kajian yuridis penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar serta pengenaan

17
1 Kajian Yuridis Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Serta Pengenaan Jenis dan Tarif PNBP Yang Berlaku Pada BPN Dalam Upaya Pelaksanaan Kewenangan Daerah Di Bidang Pertanahan 1 Oleh Sarjita, S.H., M. Hum. 2 Pendahuluan Tanah tidak langsung memberikan kemakmuran, tetapi pembangunan (development) yang dilakukan di atas tanah tersebut-lah yang langsung memberikan kemakmuran. Istilah pembangunan merupakan terjemahan dari kata development, adalah kata benda netral dan digunakan dalam menjelaskan proses dan/atau usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya, insfrastruktur masyarakat, dan sebagainya. Namun, kata pembangunan dapat dijuga dimaknai sebagai salah satu discourse, suatu pendirian atau paham, ideologi dan/atau teori tentang perubahan sosial, seperti sosialisme, dependensia, ataupun teori lain. Dalam perkembangannya pembangunan sebagai sebuah teori, akhirnya telah bergeser dan berubah menjadi suatu pendekatan dan ideologi, bahkan menjadi suatu paradigma 3 (paradigm) kacamata atau alat pandang dalam perubahan sosial. Dalam ilmu sosial menurut Habermas, 4 paradigma dibedakan menjadi tiga, yaitu: Pertama, instrumental knowledge dimana ilmu pengetahuan lebih dimaksudkan sebagai alat untuk menaklukan dan mendominasi objeknya; Kedua, hermeneutic knowledge atau paradigma interpretative, ilmu pengetahuan dimaksudkan untuk memahami suatu objek secara sungguh-sungguh (eksploratif). Didasarkan pada tradisi filsafat phenomenology dan hermeneutics, yaitu biarkan fakta bicara atas nama dirinya sendiri. Ketiga, paradigma kritik atau critical/emancipator knowledge. Ilmu pengetahuan tidak boleh dan tidak mungkin bersifat netral, akan tetapi memperjuangkan pendekatan yang bersifat holistik, serta menghindari cara berpikir deterministic dan reduksionistik. Mengkaji suatu fenomena sosial, misalnya terkait dengan regulasi tanah terlantar serta persoalan yang menyertainya dalam semangat era reformasi, pembaruan UU Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) beserta peraturan pelaksanaannya yang sekarang sedang dan akan berproses merupakan sebuah keniscayaan. Upaya-upaya tersebut merupakan realisasi dari prinsip-prinsip yang terkandung dalam Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketetapan MPR RI di atas, merupakan suatu proses dalam rangka mewujudkan keadilan sosial yang secara konstitusinal diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Apabila dicermati secara seksama, kelahiran Ketetapan MPR tersebut, juga didasarkan pada suatu keyakinan bahwa dalam pengelolaan SDA yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatannnya serta menimbulkan berbagai konflik. Kondisi dan situasi tersebut, terjadi dikarenakan secara realitas pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral dilahirkan dengan tidak berlandaskan pada prinsip-prinsip UUPA. Bahkan dalam perkembangannya 1 Makalah Disampaikan Pada Diskusi Implementasi PP Nomor 11 dan PP Nomor 13 Tahun 2010 Di Kabupaten Sleman, Op Room Kabupaten Sleman: 8 April 2010. 2 S.H., M. Hum. Lektor (Pembina IV/a) pada Jurusan Manajemen Pertanahan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Yogyakarta. 3 “a world view, a general perspective, a way of breaking down the complexity of the real world”. Konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, serta prosedur yang dipergunakan oleh suatu nilai dan tema pemikiran. Konstelasi dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan social, untuk memberikan kerangka konsepsi dalam member makna realitas social. Paradigma merupakan tempat kita berpijak dalam melihat suatu realitas. Pemahaman mengenai paradigma memberikan kemampuan kita untuk membentuk apa yang kita lihat, bagaimana cara kita melihat sesuatu, apa yang kita anggap masalah, apa masalah yang kita anggap bermanfaat untuk dipecahkan serta apa metode yang akan digunakan dalam meneliti dan berbuat. Patton (1975) dalam Mansour Fakih, (2001), Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi , Yogyakarta, INSIST PRESS: 19. 4 Ibid: 23-29.

Upload: hanny-septian

Post on 21-Jan-2016

112 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kajian Yuridis Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Serta Pengenaan

1

Kajian Yuridis Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Serta Pengenaan

Jenis dan Tarif PNBP Yang Berlaku Pada BPN Dalam Upaya Pelaksanaan

Kewenangan Daerah Di Bidang Pertanahan1

Oleh

Sarjita, S.H., M. Hum.2

Pendahuluan

Tanah tidak langsung memberikan kemakmuran, tetapi pembangunan (development) yang

dilakukan di atas tanah tersebut-lah yang langsung memberikan kemakmuran. Istilah pembangunan

merupakan terjemahan dari kata development, adalah kata benda netral dan digunakan dalam

menjelaskan proses dan/atau usaha untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya,

insfrastruktur masyarakat, dan sebagainya. Namun, kata pembangunan dapat dijuga dimaknai sebagai

salah satu discourse, suatu pendirian atau paham, ideologi dan/atau teori tentang perubahan sosial, seperti

sosialisme, dependensia, ataupun teori lain. Dalam perkembangannya pembangunan sebagai sebuah

teori, akhirnya telah bergeser dan berubah menjadi suatu pendekatan dan ideologi, bahkan menjadi suatu

paradigma3 (paradigm) kacamata atau alat pandang dalam perubahan sosial.

Dalam ilmu sosial menurut Habermas,4 paradigma dibedakan menjadi tiga, yaitu: Pertama,

instrumental knowledge dimana ilmu pengetahuan lebih dimaksudkan sebagai alat untuk menaklukan dan

mendominasi objeknya; Kedua, hermeneutic knowledge atau paradigma interpretative, ilmu pengetahuan

dimaksudkan untuk memahami suatu objek secara sungguh-sungguh (eksploratif). Didasarkan pada

tradisi filsafat phenomenology dan hermeneutics, yaitu biarkan fakta bicara atas nama dirinya sendiri.

Ketiga, paradigma kritik atau critical/emancipator knowledge. Ilmu pengetahuan tidak boleh dan tidak

mungkin bersifat netral, akan tetapi memperjuangkan pendekatan yang bersifat holistik, serta

menghindari cara berpikir deterministic dan reduksionistik.

Mengkaji suatu fenomena sosial, misalnya terkait dengan regulasi tanah terlantar serta persoalan

yang menyertainya dalam semangat era reformasi, pembaruan UU Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA)

beserta peraturan pelaksanaannya yang sekarang sedang dan akan berproses merupakan sebuah

keniscayaan. Upaya-upaya tersebut merupakan realisasi dari prinsip-prinsip yang terkandung dalam

Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya

Alam.

Ketetapan MPR RI di atas, merupakan suatu proses dalam rangka mewujudkan keadilan sosial

yang secara konstitusinal diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu tanah untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat. Apabila dicermati secara seksama, kelahiran Ketetapan MPR tersebut, juga

didasarkan pada suatu keyakinan bahwa dalam pengelolaan SDA yang berlangsung selama ini telah

menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan,

dan pemanfaatannnya serta menimbulkan berbagai konflik. Kondisi dan situasi tersebut, terjadi

dikarenakan secara realitas pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat sektoral

dilahirkan dengan tidak berlandaskan pada prinsip-prinsip UUPA. Bahkan dalam perkembangannya

1 Makalah Disampaikan Pada Diskusi Implementasi PP Nomor 11 dan PP Nomor 13 Tahun

2010 Di Kabupaten Sleman, Op Room Kabupaten Sleman: 8 April 2010.

2 S.H., M. Hum. Lektor (Pembina IV/a) pada Jurusan Manajemen Pertanahan Sekolah

Tinggi Pertanahan Nasional (STPN), Yogyakarta.

3 “a world view, a general perspective, a way of breaking down the complexity of the

real world”. Konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, serta prosedur yang dipergunakan oleh

suatu nilai dan tema pemikiran. Konstelasi dikembangkan dalam rangka memahami kondisi

sejarah dan keadaan social, untuk memberikan kerangka konsepsi dalam member makna

realitas social. Paradigma merupakan tempat kita berpijak dalam melihat suatu realitas.

Pemahaman mengenai paradigma memberikan kemampuan kita untuk membentuk apa yang

kita lihat, bagaimana cara kita melihat sesuatu, apa yang kita anggap masalah, apa masalah

yang kita anggap bermanfaat untuk dipecahkan serta apa metode yang akan digunakan

dalam meneliti dan berbuat. Patton (1975) dalam Mansour Fakih, (2001), Runtuhnya Teori

Pembangunan Dan Globalisasi, Yogyakarta, INSIST PRESS: 19.

4 Ibid: 23-29.

Page 2: Kajian Yuridis Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Serta Pengenaan

2

kedudukan UUPA didegradasi menjadi undang-undang yang bersifat sektoral yang hanya mengatur

masalah pertanahan.5

Prinsip-prinsip dalam Ketetapan MPR RI tersebut di atas, sejatinya telah tercermin dalam

semangat utama dan prinsip UUPA (UU No. 5 Tahun 1960) yang populis. Menurut Joyo Winoto6

prinsip-prinisp tersebut harus kita internalisasikan dalam batin, pikiran, dan proses-proses

penyelenggaraan pertanahan di tanah air. Sehubungan dengan hal tersebut BPN-RI menetapkan 11

agenda dan dinternasilisasikan ke dalam empat prinsip untuk diposisikan sebagai jiwa, semangat, dan

acuan dari setiap kebijakan, program, dan proses pengelolaan pertanahan di seluruh tanah air. Empat

prinsip tersebut adalah, bahwa Pertanahan harus berkontribusi secara nyata untuk: 1) meningkatkan

kesejahteraan rakyat dan melahirkan sumber-sumber baru kemakmuran rakyat; 2) tatanan kehidupan

bersama yang lebih berkeadilan dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan, penguasaan dan

pemilikan tanah; 3) menjamin keberlanjutan sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan

Indonesia dengan memberikan akses seluas-luasnya pada generasi akan dating pada sumber-sumber

ekonomi masyarakat-tanah; dan 4) menciptakan tatanah kehidupan bersama secara harmonis dengan

mengatasi berbagai sengketa dan konflik pertanahan di seluruh tanah air dan menata sistem pengelolaan

yang tidak lagi melahirkan sengketa dan konflik di kemudian hari.

Sementara itu, kita dihadapkan pula pada era globalisasi. Para aktor globalisasi secara langsung

ataupun secara terselubung berusaha mendesakan berbagai kepentingan agar pembaruan UUPA itu dapat

memperlicin kapitalisme global, sebagai contoh substansi di bidang investasi yang tertuang dalam Pasal

21-22 UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal terulang kembali pola tatanan masa Orde

Baru, meskipun sudah berlangsung pada era Reformasi. Berkat kejelihan para Hakim Di Mahkamah

Konstitusi yang melihat tidak hanya saja dengan pemikiran yang jernih, akan tetapi juga dirasakan dengan

melibatkan hati nurani, maka ketentuan dimaksud akhirnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.

Kemudian jika kita menengok sejarah pada masa Orde Baru7, tatanan pelaksanaan pembangunan,

tanah mengalami pergeseran nilai, yaitu dari tanah yang dikelola bersama, di mana tanah tidak lagi

semata-mata bernilai uang menjadi asset komoditi yang bisa diperdagangkan, yang memiliki nilai

ekonomis, dan objek spekulasi bagi orang yang mempunyai uang banyak. Tanah yang memiliki karakter

sosial telah dirubah menjadi masuk dalam skema pasar tanah. Kondisi tersebut mengakibatkan hak-hak

rakyat atas tanah terpangkas untuk kepentingan investor sehingga membuahkan kemiskinan dan rakyat

termarjinalkan.

Hal yang sama pula terjadi dengan dibatalkannya UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi. Di sini

Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili UU BHP telah mencari dan menempuh jalan baru (rule

breaking) sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo.8

5 Sarjita, Penyelesaian Sengketa Pertanahan Dalam Era Otda (Disampaikan pada

Workshop Penguatan SDM Pemkab Sleman, 11 November 2008), (Tidak dipublikasikan).

6 Joyo Winoto, (2006), Pertanahan Dan Keagrariaan Nasional (Sambutan Kepala BPN RI

pada Hari Agraria Nasional 2006 (24 September 2006), Bogor, Brighten Press: 3-4

7 Ada beberapa alas an mengapa Orde Baru semakin menjauh dari UUPA, yaitu:

Pertama, pada awal Orba ada consensus di antara pendukungnya tentang perlunya stabilitasi,

rehabilitasi dan pembangunan ekonomi gaya kapitalis; Kedua, Angkatan darat menganggap

bahwa Landreform yang disponsori golongan kiri apada awal 1960-an dapat mengancam

pengendaliannya atas beberapa perkebunan milik Negara; Ketiga, dilihat dari segi ekonomi,

strategi radikal tersebut tidak menguntungkan. (Endang Suhendar dan Ifdal Kasim, (1996),

Tanah Sebagai Komoditas, Kajian Kritis Atas Kebijakan Pertanahan Orba, Jakarta, ELSAM: 33.).

8 Rule Breaking, yaitu Pertama, mempergunakan kecerdasan spiritual untuk bangun dari

keterpurukan hukum memberikan pesan peting bagi kita untuk berani mencari jalan baru (rule

breaking) dan tidak membiarkan diri terkekang oleh cara lama, menjalankan hukum yang lama

dan tradisional yang jelas-jelas lebih banyak melukai rasa keadilan. Kedua, pencarian makna

lebih dalam hendaknya menjadi ukuran baru dalam menjalankan hukum dan bernegara

hukum. Masing-masing fihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum didorong untuk

selalu bertanya kepada hati nurani tentang makna hukum yang lebih dalam; Ketiga,. Hukum

hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan, kepedulian

dan keterlibatan (compassion) kepada kelompok yang lemah. Satjipto Rahardjo dalam

Yusriyadi, (2006), Paradgma Sosiologis Dan Implikasinya Terhadap Pengembangan Ilmu Hukum

Dan Penegakan Hukum (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Bidang Sosiologi hukum FH

Universitas Diponegoro, Semarang, 18 Pebruari 2006): 33).

Page 3: Kajian Yuridis Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Serta Pengenaan

3

Penerapan Azas Fungsi Sosial

Pemahaman dan keyakinan akan sifat dan hakikat manusia sebagai makluk individu dan

sekaligus makluk sosial, seharusnya tetap dijaga keberadaannya. Dari sisi kaidah agama maupun kaidah

sosial telah mengajarkan, bahwa pada setiap individu ada hak. Pada orang lainpun ada hak. Bahkan sang

Pencipta-pun juga ada hak. Kesemuannya harus dipenuhi dan diselaraskan. Bahkan menegasikan atau

peniadaan hak bagi salah satunya adalah kedzaliman.9

Sebagai individu, sudah benar dan spantasnyalah jika setiap WNI diberikan hak atas tanah (Hak

Milik) maupun hak-hak yang lainnya. Namun demikian, tidaklah dibenarkan hak atas tanah tersebut

dalam penggunaannnya hanya diorientasikan untuk kepentingan pribadinya (si empunya hak), tanpa

memperhatikan kepentingan sosial atau lingkungannya. Dengan kata lain, menurut Sudjito10

, semua hak

atas tanah harus mempunyai fungsi individu/pribadi, sekaligus fungsi sosial. Implementasi azas tersebut,

harus dipahami secara hati-hati dan benar, agar tidak terjebak atau dipersamakan dengan paham sosialis

yang menyatakan bahwa semua hak atas tanah adalah fungsi sosial.

Penerapan prinsip bahwa tanah mempunyai fungsi sosial mengandung suatu maksud, bahwa

Pemerintah secara moral mempunyai kewajiban untuk menjaga keseimbangan antara dua kepentingan

yang bersifat antinomi, yaitu antara kepentingan individu di satu sisi, dan kepentingan masyarakat di sisi

yang lain.11

Notonagoro dalam M. Mahfud MD.12

menggunakan istilah bahwa untuk menyelaraskan dua

kepentingan yang ada dalam masyarakat tersebut, maka prinsip fungsi sosial terhadap hak milik atas

tanah menurut UUPA bercorak “dwitunggal”. Sementara Maria S.W Sumardjono13

menekankan bahwa

hubungan atau relasi antara orang perorangan dan masyarakat dalam kaitannya dengan tanah, bersifat

kedwitunggalan yang tidak dapat dipisahkan. Sedangkan untuk memberi isi dan ukuran dari fungsi

sosial, menurut Sunarjati Hartono, maka dalam pelaksanaan hak milik atas tanah harus memperhatikan

empat azas, yaitu: 1) azas manfaat; 2) azas usaha bersama dan kekeluargaan; 3) azas demokrasi; dan 4)

azas adil dan merata.

Konsekuensi lebih lanjut, jika secara nyata ditemukan pelanggaran dari prinsip fungsi sosial,

yaitu tanah diterlantarkan atau (ada unsur kesengajaan untuk menelantarkan) tanah, maka hak atas tanah

tersebut kembali kepada hak menguasai dari Negara.14

Pernyataan lebih ekstrim lagi dikemukakan oleh

Ari Sukanti Hutagalung,15

yaitu apabila kewajiban ini diabaikan Negara berwenang untuk membatalkan

hak, sehingga tanahnya menjadi tanah Negara. Dengan demikian pemegang hak atas tanah tidak hanya

mempunyai hak untuk menggunakan tanah yang dikuasai-nya tetapi juga berkewajiban menggunakan

tanahnya sedemikian rupa sehingga baik secara langsung dan tidak langsung memenuhi kepentingan

umum.

Regulasi Kebijakan Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 secara konstitusional telah mengamanatkan bahwa “Bumi, air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat”.

Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber

Daya Alam, dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Pembaruan Agraria mencakup suatu proses yang

berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan

pemanfaatan sumberdaya agria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian huku dan perlindungan

9 Sudjito, Fungsi Sosial Hak Atas Tanah, Majalah Ilmiah Widya Bhumi Tahun 2007: 2.

10 Sudjito, Ibid.: 3.

11 Sarjita, (2002), Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (PP Nomor 36 Tahun

1998 Jo. Kep. Ka. BPN No. 24 Tahun 2002), Yogyakarta, CV. Global Visindo Consultant: 1.

12 M. Mahfud MD (1998), Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta, PT. Pustaka LP3ES: 186.

13 Maria S.W. Sumardjono, (2001), Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan

Implementasi, Jakarta, Kompas: 42.

14 Iman Sutiknjo, (1980), Proses Terjadinya UUPA, Yogyakarta, Gadjah Mada University

Press: 61.

15 Arie Sukanti Hutagalung , (1985), Program Redistribusi Tanah Di Indonesia Suatu Sarana

Ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan Tanah Dan Pemilikan Tanah, Jakarta, CV. Rajawali:

32.

Page 4: Kajian Yuridis Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Serta Pengenaan

4

hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Demikian pula dalam Pasal 4 huruf

h, disebutkan bahwa melaksanakan fungsi sosial, kelestarian dan fungsi ekojologis sesuai dengan kondisi

sosial budaya setempat.

Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 atau sering disebut dengan UUPA (Lembaran Negara

Tahun 1960 Nomor 104, TLN No. 2043), pada Pasal 6, menyatakan bahwa “Semua hak atas tanah

mempunyai fungsi sosial”. Rumusan Pasal tersebut mendapat penjelasan dalam Penjelasan Umum, Angka

Romawi II Angka 4 UUPA, yaitu hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat

dibenarkan, bahwa tanahnya akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan

pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus

disesuaikan dengan keadaannya dan sifat dari pada haknya, hingga bermanfaat bagi baik kesejahteraan

dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan Negara.

Kemudian jika dikaitkan antara ketentuan Pasal 6 dengan Pasal 15 UUPA, maka semua hak atas

tanah harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban

memelihara tanah tidak hanya menjadi beban pemilik atau pemegang hak semata, melainkan menjadi

beban pula dari setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum

dengan tanah. Oleh karena itu, maka hak atas tanah hapus dengan sendirinya apabila tanahnya

diterlantarkan. Sebagaimana diatur dalam: 1) Pasal 27 huruf a angka 3: Hak Milik; 2) Pasal 34 huruf e:

HGU; 3) Pasal 40 huruf e: HGB.

Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun

2004 Nomor 125, TLN Nomor 4437). Ketentuan Pasal 13 UU Nomor 32 Tahun 2004, menyatakan bahwa

Urusan Wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi… meliputi: a. perencanaan dan

pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang; … k. pelayanan

pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota. Pasal 14, menyatakan Urusan wajib yang menjadi

kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota…meliputi: a. perencanaan dan pengendalian

pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan ruang; … k. pelayanan pertanahan.16

Undang Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan

Berkelanjutan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 149, TLN Nomor 5068). Dalam Pasal 1 butir 22

disebutkan bahwa tanah terlantar adalah tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa HM, HGU,

HGB, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak

dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak

atau dasar penguasaannya. Pasal 29 ayat (3) menyatakan bahwa tanah terlantar merupakan salah satu

objek penyiapan lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 149,

TLN Nomor 5068). Pasal 29 ayat (4): Tanah terlantar dapat dialihfungsikan menjadi lahan Pertanian

pangan Berkelanjutan, apabila: a. tanah tersebut diberikan hak atas tanahnya tetapi sebagian atau

seluruhnya tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan tidak dimanfaatkan sesuai dengan sifat dan tujuan

pemberian haknya; atau b. tanah tersebut selama 3 (tiga) tahun atau lebih tidak dimanfaatkan sejak

tanggal pemberian hak diterbitkan.

Lebih lanjut dalam Penjelasan Pasal 29 UU tersebut, dinyatakan bahwa Untuk keperluan

pengembangan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, sebagai Lahan Cadangan Pertanian Pangan

Berkelanjutan, pengambilalihan dapat dilakukan oleh Negara tanpa kompensasi dan selanjutnya

dijadikan objek reforma agraria untuk didistribusikan kepada petani tanpa lahan atau berlahan

sempit yang dapat memanfaatkannya untuk lahan pertanian Pangan Pokok. Sehubungan dengan itu,

masyarakat berperan dalam pengawasan tanah terlantar dengan melaporkan pemanfaatan lahan yang

dinilai diterlantarkan untuk diusulkan sebagai LCPPB.

Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban memberikan perlindungan dan

pemberdayaan serta insentif yang sesuai kepada petani yang memiliki hak atas tanah yang ingin

memanfaatkan tanahnya untuk pertanian Pangan Pokok, tetapi miskin dan memiliki keterbatasan akses

terhadap factor-faktor produksi sehingga menelantarkan tanahnya.

Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah

(Tambahan Lembaran Negara Tahun 1996 No. 58, TLN Nomor 3643). Tentang hapusnya sesuatu hak

16 Anonim, (2004), Undang Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerag Dan Undang Undang RI Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Jakarta, CV. Eka Jaya.

Page 5: Kajian Yuridis Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Serta Pengenaan

5

atas tanah, seperti diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e: HGU, Pasal 35 ayat (1) huruf: HGB, dan Pasal

55 ayat (1) huruf e: Hak Pakai.

Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah (Lembaran Negara

Tahun 2004 Nomor 45, TLN Nomor 4385). PP ini lahir untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 ayat (2)

UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. UU tersebut dalam perkembangannya berdasarkan

ketentuapn Pasal 79 UU Nomor 26 Tahun 2007dinyatakan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 6

PP tersebut, menyatakan bahwa Kebijakan Penatagunaan tanah diselenggarakan terhadap: a. bidang-

bidang tanah yang sudah ada haknya baik yang sudah atau belum terdfatar; b. tanah Negara; c. tanah

ulayat masyarakat hukum adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 7 ayat (1) Terhadap tanah-tanah tersebut di atas, penggunaan dan pemanfaatan tanahnya

harus sesuai dengan RTRW; ayat (2) Kesesuaian penggunaan dan pemanfaatan tanah terhadap RTRW

ditentukan berdasarkan pedoman, standar dan kriteria teknis yang ditetapkan oleh Pemerintah. Ayat (3)

Pedoman, standar dan kriteria teknis tersebut, dijabarkan lebih lanjut oleh Pemerintah Kabupaten/Kota

dengan kondisi wilayah masing-masing. Ayat (4) Penggunaan tanah yang tidak sesuai dengan RTRW

tidak dapat diperluas atau dikembangkan penggunaannya.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara

Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. (Lembaran

Negara Tahun 2007 Nomor 82, TLN No.4737). Dalam Pasal 7 disebutkan bahwa Urusan wajib

sebagaimana dimaksud dlam Pasal 6 meliputi: a. pendidikan; ….,; r. pertanahan; dstnya.

Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pertanahan sebagaimaa tercantum dalam Lampiran I meliputi:17

1) Izin Lokasi; 2) Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum; 3) Penyelesaian Sengketa Tanah

garapan; 4) Penyelesaian Masalah Ganti Kerugian dan Santunan Tanah Untuk Pembangunan; 5).

Penetapan Subjek dan Objek Redistribusi Tanah, serta ganti Kerugian tanah Kelebihan Maksimum dan

Tanah Absente; 6) Penetapan Tanah Ulayat; 7) Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong; 8)

Ijin Membuka Tanah (tugas perbantuan/medebewind); 9). Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah

Kabupaten/Kota.

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah

Terlantar (LN Tahun 2010 Nomor 16, TLN Nomor 5098), dalam Pasal 19 PP tersebut menyatakan

mencabut dan menyatakan tidak berlaku PP Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan

Pendayagunaan Tanah Terlantar serta peraturan pelaksanaannya.

Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

(Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 21, TLN Nomor 5103). Yang dimaksud pengertian ruang

dalam PP tersebut adalah meliputi: a) ruang darat; b) ruang laut; dan c) ruang udara, termasuk ruang di

dalam tubuh bumi sebagai satu kesatuan wilayah tempat manusia dan makluk lain hidup, melakukan

kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Dalam PP tersebut juga dilakukan pengaturan

mengenai Penyusunan dan Penetapan RTRW Nasional, RTRW Provinsi, RTRW Kabupaten, RTRW

Kota, Rencana Rinci Tata Ruang, Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan, Rencana tata Ruang Kawasan

Strategis, Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), RTR Kawasan Perkotaan, RTR Kawasan Perdesaan, RTR

Kawasan Agropolitan. Khusus untuk Pedoman Penyusunan RTRW Kabupaten diatur dalam Peraturan

Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/W/2009 tertanggal 27 Juli 2009.

Kemudian untuk pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang, dilakukan melalui instrumen

berupa pengaturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif dan pengenaan sanksi. Izin

dalam lingkup pemanfaatan dapat diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota berupa: a. izin prinsip; b.

izin lokasi; c. izin penggunaan pemanfaatan tanah; dan d. izin mendirikan bangunan; serta e. izin lain

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1998 tentang Pemanfaatan Tanah

Kosong Untuk Tanaman Pangan.

Peraturan Kepala BPN RI Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar.

Peraturan Ka. BPN ini dalam Pasal 28 telah menyatakan tidak berlaku Keputusan Ka. BPN Nomor 24

Tahun 2002 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan

Pendayagunaan Tanah Terlantar.

17 Anonim, (2007), Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan

Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, Bandung, Fokus Media: 215-226.

Page 6: Kajian Yuridis Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Serta Pengenaan

6

Profil PP Nomor 11 Tahun 2010 tentang P2T2

a. Dasar Pertimbangan Penerbitan PP Nomor 11 Tahun 2010

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 diterbitkan berdasarkan pertimbangan

utama, Pertama, bahwa kondisi penelantaran tanah semakin menimbulkan kesenjangan

sosial, ekonomi, dan kesejahteraan rakyat serta menurunkan kualitas lingkungan; Kedua,

Instrumen regulasi berupa peraturan perundang-undangan yang telah ada yaitu PP Nomor 36

Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar beserta peraturan

pelaksanaannya tidak dapat lagi dijadikan acuan penyelesaian penertiban dan pendayagunaan

tanah terlantar. Namun secara politis sebenarnya ada tujuan yang lebih besar dan luas serta

strategis dengan diterbitkannya PP Nomor 11 Tahun 2010 yaitu untuk menunjang

keberhasilan pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN). Di mana tanah

terlantar telah ditetapkan sebgai salah satu objek Reforma Agraria18

di samping tanah Negara

Bekas Hak Barat dan/atau Swapradja dan tanah Negara lainnya, tanah Negara bekas HGU

dan HGB yang telah berakhir jangka waktu berlakunya hak dan tidak diperpanjang; serta

Tanah Negara Bekas Kawasan Hutan.

b. Pengertian Tanah Terlantar

Dalam PP ini tidak diatur secara jelas rumusan apa itu pengertian tanah terlantar. Baik

dalam Ketentuan Umum Pasal 1 yang biasanya menjelaskan istilah yang digunakan pada

Pasal-pasal berikutnya. Sebagai perbandingan pengertian tanah terlantar dapat dilihat pada

Pasal 1 butir 5 PP Nomor 36 tahun 1998 yang telah dicabut, yaitu tanah yang diterlantarkan

oleh pemegang hak atas tanah [HM, HGU, HGB, HP], pemegang Hak Pengelolaan, atau

pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah [izin/keputusan/surat dari

pejabat yang berwenang yang menjadi dasar penguasaan atas tanah] tetapi belum

memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penjelasan secara lebih dalam mengenai pengertian tanah terlantar, dapat diketemukan dalam

Penjelasan Pasal 2 PP Nomor 11 Tahun 2010, yaitu apabila tanahnya: a. tidak diusahakan; b;

tidak dipergunakan atau c. tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan

haknya. d. tanah yang ada dasar penguasaannya apabila tanahnya: a. tidak dimohon hak;

tidak diusahakan; atau ctidak dipergunakan; d. atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan

persyaratan atau ketentuan yang ditetapkan dalam iizin lokasi, surat keputusan pemberian

hak, surat keputusan pelepasan kawasan hutan, dan/atau dalam izin/keputusan/surat

lainnya dari pejabat yang berwenang.

Pengertian tanah terlantar dapat diketahui dalam Peraturan Kepala BPN RI Nomor 4

Tahun 2010, yaitu pada Pasal 1 butir 6: tanah yang sudah diberikan hak oleh Negara berupa

HM, HGU, HGB, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang

tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannnya

atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya.

Sehubungan dengan pengertian tanah terlantar ini, penulis dapat membedakan menjadi

dua,19

yaitu Pertama, tanah terlantar secara fisik dan Kedua, tanah terlantar secara yuridis.

18 Sarjita, Tantangam RA Di Kawasan Timur Indonesia (Makalah disampaikan pada

Seminar Lingkar Belajar RA (LIBRA) Kerjasama STPN-Fakultas Ekonomi Universitas Satya Wacana

Salatiga, 4 Mei 2009): 7.

19 Tanah Terlantar secara fisik (didasarkan pada kondisi lapang). Jika tanahnya tidak

dimanfaatkan atau dibiarkan dalam keadaan tidak digunakan sesuai keadaan, sifat dan

tujuan daripada haknya. Tanah Terlantar secara Yuridis, apabila tanah tersebut di samping

memenuhi kriteria tanah secara fisik, juga telah diterbitkan SK Kepala BPN tentang Penetapan

sebagai Tanah Terlantar. Sarjita, Ibid: 8-9

Page 7: Kajian Yuridis Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Serta Pengenaan

7

c. Kriteria Objek Tanah Terlantar

PP Nomor 11 Tahun 2010 yang baru ini ditentukan objek tanah terlantar sebagaimana

diatur dalam Pasal 2. Kemudian dalam Pasal 3 dirumuskan kriteria tanah yang tidak termasuk

objek penertiban tanah terlantar, yaitu:

1) Tanah HM atau HGB atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak

dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya; dan

2) Tanah yang dikuasai pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung dan sudah

berstatus maupun belum berstatus Barang Milik Negara/Daerah yang tidak sengaja tidak

dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya.

Hak atas tanah perseorangan yang berupa HM atau HGB tersebut tidak sengaja tidak

dipergunakan sesuai keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya karena pemegang hak

tidak memiliki kemampuan segi ekonomi untuk mengusahakan, mempergunakan, atau

memanfaatkan. Sedangkan khusus Tanah yang dikuasai Pemerintah (tanah asset Pemerintah)

tidak sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian

haknya, karena keterbatasan anggaran Negara/daerah untuk mengusahakan, mempergunakan,

atau memanfaatkan.

Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan, apabila tanah HM atau HGB perseorangan

atau tanah yang dikuasai Pemerintah (tanah Asset Pemerintah)20

tersebut, Pemegang haknya

memiliki kemampuan secara ekonomi dan/atau Instansi Pemerintah (Pusat/Daerah) memiliki

cukup anggaran untuk mengusahakan, mempergunakan, atau memanfaatkan tanah sesuai

keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya, maka akan meningkat statusnya yang

semula bukan merupakan objek tanah terlantar, akan menjadi objek penertiban tanah

terlantar.

Dengan memperhatikan bahwa uraian tersebut di atas, maka yang termasuk objek tanah

terlantar:

1) Tanah HGU baik yang subjeknya Perseorangan maupun Badan Hukum yang didirikan

menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

2) Tanah Hak Pakai;

20 Tanah Asset Pemerintah. Yang berupa tanah menurut ketentuan Pasal 49 UU Nomor 1

Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara harus disertipikatkan atas nama pemerintah

RI/Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Yang termasuk dalam pengertian tanah asset

pemerintah/pemerintah daerah adalah a. tanah-tanah bukan pihak lain dan yang telah

dikuasai secara fisik ileh instansi pemerintah; b. tanah-tanah bukan pihak lain yang dikelola dan

dipelihara/dirawat dengan dana dari isntansi Pemerintah; c. Tanah-tanah bukan pihak lain

yang telah terdaftar dalam Daftar Inventaris Instansi Pemerintah yang bersangkutan; d. Tanah-

tanah sebagaimana tersebut pada huruf a s/d b dan c, baik yang sudah ada sertipikatnya

maupun yang belum ada sertipikatn tanahnya; e. tanah yang secara fisik dikuasai atau

digunakan/dimanfaatkan oleh pihak lain berdasarkan hubungan hukum yang dibuat antara

pihak lain dengan instansi Pemerintah dimaksud. Sedangkan tanah yang tidak termasuk asset

Pemerintah, yaitu tanah kepunyaan pihak lain yang dikuasai atau dimanfaatkan/digunakan

oleh instansi Pemerintah, atau sering dipakai istilah “tanah dalam penguasaan”. Terhadap

tanah yang demikian perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, apakah status tanahnya berstatus

tanah Negara atau tanah hak. Jika berstatus tanah Negara, maka perlu dijadikan asset

Pemerintah dan diajukan permohonan hak atas tanahnya kepada Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota setempat. Sarjita, (2005), Pelaksanaan Urusan Pertanahan Dalam Era otonomi

Daerah, Yogyakarta, Tugujogja Pustaka: 41-42. Kemudian untuk pengelolaan Barang Milik

Negara/Daerah pengaturanya dilakukan dengan PP Nomor 6 Tahun 2006 Jo. PP Nomor 38

Tahun 2008 tentang Perubahan Atas PP Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik

Negara/Daerah.

Page 8: Kajian Yuridis Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Serta Pengenaan

8

3) Tanah Hak Guna Bangunan (HGB) yang pemegang haknya perorangan dan mempunyai

kemampuan dari segi ekonomi untuk mengusahakan, menggunakan dan memanfaatkan

tanah akan tetapi dengan sengaja tidak mempergunakan tanah sesuai dengan keadaan

atau sifat dan tujuan pemberian haknya.

4) Tanah Hak Guna Bangunan (HGB) yang pemegang haknya berupa Badan Hukum

(Perseroan Terbatas).

5) Tanah Yang dikuasai Pemerintah (Tanah asset Pemerintah) dan mempunyai cukup

anggaran untuk mengusahakan, menggunakan dan memanfaatkan tanah akan tetapi

dengan sengaja tidak mempergunakan tanah sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan

pemberian haknya.

6) Tanah Hak Pengelolaan.

7) Tanah-tanah yang dikuasai oleh pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas

tanah [izin/keputusan/surat dari pejabat yang berwenang yang menjadi dasar

penguasaan atas tanah] tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berkaitan dengan pembahasan tentang objek tanah terlantar ini, masih harus

diperjelas/dipertegas, bagimana dengan status tanah asset Pemerintah Desa yang sering

disebut dengan istilah Tanah Kas Desa (TKD), tanah yang secara tidak sengaja tidak

diusahakan, dipergunakan atau dimanfaatkan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan

pemberian haknya, dikarenakan tanah dihalang-halangi oleh pihak lain atau tanah masih

dalam sengketa/perkara baik yang belum atau yang sudah diajukan melalui gugatan di

Pengadilan, tanah hak ulayat masyarakat hukum adat, dan tanah Negara. Hal ini perlu kami

kemukakan karena secara riil di lapang besar kemungkinan ditemukan tanah yang terindikasi

terlantar status tanahnya termasuk sebagaimana diuraikan di atas.

d. Inventarisasi Tanah Yang Terindikasi Terlantar

Inventarisasi tanah terindikasi terlantar dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN

Provinsi berdasarkan informasi yang diperoleh dari hasil pemantauan lapnagan oleh Kepala

Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau dari hasil laporan Dinas/instansi lainnya, laporan

tertulis dari masyarakat, atau para pemegang hak. Pemegang hak berkewajiban melaporkan

penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan keputusan pemberian hak atas tanah atau

dasar penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang.

Inventarisasi tanah terindikasi terlantar dilaksanakan melalui: 1) pengumpulan data

mengenai tanah yang terindikasi terlantar yang meliputi data tekstual (nama, alamat

pemegang hak atas tanah, tanggal keputusan pemberian hak atas tanah, Nomor dan Tanggal,

serta berakhirnya sertipikat, letak tanah, luas dan penggunaan tanah, serta luas tanah yang

terindikasi terlantar) dan data spasial (data grafis berupa peta yang dilengkapi dengan

koordinat posisi bidang tanah yang terindikasi terlantar). 2) pengelompokan data tanah yang

terindikasi terlantar dilakukan menurut wilayah kabupaten/kota, dan jenis hak/dasar

penguasaan. 3) mengadministrasikan data hasil inventarisasi tanah terindikasi terlantar secara

tertib dalam basis data untuk keperluan pelaporan bahan analsisi dan penentuan tindakan

selanjutnya.

Page 9: Kajian Yuridis Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Serta Pengenaan

9

e. Identifikasi dan Penelitian Tanah Yang Terindikasi Terlantar

Tanah yang terindikasi terlantar berdasarkan hasil inventarisasi dan telah ditetapkan

sebagai target, dilakukan identifikasi dari aspek administrasi dan dilakukan penelitian lapang

(fisik tanah) oleh Panitia C yang dibentuk dan ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah BPn

Provinsi Identifikasi dan penelitian aspek administrasi serta penelitian lapang dilakukan

terhadap tanah:

1) HM, HGU, HGB, Hak Pakai terhitung mulai 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan sertipikat

hak atas tanahnya;

2) Tanah yang telah diperoleh dasar penguasaaannya (izin, keputusan/surat dasar

penguasaan atas tanah dari pejabat yang berwenang terhitung sejak berakhirnya dasar

penguasaan tersebut.

Setelah diperoleh data hasil identifikasi, Kepala Kantor Wilayah menyusun dan

menetapkan target yang akan dilakukan identifikasi dan penelitian terhadap tanah yang

terindikasi terlantar. Penetapan taget didasarkan pada pertimbangan lamanya tanah tersebut

diterlantarkan dan/atau luas tanah yang terindikasi terlantar. Penyiapan data tanah yang

terindikasi terlantar dengan melakukan penelitian administrasi dan penelitian lapang fisik

tanah. Data dan informasi yang diperlukan dari tanah yang terindikasi terlantar, meliputi:

1) Verifikasi data fisik dan data yuridis (jenis hak dan letak tanah);

2) Pengecekan buku tanah dan/atau warkah dan dokumen lainnya untuk mengetahui

keberadaan pembebanan, termasuk data, rencana, dan tahapan penggunaan dan

pemanfaatan tanah pada saat permohonan hak atas tanah diajukan oleh pemohon.

3) Meminta keterangan dari pemegang hak atas tanah atau pihak lain yang terkait, apabila

pemegang hak atas tanah/kuasanya/wakilnya tidak memberikan data dan informasi atau

tidak ditempat atau tidak dapat dihubungi, maka identifikasi dan penelitian tetap

dilaksanakan dengan cara lain untuk memperoleh data;

4) Melaksanakan pemeriksaan fisik berupa letak batas, openggunaan dan pemanfaatan tanah

dengan menggunakan teknologi yang ada.

5) Melaksanakan ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta pertanahan

berdasartkan hasil pemeriksaan fisik;

6) Membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar, antara lain menyangkut

permasalahan-permasalahan penyebab terjadinya tanah terlantar, kesesuaian dengan hak

yang diberikan, dan kesesuaian dengan tata ruang.

7) Menyusun laporan hasil identifikasi dan penelitian.

f. Pembentukan dan Susunan Panitia C

Panitia C, adalah suatu kepanitiaan yang dibentuk oleh Kepala Kantor Wilayah BPN

Provinsi dengan susunan keanggotaan sebagai berikut:

Page 10: Kajian Yuridis Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Serta Pengenaan

10

1) Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi sebagai Ketua;

2) Kepala Bidang Pengendalian Pertanahan Dan Pemberdayaan Tanah sebagai Sekretaris;

3) Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota, , Dinas/Instansi Provinsi yang berkaitan dengan

peruntukan tanah, Dinas/Instasni Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan peruntukan

tanah, dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota sebagai Anggota.

Tugas dan fungsi Panitia C adalah:

1) Melakukan verifikasi data fisik dan data yuridis;

2) Mengecek buku tanah dan/atau warkah tanah dan dokumen lainnya untuk mengetahui

keberadaan pembebabanan, sita jaminan dan lain sebagainya, termasuk data, rencana dan

tahapan penggunaan dan pemanfaatan tanah saat dijaukan permohonan hak atas

tanahnya;

3) Meminta keterangan ddari pemegang hak atas tanah atau pihak lain yang terkait, dan

pemegang hak atau pihak lain harus member keterangan atau menyampaikan data yang

diperlukan;

4) Pemeriksaan fisik dengan menggunakan teknologi yang ada;

5) Ploting letak penggunaan dan pemanfaatan tanah pada peta pertanahan;

6) Membuat analisis penyebab terjadinya tanah terlantar;

7) Menyusun hasil laporan identifikasi dan penelitian;

8) Melaksanakan sidang Panitia C untuk membahas dan memberikan saran pertimbangan

kepada Kakanwil BPN Provinsi dalam rangka mengambil tindakan penertiban tanah

terlantar;

9) Membuat dan menandatangani Beria Acara Sidang Panitia

g. Peringatan dan Pemberitahuan Kepada pemegang Hak Atas Tanah

Terhadap tanah yang terindikasi terlantar setelah dilakukan identifikasi dan penelitian

oleh Panitia C, dan kemudian diputuskan dalam Sidang Panitia C terdapat tanah terlantar

yang kemudian dituangkan dalam Berita Acara Sidang Panitia C, maka Kepala Kantor

Wilayah BPN Provinsi memberitahukan dan sekaligus memberikan Peringatan Tertulis I

kepada Pemegang Hak, agar dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkannya

Surat Peringatan, menggunakan tanahnya sesuai keadaannya atau menurut sifat dan tujuan

pemberian haknya atau sesuai izin/keputusan/surat sebagai dasar penguasaannya.

Secara garis besar tahapan peringatan tertulis kepada Pemegang Hak Atas Tanah

dilakukan sebagai berikut:

No Tahapan Jangka Waktu Keterangan

1. Peringatan Pertama 1 (satu) bulan

sejak tanggal

1) Dalam Surat peringatan disbutkan hal-hal secara

kongkret yang harus dilakukan oleh Pemegang HAT dan

Page 11: Kajian Yuridis Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Serta Pengenaan

11

penerbitan Surat

Peringatan I

sanksi yang dapat dijatuhkan apabila pemegang HAT

tidak mengindahkan atau melaksanakan Peringatan ybs.

2) Dalam hal tanah yang di terbitkan Surat Peringatan

dibebani dengan Hak Tanggungan, maka surat

periingatan diberitahukan juga kepada Pemegang Hak

Tanggungan

3) Pemegang HAT wajib menyampaikan laporan kemajuan

penggunaan, pemanfaatan tanah setiap 2 (dua) minggu

kepada Kakanwil BPN dengan tembusan Kepala Kantor

Pertanahan Kab/Kota setempat.

2. Peringatan Kedua 1 (satu) bulan

sejak tanggal

penerbitan Surat

Peringatan II

1) Kakanwil BPN Provinsi melakukan pemantauan terhadap

laporan kemajuan penggunaan dan pemanfaatan tanah

dari Pemegang HAT;

2) Berdasarkan evaluasi data terhadap Surat Peringatan I,

pada Peringatan Ke-II disebutkan kembali mengenai

tindakan konkret dan sanksi yg dapat dijatuhkan kepada

Pemegang HAT yg tidak mengindahkan/melaksanakan

isi Surat Peringatan

3. Peringatan Ketiga 1 (satu) bulan

sejak tanggal

penerbitan Surat

Peringatan III

1) Berdasarkan Peringatan I, II dan III Kakanwil BPN

Provinsi melaporkan kepada Kepala BPN RI.

2) Apabila Pemegang Hak Atas Tanah tetap tidak

melaksanakan substansi (isi) Peringatan Ke-III, maka

Kakanwil BPN Provinsi mengusulkan kepada Kepala

BPN RI untuk ditetapkan tanah tersebut sebagai tanah

terlantar.

3) Tanah yang diusulkan untuk ditetapkan sebagai tanah

terlantar, dinyatakan dalam keadaan status quo sejak

tanggal pengusulan sampai diterbitkannya SK penetapan

Tanah Terlantar. Konsekuensi hukumnya, maka

terhadap tanah yang bersangkutan tidak dapat dilakukan

perbuatan hukum (jual beli, tukar menukar, dsbnya).

Tindakan konkret yang wajib dilakukan oleh pemegang hak atas tanah, antara lain:

1) Mengusahakan, menggunakan dan memanfaatkan tanah sesuai keadaan dan sifat serta

tujuan pemberian haknya;

2) Dalam hal tanah yang digunakan tidak sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian haknya,

pemegang HAT harus mengajukan permohonan perubahan hak atas tanah kepada Kepala

Kantor Pertanahan setempat sesuai peraturan yang berlaku.

3) Mengajukan permohonan hak untuk dasar penguasaan atas tanah mengusahakan,

menggunakan dan memanfaatkan tanahnya sesuai dengan izin/keputusan/surat dari

pejabat yang berwenang.

Sedangkan sanksi yang dapat dijatuhkan, yaitu ditetapkannya tanah yang bersangkutan

sebagai tanah terlantar, yang sekaligus hapus haknya, putus hubungan hukum, dan tanahnya

ditegaskan dikuasai langsung oleh Negara.

Surat Peringatan Kakanwil BPN Provinsi Ke III yang tidak diindahkan atau tidak

dilaksanakan oleh Pemegang HAT, kemudian oleh Kakanwil BPN Provinsi diusulkan

Page 12: Kajian Yuridis Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Serta Pengenaan

12

kepada Kepala BPN RI, untuk ditetapkan sebagai tanah terlantar. Apabila memenuhi kriteria

sebagai berikut: a) tidak menggunakan dan menafaatkan tanahnya sesuai dengan sifat dan

tujuan pemberian haknya; b) masih ada tanah yang belum diusahakan sesuai SK atau dasar

penguasaannnya; c) masih ada tanah yang penggunannya tidak sesuai dengan SK atau dasar

penguasaannya; d) tidak ada tindak lanjut penyelesaian pembangunan; e) penggunaan tanah

tidak sesuai dengan SK atau dasar penguasaan tanah; atau f) belum mengajukan permohonan

hak atas tanah apabila dasar penguasaan tanah masih berdasarkan Izin/Keputusan/Surat dari

pejabat yang berwenang.

h. Penetapan Tanah Terlantar Oleh Kepala BPN RI

Penetapan tanah ditetapkan sebagai tanah terlantar berdasarkan pertimbangan persentase

(%) dari luas tanah yang secara riil diterlantarkan, yaitu:

No Persentase dari

Luas Riil Tanah

yang

diterlantarkan (%)

SK Penetapan Tanah Terlantar Keterangan

1.

100 %

SK diberlakukan terhadap seluruh hamparan

tanah yang diterlantarkan

2.

< 25 % ≤ 100 %

SK diberlakukan terhadap seluruh hamparan

tanah yang diterlantarkan, dan selanjutnya

klepada bekas pemegang HAT diberikan

kembali sebagian tanah yang benar-benar

diusahakan/dimanfaatkan atau dipergunakan

sesuai keputusdan pemberian haknya,

melalui prosedur permohonan HAT atas

beban biaya pemohon;

3.

≤ 25 %

SK Diberlakukan hanya terhadap tanah yang

diterlantarkan dan selanjutnya Pemegang

HAT mengajukan permohonan revisi luas

bidang tanah hak tersebut dan biaya revisi

menjadi beban Pemegang HAT.

SK Penetapan Tanah Terlantar

yang telah diberikan dasar

penguasaan (Izin/Keputusan/Surat

dari pejabat yang berwenang), dan

bekas pemegang dasar penguasaan

mengajukan permohonan hak atas

tanah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan atas bidang

tanah yang benar-benar

diusahakan, dipergunakan atau

dimanfaatkan sesuai

Izin/Keputusan/surat yang telah

ditetapkan oleh Pejabat yang

berwenang.

4.

SK Kepala BPN RI tentang Penetapan Tanah Sebagai Tanah Terlantar disampaikan kepada Pemgang

HAT, atau Bekas Pemegang HAT, dengan tembusan kepada Gubernur, Kakanwil BPN Provinsi,

Bupati/Walikota, Kepala Kantor Pertanahan serta Instansi terkait, dan Pemegang HT apabila tanah ybs

dibebani dengan HT.

5.

Kepala Kantor Pertanahan Kab/Kota setempat wajib mencoret sertipikat hak atas tanah dan/atau

sertipikat HT dari Daftar Umum dan Daftar Isian lainnya dalam Tata Usaha Pendaftaran Tanah, serta

mengumumkan di Surat Kabar 1 (satu) kali dalam waktu sebulan setelah dikeluarkannya SK Kepala

BPN yang menyatakan bahwa sertipikat tersebut tidak berlaku.

6.

Page 13: Kajian Yuridis Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Serta Pengenaan

13

Tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah terlantar, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak

ditetapkannya SK Penetapan sebagai tanah terlantar, wajib dikosongkan oleh bekas Pemegang HAT atas

benda-benda di atasnya dengan beban biaya yang bersangkutan. (Pasal 13 ayat (1) PP No. 11 Tahun

2010

7. Jika bekas Pemegang HAT tidak memenuhi kewajiban sebagaimana tersebut pada angka 6 di atas, maka

benda-benda di atasnya tidak lagi menjadi miliknya dan dikuasai langsung oleh Negara. (Psl 13 ayat (2)

PP No. 11 Tahun 2010

i. Pemberdayaan Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar

Terhadap tanah Negara bekastanah terlantar, didayagunakan untuk kepentingan

masyarakat dan Negara melalui Reforma Agraria21

dan Program Strategis Negara serta untuk

Cadangan Negara lainnya. Sedangkan penataan asset dan penataan akses (Acces Reform)22

masyarakat terhadap tanah Negara bekas tanah terlantar dilakukan melalui distribusi dan

redistribusi tanah Negara.

Beberapa Permasalahan Yang Timbul Dan Peran Pemda Kabupaten/Kota Dalam

Pelaksanaan P2T2

Sesuai kewenangan yang dipunyai oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota di Bidang

Pertanahan sebagaimana di tetapkan dalam PP Nomor 38 Tahun 2007, sebagaimana telah

diuraikan di muka, bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota secara hukum telah dan sedang

mengemban amanah untuk menyelenggarakan kewenangan di bidang pertanahan. Ada delapan

kewenangan di bidang pertanahan yang didesentralisasikan dan satu kewenangan yang ditugas

21 Reforma Agraria merupakan suatu proses yang berkesinambungan berkenaan

dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan

sumberdaya agrarian, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian perlindungan hukum

serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. RA ini bertujuan untuk

menciptakan sumber-sumber kesejahteraan masyarakat yang berbasis agrarian (walfare);

menata kehidupan masyarakat yang lebih baik berkeadilan (equity), meningkatkan

keberlanjutan (sustainability) sistem kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia

dan penggunaan/pemanfaatan tanah dan factor-faktor produksi lainya secara optimal

(efficiency); penyelesaian sengketa tanah (harmony) kemasyarakatan. (Joyo Winoto, (2007),

Reforma Agraria Mandat Politik Konstitusi Dan Hukum Dalam Rangka Mewujudkan Tanah Untuk

Keadilan Dan Kesejahteraan Rakyat, Jakarta, Badan Pertanahan Nasional RI.)

22 Antara lain dilakukan melalui penyediaan infrastruktur dan sarana produksi,

pembinaan dan bimbingan teknis kepada penerima manfaat, dukungan permodalan, distribusi

dan pemasaran hasil serta dukungan lainya. (Sarjita, Opcit.: 8).

Page 14: Kajian Yuridis Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Serta Pengenaan

14

perbantuan (medebewind). Kewenagan tersebut di atas, khususnya yang bukan tugas

perbantuan (medebewind) secara hukum berdasarkan PP Nomor 38 tahun 2007 telah menjadi

kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota, namun dalam perkembangannya belum semua

Pemerintah Kabupaten/Kota telah melaksanakan kewenangan tersebut. Sebagai contoh, pada

Pemerintah Kabupaten Sleman dengan Struktur Organisasi Dinas Pengendalian Pertanahan

Daerah yang dibentuk berdasarkan Perda Kabupaten Sleman Nomor 9 Tahun 2009 tentang

Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Sleman tertanggal 4 Agustus 2009, baru

dapat menyelenggarakan kewenangan Izin Lokasi, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan

Umum, dan Perencanaan Penggunaan Tanah Wilayah Kabupaten/Kota. Dengan demikian, masih

ada beberapa kewenangan yang belum dapat dilaksanakan/tertangani secara baik dan utuh.

Namun secara kelembagaan/institusi sudah menunjukan suatu keberhasilan/kemajuan yang

semula dari Perangkat Organisasi yang berbentuk Badan Pengendalian Pertanahan Daerah

(BPPD) sekarang telah meningkat menjadi Dinas Pengendalian Pertanahan Daerah (DPPD).

Melihat peluang yang ada, dari implementasi PP Nomor 11 Tahun 2010 muncul beberapa

permasalahan, antara lain:

a. Masih terdapat beberapa objek dari tanah yang terindikasi terlantar, tetapi oleh PP tersebut

tidak dijadikan sebagai objek identifikasi tanah terlantar. Sebagai contoh, terhadap status

tanah yang merupakan asset Pemerintah Desa yang berupa Tanah Kas Desa (TKD), tanah

Negara, Tanah Asset Pemerintah yang dikarenakan keterbatasan anggaran tidak sengaja dan

tidak diusahakan, dipergunakan dan dimanfaatkan sesuai sifat dan tujuan pemberian haknya,

serta Tanah HM atau HGB atas nama perseorangan yang secara tidak sengaja tidak

dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan pemberian haknya sehingga tidak

dijadikan/dikecualikan sebagai objek identifikasi tanah terlantar. Terhadap persoalan

tersebut, Pemerintah Daerah yang dalam hal ini adalah Dinas Pengendalian Pertanahan

Daerah (DPPD) dapat segera menangkap peluang tersebut untuk dijadikan sebagai objek dari

kewenangan Pemda Kabupaten di Bidang Pertanahan khususnya berkaitan dengan

Pemanfaatan dan Penyelesaian Masalah Tanah Kosong. Dituangkan dalam bentuk kegiatan:

1) inventarisasi dan identifikasi tanah kosong untuk pemanfaatan tanaman pangan semusim;

2) Penetapan bidang-bidang tanah sebagai tanah kosong yang dapat digunakan untuk

tanaman pangan semusim bersama dengan pihak lain berdasarkan perjanjian (sewa

menyewa, bagi hasil, kontrak dan/atau kerjasama operasional). 3) Penetapan pihak-pihak

yang memerlukan tanah untuk tanaman pangan semusim dengan menguatamakan masyarakat

setempat; 4) Melakukasn fasilitasi perjanjian kerjasama antara Pemegang Hak Atas tanah

dengan Pihak yang akan memanfaatkan tanah kosong tersebut dihadapan dan diketahui

Kepala Desa/Lurah dan dikuatkan oleh Camat setempat; 5) serta Penanganan masalah yang

timbul dalam pemanfaatan tanah kosong, jika salah satu pihak tidak memenuhi isi perjanjian.

Adapun substansi pengaturanya dituangkan dalam bentuk Peraturan Bupati tentang

Kebijakan Pemanfaatan dan Penyelesaian Tanah Kosong. Tentunya luas ruang

lingkup/cakupannya disamping tanah-tanah yang menjadi objek penertiban tanah terlantar,

termasuk juga tanah-tanah asset Pemda yang diperoleh atau berasal dari Fasum/Fasos

Pengembang Perumahan yang telah diserahkan kepada Pemda sebagaimana diatur dengan

Permedagri Nomor 9 Tahun 2009. Hasil pelaksanaan inventarisasi dan identifikasi

tersebut, pada akhirnya dapat dijadikan embrio atau cikal bakal basis data tanah di wilayah

Kabupaten yang besar kemungkinan termasuk indikasi tanah terlantar. Karena Data

informasi tanah yang terindikasi terlantar dapat berasal dari laporan dari Dinas/Kantor

Pemerintah Daerah.

Page 15: Kajian Yuridis Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Serta Pengenaan

15

b. Terhadap tanah asset Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang tidak dengan sengaja, tidak

diusahakan, dipergunakan, dimanfaatkan karena keterbatasan anggaran yang tersedia pada

APBN/APBD yang bersangkutan. Pemerintah Daerah melalui DPPD dapat melakukan

fasilitasi dan pemberian saran serta masukan kepada Pengelola Asset Barang Milik Daerah

untuk diberdayakan sesuai mekanisme dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 Jo,. PP Nomor 38

Tahun 2008, yaitu melalui pola pemanfaatan yang berupa sewa, pinjam pakai, kerjasama

pemanfaatan, dan bangun guna serah dan bangun serah guna. Hal tersebut dapat dilakukan

mengingat asset Pemerintah/Pemerintah Daerah tersebut, tentunya tidak digunakan untuk

pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya. Dengan demikian, besar kemungkinan sampai

terjadi tanah asset Pemerintah Daerah menjadi tanah yang terindikasi terlantar sangat kecil.

Upaya fasilitasi oleh DPPD tersebut dapat diberlakukan terhadap pula terhadap tanah-tanah

milik Pemerintah dan Pemerintah Desa yang ada di wilayah Kabupaten Sleman

c. Keberadaan Panitia C yang tugas dan fungsinya melakukan identifikasi dan penelitian lapang

(fisik Tanah) yang terindikasi terlantar, sebagaimana Kepanitian yang lain di bidang

Pertanahan, seperti Panitia Pemeriksaan Tanah A dan Panitia Pemeriksaan Tanah B, Petugas

Konstatasi, dan Tim Peneliti Tanah untuk dapat bekerja secara maksimal harus didukung

oleh tersedianya dana untuk operasional. Sehubungan hal tersebut, dalam PP Nomor 13

Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif PNBP Yang Berlaku Pada BPN ternyata belum

mengakomodasi kebutuhan Panitia C. Tentunya dana operasional Panitia C, tidak mungkin

dikenakan/dibebankan pada Pemegang Hak Atas Tanah. Dengan demikian perlu segera

dikeluarkan kebijakan dari Kepala BPN agar penertiban tanah terlantar dapat segera

diselenggarakan.

d. Selama tanah yang terindikasi terlantar diusulkan oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi

kepada Kepala BPN, maka status tanah tidak dapat dilakukan perbuatan hukum alias status

quo. Bagaimana jika hal tersebut, bukan merupakan perbuatan hukum melainkan karena

peristiwa hukum (pewarisan). Mengingat bahwa hak atas tanah dapat beralih dan

dialihkan. Perbuatan hukum termasuk pada peralihan hak karena dialihkan ada kesengajaan

dari Pemegang haknya.

e. Masalah hak keperdataan dari bekas pemegang hak atas tanah yang tanahnya ditetapkan

sebagai tanah terlantar. Pasal 9 ayat (2) PP Nomor 11 Tahun 2010 menyebutkan bahwa

Dalam hal tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah terlantar merupakan tanah hak (HM,

HG, Hak Pakai) penetapan tanah terlantar memuat juga penetapan haspusnya hak atas tanah,

sekaligus memutuskan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah yang dikuasai

langsung oleh Negara. Selanjutnya dalam Pasal 13 ayat (1): Tanah yang ditetapkan sebagai

tanah terlantar, dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak ditetapkannya

keputusan penetapan tanah terlantar, wajib dikosongkan oleh bekas Pemegang Hak Atas

Benda-benda di atasnya dengan beban biaya yang bersangkutan. Kemudian jika dikaitkan

dengan ketentuan Pasal 37 ayat (2) serta ayat (4) PP Nomor 40 tahun 1996, yang menyatakan

bahwa Dalam hal bangunan dan benda-benda masih diperlukan, maka kepada bekas

pemegang hak diberikan ganti rugi yang bentuk dan jumlahnya diatur lebih lanjut dengan

Keputusan Presiden. Ayat (4) menyatakan jika bekas pemegang Hak Guna Bangunan lalai

dalam memenuhi kewajiban (membongkar bangunan dan benda-benda yang ada di atasnya

dan menyerahkannya kepada Negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam

waktu satu tahun sejak hapusnya HGB), maka bangunan dan benda-benda yang ada di

atasnya bekas HGB itu dibongkar oleh Pemerintah tas biaya bekas pemegang HGB.

Pengaturan substansi kedua regulasi antara PP Nomor 11 Tahun 2010 dengan PP Nomor 40

Tahun 1996 tersebut menjadi kontra produktif.

Page 16: Kajian Yuridis Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Serta Pengenaan

16

f. Dalam penetapan tanah sebagai tanah terlantar oleh Kepala BPN-RI yang dituangkan dalam

bentuk SK Penetapan merupakan salah satu bentuk produk hukum dari Keputusan Tata

Usaha Negara yang dapat menjadi Objek Gugatan di PTUN. Jika dalam pelaksanaan

identifikasi dan penel;itian tidak dilakukan berdasarkan AAUPB atau tahapannya besar

kemungkinan bertentangan atau tidak sejalan dengan Peraturan Perundang-undangan yang

berlaku, maka akan rawan terjadinya Gugatan di PTUN. Dengan demikian efektifitas

(keberlakuan) Substansi PP Nomor 11 Tahun 2010 akan diuji oleh Hakim yang memeriksa

dan mengadili perkara sengketa TUN.

Penutup

Dari beberapa uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa secara politis pertimbangan

dikeluarkannya PP Nomor 10 Tahun2010 difokuskan untuk menunjang keberhasilan Reforma

Agraria, dimana tanah terlantar nmerupakan salah satu objeknya. Regulasi substansi penertiban

Tanah terlantar masih terdapat beberapa persoalan, antara lain objeknya yang masih sangat

terbatas, kriteria tanah diindikasikan sebagai tanah terlantar yang disebabkan karena tanah dalam

sengketa/perkara, belum menampung peralihan hak dikarenakan peristiwa hukum, masalah hak

keperdataan bekas pemegang hak atas tanah, serta pengaturan biaya operasional Panitia C yang

belum diatur dalam PP Nomor 13 Tahun 2010, rawan terjadinya gugatan produk hukum berupa

SK Penetapan sebagai Tanah Terlantar di Pengadilan Tata Usaha Negara. Peran Pemerintah

Daerah dengan kewenangan yang dimiliki olehnya di bidang pertanahan, dapat dioptimalkan

untuk bersinergi dalam pelaksanaan penertiban tanah terlantar dengan cara melakukan

inventarisasi dan identifikasi pemanfaatan tanah kosong yang dapat digunakan sebagai basis data

awal pendataan tanah terlantar di wilayah Kabupaten/Kota.

Daftar Pustaka

Anonim, (2007), Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan

Daerah Provinsi Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, Bandung,

Fokus Media

Arie Sukanti Hutagalung , (1985), Program Redistribusi Tanah Di Indonesia Suatu

Sarana Ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan Tanah Dan Pemilikan

Tanah, Jakarta, CV. Rajawali

Endang Suhendar dan Ifdal Kasim, (1996), Tanah Sebagai Komoditas, Kajian Kritis Atas

Kebijakan Pertanahan Orba, Jakarta, ELSAM

Iman Sutiknjo, (1980), Proses Terjadinya UUPA, Yogyakarta, Gadjah Mada University

Press

Joyo Winoto, (2006), Pertanahan Dan Keagrariaan Nasional (Sambutan Kepala BPN RI

pada Hari Agraria Nasional 2006 (24 September 2006), Bogor, Brighten

Press

Joyo Winoto, (2007), Reforma Agraria Mandat Politik Konstitusi Dan Hukum Dalam

Rangka Mewujudkan Tanah Untuk Keadilan Dan Kesejahteraan Rakyat,

Jakarta, Badan Pertanahan Nasional RI

Page 17: Kajian Yuridis Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah Terlantar Serta Pengenaan

17

Mansour Fakih, (2001), Runtuhnya Teori Pembangunan Dan Globalisasi, Yogyakarta,

INSIST PRESS

Maria S.W. Sumardjono, (2001), Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan

Implementasi, Jakarta, Kompas:

M. Mahfud MD (1998), Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta, PT. Pustaka LP3ES:

Sarjita, (2002), Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (PP Nomor 36 Tahun

1998 Jo. Kep. Ka. BPN No. 24 Tahun 2002), Yogyakarta, CV. Global Visindo

Consultant

-----------------, (2005), Pelaksanaan Urusan Pertanahan Dalam Era otonomi Daerah,

Yogyakarta, Tugujogja Pustaka

-----------------, (2008), Penyelesaian Sengketa Pertanahan Dalam Era Otda

(Disampaikan pada Workshop Penguatan SDM Pemkab Sleman, 11

November 2008), (Tidak dipublikasikan).

----------------,, (2009), Tantangam RA Di Kawasan Timur Indonesia (Makalah disampaikan

pada Seminar Lingkar Belajar RA (LIBRA) Kerjasama STPN-Fakultas

Ekonomi Universitas Satya Wacana Salatiga, 4 Mei 2009 (Tidak

dipublikasikan).

Sudjito, Fungsi Sosial Hak Atas Tanah, Majalah Ilmiah Widya Bhumi September Tahun

2007

Suhariningsih, (2009), Tanah Terlantar Asas dan Pembaharuan Konsep Menuju

Penertiban, , Jakarta, Prestasi Pustaka.

Yusriyadi, (2006), Paradgma Sosiologis Dan Implikasinya Terhadap Pengembangan

Ilmu Hukum Dan Penegakan Hukum (Pidato Pengukuhan Jabatan Guru

Besar Bidang Sosiologi hukum FH Universitas Diponegoro, Semarang, 18

Pebruari 2006):