Koefisien determinasi yang
tinggi menunjukkan model DYMEX dapat
digunakan untuk simulasi dengan rentang waktu
yang lebih lama.
Model Validasi
Validasi dilakukan dengan
membandingkan antara nilai hasil prediksi model
Gambar 3 Perkembangan persentase serangan hama penggerek batang tebu (Winarno, komunikasi pribadi 2013).
-
2,00
4,00
6,00
8,00
10,00
12,00
Jun
i
Juli
Ags
t
Sep
t
Okt
No
p
Des Jan
Peb
Mar
Ap
r
Mei
Jun
i
Juli
Ags
t
Per
sen
tase
ser
anga
n (
%)
Bulan dalam masa tanam
2008 - 2009
2009 - 2010
2010 - 2011
2011 - 2012
2012 - 2013
Tabel 3. Persamaan laju perkembangan di atas suhu optimum berdasarkan data Goebel (2006)
Stadia Persamaan laju perkembangan Suhu optimum
Telur -0,0037T + 0,2661 30 oC
Larva -0,0009T + 0,0548 30 oC
Pupa -0,0196T + 0,6863 30 oC
161 Model Prediksi Dinamika Populasi Hama Penggerek Batang Tebu Bergaris (Chilo
sacchariphagus) di Perkebunan Cinta Manis Sumatera Selatan
(Muh Dimas Arifin, Yonny Koesmaryono, dan Muhamad Hidayanto1)
dan nilai hasil observasi pada waktu yang berbeda
dari kalibrasi. Nilai koefisien determinasi (R2) pada
tahun tanam 2009-2010 sebesar 84% menunjukkan
hubungan yang erat antara populasi larva hasil
prediksi model dan hasil observasi (Gambar 5).
Hasil validasi yang cukup tinggi tersebut
membuktikan bahwa iklim merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi keberadaan hama di
suatu wilayah sesuai dengan pendapat Clark et al.
(1967).
Populasi secara umum mengalami
peningkatan dalam satu tahun tanam. Turunnya
jumlah populasi secara tajam yang terjadi pada
awal musim tanam pada setiap tahunnya terkait
erat dengan ketersediaan makanan. Batang dan
ruas tebu yang merupakan makanan larva masih
tersedia dalam jumlah kecil pada awal musim
tanam. Hal tersebut dikarenakan tebu masih dalam
masa germinating hingga tillering.
Populasi tercatat selalu ada untuk setiap
stadia hama sepanjang tahun. Hal tersebut
disebabkan oleh suhu udara yang tidak pernah
turun hingga ambang batas bawah pertumbuhan
dari masing - masing stadia. Peningkatan populasi
mencapai puncaknya pada bulan-bulan kering yang
merupakan fase pemasakan tebu. Kelembaban
udara dan curah hujan yang rendah didukung oleh
ketersediaan makanan yang melimpah mendorong
Gambar 4 (a) Hubungan antara jumlah populasi larva Chilo sacchariphagus hasil prediksi dan estimasi berdasarkan
serangan hasil kalibrasi (b) jumlah populasi larva bulanan tahun tanam 2008-2009 hasil prediksi (- - -) dan estimasi
berdasar serangan ( - )
Gambar 5. (a) Hubungan antara jumlah populasi larva Chilo sacchariphagus hasil prediksi dan estimasi
berdasarkan serangan hasil validasi (b) jumlah populasi larva bulanan tahun tanam 2009-2010 hasil prediksi (- - -)
dan estimasi berdasar serangan ( - )
162
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:155-168
populasi hama mencapai puncaknya.
Populasi hasil prediksi model dan populasi
larva hasil estimasi dari persentase serangan
bersesuaian tren di awal masa tanam tetapi
menunjukkan perbedaan tren pada bulan April di
setiap tahun tanam (Gambar 6). Populasi hasil
estimasi pada bulan April hingga akhir tahun
tanam secara umum terus naik, sementara kenaikan
populasi hasil simulasi melambat pada periode
tersebut. Puncak populasi hasil simulasi tahun
tanam 2008/2009 dan 2011/2012 terlambat satu
bulan sedangkan pada tahun tanam 2009/2010
terlambat satu bulan. Model hanya mampu
memperkirakan puncak populasi secara tepat pada
tahun tanam 2010/2011 meskipun nilai yang
dimiliki di bawah nilai hasil estimasi populasi.
Pengaruh Parameter Iklim terhadap Populasi
Larva
Hama Chilo sacchariphagus aktif
menyerang batang tebu pada fase larva sehingga
pengaruh parameter iklim terhadap populasi larva
perlu diketahui lebih lanjut. Parameter iklim yang
berpengaruh terhadap populasi larva adalah
parameter iklim seminggu sebelumnya. Hal ini
disebabkan oleh fase telur yang terpapar langsung
oleh faktor iklim yang berlangsung 7 – 9 hari,
sementara larva dan pupa terlindung dari paparan
iklim karena terletak di dalam batang. Namun lag
satu minggu pada analisis diabaikan karena faktor
iklim yang digunakan adalah rataan bulanan.
Populasi larva hasil simulasi model
maupun hasil estimasi berdasar persentase
serangan tersebar hampir merata pada seluruh
rentang suhu minimum, suhu maksimum, suhu
rata-rata, curah hujan serta kelembaban udara
relatif (Gambar 7 dan 8). Hal tersebut
menunjukkan bahwa iklim di Perkebunan Cinta
Manis sesuai dengan yang dibutuhkan oleh larva
Chilo sacchariphagus untuk berkembang.
Suhu udara berpengaruh terhadap proses
metabolisme yang mengendalikan usia fisiologi
dan reproduksi. Dua hal tersebut memiliki dampak
terhadap perkembangan individu serta populasi
(Gillooly et al., 2002; Brown et al., 2004). Model
simulasi menunjukkan korelasi positif antara suhu
minimum dengan populasi dengan koefisien
determinasi sebesar 1,6%. Hal serupa ditunjukkan
pula pada populasi hasil estimasi berdasarkan
persentase serangan dengan R2 lebih tinggi sebesar
11,3%. Suhu minimum yang semakin tinggi
(mendekati 25oC) menyebabkan populasi larva
aktual bertambah tinggi. Hubungan tersebut sesuai
dengan Goebel (2006) yang menyatakan bahwa
suhu optimum bagi Chilo sacchariphagus untuk
bertelur adalah pada 25oC.
Sementara itu, suhu maksimum yang
tinggi menyebabkan populasi cenderung menurun.
Kenaikan suhu maksimum menyebabkan cekaman
panas yang meningkatkan mortalitas hama. Nilai
koefisien determinasi pada model mencapai 10,5%
sedangkan pada kondisi aktual hanya 0,4%. Hal ini
Gambar 6. Populasi larva Chilo sacchariphagus hasil simulasi model (- - -), estimasi berdasar serangan (-) .
0
10000
20000
30000
40000
50000
60000Ju
n-0
8
Sep-0
8
Dec-0
8
Ma
r-0
9
Ju
n-0
9
Sep-0
9
De
c-0
9
Ma
r-1
0
Ju
n-1
0
Sep-1
0
De
c-1
0
Ma
r-1
1
Ju
n-1
1
Sep-1
1
Dec-1
1
Ma
r-1
2
Ju
n-1
2
Sep-1
2
De
c-1
2
Ma
r-1
3
Ju
n-1
3
La
rva
(e
ko
r)
Bulan simulasi
163 Model Prediksi Dinamika Populasi Hama Penggerek Batang Tebu Bergaris (Chilo
sacchariphagus) di Perkebunan Cinta Manis Sumatera Selatan
(Muh Dimas Arifin, Yonny Koesmaryono, dan Muhamad Hidayanto1)
menunjukkan bahwa pengaruh suhu maksimum
terhadap dinamika populasi dimodelkan lebih
besar dari sebenarnya.
Suhu rata – rata bulanan memiliki korelasi
negatif terhadap populasi larva Chilo
sacchariphagus hasil model dengan koefisien
determinasi sebesar 5,6%. Sementara itu koefisien
determinasi antara suhu terhadap populasi hasil
estimasi hanya 0,4% serta bernilai negatif. Hal ini
menunjukkan bahwa model belum mampu
menggambarkan pengaruh suhu rata – rata
terhadap populasi larva.
Hubungan antara curah hujan kumulatif
bulanan dan populasi sangat kecil. Hal ini
ditunjukkan dengan korelasi senilai 1,3% (model
simulasi) dan 1,7% (data estimasi). Nilai korelasi
pada model yang mendekati nilai korelasi aktual
menunjukkan bahwa model cukup baik
menggambarkan pengaruh curah hujan. Namun
korelasi yang bernilai positif menunjukkan bahwa
Gambar 7. Unsur iklim bulanan dan sebaran populasi larva Chilo sacchariphagus bulanan hasil simulasi pada Juni
2008 – Juli 2013
164
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:155-168
bertambahnya curah hujan justru menyebabkan
populasi larva bertambah. Hal ini tidak sesuai
dengan dugaan bahwa curah hujan menyebabkan
turunnya populasi dengan menyapu telur pada
permukaan atas daun. Peningkatan populasi oleh
curah hujan diduga terjadi secara tidak langsung
melalui terhambatnya perkembangan parasit kecil
dalam kondisi basah/curah hujan tinggi (Speight et
al., 2008; Meidalima dan Kawaty, 2015).
Hubungan populasi larva dan kelembaban
relatif minimum dan maksimum dimodelkan oleh
DYMEX dengan cukup tinggi. Hal tersebut
ditunjukkan dengan nilai koefisien determinasi
sebesar 12,5% (RH minimum) dan 12,8% (RH
maksimum). Sementara itu, koefisien determinasi
yang ditunjukkan oleh populasi hasil estimasi
hanya 7,7% untuk RH minimum dan 7,9% untuk
RH maksimum. Tubuh serangga yang memiliki
rasio antara luas permukaan dan volume tinggi
Gambar 8. Unsur iklim bulanan dan sebaran populasi larva Chilo sacchariphagus bulanan hasil estimasi dari
persentase serangan pada Juni 2008 – Juli 2013
165 Model Prediksi Dinamika Populasi Hama Penggerek Batang Tebu Bergaris (Chilo
sacchariphagus) di Perkebunan Cinta Manis Sumatera Selatan
(Muh Dimas Arifin, Yonny Koesmaryono, dan Muhamad Hidayanto1)
sangat mudah kehilangan air dalam proses
penguapan (Mavi dan Tupper, 2004).
Populasi larva mencapai kondisi optimal
pada RH minimum sebesar 70% dan RH
maksimum sebesar 80%. Larva diperkirakan
mencapai populasi di atas 10.000 ekor pada
rentang tersebut. Hal ini bersesuaian dengan Child
(2007) bahwa serangga tumbuh optimum pada RH
tinggi di atas 70%.
Prediksi populasi hama
Dinamika populasi hama Chilo
sacchariphagus pada tahun tanam 2015-2016,
2018-2019 serta 2021-2022 dimodelkan dengan
asumsi kenaikan suhu minimum sebesar 0,0409
C/tahun dan suhu maksimum rata-rata sebesar
0,0315 C/tahun (BMKG, 2018). Hasil simulasi
menunjukkan tren dinamika populasi menurun
selama tiap tahunnya (Gambar 9). Hal ini
disebabkan oleh tingginya suhu udara maksimum
yang sehingga mendekati ambang atas suhu hama
menyebabkan meningkatnya mortalitas dalam
tahun-tahun ke depan. Meski demikian, tetap perlu
diwaspadai terjadinya peningkatan populasi hama
pada bulan-bulan pertengahan hingga akhir masa
tanam dimana model cenderung under estimate
terhadap populasi sebenarn
Salah satu faktor yang diduga
menyebabkan ketidak sesuaian hasil simulasi
model pada pertengahan tanam hingga akhir adalah
terdapat menurunnya laju mortalitas hama pada
stadia larva yang diasumsikan konstan dalam
model. Perubahan laju mortalitas larva dapat
disebabkan oleh interaksi antara hama, tanaman,
dan musuh alami hama. Masing-masing faktor
tersebut juga terdampak oleh kondisi iklim
(Nurindah dan Yulianti, 2018). Model yang lebih
integratif mencakup pengaruh iklim terhadap
tanaman inang dan musuh alami hama perlu
disusun untuk menanggulangi kelemahan prediksi
model ini.
KESIMPULAN
Model DYMEX mampu menggambarkan
dinamika populasi hama Chilo sacchariphagus
dengan baik, khususnya pada bulan-bulan awal
pertumbuhan inang tebu dengan koefisien
Gambar 9. Prediksi Dinamika populasi larva C. saccharipagus pada tahun tanam 2015/2016, 2018-2019 dan 2021-
2022
166
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:155-168
determinasi kalibrasi dan validasi masing-masing
sebesar 76% dan 84%. Simulasi model
mengindikasikan penurunan populasi hama
penggerek batang tebu pada tahun-tahun
mendatang sebagai respon kenaikan suhu udara
minimum dan maksimum. Namun, serangan hama
tersebut tetap perlu diwaspadai sebab terdapat
faktor-faktor lain yang belum dipertimbangkan
oleh model.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih kepada Winarno, S.P.
dari PTPN VII UU Cinta manis atas dukungan data
serangan hama penggerek tebu dan kepada Dr
Sumedi S.P, M.Si. atas bimbingan dalam penulisan
karya tulis ini.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika.
2018. Perubahan Iklim : Tren Suhu.1981 –
2016. www.bmkg.go.id
Brown, J.H., J.F. Gillooly, A.P. Allen, V.M.
Savage, G.B. West. 2004. Toward a
Metabolic Theory of Ecology. Ecology.
85(7):1771–1789.doi: 10.1890/03-9000.
Child, R.E. 2007. Insect Damage as Function of
Climate. Di dalam: Padfield T, Borchersen
K, editor. Museum Microclimates.
Copenhagen (DK): National Museum of
Denmark. hlm 57-60
Clark, L.R, P.W. Geier, R.D. Hughes, R.F. Morris.
1967. The Ecology of Insect Populations in
Theory and Practice. London (GB):
Chapmann and Hall.
Gillooly, J.F., E.L. Charnov, G.B. West, V.M.
Savage, J.H. Brown. 2002. Effects of Size
and Temperature on Developmental Time.
Nature.417:70–73.doi: 10.1038/417070a.
Goebel, F-R, E. Achadian, P. McGuire. 2013.
Economic Impact of Sugarcane Moth Borers
in Indonesia. Proc Int Soc Sugar Cane
Technol. Vol 28(8): p. 1-10, doi:
10.1007/s12355-013-0281-2.
Goebel, F-R, E. Achadian, A. Kristini, M. Sochib,
H. Adi. 2011. Investigation of Crop Losses
Due to Moth Borers in Indonesia. Proc Aust
Soc Sugar Cane Technol (2011) vol 33:1-9.
Goebel, F-R. 2006. The effect of temperature on
development and reproduction of the
sugarcane stalk borer, Chilo sacchariphagus
(Bojer 1856). African Entomology Vol
14(1): p. 103–111.
Hunsigi, G. 2001. Sugarcane in Agriculture and
Industry. Bangalore (IN): Prism Books Pvt
Ltd
Indrawanto, C., Purwono, Siswanto, M. Syakir,
Rumini W. 2010. Budidaya dan Pasca
Panen Tebu. Jakarta (ID): ESKA Media
Jarosik, V., L. Kratochvil, A. Honek, A.F.G.
Dixon. 2004. A general rule for the
dependence of developmental rate on
temperature in ecthotermic animals. Proc R
Soc Lond B vol 271: p S219-S221. doi:
10.1098/rsbl.2003.0145
Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests of Crops in
Indonesia. Revised and Translated By P.A.
van der Laan. Jakarta (ID): Ichtiar Baru –
Van Hoeve
Koem, Y. Koesmaryono, Impron. 2015.
Pemodelan fenologi populasi penggerek
batang padi kuning Scirpophaga incertulas
(Walker) berbasis pengaruh iklim. Jurnal
entomologi Indonesia vol 11(1): hal. 1-10.
doi:10.5994/jei.11.1.1
Koesmaryono, Y. 1999. Hubungan Cuaca-Iklim
Dengan Hama dan Penyakit Tanaman. Di
dalam: Koesmaryono Y, Impron, Sugiarto
Y, editor. Pelatihan Dosen-dosen Perguruan
Tinggi Negeri Indonesia Bagian Barat
dalam Bidang Agroklimatologi (Buku 2);
1999 Feb 1-12; Bogor, Indonesia. Bogor
(ID): Ditjen DIKTI Depdikbud dan FMIPA
IPB. Hal. 90-108
Kriticos, D.J., M.S. Watt, T.M. Withers, A.
Leriche, M.C. Watson. 2009. A process-
based population dynamics model to explore
167 Model Prediksi Dinamika Populasi Hama Penggerek Batang Tebu Bergaris (Chilo
sacchariphagus) di Perkebunan Cinta Manis Sumatera Selatan
(Muh Dimas Arifin, Yonny Koesmaryono, dan Muhamad Hidayanto1)
target and non-target impacts of a biological
control agent. Ecological Modelling 220:p.
2035–2050.
Mavi, H.S. and G.J. Tupper. 2004.
Agrometeorology. New York (US): Haworth
Press.
Maywald, G.F., D.J. Kriticos, R.W. Sutherst, W.
Bottomley. 2007. DYMEX Model Builder
Version 3: User’s Guide. Melbourne (AU):
Herne Scientific Software Pty Ltd.
Meidalima, D dan R.R. Kawaty. 2014. Potensi
Kehilangan Gula Oleh Chilo
sacchariphagus di Pertanaman Tebu Lahan
Kering Cinta Manis Ogan Ilir. Prosiding
Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014.
Palembang, 26-27 September 2014. Pusat
Unggulan Riset Pengembangan Lahan
Suboptimal, Universitas Sriwijaya: hal. 98-
103.
Meidalima, D dan R.R. Kawaty. 2015. Eksplorasi
dan Pengamatan Intensitas Serangan Hama
Penting Tanaman Tebu di PTPN VII, Cinta
Manis Sumatera Selatan. Biosaintifika 7 (1):
hal. 68 – 76.
doi:10.15294/biosaintifika.v7i1.3541.
Nurhayati, E, Y. Koesmaryono, Impron. 2017.
Predictive Modeling of Rice Yellow Stem
Borer Population Dynamics under Climate
Change Scenarios in Indramayu. IOP Conf.
Ser.: Earth Environ. Sci. (2017) 58 012054 :
p. 1-10 doi:10.1088/1755-1315/58/1/012054
Nurindah dan T. Yulianti. 2018. Strategi
Pengelolaan Serangga Hama dan Penyakit
Tebu dalam Menghadapi Perubahan Iklim.
Buletin Tanaman Tembakau, Serat &
Minyak Industri Vol 10(1): hal. 39-53
Pramono, D, R. Hermawan, M.M. Sulistyana,
Mudakir, Harianto. 2009. Pelaksanaan dan
Manfaat Program Early Warning System
(EWS) di Kawasan PG Bungamayang –
Lampung, PTPN VII Persero Periode Tanam
2006/2007 – 2008/2009. Pasuruan (ID):
P3GI. [6 Maret 2014].
http://www.sugarresearch.org/index.php/ews
-di-pg-bungamayang.htm
Pramono, D. 2005. Pengelolaan Hama Tebu
Secara Terpadu.Volume – 2. Malang (ID):
Dioma
Rejeki, T dan E. Zahro’in. 2013. Fluktuatif
Serangan Penggerek Batang Tebu (Chilo
sp.) di Wilayah Kerja Balai Besar
Perbenihan dan Proteksi Tanaman
Perkebunan (BBPPTP) Surabaya pada
Triwulan II 2013.Surabaya (ID): BBPPTP.[
6 Maret 2014].
http://ditjenbun.deptan.go.id/bbpptpsurabaya
/tinymcpuk/gambar/file/7.%20FLUKTUATI
F%20SERANGAN%20CHILO%20sp%20-
%20Kiki%20Erna.pdf
Speight, M.R., M.D. Hunter, A.D. Watt. 2008.
Ecology of Insect: Concept and Aplication.
Chichester (UK): Wiley-Blackwell.
Subiyakto. 2016. Hama penggerek tebu dan
perkembangan teknik pengendaliannya.
Jurnal Litbang Pertanian Vol 35 (4):hal.
179-186.
Wirioatmodjo, B. 1977. Biologi lalat Jatiroto,
Diatraeophaga striatalis Townsend, dan
penerapannya dalam pengendalian
Penggerek Berkilat, Chilo Auricilius
Dudgeon [disertasi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor
Yonow, T, M.P. Zalucki, R.W. Sutherst, B.C.
Dominiak, G.F. Maywald, D.A. Maelzer,
D.J. Kriticos. 2004. Modelling the
population dynamics of the Queensland fruit
fly, Bactrocera (Dacus) tryoni: A cohort-
based approach incorporating the effect of
weather. Ecological Modelling. Vol (173):
p. 9-30
Yuniarti, F dan Y. Yulianto. 2013. Serangan Chilo
sacchariphagus pada Tebu di Wilayah
Provinsi Jawa Timur pada Bulan Agustus
2013. Surabaya (ID): BBPPTP. [Internet]. [6
Maret 2014].
http://ditjenbun.pertanian.go.id/bbpptpsurab
aya/
168
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.3, No.2, Desember 2018:155-168
169 Pengaruh Sistem Tanam terhadap Produktivitas dan Serangan Opt Beberapa Varietas Unggul
Padi (Teddy Wahyana Saleh dan Awaludin Hipi)
PENGARUH SISTEM TANAM TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN SERANGAN OPT BEBERAPA VARIETAS UNGGUL PADI
Teddy Wahyana Saleh dan Awaludin Hipi Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo
Jl. Muh. Van Gobel No. 270 Iloheluma, Tilongkabila Bone Bolango Gorontalo
Email : [email protected]
ABSTRACT
The Effect of Plant Systems on Productivity and Several Options of Superior Rice Varieties. The
study of the effect of the planting system on productivity and pest attack on several superior varieties of rice. This
research was held in Posso Village, Kwandang District, Gorontalo Utara Regency during on the rainy
season2017/2018. This research to find out effect of the Tabela system (direct seeding) and Tapin system
(transplanting) on the growth and yield of several rice varieties. The treatment consists of two factors : varieties
(Ciherang, Inpari 30, Inpari 41) and planting systems (Tabela and Tapin System). Every treatments use area 0,25
ha. The treatment arranged factorially (2X3) in a randomized block design and repeated four times. Parameters
observed included: plant growth, yield and yield components of rice.Data were analyzed by variance and
continued with DMRT tests at a rate of 5%.The results showed that the Ciherang variety in the Tabela system
showed better growth and yield of 5.725 t / ha compared to other varieties in two different planting systems.Effect
of the planting system on the growth and yield of wetland rice in the Tabela system (direct planting) showed better
results at 5.246 t / ha than the Tapin system (transplanting) 3,735 t / h.The parameters for observing OPT are stem
borers attacks and rice leaf rollers attacks
Keywords: Tabela, Tapin, Productivity, Intencity attack
ABSTRAK
Kajian Pengaruh sistim tanam terhadap produktivitas dan serangan OPT beberapa varietas unggul padi telah
dilaksanakan di Desa Posso, Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara pada MH 2017/2018 bulan Mei-
Agustus 2018. Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui pengaruh sistim Tabela (tanam benih langsung) dan
Tapin (tanam pindah) terhadap pertumbuhan dan hasil beberapa varietas padi .Perlakuan terdiri atas dua faktor,
Faktor pertama adalah varietas (Ciherang, Inpari 30, dan Inpari 41). Faktor kedua adalah sistem tanam (Tabela dan
sistem tanam Tapin). Masing-masing varietas dan sistem tanam menggunakan lahan seluas 0,25 ha Perlakuan
disusun secara faktorial (2X3) dengan rancangan acak kelompok dan diulang empat kali. Parameter yang diamati
meliputi: pertumbuhan tanaman, komponen hasil dan hasil padi. Data dianalisis dengan sidik ragam dan dilanjutkan
dengan uji DMRT pada taraf 5 %. Hasil pengkajian menunjukkan varietas Ciherang pada sistem tanam Tabela
memberikan pertumbuhan dan hasil lebih baik yaitu 5,725 t/ha dibandingkan dengan varietas lain pada dua sistem
tanam yang berbeda. Pengaruh sistim tanam terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah pada sistim Tabela (tanam
benih langsung) memberikan hasil lebih baik yaitu 5,246 t/ha daripada sistim Tapin (tanam pindah) 3,735 t/h.
Parameter pengamatan OPT adalah intensitas serangan penggerek batang dan hama putih palsu.
Kata kunci: Tabela, Tapin, Produktivitas, intensitas serangan hama
170 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:169-177
PENDAHULUAN
Padi (Oryza sativa L.) merupakan
komoditas strategis penghasil beras yang menjadi
makanan pokok sebagian besar penduduk
Indonesia.upaya peningkatan produksi beras terus
dilakukan oleh Pemerintah seiring dengan
bertambahnya jumlah penduduk yang
mengkonsumsi beras. Pemerintah melakukan
beberapa cara untuk kembali berswasembada beras
seperti yang telah dicapai pada tahun 1994 dengan
kegiatan intensifikasi lahan, peningkatan sarana
produksi dan penggunaan varietas unggul (Abid,
2015).
Terdapat beberapa cara penanaman padi
yang biasa dilakukan petani pada umumnya yaitu:
sistem Tanam Benih Langsung (Tabela), System of
Rice Intensification (SRI) dan Pindah tanam atau
Transplanting (Tapin) (Pandawani, 2012).Dalam
upaya peningkatan produksi, petani harus
menerapkan teknologi yang bersifat spesifik lokasi,
salah satunya dengan perbaikan sistem tanam yaitu
“Tabela”. Bila dibandingkan dengan sistem tanam
Tapin, Tabela memiliki beberapa keunggulan di
antaranya terjadi efektivitas dan efisiensi karena
waktu tanam cepat, tenaga tanam sedikit dan biaya
tanam bisa dikurangi serta pemupukan lebih efisien
dan mudah karena dilakukan pada larikan saja.
Pengamatan dan pengendalian OPT lebih mudah
dilaksanakan. Anakan padi lebih kuat dan tidak
mengalami stagnasi (stres).
Air yang belakangan juga kerap menjadi
masalah utama yang harus dihadapi petani bisa
diatasi, karena dengan sistem Tabela terjadi
efisiensi dalam penggunaan air dimana pengairan
terputusputus (macak -macak) dan dengan sistem
Tabela anakan banyak dan bulir-bulir padi juga
bernas karena sinar matahari bisa masuk dengan
leluasa pada larikan-larikan yang dibuat ( Mulyanti
dan Sianiapar, 2015). Tanam padi dengan sistem
Tabela sudah pernah dilaksanakan di beberapa
subak di Bali pada tahun 2011, produktivitas cukup
signifikan, yang mana dengan Tabela, rata - rata
propitas tercapai 70,00 - 82,40 Kw/Ha GKP,
sedangkan dengan tanam Tapin (tanaman pindah)
yang hanya mencapai 65,00 - 68,00 Kw/Ha GKP (
Redaksi Galang Kangin, 2012).
Tanam padi dengan sistem tabela ini dapat
menjadi alternatif, karena memberikan beberapa
keunggulan dari cara tanam konvensional karena
dirasa lebih efisien, khususnya pada saat musim
kemarau. Pada sistem tabela ini, sebelum benih
ditabur ke lahan terlebih dahulu di kecambahkan di
dalam karung yang basah selama 2 hari sampai
calon akarnya kelihatan.Teknik Tabela dalam
pengkajian ini diintroduksikan menggunakan alat
tanam benih langsung (Atabela) yang dirakit Balai
Besar Alat Mesin Pertanian (BBA) atau
dikenalAtabela tipe BBA. Benih yang telah
berkecambah kemudian dimasukan kedalam
Atabela.
Penelitian ini bertujuan mengetahui
pengaruh sistem tanam terhadap produktivitas dan
serangan OPT beberapa varietas unggul padi.
METODE
Pengkajian dilaksanakan di Desa Posso
Kecamatan Kwandang Kabupaten Gorontalo Utara
pada bulan Mei sampai bulan Juli tahun 2018.
Tujuan pengkajian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh sistim Tabela (tanam benih langsung)
dan Tapin (tanam pindah) terhadap pertumbuhan
dan hasil beberapa varietas padi serta serangan
beberapa jenis OPT. Perlakuan terdiri atas dua
faktor, faktor pertama sistem tanam Tabela dan
sistem tanam Tapin.
Faktor kedua varietas (Ciherang, Inpari 30,
Inpari 41,). Luas lahan 0,25 ha untuk masing-
masing varietas dan cara tanam. Perlakuan disusun
secara faktorial (2X3) dengan rancangan acak
kelompok dan diulang empat kali. Pengolahan
tanah untuk kedua sistim tanam dilakukan dengan
cara dibajak. Cara tanam sistim tabela, benih padi
langsung ditanam dengan jarak tanam 25 cm X 25
cm, sedangkan cara tanam sistem Tapin, benih
disemaikan dahulu, setelah berumur 21 hari
tanaman dipindah ke lahan dengan jarak tanam 30
cm X 30 cm. Luas masing – masing perlakuan
adalah 0,25 hektar.
171 Pengaruh Sistem Tanam terhadap Produktivitas dan Serangan Opt Beberapa Varietas Unggul
Padi (Teddy Wahyana Saleh dan Awaludin Hipi)
Waktu tanam Tabela bersamaan dengan
waktu semai Tapin. Dosis pupuk pada masing-
masing perlakuan adalah sama yaitu: Urea
sebanyak 250 kg/ha diberikan pada awal tanam
sebanyak 150 kg, dan pada umur 21 hari sebanyak
50 kg, serta pada umur 45 hari sebanyak 50 kg.
Pupuk SP36 sebanyak 150 kg diberikan pada awal
tanam, Pupuk KCl sebanyak 100 kg diberikan pada
awal tanam. Pemeliharaan tanaman meliputi
pengendalian gulma, hama dan penyakit
disesuaikan dengan konsep PHT (pengendalian
hama terpadu). Parameter yang diamat meliputi :
tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, jumlah
gabah isi, jumlah gabah hampa dan hasil (GKP).
Sedangkan, Parameter pengamatan hama
yang dilakukan ádalah menghitung intensitas
serangan dan populasi hama. Pengamatan
dilakukan setiap minggu. Intensitas serangan
penggerek batang padi dihitung dengan
menggunakan rumus (Direktorat Perlindungan
tanaman Pangan, 2018) sebagai berikut :
I = a
X 100 % a+b
dengan penjabaran :
I = intensitas serangan
a = jumlah anakan yang terserang
b = jumlah anakan yang tidak terserang.
Intensitas serangan penggerek batang padi
dihitung dengan menggunakan rumus (Direktorat
Perlindungan tanaman Pangan, 2018) sebagai
berikut :
I = Σ(nixvi)
X 100 % (NxV)
dengan penjabaran :
I = Intensitas Serangan
ni = Jumlah Tanaman atau Bagian Tanaman
Contoh dengan Skala Kerusakan vi
vi = Nilai Skala Kerusakan Contoh
N = Jumlah Tanaman atau Bagian Tanaman
Contoh yang Diamati
Z = Nilai Skala Kerusakan Tertinggi
Nilai skala kerusakan beberapa jenis OPT
penting pada beberapa tanaman pangan (padi dan
jagung) yang sering digunakan oleh pengamat
lapangan adalah sebagai berikut (Sunoto, 2003) :
1 = Serangan / kerusakan kurang dari 25 %
2 = Serangan antara 25 – 50 %
3 = Serangan antara 50 – 75 %
4 = Serangan> 75 %
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh sistem tanam terhadap pertumbuhan
dan hasil
Secara umum hasil rata-rata parameter
pengamatan terhadap komponen pertumbuhan
menunjukan bahwa sistem tanam Tabela lebih
unggul jika dibandingkan dengan sistem tanam
Tapin (Tabel 1).
Hasil pengamatan jumlah anakan produktif
dan hasil GKP pada sistem tanam Tabela lebih
unggul dari sistem tanam tapin dan berbeda
nyata.Hasil rata-rata tinggi tanaman, jumlah gabah
isi panjang malai lebih unggul tetapi tidak berbeda
nyata. Jumlah jumlah anakan produktif yang
dihasilkan tanaman akan mempengaruhi bobot
produksi dan bobot gabah kering panen. Jumlah
anakan produktif merupakan salah satu indikator
produksi padi..
Jumlah anakan perumpun pada sistem
Tabela 40,67 batang nyata lebih tinggi dari jumlah
anakan pada sistem Tapin yaitu 34,96 batang atau
terjadi peningkatan jumlah anakan secara nyata
16,33 % pada sistem Tabela dibandingkan dengan
sistem Tapin. Jumlah anakan produktif perumpun
pada sistem Tabela mencapai 26,64 batang
sedangkan pada system Tapin 18,34 batang. Pada
sistem Tabela terjadi peningkatan jumlah anakan
produktip secara nyata yaitu 45,25 % dibandingkan
Tapin (Tabel 1).
172 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:169-177
Tabel 1.Pengaruh Sistim Tanam terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi beberapa Varietas Padi.Kwandang MH
2017/2018
Varietas
Parameter
tinggi
tanaman
(cm)
jumlah anakan
produkif
(batang)
panjang
malai (cm)
jumlah
gabah isi
(butir)
gabah
hampa
(butir)
bobot 100
benih
(gram)
Hasil
GKP
(ton/ha)
Tapin 88.70 a 28.51 b 23.45 a 124.18 a 24.94 a 25.43 a 3.73 b
Tabela 89.88 a 30.55 a 23.64 a 125.98 a 26.08 a 25.29 a 5.25 a
KK (%) 3.34 17.91 3.358 7.686 29.75 3.653 14.05
Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada 0.05 DMRT.
Panen dilakukan pada saat cuaca
terang.Padi dipanen pada umur antara 80-110 hari
setelah tanam. Kriteria tanaman padi yang siap
dipanen adalah sebagai berikut : Umur tanaman
telah mencapai umur yang tertera pada deskripsi
varietas tersebut. Daun bendera dan 90% bulir padi
telah menguning. Malai padi menunduk karena
menopang bulirbulir yang bernas.Butir gabah
terasa keras bila ditekan.Panen dilakukan dengan
caramemotong batang berikut malainya.
Tabela memberikan hasil gabah kering
panen 5,246ton perhektar yaitu 6,81 % nyata lebih
tinggi dari pada hasil gabah kering panen pada
sistim Tapin yang mencapai 3,735 ton perhektar.
Hasil ini diperoleh karena pada sistim Tabela
persentase gabah berisi juga lebih tinggi yang juga
memberikan hasil panen yang lebih tinggi. Gabah
berisi merupakan salah satu indikator produktivitas
karena semakin tinggi gabah berisi dapat menjadi
kriteria dari masa pertumbuhan generatif dan
reproduktif yang cukup baik.
Pengaruh varietas terhadap pertumbuhan dan
hasil
Hasil rata-rata pengamatan terhadap
komponen pertumbuhan dan hasil dari tiga
varietas, secara umum varietas Inpari 41
memberikan pertumbuhan dan hasil lebih unggul
dibandingkan dengan varietas Inpari Ciherang dan
Inpari 30 . inpari 41 merupakan varietas unggul
Tabel 2.Pengaruh Varietas terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi beberapa Varietas Padi. Kwandang MH 2017/2018
Varietas
Parameter
tinggi tanaman
(cm)
jumlah
anakan
produkif
(batang)
panjang
malai (cm)
jumlah
gabah isi
(butir)
gabah
hampa
(butir)
bobot 1000
benih
(gram)
Hasil
GKP
(ton/ha)
Ciherang 89.56 Ab 33.15 a 23.36 a 108.06 b 20.31 b 26.79 a 4.79 a
Inpari 30 91.10 A 28.15 b 23.67 a 116.39 b 23.74 b 25.75 b 4.38 a
Inpari 41 87.21 b 27.30 b 23.60 a 150.78 a 32.49 a 23.55 c 4.30 a
KK (%) 3.34 17.91 3.36 7.69 29.75 3.65
14.05
Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada 0.05 DMRT.
173 Pengaruh Sistem Tanam terhadap Produktivitas dan Serangan Opt Beberapa Varietas Unggul
Padi (Teddy Wahyana Saleh dan Awaludin Hipi)
padi sawah tadah hujan yang memiliki potensi
hasil 7,83 t/Ha agak peka terhadap kekeringan
sehingga cocok di ekosistem sawah dataran rendah
(Badan Litbang Pertanian, 2018)
Hasil GKP menunjukan Varietas Ciherang
memberikan hasil yang lebih baik yaitu sebesar
4,791 t/ha tapi tidak berbeda nyata dengan hasil
varietas Inpari 30 dan Inpari 41.
Pengamatan jumlah gabah produktif
panjang malai varietas ciherang lebih unggul dan
berbeda nyata. Pengamatan tinggi tanaman pada
tiga varietas yang diuji menunjukkan bahwa
varietas Inpari 30 lebih Unggul dan berbeda nyata
dengan Inpari 41, tetapi tidak berbeda nyata
dengan Ciherang (Tabel 2), sedangkan pada
pengamatan jumlah anakan, varietas Ciherang
lebih tinggi dibandingkan dengan Inpari 30 dan
Inpari 41.
Pengamatan gabah hampa pada ketiga
varietas tidak menunjukkan varietas Inpari 41 lebih
tinggi dibandingkan varietas Ciherang dan Inpari
30.Hasil gabah kering panen, varietas Ciherang
memberikan hasil tertinggi, namun tidak berbeda
nyata dengan varietas Inpari 30 dan Inpari 41.
Pengaruh interaksi sistem tanam dan varietas
terhadap pertumbuhan dan hasil
Pengaruh interaksi varietas dan sistim
tanam terhadap pertumbuhan dan hasil dapat
dilihat pada tabel 3.
Varietas Inpari Ciherang terhadap sistim
tanam tabela memberikan hasil yang lebih baik
jika dibandingkan dengan sistim tanam pindah
(Tapin) yaitu sebesar 5,735 t/ha dan berbeda nyata
dengan sistim tanam pindah sebesar 3,848 t/ha.
Varietas Inpari 30 terhadap sistim tanam
tabela memberikan hasil yang lebih baik jika
dibandingkan dengan sistim tanam pindah (Tapin)
yaitu sebesar 5,12 t/ha dan berbeda nyata dengan
sistim tanam pindah sebesar 3,54 t/ha.
Tabel 3.Pengaruh Interaksi Varietas dan Sistim Tanam terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi beberapa Varietas Padi.
Kwandang MH 2017/2018
Varietas
/sistem
tanam
Parameter
tinggi
tanaman
(cm)
jumlah
anakan
produkif
(batang)
panjang
malai (cm)
jumlah
gabah isi
(butir)
gabah
hampa
(butir)
bobot 1000
benih (gram)
Hasil GKP
(ton/ha)
Ciherang
Tapin 88.22 ab 32.50 a 23.34 a 100.67 b 25.1 b 26.47 ab 3.85 b
Tabela 90.90 ab 33.80 a 23.39 a 115.45 b 15.52 b 27.1 a 5.73 a
Inpari 30
Tapin 90.15 ab 27.70 a 23.56 a 115.43 b 23.47 b 26.37 ab 3.547 b
Tabela 92.05 a 28.60 a 23.77 a 117.35 b 24.00 b 25.12 bc 5.21 a
Inpari 41
Tapin 87.72 ab 25.35 a 23.44 a 156.43 a 26.25 b 23.45 cd 3.81 b
Tabela 86.70 b 29.25 a 23.77 a 145.13 a 38.72 a 23.65 d 4.79 a
KK (%) 3.34 17.91 a 3.36 7.69 29.7 3.65 14.05
Keterangan: Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada 0.05 DMRT.
174 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:169-177
Varietas Inpari 41 terhadap sistim tanam
tabela memberikan hasil yang lebih baik jika
dibandingkan dengan sistim tanam pindah yaitu
sebesar 4.78 t/ha dan berbeda nyata dengan sistim
tanam tapin sebesar 3,81 t/ha.
Teknik penanaman yang ditetapkan dalam
bidang pertanian dimaksudkan untuk menaikkan
hasil dan meningkatkan produktivitas usaha tani
padi adalah dengan dikembangkannya teknologi
dari sistem tanam pindah (Tapin) yang melalui
persemaian ke sistim tanam benih langsung
(Tabela).Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ni
Putu Pandawani (2006) menunjukkan bahwa
tanam benih langsung berbeda nyata pertumbuhan
dan hasil padi dengan system tanam pindah.
Teknik budidaya system Tabela
dikembangkan untuk menghindari serangan OPT
terutama serangan penyakit tungro yang
disebabkan oleh wereng hijau sebagi vektor
dipersemaian.Infeksi tungro biasanya lebih rendah
pada Tabela karena lebih tingginya populasi
tanaman jika dibandingkan tanam pindah (Tapin).
(Gonzaga, 2010)
Guna memantapkan peningkatan produksi,
petani harus menerapkan teknologi yang bersifat
spesifik lokasi, salah satunya dengan perbaikan
sistem tanam yaitu “Tabela”.Jika dibandingkan
dengan sistem tanam Tapin, Tabela memiliki
beberapa keunggulan di antaranya terjadi
efektivitas dan efisiensi karena waktu tanam cepat,
tenaga tanam sedikit dan biaya tanam bisa
dikurangi serta pemupukan lebih efisien dan
mudah karena dilakukan pada larikan saja.
Pengamatan dan pengendalian OPT lebih mudah
dilaksanakan. Anakan padi lebih kuat dan tidak
mengalami stagnasi (stres).Air yang belakangan
juga kerap menjadi masalah utama yang harus
dihadapi petani bias diatasi, karena dengan sistem
Tabela terjadi efisiensi dalam penggunaan air
dimana pengairan terputus putus (macak-macak)
dan dengan sistem Tabela anakan banyak dan
bulir-bulir padi juga bernas karena sinar matahari
bisa masuk dengan leluasa pada larikan-larikan
yang dibuat (Ikhwani, 2014).
Beberapa keuntungan budidaya padi
dengan sistem tabela adalah sistem tabela
memastikan jarak tanam lebih tepat dan teratur
sehingga produksi yang diperoleh petani lebih
banyak 500-1000 kg gabah kering per hektar bila
dibandingkan dengan sistem persemaian. Dengan
sistem tabela dapat menghasilkan 6–6,5 ton gabah,
sedangkan melalui sistem persemaian
konvensional (Tapin) menghasilkan 5 - 5,5 ton
gabah.
Tingkat serangan OPT
Organisme pengganggu tumbuhan (OPT)
yang dominan menyerang pada saat percobaan
adalah penggerek batang padi (Scirpophaga
inotata) dan hama putih palsu (Cnaphalocrocis
medinalis).
Tingkat serangan Penggerek Batang
(Scirpophaga inotata)
Tingkat serangan penggerek batang pada 3
minggu setelah tanam (MST) pada 9 lokasi
menunjukan serangan yang cukup tinggi baik di
sistem tanam pindah maupun tabela berkisar antara
14-23,23 %. Rata-rata intensitas serangan
Scirpophaga inotata tertinggi pada varietas Inpari
41 baik yang ditanam dengan sistem tapin maupun
tabela. Hal ini diduga karena adanya perbedaan
karakteristik setiap varietas, misalnya varietas
Lapang mempunyai anakan yang sedikit dan rentan
terhadap serangan hama sedangkan varietas Inpari
meskipun jumlah anakannya sedikit tapi semua
anakannya produktif. Selain itu varietas tersebut
tahan terhadap serangan hama (Anonim, 2004).
Tingkat serangan penggerek batang
cenderung fluktuatif, Perilaku imago penggerek
batang berbeda dalam setiap varietas dan biasanya
lebih banyak ditemukan pada inang yang
disenangi. Selain itu tingkat keseimbangan
populasi penggerek batang di suatu daerah dapat
berubah bila terjadi perubahan varietas .Selain hal
tersebut perbedaan intensitas serangan dapat juga
dipengaruhi oleh perilaku penggerek batang
setelah menemukan inangnya. Sebagai contoh
imago Scirpophaga inotata dalam melakukan
peletakan telur mencoba setiap varietas tapi akan
meletakkan lebih banyak telur pada varietas yang
disenangi.
175 Pengaruh Sistem Tanam terhadap Produktivitas dan Serangan Opt Beberapa Varietas Unggul
Padi (Teddy Wahyana Saleh dan Awaludin Hipi)
Tabel 4. Intensitas serangan penggerek batang (Scirpophaga inotata) pada dua sistim tanam yang berbeda.
Sistem
tanam Var
Intensitas serangan penggerek batang (%)
3 4 5 6 7 8 9 10 11 Rata-rata
MST MST MST MST MST MST MST MST MST
TAPIN Ciherang 18.00 20.00 18.47 16.63 15.57 18.53 18.07 21.73 15.10 18.01
Inpari 30 17.00 19.63 18.73 16.73 15.00 19.57 18.00 18.07 17.33 17.79
Inpari 41 23.23 19.57 19.63 20.07 26.30 19.57 17.00 18.07 17.33 20.09
TABELA Ciherang 14.01 14.33 12.90 11.70 11.43 13.33 11.40 15.03 13.03 13.02
Inpari 30 13.82 14.34 14.67 11.70 13.03 13.73 11.40 14.67 13.03 13.40
Inpari 41 14.00 15.93 15.03 13.03 11.80 13.67 13.73 14.40 16.00 14.18
Keterangan: MST : minggu setelah tanam
Chr : Ciherang, Inp 30 : Inpari 30, Inp 41 : inpari 41
Tingginya intensitas serangan padi dilokasi
percobaan disebabkan beberapa hal diantaranya
suhu udara Suhu udara memiliki fungsi dalam
menentukan fisiologi dan ekologi hama terutama
pada distribusi populasi, tingkat perkembangan,
dan fenologi (Huang et al. 2010). Suhu optimum
untuk pertumbuhan telur penggerek batang padi
kuning, yaitu sekitar 24–29 °C. Penggerek batang
padi (Scirpophaga inotata)akan dapatberkembang
pada fase telur hingga pupa pada suhu 16 °C–35
°C.
Rata-rata tingkat serangan penggerek
batang padi pada padi dengan sistem tanam tabela
relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan padi
yang ditanam dengan sistem pindah hal ini
disebabkan pada sisten Tapin bibit yang dicabut
dari persemaian akan terjadi pelukaan pada sistem
perakarannya, hal ini mempengaruhi daya tahan
tanaman dimana luka yang ada akan menyebabkan
bibit penyakit dapat masuk ke dalam tanaman serta
rentan terhadap serangan hama. Selain itu pada
persemaian sistem tapin inang penngerek akan
bertelur sehingga ketika bibit dipindah tanam telur
ataupun larva penggerek sudah terbawa ke areal
pertanaman.
Tabel 5. Intensitas serangan Hama Putih Palsu (Cnaphalocrocis medinalis) pada dua system tanam yang berbeda
Sistem
tanam Var
Intensitas serangan HPP (%)
3 4 5 6 7 8 9 10 11 Rata-rata
MST MST MST MST MST MST MST MST MST
TAPIN Ciherang 5.00 4.00 2.83 2.70 8.47 4.00 6.23 6.37 8.10 5.30
Inpari 30 5.23 4.77 5.13 3.73 5.20 6.27 5.47 4.53 8.03 5.37
Inpari 41 7.00 6.67 6.80 5.03 4.00 4.73 4.50 5.57 7.00 5.70
TABELA Ciherang 5.00 4.03 3.33 2.70 10.00 4.00 6.23 6.37 8.10 5.53
Inpari 30 6.23 4.77 5.13 4.10 5.20 5.93 5.47 4.53 8.03 5.49
Inpari 41 7.33 13.83 7.80 5.03 4.00 4.73 4.50 5.57 8.00 6.76
Keterangan: MST : minggu setelah tanam
176 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:169-177
Tingkat serangan Hama Putih Palsu
(Cnaphalocrocis medinalis)
Intensitas serangan Hama Putih Palsu
(Cnaphalocrocis medinalis) antara sistem tapin
dan tabela secara rata-rata tidak jauh berbeda.
Banyak atau sedikitnya intensitas serangan hama
putih palsu dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor,
terjadi. seperti faktor lingkungan, varietas padi
yang ditanam, cara tanam, dan pemeliharaaan.
Faktor lingkungan tersebut adalah keadaan tempat
penanaman, perbedaan tinggi rendahnya tempat.
Varietas padi yang ditanam petani adalah
varietas Ciherang, Inpari 30 dan Inpari 41. Faktor
lainnya adalah faktor kultur teknis, yaitu dengan
mengurangi dosis pupuk N atau melakukan
pemupukan yang berimbang antara N, P, dan K.
banyaknya gulma yang muncul dari pertanaman
sistem tabela juga sangat mempengaruhi intensitas
serangan hama putih palsu ini (Sudjarwo dkk,
2003). Populasi hama putih palsu juga dipengaruhi
oleh faktor hayati seperti kurangnya musuh alami.
KESIMPULAN
Sistim tanam terbukti berpengaruh positif
terhadap produktivitas yang ditunjukkan oleh
capaian hasil padi Varietas Ciherang yang lebih
baik dibandingkan Inpari 30 dan Inpari 41. Cara
tanam benih langsung (Tabela) memberikan
pertumbuhan dan hasil yang lebih baik daripada
Sistim tanam pindah (Tapin). Pengaruh interaksi
varietas dan sistim tanam terhadap pertumbuhan
dan hasil, untuk varietas Ciherang, Inpari 30 dan
Inpari 41 pada sistim tanam Tabela memberikan
hasil yang lebih baik dibandingkan sistem tanam
Tapin.
Serangan OPT yang menyerang adalah
penggerek batang padi (Scirpophaga inotata)
dominan terhadap sistem tanam Tapin
.
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terimaksih disampaikan kepada
Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian, Kepala BPTP Gorontalo,
para teknisi dan semua pihak yang terlibat dalam
penyelesaian Karya Tulis Ilmiah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abid, M. 2015. Sikap Petani Terhadap Sistem
Tanam Benih langsung (Tabela) dalam
Meningkatkan Pendapatan Usaha Tani Padi
Sawah.Seminar Nasional Padi. Hal 900-905.
Arafah dan Najma. 2012. Pengkajian Beberapa
Varietas Unggul Baru Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah. Jurnal
Agrivigor. 11 (2).188-194.
Baehaki, S.E. 2013. Hama Penggerek Batang Padi
dan Teknologi Pengendalian. Jurnal Iptek
Tanaman Pangan 8(1):1 - 14.
Bambang, PHS. 2011. Cuaca Ekstrem Tanam
Tabela Siapa Takut
http://pertanian.jombangkab.go.id.
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan 2018.
Petunjuk Teknis Pengamatan dan Pelaporan
Organisme Pengganggu Tumbuhan dan
Dampak Perubahan Iklim (OPT-DPI).
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan
Kementerian Pertanian.
Gonzaga, I. 2010. Virus Tungro Padi. Retrivied
from
http://biologigonz.blogspot.com/2010on
November 2018.
Ikhwani. 2014. Pengaruh Interaksi Varietas
Unggul Baru dan Cara Tanam Terhadap
Produktivitas Padi Sawah. Informatika
Pertanian. 24 (2). Hal 245-256.
Mulijanti, S. dan Ratima Sianipar.2015. Analisis
Profitabilitas Usaha Tani Beberapa VUB
Padi Pada Musim Kemarau Panjang.
Prosiding Padi 2 (2): 1041-1050.
177 Pengaruh Sistem Tanam terhadap Produktivitas dan Serangan Opt Beberapa Varietas Unggul
Padi (Teddy Wahyana Saleh dan Awaludin Hipi)
Ngatimin, Sri Nur Aminah 2005. Pengaruh Pola
Tanam Campuran Beberapa Varietas Padi
Terhadap Populasi danIntensitas Serangan
Beberapa Hama Tanaman Padi.J. Sains &
Teknologi, Agustus 2005, Vol.5 No. 2: 85 –
89.
Ni Putu Pandawani dan I Gede Cahyadi Putra.
2015. Peningkatan Produktivitas Padi Sawah
dengan Penerapan Sistim Tabela. Jurnal
Pertanian Berbasis Keseimbangan
Ekosistem Agrimeta. Vol 5 No. 10 Hal 51-
57.
Redaksi Galang Kangin. 2012. Tabela
MenujuSwasembada. Retrivied from
http://etabloidgalangkangin.blogspot.com/20
12/04/tabela-menuju swasembadaedisi-
iv2012.html on January 2018.
Soraya dan Junita Barus 2010.Kajian Sistim
Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Beberapa Varietas Unggul Baru Padi Sawah.
Prosiding Seminar Nasional Agroinovasi
Spesifik Lokasi Untuk Ketahanan Pangan
Pada Era Masyarakat Ekonomi
ASEAN.Hal.267-271.
Sudjarwo, Herminanto dan Leo Ardiyanto. 2003.
Eksistensi Hama Putih Palsu
(Cnaphalocrocis medinalis) dan
Pengaruhnya Pada Usaha Tani Padi di
Kabupaten Banyumas. Jurnal Pembanguan
Pedesaan Vol. III No. 2 Agustus 2003. Hal.
109-119
70 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.1, Juni 2018:169-177
179 Pengaruh Aplikasi Biochar dan Pupuk Kandang terhadap Kelembaban Tanah dan Produksi
Tanaman Jagung (Zea mays L.) (Asis, Rachman Jaya, Muhammad Ismail, Irhas dan Eko)
PENGARUH APLIKASI BIOCHAR DAN PUPUK KANDANG TERHADAP KELEMBABAN TANAH DAN PRODUKSI TANAMAN JAGUNG (Zea mays L.)
Asis1, Rachman Jaya2, Muhammad Ismail3, Irhas4 dan Eko5 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh
Jalan Panglima Nyak Makam No. 27 Lampineung-Banda Aceh 23125
Telp (0651) 7551811, Fax (0651) 7552077
e-mail: [email protected]
ABSTRACT
The Effect of Biochar and Manure Application on Soil Humidity and Production of Maize Plants
(Zea mays L.). Lahan kering dengan kandungan hara dan air yang rendah akibat daya ikat tanah yang rendah menjadi
faktor utama penghambat pengelolaan lahan kering. Pada kondisi lingkungan dengan suhu yang tingga dapat
mempercepat hilangnya air tanah melalui evaporasi dan transpirasi sehingga dibutuhkan bahan organik dengan
biochar dan pupuk kandang sebagai bahan pengikat air tanah. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan daya ikat
tanah terhadap air sehingga dapat mempertahankan kelembaban tanah sekitar tanaman dan mempertahankan produksi
tanaman jagung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Agustus 2018 di lahan percobaan BMKG Indrapuri,
Aceh Besar. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan yaitu tanpa biochar
dan pupuk kandang (A), Mandiri biochar (B), mandiri pupuk kandang (C) dan kombinasi biochar dengan pupuk
kandang (D) yang diulang 4 kali sehingga terdapat 16 unit percobaan. Data hasil pengamatan dianalisis dengan
analisis sidik ragam (ANOVA) 95%, jika F hitung lebih besar dari F tabel maka dilakukan analisis beda BNT 95%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan biochar dan pupuk kandang mempertahankan kelembaban tanah
sampai 40,82%, sedangkan tanpa biochar dan pupuk kandang 35,67%. Kombinasi biochar dan pupuk kandang (D)
mencapai berat pipilan (ton h-1) rata-rata deskripsi tanaman atau mencapai 77% sedangkan tanpa biochar dan pupuk
kandang (A) sebesar 58%. Aplikasi biochar dan pupuk kandang baik digunakan pada lahan yang yang memiliki daya
ikat air yang rendah dan unsur hara yang rendah karena aplikasi biochar dan pupuk kandang mampu mempertahankan
kelembaban tanah dan produktivitas lebih tinggi.
Keywords: Biochar, perubahan iklim dan pupuk kandang
ABSTRAK
Lahan kering dengan kandungan hara dan air yang rendah akibat daya ikat tanah yang rendah menjadi faktor utama
penghambat pengelolaan lahan kering. Pada kondisi lingkungan dengan suhu yang tingga dapat mempercepat
hilangnya air tanah melalui evaporasi dan transpirasi sehingga dibutuhkan bahan organik dengan biochar dan pupuk
kandang sebagai bahan pengikat air tanah. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan daya ikat tanah terhadap air
sehingga dapat mempertahankan kelembaban tanah sekitar tanaman dan mempertahankan produksi tanaman jagung.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari-Agustus 2018 di lahan percobaan BMKG Indrapuri, Aceh Besar.
Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4 perlakuan yaitu tanpa biochar dan pupuk
kandang (A), Mandiri biochar (B), mandiri pupuk kandang (C) dan kombinasi biochar dengan pupuk kandang (D)
yang diulang 4 kali sehingga terdapat 16 unit percobaan. Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis sidik ragam
(ANOVA) 95%, jika F hitung lebih besar dari F tabel maka dilakukan analisis beda BNT 95%. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perlakuan biochar dan pupuk kandang mempertahankan kelembaban tanah sampai 40,82%,
sedangkan tanpa biochar dan pupuk kandang 35,67%. Kombinasi biochar dan pupuk kandang (D) mencapai berat
pipilan (ton h-1) rata-rata deskripsi tanaman atau mencapai 77% sedangkan tanpa biochar dan pupuk kandang (A)
sebesar 58%. Aplikasi biochar dan pupuk kandang baik digunakan pada lahan yang yang memiliki daya ikat air yang
rendah dan unsur hara yang rendah karena aplikasi biochar dan pupuk kandang mampu mempertahankan kelembaban
tanah dan produktivitas lebih tinggi.
Kata kunci: Biochar, perubahan iklim dan pupuk kandang
180
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2 ,2018:179-187
PENDAHULUAN
Aceh merupakan salah satu daerah yang
berpotensi untuk pengembangan tanaman pangan
karena memiliki lahan yang luas, teruma lahan
kering. Lahan kering di Aceh mencapai 530.638 Ha
dengan penggunaan sebagai lahan pertanian seluas
2.563 Ha dan 528.075 Ha masih menjadi lahan tidur
(BPTP Aceh dan UNSIYAH, 2017). Pengelolaan
lahan kering sebagai lahan pertanian memiliki
hambatan yang besar karena rendahnya
produktifitas lahan. Rendahnya produktivitas lahan
kering disebabkan oleh bebrapa faktor utama
diantaranya ketersediaan hara dan air yang rendah,
curah hujan rendah dan suhu tinggi.
Lahan kering dapat dikembangkan menjadi
lahan produksi dengan pemanfaatan komoditas
yang toleran atau mampu bertahan pada kondisi air
dan hara yang relatif rendah serta pengelolaan
dengan input teknologi yang tepat. Salah satu
tanaman pangan yang dapat dikembangkan pada
lahan kering adalah jagung. Tanaman jagung (Zea
mays L.) merupakan tanaman semusim yang sangat
dipengaruhi oleh kondisi perubahan atau kestabilan
iklim/cuaca lingkungan tumbuh terutama suhu,
kelembaban tanah dan curah hujan. Tanaman
jagung membutuhkan suhu antara 210C-300C
dengan suhu optimal berkisar antara 230C-270C
sehingga suhu yang terlalu tinggi dengan
kelembaban yang rendah dapat mengganggu proses
generatif diawal pembungaan (Warisno, 2007).
Suhu udara dan iklim mikro perakaran
sekitar tanaman berperan secara langsung terhadap
proses laju transpirasi, pembukaan stomata, proses
penyerapan hara, fotosintesis dan respirasi tanaman.
Suhu disekitar perakaran tanaman (iklim mikro)
sangat mempengaruhi proses hilangnya lengas
tanah (daya ikat tanah terhadap air). Peningkatan
suhu mikro akan mempercepat kehilangan lengas
tanah terutama pada musim kemarau dan lahan
kering, sehingga pada musim kemarau dan lahan
kering peningkatan suhu berkorelasi negatif dengan
pertumbuhan dan produksi tanaman. Upaya untuk
mempertahankan hilangnya air dalam tanah dapat
dilakukan dengan penambahan bahan organik yang
memiliki kemampuan mengikat air tanah dan
meningkatkan ketersedian hara tanaman.
Peningkatan daya ikat tanah terhadap air
dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik
yang mampu mempertahankan agregat tanah untuk
menyerap air sehingga tidak mudah mengalami
evaporasi dan perkolasi, salah satunya dengan
biochar yang dikombinasi dengan pupuk kandang.
Mekanisme kombinasi biochar dan pupuk kandang
merupakan upaya mempertahankan kelembaban
tanah, penyedian unsur hara dan perbaikan sifat-
sifat tanah, seperti fisik, biologi dan kimia tanah.
Biochar merupakan bahan pembenah tanah untuk
memperbaiki sifat-sifat tanah seperti struktur tanah,
aerasi tanah, ketersedian air dan hara, menurunkan
kemasaman tanah dan membantu konservasi karbon
(IAARD PRESS, 2016).
Penelitian bertujuan untuk mengetahui
pengaruh penggunaan biochar dan pupuk kandang
terhadap produksi tanaman jagung pada lahan
kering
METODE
Penelitian dilaksanakan pada bulan
Februari-Agustus 2018 di lahan percobaan BMKG
Indrapuri, Aceh Besar. Penelitian menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 4
perlakuan dan 4 kelompok sehingga diperoleh 16
unit penelitian. Masing-masing unit (petak)
penelitian berukuran 4x3 meter dengan jarak tanam
50x25 cm. Pada satu petakan penelitian terdapat 86
populasi tanaman dengan sampel pengamatan
sebanyak 10 tanaman yang ditentukan secara acak.
RAK dilakukan untuk meminimalisir pengaruh
lingkungan luar selain faktor perlakaun yang dapat
mempengaruhi produksi tanaman jagung. RAK
didesain berdasarkan kondisi lahan penelitian yang
memiliki keiringan berbeda. Perlakuan terdiri atas
tanpa penggunaan biochar dan pupuk kandang (A),
penggunaan mandiri biochar (B), penggunaan
mandiri pupuk kandang (C) dan kombinasi biochar
dan pupuk kandang (D) dengan dosis biochar dan
pupuk kandang masing-masing 2 ton ha-1.
181 Pengaruh Aplikasi Biochar dan Pupuk Kandang terhadap Kelembaban Tanah dan Produksi
Tanaman Jagung (Zea mays L.) (Asis, Rachman Jaya, Muhammad Ismail, Irhas dan Eko)
Alat dan bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah biochar, pupuk kandang, NPK,
benih jagung, alat pengukur suhu (termometer) dan
alat pengukur kelembaban tanah (Soil moisture
meter).
Variabel yang diamati yaitu komponen
produksi tanaman jagung dan unsur iklim sekitar
tanaman. Data hasil pengamatan dilakukan analisis
data dengan analisis sidik ragam (ANOVA) pada
taraf kepercayaan 95%, jika F hitung lebih besar
dari F tabel maka dilakukan uji lanjut dengan Uji
Beda Nyata Terkecil (BNT) 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
1. Hubungan suhu dan kelembaban tanah
Berdasarkan hasil analisis rata-rata suhu
lokasi penelitian, kelembaban tanah dan hasil 1000
biji tanaman jagung pada setiap perlakuan maka
terdapat perbedaan kelembaban tanah dan hasil
1000 biji jagung pada kondisi suhu lingkungan yang
sama.
Pada kondisi suhu lingkungan 32,940C,
perlakuan biochar dan pupuk kandang mampu
mempertahankan kelembaban tanah 40,82%
sedangkan tanpa biochar dan pupuk kandang
35,67%. Kondisi suhu yang diamati berdasarkan
skala rata-rata suhu lingkungan disekitar lokasi
penelitian menjadi dasar penentuan suhu
lingkungan dan kelembaban tanah berdasarkan hasil
pengamatan pada sekitar perakaran tanaman.
Perlakuan paket teknologi dengan biochar dan
pupuk kandang menghasilkan kelembaban tanah
yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan tanpa
biochar dan pupuk kandang. Pengaruh perlakuan
mampu menjaga atau mempertahankan kelembaban
tanah lebih baik dari pada tanpa perlakuan sehingga
secara langsung mempengaruhi komponen hasil
tanaman jagung berdasarkan hasil pengamatan.
Gambar 1. Hubungan suhu dan kelembaban tanah pada setiap perlakuan
Tabel 1. Hasil analisis uji lanjut BNT pada taraf 95% pada komponen produksi tanaman jagung
32,94 32,94 32,94 32,9435,67
37,4239,14 40,82
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
A B C D
Suhu (
0C)
Kele
mbaban (
%)
Perlakuan
Suhu Kelembaban
182
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2 ,2018:179-187
Perlakuan
Variabel
Bobot Tongkol
(g)
Bobot Biji
Pertongkol (g)
Bobot 100 biji
(g)
Produksi ton/ha
Pertongkol Pipilan
A 103,31 b 90,72 b 22.13 c 8.26 b 7.26 c
B 131,27 a 103,68 a 25.48 b 10.98 a 8.29 bc
C 140,79 a 111,71 a 26.67 ab 11.26 a 8.94 ab
D 157.80 a 121,24 a 28.43 a 12.62 a 9.70 a
2. Produktivitas Tanaman jagung
Hasil uji lanjut BNT α0,05 menunjukkan
bahwa penggunaan teknologi kombinasi pupuk
biochar dan pupuk kandang (D) memberikan hasil
bobot tongkol tanaman tertinggi yang berbeda nyata
dengan perlakuan tanpa paket teknologi biochar dan
pupuk kandang (A), tetapi tidak berbeda nyata
dengan perlakuan biochar (B) dan pupuk kandang
(C). Bobot tongkol merupakan gambaran berat hasil
tanaman jagung berupa tongkol buah utuh dengan
biji dan kelobot buah.
Hasil uji lanjut BNT α0,05 menunjukkan
bahwa penggunaan teknologi kombinasi biochar
dan pupuk kandang (D) memberikan hasil bobot biji
pertongkol tanaman tertinggi yang berbeda nyata
dengan perlakuan tanpa paket teknologi biochar dan
pupuk kandang (A), tetapi tidak berbeda nyata
dengan perlakuan biochar (B) dan pupuk kandang
(C).
Hasil uji lanjut BNT α0,05 menunjukkan
bahwa penggunaan teknologi kombinasi biochar
dan pupuk kandang (D) menghasilkan bobot 100
biji tertinggi yang berbeda nyata dengan perlakuan
tanpa paket teknologi biochar dan pupuk kandang
(A) serta perlakuan biochar (B), tetapi tidak berbeda
nyata dengan perlakuan pupuk kandang (C).
Perlakuan Pupuk kandang (C) berbeda nyata dengan
perlakuan tanpa paket teknologi (A), tetapi tidak
berbeda nyata dengan perlakuan biochar (B) dan
perlakuan biochar (B) berbeda nayata dengan
perlakuan tanpa paket teknologi (A).
Hasil uji lanjut BNT α0,05 menunjukkan
bahwa penggunaan teknologi kombinasi biochar
dan pupuk kandang (D) menghasilkan produksi
bobot tongkol (ha ton-1) tertinggi yang berbeda
nyata dengan perlakuan tanpa paket teknologi
biochar dan pupuk kandang (A) tetapi tidak berbeda
nyata dengan perlakuan biochar (B) dan pupuk
kandang (C).
Hasil uji lanjut BNT α0,05 menunjukkan
bahwa penggunaan teknologi kombinasi biochar
dan pupuk kandang (D) menghasilkan produksi
berat pipilan (ha ton-1) tertinggi yang berbeda nyata
dengan perlakuan tanpa paket teknologi biochar dan
pupuk kandang (A) dan biochar (B) tetapi tidak
berbeda nyata pupuk kandang (C). Perlakuan pupuk
kandang (C) berbeda nayata dengan perlakuan tanpa
biochar dan pupuk kandang (A) tetapi tidak berbeda
nyata dengan perlakuan biochar (B).
Pembahasan
Hasil penelitian dari komponen produksi
tanaman jagung menunjukkan respon positif
terhadap penggunaan biochar dan pupuk kandang,
karena penggunaan biochar dan pupuk kandang
memberikan hasil terbaik pada variabel produksi
yang diamati jika dibandingkan dengan kontrol
(tanpa penggunaan biochar dan pupuk kandang).
Kombinasi aplikasi biochar dan pupuk kandang
merupakan mekanisme peningkatan atau
mempertahankan produksi tanaman pada kondisi
lahan kering atau suhu yang tinggi akibat perubahan
iklim. Biochar memiliki kemampuan untuk
mempertahankan kelembaban tanah karena
memiliki daya ikat terhadap air yang tinggi
sehingga air tanah tidak mudah mengalami infiltrasi
dan evaporasi. Aplikasi biochar dan pupuk kandang
dengan dosis 2 ton ha-1 memberikan hasil terbaik
jika dibandingkan dengan tanpa perlakuan biochar
183 Pengaruh Aplikasi Biochar dan Pupuk Kandang terhadap Kelembaban Tanah dan Produksi
Tanaman Jagung (Zea mays L.) (Asis, Rachman Jaya, Muhammad Ismail, Irhas dan Eko)
dan pupuk kandang. Hasil penelitian Endriani et al.,
(2013) menyatakan bahwa aplikasi biochar
cangkang kelapa sawit dengan takaran 2 ton/ha
dapat meningkatkan pH dan menurunkan Al-dd
tanah Ultisol Sungai Bahar Jambi dan
meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai,
biomassa tanaman dan meningkatkan hasil kedelai.
Peran biochar dan pupuk kandang terhadap
kelembaban tanah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
perlakuan biochar dan pupuk kandang
mempertahankan kelembaban tanah sampai
40,82%, tertinggi dari perlakuan lain yang berkisar
tanpa biochar dan pupuk kandang 35,67%. Biochar
dengan mikro pori yang melimpah dapat menutup
atau memperkecil pori tanah pada tanah gembur dan
memperbanyak pori-pori tanah pada lahan kering
sehingga dapat meretensi air tanah dari kehilangan
akibat infiltrasi dan aliran permukaan serta memiliki
daya ikat air yang tinggi tetapi memiliki masa
dekomposisi yang cukup lama. Biochar memiliki
peran untuk mendukung perbaikan kondisi tanah
pada perkaran tanaman dan mendukung ketersedian
hara serta meningkatkan penyerapan hara dari
dalam tanah dengan mempertahankan kadar air
tanah. Penggunaan biochar pada tanah dapat
meningkatkan kadar air tanah sebesar 16% pada
musim pertama, 24% musim kedua dan 11% pada
musim ke-3 (Sukartono dan Utomo, 2012).
Selain biochar, penggunaan pupuk kandang
memiliki sifat alami yang tidak merusak sifat-sifat
tanah, menyediakan unsur makro (nitrogen, fosfor,
kalium, kalsium dan belerang) dan mikro (besi,
seng, boron, kobalt dan molibdenium) serta mampu
menyimpan air. Pupuk kandang berfungsi untuk
meningkatkan aktivitas mikrobiologi tanah, nilai
Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan memperbaiki
struktur tanah (Syekhfani, 2000).
Berdasarkan data (BMKG, 2017) terlihat
bahwa dalam 30 Tahun terakhir telah terjadi
peningkatan suhu sebesar 0,90C sehingga
mengakibatkan adanya perubahan lingkungan
sekitar tanaman budidaya berupa suhu udara dan
tanaman meningkat, evaporasi meningkat dan kadar
air tanah menurun. Peningkatan evaporasi dan
transpirasi akan mempercepat kehilangan air tanah
yang dibutuhkan tanaman untuk
menetralkan/mengurangi kehilangan air dari
jaringan tanaman akibat suhu udara yang tinggi. Hal
ini menjadi dasar modifikasi lingkungan mikro
tanaman untuk mempertahankan kondisi kadar air
tanah/kelembaban tanah dengan penggunaan
biochar dan pupuk kandang yang memiliki
kemampuan untuk mengikat dan mempertahankan
kadar air tanah. Evaporasi terjadi secara cepat akibat
rendahnya daya ikat tanah terhadap aair sehingga
dengan penambahan biochar yang kaya bahan C-
Organik dapat mengikat air dalam tanah sehingga
tidak mudah mengalami penguapan (evaporasi).
Hasil penelitian (Syaikhu et al., 2016)
menyatakan bahwa pemberian biochar dan pupuk
kandang dapat meningkatkan kadar air tanah karena
biochar mampu meningkatkan daya rekat tanah
terhadap air pada tanah berpasir. Pada tanah kering,
biochar dan pupuk kandang dengan bahan organik
yang mengandung pori-pori mikro dan peran
mikroorganisme dapat meningkatkan pori-pori
tanah pad alahan kering yang padat sehingga
mengurangi aliran permukaan atau run off.
Peningkatan daya ikat tanah pada lahan kering akan
meningkatkan ketersedian air tanah pada kondisi
selisih kapasitas lapang dan titik layu permanen
untuk memenuhi ketersedian air tanaman jagung.
Liu and Zhang (2009) menyatakan bahwa
biochar berpengaruh signifikan dalam
pembentukan agregat tanah yang terbentuk melalui
interaksi antara bahan organik, mikroorganisme,
mineral tanah dan faktor lain seperti bahan baku,
proses pembuatan dan sifat dasar tanah. Bahan
organik tanah berfungsi sebagai perekat (cementing
agent) sehingga agregat tanah tidak mudah hancur
oleh pukulan butiran air serta mampu
mempertahankan atau meningkatkan ruaang atau
pori tanah yang dapat terisi oleh udara dan air tanah
(Subagyono et al., 2004). Pupuk kandang dapat
meningkatkan kemampuan tanah menahan air
dengan mengikat molekul-molekul air melalui
gugus-gugus fungsional dan pori-pori mikro
sebagai uapaya perbaikan agregasi tanah
(Stevenson, 1982).
184
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2 ,2018:179-187
Penggunaan biochar dengan dosis 5-10 t ha-
1 meningkatkan ketersedian air dalam tanah
sehingga indeks pertanaman meningkat dari satu
menjadi dua kali pertahun (IAARD PRESS, 2015).
Biochar dengan mikro pori yang melimpah dapat
menutup atau memperkecil pori tanah pada tanah
gembur dan memperbanyak pori-pori tanah pada
lahan kering sehingga dapat meretensi air tanah dari
kehilangan akibat infiltrasi dan aliran permukaan
serta memiliki daya ikat air yang tinggi tetapi
memiliki masa dekomposisi yang cukup lama.
Maftu’ah dan Nursyamsi (2015) menyatakan bahwa
karakteristik biochar tergantung pada kualitas bahan
dasar yang digunakan yang berkaitan dengan
perbandingan lignin dan rasio C/N, dimana semakin
tinggi kandungan lignin dan C/N bahan semakin
lama proses dekomposisi.
Peran biochar dan pupuk kandang terhadap
produksi tanaman jagung
Hasil penelitian persentase capaian
produksi tanaman jagung (ton ha-1) dengan
kombinasi biochar dan pupuk kandang (D)
mencapai hasil rata-rata deskripsi tanaman atau
mencapai 77%, tunggal biochar (B) mencapai 66%,
tunggal pupuk kandang (C) mencapai 71% dan
kontrol tanpa biochar dan pupuk kandang (A)
sebesar 58%. Hal ini menunjukkan bahwa capaian
hasil tanaman jagung dengan kombinasi
memberikan hasil produksi tanaman lebih tinggi
dalam pencapaian hasil rata-rata tanaman.
Peran langsung terhadap Ketersedian Hara
Biochar dan pupuk kandang merupakan
bahan organik yang mengandung unsur hara pada
masa dekomposisi. Hara-hara yang tersedia dalam
biochar dan pupuk kandang dapat menjadi sumber
unsur hara yang tersedia untuk memenuhi
kebutuhan tanaman jagung. Aplikasi 2,5 t ha-1
biochar telah mampu memberikan pengaruh nyata
terhadap produksi tongkol basah tanaman jagung
dibandingkan tanpa biochar dan meningkatkan
produksi pipilan kering tanaman jagung lebih tinggi
dibandingkan tanpa biochar. Aplikasi biochar juga
memiliki kontribusi terhadap peningkatan sifat fisik
dan kimia tanah seperti N, P, K, Ca dan Mg serta
meningkatkan KTK tanah (Dariah dan Nurida,
2012).
Produksi tanaman dengan aplikasi lebih
baik jika dibandingkan dengan tanpa biochar dan
pupuk kandang (kontrol) karena biochar
mengandung unsur hara N yang dapat
meningkatkan ketesedian hara dalam tanah untuk
diserap tanaman sebagai sumber nutri. Kandungan
N biochar bahan dasar kayu 0,71%, sekam padi
0,81% dan tempurung kelapa 9,95%. Kandungan
hara dalam biochar besarnya tergantung pada bahan
baku dengan karakteristik biochar tempurung untuk
N 9,95%, P 0,10%, K 0,71%, Na 3,82%, Ca 2,16%
dan Mg 0,06%, biochar sekam padi dengan N
0,71%, P 0,06%, K 0,14%, Na 2,24%, Ca 1,37% dan
Mg 0,06% dan biochar kayu dengan N 0,81%, P
0,01%, K 0,36%, Na 0,43%, Ca 0,20% dan Mg
0,06% (Widowati dan Utomo, 2014).
Ketersedian hara dalam biochar sangat
mendukung ketersedian hara untuk memenuhi
kebutuhan hara N pada tanah-tanah yang
mengalami degradasi. Tanah yang mengalami
degradasi memiliki kandungan hara yang rendah
sehingga tidak mampu menyediakan hara bagi
tanaman. Biochar dan pupuk kandang yang
memiliki bahan organik yang tinggi dan pori-pori
yang banyak dapat memperbaiki sifat fisik dan
biologi tanah. Habitat tanah yang baik untuk
pertumbuhan mikroorganisme tanah sangat
ditentukan oleh ketersedian bahan organik dan air
tanah untuk makan mikroorganisme tanah.
Mikroorganisme tanah sangat penting dalam proses
dekomposisi bahan organik menjadi hara yang
tersedia untuk tanaman. Biochar mampu
memperbaki degradasi atau penurunan kesuburan
tanah akibat pembatas sifat-sifat tanah dengan
fungsi biochar yang multifungsi sebagai pembedah
tanah yang mampu mengikat air tanah, menjaga pori
tanah, makan biologi tanah (mikroorganisme) dan
peningkatkan ketersedian hara tanah setelah
mengalami dekomposisi.
Selain kandungan hara biochar, pupuk
kandang juga memiliki unsur hara yang lengkap
dari unsur hara makro maupun mikro. Kandungan
hara pada pupuk kandang seimbang dan
185 Pengaruh Aplikasi Biochar dan Pupuk Kandang terhadap Kelembaban Tanah dan Produksi
Tanaman Jagung (Zea mays L.) (Asis, Rachman Jaya, Muhammad Ismail, Irhas dan Eko)
menyeluruh dari unsur makro maupun mikro.
Berdasarkan hasil penelitian unsur hara dalam
pupuk kandang kambing N2 10%, P2O5 0,66%, K2O
1,97%, Ca 1,64%, Mg 0,60%, Mn 233 ppm dan Zn
90,8 ppm (Samekto, 2006). Ketersedian bahan
organik dalam biochar dan pupuk kandang sangat
mendukung ketersedian hara untuk memenuhi
kebutuhan hara N pada tanah-tanah yang
mengalami degradasi. Tanah yang mengalami
degradasi memiliki kandungan hara yang rendah
sehingga tidak mampu menyediakan hara bagi
tanaman.
Hasil penelitian Tambunan et al., (2014)
bahwa aplikasi 20 t ha-1 biochar serasah jagung dan
40 t ha-1 serasah jagung meningkatkan P tersedia
242.95% dan 10,40% KTK. Biochar dapat
meningkatkan P tersedia pada tanah alkalin karena
reaktivitas P dengan tanah meningkat (DeLuca et
al., 2009). Penggunaan biochar dan pupuk kandang
dapat menjerap unsur hara lebih kuat dalam tanah
sehingga menjadi unsur yang tersedia untuk
tanaman. Hara-hara P yang terikat dalam tanah
dapat terurai menjadi hara tersedia dengan bahan
pembenah tanah biochar. Selain itu, kandungan
unsur P dalam pupuk kandang dapat terdekomposisi
menjadi unsur hara tersedia.
Biochar dan pupuk kandang yang memiliki
bahan organik yang tinggi dan pori-pori yang
banyak dapat memperbaiki sifat fisik dan biologi
tanah. Habitat tanah yang baik untuk pertumbuhan
mikroorganisme tanah sangat ditentukan oleh
ketersedian bahan organik dan air tanah sebagai
bahan makanan mikroorganisme tanah.
Mikroorganisme tanah sangat penting dalam proses
dekomposisi bahan organik menjadi hara yang
tersedia untuk tanaman.
Peran terhadap Penyerapan Hara
Hasil penelitian meninjukkan respon positif
antara penggunaan biochar dan pupuk kandang
terhadap produksi tanaman pada kondisi suhu yang
sama. Pada kondisi suhu lingkungan tanaman 320C,
penggunaan teknologi dengan aplikasi biochar dan
pupuk kandang mampu mempertahankan kondisi
kelembaban tanah pada kisaran 42% sedangkan
tanpa biochar dan pupuk kandang sekitar 35%.
Kelembaban tanah merupakan salah satu indikator
ketersedian air tanaman yang berpengaruh pada
proses penyerapan hara dan stabilitas metabolisme
tanaman. Kadar air tanah yang tersedia akan
mempercepat pelarutan hara untuk memenuhi
kebutuhan pertumbuhan dan produksi tanaman
jagung.
Kadar air tanah sangat mempengaruhi
penyerapan hara tanaman baik dari jumlah dan
kecepatan penyerapan hara karena kadar air tanah
merupakan media larutan hara yang terserap oleh
tanaman melalui mekasime aliran masa dan difusi.
Hara dapat terserap tanaman jika telah terlarut
dalam air tanah, jadi air tanah yang rendah juga
memperkecil larutan hara yang dapat terserap oleh
tanaman. Tanaman menyerap hara melalui aliran
masa, difusi dan intersepsi akar. Penyepan hara
melalui aliran masa merupakan penyerapan hara
yang terjadi bersaan dengan penyerapan air oleh
tanaman pada proses transpirasi, sehingga sebagian
besar hara yang larut dalam air akan terbawa masuk
kedalam tanaman. Ketersedian air yang rendah
akibat tingginya evaporasi dan infiltrasi akan
berakibat secara langsung pada penurunan serapan
hara tanaman untuk pertumbuhan dan produksi
tanaman.
Air berperan sebagai pelarut berbagai
senyawa molekul organik (unsur hara) dari dalam
tanah kedalam tanaman, transportasi fotosintat dari
sumber (source) ke limbung (sink), menjaga
turgiditas sel dengan mempengaruhi pembukaan
dan penutupan stomata daun, penyusun utama
protoplasma dan menjaga/pengatur keseimbangan
suhu tanaman. Ketersediaan air tanah yang kurang
bagi tanaman akan mengakibatkan rendahnya suplai
bahan baku fotosintesis dan transportasi unsur hara
ke daun akan terhambat sehingga berdampak pada
produksi yang dihasilkan (Maryani, 2012).
Peningkatan ketersedian unsur hara dan air
tanah melalui aplikasi biochar dan pupuk kandang
akan meningkatkan ketersedian hara yang dapat
diserap oleh tanaman selama proses pertumbuhan
dan produksi tanaman sehingga peningkatan kadar
air tanah dengan penambahan biochar dan pupuk
kandang dapat berperan dalam mempertahankan
stabilitas hasil tanaman jagung yang dibudidayakan
186
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2 ,2018:179-187
pada lahan kering dengan ketersedian air yang
rendah dan suhu yang tinggi.
KESIMPULAN
Perlakuan biochar dan pupuk kandang
terbukti berpengaruh positif terhadap
kelembaban tanah dan pupuk kandang yang
ditunjukkan oleh kemampuannya dapat
mempertahankan kelembaban tanah lebih baik
dari tanpa aplikasi biochar dan pupuk kandang
Penggunaan kombinasi biochar dengan
pupuk kandang memberikan perbedaan hasil
yang signifikan terhadap kontrol (tanpa biochar
dan pupuk kandang).
DAFTAR PUSTAKA
BMKG. 2017. Perubahan iklim global, tren suhu.
Jakarta
Dariah, A dan N. L. Nurida. 2012. Pemanfaatan
biochar untuk meningkatkan produktivitas
lahan kering beriklim kering. Buana sains 12
(1), 33-38.
DeLuca, T. H., M. Derek., J. MacKenzie and M. J.
Gundale 2009. Biochar effects on soil
nutrient transformation. Earthscan Publisher.
P 251– 270.
Endriani, Sunarti dan Ajidiman. 2013. Pemnafaatan
biochar cangkang Kelapa Sawit sebagai soil
amandement ultisols sungai bahar-Jambi.
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri
Sains 15 (1): 39-46.
IAARD Press. 2015. Biochar pembenah tanah yang
potensial. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Bogor.
Liu, Z. and F. S. Zhang. 2009. Renoval of lead from
water using biochars prepared from
hydrothermal liquefaction o biomass. J.
Hazard. Mater., 167, 933–939
Maryani, A. T. 2012. Pengaruh volume pemberian
air terhadap pertumbuhan bibit kelapa sawit
di pembibitan utama. Program Studi
Agroteknologi 1 (2), ISSN:2302-6472.
Maftu’ah, E. Dan D. Nursyamsi. 2015. Potensi
berbagai bahan organik rawa sebagai sumber
biochar. Balai Besar Sumber Daya Lahan
Pertanian (BBSDLP). Bogor.
Samekto. 2006. Pupuk Kandang. PT. Citra Aji
Parama. Yogyakarta.
Stevenson, J. F. 1982. Humus chemistry genesis,
composition and reaction. John Willey and
Sons. New York.
Subagyono, K., U. Haryati dan S. H. Talaohu. 2004.
Teknologi konservasi air pada pertanian
lahan kering. Pusat penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Badang Litbang Pertanian, 151-188.
Sukatono dan Utomo, H.W. 2012. Peran biochar
sebagai pembenah tanah pada pertanaman
jagung di tanah lempung berpasir (sandy
loam) semiarid tropis Lombok. Buana sains
12 (1), 91-98.
Syaiukhu, A. H. F., H. Budi dan S. Didik. 2016. Uji
kemanfaatan biochar dan bahan pembenah
tanah untuk perbaikan beberapa sifat fisik
tanah berpasir serta dampaknya terhadap
pertumbuhan dan produksi tebu. Jurnal
Tanah dan Sumber Daya Lahan 3 (2), 345-
357.
Tambunan, S., B. Siswanto dan E. Handayanto.
2014. Pengaruh aplikasi bahan organik segar
dan biochar terhadap ketersediaan p dalam
tanah di lahan kering Malang Selatan. Jurnal
Tanah dan Sumberdaya Lahan 1 (1):85-92.
Warisno. 2007. Jagung Hibrida. Kanisius.
Yogyakarta.
187 Produktivitas dan Komponen Hasil Beberapa Varietas Padi Gogo di Lahan Sawah untuk
Produksi Benih (Ammini Amrina Saragih, Awaludin Hipi, Erythrina)
PRODUKTIVITAS DAN KOMPONEN HASIL BEBERAPA VARIETAS PADI GOGO DI LAHAN SAWAH UNTUK PRODUKSI BENIH
Ammini Amrina Saragih1, Awaludin Hipi1, Erythrina2 1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Gorontalo
Jl. Moh Van Gobel No. 270, Desa Iloheluma, Bone Bolango, Gorontalo 2Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian
Jl. Tentara Pelajar No.10, Bogor 16114
e-mail: [email protected]
ABSTRACT
Productivity and Yield Component of Several Upland Rice Varieties Grown in Irrigated Rice Field for
Seed Production. Gorontalo Province is a new development area for upland rice production. The harvested area of
upland rice has the potential to be increased due to the availability of suitable dry land for development of upland
rice. The lack of available seeds of high-yielding upland rice at the farm level is a major obstacle in the
development of new high yielding varieties. The assessment aimed to study the performance of the seed production
of several new upland rice varieties under irrigated rice fields in an effort to accelerate the development of new
high yielding varieties on farmers' land. The assessment was carried out on irrigated paddy fields in the
Tilongkabila Experimental Garden, Gorontalo Province, from July to October 2018. The study used a randomized
block design with five treatments and four replications. Five new varieties of upland rice were used as assessment
material, namely Situ Bagendit, Rindang 1 Agritan, Rindang 2 Agritan, Inpago 8 and Inpago 11 Agritan. Seed
production of five upland rice varieties grown in paddy fields ranged from 4.1 to 6.7 t/ha. Inpago 8 varieties
provide the highest productivity of 6.7 t/ha, while varieties of Situ Bagendit, Rindang 1 and Inpago 11 is not
significantly different from each other. Rindang 2 variety provides the lowest productivity of 4.1 t/ha. The
productivity performance of each variety tested, supported by observed yield component data.
Keywords: Upland rice, productivity, yield component, seed production
ABSTRAK
Provinsi Gorontalo merupakan wilayah pengembangan baru untuk produksi padi gogo. Luas panen padi gogo
berpotensi ditingkatkan karena tersedianya lahan kering yang sesuai untuk pengembangan padi gogo. Ketidak
tersediaan benih varietas unggul padi gogo di tingkat petani menjadi kendala utama dalam pengembangan varietas
unggul baru yang dihasilkan. Pengkajian bertujuan untuk mempelajari keragaan produksi benih sumber beberapa
varietas unggul padi gogo di lahan sawah dalam upaya percepatan pengembangan varietas unggul baru di lahan
petani. Pengkajian dilaksanakan pada lahan sawah irigasi di Kebun Percobaan Tilongkabila, Provinsi Gorontalo,
bulan Juli sampai Oktober 2018. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan lima perlakuan dan
empat ulangan. Lima varietas unggul baru padi gogo digunakan sebagai bahan pengkajian, yaitu Situ Bagendit,
Rindang 1 Agritan, Rindang 2 Agritan, Inpago 8 dan Inpago 11 Agritan. Produksi benih lima varietas padi gogo
yang ditanam di lahan sawah berkisar antara 4,1 sampai 6,7 t/ha. Varietas Inpago 8 memberikan produktivitas
tertinggi 6,7 t/ha, sedangkan varietas Situ Bagendit, Rindang 1 dan Inpago 11 tidak berbeda nyata satu sama
lainnya. Varietas Rindang 2 memberikan produktivitas terendah 4,1 t/ha. Keragaan produktivitas masing-masing
varietas yang diuji, didukung oleh data komponen hasil yang diamati.
Kata kunci: Padi gogo, produktivitas, komponen hasil, produksi benih
188 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2, 2018:187-194
PENDAHULUAN
Pengembangan padi gogo merupakan
salah satu program pemerintah sebagai upaya
meningkatkan produksi padi nasional dalam upaya
mendukung kecukupan pangan dan peningkatan
kesejahteraan petani. Provinsi Gorontalo
merupakan wilayah pengembangan baru untuk
produksi padi gogo. Luas wilayah Provinsi
Gorontalo sekitar 1,22 juta ha, mempunyai potensi
lahan pertanian seluas 443.140 ha dimana 285.449
ha atau 64,4% terdiri dari lahan kering. Luas panen
padi gogo saat ini tercatat sebesar 2.201 ha dan
hanya berkontribusi sekitar 3,6% dari total luas
panen padi di Gorontalo (BPS Provinsi Gorontalo,
2017). Luas panen padi gogo tersebut berpotensi
ditingkatkan karena tersedianya lahan kering yang
sesuai untuk pengembangan padi gogo.
Logistik perbenihan sebagai salah satu
pilar utama dalam sistem produksi sangat
menentukan keberhasilan dan produktivitas
budidaya tanaman pangan. Ketersediaan benih
bermutu merupakan salah satu kendala dalam
upaya meningkatkan produktivitas padi gogo di
Provinsi Gorontalo. Produktivitas padi gogo hanya
sekitar 3,2 t/ha, lebih rendah dibandingkan
produktivitas nasional (BPS Provinsi Gorontalo,
2015). Rendahnya produktivitas padi gogo antara
lain disebabkan rendahnya pemanfaatan benih
unggul akibat kurangnya informasi dan
penyuluhan mengenai varietas unggul baru
disamping tidak tersedianya benih di pasar atau
kios saprodi (Syahri dan Somantri, 2016).
Ketidak tersediaan benih varietas unggul
baru (VUB) di pasar atau di tingkat petani menjadi
kendala utama dalam peningkatan adopsi VUB
padi gogo. Hasil wawancara di lapangan
menunjukkan, sebagian besar petani masih
menanam varietas lokal, umur panjang dan
produktivitas rendah. Petani terus berulang
menanam benih padi gogo lokal yang diproduksi
sendiri (Toha, 2013). Petani tidak dapat mengelola
usaha taninya sebagaimana diharapkan, termasuk
penerapan berbagai inovasi teknologi yang
dianjurkan.
Badan Litbang Pertanian Kementerian
Pertanian (Balitbangtan) memegang peran sangat
besar, khususnya dalam menghasilkan VUB. Unit
Pengelola Benih Sumber (UPBS) dibentuk
bersama di BPTP setiap provinsi pada tahun 2011
(Balitbangtan, 2011). UPBS merupakan
kelembagaan internal lingkup Balitbangtan yang
mempunyai tugas melakukan pengelolaan benih
sumber. Ketersediaan benih bermutu dan
berkelanjutan dinilai strategis karena sangat
menentukan dalam usaha pengembangan padi
gogo.
Padi gogo biasanya ditanam di musim
hujan, sehingga perbanyakan benih harus
dilakukan satu musim sebelumnya.
Mempertimbangkan keterbatasan air di musim
kemarau di lahan kering, salah satu alternatif yang
dapat digunakan adalah dengan memproduksi
benih padi gogo di lahan sawah irigasi (Wahyuni,
2008; Wahyuni et al, 2017). Produksi benih di
lahan sawah berdampak pada penyediaan benih
padi gogo yang menjadi tidak tergantung pada
musim (Ardi dan Yardha, 2014).
Pengkajian bertujuan untuk mempelajari
keragaan produksi benih sumber beberapa varietas
unggul padi gogo di lahan sawah dalam upaya
percepatan pengembangan varietas unggul baru di
lahan petani.
METODE
Pengkajian dilaksanakan pada lahan sawah
irigasi di Kebun Percobaan Tilongkabila, Desa
Iloheluma, Kecamatan Tilongkabila, Kabupaten
Bone Bolango, Provinsi Gorontalo dari bulan Juli
hingga Oktober 2018. Lima varietas unggul baru
padi gogo digunakan sebagai bahan kajian, yaitu
Situ Bagendit, Rindang 1 Agritan, Rindang 2
Agritan, Inpago 8 dan Inpago 11 Agritan. Benih
padi gogo varietas Situ Bagendit diperoleh dari
UPBS BPTP Provinsi Gorontalo sedangkan untuk
varietas lainnya berasal dari Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi Sukamandi. Kelas benih yang
digunakan adalah benih dasar (Foundation Seed).
Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok
189 Produktivitas dan Komponen Hasil Beberapa Varietas Padi Gogo di Lahan Sawah untuk
Produksi Benih (Ammini Amrina Saragih, Awaludin Hipi, Erythrina)
dengan lima perlakuan dan empat ulangan.
Masing-masing varietas ditanam pada lahan
dengan luas petakan 10 m x 13 m.
Sebelum ditabur di persemaian, benih
dicampur dengan insektisida Marshal 25 DS
dengan takaran 10 g Marshal untuk 5 kg benih.
Pengolahan tanah dilakukan dua minggu sebelum
tanam. Lahan dibajak dan digaru kemudian
diratakan menggunakan traktor tangan. Bibit
ditanam umur 21 hari sebanyak 2 batang/rumpun.
Jarak tanam menggunakan sistem jajar legowo 4:1
(25 cm x 12,5 cm) x 50 cm. Sistem tanam legowo
4:1 merupakan sistem tanam pindah dimana pada
setiap empat barisan tanaman padi (jarak antar
baris 25 cm) terdapat lorong kosong (50 cm)
memanjang sejajar dengan barisan tanaman
sedangkan dalam barisan menjadi setengah jarak
tanam antar baris atau 12,5 cm (Ikhwani et al,
2013)
Pengairan dilakukan secara berselang atau
teknik Alternate Wetting and Drying (Lampayan et
al, 2015), dimulai 14 hari setelah tanam. Setelah
stadia berbunga lahan terus diairi setinggi 5 cm,
kemudian 7 hari sebelum panen lahan dikeringkan.
Takaran pupuk ditetapkan berdasarkan
hasil analisis tanah menggunakan alat Perangkat
Uji Tanah Sawah (PUTS) (Balittanah, 2007).
Pupuk dasar diberikan umur tujuh hari setelah
tanam (HST) dengan dosis 350 kg NPK/ha.
Pemupukan kedua pada umur 35 HST dengan
takaran 150 kg urea dan 50 kg ZA/ha.
Pemeliharaan tanaman serta pengendalian hama
dan penyakit dilakukan secara preventif untuk
mendapatkan pertanaman yang sehat dan tumbuh
optimal. Rouging atau membuang tipe simpang
dilakukan tiga kali pada stadia anakan maksimum
(50-60 HST), stadia berbunga (85-90 HST) dan
stadia masak (100-115 HST) mengacu kepada
Pedoman Umum Produksi Benih Sumber Padi
(Balitbangtan, 2007). Panen dilakukan saat 90-
95% malai telah menguning. Panen dilakukan
menggunakan sabit, kemudian gabah dirontok dan
dikeringkan hingga kadar air 12%.
Pengamatan dilakukan saat panen meliputi
tinggi tanaman, komponen hasil (jumlah
malai/rumpun, jumlah gabah/malai, persentase
gabah isi, dan bobot 1000 butir gabah), hasil gabah
kering panen, hasil gabah kering giling (kadar air
14%) dan berat kering benih (kadar air 12%).
Jumlah sampel yang diamati 10 rumpun per petak
yang ditentukan secara acak.
Tinggi tanaman (cm) diukur dari
permukaan tanah hingga ujung daun atau malai
tertinggi, diukur satu minggu menjelang panen.
Jumlah anakan produktif atau jumlah
malai/rumpun dihitung satu minggu menjelang
panen dengan cara menghitung seluruh anakan
yang mengeluarkan malai per rumpun. Komponen
hasil ditentukan setelah panen. Panjang malai (cm)
ditentukan dengan mengukur malai dari ruas
pertama hingga ujung malai (Yunanda et al, 2013).
Jumlah gabah/malai, jumlah gabah isi/malai, dan
jumlah gabah hampa/malai ditentukan dalam
persen antara gabah isi atau gabah hampa per malai
dengan total jumlah gabah per malai. Bobot 1000
butir gabah (g) dihitung dengan cara menimbang
1000 butir gabah isi yang telah dikeringkan hingga
kadar air 14 %. Hasil atau produksi gabah kering
panen (GKP) ditentukan dengan cara ubinan.
Pengambilan sampel ubinan mengikuti prosedur
ubinan sistem tanam legowo (Abdulrachman et al,
2013). Gabah kering giling (GKG) dihitung pada
kadar air 14% dan berat kering benih dihitung pada
kadar air 12%.
Data pengamatan dianalisis secara
statistika menggunakan SAS Software. Analisis
statistika didasarkan pada analisis keragaman,
diikuti dengan Uji Jarak Berganda Duncan
(Duncan’s Multiple Range Test/DMRT) pada taraf
5% untuk mengetahui beda antar perlakuan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Curah Hujan
Berdasarkan pengolahan data curah hujan
bulanan di Kabupaten Bone Bolango selama 10
tahun (2006–2016) diketahui bahwa rata-rata curah
hujan bulanan terendah terjadi pada bulan Oktober
dan tertinggi pada bulan Juli. Rata-rata curah hujan
tahunan berkisar antara 1.301 mm/tahun hingga
1.758 mm/tahun. Pada bulan Oktober sampai
190 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2, 2018:187-194
April arus angin berasal dari Barat/Barat Laut yang
banyak mengandung uap air sehingga
mengakibatkan musim penghujan. Sementara itu
pada bulan Juni sampai September arus angin
berasal dari Timur yang tidak mengandung uap air
(Taslim, 2016).
Gambar 1. Grafik curah hujan (mm) Kabupaten Bone
Bolango, Provinsi Gorontalo, 2017 (BMKG
Provinsi Gorontalo, 2018).
Jumlah curah hujan yang diambil dari
Stasiun Pengamat Kabupaten Bone Bolango pada
tahun 2017 menunjukkan bahwa curah hujan rata-
rata kurang dari 200 mm per bulan (Gambar 1).
Bulan basah (curah hujan >200 mm/bulan) hanya
terdapat pada bulan Januari dan bulan kering
(curah hujan <100 mm/bulan) terdapat pada bulan
Apri, Mei, Oktober, November, dan Desember.
Analisis Sidik Ragam
Analisis sidik ragam berbagai komponen
hasil beberapa varietas padi gogo untuk produksi
benih di lahan sawah pada MK 2018 di Kebun
Percobaan Tilongkabila, Kabupaten Bone Bolango,
Provinsi Gorontalo menunjukkan bahwa perlakuan
varietas berpengaruh nyata terhadap semua
variabel komponen hasil yang diamati (Tabel 1).
Hasil gabah kering giling menunjukkan perbedaan
yang sangat nyata antar varietas.
Tabel 1. Analisis sidik ragam tinggi tanaman, hasil, dan komponen hasil beberapa varietas padi gogo untuk produksi
benih di lahan sawah, MK 2018 Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.
Sumber Keragaman F-hitung Faktor koreksi
Ulangan Varietas (%)
Tinggi tanaman (cm) 1,91* 90,75* 3,48
Jumlah malai/rumpun 0,34ns 7,18* 20,45
Jumlah gabah per malai (butir) 2,89* 26,47* 8,16
Jumlah gabah isi (butir) 3,41* 11,11* 11,43
Bobot 1000 butir gabah (g) 7,62* 39,36* 2,99
Persentase gabah isi (%) 1,82* 2,77* 5,32
Hasil gabah/GKP (t/ha GKP) 0,46ns 64,26* 4,27
Produksi benih (t/ha Benih) 0,55ns 65,67** 4,22
Keterangan: ns) tidak signifikan *) signifikan pada p <0.05, dan **) signifikan pada p <0.01
0
50
100
150
200
250
Ja
n
Fe
b
Ma
r
Apr
Me
i
Ju
n
Ju
l
Agt
Sep
Okt
No
v
De
s
191 Produktivitas dan Komponen Hasil Beberapa Varietas Padi Gogo di Lahan Sawah untuk
Produksi Benih (Ammini Amrina Saragih, Awaludin Hipi, Erythrina)
Tabel 2. Tinggi tanaman saat panen lima varietas padi gogo di lahan sawah MK 2018, Kabupaten Bone Bolango,
Provinsi Gorontalo.
Varietas Tinggi tanaman (cm) Deskripsi varietas (cm)*)
Situ Bagendit 88,2 c 99-105
Rindang 1 121,8 b 130
Rindang 2 121,5 b 130
Inpago 8 138,8 a 122
Inpago 11 136,8 a 124
Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada p<0.05
*) BB Padi, 2018
Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman di lapangan beragam antar
varietas. Hasil analisis statistika menunjukkan
tinggi tanaman paling rendah adalah Situ Bagendit
, diikuti Rindang 1, Rindang 2, serta Inpago 8 dan
Inpago 11 (Tabel 2). Dibandingkan dengan data
deskripsi varietas padi menunjukkan tinggi
tanaman varietas Situ Bagendit, Rindang 1 dan
Rindang 2 lebih rendah dibandingkan data
deskripsi varietasnya (BB Padi, 2018). Sebaliknya,
terjadi pada varietas Inpago 8 dan Inpago 11.
Variasi tinggi tanaman yang terjadi antar varietas
disebabkan karena setiap varietas dipengaruhi oleh
faktor genetik dan lingkungan (Efendi et al, 2012).
Tinggi tanaman dikendalikan oleh beberapa gen
yang mempengaruhi arsitektur tanaman, dominasi
apikal, biomassa, ketahanan terhadap rebah, dan
kemudahan terhadap pemanenan secara mekanis
(Liu et al, 2018).
Tinggi tanaman merupakan salah satu
karakter agronomi yang penting pada tanaman padi
sebab berpengaruh langsung terhadap ketahanan
tanaman terhadap kerebahan yang berdampak pada
potensi hasil (Zhang et al, 2014). Yunanda et al
(2013) menyatakan pada sistem budidaya padi
sawah menghasilkan tanaman yang lebih tinggi
dibandingkan sistem budidaya padi gogo.
Berdasarkan pengamatan, varietas Inpago 8 dan
inpago 11 meskipun menampilkan tinggi tanaman
yang lebih tinggi dibandingkan dengan
deskripsinya, kedua varietas tersebut tidak
mengalami kerebahan selama periode penelitian.
Wang et al (2016) menyatakan bahwa perbedaan
tinggi tanaman ditentukan oleh faktor genetik
disamping dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
tumbuh tanaman. Apabila lingkungan tumbuh
sesuai bagi pertumbuhan tanaman, maka dapat
meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman.
Kondisi lapangan yang bervariasi dari suatu tempat
ke tempat yang lain, dan tanggap tanaman akan
keadaan lingkungan mengakibatkan keragaman
dalam pertumbuhan tanaman.
Komponen Hasil Padi Gogo
Hasil analisis statistika terhadap komponen
hasil beberapa varietas padi gogo ditampilkan pada
Tabel 3. Varietas Inpago 11 mempunyai panjang
malai dan jumlah gabah/malai paling tinggi tetapi
juga mempunyai persentase gabah hampa tertinggi.
Inpago 8 walaupun mempunyai jumlah
gabah/malai lebih rendah dibandingkan Inpago 11
tetapi mempunyai persentase gabah hampa lebih
rendah dan bobot 1.000 biji paling tinggi. Varietas
Situ Bagendit mempunyai panjang malai relatif
pendek dengan jumlah gabah/malai paling rendah
tetapi dikompensasi oleh jumlah malai/rumpun
paling tinggi. Varietas padi gogo Rindang 1 dan
Rindang 2 yang toleran naungan mempunyai
jumlah malai/rumpun dan persentase gabah hampa
yang tidak banyak berbeda nyata. Di antara kedua
192 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2, 2018:187-194
Tabel 3. Komponen hasil lima varietas padi gogo di lahan sawah MK 2018, Kabupaten Bone
Bolango, Provinsi Gorontalo.
Varietas Jumlah
malai/rumpun
Jumlah
gabah/malai
Jumlah gabah
hampa (%)
Bobot 1.000 biji
(g)
Situ Bagendit 11,0 a 131,3 d 13,3 b 26,5 b
Rindang 1 6,0 b 187,8 c 14,8 b 28,9 a
Rindang 2 7,0 b 215,8 b 13,5 b 23,3 d
Inpago 8 7.0 b 193,0 bc 18,0 ab 29,0 a
Inpago 11 7,0 b 240,5 a 22,0 a 24,9 c
Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada p<0.05
varietas padi gogo ini, varietas Rindang 1
mempunyai keunggulan bobot 1.000 biji lebih
tinggi sedangkan Rindang 2 mempunyai jumlah
gabah/malai yang lebih tinggi (Tabel 3).
Komponen hasil tanaman padi dipengaruhi
oleh siklus pertumbuhan tanaman. Siklus
pertumbuhan tanaman padi dibagi menjadi tiga
tahap, yaitu stadia vegetatif, stadia
reproduksi/bunting, dan stadia pengisian biji
menjelang panen. Potensi hasil padi terbentuk atau
ditentukan selama tahap-tahap pertumbuhan
tersebut. Tinggi tanaman, jumlah anakan (terkait
dengan jumlah malai), pertumbuhan akar, luas
daun, dan morfologi adalah fitur utama dari tahap
pertumbuhan vegetatif. Pada tahap pertumbuhan
reproduksi perkembangan malai berlangsung.
Booting dan berbunga adalah bagian dari tahap
pertumbuhan reproduksi. Ukuran atau jumlah biji
per malai malai ditentukan dalam tahap
pertumbuhan reproduksi. Ukuran atau bobot biji
ditentukan selama tahap pertumbuhan pengisian
biji. Tahap pertumbuhan reproduksi adalah yang
paling sensitif terhadap tekanan biotik dan abiotik,
diikuti oleh pengisian biji dan tahap pertumbuhan
vegetatif (Fageria, 2007; Hafeeza et al, 2017).
Hasil Varietas Padi Gogo
Rataan hasil gabah kering panen dan gabah
kering giling (kadar air 14%) varietas padi gogo
disajikan pada Tabel 4. Varietas Inpago 8
memberikan hasil tertinggi yaitu 7,5 t/ha GKP, 6,9
t/ha GKG, dan 6,7 t/ha benih. Hasil gabah terendah
ditemukan pada varietas Rindang 2, yaitu 4,6 t/ha
GKP, 4,2 t/ha GKG, dan 4,1 t/ha benih.
Ketersediaan air menjadi faktor penting
dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Pengelolaan air yang baik dapat meningkatkan
produktivitas padi (Thakur et al, 2018). Pada lahan
sawah irigasi, ketersediaan air dan hara yang cukup
dapat berpengaruh terhadap peningkatan
fotosintesis tanaman dan meningkatkan
pembentukan asimilat. Akumulasi asimilat hasil
fotosintesis akan mempengaruhi persentase gabah
berisi dan bobot gabah yang menentukan ukuran
Tabel 4. Hasil lima varietas padi gogo di lahan sawah, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo, MK 2018
Varietas Gabah kering panen
(t/ha)
Gabah kering giling
(t/ha)
Produksi benih
(t/ha)
Situ Bagendit 5,8 b 5,3 b 5,2 b
Rindang 1 5,9 b 5,4 b 5,3 b
Rindang 2 4,6 c 4,2 c 4,1 c
Inpago 8 7,5 a 6,9 a 6,7 a
Inpago 11 6,1 b 5,5 b 5,4 b
Keterangan: Angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada p<0.05
193 Produktivitas dan Komponen Hasil Beberapa Varietas Padi Gogo di Lahan Sawah untuk
Produksi Benih (Ammini Amrina Saragih, Awaludin Hipi, Erythrina)
akhir biji. Hasil pengkajian ini sejalan dengan
penelitian lainnya bahwa produktivitas padi gogo
di lahan sawah lebih tinggi dibandingkan
pertanaman di lahan kering (Yunanda et al, 2013;
Nazirah dan Damanik, 2015).
KESIMPULAN
Varietas padi gogo yang ditanam di lahan
sawah berpotensi menghasilkan benih sumber yang
cukup tinggi berkisar antara 4,1 sampai 6,7 t/ha.
Potensi produksi benih tertinggi dihasilkan
Varietas Inpago 8 sedangkan terendah dihasilkan
Varietas Rindang 2
UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada
Hasim D. Moko, Wasirin, Aryandi Kurniawan dan
Santty F. Pomalingo selaku teknisi BPTP
Gorontalo yang telah membantu dalam
pelaksanaan penelitian dan pengumpulan data
selama percobaan berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulrachman, S., M. J. Mejaya, N. Agustiani, I.
Gunawan, P. Sasmita, A. Guswara. 2013.
Sistem Tanam Legowo. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi. Badan Litbang
Pertanian, Jakarta. 36p.
Ardi dan Yardha. 2014. Upaya peningkatan
produktivitas padi melalui varietas unggul
baru mendukung swasembada berkelanjutan
di provinsi Jambi. Jurnal .Agroekoteknologi
6(1):1-11.
Balitbangtan, 2007. Pedoman Umum Produksi
Benih Sumber Padi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian. 52 hal.
Balitbangtan. 2011. Petunjuk Pelaksanaan Unit
Pengelola Benih Sumber Tanaman. Lingkup
Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian
Pertanian. 51 hal.
Balittanah, 2007. Petunjuk Penggunaan Perangkat
Uji Pupuk. Balai Penelitian Tanah, Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber
Daya Lahan Pertanian. Badan Litbang
Pertanian. 12 hal.
BMKG Provinsi Gorontalo. 2018. Data curah
hujan kabupaten Bone Bolango. Gorontalo.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika Provinsi Gorontalo.
BPS Provinsi Gorontalo. 2015. Gorontalo Dalam
Angka Tahun 2015. Gorontalo. Badan Pusat
Statistik Provinsi Gorontalo.
BPS Provinsi Gorontalo. 2017. Gorontalo Dalam
Angka Tahun 2017. Gorontalo. Badan Pusat
Statistik Provinsi Gorontalo.
BB Padi. 2018. Deskripsi Varietas Unggul Baru
Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi.
Badan Litbang Pertanian, Kementerian
Pertanian.
Fageria, N. K. 2007. Yield Physiology of Rice.
Journal of Plant Nutrition 30(6):843-879
Efendi, H., dan H. R. Simajuntak. 2012. Respon
pertumbuhan dan produksi plasma nutfah
padi lokal Aceh terhadap sistem budidaya
aerob.
Jurnal Agrista 16(3):114-121.
Hafeeza, S., T. Jin, Y. Zhou. 2017. Factors
affecting yield and yield components of
main and ratoon rice: A Review.
Agricultural Science and Technology
18(7):1228-1231.
Ikhwani, G. R. Pratiwi, E. Paturrohman, A. K.
Makarim. 2013. Peningkatan produktivitas
padi melalui penerapan jarak tanam Jajar
Legowo. Jurnal Iptek Tanaman Pangan
8(2):72- 79.
Lampayan, R.M., R. M. Rejesus, G. R. Singleton,
B. A. M. Bouman. 2015. Adoption and
194 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2, 2018:187-194
economics of alternate wetting and drying
water management for irrigated lowland
rice. Field Crop Res. 170:95-108.
Liu, F., P. Wang, X. Zhang, X. Li, X. Yan, D. Fu,
and G. Wu. 2018. The genetic and molecular
basis of crop height based on a rice model.
Planta 247(1):1-26.
Nazirah, L, dan B. S. J. Damanik. 2015.
Pertumbuhan dan hasil tiga varietas padi
gogo pada perlakuan pemupukan. Journal
Floratek 10:54-60.
Syahri dan R. U. Somantri. 2016. Penggunaan
varietas unggul tahan hama dan penyakit
mendukung peningkatan produksi padi
nasional. Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pertanian 35(1):25-36.
Taslim, I. 2016. Analisis kesesuaian iklim untuk
lahan perkebunan di Kabupaten Bone
Bolango. Bindhe 1(1): 44-53.
Thakur, A. K., K. G, Mohanty, R. K. Ambast.
2018. Rice root growth, photosynthesis,
yield and water productivity improvements
through modifying cultivation practices and
water management. Agricultural Water
Management. 206 : 67-77.
Toha, H. M. 2013. Pengembangan padi gogo
mengatasi rawan pangan wilayah lahan
marjinal. Dalam Prospek Pertanian Lahan
Kering Dalam Mendukung Ketahanan
Pangan. Jakarta (ID) : Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Yunanda A. P., A. R. Fauzi, A. Junaedi. 2013.
Pertumbuhan dan produksi padi varietas
Jatiluhur dan IR64 pada sistem budidaya
gogo dan sawah. Bul. Agrohorti 1(4):18-25.
Wahyuni, S, T. S. Kadir, dan U. S. Nugraha. 2017.
Hasil dan mutu benih padi gogo pada
lingkungan tumbuh berbeda. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan 25(1):30-37.
Wahyuni, S. 2008. Hasil padi gogo dari dua
sumber benih yang berbeda. Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan 27(3):135-140.
Wang J.X., J. Sun, C.X. Li, H. L. Liu, J. G. Wang,
H. W. Zhao, D. T. Zou. 2016. Genetic
dissection of the developmental behavior of
plant height in rice under different water
supply conditions. Journal of Integrative
Agriculture 15(12): 2688-2702.
Zhang, J., G. H. Li, Y. P. Song, Z. H. Liu, C. D.
Yang, S. Tang, C. Y. Zheng, S. H. Wang,
Y. F. Ding. 2014. Lodging resistance
characteristics of high-yielding rice
populations. Field Crops Research 161:64-
74.
195 Penumbuhan Penangkar Benih Jagung Berbasis Masyarakat Melalui Desa Mandiri Benih
di Sulawesi Tenggara (Sri Bananiek Sugiman dan Muh. Asaad)
PENUMBUHAN PENANGKAR BENIH JAGUNG BERBASIS MASYARAKAT MELALUI DESA MANDIRI BENIH DI SULAWESI TENGGARA
Sri Bananiek Sugiman dan Muh. Asaad
Balai Pengkajian Teknlogi Pertanian Sulawesi Tenggara.
Jln. Prof. Muh. Yamin No.89. Puwatu. Kendari
E-mail: [email protected]
ABSTRACT
The development of community based-maize breeder through independent seed villages in southeast
Sulawesi. One of the strategies adopted in the effort to achieve self-sufficiency in maize is the provision of quality
seeds through the development of a seed independent village model that is built based on a community-based seed
system model. The activity was carried out in South Konawe District, Southeast Sulawesi. The activity took place in
January-December 2015 with the aim of: 1) Initiating a standalone model of community-based corn seed in a corn
development area in Southeast Sulawesi, and 2) Establishing a maize seedling institution in a maize development area
to ensure adequate supply and distribution of quality seeds. The activity involved 20 maize farmers. The breeder
group will then be given assistance, learning and technical training regarding the production of corn sources. Area of
field laboratory area was 10 ha as a place for farmers to learn producing source seeds and see the appearance of new
high yielding varieties. The results of the activities were obtained: 1) the activity of developing a model of
independent area of maize seed had successfully initiated the institutional growth of a formal group of maize seed
breeder 2) through the development of a community-based independent model of maize seed, succeeded in producing
quality seeds that passed 21 tons of BPSB TPH certification, which consisted of: 2 tons of Bima-20 varieties of URI
seeds, 5 tons of Lamuru and 14 tons of Sukmaraga. 3) Analysis of farmers' perceptions obtained that 82% farmers
gave a positive perception of the breeding business of maize seeds.
Key Word : village, independent, seed, maize, Southeast Sulawesi
ABSTRAK
Salah satu strategi yang ditempuh dalam upaya pencapaian swasembada jagung adalah penyediaan benih
bermutu melalui pengembangkan model desa mandiri benih yang dibangun berdasarkan model sistem perbenihan
berbasis masyarakat. Kegiatan dilaksanakan di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. kegiatan berlangsung
pada Januari -Desember 2015 dengan tujuan: 1) Menginisiasi model mandiri benih jagung berbasis masyarakat di
daerah pengembangan jagung di Sulawesi Tenggara, dan 2) Membangun kelembagaan perbenihan jagung di daerah
pengembangan jagung untuk menjamin penyediaan dan pendistribusian benih berkualitas secara cukup. Kegiatan
melibatkan 20 orang petani jagung. Kelompok penangkar ini selanjutnya diberi pendampingan, pembelajaran dan
pelatihan teknis mengenai produksi benih sumber jagung. Luas LL kegiatan 10 ha, sebagai tempat petani belajar
memproduksi benih sumber dan melihat penampilan varietas unggul baru. Hasil kegiatan diperoleh: 1) kegiatan
pengembangan model kawasan mandiri benih jagung telah berhasil menginisiasi penumbuhan kelembagaan kelompok
penangkar formal benih jagung 2) melalui kegiatan pengembangan model desa mandiri benih jagung berbasis
masyarakat, berhasil memproduksi benih bermutu yang lulus sertifikasi BPSB TPH sebanyak 21 ton, yang terdiri dari:
benih varietas Bima-20 URI sebanyak 2 ton, Lamuru sebanyak 5 ton dan Sukmaraga 14 ton. 3)Analisis persepsi
petani diperoleh 82% petani memberikan persepsi yang positif terhadap usaha penangkaran benih jagung.
Kata Kunci: Desa, Mandiri, Benih, Jagung, Sulawesi Tenggara
196 Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2, 2018:195-206
PENDAHULUAN
Salah satu cita-cita pemerintah Indonesia
yang tertuang dalam nawacita adalah mewujudkan
kemandirian pangan (Kementan, 2015).
Kementerian Pertanian telah mencanangkan target
swasembada jagung dan salah satu strategi untuk
pencapaiannya adalah melalui penyediaan benih
bermutu dengan penggunaan varietas unggul baru
(VUB).
Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan
salah satu wilayah potensial pengembangan jagung
yang memiliki luas areal pengembangan 31.534 ha,
dengan produktivitas 2,5 t/ha (BPS , 2014), masih
jauh dari potensi produktivitas jagung yang
mencapai 84 hingga 117 kw/ha (Badan Litbang,
2009). Salah satu faktor penyebabnya adalah
kurangnya adopsi benih unggul bermutu oleh
petani (Dinas Pertanian Sultra, 2013). Menurut
Margaretha dan Saenong (2009), masih banyak
petani yang menggunakan benih dari hasil panen
musim tanam sebelumnya dengan alasan harga
benih mahal.
Oleh karena itu, perlu penumbuhan dan
pembinaan kelompok tani sebagai penangkar benih
di pedesaan, khususnya di daerah-daerah sentra
produksi. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
mengembangkan model desa mandiri benih yang
dibangun berdasarkan model sistem perbenihan
berbasis masyarakat. Melalui pengembangan
model desa mandiri benih, petani dapat memenuhi
kebutuhan benih melalui produksi benih dari
wilayah sendiri secara mandiri, sehingga benih
unggul bersertifikat dapat diakses oleh petani
dengan harga yang terjangkau.
Namun demikian, penumbuhan penangkar
berbasis masyarakat (komunitas) membutuhkan
beberapa prasyarat diantaranya adalah factor
keterampilan petani dan ketersediaan benih sumber
(Abidin dan Harnowo, 2010). Selanjutnya
Harnowo., dkk (2007) : Deptan (2007) menyatakan
bahwa pengembangan sistem penyediaan benih
bermutu dari varietas unggul baru di suatu wilayah
memerlukan penanganan dalam hal : (1)
penumbuhan dan pengembangan
penangkar/produsen benih, (2) penyediaan benih
sumber dari varietas unggul baru yang sesuai
dengan daerah setempat (spesifik lokasi), (3)
transfer teknologi produksi hingga penanganan
pasca panen benih, (4) penyediaan ruang
simpan/gudang yang memadai untuk penyimpanan
benih sumber, (5) penerapan quality control
(pengendalian mutu), dan (6) penumbuhan ‘pasar’
aktual bagi benih bermutu yang diproduksi oleh
penangkar.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu
diinisiasi penumbuhan penangkar benih jagung
sebagai salah satu langkah strategis untuk
menjawab permasalahan ketersediaan benih
varietas unggul berkualitas tinggi sehingga mudah
diakses oleh petani dengan harga lebih murah
Kajian ini bertujuan untuk menginisiasi
penumbuhan penangkar benih mandiri benih
jagung berbasis masyarakat melalui Desa Mandiri
Benih di Sulawesi Tenggara..
METODOLOGI
Pelaksanaan kegiatan bertempat di Desa
Pangan Jaya, kecamatan Lainea, Kabupaten
Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Waktu
pelaksanaan kegiatan berlangsung dari Januari
hingga Desember 2015.
Kegiatan pengembangan model desa mandiri
benih jagung terdiri dari enam kegiatan operasional
utama yang meliputi: (1) perencanaan kebutuhan
benih, (2) identifikasi calon penangkar dan calon
lokasi, (3) penyediaan benih sumber, (4)
pendampingan dan bimbingan teknis produksi
benih, (5) fasilitasi dan bimbingan proses
sertifikasi benih, dan (6) sistem informasi
perbenihan.
Penyediaan benih sumber dilakukan oleh
Balit Serealia Maros. Varietas yang digunakan
terdiri dari: Sukmaraga, Lamuru dan Bima-20 URI.
Luas unit pelaksanaan kegiatan 10 ha, yang
selanjutnya menjadi laboratorium lapang (LL)
tempat petani calon penangkar belajar langsung
cara memproduksi benih dan melihat penampilan
Penumbuhan Penangkar Benih Jagung Berbasis Masyarakat Melalui Desa Mandiri Benih Di
Sulawesi Tenggara (Sri Bananiek Sugiman dan Muh. Asaad)
197
varietas yang diperkenalkan. Selanjutnya produksi
benih yang dihasilkan dalam LL didaftarkan pada
BPSB TPH.
Untuk mengetahui persepsi petani terhadap
usaha penangkaran benih jagung digunakan
analisis persepsi. Variabel yang diamati meliputi:
1) persepsi petani mengenai minat petani dalam
penangkaran benih jagung dan 2) persepsi petani
mengenai teknologi produksi benih sumber jagung.
Selanjutnya variabel tersebut dijabarkan dalam
item-item pernyataan, masing-masing variabel
terdiri dari 4 item pernyataan. Untuk keperluan
analisis setiap item pernyataan diberi skor sesuai
dengan persepsi dan pilihan petani responden.
Analisis menggunakan pendekatan likert,
dimana nilai skor yang disusun sesuai dengan
gradasi persetujuan mulai dari setuju sampai tidak
setuju, dengan nilai dari angka 1 sampai 3. Berikut
penilaian skor sebagai berikut:
- Setuju (S) : skor 3
- Ragu (R) : skor 2
- Tidak setuju (TS) : skor 1
Persamaan yang digunakan untuk mengukur
persepsi menggunakan nilai tertimbang dengan
formula sebagai berikut:
K = n/N x 100 % (Hendayana, 2014).
Dimana :
K = Nilai Konstanta
n = jumlah responden yang
menyatakan (orang)
N = Total Jumlah responden
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keragaan Usahatani Jagung di Sulawesi
Tenggara
Keragaan tanaman jagung di Sultra dalam
kurun waktu 2003-2013 menunjukkan trend yang
menurun. Tabel 1 memperlihatkan luas panen
jagung Sulawesi Tenggara semakin berkurang
dalam kurun waktu 11 tahun terakhir. Demikian
juga dengan produksi yang juga mengalami
penurunan. Dalam kurun waktu 2003-2013 luas
Tabel 1. Perkembangan Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Jagung di Sulawesi Tenggara
Tahun Luas Panen
(Ha)
Trend
Pertumbuhan
(%)
Produktvts
(Ku/Ha)
Trend
Pertumbhn
(%)
Produksi
(Ton)
Trend
Pertumbhn
(%)
2003 37,927
23.11
87,650
2004 35,151 (7.32) 22.23 (3.81) 78,147 (10.84)
2005 32,665 (7.07) 22.39 0.72 73,153 (6.39)
2006 33,343 2.08 22.4 0.04 74,672 2.08
2007 40,975 22.89 23.68 5.71 97,037 29.95
2008 37,249 (9.09) 24.98 5.49 93,064 (4.09)
2009 27,214 (26.94) 26.33 5.40 71,655 (23.00)
2010 29,607 8.79 25.28 (3.99) 74,840 4.44
2011 28,892 (2.41) 23.53 (6.92) 67,997 (9.14)
2012 30,884 6.89 25.4 7.95 78,447 15.37
2013 27,133 (12.15) 24.91 (1.93) 67,578 (13.86)
Rata-
Rata 32,821.82 (2.43) 24.02 0.87 78,567.27 (1.55)
Sumber: Statistika Indonesia, 2004-2014
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2, 2018:195-206
198
panen jagung menunjukkan trend menurun sebesar
2,43% pertahun, sementara produksi juga
menunjukkan penurunan rata-rata 1,55% pertahun.
Selengkapnya perkembangan luas Panen,
Produktivitas dan Produksi Jagung di Sulawesi
Tenggara ditampilkan di Tabel 1.
Rata rata capaian produktivitas jagung
Sultra 24.02 kw/ha, masih jauh dari potensi
produktivitas jagung yang mencapai 84 hingga
117 kw/ha. Hal ini disebabkan karena penggunaan
benih unggul bermutu yang belum banyak
diadopsi oleh petani. Penyebab utamanya adalah
sulitnya memperoleh benih unggul bersertifikat
dan jumlah penangkar jagung yang masih sangat
kurang. Jumlah penangkar jagung di Sulawesi
Tenggara yang resmi terdaftar sebagai
penangkar/kelompok penangkar pada Tahun 2014
hanya dua penangkar dengan kapasitas produksi
320 kg. Produksi benih tersebut tidak dapat
memenuhi kebutuhan benih jagung di Sulawesi
Tenggara yang mencapai 473.010 kg dengan
asumsi kebutuhan benih per ha sebesar 15 kg.
Selama ini, untuk memenuhi kebutuhan benih
jagung unggul bersertifikat yang diperuntukkan
untuk kegiatan/program pemerintah di Sulawesi
Tenggara masih harus didatangkan dari luar
provinsi. Oleh karena itu dibutuhkan penumbuhan
penangkar benih jagung agar dapat memberikan
kontribusi dalam penyediaan benih jagung unggul
bersertifikat di Sulawesi Tenggara, sehingga
kebutuhan akan benih sumber dapat terpenuhi dari
wilayah sendiri (secara mandiri).
Identifikasi calon penangkar dan Inisiasi
Kelembagaan Kelompok Penangkar Desa
Mandiri Benih Berbasis Masyarakat
Calon penangkar yang ditargetkan menjadi
penangkar benih pada model kawasan mandiri
benih adalah calon penangkar atau penangkar non
formal, yaitu penangkar yang sudah terbiasa
memproduksi benih tetapi dalam proses
produksinya belum melakukan sertifikasi benih
oleh BPSB. BPTP Sulawesi Tenggara
berkoordinasi dengan BPSB mengindentifikasi
calon penangkar yang akan dibina. Penangkarnon
formal ini selanjutnya mendapatkan bimbingan
dari BPTP Sulawesi Tenggara dalam hal teknik
produksi benih (pra dan pasca panen) serta proses
sertifikasi benih, sehingga penangkar non formal
tersebut dapat berkembang menjadi penangkar
formal. Penumbuhan kelompok penangkar
berbasis masyarakat dengan pendekatan kelompok
di daerah sentra produksi akan mempermudah
pembinaan, pendampingan sekaligus sosialisasi
perbenihan.
Metode pembinaan penangkaran perbenihan
di kelompok tani disamping mendekatkan sistem
perbenihan pada pengguna (petani), juga memiliki
manfaat dalam percepatan penyebaran varietas
unggul baru, sehingga adopsi varietas unggul baru
ke petani lebih mudah dan cepat. Melalui
kelompok yang dibentuk sebagai penangkar,
varietas unggul baru dikenalkan sekaligus
ditangkarkan sebagai benih yang bersertifikasi.
Berdasarkan hal tersebut, BPTP Sulawesi
Tenggara melalui kegiatan pengembangan model
kawasan mandiri benih jagung menginisiasi
pembentukan kelembagaan kelompok penangkar
benih jagung yang beranggotakan 20 orang petani
jagung yang selanjutnya menjadi calon penangkar.
Ke-20 orang petani calon penangkar tersebut
dihimpun dalam satu kelembagaan kelompok
penangkar yang didaftarkan sebagai produsen
benih di BPSB TPH dengan nama “Citra Sari”.
Kelompok calon penangkar tersebut yang
kemudian didampingi dengan memberikan
pembelajaran, pelatihan teknis dan berbagai
materi terkait teknologi produksi benih sumber
agar menjadi penangkar formal.
Model desa mandiri benih berbasis
masyarakat yang dilaksanakan di kegiatan
pengembangan model desa mandiri benih jagung
disajikan pada gambar 1 berikut:
Penumbuhan Penangkar Benih Jagung Berbasis Masyarakat Melalui Desa Mandiri Benih Di
Sulawesi Tenggara (Sri Bananiek Sugiman dan Muh. Asaad)
199
Kondisi Existing Teknologi
Kegiatan Pengembangan Model Kawasan
Mandiri Benih Jagung berlokasi di Desa Pangan
Jaya yang termasuk dalam wilayah Kecamatan
Lainea Kabupaten Konawe Selatan. Pertanaman
jagung di lokasi kajian dilakukan pada
agroekosistem lahan sawah. Umumnya petani
menanam jagung setelah pertanaman padi. Namun
terdapat petani yang tidak memanfaatkan lahannya
untuk menanam padi tapi menanam palawija
(jagung/kedelai) seperti petani koperator pada
kegiatan model desa mandiri benih jagung dimana
lahan yang digunakan untuk produksi benih
sumber desa mandiri benih sebagian besar adalah
lahan
setelah pertanaman jagung. Berikut existing
teknologi jagung petani koperator (Tabel 3).
Tabel 3. Kondisi Existing Teknologi Jagung Petani
Tabel 3. Kondisi Existing Teknologi
Jagung Petani koperator
No Karakteristik Kondisi Exixting
1 Luas lahan < 1 (40%)
1 – 2 (35%)
> 2 (20%)
2 Penyiapan lahan Olah tanah sempurna
dengan traktor
3 Pola tanam a. Jagung –
kedelai – jagung
(10%)
b. Kedelai –
kedelai – jagung
(5%)
c. Kedelai –
jagung – jagung
(10%)
1. VUB 2. Benih sumber,
benih dasar (BS, BD)
3. Teknologi produksi
4. Manajemen mutu
1. Varietas adopsi 2. Benih sebar 3. Teknologi
produksi 4. Manajemen mutu
1. Koordinasi 2. Regulator 3. Pembinaan 4. Manajemen mutu
Distan, BP4K,
BPSB
Mandiri benih
Desa
1. LL perbenihan VUB
2. BD dan BP 3. Pendampingan
teknologi 4. Manajemen mutu
Gambar 1. Model Desa Mandiri Benih Berbasis Masyarakat
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2, 2018:195-206
200
No Karakteristik Kondisi Exixting
d. Padi – jagung –
jagung (10%)
e. Jagung –
jagung – jagung
(65%)
4 Varietas Bisi 2, NT 10, NT 30,
NK 33,.
5 Sumber benih Beli sendiri dan benih
bantuan
6 Penggunaan
benih/ha
15 kg/ha, jumlah 1
biji/lubang
7 Jarak tanam 70-75 cm x 20 cm
8 Pemupukan - NPK Phonska :
200 kg/ha
- Urea :
200 kg/ha
- SP36 :
100 kg
9 Pengendalian
hama penyakit
Insektisida Furadan
10 Pengemdalian
gulma
Herbisida Roundup 2
l/ha dan Calaris 1 l/ha
11 Panen Kelobot telah
mengering dan
berwarna cokelat Sumber: Data Survei Wawancara Petani, 2015
Introduksi Teknologi Produksi Benih Jagung
Pelaksanaan tanam untuk produksi benih
sumber pada kegiatan mandiri benih dilaksanakan
pada pertengahan bulan April hingga awal Mei.
Selanjutnya dari hasil pengamatan lapang,
karakteristik teknologi produksi benih jagung yang
diterapkan pada kegiatan pengembangan model
kawasan mandiri benih jagung di Konawe Selatan
ditampilkan pada Tabel 4 berikut:
Tabel 4. Karakteristik Teknologi Produksi Benih
Jagung pada Kegiatan Mandiri Benih
Jagung di Sultra, 2015.
Karakteristik
Teknologi
Keterangan
Penyiapan Lahan - Lahan dibersihkan
dari sisa-sisa
tanaman
menggunakan
herbisida
- Olah lahan
sempurna
menggunakan
traktor
Penanaman - Plotting untuk
penanaman
menggunakan ajir
bambu
- Jarak tanam antar
barisan 75cm dan
jarak tanam dalam
barisan 25 cm
- Penanaman
dilakukan dengan
cara tugal,
- Jumlah biji : 1 biji
per lubang dan
ditutup dengan
segenggam pupuk
kandang
- Tenaga kerja yang
digunakan sistim
borongan (20
orang/ha/hari)
Pemupukan - Jenis pupuk dan
takaran yang
diberikan terdiri
dari:
Urea : 100 kg/ha,
NPK : 350-400
kg/ha dan SP-36 :
50-100 kg/ha.
Organik 1000 kg/ha
- Cara pemupukan;
pembuatan lubang
Penumbuhan Penangkar Benih Jagung Berbasis Masyarakat Melalui Desa Mandiri Benih Di
Sulawesi Tenggara (Sri Bananiek Sugiman dan Muh. Asaad)
201
Karakteristik
Teknologi
Keterangan
dengan tugal
disamping tanaman
dengan jarak 5 cm
dari tanaman
Penyiangan dan
Pembumbunan - Penyiangan I
sekaligus
pembumbunan
dilakukan pada
umur 15:20 hst
- Penyiangan II
dilakukan pada
umur 30-35 hst
sekaligus
memperbaiki
guludan
Pengendalian
Hama Penyakit - aplikasi insektisidda
(furadan) melalui
pucuk daun pada
umur tanaman : 20
dan 35 hst.
Pengendalian
Gulma - rindomyl
Seleksi
pertanaman jagung
untuk produksi
benih(roughing)
- Roughing 1: vigor
tanaman
Umur: 2-4 minggu
setelah tanam
- Roughing 2:
berbunga
Umur 7-10 minggu
setelah tanam
- Roughing 3: posisi
tongkol
Umur: 2 minggu
sebelum panen
- Roughing 4. Seleksi
tongkol
Panen dan
prosesing - Panen dilakukan
pada saat tanaman
masak fisiologis
Tongkol yang telah
lolos seleksi
pertanaman di
panen, selanjutnya
dijemur
Karakteristik
Teknologi
Keterangan
- Seleleksi tongkol,
tongkol yang
memenuhi kriteria
menjadi benih
selanjutnya dipipil
menggunakan mesin
pemipil.
- Setelah pemipilan
dilakukan sortasi
biji
- Biji yang telah
terpilih dijemur
kembali.
- Terakhir benih di
kemas. Sumber: Hasil Pengamatan Lapangan. 2015
Fasilitasi dan Bimbingan Kepada Calon
Penangkar Untuk Sertifikasi Benih
Dalam kegiatan pengembangan model desa
mandiri benih, diharapkan benih yang dihasilkan
oleh calon penangkar dari hasil pendampingan dan
pembelajaran teknis yang diberikan dapat
menghasilkan benih yang lulus sertfikasi.
Sertifikasi merupakan proses pemberian
sertifikat benih tanaman setelah melalui
pemeriksaan, pengujian dan pengawasan serta
memenuhi semua persyaratan untuk diedarkan
dengan tujuan untuk menjamin kemurnian dan
kebenaran varietas. Dalam hal ini, BPSB TPH
merupakan instansi pemerintah yang memiliki
tugas dan wewenang dalam hal sertifikasi Benih
tanaman pangan, pengujian benih laboratorium,
pengawasan peredaran benih dan monitoring stock
benih tanaman pangan dan hortikultura.
Berdasarkan hal tersebut, kegiatan Pengembangan
Model Kawasan Mandiri Benih Jagung melibatkan
BPSB TPH Sultra. Keterlibatan BPSB TPH dimulai
dari proses pendaftaran produsen benih untuk
memperoleh tanda daftar hingga keluarnya label.
Proses sertifikasi benih selengkapnya dapat dilihat
pada alur pelayanan sertifikasi benih tanaman
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2, 2018:195-206
202
pangan yang ditampilkan dalam gambar 2 (BPSB
TPH Prov. Sultra, 2015)
Kegiatan pengembangan model desa
mandiri benih jagung di Sulawesi Tenggara sudah
melalui proses tersebut, dan dari hasil
pendampingan BPTP Sultra, melalui kegiatan ini
telah dihasilkan benih bersertifikat sebanyak 21
ton, selengkapnya ditampilkan pada Tabel 5.
Hasil pengujian laboratorium terhadap
produksi benih penangkar dalam kegiatan desa
mandiri benih jagung di Sulawesi Tenggara
diperoleh hasil sebagai berikut (Tabel 6).
Persepsi Petani terhadap Teknologi
Penangkaran Benih Jagung
ALUR PROSES PELAYANANSERTIFIKASI BENIH TANAMAN PANGAN
Gambar 2. Alur Pelayanan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan
Penumbuhan Penangkar Benih Jagung Berbasis Masyarakat Melalui Desa Mandiri Benih Di
Sulawesi Tenggara (Sri Bananiek Sugiman dan Muh. Asaad)
203
Persepsi petani terhadap teknologi anjuran
(produksi benih) merupakan faktor kunci yang
mempengaruhi apresiasi petani terhadap inovasi
teknologi. Sebaik apapun teknologi yang
dianjurkan tidak akan direspon oleh petani bila
persepsi petani terhadap teknologi tersebut kurang
baik. Berdasarkan hal tersebut, perlu diketahui
bagaimana respon dan tanggapan petani mengenai
teknologi produksi benih sumber jagung.
Selengkapnya hasil analisis persepsi terhadap
usaha penangkaran benih jagung ditampilkan pada
Tabel 7.
Persepsi petani terhadap usaha
penangkaran benih jagung menunjukkan besarnya
minat petani terhadap usaha penangkaran benih
jagung, dimana 100% petani menyatakan setuju
dalam artian berminat terhadap usaha penangkaran
benih jagung. Dicermati lebih lanjut, sebagian
besar petani (50%) tertarik menjadi penangkar
walaupun tanpa adanya bantuan pemerintah atau
keinginan melakukan secara mandiri, sementara
25% petani lainnya masih ragu dan 25% hanya
mau menjadi penangkar bila terdapat
program/bantuan pemerintah. Ketertarikan atau
minat petani tesebut karena usaha penangkaran
benih jagung lebih menguntungkan dibanding
Tabel 5. Hasil Produksi Benih Bersertifikat Kegiatan Model Pengembangan Kawasan/Desa Mandiri
Benih Jagung Di Sulawesi Tenggara, 2015
Uraian
Varietas
Bima-20 Lamuru Sukmaraga Sukmaraga
Kelas benih FS FS FS SS
Hasil produksi rata-rata calon
benih (kg/ha)
4000 3825 3700 3700
Jumlah benih yang diuji BPSB
(kg)
2000 5000 7000 7000
Jumlah benih yang lulus
sertifikasi (kg)
2000 5000 7000 7000
Tabel 6. Hasil Pengujian Laboratorium Benih Jagung pada Kegiatan Desa Mandiri Benih di Sulawesi
Tenggara, 2015.
Uraian
Varietas dan Kelas Benih
Bima 20
(FS)
Lamuru
(FS)
Sukmaraga
(FS)
Sukmaraga
(SS)
1. Kadar air (%) 12.0 12,0 12,0 12,0
2. Benih murni (%) 99,8 99,8 99,9 99,9
3. Benih tanaman lain/ varietas
lain (%)
0,0 0,0 0,0 0,0
4. Kotoran benih (%) 0,2 0,2 0,1 0,1
5. Benih rerumputan (%) - - - -
6. Daya berkecambah (%) 89,0 86,0 87,0 87,0
7. Biji keras (%) - - - -
Sumber: BPSB TPH Sultra, 2015
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2, 2018:195-206
204
jagung pakan. Dimana hal tersebut dinyatakan
oleh 75% sementara 25% petani lainnya masih
ragu jika usaha penangkaran benih memberikan
keuntungan yang lebih dibanding jagung pakan.
Informasi lebih lanjut diperoleh, 100% petani
setuju jika ketersediaan pasar menjadi faktor yang
paling menentukan terhadap keberlanjutan usaha
penangkaran benih jagung. Petani menyatakan
bahwa ketidakpastian pasar membuat petani ragu
untuk melakukan penangkaran benih. Informasi
dari BPSB TPH juga menguatkan bahwa
permohonan untuk pengujian benih umumnya
tergantung adanya permintaan benih saja, atau
lebih karena respon terhadap pemenuhan akan
kebutuhan program program pemerintah. Dengan
kata lain, mereka melakukan penangkaran dengan
tujuan untuk memenuhi permintaan/kebutuhan
program pemerintah. Fakta tersebut tentunya
berdampak terhadap penyediaan benih
bermutu/benih bersertifikat yang tidak dapat
berlangsung secara kontinyu.
Persepsi petani sebanyak 80% menyatakan
setuju bahwa teknologi penangkaran benih jagung
sudah dipahami dengan baik sementara 20%
lainnya tidak setuju (belum memahami). Terkait
dengan teknologi penangkaran benih jagung, hal
ini merupakan pengalaman baru bagi petani,
walaupun demikian pemahaman petani sudah baik.
Hal tersebut tidak terlepas dari pengalaman petani
sebelumnya dalam hal penangkaran khususnya
penangkaran kedelai. Dari aspek kemudahan, 90%
Tabel 7. Persepsi Petani Terhadap Usaha Penangkaran Benih Jagung pada kegiatan
Pengembangan Model Desa Mandiri Benih Jagung di Sulawesi Tenggara, 2015.
No
Item Pernyataan
Persepsi Petani (persentase)
Setuju Ragu Tidak
Setuju Total
1) Petani sangat berminat dalam usaha
penangkaran benih jagung
100
-
-
100
2) petani tertarik menjadi penangkar
benih jagung secara mandiri
50
25
25
100
3) Usaha penangkaran benih jagung
lebih menguntungkan dari jagung
pakan
75
25
-
100
4) Ketersediaan pasar menjadi faktor
penting keberlanjutan usaha
penangkaran benih jagung
100
-
-
100
5) Teknologi penangkaran benih jagung
sudah dipahami dengan baik oleh
petani
80
20
100
6) Teknologi penangkaran benih jagung
mudah dilaksanakan oleh petani
90
-
10
100
7) Teknogi penangkaran benih jagung
memiliki kesesuaian dengan
teknologi yang telah ada sebelumnya
90
10
100
8) Karakteristik Teknologi
penangkaran benih jagung disukai
oleh petani
75
25
-
100
Rata-Rata 83 12 6 100
Penumbuhan Penangkar Benih Jagung Berbasis Masyarakat Melalui Desa Mandiri Benih Di
Sulawesi Tenggara (Sri Bananiek Sugiman dan Muh. Asaad)
205
petani menyatakan setuju bahwa teknologi
penangkaran benih jagung mudah dilaksanakan
sementara 10% petani menyatakan tidak mudah
dilaksanakan.
. Dalam hal ini teknologi yang dirasakan
sulit oleh petani adalah seleksi atau pemotongan
bunga jantan pada produksi jagung hibrida.
Selanjutnya persepsi petani mengenai aspek
kesesuaian teknologi diperoleh 90% petani
menyatakan setuju bahwa teknologi penangkaran
benih jagung memiliki kesesuaian atau
keselarasan dengan teknologi yang telah ada
sebelumnya. Dalam hal ini, teknologi produksi
benih jagung yang dianjurkan tidak berbenturan
dengan nilai budaya dan kepercayaan petani dalam
melakukan usahatani sebelumnya (jagung pakan).
Untuk karakteristik teknologi penangkaran benih
jagung, 75% petani menyatakan menyukai dan
25% lainnya masih ragu. Kesukaan terhadap
teknologi berpengaruh terhadap penerimaan dan
penolakan petani terhadap teknologi tersebut, dan
akan berpengaruh terhadap kemauan petani untuk
mengadopsi teknologi anjuran. Lebih lanjut,
penerimaan petani terhadap suatu teknologi akan
semakin baik bilamana teknologi tersebut
dirasakan menguntungkan dan sesuai dengan
kebutuhan petani. Berdasarkan uraian tersebut,
dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagian besar
petani (83%) memberikan persepsi yang baik
mengenai usaha penangkaran benih jagung dan hal
tersebut menunjukkan bila usaha penangkaran
benih jagung sangat berpeluang untuk diusahakan
dan dikembangkan lebih lanjut, dengan
memperhatikan faktor ketersediaan pasar untuk
pemasaran hasil produksi benih penangkar.
KESIMPULAN
1. BPTP Sulawesi Tenggara melalui kegiatan
pengembangan model kawasan mandiri benih
jagung telah berhasil menginisiasi penumbuhan
kelembagaan kelompok penangkar formal
benih jagung di desa Pangan Jaya, kecamatan
Lainea, Kabupaten Konawe Selatan.
2. Hasil pendampingan dan pembelajaran teknis
produksi benih sumber jagung kepada petani
melalui kegiatan pengembangan model desa
mandiri benih jagung berbasis masyarakat di
Sulawesi Tenggara, berhasil memproduksi
diproduksi benih bermutu yang lulus sertifikasi
BPSB TPH sebanyak 21 ton, yang terdiri dari:
benih varietas Bima-20 URI sebanyak 2 ton,
Lamuru sebanyak 5 ton dan Sukmaraga 14 ton.
Hasil tersebut telah mampu sehingga
memenuhi kebutuhan benih untuk desa sendiri
3. Analisis persepsi petani diperoleh 83% petani
memberikan persepsi yang positif terhadap
usaha penangkaran benih jagung. Artinya,
Penangkaran benih jagung sangat berpeluang
untuk diusahakan dan dikembangkan lebih
lanjut, tentunya dengan memperhatikan faktor
ketersediaan pasar untuk pemasaran hasil
produksi benih penangkar.
4. Perlu adanya dibangun dan dikembangkan
kemitraan atau kerjasama penangkar benih
dengan pemda atau produsen benih
(BUMN/Swasta) untuk menjamin kepastian
pasar. Adanya kepastian pasar akan
memberikan peluang bagi tumbuh kembangnya
penangkar-penangkar baru, sehingga benih
dapat tersedia secara kontinyu.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z., Dan Harnowo, D., 2010. Penumbuhan
Penangkar Benih Kedelai Berbasis
Komunitas di Sulawesi Tenggara.
Prosiding Seminar.
BPSB TPH Provinsi Sultra, 2015. Laporan
Perkembangan Penangkar/Produsen Benih
Jagung. Kendari. Tahun 2015.
BPS Indonesia, 2004-2014. Indonesia dalam
Angka 2004-2014. Badan Pusat Statistik
Indonesia. Jakarta
BPS Sultra, 2014. Sulawesi Tenggara dalam
Angka 2014. Badan Pusat Statistik
Provinsi Sulawesi Tenggara.
Deptan, 2009. Pedoman Umum PTT Jagung.
Departemen Pertanian Badan Penelitian
Buletin Inovasi Pertanian Spesifik Lokasi, Vol.4, No.2, 2018:195-206
206
dan Pengembangan Pertanian. Departemen
Pertanian. Jakarta.
Dinas Pertanian Provinsi Sultra, 2013. Data Luas
Tanam, Panen, Produksi dan Produktivitas
Padi dan Palawija Tahun 2014. Dinas
Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi
Sulawesi Tenggara. Kendari.
Dinas Pertanian Provinsi Sultra, 2015. Laporan
Perkembangan Jagung Provinsi Sulawesi
Tenggara. Kendari. Tahun 2015.
Harnowo, D., J. R. Hidajat, dan Suyamto. 2007.
Kebutuhan dan Teknologi Produksi Benih
Kedelai. Hal. 383-415. Dalam Sumarno
dkk. (ed.). Kedelai : Teknik Produksi dan
Pengembangan. Puslitbang Tanaman
Pangan, Bogor.
Hendayana, Rachmat, 2011. Metode Analisis Data
Hasil Pengkajian. Balai Besar Pengkajian
dan Pengembangan Teknologi. Bogor.
Kementan, 2015. Pedoman Umum pengembangan
Model Kawasan Mandiri benih Padi,
Jagung, dan kedelai. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Kemenerian
Pertanian. Jakarta.
Margaretha .,S.L. Dan Saenong, 2010.
Pembentukan Penangkaran Benih Untuk
Percepatan Distribusi Benih Varietas
Jagung Nasional. Prosiding Seminar
Nasional Serealia 2009