kasus malpraktek dan kaitannya dengan uu yang berlaku
DESCRIPTION
malprakttikTRANSCRIPT
RS. ANGKATAN UDARA DR. ESNAWAN ANTARIKSA
KASUS MALPRAKTIK PADA KAMAR OPERASI
December 14
2012
Pembimbing: dr. Wawan M., SpBS Penyusun :
1. Arief Zamir
2. Tanti W.I
3. Fildzah D.S
4. Spica A.
5. Chendri
BAB I
PENDAHULUAN
Malpraktek pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional (profesi) yang
bertentangan dengan Standard Operating Procedure (SOP), kode etik profesi, serta undang-
undang yang berlaku baik disengaja maupun akibat kelalaian Kelalaian ini bukanlah suatu
pelanggaran hukum, jika kelalaian tersebut tidak sampai membawa kerugian kepada orang
lain dan orang tersebut dapat menerimanya. Akan tetapi,jika kelalaian tersebut
mengakibatkan kerugian materi, mencelakakan bahkan merenggut nyawa orang lain, maka
hal ini bisa dikatakan malpraktek.
Definisi malpraktek medis “adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat
pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama”. (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos,
California, 1956).
Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi
kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak
diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan risiko yang melekat terhadap suatu
tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara
tenaga kesehatan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning
verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaa verbintenis).
1
BAB II
URAIAN KASUS
II.1 Kronologis Kasus
Seorang pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana
layaknya, sebelum pembedahan dilakukan anastesi terlebih dahulu. Pembiusan dilakukan
oleh dokter anastesi, sedangkan operasi dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang (orthopedi).
Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan bernafas. Bahkan
setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan pernapasan sehingga
tidak sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di ruang perawatan intensif
dengan bantuan mesin pernapasan (ventilator). Tentu kejadian ini sangat mengherankan.
Pasalnya, sebelum dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah
tulangnnya.
Usut punya usut, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan gas
anastesi (N2O) yang dipasang pada mesin anastesi. Seharusnya gas N2O, ternyata yang
diberikan gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada
pasien tentu mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses oksigenasi
menjadi sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya meninggal.
Ini sebuah fakta penyimpangan sederhana namun berakibat fatal. Dengan kata lain ada
sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas anastesi. Dan ternyata, di rumah sakit tersebut
tidak ada standar-standar pengamanan pemakaian gas yang dipasang di mesin anastesi.
Padahal seeharusnya ada standar, siapa yang harus memasang, bagaimana caranya,
bagaimana monitoringnnya, dan lain sebagainya. Idealnya dan sudah menjadi keharusan
bahwa perlu ada sebuah standar yang tertulis (misalnya warna tabung gas yang berbeda),
jelas, dengan formulir yang memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan
ditandatangani. Seandainya prosedur ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil kemungkinan 2
terjadi kekeliruan. Dan kalaupun terjadi akan cepat diketahui siapa yang bertanggung jawab.
BAB III
TINJAUAN KASUS
I. Analisis Masalah
1.Ditinjau dari Undang-Undang Dasar
Sanksi hukum jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter terbukti dilakukan
dengan unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa) seperti dalam kasus
malpraktek dalam bidang orthopedi yang kami ambil, maka adalah hal yang sangat pantas
jika dokter yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan
ataupun kelalaian telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa
seseorang. Perbuatan tersebut telah nyata mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu profesi
yang mulia.
Jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan tindakan medik yang tidak memenuhi
SOP yang lazim dipakai, melanggar Undang-undang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan,
maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi pidana. Tenaga
Kesehatan harus memiliki kemampuan rata-rata yang ditentukan berdasarkan pengalaman
kerja dalam linkungan yang menunjang pekerjaannya dan kemudian Tenaga Kesehatan harus
memiliki ketelitian kerja yang ukuran ketelitian itu sangatlah bervariasi. Namun betapapun
sulitnya untuk merumuskan rating scale (skala pengukuran) tentang standard profesi Tenaga
Kesehatan, Undang-undang mengharuskan mereka yang berprofesi sebagai Tenaga
Kesehatan berkewajiban mematuhi standard profesi dan menghormati hak pasien (Pasal 53
ayat 2 UU No.23 tahun 1992 tentang Kesehatan). Dan setiap orang berhak atas ganti rugi
akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan. (Pasal 55 ayat 1 UU No.23
tahun 1992).
3
2. Ditinjau dari KUHP
Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan
celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan,
“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”.
Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang
dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP), (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang
lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun. (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang
lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi
tiga ratus juta rupiah.
Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti
melakukan malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), “Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu
jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat
memerintahkan supaya putusannya diumumkan.” Namun, apabila kelalaian dokter tersebut
terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau
hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin
praktik) dapat dilakukan.
3. Ditinjau dari Perdata
Apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian
(wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau
terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga menimbulkan
kerugian pada pasien.
4
• Pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan Hukum yang
menyatakan bahwa “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
• Pasal1366 KUHPerdata bahwa “setiap orang bertanggung jawab bukan
hanya atas kerugian yang disebabkan perbuatan melainkan juga atas kerugian
yang disebabkan kelalaian atau kesembronoan”
• Pasal1367 KUHPerdata bahwa “seseorang tidak hanya bertanggung jawab
atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas
kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi
tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada dibawah
pengawasannya”.
4. Ditinjau dari UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
- Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap,
rawat jalan, dan gawat darurat.
Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis
segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut.
Pelayanan Kesehatan pParipurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah kesehatannya untuk
memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun
tidak langsung di Rumah Sakit.
- Pasal 2
5
Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada
nilai kemanusiaan, etika dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti
diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi
sosial.
- Pasal 3
Pengaturan penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan:
mempermudah akses masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan;
memberikan perlindungan terhadap keselamatan pasien, masyarakat, lingkungan
rumah sakit dan sumber daya manusia di rumah sakit;
meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan
memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia
rumah sakit, dan Rumah Sakit.
- Pasal 4
Rumah Sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna.
- Pasal 5
Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Rumah Sakit
mempunyai fungsi:
Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan
standar pelayanan rumah sakit;
Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang
paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;
Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan
6
Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang
kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan etika
ilmu pengetahuan bidang kesehatan;
Meningkatkan mutu dan mempertahankan standar pelayanan rumah sakit; dan
Memberikan kepastian hukum kepada pasien, masyarakat, sumber daya manusia rumah
sakit, dan Rumah Sakit.
- Pasal 12
Persyaratan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yaitu
Rumah Sakit harus memiliki tenaga tetap yang meliputi tenaga medis dan penunjang
medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga manajemen Rumah Sakit, dan
tenaga nonkesehatan.
Jumlah dan jenis sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sesuai
dengan jenis dan klasifikasi Rumah Sakit.
Rumah Sakit harus memiliki data ketenagaan yang melakukan praktik atau pekerjaan
dalam penyelenggaraan Rumah Sakit.
Rumah Sakit dapat mempekerjakan tenaga tidak tetap dan konsultan sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan.
- Pasal 13
Tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran di Rumah Sakit wajib memiliki
Surat Izin Praktik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Tenaga kesehatan tertentu yang bekerja di Rumah Sakit wajib memiliki izin sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai dengan
standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur operasional yang
berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.
Ketentuan mengenai tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagaimana `dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
7
- Pasal 32
Setiap pasien mempunyai hak:
memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional;
memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian
fisik dan materi;
mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang
berlaku di Rumah Sakit;
meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang
mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;
mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan
tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;
memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga
kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan
pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana;
- Pasal 37
Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di Rumah Sakit harus mendapat persetujuan
pasien atau keluarganya.
Ketentuan mengenai persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Pasal 46
Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan
atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.
8
5. Ditinjau dari UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999
- Pasal 4
“Konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa. Konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya“
- Pasal 7
“Pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan“
- Pasal 62
“Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku”
Pada pasal 7 yaitu pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan,
pada kasus ini pelaku usaha yaitu tenaga kesehatan, tetapi tenaga kesehatan tidak
memberikan informasi yang jelas kepada keluarga pasien tentang keadaan pasien
setelah operasi dan tindakan apa saja yang telah dilakukan pada waktu operasi.
Selain itu, sesuai dengan pasal 62, yaitu terhadap pelanggaran yang mengakibatkan
luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang
berlaku.
6. Ditinjau dari Norma Etik dan Agama
6.1 Ditinjau dari Sudut Pandang Etika (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI)
9
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “Seorang dokter harus senantiasa
berupaya melaksanakan profesinya sesuai denga standar profesi tertinggi”. Jelasnya
bahwa seeorang dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya seebagai seorang
proesional harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hokum dan agama.
KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat
akan kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakannya, dokter
harus betujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaan manusia.
Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (KODEKI) sangatlah perlu
ditingkatkan untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin
sering terjadi yang dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti
halnya advokat, pengacara, notaris, atau akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan
oleh lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan memutus sanksi terhadap kasus
tersebut seperti Majelis Kode Etik, dalam hal ini Majelis Kode Etik Kedokteran
(MKEK). Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka dokter yang bersangkutan
akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran
Indonesia. Karena itu seperti kasus yang ditampilkan maka juga harus dikenakan
sanksi sebagaimana yang diatur dalam kode etik. Namun, jika kesalahan tersebut
ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga dapat dikategorikan
malpraktik, maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk
memeriksa dan memutus kasus tersebut.
Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum
hanyalah lembaga yudikatif, dalam hal ini lembaga peradilan. Jika ternyata terbukti
melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan
pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun perdata.
Sudah saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi
fenomena maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan
keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan adanya
kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka
diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung jawab hokum
profesinya.
6.2 Ditinjau dari Sudut Pandang Agama
10
Adapun agama–agama memandang malpraktek, khususnya yang
menyebabkan kematian atau bisa menyebabkan hilangnya nyawa pasien. Di antaranya
dapat dilihat bagaimana secara garis besar agama Islam dan Khatolik memandang
malpraktek.
• Menurut pandangan Islam
Dikatakan bahwa jatah hidup itu merupakan ketentuan yang menjadi hak
prerogatif Tuhan, biasanya disebut juga haqqullâh (hak Tuhan), bukan hak manusia
(haqqul âdam). Artinya, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa saya
menguasai diri saya sendiri, tapi saya sebenarnya bukan pemilik penuh atas diri saya
sendiri. Untuk itu, saya harus juga tunduk pada aturan-aturan tertentu yang kita imani
sebagai aturan Tuhan. Atau, meskipun saya memiliki diri saya sendiri, tetapi saya
tetap tidak boleh membunuh diri saya. Dari sini dapat kita katakan bahwa sebagai
individu saja kita tidak berhak atas diri atau kehidupan yang kita miliki, apalagi
kehidupan orang lain. Karena itu maka setiap tindakan yang ada akhirnya
menghilangkan hidup atau nyawa seseorang bisa dianggap sebagai satu tindakan yang
melanggar hak prerogatif Tuhan. Dengan demikian segala macam tindakan
malpraktek adalah suatu pelanggaran.
• Menurut pandangan Khatolik
Secara garis besar yang menjadi titik tolak pandangan katolik tentang
malpraktek adalah mengenai hak hidup seseorang. Yang menjadi pertanyaan utama
disini adalah sejak kapan satu individu atau bakal individu sudah bisa disebut sebagai
individu atau pribadi yang sudah memiliki hak untuk hidup?
Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah setelah si janin terbentuk dia
harus dianggap sebagai pribadi (a person) atau sebagai manusia (a human person).
Satu hal yang perlu diketengahkan adalah apakah si janin telah memiliki roh atau jiwa
(soul) atau tidak?
Agama katolik berpendapat ya, si janin sejak fertilisasi sudah memiliki jiwa.
Pada waktu dilahirkan janin telah menjadi seorang manusia yang telah berhak akan
kewajiban moral terhadapnya. Dari uraian singkat diatas kita dapat katakan bahwa,
sejak si janin sudah terbentuk, kita sebenarnya sudah tidak punya hak untuk
11
memusnahkannya dan harus membiarkan atau memeliharanya sampai ia tumbuh
besar. Terkait dengan kasus yang kami ambil dimana karena suatu kalalaian
mengakibatkan satu nyawa menghilang, dapat kita katakan sebagai suatu perampasan
hak untuk hidup karena sejak ia masih sebagai janin saja kita sudah tidak punya hak
untuk membunuhnya apalagi ia sudah tumbuh besar. Karena itu maka setiap
kelalaiaan yang mengakibatkan menghilangnya nyawa seseorang harus bisa
ditindaklanjuti baik secara agama ataupun hukum.
II. Solusi
Dengan melihat faktor-faktor penyebab dan juga segala macam sanksi hokum serta
segala macam pelanggaran kode etik atas kasus yang kami ambil dalam hal ini kesalahan
pemberian atau pemasangan gas setelah operasi pembedahan tulang di atas maka pencegahan
terjadinya malpraktek harus dilakukan dengan melakukan perbaikan sistem, mulai dari
pendidikan hingga ke tata-laksana praktek kedokteran.
Pendidikan etik kedokteran dianjurkan dimulai lebih dini sejak tahun pertama
pendidikan kedokteran, dengan lebih ke arah pembuatan keputusan etik, memberikan banyak
latihan, dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu
(clinical ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan
dari pembuatan keputusan medis sehari-hari dan juga perlu terus ada pelatihan dan
pengenalan akan segala macam alat ataupun obat yang harus dipakai dalam pelaksanaan
profesi kedokteran ataupun semua tenaga pelayanan kesehatan agar kesalahan dalam
diagnosis atau kesalahan dalam pemberian obat dapat diminimalisir . Tentu saja kita pahami
bahwa pendidikan etik belum tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila
teladan yang diberikan para seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam
pendidikan.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan
memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter.
Diyakini bahwa hal ini adalah bagian tersulit dari upaya sistemik pencegahan malpraktek,
oleh karena diperlukan kemauan politis yang besar dan serempak dari masyarakat profesi
kedokteran untuk mau bergerak ke arah tersebut. Perubahan besar harus dilakukan.
12
Undang-undang Praktik Kedokteran diharapkan menjadi wahana yang dapat membawa kita
ke arah tersebut, sepanjang penerapannya dilakukan dengan benar. Standar pendidikan
ditetapkan guna mencapai standar kompetensi, kemudian dilakukan registrasi secara nasional
dan pemberian lisensi bagi mereka yang akan berpraktek. Konsil harus berani dan tegas
dalam melaksanakan peraturan, sehingga akuntabilitas progesi kedokteran benar-benar dapat
ditegakkan. Standar perilaku harus ditetapkan sebagai suatu aturan yang lebih konkrit dan
dapat ditegakkan daripada sekedar kode etik. Demikian pula standar pelayanan harus
diterbitkan untuk mengatur hal-hal pokok dalam praktek, sedangkan ketentuan rinci agar
diatur dalam pedoman-pedoman. Keseluruhannya akan memberikan rambu-rambu bagi
praktek kedokteran, menjadi aturan disiplin profesi kedokteran, yang harus diterapkan,
dipantau dan ditegakkan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).
Profesional yang “kotor” dibersihkan dan mereka yang “busuk” dibuang dari masyarakat
profesi.
Ketentuan yang mendukung good clinical governance harus dibuat dan ditegakkan.
Dalam hal ini peran rmah sakit sangat diperlukan. Rumah sakit harus mampu mencegah
praktek kedokteran tanpa kewenangan atau di luar kewenangan, mampu “memaksa” para
profesional bekerja sesuai dengan standar profesinya, serta mampu memberikan “suasana”
dan budaya yang kondusif bagi suburnya praktek kedokteran yang berdasarkan bukti hokum
dank ode etik yang berlaku.
III. Kesimpulan
Malpraktek dalam bidang orthopedi adalah suatu tindakan kelalaian yang dilakukan
oleh dokter atau petugas pelayanan kesehatan yang bertugas melakukan segala macam
tindakan pembedahan khususnya pembedahan pada tulang. Dimana dalam kasus ini si pasien
yang pada awalnya hanya mengalami masalah pada tulangnya pada akhirnya harus
menghembuskan nafasnya untuk terakhir kalinya hanya karena kesalahan pemberian gas saat
operasi.
Kelalaian fatal ini bisa dikatakan terjadi karena kurangnya ketelitian dari dokter
ataupun petugas kesehatan lainnya dalam pemberian pelayanan kesehatan terhadap pasien.
Kelalaian ini juga bisa disebabkan karena manejemen rumah sakit yang kurang tertata baik,
13
pendidikan yang dimiliki petugas yang mungkin masih minim serta banyak lagi faktor yang
lainnya. Karena tindakan tersebut tidak hanya melangar hukum, kode etik kedokteran dan
juga standar berperilaku dalam suatu agama tetapi bahkan sampai menghilangkan nyawa
seseorang maka perlu ada jalan keluarnya yakni dengan cara; pembenahan majemen rumah
sakit, meningkatkan ketelitian dalam menjalankan profesi kedokteran serta memperdalam
segala macam pengetahuan tentang berbagai macam tindakan pelayanan kesehatan.
IV. Saran
Bagi semua orang yang bertugas sebagai pelayan kesehatan dan juga bagi penulis serta
siapa saja yang nantinya akan menjadi seorang pelayan yang bergerak di bidang kesehatan,
hendaknya bisa menggunakan waktu yang masih ada semaksimal mungkin untuk
mempelajari semua hal yang berkaitan dangan tugas kita nantinya, agar segala macam
tindakan pelanggaran ataupun kelalaian dapat diminimalisir atau kalau bisa dihilangkan.
14