karakteristik gejala klinis, tanda-tanda vital dan
TRANSCRIPT
KARAKTERISTIK GEJALA KLINIS, TANDA-TANDA VITAL DAN
VIABILITAS USUS PADA INTUSUSEPSI PEDIATRIK
DI RSUP H. ADAM MALIK
TESIS
ERWIN SAHAT HAMONANGAN SIREGAR
NIM : 167041090
PROGRAM MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK
DEPARTEMEN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
Universitas Sumatera Utara
i
Universitas Sumatera Utara
ii
ABSTRAK
Pendahuluan: Intususepsi adalah invaginasi suatu bagian dari usus halus ke
bagian lainnya. Intususepsi juga merupakan penyebab gawat abdomen akut dan
penyebab obstruksi kedua tersering pada kelompok anak. Adapun gejala trias
klasik yaitu muntah, nyeri kolik abdomen, dan feses berdarah. Namun, gejala trias
ini dilaporkan hanya terjadi pada <50% kasus. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gejala klinis, tanda-tanda vital dan viabilitas usus pada intususepsi
pediatrik.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain retrospektif,
dengan teknik pengambilan sampel secara total sampling.
Hasil: Berdasarkan karakteristik klinis, sebanyak 44,44% sampel mengalami
durasi gejala 2-3 hari. Lokasi ileocolic merupakan lokasi paling sering (77,78%).
Mayoritas sampel tidak mengalami trias gejala intususepsi (66,67%), mengalami
red currant jelly stool (62,96%), tidak ditemukan massa abdomen (59,26%),
mengeluhkan nyeri abdomen (70,37%), tidak mengalami distensi abdomen
(74,07%), tidak emesis (55,56%), letargi (59,26%), dan mempunyai viabilitas
usus yang baik (62,96%) orang sampel lainnya masih dengan viabilitas yang baik.
Dominan sampel mempunyai tanda vital yang normal.
Kesimpulan: Manifestasi intususepsi pada anak yang paling sering ditemukan
pada penelitian ini adalah nyeri abdomen, red currant jelly stool, letargi, dengan
viabilitas usus yang baik, lokasi ileocolic.
Kata kunci: Intususepsi, karakteristik, trias, viabilitas.
Universitas Sumatera Utara
iii
ABSTRACT
Introduction: Intussusception is a condition in which part of the intestine slides
into an adjacent part of the intestine. Intussusception is an important cause of an
acute abdomen and the second most common cause of bowel obstruction in
children. The classic triad of intussusception, including vomiting, abdominal colic
pain, and bloody stool. However, the triad has only been reported in <50% cases.
This study is aimed to evaluate the clinical manifestation, vital signs, and bowel
viability in pediatric intussusception.
Methods: This is an observational retrospective study with total sampling.
Results: Based on clinical characteristics, there were 44.44% subjects who had
manifestations for 2-3 days. Ileocolic was the most common location (77.78%).
Majority of the subjects did not have the classic triad (66.67%), had red currant
jelly stool (62.96%), did not have abdominal mass (59.26%), complained of
abdominal pain (70.37%), did not have abdominal distention (74.07%), did not
vomit (55.5%), was lethargic (59.26%), and had viable bowel (62.96%).
Conclusion: This study found that the most common manifestations of
intussusception in children were abdominal pain, red currant jelly stool, and
lethargy, with viable bowel and located at ileocolic.
Keywords: Intussusception, characteristics, triad, viability.
Universitas Sumatera Utara
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas karunia, rahmat
kesehatan dan keselamatan kepada peneliti sehingga dapat menyelesaikan karya
tulis ini tepat pada waktunya. Laporan hasil penelitian ini berjudul
“KARAKTERISTIK GEJALA KLINIS, TANDA-TANDA VITAL DAN
VIABILITAS USUS PADA INTUSUSEPSI PEDIATRIK DI RSUP H.
ADAM MALIK”. Penelitian ini disusun sebagai tugas akhir magister kedokteran
klinik (S-2) dan merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pembelajaran
magister kedokteran klinik di Fakultas Kedokteran Sumatera Utara.
Dalam penulisan laporan hasil penelitian ini, peneliti telah banyak
menerima bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung
ataupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis dengan
rendah hati ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, DR. dr. Aldy
Safruddin Rambe, SpS(K) beserta jajarannya yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis menjadi peserta didik dalam pendidikan program
Magister Kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Ketua Program Studi Magister Kedokteran Universitas Sumatera Utara, DR.
dr. Rodiah Rahmawaty Lubis, M.Ked(Oph), SpM(K) atas bantuan dan
dukungan motivasi kepada penulis selama mengikuti proses pendidikan.
3. DR. dr. Adi Muradi Muhar, SpB-KBD selaku Kepala Departemen Ilmu
Bedah RSUP H. Adam Malik / Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.
4. dr. Edwin Saleh Siregar, SpB-KBD selaku Ketua Program Studi Ilmu Bedah
RSUP H. Adam Malik / Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
5. DR. dr. Erjan Fikri, M.Ked(Surg), SpB, SpBA(K) selaku Dosen Pembimbing
yang telah membimbing penulis dalam penyusunan tesis ini.
Universitas Sumatera Utara
v
6. Prof. dr. Bachtiar Surya, SpB-KBD, DR. dr. Kamal Basri Siregar,
M.Ked(Surg), SpB(K)Onk, DR. dr. Asrul, SpB-KBD, dr. Chairiandi Siregar,
SpB, SpOT(K), selaku dosen penguji.
7. Seluruh dosen dan staf di RSUP H. Adam Malik / Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
8. Teman dan juga keluarga saya, terima kasih untuk semua dukungan dan
semangat yang kalian berikan.
9. Dan pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Peneliti menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dan
ketidaksempurnaan dalam penyusunan karya tulis ini akibat keterbatasan ilmu
pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki peneliti. Oleh karena itu, semua saran
dan kritik akan menjadi sumbangan yang sangat berarti guna menyempurnakan
karya tulis ini. Akhirnya peneliti mengharapkan semoga hasil karya tulis ini dapat
memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, bangsa dan negara kita Indonesia, serta
pengembangan ilmu pengetahuan.
Medan, Maret 2020
Peneliti
dr. Erwin Sahat Hamonangana Siregar
Universitas Sumatera Utara
vi
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... i
ABSTRAK ..................................................................................................... ii
ABSTRACT ................................................................................................... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... iv
DAFTAR ISI .................................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 3
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................... 3
1.3.2 Tujuan Khusus .............................................................. 3
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................... 5
2.1 Intususepsi ............................................................................... 5
2.1.1 Definisi ........................................................................ 5
2.1.2 Epidemiologi ............................................................... 6
2.1.3 Etiologi ........................................................................ 6
2.1.4 Patofisiologi ................................................................. 7
2.1.5 Patologi ........................................................................ 9
2.1.6 Manifestasi Klinis ........................................................ 9
2.1.7 Diagnosis ..................................................................... 11
2.1.8 Diagnosis Banding ....................................................... 13
2.1.9 Manajemen .................................................................. 14
2.1.10 Intususepsi Pasca Operatif ........................................... 19
2.1.11 Prognosis ..................................................................... 19
BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN ................................... 21
3.1 Jenis Penelitian ........................................................................ 21
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................. 21
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................ 21
3.3.1 Populasi ....................................................................... 21
3.3.2 Sampel ......................................................................... 21
3.3.3 Besar Sampel ............................................................... 22
3.4 Teknik Pengambilan Sampel ................................................... 22
3.5 Definisi Operasional ................................................................ 22
3.6 Pengolahan dan Analisis Data .................................................. 23
3.7 Kerangka Operasional .............................................................. 24
Universitas Sumatera Utara
vii
BAB IV HASIL PENELITIAN
4.1 Hasil Penelitian ........................................................................ 25
4.1.1 Distribusi Karakteristik Penelitian ............................... 25
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Pembahasan Hasil Penelitian ................................................... 29
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan .............................................................................. 33
6.2 Saran ........................................................................................ 33
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 34
LAMPIRAN
Universitas Sumatera Utara
viii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
Gambar 1 Intususepsi Ileosekal ................................................................... 5
Gambar 2 Gambaran USG Intususepsi pada potongan longitudinal
(pseudokidney sign) dan potongan transversal (target sign) ...... 12
Gambar 3 Gambaran massa seperti sosis pada abdomen dan gambaran
foto polos abdomen menunjukkan dilatasi kolon dan fossa
iliaka oleh gas ............................................................................. 13
Gambar 4 Gambaran Fluoroskopi dengan menggunakan Air Enema pada
intususepsi ileosekal ................................................................... 13
Gambar 5 Algoritme General Penatalaksanaan Intususepsi berdsarkan
Modalitas Terapi dan Outcome ................................................... 15
Gambar 6 Algoritme Manajemen pada Anak dengan Intususepsi ............... 16
Universitas Sumatera Utara
ix
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
Tabel 4.1. Distribusi Karakteristik Penelitian .................................................... 25
Tabel 4.2. Distribusi Sampel Penelitian Berdasarkan Tanda Vital .................... 26
Tabel 4.3. Distribusi Karakteristik Klinis Sampel Penelitian ............................ 27
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Intususepsi adalah invaginasi suatu bagian dari usus halus ke bagian
lainnya. Intususepsi melibatkan tiga dinding silinder usus. Dinding silinder dalam
dan tengah merupakan bagian yang berinvaginasi, dan silinder luar merupakan
resipien dari usus yang terinvaginasi tersebut (Columbani et al, 2012).
Intususepsi merupakan salah satu keadaan gawat darurat pada abdomen
(Dabadie et al, 2018). Intususepsi juga merupakan penyebab gawat abdomen akut
dan penyebab obstruksi kedua tersering pada kelompok anak (Alhasani, 2016;
Loukas et al, 2011). Angka insidensi di seluruh dunia diperkirakan kurang dari
1/10.000 anak dan 1/1.000 kasus departemen emergensi (Dabadie et al, 2018;
Jiang et al, 2013).
Mayoritas kasus intususepsi bersifat idiopatik. Namun beberapa organisme
dan virus patogen, seperti adenovirus, pasca vaksinasi polio, diketahui
berhubungan dengan penyakit ini (Hazra et al, 2015). Etiologi intususepsi lainnya
yaitu hipertrofi peyer patch akibat infeksi adenovirus dan rotavirus
(Marsicovetere et al, 2017).
Keadaan yang paling sering terjadi, baik pada kasus dengan etiologi virus
maupun non virus adalah hipertrofi limfoid (Kapoor et al, 2007; Applegate, 2009;
Nylund et al, 2010; Okimoto et al, 2011). Gejala tipikal dapat dijelaskan oleh
keadaan patologis yang mendasari. Pada awal perjalanan penyakit, gejala klinis
berupa muntah, yang dijumpai pada 80% pasien, dan letargi diakibatkan robeknya
mesenteri. Pada saat ini belum terjadi obstruksi dan distensi abdomen. Nyeri
intermiten dan kolik yang disertai dengan penarikkan kaki ke arah abdomen mulai
terjadi saat adanya aktivitas peristaltik yang reguler (Waag, 2006).
Gejala yang ditimbulkan biasanya akibat kontraksi peristaltik yang terus-
menerus dari segmen yang bervaginasi terhadap obstruksi. Keadaan ini kemudian
akan menyebabkan edema, dan akhirnya aliran vaskular usus halus menjadi
terganggu dan mengalami iskemia (Marsicovetere et al, 2017). Apabila keadaan
Universitas Sumatera Utara
2
ini tidak segera ditangani, aliran darah pada titik obstruksi usus halus akan
terganggu, dan akhirnya menyebabkan nekrosis, gangren, perforasi, dan
peritonitis generalisata (Hazra et al, 2015).
Diagnosis intususepsi merupakan hal yang menantang, karena gejalanya
yang tidak spesifik dan luas. Adapun gejala trias klasik yaitu muntah, nyeri kolik
abdomen, dan feses berdarah. Namun, gejala trias ini dilaporkan hanya terjadi
pada < 50% kasus (Kapoor et al, 2007). Diagnosis biasa ditegakkan apabila
dijumpai temuan karakteristik berupa target (doughnut) sign dan/atau
pseudokidney sign pada pemeriksaan ultrasonografi (Guney et al, 2016; Munden
et al, 2007).
Intususepsi juga mempunyai beberapa modalitas terapi. Pengelompokkan
penyakit ini juga dilaporkan lebih bermanfaat jika diklasifikasikan berdasarkan
modalitas terapinya. Pembagian ini menghasilkan lima kategori yang dapat
dikelompokkan menjadi tiga kelompok mayor yaitu kondisi yang memerlukan
reseksi, dimana usus tidak lagi viabel dan/atau dengan pathological lead point;
reduksi operatif, dimana usus viabel dan tanpa pathological lead point; dan
reduksi primer non operatif dengan usus viabel dan tanpa pathological lead point
(Bekdash et al, 2013).
Keterlambatan dalam diagnosis dan penatalaksanaan juga dapat
menyebabkan komplikasi yang serius, seperti hilangnya viabilitas usus, perforasi,
dan peritonitis (Yao et al, 2015). Pada durante operasi abdominal pun, viabilitas
usus harus dievaluasi secara berkala. Suplai darah yang sufisien memainkan peran
yang sangat penting dalam keberhasilan penyembuhan anastomosis dan untuk
menghindari iskemia dan nekrosis intestinal. Mikrosirkulasi yang insufisien pada
daerah anastomosis dapat mendorong terjadinya kebocoran anastomosis atau
striktur, yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas post-operatif yang
signifikan (Urbanavičius et al, 2011; Karliczek et al, 2010).
Beberapa publikasi laporan melaporkan bahwa pada kasus intususepsi
diamati bahwa tanda vital pasien dalam batas normal. Sebuah laporan kasus yang
melaporkan 3 kasus intususepsi mencatat tanda vital yang normal pada ketiga
pasien tersebut (Pineda & Hardasmalani, 2008). Sebuah laporan kasus mengenai
Universitas Sumatera Utara
3
anak berusia 3 tahun dengan intususepsi ileo-ileal multipel juga melaporkan hal
yang serupa (Kizilyildiz et al, 2016). Namun adapun literatur menyatakan bahwa
pada awal presentasi, tanda vital dapat berada dalam rentang normal namun pada
keadaan yang lebih lanjut, pasien deapat menunjukkan tanda infeksi seperti
demam, hipotensi, dan takikardi (Bowker et al, 2018).
Sampai saat ini juga belum ada penelitian yang membahas hubungan
gejala klinis dan tanda-tanda vital dengan temuan intra operatif pada intususepsi
pediatrik. Seperti yang telah dijabarkan di atas, intususepsi pada anak mempunyai
gejala-gejala yang mengkarakteristikkan penyakit ini. Selain itu, dengan
mempertimbangkan seringnya kejadian intususepsi pada anak, dan pentingnya
viabilitas usus terhadap kesembuhan penyakit, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui hubungan gejala klinis dan tanda-tanda vital dengan temuan
intraoperatif pada intususepsi. Bila nantinya ada hubungan gejala klinis dan tanda-
tanda vital dengan viabilitas usus pada penelitian ini, diharapkan dapat membantu
ahli bedah untuk memprediksi temuan yang akan dijumpai dan bisa
mempersiapkan diri untuk persiapan yang lebih matang dalam menangani kasus
intususepsi yang akan dihadapi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti ingin
mengetahui: “Karakteristik Gejala Klinis, Tanda-Tanda Vital dan Viabilitas Usus
pada Intususepsi Pediatrik di RSUP H. Adam Malik.”
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui gejala klinis, tanda-tanda vital dan viabilitas usus pada
intususepsi pediatrik.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui gejala klinis pada intususepsi pediatrik
b. Untuk mengetahui tanda-tanda vital pada intususepsi pediatrik
c. Untuk mengetahui viabilitas usus pada intususepsi pediatrik
Universitas Sumatera Utara
4
d. Untuk mengetahui distribusi lokasi kejadian intususepsi pediatrik
e. Untuk mengetahui distribusi lama gejala klinis kasus intususepsi
pediatrik
f. Untuk mengetahui distribusi jenis kelamin pasien intususepsi pediatrik
g. Untuk mengetahui distribusi usia pasien intususepsi pediatrik
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Sebagai wawasan bagi peneliti untuk mengetahui gejala klinis, tanda-tanda
vital dan viabilitas usus pada intususepsi pediatrik.
1.4.2 Bagi Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat menyumbang informasi dalam bidang ilmu
pengetahuan mengenai gejala klinis, tanda-tanda vital dan viabilitas usus pada
intususepsi pediatrik.
1.4.3 Bagi Pasien
Penelitian ini diharapkan dapat menyumbang manfaat dalam diagnosis dan
manajemen pasien intususepsi pediatrik.
Universitas Sumatera Utara
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Intususepsi
2.1.1 Definisi
Intususepsi adalah suatu proses dimana segmen usus bervaginasi atau
masuk ke dalam usus distal yang berdekatan. Ini merupakan suatu konsep ketika
sebagian dari saluran pencernaan masuk ke saluran yang berdekatan lainnya.
Meskipun prosesnya bisa terjadi dimana saja, 90% dari kasus pada anak – anak
terjadi pada ileosekal. Usus proksimal yang tervaginasi disebut sebagai
intususeptum dan segmen usus distal penerima disebut sebagai intususipien.
Intususepsi merupakan penyebab paling sering dari obstruksi usus pada balita.
Kata intususepsi sendiri pertama disampaikan pada tahun 1674 oleh Paul Barbette
di Amsterdam, dan diperjelas oleh Treves pada tahun 1899, dan dilakukan operasi
secara sukses pada tahun 1873 oleh John Hutchinson (Fetis & Schmeling, 2014;
Holcomb et al, 2014).
Gambar 1. Intususepsi Ileosekal, pembuluh darah mesenterik tertekan
diantara intususeptum yang menyebabkan edema dan iskemia, dan bisa
berujung nekrosis (Fetis & Schmeling, 2014)
Universitas Sumatera Utara
6
2.1.2 Epidemiologi
Intususepsi merupakan penyebab paling umum dari obstruksi intestinal
pada usia antara 5 bulan hingga 3 tahun dan merupakan kegawatdaruratan
abdomen paling umum pada anak usia dibawah 2 tahun. 60% pasien intususepsi
berusia dibawah 1 tahun, dan 80% kasus terjadi dibawah 2 tahun; sedangkan
kasus ini jarang terjadi dineonatus. Insiden intususepsi berkisar antara 1 hingga 4
per 1000 kelahiran hidup. Sedangkan rasio laki – laki dan perempuan adalah 3 : 1.
Beberapa intususepsi yang terjadi pada usus halus dan kolon dapat kembali secara
spontan. Namun, jika tidak diobati, intususepsi pada ileosekal ini dapat
menyebabkan iskemia dan infark intestinal, perforasi, peritonitis, dan kematian
(Holcomb et al, 2014; Kliegman et al, 2016).
2.1.3 Etiologi
Intususepsi pada dewasa dan anak mempunyai etiologi yang berbeda. Pada
dewasa, sekitar 90% kasus intususepsi disebabkan oleh kondisi patologi organik
dan hanya 10% yang bersifat idiopatik. Penyebab utama intususepsi pada dewasa
adalah neoplasma, adhesi, diare kronik, dan gangguan motilitas seperti penyakit
Hirschsprung. Neoplasma merupakan penyebab dari 65% kasus intususepsi.
Sementara pada anak, keadaan patologis yang menyebabkan intususepsi adalah
infeksi, polip, limfoma, sindrom malabsorpsi, divertikulum Meckel, fibrosis kistik,
duplikasi, hematoma intramural, dan adhesi (Acharya et al, 2017; Rutherford et al,
2013; Shehzad et al, 2013; Casiraghi et al, 2016; Blanco, 2018).
Mayoritas kasus intususepsi bersifat idiopatik pada anak – anak (90%).
Pada pasien ini, hiperplasia limfoid dihipotetiskan sebagai penyebab utama
(leading point). Kejadian ini biasanya terjadi pada musim gugur dan musim
dingin. Korelasi dengan infeksi adenovirus (tipe C) sebelumnya telah diperhatikan,
dan kasus ini biasanya merupakan komplikasi dari otitis media, gastroenteritis,
Henoch-Schonlein purpura, atau infeksi saluran pernafasan atas. Risiko
intususepsi meningkat pada bayi usia 1 tahun atau lebih muda setelah menerima
vaksin rotavirus tetravalen dalam 2 minggu setelah vaksinasi. Meskipun rotavirus
menghasilkan enterotoksin, namun tidak ada hubungan antara tipe rotavirus
Universitas Sumatera Utara
7
terkait manusia dengan kejadian intususepsi. Oleh karena itu, vaksin rotavirus
yang disetujui sekarang tidak terkait dengan peningkatan risiko intususepsi (Fetis
& Schmeling, 2014; Kliegman et al, 2016).
Suatu penelitian menunjukkan bahwa 85% kasus intususepsi pada anak
disebabkan oleh infeksi virus. Di antara kasus-kasus tersebut, 47% disebabkan
oleh adenovirus, 45% disebabkan oleh HHV-6, 23% disebabkan oleh rhinovirus,
13% disebabkan oleh CMV, 8% disebabkan oleh enterovirus, dan 6% disebabkan
oleh rotavirus (Lappalainen et al, 2012). Penelitian prospektif di Australia dan
Vietnam juga melaporkam bahwa intususepsi pada pada bayi berhubungan dengan
infeksi adenovirus pada kedua negara tersebut dan menyimpulkan bahwa
adenovirus mungkin memainkan peran penting dalam etiologi intususepsi (Bines
et al, 2006).
Anggapan baru menunjukkan bahwa infeksi pada sistem gastrointestinal
ataupun pengenalan makanan dengan kadar protein tinggi menghasilkan
pembengkakan pada peyer patches pada ileum terminal. Hiperplasia limfoid
nodular merupakan faktor risiko lainnya. Penonjolan dari jaringan limfatik akan
menyebabkan prolaps mukosa ileum ke dalam usus besar, sehingga menyebabkan
intususepsi. Dalam 2 – 8% pasien, poin utama (leading point) dari intususepsi
adalah divertikulum Meckel, polip usus, neurofibroma, kista, appendiks yang
terbalik, leiomioma, hamartoma, jaringan ektopik pankreas, jahitan yang
anastomosis, penyakit limpoproliferatif, hemangioma, atau kondisi ganas seperti
limfoma, atau sarkoma kaposi. Umumnya terjadi pada anak diatas usia 2 tahun.
Pada orang dewasa, poin utama ini hadir sebanyak 90%. Intususepsi pada
postoperatif biasanya terjadi pada operasi abdomen terutama pada bagian
ileosekal. Diagnostik kerja yang agresif untuk mengetahui penyebab patologis
utama harus diketahui jika terjadi intususepsi (Holcomb et al, 2014).
2.1.4 Patofisiologi
Ketidakseimbangan gaya longitudinal sepanjang dinding usus diyakini
sebagai penyebab intususepsi. Minimnya homogenitas gaya longitudinal
sepanjang dinding intestinal dapat disebabkan massa yang bertindak sebagai lead
Universitas Sumatera Utara
8
point atau dapat menyebabkan pola peristaltik yang tidak terorganisasi.
Ketidakseimbangan kontraksi otot sirkular yang tegak lurus dengan aksis gaya
longitudinal menyebabkan bagian usus membelit sehingga membentuk suatu titik
tumpu lipatan dan mengakibatkan invaginasi ke usus distal sekitar (Hesse et al,
2011).
Bagian usus yang masuk bertindak sebagai apeks intususepsi,
intususeptum, dan dengan komplit berinvaginasi ke bagian distal dari usus yang
menerimanya, intususipien. Proses invaginasi berlanjut, intususeptum menarik
mesenteri dan dapat berlanjut sampai ke rektum. Seiring dengan intususeptum
berlanjut, aliran balik limfatik akan terhambat dan akhirnya drainase vena juga
terganggu sebagai peningkatan tekanan pada dinding usus halus. Hal ini
menyebabkan kongesti dan edema pada intususeptum (Hesse et al, 2011, Ignacio
& Fallat, 2010).
Alhasil, pada lumen akan terjadi blokade (oklusi) dan selanjutnya
menekan mesenterika sehingga terjadi strangulasi (Hesse et al, 2011), dan
mayoritas intususepsi tidak berstrangulasi pada 24 jam pertama (Kliegman et al,
2016).
Suplai darah arteri pada segmen usus ini akan terhambat. Pada awalnya,
membran mukosa, yang sangat sensitif terhadap iskemia, menjadi terkelupas dan
dikeluarkan sebagai feses berlendir. Mukosa iskemik akan berdarah ketika
mukosa terkelupas semakin dalam dan darah akan bercampur dengan mukus yang
menghasilkan gejala klasik "red currant jelly stools" (Kimia et al, 2017; Hesse et
al, 2011; Padilla & Moses, 2017).
Jika pembengkakan, edema, dan iskemia tidak segera diatasi, lumen usus
menjadi terhambat sepenuhnya, dan nekrosis transmural pada intususeptum akan
terjadi dan mengakibatkan sekuesterasi cairan, translokasi bakteri intestinal ke
kavitas peritoneum, perforasi usus, dan kemungkinan terjadinya peritonitis (Hesse
et al, 2011).
Universitas Sumatera Utara
9
2.1.5 Patologi
Tidak banyak penelitian yang melaporkan hasil pemeriksaan patologi
anatomi pada intususepsi. Sebuah penelitian yang memeriksa 151 spesimen
patologi kasus intususepsi pada anak yang diperoleh dari pembedahan, temuan
yang paling sering meliputi hiperplasia limfoid (35%), nekrosis atau infark (10%),
dan divertikulukm Meckel (10%) (Johnson et al, 2012).
Suatu artikel melaporkan suatu kasus intususepsi pada anak perempuan
berusia 7 tahun dengan riwayat infeksi saluran pernafasan atas sebelumnya.
Pemeriksaan histopatologi menunjukkan kerusakan aktif pada epitel dengan
ulserasi, granulasi, dan nekrosis. Permukaan epitelium juga terdapat sel yang
bertransformasi dengan nukleus smudgy membesar yang konsisten dengan inklusi
virus Cowdry tipe B. Pada pemeriksaan imunohistokimia dipastikan adanya
infeksi adenovirus (Abizu et al, 2014).
Gambaran proliferasi vaskular florid telah dilaporkan dalam beberapa
laporan dengan kasus intususepsi tanpa nekrosis. Secara mikroskopis, tampak
mass eksofitik polipoid dengan ulserasi yang ekstensif. Pada bagian superfisial
polip tampak gambaran piogenik seperti granuloma dan pada bagian lebih dalam
tampak proliferasi pembuluh darah kecil dengan ukuran kapiler yang berkumpul
dan permbuhan infiltratif dan perluasan ke musculus propria. Sel endotelial
terdapat nuklei ovoid dan menunjukkan nukleus atipia minimal tanpa multi-
layering (Gu et al, 2013).
Gambaran hiperplasia limfoid berhubungan dengan nekrosis dan
perdarahan pada intususepsi. Temuan histologis yang paling sering adalah
hiperplasi limfoid lokal pada leading edge, dengan formasi germinal sentral yang
jelas, terbatas pada mukosa dan submukosa yang terlibat (Montgomery et al,
1994).
2.1.6 Manifestasi Klinis
Dalam kasus yang khas, gejala yang tampak adalah anak tiba – tiba terjadi
serangan mendadak, dimana anak yang sebelumnya sehat, sekarang mengeluh
nyeri kolik berat yang berulang dengan interval yang sering dan disertai upaya
Universitas Sumatera Utara
10
kaki tegang dan lutut tertekuk dan menangis keras. Bayi mungkin awalnya merasa
nyaman dan masih bisa bermain normal diantara fluktuasi rasa nyeri; tetapi jika
intususepsi ini tidak berkurang, lama kelamaan bayi akan menjadi semakin lemah
dan lesu. Nyeri perut intermiten yang parah terjadi pada 15 – 20 menit pada bayi
dan balita adalah ciri intususepsi dan tercatat 95% anak dengan diagnosis ini.
Anak biasanya akan tenang diantara episode kolik. Pada beberapa keadaan,
lesunya pasien tidak menunjukkan tanda perut yang nyeri. Namun, jika pada
keadaan anak terjadi syok, dengan demam dan peritonitis, bisa terjadi. Denyut
nadi menjadi lemah dan halus, laju pernafasan menjadi cepat dan dangkal, dan
anak merintih (Fetis & Schmeling, 2014; Holcomb et al, 2014).
Muntah merupakan gejala yang terjadi pada sebagian besar kasus dan
biasanya lebih sering terjadi pada fase awal. Pada fase selanjutnya, muntah akan
berwarna seperti cairan empedu. Kotoran pada awalnya juga masih tampak
normal dalam beberapa jam setelah gejala timbul. Setelah 1 – 2 hari, anak akan
mengeluarkan feses yang bercampur dengan lendir dan darah (red currant jelly
stool). Trias intususepsi yaitu adanya massa abdomen berbentuk sosis, feses
dengan lendir dan darah, dan nyeri abdomen. Gejala-gejala ini ditemukan pada <
30% pasien intususepsi dan kejadian muntah biasanya akan memberikan prediksi
nilai positif > 90%, dan meningkat dengan adanya perdarahan anus
(Marsicovetere et al, 2017; Kliegman et al, 2016).
Palpasi abdomen biasanya menunjukkan adanya massa abdomen yang
teraba lunak dan berbentuk sosis, yang biasanya dapat teraba jelas ketika anak
nyeri sekali. Pada kasus anak dibawah 2 tahun biasanya gejala kurang khas, dan
bahkan bisa membaik atau hilang tanpa pengobatan. Kejadian ini dapat rekuren
sebanyak 5-8% setelah reduksi hidrosatatik. Intususepsi yang bersifat kronis,
dengan gejala yang lebih ringan lebih sering terjadi setelah enteritis akut dan
dapat terjadi pada usia yang lebih tua (Holcomb et al, 2014).
Universitas Sumatera Utara
11
2.1.7 Diagnosis
Jika pada anamnesis dan pemeriksaan fisik mengarah kepada diagnosis
intususepsi, maka pemeriksaan penunjang diperlukan untuk mempertegas
diagnosis. Foto polos abdomen mungkin akan menunjukkan densitas lebih tinggi
pada area intususepsi. Skrining dengan menggunakan USG pada pasien terduga
intususepsi dapat menguatkan diagnostik dan mengurangi paparan radiasi yang
tidak perlu pada anak – anak jika hasilnya negatif. Temuan USG akan
menunjukkan gambaran massa tubular dan gambaran sandwich atau pseudokidney
pada potongan longitudinal dan gambaran donat atau target sign pada potongan
transversal. USG memiliki sensitivitas 98-10% dan spesifisitas 98% dalam
mendiagnosis intususepsi. Udara, salin hidrostatik, atau kontras enema telah
menggatikan pemeriksaan dengan menggunakan barium. Kontras enema biasanya
akan menunjukkan gambaran filling defect atau cupping yang terhambat karena
adanya intususepsi ini. Dengan menggunakan reduksi udara, akan mengurangi
komplikasi dan paparan radiasi yang lebih rendah daripada paparan teknik
hidrostatik kontras lama (Fetis & Schmeling, 2014; Levy et al, 2015).
Pemeriksaan radiologis sangat penting dalam mengevaluasi intususepsi.
Foto polos abdomen dapat dilakukan 2 posisi yaitu posisi telentang (supine) dan
posisi left lateral decubitus. Pola gas pada usus dalam perjalanan penyakit ini
awalnya dapat normal, namun dapat terjadi obstruksi jika gejala klinis menetap.
Temuan yang ada biasanya adalah kurangnya gas pada usus di daerah fossa iliaka
kanan. Temuan lainnya seperti adanya massa lunak pada kuadran kanan atas
abdomen. Jika dari gambaran foto polos abdomen mendukung suatu intususepsi,
maka harus dilanjutkan kepada pemeriksaan barium enema dengan memanfaatkan
reduksi hidrostatik untuk konfirmasi diagnosis (Kliegman et al, 2016; Levy et al,
2015).
CT Scan tidak memiiki peran dalam evaluasi diagnostik intususepsi.
Meskipun modalitas ini mampu menunjukkan intususepsi secara jelas, namun
tidak dipilih sebagai pilihan karena berpotensi membahayakan dari paparan
radiasi yang timbulkan (Fetis & Schmeling, 2014).
Universitas Sumatera Utara
12
Gambar 2. Gambaran USG Intususepsi pada potongan longitudinal
(pseudokidney sign) dan potongan transversal (target sign) (Fetis &
Schmeling, 2014; Levy et al, 2015)
Universitas Sumatera Utara
13
Gambar 3. Gambaran massa seperti sosis pada abdomen dan gambaran foto
polos abdomen menunjukkan dilatasi kolon dan fossa iliaka oleh gas (Fetis &
Schmeling, 2014; Holcomb et al, 2014)
Gambar 4. Gambaran Fluoroskopi dengan menggunakan Air Enema pada
intususepsi ileosekal (Fetis & Schmeling, 2014)
2.1.8 Diagnosis Banding
Akan menjadi sulit dalam mendiagnosis intususepsi pada anak – anak
yang telah menderita gastroenteritis; yaitu dalam perubahan pola penyakit,
karakteristik nyeri, atau proses muntah dan perdarahan anus. Feses lendir berdarah
dan kram perut pada enterokolitis biasanya dapat dibedakan dengan intususepsi
Universitas Sumatera Utara
14
karena nyeri pada enterokolitis akan lebih ringan dan tidak sering terjadi, dan
disertai diare, dan bayi akan lebih lesu diantara rasa nyeri yang timbul. Perdarahan
dari divertikulum Meckel biasanya tidak nyeri. Gejala pada sendi, purpura, atau
hematuria biasanya terjadi pada perdarahan usus yang disebabkan oleh Henoch –
Schonlein purpura. Karena intususepsi merupakan komplikasi dari setiap penyakit
ini, pemeriksaan USG diharapkan dapat meniadakan diagnosis banding ini untuk
menemukan diagnosis utamanya (Gluckman et al, 2017; Lin et al, 2017).
2.1.9 Manajemen
Reduksi dari intususepsi akut merupakan suatu prosedur emergensi dan
harus dilakukan secepatnya dengan persiapan operasi yang mendesak. Pada
pasisen dengan intususepsi berkepanjangan dengan gejala syok, iritasi peritoneal,
perforasi usus, atau pneumatosis intestinalis, reduksi hidrostatik tidak boleh
dilakukan. Angka kesuksesan dari reduksi hidrostatik dengan panduan USG dan
fluoroskopi adalah 80 – 95% pada intususepsi ileosekal. Reduksi spontan dari
intususepsi sebanyak 4 – 10% pasien. Kejadian perforasi usus sebanyak 0,5 –
2,5% dari penggunaan barium dan reduksi hidrostatik. Angka perforasi dengan
reduksi udara sebanyak 0,1 – 0,2%. Reduksi surgikal diindikasikan dengan
adanya syok, dicurigai nekrosis usus atau perforasi, peritonitis (Fetis & Schmeling,
2014; Holcomb et al, 2014; Kliegman et al, 2016).
Gambaran intususepsi ileosekal paling jelas dengan penggunaan USG
abdomen. Reduksi dengan agen kontras, salin, atau udara tidak dilakukan.
Intususepsi ini dapat berkembang secara tersembunyi setelah operasi usus, dan
memerlukan operasi ulang jika tidak secara spontan kembali. Jika operasi manual
tidak mungkin dilakukan, maka dilakukan reseksi intususepsi dengan anastomosis
ujung ke ujung (Marsicovetere et al, 2017; Holcomb et al, 2014).
2.1.9.1 Prinsip Manajemen Intususepsi
Terdapat suatu algoritme generic yang memandu modalitas
penatalaksanaan intususepsi. Pembagian ini menghasilkan lima kategori yang
dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok mayor yaitu kondisi yang
memerlukan reseksi, dimana usus tidak lagi viabel dan/atau dengan pathological
Universitas Sumatera Utara
15
lead point; reduksi operatif, dimana usus viabel dan tanpa pathological lead point;
dan reduksi primer non operatif dengan usus viabel dan tanpa pathological lead
point (Bekdash et al, 2013) (Gambar 5).
Gambar 5. Algoritme General Penatalaksanaan Intususepsi berdasarkan
Modalitas Terapi dan Outcome (Bekdash et al, 2013). PLP: Pathological lead
point
Selain itu, adaspun algoritme manajemen intususepsi berdasarkan Global
Help (Gambar 6). Apabila fasilitas memungkinkan, reduksi non operatif
umumnya merupakan lini pertama penatalaksanaan intususepsi dan metode
pilihan ahli bedah anak. Jika tidak mungkin dilakukan, maka langkah selanjutnya
adalah manajemen operatif. Kontraindikasi manajemen reduksi non operatif yakni
peritonitis, pneumoperitoneum sekunder akibat perforasi usus, syok, distensi
abdomen yang jelas (kontraindikasi relatif), intususepsi usus halus yaitu ileo-ileal
atau ileo-ileokolik, dan durasi gejala yang lama sebelum datang ke rumah sakit (>
24 jam) (Hesse et al, 2011).
Universitas Sumatera Utara
16
Jika reduksi enema yang pertama gagal, maka direkomendasikan untuk
dilakukan usaha pengulangan dua sampai tiga kali lagi. Apabila usaha reduksi
masih gagal, maka alur penatalaksanaan beralih menjadi reduksi operatif/surgikal.
Operasi juga disarankan apabila terjadi kebocoran cairan ke kavum peritoneal
sebagi akibat perforasi usus (Hesse et al, 2011).
Apabila reduksi manual berhasil, maka alur penatalaksanaan berakhir di
sini. Namun apabila reduksi manual gagal akibat robeknya usus, atau jika
intususepsi dinilai bersifat gangrenous dari pengamatan inspeksi dari awal operasi,
atau jika ditemukan PLP, maka reseksi segmental perlu dilakukan yang diikuti
penyambungan kontinuitas usus dengan anastomosis end-to-end (Hesse et al,
2011).
Gambar 6. Algoritme Manajemen pada Anak dengan Intususepsi (Hesse et al,
2011). DRE: Direct rectal examination; EF: Examining finger
Universitas Sumatera Utara
17
Metode operatif lainnya untuk reduksi intususepsi adalah secara
laparoskopik. Semua manuver yang dilakukan dengan metode terbuka dapat
dilakukan secara laparoskopik, termasuk reseksi dan anastomosis (Hesse et al,
2011).
2.1.9.2 Manajemen Non Operatif
Anak dengan intususepsi akan dehidrasi oleh karena muntah, kurangnya
asupan oral yang adekuat, dan hilangnya volume intravaskuler. Oleh sebab itu,
resusitasi cairan harus dimulai dari instalasi gawat darurat (Fetis & Schmeling,
2014; Holcomb et al, 2014).
Pemberian antibiotik intravena direkomendasikan sebelum dilakukan
reduksi. Anak dengan peritonitis atau adanya tanda perforasi harus diberikan
antibiotik intravena berupa piperacillin / tazobactam / ertapenem dan harus segera
dibawa ke meja operasi setelah dilakukan resusitasi cairan. Lini pertama terapi
untuk anak dengan intususepsi adalah upaya pneumatisasi atau reduksi hidrostatik
melalui anus yang dilakukan oleh seorang radiolografer pediatrik (Holcomb et al,
2014).
Teknik reduksi radiologis meliputi penembatan tabung rektum, atau
biasanya dapat menggunakan kateter Foley. Untuk memastikan aman dan
menjaga tekanan, tabung akan distabilisasi secara ketat pada daerah pantat. Dulu,
1m2 dari barium digunakan dengan angka keberhasilan sebanyak 70%. Terbaru ini,
reduksi pneumatisasi dengan udara dengan bantuan fluoroskopi dipilih sebagai
prosedur karena lebih mudah dan angka kesuksesannya tinggi (85%) dan dapat
mengurangi risiko perforasi. Pemberian udara ini juga memiliki keuntungan
kurangnya dosis radiasi bersamaan dengan pemantauan tekanan selama prosedur
berlangsung. Tekanan udara dijaga tetap dibawah 120 mmHg. Angka perforasi
minimal dilaporkan, sebanyak 1 – 3 %. Kesuksesan reduksi diartikan bahwa
massa dalam kolon terbebas atau adanya refluks ke ileum terminal. Setelah
reduksi, pemantauan tetap dilakukan pada anak mulai dari pemberian antibiotik
dan makanannya. Jika anak – anak dapat mentoleransi makanan dan tidak timbul
nyeri perut, maka dapat pulang ke rumah 23 jam setelah reduksi. Kejadian
Universitas Sumatera Utara
18
intususepsi berulang dapat terjadi pada 15% anak – anak, dan harus dilakukan
reduksi berulang. Namun, perlu dipertimbangkan titik patologis utamanya
kembali (Fetis & Schmeling, 2014; Honjo et al, 2015; Ntoulia, 2016).
2.1.9.3 Manajemen Operatif
Operasi terbuka secara tradisional dilakukan melalui insisi pada sisi kanan
melintang pada infraumbilikal. Pertimbangan diperhatikan untuk melakukan insisi
pada garis tengah tubuh, dengan visualisasi lebih baik dan mudahnya menemukan
massa. Saat memasuki kavum peritoneum, massa dari intususeptum ditelusuri dan
dilakukan manuver reduksi manual dengan memeras lembut (taxis) pada
intususeptum mulai dari bagian ujung distal. Ini bisa ditambah dengan melalukan
traksi yang lambat dan lembut dengan menarik pada tepi proksimal ileum. Ahli
bedah anak disarankan untuk tidak melalukan traksi proksimal karena dapat
merobek usus yang bengkak. Baik operasi terbuk atau laparoskopi menunjukkan
bahwa aman untuk dilakukan. Penekanan yang kontinu pada dinding usus yang
bengkak diperlukan untuk secara manual mengeluarkan massa tersebut. Cairan
serosa mungkin akan keluar saat manuver ini dilakukan karena baik intususeptum
maupun intususipien sedang dalam keadaan edema. Setelah reduksi manual
berhasil, pastikan usus dalam keadaan viabel dan perfusinya baik dan perhatikan
ada atau tidaknya leading point, terutama divertikulum Meckel (Fetis &
Schmeling, 2014; Holcomb et al, 2014; Kliegman et al, 2016).
Jika setelah beberapa menit setelah melakukan reduksi, tidak ada
perbaikan, maka harus dilakukan reseksi intususepsi. Untuk intususepsi ileosekal
akan dilakukan ileocecectomi atau hemikolektomi kanan. Operasi ini dilakukan
dengan mobilisasi kolon ke pleksura hepatika. Pendekatan yang paling dipilih
adalah dengan melakukan anastomosis dari ujung ke ujung jika batas reseksi jelas
dan edema minimal. Stoma yang temporer dipasang saat operasi, tapi tetap harus
dipantau karena untuk menilai apakah ada pemulihan usus yang lambat, dan
perfusi yang rendah dari batas reseksi, instabilitas hemodinamik, atau perforasi
dengan sepsis intraabdominal (Fetis & Schmeling, 2014; Kliegman et al, 2016).
Universitas Sumatera Utara
19
Manajemen intususepsi yang terjadi pada apendiks masih bersifat
kontroversial dan belum ada konsensus yang mendukung. Sebelumnya, operasi
apendiks dilakukan untuk menghilangkan diagnosis banding tentang status
apendiks pada pasien dengan sayatan melintang sisi kanan (Fetis & Schmeling,
2014; Holcomb et al, 2014).
2.1.10 Intususepsi Pasca Operatif
Intususepsi pasca operasi merupakan suatu fenomena yang jarang.
Meskipun ada korelasi kuat dengan diseksi retroperitoneum, kejadian ini telah
diamati selama jalannya operasi. Etiologi dari intususepsi pasca operasi masih
belum diketahui. Penyebab yang sering disebutkan yaitu edema dari manipulasi
usus, ileus, jahitan atau garis operasi, ataupun adhesi postoperatif. Biasanya ini
meliputi usus haus dan terjadi pada dua minggu pertama pasca operasi. Insidennya
sangat kecil, yaitu 1% dan diagnosis dipantau dari tiap anak yang selesai operasi
apakah terdapat tanda obstruksi usus. Gejala yang timbul yaitu kerja usus pada
anak tidak bisa kembali normal dan terjadi obstruksi, seperti kembalinya gejala
nyer perut dengan distensi abdomen, muntah bilier, dan kolik. Diagnosis ini harus
dibandingkan dengan kejadian ileus adinamik. Jika anak diduga terjadi intususepsi
pasca operasi, maka USG dapat menjadi tes konfirmasi dengan sensitivitas
sebanyak 80%. Jika terdiagnosis demikian, maka perlu dilakukan reeksplorasi
kembali untuk reduksi manual. Kebanyakan akan dapat dilakukan reduksi dengan
traksi dan reseksi jarang diperlukan (Fetis & Schmeling, 2014; Holcomb et al,
2014).
2.1.11 Prognosis
Intususepsi yang tidak diobati pada bayi biasanya akan berujung fatal.
Pemulihan dari intususepsi bergantung pada durasi intususepsi sebelumnya
sebelum reduksi. Beberapa bayi akan sembuh sempurna pada 24 jam pertama.
Tingkat kekambuhan setelah reduksi sekitar 2 – 5%. Kebanyakan kekambuhan
terjadi dalam 72 jam setelah reduksi. Kortikosteroid dapat mengurangi frekeunsi
Universitas Sumatera Utara
20
intususepsi berulang. Dengan manajemen bedah yang memadai, maka reduksi
laparoskopi dapat menurunkan angka kematian (Kliegman et al, 2016).
Universitas Sumatera Utara
21
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan studi observasional dengan desain retrospektif
untuk mengetahui karakteristik gejala klinis, tanda-tanda vital dan viabilitas usus
pada intususepsi pediatrik di RSUP H. Adam Malik
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan Desember 2018 sampai Mei 2019 di
Rumah Sakit Haji Adam Malik setelah mendapat persetujuan dari Komisi Etik
yang meliputi studi kepustakaan, pengumpulan data, pengolahan data dan
penulisan laporan penelitian.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
3.3.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien intususepsi di Rumah
Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik. Sepanjang pengamatan peneliti, kasus
intususepsi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik sangat langka dimana
rerata hanya dijumpai 1 kasus tiap 3 bulan.
3.3.2 Sampel
Sampel penelitian adalah seluruh pasien intususepsi yang dirawat di
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik sejak tahun 2014-2018, yang
memenuhi kriteria inklusi:
Kriteria inklusi:
a. Pasien menjalani pembedahan
b. Berusia < 18 tahun
c. Merupakan pasien pada tahun 2016-2018
Universitas Sumatera Utara
22
3.3.3 Besar Sampel
Besar sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien intususepsi yang
dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik sejak tahun 2014-2018
yang memuhi kriteria inklusi.
3.4 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel dilakukan secara total sampling, dimana
semua subjek yang memenuhi kriteria penelitian direkrut menjadi sampel
penelitian.
3.5 Definisi Operasional
1. Viabilitas usus
a. Definisi operasional: Temuan usus saat durante operasi dimana
usus terkait akan dihangatkan dengan heat pad selama 10 menit
dan selanjutnya dinilai peristaltik dan warna usus. Apabila
peristaltik dan warna usus tidak kembali normal maka usus dinilai
tidak viabel
b. Cara ukur: Pengumpulan data rekam medis
c. Hasil pengukuran: Viabel, tidak viabel
d. Skala pengukuran: Ordinal
2. Gejala klinis
a. Definisi operasional: Gejala trias intususepsi yang meliputi massa
abdomen berbentuk sosis, red currant jelly stool, dan nyeri
abdomen
b. Cara ukur: Pengumpulan data rekam medis
c. Hasil pengukuran: Ya, tidak
d. Skala pengukuran: Ordinal
3. Tanda vital
a. Definisi operasional: Pemeriksaan yang meliputi tekanan darah,
denyut nadi, laju pernafasan, dan suhu tubuh. Tanda vital dinilai
saat pertama kali masuk IGD. Bila saat awal masuk pasien disertai
Universitas Sumatera Utara
23
dehidrasi, maka tanda vital dinilai kembali setelah dilakukan
resusitasi.
Denyut nadi dilakukan dengan palpasi pada arteri radialis
selama satu menit. Laju pernafasan dilakukan dengan observasi
gerakan dada atau perut selama satu menit. Suhu tubuh diukur
dengan menggunakan termometer digital sampai bunyi tanda
pengukuran telah selesai.
b. Cara ukur: Pengumpulan data rekam medis
c. Hasil pengukuran: Pengelompokkan tekanan darah, denyut nadi,
dan laju pernafasan dikelompokkan menjadi normal, di atas
normal, di bawah normal, berdasarkan rentang normal di bawah
ini.
Adapun pengelompokkan suhu tubuh yaitu: hipotermia (< 35ºC),
normal (36,5 - 37,5ºC), demam (>37,5 - 38,3ºC), hipertermia
(>38,3 - 40ºC), hiperpireksia (>40ºC).
d. Skala pengukuran: Ordinal
3.6 Pengolahan dan Analisis Data
Seluruh data dikumpulkan, diolah dan dilakukan uji statistik secara
komputerisasi. Analisis data kuantitatif dilakukan secara bertahap, yaitu analisis
univariat (satu variabel).
a. Analisis univariat
Analisis univariat dilakukan untuk melihat distribusi karakteristik sampel
penelitian yang meliputi: jenis kelamin; usia; durasi penyakit; gejala klinis
(massa abdomen berbentuk sosis, red currant jelly stool, dan nyeri abdomen);
Universitas Sumatera Utara
24
lokasi terjadinya intususepsi; tanda vital (tekanan darah, denyut nadi, laju
pernafasan, dan suhu tubuh); viabilitas usus (viable / non viable), pada kasus
intususespsi pediatrik akan dilakukan analisis univariat. Data disajikan dengan
menggunakan grafik atau tabel kemudian diinterpretasikan berdasarkan hasil
yang diperoleh.
3.7 Kerangka Operasional
Pasien intususepsi pediatrik
Sampel penelitian
Kriteria inklusi Kriteria eksklusi
Pengambilan data penelitian
Analisis data
Universitas Sumatera Utara
25
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Distribusi Karakteristik Penelitian
Seluruh pasien intususepsi yang dirawat di Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik sejak tahun 2016-2018 yang memenuhi kriteria penelitian diambil
menjadi sampel dan diperoleh sebanyak 27 orang. Distribusi karakteristik sampel
penelitian tersebut disajikan dalam tabel.
Tabel 4.1 menunjukkan distribusi karakteristik sampel penelitian. Dari 27
orang sampel penelitian, sebanyak 18 (66,67%) orang merupakan laki-laki dan 9
(33,33%) lainnya merupakan perempuan. Berdasarkan usia, paling banyak (11
orang; 40,73%) sampel berusia 4-6 bulan, diikuti dengan usia 7-12 bulan (8 orang;
29,63%), 0-3 bulan (4 orang; 14,81%), dan 13-24 bulan serta > 24 bulan (masing-
masing 2 orang; 7,41%). Dominan (12 orang; 44,44%) sampel merupakan pasien
tahun 2018, diikuti dengan 9 orang (33,33%) merupakan pasien tahun 2016, dan
paling sedikit sampel merupakan pasien tahun 2017, yaitu sebanyak 6 orang
(22,22%).
Tabel 4.1. Distribusi Karakteristik Penelitian
Variabel Frekuensi Persentase (%)
Jenis kelamin
Laki-laki 18 66,67
Perempuan 9 33,33
Usia (bulan)
0-3 4 14,81
4-6 11 40,73
7-12 8 29,63
13-24 2 7,41
>24 2 7,41
Tahun register
2016 9 33,33
2017 6 22,22
2018 12 44,44
Universitas Sumatera Utara
26
Tabel 4.2 menunjukkan distribusi tanda vital sampel penelitian.
Berdasarkan distribusi tanda vital, mayoritas sampel penelitian mempunyai tanda
vital yang normal. Dua puluh (74,07%) orang sampel mempunyai tekanan darah
normal, dua puluh satu (77,78%) sampel dengan denyut nadi normal, dan 19
(70,37%) sampel dengan laju nafas normal. Sebanyak 21 (77,78%) orang sampel
mempunyai suhu tubuh dengan rentang normal, lima (18,52%) orang dengan
hipertermia, dan 1 (3,70%) orang dengan hiperpireksia.
Tabel 4.2. Distribusi Sampel Penelitian Berdasarkan Tanda Vital
Variabel Frekuensi Persentase (%)
Tekanan darah
Normal 20 74,07
Tinggi 7 25,93
Denyut nadi
Normal 21 77,78
Tinggi 6 22,22
Laju nafas
Normal 19 70,37
Tinggi 8 29,63
Temperatur
Normal 21 77,78
Hipertermia 5 18,52
Hiperpireksia 1 3,70
Distribusi karakteristik klinis sampel penelitian ditunjukkan pada Tabel
4.3. Hanya lima (18,52%) sampel yang datang dengan durasi gejala satu hari,
sedangkan jumlah sampel dengan durasi gejala 2-3 hari dan ≥4 hari hampir sama,
yaitu 12 (44,44%) orang dan 10 (37,04%) orang. Berdasarkan lokasi intususepsi,
ileocolic merupakan lokasi paling sering dengan jumlah sampel 21 (77,78%)
orang, dan diikuti dengan lokasi ileocaecal dengan jumlah 2 (7,41%) orang.
Lokasi ileoileal, ileocolocolic, dan colocolic masing-masing dengan jumlah
sampel 1 (3,70%) orang. Intususepsi pada dua lokasi ditemukan pada 1 (3,70%)
orang, yaitu pada ileocolic dan colocolic.
Universitas Sumatera Utara
27
Tabel 4.3. Distribusi Karakteristik Klinis Sampel Penelitian
Variabel Frekuensi Persentase (%)
Durasi (hari)
1 5 18,52
2-3 12 44,44
≥4 10 37,04
Lokasi
Ileocolic 21 77,78
Ileocaecal 2 7,41
Ileoileal 1 3,70
Ileocolocolic 1 3,70
Colocolic 1 3,70
Ileocolic + colocolic 1 3,70
Trias
Ya 9 33,33
Tidak 18 66,67
Red currant jelly stool
Ya 17 62,96
Tidak 10 37,04
Massa pada palpasi
Ya 11 40,74
Tidak 16 59,26
Nyeri abdomen
Ya 19 70,37
Tidak 8 29,63
Distensi abdomen
Ya 7 25,93
Tidak 20 74,07
Emesis
Ya 12 44,44
Tidak 15 55,56
Letargi
Ya 16 59,26
Tidak 11 40,74
Viabilitas usus
Ya 17 62,96
Tidak 10 37,04
Sembilan (33,33%) sampel mempunyai trias gejala, dan 18 (66,67%)
orang lainnya tidak mengalami trias gejala intususepsi. Tujuh belas (62,96%)
sampel melaporkan adanya red currant jelly stool, sedangkan 10 (37,04%) orang
sisanya tidak. Pada pemeriksaan palpasi abdomen, massa dijumpai pada 11
(40,74%) orang sampel, dan tidak ditemukan pada 16 (59,26%) orang. Sembilan
Universitas Sumatera Utara
28
belas (70,37%) sampel mengeluhkan nyeri abdomen dan sebagian kecil (29,63%)
tidak mengalami gejala tersebut.
Distensi abdomen hanya dijumpai pada sebagian kecil (25,93%) sampel
sedangkan 20 (74,07%) orang lainnya tidak disertai distensi abdomen. Jumlah
pasien yang mengalami emesis hampir mencapai setengah, yaitu 12 (44,44%)
orang. Gejala tambahan berupa letargi dijumpai pada 16 (59,26%) sampel. Pada
temuan operatif, usus yang tidak viabel ditemukan pada 11 (40,74%) orang
sampel, dan temuan pada 16 (59,26%) orang sampel lainnya masih dengan
viabilitas yang baik.
Universitas Sumatera Utara
29
BAB V
PEMBAHASAN
5.1 Pembahasan Hasil Penelitian
Intususepsi merupakan penyebab obstruksi usus yang paling sering pada
anak. Intususepsi biasanya merupakan kasus gawat darurat dan perubahan
patofisiologi yang berat dapat terjadi pada keadaan lebih lanjut. Jika intususepsi
tidak ditangani, aliran darah pada titik obstruktif akan terganggu, dan akhirnya
dapat terjadi nekrosis, ganggren, atau peritonitis (Annigeri et al, 2017). Pada
penelitian ini, peneliti mengkaji karakteristik gejala klinis, tanda vital, dan
viabilitas usus pada kasus-kasus intususepsi pediatrik di RSUP H. Adam Malik
Medan.
Berdasarkan manifestasi klinis, temuan yang paling banyak dijumpai pada
penelitian ini adalah nyeri abdomen (70,37%), disusul dengan red currant jelly
stool (62,96%). Sementara yang paling sedikit adalah dijumpai massa abdomen
(40,74%).
Hasil penelitian Fernandes et al (2016) melaporkan bahwa gejala klinis
yang paling banyak ditemukan adalah muntah (89,4%), disusul dengan feses
dengan darah (75,5%), dan distensi abdomen (71,8%). Persentase gejala feses
berdarah hampir serupa dengan temuan penelitian ini yaitu 63%, namun gejala
muntah dan distensi abdomen hanya ditemukan pada 44% dan 26% dari sampel
penelitian.
Adapun perbedaan antara penelitian tersebut dengan penelitian ini yang
dapat menyebabkan perbedaan hasil penelitian, yakni pada penelitian Fernandes et
al (2016), sampel penelitian hanya terbatas pada anak berusia < 1 tahun. Selain
itu, sebagian dari sampel penelitian mereka diambil pada masa vaksin rotavirus
telah luas diberikan pada anak < 1 tahun (85,1%-86,3%) (Steele et al, 2012;
Lloyd-Johnsen et al, 2012; Khumjui et al, 2009), dimana diketahui bahwa
rotavirus merupakan penyebab utama infeksi gastrointestinal pada anak yang
dapat berkomplikasi menjadi intususepsi (Grzybowska-Chlebowczyk, 2015).
Sebaliknya, vaksin rotavirus di Indonesia bukan merupakan salah satu vaksin
Universitas Sumatera Utara
30
wajib dalam program pemerintah, dan ketaatan pemberian imunisasi juga tidak
diketahui (Kemenkes RI, 2017).
Tanda vital yang dinilai dengan empat parameter, yakni tekanan darah;
denyut nadi; laju nafas; dan temperatur, ditemukan normal pada mayoritas sampel
(70,37% - 77,78%). Peneliti tidak dapat membandingkan temuan ini dengan
penelitian lainnya, karena berdasarkan penelusuran literatur yang dilakukan, tidak
ada penelitian yang melampirkan temuan tanda vital pada intususepsi anak.
Akan tetapi, adapun temuan dari beberapa laporan kasus yang sejalan
dengan temuan penelitian ini. Tanda vital kasus intususepsi dilaporkan normal
pada rangkaian dari 3 laporan kasus Pineda & Hardasmalani (2008), begitu pula
dengan laporan kasus oleh Tajik & Goudarzian (2018), Percy et al (2017), dan
Gunawan (2018). Selain itu, kajian literatur juga menyatakan bahwa pada awal
perjalanan intususepsi, tanda vital anak biasanya normal. Seiring dengan
memburuknya obstruksi dan intususeptum menjadi semakin iskemik, anak dapat
menjadi demam, hipovolemik, dan takikardi. Perburukan gejala ini biasanya
terjadi pada tahap yang lebih lanjut (Padilla & Moses, 2017; Bowker & Rascati,
2018).
Sebanyak 37,04% dari sampel penelitian mempunyai usus yang tidak
viabel. Hasil ini serupa dengan penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Hasan
Sadikin Bandung, dimana nekrosis usus ditemukan pada 14 dari 32 sampel
penelitian tersebut (Kusmaheidi et al, 2015). Akan tetapi, hasil ini berlawan
dengan temuan Johnson et al (2012), dimana hanya 10% dari spesimen patologi
penelitian tersebut yang ditemukan nekrosis/infark.
Perbedaan hasil penelitian ini mungkin disebabkan populasi penelitian
Johnson et al yang hanya dilakukan pada anak berusia 1-12 bulan. Selain itu,
perbedaan juga dapat dikaitkan dengan durasi gejala. Pada penelitian ini,
sebanyak 44,44% sampel mempunyai durasi gejala 2-3 hari, dan 37,04% sampel
mempunyai durasi gejala ≥ 4 hari. Literatur sebelumnya menyatakan bahwa
nekrosis iskemik mulai terjadi sejak 72 jam pada sebagian besar kasus
(Columbani & Scholz, 2012).
Universitas Sumatera Utara
31
Mayoritas kasus intususepsi anak pada penelitian ini berada pada ileocolic.
Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Usang et al (2013) (68%), Rengarajan
et al (2017) (72/74), dan Caruso et al (2017) (93%). Pada penelitian ini juga
ditemukan hanya 3,7% sampel dengan intususepsi yang berada di dua lokasi.
Intususepsi dengan dua lokasi atau lebih memang jarang ditemukan pada anak-
anak, dan hanya terdapat beberapa laporan (Shiu et al, 2010; Kızılyıldız et al,
2016).
Terdapat juga perbedaan lokasi intususepsi yang paling sering antara anak-
anak dan dewasa. Pada anak-anak lokasi yang paling sering adalah ileocolic,
sedangkan pada dewasa yang paling sering adalah entero-enteral (Medina et al,
2015; Cakir et al, 2013).
Durasi dari onset gejala sampai sampel mencari pertolongan medis adalah
2-3 hari (44,44%) dan ≥ 4 hari (37,04%). Hal ini sesuai dengan temuan
sebelumnya, Singh & Singh (2015) juga melaporkan hanya 13,6% sampel
intususepsi pada anak dengan durasi gejala 24-48 jam, 33,6% lainnya dengan
durasi 48-72 jam, dan 52,72% dengan durasi > 72 jam. Penelitian Ogundoyin et al
(2015) melaporkan durasi gejala intususepsi anak pada penelitian mereka
bervariasi dari 1-21 hari, dengan mean 4 hari. Namun penelitian Soldatenkova et
al (2016) melaporkan mayoritas (75%) sampel penelitian mereka mempunyai
durasi gejala < 24 jam.
Lamanya durasi gejala sampai pasien intususepsi mencari pertolongan
medis mungkin dapat berhubungan dengan usia populasi sampel yang masih
merupakan anak-anak. Anak yang belum mampu berbicara tidak dapat
mengungkapkan gejala yang dirasakan. Selain itu, apabila anak mengalami nyeri
abdominal, nyeri khas pada intususepsi bersifat hilang timbul. Nyeri dapat timbul
setiap 10-30 menit dan dapat hanya berlangsung beberapa detik. Di antara
serangan nyeri, anak tidak menangis maupun berteriak dan dapat bermain seperti
keadaan normal (Hesse et al, 2011).
Mayoritas sampel penelitian ini merupakan laki-laki. Annigeri et al (2017)
dalam penelitian mereka selama 7 tahun melaporkan rasio laki-laki terhadap
perempuan dalam intususepsi pediatrik adalah 2:1, dimana 102 dari 150 sampel
penelitian mereka merupakan laki-laki. Pada penelitian Muhsen et al (2014), juga
Universitas Sumatera Utara
32
diperoleh persentase jumlah laki-laki sebesar 62.6%. Pada pedoman Jepang untuk
intususepsi pada anak, disebutkan rasio laki-laki terhadap perempuan adalah 2:1
(Ito et al, 2012), dan pada 3 penelitian epidemiologi skala besar diperoleh rasio
1,6:1 sampai 2,1:1 (Chang et al, 2001; Fischer et al, 2004; Buettcher et al, 2007).
Meski dengan rasio yang berbeda-beda, semua penelitian mengindikasikan
predisposisi jenis kelamin laki-laki pada intususepsi pediatrik (Singh et al, 2014).
Akan tetapi, tidak diketahui mengapa keadaan ini lebih sering terjadi pada laki-
laki.
Kelompok usia penderita intususepsi pada penelitian ini adalah 4-6 bulan
disusul dengan kelompok 7-12 bulan. Hasil ini serupa dengan penelitian Ahmad et
al (2016), dimana 68% dari sampel intususepsi pada penelitian mereka merupakan
anak berusia 6-12 bulan. Penelitian Kusmaheidi et al (2015) yang dilakukan di
Bandung, melaporkan bahwa kelompok terbanyak penderita intusepsi pada anak
adalah kelompok usia < 1 tahun. Namun hasil temuan penelitian ini berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh Muhsen et al (2014), dimana kelompok
anak berusia 6-11 bulan hampir mencapai setengah (40%) dari jumlah sampel
dengan intususepsi.
Literatur juga menyebutkan 75% kasus intususepsi terjadi pada usia
sebelum 2 tahun, dan 90% terjadi pada usia sebelum 3 tahun. Tidak diketahui
dengan pasti mengapa kecenderungan terjadi pada rentang usia tersebut
(Columbani & Scholz, 2012).
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Penelitian ini hanya
dilakukan di satu pusat pelayanan kesehatan. Selain itu, RSUP H. Adam Malik
merupakan rumah sakit tipe A, sehingga variasi kasus yang diperoleh mungkin
terbatas. Penatalaksanaan kasus-kasus penelitian ini juga terbatas, dimana tidak
ada kasus yang ditangani dengan open reduction. Terdapat juga variabel yang
dalam penilaiannya dapat menimbulkan bias, seperti informasi nyeri yang tidak
dapat diketahui secara pasti dari hasil anamnesis dengan orang tua pasien.
Penelitian selanjutnya mungkin dapat dilakukan dengan desain yang lebih baik,
yaitu secara prospektif, melibatkan jumlah sampel yang lebih banyak, dan bersifat
multi-centred.
Universitas Sumatera Utara
33
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Pelaksanaan penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan, yakni:
a. Manifestasi intususepsi pada anak yang ditemukan pada penelitian ini
diurutkan berdasarkan banyaknya frekuensi adalah: nyeri abdomen, red
currant jelly stool, letargi, emesis, massa pada abdomen, dan distensi
abdomen.
b. Mayoritas pasien intususepsi anak mempunyai tanda vital dalam batas normal.
c. Sebagian besar (62,96%) sampel mempunyai usus yang masih viabel.
d. Sebanyak 77,78% kasus intususepsi anak berada pada lokasi ileocolic.
e. Proporsi durasi gejala yang paling banyak adalah 2-3 hari (44,44%).
f. Sebanyak 66,67% sampel penelitian merupakan anak laki-laki,
g. Kelompok usia dengan frekuensi paling tinggi adalah 4-6 bulan (40,73%).
6.2 Saran
Penelitian ini mempunyai beberapa kekurangan, sehingga penelitian
selanjutnya mungkin dapat dilakukan dengan rancangan yang lebih baik, seperti
desain prospektif, bersifat multi-centred, melibatkan jumlah sampel yang lebih
banyak.
Universitas Sumatera Utara
34
DAFTAR PUSTAKA
Abizu RA, Aljomah G, Kozielski R, Baker SS, Baker RD, 2014. Intussusception
Associated With Adenovirus. JPGN, 59(5): E41.
Acharya I, Das S, 2017. An Intestinal Lipoma Presenting as a Case of
Intussusception. International Journal of Anatomy, Radiology and Surgery,
6(4): RC10-RC12.
Ahmad MM, Wani MD, Dar HM, Mir IN, Wani HA, Raja AN, 2016. An
experience of ultrasound-guided hydrostatic reduction of intussusception at a
tertiary care centre. S Afr J Surg, 54(1): 10-13.
Alhasani AA, 2016. Assessment of intraoperative manual reduction of
Intussusception in children. Bas J Surg, 22: 69-76.
Annigeri VM, Dasar S, Gadgade B et al, 2017. Childhood intussusception: a 7
years prospective analysis of data in a single center. Int J Health Sci Res,
7(1):34-38.
Applegate KE, 2006. Intussusception in Children: Diagnostic Imaging and
Treatment. In: Evidence-Based Imaging. New York: Springer. 475-492.
Applegate KE, 2009. Intussusception in children: evidence-based diagnosis and
treatment. Pediatric Radiology, 39: 140–3.
Bekdash B, Marven SS, Sprigg A, 2013. Reduction of intussusception: defining a
better index of successful non-operative treatment. Pediatr Radiol, 43: 649–
656.
Bines JE, Liem NT, Justice FA et al, 2006. Risk Factors for Intussusception in
Infants in Vietnam and Australia: Adenovirus Implicated, But Not Rotavirus.
JPediatr, 149: 452-60.
Blanco F, 2018. Intussusception. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/930708-overview.
Bowker B, Rascati S, 2018. Intussusception. JAAPA, 31(1): 48-49.
Buettcher M, Baer G, Bonhoeffer J, Schaad UB, Heininger U, 2007. Three-year
surveillance of intussusception in children in Switzerland. Pediatrics, 120:
473–80.
Universitas Sumatera Utara
35
Cakir M, Tekin A, Kucukkartallar T, Belviranli M, Gundes E, Paksoy Y, 2013.
Intussusception: As the Cause of Mechanical Bowel Obstruction in Adults.
Korean J Gastroenterol, 61(1): 17-21.
Caruso AM, Pane A, Scanu A et al, 2017. Intussusception in children: not only
surgical treatment. J Pediatr Neonat Individual Med, 6(1): e060135.
Casiraghi T, Masetto A, Beltramo M, Girlando M, Di Bella C, 2016. Intestinal
obstruction caused by ileocolic and colocolic intussusception in an adult
patient with cecal lipoma. Case Reports in Surgery, 3519606.
Chang HG, Smith PF, Ackelsberg J, Morse DL, Glass RI, 2001. Intussusception,
rotavirus diarrhea, and rotavirus vaccine use among children in New York
State. Pediatrics, 108: 54–60.
Columbani PM, Scholz S. Intussusception. In: Coran AG, Caldamone A, Adzick
NS et al. Pediatric Surgery E-Book: Expert Consult - Online and Print, 7th
ed.
US: Elsevier Saunders; 2012. 1093-1110.
Dabadie A, Petit P. Acute Intestinal Intussusception. In: Avni FE, Petit P, eds.
Imaging Acute Abdomen in Children. US: Springer International Publishing;
2018. 167-177.
Ein SH, Daneman A, 2006. Intussusception. In: Grosfeld JL, O’Neill JA, Coran
AG, Fonkalsrud EW, editors. Pediatric surgery, 6th ed. Philadelphia: Mosby
Elsevier. 1313–41.
Fernandes EG, Leshem E, Patel M et al, 2016. Hospital-based surveillance of
intussusception among infants. J Pediatr (Rio J), 92(2): 181-187.
Fetis BA and Schmeling DJ. Intussusception. In: Ziegler MM, Azizkhan RG, von
Allmen D, Weber TR. Operative Pediatric Surgery, 2nd
ed. Mc Graw-Hill
Education; 2014. 592-596.
Fischer TK, Bihrmann K, Perch M et al, 2004. Intussusception in early childhood:
a cohort study of 1.7 million children. Pediatrics, 114: 782–5.
Gluckman S, Karpelowsky J, Webster AC, and McGee RG, 2017. Management
for Intussuseption in Children. Cochrane Database of Systematic Reviews,
6(1): 1-54.
Universitas Sumatera Utara
36
Grzybowska-Chlebowczyk U, Kałużna-Czyż M, Kalita B et al, 2015.
Intussusception as a complication of rotavirus infection in children. Pediatria
Polska, 90: 464-469.
Gu MJ, Choi JH, Kim SH, 2013. Atypical florid vascular proliferation in
appendix: a diagnostic dilemma. Diagnostic Pathology, 8: 12.
Gunawan PY, 2018. Pediatric Ileocolic Intussusception Caused by Introducing
Solid Food Before 6 Months Old: A Case Report. Pediatr Ther, 8(1): 343.
Guney LH, Fakioglu E, Acer T et al, 2016. Is every intussusception treatment an
emergency intervention or surgery? Ulus Travma Acil Cerrahi Derg, 22(2):
139–144.
Hazra NK, Karki OB, Verma M, Rijal D, De Abhijit, Nath B, 2015.
Intussusception in Children: A Short-Term Analysis in a Tertiary Care
Hospital. American Journal of Public Health Research, 3(4A): 53-56.
Hesse AAJ, Abantanga FA, Lakhoo K, 2011. Intussusception. In: Ameh E,
Bickler S, Lakhoo K, et al. Paediatric Surgery: A Comprehensive Text For
Africa. Seattle: Global Help Organization. 404-411.
Holcomb GW, Murphy PJ, and Ostie DJ. Aschcraft’s Pediatric Surgery 6th
edition. Elsevier Saunders. 2014; 38(6):.
Honjo H, Mike M, Kusanagi H, and Kano N, 2015. Adult Intussusception: A
Retrospective Review. World J Surg, 39: 134–138.
IgnacioRC, Fallat ME. Intussusception. In: Holcomb GW, Murphy JP. Ashcraft's
Pediatric Surgery, 5th
ed. Phildelphia: Saunders; 2010. 508-516, 531–538.
Ito Y, Kusakawa I, Murata Y et al, 2012. Japanese guidelines for the management
of intussusception in children, 2011. Pediatrics International, 54, 948–958,
e35–e42.
Jiang J, Jiang B, Parashar U et al, 2013. Childhood intussusception: a literature
review. PLoS One, 8(7): e68482.
Johnson B, Gargiullo P, Murphy TV, Parashar UD, Patel MM, 2012. Factors
Associated With Bowel Resection Among Infants With Intussusception in the
United States. Pediatric Emergency Care, 28(6): 529-532.
Universitas Sumatera Utara
37
Kapoor T, McGee RG, Karpelowsky J, Su M, Webster AC, 2007. Surgical and
non-surgical management for intussusception in children. Cochrane Database
of Systematic Reviews, 2: CD006476.
Karliczek A, Benaron DA, Baas PC, Zeebregts CJ, Wiggers T, van Dam GM,
2010. Intraoperative assessment of microperfusion with visible light
spectroscopy for prediction of anastomotic leakage in colorectal anastomoses.
Colorectal Dis, 12: 1018-1025.
Kemenkes RI, 2017. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 12
tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Imunisasi.
Khumjui C, Doung-ngern P, Sermgew T, Smitsuwan P, Jiraphongsa C, 2009.
Incidence of intussusception among children 0-5 years of age in Thailand,
2001-2006. Vaccine, 27: F116-9.
Kimia AA, Williams S, Hadar PN, Landschaft A, Porter J, Bachur RG, 2018.
Positive guaiac and bloody stool are poor predictors of intussusception. Am J
Emerg Med, 36(6): 931-934.
Kızılyıldız BS, Beger B, Sönmez B, Karaman K, 2016. Multiple Ileo-ileal
Intussusceptions in a 3-Year-Old Child. Eur J Gen Med, 13(2): 152–154.
Kliegman RM, Stanton BF, Geme JW, and Schor NF. Nelson Textbook of
Pediatrics, 20th
edition. USA: Elsevier Saunders; 2016. 1812–1814.
Kusmaheidi S, Diposarosa R, Nugraha HG, 2015. Pattern of Intussusceptions on
Infants and Children in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung from
2009 to 2011. AMJ, 2(3): 458–62.
Lappalainen S, Ylitalo S, Arola A, Halkosalo A, Rasanen S, Veskari T, 2012.
Simultaneous presence of human herpesvirus 6 and adenovirus infections in
intestinal intussusception of young children. Acta Pædiatrica, 101: 663–670.
Levy AD, Mortele KJ, and Yeh BM, 2015. Gastrointestinal Imaging. Oxford
University Press, 26(1) : 156 – 159.
Lin X, Xia Q, Huang X, Han Y, He G, and Zheng N, 2017. Clinical
Characteristics of Intussusception Secondary to Pathologic Lead Points in
Children : A Single Center Experience With 65 Cases. Springer- Verlag
GmbH Germany, 1: 1-5.
Universitas Sumatera Utara
38
Lloyd-Johnsen C, Justice F, Donath S, Bines JE, 2012. Retrospective hospital
based surveillance of intussusception in children in a sentinel paediatric
hospital: benefits and pitfalls for use in post-marketing surveillance of
rotavirus vaccines. Vaccine, 30: A190-5.
Loukas M, Pellerin M, Kimball Z, de la Garza-Jordan J, Tubbs RS, Jordan R,
2011. Intussusception: An Anatomical Perspective With Review of the
Literature. Clinical Anatomy, 24: 552–561.
Marsicovetere P, Ivatury J, White B, Holubar SD, 2017. Intestinal
Intussusception: Etiology, Diagnosis, and Treatment. Clin Colon Rectal Surg,
30: 30–39.
Medina CAC, Jiménez HC, Cardona SM, 2015. Clinical case presentation:
Diagnosis and treatment of idiopathic intussusception in adults. Rev Col
Gastroenterol, 30 (4): 470-474.
Montgomery EA, Popek EJ, 1994. Intussusception, Adenovirus, and Children: A
Brief Reaffirmation. Human Pathology, 25(2): 169-174.
Muhsen K, Kassem E, Efraim S, Goren S, Cohen D, Ephros M, 2014. Incidence
and risk factors for intussusception among children in northern Israel from
1992 to 2009: a retrospective study. BMC Pediatrics, 14: 218.
Munden MM, Bruzzi JF, Coley BD, Munden RF, 2007. Sonography of pediatric
small-bowel intussusception: differentiating surgical from nonsurgical cases.
AJR Am J Roentgenol, 188: 275–9.
Ntoulia A, Tharakan S, Reid J, and Mahboubi S, 2016. Failed Intussusception
Reduction in Children: Correlation Between Radiologic, Surgical, and
Pathologic Findings. Oxford University Press, 207: 424–433.
Nylund CM, Denson LA, Noel JM, 2010. Bacterial enteritis as a risk factor for
childhood intussusception: a retrospective cohort study. Journal of Pediatrics,
156(5):761–5.
Ogundoyin OO, Olulana DI, Lawal TA, 2015. Childhood intussusception - A
prospective study of management trend in a developing country. Afr J
Paediatr Surg, 12(4): 217–220.
Universitas Sumatera Utara
39
Okimoto S, Hyodo S, Yamamoto M, Nakamura K, Kobayashi M, 2011.
Association of viral isolates from stool samples with intussusception in
children. International Journal of Infectious Diseases, 15(9): 641–5.
Padilla BE, Moses W, 2017. Lower Gastrointestinal Bleeding & Intussusception.
Surg Clin N Am, 97: 173–18.
Percy KD, Federico MD, Mellick LB, 2017. Ultrasonographic diagnosis of
intussusception in the emergency department. Emerg Med Open J, 3(1): 11-
13.
Pineda C, Hardasmalani M, 2008. Pediatric intussusception: A Case Series and
Literature Review. The Internet Journal of Pediatrics and Neonatology, 11(1):
1–7.
Rengarajan R, Venkatesa MN, Alex Jc, Raghul M, 2017. Intussusception in
Children - Pearls in Nonsurgical Management. IOSR-JDMS, 16(4):1-5.
Rutherford CL, Alkhaffaf B, Massa E, Turner P, 2013. Colo-colic intussusception
secondary to lipomatous polyp in an adult. BMJ Case Rep, 2013:
bcr2012008037.
Shehzad KN, Monib S, Ahmad OF, Riaz AA, 2013. Submucosal lipoma acting as
a leading point for colo-colic intussusception in an adult. J Surg Case Rep,
2013(10): pii: rjt088.
Shiu JR, Chao HC, Chen CC, Chi CY, 2010. Rare Concurrent Ileoileal and
Ileocolic Intussusceptions in a Child Presenting with Painless Hematochezia.
Pediatr NeonatoL, 51(6): 359−362.
Singh IK, Singh LC, 2015. A clinical study of intussusception in children. IOSR-
JDMS, 14(12): 61-64.
Singh JV, Kamath V, Shetty R et al, 2014. Retrospective surveillance for
intussusception in children aged less than five years at two tertiary care
centers in India. Vaccine, 32S: A95–A98.
Soldatenkova K, Laizans P, Zviedre A, Petersons A, 2017. In J. Zeimanis, Ed.
Collection of Scientific Papers: Research articles in medicine and pharmacy,
2017. Riga: Riga Stradins University, 11 -19.
Universitas Sumatera Utara
40
Steele AD, Patel M, Cunliffe NA, Bresee JS, Borgstein E, Parashar UD, 2012.
Workshop on intussusception in African countries - meeting report. Vaccine,
30: A185-9.
Tajik P, Goudarzian AH, 2018. Intussusception of the rectum in children: a rare
case report. Gastroenterol Hepatol Bed Bench, 11(2): 169-171.
Ukarapol N, Khamrin P, Khorana J, Singhavejsakul J, Damrongmanee A,
Maneekarn N, 2016. Adenovirus Infection: A Potential Risk for Developing
Intussusception in Pediatric Patients. J Med Virol, 9999: 1–6.
Urbanavičius L, Pattyn P, Van de Putte D, Venskutonis D, 2011. How to assess
intestinal viability during surgery: A review of techniques. World J
Gastrointest Surg, 3(5): 59-69.
Usang UE, Inah GB, Inyang AW, Alice AT, 2013. Intussusception in children:
Comparison between ultrasound diagnosis and operation findings in a tropical
developing country. Afr J Paediatr Surg, 10:87-90.
Waag KL. Intussusception. In: Puri P, Höllwarth ME. Pediatric Surgery. Berlin:
Springer; 2006. pp. 313-320.
Yao XM, Chen XL, Shen DL et al, 2015. Risk factors for pediatric
intussusception complicated by loss of intestine viability in China from June
2009 to May 2014: a retrospective study. Pediatr Surg Int, 31: 163–166.
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 1
Data Sampel
No JKUsia
(bulan)
TD
(mmHg)HR RR T
Durasi
(hari)Lokasi Trias
Red
currant
jelly stool
MassaNyeri
abdomen
Distensi
abdomenEmesis Letargi
Viabilitas
usus
1 P 36 90/60 148 35 38.0 6 Ileocolic Tidak Tidak Ya Tidak Ya Ya Ya Viabel
2 L 3 90/50 160 50 36.6 4 Ileocolic Ya Ya Ya Ya Ya Tidak Tidak Tidak
3 P 4 90/70 160 30 37.6 3 Ileocolic Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Ya Ya Viabel
4 P 4 100/70 180 32 36.5 1 Ileocolic Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Ya Viabel
5 L 12 90/60 190 60 36.3 4 Ileocolic Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak
6 L 5 100/50 98 55 36.8 3 Ileocolic Tidak Ya Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Viabel
7 P 6 110/60 130 26 37.0 1 Ileocolic Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak
8 L 4 110/70 148 54 37.1 1 Ileocolic Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak
9 P 8 90/60 100 30 37.8 3 Ileoileal Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Viabel
10 L 3 80/50 130 40 37.5 2 Ileocolic Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
11 P 3 90/60 132 36 37.0 1 Ileocolic Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Tidak
12 L 7 100/70 124 32 36.7 3 Ileocolic Ya Ya Ya Ya Tidak Tidak Ya Tidak
13 L 6 90/60 128 56 37.8 3 Ileocaecal Tidak Ya Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Viabel
14 L 10 110/80 144 55 37.3 4 Ileocolic Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Tidak Ya Viabel
15 L 11 110/70 180 58 39.0 3 Ileocaecal Ya Ya Ya Ya Tidak Ya Ya Viabel
16 L 5 100/50 142 34 37.9 4 IleocolocolicTidak Ya Tidak Tidak Tidak Ya Ya Tidak
17 L 19 100/60 110 24 36.7 7 Ileocolic Tidak Tidak Tidak Ya Ya Tidak Tidak Viabel
18 P 6 100/70 120 32 36.9 3 Ileocolic Ya Ya Ya Ya Tidak Tidak Ya Viabel
19 L 43 110/90 134 32 37.0 5 Ileocolic Tidak Tidak Tidak Ya Ya Ya Tidak Viabel
20 L 7 110/70 128 53 37.2 6 Ileocolic + colocolicYa Ya Ya Ya Tidak Tidak Ya Tidak
21 L 4 80/50 112 28 37.0 1 Ileocolic Tidak Tidak Tidak Ya Ya Tidak Tidak Viabel
22 L 4 90/60 112 24 36.8 3 Colocolic Tidak Ya Tidak Ya Tidak Ya Ya Viabel
23 P 3 80/50 168 49 37.2 5 Ileocolic Tidak Ya Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
24 L 10 100/70 132 42 37.4 3 Ileocolic Tidak Ya Tidak Ya Tidak Tidak Ya Viabel
25 L 4 80/50 142 38 37.1 4 Ileocolic Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Viabel
26 P 15 110/80 112 42 37.4 2 Ileocolic Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Ya Ya Viabel
27 L 7 100/60 126 40 37.3 3 Ileocolic Tidak Tidak Tidak Ya Ya Tidak Tidak Viabel
Universitas Sumatera Utara
Lampiran 2
Analisis Data
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
TRIAS .423 27 .000 .597 27 .000
VIABILITAS USUS .404 27 .000 .614 27 .000
a. Lilliefors Significance Correction
TRIAS * VIABILITAS USUS Crosstabulation
VIABILITAS USUS
Total Tidak Ya
TRIAS Ya Count 7 2 9
% within TRIAS 77.8% 22.2% 100.0%
Tidak Count 3 15 18
% within TRIAS 16.7% 83.3% 100.0%
Total Count 10 17 27
% within TRIAS 37.0% 63.0% 100.0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymptotic
Significance (2-
sided)
Exact Sig.
(2-sided)
Exact Sig.
(1-sided)
Pearson Chi-Square 9.609a 1 .002
Continuity Correctionb 7.167 1 .007
Likelihood Ratio 9.839 1 .002
Fisher's Exact Test .004 .004
Linear-by-Linear Association 9.253 1 .002
N of Valid Cases 27
a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.33.
b. Computed only for a 2x2 table
Universitas Sumatera Utara