kasus kasus humin intl uas.docx
TRANSCRIPT
Kasus kasus humin intl
Konflik politik di Papua Barat tentang keabsaan wilayah terus dipertengtangkan.
dipertanyakan, diperbincangkan atau dikaji serta diselesaian sesuai mekanisme hukum
internasional agar diperoleh kebenarannya dan diterima oleh orang Papua Barat dan
Indonesia
A. Penyelesaian Kasus Secara Internasional (Sebuah Pendekatan dalam Kasus Papua Barat)
Masalah utama bangsa Papua Barat adalah status politik wilayah Papua Barat dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang belum final, karena proses memasukan wilayah
Papua Barat dalam NKRI itu dilakukan dengan penuh pelanggaran terhadap standar-standar,
prinsip-prinsip hukum dan HAM internasional oleh Amerika Serikat, Belanda, Indonesia dan
PBB sendiri demi kepentingan ekonomi politik mereka.
Karena proses itu merupakan hasil kongkalingkong (persekongkolan) pihak-pihak
internasional, maka masalah konflik politik tentang status politik wilayah Papua Barat harus
diselesaikan di tingkat internasional. Lantas,bagaimana menyelesaiannya? Ada 2 cara yang
dapat ditempuh dalam menyelesaikan sengketa internasional, yaitu secara damai atau
bersahabat dan secara paksa atau kekerasan. Cara penyelesaian secara damai ada dua, yaitu
secara politik dan hukum. Secara politik meliputi negosiasi, jasa-jasa baik (good office),
mediasi, konsiliasi (conciliation), penyelidikan (inquiry), dan penyelesaian dibawah naungan
PBB2. Sedangkan secara hukum dilakukan melalui lembaga peradilan internasional yang
telah dibentuk (Mahkama Internasional). Untuk penyelesaian sengketa secara paksa atau
kekerasan, bisa berupa perang atau tindakan bersenjata non perang, retorsi (retortion),
tindakan-tindakan pembalasann (repraisal), blockade secara damai (pacific blockade) dan
intervensi.
Setelah perang dunia ke-II PBB menyeruhkan agar segala persoalan harus diselesaikan secara
damai3. Penyelesaian damai dilakukan melalui badan Arbitrase dan organ PBB yaitu
Mahkama Internasional.
1.Secara Arbitrase berarti penyelesaian sengketa politik melalui pihak ketiga. Hal ini sesuai
kesepakatan wilayah yang bertikai. Dalam sejarah kasus Papua Barat, cara arbitrase ini
dilakukan secara sepihak oleh Belanda dan Indonesia yang menunjuk Amerika Serikat yang
pada saat itu sedang memiliki nafsu kepentingan ekonomi (Freeport) untuk menjadi arbitrator
(pihak ketiga). Perjanjian itu adalah New York Agreement. Perjanjian ini sepihak karena
tidak melibatkan orang Papua Barat dan perjanjian itu tidak dilaksanakan sesuai kesepakatan.
Untuk menyelesaian persoalan Papua Barat, pihak Indonesia dan Papua Barat harus sepakat
untuk menyerahkan penyelesaian status politik Papua Barat kepada pihak ketiga yang
ditentukan bersama.
2.Melalui Mahkama Internasional (International Court of Justice/ICJ)4. Karena ICJ adalah
organ PBB, maka dalam penyelesaian kasusnya, harus melalui lembaga-lembaga
Internasional PBB seperti Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan PBB dan organisasi non
pemerintahan atau lembaga hukum internasional lainnya yang kapasitasnya diakui oleh PBB.
Secara umum juridiksi yang dimiliki ICJ dapat dibagi menjadi 2:
a.Juridiksi atas kasus yang berdasarkan atas telah terjadinya sengketa, yaitu juridiksi
mahkama untuk mengadili suatu sengketa yang diserahkan kepadanya adalah sengketa yang
berhubungan dengan diterapkannya aturan-aturan atau prinsip-prinsip hukum Internasional
terhadap para pihak.
b.Juridiksi untuk memberikan advisory opinion, yaitu juridiksi ICJ dalam memberikan
pendapat hukumnya atas persoalan hukum berdasarkan organ-organ yang memiliki
kewenangan untuk itu. Dalam kasus Papua Barat, proses penyelesaian sengketa politik
wilayah Papua Barat pada masa lalu hingga pada PEPERA 1969 itu tidak dilakukan sesuai
prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum internasional5. Maka, Negara-negara anggotan PBB
bisa mendesak Majelis Umum PBB di setiap pertemuannya agar meminta ICJ memberikan
pendapat hukumnya atas status hukum Papua Barat.
B.Masalah Papua Barat Harus Diselesaian Melalui Proses Hukum di Mahkama Internasional
1.Alasan Pembenaran
Untuk menyelesaikan melalui proses hukum, kita harus mengetahui terlebih dahulu hal-hal
apa saja yang membenarkan bahwa masalah Papua Barat harus diselesaikan di Mahkama
Internasional (International Court of Justice/ICJ).
a.Papua Barat Pernah dan Masih Menjadi Sengketa Internasional
Papua Barat dalam proses sejarahnya pernah menjadi wilayah yang dipersengketakan dan
dalam prosesnya banyak kejanggalan seperti:
1)Dalam pelaksanaanya Indonesia tidak mematuhi hak dan kewajiban untuk melaksanakan
berbagai perjanjian salah satunya perjanjian New York Agreement itu;
2)Terjadi perbedaan penafsiran mengenai isi perjanjian internasional seperti Roma
Agreement dan New York Agreement tahun 1962;
3)Wilayah Papua Barat telah menjadi perebutan sumber-sumber ekonomi. Contoh nyata
adalah kongkalingkong Indonesian dan Amerika Serikat dalam perjanjian kontrak karya
Freeport Mc MoRaNd tahun 1967;
4)Papua Barat telah menjadi wilayah perebutan pengaruh ekonomi, politik atau keamanan
regional dan internasional;
5)Papua Barat yang telah berdaulat tahun 1961 telah diintervensi kedaulatannya dengan
maksud menguasai dan menjajah oleh Indonesia dengan dikeluarkannya Trikora;
6)Poin 5 merupakan bukti penghinaan terhadap harga diri bangsa.
Hal inilah yang masih menjadi perselisihan orang Papua dan harus menjadi perselisihan
internasional. Dan itu merupakan sebab-sebab mengapa suatu wilayah disebut sebagai
wilayah yang dipersengketakan.
b.Kasus Papua Barat Termasuk dalam Kategori Hukum Internasional
Hal-hal yang menyebabkan kasus Papua Barat sesuai dengan pandangan Sistem Hukum dan
Peradilan Internasional adalah:
1)Kasus Papua Barat dalam Asas hukum Internasional
Menurut resolusi majelis umum PBB No. 2625 tahun 1970, ada tujuh asas. Poin-poin yang
mendukung penyelesaian konflik Papua Barat adalah
a)Setiap Negara harus menyelesaian masalah Internasional dengan cara damai. Masalah
Papua Barat adalah masalah internasional dan setiap pihak yang sedang mempermasalahkan
Papua Barat harus diselesaian secara damai;
b)Asas persamaan hak dan penentuan nasip sendiri, kemerdekaan dan perwujudan kedaulatan
suatu Negara ditentukan oleh rakyat. Rakyat Papua Barat punya hak dalam penentuan nasip
sendiri, kemerdekaan dan perwujudan kedaulatan suatu Negara sesuai dengan kemerdekaan 1
Desember 1961.
2)Kasus Papua Barat sebagai Subjek Hukum Internasional
Subjek hukum internasional adalah pihak-pihak yang membawa hak dan kewajiban hukum
dalam pergaulan internasional. Menurut Starke, yang menjadi subjek hukum Internasional
adalah Negara, Individu, Organisasi Internasional, tahta suci dan Pemberontak dan pihak
yang bersengketa. Dalam keadaan tertentu pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan
hak sebagai pihak yang bersengketa dan mendapat pengakuan sebagai gerakan pembebasan
dalam menuntut hak kemerdekaannya. Contoh PLO (Palestine Liberalism Organization).
c.Kasus Papua Barat Sesuai Dengan Sumber-Sumber Hukum Internasional
Sumber hukum internasional adalah sumber-sumber yang digunakan oleh mahkama
internasional dalam memutuskan masalah-masalah hubungan internasional. Sumber hukum
internasional dibedakan menjadi dua:
1)Sumber hukum dalam arti Material dalam aliran naturalis berpendapat sumber hukum
Internasional didasarkan pada hukum alam yang berasal dari Tuhan, dan aliran positivism
berpendapat hukum Internasional berdasarkan pada persetujuan-persetujuan bersama dari
Negara-negara ditamba dengan asas pacta sunt servanda;
2)Sumber hukum dalam arti Formal adalah sumber hukum dari mana kita mendapatkan atau
menemukan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dipergunakan oleh Mahkama
Internasional, didalam pasal 38 Piagam Mahkama Internasional yang menyebutkan sumber-
sumber hukum Internasional terjadi dari: Perjanjian Internasional (traktak), Kebiasaan-
kebiasaan Internasional yang terbukti dalam praktek umum dan diterima sebagai hukum,
asas-asas umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab, keputusan-kepuptusan
hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum internasional dari berbagai Negara sebagai alat
tambahan untuk menentukan hukum dan pendapat para ahli hukum yang terkemuka.
2.Mahkama Internasional (ICJ) Dalam Menyelesaian Masalah Papua Barat
Mahkama Internasional atau International Court of Justice (ICJ) adalah badan kehakiman
PBB yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Didirikan pada tahun 1946. Terdiri dari 15
hakim, dua merangkap ketua dan wakil ketua, masa jabatan 9 tahun. Mereka direkrut dari
warga Negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB seperti China, Rusia, Amerika Serikat,
Inggris dan Perancis.
Mahkama Internasional berfungsi untuk menyelesaian kasus-kasus internaasional sesuai
dengan pertimbanga-pertimbangan hukum Internasional yang menjadi dasar
pertimbangannya. Ada dua fungsi Mahkama dalam menyelesaian suatu kasus, yaitu
memutuskan Perkara-perkara pertikaian (contentious case) dan memberikan opini-opini yang
bersifat nasehat. Dalam menyelesaian kasus Papua Barat yaitu:
a)Bila Orang Papua Barat dengan segala kekuatannya menjadikan wilayah Papua Barat
sebagai wilayah yang sedang bertikai maka Mahkama Internasional dapat memutuskan
pertikaian itu sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak yang bertikai, dan terlebih atas desakan
Negara-negara dan lembaga-lembaga internasional.
b)Negara-negara Anggota PBB mendesak Badan-badan PBB seperti Majelis Umum PBB dan
Dewan Keamanan PBB agar meminta Mahkama Internasional memberikan opini-opini yang
bersifat nasehat (advisory opinion) tentang status hukum Papua Barat. Hal ini karena ada
fakta-fakta baru dalam proses memasukan Papua Barat kedalam NKRI yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip dan standar-standar hukum internasional.
3. Mekanisme Penyelesaian di Mahkama Internasional
Bila Persolan Papua Barat Harus diselesaikan untuk mengambil keputusan final dari
Mahkama Internasional, maka bagaimana cara kerja lembaga ini?
Dua pihak yang berperkara, yaitu Indonesia dan Papua Barat masing-masing menunjuk lebih
dahulu seorang hakim untuk mewakilinya sehingga ditambah 15 hakim tetap Mahkama
Internasional keseluruhannya menjadi 17 hakim.
Dua belah pihak harus memaparkan apa yang menjadi inti permasalahan dalam kasus status
hukum Papua Barat.
Dalam memaparkan inti kasus dari masing-masing pihak, pertama-tama persidangan
mengadakan tiga putaran permohonan tertulis dari kedua pihak. Hal ini karena masing-
masing akan mempresentasikan hasil kajian sejarah dan argumentasi hukum.
Setelah persidangan mencatat semua, persidangan masuk kedalam tahap selanjutnya yaitu
mendengarkan argumentasi lisan dari pihak-pihak yang bertikai. Ini bisa mencapai waktu
berhari-hari.
Setelah para penasehat hukum pulang, para hakim mengadakan musyawarah. Tahap
musyawarah ini bisa mencapai waktu 3-4 bulan.
Dalam musyawarah, para hakim menyusun tanggapan pertama mereka serta
mendiskusikannya. Lalu persidangan membuat Komisi Rancangan (Drafting Committee).
Komisi ini menyusun secara berurutan setiap naskah pendapat para hakim dan menjadi bahan
diskusi ataupun amandemen (perubahan) dalam rapat pleno para hakim.
Dan akhirnya muncul sebuah pendapat yang mendapat dukungan mayoritas hakim di
persidangan.
Sementara jika ada hakim yang tidak sepakat dengan pendapat itu, bisa membuat disseting
opinion.
Kemudian pendapat akhir Mahkama Internasional dibacakan dalam persidangan terbuka, di
depan para penasehat hukum pihak yang bertikai (pihak yang memperkarakan).
4. Pentingnya Pengacara Internasional bagi Papua Barat (ILWP sebagai Solusi)
Pengacara internasional atau Penasehat Hukum Internasional adalah para pakar hukum
internasional yang melakukan pembelaan hukum terhadap kasus-kasus yang bertentangan
dengan atau melanggar hukum Internasional. Pengacara Internasional biasanya diakui secara
internasional karena kontribusinya dalam membawa kasus-kasus internasional ke lembaga
Internasional sesuai dengan piagam-piagam PBB, standar-standar serta prinsip-prinsip hukum
internasional.
Karena kasus Papua Barat adalah kasus yang berkaitan dengan proses hukum internasional,
maka penyelesaiannya harus melalui jalur hukum internasional. Dengan demikian, pengacara
internasional bagi bangsa Papua Barat adalah suatu keharusan. Tugas-tugas pengacara
internasional adalah melakukan penyelidikan atas masalah Papua Barat dan mengkajinya
sesuai hukum internasional. Pengacara internasional atas kajian itu terus mendesak
pentingnya penyelesaian masalah Papua Barat melalui pengadilan internasional dengan cara
memaksa semua pihak-pihak internasional dan lembaga internasional untuk menyelesaikan
persoalan Papua Barat melalui jalur hukum sesuai mekanisme internasional. Tidak sampai
disitu, pengacara internasional kemudian hari ditunjuk oleh pihak Papua Barat untuk
membela kasus Papua Barat selama proses peradilan internasional berlangsung, yaitu
mempresentasikan kajian hukum tentang status Papua Barat didepan Hakim Mahkama
Internasional.
Sebaliknya, Indonesia melalui pengacara Internasionalnya juga akan mempresentasikan
materi untuk membenarkan bahwa status hukum Papua Barat dalam NKRI itu sah menurut
kajian hukum internasional. Indonesia kini memperkuat status hukum Papua Barat melalui
resolusi Majelis Umum PBB no 2504 tahun 1971. Di Mahkama Internasional nanti, pihak
Indonesia harus bisa menjelaskan apakah proses memasukan Papua Barat kedalam NKRI
sejak tahun 1960 hingga 1969 itu sudah sah sesuai standar-standar, prinsip-prinsip hukum
internasiona dalam menyelesaikan masalah Papua Barat.
Saat ini telah dibentuk Internasional Lawyers for West Papua [ILWP] yang diketuai oleh
Mrs. Melinda Jankie dan terus menghimpun anggota-anggota pengacara internasional lain di
berbagai belahan dunia.
5. Materi Papua Barat di Mahkama Internasional
Bila proses memasukan Papua Barat kedalam NKRI sejak tanggal 1 Desember 1961 hingga
1969 itu dianggap sah, maka pertanyaan-pertanyaan yang harus dijelaskan oleh Mahkama
Internasional sesuai pokok-pokok yang dibicarakan dalam Sidang Mahkama Internasional
dengan menghadirkan Belanda, Amerika Serika dan Indonesia adalah:
1)Menanyakan Belanda dan PBB apakah Kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 yang
dilakukan secara defakto itu sesuai dengan mandat resolusi PBB 1514 dan atau 1541
sehingga Belanda sebagai Negara yang menduduki wilayah Papua Barat itu telah
berkewajiban memerdekakan wilayah Papua Barat dan deklarasi kemerdekaan itu juga
merupakan hasil kongres Papua Barat yang memilih wakil resmi rakyat Papua Barat, Dewan
Nieuw Guinea Raad. Bukankah ini adalah proses dekolonisasi, atau bagian dari semangat
pembentukan komisi dekolonisasi PBB?.
2)Bila kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 sah sesuai semangat itu, maka invasi
militer Indonesia di Papua Barat atas mandat trikora 19 Desember 1961 adalah suatu tindakan
yang bertentangan dengan resolusi-resolusi, prinsip-prinsip hukum dan HAM PBB.
3)Jika itu sesuai dengan semangat dekolonisasi PBB yang disahkan dalam resolusi Majelis
Umum PBB No 1514 dan atau 1541 tahun 1960, maka harus dipertanyakan mengapa PBB
mengabaikan resolusi itu lalu secara sepihak PBB melalui UNTEA menyerahkan wilayah
administrasi Papua Barat ke tangan Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 sebagai suatu
tindakan yang bertentangan dengan semangat memerdekakan wilayah jajahan sesuai mandat
dekolonisasi PBB.
4)Bila proses mengalihkan kekuasaan dari tangan Belanda ke PBB dan selanjutnya ke tangan
Indonesia itu sudah sesuai dengan standar-standar, prinsip-prinsip HAM dan Hukum PBB,
maka mengapa Perjanjanjian New York 15 Agustus 1962 yang membicarakan status tanah
dan nasib bangsa Papua Barat, namun di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-
wakil resmi bangsa Papua Barat.
5)Bila keputusan New York Agreement itu disepakati secara sah, maka mengapa pada tahun
1967 Amerika Serikat dan Indonesia menandatangani kontrak karya PT. Freeport Mc Morand
yang berada di Timika, Papua Barat sebelum status Papua Barat disahkan melalui referendum
(PEPERA) tahun 1969 sesuai kesepakatan New York Agreement.
6)Bila keputusan New York Agreement itu sah dan di terima oleh semua pihak, termasuk
rakyat Papua Barat, mengapa pelaksanaan PEPERA 1969 itu tidak dilakukan sesuai dengan
Pasal XVIII ayat (d) New York Agreement yang mengatur bahwa “The eligibility of all
adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of self determination to
be carried out in accordance whit international practice…”. Aturan ini berarti penentuan
nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang
merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan New York Agreement. Namun hal
ini tidak dilaksanakan. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dilaksanakan dengan
cara lokal Indonesia, yaitu musyawarah oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa
laki-laki dan perempuan. Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175
orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh pemerintah
Indonesia. Selain itu masyarakat Papua Barat yang ada di luar negeri, yang pada saat
penandatangan New York Agreement tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam penentuan
nasib sendiri itu. Selain itu, teror, intimidasi dan pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum
dan sesaat PEPERA 1969 untuk memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh
pemerintah dan militer Indonesia.
Itulah serangkaian proses yang tidak dijalankan oleh pihak-pihak internasional sesuai dengan
standar-standar-standar, prinsip-prinsip hukum dan HAM Internasional. Proses inilah yang
harus digugat kembali. Lembaga-lembaga Internasional seperti Majelis Umum PBB, Dewan
Keamanan PBB dan Negara-negara angggota PBB dapat meminta advisory opinion atau
penjelasan berupa nasihat tentang prose itu dari Mahkama Internasional.
6. Kemungkinan Resolusi PBB
a)Pengakuan Kemerdekaan Papua Barat:
Pengakuan bagi kemerdekaan Papua Barat 1 Desember 1961 dianggap sah oleh Mahkama
Internasional bila ternyata ditemukan fakta persidangan bahwa Kemerdekaan Papua Barat 1
Desember 1961 telah sesuai dengan resolusi 1514 dan atau 1541 sehingga Belanda telah
sesuai dan berkewajiban memerdekakan Papua Barat, maka pengakuan secara de jure bisa
saja diberikan.
b)Referendum
Majelis Umum dapat memberikan keputusan untuk diadakannya referendum di Papua Barat
karena Pepera 1969 yang melahirkan Resolusi Majelis Umum PBB 2504 tahun 1971 itu tidak
kuat hukum (weak law) karena Indonesia dan PBB (UNTEA) tidak dilakukan sesuai dengan
Perjanjian New York Agreement atau kesemua proses itu melanggar standar-standar, prinsip-
prinsip hukum dan HAM Internasional.
C.Fokus Perjuangan di Internasional dan Ke Internasional
Konflik politik di Papua Barat tentang keabsaan wilayah terus dipertengtangkan.
dipertanyakan, diperbincangkan atau dikaji serta diselesaian sesuai mekanisme hukum
internasional agar diperoleh kebenarannya dan diterima oleh orang Papua Barat dan
Indonesia. Untuk itulah, maka tugas utama perjuangan di internasional saat ini adalah
menggalang solidaritas internasional, mendesak Negara-negara anggota PBB agar membuat
mosi (sikap) di Majelis Umum PBB, selanjutnya Majelis Umum PBB merekomendasikan
Pengadilan Internasional (International Court of Justice) menjelaskan apakah proses
memasukan Papua Barat kedalam NKRI sejak tahun 1960 hingga 1969 itu sudah sah sesuai
standar-standar, prinsip-prinsip hukum internasiona dalam menyelesaikan masalah Papua
Barat atau bila tidak maka masalah Papua Barat harus diselesaian kembali melalui
mekanisme internasional.
Untuk menggugat proses yang cacat itu, maka dibutuhkan tahapan strategis yang secara
konsen diperjuangan di tingkat Internasional. Tahapan itu harus didorong melaui proses
politik maupun hukum di tingkat internasional. Paling tidak ada jalur-jalur strategis yang
sedang ditempuh seperti:
1.IPWP dan ILWP
a)IPWP (Internasional Parliamentarians for West Papua) atau Parkumpulan Parlemen-
Parlemen untuk Papua Barat. IPWP diluncurkan di London 15 Oktober 2008, yang kemudian
dideklarasikan pada 1 Desember 2008 di gedung Parlemen Kerajaan Inggris di London, yang
diketuai oleh Andrew Smith, saat ini IPWP telah terbentuk di Vanuatu, PNG, Uni Eropa,
Republik Ceko, schotland dan anggota Parlement negara-negara lain yang secara pribadi ikut
menandatangani untuk menjadi anggota IPWP. Anggota IPWP kini mencapai 68 orang6.
b)Internasional Lawyers for West Papua (ILWP)7 atau Perkumpulan Pengacara-pengacara
Internasional untuk Papua Barat. ILWP diluncurkan di Brussels pada tanggal 3 April 2009
dan diketuai oleh Mrs. Melinda Jankie. Melinda Jankie adalah seorang pengacara
Internasional. Anggota ILWP terus terhimpun, dan sedang menyiapkan kajian hukum yang
selanjutnya mendorong ke Majelis Umum PBB dan Internasional Court of Justice
(Pengadilan Internasional) sebagai tempat penyelesaian seluruh proses sejarah yang cacat itu.
2.MSG dan PIF melalui kawasan Pasific
Selain dua lembaga internasional bagi bangsa Papua Barat itu, tahapan poloitik yang sudah
dan terus dilakukan yaitu melalui loby politik di kawasan pasifik, seperti:
a). MSG (Melanesian Spearhead Groups) adalah sebuah group antar Negara-negara
Melanesia. Pertemuan MSG biasanya dilakukan setahun sekali. Dalam pertemuan itu Negara-
negara Melanesia membicarakan isu-isu penting serta kesepakatan kerja antar Negara-negara
Melanesia ini. Sampai sekarang Papua Barat belum masuk kedalam anggota MSG karena
terus diblokade oleh PNG melalui Michael Somare, sekalipun sudah dilakukan berbagai
upaya agar masalah Papua Barat dibicarakan atau paling tidak ada delegasi Papua Barat
untuk ikut MSG. Negara Vanuatu yang mendukung hak penentuan nasip sendiri bagi bangsa
Papua Barat terus berupaya namun kandas terus menerus. Saat ini upaya terus dilakukan oleh
para diplomat Papua Barat di Fiji, PNG, Vanuatu agar Papua Barat bisa menjadi anggota
MSG.
b). PIF (Pasific Islands Forum) atau Forum Pulau-pulau (negara-negara) pasifik adalah
sebuah forum Negara-negara di wilayah pasifik yang pertemuannya dilakukan setahun sekali.
Forum ini mengagendakan dan membicarakan masalah-masalah atau isu-isu regional
(kawasan ) pacific. Sejak Belanda masih berada di Papua Barat, delegasi bangsa Papua Barat
selalu diikutkan dalam forum ini, namun kini Papua Barat sudah tidak sebagai anggota PIF
sejak penjajah Indonesia dan kepentingan kapitalisme mengambil peran penting dalam
memblokade isu-isu Papua Barat. Berbagai upaya terus didorong agar kemudian ada delegasi
Papua Barat atau paling tidak isu Papua Barat diangkat didalam setiap pertemuan itu.
3.Dialog atau Perundingan oleh Mediator
Dialog atau perundingan bisa dilakukan tanpa intervensi dari luar. Dalam proses ini kedua
bela pihak yang bertikai bisa mengambil kemauan bersama untuk dialog. Hasil dialog tidak
mengikat dan final. Tapi juga pihak yang merasa menguntungkannya, bisa menyatakannya
sebagai keputusan yang final. Dalam hasil dialog kedua pihak yang bertikai bisa menyepakati
untuk menyelesaian masalah status hukum Papua Barat di Mahkama Internasional, atau bisa
saja mengambil keputusan bersama untuk melakukan referendum secara damai.
Dalam pendekatan Papua Barat, Apakah dialog dengan Jakarta bisa menghasilkan
kesepakatan Jakarta dan Papua Barat untuk membawa persoalan status politik Papua Barat
untuk diselesaikan di Mahkama Internasional atau referendum? Pertanyaan ini yang harus
dijawab.
a)Indonesia sangat mengerti gelagat politik Papua Merdeka bila terjadi dialog. Saat ini
Jakarta tahu bahwa dialog yang mempersoalkan status politik pada ujungnya akan
menguntungkan orang Papua Barat yang secara dominan ingin Merdeka, maka Indonesia
akan hati-hati dalam menyikapi wacana dialog. Terlepas dari siapa yang harus jadi mediator.
b)Bila Indonesia harus menerima dialog, sangat dimungkinkan status politik Papua Barat
tidak ikut didialogkan. Barangkali pihak Jakarta akan lebih menerima dialog bila itu
membicarakan tentang perbaikan Otonomi Khusus (Review Otsus), isu HAM dan Penegakan
Hukum dalam NKRI.
c)Tapi bila tuntutan Papua Merdeka dibicarakan, maka Indonesia akan punya alasan bahwa
Otsus adalah jawaban dari tuntutan Papua merdeka, sehingga bisa saja Tuntutan Papua
Merdeka direduksi ke perbaikan Otsus. Hal ini selalu menjadi alasan Jakarta, kalau rakyat
demonstrasi tuntut Papua Merdeka atau TPN OPM buat aksi, maka mereka dengan mudah
mengatakan “itu karena mereka tidak puas”, “ itu luapan kekecewaan pembanguan”, dan
berbagai alasan lainya.
d)Dialog dengan isu penyelesaian status politik Papua Barat hanya bisa terjadi kalau ada
desakan kuat dari rakyat Papua Barat dan pihak Internasional.
e)Dalam dialog sangat tidak mungkin dibicarakan dan disetujui mengenai penyelesaian
masalah Papua Barat melalui solusi referendum. Hal itu kemungkinan bisa terjadi bila Papua
Barat dalam kondisi emergency secara fisik seperti Timor Leste saat itu dan lebih utama
kuatnya intervensi Internasional. Contoh kasus Sahara Barat, sekalipun disana terjadi krisis
kemanusiaan yang krusial akibat pertikaian Sahara Barat yang ingin Merdeka dan Maroko
yang masih ingin menjajah, namun pemerintah Maroko tidak ingin menggelar referendum
karena khawatir sikap rakyat Sahara Barat yang akan memilih opsi merdeka.
f)Dalam kondisi itu, dialog atau perundingan justru akan dipakai oleh Jakarta untuk
menghalau proses perjuangan di Internasional. Hal yang sama dilakukan Jakarta terhadap
GAM di Aceh. Masalah GAM yang pada saat itu sedang memaksa internasional justru
direduksi (dipersempit) ke persoalan Tsunami dan korban kemanusiaan yang terjadi,
sehingga resolusi dialog di Helsinki tidak banyak menguntungkan bagi perjuangan politik
GAM kedepan, yang terjadi adalah solusi Otsus diterima dan rekonsiliasi di Aceh dalam
kerangka NKRI menjadi pil pahit yang tidak menguntungkan pihak GAM untuk penentuan
nasip sendiri (Kemerdekaan secara politik).
Dari beberapa jalur yang ditempuh diatas, maka sebenarnya tidak ada yang salah. Yang salah
adalah ketika orang Papua Barat dan pejuang Papua Barat tidak dapat membaca dan
memetahkan solusi-solusi itu agar dapat memandang solusi itu secara rasional (masuk akal),
tanpa saling menyalahkan antara satu kubu perjuangan dan kubu yang lainya.
Yang rasional adalah perjuangan Papua Merdeka membutuhkan kekuatan internal Papua
Barat dan terutama Internasional yang saling mendukung. Untuk mendorong perjuangan di
tingkat Internasional dengan strategis, maka strategi Internasional lewat MSG dan PIF harus
diperjuangkan terus menerus, karena bila isu-isu Papua Barat menjadi topik penting dalam
pertemuan-pertemuan regional, maka bukan tidak mungkin persoalan Papua Barat menjadi
isue
D.Catatan-Catatan Penting
Hal-hal yang menjadi pertimbangan suatu Negara dalam mendukung kemerdekaan bangsa
Papua Barat
1.Sangat kecil kemungkinan bagi sebuah Negara secara resmi mendukung kemerdekaan
bangsa Papua Barat, terlepas dari dan untuk kepentingan apapun Negara tersebut di Papua
Barat. Hal ini karena setiap Negara sesuai kode etik internasional saling menghargai dan
menghormati integritas dan kedaulatan Negara lain. Intervensi Negara lain secara diplomatis
dilakukan melalui jalur yang legal. Jalur legal adalah bahwa suatu Negara tidak mendukung
secara langsung tetapi mendukung penyelesaian konflik suatu wilayah yang kesalahannya
melibatkan pihak Internasional, lembaga internasional seperti PBB. Oleh karena itu, bila
suatu Negara mau konsen terhadap persoalan Papua Barat maka dia harus menempu jalur
yang legal, dimana Negara-negara itu sebagai anggota PBB berhak mempersoalkan konflik
Papua Barat dengan mempertentangkan atau memaksa PBB mereview proses memasukan
Papua Barat kedalam Indonesia yang tidak sesuai dengan standar-standar, prinsip-prinsip
Hukum dan HAM PBB di Pertemuan tahunan PBB.
2.Intervensi suatu Negara di Negara yang sedang terjadi konflik dilakukan bila suatu wilayah
yang sedang bertikai itu dalam kondisi konflik dan sangat darurat, yaitu kondisi yang
memaksa pihak-pihak internasional intervensi demi penegakan prinsip-prinsip, standar-
standar hukum dan ham internasional. Hal inipun terjadi atas restu PBB, karena Indonesia
adalah anggota PBB.
3.Saat ini Komisi Dekolonisasi PBB masih melakukan tugas sesuai resolusi 1514 untuk
memerdekakan wilayah-wilayah yang belum berpemerintahan atau masih dijajah. Ada sekitar
16 wilayah yang menjadi tugas komisi ini. Komisi ini diketuai oleh Marty Natalegawa yang
kini menjadi Menteri Luar Negeri Indonesia. Sepertinya tidak strategis bila kasus Papua
Barat dibawa lewat komisi ini.
4.Orang Papua Barat sebagai warga pribumi Papua Barat berhak untuk menentukan nasip
mereka sendiri. Hal ini didukung oleh deklarasi Komisi Indigenous People di PBB, dimana
Indonesia merupakan salah satu Negara yang ikut menandatangani dan meratifikainya.
Komisi ini turut memperkuat dukungan Negara-negara anggota PBB. Ini juga menjadi alasan
penting bagi jaringan Papua Merdeka diluar negeri untuk terus mengkompanyekan dan
mendesak pihak internasional dalam hal ini PBB mengakomodir suatu mekanisme bagi hak
penentuan nasip sendiri bangsa pribumi Papua Barat.
5.Proses internasionalisasi persoalan status politik Papua Barat akan semakin menuju pada
target seperti yang tergambar diatas bila status politik Papua Barat terus menjadi masalah
yang dipertentangkan di Papua Barat melalui aksi-aksi dengan metode apapun. Artinya,
Papua Barat harus dalam kondisi yang emergency (darurat) agar menjadi perhatian
internasional, serta mendorongnya ke tahapan penyelesaian. Ini adalah tugas mendesak rakyat
Papua Barat yang berada di Wilayah ini. Tapi bila sebaliknya, orang Papua Barat lebih
banyak bicara Kesejahteraan, Otsus, Pembangunan dan topic-topik lain selain topik
pertentangan status politik, maka dunia internasional justru akan memihak Jakarta agar
melakukan dialog dan mendorong perbaikan di segala bidang di Papua Barat. Lalu Jakarta
akan bilang, persoalan Papua Barat adalah persoalan dalam negeri dan harus diselesaikan
didalam negeri, maka target politik perjuangan Papua di tingkat internasional akan meleset.
6.Indonesia dan Amerika Serikat yang masing-masing sedang menindas dan mengeksploitasi
wilayah Papua Barat akan terus mengaburkan (menghilangkan) isu perjuangan bangsa Papua
yang sedang dilakukan atas kebenaran sejarah ini dengan cara menstigmanisasi pejuang dan
jalur perjuangan yang sedang ditempuh sebagai teroris, separatis, Gerakan Pengacau
Keamanan (GPK) dll. Hal ini dilakukan oleh mereka untuk terus menutupi kesalahan mereka
sebagai akar persoalan Papua Barat dan agar kepentingan ekonomi politik kedua Negara terus
berlangsung di Papua Barat
kawasan yang bisa didorong ke PBB melalui forum-forum dan Negara-negara anggota PBB
yang ada di kawasan pasifik.
Yang lebih penting dari itu adalah bagaimana para diplomat kita di pasifik dan di Eropa
melalui IPWP terus menggalang solidarias internasional dengan cara mempengaruhi Negara-
negara anggota PBB dan lebih penting lagi Negara pemegang hak veto melalui kompanye,
loby ke tingkat Parlement (tingkat DPR) di Negara-negara. Parlemen adalah wakil resmi
masyarakat internasional yang ada di setiap Negara, sehingga dukungan tingkat parlemen
terhadap penyelesaian Papua Barat merupakan suara rakyat atau suara komunitas
Internasional yang mau tidak dapat memaksa pemerintahan di Negara-negara mereka untuk
mengambil kebijakan, terlepas dari kepentingan ekonomi politik Negara tersebut terhadap
Papua Barat.
Semua jaringan Papua Merdeka yang ada di setiap Negara harus menggalang (loby) ke
parlement dari Negara tersebut untuk tergabung ke IPWP agar membentuk kekuatan bersama
mendorong penyelesaian Papua Barat. Kekuatan internasional dapat mendorong Jakarta
untuk mengambil kemauan-kemauan politik dalam penyelesaian masalah Papua Barat secara
damai. Contoh: Kongresman AS yang terus memaksa kebijakan luar negeri AS melalui draf
(bill) oleh DPR AS Urusan wilayah Asia dan Pasifik Eny Faleomavaega dan Donal Pyne
untuk membentuk komisi khusus dalam penyelesaian masalah Papua Barat. Inilah tugas-
tugas yang harus dicontohi parlement-parlement internasional yang tergabung dalam IPWP
agar mendorong negaranya membuat kebijakan-kebijakan luar negeri khususnya terhadap
penyelesaian masalah Papua Barat melalui mekanisme internasional. Berikut ini tahapan dan
tugas-tugas yang sedang didorong di tingkat Internasional secara umum dalam penyelesaian
status politik Papua Barat.
kawasan yang bisa didorong ke PBB melalui forum-forum dan Negara-negara anggota PBB
yang ada di kawasan pasifik.
Yang lebih penting dari itu adalah bagaimana para diplomat kita di pasifik dan di Eropa
melalui IPWP terus menggalang solidarias internasional dengan cara mempengaruhi Negara-
negara anggota PBB dan lebih penting lagi Negara pemegang hak veto melalui kompanye,
loby ke tingkat Parlement (tingkat DPR) di Negara-negara. Parlemen adalah wakil resmi
masyarakat internasional yang ada di setiap Negara, sehingga dukungan tingkat parlemen
terhadap penyelesaian Papua Barat merupakan suara rakyat atau suara komunitas
Internasional yang mau tidak dapat memaksa pemerintahan di Negara-negara mereka untuk
mengambil kebijakan, terlepas dari kepentingan ekonomi politik Negara tersebut terhadap
Papua Barat.
Semua jaringan Papua Merdeka yang ada di setiap Negara harus menggalang (loby) ke
parlement dari Negara tersebut untuk tergabung ke IPWP agar membentuk kekuatan bersama
mendorong penyelesaian Papua Barat. Kekuatan internasional dapat mendorong Jakarta
untuk mengambil kemauan-kemauan politik dalam penyelesaian masalah Papua Barat secara
damai. Contoh: Kongresman AS yang terus memaksa kebijakan luar negeri AS melalui draf
(bill) oleh DPR AS Urusan wilayah Asia dan Pasifik Eny Faleomavaega dan Donal Pyne
untuk membentuk komisi khusus dalam penyelesaian masalah Papua Barat. Inilah tugas-
tugas yang harus dicontohi parlement-parlement internasional yang tergabung dalam IPWP
agar mendorong negaranya membuat kebijakan-kebijakan luar negeri khususnya terhadap
penyelesaian masalah Papua Barat melalui mekanisme internasional. Berikut ini tahapan dan
tugas-tugas yang sedang didorong di tingkat Internasional secara umum dalam penyelesaian
status politik Papua Barat.
Kerangka Dasar TeoriDalam menganalisa suatu permasalahan, diperlukan kerangka pemikiran sebagai
acuan. Teori adalah bentuk penjelasan paling umum yang memberitahukan mengapa sesuatu terjadi.[1] Adapun makalah ini menitik beratkan pembahasan dengan menggunakan Teori Iredentalisme dan Teori Konflik Internasional Akibat Kinflik Internal yang dikembangkan oleh Walter S. Jones.
Irredentisme seringkali dikaitkan dengan adanya pencaplokan wilayah. Hal seperti ini kemudian menyenbabkan konflik. Hal ini terjadi karena adanya pihak-pihak yang mengakui wilayah tersebut. Sehingga sering berujung pada perebutan wilayah. Dalam banyak kasus, penetapan garis perbatasan mengabaikan garis pembagian alam antarbangsa yang berbeda. Garis politik kadang kala tidak sesuai dengan peta etnogeografis. Iredentis pun merupakan bentuk yaitu suatu negara menuntut diserahkannya suatu wilayah beserta penduduknya yang masih dijadikan bagian dari negara lain.[2] Dalam kasus antara India dan Pakistan, perebutan wilayah Kashmir menjadi bagian yang juga masuk dalam kategori iredentisme. Masing-masing negara berusaha untuk memiliki wilayah itu. Irredentisme dalam hal ini merupakan wilayah hunian sebagaian etnik nasional, yang dianggap wilayah yang hilang atau dicuri. Kadangkala tuntutan irredentis akan ditolak, karena ada kemungkinan wilayah yang disengketakan akan berkurang jika tuntutan dipenuhi.
Konflik internal bisa menjadi penyebab dari munculnya konflik internasional. Hal ini terjadi karena seringkali perang saudara terjadi dan adanya intervensi dari pihak luar. Hal yang demikian ini kemudian memunculkan kondisi yang dapat mengancam pihak lain. Secara otomastis pihak yang terancam akan ikut campur agar tidak terjadi konflik yang semakin besar. Dapat dikatakan bahwa, munculnya intervensi asing terjadi ketika perselisihan domestik mengancam kepentingan ekonomi negara-negara asing tertentu.[3] Dalam kasus perebutan wilayah Kashmir oleh India dan Pakistan, sebenarnya merupakan konflik internal. India dan Pakistan sama-sama merasa ada hak kepemilikan atas wilayah Kashmir. Karena adanya negosiasi yang alot, kemudian hal tersebut menjadi konflik. Banyak negara yang khawatir tentang konflik dua negara tersebut. Terlebih dengan adanya peran PBB dalam sengketa tersebut, menjadikan konflik India-Pakistan sebagai konflik internasional.
Konflik India-PakistanPEMBAHASAN
A. Sejarah Konflik India dan PakistanSejak mendapat kemerdekaan dari Inggris tahun 1947, India–Pakistan telah 4 kali
berperang, dimana tahun 1949 terjadi perang terbuka dikarenakan Konflik Kashmir, dan perang lainnya karena India membantu Pakistan Timur (kini bernama Bangladesh) melepaskan diri dari Islamabad. Kashmir sendiri wilayahnya tidak hanya dijadikan rebutan
antara India dan Pakistan, tapi juga Cina. Kashmir sendiri berbatasan dengan Cina di utara dan Tibet di timur, sehingga Cina menguasai daerah perbatasan dengan India. Kashmir terdiri atas dua negeri merdeka, yakni Jammu dan Kashmir.
Persoalan muncul ketika India tetap mengklaim seluruh Kashmir adalah teritorinya dan Pakistan menolak karena mayoritas penduduk Kashmir adalah muslim yang bertempat di teritori yang dikuasai India. Konflikpun menjadi lebih kompleks karena yang semula hanya persoalan wilayah berkembang menjadi konflik antar agama dan konflik aliran. Konflik Kashmir terjadi karena benturan kepentingan politik kedua negara dan kekuasaan yang diwujudkan melalui klaim secara sepihak dari India maupun Pakistan. Kashmir sendiri merupakan simbol bagi identitas nasional India sekaligus Pakistan, menjadi kendala dalam urusan politik dalam negeri, serta kompromi bagi kedua negara sulit terwujud. Seperti ketika Pakistan mempertanyakan legalitas pencaplokan Kashmir oleh India setelah peristiwa pemisahan tahun 1947. Kemudian Islamabad menuduh New Delhi mengingkari resolusi PBB tentang kesepakatan untuk menentukan kehendak rakyat Kashmir. India beranggapan, pencaplokan Kashmir tahun 1947 merupakan suatu hal yang legal dan final sehingga tak perlu dibicarakan lagi, terutama setelah Dewan Rakyat Kashmir November 1956 mendeklarasikan Negara Kashmir menjadi bagian integral dari negara federal India.[4]
Penyelesaian masalah Kashmir menemui jalan buntu setelah berakhirnya perang India-Pakistan tahun 1947-1948. Sementara itu, setelah mengalami perang perbatasan dengan Cina pada tahun 1962, India meningkatkan kemampuan militernya. Gejala-gejala yang tidak menguntungkan bagi Pakistan ini mendorong Pakistan untuk segera menyelesaikan masalah Kashmir sebelum kehilangan kesempatan untuk melakukannya.[5] Akibat pemikiran ini pecahlah perang antara India dan Pakistan yang berlangsung selama 22 hari. Dalam perang inipun ternyata tidak berhasil merampas Kashmir dari India.
Hingga saat ini tidak pernah terjadi perang antara India dan Pakistan dalam masalah Kashmir sejak perang 1965, keinginan Pakistan untuk mengambil alih Kashmir dari India tidak pernah lenyap. Bagi Pakistan, dengan berpegang pada Two-Nation theory (Teori Dua Bangsa) yakni satu Muslim dan satu Hindu, masuknya Kashmir kedalam wilayahnya adalah merupakan keharusan karena mayoritas penduduk Kashmir adalah beragama Islam. Teori Dua Bangsa adalah merupakan suatu reaksi negative terhadap peristiwa-peristiwa yang sedang membentuk nasib Asia Selatan dalam pertengahan abad ke-20.[6]
Disamping adanya faktor keagamaan diatas, faktor goegrafis Kashmir membantu pula menjelaskan keinginan Pakistan untuk memasukkan daerah tersebut kedalam wilayah kekuasaanya. Dataran tinggi dengan luas 222.801 km² ini memiliki nilai-nilai ekonomis dan strategis bagi Pakistan. Nilai ekonomis tersebut berasal da ri kesuburan tanah serta keindahan alam yang memungkinkan daerah tersebut menjadi obyek wisata. Lebih dari itu, pentingnya Kashmir secara ekonomis bagi Pakistan adalah semua sungai yang ada didaerah tersebut mengalir menuju Pakistan dan pusat kegiatan jari ngan kanal Pakistan berlokasi di Kashmir. [7]Faktor- faktor di atas secara bersamaan mendorong Pakistan untuk memasukkan Kashmir ke dalam kekuasaannya. Keinginan Pakistan untuk menguasai Kashmir nampaknya adalah merupakan sebuah mimpi yang tidak pernah akan pudar.
Bagi India, Kashmir merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari India, kepentingan India atas Kashmir tidak hanya pada dimensi politik semata, melainkan terhadap berbagai kepentingan lainnya. Faktor geopolitik tidak terbantahkan lagi melekat pada posisi Kashmir yang membuat negara ini memiliki arti penting baik bagi kekuatan nasional India ataupun Pakistan. Kepentingan geopolitis Kashmir bagi India adalah dengan dikuasainya Kashmir
akan memungkinkan India memiliki akses terhadap wilayah strategis di bagian barat daya, di samping Kashmir menyediakan suatu rangkaian hubungan tradisional antara Asia Tengah dan Subkontinen. Hubungan India dan ketiga Negara tetangganya yang terpenting - Rusia, China, Afghanistan sangat tergantung pada luasnya wilayah Kashmir yang dapat dikuasai.
Peran signifikan Kashmir bukan hanya pada masalah keamanan nasional semata, melainkan lebih dari itu, karena bagi India Kashmir mempunyai makna untuk mempertahankan kesatuan nasional, eksistensi paham sekularisme, warisan sejarah budaya di masa lalu, dan dominasi India di Asia Selatan. Kashmir melambangkan suatu komitmen nasional untuk memelihara kesatuan nasional. Lepasnya Kashmir akan mendorong disintegrasi yang dapat mengancam tujuan Negara kesatuan India yang demokratis, multi etnis dan sekuler. Sebagai negara yang sangat majemuk dengan menggunakan sistem federal, masalah kesatuan nasional India merupakan permasalahan yang penting dan mendesak bagi India. Penggabungan Kashmir ke India akan menjadi symbol nasionalisme, demokrasi dan sekularisme atas komunalisme. India yakin bahwa memasukkan Kashmir ke dalam wilayahnya adalah sesuatu yang paling penting untuk memperlihatkan secara efektif kepada Pakistan dan kelompok minoritas India suatu komitmen nasional pada kesatuan bangsa India sehingga Kashmir harus dipertahankan.
Peristiwa penyerangan Gedung Parlemen India oleh sekelompok orang tak dikenal 13 Desember 2001 dan menewaskan 20 orang memperparah kondisi. Konflik Kashmir memiliki akar panjang dalam percaturan global. Sejarah mencatat, satu tantangan paling awal yang dihadapi PBB setelah pembentukannya (tahun 1945) adalah perseteruan wilayah Jammu-Kashmir antara India-Pakistan. Kendati PBB telah mengeluarkan resolusi dalam persoalan yang sama (tahun 1948), namun sampai setengah abad berikutnya masalah Kashmir tetap belum beres. Bahkan, peristiwa Kashmir Mei 1999 yang menewaskan 200 tentara India, 500 lainnya terluka, dan puluhan tewas akibat kontak senjata kedua negara terakhir, nyaris menjerumusk an kedua negara ke dalam perang terbuka yang lebih dahsyat karena persenjataan nuklir yang dimiliki kedua negara.[8]
Pada Januari 2004, kedua negara memulai perundingan damai untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun, hingga kini upaya perundingan belum mencapai hasil memuaskan. Hal ini menjadi keprihatinan masyarakat internasional terhadap stabilitas keamanan dikawasan Asia Selatan. Jalur jalur seperti diplomasi, mediasi, dan negosiasi sudah dilakukan, namun juga belum menemukan titik temu. karena masalah yang ada bukan hanya sekedar wilayah teritorial. tapi sudah menjalar kepada faktor faktor krusial yang memang sangat kompleks dan koersif sifatnya.
B. Perebutan Wilayah Kashmir
Kashmir merupakan salah satu konflik yang sulit diselesaikan, sebagian karena bagi India dan Pakistan wilayah itu dianggap sebagai cikal bakal kedua bangsa tersebut. Kedua Negara terus bergejolak, bahkan saat Kashmir memilih bergabung dengan India pun pada akhirnya ingin melepaskan diri. Karena pada dasarnya Negara Kashmir lebih mempunyai kesamaan identitas dengan Pakistan yang mayoritas beragama islam, sama dengan mayoritas agama penduduk Kashmir sendiri.
Tidak lama setelah terjadinya partisi atau pemisahan negara Hindustani raya di anak benua atau sub continent menjadi India dan Pakistan, wilayah Kashmir menjadi objek persengketaan kedua negara tersebut. Hal ini dikarenakan masing-masing Negara ini berhak menguasai wilayah Kashmir. Pakistan berpendirian pada rencana partisi yang diputuskan
pada tanggal 3 Juni 1947 ketika pemerintah Inggris menyetujui rencana partisi anak benua menjadi 2 negara terpisah yaitu India dan Pakistan berdasarkan prinsip keagamaan yang menentukan bahwa wilayah-wilayah yang mayoritas Hindu masuk India. Sementara India berpendirian pada Instrument of Accession yang ditandatangani oleh Maharaja Hari Singh pemimpin Kashmir pada saat itu yang dianggap sebagai gabungnya wilayah Kashmir secara sah dengan India, dikarenakan sang Maharaja merasa terancam dengan penyerbuan suku-suku asing yang berasal dari perbatasan Pakistan.[9]
Pakistan dan India merupakan dua Negara yang memiliki kepentingan terhadap Yammu Kashmir. Hal ini terkait dengan nilai strategis yang dimiliki oleh wilayah tersebut. Terkait letak geografis, Yammu Kashmir merupakan tempat yang sangat cocok untuk benteng pertahanan karena lokasinya yang terlindung oleh gunug. Begitu strategisnya wilayah ini, sehingga pada abad ke 19 pernah menjadi rebutan antara imperium Rusia dan Inggris.
Bagi Pakistan adalah Negara Yammu Kashmir disamping mempunyai arti penting untuk strategi, tetapi juga besar artinya untuk kehidupan perekonomian Pakistan. Kehidupan perekonomian atau kemakmuran Pakistan Barat tergantung kepada sungai-sungai yang berhulu di Kashmir seperti sungai Indus, Jhelem, dan Chemab. Ketiga sungai ini mengalir ke Pakistan Barat dari Kashmir, ditambah sungai Sutley dan Ravi yang berhulu di India. Jika Negara Yammu Kashmir misalnya dikuasai oleh Negara lain maka 19 juta akre tanah pertanian di Pakistan Barat yang persediaan airnya tergantung kepada sungai-sungai di atas, mungkin akan terancam karena “the economic life of Pakistan depended upon the control of these rivers”.
Bagi India adalah Kashmir juga besar artinya bagi India untuk keperluan strategi pertahanan, karena Kashmir adalah suatu wilayah perbatasan yang berdampingan dengan bangsa-bangsa besar. Untuk lalu lintas ekonomi kiranya kurang berarti karena lalu lintas penting seperti kereta api dan sungai-sungai yang menghanyutkan kayu-kayu yang merupakan bahan eksport terutama dari Kashmir semuanya menuju ke Pakistan. Ditambah pula satu-satunya jalan yang menghubungkan Kashmir dengan India dari Yammu ke Punyab Timur dalam musim dingin tak ada jalan yang dapat tetap terbuka bagi lembah Kashmir selain menuju Pakistan.
C. Pandangan Dunia InternasionalA. Amerika Serikat
Amerika Serikat (AS) mengatakan, pihaknya memiliki "perhatian besar" tentang situasi di Kashmir, tetapi mengisyaratkan bahwa pihaknya tidak akan berusaha menengahi konflik wilayah Himalaya antara Pakistan dan India itu.
Para pejabat yang jarang berbicara secara terbuka tentang Kashmir yang India anggap satu masalah domestik. Namun, Pakistan mengajukan masalah itu secara tegas dalam perundingan-perundingan tingkat pejabat tinggi dengan Amerika Serikat yang bertujuan untuk meningkatkan kemitraan kedua negara yang sering terganggu itu.
Juru Bicara Departemen Luar Negeri Philip Crowley mnegatakan: "Kami memiliki perhatian besar tentang situasi di Kashmir. Kami berbicara dengan sahabat-sahabat Pakistan kami dan sahabat-sahabat India mengenai masalah ini secara reguler. Kami akan melihat situasi menyelesaikan masalah Kashmir. Terlalu banyak ketegangan dan aksi kekerasan di Kashmir, dan karena itu mengapa kami terus mendorong kedua negara menyelesaikannya
melalui dialog. Namun, Kebijakan Amerika Serikat jelas, kami yakin bahwa ini adalah satu masalah yang pada akhirnya harus diselesaikan antara India dan Pakistan".[10]
Dalam konflik Kashmir ini, AS malah mendampingi Rusia membantu India. Di sinilah kepentingan politik AS bermain. Ketika kelompok Islam yang dijadikan sasaran, maka AS akan dengan gencar memberikan dukungan.Amerika Serikat sebagai negara adidaya, memiliki tingkat pressure yang sangat kuat, sehingga mampu menundukkan mantan Perdana Menteri Pakistan, Nawaz Sharif. Dalam pernyataanya, NawazSharif menjanjikan akan menarik pasukan Pakistan dari wilayah Kashmir. Tentu saja pernyataan Sharif tersebut mendapat tanggapan keras, baik dari para pejuang Kashmir maupun dari masyakat Pakistan.Dus, akhirnya Nawaz Sharif terguling dalam sebuah kudeta tak berdarah yang dipimpin Jenderal Pervez Musharraf.[11]
B. RusiaIndia dalam perjalanan sejarahnya selalu melakukan aliansi politik dengan Soviet (kini Rusia).
Keberpihakan kapada Soviet ini menjadikan India berada di Blok Timur (Komunisme) dan berseberangan
dengan Blok Barat (AS). Namun pasca leburnya perang dingin dengan ditandai runtuhnya Uni Soviet (sebagai
kekuatan Komunisme/Blok Timur) yang menjadikan AS satu-satunya negara adikuasa, telah merubah haluan
keberpihakan AS. Dalam konflik Kashmir ini, AS malah mendampingi Rusia membantu India. Di sinilah
kepentingan politk AS bermain. Ketika kelompok Islam yang dijadikan sasaran, maka AS akan dengan gencar
memberikan dukungan.[12]
C. IndonesiaIndonesia menganut politik luar negeri bebas aktif, sehingga Indonesia selalu
mendukung penyelesaian konflik dengan jalan damai dan tidak memihak salah satu pihak yang bersengketa. Dalam konflik Kashmir, Indonesia diminta oleh Pakistan untuk membujuk India untuk mengakhiri konflik tersebut. Pemerintah Indonesia tetap mendukung segala bentuk penyelesaian konflik dengan damai.
D. RRCRRC dan India memiliki sejarah suram antar keduanya dan mencapai klimaksnya
pada Perang Cina – India. Perang perbatasan Cina-India berakhir dengan kekalahan tragis militer India. Hal ini mendorong India untuk mengembangkan militernya baik konvensional maupun non-konvensional dengan kemampuan untuk menghadapi Cina. Langkah ke arah ini dapat dilihat misalnya dengan rencana pengadaan 300 TUT T-90, yang jelas dimaksudkan untuk pertahanan menghadapi Cina. Sekali pun keadaan pseudo-hostile antara India dan Cina mulai mencair, serta hubungan kedua negara bertambah baik terutama sejak kunjungan Jiang Zemin November 1996, namun sangat jelas bahwa India masih menganggap Cina sebagai ancaman. Entah itu dari analisis militer atau pun hanya sebagai alasan untuk mengembangkan kekuatan militer-nya, yang jelas proyeksi militer India ditujukan untuk menyaingi kekuatan militer Cina.
Satu hal yang paling jelas adalah pernyataan para petinggi India pasca percobaan nuklir Pokhran II tahun 1998, bahwa alasan dari pengembangan militer India adalah untuk menghadapi ancaman Cina. Tak kurang PM Atal Behari Vajpayee dan Menteri Pertahanannya, George Fernandes memberikan pernyataan tersebut, yang kemudian disikapi dengan kemarahan besar dari para pejabat Cina. Sekali pun kemudian pernyataan tersebut dibantah oleh India. Membaiknya hubungan Cina-India kemungkinan tidak lepas dari upaya
Cina untuk menjamin keamanannya di Barat Laut, menjelang Invasi ke Taiwan. Bukan rahasia lagi bahwa Cina tengah mempersiapkan Invasi ke Taiwan dan mungkin juga ke Kepulauan Cina Selatan yang merupakan bagian dari 'urusan dalam negeri' Cina. Dan keberadaan India yang bermusuhan sangat menghalangi hal ini. Cina harus menjamin persahabatan dengan India sebelum dapat membereskan 'urusan dalam negerinya'.
CHINA DAN INDIA; RESOLUSI KONFLIK PERBATASAN DUA ‘MACAN ASIA
BAB IPENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dua negara di Asia, China dan India, yang sering disebut-sebut sebagai negara yang
berpotensial untuk menyaingi bahkan dapat menggantikan posisi ekonomi negara Amerika
Serikat yang mendominasi dunia, hubungan antara dua negara ini semata-mata bukanlah
hanya masalah ekonomi dan perdagangan.
Dua negara yang mendapat julukan ’Macan Asia’—karena kemajuan pesat dalam
bidang ekonominya— ini selain bersaing dengan ketat dalam rangka meningkatkan ekonomi
negaranya, juga bersitegang selama bertahun-tahun perihal masalah perbatasan wilayah.
Adalah Arunachal Pradesh, sebuah negara bagian di Indiabagian timur laut.
Arunachal Pradesh berbatasan dengan Assam di selatan, Nagaland di tenggara, Myanmar di
timur, dan Bhutan di sebelah barat, sementara Garis McMahon membatasi negara bagian ini
dari kendali RRC di Utara. Ibukota negara ini adalah Itanagar.[i]
Perebutan wilayah berawal ketika pemerintah kolonial Inggris menarik garis
perbatasan antara China dan India yang dikenal sebagai Garis McMahon, yang menyebabkan
daerahKashmir terbagi. Dan dari garis inilah kesalahpahaman antara China dan India
bermula.
Hubungan antara India dan China yang memuncak pada tahun 1962, berangsur-
angsur membaik karena adanya usaha dari utusan diplomatik masing-masing negara untuk
menangani masalah konflik wilayah perbatasan diantara kedua negara yang telah berlangsung
selama lebih dari empat dasawarsa.
1.2. Rumusan Masalah
1. Usaha apa saja yang telah dilakukan China-India dalam rangka menyelesaikan konflik
perbatasan wilayah tersebut ?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Memenuhi tugas akhir mata kuliah Pengantar Ilmu Diplomasi
2. Menulis dan memberikan analis terhadap resolusi konflik wilayah perbatasan China-
India.
1.4 Kerangka Teori
1.4.1 Tugas-tugas Perwakilan Diplomatik
Untuk menganalisis dan membantu dalam penulisan makalah ini, pertama-pertama
adalah harus diketahui mengenai peran dan tugas-tugas perwakilan diplomatik pada tiap
negara. Karena dalam kasus China dan India, para perwakilan diplomatik adalah orang-orang
terdepan untuk menyelesaikan persengketaan.
Perwakilan diplomatik adalah para duta besar atau para pejabat diplomatik yang
mewakili kepentingan negara pengirim di negara penerima dan sebagai penghubung
antarpemerintahan kedua negara.[ii] Dalam kasus China-India, perwakilan diplomatik bertugas
untuk membicarakan masalah resolusi konflik wilayah perbatasan antara dua negara.
Dalam Pasal 3 Konvensi Wina 1961 menetapkan tugas-tugas perwakilan
diplomatik[iii], yaitu :
1. Representasi
Menurut B. Sen[iv], fungsi utama dari wakil diplomatik adalah mewakili negara pengirim di
negara penerima dan bertindak sebagai saluran penghubung resmi antarpemerintah kedua
negara. Bertujuan untuk memelihara hubungan diplomatik antarnegara yang menyangkut
fasilitas komunikasi kedua negara.
2. Proteksi
Yaitu melindungi kepentingan-kepentingan negara pengirim serta warga negaranya di dalam
wilayah dimana ia diakreditasikan dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh hukum
internasional.
3. Negosiasi
Negosiasi atau perundingan dapat diadakan antara dua negara atau lebih, dengan maksud
untuk mengadakan persiapan atau melicinkan jalan guna mengadakan suatu perjanjian
mengenai hal-hal penting antarkedua negara bersahabat yang bersangkutan.
Fungsi nomor tiga inilah yang dijalankan oleh para perwakilan diplomatik China-India untuk
mengadakan perjanjian dalam mengatur pembagian wilayah di perbatasan kedua negara.
4. Mengumpulkan Data dengan Cara yang Sah dan Melaporkannya kepada Pemerintah
Negara Pengirim
Tugas ini merupakan suatu hal yang utama bagi perwakilan diplomatik di negara penerima,
termasuk di dalamnya tugas observasi secara seksama atas segala peristiwa yang terjadi di
negara penerima.
Perlunya laporan ini adalah untuk memperlancar kepengurusan kepentingan negaranya di luar
negeri. Laporan bisa berupa peristiwa politik, kebijakan-kebijakan, dan masalah-masalah lain
yang terjadi di negara penerima kepada pemerintahnya.
5. Meningkatkan Hubungan Persahabatan Antarnegara
Meningkatkan hubungan persahabatan antarnegara pengirim dan negara penerima serta
mengembangkan hubungan ekonomi, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan.
1.4.2 Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian sengketa atau perselisihan adalah suatu langkah yang dilakukan oleh
negara/ bangsa/ individu yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan/
perselisihan/ sengketa terhadap negara/ bangsa/ individu yang terkait.
Salah satu tujuan penyelesaian sengketa adalah untuk mencegah dan menghindari
terjadinya peperangan antar negara dan penggunaan kekerasan. Karena apabila terjadi
persengketaan dikhawatirkan dapat menimbulkan krisis dan ancaman terhadap perdamaian
dan keamanan internasional.
Penyelesaian sengketa secara damai harus dilakukan oleh kedua belah pihak yang
bersengketa. Usaha ini mutlak diperlukan sebelum persengketaan itu mengarah pada suatu
pelanggaran terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Perang tidak dibenarkan oleh
hukum internasional (renunciation of war) sebagaimana telah dituangkan dalam Bryan and
kellogs pact dalam Paris Treaty 1928.[v]
Berdasarkan piagam tersebut terdapat dua kelompok untuk menyelesaikan sengketa,
yaitu penyelesaian secara diplomatik dan cara penyelesaian secara hukum. Dalam kelompok
pertama,yaitu penyelesaian secara diplomatik terbagi atas beberapa cara :
- negosiasi
- pencarian fakta
- jasa-jasa baik
- mediasi
- konsiliasi
Dan pada kelompok kedua, yaitu penyelesaian secara hukum dibagi atas :
- arbitrase
- pengadilan internasional
Dalam kasus konflik wilayah perbatasan China-India, dalam penyelesaiannya sudah
menaati Paris Treaty 1928 dalam usaha untuk menyelesaikan sengketa walaupun pada tahun
1962 perang sempat meletus, namun selama ini sudah diadakan 12 putaran pertemuan untuk
menegosiasikan permasalahan tersebut.
BAB IIPEMBAHASAN
2.1 Faktor-faktor yang Menyulut Persengketaan Antar Negara
Sebelum membahas mengenai konflik wilayah perbatasan antara China dan India, akan dijelaskan terlebih dahulu faktor-faktor yang menyebabkan mengapa sebuah negara terlibat persengketaan dengan negara lain. Bila dicermati, banyak negara-negara di Asia Pasific juga menghadapi masalah yang sama.Faktor-faktor yang dapat menyulut persengketaan antar negara dimaksud antara lain[vi]:
a. Ketidaksepahaman mengenai garis perbatasan antar negara yang banyak yang belum terselesaikan melalui mekanisme perundingan.
b. Peningkatan persenjataan dan eskalasi kekuatan militer baik oleh negara-negara yang ada di kawasan ini, maupun dari luar kawasan.
c. Eskalasi aksi terorisme lintas negara, dan gerakan separatis bersenjata yang dapat mengundang kesalahpahaman antar negara bertetangga.
2.2 Asal Mula Perselisihan Perbatasan antara China dan India
Persengketaan wilayah antara China dan India berawal ketika pemerintah kolonial
Inggris menarik garis perbatasan diantara wilayah kedua negara yang dikenal sebagai Garis
McMahon.Hal ini menyebabkan daerah Kashmir terbagi. China tidak pernah menerima Garis
McMahon yang ditandatangani Inggris dan Tibet dalam Konvensi Shimla pada 1913.
Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa kota Tawang dalam negara bagian Arunachal
Pradesh milik India, sebagai bagian dari Wilayah Otonomi Tibet. Namun, China menyatakan
sebagian besar wilayah dari Arunachal Pradesh adalah bagian dari wilayah negara komunis
tersebut. Selain itu, China juga mengaku menguasai sebagian wilayah Himachal Pradesh,
Uttarakhand dan Ladakh yang terletak di Jammu dan Kashmir. Pendapat yang dikeluarkan
antara China dan India selalu berlawanan, seperti ketika Pemerintah India menyatakan,
bahwa China menguasai 38.000 km persegi dari wilayah teritorialnya. Sementara
Pemerintahan China mengklaim negara bagian India, Arunachal Pradesh, menduduki sekitar
90.000 km2 dari wilayah teritorialnya.[vii]
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa yang menyebabkan perselisihan wilayah antara China dan India adalah poin ke satu pada sub bab 2.1 mengenai Faktor-faktor yang Menyulut Persengketaan Antar Negara, yaitu Ketidaksepahaman mengenai garis perbatasan antar negara yang banyak yang belum terselesaikan melalui mekanisme perundingan.
Konflik yang berlarut-larut ini memuncak pada tahun 1962, dimana perselisihan
wilayah perbatasan menyulut perang antara negara bertetangga ini, dimana China mengambil
alih beberapa perumahan di kawasan Kashmir dan mengirimkan tentaranya untuk memasuki
wilayah India.[viii]
Walaupun perang sudah berakhir, namun perang dingin masih menyelimuti hubungan
antara China dan India. Konflik wilayah perbatasan tersebut justru menjadikan dua negara ini
bersaing dalam segala hal. Dua negara ini kerap melakukan tindakan ’saling serang’
terselubung dengan melakukan kerjasama dengan negara-negara pesaing masing-masing
negara atau sekedar berkunjung ke wilayah persengketaan. Tindakan-tindakan yang
dilakukan sebagai salah satu upaya ’penyerangan’ diantaranya adalah China memberikan
dukungan militer bantuan ekonomi dan investasi pada Pakistan—yang merupakan rival India
—dan Myanmar; perebutan sumber daya alam di Myanmar; sampai pada kunjungan Dalai
Lama ke Arunachal Pradeh.
2.3 Usaha-usaha Penyelesaian Konflik Wilayah Perbatasan China dan India
2.3.1 Kunjungan para Elit Politik dan Peningkatan Hubungan Kerjasama
Dalam rangka memperbaiki hubungan diplomatik antara China dan India, para elit
politik (perwakilan diplomatik) antara dua negara semakin sering mengadakan kunjungan-
kunjungan dan kerjasama.
Salah satu langkah konkret yang dilakukan adalah pada bulan Januari 2008, Perdana
Menteri (PM) India Manmohan Singh tiba di Ibu kota China, Beijing. Kunjungan tersebut
dimaksudkan untuk meningkatkan kemitraan di pentas global. Kunjungan ini merupakan
kunjungan pertama PM India ke China dalam lima tahun terakhir. Sejumlah permasalahan,
dengan agenda utama yaitu perselisihan wilayah perbatasan, dan masalah lain seperti
reformasi PBB, dialog regional, perubahan iklim, keamanan energi, perdagangan
internasional, dan kontraterorisme, menjadi topik utama pembahasan kedua negara.
Kunjungan tersebut juga dimaksudkan untuk menghapuskan ketidakpercayaan selama
beberapa dekade terakhir, atau setelah perang perbatasan pada tahun 1962.
Negoisasi mengenai konflik wilayah perbatasan disebut-sebut mengalami kemajuan
pada saat itu. Kesepakatan yang telah diambil saat itu diantaranya adalah China bersedia
bekerja sama dengan India untuk mencapai resolusi yang masuk akal dalam kerangka kerja
yang dapat diterima kedua pihak.[ix]
2.3.2 Perundingan-Perundingan Bilateral
Proses negoisasi atau lebih dikenal dengan putaran China-India telah dilakukan
sebanyak tiga belas kali dalam rangkamemecahkan perselisihan perbatasan yang lama ada
yang telah memicu konflik antara kedua Macan Asia itu hampir lima dasawarsa lalu.
Pada tahun 2007, yaitu putaran kesembilan berakhir tanpa kemajuan yang berarti.
Dalam putaran tersebut, perundingan antara Penasihat Keamanan Nasional India MK
Narayanan dan Wakil Menteri Luar Negeri Cina Dai Bingguo berlangsung dalam suasana
terbuka dan positif. Kedua wakil khusus tersebut terus melakukan pembicaraan tentang
kerangka penyelesaian perbatasan.[x]
China masih tetap pendiriannya bahwa India menempati sekitar 90.000 km persegi
wilayah China, sebagian besar di Arunachal Pradesh, dan sebaliknya India menuduh China
secara ilegal menduduki 43.180 km persegi wilayah di Jammu dan Kashmir.
Dan putaran yang terbaru adalah putaran ketigabelas, masih dengan topik yang sama,
diadakan pada tanggal 7-8 Agustus 2009 di India. Perwakilan diplomatik yang ditunjuk
adalah Anggota Dewan Negara Cina Dai Bingguo dan Penasihat Keamanan Nasional India
MK Narayanan. Kedua negara bermaksud untuk meningkatkan seluruh hubungan negara
guna melihat bagaimana dua negara tersebut dapat memperkokoh lagi perbatasan di antara
China dan India.[xi]
Meskipun hasil pasti dari putaran terbaru tersebut tidak diungkapkan rinciannya
terhadap publik, masyarakat di dua negara—dan Asia pada umumnya—tentunya berharap
masalah konflik wilayah perbatasan tersebut akan segera terselesaikan dengan diadakannya
putaran-putaran selanjutnya.
BAB IIIPENUTUP
Meskipun masalah tersebut menyangkut hal yang sangat vital dalam sebuah negara,
yaitu teritorial sebuah negara, namun dua ’Macan Asia’ ini menyadari bahwa, ketegangan
yang jika terus berlanjut antara dua negara akan menimbulkan dampak yang kurang bagus
terhadap perkembangan baik ekonomi dan keamanan di kawasan Asia.
Dan walaupun negosiasi-negosiasi yang telah dilakukan belum menghasilkan
keputusan yang pasti mengenai wilayah perbatasan, namun dua negara optimis putaran-
putaran selanjutnya akan menghasilkan hasil yang baik bagi kedua pihak.
Dua negara yang bersengketa ini tentunya tidak ingin membuat negara-negara di Asia
terpaksa harus memilih dan memihak diantara dua negara tersebut, maka upaya-upaya
resolusi konflik wilayah perbatasan pun akan tetap diusahakan oleh para perwakilan
diplomatiknya agar membuahkan hasil yang baik bagi kedua negara, dan keamanan wilayah
Asia pada umumnya.