keadilan substantif dan problematika penegakannya
TRANSCRIPT
KEADILAN SUBSTANTIF DAN PROBLEMATIKA PENEGAKANNYA
OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Oleh:
ISWAHYUDI HANDOYO
INDRA MAHENDRA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS KRISNADWIPAYANA
JAKARTA, MEI 2010
KEADILAN SUBSTANTIF
DAN PROBLEMATIKA PENEGAKANNYA
1 | P a g e
TUGAS MATA KULIAH PENGANTAR ILMU HUKUM
OLEH MAHKAMAH KONSTITUSI RI
PENDAHULUAN
Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang
adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan
berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat adalah
apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu: pertama, tidak merugikan seseorang
dan kedua, memberikan perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang
menjadi haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu
dikatakan adil.
Pada praktiknya, pemaknaan keadilan dalam penanganan sengketa-
sengketa hukum ternyata masih debatable. Banyak pihak merasakan dan
menilai bahwa lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu sarat
dengan prosedur, formalistis, kaku dan lamban dalam memberikan
putusan terhadap suatu sengketa. Agaknya faktor tersebut tidak lepas dari
cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-
prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Sedangkan seyogyanya
hakim mampu menjadi living interpretator yang cermat menangkap
semangat keadilan dalam masyarakat dan sama sekali tidak terbelenggu
oleh kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu peraturan
perundang-undangan, karena hakim bukan lagi sekedar la bouche de la
2 | P a g e
loi (corong undang-undang). Artinya, hakim dituntut untuk memiliki
keberanian mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan
normatif undang-undang, sehingga keadilan substantif dapat diwujudkan
melalui putusan hakim pengadilan. Hakim juga dituntut untuk tidak
terbelenggu hanya memberikan keadilan formal semata-mata; melainkan,
sebagai living interpretator hakim diharapkan mampu mewujudkan cita-
cita hukum dan harapan serta keinginan para justisiabelen.
KEADILAN SUBSTANTIF DAN KEADILAN PROSEDURAL
Permasalahan sebagaimana tergambar di atas agaknya tidak dapat
dilepaskan dari dikotomi antara keadilan subtantif dan keadilan
prosedural. Keadilan substantif (keadilan substansial) dimaknai sebagai
“Justice fairly administered according to rules of substantive law,
regardless of any procedural errors not affecting the litigant’s substantive
rights.”1 Definisi tersebut setidak-tidaknya dapat dimaknai bahwa keadilan
substantif adalah keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan
hukum substantif, tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang
tidak berpengaruh pada hak-hak substantif Penggugat/Pemohon. Ini
berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja
disalahkan secara materiil dan substansinya melanggar keadilan.
Demikian sebaliknya, apa yang secara formal salah bisa saja dibenarkan
1 Bryan A. Garner (Editor in Chief), Black’s Law Dictionary, 8th Edition, Thompson-West Publishing Co., St. Paul, 2004, halaman 881
3 | P a g e
jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil (hakim dapat
menoleransi pelanggaran prosedural asalkan tidak melanggar substansi
keadilan). Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim harus
selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan keadilan
substantif berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak
memberi rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal prosedural
undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin
kepastian hukum.
Sebaliknya, procedural justice atau keadilan prosedural adalah:2
“Refers to the idea of fairness in the processes that resolve disputes and allocate resources. One aspect of procedural justice is related to discussions of the administration of justice and legal proceedings. This sense of procedural justice is connected to due process (U.S.), fundamental justice (Canada), procedural fairness (Australia) and natural justice (other Common law jurisdictions), but the idea of procedural justice can also be applied to nonlegal contexts in which some process is employed to resolve conflict or divide benefits or burdens.
Procedural justice concerns the fairness and the transparency of the processes by which decisions are made, and may be contrasted with distributive justice (fairness in the distribution of rights or resources), and retributive justice (fairness in the rectification of wrongs). Hearing all parties before a decision is made is one step which would be considered appropriate to be taken in order that a process may then be characterised as procedurally fair. Some theories of procedural justice hold that fair procedure leads to equitable outcomes, even if the requirements of distributive or corrective justice are not met.
2 Definisi sebagaimana dikutip dalam www.wikipedia.com
4 | P a g e
Definisi di atas kurang lebihnya dapat dimaknai bahwa keadilan
prosedural merujuk pada gagasan tentang keadilan dalam proses-proses
penyelesaian sengketa dan pengalokasian sumber daya. Salah satu
aspek dari keadilan prosedural ini berkaitan dengan pembahasan tentang
bagaimana memberikan keadilan dalam proses hukum. Makna keadilan
prosedural seperti ini dapat dihubungkan dengan proses peradilan yang
patut (Amerika Serikat), keadilan fundamental (Kanada), keadilan
prosedural (Australia) dan keadilan alamiah (negara-negara Common Law
lainnya); namun, gagasan tentang keadilan prosedural ini dapat pula
diterapkan terhadap konteks non-hukum dimana beberapa proses
digunakan untuk menyelesaikan konflik atau untuk membagi-bagi
keuntungan atau beban.
Merujuk pada definisi di atas, keadilan prosedural terkait erat dengan
kepatutan dan transparansi dari proses-proses pembuatan keputusan,
dan konsep keadilan prosedural ini dapat dibedakan dengan konsep
keadilan distributif (keadilan dalam distribusi hak-hak atau sumberdaya)
dan keadilan retributif (keadilan dalam membenahi kesalahan-kesalahan).
Mendengarkan keterangan semua pihak sebelum membuat keputusan
merupakan salah satu langkah yang dianggap tepat untuk diambil agar
suatu proses dapat dianggap adil secara prosedural. Beberapa teori
tentang keadilan prosedural berpendirian bahwa prosedur yang adil akan
membawa hasil yang adil pula, sekalipun syarat-syarat keadilan distributif
atau keadilan korektif tidak terpenuhi.
5 | P a g e
KEADILAN PROSEDURAL DAN KEADILAN SUBSTANTIF: FILOSOFI
POSITIVISTIK VS. MORALISTIK
Guna membedah dikotomi antara keadilan substantif dan keadilan
prosedural dalam proses penegakan hukum, kiranya perlu dilakukan
review terhadap akar filosofis dari penegakan hukum itu sendiri.
Mencermati pendapat Hans Kelsen, penegakan hukum oleh hakim itu
terikat pada teori positivisme, yaitu bahwa keadilan itu lahir dari hukum
positif yang ditetapkan manusia. Dalam hal ini, Hans Kelsen menekankan
bahwa konsep keadilan itu mencakup pengertian yang jernih dan bebas
nilai. Hakim terikat dengan hukum positif yang sudah ada, berdasarkan
paham legisme dalam konsep positivisme, hakim hanya sebagai corong
undang-undang, artinya mau tidak mau hakim harus benar-benar
menerapkan suatu kejadian berdasarkan konsep hukum yang sudah ada.
Dalam praktiknya, konsep positivisme dalam penegakan hukum ini
ternyata sangat jauh dari keadilan, karena sering sekali hukum positif itu
ketinggalan dengan perkembangan masyarakat dan kemajuan teknologi,
sehingga dalam penerapan teori positivisme tidak bisa serta merta
dilaksanakan dengan paham legisme. Hakim boleh menerapkan teori ini
pada kasus yang aturan hukumnya jelas, sehingga hakim tinggal
menerapkan saja pada peristiwa konkrit, namun dalam hal peristiwa yang
6 | P a g e
tidak ada atau tidak jelas aturan hukumnya hakim harus menemukan dan
menggunakan interpretasi, analogi atau konstruksi hukum untuk
penemuan hukum. Hukumnya harus diupayakan dengan cara menelusuri
peraturan yang mengatur peristiwa khusus yang mirip dengan peristiwa
yang hendak dicari hukumnya dengan jalan argumentasi (argumentum a
contrario atau argumentum per analogiam). Apabila peristiwanya tidak
diatur sama sekali dalam undang-undang, maka hakim berdasarkan Pasal
28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 “…wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat”. Artinya, hakim dalam memberikan keadilan kepada
pencari keadilan, harus bersikap obyektif, mempunyai itikad baik, yaitu
keyakinan hakim dengan alat bukti yang cukup untuk memutuskan suatu
perkara sehingga dapat memberikan rasa keadilan dan kebahagian
kepada para pihak dengan mengindahkan kode etik dan prosedural yang
benar dalam praktik peradilan yang baik. Penerapan hukum positif oleh
hakim harus mengindahkan nilai-nilai dan rasa keadilan yang hidup di
masyarakat dengan sebaik-baiknya sehingga putusan yang dihasilkan
oleh hakim bisa diterima dengan ikhlas oleh para pihak, dan keikhlasan
inilah yang menjadi barometer keadilan dalam penegakan hukum oleh
hakim.
Dewasa ini, banyak pihak menuntut hakim agar lebih berpihak pada
perwujudan keadilan substantif daripada keadilan prosedural semata.
Namun, tuntutan itu sekalipun dapat diterima secara teoritik tetapi pada
7 | P a g e
praktiknya masih mengundang perdebatan karena membawa problem
hukum yang rumit. Keadilan prosedural diyakini hanya mengacu pada
bunyi undang-undang an-sich. Sehingga, sepanjang bunyi undang-
undang terwujud, keadilan secara formal diasumsikan telah tercapai.
Permasalahannya adalah apakah keadilan secara materiil itu benar-benar
dirasakan adil secara moral dan kebajikan (virtue) bagi banyak pihak?
Para penegak keadilan prosedural tidak memedulikannya. Mereka, para
penegak keadilan prosedural itu, biasanya tergolong kaum yang
berorientasi positivistik.
Bagi kaum positivistik, keputusan-keputusan hukum itu dapat dibuat
dengan terlebih dahulu mendeduksikan secara logis peraturan-peraturan
yang sudah ada tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial,
kebajikan, serta moralitas. Betapa pun tidak adil dan terbatasnya bunyi
undang-undang yang ada. Hukum adalah perintah undang-undang, dan
dari situ kepastian hukum bisa ditegakkan.
Pandangan positivistik tersebut ditentang oleh kalangan yang
berpandangan bahwa prinsip kebajikan dan moralitas mesti harus
dipertimbangkan pula dalam mengukur validitas hukum. Penganut hukum
moralis ini berprinsip bahwa hukum harus mencerminkan moralitas.
Karena itu, hukum yang meninggalkan prinsip-prinsip moralitas, bahkan
bertentangan dengan moralitas, boleh atau bisa tidak ditaati berdasar
suatu hak moral (moral right).
8 | P a g e
Indonesia adalah negara yang menganut civil law system, yang
mendasarkan bangunan sistem hukumnya pada undang-undang.
Sehingga, para hakimnya ialah pelaksana undang-undang, bukan
pencipta undang-undang (baca: hukum), sebagaimana yang dilakukan
para hakim di Inggris atau Amerika Serikat yang menganut common law
system. Sehingga, pakem yang masih berlaku di negeri ini adalah bahwa
meskipun para hakim di Indonesia dapat melakukan penemuan hukum
(rechtsvinding) melalui putusannya, mereka tidak boleh menabrak isi dan
falsafah peraturan perundangan yang sudah ada.
IMPLEMENTASI PARADIGMA KEADILAN SUBSTANTIF OLEH
MAHKAMAH KONSTITUSI RI
Mahkamah Konstitusi dalam berbagai kesempatan telah menegaskan
posisinya bahwa lembaga ini akan menegakkan keadilan substantif,
bukan keadilan prosedural semata-mata. Dalam arti, sebagai lembaga
pengawal dan penafsir konstitusi, Mahkamah Konstitusi tidak akan
terpaku pada undang-undang jika undang-undang a quo dinilai keluar dari
tujuan hukum sendiri.
Pilihan paradigmatik ini didasari pada keyakinan bahwa dalam posisinya
sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), demokrasi,
dan hukum serta pelindung hak-hak konstitusional warga negara (the
guardian of citizen’s constitutional rights), Mahkamah Konstitusi harus
berupaya menemukan keadilan substantif, sebab selain hal ini dibenarkan
9 | P a g e
oleh UUD 1945 juga dimuat dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi pada Pasal 45 ayat 1 yang berbunyi, ”Mahkamah
Konstitusi memutus perkara berdasar Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945, sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.”
Sebagaimana disebutkan dalam pasal a quo, alat bukti dan keyakinan
hakim harus menjadi dasar pijakan putusan untuk menegakkan keadilan
substantif, apalagi jika pihak yang berperkara jelas-jelas meminta ex
aequo et bono (putusan adil). Pada irah-irah tiap putusan juga selalu
ditegaskan, putusan dibuat ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa,” dan bukan ”Demi Kepastian Hukum Berdasarkan Undang-
Undang.” Ini semua menjadi dasar yang membolehkan hakim membuat
putusan untuk menegakkan keadilan meski —jika terpaksa— melanggar
ketentuan formal undang-undang yang menghambat atau membelenggu
tegaknya keadilan.
Sepanjang mengenai kriteria atau standar keadilan itu bagaimana
bentuknya, memang masih diperdebatkan, karena tidak ada kriteria yang
pasti untuk menentukan keadilan itu. Hal ini berbeda dengan bunyi
undang-undang yang isinya pasti. Terhadap hal tersebut perlu ditegaskan
bahwa keadilan tidak selalu dapat dipastikan lebih dulu karena dalam
banyak kasus justru harus disikapi sesuai karakter masing-masing.
Keadilan akan terasa dan terlihat dari konstruksi hukum yang dibangun
hakim dengan menilai satu per satu bukti yang diajukan di persidangan
10 | P a g e
untuk akhirnya sampai pada keyakinan dalam membuat putusan atau
vonis.
Meski demikian, tidaklah dapat diartikan, hakim boleh sesukanya
melanggar atau menerobos ketentuan undang-undang. Dalam hal
undang-undang sudah mengatur secara pasti dan dirasa adil, maka hakim
tetap berpegang pada undang-undang. Dengan kata lain, para hakim
didorong untuk menggali rasa keadilan substantif (substantive justice) di
masyarakat daripada terbelenggu ketentuan undang-undang (procedural
justice).
Hal yang hendak ditekankan adalah prinsip bahwa berdasarkan sistem
hukum dan konstitusi di Indonesia, hakim diperbolehkan membuat
putusan yang keluar dari undang-undang jika undang-undang itu
membelenggunya dari keyakinan untuk menegakkan keadilan.
Selain itu, pilihan paradigmatik pada keadilan substantif juga
dilatarbelakangi derasnya tuntutan agar Mahkamah Konstitusi
memberikan putusan yang memberikan solusi hukum atas ketidakpastian
hukum dan keadilan yang diakibatkan oleh ketentuan yang multi-tafsir
atau pada saat terjadi kekosongan hukum. Pergerakan atau pergeseran
paradigma nilai tersebut terjadi bukan karena kehendak para hakim
konstitusi untuk memperluas kompetensi yang dimiliki Mahkamah
Konstitusi, tetapi semata-mata untuk menegakkan konstitusi dan
memenuhi tuntutan keadilan substantif sebagaimana disebutkan di atas.
11 | P a g e
Mahkamah Konstitusi berpedoman pada paradigma keadilan substantif
dalam arti bahwa meskipun suatu perbuatan secara formal-prosedural
benar tetapi apabila substansinya melanggar keadilan atau mengandung
pelanggaran yang serius dan fundamental yang dibungkus dengan
kebenaran formal maka dapat dinyatakan salah; sebaliknya, meskipun
suatu perbuatan secara formal-prosedural mengandung kesalahan tetapi
tidak melanggar substansi keadilan dan kesalahan tersebut bersifat
tolerable maka dapat dinyatakan tidak salah. Betapa pun jika suatu
ketentuan undang-undang dilanggar dengan sengaja apalagi sampai
berkali-kali tentulah dapat dikatakan intolerable dan mengandung
ketidakadilan. Sikap Mahkamah yang demikian didasarkan pula pada
tujuan untuk memberi manfaat kepada negara dan masyarakat.
Perlu ditekankan juga bahwa pilihan paradigmatik Mahkamah Konstitusi
atas penegakan keadilan substantif bukan berarti Mahkamah harus selalu
mengabaikan bunyi undang-undang. Dalam mengimplementasikan
paradigma ini Mahkamah Konstitusi dapat keluar atau mengabaikan bunyi
undang-undang tetapi tidak harus selalu mengabaikan atau keluar dari
bunyi undang-undang. Selama bunyi undang-undang memberi rasa
keadilan, maka Mahkamah Konstitusi akan menjadikannya sebagai dasar
pengambilan putusan; sebaliknya jika penerapan bunyi undang-undang
tidak dapat memberi keadilan maka Mahkamah Konstitusi dapat
mengabaikannya untuk kemudian membuat putusan sendiri. Inilah inti
12 | P a g e
hukum progresif atau hukum responsif yang dipahami dan diterima oleh
Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi juga meyakini bahwa
penegakan hukum sebenarnya merupakan bagian atau perangkat yang
digunakan untuk meraih tujuan yang lebih mulia, yaitu penegakan nilai
keadilan. Untuk itu Mahkamah Konstitusi lebih mengutamakan hadirnya
keadilan substantif dibanding hanya sekadar melakukan penegakan aspek
yuridis secara formal-prosedural.
Sebagai ilustrasi nyata, dapat diberikan beberapa contoh perkara yang
telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Diantaranya adalah perkara
perselisihan hasil pemilu (PHPU) tahun 2009 dimana Mahkamah
Konstitusi bergerak menjadi pengadilan yang menegakkan keadilan
substantif, bukan sekadar pengadilan perselisihan penghitungan atau
yang sering disebut sebagai pengadilan kalkulator dalam menghitung
perolehan suara hasil pemilu. Sikap Mahkamah Konstitusi ini dilandasi
oleh keyakinan bahwa hasil pemilu merupakan manifestasi suara rakyat.
Oleh karenanya, untuk menjamin hal itu harus dipastikan bahwa hasil
pemilu harus didapatkan dengan cara yang benar, jujur dan adil, serta
dihitung dengan benar pula sesuai dengan prinsip one man, one vote, one
value. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi meyakini bahwa perselisihan
hasil pemilu tidak dapat dilihat secara sempit sebagai perselisihan
perhitungan di atas kertas, tetapi harus melihat bagaimana suara itu
diperoleh. Suara yang diperoleh dengan cara yang melanggar prinsip jujur
13 | P a g e
dan adil tentu tidak dapat dibiarkan karena sama halnya dengan
membiarkan terjadinya ketidakadilan, baik bagi peserta pemilu maupun
bagi pemilih itu sendiri. Lebih jauh lagi, konotasinya adalah menciderai
demokrasi serta asas pemilu yang luber dan jurdil itu sendiri.
Mahkamah Konstitusi berkeyakinan pula bahwa menutup mata terhadap
pemilu yang melanggar prinsip jujur dan adil sama halnya dengan
membiarkan terbentuknya pemerintahan yang bukan merupakan
manifestasi kehendak rakyat. Pemilu hanya akan menjadi prosedur
memperoleh kekuasaan semata. Jika terjadi demikian, hal itu akan
menjadi awal dari malapetaka dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Oleh karenanya, Mahkamah Konstitusi menerapkan prinsip
universal, yaitu nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua
propria (tidak boleh seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan
dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh
dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang
lain). Maknanya adalah bahwa tidak boleh ada pembiaran maupun
pembenaran (justifikasi) terhadap pelanggaran-pelanggaran pemilu yang
bersifat sistematis, terstruktur dan masif. Dengan pilihan ini pelanggar dan
orang-orang yang curang tidak justru diuntungkan kembali dan pihak yang
dicurangi merasa dilindungi dan tidak kembali dirugikan dengan
pelanggaran dan tanpa perlindungan.
14 | P a g e
Dikaitkan dengan paradigma keadilan substantif, dalam menangani
sengketa hasil pemilu Mahkamah Konstitusi tidak hanya menilai
kebenaran kuantitatif dalam penetapan hasil pemilu, seperti menghitung
kebenaran penetapan jumlah suara yang diperoleh parpol atau kontestan
dalam pemilu, melainkan sekaligus menilai proses pelaksanaan pemilu
untuk mencari kebenaran secara kualitatif.
Oleh sebab itu, jika dalam proses pemilu terjadi pelanggaran, baik
administratif maupun pidana, yang memengaruhi hasil pemilu secara
signifikan, tanpa harus memastikan kepastian penetapan jumlah
(kualitatif) yang salah dalam penetapannya, maka Mahkamah Konstitusi
dapat menentukan putusan atau sanksi tersendiri demi tegaknya keadilan,
sekaligus untuk pembelajaran dan pendidikan agar pada pemilu-pemilu
berikutnya pelanggaran semacam itu tidak terjadi lagi. Meskipun begitu,
agar dalam menegakkan keadilan tersebut tetap didasarkan pada
rasionalitas dan diterima oleh common sense publik, maka kesalahan
kualitatif proses pemilu yang dapat dijatuhi sanksi yang amarnya bersifat
condemnatoir oleh Mahkamah Konstitusi adalah pelanggaran-
pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif.
Selain contoh di atas, sepanjang tahun 2009 Mahkamah Konstitusi juga
telah membuat sejumlah terobosan hukum terkait dengan paradigma
keadilan substantif, antara lain dengan mengeluarkan berbagai putusan
yang hasilnya dinilai berbeda dengan perundang-undangan yang berlaku.
15 | P a g e
Misalnya adalah kasus perselisihan hasil pemilu legislatif yang hasilnya
adalah pemungutan suara ulang di Nias Selatan3 dan pengesahan proses
pemilu sesuai budaya setempat di Yahukimo, Papua.4 Terobosan hukum
lainnya yang mengutamakan keadilan substantif dibanding formal-
prosedural adalah saat Mahkamah Konstitusi membolehkan penggunaan
KTP dan paspor dengan sejumlah syarat tertentu dalam pemilu oleh
warga yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).5
3 Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan sela memerintahkan penghitungan suara ulang pemilu anggota DPR dan DPRD di seluruh Kabupaten Nias Selatan terkait permohonan yang diajukan enam partai politik dan memerintahkan penghitungan suara ulang pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di enam kecamatan kabupaten tersebut. Putusan sela yang memerintahkan pemungutan suara dan penghitungan suara ulang ini diambil dalam sidang pleno sebelum putusan akhir dijatuhkan. Inti pertimbangan MK sebagai berikut: Pertama, proses pemilu berlangsung tidak demokratis. Pada kasus Nias Selatan ditemukan adanya 21 kotak suara yang belum terbawa ke Medan dan belum di hitung, serta 21 kotak suara tersebut masih berada di KPU Kabupaten Nias Selatan. Kedua, dari fakta hukum yang dirumuskan banyak karena pelanggaran oleh aparat pemilu, antara lain proses penyelenggaran pemilu secara berjenjang dari tingkat KPPS, PPK, pleno kabupaten dan pleno provinsi terjadi penggelembungan suara dan pengurangan suara dan tidak dilakukan pleno rekapitulasi baik pada tingkat KPPS maupun PPK dan seluruh surat suara langsung diangkut ke Kabupaten Nias Selatan, dan tidak diserahkannya hasil rekapitulasi kepada para saksi partai politik, dan terdapat rekapitulasi formulir C1 yang diganti oleh PPK. Ketiga, penyelenggara pemilu melakukan pelanggaran yang terstruktur dan masif, sedangkan pada sisi lain MK tidak boleh membiarkan hal tersebut terjadi, karena dengan pembiaran maka akan melemahkan demokrasi dan akan terulang kembali.Keempat, Mahkamah tidak dapat membelenggu dirinya untuk hanya memeriksa dan memutus segi-segi kuantitatif dengan hanya merekapitulasi kembali angka-angka perolehan suara yang telah ditetapkan secara resmi oleh KPU, melainkan juga Mahkamah dapat memerintahkan pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang.
4 Dalam perkara pemilukada di Yahukimo, untuk 37 distrik tidak terselenggara pencontrengan sebagaimana sesuai peraturan yang berlaku, yakni hanya melalui kesepakatan atau ”aklamasi”. Mahkamah dalam perkara pemilukada Yahukimo ini tetap menghargai budaya masyarakat untuk melakukan pemilihan dengan cara pemilihan kolektif (“kesepakatan warga” atau “aklamasi”) sebagaimana telah diterima masyarakat.
5 Berdasarkan ketentuan Pasal 28 dan Pasal 111 ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, pemilih yang berhak memberikan suaranya dalam pemilu presiden dan wakil presiden adalah warga yang namanya
16 | P a g e
PROBLEMATIKA PENEGAKAN KEADILAN SUBSTANTIF
Meskipun, secara konseptual, idealisme yang terkandung dalam keadilan
substantif sebagaimana keyakinan paradigmatik Mahkamah Konstitusi
terurai di atas lebih adiluhung daripada yang terkandung dalam keadilan
prosedural, namun upaya mewujudkan keadilan substantif lazim
berbenturan dengan problematika kepastian hukum (rechtzekerheid).
Contohnya ialah putusan Mahkamah Konstitusi tentang pemilihan
gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur. Dalam Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi, kewenangan untuk menyidangkan perkara
pelanggaran pemilihan kepala daerah bukan merupakan ranah
kewenangan Mahkamah Konstitusi, dan tidak diatur dalam Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi itu sendiri. Namun, karena Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa ditemukan bukti adanya pelanggaran
pilkada yang berpotensi memengaruhi hasil proses pemilukada maka
Mahkamah Konstitusi berhak mengambil keputusan tentang pelanggaran
itu sekalipun harus menabrak UU Mahkamah Konstitusi sendiri.
tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), baik dalam DPT di tiap TPS (Pasal 111 ayat (1) huruf a) maupun dalam DPT tambahan (Pasal 111 ayat (1) huruf b). Ketentuan kedua pasal tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi mengingat kekacauan dalam penyusunan DPT dan banyaknya warga yang belum terdaftar dalam DPT pada saat menjelang pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2009. Selanjutnya, warga yang namanya tidak terdaftar dalam DPT boleh menggunakan KTP dan Paspor dengan pertimbangan utama Mahkamah bahwa hak pilih (right to vote) seseorang merupakan hak konstitusional yang tidak bisa dilanggar oleh ketentuan administratif, sebagaimana dilindungi oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945, sehingga pembatasan atau peniadaan hak memilih adalah pelanggaran HAM.
17 | P a g e
Sebagai justifikasi untuk kesiapan Mahkamah Konstitusi menabrak
Undang-Undang, Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud M.D.,
menggunakan argumentasi dengan kalimat, “Karena itu, kita bikin
terobosan. Tidak lagi melaksanakan UU, tetapi melaksanakan UUD 1945,
yaitu menjamin tegaknya demokrasi dan hukum,”.6 Berbagai pihak
kemudian mempertanyakan apakah penafsiran dan keputusan hukum
Mahkamah Konstitusi itu legitimate? Ini merupakan pertanyaan yang
debatable. Merujuk pada kenyataan hukum bahwa putusan Mahkamah
Konstitusi adalah final dan mengikat (final and binding), apa pun
keputusan hukumnya akan menjadi legitimate karena tidak ada upaya
hukum lagi untuk mengubahnya. Sehingga banyak pihak menilai
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga super-body, tidak ada lembaga
lain yang bisa mengontrol keputusan-keputusannya. Sekalipun menabrak
kepastian hukum.
Lebih jauh mereka berpendapat bahwa kepastian hukum pun menjadi
makin rancu. Sebab, putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara
pemilukada Jawa Timur itu bisa menjadi preseden bahwa pelanggaran
pilkada di masa datang bisa langsung dikirimkan ke Mahkamah Konstitusi,
menjadi bagian dari materi yang bisa diajukan permohonan (legal action)
ke Mahkamah Konstitusi. Tidak perlu lagi melalui jalur panwaslu, Polri
maupun kejaksaan untuk diproses di pengadilan negeri. Lalu, bagaimana
6 Jawa Pos, 3 Desember 2008
18 | P a g e
dengan kepastian hukum UU Pemilu? Belum lagi problem sosial ikutan
dari keputusan Mahkamah Konstitusi itu, misalnya, penyediaan anggaran
lagi untuk pilkada susulan, suasana ketegangan sosial yang dimunculkan
darinya, dan kerepotan aparat keamanan untuk terus berada dari kondisi
siaga satu ke siaga satu lagi. Juga, belum lagi bila hasil pilkada susulan
itu menimbulkan problem penolakan (lagi) dari pihak yang kalah dan
pendukungnya. Upaya hukum apa lagi yang bisa ditempuh? Karena pintu
upaya hukum sudah tertutup, pintu yang terbuka adalah protes sosial
yang berpotensi pada kerusuhan sosial. Terhadap permasalahan ini
hakim-hakim Mahkamah Konstitusi lebih berpihak kepada perwujudan
keadilan substantif daripada keadilan prosedural. Menegakkan keadilan
atau memilih kepastian hukum memang persoalan antinomi yang berlarut-
larut dalam menentukan tujuan hukum.
Para pakar hukum memang terbagi antara memilih keadilan atau
kepastian hukum. Banyak di antara mereka memilih kepastian hukum
karena lebih menjamin ketertiban hukum dan sosial. Pelaksanaan
keputusan Mahkamah Konstitusi yang memilih perwujudan keadilan
subatantif itu, dalam menyelesaikan perkara Pemilukada, pemilu legislatif
maupun pemilu presiden dan wakil presiden merupakan batu uji bagi
kedigdayaan keyakinan paradigmatik Mahkamah Konstitusi.
KESIMPULAN
19 | P a g e
Sejatinya, perdebatan tentang tugas hakim sebagai penegak hukum
dengan tunduk pada bunyi undang-undang (keadilan prosedural) dan
tugasnya sebagai penegak keadilan meski harus keluar dari ketentuan
undang-undang (keadilan substantif), merupakan isu klasik. Sebab pada
kenyataannya, kini, sudah tidak ada lagi garis pemisah yang tegas antara
tradisi civil law yang menjadikan hakim hanya sebagai corong undang-
undang dan tradisi common law yang menjadikan hakim sebagai pembuat
keadilan hukum meski harus melanggar undang-undang. Keduanya
dianggap sebagai kebutuhan yang saling melengkapi.
Berdasar UUD 1945 hasil amandemen, di Indonesia kedua hal itu
diletakkan pada posisi sama kuat. Pasal 24 Ayat 1 menyebutkan,
kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan ”hukum” dan ”keadilan”.
Pasal 28D Ayat 1 juga menegaskan, setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan ”kepastian hukum yang adil”. Jadi, tekanannya
bukan pada kepastian hukum saja, tetapi kepastian hukum yang adil.
Saat konstitusi diamandemen, prinsip itu ditekankan dalam UUD 1945
karena di masa lalu, upaya menegakkan kepastian hukum sering dijadikan
alat untuk mengalahkan pencari keadilan. Atas nama kepastian hukum,
pencari keadilan sering dikalahkan dengan dalil yang ada dalam undang-
undang. Padahal saat itu, banyak undang-undang yang berwatak
konservatif, elitis, dan positivistik-instrumentalistik. Atas pertimbangan
20 | P a g e
tersebut, pilihan paradigmatik untuk lebih mengedepankan keadilan
substantif daripada keadilan prosedural-formal merupakan pilihan yang
paling logis dan tepat untuk era dewasa ini, sehingga para hakim
Mahkamah Konstitusi didorong untuk menggali rasa keadilan substantif
(substantive justice) di masyarakat daripada terbelenggu ketentuan
undang-undang (procedural justice). Keharusan untuk mencari dan
menggali keadilan substantif ini selain dibenarkan oleh UUD 1945 juga
dimuat dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang
pada Pasal 45 ayat (1) menyebutkan: “Mahkamah Konstitusi memutus
perkara berdasar UUD Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan
alat bukti dan keyakinan hakim”. Pasal a quo menyebutkan bahwa bukti
dan keyakinan hakim harus menjadi dasar putusan untuk menegakkan
keadilan substantif.
(*****)
21 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Garner, Bryan A., (Editor in Chief), Black’s Law Dictionary, 8th Edition, Thompson-West Publishing Co., St. Paul, 2004, halaman 881;
Tim Penyusun Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, Enam Tahun Mengawal Konstitusi dan Demokrasi,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta,
2009;
Tim Penyusun Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, Mahfud MD: Memimpin MK dengan Menegakkan
Keadilan Substantif, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, Jakarta, 2010;
Jawa Pos, 3 Desember 2008
http://www.wikipedia.com
22 | P a g e