kasyf el fikr volume 1, nomor 2, desember 2014 filedia mempunyai otoritas penuh untuk ditaati baik...

26
Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014 39 LEGALITAS KEKUASAAN KIAI PERSPEKTIF KITAB TA’LIM AL MUTA’ALLIM (Telaah Kritis Pemahaman Ta’dhim Al Mu’allim dalam kitab Ta'lim al Muta'allim) Fuad Riyadi 1 Abstract Book "ta'lim al muta'allim" work Syaikh al Zarnuji book very popular among muta'allim (read: santri/pupil), especially classic Islam education institution, like hovel, pesantren and madrasah. Bot merely because the benefit very big for thalab al ilmi, but also systematic the composition, include 13 paragraphs that science definition and fiqh with and fiqh with the superiority, law demands science, intention and motivation learns, teacher criteria and friend that chosen, glorify science and religious teacher, willpower, continuity and interest, orderly learn, tawakkal, success time, advice, istifadah, waro’, lasing factor and enfeeble memorizing and hindrance source, accelerate rizki and well- being. Keywords: legality, a title of religious leader, book, ta'lim, al muta'allim. A. Latar Belakang Masalah Semua bab dengan sub-subnya memberikan motivasi moral spiritual learning dan sikap religiusitas. Pembaca kitab ini dan bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari akan menjadi ulama yang alim, amil dan dihormati. Meski demikian, ada satu pasal dalam kitab ini yang perlu dikritisi secara obyektif. Yaitu, pasal IV tentang “Penghormatan Ilmu dan Ulama”. Bab ini sering dijadikan legalitas sebagian kiai (baca: kiai/ guru) agar mempunyai otoritas lebih dari sekedar ulama muballigh risalah. Pun persepsi keliru dari para muta'allim dalam memaknai ta'dhim al kiai. Persepsi keliru sebagian muta'allim dari bab ini adalah, menganggap bahwa para kiai adalah sosok suci yang ma'shum tanpa dosa dan cela, sehingga seluruh perilaku, ajaran dan fatwa-fatwanya menjadi sesuatu yang mutlak harus ditaati dan dilaksanakan. Hal inilah yang memunculkan rasa fanatik terhadap tokoh, bahkan sampai dalam taraf kultus. Sesuatu yang irrasional dari sang kiai diinterpretasikan sebagai khariqul 'adah (kejadian luar biasa) atau karamah. 1 Penulis adalah Dosen STAIN Kudus

Upload: dangkhuong

Post on 16-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

39

LEGALITAS KEKUASAAN KIAI

PERSPEKTIF KITAB TA’LIM AL MUTA’ALLIM

(Telaah Kritis Pemahaman Ta’dhim Al Mu’allim dalam kitab Ta'lim al Muta'allim)

Fuad Riyadi 1

Abstract

Book "ta'lim al muta'allim" work Syaikh al Zarnuji book very popular among

muta'allim (read: santri/pupil), especially classic Islam education institution, like hovel,

pesantren and madrasah. Bot merely because the benefit very big for thalab al ilmi, but

also systematic the composition, include 13 paragraphs that science definition and fiqh

with and fiqh with the superiority, law demands science, intention and motivation learns,

teacher criteria and friend that chosen, glorify science and religious teacher, willpower,

continuity and interest, orderly learn, tawakkal, success time, advice, istifadah, waro’,

lasing factor and enfeeble memorizing and hindrance source, accelerate rizki and well-

being.

Keywords: legality, a title of religious leader, book, ta'lim, al muta'allim.

A. Latar Belakang Masalah

Semua bab dengan sub-subnya memberikan motivasi moral spiritual learning dan

sikap religiusitas. Pembaca kitab ini dan bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari

akan menjadi ulama yang alim, amil dan dihormati.

Meski demikian, ada satu pasal dalam kitab ini yang perlu dikritisi secara obyektif.

Yaitu, pasal IV tentang “Penghormatan Ilmu dan Ulama”. Bab ini sering dijadikan

legalitas sebagian kiai (baca: kiai/ guru) agar mempunyai otoritas lebih dari sekedar ulama

muballigh risalah. Pun persepsi keliru dari para muta'allim dalam memaknai ta'dhim al

kiai.

Persepsi keliru sebagian muta'allim dari bab ini adalah, menganggap bahwa para

kiai adalah sosok suci yang ma'shum tanpa dosa dan cela, sehingga seluruh perilaku,

ajaran dan fatwa-fatwanya menjadi sesuatu yang mutlak harus ditaati dan dilaksanakan.

Hal inilah yang memunculkan rasa fanatik terhadap tokoh, bahkan sampai dalam taraf

kultus. Sesuatu yang irrasional dari sang kiai diinterpretasikan sebagai khariqul 'adah

(kejadian luar biasa) atau karamah.

1 Penulis adalah Dosen STAIN Kudus

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

40

Adapun dari para kiai sendiri, bab ini dijadikan sebagai legalitas atas

kekuasaannya. Dia mempunyai otoritas penuh untuk ditaati baik dalam madzhab, pendapat

maupun fatwa. Jika didapati ajaran yang irrasional, para muta'allim tidak punya hak tanya

untuk tabayyun atau kroscek. Karena kiai sering mengambil qiyas (analog) dengan proses

pembelajaran yang diterima nabi Musa a.s. dari Nabi Khidr a.s.. Nabi Musa a.s. dilarang

menanyakan sesuatu yang yang secara kasat mata sangat bertentangan dengan syariat atau

akal sehat.

Sebagai pemegang otoritas keagamaan, kiai harus didudukkan pada posisi yang

terhormat sehingga mampu mempengaruhi dan menggerakkan aksi atau tanggapan

emosional para pengikutnya. Namun, dalam situasi tertentu pengaruh kiai dapat menjadi

tidak bermakna, saat otoritasnya dianggap telah menyimpang dari akar tradisi yang sakral.2

Hal ini penting dikaji dan diteliti supaya kitab Ta'lim al Muta'allim tidak menjadi

alat untuk melegalkan otoritas kekuasaan kiai dan taklid dari muta'allim. Yaitu, dengan

meneliti ulang pemahaman salaf tentang makna ta’dhim yang sesuai dengan ajaran Islam

secara inshaf (bijak) tanpa ifrath (berlebih-lebihan) ataupun tafrith (meremehkannya).

B. Sejarah Perjalanan Kitab Ta'lim al Muta'allim

Di lembaga pendidikan Islam tradisional, kitab ta'lim al Muta'allim menjadi salah

satu kurikulum wajib yang harus dipelajari. Satu kitab fenomenal yang mampu mengubah

persepsi thalab al Ilmi dalam menggapai cita dan meraih cinta pada ilmu dan ahlinya.

Bahkan kitab ini seakan-akan menjadi kitab kedua sesudah al-Qur’an. Studi seorang

muta'allim dianggap belum memenuhi syarat apabila ia belum mengaji kitab ini. Dan

karena isi dan penyajiannya sedemikian rupa, kitab tersebut sering disebut sebagai “Buku

Petunjuk Menjadi Kiai”.

Naskan kitab "Ta'lim al Muta'aalim", sebagaimana yang dituturkan Aliy As'ad

dalam "Terjemah Ta'lim al muta'allim bimbingan bagi penuntut ilmu pengetahuan"

menyatakan, pertama kali diketahui dicetak di Jerman tahun 1709 M oleh Ralandus, di

Labsak/Libsik tahun 1838 M oleh Kaspari dengan tambahan mukaddimah oleh Plessner,

di Marsadabad tahun 1265 H, di Qazan tahun 1898 M menjadi 32 Halaman dengan

tambahan sedikit penjelasan atau syarah di bagian belakang, di Tunisia tahun 1286 H

menjadi 40 halaman, dan tahun 1307 H menjadi 24 halaman, di Mesir tahun 1300 H

menjadi 40 halaman, tahun 1307 menjadi 52 halaman, dan juga tahun 1311 H. dalam

wujud naskah berharakat (musyakkalah), dapat ditemukan dari penerbit al Miftah,

Surabaya.

Kitab ini juga disyarah dalam satu kitab baru oleh asy Syaikh Ibrahim bin Isma'il,

dan selesai di tulis pada tahun 996 H. Menurut asy Syaikh Ibrahim, kitab tersebut banyak

2 Syarifuddin, dan Hamdan Farchan, Titik Tengkar Pesantren :Resolusi Konflik Masyarakat Pesantren,

Pilar Media, Yogyakarta, 2005.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

41

penggemarnya dan mendapat tempat selayaknya di lingkungan pelajar maupun para guru.

Terutama, di masa pemerintahan Murad Khan bin Salim Khan, berarti abad ke 16 Masehi.

Di Indonesiapun, kitab yang disyarah Asy Syaikh Ibrahim inilah yang beredar luas di

kalangan penerbit di Indonesia.

Kitab ta'lim al muta'allim juga telah disadur dalam bentuk nadham (puisi, pantun)

yang digubah dengan bahasa rojaz menjadi 269 bait oleh ustadz Ahmad Zaini, Solo Jawa

Tengah. Naskahnya pernah diterbitkan oleh Maktabah Nabhaniyah Kubra, Surabaya Jawa

Timur, atas nama Musthafa Babil Halabi, Mesir, di bawah tashhih Ahmad Sa'ad Ali,

seorang ulama' al Azhar dan ketua Lajnah Tashhih.3

Kitab ini juga sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa asing, di antaranya

terjemahan kedalam Bahasa Turki oleh Abdul Majid bin Nashuh bin Israil, dengan judul

baru Irsyadut Thalibin fi Ta'lim al Muta'allim. Adapun terjemahan ke dalam bahasa

Indonesia sudah dilakukan oleh Drs. H. Aliy As'ad, MM, Terjemahan ke dalam bahasa

Jawa dengan metode italic atau makna jenggot ditulis oleh KH Hammam Nashiruddin,

Grabag Magelang.

Belum pernah diketahui secara pasti, kapan kitab Ta'lim al muta'allim pertama kali

masuk ke negeri kita. Jika diasumsikan dibawa para Wali Songo, maka kitab tersebut

sudah diajarkan di sini mulai abad 14 Masehi. Tapi jika diasumsikan bahwa dia masuk

bersamaan dengan periode kitab-kitab karangan imam Nawawi Banten, maka Ta'lim al

muta'allim baru masuk ke Indonesia pada akhir masa abad 19 Masehi. Jika diasumsikan

pada perspektif madzhab, di mana kaum muslimin Indonesia mayoritas bermadzhab

Syafi'I sedangkan Ta'lim al muta'allim bermadzhab Hanafi, maka kitab ini masuk lebih

belakang lagi.4

Terlepas dari realitas sejarah tentang masuknya kitab Ta'lim al Muta'aalim ke

Indonesia, yang jelas kitab ini telah populer di kalangan Madrasah dan pesantren

tradisional, bahkan menjadi materi wajib sebagai pengantar para penuntut ilmu. Sehingga

etika dan moral para muta'allim sedikit banyak dipengaruhi oleh kitab ini. Berbeda dengan

pesantren modern atau madrasah-madrasah non tradisional, mereka tidak mengenal kitab

ini. Dan agaknya pengaruh kitab ini yang sedikit membedakan “penampilan” antara

alumnus pesantren tradisional dengan alumnus pesantren modern dan madrasah-madrasah

umum. Terlebih yang berkaitan dengan ta'dhim al kiai (penghormatan kepada guru), akan

tampak sangat kontras dengan madrasah-madrasah umum.

Di beberapa negara Timur Tengah, khususnya Saudi Arabia kitab ini juga tidak

pernah disebut-sebut apalagi dijadikan rujukan dan buku wajib. Namun usaha seorang

3 As'ad, Aliy, Terjemah Ta'lim al muta'allim: Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan, Penerbit

Menara, Kudus, 2007.

4 Ibid.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

42

Doktor lulusan Jerman (dulu: Jerman Barat) yang melakukan edit dan kritik terhadap kitab

ini membuktikan bahwa kitab tersebut masih diperhatikan orang.

C. Biografi Syaikh Az Zarnuji

Kitab Ta’lim yang beredar di tanah air umumnya dicetak dengan syarah

(komentar)nya yang ditulis Syaikh Ibrahim ibn Isma’il. Sedang kitab Ta’lim itu sendiri

ditulis oleh Syaikh az Zarnuji. Baik kitab Ta’lim maupun Syarahnya tidak menyebut

identitas az Zarnuji. Hal ini cukup mempersulit kajian kitab tersebut, sehingga dapat

diketahui bagaimana keadaan pada waktu kitab itu ditulis dan sejauhmana hal itu

mempengaruhi kitabnya.

Syaikh Zarnuji hidup di daerah Zarnuj (Zurnuj), Zarnuj termasuk dalam wilayah

Ma Warâ’a al-Nahar (Transoxinia). Wilayah ini merupakan salah satu basis madzhab

Hanafi. Selain madzhab Imam Abu Hanifah itu, di Transoxinia juga berkembang madzhab

Syafi’i.

Menurut Aliy As'ad, Kata Syaikh adalah panggilan kehormatan untuk pengarang

kitab ini. Sedangkan Az Zarnuji adalah nama marga yang diambil dari nama kota tempat

beliau berada, yaitu di kota Zarnuj. Diantara dua kata itu ada yang menuliskan gelar

Burhanuddin (bukti kebenaran agama) sehingga menjadi syaikh Buhanuddina az Zarnuji.

Adapun nama personnya sampai sekarang belum ditemukan literature yang menulisnya.

Zarnuj masuk wilayah Irak. Tapi boleh jadi, kota itu dalam peta sekarang masuk

wilayah Turkistan (kini Afganistan) karena ia berada di dekat kota Khoujanda.

Memang tidak banyak diketahui tahun kelahiran az Zarnuji, tapi diyakini beliau

hidup dalam satu kurun dengan az Zarnuji yang lain. Seperti halnya az Zarnuji kita ini, az

Zarnuji lain yang nama lengkapnya Tajuddin Nu'man bin Ibrahim az Zarnuji juga seorang

ulama besar dan pengarang yang wafat tahun 640 H/ 1242 M.5

Namun menurut Amy, bahwa Tajuddin Nu'man bin Ibrahim al Khalil az Zarnuji itu

sendiri yang dimaksud dengan syaikh az Zarnuji. Dar al-Kutub al-Islamiyyah menerbitkan

kitab ini dengan judul "Ta’lim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum", kemudian disebutkan

penulisnya adalah "al-Nu’man ibn Ibrahim al-Khalil az Zarnuji". Tebal kitab ini sebanyak

96 halaman.

Dalam al-Munjid nama az-Zarnuji disebut singkat sekali. Yang agak membantu

hal ini adalah keterangan yang terdapat dalam kitab al-A’lam (Tokoh-tokoh) karangan al-

Zarkeli. Ditulis di situ bahwa az-Zarnuji adalah al-Nu’man ibn Ibrahim ibn Khalil al-

Zarnuji, Taj al-Din. Beliau adalah sastrawan (adib) yang berasal dari Bukhara. Semula

berasal dari Zarnuj, suatu kawasan di negeri-negeri seberang sungai Tigris (ma wara`a al-

nahr). Beliau antara lain menulis kitab al-Muwadhdhah Syarh al-Maqamat al-Haririyah.

5 Ibid.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

43

Al-Zarkeli tidak menuturkan di mana az Zarnuji tinggal, namun secara umum az

Zarnuji hidup pada akhir periode Daulah Abbasiyah, sebab Khalifah Abbasiyah terakhir

(al-Mu’tashim) wafat pada tahun 1258 M. Ada kemungkinan beliau tinggal di kawasan

Irak-Iran, sebab beliau juga mengetahui syair-syair Parsi di samping banyaknya contoh-

contoh peristiwa pada masa Abbasiyah yang beliau tuturkan dalam kitabnya.6

Drs. M. Ali Hasan Umar Penerjemah kitab ini dengan judul baru "Petunjuk

Menjadi Cendikiawan Muslim" memastikan bahwa Az Zarnuji penulis kitab ini adalah

Tajuddin Nu'man bin Ibrahim bin Khalil. Dalam Pengantarnya ia mengatakan:

"Kitab "Ta'limul Muta'allim Thariqit Ta'allum" karya syaikh Tajuddin Nu'man bin

Ibrahim bin Khalil Zarnuji yang disyarah (dikomentari) oleh Syaikh Ibrahim bin Ismail

sangat terkenal di kalangan pesantren".7

Adapun tahun wafat syaikh az Zarnuji itu masih masih harus dipastikan, karena

ditemukan beberapa catatan yang berbeda-beda, yaitu tahun 519 H, 593 H, 597 H dan 630

H.

Syaikh az Zarnuji belajar kepada para ulama besar waktu itu. Antara lain, seperti

disebutkan dalam kitab Ta'lim al Muta'allim sendiri adalah:

- Burhanuddin bin Ali bin Abu Bakar al Marghinani al Hanafi (w 593

H/1197M) penulis kitab al Hidayah.

- Ruknul Islam bin Abu Bakar atau khawahir Zadeh (w 573H/1177M). Salah

seorang fuqoha madzhab Hanafi, pujangga sekaligus penyair.

- Syaikh Hammad bin Ibrahim (576H/1180M), salah seorang ulama ahli fikih

madzhab Hanafi, sastrawan dan ahli kalam.

- Syaikh Fahruddin Abu Bakar bin Mas'ud al Kasyani (587 H/1191M),ulama

ahli fikih madzhab Hanafi, penulis kitab Bada'I as Shana'i.

- Syaikh Fakhruddin Qadhi Khan al Ouzjandi (w 592 H/ 1196 M). ulama

besar dan mujtahid dari madzhab Hanafi.

- Ruknuddin al Farghani (w 594 H/ 1198 M) yang bergelar al adib al mukhtar

(sastrawan pujangga pilihan). Ahli fikih bermadzhab Hanafi, pujangga sekaligus penyair.

Kalau melihat guru-guru az Zarnuji, maka hal ini menunjukkan bahwa beliau

ulama ahli fikih yang bermadzhab Hanafi dan sekaligus menekuni bidang pendidkan.

Plessner menyebutkan dalam ensiklopedinya, di samping ahli fikih syaikh az Zarnuji juga

dikenal sebagai Filosof Arab.

Sedangkan karya syaikh az Zarnuji yang masih tersisa sampai sekarang adalah

kitab Ta'lim al Muta'allim ini. Sedangkan karya-karya lainnya tidak ada yang tahu

keberadaannya.

6 Amy, 2007

7 Umar, 2000

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

44

D. Koreksi terhadap Kitab Ta’lim al Muta’allim

Sebagaimana dipaparkan, kitab ini sangat popular di lembaga pendidikan Islam

tradisional dan menjadi salah satu mata pelajaran wajib bagi kiai maupun muta’allim.

Namun, interpretasinya sering dijadikan sebagai alat legalitas atas kekuasaan dan otoritas

mu’allim atau kiai. Berikut beberapa pernyataan az Zarnuji yang disyarah oleh Hammam

Nashiruddin dalam Tafhim Muta’allim tarjamah Ta’lim Muta’allim”.

1. Ta’dhim Lebih Utama Daripada Ketaatan

Az Zarnuji mengatakan:

ة :قيل ير الحرم ى ا ل ,الطاع ة من خ عصي ة ي كفر ل اإلنس ان ا ن ت ر ا و ,بالم ا ي كفر إنم ة بت رك و بإستخف افه .الحرم

"Penghormatan itu lebih baik/ penting dibandingkan dengan ketaatan, tidakkah kau

lihat seseorang tidak akan menjadi kafir karena kemaksiatan, akan tetapi bisa

menjadi kafir karena meremehkan (maksiat) dan tidak menghormat". (Hammam

Nashiruddin, 1963: 61)

Statemen diatas bisa memunculkan multi interpretasi, jika dipahami secara

tekstual. Para kiai potensi terkena penyakit ghurur (tertipu), ujub (kagum), kibr (sombong)

dengan penghormatan itu. Adapun bagi para muta'allim menjadikan dirinya rendah diri

dihadapan kiai. ia harus selalu menghormat, bahkan kreatifitas dan produktifitasnya

terkebiri. Terlebih ada implikasi negatif bagi orang yang membacanya tanpa meneliti dan

mengkaji terlebih dahulu. Beberapa implikasi negatif yang muncul dari doktrin ini adalah:

ة ير الحرم .a الطاع ة من خ

Penghormatan lebih utama dibandingkan mengerjakan ketaatan.

Bahkan penghormatan pada kiai terkadang sampai pada taraf sungkem dan ngesot.

Pernah seorang penulis8 bercerita, pada tahun 1996 dia ikut rombongan ke Muntilan untuk

ikut bay’atan umum Thariqat Syadziliyah yang digelar setiap tahun. Pada waktu sowan ke

Mbah Mad (KH. Ahmad Dalhar), semua orang merangkak-ngesot untuk bersalaman

dengan Mbah Yai. Sepanjang antrian itu hatinya berontak, kepada orang tua yang

melahirkannya saja dia tidak pernah memberikan penghormatan semacam ini. Bahkan

Nabi Muhammad juga melarang orang berdiri untuk memberi penghormatan karena

kahadiran beliau. Beliau bilang yang demikian itu tradisi penghormatan kepada raja-raja,

dan Maharajanya umat Islam hanyalah Allah.

Akhirnya tiba gilirannya untuk sungkem, dia berjalan mendekat sambil

merendahkan punggung sepantasnya, tidak merangkak-ngesot seperti yang lain-lain.

Ketika sudah di luar, dia diberi tahu saudaranya yang mondok di sana, katanya teman-

8 DHB Wicaksono, 2006

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

45

teman muta'allim hampir menghajarnya kalau tidak ada yang menengahi karena dia

dianggap su’ul adab.

Sulit dibayangkan, jika kiai itu benar-benar Raja diraja, barangkali otoritasnya

semakin luas untuk melegalkan kekuasaannya. Berlaku sedikit saja tidak sopan dianggap

satu kemaksiatan yang besar dan berhak mendapatkan sanksi. Padahal semua itu berkaitan

dengan etika atau adab, bukan hukum halal atau haram yang menjadikan pelakunya

mendapatkan pahala ataupun dosa. Kenapa etika ditarik kepada suatu hukum taklifi,

padahal Allah dan RasulNya tidak pernah melegalkan hal itu.

Berbeda dengan ketaatan pada Allah dan rasulNya. Hal itu jelas-jelas berkaitan

dengan kewajiban. Jika dilaksanakan mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan berdosa

dan akan mendapatkan siksa jika tidak bertaubat. Semua itu karena masuk dalam kategori

hukum taklifi. Apa hubungannnya menghormat guru dengan semua itu, bahkan dikatakan

lebih baik daripada melaksanakan ketaatan.

Padahal melaksanakan ketaatan merupakan wujud hormat kepada Allah. Kalau

begitu, menghormati guru lebih utama dibandingkan menghormati Allah, dan tidak

menghormat pada guru jauh berbahaya dibandingkan tidak menghormat kepada Allah?!.

Otoritas yang melampaui batas. Ada indikasi legalitas atas kekuasaan dan otoritas yang

selama ini dikuasainya.

ى ا ل . عصي ة ي كفر ل اإلنس ان ا ن ت ر .bبالم

"Tidakkah engkau lihat seseorang tidak akan menjadi kafir karena kemaksiatan"

Justru disini ada satu penekanan kesan menggampangkan kemaksiatan dan

dianggap tidak berbahaya, karena sebesar dan sebanyak apapun kemaksiatan itu tidak akan

menjadikan seseorang menjadi kafir.

Statemen ini mirip dengan faham yang diusung oleh aliran murjiah. tentu sangat

berbahaya demi pelegalan kehormatan seorang guru. Pernyataan seperti ini justru

memancing seseorang untuk melakukan kemaksiatan, toh ketataan tidak lebih baik dari

sebuah penghormatan, maka terkesan, kemaksiatan dapat dihapuskan dengan

penghormatan, bukan dengan taubat dan ketaatan. Padahal, Nabi saw jelaskan secara nyata

bahwa:

ي ئ ة ا تبع و س ن ة الس الترميذى( )رواه ت محوه ا الح

"Ikutilah perbuatan jelek itu dengan perbuatan baik niscaya akan

menghapuskannya". (HR. Tirmidzi)

Ketataatan adalah proses purifikasi jiwa dari dosa, bukan dengan menghormat atau

mengagungkan guru. Persepsi semacam ini harus menjadi prinsip bagi kiai dan muta'allim.

Setiap kali ia terpeleset dalam kealpaan, kelalaian dan dosa, ia bertobat dengan melakukan

ketaatan. Sehingga kesucian seorang muta'allim dan kiai senantiasa terjaga.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

46

Memang, orang yang banyak berbuat maksiat, malas dalam beribadah tidak serta

merta menjadi kafir. Akan tetapi juga tidak dipungkiri kemaksiatan bisa menjadikan

seseorang kafir. Karena kekafiran dan kemusyrikan itu sendiri bentuk dari kemaksiatan

yang nyata.

Contoh kongkrit dari kekafiran akibat kemaksiatan adalah kafirnya iblis, karena

tidak taat kepada Allah bukan karena tidak menghormati Adam as.

ا و ابإس ي كفر إنم ة بت رك و تخف افه .cالحرم

"Akan tetapi bisa menjadi kafir karena meremehkan dan tidak menghormat".

Para ulama sepakat, bahwa sikap istikhfaf (meremehkan) dosa, menghina Allah,

agama dan Rasul adalah suatu kekafiran. Tapi, bagaimana dengan tidak menghormat

kepada guru, apakah bisa menjadi kafir.

Ini bisa menjadi alat legalitas kekuasaan kiai. Vonis dan hukuman yang berlebihan

bagi muta'allim yang su'ul adab terhadap kiainya. Karena akan menghilangkan identitas

keagamaannya. Keterangan inilah agaknya yang menimbulkan persepsi penyerahan total

seorang muta'allim kepada gurunya. Apalagi bila diingat adanya bayang-bayang, ilmunya

tidak akan bermanfaat apabila ia pernah berbeda pendapat (I’tiradh) dengan gurunya atau

pernah menyakiti hatinya. Persepsi ini, meski mempunyai nilai positif, namun tak urung

menimbulkan dampak yang kurang diinginkan. Sebab, muta'allim harus bersikap

menerima tanpa berani bersikap kritis.

Setelah mengkritisi pernyataan az Zarnuji tadi, Praktis thariqah ta'allum menjadi

tidak berarti tanpa adanya hurmah (penghormatan), sedangkan untuk mendapatkan suatu

ilmu dengan baik dan benar harus menggunakan metodologi yang baik dan benar pula. "At

Thariqah Ahammu mi al Madah", Metode itu lebih penting daripada materi.

M. Ali Hasan Umar, dalam terjemahan syarah Syaikh Ibrahim bin Ismail

mengatakan, "maksud dari pernyataan yang dinukil az Zarnuji adalah, bahwa menghormat

itu lebih baik daripada taat. Ketahuilah bahwa manusia dapat menjadi kufur lantaran tidak

mau menghormat perintah Allah dan larangan-Nya dengan meremehkan dan menganggap

ringan serta sepele".

Jika syarahnya seperti itu maka bisa dibenarkan, dan judul pasalnya sebaiknya

diubah menjadi "Ta'dhim awamirillah" atau menghormati perintah-perintah Allah. Akan

tetapi pernyataan Az Zarnuji ini dimasukkan ke dalam pasal "penghormatan pada ilmu dan

ahlinya", bukan menghormat pada Allah dan rasul-Nya. Ini menunjukkan hurmah

(penghormatan yang dimaksud adalah kepada guru, bukan kepada perintah dan larangan

Allah. Jika tidak kenapa dimasukkan ke dalam pasal ini?.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

47

2. Murid adalah budak guru

Salah satu bagian dari petuah-petuah kitab ini yang paling berpengaruh seperti

dituturkan di muka adalah keharusan seorang muta'allim untuk menghormati gurunya,

begitu pula orang-orang yang mempunyai pertalian darah dengannya, seperti puteranya

dan lain-lain. Khusus untuk menghormati guru, az Zarnuji menyitir ucapan Sayidina Ali

ra. Berikut ini pernyataan az Zarnuji:

من علم ت عظيم و ه ع لى ق ال ,األست اذ ت عظيم ال م ه للا ك ر جه ن ع بد ا نا " :و نى م لم رفا ع احدا ح ش اء ان و ب اع ش اء ان ,و

ق ش اء ان و أ عت ق .است ر

"Dan diantara cara memuliakan ilmu adalah memuliakan sang guru, sebagaimana

perkataan Ali karomahullahu wajhah: "Aku menjadi hamba/ budak orang yang

pernah mengajarkan satu huruf kepadaku, apabila ia berkehendak boleh menjualku,

memerdekakanku, atau tetap memperbudakku".9

Perkataan imam Ali yang dinukul Az Zarnuji tidak disertakan dari mana

riwayatnya atau siapa perawinya, sehingga menjadi satu tanda tanya atas keshahihannya.

Pun jikalau shahih, bukanlah suatu dalil qath'I atas kewajiban itu, karena sifatnya hanya

anjuran dan berkaitan dengan etika bukan hukum. Apalagi menurut disiplin ilmu hadits

bahwa perkataan sahabat hukumnya adalah mauquf.

Kemudian untuk menguatkan besarnya hak seorang kiai, ia menyitir sebuah syair:

أ يت ق ر ق ا ح ق الح ب ه و * المع ل م ح مسلم كل ع ل ى حفظا ا وج

ق ل ق د ة إل يه يهد ى أ ن ح ام رف لت عليم * ك ر احد ح دره م أ لف و

Aku melihat bahwa hak yang paling utama adalah hak guru

Dan hak ini wajib dijaga oleh setiap muslim

Demi memuliakannya, ia berhak mendapatkan hadiah

Dengan Seribu dirham karena mengajarkan satu huruf saja.10

Syaikh Ibrahim menyatakan, Maksudnya bahwa hak seorang guru merupakan hak

yang harus dihormati melebihi seluruh hak, di mana setiap muslim wajib menjaganya,

yaitu hak guru itu sangat wajib dijaga oleh setiap muslim. Sebab seorang yang

mengajarmu satu huruf yang memang kamu butuhkan dalam soal agama, ia adalah

ayahmu dalam agama. Dalam hal ini telah diriwayatkan dari Rasulullah saw bahwasannya

beliau bersabda:

ير ن األ ب آء خ ك م لم ع

"Sebaik-baik para bapak adalah orang yang telah mengajarmu".11

9 Hammam Nashiruddin, Tafhim al Mutallim fi tarjamati Ta'lim al Mutallim , Menara, Kudus, 1963,

hlm. 61-62

10 Ibid., hlm. 62.

11 Ibrahim, 2000

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

48

Atsar mauquf yang dinukil tidak jelas siapa perawinya dan bagaimana kedudukkan.

Apakah hadits shahih ataukah dha'if (lemah) atau mungkin hadits maudhu' (palsu) yang

dilarang meriwayatkan dan mengamalkannya. Sebagai muta'allim terlebih kiai yang

kredibel harus tahu status periwayatan hadits, bukan sekedar menukil saja.

Ada beberapa hal yang bisa dikaji ulang dari perkataan Az Zarnuji diatas,

begitupun syarahnya, diantaranya adalah:

Kata "budak" dalam tinjauan Islam adalah orang yang tidak memiliki kebebasan

berekspresi. Karena budak tak ubahnya seperti barang yang diperjual belikan, tidak punya

hak untuk mengatur dirinya sendiri. Semua perilakunya atas perintah tuannya.

Dalam wikipedia, Perbudakan adalah suatu kondisi di saat terjadi pengontrolan

terhadap seseorang oleh orang lain. Perbudakan biasanya terjadi untuk memenuhi

keperluan akan buruh atau kegiatan seksual. Orang yang dikontrol disebut dengan budak.

Para budak adalah golongan manusia yang dimiliki oleh seorang tuan, bekerja tanpa gaji

dan tidak mempunyai hak asasi manusia.12

Biasanya perbudakan terjadi karena peperangan, yang kalah perang menjadi tawanan dan

menjadi budak. Serendah itukah seorang muta’allim?.

Jika status muta'allim terhadap mua'llimnya seperti budak terhadap tuannya, maka

begitu rendah kedudukannya. Ia tidak punya hak apapun dari gurunya, sedangkan gurunya

punya hak mutlak dalam menentukan kebijakan si murid.

Padahal Allah swt mengangkat derajat ahli ilmu bukan terbatas pada kiai saja,

tetapi juga muta'allim, karena keduanya dari akar kata yang sama, yaitu "al ilmu". Allah

berfirman:

"Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan

orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat"13.

Hal itu diperkuat oleh statemen Rasulullah saw dalam sabdanya:

يركم ن خ ه و القرآن ت ع لم م لم ع

"Sebaik-baik orang di antara kalian adalah orang yang belajar al Qur'an dan

mengajarkannya".14

Justru pada hadits ini, yang disanjung dan dipuji oleh Rasulullah saw adalah orang

yang belajar terlebih dahulu, baru kemudian orang yang mengajarkan. Ini menunjukkan

kemuliaan seorang murid dibandingkan guru. Di beberapa riwayatkan lain Rasulullah saw

juga menyanjung para penuntut ilmu sebagaimana dalam sabdanya:

ن ل ك م ريق س ل علما فيه ي لت مس اط ريقا ل ه للا س ه نة ال ى ط الج

12 (http://id.wikipedia.org/wiki/Perbudakan diakses 24/12/2014) 13 QS. Al Mujadilah: 11.

14 HR. Bukhari

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

49

Barang siapa meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah mudahkan baginya

jalan menuju syurga.15

Dalam riwayat lain beliau bersabda:

ا ع م ل ت إل للا بيوت من ب يت فى ق وم اجت م ل يهم ن ز ة غ شي تهم و ,السكين ة ع حم فتهم و ,الر ال ئك ة ح هم و الم ن للا ذ ك ر فيم

.عند ه

"Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah dari rumah-rumah Allah,

terkecuali ketentraman akan turun ke dalam hati mereka, rahmat melimpah pada

diri mereka, para malaikat mengelilingi mereka dan Allah menyebut-nyebut

kebaikan mereka kepada penduduk langit (para malaikat)".16

Kala muta'allim mendapatkan pujian dan penghormatan dari Rasulullah saw,

mengapa para kiai menyikapinya sebagai budak yang diperlakukan sesuka hatinya tanpa

ada hak apapun. Sungguh suatu sikap yang bertentangan dengan petuah dan nasehat

Rasulullah saw.

Seharusnya, seseorang yang sudah dengan ikhlas merelakan diri untuk menuntut

ilmu mendapatkan hak-haknya secara layak, bahkan diberi fasilitas secara penuh sehingga

mampu konsen dalam belajar. Bukan dijadikan sebagai khadim atau pembantu guru,

terlebih dijadikan sebagai budak.

3. Hak seorang guru merupakan hak yang harus dihormati melebihi seluruh hak

Kata "melebihi seluruh hak", tanpa ada pengecualian. Ini sangat berbahaya jika

dipahami melebihi seluruh hak termasuk hak Allah dan rasulNya.

Barangkali kata "melebihi seluruh hak" yang dimaksud berkaitan dengan hak-hak

manusia yang lainnya, seperti hak orang tua, hak istri, hak anak, hak fakir miskin atau

yang lainnya. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Syaikh Ibrahim, bahwa orang yang

mengajarkan satu huruf yang kamu butuhkan dalam masalah agama adalah ayahmu dalam

agama. Kemudian ia menukil satu hadits yang tidak jelas perawi dan derajat

keshahihannya untuk memperkuat hak luar biasa yang dimiliki oleh seorang guru melebihi

hak orang tua.

Syaikh Ibrahim juga menukil kisah Iskandar Dzul Qarnain ketika ditanya:

"Mengapa engkau lebih banyak mengagungkan gurumu daripada ayahmu?. Ia menjawab:

"karena ayahku menurunkan aku dari langit ke bumi, sedangkan guruku yang mengangkat

aku dari bumi ke langit". Ini mengandung maksud bahwa tergantungnya ruh pada badan

dalam rahim para ibu adalah turunnya ruh dari alam malakut kea lam kerusakan bagi anak

yang dilahirkan. Sedangkan guru yang menyebabkan naiknya ruh manusia dari alam fana

15 HR. Muslim 16 HR. Muslim dan Abu Dawud

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

50

(rusak) ke alam baka (kekal) lantaran memberikan kesempurnaan berma'rifat kepada

Allah.

Sepintas pernyataan Iskandar Dzul Qarnain dan syarah yang dipaparkan Syaikh

Ibrahim tampak logis dan benar. Bahwa, pengagungan terhadap guru lebih diprioritaskan

dibandingkan penghormatan kepada orang tua, karena orang tua hanya berperan sebagai

orang tua biologis sedangkan guru sebagai orang tua psikologis dan religius.

Akan tetapi, jika dicermati secara seksama pernyataan semacam itu adalah sangat

keliru. Karena hak-hak orang tua jauh lebih utama dibandingkan hak guru. Meski orang

tuanya bukan seorang yang alim atau kiai. Bahkan meskipun orang tuanya itu non muslim,

tetap saja mendapatkan hak penghormatan dari seorang anak. Allah menjunjung hak-hak

ibu bapak melebihi hak siapapun juga, termasuk kiai atau guru.

"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun.

Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa"17.

"Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia

dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika

salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut

dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada

keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah

kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka

berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah

mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.18

Dalam tafsirnya imam Qurthubi rh. Menyatakan, bahwa kata qodhoo itu

memerintahkan (amara), mengharuskan (alzama), dan mewajibkan (awjaba).

Mereka berkata: Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan kita untuk beribadah

kepada-Nya dan mentauhidkan Dzat-Nya. Selanjutnya Allah, telah menjadikan perbuatan

berbakti kepada kedua orang tua sebagai kewajiban yang berkaitan dengan hal itu.

Sebagaimana Dia menghubungkan antara syukur kepada kedua orang tua dengan syukur

kepadaNya. Allah swt berfirman:

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-

bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-

tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada

dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.19

Jika belum cukup dengan ayat-ayat Allah untuk menghormat dan berbakti kepada

orang tua, hadits-hadits Nabi saw pun menyatakan hal yang sama. Di antaranya adalah:

17 QS. An Nisa: 36

18 QS. Al Isra': 23 & 24

19 QS. Luqman: 14

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

51

Diriwayatkan dalam shahih Bukhari bahwa Abdullah berkata: "Aku bertanya

keadaan Nabi saw: Amal perbuatan apa yang paling dicintai oleh Allah? Nabi saw

menjawab: "Shalat tepat pada waktunya". Aku bertanya: "Kemudian apa lagi?".

Nabi saw menjawab: "Berbakti kepada kedua orang tua". Aku bertanya lagi: "Lalu

apa lagi?". Nabi saw menjawab: "Jihad di jalan Allah".

Rasulullah saw mendudukkan kebaktian dan penghormatan kepada kedua orang

tua lebih tinggi dibandingkan hak siapapun juga, termasuk hak terhadap guru. Kewajiban

memenuhi hak mereka diletakkan sesudah perintah beribadah kepada Allah dan kewajiban

shalat.

Dalam Tafsir al Munir, Dr. Wahbah Zuhaili menjelaskan: "Dalam banyak ayat al

Qur'an, Allah sering mengaitkan antara perintah untuk beribadah kepada-Nya dengan

perintah untuk berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua dengan cara

memperlakukan mereka berdua dengan baik dan sempurna. Hal ini disebabkan kedudukan

mereka berdua di bawah naungan kedudukan Allah swt.

Jelas sudah, bahwa penghormatan kepada kedua orang tua tidak bisa dikalahkan

dengan penghormatan terhadap guru. Tapi mengapa terkesan orang tua disepelekan dan

guru dimuliakan?. Padahal, seorang kiai seharusnya memiliki kebaktian yang tinggi

terhadap orang tuanya, sebagai wujud syukur atas usaha dan upaya perjuangan mereka

dalam melahirkan, membesarkan dan memilihkan pendidikan untuknya. Juga sebagai

aplikasi dari ilmu yang dikuasainya. Seharusnya para kiai memerintahkan kepada para

muta'allim untuk berbakti dan memenuhi hak-hak orang tuanya, bukan hak-hak dirinya

sendiri.

Maka memberikan hak penghormatan terhadapa guru melebihi hak siapapun,

termasuk kedua orang tua adalah bentuk legalitas kekuasaan guru agar tetap memiliki

eksistensi di kalangan muta'allim dan orang awam.

4. Mitos Ngalap Berkah Ta'dhim

Imam Zarnuji mengatakan:

ام الشيخ أست اذن ا ك ان و ديد اإلم ين س ازى الد ايخن ا ق ال :ي قول الشير ش ن " : م اد م الما ابن ه ي كون أ ن أ ر اعى أ ن ي نب غى ع ير

ب اء اء من الغر مهم و يكرمهم و ,الفق ه يئا يعطيهم و يع ظ الما ابنه ي كن ل م إن و ,ش افده ي كون ع الما ح ."ع

"Adalah guru kami, Syaikh Imam Sadiduddin Asy Syairazi berkata: Para guru kami

berpesan: "Barangsiapa yang menginginkan anaknya menjadi orang alim, maka

dianjurkan suka berbakti kepada para fuqaha yang terasingkan, menghormati,

memuliakan, mengagungkan dan memhaturkan sesuatu untuk mereka, jika ternyata

anaknya tidak menjadi alim maka cucunya kelak akan menjadi alim".20

20

Hammam Nashiruddin, op.cit., hlm. 63-64.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

52

Perkataan az Zarnuji diatas menyertakan unsur-unsur mistis sebagai bumbu

legalitas kekuasan kiai atau sang guru. Dengan berbakti, memuliakan, mengagungkan, dan

mempersembahkan sesuatu kepada sang kiai bisa menjadikan anak atau cucu seseorang

kelak menjadi orang alim. Apa hubungannya anak atau cucu menjadi pandai dengan

pengagungan terhadap guru?.

Pernyataan Az Zarnuji di atas akan menimbulkan implikasi mental social yang

kurang sehat.

Pertama, ketergantungan seseorang kepada kiai. Ia tidak mampu mengubah status

kehormatan keluarganya menjadi keluarga alim atau kiai yang akan terlahir dari anak

cucunya kecuali dengan berkah kiai. Belajar di pesantren tidak menjadi jaminan ia kelak

menjadi kiai. Terlebih di madrasah Tsanawiyah atau Aliyah meskipun termasuk sekolah

favorit, apalagi di sekolah-sekolah umum. Rajin, tekun dan prestasi juga tidak bisa jadi

jaminan tanpa ada restu dan berkah dari sang guru.

Kedua, membuka peluang bagi kiai untuk melegalkan eksistensinya sebagai

manusia terhormat yang layak dan harus diagungkan, dimuliakan dan dihormati. Ia ingin

mendapatkan perhatian yang lebih, penghormatan, pengagungan dan pemuliaan.

Ketiga, membuka peluang bagi kiai untuk mengeruk kekayaan dari orang-orang

yang menginginkan anak cucunya mendapatkan berkah kebaikan. Sehingga, tidak heran,

jika kebanyakan para kiai itu kaya raya, sedangkan masyarakat awam yang mengalap

berkah darinya tetap saja berkutat dalam perjuangan mendapatkan kehidupan yang layak.

Keempat, merusak mental psikososiospiritual para orang tua dan anak cucunya,

menjadi pribadi yang lemah dan kerdil secara psikologis, social dan spiritual,

menggantungkan dirinya pada orang lain, dan bukan pribadi yang produktif, kritis dan

realistis.

Padahal Allah swt. Jelas-jelas menyatakan perubahan itu bisa diraih dengan suatu

ikhtiar dan usaha, bukan dengan hormat dan berkah:

"Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka

merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri".21

"Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami,

benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami".22

Pepatah arab mengatakan:

ن د م د و ج ن و ج ب ر م ظ فر ص

"Barangsiapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan mendapatkan, dan

barangsiapa yang bersabar maka ia akan menang".

21 QS. Ar Ra'd: 11 22 QS. Al Ankabut: 69

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

53

5. Tradisi Ghuluw (kultus) dalam Ta'dhim

Syaikh Az Zarnuji berkata:

ه ي مشى ل أ ن المع ل م ت وقير من و ام ك ان ه ي جلس ل و ,أ م ل و ,عند ه الك ال م يكثر ل و ,بإذنه إل عند ه الك ال م ي بت دئ ل و ,م

يئا ي سأ ل ال ل ته عند ش اعى و ,م قت ير تى ي صبر ب ل الب اب ي دق ل و ,الو .األست اذ ي خرج ح

Di antara perbuatan menghormati guru adalah:

1) tidak melintas di hadapannya,

2) tidak menduduki tempat duduknya,

3) tidak memulai berbicara kecuali atas ijinnya,

4) tidak banyak bicara di hadapannya,

5) tidak menanyakan sesuatu yang membosankannya,

6) hendaknya memperhatikan waktu, dan

7) jangan mengetuk pintu tetapi bersabar sampai beliau keluar.23

Beberapa cara menghormati guru seperti yang dipaparkan di atas berkaitan dengan

adab sopan santun atau tatakrama terhadap guru. Bukan wajib atau haram, yang apabila

dilaksanakan mendapat pahala dan ditinggalkan berdosa. Hanya saja ada beberapa hal

yang perlu dijelaskan agar tidak salah persepsi.

a) Larangan melintas di depannya.

Larangan melintas di depan guru seperti yang disebutkan, hanya berkaitan dengan

tatakrama. Dan itu berlaku bukan hanya pada guru, namun juga kepada orang tua atau

orang yang lebih tua. Jika diyakini larangan itu mengandung nilai-nilai mistis yang bisa

mengakibatkan celaka bagi pelakunya atau tidak mendapat berkah dalam hidupnya, maka

akan berefek pada takhfif (menakut-nakuti) dan menjadi keyakinan yang salah.

b) Tidak menduduki tempat duduknya.

Jika larangan itu berkaitan dengan kepemilikan, siapapun tidak boleh

menggunakan barang yang bukan miliknya kecuali atas ijin pemiliknya, termasuk tempat

duduk. Akan tetapi, jika yang difahami bukan itu, tapi nilai-nilai sakral dan mistis seperti

kualat dengan menduduki tempat duduk guru, maka hal itu menjadi berbahaya. Karena

menganggap bahwa kursi yang dijadikan tempat duduk sang guru adalah kursi keramat.

Tidak sembarang orang bisa dan boleh duduk diatasnya.

Yang demikian itu akan mengarah kepada kemusyrikan, karena menganggap kursi

atau tempat duduk itu mempunyai power yang dapat mencelakakan orang yang tidak

berhak mendudukinya.

Tak heran, jika seringkali didapatkan barang-barang peninggalan kiai dianggap

keramat, dihormati sedemikian rupa, kadang dimandikan pada tanggal dan bulan tertentu,

dan dianggap mempunyai nilai mistis.

23

Hammam Nashiruddin, op.cit., hlm. 64-65.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

54

c) Tidak memulai berbicara kecuali atas ijinnya

Dalam majelis ilmu, tugas guru menyampaikan ilmu dan tugas murid

mendengarkan. Murid tidak diperkenankan menyela, karena akan mengganggu proses

transfer ilmu. Kecuali apabila guru mempersilahkan murid untuk berbicara. Larangan

seperti ini termasuk dalam katagori adab-adab murid terhadap guru.

Yang perlu menjadi sorotan, apabila di luar majlis ilmu, apakah murid juga tidak

boleh memulai berbicara, sedangkan ia ingin menyampaikan informasi penting?. Apakah

murid juga tidak boleh mengawali bicara untuk bertanya, sedangkan ia memiliki banyak

persoalan-persoalan agama yang belum terjawab?. Dan, apakah ia tidak boleh memulai

bicara, sedangkan kadang sebagai manusia butuh orang yang mampu menyelesaikan

problem kehidupannya, sedang para guru dianggap orang-orang bijak yang bisa bersikap

arif memberikan solusi atas problem-problem mereka.

Jika semua itu menunggu ijin sang guru, kapankah ijin itu keluar dari lisannya?

Sedangkan tidak semua guru ringan lidah memberi ijin kepada murid. Akhirnya, dia hanya

menunggu dan menunggu sampai diijinkan. Sedangkan persoalan terkadang membutuhkan

jawaban segera. Sedangkan bertanya diperintahkan oleh Allah swt.

"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak

mengetahui".24

d) Tidak banyak bicara di hadapannya

Di antara adab-adab muta'allim adalah tidak banyak berbicara. Adab ini juga

berlaku bagi orang Islam secara umum. Karena banyak bicara bisa menjadikan seseorang

tergelincir dalam kesalahan dan dosa.

Orang bijak mengatakan:

ن أه ك ثر ك ال مه ك ثر م ط ن و ,خ أه ك ثر م ط ت خ ن و .ذنوبه ك ثر ت م ل ذنوبه ك ثر النار د خ

"Barang siapa banyak berbicara, maka akan banyak kesalahannya; Barang siapa

yang banyak kesalahannya, maka banyak pula dosanya. Dan barang siapa yang

banyak dosanya maka ia akan masuk nereka".

Banyak bicara yang dimaksud disini adalah banyak bicara yang tidak bermanfaat,

atau mengandung perkataan keji dan mungkar. Hal itu diperkuat oleh sabda Nabi saw.:

"Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah berkata

yang baik atau diam".25

Dan diantara kepandaian seseorang adalah sedikit bicara tentang hal-hal yang

tidak berguna.

24 QS. An Nahl: 43 25 HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

55

Sesungguhnya Allah membenci tiga perkara, yaitu: qil wa qal (bicara yang tidak

jelas juntrungnya), banyak bertanya (yang tidak berguna) dan menyia-nyiakan

harta (HR. Bukhari).

Sikap diam pada saat tepat adalah kemuliaan, seperti itu juga soal berbicara pada

tempatnya adalah sifat yang mulia. Abu Alid Daqaiq berkata: "Orang yang diam tidak

menyampaikan yang hak adalah setan yang bisu".26

Banyak bicara menjadi tercela dan dilarang apabila pembicaraannya tidak berguna,

seperti ghibah (gossip), namimah (menuduh), fahsya' (kata-kata keji), mungkar dan laghw

(bicara tak berguna). Apabila banyak bicara berkaitan dengan agama, menjelaskan hokum,

menjawab persoalan atau memberikan informasi yang berguna, maka hal itu termasuk

perkara mulia. Di manapun dan kapanpun, meski di sisi sang guru.

Diriwayatkan dari Abi Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah saw telah bersabda:

"Termasuk dari kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang

tidak penting baginya".27

e) Tidak menanyakan sesuatu yang membosankannya

Az Zarnuji menyebutkan, diiantara adab-adab muta'allim adalah tidak banyak

bertanya perkara yang tidak berguna dan menyusahkan. Atau dengan istilah lain membuat

kiai bosan.

Dari Abu Hurairah, Abdurrahman bin Shakhr r.a. berkata: Aku telah mendengar

Rasulullah Saw. bersabda:

"Apa saja yang aku larang kamu daripadanya hendaklah kamu jauhi, dan apa saja

yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah menurut kemampuan kamu.

Sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kamu adalah karena banyak

bertanya dan menyalahi nabi-nabi mereka".28

Abdullah shaleh Hadrami mengomentari hadits ini yang berkaitan dengan

bertanya, "Hendaklah seorang muslim membahas apa yang telah datang dari Allah dan

RasulNya saw. kemudian berusaha untuk memahaminya, apabila berkaitan dengan

perkara-perkara ilmiyyah (aqidah) ia mempercayainya, dan apabila berkaitan dengan

perkara-perkara amaliyyah (amal ibadah) ia berusaha semampunya untuk mengerjakannya

dan meninggalkan apa yang dilarang. Demikianlah keadaan para sahabat Nabi saw dan

para tabi’in (pengikut mereka dengan setia) dalam menuntut ilmu yang bermanfaat dari

Al-Kitab dan As-Sunnah.29

26 Nawawi, 1996

27 H.R Tirmidzi dan periwayat lainnya 28 HR. Bukhari dan Muslim

29 Hadrami, 2005

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

56

Hadis ini bukan berarti larangan daripada bertanya kepada orang yang mengerti

tentang suatu permasalahan hukum-hukum syari’at, karena hal itu adalah kewajiban,

sebagaimana firman Allah:

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak

mengetahui.”.30

Pertanyaan yang dilarang adalah pertanyaan yang ditujukan kepada Nabi saw

tentang perkara yang belum turun wahyu atasnya atau pertanyaan yang bertujuan untuk

membangkang dan menguji, sebagaimana firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika

diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kan..”31

Boleh jadi pertanyaan itu adalah sesuatu yang sangat dianjurkan secara syar’i,

seperti Pertanyaan tentang perkara-perkara yang belum diketahui dalam masalah agama

dan hukum syari’at. Atau Pertanyaan untuk memperluas pemahaman agama dan untuk

menjaga agama Allah serta untuk mengeluarkan fatwa dan memutuskan perkara.

Bagaimana status pertanyaan murid kepada sang guru?

Termasuk murid yang baik, cerdas dan kritis adalah murid yang selalu ingin tahu.

Salah satu indikasinya dengan cara bertanya kepada yang lebih tahu. Akan tetapi jika

pertanyaan itu membuat guru jengkel atau bosan, menurut az Zarnuji, maka itu pertanyaan

yang tidak diperbolehkan

Pertanyaan apapun dan kepada siapapun yang mengandung nilai kritik atau

sanggahan tentu akan menimbulkan perasaan tidak enak ataupun jengkel bagi yang

ditanya. Akan tetapi tabayyun atau minta kejelasan itu lebih baik, dan hampir semua

pertanyaan selalu membutuhkan jawaban yang tuntas.

Jika hanya dibolehkan bertanya ketika guru sedang legowo dan yang bisa membuat

senang, kapankah kesempatan untuk bertanya secara kritis dan argumentatif?. Dan kapan

pula penanya tahu kalau apa yang ditanyakan tidak membuatnya bosan atau jengkel,

padahal dia benar-benar ingin tahu masalah agama secara gamblang?.

f) Hendaknya memperhatikan waktu dan jangan mengetuk pintu tetapi bersabar sampai

beliau keluar

Adab ini sangat penting untuk diperhatikan. Mengapa? Karena seorang muslim

tidak setiap saat siap menerima tamu. Barangkali ia punya keperluan/hajat yang harus

ditunaikan sehingga ia tidak bisa ditemui. Atau barangkali ia dalam keadaan sempit

sehingga ia tidak bisa menjamu tamu sebagaimana dianjurkan oleh syari’at. Betapa banyak

manusia yang tidak bisa menolak seorang tamu apabila si tamu telah mengetuk pintu dan

mengucapkan salam padahal ia punya hajat yang hendak ia tunaikan.

30 QS. An-Nahl: 43 dan An-Anbiyaa’: 7

31 QS. Al-Maidah: 101

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

57

Adab ini sebagai alat kendali dalam mengefisienkan waktu bertamu. Tidak

mungkin seluruh waktu hanya habis untuk bertamu dan melayani tamu. Setiap aktifitas

selalu dibatasi oleh aktifitas lainnya, baik bagi yang bertamu maupun yang menerima tamu

(tuan rumah). Apabila memang keperluannya telah usai, maka hendaknya ia segera

berpamitan pulang sehingga waktu tidak terbuang sia-sia dan tidak memberatkan tuan

rumah dalam pelayanan.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

دكم ق ض ى ف إذ ا ت ه أ ح هم جهه من ن ل و أ هله إلى ف لي عج

“Apabila salah seorang diantara kamu telah selesai dari maksud bepergiannya,

maka hendaklah ia segera kembali menuju keluarganya”.32

Yang perlu disoroti di sini adalah tidak boleh mengetuk pintu kiai dan menunggu

sampai dia keluar. Sedangkan tamu yang berkunjung tidak tahu pasti kapan sang guru

keluar rumah. Kalau menunggu 5 atau 10 menit tidak masalah, kalau berjam-jam tak

kunjung keluar juga, waktu tamu akan habis tersita hanya untuk menunggu.

Mengetuk pintu adalah hal yang lazim bagi orang yang bertamu, sebagai bentuk

ijin berkunjung dan supaya mengatahui ada tidaknya penghuni rumah. Mengetuk pintu

juga termasuk salah satu adab-adab bertamu. Dalam suatu riwayat disebutkan:

Dari Anas bin Malik r.a. berkata, “Kami di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa

sallam mengetuk pintu dengan kuku-kuku”.33

Mengetuk pintu dengan kuku adalah adab sopan santun dalam bertamu. Tujuannya

adalah agar tidak menimbulkan suara yang keras dan kurang enak didengar, yang

membuat penghuni rumah merasa terganggu. Maka mengetuk dengan ujung kuku

merupakan akhlak mulia. Terkecuali pemilik rumah sudah mempersiapkan bel di pintu

atau di dekatnya. Tamu cukup menekan bel tersebut, dan tidak diperbolehkan menekan

melebihi batas yang dianjurkan Nabi saw, yaitu sebanyak tiga kali.

Rasulullah saw. mengajarkan kepada kita, bahwa batasan untuk meminta izin

untuk bertamu adalah tiga kali.

Dari Abu Musa Al Asy’ary r.a., dia berkata: “Rasulullah Saw. Bersabda:

"Minta izin masuk rumah itu tiga kali, jika diizinkan untuk kamu (masuklah) dan

jika tidak maka pulanglah!”.34

Az Zarnuji mengatakan:

اصل و اه ي طلب أ نه الح ه ي مت ثل و سخط ه ي جت نب و رض عصي ة غ ير فى أ مر لل م خلوق ط اع ة ل ف إنه ,ت ع ال ى فى للم

عصي ة الق م .الخ

32 HR. Bukhari dan Muslim

33 HR. Bukhari dalam Adab al Mufrod bab Mengetuk Pintu

34 HR. Bukhari dan Muslim

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

58

"Pada pokoknya adalah mencari ridha guru, menjauhkan diri dari kemurkaannya

dan menjunjung tinggi perintahnya selama bukan dalam kemaksiatan kepada Allah

swt, karena sesungguhnya tidak ada ketaatan bagi makhluk untuk bermaksiat

kepada khalik".35

Maksud dari adab-adab tersebut di atas adalah hanya untuk mencari ridho sang

guru dan menjauhi murkanya dengan malaksanakan perintahnya. Tentu dengan syarat

perintah kiai tidak bertentangan dengan perintah Allah dan perintah RasulNya. Ataupun

perintah tersebut tidak mengandung unsur maksiat, sebagaimana ditegaskan di atas.

Namun, apakah hanya dengan menunjukkan adab-adab tersebut menjadi bukti

keridhaan kiai?, ataukah ada maksud lain yang mendorongnya?

Prioritas keridhaan dan kemurkaan setelah Allah swt adalah keridhaan dan

kemurkaan orang tua. Hal itulah yang benar-benar harus diwaspadai.

"Ridho Allah tergantung kepada keridhoan orang tua dan murka Allah tergantung

kepada kemurkaan orang tua".36

Melaksanakan perintah guru boleh dilaksanakan selama tidak bertentangan dengan

perintah Allah, demikian halnya perintah orang tua harus dilaksanakan jika tidak

bertentangan dengan perintah Allah:

"Dan Kami wajibkan kepada manusia (berbuat) kebajikan kepada orang tuanya.

Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang

tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.

Hanya kepada-Ku lah kembalimu, lalu Aku kabarakan kepadamu apa yang telah

kamu kerjakan".37

Kesimpulannya adalah, semua perintah dan larangan makhluk, baik itu guru, orang

tua, pimpinan, imam dan sebagainya tidak boleh dilaksanakan apabila bertentangan

dengan perintah Allah dan laranganNya.

خلوق ع ة ط ا ل عصي ة فى للم الق م الخ

"Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq".38

5. Menghormati Anak Guru dan Yang Punya Hubungan Dengannya

Syaikh Az Zarnuji mengatakan:

ن و أ ول ده ت وقير ت وقيره من و به ي ت ع لق م

"Dan diantara cara menghormati guru adalah menghormati anak-anaknya dan

siapapun yang berkaitan dengannya".39

35 Hammam Nashiruddin, log.cit., hlm. 65

36 HR Bukhori, Ibnu Hibban, Tirmidzi, Hakim

37 QS. Al Ankabut: 8

38 HR. Ahmad

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

59

Menurut Buya Djamaludin Ahmad bahwa, kehidupan manusia ibarat tanaman.

Dari rumah tangga dan lingkungan yang saleh akan lahir dan tumbuh anak-anak dan

remaja yang saleh. Dari keluarga yang intensif pengawasan hidup keagamaannya, akan

berkembang manusia-manusia saleh yang patuh kepada agama dan tatanan hidup.

Demikian juga halnya pergaulan. Anak-anak dan remaja yang baru tumbuh dan

berkembang ruhaninya sangat peka kepada alam lingkungannya. Kondisi masyarakat

sangat menentukan kesalehan seorang ramaja. Masyarakat dan lingkungan yang saleh akan

mendidik kehidupan saleh itu secara tidak langsung kepada warganya. Dengan demikian

pergaulan, lingkungan keluarga, kondisi masyarakat, menjadi syarat utama bagi

pendidikan dan berkembangnya keutamaan, kesalehan, kedisiplinan.40

Seorang kiai juga berharap anaknya menjadi anak shaleh yang mewarisi keilmuan

orang tuanya, meski terkadang harapan tidak sesuai dengan kenyataan, akan tetapi upaya

untuk mewujudkannya adalah ikhtiar yang selalu diikuti dengan do'a.

Islam juga mengajarkan kepada ummatnya untuk mencari teman dan sahabat yang

shaleh dan baik, karena status teman sedikit banyak akan mewarnai dan mempengaruhi

gaya hidupnya. Jika teman itu baik, maka ia akan menjadi baik atau paling tidak

terpengaruh meski sedikit kebaikan darinya, dan jika teman itu buruk maka bisa saja dia

menjadi buruk atau terkena pengaruh buruknya. Pun penilaian masyarakat sekitar akan

melihat siapa teman bergaulnya. Nabi saw menyatan:

"Perumpamaan orang duduk berteman dengan orang-orang saleh, ibarat duduk

dengan penjual minyak wangi. Walaupun engkau tidak mendapatkan sesuatu atau

tidak membeli minyak wangi tersebut, pasti engkau akan mendapatkan

wewangiannya. Sedangkan orang yang duduk berteman dengan orang jahat. ibarat

engkau duduk dengan tukang pembuat besi. Walaupun engkau tidak terkena jilatan

apinya, pasti engkau kena percikan bunga apinya dan bau asap besinya".41

Orang yang berteman atau dekat dengan alim, secara otomatis ia mendapatkan

penghormatan seperti penghormatan sang alim. Pernyataan az Zarnuji di atas tidaklah

salah. Hanya saja bentuk penghormatan yang berlebihan kepada sang alim sampai pada

anak-anak dan orang-orang yang dekat dengannya yang perlu dikritisi.

Karena tidak selalunya anak itu mampu mewarisi kealiman sang ayah. Banyak

anak-anak para kiai yang tidak menjadi anak-anak shaleh, meski banyak juga di antara

mereka yang mewarisi kepandaian sang kiai.

Dalam sejarah para nabi, ada nabi-nabi yang justru anaknya memusuhi ayahnya.

Seperti nabi Nuh a.s. dan nabi Luth a.s.. Anak keduanya dinistakan oleh Allah dan tidak

berhak mendapatkan penghormatan dan kemuliaan seperti kemuliaan ayahnya. Demikian

39 Hammam Nashiruddin, log.cit., hlm. 65

40 Djamaluddin, 2008 41 HR. Tirmidzi

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

60

halnya dengan putera-putera para kiai. Penghormatan hanya berlaku bagi mereka yang taat

menjalankan agama. Itupun sesuai dengan batasan syara'.

Adapun yang diutarakan az Zarnuji adalah tentang penghormatan kepada keluarga

dan orang-orang dekat kiai tanpa melihat perilaku dan kedudukan mereka dalam

beragama. Inilah yang perlu diperjelas. Hal itu diperkuat dengan pernyataannya:

ين بره ان اإلسال م ش يخ أست اذن ا ك ان و احب الد ة الهد اي ة ص حم ل يه للا ر ك ى ع احدا أ ن ح ابر من و ة أ ك ى أ ئم ار ك ان بخ

جلس ي جلس وا أ حي انا الدرس خال ل فى ي قوم ك ان و ,الدرس م أ ل ع ي لع ب أست اذى ابن ان " :ف ق ال ,ع نه ف س بي ان م فى الص

سجد ب اب ال ى أ حي انا ي جىء و السكة أ يته ف إذ ا ,الم ."ألست اذى ت عظيما ل ه أ قوم ر

"Adalah guru kami syaikhul Islam Burhanuddin penulis buku al Hidayah

rahimahullah bercerita, bahwa seorang ulama besar dari Bukhara sedang duduk

di majlis pengajian; di sela-sela pengajian itu sesekali ia berdiri, lalu orang-orang

menanyakan tentang hal tersebut, maka ia menjawab: Sebetulnya putra guruku

sedang bermain bersama anak-anak di halaman. Jika aku melihatnya akupun

berdiri demi menghormati guruku".42

Kisah yang dinukil az Zarnuji dari gurunya syaikh Burhanuddin adalah kejadian

yang luar biasa. Seorang anak yang bermain mendapat penghormatan yang begitu besar

dari ulama besar (murid ayahnya) yang sedang mengadakan majlis ilmu. Sedangkan anak

itu tidak perduli apakah dihormati ataukah tidak, yang penting ia asyik bermain. Dari

penggalan kisah ini, paling tidak ada beberapa hal yang perlu dikritisi.

Pertama, Apakah anak kecil yang belum mendapat taklif layak mendapatkan

penghormatan sedemikian rupa? Apakah bentuk penghormatan itu dengan cara berdiri

ketika melihatnya?.

Rasul saw adalah manusia yang paling menghormati hak sesama, tak terkecuali

juga hak anak. Adapun diantara hak anak adalah memberikan kasih sayang kepada

mereka, mengajarkan kebajikan dan menghindarkan dari kebiasaan-kebiasaan buruk.

Kedua, Menghormati anak yang sedang bermain. Kalau anak itu sedang mengaji

atau belajar, mungkin pantas menghormatinya, tapi pantaskah sedang dalam keadaan

bermain mendapatkan penghormatan, sedangkan dia asyik dengan permainannya sendiri

tanpa menghiraukan ada tidak seseorang yang menghormati. Jika peristiwa seperti itu

benar-benar terjadi, maka anak kiai tak jauh beda dengan anak raja yang mendapatkan

penghormatan secara berlebihan dari para abdi raja.

Ketiga, apabila dalam majlis ilmu seseorang terkadang berdiri kemudian duduk

lagi, dan itu dilakukan beberapa kali, secara otomatis mengganggu proses belajar mengajar

yang sedang berlangsung. Menghormati anak kiai dan orang-orang yang memiliki

42 Hammam Nashiruddin, op.cit., hlm. 66-67.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

61

hubungan dengannya boleh dilaksanakan dengan syarat tidak berlebihan dan mereka layak

untuk mendapatkan penghormatan karena berperilaku seperti perilaku kiai.

Syaikh Az Zarnuji mengatakan:

ام الق اضى و ين ف خر اإلم اب ندى الد ئيس ك ان األ س ة ر ام غ اي ة ي حت رمه سلط ان ك ان و ,رو بم األ ئم ا :ي قول ك ان و ,اإلحتر إنم

دت ج نص ب ه ذ ا و ة الم ام الق اضى أست اذى أ خدم كنت ف إن ى , األست اذ بحرم م أ طب خ و أ خدمه كنت و الدبوسى ي زيد أ ب ا اإل

ه .منه آكل ل و ط ع ام

"Al Qadhi imam Fahruddin Al Arsabandy seorang tokoh para pemimpin di Marwa,

ia sangat dihormati dan dimuliakan para raja pada zamannya. Lalu berkata: “Aku

memperoleh kedudukanku ini karena pengabdianku kepada guruku, aku menjadi

khadim guruku Qadhi Imam Abu Yazid ad Dabbusi, berkhidmat dan memasakkan

beliau selama tigapuluh tahun tanpa ikut memakannya. Dan khidmatku itu semata-

mata mengagungkannya".43

Kisah Syaikh Fahruddin Al Arsabandi di atas menggambarkan besarnya berkah

seorang guru bagi murid yang mau berkhidmat kepadanya. Di antara bentuk khidmat

kepada guru adalah dengan selalu siap melayani dan memasakkan makanan untuknya.

Karena khidmatnya itu menjadikannya orang yang dihormati, bukan saja oleh masyarakat

bahkan oleh para raja.

Kisah ini memberikan inspirasi bagi murid khususnya muta'allim untuk menjadi

khadim sang guru, berharap kelak akan mendapatkan berkah darinya. Di sisi lain guru

merasa nyaman dan tenang karena ia tidak lagi risau mencari pembantu yang melayani

keperluannya sehari-hari, karena murid-murid akan berlomba untuk menjadi pelayannya

demi mencari berkah.

Berkah guru identik dengan kehormatan, pengagungan dan ketenaran dari

masyarakat atau para pejabat dan para raja. Meski semua itu tidaklah tercela, akan tetapi

sebagai seorang alim kuranglah pantas untuk ditonjolkan, karena mengurangi nilai

tawadhu'. Akan lebih baik yang ditonjolkan bukan penghormatan mereka, tetapi

menonjolkon karya-karya intelektualnya, sifat wara’, istiqamah, ahli ibadah sekaligus

merakyat, sehingga yang mereka banggakan keilmuannya bukan kedudukannya di

kalangan para raja.

6. Khidmat Pada Guru Lebih Utama Daripada Kepada Ibu

Dalam Ta’lim al Muta’allim syaikh az Zarnuji menukil kisah seorang anak yang

berkhidmat kepada ibunya hanya dikaruniai umur dan tidak mendapatkan kelezatan

belajar. Az Zarnuji menceritakan:

الشيخ ام و ل اإلم ة ش مس األ ج انى األ ئم ج ك ان ق د الحلو ر ى من خ ار س ك ن بخ ى ب عض فى و ادث ة أ ياما القر ق ع ت بح ق د و ,و

ته ار ام الشيخ غ ير ت ال ميذه ز نجى ب كر أ بى الق اضى اإلم ر اذ ا : ل قي ه حين ل ه ف ق ال ,الز شغول كنت ف ق ال ؟ ت زرنى ل م لم م

43 Hammam Nashiruddin, op.cit., hlm. 66-68.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

62

ة الد ة بخدم ق :ق ال .الو ق ل و العمر ترز ون ق ترز ى فى أ وق اته أ كث ر فى ي سكن ك ذ لك ك ان و .س الدر ر ل ه ي نت ظم ل م و القر

ن .الدرس م أست اذ ه منه ت أ ذى ف م ك ة يحر .ق ليال إل به ي نت فع ل و العلم ب ر

“Syaikh Imam yang mulia syamsul aimmah al Hulwani ra, karena suatu peristiwa

beliau keluar dari Bukhara untuk merantau dan tinggal sementara di suatu desa hingga

beberapa hari karena sakit. Selama diperantauan beliau banyak dikunjungi murid-

muridnya, hanya syaikh Abu Bakar az Zaranji saja yang tidak sempat menjenguknya.

Setelah berjumpa syaikh Khulwani bertanya kepadanya: “Mengapa engkau tidak

menjengukku?”. Jawab syaikh Abu Bakar: “Saya sedang sibuk berkhidmat pada

ibuku”. Kemudian kata beliau: “Kalau demikian engkau dikaruniai umur akan tetapi

tidak dikaruniai kelezatan belajar.” Dan akhirnyapun seperti itu, maka ia sebagian

hari-harinya dihabiskan di desa dan tidak bisa membuat majlis taklim”. Barangsiapa

yang membuat kecewa gurunya maka ia tidak akan mendapatkan berkah ilmu dan

tidak mengambil manfaat darinya kecuali sedikit.44

Dalam kisah ini sulit dimengerti, mengapa seseorang yang tidak sempat

mengunjungi gurunya dikarenakan berkhidmat kepada ibunya disabda (dihukum) tidak

akan mendapatkan kelezatan ilmu. Seorang anak sudah sewajarnya berbakti dan

berkhidmat kepada orang tuanya terutama ibu. Banyak dalil-dalil dalam al Qur'an maupun

as sunnah yang telah dipaparkan di atas tentang kebaktian kepada ibu bapak.

Ada nuansa mistis maupun politis pada kisah di atas. Kekhawatiran terjadinya

madharat atau kuwalat dari seorang murid yang tidak menghormati gurunya adalah sesuatu

yang mistis. Justru kuwalat lebih mungkin terjadi apabila dia tidak berbakti dan

menghormat kepada ibu. Adapun secara politis ada upaya membentuk legalitas kedudukan

sang guru dengan hak-haknya yang melebihi hak seorang ibu.

Uwais Al Qarni salah seorang Muhadhram (orang yang hidup di masa Nabi saw.

memeluk Islam dan wafat dalam keadaan Islam akan tetapi belum pernah berjumpa

dengan Nabi saw) menunda kerinduannya untuk berjumpa sang Maha guru Rasulullah

saw. karena khidmatnya kepada ibunya. Sampai akhir hayatnyapun ia tidak berjumpa

dengan Nabi saw. Apakah dia diharamkan mendapat kelezatan ilmu dan diberi umur

panjang?.

Terlepas dari semua itu, justru Rasulullah saw memberikan justifikasi atas

kredibilitasnya sebagai sosok alim yang mustajabud dakwah (selalu dikabulkan doanya).

Rasul juga berpesan kepada para sahabatnya jika bertemu dengannya agar memohon doa

kebaikan45.

Menurut Aliy As'ad, "Ucapan sang guru tadi diterima Az Zaranji sebagai cambuk

motivasi. Maka di hari-harinya yang sulit itu, Az Zaranji tetap berusaha semaksimal

mungkin lahir dan batin untuk memperdalam ilmu terus menerus, hingga akhirnya menjadi

ulama besar di zamannya. Al Qurasyi dalam "Al Jawahirul Mudhi’ah" (1/172) menulis

44 Hammam Nashiruddin, op.cit., hlm. 68-70.

45 Kisah Sahabat,8 July 2006.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

63

bahwa, "para fuqaha bila mendapati kesulitan mereka kembali kepada az Zaranji, bahkan

tidak sedikit buku yang berhasil beliau tulis, bahkan akhirnya dijuluki imam Abu Hanifah

kecil"46.

Penjelasan dari Ali As'ad ini justru mementahkan kisah yang dinukil az Zarnuji di

atas. Pada faktanya, az Zaranji yang memilih khidmat kepada ibunya daripada menjenguk

gurunya bukan sekedar dikaruniai umur panjang, namun juga diberi ilmu yang luas dan

kuat hafalan. Sehingga mengantarkan dia menjadi salah seorang fuqaha yang sangat

terkenal dan disegani, bahkan dikenal dengan Abu Hanifah kecil.

Akhir dari kisah itu az Zarnuji mengatakan, "Barangsiapa yang menyakiti perasan

gurunya, ia akan terhalang keberkahan ilmunya dan tidak bisa mengambil manfaat kecuali

sedikit saja. Hal ini diperkuat dengan sya'ir:

ا الطبيب و المع ل م ان ان ل كال هم ح ا اذ ا ي نص ا ل م هم يكرم

ف وت ان لد ائك ف اصبر ا ج بيب ه هلك اقن ع و ط ف وت ان بج مع ل ما ج

Sesungguhnya guru dan dokter itu keduanya

Tidak akan memberikan nasehat jika tidak dihormati.

Maka sabarlah dengan penyakitmu jika engkau mengabaikan Pemberi obat

Dan terimalah kebodohanmu jika kamu mengabaikan sang guru47.

Syaikh Ibrahim bin Ismail mengatakan, "Maksudnya, bahwa guru dan dokter tidak

mau bertindak baik kepada pelajar dan orang sakit jika keduanya tidak dihormati. Sebab

jika keduanya tidak dihormati maka keduanya tidak mau mengasihi orang yang sakit dan

pelajar, sehinggakeduanya tidak mau memberi nasehat. Maka bersabarlah merasakan

sakitmu jika engkau mengabaikan dokter dan jangan memaksanya untuk mengobati.

Demikian juga murid yang mengabaikan gurunya, maka harus mau menerima kebodohan

karena dalam belajar tidak memberikan manfaat dan tetap dalam kebodohan"48.

E. Penutup

Dari pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa kitab ta’lim al muta’allim sering

dijadikan alat sebagai bentuk legalitas para kiai terhadap status social dan kekuasaannya

terhadap para muta’allim. Hal itu didasari atas interpretasi yang subyektif untuk

membangun persepsi yang keliru dalam masalah ta’dhim yang menjurus pada

pengkultusan. Sedang muta’allim baik dari kalangan pelajar maupun awwam tak ubahnya

sebagai obyek yang sering dijadikan sebagai komoditi social maupun politik.

46 Aliy As'ad: 2007: 39

47 Hammam Nashiruddin, log.cit., hlm.70

48 Ibrahim: 200:32.

Kasyf el Fikr Volume 1, Nomor 2, Desember 2014

64

DAFTAR PUSTAKA

As'ad, Aliy, Terjemah Ta'lim al muta'allim: Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan,

Penerbit Menara, Kudus, 2007.

Abdul Azis, Abdul Qadir, Al Jami' Fi Thalab al ilmi al Syarif, Mimbar Tauhid wa al Jihad,

Kairo.

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, LP3ES,

Jakarta, 1985.

Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta, LKiS, 2003.

Hasbullah, Drs., Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah Pertumbuhan

dan Perkembangan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999. (hl 24-27, 138-161)

Mastuki HS, Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era

Pertumbuhan Pesantren, Diva Pustaka, Jakarta, 2003.

Madjid, Nurcholish, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan, paramadina, Jakarta,

1997.

Nashiruddin, Hammam, Tafhim al Mutallim fi tarjamati Ta'lim al Mutallim, Maktabah wa

Mathba'ah Menara’ Kudus, 1963.

Syarifuddin, dan Hamdan Farchan, Titik Tengkar Pesantren :Resolusi Konflik Masyarakat

Pesantren, Pilar Media, Yogyakarta, 2005.

Wahid, Abdurrahman., Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, LkiS, Yogyakarta,

2001.

Walsh, Mayra, Pondok Pesantren dan Golongan Islam Ekstrim: Studi Kasusus di Pondok

Pesantren Modern Darur Ridwan Parangharjo Banyuwangi ACICIS Program

Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik, Universitas Muhammadiyah Malang, 2002.

Ziemek, Manfred, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, Masyarakat P3M, Jakarta, 1986.

Yasmadi, Modernisasi Pesantren: Kritik Nurcholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam

Tradisional, Ciputat Press, Ciputat Jaksel, 2002.