kata pengantar - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... · i...
TRANSCRIPT
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
ni‟mat-Nya sehingga buku dengan judul “Pemahaman
Keagamaan Guru Pendidikan Agama Islam di DKI Jakarta” dapat
tersusun dengan baik.
Buku ini mengenai pemahaman keagamaan guru
pendidikan agama Islam di DKI Jakarta. Penelitian ini
menggunakan analisis deskriptif, yaitu dengan memberikan
gambaran sejelas mungkin obyek penelitian berkenaan dengan
pemahaman keagamaan guru pendidikan agama Islam di DKI
Jakarta. Hasil penelitian disajikan secara sistematis mengenai
fenomena-fenomena yang ada. Unit analisis penelitian adalah
komponen-komponen yang terdapat dalam pemahaman
keagamaan guru pendidikan agama Islam di sekolah dasar
wilayah provinsi DKI Jakarta. Dengan mengacu pada unit
analisis penelitian tersebut, maka subyek penelitian ini adalah
guru pendidikan agama Islam (PAI). Dalam penelitian ini peneliti
bertindak sebagai instrumen penelitian atau alat penelitian utama
(main instrument). Peneliti selaku instrumen utama,
menggunakan alat bantu berupa panduan wawancara untuk
membantu peneliti merekam hasil wawancara. Kesimpulan
penelitian ini adalah bahwa guru pendidikan agama Islam (PAI)
pada Sekolah Dasar (SD) di wilayah Provinsi DKI Jakarta
mayoritas memiliki pemahaman keagamaan yang kontektual.
ii
Pendekatan kontektual dalam pemahaman keagamaan adalah
pemahaman yang penjabarannya senantiasa memperhatikan
kondisi dan situasi dimana Islam itu di kembangkan. Pendekatan
ini adalah sebagai metode yang menjadikan rasio atau akal
manusia sebagai alat yang paling dominan dalam memperoleh
pengetahuan dan pemahaman atas pelbagai ajaran Islam, teks
teks wahyu dibedah secara kontekstual, kritis, logis dan rasional.
Pendekatan kontekstualis ini juga sebagai manhaj fikir yang
memahami agama Islam sebagai organisme yang hidup dan
berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada segenap pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan buku konsep fitrah
dalam Alqur‟an ini. Penulis hanya dapat berdo‟a semoga
pengorbanan segenap pihak dibalas dengan pahala yang berlipat
ganda oleh Allah Swt.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR …………………………….…....................…………
i
DAFTAR ISI ...........………………….....................................……………
iii
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................
1
BAB II KAJIAN TEORITIK .............................................................
6
A. Pemahaman Keagamaan …...........................................................
6
1. Pengertian Pemahaman Keagamaan ……...................…….....
6
2. Pendekatan dalam pemahaman keagamaan ……......................
7
a) Pendekatan Tekstual .........................................................
7
b) Pendekatan Kontekstual ................................................... 9
c) Beberapa Permasalahan dalam Pemahaman Keagamaan
11
1) Zakat dengan Uang ...................................................
11
2) Zakat untuk Muallaf ..................................................
12
3) Hukum Potong Tangan Bagi Pencuri ........................
13
4) Mengganti Kayu Siwak dengan Sikat dan Pasta Gigi
iv
14
5) Isbal........................................................................... 16
6) Tahlilan .....................................................................
19
7) Saksi Perzinaan .........................................................
24
8) Bunga Bank .............................................................. 33
9) Kesaksian Wanita .....................................................
35
10) Shalat di Bani Quraizhah .........................................
39
B. Guru Pendidikan Agama Islam .....................................................
40
1. Pengertian Guru Pendidikan Agama Islam ….........................
40
2. Tujuan Pendidikan Agama Islam ………...................………
44
3. Syarat-Syarat menjadi Guru .…………....................…...……
45
4. Peran Guru dalam Pendidikan ...………....................…..……
48
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........... ……...........................
51
A. Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................
51
B. Metode Penelitian .........................................................................
54
v
C. Unit Analisis ................................................................................
54
D. Instrumen Penelitian .....................................................................
55
E. Teknik Pengumpulan Data ...........................................................
63
F. Teknik Analisa Data .....................................................................
64
BAB IV PEMAHAMAN KEAGAMAAN GURU PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM DI DKI JAKARTA......….............................................. 66
BAB V PENUTUP ...................................................................................
99
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
94
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ..................................................................
139
1
BAB I
PENDAHULUAN
Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw saat ini
sudah berusia kurang lebih empat belas abad, yakni dari sejak
abad VII hingga abad XX ini. Dalam perjalanan sejarahnya yang
panjang itu Islam yang bersumber pada al-Qur‟an dan al-Hadits
telah dipahami oleh para penganutnya yang memiliki latar
belakang sosial, kultural, politik, pendidikan, kecenderungan,
kecerdasan, disiplin, aliran dan sebagainya yang berbeda-beda.
Berbagai keragaman latar belakang yang dimiliki para
penganutnya itu ternyata telah digunakan untuk memahami al-
Qur‟an dan al-Sunnah. Dari sinilah Islam dalam kenyataan
empiris lahir dalam sosok dan wajah yang amat variatif,
walaupun sumbernya sama, yaitu al-Qur‟an dan Hadits.1
Memahami Islam tidak cukup hanya lewat teks, tapi juga
harus memahami konteks. Keduanya harus dipahami dan tidak
bisa ditinggalkan. Kalau melulu melihat teks, maka akan terpaku
dengan teks dan memutar kembali jarum sejarah ke zaman onta.
Kalau hanya berpegang pada konteks dan melupakan teks, maka
akan seperti anak panah yang lepas dari busurnya.
Dengan mempelajari Qawaid Ushuliyyah dan Qawaid
Fiqhiyyah dan memegang teguh ajaran pesantren yaitu dengan al-
muhafazah 'alal qadimis shalih wal akhzu bil jadidil ashlah, ini
1 Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), Ed. 1. Cet. 2, hlm. 211
2
cukup bagi seseorang untuk bisa "nyetel" dengan pas antara
wahyu dan akal; teks dan konteks; Nash dengan budaya; mantuq
dan mafhum; azimah dan rukhsah; serta dalalah dan maqashid.
Maka dari itu ajaran-ajaran pesanatren ini tidak tidak
literal dan juga tidak liberal. Cara berpikir 'wasatiyyah' ini
membuat para kiai tidak kesulitan menempatkan diri dalam
perubahan zaman. Masih banyak saudara-saudara kita yang 100
persen hendak mengikuti setiap tindakan dan perilaku Nabi dari
soal cara berpakaian dan lain sebagainya. Tentu tidak keliru kalau
mau mengikuti Nabi dalam segala hal, namun bahanyanya bagi
mereka yang mengikuti secara tekstual adalah sering
menganggap orang lain kurang islami atau kurang „nyunnah‟
kalau mengikuti Nabi secara kontekstual.
Perilaku dan tindakan Nabi itu ada yang bersifat
kemanusiaan belaka dan karenanya tidak memiliki konsekuensi
hukum; dan ada yang memang dilakukan Muhammad sebagai
seorang Nabi yang karenanya memiliki konsekuensi hukum.
Dengan kata lain, harus dibedakan antara sunnah ghairu
tasyri'iyyah dan sunnah tasyri'iyyah.
Banyak masalah-masalah yang muncul di tengah-tengah
masyarakat terkait dengan pemahaman keagamaan tekstual dan
kontekstual ini, antara lain: Apakah saat mengucapkan tasyahud
telunjuk harus digerak-gerakkan atau cukup diam saja? Apakah
laporan seorang sahabat yang melihat telunjuk Nabi bergerak itu
merupakan hal yang harus kita ikuti atau tidak?, yang sunah itu
3
memakai alat siwaknya atau membersihkan mulut dan giginya?
Apakah tetap dianggap sesuai sunah kalau kita ganti siwak
dengan sikat gigi?, dan lain sebagainya.
Repotnya, yang ngotot pakai siwak itu sering menganggap
yang tidak bersiwak itu tidak mengikuti sunah Nabi. Sikap
menghakimi ini yang sering jadi masalah dalam interaksi sosial
kita sehari-hari.
Pendidikan Agama Islam dilakukan untuk
mempersiapkan peserta didik meyakini, memahami dan
mengamalkan ajaran Islam. Pendidikan tersebut melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, atau pelatihan yang telah
ditentukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut
Muhammad Alim, tujuan pendidikan agama Islam adalah
membantu terbinanya siswa yang beriman, berilmu dan
beramal sesuai dengan ajaran Islam.2
Yang jadi permasalahan adalah apakah semua guru
pendidikan Agama Islam mempunyai pemahaman keagamaan
yang sama dalam memahami ajaran Islam.
Karena untuk memahami ajaran Islam ada yang melalui
pendekatan tektual dan ada yang melalui pendekatan kontekstual.
Pendekatan tekstual sangat mengutamakan teks-teks wahyu
sedangkan pendekatan kontekstual lebih mengutamakan rasio
atau akal pikiran. Pendekatan tekstual kelihatannya lebih pasti
2 Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan
Pemikiran dan Kepribadian Muslim, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006), hlm. 6
4
namun banyak hal yang tidak dapat dijelaskannya karena hal-hal
tersebut tidak tertulis dalam Al-Quran maupun Hadist sedangkan
pendekatan konstektual lebih luas cakupannya karena bersumber
dari rasio atau akal pikiran yang mana kita tahu bahwa rasio atau
akal pikiran terus berkembang seiring perkembangan zaman,
tetapi terkadang lepas tak jelas arah tujuan.
Maka dari itu peneliti melalui penelitian ini ingin sekali
mengetahui tentang pemahaman keagamaan guru pendidikan
agama Islam di Sekolah Dasar di wilayah Kota Jakarta Selatan.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka rumusan
masalahnya adalah bagaimana pemahaman keagamaan guru
pendidikan agama Islam pada Sekolah Dasar Wilayah Provinsi
DKI Jakarta?
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman
keagamaan guru pendidikan agama Islam pada Sekolah Dasar Wilayah
Provinsi DKI Jakarta.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai
berikut:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan sumbangan pemikiran dan menambah wawasan
tentang kajian mengenai pemahaman keagamaan guru
pendidikan agama Islam yang dapat dijadikan acuan
dalam penelitian, pembuatan buku dan pengajaran.
Sebagai bahan temuan yang dapat dijadikan dasar
penelitian, mengevaluasi dan pengembangan ilmu
pengetahuan.
5
2. Secara praktis
a. memberikan masukan kepada kepala sekolah dan
dewan guru tentang pemahaman keagamaan guru
pendidikan agama Islam.
b. memberikan informasi kepada pemerintah, Sekolah
Tinggi Agama Islam Alhikmah Jakarta dan para
pembaca mengenai pemahaman keagamaan guru
pendidikan agama Islam.
6
BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Pemahaman Keagamaan
1. Pengertian Pemahaman Keagamaan
Keagamaan Secara etimologi pemahaman berasal dari
kata paham yang diberi awalan pe dan akhiran an. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia pemahaman adalah proses, perbuatan,
cara memahami atau memahamkan.3 Dalam Taksonomi Bloom
pemahaman masuk pada ranah kognitif tingkat dua. Memahami
berarti mengkontruksi makna dari materi pembelajaran baik yang
bersifat lisan, tulisan maupun grafis. Meliputi menafsirkan,
mencontohkan, mengklasifikasikan, merangkum, menyimpulkan,
membandingkan dan menjelaskan.4
Sedangkan agama adalah sebagaimana yang telah diulas
di atas adalah ajaran yang mengatur peribadahan kepada Tuhan.
Jadi pemahaman keagamaan adalah proses belajar dimana
seseorang mampu memahami nilai agama yang dianutnya
sehingga dapat mempraktikan nilai-nilai tersebut dalam bersikap
dan bertingkah laku. Agama dalam kehidupan individu berfungsi
sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu.
Secara umum norma-norma tersebut menjadi kerangka acuan
3 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
op. cit., hal. 636 4 Faisal, Mengintegrasikan Revisis Taksonomi Bloom Kedalam
Pembelajaran Biologi, Jurnal Sainsmat, Vol. IV, No. 2, 2015, hal. 104
7
dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan
keyakinan agama yang dianutnya.5
Konsep-konsep dalam ajaran agama itu harus diketahui
dan dipahami, karena pemahaman yang benar tentang agama
dapat membantu dalam benarnya pengamalan ajaran agama
tersebut. yang dalam pembahasan ini adalah agama Islam.
2. Pendekatan dalam pemahaman keagamaan
Dalam memahami agama Islam dapat melalui dua
pendekatan, yaitu pendekatan tektual dan pendekatan kontekstual.
a) Pendekatan Tekstual
Disebut pendekatan tekstual karena ia menekankan
signifikansi teks-teks sebagai sentra kajian Islam dengan merujuk
kepada sumber-sumber suci dalam Islam, terutama al-Qur‟an dan
Hadits. Pendekatan ini sangat penting ketika kita ingin melihat
realitas Islam normatif yang tertulis, baik secara eksplisit maupun
implisit, dalam kedua sumber suci di atas. Selain al-Qur‟an dan
Hadits, kajian tekstual juga tidak menafikan eksistensi teks-teks
lainnya sebagaimana ditulis oleh para intelektual dan `ulama‟
besar Muslim terdahulu dan kontemporer.
Pendapat lain mengatakan pendekatan tekstual adalah suatu
model pemahaman yang berpegang pada formal teks,
berpedoman pada tradisi yang terbentuk dimasa silam dan
mengikatkannya secara ketat serta menganggap ajaran islam yang
5 Allan Menzies, Sejarah Agama Agama, (Yogyakarta : Forum,
2014), hal.318
8
mereka yakini sebagai suatu kebenaran mutlak yang tidak perlu
dirubah lagi karena secara otoritatif telah dirumuskan oleh para
ulama‟ terdahulu secara final dan tuntas, mereka kurang suka
dengan perubahan karena khawatir menimbulkan keresahan yang
mengancam integrasi umat, karena itu dalam merespon tiap
perubahan, model pendekatan ini terkesan hati hati (untuk tidak
mengatakan lamban) dan selalu menempatkan
konsep “Almuhafadatu ala al qadim al-soleh wal akhzu bil
jadidil aslah (memelihara hal-hal yang terdahulu yang masih baik
dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik) pada posisi
bagaimana benang tak terputus dan tepung tak terserak.
Dalam aplikasinya, pendekatan tekstual barangkali tidak
menemui kendala yang cukup berarti ketika dipakai untuk
melihat dimensi Islam normatif. Persoalan baru muncul ketika
pendekatan ini dihadapkan pada realitas ibadah umat Islam yang
tidak tertulis secara eksplisit, baik di dalam al-Qur‟an maupun
Hadits, namun kehadirannya diakui dan, bahkan, diamalkan oleh
komunitas Muslim tertentu secara luas. Contoh yang paling nyata
adalah adanya ritual tertentu dalam komunitas Muslim yang
sudah mentradisi secara turun-temurun seperti slametan (tahlilan
atau kenduren).
Cukup dilematis, memang, bagi pendekatan tekstual untuk
sekedar menjustifikasi bahwa ritual-ritual tersebut merupakan
bagian dari ajaran Islam atau tidak. Sebagai bagian dari diskursus
akademis, tujuan mengkaji ritual-ritual populer dalam Islam
9
memang bukan untuk membuktikan apakah mereka merupakan
bagian dari ajaran Islam atau tidak. Diskursus semacam ini tentu
saja sudah out of date untuk tetap dikedepankan dalam konteks
analisis ilmiah-akademis dan, oleh karenanya, tidak perlu
dipertahankan dalam tradisi intelektual. Sebaliknya, yang
menjadi concern akademis di sini adalah bagaimana
menempatkan ritual populer tersebut dalam kerangka
proporsional yang tidak berbuntut klaim atau pembenaran
sepihak.
b) Pendekatan Kontekstual
Kata kontekstual berasal dari bahasa Inggris, context yaitu
istilah yang berhubungan dengan kata-kata, konteks, suasana dan
keadaan. Lalu menjadi kata contextual yang berhubungan dengan
konteks, dilihat dalam hubungan dalam kalimat.6 Dalam
pengertian yang lain, kontekstual berarti keadaan atau situasi di
mana suatu kalimat atau perkataan itu di katakan. Indikator-
indikator yang berada dalam situasi di mana kata-kata tersebut
diucapkan ikut mempengaruhi. Misalnya kita mengatakan „ada
macam galak.‟ Apabila kata tersebut di ucapkan di tengah-tengah
hutan, maka kata tersebut dapat menunjukkan kepada keadaan
macan yang sesungguhnya. Tetapi jika kata tersebut diucapkan di
supermarket, kata yang dimaksud dengan macam tersebut bisa
berarti aparat keamanan atau satpam, dan yang sejenisnya. Di sini
6 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia,
(Jakarta: Gramedia, 1979), cet. VIII, hal. 143
10
terlihat bahwa satu kata bisa mengandung arti lebih dari sati
didasarkan pada situasi di mana kata tersebut diucapkan.7
Dengan pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa
pendekatan kontektual dalam pemahaaman keagamaan adalah
yang penjabarannya senantiasa memperhatikan kondisi dan
situasi dimana Islam itu di kembangkan. Islam kontekstual adalah
Islam yang di pahami sesuai dengan situasi dan kondisi di mana
Islam tersebut di kembangkan.8
Yakni metode yang menjadikan rasio atau akal manusia
sebagai alat yang paling dominan dalam memperoleh
pengetahuan dan pemahaman atas pelbagai ajaran Islam, karena
itu seluruh teks teks wahyu harus dibedah secara kontekstual,
kritis, logis dan rasional.
Model kontekstualis ini juga dapat diartikan
sebagai manhaj fikir yang memahami agama Islam sebagai
organisme yang hidup dan berkembang sesuai dengan denyut
nadi perkembangan manusia, karena itu didalam menafsirkan teks
teks suci mereka menggunakan penafsiran yang kontekstual,
substansial dan non literal.
Karakteristik yang paling nampak dalam model ini meliputi
: Penekanan pada semangat religio etik, bukan pada makna
literal sebuah teks, manhaj yang dikembangkan mereka adalah
penafsiran Islam berdasarkan semangat dan spirit teks,
7 Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), Ed. 1. Cet. 2, hal. 107-108 8 Ibid., hal. 108
11
memahami latar teks secara kontekstual, substansial dan non
literal, menurut mereka hanya dengan model tersebut, Islam
akan hidup survive dan berkembang secara kreatif menjadi
bagian dari “peradaban manusia” universal. Karena itu bagi
mereka pintu ijtihad mesti dibuka pada semua bidang sehingga
memungkinkan Islam mampu menjawab persoalan kemanusiaan
yang terus berubah, penutupan pintu ijtihad (baik secara terbatas
atau secara keseluruhan) adalah ancaman atas islam itu sendiri,
sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan.
c) Beberapa Permasalahan dalam Pemahaman
Keagamaan
1) Zakat dengan Uang
Rasulullah Saw bersabda:
ف كل أربعني شاة شاة
“Setiap empat puluh ekor kambing zakatnya seekor”.9
عليو وسلم زكاة الفطر صاعا من تر، أوصاعا من ف رض رسول اهلل صلى اهلل ، وأمر غي والكبي من المسلمني ، والذكر واألن ثى، والص ، على العبد والر شعي
با أن ت ؤدى ق بل خروج الناس إىل الصلة “Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat Fitrah
sebanyak satu sha‟ kurma atau gandum atas oaring muslim baik
budak dan orang biasa, laki-laki dan wamita, anak-anak dan
orang dewasa, beliau memberitahukan membayar zakat Fitrah
sebelum berangkat (ke masjid) „Idul Fitri” (HR Bukhari dan
Muslim)”.10
9 Hadits riwayatTirmidzi no: 564 dan Abu Daud no: 134
10
Hadits riwayat Bukhari no : 1407 dan Muslim no : 1635 dan 1646
12
Sebagian ulama memahami hadits-hadits tersebut secara
kontektual, yaitu berdasarkan tujuan ditetapkannya zakat itu.
Pemilik empat puluh ekor kambing wajib memberikan seekor
kambing untuk membahagiakan orang fakir miskin dan boleh
memberikannya seharga kambing tersebut. Begitu juga
mengeluarkan zakat fitrah tujuannya adalah agar orang fakir
miskin bahagia dan bisa memanfaatkannya maka boleh
mengeluartkan zakat senilai satu sha‟ buah kurma atau satu sha‟
gandum. Adapun sebagain ulama memahami secara tektual,
maka tidak sah mengganti zakat dengan harga yang senilai
dengan zakat yang harus dikeluarkan.
2) Zakat untuk Muallaf
Rasulullah Saw biasanya memberikan bagian zakat pada kepala
suku Arab dengan tujuan untuk menarik mereka agar memeluk Islam
atau mencegah mereka agar tidak membahayakan kaum Muslimin.
Bagian ini diberikan pula pada orang-orang Muslim yang baru
(muallaf) sehingga mereka dapat tetap memeluk Islam dengan teguh.
Tetapi Umar bin Khaththab mencabut perintah yang dituliskan Abu
Bakar, dikala ia masih menjadi khalifah bagi penyumbangan tanah-
tanah tertentu pada sejumlah orang atas dasar bahwa Rasulullah telah
memberikan bagian ini untuk memperkuat Islam, tetapi karena keadaan
telah berubah, maka bagian ini tidak valid lagi. Tindakan Umar ini
tampaknya bertolak belakang dengan Qur‟an, tetapi sebenarnya ia
mempertimbangkan situasi yang ada dan mengikuti ruh perintah
Qur‟an. Pertimbangan pribadinya membawanya pada keputusan bahwa
seandainya Rasulullah hidup dalam kondisi yang sama, tentu beliau
13
akan memutuskan hal yang serupa.11
Pemahaman Umar bin Khaththab
dalam hal ini cenderung menggunakan pendekatan kontektual.
3) Hukum Potong Tangan Bagi Pencuri
Sejumlah budak mencuri seekor unta betina, kemudian
menyembelihnya dan memakannya beramai-ramai. Ketika persoalan ini
disampaikan pada Umar bin Khaththab, seketika itu juga ia
memerintahkan agar dilakukan pemotongan tangan terhadap mereka,
tetapi setelah termenung sesaat ia berkata pada pemilik budak-budak
itu: “kamu pasti yang telah membuat budak-budak ini kelaparan”.
Karena itu ia memerintahkan pemilik budak-budak itu agar mengganti
unta betina dengan dua kali harganya dan mencabut perintah
sebelumnya, yaitu pemotongan tangan pada pencurinya. Cerita lain
menyatakan bahwa seorang laki-laki mencuri suatu barang dari Baitul
Mal, tetapi Umar tidak memotong tangannya. Bahwa Umar
membekukan hukuman pemotongan tangan pencuri pada musim
paceklik adalah fakta sejarah yang masyhur. Dalam kasus-kasus ini
Umar tampaknya melanggar ayat Qur‟an yang memerintahkan
pemotongan tangan pencuri. Tetapi Umar menggunakan pendekatan
kontekstual dalam memutuskan hukum di atas.12
4) Mengganti Kayu Siwak dengan dengan Sikat dan
Pasta Gigi
11
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terjemahan dari
The Early Development of Islamic Jurisprudence oleh Agah Garnadi,
(Bandung : Penerbit Pustaka, 1984), h. 110. 12
Ibid., h. 110
14
Islam adalah agama yang mencintai kebersihan, tak
terkecuali kebersihan gigi. Oleh sebab itu, dalam ajaran Nabi
Muhammad SAW seorang Muslim dianjurkan untuk bersiwak
yang berguna untuk membersihkan gigi.
Apa siwak itu? Menurut bahasa Arab siwak berarti
menggosok atau alat yang digunakan untuk itu. Nabi SAW sangat
menganjurkan umatnya untuk bersiwak dalam setiap shalat.
واك عند كل صلة ت، ألمرت هم بالس لول أن أشق على أمArtinya, “Jika tidak memberatkan bagi umatku, maka aku
akan menyuruh mereka untuk bersiwak setiap shalat,” (HR Abu
Dawud).
Pada masa Nabi, sebagaimana disebutkan dalam kitab-
kitab fikih klasik, disebutkan bahwa orang Arab biasa menggosok
gigi dengan kayu yang dikenal dengan kayu arak. Selain itu,
dalam berbagai riwayat hadits, Nabi dan sahabat tidak lupa untuk
mencuci kayu tersebut setelah digunakan bersiwak. Kenapa kayu
arak? Ranting kayu ini lebih lunak dan terasa nyaman di mulut.
Di Indonesia, fenomena bersiwak banyak di sekitar kita.
Kayu arak ini dijual, serta dijadikan oleh-oleh jamaah haji untuk
handai tolan sepulang ke Indonesia. Sebagian orang menganggap,
yang disebut bersiwak adalah menggunakan kayu tersebut
sewaktu-waktu, terutama sebelum shalat.
Zaman sudah berubah, masyarakat juga mengenal sikat
gigi serta pasta gigi. Sikat gigi lebih mudah didapat di Indonesia,
serta bisa menjangkau bagian mulut yang lebih dalam. Nah,
15
apakah menggunakan sikat dan pasta gigi termasuk bersiwak
juga?
واك أيضا على ما يستاك بو من أراك ونوه ويطلق الس
Syekh Muhammad bin Qasim Al-Ghazi menyebutkan
dalam kitabnya Fathul Qarib bahwa “Siwak adalah menggosok
gigi dengan kayu arak atau sejenisnya.” Dari keterangan tersebut,
maka selain kayu arok pun bisa dinilai bersiwak.
Lebih lanjut, Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam Al-Fiqhul
Islami wa Adillatuh menyebutkan:
فرة استعمال عود أو نوه كأشنان وصاب ون، ف األسنان وما حولا، ليذىب الصها رىا عن .وغي
Artinya, “Siwak adalah penggunaan kayu atau sejenisnya
seperti sikat dan pasta gigi, untuk membersihkan bagian gigi dan
sekitarnya, supaya kotoran dan sejenisnya bisa hilang.”
Maka perlu diketahui, bahwa tujuan bersiwak ini adalah
mulut yang bersih serta bau mulut yang sedap. Dalam interaksi
kita sehari-hari, gigi kotor dan bau mulut tak sedap membuat
tidak nyaman. Untuk menambah nilai kemuliaan saat beribadah,
maka membersihkan gigi sangat dianjurkan, baik sebelum shalat,
ketika akan membaca Al-Quran, dan sebagainya.
Bersiwak dengan kayu juga perlu diperhatikan. Setelah
digunakan, kayu hendaknya dicuci. Lalu saat ujungnya sudah
mekar, maka ia sulit untuk menjangkau sela-sela gigi. Kayu
siwak yang digunakan tapi tak kunjung dicuci, tentu juga bisa
menyebabkan kayu itu berbau tak sedap.
16
Membersihkan gigi itu penting, dan meskipun tidak
menggunakan kayu tetap diniatkan bersiwak agar mendapat
kesunahan. Gigi bersih, nafas segar, serta mendapatkan kebaikan
juga. Kalau bisa, kita juga boleh menggunakan kayu arak agar
lebih menambah keutamaan. 13
5) Isbal (Kaki celana/Jubah/Kain menutup mata kaki).
Dari Abu Dzar, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda,
“Ada tiga yang tidak akan diajak bicara oleh Allah Swt pada hari
kiamat, Allah Swt tidak memandang mereka, tidak mensucikan
mereka dan bagi mereka azab yang menyakitkan”. Rasulullah
Saw mengatakannya tiga kali. Abu Dzar berkata, “Mereka itu sia-
sia dan merugi. Siapakah mereka wahai Rasulullah?”. Beliau
menjawab, “Al-Musbil (orang yang memanjangkan
jubah/kain/kaki celana menutupi mata kaki), orang yang
mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang menjual barangnya
dengan sumpah dusta”. (HR. Muslim).
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda,
“Kain yang di bawah dua mata kaki, maka di dalam neraka”.
(HR. al-Bukhari).
Pendapat Ulama Memahami Hadits-Hadits Ini:
Pendapat Imam Syafi‟i: “Makna Isbal adalah
memanjangkan kain di bawah kedua mata kaki, hanya bagi orang
yang sombong. Jika pada orang yang tidak sombong, maka
13
www.nu.or.id
17
makruh. Demikian disebutkan Imam Syafi‟i secara nash tentang
perbedaan antara orang yang memanjangkan kain karena
sombong dan orang yang memanjangkan kain tetapi tidak
sombong.14
Imam an-Nawawi membuat satu bab khusus dalam kitab
Riyadh ash-Shalihin:
باب صعة طول القميص والكم واإلزار وطرف العمامة وحترمي إسبال شيء من ذلك على سبيل اخليلء وكراىتو من غي خيلء
Bab: Sifat panjangnya gamis, ujung gamis, kain dan
ujung sorban. Haram memanjangkan semua itu untuk
kesombongan, makruh jika tidak sombong. 15
Pendapat al-Hafizh Ibnu Hajar al-„Asqalani:
وف ىذه األحاديث أن إسبال اإلزار للخيلء كبية وأما اإلسبال لغي اخليلء استدل بالتقييد ف ىذه األحاديث باخليلء فظاىر األحاديث حترميو أيضا لكن
على أن اإلطلق ف الزجر الوارد ف ذم اإلسبال حممول على املقيد ىنا فل حيرم اجلر والسبال إذا سلم من اخليلء
Dalam hadits-hadits ini disebutkan bahwa memanjangkan
kain bagi orang-orang yang sombong adalah dosa besar. Adapun
memanjangkan kain bagi yang tidak sombong, zhahir hadits ini
mengandung makna haram juga, akan tetapi diikat dengan
hadits-hadits lain yang mengandung makna sombong. Kalimat
yang bersifat umum dalam kecaman tersebut mengandung makna
ikatan: bagi orang yang sombong. Oleh sebab itu tidak haram
menyeret dan memanjangkan kain jika selamat dari sifat
14
Al-Haifzh Ibnu Hajar al-„Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-
Bukhari, juz.X (Beirut: Dar alMa‟rifah, 1379H), hal.263. 15
Imam an-Nawawi, Riyadh ash-Shalihin, juz.I, hal.425.
18
sombong.16
وىذا اإلطلق حممول على ما ورد من قيد اخليلء فهو الذي ورد فيو الوعيد بالتفاق
Penggunaan kalimat yang bersifat umum ini mengandung
makna ikatan, diikat dengan hadisthadits yang mengikat dengan
sifat sombong, maka orang yang memanjangkan kain/jubah/kaki
celana dengan sifat sombong, itulah yang diancam dengan
ancaman yang keras, disepakati ulama tentang ini.17
Pendapat Syekh DR.Yusuf al-Qaradhawi: Salah satu
metode memahami hadits dengan baik adalah:
مجع األحاديث الواردة ف املوضوع الواحد “Menggabungkan beberapa hadits dalam satu tema”.
Hadits tentang Isbal, banyak pemuda Islam yang
bersemangat sangat mengingkari orang lain yang tidak
memendekkan pakaiannya di atas mata kaki. Bahkan mereka
terlalu berlebihan dalam bersikap sampai pada tingkat
menjadikan perbuatan memendekkan kaki celana sebagai syi‟ar
Islam atau kewajiban yang besar dalam Islam. Jika mereka
melihat seorang ulama atau da‟i tidak memendekkan kaki celana
seperti yang mereka lakukan, mereka menuduhnya -bahkan
secara terang-terangan- tidak faham agama!
Jika seseorang mencukupkan dirinya hanya memahami
makna zhahir dengan satu hadits saja, tanpa melihat hadits-hadits
lain yang terkait dengan tema tertentu secara keseluruhan, maka
orang akan mudah terjerumus dalam kekeliruan, jauh dari
16
Al-Haifzh Ibnu Hajar al-„Asqalani, op. cit., juz.X, hal.263 17
Ibid., hal.257.
19
kebenaran dan tujuan yang dimaksud hadits Rasulullah Saw. 18
Memanjangkan jubah merupakan tradisi kesombongan
raja-raja Romawi dan Persia masa silam. Untuk menunjukkan
keangkuhan dan kesombongan mereka, maka para penguasa itu
memanjangkan jubah yang ujungnya dibawa oleh para pengawal
dan dayang-dayang. Tradisi itu masuk juga ke dalam masyarakat
Jahiliyah. Dalam satu bait sya‟ir jahiliyah dikatakan,
فل يغرنك جر الثوب معتجرا ... اين امرؤ ف عند اجلد تشمي Janganlah engkau terpukau dengan panjangnya jubah
dan sorban yang terurai
Sesungguhnya aku juga orang yang memiliki pakaian
yang panjang.19
6) Tahlilan
Islam di Jawa, yaitu Budha dan Hindu, sehingga praktek
tahlil hukumnya haram dilakukan karena menyerupai dengan
tradisi agama lain. Tuduhan ini dilakukan sebagaimana ketika
mereka mengharamkan perayaan maulid nabi Muhammad Saw.
karena menyerupai perayaan kelahiran dalam agama lain, yaitu
perayaan Natal (Kristen)
Pandangan yang serba membuat kesamaan antara tradisi
Islam dengan tradisi non-Islam ini beranggapan jika bukan orang
Islam yang melakukan pertama kali, berarti itu bid‟ah sesat,
18
Syekh DR.Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata‟amal Ma‟a as-Sunnah
an-Nabawiyyah, (Cairo; Dar asySyuruq, 1423H), hal.128 19
DR.Jawwad „Ali, al-Mufashshal fi Tarikh al-„Arab Qabl al-Islam,
Juz.XVIII (Dar as-Saqi, 1422H),
hal.37.
20
haram, bahkan kafir jika dilakukan oleh orang Islam. Perlu juga
diingat bahwa budaya sarungan itu bukan budaya Islam. Pada
masa nabi Muhammad Sawa. tidak ada. Budaya sarungan umat
Islam yang cuma di Indonesia. Itu pun juga berangkat dari
budaya agama Hindu yang ada di Indonesia. Anggap saja orang
Madura yang kentara dengan budaya sarungnya, dan lihat agama
nenek moyang orang Madura sebelum Islam datang, tak lain
mayoritas menganut Hindu.
Begitu pula dengan budaya celana yang sudah banyak
digandrungi oleh masyarakat Indonesia. Tempo dulu budaya
memakai celana di kalangan Islam Indonesia haram. Hal tersebut
dengan suatu dalil dan alasan bahwa orang yang menyerupai
suatu, maka mereka merupakan bagian dari mereka. Karena
dianggap menyerupai dengan orang Belanda atau Jepang yang
beragama non-Islam, maka memakai celana diharamkan. Itu
semua merupakan buah dari fanatisme dalam beragama yang
mengekang dan mempersulit hidupnya sendiri. Baru ketika
mereka sadar bahwa memakai celan itu penting, pengharaman
lambat laun menyusut dan rata-rata kiai memakai celana.
Diakui atau tidak, latar belakang tahlil itu memang
awalnya merupakan budaya masyarakat Indonesia yang beragama
non-Islam sebelum Islam masuk ke Nusantara ini. Namun karena
di satu sisi nabi Muhammad Saw. khususnya Islam sendiri yang
memiliki sifat menghargai (toleran), maka ekspansi Islam tidak
dengan cara merusak dan meniadakan apa yang telah menjadi
21
tradisi masyarakat non-Islam sebelumnya (Hal.10). Namun,
upaya ekspansi Islam ini dengan fleksibelitasnya mampu
mengislamkan orang Nusantara ini dengan mudah dan tanpa
kekerasan apapun. Tentunya kelenturan dan cara beradaptasi baik
yang dijadikan senjata ampuh oleh penyebar Islam tempo dulu.
Secara historis, keberadaan tahlil adalah salah satu wujud
keberhasilan islamisasi terhadap tradisi-tradisi masyarakat
Indonesia pr-Islam. Tradisi masyarakat Indonesia ketika ada
orang meninggal dunia adalah berkumpul di rumah duka pada
malam hari untuk berjudi, mabuk-mabukan dan sebagainya.
Lambat laun seiring dengan Islam yang mulai menyentuh
mereka, acara tersebut diisi dengan nilai-nilai keislaman yang
dapat mendatangkan manfaat kepada orang yang meninggal
dunia, keluarga duka, serta masyarakat secara umum. Dari sini
kemudian tradisi tahlilan berkembang luas di tengah masyarakat
seperti yang diamalkan oleh masyarakat saat ini.
Tradisi kumpul-kumpul yang dilakukan oleh masyarakat
non-Islam dulu itu tidak dirusak dan tidak disuruh bubar begitu
saja oleh penyebar agama Islam dahulu. Jika sebaliknya yang
terjadi, maka entah seperti apa lagi Islam di mata masyarakat
non-Islam dahulu hingga sekarang. Maka dari itu, masyarakat
non-Islam yang berkumpul ketika ada acara kematian itu diubah
melalui pendekatan pengaplikasian dengan nilai-nilai keislaman
sebagai dakwah yang paling jitu dan tidak harus merusak yang
22
sudah ada. Hingga akhirnya acara itu bernilai sebagaimana yang
diamanatkan oleh syariat Islam.
Secara bahasa tahlilan berakar dari kata hallala (هلل)
yuhallilu ( يهلل ) tahlilan ( تهليلا ) artinya adalah membaca “Laila
illallah.” Istilah ini kemudian merujuk pada sebuah tradisi
membaca kalimat dan doa- doa tertentu yang diambil dari ayat al-
Qur‟an, dengan harapan pahalanya dihadiahkan untuk orang yang
meninggal dunia.
Biasanya tahlilan dilakukan selama 7 hari dari
meninggalnya seseorang, kemudian hari ke 40, 100, dan pada hari
ke 1000 nya. Begitu juga tahlilan sering dilakukan secara rutin
pada malam jum‟at dan malam-malam tertentu lainnya. Bacaan
ayat-ayat al-Qur‟an yang dihadiahkan untuk mayit menurut
pendapat mayoritas ulama‟ boleh dan pahalanya bisa sampai
kepada mayit tersebut. Berdasarkan beberapa dalil, diantaranya
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya;
عليو وسلم قال عن سيدنا معقل بن يسار رضي اهلل عنو ان رسول اهلل صلى اهلل ار الخرة ال غفر اهلل لو اق رؤىا : يس ق لب القران ل يقرؤىا رجل يريد اهلل والد
ابن رواه اب و داود, ابن ماجو, النسائى, احد, الكيم, الب غوى, على موتاكم (هقى, وابن حبان ران, الب ي اب شيبة, الطب
Dari sahabat Ma‟qal bin Yasar r.a. bahwa Rasulallah
s.a.w. bersabda : surat Yasin adalah pokok dari al-Qur‟an, tidak
dibaca oleh seseorang yang mengharap ridha Allah kecuali
diampuni dosadosanya. Bacakanlah surat Yasin kepada orang-
orang yang meninggal dunia di antara kalian. (H.R. Abu Dawud,
dll)
23
Adapun beberapa ulama juga berpendapat seperti Imam
Syafi‟i yang mengatakan bahwa:
وان ختموا القرأن عنده كان حسناويستحب ان يقراء عنده شيئ من القرأن , Bahwa, disunahkanmembacakan ayat-ayat al-Qur‟an
kepada mayit, dan jika sampai khatam al-Qur‟an maka akan
lebih baik.
Bahkan Imam Nawawi dalam kitab Majmu‟-nya
menerangkan bahwa tidak hanya tahlil dan doa, tetapi juga
disunahkan bagi orang yang ziarah kubur untuk membaca ayat-
ayat Al-Qur‟an lalu setelahnya diiringi berdoa untuk mayit.
Begitu juga Imam al-Qurthubi memberikan penjelasan
bahwa, dalil yang dijadikan acuan oleh ulama‟ kita tentang
sampainya pahala kepada mayit adalah bahwa, Rasulallah saw
pernah membelah pelepah kurma untuk ditancapkan di atas kubur
dua sahabatnya sembari bersabda “Semoga ini dapat
meringankan keduanya di alam kubur sebelum pelepah ini
menjadi kering”.
Imam al-Qurtubi kemudian berpendapat, jika pelepah
kurma saja dapat meringankan beban si mayit, lalu bagaimanakah
dengan bacaan-bacaan al-Qur‟an dari sanak saudara dan teman-
temannya Tentu saja bacaan-bacaan al-Qur‟an dan
lainlainnyaakan lebih bermanfaat bagi si mayit. Abul Walid Ibnu
Rusyd juga mengatakan:
وان قرأ الرجل واىدى ثواب قرأتو للميت جاز ذالك وحصل للميت اجره
24
Seseorang yang membaca ayat al-Qur‟an dan
menghadiahkan pahalanya kepada mayit, maka pahala tersebut
bisa sampai kepada mayit tersebut.
7) Saksi Perzinaan
Dalam Syariat Islam, sanksi terhadap suatu perbuatan
diberlakukan setahap demi setahap, bahkan ada pula laraangan itu
dimulai dengan cara yang bersifat peringatan dengan berbagai
ragam ungkapan yang dinyatakan dalam al-Qur‟an. Minum
khamer dan berjudi misalnya, sebelum larangan dinyatakan
secara tegas dalam suaart al-Mai‟dah ayat 90, terlebih dahulu
surat al-Baqarah ayat 219 menyatakan bahwa; khamer dan judi
itu terdapat dosa besar dan juga bermanfaat bagi manusia, tetapi
dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. Ungkapan tersebut
sebagai himbauan dan peringatan agar kaum muslimin
meninggalkan judi dan minum khamer yang dikala itu begitu
mengakar dalam masyarakat Arab.
Demikian pula sanksi bagi perzinaan juga diberlakukan
tahap demi tahap, sesuai dengan ayat yang diundangkan.20
Pada
awalnya sanksi perzinaan itu adalah seperti yang dinyatakan
dalam firman Allah SWT:
تيٱول فحشتلفٱيأتيي سائكن أربعتستشهدواٱهي عليهي
في فأهسكىهي شهدوا فئى كن لبيىثٱه هي يتىفى حتى
لوىثٱ يجعل ٱأو لل سبيل هكنلذاىٱو٥١لهي ها يأتي
20
Abu Zahrah, Falsafah al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islami, (Mesir: Dar
al-Ilm Lil Malayin, 1963), h. 106-107
25
فئى ف اووهوا إى هوا ع فأعزضىا وأصلحا ٱتابا كاىلل
ا حيوا ابار ٥١تى “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan
perbuatan keji (zina) hendaklah ada empat orang saksi diantara
kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah
memberi kesaksian, maka kuranglah mereka itu dalam rumah
sampai mereka menemui ajalnya atau sampai Allah memberi
jalan yang lain kepada mereka”.21
“Dan terhadap dua orang yang melakukan perbuatan keji
diantara kamu, maka berilah hukuman kepada keduanya,
kemudian jika keduanya bertaubat dan memperbaiki diri, maka
biarlah mereka. Sesungguhnya Allah Penerima taubat lagi Maha
Penyayang”.
ايتٱ ايٱولز ولجلدواٱفلز جلدة هائت هوا ه حد و كل
فيد ٱييتأخذكنبهوارأفت تؤهىىبلل ٱإىكتن ليىمٱولل
يلخزٱ ٢لوؤهييٱوليشهدعذابهواطائفته “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,
maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera,
dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu
untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada
Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman
mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman.”22
Menurut para mufassir, pada awal Islam sanksi
perzinaan adalah kurungan bagi wanita yang telah kawin dan bagi
gadis dicerca, sedang bagi laki-laki dipermalukan dan dicerca
dihadapan khalayak ramai. Sanksi yang diungkapkan dalam surat
al-Nisa ayat 15 dan 16 itu bersifat temporer, karena dalam ayat
tersebut ada pula penegasan “Sampai Allah memberikan jalan
lain bagi mereka” yang berarti pula akan ada sanksi lain yang
21
QS. Al-Nisa(3):15-16 22
QS Al-Nur (24) : 2
26
akan diberlakukan. Kebenaran ini terwujud dalam surat al-Nur
ayat 2 tersebut, yang menurut riwayat bersumber dari Aisyah dan
Sa‟ad bin Mu‟ad, diwahyukan pada tahun keenam hijriyah.23
Tahap-tahap diberlakukan ketentuan hukum dalam syari‟at Islam,
karena syari‟at Islam sangat memperhatikan kemashlahatan
manusia, serta sesuai pula dengan prinsip ajaran yang dibawanya
yaitu tidak mempersempit manusia, seperti yang dikemukakan
dalam surat al-Haj:
ييٱوهاجعلعليكنفي لد هيحزج“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam
agama itu kesempitan”24
Setiap kejahatan dan pelanggaran supaya dapat
dikenakan sanksi harus melalui pembuktian terlebih dahulu.
Dalam delik seksual (jarimah perzinaan), suatu sanksi baru bisa
dikenakan terhadap pelakunya, manakala telah terbukti
perbuatannya secara sah menurut hukum. Adapun pembuktian
dalam kasus perzinaan ada tiga yaitu:
a. Iqrar (pengakuan), yaitu pelaku mengakui
perbuatannya, bahwa ia benar-benar melakukan
perbuatan yang dituduhkan kepadanya.
b. Bayyinah (bukti-bukti/keterangan kuat), yang tidak
dapat disangkal kebenarannya, seperti wanita hamil
tanpa ada suaminya, atau suami telah lama
meninggalkannya dan tidak pernah melakukan
23
Abu 'A'ia al-Maududi, Tafsir Surah al_Nur, (Damsyiq: Dar a!-
Fikri, 1960), h. 9-10. 24
QS. al-Haj (22) ayat 78 :
27
aktivitas suami isteri.
c. Syahadah (persaksian), yaitu saksi mengetahui
secara pasti (bukan dari orang lain) atas perbuatan
pelaku zina.25
Persaksian terhadap jarimah perzinaan harus
dikemukakan oleh empat orang saksi, hal itu dinyatakan dalam
nas al-Qur‟an secara jelas sebagai berikut:
تيٱول حشتٱيأتيي سائكلف فهي أربعتستشهدواٱن عليهي
في فأهسكىهي شهدوا فئى كن لبيىثٱه هي يتىفى حتى
ٱأويجعللوىثٱ سبيللل ٥١لهيa. “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan
perbuatan keji (zina), hendaklah ada empat orang
saksi di antara kamu.”26
بهۥتلقىهإو لكن ليس ا ه بأفىاهكن وتقىلىى علنۦبألستكن
اوهىعدۥوتحسبىه ٱهي ٥١عظينللb. “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita
yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka (yang menuduh) itu delapan puluh kali
dera.”27
c. “Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak
mendatangkan empat orang saksi atas berita
kebohongan itu? Oleh karena mereka tidak
mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada
25
Abd al-Qadir al-Audah, al-Tasri‟ al-Jina‟I al-lslami, (Kairo:
Maktabah al-Gurubah, 1962), juz ii, h. 395 26
QS. Al-Nisa‟ (4) ayat: 15 27
QS. Al-Nur (24) ayat: 4.
28
sisi Allah orang-orang yang dusta”.28
Dari ayat-ayat yang dikemukakan tersebut, para ulama
mensyaratkan bahwa terhadap tuduhan perzinaan harus
dikemukakan empat orang saksi.29
Berkaitan dengan empat
orang saksi dalam kasus perzinaan, Syaltut mengemukakan
pendapatnya sebagai berikut: Seseorang boleh mengalirkan darah
karena mempertahankan kehormatan rumah tangganya (kasus
zina) walaupun tanpa empat orang saksi, hal itu semata mata
sebagai pembelaan kehormatannya, manakala bukti telah kuat.30
Karena pembelaan terhadap kehormatan juga didorong rasa
cemburu yang menurutnya hampir mendekati perasaan gila.31
Syaltut memberikan ilustrasi yang terdapat dalam riwayat tentang
putusan Umar ibn Khattab, bahwa ia membenarkan seorang laki-
laki yang menetakkan pedangnya kepunggung laki-laki lain
sehingga meninggal karena didapatkannya berbuat zina dengan
isterinya.32
Lebih lanjut ia mengemukakan pendapatnya sebagai
berikut: Manakala tidak memungkinkan menghadirkan empat
orang saksi dalam kasus itu, maka cukuplah bukti-bukti kuat
menurut hukum bisa digunakan oleh hakim.33
Dan dengan tegas
28
QS. AI-Baqarah (2) ayat 188 29
Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh Ala al-Mazahib al-arba‟ah,
(Bairut: Dar al-Fikri), 1985 30
Mahmud Syaltut, al-lslam Aqidah wa al-Syari‟ah, (Kairo: Dar al-
Syuruq, 1980), h. 345 31
Ibid. 32
Ibid., h. 344-345. 33
Ibid.
29
ia menyatakan sebagai berikut : Bagi pengadilan banyak cara
untuk menetapkan (keputusan) disamping empat orang saksi.
Dari pendapat yang dikemukakannya tersebut dapat
dinyatakan bahwa jika secara material bukti-bukti telah kuat
mengenai terjadinya perzinaan antara seorang laki-laki dengan
wanita bukan isterinya yang melanggar kehormatan orang lain,
maka hakim bisa memutuskan perkara tanpa empat orang saksi.
Dengan demikian, pemikiran Syaltut tersebut
mengandung mashlahah, karena, jika saja kasus melanggar
kehormatan orang lain (zina) harus dengan empat orang saksi
dalam pembuktiannya, sedangkan hal itu sulit dipenuhi,
sedangkan bukti-bukti lain telah menguatkan, maka akan tidak
terlindungi kehormatan rumah tangga seseorang, dan akan
tergoyahkan pula ketenangan rumah tangganya. Padahal
ketenangan rumah tangga merupakan fondasi penting untuk
menciptakan keharmonisan suatu perkawinan dan kelestariannya.
Berdasarkan mashlahah ini pula, Umar bin Khattab
pernah mendera peminum khamer delapan puluh kali.
Sedangkan pada zaman34
Nabi peminum khamer hanya didera
empat puluh kali. Umar ibn Khattab, seorang sahabat Nabi yang
dianggap oleh jumhur ulama sebagai imam ahli ra‟y, banyak
sekali ia berijtihad dan berfatwa dengan menggunakan
pertimbangan mashlahah seperti; tidak memberikan hak muallaf
dari harta zakat, membunuh orang banyak karena bersama-sama
34
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad antara tradisi dan
Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 50-51
30
membunuh seseorang, mendera peminum khamer delapan puluh
kali, tidak melaksanakan hukuman potong tangan atas pencuri
pada musim paceklik dan dalam suasana perang, mengharamkan
laki-laki muslim menikah dengan wanita kitabiyah,
memerintahkan seseorang mengalirkan air di tanah orang lain
meskipun dilarang oleh pemiliknya, mengadakan penjara,
mengatur adminstrasi pemerintahan, memungut pajak dari rakyat
yang mampu untuk mencukupi biaya pemerintahan, tidak
membagi tanah rampasan perang dan tetap membiarkannya
ditangan pemiliknya, masalah talak tiga, dan masih banyak lagi.35
Karena itu setiap aktivitas yang mengandung manfa‟at,
baik itu dari segi menarik atau menghasilkannya, maupun cara
menolak atau menghindarkan dari bahaya dan kepedihan, pantas
dinamai maslahah. Maslahah itu pada dasarnya adalah sesuatu
yang membawa kearah yang baik dan manfa‟at.
Kalau dilihat dari segi metodologi hukum Islam, maka
dapat dikatakan, bahwa cara pengambilan kesimpulan Syaltut
dalam mengistinbatkan hukum mengenai persoalan di atas adalah
menggunakan maslahah. Ia merumuskan semacam kaidah
sebagai berikut: Dan jika suatu masalah itu didapatkan, maka
disitulah syariat Allah.
Menurut Syaltut agama ini (Islam) diturunkan untuk
kepentingan maslahah manusia, baik untuk kehidupan dunianya
maupun kehidupan akhiratnya. Secara tegas ia menyatakan
35
Ibid., h. 39-67
31
urgennya maslahah dalam Islam sebagai berikut : Islam itu
semata-mata agama yang dikehendaki darinya pengaturan
maslahah manusia, merialisir keadilan dan menjaga hak-hak
(seseorang).36
Disinilah jelas pandangan Syaltut, bahwa Islam adalah
agama yang mengedepankan maslahah bagi manusia, dan
menjadikan keadilan sebagai suatu prinsip yang harus dirialisir.
Demikian pula haak-hak perseorangan adalah merupakan milik
yang harus dihargai dan dijaga. Dalam kaitan ini, maka menjaga
kehormatan seseorang dalam kasus perzinaan merupakan hak
seseorang yang harus dijaga dan dilindungi, demi tegaknya suatu
keadilan, walaupun belum mencukupi empat orang saksi. Untuk
itu hakim harus mengadili dengan bukti-bukti kuat yang lain,37
demi maslahah pula.
Sementara itu Syaltut juga memiliki visi, bahwa ijtihad
itu sendiri berkaitan erat dengan adanya maslahah, seperti
pernyataannya sebagai berikut: Ijtihad berubah sesuai dengan
maslahah yang ada.38
Lebih lanjut pemikirannya mengenai kaitan antara
ijtihad dan mashlahah dapat diumpamakan seakan-akan sebagai
dua sisi dari mata uang logam yang sama yang tidak bisa
dipisahkan. Seperti yang diungkapkannya sebagai berikut :
perbedaan adanya maslahah dalam suatu perkara itu, disebabkan
36
Mahmud Syaltut, al-ahkam Aqidah wa at-Syari‟ah, (Kairo: Dar al-
Syuruq, 1980), h. 482 37
Ibid., h. 345 38
Ibid., h. 496
32
adanya perubahan waktu, tempat dan (kondisi sosial) orang-orang
(masyarakat), dan disini diwujudkan (dilakukan) ijtihad.
Dengan pertimbangan maslahah ini pula, ia berpendapat
bahwa hukuman ta‟zir39
bisa dijatuhkan lebih berat dari hukuman
hudud, jika hakim menganggap maslahah menghendaki.40
Pendapat ini bisa diilustrasikan sebagai berikut; Jika
terjadi terhadap seseorang yang mengurangi takaran (timbangan)
terus menerus dalam aktivitas perdagangannya, dan perbuatan itu
bisa berpengaruh besar terhadap skala perdagangan yang luas dan
akibatnya juga mendatangkan kerugian cukup besar terhadap
masyarakat, maka orang yang melakukan pelanggaran
mengurangi takaran (timbangan) tersebut bisa dikenakan sanksi
hukuman lebih berat dari pencurian itu sendiri. Karena adanya
maslahah menghendaki untuk itu, yaitu terlindunginya konsumen
(masyarakat) dari kerugian, supaya tercipta perdagangan yang
bersih dan jujur jauh dari penipuan dan manipulasi yang
merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama.41
Di sinilah perlu adanya kesalehan individual dan
kesalehan sosial yang berproses melalui penanaman nilai-nilai
keagamaan. Sehingga setiap warga masyarakat terikat moralitas
religius untuk menuju terwujudnya masyarakat yang baik, jujur,
39
Ta‟zir adalah sanksi hukuman yang tidak ditentukan bentuk
jumlahnya yang dikenakan terhadap perbuatan melawan hukum selain hudud,
qisas, diyat dan kafarah. I.ihat Abd al-Aziz „Amir, al-Ta‟zir fi al-Syari‟ah al-
Islamiyyah, (Kairo: Dar al-Fikri al-Arabi, 1976), h. 52-53 40
Mahmud Syaltut, al-lslam Aqidah wa al-Syari‟ah, (Kairo: Dar al-
Syuruq, 1980), h.293 41
DR. H. Abd. Salam Arief, MA, Op. Cit., h. 157
33
adil, jauh dari manipulasi dan saling mempercayai dalam segala
aspek kehidupan. Dengan demikian akan tercipta masyarakat
yang mengedepankan moralitas luhur yang bersendikan agama.
8) Bunga Bank
Kegiatan hidup manusia hendaklah senantiasa diarahkan
supaya mempunyai makna dan bernilai pengabdian (ibadah)
kepada-Nya. Untuk bernilai ibadah, manusia dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatan hidupnya hendaknya selalu
menjunjung tinggi pedoman-pedoman yang diberikan oleh Allah
dalam al-Qur‟an dan petunjuk-petunjuk pelaksanaannya yang
diberikan oleh Rasulullah dalam Sunnah-nya. Namun demikian,
dalil-dalil muamalat yang dikandung oleh al-Qur‟an dan Sunnah
pada umumnya bersifat global (mujmal) dan sedikit sekali yang
terinci dan qat‟i, sehingga memiliki banyak peluang untuk
melakukan ijtihad hukum yang sesuai dengan kemashlahatan
manusia. Syari‟at Islam dalam bidang muamalat memberikan
petunjuk terhadap tujuan pokoknya ialah terciptanya
kemaslahatan manusia. Bertolak dari kenyataan itu, maka akan
terdorong pula usaha untuk menumbuhkan dan mengembangkan
hukum Islam melalui ijtihad lebih dinamis lagi.42
Mahmud Syaltut, seorang cendikiawan dari Mesir
berpendapat bahwa sesungguhnya prinsip syari‟at Islam dalam
bidang muamalah adalah terpenuhinya maslahah, terlindunginya
42
Ibid., h. 85
34
aturan dan hak-hak serta meningkatnya taraf hidup.43
Sebagai
contoh ia menghalalkan bunga tabungan karena dipandang
memberikan kemashlahatan dan tidak menimbulkan
kemudharatan, baik yang menabung atau yang menerima
tabungan, kedua-duanya mendatangkan kebaikan. Didalamnya
tidak terdapat orang yang menganiaya dan teraniaya, dengan kata
lain tidak ada unsur pemerasan atau pemaksaan. Laba yang
diberikan oleh tabungan adalah sebagai suatu daya tarik saja.
Berdasarkan hal ini, Syaltut membolehkan bunga
tabungan itu berdasarkan ayat 220 dan 279 surat al-Baqarah.
Dalam hal ini, Muhammad Abduh berpendapat, bahwa haram
ataupun halalnya bunga tadi bertitik tolak pada : Allah tidak
mengharamkan sesuatu kecuali karena mendatangkan
mudharat pada dirinya, dan tidak menghalalkan sesuatu, kecuali
karena bermanfaat pada dirinya.44
Pendapat Syaltut tersebut berbeda dengan kalangan ulama
Mesir saat itu yang menyatakan bahwa, keuntungan yang
diberikan oleh Bank adalah haram.45
Akibat dari pendapat ini,
maka lebih dari tiga ribu penabung menolak menerima
keuntungannya, karena keyakinan agama mereka.
Pemahaman diatas cenderung terbagi menjadi dua;
sebagian sahabat memahami hadits secara kontekstual, yaitu yang
43
Mahmud Syaltut, al-lslam Aqidah wa al-Syari‟ah, h.391 44
Muhammad abduh, Tafsir al-Manar, (Cairo: Maktabah al-Qahiroh,
juz III, cet IV, 1324), hal. 97 45
Mahmud Syaltut, al-Fatawa, h. 351
35
dimaksudkan oleh nabi agar para sahabat mempercepat
perjalanannya menuju Bani Quraizhah, sedang sahabat yang lain
memahami hadits secara tekstual dimana mereka harus mematuhi
Rasullullah Saw. sesuai dengan bunyi perintah tersebut meskipun
waktu shalat Ashar sudah habis.
9) Kesaksian Wanita
Allah swt berfirman:
لستشهدواٱو فئى جالكن ر هي فزجلنشهيديي رجليي يكىا
هزأتاىٱو“Dan persaksikan dengan dua orang saksi dari orang
lelaki (diantaramu), jika tidak ada dua orang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan”46
Dalam memahami ayat di atas, seringkali justru mengarah
kepada ketidaksetaraan antara laki-laki dan wanita, bahwa wanita
itu lebih rendah dari laki-laki, oleh karena itu kesaksian seoarang
wanita bernilai separuh dari kesaksian laki-laki. Sehingga para
fuqaha‟ dalam menetapkan masalah kesaksian wanita selalu
dengan perbandingan dua orang saksi wanita sama nilainya
dengan kesaksian seorang laki-laki. Bahkan lebih jauh lagi yaitu
kesaksian wanita tidak dapat diterima dalam masalah pidana
(qisas dan hudud). Kesaksian wanita baru diakui secara mutlak,
tanpa didampingi kesaksian laki-laki hanya terbatas dalam hal
yang berkaitan dengan masalah kewanitaan saja, atau hal-hal
yang lazim diketahui oleh wanita, seperti masalah haid, cacat
pada anggota tubuh wanita, peristiwa kelahiran dan masalah
46
Surat al-Baqarah (2) ayat 282
36
rada‟ah.47
Dalam suasana dan atmosfir seperti itu, Syaltut
menyatakan pendapatnya, bahwa kesaksian seorang wanita itu
sama dan setara nilainya dengan kesaksian seorang laki-laki.48
Pendapat Syaltut ini tentu saja berbeda dengan pendapat
yang selama ini berkembang dikalangan fuqaha, bahwa kesaksian
seorang wanita itu setengah dari kesaksian seorang laki-laki, atau
dengan formulasi fiqih dinyatakan bahwa kesaksian wanita baru
dianggap sah, bila dikemukakan oleh dua orang wanita dan
seorang laki-laki. Persaksian terhadap jarimah perzinaan harus
dikemukakan oleh empat orang saksi, hal itu dinyatakan dalam
nash al-Qur‟an secara jelas sebagai berikut:
a. “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan
perbuatan keji (zina), hendaklah ada empat orang saksi di
antara kamu.”49
b. “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita
yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah
mereka (yang menuduh) itu delapan puluh kali
dera.”50
c. “Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak
mendatangkan empat orang saksi atas berita
47
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Al-Turuq al-Hukmiyyah fi al-Siasah al-
Syar‟iyyah, (Kairo : al-Mu‟assasah al-Arabiyyah li al-Tiba‟ah wa al-Nasyr,
1961) h. 92-93 & 151 48
Syaltut, al-lslam Aqidah wa Syari'ah, h. 239-240 49
QS. Al-Nisa‟ (4) ayat: 15 50
QS. Al-Nur (24) ayat: 4.
37
kebohongan itu? Oleh karena mereka tidak
mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada
sisi Allah orang-orang yang dusta”.51
Dari ayat-ayat yang dikemukakan tersebut, para ulama
mensyaratkan bahwa terhadap tuduhan perzinaan harus
dikemukakan empat orang saksi.52
Berkaitan dengan empat
orang saksi dalam kasus perzinaan, Syaltut mengemukakan
pendapatnya sebagai berikut: Seseorang boleh mengalirkan darah
karena mempertahankan kehormatan rumah tangganya (kasus
zina) walaupun tanpa empat orang saksi, hal itu semata mata
sebagai pembelaan kehormatannya, manakala bukti telah kuat.53
Karena pembelaan terhadap kehormatan juga didorong rasa
cemburu yang menurutnya hampir mendekati perasaan gila.54
Syaltut memberikan ilustrasi yang terdapat dalam riwayat tentang
putusan Umar ibn Khattab, bahwa ia membenarkan seorang laki-
laki yang menetakkan pedangnya kepunggung laki-laki lain
sehingga meninggal karena didapatkannya berbuat zina dengan
isterinya.55
Lebih lanjut ia mengemukakan pendapatnya sebagai
berikut: Manakala tidak memungkinkan menghadirkan empat
orang saksi dalam kasus itu, maka cukuplah bukti-bukti kuat
menurut hukum bisa digunakan oleh hakim dan dengan tegas ia
51
QS. AI-Baqarah (2) ayat 188 52
Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh Ala al-Mazahib al-arba‟ah,
(Bairut: Dar al-Fikri), 1985 53
Mahmud Syaltut, al-lslam Aqidah wa al-Syari‟ah, (Kairo: Dar al-
Syuruq, 1980), h. 345 54
Ibid. 55
Ibid., h. 344-345.
38
menyatakan sebagai berikut : Bagi pengadilan banyak cara untuk
menetapkan (keputusan) disamping empat orang saksi.56
Dari pendapat yang dikemukakannya tersebut dapat
dinyatakan bahwa jika secara material bukti-bukti telah kuat
mengenai terjadinya perzinaan antara seorang laki-laki dengan
wanita bukan isterinya yang melanggar kehormatan orang lain,
maka hakim bisa memutuskan perkara tanpa empat orang saksi.
Dengan demikian, pemikiran Syaltut tersebut
mengandung mashlahah, karena, jika saja kasus melanggar
kehormatan orang lain (zina) harus dengan empat orang saksi
dalam pembuktiannya, sedangkan hal itu sulit dipenuhi,
sedangkan bukti-bukti lain telah menguatkan, maka akan tidak
terlindungi kehormatan rumah tangga seseorang, dan akan
tergoyahkan pula ketenangan rumah tangganya. Padahal
ketenangan rumah tangga merupakan fondasi penting untuk
menciptakan keharmonisan suatu perkawinan dan kelestariannya.
Berdasarkan mashlahah ini pula, Umar bin Khattab
pernah mendera peminum khamer delapan puluh kali.
Sedangkan pada zaman57
Nabi peminum khamer hanya didera
empat puluh kali. Umar ibn Khattab, seorang sahabat Nabi yang
dianggap oleh jumhur ulama sebagai imam ahli ra‟y, banyak
sekali ia berijtihad dan berfatwa dengan menggunakan
pertimbangan mashlahah seperti; tidak memberikan hak muallaf
56
Ibid. 57
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad antara tradisi dan
Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 50-51
39
dari harta zakat, membunuh orang banyak karena bersama-sama
membunuh seseorang, mendera peminum khamer delapan puluh
kali, tidak melaksanakan hukuman potong tangan atas pencuri
pada musim paceklik dan dalam suasana perang, mengharamkan
laki-laki muslim menikah dengan wanita kitabiyah,
memerintahkan seseorang mengalirkan air di tanah orang lain
meskipun dilarang oleh pemiliknya, mengadakan penjara,
mengatur adminstrasi pemerintahan, memungut pajak dari rakyat
yang mampu untuk mencukupi biaya pemerintahan, tidak
membagi tanah rampasan perang dan tetap membiarkannya
ditangan pemiliknya, masalah talak tiga, dan masih banyak lagi.58
10) Shalat di Bani Quraizhah
Suatu hari sahabat Nabi Muhammad Saw. berkunjung ke
Bani Quraizhah. Kepada mereka, Nabi bersabda; “Janganlah
kamu melaksanakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah”59
Sebelum sampai ke Bani Quraizhah, waktu Ashar hampir habis.
Sebagian sahabat berijtihad dengan melakukan shalat si
perjalanan. Berdasarkan ijtihadnya, perintah tersebut adalah
supaya sahabat melakukan perjalanan secara cepat sehingga bisa
sampai di Bani Quraizhah sebelum waktu shalat Ashar habis.
Sebagian sahabat lagi berpegang kepada makna tersurat sabda
Nabi Saw tersebut, sehingga mereka shalat Ashar di Bani
58
Ibid., h. 39-67 59
Hadits riwayat Bukhari no : 894 dan Muslim dari Ibnu Umar no:
3317
40
Quraizhah pada malam hari.60
Shahabat yang shalat di jalan
cenderung menggunakan pendekatan kontektual dan shahabat
yang shalat Ashar pada malam hari di Bani Quraidzah
menggunakan pendekatan tekstual.
B. Guru Pendidikan Agama Islam
1. Pengertian Guru Pendidikan Agama Islam
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, dinyatakan bahwa
pendidik adalah orang yang mendidik. Sedangkan mendidik
itu sendiri artinya memelihara dan memberi latihan mengenai
akhlak dan kecerdasan pikiran.61
Berdasarkan Undang-undang R.I. No. 14/2005 pasal
1: “Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak
usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah”.62
Hadari Nawawi mengatakan, secara etimologis atau
dalam arti sempit guru adalah orang yang kerjanya mengajar
atau memberikan pelajaran di sekolah/kelas. Secara lebih luas
guru berarti orang yang bekerja dalam bidang pendidikan dan
60
Shihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Qasthalani, Irsyad al-saari
fi Syarh Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1984), Jilid 6, Cet 7,
h. 240 61
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2006), hlm. 291 62
Undang-undang R.I. Nomor 14 Tahun 20005, Guru dan Dosen,
Pasal 1, Ayat (1)
41
pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu
anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing.63
Menurut Muri Yusuf, pendidik adalah individu yang
mampu melaksanakan tindakan mendidik dalam satu situasi
pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan.64
Tidak jauh berbeda, dengan pendapat di atas, seorang
guru mempunyai peran yang sangat besar dalam pembentukan
karakter anak didik. A. Qodri memaknai guru adalah contoh
(role model), pengasuh dan penasehat bagi kehidupan anak
didik. Sosok guru sering diartikan sebagai digugu lan ditiru
artinya, keteladanan guru menjadi sangat penting bagi anak
didik dalam pendidikan nilai.65
Demikian beberapa pengertian guru menurut para pakar
pendidikan. Adapun pengertian pendidikan Agama Islam itu
sendiri peneliti mengutip dari beberapa sumber buku sebagai
berikut: PAI dibakukan sebagai nama kegiatan mendidikkan
agama Islam. PAI sebagai mata pelajaran seharusnya
dinamakan “Agama Islam”, karena yang diajarkan adalah
agama Islam bukan pendidikan agama Islam. Nama
kegiatannya atau usaha-usaha dalam mendidikkan agama
Islam disebut sebagai pendidikan agama Islam. Kata
63
Hadari Nawawi, Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas
sebagai Lembaga Pendidikan, (Jakarta: Haji Masagung, 1989), hlm. 123 64
Muri Yusuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Ghali
Indonesia, 1986), hlm. 53-54 65
A. Qodri A Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika
Sosial, (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003), hlm. 72
42
“pendidikan” ini ada pada dan mengikuti setiap
mata pelajaran. Pendidikan agama Islam merupakan salah
satu bagian dari pendidikan Islam.66
Pendapat yang lain mengatakan, bahwa Pendidikan
Agama Islam dapat diartikan sebagai program yang terencana
dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami,
menghayati, hingga mengimani ajaran agama Islam serta
diikuti tuntunan untuk menghormati penganut agama lain
dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama
hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.67
Hal ini sesuai dengan UU R.I. No.20/2003 pasal 37 (1):
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib
memuat:
a. Pendidikan agama;
b. Pendidikan kewarganegaraan;
c. Bahasa;
d. Ilmu Pengetahuan Alam;
e. Ilmu pengetahuan sosial;
f. Seni dan budaya;
g. Pendidikan jasmani dan olahraga;
h. Keterampilan/kejuruan; dan
66
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan
Islam,(Jakarta: Rajawali Press, 2012), hlm. 163 67
Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan
Pemikiran dan Kepribadian Muslim, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006), hlm. 6
43
i. Muatan lokal. 68
Di dalam Peraturan Pemerintah R.I. No.19/2005 pasal 6
(1) juga memberikan penjelasan tentang isi kurikulum
pendidikan dasar dan menengah. Kurikulum untuk jenis
pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah terdiri atas:
a. kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia;
b. kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan
kepribadian;
c. kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan
dan teknologi;
d. kelompok mata pelajaran estetika;
e. kelompok mata pelajaran jasmani, olah
raga, dan kesehatan.69
Berdasarkan UU R.I. No.20/ 2003 dan Peraturan
Pemerintah R.I. No.19/2005 pasal 6 (1) pendidikan agama
dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa serta berakhlak mulia. Pendidikan agama (Islam)
sebagai suatu tugas dan kewajiban pemerintah dalam
mengemban aspirasi rakyat, harus mencerminkan dan menuju ke
arah tercapainya masyarakat pancasila dengan warna
68
Undang-undang R.I. Nomor 20 Tahun 2003, Sistem
Pendidikan Nasional, Pasal 37, Ayat (1) 69
Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 19 Tahun 2005, Standar
Nasional Pendidikan, Pasal 6, Ayat (1)
44
agama. Agama dan pancasila harus saling isi mengisi dan
saling menunjang.
Banyak sekali pengertian yang dikemukakan oleh para
pakar pendidikan tentang pendidikan agama Islam, singkatnya
pengertian guru PAI adalah guru yang mengajar mata
pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah, tugasnya
membentuk anak didik menjadi manusia beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, membimbing,
mendidik dan memberikan ilmu pengetahuan kepada anak
didik, ahli dalam materi dan cara mengajar materi itu, serta
menjadi suri tauladan bagi anak didiknya.
2. Tujuan Pendidikan Agama Islam
Di dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, dinyatakan bahwa: Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.70
70
Undang-undang R.I. Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan
Nasional, Pasal 3
45
Untuk mencapai tujuan tersebut, salah satu bidang studi
yang harus dipelajari oleh peserta didik di sekolah adalah
pendidikan agama Islam, karena pendidikan agama
mempunyai misi utama dalam menanamkan nilai dasar
keimanan, ibadah dan akhlak. Menurut Muhammad Alim,
tujuan pendidikan agama Islam adalah membantu
terbinanya siswa yang beriman, berilmu dan beramal sesuai
dengan ajaran Islam.71
Jelaslah bahwa Pendidikan Agama Islam bertujuan
untuk meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan
dan pengamalan tentang agama Islam, sehingga menjadi
manusia muslim yang beriman, dan bertakwa kepada Allah
Swt serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3. Syarat-Syarat menjadi Guru
Guru yang baik harus memenuhi syarat-syarat yang
tertulis di dalam Undang-undang R.I. No.14 tahun 2005
tentang guru dan dosen yaitu: “Guru wajib memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat
jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.”72
71
Muhammad Alim Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan
Pemikiran dan Kepribadian Muslim, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006), hlm. 3-7 72
Undang-undang R.I. Nomor 14 Tahun 2005, Guru dan Dosen,
pasal 8.
46
Dari undang-undang tersebut, syarat-syarat untuk
menjadi guru diuraikan sebagai berikut:
a. Berijazah
Yang dimaksud dengan ijazah ialah ijazah yang dapat
memberi wewenang untuk menjalankan tugas sebagai
guru di suatu sekolah tertentu. Ijazah bukanlah semata-mata
sehelai kertas saja, ijazah adalah surat bukti yang
menunjukkan bahwa seseorang telah mempunyai ilmu
pengetahuan dan kesanggupan-kesanggupan yang tertentu,
yang diperlukannya untuk suatu jabatan atau pekerjaan.
b. Sehat jasmani dan rohani
Kesehatan merupakan syarat yang tidak bisa
diabaikan bagi guru. Seorang guru yang berpenyakit
menular contohnya, akan membahayakan kesehatan anak- anak
dan membawa akibat yang tidak baik dalam tugasnya sebagai
pengajar dan pendidik. Bahkan seseorang tidak akan dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik jika badannya selalu
terserang penyakit. Namun hal ini tidak ditujukan kepada
penyandang cacat.
c. Memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi
sosial.
Kompetensi guru merupakan kemampuan dan
kewenangan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya.
Guru harus memiliki kompetensi pedagogik, artinya guru
47
harus memiliki kemampuan mengelola pembelajaran peserta
didik. Mulai dari merencanakan program belajar
mengajar, melaksanakan interaksi atau mengelola proses
belajar mengajar, dan melakukan penilaian. selanjutnya
beralih pada kompetensi kepribadian, hal ini berkaitan
dengan kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak
mulia, arif dan berwibawa. Berikutnya kompetensi
profesional, adalah berbagai kemampuan yang diperlukan
agar dapat mewujudkan dirinya sebagai guru profesional.
Meliputi kepakaran atau keahlian dalam suatu bidang. Dan
yang terakhir, kompetensi sosial, merupakan kemampuan
pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk
berkomunikasi, bergaul, dan bekerja sama secara efektif
dengan peserta didik, sesama pendidik, sesama tenaga
kependidikan, dengan orang tua/ wali peserta didik, dan
masyarakat sekitar.73
Guru merupakan profesi yang mulia, mendidik dan
mengajarkan pengalaman baru bagi anak didiknya. Menurut
Dryden dan Jeannette Vos, yang dikutip Asep Mahfudz
mengatakan bahwa syarat yang harus dimiliki guru dalam
mengembangkan pendidikan yang memiliki perspektif global
adalah kemampuan konseptual. Yakni berkenaan dengan
peningkatan pengetahuan guru dalam konteks isu-isu global.
Guru harus belajar mengenai isu, dinamika, sejarah dan nilai-
73
Ahmad Fatah Yasin, Pengembangan Sumber Daya Manusia di
Lembaga pendidikan Islam, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), hlm. 51
48
nilai global. Hal tersebut merupakan tanggung jawab bagi
guru dalam membangun suasana belajar dinamis.74
Guru Pendidikan Agama Islam harus mempunyai
sikap positif terhadap Islam, kepribadian dan akhlaknya harus
sesuai dengan ajaran Islam. Guru Pendidikan Agama Islam
yang ideal adalah guru yang sanggup membawa anak didik
kepada penguasaan ajaran Islam, melalui ilmu yang
diajarkannya.75
4. Peran Guru dalam Pendidikan
Guru memiliki peran yang sangat penting dalam dunia
pendidikan, tidak hanya sekedar mentransformasikan
pengetahuan dan pengalamannya, memberikan
ketauladanan, tetapi juga diharapkan menginspirasi anak
didiknya agar mereka dapat mengembangkan potensi diri dan
memiliki akhlak baik.76
Adapun peran guru dalam proses pembelajaran sebagai
berikut:
a. Guru sebagai sumber belajar, peran ini
berkaitan erat dengan penguasaan materi pelajaran.
74
Asep Mahfudz, Be A Good Teacher or Never: 9 Jurus Cepat
Menjadi Guru Profesional Berkarakter Trainer, (Bandung: Nuansa,
2011), hlm. 45-46 75
Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm. 122-125 76
Asep Yonny dan Sri Rahayu Yunus, Begini Cara Menjadi Guru
Inspiratif dan Disenangi Siswa, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2011),
hlm.
49
b. Guru sebagai fasilitator, guru berperan dalam
memberikan pelayanan agar memudahkan siswa
dalam kegiatan proses pembelajaran.
c. Guru sebagai pengelola, guru berperan dalam
menciptakan iklim belajar yang memungkinkan
siswa dapat belajar secara nyaman.
d. Guru sebagai demonstrator, maksudnya adalah peran
untuk mempertunjukkan kepada siswa segala sesuatu
yang dapat membuat siswa lebih mengerti dan
memahami setiap pesan yang disampaikan guru.
e. Guru sebagai pembimbing, guru berperan
dalam membimbing peserta didik agar dapat
menemukan berbagai potensi yang dimilikinya
sebagai bekal hidup dan harapan setiap orang tua dan
masyarakat.
f. Guru sebagai pengelola kelas, guru bertanggung
jawab memelihara ligkungan kelas, agar
senantiasa menyenangkan untuk belajar.
g. Guru sebagai mediator, guru harus memiliki
keterampilan memilih dan menggunakan media
pendidikan, untuk lebih mengefektifkan proses
belajar-mengajar.
h. Guru sebagai evaluator, guru hendaknya menjadi
evaluator yang baik, agar dapat mengetahui
keberhasilan pencapaian tujuan, penguasaan
50
siswa terhadap pelajaran dan keefektifan
metode mengajar.77
Semua peranan ini harus dikuasai oleh guru, agar tujuan
pendidikan dapat tercapai, yakni untuk mencerdaskan generasi
bangsa. Seiring berkembangnya zaman, dunia mengalami
kemajuan dalam segala bidang disebut era globalisasi.
Globalisasi merupakan keadaan yang riskan terutama bagi
perkembangan anak didik. Oleh karena itu guru menempati
posisi strategis dalam membentuk karakter anak didik agar ke
depannya tercipta generasi cerdan dan berkarakter. Dalam era
globalisasi ini, guru memiliki peran yang strategis dalam
persoalan intelektual dan moralitas. Guru harus memosisikan diri
sebagai sosok pembaharu. Dalam tantangan global guru juga
berperan sebagai agent of change dalam pembaharuan
pendidikan.78
77
Asef Umar Fakhruddin, Menjadi Guru Favorit, (Jogjakarta: Diva
Press, 2011), hlm. 49 - 61 78
Asep Mahfudz, Be A Good Teacher or Never: 9 Jurus Cepat
Menjadi Guru Profesional Berkarakter Trainer, (Bandung: Nuansa, 2011),
hlm. 45
51
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di sekolah dasar wilayah provinsi DKI
Jakarta. Daftar Sekolah Dasar yang diteliti sebagai berikut:
Pertama, SD Negeri (SDN) Cipete Utara 01 Pagi di jalan RS.
Fatmawati Cipete Utara Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12150.
Sekolah yang sudah menggunakan kurikulum K-13 ini memiliki luas
tanah 6,551 M2, jumlah guru 19 orang, jumlah siswa laki-laki sebanyak
208 orang dan siswa perempuan sebanyak 185 orang. Guru PAI di
sekolah ini bernama Hasmawati.
Kedua, SD Negeri (SDN) Tengah 03 Pagi berada di jalan
Rantai Perak Selatan Kampung Tengah Kramat Jati Jakarta Timur
13540. Sekolah terakreditasi B ini memiliki guru sebanyak 11 orang,
jumlah siswa sebanyak 220 orang. Guru PAI di sekolah ini bernama
Paridah.
Ketiga, SD Swasata (SDS) Kartika VIII-2 Jakarta Timur di
Jalan Rantai Emas Bulak Rantai Kelurahan Tengah Kecamatan Kramat
Jati Jakarta Timur 13540. Guru PAI sekolah ini bernama Edwin
Rahmadi, beliau adalah salah satu guru dari 26 guru yang aktif
mengajar di sekolah tersebut.
Keempat, SD Islam Teladan Saadatuddarain berlokasi di jalan
kebagusan Kecil RT. 005/01 Lenteng Agung Jagakarsa Jakarta Selatan
52
52
12630. Sekolah yang berdiri sejak tahun 1960 memiliki luas tanah 2000
M2. Guru PAI sekolah ini bernama Siti Hindun.
Kelima, SD Islam Darul Maarif berada di jalan Rs. Fatmawati
No. 45 RT. 02/05 Cipete Selatan Cilandak Kota Jakarta Selatan 12410.
Sekolah yang memiliki luas 5524 M2 ini masih menerapkan kurikulum
KTSP dan terakreditas B. Guru PAI Sekolah ini bernama Ahmad
Muhajir.
Keenam, SD Islam Taman Quraniyah berada di Jalan Melati
No. 100 RT. 05/04 Tanjung Barat Jagakarsa Kota Jakarta Selatan
12530. Sekolah yang didirikan pada tahun 1967 ini memiliki luas 1974
M2. Sekolah ini sudah menggunakan kurikulum 2013. Guru PAI
sekolah ini bernama Hijrianah Kamalia.
Ketujuh, SD Islam Terpadu Al-Ihsan berada di Jalan Baung IV
No. 43 Kebagusan Kecamatan Pasar Minggu Kota Jakarta Selatan.
Sekolah yang memiliki luas tanah 12.000 M2 telah menerapkan
kurikulum 2013 dengan jumlah guru 38 orang dan jumlah siswa 372
orang. Guru PAI sekolah ini bernama Didit Prasetyo.
Kegiatan penelitian ini disusun dalam jangka waktu tujuh bulan
kegiatan yaitu dari bulan Juni hingga bulan Desember 2018, dengan
rincian pelaksanaan sebagai berikut:
Tabel 3.1
Jadwal Penelitian
Kegiatan Bulan
6 7 8 9 10 1 12
53
53
1
I. PERSIAPAN
Pengurusan Ijin
Penetapan Jadwal
Pelaksanaan Penelitian
Penyusunan Instrumen
Uji coba instrument
II. OPERASIONAL
Persiapan Bahan dan Alat
Pengumpulan Data
Pemantauan Pengumpulan
Data
Koleksi dan Validasi Data
Analisis Data
Penafsiran Hasil Analisis
III. PELAPORAN
Penyusunan Konsep Laporan
Konsultasi dan Diskusi
Penyusunan Konsep Akhir
Persiapan Pelaporan
Seminar dan Pemantauan
IV. PENGGANDAAN DAN
PENGIRIMAN
Pengandaan Laporan
54
54
Pengiriman
B. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif.
Penelitian deskriptif dilakukan dengan tujuan utama, yaitu
menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik objek atau
subjek yang diteliti secara tepat.79
Berdasarkan pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa
penelitian ini menggunakan analisis deskriptif, yaitu dengan
memberikan gambaran sejelas mungkin obyek penelitian
berkenaan dengan pemahaman keagamaan guru pendidikan
agama Islam di sekolah dasar wilayah provinsi DKI Jakarta. Hasil
penelitian disajikan secara sistematis mengenai fenomena-
fenomena yang ada.
C. Unit Analisis
Unit analisis penelitian adalah komponen-komponen yang
terdapat dalam pemahaman keagamaan guru pendidikan agama Islam
di sekolah dasar wilayah provinsi DKI Jakarta.
Dengan mengacu pada unit analisis penelitian tersebut, maka
subyek penelitian ini adalah guru pendidikan agama Islam (PAI).
D. Instrumen Penelitian
79 Sukardi, Metode Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan
Prakteknya (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hal. 156.
55
55
Dalam penelitian ini peneliti bertindak sebagai instrumen
penelitian atau alat penelitian utama (main instrument). Peneliti selaku
instrumen utama, menggunakan alat bantu berupa panduan wawancara,
alat rekam untuk membantu peneliti merekam hasil wawancara.
Peneliti melakukan pengamatan dalam rangka melihat dan
mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian
sebagaimana yang terjadi pada keadaan sebenarnya.80
Peneliti akan berperan sebagai seorang pengamat partisipan.
Peneliti akan datang ke sekolah sebagai seorang pengamat yang
identitasnya diketahui secara jelas.
Tabel 3.2
Rambu-rambu Wawancara
No Pertanyaan Penelitian Aspek yang
ditanyakan
Unit
Analisis
Metode
1. Ada Ulama yang berpendapat
bahwa zakat fitrah itu harus
dengan makanan pokok
(seperti nasi, gandum)
sebagaimana perintah
langsung dari Nabi
Muhammad Saw dalam
haditsnya, tetapi sebagai
ulama ada yang membolehkan
Pemahaman
keagamaan
yang tekstual
dan
kontekstual
Guru
Pendidika
n Agama
Islam
(PAI)
Sekolah
Dasar
Wawanc
ara dan
observas
i
80 Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 125.
56
56
zakat fitrah dengan uang
karena lebih „mashlahah‟
untuk fakir miskin. Anda
memilih pendapat yang mana
dan sebutkan alasannya!
2. Muallaf (orang yang baru
masuk Islam) tidak perlu lagi
di berikan zakat karena
Agama Islam sudah kuat saat
ini? Setujukah anda! Dan
berikan alasannya!.
3. Pencuri itu tidak perlu
dihukum jika ia mencuri
dengan alasan kelaparan
apalagi harus di potong
tangannya sebagaimana yang
tertera dalam nash al-Qur‟an.
Apa pendapat anda dan
jelaskan alasannya!
4.
Sikat gigi dengan pasta sama
saja dengan bersiwak yang
berarti sama juga mengikuti
sunnah Nabi Muhammad Saw,
karena inti dari pada bersiwak
adalah membersihkan gigi.
57
57
Apa pendapat anda?
5. Bagi laki-laki haram Isbal
(menggenakan pakaian sampai
bawah mata kaki)
sebagaimana hadits Nabi
Muhammad Saw. Tetapi ada
yang membolehkan dengan
catatan „tidak sombong‟ ketika
menggenakannya. Apa
pendapat anda dan jelaskan!.
6. Acara tahlilan yang biasa di
lakukan oleh orang Indonesia
tidak ada contohnya dari Nabi
Muhammad Saw. Apa
pendapat Anda dan jelaskan!.
7. Berdasarkan ayat al-Qur‟an
bahwa tuduhan perzinaan
harus disaksikan oleh empat
orang saksi. Tetapi sebagian
ulama berpendapat bahwa
manakala „bukti sudah kuat,‟
boleh seorang penzina di
laporkan tanpa harus
disaksikan empat orang saksi,
dikarenakan syarat empat
58
58
saksi itu terlalu sulit. Hal ini
demi menjaga keturunan dan
kehormatan dan keutuhan
rumah tangga. Bagaimana
menurut Anda!
8. Seorang ulama Mesir
berpendapat bahwa prinsip
Islam dalam bidang muamalah
adalah adanya „mashlahah‟.
Maka dari itu beliau
menghalalkan bunga tabungan
karena dipandang memberikan
kemashlahatan dan tidak
menimbulkan kemudharatan,
baik yang menabung ataupun
yang menerima tabungan,
kedua-duanya mendatangkan
kebaikan. Didalamnya tidak
terdapat orang yang
menganiaya dan teraniaya,
serta tidak ada unsur
pemerasan/ pemaksaan.
Setujukah anda dengan
pendapat ini! Sebutkan
alasannya!
9. Allah swt berfirman: “Dan
59
59
persaksikan dengan dua orang
saksi dari orang lelaki
(diantaramu), jika tidak ada
dua orang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan”Dalam
memahami ayat ini, seringkali
justru mengarah kepada
ketidaksetaraan antara laki-
laki dan wanita, bahwa wanita
itu lebih rendah dari laki-laki,
oleh karena itu kesaksian
seorang wanita bernilai
separuh dari kesaksian laki-
laki. Sehingga para fuqaha‟
dalam menetapkan masalah
kesaksian wanita selalu
dengan perbandingan dua
orang saksi wanita sama
nilainya dengan kesaksian
seorang laki-laki. Kesaksian
wanita baru diakui secara
mutlak, tanpa didampingi
kesaksian laki-laki hanya
terbatas dalam hal yang
berkaitan dengan masalah
kewanitaan saja seperti
60
60
masalah haid dan peristiwa
kelahiran. Dalam masalah ini,
Ada seorang ulama
berpendapat bahwa kesaksian
seorang wanita itu sama dan
setara nilainya dengan
kesaksian seorang laki-laki.
Apa pendapat Anda!
10. Pada suatu hari sahabat
Nabi Saw. hendak
berkunjung ke
perkampungan Bani
Quraizhah. Lalu Nabi Saw
memerintahkan mereka
dengan sabdanya;
“Janganlah kalian
melaksanakan shalat Ashar
kecuali di perkampungan Bani
Quraizhah.” Kemudian,
ketika dalam perjalanan dan
sebelum sampai ke
perkampungan Bani
Quraizhah, waktu Ashar
hampir habis. Maka sebagian
sahabat (Kelompok A)
berijtihad dengan
61
61
memutuskan untuk tetap
melaksanan shalat Ashar di
perjalanan. Mereka beralasan
bahwa Nabi memerintahkan
agar para shahabat
mempercepat langkah kakinya
agar cepat tiba di
perkampungan Bani
Quraizhah, akan tetapi jika
belum sampai juga dan waktu
Ashar mau habis, maka kita
harus melaksanakan shalat
Ashar diperjalanan.
Sedangkan sebagaian shahabat
yang lain (Kelompok B) tetap
menjadikan teks perintah Nabi
Saw sebagai pedoman, yaitu
janganlah kita Shalat Ashar
kecuali sudah sampai di Bani
Quraizah. Maka shalat
Asharnya nanti di Bani
Quraizah walaupun sampai
tujuan pada malam hari. Pada
masalah ini Anda lebih
cenderung kepada kelompok
A atau B? Jelaskan!
62
62
E. Teknik Pengumpulan Data
Ada beberapa rangkaian teknik pengumpulan data yang
digunakan. Tahap pertama, studi kepustakaan untuk mendapatkan
wawancara teoritis yang komprehensif tentang pokok permasalahan
serta merumuskan kerangka analisis dan pembahasan terhadap
pertanyaan-pertanyaan penelitian.
Tahap kedua, adalah studi lapangan meliputi studi dokumentasi
yang dilakukan untuk data dan informasi mengenai pelaksanaan
pendidikan dan peraturan sekolah, disamping itu dilakukan pengamatan
partisipatif. Teknik lain yang digunakan dalam studi lapangan adalah
melakukan pengamatan di ruang kantor, pusat administrasi
penyelenggaraan pendidikan, ruang kelas dimana terjadi kegiatan
belajar mengajar, laboratorium, dan perpustakaan. Dari pengamatan,
disamping dicatat peristiwa-peristiwa yang terjadi, juga dikumpulkan
data atau informasi yang erat kaitannya dengan kejadian yang diamati.
Tahap ketiga, peneliti berusaha mengumpulkan data sebanyak
mungkin melalui wawancara yang didapat dari informasi responden
berkenaan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan yang diduga ada
kaitannya dengan masalah pemahaman keagamaan guru pendidikan
agama Islam di sekolah dasar wilayah provinsi DKI Jakarta. Dalam
situasi seperti ini dituntut kejelian dan ketajaman peneliti dalam
menyeleksinya.
F. Teknik Analisa Data
63
63
Ada empat tahap analisa data yang dilakukan dalam
penelitian ini, sebagaimana dianjurkan oleh Miles & Huberman
sebagai berikut.
Pertama, pengumpulan data melalui berbagai cara seperti
studi dokumenter, pengamatan, dan wawancara.
Kedua, data mentah yang terkumpul kemudian direduksi
melalui proses pemilihan dan pemilahan, pemusatan,
penyederhanaan, abstraksi dan transformasi. Beberapa teknik
yang membantu dalam pereduksian data antara lain: membuat
ringkasan data, catatan lapangan, pembuatan kode, pembuatan
tema, kategori, klaster, partisi, atau penulisan memo.
Ketiga, tampilan data dilakukan dalam bentuk kata-kata
yang dikenal sebagai teks naratif atas informasi atau kejadian
yang diamati. Tampilan data hanya sebagai pembantu dan acuan
dalam proses pereduksian dan pemaknaannya.
Keempat, vertifikasi dan penarikan kesimpulan.81
Pada tahap
ini dapat dilakukan teknik pemeriksaan keabsahan data.
Pelaksanaannya didasarkan atas sejumlah kriteria. Ada empat kriteria
yang digunakan, yaitu derajat kepercayaan (credibility), keteralihan
(transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian
(confirmability).82
Salah satu teknik pemeriksaan keabsahan data untuk kriteria
kepercayaan (credibility) adalah triangulasi yaitu memeriksa melalui
81 Matthew B.Miles and Michael A.Huberman, Qualitative Data
Analysis, A Sourcebook of New Methods (Beverly Hills Page Publications, 1984), hal. 23.
82 Lexy J.Moleong, op.cit., hal.. 173.
64
64
sumber yang lain.83
Peneliti dalam penelitian ini menggunakan
triangulasi untuk mengecek kebenaran suatu data agar diperoleh tingkat
kepercayaan dan objektivitas data.
Kriteria keteralihan (transferability) dapat diperiksa dengan
teknik uraian rinci.84
Peneliti mengumpulkan, mencatat, dan
melaporkan data yang sangat terinci mengenai hal-hal yang dianggap
bertalian dengan masalah yang diteliti.
Kriteria kebergantungan (dependability) dan kepastian
(confirmability) dapat diperiksa dengan teknik auditing.85
Peneliti
melacak kebenaran laporan apakah sesuai dengan data yang
dikumpulkan.
83 Ibid., hal. 178. 84 Ibid., hal. 183. 85 Ibid., hal. 183-184.
66
BAB IV
PEMAHAMAN KEAGAMAAN GURU PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM DI DKI JAKARTA
A. Hasil Penelitian
1. Zakat Fithrah dengan Uang
Rasulullah Saw bersabda :
ف رض رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم زكاة الفطر صاعا من تر، أوصاعا من ، وأمر غي والكبي من المسلمني ، والذكر واألن ثى، والص ، على العبد والر شعي
دى ق بل خروج الناس إىل الصلة با أن ت ؤ
Artinya : “Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat Fitrah sebanyak satu sha’ kurma atau gandum atas orang muslim baik budak dan orang biasa, laki-laki dan wamita, anak-anak dan orang dewasa, beliau memberitahukan membayar zakat Fitrah sebelum berangkat (ke masjid) ‘Idul Fitri” (HR Bukhari dan Muslim)86
Sebagian ulama memahami hadits-hadits tersebut secara
kontektual, yaitu berdasarkan tujuan ditetapkannya zakat itu. Pemilik
empat puluh ekor kambing wajib memberikan seekor kambing untuk
membahagiakan orang fakir miskin dan boleh memberikannya seharga
kambing tersebut. Begitu juga mengeluarkan zakat fitrah tujuannya
adalah agar orang fakir miskin bahagia dan bisa memanfaatkannya
maka boleh mengeluartkan zakat senilai satu sha‟ buah kurma atau
satu sha‟ gandum. Adapun sebagain ulama memahami secara tektual,
maka tidak sah mengganti zakat dengan harga yang senilai dengan
zakat yang harus dikeluarkan.
86 Hadits riwayat Bukhari no : 1407 dan Muslim no : 1635 dan 1646
67
67
Setelah dilakukan penelitian melalui wawancara dan observasi
kepada beberapa guru Sekolah Dasar di wilayah Kota Jakarta Selatan,
maka di temui sebagian dari mereka yang berpaham keagamaannya
tekstual dan sebagiannya lagi kontektual.
Adapun yang berpaham tekstual seperti pendapat Nur Nurosid
Fauzi salah satu guru PAI SDN Cililitan 01 Pagi Jakarta yang
mengatakan bahwa zakat fitrah itu harus dengan makanan pokok.
Karena pendapat terkuat dalam fiqih adalah menggunakan makanan
pokok sesuai hadits Nabi Muhammad Saw dan bisa dianalogikan
dengan Qurban sekiranya diganti dengan duit pada akhirnya kurbanpun
nantinya bisa lebih mashlahat dengan uang daripada daging qurban itu
sendiri.87
Hasmawati pun demikian, bahwa zakat fithrah itu harus
dengan makanan pokok sesuai perintah langsung dari Nabi Muhammad
Saw dalam haditsnya. Karena kalau dengan uang itu tidak semua orang
bisa memberi, malah nanti akan menimbulkan kesenjangan.88
Ahmad Muhajir juga berpandangan tekstual dalam hal ini
karena zakat dengan makanan pokok lebih mashlahat dan manfaat89
serta sesuai dengan hadits Nabi Saw.90
Berbeda dengan Paridah yang berpaham kontekstual yang
membolehkan zakat fithrah dengan uang karena lebih mashlahah untuk
87
Nur Nurosid Fauzi, Guru PAI SDN Cililitan 01 Pagi Jakarta,
Wawancara Pribadi, Jakarta, 11 Mei 2018. 88
Hasmawati, Guru PAI SDN Cipete Utara 01 Pagi Jakarta,
Wawancara Pribadi, Jakarta, 11 Mei 2018. 89
Siti Hindun, Guru PAI Sekolah Dasar Islam Teladan
Sa‟adatuddarain, Wawancara Pribadi, Jakarta, 11 Mei 2018 90
Ahmad Muhajir, Guru PAI Darul Ma‟arif Jakarta, Wawancara
Pribadi, Jakarta, 11 Mei 2018
68
68
fakir miskin. Beliau mengatakan bahwa saat ini kebutuhan bukan hanya
makanan pokok saja tapi materi (uang) juga dibutuhkan.91
Bahkan Edwin Rahmadi, guru PAI SDS Kartika Jakarta
membolehkan zakat fitrah dengan uang dengan alasan karena uang
lebih praktis.92
Begitupun dengan Hijrianah Kamalia, yang
membolehkan zakat fithrah dengan uang dengan alasan karena lebih
manfaat untuk fakir miskin. Menurut penglihatannya bahwa sebagian
masyarakat miskin saat ini jika menerima makanan pokok dalam
jumlah yang besar maka makanan pokok tersebut (beras) dijual kembali
untuk mendapatkan uang.93
2. Zakat untuk Muallaf
Rasulullah Saw biasanya memberikan bagian zakat pada kepala
suku Arab dengan tujuan untuk menarik mereka agar memeluk Islam
atau mencegah mereka agar tidak membahayakan kaum Muslimin.
Bagian ini diberikan pula pada orang-orang Muslim yang baru
(muallaf) sehingga mereka dapat tetap memeluk Islam dengan teguh.
Tetapi Umar bin Khaththab mencabut perintah yang dituliskan Abu
Bakar, dikala ia masih menjadi khalifah bagi penyumbangan tanah-
tanah tertentu pada sejumlah orang atas dasar bahwa Rasulullah telah
memberikan bagian ini untuk memperkuat Islam, tetapi karena keadaan
telah berubah, maka bagian ini tidak valid lagi. Tindakan Umar ini
tampaknya bertolak belakang dengan Qur‟an, tetapi sebenarnya ia
mempertimbangkan situasi yang ada dan mengikuti ruh perintah
91
Paridah, Guru PAI SDN Tengah 03 Pagi Jakarta, Wawancara
Pribadi, Jakarta, 11 Mei 2018. 92
Edwin Rahmadi, Guru PAI SDS Kartika Jakarta, Wawancara
Pribadi, Jakarta, 11 Mei 2018. 93
Hijrianah Kamalia, Guru PAI SD Islam Taman Quraniyah Jakarta,
Wawancara Pribadi, Jakarta, 11 Mei 2018
69
69
Qur‟an. Pertimbangan pribadinya membawanya pada keputusan bahwa
seandainya Rasulullah hidup dalam kondisi yang sama, tentu beliau
akan memutuskan hal yang serupa.94
Pemahaman Umar bin Khaththab
dalam hal ini cenderung menggunakan pendekatan kontektual.
Dalam hal ini, seluruh guru PAI tingkat SD di wilayah
provinsi DKI Jakarta tidak sependapat dengan pratek Umar bin
Khaththab yang meniadakan zakat untuk muallaf, yang menunjukkan
bahwa mayoritas para guru berpikiran tekstual dalam masalah ini.
Seperti Edwin Rahmadi mengatakan dengan tegas
ketidaksetujuannya dengan pencabutan zakat untuk muallaf, karena
muallaf (orang yang baru masuk Islam) itu perlu bimbingan.95
Ahmad Muhajir merasakan perlunya zakat untuk muallaf
karena dengan dikasih zakat, muallaf tahu bahwa agama Islam adalah
agama sosial kepada sesama.96
Muallaf juga ada yang kaya dan ada
yang miskin, Islam mengajarkan kerohiman dan kepedulian kepada
siapa pun juga termasuk muallaf.97
Nur Nurosid Fauzi melihat bahwa muallaf itu harus dikuatkan
dalam iman dan Islamnya. Semoga dengan zakat ini menjadi semakain
kuat Iman Islamnya.98
Hasmawati juga tidak setuju dengan pencabutan muallaf dari
penerima zakat karena muallaf itu harus dipedulikan.99
Tetapi menurut
Paridah, jika ketika masuk Islam, ia (muallaf) sudah mapan
94
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terjemahan dari The
Early Development of Islamic Jurisprudence oleh Agah Garnadi, (Bandung :
Penerbit Pustaka, 1984), h. 110. 95
Edwin Rahmadi, loc. cit. 96
Ahmad Muhajir, loc. cit. 97
Hijrianah Kamalia, loc. cit. 98
Nur Nurosid Fauzi, loc. cit. 99
Hasmawati, loc. cit.
70
70
kehidupannya, maka tidak perlu zakat lagi, tettapi jika tidak mampu
maka harus di bantu dengan zakat agar tidak pindah keyakinan lagi.100
3. Hukum Potong Tangan Bagi Pencuri
Sejumlah budak mencuri seekor unta betina, kemudian
menyembelihnya dan memakannya beramai-ramai. Ketika persoalan ini
disampaikan pada Khalifah Umar bin Khaththab, seketika itu juga ia
memerintahkan agar dilakukan pemotongan tangan terhadap mereka,
tetapi setelah termenung sesaat ia berkata pada pemilik budak-budak
itu: “kamu pasti yang telah membuat budak-budak ini kelaparan”.
Karena itu ia memerintahkan pemilik budak-budak itu agar mengganti
unta betina dengan dua kali harganya dan mencabut perintah
sebelumnya, yaitu pemotongan tangan pada pencurinya. Cerita lain
menyatakan bahwa seorang laki-laki mencuri suatu barang dari Baitul
Mal, tetapi Umar tidak memotong tangannya. Bahwa Umar
membekukan hukuman pemotongan tangan pencuri pada musim
paceklik adalah fakta sejarah yang masyhur. Dalam kasus-kasus ini
Umar tampaknya melanggar ayat Qur‟an yang memerintahkan
pemotongan tangan pencuri. Tetapi Umar menggunakan pendekatan
kontekstual dalam memutuskan hukum di atas.
Hampir mayoritas guru sepakat pendapat Umar bin Khathtab
dalam masalah ini yang bersifat kontektual. Seperti Edwin Rahmadi
setuju dengan pendapat Umar bin Khathtab dan ia berpendapat bahwa
mencuri karena lapar itu disebabkan oleh pemilik budak tersebut.
makam menurutnya sangat pantas jika pemilik budak yang di
100
Paridah, loc. cit.
71
71
hukum.101
Nur Nurosid Fauzi menambahkan bahwa semua
keputusan hukum harus dilihat dari latar belakang masalahnya
sehingga bisa memutuskan hukum dengan tepat.102
Paridah punya pandangan yang unik bahwa yang
dimaafkan hanya untuk kebutuhan makan saja, jika untuk
kemewahan maka para budak itu tetap harus di potong tangan. 103
Hanya Ahmad Muhajir yang berpikiran tektual dalam
masalah ini dengan mengatakan bahwa semua alasan apapun kalau
memang terbukti bersalah maka syariat Islam harus dijalankan karena
kalau menghukumi orang dilihat dari alasannya maka orang akan
banyak beralasan untuk berbuat demikian.104
4. Mengganti Kayu Siwak dengan dengan Sikat dan
Pasta Gigi
Islam adalah agama yang mencintai kebersihan, tak terkecuali
kebersihan gigi. Oleh sebab itu, dalam ajaran Nabi Muhammad SAW
seorang Muslim dianjurkan untuk bersiwak yang berguna untuk
membersihkan gigi.
Pada masa Nabi, sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab
fikih klasik, disebutkan bahwa orang Arab biasa menggosok gigi
dengan kayu yang dikenal dengan kayu arak. Selain itu, dalam berbagai
riwayat hadits, Nabi dan sahabat tidak lupa untuk mencuci kayu
101
Edwin Rahmadi, loc. cit. 102
Nur Nurosid Fauzi, loc. cit. 103
Paridah, loc. cit. 104
Ahmad Muhajir, loc. cit.
72
72
tersebut setelah digunakan bersiwak. Kenapa kayu arak? Ranting kayu
ini lebih lunak dan terasa nyaman di mulut.
Di Indonesia, fenomena bersiwak banyak di sekitar kita. Kayu
arak ini dijual, serta dijadikan oleh-oleh jamaah haji untuk handai tolan
sepulang ke Indonesia. Sebagian orang menganggap, yang disebut
bersiwak adalah menggunakan kayu tersebut sewaktu-waktu, terutama
sebelum shalat.
Zaman sudah berubah, masyarakat juga mengenal sikat gigi
serta pasta gigi. Sikat gigi lebih mudah didapat di Indonesia, serta bisa
menjangkau bagian mulut yang lebih dalam. Nah, apakah
menggunakan sikat dan pasta gigi termasuk bersiwak juga?.
Secara kontektual, tujuan bersiwak itu agar mulut menjadi
bersih serta bau mulut yang sedap hilang. Dalam interaksi kita sehari-
hari, gigi kotor dan bau mulut tak sedap membuat tidak nyaman. Untuk
menambah nilai kemuliaan saat beribadah, maka membersihkan gigi
sangat dianjurkan, baik sebelum shalat, ketika akan membaca Al-
Quran, dan sebagainya meskipun tidak menggunakan kayu arak tetapi
tetap diniatkan bersiwak agar mendapat kesunahan. 105
Menurut Nur Nurosid Fauzi, bahwa menggunakan pasta gigi
tetap mendapat pahala sunnah dari segi hasil dan bagi yang memakai
siwak akan mendapat pahala sunnah dari sisi hasil dan juga proses
(karena alatnya sesuai dengan sunnah Nabi).106
Hal senada juga di
ungkapkan oleh Siti Hindun, bahwa Nabi Muhammad Saw itu cinta
kebersihan dan untuk mendapatkan siwak yang seperti Nabi contohkan
105
www.nu.or.id 106
Nur Nurosid Fauzi, loc. cit.
73
73
sulit di dapatkan di sini (Indonesia).107
Hijrianah Kamalia juga setuju
dalam pandangan kontekstual ini, karena inti bersiwak adalah untuk
membersihkan gigi.108
Sebagian guru ada yang berpandangan tekstual dalam hal ini,
yang mengatakan bahwa terdapat perbedaan antara siwak dan pasta
gigi, seperti Ahmad Muhajir mengatakan bahwa kandungan yang ada
dalam siwak itu lebih banyak manfaatnya dibanding pasta gigi
diantaranya bisa menguatkan ingatan, mata menjadi terang,109
menguatkan badan, dan dapat menghilangkan kuman.110
Siwak juga
banyak dan mudah di dapat di Indonesia.111
5. Isbal (Kaki celana/Jubah/Kain menutup mata kaki)
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda,
“Kain yang di bawah dua mata kaki, maka di dalam neraka”.
(HR. al-Bukhari).
Pendapat Ulama Memahami Hadits-Hadits Ini:
Pendapat Imam Syafi‟i: “Makna Isbal adalah memanjangkan
kain di bawah kedua mata kaki, hanya bagi orang yang sombong. Jika
pada orang yang tidak sombong, maka makruh. Demikian disebutkan
Imam Syafi‟i secara nash tentang perbedaan antara orang yang
memanjangkan kain karena sombong dan orang yang memanjangkan
107
Siti Hindun, loc. cit. 108
Hijrianah Kamalia, loc. cit. 109
Ahmad Muhajir, loc. cit. 110
Paridah, loc. cit. 111
Edwin Rahmadi, loc. cit.
74
74
kain tetapi tidak sombong.112
Hadits tentang Isbal, banyak orang yang bersemangat sangat
mengingkari orang lain yang tidak memendekkan pakaiannya di atas
mata kaki. Bahkan mereka terlalu berlebihan dalam bersikap sampai
pada tingkat menjadikan perbuatan memendekkan kaki celana sebagai
syi‟ar Islam atau kewajiban yang besar dalam Islam. Jika mereka
melihat seorang ulama atau da‟i tidak memendekkan kaki celana seperti
yang mereka lakukan, mereka menuduhnya -bahkan secara terang-
terangan- tidak faham agama. 113
Salah seorang guru SD PAI di wilayah provinsi DKI Jakarta
yang bernama Edwin Rahmadi memahami hadits Nabi Muhammad
Saw di atas secara tektual, alasannya kalau isbal, di khawatirkan akan
mengotori celana.114
Adapun mayoritas guru lainnya seperti Nur Nurosid Fauzi
berpendapat bahwa boleh menggenakan celana di bawah mata kaki
selama tidak sombong. Bagi yang menggenakan celana di atas mata
kaki pun haram bila disertai kesombongan dan merasa paling benar dan
suci.115
112
Al-Haifzh Ibnu Hajar al-„Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-
Bukhari, juz.X (Beirut: Dar alMa‟rifah, 1379H), hal.263. 113
Syekh DR.Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata‟amal Ma‟a as-Sunnah
an-Nabawiyyah, (Cairo; Dar asySyuruq, 1423H), hal.128 114
Edwin Rahmadi, loc. cit. 115
Nur Nurosid Fauzi, loc. cit.
75
75
Hasmawati berpendapat bahwa tidak haram bagi laki-laki
menggenakan pakaian sampai bawah mata kaki, karena menutup mata
kaki atau tidak, kedua-duanya sama sama masih menutup aurat.116
Menurut Siti Hindun bahwa batas kesombongan itu bukan dari
pakaian yang dikenakannya, jika ada yang memakai di atas mata kaki
atau di bawah mata kaki itu boleh boleh saja.117
Allah Swt menyukai
keindahan, hadits Nabi jangan dipahami secara letter saja, tetapi harus
dipahami berdasarkan pemahaman dari ulama-ulama yang mumpuni.118
6. Tahlilan
Praktek tahlil hukumnya haram menurut sebagian orang karena
menyerupai dengan tradisi agama lain yaitu Hindu dan Budha. Tuduhan
ini juga berlaku untuk perayaan maulid nabi Muhammad Saw. karena
menyerupai perayaan kelahiran dalam agama lain, yaitu perayaan Natal
(Kristen)
Pandangan yang serba membuat kesamaan antara tradisi Islam
dengan tradisi non-Islam ini beranggapan jika bukan orang Islam yang
melakukan pertama kali, berarti itu bid‟ah sesat, haram, bahkan kafir
jika dilakukan oleh orang Islam. Perlu juga diingat bahwa budaya
sarungan itu bukan budaya Islam. Pada masa nabi Muhammad Sawa.
tidak ada. Budaya sarungan umat Islam yang cuma di Indonesia. Itu
pun juga berangkat dari budaya agama Hindu yang ada di Indonesia.
Anggap saja orang Madura yang kentara dengan budaya sarungnya, dan
116
Hasmawati, loc. cit. 117
Siti Hindun, loc. cit. 118
Ahmad Muhajir, loc. cit.
76
76
lihat agama nenek moyang orang Madura sebelum Islam datang, tak
lain mayoritas menganut Hindu.
Begitu pula dengan budaya celana yang sudah banyak
digandrungi oleh masyarakat Indonesia. Tempo dulu budaya memakai
celana di kalangan Islam Indonesia haram. Hal tersebut dengan suatu
dalil dan alasan bahwa orang yang menyerupai suatu, maka mereka
merupakan bagian dari mereka. Karena dianggap menyerupai dengan
orang Belanda atau Jepang yang beragama non-Islam, maka memakai
celana diharamkan. Itu semua merupakan buah dari fanatisme dalam
beragama yang mengekang dan mempersulit hidupnya sendiri. Baru
ketika mereka sadar bahwa memakai celana itu penting, pengharaman
lambat laun menyusut dan rata-rata kiai memakai celana.
Hasil penelitian yang kami dapati bahwa seluruh guru PAI SD
di wilayah provinsi DKI Jakarta sepakat memahami tahlilan dengan
pemahaman kontektual. Seperti Nur Nurosid Fauzi mengatakan
bahwa memang betul tidak ada contoh dari Nabi Muhammad Saw
merupakan bid‟ah, namun karena diisi dengan hal-hal yang diajarkan
Nabi semisal dzikir, baca al-Qur‟an dan nasehat agama sehingga
menjadi bid‟ah hasanah, dimana yang mengamalkan mendapat pahala.
Jadi tahlilan tidak beda dengan model perkumpulan semisal pengajian,
bedah buku, seminar yang tak ada contohnya dari Nabi Saw.119
Pendapat ini senada dengan pendapatnya Ahmad Muhajir
yang berpendapat bahwa tidak semua yang tidak dicontohkan itu
bid‟ah. Karena bid‟ah itu ada bid‟ah hasanah dan sayyi‟ah, dan tahlilan
itu bid‟ah hasanah, karena tujuannya baik yaitu mendoakan orang yang
119
Nur Nurosid Fauzi, loc. cit.
77
77
telah wafat dan menghibur kesedihan atas orang yang ditinggalkan dan
itu tradisi tidak bertentangan dengan syariat Islam.120
Hasmawati berpendapat bahwa selama ajarannya tidak
menyimpang dari Islam maka tahlilan itu boleh saja dilakukan. Karena
dengan adanya tahlilan bisa menambah kerukunan umat Islam dan
dapat menjaga silaturahmi.121
Menurut Edwin Rahmadi tahlilan itu
baik dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt.122
Siti Hindun juga berpendapat bahwa tahlilan memang tidak
diajarkan Rasulullah Saw akan tetapi Nabi menganjurkan kita untuk
banyak banyak mengucapkan kalimat thayibah dan tahlilan adalah doa
dan ucapan-ucapan kalimat thayibah tersebut.123
7. Saksi Perzinaan
Terkait dengan empat orang saksi dalam kasus perzinaan,
Syaltut mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: Seseorang boleh
mengalirkan darah karena mempertahankan kehormatan rumah
tangganya (kasus zina) walaupun tanpa empat orang saksi, hal itu
semata mata sebagai pembelaan kehormatannya, manakala bukti telah
kuat.124
Syaltut memberikan ilustrasi yang terdapat dalam riwayat
tentang putusan Umar ibn Khattab, bahwa ia membenarkan seorang
laki-laki yang menetakkan pedangnya kepunggung laki-laki lain
120
Ahmad Muhajir, loc. cit. 121
Hasmawati, loc. cit.. 122
Edwin Rahmadi, loc. cit. 123
Siti Hindun, loc. cit. 124
Mahmud Syaltut, al-lslam Aqidah wa al-Syari‟ah, (Kairo: Dar al-
Syuruq, 1980), h. 345
78
78
sehingga meninggal karena didapatkannya berbuat zina dengan
isterinya.125
Lebih lanjut ia mengemukakan pendapatnya sebagai
berikut: Manakala tidak memungkinkan menghadirkan empat orang
saksi dalam kasus ini, maka cukuplah bukti-bukti kuat menurut hukum
bisa digunakan oleh hakim.126
Dengan tegas ia menyatakan bahwa
pengadilan itu punya banyak cara untuk menetapkan suatu keputusan
hukum disamping empat orang saksi.
Pemikiran Syaltut ini sangat kontektual yang melihat dari sisi
mashlahahnya. Karena jika suatu kasus yang melanggar kehormatan
orang lain seperti zina harus dengan empat orang saksi dalam
pembuktiannya, sedangkan hal itu sulit dipenuhi, sedangkan bukti-bukti
lain telah menguatkan, maka akan tidak terlindungi kehormatan dan
ketenangan rumah tangga seseorang. Padahal kehormatan dan
ketenangan rumah tangga merupakan fondasi penting untuk
menciptakan keharmonisan suatu perkawinan dan kelestariannya.
Karena itu setiap aktivitas yang mengandung manfa‟at, baik
itu dari segi menarik atau menghasilkannya, maupun cara menolak atau
menghindarkan dari bahaya dan kepedihan, pantas dinamai maslahah.
Maslahah itu pada dasarnya adalah sesuatu yang membawa kearah yang
baik dan manfa‟at.
Kalau dilihat dari segi metodologi hukum Islam, maka dapat
dikatakan, bahwa cara pengambilan kesimpulan Syaltut dalam
mengistinbatkan hukum mengenai persoalan di atas adalah
menggunakan maslahah. Ia merumuskan semacam kaidah sebagai
125
Ibid., h. 344-345. 126
Ibid.
79
79
berikut: “jika suatu masalah itu didapatkan, maka disitulah syariat
Allah.”
Pendapat Syaltut ini diamini oleh sebagian guru PAI SD di
wilayah provinsi DKI Jakarta Selatan ini, seperti Paridah menyetujui
pendapat Syaltut karena zaman tekhnologi sudah canggih dan dapat
disaksikan oleh orang banyak. Adapun kebenaran sebuah video dapat
memanggil ahli IT sehingga dapat melihat jelas kebenarannya.127
Ahmad Muhajir sangat setuju dengan pendapat Syaltut,
karena dengan seperti itu, akan memberikan efek jera bagi orang yang
melakukan zina tersebut dan menjaga kehormatan bagi pihak yang
dirugikan.128
Bahkan menurut Siti Hindun bahwa bukti video adalah bukti
yang kuat. Bahkan kalau dengan saksi satu orang yang sebagai saksi
kunci dengan bukti yang kuat juga maka itu sah-sah saja.129
Tapi berbeda dengan Nur Nurosid Fauzi yang berpendapat
bahwa saksi zina harus empat orang saksi. Karena tuduhan zina
terhadap seseorang merupakan dosa besar, maka dibutuhkan kehati-
hatian dalam tuduhan.130
Maka menuduh zina itu harus disaksikan
empat orang, jika tidak mencapai empat orang maka tidak sah.131
8. Bunga Bank
127
Paridah, loc. cit. 128
Ahmad Muhajir, loc. cit. 129
Siti Hindun, loc. cit. 130
Nur Nurosid Fauzi, loc. cit. 131
Hasmawati, loc. cit.
80
80
Mahmud Syaltut, seorang cendikiawan dari Mesir berpendapat
bahwa sesungguhnya prinsip syari‟at Islam dalam bidang muamalah
adalah terpenuhinya maslahah, terlindunginya aturan dan hak-hak serta
meningkatnya taraf hidup.132
Maka dari itu ia menghalalkan bunga
tabungan karena dipandang memberikan kemashlahatan dan tidak
menimbulkan kemudharatan, baik yang menabung atau yang menerima
tabungan, kedua-duanya mendatangkan kebaikan. Didalamnya tidak
terdapat orang yang menganiaya dan teraniaya, dengan kata lain tidak
ada unsur pemerasan atau pemaksaan. Laba yang diberikan oleh
tabungan adalah sebagai suatu daya tarik saja.
Berdasarkan hal ini, Syaltut membolehkan bunga tabungan itu
berdasarkan ayat 220 dan 279 surat al-Baqarah. Dalam hal ini,
Muhammad Abduh berpendapat, bahwa haram ataupun halalnya bunga
tadi bertitik tolak pada : Allah tidak mengharamkan sesuatu
kecuali karena mendatangkan mudharat pada dirinya, dan tidak
menghalalkan sesuatu, kecuali karena bermanfaat pada dirinya.133
Pendapat Syaltut ini berbeda dengan kalangan ulama Mesir saat itu
yang menyatakan bahwa, keuntungan yang diberikan oleh Bank adalah
haram.134
Nur Nurosid Fauzi sepakat dengan mayoritas ulama Mesir
yang berpendapat bahwa konsep dasar riba adalah sesuatu yang
bertambah. Allah Swt menghalalkan jual beli artinya bila pihak bank
memutar uang nasabah untuk jual beli maka itu sistem bagi hasil dan
132
Mahmud Syaltut, al-lslam Aqidah wa al-Syari‟ah, h.391 133
Muhammad abduh, Tafsir al-Manar, (Cairo: Maktabah al-
Qahiroh, juz III, cet IV, 1324), hal. 97 134
Mahmud Syaltut, al-Fatawa, h. 351
81
81
itu boleh tapi kalau bunga bukan dari sistem jual beli makanya menjadi
riba‟.135
Ahmad Muhajir juga tidak setuju dengan pendapat Syaltut.
Alasannya bahwa di satu sisi mungkin tidak ada yang dirugikan, tetapi
disisi lain, nanti akan banyak orang yang menghalalkan riba dalam
suatu transaksi padahal jelas bahwa riba termasuk dosa besar dan
seringan-ringannya dosa riba adalah seperti menzinahi ibu sendiri.136
Tetapi pendapat Syaltut ini banyak memperoleh dukungan dari
guru PAI yang lainnya seperti Hijrianah Kamalia berpendapat bahwa
zaman sudah semakin berkembang dan modern. Pihak Bank dan
nasabah tidak ada unsur paksaan di kedua belah pihak. 137
Di samping
itu, menurut Hasmawati, ada unsur kemashlahatan dan tidak
menimbulkan kemudaratan diantara kedua belah pihak.138
9. Kesaksian Wanita
Allah swt berfirman:
فزجل رجليي يكىا لن فئى جالكن ر هي شهيديي وٱستشهدوا
وٱهزأتاى
135
Nur Nurosid Fauzi, loc. cit. 136
Ahmad Muhajir, loc. cit. 137
Hijrianah Kamalia, loc. cit. 138
Hasmawati, loc. cit.
82
82
“Dan persaksikan dengan dua orang saksi dari orang lelaki
(diantaramu), jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang
lelaki dan dua orang perempuan”139
Dalam memahami ayat ini, seringkali mengarah kepada
ketidaksetaraan antara laki-laki dan wanita, bahwa wanita itu lebih
rendah dari laki-laki, oleh karena itu kesaksian seorang wanita bernilai
separuh dari kesaksian laki-laki. Sehingga para fuqaha‟ dalam
menetapkan masalah kesaksian wanita selalu dengan perbandingan dua
orang saksi wanita sama nilainya dengan kesaksian seorang laki-laki.
Bahkan lebih jauh lagi yaitu kesaksian wanita tidak dapat diterima
dalam masalah pidana (qisas dan hudud). Kesaksian wanita baru diakui
secara mutlak, tanpa didampingi kesaksian laki-laki hanya terbatas
dalam hal yang berkaitan dengan masalah kewanitaan saja, atau hal-hal
yang lazim diketahui oleh wanita, seperti masalah haid, cacat pada
anggota tubuh wanita, peristiwa kelahiran dan masalah rada‟ah.140
Dalam suasana dan atmosfir seperti itu, Syaltut menyatakan
pendapatnya, bahwa kesaksian seorang wanita itu sama dan setara
nilainya dengan kesaksian seorang laki-laki.141
Pendapat Syaltut ini tentu saja berbeda dengan pendapat yang
selama ini berkembang dikalangan fuqaha, bahwa kesaksian seorang
wanita itu setengah dari kesaksian seorang laki-laki, atau dengan
formulasi fiqih dinyatakan bahwa kesaksian wanita baru dianggap sah,
bila dikemukakan oleh dua orang wanita dan seorang laki-laki.
139
Surat al-Baqarah (2) ayat 282 140
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Al-Turuq al-Hukmiyyah fi al-Siasah al-
Syar‟iyyah, (Kairo : al-Mu‟assasah al-Arabiyyah li al-Tiba‟ah wa al-Nasyr,
1961) h. 92-93 & 151 141
Syaltut, al-lslam Aqidah wa Syari'ah, h. 239-240
83
83
Pendapat Syaltut ini disetujui oleh beberapa guru PAI tingkat
SD di wilayah provinsi DKI Jakarta Selatan seperti Ahmad Muhajir
berpendapat bahwa ia setuju dengan pendapat Syaltut karena laki-laki
dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama terutama
dalam keadaan darurat. 142
Siti Hindun berpendapat bahwa wanita dan laki-laki memang
tidak sebanding namun jika tidak ada yang menjadi saksi lain maka
tidak mengapa, asalkan wanita tersebut saksi yang dapat dipercaya.143
Menurut Hasmawati, bahwa persaksian itu tidak perlu
memandang jenis kelamin, jadi laki-laki atau perempuan bisa saja
untuk dijadikan saksi asalkan kesaksiannya itu sesuai dengan kenyataan
dan sesuai dengan apa yang diucapkan.144
Tetapi Nur Nurosid Fauzi, tidak sepakat dengan pendapat
Syaltut, alasannya karena secara psikologis lelaki dan wanita itu
berbeda. Imam al-Ghazali berpendapat bahwa laki laki itu akalnya
sembilan dan nafsunya satu, sementara perempuan itu akalnya satu dan
nafsunya sembilan. Mungkin karena faktor inilah al-Qur‟an
membandingkan satu laki-laki dengan dua perempuan.145
Paridah juga mengatakan hal yang sama, bahwa hukum harus
mengikuti firman Allah. Perempuan terkadang mengedepankan
perasaan dibanding fikiran. Jika dua perempuan menjadi saksi maka
dapat membantu untuk menguatkan alasan perempuan yang satunya
142
Ahmad Muhajir, loc. cit. 143
Siti Hindun, loc. cit. 144
Hasmawati, loc. cit. 145
Nur Nurosid Fauzi, loc. cit.
84
84
lagi.146
Bahkan menurut Edwin Rahmadi, wanita itu bersifat bengkok
atau mudah dipengaruhi karena terbuat dari tulang rusuk Nabi Adam
AS, maksudnya adalah wanita itu kurang tegar dan perasaannya mudah
terbawa.147
Hijriyanah Kamalia juga berpendapat bahwa wanita selalu
mengutamakan perasaannya dalam memberikan kesaksian dan laki-laki
lebih kuat dari seorang wanita.148
10. Kasus Bani Quraidhoh
Suatu hari sahabat Nabi Muhammad Saw. berkunjung ke
Bani Quraizhah. Kepada mereka, Nabi bersabda; “Janganlah kamu
melaksanakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah”149 Sebelum
sampai ke Bani Quraizhah, waktu Ashar hampir habis. Sebagian
sahabat berijtihad dengan melakukan shalat si perjalanan. Berdasarkan
ijtihadnya, perintah tersebut adalah supaya sahabat melakukan
perjalanan secara cepat sehingga bisa sampai di Bani Quraizhah
sebelum waktu shalat Ashar habis. Sebagian sahabat lagi berpegang
kepada makna tersurat sabda Nabi Saw tersebut, sehingga mereka
shalat Ashar di Bani Quraizhah pada malam hari.150
Shahabat yang
shalat di jalan cenderung menggunakan pendekatan kontektual dan
146
Paridah, loc. cit. 147
Edwin Rahmadi, loc. cit. 148
Hijrianah Kamalia, loc. cit. 149
Hadits riwayat Bukhari no : 894 dan Muslim dari Ibnu Umar no:
3317 150
Shihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Qasthalani, Irsyad al-saari
fi Syarh Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1984), Jilid 6, Cet 7,
h. 240
85
85
shahabat yang shalat Ashar pada malam hari di Bani Quraidzah
menggunakan pendekatan tekstual.
Nur Nurosid Fauzi memilih kecenderungannya kepada ke
kelompok A, walau Nabi Saw memerintahkan shalat Ashar di Bani
Quraidzah, akan tetapi ada aturan yang itupun adalah ajaran Nabi
Muhammad Saw bahwa shalat itu harus pada waktunya. Karenanya
walau dia tidak shalat Ashar di Bani Quraidzah tetap disebut sebagai
orang yang taat pada Nabi Muhammad Saw.151
Begitu juga dengan Siti Hindun, yang lebih cenderung ke
kelompok A yang melaksanakan sholat diperteangahan jalan walaupun
belum sampai Bani Quraidzah. Karena menurutnya orang yang sholat
di luar waktu atau melewati waktu adalah termasuk orang yang lalai
dan merugi.152
Begitupun Ahmad Muhajir yang lebih cenderung
kepada kelompok A, karena sholat yang baik adalah sholat di awal
waktu.153
Berbeda dengan Hasmawati yang lebih cenderung kepada
kelompok B, dengan alasan karena itu perintah dari imam mereka yaitu
Nabi Muhammad Saw.154
Paridah juga cenderung kepada kelompok B,
karena Ashar bisa bisa di lakukan di di Bani Quraidzah dan ini bisa
dijadikan sebagai pembelajaran.155
151
Nur Nurosid Fauzi, loc. cit. 152
Siti Hindun, loc. cit. 153
Ahmad Muhajir, loc. cit. 154
Hasmawati, loc. cit. 155
Paridah, loc. cit.
86
86
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka peneliti mencoba
untuk membahas temuan-temuan penelitian tersebut dalam sebuah tabel
sebagai berikut:
Tabel 4.1
Beberapa Permasalahan Pemahaman Keagamaan
NO PERMASALAHAN PENDEKATAN
TEKTUAL KONTEKTUAL
1 Zakat Fitrah dengan Uang 4 3
2 Zakat untuk Muallaf 7 0
3 Hukum Potong Tangan 1 6
4 Hukum Siwak Sikat Gigi 3 4
5 Hukum Isbal 2 5
6 Hukum Tahlilan 0 7
7 Saksi Perzinaan 3 4
8 Hukum Bunga Bank 2 5
9 Kesaksian Wanita 4 3
10 Kasus Bani Quraidzah 3 4
87
87
JUMLAH 29 Guru 41 Guru
Tabel 4.2
Pemahaman Keagamaan Guru SD PAI DKI Jakarta
NO
NAMA
SEKOLAH
PEMAHAMAN KEAGAMAAN
GURU PAI SEKOLAH DASAR WILAYAH DKI JAKARTA
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
T K T K T K T K T K T K T K T K T K T K
1 SDN Cililitan
01 Pagi
V V V V V V V V V V
2 SDN Cipete
Utara 01 Pagi
V V V V V V V V V V
3 SDN Tengah
03 Pagi
V V V V V V V V V V
4 SDS Kartika
VIII-2
V V V V V V V V V V
5 SDIT
Saadatuddarain
V V V V V V V V V V
6 SDI Darul
Maarif
V V V V V V V V V V
88
88
7 SDI Taman
Quraniyah
V V V V V V V V V V
JUMLAH 4 3 7 1 6 3 4 2 5 7 3 4 2 5 4 3 3 4
Dalam masalah zakat fithrah dengan uang, melalui penelitian
ini didapati bahwa guru yang memahami zakat fithrah harus dengan
makanan pokok (tekstual) jumlahnya lebih banyak dibanding guru yang
membolehkan zakat fihrah dengan uang (kontekstual). Dengan
demikian bahwa guru yang berfaham tekstual dalam masalah ini lebih
banyak dibanding guru yang berpaham kontektual.
Kasus zakat untuk muallaf, para guru sepakat bahwa zakat
fithrah boleh di diberikan kepada muallaf (orang yang baru masuk
Islam) sebagaimana teks firman Allah Swt. Dalam masalah ini seluruh
guru berpaham tektualis.
Hukum potong tangan bagi pencuri memperlihatkan bahwa
hampir seluruh guru berpikir kontekstual karena menyetujui ijtihad
Umar bin Khaththab yang tidak memotong tangan pencuri. Umar lebih
memilih menghukum pemilik budak karena
Tiga orang guru berpandangan tekstual dalam mengganti
siswak dengan pasta gigi, bahwa kandungan yang ada dalam siwak itu
lebih banyak manfaatnya dibanding pasta gigi. Sedangkan empat orang
guru berpandangan kontekstual bahwa bisa saja siwak yang sulit dicari
di Indonesia di ganti dengan pasta gigi.
89
89
Mayoritas guru memahami masalah Isbal dengan paham
kontektual, yakni seseorang boleh saja memakan celana atau kain
menutupi mata kaki asalkan jangan diiringi dengan kesombongan.
Dalam masalah tahlilan, seluruh guru membolehkan praktik
tahlilan, karena walaupun tidak ada contohnya dari Nabi Muhammad
Saw akan tetapi seluruh amalannya mengandung nilai pahala.
Dalam kasus saksi perzinaan, empat dari tujuh guru berpiki
kontekstual dengan berpendapat bahwa manakala bukti-bukti sudah
cukup kuat tentang adanya perzinaan, maka tanpa empat orang saksi
pun bisa dijatuhkan hukuman.
Mayoritas para guru berpaham kontektual karena
membolehkan bunga tabungan. Karena dipandang memberikan
kemashlahatan, tidak menimbulkan kemudharatan, tidak terdapat orang
yang menganiaya dan teraniaya, dengan kata lain tidak ada unsur
pemerasan atau pemaksaan. Laba yang diberikan oleh tabungan adalah
sebagai suatu daya tarik saja.
Empat dari tujuh guru berpaham tekstual dalam memahami
ayat tentang kesaksian wanita, alasannya karena secara psikologis lelaki
dan wanita itu berbeda. Dan yang terakhir, yaitu dalam kasus Bani
Quraidzoh, mayoritas guru berpaham kontekstual, dalam hal ini mereka
sepakat dengan para shahabat yang memilih untuk shalat di jalan,
karena esesnsi dari perintah Nabi Muhammad adalah agar para
shahabat mempercepat perjalanan ke Bani Quraidzah. Tetapi jika belum
sampai juga padahal sudah mempercepat langkah, maka alangkah
baiknya shalat ashar di waktunya sebelum sampai Bani Quaraidzah.
90
90
92
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab
sebelumnya, maka pada bab ini akan disampaikan kesimpulan dan
saran.
Adapun kesimpulan penelitian ini adalah bahwa guru
Pendidikan Agama Islam (PAI) pada Sekolah Dasar (SD) di wilayah
provinsi DKI Jakarta mayoritas memiliki pemahaman keagamaan yang
kontektual. Pendekatan kontektual dalam pemahaman keagamaan
adalah pemahaman yang penjabarannya senantiasa memperhatikan
kondisi dan situasi dimana Islam itu di kembangkan. Pendekatan ini
adalah sebagai metode yang menjadikan rasio atau akal manusia
sebagai alat yang paling dominan dalam memperoleh pengetahuan dan
pemahaman atas pelbagai ajaran Islam, teks teks wahyu dibedah secara
kontekstual, kritis, logis dan rasional. Pendekatan kontekstualis ini juga
sebagai manhaj fikir yang memahami agama Islam sebagai organisme
yang hidup dan berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan
manusia. Maka bagi mereka pintu ijtihad mesti dibuka pada semua
bidang sehingga memungkinkan Islam menjawab persoalan
kemanusiaan yang terus berubah-ubah.
B. Saran
Adapun saran-saran yang akan disampaikan adalah sebagai
berikut:
93
93
1. Kepada para guru, kepala sekolah dan para pembaca
diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sumbangan
pemikiran dan menambah wawasan tentang kajian mengenai
pemahaman keagamaan guru pendidikan agama Islam tingkat
Sekolah Dasar di wilayah provinsi DKI Jakarta yang dapat
dijadikan acuan dalam penelitian, pembuatan buku dan
pengajaran. Temuan penelitian ini dapat dijadikan sebagai
dasar penelitian, evaluasi dan pengembangan ilmu
pengetahuan.
2. Kepada Pemerintah Republik Indonesia agar mengalokasikan
dana yang cukup untuk pelatihan dan pembinaan para guru
terkait dengan pemahaman keagamaan para guru di sekolah.
94
DAFTAR PUSTAKA
A. Qodri A Azizy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika
Sosial, (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003
Abd al-Qadir al-Audah, al-Tasri‟ al-Jina‟I al-lslami, (Kairo:
Maktabah al-Gurubah, 1962), juz ii
Abd al-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh Ala al-Mazahib al-arba‟ah,
(Bairut: Dar al-Fikri)Mahmud Syaltut, al-lslam Aqidah
wa al-Syari‟ah, (Kairo: Dar al-Syuruq, 1980)
Abd al-Aziz „Amir, al-Ta‟zir fi al-Syari‟ah al-Islamiyyah, (Kairo:
Dar al-Fikri al-Arabi, 1976)
Abu 'A'ia al-Maududi, Tafsir Surah al_Nur, (Damsyiq: Dar a!-
Fikri, 1960)
Abu Zahrah, Falsafah al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islami, (Mesir:
Dar al-Ilm Lil Malayin, 1963)
Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), Ed. 1. Cet. 2
Ahmad Fatah Yasin, Pengembangan Sumber Daya Manusia
di Lembaga pendidikan Islam, (Malang: UIN Maliki
Press, 2011)
95
Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Terjemahan dari
The Early Development of Islamic Jurisprudence oleh
Agah Garnadi, (Bandung : Penerbit Pustaka, 1984)
Allan Menzies, Sejarah Agama Agama, (Yogyakarta : Forum,
2014)
Asep Mahfudz, Be A Good Teacher or Never: 9 Jurus
Cepat Menjadi Guru Profesional Berkarakter Trainer,
(Bandung: Nuansa, 2011)
Asep Yonny dan Sri Rahayu Yunus, Begini Cara Menjadi Guru
Inspiratif dan Disenangi Siswa, (Yogyakarta: Pustaka
Widyatama, 2011)
Asef Umar Fakhruddin, Menjadi Guru Favorit, (Jogjakarta: Diva
Press, 2011)
Asep Mahfudz, Be A Good Teacher or Never: 9 Jurus
Cepat Menjadi Guru Profesional Berkarakter Trainer,
(Bandung: Nuansa, 2011
Faisal, Mengintegrasikan Revisis Taksonomi Bloom Kedalam
Pembelajaran Biologi, Jurnal Sainsmat, Vol. IV, No. 2,
2015
96
Hadari Nawawi, Organisasi Sekolah dan Pengelolaan
Kelas sebagai Lembaga Pendidikan, (Jakarta: Haji
Masagung, 1989)
Ibnu Hajar al-„Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari,
juz.X (Beirut: Dar alMa‟rifah, 1379H)
Jawwad „Ali, al-Mufashshal fi Tarikh al-„Arab Qabl al-Islam,
Juz.XVIII (Dar as-Saqi, 1422H)
John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia,
(Jakarta: Gramedia, 1979), cet. VIII
Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan
Pemikiran dan Kepribadian
M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad antara tradisi
dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998)
Mahmud Syaltut, al-lslam Aqidah wa al-Syari‟ah, (Kairo: Dar al-
Syuruq, 1980)
Matthew B.Miles and Michael A.Huberman, Qualitative Data
Analysis, A Sourcebook of New Methods (Beverly Hills
Page Publications, 1984)
97
Muhammad abduh, Tafsir al-Manar, (Cairo: Maktabah al-
Qahiroh, juz III, cet IV, 1324)
Muhaimin, Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan
Islam,(Jakarta: Rajawali Press, 2012)
Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan
Pemikiran dan Kepribadian Muslim, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2006)
Muhammad Alim Pendidikan Agama Islam Upaya Pembentukan
Pemikiran dan Kepribadian Muslim, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2006)
Muri Yusuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Ghali
Indonesia, 1986)
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2006)
Shihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Qasthalani, Irsyad al-
saari fi Syarh Shahih Bukhari, (Beirut: Dar al-Kitab al-
Arabi, 1984), Jilid 6, Cet 7
Sukardi, Metode Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan
Prakteknya (Jakarta: Bumi Aksara, 2003)
98
Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata‟amal Ma‟a as-Sunnah an-
Nabawiyyah, (Cairo; Dar asySyuruq, 1423H)
Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan
Mental, (Jakarta: Bulan Bintang, 1982)
94
BIODATA PENULIS
Dr. H. TAUFIK ABDILLAH SYUKUR
Lc, MA, lahir di Jakarta, 28 Maret 1978.
Putra ketiga dari DR. (HC). Dr. KH. Manarul
Hidayat, M.Pd dan Dra. Hj. Mahyanah MH.
Menyelesaikan S1 di Universitas Yarmouk
Jordania (2001), S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2004) dan
S3 Universitas Ibnu Khaldun Bogor program studi Pendidikan
Islam (2013) dengan predikat cumlaude (A) dan merupakan
wisudawan terbaik pada wisuda ke-55 tahun akademik 2012-
2013.
Sebelumnya pernah menimba ilmu di beberapa pesantren
antara lain; PP. Darul Ulum Jombang, Majlis Al-Ihya Bogor,
Ribat Al-Jufri Madinah Munawwaroh Saudi Arabia.
Pernah aktif di Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jordan,
Forum Komunikasi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji Kota
Depok, Forum Komunikasi Pondok Pesantren Kota Depok.
Pernah menjabat sebagai kepala Sekolah TK, SD, SMP, SMA,
dan Madrasah Diniyah.
Saat ini aktif sebagai Direktur Azhari Islamic School
Cilandak, Pengasuh Santri Al-Manar Azhari Islamic Boarding
School Depok, Pembimbing manasik haji dan umroh serta Dosen
di Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hikmah Jeruk Purut Cilandak
Jakarta.
SITI RAFIQOH, lahir di Jakarta, 29
September 1979, merupakan putri ketujuh
dari Bapak H. Abdurrahman Djanan dan
Ibu Hj. Royanih.
Menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Islam
Teladan 01 Pagi Jakarta (1991), MTs Al-Wathoniyah 05 Jakarta
(1994), MA Daar El-Qolam Tangerang (1997), IAIN Syarif
95
Hidayatullah di Jakarta (2001), dan selanjutnya tahun 2002
melanjutkan studi di S2 Universitas Negeri Jakarta, tahun 2009
melanjutkan studi S2 jurusan Ilmu Tafsir di PTIQ dan berhasil
diselesaikan pada tahun 2012.
Sejak tahun 2003 mulai bekerja sebagai Penyuluh Agama
Islam Fungsional dilingkungan Kantor Departemen Agama
Kodya Jakarta Selatan, tahun 2011 pindah tugas menjadi Guru
PAI di Azhari Islamic School Cilandak. Sejak tahun 2001 sampai
sekarang tercatat sebagai guru di Al-Manar Azhari Islamic
Boarding School di Limo-Cinere Depok.