kebijakan hukum pidana terhadap penanggulangan kejahatan tanpa korban (psk)
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG MASALAH
Pekerja Seks Komersial (PSK) atau yang biasa dikenal dengan prostitusi
(Pelacuran) bukanlah masalah baru akan tetapi merupakan masalah lama yang
baru diangkat. Di lihat dari perkembangan peradaban manusia, hampir semua
Negara memiliki permasalahan di bidang prostitusi. Belum ada sebuah Negara
yang meniadakan praktek prostitusi selain hanya menertibkannya. Tidak jarang
praktek prostitusi ini ditentang oleh kaum agamawan termasuk masyarakat
sendiri. Harus dilihat bahwa praktek prostitusi merupakan realitas sosial yang
tidak dapat dipungkiri lagi. praktek prostitusi tersebut itu sendir bertentangan
dengan moral, susila dan agama yang setiap saat dapat merusak keutuhan
keluarga.
Istilah pelacuran berasal dari bahasa latin pro-situere yang berarti
membiarkan diri berbuat zinah, melakukan persundalan, pencabulan. Sedangkan
prostitue dikenal pula dengan istilah wanita tuna susila (WTS). Pelacuran
merupakan profesi yang sangat tua usianya dan sering dikatakan setua umur
kehidupan itu sendiri. Pelacuran ini selalu ada pada semua negara berbudaya sejak
zaman purba sampai sekarang dan senantiasa menjadi masalah sosial, menjadi
objek urusan hukum dan tradisi. Selanjutnya, dengan berkembangnya teknologi,
industri dan kebudayaan manusia, turut berkembang pula praktek pelacuran
dalam berbagai bentuk dan tingkatannya.
Para pelacur atau WTS yang menjadikan pelacuran sebagai lapangan kerja
tersebut dapat digolongkan dalam dua kategori yaitu mereka yang melakukan
profesinya dengan sadar dan sukarela berdasarkan motivasi tertentu, atau mereka
yang melakukannya karena ditawan atau dijebak oleh germo.
Di tengah-tengan terjadinya reaksi terhadap praktek prostitusi ternyata
tidak membuat kegiatan prostitusi berkurang tetapi justru cenderung bertambah
kuantitasnya. Hal ini terjadi karena disamping factor akulturasi budaya ada juga
factor lain seperti ekonomi maupun karena kondisi tertentu seperti, pengaruh
lingkungan dan lain sebagainya.
Sekalipun praktek prostitusi ini merupakan perbuatan yang merusak moral
dan mental yang dapat menghancurkan pula keutuhan keluarga, namun dalam
hukum positif sendiri tidak melarang pelaku praktek prostitusi tetapi hanya
melarang bagi siapa yang menyediakan tempat atau memudahkan terjadinya
praktek prostitusi. Hal ini diatur dalam pasal 296 KUHP yang bunyinya adalah
sebagai berikut : “ Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan
perbuatan cabul oleh orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau
kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan
atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”.
Di lihat dari ketentuan tersebut di atas, maka perlu adanya sebuah
peraturan yang mengatur secara menyeluruh baik terhadap mucikari (germo)
maupun pelaku praktek prostitusi itu sendiri karena ada sebagian prostitusi yang
tidak melalui mucikari tetapi melakukan praktek prostitusi.
Pemerintah harus berperan secara maksimal sehingga diharapkan praktek
prostitusi dapat berkurang melalui kegiatan pembinaan atas kerja sama
interdepartemental. Masyarakat pun harus mengambil peran yang maksimal untuk
mendukung peran pemerintah khususnya dalam upaya mengurangi praktek
prostitusi. Aparat penegak hukum juga harus bertindak secara tegas dalam
menjalankan aturan tentang larangan praktek prostitusi.
II. PERMASALAHAN
Berdasarkan Latar belakang diatas maka, permasalahan yang saya ambil
adalah :
1. Apakah Pekerja Seks Komersial merupakan suatu tindakan kriminal…???”
2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan timbul dan berkembangnya prostitusi
( pelacuran ).
3. Bagaimana Cara Penanggulangan Pelacuran Ditinjau Dari Perspektif Hukum.
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
I. Pekerja Seks Komersial (PSK) di Lihat dari Aspek Hukum Pidana
Pelacuran merupakan masalah yang tidak hanya melibatkan pelacurnya
saja, tetapi lebih dari itu yaitu merupakan suatu kegiatan yang melibatkan banyak
orang seperti germo, para calo, serta konsumen-konsumen yang sebagian besar
pelakunya merupakan laki-laki yang sering luput dari perhatian aparat penegak
hukum.
Di Indonesia pemerintah tidak secara tegas melarang adanya praktek-
praktek pelacuran. Ketidak tegasan sikap pemerintah ini dapat dilihat pada Pasal
296, yang bunyinya adalah sebagai berikut : “ Barang siapa dengan sengaja
menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain, dan
menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak
lima belas ribu rupiah”.
Dan pasal 506 yang berbunyi “barangsiapa menarik keuntungan dari
perbuatan cabul seorang wanita dan menjadikannya sebagai pelacur, diancam
dengan pidana kurungan paling lama satu tahun” Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
Yang dilarang dalam KUHP adalah mengeksploitir seksualitas orang lain
baik sebagai “pencaharian ataupun kebiasaan” (pasal 296 KUHP) atau ‘menarik
keuntungan’ dari pelayanan seks (komersial) seorang perempuan dengan praktek
germo (pasal 506 KUHP). Pasal-pasal tersebut dalam KUHP hanya melarang
mereka yang membantu dan menyediakan pelayanan seks secara illegal, artinya
larangan hanya diberikan untuk mucikari atau germo, sedangkan pelacurnya
sendiri sama sekali tidak ada pasal yang mengaturnya. Kegiatan seperti itupun
tidak dikelompokkan sebagai tindakan kriminal.
Meskipun demikian hukum pidana tetap merupakan dasar dari peraturan-
peraturan dalam industri seks di Indonesia. Karena larangan pemberikan
pelayanan seksual khususnya terhadap praktek-praktek pelacuran tidak ada dalam
hukum negara, maka peraturan dalam industri seks ini cenderung didasarkan pada
peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah daerah, baik pada tingkat
propinsi, kabupaten dan kecamatan, dengan mempertimbangkan reaksi, aksi dan
tekanan berbagai organisasi masyarakat yang bersifat mendukung dan menentang
pelacuran tersebut.
II. Faktor-faktor penyebab timbul dan berkembangnya prostitusi
(pelacuran).
Perkembangan teknologi merupakan tuntutan zaman, tuntutan kehidupan
manusia dalam memnuhi kebutuhannya. Dengan perkembangan teknologi pula
menjadikan kota (terutama di negara-negara sedang berkembang) dibangun
sedemikian, sehingga terjadi perbedaan yang sangat mencolok bila dibandingkan
dengan kondisi di perdesaan. Semua itu merupakan magnit urbanisasi yang sangat
kuat.
Urbanisasi (secara demografi, dalam arti perpindahan penduduk dari desa
ke kota) mereka lakukan dengan maksud untuk mempertahankan hidup dan
mempercepat proses pengembangan kehidupan. Melalui media televisi, terlihat
gebyarnya perkotaan, betapa mudahnya orang mendapatkan kemewahan di
perkotaan (terutama kota-kota besar). Semua itu menjadikan kecemburuan bagi
waga perdesaan. Terjadilah perpindahan penduduk dari desa ke kota-kota besar,
dengan satu tujuan yakni mencari pekerjaan demi uang.
Dari berbagai pengamatan dan penelitian terdahulu dapat diketahui bahwa
sebagai akibat urbanisasi yang tanpa diikuti urbanisasi secara sosial (perubahan
pola pikir dan peri laku urbanisan) antara lain adanya beberapa dampak negatif
dalam aspek fisik lingkungan, aspek ekonomi, maupun aspek sosial dan hukum,
yang salah satunya adalah timbulnya prostitusi (pelacuran).
Dengan modal pengetahuan dan keterampilan yang seadanya, tanpa
mengetahui perbedaan yang sangat kontras antara perdesaan di kota-kota kecil
dengan perkotaan merupakan kendala utama dalam memperoleh pekerjaan yang
diimpikan sebelumnya. Keadaan terpaksa oleh kegagalan demi kegagalan untuk
mendapatkan pekerjaan legal, keengganan untuk kembali ke desa, ditunjang
dengan tipuan dan rayuan para lelaki hidung belang merupakan langkah awal
menuju dunia prostitusi.
Dengan menerapkan teori Swab, maka faktor-faktor yang menyebabkan
timbul dan berkembangnya prostitusi antara lain:
1. Kondisi kependudukan, yang antara lain: jumlah penduduk yang besar
dengan komposisi penduduk wanita lebih banyak dari pada penduduk
laki-laki.
2. Perkembangan teknologi, yang antara lain: teknologi industri kosmetik
termasuk operasi plastik, alat-alat dan/atau obat pencegah kehamilan;
teknologi dalam telekomunikasi dan transportasi. Dalam hal ini yang
jelas adalah penyalahgunaan terhadap produk-produk perkembangan
teknologi di bidang industri.
3. Lemahnya penerapan, dan ringannya sanksi hukum positif yang
diterapkan terhadap pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum tersebut
dapat dilakukan oleh pelaku (subyek) prostitusi, mucikari, pengelola
hotel/penginapan, dan lain-lain. Mahalnya biaya (resmi) pernikahan,
sulitnuya prosedur perceraian juga merupakan faktor pengembangan
praktek prostitusi secara kuantitas.
4. Kondisi lingkungan, baik lingkungan sosial maupun lingkungann alam
(fisik) yang menunjang. Kurangnya kontrol di lingkungan permukiman
oleh masyarakat sekitar, serta lingkungan alam seperti: jalur-jalur jalan,
taman-taman kota, atau tempat-tempat lain yang sepi dan kekurangan
fasilitas penerangan di malam hari, sangat menunjang untuk terjadinya
praktek prostitusi.
III. Penanggulangan pelacuran ditinjau dari perspektif Hukum
Prostitusi (pelacuran) merupakan penyakit sosial sekaligus pelanggaran
hukum. Namun lebih dari itu prostitusi merupakan permasalahan yang sangat
kompleks karena menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kegiatan
pelacuran menyangkut aspek sosial, gender, hukum, kesehatan, moral dan etika,
agama, pendidikan, psikologis, ekonomi dan industrialisasi dan juga masalah
politik. Oleh karena itu upaya penanggulangannya juga harus bersifat terpadu dan
berkelanjutan.
Disadari bahwa prostitusi ditinjau dari sudut manapun merupakan suatu
kegiatan yang berdampak tidak baik (negatif). Dampak negatif tersebut antara
lain:
(a) Secara sosiologis prostitusi merupakan perbuatan amoral yang
bertentangan dengan norma dan etika yang ada di dalam masyarakat
(b) Dari aspek pendidikan, prostitusi merupakan kegiatan yang
demoralisasi;
(c) Dari aspek kewanitaan, prostitusi merupakan kegiatan yang
merendahkan martabat wanita
(d) Dari aspek ekonomi, prostitusi dalam prakteknya sering terjadi
pemerasanm tenaga kerja;
(e) Dari aspek kesehatan, praktek prostitusi merupakan media yang
sangat efektif untuk menularnya penyakit kelamin dan kandungan
yang sangat berbahaya
(f) Dari aspek kamtibmas, praktek prostitusi dapat menimbulkan
kegiatan-kegiatan kriminal; dan
(g) Dari aspek penataan kota, prostitusi dapat menurunkan kualitas dan
estetika lingkungan perkotaan.
Meskipun pelacuran sangat sulit dan hampir mustahil dihapuskan paling
tidak terdapat berbagai alternatif upaya untuk membatasinya sekaligus
mengeliminasi dampak-dampak positif yang ditimbulkannya. Oleh karena itu
penegakan hukum terhadap masalah-masalah pelacuran merupakan dilematis dan
kita tidak dapat berharap banyak dari polisi, jaksa dan hakim. Dukungan dari
masyarakat merupakan hal yang sangat signifikan.
Adalah hal yang tidak berlebihan bila dikatakan bahwa bahwa
kelihatannya mustahil untuk mengeliminasi praktek prostitusi sama sekali dan
oleh karena itu sebagaimana disebutkan di atas kita harus memulai dan bekerja
untuk mencari upaya mengurangi peningkatan dan dampak negatif yang
ditimbulkannya. Upaya-upaya tersebut harus dilakukan secara sistematis, terpadu
dan berkelanjutan serta harus didukung oleh masyarakat dan pemerintah sesuai
dengan potensi dan eksistensi masing-masing.
Adapun Langkah-langkah yang dilakukan dalam penanggulangan
pelacuran yaitu dengan langkah preventif dan represif.
1. Secara Represif, yang antara lain
a. Merealisasi ketentuan hukum pidana terhadap pelanggarnya,
b. Tindakan pengawasan, pengaturan dan pencegahan penyakit yang
ditimbulkan karena praktek prostitusi
2. Secara Preventif, yang antara lain:
a. Penyelenggaraan pendidikan seks di sekolah,
b. Penyuluhan bahaya penyakit yang diakibatkan oleh praktek prostitusi
c. Pertolongan psikhologis-psikhiatris terhadap para gadis yang
menunjukkan gejala kedewasaan kehidupan seksual dan bantuan
perawatan anak-anak di sekolah.
BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
Penerapan Kebijakan hukum pidana dalam hal Penanggulangan terhadap masalah
prostitusi (pelacuran) kurang efektif, hal tersebut disebabkan masalah-masalah
terhadap :
a. Penerapan terhadap substansi hukum, bahwa dalam KUHP tidak ada satu
pasalpun yang mengkategorikan pelayanan seks komersial sebagai suatu
tindakan kriminal ataupun pelanggaran pidana. Yang dilarang dalam
KUHP adalah mengeksploitir seksualitas orang lain baik sebagai
“pencaharian ataupun kebiasaan” (pasal 296) atau ‘menarik keuntungan’
dari pelayanan seks (komersial) seorang perempuan dengan praktek germo
(pasal 506).
b. Penerapan struktur hukum, bahwa aparat penegak hukum dalam
menanggulangi pelacuran jarang melakukan razia dan malahan, ada pula
oknum aparat ikut terlibat dalam praktek-praktek pelacuran.
c. Penerapan budaya hukum, bahwa masyarakat sebagian mendukung
adanya pelacuran karena mereka merasa diuntungkan dari praktek-praktek
pelacuran tersebut.
B. SARAN
1. Untuk mengurangi atau menekan munculnya pelacuran, dapat dilakukan
dengan melakukan penyempurnaan terhadap Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang harus mengatur secara jelas dan tegas
tentang praktek pelacuran.
2. Aparat penegak hukum harus berani dan tegas dalam menanggulangi
pelacuran sehingga tidak ada oknum-oknum yang berani terlibat dalam
praktek-praktek pelacuran
3. Penanggulangan pelacuran diharapkan berkeadilan baik dalam aturan
hukum, penegakan hukum maupun dalam budaya hukum masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Bariah, Chairul, “Hak-Hak Politik Perempuan Di Indonesia Dalam Perlindungan
Hak Asasi Manusia (HAM),” dalam Citra Justicia, Vol. II Nomor 1 Juli
2001.
Sunaryo, Thomas, 1987, Studi Tentang Hubungan Kerja Dalam Lokalisasi
Pelacuran, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas
Indonesia.
Sutiyoso, Bambang., Aktualita Hukum dalam Era reformasi, Jakarta, 2004
Soemitro, Rony Hanitijo, Masalah-masalah Sosiologi Hukum”, Bandung, 1984.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)