keanekaragaman semut di kepulauan seribu, … · seribu, karena pulau-pulau telah banyak mengalami...
TRANSCRIPT
KEANEKARAGAMAN SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU, INDONESIA
AKHMAD RIZALI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2006
ABSTRAK AKHMAD RIZALI. Keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu, Indonesia. Dibimbing oleh DAMAYANTI BUCHORI, LILIK BUDI PRASETYO, dan HERMANU TRIWIDODO.
Penelitian ini mempelajari keanekaragaman semut pada berbagai karakteristik pulau di Kepulauan Seribu, Indonesia. Tujuan penelitian adalah (1) mengukur dan mempelajari berbagai karakteristik pulau di Kepulauan Seribu berdasarkan sistem informasi geografi (SIG), (2) mempelajari hubungan karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu, dan (3) mempelajari pola distribusi dan keberadaan spesies semut di Kepulauan Seribu. Penelitian dilaksanakan pada 18 pulau di Kepulauan Seribu yang secara geografi terbentang antara 106°20’ - 106°50’ BT dan 05°20’ - 06°00’ LS. SIG digunakan untuk melakukan pemetaan dan pengukuran karakteristik pulau yang merupakan lokasi pengambilan contoh semut. Jarak isolasi pulau yang terukur berkisar antara 2,2 - 62,6 km, sedangkan luas pulau antara 1,00 - 52,87 ha. Pengambilan contoh semut dilakukan dengan metode koleksi intensif dalam plot pada keseluruhan patch di suatu pulau. Kurva akumulasi spesies digunakan untuk menduga keseluruhan spesies semut yang ada. Berdasarkan total plot contoh yang dilakukan, spesies semut yang berhasil dikoleksi di Kepulauan Seribu mencapai 96,87% yaitu berdasarkan nilai incidence-base coverage estimator (ICE). Secara keseluruhan spesies semut yang ditemukan di Kepulauan Seribu berjumlah 48 spesies yang termasuk dalam 5 subfamili dan 28 genus. Komposisi dan kekayaan spesies semut yang ditemukan pada masing-masing pulau di Kepulauan Seribu memiliki perbedaan. Analisis multidimensional scalling (MDS) digunakan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut yang digambarkan dalam grafik dua dimensi. Secara umum terlihat bahwa terdapat kecenderungan karakteristik pulau yaitu luas pulau, jarak isolasi pulau dengan Pulau Jawa, jenis penggunaan lahan, dan keberadaan dermaga mempengaruhi keanekaragaman semut di suatu pulau. Terkait dengan pola distribusi dan keberadaan spesies semut, berdasarkan hasil analisis dengan canonical correspondence analysis (CCA) menunjukkan bahwa masing-masing karakteristik pulau memiliki pengaruh terhadap jenis spesies semut tertentu. Polyrachis abdominalis keberadaannya dipengaruhi oleh peningkatan jarak isolasi pulau. Beberapa spesies cryptic seperti Amblyopone sp.01 of SKY, Hypoponera sp.4 dan Ponera sp. 1, hanya ditemukan pada pulau-pulau yang lokasinya dekat dengan Pulau Jawa. Spesies semut endemik tidak ditemukan di Kepulauan Seribu dari hasil penelitian ini. Sebaliknya, spesies semut eksotik berhasil ditemukan yaitu Anoplolepis gracilipes, Solenopsis geminata dan Paratrechina longicornis yang ketiganya dikenal bersifat invasif. A. gracilipes dan S. geminata hanya ditemukan pada pulau-pulau yang memiliki dermaga saja. Kata kunci: semut, karakteristik pulau, SIG, MDS, CCA, spesies invasif
KEANEKARAGAMAN SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU, INDONESIA
AKHMAD RIZALI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Entomologi dan Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2006
Judul penelitian : Keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu, Indonesia
Nama : Akhmad Rizali
NIM : A451030021
Program studi : Entomologi - Fitopatologi
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Anggota
Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc. Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Entomologi dan Fitopatologi
Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc.
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian : 18 Mei 2006 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah yang diberikan sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul tesis ini adalah “Keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu, Indonesia” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo M.Sc. dan Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc. masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, saran, motivasi serta bantuan dengan penuh keikhlasan selama pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis.
Kepada Dr. Christian H. Schulze, disampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan teknis-ilmiahnya. Prof. Seiki Yamane atas bantuan dan kesediaannya untuk mengecek ulang spesimen dan identifikasi semut hingga tingkat spesies. Selain itu kepada Anna Spengler dan Peter Hartmann penulis juga mengucapkan terimakasih atas dukungan dan kerjasamanya selama penelitian.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu (TNLKpS) dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) atas izin yang diberikan untuk melaksanakan penelitian di Kepulauan Seribu. Penelitian ini dibiayai oleh Center for Conservation and Insect Studies (CCIS) – Peka Indonesia Foundation, Hibah Tim Pasca Sarjana - DIKTI, dan Universitas Bayreuth - Jerman.
Kepada kedua orang tua tercinta - Ayahanda Inhakam dan Ibunda Siti Aminah (alm.), istri, dan seluruh saudara disampaikan terima kasih karena atas doa merekalah penulis dapat menyelesaikan pendidikan di Sekolah Pascasarjana, IPB. Semoga Allah SWT memberikan balasan amal baik mereka dengan pahala yang tak terhingga.
Kepada rekan-rekan sekalian, anggota Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman, IPB; anggota tim Hibah Pascasarjana; dan rekan-rekan Peka Indonesia, yang telah memberikan dukungan dan doa selama pelaksanaan penelitian. Tak lupa ucapkan terimakasih penulis sampaikan kepada rekan-rekan jagawana Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu atas kesediaanya dalam menemani selama pengambilan contoh semut. Akhirnya semoga tesis ini bermanfaat dan berguna bagi yang memerlukannya.
Bogor, Juni 2006
Akhmad Rizali
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Madiun, Jawa Timur pada tanggal 15 April 1977 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari ayah bernama Inhakam dan ibu bernama Siti Aminah (alm).
Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Wungu, Madiun dan pada tahun yang sama melanjutkan ke IPB melalui jalur Undangan Masuk Perguruan Tinggi Negeri (USMI). Penulis memilih Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan (sekarang menjadi Departemen Proteksi Tanaman) - Fakultas Pertanian, dan lulus pada tahun 2000. Selanjutnya penulis bekerja sebagai staf peneliti di Center for Conservation and Insect Studies (CCIS) – Peka Indonesia Foundation. Kesempatan untuk melanjutkan ke Program Magister Sains, Program Studi Entomologi dan Fitopatologi diperoleh pada tahun 2003. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari tempat penulis bekerja.
Penulis pernah mengikuti pelatihan yang terkait dengan bidang yang diminati yaitu (1) pelatihan taksonomis muda yang diselenggarakan oleh ARCBC (ASEAN Regional Center for Biodiversity Conservation) pada tahun 2002 dan (2) pelatihan GIS (Geographical Information Systems) yang diselenggarakan oleh SCGIS (Society for Conservation GIS) dan ESRI (Environmental Systems Research Institute) pada tahun 2005. Selain itu penulis juga aktif mengikuti organisasi seperti menjadi anggota PEI (Perhimpunan Entomologi Indonesia) dan ANeT (international network for ant research (myrmecology) in Asia).
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ........................................................................................ ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... x
1 PENDAHULUAN .................................................................................. 1
Latar Belakang .................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................ 2
Manfaat Penelitian .............................................................................. 2
2 KARAKTERISASI PULAU BERDASARKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (SIG) ........................................................... 3
Pendahuluan ........................................................................................ 3
Bahan dan Metode .............................................................................. 4
Lokasi Penelitian ........................................................................... 4
Pengambilan Data Karakteristik Pulau di Lapangan .................... 4
Pemetaan Pulau ............................................................................. 6
Pengukuran Jarak Isolasi dan Luas Pulau ..................................... 6
Hasil dan Pembahasan ........................................................................ 7
Akurasi Pemetaan Pulau ............................................................... 7
Karakteristik 18 Pulau di Kepulauan Seribu ................................. 9
Kesimpulan ......................................................................................... 18
3 HUBUNGAN KARAKTERISTIK PULAU DENGAN KEANEKARAGAMAN SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU ........... 19
Pendahuluan ........................................................................................ 19
Bahan dan Metode .............................................................................. 20
Lokasi Penelitian ........................................................................... 20
Pengambilan Contoh Semut .......................................................... 22
Analisis Data ................................................................................. 23
Hasil dan Pembahasan ........................................................................ 24
Estimasi Kekayaan Spesies Semut ................................................ 24
Hubungan Keanekaragaman Semut dengan Karakteristik Pulau... 27
Kesimpulan ......................................................................................... 31
4 POLA DISTRIBUSI DAN KEBERADAAN SPESIES SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU ......................................................................... 32
Pendahuluan ........................................................................................ 32
Bahan dan Metode .............................................................................. 33
Lokasi Penelitian ........................................................................... 33
Pengambilan Contoh Semut .......................................................... 34
Analisis Data ................................................................................. 34
Hasil dan Pembahasan ........................................................................ 35
Kekayaan Spesies Semut di Kepulauan Seribu ............................. 35
Keanekaragaman Spesies Semut pada Berbagai Habitat .............. 38
Keberadaan dan Pola Distribusi Spesies Semut ............................ 41
Kesimpulan ......................................................................................... 47
5 PEMBAHASAN UMUM ....................................................................... 48
6 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 50
Kesimpulan ......................................................................................... 50
Saran ................................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 52
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Diskripsi karakteristik 18 pulau di Kepulauan Seribu berdasarkan
SIG ......................................................................................................... 10
2 Perbandingan data hasil pengukuran secara manual dan data
sekunder (SK Gubernur DKI Tahun 2000) dengan pengukuran
berdasarkan SIG ..................................................................................... 17
3 Diskripsi lokasi penelitian semut meliputi karakteristik 18 pulau di
Kepulauan Seribu beserta jumlah plot contoh dan waktu pelaksanaan
penelitian ................................................................................................ 21
4 Kekayaan spesies semut pada masing-masing pulau di Kepulauan
Seribu ..................................................................................................... 25
5 Jenis spesies semut yang ditemukan dan keberadaannya pada pulau-
pulau di Kepulauan Seribu ..................................................................... 36
6 Frekuensi ditemukannya spesies semut pada habitat tanah atau
serasah dan permukaan tanah ................................................................. 39
7 Frekuensi ditemukannya spesies semut pada habitat permukaan
tanah dan vegetasi .................................................................................. 39
8 Frekuensi ditemukannya spesies semut pada keseluruhan habitat
(habitat tanah atau serasah, permukaan tanah, dan vegetasi) ................. 40
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Peta lokasi penelitian di Kepulauan Seribu ............................................ 5
2 Pengukuran jarak pulau di Kepulauan Seribu dengan Pulau Jawa
menggunakan perangkat lunak ArcView 3.3 ......................................... 7
3 Posisi relatif hasil pengukuran di lapangan dengan digitasi on-screen... 8
4 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan
Seribu; (a) Pulau Untung Jawa, (b) Pulau Rambut, dan (c) Pulau
Onrust ..................................................................................................... 11
5 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan
Seribu; (a) Pulau Pari, (b) Pulau Lancang Besar, dan (c) Pulau Bokor .. 12
6 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan
Seribu; (a) Pulau Pramuka, (b) Pulau Tidung Kecil, dan (c) Pulau
Payung Besar .......................................................................................... 13
7 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan
Seribu; (a) Pulau Kotok Besar, (b) Pulau Paniki, dan (c) Pulau
Semak Daun ........................................................................................... 14
8 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan
Seribu; (a) Pulau Bundar, (b) Pulau Putri Barat, dan (c) Pulau Bira
Kecil ....................................................................................................... 15
9 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan
Seribu; (a) Pulau Dua Timur, (b) Pulau Penjaliran Barat, dan (c)
Pulau Nyamplung ................................................................................... 16
10 Penempatan plot pengambilan contoh semut pada pulau dengan jenis
penggunaan lahan (1) heterogen dan (2) homogen ................................ 22
11 Kurva akumulasi spesies semut di Kepulauan Seribu ............................ 26
12 MDS komposisi spesies semut dari tiap pulau di Kepulauan Seribu
berdasarkan indeks kemiripan Sorenson. Pengelompokan pulau
berdasarkan (a) luas pulau, (b) jarak isolasi pulau, (c) jenis
penggunaan lahan, dan (d) keberadaan dermaga ................................... 29
13 Ordinasi canonical corespondence analysis (CCA) antara spesies
semut (∆) dengan karakteristik pulau (panah). Spesies yang
berposisi di pusat tidak dimunculkan namanya karena terlalu padat ..... 43
14 Pola distribusi dan keberadaan spesies semut cryptic di Kepulauan
Seribu ..................................................................................................... 44
15 Pola distribusi dan keberadaan spesies semut invasif di Kepulauan
Seribu ...................................................................................................... 45
16 Pola distribusi dan keberadaan beberapa spesies semut yang
dipengaruhi oleh jarak isolasi pulau di Kepulauan Seribu ..................... 46
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Studi keanekaragaman spesies pada kepulauan selalu mengaitkan kekayaan
spesies dengan luas pulau dan jarak isolasi pulau tersebut dari sumber kolonisasi.
Hubungan kekayaan spesies dengan luas dan jarak isolasi pulau telah dibahas
mendalam oleh MacArthur & Wilson (1967) melalui model equilibrium
(kesetimbangan) dalam teori biogeografi kepulauan. Semakin luas ukuran suatu
pulau maka kekayaan spesies yang ada di dalamnya semakin tinggi. Ukuran
pulau yang luas menjadikan keanekaragaman habitatnya tinggi, sehingga peluang
keberadaan niche yang sesuai semakin tinggi pula (MacArthur & Wilson 1967).
Semakin jauh jarak suatu pulau dari sumber kolonisasi maka kekayaan spesiesnya
semakin rendah. Jauhnya jarak suatu pulau menjadi hambatan bagi spesies
tertentu untuk melakukan migrasi ke pulau tersebut. Sehingga hanya spesies yang
memiliki kemampuan dispersal (penyebaran) tinggi yang dapat melakukan
migrasi ke pulau tersebut.
Perkembangan penelitian yang dilakukan memunculkan paradigma baru
mengenai teori biogeografi kepulauan. Whittaker (1998) mengemukakan bahwa
sejarah geologi pulau, fragmentasi habitat, dan intensitas gangguan manusia juga
dapat mempengaruhi keanekaragaman spesies pada suatu pulau selain faktor luas
dan jarak isolasi pulau. Bahkan menurut Brown & Lomolino (2000) kekayaan
spesies pada suatu pulau ternyata tidak dalam equilibrium. Kekayaan spesies
pada suatu pulau tidak hanya dipengaruhi oleh luas area dan jarak isolasi pulau
tetapi juga dipengaruhi oleh karakteristik pulau yang lain. Pengaruh karakteristik
pulau dijelaskan oleh Lomolino (2000) melalui model tripartite yang
menggambarkan bahwa migrasi, kepunahan, dan evolusi sebagai fungsi dari
karakteristik pulau. Karakteristik pulau akan mempengaruhi migrasi, kepunahan,
spesiasi, dan keberadaan spesies endemik di suatu pulau.
Penelitian ini akan mempelajari keanekaragaman semut pada berbagai
karakteristik pulau di Kepulauan Seribu, Indonesia. Kepulauan Seribu dipilih
untuk tempat penelitian karena dianggap mewakili kepulauan daerah tropik dan
2
terdiri atas banyak pulau dengan berbagai variasi penggunaan lahan. Menurut
Alamsyah (2003) Kepulauan Seribu terdiri atas 106 pulau dengan luas tiap
pulaunya kurang dari 1 km2. Beberapa pulau seperti pulau-pulau di bagian utara
telah dijadikan sebagai daerah konservasi yaitu Taman Nasional Laut Kepulauan
Seribu, karena pulau-pulau telah banyak mengalami perubahan penggunaan lahan
akibat aktivitas manusia, bahkan berdasarkan laporan UNESCO (1997) beberapa
pulau telah hilang. Sistem informasi geografi (SIG) akan digunakan dalam
penelitian ini untuk melakukan pemetaan dan karakterisasi pulau tempat
pengambilan contoh semut dilaksanakan.
Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan
karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu. Adapun
tujuan khusus berdasarkan topik-topik penelitian adalah (1) mengukur dan
mempelajari berbagai karakteristik pulau di Kepulauan Seribu berdasarkan SIG,
(2) mempelajari hubungan karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut di
Kepulauan Seribu, dan (3) mempelajari pola distribusi dan keberadaan spesies
semut di Kepulauan Seribu.
Manfaat Penelitian
Hasil yang diperoleh melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi mengenai (1) gambaran kondisi pulau-pulau di Kepulauan Seribu dan
(2) keanekaragaman semut yang ada di Kepulauan Seribu. Gambaran kondisi
pulau-pulau di Kepulauan Seribu bermanfaat untuk referensi penelitian berikutnya
yang akan menghubungkan keanekaragaman spesies dengan kondisi pulau di
Kepulauan Seribu. Keanekaragaman semut yang diperoleh pada berbagai kondisi
pulau di Kepulauan Seribu juga dapat memberikan informasi mengenai arti
penting pulau kecil di daerah tropik untuk pengaturan keanekaragaman semut.
BAB II KARAKTERISASI PULAU BERDASARKAN SISTEM
INFORMASI GEOGRAFI (SIG)
PENDAHULUAN
Dewasa ini sistem informasi geografi (SIG) telah banyak dimanfaatkan
untuk penelitian ekologi seperti di antaranya mempelajari pola dan distribusi
spasial organisme (Wadsworth & Treweek 1999). Komponen spasial yang
berguna untuk mengetahui hubungan interaksi organisme dengan lingkungannya
(Gilbert 1997) memungkinkan diukur secara kuantitatif dengan menggunakan
SIG. Demikian juga interaksi antar spesies dalam skala lanskap yang mempelajari
perpindahan spesies antar patch habitat sangat terbantu dengan SIG (Tischendorf
& Fahrig 2000). SIG juga mempermudah dalam studi monitoring spesies invasif
melalui pemetaan distribusi pada ekosistemnya berdasarkan lanskap, bioiklim,
dan faktor yang memfasilitasi proses invasi (Joshi et al. 2004). Bahkan SIG juga
digunakan dalam ilmu genetika sebagai perangkat untuk mempermudah
melakukan modeling, seperti penelitian Manel et al. (2003) yang menghubungkan
genetika populasi suatu spesies dengan ekologi lanskap.
Menurut Aronoff (1995) SIG merupakan suatu sistem berbasiskan komputer
yang memiliki kemampuan menangani data bereferensi geografi meliputi
pemasukan data, manajemen data, analisis dan manipulasi data, serta
menghasilkan data. Dalam penggunaannya, SIG memerlukan komponen berupa
komputer, perangkat lunak, data-data geografi, dan sumberdaya manusia untuk
mengoperasikannya. Salah satu perangkat lunak SIG yang banyak digunakan
adalah ArcView yang dikembangkan ESRI (Environmental Systems Research
Institute). Perangkat lunak tersebut dapat digunakan untuk melakukan analisis
fungsi-fungsi dasar SIG seperti membuat peta dan analisis statistik data spasial
(Prahasta 2002). Fungsi-fungsi SIG khusus juga dapat dilakukan dengan
ArcView yaitu dengan menggunakan ekstensi ArcView. Di antara ekstensi yang
digunakan untuk melakukan analisis data spasial adalah patch analyst (Rempel et
al. 1998). Perangkat lunak tersebut mempermudah untuk melakukan pengukuran
4
dan penjabaran data spasial meliputi ukuran, bentuk patch, dan keanekaragaman
lanskap.
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan mempelajari berbagai
karakteristik pulau di Kepulauan Seribu berdasarkan SIG. Perangkat lunak
ArcView akan digunakan dalam penelitian ini untuk melakukan pemetaan dan
pengukuran karakteristik pulau. Hasil yang diperoleh akan digunakan untuk
mempelajari hubungan karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut di
Kepulauan Seribu.
BAHAN DAN METODE
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada 18 pulau di Kepulauan Seribu yang
terbentang antara 106°20’ - 106°50’ BT dan 05°20’ - 06°00’ LS dengan variasi
luas dan jarak isolasi pulau dengan Pulau Jawa yang berbeda-beda (Gambar 1).
Informasi awal mengenai pulau-pulau di Kepulauan Seribu diperoleh berdasarkan
(1) peta rupabumi Kepulauan Seribu (Bakosurtanal 1999) dan (2) SK Gubernur
Propinsi DKI Jakarta No.1986/2000 Tanggal 27 Juli 2000. Pulau terdekat dengan
Pulau Jawa yang dipilih adalah Pulau Onrust, sedangkan yang terjauh Pulau Dua
Timur. Luas pulau bervariasi antara 0,75 ha (Pulau Semak Daun) hingga 41,32 ha
(Pulau Pari). Umumnya di setiap pulau telah banyak mengalami gangguan
manusia yaitu berdasarkan keberadaan pemukiman dan dermaga di pulau tersebut.
Walaupun demikian pada beberapa pulau masih memiliki kondisi hutan yang baik
seperti Pulau Rambut dan Pulau Bokor.
Pengambilan Data Karakteristik Pulau di Lapangan
Data karakteristik pulau yang akan diukur dan dipelajari pada penelitian ini
adalah (1) jarak isolasi pulau dari Pulau Jawa, (2) luas pulau, (3) bentuk pulau, (4)
tipe penggunaan lahan, dan (5) keberadaan dermaga. Pengambilan data jarak
isolasi, luas, dan bentuk pulau dilakukan dengan metode pengukuran pulau di
5
lapangan menggunakan GPS (global positioning system), sedangkan tipe
penggunaan lahan dan keberadaan dermaga melalui pengamatan secara visual.
Gambar 1 Peta lokasi penelitian di Kepulauan Seribu
6
Pengukuran pulau atau pemetaan pulau di lapangan pada penelitian ini
menggunakan GPS Garmin Etrex Vista. Peta rupabumi Kepulauan Seribu
(Bakosurtanal 1999) digunakan untuk memberikan gambaran awal pada saat
pengukuran pulau di lapangan. Pengukuran pulau dilakukan bila GPS telah
mencapai tingkat akurasi di bawah 20 m yaitu dengan cara mengelilingi pulau
sepanjang garis pantai, sehingga akan diperoleh data keliling pulau dan sekaligus
bentuk pulau.
Pemetaan Pulau
Data hasil pengukuran di lapangan dengan GPS yang diperoleh selanjutnya
dimasukkan ke dalam komputer dengan menggunakan perangkat lunak ArcView
3.3 (ESRI 2002). Bentuk pulau dan jenis penggunaan lahan pulau dipetakan
dengan melakukan digitasi on-screen pada peta rupabumi Kepulauan Seribu
(Bakosurtanal 1999). Hasil pengukuran pulau di lapangan digunakan sebagai
referensi geografi sebelum digitasi dilakukan. Peta yang dihasilkan dibuat dalam
dua sistem koordinat yaitu degree minute second (DMS) dan universal transver
mercator (UTM). DMS digunakan untuk pembuatan peta lokasi penelitian
sehingga dapat diperlihatkan posisi koordinat dari masing-masing pulau,
sedangkan UTM digunakan untuk melakukan pengukuran karakteristik pulau.
Pengukuran Jarak Isolasi dan Luas Pulau
Pengukuran jarak isolasi pulau dengan Pulau Jawa dilakukan dengan
menggunakan measure tool dalam perangkat lunak ArcView 3.3. Jarak suatu
pulau ditentukan berdasarkan jarak terdekat pulau dengan tepi pantai Pulau Jawa
(Gambar 2). Jarak terdekat diperoleh dengan cara melakukan eksplorasi jarak
(d”) untuk mendapatkan jarak terdekat (d) antara suatu pulau dengan tepi pantai
Pulau Jawa.
Luas dan struktur lanskap masing-masing pulau diukur dengan
menggunakan patch analyst (Rempel et al. 1998) yang merupakan perangkat
lunak ekstensi ArcView. Hasil analisis dengan menggunakan perangkat lunak
tersebut adalah berupa data-data kuantitatif dari masing-masing pulau di antaranya
7
adalah luas (area), keliling (perimeter), bentuk (MSI = mean shape index), dan
keanekaragaman lanskap (Elkie et al. 1999).
d = jarak pengukuran terdekat, d” = jarak pengukuran jauh
Gambar 2 Pengukuran jarak pulau di Kepulauan Seribu dengan Pulau Jawa
menggunakan perangkat lunak ArcView 3.3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Akurasi Pemetaan Pulau
Pemetaan yang dilakukan pada 18 pulau di Kepulauan Seribu dibedakan
menjadi dua yaitu pemetaan lapangan dan pemetaan on-screen. Pemetaan
lapangan merupakan hasil pengukuran di lapangan dengan menggunakan GPS
yang dijadikan sebagai sumber acuan untuk membuat peta pulau dengan
menggunakan teknik digitasi on-screen. Gambar 3 menunjukkan posisi relatif
antara pengukuran di lapangan dengan digitasi on-screen. Pengukuran di
lapangan hasilnya cenderung sama dengan digitasi on-screen berdasarkan peta
rupabumi Kepulauan Seribu (Bakosurtanal 1999). Titik-titik hasil pengukuran di
lapangan terlihat sama mengikuti sepanjang pinggir pulau baik pada Pulau Pari
8
maupun Pulau Putri Barat. Pengukuran di lapangan sangat berguna untuk
melakukan koreksi geografi terhadap peta. Koreksi yang dilakukan bertujuan
untuk menetapkan posisi yang sebenarnya dan memberikan ketepatan pada saat
pengukuran variabel pulau termasuk di dalamnya luas dan jarak isolasi pulau.
☼ : pengukuran di lapangan
Gambar 3 Posisi relatif hasil pengukuran di lapangan dengan digitasi on-screen
Keakuratan pengukuran di lapangan bergantung pada penutupan kanopi dan
keberadaan awan. Kondisi pulau dengan penutupan kanopi yang tinggi
menjadikan GPS tidak dapat menangkap satelit dengan baik, demikian juga pada
saat cuaca sedang berawan. Hal tersebut menjadikan tingkat akurasi atau
ketepatan posisi menjadi rendah. Walaupun demikian, penelitian ini
menggunakan ketepatan akurasi GPS di bawah 20 meter. Apabila akurasi masih
di atas 20 meter maka tidak dilakukan pengukuran pulau. Keakuratan dan
ketepatan posisi titik pada saat pengukuran di lapangan juga ditentukan oleh jenis
GPS yang digunakan. GPS dengan tingkat akurasi tinggi akan menghasilkan data
dengan tingkat akurasi yang tinggi pula.
Pari
Putri Barat
9
Karakteristik 18 pulau di Kepulauan Seribu
Jenis penggunaan lahan dari 18 pulau di Kepulauan Seribu disajikan dalam
gambar peta penggunaan lahan (Gambar 4 – 9). Jenis penggunaan lahan tiap
pulau adalah berdasarkan peta rupabumi Kepulauan Seribu (Bakosurtanal 1999),
sehingga tidak menggambarkan kondisi sebenarnya pada saat penelitian
dilakukan. Walaupun demikian berdasarkan pengamatan secara visual di
lapangan yang dilakukan (ground check) terdapat kesamaan jenis habitat di
dalamnya, sedangkan luas tiap patch habitat berbeda. Jenis penggunaan lahan
tiap pulau juga didiskripsikan berdasarkan kelas penggunaan lahan yaitu I - IV
(Tabel 1). Perbedaan jenis penggunaan lahan adalah berdasarkan keberadaan
rumah, hutan dan gangguan manusia di pulau tersebut. Pulau yang masuk dalam
kelas I, seperti Pulau Rambut dan Pulau Bokor (Tabel 1), merupakan pulau
dengan jenis penggunaan lahan hanya terdiri atas hutan dan dengan intensitas
gangguan manusia rendah. Pulau Onrust dan Pulau Lancang Besar termasuk ke
dalam kelas IV (Tabel 1) karena kedua pulau tersebut hanya terdiri atas
perumahan dan dengan intensitas gangguan manusia tinggi. Pulau Onrust sering
dikunjungi manusia karena merupakan daerah tempat wisata. Sedangkan Pulau
Lancang Besar, merupakan pulau yang padat penduduknya sehingga gangguan
habitat yang ada di pulau tersebut sangat tinggi. Informasi intensitas gangguan
manusia berguna untuk memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kondisi
gangguan habitat pada masing-masing pulau di Kepulauan Seribu.
Bentuk masing-masing pulau di Kepulauan Seribu selain dapat langsung
dilihat melalui gambar (Gambar 4 – 9), kompleksitasnya juga dapat diketahui
berdasarkan nilai MSI (Tabel 1). MSI merupakan indeks yang menggambarkan
kompleksitas bentuk suatu pulau, semakin tinggi nilai MSI suatu pulau maka
bentuk pulau tersebut semakin kompleks. Di Kepulauan Seribu bentuk pulau
paling sederhana adalah Pulau Dua Timur yaitu dengan nilai MSI 0,9071,
sedangkan bentuk paling kompleks adalah Pulau Tidung Kecil dengan MSI
2,6143 (Tabel 1).
Data jarak isolasi pulau dari Pulau Jawa yang diperoleh berdasarkan SIG
berkisar antara 2,2 – 62,6 km (Tabel 1). Pulau dengan jarak isolasi terjauh adalah
10
Pulau Dua Timur, sedangkan yang terdekat Pulau Onrust (Tabel 1, Gambar 1).
Terdapat sedikit perbedaan antara hasil pengukuran dengan SIG dan pengukuran
secara manual (Tabel 2) yaitu dengan perbedaan jarak berkisar antara 0 - 6 km.
Perbedaan terjauh adalah hasil pengukuran pada Pulau Putri Barat (Tabel 2).
Pengukuran jarak secara manual adalah pengukuran berdasarkan peta sehingga
dimungkinkan terdapat kesalahan pada saat pengukuran. Walaupun demikian,
ketepatan pengukuran dengan menggunakan SIG relatif bergantung pada akurasi
dan jenis GPS yang digunakan pada saat digitasi di lapangan dilakukan.
Tabel 1 Diskripsi karakteristik 18 pulau di Kepulauan Seribu berdasarkan SIG
No Pulau Jarak (km)1)
Luas pulau (ha) MSI 2) Penggunaan
lahan 2) Dermaga 3)
1. Onrust 2,2 8,23 0,9295 IV P 2. Rambut 4,2 45,80 1,3272 I P 3. Untung Jawa 4,8 39,12 2,0181 III P 4. Bokor 7,0 16,34 1,0267 I P 5. Lancang Besar 9,4 26,43 1,3542 IV P 6. Pari 16,1 52,87 2,3955 III P 7. Payung Besar 20,8 22,74 2,1066 III P 8. Tidung kecil 22,8 19,71 2,6143 II P 9. Pramuka 28,6 19,92 1,7803 III P
10. Semak Daun 31,2 1,00 1,1740 I A 11. Kotok Besar 34,2 22,65 1,2382 II P 12. Paniki 35,1 5,80 1,6019 I A 13. Bira Kecil 43,2 8,62 1,0032 II P 14. Putri Barat 45,9 9,63 1,3327 II P 15. Bundar 52,6 5,76 1,9667 II P 16. Nyamplung 54,9 8,96 1,3493 I A 17. Penjaliran Barat 59,6 21,65 0,9292 I A 18. Dua Timur 62,6 21,42 0,9071 I A
1) Jarak = jarak isolasi pulau tersebut dari Pulau Jawa 2) MSI = mean shape index, indeks yang menggambarkan bentuk pulau 2) I = hutan dengan intensitas gangguan manusia rendah, II = perumahan dan hutan dengan
intensitas gangguan manusia rendah, III = perumahan dan hutan dengan intensitas gangguan manusia tinggi, IV = perumahan dengan intensitas gangguan manusia tinggi
3) P = presence, ada dermaga, A = absence, tidak ada dermaga
11
Gambar 4 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Untung Jawa, (b) Pulau Rambut, dan (c) Pulau Onrust
(c)
(b)
(a)
12
Gambar 5 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Pari, (b) Pulau Lancang Besar, dan (c) Pulau Bokor
(c)
(b)
(a)
13
Gambar 6 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Pramuka, (b) Pulau Tidung Kecil, dan (c) Pulau Payung Besar
(c)
(b)
(a)
14
Gambar 7 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Kotok Besar, (b) Pulau Paniki, dan (c) Pulau Semak Daun
(c)
(b)
(a)
15
Gambar 8 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Bundar, (b) Pulau Putri Barat, dan (c) Pulau Bira Kecil
(c)
(b)
(a)
16
Gambar 9 Jenis penggunaan lahan dan bentuk pulau-pulau di Kepulauan Seribu; (a) Pulau Dua Timur, (b) Pulau Penjaliran Barat, dan (c) Pulau Nyamplung
(c)
(b)
(a)
17
Tabel 2 Perbandingan data hasil pengukuran secara manual dan data sekunder (SK Gubernur DKI Tahun 2000) dengan pengukuran berdasarkan SIG
Jarak pulau (km) 1) Luas pulau (ha)
No Pulau Manual 2) SIG 3) SK Gubernur 4) SIG 3)
1. Onrust 3 2,2 12,00 8,23 2. Rambut 5 4,2 20,00 45,80 3. Untung Jawa 6 4,8 40,10 39,12 4. Bokor 7 7,0 18,00 16,34 5. Lancang Besar 10 9,4 15,13 26,43 6. Pari 16 16,1 41,32 52,87 7. Payung Besar 21 20,8 20,86 22,74 8. Tidung kecil 22 22,8 17,40 19,71 9. Pramuka 27 28,6 16,00 19,92
10. Semak Daun 29 31,2 0,75 1,00 11. Paniki 30 35,1 3,00 5,80 12. Kotok Besar 32 34,2 20,75 22,65 13. Putri Barat 40 45,9 8,29 9,63 14. Bira Kecil 43 43,2 7,30 8,62 15. Bundar 49 52,6 1,28 5,76 16. Nyamplung 54 54,9 6,58 8,96 17. Penjaliran Barat 57 59,6 17,90 21,65 18. Dua Timur 62 62,6 18,48 21,42
1) Jarak pulau = jarak isolasi pulau dari Pulau Jawa 2) Manual = pengukuran berdasarkan peta rupabumi Kepulaun Seribu (Bakosurtanal 1999) 3) SIG = pengukuran dan penghitungan dengan menggunakan ArcView 3.3 4) SK Gubernur = SK Gubernur Propinsi DKI Jakarta No.1986/2000, Tanggal 27 Juli 2000
Hasil pengukuran luas pulau dengan menggunakan SIG berkisar antara 1 ha
(Pulau Semak Daun) hingga 52, 87 ha (Pulau Pari) (Tabel 1). Hasil pengukuran
dengan SIG berbeda dengan data berdasarkan SK Gubernur Tahun 2000, bahkan
perbedaan hingga mencapai 25,8 ha yaitu pada Pulau Rambut (Tabel 2).
Perbedaan tersebut tidak dapat dijelaskan secara pasti melalui penelitian ini.
Diduga terdapat perbedaan dalam metode pengukuran dan penetapan standar
wilayah pulau yang menjadi faktor penyebab ketidaksamaan luas pulau.
Data hasil pengukuran berdasarkan SIG akan digunakan pada penelitian
selanjutnya yaitu untuk mempelajari hubungan antara karakteristik pulau dengan
keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu. Data berdasarkan SIG dinilai lebih
18
menggambarkan kondisi pulau yang sebenarnya karena pengukuran pulau di
lapangan dilakukan bersamaan dengan pengambilan contoh semut, dan lokasi
pengambilan contoh ditentukan berdasarkan hasil pengukuran pulau pada saat itu.
KESIMPULAN
Penggunaan SIG memudahkan dalam pengukuran karakteristik pulau.
Bentuk pulau dapat langsung diketahui pada saat melakukan pengukuran pulau di
lapangan dengan menggunakan GPS. Perangkat lunak ArcView mempermudah
dalam proses pengambilan data dari GPS, pengukuran karakteristik pulau (luas,
jarak isolasi, dan bentuk pulau), dan penampilan data (pembuatan peta
penggunaan lahan). Luas dan jarak isolasi pulau dapat diukur secara tepat dengan
menggunakan perangkat lunak ArcView. Walaupun demikian, keakuratan
penggunaan SIG untuk pengukuran karakteristik pulau ditentukan oleh sumber
data (keakuratan GPS yang digunakan) dan kondisi lapangan (kondisi cuaca dan
penutupan kanopi pulau).
BAB III HUBUNGAN KARAKTERISTIK PULAU DENGAN
KEANEKARAGAMAN SEMUT DI KEPULAUAN SERIBU
PENDAHULUAN
Semut merupakan kelompok hewan terestrial paling dominan di daerah
tropik (Atkins 1980). Semut berperan penting dalam ekosistem terestrial sebagai
predator, scavenger, herbivor, detritivor, dan granivor, serta memiliki peranan
yang unik dalam interaksinya dengan organisme lain seperti tumbuhan atau
serangga lain (Holdobler & Wilson 1990). Keberadaan semut sangat terkait
dengan kondisi habitatnya. Menurut Andersen (2000) terdapat faktor pembatas
utama yang mempengaruhi keberadaan semut yaitu suhu rendah, habitat yang
tidak mendukung untuk pembuatan sarang, sumber makanan yang terbatas, dan
daerah jelajah yang tidak mendukung. Adanya aktivitas dan keberadaan manusia
juga mempengaruhi keanekaragaman semut pada suatu ekosistem (Suarez et al.
1998; Gibb & Hochuli 2003; Graham et al. 2004; Schoereder et al. 2004).
Beberapa spesies semut bahkan telah beradaptasi dan hidupnya berasosiasi sangat
dekat dengan manusia, sehingga disebut sebagai semut tramp. Beberapa spesies
semut tramp memiliki sifat invasif dan selalu membuat sarang di sekitar struktur
yang dibuat oleh manusia (Schultz & McGlynn 2000), serta memiliki mekanisme
kolonisasi khusus sebagai hasil adaptasi terhadap gangguan manusia (Gibb &
Hochuli 2003). Spesies semut yang bersifat invasif tersebut juga dapat menjadi
faktor pembatas keberadaan semut yang lain (Suarez et al. 1998; Andersen 2000;
Holway et al. 2002; Hill et al. 2003).
Keberadaan semut di daerah kepulauan dapat dipengaruhi oleh luas pulau
dan jarak isolasi pulau tersebut dengan pulau utama. Semakin luas ukuran suatu
pulau maka akan semakin tinggi keanekaragaman semutnya (Wilson 1961).
Model equilibrium dalam teori biogeografi kepulauan yang dikemukakan oleh
MacArthur & Wilson (1967) dapat digunakan untuk memprediksi jumlah spesies
semut di suatu pulau berdasarkan luas dan jarak isolasi pulau tersebut dari sumber
kolonisasi. Karakteristik pulau yang lain seperti umur pulau atau sejarah
20
gangguan habitat pada suatu pulau juga dapat mempengaruhi keanekaragaman
semut di pulau tersebut. Hasil penelitian Badano et al. (2005) pada kepulauan di
danau buatan Cabra Corral yang terletak di Timur Laut Argentina menunjukkan
bahwa umur pulau memiliki kontribusi dalam pembentukan struktur komunitas
semut di dalamnya.
Tujuan penelitian ini adalah mempelajari hubungan karakteristik pulau
dengan keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu. Karakteristik pulau yang
digunakan merupakan hasil pengukuran dengan sistem informasi geografi (SIG)
meliputi luas pulau, jarak isolasi pulau, jenis penggunaan lahan, dan keberadaan
dermaga. Data berdasarkan SIG dinilai lebih menggambarkan kondisi pulau yang
sebenarnya karena (1) pengukuran pulau di lapangan dilakukan bersamaan dengan
pengambilan contoh semut, dan (2) lokasi pengambilan contoh ditentukan
berdasarkan hasil pengukuran pulau pada saat itu.
BAHAN DAN METODE
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dibedakan menjadi dua yaitu penelitian lapangan dan
penelitian laboratorium. Penelitian lapangan adalah kegiatan pengambilan contoh
semut di Kepulauan Seribu. Penelitian lapangan dilaksanakan pada 18 pulau di
Kepulauan Seribu yang terbentang antara 106°20’ - 106°50’ BT dan 05°20’ -
06°00’ LS. Berdasarkan hasil pengukuran dengan menggunakan SIG,
karakteristik pulau meliputi luas pulau, jarak isolasi pulau, jenis penggunaan
lahan, dan keberadaan dermaga berbeda-beda untuk setiap pulaunya (Tabel 3).
Luas pulau bervariasi antara 1 ha (Pulau Semak Daun) hingga 52,87 ha (Pulau
Pari). Pulau terdekat dengan Pulau Jawa adalah Pulau Onrust yaitu 2,2 km,
sedangkan pulau terjauh Pulau Dua Timur yaitu 62,6 km. Penggunaan lahan
terdiri atas tiga jenis yaitu (1) pulau yang hanya terdapat perumahan (seperti Pulau
Onrust), (2) pulau yang terdapat hutan dan perumahan (seperti Pulau Untung
Jawa), dan (3) pulau yang hanya terdiri atas hutan (seperti Pulau Bokor).
21
Umumnya di setiap pulau telah banyak mengalami gangguan manusia yaitu
ditunjukkan dengan keberadaan dermaga di pulau tersebut. Walaupun demikian,
ada beberapa pulau yang tidak memiliki dermaga seperti Pulau Penjaliran Barat
dan Pulau Dua Timur (Tabel 3).
Penelitian laboratorium merupakan kegiatan penanganan spesimen semut
hasil koleksi di lapangan. Penanganan spesimen yang dilakukan meliputi
kegiatan sortasi dan identifikasi spesimen semut yang dilaksanakan di
Laboratorium Bioekologi Parasitoid dan Predator, Departemen Proteksi Tanaman,
Institut Pertanian Bogor.
Tabel 3 Diskripsi lokasi penelitian semut meliputi karakteristik 18 pulau di Kepulauan Seribu beserta jumlah plot contoh dan waktu pelaksanaan penelitian
No Pulau Jarak (km)1)
Luas pulau (ha)
Penggunaan lahan 2)
Dermaga 3)
Jumlah plot
Waktu pengambilan contoh
1. Onrust 2,2 8,23 R P 7 8 Mei 2005
2. Rambut 4,2 45,80 H P 11 9 - 10 Mei 2005
3. Untung Jawa 4,8 39,12 HR P 17 10 - 12 Mei 2005
4. Bokor 7,0 16,34 H P 10 5 Mei 2005
5. Lancang Besar 9,4 26,43 R P 15 6 - 7 Mei 2005
6. Pari 16,1 52,87 HR P 20 1, 2, 4 Mei 2005
7. Payung Besar 20,8 22,74 HR P 16 6 - 8 April 2005
8. Tidung kecil 22,8 19,71 HR P 11 15-16 April 2005
9. Pramuka 28,6 19,92 HR P 17 26, 29 April 2005
10. Semak Daun 31,2 1,00 H A 8 12 Maret 2005
11. Kotok Besar 34,2 22,65 HR P 15 30 April 2005
12. Paniki 35,1 5,80 H A 8 10-11 Maret 2005
13. Bira Kecil 43,2 8,62 HR P 8 13-14 April 2005
14. Putri Barat 45,9 9,63 HR P 9 12 April 2005
15. Bundar 52,6 5,76 HR P 9 28 April 2005
16. Nyamplung 54,9 8,96 H A 8 27 April 2005
17. Penjaliran Barat 59,6 21,65 H A 12 10 April 2005
18. Dua Timur 62,6 21,42 H A 9 9 April 2005
1) Jarak = jarak isolasi pulau dari Pulau Jawa 2) H = hutan, R = perumahan, HR = hutan dan perumahan 3) P = presence, ada dermaga, A = absence, tidak ada dermaga
22
Pengambilan Contoh Semut
Pengambilan contoh semut dilaksanakan dari bulan Maret hingga Mei 2005
(Tabel 3). Setiap pulau dilakukan pengambilan contoh semut pada plot berukuran
5 m x 5 m dengan jumlah plot bergantung pada jenis penggunaan lahan
(keanekaragaman patch) di suatu pulau dan kelengkapan spesies semut yang
diperoleh. Pulau yang heterogen, plot pengambilan contoh semut ditempatkan
mewakili keseluruhan patch (Gambar 10). Spesies semut pada suatu pulau dinilai
lengkap (mewakili keseluruhan spesies semut yang ada di suatu pulau) apabila
tidak ditemukan lagi spesies semut yang baru dengan penambahan jumlah plot.
■ : plot pengambilan contoh semut
Gambar 10 Penempatan plot pengambilan contoh semut pada pulau dengan jenis
penggunaan lahan (1) heterogen dan (2) homogen
Pulau Lancang Besar
Pulau Pramuka
Pulau Semak Daun
Pulau Bokor
(1)
(2)
23
Setiap plot dilakukan pengambilan contoh semut dengan metode koleksi
intensif (Bestelmeyer et al. 2000; Delabie et al. 2000; Hashimoto et al. 2001).
Koleksi intensif semut dilakukan pada tiga habitat yaitu (1) di dalam serasah atau
tanah, (2) di atas permukaan tanah, dan (3) pada tumbuhan (vegetasi). Lama
pengambilan contoh semut untuk satu plot berkisar 15 – 30 menit. Jenis semut
yang sama pada satu plot hanya dikoleksi beberapa individu saja, sehingga data
kekayaan spesies yang diperoleh berupa data presence-absence atau ada tidaknya
spesies semut pada suatu plot.
Semut yang dikoleksi dimasukkan dalam micro tube yang berisi alkohol
70% dan diberi label. Selanjutnya spesimen semut tersebut dibawa ke
laboratorium untuk dilakukan sortasi dan identifikasi. Identifikasi awal dilakukan
sampai tingkat morfospesies genus dengan menggunakan buku Identification
Guide to The Ant Genera of The World (Bolton 1997) dan selanjutnya spesimen
dikirim kepada ahli taksonomi semut (Prof. Seiki Yamane, Universitas
Kagoshima - Jepang) untuk dilakukan pengecekan ulang dan identifikasi hingga
tingkat spesies.
Analisis Data
Kelengkapan pengambilan contoh semut di Kepulauan Seribu yang
dilakukan ditampilkan dalam bentuk kurva akumulasi spesies (Colwell &
Coddington 1994; Willot 2001). Kelengkapan pengambilan contoh semut
ditunjukkan berdasarkan kurva kejenuhan, yang berarti bahwa jumlah plot yang
digunakan dapat menggambarkan keseluruhan spesies semut yang ada di
Kepulauan Seribu. Kurva tersebut diperoleh dengan menggunakan perangkat
lunak EstimateS 5 (Colwell 1997). Kurva akumulasi spesies yang halus
dihasilkan dengan melakukan pengacakan sebanyak 50 kali.
Kekayaan spesies semut yang terdapat pada suatu pulau atau keseluruhan
pulau diduga dengan menggunakan incidence-based coverage estimator (ICE)
yang merupakan penduga kekayaan spesies berdasarkan data presence-absence
(Colwell & Coddington 1994). Nilai ICE diperoleh dengan menggunakan
perangkat lunak EstimateS 5 (Colwell 1997).
24
Indeks Sorenson (Magurran 1988) digunakan untuk mengetahui kemiripan
komposisi dan kekayaan spesies semut antar pulau. Indeks tersebut dihitung
dengan menggunakan Biodiv 97 yang merupakan perangkat lunak macro untuk
Microsoft Excel (Messner 1997). Matrik kemiripan yang diperoleh kemudian
dianalisis lanjut dengan menggunakan analisis multidimensional scaling (MDS)
(Hair et al. 1998; Cheng 2004). Kemiripan kekayaan spesies semut antar pulau
adalah berdasarkan kedekatan jarak antar obyek yang digambarkan pada grafik
dua dimensi. Ketepatan obyek pada posisinya ditunjukkan dari nilai stress.
Semakin rendah nilai stress (mendekati nol) maka posisi obyek semakin tepat.
Perangkat lunak Statistica for Windows 5.0 (StatSoft 1995) digunakan untuk
melakukan analisis MDS.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Estimasi Kekayaan Spesies Semut
Metode koleksi intensif telah digunakan untuk pengambilan contoh semut
pada keseluruhan habitat di setiap plot meliputi habitat tanah atau serasah,
permukaan tanah, dan vegetasi. Hal tersebut untuk memberikan gambaran secara
menyeluruh mengenai kekayaan spesies semut yang ada pada suatu pulau,
sehingga data kekayaan spesies semut tersebut dapat dibandingkan dengan data
kekayaan spesies semut yang pada pulau yang lain. Penelitian ini menggunakan
kurva akumulasi spesies dan penduga ICE (Colwell & Coddington 1994) untuk
mengetahui kekayaan spesies suatu pulau berdasarkan jumlah plot yang dilakukan
pada pulau tersebut. Berdasarkan keseluruhan plot (210 plot) yang digunakan
pada 18 pulau di Kepulauan Seribu, spesies semut yang ditemukan berjumlah 48
spesies yang termasuk dalam 5 subfamili dan 28 genus (Tabel 4).
Kelengkapan pengambilan contoh semut berdasarkan penduga ICE pada
tiap pulau berbeda-beda (Tabel 4). Prediksi kekayaan spesies semut terendah
pada Pulau Onrust yaitu hanya ditemukan 67,02 % dari total spesies semut yang
ada di pulau tersebut, sedangkan prediksi tertinggi pada Pulau Payung Besar yaitu
25
96,70 % spesies semut berhasil ditemukan dari total spesies semut yang ada.
Rendahnya prediksi kekayaan spesies semut berdasarkan ICE pada Pulau Onrust
dan beberapa pulau yang lain disebabkan kurangnya jumlah plot pengambilan
contoh yang dilakukan. Penentuan cukup tidaknya plot pengambilan contoh
sesuai dengan ICE sulit diprediksi di lapangan. Pengambilan contoh semut
diprediksi kelengkapannya di lapangan berdasarkan tidak ditemukannya lagi
spesies semut yang baru dengan ditambahnya jumlah plot. Hal tersebut dilakukan
untuk efisiensi pelaksanaan penelitian di lapangan.
Tabel 4 Kekayaan spesies semut pada masing-masing pulau di Kepulauan Seribu
Total spesies No Pulau Subfamili Genus
Obs 1) Sp (%) ICE 2) 1. Onrust 3 10 14 20,89 (67,02) 2. Rambut 5 21 34 49,37 (68,87) 3. Untung Jawa 4 21 29 37,42 (77,50) 4. Bokor 4 20 32 36,51 (87,65) 5. Lancang Besar 4 18 27 31,06 (86,93) 6. Pari 5 24 34 37,18 (91,45) 7. Payung Besar 4 18 24 24,82 (96,70) 8. Tidung Kecil 5 21 26 31,89 (81,53) 9. Pramuka 5 20 30 36,86 (81,39)
10. Semak Daun 4 13 17 21,43 (79,33) 11. Kotok Besar 4 19 29 36,20 (80,11) 12. Paniki 5 20 27 30,85 (87,52) 13. Bira Kecil 5 21 27 29,11 (92,75) 14. Putri Barat 5 19 27 30,39 (88,85) 15. Bundar 4 18 25 29,12 (85,85) 16. Nyamplung 5 19 28 34,25 (81,75) 17. Penjaliran Barat 5 14 21 26,07 (80,55) 18. Dua Timur 5 14 19 26,47 (71,78)
Total 5 28 48 49,55 (96,87) 1) Obs = kekayaan spesies semut dari hasil observasi 2) ICE = incidence-based coverage estimator, prediksi keseluruhan spesies semut; Sp = jumlah
spesies semut berdasarkan prediksi, % = persentase spesies hasil observasi dengan spesies hasil prediksi
26
Gam
bar
11 K
urva
aku
mul
asi s
pesi
es se
mut
di K
epul
auan
Ser
ibu
010203040506070
010
2030
4050
6070
8090
100
110
120
130
140
150
160
170
180
190
200
210
Jum
lah p
lot
Jumlah spesies
Spes
ies
ICE
96.8
7%
27
Nilai prediksi ICE yang sempurna memungkinkan diperoleh apabila
dilakukan sensus dan dengan jumlah unit pengambilan contoh yang banyak
(Colwell & Coddington 1994). Tingginya perbedaan spesies antar plot yang
diperoleh menyebabkan nilai prediksi ICE menjadi rendah setelah dianalisis
dengan menggunakan perangkat lunak EstimateS 5 (Tabel 4). Nilai prediksi ICE
yang rendah pada jumlah plot rendah ditunjukkan dari fluktuasi nilai prediksi
jumlah spesies semut pada kisaran unit pengambilan contoh 1 sampai 20 plot
(Gambar 11).
Walaupun demikian, secara keseluruhan pengambilan contoh semut yang
dilakukan pada 18 pulau di Kepulauan Seribu menunjukkan bahwa 96,87 %
spesies semut berhasil diperoleh dari penelitian ini (Tabel 4). Hal tersebut berarti
bahwa pengambilan contoh semut telah lengkap dan dapat menggambarkan
keseluruhan spesies semut yang ada di Kepulauan Seribu. Pengambilan contoh
yang lengkap ditunjukkan dengan kejenuhan kurva akumulasi spesies hasil
observasi (Gambar 11).
Hubungan Keanekaragaman Semut dengan Karakteristik Pulau
Komposisi dan kekayaan spesies semut yang ditemukan pada masing-
masing pulau di Kepulauan Seribu memiliki perbedaan (Tabel 4). Perbedaan
tersebut diduga terkait dengan karakteristik masing-masing pulau yang berbeda
meliputi luas pulau, jarak isolasi pulau, jenis penggunaan lahan, dan keberadaan
dermaga. Analisis MDS digunakan untuk mengetahui hubungan karakteristik
pulau dengan keanekaragaman semut yang ada di dalamnya. Kemiripan
komposisi spesies semut antar pulau yaitu berdasarkan indeks Sorenson yang
digunakan dinilai lebih dapat menggambarkan hubungannya dengan karakteristik
pulau dibandingkan hanya berdasarkan jumlah spesies semut. Hal tersebut sejalan
dengan Cheng (2004) yang menyatakan bahwa MDS merupakan cara terbaik
untuk menggambarkan variasi dari keanekaragaman spesies bila dibandingkan
dengan analisis multivariat yang lain.
Hasil analisis MDS menunjukkan bahwa secara umum terdapat
kecenderungan karakteristik pulau mempengaruhi keanekaragaman semut. Luas
28
pulau yang berbeda cenderung memiliki perbedaan keanekaragaman semut.
Komposisi spesies semut pada kelompok luas pulau antara 0 - 20 ha (L1) terlihat
berbeda pengelompokannya dengan kelompok pulau dengan luas di atas 20 ha
(L2) (Gambar 12a). Hal tersebut sejalan dengan Wilson (1961) bahwa terdapat
hubungan antara luas suatu pulau dengan keanekaragaman semut di dalamnya.
Ukuran pulau yang luas akan mendukung pertambahan ukuran populasi spesies
semut karena tersedianya sumber makanan dan habitat yang sesuai (MacArthur &
Wilson 1967). Walaupun demikian, adanya irisan antara L1 dan L2 menunjukkan
bahwa perbedaan luas pada beberapa pulau memiliki komposisi spesies semut
yang sama. Hal tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan luas pulau di
Kepulauan Seribu yang rendah dan pengaruh karakterisitik pulau yang lain.
Jarak isolasi pulau dari Pulau Jawa juga cenderung memiliki hubungan
dengan komposisi spesies semut. Hal tersebut berdasarkan adanya pemisahan
antara kelompok pulau dengan kisaran jarak 0 – 15 km (J1), 16 – 31 km (J2), 32 –
47 km (J3), dan 48 – 63 km (J4) (Gambar 12b). Jarak isolasi suatu pulau terkait
dengan kemampuan dispersal (penyebaran) spesies semut untuk melakukan
migrasi ke suatu pulau. Semakin jauh jarak isolasi suatu pulau dari utama
(sumber kolonisasi) maka semakin tinggi hambatan spesies semut untuk
melakukan migrasi ke pulau tersebut. MacArthur & Wilson (1967) menyatakan
bahwa spesies dengan kemampuan menyebar rendah, tidak akan ditemukan pada
pulau yang terisolasi sangat jauh dengan sumber kolonisasi. Walaupun demikian,
hasil penelitian ini belum dapat menyimpulkan batas jarak isolasi pulau yang
menyebabkan perbedaan keanekaragaman semut. Hal tersebut ditunjukkan
menyatunya kelompok J3 dengan J1 dan J4 (Gambar 12b).
Pulau dengan jenis penggunaan lahan berbeda juga cenderung memiliki
keanekaragaman semut yang berbeda pula (Gambar 12c). Hal ini ditunjukkan
dengan adanya pemisahan antara kelompok pulau yang memiliki jenis habitat
hutan (H), hutan dan perumahan (HR), dan perumahan saja (R). Adanya irisan
antara H, HR, dan R menunjukkan bahwa beberapa pulau memiliki kemiripan
spesies semut walaupun jenis penggunaan lahannya berbeda. Hal tersebut diduga
disebabkan masih terdapatnya habitat yang sesuai untuk spesies semut tertentu.
29
Karakteristik pulau yang lain diduga juga memberikan pengaruh keanekaragaman
semut yang ada.
1 = Pulau Onrust, 2 = Pulau Rambut, 3 = Pulau Untung Jawa, 4 = Pulau Bokor, 5 = Pulau Lancang Besar, 6 = Pulau Pari, 7 = Pulau Payung Besar, 8 = Pulau Tidung Kecil, 9 = Pulau Pramuka, 10 = Pulau Semak Daun, 11 = Pulau Kotok Besar, 12 = Pulau Paniki, 13 = Pulau Bira Kecil, 14 = Pulau Putri Barat, 15 = Pulau Bundar, 16 = Pulau Nyamplung, 17 = Pulau Penjaliran Barat, 18 = Pulau Dua Timur L1 = 0 – 20 ha, L2 = > 20 ha J1 = 0 – 15 km, J2 = 16 – 31 km, J3 = 32 – 47 km, J4 = 48 – 63 km H = hutan, R = perumahan, HR = hutan dan perumahan P = ada dermaga, A = tidak ada dermaga
Gambar 12 MDS komposisi spesies semut dari tiap pulau di Kepulauan Seribu
berdasarkan indeks kemiripan Sorenson. Pengelompokan pulau berdasarkan (a) luas pulau, (b) jarak isolasi pulau, (c) jenis penggunaan lahan, dan
(d) keberadaan dermaga
13
4
15
18
115
16
1
126
7
17
9
14
2
10
83
-2.5 -2.0 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0Dimension 1
-1.4
-1.2
-1.0
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
Dim
ensi
on 2
stress: 0,1718
J1
J2
J3
J4
13
4
15
18
115
16
1
126
7
17
9
14
2
10
83
-2.5 -2.0 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0Dimension 1
-1.4
-1.2
-1.0
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
Dim
ensi
on 2
stress: 0,1718
HR
R
H
13
4
15
18
115
16
1
126
7
17
9
14
2
10
83
-2.5 -2.0 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0Dimension 1
-1.4
-1.2
-1.0
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
Dim
ensi
on 2
stress: 0,1718
L1 L2
13
4
15
18
115
16
1
126
7
17
9
14
2
10
83
-2.5 -2.0 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0Dimension 1
-1.4
-1.2
-1.0
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
Dim
ensi
on 2
stress: 0,1718
P
A
(a) (b)
(c) (d)
30
Keberadaan dermaga pada suatu pulau juga terlihat cenderung
mempengaruhi keanekaragaman semut pada suatu pulau. Hal ini ditunjukkan
dengan pemisahan yang sangat jelas antara kelompok pulau yang ada dermaga di
dalamnya (P) dan kelompok pulau yang tidak ada dermaganya (A) (Gambar 12d).
Keberadaan dermaga berhubungan dengan kemudahan manusia mengakses pulau
tersebut sehingga memfasilitasi penyebaran spesies semut tertentu. Spesies semut
tramp misalnya sangat terbantu dengan keberadaan manusia (Schultz & McGlynn
2000; Gibb & Hochuli 2003). Keberadaan manusia dan semut tramp akan
mempengaruhi keanekaragaman semut pada suatu habitat (Suarez et al. 1998;
Andersen 2000; Holway et al. 2002; Gibb & Hochuli 2003; Hill et al. 2003;
Graham et al. 2004; Schoereder 2004).
Beradasarkan hal tersebut di atas, kombinasi keseluruhan karakteristik pulau
memiliki hubungan yang kuat terhadap keanekaragaman semut di Kepulauan
Seribu. Pulau yang luas dan dengan jenis penggunaan lahan hutan memiliki
keanekaragaman semut yang tinggi, walaupun ditentukan juga oleh jarak isolasi
pulau tersebut dengan Pulau Jawa. Pulau Pari misalnya, dengan luas pulau 52,87
ha memiliki kekayaan spesies semut sama tingginya dengan Pulau Rambut yang
memiliki luas pulau lebih rendah (45,80 ha) tapi dengan jarak isolasi dari Pulau
Jawa lebih dekat (Tabel 4). Kedua pulau tersebut memiliki jenis penggunaan
lahan yang berbeda. Keseluruhan habitat di Pulau Rambut adalah hutan dengan
tingkat gangguan manusianya rendah. Sedangkan jenis penggunaan lahan Pulau
Pari adalah kombinasi antara perumahan dan hutan.
Jarak isolasi pulau yang dekat juga tidak selalu menentukan tingginya
keanekaragaman spesies semut pada suatu pulau. Pulau Onrust misalnya,
keanekaragaman semut yang ada pada pulau tersebut paling rendah walaupun
jaraknya paling dekat dengan Pulau Jawa. Habitat yang sangat terganggu diduga
menyebabkan banyak spesies semut yang tidak dapat bertahan atau bahkan
mengalami kepunahan, sehingga menjadikan tidak banyak ditemukannya spesies
semut pada pulau tersebut. Spesies semut yang mendominasi Pulau Onrust adalah
kelompok semut tramp yang hidup berasosiasi dengan manusia. Tingginya
intensitas gangguan pada Pulau Onrust karena pulau tersebut merupakan daerah
31
wisata yang selalu dikunjungi manusia. Lokasinya yang sangat dekat dengan
Pulau Jawa menjadikan akses manusia ke pulau tersebut sangat mudah. Bahkan,
berdasarkan PEMDA DKI (2003) gangguan habitat di Pulau Onrust telah terjadi
sejak penjajahan Belanda yaitu digunakan untuk tempat perbaikan kapal dan juga
pernah dijadikan sebagai benteng pertahanan.
KESIMPULAN
Metode koleksi intensif merupakan cara yang efektif untuk dapat
menggambarkan kekayaan spesies semut pada suatu pulau. Hubungan
karakteristik pulau dengan keanekaragaman semut dapat diketahui dengan
menggunakan analisis MDS. Keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu
dipengaruhi oleh karakteristik pulau yaitu meliputi luas area, jarak isolasi pulau,
jenis penggunaan lahan, dan keberadaan dermaga pada pulau tersebut. Kombinasi
keseluruhan karakteristik pulau memiliki hubungan yang kuat terhadap
keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu. Pulau yang luas dengan jenis
penggunaan lahan hutan dan memiliki jarak yang dekat dengan pulau Jawa
memiliki keanekaragaman semut yang tinggi walaupun terdapat dermaga di
dalamnya.
BAB IV POLA DISTRIBUSI DAN KEBERADAAN SPESIES SEMUT DI
KEPULAUAN SERIBU
PENDAHULUAN
Keberadaan spesies pada suatu habitat tidak terlepas dari kemampuan
distribusi dan adaptasi spesies tersebut (Whittaker 1998). Kemampuan distribusi
dan adaptasi spesies semut bergantung pada jenis spesiesnya (Holldobler &
Wilson 1990). Adanya aktivitas dan keberadaan manusia dapat mempengaruhi
keberadaan spesies semut dan pola distribusinya pada suatu daerah (Suarez et al.
1998; Gibb & Hochuli 2003; Graham et al. 2004; Schoereder 2004), bahkan
beberapa spesies semut telah beradaptasi dan hidup bersama dengan manusia
(semut tramp). Beberapa spesies semut tramp bersifat invasif dan selalu membuat
sarang di sekitar struktur yang dibuat oleh manusia (Schultz & McGlynn 2000),
serta memiliki mekanisme kolonisasi khusus sebagai hasil adaptasi dengan
gangguan manusia (Gibb & Hochuli 2003).
Konversi habitat yang dilakukan manusia dan keberadaan spesies invasif
menyebabkan terjadinya homogenisasi biotik atau penggantian lokal biota oleh
spesies pendatang yang dapat co-exist dengan manusia (McKinney & Lockwood
2001; Olden et al. 2004). Spesies semut endemik cenderung rentan dengan
perubahan habitat dan tidak mampu bersaing dengan spesies semut invasif.
Kemampuan adaptasi dan mekanisme tertentu yang dimiliki semut invasif
menjadikan keberadaannya dapat mempengaruhi spesies semut lain (Holway et al.
2002; Hill et al. 2003). Sebagai contoh penelitian Hill et al. (2003), semut invasif
Anoplolepis gracilipes mempengaruhi komunitas invertebrata lain bahkan
beberapa di antaranya mengalami kepunahan.
Di daerah kepulauan, keberadaan spesies semut selain dipengaruhi oleh luas
pulau dan jarak isolasi pulau dari sumber kolonisasi (MacArthur & Wilson 1967;
Wilson 1961) juga dipengaruhi sejarah geologi pulau dan sejarah gangguan
habitat yang ada di pulau tersebut. Walaupun demikian, informasi mengenai
biogeografi semut belum banyak diketahui (McGlynn 1999). Informasi masih
33
terbatas pada distribusi semut di dunia (McGlynn 1999). Pulau yang terisolasi
dan habitatnya tidak terganggu oleh manusia memiliki peluang sangat tinggi
terdapat spesies endemik di dalamnya Lomolino (2000). Tingkat gangguan
manusia tinggi pada suatu pulau akan selalu diikuti dengan keberadaan spesies
semut tramp atau invasif di dalamnya.
Tujuan penelitian ini adalah mempelajari keberadaan dan pola distribusi
spesies semut di Kepulauan Seribu. Keberadaan dan pola distribusi spesies terkait
dengan sejarah pulau dan tingkat gangguan habitat oleh manusia di pulau tersebut
(Whittaker 1998). Kepulauan Seribu yang berlokasi dekat dengan Jakarta
menjadikan tingkat gangguan habitat sangat tinggi. Tiap-tiap pulau memiliki
sejarah gangguan habitat yang berbeda, seperti gangguan habitat Pulau Onrust
telah terjadi sejak penjajahan Belanda (PEMDA DKI 2003).
BAHAN DAN METODE
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kepulauan Seribu yang secara geografi
terbentang antara 106°20’ - 106°50’ BT dan 05°20’ - 06°00’ LS. Pengambilan
contoh semut dilakukan pada 18 pulau yang memiliki perbedaan karakteristik
pulau meliputi luas pulau, jarak isolasi pulau dengan Pulau Jawa, jenis
penggunaan lahan, dan keberadaan dermaga. Luas pulau bervariasi antara 1 ha
(Pulau Semak Daun) hingga 52,87 ha (Pulau Pari). Pulau terdekat dengan Pulau
Jawa adalah Pulau Onrust yaitu 2,2 km, sedangkan pulau terjauh Pulau Dua Timur
yaitu 62,6 km. Penggunaan lahan terdiri atas tiga jenis yaitu (1) pulau yang hanya
terdapat perumahan (seperti Pulau Onrust), (2) pulau yang terdapat hutan dan
perumahan (seperti Pulau Untung Jawa), dan (3) pulau yang hanya terdiri atas
hutan (seperti Pulau Bokor). Umumnya di setiap pulau telah banyak mengalami
gangguan manusia yaitu ditunjukkan dengan keberadaan dermaga di pulau
tersebut. Walaupun demikian, ada beberapa pulau yang tidak memiliki dermaga
seperti Pulau Penjaliran Barat dan Pulau Dua Timur.
34
Pengambilan Contoh Semut
Pengambilan contoh semut dilaksanakan dari bulan Maret hingga Mei 2005.
Setiap pulau dilakukan pengambilan contoh semut pada plot berukuran 5 m x 5 m
dengan jumlah plot bergantung pada jenis penggunaan lahan (keanekaragaman
patch) di suatu pulau dan kelengkapan spesies semut yang diperoleh. Pulau yang
heterogen, plot pengambilan contoh semut ditempatkan mewakili keseluruhan
patch. Spesies semut pada suatu pulau dinilai lengkap (mewakili keseluruhan
spesies semut yang ada di suatu pulau) apabila tidak ditemukan lagi spesies semut
yang baru dengan penambahan jumlah plot.
Setiap plot dilakukan pengambilan contoh semut dengan metode koleksi
intensif (Bestelmeyer et al. 2000; Delabie et al. 2000; Hashimoto et al. 2001).
Koleksi intensif semut dilakukan pada tiga habitat yaitu (1) di dalam serasah atau
tanah, (2) di atas permukaan tanah, dan (3) pada tumbuhan (vegetasi). Lama
pengambilan contoh semut untuk satu plot berkisar 15 – 30 menit. Jenis semut
yang sama pada satu plot hanya dikoleksi beberapa individu saja, sehingga data
kekayaan spesies yang diperoleh berupa data presence-absence atau ada tidaknya
spesies semut pada suatu plot.
Semut yang dikoleksi dimasukkan dalam micro tube yang berisi alkohol
70% dan diberi label. Selanjutnya spesimen semut tersebut dibawa ke
laboratorium untuk dilakukan sortasi dan identifikasi. Identifikasi awal dilakukan
sampai tingkat morfospesies genus dengan menggunakan buku Identification
Guide to The Ant Genera of The World (Bolton 1997) dan selanjutnya spesimen
dikirim kepada ahli taksonomi semut di Jepang untuk dilakukan pengecekan ulang
dan identifikasi hingga tingkat spesies.
Analisis Data
Habitat utama suatu spesies semut diduga dengan menggunakan frekuensi
keberadaan spesies pada habitat tertentu. Data frekuensi diperoleh berdasarkan
proporsi ditemukannya spesies ke-i pada habitat ke-j dari keseluruhan plot
pengambilan contoh semut yang dilakukan (210 plot). Persamaan untuk
menentukan keberadaan spesies semut adalah:
35
Hubungan keberadaan spesies semut dengan karakteristik pulau di
Kepulauan Seribu dipelajari dengan menggunakan canonical correspondence
analysis (CCA) (ter Braak 1996). CCA merupakan teknik analisis multivariat
yang menghubungkan struktur komunitas spesies dengan karakteristik lingkungan
yang diketahui. Hubungan spesies dengan karakteristik lingkungan digambarkan
melalui grafik ordinasi. Karakteristik lingkungan ditampilkan berupa anak panah,
sedangkan spesies berupa titik. Kedekatan posisi spesies dengan karakteristik
lingkungan menunjukkan spesies tersebut memiliki hubungan yang kuat dengan
karakteristik lingkungan tersebut. CCA dianalisis dengan menggunakan
perangkat lunak Canoco 4.5 (ter Braak & Šmilauer 2002). Selain itu, keberadaan
dan pola distribusi spesies semut pada karakteristik pulau tertentu juga dipetakan
dengan menggunakan grafik sederhana. Jenis spesies yang dipetakan
dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu (1) spesies cryptic, (2) spesies invasif
dan (3) spesies semut yang hanya ditemukan pada jarak isolasi pulau tertentu.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kekayaan Spesies Semut di Kepulauan Seribu
Kekayaan spesies semut yang ditemukan di Kepulauan Seribu berjumlah 48
spesies yang termasuk dalam 5 subfamili dan 28 genus. Keseluruhan spesies
tersebut tersebar pada 18 pulau, beberapa spesies hanya ditemukan pada pulau
tertentu dan bahkan hanya pada habitat tertentu saja (Tabel 5). Spesies semut
Amblyopone sp.01 of SKY, Hypoponera sp.04, dan Ponera sp.01 hanya
ditemukan pada pulau tertentu saja. Hal tersebut diduga karena ketiga spesies
semut tersebut hanya bisa beradaptasi pada pulau tertentu atau kondisi habitat
tertentu saja. Selain itu, spesies-spesies tersebut diduga tidak memiliki
kemampuan menyebar yang baik.
100x 210
j-kehabitat pada i-ke spesiesditemukan plot jumlah (%) spesies Keberadaan =
36
Tabel 5 Jenis spesies semut yang ditemukan dan keberadaannya pada pulau-pulau di Kepulauan Seribu
No Spesies Lokasi pulau 1) Habitat 2)
Dolichoderinae 1. Dolichoderus thoracicus 3, 6, 7, 8, 9, 12, 15 TS, PT, V 2. Iridomyrmex anceps 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12,
14, 15, 16, 17, 18 TS, PT, V
3. Philidris sp.01 4, 5, 6, 8, 9, 14, 15, 16, 17 TS, PT, V 4. Philidris sp.02 4, 6, 11, 15, 16, 17, 18 TS, PT, V 5. Tapinoma sp. aff. melanocephalum Semua pulau TS, PT, V
6. Tapinoma sp.07 of SKY 3, 5, 6, 7, 8, 9,11, 12,14, 15, 16, 17, 18
TS, PT, V
7. Technomyrmex albipes 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 18
TS, PT, V
8. Technomyrmex kraepelini 2, 4, 9,11, 12, 13,15, 16 PT, V
Formicinae 9. Anoplolepis gracilipes 3, 5, 6, 7, 8, 9, 12, 13, 14 TS, PT, V 10. Camponotus reticulatus 2, 3, 4, 5, 6,8, 9,11, 12, 13, 14,
15, 16, 18 PT, V
11. Camponotus sp.47 of SKY 1, 2, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18
TS, PT, V
12. Echinopla lineata 11, 12, 13, 14, 15, 16, PT, V 13. Oecophylla smaragdina 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12,
13, 14, 15, 16 PT, V
14. Paratrechina longicornis Semua pulau TS, PT, V 15. Paratrechina sp.17 of SKY 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 14, 16, 17,
18 TS, PT, V
16. Paratrechina sp.24 of SKY 2, 3, 4, 5, 6, 7, 12, 15, 16, 17 TS, PT, V 17. Polyrhachis abdominalis 11, 12,16, 17, 18 PT, V 18. Polyrhachis arcuata 3, 4, 6, 7,9, 10, 13, 18 PT, V
Myrmicinae 19. Cardiocondyla nuda 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,11, 12, 13,
14, 15, 16, 17, 18 TS, PT, V
20. Crematogaster difformis 1, 2, 12 PT, V 21. Crematogaster sp.10 of SKY 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12,
13, 14, 15, 16, 18 PT, V
22. Crematogaster sp.70 of SKY 2, 5, 9, 13, 16 TS, PT, V 23. Meranoplus bicolor 6, 7, 8, 14 PT, V 24. Monomorium destructor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 9, 10, 11,13, 14 TS, PT, V 25. Monomorium floricola 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12,
13, 14, 15, 16, 17 TS, PT, V
26. Monomorium monomorium (?) 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10,12, 13,15,17
PT, V
37
Tabel 5 Lanjutan
No Spesies Lokasi pulau 1) Habitat 2) Myrmicinae
27. Monomorium sp. aff. sp.08 of SKY 2, 7,9 TS, PT, V 28. Oligomyrmex sp. aff. sp.10 of SKY 2, 3, 4, 5, 6 TS 29. Pheidole sp.01 Semua pulau TS, PT, V 30. Pheidole sp.02 4, 11, 16, 17, 18 TS, PT, V 31. Pheidole sp.03 4, 5,13, 14, 17 TS, PT, V 32. Solenopsis geminata 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 12, 13, 14,
15 TS, PT, V
33. Solenopsis sp.01 of SKY 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,11, 12, 13, 14, 15, 16, 17
TS, PT, V
34. Strumigenys emmae 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9,11, 12, 13,15, 16, 17, 18
TS
35. Tetramorium pacificum 2, 4,12 PT, V 36. Tetramorium smithi 2, 3, 5, 6, 9,11, 12, 13, 16,18 TS, PT, V 37. Tetramorium walshi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12,
13, 14,16 TS, PT, V
Ponerinae 38. Amblyopone sp.01 of SKY 3 TS 39. Anochetus graeffei 2,4, 6, 9,11,13,17 TS, PT 40. Hypoponera sp.01 2, 3, 4, 6, 8,10, 11, 12, 15, 18 TS 41. Hypoponera sp.02 3, 4, 6,10 TS 42. Hypoponera sp.03 2,4, 5, 12, 13, 14, 17 TS 43. Hypoponera sp.04 2 TS
44. Odontomachus simillimus 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10,12, 13, 14, 15, 16
TS, PT, V
45. Pachycondyla sp.42 of SKY 2, 14, 16 TS, PT 46. Platythyrea parallela 2, 3, 4, 6, 8, 11, 14, 15 PT, V 47. Ponera sp.01 2 TS
Pseudomyrmicinae 48. Tetraponera sp.01 2, 6, 7, 8, 9,11,13, 14,16, 17, 18 PT, V
1) Lokasi pulau = lokasi pulau dimana spesies semut ditemukan; 1 = Pulau Onrust, 2 = Pulau Rambut, 3 = Pulau Untung Jawa, 4 = Pulau Bokor, 5 = Pulau Lancang Besar, 6 = Pulau Pari, 7 = Pulau Payung Besar, 8 = Pulau Tidung Kecil, 9 = Pulau Pramuka, 10 = Pulau Semak Daun, 11 = Pulau Paniki, 12 = Pulau Kotok Besar, 13 = Pulau Putri Barat, 14 = Pulau Bira Kecil, 15 = Pulau Bundar, 16 = Pulau Nyamplung, 17 = Pulau Penjaliran Barat, 18 = Pulau Dua Timur
2) Habitat = habitat ditemukannya spesies semut; ST = serasah atau tanah, PT = permukaan tanah, V = tumbuhan atau vegetasi
38
Spesies semut Tapinoma sp. aff. melanocephalum, Paratrechina
longicornis, dan Pheidole sp.01 ditemukan pada keseluruhan pulau di Kepulauan
Seribu (Tabel 5). Diduga ketiga spesies tersebut memiliki kemampuan
penyebaran yang sangat baik. Adanya isolasi pulau tidak menjadi hambatan bagi
spesies semut tersebut untuk melakukan penyebaran. Bahkan spesies tersebut
diduga mampu beradaptasi dengan berbagai macam kondisi pulau seperti jenis
penggunaan lahan dan keberadaan manusia.
Kekayaan spesies semut yang ditemukan di Kepulauan Seribu lebih sedikit
bila dibandingkan dengan kekayaan spesies semut di Pulau Jawa. Rizali et al.
(2005) melaporkan sejumlah 94 spesies semut pada habitat perumahan di Bogor,
bahkan di Kebun Raya Bogor ditemukan 216 spesies semut (Ito et al. 2001). Hal
tersebut menunjukkan bahwa Pulau Jawa merupakan sumber kolonisasi spesies
semut bagi pulau-pulau kecil yang ada di sekitarnya.
Keanekaragaman Spesies Semut pada Berbagai Habitat
Komposisi dan kekayaan spesies semut yang ditemukan pada tiap habitat di
Kepulauan Seribu beranekaragam, bahkan beberapa spesies hanya ditemukan
pada habitat tertentu. Di antaranya pada habitat tanah dan serasah, sebanyak 8
spesies hanya ditemukan pada habitat tersebut yaitu dari genus Amblyopone,
Hypoponera, Oligomyrmex, Ponera, dan Strumigenys (Tabel 5). Spesies-spesies
tersebut merupakan kelompok spesies cryptic yang hanya hidup dalam tanah atau
serasah dan tidak muncul dipermukaan tanah bahkan di vegetasi (Brown 2000).
Spesies Anochetus graeffei dan Pachycondyla sp.42 of SKY, keduanya
ditemukan pada dua habitat yaitu di dalam tanah atau serasah dan di atas
permukaan tanah (Tabel 5). Walaupun demikian, berdasarkan frekuensi total plot
pengambilan contoh yang digunakan dapat disimpulkan bahwa A. graeffei habitat
utamanya adalah di dalam tanah atau serasah (6,19 %) (Tabel 6). Hal tersebut
sesuai dengan Brown (2000) bahwa genus Anochetus termasuk ke dalam spesies
cryptic yang hanya hidup di dalam tanah dan serasah. Sedangkan Pachycondyla
sp.42 of SKY, habitat utamanya adalah di permukaan tanah yaitu berdasarkan
frekuensi keberadaannya pada habitat tersebut (1,43 %) (Tabel 6).
39
Tabel 6 Frekuensi ditemukannya spesies semut pada habitat tanah atau serasah dan permukaan tanah
Habitat (%)
No Spesies Tanah atau serasah Permukaan tanah
1. Anochetus graeffei 6,19 1,43
2. Pachycondyla sp.42 of SKY 0,95 1,43
Spesies Camponotus reticulatus, Crematogaster sp.10 of SKY, Tetraponera
sp.01, dan Oecophylla smaragdina umum ditemukan pada vegetasi (tumbuhan)
walaupun ditemukan juga pada di atas permukaan tanah (Tabel 7). Menurut
Brown (2000) genus Oecophylla dan Tetraponera biasa membuat sarang di
vegetasi, sedangkan genus Camponotus habitatnya bisa pada tumbuhan, tanah
atau serasah. Perilaku pekerja yang umumnya menjelajah sampai ke permukaan
tanah untuk mencari makanan menjadikan spesies-spesies tersebut ditemukan juga
di habitat permukaan tanah.
Tabel 7 Frekuensi ditemukannya spesies semut pada habitat permukaan tanah dan vegetasi
Habitat (%)
No Spesies Permukaan tanah Vegetasi
1. Camponotus reticulatus 15,71 22,86
2. Crematogaster difformis 0,48 1,43
3. Crematogaster sp.10 of SKY 12,38 38,57
4. Echinopla lineata 2,38 5,71
5. Meranoplus bicolor 2,86 0,48
6. Monomorium monomorium (?) 7,62 11,90
7. Oecophylla smaragdina 31,90 43,33
8. Platythyrea parallela 1,90 2,86
9. Polyrhachis abdominalis 2,38 8,10
10. Polyrhachis arcuata 5,24 4,76
11. Technomyrmex kraepelini 9,52 5,24
12. Tetramorium pacificum 0,48 2,86
13. Tetraponera sp.01 1,43 13,81
40
Tabel 8 Frekuensi ditemukannya spesies semut pada keseluruhan habitat (habitat tanah atau serasah, permukaan tanah, dan vegetasi)
Habitat (%)
No Spesies Tanah atau serasah Permukaan tanah Vegetasi
1. Anoplolepis gracilipes 1,90 22,38 17,62
2. Camponotus sp.47 of SKY 1,90 17,62 8,10
3. Cardiocondyla nuda 3,81 16,19 2,86
4. Crematogaster sp.70 of SKY 0,95 1,90 7,62
5. Dolichoderus thoracicus 0,48 10,95 14,76
6. Iridomyrmex anceps 0,48 28,10 16,19
7. Monomorium destructor 0,48 8,10 5,24
8. Monomorium floricola 7,62 27,14 7,14
9. Monomorium sp. aff. sp.08 of SKY 0,95 0,48 0,48
10. Odontomachus simillimus 2,38 35,71 0,95
11. Paratrechina longicornis 3,33 72,38 57,14
12. Paratrechina sp.17 of SKY 7,62 19,05 7,62
13. Paratrechina sp.24 of SKY 4,76 3,81 4,29
14. Pheidole sp.01 49,05 55,24 6,19
15. Pheidole sp.02 2,38 3,81 0,48
16. Pheidole sp.03 1,90 4,76 0,95
17. Philidris sp.01 2,38 9,52 4,29
18. Philidris sp.02 0,48 9,05 14,29
19. Solenopsis geminata 8,57 40,48 6,19
20. Solenopsis sp.01 of SKY 27,62 0,48 2,38
21. Tapinoma sp. aff. melanocephalum 8,57 56,19 51,43
22. Tapinoma sp.07 of SKY 1,90 6,67 21,90
23. Technomyrmex albipes 0,48 3,81 14,76
24. Tetramorium smithi 2,38 5,71 6,19
25. Tetramorium walshi 23,33 46,67 9,52
Spesies yang ditemukan pada keseluruhan habitat juga memiliki
kecenderungan dominan pada habitat tertentu (Tabel 8). Seperti Anoplolepis
gracilipes, Camponotus sp.47 of SKY, Cardiocondyla nuda, Iridomyrmex anceps,
Monomorium floricola, Monomorium destructor Odontomachus simillimus,
Paratrechina longicornis, Paratrechina sp.17 of SKY, Pheidole sp.01, Solenopsis
41
geminata, Tapinoma sp. aff. melanocephalum, dan Tetramorium walshi,
walaupun ditemukan pada keseluruhan habitat, spesies-spesies tersebut lebih
dominan ditemukan pada habitat permukaan tanah. Spesies-spesies semut yang
tersebut diatas dominan di permukaan tanah karena termasuk semut tramp yang
hidupnya berasosiasi sangat dekat dengan manusia dan umumnya selalu membuat
sarang di sekitar struktur yang dibuat oleh manusia (Schultz & McGlynn 2000).
Bahkan beberapa spesies seperti A. gracilipes memiliki mekanisme kolonisasi
khusus sebagai hasil adaptasi dengan gangguan manusia (Gibb & Hochuli 2003).
Pola Distribusi dan Keberadaan Spesies Semut
Berdasarkan hasil ordinasi dengan menggunakan CCA menunjukkan bahwa
beberapa spesies semut keberadaannya cenderung dipengaruhi oleh karakteristik
pulau meliputi luas pulau, jarak isolasi pulau, jenis penggunaaan lahan (rumah
dan perumahan), dan keberadaan dermaga (Gambar 13). Hal yang sama juga
ditunjukkan berdasarkan pemetaan spesies dengan menggunakan grafik (Gambar
14, 15, dan 16). Hal tersebut menunjukkan bahwa keberadaan spesies semut
tertentu memiliki hubungan dengan karakteristik pulau tertentu.
Keberadaan beberapa spesies cryptic cenderung dipengaruhi oleh jarak
isolasi pulau dan jenis penggunaan lahan pada pulau tersebut (Gambar 13 dan 14).
Seperti Amblyopone sp.01 of SKY hanya ditemukan di Untung Jawa, sedangkan
Hypoponera sp.4 dan Ponera sp. 1 hanya ditemukan di Pulau Rambut. Ketiga
spesies tersebut hanya ditemukan pada pulau yang dekat dengan Pulau Jawa
(Gambar 14). Adanya hubungan keberadaan spesies semut tersebut dengan jarak
isolasi pulau dan keberadaan hutan pada suatu pulau menjadikannya berpotensi
sebagai spesies indikator di Kepulauan Seribu.
Spesies semut eksotik ditemukan keberadaannya di Kepulauan Seribu pada
penelitian ini, bahkan keseluruhan spesies eksotik tersebut dikenal bersifat invasif
yaitu Anoplolepis gracilipes, Solenopsis geminata dan Paratrechina longicornis
(McGlynn 1999). Keberadaan spesies A. gracilipes dan S. geminata pada suatu
pulau berhubungan dengan keberadaan dermaga pada pulau tersebut (Gambar 13
dan 15). Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua spesies eksotik invasif tersebut
42
menyebar ke pulau-pulau tersebut melalui perantara manusia. Keberadaan dan
aktivitas yang dilakukan manusia menurut Gibb dan Hochuli (2003) juga
membantu proses kolonisasi semut invasif tersebut. Berbeda dengan spesies P.
longicornis, spesies eksotik invasif ini mampu menyebar keseluruhan pulau di
Kepulauan Seribu tanpa dipengaruhi hambatan jarak isolasi pulau. P. longicornis
memiliki kemampuan penyebaran yang sangat baik dan mampu beradaptasi
dengan berbagai macam kondisi habitat (Brown 2000; McGlynn 1999).
Beberapa spesies semut tertentu keberadaanya hanya dipengaruhi oleh
faktor jarak isolasi pulau dengan Pulau Jawa. Seperti Polyrachis abdominalis dan
Echinopla lineata (Gambar 13), kedua spesies tersebut hanya ditemukan pada
pulau dengan jarak isolasi di atas 34 km dari Pulau Jawa (Gambar 16). Demikian
juga Meranoplus bicolor yang hanya ditemukan pada kisaran jarak 16 – 43 km
dari Pulau Jawa (Gambar 16). Sedangkan Tetramorium pacificum, Monomorium
sp. aff. sp.08 of SKY dan Crematogaster difformis hanya ditemukan pada pulau-
pulau dengan jarak isolasi di bawah 34 km dari Pulau Jawa. Walaupun demikian,
hasil tersebut belum dapat digunakan untuk menarik kesimpulan bahwa jarak
suatu pulau dengan Pulau Jawa mempengaruhi pola distribusi dan keberadaan
spesies semut tersebut. Hal tersebut karena keseluruhan spesies semut tersebut
dapat ditemukan di Pulau Jawa walaupun di Kepulauan Seribu hanya ditemukan
pada jarak isolasi pulau tertentu. Faktor gangguan habitat diduga menjadi
penyebab utama hilangnya spesies semut tersebut pada pulau-pulau yang
lokasinya dekat dengan pulau Jawa, sehingga menimbulkan perbedaan keberadaan
spesies semut pada pulau-pulau di Kepulauan Seribu.
Spesies semut yang ada di Pulau Seribu secara umum terdapat juga di Pulau
Jawa, hal ini diduga karena kepulauan tersebut secara sejarah geografi pulau
termasuk dalam wilayah daratan Oriental (Wallace dalam Whittaker 1998).
Walaupun demikian, keberadaan spesies semut endemik tidak ditemukan di
Kepulauan Seribu dari hasil penelitian ini. Padahal spesies tersebut dapat
digunakan sebagai indikator dan memberikan informasi yang penting untuk studi
biogeografi kepulauan.
43
Phi sp2 = Philidris sp.02; Tec kra = Technomyrmex kraepelini; Anp grc = Anoplolepis gracilipes; Cam sp47 = Camponotus sp.47 of SKY; Ech lin = Echinopla lineata; Par sp17 = Paratrechina sp.17 of SKY; Pol abd = Polyrhachis abdominalis; Pol arc = Polyrhachis arcuata; Cre dif = Crematogaster difformis; Cre sp70 = Crematogaster sp.70 of SKY; Mer bic = Meranoplus bicolor; Mon sp8 = Monomorium sp. aff. sp.08 of SKY; Oli sp10 = Oligomyrmex sp. aff. sp.10 of SKY; Phe sp2 = Pheidole sp.02; Sol gem = Solenopsis geminata; Tet pac = Tetramorium pacificum; Tet smi = Tetramorium smithi; Amb sp1 = Amblyopone sp.01 of SKY; Hyp sp1 = Hypoponera sp.01; Hyp sp2 = Hypoponera sp.02; Hyp sp3 = Hypoponera sp.03; Hyp sp4 = Hypoponera sp.04; Pac sp42 = Pachycondyla sp.42 of SKY; Pla par = Platythyrea parallela; Pon sp1 = Ponera sp.01; Ttr sp1 = Tetraponera sp.01
Gambar 13 Ordinasi canonical corespondence analysis (CCA) antara spesies semut (∆) dengan karakteristik pulau (panah). Spesies yang berposisi di pusat
tidak dimunculkan namanya karena terlalu padat
44
Gam
bar 1
4 P
ola
dist
ribus
i dan
keb
erad
aan
spes
ies s
emut
cry
ptic
di K
epul
auan
Ser
ibu
2.2
4.2
4.8
79.
416
.120
.822
.828
.631
.234
.235
.143
.245
.952
.654
.959
.662
.6
8.23
45.8
039
.12
16.3
426
.43
52.8
722
.74
19.7
119
.92
1.00
22.6
55.
808.
629.
635.
768.
9621
.65
21.4
2
PP
PP
PP
PP
PA
PA
PP
PA
AA
RH
HR
HR
HR
HR
HR
HR
HH
RH
HR
HR
HR
HH
H
Ambl
yopo
ne s
p.01
of S
KY
Hyp
opon
era
sp.0
1
Hyp
opon
era
sp.0
2
Hyp
opon
era
sp.0
3
Hyp
opon
era
sp.0
4
Olig
omyr
mex
sp.
aff.
sp.
10 o
f SK
Y
Pone
ra s
p.01
Stru
mig
enys
em
mae
Jara
k is
olas
i (km
) Lu
as a
rea
(ha)
D
erm
aga
(A =
tida
k ad
a; P
= a
da)
Peng
guna
an la
han
(H =
hut
an; R
=
peru
mah
an; H
R =
hut
an d
an p
erum
ahan
)
45
Gam
bar 1
5 P
ola
dist
ribus
i dan
keb
erad
aan
spes
ies s
emut
inva
sif d
i Kep
ulau
an S
erib
u
2.2
4.2
4.8
79.
416
.120
.822
.828
.631
.234
.235
.143
.245
.952
.654
.959
.662
.6
8.23
45.8
039
.12
16.3
426
.43
52.8
722
.74
19.7
119
.92
1.00
22.6
55.
808.
629.
635.
768.
9621
.65
21.4
2
PP
PP
PP
PP
PA
PA
PP
PA
AA
RH
HR
HR
HR
HR
HR
HR
HH
RH
HR
HR
HR
HH
H
Anop
lole
pis
grac
ilipe
s
Sole
nops
is g
emin
ata
Para
trec
hina
long
icor
nis
Jara
k is
olas
i (km
) Lu
as a
rea
(ha)
D
erm
aga
(A =
tida
k ad
a; P
= a
da)
Peng
guna
an la
han
(H =
hut
an; R
=
peru
mah
an; H
R =
hut
an d
an p
erum
ahan
)
46
Gam
bar 1
6 P
ola
dist
ribus
i dan
keb
erad
aan
bebe
rapa
spes
ies s
emut
yan
g di
peng
aruh
i ole
h ja
rak
isol
asi p
ulau
di K
epul
auan
Ser
ibu
2.2
4.2
4.8
79.
416
.120
.822
.828
.631
.234
.235
.143
.245
.952
.654
.959
.662
.6
8.23
45.8
039
.12
16.3
426
.43
52.8
722
.74
19.7
119
.92
1.00
22.6
55.
808.
629.
635.
768.
9621
.65
21.4
2
PP
PP
PP
PP
PA
PA
PP
PA
AA
RH
HR
HR
HR
HR
HR
HR
HH
RH
HR
HR
HR
HH
H
Tetr
amor
ium
pac
ificu
m
Poly
rhac
his
abdo
min
alis
Phei
dole
sp.
02
Pach
ycon
dyla
sp.
42 o
f SK
Y
Mon
omor
ium
sp.
aff.
sp.
08 o
f SK
Y
Cre
mat
ogas
ter
diffo
rmis
Echi
nopl
a lin
eata
Mer
anop
lus
bico
lor
Jara
k is
olas
i (km
) Lu
as a
rea
(ha)
D
erm
aga
(A =
tida
k ad
a; P
= a
da)
Peng
guna
an la
han
(H =
hut
an; R
=
peru
mah
an; H
R =
hut
an d
an p
erum
ahan
)
47
Spesies Odontoponera denticulata yang merupakan spesies endemik di
wilayah Indomalaya (Brown 2000) tidak ditemukan keberadaannya di Kepulauan
Seribu, padahal spesies semut tersebut umum ditemukan di daerah urban Bogor
(Rizali et al. 2005) dan daerah lain di Jawa. Spesies ini merupakan spesies
epigaeic yang habitat utamanya di permukaan tanah (Brown 2000). Kemampuan
distribusi dan habitat yang tidak sesuai diduga menjadi faktor yang mempengaruhi
keberadaan spesies tersebut di Kepulauan Seribu. Penyebaran O. denticulata
diduga tidak difasilitasi oleh manusia sehingga adanya isolasi laut menjadi faktor
pembatas utama penyebarannya. Kondisi tanah di Kepulauan Seribu yang
berbeda dengan di Jawa diduga juga menjadi penyebab tidak ditemukannya
spesies tersebut di Kepulauan Seribu.
KESIMPULAN
Pola distribusi dan keberadaan spesies semut di Kepulauan Seribu
dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu luas area, jarak isolasi pulau, jenis
penggunaan lahan, dan keberadaan dermaga pada pulau tersebut. Beberapa
spesies cryptic keberadaannya hanya ditemukan pada pulau tertentu, sehingga
spesies semut tersebu berpotensi digunakan sebagai indikator. Keberadaan
spesies semut invasif berhubungan erat dengan keberadaan dermaga pada suatu
pulau. Adanya dermaga mempermudah akses manusia, sehingga memfasilitasi
spesies semut invasif terdistribusi ke pulau tersebut. Gangguan habitat yang
tinggi pada pulau-pulau di Kepulauan Seribu menjadikan hilangnya spesies semut
tertentu yaitu ditunjukkan dari keberadaan Polyrachis abdominalis dan Echinopla
lineata hanya ditemukan pada pulau dengan jarak isolasi di atas 34 km dari Pulau
Jawa., padahal spesies semut tersebut ditemukan juga di Pulau Jawa.
BAB V PEMBAHASAN UMUM
Pemilihan alat dan metode yang tepat diperlukan dalam penelitian yang
terkait dengan keanekaragaman semut pada daerah kepulauan. Hubungan
keanekaragaman semut dengan karakteristik pulau dapat diketahui apabila
menggunakan (1) data karakteristik pulau yang tepat dan (2) data keanekaragaman
semut yang menggambarkan keseluruhan jenis spesies semut pada pulau tersebut.
Penggunaan SIG dalam penelitian ini sangat membantu dalam pengukuran data
karakteristik pulau. SIG mempermudah baik dalam tahap pengambilan data di
lapangan maupun pada proses pemetaan dan pengukuran karakteristik pulau.
Metode koleksi semut secara intensif dalam suatu plot yang digunakan pada
penelitian ini merupakan metode yang sangat efektif untuk menggambarkan
keanekaragaman semut pada pulau tersebut. Koleksi semut yang dilakukan pada
tanah atau serasah, permukaan tanah, dan vegetasi (tumbuhan) dapat memberikan
informasi yang lengkap mengenai keanekaragaman semut pada keseluruhan
habitat di suatu pulau. Walaupun demikian, jumlah plot pengambilan contoh
yang digunakan pada suatu pulau juga menentukan kelengkapan jenis spesies
semut yang diperoleh. Plot pengambilan contoh yang banyak dan penempatannya
mewakili keseluruhan patch penggunaan lahan pada suatu pulau akan
mendapatkan keanekaragaman semut yang menggambarkan keseluruhan spesies
semut yang ada pada suatu pulau yaitu ditunjukkan dengan nilai prediksi ICE
yang tinggi. Prediksi kelengkapan pengambilan contoh semut di lapangan yang
dilakukan pada penelitian ini adalah berdasarkan tidak adanya penambahan
spesies semut yang baru dengan penambahan plot pengambilan contoh. Hal
tersebut dilakukan untuk efisiensi pelaksanaan penelitian di lapangan. Informasi
yang diperoleh melalui metode tersebut cukup menggambarkan keanekaragaman
spesies semut pada suatu pulau walaupun berdasarkan prediksi ICE rendah.
Jumlah plot pengambilan contoh semut pada suatu pulau tidak selalu
berhubungan dengan luas pulau tersebut. Berdasarkan hasil penelitian ini jumlah
plot minimal untuk pengambilan contoh semut pada pulau-pulau di Kepulauan
Seribu adalah 20 plot. Penambahan jumlah plot pengambilan contoh diperlukan
49
pada kondisi (1) pulau dengan jenis penggunaan lahan yang heterogen atau (2)
masih ditemukannya spesies semut yang baru apabila dilakukan penambahan
jumlah plot pengambilan contoh.
Model equilibrium dalam teori biogeografi kepulauan (MacArthur &
Wilson 1967) tidak dapat digunakan untuk prediksi keanekaragaman semut di
Kepulauan Seribu. Hubungan keanekaragaman semut pada suatu pulau tidak
hanya dipengaruhi oleh jarak isolasi dan luas pulau tetapi juga dipengaruhi oleh
karakteristik pulau yang lain. Hal tersebut sejalan dengan Lomolino (2000)
bahwa karakteristik pulau dan gangguan habitat yang ada pada suatu pulau dapat
mempengaruhi adaptasi dan penyebaran spesies pada suatu pulau. Penggunaan
analisis MDS dapat membantu untuk menggambarkan hubungan antara
keanekaragaman semut dengan karakteristik pulau yaitu berdasarkan kemiripan
komposisi spesies semut tertentu pada karakteristik pulau tertentu. Sedangkan
hubungan keberadaan spesies semut tertentu dengan karakteristik pulau tertentu
dapat diketahui dengan menggunakan ordinasi CCA.
Keberadaan spesies semut pada suatu pulau di Kepulauan Seribu diduga
dipengaruhi oleh (1) spesies tersebut telah ada sejak pulau itu terbentuk, (2)
spesies tersebut mampu melakukan migrasi ke pulau tersebut, dan (3) spesies
tersebut terbawa oleh manusia ke pulau tersebut. Keberadaan spesies semut
cryptic pada suatu pulau diduga telah ada sejak pulau tersebut terbentuk, kecuali
beberapa spesies seperti S. emmae karena spesies semut tersebut menurut
McGlynn (1999) termasuk spesies transfer (pendatang) yang menyebar ke suatu
pulau melalui perantara manusia. Spesies A. gracilipes dan S. geminata karena
termasuk spesies semut eksotik invasif (McGlynn 1999) keberadaaanya pada
suatu pulau dipengaruhi oleh keberadaan manusia. Berbeda dengan spesies semut
yang lain, P. longicornis memiliki kemampuan penyebaran yang sangat baik dan
mampu beradaptasi dengan berbagai macam kondisi habitat (Brown 2000;
McGlynn 1999), sehingga spesies semut tersebut dapat ditemukan keberadaannya
pada keseluruhan pulau di Kepulauan Seribu.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah :
1. Penggunaan SIG memudahkan baik dalam proses pengambilan data di
lapangan maupun pada tahap analisis data. Dengan SIG akan diperoleh
ketepatan dan keakuratan hasil pengukuran karakteristik pulau.
2. Penggunaan metode koleksi intensif untuk koleksi semut cukup efektif
untuk menggambarkan kekayaan spesies semut di Kepulauan Seribu.
3. Jumlah plot pengambilan contoh yang diperlukan pada pulau dengan kondisi
habitat heterogen lebih banyak dibandingkan dengan habitat yang homogen,
walaupun demikian pada pelaksanaanya jumlah plot dibatasi untuk efisiensi
pelaksanaan penelitian di lapangan.
4. Keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh berbagai
karakteristik pulau yaitu luas area, jarak isolasi pulau, jenis penggunaan
lahan, dan keberadaan dermaga pada pulau tersebut. Kombinasi
keseluruhan karakteristik pulau mempengaruhi keanekaragaman semut di
Kepulauan Seribu.
5. Pola distribusi dan keberadaan spesies semut di Kepulauan Seribu juga
dipengaruhi oleh karakteristik pulau. Spesies semut cryptic berpotensi
digunakan sebagai indikator karena hanya ditemukan pada karakteristik
pulau tertentu. Gangguan habitat menyebabkan hilangnya spesies semut
tertentu pada beberapa pulau di Kepulauan Seribu.
Saran
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan untuk penelitian
selanjutnya. Di antara hal-hal yang dapat disarankan adalah :
1. Jumlah plot minimal untuk pengambilan contoh semut pada pulau-pulau di
Kepulauan Seribu adalah 20 plot. Hal tersebut untuk mendapatkan nilai
prediksi kekayaan semut yang tinggi di setiap pulaunya. Diperlukan jumlah
plot lebih banyak pada pulau dengan jenis penggunaan lahan heterogen.
51
2. Tidak ditemukannya spesies endemik pada penelitian ini menjadi informasi
penting untuk penelitian selanjutnya. Sensus pada keseluruhan habitat yang
ada pada suatu pulau akan memperbesar kemungkinan menemukan spesies
endemik di Kepulauan Seribu.
3. Pengaruh keberadaan spesies semut invasif pada pulau dapat dipelajari lebih
mendalam pada penelitian selanjutnya. Berdasarkan penelitian ini
menunjukkan bahwa ada kecenderungan keanekaragaman semut pada suatu
pulau dipengaruhi oleh keberadaan spesies invasif pada pulau tersebut.
4. Tidak adanya spesies semut Odontoponera denticulata menarik untuk
dipelajari lebih lanjut, dengan mengingat bahwa spesies semut ini dominan
dan umum ditemukan di Pulau Jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah AT. 2003. Sealand regionism: new paradigm for water based settlement development of the Jakarta metropolitan area. Di dalam: Seventh International Congress of Apsa Hanoi 2003. Planning Theory and History. [terhubung berkala]. http://www.hau.edu.vn/apsa2003/
Andersen AN. 2000. Global ecology of rainforest ants: functional groups in relation to environmental stress and disturbance. Di dalam: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR, editor. Ants: Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Washington: Smithsonian Institution Press.
Aronoff S. 1995. Geographic Information Systems: A Management Perspective. Canada: WDL Publications.
Atkins MD. 1980. Introduction to Insect Behavior. New York: MacMillan Publishing.
Badano EI et al. 2005. Species richness and structure of ant communities in a dynamic archipelago: Effects of island area and age. J Biogeography 32: 221-227.
[Bakosurtanal] Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. 1999. Kepulauan Seribu. [peta rupabumi]. [Di dalam]: Peta Rupabumi Digital Indonesia. Berwarna, skala 1 : 25.000. Lembar 1210-111, 1210-112, 1210-113, 1210-114, 1210-131, 1210-132, 1210-133, 1210-411, 1110-324, 1110-342, 1110-622, 1209-434.
Bestelmeyer BT et al. 2000. Field techniques for the study of ground-dwelling ants. Di dalam: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR, editor. Ants: Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Washington: Smithsonian Institution Press.
Bolton B. 1997. Identification Guide to the Ant Genera of the World. London: Harvard University press.
Brown WL. 2000. Diversity of Ants. Di dalam: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR, editor. Ants: Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Washington: Smithsonian Institution Press.
Brown JH, Lomolino MV. 2000. Concluding remarks: historical perspective and the future of island biogeography theory. Global Ecology & Biogeography 9: 87–92
Cheng C. 2004. Statistical approaches on discriminating spatial variation of species diversity. Bot Bull Acad Sin 45: 339-346.
Colwell RK. 1997. EstimateS 5: Statistical estimation of species richness and shared species from samples. [terhubung berkala]. http://www.viceroy.eeb. uconn.edu/estimates. [17 Desember 1997].
53
Colwell RK, Coddington JA. 1994. Estimating terrestrial biodiversity through extrapolation. Philosophical Transactions: Biological Sciences 345: 101-118.
Delabie JHC, Fisher BL, Majer JD, Wright IW. 2000. Sampling effort and choice and methods. In Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR, editor. Ants: Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Washington: Smithsonian Institution Press.
Elkie PC, Rempel RS, Carr AP. 1999. Patch Analyst User’s Manual: A Tool for Quantifying Landscape Structure. Ontario, Canada: Queen’s Printer.
[ESRI] Environmental Systems Research Institute. 2002. ArcView GIS 3.3. New York: ESRI.
Gibb H, Hochuli DF. 2003. Colonisation by a dominant ant facilitated by anthropogenic disturbance: affects on ant assemblage composition, biomass and resourse use. Oikos 103: 469-478.
Gilbert M. 1997. A user-friendly PC-based GIS for forest entomology: an attemp to combine existing software. Di dalam: Grègoire JC, Liebhold AM, Stephen FM, Day KR, Salom SM, editor. Integrating Cultural Tactics into the Management of Bark Beetle and Reforestation Pest. USDA Forest Service General Technical Report.
Gonzalez A. 2000. Community relaxation in fragmented landscapes: the relation between species richness, area, and age. Ecology Letters 3: 441-448.
Graham JH et al. 2004. Habitat disturbance and the diversity and abundance of ants (Formicidae) in the Southeastern Fall-Line Sandhills. J Insect Science 4(30): 1-15. [terhubung berkala]. http://www.insectscience.org/4.30
Hair JF et al. 1998. Multivariate Data Analysis 5th eds. USA: Prentice-Hall International.
Hashimoto Y, Yamane S, Mohamed M. 2001. How to design an inventory method for ground-level ants in tropical forests. Nature and Human Activities 6: 25-30.
Hill M, Holm K, Vel T, Shah NJ, Matyot P. 2003. Impact of the introduced yellow crazy ant Anoplolepis gracilipes on Bird Island, Seychelles. Biodiversity and Conservation 12: 1969-1984.
Holway DA , Lach L, Suarez AV, Tsutsui ND, Case TJ. 2002. The causes and consequences of ant invasions. Annu Rev Ecol Syst 33: 181-233.
Hölldobler B, Wilson EO. 1990. The Ants. Canada: Hardvard University Press.
Hunter MD. 2002. Landscape structure, habitat fragmentation, and the ecology of insects. Agricultural and Forest Entomology 4: 159-166.
Ito F et al. 2001. Ant species diversity in the Bogor Botanical Garden, West Java, Indonesia, with descriptions of two new species of the genus Leptanilla (Hymenoptera: Formicidae). Tropics 10(3): 379-404.
54
Joshi C, de Leeuw J, van Duren IC. 2004. Remote sensing and GIS apllications for mapping and spatial modelling of invasive species. Di dalam: The XXth ISPRS Congress “Geo Imagery Bridging Continents”. Istanbul Turkey, 12-23 July 2004. Proceeding Vol. XXXV. [terhubung berkala]. http://www.isprs.org/istanbul2004/ comm7/papers/132.pdf
Lomolino MV. 2000. A call for a new paradigm of island biogeography. Global Ecology & Biogeography 9: 1–6
MacArthur RH, Wilson EO. 1967. The Theory of Island Biogeography. New Jersey: Princeton University Press.
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey: Princeton University Press.
Manel S, Schwartz MK, Luikart G, Taberlet P. 2003. Landscape genetics: combining landscape ecology and population genetics. Trends in Ecology and Evolution 18: 189-197. [terhubung berkala]. http://tree.trends.com
McGlynn TP. 1999. The worldwide transfer of ants: geographical distribution and ecological invasions. J Biogeography 26: 535-548.
McKinney ML, Lockwood JL. 2001. Biotic homogenization: a sequential and selective process. Di dalam: Lockwood JL, McKinney ML, editor. Biotic Homogenization. New York: Kluwer Academic.
Messner S. 1997. Biodiversity Calculator. Würzburg: Universität Würzburg.
Olden JD, Poff NL, Douglas MR, Douglas ME, Faucsh KD. 2004. Ecological and evolutionary consequences of biotic homogenization. Trends in Ecology and Evolution 19(1): 18-24.
Peck SL, McQuaid B, Campbell CL. 1998. Using ant spesies (Hymenoptera: Formicidae) as a biological indicator of agroecosystem condition. J. Entomol. Soci. America. 27: 1102-1110.
[PEMDA DKI] Pemerintah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. 2003. Pulau Onrust. Jakarta: Dinas Kebudayaan dan Permuseuman.
Prahasta E. 2002. Sistem Informasi Geografis: Tutorial ArcView. Bandung: Penerbit Informatika.
Rempel R, Carr A, Elkie P. 1998. Patch Analyst. Sustainable Forest Management Network and The Ontario Ministry of Natural Resourches. Ontario, Canada: Northwest Science and Technology. [terhubung berkala]. http://flash.lakeheadu.ca/~rrempel/patch.htm
Rizali A et al. 2005. Ant Diversity in Tropical Urban Areas: The Role of Tramp Species in Shaping an Ant Community in Indonesia. [Poster]. Student Conference on Conservation Science, University of Cambridge, 22 - 24 March 2005.
55
Schoereder JH, Sobrinho TG, Ribas CR, Campos RBF. 2004. Colonization and extinction of ant communities in a fragmented landscape. Austral Ecology 29:391-398.
Schultz TR, McGlynn TP. 2000. The interactions of Ants with other organisms. Di dalam: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR, editor. Ants: Standard Methods for Measuring and Monitoring Biodiversity. Washington: Smithsonian Institution Press.
Statsoft. 1995. Statistica for Windows Release 5.0. Tulsa: StatSoft.
Suarez AV, Bolger D, Case TJ. 1998. Effects of fragmentation and invasion on native ant communities in Coastal Southern California. Ecological Society of America 79(6): 2041-2056.
ter Braak CJF. 1996. Unimodal Models to Relate Species to Environment. Wageningen: DLO-Agricultural Mathematics Group.
ter Braak CJF, Šmilauer P. 2002. Canoco version 4.5 : Software for Canonical Community Ordination. Wageningen: Biometris.
Tischendorf L, Fahrig L. 2000. On the usage and measurement of landscape connectivity. Oikos 90:7-19.
[UNESCO] United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. 1997. The missing islands of Pulau Seribu (Indonesia). Di dalam: Economic and Business Review Indonesia. No. 262, April 23, 1997 pp. 38-39. [terhubung berkala]. http://www.unesco.or.id/
Wadsworth R, Treweek J. 1999. GIS for Ecology: An Introduction. England: Addison Wesley Longman Limited.
Whittaker RJ. 1998. Island Biogeography: Ecology, Evolution, and Conservation. New York: Oxford University Press.
Willott SJ. 2001. Species accumulation curves and the measure of sampling effort. Journal of Applied Ecology 38: 484-486.
Wilson EO. 1961. The nature of the taxon cycle in the Melanesian ant fauna. American Naturalist 95: 169-193