keberadaan salmonella spp. pada telur ayam dan … · 2015-09-03 · salmonella spp. dalam telur...
TRANSCRIPT
KEBERADAAN Salmonella spp. PADA TELUR AYAM DAN
TELUR BEBEK YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL
DI PROVINSI JAWA BARAT
NURRY WULAN OKTAVERA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Keberadaan Salmonella spp.
pada Telur Ayam dan Telur Bebek yang Dijual di Pasar Tradisional di Provinsi
Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juli 2011
Nurry Wulan Oktavera
NIM B04070134
ABSTRACT
NURRY WULAN OKTAVERA. Occurance of Salmonella spp. in Layer and
Duck Eggs Sold in Wet Markets of West Java Province. Under direction of
HADRI LATIF and AGATHA WINNY SANJAYA
This study was aimed to observe the occurance of Salmonella spp. in layer
and duck eggs, and gave information of wet markets sanitation and hygiene in
traditional markets of West Java Province. The study consist of two parts, field
questionnaires and laboratory work. Data questionnaires was obtained from
35 egg retailers in West Java. Detection of Salmonella consisted of layer eggs
(n=25) and duck eggs (n=10) were taken purposively from wet markets and
determineted according to the Compendium of Methods for the Microbiological
Examination of Foods. The result showed that the occurance of Salmonella
in layer and duck eggs were 4% and 0%, respectively.
Keywords: Salmonella spp., layer eggs, duck eggs, wet markets
RINGKASAN
NURRY WULAN OKTAVERA. Keberadaan Salmonella spp. pada Telur
Ayam dan Telur Bebek yang Dijual di Pasar Tradisional di Provinsi Jawa Barat.
Dibimbing oleh HADRI LATIF dan AGATHA WINNY SANJAYA
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran keberadaan bakteri
Salmonella spp. dalam telur ayam ras dan telur bebek, serta memberi gambaran
kondisi penanganan telur di pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat. Penelitian
terdiri dari dua bagian yaitu pengumpulan kuisioner dan pengujian keberadaan
Salmonella pada telur ayam dan telur bebek. Kuisioner dikumpulkan dari
35 pedagang telur di pasar tradisional Provinsi Jawa Barat kemudian dibahas
secara deskriptif. Pengujian sampel dilakukan di Laboratorium Kesehatan
Masyarakat Veteriner (KESMAVET), Fakultas Kedokteran Hewan, Institut
Pertanian Bogor. Sampel untuk pengujian Salmonella terdiri dari telur ayam
(n=25) dan telur bebek (n=10) yang di ambil secara purposif dari pasar-pasar
tradisional. Pengujian Salmonella pada sampel telur dilakukan dengan metode
menurut Compendium of Methods for the Microbiological Examination of Food.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa keberadaan Salmonella pada telur ayam dan
telur bebek berturut-turut sebesar 4% dan 0%.
Kata kunci: Salmonella spp., telur ayam, telur bebek, pasar tradisional
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak mengurangi kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KEBERADAAN Salmonella spp. PADA TELUR AYAM DAN
TELUR BEBEK YANG DIJUAL DI PASAR TRADISIONAL
DI PROVINSI JAWA BARAT
NURRY WULAN OKTAVERA
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Skripsi : Keberadaan Salmonella spp. pada Telur Ayam dan Telur
Bebek yang Dijual di Pasar Tradisional di Provinsi Jawa
Barat
Nama : Nurry Wulan Oktavera
NIM : B04070134
Disetujui
Diketahui
Dr. Nastiti Kusumorini
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
Tanggal Lulus:
Prof. Dr. drh. A. Winny Sanjaya, M.S.
Pembimbing II
Dr. drh. Hadri Latif, M.Si.
Pembimbing I
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul Keberadaan Salmonella spp. pada Telur Ayam dan Telur
Bebek yang Dijual di Pasar Tradisional di Provinsi Jawa Barat. Skripsi ini disusun
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Penulis mendapatkan berbagai bantuan dan dukungan selama penulisan
skripsi ini, oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada orang tua
penulis, ibunda Nurmiati, ayahanda Rafli (alm.) dan M. Nazir (alm.), serta adinda
tersayang Iit Pebrian yang dengan penuh kasih memberi semangat dan doa yang
tiada habisnya kepada penulis. Kepada Dr. drh. Hadri Latif, MSi. dan Prof. Dr.
drh. Agatha Winny Sanjaya, MS. atas bimbingan, arahan, dan kesabaran selama
membimbing penulis. Kepada Dr. drh. Denny Widaya Lukman, MSi. atas bantuan
semangat dan dorongan yang positif pada penulis untuk terus maju. Dinas
Pendidikan Provinsi Jambi, yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk
menjadi penerima beasiswa utusan daerah (BUD) di Institut Pertanian Bogor.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada sahabat-sahabat penulis,
Deny, Nora, Putri, Joko, Fenny, Meta, shary, Ira, dan Iwan, terimakasih untuk
semua hal yang tidak dapat terucap dengan kata-kata. Kepada teman-teman satu
tim penelitian (Eddy, Ellang, Uji, Inda, Ningrum, Rifki dan Putra), dosen-dosen
KESMAVET, Ibu Maya, Pak Tedi, dan Pak Hendra atas kerja sama dan
bimbingan selama penelitian. Kepada seluruh Sahabat-sahabat Gianuzzi dan
keluarga besar SATLI atas pengalaman, kenangan, dan pembelajaran yang sangat
berharga bagi penulis. Dan terakhir kepada warga RADAR 36 (Ike, Gebri, dan
Deny) atas kebersamaan yang hangat di gubuk derita kita, beserta seluruh anggota
IMKB yang telah menjadi keluarga yang sangat berharga bagi penulis selama
berada di Bogor.
Semoga karya ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, Juli 2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Sungai Penuh, Jambi pada tanggal 01 Oktober
1989 dari pasangan Rafli (alm.) dan Nurmiati. Penulis merupakan anak pertama
dari dua orang bersaudara.
Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1995 di SD No. 36/III
Kumun Hilir dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis
melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 3 Sungai Penuh dan lulus pada tahun
2004. Penulis kemudian masuk ke Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Sungai
Penuh dan lulus pada tahun 2007. Tahun 2007 penulis diterima di Institut
Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur beasiswa utusan daerah (BUD) pada jurusan
kedokteran hewan di Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama menjalani pendidikannya penulis aktif di Ikatan Mahasiswa Kerinci
Bogor (IMKB) sebagai sekretaris umum (2008-2009). Pada tahun 2007-2008
penulis menjadi pengurus divisi PSDM di UKM koperasi mahasiswa IPB,
pengurus divisi enterpreneurship pada BEM sinergis FKH IPB periode 2008-
2009, aktif di himpunan profesi Satwaliar FKH IPB sebagai pengurus Internal
(2008-2009) dan ketua sub. divisi kewirausahaan (2009-2010).
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI.................................................................................................. i
DAFTAR TABEL.......................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR..................................................................................... iii
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................. iv
1 PENDAHULUAN.................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................. 1
1.2 Tujuan................................................................................................ 2
1.3 Manfaat.............................................................................................. 3
2 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 4
2.1 Telur.................................................................................................. 4
2.2 Salmonella.......................................................................................... 6
2.2.1 Karakteristik Salmonella........................................................ 6
2.2.2 Prevalensi Salmonella............................................................ 8
2.3 Pencemaran Salmonella pada Telur.................................................. 10
3 BAHAN DAN METODE........................................................................ 12
3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................ 12
3.2 Rensponden........................................................................................ 12
3.3 Jenis Sampel....................................................................................... 12
3.4 Alat dan Bahan................................................................................... 13
3.5 Metode................................................................................................ 13
3.5.1 Data Kuisioner........................................................................ 13
3.5.2 Pengujian Sampel................................................................... 14
3.6 Pembacaan Hasil................................................................................ 15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................ 16
4.1 Data Kuisioner.................................................................................... 16
4.2 Pengujian Keberadaan Salmonella pada Kuning Telur...................... 19
5 SIMPULAN DAN SARAN..................................................................... 24
5.1 Simpulan............................................................................................ 24
5.2 Saran.................................................................................................. 24
6 DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 25
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Komposisi kimia berbagai macam telur .................................................. 4
2 Komposisi kimia telur ayam dan bagian-bagiannya ............................... 5
3 Grup besar Salmonella dan target sasarannya ......................................... 8
4 Lokasi dan jumlah sampel telur ayam dan telur bebek yang diambil di
Provinsi Jawa Barat.................................................................................. 13
5 Interpretasi hasil positif uji biokimia........................................................ 15
6 Frekuensi pengiriman telur ke pasar tradisional Provinsi Jawa Barat ..... 17
7 Lama waktu penjualan telur di pasar tradisional kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Barat.................................................................................. 18
8 Keberadaan Salmonella pada telur ayam dan telur bebek di Provinsi
Jawa Barat................................................................................................ 19
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Koloni Salmonella spp. pada media XLD agar........................................ . 14
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Kuisioner untuk penjual telur................................................................... 29
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Telur merupakan salah satu pangan hewani yang disukai masyarakat karena
kandungan gizi yang baik dan rasanya enak. Sebutir telur mengandung enam
sampai tujuh gram protein. Protein telur mengandung semua asam amino esensial
lengkap dan berkualitas sangat baik dibanding sumber makanan lain seperti ikan,
daging, dan ayam. Untuk itu, telur sering dipakai sebagai standar dalam
mengevaluasi protein pangan lain. Telur juga mengandung lemak yang mudah
dicerna dan semua vitamin yang dibutuhkan tubuh selain vitamin C (Muchtadi &
Sugiyono 1992). Cita rasanya yang enak dan harganya yang relatif murah
membuat masyarakat menjadikannya sebagai sumber protein utama.
Berdasarkan data statistik Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (2009),
produksi telur di Jawa Barat pada awal tahun 2006 adalah sebesar 147 756 ton,
terdiri atas 17 981 ton telur ayam buras, 95 143 ton telur ayam ras, dan 34 632 ton
telur bebek. Tahun 2008, produksi telur naik menjadi 163 789 ton. Setiap
tahunnya terjadi peningkatan jumlah produksi sekitar 4.5%. Namun demikian,
kenaikan produksi ini dilaporkan belum dapat memenuhi semua permintaan telur
masyarakat di Jawa Barat (Kusmayadi 2010).
Sama halnya dengan produksi, tingkat konsumsi telur di Provinsi Jawa
Barat meningkat setiap tahunnya seiring dengan pertambahan jumlah penduduk
(Disnak 2009). Pada tahun 2008, konsumsi telur di masyarakat Jawa Barat adalah
197 768 ton, masih terdapat defisit sebanyak 33 980 ton dari hasil produksi.
Konsumsi telur rata-rata tahun 2010 diperkirakan sebesar 299 683 ton. Angka ini
akan terus naik setiap tahunnya seiring dengan tuntutan masyarakat terhadap
kebutuhan protein hewani.
Sebagai sumber pangan asal hewan, telur tidak terlepas dari masalah
kontaminasi mikroorganisme. Pertahanan alami yang dimiliki oleh telur (kerabang
telur dan albumin) dapat menghambat pertumbuhan bakteri, namun tidak dapat
menjamin telur terbebas dari mikroorganisme patogen. Keberadaan
mikroorganisme akan sangat mempengaruhi kualitas dan keamanan makanan.
Pangan yang tercemar oleh mikroorganisme patogen atau penghasil toksin
menjadi wahana transmisi penyakit kepada manusia atau hewan lain (Lukman
et al. 2009).
Pengetahuan mengenai keberadaan mikroorganisme dalam telur sangatlah
penting untuk menjaga keamanan konsumen. Salah satu mikroorganisme patogen
yang sering ditemukan dalam telur adalah Salmonella. Bakteri famili
Enterobacteriaceae ini merupakan salah satu mikroorganisme patogen yang dapat
menimbulkan foodborne disease, menyerang usus manusia (Mølbak et al. 2006;
Adeline et al. 2009; Hugas et al. 2009). Salmonella spp. tercatat sebagai salah
satu agen utama penyebab kematian (Grijspeerdt et al. 2005). Gejala yang sering
tampak dari infeksi bakteri ini berupa mual, keram perut, demam, muntah, sakit
kepala, merasa dingin, dan kadang keram pada otot (Gray & Fedorka 2002;
Mølbak et al. 2006; Bhunia 2008).
Pasar tradisional merupakan salah satu lokasi dimana konsumen dapat
memperoleh telur ayam ras dan telur bebek. Berbeda dengan telur yang dijual di
supermarket, cara penjualan telur ditinjau dari penyimpanan serta aspek higiene
dan sanitasi masih sangat rendah. Salmonella merupakan bakteri patogen yang
dapat mencemari telur tidak hanya berasal dari induk yang sakit, atau kontaminasi
setelah ditelurkan, tapi juga terjadi pada saat proses perjalanan telur hingga
sampai ke konsumen. Cemaran bakteri ini diperkirakan sangat kecil yaitu hanya
ada pada 1 dari 30 000 butir telur (Supali 2001). Namun demikian, kebiasaan
masyarakat Jawa Barat mengkonsumsi telur mentah dapat meningkatkan resiko
terjadinya salmonellosis. Resiko infeksi Salmonella tidak dapat diabaikan begitu
saja. Sebagai foodborne disease, Salmonella akan menjadi ancaman bagi
kesehatan masyarakat (Mølbak et al. 2006).
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran kondisi penanganan telur
di pasar tradisional, serta mengetahui gambaran keberadaan bakteri
Salmonella spp. pada telur ayam ras dan telur bebek yang dijual di pasar
tradisional di Provinsi Jawa Barat.
1.3 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kondisi
umum penjualan telur di pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat, serta dapat
menggambarkan keberadaan Salmonella spp. pada telur ayam ras dan telur bebek
yang dijual di pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Telur
Telur merupakan salah satu pangan asal hewan selain daging, ikan dan susu.
Umumnya telur yang dikonsumsi berasal dari unggas, seperti ayam, bebek,
dan angsa (Muchtadi & Sugiyono 1992). Sebagai salah satu bahan pangan sumber
protein yang sangat sempurna, telur mengandung asam amino esensial lengkap
yang bermanfaat bagi tubuh manusia. Selain itu, telur mengandung berbagai
vitamin dan mineral, termasuk vitamin A, riboflavin, asam folat, vitamin B6,
vitamin B12, choline, besi, kalsium, fosfor serta potasium, dan memiliki daya
cerna yang tinggi (Anonim 2007).
Hampir semua telur unggas memiliki kandungan gizi yang sama, hanya
berbeda pada jumlah dan komposisinya (Tabel 1). Sebutir telur dengan berat
58 gram terdiri atas 11% kerabang telur, 58% putih telur, dan 31% kuning telur
(Muchtadi & Sugiyono 1992). Telur ayam utuh tanpa kerabang telur terdiri atas
65% bagian putih telur dan 35% kuning telur dan memiliki kandungan gizi yang
berbeda. Komposisi kimia sebutir telur ayam dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1 Komposisi kimia berbagai macam telur
Hewan Kadar air
(%)
Protein
(%)
Lemak
(%)
Karbohidrat
(%)
Abu
(%)
Ayam 73.7 12.9 11.5 0.9 1.0
Itik 70.4 13.3 14.5 0.7 1.1
Angsa 70.4 13.9 13.3 1.5 -
Merpati 72.8 13.8 12.0 0.8 0.9
Puyuh 73.7 13.1 11.1 1.0 1.1
Kalkun 72.6 13.1 11.8 1.7 0.8
Penyu 66.7 16.6 11.6 3.3 1.9
Sumber: Muchtadi & Sugiyono (1992)
Tabel 2 Komposisi kimia telur ayam dan bagian-bagiannya
Komponen Telur Utuh
(%)
Putih Telur
(%)
Kuning Telur
(%)
Air 37.0 87.6 51.1
Protein 12.9 10.9 16.0
Lemak 11.5 - 30.0
Karbohidrat 1.1 1.1 1.1
Karbohidrat bebas 0.3 0.4 0.2
Abu 1.0 0.7 1.7
Sumber: Muchtadi & Sugiyono (1992)
Telur memiliki struktur yang unik dengan bentuk dan ukuran berbeda. Besar
telur bervariasi tergantung jenis, berat badan, umur induk, pakan, dan fisiologis
hewan. Secara umum komponen pokok penyusun telur terdiri atas tiga bagian
yaitu kerabang telur, putih telur, dan kuning telur (Fardiaz 1989). Secara lebih
rinci telur dibagi menjadi sembilan bagian yang terdiri atas kerabang telur, selaput
tipis kerabang, albumin luar cair, albumin kental, cairan tipis albumin dalam,
khalaza, membran vitelin, dan blasto disc (Muchtadi & Sugiyono 1992; Lukman
et al. 2009).
Telur memiliki perlindungan alami terhadap cemaran mikroorganisme
berupa pertahanan fisik dan kimia. Pertahanan fisik telur terdiri atas kutikula,
kerabang telur, dan selaput tipis. Kutikula merupakan lapisan protein setebal
0.01 mm yang menyeliputi kerabang telur. Lapisan ini dapat menutup pori-pori
yang ada pada kerabang telur. Kerabang telur merupakan lapisan telur paling luar
sebagai pertahanan mekanis, sedangkan selaput telur terdiri dari dua lapis yang
berfungsi sebagai penyaring mikroorganisme. Ketiga pertahanan fisik ini
merupakan barrier yang akan menghalangi masuknya mikroorganisme pencemar
berpenetrasi ke dalam telur. Pertahanan kimiawi telur terdapat pada lapisan putih
telur. Putih telur memiliki pH basa, lisosim dan konalbumin yang dapat
menghambat dan menghentikan pertumbuhan mikroorganisme pada putih telur
(Lukman et al. 2009).
2.2 Salmonella
2.2.1 Karakteristik Salmonella
Salmonella pertama kali ditemukan pada tahun 1885 oleh Daniel Elmer
Salmon dan Theobald Smith (Brands 2005). Salmonella merupakan anggota
famili Enterobacteriaceae yang terdiri atas kelompok besar bakteri gram negatif.
Bakteri ini berbentuk batang tanpa membentuk spora. Salmonella bersifat
fakultatif anaerob, fermentasi laktosa negatif, dan mayoritas bakteri ini motil,
kecuali Salmonella Pullorum dan Salmonella Gallinarum (Patterson & Isaacson
2003; Songer & Post 2005; Cortez et al. 2006; Bhunia 2008). Umumnya bergerak
dengan flagella peritrichous (Mølbak et al. 2006). Genus Salmonella bersifat
zoonosis dan dapat menjadi patogen pada manusia dan hewan (Gray & Fedorka
2002; Hugas et al. 2009).
Menurut Bhunia (2008), Salmonella adalah bakteri yang mudah tumbuh,
bakteri ini dapat menyesuaikan dengan berbagai bentuk keadaan lingkungan.
Salmonella akan tetap tumbuh bahkan setelah didinginkan walau dalam kecepatan
yang lebih lambat (Meggitt 2003). Salmonella tumbuh pada suhu antara 6–46 oC
dan pH antara 4.4–9.4 (Brands 2005; Bhunia 2008). Pertumbuhan optimal terjadi
pada suhu 35–37 oC dan pH mendekati netral (D’Aoust 2001; Brands 2005;
Bhunia 2008).
Klasifikasi ilmiah Salmonella menurut Wistreich dan Lechtman (1976)
adalah:
Kingdom : Bacteria
Filum : Proteobacteria
Kelas : Gamma Proteobacteria
Ordo : Enterobacteriales
Famili : Enterobacteriaceae
Genus : Salmonella
Menurut Tindall et al. (2005), genus Salmonella memiliki dua spesies, yaitu
Salmonella enterica dan Salmonella bongori yang terdiri atas 2463 serotipe.
Salmonella enterica terdiri dari 2443 serotipe dan Salmonella bongori terdiri dari
20 serotipe (Songer & Post 2005; Bhunia 2008). Salmonella enterica memiliki
enam subspesies yang terdiri dari subspesies I: subspesies enteritica;
subspesies II: subspesies salamae; subspesies IIIa: subspesies arizonae;
subspesies IIIb: subspesies diarizoae; subspesies IV: subspesies houtenea;
subspesies VI: subspesies indica. Salmonella bongori memiliki satu subspesies
yaitu subspesies V: subspesies bongori (D’Aoust 2001; Songer & Post 2005;
Tindall et al. 2005; Bhunia 2008).
Metode penting yang digunakan untuk mengklasifikasikan serotipe
Salmonella didasarkan pada klasifikasi menurut Kauffmann-White.
Pengelompokan serotipe dari metode ini didasarkan pada antigen somatik (O),
flagella (H), dan kapsul (Vi) (Songer & Post 2005; Mølbak et al. 2006; Dunkley
et al. 2008; Todar 2008). Lebih dari 2400 Nomenklatur Salmonella diterima
berdasarkan rekomendasi WHO. Berdasarkan perumusan, genus, spesies, dan
subspesies ditulis miring, sedangkan serotipe tidak miring dengan huruf awal
kapital (Mølbak et al. 2006). Contoh penulisan serotipe Salmonella adalah
Salmonella enterica subsp. enteritica serotipe Typimurium atau dapat juga ditulis
Salmonella Typimurium (Mølbak et al. 2006; Dunkley et al. 2008; Todar 2008).
Penamaan serotipe Salmonella dilakukan berdasarkan keputusan
penemunya (Omwandho & Kubota 2010), baik dari penyakit yang disebabkan
atau tempat isolasinya (Mølbak et al. 2006). Menurut Gray dan Fedorka (2002),
terdapat tiga grup besar Salmonella berdasarkan sasaran infeksi. Grup pertama
adalah kelompok serotipe yang hanya menginfeksi manusia. Infeksi ini dicirikan
oleh demam enterik (demam typhoid dan paratyphoid). Contoh Salmonella grup
ini adalah S. Typi dan S. Paratyphi (Mølbak et al. 2006; Bhunia 2008).
Grup kedua adalah serotipe yang memiliki inang spesifik pada hewan
tertentu. Seperti Salmonella Pullorum yang menginfeksi unggas; Salmonella
Dublin pada sapi; dan Salmonella Choleraesuis pada babi (Wallis 2006; Bhunia
2008). Infeksi klinis pada kelompok ini berupa bakteremia dan septikemia dan
banyak terjadi di Amerika dan Eropa (Wray & Davies 2003).
Kelompok terakhir seperti S. Typhimurium dan S. Enteritidis memiliki
inang yang luas pada manusia dan hewan (Omwandho & Kubota 2010). Infeksi
dari serotipe golongan ini menyebabkan gastroenteritis atau enterokolitis.
Salmonella jenis ini merupakan foodborne disease yang masuk melalui makanan
ke dalam saluran pencernaan manusia (Graham 1980; Brands 2005). Simptom
tampak setelah 3–4 hari dengan gejala demam, diare, keram perut, dan kadang-
kadang diikuti dengan muntah (Bhunia 2008).
Tabel 3 Grup besar Salmonella dan target sasarannya
Salmonella Inang
Salmonella enterica serotipe Typhi manusia
S. enterica serotipe Paratyphi manusia
S. enterica serotipe Typhimurium manusia dan hewan
S. enterica serotipe Enteritidis manusia dan hewan
S. enterica serotipe Choleraesuis babi
S. enterica serotipe Dublin sapi
S. enterica serotipe Pullorum ayam
S. enterica serotipe Gallinarum ayam
Sumber: Bhunia (2008)
Salmonella disebut sebagai bakteri utama penyebab foodborne disease pada
manusia disusul oleh Staphylococcus aureus, Campylobacter spp., Clostridium
perfringens, Escherichia coli, dan Listeria spp. (D’Aoust 2001; Adeline et al.
2009; Hugas et al. 2009). S. Enteritidis dan S. Typhimurium disebut-sebut sebagai
penyebab foodborne disease utama pada tahun 1980an dan 1990an yang
berdampak pada kesehatan masyarakat dan masalah ekonomi negara (Mølbak
et al. 2006).
Beberapa spesies Salmonella sering ditemukan menginfeksi unggas dan
menyebabkan zoonosis. Spesies ini antara lain S. Pullorum, S. Gallinarum, dan
S. enterica serotipe Enteritidis dan serotipe Typhimurium (Wray & Davies 2003).
S. Pullorum menyebabkan penyakit sistemik yang bersifat akut. S. Gallinarum
penyebab penyakit cacar ayam, sedangkan S. Typhimurium dan S. Enteritidis
menyebabkan keracunan dan gangguan gastrointestinal pada manusia (Wallis
2006).
2.2.2 Prevalensi Salmonella
Outbreak Salmonellosis pada manusia dan hewan telah dilaporkan sejak
tahun 1970an. Salmonella adalah penyebab utama foodborne disease akibat
infeksi bakteri melalui makanan (D’Aoust 2001; Meggitt 2003; Bhunia 2008;
Adeline et al. 2009). Daging, telur dan hasil olahannya merupakan sarana
penghantar foodborne disease pada manusia di negara berkembang (Mølbak et al.
2006; Adeline et al. 2009; Hugas et al. 2009). Diperkirakan sekitar 800 000
sampai 4 000 000 orang terinfeksi Salmonella setiap tahunnya di Amerika Serikat.
Selain ciri umum berupa diare, demam, dan keram perut, infeksi juga dapat
menyebar ke aliran darah, sumsum tulang, bahkan ke otak yang dapat
mengakibatkan sakit yang fatal. Setiap tahunnya diduga sekitar 500–1000 orang
meninggal akibat infeksi S. enterica di Amerika Serikat (Angulo & Swerdlow
1999).
Laporan terbaru oleh Omwandho dan Kubota (2010), lebih dari 3.7 juta
kasus salmonellosis terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Hal ini
diperkirakan menghabiskan $64 sampai $114 dolar Amerika setiap tahunnya.
Peningkatan infeksi Salmonella pada manusia di Jerman dilaporkan bersumber
dari telur dan hampir 85% infeksi disebabkan oleh S. Enteritidis.
Kejadian salmonellosis berbeda-beda pada setiap negara. Spanyol pada
tahun 1992 dan Kanada pada tahun 1991 dengan populasi penduduk masing-
masing 40 000 dan 30 000 dilaporkan memiliki kasus foodborne disease oleh
Salmonella yang berbeda nyata, yaitu masing-masing 482 dan 28 kasus. Pada
kasus ini, unggas, telur, dan produk olahan telur dilaporkan sebagai bahan
penyebab utama (D’Aoust 2001).
Salmonella enterica menjadi pandemik di Eropa dan beberapa tempat lain di
belahan dunia (Angulo & Swerdlow 1999). S. enterica menyebabkan penyakit
typhoid pada manusia. Transmisi dari manusia ke manusia terjadi dari makanan
yang terkontaminasi ekskreta manusia atau lebih dikenal dengan cara fecal-oral.
Insidensi demam typhoid di seluruh belahan dunia diperkirakan sekitar 17 juta
kasus dan 600 000 diantaranya menyebabkan kematian (Mølbak et al. 2006).
Demam typhoid termasuk dalam lima penyakit terbesar penyebab kematian
di Indonesia (Mølbak et al. 2006; Moehario 2009). Infeksi ini menyebabkan
masalah kesehatan masyarakat dengan kejadian antara 350–810 kasus per 100 000
penduduk Indonesia setiap tahunnya (Moehario 2009). Hasil Riset Kesehatan
Dasar Nasional tahun 2007 menunjukkan bahwa persentase penduduk yang
terjangkit demam typhoid dibandingkan dengan seluruh penduduk (prevalensi) di
Indonesia sebesar 1.6%. Jawa Barat adalah salah satu dari dua belas provinsi yang
memiliki angka prevalensi typhoid di atas angka rata-rata yaitu sebesar 2.14%
(Depkes 2008).
2.3 Cemaran Salmonella pada Telur
Menurut Fardiaz (1989), telur yang baru umumnya bebas dari
mikroorganisme, kecuali telur yang berasal dari induk yang sakit atau telah
mengalami kontaminasi. Tingkat kontaminasi mikroorganisme pada telur
dipengaruhi oleh keadaan kerabang telur, besar ruang udara, kondisi putih telur,
dan kuning telur (Muchtadi & Sugiyono 1999). Mikroorganisme dari luar
mencemari telur melalui pori-pori pada lapisan kerabang telur yang mengalami
kerusakan. Mikroorganisme dapat mencemari telur setelah dalam proses
penyimpanan, melalui pori dan menembus dua lapisan telur di bawahnya. Telur
akan terinfeksi bila mikroorganisme dapat bertahan pada putih telur dan mencapai
kuning telur. Beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran kualitas kerabang
telur diantaranya adalah induk petelur yang semakin tua, temperatur lingkungan
meningkat, stress, penyakit, dan obat-obatan tertentu (Suprijatno et al. 2005).
Kontaminasi Salmonella pada telur diketahui terjadi melalui dua mekanisme
yaitu kontaminasi vertikal dan kontaminasi horizontal (D’Aoust 2001; Rabsch
et al. 2003; Grijspeerdt et al. 2005; Humphrey 2006). Kontaminasi vertikal
dikenal juga sebagai kontaminasi transovarial, dimana penularan Salmonella pada
telur berasal dari induk ayam yang terifeksi (D’Aoust 2001). Kontaminasi tersebut
dapat terjadi sebelum pelapisan putih telur. Survei dilakukan oleh Omwandho dan
Kubota (2010) untuk menguji penularan Salmonella melalui induk yang sakit.
Ayam petelur diberi 10 cfu S. Enteritidis secara oral. Setelah dua hari, bakteri
diisolasikan dari beberapa organ tubuh ayam. Dari hasil survei, S. Enteritidis
ditemukan pada organ usus buntu, jaringan intestinal, hati, ginjal, ovarium, dan
saluran telur.
Saluran kelamin merupakan jalur kontaminasi vertikal yang umum dari
induk ke anak (Grijspeerdt et al. 2005). Meskipun di dalam saluran telur telah
ditemukan anti mikroorganisme untuk mencegah kontaminasi dari kloaka, namun
demikian kontaminasi dapat saja terjadi melalui ruptur pembuluh darah atau
cemaran mikroorganisme yang telah ada dalam saluran telur.
Kontaminasi secara horizontal terjadi pada kerabang telur, diakibatkan
infeksi saluran reproduksi induk bagian bawah atau kontaminasi feses dan jerami
pada saat pengeraman (Omwandho & Kubota 2010). Kontaminasi horizontal
didukung oleh beberapa faktor seperti kondisi kerabang yang lembab,
penyimpanan pada suhu tinggi atau kerusakan kerabang telur (D’Aoust 2001).
Infeksi Salmonella pada manusia dapat terjadi pada saat mengkonsumsi
telur tercemar Salmonella yang tidak dimasak secara benar (Humphrey 2006).
Secara tidak langsung, infeksi Salmonella juga dapat terjadi melalui telur yang
telah terkontaminasi oleh air, peralatan masak, dan lingkungan yang tidak
menerapkan sanitasi dan higiene dengan baik (Meggitt 2003). Kondisi pasar
tradisional yang masih sederhana dan sanitasi lingkungan yang kurang memadai
akan mendukung peningkatan kontaminasi dan perkembangbiakan
mikroorganisme.
Tubuh manusia pada dasarnya memiliki ketahanan untuk mereduksi bakteri
Salmonella dalam kurun waktu lima sampai tujuh hari (Brands 2005). Namun
demikian dalam beberapa kasus, infeksi Salmonella dapat menyebabkan kematian
kurang dari rentang waktu itu. Sekitar 50 orang di Inggris meninggal setiap
tahunnya akibat bakteri ini. Orang tua, bayi, wanita hamil, dan penderita
ketahanan tubuh yang rendah, sangat peka terhadap infeksi Salmonella (Meggitt
2003).
BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan, dimulai pada bulan September
sampai dengan Oktober 2009. Penelitian terdiri atas dua tahap yaitu pengambilan
kuisioner dan pengujian Salmonella pada sampel telur. Data kuisioner diambil
dari pedagang telur ayam dan telur bebek di pasar tradisional Provinsi Jawa Barat.
Kuisioner diambil dengan metode survei dan merupakan studi cross sectional,
dimana data dikumpulkan pada waktu yang sama dan hanya menggambarkan
keadaan saat penelitian dilaksanakan. Kuisioner dikumpulkan dari beberapa pasar
di lima kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat.
Sampel telur untuk pengujian keberadaan Salmonella diambil dari beberapa
pasar di lima lokasi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat yaitu: Kabupaten
Cianjur, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bogor, Kota Cirebon, dan Kabupaten
Purwakarta (Tabel 5). Pengujian presumtif Salmonella dilakukan di Laboratorium
Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet), Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor.
3.2 Responden
Data kuisioner diperoleh dari 35 responden (25 dari pedagang telur ayam
dan 10 dari pedagang telur bebek) yang ditentukan secara purposif dari beberapa
lokasi pasar di Provinsi Jawa Barat. Kuisioner dari pedagang telur ayam diambil
dari 5 kabupaten/kota yaitu Kabupaten Cianjur, Kabupaten Indramayu, Kabupaten
Cianjur, Kabupaten Purwakarta, dan Kota Cirebon masing-masing sebanyak
5 responden. Kuisioner dari pedagang telur bebek diambil dari 2 kabupaten/kota
yaitu Kabupaten Indramayu dan Kota Cirebon masing-masing sebanyak
5 responden.
3.3 Jenis Sampel
Sampel yang digunakan pada uji Salmonella adalah telur ayam dan telur
bebek yang dipilih secara purposif dari beberapa lokasi pasar tradisional di
Provinsi Jawa Barat. Sampel telur ayam sebanyak 25 butir diperoleh dari
Kabupaten Cianjur, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bogor, Kabupaten
Purwakarta, dan Kota Cirebon. Sampel telur bebek sebanyak 10 butir diperoleh
dari Kabupaten Indramayu dan Kota Cirebon (Tabel 4). Keberadaan
Salmonella spp. diuji dari kuning telur sampel.
Tabel 4 Lokasi dan jumlah sampel telur ayam dan telur bebek yang diambil di
Provinsi Jawa Barat
No Kabupaten/Kota Telur ayam Telur bebek
1. Kabupaten Cianjur 5 -
2. Kabupaten Indramayu 5 5
3. Kabupaten Bogor 5 -
4. Kota Cirebon 5 5
5. Kabupaten Purwakarta 5 -
25 10
3.4 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam pengujian sampel telur adalah tabung reaksi, rak
tabung reaksi, gelas ukur, gelas erlenmeyer, cawan petri, pipet volumetrik,
inkubator, bunsen, ose, kapas, plastik, pensil, dan label.
Bahan yang digunakan dalam pengujian sampel adalah kuning telur,
Buffered Pepton Water/BPW (Pronadisa 1402.00), Rappaport-Vasiliadis Medium/
RV Medium (Merck 1.07700), Xylose Lysine Deoxycholate Agar/XLD medium
(Oxoid CM0469), Lysine Iron Agar/LIA (Merck 1.11640), Triple Sugar Iron
Agar/TSIA (Difco 0265-01-9), dan alkohol.
3.5 Metode
3.5.1 Data Kuisioner
Data yang dikumpulkan merupakan data primer yang meliputi jenis
pemasok, frekuensi pengiriman telur, lama waktu penjualan telur, cara
penanganan telur, pendidikan, dan penyuluhan. Pengolahan data dilakukan
dengan cara analisis deskriptif dan disajikan secara deskriptif.
3.5.2 Pengujian Sampel
Pemeriksaan keberadaan Salmonella dalam telur dilakukan dengan metode
menurut Compendium of Methods for the Microbiological Examination of Foods.
Metode ini terdiri atas empat tahap yaitu pre-enrichment, Selective enrichment,
pemupukan pada media selektif, dan pengujian biokimia (Andrews et al. 2001).
Tahap pre-enrichment
Sampel kuning telur dipisahkan dari putih telur, kemudian sebanyak 11 ml
kuning telur dimasukkan ke dalam erlenmeyer (500 ml) steril yang berisi 99 ml
pelarut BPW 0.1% (pengenceran 10-1
). Larutan dihomogenkan dan kemudian
diinkubasi pada suhu 37 oC selama 16–20 jam.
Tahap Selective enrichment
Sebanyak 0.1 ml inokulan dari BPW yang telah diinkubasi diambil dan
dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 10 ml RV Medium. Tabung reaksi
diinkubasi pada suhu 42 oC selama 24 jam.
Pemupukan pada media selektif
Satu atau dua ose inokulan dari RV-Medium diambil dan digoreskan pada
media selektif (XLD agar). Cawan petri yang telah digoreskan tersebut diinkubasi
pada suhu 37 oC selama 24 jam.
Gambar 1 Koloni Salmonella spp. pada media XLD agar
Koloni
Salmonella spp.
Pengujian biokimia
Koloni dari XLD agar yang berwarna merah muda dengan bintik hitam di
bagian tengah yang diduga sebagai Salmonella diinokulasikan pada masing-
masing media TSIA dan LIA. Media tersebut diinkubasi pada suhu 37 oC selama
24 jam.
3.6 Pembacaan hasil
Pembacaan hasil dilakukan setelah inkubasi media TSIA dan LIA selama
24 jam pada suhu 37 oC. Hasil pengamatan presumtif Salmonella didapat apabila
medium TSIA dan LIA menunjukkan hasil positif. Interpretasi hasil uji pada
media TSIA dan LIA terdapat pada Tabel 5.
Tabel 5 Interpretasi hasil positif uji biokimia
Tempat TSIA LIA
Slant Merah Ungu
Button Kuning/hitam Ungu
H2S + +
Gas + +
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Data Kuisioner
Penyediaan telur yang aman dan berkualitas sangat diperlukan masyarakat
untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Penanganan telur mulai dari sesaat
setelah oviposisi hingga dikonsumsi sangat mempengaruhi kualitas telur. Telur
sangat mudah rusak/pecah, memiliki pori-pori yang dapat menyebabkan gas,
bakteri, dan udara masuk dan keluar dari telur (Scenes et al. 2004). Penanganan
yang tidak higienis merupakan jalur kontaminasi utama pada telur. Pengawasan
keamanan pangan melalui konsep safe from farm to table dengan penerapan Good
Hygiene Practices (GHP) sangat diperlukan untuk menjamin ketersediaan pangan
yang aman.
Menjaring informasi melalui kuisioner dilakukan untuk mengetahui
penerapan sanitasi dan higiene pada tingkat distribusi dan penjualan telur di pasar
tradisional di Provinsi Jawa Barat. Data kuisioner ini mencakup data pendidikan
penjual, asal telur, frekuensi pengiriman, lama waktu penjualan telur, cara
penanganan telur di pasar, serta ada tidaknya penyuluhan tentang keamanan
pangan khususnya penanganan telur. Adanya kuisioner ini diharapkan dapat
menggambarkan sanitasi yang diterapkan pada telur sebelum sampai pada
konsumen.
Data pemasok atau produsen telur diketahui dari data jenis pemasok dan
frekuensi pengiriman telur. Menurut hasil survei yang dilaksanakan, sebagian
besar pemasok telur di pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat merupakan
pemasok tetap (77%). Di pasar tradisional Kabupaten Bogor dan Purwakarta,
semua toko pengecer menerima pasokan telur dari pemasok yang tetap (100%),
sedangkan beberapa pasar di Kabupaten Cianjur, Indramayu, dan Kota Cirebon
masih menerima pasokan dari pemasok tidak tetap (20–40%). Pasokan telur dari
pemasok yang tetap akan sangat mempengaruhi upaya pelaksanaan kontrol pada
telur yang dijual di pasar-pasar tradisional. Adanya keluhan dari konsumen serta
kondisi fisik telur yang tidak baik, telur cepat busuk pada rentang waktu
penyimpanan normal, serta masalah-masalah lain yang muncul akan dapat dengan
mudah ditelusuri dan dievaluasi hingga ke pemasok/produsen.
Frekuensi pengiriman telur dari pemasok ke penjual berbeda-beda sesuai
kesepakatan, yaitu setiap 1–2 hari, setiap 3 hari–1 minggu, setiap 2 minggu, dan
setiap persediaan habis terjual. Sebagian besar pasar di lima kabupaten menerima
pasokan telur secara teratur, kecuali Kabupaten Indramayu yang hampir 80% toko
pengecer di wilayah ini menerima pasokan telur setelah persediaan habis (tidak
teratur). Hal ini dapat juga diartikan bahwa manajemen penjualan telur di
Indramayu kurang baik, sehingga waktu penjualan telur hingga telur habis tidak
dapat diperkirakan. Dengan demikian monitoring pada telur yang dijual sulit
untuk dilakukan. Frekuensi pengiriman telur di pasar Provinsi Jawa Barat dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Frekuensi pengiriman telur ke pasar tradisional Provinsi Jawa Barat
Frekuensi pengiriman telur berkaitan dengan lamanya telur berada di toko
hingga terjual. Toko di pasar tradisional Kabupaten Bogor dan Purwakarta
memiliki waktu penjualan telur paling lama yaitu berturut-turut selama 8 hari dan
4 hari. Sedangkan toko di pasar tradisional Kabupaten Cianjur, Kabupaten
Indramayu, dan kota Cirebon menjual telur selama 1–2 hari. Data pengamatan
lama waktu penjualan telur dapat dilihat pada Tabel 7.
Penyimpanan telur di pasar di Provinsi Jawa Barat tidak dilakukan dengan
pendinginan. Seluruh penjual telur (100%) menyimpan telur tidak terjual pada
suhu kamar. Lamanya penyimpanan dapat menjadi faktor pemicu terjadinya
kontaminasi pada telur. Menurut Standar Nasional Indonesia [SNI 3926: 2008]
Kabupaten/ Kota Frekuensi Pengiriman Telur (n=25)
1–2 hari 3 hari–1 minggu 2 minggu Persediaan habis
Kabupaten Cianjur 60% 0 0 40%
Kabupaten Indramayu 20% 0 0 80%
Kabupaten Bogor 80% 0 0 20%
Kota Cirebon 40% 20% 40% 0
Kabupaten Purwakarta 40% 20% 20% 20%
tentang Telur Ayam Konsumsi, daya tahan telur ayam yang disimpan pada suhu
kamar maksimal 14 hari, dengan kelembaban berkisar antara 80%–90%.
Penyimpanan dengan lemari pendingin (4–7 oC) dapat meningkatkan daya tahan
telur hingga 30 hari. Dengan demikian, masa simpan telur pada suhu kamar di
semua toko di pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat berada dalam rentang
penyimpanan normal yaitu kurang dari 14 hari.
Tabel 7 Lama waktu penjualan telur di pasar tradisional kabupaten/kota di
Provinsi Jawa Barat
Kabupaten/Kota
Lama Telur Habis Terjual
(hari)
Terlama Tercepat Rata-rata
Kabupaten Cianjur 2.4 1 1.2
Kabupaten Indramayu 2.8 1.6 1.8
Kabupaten Bogor 9.6 4.2 7.6
Kota Cirebon 2.6 1.2 1.8
Kabupaten Purwakarta 7 1 3.6
Kesadaran untuk menghasilkan bahan makanan yang aman dan layak sangat
dibutuhkan oleh setiap penjual telur di pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat.
Hal itu harus selalu ditanamkan pada siapa saja khususnya pedagang untuk
mencegah adanya bahaya penyakit. Dari kuisioner diketahui bahwa tingkat
pendidikan penjual telur di Provinsi Jawa Barat bervariasi mulai dari tidak
sekolah (3.5%), SD sederajat (31%), SMP sederajat (31%), SMA sederajat (31%),
dan Perguruan tinggi (3.5%). Tingkat pendidikan penjual telur yang relatif rendah
dan beragam dapat mempengaruhi pola pikir dan pengetahuan masyarakat tentang
pelaksanaan higiene dan sanitasi yang baik pada telur. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan untuk menyamakan persepsi dan pengetahuan tentang pentingnya
higiene telur adalah dengan cara penyuluhan.
Berdasarkan hasil studi diketahui bahwa jarang dilakukan penyuluhan
tentang bahaya cemaran mikroorganisme dan cara penanganan telur yang baik dan
higienis di pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat. Dari data tercatat dua orang
dari lima orang pedagang di Kabupaten Bogor pernah (satu kali) mendapatkan
penyuluhan, sedangkan pedagang di kabupaten lain seperti Kabupaten Cianjur,
Kota Cirebon, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Purwakarta mengaku belum
pernah mendapatkan penyuluhan dari pihak manapun.
4.2 Pengujian keberadaan Salmonella pada kuning telur
Pengujian Salmonella dilakukan untuk mengetahui gambaran keberadaan
Salmonella dalam telur ayam (n=25) dan telur bebek (n=10) yang diperoleh dari
pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat. Hasil uji positif Salmonella pada kuning
telur ayam ditemukan pada 1 dari 25 sampel telur ayam (4%) yaitu telur ayam
yang berasal dari Kabupaten Purwakarta. Tidak ditemukan adanya infeksi
Salmonella pada kuning telur ayam yang berasal dari Kabupaten Cianjur,
Kabupaten Indramayu, Kabupaten Bogor, dan Kota Cirebon. Semua sampel
(n=10) kuning telur bebek yang diuji tidak mengandung Salmonella. Hasil uji
Salmonella pada telur ayam dan telur bebek disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Keberadaan Salmonella pada telur ayam dan telur bebek di Provinsi Jawa
Barat
No Kabupaten/Kota
Positif Salmonella
Telur Ayam
(butir)
Telur Bebek
(butir)
1. Kabupaten Cianjur 0/5 -
2. Kabupaten Indramayu 0/5 0/5
3. Kabupaten Bogor 0/5 -
4. Kota Cirebon 0/5 0/5
5. Kabupaten Purwakarta 1/5 -
Jumlah 1/25 (4%) 0/10 (0%)
Hasil penelitian cemaran Salmonella pada telur ayam di Provinsi Jawa Barat
kali ini menunjukkan hasil yang berbeda dengan data yang dilaporkan oleh
Satyaningsih (2007) pada 104 sampel telur ayam dari pasar tradisional Kabupaten
Tangerang. Salmonella di deteksi dari kulit telur, kuning telur, dan putih telur
ayam ras, dan dilaporkan bahwa tidak ditemukan infeksi Salmonella (0%) pada
semua sampel telur ayam yang diuji.
Laporan penelitian Singh et al. (2010) menunjukkan tingkat cemaran
Salmonella pada telur yang relatif menyerupai hasil penelitian ini. Singh
melakukan uji pada 150 sampel telur ayam yang dijual secara eceran di India,
teridentifikasi 13 telur ayam (7.4%) positif terinfeksi Salmonella diantaranya
7 butir pada kulit telur (4.6%) dan 4 butir pada kuning telur (2.6%).
Data infeksi Salmonella pada telur juga ditemui di beberapa negara
walaupun dengan persentase yang lebih kecil dari hasil penelitian yang didapat.
Data dari Jerman melaporkan infeksi Salmonella pada telur terjadi sekitar
1:380 (0.26%) dengan infeksi pada kuning telur 1:5000 (0.02%). Data serupa
didapat dari hasil penelitian di Denmark, cemaran Salmonella di perkirakan
terjadi pada setiap 1 dari 2000 telur (0.05%). Dari hasil ini, S. Enteritidis disebut
sebagai bakteri pencemar utama (Mølbak et al. 2006).
Cemaran Salmonella tidak ditemukan pada semua sampel kuning telur
bebek di Provinsi Jawa Barat. Data ini memperkuat hasil penelitian yang
dilakukan oleh Rumawas et al. (1991) tentang cemaran Salmonella pada telur
bebek di daerah Bogor. Hasil penelitian Rumawas et al. (1991) diperoleh dari
pengujian pada albumin dan kuning telur, dilaporkan bahwa semua telur bebek
yang diuji negatif terhadap Salmonella.
Menurut Choa et al. (2007), tingkat insidensi Salmonella pada telur bebek
lebih tinggi dibandingkan dengan pada telur ayam. Hal ini tidak sesuai dengan
data hasil penelitian ini dimana tidak ditemukan Salmonella pada semua sampel
kuning telur bebek di Provinsi Jawa Barat. Perbedaan ini mungkin saja
dikarenakan jumlah sampel telur bebek yang sedikit. Kontaminasi pada kerabang
telur umumnya lebih banyak terjadi dibandingkan infeksi pada putih telur dan
kuning telur. Kontaminasi pada kulit telur terjadi dari lingkungan akibat higiene
dan sanitasi yang buruk (Choa et al. 2007). Pencemaran ini berupa kontaminasi
horizontal yakni merupakan jalur kontaminasi utama Salmonella, yang terjadi
mulai dari saat setelah telur ditelurkan hingga sampai pada konsumen.
Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang telur ayam
konsumsi, cemaran Salmonella tidak boleh ditemukan pada telur konsumsi (SNI
2008). Ditemukannya Salmonella pada penelitian ini, dapat dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti faktor induk yang sakit, pakan, manajemen peternakan yang
buruk, distribusi, faktor lingkungan, serta kerusakan kerabang telur.
Kontaminasi Salmonella pada kuning telur sangat bergantung pada induk
yang terinfeksi Salmonella (kontaminasi vertikal) dan kontaminasi telur di
lingkungan kandang (kontaminasi horizontal). Kuning telur memiliki tingkat
kejadian Salmonella yang rendah. Jalur utama infeksi Salmonella pada kuning
telur adalah melalui kontaminasi vertikal, dan menurut D’Aoust (2001) transmisi
transovarial ini memiliki presentase kejadian yang rendah (<1.0%).
Kontaminasi horizontal terjadi saat mulai telur keluar dari kloaka induk
sampai proses penyimpanan (Omwandho & Kubota 2010). Bakteri dapat tumbuh
dan berkembang di lapisan kuning telur apabila telah menembus lapisan barier
putih telur. Penetrasi bakteri dari kulit luar dipengaruhi banyak faktor seperti,
jenis bakteri (sifat gram), keadaan fisik kulit telur, faktor intrinsik antimikrobial
dalam putih telur, suhu dan kelembaban penyimpanan, serta sanitasi peralatan
yang berhubungan dengan telur.
Saat setelah oviposisi, lapisan putih telur memiliki pH 7.6–7.8. Setelah
beberapa hari pH akan naik oleh bertambahnya kadar CO2 menjadi 9.1–9.2 (nilai
pH optimal pertumbuhan Salmonella adalah 4.1–9.0). Meningkatnya konsentrasi
CO2 karena kenaikan pH dapat menghambat dan/atau membunuh bakteri
Salmonella ssp. (D’Aous 2001).
Hasil positif Salmonella pada telur di Provinsi Jawa Barat (4%) disebabkan
oleh banyak faktor seperti adanya infeksi pada induk, terjadi kontaminasi sesaat
setelah oviposisi ataupun pada saat distribusi dan penanganan di tempat
penjualan. Data hasil kuisioner menunjukkan bahwa di Kabupaten Purwakarta dan
Kabupaten Bogor rata-rata telur terjual di pasar relatif lebih lama dibandingkan
dengan daerah lainnya yaitu antara 4–5 hari dan 8 hari. Selain itu, tidak adanya
kegiatan penyuluhan di Kabupaten Purwakarta dapat mempengaruhi cara
penanganan telur di pasar. Kedua hal ini mungkin dapat meningkatkan resiko
paparan mikroorganisme, termasuk Salmonella pada telur, namun tidak dapat
dijadikan sebagai penyebab tunggal ditemukannya infeksi Salmonella pada telur
dari wilayah Purwakarta. Waktu rata-rata penyimpanan telur pada suhu kamar
menurut SNI adalah 14 hari (SNI 2008). Dengan demikian kurun waktu
penyimpanan telur pada suhu kamar di pasar tradisional Provinsi Jawa Barat
masih termasuk dalam waktu normal penyimpanan telur.
Jumlah sampel telur yang terbatas pada penelitian ini tidak dapat
menunjukkan tingkat prevalensi Salmonella pada telur yang ada di Provinsi Jawa
Barat. Namun demikian, ditemukannya Salmonella pada penelitian kali ini dapat
memberi gambaran tentang keberadaan Salmonella yang masih tinggi pada telur.
Usaha untuk menghasilkan telur bebas Salmonella, sesuai SNI 3926:2008 tentang
telur ayam konsumsi, perlu dilakukan dengan meningkatkan pengawasan pada
telur dimulai dari peternakan hingga sampai pada konsumen. Penyuluhan yang
rutin tentang bahaya cemaran mikroorganisme dan cara penanganan telur yang
baik dan higienis perlu dilakukan pada pedagang dan pengecer telur.
Mencegah keberadaan Salmonella pada telur dapat dilakukan melalui
pencegahan kontaminasi vertikal dan horizontal. Pencegahan kontaminasi vertikal
dilakukan pada peternakan dengan mengeliminasi unggas/layer yang terinfeksi,
dengan menerapkan manajemen peternakan yang baik, pelaksanaan higiene dan
sanitasi, dan penggunaan vaksin pada serotipe tertentu untuk mengurangi resiko
memproduksi telur yang terinfeksi oleh Salmonella (Mølbak et al. 2006; Adeline
et al. 2009; Hugas et al. 2009).
Pencegahan kontaminasi Salmonella secara horizontal dilakukan mulai dari
peternakan, distribusi, penjualan, sampai pada konsumen atau safe from farm to
table. Dibutuhkan penerapan Good farming Practices (GFP), Good handling
Practices (GHP) atau Good Distribution Practices (GDP) yang benar untuk
menjamin kualitas dan keamanan telur konsumsi. Pelaksanaan prinsip higiene dan
sanitasi dapat dilakukan dengan mencegah terjadinya kontaminasi silang,
penerapan sanitasi yang baik di kandang, selama distribusi, dan di tempat
penjualan telur, penerapan higiene personal, dan meningkatkan pengetahuan dan
kepedulian masyarakat baik produsen, pedagang, maupun konsumen tentang
pentingnya penanganan telur secara baik dan benar.
Secara umum infeksi Salmonella pada manusia dapat dicegah dengan usaha
kesehatan masyarakat dan penerapan higiene personal (Gray & Fedorka 2002).
Menurut Meggitt (2003), usaha untuk mencegah konsumen terinfeksi Salmonella
akibat mengkonsumsi telur dapat dilakukan dengan cara: (1) memasak telur
sampai matang; (2) menghindari konsumsi telur mentah; (3) menerapkan higiene
personal saat menangani telur; (4) mencegah kontaminasi silang baik itu oleh alat
masak atau makanan lain; (5) simpan telur pada suhu yang tepat. Telur sebaiknya
disimpan pada suhu refrigerator sampai akan dikonsumsi. Memasak telur dengan
suhu minimal pasteurisasi (71.7 oC) selama 15 menit dapat mengeliminasi
Salmonella dari makanan (Bhunia 2008).
Program pengawasan Salmonella dan mikroorganisme patogen lainnya
sangat dibutuhkan pada makanan asal hewan, dimulai dari peternakan sampai
konsumen. Program tersebut mencakup pula pendidikan dan penyuluhan yang
intensif pada produsen, distributor, dan konsumen mengenai higiene dan sanitasi
penanganan bahan makanan yang baik sehingga dapat menekan insidensi kasus
keracunan makanan di masyarakat (Rumawas et al. 1991).
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
1. Berdasarkan hasil survei diperoleh bahwa 77% pasokan telur ayam di
pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat berasal dari pemasok tetap dengan
intensitas pengiriman yang teratur.
2. Penyimpanan telur di pasar tradisional di Provinsi Jawa Barat dilakukan
pada suhu ruang dengan lama penyimpanan rata-rata 4–5 hari.
3. Salmonella ditemukan pada sampel telur ayam di Provinsi Jawa Barat
(4%), hasil positif ini diperoleh dari pasar tradisional di Kabupaten
Purwakarta, sedangkan pada Kabupaten Cianjur, Kabupaten Indramayu,
Kabupaten Bogor dan Kota Cirebon tidak ditemukan.
4. Salmonella tidak ditemukan pada sampel telur bebek di Provinsi Jawa
Barat.
5.2 Saran
1. Diharapkan penelitian berikutnya tidak hanya meneliti cemaran
Salmonella spp. pada kuning telur tapi juga pada kerabang dan putih telur
untuk memberi gambaran cemaran Salmonella spp. secara keseluruhan
pada telur.
2. Sebaiknya dilakukan penyuluhan secara berkala kepada peternak dan
pedagang mengenai cara penanganan telur yang baik.
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA
Adeline HS, Marianne C, Sophie LB, Françoise L, Isabelle P, Sandra R,
Virginie M, Philippe M, Nicolas R. 2009. Risk factors for Salmonella
enterica subsp. enterica contamination in 519 French laying hen flocks
at the end of the laying period. Prev Vet Med 89:51–58.
Andrews WH, Flowers RS, Silliker J, Bailey SJ. 2001. Salmonella. Di dalam:
Downes FP, Ito K, editor. Compendium of Methods for the Microbiological
Examination of Foods. Ed ke-4. Washington: APHA.
Angulo FJ, Swerdlow DL. 1999. Epidemiology of human Salmonella enterica
serovar enteritidis infections in the United States. Di dalam: Saeed AM,
editor. Salmonella enterica Serotivar Enteritidis in Human and Animal.
Iowa: Iowa State Univ Pr.
[Anonim]. 2007. Optimum vitamin nutrition of laying hens. http://www.The
poultrysite.com/publications/1/egg-quality-handbook [terhubung berkala].
Bhunia AK. 2008. Foodborne Microbial Pathogens: Mechanisms and
Pathogenesis. New York: Springer Science.
Brands D. 2005. Deadly Diseases and Epidemics Salmonella. Philadelphia:
Chelsea House Publishers.
Choa MR, Hsien CH, Yeh CM, Chao SJ, Chu C, Su YC, Yu CY. 2007. Assessing
the prevalence of Salmonella enterica in poultry hatcheries by using hatched
egg shell membrans. Poult Sci 86:1651-1655.
Cortez ALL, Carvalho ACFB, Ikuno AA, Bürger KP, Vidal-Martins AMC. 2006.
Identification of Salmonella spp. isolates from chicken abattoirs
by multiplex-PCR. Res Vet Sci 81:340–344.
D’Aoust JV. 2001. Salmonella. Di dalam: Labbé RG & Garsía Santos, editor.
Guide to Foodborne Pathogens. USA: Wiley-inc.
[Depkes] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Hasil riset kesehatan
dasar nasional 2007. http://www.kesehatan.kebumenkab.go.id/
data/lapriskesdas.pdf [terhubung berkala]
[Disnak] Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat. 2009. Perkembangan produksi
telur di Jawa Barat. http://www.disnak.jabarprov.go.id [02 Februari 2011]
Dunkley KD, Callaway TR, Chalova VI, McReynolds JI, Hume ME, Dunkley CS,
Kubena IF, Nisbet DJ, Ricke SC. 2008. Foodborne Salmonella ecology
in the avian gastrointestinal tract. Anaerobe 15:26–35.
Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pengolahan Pangan. Bogor: Pusat Antar
Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.
Graham HD. 1980. The Safety of Foods. Ed ke-2. USA: AVI Publishing
Company.
Gray JT, Fedorka PJ. 2002. Salmonella. Di dalam: Cliver D, Riemant H, editor.
Foodborne Disease. Ed ke-2. USA: Academic Pr.
Grijspeerdt K, Kreft JU, Messens W. 2005. Individual-based modelling of growth
and migration of Salmonella Enteritidis in hens eggs. Int J Food Microbiol
100:323– 333.
Hugas M, Tsigarida E, Robinson T, Calistri P . 2009. The EFSA scientific panel
on biological hazards first mandate: May 2003-May 2006. Insight into
foodborne zoonoses. Trends Food Sci Technol 20:188-193.
Humphrey T. 2006. Public health aspects of Salmonella enterica in food
production. Di dalam: Mastroeni P, Maskell D, editor. Salmonella Infections
Clinical, Immunological and Molecular Aspects. New York: Cambridge
Univ Pr.
Kusmayadi. 2010. Jabar waspadai kurang pasokan telur. Edisi Kamis, 26 Agustus.
http://www.bataviase.co.id/bataviase/search [26 Agustus 2010]
Lukman DW, Sudarwanto M, Sanjaya AW, Purnawarman T, Latif H,
Soejoedono RR. 2009. Higiene Pangan. Bogor: Fakultas Kedokteran
Hewan Institut Pertanian Bogor.
Meggitt C. 2003. Food Hygiene and Safety. London: Heinemann.
Moehario LH. 2009. The molecular epidemiology of Salmonella Typhi across
Indonesia reveals bacterial migration. J Infect Dev Ctries 3:579-584.
Mølbak, Olsen JE, Wegener HC. 2006. Salmonella infections. Di dalam:
Riemann HP and Cliver DO, editor. Foodborne Infections and
Intoxications. USA: Academic Pr.
Muchtadi TR, Sugiyono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan
Pangan. Bogor: IPB pr.
Omwandho COA, Kubota T. 2010. Salmonella enterica Serovar Enteritidis:
a mini-review of contamination routes and limitations to efective control.
JARQ 44:7-16.
Patterson S, Isaacson ER. 2003. Genetics and pathogenesis of Salmonella.
Di dalam: Torrence ME, Isaacson ER, editor. Microbial Food Safety in
Animal Agriculture. Iowa: Iowa State Pr.
Rabsch W, Altier C, Tschäpe H, Bäumler AJ. 2003. Foodborne Salmonella
infections. Di dalam: Torrence ME, Isaacson ER, editor. Microbial Food
Safety in Animal Agriculture. Iowa: Iowa State Pr.
Rumawas I, Lukman DW, Purnawarman T, Leksono CS. 1991. Insidensi
Salmonella pada telur ayam ras, telur ayam kampung dan telur bebek di
Bogor. Di dalam: Kumpulan Makalah pada Kongres XI dan Konferensi
Ilmiah V PDHI. Yogyakarta: ROMINDO Primavetcom.
Satyaningsih F. 2007. Studi Salmonella Enteritidis pada telur ayam ras di pasar
tradisional Kabupaten Tanggerang [tesis]. Bogor: IPB
Scenes CG, Brant G, Ensminger ME. 2004. Poultry Science. Ed. Ke-4. New
Jersey: Pearson.
Singh S, Yadav AS, Singh SM, Bharti P. 2010. Prevalence of Salmonella in
chicken eggs collected from poultry farms and marketing channels and their
antimicrobial resistance. Food Res Int 43:2027–2030.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2008. SNI 3926:2008 tentang Telur Ayam
Konsumsi. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.
Songer JG, Post KW. 2005. Veterinary Microbiology: Bacterial and Fungal
Agent of Animal Disease. USA: Elsevier
Supali T. 2001. Studi karier Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi pada es
keliling dan intervensi penanggulangannya. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Suprijatno E, Atmomarsono U, Kartasudjana R. 2005. Ilmu Dasar Ternak
Unggas. Jakarta: Penebar Swadaya.
Tindall BJ, Grimont PAD, Garrity GM, Euzeby JP. 2005. Nomenclature and
taxonomy of the genus Salmonella. Int J Syst Evol Microbiol 55:521-524.
Todar K. 2008. Salmonella and salmonellosis. http://www.Textbook
of bacteriology. net/Salmonella.html [terhubung berkala]
Wallis TS. 2006. Host-specificity of Salmonella infections in animal species.
Di dalam: Mastroeni P, Maskell D, editor. Salmonella Infections Clinical,
Immunological and Molecular Aspects. New York: Cambridge Univ Pr.
Wistreich GA, Lebchtman MD. 1976. Microbiology. Ed ke-3. USA: Glencoe
Publishing Co Inc.
Wray C and Davies RH. 2003. The epidemiology and ecology of Salmonella in
meat-production animal. Di dalam: Torrence ME and Isaacson ER, editor.
Microbial Food Safety in Aniaml Agriculture. Iowa: Iowa State Pr.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuisioner untuk penjual telur
KUISIONER PENELITIAN No:
TELUR
Tgl:
Enumerator:
Kota/ kabupaten:
I. Identitas Responden
1.1 Nama responden : ........................................................................
1.2 Nama unit usaha : ........................................................................
1.3 Nama pasar tempat usaha : ............................................................
1.4 Alamat usaha
Jalan : ........................................................................
Kelurahan : ........................................................................
Kecamatan : ........................................................................
Kota : ........................................................................
II. Karakteristik responden
2.1 Jenis Kelamin : L / P
2.2 Umur :
2.3 Pendidikan:
1. Tidak sekolah
2. Tidak lulus SD
3. SD sedarajat
4. SMP sedarajat
5. SMU sedarajat
6. Perguruan Tinggi sedarajat
2.4 Pengalaman melakukan usaha :
1. Kurang dari 1 tahun
2. 1 - 3 tahun
3. 3 – 5 tahun
4. Lebih dari 5 tahun
2.5 Status pada unit usaha
1. Pemilik
2. Pekerja
3. Lain-lain, sebutkan : ........................................................................
III. Karakteristik manajemen usaha
3.1 Jenis dan jumlah telur yang dijual
3.1.1 Jenis telur yang dijual :
1. Ayam
2. Bebek
3. Puyuh
4. Lain-lain, sebutkan : ........................................................................
3.1.2 Berapa rata-rata telur ayam (bebek) per hari :
Dijual/ disediakan : ....................................... butir
Terjual : ....................................... butir atau ............ %
Tidak terjual : ....................................... butir atau ............ %
KUISIONER PENELITIAN No:
TELUR
Tgl:
Enumerator:
Kota/ kabupaten:
3.2 Supplier
3.2.1 Jenis pemasok yang memasok telur ayam :
1. Pemasok tetap
2. Pemasok tidak tetap (berubah-ubah)
3.2.2 Pengiriman ayam ke tempat pengumpulan :
1. Teratur, sebutkan setiap hari/minggu/bulan : .......................
2. Tidak teratur, sebutkan : .......................................................
3.3 Lama waktu telur di tempat penjualan
3.3.1 Waktu rata-rata telur berada di tempat penjualan : ....................... hari
3.3.2 Waktu tercepat : ............................... hari
3.3.3 Waktu terlama : ............................... hari
3.4 Penyuluhan
3.4.1 Apakah pernah mendapat penyuluhan tentang penanganan telur yang baik
:
1. Ya
2. Tidak
3.4.2 Jika ya, berapa kali :
1. Satu kali
2. Dua kali
3. Lebih dari 2 kali
3.4.3 Siapa yang memberikan penyuluhan :
1. Petugas dinas
2. Perguruan tinggi
3. LSM
4. Lain-lainn, sebutkan : ..............................................................