kawasan pantai selatan jawa1
TRANSCRIPT
Kawasan Pantai Selatan Jawa, Menggalang Tekad
untuk Membangun Desa
Oleh :Redaksi Butaru
BENARKAH MASYARAKAT DI KAWASAN PANTURA LEBIH SEJAHTERA DARIPADA
MASYARAKAT DI KAWASAN PANSELA ?
Secara fisik geografis Pulau Jawa membentang dari Timur ke Barat. Secara administratif
pemerintahan, pulau ini terbagi menjadi 6 pemerintahan provinsi, yaitu Provinsi Banten, Jawa
Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur. Fisik lingkungan Pulau Jawa
dengan bentuknya yang pipih, sisi sebelah utara menghadap laut Jawa, sedangkan sisi sebelah
selatan menghadap lautan Indonesia. Dengan kondisi fisik demikian maka keseluruhan wilayah-
wilayah kabupaten di Pulau Jawa secara umum memiliki dua arah orientasi yaitu yang
berorientasi ke arah laut Jawa di sisi Utara, umumnya dikenal dengan sebutan Pantura dan yang
berorientasi ke arah lautan Indonesia di sisi Selatan, umumnya dikenal dengan sebutan Pansela.
Disamping posisi geografisnya tersebut, ditambah pula dengan kondisi sumberdaya alam yang
dimilikinya maka wilayah-wilayah kabupaten di kawasan Pantura dan Pansela masing-masing
memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif yang pada akhirnya mempengaruhi tingkat
kesejahteraan masyarakat pada wilayahnya masing-masing. Hingga saat ini wacana yang
beredar di masyarakat, adalah masyarakat di Pantura kondisi sosial ekonominya lebih sejahtera
bila dibandingkan dengan saudaranya yang tinggal di Pansela.
Benarkah pemerintah dan pemerintah daerah masing-masing kabupaten menganaktirikan
pembangunan di Pansela? Bahkan sebuah ekspedisi penelusuran Pansela yang baru-baru ini
(Mei 2009) dilaksanakan oleh grup Kompas melaporkan kesimpulan yang sama sebagaimana
cuplikan laporan yang kami kutip berikut ini. Kawasan Selatan, Wajah Ketakberdayaan. Pulau
Jawa bagian selatan, dari ujung Timur Jawa di Banyuwangi, sampai di ujung Barat di Ujung
Kulon, Banten, adalah ketertinggalan. Kondisi infrastruktur dan tingkat kesejahteraan penduduk
di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Barat, dan Banten nyaris sama.
Wilayah utara Jawa sangat terbuka, berkembang, dan maju, secara sosial dan ekonomi. Wilayah
ini terlihat pesat perkembangannya. Wilayah Selatan justru sebaliknya, tidak ubahnya daerah
yang nyaris tak tersentuh pembangunan. Tertinggal. Di Jawa Timur, daerah-daerah seperti itu
setidaknya melintasi delapan kabupaten yaitu Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang,
Lumajang, Jember, dan Banyuwangi.
Pada sebagian besar daerah-daerah di Pansela, infrastruktur jalan sebagai urat nadi
berkembangnya suatu wilayah, tidak memadai, sehingga menjadi kendala bagi pengembangan
kawasan itu. Jalan-jalan lebih sempit dan berkategori jalan kelas kabupaten. Paling tinggi jalan
kelas provinsi, khususnya sejumlah ruas jalan yang menghubungkan ibukota kabupaten.
Akibatnya akses transportasi dari satu kota ke kota lain tidak sebaik wilayah utara. Ketertinggalan
wilayah selatan juga merupakan dampak dari kondisi geografis kawasan tersebut. Terutama
dimulai dari Pacitan hingga Blitar, yang merupakan bentangan Pegunungan Kapur. Kondisinya
kering dan miskin sumber daya alam yang bias dimanfaatkan.
Ada beberapa daerah yang memiliki sumber Tak mengherankan, wilayah selatan Jatim
merupakan gudang pengekspor tenaga kerja (TKI/TKW). Kemiskinan dan ketidaktersediaan
lapangan pekerjaan di daerah itu membuat warganya harus mengadu nasib di negara orang.
Beberapa kabupaten yang dikenal pemasok (TKI/TKW) antara lain Trenggalek, Blitar, Malang,
juga Tulung Agung. Dengan gambaran kondisi wilayah Pansela sebagaimana dipaparkan diatas
maka bila kita kembali kepada pertanyaan yang menjadi sub judul tulisan ini: ―Benarkah
Masyarakat Di Pantura Lebih Sejahtera daripada Masyarakat Di Pansela, masihkah relevan
untuk dipertanyakan‖?. Untuk dapat memperoleh jawaban dan kesimpulan yang obyektif maka
tulisan berikut ini akan memaparkan salah satu indicator kesejahteraan masyarakat yaitu profil
ekonomi regional antara kabupaten-kabupaten di kawasan Pansela dan Pantura. Disamping itu
untuk memperoleh gambaran yang lebih riil dan detail atas kondisi sosial ekonomi masyarakat
di kawasan Pansela, tulisan ini akan dilengkapi pula dengan profil dua wilayah kabupaten di
kawasan Pansela yaitu Kabupaten Ciamis dan Cilacap
.
LINGKUP WILAYAH KAWASAN PANSELA
Berdasarkan studi ―Penataan Ruang Wilayah Untuk Percepatan Pembangunan Koridor Pantai
Selatan Jawa‖ yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang Wilayah I,
Departemen Pekerjaan Umum, kawasan Pansela meliputi 5 provinsi dan 22 kabupaten. Di
Province JawaTimur, meliputi 8 kabupaten yaitu Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar,
Malang, Lumajang, Jember, dan Banyuwangi. Di Provinsi JawaTengah, melintasi 4 kabupaten
yaitu Cilacap, Kebumen, Purworejo dan Wonogiri sedangkan di Provinsi D.I. Yogyakarta
melintasi 3 kabupaten yaitu Kulon progo, Bantul dan Gunung kidul. Untuk Province Jawa Barat
dan Banten melintasi 7 kabupaten yaitu Lebak, Pandeglang, Sukabumi, Cianjur, Garut,
Tasikmalaya, dan Ciamis. Dalam rangka untuk memperoleh perbandingan yang obyektif atas
kondisi ekonomi wilayah-wilayah di kawasan Pansela dengan Pantura, maka disini ditampilkan
pula 25 kabupaten yang berlokasi di kawasan Pantura.
KINERJA EKONOMI WILAYAH-WILAYAH DI KAWASAN PANSELA DAN PANTURA
Kinerja ekonomi masing-masing wilayah kabupaten sebagai salah satu indicator kesejahteraan
masyarakat di daerah tersebut yang ditinjau disini meliputi nilai PDRB, nilai PDRB per kapita dan
laju pertumbuhan PDRB tahun 2006, sebagaimana ketersediaan data statistic dari BPS.
Disamping data-data ekonomi tersebut, perbandingan kondisi kesejahteraan antara wilayah-
wilayah di Pansela dan Pantura dapat pula dilihat dari klasifikasi wilayah tersebut berdasarkan
tingkat ketertinggalan sosial ekonominya pada skala Nasional dengan memakai dasar acuan
Kepmeneg PDT No. 001/KEP/ M-PDT/I/2005 tentang Strategi Nasional Pembangunan Daerah
Tertinggal. Hasil tabulasi secara menyeluruh atas 4 indikator kesejahteraan masyarakat di
Pansela dan Pantura dapat dilihat pada tabel 1.
STRUKTUR PDRB berdasarkan lapangan usaha di semua kabupaten di kawasan Pansela
hampir seluruhnya bertumpu pada sektor pertanian sebagai sector basis, kemudian diikuti
dengan sector perdagangan, hotel dan restoran.
Kondisi ini ada pengecualian untuk Kabupaten Cilacap dan Tulungagung yang sektor basisnya
bertumpu pada industrI pengolahan. Kabupaten Cilacap bertumpu pada industri pengolahan
minyak, sedangkan Kabupaten Tulung Agung bertumpu pada industri pengolahan bahan galian
batu marmer dan onyx. Untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran, seluruh kabupaten di
kawasan Pansela umumnya mengandalkan sektor pariwisata sebagai penyumbang PAD
utamanya. NILAI PDRB wilayah-wilayah di kawasan Pansela, berada pada nilai minimum dan
maksimum antara 2,7 sampai 19 triliyun, sedangkan di kawasan Pantura antara 3,3 sampai 65,3
triliyun. Meskipun perbandingan nilai minimum-maksimum kawasan Pantura dan Pansela
menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan namun bila dilihat pada nilai rata-ratanya, maka
kedua kawasan ini hanya memiliki perbedaan tipis pada kisaran angka 0,2 triliyun atau 200 milyar
saja.
Fenomena ini tentu saja memberikan gambaran yang menarik karena meskipun wilayah-wilayah
di kawasan Pantura relatif lebih maju namun kesenjangan antar wilayahnya juga lebih tinggi
(95%) bila dibandingkan dengan wilayah-wilayah di kawasan Pansela (89%). (Lihat tabel 1 dan
diagram 1)
LAJU PERTUMBUHAN PRDB wilayah-wilayah di kawasan Pansela, berada pada nilai minimum
dan maksimum antara 2,02 sampai 5,74%, sedangkan di kawasan Pantura antara 2,51 sampai
7,55%. Perbandingan nilai minimum-maksimum kawasan Pansela dan Pantura menunjukkan
perbedaan yang tidak terlalu besar yaitu 0,5% pada angka minimum dan 1,75% pada angka
maksimum. Namun bila dilihat pada angka rata-ratanya, diperoleh fakta yang mengejutkan
karena ternyata laju pertumbuhan ekonomi di kawasan Pansela lebih tinggi daripada di kawasan
Pantura dengan perbedaan mendekati 1%. Ditinjau dari laju pertumbuhan PDRB-nya maka
kesenjangan antar wilayah di kawasan Pantura juga lebih tinggi (67%) bila dibandingkan dengan
wilayah-wilayah di kawasan Pansela (65%). Pada konteks Nasional, laju pertumbuhan PDRB di
kawasan Pantura pada empat kabupaten (Tangerang, Karawang, Tuban dan Gresik) berada
pada nilai yang sangat tinggi diatas angka Nasional (6,13%) sedangkan di Pansela tidak ada
satupun. (Lihat tabel 1 dan diagram 2).
NILAI PDRB PER KAPITA wilayah-wilayah di kawasan Pansela, berada pada nilai minimum dan
maksimum antara 2,9 sampai 10,1 juta rupiah, sedangkan di kawasan Pantura antara 2,7 sampai
27 juta rupiah.
Meskipun perbandingan nilai minimum-maksimum kawasan Pantura dan Pansela menunjukkan
perbedaan yang cukup signifikan namun bila dilihat pada nilai rata-ratanya diperoleh fakta yang
mengejutkan karena ternyata PDRB per kapita rata-rata di kawasan Pansela berkisar 6,4 juta
rupiah jauh lebih tinggi dari Pantura yang berkisar 4,9 juta rupiah . Fenomena ini tentu saja
memberikan gambaran yang menarik karena dalam konteks regional ternyata masyarakat di
kabupaten-kabupaten yang berlokasi di kawasan Pansela memiliki kesejahteraan lebih tinggi dan
lebih merata daripada saudaranya di kawasan Pantura. Pada konteks Nasional nilai PDRB
perkapita pada tiga kabupaten (Bekasi, Sidoarjo dan Gresik) di Pantura berada pada nilai yang
sangat tinggi diatas angka Nasional (13,5 juta rupiah) sedangkan di Pansela hanya ada satu
kabupaten yaitu Cilacap yang PDRB perkapitanya diatas angka Nasional.
Kesenjangan antar wilayah di Pantura bila ditinjau dari angka PDRB perkapita juga sangat tinggi
(90%) bila dibandingkan dengan wilayah di kawasan Pansela (71%). (Lihat tabel 1 dan diagram
3). KABUPATEN TERTINGGAL. Dalam rangka penanganan daerah tertinggal di seluruh
Indonesia, pemerintah telah mengamanatkan penangangannya pada Kementerian Negara
Pembangunan Daerah Tertinggal sebagai coordinator kementerian dan lembaga di tingkat pusat.
Oleh karenanya sebagai titik tolak bagi penetapan kebijakan penanganan pada daerah tertinggal
maka melalui Kepmeneg PDT No. 001/KEP/M-PDT/I/2005 tentang Strategi Nasional
Pembangunan Daerah Tertinggal, ditetapkanlah kabupaten-kabupaten yang termasuk dalam
klasifikasi daerah tertinggal. Untuk kabupaten di kawasan Pansela, dari 22 kabupaten, yang
termasuk daerah tertinggal berjumlah kabupaten (Lebak, Pandeglang, Sukabumi, Garut,
Wonogiri, Kulon Progo, Gunung Kidul, Pacitan dan Trenggalek), sedangkan kawasan Pantura,
dari 25 kabupaten, daerah tertinggalnya hanya 2 kabupaten, yaitu Rembang dan Situbondo.
POTENSI-POTENSI DI KAWASAN PANSELA
Kawasan Pansela sebagian besar merupakan hamparan
lahan pertanian dan perkebunan yang produktif,
kalaupun ada lahan tandus atau karst justru menjadi
sumber bahan tambang semisal marmer dan onyx di
Tulung Agung atau emas di Cikotok yang selama ini
juga sudah dikuras dipasarkan di kawasan Pantura.
Yang paling mencolok adalah potensi bahari, khususnya
sektor kelautan dan pariwisata. Ketika Laut Jawa over
fishing, perairan selatan Jawa ibarat surga bagi nelayan,
bayangkan, di Jawa Timur, dari potensi perairan
selatannya sebesar 590,020 ton per tahun, yang
tergarap baru 197,640 ton. Dari produksi ikan 453,034
ton per tahun di Jawa Timur, kontribusi kawasan
Pansela hanya 12,12 persen. Di Banten, pemanfaatan
sector kelautan 117,170 ton/tahun (2002), padahal potensi di perairan selatannya 656,000 ton.
Dengan potensi tersebut, semestinya pusat-pusat perikanan dan pelabuhan, seperti
Pelabuhanratu (Sukabumi), Cilacap, Prigi (Trenggalek), Sendangbiru (Malang), Puger (Jember),
Muncar Banyuwangi), bisa menjadi pelabuhan (ikan), menyaingi Muara Angke di Jakarta, Tegal,
atau Brondong di Lamongan. Bahkan Sendangbiru diprospek menjadi kota nelayan yang bakal
dilengkapi dengan berbagai fasilitas, begitu juga Muncar yang akan dijadikan kawasan industri
perikanan. Akan tetapi, semua rancangan tersebut belum terwujud karena kendala yang
membelit wilayah selatan. Potensi wisata bahari yang elok juga menanti penggarapan serius.
Dengan kontur alam yang menawan, pantaipantai di selatan Jawa ibarat menjadi primadona. Bila
digarap serius, dari Ujungkulon (Banten), Palabuhanratu- Pangandaran (Jabar), Parangtritis
(Yogyakarta), hingga Plengkung (Banyuwangi) merupakan lokasi selancar yang menarik
perhatian peselancar dunia, bisa menjadi sumber pendapatan daerah yang menggiurkan.
Bahkan bias dipadukan dengan wisata goa-goa purba yang tersebar terutama di perbatasan
Jateng-Jatim.
KETERSEDIAAN PRASARANA JALAN DI KAWASAN PANSELA
Untuk menggerakkan denyut kehidupan di kawasan
Pansela, infrastruktur menjadi faktor kunci, runyamnya,
jalan lintas selatan (JLS) sepanjang sekitar 1,474
kilometer— meliputi Banten-Jawa Barat (421,7 km),
Jawa Tengah (212,6 km), Yogyakarta (122,7 km), dan
Jawa Timur (618,8 km)— belum terkoneksi, bahkan di
Yogyakarta saja, yang ruasnya paling pendek, lahan yang dibebaskan baru 20,12 km. Dengan
kondisi alam yang bergunung-gunung, memang pembangunan JLS membutuhkan biaya sangat
mahal. Ambil contoh Jatim yang memiliki ruas JLS terpanjang, untuk menghubungkan delapan
kabupaten, anggaran awal (2002) Rp 3,197 triliun membengkak jadi Rp 7,5 triliun. Pembebasan
lahan termasuk lahan Perhutani bias pelik, karena itulah, lima pemerintah provinsi bersama 22
pemerintah kabupaten dan pemerintah pusat harus punya komitmen kuat dan solid untuk
mewujudkan urat nadi di kawasan selatan itu.
KABUPATEN CIAMIS, MEMBANGUN EKONOMI DESA MELALUI DIVERSIFIKASI USAHA
Geografis wilayah Kabupaten Ciamis berada pada 108°20’ sampai dengan 108°40’ Bujur Timur
dan 7°40’20‖ sampai dengan 7041’20’’ Lintang Selatan. Wilayah sebelah Utara berbatasan
dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan, sebelah Barat dengan Kabupaten
Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya, sebelah Timur dengan Kota Banjar dan Propinsi Jawa
Tengah, dan sebelah Selatan dengan Samudera Indonesia.
Luas Wilayah Kabupaten Ciamis secara keseluruhan mencapai 244.479 ha. Wilayah selatan
Kabupaten Ciamis berbatasan langsung dengan Samudra Indonesia yang membentang di 6
kecamatan dengan panjang mencapai 91 km. Dengan adanya garis pantai tersebut, Kabupaten
Ciamis memiliki wilayah laut seluas 67.340 ha. Wilayah administratif Kabupaten Ciamis meliputi
36 kecamatan, 334 desa, dan 7 kelurahan. Fisik Lingkungan Kabupaten Ciamis secara
menyeluruh terletak pada lahan dengan keadaan morfologinya datar – bergelombang sampai
pegunungan, yang berkisar antara 0 % - > 40 %. Kemiringan lereng datar, yaitu 0 – 2 % berada
pada bagian Tengah Timur Laut ke Selatan Kabupaten Ciamis, sedang untuk kemiringan 2 – >40
% hampir tersebar pada seluruh kecamatan di Kabupaten Ciamis ini.
Sementara itu ditinjau dari keadaan fisiografinya Kabupaten Ciamis berada pada 4 (empat)
ketinggian, yaitu: 1. Dengan ketinggian terendah yaitu 0 – 25 meter dpl tersebar pada bagian
wilayah Kecamatan Lakbok, Padaherang bagian Timur yang berbatasan langsung dengan
Propinsi Jawa Tengah. Selain itu ketinggian terendah tersebut tersebar pada bagian Selatan
Kabupaten Ciamis yaitu pada sepanjang pantai Selatan yang termasuk pada wilayah bagian
Selatan Kecamatan Cimerak, Cijulang, Parigi, Pangandaran dan Kalipucang. 2. Ketinggian tanah
25 – 1000 meter dpl yang tersebar hampir pada seluruh kecamatan, 3. Ketinggian tanah tertinggi
yaitu 1500 – 2500 meter dpl berada pada bagian Utara Kabupaten Ciamis, yaitu di Kecamatan
Cikoneng bagian Utara, Kecamatan Sadananya dan Cipaku bagian Barat Laut, Kecamatan
Kawali bagian Barat Daya, Kecamatan Panjalu dan Panumbangan bagian Selatan, Kecamatan
Cihaurbeuti bagian Timur Laut – Timur, serta sebagian wilayah bagian Utara Kecamatan Panjalu.
Potensi Sumberdaya Bahan Galian Mineral yang tersebar di wilayah Kabupaten Ciamis terdiri
dari bahan galian untuk industri dan bahan galian untuk bangunan (logam dan non logam).
Potensi bahan galian bangunan terdiri dari Pasir dan Kerikil merupakan bahan galian yang dapat
dijumpai pada endapan sungai atau teras Sungai Cijolang dan Citanduy; dan Batu Kali/belah
(andesit) tersebar pada permukaan tanah disebelah Selatan Kecamatan Kalipucang,
Tambaksari; Batu Gamping terdapat di Kecamatan Padaherang, Langkaplancar dan Cimerak.
Sedangkan bahan galian untuk industri terdiri dari Timbal dan Seng, bahan galian ini terdapat
pada fisiografi vulkan yang menyebar di wilayah puncak Gunung Sawal; Phosfat, bahan galian ini
terdapat pada wilayah perbukitan karst sekitar kecamatan Pamarican, Langkaplancar dan
Kalipucang; Kalsit, bahan galian ini terdapat pada wilayah perbukitan karst sekitar Kecamatan
Pamarican dan Langkaplancar.
Potensi Sumberdaya Air
Kabupaten Ciamis utamanya
berasal dari aliran satu sungai
besar, yaitu Sungai Citanduy yang
merupakan muara bagi beberapa
sungai kecil dengan muara
terakhir adalah Sagara Anakan.
Sungai Citanduy mengalir dari
Sukadana sampai Kalipucang
yang sekaligus menjadi batas
Kabupaten Ciamis bagian Timur –
Tenggara dengan Kabupaten
Cilacap Propinsi Jawa Tengah. Selain sungai besar dan kecil, Kabupaten Ciamis masih memiliki
sumber – sumber air yang dapat dimanfaatkan selama 3 – 9 bulan per-tahunnya, bahkan
terdapat sumber air yang dapat dimanfaatkan sepanjang tahun yaitu berada di Kecamatan
Ciamis. Sungai – sungai dan Mata Air yang berada dan mengalir di Kabupaten Ciamis dan
digunakan sebagai sumber air oleh PDAM Tirta Galuh, diantaranya adalah : Sungai Citanduy,
Sungai Cileueur, Sungai Cireong, Sungai Cimuncang, Sungai Cimuntur, Sungai Ciputrahaji,
Sungai Citumang, Sungai Cikarak, Sungai Palataran, Mata air Cigeresik dan Mata air Binuang.
Potensi Kepariwisataan di Kabupaten Ciamis dapat dikatagorikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu:
Objek Wisata Budaya, Wisata Alam, dan Wisata Khusus/ Minat. Objek Wisata Budaya terdiri dari:
situ lengkong panjalu, astana gede kawali, karangkamulyan, kampung kuta, situs gunung susuru,
museum fosil. Objek Wisata Alam terdiri dari: objek wisata pangandaran, cagar alam pananjung,
lembah putri, karapyak, palatar agung, majingklak, karang tirta, batu hiu, batu karas, madasari,
keusik luhur. Objek Wisata Minat Khusus terdiri dari: curug tujuh, citumang, karang nini, goa
donan, cukang taneuh.
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN CIAMIS
Visi Pengembangan Kabupaten Ciamis ditetapkan dalam rangka mendukung kepedulian
pemerintah daerah demi keberhasilan pembangunan di perdesaan, pernyataan dalam visi
tersebut secara eksplisit mencerminkan cita-cita masa depan yang hendak dituju oleh semua
pemangku kepentingan, yakni: ―Dengan Iman dan Taqwa Ciamis Terdepan Dalam Agribisnis dan
Pariwisata di Priangan Timur tahun 2009‖. Untuk mewujudkan visi maka ditetapkanlah Misi
Pengembangan 1. Menciptakan Iklim Investasi yang kondusif dalam Agribisnis dan Pariwisata. 2.
Mengembangkan Jiwa Kewirausahaan Aparatur dan Masyarakat 3. Mengembangkan jaringan
Kemitraan Agribisnis dan Pariwisata 4. Meningkatkan Produksi dan Kualitas Pertanian dan
Pariwisata 5. Menyelenggarakan Kepemerintahan yang Baik Untuk mencapai efektifitas dalam
implementasi pembangunan di semua bidang maka berdasarkan Peraturan daerah Nomor 3
Tahun 1999 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Ciamis, Kabupaten Ciamis
dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah pengembangan yaitu sebagai berikut: 1). Wilayah Pengembangan
(WP) Utara Pusat WP Utara adalah Kota Ciamis dengan pusat pembantu adalah Kota Kawali
yang terdiri dari: a) Sub Wilayah Pengembangan (SWP) Utara 1 yang mencakup Kota Kawali
(pusat), Jatinagara dan Cipaku; b) SWP Utara 2 yang mencakup Panjalu (pusat), Panawangan
dan Panumbangan; c) SWP Utara 3 yang mencakup Rancah (pusat), Rajadesa, Sukadana dan
Tambaksari dan d) SWP Utara 4 (empat) yang mencakup Ciamis (pusat), Cikoneng, Cijeungjing,
Cihaurbeuti dan Sadananya. 2). Wilayah Pengembangan (WP) Tengah Pusat utama WP Tengah
adalah Kota Banjar dengan pusat pembantu adalah Kota Banjarsari yang terdiri dari: a) Sub
Wilayah Pengembangan (SWP) Tengah 1 yang mencakup Banjar (pusat), Pataruman,
Langensari, Purwaharja (sekarang telah mengalami pemekaran menjadi Kota Banjar) serta
Cisaga; b) SWP Tengah 2 (dua) yang mencakup Banjarsari (pusat), Lakbok dan Padaherang dan
c) SWP Tengah 3 yang mencakup Pamarican (pusat), Cimaragas dan Langkaplancar. 3).
Wilayah Pengembangan (WP) Selatan Pusat utama WP Selatan adalah Kota Pangandaran
dengan pusat pembantu adalah Kota Cijulang yang terdiri dari: a) Sub Wilayah Pengembangan
(SWP) Selatan 1 (satu) yang mencakup Pangandaran (pusat) dan Kalipucang; b) SWP Selatan 2
(dua) yang mencakup Cijulang (pusat) dan Cimerak dan c) SWP Selatan 3 (tiga) yang mencakup
Parigi (pusat) dan Cigugur.
Pembagian wilayah pengembangan ini didasarkan pada kondisi geografis, potensi fisik
lingkungan dan sumber daya alam, serta kemudahan aksesibilitas. Pertumbuhan Penduduk di
Kabupaten Ciamis sebagaimana direncanakan dalam RTRW Kabupaten Ciamis 2003-2013,
pada tahun 2013 diprediksikan akan berkisar 1, 52 juta jiwa. Bila dibandingkan dengan data
penduduk eksisting tahun 2007 yang telah berjumlah 1,54 juta jiwa maka prediksi tersebut jelas
―under estimated‖. Laju pertumbuhan penduduk (LPP) yang dijadikan basis perhitungan proyeksi
tersebut adalah sebesar 0,26% pertahun dan kenyataannya telah terjadi laju pertumbuhan
alamiah yang melampaui angka ini.
Fakta ini dapat memberikan gambaran yang menarik karena peningkatan jumlah penduduk
merupakan indikasi atas peningkatan perekonomian di Kabupaten Ciamis. Dari jumlah penduduk
dan tingkat kepadatannya pada masing-masing wilayah pengembangan memberikan gambaran
bahwa kecamatan-kecamatan di Utara paling berkembang dibandingkan Tengah dan Selatan.
Hal ini terlihat dari kepadatan penduduk di wilayah Utara telah mendekati rata-rata 900 jiwa/km2 ,
dengan konsentrasi terpadat di Kecamatan Ciamis yang mencapai 5.700 jiwa/ km2 atau sama
dengan kepadatan di kawasan perkotaan pada umumnya. Wilayah Tengah rata-rata 550 jiwa/km2
, terpadat di Kecamatan Mangunjaya yang mencapai 1.000 jiwa/km2. Wilayah Selatan rata-rata
350 jiwa/km2, terpadat di kecamatan Pangandaran yang mencapai 726 jiwa/km2. Bila ditinjau dari
rasio jenis kelaminnya, komposisi penduduk laki-laki dan perempuan pada semua wilayah
menunjukkan prosentase yang seimbang. Jumlah penduduk berdasarkan struktur usia
menunjukkan perbandingan usia penduduk tidak produktif (usia 0-14 & 65+tahun) dibanding usia
produktif (usia 15-64 tahun) menunjukan angka beban tanggungan pada Tahun 2007 sebesar
47,90% ternyata tidak banyak mengalami perubahan dibanding tahun 2006.
STATUS PENGEMBANGAN WILAYAH KECAMATAN DI KABUPATEN CIAMIS
Status pengembangan atau tingkat kemajuan sosial ekonomi wilayah-wilayah kecamatan di
Kabupaten Ciamis dapat dilihat dari 3 aspek yaitu jumlah desa berdasarkan kategorinya, PDRB
perkapita dan laju pertumbuhan PDRB nya. Berdasarkan 3 aspek tersebut maka dapat diambil
kesimpulan status pengembangan tiap-tiap kecamatan berdasarkan posisinya dalam kuadran
kinerja ekonomi dan tingkat disparitas wilayahnya. Status pengembangan wilayah semua
kecamatan di Kabupaten Ciamis dapat dilihat sebagaimana pada tabel 3 dibawah ini. Desa
Tertinggal. Pada tahun 2006 melalui Kepmeneg PDT No.B254/M-PDT/VII/2006 institusi tersebut
mempublikasikan desa-desa tertinggal di Kabupaten Ciamis sebanyak 156 desa sedangkan versi
Bappeda Provinsi Jawa Barat adalah sebanyak 38 desa.
Atas dasar perbedaan yang mencolok tersebut maka Bappeda Kabupaten Ciamis menyusun
Kajian Pengembangan Kawasan Tertinggal untuk mengidentifikasi Desa Pusat Pertumbuhan
(DPP), Desa Transisi (DTR), dan Desa Tertinggal (DTT). Hasil dari kajian tersebut memberikan
kesimpulan sebagai berikut: 1. WP. UTARA, dari total 189 desa/kelurahan, 41 Desa merupakan
Desa Pusat Pertumbuhan (DPP), 127 desa merupakan Desa Transisi (DTR), dan 21 desa
sebagai Desa Tertinggal (DTT). Dengan demikian desa tertinggal pada wilayah ini hanya berkisar
11%. 2. WP. TENGAH, dari total 93 desa/kelurahan, 10 Desa merupakan Desa Pusat
Pertumbuhan (DPP), 63 desa merupakan Desa Transisi (DTR), dan 20 desa sebagai Desa
Tertinggal (DTT). Dengan demikian desa tertinggal pada wilayah ini mencapai 21%. 3. WP.
SELATAN, dari total 58 desa/kelurahan, 7 Desa merupakan Desa Pusat Pertumbuhan (DPP), 31
desa merupakan Desa Transisi (DTR), dan 20 desa sebagai Desa Tertinggal (DTT). Dengan
demikian desa tertinggal pada wilayah ini mencapai 35%. Dengan prosentase yang demikian
tinggi maka WP. Selatan merupakan wilayah yang prosentase desa tertinggalnya paling besar
dari seluruh wilayah di kabupaten Ciamis.
Identifikasi status desa yang dibagi menjadi 3 kategori tersebut didasarkan pada kondisi desa
yang dikaji terhadap 25 indikator yang terkait aspek-aspek faktor alam/ lingkungan,
kependudukan dan ketenagakerjaan, sarana/ prasarana & akses, serta sosial dan ekonomi
penduduk. Indikator dominan yang menyebabkan desa tertinggal adalah indikator penduduknya
yang bermata-pencaharian sebagai buruh tani (lebih dari 30%); sebagian besar keluarga bekerja
di sektor pertanian (lebih dari 30%); bahan bakar yang dipergunakan untuk memasak adalah
kayu bakar; tidak ada potensi wilayah sebagai sumber pendapatan langsung desa (seperti
tambang galian golongan C), serta terbatasnya sarana keuangan seperti Bank Umum, BPR,
koperasi atau pegadaian sebagai lembaga formal keuangan. Indikator desa tertinggal tersebut
tentunya secara tidak langsung telah memberikan gambaran tentang tingkat kemajuan
pengembangan pada masing-masing kecamatan dan secara akumulasi mencerminkan pula
tingkat kemajuan pengembangan pada WP. Utara, Tengah dan Selatan di Kabupaten Ciamis.
Kinerja Ekonomi Kecamatan. Berbeda dengan fakta tentang jumlah desa tertinggal pada tiap
kecamatan yang menunjukkan kesimpulan bahwa WP. Selatan merupakan wilayah dengan
jumlah desa tertinggal paling banyak, maka tinjauan terhadap kinerja ekonomi pada masing-
masing kecamatan menunjukkan fakta yang sebaliknya. Kinerja ekonomi masing-masing
kecamatan yang ditunjukkan dengan nilai PDRB perkapita dan laju pertumbuhannnya
sebagaimana terlihat pada tabel 3, memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. WP. UTARA, PDRB perkapita rata-rata berkisar 7,5 juta rupiah (dibawah angka Kabupaten)
dengan laju pertumbuhan 4,86% (diatas angka Kabupaten). Dengan demikian WP ini berada
pada kuadran II (kinerja sedang), meskipun ada 8 kecamatan yang berada pada kuadran IV
(kinerja terendah). Bila mempertimbangkan prosentase desa tertinggalnya maka dapat
disimpulkan tingkat disparitas WP ini kecil hingga sedang saja, kecuali kecamatan Panjalu yang
disparitasnya tinggi. WP. Utara memiliki 3 Kecamatan dengan status pengembangan wilayah
yang baik yaitu Ciamis, Cikoneng dan Kawali.
2. WP. TENGAH, PDRB perkapita rata-rata berkisar 8 juta rupiah (sedikit dibawah angka
Kabupaten) dengan laju pertumbuhan 4,72% (diatas angka Kabupaten). Dengan demikian WP ini
berada pada kuadran II (kinerja sedang), meskipun ada 4 kecamatan yang berada pada kuadran
IV (kinerja terendah). Bila mempertimbangkan prosentase desa tertinggalnya maka dapat
disimpulkan tingkat disparitas WP ini sedang hingga tinggi. WP. Tengah tidak memiliki
Kecamatan dengan status pengembangan wilayah yang baik karena meskipun ada 2 kecamatan
dengan kinerja ekonominya baik yaitu Padaherang dan Banjarsari, namun keduanya tingkat
disparitas wilayahnya tinggi.
3. WP. SELATAN, PDRB perkapita ratarata berkisar 8,85 juta rupiah (diatas angka Kabupaten)
dengan laju pertumbuhan 4,32% (dibawah angka Kabupaten). Dengan demikian WP ini berada
pada kuadran III (kinerja sedang), meskipun ada 2 kecamatan yang berada pada kuadran IV
(kinerja terendah). Bila mempertimbangkan prosentase desa tertinggalnya maka dapat
disimpulkan tingkat disparitas WP ini sedang hingga tinggi. WP. Selatan memiliki 2 Kecamatan
dengan status pengembangan wilayah yang baik yaitu Parigi dan Sidamulih. Dengan melihat
kinerja ekonomi serta tingkat disparitas wilayah pada tiap-tiap kecamatan di Kabupaten Ciamis,
maka untuk menyiasati keterbatasan dana serta dalam rangka mencapai sasaran untuk
mensejahteraan masyarakat perdesaan maka perlu dirumuskan langkah-langkah strategis
pengembangan wilayah yang sesuai
KABUPATEN CILACAP ADMINISTRASI WILAYAH
Kabupaten Cilacap merupakan kabupaten terluas di Jawa Tengah dengan luas wilayah 2.142,59
km² atau sekitar 6,6% dari total wilayah Provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Cilacap berbatasan
dengan Kabupaten Brebes dan Kabupaten Banyumas di bagian utara, Kabupaten Banyumas dan
Kabupaten Kebumen di sebelah timur, Samudra Hindia di sebelah selatan, serta Kabupaten
Ciamis dan Kota Banjar (Jawa Barat) di sebelah Barat. Kabupaten Cilacap terbentang dengan
kondisi lanskap yang cukup beragam, mulai dari pegunungan di bagian utara hingga muara dan
pesisir pantai di bagian selatan. Bagian utara adalah daerah perbukitan yang merupakan lanjutan
dari rangkaian pegunungan Bogor di Jawa Barat, dengan puncaknya Gunung Pojoktiga (1.347
meter), sedangkan bagian selatan merupakan dataran rendah. Kawasan hutan menutupi lahan
Kabupaten Cilacap bagian utara, timur, dan selatan. Di sebelah selatan terdapat pulau Nusa
Kambangan, yang memiliki Cagar Alam Nusa Kambangan.
Di bagian barat daya terdapat sebuah inlet yang dikenal dengan Segara Anakan, yang saat ini
semakin mengalami pendangkalan. Ibukota kabupaten Cilacap berada di tepi pantai Samudra
Hindia, dan wilayahnya juga meliputi bagian timur pulau Nusa Kambangan. Kabupaten Cilacap
terdiri atas 24 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Desa-desa yang
berjumlah 269 desa tersebar di 21 kecamatan, sedangkan 15 kelurahan ada di 3 kecamatan eks
kota administrative Cilacap yang juga merupakan Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Kecamatan-
kecamatan tersebut adalah Dayeuhluhur, Wanareja, Majenang, Cimanggu, Karangpucung,
Sidareja, Gandrungmangu, Kedungreja, Patimuan, Cipari, Bantarsari, Kawunganten, Jeruklegi,
Kesugihan, Maos, Sampang, Kroya, Adipala, Binangun, Nusawungu, Kampung Laut, Cilacap
Utara, Cilacap Tengah dan Cilacap Selatan. Ibukota Kabupaten Cilacap adalah Cilacap, yang
terdiri atas kecamatan Cilacap Utara, Cilacap Tengah, dan Cilacap Selatan. Cilacap dulunya
merupakan Kota Administratif, namun sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, tidak dikenal adanya kota administratif sehingga Kota
Administratif Cilacap kembali menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Cilacap. Di antara kota-kota
kecamatan yang cukup signifikan di Kabupaten Cilacap adalah: Majenang, Karangpucung,
Sampang, Sidareja, dan Kroya. Majenang menjadi pusat pertumbuhan kabupaten Cilacap di
bagian Barat sedangkan Kroya dan Sampang menjadi pusat pertumbuhan di Bagian Timur.
FISIK WILAYAH KABUPATEN CILACAP
Segara Anakan di bagian selatan Kabupaten Cilacap pada awalnya merupakan muara dari
banyak sungai di kabupaten Cilacap. Namun lama kelamaan terjadi sedimentasi muara yang
mencapai 1 juta m3 sehingga menjadi suatu dataran yang rendah. Di wilayah selatan ini, ada
sungai-sungai yang pada awalnya bisa dilayari sehingga menghubungkan bagian barat dan timur
dari Kabupaten Cilacap, misalnya dari kota Cilacap hingga ke pulau Nusa Kambangan. Namun
karena tingginya sedimentasi, maka perahu penumpang yang dulu melayari kawasan ini
sekarang sudah tidak bisa berlayar lagi karena air yang semakin dangkal. Pemda setempat
pernah bekerjasama dengan BPPT untuk membuat perahu yang dapat berlayar di air yang
dangkal, namun masih belum berhasil karena alur yang dilayari semakin dangkal. Dengan
kondisi bentang alam dengan ketinggian antara 6-198 meter di atas permukaan laut, maka
beberapa wilayah di Kabupaten Cilacap sering dilanda banjir dan tanah longsor, terutama pada
musim penghujan. Banjir dan tanah longsor ini menerjang permukiman serta persawahan
penduduk. Kecamatan Majenang, Cimanggu, Cipari, dan Wanareja merupakan daerah yang
dilanda bencana paling parah seperti yang terjadi pada awal Februari yang lalu. Banjir bandang
terjadi di Mulyadadi, Pahonjean, dan Mulyasari. Sementara itu, longsor terjadi di Kecamatan
Cimanggu, Karangpucung, dan Dayeuhluhur. Di Kecamatan Cimanggu, longsor terjadi di
sejumlah desa di antaranya Kutabima dan Negarajati.
Di Desa Bingkeng, Pamulihan, dan Sidamulya longsor menerjang puluhan rumah warga dan
jalan-jalan di desa setempat sehingga mereka sempat terisolasi. Di wilayah timur, sejumlah desa
di Kecamatan Kroya juga terendam banjir setelah hujan deras mengguyur wilayah itu. Ketinggian
air yang paling tinggi terjadi di Desa Gentasari dan Sikampuh yang mencapai 40 centimeter.
Akibat banjir, kegiatan belajar mengajar di SMP Negeri 4 Kroya terhenti dan puluhan hektar
sawah sehingga sebagian tanaman padi puso dan lainnya terancam mati. Seharusnya seminggu
lagi warga bisa memetiknya, kini mereka terpaksa memanennya lebih awal.
TRANSPORTASI WILAYAH KABUPATEN CILACAP
Kabupaten Cilacap memiliki sarana transportasi yang cukup lengkap, karena infrastruktur
jalannya meliputi jalan darat (kereta api dan mobil/motor), laut (kapal), dan udara (pesawat
terbang). Kabupaten Cilacap dilalui jalan Negara Jalur jalan Cilacap-Wangon via Jeruklegi juga
mengalami kerusakan. Jalur kereta api juga melintasi wilayah kabupaten ini. Stasiun Kroya
adalah stasiun yang terbesar di Kabupaten Cilacap. Di sini bertemu dua jalur kereta, dari
Bandung dan dari Cirebon, menuju Yogyakarta/Surabaya Gubeng. Di samping melayani
transportasi penumpang, jalur kereta api ini juga melayani pergerakan barang baik itu semen,
pupuk, BBM, dan produk industri lainnya.
Cilacap memiliki sebuah lapangan terbang perintis Tunggul Wulung yang dapat didarati oleh
pesawat jenis CN-235. Dalam rencananya, bandara ini akan dijadikan bandara komersial.
Sementara ini, Merpati Nusantara Airlines melayani rute penerbangan Cilacap--Jakarta--Cilacap
7 kali dalam seminggu. Selain itu, Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap (PPSC) merupakan
pelabuhan terbesar di pantai selatan Pulau Jawa. Selain PPSC, terdapat 13 tempat pelelangan
ikan di Cilacap. Pelabuhan Tanjung Intan adalah pelabuhan ekspor-impor terutama untuk
komoditas pertanian. Beberapa perusahaan besar pun memiliki pelabuhan khusus tersendiri,
seperti Pelabuhan Minyak Pertamina UP IV, pelabuhan milik PT Holcim, dll.
KONDISI PEREKONOMIAN KABUPATEN CILACAP
Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Kabupaten Cilacap. Sektor pertanian yang
memegang peranan yang cukup strategis berupa bahan tanaman pangan yang meliputi: padi
sawah, padi gogo, jagung, ketela rambat dan kedelai. Subsektor perikanan pun digeluti sebagian
besar penduduk yang tinggal di pesisir pantai selatan wilayah ini. Jumlah nelayan laut sekitar
33.000 orang dengan luas sebaran tangkapan mencapai 5.200 km2. Armada penangkapan ikan
mencapai 4.538 armada berbagai jenis, dengan dukungan prasarana berupa Pelabuhan
Perikanan Samudera Cilacap yang berkapasitas 250 kapal, 7 unit dermaga, 11 TPI, 2 unit depot
BBM, 4 unit galangan kapal, 5 unit pabrik es lintas selatan Pulau Jawa, yakni jalur Bandung-
Yogyakarta- Surabaya. Jalur Lintas Selatan (JLS) yang melintasi propinsi Jawa Tengah
mencapai panjang 220 km. Sekitar 46% diantaranya berada di wilayah Kabupaten Cilacap. Saat
ini, Pemda kabupaten cilacap telah membebaskan 15 km lahan untuk pembangunan JLS ini,
namun baru 1,75 km yang sudah direalisasikan menjadi jalan. Kendala yang dihadapi oleh
Pemda adalah pembiayaan pembangunan jalan ini berasal dari pemerintah pusat, yang hingga
saat ini masih belum jelas secara keseluruhan. Dengan begitu, Pemda belum dapat
membebaskan lahan lainnya bila belum jelas kapan realisasi pembangunannya. Kondisi ini dapat
menimbulkan calo-calo tanah dan meningkatnya harga tanah yang harus dibebaskan oleh
Pemda nantinya. Transportasi angkutan darat dilayani oleh Jalan Nasional, Jalan Provinsi, Jalan
Kabupaten dan Jalan Poros Desa. Total Panjang Jalan di Kabupaten Cilacap lebih dari 2.000 km.
Jalan Nasional dan Jalan Provinsi sebagian besar dalam kondisi cukup baik dan baik. Di
beberapa bagian ruas jalan nasional mengalami kerusakan ringan, sedang, sampai kerusakan
berat, terutama jalan dari Kesugihan menuju Kota Cilacap. berkapasitas 236 ton, dan 7 unit cold
storage berkapasitas 75 ton.
Sistem penangkapan ikan oleh nelayan Cilaca belum ada yang mencapai lepas pantai ZEE. Oleh
karena itu, dibutuhkan fasilitas/alat tangkap ikan yang digunakan untuk mencapai Zone tersebut,
baik armada kapalnya maupun alat deteksi ikan / alat penginderaan ikan jarak jauh. Potensi
perikanan laut yang begitu besar masih belum banyak tersentuh dan digali. Budidaya perikanan
pun masih memiliki potensi untuk dikembangkan, seperti budidaya rumput laut di utara pulau
Nusa Kambangan dan budi daya kerapu karamba di bagian selatannya.
Perikanan darat pun memiliki potensi untuk pengembangan lahan tambak dan budi daya
perikanan darat yang tersebar hampir di seluruh kecamatan. Kota Cilacap adalah satu dari tiga
kawasan industri utama di Jawa Tengah (selain Semarang dan Surakarta). Dengan
digalakkannya investasi, diharapkan banyak investor yang berkeinginan untuk menanamkan
modal di Cilacap. Infrastruktur yang ada diharapkan lebih dapat ditingkatkan untuk mendukung
program investasi tersebut. Di samping itu di Kota Cilacap sendiri telah tersedia Kawasan Industri
yang terletak di Kelurahan Lomanis, Kecamatan Cilacap Tengah. Di kawasan ini masih tersedia
lahan yang dapat dikembangkan untuk industri. Beberapa kawasan juga telah disiapkan untuk
pengembangan Kawasan Industri Baru seperti di Desa Bunton Kec. Adipala dan di Desa
Karangkandri Kec.Kesugihan. Beberapa sentra industri kecil seperti sabutret yang ada di
Wanareja, dapat industri. Disamping itu terdapat beberapa industri pupuk kantong, biji coklat, dan
olahan karet, tepung terigu, benang tenun, penggergajian kayu, dan pasir besi. Menurut
penelitian yang pernah dilakukan, industri di Cilacap banyak yang bersifat footloose, sehingga
kurang memberikan dampak yang berarti bagi kesejahteraan penduduk di Kabupaten Cilacap
sendiri. Di kabupaten Cilacap pun terdapat beberapa industri besar. Industri besar yang ada di
Kota Cilacap ini tidak berpengaruh langsung pada perkembangan desa-desa sekitar. Bahkan
pabrik semen Holcim memiliki kawasan pertambangan ekslusif yang berada di pula Nusa
Kambangan, yang tidak dapat diintervensi oleh Pemda setempat. Industri-industri besar yang
terdapat di Kabupaten Cilacap adalah:
1. Pertamina Unit Pengolahan IV
2. Pabrik Semen HOLCIM
3. Pabrik Tepung Panganmas Inti Persada
4. PLTU Karangkandri
5. Pengolahan Ikan PT Juifa Internasional
Pekerja migran dari kabupaten Cilacap juga menyumbangkan banyak devisa, terutama karena
kiriman uang mereka (remitan) ke daerah asal. Buruh migrant tersebut berasal dari seluruh
kecamatan yang ada. Untuk saat ini kencenderungan buruh migran menuju ke Asia Timur,
seperti Korea Selatan dan Taiwan. Apabila dicermati, remitan dan devisa dari buruh migran
tersebut (TKI/TKW) merupakan potensi ekonomi yang besar. Sebenarnya, pemerintah daerah
perlu mempersiapkan sumberdaya yang memadai agar pekerja migran dari Cilacap lebih banyak
mengisi sektor formal di luar negeri. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa remitan yang
dikirimkan merupakan salah satu penggerak perekonomian di sebagian wilayah Kabupaten
Cilacap. Untuk kecamatan Dayeuhluhur dan Wanareja, kecenderungan migrasi tenaga kerja
masih mengarah di kota-kota besar di Jawa Barat dan Jakarta (migrasi internal). Terutama untuk
tenaga kerja lakilaki berangkat pada saat di desa sedang tidak ada pekerjaan di sector pertanian.
Buruh migran tersebut seringkali hanya menjadi buruh migran musiman.
PERMASALAHAN PENGEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN CILACAP
Menurut Bapak Hamzah (Bappeda Kabupaten Cilacap), desa-desa yang ada di Kabupaten
Cilacap relatif hamper sama tingkat perkembangannya. Tidak ada desa yang terlihat sangat
maju/berkembang atau pun tertinggal. Namun dapat dikatakan bahwa desa-desa di bagian timur
kabupaten Cilacap relatif lebih mudah berkembang dibandingkan desa-desa yang berada di
sekitar Kampung Laut karena kondisi alamnya. Namun di bagian timur Kabupaten Cilacap ini
terdapat permasalahan yang terkait dengan status tanah yang dimanfaatkan penggunaannya
oleh masyarakat setempat. Status tanah yang bermasalah adalah tanah yang diklaim sebagai
milik TNI-AD. Masyarakat yang memanfaatkan wilayah tersebut untuk bertani atau pun tinggal
harus meminta izin dari TNI untuk pemanfaatannya.
Dengan begitu rencana pengembangan wilayah ini sebagai kawasan wisata bahari oleh pemda
setempat tidak dapat terlaksana karena Pemda tidak memiliki wewenang untuk pengendaliannya.
Daerah sebelah barat sekitar kampung Laut yang dapat dikatakan lebih tertinggal dibanding
wilayah lainnya, dikarenakan kultur setempat yang keras. Dengan kultur itu, kegiatan konservasi
yang sudah lama dilakukan tidak berhasil karena hanya diambil kayunya tanpa menggantinya
kembali. Perubahan yang dilakukan untuk daerah tersebut mau diterima asal membawa
keuntungan pribadi. Misalnya kegiatan pengerukan laguna yang dilakukan oleh pemda. Pada
saat kapal pengeruk beroperasi, kapal tersebut diduduki oleh masyarakat setempat, padahal
pengerukan itu untuk membantu pemulihan kawasan. Kalau dilihat dari pendanaan APBD atau
pun APBN yang dialokasikan, penganggaran perpenduduk untuk wilayah pesisir selatan lebih
besar disbanding untuk wilayah utara Kabupaten Cilacap, dimana penganggaran untuk 1000
penduduk di utara sama dengan untuk 100 penduduk di bagian selatan.
Konflik pertanian pun terjadi di kawasan hutan dibagian utara Kabupaten Cilacap. Masyarakat
merasa sudah lama mendiami dan mengelola sawah dan permukiman di kawasan tersebut.
Bahkan ada satu desa yang seluruh wilayahnya berada di kawasan perhutani. Wilayah utara
Kabupaten Cilacap diarahkan untuk pengembangan pertanian, sehingga di Kecamatan Majenang
terdapat Agropolitan sebagai pusat pengembangan pertanian. Berbagai infrastruktur pendukung
telah dibangun, termasuk akses jalan dan fasilitas pertanian lainnya. Kota Cilacap yang
merupakan salah satu PKN di bagian selatan pulau Jawa berkembang karena adanya industri
besar seperti Pertamina. Bila dilihat PDRB Kabupaten Cilacap dengan migas, maka nilainya bisa
sangat tinggi, namun bila PDRB dilihat tanpa migas, maka nilainya menjadi sangat rendah.
Dengan begitu, Kabupaten Cilacap dikenal pula sebagai wilayah yang memiliki PDRB tinggi
namun masih banyak memiliki masyarakat miskin. Selain itu, Pelabuhan Cilacap pada awalnya
lebih dikenal disbanding pelabuhan Semarang di Jawa Tengah. Pada sekitar tahun 80-an,
berbagai komoditas keluar dari pelabuhan Cilacap. Namun saat ini, semakin sedikit komoditas
yang masuk dan keluar dari pelabuhan Cilacap. Ini menjadi tantangan terdiri bagi Pemda
Kabupaten Cilacap dalam pengembangan dan pembangunan wilayahnya.
PARA PIONER PELAKU EKONOMI PERDESAAN DI KABUPATEN CIAMIS DAN CILACAP
Berkembangnya ekonomi perdesaan di
Kabupaten Ciamis adalah sebuah
keniscayaan yang dapat diwujudkan
melalui kerja keras dan keuletan dari
pribadi-pribadi sederhana yang
merelakan diri untuk menjadi contoh
atau pionir bagi pelaksanaan kebijakan
bantuan Pemda yang ditujukan untuk
kemajuan ekonomi keluarga dan
desanya. Tentu saja keberpihakan
Pemda Kabupaten Ciamis melalui bantuan untuk diversifikasi usaha bagi masyarakat perdesaan
seperti Ibu Yayah, Pak Bebeng, Pak Ujang, Pak Ade serta warga desa lainnya merupakan
langkah strategis yang akan memberikan dampak langsung bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat di desa. Ibu Yayah, peternak sapi potong. Ibu Yayah dan suaminya serta 3 orang
anaknya tinggal di Desa Kondang Jajar, Kecamatan Cijulang. Dulu, untuk menghidupi
keluarganya, mereka hanya mengandalkan penghasilan sebagai buruh tani, namun saat ini
disamping bertani mereka memiliki 13 ekor (8 induk dan 5 anak) sapi jenis limosin. Sapi jenis ini
adalah bibit terbaik yang punya nilai jual tinggi.
Untuk sapi anak umur 4 bulan harganya mencapai 5 juta per ekor. Dengan memiliki sapi-sapi ini
sekarang mereka punya tabungan, karena untuk kebutuhan sehari-hari dapat tercukupi dari
penghasilan bertani. Ibu Yayah adalah contoh dari pribadi yang memiliki tekad untuk meraih
masa kesabaran, karena apa yang dinikmatinya saat ini adalah hasil dari usaha selama 11 tahun.
Apa yang dicapai oleh Ibu Yayah saat ini diawali dari bantuan Pemda Kabupaten Ciamis berupa
satu ekor bibit sapi betina induk beserta pendampingan teknis pemeliharaan oleh tim penyuluh
lapangan.
Berkat ketekunan dan kerjasama yang baik, maka sekarang Ibu Yayah telah menjadi peternak
mandiri dan dapat membantu warga desa lainnya yang baru mulai usaha ternak sapi potong.
Bapak dan Ibu Bebeng, perajin gula merah. Pak Bebeng dan istrinya memiliki anak 3 orang yang
semuanya sudah berumahtangga. Mereka dikaruniahi 6 orang cucu yang semuanya tinggal
dalam beberapa rumah yang berdekatan di Desa Kondang Jajar, Kecamatan Cijulang. Ketika
ditanya sejak kapan mereka membuat gula merah, Pak Bebeng mengatakan sejak kecil dia
sudah melihat orangtuanya membuat gula merah. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku gula
merah maka setiap hari Pak Bebeng memanjat 36 batang pohon kelapa untuk menyadap nira.
Lahan dan pohon kelapa ini bukan milik Pak Bebeng tapi barang sewaan. Nira hasil sadapan
kemudian diolah menjadi gula merah oleh istri Pak bebeng dibantu anak dan cucunya. Dalam
satu hari mereka bisa menghasilkan sekitar 15 kg, yang dijual kepada pengepul dengan harga
7.000 rupiah per kilogram. Hasil produksi ini sepertinya cukup menjajikan, namun ternyata
keuntungan bersih setelah dikurangi biaya sewa lahan, pohon kelapa dan kayu bakar
Bapak H Karsono, pengrajin sebutret
Perjalanan tim redaksi ke arah barat di wilayah selatan pulau jawa sampai pada hamparan
perkebunan karet milik Perhutani dan masyarakat di Kecamatan Wanareja, Kabupaten Cilacap.
Masuk jauh menelusuri hamparan kebun yang masih produktif, sampailah tim redaksi ke suatu
kawasan permukiman dimana terdapat Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) An-Nur
pimpinan bapak H. Karsono yang menerima tim redaksi dengan tangan terbuka. PKBM ini
dikenal dengan aktivitas anggotanya dalam mengembangkan kerajinan dari sebutret (serat sabut
kelapa keriting berkaret alam). Di desanya, bapak H Karsono dikenal sebagai tokoh masyarakat
yang memiliki perhatian pada pembangunan desanya. Pondok pesantren untuk siswa setingkat
SMP yang berdiri di dekat rumah beliau selalu ramai dengan anak-anak yang belajar dan
berkarya dalam memanfaatkan hasil alam desanya.
Dengan pengetahuan dan kemauan yang dimiliki oleh Bapak H Karsono, beliau mempelopori
pemanfaatan serat sabut kelapa yang banyak dihasilkan di sekitarnya dengan karet alam yang
yang selama ini menjadi sumber penghasilan penduduk. Produk ini sebenarnya adalah produk
mediator yang dapat dibuat menjadi berbagai macam produk olahan jadi sehingga dapat
langsung dimanfaatkan, seperti menjadi matras, kasur, pot tanaman, dan lain-lain. Salah satu
alas an Bapak H Karsono mengembangkan kerajinan ini adalah untuk dapat meningkatkan
perekonomian masyarakat di desanya. Pengolahan bahan baku karet alam dengan sabut kelapa
yang mudah diperoleh masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat secara mandiri, sehingga
dapat menyerap banyak tenaga kerja.
Apalagi produk ini memiliki pasar ekspor yang cukup luas. Proses pengolahan dimulai dari
pengeringan, pengeritingan, dan pencetakan sabut kelapa, serta penyemprotan dan perekatan
bahan dengan kompon (hasil olahan lebih lanjut dari lateks), hingga pembentukan produk jadi
seperti bahan jok mobil, matras, bantal kursi, kasur, pot tanaman dan sebagainya. Teknologi
yang digunakan adalah teknologi sederhana. Pengolahan kerajinan ini membutuhkan mesin
teknologi tepat guna dan juga tetap membutuhkan tenaga manusia untuk mengurai kembali
sabut kelapa yang telah dikeriting. Menurut Bapak H Karsono, proses ini belum dapat digantikan
dengan mesin, sehingga akan dapat menyerap tenaga kerja perdesaan. Hingga saat ini,
permintaan akan produk dari sebutret cukup besar, bahkan belum dapat dipenuhi oleh pengrajin
yang dibina oleh Bapak H Karsono. Permintaan ekspor minimal 150 meter kubik per bulan,
sedangkan kapasitas satu unit usaha yang ada hanya mampu 50 meter kubik per bulan. Untuk
itu perlu dikembangkan unit-unit usaha masyarakat yang lebih luas, sehingga mampu memenuhi
kebutuhan pasar yang prospektif.
Pada akhirnya dengan adanya kebijakan Pemda Kabupaten Ciamis untuk memberikan peluang
sebesar-besarnya bagi diversifikasi usaha masyarakatnya yang tinggal di perdesaan maka
harapan untuk mengentaskan desa tertinggal serta mempersempit disparitas wilayah dapat
dicapai. yang akan mewarnai masa depan dan menggapai VISI Kabupaten Ciamis yaitu
Terdepan Dalam Agribisnis Dengan berlandaskan Iman dan Taqwa nilai rupiah yang diterima
Pak Bebeng dan keluarganya tidak mencukupi untuk biaya kehidupan sehari-hari bagi 11 jiwa.
Dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraan warga desa yang serupa dengan kondisi Pak
Bebeng, maka setahun yang lalu Pemda Kabupaten Ciamis memberikan bantuan satu ekor bibit
sapi betina induk. Jadi saat ini keluarga Pak Bebeng memiliki peluang seperti Ibu Yayah.
Pembangunan UPTD Terminal Agribisnis Parigi , Desa parigi, Kecamatan Cijulang.
Hingga saat ini struktur distribusi prosentase PDRB berdasarkan
lapangan usaha di Kabupaten Ciamis didominasi oleh sektor
pertanian yaitu sebesar 32%. Dengan dasar inilah maka Pemda
Kabupaten Ciamis merasa perlu untuk menjadikan pembangunan
terminal agribisnis terpadu sebagai prioritas utama dalam
memfasilitasi kelancaran kegiatan industri dan bisnis dalam bidang
pertanian agar dapat dilakukan pada satu lokasi. Kegiatan
agribisnis yang telah berkembang baik disini adalah industri
pengolahan kelapa dari industri hulu sampai hilir. Mata rantai
industri pengolahan kelapa ini cukup panjang, dengan demikian diharapkan membawa manfaat
dalam penyerapan tenaga kerja cukup besar. Beberapa warga desa Parigi yang terlibat dalam
aktivitas industri kelapa antara lain Bapak Ujang, perajin kopra yang mampu menghasilkan 5 ton
perbulan, Bapak Ade bersama istrinya yang mengolah air kelapa menjadi bahan makanan nata
de coco, dan ibuibu yang menjadi pengrajin sapu lidi. Disamping mereka ini masih banyak warga
desa yang terkait dengan industri hilir kelapa seperti pembuatan arang dari batok kelapa atau
pengolahan sabut kelapa menjadi bahan pengisi jok kursi.