karakteristik dan peilaku sehat
TRANSCRIPT
K A R A K T E R I S T I K K E M I S K I N A N D A N P E R I L A K U HIDUP SEHAT P A D A M A S Y A R A K A T MISKIN
Studi di Desa Buluhcina Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar
Dra. Hesti Asriwandari, M.Si (Dosen Jurusan Sosiologi FISEP-UR, Kepaia Laboratorium) Drs. Syafiizal, M.Si (Dosen Jurusan Sosiologi FISIP-UR, Kepaia Laboratorium)
Prih Wahyuningsih, S.Sos (Alumni Jurusan Sosiologi FISIP-UR)
ABSTRAK
Masih mininmya jumiah akses kesehatan dan pendidikan yang tersedia di Desa Buluhcina sangat menentukan bagaimana perilaku masyarakat miskin dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan. Keadaan yang serba kekurangan, kemauan yang rendah serta akses yang sulit dijangkau, menjadikan mereka berperilaku seperti itu. Selain itu, kondisi geografis Desa Buluhcina yang berada di pinggiran sungai Kampar, berakibat seringnya mengalami bencana banjir, serta muncuinya kebiasaan M C K di sungai, mempengaruhi perilaku hidup sehat mereka. Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar mempunyai 10,18% penduduk miskin, dan di Desa Buluhcina masih terdapat 27% keluarga miskin, menjadi landasan untuk menjawab permasalahan bagaimana karakter kemiskinan yang muncul, serta bagaimana perilaku hidup sehat masyarakat.
Pengamatan dilakukan terhadap 28 keluarga yang ditetapkan secara purposive menurat penghasilan, pekerjaan dan lama tinggal. Data yang tericumpul dianalisa secara deskriptif kuantitatif, dilengkapi interpretasi atas kecenderungan fenomena yang muncul. Analisis dilakukan berdasarkan konsep-konsep teoritis tentang Kemiskinan dan Karakter Kemiskinan, Culture of Poverty (Oscar Lewis), Tindakan Tradisional (Max Weber), dan Petukaran Sosial (George Homans).
Kemiskinan (penghasilan kecil, rumah tidak permanen, tidak ada pekerjaan sampingan), rendahnya pendidikan (tidak sekolah, tamat/tidak tamat SD), kecilnya aksesibilitas terhadap fasilitas kesehatan, berakibat pada rendahnya pemanfaatan masyarakat miskin teriiadap fasilitas modem. Hal ini dapat dilihat dari seringnya mereka berobat ke dukun, tidak pemah melakukan pengecekkan kesehatan, dan minimnya interaksi dengan fasilitas kesehatan modem, yang kemudian semua ini mempengaruhi perilaku mereka dalam menjaga kesehatan sebari-hari. Keterbatasan ekonomi telah memaksa mereka untuk selalu beradaptasi, dengan mempertahankan keyakinan tradisional serta rendahnya kesadaran teifaadap pola hidup sehat.
Karakteristik kemiskinan di komunitas yang diamati ini adalah : a) ketidakmampuan memenuhi kebutuban dasar (basic need) seperti pangan, gizi, sandang, papan pendidikan dan kesehatan ; b) Inaccessibility, yaitu ketidakmampuan menjangkau sumberdaya sosial dan ekonomi baik akibat rendahnya daya tawar {bargaining position) maupun keterbatasan modal, teknologi dan sumber daya manusia ; c)Vulnerability, mudah jatuh dalam kemiskinan (rentan) akibat berbagai resiko seperti penyakit, bencana alam, kegagalan panen, dan sebagainya, sehingga hams menjual asset produksinya. Kerentanan ini sering disebut poverty rackets atau roda penggerak kemiskinan.
Keywords : karakter kemiskinan, perilaku hidiqf sehat, pemanfaatan fasilitas kesehatan
1
KARAKTERISTIK KEMISKINAN DAN PERILAKU HIDUP SEHAT PADA MASYARAKAT MISKIN
Studi di Desa Buluhcina Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar
PENDAHULUAN
Kemiskinan menurut Oscar Lewis bukanlah semata-mata berupa kekurangan dalam
hal ekonomi, tetapi juga melibatkan kekurangan dalam hal kebudayaan dan kejiwaan serta
memberi corak yang tersendiri. Kemiskinan dapat muncul sebagai akibat nilai-nilai dan
kebudayaan yang dianut oleh kaum miskin itu sendiri. Tingkat pendidikan dan pemanfaatan
akses kesehatan yang rendah ini dikarenakan dari kondisi lingkungan yang serba miskin yang
cenderung diturunkan dari generasi kegenerasi. Kaum miskin telah memasyarakatan nilai-
nilai dan perilaku kemiskinan, dan akibat perilaku tersebut melanggengkan kemiskinan, jadi
nilai-nilai dan perilaku terbentuk karena lingkungan kemiskinan.
Kemiskinan seiring waktu semakin bertambah, dimana semakin bertambahnya jumlah
rumah tangga miskin di pedesaan maupun di perkotaan. Rusaknya struktur sosial yang
disebabkan oleh hilangnya suatu pekerjaan serta hilangnya kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan pokok aksesbilitas seperti pendidikan, kesehatan dasar dan Iain-lain. Setiap
keadaan kemiskinan itu berbeda antara satu daerah dengan daerah laiimya, ini tergantung
dengan kebutuhannya masing-masing yang disebabkan oleh faktor kebiasaan, pola konsumsi
dan letak geografis.
Adapun yang menyebabkan terjadinya kemiskinan adalah :
1. Penyebab individual atau patologis yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari
perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin.
2. Penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga.
3. Penyebab sub-budaya (subcultural), yang menghubimgkan kemiskinan dengan
kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar.
4. Penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain
termasuk perang, pemerintah, dan ekonomi.
5. Penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari
struktur sosial.
Desa Buluhcina yang merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Siak Hulu
juga masih memiliki penduduk miskin. Kemiskinan pada Desa Buluhcina masih terlihat
dimana masih terdapat 111 kk dari 411 kk yang termasuk dalam kategori miskin dari seluruh 2
jumlah penduduk Desa.Buluhcina. Jumlah tersebut tersebar dalam 4 dusun yaitu dusun I
sebanyak 37 kk, dusim II sebanyak 28 kk miskin, dustm III sebanyak 20 kk miskin dan dusim
rV sebanyak 26 kk miskin (siunber : Rekapitulasi Laporan Jumlah Penduduk Kec. Siak Hulu
dan Monografi Desa Tahun 2010)
Rata-rata penduduk miskin yang ada di Desa Buluhcina ini bermatapencahanan
sebagai buruh nelayan dan buruh petani. Mereka ikut bekerja dengan orang lain yang
memerlukan tenaga mereka. Penduduk miskin di Desa ini juga terkadang menjadi buruh-
buruh untuk membersihkan rumput-rumput diladang. Mereka tidak memiliki pekeijaan dan
penghaisilan tetap, mereka memanfaatkan situasi yang ada. Selain itu tenyata penduduk miskin
ini mayoritas merupakan penduduk asli dan memang kelahiran daerah tersebut.
Masyarakat atau orang yang dalam keadaan miskin ini tentu sangat mempengaruhi
bagaimana cara mereka berperilaku, berbuat dan bertingkah laku, karena cara berperilaku
seseorang ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Lingkungan disini dimaksudkan
seperti lingkungan alam, lingkungan sosial dan lingkungan transedental (keagamaan).
Masyarakat yang berada dalam keadaan miskin biasanya memiliki perilaku yang sedikit
konservatif dan apatis. Mereka cendenmg tidak mudah menerima adanya perubahan-
perubahan yang baru. Termasuk perilaku mereka dalam penggunaan atau pemanfaatan akses-
akses sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam memanfaatkan aksesbilitas sosial yang ada,
mereka akan berfikir untuk kesekian kalinya imtuk man menggunakan fasilitas yang ada.
Mereka akan cenderung memanfaatkan sesuatu yang dianggap mereka lebih sesuai, baik
secara materil maupun moril. Misalnya saja seperti penggimaan akses-akses sarana kesehatan.
Perilaku masyarakat miskin di Desa Buluhcina yang masih bisa dibilang rendah
partisipasinya ini sebenamya karena selain disebabkan keadaan ekonomi yang rendah dan
akses yang tersedia di Desa tersebut masih minim dan tidak mudah imtuk dijangkau membuat
mereka menjadi bersikap pasrah dan tidak peduli juga karena masalah kemauan dari dalam
diri masyarakat miskin itu sendiri. Ketidakberdayaan yang pada akhimya menimbulkan rasa
kekecewaan mereka inilah yang mengharuskan mereka memiliki berperilaku apatis.
Masih minimnya jumlah akses kesehatan dan pendidikan yang tersedia di Desa
Buluhcina sangat menentukan bagaimana perilaku masyarakat miskin dalam memanfaatkan
fasilitas kesehatan. Keadaan yang serba kekurangan, kemauan yang rendah serta akses yang
sulit dijangkau, menjadikan mereka berperilaku seperti itu. Selain itu, kondisi geografis Desa
Buluhcina yang berada di pii^giran simgai Kampar, berakibat seringnya mengalami bencana
3
banjir, serta muncuinya kebiasaan M C K di sungai, mempengaruhi perilaku hidup sehat
mereka. Kecamatan Siak Hulu Kabupaten Kampar mempunyai 10,18% penduduk miskin, dan
di Desa Buluhcina masih terdapat 27% keluarga miskin, menjadi landasan untuk menjawab
permasalahan bagaimana karakter kemiskinan yang muncul, serta bagaimana perilaku hidup
sehat masyarakat.
METODA PENELITIAN
Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Buluhcina yang mempakan salah satu Desa di
Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar. Populasi dalam penelitian ini adalah para keluarga
miskin di Desa Buliihcina yakni sebanyak 111 keluarga. Desa Buluhcina ini tersebar dalam
empat dusun dengan masing-masing dusun sebanyak tiga RT.
Pengamatan dilakukan terhadap 28 keluarga yang ditetapkan secara purposive menurut
penghasilan, pekerjaan dan lama tinggal. Dalam penelitian ini ada dua jenis sumber data
yaitu-.l) Data primer, yang didapatkan dari responden secara langsung berupa jawaban
mengenai pertanyaan-pertanyaan seperti kondisi tempat tinggal, masiilah kesehatan serta yang
berkaitan dengan penelitian; 2) Data sekunder, yang diperoleh untuk melengkapi data primer,
seperti: laporan-laporan, literatur-literatur dan lampiran data-data lain yang dapat mendukung
dan menjelaskan masalah serta informasi yang diperoleh dari beberapa instansi, seperti Bno
Pusat Statistik, Kantor Kepaia Desa Setempat, Badan Penelitian Dan Pengembangan serta dari
berbagai pihak lain yang mencakup informasi tentang keadaan masyarakat Desa Buluhcina.
Data yang terkumpul dianalisa secara deskriptif kuantitatif, dilengkiqpi interpretasi atas
kecenderungan fenomena yang muncul. Analisis dilakukan berdasarkan konsep-konsep
teoritis tentang Kemiskinan dan Karakter Kemiskinan, Culture of Poverty (Oscar Lewis),
Tindakan Tradisional (Max Weber), dan Petukaran Sosial (George Homans).
TINJAUAN PUSTAKA
Kemiskinan
Oscar Lewis menyatakan bahwa kemiskinan ymtu mempakan budaya yang teqadi
karena penderitaan ekonomi yang berlangsung lama. Yang dimaksud budaya disini adalah
sebuah cara hidup. Dengan demikian karena kebudayaan adalah sesuatu yang diperoleh
dengan belajar dan sifatnya selalu diturunkan kepada generasi selanjutnya maka kemiskinan
4
menjadi lestari di dalam masyarakat yang berkebudayaan kemiskinan karena pola-pola
sosialisasi, yang sebagian besar berlaku dalam kehidupan keluarga.
Chambers menggambarkan kemiskinan terutama di pedesaan mempunyai lima
karakteristik yang saling terkait, yaitu : kemiskinan material, kelemahan fisik, keterkucilan
dan keterpencilan, kerentanan, dan ketidakberdayaan. Kerentanan menvnut Chambers dapat
dilihat dari ketidakmampuan keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu guna menghadapi
situasi darurat seperti datangnya bencana eilam, kegagalan panen, atau penyakit yang tiba-tiba
menimpa keluarga miskin itu.
Ketidakberdayaan keluarga miskin di kesempatan yang lain mungkin dimanifestasikan
dalam hal seringnya keluarga miskin ditipu dan ditekan oleh orang yang memiliki kekuasaan.
Ketidakberdayaan sering pula mengakibatkan teqadinya bias bantuan untuk si miskin kepada
kelas di atasnya yang seharusnya tidak beriiak memperoleh subsidi, seperti kasus dana
Bantuan Langsung Tunai (BLT). Sedangkan menurut Schiller menjelaskan bahwa kemiskinan
adalah ketidaksanggupan imtuk mendapatkan barang-barang dan pelayananpelayanan yang
memadai untuk memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas.
Secara teoritis kemiskinan dapat dipahami melalui akar penyebabnya yang dibedakan
menjadi dua kategori:
• Kemiskinan Natural atau alamiah yakni, kemiskinan yang timbul sebagai akibat
terbatasnya jumlah sumber daya dan/atau karena tingkat perkembangan teknologi yang
sangat rendah.
• Kemiskman struktural yakni, kemiskinan yang teijadi karena struktur sosial yang ada
membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan
fasilitas-fasilitas secara merata.
Secara umum kemiskinan di Indonesia ini dapat ditandai dengan beberapa hal, yaitu
(Hasbullah Thabrany: 2005 :123) :
• Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan • dasar (basic need) seperti pangan, gizi,
sandang, papan pendidikan dan kesehatan.
• Unproductiveness, yaitu ketidakmampuan melakukan usaha yang produktif.
• Inaccessibility, yaitu ketidakmampuan menjangkau sumberdaya sosial dan ekonomi
baik akibat rendahnya daya tawar (bargaining position) maupim keterbatasan modal,
teknologi dan sumber daya manusia.
5
• Vulnerability, mudah jatuh dalam kemiskinan (rentan) akibat berbagai resiko seperti
penyakit, bencana alam, kegagalan panen, dan sebagainya, sehingga hams menjual
asset produksinya. Kerentanan ini sering disebut poverty rackets atau roda penggerak
kemiskinan.
• No freedom for poor, tidak memiliki kepercayaan diri dan mental untuk terbebas dari
warisan kemiskinan.
Tindakan Sosial: Max Weber
Weber mempelajari satuan-sauan sosial yang lebih besar, yang didasarkan pada
tindakan-tindakan yang khas, dari individu-individu yang khas dan dalam situasi sosial yang
khas pula. Rasionalitas dan peraturan yang biasa mengenai logika merupakan suatu kerangka
acuan bersama secara luas, dimana aspek-aspek subyektif perilaku dapat dinilai secara
obyektif (Doyle Paul Johnson: 1986 :219-220)
Kemiskinan merupakan suatu gejala yang nyata dan teijadi serta terdapat dimanapun
wilayah. Masalah kemiskinan ini bukan merupakan sesuatu yang diinginkan oleh pihak
manapun, baik manusia yang mengalami kemiskinan itu sendiri maupim bagi pihak
pemerintahan, karena ini masalah yang rumit. Semua ini akan mempengaruhi mereka baik
dari cara berperilaku maupun cara berfikir mereka.
Max Weber mengklasifikasikan ada empat jenis tindakan sosial mengapa seseorang
bisa berperilaku tertentu, yaitu (J.Dwi Narwoko :2007 :19).
• Rasionalitas instrumental. Disini tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan
atas pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan tindakan itu dan
ketersediaan alat yang dipergunakan untuk mencapainya.
• Rasionalitas yang berorientasi pada nilai. Pada jenis tindakan ini, alat-alat yang ada
hanya merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-
tujuaimya sudah ada didalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat
absolut.
• Tindakan tradisional. Seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan
yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau perencanaan
(kebiasaan yang turun-temurun).
• Tindakan afektif. Tindakan ini didominasi dengan perasaan atau emosi tanpa refleksi
intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan ini bersifat spontan, tidak rasionai, dan
merupakan ekspresi emosional dari individu.
Pertukaran Sosial: George Homans
Perilaku setiap individu dalam sistem internal dibimbing oleh norma-norma, yaitu ide-
ide yang dapat dibuat dalam bentuk perayataan yang memperinci apa yang seharusnya
dilakukan, seyogyanya dilakukan, diharapkan dilakukan oleh anggota atau orang lain dalam
suatu lingkungan tertentu. Kepatuhan terhadap norma-norma kelompok akan memperoleh
ganjaran, sedangkan pengingkaran akan memperoleh hukuman (Margaret M.P, 2007; 57).
Saat berperilaku manusia pada dasaranya tidak mencari keuntungan maksimal, tapi
senantiasa ingin mendapatkan keimtimgan dari interaksi tersebut. Manusia tidak bertindak
secara rasionai sepenuhnya, tapi senantiasa berfikir untung mgi pada saat berinteraksi walau
manusia tidak memiliki info yang cukup untuk mengembangkan alternatif, tapi dapat
menggunkan itifo yang terbatas tersebut untuk mengembangkan alternatif guna
memperhitungkan untung rugi. Manusia terbatas, tapi dapat berkompetisi untuk mendapat
keuntungan. Walau manusia senantiasa berusaha mendapat keuntungan dari hasil interaksi,
tapi mereka dibatasi oleh sumber-sumber yang tersedia.
Seseorang dalam berperilaku atau bertindak itu menggunakan nalar atau rasio,
berhitung, mempertimbangkan dan mengevaluasi cara-cara gar bisa mencapai sebuah tujuan.
Subyek akan menyeimbangkan antara biaya dan keuntungan dari tindakannya tersebut
(Anthony Giddens dkk, 2005 : 284)
Untuk dapat menjelaskan permasalahan diatas digunakan teori Pertukaran perilaku
Homans. Walaupun teori ini lebih cenderung dalam konsep ekonomi, akantetapi teori
pertukaran ini memandang babwasannya perilaku sosial yang bersumber dari adanya interaksi
sosial ini mirip dengan transaksi ekonomi.
Perilaku pemanfaatan fasilitas kesehatan ini diukur dari beberapa indikator berikut:
1. Ketersediaan sarana kebersihan dan kondisi tempat tinggal
2. Pengobatan saat mengalami sakit
3. Melakukan pengecekkan kesehatan rutm (6 bulan sekali) atau upaya pencegahan.
7
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Ketersediaan Sarana Kebersihan dan Kondisi Tempat Tinggal
Terdapat 20 responden (71,43 %) memiliki rumah yang masih semi permanen, dan ini
pun tidak semua milik pribadi. Diantaranya ada yang masih menumpang dirumah orang tanpa
dipungut biaya sewa, mereka hanya menempati saja. Sedangkan 8 responden (28,57%)
memiliki rumah yang kondisinya telah permanen, hasil bentuan pemerintah. Kriteria yang
telah mendapatkan rumah bantuan tersebut adalah rumah yang memang kondisinya jauh dari
kelayakan diantara rumah-rumah keluarga yang lainnya.
Luas rumah atau tempat tinggal disesuaikan dengan daya tampxmg penghuniya.
Berdasarkan data, responden yang memiliki luas rumah <20 m2 adalah sebanyak 10
responden (35,71 %), dan yang luas rumahnya antara 20 m2 - 30 m2 adalah sebanyak 18
responden (64,29 %). Ini bisa dikatakan sempit dimana rata-rata responden dalam satu rumah
memiliki tanggungan 3-5 orang sebanyak 23 responden (82,14 %).
Menjaga kesehatan bisa dilakukan salah satunya dengan cara menjaga kebersihan
jasmaniah kita, yang bisa dilakukan dengan mandi menggunakan air yang bersih dan sabun
yang dapat mencegah serta mematikan kuman yang menempel dibadan kita. Menjaga
kesehatan bukan hanya dilihat dari seringnya kita mandi dalam satu hari, akan tetapi kita
hams melihat dari kualitas mandi itu sendiri, dimana kita harus menggunakan sabun, air dan
tempat yang bersih. Mereka mandi dengan intensitas yang sering ini bukan berarti mereka
mandinya berkualitas, karena mereka lebih memanfaatkan sungai sebagai tempat mandi.
Sungai Kampar yang sebagian besar masyarakatnya memanfaatkan sebagai kakus, ini
sangat tidak mencerminkan perilaku hidup yang sehat. Pemerintah telah memberikan larangan
kepada seluruh masyarakat agar tidak lagi memanfaatkan sungai sebagai tempat mandi,
karena simgai Kampar sudah tidak lagi sehat Idealnya mandi itu dilakukan du kamar mandi
atau M C K sendiri. Untuk melihat bagaimana tempat serta air yang dipergunakan responden
untuk mandi, dapat dilihat dengan adanya M C K yang dimiliki oleh responden pada tabel
berikut:
Data yang diperoleh menjelaskan bahwa 15 responden (53,57 %) tidak memiliki
fasilitas M C K yang memadai, dan 13 responden (46,43 %) memiliki fasilitas M C K sendki.
Ini menandakan bahwa sebagian besar responden belum melakukan mandi dengan kualitas
yang baik.
8
Sebagian besar responden (85,71 %) mengatakan setuju apabila sungai dijadikan
sebagai sarana M C K . dan hanya 14,29 % menyatakan tidak setuju. Responden yang memiliki
M C K pun semju saja apabila sungai dijadikan sebagai M C K , karena menurut mereka dahulu
sebelum mereka memiliki M C K yang layak, mereka juga memanfaatkan sungai. Pada intinya
mereka yang memiliki M C K sendiri masih setuju juga kalau simgai dijadikan sebagai M C K .
Ini menandakan kurangnya pengetahuan dan kepedulian masyarakat miskin terhadap
lingkungan dan kesehatan.
Perilaku lainnya yang diamati dalam penelitian ini adalah : sebagian besar (78%)
sudah menggunakan sumur bor bantuan pemerintah untuk kebutuhan air bersih, 85% tidak
memiliki tong sampah, 60% berobat ketika menderita sakit.
Pemanfaatan Fasilitas Kesehatan
Fasilitas adalah sarana penunjang untuk dapat melancarkan suatu aktivitas. Begitu juga
dengan fasilitas kesehatan. Pencarian dan penggunaan sistem atau feisiliteis pelayanan
kesehatan, atau sering disebut perilaku pencairan pengobatan (health seeking behavior).
Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit
dan atau kecelakaan. tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendhi (self treatment)
sampai mencari pengobatan ke luar negeri.
Pada masyarakat miskin di Desa Buluhcina, fasilitas kesehatan yang ada sebenamya
mudah dijangkau akan tetapi karena ketersediaan dari fasilitas sosial itu sendiri yang belum
optimal, dimana pustu yang merupakan satu-satunya fasilitas kesehatan modem yang ada di
Desa tersebut sering tutup karena tenaga kesehatan yang ada sangat minim, yaitu hanya
seorang bidan desa yang jarang aktif.
Macam-macam tempat berobat responden disaat mereka sakit, dari pengamatan
dijelaskan bahwa dari 28 responden tidak ada satupun yang berobat ke dokter, ini
menandakan keluarga miskin di Desa Buluhcina bukan hanya tidak mampu berobat kedokter
apabila sakit, akan tet£^i juga karena minimnya fasilitas kesehatan yang ada di desa tersebut.
I&mpir separuh (42,86 %) mengatakan bahwa disaat mereka mengalami sakit, mereka pergi
berobat ke bomo / dukun kampung, disebabkan karena biaya, dimana kalau bomo mau
dibayar dengan sukarela, selain itu obat yang dibuat bomo masih tradisional seperti hanya
dengan segelas air putih dan dedaunan dari hutan bisa sembuh sehingga yang terkadang bila
anak-anak sedang sakit tidak perlu minum obat.
9
Faktor Sosial, Ekonomi dan Budaya yang Mempengaruhi Perilaku Masyarakat
Identifikasi yang melatarbelakangi perilaku masyarakat miskin di Desa Buluhcina
dalam pemanfaatan fasilitas kesehatan dimana pada kesimpulannya perilaku mereka dalam
pemanfaatan fasilitas kesehatan masih berperilaku tradisional karena masyareikat lebih
cenderung memanfaatkan fasilitas tradisional daripada fasilitas kesehatan yang modem.
Pekerjaan yang mereka miliki bukan mempakan pekerjaan yang bermodal besar,
misahiya nelayan / jual ikan. Berdasarkan data bahwa 15 responden (53,60 %)
bermatapencaharian sebagai buruh, 10 responden (35,70 %) bermatapencaharian sebagai
nelayan dan menjual ikan, 3 responden (10,70 %) sebagai petani. Sebagian besar sebagai
buruh ini diantaranya sebgai buruh tani yang menggarap dilahan orang, dan buruh bersih-
bersih ladang orang. Disini mereka yang memiliki pekerjaan sebagai nelayan bukan
mempakan nelayan yang besar, mereka hanya mendapat dari tangkapan Sungai Kampar yang
berada di depan nmiah mereka, dan hasilnya terkadang hanya 3-5 kg setiap pergi berlayar.
Dean tersebut hanya dijual dengan penduduk Desa Buluhcina itu juga dan biasanya harga ikan
tersebut tidak tinggi, berkisar Rp 10.000/kg.
Mayoritas penduduk miskin di Desa Buluhcina hanya mampu bekeqa sebagai seorang
buruh, ini disebabkan minimnya smnber daya manusia yang mereka miliki. Pekerjaan yang
hanya seorang buruh menjadikan mereka tidak dapat memaksimalkeui kesejahteraan hidup
keluarga mereka sendiri termasuk memaksimalkan pemanfaatan fasilitas kesehatan dan
pendidikan b£^i anggota keluarganya.
Pendapatan atau penghasilan menandakan tingkat kesejahteraan seseorang.
Berdasarkan tabel 5.2 terdapat 20 responden (71,43 %) yang berpenghasilan antara Rp
500.000 - Rp 1.000.000A)ulan. Kebutuhan imtuk pendidikan, kesehatan maupun untuk
konsumsi rumah tangga. Pendapatan yang minim tersebut tentu tidak akan dapat memenuhi
segala kebutuhan dengan baik. Dan pada akhimya membuat mereka harus mengalami
kemiskinan yang beikepanjangan. Pendapatan yang hanya sedikit, dan sebagian besar dengan
rata-rata jumlah tanggungan keluarga antara 3-5 orang, tidak dapat mencukupi kebutuhan
keluarga dengan maksimal, termasuk dalam pendidikan dan kesehatan keluarga.
Pemerintah Indonesia memiliki salah satu program yaitu tentang JCB, dimana dalam
sebuah keluarga hanya diperbolehkan memiliki 2 anak. Program ini dimaksudkan agar supaya
kesejateraan hidup setiap anggota keluarga dapat terjamin, termasuk pendidikan anak-
10
anaknya, dan kesehatan keluarga. Akan tetapi penelitian ini membuktikan bahwa lebih dari
separuh keluarga miskin di Desa Buluhcina (23 responden, 82,14 %) memiliki tanggungan
dengan jumlah 3-5 orang. Inilah salah satunya faktor yang menjadikan mereka menjadi
keluarga miskin.
Salah satu indikator ciri keluarga miskin adalah pada tingkat keluarga, dimana
kemiskinan identik atau ditandai dengan banyak anak. Akantetapi banyak anak ini
dimaksudkan nantinya untuk dapat membantu mereka bekeija mencari uang untuk
pemenuhan kebutuhan keluarga. Jadi mereka adalah sebagai tenaga kerja keluarga. Inilah
yang menjadikan keluarga miskin dalam pemanfaatan fasilitas kesehatan dan pendidikan
khususnya menjadi tidak maksimal. Karena mereka harus bekeija.
Semua ini dapat ditimjang apabila responden memiliki pekerjaan atau usaha
sampingan. Sebagian besar keluarga miskin di Desa Buluhcina yaitu 19 responden (67,86 %)
tidak memiliki pekeijaan sampingan. Keluarga miskin ini hanya mengandalkan pekeijaan
tetapnya yang tidak seben^a penghasilaimya. Mereka merasa tidak memilki modal, baik
modal skill maupun yang berbentuk material. Sedangkan 9 responden (32,14 %) memiliki
pekeijaan sampingan, diantaranya jenis pekerjaan itu adalah mencari hasil hutan, jualan ikan
dan buruh.
Dari data diatas maka dapat dianalisa bahwa masyarakat miskin di Desa Buluhcina
cara berfikimya belum kreatif, minimnya ketrampilan yang mereka miliki sehingga mereka
masih nerimo apa adanya hidup mereka. Dan dampaknya karena penghasilan tambahan tidak
ada, masyarakat miskin menjadi semakin jauh jaraknya dalam menikmati fasilitas kesehatan
dan pendidikan.
Faktor ekonomi yang dapat dilihat dari faktor produksi, sebenamya salah satu yang
menyebabkan rendahnya modal yang dimiliki, lahan yang sempit atau bahkan tidak memiliki
sama sekali. Luas lahan sebagai faktor produksi lah yang menggambarkan kemiskinan itu
sendiri. Untuk melihat kepemilikan lahan yang dimiliki oleh responden di Desa Buluhcina ini,
dijelaskan pada tabel berikut i n i :
Kepemilikan lahan dapat dijadikan sebagai sebuah altemative apabila masyarakat
miskin tidak memiliki pdceqaan dan penghasilan yang cukup. Akantetapi yang terjadi di Desa
Buluhcina tidak demikian, berdasarkan penelitian yang dilakukan bahwa sebagian besar dari
responden tidak memiliki lahan, yaitu sebanyak 23 responden (82,14 %). Sedangkan yang
memiliki hanya 5 responden (17,86 %). Responden yang memiliki lahan ini rata-rata
11
diusahakan sebagai lahan sawit dan karet. Tapi menurut mereka ini juga tidak seberapa,
karena lahan yang mereka miliki kurang dari 1 ha. Salah satu responden mengaku, laharmya
hanya bisa ditanami sekitar 30-60 batang karet saja. kepemilikan lahan yang mereka miliki
temyata juga tidak begitu membantu dikarenakan sempitnya lahan yang mereka miliki
Lama tinggal juga bisa dijadikan sebagai ukuran dimana, semakin lama seseorang
mendiami suatu wilayah, maka semakin baik untuk dapat memaksimalkan segala sumber
daya alam yang ada di wilayah tersebut. Berdasarkan pengumpulan informasi di lapangan,
dapat kita ketahui bahwa pada umumnya atau sebagian besar penduduk yang tinggal di Desa
Buluhcina yaitu lebih atau diatas 20 tahun, data menunjukkan 67,86 % responden telah
mendiami Desa Buluhcina diatas 20 tahxm. Kebanyakan dari mereka adalah penduduk asli
(melayu), dari semenjak lahir sampai sekarang. Sedangkan yang lainnya mempakan
pendatang, yang berasai dari berbagai daerah. Temyata lamanya mereka tinggal di Desa
Buluhcina tidak ada pengaruhnya, mereka tetap miskin.
Pemanfaatan fasilitas kesehatan yang dilakukan oleh masyarakat masih minim ini juga
disebabkan karena jumlah tenaga medis dan bomo sangat berbanding jauh. D i Desa
Buluhcina, fasilitas kesehatan yang ada sangat minim, dimana hanya terdapat 1 buah
Puskesmas pembantu yang hanya dijalankan oleh seorang bidan desa saja. dan bidan ini pun
tidak selalu setiap hari berada ditempat. Sedangkan tenaga bomo jumlahnya lebih banyak,
yaitu ada 5 bomo.
Tindakan yang dilakukan rumah sakit sebagai pelayanan umum ini tidak semestinya
demikian. Seharusnya dicari jalan alternatif laiimya untuk dapat menyelesaikan masalah
tersebut, tidak langsung mutlak berbuat demikian. Dan pada akhimya ini menjadi salah satu
momok menakutkan bagi masyarakat miskin untuk menjadai traumatis untuk mau
memanfaatkan fasiUtas kesehatan secara maksimal.
Faktor pendidikan dari responden juga ikut mempengaruhi b^aimana perilaku mereka
dalam memanfaatkan fasilitas kesehatatan yang ada. Dimana semakin baik kualitas
pendidikan seseorang idelanya akan dapat membawa pemikiran-pemikiran dari setiap
individu lebih maju. Data menunjukkan bahwa sebagian besar responden tingkat
pendidikannya hanya sampai SD, yaitu sebanyak 15 responden (53,57 %), 7 responden (25,00
%) tidak sekolah, 5 responden (17,86 %), dan hanya 1 responden (3,57 %) yang tamat SMP.
Pendidikan yang rendah yang hanya sampai SD ini yang membuat mereka tidak bisa berfikir
maju. Minimnya pengetahuan yang mereka miliki membuat mereka menjadi individu-
12
individu yang tidak dapat berfikir rasionai Kondisi pendidikan masyarakat miskin seperti
inilah yang terus mengakar. Adanya bantuan-bantuan dana dari Pemerintah seperti B L T
temyata bukan solusi yang bagus, ini hanya akan membuat mereka menjadi malas.
Faktor Nilai
Kebudayaan dan nilai bisa diartikan sebagai keseluruhan tingkah laku dan
kepercayaan yang dipelajari dan mempakan sebuah ciri anggota suatu masyarakat tertentu dan
dianggap lebih penting. Kebudayaan dan masyarakat tidak mungkin hidup terpisah satu sama
lain. Di dalam sekelompok masyarakat akan terdapat suatu kebudayaan. Didalam kebudayaan
akan terdapat norma, dimana yang dijadikan sebagai sebuah standar konkrit mengenai apa
yang diharapkan atau disetujui oleh sekelompok manusia mengenai fikiran dan tingkah laku
mereka. Segala harapam dan tingkah laku yang dihasilkannya sering bembah dari satu
kebudayaan ke kebudayaan berikutnya.
Seperti halnya dalam pemanfaatan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang terjadi pada
masyarakat miskin, khususnya juga mempakan sebuah kebudayaan yang dipengaruhi oleh
nilai, pandangan dan laiimya. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa seluruh
respondnen (100 %) menyatakan masih percaya dengan pengobatan tradisional seperti dukun
kampong. Dapat dianalisis bahwa masyarakat miskin masih sangat identik dengan
menjunjung tinggi tradisi yang diturunkan oleh nenek moyangnya dahidu. Kebudayaan dan
tradisi masih sangat mempengaruhi kehidupan mereka. Mereka menganggap bahwa bomo
adalah orang pintar yang tahu semua jenis penyakit yang mereka derita, dengan tingkat
kesembuhan yang tinggi.
Tabel 5.10 menyatakan 11 responden (39,29 %) dari 28 jumlah responden mengatakan
berobat ke bomo lebih cepat tingkat kesembuhannya. Sebenamya ini disebabkan karena
sugesti yang ada dalam diri masyarakat miskin itu sendiri, sudah diajarkan oleh nenek
moyangnya sejak dahulu menjadikan mereka lebih percaya dengan penyembuhan lewat
pengobatan tradisional yang dalam hal ini adalah dukun. Responden yang mengatakan tingkat
kecepatan kesembuhannya sama (10 responden atau 35,71 %) disebabkan karena menumt
mereka setiap penyakit obatnya berbeda-beda, dimana ada penyakit yang harus dibawa ke
medis dan ada juga yang mesti dibawa ke bomo. Tradisi dan kepercayaan ini berasai dari
kepercayaan yang berasai dari etnis suami-istri, yang sebagian besar adalah bersuku melayu.
Ini menandakan bahwa kebudayaan kepercayaan serta tradisi terhadap dukun masih sangat
13
kuat melekat. Kemiskinan bukan hanya dalam hal masalah materi saja, akan tetapi yang
banyak teijadi adalah karena miskinnya ilmu pengetahuan yang mereka miliki serta tradisi
kuno yang tidak bisa mereka tinggalkan. Ini lah yang menjadikan mereka menjadi tidak
berkembang.
Berdasarkan analisa salah satunya yaitu temyata kepemilikan fasilitas M C K sendiri ini
bahwa kepemilikan M C K ini dipengaruhi atau memiliki hubungan dengen pemanfaatan
fasilitas kesehatan modem/Puskesmas, yang terlihat pada tabel berikut. Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa lebih banyak proporsi responden yang memiliki M C K sendiri, yang
menyatakan sering memanfaatkan fasilitas kesehatan modem (Puskesmas). Sementara
diantara responden yang tidak memiliki fasilitas M C K sendiri, temyata yang tidak pemah
memanfaatkan Puskesmas jumlahnya lebih besar (66,67%) dibandingkan dengan yang
kadang-kadang dan sering. Dengan kata lain, berdasarkan data tersebut dapat dinyatakan
bahwa intensitas atau pemanfaatan fasilitas kesehatan modem (Puskesmas) menentukan atau
mempengaruhi ada atau tidaknya responden memiliki fasilitas M C K sendiri. Atau terdapat
hubungan anatara pemanfaatan fasilitas modem (Puskesmas) dengan kepemilikan M C K .
Semakin sering seseorang pemanfaatannya terhadap sarana kesehatan modem
(Puskesmas) maka kemungkinan besar mereka mengetahui bagaimana mereka bisa
berperilaku sehat yang salah satunya yaitu dengan tersedianya sarana kebersihan di
lingkungan tempat tinggal (kepemilikan M C K ) . Dan sebaliknya semakin tidak pemah mereka
memanfaatkan fasilitas kesehatan modem (Puskesmas) maka semakin minim pengetahuan
mereka terhadap kepedulian hidup sehat yang salah satunya adalah ketersediaan M C K di
lingkungan tempat tinggal.
Analisis Pertukaran Sosial
a. Proposisi sukses. Dalam proposisi ini djelaskan bahwa dalam setiap tindakan, semakin
sering suatu tindakan tertentu memperoleh ganjaran, maka kian kerap ia akan melakukan
tindakan itu (Poloina,2007: 61). Seperti halnya yang terjadi pada masyarakat miskin yang
ada di Desa B u l t ^ i n a bahwa dimana menumt responden saat mengalami sakit t i n ^ t
kesembuhan lebih besar berobat kedukun daripada ke medis.
b. Proposisi stimulus. Jika dimasa lalu terjadinya stimulus yang khusus atau seperangkat
stimuli, mempakan peristiwa dimana tindakan seseorang memperoleh ganjaran, maka
semakin mirip stimuli yang ada sekarang ini dengan yang lalu itu, akan semakin mungkin
14
seseorang melakukan tindakan serupa atau yang agak sama (Poloma, 2007:62). Seperti
halnya yang terjadi pada masyarakat miskin di Desa Buluhcina, banyaknya kendala serta
situasi dan kondisi seperti jumlah pendapatan keluarga yang minim, dengan jumlah
tanggungan yang rata-rata sebanyak 3-5 orang, yang mengakibatkan membentuk cara
serta pola perilaku yang membuat mereka menjadi apatis dan ini menjadi sebuah
kebiasaan bagi keluarga miskin.
c. Proposisi nilai. Semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka kian senang seseorang
melakukan tindakan itu (Poloma,2007: 63). Dalam berperilaku, apabila dimasa lalu saat
mereka sakit mereka lebih mendapatkan kesembuhan dari dukun daripada secara medis,
maka dia akan kembali memilih dukim untuk waktu yang akan datang, ini dikarenakan
adanya kepercayaan sehingga pergi ke dukun jauh lebih penting yang baginya memiliki
kepastian kesembuhan daripada medis.
d. Proposisi deprivasi-satiasi (deprivation satiation). Semakin sering dimasa yang baru
berlalu seseorang menerima suatu ganjaran tertentu, maka semakin kurang bemilai bagi
orang tersebut peningkatan setiap unit ganjaran itu, sebagai titik kejenuhan terhadap
ganjaran yang sering didapatkan (Poloma,2007: 64). Bi la dimasa lalu mereka cenderung
atau sering pergi ke dukun karena keuntungan yang diperolehnya, maka pada saat-saat
tertentu atau sesekali mereka akan pergi ke medis jugju Ini dikarenakan adanya rasa
kejenuhan dan mungkin karena pada saat im pergi ke medis jauh lebih penting daripada ke
dukun.
e. Proposisi Restu-Agresi {Approval-Agression). Bi la tindakan seseorang tidak
memperoleh ganjaran yang diharapkaimya, atau menerima hukiunan yang tidak
diinginkan, maka dia akan marah, dia menjadi sangat cenderung memmjukkan perilaku
agresif, dan hasil perilaku demikian menjadi lebih bemilai baginya. Bilamana tindakan
seseorang memperoleh ganjaran yang diharapkannya, khusus ganjaran yang lebih besar
dari yang dikirakan, atau tidak memperoleh hukuman yang diharapkannya, maka dia akan
merasa senang, dia akan lebih mimgkin melaksanakan perilaku yang disenanginya dan
hasil dari perilaku yang demikian akan menjadi lebih bemilai baginya (Poloma,2007: 64).
Seperti halnya yang teqadi pada perilaku masyarakat miskin. Yang menyebabkan mereka
memiliki kecendenmgan pasif dan pasrah terhadap pemanfaatan fasilitas kesehatan dan
pendidikan, dikarenakan saat mereka mengalami sakit dan medis tidak bisa memberikan
kepuasan bagi mereka sehingga mereka menjadi sering bersikap pasrah. Seperti hahiya
15
yang terjadi yang menimpa saiah satu responden dimana bayinya pemali ditahan oleh
salah satu Rumah Sakit temama yang berada di Pekanbaru.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini yang dilakukan di Desa Buluhcina yaitu maka dapat
disimpulkan bahwa:
a. Fakor sosial-ekonomi juga menjadi hal penting yang melatarbelakangi perilaku
masyarakat miskin dalam pemanfaatan fasilitas kesehatan.
b. Pemanfaatan fasilitas kesehatan pada masyarakat miskin di Desa Buluhcina masih
rendah dan masih tergolong dalam berperilaku tradisional dimana kesimpvilannya
bahwa masyarakat lebih cenderung memanfaatkan fasilitas tradisional ketimbang
fasilitas kesehatan yang modem.
c. Dari ketersediaan sarana kebersihan dan kondisi tempat tinggal ini masih bisa
dikatakan sangat tidak maksimal. Ini dapat dilihat dari perilaku mereka sehari-hari
seperti mandi disungai yang berdasarkan pandangan mereka mengatakan setuju
apabila Sungai dijadikan sebagai tempat M C K .
d. Adapun yang melatarbelakangi perilaku tradisional tersebut yaitu adanya nilai-nilai
kepercayaan yang mempakan warisan dari nenek moyangnya seperti kepercayaan
terhadap dukun/bomo dimana 100% menyatakan percaya terhadap kesembuhan
dukun.
e. Karakteristik kemiskinan di komunitas yang diamati ini adalah : a) ketidakmampuan
memenuhi kebutuhan dasar (basic need) seperti pangan, gizi, sandang, papan
pendidikan dan kesehatan ; b) Inaccessibility, yaitu ketidakmampuan menjangkau
sumberdaya sosial dan ekonomi baik akibat rendahnya daya tawar {bargaining
position) maupim keterbatasan modal, teknologi dan sumber daya manusia ;
c)Vulnerability, mudah jatuh dalam kemiskinan (rentan) akibat berbagai resiko seperti
penyakit, bencana alam, kegagalan panen, dan sebagainya, sehingga harus menjual
asset produksinya. Kerentanan ini sering disebut poverty rackets atau roda penggerak
kemiskinan
16
D A F T A R P U S T A K A
Cohen, Bruce J : 1992. Sosiologi Suatu Pengantar: cetakan ke II. Jakarta. PT Rineka Cipta
Dwiyanto, Agus, H Sri Sulistyanto, dkk : 2005. Kemiskinan dan Otonomi Daerah.
Jakarta. LIPl Press
Giddens, Anthony, Daniel Bell : 2005. Sosiologi Sejarah dan Berbagai Pemikirnya.
Yogyakarta. Kreasi Wacana
Haris, Abdul, Nyoman Adika : 2002. Dinamika Kependudukan dan Pembangunan di
Indonesia: dari perspektif mah'o ke realitas mikro. Yogyakaxtai. Lembaga study
filsafat islam
Malo, Manasse, Sri Trisnoningtias. Metode Penelitian Masyarakat. Universitas Indonesia
Mudiyono, Oelin Marliyantoro, Sugiyanto : 2005. Dimensi-dimensi Masalah Social dan
Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta A P M D Press
Muller, Johaimes : 2006. Perkembangan Masyarakat Lintas-ilmu. Jakarta. PT. Gramedia
pustaka utama
Narwoko,J Dwi : 2007. Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta. Kencana Prenada
Media Group
Paul, Doyle Johnson : 1986. Teori Sosiologi Klasikdan Modern. Jakarta. PT Gramedia
Poloma, Margaret M : 2007. Sosiologi Kontemporer. Jakarta. PT RajaGrafindo Persada
Prasetyo, Eko : 2005. Orang Miskin Tanpa Subsidi Yogyakarta. Resist book
Ritzer, George, Douglas J. Goodman : 2008. Teori Sosiologi Modern. Kencana Prenada
Media Group
Sanderson, Stephen K : 2003. Makro Sosiologi: sebuah pendekatan terhadap realitas
sosial. Jakarta. PT RajaGraiindo Persada
Sherraden, Michael : 2006. Aset Untuk Orang Miskin : perspektif baru usaha pengentasan
kemiskinan. Jakarta. PT rajagrafinda persada
Soelaeman, Munandar: 2005. Bmu Sosial Dasar: teori dan konsep ilmu sosial. Bandung. PT
Refika Aditama
Thabrany, Hasbullah : 2005. Pendi Kesehatan dan Alternatif Mobilisasi Dana
Kesehatan di Indonesia. Jakarta ja Grafindo Persada
Usman, Sunyoto : 2004. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta. Pustaka
Pelajar
17