kajian teoritis sosiologi politik
TRANSCRIPT
KAJIAN TEORITIS
1. Dari Wikipedia, partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanan keputusan.
2. Dari Wikipedia (2), partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalm kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah.
3. Menurut Samuel P. Hontington dan Joan Nelson dalam bukunya Partisipasi Politik di Negara Berkembang, 1994 : 6, partisipasi politik adalah kegiatan warga (private citizen) yang bertujuan mempengaruhi keputusan oleh pemerintah.
4. Menurut Michael Rush dan Phillip Althoff dalam bukunya Pengantar Sosiologi dan Politik, 1993 : 23, partisipasi politik adalah keterlibatan individu sampai pada bermacam-macam tingkatan di dalam sistem politik.
5. Menurut Ramlan Surbekti dalam bukunya Memahami Ilmu Politik, 1984 : 140 bahwa partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi kehidupannya.
Berdasarkan 5 definisi partisipasi politik di atas, maka penyusun dapat menarik satu definisi tentang partisipasi politik, yaitu keterlibatan warga negara dalam membuat keputusan, melaksanakan keputusan, mempengaruhi proses pengambilan keputusan, mempengaruhi kebijakan pemerintah termasuk yang berkaitan dengan keterlibatan aktif maupun keterlibatan pasif setiap individu dalam hierarki sistem politik.
POLITIK DAN KEKUASAAN
Oleh : Bayu Pramutoko,SE
Pengertian Politik
Ilmu politik mempelajari suatu segi khusus dari kehidupan masyarakat yang menyangkut
soal kekuasaan. Tumpuan kajian ilmu politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu
proses sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu
dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut (Miriam Budiharjo, 1992). Sistem itu menurut Deliar
Noer (1983) meliputi sistem kekuasaan, wibawa, pengaruh, kepentingan, nilai, keyakinan dan
agama, pemilikan, status dan sistem ideologi.
Menurut Syarbani (2002:13), tumpuan kajian ilmu politik adalah upaya-upaya
memperoleh kekuasaan, mempertahankan kekuasaan, penggunaan kekuasaaan, dan bagaimana
menghambat penggunaan kekuasaan. Dengan demikian dilihat dari aspek kenegaraan, ilmu
politik mempelajari negara, tujuan negara, dan lembaga negara, serta hubungan kekuasaan baik
sesama warga negara, hubungan negara dengan warga negara, dan hubungan antar negara.
Apabila dilihat dari aspek kekuasaan ilmu politik mempelajari kekuasaan dalam masyarakat,
yaitu sifat, hakikat, dasar, proses, ruang lingkup, dan hasil dari kekuasaan itu. Dilihat dari aspek
kelakuan, ilmu politik mempelajari kelakuan politik dalam sistem politik yang meliputi budaya
politik, kekuasaan, kepentingan, dan kebijakan.
Melihat penjelasan di atas, kajian ilmu politik meliputi: (1) teori ilmu politik, (2)
lembaga-lembaga politik (undang-undang dasar, pemerintahan nasional, pemerintahan daerah,
fungsi ekonomi dan sosial dari pemerintah dan perbandingan lembaga-lembaga politik), (3)
partai politik, dan (4) hubungan internasional.
Minimal ada enam hal yang ditekankan dalan ilmu politik, yaitu kekuasaan, negara,
pemerintahan, fakta-fakta politik, kegiatan politik, organisasi masyarakat. Sedangkan obyek ilmu
politik meliputi dua hal yaitu, (1) material (obyek ini berwujud pada perjuangan memperoleh dan
mempertahankan kekuasaan dengan obyek negara, kekuasaan, pemerintah, fakta-fakta politik,
kegiatan politik, dan organisasi masyarakat). dan (2) formal (pengetahuan, pusat perhatian).
Dengan demikian, Syarbaini menyimpulkan ada lima konsep tentang ilmu politik, yaitu (1)
sebagai usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan
kebaikan bersama, (2) segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan
pemerintah, (3) segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan,
(4) kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum, dan (5)
sebagai konflik dalam rangka mencari dan mempertahankan sumber-sumber yang dianggap
penting.
Sementara itu, menurut Maran (1999) politik merupakan studi khusus tentang cara-can
manusia memecahkan permasalahan bersama dengan manusia yang lain. Dengan kata lain,
politik merupakan bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang
menyangkut proses penentuan dan pelaksanaan tujuan-tujuan. Untuk melaksanakan tujuan itu
perlu ditentukan kebijakan-kebijakan umum yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau
alokasi sumber-sumber dan berbagai sumber dava vang ada. Untuk itu diperlukan kekuatan
{power) dan kewenangan {aiitliorlty). yang dipakai baik untuk membina kerja sama rnaupun
untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses tersebut. Kekuasaan itu bisa
dipakai secara persuasif bisa juga secara koersif (paksaan) Definisi lebih sederhana tetapi padat
dapat dilihat dari pendapatnya Surbakti (1999) yang mengcitakan bahwa konsep politik
merupakan intcraksi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangka proses pcmbuatan dan
pdaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam
suatu wilayah tertcntu.
Arti politik yang terekam dari berbagai referensi ilmu politik disimpulkan terdapat
tiga penjelasan. Pertama, rnengidentifikasikan kategori-kategori aktivitas yang membentuk
politik. Dalam hal ini Paul Conn menganggap konflik sebagai esensi politik. Kedua, menyusun
suatu rumusan yang dapat merangkum apa saja yang dapat dikategorikan sebagai politik. Politik
dapat dirumuskan sebagai “siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana”. Ketiga, menyusun daftar
pertanyaan yang harus dijawab untuk memahami politik. Melalui daftar pertanyaan diharapkan
dapat memberi jawaban dengan gambaran yang tepat mengenai politik (Surbakti, 1992). jadi
politik akan terkait dengan kekuasaan, negara dan pengaturan hidup bersama dalam upaya
mencapai kebaikan bermasyarakat.
Selain itu, dapat diketahui bahwa konsep-konsep pokok yang dipelajari ilmu politik
adalah negara {state), kekuasaan (power), pengambilan kebijakan (decision making),
kebijaksanaan (policy, beleiri), dan pembagian (di’-tribution), atau alokasi (allocation).
Singkatnya, ilmu politik selain mempelajari tentang interaksi antara pemerintah dan
masyarakat untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama, yang berkaitan dengan
penyelenggaraan negara dan pemerintah melalui perumusan dan Pelaksanaan kebijakan umum,
juga membicarakan tentang berbagai upaya perebutan mencari dan mempertahankan kekuasaan.
Menurut Weber, sosiologi harus bebas nilai (value free), tidak bias kepentingan atau
keyakinan moral pribadi. Bias personal harus dihindari selama melakukan riset ilmiah. Hal ini
dimaksudkan untuk menjamin objektivitas kebenaran sosiologi.
Dari konseptualisasi sosiologis yang disumbangkan oleh para tokoh ilmu sosial,
selanjutnya dijadikan pijakan dalam merumuskan ruang lingkup sosiologi politik. Dalam
operasionalnva, cakupan materi sosiologi politik terwujud dalam beberapa hal: (1) sosialisasi
politik; (2) partisipasi politik; (3) perekrutan politik; (4) komunikasi politik.
1. Sosialisasi Politik
Sosialisasi politik adalah suatu proses agar setiap individu atau kelompok dapat
mengenali sistem politik dan menentukan sifat persepsi-persepsinya mengenai politik serta
reaksi-reaksinya terhadap fenomena-fenomena politik.
Kerja sosialisasi politik meliputi pemeriksaan mengenai lingkungan kultural, lingkungan
politik dan lingkungan sosial individu maupun kelompok. Dengan demikian, sosialisasi politik
merupakan landasan sosiologi politik selain yang terpenting juga memegang peranan utama dan
pertama bagi setiap tindakan politik.
2. Partisipasi Folitik
Partisipasi politik ialah keterlibatan individu atau kelompok pada level terendah sampai
yang tertinggi dalam sistem politik. Hal ini berarti bahwa partisipasi politik merupakan bentuk
konkret kegiatan politik yang dapat mengabsahkan seseorang berperan serta dalam sistem
politik.
Dengan demikian, maka setiap individu atau kelompok yang satu dengan yang lainnya
akan memiliki perbedaan-perbedaan dalam partisipasi politik; sebab partisipasi menyangkut
peran konkrit politik di mana seseorang akan berbeda perannya, strukturnya dan kehendak dari
sistem politik yang diikutinya.
3. Perekrutan Politik
Pengrekrutan politik adalah suatu proses yang menempatkan seseorang dalam jabatan
politik setelah vang bersangkutan diakui kredibilitas dan lovalitasnya. Perekrutan politik
merupakan konsekuensi logis dalam memenuhi kesinambungan sistem politik dan adanva suatu
sistem politik yang hidup dan berkembang.
Dalam operasionalnya, perekrutan politik dapat ditempuh melalui dua jalan. Pertama,
perekrutan yang bersifat formal yakni ketika seseorang menduduki jabatan politik direkrut secara
terbuka melalui ketetapan-ketetapan yang bersifat umum dan ketetapan-ketetapan itu disahkan
secara bersama-sama. Perekrutan ini dilaksanakan melalui seleksi atau melalui pemilihan.
Kedua, perekrutan tidak formal yakni usaha seseorang tanpa suatu proses terbuka sehingga
seseorang itu mendapatkan kesempatan atau mungkin didekati orang lain untuk diberi posisi-
posisi tertentu.
4. Komunikasi Politik
Komunikasi politik ialah suatu proses penyampaian informasi politik pada setiap individu
anggota sistem politik atau informasi dari satu bagian sistem politik kepada bagian yang lainnya,
dan informasi yang saling diterima di antara sistem-sistem sosial dengan sistem-sistem politik.
Informasi tersebut bersifat terus-menerus, bersifat pertukaran baik antara individu,
individu ke kelompok maupun kelompok ke kelompok yang dampaknya dapat dirasakan oleh
semua tingkatan masyarakat. Informasi itu bisa dalam bentuk harapan, kritikan, reakasi-reaksi
masyarakat terhadap sistem politik dan pejabat politik. Atau suatu harapan, ajakan, janji dan
saran-saran pejabat politik kepada masyarakatnya yang berdampak terhadap perubahan atau
nwmperteguh tindakan-tindakan politiknya agar dilaksanakan stau tidak dilaksanakan.
Landasan-landasan di atas merupakan proses-proses politik yang mesti ada dan berjalan dalam
suatu sistem politik dan embaga-lembaga politik ketika akan, dan pasti, berurusan dengan
MASYARAKAT DAN POLITIK
A. Hubungan Masyarakat dan Politik
Dalam kerangka dimensi-dimensi sosial masyarakat, akan selalu terkait dengan politik. Dimensi
politik dalam masyarakat, menurut Franz Magnis Suseno (1991) nkan mencakup lingkaran-
lingkaran kelembagaan hukum dan negara serta sistem-sistem nilai dan ideologi-ideologi yang
memberikan legitimasi ” kepadanya.
” Sepintas lalu, pernyataan di atas memberikan alasan kemustahilan jika masyarakat terpisah
dengan politik. Politik dan ” masyarakat, atau sebaliknya, adalah dua sisi mata uang; kendati
saling berbeda titik tekannya namun ia tak mungkin terpisahkan ” dalam realitas sosialnya, baik
untuk jangka pendek maupun untuk 1 jangka panjang, baik pada lingkup individu maupun
kelompok.
Menurut Deliar Noer terdapat hubungan masyarakat dengan politik pada aspek
kekuasaan. la menegaskan bahwa prasyarat “; adanya kekuasaan ditengah masyarakat kecuali
adanya masyarakat yang menguasai pada satu pihak dan adanya ” masyarakat yang dikuasai pada
pihak lain. Suatu pengaruh atau ” wibawa seseorang yang menguasai dibentuk dan diberikan
oleh orang-orang yang dikuasainya.
Pendapat di atas menggambarkan hubungan masyarakat I dengan politik pada aspek
kekuasaan. la menegaskan bahwa prasyarat adanya kekuasaan ditengah masyarakat kecuali
adanya : masyarakat yang menguasai pada satu pihak dan adanya masyarakat yang dikuasai pada
pihak lain. Suatu pengaruh atau wibawa seseorang yang menguasai dibentuk dan diberikan oleh ,
orang-orang yang dikuasainya.
Pengertian di atas tidak semata merujuk kepada masyarakat modern, melainkan
menunjukkan pula kepada masyarakat tradisional yang telah terjadi secara turun-temurun
sepanjang sejarah kehidupan manusia. Hubungan itu tentu pula berada dalam unit yang sekecil-
kecilnya, seperti kita kenal dalam Islam bahwa apabila ada tiga orang bepergian maka hendaklah
ditunjuk salah satunya jadi pemimpin. Cerminan doktrinal Islam tersebut merefleksi kepada apa
yang disebut pemimpin keluarga, pemimpin Rukun Tetangga, begitu seterusnya sampai kita
jumpai pemimpin negara.
Hubungan masyarakat dan politik dilihat dari kegunaannva memiliki makna pengaturan.
Seperti disebut oleh Franz Magnis Suseno (1991 : 20), hubungan itu mempunyai dua sesi
fundamental. Pertama, manusia adalah makhluk yang tahu dan mau. Kedua, makhluk yang selalu
ingin mengambil tindakan. Dalam upaya pengaturan hasrat (tahu, mau dan tindakan) itu
diperlukan suatu lembaga pengaturan dengan jenisnya yang bermacam-macam : ada yang
disebut kerajaan, negara, kabilah dan lain sebagainya.
Apa yang ditegaskan Suseno itu mencirikan suatu hubungan masyarakat dan politik ke
dalam bentuk, singkatnya adalah negara.’ Dengan adanya negara menunjukkan adanya
keterikatan seseorang pada peraturan-peraturan yang berlaku, peraturan-peraturan secara umum
maupun secara khusus. Undang-undang perpajakan, penghasilan, undang-undang tentang
organisasi politik dan organisasi kemasyarakatan; undang-undang larangan terhadap berdirinya
partai komunis; dan lain sebagainya merupakan aturan-aturan yang muncul dari rahim negara
(dibuat oleh pemerintah) untuk menciptakan tertib berpolitik di antara masyarakat dari lapisan
yang terendah-rendahnya kepada lapisan yang setingi-tingginya.
Secara deskriptif Soemarsaid Moertono (1985) melukiskan peranan negara dalam
masyarakat, sebagai ber’kut.
“Tak ada ruang bagi penyesuaian sekehendak hati maupun timbal balik atau suatu
perdamaian/kerukunan dan mencocokkan yang menyenangkan; sebaliknya, alam semesta diatur
dengan ketentuan-ketentuan yang keras dan tegar tanpa ampun. Penyimpangan dari padanya
akan menimbulkan serangkaian reaksi yang mungkin sampai kepada hal-hal yang mencelakakan.
Dan sini jarak sudah pendek sekali untuk sampai pada keyakinan akan berlakunya nasib. Karena
itulah orang jawa tidak akan menganggap negara telah memenuhi kewajiban-kewajibannya bila
ia tidak mendorong suatu kententraman batiniah (tentrem, kedamaian dan ketenangan hati)
maupun mewujudkan tata tertib formal seperti peraturan negara.”
Kutipan di atas menunjukkan, bahwa politik (negara) selalu berhuhungan dengan
masyarakat dalam pengertiannya yang amat kompleks dan menveluruh. la tidak hanya
berhubungan dengan pengtituran-pengaturan yang sifatnva profan (nampak), bahkan persoiilan
ketentraman dan kedamaian batiniah sekiilipun sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara.
Kendati yang dicontohkan dalam kutipan di atas adalah masyarakat Jawa, namun negara-negara
tradisional dan modern dimanapun lebih kurang akan memiliki hubungan yang sama; bahwa
demikian kompleksnva hubungan negara (politik) dengan masyarakat.
Dengan kata lain, setiap anggota masyarakat tidak dapat melepaskan diri dari ikatan-
ikatan peraturan-peraturan yang diadakan oleh negara. Secara umum juga dapat dikatakan bahwa
seseomng jelas-jelas tidak dapat menghindarkan dari hidup bernegara. Sebab, jangankan masih
hidup, ketika ia meninggal saja ia tetap berhubungan dengan negara, yakni dengan izin
penguburannva misiilnya. Inilah yang menunjukkan pentingnya negara yang terkadang dapat
lebih besar hubungannya ketimbang peran organisasi subordinatnva seperti perkumpulan
olahraga atau organisasi politik (partai) dan organisasi kemasyarakatan.
Eratnya hubungan masyarakat dan politik, juga digambarkan oleh Stevan Lukes (dalam
Miller & Seidcntof, e.d., 1986) sebagai ‘berikut.
“Mengapakah seseorang harus membentuk suatu ikatan terhadap aparat administratif yang
memonopoli kekuasaan sah dalam wilayah tertentu? Simbol-simbol seperti akan bersatu dalam
kehidupan hanya apabila mereka menjadi simbol-simbol negara; yang penting bukanlah mesin
pemerintahan melainkan bahwa orang harus mempunyai rasa untuk berbagi nasib politik dengan
orang lainnya, suatu keinginan untuk bersatu dengan mereka secara politis dalam suatu negara
dan kesiapan untuk terikat pada tindakan politik bersama.” llustrasi tersebut menjelaskan bahwa
hubungan politik dan masyarakat sangat berarti untuk terdapatnya masyarakat bersatu serta agar
masyarakat memiliki identitas diri yang mendorong rasa memiliki terhadap identitas bersamanya
itu (nasionalisme) Secara sederhana hubungan itu dapat dirinci sebagai berikut:
1. Sebagai simbol kebersamaan
2. Sebagai wujud identitas bersama
3. Sebagai wahana tumbuhnva perasaan dan senasib
4. Sebagai wahana ikatan dalam bertindak.
Maka politik, dalam kerangka kecil maupun besar akan mengarahkan fungsi-fungsi
hubungan antara anggota masyarakat sehingga setiap diri masyarakat selalu mendapatkan
kesempatan, peluang, wadah aktualitas, pengaturan dan penerbitan. Bahwii secara ekstrim,
melalui hubungan masvarakat dan politik dapat menimbulkan suatu permusuhan dan peperangan
andai hubungan itu dilepaskan dari kerangka-kerangka nilai yang berlaku di tengah masvarakat.
Perang dunia I dan dunia II yang disusul dengan Perang dingin ( Ketegangan hubungan
antara kekuatan liberal dan komunis ) sesungguhnya merupakan refleksi hubungan masyarakat
(dunia) dengan politik. Tetapi politik tersebut telah ternodai oleh lepasnya ikatan-ikatan moral
dan telah lepas dari substansi politik dalam fungsinya untuk tertib bermasvaraka.t, sehingga
politik pada akhirnya berekses pada pemusnahan suatu masvarakat oleh masyarakat yang
lainnya. Namun demikian, hal ini tetap harus diakui sebaga; .r-bungan antara masyarakat dan
politik, kendati pada kerangka nilai harus dipisahkan mana hubungan yang dapat dibenarkan dan
mana hubungan vang tidak terpuji.
Namun seperti diungkapkan oleh Carlto • J.H. Hayes (1950: 128), untuk menghindari
pertentangan nilai dalam hubungan itu, maka hubungan masyarakat dan politik dapat dirumuskan
sebagai kekuatan yang memupuk simpati antar anggota masyarakat seperti pengabdian bersama,
perbaikan dan pembaharuan serta rasa pembelaan kepada wilayah, kebudayaan dan kekayaan
alam lingkungannya.
Timbal Balik Antara Masyarakat dan Proses Politik
Proses-proses politik sebagaimana telah diuraikpin terdahulu •bagai landasan konseptual)
oleh Rush & Althoff (1995: 22-25) esungguhnya harus dipahami sebagai proses politik yang
melahirkan timbal balik antara masyarakat satu pihak dan politik di pihak lain.
Melalui sosialisasi politik, masyarakat akan mengenali suatu sistem politik yang berlaku
di sekitarnya sehingga masyarakat inemberikan reaksi terhadap gejala-gejala dari sistem politik
itu. Di sini masyarakat akan mengetahui proses polilik dari segi strukturnya, perilaku yang
dikehendakinya dan lain sebagainya. Pemilihan umum (Pemilu) sebagai bagian dari proses
politik di Indonesia akan dapat diikuti tahapan-tahapan dengan baik apabila masyarakatnya telah
mengenali Pemilu dari segi keharusan-keharusannya dan dari segi larangan-larangannya.
Pengenalan ini sangat berguna bagi masyarakat, yakni mengenali, dan bagi proses politik telah
memiliki ruang untuk dikenali masvarakat sehingga proses politik tidak canggung untuk
disosialisasikan.
Begitu pula yang terjadi pada partisipasi politik, suatuu proses politik akan berjalan baik
dan akan memberikan makna bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat manakala
masvarakat akan berarti bagi masyarakat itu sendiri dalam rangka menghapus kesan dirinya
terasingkan dalam proses politik yang akan dijalankan oleh negara umpamanya.
Hal yang sama terjadi pada pengrekrutan politik. Dengan pengrekrutan maka sistem politik akan kuat, mendapatkan dukungan dan mendapatkan wilayah geraknya. Dengan direkrutnya masyarakat ke dalam proses politik, maka masyarakat akan menemukan legitimasi dan kewibawaan dalam menentukan aktulisasi peran dirinya tanpa merasa berposisi yang dikesankan masyarakat dan bernegara” di zaman kuno sebagaimana tlilukiskan oleh Larry Siedentof (dalam Miller & Siedentof, 1986) Pada komunikasi politik, timbal balik masyarakat dan proses –Politik barangkali dapat disebut sebagai timbal balik yang paling mudah menemukan wujudnya. Pengrtian-pengertian, harapan, janji, ancaman yang dikeluarkan masyarakat untuk negara atau partai politik, atau oleh negara dan partai politik kepada masyarakat sesuatu yang paling mungkin terjadi melalui komunikasi politik. Di sini harus diakui bahwa komunikasi politik tak sekedar media penyerapan informasi, lebih dari itu sebagai arena pemupukan kesadamn bagi masyarakat dan bagi proses politik itu sendiri. Faktor tingkah laku masyarakat yang dapat dipahami dengan baik oleh sebuah proses politik yang dijalankan, akan berguna sebagai referensi tindakan-tindakan politik yang nontinya baik input maupun output berguna bagi masyarakat dar. efektif bagi proses itu sendiri.
Timbal balik antara masyarakat dan proses politik itu secara niscaya dapat dikatakan agar
proses politik tidak berjalan sekehendaknya, melainkan atas dasar pertimbangan-
pertimbangan masyarakat baik yang berposisi selaku subjek politik maupun objek politik. Secara
mengesankan Magnis-Suseno (1986:152) mengatakan sebagai berikut: “Pembangunan politik
harus yang dituntut oleh pendekatan sistem bekerja sama dengan dan berdukung pada subsistem-
subsistem yang ada, pada kekuatan-kekuatan yang bekerja. Pembangunan politik tidak secara
kasar mencampuri proses-proses hidup, melainkan penuh hormat, dalam kesadaran tahu diri,
menyesuaikan diri dengan apa yang sudah ada.”
Kutipan di atas mencerminkan bahwa agar proses politik memiliki hubungan timbal balik
dengan masyarakat, maka proses politik hendaklah memperhatikan realitas kultural masyarakat
itu sendiri. Sebagai contoh, pemerintah Indonesia pernah melakukan tindakan politik (yang tak
sekedar tindakan ekonomi) dengan mengesahkannya SDSB. Masyarakat Indonesia yang agamis
menolaknya dan karenanya timbul gelombang unjuk rasa yang amat dahsyat. Pemerintah
menarik kembali SDSB. Contoh ini menunjukkan bahwa proses politik yang diambil oleh suatu
kelompok atau pemerintah yang proses itu bertentangan dengan masyarakat, maka akan
menimbulkan anarkis yang menggetirkan. Dan hal ini sebagai bukti bahwa suatu proses politik
yang tak mencerminkan hubungan timbal balik antara kepentingan politis disatu pihak dan
kepentingan masyarakat pada pihak lain akan berakhir secara mengenaskan.
Dengan adanya timbal balik itu, secara gamblang diakui oleh Clifford Geertz (1992:
144), bahwa proses-proses politik tak sekedar menampakkan wujud institusi formalnya, namun
lebih dari itu proses politik akan memaklumi setiap kehendak masvarakat, dan seyogyanya
kehendak itu dijabarkan oleh proses politik itu sendiri. Sebab, apa vang dikhawatirkan oleh
Geertz, apabila proses politik sudah mengenvampingkan realitas kultural realitas masyarakat,
walaupun proses proses politik dirasakan sangat penting, maka dengan sendirinya masyarakat
dapat mengenyampingkannya bahkan mungkin secara mengkristal berbuntut perlawanan.
Suatu hubungan timbal balik akan dirasakan oleh masyarakat dan negara dalam
melakukan proses politiknya, menurut Vie George Paul Wilding (1992: 21) apabila proses politik
tak sekedar mencerminkan para elite strategis negar itu saja, lebih dari itu harus ada kesediaan
untuk mencerminkan kehendak masyarakat, walau mungkin kehendak itu secara relatif
dipandang menghalangi proses politik yangseharusnya. Di sini, negara, tegas George & Wilding,
tinggal memilih sebuah konsekuensi yang termudah; apakah mengenyampingkan kehendak
politiknya atau justru kehendak masyarakatnya. Kendati jalan mengkompromikan jelas lebih
baik karena pada upaya itu upaya timbal balik dapat din-iaknai secara lebih mengesankan, teruji
dan terpuji.
Jalan ke luar di atas sangat penting, mengingat kehidupan politik menurut Ibnu Khaldun
(dalam Zainuddin, 1992: 93), dengan segala kelebihan dan kekurangannya adalah suatu
keharusan dalam kehidupan masyarakat. Tanpa kehidupan dan proses politik yang timbal balik,
maka kehidupan masyarakat tak akan teratur. Tolong-menolong untuk kepentingan mencapai
tujuan bersama tidak akan terealisasikan. Karena itu, proses politik harus dipahami sebagai
mekanisme yang menjadikan masyarakat segala kehidupannya berjalan lancar.
Dengan demikian, timbal balik antara masyarakat dan proses Politik itu tidak semata-
mata diukur oleh saling pengertian dan memahami hakikat masyarakat dan hakikat politik yang
dijalankan, namun lebih dari itu memahami dan memenuhi keinginan-keinginan dan
kebutuhan-kebutuhan. Bahwa masvarakat hendaklah menjalankan fungsinya sesuai dengan
proses politik vangdijalankan , dan proses politik yangada hendaklah merupakan refleksi dari
merealisir keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan vang ada dalam masyarakat secara adil
dan penuh perikemanusiaan.
Timbal balik antara masyarakat dan proses politik lebih dari yang telah dipaparkan,
sebagaimana dikerangkakan oleh Maurice Duverger (1993 : 351) hendaklah mencerminkdn
suatu solidaritas antar keduanya. Sebab pada solidaritas itu, tegas Duverger, merupakan akibat
dari struktur komunitas hidup, dimana setiap individu membutuhkan orang lain di dalam suatu
jaringan hubungan yangsaling masuk dengan yang lainnya.
Dengan kata lain, haruslah dipandang bahwa antara masvarakat dengan proses politik
merupakan. komunitas hidup yakni komunitas negara yang karena ada keduanya tatanan
kehidupan akan berjalan secara normal asalkan keduanva mencmpatkan dalam posisi sejajar
dalam suatu hubungan yang saling membutuhkan, saling terkait dan saling menentukan.
Barangkali proses politik Indonesia merdeka tak pernah terwujud sampai hari ini apabila
masyarakat saat itu tak membutuhkan kemerdekaan. Kehendak politik melalui tanpa masyarakat
niscaya proses politik akan berjalan hampa. Begitu sebaliknya, masyarakat saja tanpa adanya
proses-proses politik vang dilalui, terutama diplomasi, tentu Indonesia merdeka akan menjadi
sebuah mimpi masyarakat sampai hari ini.
Onghokham dalam karyanya “Rakyat dan Negara” (1991), sampai secara tuntas mencoba
menelusuri hubungan timbal balik antara proses politik vang ditempuh oleh negara dengan
rakyat (masyarakat) sebagai unsur kekuatan dominannya. Onghokham dalam karyanya itu
sempat mengidentifikasi beberapa kegagalan peristiwa politik sepanjang sejarah Indonesia yang
dirasakan lagi, akibat peristiwa itu tidak mampu menggerakkan solidaritas masyarakat. Dan ia
pun mencatat, setradisional apapun peristiwa politik yang terjadi karena mendapatkan dukungan
masyarakat secara massif dan peristiwa-peristiwa itu oleh masyarakat terasa menjadi
tanggungjawabnya dan menjadi miliknya.
Begitu dahsyatnya suatu timbal balik antara proses politik dengan masyarakat,
digambarkan oleh Onghokham merupakan basis penentu keberhasilah politik, yang tidak saja
terjadi di Indonesia, namun terjadi pula pada negara-negara jajahan yang terbebas dari belenggu
penjajahan.
Gambaran Onghokham di atas sekaligus merupakan suatu jawaban yang cukup lugas suatu hubungan politik dan nnasyarakat dimana hubungan itu terjalin karena terdapat timbal balik antara politik dan kehendak-kehendak masyarakat, bahkan politik dijalankan atas dasar kehendak masyarakat itu sendiriPerlu Perbaikan Perekrutan Politik
Sabtu, 25 April 2009 | 03:23 WIB
Bandung, Kompas - Proses perekrutan politik, seperti yang ditunjukkan dalam mekanisme pemilu legislatif lalu, dinilai masih karut-marut dan perlu diperbaiki. Sistem perekrutan politik semacam itu belum menjamin orang-orang terbaik yang bisa duduk di kursi legislatif. Hal serupa bakal terjadi dalam pemilihan umum presiden.
Demikian mengemuka dalam ajang wicara yang dihadiri mantan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Ginandjar Kartasasmita, dan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin, Jumat (24/4) di aula Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Bandung. Ajang wicara bertajuk ”Agenda Indonesia Lima Tahun Mendatang”.
”Dengan sistem rekrutmen politik seperti dalam pemilu 9 April, seorang artis atau pelawak berpotensi besar mengalahkan politisi karier yang berpengalaman dan memiliki kualitas. Bisa dibayangkan bahwa pada lima tahun mendatang orang-orang semacam itu yang akan memimpin negeri kita,” kata Ginandjar.
Terkait dengan hasil pemilu legislatif lalu, dia meragukan kualitas anggota DPR lima tahun mendatang akan jauh lebih baik.
Perekrutan politik dalam pilpres pun dinilai masih tertutup karena membatasi seseorang hanya boleh dicalonkan dari partai politik atau kumpulan parpol.
”Aturan itu menutup orang- orang berkualitas yang berada di luar parpol untuk maju sebagai capres. Jalan itu hanya dimungkinkan bagi orang parpol, atau orang berduit yang bisa mendirikan parpol dan memiliki dana untuk berkampanye,” ujar Ginandjar.
Sementara itu, Din mengkritik sistem multipartai yang membawa perekrutan politik semata-mata demi perebutan kekuasaan. ”Terlalu banyak parpol memengaruhi pola interaksi antarparpol yang hanya berorientasi kekuasaan. Parpol kehilangan fungsinya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat,” ujarnya.
Upaya koalisi menuju pilpres yang dilakukan oleh elite parpol dinilai sebagai hal yang menarik dan wajar terjadi. Din berharap para elite tidak terjebak pada pragmatisme politik sehingga mengabaikan peran parpol untuk kepentingan rakyat. (REK)