kebaikan (al-Ṯayyib) dan balasannya dalam...
TRANSCRIPT
KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA
DALAM AL-QUR’AN
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)
Oleh
Dwi Siska
NIM: 1113034000195
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440 H/2019 M
i
ABSTRAK
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana kebaikan
(ṯayyib) dan balasannya dalam al-Qur‟an, dari masalah pokok tersebut bertujuan
untuk mengungkap masalah kebaikan (ṯayyib). Untuk menjawab permasalahan
pokok di atas maka perlu dilakukan penelitian pustaka (library research) secara
keseluruhan data bersumber dari referensi- referensi tertulis yang berhubungan
dengan topik pembahasan. Kemudian melihat tafsir ayat dalam beberapa kitab
tafsir yaitu kitab tafsir al-Maragi karya Ahmad Mustafa al-Maragi, tafsir al-
Mishbah karya M.Quraish Shihab, Shafwatut Tafsir: tafsir-tafsir pilihan karya
Muhammad Ali al-Shabuni.
Mengenai hasil, setelah diadakan pengkajian terhadap permasalahan
tersebut, bahwa dalam al-Qur‟an kata ṯayyib ditemukan dalam beberapa bentuk,
yaitu: pertama mufrad mudzakar. Kedua, Bentuk mufrâd muannats. Ketiga,
bentuk jama‟. Adapun dalam bentuk mufrad mudzakar diantaranya mengenai sifat
makanan dalam surah al-Baqarah[2]: 168. Adapun bentuk mufrâd muannats
semuanya disebutkan sebagai kata sifat untuk sesuatu yang tidak ada kaitannya
dengan makanan, diantaranya, dalam surah ali-Imrân[3]: 38. Adapun bentuk
jamak semunya semuanya merujuk pada 4 pengertian, yaitu sifat makanan, sifat
usaha atau rezeki, sifat perhiasan, dan sifat perempuan seperti al-Mâidah[5]: 4-5.
Kata ṯayyib adalah sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan, termasuk
di dalamnya apa yang diperintahkan dan dibolehkan oleh agama atau akal yang
sehat. Allah swt memberikan balasan kebaikan dari kata ṯayyib bagi orang yang
selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah dikaruniakan-Nya, orang yang
beriman yang hatinya senantiasa menyebut nama Allah swt, dan orang yang
melakukan perbuatan yang dapat memperbaiki diri dalam akhlaknya, yaitu
balasan yang Allah swt berikan berupa ditumbuhkan tanaman yang subur,
disediakannya berbagai rezeki, dan disediakannya surga.
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah swt. yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya. Dan atas kehendak-Nya, alḥamdulillāh penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu
tercurahkan kepada makhluk terbaik-Nya, Nabi Muhammad saw., yang telah
menunjukkan kepada kita Tuhan itu Allah dan mengajarkan syariat-Nya kepada
seluruh umat agar tetap di jalan yang dikehendaki-Nya hingga akhirnya sampai ke
tempat yang abadi. Semoga semua orang yang mengenal dan mengaguminya
mendapatkan syafa‟atnya, di hari saat matahari hanya beberapa senti dari ujung
rambut.
Skripsi yang berjudul “KEBAIKAN (AL-ṮAYYIB) DAN BALASANNYA
DALAM AL-QUR’AN” akhirnya dapat terselesaikan sesuai dengan harapan
penulis. Kebahagiaan yang tidak ternilai bagi penulis secara pribadi adalah dapat
mempersembahkan yang terbaik kepada orang tua, seluruh keluarga, dan pihak-
pihak yang andil dalam mensukseskan harapan penulis.
Penulis menyadari, bahwa penulisan skripsi ini selesai bukan semata dari
hasil karya tangan penulis sendiri, tetapi juga karena bantuan dari beberapa pihak
yang dengan tulus meluangkan waktu meski hanya sekedar menuangkan aspirasi
ataupun hanya sekedar memberi motivasi kepada penulis. Tanpa mereka,
penulisan skripsi ini akan terasa sangat berat. Karena itu, sudah sepantasnya pada
kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Segenap civitas akademi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Dede
iii
Rosyada, MA. Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA., selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis
sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan
arahan, bimbingan, kritikan, pelajaran, dan lain-lain. Semoga dirahmati
Allah, sehat, dimudahkan segala urusannya, Amin. Ucapan terima kasih
teruntuk Dra. Banun Binaningrum, M. Pd., selaku Sekretaris Jurusan Tafsir
Hadis yang selalu bersedia membantu dan melayani semua proses. Semoga
selalu diberi kesehatan jasmani dan rohani.
4. Segenap civitas akademika Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah banyak membantu kelancaran administrasi dan
birokrasi. Segenap staf Perpustakaan Umum (PU), Perpustakaan fakultas
(PF), dan Pusat Studi al-Qur‟an (PSQ) yang telah membantu
meminjamkan buku-buku dan beberapa literatur dalam penulisan skripsi
ini.
5. Drs. Ahmad Rifqi Muchtar, MA, selaku dosen pembimbing penulis yang
telah memberikan arahan, saran dan dukungan kepada penulis, sehingga
skripsi dapat terselesaikan. Semoga Bapak selalu sehat dan diberikan
kelancaran dalam segala urusannya.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ushuluddin, terimakasih atas ilmu dan bait-bait
nasihat yang telah diberikan dengan tulus kepada saya.
7. Kepada keluarga besar Pon-Pes Raudhatul Mujawwidin teruntuk Abi
Burhan Jamil dan Ummi Ulil Azmi Dewi Chafsoh, betapa sabarnya dalam
iv
mendidik dan memberi nasihat kepada penulis.
8. Kepada orang tua kami di Padepokan Ayatirrohman Ngasah Roso, bapak
Mustofa dan ibu Lilik Ummi Kaltsum beserta Putra-putrinya, Arifah Liqa
Rabbani, Irfan Ayatirrahman Mushaffa, dan Ahmad Ubayd Fazlurrahman.
Semoga Allah swt senantiasa memberikan kesehatan, semangat belajar,
dan ketaatan kepada-Nya. Kepada seluruh guru saya baik yang formal
maupun nonformal tempat penulis menuntut ilmu dari tingkat dasar hingga
sekarang. Semoga Allah swt memberikan keberkahan usia dan ilmu yang
manfa‟at.
9. Ucapan terimakasih yang tak terhingga atas pengorbanan kedua orang tua
tercinta penulis, Bapak Supardi dan Ibu Painten yang telah memberikan
segala dukungan baik materil maupun immateril serta doanya sehingga
penulis dapat menyelesaikan masa studi S1. Teruntuk kakak saya
Pariyanto, adik Silvia Yuningsih, dan keluarga besar penulis yang maaf
tidak dapat disebutkan satu-persatu, semoga keberkahan selalu menyertai
keluarga besar kita.
10. Teman-teman Tafsir Hadis angkatan 2013 khususnya kelas F, teman-teman
KKN PLATINUM (khususnya addi), seperjuangan skripsi Anggi,
Hasanah, Azza, Silma, Nova, serta keluarga besar di Padepokan, Rossa
(oca) yang bersedia membantu nerjemahin kitab, Ni‟mah, Maimun, Anita,
Rif‟ah, Fatimah, Diana, dan lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu
persatu, terimakasih tiada tara untuk kalian yang selalu mendukung,
memberikan semangat kepada penulis.
11. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
v
ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Semoga Allah
memberikan berkah dan karunia-Nya serta membalas kebaikan mereka.
Amin.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan skripsi ini.
Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu agama,
khususnya pengembangan ilmu al-Qur‟an dan Hadis.
Ciputat, Desember 2018
Dwi Siska
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................................... I
KATA PENGANTAR........................................................................................................ II
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... VI
PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................................. VIII
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG MASALAH ............................................................. 1
B. IDENTIFIKASI MASALAH ............................................................................... 8
C. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH .................................................. 8
D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ............................................................ 8
E. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 9
F. METODE PENELITIAN .................................................................................. 11
BAB II KEBAIKAN (ṮAYYIB) DALAM AL-QUR’AN ....................................... 15
A. PENGERTIAN ṮAYYIB .................................................................................... 15
B. DERIVASI ṮAYYIB ......................................................................................... 18
C. SINONIMITAS KATA ṮAYYIB .......................................................................... 19
1. Al-Birr .................................................................................................... 19
2. Al- Ma‟rûf ............................................................................................... 22
3. Al-Iẖsân .................................................................................................. 26
4. Al-Khair .................................................................................................. 29
vii
5. Al-Sâlih ................................................................................................... 31
BAB III NISBAH KATA ṮAYYIB, OBJEK DAN BALASANNYA DALAM
PENAFSIRAN .................................................................................................................... 33
A. NISBAH KATA ṮAYYIB ................................................................................... 33
1. Kota QS. al-A‟râf[7]: 58 ........................................................................ 33
2. Makanan QS. al-A‟râf[7]: 32 ................................................................. 38
3. Sikap Malaikat yang Mencabut Nyawa QS. al-Nahl[16]: 32 ................. 41
4. Angin QS. Yûnus[10]: 22 ....................................................................... 45
5. Akidah QS. al-Mâidah[5]: 100 ............................................................... 48
B. OBJEK KATA ṮAYYIB .................................................................................... 50
1. Orang yang Bersyukur ............................................................................ 50
2. Orang yang Beriman .............................................................................. 51
3. Orang yang Mengerjakan Amal Shalih .................................................. 52
C. BALASAN KATA ṮAYYIB ............................................................................... 53
1. Ditumbuhkan Tanaman yang Subur ....................................................... 53
2. Disediakan Berbagai Rezeki................................................................... 54
3. Disediakan Surga .................................................................................... 55
BAB IV PENUTUP ........................................................................................................... 57
A. KESIMPULAN ............................................................................................... 57
B. SARAN......................................................................................................... 58
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 59
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab-Latin pada skripsi ini menggunakan buku
Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2013.
A. Padanan Aksara
HURUF ARAB HURUF LATIN KETERANGAN
tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ث
ts te dan es د
j je ج
h h dengan garis bawah ح
kh ka dan ha ر
d de د
dz de dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
d de dengan garis di bawah ض
t te dengan garis di bawah ط
ix
z zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan „ ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ه
m em م
n en ى
w we
h ha
apostrof ‟ ء
y ye ي
B. Vokal
Vokal dalam bahasa arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vocal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal, ketentuan alih
aksaranya adalah sebagai berikut:
TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL LATIN KETERANGAN
a fathah ـ
i kasrah ـ
u dammah ـ
x
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL LATIN KETERANGAN
ai a dan i ـ ي
au a dan u ـ
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
TANDA VOKAL ARAB TANDA VOKAL LATIN KETERANGAN
â ىا
a dengan topi di
atas
î ىي
i dengan topi di
atas
û ى
u dengan topi di
atas
D. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu اه, dialihaksarakan menjadi huruf/I/, baik diikuti huruf syamsiyyah
maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-
dîwân.
E. Syaddah (Tasydîd)
xi
Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (ـ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata رة ر tidak الض
ditulis ad-darûrah melainkan al- darûrah, demikian seterusnya.
F. Ta marbûta
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf/h/ (lihat
contoh di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûtah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut
diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf/t/
(lihat contoh 3).
G. Huruf Kapital
Meskipun dalam system tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan
yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa Indonesia, antara
lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan,
NO KATA ARAB ALIH AKSARA
قطري 1 tarîqah
al-jâmi‟ah al-islamiyyah الجاهعتاإلسالهيت 2
wahdat al-wujûd ددةالجد 3
xii
nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata
sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri
tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî
bukan Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (italic)
atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarankan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbânî,
tidak „Abd al- Samad al-Palimbânî; Nuruddin al-Ranîrî, tidak Nûr al-Dîn al-
Rânîrî.
H. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (fi‟l), kata benda (ism), maupun huruf (harf)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas kalimat-
kalimat dalam bahasa arab, dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:
KATA ARAB ALIH AKSARA
dzahaba al-ustâdzu ذةاألسخاذ
األجرثبج tsabata al-ajru
al-harakah al-„asriyyah الذرمالعصريت
هللا asyhadu an lâ ilâha illâ allâh أشدأىالإلإال
الاهللالصالخ maulânâ malik al-sâlih ه
xiii
yu‟atstsirukum allâh يؤثرمنهللا
رالعقلي تالوظا al-mazâhir al-„aqliyyah
يت al-âyât al-kauniyyah اآلياثالن
راث رةحبيخالوذظ ر al-darûrat tubîhu al-mahzûrât الض
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Segala bentuk tindakan manusia mengacu pada pandangannya tentang
baik dan buruk. Nilai kebaikan dan keburukan senantiasa akan menjadi sumber
rujukan dalam melakukan berbagai tindakan hidupnya. Aristoteles menyatakan
bahwa manusia dalam semua perbuatannya bagaimanapun juga mengejar sesuatu
yang baik. Oleh sebab itu, definisi baik adalah sesuatu yang dikejar atau dituju
yang pada intinya terbagi ke dalam dua macam nilai yaitu: kebaikan sebagai alat
dan kebaikan sebagai nilai tersendiri.1
Kebaikan dan keburukan menjadi persoalan yang sering mengundang
perdebatan disebabkan kekeliruan manusia dalam memaknai kehidupan yang
sesungguhnya, karena mereka mengukur segala sesuatu dari sudut pandang
duniawi yang menurut mereka merupakan tujuan akhir dari kehidupan ini. Dunia
merupakan tujuan akhir bagi selain orang mukmin, karena mereka tidak meyakini
adanya akhirat.2
Berusaha memperoleh sesuatu yang baik dengan tangannya sendiri dan
menikmati kekayaan yang berada di bumi, karena kekayaan itu merupakan nikmat
Allah swt yang wajib disyukuri. Manusia ditempatkan di bumi di tengah-tengah
makhluk Allah swt yang lain agar berusaha memperoleh penghidupan dan sebagai
1 Burhanudin Salam, Etika Individual: Pola Dasar Filsafat Moral (Jakarta: Rineka Cipta,
2000), h. 31. 2 Mohammad Motawalli as-Sya‟rawi, Meluruskan Paradigma Tentang Baik dan Buruk.
Penerjemah Usman Hatim (Jakarta: Yayasan Alumni Timur Tengah, 2010), h. 9.
2
imbalannya iapun dibebani kewajiban baik terhadap Allah swt maupun terhadap
sesama makhluk-Nya di dunia.3
Perintah yang harus dilaksanakan, larangan yang harus dijauhi, dan
peraturan yang harus ditaati oleh manusia yang pada saatnya akan dimintai
pertanggung jawaban. Dari suatu perbutan manusia tersebut ada hikmah dan
rahasia di balik sesuatu yang ditetapkan Allah swt, yang tidak bisa diketahui
manusia. Semua amal manusia akan diperhitungkan kemudian mendapatkan
balasan dari Allah swt.4 Allah swt menjanjikan adanya balasan atas kebaikan
sebagaimana yang dijelaskan dalam sûrah al-Mâidah/5: 9.
“Allah swt telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan yang
beramal saleh, (bahwa) untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
Balasan bagi orang-orang yang baik atas kesenangan kehidupan dunia
yang mereka lewatkan demi melaksanakan tugas mulia dengan melaksanakan
perintah dan menjauhi larangan-Nya. Ampunan dan pahala yang besar tersebut
merupakan bukti keridhaan Allah swt terhadap mereka.5 Allah swt telah
menjanjikan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang sesuai dengan isi hati
mereka dan membuktikannya dengan beramal saleh, bagi mereka ampunan
terhadap dosa-dosa mereka dan pahala yang besar baik di dunia maupun di
akhirat.6
Di antara tujuan syariat Islam adalah perhatian terhadap kebersihan
manusia dan pembebasannya dari berbagai kotoran, baik yang tampak maupun
3 Abbas Mahmud al-Aqqad, Manusia diungkap al-Qur‟ân, h. 32-34.
4 Anwar Sutoyo, Manusia Dalam Perspektif al-Qur‟ân, cet 1 (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2015), h. 65-67. 5 Sayyid Quthb, Tafsir fi Zhilalil Qur‟ân di Bawah Naungan al-Qur‟ân. Penerjemah.
Ainur Rafiq Shaleh Tamhid vol. III (Jakarta: Rabbani Press, 2002), h. 537-538. 6 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an. Vol. III
(Jakarta: Lentera Hati, 2004), h. 43.
3
yang tidak tampak dan mempersiapkannya dari sisi rohaninya yang benar-benar
suci dan bersih agar dapat naik ke puncak kemuliaan, keagungan, dan
kesempurnaan.7 Al-Qur‟an secara tegas menyeru kepada umat manusia mencari
dan mengambil yang baik dengan mempergunakan kata ṯayyib seperti dalam QS.
al-A„râf[7]: 157
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang
(namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi
mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma„ruf dan melarang mereka
dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik
dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka
beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang
yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya
yang terang yang diturunkan kepadanya (al-Qur‟an), mereka itulah orang-orang
yang beruntung.”
Sebagaimana dijelaskan Hamka Haq dalam bukunya bahwa masalah yang
cukup peka bagi kehidupan keseharian umat islam adalah persoalan halal dan
haram seperti fasilitas kebutuhan jasmani misalnya tempat tinggal, pakaian,
kendaraan, dan termasuk makanan dan minuman.8
Dalam al-Qur‟an Allah swt menyuruh para Rasul untuk makan dari yang
ṯayyib (baik) QS. al-Mu‟minûn[23]: 51
7 Muhammad „Alî al-Șabûnî, Qabas min Nûr al-Qur‟an, juz 1-2 (Beirut: Dar al-Qalam,
1988), h. 79. 8 Hamka Haq, syari„at Islam: Wacana dan Penerapannya (Makassar: Yayasan al-Ahkam,
2003), h. 101.
4
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah
amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Kata al-Ṯayyib âh adalah bentuk jamak dari kata al-Ṯayyib dari segi
bahasa berarti baik, lezat, menentramkan paling utama dan sehat. Makna kata
tersebut dalam konteks makanan adalah makanan yang tidak kotor dari segi
zatnya, rusak, atau tercampur najis. Dapat juga dikatakan ṯayyib dari makanan
adalah yang mengandunng selera yang memakannya, tidak membahayakan fisik
dan akalnya serta halal.9 Sabda Rasulullah saw:
“Dari Abi Hurairah berkata: Rasulullah saw bersabda: wahai sekalian
manusia sesungguhnya Allah swt baik tidak menerima kecuali yang baik pula.”
Ṯayyib adalah sebuah kata sifat yang merupakan fungsi semantik yang
paling dasar untuk menunjukkan kualitas yang menjelaskan perasaan-perasaan
untuk rasa dan bau seperti, sangat menggembirakan, senang, dan manis.
Sebagaimana yang dinyatakan kata ini seringkali digunakan untuk menunjukkan
makanan, air, wangi-wangian, dan semacamnya.11
Semua manusia pasti mencari kebaikan akan tetapi sedikit sekali diantara
mereka yang mengetahui secara persis kebaikan yang hakiki. Kebanyakan
manusia mencari kebaikan dunia dan lupa akan kebaikan akhirat. Hal ini jelas
merupakan sebuah pandangan yang keliru, sebab orang Islam yang melakukan
9 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, h. 199.
10 Abu al-Hasan Muslim bin al-Hallaj bin Muslim al-Qusyairy, Șaẖîẖ Muslim, juz 1
(Bandung: Maktabah Dahlan, t.th), h. 406. 11
Toshiko Izutsu, Etico-Religius Concepts in the Qur’an. Penerjemah. Agus Fahri Husein (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1993), h. 282.
5
perbuatan yang seperti itu berarti telah menukar sesuatu yang dikira-kira untuk
memperoleh sesuatu yang diyakini.12
Seperti dalam surah al-Baqarah[2]: 201
“Dan diantara mereka ada yang berdoa, Tuhan kami anugrahilah kami
hasanah (kebaikan) di dunia dan hasanah (kebaikan) di akhirat dan peliharalah
kami dari siksa neraka.”
Yang mereka mohonkan bukan segala kesenangan dunia, tetapi yang
sifatnya hasanah bahkan bukan hanya di dunia tetapi juga memohon hasanah di
akhirat. Oleh karena itu perolehan hasanah belum termasuk keterhindaran dari
keburukan, bisa jadi hasanah itu diperoleh setelah mengalami siksa maka mereka
menambahkan permohonan mereka dengan berkata, dan pelihara pulalah kami
dari siksa neraka.13
Dalam kehidupan manusia disebut sebagai makhluk terpuji dan makhluk
tercela, dibebani taklif (kewajiban) maka dari itu dapat menjadi makhluk yang
berbuat baik dan dapat pula menjadi makhluk yang berbuat buruk, manusia
bertanggung jawab atas perbuatannya.14
“Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan,
(berlayar) di lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan
meluncurlah bahtera itu membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan
tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya, datanglah angin badai,
dan (apabila) gelombang dari segenap penjuru menimpanya, dan mereka yakin
bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa kepada Allah
12
Mutawalli Sya„rawi, al-Khair wa al-Syar. Penerjemah. Tajuddin (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1994), h. 58.
13 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an. vol. I,
h. 412. 14
Abbas Mahmud al-Aqqad, Manusia diungkap Qur‟ân, cet 1 (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1991), h. 11.
6
dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata. (Mereka berkata):
“Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini, pastilah kami
akan termasuk orang-orang yang bersyukur.”
Ayat ini dapat menjadi salah satu bukti cepatnya Allah swt membalas
makar dengan menampilkan contoh pengalaman manusia ketika berada dilautan
ayat ini juga menjadi bukti bagaimana Allah swt dengan cepat mengubah nikmat
atau rahmat-Nya dengan petaka serta betapa buruk sifat manusia yang tidak tahu
berterima kasih. Kata (ريخ) rîh adalah bentuk tunggal, bentuk jamaknya yaitu
riyâh untuk angin yang baik dan menyenangkan, dan yang bentuk tunggal(رياح)
untuk angin yang membawa bencana. Ayat ini menggunakan bentuk tunggal,
kendati yang dimaksud adalah angin yang menyenangkan dan sesuai. Hal ini
dipahami dari penyebutan sifat angina itu, yaitu (طيبت) ṯayyibah yang maknanya
adalah yang sesuai dengan yang diinginkan.15
Al-Sya„râwî menjelaskan kata rîh juga digunakan makna kekuatan
sebagaimana dalam Sûrah al-Anfâl[8]: 46 “wa tadzhabu rîhukum” (“dan hilang
kekuatanmu”).16 Perjalanan darat dikenal luas di kalangan masyarakat Arab
apalagi daerah Arabia yang dipenuhi oleh padang pasir. Adapun pelayaran yang
mereka lakukan antar lain dalam perjalanan musim dingin ke Yaman. Al-Qur‟an
menyebut dua macam perjalanan mereka. Musim panas yaitu ke daerah Syam
(Syria, Palestina, dan Yordania) dan musim dingin ke Yaman. Adapun redaksi
15
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an vol.
VI (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 52-54. 16
Muhammad Mutawalî al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya„râwî (al-Azhar: Mujamma„ al-Buhûs
al-Islamiyyah), h. 5849.
7
yang digunakan dalam ayat ini adalah balasan atas kemantapan syukur yang luar
biasa.17 Firman Allah swt dalam Sûrah al-Mujâdalah[58]: 7
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa
yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang,
melainkan Dialah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang,
melainkan Dialah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang
kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di
manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka
pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.”
M. Quraish Shihab dalam tafsir al-Misbah menjelaskan ayat tersebut
bahwa Allah swt akan memberitakan kepada mereka lalu memberi mereka
balasan dan ganjaran menyangkut apa yang telah mereka kerjakan, memberinya
secara sempurna pada hari kiamat nanti.18
Bahasa al-Qur‟an sebagai bahasa yang paling murni, keluasan, dan
kedalaman makna yang dikandung al-Qur‟an dengan uslub dan bahasa yang
dipergunakannya, sehingga kedalaman makna itu tidak dapat diukur oleh
kejeniusan manusia. al-Qâdî Abu Bakr al-Baqillâni mengemukakan bahwa segi
kemukjizatan al-Qur‟an terletak pada susunan kalimat serta kepadatan isinya.19
Bahwasanya setiap perbuatan kebaikan itu akan mendapat balasan, baik di
dunia maupun di akhirat. Pengungkapan kata kebaikan dalam al-Qur‟an
17
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, h. 54. 18
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, h. 71. 19
Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur‟an Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam
al-Qur‟an, cet. 5 (Jakarta: Penamadani, 2008), h. 189-190.
8
menggunakan kata yang berbeda-beda antara lain: ṯayyib, birr, ma‟rûf, ihsân,
khair, sâlih, dengan berbagai derivasi dalam menyampaikan pesan-pesannya.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dan agar skripsi ini
mengarah kepada pembahasan yang diharapkan, maka penulis membatasi
permasalahan hanya pada kata kebaikan (ṯayyib) dan balasannya dalam al-Qur‟an.
B. Identifikasi Masalah
Bila diidentifikasi, maka masalah yang akan muncul dari topik di atas
adalah:
1. Apa saja kebaikan (ṯayyib) dan balasannya dalam al-Qur‟an?
2. Bagaimana kebaikan (ṯayyib) dan balasannya dalam al-Qur‟an?
3. Bagaimana mufassir menafsirkan kebaikan (ṯayyib) dan balasannya dalam
al-Qur‟an?
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas dan agar skripsi ini
mengarah kepada pembahasan yang diharapkan, maka penulis membatasi
permasalahan kebaikan (ṯayyib) dan balasannya dalam al-Qur‟an hanya pada QS.
al-A‟râf[7]: 32 dan 58, al-Nahl[16]: 32, Yûnus[10]: 22, al-Mâidah[5]: 100.
2. Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah tersebut dapat dirumuskan masalah yang akan dibahas
yaitu: bagaimana kebaikan (ṯayyib) dan balasannya dalam al-Qur‟an?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah:
9
1. Memberikan informasi mengenai kebaikan (ṯayyib) dan balasannya dalam
al-Qur‟an.
2. Melengkapi salah satu tugas akhir perkuliahan program strata satu (S-1)
pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan tafsir Hadis, Universitas Islam Negeri
Syarif hidayatullah Jakarta.
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Menambah pengetahuan dan khazanah keislaman.
2. Agar memperdalam ilmu pengetahuan penulis, khususnya dalam kajian al-
Qur‟ân.
E. Tinjauan Pustaka
Dari tinjaun pustaka yang telah penulis telusuri dari penelitian terdahulu
yang relevan ditemukan beberapa penelitian sebagai berikut:
1. Skripsi karya Ahmad Toib yang berjudul Mutaradif dalam al-Qur‟an Studi
kata ṯayyib dan Hasan dalam Tafsi
2. r al-Bahr al-Muhit, Fakultas UshuluddinUIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
2018. Dalam skripsinya ia menjelaskan mutaradif kata ṯayyib dan hasan.
Abu Hayyan dalam tafsir al-Bahr al-Muhit menafsirkan makna kata ṯayyib
memiliki makna sesuai dengan kata apa yang digandengnya. Bisa
bermakna sesuatu yang baik, sesuatu yang suci dan bersih, sesuatu yang
halal, amal shalih, orang yang beriman, dan bias bermakna kalimat tauhid
dan kalimat tahmid. Begitu pun dengan kata hasan memiliki makna sesuai
dengan kata apa yang digandengnya. Bisa bermakna sesuatu yang baik,
niat yang tulus, taat dan patuh, sesuatu yang bagus dan indah, sesuatu yang
disenangi dan disukai, sesuatu yang halal.
10
3. Disertasi karya Abd Syukur Abu Bakar yang berjudul Konsep al-Ṯayyib
Perspektif al-Qur‟an, Program Pascasarjana UIN Alauddin, Makassar
2013. Dalam disertasinya menjelaskan tentang bagaimana hakekat al-
Ṯayyib , usaha-usaha untuk memperoleh dan urgensi al-Ṯayyib dalam al-
Qur‟an adalah kesempurnaan iman dan taqwa, kebulatan tekad dalam
setiap tingkah laku yang baik semata-mata karena Allah swt. Pencapaian
yang al-Ṯayyib diupayakan dengan kerja keras dan penuh keikhlasan
dalam mencari karunia yang disediakan Allah swt dengan cara yang baik
dan benar, meningkatkan segala amal ibadah kepada Allah swt.
Dengimplementasikan al-Ṯayyib dalam kehidupan, akan memiliki makna
yang urgen terhadap perolehan keberkahan, keridhaan, kemuliaan, dan
kesejahteraan.
4. Skripsi karya Kasmawati yang berjudul, Makanan Halal dan ṯayyib
Perspektif al-Qur‟an: Kajian Tahlili dalam QS. al-Baqarah[2]:168,
Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin, Makassar 2014.
Dalam skripsinya ia menguraikan unsur-unsur yang terdapat dalam QS. al-
Baqarah[2]:168 yaitu jenis makanan yang halal dan ṯayyib. Makanan halal
merupakan sesuatu yang dibolehkan menurut syara‟, selain itu makanan
halal harus dilihat dari segi halalnya yakni: makanan halal secara zatnya,
cara memperolehnya, cara prosesnya. Selain itu makanan halal mempunyai
kriteria yang harus diperhatikan menurut ajaran Islam. Sedangkan ṯayyib
merupakan sesuatu yang baik tidak membayakan tubuh bila dikonsumsi.
Dalam al-Qur‟an juga memiliki ruang lingkup tentang makanan bernutrisi
11
dan serta macam-macam makanan yang bergizi. Serta dilihat juga dari
pandanagan ulama dan medis dalam menjelaskan ẖalâlan ṯayyiban.
Berangkat dari tinjauan pustaka di atas, maka penelitian yang akan penulis
lakukan belum pernah diteliti secara mendalam karenanya menjadi penting
penelitian ini dilakukan.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah menggunakan penelitian kepustakaan (library
research) yang bersifat murni,20 yang berarti bahwa secara keseluruhan data
bersumber dari referensi- referensi tertulis yang berhubungan dengan topik
pembahasan.
2. Sumber Data
a. Sumber Primer
Sumber primer yaitu sumber-sumber yang memberikan data secara
langsung dari tangan pertama atau merupakan sumber asli.21 Menurut Sumadi
Suryabrata, sumber primer adalah sumber yang langsung dikumpulkan oleh
peneliti dari sumber pertamanya.22 Dalam penelitian ini, sumber primernya adalah
ayat-ayat al-Qur‟an.
b. Sumber Sekunder
20
Library murni yang berarti semua bahan yang dibutuhkan bersumber dari bahan-bahan
tertulis. Lihat Winarno Surachmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1990), h. 257-
258. 21
S. Nasution, Metodologi Research: Penelitian Ilmiah (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h.
150. 22
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h. 39.
12
Sumber Sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari sumber yang
kedua dari data yang kita butuhkan.23 Terkait tema yang akan dibahas, sumber
data ini berupa kitab-kitab atau buku-buku, jurnal, karya ilmiah lainnya terkait
dengan masalah yang akan dibahas. Kitab-kitab tafsir yang digunakan dan
dijadikan rujukan oleh penulis dalam skripsi ini adalah tafsir al-Maragi karya
Ahmad Mustafa al-Maragi, tafsir al-Mishbah karya M.Quraish Shihab, Shafwatut
Tafsir: tafsir-tafsir pilihan karya Muhammad Ali al-Shabuni.
Selanjutnya mengenai literatur tentang makna kata ṯayyib penulis
menggunakan kamus seperti: kamus Mu‟jam al-Mufradât li al-Fâḏ al-Qur‟an
karya Al-Râghib al-Asfahânî, Mu'jam Maqâyis al-Lughah karya Abu Husain
Ahmad ibn Fâris ibn Zakaria.
3. Teknik Pengolahan Data
Data-data yang telah dikumpulkan akan diolah dengan metode deskriptif yaitu
dengan mendeskripsikan data-data dan diikuti dengan analisis dan interpretasi terhadap
data tersebut.24
Adapun langkah-langkah yang dilakukan penulis dalam pengolahan data,
penulis merujuk kepada metode Abdul al-Hayy al-Farmawi.25
a. Menetapkan masalah al-Qur‟an yang akan dikaji secara mauḏû‟i, yaitu
tema tentang kebaikan (ṯayyib) dan balasannya dalam al-Qur‟an.
b. Menghimpun ayat-ayat yang membicarakan topik yang di maksud.
c. Menyusun ayat-ayat menurut kronologi masa turunnya atau sebab-
sebab (asbab al-Nuzul) jika ada.
23
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian kuantitatif: Komunikasi Ekonomi, dan
Kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya (Jakarta: Kencana, 2011), h. 132. 24
Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, dan Teknik
(Bandung: Tarsito, 1990), h. 139. 25
„Abd al-Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu‟i. Penerjemah. Suryan A. Jamrah
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 45.
13
d. Mengetahui korelasi (munasabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-
masing suratnya.
e. Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis,
sempurna, dan utuh.
f. Melengkapi pembahasan dengan hadis bila dipandang perlu, sehingga
pembahasan semakin sempurna dan jelas.
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dengan cara
menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa,
mengkompromikan antara yang umum dan khusus, antara yang tak
terbatas (mutlaq) dengan yang terbatas (muqayyad), mensinkronkan
ayat-ayat yang tampaknya saling bertentangan. Maka dari itu, tidak
akan ditemukan perbedaan dan pertentangan ayat-ayat serta pemaksaan
pengertiannya yang tampak sangat jauh dari kandungan ayat yang
sebenarnya.
4. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan, penulis mengacu kepada Pedoman Akademik,
sub-sub Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Bagian Biro
Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Islam Negeri Program
Strata 1 2013/2014 UIN Syarif Hidayatullah.
5. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis membaginya dalam empat bab, dimana
setiap babnya mempunyai spesifikasi dan penekanan mengenai topik tertentu,
yaitu:
14
Bab pertama berupa pendahuluan yng menjelaskan gambaran umum dan
pentingnya penelitian ini dilakukan. Pada bab ini terdiri dari latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan.
Bab kedua tentang kebaikan (ṯayyib) dalam al-Qur‟an yang terdiri dari
pengertian kata ṯayyib, derivasi kata ṯayyib, sinonimitas kata ṯayyib: al-birr, al-
ma‟rûf, al-ihsân, al-Khair dan al-Sâlih.
Bab ketiga, menjelaskan tentang kata ṯayyib dalam penafsiran yang terdiri
dari tiga sub bab. Sub bab pertama berisi tentang nisbah kata ṯayyib yaitu kota
dalam QS. al-A‟râf[7]: 58, makanan dalam Q.S al-A‟râf[7]: 32, sikap malaikat
yang mencabut nyawa dalam Q.S al-Nahl[16]: 32, angin dalam Q.S Yûnus[10]:
22, dan Akidah dalam Q.S al-Mâidah[5]: 100. Sub bab kedua tentang objek kata
ṯayyib yaitu orang yang bersyukur, orang yang beriman, orang yang mengerjakan
amal shalih. Sub bab ketiga tentang balasan kata ṯayyib yaitu ditumbuhkan
tanaman yang subur, disediakan berbagai rezeki, disediakan surga.
Bab keempat merupakan penutup yang berisi kesimpulan hasil penelitian
dan saran-saran yang dibutuhkan untuk pengembangan penelitan selanjutnya.
15
BAB II
KEBAIKAN (ṮAYYIB) DALAM AL-QUR’AN
Sebelum berbicara lebih jauh tentang konsep kebaikan (ṯayyib) dalam al-
Qur‟an, maka terlebih dahulu akan dijelaskan tentang definisinya agar dalam
penjelasan lebih jauhnya nanti tidak ada kerancuan.
A. Pengertian Ṯayyib
Kata ṯayyib dalam bahasa Arab ( ) adalah masdar dari akar kata
yang terdiri dari tiga huruf yaitu ṯa, alif, dan ba yang bermakna halal, suci, lezat,
subur, memperkenankan, dan membiarkan. Kemudia pola tasrîfnya
yang secara kebahasaan mengandung arti
(lezat, halal, baik, indah, dan jiwa yang baik).1
Kamaluddin Nurdin dalam kamus syawarifiyyah menjelaskan kata (ṯayyib):
“kebaikan, kebajikan, kemuliaan nikmat, berkah, kehalusan.”2
Dalam Mu‟jam Maqâyis al-Lughah oleh Ibn Zakaria, menjelaskan bahwa
asal kata ṯayyib yaitu ṯa, ya, dan ba asalnya hanya satu yang shahih yang
1 Fuad Afrain al-Bustanî, Munjid al-Ṯullâb (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1986), h. 450.
2 Kamaluddin Nurdin Marjuni, Kamus Syawarifiyyah: Kamus Modern Sinonim Arab-
Indonesia (Jakarta: Ciputat Press Group, 2007), h. 401.
16
menunjukkan atas lawan dari pada yang kotor.3 Pengertian ṯayyib dalam kitab
Mu‟jam al-Mufradâtli al-Fâḏ al-Qur‟an ṯayyib berasal dari kata ṯâba-yatîbu, ṯâba
al-Syai‟u, sesuatu itu baik, Allah berfirman: maka nikahilah perempuan-
perempuan yang baik bagi kamu, kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu, da asal kata ṯayyib makna pokoknya sesuatu yang enak dirasakan oleh
pancaindra, dan dirasakan enak oleh jiwa. Makanan yang ṯayyib menurut syar‟i
adalah yang diperoleh dari jalan yang diperbolehkan dan kemampuan yang
diperbolehkan.4
Dalam kamus al-Munjid kata ṯayyib diartikan dengan baik yaitu sesuatu
yang telah mencapai kesempurnaan.5 Tayyîb adalah kata sifat, yang memiliki
fungsi semantik yang paling dasar untuk menunjukkan berbagai kualitas (sifat)
yang melahirkan suatu pengertian rasa dan bau, khususnya sebagai suatu hal yang
sangat menyenangkan, indah, dan ceria. Akan tetapi kata ṯayyib sering digunakan
untuk menunjukkan sifat makanan, air, wewangian, dan sebagainya. Selain itu
ṯayyib juga digunakan berbagai kombinasi seperti: rîh ṯayyibah6 (angin yang baik)
kebalikan dari rîh „âshifa7 (angin badai) QS.Yunus/10: 22.
8
3 Abu Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakaria, Mu„jam Maqâyis al-Lughah (Beirut: Dâr al-
Turâs al-Arabî, 2001), h. 605. 4 Al-Râghib al-Asfahânî, Mu‟jam al-Mufradât li al-Fâḏ al-Qur‟an (Beirut: Dâr al-Fikr,
2008), h. 321. 5 Lûwîs Ma‟lûf, al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: T.pn., 1908), h. 476.
6 Kata (ريخ) rîh adalah bentuk tunggal. Biasanya al-Qur‟an menggunakan bentuk
jamaknya yakni (رياح) riyâh untuk angin yang baik dan menyenangkan, dan yang bentuk tunggal
untuk angin yang membawa bencana. Ayat ini menggunakan bentuk tunggal, kendati yang
dimaksud adalah angin yang menyenangkan dan sesuai. Ini dipahami dari penyebutan sifat angina
itu, yakni ( يبتط ) Ṯayyibah yang maknanya adalah yang sesuai dengan yang diinginkan. Lihat M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an vol. VI QS yunus: 22
(Jakarta: Lentera Hati, 2002(, h. 54. 7عاصف adalah angin yang sangat kencang dan menggerakkan dedaunan serta pepohonan.
Lihat Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwatut Tafsir: Tafsir-Tafsir Pilihan Jilid 2 (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2011), h. 614. 8 Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam al-Qur‟an. Penerjemah. Mansurddin Djoely
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, h. 385-387.
17
ṯayyiban berasal dari bahasa Arab ṯabâ yang artinya baik, lezat,
menyenangkan, enak dan nikmat atau berarti pula bersih atau suci.9 Gulan Reza
dalam mengartikan baik dalam bukunya yaitu hati yang bersih merupakan kunci
ketenangan jiwa, menjelaskan bahwa kendati manusia melalui inspirasi ilmiah
atau insting alami dapat menemukan akar kebaikan dan keburukan, melalui
petunjuk Allah swt. Dapat menbedakan antara hal yang disukai dan dibenci.10
Allah swt berfirman dalam surah al-Baqarah[2]: 267.
“Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah di jalan Allah sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari
bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah
maha kaya lagi maha terpuji.”
Ada dua pendapat yang memberikan penjelasan tentang kata pada
ayat diatas. Pendapat yang pertama mengatakan dengan makna yang
artinya sesuatu yang baik dari harta. Maka atas pengertian ini, yang dimaksud
dengan kata khabits pun bermakna sesuatu yang buruk. Pendapat kedua yaitu
pendapat Ibnu Mas‟ud dan Mujahid bahwa yang dimaksud dengan kata ṯayyib
adalah sesuatu yang halal dan khabits diartikan sesuatu yang haram.11
9 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Penafsir
al-Qur‟an (Jakarta: T.pn., 1990), h. 244. 10
Gulan Reza sultan, Hati yang Bersih: Kunci Ketenangan Jiwa (Jakarta: Pustaka Zahra,
2004), h. 1. 11
Rahmat Hidayatullah, “Infak dan Sadaqah dalam al-Qur’an: Kajian Tafsir Tematik,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 38-39.
18
Menurut M. Quraish Shihab kata (الطية) al-Ṯayyib pada QS. al-
Mâidah/5:100 yaitu termasuk di dalamnya apa yang diperintahkan dan dibolehkan
oleh agama atau akal yang sehat. Karena apa yang dibolehkan agama pasti tidak
buruk. Bentuk apapun dari keburukan, pasti tidak disukai oleh Allah, Rasul, dan
tidak diterima oleh akal yang sehat.12
B. Derivasi Ṯayyib
Kata ṯayyib dalam al-Qur‟an disebutkan sebanyak 46 kali dalam 21 surah.
Terdapat sebanyak 21 kata ṯayyib yang terdapat dalam surah Makkiyyah adalah sebagai
berikut: Q.S. al-A‟râf[7]: 32, 58, 157, dan 160. Q.S. al-Hajj[22]: 24, Q.S. Fâṯir[35]: 10,
Q.S. al-Mu‟minûn[23]: 51, Q.S. al-Nahl[16]: 32, 72, 97, 114, Q.S. al-Isrâ[17]: 70, Q.S.
Ṯâhâ[80]: 81, Q.S. al-Jâtsiyyah[45]: 16, Q.S. al-Ahqâf[46]: 20, Q.S. Ghâfir[40]: 64, Q.S.
al-Nûr[24]: 26, Q.S. Yûnus[ 10]: 22 dan 93, Q.S. Ibrâhîm[14]: 24, Q.S. Sâba‟[34]: 15.
Terdapat 20 kata ṯayyib yang terdapat dalam surah Madaniyyah adalah sebagai berikut:
Q.S. ali-Imrân[3]: 38 dan 179, Q.S. al-Nisâ[4]: 2, 43, 160, Q.S. al-Mâidah[5]: 4,5,6,87,88
dan 100, Q.S. al-Taubah[9]: 72, Q.S. al-Anfâl[8]: 37, 29, 69, Q.S. al-Baqarah[2]: 57,
168, 172, 267, Q.S. al-Saff[61]: 12.13
Al-Qur‟an menyebutkan kata ṯayyib dalam bentuk mufrad mudzkakkar (laki-laki
tunggal), sebanyak 6 kali, dan 4 diantaranya mengenai sifat makanan, contohnya yang
terlihat dalam surat al-Baqarah[2]:[2] : 168 “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal
lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-
langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu”. Dan
12
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an
(Jakarta: Lentera Hati, 2002 (, h. 215.
13
Muhammad Fuâd „Abdul al-Bâqîy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdh al-Qur‟an al-
Karîm (al-Qohirah; Dar al-Hadis, t.t), h. 432-433.
19
dalam al-Mâidah[5]: 88 (halâlan ṯayyiban), al-Anfâl[8]: 69 (halâlan ṯayyiban), dan al-
Nahl[16]:114 (halâlan ṯayyiban).
Bentuk mufrâd muannats (perempuan tunggal), yaitu ṯayyibah sebanyak 9
kali. Semuanya disebutkan sebagai kata sifat untuk sesuatu yang tidak ada
kaitannya dengan makanan, yaitu: dalam surah ali-Imrân[3]: 38 (ḏurriyyah
ṯayyibah), al-Taubah[9]: 72 (masâkin ṯayyibah), Yûnus[10]: 22 (birîhin ṯayyibah),
Ibrahim: 24 (kalimah ṯayyibah), Ibrahim[14]: 24 (syajarah ṯayyibah), dan al-
Nahl[16]: 97 (hayah thayyibah). Bentuk jamak al-Qur‟an menyebutkan sebanyak
21 kali. Semuanya merujuk pada 4 pengertian: sifat makanan, sifat usaha atau
rezeki, sifat perhiasan, dan sifat perempuan seperti al-Mâidah[5]: 4-5.
C. Sinonimitas kata Ṯayyib
Al-Qur‟an mengungkapkan kata-kata yang mengandung arti kebaikan
(ṯayyib) diantaranya juga menggunakan al-birr, al-ma‟rûf, al-ihsan, al-khair, dan
al-Sâlih:
1. Al-Birr
Kata birr dalam Kamus Populer Istilah Islam dirtikan dengan kebaikan,14
kata al-birr yang berarti terungkap dalam al-Qur‟an sebanyak 19 kali yang berasal
dari kata barra, yabirru, barran yang artinya menurut, patuh, berbuat baik.15
al-birr bisa dihubungkan kepada Allah dan bisa dihubungkan kepada
hamba (manusia). Dihubungkan kepada Allah seperti, innahu huwa al-barru ar-
Rahim16
yakni begitu luas banyak menganugerahkan kebaikan kepada manusia
14
Intan Tri Aisyah, “Baik dan Buruk dalam al-Qur‟an: Penafsiran Lafadz al-Ṯayyib dan
al-Khabith,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Uneversitas Islam Negeri Jakarta, 2015), h. 26 15
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: Dâr al-Masyriq, 1977), h. 22.
16 Al-Ṯur/52: 28
20
dan makhluk lainnya. Jika al-birr dihubungkan kepada manusia “barra al-abdu
rabbahu” artinya Allah akan memberikan pahala kepada ketaatan seseorang
hamba yang begitu luas. Ketaatan dan kebaikan hamba kepada Allah tergambar
dalam dua hal yaitu kebaikan dalam amal perbuatan dan kebaikan dalam akidah
(keimanan kepada Allah swt).17 Kata birr yang menunjukkan kebaikan dalam
amal perbuatan sebagaimana yang dijelaskan dalam QS. Maryam[19]: 32
“Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang
sombong lagi celaka.”
Kata al-birr menunjukkan kepada Akidah (keimanan kepada Allah swt)
sebagaimana yang dijelaskan dalam surah al-Baqarah[2]: 177. Dalam suatu
riwayat ayat tersebut turun berkenaan dengan pertanyaan seorang laki-laki kepada
Rasulullah saw tentang al-birr.
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah,
hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta
yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta;
dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat;
dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang
sabar dalam kesem pitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang
bertakwa.”
17
Al-Raghib al-Ashfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur‟an (Beirut: Dar al-Ma‟rifah,
t.t.), h. 40.
21
Kebajikan dalam ayat tersebut dinamakan al-birr, al-birr terambil dari
kata barra- yabirru- barran- wa barratan mengandung arti taat, bersikap baik,
benar, banyak berbuat baik. Al-Birru seperti al-barru (daratan). Daratan berbeda
dengan lautan, daratan adalah tempat yang luas untuk bisa banyak berbuat baik.
Kata al-birr juga bisa berarti memperbanyak kebaikan. Menurut istilah syari„ah,
al-birr berarti sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk taqarrub kepada Allah
yakni iman, amal, shaleh, dan akhlak mulia.18
Kebajikan bukan sekadar mengarahkan wajah ke timur atau ke barat.
Seseorang tidak dinamai orang baik hanya karena shalat semata-mata, tetapi orang
baik, antara lain adalah yang menghiasi jiwanya dengan keimanan serta
membuktikan kebenaran imannya dengan interaksi harmonis dengan Allah swt,
sesama manusia khususnya dengan para dhuafa, memegang teguh komitmen serta
sabar dan tabah melaksanakan tugas, menghadapi kesulitan, dan penderitaan.19
Kata al-birr memiliki makna yang mencakup semua jenis kebaikan dapat
juga diartikan dengan segala sesuatu yang mengantarkan manusia dekat kepada
Allah, baik itu berupa keimanan, kesalehan amal, maupun kemuliaan akhlak.
Kebaikan yang hakiki bisa diraih dengan dua syarat: Pertama, harus dilandasi
keimanan. Beriman kepada Allah swt, percaya kepada hari akhir, iman kepada
malaikat-malaikat, iman kepada kitab-kitab suci, dan percaya kepada nabi-nabi
Allah swt. Kedua, faktor amaliah-lahiriah. Syarat kedua untuk mendapatkan
kebaikan yang hakiki adalah dengan mengaplikasikan keimanan dalam bentuk
18
Dudung Abdullah, “Konsep Kebajikan (al-Birr) dalam al-Qur‟an: Suatu Analisis QS.
al-Baqarah[2]:/2: 177 ,” no. 1 (Juni 2015): h.194. 19
Quraish Shihab, al-Lubâb Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-surah al-Qur‟an,
(Tangerang: Lentera Hati, 2012), h. 56.
22
amal shaleh, seperti: memberikan hartanya kepada kerabat, anak yatim, orang-
orang miskin, dan lain-lainnya.20
Sebagaimana yang dijelaskan dalam surah ali-Imrân[3]:92 al-birr lebih
diartikan dengan ganjaran kebaikan baik di dunia maupun di akhirat. Kata al-birr
pada mulanya “keluasan dalam kebaikan”, dan dari akar kata yang sama “daratan”
dinamai al-bar karena luasnya. Kebaikan mencakup segala hal seperti; keyakinan
yang benar, niat yang tulus, kegiatan badaniah, serta menginfakkan harta di jalan
Allah. Kata al-birr adalah sesuatu yang tenang hati dan tenteram jiwa
mengahadapinya.21
2. Al- Ma‟rûf
Ma‟rûf adalah bentuk ism maf‟ûl (objek) dari kata „arafa ( ) yang
tersusun dari huruf „ain, ra, dan fa. Dalam al-Qur‟an terulang sebanyak 71 kali
dalam 11 surat.22
Kata „urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak
dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, atau perbuatan.23
Berupa
(adat istiadat) atau hal-hal yang umum diketahui dan diakui oleh masyarakat. Ada
juga yang mengartikan sebagai sesuatu yang sesuai dengan nalar.24
20
Abd Kholiq Hasan, Tafsir Ibadah (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008), h. 204-205. 21
M.Quraish Shihab,Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur „an vol. II
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 142-143. 22
Muhammad Fuad Abdul Bâqiy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâẕ al-Qur‟ân al-Karîm
(Kohiroh: Dâr al-ẖadîts, t.t.), h. 458-459. 23
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama Semarang, 1994), h.
123. 24
Ali Nurdin, Qur‟anic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam al-Qur‟an
(Jakarta: Erlangga, 2006), h. 165.
23
Dalam kamus Arab – Indonesia ma‟rûf adalah “kebaikan, yang masyhur,
yang dikenal.”25
Kata Ma‟rûf menurut Ibn Zakaria dalam Mu‟jam Muqayis al-
Lughah bahwa kata ma‟ruf mengandung makna bau yang harum yang dirasakan
setiap orang.26
Menurut al-Ashfahani:
“(ma‟ruf adalah
menyangkut segala bentuk perbuatan yang dinilai baik oleh akal maupun
agama).”27
Menurut Ibnu Manẕûr:
“Ma‟rûf adalah Ism Jâmi‟ bagi setiap hal yang dikenal, baik itu berupa
keta‟atan kepada Allah, bertaqarrub kepada-Nya, dan berbuat baik sesama
manusia, dan juga termasuk setiap hal-hal baik yang dianjurkan agama untuk
melakukannya dan manjauhkan diri dari hal-hal buruk. Kata ma‟ruf merupakan
suatu hal yang umum dikenal, artinya perkara tersebut sudah lumrah dalam
masyarakat, jika mereka lihat, maka mereka tidak akan mengingkari
kebaikannya.”28
Sebagaimana yang dijelaskan dalam surah ali-Imrân[3]: 104
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‟rûf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Sebagaimana Ibn Katsir dalam tafsirnya:
25
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990), h. 263. 26
Abu Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakaria, Mu„jam Maqâyis al-Lughah, h. 732. 27
Al-Raghib al-Ashfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur‟an, h. 331. 28
Ibnu Manẕûr, Lisân al-Arab (T.tp.: Dâr al-Ma‟ârif, t.t.), h. 2900.
24
Allah swt berfirman: dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang
atau umat bangkit untuk berwasiat dengan perintah Allah swt dalam dakwah
mengajak kepada kebajikan dan menyeruh kepada yan ma‟rûf (baik) dan
melarang dari yang keji. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Al-
Ḏuẖâk berkata: mereka dikhususkan kepada sahabat dan juga khusus kepada
yakni para mujahidin dan para ulama. Dan Abû Bâqir berkata: Rasulullah saw
membaca ayat tersebut kemudian beliau bersabda: kebaikan yaitu mengikuti al-
Qur‟an dan mengikuti pula sunahku (H.R. Ibn Mardawaihi).
Ma‟rûf adalah yang baik menurut pandangan suatu masyarakat umum dan
yang telah mereka kenal luas, selama ia sejalan dengan al-khair (kebajikan), yaitu
nilai-nilai Ilahi. Sebagaimana QS. ali-Imrân[3]: 104 “ hendaklah semua kamu
menjadi umat yang mengajak kepada kebaikan, yakni niulai-nilai Ilahi
memerintahkan yang ma‟rûf dan mencegah yang mungkar.” Nilai-nilai Ilahi tidak
boleh dipaksakan, tetapi disampaikan secara persuasive dalam bentuk ajakan yang
baik dan bersifat sekedar mengajak. Selanjutnya setelah mengajak, siapa yang
akan beriman silahkan beriman, dan siapa yang kufur silahkan pula, masing-
masing mempertanggungjawabkan pilihannya.30
al-Zamakkhsyari menambahkan bahwa memerintah yang ma‟rûf itu
tergantung dari obyeknya, bisa hukumnya wajib jika obyeknya wajib dan bias
hukumnya sunah jika obyeknya sunah. Sedangkan melarang yang munkar
29
Abû al-Fidâ Muhammad bin Ismâ‟îll bin Katsir, Tafsir al-Qur‟an al-Aḏîm al-musammâ
Tafsir ibn Katsir (Bandung: Maktabah Dahlan, t.t), h. 482. 30
M. Quraish Shihab, Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah swt (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 144-145.
25
semuanya adalah wajib, karena semua kemunkaran wajib ditinggalkan, sebab
kemunkaran adalah buruk.31
Sementara Toshihiko Izutsu memandang bahwa kata ma‟rûf berasal
daridan didasarkan pada tipe moralitas Jahiliyyah. Ini menunjukkan bahwa al-
Qur‟an mengambil terminologi kesukuan dan menjadikannya suatu bagian yang
integral dalam suatu sistem etika yang baru. Ma‟rûf secara etimologis berarti
terkenal, yakni apa yang dianggap sebagai terkenal dan sudah lazim, serta diakui
dalam konteks kehidupan sosial. Antitesanya adalah munkar yang berarti apa
yang tidak terkenal dan asing. Tampak bahwa masyarakat kesukuan Arab
Jahiliyah telah menggunakan kata ma‟rûf untuk menunjukkan suatu yang terkenal
dan sudah lazim sebagai hal yang baik dan suatu yang asing sebagai hal yang
buruk.32
Adapun al-Qur‟an menggunakan kata ma‟rûf ini dalam pengertian yang
lebih terbatas dari pengertian yang lazim. Semantikisme kata ma‟rûf menurut al-
Qur‟an dilakukan dengan memeriksa terlebih dahhulu beberapa ayat yang juga
menggunakan kata ma‟rûf dengan tujuan memperoleh petunjuk penting bagi kita
mengenai apa yang dimaksudkan oleh al-Qur‟an itu sendiri jika ia menggunakan
kata ini, diantaranya: QS. al-Baqarah[2]: 231,33
23334
, QS. al-Nisâ‟[4]: 1935
, QS.
al-Ahzâb[33]: 3236
dan Lukmân[31]: 13-15.37
31
M. Matsna, Orientasi SemantiK al-Zamakhsyari (Jakarta: Anglo Media, 2006), h. 144. 32
Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam al-Qur‟an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h.
348. 33
Artinya berbunyi: “apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati waktu
iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma‟rûf , atau ceraikanlah mereka dengan cara
yang ma‟rûf pula. Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan karena dengan
demikian kamu menganiaya mereka. Barang siapa berbuat demikian, maka sesungguhnya ia telah
berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.”
26
Secara kontekstual, QS. al-Ahzâb[33]: 32 menjelaskan bahwa ungkapan
yang baik disini menunjukkan cara-cara bertutur kata yang benar-benar pantas
bagi para istri Nabi, yaitu dengan cara yang cukup terhormat, memiliki
kewibawaan dan martabat yang cukup tinggi agar tidak memberikan kesempatan
kepada orang-orang yang dihatinya ada penyakit, yakni orang-orang yang
senantiasa dipengaruhi oleh gejolak hawa nafsu untuk berbuat hal-hal yang tidak
senonoh terhadap mereka. Sedangkan QS. al-Baqarah[2]: 231 mempertentangkan
merujuki perempuan yang ditalak dengan dengan merujuki mereka dengan paksa
atau memberi kemudharatan. Hal ini mengesankan bahwa dengan ma‟rûf berarti
melakukan dengan cara yang baik-baik. Baik di sini dimaksudkan dengan apa
yang terkenal dan diakui secara tradisi.38
3. Al-Iẖsân
Kata iẖsan berasal dari bahasa Arab, yaitu aẖsana-yuẖsinu-iẖsan artinya
berbuat baik. Kata iẖsan disebut dalam al-Qur‟an sebanyak 193 kali dalam 50
surat.39 Al-Ashfahani, menyebutkan bahwa kata al-husnu merupakan segala
34
Artinya berbunyi: “para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, yaitu bagi orang-orang yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para oibu dengan cara yang ma‟rûf.” 35
Artinya berbunyi: “hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa, dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil
kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali bila mereka melakukan
pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak
menyukai mereka, maka bersabarlah. Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” 36
Artinya berbunyi: “hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain,
jika kamu benar-benar bertakwa kepada Allah maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit di dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan
yang ma‟rûf .” 37
Artinya berbunyi: “bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dia ibu bapakmu. Dan jika
keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan-Ku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu (yaitu berhala), maka janganlah kamu mengikuti keduanya. Dan
pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang baik.” 21760014 38
Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam al-Qur‟an, h. 349. 39
Muhammad Fuad Abdul Bâqiy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâẕ al-Qur‟ân al-Karîm
(Kohiroh: Dâr al-Hadîs, t.t.), h. 202-205.
27
sesuatu yang menyenangkan dan disukai, baik berdasarkan pandangan akal, hawa
nafsu, dan dari segi pandangan secara fisik. Pengertian lain penggunaan al-
hasanah adalah digunakan untuk pahala. Sedangkan al-hasanah menggambarkan
kenikmatan manusia pada dirinya, badannya, dan keadaannya.40 Sebagaimana
yang dijelaskan dalam Sûrah al-Nisâ‟/4: 78 berikut:
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu,
kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika mereka
memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau
mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi
kamu (Muhammad)”. Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. Maka
mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami
pembicaraan sedikitpun?”.
Menurut Quraish Shihab ayat tersebut meluruskan kekeliruan seseorang
dalam menikmati hidup duniawi sebanyak mungkin, padahal nilai kehidupan
dunia dan kesenangannya tidak sebanding dengan kehidupan setelah kematian,
yakni di akhirat. Selain itu ayat di atas mereka menduga bahwa mereka dapat
terhindar dari kematian atau memperlambat datangnya ajal dengan menghindari
peperangan. Bahwa kematian akan datang kepada meraka yang sudah ajalnya
kendati pun mereka di dalam benteng-benteng yang kokoh dan tersusun dengan
rapi. Kekeliruan lain mereka mengatakan bahwa jika memperoleh kebajikan,
yakni sesuatu yang menggembirakan, mereka mengatakan, “ini dari sisi Allah”,
40
Al-Raghîb al-Ashfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur‟ân (Beirut: Dar al-Ma‟rifah,
t.t), h. 118.
28
dan kalau mereka ditimpa suatu bencana, yakni sesuatu yang tidak
menyenangkan, mereka mengatakan, “ini dari sisi engkau Muhammad.”41
Penggunaan al-husnu di dalam al-Qur‟an adalah untuk segala sesuatu yang
dipandang baik berdasarkan bashirah (hati nurani), sebagaimana yang dijelaskan
dalam Sûrah al-Zumar/39: 18. Dijelaskankan pula dalam Sûrah al-„Ankabût/29: 8,
Sûrah al-Taubah/29: 52, Sûrah al-Mâidah/5: 50, bahwa kebaikan Allah hanya
akan terang dan jelas bagi orang yang yakin terhadapnya dengan memelihara dan
mempelajari serta menjauhkan dirinya jauh dari kebodohan.42
Kata ihsan adalah isyarat terhadap pengawasan dan ketaatan yang baik.
ihsan adalah berbuat baik dalam segenap pekerjaan, yaitu mengerjakan amal
perbuatan dengan tulus, ikhlas, bagus, dan rapi, baik yang wajib maupun yang
sunnah. Yakni segala perbuatan dilakukan dengan perasaan penuh tanggung
jawab kepada Allah swt. Seluruh prilaku yang mendatangkan manfaat dan
menghindarkan kemudharatan merupakan prilaku yang baik.43
41
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 494. 42
Enoh, “Konsep Baik (Kebaikan) dan Buruk (keburukan) dalam al-Qur‟an,” no. 1
(Januari 2007): h. 31. 43
Ahmady, “Konsep Ihsan dalam al-Qur‟an: Pendekatan Semantik,” (Tesis S2 Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat Program Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2012), h.
135-136.
29
Dari hadis tersebut terlihat bahwa susunan dasar agama islam terdiri dari
iman, islam, dan iẖsan. Ketiganya merupakan tiga satuan ajaran islam, yang
antara satu dengan yang lain saling terkait. Iman tidak sempurna tanpa islam, dan
islam tidak sempurna tanpa iẖsan. Sebaliknya iẖsan mustahil ada tanpa iman dan
islam.45
Iẖsan adalah bentuk masdar dari kata aẖsana-yuẖsinu-iẖsânan. Terkadang
maknanya muta‟addi dengan tambahan huruf hamzah, seperti sebuah ungkapan
“ahsanta kadzâ artinya engkau telah berbuat baik dengan melakukan sesuatu.
Aẖsanta ilâ fulân artinya engkau telah memberikan sesuatu yang bermanfaat
baginya. Namun, pengertian iẖsan disini yang pertama, melakukan ibadah dengan
baik. Makna kedua seperti orang yang ikhlas beribadah, sebenarnya ia telah
melakukan kebaikan dengan niat ikhlas atas dirinya. Iẖsan dalam ibadah adalah
ikhlas, khusyu‟, dan merasa dalam pengawasan Allah swt.46
4. Al-Khair
Kata khâra jamaknya khuyûr lawan dari kata syirr.47
Kata khair
merupakan bentuk masdar dari kata (khâra-yakhîru), dalam
penggunaannya kata ini bisa berfungsi sebagai ism (kata benda), sebagai ism tafḏîl
(tingkat perbandingan), dan bisa pula berfungsi sebagai sifah musyabbahah (kata
44
„Abî „Abdillah Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Shaẖîẖ al-Bukhârî (Kohiroh: al-
Qudus,2014) h. 33. 45
„Abdul „Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: Ictiar Baru van Hoeve,
1997), h. 650. 46
Falih bin Muhammad bin Falih Ash-Shughayyir, Meraih Puncak Ihsan. Penerjemah.
Darwis (Jakarta: Darus Sunah, 2009), h. 29-30. 47
Lûwîs Ma‟lûf, al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: T.pn., 1908), h. 201.
30
yang serupa dengan kata sifat). Dalam al-Qur‟an kata khair disebut 176 kali.48
Sedangkan kata khair yang ada kaitannya dengan rezeki atau harta terulang
sebanyak 9 kali diantaranya adalah: Meninggalkan harta yang banyak hendaknya
berwasiat sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Sûrah al-Baqarah[2]: 180.
Menginfakkan harta untuk diri sendiri, orang tua, dan kaum kerabat terdapat
dalam Sûrah al-Baqarah[2]: 215 dan 273.49
Khair adalah segala sesuatu yang disenangi semua orang seperti, keadilan
yang disenangi akal dan sesuatu yang bermanfaat. Kebaikan berdasarkan kata ini
dibagi dua, yaitu khair mutlaq dan khair muqayyad. Khair mutlaq yaitu sesuatu
yang dipandang lebih baik oleh Allah dan dianggap baik dalam setiap keadaan
dan situasi oleh setiap orang, seperti surga. Sebagaimana yang dijelaskan dalam
Sûrah al-Nahl[16]: 30. Sedangkan khair Muqayyad yaitu baik dan buruk yang
berhubungan, terutama dalam arti yang khusus yang bisa memberikan kebaikan
dan keburukan seperti: harta yang banyak.50
Sebagaimana yang dijelaskan dalam
Sûrah al-Baqarah[2]: 180:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda)
maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Harta yang banyak bisa memberikan manfaat kepada diri sendiri dan orang
lain, dengan harta yang banyak seseorang bisa bersedekah, membantu yang
48
M. Quraish Shuhab, Ensiklopedia al-Qur‟an: Kajian Kosakata (Jakarta: Lentera Hati,
2007), h. 448. 49
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama
RI, “Suhuf: Jurnal Kajian al-Qur‟an dan Kebudayaan,” 1, no. 1 (2008): h. 48. 50
Al-Raghib al-Ashfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur‟ân (Beirut: Dar al-Ma‟rifah,
t.t), h. 160
31
sedang membutuhkan. Di sisi lain dengan harta yang banyak seseorang bisa
menjadi sombong dan lupa akan segalanya. Al-Khair yang diartikan harta untuk
kepentingan wasiat.
Dalam pemakaiannya kata al-khair dapat diartikan sebagai ism
sebagaimana yang dijelaskan dalam Sûrah ali-Imrân[3]: 104, dan dapat pula
sebagai sifat pada wazan af‟ala dalam sûrah al-Baqarah[2]: 106 dan 197.
Sedangkan pada Sûrah al-Baqarah[2]: 184 dapat diartikan kedua-duanya.51
Kata
al-Khair secara umum diartikan dengan sesuatu yang disukai. Dalam kata ini
mengandung tiga hal yaitu: sesuatu yang baik, sesuatu yang lebih baik, dan
sesuatu yang paling baik atau terbaik.52
5. Al-Sâlih
Kata sâlih dalam al-Qur‟an disebutkan sebanyak 180 kali.53
secara
etimologi, kata shâlih berasal dari sâluha-yasluhu-salahan yang artinya baik,
tidak rusak dan patut. Sedangkan shâlih merupakan ism fail dari kata tersebut
berarti orang yang baik, orang yang tidak rusak dan orang yang patut. Sedangkan
shâlih menurut al-Qur‟an adalah orang yang senantiasa membaca al-Qur‟an di
waktu malam, melaksanakan shalat malam, beriman dan beramal, menyuruh
kepada kebaikan, mencegah perbuatan munkar.54
Sebagaimana yang dijelaskan
dalam surah ali-Imrân[3]: 113-114 dan al-ankabût[29]: 9.
51
Enoh, “Konsep baik (Kebaikan) dan Buruk (Keburukan) dalam al-Qur‟an, no.1 (Januari
2007): h. 32. 52
Yulia Rahmi, “Makna Khair dalam al-Qur‟an,”(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan
Pemikiran Agama, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2014), h. 3. 53
Muhammad Fuad Abdul Bâqiy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâẕ al-Qur‟ân al-Karîm
(Kohiroh: Dâr al-Hadîs, t.t.), h. 410-412 54
Muhammad Hisyam, “Shalih Menurut al-Qur‟an,” artikel diakses pada 20 Maret 2017
dari http://beritalangitan.com>fakta-opini
32
“Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang
berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam
hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah
dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari
yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) berbagai kebajikan; mereka itu
termasuk orang-orang yang saleh.”
Kata sâlihât adalah bentuk jamaknya dari bentuk tunggal al-Sâlih. Dalam
konsepsi al-Qur‟an sering diantonimkan dengan kata fasid yang berarti rusak.
Namun dalam al-Qur‟an al-Sâlih dipertentangkan dengan khabihat yang berarti
negatif, keburukan, kejelekan atau ketidak patutan sehingga amal shalih adalah
perbuatan yang menutup segala bentuk keburukakn dan kenegatifan manusia.55
55
Muhammad Shalikhin, Menyatu Diri dengan Ilahi (Yogyakarta: Penerbit Narasi,
2010), h. 397-398.
33
BAB III
NISBAH KATA ṮAYYIB, OBJEK DAN BALASANNYA DALAM
PENAFSIRAN
A. Nisbah kata Ṯayyib
1. Kota QS. al-A‟râf[7]: 58
“Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin
Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana.
Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang
yang bersyukur.”1
Ayat diatas merupakan gambaran bagi hati yang baik dan yang buruk,
yang tidak terlepas dari suasana pemandangan yang ditampilkan, tujuannya hanya
untuk menjaga keharmonisan pandangan dan pemandangan pada tabiat dan
hakikatnya. Hati yang baik di dalam al-Qur‟an dan hadis Nabi Muhammad saw
diserupakan dengan negeri yang baik dan tanah yang subur, adapun hati yang
buruk diserupakan dengan negeri yang buruk dan tanah yang tandus.2
Tanah yang subur dan mengeluarkan buah-buahan yang baik adalah
perumpamaan bagi orang mukmin yang mau mendengarkan nasehat, lalu nasehat
itu bermanfaat baginya sedangkan tanah yang mengandung garam dan bebatuan
yang tidak ada faedahnya adalah perumpamaan bagi orang-orang kafir yang tidak
mau mengambil nasehat dan dakwah islam. Orang-orang yang bersyukur kepada
1 Q.S al-A‟râf[7]: 58.
2 Sayyid Qutb, Fi Dzilal al-Qur’an: di Bawah Naungan al-Qur’an. Penerjemah As’ad Yasin
(Jakarta: Gema Insani, 2003), h. 221-222.
34
Allah swt atas segala nikmat-Nya khusus disebut, karena merekalah orang-orang
yang mengambil manfaat dengan mendengar al-Qur‟an.3 Al-Alûsi berkata, seperti
pengaturan yang indah, Kami ulangi ayat-ayat yang menunjukkan kepada
kekuasaan yang luar biasa, dan Kami senantiasa mengulang-ulanginya kepada
orang-orang yang bersyukur kepada nikmat-Nya, bersyukur dengan berangan-
angan (tadabbur) dan mengambil pelajaran.4
Quraish Shihab dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ada perbedaan antara
tanah dengan tanaman, demikian pula juga ada perbedaan antara kecenderungan
dan potensi jiwa manusia dengan jiwa manusia yang lain. Tanah yang baik yakni
tanah yang subur dan selalu dipelihara, tanaman-tanamannya tumbuh subur
dengan seizin Allah yakni berdasar kehendak Allah swt yang
ditetapkan-Nya melalui hukum-hukum alam, adapun tanah yang buruk adalah
tanah yang tidak subur dan Allah swt tidak memberinya potensi untuk
menumbuhkan buah yang baik. Demikian ini adalah balasan bagi orang-orang
yang bersyukur yakni yang mau menggunakan anugerah Allah swt sesuai dengan
fungsi dan tujuannya.5
Bumi itu diantaranya ada yang tananhya baik dan pemurah, yang tanam-
tanamannya keluar dengan mudah dan tumbuh dengan cepat. Dan ada pula
diantaranya yang tanahnya buruk, seperti tanah hitam berbatu, dan tanah tandus
yang tanam-tanamannya tidak tumbuh karena jumlahnya tidak seberapa. Ibnu
3 Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwatut Tafsir: Tafsir-tafsir Pilihan. Penerjemah. Yasin,
jilid. 2 (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), h. 316-317. 4 Mahmûd al-Alûsî al-Baghdâdî, Rûh al-Ma‟ânî fî Tafsîr al-Qur‟an al-Adzîm wa al-Sab‟î
al-Matsânî (Beirut: Dâr al-Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabî, 1985), h. 148. 5 M.Quraish Shihab,Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur „an vol. II
(Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 124.
35
Abbas, sebagaimana yang ditulis al-Maragi, perumpamaan ini dimisalkan oleh
Allah swt antara orang mukmin dengan orang kafir, yakni orang yang berbuat
baik dan orang yang berdosa. Demikian bagi mereka yang bersyukur atas nikmat-
nikmat-Nya berhak menerima tambahan dari Allah dan dibalasi pahala. Ayat ini
diakhiri dengan kata karena sasaran ayat ini adalah agar orang mengambil
petunjuk dari ilmu, amal, dan bimbingan yang lurus.6
“Perumpamaan dari petunjuk dan ilmu yang dengan itu Allah swt
membangkitkan aku adalah seperti halnya hujan yang banyak. Hujan itu mengenai
bumi, di antara bumi itu ada tanahnya yang bersih, ia menerima air lalu
ditumbuhkanya tumbuh-tumbuhan dan rumput yang banyak. Dan ada pula tanah
yang tandus yang tidak mau menyerap dan menampung air, lalu Allah
memanfaatkan tanah itu bagi oranng lain. Mereka dapat minum, mengairi sawah
dan menanam, bahkan air itu mengenani bagian tanah yang lainnya, yang tidak
lain adalah tanah yang datar yang tidak menahan air dan tidak menumbuhkan
rumput. Hal itu merupakan perumpamaan orang yang paham tentang agama Allah
swt dan bermanfaat padanya yang dengan itu Allah swt membangkitkan aku.
Orang itupun berilmu dan mengajarkannya kepada orang lain. Perumpamaan
orang yang dengan adanya ilmu dan petunjuk itu tidak sombong dan tidak
menerima petunjuk Allah swt, yang dengan itu aku telah diutus disini.”
6 Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi. Penerjemah Bahrun Abu Bakar.
(Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1992), h. 329-330.
7 Muhammad bin Ismâ‟îl al-Bukhârî, Shaẖîẖ al-Bukhârî, (T.tp.: Dâr al-Alamiyyah, 2014),
h. 35.
36
Negara yang dalam bahasa Arabnya adalah al-bilâd ditemukan dalam al-
Qur‟an dengan berbagai bentuk derivasinya sebanyak 19 kali dengan perincian
kata balada berulang sebanyak 8 kali, kata baladan 1 kali, kata biladî 5 kali, kata
baldatun diulang sebanyak 5 kali.8
Khusus kata baldatun ṯayyibatun yang disebutkan dalam Q.S. Sâba‟[34]:
15 menjelaskan sebuah konsep Negara yang baik dan ideal. Konsep Negara
seperti ini harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
Pertama: agama yang dihayati. Agama pada suatu Negara yang diperlukan
sebagai penyeimbang dan pengendali hawa nafsu serta pengawas melekat atas hati
manusia, karenanya merupakan sendi yang terkuat bagi kesejahteraan dan
ketenangan Negara. Kedua: penguasa yang beribawa. Dengan wibawa seorang
pemimpin atau penguasa dapat mempersatukan aspirasi-aspirasi yang berbeda,
dan membina Bangsa dan Negara untuk mencapai saran-sarannya yang luhur.
Ketiga, keamanan yang merata. Dengan meratanya keamanan, rakyat dapat
menikmati ketenangan batin dan daya kreasi akan berkembang dikalangan rakyat.
Keempat, kesuburan tanah. Dengan kesuburan tanah, kebutuhan rakyat akan
bahan makananan dan kebutuhan materi yang lain dapat terpenuhi.9 Kelima:
keadilan yang menyeluruh. Terwujudnya keadilan akan menciptakan persatuan
dan kesatuan bangsa, membangkitkan kesetiaan rakyat, memakmurkan negeri
8 Muhammad Fuâd „Abdul al-Bâqîy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdh al-Qur‟an al-
Karîm (al-Qohirah; Dar al-Hadis, t.t), h.170. 9 Lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993), h. 61-62.
37
yang akhirnya mengamankan kedudukan penguasa serta menjamin stabi litas
dalam negeri.10
Keenam, harapan yang optimis. Generasi sekarang hanya punya kaitan erat
dengan generasi yang akan datang, maka generasi sekarang pewaris generasi yang
lalu.11
Dengan mencukupkan pada enam kriteria baldatun ṯayyibatun seperti yang
disebutkan di atas akan terwujud Negara tersebut masyarakat yang zuhud, yakni
sekelompok yang mementingkan ibadah. Keadilan sebagai ciri khas Negara yang
ideal. Keadilan merupakan hokum Allah swt dimuka bumi, keadilan mencakup
melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan oleh Allah swt dan Rasul-
Nya, yaitu menemmpatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikannya kepada
yang berhak.12
Ciri khas Negara seperti yang disebutkan, telah terimplementasi sejak
masa Nabi Muhammad saw yang diistilahkan dengan Negara Madinah al-
Munawwarah, dicetuskan sejak adanya akad piagam Madinah, yang diistilahkan
dengan Madinah Charter.
Pada awalnya, piagam Madinah terdiri atas dua bagian. Satu bagian
berkaitan dengan perjanjian damai Nabi Muhammad saw dengan orang-orang
yahudi, dan yang kedua, menguraikan komitmen, hak-hak dan kewajiban antara
kaum muslimin (Muhajirin dan Anshar). Namun para ahli sejarah
menggabungkan kedua dokumen itu menjadi satu. Dokumen pertama ditulis
10
J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, dan Pemikiran (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), h. 277.
11 Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Din (Kairo: Dar al-Syibah, 1950), h. 122.
12 J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, dan Pemikiran, h. 226.
38
sebelum terjadinya perang badar, dokumen kedua, ditulis setelah perang badar.13
Berkenaan dengan dokumen, sumber-sumber sejarahkan menyebutkan bahwa
perjanjian damai antara kaum Muslimin dengan kaum Yahudi, ditanda tangani
oleh Nabi Muhammad saw pertama kali tiba di Madinah. Dokumen ini mencatat
dua kejadian penting: pertama, adalah kedatangan Nabi Muhammad saw ke
Madinah sebelum islam menjadi kuat dan sebelum diperintahkan jizyah dari para
ahl al-Kitab. Kedua, Islam menjadi kuat setelah terjadinya perang Badar.
Berkenaan dengan dokumen kedua, perjanjian antara kaum Muhajirin dengan
kaum Anshar yang ditulis pada tahun kedua hijrah.14
Muhammad Jamaluddin Surur menyimpulkan delapan prinsip, yaitu
menyatakan bahwa segenap kaum Muslimin adalah mengakui hak asasi kaum
Yahudi, sekaligus mengajak mereka memeluk islam, mengakui kebebasan
beragama bagi kaum Yahudi, menetapkan bahwa penyelesaian segala sengketa
berada ditangan Nabi Muhammad saw sebagai kepala Negara, memperkuat
pertahanan dan bersikap waspada terhadap kaum Quraisy, pertahanan Negara
adalah tanggung jawab seluruh warga Negara, Madinah sebagai Negara harus
dipertahankan dan dijunjung kehormatannya.15
2. Makanan Q.S al-A‟râf[7]: 32
13
Lihat Arkam Dhiyauddin Umari, Madinan Society at the Time of the Prophet: Its
characteristics and Organization. Penerjemah. Mun‟in A. Sirry dengan judul Masyarakat Madani:
tinjauan Hidtoris Kehidupan Zaman Nabi (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 108. 14
Lihat Arkam Dhiyauddin Umari, Madinan Society at the Time of the Prophet: Its
characteristics and Organization. Penerjemah. Mun‟in A. Sirry dengan judul Masyarakat
Madanii: tinjauan Hidtoris Kehidupan Zaman Nabi, h. 115. 15
Muhammad Jamaluddin Surur, Qiyam al-Daulah al-„Arabiyyah al-islamiyyah (Kairo:
Dâr al-Nahdah, 1952), h. 78-79.
39
“Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rezeki yang baik? Katakanlah: Semuanya itu (disediakan) bagi
orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di
hari kiamat. Demiki anlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang
mengetahui.”16
Kata الطيباث (al-Ṯayyib ) dari segi bahasa berarti lezat, baik, sehat,
menentramkan dan paling utama. Firman-Nya mengisyaratkan
bahwa ada rezeki yang dinamakan tidak baik dan sifatnya buruk serta diharamkan
Allah swt. Manusia dituntun untuk menggunakan rezeki yang baik dan
mengandung apa yang sesuai dengan kondisi manusia, baik dalam kedudukannya
sebagai jenis, maupun pribadi demi pribadi. Manusia sebagai makhluk yang
memiliki ciri-ciri tertentu mempunyai kebutuhan bagi kelanjutan dan kenyamanan
ruhani dan jasmani, sehingga tidak semua rezeki yang terhampar di bumi dapat
digunakan. Hal ini dapat digambarkan dengan ilustrasi bahwa ada hyang sesuai
dengan kondisi anak kecil, tetapi tidak sesuai dengan orang dewasa dan pakaian
untuk pria dan adapula yang tidak wajar yang dipakai oleh wanita. Begitupula
dengan kata al-Ṯayyib mengandung makna proprosional.17
Allah swt menyuruh Nabi Muhammad saw untuk menyatakan kepada
kaum musyrikin yang telah mengharamkan segala yang dihalalkan, bahwa yang
berhak menentukan halal dan haram hanya Allah swt semata. Selain itu, Allah swt
menyatakan bahwa semua perhiasan pakaian itu dihalalkan bagi orang yang
16
Q.S al-A‟râf[7]: 32 17
M.Quraish Shihab,Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur „an, h. 78.
40
beriman, demikian pula makanan yang baik lezat, sedang di akhirat hanya khusus
orang yang beriman.18
Perhiasan, makanan dan minuman yang baik di dunia itu disediakan bagi
orang-orang mukmin, meskipun meskipun orang-orang kafir menikmati juga, dan
pada hari kiamat semuanya itu hanya dikhususkan kepada orang-orang mukmin
saja, sedang orang-orang kafir tidak seorangpun dari mereka yang menikmati di
akhirat, karena sesungguhnya Allah swt mengharamkan surga kepada orang-orang
kafir. Demikian ini tanda-tanda syariat kepada orang-orang yang mau berangan-
angan kepada hikmah Allah swt dan mengetahui syariat-Nya.19
Allah mengeluarkan perhiasan yang dimaksud ialah, Allah telah
menciptakan bahan-bahan dan mengajarkan cara-cara pembuatannya dengan hal
yang telah Allah swt titipkan pada fitrah mereka, berupa menyukai pada
perlengkapan hidup dan cenderung memakainya. Karena Allah swt telah
menciptakan manusia dengan bakat menampakkan tanda-tanda kekuasaan Allah
swt pada seluruh yang Dia ciptakan di alam yang mereka tempati. Sesungguhnya
perhiasan dan rejeki yang baik-baik adalah untuk orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, yang dalam hal itu mereka dibarengi pula oleh umat lain yang
ikut menikmati perhiasan dan rejeki yang baik-baik itu, sekali pun mereka tidak
patut menerimanya, seperti halnya orang-orang yang beriman. Perhiasan dan
18
Abû al-Fidâ Muhammad bin Ismâ‟îl bin Katsîr, Tafsir al-Qur‟an al-Adzîm al-
Musammâ Tafsîr ibn Katsîr (Bandung: Maktabah Dahlan, t.t), h. 399. 19
Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwatut Tafsir: Tafsir-tafsir Pilihan. Penerjemah. Yasin,
jilid. 2 (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), h. 297.
41
rejeki yang baik-baik itu akan diberikan secara khusus kepada orang-orang yang
beriman kelak di hari kiamat.20
3. Sikap Malaikat yang Mencabut Nyawa Q.S al-Nahl[16]: 32
“(yaitu) orang-orang yang diwafatkan dalam keadaan baik oleh para
malaikat dengan mengatakan (kepada mereka): “Salaamun‟alaikum, masuklah
kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan.”21
Sayyid Qutb menjelaskan ayat di atas adalah gambaran bagi orang–orang
yang bertakwa yaitu peristiwa yang penuh dengan kelembutan, kemudahan, dan
kemuliaan.22
Menurut al-Raghib al-Ashfahani, orang yang baik adalah orang yang
membersihkan dirinya dari kotoran kebodohan, kefasikan, dan sifat-sifat yang
buruk, serta berhias diri dengan ilmu, iman dan perbuatan-perbuatan yang baik.23
Ayat tersebut menegaskan bahwa sesorang yang wafat, yakni mati dalam
ṯayyibîn, kelak disambut dengan ucapan salam dan dimasukkan ke surga.
Kematian menurut al-Qur‟an, sesuatu kejadian yang tidak bias dihindari oleh
setiap makhluk yang bernyawa.24
Ketika manusia mati, ia menuju kea lam akhirat
dan tidak seorangpun yang akan dapat menebus dosa orang lain,25
tiada tolong
menolong, bahkan semuanya pasrah.26
Al-Qur‟an menyebut kematian dengan kata
(maut) yang akar katanya, mâta, yamûtu, mawtan mengandung arti
20
Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi. Penerjemah Bahrun Abu Bakar. h. 238-
239. 21
Q.S al-Nahl[16]: 32 22
Sayyid Qutb, Fi Dzilal al-Qur‟an: di Bawah Naungan al-Qur‟an. Penerjemah As‟ad
Yasin (Jakarta: Gema Insani, 2003), h. 269-270. 23
Al-Raghîb al-Ashfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur‟an (Beirut: Dar al-Ma‟rifah,
t.t), h. 309. 24
QS. ali Imrân[3]: 185. 25
QS. al-An’âm[6[: 164. 26
QS. al-Shaffât[37]: 25-26.
42
27
(suatu keadaan yang dengannya orang meninggal,
daan berpisahnya ruh dengan jasad). Kematian dengan kata al-Mawt dalam al-
Qur‟an beserta derivasinya berjumlah 145 kata.28
Jumlah tersebut sebanding
dengan kata al-hayah yang juga disebut sebanyak 145 kali dalam al-Qur‟an.
Definisi yang dikemukakan al-Asfahani dengan merujuk pada yat-ayat al-
Qur‟an, makna kematian tersebut sekurang-kurangnya memiliki empat batasan:
a. Kematian adalah hilangnya kekuatan yang menimpa pada diri
manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan sebagaimana dalam QS. al-
Rûm[30]: 19 dan Qâf[50]: 11.
b. Kematian adalah hilangnya kekuatan dalam merasakan sesuatu
sebagaimana dalam QS. Maryam[19]: 23 dan 66.
c. Kematian adalah hilangnya kekuatan akal untuk mengingat
sebagaimana dalam QS. al-An‟âm[6]: 122 dan QS. al-Naml[27]: 80.
d. Kematian adalah hampir sama dalam keadaan tidur, dan karena itu
tidur disebut kematian kecil sebagaimana yang dipahami dalam QS. al-
An‟âm[6]: 60 dan al-Zumar[39]: 42.29
Menurut al-Ghazali, kematian adalah pemutus segala kelezatan
duniawi, dia adalah pemisah sahabat dan pengaruh kenyamanan hidup
orang di dunia.30
Dengan demikian, kematian dianggap bayang-bayang
dalam benak manusia, ia amat dikenal, ia terlihat dan terdengar sehari-
hari, bahkan ditayangkan selalu keadaan kematian tersebut. Namun
27
Luis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah (Beirut: Dâr al-Masriq, 1977), h. 778. 28
Muhammad Fuâd „Abdul al-Bâqîy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdh al-Qur‟an al-
Karîm (Beirut; Dâr al-Fikr,1992), h. 842-853. 29
Al-Raghîb al-Ashfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur‟an, h. 781. 30
Imam al-Ghazali, Ihya Ulumuddin. terjemahan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989), h. 821.
43
pada hakikatnya kehadiran kematian itu menjadi rahasia Allah swt
sebagaimana dalam QS. Luqman[31]: 34.
“Dan tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang
akan dikerjakannya besok, dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi
mana diaa akan mati. Sesungguhnya Allah swt maha mengetahui lagi maha
mengenal.”
M. Quraish Shihab menyatakan bahwa kematian dalam al-Qur‟an disebut
pula al-yaqin sebab menurutnya kematian adalah keyakinan dan semua orang
yakin akan mati, tidak disertai keraguan sedikitpun.31
Sejalan dengan QS. al-
Hir[15]: 99 (“dan sembahlah Tuhanmu sampai dating kepadamu yang diyakini
(ajal)”, ayat ini bahwa masalah kematian harus diyakini, walaupun ia menjadi
rahasia Allah swt kapan waktu dan tempatnya. Dimanapun orang bersembunyi,
tidak ada tabir yang menghalangi rahasia tentang pengetahuan Allah swt
terhadapnya, dan karena itu pula walau ada benteng yang menutup untuk
bersembunyi dari jangkauan manusia, pasti kematian seorang tetap akan dating
sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Nisâ‟[4]: 78.
“Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu kendatipun
kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.”
Seseorang yang mati dalam keadaan ṯayyib sebagaimana yang disebutkan
dalam QS. al-Nahl[16]: 32, dimasukkan dalam surga yang disebut dengan al-
jannah, penuh kenikmatan yang tiada taranya, kenikmatan yang bias digambarkan
31
M. Quraish Shihab, Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga dan Ayat-ayat Tahlil (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 12.
44
dengan bahasa manusia. Surga ini disediakan kepada mereka yang mati dalam
keadaan ṯayyib dan bertakwa kepada Allah swt, mereka tergolong di dalamnya
adalah orang-orang yang beriman dan tetap melaksanakan amal shalih saat di
dunia.
(ṯayyib) adalah kata yang singkat tetapi padat dengan makna-makna,
termasuk melaksanakan segala perintah, menghindari segala larangan, memiliki
akhlak yang utama dan perangai yang indah, bersih dari segala perbuatan yang
kotor, tidak menyibukkan diri dengan alam syahwat dan kelezatan jasmaniyah.
Kebaikan ini diikuti oleh kebaikan keadaan ketika nyawa mereka dicabut, karena
pencabutan nyawa mereka disertai pemberian kabar gembira dengan surga,
sehingga mereka seakan benar-benar menyaksikannya. Dengan keadaan seperti
ini, orang yang bertakwa tidak merasakan sakitnya kematian. Mereka masuk surga
yang telah disediakan dan dijanjikan Allah swt, karena perbuatan, ketakwaan serta
ketaatan yang telah mereka kerjakan.32
Ayat di atas adalah gambaran bagi orang-orang yang mempertahankan
ketakwaannya hingga akhir umurnya. Kata ṯayyibîna ( ) adalah bentuk jamak
dari kata ṯayyib ( ). Kata ini dipahami juga dalam arti bebasnya segala sesuatu
dari yang menganugerahkannya. Bila manusia menyifati kehidupan dengan sifat
ini, berarti kehidupan itu nyaman dan sejahtera dan tidak disentuh oleh rasa takut
atau sedih dan bila ia menyifati ucapan seperti ungkapan al-qaul al- ṯayyib
(ucapan yang baik) maka kata-kata yang halus tidak mengandung kebohongan
32
Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi. Penerjemah Bahrun Abu Bakar, h. 135-
136.
45
serta baik susunan kalimatnya. Sementara orang-orang bertakwa dimatikan dalam
keadaan ṯayyibîn berarti mereka mati dalam keadaan yang sangat baik.
Kematiannya tidak disertai oleh sesuatu yang menyensarakan. Mereka akan
terhindar dari su‟ul al-khâtimah dan kesulitan sakarat al-maut. Berbeda dengan
orang-orang yang mininggal dalam keadaan menganiaya diri mereka, mereka
akan mati dalam keadaan sangat sulit.33
4. Angin Q.S Yûnus[10]: 22
“Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (berlayar) di
lautan. Sehingga apabila kamu berada di dalam bahtera, dan meluncurlah bahtera itu
membawa orang-orang yang ada di dalamnya dengan tiupan angin yang baik, dan mereka
bergembira karenanya, datanglah angin badai, dan (apabila) gelombang dari segenap
penjuru menimpanya, dan mereka yakin bahwa mereka telah terkepung (bahaya), maka
mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya semata-mata.
(Mereka berkata): “Sesungguhnya jika Engkau menyelamatkan kami dari bahaya ini,
pastilah kami akan termasuk orang-orang yang bersyukur.”34
Dalam ayat ini Allah swt menunjukkan kemampuan, kekuasaan dan
anugerah-Nya kepada manusia seraya berfirman, “Dialah Allah swt yang telah
memberikan kepadamu (manusia) kesanggupan berjalan di darat, berlayar di
lautan, dan terbang di udara dengan memberikan kepadamu kesempatan untuk
mempergunakan beraneka macam sarana seperti bintang, kapal dan sebagainya.
Dengan alat angkutan tersebut kamu dapat mencapai berbagai keinginanmu dan
untuk bersenang-senang.”
33
M.Quraish Shihab,Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur „an, h. 219-220.
34 Q.S Yûnus[10]: 22
46
Dengan kesanggupan dan kemampuan yang diberikannya itu, manusia
diuji dan dicoba oleh Allah swt sehingga tampak jelas watak dan tabiatnya, yang
diibaratkan Allah swt sebagai berikut: dengan kesanggupan yang diberikannya itu,
manusia membuat sebuah bahtera yang dapat mengarungi samudera luas. Tatkala
mereka telah berada dalam bahtera itu dan berlayar membawa mereka dengan
bantuan hembusan angin yang baik dan ombak yang tenang, merekapun
bergembira. Tiba-tiba datanglah angina badai kencang dan ombak menghempas
dari segenap penjuru, sehingga timbulah kecemasan dalam hati mereka. Karena
itu mereka berdoa seraya merendahkan diri dengan penuh keikhlasan, agar Allah
swt melepaskan mereka dari gulungan ombak yang dahsyat itu, lalu berkata
“wahai Tuhan kami, sesungguhnya jika engkau lepaskan kami dari malapetaka
yang akan menimpa kami, tentulah kami menjadi orang-orang yang mensyukuri
nikmat yang telah engkau berikan.”35
Dengan angin yang lembut mejalankan kapal mereka sehingga para
penumpang gembira karena angina yang baik itu. Tiba-tiba kapal itu diterpa angin
yang sangat kencang, mereka dikelilingi oleh ombak lautan dari segala penjuru
dan mereka yakin akan binasa. Mereka memurnikan doa kepada Allah swt saja
dan meninggalkan apa yang mereka sembah selama ini.36
Mereka hanya memohon kepada Allah swt dan lupa memohon kepada
sesembahannya, hal ini menjadi dalil yang menjelaskan bahwa apabila dalam
keadaan terdesak maka mereka hanya memohon kepada Allah swt. Orang yang
35
Departemen Agama RI, al-Qur‟an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), h.
293-294. 36
Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwatut Tafsir: Tafsir-tafsir Pilihan. Penerjemah. Yasin,
jilid. 2 (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), h. 615-616.
47
memohon itu akan dijawab doanya meskipun dia orang kafir. Mereka berjanji
akan menjalankan perintah dan menaati-Nya dengan penuh keikhlasan.37
Ayat ini dapat menjadi salah satu bukti cepatnya Allah swt membalas
makar dengan menampilkan contoh pengalaman manusia ketika berada dilautan
ayat ini juga menjadi bukti bagaimana Allah swt dengan cepat mengubah nikmat
atau rahmat-Nya dengan petaka serta betapa buruk sifat manusia yang tidak tahu
berterima kasih. Kata (ريخ) rîh adalah bentuk tunggal, bentuk jamaknya yaitu
riyâh untuk angin yang baik dan menyenangkan, dan yang bentuk tunggal(رياح)
untuk angin yang membawa bencana. Ayat ini menggunakan bentuk tunggal,
kendati yang dimaksud adalah angin yang menyenangkan dan sesuai. Hal ini
dipahami dari penyebutan sifat angin itu, yaitu (طيبت) ṯayyibah yang maknanya
adalah yang sesuai dengan yang diinginkan.38
Al-Sya„râwî menjelaskan kata rîh juga digunakan makna kekuatan
sebagaimana dalam Sûrah al-Anfâl[8]: 46 “wa tadzhabu rîhukum” (“dan hilang
kekuatanmu”).39
Perjalanan darat dikenal luas di kalangan masyarakat Arab
apalagi daerah Arabia yang dipenuhi oleh padang pasir. Adapun pelayaran yang
mereka lakukan antar lain dalam perjalanan musim dingin ke Yaman. Al-Qur‟an
menyebut dua macam perjalanan mereka. Musim panas yaitu ke daerah Syam
(Syria, Palestina, dan Yordania) dan musim dingin ke Yaman. Adapun redaksi
37
Imam al-Qurthubi, Tafsiral-Qurthubi. Penerjemah. Ahmad Rijali Kadir (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008), h. 800-801. 38
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an vol.
VI (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 52-54. 39
Muhammad Mutawalî al-Sya„râwî, Tafsîr al-Sya„râwî (al-Azhar: Mujamma„ al-Buhûs
al-Islamiyyah), h. 5849.
48
yang digunakan dalam ayat ini adalah balasan atas kemantapan syukur yang luar
biasa.40
(al-Rîh) adalah udara bergerak (angin). Angin itu ada empat penjuru,
yaitu angin utara dan angin selatan. Kedua angin itu disebut menurut nama arah
dari mana keduanya mengalir. Ketiga angin saba atau angin qabul, yang
dimaksud adalah angin timur. Mereka beranggapan angin ini dating dari Nejed,
sebagaimana angin selatan mereka anggap dari Yaman, sedang angina utara dari
Syam. Keempat, angin dabur yaitu angin barat. Dalam al-Qur‟an Allah swt
menyebutkan tentang dikirimkannya angin dengan lafad mufrad, maka yang
dimaksud ialah angin azab. Sedangkan penyebutan tentang dikirimkannya angin
dengan lafad jama‟ maka yang dimaksud ialah angin rahmat.41
5. Akidah Q.S al-Mâidah[5]: 100
“katakanlah: tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya
yang buruk itu menarik hatimu. Maka bertakwalah kepada Allah swt, hai orang-orang
yang berakal agar kamu mendapat keberuntungan.”42
Ayat ini adalah sebuah peringatan untuk orang-orang yang memiliki akal
sehat agar menjauhi dan meninggalkan perkara yang haram dan selalu cukup
dengan yang halal. Karena yang sedikit namun halal dan bermanfaat itu lebih baik
40
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, h. 54. 41
Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi. Penerjemah Bahrun Abu Bakar, h. 319 42
Q.S al-Mâidah[5]: 100
49
daripada banyak tapi haram dan merugikan. Peringatan ini agar mereka mendapat
keberuntungan di dunia dan di akhirat.43
Dalam hidup ini ada yang baik dan ada yang buruk. Ada tuntunan Allah,
ada tuntunan setan, dan ada rayuan nafsu. Peringatan jangan sampai kuantitas
memperdaya, sehingga memilih dan meninggalkan yang baik yang kuantitasnya
sedikit. Sedikit tapi berkualitas lebih baik daripada yang banyak tetapi tidak
berkualitas. Tercakup dalam kata al-khabîs (keburukan), hal-hal yang buruk
dari segi keyakinan, ucapan, maupun perbuatan. Lawannya adalah al-Ṯayyib
(kebaikan) termasuk di dalamnya apa yang diperintahkan dan dibolehkan oleh
agama atau akal yang sehat. Karena apa yang dibolehkan agama pasti tidak buruk
atau bentuk apapun dari keburukan pasti tidak disukai Allah swt, Rasulullah saw,
dan tidak juga diterima oleh akal yang sehat.44
Perumpamaan yang dibuat Allah swt utuk membedakan yang halal dan
haram. Hal ini berlaku umum dalam semua urusan yang berkenaan dengan
pekerjaan, amal perbuatan manusia dan sebagainya. Keburukan yang berasal dari
semua itu tidak akan mendapatkan keberuntungan dan tidak menghasilkan sesuatu
yang baik walaupun banyak, sedangkan kebaikan walaupun sedikit pasti akan
bermanfaat, terpuji, dan berakhir dengan indah. Allah swt akan memberikan
keridhaan dan surga-Nya apabila manusia-manusia yang berakal melaksanakan
perintah dan larangan-Nya.45
Nampak bahwa keburukan dan kebaikan keduanya
43
ShafiyyurrahmanAl-Mubarakfuri, Shahih Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah Abu Ihsan al-
Atsari (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2014), h. 234.
44 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, h.
197. 45
Muhammad Ali al-Shabuni, Shafwatut Tafsir: Tafsir-tafsir Pilihan. Penerjemah. Yasin,
jilid. 2 (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2011), h. 109.
50
bersifat umum, dari keduanya memiliki turunan di bawahnya, yaitu harta dan
keharamannya, amal shalih dan kerusakannya, kebaikan manusia dan
keburukannya, kebenaran akidah dan kesesatannya.46
Ada dua hakikat yang berbeda dari masing-masing balasan yang sesuai
dengan perbuatan, yaitu tidaklah sama yang buruk dengan yang baik di antara
macam-macam hal, perbuatan dan harta. Walaupun telah ditentukan bahwa
banyaknya yang buruk itu telah menarik hatimu, namun sesungguhnya yang
sedikit dari yang halal itu lebih baik daripada yang banyak tetapi haram, dilihat
dari akibatnya yang baik di dunia dan di akhirat. Demikian halnya dengan manu
sia. Manusia yang sedikit tetapi baik adalah lebih baik daripada yang banyak
tetapi buruk. Golongan yang sedikit dari orang-orang yang berakal dan pandai
dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dapat dilakukan oleh golongan yang
banyak dari orang-orang bodoh. Sebab itu, yang dijadikan pengangan ulama
adalah sifat, bukan jumlah. Jumlah yang banyak tidak menjadi jaminan yang lebih
baik, kecuali jika mempunyai kesamaan dalam sifat keutamaan.47
B. Objek Kata Ṯayyib
1. Orang yang Bersyukur
Secara bahasa syukur adalah pujian kepada yang telah berbuat baik atas
apa yang dilakukan kepadanya. Syukur adalah kebalikan dari kata kufur 48
hakikat
syukur adalah menampakkan nikmat yang berarti menggunakannya pada tempat
46
Muhammad bin Yûsuf al-Syahîr bin Abû Hayyan al-Andalusiy, Tafsîr Bahr al-Muhît
(Beirut: Dâr al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1993), h. 30.
47 Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi. Penerjemah Bahrun Abu Bakar.
(Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1992), h. 62. 48
Amir an-Najar, Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern. Penerjemah. Ija Suntana (Bandung: PT Mizan Publika, 2004), h. 90.
51
dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut
nikmat dan pemberinya dengan lidah.49
Menurut sebagian ulama, syukur berasal dari kata syakara yang artinya membuka
atau menampakkan. Jadi, hakikat syukur adalah menampakkan nikmat Allah swt yang
dikaruniakan padanya baik dengan cara menyebut nikmat tersebut atau dengan cara
mempergunakan di jalan yang dikehendaki oleh Allah swt.50
Imam al-Ghazâlî
menegaskan bahwa disebutnya perintah bersyukur secara bergandengan dengan perintah
berdzikir (mengingat Allah swt) menunjukkan kepada kedudukan yang penting.51
Sebagaimana dalam surah al-Baqarah[2]: 152.
“Maka ingatlah kepada-Ku, Akupun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah
kepada-Ku, dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.”
Ayat ini mengandung perintah untuk mengingat Allah swt melalui dzikir,
hamdalah, tasbih, dan membaca al-Qur‟an dengan penuh penghayatan, perenungan, serta
pemikiran yang mendalam sehingga menyadari kebesaran, kekuasaan, dan keesaan Allah
swt. Menjauhi larangan yang Allah swt tetapkan, sehingga dibukakan pintu kebaikan.52
2. Orang yang Beriman
“Berkata musa: hai kaumku, jika kamu breriman kepada Allah swt maka
bertawakallah kepada-Nya saja jika kamu benar-benar orang yang beserah diri.”53
49
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I atas Berbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996), h. 216.
50 Aura Husna, Kaya dengan Bersyukur: Menemukan Makna Sejati, Bahagia, dan
Sejahtera dengan Mensyukuri Nikmat Allah (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013), h. 110-111.
51 Abû Hâmid al-Ghazâlî, Ihyâ‟ „Ulum al-Dîn (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t), h. 80.
52 Ahmad Mustafa al-Maragi, Tafsir al-Maragi. Penerjemah. Bahrun Abu Bakar.
(Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1993), h. 30. 53
QS. Yunus[10]: 84.
52
Kata خن yang kata kerjanya هسلويي itu sama dengan arti kata (kamu beriman) اه
sehingga orang yang bertawakal kepada Allah swt itu adalah orang yang diakui اسلن
keimanan dan keislamanannya, dan sebaliknya orang yang tidak bertawakal kepada Allah
swt tidak dapat diakui keimanan dan keislamannya.54
Orang beriman adalah orang-orang yang taat, yang hatinya senantiasa menyebut
nama Allah swt sehingga mampu menimbulkan rasa kagum yang sangat kuat, dan
sepanjang hidupnya ditentukan oleh suasana hati ketaatan yang mendalam. Sehingga
perwujudan ini meupakan suatu indikasi bahwa orang mukmin adalah orang yang taat.55
Seorang mukmin yang akan taat akan selalu menjalankan perintah agama. Orang
yang beriman itu adalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah swt maka
bergetarlah hati mereka. Apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka
bertambahlah keimanan mereka, dan mereka hanya bertawakal kepada-Nya.56
3. Orang yang Mengerjakan Amal Shalih
Secara etimologis, amal shalih bermakna perbuatan baik. Dan secara
terminologis maknanya ialah semua aktifitas yang bermuara pada ketaatan yang
dianjurkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya kepada orang-orang beriman untuk
dipatuhi.57
Amal shalih adalah amal-amal perbuatan yang dapat memperbaiki diri
54
Mahmud Sujuthi, Hasanuddin Amin, Akidah Akhlak (Surabaya: Sinar Wijaya, 1984), h.
5. 55
Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Al-Qur‟an. Penerjemah. Mansuruddin
Djoely (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 300. 56
Nanda Cita Aliffah, “Representasi Orang Beriman dalam Kartun Animasi Upin dan
Ipin Episode Puasa dan Zakat Fitrah,” (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014), h. 2. 57
M. Said Mahmud, “Konsep Amal Shaleh dalam al-Qur‟an: Telaah Etika Qur‟ani
dengan Pendekatan Metode Tafsir Tematik,” (Disertasi Institut Agama Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 1995), h. 266.
53
manusia dalam akhlaknya, adab sopan santunnya dan hal ihwalnya, baik secara
pribadi maupun sosial.58
Kata shalih biasa diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan good atau
berarti baik dalam bahasa Indonesia. Izutsu menyoroti kata itu harus terpisah
terhadap konteks al-Qur‟an memaknai kata shalih seperti apa adanya dan al-
Qur‟an memberi pemahaman atau menjelaskan dirinya sendiri. Bahwa kata shalih
mempunyai kaitan dengan kata iman, iman atau keyakinan yang dimiliki manusia
yang berada dalam hati dapat dimanifektasikan dalam perbuatan tertentu yaitu
shalih itu sendiri. Hubungan yang sangat erat tersebut berasumsi bahwa iman dan
shalih menjadi persoalan yang serius karena disamping berlawanan juga
melahirkan penyempitan penafsiran, hanya sebatas religious saja.59
C. Balasan Kata ṯayyib
1. Ditumbuhkan Tanaman yang Subur
Al-Qur‟an sering menggunakan tumbuh-tumbuhan sebagai bukti kekuasaan Allah
dan perumpamaan untuk menyampaikan suatu hikmah.60
Allah menegaskan dalam
banyak ayat bahwa Dialah yang sesungguhnya menghidupkan bumi, mengeluarkan biji-
bijian, menumbuhkan tanaman, mengalirkan air sungai, dan menurunkan hujan. Ayat-
58
Muhammad Rasyid Ridâ, Tafsir al-Manar (Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, t.t), h. 436. 59
Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Al-Qur‟an. Penerjemah. Mansuruddin
Djoely, h. 245-246. 60
QS. Ibrâhîm[14]: 24-26 artinya “tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah
membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya
menjulang ke langit….”, QS. al-„An‟âm[6]: 99 artinya “dan Dialah yang menurunkan air hujan
dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan maka Kami
keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau.”
54
ayat al-Qur‟an sebenarnya telah jelas menggambarkan mukjizat dalam pertumbuhan
tanaman.61
Sebagaimana dalam surah al-Nahl[16]: 10-11 dan QS. al-Mu‟minun[23]: 19
“Dialah yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu
sebahagiannya menjadi minuman dan sebahagiannya (menyuburkan) tumbuh-
tumbuhan, yang pada tempat tumbuhnya kamu menggembalakan ternakmu. Dia
menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanaman-tanaman: zaitun, kurma,
anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar tanda kekuasan Allah bahi kaum yang memikirkan.”62
“Lalu dengan air itu Kami tumbuhkan untuk kamu kebun-kebun kurma
dan anggur, di dalam kebun-kebun itu kamu peroleh buah-buahan yang banyak
dan sebahagian dari buah-buahan itu kamu makan.”63
Ayat-ayat tersebut menunjukkn bahwa sistem pertanian yang disebut al-
Qur‟an berkaitan dengan beragamnya hasil pertanian. Ayat-ayat itu secara khusus
menyebutkan jenis-jenis tumbuhan yaitu, zaitun, kurma, dan anggur yang
merupakan gambaran variasi jenis tanaman yang ditanam, yaitu jenis rerumputan
dan pepohonan.64
2. Disediakan Berbagai Rezeki
Kata rezeki yang dalam al-Qur‟an disebutkan berulang-ulang sebanyak 123 kali
dalam 44 surat dengan berbagai derivasinya.65
61
Nadia Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam al-Qur’an:Mengerti Mukjizat Ilmiah Firman Allah (Jakarta: Zaman, 2013), h. 652.
62 QS. al-Nahl[16]: 10-11
63 QS. al-Mu‟minun[23]: 19
64 Nadia Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam al-Qur’an:Mengerti Mukjizat Ilmiah Firman
Allah, h. 658. 65
Muhammad Fuâd „Abdul al-Bâqîy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdh al-Qur‟an al-
Karîm (al-Qohirah; Dar al-Fikr, t.t), h. 394.
55
Rezeki dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan dengan segala sesuatu yang
dipakai untuk memelihara kehidupan yang diberikan Tuhan, dapat berupa makanan
sehari-hari, nafkah, pendapatan, keuntungan dan sebagainya.66
Sebagaimana dalam surah
al-Baqarah[2]: 22
“Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai
atap, dan Dia menurunkan air hujan dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu
segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui.”
Masalah rezeki adalah masalah yang begitu dekat dengan kehidupan manusia
sehari-hari, bahkan masyarakat memandang ini sebagai hal yang paling penting,
khususnya berkaitan dengan persepsi manusia yakni tentang kesejahteraan hidupnya
sehari-hari, susah ataupun senanag hidup seseorang tidak bisa terlepas dari masalah ini.67
Manusia dianuger ahi Allah swt sarana yang lebih sempurna yaitu akal, ilmu, pikiran dan
sebagainya, sebagai bagian dan jaminan rezeki Allah swt. Tetapi sekali-kali jaminan
rezeki yang dijanjikan itu bukan berarti memberinyaa tanpa usaha. 68
3. Disediakan Surga
Kenikmatan surga adalah kenikmatan abadi yang terdiri dari berbagai aspek
sebagaimana kehidupan dan kenikmatan dunia. Perbedaan bukan hanya pada tempat
tinggal, pelayanan, makanan, minuman, pakaian, dan perhiasan, tetapi juga pada hakikat
dari segala kenikmatan tersebut. 69
66
Tim Penyusun Pusat Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia (jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 747.
67 Yusuf Abdussalam, Bertanya Tuhan tentang Rezeki (Yogyakarta: Media Insani, 2004),h.
5. 68
M. Quraish Shihab, Ensiklopedia al-Qur’an: Kajian Kosa Kata (jakarta: lentera Hati, 2007), h. h. 828.
69 Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Keniscayaan Hari Akhir: Tafsir al-Qur’an
Tematik (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, 2010), h. 454.
56
Al-Qur‟an dan sunnah menegaskan bahwa tidak ada sesuatupun yang bisa
menandingi surga. Tidak seorangpun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka,
yaitu bermacam-macam nikmat yang menyengkan hati sebagai balasan terhadap apa yang
mereka kerjakan (QS. al-Sajdah[32]: 17). Tidak seorangpun yang mengetahui betapa
besar nikmat yang akan diberikan kepada mereka dan betapa besar kelezatan yang akan
mereka peroleh sebagai pembalasan atas amalan-amalannya yang shalih.70
Kekekalan
surga ditunjukkan al-Qur‟an, hadis, dan kesepakatan ulama Ahlu Sunnah. Dian tara dalil
al-Qur‟an yang menegaskan kekekalan surga sebagaimana dalam surah al-Nisâ[4]: 57.
“Adapun orang-orang yang beriman dan megerjakan kebaikan kelak akan Kami
masukkan ke surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Di sana mereka mempunyai pasangan-pasangan yang suci, dan Kami
masukkan mereka ketempat yang teduh lagi nyaman.”
70
Tengku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur (Semarang: Pustaka Rezki Putra, 2000), h. 3240.
57
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Segala bentuk tindakan manusia mengacu pada pandangannya tentang baik
dan buruk. Nilai kebaikan dan keburukan senantiasa akan menjadi sumber rujukan
dalam melakukan berbagai tindakan hidupnya. Bahwasanya setiap perbuatan
kebaikan itu akan mendapat balasan, baik di dunia maupun di akhirat.
Kata ṯayyib merupakan kata yang lebih komprehensif dalam
mengungkapkan sesuatu yang baik, yang diperintahkan dan dibolehkan oleh
agama atau akal yang sehat. Kata ṯayyib juga diartikan dengan kata sifat, yang
memiliki fungsi semantik yang paling dasar untuk menunjukkan berbagai kualitas
(sifat) yang melahirkan suatu pengertian rasa dan bau, khususnya sebagai suatu
hal yang sangat menyenangkan, indah, dan ceria. Akan tetapi kata ṯayyib sering
digunakan untuk menunjukkan sifat makanan, air, wewangian, dan sebagainya.
Allah swt memberikan balasan kebaikan dari kata ṯayyib bagi orang yang
selalu bersyukur atas segala nikmat yang telah dikaruniakan-Nya, orang yang
beriman yang hatinya senantiasa menyebut nama Allah swt, dan orang yang
melakukan perbuatan yang dapat memperbaiki diri dalam akhlaknya, yaitu
balasan yang Allah swt berikan berupa ditumbuhkan tanaman yang subur,
disediakannya berbagai rezeki, dan disediakannya surga.
58
B. Saran
Terdapat banyak sekali kekurangan serta kelemahan yang tidak terhitung
jumlahnya, yang senantiasa memenuhi bagian demi bagian dari keseluruhan
penelitian ini. Hal tersebut bisa jadi disebabkan pembacaan penulis yang masih
kurang terhadap literatur-literatur yang berkaitan, baik secara langsung maupun
tidak langsung, dengan tema kajian. Penyebab lainnya, bisa jadi karena
penguasaan penulis yang masih lemah terhadap teori yang diaplikasikan dalam
penelitian ini. Berbagai kekurangan tersebut biasanya dapat dengan mudah
ditemukan, terutama bukan oleh penulis sendiri, melainkan lewat pembaca. Oleh
karena itu, penulis mengharapkan kepada pembaca untuk mengkritik,
mengkoreksi, melengkapi, maupun memberikan saran serta masukan yang
membangun. Untuk itu penulis menyarankan kepada peneliti-peneliti selanjutnya
agar membahas lebih komprehensif mengenai kebaikan (al-Ṯayyib ) dan
balasannya dalam al-Qur‟an.
59
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Dudung. “Konsep Kebajikan (al-Birr) dalam al-Qur‟an: Suatu Analisis
QS. al-Baqarah/2: 177 .” Juni 2015.
Abdussalam, Yusuf. Bertanya Tuhan tentang Rezeki. Yogyakarta: Media Insani,
2004.
Ahmady. “Konsep Ihsan dalam al-Qur‟an: Pendekatan Semantik.” Tesis S2
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Program Pascasarjana, Universitas Islam
Negeri Yogyakarta, 2012.
Aisyah, Intan Tri. “Baik dan Buruk dalam al-Qur‟an: Penafsiran Lafadz al-Tayyib
dan al-Khabith.” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Uneversitas Islam
Negeri Jakarta, 2015.
Aliffah, Nanda Cita. “Representasi Orang Beriman dalam Kartun Animasi Upin
dan Ipi n Episode Puasa dan Zakat Fitra.” Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan
Komunikasi, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014.
Amin, Mahmud Sujuthi, dan Hasanuddin. Akidah Akhlak. Surabaya: Sinar
Wijaya, 1984.
Al-Andalusiy, Muhammad bin Yûsuf al-Syahîr bin Abû Hayyan. Tafsîr Bahr al-
Muhît. Beirut: Dâr al-Kitab al-„Ilmiyyah, 1993.
Al-Aqqad, Abbas Mahmud. Manusia diungkap al-Qur‟ân. Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1991.
Al-Asfahânî, Al-Râghib. Mu‟jam al-Mufradât li al-Fâḏ al-Qur‟an. Beirut: Dâr al-
Fikr, 2008.
Al-Ashfahani, Al-Raghib. al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur‟ân (Beirut: Dar al-
Ma‟rifah, t.t.
Al-Baghdâdî, Mahmûd al-Alûsî. Rûh al-Ma‟ânî fî Tafsîr al-Qur‟an al-Adzîm wa
al-Sab‟î al-Matsânî. Beirut: Dâr al-Ihyâ‟ al-Turâts al-„Arabî, 1985.
Al-Bâqîy, Muhammad Fuâd „Abdul. al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdh al-Qur‟an
al-Karîm. al-Qohirah; Dar al-Hadis, t.t.
-------, Muhammad Fuâd „Abdul. al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdh al-Qur‟an al-
Karîm. Beirut; Dâr al-Fikr,1992.
60
Al-Bukhârî, „Abî „Abdillah Muhammad bin Ismâ‟îl. Shaẖîẖ al-Bukhârî. Kohiroh:
al-Qudus, 2014.
Al-Bukhârî, Muhammad bin Ismâ‟îl. Shaẖîẖ al-Bukhârî. T.tp.: Dâr al-Alamiyyah,
2014.
Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian kuantitatif: Komunikasi Ekonomi, dan
Kebijakan Publik serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana, 2011.
Al-Bustanî, Fuad Afrain. Munjid al-Ṯullâb. Beirut: Dâr al-Masyriq, 1986.
Dahlan, „Abdul „Aziz. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: Ictiar Baru van Hoeve,
1997.
Departemen Agama RI. al-Qur‟an dan Tafsirnya. Jakarta: Lentera Abadi, 2010.
Enoh. “Konsep Baik (Kebaikan) dan Buruk (keburukan) dalam al-Qur‟an.” no. I,
Januari 2007.
Al-Farmawi, „Abd al-Hayy. Metode Tafsir Maudhu‟i. Penerjemah. Suryan A.
Jamrah. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996.
Al-Ghazâlî, Abû Hâmid. Ihyâ‟ „Ulum al-Dîn. Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.
-------, Imam. Ihya Ulumuddin. Terjemahan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1989.
Haq, Hamka. Syari„at Islam: Wacana dan Penerapannya. Makassar: Yayasan al-
Ahkam, 2003.
Hasan, Abd Kholiq. Tafsir Ibadah. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008.
Hidayat, Rahmat. “Infak dan Sadaqah dalam al-Qur‟an: Kajian Tafsir Tematik.”
Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011.
Husna, Aura. Kaya dengan Bersyukur: Menemukan Makna Sejati, Bahagia, dan
Sejahtera dengan Mensyukuri Nikmat Allah. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2013.
Izutsu,Toshiko. Etico-Religius Concepts in the Qur‟an, Penerjemah. Agus Fahri
Husein. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1993.
-------, Toshihiko. Etika Beragama dalam al-Qur‟an, Penerjemah. Mansurddin
Djoely. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
-------, Toshihiko. Etika Beragama dalam Al-Qur‟an. Penerjemah. Mansuruddin
Djoely. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995.
61
Katsîr, Abû al-Fidâ Muhammad bin Ismâ‟îl bin. Tafsir al-Qur‟an al-Adzîm al-
Musammâ Tafsîr ibn Katsîr. Bandung: Maktabah Dahlan, t.t.
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Semarang: Dina Utama Semarang,
1994.
Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an Badan Litbang dan Diklat Departemen
Agama RI. “Suhuf: Jurnal Kajian al-Qur‟an dan Kebudayaan.” I, no. I.
2008.
------- Pentashihan Mushaf al-Qur‟an. Keniscayaan Hari Akhir: Tafsir al-Qur‟an
Tematik. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur‟an, 2010.
Mahmud, M. Said. “Konsep Amal Shaleh dalam al-Qur‟an: Telaah Etika Qur‟ani
dengan Pendekatan Metode Tafsir Tematik.” Disertasi Institut Agama
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1995.
Ma‟luf, Lûwîs. al-Munjid fi al-Lughah. Beirut: Dâr al-Masyriq, 1977.
-------, Lûwîs. al-Munjid fi al-Lughah. Beirut: T.pn., 1908.
Manẕûr, Ibnu. Lisân al-Arab. T.tp.: Dâr al-Ma‟ârif, t.t.
Al-Maragi, Ahmad Mustafa. Tafsir al-Maragi. Penerjemah. Bahrun Abu Bakar.
Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang, 1992.
Marjuni,Kamaluddin Nurdin. Kamus Syawarifiyyah: Kamus Modern Sinonim
Arab-Indonesia. Jakarta: Ciputat Press Group, 2007.
Matsna, M. Orientasi SemantiK al-Zamakhsyari. Jakarta: Anglo Media, 2006.
Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-DinI. Kairo: Dar al-Syibah, 1950.
Al-Mubarakfuri, Shafiyyurrahman. Shahih Tafsir Ibnu Katsir. Penerjemah. Abu
Ihsan al-Atsari. Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2014.
Muhammad Fuâd „Abdul al-Bâqîy, al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfâdh al-Qur‟an
al-Karîm (al-Qohirah; Dar al-Fikr, t.t), h. 394.
Nadia. Thayyarah, Buku Pintar Sains dalam al-Qur‟an: Mengerti Mukjizat Ilmiah
Firman Allah.
An-Najar, Amir. Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern. Penerjemah. Ija
Suntana. Bandung: PT Mizan Publika, 2004.
Nasution, S. Metodologi Research: Penelitian Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara,
2001.
62
Nurdin, Ali. Qur‟anic Society: Menelusuri Konsep Masyarakat Ideal dalam al-
Qur‟an. Jakarta: Erlangga, 2006.
Pulungan, J. Suyuthi. Fiqh Siyasah, Ajaran, dan Pemikiran. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1995.
Al-Qurthubi, Imam. Tafsiral-Qurthubi. Penerjemah. Ahmad Rijali Kadir. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008.
Al-Qusyairy, Abu al-Hasan Muslim bin al-Hallaj bin Muslim. Șaẖîẖ Muslim.
Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.
Qutb, Sayyid. Fi Dzilal al-Qur‟an: di Bawah Naungan al-Qur‟an. Penerjemah.
As‟ad Yasin. Jakarta: Gema Insani, 2003.
-------, Sayyid. Tafsir fi Zhilalil Qur‟ân di Bawah Naungan al-Qur‟an.
Penerjemah. Ainur Rafiq Shaleh Tamhid, vol. III. Jakarta: Rabbani Press,
2002.
Al-Raghîb al-Ashfahani, al-Mufradât Fî Gharîb al-Qur‟an (Beirut: Dar al-
Ma‟rifah, t.t), h. 309.
Rahmi, Yulia. “Makna Khair dalam al-Qur‟an.”(Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin
dan Pemikiran Agama, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2014.
Ridâ, Muhammad Rasyid. Tafsir al-Manar. Beirut: Dâr al-Ma‟rifah, t.t.
Al-Șabûnî, Muhammad „Alî. Qabas min Nûr al-Qur‟an, juz. I-XI. Beirut: Dar al-
Qalam, 1988.
Salam, Burhanudin. Etika Individual: Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta: Rineka
Cipta, 2000.
Shalikhin, Muhammad. Menyatu Diri dengan Ilahi. Yogyakarta: Penerbit Narasi,
2010.
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. Tafsir al-Qur‟an al-Majid al-Nur.
Semarang: Pustaka Rezki Putra, 2000.
Shihab, M. Quraish. Ensiklopedia al-Qur‟an: Kajian Kosa Kata. Jakarta: lentera
Hati, 2007.
-------, M. Quraish. Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah swt.
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
-------, M. Quraish. Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga dan Ayat-
ayat Tahlil. Jakarta: Lentera Hati, 2005.
63
-------, M. Quraish. Tafsir al-Misbah Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an.
vol. III. Jakarta: Lentera Hati, 2004.
-------, Muhammad Quraish. Wawasan al-Qur‟an: Tafsir Maudhu‟i atas Berbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan, 1996.
-------, Umar. Kontekstualitas al-Qur‟an Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum
dalam al-Qur‟an. Jakarta: Penamadani, 2008.
Ash-Shughayyir, Falih bin Muhammad bin Falih. Meraih Puncak Ihsan.
Penerjemah. Darwis. Jakarta: Darus Sunah, 2009.
Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press, 1993.
Sultan, Gulan Reza. Hati yang Bersih: Kunci Ketenangan Jiwa. Jakarta: Pustaka
Zahra, 2004.
Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, dan Teknik.
Bandung: Tarsito, 1990.
Surur, Muhammad Jamaluddin. Qiyam al-Daulah al-„Arabiyyah al-islamiyyah.
Kairo: Dâr al-Nahdah, 1952.
Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Sutoyo, Anwar. Manusia Dalam Perspektif al-Qur‟ân. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2015.
As-Sya‟rawi, Mohammad Motawalli. Meluruskan Paradigma Tentang Baik dan
Buruk. Penerjemah Usman Hatim. Jakarta: Yayasan Alumni Timur
Tengah, 2010.
Al-Sya„râwî, Muhammad Mutawalî. Tafsîr al-Sya„râwî. al-Azhar: Mujamma„ al-
Buhûs al-Islamiyyah, 1991.
Sya„rawi, Mutawalli. al-Khair wa al-Syar, Penerjemah. Tajuddin. Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 1994.
Thayyarah, Nadia. Buku Pintar Sains dalam al-Qur‟an:Mengerti Mukjizat Ilmiah
Firman Allah (Jakarta: Zaman, 2013), h. 652.
Tim Penyusun Pusat Kamus. Kamus Besar Bahasa Indonesia (jakarta: Balai
Pustaka, 1989.
Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam al-Qur‟an, h. 349.
Umari, Arkam Dhiyauddin. Madinan Society at the Time of the Prophet: Its
characteristics and Organization. Penerjemah. Mun‟in A. Sirry.
64
Masyarakat Madani: Tinjauan Hidtoris Kehidupan Zaman Nabi. Jakarta:
Gema Insani Press, 1999.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia, Yayasan Penyelenggara Penterjemah
Penafsir al-Qur‟an. Jakarta: T.pn., 1990.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1990.
Zakaria, Abu Husain Ahmad ibn Fâris ibn. Mu„jam Maqâyis al-Lughah. Beirut:
Dâr al-Turâs al-Arabî, 2001.
WEBSITE
Muhammad Hisyam, “Shalih Menurut al-Qur‟an,” artikel diakses pada 20 Maret
2017 dari http://beritalangitan.com>fakta-opini