kajian strategi pendanaan perguruan tinggi
DESCRIPTION
Dokumen kajian strategi pendanaan PT oleh BAPPENAS. Kajian ini penting bagi yang ingin tahu skema BHMN, di kampus UGM, ITB, UPI, UNHAS, UNS, dan PTN lain di Indonesia.TRANSCRIPT
LAPORAN
KAJIAN STRATEGI PENDANAAN PENDIDIKAN TINGGI
DIREKTORAT AGAMA DAN PENDIDIKAN
BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
BAPPENAS 2010
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Sekalipun keberadaan perguruan tinggi di Indonesia sudah ada sejak tahun 1847
yang ditandai dengan kelahiran School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau
Sekolah Kedokteran Bumiputra, namun jika ditelisik dari aspek kebijakan, kebijakan
pendidikan tinggi baru dimulai pada 1975. Yaitu, seiring munculnya Kebijaksanaan Dasar
Pengembangan Pendidikan Tinggi (KDPPT I 1975‐1985). Kebijakan tersebut memuat
tujuan pengembangan, peran dan fungsi pendidikan tinggi, dasar dan arah pembinaan
dan pengembangan, langkah pembinaan, kelembagaan pendidikan tinggi, serta
pembiayaan dan alokasi anggaran.
Selanjutnya, pada periode ke‐2 (1985‐1995), pengembangan pendidikan tinggi
diarahkan pada konsolidasi hasil yang telah diperoleh selama periode pengembangan
sebelumnya. Pengembangan tersebut berupa peningkatan kapasitas kelembagaan,
infrastruktur, manajemen, produktivitas, relevansi dan mutu. Pada periode ke‐3 (1996‐
2005), dibangun Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang (KPPTJT)
yang ditujukan untuk mengupayakan perbaikan sistem melalui 3 program induk, yaitu:
penataan sistem, dan peningkatan relevansi dan mutu; serta pemerataan. Saat ini, kita
berada di periode ke‐4 (2003‐2010), yaitu Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi
Jangka Panjang (Higher Education Long Term Strategy) yang difokuskan untuk menjawab
tiga isu strategis, yaitu: daya saing nasional, dan otonomi PT, serta kesehatan organisasi.
Berbagai upaya pemerintah dan masyarakat dalam membangun pendidikan tinggi
telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Hal ini ditunjukkan dengan
semakin meningkatnya angka partisipasi kasar (APK) pada jenjang pendidikan tinggi yang
telah mencapai 17,75 persen pada tahun 2008. (Evaluasi RPJMN 2005‐2008). Di samping
perluasan akses, peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan juga tak kalah pentingnya,
bahkan menjadi kunci keberhasilan pendidikan tinggi.1 Dilihat dari sisi kualitas institusinya,
pembangunan pendidikan tinggi sudah menunjukkan peningkatan yang ditandai dengan
1 Terkait kualitas dan relevansi ini sangat penting sebagaimana disampaikan Nicholas Barr (2003), Clearly the quality and relevance of education is central; the level of spending is relevant, but so is the responsiveness of the system to the needs of students, employers and other stakeholders.
2
adanya tujuh PTN yang masuk World Top Universities versi The Times Higher Education
Supplement – QS World University Rankings (2005‐2009), yaitu: UI, UGM, ITB, UNAIR,
UNDIP dan IPB, serta UNIBRAW.
Akan tetapi, pencapaian pembangunan pendidikan tinggi tersebut jika
dibandingkan dengan pencapaian akses dan kualitas pendidikan tinggi di negara Asia
lainnya masih tertinggal sebagaimana ditunjukan dalam Gambar 1.1.
Gambar 1.1. Perbandingan APK Pendidikan Tinggi Asia
91
42.7
32.5
28.1
20.3
17.26
0 20 40 60 80 100
Korea
Thailand
Malaysia
Philippina
China
Indonesia
Sumber: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Rembugnas, 2008)
Peningkatan APK pendidikan tinggi ditunjukkan dengan jumlah mahasiswa yang
dilayani melalui berbagai jenis perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta yang
meliputi: universitas, institut, sekolah tinggi, akademi dan politeknik.
Tabel 1.1. Jumlah Perguruan Tinggi dan Mahasiswa
Sumber: Diolah dari Data Statistik Pendidikan, Kemendiknas 2007/2008
Sumber : Diolah dari Data Statistik Pendidikan, Kemendiknas 2007/2008
Negeri Swasta Total Negeri Swasta Total
Universitas 48 375 423 1139050 1412655 2551705
Institut 6 37 43 39027 104924 143951
Sekolah Tinggi 2 1186 1188 877 758620 759497
Akademi 0 884 884 0 245816 245816
Politeknik 26 116 142 58454 45864 104318
82 2598 2680 1237408 2567879 3805287
Universitas 6 86 92 70594 82968 153562
Institut 13 25 38 56531 23539 80070
Sekolah Tinggi 33 377 410 48453 286253 334706
Akademi 0 6 6 0 1729 1729
Politeknik 0 0 0 0 0 0
52 494 546 175578 394489 570067
Jumlah Lembaga Jumlah Mahasiswa
PERGURUAN TINGGI AGAMA ISLAM
PERGURUAN TINGGI UMUM
3
Ditilik dari ukuran indeks daya saing, Indonesia mengalami perbaikan yang
signifikan dari tahun 2009 ke tahun 2010 sebagaimana terlihat dalam Tabel 1.2.
Tabel 1.2. Perkembangan Daya Saing Indonesia 2009‐2010
Tabel 3. Peringkat GCI Indonesia dan Asia Lainnya
Sumber: World Economic Forum (WEF), 2010
Namun demikian, pencapaian Indeks Daya Saing Global (Global Competitiveness
Index) tersebut masih jauh tertinggal dibanding negara Asia lainnya, seperti Singapore,
Malaysia, Thailand, Jepang, Korea Selatan dan China sebagaimana terlihat dalam Tabel
1.3.
Tabel 1.3. Peringkat Daya Saing Indonesia dibanding Negara Asia Lainnya
Sumber: World Economic Forum (WEF), 2010
Global Competitiveness Index/Indeks Daya Saing Global
Indonesia(44)
Singapura(3)
Jepang(6)
Korea(22)
Malaysia(26)
Cina(27)
Thailand(38)
Pilar 5: Pendidikan Tinggi dan Pelatihan 66 5 20 15 49 60 59
5.01 Partisipasi Pendidikan Menengah 95 15 21 34 99 92 96
5.02 Partisipasi Pendidikan Tinggi 89 30 34 1 73 88 54
5.03 Kualitas Sistem Pendidikan 40 1 35 57 23 53 66
5.04 Kualitas Matematika dan Sains 46 1 28 18 31 33 57
5.05 Kualitas Manajemen Sekolah 55 6 65 47 35 63 58
5.06 Akses Internet di Sekolah 50 5 40 12 36 22 43
5.07 Ketersediaan Lembaga Penelitian dan Pelatihan di Tingkat Lokal
52 19 13 39 25 50 69
5.08 Pelatihan Staf 36 4 6 42 13 57 62
Pilar 12: Inovasi 36 9 4 12 24 26 52
12.02 Kualitas Lembaga Penelitian 44 11 15 25 32 39 59
12.04 Kerjasama Penelitian Industri–PT 38 6 19 23 22 25 42
12.06 Ketersediaan Ilmuwan & Ahli Tek. 31 10 2 23 33 35 40
Global Competitiveness Index/Indeks Daya Saing Global
Indonesia(44)
Singapura(3)
Jepang(6)
Korea(22)
Malaysia(26)
Cina(27)
Thailand(38)
Pilar 5: Pendidikan Tinggi dan Pelatihan 66 5 20 15 49 60 59
5.01 Partisipasi Pendidikan Menengah 95 15 21 34 99 92 96
5.02 Partisipasi Pendidikan Tinggi 89 30 34 1 73 88 54
5.03 Kualitas Sistem Pendidikan 40 1 35 57 23 53 66
5.04 Kualitas Matematika dan Sains 46 1 28 18 31 33 57
5.05 Kualitas Manajemen Sekolah 55 6 65 47 35 63 58
5.06 Akses Internet di Sekolah 50 5 40 12 36 22 43
5.07 Ketersediaan Lembaga Penelitian dan Pelatihan di Tingkat Lokal
52 19 13 39 25 50 69
5.08 Pelatihan Staf 36 4 6 42 13 57 62
Pilar 12: Inovasi 36 9 4 12 24 26 52
12.02 Kualitas Lembaga Penelitian 44 11 15 25 32 39 59
12.04 Kerjasama Penelitian Industri–PT 38 6 19 23 22 25 42
12.06 Ketersediaan Ilmuwan & Ahli Tek. 31 10 2 23 33 35 40
Global Competitiveness Index/Indeks Daya Saing Global (Indonesia) 2009-2010 2010-2011
Pilar 5: Pendidikan Tinggi dan Pelatihan 69 66
5.01 Partisipasi Pendidikan Menengah 93 95
5.02 Partisipasi Pendidikan Tinggi 90 89
5.03 Kualitas Sistem Pendidikan 44 40
5.04 Kualitas Matematika dan Sains 50 46
5.05 Kualitas Sekolah Manajeman 51 55
5.06 Akses Internet di Sekolah 59 50
5.07 Ketersediaan Lembaga Penelitian dan Pelatihan di Tingkat Lokal
48 52
5.08 Pelatihan Staf 33 36
Pilar 12: Inovasi 39 36
12.02 Kualitas Lembaga Penelitian 43 44
12.04 Kerjasama Penelitian Industri–PT 43 38
12.06 Ketersediaan Ilmuwan & Ahli Tek. 31 31
Global Competitiveness Index/Indeks Daya Saing Global (Indonesia) 2009-2010 2010-2011
Pilar 5: Pendidikan Tinggi dan Pelatihan 69 66
5.01 Partisipasi Pendidikan Menengah 93 95
5.02 Partisipasi Pendidikan Tinggi 90 89
5.03 Kualitas Sistem Pendidikan 44 40
5.04 Kualitas Matematika dan Sains 50 46
5.05 Kualitas Sekolah Manajeman 51 55
5.06 Akses Internet di Sekolah 59 50
5.07 Ketersediaan Lembaga Penelitian dan Pelatihan di Tingkat Lokal
48 52
5.08 Pelatihan Staf 33 36
Pilar 12: Inovasi 39 36
12.02 Kualitas Lembaga Penelitian 43 44
12.04 Kerjasama Penelitian Industri–PT 43 38
12.06 Ketersediaan Ilmuwan & Ahli Tek. 31 31
4
Sebagaimana jenjang pendidikan lainnya, pembangunan pendidikan tinggi juga
masih menyisakan permasalahan terkait pemerataan akses, mutu dan relevansi; serta
otonomi (tata kelola).2 Terkait pemerataan akses, jenjang PT merupakan yang paling
tinggi ketimpangan antara keluarga kurang mampu dan keluarga mampu. Susenas 2008
menunjukkan jumlah mahasiswa dari keluarga tidak mampu hanya 9,3 persen, yaitu: 4,19
persen berada di kuantil 1 dan 5,10 persen berada di kuantil 2. Terkait mutu, hasil
akreditasi yang dilakukan BAN, misalnya, menunjukkan keragaman kualitas PT. Dalam
konteks global, penilaian dari lembaga internasional semisal THES dan Webometrik
menunjukkan hanya sebagian kecil PT saja yang masuk kelas dunia. Selanjutnya, terkait
relevansi juga belum menunjukkan hasil yang signifikan yang ditandai adanya
kecenderungan peningkatan pengangguran lulusan PT yang mencakup pendidikan
diploma, akademi dan universitas, dari sekitar 585.348 pada tahun 2004 menjadi 673.628
pada Agustus 2006 dan meningkat lagi menjadi 961.001 pada Agustus 2008. (Sakernas
BPS 2004‐2008).
Jika dikaitkan dengan tingkat penyerapan dalam dunia kerja sebagai refleksi dari
relevansi pendidikan, pembangunan pendidikan tinggi masih menyisakan tantangan yang
semakin berat. Tantangan ini ditunjukkan dengan adanya kecenderungan peningkatan
angka pengangguran lulusan pendidikan tinggi sebagaimana tergambar dalam Gambar 1.2
di bawah ini.
2 D. Bruce Johnstone, Alka Arora & William Experton (1998) memetakan lima tema terkait pendidikan tinggi, yaitu: (1) expansion and diversification; (2) fiscal pressure; (3) market: (4) the demand for greater accountability; and (5) the demand for greater quality and efficiency.
5
Gambar 1.2. Potret Pengangguran Lulusan Perguruan Tinggi
92,77
8 144,4
63
348,
107
107,5
16 21
5,320
38
5,41
8
101,0
17 20
7,505
395,
538
102,5
80 19
4,605
375,
601
94,44
5 183,6
29
395,
554
151,0
85 17
9,231
409,
890
175,9
66
221,2
25
566,
588
269,2
69
250,5
98
626,
202
136,6
58 22
6,025
598,
318
-
200,000
400,000
600,000
800,000
1,000,000
1,200,000
2004 2005(Feb)
2005(Nov)
2006(Feb)
2006(Agust)
2007(Feb)
2007(Agust)
2008(Feb)
2008(Agust)
Diploma I/II Academy/ Diploma III University
Sumber: Survey Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) BPS 2004‐2008.
Dengan demikian, permasalahannya adalah PT masih belum sepenuhnya mampu
menghasilkan lulusan dengan kualitas dan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan
pembangunan; serta rendahnya intensitas, kualitas, dan relevansi penelitian.
Selanjutnya, terkait otonomi yang dimiliki PT. Otonomi tersebut dimaknai sebagai
pemberian kekuasan dan kebebasan peguruan tinggi, sehingga tidak ada satu kekuatan
lain di luar yang berhak untuk mengendalikan. Pemahaman seperti itu, tentu saja
membutuhkan asumsi‐asumsi. Asumsi yang terpenting adalah terjaminnya kepentingan
dan kepuasan para stakeholder, yaitu perguruan tinggi, pemerintah, dan masyarakat.
Dalam pelaksanaannya, idealita otonomi PT bukan tanpa masalah. Apalagi tantangan
otonomi PT di era transisi saat ini, di mana setiap perubahan, apalagi perubahan
paradigma, senantiasa melahirkan berbagai ekses dan berbagai ketidakakuratan
penafsiran yang pada akhirnya berdampak menciptakan biaya sosial dan berbagai
ketidakefisienan.
Salah satu isu krusial terkait otonomi adalah masalah akuntabilitas pengelolaan
pendanaan PTN. Sebagaimana diketahui, di samping mendapat alokasi APBN dalam
beragam bentuknya, PTN juga menerima pemasukan yang tidak kecil yang berasal dari
masyarakat, dan hasil dari kerja sama/usaha. Terkait pengelolaan pendanaan pendidikan
tinggi, Bikas S. Sanyal & Michela Martin (2006) memetakan enam kecenderungan baru,
6
yaitu: (1) perluasan akses pendidikan tinggi secara massif; (2) keterbatasan kemampuan
negara untuk membiayai perluasan yang massif bersamaan dengan kehadiran sektor
swasta; (3) rasionalisasi untuk berbagi peran dalam membiayai pendidikan bersama orang
tua dan mahasiswa; (4) bersamaan dengan pentingnya akuntabilitas dan value of money;
(5) kemunculan penyedia asing sejalan dengan General Agreement on Trade in Services
(GATS); dan (6) perlunya penyesuaian dalam pendanaan pemerintah untuk menurunkan
semakin besarnya kesenjangan.
Sejalan dengan hal tersebut, maka sasaran pembangunan pendidikan tinggi dalam
kurun waktu lima tahun ke depan diarahkan untuk: (1) meningkatnya kualitas dan
relevansi pendidikan, yang ditandai dengan meningkatnya proporsi program studi PT
yang terakreditasi menjadi sebesar 90,0 persen; bertambahnya jumlah PT bertaraf
internasional (world class university) menjadi 10 PT; makin banyaknya PT yang masuk
dalam peringkat besar dunia (TOP 500 THES) menjadi sebesar 7 PT; dan (2) meningkatnya
pembiayaan pendidikan yang berkeadilan yang ditandai dengan meningkatnya proporsi
mahasiswa yang mendapatkan beasiswa bagi keluarga miskin.
Selanjutnya, sesuai dengan Keputusan Menneg PPN/Kepala Bappenas No.
PER. 01/M.PPN/09/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Menneg PPN/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, tugas pokok Direktorat Agama dan Pendidikan
adalah melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, koordinasi, sinkronisasi
pelaksanaan penyusunan dan evaluasi perencanaan pembangunan nasional di bidang
agama dan pendidikan serta pemantauan dan penilaian atas pelaksanaannya. Sejalan
dengan tugas pokok tersebut serta memperhatikan perkembangan dan permasalahan di
atas, Direktorat Agama dan Pendidikan BAPPENAS bermaksud melakukan pendalaman
dengan melakukan Kajian Pendanaan Pendidikan Tinggi.
Kajian ini dimaksudkan untuk digunakan sebagai masukan bagi kementerian
terkait dalam menentukan kebijakan pemerintah dalam memperkuat tata kelola
pelayanan pendidikan tinggi agar dapat menjawab isu strategis yang dihadapi pada
pembangunan pendidikan tinggi sejalan dengan arah kebijakan dan program
pembangunan pendidikan tinggi dalam RPJMN 2010‐2014, Rencana Strategis Kementerian
Pendidikan Nasional serta Rencana Strategis Kementerian Agama.
7
1.2. PERUMUSAN MASALAH
Pokok permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan
tingi, khususnya masalah pendanaan PT, secara sederhana adalah terkait perlunya upaya
untuk mensinergikan berbagai pendanaan yang diperoleh perguruan tinggi, sehingga
mampu didayagunakan dalam upaya meningkatkan akses dan kualitas pendidikan tinggi
di Indonesia.
1.3. TUJUAN KAJIAN
Melakukan review terhadap arah kebijakan dan pelaksanaan (sudah, sedang dan
akan) pendanaan pendidikan tinggi.
Memetakan kendala, hambatan, dan peluang dalam mensinergikan berbagai
sumber pendanaan untuk meningkatkan pemerataan akses dan peingkatan
kualitas PT.
Mencermati lesson learned (pembelajaran) terkait pengelolaan pendanaan
pendidikan tinggi.
Menyusun alternatif kebijakan dan strategi implementasinya sinergi berbagai
sumber pendanaan pendidikan tinggi untuk pemerataan akses dan peningkatan
kualitas.
1.4. SASARAN
Tersusunnya rekomendasi kebijakan tentang strategi dalam mensinergikan
berbagai sumber pendanaan pendidikan tinggi dalam rangka pemerataan akses dan
peningkatan kualitas PT.
1.5. RUANG LINGKUP
Melakukan kajian atas kondisi pelaksanaan otonomi pendidikan tinggi.
Melakukan identifikasi terhadap kekuatan dan kelemahan tata kelola pendanaan
pendidikan tinggi yang telah dan sedang dilaksanakan.
Menyusun rekomendasi kebijakan untuk menyinergikan berbagai sumber
pendanaan pendidikan tinggi.
8
BAB II
METODOLOGI KAJIAN
2.1. Desain Kajian
Kajian Strategi Pendanaan Pendidikan Tinggi difokuskan pada pemetaan,
pembentukan model, analisis, dan interpretasi atas berbagai peraturan perundangan
yang terkait dengan pendanaan pendidikan tinggi dan pelaksanaan pendanaannya baik di
tingkat nasional, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan Kementerian
Agama (Kemenag) dan juga di tingkat satuan pendidikan (perguruan tinggi). Kajian ini
menggunakan kerangka analisis yang disebut inductive and deductive analyses, yang lazim
dipakai dalam suatu penelitian baik kualitatif maupun kuantitatif.
Pendekatan qualitative analysis digunakan, karena pada bagian ini materi yang
menjadi bahan kajian adalah sejumlah dokumen seperti Undang Undang, Peraturan
Pemerintah, Keputusan Menteri, dan bahan‐bahan lain yang relevan. Dalam pendekatan
ini, tentu saja kajian yang dilakukan lebih bersifat analisis‐deskriptif yang mengulas
mengenai isu‐isu penting yang bersinggungan dengan ruang lingkup pembahasan.
Pendekatan quantitative analysis digunakan mengevaluasi pelaksanaannya berdasar data‐
data kuantitatif (struktur pendanaan pendidikan tinggi, baik tingkat nasional maupun
tingkat satuan pendidikan) guna membentuk model‐model yang sangat membantu dalam
rekomendasi‐rekomendasi kebijakan.
Kerangka analisis ini dimulai dengan kategorisasi dan pengelompokan mekanisme
pendanaan dan kelembagaan yang bersumber pada dokumen atau material, untuk
kemudian dilakukan pemetaan (mapping) untuk selanjutnya dilakukan afirmasi,
konfirmasi, dan interpretasi atas dokumen atau material tersebut di dalam
pelaksanaannya.
Kerangka inductive and deductive analyses bekerja dalam suatu jalinan yang utuh di
dalam rangkaian kegiatan penelitian sebagaimana diutrakan oleh Quinn Patton (2002),
“Inductive analysis involves discovering patters, themes, and categories in one’s data.
Findings emerge out of the data through the analyst’s interaction with the data, in contrast
to deductive analysis where the data are analyzed according to an existing framework ….
9
Once patters, theme, and categories have been established through inductive analysis, the
final, confirmatory stage of qualitative analysis may be deducative in testing and affirming
the authenticity and appropriateness of the content analysis.”3
Secara teknis, rangkaian kajian ini akan melalui langkah‐langkah sebagai berikut: (1)
menyusun kerangka acuan kerja dan rencana kerja; (2) melakukan studi pustaka; (3)
mereview terhadap konsistensi kebijakan dan implementasi kebijakan; (4) round table
discusion (RTD); (5) kunjungan ke lapangan; (6) workshop; dan (7) seminar. Dalam
pelaksanaannya, dilakukan juga focused group discussion (FGD) yang melibatkan ahli‐ahli
pendidikan dan para pakar di bidang lain yang relevan. Forum ini dimaksudkan untuk
mengembangkan wacana akademik dan diskursus intelektual (intellectual discourse),
terutama untuk tema/materi kajian yang menjadi fokus utama pembahasan termasuk
dalam perumusan alternatif pendanaan pendidikan tinggi. Dengan demikian, hasil kajian
ini diharapkan lebih maksimal, karena telah mengikuti kaidah‐kaidah akademik dan
menggunakan metolodologi dalam suatu penelitian kualitatif yang sudah baku.
Berdasarkan uraian metodologis tersebut, kerangka analisis dalam kajian ini
diilustrasikan pada gambar 2.1.
Gambar 2.1. Kerangka Analisis Kajian
3 Quinn‐Patton, Michael (2002). Qualitative Research and Evaluation Methods. London, New Delhi: Sage Publications.
Pelaksanaan Pendanaan Dikti
Peraturan Perundangan
Pendanaan Dikti
Analisis Deduktif
Studi Pustaka
Analisis Induktif
Konfirmasi
Afirmasi
Interpretasi
RTD/ Workshop/
Seminar
Kunjungan Lapangan
Protokol Wawancara dan focus group of
discussion
10
2.2 Instrumen Kajian
Data kajian yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Instrumen
untuk memperoleh data primer berupa kuesioner (angket) dan dokumentasi. Data‐data
tersebut digunakan untuk melihat perkembangan pendanaan pendidikan tinggi dengan
kualitas pendidikan, dan melihat permasalahan‐permasalahan yang timbul selama
pendidikan berlangsung. Adapun kisi‐kisi instrumen data primer dan sekunder dapat
dilihat pada table 2.1.
Tabel 2.1. Data Instrumen Kajian
No
Aspek yang dilihat
Perihal
Sumber
1 Perundang‐undangan
Undang‐undang No 20, 1997
Undang‐undang No 2, 2003
Peraturan Pemerintah No 60, 1999
Peraturan Pemerintah No 152, 2000
Peraturan Pemerintah No 153, 2000
Peraturan Pemerintah No 154, 2000
Peraturan Pemerintah No 155, 2000
Peraturan Pemerintah No 56, 2003
Peraturan Pemerintah No 6, 2004
Peraturan Pemerintah No 19, 2005
Peraturan Pemerintah No 23, 2005
Peraturan Pemerintah No 48, 2008
Keputusan Menteri keuangan No 115/2001
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No 2, 2005
Keputusan Dirjen Dikti Diknas No. 28, 2002
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
Pendidikan Tinggi
Penetapan UI sebagai BHMN
Penetapan UGM sebagai BHMN
Penetapan IPB sebagai BHMN
Penetapan ITB sebagai BHMN
Penetapan USU sebagai BHMN
Penetapan UPI sebagai BHMN
Standar Pendidikan Nasional
Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU)
Pendanaan Pendidikan
Tatacara Penggunaan PNBP pada Perguruan Tinggi Negeri
Subsidi silang Biaya Operasional Pendidikan (BOP) Pendidikan Tinggi
Penyelenggaraan Program Reguler dan Non Reguler di PT
Kemendiknas (Internet)
Bappenas (Internet)
Lainnya (Internet)
11
2 Pendanaan Pendidikan Tinggi Data Kuantitatif Kemendiknas Kemenag
Perguruan Tinggi 1
Arah Kebijakan perguruan tinggi Renstra PT LAKIP Kuesioner
2 Laporan Keuangan Kuesioner LAKIP
4 Tingkat Pencapaian Sasaran Kuesioner LAKIP
Sedangkan data sekunder diperoleh dari Kementerian Pendidikan Nasional dan
Kementerian Agama yang digunakan untuk melihat peta pendanaan pendidikan tinggi
secara makro.
2.3 Populasi, Sampel, dan Sumber dan Jenis Data
2.3.1. Populasi
Populasi yang digunakan dalam kajian ini adalah seluruh perguruan tinggi baik
perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi negeri agama islam, yang tersebar di
seluruh Indonesia.
2.3.2 Sampel
Sampel yang digunakan dalam kajian ini diambil dengan purposive sampling
method, dengan mempertimbangkan keterwakilan perguruan tinggi seluruh Indonesia
yang dikelompokkan berdasarkan BHMN, BLU, dan Non BHMN‐Non BLUl baik perguruan
tinggi negeri maupun perguruan tinggi negeri agama islam.
Sampel‐sampel perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi agama islam dipilih
berdasar kategori tersebut ditentukan atas dasar :
Perguruan tinggi negeri atau perguruan tinggi negeri agama islam mewakili
setiap wilayah, baik wilayah Barat, Tengah, dan Timur
Budgeting survey
Adapun sampel‐sampel yang dipilih, dikelompokkan dalam tiga kategori BHMN,
BLU, dan Non BHMN‐Non BLU, terdapat dalam tabel 2.2 dibawah ini.
12
Tabel 2.2. Sampel Perguruan Tinggi
Berdasar kelengkapan data survey, dari 23 perguruan tinggi negeri hanya 20
perguruan tinggi negeri yang memiliki data lengkap sesuai dengan kebutuhan kajian.
Sedangkan ketiga perguruan tinggi negeri yang tidak memiliki kelengkapan data dapat
dilihat pada table 2.3 dibawah ini.
Tabel 2.3. Sampel Perguruan Tinggi Tanpa Kelengkapan Data
No Nama PTN Keterangan 1 Universitas Lambung Mangkurat Tidak ada laporan keuangan 2 Universitas Mataram Tidak ada laporan keuangan 3 IAIN Mataram Tidak ada laporan keuangan
No Nama Perguruan Tinggi Kategori
Keterangan 1 ITB BHMN Kemendiknas 2 UPI BHMN Kemendiknas3 Universitas Sumatera Utara BHMN Kemendiknas4 UGM BHMN Kemendiknas5 UI BHMN Kemendiknas6 IPB BHMN Kemendiknas7 UNPAD BLU Kemendiknas8 Universitas Negeri Jakarta BLU Kemendiknas9 Universitas Hasanudin BLU Kemendiknas10 Universitas Negeri 11 Maret BLU Kemendiknas11 UIN Sunan Gunung Djati BLU Kemenag 12 UIN Kalijaga BLU Kemenag 13 UIN Alaudin BLU Kemenag 14 UIN Jakarta BLU Kemenag 15 Universitas Negeri Medan Non BHMN‐Non BLU Kemendiknas16 Universitas Negeri Makasar Non BHMN‐Non BLU Kemendiknas17 Universitas Lambungmangkurat Non BHMN‐Non BLU Kemendiknas18 Universitas Patimura Non BHMN‐Non BLU Kemendiknas19 Universitas Mataram Non BHMN‐Non BLU Kemendiknas20 IAIN Medan Non BHMN‐Non BLU Kemendiknas 21 IAIN Ambon Non BHMN‐Non BLU Kemenag 22 IAIN Antasari Non BHMN‐Non BLU Kemenag 23 IAIN Mataram Non BHMN‐Non BLU Kemenag
13
2.3.3 Sumber dan Jenis Data
Kajian ini memerlukan data‐data baik yang berkaitan dengan peraturan dan juga
pelaksanan pendanaan pendidikan tinggi baik pada tingkat nasional maupun tingkat
satuan pendidikan, yang meliputi:
1. Perundang‐undangan yang terkait dengan keuangan negara, perbendaharaan negara
dan pendanaan pendidikan serta pendanaan pendidikan tinggi;
2. Data perkembangan pendanaan pendidikan tinggi di Kemendiknas dan Kemenag;
3. Data perguruan tinggi dengan berbagai model kelembagaan dan pendanaannya;
4. Data perkembangan perguruan tinggi;
Data perkembangan perguruan tinggi yang diperlukan dalam kajian ini dibagi dalam
dua jenis data, yaitu:
Data kualitatif
Data ini memuat kebijakan‐kebijakan yang tertuang dalam Renstra Perguruan Tinggi
(acuan Renstra Dikti) masing‐masing, guna melihat arah kebijakannya dalam
pembangunan pendidikan tinggi baik fisik maupun non‐fisik. Data Renstra Perguruan
Tinggi tersebut lebih difokuskan pada tujuan dan sasarannya selama 2006‐2009.
Data Kuantitatif
Data yang diperlukan mencerminkan perkembangan perguruan tinggi selama 2006‐
2009, dan 2010. Data‐data tersebut meliputi :
a. Data penerimaaan dan pengeluaran perguruan tinggi setiap tahun
Berdasar data ini, dihasilkan peta sumber pendanaan dan peta pengeluaran
perguruan tinggi
b. Berdasar LAKIP perguruan tinggi diperoleh tingkat pencapaian sasaran setiap
tahun
c. Berbagai sumber pendanaan pendidikan tinggi
Data sumber pendanaan pendidikan tinggi diperoleh berdasar sampel‐sampel
perguruan tinggi yang dipilih. Sumber pendanaan pendidikan tinggi dapat dilihat lebih
jelas dalam struktur keuangan penerimaan dan pengeluaran dan LAKIP perguruan tinggi
14
2.4 Teknik Analisis Data
2.4.1. Analisa Kualitatif dan Kuantitatif
Mengacu pada tujuan kajian, pendanaan dan kualitas pendidikan tinggi merupakan
dua parameter yang harus dinilai dan diukur selama proses pendidikan tinggi berjalan.
Cara mengukur pendanaan dan kualitas pendidikan tinggi nya sendiri, tidak terlepas dari
bagaimana arah dan kebijakan‐kebijakan yang dibentuk pemerintah dan setiap perguruan
tinggi hanya menterjemahkan, menjabarkan, dan melaksanakannya dalam bentuk
Renstra Perguruan Tinggi. Begitu juga halnya isi Renstra Perguruan Tinggi, memuat arah
dan kebijakan perguruan tinggi, khususnya pendanaan dan kualitas perguruan tinggi,
yang diimplentasikan dalam tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dalam masa tertentu.
Data kuantitatif diperoleh berdasar data historis baik secara makro maupun mikro.
Data makro menggambarkan kondisi pendidikan tinggi dengan pendekatan kuantitatif
(data pendanaan pendidikan dari Kemendiknas/Kemenag), sedangkan data mikro (data
keuangan perguruan tinggi) yang dihasilkan dari survey selama proses pengumpulan data
di lapangan.
Begitu juga halnya dengan teknik analisa dengan pendekatan kualitatif, dimana
pendekatan ini dibuat dengan memetakan dan mengelompokkan arah dan kebijakan baik
makro maupun mikro yang bersangat erat hubungannya dengan pendanaan pendidikan
tinggi. Agar lebih jelas, kami ilustrasikan dalam bentuk flowchart pada gambar 2.2
dibawah ini.
Gambar 2.2. Flowchart Pengkuran Kinerja
15
Alat pengukuran kinerja diatas menggambarkan proses analisa yang dilakukan
dalam kajian ini. analisa yang dilakukan menghasilkan sebagai berikut :
1. Struktur pendanaan pendidikan tinggi (Pemerintah, Dana Masyarakat, dan Dana
Bantuan dan Kerjasama)
2. Struktur biaya‐biaya proses pendidikan tinggi (Gaji dan tunjangan, Biaya Operasional
Pendidikan‐BOP, pemeliharaan, pembangunan, pengabdian masyarakat, penelitian,
kerjasama dalam negeri, kerjasama luar negeri, dan lain‐lain)
3. Arah dan kebijakan‐kebijakan pendidikan tinggi, baik makro maupun mikro
4. Tingkat keberhasilan pendidikan tinggi secara mikro
5. Kendala, hambatan, dan peluang dalam proses pendidikan, terutama pendanaan
pendidikan tinggi
6. Model kinerja pendanaan terhadap pelaksanaan arah dan kebijakan pendidikan tinggi
2.4.2. Pendekatan Ekonometrika
Secara harfiah, ekonometri diartikan sebagai “ukuran‐ukuran ekonomi”.
Sedangkan pengertian global ekonometri, Nachrowi Djalal (2002), adalah “suatu ilmu
yang mempelajari analisa kuantitatif dari fenomena ekonomi dalam artian secara umum”.
Secara teori dan prinsip, teknik ekonometri merupakan gabungan antara teori ekonomi,
matematika ekonomi, statistika ekonomi, dan matematika statistik.
Penerapan pendekatan ekonometrika dilakukan dalam kajian ini karena variabel‐
variabel yang digunakan, secara teoritis mempunyai hubungan antar variabel. Hubungan
tersebut dapat diekspresikan dalam bentuk persamaan yang menghubungkan variabel
terikat Y dengan satu atau lebih variabel bebas . Jika terdapat hanya satu
variabel bebas, maka model yang diperoleh disebut model regresi linear sederhana.
Adapun model regresi tersebut dapat dituliskan sebagai
, dimana N merupakan banyaknya observasi.
Sedangkan jika variabel bebas yang digunakan lebih dari satu variabel bebas, model
yang diperoleh disebut model regresi linear ganda. Adapun model regresi linear ganda
dituliskan sebagai , dimana adalah
koefisien dengan (Banyaknya observasi)
16
Sedangkan dalam kajian ini, data yang dihasilkan merupakan kombinasi antara data
antar ruang dengan data runtun waktu yang disebut data panel. Penggunaan data panel
dimaksudkan untuk memperbanyak jumlah observasi kajian, karena jika menggunakan
data antar ruang atau runtun waktu saja, observasi kajian relatif sedikit. Data panel
digunakan karena jika menggunakan Ordinary Least Square (OLS) biasa, apabila dilakukan
terpisah diasumsikan bahwa parameter regresi tidak berubah antar waktu dan tidak
berbeda antar unit‐unit individunya. Alasan kedua dengan OLS biasa, akan terjadi asumsi
yang sempit tentang asumsi klasik; Homoskedasticity dan auto‐correlation pada variabel
kesalahan (Gujarati, 1995).4
Menurut Hsio (1995),5 penggunaan data panel dalam kajian ekonomi mempunyai
beberapa keunggulan dibandingkan dengan data runtun waktu atau data unit biasa. Salah
satunya adalah memberikan peneliti sejumlah data yang lebih besar sehingga menaikkan
derajat kebebasan (degrees of freedom) dan menghasilkan estimasi ekonometrika yang
efisien. Secara umum bentuk model regresi data panel adalah sebagai berikut :
Dimana i = 1, 2, 3,....N merupakan unit cross section, dan t = 1,2,3, dan 4 dalam satuan
waktu tahunan yang merupakan waktu pada time series. Dan merupakan variabel tak
bebas dari individu I pada waktu t, dan adalah nilai dari k non‐stochasyics explanatory
variable untuk individu I pada waktu t dalam model regresi klasik dianggap dan
adalah sama untuk semua unit individu, sedangkan panel data memberikan estimasi
koefisien yang berbeda untuk parameter atau juga .
Ada beberapa mekanisme kerja dan tahapan‐tahapan yang dikerjakan dalam
membuat analisa secara ekonometri. Tahapan‐tahapan ekonometri tersebut meliputi :
1. Membuat suatu hipotesa/pernyataan
2. Menduga model ekonometri untuk menguji hipotesis yang telah dibuat
3. Mengestimasi parameter model
4. Melakukan verifikasi model
4 Damodar N.Gujarati, Basic Econometrics, 3rd Edition. New York:McGraw‐Hill, 1995. ISBN 0‐07‐025214‐9. 5 Hshiao Cheng (1995),” Analysis of Panel Data” ;Economic Socienty, Monograph No.11,Cambridge University Press.
17
5. Membuat prediksi
6. Membuat model untuk membuat kebijakan
a. Penerapan Terhadap Kasus
Model yang digunakan untuk membuat hubungan antara satu variable terikat
(tingkat pencapaian sasaran) dan 3 variabel bebas (dana pemerintah, dana masyarakat,
dan dana bantuan & kerja sama) merupakan bentuk model regresi linear ganda. Dan
model tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :
Dimana :
: Tingkat Pencapaian Sasaran
: Dana Pemerintah pada perguruan k dan waktu ke t
: Dana Masyarakat pada perguruan k dan waktu ke t
: Dana Bantuan & Kerja sama pada perguruan k dan waktu ke t
: Koefisien, dengan i=1, 2, dan 3
: Koefisien, dengan k = 1,2,...., N dan i = 1, 2, dan 3
Sebelum melangkah lebih jauh terhadap model, terlebih dahulu perlu dibuat
hipotesa‐hipotesa yang akan digunakan dalam pengujian terhadap model‐model yang
dibentuk. Hipotesa‐hipotesa tersebut antara lain sebagai berikut :
1. Gabungan BHMN, BLU, dan Non BHMN‐Non BLU
Pendanaan PT (Dana Pemerintah, Dana Masyarakat, dan Dana Bantuan dan
Kerjasama) berpengaruh secara bersamaan terhadap peningkatan kualitas
Pendidikan Tinggi
2. BHMN
Pendanaan PT (Dana Pemerintah, Dana Masyarakat, dan Dana Bantuan dan
Kerjasama) berpengaruh secara bersamaan terhadap peningkatan kualitas
Pendidikan Tinggi BHMN
18
3. BLU
Pendanaan PT (Dana Pemerintah, Dana Masyarakat, dan Dana Bantuan dan
Kerjasama) berpengaruh secara bersamaan terhadap peningkatan kualitas
Pendidikan Tinggi BLU
4. Non BHMN‐Non BLU
Pendanaan PT (Dana Pemerintah, Dana Masyarakat, dan Dana Bantuan dan
Kerjasama) berpengaruh secara bersamaan terhadap peningkatan kualitas
Pendidikan Tinggi Non BHMN‐Non BLU
Hipotesa‐hipotesa tersebut diatas harus diuji apakah hipotesa yang dibuat sesuai
atau tidak sesuai. Pengujian hipotesa yang telah dibuat dapat dilakukan dengan
menggunakan uji hipotesa (uji t). Uji t ini dilakukan dengan kriteria sebagai berikut :
1. Jika , maka pada derajat kesalahan tertentu hubungan X terhadap
Y adalah signifikan
2. Jika , maka pada derajat kesalahan tertentu hubungan X terhadap
Y adalah tidak signifikan.
Untuk kasus ini, variabel bebas terdiri dari 3 (tiga) variabel yaitu terhadap
suatu variabel terilat Y, jadi tidak cukup hanya dilakukan dengan uji t saja, tetapi juga
dengan uji F. Uji F ini dimaksudkan untuk melihat sejauhmana tingkat signifikansi
hubungan keserentakan terhadap . Uji‐uji ini biasanya dimasukkan dalam golongan
first order test.
b. Menaksir Parameter‐Parameter Dalam Model Regresi Linear Ganda
Ada dua pendekatan mendasar yang digunakan dalam menganalisis data panel,
yaitu :
1. Pendekatan Fixed Effect yang menetapkan bahwa adalah sebagai kelompok yang
spesifik atau berbeda dalam constant term dalam model regresinya.
19
2. Pendekatan Random Effect, meletakkan adalah gangguan spesifik kelompok, sama
dengan , kecuali untuk masing‐masing kelompok, tetapi gambaran tunggal yang
memasukkan regresi sama untuk setiap periode.
3. Common Effect
4. None Effect
Dalam Kajian ini, pengolahan data panel menggunakan porgram software E‐Views
agar lebih memudahkan dalam mendapatkan Output yang sesuai dan memenuhi
prasyarat‐prasyarat yang harus dipenuhi. Dalam model yang dihasilkan , karena
pada saat tidak ada suntikan dana yang masuk ke perguruan tinggi atau dengan kata lain
maka Tingkat Pencapaian Sasaran (TPS) yang dihasilkan sebesar . Dan hal
tersebut menjadikan penafsiran yang menyimpang.
c. Pemeriksaan Model
Pemeriksaan model ini dilakukan untuk melihat apakah merupakan taksiran
yang paling baik untuk . Secara umum sifat‐sifat taksiran yang diinginkan adalah
sebagai berikut :
1. Tepat (tidak melenceng)
2. Kalaupun ada penyimpangan diusahakan sekecil mungkin
Sifat‐sifat taksiran yang utama adalah sebagai berikut :
1. Tak Bias
Bila adalah taksiran dari (suatu parameter), maka dikatakan taksiran tak bias
jika:
2. Efisien
Bila keduanya merupakan taksiran tak bias untuk , maka dikatakan lebih
efisien dari jika
3. Terbaik dan Tak Bias (BUE : Best Unbiased Estimator)
Bila merupakan taksiran tak bias untuk , maka dikatakan sebagai taksiran terbaik
dan tak bias untuk bila untuk setiap taksiran tak bias untuk , sebut , berlaku
20
4. BLUE (Best Linear Unbiased Estimator)
Bila mempunyai hubungan yang linear terhadap terhadap nilai sampel,, dan
dikatakan BLUE bila untuk setiap Linear Unbiased Estimator untuk
.
d. Standar Error dari Taksiran Least Square
Metode yang digunakan untuk membuat model didasarkan pada prinsip‐prinsip
untuk meminimalkan error. Oleh karena itu, ketepatan dari taksiran ditentukan oleh
Standard Error dari masing‐masing taksiran.
e. Ukuran Goodness Of Fit ( )
Ukuran ini untuk digunakan untuk memeriksa model regresi yang terestimasi
cukup baik atau tidak. Artinya seberapa dekatk garis regresi yang terestimasi dengan
data. Ukuran yang biasa digunakan untuk keperluan ini adalah Goodness of Fit ( ).
f. Uji Asumsi
• Uji Homoskedastisitas
Homoskedastisitas merupakan salah satu asumsi klasik yang harus dipenuhi oleh
penaksir OLS (Ordinary Least Square). Penyimpangan terhadap asumsi
homoskedastisitas tersebut disebut sebagai heteroskedastisitas. Homoskedastisitas
dapat terjadi bila distribusi suatu probabilitas tetap sama dalam suatu observasi x,
dan varian setiap residual adalah sama untuk semua nilai variabel penjelas yakni ;
Uji homoskedastisitas dilakukan untuk mengetahui varian dari gangguan observasi
yang dilakukan seragam atau tidak.
• Uji Otokorelasi
Autokorelasi dapat terjadi apabila variabel gangguan pada periode tertentu
berkorelasi dengan variabel gangguan pada periode yang lain. Bila hal ini terjadi,
maka akan dihasilkan penaksir yang tidak efisien, walaupun estimasinya tidak bias.
21
Dalam suatu persamaan regresi mengandung otokorelasi berarti, variabel gangguan
dapat dituliskan sebagai berikut :
Artinya bahwa nilai yang diharapkan dari dua nilai gangguan yang berbeda
( ) adalah tidak sama dengan nol. Dengan kata lain, gangguan dalam suatu
observasi periode tertentu dipengaruhi oleh nilai gangguan pada periode yang lain.
• Uji Linearitas
Uji ini dapat digunakan untuk melihat spesifikasi model yang akan digunakan dalam
suatu estimasi sudah benar atau belum. Uji ini dilakukan karena adanya kesalahan
spesifikasi model dapat berakibat ketidakefisienan dari penaksir. Guna mengetahui
linearitas suatu model, maka digunakan general test of spesification/ramsey RESET
test.
• Uji Normalitas
Asumsi normalitas dalam model linear klasik berarti bahwa variabel pengganggu
distribusi secara normal. Bila asumsi ini tidak terpenuhi dalam model estimasi, maka
koefisien parameter masih tidak bias dan terbaik tetapi tidak dapat dilakukan
penaksiran terhadap reliabilitas dengan uji signifikansi klasik, baik uji F maupun uji t.
g. Teknik Analisa Korelasi
Korelasi adalah suatu teknik statistik yang digunakan untuk mencari hubungan
antara dua variabel atau lebih yang sifatnya kuantitatif. Dua variabel dikatakan berkorelasi
apabila perubahan pada variabel yang satu akan diikuti perubahan pada variabel lain
secara teratur, dengan arah yang sama atau dapat pula dengan arah yang berlawanan.
Tanda arah korelasi antara dua variabel dapat dibedakan menjadi :
1. Positif, jika perubahan pada salah satu variabel diikuti oleh perubahan variabel lainnya
secara teratur dengan gerakan yang sama.
2. Negatif, jika perubahan pada salah satu variabel diikuti oleh variabel lainnya secara
teratur dengan gerakan yang berlawanan.
3. Nol, jika kenaikan nilai variabel yang satu kadang‐kadang disertai dengan turunnya
nilai variabel yang lain, atau kadang‐kadang diikuti diikuti kenaikan variabel lainnya.
22
Untuk lebih memudahkan dan membayangkan, jika ada variabel X dan Y, maka
korelasi antara X dan Y dapat dihitung dengan formula sebagai berikut :
Dimana adalah korelasi antara X dan Y, dengan
,
dan adalah deviasi standar X dan Y, dan
2.5. Proses Pembentukan Rekomendasi Kebijakan
Model berperan sangat penting dalam membentuk rekomendasi kebijakan. Model‐
model yang dibentuk dalam kajian ini terdiri dari tiga jenis model yang digabungkan
menjadi satu model gabungan. Ketiga model tersebut adalah model berdasar pendekatan
ekonometrika, model berdasar lesson learned, dan model berdasar pemetaan hambatan
dan peluang dalam pendanaan pendidikan tinggi. Untuk lebih jelasnya, kami ilustrasikan
pada gambar 2.3 dibawah ini.
Gambar 2.3. Proses Rekomendasi Kebijakan
Model pendekatan ekonometrika dihasilkan empat jenis model dari empat kategori.
Adapun model‐model tersebut adalah model gabungan antara BHMN, BLU, dan
Konvensional, model BHMN, model BLU, dan model Konvensional. Masing‐masing model
diterjemahkan dalam kaidah dan logika untuk pendanaan Pendidikan Tinggi.
Model pendekatan lesson learned dibangun atas data‐data hasil pencermatan
pembelajaran dari berbagai negara yang bersumberkan dari jurnal/paper/hasil
23
seminar/workshop yang dikelompokkan berdasar substansi pendanaan Pendidikan
Tinggi.
Model pemetaan hambatan/peluang pendanaan pendidikan tinggi selama proses
pembelajaran berlangsung. Model ini diperoleh melalui wawancara dan Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) Perguruan Tinggi.
Dasar‐dasar yang harus diperhatikan dalam pembentukan rekomendasi kebijakan adalah
sebagai berikut :
1. Visi Kemendiknas/Kemenag (Pendidikan Tinggi)
2. Misi Dikti Kemendiknas/Kemenag (Pendidikan Tinggi)
3. Tujuan Kemendiknas/Kemenag (Pendidikan Tinggi)
4. Asumsi‐asumsi Dasar Pendanaan Pendidikan Tinggi
Beberapa hal yang diukur dan menjadi obyek penelitian dalam kajian ini adalah
sebagai berikut :
Target Kualitas (Value)
Yang dimaksud target kualitas adalah nilai yang diharapkan Pemerintah (DIKTI) guna
meningkatkan kualitas proses Pendidikan Tinggi. Dalam hal ini, target kualitas (Value)
dianalogikan ke dalam tingkat pencapaian sasaran pendidikan tinggi baik PTN
maupun PTAIN
Dana Pemerintah
Batasannya diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008.
Dana Masyarakat
Proses pengembangan Pendidikan Tinggi memakan dana yang cukup besar, sehingga
yang perlu diperhatikan adalah bagaimana meningkatkan kualitas Pendidikan Tinggi,
tetapi tidak membebankan masyarakat.
Dana Bantuan dan Kerjasama
Karena Dana Pendidikan Tinggi yang diperlukan untuk pengembangan Pendidikan
Tinggi cukup besar,sedangkan realisasi Pendanaan yang bersumber dari Dana
Bantuan dan Kerjasama relatif kecil dibandingkan dengan Dana Pemerintah dan Dana
Masyarakat, maka yang harus dipikirkan adalah bagaimana agar pendanaan yang
bersumber dari dana bantuan dan kerjasama relatif meningkat dan terus
berkembang.
24
BAB III
STUDI PUSTAKA
3.1. Studi Pustaka
3.1.1. Potret Pembangunan Pendidikan Tinggi
Sejak era reformasi pada tahun 1998, dunia pendidikan di Indonesia mengalami
banyak perubahan. Salah satu perubahan tersebut adalah adanya amandemen UUD 1945
yang berimplikasi pada pembangunan bidang pendidikan, terutama dalam hal
pembiayaan pendidikan. Pendidikan adalah salah satu prioritas pembangunan nasional,
dan karenanya terus ditingkatkan oleh pemerintah, baik dalam hal pendanaan,
pengelolaan hingga peningkatan kualitas pendidikan.
Salah satu jenjang pendidikan yang mendapatkan prioritas tersebut adalah
Pendidikan Tinggi. Pada tahun 2010, pendidikan tinggi mendapatkan alokasi pendanaan
kedua terbesar setelah pendidikan dasar. Selain itu meskipun harus diakui masih belum
ideal, namun kini perguruan tinggi lebih maju dibandingkan pada masa Orde Baru. Salah
satu indikator dari kemajuan tersebut adalah fakta bahwa kini beberapa PTN masuk
dalam kategori terbaik di dunia.6
Sejarah pendidikan tinggi di Indonesia dimulai sejak jaman penjajahan Belanda, atau
sekitar tahun 1900‐an. Berdirinya perguruan tinggi di jaman kolonial, bukan dengan tujuan
untuk mencerdaskan masyarakat pribumi, tapi lebih sebagai politik etis. Hal ini
disebabkan, Eropa sedang bergiat mencapai masa pencerahannya (enlighten) dengan
membangun universitas, maka bangsa‐bangsa Eropa yang mempunyai daerah jajahan
juga membuat universitas di daerah jajahan masing‐masing. Namun pendirian universitas
tersebut tidak ditujukan untuk masyarakat pribumi, tapi lebih ditujukan untuk bangsa
6 Lihat, http://www.webometrics.info dan www.timeshighereducation.co.uk., dalam kategori 500 universitas terbaik 2005‐2008. Lihat juga dalam makalah Tatang Muttaqien, Quo Vadis BHP: Prospek Pengelolaan Pendidikan Tinggi. Mengenai masuknya beberapa universitas Indonesia dalam dalam kategori 500 universitas terbaik 2005‐2008, juga dijelaskan oleh Prof. Dr. Sofyan Effendi, mantan Rektor UGM, dalam Rapat Dengan Pendapat antara Dewan Pendidikan Tinggi dengan komisi X DPR RI, tanggal 20 Januari 2011, ‘meski belum masuk 200 terbaik dunia, namun universitas di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukan perbaikan ranking dunia’, papar Sofyan. Risalah rapat DPR RI, tanggal 20 Januari 2011.
25
penjajah yang sedang berada di negara jajahan atau jurusan yang dibuka di negara jajahan
adalah jurusan yang dibutuhkan dalam rangka untuk melanggengkan penjajahan. 7
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, dikembangkanlah pembidangan
profesional (teknik di Bandung, pertanian di Bogor, dan kesehatan di Surabaya) yang
merupakan cabang dari Balai Perguruan Tinggi dengan kampus utama di Jakarta, yang
kemudian menjadi Universitas Indonesia. Tak lama kemudian berdiri dua perguruan tinggi
swasta yang didirikan, yaitu Universitas Islam Indonesia (UII) di tahun 1945 di Yogyakarta
dan Universitas Nasional (Unas) pada tahun 1949 di Jakarta. 8
Seiring dengan semangat pembukaan UUD 1945, untuk mencerdaskan bangsa,
maka satu persatu berdirilah universitas‐universitas di berbagai daerah. Universitas
Gadjah Mada (UGM), di Yogyakarta pada (1949), Universitas Airlangga Surabaya (1954),
Universitas Hasanuddin di Ujung Pandang (1956), Institut Teknologi Bandung atau ITB
(1959), dan Institut Pertanian Bogor atau IPB (1963). Selama tahun 1950, ada 9 universitas
baru dan 3 Sekolah Tinggi Keguruan (IKIP) yang berdiri. 9
Pada masa Orde Lama semakin lama pendirian perguruan tinggi semakin menjamur.
Hal ini disebabkan karena dua hal. Pertama, dengan deklarasi kemerdekaan Indonesia
1945, Perlawanan terhadap penjajahan Belanda semakin kuat, hingga puncaknya adalah
konflik memperebutkan Irian Jaya, yang berakhir pada Indonesia merebut Irian Jaya.
Implikasi dari kemenangan Indonesia tersebut, Belanda di akhir tahun 1950‐an
mengeluarkan kebijakan untuk menarik semua Guru Besar atau Profesor dari berbagai
Perguruan Tinggi di Indonesia. 10
Menyikapi kebijakan pemerintah Belanda, di awal 1960‐an pemerintah Orde Lama,
mengirim banyak mahasiswa ke Rusia dan Amerika. Namun sayang, mahasiswa yang
berangkat studi ke Rusia tidak dapat kembali ke Indonesia setelah peristiwa G 30/S/PKI.
7 R. Murray Thomas, A Chronicle of Indonesian Higher Education (Singapore: Chopmen, 1973), 36‐46., dalam Singgih Tri Sulistiyono, Higher Education Reform In Indonesia At Crossroad, Makalah yang dipresentasikan di Graduate School of Education and Human Development, Nagoya University, Japan (Nagoya: 26 July 2007). Penulis adalah dosen di Departemen Sejarah dan Sekretaris Pusat Studi Asia, Universitas University, Semarang. 8 Mochtar Buchori & Abdul Malik, “The Evolution of Higher Education in Indonesia”, in: Altbach & Umakoshi (eds), Asian Universities, 253. , dalam ibid,. 9 S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia (History Education of Indonesia), (Bandung, Jemmars, 1983), 142., Lihat dalam ibid,. 10 R. Murray Thomas, A Chronicle……dalam, Ibid,.
26
Sementara mahasiswa yang belajar ke Amerika dapat kembali, dan mengembangkan
berbagai perguruan tinggi di Indonesia. 11
Kedua, disahkannya Undang‐undang Pendidikan, yaitu UU No. 22 Tahun 1961. UU
Pendidikan tersebut, memerintahkan untuk mendirikan Universitas di setiap Provinsi,
pada saat itu ada 23 provinsi, maka didirikanlah 23 Perguruan Tinggi. Selain itu, UU
Pendidikan ini juga memberikan dasar bagi partisipasi swasta dalam pendidikan tinggi,
yang memungkinkan setiap warga negara untuk mendirikan sekolah‐sekolah swasta
baru.12
Meskipun perguruan tinggi pasca kemerdekaan sudah berjalan selama dua dekade,
namun arah kebijakan pemerintah pada saat itu masih belum jelas. Hal tersebut dapat
dipahami sebab selama pemerintah Orde Lama lebih fokus pada urusan politik, sehingga
masalah pendidikan terabaikan. Kebijakan yang berbeda terjadi pada masa Orde Baru,
yaitu di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto membuat Kebijaksanaan Dasar
Pengembangan Pendidikan Tinggi (KDPPT I 1975‐1985) tahun 1975. Kebijakan tersebut
memuat tujuan pengembangan, peran dan fungsi pendidikan tinggi, dasar dan arah
pembinaan dan pengembangan, langkah pembinaan, kelembagaan pendidikan tinggi,
serta pembiayaan dan alokasi anggaran. 13
Pada tahap berikutnya, yaitu tahun 1985‐1995, pengembangan pendidikan tinggi
diarahkan pada konsolidasi hasil yang telah diperoleh selama periode pengembangan
sebelumnya. Pengembangan tersebut berupa peningkatan kapasitas kelembagaan,
infrastruktur, manajemen, produktivitas, relevansi dan mutu. Selanjutnya pada tahap
ketiga (1996‐2005), dibangun Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang
(KPPTJT) yang ditujukan untuk mengupayakan perbaikan sistem melalui 3 program induk,
yaitu: penataan sistem, peningkatan relevansi dan mutu; serta pemerataan. Pada saat ini,
yaitu tahun 2003‐2010, Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang
(Higher Education Long Term Strategy) difokuskan untuk menjawab tiga isu strategis,
yaitu: daya saing nasional, dan otonomi PT, serta kesehatan organisasi.
11 Buchori & Malik, “The Evolution …dalam, Ibid,. 12 Lihat Undang-Undang Perguruan Tinggi Nomor 22, Tahun 1961 13Lihat presentasi Dr. Ir. Taufik Hanafi, ‘Kajian Pendidikan Tinggi’, MURP, Direktur Agama dan Pendidikan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta 25 Juni 2010.
27
Amanat dari amandemen UUD 1945 yang mewajibkan pemerintah untuk
menganggarkan sekurang‐kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD untuk membiayai
pendidikan, cukup mendorong berbagai universitas untuk lebih maju. Selain penambahan
anggaran, tentu saja berbagai kebijakan pemerintah baik pengelolaan maupun otonomi
yang diberikan, sangat mendorong PTN dan PTAN untuk lebih maju. Hal ini bisa dilihat
dari 500 rangking universitas terbaik di dunia, terdapat 7 universitas dari Indonesia. 14
Demikian juga ditingkat ASEAN, Universitas di Indonesia ada pada urutan ketiga setelah
Singapura dan Thailand. 15
3.1.2. Pendidikan Tinggi: Kualitas versus Pemerataan
Kondisi pembangunan pendidikan tinggi di Indonesia masih jauh dari memuaskan.
Hal tersebut dapat dilihat dari rendahnya kualitas pendidikan tinggi. Laporan penelitian
menunjukan bahwa sampai tahun 2007, untuk total 4.370.000 siswa, ada 231.000 dosen,
dari jumlah penduduk 220 juta. Hanya lima persen (atau 11.000) di antara mereka
memperoleh Ph.D, yang lainnya adalah Magister (32 persen), dan Sarjana (60 persen).
Dengan kata lain, satu orang yang bergelar Ph.D harus menghadapi 400 mahasiswa.16
Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia juga bisa dilihat dari tingginya angka
pengangguran yang lulus dari perguruan tinggi. Data dari BPS, pada tahun 200817 jumlah
sarjana menganggur hampir mencapai 600.000 orang. Hal tersebut merupakan indikator
yang menunjukkan bahwa banyak perguruan tinggi di Indonesia yang belum bisa
menghasilkan lulusan dengan kualitas yang dapat memenuhi harapan dan kebutuhan
lapangan kerja.
14 Lihat, http://www.webometrics.info dan www.timeshighereducation.co.uk., dalam kategori 500 universitas terbaik 2005‐2008. Lihat juga dalam makalah Tatang Muttaqien, Quo Vadis BHP: Prospek Pengelolaan Pendidikan Tinggi. Mengenai masuknya beberapa universitas Indonesia dalam dalam kategori 500 universitas terbaik 2005‐2008, juga dijelaskan oleh Prof. Dr. Sofyan Effendi, mantan Rektor UGM, dalam Rapat Dengan Pendapat antara Dewan Pendidikan Tinggi dengan komisi X DPR RI, tanggal 20 Januari 2011, ‘meski belum masuk 200 terbaik dunia, namun universitas di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukan perbaikan ranking dunia’, papar Sofyan. Risalah rapat DPR RI, tanggal 20 Januari 2011 15 Lihat, http://www.webometrics.info dan www.timeshighereducation.co.uk., dalam kategori peringkat universitas di ASEAN. 16 Rizal Z. Tamin, ‘Strategic Positioning’, dalam Higher Education Sector Assesment, Final Report, 2008. World Bank, BAPPENAS, dan Depdiknas. 17 BPS, Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas), 2008.
28
Selain persoalan kualitas pemerintah Indonesia juga menghadapi persoalan
pemerataan akses terhadap layanan pendidikan tinggi. Seluruh warga negara berhak
untuk mendapatkan pendidikan yang layak termasuk jenjang pendidikan tinggi, terlepas
dari latar belakang kesukuan maupun ekonominya. Saat ini, terdapat 82 Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) dan lebih dari 2800 Perguruan Tinggi Swasta (PTS) serta 1 Universitas
Terbuka. Perguruan tinggi di Indonesia menampung kurang lebih 4,5 juta mahasiswa dari
sekitar 25 juta penduduk usia 18‐24 tahun, sehingga angka partisipasi kasar pendidikan
tinggi sekitar 17 persen.
Sadar akan rendahnya angka APK dibanding dengan negara ASEAN lainnya, maka
sejak tahun 2003, Dirjen Dikti menyusun strategi Pengembangan Pendidikan Tinggi
Jangka Panjang (Higher Education Long Term Strategy, HELTS) 2003‐2010. Kata kunci dari
strategi tersebut adalah penempatan perguruan tinggi sebagai kunci untuk memperkuat
daya saing bangsa melalui peningkatan mutu pendidikan tinggi agar mampu
mengembangkan potensi mahasiswa secara optimal. Untuk bisa melaksanakan peran
tersebut serta lebih cepat dan fleksibel mengantisipasi perubahan yang terjadi, perguruan
tinggi harus otonom dan memiliki tata kelola yang sehat. 18
Selanjutnya, dalam mengembangkan perguruan tinggi di Indonesia, Departemen
Pendidikan Nasional telah mencanangkan tiga pilar pengembangan sebagai berikut:
1. Pemerataan dan perluasan akses,
2. Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing,
3. Penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik.
Pemerataan dan perluasan akses merupakan respon terhadap kebutuhan masifikasi
pendidikan tinggi. Meskipun perguruan tinggi didorong untuk memobilisasi partisipasi
swasta dan masyarakat dalam pendanaan pendidikan tinggi, akses masyarakat khususnya
dari kelompok kurang mampu untuk masuk ke perguruan tinggi berkualitas harus
dilindungi dan dijamin. Agar lulusan perguruan tinggi dapat berkontribusi positif terhadap
peningkatan daya saing bangsa, maka mutu dan relevansi pendidikan tinggi haruslah baik.
Peningkatan mutu didorong melalui berbagai bentuk pendanaan kompetisi untuk
pengembangan institusi.
18 http://www.dikti.go.id/Archive2007/kpptjp/kpptjp.html
29
Persoalan dilematis yang dihadapi Indonesia juga pernah dialami Inggris. Inggris
juga menghadapi masalah pendidikan yang sama yakni, merosotnya kualitas akademik
dan rendahnya akses golongan ekonomi lemah ke perguruan tinggi.
Guru besar ekonomi dari London School of Economics (LSE), Prof. Nicholas Barr,
yang sering melakukan riset ekonomi pendidikan, mengajukan resep cukup menarik
untuk dipelajari.19 Barr mengatakan subsidi penuh dan pembebasan biaya pendidikan
tidak selalu menyebabkan akses yang lebih adil dan merata pada pendidikan tinggi. Pada
pelaksanaannya, subsidi di Inggris selalu kurang menguntungkan kelompok miskin
sehingga selama bertahun‐tahun, akses keluarga kurang mampu ke pendidikan tinggi
hanya 15 persen, dibandingkan 81 persen dari keluarga mampu. Sebaliknya, di Amerika
yang mengikuti sistem pasar, akses keluarga kurang mampu mencapai 43 persen.
Di Inggris cukup banyak anggota masyarakat yang mendukung rencana sistem pajak
progresif. Namun, mereka mengharapkan penerimaan pemerintah dari pajak lebih
digunakan untuk pendidikan pra‐sekolah, menurunkan angka drop‐outs pada SLTA,
meningkatkan kualitas pendidikan kejuruan, serta program khusus untuk anak‐anak
keluarga tidak mampu.
Belajar dari kegagalan masa lalu dalam pelaksanaan student loans, Pemerintah
menjamin pembayaran kembali melalui pembayaraan pinjaman melalui potongan gaji
bersamaan dengan pemungutan pajak penghasilan. Pembayaran melalui pemotongan
gaji ini memungkinkan adanya pembayaran secara progresif. Yang berpendapatan rendah
mengangsur lebih rendah dan yang berpendapatan tinggi mengangsur lebih besar. Opsi
ini pada dasarnya ingin mendorong alokasi anggaran pendidikan, dari kelompok mampu
yang tidak lagi menerima subsidi, ke kelompok tidak mampu.
Persoalan akses di Indonesia tidak hanya persoalan ekonomi sebagaimana
dipaparkan sebelumnya, namun juga ada masalah geografis. Disparitas Regional di
pendidikan menengah secara signifikan mempengaruhi kesempatan untuk mengakses
pendidikan tinggi. Sebagai contoh, pencapaian siswa dari DKI secara signifikan lebih baik
daripada yang berasal dari pulau terluar. Karena kualitas pendidikan sekunder
19 Nicholas Barr , Financing Higher Education: Comparing the Options, The Guardian, June 12, 2003, London.
30
dipengaruhi oleh pendidikan dasar, perbaikan hanya akan efektif bila rencana yang
sistematis dan komprehensif di tempat.
Dalam menangani masalah ini, muncul kreatifitas dari berbagai perguruan tinggi.
Meski banyak perguruan tinggi yang terbaik ada di pulau Jawa, namun setiap perguruan
tinggi menginginkan bahwa mereka mempunyai kualifikasi nasional dan bukan perguruan
tinggi lokal. Adapun cara untuk membuat dirinya menjadi ‘nasional’ mereka melakukan
pencarian siswa yang ‘berbakat’ dengan memberikan beasiswa untuk kuliah di perguruan
tinggi mereka.
Dalam membuat dirinya ‘menasional’ IPB sejak tahun 1980‐an IPB memperkenalkan
skema kepanduan, model yang dipilih adalah mengundang sekolah di semua provinsi
untuk mencalonkan siswa terbaik mereka untuk melanjutkan studi di IPB tanpa harus
mengikuti ujian masuk. Pada tahun 2008 sebagian besar (80 persen) dari perekrutan di
IPB dilakukan melalui skema ini. Tak lama kemudian, UI, ITB, dan UGM melakukan hal
yang sama, meski angka perekrutannya tidak sebanyak IPB. Sejak pemerintah bisa
memainkan peran penting dengan memberikan beasiswa, rekomendasi ini adalah untuk
memperkenalkan skema beasiswa bagi mereka yang telah dipilih. Sebuah proporsi
minimum tertentu siswa dari kelompok kurang mampu juga bisa dikenakan sebagai
kelayakan bagi lembaga untuk menerima bantuan beasiswa.
3.2. Landasan Hukum Pendanaan Pendidikan Tinggi
3.2.1. Pembukaan Undang Undang Dasar (UUD) 1945
Salah satu tujuan kemerdekaan bangsa Indonesia, sebagaimana tertulis dalam
Pembukaan UUD 1945, dengan jelas menyatakan bahwa tujuan terbentuknya Negara
adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pembukaan UUD 1945 secara implicit
menegaskan pentingnya pendidikan bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk kemajuan
bangsa.
Bertitik tolak dari amanat pembukaan UUD 1945, maka batang tubuh UUD 1945,
pasal 31, ayat 4, secara eksplisit menyatakan bahwa ‘negara memprioritaskan anggaran
pendidikan sekurang‐kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk
memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional’. Pasal ini secara jelas
31
mewajibkan negara untuk mengalokasikan anggaran di semua tingkatan pemerintah
sekurang‐kurangnya dua puluh persen (20persen). Dengan kata lain Negara
bertanggungjawab atas pembiayaan pendidikan di semua jenjang pendidikan.
3.2.2. Undang Undang (UU)
Undang‐Undang No. 20 Tahun 1997
Seperti telah disinggung di atas, untuk biaya pendidikan maka perguruan tinggi
dibenarkan menerima dana dari masyarakat, namun didasari untuk tidak mencari
keuntungan. Untuk penerimaan tersebut, pemerintah mengkategorikannya sebagai
Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang diatur dalam Undang‐Undang No. 20 tahun
1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Besarnya dana yang akan didapat
dari masyarakat untuk keperluan perguruan tinggi sebagaimana tersebut di atas
dipertimbangkan berdasarkan: 1. Dampak terhadap masyarakat & kegiatan usahanya, 2.
Biaya penyelenggaraan kegiatan pemerintah, 3. Aspek keadilan.
Undang‐undang No. 20 Tahun 2003
Lebih jauh, amanat UUD 1945 ini dijabarkan lebih detail dalam UU Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003. UU Sisdiknas ini menjelaskan
yang dimaksud dengan perguruan tinggi, sebagaimana dalam pasal 19, ‘Pendidikan tinggi
merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program
pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh
pendidikan tinggi.’ Selain itu perguruan tinggi juga mempunyai tanggung jawab yaitu
menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Selanjutnya, UU Sisdiknas juga menjelaskan mengenai Pendanaan Pendidikan, pasal 46,
ayat 1, menyatakan, ‘Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Secara lebih jelas, pasal 49,
menyatakan sebagai berikut:
1) Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan
minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada
32
sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD).20
2) Gaji guru dan dosen yang diangkat oleh Pemerintah dialokasikan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
3) Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan
diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang‐undangan yang
berlaku.
4) Dana pendidikan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah diberikan dalam
bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang‐undangan yang berlaku.
3.2.3. Peraturan Pemerintah (PP) tentang BHMN
Perguruan tinggi merupakan tulang punggung kemajuan atau kemunduran suatu
negara. Karenanya perguruan tinggi di berbagai negara, merupakan badan otonomi
tersendiri. Pemikiran tentang otonomi kampus inilah yang memberikan inspirasi kepada
pemerintah untuk memberikan keleluasaan bagi perguruan tinggi untuk mandiri.
Kemandirian kampus ini oleh pemerintah diberikan payung hukum berbentuk Badan
Hukum Milik Negara (BHMN).
Langkah selanjutnya pemerintah memberikan percobaan bagi beberapa perguruan
tinggi yang siap untuk otonomi. Karenanya pemerintah mengeluarkan surat keputusan
(SK) berupa peraturan pemerintah. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 152
Tahun 2000 menetapkan Universitas Indonesia (UI) sebagai Badan Hukum Milik Negara
(BHMN), untuk Universitas Gajah Mada (UGM) ) berdasarkan peraturan pemerintah
Republik Indonesia No.153 tahun 2000, untuk Institut Pertanian Bogor (IPB) berdasarkan
peraturan pemerintah Republik Indonesia No.154 tahun 2000, untuk Institut Teknologi
Bandung (ITB) berdasarkan peraturan pemerintah Republik Indonesia No.155 tahun 2000,
untuk Universitas Sumatera Utara (USU) berdasarkan peraturan pemerintah Republik
Indonesia No.53 tahun 2003, dan terakhir Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
berdasarkan peraturan pemerintah Republik Indonesia No.6 tahun 2004.
20 Interpretasi atas pasal 49, ayat 1, ini telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi pada 19 Oktober 2005, secara mutlak bahwa pemerintah baik pusat maupun daerah, diwajibkan mengalokasikan anggaran sebanyak 20persen, termasuk gaji Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di setiap Perguruan Tinggi dan mengecualikan pendidikan kedinasan.
33
Salah satu poin penting dari otonomi perguruan tinggi adalah dalam masalah
kekayaan dan pendanaan. Terkait dengan kekayaan dan pendanaan, semua SK yang
mengatur masalah kekayaan dan pendanaan hampir sama untuk semua perguruan tinggi.
Menurut peraturan pemerintah, pasal 9, ‘kekayaan awal universitas merupakan kekayaan
negara yang dipisahkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)’,
‘besarnya kekayaan awal universitas adalah seluruh kekayaan negara yang tertanam pada
universitas, kecuali tanah yang nilainya ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan
perhitungan yang dilakukan bersama oleh Departemen Pendidikan Nasional dan
Departemen Keuangan. Selanjutnya mengenai optimalisasi kekayaan, peraturan
pemerintah mengaturnya, pemanfaatan kekayaan berupa tanah menjadi pendapatan
universitas dan dipergunakan untuk pelaksanaan tugas dan fungsi universitas; selain itu,
kekayaan awal universitas tidak dapat dipindah tangankan.
Selain tanah, kekayaan lain dalam segala bentuk, termasuk kekayaan intelektual,
fasilitas, dan benda di luar tanah tercatat sah sebagai hak milik universitas; kekayaan
intelektual terdiri atas hak paten, hak cipta, dan bentuk‐bentuk kekayaan intelektual
lainnya yang dimiliki sepenuhnya atau sebagian oleh universitas; adapun tatacara
perolehan, penggunaan, dan pengelolaan kekayaan intelektual diatur lebih lanjut dalam
keputusan Majelis Wali Amanat sesuai dengan peraturan perundang‐undangan yang
berlaku.
Terkait dengan masalah pendanaan, peraturan pemerintah pasal 12 menyatakan,
pembiayaan untuk penyelenggaraan, pengelolaan, dan pengembangan universitas
berasal dari : (1) Pemerintah, (2) Masyarakat; (3) Pihak luar negeri; dan (4) Usaha, dan (5)
tabungan universitas. Dana yang berasal dari pemerintah merupakan dana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terdiri atas, anggaran rutin dan anggaran
pembangunan. Adapun dana dari masyarakat merupakan dana pendamping bagi dana
pemerintah untuk pembiayaan rutin. Penerimaan dana dari masyarakat dimasukan dalam
kategori Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999
Peraturan pemerintah ini menjelaskan secara lebih detail tentang Pendidikan Tinggi.
Mulai dari secara definisi Perguruan Tinggi, Tujuan, Penyelenggara, Kurikulum, Penilaian
34
Hasil Belajar, Kebebasan Akademik dan Otonomi Keilmuan, Gelar dan Sebutan Lulusan
hingga pembiayaan perguruan tinggi.
Dalam peraturan pemerintah tersebut, disebutkan secara eksplisit bahwa
pembiayaan perguruan tinggi dapat diperoleh dari sumber pemerintah, masyarakat dan
pihak luar negeri. Terkait dengan dana masyarakat, maka sumber dana yang boleh
diperoleh dari masyarakat bersumber sebagai berikut:
a) Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP);
b) Biaya seleksi ujian masuk perguruan tinggi;
c) Hasil kontrak kerja yang sesuai dengan peran dan fungsi perguruan tinggi;
d) Hasil penjualan produk yang diperoleh dari penyelenggaraan pendidikan tinggi;
e) Sumbangan dan hibah dari perorangan, lembaga Pemerintah atau lembaga non‐
Pemerintah; dan
f) Penerimaan dari masyarakat lainnya.
Meskipun ada pemasukan dari masyarakat, namun semangat dari penerimaan
dana masyarakat tersebut bukan didasarkan pada prinsip mencari keuntungan,
sebagaimana termaktub pada ayat 5, “usaha untuk meningkatkan penerimaan dana dari
masyarakat didasarkan atas pola prinsip tidak mencari keuntungan”.
Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008.
Secara lebih rinci pemerintah menjelaskan tentang pendanaan pendidikan dalam
peraturan pemerintah No. 48 tahun 2008. Peraturan pemerintah ini menjelaskan secara
terperinci mengenai mana tanggungjawab pemerintah baik pusat maupun daerah serta
masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan masyarakat pada peraturan ini sebagaimana
disebutkan dalam pasal 2, adalah 1.Penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan
masyarakat, 2. Peserta didik, orang tua atau wali peserta didik, 3. Dan siapapun yang
mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
Selanjutnya dalam peraturan ini yang dimaksud dengan biaya pendidikan,
sebagaimana pasal 3, meliputi, 1. Biaya satuan pendidikan, 2. Biaya penyelenggaraan
dan/atau pengelolaan pendidikan, 3. Dan biaya pribadi peserta didik. Demikian juga
mengenai investasi yang merupakan tanggungjawab pemerintah sebagaimana
disebutkan dalam pasal 4.
35
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005.
Untuk menjaga persamaan kualitas serta pembiayaan pendidikan secara nasional,
maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.19 tahun 2005 mengenai
standar nasional pendidikan. Dalam peraturan ini dijelaskan standar yang mengatur
komponen dan besarnya biaya operasi satuan pendidikan selama 1 tahun yang terdiri dari
biaya, 1. Biaya Investasi satuan pendidikan dan 2. Biaya Operasi satuan pendidikan.
Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005
Inovasi perguruan tinggi untuk membiayai dirinya sendiri semakin terbuka,
pemerintahpun memberikan peluang bari perguruan tinggi untuk melakukan inovasi
dalam mencari sumber dana. Peluang yang diberikan oleh pemerintah dalam hal
pendanaan diatur dalam peraturan pemerintah no. 23 tahun 2005 tentang pengelolaan
keuangan Badan Layanan Umum.
Badan Layanan Umum (BLU) merupakan instansi di lingkungan pemerintah yang
dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang
dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari (prinsip efisiensi dan
produktivitas). Pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum berupa keleluasaan
untuk menerapkan praktek‐praktek bisnis yang sehat guna memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Lembaga dengan status BLU dapat membuat Rencana Bisnis dan Anggaran yang
berisi program, kegiatan, target kinerja, dan anggaran suatu BLU. Dengan status BLU
dengan tujuan dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan
memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan
produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat. Suatu lembaga pemerintah dapat
diizinkan mengelola keuangan dengan PPK‐BLU harus memenuhi persyaratan substantif,
teknis, dan administratif.
3.2.4. Peraturan Menteri (Permen)
Keputusan Menteri Keuangan No.115/kmk.06/2001.
36
Terkait dengan PNBP, pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan
No.115/kmk.06/2001 tentang tata cara penggunaan dan penerimaan negara bukan pajak
pada perguruan tinggi negeri. Keputusan tersebut menjelaskan bahwa uang penerimaan
dari masyarakat tersebut wajib disetor langsung ke kas negara serta langsung dikelola
dalam sistem APBN. Uang tersebut hanya bisa dicairkan oleh Bendaharawan Pengguna
untuk kegiatan operasional dan investasi perguruan tinggi.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 2005.
Inovasi pembiayaan di perguruan tinggi sangat beragam diantara ada subsidi silang.
Dalam hal ini pemerintah mengeluarkan peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.2
tahun 2005 tentang subsidi silang biaya operasi perguruan tinggi. Dalam peraturan
menteri ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan subsidi silang adalah subsidi yang
diberikan oleh peserta didik yang mampu secara finansial kepada peserta didik yang tidak
mampu secara finansial, dalam menanggung biaya operasi PT.
Adapun maksud subsidi silang ini untuk memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk berperan membantu pendanaan pendidikan bagi peserta didik yang
tidak mampu secara finansial tetapi mampu secara akademik. Sedangkan tujuannya agar
terselenggaranya pelayanan pendidikan yang bermutu bagi peserta didik yang tidak
mampu secara finansial.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 44 TAHUN 2006.
Untuk memajukan pendidikan pemerintah tidak hanya membantu pendidikan yang
dikelola pemerintah, namun pemerintah juga memberikan bantuan bagi lembaga
pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dan lembaga kemasyarakatan.
Bantuan ini diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 44 tahun 2006,
tentang bantuan untuk lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat dan
lembaga kemasyarakatan
Bantuan yang dimaksud dalam peraturan menteri adalah pemberian sementara
untuk memenuhi sebagian kebutuhan lembaga pendidikan (masyarakat dan lembaga
kemasyarakatan dari Kemdiknas) yang dianggarkan dalam DIPA Sekjen Kemdiknas .
Adapun lembaga pendidikan yang diselenggarakan masyarakat salah satunya jenjang PT,
37
diantaranya universitas/institut, sekolah tinggi, politeknik, dan akademi; dan satuan
pendidikan nonformal yaitu lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat
kegiatan belajar masyarakat, majelis taklim, dan satuan pendidikan yang sejenis.
Adapun tujuan dari bantuan ini agar meningkatkan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan dan peningkatan mutu pendidikan. Jenis bantuan biasanya dalam
bentuk uang satu kali dalam satu tahun anggaran. Adapun sasaran bantuan adalah
lembaga lembaga pendidikan masyarakat dan/atau lembaga kemasyarakatan yang
mengajukan usulan bantuan kepada Kemdiknas.
Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi Kemdiknas No. 28/DIKTI/ Kep/2002.
Terkait pendanaan dari pemerintah masih sangat terbatas, maka beberapa
perguruan tinggi negeri, membuat program non reguler. Dalam hal ini, Departemen
Pendidikan Nasional mengeluarkan keputusan Dirjen Dikti No. 28/DIKTI/Kep/2002
mengenai penyelenggaraan program reguler dan non reguler di perguruan tinggi negeri.
Dalam keputusan ini dijelaskan bahwa biaya pendidikan untuk non reguler tidak dibantu
pemerintah (non subsidi) dan juga biaya pendidikannya lebih tinggi dari yang reguler.
Untuk penetapan biaya pendidikannya dilakukan oleh Senat Perguruan Tinggi
bersangkutan.
3.3. Pendanaan Pendidikan Tinggi: Pembelajaran dari Negara Lain
Lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, berbagai universitas baik swasta
maupun negeri hampir ada di setiap provinsi di Indonesia, sumber daya manusia juga tak
kalah mumpuni, berbagai ajang olimpiade tingkat internasional berhasil diraih oleh pelajar
Indonesia, namun muncul pertanyaan yang sangat mendasar, mengapa sistem
pendidikan di Indonesia masih mahal dan belum dapat menjangkau seluruh masyarakat?
Dalam studi ini beberapa negara akan dijadikan contoh bagaimana mereka
mengelola pendidikan tinggi, khususnya universitas, institut dan lembaga tinggi lainnya,
baik negeri maupun swasta. Dalam hal ini ada empat negara yang dijadikan contoh,
diantaranya Amerika Serikat, Australia, Malaysia, India, dan Inggris. Malaysia dijadikan
contoh, sebab sebagai negara yang pernah belajar pada Indonesia, India sebagai negara
38
‘miskin’, Australia, Inggris, dan Amerika adalah negara maju, dimana pengelolaan
terhadap perguruan tinggi layak untuk dicontoh.
3.3.1. Amerika Serikat
Sistem pendidikan tinggi di Amerika adalah yang terbaik di dunia. Namun demikian,
Amerika masih terus meningkatkan sistem pendidikannya. Seperti juga Negara‐negara
lain, Amerika juga mempunyai persoalan pembiayaan pendidikan tinggi untuk
meningkatkan akses. Para pembuat kebijakan telah berusaha menghilangkan hambatan
dengan cara meningkatkan hibah (grants) untuk para mahasiswa. Namun demikian, hibah
yang diberikan kepada para mahasiswa masihterlalu mahal, tidak efisien dan efektif, serta
tidak berkeadilan.
Dengan masalah pembiayaan pendidikan tinggi seperti di atas, maka pemerintah
federal harus terlibat dalam pembiayaan pendidikan tinggi. Bantuan yang diberikan oleh
pemerintah federal lebih fokus pada masalah efisiensi pada setiap level bantuan. Meski
masalah pembiayaan bukan satu‐satunya masalah yang sangat penting, namun masalah
pembiayaan harus menjadi prioritas untuk diselesaikan.
Pemerintah Amerika selama ini paling tidak telah mengeluarkan uang sekitar 2
persen dari GDP untuk pembiayaan pendidikan tinggi, terutama untuk promosi akses.
Para pembuat kebijakan sekarang ini telah berencana untuk secara substansial
memperluas program saat ini. Hal ini belajar dari pengalaman internasional, mungkin
menunjukkan pendekatan yang lebih baik.
Di sisi lain, para mahasiswa juga mengeluarkan biaya yang cukup mahal untuk kuliah
di perguruan tinggi Amerika. Dalam logika ekonomi Amerika, semakin tinggi pengeluaran
per‐mahasiswa di Amerika, maka mencerminkan semakin tinggi penghasilan masyarakat
di Amerika. Di Amerika, selain membayar biaya kuliah, mahasiswa juga perlu untuk
membayar kamar dan biaya hidup lainnya, yang dijumlahkan bisa mencapai sekitar $ 10.
000 hingga $ 11.000. Jika dijumlahkan secara rata‐rata, setiap mahasiswa dapat
menghabiskan uang sebesar $ 10.000 hingga $ 23.000 pertahun, tergantung dimana
seseorang kuliah.
39
Masalah biaya ini merupakan penghalang yang utama bagi mahasiswa, apakah
mereka mampu untuk mendaftar. Selain biaya kuliah, itu seperti dijelaskan di atas, biaya
hidup di Amerika juga terbilang berat. Bagi mahasiswa yang mempunyai kemampuan
keuangan pertanyaan yang muncul adalah apakah mereka perlu atau harus kuliah.
Jawabannya terhadap pertanyaan ini adalah tergantung seberapa banyak biaya yang
akan dikeluarkan untuk kuliah.
Bagi yang rata‐rata berpenghasilan sebesar $ 22.000 pertahun, bagi lulusan SMA,
dan biaya kuliah serta biaya hidup dalam kisaran $ 22.000 sampai $ 35.000, maka akan
menjadi sesuatu yang memberatkan. Perlu dijadikan catatan, terlepas dari apakah biaya
kuliah diukur dengan biaya hidup, apakah dapat mencukupi. Berbeda dengan
pemahaman secara umum, pada sebagian kecil di beberapa lembaga, biaya kuliah dan
biaya hidup merupakan hambatan utama untuk kuliah. Bagi sebagian besar mahasiswa,
hambatan utama dalam kuliah adalah kebutuhan untuk menutup biaya hidup, sementara
kerja sampingan sebagai mahasiswa hanya yang dibayar normal.
Meski berbiaya mahal, namun lulusan perguruan tinggi di Amerika sangat dihargai.
Pada tahun 2005, rata‐rata usia 35‐44 tahun bujangan pemegang gelar memperoleh $ 54.
800, jauh lebih besar dibandingkan dengan usia yang sama 35‐44 tahun, namun dengan
hanya ijazah SMA.
Seperti juga di beberapa Negara lain, di Amerika ada juga keluarga yang yang
berpendapatan rendah, sehingga kesulitan untuk membayar kuliah termasuk biaya
hidupnya. Dalam hal ini, pemerintah Amerika mengeluarkan kebijakan untuk membiayai
keluarga miskin tersebut. Diantara kebijakan tersebut subsidi pemerintah, hibah (grant),
pinjaman mahasiswa, dan pajak konsesi. Selain itu pemerintah juga ikut campur tangan
dalam pendidikan tinggi untuk keperluan lain, seperti penelitian.
Pinjaman akan sangat bernilai apakah secara prinsip dalam bilangan kuantitatif atau
secara biaya anggaran (nilai subsidi), keduanya tergantung pada tujuan dari pinjaman
tersebut. Untuk program pemerintah dalam membantu mahasiswa hingga saat ini
pemerintah Amerika telah mengeluarkan sekitar $ 200 miliar per tahun atau 2 persen dari
PDB.
40
Salah satu bentuk pinjaman dari pemerintah yang terkenal adalah pinjaman
Stafford. Pola pinjaman ini ada dua, pertama, pinjaman langsung yang diberikan dari
Departemen Federal Pendidikan. Sedangkan yang kedua, pinjaman yang diberikan dari
bank‐bank swasta atas jaminan pemerintah. Pada tahun 2005, 23 persen dari pinjaman
Stafford dibuat melalui program pinjaman mahasiswa langsung. Ada dua model pinjaman
Stafford, disubsidi dan yang tidak disubsidi. Perbedaan keduanya adalah bagi yang
bersubsidi tidak ada bunga yang dikenakan pada pinjaman sampai 6 bulan setelah lulus.
Pinjaman Stafford pada tahun 2005‐2006 setengahnya merupakan pinjaman bersubsidi.
Anggota legislatif di Amerika baru‐baru ini mengeluarkan undang‐undang untuk
menurunkan suku bunga subsidi pinjaman Stafford. Hal ini mendapat dukungan publik
Amerika, berdasarkan jajak pendapat 88 persen orang Amerika mendukung hal ini.
Namun, usulan ini tampaknya tidak perlu dan mahal, dengan subsidi yang tidak terarah
ternyata tidak meningkatkan akses. Karena sebagian besar pemegang pinjaman Stafford
sudah meminjam sampai pada batasnya, kendala yang paling penting bukanlah lunasnya
pengembalian tapi ketersediaan keuangan itu sendiri. Dengan adanya subsidi, memang
menjadi lebih sulit untuk meningkatkan batas pinjaman.
Program lain dari pemerintah untuk membantu mahasiswa adalah program Grant
Pell. Grant Pell Ini diberikan kepada keluarga berpenghasilan lebih rendah lagi untuk
membayar pengeluaran pendidikan mereka. Tahun 2005‐06, pemerintah Federal dan
Negara memberikan $ 19 milyar dan $ 7 milyar. Sebagian besar hibah Federal adalah
melalui program Hibah Pell. Pemerintah federal setiap tahun mengeluarkan $ 13 milyar
untuk 5,3 juta siswa, rata‐rata setiap siswa mendapatkan sekitar $ 2.400.21
Seperti dicatat sebelumnya, Komisi Spellings mendorong untuk adanya peningkatan
Pell Grants sekitar dua‐pertiga. Usulan komisi Spelling ini, telah diterima oleh bagian
administrasi, Kongres dan masyarakat pendidikan tinggi. Namun, bagaimana pembiayaan
ini dilakukan masih belum ada kejelasan. Tujuan hibah Pell adalah untuk memfasilitasi
akses ke pendidikan tinggi untuk anak‐anak dari yang lebih rendah pendapatan keluarga.
Seperti dijelaskan sebelumnya, tujuan ini tampaknya cocok untuk meningkatkan akses ke
perguruan tinggi. 21 Kevin Dougherty, Financing Higher Education in the United States: Structure, Trends, and Issues, 2004, Columbia University.
41
3.3.2. Australia
Australia sebagai Negara maju mempunyai sejarah panjang mengenai pembiayaan
perguruan tinggi. Meski Australia menggunakan system parlementer, dimana
pemerintahnya diwarnai dengan pergantian yang cepat, namun semua pemimpin bangsa
Australia mempunyai pandangan yang sama mengenai pentingnya dunia pendidikan.
Sehingga pergantian kepemimpinan pemerintah Australia tidak berdampak signifikan
bagi perubahan dalam dunia pendidikan.
Sejak berdirinya Universitas Sydney tahun 1851, kemudian disusul Universitas
Adelaide 1874, Universitas Tasmania 1890, Universitas Queensland 1909 dan Universitas
Western Australia 1911, universitas dibiayai dari dana pemerintah, dana masyarakat dan
dari dana hibah swasta.
Menurut Tom Karmel, 1998, dana pemerintah yang dikeluarkan pemerintah
Australia untuk pendidikan sangat besar. Tidak kurang dari 60 persen dari dana secara
keseluruhan dialokasikan untuk pendidikan. Dana tersebut didistribusikan ke berbagai
universitas dengan tidak sama rata, tergantung pada keperluan. Universitas Western
Australia pernah memperoleh 48 persen demikian juga Universitas Tasmania pernah
mendapatkan 72 persen dari total anggaran pemerintah.
Penting dicatat dalam sejarah, bahwa pada masa awal berdirinya universitas di
Australia sebagai badan otonom yang dibentuk berdasarkan undang‐undang dengan
kebebasan yang sangat besar dalam kegiatan universitas. Luasnya otonomi yang dimiliki
universitas, sehingga tidak berada di bawah departemen manapun, dengan demikian
pemerintah sulit untuk melakukan intervensi terhadap universitas.
Ada tiga hal yang menjadi perhatian pemerintah Australia secara serius, setelah
perang. Pertama, kembali menempatkan tentara pada posisinya, kedua, perhatian
pemerintah pada kemajuan ilmu pengetahuan, ketiga, bantuan pembangunan
internasional. Perhatiannya pada ilmu pengetahuan dibuktikan oleh pemerintah dengan
memberikan biaya kuliah dan biaya hidup mahasiswa.
Pada dekade 1970‐an perhatian pemerintah Australia terhadap dunia pendidikan
semakin besar, hal ini bisa terlihat dari kebijakan yang dikeluarkan. Pemerintah Australia
42
membebaskan biaya kuliah di semua universitas, baik bagi masyarakat yang tidak mampu
maupun yang berada.
Sebelum tahun 1973, mahasiwa diwajibkan membayar uang kuliah, kalaupun ada
yang tidak membayar kuliah hanya diperuntukan bagi mereka yang mempunyai nilai
akademis yang sangat baik. Namun sejak 1973 semua uang kuliah dihapuskan dan sejak
1973 universitas dibiayai tanpa kontribusi langsung dari mahasiswa.22
Pada tahun 1987 Menteri Pendidikan Australia, John Dawkin, membuat sebuah
kebijakan yang sangat terkenal. Dalam pandangan Dawkins tantangan utama ke depan
adalah menemukan keseimbangan yang tepat antara mempertahankan system
pendidikan tinggi yang mampu mengambil pendekatan jangka panjang dan
menggunakan pendidikan tinggi untuk menangani masalah ekonomi dan social dalam
skala nasional.
Seiring dengan pemikiran John Dawkin, pada tahun 1989 pemerintah juga
memperkenalkan program Higher Education Contribution Scheme (HECS) atau Skema
Kontribusi Pendidikan Tinggi. Program ini bukan hanya memberikan beasiswa, namun
juga peningkatan kualitas dan perluasan akses bagi seluruh masyarakat Australia.
Program ini untuk memenuhi target pemerintah dalam mengejar pembangunan ekonomi,
dimana para lulusan universitas diharapkan dapat memasuki lapangan kerja yang sesuai
dengan latar belakang pendidikannya.
Higher Education Contribution Scheme (HECS) secara operasional dapat dikatakan
sebagai subsidi silang. Biaya kuliah dibebankan kepada mereka yang mampu membayar
kuliah di perguruan tinggi. Sementara bagi kalangan yang tidak mampu untuk membayar
kuliah pemerintah memberikan pinjaman, yang dapat dibayar secara berangsur setelah
lulus dan mendapatkan kerja.
Dengan kata lain, dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir, sektor pendidikan
tinggi di Australia telah mengalami perubahan yang luar biasa. Perubahan yang terjadi
tidak hanya pada aspek pendanaan tapi juga aspek organisasi, pengawasan, dan
22 Tom Karmel, Higher Education in Australia A case study, (Berlin:Paper of Conference, 1998).
43
partisipasi. Pada sektor organisasi misalnya dari awal 1970‐an sampai dengan 1988,
pendidikan tinggi di Australia itu terdiri dari tiga sektor yang terpisah: universitas, kolese
pendidikan lanjutan (CAEs) dan pendidikan tinggi teknis yang diawasi oleh
Persemakmuran Komisi Pendidikan Tersier (the Commonwealth Tertiary Education
Commission).
Di bawah Komisi Pendidikan Tinggi ( Tertiary Education Commission) yang didirikan
oleh pemerintah Frase, tahun 1988, mengeluarkan kebijakan bahwa semua biaya
pendidikan tinggi diberikan secara gratis, kecuali beberapa perguruan tinggi swasta yang
beroperasi di sektor pelatihan kejuruan.
Agar terjadi keseimbangan dalam pendanaan perguruan tinggi, mahasiswa asli
Australia kuliah gratis, maka pada bulan Desember 1988, pemerintah mengumumkan
perubahan kebijakan untuk pendidikan siswa internasional. Efektif sejak 1 Januari 1990,
semua siswa asing baru itu harus membayar biaya penuh siswa. Untuk memastikan
bahwa siswa internasional tidak menggantikan siswa Australia atau memperoleh subsidi
silang dari pembayar pajak Australia, Pemerintah menetapkan minimal biaya kuliah.23
Kebijakan John Dawkin berimplikasi pada meningkatnya kesempatan untuk
berpartisipasi dalam pendidikan tinggi, meningkatkan lulusan tenaga kerja untuk
membantu meningkatkan daya saing ekonomi Australia, membuat pendidikan tinggi lebih
responsive terhadap kebutuhan nasional, terakhir menyediakan lingkungan yang lebih
fleksibel untuk pendidikan tinggi. Berdasarkan data rasio pendaftaran bruto untuk sektor
pendidikan seluruh tersier meningkat dari 24 persen pada tahun 1975 sampai 72 persen
pada tahun 1995. Pada tahun 1997, 50 persen penduduk usia 20 sampai 24 tahun
berpartisipasi dalam beberapa bentuk pendidikan tinggi. Antara tahun 1996 dan 2004,
terdapat peningkatan pendaftaran siswa hampir 50 persen.
Kebijakan yang dibuat tahun 1989 juga berdampak pada program penelitian di
Australia. Tujuan dari kebijakan tersebut agar program riset akan semakin dibiayai sesuai
dengan apa yang mereka lakukan, bukan dibagikan berdasarkan nama besar lembaga.
Dana penelitian harus dialokasikan secara kompetitif, dan tepat sasaran ke lembaga‐ 23 Bruce Chapman and Chris Ryan, Higher Education Financing and Student Access: A Review of the Literature, (Australian National University: Economics Program Research School of Social Sciences, 2003)
44
lembaga penelitian, kelompok peneliti maupun individu yang paling mampu
menggunakan secara efektif, layak untuk mendapatkan bantuan dana tersebut.
Dalam memajukan dunia pendidikan, pemerintah tidak hanya mengeluarkan dana
dari APBN, namun pemerintah Australia, pada tahun 1993, mendorong berbagai
perusahaan atau industri untuk melakukan kerjasama dengan perguruan tinggi secara
lebih intensif. Hal ini ditindaklanjuti dengan penandatanganan kerjasama segitiga yaitu
pemerintah, industri dan perguruan tinggi. Selain itu, masing‐masing perguruan tinggi
juga melakukan kerjasama dengan perusahaan atau industri, sesuai dengan kepentingan
masing‐masing. Kerjasama ini sangat membantu pembiayaan perguruan tinggi. Selain itu,
kerjasama ini pada masa Perdana Menteri Paul Keating, kerjasama antara perusahaan
atau industri dengan perguruan tinggi dapat meningkatkan produktifitas perusahaan dan
universitas sebesar 2 persen.
Krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997 juga mengenai Australia. Di bawah
kepemimpinan Perdana Menteri John Howard, melakukan penghematan terhadap fiskal
dan belanja publik, termasuk biaya untuk dunia pendidikan. Pemerintah Howard
mengusulkan pemotongan anggaran untuk dana bantuan operasi universitas, sebesar 1,8
miliar dollar selama empat tahun. Menteri baru, Senator Amanda Vanstone, memutuskan
untuk menyebarkan penghematan biaya beban melalui langkah‐langkah berikut:
Pengurangan biaya hibah operasi universitas 1997‐2000, sebanyak 6 persen selama
empat tahun.
Mendorong universitas‐universitas untuk memungut biaya, sejak tahun 1998,
kepada mahasiswa program sarjana dalam negeri.
Penghapusan penasehat independen dan badan pengawas, dalam Dewan
Pendidikan Tinggi.
Penghematan ini menuai protes dari berbagai kalangan, baik akademisi, LSM juga
partai oposisi. Protes besar‐besaran terjadi di berbagai negara bagian, namun pemerintah
tetap pada keputusannya, mengurangi dana bantuan untuk pendidikan. Badai protes dari
berbagai kalangan membuat pemerintah bimbang, maka pada akhir tahun 1999
pemerintah mengeluarkan kebijakan baru. Pemerintah menawarkan tambahan dana
untuk suplementasi gaji. Hal ini dilakukan, dengan universitas yang mau melakukan
45
reformasi manajemen dan administrasi. Program ini memberikan tambahan sebesar 2
persen dari komponen gaji.
Tak lama berselang pada Januari 2001, pemerintah kembali mengeluarkan
kebijakan dengan mengumumkan bantuan sebesar 2,9 miliar dollar, bantuan pemerintah
dan setengah diberikan untuk perguruan tinggi. Dana yang cukup besar ini dialokasikan
untuk penelitian kompetitif, penelitian infrastruktur atas penawaran kolaboratif,
beasiswa untuk 2000 mahasiswa untuk program yang telah ditentukan serta bantuan
untuk mahasiswa program pascasarjana.
Dengan sistem yang terus dikembangkan, pendidikan tinggi Australia yang kini
terdiri dari 37 perguruan tinggi milik negara dan 3 perguruan tinggi swasta, 3 lembaga
pendidikan terakreditasi dan 86 penyelenggara pendidikan tinggi swasta termasuk
perguruan tinggi teologi. Di bawah reformasi yang terkandung dalam Undang‐Undang
Dukungan Pendidikan Tinggi Higher Education Support Act (HESA) tahun 2003,
Commonwealth Grant Scheme (CGS) telah menggantikan sistem operasi block grant. Di
bawah sistem CGS 37 perguruan tinggi akan masuk ke dalam Perjanjian Pendanaan
tahunan dengan pemerintah yang menetapkan sejumlah program yang akan dibiayai.
Dengan sistem baru ini, pemerintah telah mendorong meningkatnya partisipasi siswa
sebesar 2,5 persen mulai tahun 2005. Demikian juga meningkatnya bantuan untuk
bangunan sebesar 7,5 persen pada 2007. 24
3.3.3. Malaysia
Malaysia merupakan negara berkembang di dunia ketiga yang mempunyai
kemajuan cepat dalam berbagai bidang. Di bandingkan negara‐negara tetangganya
seperti Indonesia, Thailand, Filipina kecuali Singapura, Malaysia terbilang negara yang
paling cepat dalam membangun sistem pendidikan. Di era 1970‐an guru‐guru di Malaysia
mulai dari guru Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi, hampir semuanya didatangkan
dari Indonesia, namun di era 1990‐an mahasiswa dari Indonesia mengambil program
doktoral di Malaysia. Sebuah kondisi yang terbalik hanya terjadi dalam kurun waktu 20
24 Michael Gallagher, Australia and Argentina. A Comparative analysis from the mid 1970’s (Buenos Aires: ANU‐UBA, 2007)
46
tahun. Hal ini terjadi, karena perhatian pemerintah Malaysia terhadap pendidikan
memang terbilang sangat tinggi. 25
Pendidikan tinggi di Malaysia dibagi menjadi 2 sektor: publik (baca: negeri) dan
non‐publik (baca: swasta). Di sektor publik, terdapat 20 universitas dan 6 university
colleges, (istilah university college digunakan untuk pendidikan tingkat tinggi yang mampu
memberikan gelar sarjana sendiri, tetapi belum mencapai status universitas). Di sektor
non‐publik ada 559 lembaga dari berbagai jenis termasuk: universitas dan dan kampus
asing. Selain itu, masih ada kategori politeknik sebanyak 24 institusi.
Dalam beberapa dekade terakhir, pemerintah Malaysia telah melakukan upaya
yang cukup signifikan dalam memperbaiki sistem pendidikan tinggi secara keseluruhan.
Hal yang paling krusial dihadapi pemerintah Malaysia dalam menangani perguruan tinggi
adalah masalah pembiayaan dan akses. Dalam hal akses ke pendidikan tinggi, pada tahun
1965 sampai 2005 masyarakat Malaysia yang dapat mengakses ke perguruan tinggi
kurang dari 30 persen. Rendahnya akses masyarakat ke perguruan tinggi, menjadi ‘PR’
bagi pemerintah Malaysia untuk melakukan terobosan kebijakan. Maka lahirlah kebijakan
baru dari Kementerian Pendidikan, bahwa pada tahun 2010 ini, akses serta partisipasi
masyarakat ke pendidikan tinggi dapat mencapai 40 persen orang muda (usia 18‐24).
Dengan kata lain, akan terjadi peningkatan pendaftaran dari 650.000 mahasiswa pada
tahun 2005 menjadi 910.000 mahasiswa pada tahun 2010.
Beragamnya etnis di Malaysia juga berkontribusi dalam persoalan akses ke
perguruan tinggi. Masalah akses pendidikan tinggi terus menimbulkan pertentangan di
antara berbagai kelompok etnis di Malaysia. Kuota ras (dimana sebelumnya orang Melayu
mendapat kuota tertentu di setiap universitas negeri) telah dihapuskan pada tahun 2002.
Akses ke perguruan tinggi negeri kini harus berdasarkan pada kemampuan. Meski kuota
orang Melayu sudah dihapuskan, namun perdebatan tidak otomatis berhenti. Bagi orang
Melayu asli, atau Bumiputera, adanya kuota di perguruan tinggi negeri, bukan merupakan
prioritas atau pemanjaan, sebab orang melayu untuk masuk ke perguruan tinggi negeri
harus melalui program/matrikulasi pra‐universitas, selain itu mereka juga harus membayar
biaya pendidikan dan biaya lainnya, belum lagi biaya hidup (meskipun akomodasi di
25 Hal ini bisa terlihat dari mahasiswa Indonesia yang kuliah program doctoral di Malaysia pada era 1990‐an yaitu Yusril Ihza Mahendra (USM, mantan Menkumham), Muhammad Nur (UM, Sekretaris program pasca sarjana Universitas Nasional,) Amir Santoso, (USM, sekretaris program pasca sarjana UniversitasIndonesia,) dan masih banyak lagi yang lain.
47
kampus disubsidi oleh pemerintah). Sedangkan bagi non‐bumiputera dapat mengakses
perguruan tinggi negeri dengan berbekalkan ijazah Sijil Tinggi Persekolahan Malaysia
(STPM ) setingkat SMA.
Masalah lain yang cukup rumit di Malaysia adalah masalah 'korporatisasi,' atau
‘swastanisasi’. ‘Swastanisasi’ ini menjadi dilema bagi pendidikan tinggi di Malaysia sebab
di satu sisi pendidikan tinggi milik pemerintah ini menginginkan untuk mendapatkan
otonomi, namun di sisi lain masih membutuhkan bantuan keuangan dari pemerintah yang
sangat besar.
Dalam beberapa dekade terakhir, Malaysia telah melakukan proses transformasi
ekonomi dari produksi massal dan tenaga kerja yang relatif tidak terampil on mass
production and relatively unskilled labor kepada produksi pengetahuan yang kreatif.
Dalam melaksanakan perubahan ini, negara telah mengalokasikan 8 persen (RM 11,3
miliar) dari total pengeluaran pemerintah (APBN) hanya untuk pendidikan tinggi.
Persentase ini relatif tinggi, sebab subsidi biaya kuliah yang diberikan langsung ke kampus
belum masuk di dalamnya.
Besarnya investasi pemerintah pada pendidikan tinggi, mengakibatkan
pemerintah terlalu jauh terlibat di perguruan tinggi, karenanya muncul keinginan dari
perguruan tinggi untuk otonom. Katerbatasan universitas dalam mengelola dirinya sangat
terasa ketika universitas tidak dapat menentukan sendiri untuk menseleksi mahasiswa
yang berkualitas sesuai dengan kompensasi dalam persaingan di setiap fakultas.
Apa yang terjadi sekarang, pemerintah sangat dominan dalam mengatur
masuknya mahasiswa ke universitas. Saat ini, siswa ditugaskan ke universitas tertentu
berdasarkan nilai rata‐rata yang mereka peroleh. Sementara itu, pengelola fakultas adalah
pegawai negeri sipil dengan gaji tinggi, demikian juga dengan wakil rektor dan dekan
yang diangkat oleh negara.
Pada tahun 1997, pemerintah membentuk Dana Nasional Pendidikan Tinggi
Corporation, National Higher Education Fund Corporation (NHEFC), sebuah direktorat di
Departemen Pendidikan Tinggi yang memberikan pinjaman bersubsidi untuk siswa yang
kuliah di lembaga swasta. Pada tahun 2000, pemerintah juga memperpanjang pinjaman
48
kepada siswa yang kuliah di perguruan tinggi negeri. Antara 1997 dan 2005, uang yang
dikeluarkan NHFEC sekitar RM 15,1 miliar untuk sekitar 800.000 siswa.26
Meskipun program pinjaman ini telah dirasakan manfaatnya oleh banyak
mahasiswa, namun masih tetap dilakukan perbaikan disana sini untuk efisiensi yang lebih
besar. Saat ini tidak ada pembatasan berapa maksimal pendapatan yang tidak boleh
menerima pinjaman, dengan demikian banyak orang kaya yang mendapat keuntungan
dengan adanya pinjaman dari pemerintah. Pinjaman yang sekarang berlaku berdasarkan
jenis gelar yang dikejar, yang mungkin akan menimbulkan bias dalam mendukung
mahasiswa. Saat sekarang ini ada sekitar 21 persen dari pinjaman diberikan kepada
mahasiswa yang belajar universitas swasta, dan pada tahun 2005 sampai 2007 meningkat
menjadi 32 persen. Meskipun persentase siswa penerima pinjaman belajar di universitas
swasta telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat berharap mayoritas
pinjaman akan diberikan kepada siswa yang belajar di perguruan tinggi negeri, mengingat
perbedaan dalam hal biaya.
Isu paling penting yang dihadapi program pinjaman ini adalah kesinambungan
keuangan. Secara umum, kepatuhan dalam membayar pinjaman masih sangat rendah,
karenanya Departemen Keuangan memotong anggaran ke NHEFC dalam beberapa tahun
terakhir. NHEFC melaporkan bahwa uang yang dipulangkan dari pinjaman hanya 25
persen dari apa yang seharusnya kembali. Hal ini menyebabkan NHEFC meminjam uang ke
lembaga lain dengan tingkat bunga yang sangat tinggi.
3.3.4. India
Dana untuk pendidikan tinggi di India datang dari tiga sumber yang berbeda, yaitu,
pemerintah, biaya pendapatan dari mahasiswa dan sumber pendapatan lain dari
filantropi, industri, penjualan publikasi, dan lain lain. Ketergantungan pendidikan tinggi
pada biaya dari pemerintah sangat tinggi yaitu 49,4 persen, dan tingkat ketergantungan
ini semakin tinggi menjadi 75,9 persen pada tahun 1986‐1987. Di sisi lain, pendapatan dari
mahasiswa menurun drastis dari 36,8 persen menjadi 12,6 persen selama periode yang
26 G.Sivalingam, Privatization of Higher Education in Malaysia, Monash University Malaysia, 2004.
49
sama. Sementara sumber‐sumber lain seperti filantropi, industri serta kerjasama hanya
sekitar 10 persen sepanjang periode.
Biaya pendidikan tinggi di India, sekitar tiga‐perempat dari total pengeluaran
ditanggung oleh pemerintah. Karena pendidikan tinggi bagi pemerintah India merupakan
bagian yang tak dapat dipisahkan dari aktifitas negara. Sampai dengan tahun 1986‐1987,
sumber dana dari non‐pemerintah seperti biaya SPP dan sumbangan lainnya yang bersifat
sukarela relatif kecil.
Di sisi lain, kebutuhan sistem pendidikan tinggi semakin berkembang pesat.
Namun sayangnya, anggaran publik tidak cukup dana, terutama untuk sektor pendidikan.
Menyadari kekurangan tersebut, maka dalam dekade terakhir, beberapa eksperimen
alternatif mulai diberlakukan seperti biaya siswa, pinjaman mahasiswa, pajak pascasarjana
dan privatisasi diintensifkan.
Meskipun akses mahasiswa semakin bertambah secara absolut, namun hanya 7
persen dari penduduk pada kelompok usia 17‐24 yang dapat belajar di pendidikan tinggi di
India. Meski sudah ada kemudahan akses, namun anak muda lebih cenderung atau lebih
menyukai belajar di luar negeri. Jika dilihat dari persentase ini, maka bisa dikatakan bahwa
akses mahasiswa ke perguruan tinggi terbilang kecil. Hal ini semakin disadari bahwa
anggaran publik untuk pendidikan masih sangat kurang.
Seiring dengan reformasi ekonomi dan pemotongan anggaran publik khususnya
untuk biaya pendidikan tinggi, sejumlah panitia telah dibentuk untuk meneliti masalah
alternatif mobilisasi sumber daya keuangan. Semua panitia memiliki konsensus bahwa
salah satu sumber utama pendapatan adalah biaya dari siswa. Panitia merekomendasikan
untuk peningkatan biaya dan dalam segala macam biaya. Dengan demikian, paling tidak di
dapatkan sedikitnya 15 persen sampai 25persen biaya di dapatkan dari mahasiswa itu
sendiri.27
Hal ini masih menjadi perdebatan di masyarakat India, namun pemerintah
sekarang sedang berusaha keras untuk tetap memberikan subsidi terhadap perguruan
tinggi dengan jumlah yang lebih besar. Usaha pemerintah ini juga dalam rangka, agar
27 P. Geetha Rani, Economic Reforms and Financing Higher Education in India. (Selected Paper: New Delhi)
50
kalangan ekonomi menengah ke atas untuk berpartisipasi mengkuliahkan anaknya di
dalam negeri.
3.3.5. Inggris
Pendanaan pendidikan tinggi di Inggris ada dua model, pertama untuk yang kuliah
full time dan kedua untuk yang kuliah part time (di Indonesia tidak mengenal part time,
semua mahasiswa kuliah full time). Untuk mahasiswa yang full time biaya yang disubsidi
oleh pemerintah dua kali lipat dibandingkan dengan biaya yang diberikan pada
mahasiswa part time. Hal ini dilakukan pemerintah untuk meningkatkan partisipasi siswa
dalam memasuki perguruan tinggi di Inggris. Sebab Inggris tingkat partisipasi siswa untuk
memasuki perguruan tinggi di Inggris, menurut standar internasional, terbilang rendah.
Terobosan kebijakan yang dilakukan pemerintah Inggris dengan memberikan
subsidi lebih banyak pada mahasiswa full time ternyata cukup berhasil meningkat
partisipasi mahasiswa untuk kuliah full time. Berdasarkan data statistik, pada tahun 1980
hanya 13 persen orang muda yang kuliah full time, sedangkan pada tahun 1999 meningkat
menjadi 34 persen dan tahun 2010 pemerintah menetapkan target angka partisipasi
mahasiswa yang kuliah full time menjadi 50persen. Demikian juga, kalau dilihat dari
partisipasi angka jender terjadi peningkatan, partisipasi perempuan untuk kuliah full time
hampir menyamai laki‐laki, jika dipersentasikan 55persen laki‐laki:45persen perempuan.
Besarnya bantuan subsidi yang dilakukan pemerintah dapat mengurangi beban siswa
sebanyak 50 persen.
Perubahan angka partisipasi ini dalam 20 tahun terakhir ini, turut juga merubah
kondisi perekonomian, sebab semakin banyak lulusan universitas yang bekerja di sektor‐
sektor formal dengan gaji memadai. Maka semakin meningkat pendapatan masyarakat.
Bantuan yang diberikan pada mahasiswa tidak hanya bantuan langsung berupa subsidi
yang diberikan ke universitas, namun juga diberikan bantuan dalam bentuk voucher.
Voucher ini digunakan bagi mereka yang telah memenuhi persyaratan masuk ke
universitas, voucher ini bisa digunakan untuk biaya kursus mata kuliah yang dianggap
tertinggal. Voucher juga dapat digunakan membantu keluarga mahasiswa yang
kekurangan. Namun demikian, voucher ini mengundang perdebatan yang cukup lama,
51
namun seiring dengan waktu dan perdebatan yang panjang, pada akhirnya voucher dapat
diterima, sebagai salah satu mekanisme bantuan pemerintah.
Meski pemerintah memberikan subsidi kepada para mahasiswa, bukan berarti
mahasiswa tidak membayar sama sekali. Sejak tahun 1997 siswa di Inggris telah
diwajibkan untuk memberikan kontribusi terhadap pendidikan. Ini pada awalnya
ditetapkan sebesar 1.000 foundsterling, kontribusi ini untuk menguji sejauhmana
keseriusan kuliah di universitas. Namun kontribusi ini hanya ditunaikan oleh 42 persen
mahasiswa, 19 persen hanya memberikan kontribusi parsial atau setengahnya dan
selebihnya tidak memberikan kontribusi. Selain itu, ada hal yang tidak bisa dihindari oleh
mahasiswa yaitu membayar setiap mata kuliah, dimana harganya semua mata kuliah tidak
ada yang berbeda.28
Pemerintah Inggris memberikan kebebasan yang sangat luas pada pihak
universitas untuk mengatur berapa biaya kuliah yang harus ditanggung oleh mahasiswa.
Ada beberapa pertimbangan dalam memutuskan berapa biaya kuliah yang harus dibayar
oleh mahasiswa. Pertama, laporan keuangan membuktikan bahwa pemasukan uang dari
mahasiswa mempunyai kontribusi yang signifikan. Kedua, setiap universitas mempunyai
perbedaan dalam menentukan struktur biaya, misalnya mata kuliah campuran yang
menuntut keseimbangan antara kegiataan dan pengajaran, penelitian dan transfer
teknologi, demikian juga apakah mereka akan fokus pada regional atau internasional,
demikian juga dengan struktur upah mereka. Poin dua ini sebelumnya memang tidak
pernah ada, dengan kata lain struktur biaya yang terjadi sekarang memang berbeda
dengan 40 tahun yang lalu. Ketiga, perencanaan yang dibuat sekarang memang tidak
berhubungan dengan biaya pengajaran, demikian juga dengan kualitas infrastruktur.
Mekanisme penghitungan biaya kuliah tergantung kemampuan masyarakat. Jika
universitas menghitung biaya kuliah dengan nilai yang maksimum, maka akan dapat
menghasilkan uang yang sangat banyak. Untuk biaya kuliah di Inggris, bagi warga negara
Inggris mencapai 4 ribu founsterling, sedangkan bagi mahasiswa yang berasal bukan dari
Uni Eropa mencapai sekitar 7 ribu untuk mata kuliah berbasis di ruang kelas dan 9 ribu
untuk mata kuliah berbasis di labolatorium serta 17 ribu untuk mata kuliah di klinik.
28 Nicholas Barr,Financing Higher Education: Comparing the Options, The Guardian, June 12, 2003, London.
52
Metode pembiayaan dengan nilai maksimal akan menghadapi masalah yaitu tidak
berpartisipasinya masyarakat yang berpenghasilan rendah. Jika demikian halnya, maka
akses ke perguruan tinggi akan mengalami kesulitan atau kemunduran. Kondisi ini
menuntut kebijakan yang komprehensif. Pertama, pembayaran tetap ada, namun melalui
mekanisme pinjaman. Pada dasarnya skema pinjaman yang dapat menghasilkan sumber
tambahan bagi universitas. Selain itu, pinjaman juga untuk meningkatkan akses masuk ke
perguruan tinggi.29
Kebijakan pinjaman yang diberikan pemerintah kepada mahasiswa mempunyai
tujuan agar kesan pembayaran di muka bisa berkurang. Tujuan selanjutnya, untuk
menghilangkan persepsi bahwa pendidikan menjadi sesuatu yang konsumtif. Pada saat
yang sama, dana pinjaman yang diberikan kepada mahasiswa bukan berasal dari dana
publik.
Sebagaimana disampaikan sebelumnya, bahwa akses ke perguruan tinggi di
Inggris, berdasarkan standar internasional terbilang rendah. Namun setelah berbagai
kebijakan pendanaan untuk perguruan tinggi diperbaiki, maka akses ke perguruan tinggi
menjadi semakin membaik. Dengan adanya pinjaman, voucher dll, bagi masyarakat
berpenghasilan rendah sangat amat membantu, sehingga masuk ke perguruan tinggi
tidak menjadi sesuatu yang elitis. Lebih jauh, ketersediaan kredit bagi mahasiswa,
memberikan solusi yang sangat efektif, meski tidak menyelesaikan seluruh persoalan. Hal
ini dapat terlihat dari bukti terbaru yang menegaskan bahwa kombinasi biaya dan
pinjaman dapat meningkatkan akses.
Pelajaran yang didapatkan dari berbagai Negara adalah sebagai berikut;
Pelajaran yang didapatkan dari Amerika:
1. Pembiayaan perguruan tinggi tidak sentralisasi, tapi desentralisasi. Dengan kata lain
pemerintah Provinsi dan Kabupaten/kota alokasi anggarannya lebih difokuskan untuk
PT yang ada di daerahnya.
2. Beragamnya pola pemberian beasiswa yang diberikan pemerintah layak untuk
dipertimbangkan di Indonesia.
3. Dengan decentralisasi akan semakin mudah bagi pemerintah untuk memberikan
beasiswa kepada putra daerahnya.
29 Ibid,.
53
Urgensi desentralisasi pendidikan di Indonesia, yaitu :
1. Untuk membangun kompetisi yang sehat antar provinsi atau kabupaten/kota dalam
ilmu pengetahuan.
2. Untuk mempercepat pembangunan sumber daya manusia di setiap daerah
3. Keunggulan setiap daerah akan terjaga dan terartikulasikan dalam ilmu pengetahuan
4. Pada saat ini pendidikan nasional juga masih dihadapkan pada beberapa
permasalahan yang menonjol (1) masih rendahnya pemerataan memperoleh
pendidikan; (2) masih rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan; dan (3) masih
lemahnya manajemen pendidikan, di samping belum terwujudnya kemandirian dan
keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademisi.30
Pelajaran yang didapatkan dari Australia;
1. Meski berganti kepemimpinan nasional (Perdana Menteri) namun program
pendidikan tetap menjadi skala prioritas, sehingga pada setiap kepemimpinan
perubahan kebijakan terhadap pendidikan semakin membaik.
2. Pemerintah dalam mengembangkan pendidikan juga memfasilitasi untuk kerjasama
antara Universitas dengan dunia Industri.
3. Dana dari pemerintah dikelola oleh lembaga tersendiri di bawah Kementerian
Pendidikan.
Pelajaran yang didapatkan dari Malaysia;
1. Visi yang jelas dari pemerintah Malaysia tentang pendidikan on mass production and
relatively unskilled labor to creative productive knowledge. Dalam konteks ini
pemerintah melihat bahwa ilmu pengetahuan sebagai industri.
2. Implikasi dari visi ini pemerintah Malaysia berani mengeluarkan anggaran sebesar
apapun. Karena ilmu pengetahuan adalah industri yang memerlukan investasi.
3. Hanya kurang lebih 20 tahun Malaysia sudah mendapatkan ‘hasil’ dari investasinya
4. Dana dari pemerintah dikelola oleh lembaga tersendiri di bawah Kementrian
Pendidikan.
30 Sumber pendanaan yang berasal dari APBD Propinsi, umumnya sebagian besar diperuntukkan bagi pendidikan tingkat dasar dan menengah. Hanya sebagian kecil yang dialokasikan untuk mendukung kegiatan di tingkat pendidikan tinggi. Sumber dana dari APBD propinsi ini dialokasikan untuk penyelenggaraan pendidikan yang ada diwilayah propinsi tersebut. Adapun sumber pendanaan dari APBD Kabupaten/Kota seluruhnya untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan di wilayah tersebut. Hal ini sesuai dengan semangat desentralisasi.
54
Pelajaran yang didapatkan dari India;
1. Kebergantungan terlalu tinggi pada dana pemerintah tidak menjamin kualitas dan
akses pendidikan tinggi menjadi semakin baik.
2. Buruknya kualitas pendidikan di dalam negeri, membuat mahasiswa banyak yang
sekolah ke luar negeri. Dari hal ini dapat di analisa bahwa untuk Indonesia selain harus
terus meningkatkan kualitas pendidikan, juga perlu mengangkat citra bahwa ‘produk’
dalam negeri juga tidak kalah oleh luar negeri.
3. Tidak ada upaya dari pemerintah untuk menjadikan universitas menjadi lembaga
mandiri
Pelajaran yang didapatkan dari Inggris;
1. Adanya jaminan dari pemerintah bagi keluarga kurang mampu untuk melanjutkan
kuliah di perguruan tinggi
2. Besarnya subsidi dari pemerintah untuk mahasiswa tidak menjamin tinggi akses
partisipasi masyarakat.
3. Dana dari pemerintah dikelola oleh lembaga tersendiri di bawah Kementrian
Pendidikan.
BAB IV POTRET MAKRO DAN MIKRO PENDANAAN PENDIDIKAN TINGGI
4.1. Potret Makro Pendanaan Pendidikan Tinggi
Amandemen UUD 1945, yang dilakukan pada tahun 1999 hingga tahun 2002,
memberikan dorongan yang signifikan dalam hal pendanaan bagi dunia pendidikan. UUD
1945 hasil amandemen mengamanahkan, dalam pasal 31 ayat 4, “Negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang‐kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan
55
dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Pasal 31 ayat 4 ini, mewajibkan
pemerintah untuk mengalokasikan anggaran dari APBN dan APBD sekurang‐kurangnya 20
persen. Sejak terbentuknya pemerintahan baru dimana Susilo Bambang Yudhoyono
terpilih sebagai Presiden dan Jusuf Kalla sebagai wakil Presiden, maka upaya untuk
manjalankan UUD 1945 sangat terlihat.
Gambar 4.1 Perkembangan Pendanaan Pendidikan Tinggi 2004‐2010 (Milyar Rupiah)
Sumber data Dirjen Pendidikan Tinggi
Jika kita lihat gambar 4.1. maka sangat jelas kenaikan anggaran pada setiap
tahunnya, baik anggaran pembangunan, dana rutin, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak
(PNBP) secara keseluruhan terus meningkat. Dana pembangunan pada tahun 2004 hanya
2,364 milyar rupiah , sedangkan pada tahun 2009 sebesar 9,640 milyar rupiah, dana
pembangunan ini digunakan untuk membangun infrastruktur. Sedangkan dana rutin yang
juga terus meningkat, pada tahun 2004 sebesar 3,386 milyar rupiah dan tahun 2009
menjadi 6,829 milyar rupiah, lebih banyak digunakan untuk gaji dosen dan karyawan.
Terakhir dana Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) menunjukan peningkatan
partisipasi masyarakat dalam membiayai pendidikan tinggi, tapi di sisi lain, hal ini juga
harus di waspadai, karena ini bermakna perguruan tinggi semakin komersil, karena
semakin banyaknya dana masyarakat yang masuk ke perguruan tinggi.
56
Tabel 4.1. Peta Alokasi Anggaran Pendidikan Tinggi 2006‐2010 Kementerian Pendidikan Nasional
No KEGIATAN ALOKASI DANA (x 1.000)
2006 2007 2008 2009 2010
1 ALOKASI KEGIATAN PUSAT
1.860.128.782 2.162.435.687 1.961.785.143 2.194.367.126 1.985.108.194
2 ALOKASI PTN
5.327.524.017 7.401.290.320 7.602.313.051 11.280.587.027 14.124.559.332
a. BHMN 940.466.361 1.347.472.295 1.277.296.521 1.979.327.722 2.722.910.770
b. PTN BLU
2.316.823.100 3.902.846.977
c. PTN Non BLU
4.387.057.656 6.053.818.025 6.325.016.530 6.984.436.205 7.498.801.585
3 ALOKASI Non PTN 65.635.321 75.552.805 204.684.829 219.560.632 257.415.198
a. Bantuan 124.150.000
110.000.000
155.000.000
b. Hibah Kompetitif
65.635.321 75.552.805 80.534.829 109.560.632 102.415.198
4 PNBP 2.250.503.375 3.150.705.200 3.900.000.000 5.317.077.446 6.489.129.648
TOTAL 9.503.791.495 12.789.984.012 13.668.783.023 19.011.592.231 22.856.212.372
Sumber Data Dirjen Pendidikan Tinggi 2010
Tabel 4.1, memberikan informasi alokasi dana pendidikan tinggi yang terus
meningkat. Alokasi anggaran ini terdiri dari empat numenklatur, Kegiataan Pusat, Alokasi
PTN, Alokasi non PTN, dan PNBP. Alokasi anggaran untuk kegiataan pusat terjadi
fluktuatif, tahun 2006 sebesar 1,86 triliun rupiah, tahun 2007 terjadi kenaikan menjadi
2,162 triliun rupiah, dan tahun 2008 kembali terjadi penurunan sebesar 1,961 triliun
rupiah, tahun 2009 terjadi kenaikan menjadi 2,194 triliun rupiah dan tahun 2010 kembali
menurun menjadi 1,985 triliun rupiah.
Sedangkan untuk alokasi anggaran untuk Pendidikan Tinggi Negeri (PTN) secara
keseluruhan pada setiap tahunnya terjadi kenaikan yang signifikan. Tahun 2006 alokasi
anggaran untuk PTN sebesar 5,327 triliun rupiah dan tahun 2010 sebesar 14,125 triliun
rupiah. Demikian juga alokasi anggaran untuk non PTN setiap tahunnya mengalami
kenaikan yang signifikan. Tahun 2006 alokasi anggaran untuk non PTN sebesar 65,64
milyar rupiah dan tahun 2010 sebesar 257,42 milyar rupiah.
57
Pada saat yang sama, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga mengalami kenaikan
yang signifikan. Tahun 2006, PNBP sebesar 2,250 triliun rupiah dan tahun 2010 sebesar
6,489 triliun rupiah.
Tabel 4.2. Peta Alokasi Anggaran Pendidikan Tinggi Islam 2006‐2010 Kemenag (x 1000)
No Kegitan 2006 2007 2008 2009 2010
1 Alokasi Kegiatan Pusat 54,517,900 59,583,800 132,191,250 120,220,000 215,938,000
2 Alokasi PTAIN 1,949,556,478 982,183,372 592,829,450 1,818,785,765 1,679,109,100 a. BLU 0 0 0 130,856,914 304,055,233
b. PTN Konvensional 0 0 0 0 0
c. Hibah/Pinjaman 325,000,000 237,373,373 495,509,400 316,454,400 279,523,000 d. Lain‐lain 1,624,556,478 744,809,999 97,320,050 1,371,474,451 1,095,530,867 3 Aloaksi Non PTAIN 0 0 0 0 0 a. Bantuan 0 0 0 0 0 b. Hibah Kompetitif 0 0 0 0 0 c. Lain‐lain 0 0 0 0 0 4 PNBP 4,573,756 145,760,320 283,964,654 345,995,352 199,283,832
Total 2,008,648,134 1,187,527,492 1,008,985,354 2,285,001,117 2,094,330,932 Sumber Kementerian Agama 2010
Demikian juga terjadi kenaikan anggaran untuk pendidikan di bawah Kementrian
Agama. Tabel 4.2. menunjukan pengalokasian dana pendidikan tinggi di bawah
Kementrian Agama yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Alokasi anggaran ini terdiri
dari empat numenklatur, Kegiataan Pusat, Alokasi PTAIN, Alokasi non PTAIN, dan PNBP.
Alokasi anggaran untuk kegiataan pusat terjadi kenaikan dari tahun ke tahun.
Tahun 2006 sebesar 54,518 milyar rupiah, dan tahun 2010 menjadi 215 milyar rupiah.
Sedangkan alokasi secara keseluruhan untuk PTAIN terjadi fluktuasi. Tahun 2006,
anggaran sebesar 1,95 triliun rupiah, tahun 2007 terjadi penurunan menjadi sebesar
kurang lebih 982 milyar rupiah, tahun 2008 terjadi penurunan lagi, menjadi sebesar
kurang lebih 593 milyar rupiah, tahun 2009 terjadi kenaikan, menjadi sebesar 1,82 triliun
rupiah dan tahun 2010 terjadi penurunan, menjadi sebesar 1,68 triliun rupiah. Sementara
alokasi untuk non PTAIN tidak ada.
Terakhir, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga mengalami fluktuasi. Tahun
2006, PNBP sebesar 4,54 milyar rupiah, tahun 2007 mengalami kenaikan drastis menjadi
sebesar kurang lebih 146 milyar rupiah, tahun 2008 kembali mengalami kenaikan drastis,
58
menjadi sebesar kurang lebih 283 milyar rupiah, tahun 2009 lagi‐lagi mengalami kenaikan
drastis, menjadi sebesar 346 milyar rupiah dan tahun 2010 mengalami penurunan drastis,
menjadi sebesar 199 milyar rupiah.
Untuk melihat bagaimana pelaksanaan pendidikan tinggi secara makro baik
perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi negeri agama islam, khususnya
pelaksanaan kebijakan dalam hal pendanaan pendidikan tinggi bisa dilihat pada gambar
4.2. Peta Pendanaan PTN dan PTAN. Berdasar hasil olahan, struktur pendanaan makro
Pendidikan Tinggi baik Dana Pemerintah, Dana Masyarakat, dan Dana Bantuan dan
Kerjasama memiliki komposisi yang tidak merata. Hal ini terbukti dengan peran besarnya
pemerintah dalam mendanai Pendidikan Tinggi di Indonesia yaitu sebesar 59,92 persen
dari kebutuhan Pendidikan Tinggi. Dana Pemerintah yang dimaksud sebagian besar
disalurkan melalui Kementerian Diknas dan Kementerian Agama diluar Kementerian lain
dan Pemerintah Daerah.
Gambar 4.2. Peta Pendanaan PTN dan PTAN
Dana Masyarakat memiliki kontribusi terhadap kebutuhan Pendidikan Tinggi
sebesar 28,78 persen. Dana Masyarakat yang dimaksud sebagian besar berasal dari dana
Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan/Dana Penyelenggaraan Pendidikan (SPP/DPP),
selain dana yang bersumber dari penerimaan mahasiswa baru, sumbangan wajib,
sumbangan sukarela, persatuan orang tua, dan lai‐lain. Sedangkan sumber pendanaan
Pendidikan Tinggi paling kecil berasal dari Dana Bantuan dan Kerjasama, yaitu sebesar
8,50 persen dari kebutuhan Pendidikan Tinggi.
Sedangkan hasil yang diperoleh atas dana‐dana yang diinvestasikan ke Pendidikan
Tinggi memberikan output yang relative baik yaitu sebesar 86,20 persen, artinya dana‐
59
dana yang diterima Pendidikan Tinggi dijalankan dan dialokasikan relatif baik guna proses
pembelajaran Pendidikan Tinggi. Agar lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 4.3.
Tingkat Pencapaian Sasaran PTN dan PTAN.
Gambar 4.3. Tingkat Pencapaian Sasaran PTN dan PTAN
Setelah melihat dari sisi kuantitatif, perlu dilihat kondisi lingkungan selama proses
pencarian alternatif‐alternatif dana pendidikan tinggi. Selama proses pendanaan
pendidikan tinggi, ada hambatan‐hambatan yang ditemukan selama proses pendanaan
pendidikan tinggi. Selain itu, kondisi ini merupakan bahan masukan dalam membentuk
model yaitu faktor kondisi pendidikan tinggi dilihat dari hambatan dan peluangnya
pendidikan tinggi dalam mengoptimalkan pendanaan pendidikan tinggi. Adapun
hambatan‐hambatan yang ditemukan selama proses pendanaan pendidikan tinggi adalah
sebagai berikut :
1. Tingkat seleksi sumber pendanaan untuk penelitian berskala nasional dan
internasional semakin sulit dan tidak termonitor dengan baik
2. Pengelolaan Asset Tetap dan Tak Tetap belum tertata dengan dengan baik
3. Analisa dan Perencanaan kebutuhan biaya dalam alokasi DIPA‐APBN belum optimal,
terbukti dengan adanya :
a. Munculnya kebutuhan mendadak yang tak terduga dan bersifat mendasar dan
berpengaruh terhadap kelancaran proses pembelajaran, yang tidak tercover
dalam dikumen perencanaan tahunan
b. Kekurangan dana yang dikarenakan adanya perubahan kurs ataupun inflasi, yang
mengakibatkan tidak mencukupinya kebutuhan yang direncanakan
4. Belum tersedianya sistem akutansi standar bagi pendidikan tinggi, sehingga
menimbulkan banyak kebocoran‐kebocoran keuangan
5. Belum semua fakultas atau pendidikan tinggi, memiliki dana abadi
60
6. Terbatasnya dana bagi pengadaan, fasilitas, dan pengembangan infrastruktur
pendidikan tinggi guna meningkatkan mutu pendididkan tinggi agar mampu
mengembangakan potensi mahasiswa secara optimal
7. Masih rendahnya penerimaan pendanaan misalkan penerimaan dana masyarakat,
unit‐unit bisnis,investasi, atau , khususnya untuk PT BHMN
Hambatan‐hambatan tersebut diatas ditemukan pada semua perguruan tinggi.
Tetapi selain hambatan yang ditemukan dalam proses pendanaan alternatif, ada juga
peluang‐peluang pendidikan tinggi dalam proses pendanaan pendidikan tinggi meskipun
belum terealisasi secara optimal. Adapun peluang‐peluang tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Tersedianya skema pendanaan riset yang disediakan oleh pemerintah maupun non‐
pemerintah, dan produk risetnya sendiri bisa dipasarkan.
2. Manajemen asset yang optimal sangat berguna sebagai sumber pendanaan
alternative.
3. Pendapatan yang diperoleh dari pemamfaatan kekayaan awal (berasal dari pendiri)
tidak termasuk PNBP.
4. Pegelolaan dana abadi secara optimal guna membantu pembiayaan pembelajaran
pendidikan tinggi.
5. Peningkatan kerjasama mitra industri guna memanfaatkan hasil riset.
6. Hubungan kerjasama yang baik antara pendidikan tinggi dengan berbagai pihak,baik
instansi pemerintah maupun swasta, dalam negeri dan luar negeri, akan
meningkatkan penerimaan pendidikan tinggi.
7. Pertumbuhan mahasiswa baik lokal maupun luar negeri sangat membantu dalam
meningkatkan sumber penerimaan pendidikan tinggi.
8. Akses yang luas guna pengembangan jejaringan baik nasional maupun internasional,
samakin mudah untuk meningkatkan kemitraan pendidikan tinggi
9. Sumber pendanaan untuk publikasi internasional yang menyangkut keunggulan atau
masalah lokal semakin banyak
10. Pengembangan jejaring kerjasama dengan alumni dan stakesholder
4.2. Potret Mikro Pendanaan Pendidikan Tinggi
61
4.2.1. BHMN
a. IPB
Gambar 4.4. Peta Penerimaan dan Pengeluaran IPB (Milyar Rupiah)
Berdasarkan laporan keuangan IPB, sebagaimana dalam gambar 4.4 penerimaan
dan pengeluaran pendanaan IPB selama empat tahun, dari tahun 2006 hingga tahun
2009, mengalami surplus (penerimaan lebih besar dari pengeluaran). Surplus terbesar
dihasilkan pada tahun 2009, kurang lebih 40 milyar rupiah. Sedangkan surplus terendah,
dihasilkan pada tahun 2006 yaitu sebesar 3 milyar rupiah.
Berdasarkan gambar 4.5 di atas selama 4 tahun, tahun 2006 hingga tahun 2009
terjadi fluktuasi dalam struktur penerimaan dana. Seperti diketahui, sumber pendanaan
pendidikan tinggi berasal dari tiga sumber. Pertama, dana dari pemerintah, kedua, dana
dari masyarakat dan ketiga dana dari bantuan dan kerjasama.
Pada tahun 2009, dana yang diterima IPB dari pemerintah, memiliki persentasi
terbesar selama 4 tahun terakhir yaitu sebesar 49,45 persen atau 309 milyar rupiah. Dan
jika dilihat secara keseluruhan, range dana IPB dari pemerintah, diluar dana masyarakat
dan dana bantuan dan kerjasama yaitu antara 35,41 persen – 49,45 persen. Dan selama 4
tahun terakhir, sebagian besar dana pemerintah yang diterima IPB berasal dari
Kementerian Diknas, kecuali pada tahun 2009, dana IPB dari pemerintah selain dari
kementerian Diknas, 24 persen diperoleh kementrian lain. Sedangkan dana IPB dari
pemerintah, tidak pernah mendapatkan dana pendidikan tinggi dari pemerintah daerah.
Dan range dana IPB yang diperoleh dari dana masyarakat, yaitu antara 30,96 persen – 41
62
persen. Pada tahun 2006, dana IPB terbesar dari dana masyarakat yaitu sebesar 41
persen. Dana masyarakat (gambar 4.6) yang dihasilkan sebagian besar berasal dari dana
SPP/DPP,antara 68 persen ‐ 85 persen. Dan dana masyarakat dari penerimaan mahasiswa
baru dan sumbangan sukarela, mempunyai kontribusi yang cukup besar, sedangkan dana
masyarakat dari sumbangan wajib, persatuan orang tua mahasiswa, dan lainnya (wisuda)
relatif sangat kecil.
Gambar 4.5. Peta Pendanaan IPB (Milyar Rupiah)
Gambar 4.6. Peta Pendanaan IPB dari Masyarakat
63
Gambar 4.7. Peta Pendanaan IPB dari Bantuan dan Kerjasama
Secara kasat mata, dapat dilihat bahwa dana IPB dari pemerintah relatif lebih
besar dibanding dengan dana dari masyarakat. Begitu juga halnya dengan dana dari
bantuan dan kerja sama. Range dana IPB yang bersumber dari bantuan dan kerjsa sama,
yaitu antara 14,60 persen – 24,87 persen, dan dana bantuan dan kerjasama terbesar
diperoleh pada tahun 2008. Adapun dana bantuan dan kerjasama (gambar 4.7) yang
dihasilkan selama 4 tahun terakhir, sebagian besar berasal dari hubungan kerjasama
dalam negeri. Dan dana bantuan dan kerjasama memiliki peran yang relatif besar
terhadap IPB, sedangkan dana bantuan dan kerjasama dari masyarakat, dunia usaha,
BUMN, BUMD, kerjasama luar negeri, dan lainnya relatif kecil.
Gambar 4.8. Peta Pengeluaran IPB
64
Dengan melihat peta pengeluaran IPB (gambar 4.8), dapat dilihat bahwa lebih dari
30 persen dana IPB digunakan untuk gaji dan tunjangan pegawai, dan biaya operasional
pendidikan (BOP) , dan dana IPB terbesar kedua lebih difokuskan pada peningkatan
kualitas SDM dan mahasiswa melalui penelitian‐penelitian baik nasional maupun
internasional. Dan peta pengeluaran IPB terhadap pembangunan IPB dan hubungan
kerjasama dalam negeri dengan berbagai pihak dan lain‐lain relatif cukup besar.
Sedangkan alokasi terhadap pemeliharaan, pengabdian masyarakat, dan kerjasama luar
negeri relatif kecil.
Untuk lebih jelasnya, bagaimana perkembangan IPB selama 4 Tahun terakhir dapat
dilihat dalam Tabel 4.3. atau Tabel Kinerja IPB dibawah ini. Berdasarkan matriks tersebut
menggambarkan struktur kinerja IPB , baik dari sisi kinerja kebijakan maupun kinerja
keuangan selama 4 tahun terakhir. Jika dilihat dari struktur pendanaan IPB, sumber
dananya terbesar diperoleh dari Dana Pemerintah yaitu sebesar 42,54 persen, dana
masyarakat sebesar 37,66 persen, dan dana bantuan dan kerjasama sebesar 19,80 persen.
Hal tersebut menggambarkan komposisi struktur pendanaannya sendiri, relatif cukup
merata.
Dan jika dilihat dari sisi alokasinya sendiri, dana‐dana IPB sebesar 51,39 persen
digunakan untuk biaya Gaji & tujangan, dan Biaya Operasional Pendidikan (BOP), sisanya
digunakan untuk kebutuhan‐kebutuhan lainnya misalkan pemeliharaan, penelitian,
pengabdian masyarakat, kerjasama dalam negeri, kerjasama luar negeri, dan lain‐lain.
Tetapi ada yang menarik, IPB lebih memfokuskan pada kualitas SDM baik kualitas
mahasiswa, dosen, dan manajemen pelayanannya. Hal ini terbukti, dengan alokasi dana
65
IPB yang digunakan untuk penelitian relative cukup besar yaitu sebesar 20,32 persen. Ini
menggambarkan arah dan kebijakan IPB dilaksanakan dalam proses pendidikan tinggi
relatif konsisten. Selain itu, pembangunan infrastruktur IPB selama 4 tahun ini, masih
terus dikembangkan. Begitu juga halnya hubungan kerjasama IPB dengan berbagai pihak
baik hubungan kerjasama dalam negeri maupun luar negeri, walaupun hubungan
kerjasama IPB dengan luar negeri masih perlu ditingkatkan. Dan secara umum, sesuai
dengan arah dan kebijakan IPB (RENSTRA – IPB), Tingkat Pencapaian Sasaran IPB yang
dilaksanakan selam 4 tahun terakhir relatif sukses yaitu sebesar 96,78 persen. dan ini
menunjukkan bahwa semua perencanaan IPB selama 4 tahun telah terpenuhi.
Tabel 4.3. Kinerja IPB
b. ITB
Gambar 4.9. Peta Penerimaan dan Pengeluaran ITB (Milyar Rupiah)
66
Laporan keuangan ITB (gambar 4.9) dari tahun 2006‐2009 terus mengalami
kerugian artinya pengeluaran lebih besar dibandingkan dengan penerimaan, tercatat
pengeluaran tertinggi setelah dikurangi penerimaan pada tahun 2008 yakni sebesar
minus 235 milyar rupiah dan kerugian terkecil pada tahun 2006 yakni sebesar 124 milyar
rupiah.
Gambar 4.10. Peta Pendanaan ITB
67
Gambar 4.11. Peta Pendanaan ITB (Persen)
Gambar 4.12. Peta Pendanaan ITB dari Masyarakat (Persen)
Gambar 4.13. Peta Pendanaan ITB dari Bantuan dan Kerjasama (Persen)
68
Berdasarkan gambar 4.10 dan 4.11 di atas terlihat bahwa pendanaan berasal dari
tiga sektor, yakni pemerintah, dana masyarakat, dan bantuan dan kerjasama. Alokasi
pendanaan terbesar berasal dari bantuan kerjasama mencapai nilai angka 229 milyar
rupiah atau sebesar 50,46 persen. Pendanaan tersebut berdasarkan range terendah
sampai tertinggi yakni antara 67 milyar rupiah – 229 milyar rupiah. Dengan persentase
range antara 22,32 persen – 50,46 persen. Pendanaan tersebut berasal dari dua sektor
pendanaan yakni bantuan masyarakat dan lain‐lain. bantuan masyarakat yang masuk
berada pada kisaran 59 persen – 87 persen dan dana lain‐lain sebesar antara 13 persen –
41 persen. Alokasi kedua berasal dari alokasi dana masyarkat, yakni berada pada kisaran
144 milyar rupiah – 236 milyar rupiah dengan range persentase 31,65 persen – 50,48
persen. Alokasi tersebut (gambar 4.12) seluruhnya bersumber dari dana SPP/DPP,
sedangkan penerimaan mahasiswa baru, dan lain‐lain tidak memberikan dana.
Alokasi berikutnya adalah dari pemerintah dengan pendanaan antara 81 milyar
rupiah – 233 milyar rupiah. Dengan nilai persentase antara 17,89 persen – 35,52 persen,
pendanaan tersebut seluruhnya berasal dari kementerian Diknas sedangkan kementerian
lain dan pemerintah daerah tidak memberikan dana.
Gambar 4.14. Peta Pengeluaran ITB (Persen)
Pengeluaran terbesar ITB (gambar 4.14) adalah untuk BOP dan biaya gaji dan
tunjangan yakni mencapai di atas 60 persen, sedangkan untuk dana pemeliharaan,
penelitian, pengabdian masyarakat, pembangunan berada pada level di bawah 30 persen,
sedangkan untuk kerjasama baik dalam negeri maupun luar negeri dan lain‐lain tidak
pernah tercatat melakukan pengeluaran dana.
69
Tabel 4.4 menunjukan bahwa kinerja ITB , baik dari untuk sektor keuangan
maupun untuk kinerja menunjukan nilai yang kurang baik, hal ini bisa dilihat dari sumber
dana yang diperoleh ITB berasal dari dari tiga sektor yakni pemerintah sebesar 24,50
persen, dana masyarakat sebesar 36,02 persen dan dana bantuan dan kerjasama sebesar
39,47 persen. Alokasi dana terbesar pengeluaran adalah untuk gaji pegawai dan BOP
mencapai nilai 68,35 persen dengan nilai pengeluaran mencapai 51,18 persen, dan alokasi
untuk dana pemeliharaan, penelitian, pengabdian masyarakat, pembangunan berada
pada level di bawah 20 persen, sedangkan untuk kerjasama baik dalam negeri maupun
luar negeri dan lain‐lain tidak pernah tercatat melakukan pengeluaran dana. Dari peta
pengelolaan keuangan tersebut berimbas kepada alokasi kerja berdasarkan nilai
perencanaan kerja yang mencapai angka diambang batas kurang terealisasinya
perencanaan yakni sebesar 57,58 persen.
Tabel 4.4. Kinerja ITB
70
c. UPI
Gambar 4.15. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UPI (Milyar Rupiah)
Laporan keuangan (gambar 4.15) UPI 4 tahun terakhir yakni tahun 2006‐2009
tercatat terus mengalami kenaikan, surplus (penerimaan setelah dikurangi pengeluaran)
terbesar pada tahun 2007 yakni sebesar 59 milyar rupiah, dan surplus penerimaan
terendah adalah 2 milyar rupiah yakni tahun 2008.
Gambar 4.16. Peta Pendanaan UPI
Gambar 4.17. Peta Pendanaan UPI (Persen)
71
Gambar 4.18. Peta Pendanaan UPI dari Masyarakat
Peta pendanaan (gambar 4.16 dan 4.17), dana yang masuk dalam kas UPI pada
tahun 2006‐2009 terbagi kepada tiga alokasi yakni Pemerintah, dana masyarakat dan
bantuan dan kerjasama. Bantuan pemerintah berada pada range antara 78 milyar rupiah
– 163 milyar rupiah dengan nilai tertinggi 163 milyar rupiah yakni tahun 2009, alokasi dana
dari pemerintah berasal dari Kementerian Diknas, kementerian lain dan Pemerintah
daerah, namun seluruh pendanaan UPI dari sektor pemerintah berasal dari kementerian
Diknas.
72
Alokasi pendanaan lainnya (gambar 4.18) adalah dari dana masyarakat yakni
dengan range antara 73 milyar rupiah – 183 milyar rupiah, dana tersebut berasal dari tiga
posko yakni SPP/DPP, penerimaan mahasiswa baru dan dana lain‐lain. dana terbesar yang
diperoleh UPI berasal dari dana lain‐lain yakni dengan range antara 74,82 persen – 83,89
persen, kemudian dana dari SPP/DPP sebesar range 14,41 persen – 21,43 persen, dan
terakhir dana dari sektor penerimaan mahasiswa baru sebesar 1,71 persen – 3,75 persen.
Laporan pengeluaran (gambar 4.19) berdasarkan grafik di atas menunjukan bahwa
pengeluaran terbesar dialokasikan untuk tiga sektor yakni gaji dan tunjangan pegawai,
BOP dan dana lain‐lain (wisuda) yakni mencapai kisaran di atas 20 persen ‐ 45 persen.
Gambar 4.19. Peta Pengeluaran UPI (Persen)
Kinerja UPI (tabel 4.5) bila dilihat dari tiga sektor yakni pendanaan yang meliputi
sumber dana dan alokasi penggunaan dana serta implikasi terhadap tingkat pencapaian
kerja bisa dilihat bahwa terjadi korelasi positif yakni tingkat ketercapaian kerja sangat
memuaskan yakni sebesar 89.72 persen. Data tersebut bisa tercapai karena dukungan
dari sumber dana dan alokasi pengeluaran yang tepat guna. Sumber dana terbesar yang
masuk kepada UPI adalah dari dana masyarakat yakni sebesar 43,14 persen dan sisanya
berasal dari pemerintah yakni sebesar 41,62 persen, sedangkan dana yang berasal dari
bantuan dan kerjasama sebesar 15,24 persen.
Dari sumber dana tersebut alokasi yang paling besar adalah gaji dan tunjangan
pegawai, BOP dan dana lain‐lain (wisuda) mencapai 96,21 persen sedang kan sisanya
73
untuk pemeiharaan, penelitian, pembangunan, kerjasama dalam negeri, dan kerjasama
luar negeri di bawah 5 persen.
Tabel 4.5. Kinerja UPI
74
d. UGM
Gambar 4.20. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UGM (Milyar Rupiah)
Laporan penerimaan dan pengeluaran UGM (gambar 4.20) selama 4 tahun terakhir
terus mengalami kenaikan di bandingkan dengan pengeluaran, tercatat penerimaan
terendah diperoleh pada tahun 2006 sekitar 15 milyar rupiah, dan penerimaan tertinggi
setelah di kurangi pengeluaran pada tahun 2009 sebesar 366 milyar rupiah.
Gambar 4.21. PetaPendanaan UGM
75
Gambar 4.22. PetaPendanaan UGM (Persen)
Gambar 4.23. PetaPendanaan UGM dari Masyarakat (Persen)
76
Gambar 4.21 dan 4.22 menunjukan bahwa sektor pendanaan UGM berasal dari
Pemerintah, Dana Masyarakat dan bantuan dan kerjasama. Selama kurun waktu 4 tahun
terakhir yakni tahun 2006 sampai 2009, pendanaan terbesar diperoleh dari sektor Dana
masyarakat dari range 55,11 persen – 64,09 persen. Terhitung pendanaan terbesar pada
tahun 2009 yakni sebesar 846 milyar rupiah dengan persentase sebesar 58,19 persen,
dana tersebut diperoleh dari SPP/DPP hampir setiap tahun dari tahun 2006 ‐ 2010
pendanaan dari sektor SPP/DPP mencapai 90 persen dan dana lain‐lain sebesar di bawah
10 persen, kecuali tahun 2009 dana SPP/DPP sebesar 80 persen dengan sokongan dari
dana sumbangan sukarela 8 persen dan dana lain‐lain 13 persen.
Gambar 4.24. PetaPendanaan UGM dari Bantuan dan Kerjasama (Persen)
77
Pendanaan terbesar kedua berasal dari pemerintah yakni antara 26,46 persen ‐
35,14 persen, pada tahun 2009 mencapai 511 milyar rupiah atau 35,14 persen, dana
tersebut seluruhnya berasal dari Kementerian Pendidikan Nasional. Sektor pendanaan
lainnya adalah berasal dari bantuan dan kerjasama terbesar diperoleh pada tahun 2008
yakni sekitar 216 milyar rupiah atau 18,43 persen. Pendanaan tersebut berasal daribantuan
dan kerjasama kementrian dalam negeri dengan persentase tertinggi sebesar 49,72
persen pada tahun 2006, dan bantuan lain‐lain tertinggi sebesar 61,87 persen pada tahun
2008.
Pengeluaran UGM (gambar 4.25) terbesar diperuntukan pada sektor gaji dan
tunjangan pegawai, biaya operasional dan dana lain‐lain dengan kisaran pengeluaran
mencapai 25 persen, pengeluaran terbesar lainnya adalah untuk biaya penelitian baik
untuk penelitian nasional maupun internasional dengan besar pengeluaran antara 3‐14
persen, sedangkan untuk pengeluaran seperti, pemeliharaan, pengabdian masyarakat,
pembangunan, kerjasama dalam negeri, dan kerjasama luar negeri relatif kecil yakni
berada di bawah kisaran 5 persen. Dan gambaran umum peta UGM akan terlihat dalam
tabel kinerja UGM di bawah ini.
Gambar 4.25. Peta Pengeluaran UGM (Persen)
Tabel 4.6. Kinerja UGM
78
Kinerja UGM (tabel.4.6) berdasarkan berdasarkan sumber dana, alokasi dan
sasaran menunjukan kinerja yang baik yakni dengan ketercapaian tingkat sasaran dengan
rata‐rata mencapai 84,23 persen, angka tersebut cukup signifikan.
Alokasi kinerja berdasarkan sumber dana berdasarkan kepada tiga posko yakni
pemerintah, dana masyarakat dan bantuan dan kerjasama lain. alokasi dana terbesar
diperoleh dari dana masyarakat yakni mencapai 59,85 persen, alokasi berikutnya adalah
dari pemerintah yakni sebesar 29,42 persen dan sisanya dana dari bantuan dan kerjasama
sebesar 10,73 persen. dengan melihat angka persentase pendanaan UGM bisa disebut
bahwa mayoritas pendanaan UGM berasal dari dana masyarakat.
Sektor pengeluaran dana terbesar UGM yakni untuk biaya gaji dan tunjangan
pegawai, BOP, dan dana lain‐lain yakni berada dikisaran 25 persen, atau julah total tiga
alokasi tersebut sebesar 77,28 persen, sedangkan untuk pemeliharaan, pembangunan,
pengabdian masyarakat, kerjasama dalam negeri dan kerjasama luar negeri berada pada
level di bawah 5 persen.
79
Data penerimaan dan pengalokasian dana tersebut berujung pada konsistensi
pegawai dalam bekerja sehingga sesuai dengan arah dan kebijakan UGM (Renstra –
UGM), dengan tingkat ketercapaian mencapai 84,23 persen, artinya kebijakan yang
dikeluarkan UGM sangat memuaskan.
e. UI
Gambar 4.26. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UI (Milyar Rupiah)
Laporan penerimaan dan pengeluaran UI (gambar 4.26) pada tahun 2006 ‐ 2009
terus mengalami (surplus peningkatan penerimaan dari pada pengeluaran). Nilai
penerimaan terendah adalah tahun 2006 sebesar 83 milyar rupiah dan paling tinggi tahun
2009 sebesar 382 milyar rupiah.
Gambar 4.27. Peta Pendanaan UI
80
Gambar 4.28. Peta Pendanaan UI (Persen)
Sumber pendanaan seperti diketahui (gambar 4.27 dan 4.28) di atas, pendanaan
terbesar yang diterima oleh UI berasal dari dana masyarakat yakni antara 426 milyar
rupiah tahun 2008 sampai 775 milyar rupiah pada tahun 2010, dengan range antara 48,98
persen – 57,21 persen.
Adapun untuk dana dari pemerintah yakni tahun 2006 ‐ 2009 antara 124 milyar
rupiah – 364 milyar rupiah atau dengan range antara yakni 15,93 persen – 24,14 persen.
Pendanaan terakhir berasal dari alokasi dana bantuan dan kerjasama. Terhitung nilai
pemasukan semakin meningkat dari tahun 2006 ‐ 2008 yakni antara 196 milyar rupiah –
387 milyar rupiah kemudian menurun pada tahun 2009 menjadi 320 milyar rupiah dan
meningkat kembali pada tahun 2010 menjadi 368 milyar rupiah, adapun nilai persentase
berada pada range terendah 22,50 persen pada tahun 2009 dan tertinggi 33,94 persen
tahun 2008.
Gambar 4.29. Peta Pengeluaran UI
81
Pengeluaran terbesar yang dikeluarkan UI (gambar 4.29) dari tahun 2006 ‐ 2009
untuk gaji pegawai yakni mencapai 50 persen atau berada pada kisaran pertahun antara
43 persen‐52 persen. Pengeluaran terbesar lainnya adalah untuk dana lain‐lain, BOP,
penelitian, pengabdian masyarakat, dan pembangunan pengeluaran berada di level di
bawah 20 persen.
Adapun untuk ketercapaian dan gambaran umum peta UI bisa dilihat dalam table
4.7 .Universitas Indonesia sebagai salah satu Universitas terkemuka di Indonesia dalam
kinerja (tabel 4.7) seperti terlihat dalam tabel, begitu dinamis. Untuk mengukur tingkat
ketercapaian ada beberapa instrument yang mendukung ketercapaian tersebut
diantaranya: sumber dana, alokasi yang berujung pada tingkat ketercapaian sebuah
program atau kerja.Tabel kinerja menunjukan bahwa sumber dana yang diperoleh UI
berasal dari pemerintah sebesar 18,21 persen, dana masyarakat sebesar 54 persen dan
bantuan dan kerjasama sebesar 27,79 persen. Hal ini menunjukan bahwa sumber
penerimaan yang paling dominant adalah dana masyarakat. Alokasi tesebut diperuntukan
bagi kesejahteraan pegawai yakni sebesar 49,43 persen, BOP sebesar 17,68 persen dan
pengeluaran paling tinggi lainnya adalah untuk dana lain‐lain sebesar 15,94 persen. untuk
sektor lainnya seperti penelitian, pengabdian masyarakat, dan pembangunan
pengeluaran berada di level di bawah 10 persen, bahkan untuk kerjasama baik dalam
negeri maupun luar negeri tidak mengeluarkan pendanaan.
82
Tabel 4.7. Kinerja UI
Dari sumber dana dan alokasi berujung kepada tinggi dan rendahnya tingkat pencapaian
kinerja UI. Seperti terlihat dalam matrik tingkat ketercapaian UI masih berada di atas 50
persen atau sebesar 67,16 persen.
f. USU
Gambar 4.30. Peta Penerimaan dan Pengeluaran USU (Milyar rupiah)
83
Berdasar peta penerimaan dan pengeluaran USU (gambar 4.30) dari tahun 2006 ‐
2009 terlihat bahwa penerimaan USU terus meningkat dengan puncaknya tahun 2009.
Surplus (penerimaan dikurangi pengeluaran USU) penerimaan terendah pada tahun 2006
sebesar 20 milyar rupiah dan tertinggi sebesar 113 milyar rupiah, namun mengalami minus
pada tahun 2008 yakni jumlah pengeluaran di atas jumlah penerimaan atau merugi
sebesar 2 milyar rupiah.
Gambar 4.31. Peta Pendanaan USU
Gambar 4.32. Peta Pendanaan USU (Persen)
84
Gambar 4.33. Peta Pendanaan USU dari Pemerintah (Persen)
Gambar 4.34. Peta Pendanaan USU dari Masyarakat(Persen)
85
Pendanaan USU (gambar 4.31 dan 4.32) yang berasal dari pemerintah 105 milyar
rupiah ‐ 215 milyar rupiah, dengan nilai persentase 39,14 persen – 48,21 persen. Dana
tersebut berasal dari kementerian pendidikan nasional berada di kisaran 88 persen – 100
persen pada tahun 2008, pemasukan lain adalah dari pemerintah daerah sebesar 8 ‐ 12
persen.
Alokasi dana masyarakat menempati urutan terbesar, dari tahun 2006 ‐ 2010
berada di kisaran 113 milyar rupiah ‐ 293 milyar rupiah, atau dalam persentase antara 51,79
persen – 60,86 persen. Alokasi tersebut berasal dari SPP/DPP sebesar di atas 50 persen
atau berada di kisaran 69 persen – 85 persen. Sedangkan pendanaan yang berasal dari
penerimaan mahasiswa baru, sumbangan wajib, sumbangan sukarela, persatuan orang
tua, dan lain‐lain berada di bawah 20 persen.
Laporan pengeluaran USU (gambar 4.35) terhitung dari tahun 2006 ‐ 2009 dalam
persentase adalah untuk keperluan beberapa posko, diantaranya gaji dan tunjangan
pegawai, biaya operasional, pemeliharaan, penelitian, pengabdian masyarakat,
pembangunan, kerjasama dalam negeri, kerjasama luar negeri, dan lain‐lain.
Pengeluaran terbesar yang dikeluarkan USU adalah untuk gaji dan tunjangan
pegawai, dan BOP mencapai 80 persen sedangkan untuk pemeliharaan, penelitian,
86
pengabdian masyarakat, pembangunan, kerjasama dalam negeri, kerjasama luar negeri,
dan lain‐lain masih berada di bawah 20 persen.
Gambar 4.35. Peta Pengeluaran USU
Kinerja USU berdasarkan tabel.4.8 bisa di tarik kepada dua bagian besar yakni
berdasar keuangan dan kebijakan. Keuangan USU di turunkan menjadi dua bagian besar
yakni sumber dana dan untuk alokasi. Seperti terlihat di bawah, sumber dana USU berasal
dari dana pemerintah sebesar 42,30 persen, dana masyarakat mencapai 57,70 persen
sedangkan untuk sektor bantuan adan kerjasama relative sangat kecil.
Sumber dana tersebut dialokasikan pada beberapa sektor yakni yang terbesar
adalah untuk gaji dan tunjangan pegawai, dan BOP mencapai 84,63 persen, sedangkan
sisanya hanya berada di bawah 5 persen. Dari alokasi dana tersebut berimplikasi positif
terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh USU sehinga tingkat ketercapaian sasaran
sangat memuaskan yakni mencapai 86,70 persen.
87
Tabel 4.8. Kinerja USU
4.2.2. BLU
a. Universitas Padjadjaran (UNPAD)
Gambar 4.36. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UNPAD (Milyar Rupiah)
88
Laporan penerimaan dan pengeluaran UNPAD (gambar 4.36) selama kurun waktu
4 tahun terakhir yakni tahun 2006 ‐ 2009 terus mengalami surplus (penerimaan lebih
besar dari pengeluaran). Surplus terkecil adalah atahun 2006 yakni 64 milyar rupiah dan
surplus tertinggi sebesar tahun 2008 sebesar 320 milyar rupiah.
Gambar 4.37. Peta Pendanaan UNPAD
Gambar 4.38. Peta Pendanaan UNPAD (Persen)
89
Gambar 4.39. Peta Pendanaan UNPAD dari Masyarakat
Peta pendanaan UNPAD (gambar 4.37 dan 4.38) selama kurun waktu 4 tahun
terhitung tahun 2006 – 2009, memberikan dana dengan range 29 persen – 55 persen, dan
seluruh pendanaan tersebut berasal dari kementerian pendidikan Nasional sebesar 100
persen, sedangkan untuk kementerian lain dan pemerinah daerah tidak mendapatkan
dana.
Alokasi dana masyarakat (gambar 4.39) dari tahun 2006 ‐ 2010 berada pada 44
persen ‐ 68 persen, alokasi tersebut berasal dari penerimaan mahasiswa baru dengan nilai
tertinggi 3 persen, SPP/DPP sebesar antara 36 persen – 50 persen dan lain‐lain sebesar
antara 49 persen‐53 persen. Alokasi dana lainnya berasal dari bantuan dan kerjasama
yakni berada pada 1 persen – 4 persen, alokasi tersebut berasal dari kerjasama dalam
negeri yakni sebesar antara Rp. 8 milyar – Rp. 25 milyar.
90
Gambar 4.40. Peta Pengeluaran UNPAD
Pengeluaran terbesar UNPAD (gambar 4.40) adalah untuk sektor gaji dan
tunjangan pegawai, yakni mencapai di atas 50 persen, sedangkan untuk BOP,
Pemeliharaan, pemeliharaan, penelitian, Pengabdian masyarakat, pembangunan,
kerjasama dalam negeri dan kerjasama luar negeri serta lain‐lain seluruhnya berada pada
kisaran 0 persen ‐ 20 persen.
Tabel 4.9 menunjukan bahwa kinerja UNPAD , baik dari sektor keuangan maupun
untuk kinerja menunjukan nilai yang baik, hal ini bisa dilihat dari sumber dana yang
diperoleh UNPAD berasal dari dari tiga sektor yakni pemerintah sebesar 35,36 persen,
dana masyarakat sebesar 62,02 persen dan dana bantuan dan kerjasama sebesar 2,62
persen. Alokasi dana terbesar pengeluaran adalah gaji pegawai dengan nilai pengeluaran
mencapai 51,18 persen, dan alokasi untuk BOP, pemeliharaan, penelitian, pengabdian
masyarakat, pembangunan, kerjasama dalam negeri dan kerjasama luar negeri serta lain‐
lain seluruhnya berada pada kisaran semuanya berada di bawah 20 persen.
Dari peta pengelolaan keuangan tersebut berimbas kepada alokasi kerja
berdasarkan nilai perencanaan kerja yang mencapai angka yang sangat memeuaskan
yakni 83,36 persen.
91
Tabel 4.9. Kinerja UNPAD
92
b. UNIVERSITAS HASANUDIN (UNHAS)
Gambar 4.41. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UNHAS
Laporan penerimaan UNHAS (gambar 4.41) selama 3 tahun dari tahun 2006‐2008
mengalami kenaikan dan sebaliknya pada tahun 2009, justru sebaliknya penerimaan
UNHAS mengalami penurunan, bahkan pengeluaran UNHAS pun lebih besar dari pada
penerimaan.
Gambar 4.42 dan 4.43 dibawah menunjukan bahwa alokasi pendanaan dari
pemerinah berasal dari kementerian Diknas, Kementerian lain dan pemerintah daerah,
untuk alokasi ini mayoritas pendanaan untuk UNHAS berasal dari kementerian Diknas
yakni range antara 1 milyar rupiah sampai 970 milyar rupiah. Selain itu, gambar juga
menunjukan bahwa sektor pendanaan UNHAS dari sektor dana masyarakat seluruhnya
berasal dari penerimaan mahasiswa baru termasuk SPP/DPP yakni sebesar 100 persen.
93
Gambar 4.42. Peta Pendanaan UNHAS
Gambar 4.43. Peta Pendanaan UNHAS (Persen)
Demikian juga dengan bantuan dan kerjasama yang pernah dilakukan oleh UNHAS
yakni yang terbesar selama 2006 ‐ 2008 seluruhnya dari bantuan (lain‐lain) sebesar 100
persen dan tahun 2009 pendanaan selain dari sektor lain‐lain yang mencapai 70 persen –
80 persen ditambah oleh kerjasama dalam negeri yang mencapai 17 persen ‐ 20 persen
94
Peta pengeluaran dari UNHAS (gambar 4.44) selama 4 tahun terbesar adalah
untuk gaji dan tunjangan pegawai mencapai antara 41 persen ‐ 60 persen, dan alokasi lain
seperti BOP, Pemeliharaan, penelitian dan pengabdian masyarakat, pembangunan,
kerjasama dalam negeri, kerjasama luar negeri dan lain‐lain berada di bawah 30 persen.
Gambar 4.44. Peta Pengeluaran UNHAS
Tabel 4.10 menunjukan bahwa kinerja UNHAS , baik dari baik untuk sektor
keuangan maupun untuk kinerja menunjukan nilai yang baik, hal ini bisa dilihat dari
sumber dana yang diperoleh UNHAS berasal dari dari tiga sektor yakni pemerintah
sebesar 53,39 persen, dan masyarakat sebesar 26,64 persen dan dana bantuan dan
kerjasama sebesar 22,97 persen. Alokasi dana terbesar pengeluaran adalah untuk gaji
pegawai dan BOP mencapai 70 persen sedangkan untuk alokasi BOP, pemeliharaan,
penelitian, pengabdian masyarakat, pembangunan, kerjasama dalam negeri dan
kerjasama luar negeri serta lain‐lain seluruhnya berada pada kisaran semuanya berada di
bawah 20 persen.
Dari peta pengelolaan keuangan tersebut berimbas kepada alokasi kerja
berdasarkan nilai perencanaan kerja yang mencapai angka yang sangat memeuaskan
yakni 90,95 persen. Pencapaian tersebut merupakan hasil dari kerjasama pengaturan
pendanaan dengan perencanaan kerja yang telah ditetapkan sebelumnya.
95
Tabel 4.10. Kinerja UNHAS
c. UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET (UNS Surakarta)
Gambar 4.45. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UNS Surakarta (Milyar Rupiah)
96
Laporan penerimaan dan pengeluaran UNS Surakarta (gambar 4.45) terhitung dari
2006 ‐ 2009 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Tercatat surplus (penerimaan
dikurangi pengeluaran) terkecil adalah 35 milyar rupiah dan surplus tertinggi mencapai
252 milyar rupiah.
Gambar 4.46. Peta Pendanaan UNS Surakarta
Gambar 4.47. Peta Pendanaan UNS Surakarta (Persen)
97
Gambar 4.48. Peta Pendanaan UNS Surakartadari Masyarakat
Berdasarkan alokasi dana untuk UNS (gambar 4.46 dan 4.47) selama 4 tahun,
dana terbesar yang diperoleh UNS berasal dari dana masyarakat dengan range antara 46
persen ‐ 58 persen, alokasi tersebut berasal dari SPP/DPP, penerimaan mahasiswa baru,
dan lain‐lain, namun alokasi terbesar adalah dari SPP/DPP yakni mencapai antara 50
persen sampai 87 persen, dan alokasi dana lain‐lain seperti (wisuda) dengan nilai tertinggi
mencapai 43 persen, serta alokasi dana penerimaan mahasiswa baru di bawah 5 persen.
Alokasi berikutnya berasal dari dana pemerintah yakni antara range 38 persen ‐ 42
persen. Alokasi tersebut seluruhnya berasal dari kementerian Pendidikan Nasional yakni
mencapai 100 persen. Sedangkan untuk kementerian lain dan pemerintah daerah tidak
mendapatkan dana.
Alokasi selanjutnya berasal dari bantuan dan kerjasama, yakni mencapai nilai
terbesar yakni 12 persen, Alokasi pendanaan kerjasama seluruhnya berasal dari
kementerian dalam negeri yakni mencapai nilai 100persen pertahunnya.
98
Gambar 4.49. Peta Pengeluaran UNS Surakarta
Peta pengeluaran UNS (gambar 4.49) terbesar diperuntukan bagi gaji pegawai dan
tunjangan yakni mencapai kurang lebih 50 persen, sedangkan untuk BOP, Pemeliharaan,
pemeliharaan, penelitian, Pengabdian masyarakat, pembangunan, kerjasama dalam
negeri dan kerjasama luar negeri serta lain‐lain seluruhnya berada pada kisaran 1 persen ‐
23 persen.
Tabel 4.11. menunjukan bahwa kinerja UNS , baik dari untuk sektor keuangan
maupun untuk kinerja menunjukan nilai yang baik, hal ini bisa dilihat dari sumber dana
yang diperoleh UNS berasal dari dari tiga sektor yakni pemerintah sebesar 41,03 persen,
dan masyarakat sebesar 52,54 persen dan dana bantuan dan kerjasama sebesar 6,44
persen. Alokasi dana terbesar pengeluaran adalah gaji pegawai dengan nilai pengeluaran
mencapai 48,66 persen, dan alokasi untuk BOP, pemeliharaan, penelitian, pengabdian
masyarakat, pembangunan, kerjasama dalam negeri dan kerjasama luar negeri serta lain‐
lain seluruhnya berada pada kisaran semuanya berada di bawah 20 persen.
Dari peta pengelolaan keuangan tersebut berimbas kepada alokasi kerja
berdasarkan nilai perencanaan kerja yang mencapai angka yang sangat memuaskan yakni
88,95 persen.
99
Tabel 4.11. Kinerja UNS Surakarta
100
d. UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA (UNJ)
Gambar 4.50. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UNJ
Laporan penggunaan alokasi dana UNJ (gambar 4.50) terhitung dari tahun 2007‐
2009 tercatat mengalami kenaikan. Penerimaan berada di atas pengeluaran, surplus
terrendah adalah pada tahun 2008 yakni nilai penerimaan dan pengeluaran sama besar,
meskipun nilai penerimaan dan pengeluaran berada jauh dari penerimaan tahun lainnya.
Gambar 4.51. Peta Pendanaan UNJ
101
Seperti diketahui peta pendanaan UNJ (gambar 4.51) berasal dari tiga kategori
yakni pemerintah, dana masyarakat, dan bantuan dan kerjasama, namun untuk bantuan
dan kerjasama selama kurun waktu 2007‐2009 belum pernah ada pendanaan.
Gambar 4.52. Peta Pengeluaran UNJ
Data pengeluaran UNJ (gambar 4.52) dari tahun 2007‐2009 terbagi kepada empat
sektor yakni belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, belanja sosial. Sektor yang
paling besar alokasi pengeluarannya adalah biaya belanja pegawai. Belanja terbesar
adalah untuk belanja pegawai yakni mencapai angka 65 persen. Alokasi berikutnya adalah
untuk belanja barang, terhitung antara 29 persen ‐ 48 persen, serta alokasi belanja modal
antara 11 persen ‐ 15 persen, dan terakhir untuk belanja social yakni sebesar antara 5
persen ‐ 6 persen.
Berdasar tabel 4.12 menggambarkan struktur kinerja UNJ, baik dari sisi kinerja
kebijakan maupun kinerja keuangan selama 4 tahun terakhir. Jika dilihat dari struktur
pendanaan dan kinerja UNJ dapat dilihat dengan pendekatan koreasi positif, yakni dari
sumber dana yang berasal dari pemerintah sebesar 51,83 persen dan dana masyarakat
yang mencapai 48,17 persen dan pendanaan bantuan dan kerjasama relative sangat kecil.
Alokasi dana tersebut diperuntukan pada belanja pegawai, belanja barang, belanja modal,
102
belanja sosial. Sektor yang paling besar alokasi pengeluarannya adalah belanja pegawai
dengan persentase belanja pegawai terbesar diantara belanja lainnya yakni sebesar 45,49
persen, belanja barang sebesar 36,55 persen dan sisanya untuk belanja modal dan belanja
sosial relatif kecil yakni di bawah 20 persen.
Tabel 4.12. Kinerja UNJ Jakarta
Sumber dana dan alokasi dana tersebut berimbas kepada perencanaan kinerja
yang terus meningkat yakni mencapai 93,88 persen, ini artinya terdapat korelasi positif
yang sangat signifikan antara pengelolaan keuangan dengan kinerja yang telah
direncanakan.
103
e. UIN ALAUDIN
Gambar 4.53. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UIN Alaudin (Milyar Rupiah)
Berdasarkan laporan keuangan UIN Alaudin, (gambar 4.53) penerimaan dan
pengeluaran pendanaan UIN Alaudin selama 4 tahun, dari 2006 hingga 2009, mengalami
fluktuasi. Pada tahun 2007 UIN Alaudin mengalami kerugian (pengeluaran lebih besar
daripada penerimaan) sebesar 32 milyar rupiah.
Gambar 4.54. Peta Pendanaan UIN Alaudin
Berdasarkan peta pendanaan (gambar 4.54), dapat dipahami bahwa sumber dana
terbesar UIN Alaudin berasal dari pemerintah. Tahun 2007 dana yang diterima UIN
104
Alaudin dari pemerintah sebesar 126 milyar rupiah ( 93,72 persen) – 368 milyar rupiah
(95,32 persen).
Gambar 4.55. Peta Pendanaan UIN Alaudin (Persen)
Gambar 4.56. Peta Pendanaan UIN Alaudin dari Pemerintah
105
Gambar 4.57. Peta Pendanaan UIN Alaudin dari Masyarakat
Gambar 4.56, menjelaskan bahwa sumber dana pemerintah untuk UIN Alaudin
sebagian besar berasal dari Kementerian Pendidikan Nasional. dalam lima tahun terakhir,
tahun 2006 ‐ 2007 merupakan dua tahun dengan presentase terendah bagi UIN Alaudin
karena hanya menerima 99 persen. Sementara itu, pada dua tahun yang sama,
pemerintah daerah hanya memberikan alokasi dana sebesar 1 persen. Sedangkan tahun
2008 ‐ 2009 UIN Alaudin menerima 100 persen dana dari kementerian pendidikan
Nasional.
Gambar 4.57, menjelaskan sumber pendanaan UIN Alaudin selama lima tahun
terakhir berdasar dana masyarakat. dana masyarakat terbesar yang diperoleh UIN
Alaudin pada lima tahun terakhir bersumber dari SPP/DPP. sedangkan sumber pendanaan
yang lain relative lebih kecil presentasenya.
Gambar 4.58 menjelaskan peta pengeluaran UIN Alaudin dalam lima tahun
terakhir. Pengeluaran terbesar terjadi pada tahun 2008 yang digunakan untuk gaji dan
tunjangan pegawai dengan presentase sebesar 63 persen. Menyusul setelah itu, bidang
yang presentasenya besar adalah kerjasama luar negeri yang diselenggarakan pada tahun
2009 dengan besar presentase 57 persen.
106
Gambar 4.58. Peta Pengeluaran UIN Alaudin
Tabel 4. 13 menggambarkan struktur kinerja UIN Alaudin, baik dari sisi kinerja
kebijakan maupun kinerja keuangan selama 3 tahun terakhir. Jika dilihat dari struktur
pendanaan UIN Alaudin, sumber dananya terbesar diperoleh dari pemerintah yaitu
sebesar 94,05 persen, dana masyarakat 5,95 persen, dan dana bantuan dan kerjasama
relative sangat kecil. Hal tersebut menggambarkan komposisi struktur pendanaannya
sendiri, belum merata.
Dan jika dilihat dari sisi alokasinya sendiri, dana‐dana UIN Alaudin sebesar 27,75
persen digunakan untuk biaya gaji & tunjangan, dan BOP (Biaya Operasional Pendidikan),
sisanya digunakan untuk kebutuhan‐kebutuhan lainnya misalkan pemeliharaan,
penelitian, pengabdian masyarakat, kerjasama dalam negeri, kerjasama luar negeri, dan
lain‐lain. UIN Alaudin lebih memfokuskan kerjasama dengan lembaga lain. Hal ini terbukti,
dengan alokasi dana UIN Alaudin yang digunakan untuk penelitian relatif cukup besar
yaitu sebesar 25,75 persen. Ini menggambarkan arah dan kebijakan UIN Alaudin
dilaksanakan dalam proses pendidikan tinggi masih dalam tahap pengembangan jaringan.
Selain itu, pembangunan infrastruktur UIN Alaudin selama 5 tahun ini, masih terus
dikembangkan. hal ini terbukti dari presentase anggaran sebesar 16,47persen. secara
umum, sesuai dengan arah dan kebijakan UIN Alaudin (RENSTRA – UIN Alaudin), Tingkat
Pencapaian Sasaran UIN Alaudin yang dilaksanakan selam 5 tahun terakhir sebesar 82,81
persen belum tercapai.
107
Tabel 4.13. Tabel Kinerja UIN Alaudin
108
f. UIN SUNAN GUNUNG DJATI (UIN SGD)
Gambar 4.59. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UIN SGD (Milyar Rupiah)
Laporan penerimaan dan pengeluaran UIN SGD (gambar 4.59) tercatat selama
kurun 4 tahun yakni antara tahun 2006 ‐ 2009 terus mengalami kenaikan dengan nilai
pengeluaran yang sangat minim. Surplus (penerimaan setelah dikurangi pengeluaran)
terendah adalah tahun 2006 yakni sebesar 47 milyar rupiah dan surplus tertinggi adalah
tahun 2009 yakni mencapai 283 milyar rupiah.
Gambar 4.60. Peta Pendanaan UIN SGD
109
Gambar 4.61. Peta Pendanaan UIN SGD (Persen)
Pendanaan (gambar 4.60 dan 4.61) tersebut seperti dijelaskan di atas berasal dari
beberapa sektor, yang paling signifikan adalah dari sektor pemerintah, yakni dana
terbesar tahun 2009 mencapai 329 milyar rupiah dan terkecil 77 milyar rupiah. Adapun
dana lain yang menjadi pemasok UIN SGD adalah dana masyarakat, namun dengan nilai
yang tidak terlalu signifikan yakni berada di kisaran 12 milyar rupiah – 18 milyar rupiah.
Gambar 4.62. Peta Pengeluaran UIN SGD
110
Pengeluaran terbesar UIN SGD (gambar 4.62) adalah untuk belanja gaji dan
tunjangan pegawai yakni mencapai di atas 75 persen sedangkan untuk biaya lainnya
relatif kecil yakni di bawah 20 persen dengan alokasi untuk pembangunan, BOP dan
pengabdian masyarakat.
Tabel 4.14. Kinerja UIN SGD
111
Berdasar tabel 4.14, struktur kinerja UIN SGD, baik dari sisi kinerja kebijakan
maupun kinerja keuangan selama 4 tahun terakhir sangat stabil. Jika dilihat dari struktur
pendanaan, sumber dana terbesar yang diperoleh UIN SGD berasal dari Pemerintah yaitu
sebesar 90,38 persen, dan dana masyarakat sebesar 9,62 persen, sedangkan untuk
pendanaan dari sektor bantuan dan kerjasama relative tidak ada.
Sumber dana tersebut dialokasikan untuk gaji dan tunjangan pegawai sebesar
88,76 persen, sedangkan untuk dana pemeliharaan, penelitian, pengabdian masyarakat,
kerjasama dalam negeri, kerjasama luar negeri, dan lain‐lain masih berada di bawah 5
persen. Secara umum, kinerja UIN SGD dari kebijakan pendanaan dan kinerja berkorelasi
positif, yakni dengan capaian realisasi kinerja mencapai 75,79 persen, artinya UIN SGD
masih mampu merealisasikan rancangan atau perencanaan yang telah tersusun
sebelumnya.
g. UIN KALIJAGA
Gambar 4.63. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UIN Kalijaga (Milyar Rupiah)
Berdasarkan laporan keuangan UIN Kalijaga (gambar 4.63), penerimaan dan
pengeluaran pendanaan UIN Kalijaga selama empat tahun, dari 2006 hingga 2009,
mengalami fluktuasi. Surplus terbesar dihasilkan pada tahun 2006, kurang lebih 162 milyar
rupiah. Sedangkan surplus terendah, dihasilkan pada tahun 2007 yaitu sebesar 53 milyar
112
rupiah. Sementara itu, pada tahun 2009 UIN Kalijaga mengalami kerugian (pengeluaran
lebih besar daripada pemasukan) sebesar 27 milyar rupiah.
Gambar 4.64. Peta Pendanaan UIN Kalijaga
Berdasarkan peta pendanaan diatas (gambar 4.64), dapat dipahami bahwa
sumber terbesar UIN Kalijaga berasal dari pemerintah. Pada tahun 2006, dana yang
diterima UIN Kalijaga dari pemerintah sebesar 286 milyar rupiah. Hal ini menunjukan
bahwa dalam 4 tahun terakhir, tahun 2006 merupakan tahun terbesar dalam penerimaan
dana bagi UIN Kalijaga. Sedangkan tahun 2008 dana yang diterima UIN kalijaga dari
pemerintah, sebesar 74 milyar rupiah.
Gambar 4.65. Peta Pendanaan UIN Kalijaga (Persen)
113
Gambar 4.65 menjelaskan bahwa sumber dana pemerintah untuk UIN Kalijaga
sebagian besar berasal dari Kementerian Pendidikan Nasional. Pada tahun 2006 UIN
Kalijaga mendapatkan bantuan dari kementrian pendidikan nasional sebesar 286 milyar
rupiah. Sedangkan tahun 2008 UIN Kalijaga menerima dana dari kementerian pendidikan
Nasional sebesar 74 milyar rupiah.
Gambar 4.66. Peta Pendanaan UIN Kalijaga dari Masyarakat
Gambar 4.67. Peta Pendanaan UIN Kalijaga dari Bantuan dan Kerjasama
114
Gambar 4.67 menjelaskan peta pedanaan UIN kalijaga berdasar bantuan dan
kerjasama. Pada tahun 2008 UIN Kalijaga mendapatkan pendanaan dari pemerintah
dengan presentase 80 persen. Sedangkan pada tahun 2007, UIN Kalijaga nmendapatkan
pendanaan dari dunia usaha sebesar 10 persen.
Gambar 4.68. Peta Pengeluaran UIN Kalijaga
Gambar 4.68 menjelaskan peta pengeluaran UIN Kalijaga dalam empat tahun
terakhir. Pengeluaran terbesar terjadi pada tahun 2007 dan 2009 yang digunakan untuk
biaya operasional dan kerjasana internasional pegawai dengan presentase sebesar 47
persen, menyusul setelah itu, bidang yang presentasenya besar adalah gaji dan tunjangan
pegawai yang diselenggarakan pada tahun 2009 dengan besar presentase 30 persen.
Berdasar tabel 4.15, struktur kinerja UIN Kalijaga, baik dari sisi kinerja kebijakan
maupun kinerja keuangan selama 4 tahun terakhir sangat stabil. Jika dilihat dari struktur
pendanaan, sumber dana terbesar yang diperoleh UIN Kalijaga berasal dari Pemerintah
yaitu sebesar 81,81 persen, dan dana masyarakat sebesar 11,25 persen, dan pendanaan
dari sektor bantuan dan kerjasama mendapatkan pendanaan sebesar 6,93 persen.
Sumber dana tersebut dialokasikan untuk gaji dan tunjangan pegawai serta BOP
sebesar 61,66 persen, sedangkan untuk dana pemeliharaan, penelitian, pengabdian
masyarakat, kerjasama dalam negeri, dan lain‐lain masih berada di bawah 5 persen.
Terdapat poin yang menarik dari dari matriks tersebut, yakni pengeluaran untuk alokasi
115
kerjasama luar negeri relative besar yakni 28,83 persen hal ini menunjukan bahwa UIN
Kalijaga sering melakukan kerjasama dengan luar negeri baik dalam bentuk kerjasama
fisik maupun kerjasama penelitian dan pengembangan.
Tabel 4.15. Kinerja UIN Kalijaga
Secara umum, kinerja UIN Kalijaga dari kebijakan pendanaan dan kinerja
berkorelasi positif, yakni dengan capaian realisasi kinerja mencapai 92,11 persen artinya
UIN Kalijaga masih mampu merealisasikan rancangan atau perencanaan yang telah
tersusun sebelumnya.
116
h. UIN SYARIF HIDAYATULLAH (UIN JAKARTA)
Gambar 4.69. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UIN Jakarta
Berdasarkan laporan keuangan UIN Jakarta (gambar 4.69), penerimaan dan pengeluaran
pendanaan UIN Jakarta selama lima tahun, dari 2006 hingga 2009, mengalami fluktuasi.
Surplus terbesar dihasilkan pada tahun 2009, kurang lebih 21 milyar rupiah. Sementara itu,
pada tahun 2008 UIN Jakarta mengalami kerugian (pengeluaran lebih besar daripada
pemasukan) sebesar 33 milyar rupiah.
Gambar 4.70. Peta Pendanaan UIN Jakarta
117
Gambar 4.71. Peta Pendanaan UIN Jakarta (Persen)
Gambar 4.72. Peta Pengeluaran UIN Jakarta
118
Gambar 4.70, 4.71 dan 4.72 diatas menjelaskan peta pengeluaran UIN Jakarta
dalam empat tahun terakhir. pengeluaran terbesar terjadi pada tahun 2007 yang
digunakan untuk gaji dan tunjangan pegawai dengan presentase sebesar 48 persen,
menyusul setelah itu, masih dalam keperluan yang sama, gaji dan tunjangan pegawai
pada tahun 2006 adalah bidang yang presentasenya besar 42 persen.
Berdasar tabel 4.16, struktur kinerja UIN Jakarta, baik dari sisi kinerja kebijakan
maupun kinerja keuangan selama 4 tahun terakhir sangat stabil. Jika dilihat dari struktur
pendanaan, sumber dana terbesar yang diperoleh UIN Jakarta berasal dari Pemerintah
yaitu sebesar 58,12 persen, dan dana masyarakat sebesar 41,88 persen, sedangkan untuk
pendanaan dari sektor bantuan dan kerjasama tidak mendapatkan pendanaan. Sumber
dana tersebut dialokasikan untuk gaji dan tunjangan pegawai serta BOP sebesar 68,08
persen, sedangkan untuk dana pemeliharaan, penelitian, pengabdian masyarakat,
kerjasama dalam negeri, kerjasama luar negeri, dan lain‐lain masih berada di bawah 5
persen. Terdapat poin yang menarik dari dari tabel tersebut, yakni pengeluaran untuk
alokasi pembangunan yang relatif besar yakni 25,28 persen hal ini menunjukan bahwa
selama 5 tahun terakhir UIN Jakarta sedang melakukan pembangunan fisik gedung baru.
Secara umum, kinerja UIN Jakarta dari kebijakan pendanaan dan kinerja
berkorelasi positif, yakni dengan capaian realisasi kinerja mencapai 96,96 persen artinya
UIN Jakarta masih mampu merealisasikan rancangan atau perencanaan yang telah
tersusun sebelumnya.
119
Tabel 4.16. Kinerja UIN Jakarta
120
4.2.3. Non BHMN‐Non BLU a. Universitas Negeri Makasar (UN Makasar)
Gambar 4.73. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UN Makasar (Milyar Rupiah)
Laporan keuangan UN Makasar (gambar 4.73), penerimaan dan pengeluaran
pendanaan UN Makasar selama 4 tahun, dari 2006 hingga 2009, mengalami surplus
(penerimaan lebih besar dari pengeluaran). Surplus terbesar dihasilkan pada tahun 2009
dan 2008 yakni, kurang lebih 63 milyar rupiah. Sedangkan surplus terendah, dihasilkan
pada tahun 2006 dan 2009 yaitu sebesar 26 milyar rupiah.
Gambar 4.74. Peta Pendanaan UN Makasar
121
Gambar 4.75. Peta Pendanaan UN Makasar
Berdasarkan gambar 4.74 dan 4.75 di atas, selama 4 tahun 2006 hingga 2009
terjadi fluktuasi dalam struktur penerimaan dana. Pada tahun 2009, dana yang diterima
UN Makasar dari pemerintah (gambar 4.75), memiliki dana penerimaan terbesar selama 4
tahun terakhir yaitu sebesar 198 milyar rupiah. Dan jika dilihat secara keseluruhan, range
dana UN Makasar dari pemerintah, diluar dana masyarakan dan dana bantuan dan
kerjasama selama 4 tahun terakhir, seluruh dana pemerintah yang diterima UN Makasar
berasal dari Kementerian Diknas, sedangkan dana dari pemerintah dari sektor
kementerian lain dan pemerintah daerah tidak pernah mendapatkan dana.
Gambar 4.76. Peta Pendanaan UN Makasar dari Pemerintah
122
Gambar 4.77. Peta Pendanaan UN Makasar dari Masyarakat
Dan range dana UN Makasar yang diperoleh dari dana masyarakat, yaitu yang
terbesar berasal dari SPP/DPP antara 93,04 persen – 95,22 persen yakni pada tahun 2007‐
2009. Dan dana masyarakat (gambar 4.77) dari penerimaan mahasiswa baru relative kecil
yakni hanya pada tahun 2007 ‐ 2009 yakni berada di bawah 10 persen. Dan tahun 2007
terdapat pendanaan dari sektor lain‐lain (wisuda) yang relative sangat kecil.
Gambar 4.78. Peta Pengeluaran UN Makasar
Dengan melihat peta pengeluaran UN Makasar (gambar 4.78), dapat dilihat
bahwa lebih dari 50 persen dana UN Makasar digunakan untuk gaji dan tunjangan
pegawai. Sedangkan dana untuk BOP lebih dari 20 persen disusul dengan biaya
123
pembangunan di atas 10 persen. Untuk lebih jelasnya bagaimana perkembangan kinerja
UN Makasar selama 4 tahun dapat dilihat dari matrik kerja berikut ini.
Tabel 4.17. Kinerja UN Makasar
Berdasar tabel 4.17 tersebut menggambarkan struktur kinerja UN Makasar, baik
dari sisi kinerja kebijakan maupun kinerja keuangan selama 4 tahun terakhir. Jika dilihat
dari struktur pendanaan, sumber dana terbesar diperoleh dari Dana Pemerintah yaitu
124
sebesar 78,10 persen, dana masyarakat 21,90 persen, sedangkan pendanaan dari dana
bantuan dan kerjasama relative sangat kecil. Alokasi pengeluaran UN Makasar terbesar
dikeluarkan untuk biaya Gaji & tujangan, dan BOP (Biaya Operasional Pendidikan) yakni
sebesar 80,17 persen, sisanya digunakan untuk kebutuhan‐kebutuhan lainnya misalkan,
kerjasama dan lain‐lain. Dana terbesar lainnya yang cukup besar adalah untuk
pembangunan yakni sebesar 13,73 persen. ini menggambarkan bahwa terdapat beberapa
kali pembangunan fisik meskipun tidak terlalu besar. Secara umum, arah dan kebijakan
UN Makasar sesuai dengan Tingkat Pencapaian Sasaran UN Makasar yang dilaksanakan
selama 4 tahun terakhir relatif sukses yaitu sebesar 93,95 persen. Dan ini menunjukkan
bahwa semua perencanaan UN Makasar selama 4 tahun telah terpenuhi.
b. Institute Agama Islam Negeri Antasari (IAIN Antasari)
Gambar 4.79. Peta Penerimaan dan Pengeluaran IAIN Antasari (Milyar Rupiah)
Laporan penerimaan dan pengeluaran yang dihasilkan oleh IAIN Antasari (gambar
4.79) mengalami pluktuasi namun tingkat penerimaan masih berada di atas pengeluaran,
meskipun penerimaan relatif kecil berada di atas pengeluaran. Dari gambar tersebut
terlihat bahwa surplus (penerimaan setelah dikurangi pengeluaran) untuk IAIN Antasari,
surplus terendah terdapat pada tahun 2008 yakni sebesar 1 milyar.
125
Gambar 4.80. Peta Pendanaan IAIN Antasari
Peta pendanaan IAIN Antasari dari tahun 2006 ‐ 2009 (gambar 4.80) hanya berasal
dari pemerintah dan masyarakat. Pendanaan terbesar berasal dari dana pemerintah yakni
mencapai nilai rata‐rata 90 persen, dan dana tersebut seluruhnya berasal dari
Kementerian Agama. Sedangkan untuk kementerian lain dan pemerintah daerah tidak
pernah memberikan bantuan dana.
Pendanaan lainnya berasal dari dana masyarakat (gambar 4.81) yakni mencapai
angka antara 3 persen – 11 persen, adapun sumber dana terbesar tersebut berasal dari
dana SPP/DPP yakni kisaran antara 88 persen‐ 96 persen sedangkan untuk pendanaan
dari penerimaan mahasiswa baru dan lain‐lain berada di bawah kisaran 10 persen.
Gambar 4.81. Peta Pendanaan IAIN Antasari dari Masyarakat
126
Gambar 4.82. Peta Pengeluaran IAIN Antasari
Peta pengeluaran IAIN Antasari (gambar 4.82) diperuntukan bagi beberapa sektor
yakni gaji dan tunjangan pegawai, belanja barang, belanja sosial dan belanja modal.
Pengeluaran terbesar adalah untuk gaji dan tunjangan dengan range antara 47 persen ‐ 71
persen, untuk belanja modal berada pada range 6 persen ‐ 35 persen, belanja barang
antara 9 persen ‐19 persen, dan terakhir belanja sosial antara 5 persen ‐ 16 persen. Dari
data tersebut terlihat bahwa perhatian IAIN Antasari cukup besar kepada alokasi belanja
modal, yang diantaranya juga untuk operasional pendidikan. Untuk mengetahui tingkat
keberhasilan pencapaian IAIN Antasari bisa dilihat dari table 4.18 berikut ini.
Kinerja IAIN Antasari berdasarkan kinerja bila dilihat dari tiga sektor yakni
pendanaan yang meliputi sumber dana dan alokasi penggunaan dana serta implikasi
terhadap tingkat pencapaian kerja bisa dilihat bahwa terjadi korelasi positif yakni tiglkat
ketercapaian kerja sangat memuaskan yakni sebesar 96,52 persen. Data tersebut bisa
tercapai karena dukungan dari sumber dana dan alokasi pengeluaran yang tepat guna.
Sumber dana terbesar yang masuk kepada IAIN Antasari adalah dari pemerintah
yakni sebesar 92,60 persen dan sisanya berasal dari dana masyarakat yakni sebesar 8
persen, sedangkan dana yang berasal dari bantuan dan kerjasama tidak mendapatkan,
artinya adalah dana yang mampu menopang IAIN Antasari seluruhnya berasal dari
pemerintah.
127
Dari sumber dana tersebut alokasi yang paling besar adalah untuk gaji dan
tunjangan pegawai sebesar 57,18 persen, dilanjutkan oleh belanja modal dan belanja
sosial sebesar 19,54 persen dan sisanya adalah untuk belanja barang sebesar 14,11 persen.
Secara kasat mata terlihat bahwa terdapat alokasi dana yang cukup besar untuk belanja
sosial, artinya secara kelembagaan IAIN Antasari menyadari akan pentingnya kualitas dan
sosialisasi lembaga melalui belanja sosial.
Tabel 4.18. Kinerja IAIN Antasari
128
c. Universitas Pattimura (UNPATI)
Gambar 4.83. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UNPATI (Milyar Rupiah)
Laporan penerimaan dan pengeluaran UNPATI (gambar 4.83) 4 tahun terakhir,
terhitung tahun 2006 ‐ 2009 mengalami pluktuasi, penerimaan terrendah setelah
dikurangi pengeluaran adalah tahun 2008 yakni sebesar 7,8 milyar rupiah.
Peta pendanaan UNPATI (gambar 4.84) terhitung tahun 2006 ‐ 2009 berasal dari
tiga alokasi yakni pemerintah, dana masyarakat, dan bantuan dan kerjasama. Terhitung 4
tahun terakhir, penerimaan dari sektor pemerintah merupakan penerimaan terbesar
yakni dari 94 milyar rupiah sampai dengan 191 milyar rupiah. Adapun pendanaan tersebut
seluruhnya berasal dari Kementerian Pendidikan Nasional, sedangkan kementerian lain
dan Pemerintah Daerah tidak memberikan pendanaan.
Gambar 4.84. Peta Pendanaan UNPATI
129
Pendanaan lainnya adalah dari dana masyarakat dengan range 6,255 milyar rupiah
‐ 24.794 milyar rupiah. Data penerimaan dana masyarakat tersebut terbagi kepada tiga
sektor yakni penerimaan mahasiswa baru, SPP/DPP dan lain‐lain, terhitung 4 tahun
terakhir pendanaan terbesar berasal dari SPP/DPP yakni hampir 100 persen dan
mengingat ada pemasukan dari sektor penerimaan mahasiswa baru sebesar 2,60 persen.
Peta pengeluaran UNPATI (gambar 4.85) 4 tahun terakhir seperti terlihat pada
gambar di atas, paling besar digunakan untuk gaji dan tunjangan pegawai range 32 persen
– 70 persen. Dana pengeluaran terbesar lainnya relatif sama yakni berada di kisaran 2
persen ‐ 28 persen untuk biaya operasional, pembangunan, penelitian, dan lain‐lain.
Gambar 4.85. Peta Pengeluaran UNPATI
Tabel 4.19 memperlihatkan bahwa arah kebijakan UNPATI terbagi kepada dua
bagian besar yakni: untuk alokasi pendanaan dan kebijakan. Untuk alokasi pendanaan,
sumber dana yang dimiliki oleh UNPATI berasal dari pemerintah, dana masyarakat, dan
bantuan dan kerjasama, namun sumber dana terbesar berasal dari pemerintah yakni
sebesar 85,17 persen, dana masyarakat sebesar 10,66 persen, dan terakhir dana bantuan
dan kerjasama sebesar 5,56 persen.
130
Tabel 4.19. Kinerja UNPATI
131
Pendanaan tersebut dialokasikan untuk beberapa sektor seperti gaji dan
tunjangan pegawai, biaya operasional dan pemeliharaan, penelitian, pengabdian
masyarakat, pembangunan, kerjasama dalam negeri, kerjasama luar negeri, lain‐lain.
namun alokasi dana terbesar adalah untuk gaji pegawai dan pembangunan mencapai
44,07 persen, biaya operasional sebesar 21,35 persen, biaya pembangunan sebesar 15,64
persen, serta biaya lain‐lain mencapai 14,69 persen. Sedangkan dana untuk sektor yang
lainnya di bawah 5 persen. Dari lingkaran kerja untuk sumber dan pengalokasian dana
tersebut, berdampak kepada tingkat pencapaian UNPATI yang mencapai angka tertinggi
yakni 81,80 persen, hal ini membuktikan bahwa pengalokasian dana terprogram secara
baik, sehingga dapat mencapai tingkat pencapaian tertinggi.
d. Universitas Negeri Medan (UNIMED)
Gambar 4.86. Peta Penerimaan dan Pengeluaran UNIMED (Milyar Rupiah)
Laporan keuangan penerimaan dan pengeluaran UNIMED gambar 4.86) dari tahun
2006‐2009, surplus (penerimaan UNIMED terus meningkat dari tahun ke tahun).
Peningkatan terbesar dana pemerintah untuk UNIMED selama tahun 2006 – 2009 yaitu
pada tahun 2009 sebesar 54 milyar rupiah dibandingkan tahun 2008.
132
Gambar 4.87. Peta Pendanaan UNIMED
Gambar 4.88. Peta Pendanaan UNIMED (Persen)
Seperti terlihat (gambar 4.87 dan 4.88) di atas pendanaan USU, dana pemerintah
berasal dari Kementerian Diknas, kementerian lain, dan pemerintah daerah. Sumber
pendanaan dari pemerintah seluruhnya berasal dari kementerian Diknas, yakni dengan
peningkatan tiap tahunnya anatara dari 122 milyar rupiah – 193 milyar rupiah. Sedangkan
133
untuk kementerian lain dan pemerintah daerah relative sangat rendah dalam memberikan
pendanaan untuk UNIMED.
Secara umum, Pendanaan USU berasal dari pemerintah dan masyarakat. Dana
masyarakat menempati posisi tertinggi dalam pendanaan USU. Pendanaan berasal dari
dana masyarakat (gambar 4.87) menempati posisi kedua yakni antara 8 milyar rupiah ‐ 14
milyar rupiah. Pendanaan tersebut berasal dari SPP/DPP, terbesar pada tahun 2006‐2007
yakni sebesar 42 persen, kemudian menurun di tahun 2008 ‐ 2009 menjadi 30 persen,
kemudian sumber dana dari orang tua mencapai 30 persen – 43 persen, dan terakhir dana
lain‐lain mencapai 30 persen – 43 persen.
Alokasi pendanaan berdasarkan bantuan dan kerjasama (gambar 4. 87) sebesar antara
2 milyar rupiah sampai 10 milyar rupiah, bantuan dana tersebut berasal dari kerjasama
dengan pemerintah khususnya (beasiswa dikti) yakni sebesar 95 persen (gambar 4.90).
Sedangkan kejasama lain berasal dari pemerintah dalam negeri yakni sebesar 5 persen.
Gambar 4.89. Peta Pendanaan UNIMED dari Masyarakat
Gambar 4.90. Peta Pendanaan UNIMED dari Bantuan dan Kerjasama
134
Gambar 4.91. Peta Pengeluaran UNIMED
Pengeluaran terbesar untuk UNIMED (gambar 4.91) diperuntukan pada gaji dan
tunjangan pegawai yakni hampir mencapai 90 persen, dan untuk posko lain seperti biaya
operasional dan pemeliharaan di bawah 10 persen.
135
Tabel 4.20. Kinerja UNIMED
Tabel 4.20 menunjukan bahwa alokasi pendaan untuk UNIMED didominasi oleh
pemerintah yakni sebesar 89,95 persen sedangkan dana lainnya seperti dana masyarakat
dan bantuan dan kerjasama hanya 10 persen. Jadi dana yang diperoleh UNIMED hampir
seluruhnya berasal dari dana pemerintah. Pengeluaran UNIMED terbesar dialokasikan
untuk gaji pegawai yakni sebesar 88,28 persen sedangkan untuk sektor seperti BOP dan
pemeliharaan di bawah 10 persen. Penerimaan pendanaan dan pengeluarannya, ternyata
berimbas kepada tingkat pencapaian yang telah direncanakan oleh UNIMED, seperti
136
terlihat di atas tingkat pencapaian UNIMED mencapai 94.80persen hal ini termasuk
sangat besar dan berhasil.
e. Institute Agama Islam Negeri Medan (IAIN Medan)
Gambar 4.92. Peta Penerimaan dan Pengeluaran IAIN Medan (Milyar Rupiah)
Laporan penerimaan dan pengeluaran IAIN Medan (gambar 4.92) tahun 2006 ‐
2009 berada di bawah 90 milyar rupiah per tahun. Dengan surplus (penerimaan dan
pengeluaran terus meningkat), penerimaan terendah sebesar 3 milyar rupiah pada tahun
2006 dan tertinggi sebesar 12 milyar rupiah pada tahun 2010.
Pendanaan terbesar diterima dari pemerintah (gambar 4.94 dan gambar 4.93),
selama 4 tahun dana yang diperoleh IAIN Medan berada dikisaran 38 milyar rupiah sampai
72 milyar rupiah. Dengan nilai tertinggi sebesar 72 milyar rupiah dengan persentase antara
80,89 persen – 95,22 persen. Dana dari alokasi pemerintah berasal dari dua yakni
kementerian departemen agama dan pemerintah daerah. Dana terbesar yang pernah
dikeluarkan kementerian Agama adalah 67 milyar rupiah dan dan dana dari pemerintah
daerah terbesar mencapai Rp. 10 milyar. Sedangkan dari dana masyarakat (gambar 4.95)
selama 4 tahun terakhir, berada di kisaran 2 milyar rupiah ‐ 27 milyar rupiah, dengan range
persentase antara 4,98 persen – 19,11 persen. Hampir seluruhnya dana dari sektor dana
masyarakat yakni 100 persen berasal dari SPP/DPP kecuali pada tahun 2009 terdapat
sektor lain‐lain yang menyumbang sebesar 16 persen dan sektor penerimaan mahasiswa
baru sebesar 9 persen.
137
Gambar 4.93. Peta Pendanaan IAIN Medan
Gambar 4.94. Peta Pendanaan IAIN Medan dari Pemerintah
Gambar 4.95. Peta Pendanaan IAIN Medan dari Masyarakat
138
Gambar 4.96. Peta Pengeluaran IAIN Medan
Peta pengeluaran IAIN Medan (gambar 4.96) terbesar untuk gaji pegawai dan lain‐
lain yakni mencapai 50 persenan, sedangkan untuk sektor lainnya berada jauh di bawah 10
persen kecuali pembangunan yang pernah mencapai 13 persen.
Tabel 4.21 menunjukan bahwa alokasi pendaan untuk IAIN Medan hampir
ddominasi oleh pemerintah yakni sebesar 89,27 persen serta dana dari masyarakat
sebesar 10,73 persen sedangkan untuk bantuan dan kejasama dengan lembaga baik
pemerintah nasional maupun internasional. Dana yang diperoleh IAIN Medan hampir
seluruhnya berasal dari dana pemerintah.
Pengeluaran IAIN Medan terbesar dialokasikan untuk gaji pegawai dan sektor lain‐
lain yakni mencapai 83,70 persen, sedangkan untuk pendanaan lainnya hanya mencapai di
bawah 10persen. Yang menarik adalah alokasi pendanaan untuk lain‐lain, mengingat
alokasi tersebut tidak diketahui, untuk apa dan bagaimana proses keluarnya. Penerimaan
pendanaan dan pengeluarannya, ternyata berimbas kepada tingkat pencapaian yang
telah direncanakan oleh IAIN Medan, seperti terlihat di atas tingkat pencapaian IAIN
Medan mencapai 86,79 persen hal ini termasuk sangat besar dan berhasil.
139
Tabel 4.21. Kinerja IAIN Medan
f. Institute Agama Islam Negeri Ambon (IAIN Ambon)
Gambar 4.97. Peta Penerimaan dan Pengeluaran IAIN Ambon (Milyar Rupiah)
140
Laporan keuangan penerimaan dan pengeluaran IAIN Ambon (gambar 4.97) dari
2006‐2009, surplus penerimaan dan pengeluaran hampir di semua tahun berada di
bawah 50 milyar rupiah. Surplus penerimaan setelah dikurangi pengeluaran terendah
pada tahun 2006 yakni 2 milyar rupiah dan tertinggi tahun 2010 42 milyar rupiah.
Gambar 4.98. Peta Pendanaan IAIN Ambon
Gambar 4.99. Peta Pendanaan IAIN Ambon (Persen)
141
Sumber dana yang di dapat IAIN Ambon (gambar 4.98 dan 4.99) dari tahun 2006 ‐
2009 , sebagian berasal dari pemerintah seperti terlihat dana yang diterima IAIN Ambon
dari pemerintah seluruhnya berasal dari kementerian Departemen Agama dengan range
adalah antara 2 milyar rupiah – 38 milyar rupiah atau dengan persentase antara 80,09
persen – 90,28 persen.
Sumber dana lain adalah dari dana masyarakat (gambar 4.100) yakni 2 milyar rupiah ‐ 4
milyar rupiah atau dengan persentase antara 9,72 persen – 19,91persen. Sumber dana dari
masyarakat terbesar diperoleh dari SPP/DPP yakni sebesar 95 persen, dan penerimaan
mahasiswa baru 5 persen.
Gambar 4.100. Peta Pendanaan IAIN Ambon dari Masyarakat
142
Gambar 4.101. Peta Pengeluaran IAIN Ambon
Untuk pengeluaran rutin IAIN Ambon (gambar 4.101) yakni gaji dan tunjangan
pegawai, biaya operasional dan pemeliharaan, penelitian, pengabdian masyarakat,
pembangunan, kerjasama dalam negeri, kerjasama luar negeri, lain‐lain.
Sektor pengeluaran terbesar untuk gaji dan tunjangan pegawai sebesar 32 persen ‐
59 persen, BOP sebesar antara 4 persen ‐ 24 persen, dan pembangunan 18 persen ‐ 32
persen. Sedangkan untuk alokasi lain masih berada di bawah 5 persen.
Tabel 4.22 memeperlihatkan bahwa arah kebijakan IAIN Ambon terbagi kepada
dua bagian besar yakni untuk alokasi pendanaan pendidikan tinggi dan kebijakan
pendidikan tinggi. Untuk alokasi pendanaan, sumber dana yang dimiliki oleh IAIN Ambon
berasal dari pemerintah dan dana masyarakat, namun sumber dana terbesar berasal dari
pemerintah yakni sebesar 84,22 persen dan dana masyarakat sebesar 15,78 persen.
Pendanaan tersebut dialokasikan untuk beberapa sektor seperti gaji dan
tunjangan pegawai, biaya operasional dan pemeliharaan, penelitian, pengabdian
masyarakat, pembangunan, kerjasama dalam negeri, kerjasama luar negeri, lain‐lain.
namun alokasi dana terbesar adalah untuk gaji pegawai dan pembangunan mencapai
86,81 persen, artinya hampir semua alokasi dana terpusat untuk gaji dan pembangunan
fisik. Sedangkan untuk alokasi lain masih berada di bawah kisaran 20 persen.
143
Tabel 4.22. Kinerja IAIN Ambon
144
Dari lingkaran kerja untuk sumber dan pengalokasian dana tersebut, berdampak
kepada tingkat pencapaian IAIN Ambon yang mencapai angka tertinggi yakni 93,64
persen, hal ini membuktikan bahwa pengalokasian dana terprogram secara baik,
sehingga dapat mencapai tingkat pencapaian tertinggi.
145
BAB V POTRET DAN HUBUNGAN KEBIJAKAN DAN PELAKSANAAN
PENDANAAN PENDIDIKAN TINGGI
5.1. Potret Pendanaan Pendidikan Tinggi
5.1.1. PT Badan Hukum Milik Negara (BHMN)
Semangat PT BHMN adalah untuk meningkatkan otonomi PT, termasuk dalam
pengelolaan pendanaannya sekalipun subsidi dana pemerintah tetap signifikan. Jika
dipetakan dalam tiga sumber pendanaan PT, yaitu: pemerintah, masyarakat serta bantuan
dan kerjasama. Dari ketika sumber pendanaan tersebut, selama empat tahun terakhir
penerimaan pendanaan PT didominasi oleh kontribusi dana masyarakat yang mencapai
7,43 triliun rupiah atau sebesar 50 persen dari total penerimaan enam PT BHMN tersebut
sebagaimana terlihat dalam Gambar 5.1. Dana masyarakat tersebut sebagian besar
diperoleh dari Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) dan Dana Penyelenggaraan
Pendidikan (DPP).
Besarnya kontribusi dana masyarakat patut disyukuri sebagai wujud tingginya
partisipasi masyarakat dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan tinggi namun di
sisi lain, besarnya kontribusi tersebut juga berhubungan dengan besarnya beban yang
harus ditanggung masyarakat yang anaknya belajar di PT BHMN. Di sinilah perlunya
regulasi yang tepat dan terukur sehingga partisipasi yang terjadi benar‐benar sesuai
dengan kemampuan masyarakat dan tetap memperhatikan adanya masyarakat yang
kurang mampu.
Di sisi lain, kontribusi pemerintah dalam pendanaan PT BHMN secara nominal
masih relatif tinggi sehingga selama kurun waktu empat tahun terakhir untuk enam PT
BHMN saja mencapai 4,38 triliun rupiah. Sekalipun demikian, besaran nominal tersebut
tidal paralel dengan proporsi total pendapatan perguruan tinggi sehingga kontribusi dana
pemerintah hanya berkisar antara 30 persen dari total penerimaan pendapatan enam PT
BHMN.
Sedangkan dana Pendidikan Tinggi yang bersumber dari bantuan dan kerjasama,
relatif rendah yaitu sebesar kurang lebih 20 persen dari dana Pendidikan Tinggi BHMN
atau 2,93 triliun rupiah selama 4 tahun terakhir. Hal tersebut menggambarkan persepsi
publik (BUMN, BUMD, Industri serta luar negeri) terhadap PT BHMN masih rendah.
146
Gambar 5.1. Peta Pendanaan PT BHMN
Selanjutnya, ditilik dari aspek pengeluaran, selama empat tahun terakhir struktur
pengeluaran PT BHMN mengalami kecenderungan sebagaimana terlihat dalam Gambar
5.2. Dilihat dari aspek pengeluaran yang terbesar dialokasikan untuk membayar gaji dan
tunjangan karyawan PT BHMN yang mencapai 4,1 triliun rupiah atau sekitar 28 persen dari
total pengeluaraan PT BHMN. Pengeluaran tersebar selanjutnya adalah biaya operasional
pendidikan (BOP) dan penelitian dan pengabdian masyarakat (P2M) yang masing‐masing
mencapai sekitar 26 persen dan 22 persen. Prioritas pengeluaran untuk gaji dan tunjangan
serta biaya operasional pendidikan tersebut ditujukan untuk meningkatkan kualitas PT
BHMN yang secara faktual nampak signifikan sebagaimana pencapaian beberapa PT
BHMN masuk PT kelas dunia versi THES. Di samping itu, sekalipun pengeluaran untuk P2M
secara proporsional masih sekitar 22 persen namun angka tersebut cukup signifikan
dibanding dengan PT BLU dan PT NonBHMN‐NonBLU.
Upaya untuk meningkatkan kualitas PT dilakukan melalui pemilihan prioritas
sehingga alokasi pendanaannya tidak sama rata sehingga terjadi peningkatan kualitas PT
yang signifikan dan tetap memberikan alokasi yang sepadan untuk PT lainnya agar tidak
mengurangi dan mengganggu proses pembelajaran PT. Pilihan prioritas ini tentu saja
menjadikan PT BHMN untuk sementara waktu lebih fokus pada peningkatan BOP dan
P2M sehingga dalam batas tertentu upaya perbaikan dan pengembangan infrastruktur PT
BHMN sedikit lebih tertinggal. Kenyataan tersebut ditunjukkan dengan terbatasnya
Rp 4,38 Triliun Rp 2,93 Triliun
Rp 7,43 Triliun
147
alokasi untuk investasi/pembangunan yang hanya mencapai 5‐7 miliar rupiah atau sekira 5
persen selama kurun waktu empat tahun terakhir.
Gambar 5.2. Struktur Pengeluaran PT BHMN
Ada tujuh PT BHMN dan terpilih enam PT BHMN sehingga mampu
merepresentasikan perkembangan pendanaan PT BHMN secara keseluruhan dalam kurun
waktu empat tahun terakhir. Secara ilustratif, peta pendanaan tersebut dapat dilihat
dalam Gambar 5.3. di bawah ini.
Dengan melihat gambar 5.3. di atas nampak selama empat tahun terakhir,
Universitas Gadjah Mada (UGM) memiliki penerimaan terbesar yang mencapai Rp. 4.24
triliun, disusul oleh Universitas Indonesia (UI) sebesar Rp. 4.18 triliun. Ditilik dari sumber
dananya, UGM dan UI menerima dana pemerintah yang terbesar selama empat tahun
terakhir. Sekalipun demikian, jika ditilik dari komposisi pendanaannya, alokasi pemerintah
untuk UGM dan UI masing‐masing hanya mencapai 29 persen dan 18 persen dari total
penerimaan kedua PT BHMN tersebut.
Rp 4,1 triliun
Rp 0,23 triliun
Rp 3,14 triliun
Rp 3,72 triliun
Rp 0,7 triliun
Rp 0,57 triliun
Rp 0,01 triliun
Rp 1,94 triliun
148
Gambar 5.3. Peta Pendanaan PT BHMN
Adapun alokasi terkecil pemerintah untuk PT BHMN selama empat tahun terakhir
adalah Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), yaitu sebesar 490 milyar rupiah atau
sekitar 42 persen dari total penerimaan UPI. Dilihat dari besaran prosentase penerimaan
dari pemerintah, secara berurutan prosentase terbesar adalah untuk Institut Pertanian
Bogor (IPB), UPI dan Universitas Sumatera Utara (USU). Besarnya prosentase dana dari
pemerintah menunjukkan tingkat kontribusi pemerintah terhadap PT BHMN tersebut
sekaligus tingkat keterbatasan kemampuan PT BHMN tersebut dalam mencari
pendanaannya sendiri.
Selanjutnya, dilihat dari kemampuannya dalam menggalang dana masyarakat
selama empat tahun terakhir, UGM dan UI menduduki posisi tertinggi dengan besaran
mencapai masing‐masing sebesar 2,5 triliun rupiah(64 persen) dan 2,2 triliun rupiah(54
persen). Kemampuan penggalangan dana masyarakat di satu sisi merupakan keberhasilan
dalam meningkatkan pendanaan namun di sisi lain menunjukkan tingkat ketergantungan
PT BHMN terhadap pendanaan dari masyarakat yang sebagian besarnya dari mahasiswa.
Ditilik dari prosentasenya, PT BHMN yang mampu menggalang dana masyarakat terbesar
adalah UGM, USU dan UI, yaitu masing‐masing sebesar 64 persen, 58 persen dan 54
persen sekalipun secara nominalnya penerimaan USU dalam kurun waktu empat tahun
terakhir jauh di bawah UGM dan UI. Menariknya posisi UI yang terendah dalam menerima
alokasi dana pemerintah juga terkecil dalam kemampuannya menggalang dana
149
masyarakat, yaitu sebesar 519 milyar rupiah atau sekitar 43 persen dari total penerimaan
UPI selama 4 tahun terakhir.
Selanjutnya, PT BHMN yang mampu menggalang pendapatan dari penerimaan
dana bantuan dan kerja sama, secara nominal UI menduduki peringkat tertinggi yang
mencapai 1,15 triliun rupiah dan disusul ITB sebesar 789 miliar rupiah. Namun demikian,
secara proporsi, penerimaan dana bantuan dan kerja sama terbesar adalah ITB sebesar 39
persen dari total penerimaan ITB selama empat tahun terakhir dan disusul UI yang
mencapai 28 persen.
5.1.2. PT Badan Layanan Umum (BLU)
Pola dan kecenderungan umum pengelolaan pendanaan PT BLU memiliki struktur
pendanaan yang berbeda dengan pola pendanaan PT BHMN yang terlihat dari struktur
dan besaran kontribusi antara pemerintah, masyarakat dan bantuan‐kerjasama
sebagaimana terlihat dalam Gambar 5.4.
Gambar 5.4. Peta Pendanaan PT BLU
Gambar 5.4. memperlihatkan besarnya alokasi dana pemerintah baik secara
nominal maupun proporsional dibanding penerimaan dari masyarakat dan bantuan‐kerja
sama. Berdasar data di atas, selama empat tahun terakhir PT BLU yang terdiri dari PTN
dan PTAIN memperoleh penerimaan yang sangat besar dari dana pemerintah yang
Rp 5,21 triliun
Rp 140 milyar
Rp 3,34 triliun
150
mencapai 5,21 triliun rupiah atau sekira 60 persen dari total penerimaan PT BLU.
Sekalipun PT BLU didominasi oleh pendanaan pemerintah namun penerimaan nominal PT
BLU tersebut tetap di bawah PT BHMN. Hal ini tak dapat dilepaskan dari besarnya jumlah
mahasiswa PT BHMN dan bervariasinya program studi PT BHMN sehingga ada beberapa
program studi yang unit cost‐nya sangat mahal semisal Fakultas Kedokteran Umum dan
Kedokteran Gigi. Di samping itu, dengan rerata PT BHMN yang mapan dan besar sehingga
lebih mampu berkompetisi dalam memperoleh dana tambahan dari pemerintah.
Penerimaan dana masyarakat dalam PT BLU relatif lebih kecil dibanding dana yang
diperoleh dari pemerintah sehingga total dana masyarakat PT BLU selama kurun waktu
empat tahun hanya mencapai 3,34 triliun rupiah atau sebesar 38 persen dari total
penerimaan PT BLU. Beragamnya PT BLU berdampak pada kecilnya penerimaan dana
bantuan dan kerja sama yang hanya mencapai 140 miliar rupiah atau sekitar 2 persen dari
total penerimaan PT BLU. Kondisi ini menunjukkan bahwa secara umum PT BLU memiliki
keterbatasan dalam upaya menggalan dana bantuan dan kerja sama. Keterbatasan
kemampuan ini dapat dimaklumi karena kondisi PT BLU yang bervariasi dan sebagian
besar PTN yang tidak terlalu mapan seperti PT BHMN.
Dengan demikian, maka tingkat ketergantungan PT BLU pada dana pemerintah
masih sangat besar dan menjadi penyangga utama di samping dana masyarakat. Adapun
dana yang berasal dari bantuan dan kerjasama, hanya sebagai dana penunjang PT BLU.
Dilihat dari aspek pengeluaran, sebagaimana PT BHMN, sebagian besar
pengeluaran PT BLU diperuntukkan untuk gaji dan tunjangan serta biaya operasional
pendidikan sebagaimana terlihat dalam Gambar 5.5. di bawah ini.
Dengan melihat struktur pengeluaran di atas, maka terlihat dengan jelas bahwa PT
BLU mengalokasikan dana untuk berbagai kebutuhan yang berkaitan erat dengan proses
pembelajaran PT dan hanya sebagian kecil saja untuk P2M. Mengancik pada rincian
pengeluaran PT BLU, sebagian besar pengeluaran PT BLU yaitu sebesar 2,65 triliun
rupiah atau sekitar 47 persen dari total pengeluaran PT BLU digunakan untuk gaji dan
tunjangan. Selanjutnya, biaya opersaional pendidikan (BOP) mendapat alokasi terbesar
kedua, yaitu sebesar 1,06 triliun rupiah atau sekitar 19 persen dari total pengeluaran PT
BLU selama empat tahun terakhir.
151
Gambar 5.5. Pengeluaran PT BLU
Dengan segala keterbatasannya, PT BLU mengalokasikan dana untuk investasi dan
pembangunan sebesar 700 miliar rupiah atau sekitar 12 persen dari total pengeluaran.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa prioritas PT BLU berbeda dengan PT BHMN, di mana
PT BLU lebih pada infrastruktur dibanding penguatan SDM dan PT BHMN lebih pada
penguatan SDM dibanding investasi dan pembangunan. Perbedaan lain antara PT BHMN
dan PT BLU adalah terkait pengeluaran untuk penelitian dan pengembangan masyarakat
serta bantuan dan kerjasama yang relatif kecil dibanding PT BHMN.
5.1.3. PT NonBHMN‐NonBLU
Pendanaan Pendidikan Tinggi Konvesional terdiri dari beberapa Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) seluruh Indonesia. Dalam
penelitian ini, tidak semua PTN dan PTAIN yang masuk kategori PT NonBHMN‐NonBLU
disurvey. Beberapa PTN dan PTAIN yang secara geografis mewakili wilayah barat, wilayah
tengah, dan wilayah timur dijadikan sampel dalam penelitian ini.
Berdasarkan peta pendanaan di bawah ini (perhatikan gambar 5.6.), struktur
pendanaan PT NonBHMN‐NonBLU didominasi dana pemerintah yaitu kurang lebih
84persen atau 1.902 triliun rupiah, dari alokasi pendanaan PT NonBHMN‐NonBLU, selama
4 tahun terakhir. Sedangkan sumber dana masyarakat relatif rendah yaitu sebesar kurang
lebih 14persen atau sebesar 307 milyar rupiah, selama 4 tahun terakhir. Hal ini
Rp 370 milyar
Rp 180 milyar
Rp 500 milyar
Rp 1,06 triliun
Rp 2,65 triliun
Rp 70 milyar
Rp 700 milyar
Rp 160 milyar
152
menunjukkan bahwa dana pendidikan pendidikan tinggi yang dibebankan kepada
masyarakat relatif rendah.
Gambar 5.6. Peta Pendanaan PT Non BHMN‐Non BLU
Disisi lain, PT NonBHMN‐NonBLU kurang aktif dalam menjalin dan mencari dana
bantuan dan kerjasama dengan berbagai pihak, khususnya dengan dunia usaha dan dunia
industri. Hal ini dapat dilihat dari besaran dana bantuan dan kerjasama, yang diterima PT
NonBHMN‐NonBLU yaitu hanya 2persen atau sebesar 50 milyar rupiah selama 4 tahun
terakhir. Dan secara umum, sumber pendanaan PT NonBHMN‐NonBLU sangat
tergantung dari pemerintah, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Disisi lain, PT NonBHMN‐NonBLU kurang aktif dalam menjalin dan mencari dana
bantuan dan kerjasama dengan berbagai pihak, khususnya dengan dunia usaha dan dunia
industri. Hal ini dapat dilihat dari besaran dana bantuan dan kerjasama, yang diterima PT
NonBHMN‐NonBLU yaitu hanya 2persen atau sebesar 50 milyar rupiah selama 4 tahun
terakhir. Dan secara umum, sumber pendanaan PT NonBHMN‐NonBLU sangat
tergantung dari pemerintah, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Berdasarkan data yang diolah dan hasilnya terlihat pada gambar 5.7., menunjukan
peta pengeluaran PT NonBHMN‐NonBLU bahwa alokasi pengeluaran Gaji dan Tunjangan
merupakan pengeluaran terbesar yaitu kurang lebih 50 persen atau sebesar 976 milyar
rupiah selama 4 tahun terakhir. Alokasi untuk BOP dan Penelitian dan pengabdian
masyarakat sebesar kurang lebih 15persen atau kurang lebih 289 milyar rupiah selama 4
Rp 50 milyar
Rp 307 milyar
Rp 1,9 triliun
153
tahun terakhir. Begitu juga halnya dengan pengeluaran untuk pembangunan dan
hubungan kerjasama luar negeri yaitu kurang lebih sebesar 7persen dan 6persen dari
dana PT NonBHMN‐NonBLU . Selebihnya pengeluaran untuk pemeliharaan, penelitian
dan pengabdian, kerjasama dalam dan luar negeri berada pada angka di bawah 2persen.
Gambar 5.7. Peta Pengeluaran PT Non BHMN‐Non BLU
5.1.4. Perbandingan BHMN, BLU, dan NonBHMN‐NonBLU
Untuk melihat bagaimana perbandingan peta pendanaan pendidikan tinggi baik
BHMN, BLU, maupun NonBHMN‐NonBLU, dapat dilihat dari peta pendanaan dibawah ini
(Gambar 5.8). Dana pemerintah lebih banyak diberikan pada pendidikan tinggi BHMN
walaupun dari jumlah nominal uang relatif kecil dibandingkan dengan BLU, tetapi jika
dilihat dari sisi rasio jumlah perguruan tinggi, (BLU 8 perguruan tinggi, sedangkan BHMN
6 perguruan tinggi), maka perguruan tinggi BHMN relatif lebih besar dibandingkan
dengan perguruan tinggi BLU.
Rp 288 milyar
Rp 24 milyar
Rp 289 milyar
Rp 976 milyar
Rp 124 milyar
Rp 150 milyar
Rp 112 milyar
154
Gambar 5.8. Peta Pendanaan Pendidikan Tinggi
Begitu juga halnya dengan sumber pendanaan pendidikan tinggi dari masyarakat.
jumlah dana masyarakat yang diterima pendidikan tinggi BHMN jauh lebih besar
dibandingkan pendidikan tinggi BLU, walaupun dari sisi persentase perbedaannya tidak
terlalu mencolok.
Jika BHMN dan BLU dibandingkan dengan pendidikan tinggi konvensional, akan
terlihat perbedaannya sangat mencolok. Berdasarkan potret mikro pendidikan tinggi,
sebagian besar sumber pendanaan dari masyarakat berasal dari SPP/DPP. Hal ini
menunjukkan bahwa SPP/DPP pendidikan tinggi konvensional relatif rendah, sehingga
tidak membebani masyarakat untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Berbeda halnya
dengan SPP/DPP di perguruan tinggi BHMN dan BLU, yang lebih mahal. Hal ini menjadi
beban bagi masyarakat untuk menimba ilmu di pendidikan tinggi BHMN dan BLU,
khususnya masyarakat yang tak mampu.
Berdasar peta pendanaan pendidikan tinggi yang berasal dari bantuan dan
kerjasama, BHMN sangatlah agresif dalam mencari dan menggalang dana untuk
membantu proses belajar dan mengajar di pendidikan tinggi. Berbeda dengan pendidikan
Rp
140
mily
ar
Rp
3,34
tril
iun
Rp
5,2
1 tri
liun
Rp
2,93
tril
iun
Rp
4.38
trili
un
Rp
7,4
3 tri
liun
Rp
1,9
0 tri
liun
Rp
307
mily
ar
Rp
50
mily
ar
155
tinggi BLU dan pendidikan tinggi konvensional yang tidak memiliki daya untuk mencari
dana bantuan dan kerjasama, sehingga pendanaan pendidikan tinggi sangat bergantung
pada dana dari pemerintah.
5.2. Hubungan Kebijakan Pendidikan Tinggi dan Pelaksanaan Pendanaan Pendidikan
Tinggi
Hubungan antara kebijakan dan pelaksanaan pendanaan pendidikan tinggi
digambarkan dalam 4 (empat) model untuk setiap kategori, baik makro(gabungan),
BHMN, BLU, maupun konvensional. Model makro merupakan gabungan dari semua
model kategori BHMN, BLU, dan NonBHMN‐NonBLU. Untuk lebih jelasnya bagaimana
hubungan ke 4 model tersebut dapat dilihat dibawah ini.
5.2.1. MAKRO
Dalam mendalami peta makro pendanaan PT dan keterkaitannya dengan
pencapaian sasaran pembangunan PT, dibuat suatu model bewrdasarkan hipotesa‐
hipotesa yang menguji hubungan keduanya. Hipotesa tersebut adalah sebagai berikut:
:
Artinya dana pemerintah, dana masyarakat, dan dana bantuan dan
kerjasama tidak berpengaruh terhadap tingkat pencapaian sasaran
pembangunan pendidikan tinggi secara simultan
:
Artinya dana pemerintah atau dan dana masyarakat atau dan dana
bantuan dan kerjasama berpengaruh terhadap tingkat pencapaian
sasaran pembangunan pendidikan tinggi secara simultan
Untuk mengetahui bagaimana hubungan pendanaan Pendidikan Tinggi (Dana
Pemerintah, Dana Masyarakat, dan Dana Bantuan dan Kerjasama) terhadap Tingkat
Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi, dapat dilihat pada hasil olahan dengan
menggunakan software statistika yaitu EVIEWSi. Berdasar table 5.1 dijelaskan bahwa
struktur pendanaan Pendidikan Tinggi memiliki peran besar terhadap peningkatan
156
`kualitas Pendidikan Tinggi. Berdasar tabel tersebut, model yang dihasilkan dapat
dituliskan sebagai berikut :
Dimana
: Tingkat Pencapaian Sasaran (S)
: Dana Pemerintah (P)
: Dana Masyarakat (M)
: Dana Bantuan & Kerja sama (B)
Tabel 5.1. Hasil Olahan Model Makro
Dependent Variable: S Method: Panel EGLS (Cross‐section weights) Date: 12/27/10 Time: 21:07 Sample: 2006 2009 Cross‐sections included: 18 Total panel (balanced) observations: 72 Linear estimation after one‐step weighting matrix
Variable Coefficie
nt Std. Error t‐Statistic Prob. P 0.940375 0.012369 76.02559 0.0000 M 0.828004 0.013948 59.36517 0.0000 B 0.725536 0.071071 10.20858 0.0000 Weighted Statistics
R‐squared 0.995685 Mean dependent var 2.601232 Adjusted R‐squared 0.995560 S.D. dependent var 2.321821 S.E. of regression 0.154703 Sum squared resid 1.651383 F‐statistic 7961.766 Durbin‐Watson stat 0.724205
Prob(F‐statistic) 0.00000
0 Unweighted Statistics
R‐squared ‐0.730011 Mean dependent var 0.859367 Sum squared resid 1.831460 Durbin‐Watson stat 0.510902
157
Berdasar model dan hipotesa yang dibentuk, diperoleh model secara simultan
yang memberikan informasi bahwa ditolak, artinya Dana Pemerintah, Dana
Masyarakat, dan Dana Bantuan dan Kerjasama berpengaruh secara simultan terhadap
Tingkat Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi.
Model yang dihasilkan memberikan informasi bagaimana peran masing‐masing
koefisien terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi. Agar lebih jelas
bagaimana peran masing‐masing koefisien nya adalah sebagai berikut :
• Dana Pemerintah
Nilai koefisien 0.940375 memberikan nilai yang cukup diterima pada tingkat
kepercayaan 95 persen. Nilai tersebut memberikan informasi bahwa jika Dana
Pemerintah dinaikkan 1 persen maka kontribusinya terhadap Tingkat Pencapaian
Sasaran Pendidikan Tinggi naik sebesar 0,94 persen. Dan nilai tersebut
menjelaskan bahwa besaran dana yang diinvestasikan Pemerintah, memberikan
kontribusi terhadap peningkatan kualitas Pendidikan Tinggi.
• Dana Masyarakat
Nilai koefisien 0.828004 sangat signifikan pada tingkat kepercayaan 95persen,
dikarenakan nilai signifikansi yang dihasilkan kurang dari 5 persen. Koefisien
tersebut memberikan gambaran bahwa jika Dana Masyarakat naik sebesar 1 persen
maka Tingkat Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi naik sebesar 0,83 persen.
Artinya besaran dana yang diperoleh dari masyarakat memberikan hasil terhadap
perkembangan kualitas Pendidikan Tinggi.
• Dana Bantuan dan Kerjasama
Nilai koefisien 0.725536 memberikan gambaran bahwa Dana Bantuan dan
Kerjasama berpengaruh terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi.
Nilai koefisien tersebut menjelaskan bahwa jika Dana Bantuan dan Kerjasama naik
sebesar 1 persen maka kontribusi terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran Pendidikan
Tinggi juga naik sebesar 0,73 persen. Dan nilai tersebut mengindikasikan terhadap
peningkatan kualitas Pendidikan Tinggi disebabkan oleh adanya kontribusi Dana
158
Bantuan dan Kerjasama sebesar 0,6 persen. Nilai tersebut cukup signifikan pada
tingkat kepercayaan 95 persen.
5.2.2. BHMN Dalam model ini dibangun oleh 3(tiga) variable bebas (Dana Pemerintah, Dana
Masyarakat, dan Dana Bantuan dan Kerjasama) dan 1(satu) variable tak bebas yaitu
Tingkat Pencapaian Sasaran PTN‐BHMN. Keempat variable tersebut dibentuk dalam suatu
model sebagai berikut :
Dimana
Y : Sasaran (S)
: Dana Pemerintah (P)
: Dana Masyarakat (M)
: Dana Bantuan & Kerja sama (B)
: Koefisien, dengan i = 1, 2, dan 3
Berdasar hipotesa yang dibentuk, dimana :
:
Artinya Dana Pemerintah, Dana Masyarakat, dan Dana Bantuan dan
kerjasama tidak berpengaruh terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran
Pendidikan Tinggi BHMN secara bersamaan
:
Artinya Dana Pemerintah atau dan Dana Masyarakat atau dan Dana
Bantuan dan kerjasama berpengaruh terhadap Tingkat Pencapaian
Sasaran Pendidikan Tinggi BHMN secara bersamaan
Berdasar hasil uji olahan dengan menggunakan software EVIEWS, pada tingkat
kepercayaan sebesar 95persen dihasilkan bahwa ditolak artinya Dana Pemerintah,
Dana Masyarakat, dan Dana Bantuan dan Kerjasama berpengaruh terhadap Tingkat
Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi BHMN. Hasil uji hipotesa tersebut dapat dilihat
pada table dibawah ini, dimana nilai Prob(F‐Statistik) sebesar 0.000000 lebih kecil dari
159
5persen. Sedangkan berdasar akurasi modelnya, model yang dihasilkan sangatlah baik
yaitu sebesar 0.986161, karena mencerminkan kesempurnaan model.
Sedangkan uji hipotesa untuk setiap variable bebasnya yaitu Dana Pemerintah (P)
atau Dana Masyarakat (M) atau Dana Bantuan dan Kerjasama (B) memiliki nilai
signifikansi yang cukup untuk diterima sebagai variable‐variabel yang memiliki potensi
yang berpengaruh terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi BHMN
Tabel 5.2. Hasil Olahan Model PT BHMN
Dan model yang dihasilkan adalah sebagai berikut:
Dependent Variable: S Method: Panel EGLS (Cross‐section weights) Date: 12/27/10 Time: 22:41 Sample: 2006 2009 Cross‐sections included: 6 Total panel (balanced) observations: 24 Linear estimation after one‐step weighting matrix
Variable Coefficie
nt Std. Error t‐Statistic Prob. P 1.354353 0.075206 18.00863 0.0000 M 0.638053 0.068087 9.371168 0.0000 B 0.334155 0.106717 3.131224 0.0050 Weighted Statistics
R‐squared 0.986161 Mean dependent var 1.284964 Adjusted R‐squared 0.984843 S.D. dependent var 0.743465 S.E. of regression 0.091530 Sum squared resid 0.175932 F‐statistic 748.2390 Durbin‐Watson stat 1.212656
Prob(F‐statistic) 0.00000
0 Unweighted Statistics
R‐squared 0.615289 Mean dependent var 0.803924 Sum squared resid 0.206101 Durbin‐Watson stat 1.083426
160
Berdasar model tersebut, dapat dilihat bahwa variable Dana Pemerintah, Dana
Masyarakat, dan Dana Bantuan dan Kerjasama memiliki hubungan yang positif terhadap
Tingkat Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi BHMN.
Jika dijelaskan satu persatu variabelnya terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran
Pendidikan Tinggi BHMN, maka diperoleh sebagai berikut:
• Dana Pemerintah
Nilai 1.354353 sangat signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen (dilihat berdasar
nilai signifikansinya yang lebih lebih kecil dari 5persen) dan memberikan kesimpulan
bahwa variable Dana Pemerintah memberikan pengaruh terhadap Tingkata
Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi BHMN. Seberapa besar pengaruhnya dapat
dijelakan sebagai berikut : jika Dana Pemerintah dinaikkan sebesar 1persen akan
memberikan kontribusi sebesar 1,35 persen terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran
pendidikan tinggi BHMN, dan hal tersebut memberikan indikasi terhadap peningkatan
kualitas pendidikan tinggi BHMN sebesar 1,35 persen atas investasi Pemerintah.
• Dana Masyarakat
Nilai koefisien signifikan pada tingkat kepercayaan 95 persen, dan
menyimpulkan adanya pengaruh Dana Masyarakat terhadap Tingkat Pencapaian
Sasaran pendidikan tinggi BHMN. Nilai koefisien tersebut menjelaskan bahwa jika
Dana Masyarakat dinaikkan sebesar 1persen akan memberikan kontribusi sebesar
0,64 persen terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran pendidikan tinggi BHMN, dan
kesimpulan tersebut mengindikasikan terhadap kualitas pendidikan tinggi BHMN
• Dana Bantuan dan Kerjasama
Nilai koefisien 0.33415 relatif paling kecil dibandingkan niali koefisien Dana Pemerintah
dan Dana Masyarakat. Nilai tersebut dapat diterima pada tingkat kepercayaan 95
persen. Dan berdasar model secara keseluruhan dapat dijelaskan bahwa jika Dana
Bantuan dan Kerjasama naik sebesar 1persen akan memberikan kontribusi sebesar
0.33 persen terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran PTN‐BHMN, dan hal tersebut juga
memberikan indikasi terhadap peningkatan kualitas pendidikan tinggi BHMN
161
5.2.3. BLU
Model umum yang digunakan pada kategori BLU, sama dengan model yang
digunakan pada kategori model BHMN dikarenakan variable‐variabel yang digunakannya
adalah sama. Dan yang membedakannya adalah perguruan tinggi‐perguruan tinggi yang
dijadikan sample dalam pelaksanaan proses pendidikan tinggi. Adapun model umumnya
adalah sebagai berikut :
Dimana
Y : Sasaran (S)
: Dana Pemerintah (P)
: Dana Masyarakat (M)
: Dana Bantuan & Kerja sama (B)
: Koefisien, dengan i = 1, 2, dan 3
Berdasar hasil olahan statistic, bagaimana hubungan antara variable bebas (Dana
Pemerintah, Dana Masyarakat, dan Dana Bantuan dan Kerjasama) dan variable tak bebas
(Tingkat Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi BLU), dapat dilihat pada tabel 5.3.
Untuk mengetahui seberapa besar hubungan dan pengaruh variable bebas
terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi BLU dapat dilihat dari model
selanjutnya. Tetapi sebelum melanjutkannya, perlu dilihat kembali bagaimana hipotesa‐
hipotesa yang telah dibentuk tersebut. Adapun hipotesa tersebut adalah sebagai berikut :
:
Artinya Dana Pemerintah, Dana Masyarakat, dan Dana Bantuan dan
kerjasama tidak berpengaruh terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran
Pendidikan Tinggi BLU secara bersamaan
:
Artinya Dana Pemerintah atau dan Dana Masyarakat atau dan Dana
Bantuan dan kerjasama berpengaruh terhadap Tingkat Pencapaian
Sasaran Pendidikan Tinggi BLU secara bersamaan
162
Tabel 5.3. Hasil Olahan Model PT BLU
Hipotesa tersebut diatas harus diuji kebenarannya berdasar model yang dihasilkan.
Berdasar hasil olahan dengan EVIEWS, diperoleh model sebagai berikut :
Dimana Y : Sasaran (S)
: Dana Pemerintah (P) : Dana Masyarakat (M) : Dana Bantuan & Kerja sama (B)
: Koefisien, dengan i = 1, 2, dan 3
Dependent Variable: S Method: Panel EGLS (Cross‐section weights) Date: 12/27/10 Time: 22:48 Sample: 2006 2009 Cross‐sections included: 7 Total panel (balanced) observations: 28 Linear estimation after one‐step weighting matrix
Variable Coefficie
nt Std. Error t‐Statistic Prob. P 0.912404 0.009684 94.21908 0.0000 M 0.858422 0.012354 69.48537 0.0000 B 1.053412 0.074663 14.10896 0.0000 Weighted Statistics
R‐squared 0.99890
0 Mean dependent var 4.526489 Adjusted R‐squared 0.998812 S.D. dependent var 5.017061 S.E. of regression 0.172911 Sum squared resid 0.747457 F‐statistic 11352.95 Durbin‐Watson stat 0.755565
Prob(F‐statistic) 0.00000
0 Unweighted Statistics
R‐squared ‐5.671116 Mean dependent var 0.879450 Sum squared resid 0.975856 Durbin‐Watson stat 0.029559
163
Berdasar hasil uji hipotesa dapat disimpulkan bahwa ditolak, artinya Dana
Pemerintah, Dana Masyarakat, dan Dana Bantuan dan Kerjasama berpengaruh secara
simultan terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi BLU.
Hal ini dapat dilihat berdasar Table yang memberikan nilai yang sangat signikan
pada tingkat kepercayaan 95persen. Selain itu juga, model yang dihasilkan memiliki
tingkat akurasi sebesar 0.998900 (R‐Square). Dan ini menjelaskan bahwa tingkat residu
yang dihasilkan relative sangat kecil dikarenakan kesempuranaan model yang dihasilkan.
Dan jika melihat bagaimana masing‐masing koefisien yang dihasilkan dalam model
tersebut, apakah signifikan atau tidak, dan bagaimana interpretasinya dapat dilihat
sebagai berikut :
• Dana Pemerintah
Berdasar Table Coefficients , nilai koefisien 0.912404 merupakan nilai yang signikan
pada tingkat kepercayaan 95 persen. Interpretasi terhadap nilai koefisien tersebut
adalah jika Dana Pemerintah naik 1 persen akan memberikan kontribusi terhadap
Tingkat Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi BLU sebesar 0,91 persen. Dan nilai
tersebut mengindikasikan terhadap kualitas pendidikan tinggi BLU
• Dana Masyarakat
Nilai koefisien yang dihasilkan adalah 0.858422 (perhatikan Table). Nilai tersebut
sangat signifikan pada tingkat kepercayaan 95persen, dikarena nilai signifikansi
yang dihasilkan kurang dari 5persen. Nilai koefisien tersebut memberikan
gambaran bahwa jika Dana Masyarakat dinaikkan sebesar 1persen maka kontribusi
yang diberikan sebesar 0,86 persen terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran
Pendidikan Tinggi BLU. Dan nilai tersebut mengindikasikan terhadap kualitas
pendidikan tinggi BLU
• Dana Bantuan dan Kerjasama
Nilai koefisien yang dihasilkan pada table Coefficients sebesar 1.053412 sangat
signifikan pada selang kepercayaan 95 persen. Nilai koefisien tersebut
menyimpulkan adanya pengaruh Dana Bantuan dan Kerjasama terhadap Tingkat
Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi BLU. Nilai koefisien tersebut menjelaskan
bahwa jika Dana Bantuan dan Kerjasama dinaikkan sebesar 1persen akan
memberikan kontribusi sebesar 1,05 persen terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran
164
Pendidikan Tinggi BLU. Dan nilai tersebut mengindikasikan terhadap kualitas
pendidikan tinggi BLU
5.2.4. NONBHMN‐NONBLU
Pembentukan model lainnya (pendekatan ekonometrika) memiliki variabel‐
variabel yang sama baik variabel bebas maupun variabel tak bebas. Dan yang
membedakannya dengan Pendidikan Tinggi BHMN dan Pendidikan Tinggi BLU adalah
khususnya system pengelolaan keuangan dalam proses pendidikan tinggi. Pendidikan
Tinggi NonBHMN‐NonBLU memiliki system pengaturan dan pengelolaan yang relative
masih tradisional.
Model yang dibentuk juga merupakan model linear karena faktor dana, baik Dana
Pemerintah, Dana Masyarakat, dan Dana Bantuan dan Kerjasama berbanding lurus
dengan Tingkat Pencapaian Sasarannya atau dengan kata lain faktor dana sangat
berperan dalam peningkatan kualitas pendidikan tinggi. Model umum yang dibentuk
adalah sebagai berikut:
Dimana
Y : Sasaran (S)
: Dana Pemerintah (P)
: Dana Masyarakat (M)
: Dana Bantuan & Kerja sama (B)
: Koefisien, dengan i = 1, 2, dan 3
Berdasar Table 5.4, hubungan Dana Pemerintah, Dana Masyarakat, dan Dana
Bantuan dan Kerjasama terhadap Tinngkat Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi
NonBHMN‐NonBLU sangat beragam. Hal ini dikarenakan masing‐masing Pendidikan
Tinggi Konvensionanl memiliki kemampuan pendanaan yang variatif juga. Untuk
mengetahui hubungan dan kontribusi baik masing‐masing variabel maupun semua
variabel secara simultan terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi
NonBHMN‐NonBLU hanya dapat dilihat dari Tabel. Berdasar tabel tersebut dapat
dituliskan model regresinya sebagai berikut :
165
Dimana
Y : Sasaran (S)
: Dana Pemerintah (P)
: Dana Masyarakat (M)
: Dana Bantuan & Kerja sama (B)
: Koefisien, dengan i = 1, 2, dan 3
Tabel 5.4. Hasil Olahan Model PT Non BHMN‐Non BLU
Dependent Variable: S Method: Panel EGLS (Cross‐section weights) Date: 12/27/10 Time: 22:54 Sample: 2006 2009 Cross‐sections included: 5 Total panel (balanced) observations: 20 Linear estimation after one‐step weighting matrix
Variable Coefficie
nt Std. Error t‐Statistic Prob.
P 0.88580
9 0.034786 25.46423 0.0000 M 1.138831 0.146323 7.783007 0.0000 B 0.332447 0.535194 0.621171 0.5427 Weighted Statistics
R‐squared 0.985026 Mean dependent var 1.685082 Adjusted R‐squared 0.983265 S.D. dependent var 0.899441 S.E. of regression 0.116356 Sum squared resid 0.230160 F‐statistic 559.1589 Durbin‐Watson stat 1.373366
Prob(F‐statistic) 0.00000
0 Unweighted Statistics
R‐squared 0.008120 Mean dependent var 0.897784 Sum squared resid 0.259918 Durbin‐Watson stat 2.704526
166
Model tersebut bisa menjelaskan sesuatu jika dilakukan terlebih dahulu dilakukan
uji terhadap hipotesa. Hipotesa‐hipotesa tersebut perlu diuji guna mendapatkan substansi
model linear tersebut. Adapun hipotesa‐hipotesa tersebut adalah sebagai berikut :
:
Artinya Dana Pemerintah, Dana Masyarakat, dan Dana Bantuan dan
kerjasama tidak berpengaruh terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran
Pendidikan Tinggi NonBHMN‐NonBLU secara bersamaan
:
Artinya Dana Pemerintah atau dan Dana Masyarakat atau dan Dana
Bantuan dan kerjasama berpengaruh terhadap Tingkat Pencapaian
Sasaran Pendidikan Tinggi NonBHMN‐NonBLU secara bersamaan
Berdasar Table 5.4, diketahui bahwa diterima artinya Dana Pemerintah, Dana
masyarakat, dan Dana bantuan dan Kerjasama berpengaruh secara bersamaan terhadap
Tingkat Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi NonBHMN‐NonBLU. Hal ini dapat dilihat
pada table, bahwa nilai signifikannya diterima pada tingkat kepercayaan 95 persen. Dan
memiliki akurasi model sebesar 0.989026 atau dengan kata lain bahwa Dana Pemerintah,
Dana Masyarakat, dan Dana Bantuan dan Kerjasama berpengaruh secara simultan
sebesar 98,90 persen terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi
NonBHMN‐NonBLU.
Tetapi jika dilihat satu persatu variabel bebasnya (perhatikan Tabel) , hanya dana
Pemerintah dan dana Masyarakat yang berpengaruh terhadap Tingkat Pencapaian
Sasaran Pendidikan Tinggi NonBHMN‐NonBLU, sedangkan Dana Bantuan dan Kerjasama
tidak berpengaruh. Hal ini dapat dilihat dari nilainya yang tidak signifikan pada tingkat
kepercayaan 95 persen. Agar lebih jelas bagaimana interpretasi masing‐masing sumber
dana, dapat dilihat sebagai berikut :
• Dana Pemerintah
Nilai koefisien 0.885809 diterima pada tingkat kepercayaan 95persen dan dapat
diinterpretasikan bahwa jika Dana Pemerintah dinaikkan sebesar 1 persen akan
memberikan kontribusi sebesar 0,89 persen terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran
167
Pendidikan Tinggi NonBHMN‐NonBLU. Dan nilai tersebut mengindikasikan
terhadap kualitas pendidikan tinggi NonBHMN‐NonBLU
• Dana Masyarakat
Nilai koefisien 1.138831, dengan nilai signikan sebesar 0.000 dapat diterima pada
selang kepercayaan 95persen. Nilai koefisien tersebut dapat diartikan sebagai jika
Dana Masyarakat naik 1 persen akan memberikan kontribusi sebesar 1,14 persen
terhadap Tingkat Pencapaian Sasaran Pendidikan Tinggi NonBHMN‐NonBLU. Dan
nilai tersebut mengindikasikan terhadap kualitas pendidikan tinggi NonBHMN‐
NonBLU
168
BAB VI
ANALISA KEBIJAKAN PENDANAAN PENDIDIKAN TINGGI
Besarnya kebutuhan pendanaan pembangunan pendidikan tinggi akan dihadapkan
pada terbatasnya sumber daya yang tersedia sehingga diperlukan strategi yang tepat
dalam mensinergikan keterbatasan dana pemerintah, masyarakat serta bantuan dan kerja
sama. Strategi tersebut ditawarkan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil
langkah dan alternatif kebijakan dengan dasar dan rujukan pertimbangan yang memadai,
tepat dan akurat.
Alternatif kebijakan disusun dengan merujuk pada alternatif model yang
merupakan hasil ekstrapolasi berbagai data kuantitatif dan dukungan pendalaman berupa
data dan informasi kualitatif. Model kuantitatif diperoleh berdasarkan peta
kecenderungan dan kondisi pembangunan pendidikan tinggi, baik di tingkat makro
nasional dan juga di tingkat mikro perguruan tinggi. Model ini berusaha mendekatkan
antara pendanaan pendidikan tinggi dengan kinerja pendidikan tinggi yang terukur secara
kuantitatif. Model kualitatif diperoleh dari hasil pemetaan hambatan dan rintangan serta
peluang pengembangan pendidikan tinggi dalam mencari sumber pendanaan dan juga
pengelolaan pendanaannya. Di samping itu, model kualitatif juga merupakan berbagai
pembelajaran (lesson learned) dari berbagai alternatif kebijakan yang dilakukan di negara
lain yang diperkaya dengan berbagai bahan seminar, workshop, lokakarya dan jurnal
penelitian baik nasional maupun internasional.
Merujuk pada Undang‐Undang No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(SPN) yang dioperasionalisasikan dalam PP No. 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan,
maka tanggung jawab pendanaan pendidikan merupakan tanggung jawab bersama
antara pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat. Dalam kajian ini, sumber
pendanaan masyarakat diperluas menjadi dua kelompok besar yaitu dana masyarakat
yang berasal dari SPP/DPP dan semacamnya serta dana masyarakat, biasanya instansi
atau dunia usaha berupa dana bantuan dan kerja sama.
Berdasarkan model yang dihasilkan, dapat disimpulkan baik secara komposit
maupun per kategori, bagaimana pengaruh masing‐masing sumber pendanaan terhadap
169
peningkatan kualitas pendidikan tinggi. Model tersebut dapat disederhanakan dengan
tabel 6.1. dibawah ini.
Tabel 6.1. Koefisien Model
Kategori Pendanaan
Pemerintah Masyarakat Bantuan & Kerjasama
Makro 0.940 0.828 0.726
BHMN 1.354 0.638 0.334
BLU 0.912 0.858 1.053
NonBHMN‐NonBLU 0.886 1.139 0.332
Tabel di atas menunjukkan bahwa selama empat tahun terakhir, dana pemerintah
baik secara makro di tingkat nasional maupun dalam kerangka mikro di satuan
penyelenggaran pendidikan tinggi (PT BHMN, PT BLU dan PT NonBHMN‐NonBLU)
merupakan sumber pendanaan yang relatif besar pengaruhnya terhadap tingkat
pencapaian sasaran pembangunan pendidikan tinggi dibandingkan dengan dana
masyarakat serta dana bantuan dan kerjasama.
Karena semua koefisien bertanda positif (+) maka setiap sumber pendanaan
pembangunan pendidikan tinggi memiliki hubungan yang positif atau berbanding lurus
terhadap peningkatan kualitas pendidikan tinggi dengan ilustrasi persamaan sebagai
berikut:
Persamaan tersebut menyiratkan bahwa pemerintah perlu menentukan berapa
besar tingkat kualitas yang diharapkan baik dalam jangka pendek, jangka menenga dan
jangka panjang. Jika tingkat kualitas pendidikan tinggi yang diharapkan sudah ditentukan
Pemerintah, maka harus diperhatikan bagaimana kondisi sumber pendanaan yang berasal
dari pemerintah. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa jika pemerintah telah menentukan
tingkat kenaikan kualitas pendidikan tinggi maka harus diimbangi dengan tingkat
kenaikan sumber pendanaan yang berasal dari Pemerintah. Hal ini dikarenakan sumber
pendanaan Pemerintah baik secara makro nasional maupun di tingkat mikro di satuan
170
penyelenggaran pendidikan tinggi (PT BHMN, PT BLU dan PT NonBHMN‐NonBLU)
memiliki kontribusi yang relatif lebih besar dibandingkan dengan sumber pendanaan
lainnya.
Di samping itu, sesuai dengan amanat konstitusi yang diperkuat dengan UU No.
20/2003 tentang SPN, besarnya jumlah dana pemerintah yang dikeluarkan harus merujuk
pada amanat tersebut, termasuk untuk pendanaan pendidikan tinggi. Untuk
meningkatkan efektivitas dan efisiensi pendanaan pendidikan tinggi ditawarkan
alternative strategi yang harus diterapkan dalam mensinergikan sumber pendanaan
pemerintah, masyarakat serta dana bantuan dan kerjasama melalui skenario kebijakan
sebagai berikut.
I. Skenario Pertama
Pada skenario ini, sumber pendanaan dari masyarakat harus meningkat guna
meningkatkan kualitas pendidikan tinggi. Sedangkan kondisi sumber pendanaan dari
bantuan dan kerjasama bisa meningkat atau tidak sama sekali (tidak diperhatikan). Agar
lebih jelas, perhatikan ilustrasi dibawah ini.
• Jika sumber pendanaan dari bantuan dan kerjasama meningkat, maka
peningkatan kualitas pendidikan tinggi akan semakin cepat secara periodik karena
diimbangi dengan peningkatan sumber pendanan baik dari Pemerintah dan
Masyarakat. Kondisi pendanaan pendidikan tinggi seperti ini sangat ideal. Skenario
ini belum bisa diterapkan di Indonesia saat ini dikarenakan banyak faktor,
misalkan :
1. Kondisi perekonomian masyarakat belum stabil, hal ini dapat dilihat dari masih
banyaknya tingkat kemiskinan di Indonesia. Selain itu, dengan adanya
peningkatan sumber pendanaan dari masyarakat artinya biaya‐biaya
pendidikan tinggi yang dibebankan terhadap masyarakat juga semakin tinggi.
atau
171
Dan akibatnya, akan terjadi peningkatan biaya SPP/DPP dan sumbangan‐
sumbangan lainnya baik sumbangan wajib maupun sumbangan sukarela.
2. Kemampuan sumber daya manusia pada pendidikan tinggi, belum merata.
Dengan adanya peningkatan sumber pendanaan baik dari pemerintah,
masyarakat, maupun bantuan dan kerjasama tanpa adanya pengelolaaan yang
baik dan benar akan menyebabkan terjadinya ketidakefektifan dan
ketidakefisienan.
3. Percepatan peningkatan kualitas pendidikan tinggi harus diimbangi dengan
penyediaan infrastruktur pendidikan tinggi, baik bangunan dan peralatan dan
perlengkapan pembelajaran pendidikan tinggi. Jika penyediaan infrastruktur
berlangsung bertahun‐tahun, secara tidak langsung, masyarakat akan ikut
menanggung biaya pendidikan tinggi yang sangat besar.
Jika dana pemerintah dan dana masyarakat mengalami kenaikan setiap waktu,
ditambah adanya kenaikan sumber pendanaan dari bantuan dan kerjasama dan
pada saat yang sama, nilai kualitas pendidikan tinggi belum ditentukan oleh
pemerintah, maka akan terjadi banyak penyimpangan. Penyimpangan ini terjadi
karena, dana melimpah, namun pendidikan tinggi tidak memiliki arahan yang
sesuai dengan kebijakan‐kebijakan yang bersifat internal maupun eksternal. Jika
nilai kualitas pendidikan tinggi telah ditentukan dan terdapat peningkatan dana
pemerintah, dana masyarakat, dan dana bantuan dan kerjasama, maka
berdasarkan sumber pendanaan yang maksimal dapat dihasilkan percepatan
kualitas pendidikan tinggi yang maksimal juga.
• Jika tingkat kualitas pendidikan tinggi naik dan sumber pendanaan dari bantuan
dan kerjasama tidak meningkat atau bahkan cenderung menurun maka
sumber pendanaan dari Pemerintah dan Masyarakat harus lebih ditingkatkan lagi.
Hal ini dikarenakan distribusi sumber pendanaan pendidikan tinggi mengalami
pengerucutan, dari 3 sumber pendanaaan pendidikan tinggi menjadi 2 sumber
pendanaan pendidikan tinggi.
172
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan adanya peningkatan kualitas
pendidikan tinggi yang diimbangi dengan adanya peningkatan sumber pendanaan
pemerintah, masyarakat, dan bantuan dan kerjasama akan lebih meringankan beban yang
ditanggung masyarakat. Sebab dalam hal ini, tanggungan pendanaan akan
terdistribusikan kepada pemerintah, masyarakat dan bantuan dan kerjasama. Berbeda
jika dibandingkan peningkatan kualitas pendidikan tinggi yang hanya diimbangi dari
sumber pendanaan dari pemerintah dan masyarakat. Kondisi ini akan sangat membebani
masyarakat, sebab tanggungan pendanaan hanya dibebankan pada pemerintah dan
masyarakat.
II. Skenario Kedua
Skenario ini bertujuan untuk meringankan beban masyarakat, dengan tidak menaikan
beban biaya pendidikan tinggi yang bersumber dari masyarakat, namun tetap dengan
kualitas pendidikan tinggi yang diharapkan. Jadi disimpulkan bahwa peningkatan
kualitas pendidikan tinggi diimbangi dengan peningkatan sumber pendanaan dari
Pemerintah dan Bantuan dan kerjasama. Agar lebih jelas, perhatikan ilustrasi dibawah
ini.
Pada skenario ini, dibagi menjadi 2 kondisi berdasar sumber pendanaan dari bantuan
dan kerjasama. Kedua kondisi tersebut antara lain sebagai berikut :
• Jika sumber pendanaan dari bantuan dan kerjasama ditingkatkan dengan
sumber pendanaan masyarakat yang tetap atau menurun maka sumber
pendanaan dari pemerintah yang diperlukan guna peningkatan kualitas pendidikan
tinggi nya pun harus besar. Langkah yang diambil guna peningkatan sumber
pendanaan dari bantuan dan kerjasama adalah pelaksanaan dan optimalisasi
program‐program yang dibentuk dalam RENSTRA Perguruan Tinggi dalam
menjalin kerjasamaa dengan berbagai pihak, baik pihak pemerintah maupun
swasta baik di dalam negeri maupun luar negeri. Optimalisasi program‐program
atau
173
pendukung dalam hal meningkatkan sumber pendanaan pendidikan tinggi dari
bantuan dan kerjasama harus didukung oleh SDM yang kuat dalam hal
pembentukan akses yang sebesar‐besarnya dalam pencarian sumber pendanaan
pendidikan tinggi alternatif.
• Jika sumber pendanaan pendidikan tinggi yang berasal dari bantuan dan
kerjasama tidak naik atau menurun maka tugas pemerintah semakin berat
dikarenakan sebagian besar dana pendidikan tinggi bersumber dari pemerintah.
Akibatnya, pemerintah sendiri harus mencari berbagai alternatif sumber
pendanaan guna menambah pendanaan pendidikan tinggi, agar kualitas
pendidikan tinggi sesuai dengan harapan.
Dengan demikian, adanya penurunan sumber pendanaan masyarakat mengakibatkan
sumber pendanaan lainnya harus lebih ditingkatkan guna memastikan terjaminnya
kualitas pendidikan tinggi yang terus‐menerus.
Berdasar kemungkinan‐kemungkinan yang terjadi diatas, dapat disimpulkan beberapa
strategi alternatif yang digunakan dalam hal pendanaan pendidikan tinggi sebagai
berikut:
1. Secara makro, pendanaan pendidikan tinggi berperan sangat besar dalam proses
pembelajaran pendidikan tinggi guna meningkatkan kualitas pendidikan tinggi. Secara
kategoris PT BHMN memiliki sumber pendanaan terbesar berasal dari masyarakat, dan
juga berdasarkan potret mikro PT BHMN, sumber dana masyarakat sebagian besar
berasal dari SPP/DPP. Hal ini mengindikasikan beban yang ditanggung masyarakat
untuk memperoleh pendidikan tinggi, sangatlah berat. Sebagai alternatif adalah
pendidikan tinggi harus optimalisasi berbagai sumber pendanaan pendidikan tinggi baik
secara internal (optimalisasi pengelolaan asset baik yang berwujud maupun tak
berwujud, pengembangan unit‐unit bisnis, investasi, system pencatatan keuangan,
dan lain lain) maupun eksternal (optimalisasi hubungan kerjasama yang baik dengan
berbagai instansi pemerintah dan swasta baik dalam negeri maupun luar negeri),
tanpa mengurangi standar kualitas yang diharapkan pendidikan tinggi.
2. Berdasar kondisi pendanaan PT BHMN, PT BLU, dan NonBHMN‐NonBLU sangatlah
berbeda.Dana penerimaan PT BHMN dari pemerintah jauh lebih besar dibandingkan
174
untuk PT BLU dan PT NonBHMN‐NonBLU. Oleh karenanya, diperlukan distribusi
pendanaan pendidikan tinggi yang berasal dari pemerintah dan lebih memberikan
kesempatan kepada masyarakat yang tidak mampu tapi memiliki kompetensi tingg,
misalnya melalui peningkatan jumlah dan besaran beasiswa dan voucher untuk bias
belajar di PT.
3. Berdasar data pendanaan PT BHMN, dana yang berasal dari bantuan dan kerjasama PT
BHMN relatif lebih besar dibandingkan PT BLU dan PT NonBHMN‐NonBLU. Untuk itu,
diperlukannya kemampuan akses yang luas guna pengembangan jejaring baik nasional
maupun internasional, khususnya bagi pendidikan tinggi PT BLU dan PT NonBHMN‐
NonBLU yang masih memiliki sumber pendanaan dari bantuan dan kerjasama yang
masih rendah. Selain itu juga, rendahnya hubungan kerjasama pendidikan tinggi
dengan Dunia Usaha dan Dunia Industri, sehingga diperlukannya peran pemerintah
sebagai intermediary dalam membantu PT dalam guna menjalin hubungan kerjasama
pendidikan tinggi dan dunia usaha dan dunia industri.
175
BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
7.1. Kesimpulan
Secara umum, struktur pendanaan PT baik PT negeri maupun PT agama islam negeri
di Indonesia bersumber dari dana pemerintah, dana masyarakat, dan dana bantuan dan
kerjasama. Ketiga sumber pendanaan PT tersebut memiliki komposisi dan pengaruh yang
berbeda‐beda untuk masing‐masing kategori, baik kategori BHMN, BLU, dan Non‐BHMN
dan Non‐BLU. Dari ketiga kategori sumber pendanaan, dana pemerintah masih tetap
mendominasi pendanaan untuk PT BLU dan PT NonBHMN‐NonBLU. Sedangkan untuk PT
BHMN memiliki kecenderungan umum yang berbeda, di mana kontribusi dana
masyarakat relatif lebih besar dibandingkan dana pemerintah.
Jika dilihat dari pelaksanaannya, secara makro sumber pendanaan pendidikan
memberikan kontribusi yang signifikan bagi peningkatan kualitas PT. Begitu halnya
dengan kategorik, sumber dana PT memiliki pengaruh juga terhadap kualitas PT. Tetapi
sumber pendanaan dari pemerintah dan masyarakat berpengaruh lebih besar terhadap
peningkatan kualitas PT dibandingkan dengan sumber dana dari bantuan dan kerjasama.
Berdasar besaran dan proporsinya, kontribusi dana bantuan dan terhadap penerimaan
pendapatan PT relatif kecil sehingga berdampak pada signifikansi dampak dana bantuan
dan kerja sama yang relatif lebih kecil juga terhadap peningkatan kualitas PT BLU dan PT
NonBHMN‐NonBLU. Kondisi ini sedikit berbeda untuk PT BHMN, di mana sekalipun
nominal dan proporsinya tak sebesar dana pemerintah dan dana masyarakat namun
masih relatif besar dibandingkan dengan rerata yang diterima PT BLU dan PT NonBHMN‐
NonBLU sehingga keberadaan dana bantuan dan kerja sama juga penting dan signifikan.
Kemampuan dan jejaring PT memiliki kecenderungan pada peningkatan besaran bantuan
dan kerja sama sehingga semakin memperkuat SDM PT BHMN yang secara umum relatif
jauh lebih baik dibanding PT BLU dan PT NonBHMN‐NonBLU.
PT memiliki SDM yang masih terbatas dalam kompetensi dan profesionalisme guna
menunjang pelaksanaan peningkatan kualitas PT. Kompetensi dan profesionalisme SDM
yang dimaksud erat hubungannya terhadap kinerja PT baik kinerja eksternal maupun
internal PT. Kinerja eksternal PT, dapat dilihat dari hubungan PT dengan dunia luar PT. Hal
176
ini dapat dilihat dari kurangnya jejaring kerjasama PT dengan pihak luar PT, khususnya
hubungan atau kerjasama antara PT dengan dunia usaha dan dunia industri masih relatif
terbatas sehingga kontribusinya relatif lebih kecil, terutama dalam hal pengembangan
unit‐unit bisnis dan investasi serta riset inovatif yang dapat meningkatkan penerimaan
pendanaan PT dan kapasitas secara signifikan.
Namun demikian, khusus PT BHMN, hubungan kerjasama dengan dunia usaha dan
industri cenderung semakin meningkat dan berkontribusi signifikan. Hal ini merupakan
kombinasi kapasitas PT BHMN yang relatif mapan dan sistem manajemen kerja sama PT
BHMN yang relatif lebih fleksibel, khususnya dalam tata kelola pendanaan dibanding
dengan PT BLU apalagi dengan PT NonBHMN‐NonBLU yang belum terealisasi dengan
baik. Selain itu juga, PT BHMN ditunjang dengan adanya sistem akutansi tersendiri yang
lebih fleksibel dan akuntabel sehingga responsif dan tetap menjamin terhindarnya
berbagai kesalahan manajemen dan ketidakefisienan.
7.2. Rekomendasi Kebijakan
Berdasar kebijakan dan pelaksanaan kebijakan, khususnya dalam peningkatan
penerimaan/pendapatan pendanaaan PT guna peningkatan kualitas PT diperlukan
rekomendasi kebijakan agar pelaksanaannya lebih baik. Adapun rekomendasi‐
rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut :
1. Keragaman kemampuan PT menuntut adanya kebijakan afirmatif untuk
meningkatkan keadilan dan pemerataan pendanaan dan kualitas PT.
2. Diperlukan untuk meningkatkan efisiensi pendanaan PT BHMN sehingga peningkatan
alokasi dana pemerintah berkorelasi dengan penyeimbangan penggalangan dana
masyarakat sehingga biaya PT BHMN relatif terjangkau dan tidak malah berdampak
sebaliknya dimana penambahan alokasi pemerintah bersamaan dengan
meningkatnya dana masyarakat.
3. Memperkuat kerja sama antara PT BHMN dengan dunia usaha dan dunia industri
dalam kegiatan penelitian dan pengembangan. Di samping itu, perlu diperkuat
berbagai kelembagaan yang mampu mendorong dan memfasilitasi PT BLU dan PT
177
NonBHMN‐NonBLU untuk meningkatkan kapasitas dan jejaring dalam membangun
kerja sama dengan dunia usaha dan industri.
4. Memperkuat kapasitas sumber daya manusia dalam meningkatkan kemampuan
untuk mengelola dan mengawasi berbagai dana dan aset PT sehingga semakin
akuntabel, efektif dan efisien.
5. Seiring dengan semakin besarnya dana masyarakat untuk PT BHMN mapan maka
biaya PT BHMN mapan secara umum relatif lebih tinggi sehingga peluang calon
mahasiswa kurang mampu akan semakin kecil. Untuk itu diperlukan perluasan
cakupan dan peningkatan besaran beasiswa untuk calon mahasiswa kurang mampu
agar memperoleh kesempatan yang sama mengenyam pendidikan di PT terkemuka.
Di samping perluasan beasiswa juga perlu dikembangkan berbagai skema bantuan
pembiayaan PT untuk calon mahasiswa kurang mampu seperti pinjaman mahasiswa
(student loan) dan voucher.
6. Mendorong peningkatan kerja sama pemerintah daerah dan perguruan tinggi
sehingga PT mampu memperluas kerja sama dan sekaligus meningkatkan
pendapatannya dan pemerintah daerah mendapat manfaat untuk mendidik dan
menyiapkan sumber daya manusia daerah yang handal dan kompetitif.
178
DAFTAR PUSTAKA
Bagyo Y. Moeliodihardjo, 2008, Higher Education Sector Assesment, Final Report, World Bank, BAPPENAS, dan Depdiknas.
Nicholas Barr, 2003, Financing Higher Education: Comparing the Options, The Guardian, June 12, London.
P. Geetha Rani, Economic Reforms and Financing Higher Education in India.
G.Sivalingam, 2004, Privatization of Higher Education in Malaysia, Monash University Malaysia
Kevin Dougherty, 2004, Financing Higher Education in the United States: Structure, Trends, and Issues, Columbia University.
David Greenaway and Michelle Haynes Source, 2003, Funding Higher Education in the UK: The Role of Fees and Loans, The Economic Journal, Vol. 113, No. 485.
Tom Karmel, 1998, Higher Education in Australia A case study, Paper of Conference, Berlin.
Bruce Chapman and Chris Ryan, 2003, Higher Education Financing and Student Access: A Review of the Literature, Economics Program Research School of Social Sciences, Australian National University.
Bruce Chapman and Chris Ryan, 2003, Higher Education Financing and Student Access: A Review of the Literature, Economics Program Research School of Social Sciences, Australian National University.
Michael Gallagher, 2007, Australia and Argentina. A Comparative analysis from the mid 1970’s, ANU‐UBA, Buenos Aires.
Quinn‐Patton, Michael, 2002, Qualitative Research and Evaluation Methods. London, New Delhi: Sage Publications.
Damodar N.Gujarati, 1995, Basic Econometrics, 3rd Edition. New York: McGraw‐Hill. Hshiao Cheng, 1995, Analysis of Panel Data : Economic Society, Monograph, Cambridge University Press
Nachrowi Djalal, 2002 , Penggunaan Teknik Ekonometri, Rajawali Pers, Jakarta.
‘Undang‐Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945’, 2006, Sekretariat Jenderal, MPR RI.
179
Undang‐Undang Nomor 20,”Penerimaan Negara Bukan Pajak”, Tahun 1997.
Undang‐Undang Nomor 20,”Sistem Pendidikan Nasional”, Tahun 2003.
Peraturan Pemerintah Nomor 60,”Pendidikan Tinggi”, Tahun 1999.
Peraturan Pemerintah Nomor 152 ,”Penetapan UI sebagai BHMN”, Tahun 2000.
Peraturan Pemerintah Nomor 153 ,”Penetapan UGM sebagai BHMN”, Tahun 2000.
Peraturan Pemerintah Nomor 154 ,”Penetapan IPB sebagai BHMN”, Tahun 2000.
Peraturan Pemerintah Nomor 155 ,”Penetapan ITB sebagai BHMN”, Tahun 2000.
Peraturan Pemerintah Nomor 56 ,”Penetapan USU sebagai BHMN”, Tahun 2003.
Peraturan Pemerintah Nomor 6 ,”Penetapan UPI sebagai BHMN”, Tahun 2004.
Peraturan Pemerintah Nomor 30 ,”Penetapan UNAIR sebagai BHMN”, Tahun 2006.
Peraturan Pemerintah Nomor,”Standar Pendidikan Nasional”, Tahun 2005.
Peraturan Pemerintah Nomor 23,”Pengelolaan Keuangan BLU”, Tahun 2005.
Peraturan Pemerintah Nomor 48,”Pendanaan Pendidikan”, Tahun 2008.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 2,”Subsidi Silang BOP Pendidikan Tinggi”, Tahun 2005.
Website:
www.kemendiknas.go.id.
www.kemenag.go.id.
www.depkeu.go.id.
www.setneg.go.id.
180