keanekaragaman benthos dan nekton di pulau sembilan kecamatan pangkalan susu kabupaten langkat...
DESCRIPTION
fieltrip pulau sambilan langkat msp usu 2013.TRANSCRIPT
KEANEKARAGAMAN BENTHOS DAN NEKTON DI PULAU SEMBILAN KECAMATAN PANGKALAN SUSU
KABUPATEN LANGKAT PROVINSI SUMATERA UTARA
Dosen Penanggung Jawab:Dr. Ir. Yunasfi, Msi
NIP. 196711192000121001
Kelompok IV B
LABORATORIUM EKOLOGI PERAIRANPROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN2014
Keumala Hafni Munthe 130302004Romanda Mora Tanjung 130302018Dumaria RM Lumban Tobing 130302024Antasari Malau 130302046Yohanita N W Sihite 130302064
19
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan tugas
pembuatan Laporan Praktikum Ekologi Perairan dengan judul
“Keanekaragaman Benthos dan Nekton di Pulau Sembilan Kecamatan
Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara.”
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen Penanggung jawab
Laboratorium Ekologi Perairan Bapak Dr. Ir. Yunasfi M. Si., beserta seluruh
asisten Laboratorium karena telah membimbing dan memberi materi kepada
seluruh praktikan.
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan penulis berharap makalah ini
dapat berguna bagi pembaca guna menambah wawasan dan menambah ilmu
pengetahuan.
Medan, Desember 2014
Penyusun
20
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................... ii
DAFTAR TABEL...................................................................................... iii
PENDAHULUANLatar Belakang................................................................................. 1Tujuan Praktikum............................................................................. 2Manfaat Praktikum........................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKAPulau Sembilan................................................................................. 3Pulau Pulau Kecil............................................................................. 4Ekosistem Mangrove........................................................................ 4Benthos............................................................................................. 7Rantai Makanan................................................................................ 8Parameter Fisika............................................................................... 8Parameter Kimia............................................................................... 13
METODOLOGI Waktu dan Tempat............................................................................. 16
Deskripsi Area................................................................................... 16Alat dan Bahan.................................................................................. 17Prosedur Kerja................................................................................... 17
HASIL DAN PEMBAHASANHasil .................................................................................................. 18Pembahasan....................................................................................... 20
KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan....................................................................................... 23Saran................................................................................................. 23
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
21
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Benthos yang Ditemukan................................................. 18
Tabel 2. Hasil Analisis Perhitungan Benthos................................. 19
Table 3. Nekton yang Ditemukan................................................... 19
Table 4. Jenis Flora yang Ditemukan............................................. 19
Table 5. Parameter Yang Diukur ................................................... 20
22
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan mangrove berada dalam zona pasang surut daerah tropis dan
subtropis, membentuk ekosistem penting bagi ikan dan melindungi dari erosi
pantai (Tomlinson, 1986; Alongi, 2002; Basyuni et al., 2007). Posisinya yang
berada di sepanjang permukaan daratan-laut, mangrove sangat rentan terhadap
perubahan permukaan laut dan sedimen sungai. Mangrove merupakan salah satu
ekosistem yang paling produktif di bumi, dan jatuhnya serasah mangrove
merupakan sumber karbon organik yang paling penting pada siklus biogeokimia
dalam ekosistem mangrove dan indikator yang penting dalam produktivitas
mangrove. Oleh karena itu produktivitas yang tinggi, tingkat perputaran bahan
organik dan pertukaran ekosistem darat dan laut, mangrove merupakan bagian
yang penting dalam siklus daur ulang biogeokimia karbon dan elemen yang
terkait di sepanjang pesisir wilayah tropis (Prayunita dkk., 2012).
Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, didominasi
oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada
daerah pasang-surut, pantai berlumpur. Ekosistem ini mempunyai sifat yang unik
dan khas, dengan fungsi dan manfaat yang beraneka ragam bagi manusia serta
mahluk hidup lainnya. Dalam rangka melestarikan fungsi biologis dan ekologis
ekosistem hutan mangrove, maka diperlukan suatu pendekatan yang rasional di
dalam pemanfaatannya, dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan.
Pelibatan masyarakat dalam pengeloaan hutan mangrove merupakan salah satu
langkah awal dalam mewujudkan pelestarian hutan mangrove yang berkelanjutan
(Dimas dan Asbar, 2010).
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove
terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indo-nesia
dan hidup serta tumbuh berkembang pada lokasi-lokasi yang mempunyai hu-
bungan pengaruh pasang air (pasang surut) yang merembes pada aliran sungai
yang terdapat di sepanjang pesisir pantai. Hutan mangrove merupa-kan suatu
ekosistem yang mempunyai peranan penting ditinjau dari sisi ekologis maupun
23
aspek sosial ekonomi. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang ditumbuhi dengan
pohon bakau (mangrove) yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara
sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove mempunyai
fungsi ganda dan merupakan mata rantai yang sangat penting dalam memelihara
keseimbangan siklus biologi di suatu perairan (Patang, 2012).
Salah satu kemampuan mencolok spesies mangrove adalah tumbuh dalam
berbagai tingkat salinitas mulai dari air tawar sampai ke tingkat di atas air laut.
Beberapa studi sebelumnya menunjukkan bahwa cekaman garam menginduksi
perubahan konsentrasi triterpenoid di mangrove jenis non-sekresi. Tambahan lagi,
senyawa-senyawa tersebut berfungsi sebagai chemical defense bagi dirinya.
Setiap jenis tumbuhan mangrove memiliki kemampuan adaptasi yang berbeda-
beda terhadap kondisi lingkungan seperti kondisi tanah, salinitas, temperatur,
curah hujan dan pasang surut. Hal ini menyebabkan terjadinya struktur dan
komposisi tumbuhan mangrove dengan batas-batas yang khas, mulai dari zona
yang dekat dengan daratan sampai dengan zona yang dekat dengan lautan.
Salinitas merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan perkembangan
hutan mangrove (Prayunita dkk., 2012).
Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui tentang jenis biota yang terdapat di ekositem mangrove Pulau
Sembilan.
2. Mengetahui biota dominan yang terdapat di ekosistem mangrove.
3. Mengetahui faktor yang memepengaruhi kehidupan biota di ekosistem
mangrove
4. Mengetahui rantai makanan di kawasan mangrove Pulau Sembilan.
Manfaat Praktikum
Laporan ini diharapkan dapat memberikan manfaat menambah
pengetahuan tentang ekosistem mangrove di pulau sembilan dapat menjadikan
laporan ini sebagai sumber informasi bagi mahasiswa maupun masyarakat yang
membaca.
24
TINJAUAN PUSTAKA
Pulau Sembilan
Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten
Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km2 atau ± 9,67% dari total
luas wilayah kecamatan Pangkalan Susu (151,35 km2). Jumlah total penduduk di
Pulau Sembilan ini ± 2.047 dengan bermata pencarian antara lain sebagai pertani
sebanyak 413 KK, pengrajin 9 KK, pegawai negeri 19 KK, pedagang 29 KK,
supir angkutan 11 KK dan buruh 161 KK. Luas berdasarkan penggunaan lahan
antara lain sawah seluas 1,90 km2, tanah kering seluas 9,29 km2 dan lainnya
seluas 4,46 km2 . Selain itu masih tersisa hutan mangrove yang termasuk dalam
hutan sekunder. Hutan yang masih tersisa tersebut tidak termasuk dalam kawasan
hutan negara, melainkan lahan milik masyarakat. Namun, sebagian masyarakat
memelihara tegakan mangrove khususnya yang terletak pada areal kawasan
lindung seperti kanan kiri sungai dan tepi pantai (Capah,2003).
Di Pulau Sembilan tersebar pantai-pantai yang sangat potensial untuk
dikembangkan menjadi obyek Ekowisata. Namun masyarakat masih tertumpu
pada pengembangan budidaya ikan kerambah dan mutiara serta pengolahan kulit
kerang. Di Pulau Sembilan ini juga dapat dijumpai ekosistem lahan kering yang
dimanfaatkan masyarakat untuk aktifitas pertanian tadah hujan maupun pengairan.
Kondisi air tanah masih cukup baik dimana tidak ditemukan adanya air sumur
yang asin atau terkena intrusi air laut (Alam dkk., 2011).
Pulau Sembilan sebagai perairan yang cukup luas saat ini mengalami
peningkatan berbagai aktifitas manusia yang ada disekitarnya berfungsi sebagai
sumber air minum, perikanan, pertanian dan kepariwisataan. Di perairan sekitar
pulau ini ternyata masih tersimpan kekayaaan alam berupa sumber daya ikan.
Sejauh ini masih sedikit sekali informasi tentang keanekaragaman ikan di
kawasan Pulau Sembilan Kabupaten Langkat, maka perlu dilakukan penelitian
yang bertujuan untuk mengetahui jenis dan keanekaragaman ikan serta pengaruh
faktor fisik kimia terhadap keanekaragaman ikan di Pulau sembilan Kecamatan
Pangkalan Susu Kabupaten Langkat Sumatera Utara (Capah,2003).
25
Pulau Pulau Kecil
Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa
lingkungan yang tinggi dan dapat dijadikan sebagai modal dasar pelaksanaan
pembangunan Indonesia di masa yang akan datang. Kawasan ini menyediakan
sumberdaya alam yang produktif seperti terumbu karang, padang lamun
(seagrass), hutan mangrove, perikanan dan kawasan konservasi. Pulau-pulau kecil
juga memberikan jasa lingkungan yang besar karena keindahan alam yang
dimilikinya yang dapat menggerakkan industri pariwisata bahari. Dilain pihak,
pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil masih belum optimal akibat perhatian dan
kebijakan Pemerintah selama ini yang lebih berorientasi ke darat. Pengembangan
kawasan pulau-pulau kecil merupakan suatu proses yang akan membawa suatu
perubahan pada ekosistemnya (Alam dkk., 2011).
Undang-undang 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil telah memberikan batasan yang jelas dan tegas mengenai
berbagai definisi ruang lingkup pengelolaan WPPK, berbagaimacam sumber daya
pesisir definisi pencemaran. Namun beberapa pengertian mengenai batasan pantai
dan pesisir, jenis ekosistem pembentuk pesisir sampai dengan definisi perusakan
dapat ditemui didalam beberapa undang-undang lainya sesuai dengan amanat
Pasal 78 UUPWPPPK yang membenarkan berlakunya Undang-undang lain
selama tidak bertentangan dengan UUPWPPPK dan bila didalam undang-undang
tidak ditemui barulah pendapat ahli digunakan dalam memberikan batasan
pengertian (Capah, 2003).
Ekosistem mangrove
Ekosistem mangrove merupakan tipe ekosistem yang berada di antara
pesisir dan lautan yang ditumbuhi oleh vegetasi yang khas, dan terdapat di
sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang-surut air laut.
Berdasarkan fungsinya ekosistem mangrove berperan sebagai daerah asuhan
(nursery grounds), tempat mencari makanan (feeding grounds), tempat pemijahan
(spawning grounds) serta pemasok larva berbagai jenis udang, ikan, dan biota laut
lainnya. Selain itu, ekosistem mangrove juga memiliki peran penting lain berupa
peredam gelombang, perangkap sedimen, dan intrusi air laut (Haryani, 2013).
26
Meskipun Negara Indonesia memiliki hutan mangrove terluas, akan tetapi
laju deforestrasi hutan mangrove terjadi pula yg merupakan permasalahan
rusaknya hutan mangrove. Menurut data akibat deforestasi hutan mangrove
menyebabkan hutan mangrove dalam kondisi rusak berat mencapai luas 42%,
kondisi rusak mencapai luas 29%, kondisi baik mencapai luas < 23% dan
kondisinya sangat baik hanya seluas 6%. Saat ini keberadaan hutan mangrove
semakin terdesak oleh kebutuhan manusia, sehingga hutan mangrove sering
dibabat habis bahkan sampai punah. Jika hal ini terus menerus dilakukan maka
akan mengakibatkan terjadinya abrasi, hilangnya satwa atau biota laut yang
habitatnya sangat memerlukan dukungan dari hutan mangrove (Haryani, 2013).
Pemanfaatan ekosistem mangrove dapat dikategorikan menjadi
pemanfaatan ekosistem secara keseluruhan (nilai ekologi) dan pemanfaatan
produk-produk yang dihasilkan ekosistem tersebut (nilai sosial ekonomi dan
budaya). Secara tradisional, masyarakat setempat menggunakan mangrove untuk
memenuhi berbagai keperluan secara lestari, tetapi meningkatnya jumlah
penduduk dapat menyebabkan terjadinya tekanan yang tidak terbaharukan pada
sumber daya ini. Referensi tertua mengenai pemanfaatan tumbuhan mangrove
berasal dari tahun 1230 di Arab, yakni penggunaan bibit (seedling) Rhizophora
sebagai sumber pangan, getah untuk mengobati sakit mulut, batang tua untuk
kayu bakar, tanin dan pewarna, serta menghasilkan minuman yang memiliki efek
afrodisiak bagi lelaki dan pengasihan bagi perempuan (Dwi dan Kusumo, 2006).
Mangrove merupakan salah satu ekosistem penting pesisir dan laut selain
terumbu karang dan padang lamun. Mangrove memiliki beberapa manfaat seperti
manfaat ekologi dan ekonomi. Manfaat ekologi mangrove diantaranya adalah
sebagai pelindung alami pantai dari abrasi, mempercepat sedimentasi,
mengendalikan intrusi air laut, dan melindungi daerah di belakang mangrove dari
gelombang tinggi dan angin kencang, tempat memijah, mencari makan, dan
berlindung bagi ikan, udang, kepiting dan biota laut lainnya. Sedangkan manfaat
ekonomi mangrove yaitu sebagai bahan makanan, minuman, obat-obatan,
pewarna alami, dan sebagai obyek ekowisata (Welly dan Wira, 2011)
Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove
di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Sebaran
27
mangrove di Indonesia terutama berada di wilayah pesisir Sumatera, Kalimantan
dan Papua. Luas penyebaran mangrove Indonesia terus mengalami penurunan dari
4,25 juta hektar pada tahun 1982 menjadi sekitar 3,24 juta hektar pada tahun
1987, dan tersisa seluas 2,50 juta hektar pada tahun 1993. Kecenderungan
penurunan tersebut mengindikasikan bahwa terjadi degradasi hutan mangrove
yang cukup nyata, yaitu sekitar 200 ribu hektar per tahun akibat kegiatan konversi
lahan menjadi lahan tambak, penebangan liar dan sebagainya (Dwi dkk., 2004).
Mangrove merupakan salah satu ekosistem langka dan khas di dunia,
karena luasnya hanya 2% permukaan bumi. Indonesia merupakan kawasan
ekosistem mangrove terluas di dunia. Ekosistem ini memiliki peranan ekologi,
sosial-ekonomi, dan sosia-budaya yang sangat penting. Fungsi ekologi hutan
mangrove meliputi tempat sekuestrasi karbon, remediasi bahan pencemar,
menjaga stabilitas pantai dari abrasi, intrusi air laut, dan gelombang badai,
menjaga kealamian habitat, menjadi tempat bersarang, pemijahan dan pembesaran
berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung dan fauna lain, serta pembentuk
daratan. Fungsi sosial-ekonomi hutan mangrove meliputi kayu bangunan, kayu
bakar, kayu lapis, bubur kertas, tiang telepon, tiang pancang, bagan penangkap
ikan, dermaga, bantalan kereta api, kayu untuk mebel dan kerajinan tangan, atap
huma, tannin, bahan obat, gula, alkohol, asam asetat, protein hewani, madu,
karbohidrat, dan bahan pewarna, serta memiliki fungsi
sosial-budaya sebagai areal konservasi, pendidikan, ekoturisme dan identitas
budaya (Dwi dan Kusumo, 2006).
Tumbuhan mangrove di Indonesia terdiri dari 47 spesies pohon, 5 spesies
semak, 9 spesies herba dan rumput, 29 spesies epifit, 2 spesies parasit, serta
beberapa spesies algae dan bryophyta (MoE, 1997). Formasi hutan mangrove
terdiri dari empat genus utama, yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, dan
Bruguiera, terdapat pula Aegiceras, Lumnitzera, Acanthus illicifolius, Acrosticum
aureum, dan Pluchea indica (Backer dan Bakhuizen van den Brink, 1965). Pada
perbatasan hutan mangrove dengan rawa air tawar tumbuh Nypa fruticans dan
beberapa jenis Cyperaceae. Hutan mangrove alami membentuk zonasi tertentu.
Bagian paling luar didominasi Avicennia, Sonneratia, dan Rhizophora, bagian
tengah didominasi Bruguiera gymnorrhiza, bagian ketiga didominasi Xylocarpus
28
dan Heritieria, bagian dalam didominasi Bruguiera cylindrica, Scyphiphora
hydrophyllacea, dan Lumnitzera, sedangkan bagian transisi didominasi Cerbera
manghas (Dwi dkk., 2004).
Di Indonesia, hutan mangrove tumbuh dan tersebar diseluruh Nusantara,
mulai dari Pulau Sumatera sampai dengan Pulau Irian. Luas hutan mangrove
diperkirakan sekitar 4,25 juta hektar, Luas hutan mangrove pada tahun 1993
diperkirakan sekitar 2,49 juta hektar. Dari seluruh hutan mangrove yang ada di
Indonesia tersebut, ditemukan sekitar 202 jenis tumbuhan yang hidup pada hutan
mangrove, yakni meliputi 89 jenis pohon, 5 jenis palm, 19 jenis pemanjat, 44 jenis
terna, 44 jenis epifit, 1 jenis paku-pakuan. Dari sejumlah jenis tersebut, sebanyak
43 merupakan jenis tumbuhan mangrove sejati, sementara jenis lainnya
merupakan jenis tumbuhan yang biasanya berasosiasi dengan hutan mangrove
jenis. Dari 43 jenis mangrove tersebut, 33 jenis termasuk klasifikasi pohon dan
sisanya adalah termasuk jenis perdu. Jenis tumbuhan mangrove di Indonesia
tercatat sebanyak 75 jenis (Pramudji, 2001).
Sebagai negara kepulauan, Indonesia terdiri atas lebih dari 17.508 buah
pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai sekitar 81.000. Sebagian daerah
tersebut ditumbuhi hutan mangrove dengan lebar beberapa meter sampai beberapa
kilometer. Dipandang dari segi luas areal, hutan mengrove di Indonesia adalah
yang terluas di dunia. Di Indonesia, mangrove tersebar hampir di seluruh pulau-
pulau besar mulai dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi sampai ke Papua,
dengan luas sangat bervariasi bergantung pada kondisi fisik, komposisi substrat,
kondisi hidrologi, dan iklim yang terdapat di pulau-pulau tersebut FAO
(Infah, 2011).
Benthos
Bentos adalah organisme yang mendiami dasar perairan dan tinggal di
dalam atau melekat pada sedimen dasar perairan. Berdasarkan sifat hidupnya,
bentos dibedakan menjadi fitobentos yaitu bentos yang bersifat tumbuhan dan
zoobentos yaitu bentos yang bersifat hewan. Berdasarkan cara hidupnya bentos
dibedakan atas dua kelompok, yaitu infauna (bentos yang hidupnya terbenam di
dalam substrat dasar perairan) dan epifauna (bentos yang hidupnya di atas substrat
29
dasar perairan). Berdasarkan ukuran tubuhnya bentos dapat dibagi atas
makrobentos yaitu kelompok bentos yang berukuran > 2 mm, meiobentos yaitu
kelompok bentos yang berukuran 0,2 – 2 mm, dan mikrobentos yaitu kelompok
bentos yang berukuran < 0,2 mm (Lestari, 2009).
Rantai Makanan
Semua organisme hidup akan selalu membutuhkan organisme lain dan
lingkungan hidupnya. Hubungan yang terjadi antara individu
denganlingkungannya sangat kompleks, bersifat saling mempengaruhi atau
timbalbalik. Hubungan timbal balik antara unsur-unsur hayati dengan nonhayat
imembentuk sistem ekologi didalam ekosistem. Didalam ekosistem terjadi rantai
makanan/ aliran energy dan siklus biogeokimia. Rantai makanan dapat
dikategorikan sebagai interaksi antar organisme dalam bentuk predasi
(Pramudji, 2001).
Adanya sistem akar yang padat, menyebabkan sedimen, yang mengandung
unsur hara, terperangkap. Selain itu model perakaran ini jugamenyebabkan
gerakan air yang minimal pada ekosistem ini. Sehingga hewanpengurai
(detritivor) memiliki aktivitas tinggi dengan jumlah yang banyak padae kosistem
ini. Lumpur mangrove mengandung lebih dari 10 juta bakteri, lebih kaya dari
lumpur manapun. Bakteri yang dimaksud disini adalah bakteri patogen seperti
Shigella, Aeromonas dan Vibrio dimana bakteri ini dapat bertahan pada air
mangrove walaupun tercemar bahan kimia berbahaya (Saputra, 2009).
Parameter Fisika
a. Suhu
Suhu perairan mempunyai kaitan yang cukup erat dengan besarnya
intensitas cahaya yang masuk ke dalam suatu perairan. Semakin besar intensitas
cahaya matahari yang masuk ke dalam suatu perairan, maka semakin tinggi pula
suhu air. Semakin bertambahnya kedalaman akan menurunkan suhu perairan.
Terjadinya kenaikan suhu juga sangat berpengaruh terhadap komposisi nitrogen
yang ada dalam suatu perairan. Semakin tinggi suhu maka semakin tinggi pula
kandungan amonia karena tingginya suhu suatu perairan dapat menyebabkan
30
menurunnya kandungan oksigen terlarut sehingga proses amonifikasi yang terjadi
adalah pada kondisi kurang oksigen dan dengan kondisi kurang oksigen tersebut
maka kandungan nitrat mengalami penurunan konsentrasi. Air sering digunakan
sebagai medium pendingin dalam berbagai proses industri. Air pendingin setelah
digunakan akan mendapatkan panas dari bahan yang didinginkan, kemudian
dikembalikan ke tempat asalnya yaitu sungai atau sumber air lainnya. Peningkatan
suhu diikuti dengan menurunnya kadar oksigen terlarut dalam perairan
(Saputra, 2009).
b. Intensitas Cahaya
Penetrasi cahaya matahari ke dalam perairan akan mempengaruhi
produktifitas primer. Kedalaman penetrasi cahaya matahari kedalam perairan
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: tingkat kekeruhan perairan, sudut
datang cahaya matahari dan intensitas cahaya matahari. Pada batas akhir cahaya
matahari mampu menembus perairan disebut sebagai titik kompensasi cahaya,
yaitu 13 titik pada lapisan air dimana cahaya matahari mencapai nilai minimum
yang menyebabkan proses asimilasi dan respirasi berada dalam keseimbangan
Bagi organisme perairan, intensitas cahaya matahari yang masuk berfungsi
sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme pada
habitatnya. Beberapa jenis larva serangga akan melakukan gerakan lokomotif
sebagai bentuk reaksi terhadap menurunnya intensitas cahaya matahari. Larva ini
akan keluar dari persembunyiannya yang terdapat pada bagian bawah bebatuan di
dasar perairan menuju ke bagian atas bebatuan untuk mencari makan
(Saputra, 2009).
c. Kecepatan Arus
Arus merupakan gerakan masa air yang dapat disebabkan oleh angin,
perbedaan densitas air laut, gelombang dan pasang surut. Arus dapat
menyebabkan terjadinya perbedaan suhu, kadar garam dan lamanya pasang. Arus
pantai, baik yang dibangkitkan oleh gelombang maupun pasang surut di perairan
dangkal akan berinteraksi dengan dasar perairan. Interaksi tersebut berupa
gesekan antara badan air yang bergerak dengan dasar perairan. Gesekan tersebut
membangkitkan sejumlah energi yang disebut sebagai kapasitas angkut yang
besarnya sebanding dengan kecepatan arus. Jika kapasitas angkut tersebut cukup
31
besar maka sedimen di dasar perairan akan terangkat dan terpindahkan. Peristiwa
pengangkatan sedimen dari pantai disebut sebagai abrasi dan pengangkutannya
disebut sebagai transport. Sebaliknya jika kecepatan arus menurun, maka
kapasitas angkutnya pun menurun, sehingga sedimen yang sedang terangkut akan
dijatuhkan ke dasar perairan. Peristiwa ini disebut sebagai deposisi. Abrasi yang
terjadi terus menerus akan mengakibatkan kehilangan badan pantai. Sebaliknya,
deposisi yang terjadi terus menerus akan mengakibatkan penumpukan sedimen
yang biasanya disebut sedimentasi (Suryawan, 2007).
d. Kecerahan dan Kekeruhan
Kecerahan perairan bergantung pada zat-zat tersuspensi didalamnya baik
organik maupun anorganik. Kecerahan atau transparansi perairan ditentukan
secara visual dengan menggunakan cakram yang disebut secchi disk berdiameter
30 cm yang pertama kali dikembangkan oleh Profesor Secchi sekitar abad 19.
Pada penggunaan secchi disk, kekeruhan perairan dikuantitatifkan dalam suatu
nilai yang dikenal dengan kedalaman secchi disk. Nilai kecerahan yang
dinyatakan dengan satuan meter ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu
pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi serta ketelitian orang yang
melakukan pengukuran. Kecerahan perairan adalah suatu kondisi yang
menunjukkan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman
tertentu. Pada perairan alami kecerahan sangatlah penting karena erat
hubungannya dengan fotosintesis. Kecerahan yang tinggi merupakan syarat untuk
berlangsungnya fotosintesis fitoplankton yang baik. Faktor yang dapat
mempengaruhi kecerahan air adalah kandungan lumpur, kandungan plankton dan
zat-zat terlarut lainnya (Lestari, 2009).
e. Warna
Warna pada air dapat disebabkan oleh materi tersuspensi dan materi
organik terlarut. Warna yang disebabkan oleh materi tersuspensi adalah warna
semu (apparent color) dan warna yang disebabkan oleh material organik dalam
bentuk koloid disebut warna sejati (true color). Warna air baku adalah 444 Pt-Co
dan pada air minum menjadi 5 Pt-Co serta terjadi kenaikan warna air minum pada
jaringan distribusi mencapai 21 Pt-Co. Penurunan warna yang besar terjadi pada
unit danau, koagulasi-flokulasi dan sedimentasi dan pada unit trident (filtrasi).
32
Pada kolam penampungan sementara (danau) terjadi proses pengendapan partikel
diskrit dan penguraian materi organik secara biologi yang merupakan partikel
penyebab warna. Proses koagulasiflokulasi dan sedimentasi dapat menurunkan
konsentrasi warna cukup besar, karena pada proses ini partikel tersuspensi
penyebab warna dapat disisihkan dengan pengendapan secara gravitasi. Pada
proses filtrasi di unit trident partikel yang lebih kecil penyebab warna disaring
sehingga konsentrasi warna menjadi berkurang dan berada dibawah batas
maksimum baku mutu warna untuk air minum. Pada titik distribusi terjadi
kenaikan konsentrasi warna, akan tetapi dalam konsentrasi yang masih memenuhi
baku mutu yaitu 25 Pt-Co (Aulia, 2005).
f. Kedalaman
Kedalaman perairan berperan penting terhadap kehidupan biota pada
ekosistem tersebut. Semakin dalam perairan maka terdapat zona-zona yang
masing-masing memiliki kekhasan tertentu, seperti suhu, kelarutan gas-gas dalam
air, kecepatan arus, penetrasi cahaya matahari dan tekanan hidrostatik. Zona
perairan mengalir (sungai), secara horizontal terdiri dari zona mata air (krenal),
zona (rithral), dan zona (potamal). Zona krenal dibagi menjadi 3 bagian yaitu
reokrenal, yaitu mata air yang berbentuk air terjun, limnokrenal yaitu mata air
yang berbentuk genangan air yang selanjutnya membentuk aliran kecil, helokrenal
yaitu mata air yang berbentuk rawa-rawa. Selanjutnya aliran air dari mata air
tersebut membentuk aliran air (sungai) di daerah pegunungan yang disebut zona
ritral. Zona ini terdiri dari 3 bagian yaitu epiretral (bagian paling hulu),
metarithral (bagian tengah zona rithral), dan hyporithral (bagian akhir zona
rithral). Setelah melewati zona hyporithral aliran air akan memasuki zona
potamal yaitu zona dimana aliran sungai berada pada topografi yang relatif landai.
Zona ini terdiri dari epipotamal, metapotamal, dan hypopotamal (Lestari, 2009).
Parameter Kimia Air a. pH
Nilai pH suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa
dalam air dan merupakan ukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan. Adanya
karbonat, hidroksida dan bikarbonat meningkatkan kebasaan air, sementara
adanya asam-asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan kemasaman. pH
33
air dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan perairan dan
mempengaruhi tersedianya hara-hara serta toksitas dari unsur-unsur renik. pH
perairan tawar berkisar dari 5,0 – 9,0. Nilai pH menunjukkan tinggi rendahnya
konsentrasi ion hidrogen dalam air. Kemampuan air untuk mengikat atau
melepaskan sejumlah ion hidrogen akan menunjukkan apakah perairan tersebut
bersifat asam atau basa. Selanjutnya beliau menambahkan bahwa nilai pH
perairan dapat berfluktuasi karena dipengaruhi oleh aktivitas fotosintesis, respirasi
organisme akuatik, suhu dan keberadaan ion-ion di perairan tersebut
(Aulia , 2005).
b. Fosfat
Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan
(Dugan, 1972). Menurut Moriber dalam Anggraeni (2002), senyawa fosfat dalam
perairan dapat berasal dari sumber alami seperti erosi tanah, buangan dari hewan
dan lapukan tumbuhan. Dalam perairan senyawa fosfat berada dalam bentuk
anorganik (ortofosfat, metafosfat dan polifosfat) dan organik (dalam tubuh
organisme melayang, asam nukleat, fosfolipid, gula fosfat, dan senyawa organik
lainnya). Menurut Effendi (2003), semua polifosfat mengalami hidrolisis
membentuk ortofosfat. Perubahan ini bergantung pada suhu. Pada suhu yang 11
mendekati titik didih, perubahan polifosfat menjadi ortofosfat berlangsung cepat.
Kecepatan ini meningkat dengan menurunnya nilai pH. Secara umum kandungan
fosfat meningkat terhadap kedalaman. Kandungan fosfat yang rendah dijumpai di
permukaan dan kandungan fosfat yang lebih tinggi dijumpai pada perairan yang
lebih dalam (Hutagalung dan Rozak, 1977). Senyawa ortofosfat merupakan
faktor pembatas bila kadarnya di bawah 0,009 mg/l, sementara pada kadar lebih
dari satu mg/l PO4-P dapt menimbulkan blooming (Trofisa, 2011).
c. Total Suspended Solid (TSS)
TSS adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 µm) yang tertahan pada
saringan miliopore dengan diameter pori 0.45 µm. TSS terdiri dari lumpur dan
pasir halus serta jasad-jasad renik. Penyebab TSS di perairan yang utama adalah
kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air. Konsentrasi TSS apabila
terlalu tinggi akan menghambat penetrasi cahaya ke dalam air dan mengakibatkan
terganggunya proses fotosintesis. Penyebaran TSS di perairan pantai dan estuari
34
dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik antara lain angin, curah hujan, gelombang,
arus, dan pasang surut (Effendi, 2000). Sastrawijaya (2000) menyatakan bahwa
konsentrasi TSS dalam perairan umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton,
limbah manusia, limbah hewan, lumpur, sisa tanaman dan hewan, serta limbah
industri. Bahan-bahan yang tersuspensi di perairan alami tidak bersifat toksik,
akan tetapi jika jumlahnya berlebihan dapat meningkatkan nilai kekeruhan yang
selanjutnya menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom air (Lestari, 2009).
d. Kandungan Bahan Organik Substrat
Kandungan bahan organik menggambarkan tipe substrat dan kandungan
bahan nutrisi di dalam perairan. Tipe substrat berbeda-beda, seperti pasir, lumpur
dan tanah liat. Umumnya semua tipe substrat yang ada tersebut sesuai bagi
kehidupan semua spesies udang (Boyd, 1989 dalam Fast & Lester, 1992).
Konsentrasi bahan organik yang tinggi akan membutuhkan oksigen dalam jumlah
besar. Melalui prosedur secara kimia dapat dilihat bahan-bahan organik yang
terkandung di dalam substrat Substrat pada masing-masing lokasi pengamatan
diambil 500 g dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Substrat ditimbang 100
g, dioven pada suhu 45°C sampai terjadi berat konstan. Substrat yang telah kering
digerus supaya substrat benar kering, ditimbang 25 g dan diabukan dalam tanur
dengan suhu 700°C selama ,5 jam. Kemudian dihitung kandungan organiknya.
(Sembiring, 2008).
e. Karbondioksida Bebas
Karbon dioksida sangat mudah larut dalam air, namun hanya sedikit yang
berada dalam larutan biasa karena jumlahnya dalam udara atmosfer sangat sedikit.
Selain itu dekomposisi bahan organik dan pernafasan tumbuhan dan hewan
memberi sumbangan pada karbondioksida yang sudah ada. Pergerakan air melalui
vegetasi dan tanah mengambil karbondioksida yang lepas dari udara-tanah.
Karbondioksida bergabung secara kimiawi dengan air membentuk asam karbonat
yang mempengaruhi pH air. Asam karbobat sebagian menghasilkan ion-ion
hidrogen dan bikarbonat. Ion bikarbonat terurai lebih lanjut membentuk lebih
banyak ion hidrogen serta ion karbonat. Lazimnya terdapat sekitar 0,5 ml/l
karbondioksida dalam air dalam bentuk larutan biasa, yang disebut seabagai
karbon dioksida bebas. Sejumlah besar karbondioksida berada dalam bentuk
35
bikarbonat dan karbonat yang dikenal sebagai karbondioksida gabungan, tetap
atau terikat. Air dengan pH rendah, gabungan karbondioksida diubah menjadi
bentuk bebas (Sembiring, 2008).
f. Nitrogen Amoniak (N-NH3)
Sumber makanan manusia dan hewan pada umumnya dapat
dikelompokkan kedalam tiga jenis tipe zat nutrisi, yaitu: karbohidrat, lemak dan
protein. Dengan demikian kandungan limbah domestik pada umumnya juga terdiri
dari ketiga jenis zat nutrisi tersebut. Produk penguraian karbohidrat dianggap
tidak menimbulkan masalah yang serius bagi ekosistem perairan, karena berbagi
jenis bakteri dan jamur dapat mengkonsumsinya. Hal yang dapat menimbulkan
masalah adalah produk dari penguraian zat nutrisi, lemak dan terutama protein
yang berupa ammonium (NH4) atau amoniak (NH3) (Sembiring, 2008).
g. DO (Disolved Oxygen)
DO atau oksigen terlarut merupakan jumlah gas O2 yang diikat oleh
molekul air. Kelarutan O2 di dalam air terutama sangat dipengaruhi oleh suhu
dan mineral terlarut dalam air. Kelarutan maksimum oksigen dalam air terdapat
pada suhu 0 C°, yaitu sebesar 14,16 mg/l. Konsentrasi ini akan menurun seiring
peningkatan ataupun penurunan suhu. Sumber utama DO dalam perairan adalah
dari proses fotosintesis tumbuhan dan penyerapan/pengikatan secara langsung
oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air dengan udara. Sedangkan
berkurangnya DO dalam perairan adalah kegiatan respirasi organisme perairan
atau melalui pelepasan secara langsung dari permukaan perairan ke atmosfer.
Pengaruh DO terhadap biota perairan hanya sebatas pada kebutuhan untuk
respirasi, berbeda dengan pengaruh suhu yang cenderung lebih komplek.
Beberapa organisme perairan bahkan memiliki mekanisme yang memungkinkan
dapat hidup 15 pada kondisi oksigen terlarut yang sangat rendah. Organisme ini
mempunyai sistem trachea terbuka seperti yang dimiliki oleh insekta terrestrial.
Organisme ini dapat mengambil oksigen untuk respirasi dengan mengambil dari
udara di permukaan air (Aulia, 2005)
36
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Praktikum ini dilakukan pada hari Minggu tanggal 30 November 2014
pukul 08.00-11.00 WIB di Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu
Kabupaten Langkat Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Utara , Medan.
Deskripsi Area
Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang berada di gugusan
pulau-pulau di Kabupaten Langkat yang terdiri dari 580 warga. Lokasi praktikum
terletak di Dusun II Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten
Langkat Provinsi Sumatera Utara. Jarak Pulau Sembilan dengan ibu kota
Kecamatan Pangkalan Susu sejauh ± 6 km. Secara geografis terletak pada 04º 09’
05,18” LU dan 98º 15’ 46,79” BT .
Di Pulau Sembilan terdapat juga fauna dan flora mangrove yang kami
jumpai dan bersubsrat berlumpur. Batas Wilayah pada pulau Sembilan antara
lain : Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Makassar, Sebelah
Selatan berbatasan dengan Laut Jawa, Sebelah Utara berbatasan dengan Selat
Laut, dan Sebelah Barat berbatasan dengan Laut.
Gambar 1. Lokasi Pulau Sembilan
37
Alat dan Bahan
Alat
Adapun alat dan bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah sebagai
berikut. Tali transek sepanjang 100 m dan tali untuk plot-plot analisis vegetasi
mangrove. Plastik untuk tempat biota yang didapat, label untuk penanda dari
biota, stoples kecil untuk tenpat biota yang sudah diberi alcohol, kertas millimeter
block untuk mengukur panjang biota yang didapat, botol filim untuk tempat air
salinitas, lakban untuk menutup botol filim agar tidak terkena sinar matahari,
tanggok untuk menangkap biota seperti nekton dan biota-biota lain, camera digital
untuk mengambil gambar biota, kompas untuk menentukan arah, kardus tempat
semua alat alat.
Bahan
Bahan yang digunakan untuk praktikum ini adalah alkohol 70%, aquades
dan tisu.
Prosedur Praktikum
1. Tetapkan plot pada lokasi yang telah ditetapkan ( plot 1-10).
2. Disiapkan alat alat yang digunakan seperti tanggok, kompas, parang, plastik,
dan alat alat yang dianggap penting dalam pengambilan biota.
3. Diambil biota biota yang terdapat disekitar masing masing plot dengan
mengunakan alat alat.
4. Kemudian masukkan ke dalam plastik dan berikan label pada masing- masing
plastik pada plot yang telah ditemukan.
5. Kemudian bawa ke tempat yang aman dan masukkan ke dalam stoples kecil
maupun besar dan jangan lupa berikan label pada stoples.
6. Kemudian masukkan alkohol 70 agar tidak membusuk/ awet.
7. Kemudian bawa ke laboratorium untuk diidentifikasi , seperti jenis bethos,
panjang benthos dan hal yang penting yang bersangkutan dengan biota
tersebut.
38
Analisis Data
Kerapatan
Kerapatan Relatif
Frekuensi
39
Frekuensi Relatif
%
Indeks Keanekaragaman
]
40
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
A. Biota yang Ditemukan
Plot Biota / Fauna Jumlah
1Abovdnia ratifer 2
Telescopium telescopium 1
2 Penaeus indicus 2
3Telescopium telescopium 3
Scylla serrata 1
4 Scylla serrata 1
5 Penaeus indicus 1
6 Trimeresurus albolabris 1
7 Telescopium telescopium 2
8 Tryonia simpson 2
9 Scylla serrata 1
10
Abovdnia ratifer 1
Periophthalmus sp. 1
Scylla serrata 2
Tabel 1. Biota yang Ditemukan Tiap Plot
B. Benthos
1. Kingdom : Animalia Filum : MolluscaKelas : Gastropoda
2. Kingdom : AnimaliaFilum : CrustaceaKelas : MalacostracaOrdo : DecopodaFamili : PenaeidaeGenus : PenaeusSpesies : P. indicus
41
Ordo : SorbeoconchaFamili : PotamididaeGenus : TelescopiumSpesies : Telescopium telescopium
3. Kingdom : AnimaliaFilum : CrustaceaKelas : MalacostracaOrdo : DecapodaFamili : PortunidaeGenus : Scylla Spesies : Scylla serrata
5. Kingdom : Animalia
Filum : ChordataKelas : ReptiliaOrdo : SquamataFamili : ViberidaeGenus : TrimeresurusSpesies : T. albolabris
6. Kingdom : AnimaliaFilum : MolluscaKelas : GastropodaOrdo : HypsogastropodaFamili : HydrobiidaeGenus : TryoniaSpesies :Tryonia stimpson
NO Nama Biota K KR F FR
1 Abovdnia ratifer 0,083 1,24 0,2 15,38
2 Telescopium telescopium 0,292 8,29 0,3 23,07
3 Penaeus indicus 0,167 29,17 0,2 15,38
4 Tryonia simpson 0,125 16,68 0,2 15,38
5 Scylla serrata 0,167 1,24 0,3 23,07
6 Trimeresurus albolabris 0,042 4,2 0,1 7,6
Table 2. Hasil Analisis Perhitungan Benthos
C. Nekton
1. Kingdom : AnimaliaFilum : ChordataKelas : Actinopterygii
Ordo : GonorynchiformesFamili : ChanidaeGenus : Chanos
4. Kingdom : AnimaliaFilum : MolluscaKelas : GastropodaOrdo : HypsogastropodaFamili : HydrobiidaeGenus : TryoniaSpesies :Tryonia stimpson
42
Spesies : Chanos chanos2. Kingdom : Animalia
Filum : ChordataKelas : ActinopterygiiOrdo : GonorynchiformesFamili : ChanidaeGenus : PeriophtalmusSpesies : Periophtalmus sp
Plot Biota / Fauna Jumlah
1 Chanos chanos 2
2 Periophthalmus sp. 1
Tabel 3. Nekton yang Ditemukan
D. Fauna
Kingdom : Animalia
Filum : ChordataKelas : ReptiliaOrdo : SquamataFamili : ViberidaeGenus : TrimeresurusSpesies : Trimeresurus albolabris
E. Flora
No
Jemis
Tumbuhan
KKR (%)
F
FR (
%)
D DR (%)INP
(%)H’
1 Avicennia officinalis 20 1,79 0,1 3,57 979,8 1,52 6,87 1,97
2 Bruguiera exaristata 30 2,68 0,1 3,57 1583,5 1,65 7,91
3 Cerbera manghas 120 10,71 0,2 7,14 6203,9 1,65 19,51
4 Ceriops tagal 430 38,39 0,8 28,57 24563,5 1,68 68,64
5 Heritiera globasa 170 15,18 0,6 21,43 13855,6 26,3 62,96
6 Lumnitzera littonea 50 4,46 0,1 3,57 2835,8 1,93 11,07
7 Pandanus tectorius 100 8,93 0,2 7,14 4573,7 60,5 76,54
8 Rhizophora apiculata 80 7,14 0,2 7,14 4458,1 1,82 16,11
9Rhizophora mucronata
60 5,36 0,3 7,14 1673,3 1,45 17,47
10 Rhizophora stylosa 40 3,57 0,1 3,57 2675,7 1,37 8,51
11 Sonneratia alba 20 7,14 0,1 3,57 906,8 0,14 5,52
Tabel 4. Jenis Flora yang Ditemukan
F. Rantai Makanan
Tumbuhan Mangrove sebagai Produsen yang menghasilkan
Serasah
Serasah di cacah dan dimakan oleh beberapa jenis planton sebagai Konsumer I
Plankton dimakan oleh Konsumer II dari jenis Moluska dan Crustacea kecil dan lain-lain. Seperti
keong kecil, udang kecil, kepiting kecil dll.
G. Hasil Pengukuran Plot Salinitas pH
1 29 ppt 7
2 28 ppt 7
3 27 ppt 7
4 27 ppt 7
5 26 ppt 7
6 26 ppt 7
7 25 ppt 7
8 25 ppt 7
9 25 ppt 7
10 25 ppt 7
Tabel 5. Parameter Yang Diukur
Pembahasan
Pulau Sembilan merupakan pulau yang terdapat di kabuapten langkat,
pulau ini memiliki hutan yang indah, namun tidak dalam kawasan dari negara
melainkan milik masyarakat setempat. Pulau ini masih terikat dalam kebudayaan
wilayah setempat, sehingga tidak terlalu maju. Hal ini sesuai (Capah,2003) yang
menyatakan bahwa Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di
Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km²) atau ± 9,67%
Konsumer II dimakan oleh Konsumer III dari golongan Nekton seperti Ikan Glodok, Ikan
Bandeng dan lain-lain.
Dekomposer
dari total luas wilayah kecamatan Pangkalan Susu (151,35 km²). Jumlah total
penduduk di Pulau Sembilan ini ± 2.047 dengan bermata pencarian antara lain
sebagai pertani sebanyak 413 KK, pengrajin 9 KK, pegawai negeri 19 KK,
pedagang 29 KK, supir angkutan 11 KK dan buruh 161 KK. Luas berdasarkan
penggunaan lahan antara lain sawah seluas 1,90 km2, tanah kering seluas 9,29
km2 dan lainnya seluas 4,46 km2 . Selain itu masih tersisa hutan mangrove yang
termasuk dalam hutan sekunder. Hutan yang masih tersisa tersebut tidak termasuk
dalam kawasan hutan negara, melainkan lahan milik masyarakat. Namun,
sebagian masyarakat memelihara tegakan mangrove khususnya yang terletak pada
areal kawasan lindung seperti kanan kiri sungai dan tepi pantai
Dari hasil praktikum dapat diketahui bahwa mangrove merupakan
tumbuhan yang terdapat disekitar pesisir dan lautan yang banyak dihuni oleh
berbagai hewan kecil maupun besar yang dijadikan sebagai habitat dan tempat
mencari makanan untuk melangsungkan kehidupan. Hal ini sesuai dengan
(Welly dan Wira, 2011) yang menyatakan bahwa mangrove merupakan salah satu
ekosistem penting pesisir dan laut selain terumbu karang dan padang lamun.
Mangrove memiliki beberapa manfaat seperti manfaat ekologi dan ekonomi.
Manfaat ekologi mangrove diantaranya adalah sebagai pelindung alami pantai dari
abrasi, mempercepat sedimentasi, mengendalikan intrusi air laut, dan melindungi
daerah di belakang mangrove dari gelombang tinggi dan angin kencang, tempat
memijah, mencari makan, dan berlindung bagi ikan, udang, kepiting dan biota laut
lainnya. Sedangkan manfaat ekonomi mangrove yaitu sebagai bahan makanan,
minuman, obat-obatan, pewarna alami, dan sebagai obyek ekowisata.
Benthos merupakan hewan yang terdapat di dalam perairan yang berada di
dasar perairan, yang biasanya dapat dikatakan sebagai bioindikator pencemaran
karena benthos hidup menetap dan dapat menguraikan bahan organic dan detritus.
Hal ini sesuai dengan (Lestari, 2009) yang menyatakan bahwa bentos adalah
semua organisme air yang hidupnya terdapat pada substrat dasar suatu perairan,
baik yang bersifat sesil (melekat) maupun vagil (bergerak bebas). Berdasarkan
tempat hidupnya, bentos dapat dibedakan menjadi epifauna yaitu bentos yang
hidupnya di atas substrat dasar perairan dan infauna,yaitu bentos yang hidupnya
tertanam di dalam substrat dasar perairan. Berdasarkan siklus hidupnya bentos
dapat dibagi menjadi holobentos, yaitu kelompok bentos yang seluruh hidupnya
bersifat bentos dan merobentos, yaitu kelompok bentos yang hanya bersifat bentos
pada fase-fase tertentu dari siklus hidupnya.
Organisme membutuhkan makanan untuk melangsungkan hidupnya, jadi
organisme membutuhkan organisme lainnya untuk proses dlam mendapatkan
makanan. Hal ini sesuai dengan (Pramudji, 2001).yang menyatakan bahwa
Semua organisme hidup akan selalu membutuhkan organisme lain dan lingkungan
hidupnya. Hubungan yang terjadi antara individu denganlingkungannya sangat
kompleks, bersifat saling mempengaruhi atau timbalbalik. Hubungan timbal balik
antara unsur-unsur hayati dengan nonhayatimembentuk sistem ekologi didalam
ekosistem. Didalam ekosistem terjadi rantai makanan/ aliran energy dan siklus
biogeokimia. Rantai makanan dapat dikategorikan sebagai interaksi antar
organisme dalam bentuk predasi.
Ekosistem mangrove merupakan ekosistem yang penting terhadap biota
biota karena dapat dijadikan sebagai tempat hidup atau tempat tinggal,
berkembang biak maupun tempat melakukan pemijahan. Hal ini sesuai dengan
(Welly dan Wira, 2011) yang menyatakan bahwa mangrove merupakan salah satu
ekosistem penting pesisir dan laut selain terumbu karang dan padang lamun.
Mangrove memiliki beberapa manfaat seperti manfaat ekologi dan ekonomi.
Manfaat ekologi mangrove diantaranya adalah sebagai pelindung alami pantai dari
abrasi, mempercepat sedimentasi, mengendalikan intrusi air laut, dan melindungi
daerah di belakang mangrove dari gelombang tinggi dan angin kencang, tempat
memijah, mencari makan, dan berlindung bagi ikan, udang, kepiting dan biota laut
lainnya. Sedangkan manfaat ekonomi mangrove yaitu sebagai bahan makanan,
minuman, obat-obatan, pewarna alami, dan sebagai obyek ekowisata.
Intensitas cahaya pada ekosistem mangrove sangat penting karena
mempengaruhi sistem produktivitas primer (fotosintesis) pada makhluk hidup.
Hal ini sesuai dengan (Saputra, 2009) yang menyatakan penetrasi cahaya matahari
ke dalam perairan akan mempengaruhi produktifitas primer. Kedalaman penetrasi
cahaya matahari kedalam perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
tingkat kekeruhan perairan, sudut datang cahaya matahari dan intensitas cahaya
matahari. Pada batas akhir cahaya matahari mampu menembus perairan disebut
sebagai titik kompensasi cahaya, yaitu 13 titik pada lapisan air dimana cahaya
matahari mencapai nilai minimum yang menyebabkan proses asimilasi dan
respirasi berada dalam keseimbangan Bagi organisme perairan, intensitas cahaya
matahari yang masuk berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung
kehidupan organisme pada habitatnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Biota yang terdapat pada ekosistem mangrove di Pulau Sembilan adalah
sebagai beriku, Telescopium telescopium, Penaeus indicus, Trimeresurus
albolabris, Tryonia simpson, Abovdnia rotifer, Periophthalmus sp, Scylla
serrata.
2. Biota dominan yang ditemukan di Pulau Sembilan yaitu Telescopium
telescopium, dan yang memiliki kelimpahan sedikit adalah Abovdnia rotifer.
3. Indeks keanekaragaman biota pada ekositem mangrove di Pulau Sembilan
adalah 0,456. Nilai 0,456 dalam indeks Shanon-Wiener dikategorikan
kedalam keanekaragaman yang rendah.
4. Semua organisme hidup akan selalu membutuhkan organisme lain dan
lingkungan hidupnya. Hubungan yang terjadi antara individu dengan
lingkungannya sangat kompleks, bersifat saling mempengaruhi atau timbal
balik.
5. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil telah memberikan
batasan yang jelas dan tegas mengenai berbagai definisi ruang lingkup
pengelolaan WPPK, berbagai macam sumber daya pesisir definisi
pencemaran.
Saran
Saran untuk praktikum ini agar praktikan terlebih dahulu mengetahui jenis
jenis benthos maupun nekton yang sering terdapat di daerah lumpur mangrove,
agar pada saat pengidentifikasian di lapangan praktikan mampu langsung
mendeskripsikan biota yang di temukan.
DAFTAR PUSTAKA
Alam. S. A. Jamaluddin. J. dan Syahruni. I. 2011. Analisis Pemanfaatan Ruang Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau. Kabupaten Selayar. Badan Pusat Statistik. Kabupaten Selayar. Selayar.
Aulia , 2005. Evaluasi Kualitas Air Sungai Way Sulan Kecil Kabupaten Lampung Selatan. Program Studi Biologi Pascasarjana Universitas Andalas Padang.
Capah. T. 2003. Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Kelompok Informal Dalam Pengelolaan Hutan Mangrove Di Desa Pulau Sembilan Kecamatan Pangkalan Susu Kabupaten Langkat. Pasca Sarjana. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Dwi. A. S. dan Kusumo. W. 2006. Pemanfaatan Langsung Ekosistem Mangrove di Jawa Tengah dan Penggunaan Lahan di Sekitarnya; Kerusakan dan Upaya Restorasinya. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Biodiversitas, Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM), Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Dwi. A. S. Indrowuryatno. Wiryanto. Kusumo. W. dan Ari Susilowati. 2004. Tumbuhan Mangrove di Pesisir Jawa Tengah Keanekaragaman Jenis. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Program Studi Ilmu Lingkungan, Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Dhimas. W dan Asbar. L. 2010. Kajian Pengelolaan Hutan Mangrove Di Kawasan Konservasi Desa Mamburungan Kota Tarakan Kalimantan
Timur. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Borneo, Tarakan.
Haryani, N, Suryo. 2013. Analisis Perubahan Hutan Mangrove Menggunakan Citra Landsat. Peneliti Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh. Lapan.
Infah. K. 2011. Analisa Hukum Terhadap Perlindungan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Lestari, 2009. Pendugaan Konsentrasi Total Suspended Solid (Tss) Dan Transparansi Perairan Teluk Jakarta Dengan Citra Satelit Landsat. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Patang. 2012. Analisis Strategi Pengelolaan Hutan Mangrove (Kasus Di Desa Tongke-Tongke Kabupaten Sinjai). Politeknik Pertanian Negeri Pangkep.
Pramudji. 2001. Ekosistem Hutan Mangrove Dan Peranannya Sebagai Habitat Berbagai Fauna Aquatik. Volume XXVI, Nomor 4 :13 – 23 ISSN 0216-1877.
Prayunita, Mohammad. B, dan Lollie. A. 2012. Respon Pertumbuhan dan Biomassa Semai Rhizopora apiculata BI Terhadap Salinitas dan Kandungan Lipidanya pada Tingkat Pohon. Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Staff Pengajar Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Staff Pengajar Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Saputra, 2009. Karakteristik Kualitas Air Muara Sungai Cisadane Bagian Tawar Dan Payau Di Kabupaten Tangerang, Banten. Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Sembiring, 2009. Keanekaragaman Dan Distribusi Udang Serta Kaitannya Dengan Faktor Fisik Kimia Di Perairan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang . Program Studi Biologi Universitas Sumatera Utara.
Suryawan, 2007. Studi Kondisi Vegetasi Dan Kondisi Fisik Kawasan Pesisir Serta Upaya Konservasi Di Nanggroe Aceh Darussalam . Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Trofisa, 2011. Kajian beban pencemaran dan daya tampung Pencemaran sungai ciliwung di segmen kota bogor. Departemen Konservasi sumberdaya hutan dan ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Welly. M. dan Wira. S. 2010. Identifikasi flora dan fauna mangrove Nusa lembongan dan nusa ceningan. Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah I.
LAMPIRAN
Scylla serrate Telescopium telescopium
Tryonia simpson Trimeresurus albolabris
Abovdnia rotifer Penaeus indicus
Alat dan Bahan
Kertas milimeter block Aquades 70
Stoples Kecil Plastik Ukuran 10 Kg
Plastik Ukuran 5 Kg Spidol
Botol Flim Lakban
Kertas label Tanggok
Parang Camera
Kompas
Foto Lokasi
Foto Kelompok